======
baca juga
- Cerita Silat Cersil Gress Pendekar Aneh Naga Langi...
- Cerita Cinta Korea PANL ke 21 Tamat
- Cerita Asmara ke 20 PANL
- Cerita Amoy Lokal PANL 19
- Cerita Panlok PANL 18
- Cerita ML PL PANL 17
- Cerita PL ML PANL 16
- Cerita Cantik PANL 15
- Cerita ABG ke 14 PANL
- Cerita Apik PAnL ke 13
- Cerita PANL ke 12
- Cerita PANL ke 11
- Cerita Top PANL 10
- Cerita Asyik PANL 9
- Cerita Dewasa PANL 8
- Cerita Romantis Tante PANL 7
- Cerita Romantis ABG PANL 6
- Cerita Romantis Klasik PANL 5
- Cerita Panas PANL 4
- Cerita Dewasa Terpopuler PANL 3
- Cerita Romantis Terbaik PANL 2
- PENDEKAR ANEH NAGA LANGIT (THIAN LIONG KOAY HIAP) ...
10.46. Panggilan Suara Seruling Aneh
Keadaan yang sunyi senyap di pos yang penting dari istana Ban-jin-kiong, menyebabkan Cu-ing dan Huning
heran.
“Karena Siau toako sudah datang lebih dulu ke sini, kemungkinan para penjaga tentu sudah dibasmi,”
akhirnya Hun-ing menarik kesimpulan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia kagum atas kecerdasan Hun-ing yang dapat menduga
sesuatu dengan tepat.
“Ya, memang mereka telah kuhancurkan semua, kita boleh keluar dengan aman,” akhirnya Lo-seng
memberi keterangan.
Selekas keluar dari rumah pondok aneh itu, Lo-seng dan kedua gadis berada dalam lingkungan hutan lebat.
“Tampaknya hutan itu sunyi senyap tetapi sesungguhnya merupakan sebuah barisan yang hebat. Kita harus
hati-hati,” kata Hun-ing.
“Tahukah kalian dimana sesungguhnya letak istana Ban-jin-kiong itu?” tiba-tiba Lo-seng bertanya.
“Memang mengherankan sekali,” kata Cu-ing, “tempat ini sudah termasuk lingkungan Ban-jin-kiong, tetapi
mengapa tak tampak sebuah bangunan rumah? Apakah istana Ban-jin-kiong itu masih jauh dari sini?”
Kebalikannya Hun-ing memberi jawaban, “Dalam dunia persilatan tiada seorangpun yang tahu dimana letak
istana Ban-jin-kiong itu. Dengan begitu jelas, istana itu merupakan sebuah tempat yang sangat rahasia.
Tetapi menurut dugaanku, Ban-jin-kiong memang berada di sekeliling tempat ini. Bukankah demikian, Siau
toako?”
Lo-seng tersenyum: “Benar, istana Ban-jin-kiong memang dibangun dalam hutan itu.”
“Ah, tak percaya,” Cu-ing gelengkan kepala, “kecuali istana itu dibangun di bawah tanah, barulah kita tak
dapat melihatnya.”
“Bagus, adik Ing,” seru Hun-ing, “engkau memang cerdik benar.”
“Apa?” teriak Cu-ing terkejut, “benarkah istana itu berada di bawah tanah?”
“Sst, ada seseorang akan keluar,” bisik Lo-seng tiba-tiba, “jangan bicara.”
Dengan cepat pemuda itupun sudah menyelinap ke bawah sebatang pohon. Kedua nona itupun mengikuti.
Saat itu terdengar derap langkah orang memberisik di tengah hutan. Sampai beberapa saat baru suara
derap kaki itu berhenti. Tetapi anehnya dalam hutan tetap tak tampak sesuatu.
Baru setelah berselang lama sekali, terdengar suara orang berseru:
“Apakah keempatpuluh tujuh To-su sudah hadir semua?”
To-su di sini Algojo. Tetapi hal itu tidak mengejutkan Lo-seng bertiga. Mereka lebih terkejut ketika
mendengar suara orang itu yang nadanya mereka kenal sebagai Li Giok-hou.
“Laporan kepada Sau-kiongcu bahwa keempatpuluh tujuh to-su sudah hadir lengkap,” seru seseorang
dengan nada lantang.
“Jangan bergerak sembarangan. Hutan penuh dengan perangkap rahasia. Lebih baik kita tunggu saja di
sini,” Lo-seng cepat menggunakan ilmu Menyusup suara untuk memberi peringatan kepada kedua nona.
Kembali terdengar Giok-hou berseru bengis.
“Ang Piu, selama ini Kiong-cu (kepala istana) selalu menghargai engkau. Bahkan keempatpuluh tujuh orang
yang tergabung dalam regu Algojo telah dipercayakan kepada pimpinanmu. Bertahun-tahun lamanya,
engkau memang telah melakukan kewajiban dengan bagus. Tetapi beberapa hari yang lalu ketika istana ini
diterobos Bu Beng Lojin, boleh dikata seluruh anggauta algojo telah mendapat hukuman, kecuali engkau
seorang. Dengan demikian engkau tentu tahu betapa besar rasa sayang Kiong-cu kepadamu.”
“Sau-kiongcu,” seru Ang Piu dengan nada parau,” sekalipun tubuh Ang Piu hancur lebur, tetap belum dapat
menghimpaskan budi yang dilimpahkan Kiong-cu kepada diriku.”
Mendengar pengakuan orang yang bernama Ang Piu itu, diam-diam Lo-seng kerutkan dahi. Ia heran dan
tak mengerti apakah yang menyebabkan tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi banyak yang tunduk
dan patuh kepada istana Ban-jin-kiong.
“Tetapi hari ini Kiong-cu memerintahkan supaya engkau bersama keempatpuluh tujuh algojo itu mendengar
perintahku. Ingin kuketahui, apakah engkau juga akan menumpahkan kepercayaan sepenuh yang engkau
berikan kepada Kiong-cu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ang Piu dan segenap anak buah barisan Algojo akan setia sampai mati kepada Sau-kiongcu!” seru kepala
barisan Algojo
“Bagus, bagus! Li Giok-ho pun takkan mengecewakan harapanmu……” berhenti sebentar, ia melanjutkan
pula, “Ang Piu, tahukah engkau apa maksudku mengumpulkan kalian di tempat ini?”
“Mohon Sau-kiongcu suka menjelaskan.”
Tiba-tiba suara Li Giok-hou berobah sarat, serunya:
“Kiongcu menitahkan supaya kita membunuh seorang yang dianggap sebagai musuh berbahaya dari istana
Ban-jin-kiong. Asal orang itu sudah mati, Ban-jin-kiong pasti segera menjadi penguasa dunia persilatan.
Maka keberangkatan kita kali ini, harus berhasil tak boleh gagal....... Apabila gagal, engkau, aku dan seluruh
barisan Algojo tentu akan dihukum berat oleh Kiong-cu. Mengingat tugas yang kita lakukan kali ini, amat
berat sekali maka perlulah kujelaskan kepada kalian semua.”
Mendengar itu kembali Siau Lo-seng bertanya dalam hati: “Siapakah yang hendak mereka bunuh itu?”
“Hari sudah malam mari kita berangkat,” seru Giok-hou pula.
Segera terdengar derap orang berbaris menuju ke arah barat hutan.
“Cici Hun, siapakah yang hendak mereka bunuh?” tanya Cu-ing sesaat kemudian.
“Bagaimana aku tahu?” sahut Hun-ing.
“Apakah bukan Siau toako?” masih Cu-ing menegas.
“Sudah tentu mereka juga ingin membunuh Siau toako, kalau mampu,” sahut Hun-ing. Tiba-tiba nona itu
berobah tegang, serunya: “Cepat kita kejar, mereka hendak membunuh peniup seruling itu!”
Hun-ing cepat mendahului lari keluar.
Lo-seng mencekal tangan Cu-ing, mengejar Hun-ing, serunya pelahan: “Adik Hun, aku saja yang berjalan di
muka. Hutan ini merupakan sebuah barisan yang berbahaya.”
Dengan menggandeng kedua nona, Lo-seng gunakan ilmu lari cepat menerobos hutan. Tak berapa lama
mereka tiba di sebuah lereng gunung.
Saat itu matahari sudah hampir terbenam. Diam-diam Hun-ing menghela napas. Kiranya sudah sehari
penuh ia bersama Cu-ing terkurung dalam hutan. Apabila tidak bertemu Siau Lo-seng, tentu mereka berdua
tak dapat keluar.
“Adik Hun,” tanya Lo-seng kepada Hun-ing, “dimanakah peniup seruling itu? Bagaimana engkau menduga
kalau Li Giok-hou dan barisan Algojo itu hendak membunuhnya?”
“Benar, memang yang hendak mereka bunuh tentulah si peniup seruling,” jawab Hun-ing, “dalam kolong
dunia hanya irama seruling itu mampu menyadarkan kembali orang yang telah kehilangan kesadaran
pikirannya. Dengan begitu jelas menjadi momok dari pihak Ban-jin-kiong yang mempunyai ilmu Pelenyap
kesadaran......”
Lo-seng dapat menerima penjelasan Hun-ing
“Oleh karena ketua Ban-jin-kiong itu hendak membunuh si peniup seruling maka jelas pihak Ban-jin-kiong
terang tahu akan rahasia Siau toako kehilangan kesadaran pikiran,” Hun-ing menambahkan pula.
“Kalau begitu kita harus lekas-lekas membantu peniup seruling itu,” Lo-seng terkejut.
“Bila dugaanku tak salah, peniup seruling itu tentu berada di sekitar kuil tua sebelah luar kota Lok-yang,
Karena disitulah Siau toako pertama kali berjumpa dan mendengar suara serulingnya,” kata Hun-ing.
Dalam pada bicara itu mereka bertigapun sudah berada di luar kota Lok-yang dan terus menuju ke arah
timur.
Hun-ing memang seorang yang cerdas otaknya. Ia dapat menganalisa sesuatu dengan tepat dan atas
dasar-dasar yang beralasan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jauh di atas cakrawala yang raya, seperti berkumandang suara seruling beralun dalam irama yang lembut
dan syahdu. Sehingga dapat mengetuk dan menggetar urat-urat hati yang lembut. Menghapus hati yang
jahat menuju ke jalan yang benar.
Tiba-tiba suara kumandang seruling itu lenyap bersama hembusan angin.
“Siau toako, suara seruling lenyap,” teriak seorang dara baju hijau yang tengah berlari bersama seorang
pemuda yang cakap.
Mereka bertiga hentikan larinya.
“Tidak adik Ing,” sahut pemuda yang tak lain adalah Siau Lo-seng, “seruling itu masih berbunyi dan seperti
tengah memanggil aku.”
“Benarkah itu?” seru gadis cantik baju hitam atau Hun-ing dengan gembira, “kalau begitu dugaanku tak
salah. Peniup seruling itu berada dalam kuil tua. Hayo, kita lekas ke sana!”
Tetapi Siau Lo-seng malah meragu. Mengapa peniup seruling itu hendak memanggilnya? Siapakah orang
itu?
“Siau toako, mengapa engkau diam saja?” melihat Lo-seng tegak terlongong-longong, Cu-ing menegurnya.
Lo-seng menghela napas: “Adik Hun, dapatkah engkau memberi penjelasan, apa sebab peniup seruling
hendak membantu aku?”
Hun-ing tertawa kecil.
“Itu sederhana sekali,” katanya, “kemungkinan dia tidak rela hati melihat seorang pemuda yang berbakat
seperti engkau harus menderita nasib yang begitu mengenaskan. Dan kemungkinan kedua, mungkin dan
hendak memperalat engkau.”
Sian Lo-seng kerutkan dahi.
“Kalau begitu, masih suatu pertanyaan apakah dia itu akan membawa bahagia atau mencelakai diriku.
Bukankah begitu?” tanya Lo-seng.
Hun-ing mengangguk, katanya pula: “Tetapi betapapun halnya, kita tetap harus menemuinya.”
“Baik,” sahut Lo-seng, “sudah tiga kali suara seruling itu memanggil aku. Mari kita ke sana.”
Mereka segera lari menuju ke kuil tua.
“Orang itu mungkin bersembunyi di atas loteng ruang belakang dari kuil tua itu,” kata Hun-ing dengan
berbisik.
Kiranya waktu mencari mayat Lo-seng yang hilang tempo hari, dia pernah masuk dan menyelidiki keadaan
kuil itu. Hanya bagian loteng saja yang belum dimasukinya. Maka ia segera menduga bahwa peniup
seruling itu tentu bersembunyi di atas loteng.
“Benar, memang suara seruling itu berhembus dari atas loteng,” kata Lo-seng terus ayunkan tubuh ke
udara, berulang menggeliat ke atas dan akhirnya dapat mencapai lankan (pagar besi) dari loteng atas.
Tetapi begitu kakinya menginjak lankan, tubuhnyapun gemetar dan setelah mulut mendesus ngeri, ia terus
rubuh ke dalam ruang.
“Siau toako,” Hun-ing dan Cu-ing serempak menjerit kaget dan terus enjot tubuhnya melayang ke atas
lankan.
Untuk menjaga serangan gelap dari orang yang berada dalam ruang loteng, lebih dulu Hun-ing melontarkan
sebuah hantaman. Sementara Cu-ing melayang ke samping tubuh Siau Lo-seng.
Tetapi alangkah kejut Hun-ing ketika merasakan pukulannya seperti terbenam dalam lautan kapas. Ia tahu
bahwa pukulannya itu telah dihapus oleh tenaga dalam sakti dari orang yang belum diketahuinya itu. Dan
untuk menjaga orang itu hendak balas menyerang maka buru-buru Hun-ing pun menghindar ke sisi lankan.
Tetapi ternyata dalam ruang loteng itu tak tampak barang seorangpun juga.
“Cici Hun, urat nadi jantung Siau toako sudah putus...... dia sudah meninggal......” teriak Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing terkejut sekali dan cepat menghampiri. Kaki dan tangan Siau Lo-seng memang sudah kaku.
Mulutnya mengumur darah, wajah pucat lesi. Buru-buru Hun-ing memeriksa pergelangan tangannya.
Ternyata urat pergelangan tangan pemuda itu sudah berhenti berdenyut. Hun-ing lekatkan telinga pada
dada Lo-seng untuk mendengarkan debar jantungnya.
Pada saat itu tiba-tiba dari ruang loteng terdengar suara orang menghela napas rawan.
“Ah tak kira kalau ilmu kepandaiannya begitu tinggi. Hampir saja aku putus asa,” tiba-tiba terdengar suara
orang tua berkata.
Hun-ing cepat berbangkit dan menghadap ke arah suara orang itu: “Locianpwe, apakah dia tak kurang
suatu apa?”
Suara parau dari seorang tua yang berada dalam ruang loteng itu kembali berkata: “Tolol, masakan aku
akan mencelakai dirinya? Dia hanya pingsan karena terkena ilmu Siang-goan-sin-im (suara yang dapat
melukai tenaga dalam). Bawalah dia masuk!”
“Locianpwe, apakah engkau bukan orang yang meniup seruling itu?” tanya Hun-ing pula.
Dalam pada bertanya itu, Hun-ing dan Cu-ing mencurahkan pandang mata ke arah orang tua itu. Di muka
sebuah lonceng besar yang tersandar pada dinding, tampak menggunduk sesosok bayangan hitam.
Orang tua itu tertawa meloroh: “He, benar memang akulah yang meniup seruling itu.”
Dengan pelahan Hun-ing segera melangkah masuk dan memberi hormat kepada orang tua itu.
“Wanpwe Ui Hun-ing menghaturkan hormat kepada Cianpwe,” serunya. Tetapi ketika memandang kepada
orang tua itu, seketika tergetarlah hatinya dan tanpa terasa ia menyurut mundur tiga langkah.
“Engkau....... engkau Bu Beng Lojin ini…… Kim-pou-sat.......” serunya gemetar.
Saat itu Cu-ing sudah mengangkat tubuh Lo-seng dan hendak dibawa masuk. Tetapi demi mendengar
teriakan Hun-ing, iapun menghentikan langkahnya.
Orang tua itu sendiripun tampaknya juga terkejut, serunya: “Apa? Kim-pou-sat? Apakah kalian telah
bertemu dengan Kim-pou-sat?”
Rambut orang tua itu luar biasa panjangnya hingga sampai menutup kedua bahunya. Tubuh dan mukanya
pun penuh ditumbuhi rambut yang lebat. Hun-ing segera menyangkanya sebagai Bu Beng Lojin yang
bergelar Kim-pou-sat (Dewa Emas) karena amat mirip sekali.
Setelah menenangkan hatinya, Hun-ing memandang orang tua itu pula dengan seksama Dilihatnya tangan
kiri orang tua tengah memegang sebatang seruling besi yang berwarna kehitam-hitaman.
“Ih, kalau menurut kata-katanya, dia bukan Kim-pou-sat. Entah benar entah tidak. Dan akupun tahu
bagaimana maksudnya, Tetapi dia amat sakti. Dengan mudah sekali dia dapat merubuhkan Siau toako......”
Hun-ing menimang-nimang dalam hati.
“Ya, kami memang pernah bertemu dengan Kim-pou-sat,” akhirnya Hun-ing menyahut, “adakah cianpwe
kenal kepadanya?”
Tampak tubuh orang tua aneh itu menggigil. Seberapa saat kemudian baru ia berkata lagi: “Ya, aku kenal
dengannya.”
Saat itu Cu-ing membawa masuk tubuh Siau Lo-seng.
“Locianpwee,” seru Hun-ing seraya mencurahkan pandang mata ke arah tubuh Lo-seng, “apakah
locianpwce kenal kepadanya?”
Orang tua aneh itu tertawa pelahan.
10.47. Orang Tua Cacad Peniup Seruling
“Berpaling dan pandanglah ke belakang agar engkau segera tahu mengapa dengan kumandang irama
seruling, aku mengejar jejak Siau Lo-seng,” katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Locianpwe tentu mendengar bahwa Siau Lo Seng; memiliki ilmu untuk menciptakan mayat hidup. Dan
locianpwe tentu tak sampai hati melihat seorang pemuda yang begitu berbakat bagus sampai mati secara
mengenaskan. Maka dengan ilmu Cian-li-siang-seng (Kumandang seruling seribu lie) lalu membantunya
untuk memulihkan kesadaran......”
Habis berkata nona itupun berpaling ke belakang dan ternganga mulutnya karena terkejut sekali.
“Sejak kedatanganmu bersama Siau Lo-seng di kuil tua ini. Apapun yang terjadi dan siapapun yang datang,
telah kuketahui semua. Sampai akhirnya pemimpin Ban-jin-kiong melukai Siau Lo-seng, Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang muncul dan pergi lagi……, kemudian Siau Lo-seng minum persediaan pil beracunnya lalu
memberi pesan kepadamu. Semua telah kudengar.......”
Sambil berkata orang tua aneh itu tiba-tiba menarik seutas tali. Jendela di sebelah barat pun segera
terbuka.
“Lihatlah jendela itu,” katanya pula, “di belakang jendela itu merupakan ruang belakang di mana engkau
bersama Pak-wan Taysu tengah menjaga mayat Siau Lo-seng. Semua gerak gerik kalian berdua selama
enam hari menjaga mayat Siau Lo-seng, dapat kulihat melalui jendela itu…….”
Apa yang dikatakan orang tua itu memang diakui Hun-ing kebenarannya. Diam-diam ia merasa heran
mengapa kuil tua yang tampaknya tak terurus, ternyata mempunyai bangunan yang aneh. Setiap jendela
dari ruang loteng itu tentu menghadap ke arah setiap ruang dari kuil bagian bawah. Dengan bersembunyi di
atas loteng, sudah tentu orang tua aneh itu dapat melihat siapa saja yang datang ke kuil.
Orang tua peniup seruling itu melanjutkan pula: “Sudah tentu pada hari keenam ketika Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang mencuri mayat Siau Lo-seng, akupun dapat mengetahuinya...... coba, engkau lihat
jendela di sebelah timur itu……”
Habis berkata dia terus menarik tali dan terbukalah jendela bagian sebelah timur.
Jendela itu menghadap ke arah lereng gunung di belakang kuil. Dari jendela itu dapat memandang jelas
tumbuh-tumbuhan seluas tiga lie pada lereng gunung.
Menunjuk ke arah luar jendela, berkatalah orang tua aneh itu: “Leng Tiong-siang, setelah mencuri mayat
Siau Lo-seng lalu berusaha meletakkan tubuh pemuda itu di gerumbul rumput lalu berusaha untuk
membangunkan. Siau Lo-seng memang bangun tetapi dengan buas ia terus menyerang Leng Tiongsiang......”
“Locianpwe,” tiba-tiba Hun-ing bertanya, “mengapa engkau tahu bahwa Siau Lo-seng sedang
mempersiapkan diri untuk menjadi sebuah mumi?”
“Dari pembicaraanmu dengan Pek Wan Taysu tentu saja dapat kuketahui tentang soal itu,” sahut orang tua
aneh.
“Jika demikian tentulah locianpwe juga tahu cara untuk menciptakan mumi itu,” kata Hun-ing.
Orang tua aneh itu merenung sejenak.
“Walaupun aku tak tahu cara membuat mayat hidup,” kata orang tua aneh itu, “tetapi aku mengerti akan
sumber-sumber dari aliran ilmu hitam yang terdapat dalam dunia persilatan. Ban-jin-kiong dan Lembah
Kumandang serta Siau Lo-seng mendapatkan ilmu hitam itu dari sebuah kitab pusaka Lian-hun-cinkeng......”
Orang tua aneh itu berhenti sejenak untuk merenungkan sesuatu. Memandang ke atas wuwungan, ia
menghela napas panjang.
“Kitab, pusaka Lian-hun-cin-keng itu,” katanya seorang diri. “pada empatpuluh tahun yang lalu telah dicuri
oleh Pencuri sakti Ban Li-hong dari gedung Kiu-thian-sian-hu. Sejak itu entah berapa banyak kaum
persilatan yang nekad dan kalap mengadu jiwa uutuk memperebutkan kitab itu, ah……”
Orang tua itu menghela napas lagi.
“Hai, apakah kitab itu berasal dari gedung Kiu-thian-sian-hu?” teriak Cu-ing.
Orang tua peniup seruling sejenak memandang Cu-ing lalu berkata: “Kalian tahu nama Kiu-thian-sian-hu
tetapi tentu tak tahu partai persilatan apakah itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, locianpwe,” sambut Hun-ing, “memang sedikit sekali yang kami ketahui tentang peristiwa aneh
dalam dunia persilatan. Apabila tak keberatan, sukalah locianpwe memberi petunjuk kepada kami.”
Tiba-tiba orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak.
“Banyak sekali hal-hal dalam dunia persilatan yang kalian belum pernah mendengar. Untuk
menceritakannya, belum dalam tujuh hari tujuh malam dapat selesai. Karena kita masih dapat berkumpul
lama, maka lain kali akan kubawakan cerita itu kepada kalian,” katanya.
“Sekarang ini,” katanya pula. “lebih dulu akan kujelaskan bagaimana caraku hendak menolong Siau Loseng.
Agar kalian jangan curiga dan mengira aku bermaksud tak baik terhadap anak itu.”
Merah wajah Hun-ing karena isi hatinya dibongkar.
“Terima kasih atas dampratan locianpwe,” katanya dengan hati terbuka. “memang tadi aku mencurigai
locianpwe. Tetapi kini setelah mengadakan pembicaraan singkat dengan locianpwe, kutahu locianpwe ini
seorang budiman yang memperhatikan nasib dunia persilatan.”
“Engkau tak salah,” jawab orang tua peniup seruling. “memang dunia persilatan penuh dengan keculasan
dan keganasan. Jangan mudah percaya pada setiap orang persilatan……”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan,
“Pada saat Siau Lo-seng bertempur dengan Leng Tiong-siang, kuperhatikan sinar mata anak muda itu
sudah berobah, menandakan bahwa pikirannya sudah lenyap dibius racun. Kalau dulunya dia seorang jahat
dan kejam, dia tentu akan mengganas kepada siapa saja yang dijumpainya......”
“Karena tak sampai hati melihat dia akan mengganas dalam dunia persilatan maka locianpwe lalu
menggunakan Irama Seruling sakti untuk mengembalikan kesadaran pikiran Siau Lo-seng,” Hun-ing
menghela napas.
“Telah kukatakan,” kata orang tua aneh itu. “bahwa sesungguhnya Siau Lo-seng itu seorang pemuda yang
berhati luhur dan berbudi. Kalau dia sampai menjadi seorang momok ganas, tentu harus disayangkan. Dan
kuyakin, apabila aku berhasil menolongnya, kelak dia tentu akan menjadi bintang penolong bagi dunia
persilatan. Karena itu aku tak sayang kehilangan tenaga dalam untuk menghamburkan irama Cian-li-sian-im
(suara dewa dari seribu lie). Sebuah irama sakti dari ilmu nyanyian Kiu-thian-sian-yok (Nyanyian dewa di
nirwana), untuk mengikuti dan menyembuhkan syarafnya yang telah rusak. Sesungguhnya aku sendiripun
belum yakin kalau dapat menolongnya. Tetapi rupanya nasib seseorang itu sudah digariskan oleh Thian.
Siau Lo-seng benar-benar dapat mengikuti suara irama serulingku dan mencari ke sini. Aku sendiripun
heran.”
“Locianpwe, mengapa locianpwe tak mau langsung mengejar jejaknya saja?” tanya Hun-ing.
Orang tua itu tertawa hambar.
“Kalau andaikata aku dapat tinggalkan tempat ini, alangkah senangnya hatiku......”
“Apa? Locianpwe.......”
Orang tua aneh itu segera menyingkap rambutnya yang terurai ke tanah dan......
“Ih......” serentak kedua nona itupun menjerit tertahan.
Kiranya sepasang kaki sampai sebatas paha orang tua itu telah hilang. Dia seorang manusia yang hanya
mempunyai gembung tubuh.
Diam-diam Hun-ing menimang: “Dia seorang sakti. Walaupun tiada mempunyai kaki tetapi masih dapat
berjalan dengan kedua tangannya.”
Rupanya orang tua aneh itu dapat mengetahui hati Hun-ing, katanya: “Mungkin kalian tentu tak tahu bahwa
urat nadi kedua tanganku ini juga telah diputuskan orang. Aku hanya mampu mengangkat benda yang
ringan-ringan saja. Tetapi tak mampu menggunakan tanganku untuk berjalan.”
“Apa? Kedua tangan locianpwe juga lumpuh?” teriak Cu-ing terkejut.
Jawab orang tua aneh itu: “Kalau aku masih dapat berjalan seperti orang biasa, tentulah suasana dunia
persilatan takkan begini gelisah, ah……”
Nada elahan napas orang tua itu penuh dengan tumpahkan rasa sesal dan kesedihan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Hun-ing menimang: “Kedua kaki dan tangannya lumpuh. Lalu siapakah yang melayani makan
dan pakaiannya. Dia tentu sudah lama sekali menetap di tempat ini......”
Kalau Hun-ing hanya membatin, tidaklah demikian dengan Cu-ing. Dara itu masih bersifat kekanakkanakan.
Apa yang dipikirkan terus saja dikatakan.
“Locianpwe,” katanya. “tadi engkau mengatakan tak pernah pergi dari sini. Tetapi kuil ini berada di tempat
belantara yang tak pernah didatangi orang. Lalu siapakah yang menyediakan makanan untukmu……”
“Kecuali kalian bertiga, siapa lagikah yang tahu aku berada di sini?” tiba-tiba orang tua itu terkejut.
“Tidak ada lagi, locianpwe?” jawab Hun-ing
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu. dalam hati diam-diam Hun-ing meragu: Hm, tadi Li Giok-hou
telah menggerakkan anak buah barisan Algojo. Apakah mereka tidak akan datang kemari mencari orang tua
peniup seruling ini?”
Tiba-tiba orang tua itu tertawa dingin dan berkata seorang diri, “Walaupun seluruh kaum persilatan di dunia
hendak mencari aku si orang tua, tetapi hari ini baru kalian yang dapat kemari. Aku tak takut lagi kepada
kalian......”
“Cici Hun, musuh datang!” tiba-tiba Cu-ing berseru terkejut.
Hun-ing cepat berpaling. Tampak di ruang muka muncul sesosok bayangan putih dan secepat sambaran
kilat, bayangan itupun sudah menyelinap masuk ke bawah loteng. Dan terus enjot tubuh melayang ke atas
lankan loteng.
Hun-ing terperanjat sekali. Ilmu meringankan tubuh dari orang itu luar biasa hebatnya. Karena gugup, ia
melengking dan menghantam.
“Hun-ing jangan turun tangan,” tiba-tiba orang tua aneh itu berseru.
Hun-ing buru-buru menarik pulang tangannya.
Dalam pada itu bayangan putih tadipun sudah menerobos ke atas loteng. Dan ketika memandang dengan
seksama, Hun-ing dan Cu-ing menjerit kaget.
Ternyata benda putih itu bukan manusia melainkan seekor anjing bulu putih. Badannya kecil langsing,
sepasang matanya merah emas dan bulunya lebat panjang sekali. Seekor anjing yang cantik rupanya.
Mulut anjing itu menggondol sebuah rantang bambu, berisi nasi dan masakan yang lezat, paha ayam serta
buah-buahan segar.
Segera orang tua kaki buntung itu ulurkan tangan mengelus-elus kepala anjing putih.
“Sembilan tahun lamanya aku tinggal di sini dengan selamat tak kurang suatu apa. Adalah berkat bantuan
anjing putih ini. Dialah yang setiap hari mengirim makanan untukku.”
Anjing putih kecil saat itu mendekam pada dada orang tua buntung dan menggonggong pelahan.
“Salju, engkau tadi terkejut, ya, kutahu,” kata orang tua buntung itu tertawa, “sekarang keluarlah meronda di
sekeliling kuil ini. Bila ada orang yang masuk dalam lingkungan satu lie sekeliling kuil ini, lekaslah engkau
memberi pertandaan.”
Agaknya anjing putih yang diberi nama Salju itu mengerti bahasa orang. Segera ia menyurut mundur dan
sekali ayun, ia melayang turun ke bawah loteng. Pada lain kejap sudah hilang dari pandang mata.
Hun-ing dan Cu-ing tak henti-hentinya merasa heran dan kagum.
“Sungguh tak kira kalau di dunia terdapat bangsa anjing yang mengerti bahasa manusia,” kata mereka.
Sesaat kemudian orang tua buntung segera memerintahkan Cu-ing untuk membawa Siau Lo-seng
kepadanya.
“Sebelum musuh datang, aku hendak berusaha untuk mengembalikan kesadarannya. Karena kalau
dibiarkan berlarut-larut terlalu lama, mungkin akan mengganggu urat syarafnya,” kata orang tua buntung.
Cu-ing cepat-cepat meletakkan tubuh Siau Lo-seng dihadapan orang tua itu. Dan Hun-ing pun menyatakan
akan melakukan apa saja yang hendak diperintahkan orang tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik,” kata orang tua buntung itu. “aku hendak gunakan ilmu suara sakti Sam-goan-sin-im untuk
mengembalikan kesadaran pikirannya yang lenyap. Dalam pengobatan itu, akan memakan waktu cukup
lama. Selama itu apabila musuh datang tentu akan mengganggu ketenangan pikiranku. Maka kuminta
kalian menjaga tempat ini jangan sampai musuh dapat masuk.”
“Menilik kepandaianku yang rendah, aku kuatir tak mampu menghadapi musuh-musuh yang tangguh,” kata
Hun-ing sejujurnya, “entah harus memakan waktu berapa lamakah locianpwe mengobati Siau toako nanti?”
“Setengah jam saja sudah cukup……”
Belum selesai berkata, tiba-tiba dari jauh terdengar anjing putih tadi menggonggong keras.
“Lekas kalian bantu si Salju. Rupanya musuh yang datang kali ini lihay sekali,” orang tua buntung terkejut.
Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat keluar dari jendela dan melayang turun ke bawah loteng. Dan sesaat
kedua nona itu pergi, ketiga jendela ruang loteng yang terbuka tadi pun serempak menutup sendiri.
Terdengar pula orang tua buntung itu mengantarkan suara perintahnya kepada Hun-ing dan Cu-ing,
“Sebelum jendela tengah dari loteng ini terbuka, apabila terdapat musuh yang bagaimanapun saktinya
hendak naik ke atas loteng, kalian jangan sekali-kali mengejar ke loteng. Karena di dalam dan luar ruang
loteng ini, aku telah mempersiapkan alat-alat rahasia yang pasti akan mampu menahan musuh. Kalau
kalian ikut naik ke loteng, tentu akan menderita akibat yang berbahaya.”
Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Tanpa memberi jawaban, kedua nona itu terus lari menuju ke arah selatan.
Di tengah suasana malam yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara gonggong anjing yang melolong ngeri.
“Anjing putih tentu menderita luka......” kata Hun-ing.
Tiba-tiba terdengar suara suitan panjang dan sesaat kemudian sesosok bayangan pun secepat kilat
melayang tiba.
“Ciong Pek-to!” teriak Hun-ing sesaat melihat siapa pendatang itu.
Orang itu rupanya terkejut juga. Tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak.
“O, Kukira siapa? Ternyata engkau Mo-seng-li...... ha, ha, ha......”
Ditingkah sinar rembulan, tampak orang itu memiliki bentuk kepala besar, muka tertutup brewok lebat tetapi
kumisnya dipelihara tipis. Dia tak lain adalah Ciong Pek-to, murid murtad dari perguruan Siau-lim-si yang
telah bernaung di bawah Jin-kian Pah-cu, pemimpin Lembah Kumandang. Ciong Pek-to diangkat menjadi
salah seorang dari Su-tay-thian-ong atau Empat Raja dari Lembah Kumandang. Di antara keempat Thianong
yang di bawahi Jin Kian Pah-cu. Ciong Pek-to lah yang paling tinggi kepandaiannya.
Sejak Siau Lo-seng menolong Hun-ing di luar kota Lok-yang yang lalu, selama beberapa bulan ini, orangorang
Lembah Kumandang tak menampakkan kegiatan lagi.
Bahwa dalam saat dan tempat seperti itu, tiba-tiba Ciong Pek-to muncul, diam-diam Hun-ing gentar hatinya.
“Mau apakah dia datang kemari? Ah, kiranya tak mungkin dia hendak mencari orang tua peniup seruling
itu,” pikirnya.
Cepat Hun-ing menghapus kerisauan hatinya dengan tertawa melengking:
“Kedatangan Tong-seng-thian-ong kemari tentulah mengemban titah Jin Kian Pah-cu untuk menangkap
aku, bukan?” serunya.
Ciong Pek-to tertawa dingin.
“Budak setan, nyalimu sungguh besar sekali karena berani menghianati Pah-cu ha, ha….., jika mau,
semudah orang membalikkan tangan saja aku dapat menangkapmu.” sahut Ciong Pek-to. “tetapi aku
menyayangkan bakatmu yang luar biasa hebatnya itu. Jika engkau sampai dihukum mati oleh Pah-cu,
bukankah sayang sekali? Maka kunasehatkan, lebih baik engkau insyaf dan mau ikut pulang ke Lembah
Kumandang. Aku berjanji akan memohonkan pengampunan untuk dirimu.”
Pertanyaan Hun-ing tadi hanyalah untuk menyelidiki maksud kedatangan Ciong Pek-to. Setelah mendengar
keterangan Ciong Pek-to, tahulah sudah nona itu bahwa Ciong Pek-to bukan bermaksud mencari orang tua
buntung peniup seruling.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing tertawa mengikik, serunya,
“Ciong Pek-to! Kuingat engkau adalah seorang tokoh Lembah Kumandang yang paling ganas sendiri.
Mengapa kali ini engkau begitu murah hati, hi. hi,...... kalau dugaanku tak salah, engkau tentu bermaksud
hendak memperalat aku, bukan?”
Belum Ciong Pek-to menjawab, terdengar gelombang suara anjing menggonggong. Mendengar itu serentak
wajah Ciong Pek-to pun berobah tegang. Tetapi sesaat kemudian tenang kembali dan berpaling ke arah
Hun-ing seraya tertawa gelak-gelak.
“Budak setan,” serunya, “aku sungguh kagum atas kepandaianmu yang seperti setan itu. Benar, aku
memang hendak menggunakan tenagamu. Dengan begitu engkaupun dapat menebus dosa dengan
pahala.”
Mendengar lolong anjing putih, diam-diam legahlah hati Hun-ing. Anjing itu tentu tak terluka. Tetapi tak
diketahuinya, mengapa anjing itu menggonggong. Siapakah yang datang?
Ciong Pek-to memperhatikan gerak gerik si nona yang berpaling ke barat, arah suara anjing putih
menggonggong. Tiba-tiba ia tertawa gelak-gelak,
“Budak setan, jika engkau masih tetap tak mau sadar, kelak engkau tentu menyesal. Aku tak punya tempo
bicara panjang lebar dengan engkau. Terserah kepadamu, mau menerima nasehatku atau tidak!”
Habis berkata Ciong Pek-to terus berputar tubuh dan melangkah pergi.
10.48. Barisan Tat-mo-coat-ci-tin Siau-lim-pay
“Hai, hendak kemana engkau!” bentak Cu-ing seraya lintangkan pedangnya menghadang.
Ciong Pek-to tertawa hina.
“Apakah harimau yang datang ke Lok-yang akan digigit oleh kawanan anjing kecil? Masakan budak-budak
perempuan macam kalian berani menghadang aku?” serunya. Tiba-tiba ia ayunkan tangannya
menghantam.
Cu-ing pernah bertempur dengan Ciong Pek-to dan tahu bagaimana kelihayan orang itu. Ia tak berani
menyambut melainkan menghindar ke samping lalu tusukkan ujung pedangnya ke lambung orang.
Saat itu suara anjing putih makin mendekat. Dan Hun-ing pun mendengar derap langkah orang dari arah
barat. Suaranya yang gemuruh menandakan kalau berjumlah banyak.
Rupanya Ciong Pek-to tak bernafsu untuk bertempur. Ia loncat mundur sampai tiga tombak jauhnya.
“Murid penghianat itu berada di sebelah muka, hayo, kita kejar!” tiba-tiba terdengar suara orang berseru
sarat.
Di bawah sinar rembulan remang. Hun-ing seperti melihat beberapa sosok bayangan orang berlarian
mendatangi. Anjing putih si Salju pun tetap mengejar dan menggonggong.
“Anjing itu sungguh menjengkelkan sekali. Lebih baik dibunuh,” tiba-tiba terdengar salah seorang berseru.
“Goan Ti sutit jangan melukai anjing itu!” kembali terdengar lain orang membentak.
Mendengar itu girang Hun-ing bukan buatan. Serentak ia berseru gembira: “Bukankah yang datang itu Pek
Wan locianpwe?”
Selepas seruannya, dari empat penjuru berhamburan muncul delapan paderi berjubah kelabu.
Menyusul tampak seorang paderi jubah putih diiring oleh beberapa paderi. Paderi jubah putih itu bukan lain
adalah Pek Wan Taysu.
“Omitohud!” seru Pek Wan Taysu demi melihat kedua nona, “Ui Pang-cu, Nyo Than-cu, bagaimana
kabarnya?”
Saat itu delapanpuluh paderi Siau-lim-si tampak memenuhi sekeliling tempat itu. Mereka tegak dengan
pejamkan mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pek Wan Taysu, sungguh tepat sekali kedatangan taysu. Mengapa taysu cepat sekali sudah kembali dari
gereja Siau-lim-si?” kata Hun-ing.
“Di tengah jalan kebetulan aku bertemu dengan Pek Hui sute yang tengah membawa anak murid dari Tatmo-
tong menuju ke Lok-yang. Segera kuberi keterangan tentang keadaan kota Lok-yang yang penuh
bahaya itu. Lalu kuajak mereka untuk mencari nona berdua dan kebetulan bertemu dengan Ciong Pek-to si
murid penghianat itu.”
Selesai mendengar keterangan dari Pek Wan Taysu, Hun-ing lalu berseru kepada anjing putih, “Salju, di sini
aman, lekas engkau kembali ke tempat penjagaanmu. Kalau musuh datang, berilah pertandaan!”
Begitu mendengar perintah, anjing putih itu terus loncat pergi.
“Ui Pang-cu, darimana engkau memperoleh anjing yang begitu cerdik?” tanya Pek Wan Taysu karena heran
anjing itu mengerti bahasa manusia.
“Bukan anjingku,” Hun-ing tertawa.
“Menilik kelihayan anjing itu, pemiliknya tentu seorang sakti,” kata Pek Wan pula.
Hun-ing tahu kalau paderi itu ingin menanyakan pengalaman si nona selama ini. Tetapi di depan sekian
banyak anak murid Siau-lim-si, Hun-ing tak mau menceritakan tentang diri orang tua buntung.
“Entah bagaimana tindakan taysu hendak menindak murid penghianat Ciong Pek-to itu?” Cepat ia alihkan
pembicaraan.
Pek Wan Taysu menyadari bahwa saat itu berpuluh anak murid Siau-lim-si tengah menunggu perintahnya
untuk menangkap Ciong Pek-to. Maka iapun segera melangkah ke dalam kepungan menghampiri Ciong
Pek-to.
“Ciong Pek-to, saat ini engkau sudah terkepung oleh barisan anak murid dari bagian Tat-mo-tong,
Delapanpuluh satu jurus ilmu sakti dari Tat-mo, merupakan penunduk dari ilmu Hwat-lun-it-coan. Apakah
engkau masih berani membangkang?”
Seruan Pek Wan Taysu itu dilontarkan dengan nada yang tegas dan bengis, penuh wibawa.
Ciong Pek-to menengadahkan kepala tertawa,
“Pek Wan suheng,” serunya lantang. “jika puluhan tahun yang lalu engkau mengucapkan begitu, mungkin
aku sudah rontok nyaliku menghadapi kedelapanpuluh satu barisan Tat-mo-tin. Tetapi ha, ha...... sekarang
Ciong Pek-to tak gentar!”
Hun-ing dan Cu-ing terkejut. Kiranya kawanan paderi yang muncul itu adalah anak buah barisan Tat-mocoat-
ci-tin dari perguruan Siau-lim-si yang termasyhur. Walaupun dalam dunia persilatan dewasa itu para
paderi Siau-lim-si dianggap golongan yang amat lemah kepandaiannya tetapi barisan mereka masih tetap
menjagoi di kalangan persilatan.
Saat itu ke delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si tegak berdiri dengan mengangkat sebelah tangan untuk
melindungi dada. Mereka pejamkan mata, pusatkan perhatian. mengikuti semua gerak gerik yang terjadi di
tempat itu.
“Apa yang dikatakan oleh kaum persilatan bahwa gereja Siau-lim-si itu merupakan sumber dari ilmu silat di
dunia persilatan kiranya memang bukan cerita kosong......” diam-diam Hun-ing menimang dalam hati.
“Ciong Pek-to……!” tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru sarat.
“Ya, mengapa?” sahut Ciong Pek-to.
“Ciong sute, apakah engkau benar-benar tak mau insyaf?” seru Pek Wan Taysu dengan nada rawan,
“engkau pasti sudah tahu bahwa sekali barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak, kedahsyatannya dapat
merobohkan sebuah gunung. Andai sekalipun mendiang guru besar Tat Mo Cousu hidup, kiranya tak
mudah bagi beliau untuk keluar dari kepungan barisan itu.”
Hun-ing dan Cu-ing heran mengapa Pek Wan masih begitu sayang kepada Ciong Pek-to. Memang kedua
nona itu tak tahu bahwa sesungguhnya Pek Wan dan Ciong Pek-to itu dahulu suheng dan sute. Hubungan
mereka berdua amat baik sekali. Maka sekalipun Ciong Pek-to telah tersesat ke jalan gelap, namun
terdapat setitik cinta kasih persaudaraan dalam hati Pek Wan Taysu. Dan itu pula sebabnya mengapa Pek
Wan Taysu masih berusaha untuk menasehati bekas sutenya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ciong Pek-to tertawa congkak.
“Pek Wan Taysu, silahkan engkau menggerakkan barisanmu itu. Ciong Pek-to memang ingin tahu sampai
dimanakah kedahsyatan dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termashur di kolong dunia itu!”
Benarkah Ciong Pek-to tak gentar? Ah, sesungguhnya dalam hati kecil, dia juga gemetar terhadap barisan
itu. Sebagai bekas murid Siau-lim-si, ia tahu jelas akan kelihayan barisan itu.
Iapun tahu pula bahwa dalam beberapa puluh tahun mengapa perguruan Siau-lim-si tak pernah
memunculkan tokoh yang menonjol, bukan karena sumber ilmu kepandaian perguruan itu lemah. Tetapi
karena kesalahan dari para guru-guru perguruan itu yang setiap kali tentu menyimpan sebuah dua buah
ilmu sakti. Dengan demikian, apabila seorang ketua merahasiakan atau tidak mengajarkan, dua buah ilmu
silat sakti, maka apabila berlangsung pergantian sampai beberapa ketua, tentulah makin lama makin
berkurang ilmu kepandaian dari perguruan Siau-lim-si itu.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dan Lo-han-tin, merupakan barisan Siau-lim-si yang paling tangguh, Sejak Siaulim-
si berdiri ratusan tahun yang lalu, barisan itu tak pernah mengalami perobahan ataupun dikurangi jurusjurusnya
sehingga masih tetap utuh. Dengan begitu barisan itu masih tetap merupakan barisan yang paling
ditakuti oleh seluruh kaum persilatan. Dan sejak ratusan tahun, belum pernah terdapat tokoh yang mampu
membobolkan barisan itu.
Mendengar Ciong Pek-to tetap membangkang bahkan bersikap congkak, dengan sedih Pek Wan Taysu
berseru: “Murid hianat! Sudah berpuluh tahun yang lalu, Siau-lim-si telah mencap engkau sebagai murid
hianat yang tak dapat diberi ampun. Setiap murid Siau-lim-si, boleh membunuhmu tanpa urusan. Akupun
juga tak dapat membuat pengecualian......”
Sehabis menumpahkan kemarahan, Pek Wan Taysu mulai memberi perintah kepada anak buah Tat-motong
supaya segera mengepung dan menghancurkan Ciong Pek-to.
Ke delapanpuluh satu paderi anak buah barisan sakti itu segera membuka mata dan mencurah pandang ke
arah Ciong Pek-to.
Pada saat barisan itu bendak bergerak tiba-tiba terdengar anjing putih Salju menggonggong keras. Arahnya
tak jauh dari kuil.
“Pek Wan Taysu, hentikan dulu barisan Tat-mo-coat-ci-tin!” cepat-cepat Hun-ing berseru.
“Mengapa?” Pek Wan Taysu terkejut.
“Musuh telah tiba di ruang kuil…… dapat membahayakan jiwa Siau toako……” seru Cu ing terus lari.
“Sekarang tiada waktu untuk memberi penjelasan...... Harap taysu suka menghentikan barisan dan ajak
mereka menjaga kuil saja…..” habis berkata Hun-ing pun terus berputar tubuh dan lari.
Saat itu anak buah Tat-mo-tong sudah berhamburan mengambil tempat masing-masing. Sedang Ciong
Pek-to tampak tegang.
“Anak murid Tat-mo-tong, hentikan gerakan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!”
Walaupun heran tetapi anak murid Siau-lim-si itu amat patuh pada perintah. Mereka segera berhenti dan
mundur ke tempat semula.
Sekalian anak murid, ikutlah aku ke kuil tua itu,” seru Pek Wan Taysu pula, lalu mendahului melangkah.
Kedelapan puluh satu paderi Siau-lim-si itu pun segera membentuk diri dalam tiga kelompok dan mengikuti
di belakang Pek Wan.
Yang masih tinggal di tempat itu hanya Ciong Pek-to seorang. Dia heran melihat perobahan itu. Tetapi
secepat itu dia dapat menerka apa yang terjadi. Segera diapun mengikuti rombongan Pek Wan Taysu.
Setiba di muka pintu kuil, Pek Wan Taysu segera melihat bahwa di dalam ruang kuil yang bobrok itu,
tampak sebuah tandu besar. Delapan pengawal baju putih berdiri di kedua samping tandu itu. Sedang
delapan pengawal lain yang mengenakan baju merah, tegak berjajar menghadapi Hun-ing dan Cu-ing.
Kedua nona itu menghunus pedang.
Di belakang kedua nona itu, anjing putih Salju siap menerjang musuh.
Segera Pek Wan Taysu membawa rombongan anak murid masuk ke dalam ruangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demi melihat rombongan Pek Wan muncul, Hun-ing menghela napas longgar.
“Kim-pou-sat,” seru Hun-ing. “tengah malam datang ke kuil ini, apakah tujuanmu?”
Mendengar nama Kim-pou-sat seketika berobah cahaya muka Pek Wan Taysu. Serentak ia memandang ke
arah orang yang berada dalam tandu itu. Hampir ia tak percaya bahwa orang berwajah aneh dalam tandu
itu adalah Kim-pou-sat, salah seorang tokoh dari Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada empatpuluh tahun yang lampau!
Yang berada dalam tandu itu bukan lain yalah si kakek tua yang menyebut dirinya sebagai Bu Beng Lojin.
“Budak setan,” seru Bu Beng Lojin, “siapakah yang mengatakan kepadamu bahwa aku ini Kim-pou-sat?”
Cu-ing tertawa mengikik, serunya: “Kim-pou-sat, sudahlah, tak perlu engkau main sembunyi kepala. Lain
orang mungkin tak tahu engkau siapa, tetapi kami tahu dengan jelas. Tongkatmu Hok-mo-poh-sat-ciang
tempo hari, masih disimpan di tempat guruku.”
Mendengar itu terkesiaplah Bu Beng Lojin.
“Siapakah gurumu?” beberapa saat kemudian ia baru menegur.
Belum Cu-ing menyahut, Hun-ing sudah mendahului, “Suhu dari adikku itu yalah salah seorang tokoh dari
Empat Serangkai……. rahib sakti Tay Hui Sin-ni.”
Empat Serangkai yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada empatpuluh tahun berselang yalah: Ko
Bok Taysu dari Siau-lim-si, Tay Hui Sin-ni dari perguruan Ko-bok-pay, Kim-pou-sat atau Dewa Emas Ang
Siong-pik dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.
“Bagus, bagus,” seru Dewa emas Ang Siong-pik serta mendengar keterangan Hun-ing. “kiranya tongkatku
itu telah ditemukan Tay Hui Sin-ni. Itulah sebabnya sampai tiga kali aku kembali ke lembah, tetap tak dapat
menemukan.”
“Kim-pou-sat,” seru Cu-ing pula, “kalau engkau menghendaki tongkatmu, silahkan datang ke tempat
suhuku. Beliau tentu akan mengembalikan kepadamu.”
Cu-ing bermaksud hendak mengulur. Karena ia ingat bahwa orang tua buntung tadi memerlukan waktu
setengah jam untuk menyembuhkan luka Siau Lo-seng.
“Sudah tentu aku menghendakinya,” Bu Beng Lojin tertawa dingin. “tetapi saat ini aku tak mungkin dapat
engkau kelabuhi.”
“Locianpwe,” cepat Hun-ing berseru, “mengapa engkau bilang begitu? Hm, adikku dengan sejujurnya telah
memberitahu kabar baik mengapa engkau malah salah paham.”
“Budak setan,” damprat Bu Beng Lojin atau Dewa emas Ang Siong-pik, “setiap hari aku berburu burung
Gan, masakan biji mataku dapat dipatuk burung itu? Cobalah jawab, mengapa engkau menghadang
jalanku?”
“Tempat ini sebuah kuil tua yang tak terurus, bukan jalan besar,” sahut Hun-ing dengan nada mengejek,
“mengapa engkau datang kemari? Hendak mencari siapakah engkau ini?”
“Hm, kalau tak mau menyingkir, akan kusuruh pengawalku baju merah untuk mengusir engkau!” Bu Beng
Lojin, menggeram.
“Kim-pou-sat, jangan menggertak orang,” seru Hun-ing, “ruangan kuil ini sudah menjadi milik dari partai
Naga Hijau. Jawablah mengapa tengah malam buta engkau masuk kemari?”
Bu Beng Lojin tak mau berbantah dengan nona itu. Ia segera memberi perintah kepada barisan pengawal:
“Baju Putih, angkatlah aku ke dalam dan suruh Baju Merah membuka jalan.”
Dengan cepat ke delapan pengawal Baju Putih itupun mengangkut tandu.
Hun-ing menyadari bahwa pertempuran dahsyat tak dapat dihindari lagi. Jelas Kim-pou-sat Ang Siong-pik
hendak mengganggu orang tua peniup seruling.
Cepat nona itu meminta kepada Pek Wan Taysu: “Pek Wan Taysu, mohon taysu mencegah mereka masuk.
Siau toako sedang menerima pengobatan…...”
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata Hun-ing dan Cu-ing segera tebarkan pedangnya menyerang kawanan pengawal Baju merah.
Keduanya telah melancarkan ilmu pedang yang paling diandalkan.
Tetapi kawanan pengawal Baju Merah itu bukanlah tokoh-tokoh biasa. Salah seorang Baju Merah segera
mainkan tombaknya dalam jurus Hun-hun-pang-gwat atau Menyiak awan memetik bulan, untuk menangkis
serangan Hun-ing dan Cu-ing.
Hun-ing lebih lincah ilmu pedangnya. Sekali memutar tangan, pedangnya, menusuk ke kiri menabas ke
kanan. Sekali gus ia menyerang empat anggauta pengawal Baju Merah.
Keempat pengawal Baju Merah terpaksa menangkis dengan tombaknya.
“Budak perempuan hina, matamu sungguh buta,” teriak salah seorang pengawal itu seraya luncurkan ujung
tombak menusuk dada si nona.
Hun-ing menyadari bahwa ke delapan pengawal Baju merah itu bukan tokoh biasa. Mereka masing-masing
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka ia tak berani menangkis melainkan menyurut mundur.
Tetapi tombak pengawal Baju Merah itu laksana bayangan tetap mengikutinya. Ujung tombak pun sudah
hampir mengenai dada Hun-ing.
Kejut Hun-ing bukan kepalang. Hendak menghindar sudah tak kuburu lagi. Untunglah pada detik-detik yang
berbahaya itu, serentak terdengar seruan Pek Wan Taysu.
“Ui Pang-cu mundurlah. Biar mereka dilayani anak muridku!”
Ketika memperhatikan, tahulah Hun-ing bahwa saat itu anak buah Tat-mo-tong telah bersiap di seluruh
sudut ruang kuil, mengepung tandu dan ke enambelas pengawalnya.
Diketahui pula oleh Hun-ing bahwa sembilan orang paderi Tat-mo-tong telah berhamburan datang. Salah
seorang yang paling depan sendiri pun menghantam pengawal Baju Merah yang menyerang Hun-ing.
Pengawal baju merah itu terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, tubuhnya bergetar dan tombaknya
pun hampir terlepas.
Untunglah ke sembilan paderi Tat-mo-tong tak mau menyerang serempak. Kalau tidak, tentulah pengawal
baju merah itu tentu menderita luka dalam.
Seorang pengawal baju merah terus hendak menerjang tetapi Kim-pou-sat Ang Siong pik cepat
mencegahnya: “Berhenti! Engkau seorang tak mungkin mampu melawan delapan puluh satu paderi itu!”
Pengawal Baju merah itupun mundur.
“Ang sicu, Buddha benar-benar bermurah hati sehingga saat ini aku dapat berjumpa dengan sicu,” seru Pek
Wan Taysu.
Kim-pou-sat tertawa dingin: “Hal, rupanya engkau hendak mencari aku?”
Pek Wan Taysu geleng-geleng kepala,
10.49. Pertempuran Dua Barisan Sakti
“Aku ingin bertanya tentang kabar dan tempat dari suhuku Ko Bok Siansu,” seru paderi itu.
Ternyata setelah bertempur dengan Kim-pou-sat Ang Siong-pik, Ko Bok Siansu menghilang tiada kabar
beritanya.
“Jika begitu engkau ini murid pewaris dari Ko Bok?”tanya Kim-pou-sat.
“Benar,” sahut Pek Wan Taysu, “berpuluh tahun aku telah berusaha untuk mencari jejak suhu dan Ang sicu,
Tak sangka kalau hari ini dapat berjumpa di sini. Ingin kutanyakan keadaan dari suhuku itu.”
Belum Kim-pou-sat menyahut Cu-ing sudah mendahului melengking: “Pek Wan Taysu dahulu Ko Bok
Siansu telah melemparkan Kim-pou-sat ke bawah jurang yang dalam sekali.”
“Nyo sicu, benarkah itu?” Pek Wan Taysu terkejut. “Lalu bagaimana dengan suhuku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ko Bok Siansu merupakan tokoh yang paling cemerlang dari Empat Serangkai. Ilmu kepandaiannya jauh
melebihi Kim-pou-sat, bagaimana peristiwa itu tak sungguh-sungguh terjadi? Tetapi bagaimana keadaan Ko
Bok Siansu setelah pertempuran itu, aku tak tahu,” jawab Cu-ing.
Melihat Kim-pou-sat diam saja atas keterangan Cu-ing, diam-diam Pek Wan Taysu menimang dalam hati:
“Ah, hal itu tentu benar. Jika demikian tentulah suhu masih hidup di dunia......”
Semula Pek Wan Taysu mengira kalau dalam pertempuran itu keduanya sama-sama binasa. Kini demi
berjumpa dengan Kim-pou-sat, makin besarlah kecemasan hati Pek Wan Taysu bahwa suhunya (Ko Bok
Siansu) telah mati di tangan lawan.
Selagi kedua orang itu berbicara, diam-diam Hun-ing mencuri pandang ke arah loteng. Tampak jendela
loteng itu tertutup rapat. Diam-diam ia gelisah.
“Tadi orang tua peniup seruling itu mengatakan kalau memerlukan waktu setengah jam untuk mengobati
Siau toako. Rasanya sekarang sudah lebih dari waktu itu. Tetapi mengapa jendela tetap tertutup? Adakah
sesuatu yang terjadi pikirnya.
Dan makin gelisah pula hati nona itu ketika teringat akan pesan orang tua peniup seruling bahwa selama
jendela belum terbuka, jangan sekali-kali naik ke loteng.
Hun-ing segera menunduk tak berani memandang loteng itu lagi.
Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin dan berseru: “Budak setan, mengapa engkau melihat ke arah loteng
itu?”
Hun-ing terkejut.
“Apa katamu?” cepat ia menyelimuti ketegangan hatinya dengan tertawa melengking.
“Budak setan, jangan coba-coba main gila dihadapanku. Hm, memang sejak tadi telah kuperhatikan loteng
itu aneh. Bilanglah sejujurnya. Peniup seruling yang bersembunyi dalam loteng itu sebenarnya orang yang
bagaimana?”
“Lihay sekali,” diam-diam Hun-ing mengeluh dalam hati.
Pek Wan Taysu cepat menyadari bahwa kedua nona itu sedang merisaukan peniup seruling yang tengah
mengobati luka Siau Lo-seng.
“Engkau menanyakan bagaimana bentuk orang itu?” Hun-ing tersenyum, “perjalanan dosa itu sempit sekali.
Mungkin dia adalah orang yang paling engkau takuti. Maka lebih baik sekarang engkau lekas-lekas
tinggalkan tempat ini.”
Nona itu memang tajam pikirannya. Ia teringat tempo hari, ketika mendengar suara seruling, Kim-pou-sat
terus tergopoh-gopoh melarikan diri. Dan menilik ucapan Kim-pou-sat saat itu, dapat Hun-ing menarik
kesimpulan bahwa Kim-pou-sat itu memang gentar terhadap orang tua peniup seruling.
“Pengawal Merah dan Putih lekas serbu loteng itu!” tiba-tiba Kim-pou-sat memberi perintah.
Selekas mendengar perintah itu, dengan membawa tandu, ke delapan pengawal Baju Putih itupun terus
loncat sampai tiga-empat tombak.
“Hadang mereka!” teriak Hun-ing.
“Anak murid Tat-mo-tong, lekas hadang mereka dengan barisan Tat-mo-coat-ci-tin!”
Karena sudah terlatih baik, maka cepat sekali anak buah barisan itu sudah bergerak.
Pada saat ke delapan pengawal Baju Putih itu hendak ayunkan tubuhnya yang kedua kali, atau tiba-tiba tiga
orang paderi Siau-lim sudah menyerang mereka.
Tetapi ke delapan pengawal Baju Merah itupun lihay sekali. Begitu ketiga paderi itu menghantam, ke
delapan pengawal itupun sudah berbaris melindungi di muka tandu. Mereka serempak ayunkan tangan
untuk menyongsong serangan lawan.
Tetapi barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Gerak perobahan mereka cepat dan sukar diduga.
Begitu ke delapan pengawal Baju Merah menghantam, ketiga paderi itupun segera bergerak dan duapuluh
tujuh anak buah barisan cepat menyurut mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagai ganti dari kemunduran kelompok itu, tiga kelompok paderi serempak menyerang dari timur, selatan
dan utara.
Kim-pou-sat tertawa dingin: “Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si walaupun hebat bukan kepalang
tetapi belum tentu mampu melawan barisan Thay-kek-sam-cay-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan
pengawal Baju Merah.”
Baru dia berkata begitu, ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba berlincahan memainkan tombak dan
melepaskan hantaman. Dengan cara yang sukar diketahui, ke delapan pengawal mampu menahan
gelombang serangan tiga kelompok paderi yang menyerang dari tiga jurusan.
Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa ke delapan pengawal Baju
Merah itu sedemikian lihaynya.
Sesaat kemudian ke delapan pengawal Baju Merah itupun telah menempatkan diri dalam kedudukan yang
bagus sehingga terbentuklah sebuah rantai barisan yang kokoh.
Setelah barisan Tat-mo-coat-ci-tin bergerak maka ke delapanpuluh satu paderi itupun mulai meluncur,
bergerak-gerak kian kemari. Sambil bergerak, mulut merekapun bernyanyi kecil doa-doa keagamaan
sehingga menimbulkan suatu suasana yang keramat.
Cu-ing, Hun-ing dan bahkan Pek Wan Taysu sendiripun ikut terkurung dalam kepungan barisan Tat-mocoat-
ci-tin. Apabila mereka tak lekas lolos tentulah akan ikut terlanda oleh barisan itu.
“Ui Pang-cu dan nona Nyo, ikutlah aku ke luar!” segera Pek Wan Taysu berbisik. Segera ia menyelinap di
tengah kelompok paderi yang menghampiri maju.
Tindakan Pek Wan Taysu itu tak lepas dari pengamatan Kim-pou-sat. Cepat ia dapat mengetahui lubang
kelemahan itu lalu berseru: “Baju Putih, lekas bawa tandu menerjang ujung barat!”
Dengan dilindungi oleh ke delapan pengawal baju merah, tandupun bergerak melakukan perintah. Tetapi
barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu memang luar biasa. Dari empat penjuru, anak buah barisan itu segera
menyerbu untuk merintangi.
Melihat itu marahlah Kim-pou-sat. Serentak berdiri dan berseru: “Pengawal Merah dan Putih, aku hendak
turun tangan sendiri.”
Tiba-tiba tubuhnya melambung ke udara dan melayang turun di luar barisan.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing cepat loncat menghadangnya. Pek Wan Taysu lepaskan dua buah
pukulan Biat-gong-ciang. Hun-ing dan Cu-ing menyerang dengan pedang.
Tetapi Kim-pou-sat tak gentar menghadapi serangan ke tiga orang itu. Sekali bergeliat, ia menghindari
pukulan Pek Wan Taysu lalu secepat kilat kedua tangannya direntang untuk menyambut pedang Hun-ing
dan Cu-ing.
Seketika kedua nona itu rasakan pedangnya seperti tersedot oleh magnit (besi sembrani). Cepat-cepat
mereka lepaskan pedang dan menyurut mundur. Pedang beralih di tangan Kim-pou-sat.
“Ah, dia terlalu tangguh bagi kita......” diam-diam Pek Wan Taysu menghela napas.
Kim-pou-sat tertawa gelak-gelak.
“Ang Siong-pik muncul kembali ke dunia persilatan tentu sudah membawa bekal keyakinan bahwa dunia
persilatan akan dapat dikuasainya. Di kolong langit ini, siapakah yang mampu melawan aku, ha, ha, ha......”
Memang sejak bertemu dengan Kim-pou-sat, tahulah Hun-ing bahwa tokoh itu memang sakti sekali
kepandaiannya. Tetapi ia tak dapat membayangkan bahwa tokoh itu ternyata berlipat ganda saktinya dari
dirinya. Dan saat itu Kim-pou-sat telah berhasil menerobos loteng. Karena gugup, Hun-ing pun nekad. Tibatiba
ia loncat menerjang Kim-pou-sat.
“Budak setan, apakah engkau benar-benar cari mati!” teriak Kim-pou-sat dengan bengis, lalu tabaskan
pedangnya.
“Ui Pang-cu…… cici Hun……,” karena tak menyangka Hun-ing akan sekalap itu, Pek Wan Taysu dan Cuing
serentak berteriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang siapapun akan mengatakan bahwa kepandaian Hun-ing tentu kalah jauh dengan Kim-pou-sat.
Tetapi tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang aneh.
Pada saat Kim-pou-sat tabaskan pedang, entah bagaimana, tiba-tiba pedang itu berhenti dan terlepas jatuh
ke tanah.
“Irama maut……” Kim-pou-sat menjerit tetapi ia tak dapat melanjutkau kata-katanya, pukulan Hun-ing telah
mendarat di tubuhnya.
Hun-ing telah mengerahkan seluruh tenaga dalam pukulannya hingga pukulan itu dahsyatnya bukan alang
kepalang. Ibarat mampu untuk menghancurkan bukit.
Tetapi alangkah kejutnya ketika ia merasa pukulannya itu seperti jatuh ke dalam lautan kapas yang lunak
sekali.
“Celaka.......!” diam-diam ia mengeluh dan hendak menarik tangannya. Tetapi serempak pada saat itu
sebuah arus tenaga yang sedahsyat gelombang laut telah mendampar tangannya lalu melemparkan
tubuhnya sampai dua tombak jauhnya.
“Bum......”
Tubuh nona itu terbanting di tanah, mulutnya menyembur darah segar......
Melihat itu, Cu-ing menjerit ngeri. Dengan menumpahkan seluruh tenaga, ia segera hantamkan kedua
tangannya kepada Kim-pou-sat.
“Cisss.......” dalam pada itu Pek Wan Taysu pun memgembor keras dan tusukkan jarinya dengan ilmu jari
Kim-kong-ci, ajaran Siau-lim-si yang lihay.
Tampak Kim-pou-sat Ang Siong-pik tengah memandang terlongong-longong ke arah loteng. Sekujur bulu
romanya tegak meregang dan tubuhnyapun agak menggigil. Tampaknya tidak menghiraukan sama sekali
atas serangan kedua orang itu.
“Bum, bum…… cess, cess…….”
Susul meuyusul terdengar suara mendesis ketika pukulan dan tusukan jari mengenai tubuh Kim-pou-sat.
Tetapi menyusul kemudian terdengar pula erang tertahan.......
Tenaga dalam yang dipancarkan dalam ilmu jari Kim-kong-ci dan tenaga dalam pada pukulan yang
dilancarkan Cu-ing memang dengan tepat telah menemui sasarannya. Tetapi kedua orang itu telah dilanda
oleh tenaga mental yang dahsyat sehingga keduanya terpental mundur sampai tujuh-delapan langkah,
“Huak.......” Cu-ing muntah darah. Wajahnya pucat seperti mayat dan tubuh terhuyung-huyung hendak
rubuh.
Sedangkan Kim-pou-sat hanya tergetar dua-tiga kali saja tetapi tetap berdiri tegak sambil terus memandang
ke arah loteng. Sedikitpun ia tak merasakan suatu kejadian apa-apa.
Kali ini Pek Wan Taysu benar-benar tak terperikan kejutnya. Dia adalah salah seorang paderi Siau-lim-si
angkatan tua. Memiliki kepandaian silat yang sakti dan tenaga dalam yang tinggi. Apalagi ilmu jari Kimkong-
ci itu termasuk salah sebuah ilmu pusaka dari perguruan Siau-lim-si.
Kim-kong-ci digerakkan oleh seorang tokoh semacam Pek Wan Taysu, tentulah hebatnya bukan kepalang.
Tetapi ternyata bukan saja Kim-pou-sat tak mau menghindar, pun bahkan dia diam saja menerimanya.
Hampir Pek Wan Taysu tak percaya apa yang dilihatnya saat itu. Sesaat kemudian ia menghela napas
rawan……
Saat itu barisan Thay-kek-liang-gi-su-giong-ki-bun-tin dari ke delapan pengawal Baju Merah telah terkepung
oleh barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang terdiri dari delapanpuluh satu paderi Siau-lim-si. Tetapi sekalipun
begitu masih belum tampak, mereka berhantam. Masing-masing masih bersiap-siap menunggu.
Dengan memegang tombak, ke delapan pengawal Baju Merah itu berdiri berpencaran. Sepintas pandang
seperti tak teratur. Tetapi bagi pandang mata seorang ahli silat, jelas dapat diketahui bahwa mereka itu
masing-masing menduduki tempat yang paling menguntungkan dan paling strategis.
Tempat-tempat yang dijaga oleh ke delapan pengawal Baju Merah itu merupakan mata rantai pertahanan
sebuah barisan yang amat ketat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedangkan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari paderi Siau-lim-si itupun juga merupakan barisan baja yang
kokoh. Dengan wajah serius, kedua tangan dilintangkan untuk melindungi dada, mereka membentuk diri
dalam tiga kelompok dan mengepung musuh rapat sekali.
Saat itu kedua belah pihak sama-sama siap. Tetapi hal itu menghamburkan semangat dan ketegangan
syaraf. Jauh lebih menyiksa daripada pertempuran dengan pukulan atau senjata. Siapa yang tak kuat urat
syarafnya dan lengah perhatian tentu akan hancur.
Demikian pada saat suasana diliputi oleh ketegangan dan kegentingan, sekonyong-konyong terdengar
suara tawa yang meledak keras. Suara tertawa itu berasal dari mulut Ang Siong-pik. Nadanya sedemikian
tajam hingga memekakkan telinga sekalian orang......
Walaupun Pek Wan Taysu sudah berjaga-jaga namun tak urung darahnya masih bergejolak keras.
“Tenaga dalam yang hebat sekali,” diam-diam ia menghela napas.
Selesai tertawa, Kim-pou-sat berseru pelahan-lahan:
“Barisan Thay-kek-jiang-gi-su-giong-ki-bun-tin hari ini benar-benar telah bertemu tandingannya......, kalau
terus menerus begitu walaupun sampai sepuluh hari sepuluh malam tentu takkan ada kesudahannya.
Mungkin aku akan kehilangan muka yang tua ini......”
Walaupun ucapan itu seperti orang berkata seorang diri, tetapi setiap patah kata terngiang jelas pada
telinga setiap pengawal Baju Merah. Serentak barisan baju merah itu dapat menangkap maksud tuannya.
Serempak mereka menggembor keras lalu menyerang dengan tombak. Sambil menyerang mereka
berpindah-pindah tempat beberapa kali.
Karena lawan bergerak maka barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun mulai bergerak. Berpuluh gelombang tenaga
pukulan bergulung-gulung melanda musuh.
“Bum, bum......”
Terdengar letupan keras disusul oleh hamburan pecahan batu dan pasir yang bertebaran ke empat penjuru.
Bumipun seolah bergoncang.
Adu tenaga itu segera memberi hasil. Ke delapan pengawal Baju Merah tak kuat menahan gelombang
pukulan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin. Barisan mereka kacau.
Suatu ciri istimewa dari barisan Tat-mo-coat-ci-tin yang termasyhur itu yalah sekali bergerak, tentu akan
terus bergerak tak henti-hentinya.
Demikianpun saat itu. Setelah membuka penyerangan, barisan Tat-mo-coat-ci-tin pun terus bergerak-gerak.
Makin lama barisan makin menyempit kecil dan langkah kaki anak buah barisanpun makin deras.
Rupanya ke delapan pengawal Baju Merah itu kehilangan pimpinan. Mereka mengikuti gerakan barisan
lawan.
Melihat itu diam-diam Pek Wan Taysu gembira sekali.
“Ang sicu,” serunya kepada Kim-pou-sat, “Buddha bersifat kasih sayang. Apabila engkau suka tinggalkan
tempat ini, akupun segera akan menghentikan barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu dan melepaskan anak buahmu.
Apabila tidak......”
“Apakah engkau hendak membaca khotbah kepadaku?” tukas Kim-pou-sat dengan tertawa mengejek,
“apakah engkau sudah yakin bahwa barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu akan dapat mengalahkan mereka?”
Pek Wan Taysu kerutkan alis,
“Ang sicu, rupanya engkau tetap tak sadar. Ketahuilah bahwa sejak Siau-lim-si berdiri ratusan tahun yang
lalu, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari barisan itu. Adakah sicu anggap dengan
kelompok barisan kecil Thay-kek-jiang-gi-su-giong-tin itu akan mampu memecahkannya? Apakah tidak
seperti telur membentur tanduk?”
Tiba-tiba Kim-pou-sat berseru memberi perintah kepada barisan pengawal Baju Merah itu: “Melangkah ke
Tiong-kiong, serang Li-bun, terjang Gan-wi…… akan kubantu kalian……”
Habis berkata, dia terus melayang ke sayap kanan barisan Tat-mo-coat-ci-tin lalu serentak mengangkat
tangan kanannya, segelombang arus tenaga dahsyat segera melanda tiga orang paderi.
dunia-kangouw.blogspot.com
10.50. Elahan Napas Panglima Kalah Perang
Melihat itu Pek Wan Taysu terkejut dan cepat-cepat gerakkan kedua tangannya untuk melepaskan ilmu jari
Lo-han-ci-keng.
“Dar…….”
Terdengar letupan keras dan ketiga paderi itupun muntah darah, tubuhnya terlempar sampai tiga tombak
jauhnya. “Bum......” jatuhlah mereka terbanting ke tanah untuk tak bangun selama-lamanya.
Terbukanya sebuah lubang pada barisan Tat-mo-coat-ci-tin itu cepat-cepat ditutup oleh anak buah barisan.
Tetapi karena lubang kelemahan itu maka pengawal Baju Merahpun mendapat angin. Dari diserang kini
balas menyerang.
Ke delapan pengawal Baju Merah itu mainkan tombaknya dengan deras dan dahsyat. Tampaknya gerakan
mereka hanya biasa saja tetapi ujung tombak mereka selalu menusuk pada ulu hati lawan.
Serangan gencar itu telah membuyarkan konsentrasi pikiran anak buah Tat-mo-coat-ci-tin. Ke tujuhpuluh
delapan paderi serempak mundur sampai lima-enam langkah lalu menyusun barisan jadi dua lapis.
Ke delapan pengawal Baju Merah itu tiba-tiba bergerak menyerang. Kedua Lapis barisan Tat-mo-coat-ci-tin
itu segera memencar. Berpuluh hantaman berhamburan melanda ke arah delapan pengawal Baju Merah.
Barisan baju merah berputar-putar dan memecah diri dalam dua deret. Deret yang kiri mencekal tombak
dengan tangan kiri. Deret kanan mencekal tombak dengan tangan kanan. Dua orang yang berada paling
depan, mengacungkan tombaknya lurus ke muka. Dalam bentuk barisan yang aneh itu, mereka lalu
menyerbu.
Gerak perobahan barisan itu dilakukan dengan serba cepat sekali.
“Bum, bum, bum.......”
Dari empat penjuru, angin pukulan dahsyat menderu dan ke delapan pengawal Baju Merah itupun tersurut
mundur tiga langkah lagi.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin memang tak bernama kosong. Dalam sekejap saja, mereka telah mengurung
lawan lagi.
Ketujuhpuluh delapan paderi itu segera bergerak berputar-putar sambil mengucapkan doa nyanyian dengan
pelahan. Nyanyian itu menimbulkan semangat keberanian menyala-nyala.
Tiba-tiba nyanyian itu makin cepat dan gerak barisan paderi itupun bertambah cepat pula. Lingkaran
mereka makin lamapun makin menyempit kecil.
Melihat itu berobahlah cahaya muka Kim-pou-sat. Ia tertawa nyaring dan panjang.
“He, hebat benar nyanyian doa puji itu,” serunya, “tetapi cobalah dengarkan nyanyian Rintihan lblis. Lihat
saja siapa yang lebih unggul.”
Habis berkata ia terus memberi komando, “Mulailah!”
Kedelapan barisan Baju Putih itu segera mengambil seruling besi dari pinggang masing-masing lalu mulai
meniupnya.
Serentak melengkinglah di udara suara seruling yang nyaring tinggi. Iramanya terpecah menjadi dua.
Membubung seperti asap dan bernada tinggi seperti kumandang guruh menggema di udara.
Kedua nada itu bersatu dalam suatu paduan yang serasi.
Beberapa saat kemudian, suara seruling dapat mengatasi doa nyanyian dari barisan paderi.
Sekalian orang seperti terbawa ke alam yang hampa, sunyi. Dan tubuhpun ikut lemas lunglai, kaki melentuk.
Demikian yang dirasakan oleh barisan paderi dari Tat-mo-coat-ci-tin. Semangat tempur mereka yang
menyala-nyala tadi, seketika padam seperti tersiram air dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam detik-detik yang gawat itu, sekonyong-konyong melengkinglah sebuah suara seruling lagi. Tetapi
bukan berirama seperti seruling pengawal Baju Putih, melainkan melantangkan irama tersendiri yang aneh.
Sayup-sayup...... halus lembut...... hilang-hilang terdengar...... menyusup lemah ke dalam telinga.
Seketika Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing rasakan semangatnya segar kembali. Buru-buru mereka
pusatkan tenaga dalam, tenangkan diri lalu memandang ke tengah gelanggang.
Ternyata pada saat barisan paderi itu kehilangan semangat, ke delapan pengawal Baju Merah serentak
berhamburan loncat melampaui kepala barisan lawan dan lolos dari kepungan mereka.
Serempak pada saat itu, suara seruling yang berirama aneh itupun lenyap. Menyusul irama seruling dari
pengawal Baju Putih lalu nyanyian doa dari barisan paderi pun berhenti.
“Bluk, bluk…...”
Dalam barisan Tat-mo-coat-ci-tin telah terjadi beberapa perobahan. Sebagian besar anak buahnya
berhamburan rubuh ke tanah.
Tetapi di lain pihak, ke delapan pengawal Baju Putih itupun muntah darah. Wajah mereka pucat lesi seperti
orang yang menderita luka.
Seketika berobahlah warna muka Kim-pou-sat melihat peristiwa itu. Dia tahu bahwa anak buahnya telah
menderita serangan ilmu suara sakti yang disebut Siang-goan-sam-jiok atau Tiga nada penghancur tenaga
murni.
Tiba-tiba Kim-pou-sat tertawa dingin.
“Hm, memang sudah kuduga tentu berada di loteng. Sekalipun engkau gunakan ilmu Cian-li-coan-im untuk
menutupi tempatmu, tetapi jangan harap dapat mengelabuhi aku.......”
Cian-li-coan-im artinya Menyusupkan suara sampai seluas satu lie.
Habis berkata Kim-pou-sat terus apungkam tubuhnya ke udara. Laksana seekor burung garuda ia melayang
ke atas loteng.
Pek Wan Taysu dan Cu-ing berhamburan melepaskan pukulan dan tutukan jari. Tetapi gerak layang Kimpou-
sat jauh lebih cepat. Kedua orang itu tak mampu menghalanginya.
Kim-pou-sat melayang ke arah jendela di bagian tengah.
“Bum……”
Tiba-tiba daun jendela itu terbuka sendiri dan selarik sinar emas segera meluncur keluar.
Kim-pou-sat Ang Siong-pik menjerit kaget dan dengan gerak Ikan le-hi berjumpalitan, ia buang tubuhnya ke
atas dan berjumpalitan melayang turun ke bumi lagi.
“Siau toako……. dia sudah sembuh!” tiba-tiba Cu-ing berteriak.
Sejak menderita luka dalam dari Kim-pou-sat, Hun-ing hanya tegak mengawasi pertempuran seraya
mengatur pernapasan untuk mengobati lukanya. Ketika mendengar teriakan Cu-ing, ia terkejut dan
mengangkat muka memandang ke arah loteng.
Ah, memang benar. Jendela di tengah loteng itu terbuka lebar dan Siau Lo-seng tegak berdiri di belakang
pagar lankan. Wajahnya merah segar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sambil mencekal pedang,
pemuda itu berdiri dengan gagahnya.
“Apakah Siang-goan-sam-jiok itu engkau yang melancarkan?” seru Kim-pou-sat kaget-kaget heran.
Tetapi Siau Lo-seng tidak menjawab melainkan balas bertanya: “Ang locianpwe, apa maksudmu membuat
gaduh di tempat markas cabang Naga Hijau sini?”
“Aku bertanya kepadamu, dengar tidak!” bentak Ang Siong-pik murka.
“Ang locianpwe,” seru Siau Lo-seng, “jangan keliwat unjuk kegarangan untuk menggertak. Sebenarnya aku
menghormati engkau tetapi janganlah engkau terlalu menekan orang. Walaupun kepandaianku rendah
tetapi aku tak gentar meminta pelajaran dari locianpwe.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemarahan Kim-pou-sat makin meluap-luap. Matanya merentang lebar seolah mencurah api yang ingin
menghanguskan tubuh Lo-seng.
“Baru pertama kali ini ada orang yang berani menantang aku,” serunya sesaat kemudian, “apabila hal ini
terjadi pada empatpuluh tahun yang lalu, aku tentu segera membunuhmu...... ah, beritahukanlah kepadaku
darimana engkau mempelajari ilmu Suara Siang-goan-sam-jiok itu dan aku takkan menyusahkan engkau
lagi.”
Siau Lo-seng agak terkesiap lalu balas bertanya: “Siang-goan-sam-jiok? Apakah ilmu itu?”
“Apa? Suara seruling itu bukan engkau…….”
“Masakan aku bohong,” tukas Lo-seng.
Kim-pou-sat bersangsi sejenak lalu berkata pula: “Memang aku tak percaya. Suara seruling itu jelas berasal
dari dalam loteng...... Siau Lo-seng, apakah engkau mengijinkan aku menjenguk dalam ruang loteng itu?”
“Tidak!” sahut Lo-seng, “tempat rahasia dari Naga Hijau masakan boleh dimasuki sembarang orang-”
Kim-pou-sat mendengus dingin.
“Ngaco,” bentaknya. “engkau memang hendak mempermainkan aku.”
Saat itu Hun-ing menghampiri ke sisi Pek Wan Taysu dan berbisik: “Paman, rupanya Kim-pou-sat berkeras
hendak menyerbu ke dalam ruang loteng itu. Adakah Siau toako mampu menghadangnya?”
Pek Wan Taysu kerutkan alis, ujarnya: “Dalam ilmu kepandaian, rasanya Lo-seng masih kalah. Tetapi saat
ini dia berada di atas loteng sedang Kim-pou-sat di bawah. Tentu tak mudah bagi iblis itu untuk melayang ke
atas.”
Tepat pada saat itu, Kim-pou-sat pun menggembor keras dan terus melambung ke udara. Pada saat
melayang itu diapun gerakkan kedua tangan untuk melepas pukulan.
Siau Lo-seng kerutkan dahi lalu membentak kuat-kuat, Pedang Ular Emas segera ditaburkan untuk
menyongsong angin pukulan lawan.
Tetapi Kim-pou-sat tak gentar. Dia maju terus dan ulurkan tangannya untuk menyambar pedang.
Seketika Lo-seng terkejut sekali karena pedangnya serasa disedot oleh suatu tenaga penyedot yang amat
kuat. Hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya.
“Hebat, ilmu apakah ini?” diam-diam ia bertanya dalam hati.
Pada saat Lo-seng termangu, tubuh Kim-pou-sat pun meluncur maju dan kakinya sudah menginjak lankang.
Lo-seng gelagapan tersadar. Dengan menggembor keras ia menarik mundur pedang lalu menusukkannya
ke muka.
Kim-pou-sat tak berani berayal. Cepat ia injakkan kaki untuk mengantar tubuh melambung ke atas sampai
tiga tombak tingginya. Setelah menghindari tusukan pedang ia bergeliatan di udara lalu dengan gerak
Harimau lapar menerkam kambing, ia meluncur turun menerkam lawan.
Lo-seng mendengus dingin. Cepat ia balikkan pedang Ular Emas ke atas, memutar-mutarkan tiga lingkaran
lalu berhamburan menusuk tiga buah jalan darah penting di tubuh Kim-pou-sat.
Jurus permainan pedang itu, bukan saja aneh dan luar biasa, pun jarang tampak dalam dunia persilatan.
Dan serangannya rapat sekali sehingga jalan penghindaran lawan terhadang semua.
Tetapi Kim-pou-sat itu memang seorang iblis tua yang lihay. Dalam ancaman bahaya yang begitu tajam, dia
masih dapat bersuit keras lalu bergeliatan melambung tiga tombak lagi ke atas. Tiba-tiba ia merentang
kedua tangan untuk menghentikan gerak luncurannya dan sekali kedua tangan menekan ke bawah maka
iapun menukik turun untuk menerkam Lo-seng lagi.
Gerakan Kim-pou-sat Ang Siong-pik itu benar-benar hebat sekali. Selagi masih melayang di udara ia dapat
pula bergeliatan naik dan meluncur turun, benar-benar suatu ilmu kepandaian yang jarang terdapat di
kalangan kaum persilatan.
Tokoh berilmu tinggi macam Pek Wan Taysu, sampai terlongong kesima……
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suitan nyaring dan dering melengking dari kedua orang yang beradu kesaktian itu.
Siau Lo-seng mengerang tertahan. Sinar pedangnya lenyap, kaki terhuyung-huyung mundur sampai limaenam
langkah.
Kim-pou-sat Ang Siong-pik pun mendesuh tertahan juga. Tubuhnya yang tinggi besar terlempar sampai tiga
tombak dan meluncur jatuh ke tanah.
Peristiwa itu telah berlangsung terlampau cepat sekali sehingga tiada seorangpun yang tahu jelas apa yang
telah terjadi sebenarnya.
Segera ia mengangkat muka memandang ke atas.
Ah, Siau Lo-seng tegak di ambang jendela. Mencekal pedang dan memandang ke arahnya.
Tiba-tiba Kim-pou-sat Ang Siong-pik menghela napas panjang. Elahan napas dari seorang panglima yang
kalah perang......
Ternyata dia telah salah menafsir kepandaian si anak muda itu. Setitikpun ia tak menyangka bahwa
lawannya yang masih muda itu akan mampu menangkis ilmu pukulan sakti Jong-kiong-sam-si atau tiga
jurus pukulan cakrawala.
Renungan seorang pahlawan tua akan masa kejayaannya, merupakan suatu kenangan yang memilukan.
Demikian keadaan Ang Siong-pik saat itu. Dan hanya dalam beberapa kejap saja, ia sudah merasa
bertambah tua beberapa tahun. Dia pun menyadari bahwa masa itu bukanlah jamannya.
Suasana hening lelap meliputi kedua tokoh yang tengah saling pandang itu. Seorang tokoh tua yang
menyadari kedudukannya dan seorang tokoh muda yang tengah menjulang naik semangat remajanya.
Entah berselang beberapa lama keadaan itu berlangsung, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling
dalam irama yang aneh. Nadanya bening jernih, merdu menyedapkan telinga. Seolah-olah seperti gemercik
air mengalir.
“Suara seruling yang luar biasa anehnya,” seru Cu-ing.
“Seperti berasal dari sebelah tenggara,” sahut Hun-ing.
“Benar,” kata Pek Wan Taysu, “memang berasal dari arah tenggara...... tiga lie jauhnya, aneh……
mengapa……?”
Rupanya Pek Wan Taysu seperti menyadari sesuatu hal maka tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
Siau Lo-seng masih tegak memandang Kim-pou-sat dengan pandang terkejut dan kagum.
Sedangkan Kim-pou-sat Ang Siong-pik tampak berobah-robah cahaya mukanya ketika mendengar irama
seruling aneh itu. Sejenak menumpahkan perhatiannya, kedengaran ia berkata seorang diri.
“Adakah aku salah menduga lagi......?”
Suara seruling itu memang jelas diketahui berasal dari arah tenggara, kira-kira dua lie jauhnya. Tetapi makin
lama suara itu makin melayang jauh dan makin jauh......
Sejenak menyapukan pandang mata ke sekeliling, tiba-tiba Kim-pou-sat berteriak: “Jalan......!”
Begitu berkata, tubuhnyapun sudah melayang ke atas tandu. Ke delapan pengawal Baju putih segera
mengangkat tandu dan terus membawanya lari. Ke delapan pengawal Baju Merah tetap mengawal di kedua
samping tandu itu.
Tiada seorangpun yang membuka suara atau merintangi kepergian rombongan Kim-pou-sat yang dalam
beberapa kejappun sudah menghilang di ujung jalan.
Selepas kepergian rombongan Kim-pou-sat, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng terhuyung-huyung dan pelahanlahan
rubuh kelantai. Pedang Ular Emas pun terlepas dari tangannya.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing terkejut sekali. Mereka serempak berhamburan loncat ke atas loteng.
Hun-ing cepat mencekal tubuh Lo-seng. Tangan pemuda itu dingin seperti es. Untunglah ia masih
merasakan denyut nadi pergelangan tangan Siau Lo-seng masih berjalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia kenapa?” seru Pek Wan Taysu dan Cu-ing cemas.
Hun-ing menghela napas.
“Siau toako baru sembuh dari sakit. Karena bertempur melawan Kim-pou-sat, mungkin dia kehilangan
tenaga sehingga tenaga murni dalam tubuhnya habis.......”
“Apa? Tidak.......,” seru Pek Wan Taysu terkejut, “kalau anak itu sampai celaka, bagaimana aku harus
mengatakan kepada arwah mendiang ayahnya di alam……?”
Cu-ing menjerit lalu memeluk tubuh Sian Lo-seng dan menangis gerung-gerung……
11.51. Kesaktian Ilmu Siang-goan-sam-jiok
Melihat Cu-ing menangis seperti orang kalap, Hun-ing pun menghiburnya:
“Adik Ing, Siau toako takkan mati. Asal masih mempunyai setitik napas, dia tentu tak dapat mati......”
Tiba-tiba dari atas loteng terdengar suara helaan napas panjang. Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing
serempak berpaling ke arah loteng.
Ternyata orang tua peniup seruling itu sudah tak berada di sudut ruang loteng. Sebagai gantinya, di ruang
itu terdapat sebuah genta raksasa yang tingginya hampir setombak dan terbuat dari tembaga kuno.
“Locianpwe, engkau berada dimana?” seru Hun-ing.
Suara orang yang menghela napas tadi kembali terdengar, “Aku berada dalam genta ini. Bawalah anak itu
kemari, biar kuperiksanya.”
Ketiga orang itu terkejut. Bagaimana mungkin seseorang dapat menutup dirinya sendiri dalam sebuah genta
raksasa. Genta raksasa itu paling tidak tentu beribu-ribu kati beratnya.
“Siapa sicu?” seru Pek Wan Taysu.
Buru-buru Hun-ing memperkenalkan siapa kakek yang berada dalam genta raksasa itu: “Beliau adalah
peniup seruling yang telah menyelamatkan jiwa Siau toako.”
Serta merta Pek Wan Taysu menghaturkan terima kasih kepada kakek aneh itu.
“Siapakah nama yang mulia dari sicu? Dapatkah aku bertemu muka?” kata paderi itu pula.
“Locianpwe, bagaimana engkau hendak memeriksa keadaan Siau toako?” cepat Cu-ing menukas.
Orang tua itu menghela napas sarat. Tiba-tiba genta itu terangkat ke atas dan puncaknya yang
berlubangpun tergantung pada tiang cantelan.
Kini dapatlah Pek Wan Taysu melihat jelas bagaimana keadaan kakek itu. Serta merta ia membungkukkan
tubuh dan minta maaf karena menyebabkan orang tua itu menderita.
“Ah, aku hanya seorang manusia yang sudah kehilangan daya hidup. Bukan karena tak mau menuturkan
kisah hidupku kepada taysu, tetapi memang ada sesuatu hal yang memaksa aku harus begitu. Harap taysu
memaafkan.”
Dalam pada itu Cu-ing dan Hun-ing pun sudah membawa Siau Lo-seng ke hadapan kakek buntung. Dan
kakek itupun segera memeriksa pergelangan tangan Siau Lo-seng. Kemudian menghela napas.
“Ah, anak ini memang setia, melakukan kewajiban. Kusuruhnya mencegah Kim-pou-sat, ternyata dia telah
mengadu jiwa benar-benar sehingga sampai menderita luka parah.”
“Ah,” Pek Wan Taysu mendesah.
“Kalau anak ini sampai kena apa-apa, sungguh Thian tak adil,” seru kakek peniup seruling seraya
mengeluarkan sebuah botol kumala dan menuang tiga butir pil merah lalu dimasukkan ke mulut Siau Loseng.
Sesaat kemudian wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi, berobah agak merah.
Setelah wajah anak muda itu makin merah, tiba-tiba kakek peniup seruling menutuk beberapa jalan darah di
tubuhya. Melepaskan baju Siau Lo-seng, melekat tangan kiri ke punggung pemuda itu dan tangan kanan
mengambil serulingnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Harap kalian bertiga melindungi tempat ini. Aku hendak menggunakan tenaga murni untuk memulihkan
tenaganya,” kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing segera berpencar menjaga tempat itu.
Sesaat kemudian Wajah Siau Lo-seng yang merah pelahan-lahan, mulai menyurut dan akhirnya berobah
segar. Napasnyapun mulai teratur seperti orang yang tidur nyenyak.
Tetapi keadaan orang tua itu mengejutkan. Dari rambutnya bercucuran keringat, demikian sekujur badannya
seperti orang mandi.
Tiba-tiba ia menarik pulang tangan kirinya dan menghela napas panjang, “Mungkin setelah beristirahat
beberapa saat, dia tentu sudah sembuh.”
Pek Wan Taysu seorang ahli lwekang atau tenaga dalam yang hebat. Tetapi ketika melihat cara kakek
buntung itu mengobati Siau Lo-seng dengan jalan menyalurkan tenaga dalam melalui tiupan seruling, paderi
itu terkejut bukan kepalang.
“Taysu beberapa murid taysu yang terkena Siang-goan-sam-jiok dari serulingku, harap taysu memberikan
pil Po-goan-siok-beng-wan ini agar tenaga murni mereka tak sampai merana,” kata kakek aneh itu seraya
menyerahkan pil.
Tetapi Pek Wan Taysu menolak, “Terima kasih atas kebaikan sicu. Tetapi baiklah sicu simpan sendiri untuk
dipakai apabila perlu. Tentang murid-murid Siau-lim-si itu, mereka mungkin dapat menjaga diri.”
Gereja Siau-lim-si telah berdiri ratusan tahun dan dianggap sebagai sumber dari ilmu silat daerah Tionggoan.
Barisan Tat-mo-coat-ci-tin merupakan salah satu dari barisan Siau-lim-si yang termasyhur. Anggauta
dari barisan itu sudah tentu terdiri dari paderi-paderi pilihan yang telah tinggi ilmu kepandaiannya. Maka
tidaklah suatu kesombongan kalau Pek Wan Taysu memberi keterangan begitu kepada kakek buntung.
“Memang benar taysu,” kata kakek buntung, “tetapi hendaknya janganlah meremehkan ilmu suara tenaga
dalam Siang-goan-sam-jiok itu. Apabila tak kuhembuskan ilmu itu, tentulah Kim-pou-sat Ang Siong-pik tak
mau pergi. Dia memiliki ilmu suara Thian-siau-mo-im yang tak boleh dipandang enteng. Kemunculannya
yang ketiga kalinya di dunia persilatan ternyata dia makin sakti.”
Rupanya Hu-ing dan Cu-ing tak enak mendengar kakek buntung itu memuji kesaktian Kim-pou-sat Ang
Siong-pik. Tetapi Pek Wan Taysu dapat menerima. Ketika ia hendak membuka suara kakek buntung itu
sudah mendahului lagi.
“Walaupun berhasil kuhalau dia pergi, tetapi kemungkinan dia tentu akan kembali lagi. Karena musuh
tangguh masih membayangi, baiklah taysu memberikan pil ini kepada anak buah barisan itu!”
Pek Wan Taysu kerutkan dahi hendak berkata tetapi lagi-lagi kakek buntung itu sudah mendahului berseru
pula.
“Apakah taysu tak percaya omonganku? Silahkan taysu memeriksa anak buah taysu, tentulah taysu segera
mengetahui,” kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing serempak berpaling memandang ke luar jendela. Apa yang mereka
lihat saat itu, benar-benar mengejutkan sekali. Bahkan Hun-ing dan Cu-ing sampai ternganga.
Kecuali tiga orang paderi yang telah binasa, tujuhpuluh delapan anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin saat
itu rebah di tanah. Benar-benar hampir tak dapat dipercaya.
Ilmu suara tenaga dalam Siang-goan-sam-jiok dari kakek buntung itu, ternyata mempunyai daya kekuatan
yang sedemikian hebatnya. Dalam beberapa kejap saja sudah mampu melukai sekian banyak paderi-paderi
Siau-lim-si yang sakti. Disamping itu masih mampu pula untuk mengalahkan ilmu suara Thian-siau-mo-im
dari Kim-pou-sat Ang Siong-pik, melukai kawanan pengawal baju putih pula.
Wajah Pek Wan Taysu merah karena malu. Kemudian ia meminta maaf kepada kakek buntung karena telah
salah menafsir ilmu Siang-goan-sam-jiok yang sedemikian saktinya.
Paderi sakti dari Siau-lim-si itupun serta merta membungkukkan tubuh memberi hormat sedalam-dalamnya.
Kakek buntung ulurkan kedua tangannya untuk mengangkat tubuh Pek Wan Taysu, “Ah, harap jangan
merendah begitu. Aku merasa tak enak hati!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian orang tua kaki buntung itu segera menyerahkan botol pil kepada Pek Wan Taysu yang
menyambutnya dengan penuh perasaan terima kasih. Dengan gerak Burung walet terbang melayang ia
melayang turun ke halaman.
Hun-ing memberi hormat kepada orang tua aneh itu, serunya: “Locianpwe dapat menduga dengan tepat.
Aku mempunyai sedikit pertanyaan, entah apakah.......”
Orang tua aneh itu tertawa: “Silahkan bertanya.”
“Kalau tak salah tafsir, kurasa locianpwe tak suka bertemu dengan Pek Wan Taysu. Dengan memberanikan
diri aku hendak menduga, apakah kiranya locianpwe mempunyai kaitan kisah dengan Pek Wan Taysu?”
Orang tua aneh itu terkesiap. Kemudian tertawa.
“Engkau sungguh cerdik. Memang aku mempunyai hubungan dengan Pek Wan Taysu, bahkan erat sekali
hubungan itu,” katanya.
“Tetapi mengapa locianpwe tak suka bertemu muka dengan Pek Wan Taysu?” tukas Cu-ing.
Orang tua itu tertawa aneh,
“Mengapa aku tak mau bertemu muka dengan Pek Wan Taysu adalah pertama karena kuatir dia akan
mengenal diriku ini siapa. Kedua, memang belum tiba waktunya dia tahu hal itu. Ketiga, tembok sering
bertelinga, aku tak mau orang mengetahui asal usulku. Apakah kalian mengerti?”
“Apakah di ruang loteng itu terdapat orang lain lagi?” Hun-ing terkejut lalu sapukan pandang mata ke
sekeliling.
Orang tua itu tertawa gelak-gelak. Sedemikian kuat nada tawanya sehingga hati kedua nona itu seperti
debur keras.
Hun-ing heran mengapa orang tua itu terus menerus tertawa keras.
Tiba-tiba orang tua itu berhenti tertawa, serunya: “Kawanan tikus, apakah kalian hendak menyelinap keluar?
Hayo, keluar, sebelum aku turun tangan!”
Terdengar suara tertawa seram dan tiba-tiba muncullah seseorang di atas tiang penglari ruang
“Engkau…… Ciong Pek-to!” seru Hun-ing terkejut.
Ciong Pek-to tertawa sinis.
“Benar, memang aku. Pah-cu memberi perintah kepadamu agar dalam tiga hari engkau harus kembali ke
Lembah Kumandang. Atau akan dijatuhkan hukuman kepadamu. Kalau engkau tahu gelagat, lekaslah
engkau ikut aku kembali ke lembah.”
Cahaya muka Hun-ing berobah.
“Tiap manusia mempunyai cita-cita sendiri,” katanya, “aku Ui Hun-ing memang sudah tak tahan lagi hidup
dalam lingkungan Lembah Kumandang. Tindakannya yang ganas dan kejam dari Pah-cu, telah
membangkitkan kebencianku. Nah, engkaupun jangan mimpi akan menggertak aku dengan ancamanancaman
yang ngeri.”
Ciong Pek-to tertawa,
“Terserah,” serunya, “tak lama lagi Pah-cu tentu akan datang kemari sendiri. Dan pada saat itu engkau
boleh mengatakan isi hatimu kepadanya, heh, heh, heh……”
Hun-ing marah dan cepat menghantam.
“Huh, engkau masih terpaut jauh sekali……” seru Ciong Pek-to seraya kebutkan tangan jubahnya.
Terdengar suara orang tertahan dan Hun-ing pun tersurut mundur tiga-empat langkah. Tubuhnya
terhuyung-huyung hendak rubuh.
Dengan tertawa iblis, Ciong Pek-to loncat maju terus hendak mencengkeram pergelangan tangan kanan
Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Ciong Pek-to berteriak aneh dan terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Wajahnya
menampilkan kerut ketakutan yang hebat.
“Ciong Pek-to berdiri ke sini,” seru orang tua peniup seruling.
Tergetar hati Ciong Pek-to, pikirnya “Siapakah dia? Mengapa tak dapat kuketahui sama sekali aliran
kepandaiannya itu? Bahwa dia tahu namaku dan mengatakan kalau dia memang mempunyai hubungan
dengan Pek Wan suheng, apakah mungkin dia seorang tokoh Siau-lim? Tetapi sepanjang ingatanku, tak
ada seorang tokoh Siau-lim-si yang sesakti itu. Siapakah gerangan orang itu?”
Walaupun dalam hati resah gelisah bukan kepalang namun Ciong Pek-to masih menghias mulutnya dengan
tertawa.
“Setan tua,” serunya, “jangan terlalu memandang rendah orang. Memang lain orang jeri terhadap ilmumu
Siang-goan-sam-jiok, tetapi aku tak memandang mata kepada ilmumu itu.”
Orang tua itu tertawa gelak-gelak,
“Itulah yang dinamakan perasaan seorang maling yang tak takut pada tuan rumah. Baik, cobalah engkau
rasakan Siang-goan-sam-jiok itu.”
Berobahlah wajah Ciong Pek-to, serunya,
“Setan tua kalau engkau memang sakti mengapa engkau tak berani berhadapan dengan Pah-cu kami? Aku
masih ada urusan lain, tak dapat melayanimu.”
Habis berkata ia terus berputar tubuh hendak pergi.
“He, Ciong Pek-to,” orang tua peniup seruling tertawa meloroh, “engkau takut, bukan? Bebodoran macam
engkau, biasanya selalu garang dan congkak. Suka melakukan kejahatan dan menindas yang lemah. Lebih
baik engkau lekas enyah agar orang tidak muak melihat tampangmu. Kalau sampai terlihat oleh suhengmu
Pek Wan Taysu, betapalah sedihnya.”
Berobah-robah cahaya muka Ciong Pek-to di damprat habis-habisan oleh orang tua Peniup seruling itu.
Sikapnya yang garang dan jumawa, saat itu benar-benar hilang bagai anjing bercawat ekor.
“Mengapa tak lekas enyah? Apakah engkau hendak tunggu sampai Pek Wan Taysu datang kemari dan
menampar mukamu?” bentak orang tua itu pula.
Ciong Pek-to memang seorang durjana yang licik dan licin. Tahu bahwa dirinya tak mampu melawan orang
tua itu, terpaksa ia harus menelan hinaan itu.
“Tua bangka,” serunya sambil menatap orang tua peniup seruling dengan pandang berkilat-kilat, “akan
kucatat apa yang engkau lakukan terhadap diriku hari ini. Kelak pada suatu hari tentu akan kutagih
kepadamu.”
Habis berkata ia terus meluncur pergi.
“Cici Hun, tadi dia begitu garang tetapi sekarang berobah seperti anjing melihat gebuk. Bahkan waktu pergi
dia tak berani bernapas sama sekali,” Cu-ing tertawa.
Hun-ing mengerut dahi,
“Adik Ing, Ciong Pek-to itu seorang manusia yang selicin belut. Kalau dia tak tahu keadaan yang tak
menguntungkan dirinya, masakan dia mau menelan hinaan begitu. Dan kemunculannya di tempat ini, tentu
bukan tak ada sebab-sebabnya. Adakah Lembah Kumandang akan mengadakan pembunuhan besarbesaran?”
“Pembunuhan besar-besaran……,” tiba-tiba Cu-ing teringat akan pembunuhan yang telah menimpah
keluarganya serta gerak gerik orang Ban-jin-kiong dan peristiwa rumah pondok aneh di tengah hutan.
“O, engkau sudah siuman……” tiba-tiba orang tua peniup seruling berseru dengan nada ramah.
Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bangun dan duduk. Dia menguap seperti orang yang baru bangun
tidur.
“Siau toako, lekas haturkan terima kasih kepada locianpwe ini,” seru Cu-ing.
Serta merta Siau Lo-seng terus jatuhkan diri memberi hormat di hadapan orang tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudah berulang kali locianpwe telah menolong jiwaku. Apabila aku, Siau Lo-seng, masih hidup, tentu
takkan melupakan budi locianpwe.”
Orang tua peniup seruling itu tertawa,
“Tubuhku cacat dan mengasingkan diri dari dunia keramaian. Aku sudah tak mempunyai keinginan pada
dunia. Entah bagaimanakah cara engkau hendak membalas aku?”
“Ini....... ini……” Lo-seng tak dapat mengatakan apa-apa.
Orang tua itu tertawa pula.
“Jika tak kecewa terhadap seorang tua cacat semacam diriku, aku ingin memungut anak angkat. Entah
engkau mau atau tidak?”
Girang Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Serentak ia berlutut lagi dan berseru: “Gi-hu, terima hormat
sujud Lo-seng…...”
Sampai empat kali Lo-seng memberi hormat kepada orang tua aneh itu sebagai tanda seorang putera
terhadap Gi-hu atau ayah angkat.
Cu-ing dan Hun-ing pun jang serempak memberi hormat: “Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing menghaturkan
selamat kepada paman.”
Sambil mengusap-usap jenggot, orang tua itu tertawa, “Bangunlah, bangun semua. Hari ini aku sungguh
gembira sekali.”
11.52. Rahasia Seruling
Tiba-tiba dari luar terdengar suara Pek Wan Taysu berseru gembira: “Selamat, selamat. Kalian ayah dan
anak sungguh bahagia sekali dapat berkumpul di sini. Aku tak mempunyai rejeki seperti kalian.”
Serentak masuklah Pek Wan Taysu ke dalam ruangan. Tiba-tiba cahaya muka orang tua buntung itu
berobah dan tubuhnya agak gemetar. Tetapi cepat pula ia tertawa gelak-gelak.
“Ah, taysu telah masuk dalam dunia kesucian. Tidak seperti kita yang masih dilekati debu-debu kedosaan
dan kegelisahan. Taysu lebih bahagia.”
Perobahan airmuka orang tua buntung itu, tiada seorangpun yang memperhatikan kecuali Lo-seng. Hal itu
makin menimbulkan keresahan hati pemuda itu.
Sesaat kemudian wajah Pek Wan Taysu berobah serius, katanya:
“Kita berkumpul di sini dengan gembira dan selamat. Tetapi dewasa ini kawanan durjana telah muncul
mengadu biru di dunia persilatan. Setiap saat keselamatan jiwa kaum persilatan tentu terancam. Tadi aku
telah menerima laporan dari anak murid Siau-lim-si dan anak murid partai Bu-tong-pay, mengatakan bahwa
partai Bu-tong-pay telah menghadapi bahaya besar. Beratus-ratus musuh telah menyerang Bu-tong-san.
Sudah beberapa pimpinan partai itu yang binasa. Mereka minta bantuan kepada ciang-bun-hong-tiang
{Ketua). Siau-lim-si telah memerintahkan aku supaya segera membawa barisan Tat-mo-coat-ci-tin untuk
memberi bantuan. Oleh karena peristiwa itu amat gawat maka akupun harus lekas-lekas ke Bu tong-san
dan akan minta diri kepada kalian.”
Sekalian terkejut mendengar berita itu.
“Paman, setiap orang merasa wajib untuk membela keadilan dan kebenaran. Sukalah paman meluluskan
aku juga ikut membantu ke sana.”
Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
“Engkau baru saja sembuh. Dan kepergianku kali ini, mungkin takkan kembali…… apalagi engkau
mempunyai dendam darah yang belum terhimpas. Engkau harus jaga diri baik-baik. Ah, lebih baik engkau
jangan ikut!”
Dengan diiring oleh helaan napas panjang, Pek Wan Taysu pun sudah berputar tubuh dan sekali ayun
tubuh, dia sudah lenyap di antara puluhan paderi yang berada di bawah loteng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lo-seng hanya berlinang-linang airmata mengantarkan pandang matanya. Ucapan Pek Wan Taysu amat
menyentuh sanubarinya.
Siau Lo-seng sudah sebatang kara. Hanya tinggal seorang paman yalah Pek Wan Taysu itu. Paderi itu telah
memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti orang tuanya sendiri. Mendengar kata-kata Pek
Wan Taysu bahwa mungkin paderi itu akan binasa menghadapi gerombolan durjana, sudah tentu hati Siau
Lo-seng berduka.
Tidak terduga, jika Siau Lo-seng hanya mengucurkan airmata, tidak demikian dengan orang tua buntung itu.
Dia menangis keras.
Walaupun tak tahu jelas duduk persoalannya, karena melihat orang menangis, kedua nona ikut menangis.
Tangis orang tua buntung itu amat menyedih sekali. Entah mengapa dia tiba-tiba begitu sedih.
Bahwa seorang berilmu sakti sampai tak menguasai diri, tentulah suatu hal yang mengherankan sekali.
“Maaf, karena gara-garaku, kalian sampai ikut bersedih……,” kata Siau Lo-seng seraya mengusap
airmatanya.
Orang tua buntung itupun mengusap airmatanya dan berkata tersekat: “Ah…… ah…… Seng-ji maaf, karena
teringat akan peristiwa yang lampau, aku sampai tak dapat menguasai diri.”
Ji, artinya anak. Seng-ji berarti anak Seng.
Makin besar rasa hati Lo Seng terhadap orang tua itu. Dia makin yakin tentulah orang tua itu mempunyai
kisah hidup yang menyedihkan.
“Gi-hu, maukah Gi-hu membagikan kedukaan hati Gi-hu kepadaku?” dengan lemah lembut Lo-seng
berkata.
“Peristiwa yang lampau bagaikan gumpalan asap. Ah, tak perlu membicarakan hal itu lagi,” sahut orang tua
buntung.
Lo-seng tahu orang tua itu tentu mempunyai kisah yang hebat. Tetapi karena orang tak mau mengatakan,
diapun tak berani memaksa.
“Baik, tak perlu membicarakan hal itu,” kata Lo-seng tertawa, “bukankah hari ini kita berdua ayah dan anak
telah berkumpul di sini? Seyogyanya kita rayakan peristiwa saat ini dengan gembira. Peristiwa sedih yang
lampau biarlah lalu.”
“Benar,” Hun-ing tertawa cerah, “paman, aku. mempunyai sedikit soal yang belum jelas. Boleh aku
bertanya, kepada paman?”
Orang tua peniup seruling itu tertawa. “Silahkan.”
“Bukan suatu hal yang penting melainkan hanya sekedar ingin tahu,” kata Hun-ing, “aku merasa heran
mengapa paman yang menderita cacat sehingga sukar untuk berjalan, mengapa dapat menduga dengan
tepat segala peristiwa yang terjadi di dunia persilatan?”
Orang tua itu tertawa.
“Pertanyaan yang bagus,” serunya, “tetapi apakah engkau pernah mengenal sebuah pepatah yang
mengatakan 'seorang perdana menteri tak pernah keluar dari rumah tetapi dapat mengetahui peristiwaperistiwa
di dunia'.”
Hun-ing kerutkan alis.
“Walaupun perdana menteri itu tak pernah melangkah keluar dari rumah tetapi dia mempunyai pembesarbesar
militer dan sipil yang memberi laporan sehingga dia tahu semua peristiwa itu,” sanggah Hun-ing,
“adakah paman memiliki ilmu nujum yang sakti?”
Orang tua peniup seruling itu tertawa gelak-gelak.
“Menghitung dan menujum, hanyalah suatu dongeng aneh dalam dunia persilatan,” katanya, “walaupun
dalam aliran Buddha dan Tao terdapat semacam ilmu itu serta ilmu perbintangan tetapi pun hanya bersifat
dugaan garis besarnya saja. Tak mungkin akan tahu sejelas-jelasnya keadaan dalam dunia persilatan ini.
Apalagi aku memang tak pernah belajar ilmu nujum semacam itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing makin heran, tanyanya: “Lalu bagaimana paman dapat menduga tepat keadaan dunia persilatan
itu?”
Orang tua peniup seruling ganda tertawa. “Bukankah bangunan kuil dan puncak loteng itu amat tinggi?”
tanyanya.
Ketika anak muda itu serempak memandang ke atas. Memang kuil dan loteng itu didirikan di atas sebuah
lereng gunung. Dari tempat itu dapat memandang jauh ke sekeliling penjuru.
“Benar, paman,” seru Hun-ing.
“Engkau masih ingat akan anjing kecilku si Salju itu?”
“O, anjing putih yang cantik itu?” seru Cu-ing.
“Paman,” seru Hun-ing, “mengapa paman hendak alihkan pembicaraan pada loteng dan anjing kecil?”
Namun orang tua peniup seruling itu tetap tersenyum.
“Sama sekali aku takkan mengalihkan pembicaraan,” katanya, “persoalan itu memang terletak pada kedua
hal itu. Dengan berada di loteng yang tinggi ini, aku dapat memandang jauh sampai berpuluh-puluh lie
jauhnya. Dan jangan lupa, anjing Salju itu dapat menyampaikan laporan apa yang terjadi di luaran.”
“Paman, engkau mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya? Apakah engkau memiliki ilmu?” Hun-ing
terkejut.
Orang tua peniup seruling tertawa gelak-gelak.
“Betapapun tajam mataku, namun tak mungkin aku mampu melihat sampai berpuluh lie jauhnya. Aku
mengandalkan bantuan serulingku ini.”
Dengan setengah meragu, Hun-ing menyambuti seruling itu. Ia rasakan seruling itu berhawa dingin dan
berat sekali. Paling tidak limapuluhan kati beratnya.
“Seruling Kiu-sian-cing-ing-sin-siau ini, terbuat dari besi yang telah terbenam dalam laut Pak-hay selama
seribu tahun. Kegunaannya memang banyak sekali dan nilainya tak kalah dengan pedang pusaka.
Siau Lo-seng dan Cu-ing pun ikut melihat benda pusaka itu.
Seruling itu berwarna hitam, dibuat dengan bagus sekali. Batang seruling berhias dengan gurat-gurat
kembangan yang berbentuk kuno. Jika tidak dilihat dengan seksama tentu tak kelihatan.
“Cobalah engkau lihat dari lubang seruling itu,” kata orang tua itu pula.
Hun-ing menurut. Tiba-tiba ia mendesis kaget. Ternyata pada lubang seruling itu, tampak sebuah
pemandangan aneh. Sebuah aliran sungai yang jernih airnya. Di tengah sungai tampak sebuah perahu
sedang berlayar menyongsong ombak. Di buritan perahu dua orang tukang perahu tengah berdiri bercakapcakap.
Berganti melihat pada lubang ujung seruling, tampak sebuah jalan merentang tak jauh dari sungai itu.
Sebuah kereta berkuda empat dan dikusiri oleh seorang lelaki baju hitam, tengah meluncur pesat di
sepanjang jalan itu. Kusir baju hitam itu tak henti-hentinya mengayunkan cambuk. Rupanya dia bergegasgegas
hendak mempercepat perjalanan.
Kesemuanya tampak jelas pada seruling Kiu-siau-cing-ing-sin-siau itu.
Ketika Hun-ing lepaskan seruling, sungai dan kereta itu tak tampak. Ia berusaha untuk memandang ke
sekeliling penjuru tetapi tetap tak melihat suatu apa.
Kini Siau Lo-seng pun mencobanya. Pada lubang seruling itu tampak hutan derah istana Ban-jin-kiong, kota
Lok-yang tempat kediaman keluarga Nyo, pun tampak dengan jelas.
Ketika giliran Cu-ing yang mencoba, tak henti-hentinya dara itu berseru memuji.
Sambil menyambuti seruling, orang tua aneh itu tertawa: “Bagaimana? Bukankah aku tak bohong?”
“Benar, paman, tetapi seruling ini memang ajaib sekali,” kata Hun-ing, “tetapi bagaimana mungkin anjing
putih itu dapat memberi laporan kepada paman?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali orang tua itu tertawa.
“Kecuali cerdas, si Salju itu mengerti juga bahasa manusia dan pula diapun dapat memiliki ilmu silat. Dia
sering berkeliaran keluar. Apabila perlu aku dapat menyuruhnya mencari orang yang kukehendaki, supaya
datang kemari. Ada kalanya anjing itu dapat menggigit jalan darah orang untuk dibawa kemari. Dengan
begitu, aku selalu memperoleh tentang keadaan dalam dunia persilatan.”
“Benarkah anjing itu sedemikian saktinya?” seru Cu-ing.”
“Ah, engkau tak percaya hal itu bukan?” orang tua peniup seruling tersenyum, “apabila ada kesempatan,
engkau boleh adu kepandaian dengan si Salju.”
“Ai, mana kami tak percaya keterangan paman,” buru-buru Hun-ing menyusuli, “karena hal itu luar biasa
sekali maka kamipun heran.”
“Masih ingatkah kalian setengah tahun yang lalu dimana Seng-ji, Pek Wan Taysu dan engkau sendiri
bersembunyi, di atas tiang penglari tetapi hampir saja dapat ditangkap oleh orang-orang Ban-jin-kiong?”
Lo-seng terkesiap. Memang ia teringat dirinya yang hampir tertangkap hendak dijadikan mumi oleh ketua
Ban-jin-kiong yang lalu. Diam-diam ia menggigil.
“Kalau saat itu Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang tak muncul, mungkin entah bagaimana jadinya
dengan diriku,” pikirnya.
Berkata orang tua peniup seruling itu. “Kala itu tak pernah kuduga bahwa kepala Ban-jin-kiong akan mucul.
Melihat keadaan begitu gawat, aku segera suruh si Salju untuk mencari seorang jago silat yang sakti. Ai,
tahu-tahu anjing itu membawa Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang......”
Orang tua itu berhenti sejenak untuk memandang ketiga anak muda di hadapannya.
“Kalian tentu menduga bahwa, orang itu tentulah tokoh Leng Tiong-siang yang pernah menggetarkan dunia
persilatan pada empatpuluh tahun berselang……”
“Paman maksudkan Leng Tiong-siang palsu?” tukas Hun-ing.
Mata orang tua berkilat-kilat lalu berkata dengan nada serius:
“Beberapa kali aku pernah bertemu dengan Leng Tiong-siang. Walaupun wajahnya ganas, sikap dan
ucapannya juga begitu, tetapi aku tetap mengenalinya bukanlah Leng Tiong-siang, salah seorang Empat
Serangkai yang dulu.”
Siau Lo-seng terbelalak kaget.
“Lalu siapakah dia?”
Orang tua peniup seruling gelengkan kepala. “Siapakah orang itu? Aku juga belum tahu. Apabila dugaanku
tak meleset, dia tentu seorang yang mengenakan kedok muka seperti Leng Tiong-siang dan menyaru
sebagai dia. Apakah maksudnya, mungkin sedikit-sedikit aku dapat menduga.”
“Apakah maksudnya?” tanya Cu-ing.
“Dengan menyaru sebagai Leng Tiong-siang kemungkinan dia hendak merebut pusaka Keng-hun-pit dari
ketua Ban-jin-kiong.”
“Apa?” Hun-ing terkejut, “dia hendak merebut salah satu dari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?”
“Paman kali ini mungkin engkau salah duga,” kata Cu-ing, “belum berapa lama ini salah seorang kepala
bagian dari istana Ban-jin-kiong yang bernama Long Wi telah membawa duabelas orang yang hilang
kesadaran pikirannya, menuju ke rumah keluarga Nyo untuk merebut.......”
Tiba-tiba nona itu hentikan kata-katanya. Ia teringat akan kamar rahasia di bawah tanah dari Ban-jin-kiong
dan tahu bahwa ayahnya telah ditangkap oleh orang Ban-jin-kiong. Dengan begitu orang yang tinggal di
rumahnya sebagai Nyo Jong-ho dan memiliki pit pusaka Keng-hun-pit itu bukanlah ayahnya.
“Ah, bagaimana mungkin? Ayah jauh hari telah memberitahukan kepadaku tempat penyimpanan pit pusaka
itu. Rasanya tiada lain orang yang tahu tempat itu, kecuali orang itu memang bukan ayahku yang aseli!”
“Kalian memang tak tahu akan tipu muslihat dunia persilatan,” kata orang tua peniup seruling, “hal itu
memang muslihat dari ketua Ban-jin-kiong. Benar, ayahmu telah ditawan oleh ketua Ban-¬jin-kiong. Yang
dunia-kangouw.blogspot.com
berada di rumah keluarga Nyo itu bukan ayahmu yang sesungguhnya. Apa yang dia beritahukan kepadamu
tentang tempat penyimpanan pit pusaka itu, memang bukan Keng-hun-pit yang asli.”
Cu-ing seperti orang bermimpi. Jika dia tak menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya telah menjadi seorang
mumi yang ditaruh dalam sebuah peti mati di kamar rahasia Ban-jin-kiong, dia tak percaya hal itu.
“Jika begitu Keng-hun-pit dan orang yang menyaru menjadi Nyo Jong-ho itu palsu semua?” tanya Siau Loseng.
“Sudah tentu tidak aseli,” kata orang tua peniup seruling, “bahkan mungkin orang yang menyaru sebagai
Nyo Jong-ho itu sendiri tak tahu akan hal itu.”
11.53. Rasa Sayang Seorang Kesatria
Kata Lo-seng, “Orang yang menyaru sebagai Nyo Jong-ho itu tentulah orang Ban-jin-kiong. Mengapa Banjin-
kiong mengirim orang untuk menyaru sebagai Nyo Jong-ho, sudah tentu tujuannya hendak merampas
Keng-hun-pit yang asli.”
“Ah, tidaklah sesederhana seperti yang engkau duga,” kata orang tua buntung, “tindakan pihak Ban-jinkiong
itu jelas suatu siasat untuk membuang bekas. Agar dunia persilatan menyangka bahwa pusaka Kenghun-
pit itu jatuh di tangan orang Naga Hijau. Dengan begitu perhatian orang tentu akan tertumpah pada
pihak Naga Hijau. Tindakan itu sama dengan ‘pinjam tangan membunuh orang’.”
Pit Keng-hun-pit merupakan salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan. Setiap orang persilatan tentu
sangat menginginkan sekali benda itu. Sekalipun Ban-jin-kiong berpengaruh besar tetapi mereka masih jeri
untuk menghadapi serbuan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan.
“Siasat yang licik sekali!” seru Siau Lo-seng dan kedua nona.
Dengan seri muka yang berobah, berkatalah Hun-ing: “Dengan begitu bukankah Naga Hijau akan menjadi
sasaran kaum persilatan? Mungkin saat ini Naga Hijau pun sudah terancam bahaya.”
“Ya memang Naga Hijau saat ini terancam bahaya, ah……,” orang tua itu menghela napas.
Tiba-tiba Hun-ing memberi hormat kepada orang tua itu, katanya: “Paman, banyak terima kasih atas
bantuan dan petunjuk paman yang berharga. Tetapi aku masih mempunyai sedikit permintaan, entah
paman…….”
“Ai, mengapa tiba-tiba engkau menyanjung aku? Bukankah engkau minta aku masuk menjadi anggauta
Naga Hijau?”
“Aku memang hendak mohon paman supaya memimpin kaum persilatan golong Putih untuk membasmi
para durjana yang jahat. Bukan hanya menjadi anggauta saja tetapi kumohon paman suka menjabat
sebagat ketua Naga Hijau.”
Orang tua aneh itu tertawa.
“Memimpin kaum penegak Kebenaran, pembela Keadilan, memang setiap kaum persilatan yang murni
harus merasa mempunyai kewajiban semacam itu. Tetapi jika minta aku orang tua cacat ini menjadi ketua
Naga Hijau, benar-benar suatu hal yang tak berani kuterima. Namun bilamana Naga Hijau memerlukan
tenagaku si orang tua cacat ini, aku tentu bersedia membantu.”
“Ketahuilah,” orang tua aneh itu melanjutkan, “cita-cita luhur itu, adalah terletak pada bahu kalian para anak
muda. Dengan kepandaian, kesaktian kalian bertiga, ditambah pula dengan bantuanku si orang tua cacat
ini, tentulah dapat mengembangkan perkumpulan Naga Hijau. Yang penting yalah seluruh anggauta Naga
Hijau harus bersatu padu dalam satu tujuan yang mulia. Jangan kuatir, istana Ban-jin-kiong maupun
Lembah Kumandang, pada satu hari akhirnya tentu akan dapat dihancurkan juga.”
Betapa girang hati Lo-seng dan kedua nona itu sukar dilukiskan.
Serta merta Hun-ing berlutut untuk merghaturkan terima kasih kepada orang tua itu.
Orang tua buntung juga tampak berseri gembira lalu menyuruh Hun-ing bangun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kata Hun-ing: “Paman, nyata-nyata Naga Hijau sedang terancam bahaya. Maka pikirku, akan kembali ke
Lok-yang untuk memindahkan markas besar kami ke sini. Dengan demikian kita lebih dapat bekerja dengan
tenang dan teratur.”
Ketiga anak muda itu terus mohon diri.
“Tunggu,” seru orang tua itu, “saat ini kita sudah dikepung musuh. Kepergian kalian ini mungkin akan
menderita gangguan mereka.”
Terkejutlah Siau Lo-seng bertiga demi mendengar peringatan itu. Pikir mereka: “Mengapa orang tua ini
sedemikian tajam indera pendengarannya? Mengapa kita sama sekali tak mendengar suatu apa?
Bagaimana dia tahu kalau musuh sudah siap mengepung kita di luar…..?”
Tetapi ketiga anak muda itu memang sudah patuh dan tunduk pada orang tua peniup seruling. Mereka
percaya penuh.
Dan ternyata entah kapan datangnya, memang tahu-tahu di luar halaman telah muncul empatpuluh lebih
orang yang berkerudung kain hitam. Jelas mereka tentu jago-jago sakti.
“Ai, barisan Tujuh Lapis dari Ban-jin-kiong,” bisik Cu-ing.
“Lihatlah, Li Gok-hou juga datang!” Seru Cu-ing.
Menurut arah yang ditunjuk nona itu, Siau Lo-seng melihat seorang pemuda berpakaian biru, mukanya
mengenakan kerudung muka merah dan tangannya memegang sebatang panji hitam. Dia memang Li Giokhou.
Pada saat Li Giok-hou gerakkan panji, keempatpuluh tujuh pengiringnya itu segera hentikan langkah.
Seorang lelaki tinggi besar dan bertubuh gagah segera tampil ke luar.
Siau Lo-seng memandang si tinggi itu dengan seksama.
Orang tinggi besar itu berumur lebih kurang tigapuluh tahun, hidungnya besar, dan sepasang matanya
berkilat-kilat tajam. Punggungnya menyanggul sebuah kantong. Entah apa isinya.
“Hai, siluman tua, mengapa tak lekas keluar? Apakah harus tunggu sampai Ang toaya menyeretmu?” teriak
si tinggi besar itu.
Nadanya menggeledek nyaring sekali.
“Menilik sikap dan suaranya yang begitu hebat, dia kemungkinan tentulah pemimpin barisan algojo yang
disebut Ang Piau.
“Anjing buduk, jangan menggonggong terus menerus, sebentar nonamu tentu akan menyuruh engkau
menangis sampai tiga hari tiga malam,” tiba-tiba Cu-ing berteriak mendamprat.
Ang Piau tertawa gelak-gelak.
“Oh kiranya bukan hanya siluman tua itu tetapi juga ada beberapa anjing kecil, ha, ha, ha……”
Cu-ing hendak balas memaki lagi tetapi dicegah Siau Lo-seng: “Sudahlah tak perlu melayani manusia itu.
Kita di tempat posisi yang lebih baik, jangan sampai terpancing oleh ocehan mereka.”
Benar juga karena tiada orang yang membalas makiannya, Ang Piau pun berhenti. Beberapa saat
kemudian, rupanya dia tak sabar dan berteriak lagi: “Kalau kalian tetap tak mau keluar, terpaksa kami akan
menyerbu dan mengobrak abrik sarangmu!”
Hun-ing geram sekali dan hendak turun tangan tetapi kembali dicegah Siau Lo-seng: “Tak perlu menggubris
manusia itu. Dia tak nanti berani naik kemari.”
“Tetapi kalau terus menerus menjaga di sini saja, juga tidak tepat,” bantah Hun-ing.
“Tahu kekuatan diri dan kekuatan musuh, seratus kali perang tentu seratus kali menang,” kata Lo-seng,
“bahkan di sini terdapat berapa orang, pun mereka tak tahu. Untuk sementara ini mereka tentu tak berani
sembarangan bergerak. Lalu apakah siasat adik Hun untuk menghadapi mereka?”
Hun-ing tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Walaupun tak takut kepada mereka, tetapi kita tak dapat terus menerus bertahan dengan cara begini saja.
Mengapa kita tak melakukan sedikit siasat untuk meloloskan diri dari kepungan mereka dan cepat menuju
ke markas di Lok-yang?”
Orang tua peniup seruling tiba-tiba tertawa, ujarnya: “Yang penting mereka hendak mencari aku. Sekalipun
kalian menerobos dari kepungan merekapun takkan terlalu mendesak.”
“Kalau kita pergi, bukankah Gi-hu akan seorang diri saja? “ tanya Siau Lo-seng.
“Jangan kuatir, masakan aku takut kepada mereka?” kata orang tua itu.
Tiba-tiba terdengar Li Giok-hou tertawa: “Kalau kalian tetap tak mau keluar, segera akan kusuruh orang
untuk melepas api.”
Siau Lo-seng terkejut. Memang dengan api, loteng itu tentu akan musnah. Cepat ia loncat di muka jendela
dan berteriak.
“Li Giok-hou, sudah berulang kali engkau berjumpa dengan aku dan engkau tentu menerima pelajaran yang
pahit. Tetapi rupanya engkau tetap belum jera. Maka hari ini takkan kuberimu ampun lagi.
“Kalau tempo hari sebelah lenganmu yang kupotong, kali ini aku akan kupotong sebelah kakimu.”
Melihat Siau Lo-seng, diam-diam Li Giok-hou terkejut, pikirnya, “Hm, rupanya pikirannya sudah terang.
Adakah dia sudah tidak lagi menjadi manusia yang kehilangan pikiran seperti si Raja Akhirat itu? Mengapa
Siau Lo-seng dan Hun-ing bersama-sama berada di situ? Apakah orang tua peniup seruling yang ditakuti
ketua Ban-jin-kiong, mempunyai hubungan dengan kedua orang itu?”
Demikian benak Li Giok-hou melayang-layang lalu tertawa menyeringai,
“Siau Lo-seng, siapakah yang akan mati hari ini, masih belum diketahui pasti. Ha, ha, ha…… kuberitahu
kepadamu sebuah hal. Hapuskanlah harapanmu untuk mengharap Pek Wan Taysu akan datang
membantumu!”
Siau Lo-seng terkejut. Adakah Pek Wan Taysu telah dicelakai mereka?
“Untuk membereskan kawanan tikus semacam kalian tak perlu harus minta bantuan barisan Tat-mo-coat-citin.
Hm, aku seorang diri sudah lebih dari cukup untuk membasmi kalian,” seru Siau Lo-seng.
Li Giok-hou juga tertawa angkuh.
“Barisan Tat-mo-coat-ci-tin? Ha, ha, ha...... ketahuilah wahai Siau Lo-seng. Pek Wan Taysu telah termakan
siasatku memancing harimau tinggalkan sarangnya.”
Siau Lo-seng terkejut dan cepat menegur:
“Bagaimana mereka dapat termakan siasatmu semacam itu?”
Li Giok-hou tertawa jumawa.
“Engkau kira Pek Wan Taysu dan ke tujuhpuluh delapan kepala gundul itu benar-benar minta bantuan ke
Bu-tong-san? Ha, ha…… saat ini mungkin mereka sudah berkelana di akhirat!”
Siau Lo-seng terkejut, tegurnya:
“Apakah yang memberi laporan kemari itu anak murid Siau-lim dan Bu-tong-pay palsu?”
Giok-hou tertawa iblis.
“Mereka memang anak murid Siau-lim-si dan Bu-tong-pay yang sesungguhnya. Masakan hal itu Pek Wan
Taysu tak mengenalnya?”
Siau Lo-seng makin terkejut serunya,
“Li Giok-hou, jangan berolok-olok semaumu sendiri! Apakah kedua murid itu sudah menjadi kaki tangan
Ban-jin-kiong?”
Kembali Li Giok-hou tertawa,
“Goblok! Sudah terlambat pengetahuanmu. Engkau juga tak mau meneliti. Dari manakah nama Ban-jinkiong
itu asalnya……”
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena marah, hidung Siau Lo-seng sampai menghembuskan asap dan sepasang matanya seperti
terbakar.
Melihat itu Li Giok-hou makin gembira,
“Disebut Ban-jin itu artinya selaksa orang, terdiri dari seluruh aliran persilatan dan tokoh-tokoh partai
persilatan yang ternama. Dari pucuk pimpinan, termasuk ketua dan para penasehat tianglo, sampai ke
kerucuknya......”
“Kini barisan Ban-jin-kiong sudah tersusun rapi. Dalam beberapa waktu lagi seluruh dunia persilatan ini
bakal menjadi milik Ban-jin-kiong, ha, ha, ha......”
“Jahanam……” Siau Lo-seng berteriak dan serentak menyerang Li Giok-hou.
Kecepatan dan kedahsyatan pedang Siau Lo-seng yang tahu-tahu sudah akan menimpah kepala itu
membuat Li Giok-hou hentikan tertawanya dan cepat menghantam seraya enjot tubuh mencelat ke
belakang.
Tetapi Siau Lo-seng yang masih melayang di udara itu segera bergeliatan lalu menukik untuk menusuk
jalan darah maut dari tubuh Li Giok-hou.
Baru Li Giok-hou tegak atau sinar Pedang Ular Emas sudah berhamburan mendera tubuhnya. Dan setiap
hamburan ujung pedang itu mengarah pada jalan darah yang berbahaya.
Kejut Li Giok-hou bukan alang kepalang. Cepat ia rebahkan tubuhnya mendatar tanah lalu membuang diri
berguling-guling beberapa langkah ke samping.
Sekalian orang tak tahu dengan cara bagaimana Li Giok-hou dapat menghindari serangan maut dari Siau
Lo-seng tadi. Yang jelas, walaupun pontang panting tetapi Li Giok-hou masih dapat menyelamatkan diri dari
pedang Ular Emas yang hendak mencabut jiwanya.
Empatputuh tujuh anak buah barisan Ban-jin-kiong yang menyaksikan pertempuran itu, serentak berseru
memuji.
Baik Siau Lo-seng maupun Li Giok-hou masing-masing terkejut dalam hati. Mereka terkejut karena
kepandaian lawan ternyata di luar dari dugaan mereka.
Keduanya dapat dikata merupakan tokoh muda yang hebat pada masa itu. Kini setelah mengetahui
kepandaian lawan, merekapun tak berani memandang rendah satu sama lain.
Siau Lo-seng tegak bagai karang. Ujung Pedang Ular Emas mengacung sedikit condong ke muka. Tangan
kiri membentuk sikap pengimbangan. Sepasang matanya mencurah memandang ke ujung pedang.
Li Giok-hou pun mencabut pedang dari belakang bahunya. Tiba-tiba ia menggembor keras lalu secepat kilat
loncat menerjang, sinar pedang berhamburan mencurah ke tubuh Siau Lo-seng. Gerakan pedang itu aneh
sekali, seperti menabas, seperti menusuk, seperti membabat dan seperti pula membacok.
Dalam sekejap saja ia sudah lancarkan tujuh buah serangan.
“Tring……”
Pedang Ular Emas bergerak menyongsong dan terdengarlah dering benturan pedang yang disusul dengan
percikan bunga api.
Terdengar Siau Lo-seng membentak keras dan pedangnya agak mengendap ke bawah lalu memagut
lawan.
Li Giok-hou pun menggembor keras juga seraya menangkis. Benturan kedua segera terjadi lagi.
Tetapi di antara dering benturan pedang terdengar juga sebuah jerit melengking dan pada lain kejap,
sebatang sinar berkilau melayang ke samping.
Apakah yang telah terjadi?
Kiranya pedang Li Giok-hou telah kutung menjadi dua dan tubuhnya terhuyung-huyung sampai tujuhdelapan
langkah ke belakang. Baju pecah, darah bercucuran!
“Ilmu pedang yang hebat sekali!” serunya tertawa rawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ia membuang kutungan tangkai pedang lalu mengeluarkan sebuab benda yang kerkilat-kilat
memancarkan sinar perak.
“Keng-hun-pit.......!” serentak Cu-ing dan Hun-ing berteriak kaget.
Siau Lo-seng terkesiap, memandang benda yang dicekal lawan.
Benda itu panjangnya lebih kurang hanya seperempat meter, batangnya berwarna putih perak. Sebatang pit
(pena) semacam poan-koan-pit atau pit yang digunakan oleh pembesar yang mengadili sidang perkara.
“Ah, keterangan Gi-hu (orang tua peniup seruling) itu memang benar. Keng-hun-pit memang merupakan
salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yang luar biasa. Tetapi sampai dimanakah keluar biasaan
dari pusaka itu?” diam-diam Siau Lo-seng menimang.
Tengah Siau Lo-seng menimang, tiba-tiba terdengar suara menggeledek, “Harap Ji-hun Kiongcu suka
mundur. Menyembelih ayam mengapa harus menggunakan pisau penjagal kerbau? Biarlah aku saja yang
menghadapinya!”
Sesosok tubuh melayang ke tengah gelanggang dan berdirilah Ang Piau pemimpin barisan Ban-jin-kiong, di
hadapan Siau Lo-seng.
Seketika berobahlah cahaya muka Siau Lo-seng. Menilik suara teriakan orang yang begitu menggeledek,
tahulah Siau Lo-seng bahwa Ang Piau itu seorang jago yang memiliki ilmu tenaga dalam hebat. Memiliki
bentakan yang disebut Singa Mengaum untuk melukai orang.
Serentak timbullah dua buah kesimpulan dalam hati Lo-seng.
Pertama, ternyata Ban-jin-kiong masih mempunyai seorang tokoh selihay itu. Keempatpuluh tujuh anggauta
barisan lapis tujuh itu tampaknya bukan jago sembarangan. Jelas, pertempuran saat itu akan merupakan
pertumpahan darah yang hebat.
Kedua, apa sebab Ang Piau memanggil Li Giok-hou sebagai Ji-hun Kiongcu (kepala istana kedua). Apakah
Ban-jin-kiong memang dibagi atas beberapa bagian. Siapakah yang menjadi ketua istana pertama? Apakah
masih ada istana ketiga dan keempat?”
Teringat juga Lo-seng, bahwa tempo hari si bungkuk Long Wi menyebut Li Giok-hou sebagai Sau-kiongcu
(ketua muda). Tetapi mengapa sekarang Ang Piau menyebutnya sebagai Ji-hun Kiongcu?
Demikian pikiran yang menggelut benak Lo-seng saat itu. Sementara setelah Ang Piau tampil, Li Giok-hou
segera mengundurkan diri. Dengan hati-hati, pusaka Keng-hun-pit itu dimasukkan ke dalam bajunya lagi,
“Siau Lo-seng!” Ang Piau tertawa gelak-gelak, “telah kudengar kemasyuran namamu yang besar. Sayang
selama ini aku belum mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan engkau. Sekarang aku hendak
menantangmu bertempur sampai tigaratus jurus.”
Siau Lo-seng menyahut dingin:
“Bagus, tetapi mungkin engkau tak dapat bertahan sampai begitu lama!”
Ang Piau deliki mata,
“Siapa yang tak kuat bertahan. Engkau atau aku?” serunya. Ia segera maju selangkah dan terus menyerang
dengan jurus Kim-liong-cau atau Naga emas mengulurkan cakar.
Sekali tangannya bergerak maka timbullah hamburan angin keras.
11.54. Keng-hun-pit
Siau Lo-seng mencodongkan ujung pedang mengarah pergelangan tangan orang. Maksudnya hendak
memaksa lawan mundur, setelah itu baru ia akan susuli dengan serangan.
Memang rencana Siau Lo-seng itu tepat. Terapi Ang Piau itu seorang jago yang nekad dan kaya akan
pengalaman bertempur.
Cepat ia geliatkan tangan kanannya menghindar ke samping lalu secepat kilat jarinya ditebarkan untuk
mencengkeram siku lengan Lo Seng. Sedang tangan kirinya pun serentak menjulur untuk menusuk jalan
darah marah di tenggorokan lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari dua jurus gerakan itu saja, dapatlah diketahui sampai di mana kesaktian orang itu.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menyurut mundur tiga langkah seraya hamburkan sinar pedang untuk
melindungi tubuh. Mau tak mau, Siau Lo-seng kucurkan keringat dingin juga.
Teriakan gegap gempita memuji dari barisan tujuh lapis, segera menggema keras.
Ang Piau tak mau memberi kesempatan lagi. Ia loncat menerjang dan mendera lawan dengan pukulan yang
bertubi-tubi.
Sepuluh jurus kemudian, Siau Lo-seng jago muda yang gagah perkasa itu, dipaksa harus mundur sampai
setombak jauhnya. Bahkan pedang Ular Emas hampir saja terlepas karena desau hamburan angin yang
melandanya.
Dari atas loteng Hun-ing dan Cu-ing menyaksikan pertempuran dengan hati gelisah. Kedua nona itu segera
mempersiapkan diri untuk turun tangan apabila perlu.
Tetapi sebenarnya ilmu silat Siau Lo-seng itu tidak di bawah Ang Piau. Walaupun sepintas pandang Ang
Piau menang kuat dan menang angin, tapi dengan berbagai aliran ilmu silat yang dimiliki Siau Lo-seng,
pemuda itu takkan kalah.
Memang apabila dua jago sakti bertempur seujung rambut kesempatan yang diperoleh lawan, tentu akan
merobah jalannya pertempuran.
Dalam babak permulaan karena salah perhitungan, hampir saja Siau Lo-seng menderita kekalahan total.
Dia didesak kalang kabut oleh lawan sehingga hampir tak dapat bernapas.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak keras lalu mengisar langkah dan memainkan pedang disertai gerak
langkah yang aneh.
Betapapun halnya, kepandaian Ang Piau tetap kalah setingkat dari Siau Lo-seng. Berulang kali Ang Piau
melancarkan serangan dahsyat, tapi setiap kali ia mendapatkan gerakan lawannya itu memang luar biasa
anehnya, sukar untuk diduga.
Sesaat pemuda itu berada di sebelah barat tetapi pada lain saat sudah beralih ke timur. Walaupun Ang Piau
sudah menumpahkan seluruh kepandaiannya, tetap ia tak mampu memukul lawan.
Mau tak mau kepala dari barisan Ban-jin-kiong itu tercengang-cengang.
Kesempatan itu sudah tentu tak dilewatkan Siau Lo-seng. Diiringi sebuah gemboran keras, Pedang Ular
Emas pun segera berhamburan laksana bunga api pecah di udara.
Ang Piau terpaksa harus mundur sampai tiga langkah untuk menyelamatkan jiwanya.
Sejenak Siau Lo-seng dapat bernapas untuk melonggarkan ketegangannya lalu lepaskan tiga buah
tabasan.
“Auuhhh……”
Terdengar jeritan ngeri. Karena lambat menghindar, bahu Ang Piau termakan ujung pedang, tiga buah jari
tangan kirinyapun terbabat kutung. Dengan terhuyung-huyung menahan kesakitan, Ang Piau mundur
sampai lima langkah……
Dengan mata berkilat-kilat memancarkan dendam kemarahan, ia menetap Siau Lo-seng dengan penuh
kebencian.
Tiga buah serangan pedang Siau Lo-seng tadi telah dilancarkan dengan kemarahan. Cepat dan dahsyatnya
bukan alang kepalang. Apabila mau, sebenarnya ia dapat mengambil jiwa lawan. Tetapi karena melihat
lawan bertempur dengan tangan kosong, maka tak maulah Siau Lo-seng hendak mencari kemenangan
dengan cara tidak adil.
Saat itu Ang Piau pun mengeluarkan bungkusan senjata yang berada di belakang bahunya. Sebuah senjata
aneh, matanya seperti golok tetapi punggungnya seperti gergaji.
Sesaat kemudian ia menggembor keras lalu mainkan senjatanya yang aneh itu. Dering senyaring halilintar
memekik dan hamburan bunga api yang mencurah seperti hujan, segera menimpah ke arah Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setitikpun Siau Lo-seng tak mengira bahwa dalam keadaan terluka, Ang Piau masih sedemikian
perkasanya. Ia tak berani memandang rendah lawan. Setelah mengisar ke samping dan tegak lurus untuk
menghindari serangan, segera ia balas menusuk.
Tiba-tiba Ang Piau merobah gaya permainannya. Segera ia mengeluarkan jurus ilmu permainan pedang.
Juga dalam ilmu pedang ternyata Ang Piau memiliki permainan yang luar biasa dahsyatnya.
Siau Lo-seng diam-diam terkejut dan tak berani lengah. Segera ia menjalankan siasat untuk bertahan.
Melihat lawan bersikap mempertahankan diri, Ang Piau mengira kalau Siau Lo-seng sudah kuncup nyalinya.
Bagai harimau tumbuh sayap, Ang Piau makin buas dan ganas. Senjatanya yang aneh itu makin
melancarkan serangan yang maut.
Setengah jam kemudian, keduanya telah bertempur sampai duaratus jurus. Dan setiap jurus yang
ditempurkan itu, merupakan jurus-jurus yang mengandung maut. Lengah atau lambat sedikit saja, tentu
ngeri akibatnya. Kalau tidak kehilangan sebuah anggauta badannya tentu jiwanya amblas.
Semua orang yang menyaksikan pertempuran itu sama letetkan lidah.
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri!
Mata sebelah kiri, pipi, dada dan kaki sebelah kiri dari Ang Piau telah berhias dengan lumuran darah merah.
Senjatanyapun terdampar ke tanah dan orangnya terhuyung-huyung hendak rubuh.
Peristiwa itu berlangsung terlampau amat cepatnya sehingga orang tak tahu apa yang telah terjadi.
Siau Lo-seng tak mau memberi kelonggaran lagi. Ia meluncur turun, ujung pedang Ular Emas segera
mengarah jalan darah ulu hati di dada lawan.
Sekalian orang menjerit ketika menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu.
“Kiam-gi......!” teriak Li Giok-hou ketika menyaksikan permainan ilmu pedang Siau Lo-seng yang sedemikian
hebatnya.
Kiam-gi artinya hawa pedang. Dengan kiam-gi itu dimaksudkan, si pemilik pedang itu telah menyalurkan
tenaga sakti melalui ujung pedang untuk menutuk jalan darah lawan.
Hanya seorang jago pedang sakti yang mampu melakukan hal semacam itu.
Sabagai seorang jago kelas satu, Ang Piau pun tahu apa artinya seruan Li Giok-hou itu. Serentak ia
mengeluh dalam hati: “Celaka, aku sekarang......”
Ia pejamkan mata dan tenang-tenang menunggu ajalnya.
Di luar dugaan. tiba-tiba timbullah rasa sayang dalam hati Siau Lo-seng. Rasa sayang yang dimiliki seorang
kesatria terhadap lain kesatria. Serentak pedang dihentikan dan ujungnya tepat melekat pada kulit orang.
Tindakan itu menyebabkan Ang Piau terhindar dari kematian. Dengan demikian sudah dua kali Siau Loseng
memberi ampun kepada lawannya.
Tetapi serempak dengan itu, sekonyong-konyong Hun-ing dan Cu-ing melengking keras dan berhamburan
melayang ke bawah.
Kiranya pada saat Siau Lo-seng hentikan pedangnya, dari empat penjuru berhamburanlah batang golok dari
orang Ban-jin-kiong. Karena melihat pemimpinnya akan celaka di tangan Siau Lo-seng maka mereka itupun
serempak taburkan golok algojo ke arah Siau Lo-seng.
Hun-ing dan Cu-ing menjerit dan terus hendak menolong Siau Lo-seng. Tetapi ternyata pemuda itu sudah
bergerak untuk menyelamatkan jiwanya.
Dengan sebuah gerak loncatan yang secepat kilat, Siau Lo-seng pun sudah berada setombak dari tengah
gelanggang dan tahu-tahu pula ujung pedangnya sudah mengucurkan tetesan darah.
Keempat algojo Ban-jin-kiong yang mengenakan kain kerudung hitam pada mukanya dari menyerang Siau
Lo-seng dari belakang, tahu-tahu sudah terhuyung-huyung dan terkapar di tanah.
Dalam pada itu Ang Piau pun cepat loncat mundur beberapa langkah. Matanya memandang Siau Lo-seng
dengan penuh kesangsian. Kemudian menunduk mengamati guratan luka yang menghias dadanya. Ia
tertawa rawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang she Siau benar-benar tak bernama kosong. Ilmu kepandaianmu memang hebat. Dua kali aku, Ang
Piau, telah menerima budi kemurahan hatimu, sudah tentu akan kuingat dan kelak apabila ada kesempatan
tentu akan kubalas.”
“Seorang jantan yang kasar tetapi jujur. Tak kecewa sebagai seorang tokoh silat yang perwira,” diam-diam
Siau Lo-seng membatin.
Demikian perobahan telah terjadi secara cepat dan tak terduga-duga. Siau Lo-seng telah berhasil lolos dari
golok maut tetapi Hun-ing dan Cu-ing yang hendak menolongnya saat itu malah diserang oleh dua
anggauta barisan Algojo dari Ban-jin-kiong.
Cu-ing keluarkan ilmu pedang Giok-li-kiam-hwat ajaran Tay Hui Sin-ni. Pedang segera berhamburan
laksana gelombang mendampar dahsyatnya.
Tetapi lawannya juga bukan tokoh yang lemah. Ilmu permainan goloknya, laksana angin puyuh menyambarnyambar.
Hun-ing mainkan pedang serempak dengan pukulan tangan kiri. Dengan gaya permainan yang dahsyat dan
cepat, ia berhasil mendesak lawannya
Setelah melihat kedua nona itu dapat menjaga diri, semangat Siau Lo-seng pun bertambah menyala.
Dengan jurus Rembulan berwajah setengah lingkar, ia sapukan pedangnya kepada lima orang anggauta
barisan Algojo yang coba hendak merapat kepadanya…….
Kelanjutan dari sinar emas yang memancar dari Pedang Ular Emas telah menimbulkan sebuah jeritan ngeri
dan seorang anggauta barisan Algojo yang goloknya mencelat ke udara dan orangnya pun terdampar
beberapa langkah, menggeletak dalam kubangan darah.
Siau Lo-seng pindahkan pedang ke tangan kiri. Pandang matanya mengarahkan ujung pedang ke arah
enam orang anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong yang dapat menghindar dari serangannya tadi.
Sikap dan perbawa anak muda itu, benar-benar menggetarkan nyali lawan-lawannya. Mereka yang semula
garang dan bengis, saat itu mulai menggigil semangatnya. Cepat mereka membentuk diri dalam sebuah
lingkaran, segenap perhatian tercurah pada gerak gerik Siau Lo-seng.
Dalam detik-detik yang penuh ketegangan itu, tiba-tiba terdengar jerit melengking tinggi. Siau Lo-seng cepat
berpaling. Ah, ternyata Cu-ing telah menderita luka. Lengan kanan dara itu berdarah dan terhuyung-huyung
ke belakang. Sedangkan di tanah terbaring dua sosok tubuh lawan yang jelas tentu si dara yang
merubuhkannya.
Saat itu Cu-ing masih diserang oleh empat orang algojo baju hitam. Keadaannya pontang panting payah
sekali.
Siau Lo-seng terkejut tapi belum sempat ia hendak bertindak, dia sudah diserang lagi oleh lawannya.
Cepat pemuda itu pusatkan perhatian. Sambil bersuit nyaring ia putar Pedang Ular Emas untuk
menyongsong hujan golok yang melandanya.
“Tring, tring, tring……”
Dering gemerincing melengking nyaring dan pada lain saat gumpalan sinar golok itupun lenyap. Beberapa
anggauta barisan Algojo Ban-jin-kiong tersiak mundur.
Kesempatan itu segera digunakan Siau Lo-seng untuk loncat keluar dari kepungan. Sambil meluncur dari
udara ia putar pedangnya ke arah keempat baju hitam yang sedang menyerang Cu-ing.
Terdengar jeritan ngeri, diiring dengan hamburan darah merah. Dua orang baju hitam rubuh berlumuran
darah.
Sedang yang dua orang, dengan menderita luka parah, pontang panting menyurut mundur.
Siau Lo-seng menggeliatkan tubuh, meluncur turun di samping Cu-ing. Secepat menginjak tanah, ia
lintangkan pedang ke muka dada, mata memandang ke sekeliling sembari bertanya bisik-bisik: “Adik Ing,
bagaimana lukamu?”
Selekas mengetahui Siau Lo-seng berada di samping, semangat Cu-ing segera bangkit kembali. Dengan
menahan rasa sakit ia berkisar ke dekat Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku tak apa-apa, bagaimana dengan cici Hun?” serunya.
Saat itu matahari sudah terbenam di ufuk barat. Malampun mulai menebarkan kabut hitam. Burung-burung
berterbangan pulang ke sarang.
Jurus ilmu pedang yang dilancarkan Siau Lo-seng dan berhasil melukai keempat algojo baju hitam yang
mengepung Cu-ing itu, benar-benar menggetarkan hati setiap orang. Keempatpuluh tujuh barisan algojo,
itu, terkesiap sehingga untuk beberapa saat mereka tak berani bertindak apa-apa.
Selang beberapa jenak kemudian barulah mereka tampak bergerak memencarkan diri untuk mengepung
lawan.
Suasana petang hari makin dicengkam oleh bawa pembunuhan yang menyeramkan.
Ketika Siau Lo-seng sapukan pandang ke sekeliling, ia terkejut. Ternyata saat itu Hun¬ing sedang
bertempur lawan Ang Piau. Empat algojo baju hitam berjajar di sekelilingnya dan mengikuti jalannya
pertempuran.
Tampak Hun-ing mainkan pedangnya dengan gencar. Tubuhnya yang langsing berloncatan amat tangkas,
tak ubah seperti seekor ular naga yang bercengkerama di laut.
Ilmu pedang nona itu memang sakti dan tenaga dalamnya pun tinggi. Tetapi Ang Piau pun seorang jago
kelas satu yang berkepandaian tinggi juga. Walaupun dia sudah menderita luka dari pedang Siau Lo-seng,
tetapi kegagahannya tak berkurang.
Pedang lawan golok berpunggung gergaji. Sepintas pandang menyerupai dua ekor ular dan buaya yang
saling bertempur dahsyat.
Sepuluh jurus cepat berlalu tetapi masih belum tampak siapa yang lebih unggul.
Walaupun perhatian Siau Lo-seng tengah mencurah pada pertempuran Hun-ing lawan Ang Piau tetapi
naluri pemuda itu memang tajam. Seketika matanya tertarik akan sebuah tandu yang tengah dijaga oleh
empat orang dayang baju biru. Tandu itu berhenti di serambi bawah dari loteng tempat persembunyian
orang tua peniup seruling.
Dalam tandu itu duduk seorang wanita cantik berpakaian indah macam puteri keraton. Sayang wajahnya
teraling oleh bayangan kain tenda penghias tandu sehingga tak tampak jelas. Tetapi tentulah amat cantik.
Tampak berulang kali wanita itu menganggukkan kepala dan menunduk dan merenung. Rupanya seperti
tengah bergelut dengan soal yang sukar diputuskan.
Karena perhatian semua orang tercurah pada pertempuran, tiada seorangpun yang memperhatikan
munculnya tandu aneh itu.
“Kelima wanita dan dayang itu, muncul tanpa diketahui orang. Menandakan bahwa mereka tentu
kepandaian yang tinggi,” pikir Lo-seng.
Seketika timbul dua buah dugaan dalam benak Siau Lo-seng:
Pertama, kemungkinan kelima wanita itu orang persilatan yang kebetulan lalu di tempat ini. Karena
mendengar hiruk pikuk pertempuran mereka menghampiri. Tetapi setelah tahu yang bertempur itu orangorang
Ban-jin-kiong mereka berlima tak mau ikut campur karena takut terlibat bentrokan dengan orang Banjin-
kiong.
Kedua, mereka hendak menunggu saja pertempuran itu selesai lalu turun tangan menggempur yang
menang. Dengan demikian mereka tanpa mengeluar banyak tenaga akan memperoleh keuntungan.
Setelah mengalami peristiwa yang pahit, kini dalam cara berpikir, Siau Lo-seng sudah makin hati-hati dan
cermat.
Sejenak merenung, ia lebih cenderung pada dugaan yang pertama. Untuk membuktikan kebenarannya, dia
tak mau gegabah bertindak melainkan hanya diam-diam memperhatikan gerak gerik mereka.
“Adik Ing, ikutlah aku untuk membantu Hun-ing menerobos dari kepungan,” serunya berbisik kepada Cu-ing.
Tetapi seruan itu segera bersambut dengan lengking jeritan yang nyaring. Cepat-cepat Siau Lo-seng
berpaling.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dilihatnya Hun-ing telah meluncurkan serangan, menusuk tubuh lawan. Tetapi Ang Piau diam saja. Selekas
ujung pedang si nona hampir menyentuh badannya, tiba-tiba ia kempiskan dadanya lalu melambung ke
udara dengan gerak Burung hong menerobos langit, melayang melampaui kepala Hun-ing, meluncur turun
di belakang dan secepat kilat mengirim tendangan berantai kepada nona itu.
Sebuah jurus serangan yang luar biasa ganasnya!
Setitikpun Hun-ing tak pernah menduga bahwa lawan ternyata masih mempunyai simpanan ilmu
kepandaian yang istimewa. Apabila Hun-ing sampai terkena tendangan, jiwanya tentu berbahaya.
Pada detik-detik maut hendak merenggut jiwanya dengan ketangkasan yang tak terduga-duga, Hun-ing
rebah telentang di tanah, “Wut……”
Kaki Ang Piau hampir dikata hanya seujung rambut terpisah dari kepala si nona. Turun sedikit saja, kepala
Hun-ing tentu akan hancur mumur.
Menyaksikan adegan itu, baik kawan maupun lawan sama menghela napas longgar. Entab apa sebabnya,
mereka bersyukur karena si nona terlepas dari bahaya maut.
Memang di dalam menyaksikan pertempuran yang menegangkan, sering orang lupa siapa kawan siapa
pihak lawan. Mereka akan bersorak sorai gembira apabila menyaksikan salah seorang telah mengunjukkan
kepandaian yang mempesonakan.
Walaupun terlepas dari maut, namun Hun-ing tak berani menarik napas. Segera ia gerakkan pedangnya
sampai tiga-empat lingkaran. Sedang tangan kiri diam-diam telah siap untuk memberi pukulan kepada
lawan pada saat-saat yang baik.
Dalam sekejap saja nona itu telah memperbaiki posisinya dalam pertempuran itu.
Keadaan Hun-ing membuat Siau Lo-seng dan Cu-ing menghela napas longgar. Tetapi keadaan di
tempatnya sendiri tiba-tiba berobah tegang. Bahkan tak kalah gentingnya dengan di tempat Hun-ing.
Kawanan algojo baju hitam yang mengepung dari empat penjuru itu, lancarkan serangan golok mereka
dengan gencar dan mendesak kedua muda mudi itu sampai beberapa langkah ke belakang.
11.55. Rahasia Kesaktian Pit Sakti
Siau Lo-seng mendesuh geram. Dengan menggembor keras ia taburkan pedangnya, dan berturut-turut
telah melancarkan tiga buah serangan yang dahsyat.
Heng-ka-kim-liang atau Menyanggah melintang tiang emas, Hang-soh-ciang-kun atau Menyapu ribuan
pasukan, Ngo-gak-ya-ting atau Lima gunung menindih puncak. Tiga jurus serangan itu merupakan ilmu
pedang yang keras untuk menangkis atau adu senjata dengan musuh.
“Tring, tring, tring……”
Terdengar beberapa kali suara dering senjata dan senjata dari beberapa algojo baju hitam itupun mencelat
ke udara. Dan terbukalah sebuah lubang dari kepungan mereka.
Siau Lo-Seng pun segera menerjang seraya memutar pedang Ular Emas. Jeritan ngeri terdengar, disusul
dengan semburan darah segar yang berhamburan ke udara.
Dengan menahan rasa sakit, Cu-ing pun mainkan pedang untuk mengikuti jejak Siau Lo-seng. Walaupun
telah kehilangan darah cukup banyak, tetapi setelah menyelinapkan kesempatan untuk beristirahat,
semangat Cu-ing sudah bertambah baik.
Dara itu mainkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat, ilmu pedang ciptaan dari suhunya, Tay Hui Sin-ni.
Tay-hui-kiam-hwat cepat dan hebat sekali sehingga pada beberapa kejap, dua algojo baju hitam menjerit
rubuh bermandi darah.
Bormula Cu-ing hanya ingin menerobos keluar dari kepungan. Ia merasa tenaganya tentu berkurang akibat
luka yang dideritanya. Tetapi tiada disangkanya sama sekali bahwa dengan mudah ia telah dapat
merubuhkan dua orang musuh. Seketika bangkitlah semangat dara itu. Ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat
segera dimainkan dengan gairah. Empat orang algojo baju hitampun segera menjerit rubuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kekalahan barisan algojo itu bukan karena mereka jago-jago yang lemah. Mereka tergolong ko-jiu atau jago
sakti yang jarang terdapat dalam dunia persilatan. Tetapi ilmu ciptaan rahib sakti Tay Hui Sin-ni itu memang
luar biasa hebatnya.
Sebenarnya ilmu pedang itu memiliki jurus-jurus permainan yang ganas dan maut. Tetapi karena Cu-ing
seorang dara yang berhati baik, tak suka mencelakai orang maka dia jarang sekali menggunakan ilmu
pedang itu.
Tetapi saat itu memang lain. Ia sendiri menderita luka. Siau Lo-seng dan Hun-ing terancam bahaya.
Terpaksa ia gunakan ilmu pedang itu. Dan hasilnya memang mengejutkan sekali.
Setelah beberapa kawannya terluka, barulah kawanan algojo baju hitam itu tak berani mendesak.
Li Giok-hou yang selama itu hanya mengawasi pertempuran di samping gelanggang, diam-diam mendapat
kesan bahwa kepandaian dari Siau Lo-seng, Hun-ing dan Cu-ing memang mengagumkan sekali. Jauh
sekali bedanya dengan beberapa waktu yang lalu. Diam-diam ia heran apakah selama ini mereka telah
mendapat rejeki yang luar biasa.
Kesan yang diperoleh Li Giok-hou segera memantulkan hawa pembunuhan yang ganas pada cahaya
wajahnya.
Segera pemuda itu maju kehadapan Siau Lo-seng, mengacungkan bendera kecil dan mengebutkan dua kali
lalu membentak: “Mundurlah kalian semua, biarlah kuselesaikan sendiri pemuda liar ini!”
Barisan Algojo tujuh lapis, dari Ban-jin-kiong saat itu hampir separoh yang terluka dan, mati. Belasan
kawanan baju hitam itu segera mundur setelah menerima perintah dari Li Giok-hou.
Sambil tertawa iblis, berserulah Li Giok-hou, “Siau Lo-seng. ganas benar engkau!”
Siau Lo-seng cukup waspada. Bahwa Li Giok-hou berani tampil ke muka dan memerintahkan orangorangnya
menyingkir, tentulah karena kepandaian yang istimewa. Namun Lo-seng tak tahu jelas apa yang
menjadi pegangan Li Giok-hou.
Serentak ia tertawa nyaring, serunya: “Ah engkau terlalu memuji. Dalam dunia persilatan banyak sekali
kaum durjana, kaum bebodoran yang hidup dalam alam tipu muslihat dan bergelimpangan dalam dosa.
Berbicara tentang kekejaman, aku masih kalah jauh dengan mereka!”
Li Giok-hou tertawa seram:
“Ah, tidak, engkau terlalu merendah diri saja……”
Dalam pada berkata-kata itu Li Giok-hou sudah majukan langkah dan secepat kilat hantamkan tangannya
yang tinggal sebelah itu.
Siau Lo-seng terkejut atas serangan mendadak itu. Tahu-tahu angin pukulan sudah melanda dadanya.
Untunglah sebelumnya ia memang tak berani memandang rendah lawan. Sambil menyalurkan tenaga
dalam untuk melindungi dadanya, iapun segera enjot kakinya melambung ke udara.
Siau Lo-seng bergerak amat cepat sekali. Sambil melambung ke udara ia masih bergeliatan ke kanan kiri
untuk menghindari pukulan lawan. Tetapi tak urung masih punggungnya termakan sebuah pukulan lawan.
Dia terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.
Tetapi Li Giok-hou juga termakan oleh tenaga dalam Siau Lo-seng sehingga terpental sampai tiga langkah
ke belakang.
Setelah melancarkan tujuh buah pukulan berantai, Li Giok-hou pun menarik pulang tangannya. Ia tertawa
gembira,
“Ilmu kepandaianmu sungguh hebat sekali sehingga mampu menerima ilmu simpanan dari Ban-jin-kiong
yang disebut Keng-hun-jit-ciang (tujuh pukulan pengejut jiwa). Dalam dunia persilatan, tiada orang kedua
yang dapat berbuat seperti engkau. heh, heh, heh……”
Diam-diam timbul keheranan dalam hati Siau Lo-seng. Sudah berulang kaki ia bertempur dengan Li Giokhou
dan setiap kali kepandaian lawan tentu masih kalah jauh.
“Hm, kalau orang ini tak dilenyapkan, dunia persilatan tentu akan menderita kekacauan,” diam-diam Siau
Lo-seng menimang dalam hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Segera ia kerahkan tenaga dalam dan berseru marah, “Cara engkau menyerang secara licik tadi, bukanlah
laku seorang kesatria!”
Siau Lo-seng sudah merencanakan, pada saat Li Giok-hou terpecah perhatian karena harus menjawab
dampratannya, ia terus akan menghantamnya dengan tiba-tiba. Ada ubi ada tales. Ada budi tentu dibalas.
Li Giok-hou tertawa gelak-gelak.
“Dalam memimpin barisan, kita boleh meng gunakan siasat apa saja untuk menyerang. Menga……”
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng sudah bersatu ke dalam sinar pedang Ular Emas dan
langsung menusuknya.
Tetapi Li Giok-hou memang sudah menjaga kemungkinan itu. Dia tak mau berkisar dan menghindar
melainkan mencabut pusaka Keng-hun-pit lalu diputar dalam setengah lingkaran sinar putih untuk
menangkis serangan orang. Kemudian ia mengisar tubuh menurutkan gerak serangan pedang untuk maju
merapat pada lawan.
Berbahaya sekali gerak yang dilakukan Li Giok-hou itu tetapi memang tak dapat diduga Siau Lo-seng.
Tahu-tahu titik sinar putih dari ujung Keng-hun-pit hendak menutuk lengan kanannya.
Siau Lo-seng terkejut dan terpaksa mundur lagi.
Li Gok-hou tak mau mendesak. Sambil menarik Keng-hun-pit ia tertawa dingin.
“Eengkau hendak membalas menyerang secara tiba-tiba? He, jangan engkau gunakan cara itu di
hadapanku. Ketahuilah, orang itu dinilai dari perbuatannya. Karena pihakku sudah digolongkan sebagai
golongan jahat, maka segala cara dan siasat yang kejam dan licik akan kami gunakan semua. Maka kali ini
jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku lagi!”
Siau Lo-seng mendengus.
“Seorang jenderal yang sudah kalah, mengapa masih segarang itu bicaramu? Apakah engkau sudah tak
punya malu lagi? Baiklah, ayo keluarkan kepandaianmu yang lain pula!”
Li Giok-hou tertawa.
“Jika belum melihat peti mati, engkau memang masih tak mau menangis. Akan kubuka matamu supaya
dapat mengenal sampai dimana ilmu kepandaian dari istana Ban-jin-kiong itu.”
Besar kata, garang suara, sikap Li Giok-hou benar-benar congkak sekali. Seolah-olah tak memandang mata
kepada Siau Lo-seng.
Seketika wajah Siau Lo-seng agak berobah. Sepasang alisnya berkerut dan pada lain saat ia loncat
menerjang: “Li Giok-hou, serahkan jiwamu!”
Li Giok-hou tertawa dingin lalu gerakkan pusaka Keng-hun-pit dalam bentuk setengah lingkar.
“Hm, budak yang sombong, mau cari mati?” Siau Lo-seng tertawa dingin. Pedang Ular Emas tiba-tiba makin
ditekan keras untuk menutuk lengan Li Giok-hou.
Di luar dugaan ternyata Li Giok-hou amat cerdik. Pada saat ujung pedang hampir menyentuh lengan, tibatiba
ia memutar kaki dan menggelincir ke samping Siau Lo-seng seraya sapukan pusaka Keng-hun-pit.
Tetapi Siau Lo-seng bukanlah seorang jago yang lemah. Pada saat tutukan ujung pedangnya mengenai
angin kosong, dia cepat dapat menduga bahwa musuh telah menyiasatinya. Tetapi karena ia menutukkan
pedang dengan cepat dan tenaga penuh maka, tubuhnyapun ikut menjorok ke muka. Dan pada saat itulah
ujung pit Keng-hun-pit memagutnya.
Betapapun lihay Siau Lo-seng tetapi dia tetap tak mampu untuk menghindarkan diri dari serangan tiba-tiba
itu. Untung ia sudah mempunyai banyak pengalaman. Walaupun terancam bahaya namun ia tak sampai
gugup.
Ia mengisar pedang ke samping lalu lanjutkan tubuhnya yang condong ke muka untuk menubruk ke tanah
lalu berguling-guling.
“Jangan mengadu senjata!” tiba-tiba terdengar Cu-ing melengking dan terus melayang ke belakang Li Giokhou
untuk menusuk punggung pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi terlambat. Pedang Ular Emas telah berbentur dengan pusaka Keng-hun-pit yang termasyhur.
Seketika Siau Lo-seng rasakan sekujur tubuhnya kesemutan seperti terbentur aliran listrik yang keras. Dan
tenaganyapun mendadak lenyap. Lengan bergetar, “tring…… pedang Ular Emas segera jatuh ke tanah.
Dan orangnya pun sampai jungkir balik tiga kali.
“Budak hina, engkau minta mati?” bentak Li Giok-hou seraya taburkan Keng-hun-pit ke arah pedang, “Tring,
tring, tring,” pedang dara itu seketika kutung jadi tiga. Tenaganya hilang sehingga ia tak dapat mengusai
tubuhnya yang menerjang ke arah Li Giok-hou.
Setelah berguling-guling sampai beberapa langkah, Siau Lo-seng melenting bangun. Sejenak ia berdiri
merenung.
“Heran, ilmu kepandaian apakah yang digunakan Li Giok-hou sehingga dapat membuyarkan tenaga
dalamku?” pikirnya.
Memang dia tak tahu bahwa sesungguhnya Keng-hun-pit sebuah senjata yang khusus untuk menghapus
tenaga dalam musuh.
Melihat tubuh Cu-ing menjorok ke arah dadanya. Li Giok-hou tertawa iblis: “He, bagus, memang sudah lama
kita suheng dan sumoay tak pernah bermesra-mesraan......”
Cepat ia ulurkan tangan untuk menutuk jalan darah dara itu lalu memeluknya.
Bukan kepalang marah Siau Lo-seng menyaksikan peristiwa itu. Segera ia memungut pedang Ular Emas
lalu dengan meraung keras ia menghajar kepala Li Giok-hou dengan jurus Hujan bunga dan air.
Li Giok-hou tak gugup. Menyurut mundur dua tiga langkah ia segera mencengkeram kepala Cu-ing lalu
berseru: “selangkah saja engkau berani maju anak perempuan ini tentu akan kubunuh dulu.”
Siau Lo-seng mati kutu terpaksa ia hentikan serangan.
“Li Giok-hou, kalau engkau kesatria lepaskan dia dan majulah kemari untuk bertempur lawan aku,” serunya.
Namun Li Giok-hou hanya tertawa menyeringai, serunya: “Karena engkau berkata begitu, aku justeru malah
tak mau melepaskannya. Mau apa engkau?”
“Manusia pengecut yang tak tahu malu!” teriak Siau Lo-seng marah sekali.
“Silahkan memaki sepuasmu,” sahut Li Giok-hou seenaknya, “sebagai seorang tokoh durjana, masa aku
sudi mendengarkan ocehanmu. Pertunjukan yang lebih seram, lebih ganas, akan menyusul lagi.”
Tiba-tiba terdengar jeritan ngeri. Ketika kedua pemuda itu berpaling, tampak seorang baju hitam yang
menyerang Hun-ing, terhuyung-huyung lima-enam langkah karena bahunya merekah luka yang besar.
Ang Piau marah sekali. Ia menyerang nona itu dengan jurus Laut marah naga muncul. Serangan itu
dilancarkan dengan golok gergaji yang dilambari tenaga penuh.
Namun tubuh Hun-ing berlincahan dalam gaya mirip seekor kupu-kupu hinggap pada bunga. Sukar diduga
oleh musuh. Dalam beberapa kejap dapatlah nona itu terlepas dari ancaman golok maut.
Setelah lolos, Hun-ing berputar-putar tubuh loncat sampai dua tombak. “Cret……” ia menusuk seorang baju
hitam yang mengepungnya.
Serangannya gagal, Ang Piau makin marah. Dengan buas ia menyerang Hun-ing lagi. Jurus Menyapu
ribuan pasukan dilancarkan tetapi tiba-tiba dirobah dalam jurus Angin menyapu daun gugur. Habis
membabat, ia menabas.
Tubuh si nona yang semampai, bergeliatan indah sekali dalam gerak penghindaran yang aneh. Seiring
dengan gerakan golok, tubuh nona itupun mencelat ke udara, berjumpalitan menukik ke bawah untuk
membacok kepala dua orang baju hitam.
Karena tak sempat berjaga, kedua algojo baju hitam itu gelagapan. Untung mereka masih dapat
menyurutkan kepala mengisar bahu untuk mundur ke belakang lalu balikkan goloknya menangkis.
Hun-ing rentangkan sebelah tangannya untuk menghentikan tubuh yang masih melayang di udara. Ia
menarik pedang, segera setelah golok lewat secepat kilat ia menusuk lagi ke bawah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua algojo baju hitam itu terkejut dan cepat-cepat hendak menghindar. Namun tak urung bahu mereka
telah termakan ujung pedang. Darah bercucuran membasahi lengan baju.
Dan ketika meluncur turun ke bumi, kembali Hun-ing menghadapi Ang Piau. Gerak permainan silat nona itu
memang aneh sekali. Tubuhnya berlincahan segesit burung sikatan. Jelas nona itu menitik beratkan pada
ilmu gin-kang atau ilmu Meringankan tubuh.
Bergantian nona itu menggunakan pukulan dan pedang untuk menghadapi Ang Piau dan tiga algjo baju
hitam. Dan pertempuran itu berjalan dengan seru dan menegangkan sekali.
Dalam pada itu pada saat Li Giok-hou terkesiap, sekonyong-konyong Siau Lo-seng taburkan pedang Ular
Emas dalam jurus Angin musim rontok menderu-deru. Dikala pedang telah membentuk lingkaran sinar yang
deras Siau Lo-seng pun menyusuli pula dengan dua buah hantaman tangan kiri.
Tetapi Li Giok-hou memang teramat licin. Dia tak mau menangkis atau menghindar. Cepat-cepat ia
mengisar tubuh Cu-ing untuk mengaling di mukanya.
“Bagus, kalau engkau tak takut melukai anak perempuan ini, silahkan engkau melanjutkan seranganmu,” ia
tertawa mengejek.
Dengan mendesuh geram, terpaksa Siau Lo-seng hentikan serangannya. Kemarahannya memancar pada
kedua biji matanya yang merah membara. Ia acungkan ujung Pedang Ular Emas ke muka lalu dengan
pelahan, ia melangkah maju......
Bertatapan pandang dengan mata Siau Lo-seng yang berkilat-kilat itu, mau tak mau menggigillah hati Li
Gok-hou. Ia menyurut mundur selangkah.
Tangan kiri tetap mencengkeram pergelangan lengan Cu-ing, sedang tangan kanan yang mencekal Kenghun-
pit, melekatkan ujung pit itu ke perut si dara, lalu membentak:
“Berhenti! Apabila engkau tetap maju, akan kuhancurkan isi perut nona ini!”
Tetapi biji mata Siau Lo-seng yang sudah membara hendak memancar api itu, agaknya tak mendengar
ancaman itu dan tetap ayunkan langkah.
Li Gok-hou tergetar hatinya dan mundur lagi tiga langkah. Ia tutukan ujung Keng-hun-pit ke lengan Cu-ing
yang terluka tadi.
Seketika dara itu menjerit ngeri…….
12.56. Wanita Cantik, Jin Kian Pah-cu
Karena lengannya ditutuk ujung Keng-hun-pit, menjeritlah Cu-ing kesakitan. Sedemikian kesakitan sampai
tubuhnya gemetar.
Melihat itu barulah Siau Lo-seng hentikan langkah. Dia mengertek gigi tetapi tak berani turun tangan. Hanya
sepasang biji matanya yang makin menyala merah.
“Berani menyerang lagi, jangan sesalkan kalau aku bertindak kejam……,” Li Giok-hou tertawa mengekeh.
Baru ia berkata begitu tiba-tiba dari belakang terdengar orang memakinya dengan nada sedingin es.
“Budak keparat, masih begitu muda umurmu mengapa sudah belajar menjadi manusia buas yang
kejam……”
Mendengar nada suara itu, segera Siau Lo-seng berseru: “Apakah Leng Locianpwe…...”
Cepat Li Giok-hou berpaling dan setombak dari tempatnya, entah kapan datangnya, tegak seorang tua baju
putih, jenggot putih dan bertubuh tinggi besar.
Wajah orang tua baju putih sedemikian dingin sekali. Dan saat itu dia alihkan pandang mata kepada Siau
Lo-seng,
Begitu beradu pandang dengan mata orang tua baju putih itu, gemetarlah tubuh Siau Lo-seng. Mengapa?
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng dapat memperhatikan dan mendapat kesan bahwa sinar mata Leng Tiong-siang itu tidaklah
memancarkan sinar kasih sayang seperti beberapa waktu yang lalu. Tetapi suatu pancaran mata orang
asing tak kenal pada Siau Lo-seng.
Jaga Li Giok-hou tak kalah kejutnya. Serentak ia berteriak: “Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang……”
Cepat kakek itu memandang Li Giok-hou. Beberapa saat kemudian baru berkata dengan nada dingin:
“Kalau kenal padaku, mengapa engkau tak lekas berlutut dan memberitahukan perguruanmu serta nama
suhumu. Apakah harus menunggu sampai aku turun tangan?”
Nadanya angkuh sekali, sebagai seorang cianpwe yang memberi perintah kepada seorang yang lebih
muda.
Li Giok-hou kerutkan alis lalu tertawa jumawa, serunya:
“Mungkin orang lain tentu akan takut setengah mati kepadamu. Tetapi jangan engkau kira aku sudi bertekuk
lutut di hadapanmu. Kalau engkau mempunyai kepandaian, ayo kita coba-coba adu kepandaian!”
Leng Tiong-siang terkesiap kemudian tertawa dingin. Nadanya mirip dengan burung hantu yang berbunyi di
tengah malam.
“Ah, tak kira selama empatpuluh tahun malang melintang di dunia persilatan, ternyata baru hari ini aku
berjumpa dengan seorang budak ingusan yang sombongnya bukan kepalang, ganasnya luar biasa. Ah
ternyata di bawah sinar matahari ini, orang masih berhati angkara murka.”
Habis berkata ia terus maju menghampiri Li Giok-hou.
Li Giok-hou mundur tiga langkah lalu membentak keras-keras: “Berhenti, kalau tak mau berhenti, aku
akan......”
“Biar dia engkau bunuh, akupun tak ada sangkut pautnya,” tukas Leng Tiong-siang.
Sinar putih melayang dan tahu-tahu Leng Tiong-siang pun sudah meluncur untuk melontarkan hantaman.
Li Giok-hou terkejut ketika merasa telah dilanda oleh gelombang angin yang amat dahsyat ia menggembor
keras lalu balas memukul dan membawa Cu-ing loncat mundur beberapa langkah.
Tetapi sebelum kakinya menginjak tanah, bayangan Leng Tiong-siang sudah memburu dengan taburkan
dua buah pukulan.
Kejut Li Giok-hou bukan kepalang. Namun dia seorang pemuda yang cerdik dan licik. Keng-hun-pit
ditaburkan untuk menyongsong pukulan lawan, sedang Cu-ing ditarik di mukanya sebagai perisai.
Melihat itu Siau Lo-seng berteriak: “Leng locianpwe, hentikan tanganmu……”
“Bum……”
Dua arus tenaga kuat, melanda tubuh nona itu. Cu-ing mengerang tertahan, mulutnya mengumur darah
segar. Dan seketika dara itupun pingsan.
Tetapi arus tenaga pukulan Leng Tiong-siang itupun melemparkan Li Giok-hou sampai setombak jauhnya
dan jatuhlah pemuda itu terduduk di tanah.
Rupanya Leng Tiong-siang tak mengacuhkan seruan Siau Lo-seng tadi. Ia berteriak,
“Ho, kiranya murid jahat dari Ban-jin-kiong. Terimalah sebuah pukulanku lagi.”
Sesosok bayangan putih melayang bagai kilat menyambar dan sebuah pukulan yang mengeluarkan deru
angin segera berhamburan.
Saat itu pikiran dan semangat Li Giok-hou masih kabur. Menyadari bahaya maut yang mengancam dirinya,
tiba-tiba ia mendapat pikiran. Sambil memeluk tubuh Cu-ing, ia berjumpalitan loncat ke belakang sampai
beberapa langkah.
“Siau Lo-seng, lekas cegah dia atau aku tak dapat menanggung keselamatan jiwa Cu-ing ini,” ia berteriak.
Seiring dengan seruan itu, Siau Lo-seng pun lintangkan pedang menghadang Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Leng locianpwe, jika engkau tak mau berhenti menyerang, jangan salahkan kalau aku akan merintangi
engkau,” serunya dengan nada sarat.
Lang Tiong-siang membentak: “Celaka! Engkau juga berani merintangi aku!”
Tiba-tiba ia menghantam lagi lalu dengan sebuah gerak yang aneh menyelinap dari samping Siau Lo-seng
terus menyerbu Li Giok-hou.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Segera ia mainkan jurus Thian-ong-wi-wi, sebuah jurus dalam kitab ilmu
pedang Thian-to-kiam-keng yang dipelajarinya dengan sungguh-sungguh.
Melihat gerak ilmu pedang yang sedemikian hebatnya mau tak mau Leng Tiong-siang terkesiap juga. Diamdiam
ia memuji Siau Lo-seng seorang pemuda yang berisi. Diam-diam ia kerahkan hawa murni. Tanpa kaki
dan tubuh bergerak, tahu-tahu ia sudah berkisar ke samping untuk melepaskan diri dari hamburan sinar
pedang Ular Emas.
Melihat cara Leng Tiong-siang menghindar serangan pedangnya, kejut Siau Lo-seng bukan kepalang. Ia
kagum sekali.
Siau Lo-seng tetap memburu karena bagaimanapun serangan Leng Tiong-siang itu tentu akan
membahayakan jiwa Cu-ing.
Kali ini Leng Tiong-siang tak mau menghindar lagi. Selekas ujung pedang hampir mengenai dirinya, tiba-tiba
ia membentak keras seraya menutukkan jari kirinya ke batang pedang.
Terdengar suara erang tertahan. Siau Lo-seng telah terpental sampai beberapa langkah ke belakang.
Walaupun pedang tak sampai terlepas jatuh tetapi ia rasakan lengan kanannya kesemutan. Bahkan
separoh tubuhnya terasa kaku juga.
“Hai, hendak lari kemana engkau budak?” Leng Tiong-siang berteriak.
Ternyata pada saat Siau Lo-seng menyerang Leng Tiong-siang diam-diam Li Giok-hou membawa Cu-ing
lari. Tetapi Leng Tiong-siang tahu.
Leng Tiong-siang lentikkan ilmu tutukan jari ke arah punggung Li Giok-hou. Ia hendak menutuk dua buah
jalan darah thian-in dan Ko-wi di punggung pemuda itu. Kemudian masih disusuli lagi dengan sebuah
pukulan.
Saat itu kaki Li Giok-hou masih terangkat ke atas atau tiba-tiba punggungnya terasa disambar angin tajam.
Walaupun tahu bahwa pukulan lawan segera akan tiba namun ia tak berani menangkis. Cepat ia kisarkan
tubuh lalu menyerempaki dengan gerak lompatan jungkir balik dan melayang turun beberapa langkah. Lalu
hendak gerakkan Keng-hun-pit.
“Bum……”
Ternyata pukulan Leng Tiong-siang itu tepat sekali mendarat di punggung Li Giok-hou. Pemuda itu muntah
darah dan tubuhnya terhuyung menjorok ke muka sampai dua tombak jauhnya.
Tetapi Cu-ing pun menderita juga. Karena punggung Li Giok-hou termakan pukulan, maka tubuh gadis
itupun mencelat ke udara.
Cepat sekali Siau Lo-seng loncat untuk menyanggapi tubuh si dara.
Rupanya Leng Tiong-siang benci setengah mati kepada Giok-hou yang dianggapnya amat kejam. Tanpa
memberi kesempatan lagi, orang tua baju putih itu dorongkan kedua tangan ke arah tubuh Giok-hou yang
masih belum sempat berdiri tegak.
Pada detik-detik pukulan maut Leng Tiong-siang headak merenggut jiwa Giok-hou, sekonyong-konyong
sesosok tubuh kecil meluncur bagai sebuah bintang jatuh.
“Bum……” terdengar letupan keras.
Bahu kakek wajah dingin itu terhuyung sehingga tubuhnya mundur selangkah. Wajahnya menampilkan rasa
kejut yang tak terperikan.
Dan saat itu di tengah gelanggang telah muncul seorang wanita pertengahan umur yang amat cantik.
Wanita cantik itu kerutkan dahi dan berseru melengking: “Leng-heng, empatpuluh tahun berpisah rupanya
watakmu masih sepanas dahulu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak terkejut, Leng Tiong-siang pun tenang kembali serunya: “Ho, kiranya Dewi Mega Ui Siu-bwe. Ah,
walaupun sudah berselang empatpuluh tahun namun engkau masih tetap awet muda dan cantik. Sungguh
tak kira bahwa setelah muncul kembali setelah bersembunyi selama empatpuluh tahun, Leng Tiong-siang
masih mempunyai kesempatan untuk melihat keagungan Dewi Mega.”
Wanita cantik yang disebut dengan nama Dewi Mega Ui Siu-bwe itu, tampak agak berobah cahaya
mukanya. Sepasang matanya agak memancar kilat tajam tetapi pada lain saat tenang kembali.
“Ah, Leng-heng pandai berolok-olok. Empatpuluh tahun banyak sekali terjadi perobahan dalam kehidupan
manusia. Yang tua makin tua yang muda bertambah besar. Dan kitapun semakin tua.”
Tiba-tiba Li Giok-hou yang terpukau akan kemunculan Dewi Mega Ui Siu-bwe, sesaat setelah pulih
ketenangannya, segera menghampiri dan memberi hormat.
“Terima kasih atas pertolongan locianpwe, Li Giok-hou akan mengingat budi itu selama-lamanya,” katanya.
Dewi Mega Ui Siu-bwe menyahut dengan dingin: “Ih, jangan kira kalau aku hendak menolongmu. Nanti
apabila engkau mengetahui siapa diriku, mungkin engkau tak sempat lagi melarikan diri.”
“Suhu, engkau……“ tiba-tiba Hun-ing berteriak tetapi ia segera terkejut ketika pedangnya dihantam golok
Ang Piau hingga terlempar ke udara.
Telapak tangan nona itu serasa pecah, darahpun mengucur dan wajahnya pucat. Tetapi rasa kejut yang
tampil pada kerut wajahnya itu bukan dikarenakan luka pada tangannya.
Melihat itu Siau Lo-seng cepat loncat menghampiri, “Adik Hun-ing, engkau kenapa?”
Tetapi pada saat tangan Siau Lo-seng menjamah dara itu, serangkum gelombang tenaga yang tiada
bersuara telah melanda punggung Siau Lo-seng.
Pemuda itu terkejut dan cepat loncat beberapa langkah ke samping. Ketika berpaling, tampak baik Leng
Tiong-siang maupun Dewi Mega Ui Siu-bwe masih tegak di tempatnya masing-masing, seperti tak terjadi
suatu apa.
Siau Lo-seng marah. Ia tahu bahwa Li Giok-hou tak mungkin memiliki tenaga sakti semacam itu. Tentulah
Leng Tiong-siang yang melancarkannya.
“Orang tua celaka,” serunya dengan murka, “Siau Lo-seng tak merasa mempunyai permusuhan kepadamu,
tetapi mengapa engkau menyerang secara gelap. Engkau menyaru jadi Leng Tiong-siang, hm, aku akan
melucuti kedokmu......”
Mendengar itu seketika berobah cahaya muka Leng Tiong-siang, bentaknya,
“Budak gila, jangan memfitnah orang seenakmu sendiri. Siapa yang menyerangmu secara gelap. Aku Leng
Tiong-siang, juga seorang tokoh yang dikenal orang. Masakan tak malu melakukan perbuatan serendah itu.
Kita tak saling kenal mengenal bagaimana engkau menuduh aku seorang Leng Tiong-siang palsu. Hm,
budak liar, kalau tak kuberimu hajaran, engkau tentu belum tahu rasa.”
Siau Lo-seng terkesiap mendengar kata-kata Leng Tiong-siang bahwa orang itu tak pernah kenal
kepadanya. Seketika ia teringat akan peringatan orang tua peniup seruling bahwa Leng Tiong-siang yang
muncul dewasa ini, walaupun nada gerak-geriknya memang menyerupai, tetapi bukan Leng Tiong-siang
yang sesungguhnya.
“Hm, kalau tidak mau membuka kedokmu, terpaksa aku akan……” berkata sampai di situ Siau Lo-seng
terus mainkan pedang Ular Emas dalam jurus yang maut. Tiga jurus berturut-turut telah dilancarkan kepada
Leng Tiong-siang.
Yang diserang Leng Tiong-siang, tetapi entah bagaimana tiba-tiba Dewi Mega gerakkan tangannya untuk
membuat gerakan setengah lingkaran dan dua gulung tenaga sakti yang lunak telah meluncur.
Seketika Siau Lo-seng rasakan taburan pedangnya itu seperti terbenam ke dalam lumpur dan karena
terlambat untuk menghindar, diapun terdorong sampai tiga-empat langkah ke belakang.
Bukan saja Siau Lo-seng bahkan Leng Tiong-siang sendiri terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka
bahwa setelah empatpuluh tahun berpisah, kini Dewi Mega Ui Siu-bwe telah memiliki tenaga sakti lunak
yang sedemikian sakti.
Tampak Dewi Mega berpaling ke arah Siau Lo-seng, serunya dengan tertawa:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Yang melancarkan tenaga tiada suara untuk menghalangi engkau tadi adalah aku. Bukan Leng Tiongsiang.
Harap jangan salah paham kepada Leng Tiong-siang.”
Nadanya lembut dan merdu bagaikan burung kenari berkicau.
Siau Lo-seng terkejut dan terlongong-longong.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah jeritan mengaduh dari mulut Hun-ing. Ketika berpaling, dilihatnya nona
itu berjungkir balik beberapa kali di udara dan terus jatuh di tanah. Seorang algojo baju hitam segera
ayunkan tangannya uutuk memukul punggung nona itu.
Hun-ing menjerit, mulutnya muntah darah dan lunglailah ia ke tanah. Dari empat penjuru empat orang algojo
baju hitam segera berhamburan menyerbu dan ayunkan golok gergajinya untuk membunuh Hun-ing.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Tetapi ia terpisah pada jarak yang jauh. Tak mungkin dapat menolong, nona
itu.
Pada saat Hun-ing terancam maut, sesosok bayangan kecil segera meluncur ke udara.
Dan serempak terdengarlah jeritan ngeri dari dua orang algojo baju hitam yang terlempar beberapa tombak
jauhnya.
Ang Piau dan seorang algojo baju hitam telah terlepas senjatanya dan mundur sampai tujuh-delapan
langkah. Keduanya tercengang seperti terbang semangatnya.
Dalam keremangan cuaca malam, tampak seorang wanita baju biru tegak di tengah gelanggang. Ang Piau
ternganga melihat kecantikan wanita itu. Ya, wanita itu memang terlalu cantik sekali. Setiap mata yang
memandang, pasti akan terlongong-longong kehilangan semangat.
“Im-kian-li!” tiba-tiba Siau Lo-seng dan Li Giok-hou serempak berteriak menyebut wanita yang muncul itu.
Ya, memang pendatang itu bukan lain yalah Im-kian-li atau Puteri Neraka, kakak seperguruan dari Hun-ing.
Tiba-tiba Dewi Mega tertawa gelak-gelak lalu berseru, “Lekas tangkap murid hianat itu!”
Im-kian-li segera mencengkeram tubuh Hun-ing yang rebah di tanah lalu dengan sebuah loncatan yang
mengagumkan, ia sudah berada di samping suhunya, Dewi Mega Ui Siu-bwe.
Li Giok-hou menyurut mundur dua langkah dan barteriak kaget: “Engkau…… engkau ini Jin Kian Pahcu……”
Hampir Siau Lo-seng tak percaya pada dirinya sendiri bahwa wanita cantik Dewi Mega Ui Siu-bwe itu
ternyata suhu dari Hun-ing kepala dari Lembah Kumandang yang bergelar Jin Kian Pah-cu.
12.57. Momok Ban Jin Kiong-cu
Dalam alam pikiran Siau Lo-seng, Jin Kian Pah-cu itu tentu seorang momok yang ganas, seorang durjana
yang berwajah seram. Sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya, bahwa ketua Lembah Kumandang
yang termasyhur ganas itu ternyata seorang wanita yang secantik bidadari.
Saat itu tampak Jin Kian Pah-cu masih tetap tenang seolah-olah tiada terjadi suatu apa. Pelahan-lahan ia
menghampiri Im-kian-li yang masih mengurut Hun-ing.
Cepat sekali Jin Kian Pah-cu telah memeriksa dengan teliti, tulang, urat-urat di tubuh Hun-ing. Dan saat itu
juga Jin Kian Pah-cu pun sudah memutuskan sesuatu yang penting. Hal itu memang sudah terkandung
dalam hatinya selama duapuluh tahun……
Sesaat kemudian tambah cahaya muka Jin Kian Pah-cu berseri girang. Ia mengeluarkan sebuah kotak
kumala dan menuang sebutir pil yang terbungkus lilin. Selekas lilin dipecah maka berhamburan hawa yang
luar biasa harumnya. Pil berwarna biru itu lalu dimasukkan ke mulut Hun-ing.
Lo-seng memperhatikan wajah Leng Tiong-siang menampil kerut keheranan. Mulutnya hendak bergerak
membuka suara tetapi tak jadi.
Sekonyong-konyong Siau Lo-seng teringat sesuatu yang terjadi pada diri Puteri Neraka. Bukankah Im-kian-li
itu telah berobah menjadi seorang manusia yang hilang kesadaran pikirannya dan tak ubah seperti mayat
hidup?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jin Kian Pah-cu,” cepat Siau Lo-seng berteriak keras-keras, “apakah engkau hendak menjadikan dia
seorang mumi……”
Siau Lo-seng terus loncat menerjang dengan pedang Ular Emas.
Namun Jin Kian Pah-cu hanya tertawa dingin dan menyurut mundur. Serempak dengan itu empat dayang
baju biru pengawal Jin Kian Pah-cu, serentak maju menyongsong Siau Lo-seng.
Walaupun tidak sesakti kepandaian Im-kian-li tetapi karena mereka maju berempat, terpaksa Siau Lo-seng
harus waspada. Cepat pemuda itu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya yang terpaksa harus
mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba Leng Tiong-siang meluncur ke dekat Im-kian-li dan mengawasinya dengan cermat.
“Wanita ini bukankah Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li yang telah menghilang sejak empatpuluh tahun yang lalu?
Mengapa sekarang dia menjadi seperti begini……“ tiba-tiba Leng Tiong-siang berkata.
Jin Kian Pah-cu mendengus,
“Ah, kiranya engkau masih mengenalinya. Sayang dia sudah tak kenal lagi padamu…...”
Seketika cahaya muka Leng Tiong-siang berobah, serunya dengan nada gemetar.
“Hm, engkau seorang wanita beracun. Wajahmu secantik bidadari tetapi hatimu seganas ular berbisa.
Sungguh tak kukira, bahwa engkau sampai hati untuk menurunkan tangan ganas kepada sumoaymu
sendiri……”
Siau Lo-seng terbeliak kaget. Pikirnya. “O, kiranya Im-kian-li ini wanita yang diagungkan oleh dunia
persilatan sebagai Jelita nomor satu dalam dunia……”
Tetapi pada lain kilas menggigillah hati Lo-seng demi teringat akan perbuatan ganas dari Jin Kian Pah-cu
yang amat kejam sampai hati menjadikan sumoaynya sendiri seorang mumi atau mayat hidup.
Jin Kian Pah-cu mengerut dahi tetapi sesaat kemudian ia tertawa hambar.
“Itu urusan antara aku dan sumoayku sendiri. Lebih baik engkau jangan ikut campur. Dan lekaslah engkau
mengejar Keng-hun-pit itu saja. Karena kalau terlambat, mungkin pusaka itu sukar engkau dapatkan lagi!”
Mendengar itu Siau Lo-seng cepat berpaling. Dilihatnya saat itu diam-diam Li Giok-hou sudah menyelinap
tiga-empat tombak jauhnya. Rupanya sudah bersiap-siap hendak kabur.
Ketika mendengar kata-kata Jin Kian Pah-cu, kejut Giok-hou bukan kepalang. Dan karena jejaknya sudah
diketahui, iapun segera enjot tubuh melarikan diri.
“Berhenti!” bentak sesosok tubuh baju putih yang bagaikan bintang jatuh, sudah meluncur ke muka Giokhou
lalu mendorongkan kedua tangannya.
Giok-hou masih belum jelas siapa yang menghadang jalannya itu. Bahwa tahu-tahu ia rasakan
segelombang tenaga sakti melanda dengan gugup ia terus memutar Keng-hun-pit untuk melindungi diri.
Ternyata langkah yang diambil Giok-hou itu memang tepat. Sesaat penghadang baju putih itu atau yang
ternyata Leng Tiong-siang, lupa bahwa Keng-hun-pit itu sebuah pusaka yang khusus diciptakan untuk
menghapus tenaga dalam lawan.
Begitu pukulan beradu dengan ujung pit. Leng Tiong-siang mengerang tertahan dan terhuyung mundur
sampai tiga langkah.
Sedangkan Giok-hou juga menggigil bahunya karena pukulan lawan, tetapi ia cepat mengetahui bahwa
Keng-hun-pit nya itu dapat mengatasi lawan. Kesempatan itu sudah tentu tak dia sia-siakannya. Cepat ia
menerjang maju sambil taburkan Keng-hun-pit.
Tetapi ternyata Giok-hou telah salah hitung. Leng Tiong-siang bukan tokoh sembarangan. Sesaat
menyadari kalau salah langkah, segera ia kerahkan tenaga dalam ke arah lengan kirinya. Ia menduga Giokhou
tentu akan menyerang lagi.
Dan ternyata dugaan itu memang tepat. Pada saat Giok-hou menerjang. Leng Tiong-siang segera
menyongsong dengan sebuah pukulan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar jeritan ngeri ketika Giok-hou terlempar sampai jungkir balik tiga kali di udara. Ketika jatuh pada
jarak tiga tombak jauhnya, pemuda itu sampai dua kali muntah darah. Jelas dia menderita luka yang tidak
ringan.
Rupanya Leng Tiong-siang benci sekali kepada Giok-hou yang dianggapnya kejam dan ganas. Segera ia
loncat ke muka pemuda itu dan lepaskan sebuah tendangan ke arah kepala Giok-hou. Apabila kena
tendangan maut itu tentu akan memberantakan benak pemuda itu.
Tetapi lagi-lagi terjadi rintangan. Kali ini datangnya dari empat dayang baju biru yang berhamburan loncat
ke muka Giok-hou lalu serempak menghantam.
Leng Tiong-siang terkejut. Buru-buru ia lepaskan sebuah pukulan Biat-gong-ciang untuk menyongsong.
Walaupun tidak sesakti Im-kian-li, namun ke empat dayang itupun tergolong jago silat yang tinggi
kepandaiannya. Tetapi karena mereka menyerang berempat, tenaganya pun bukan kepalang dahsyatnya.
Benturan adu pukulan itu hanya menyebabkan mereka berempat terpental ke udara tetapi dapat melayang
turun pula dengan selamat.
Leng Tiong-siang marah. Dengan diantar gemboran keras, ia ayunkan tangan kanannya.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu loncat menghampiri, mencengkeram tubuh Li Giok-hou seraya membentak
keempat dayang itu: “Mundur, jangan berani menyambuti pukulannya.”
Keempat dayang itupun cepat loncat menghindar.
Makin marah Leng Tiong-siang karena pukulannya mengenai angin kosong. Serunya kepada Jin Kian Pahcu:
“Ui Siu-bwe, apakah engkau hendak cari perkara dengan aku?”
Jin Kian Pah-cu tertawa melengking.
“Ah, mana aku berani cari gara-gara dengan kau,” sahutnya. “aku hanya ingin membantu kepada Leng
Tiong-siang yang berwajah dingin tetapi berhati panas, supaya jangan mengadakan pembunuhanpembunuhan
yang berdosa.”
“Lepaskan budak itu!” seru Leng Tiong-siang dengan wajah makin membeku.
Jin Kian Pah-cu lepaskan tangan dan jatuhlah Giok-hou terkulai di tanah.
“Budak ini sudah kulepas,” Jin Kian Pah-cu tertawa.
Tetapi rupanya Leng Tiong-siang masih kurang puas karena Giok-hou masih berada di muka wanita itu.
“Hai, mengapa engkau tak mau lekas menyerahkan Keng-hun-pit? Apakah harus menunggu aku turun
tangan?” serunya kepada Giok-hou.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu tertawa mengikik.
“O, kiranya Leng Tiong-siang hanya menghendaki pit itu. Kukira engkau suka pada budak busuk ini. Kalau
begitu, terimalah benda ini!”
Menyambar Keng-hun-pit di tangan Giok-hou, Jin Kian Pah-cu segera melemparkan ke arah Leng Tiongsiang.
Setitikpun Leng Tiong-siang tak mengira bahwa begitu mudah sekali Jin Kian Pah-cu mau menyerahkan
pusaka yang menjadi idam-idaman kaum persilatan kepadanya. Dengan tersipu-sipu merah, Leng Tiongsiang
menyambuti benda itu.
Siau Lo-seng terkejut. Ia mempunyai kesan tak baik terhadap Leng Tiong-siang karena orang tua itu sudah
tak mempedulikan keselamatan jiwa Cu-ing. Dia teringat pula akan keterangan orang tua peniup seruling
bahwa Leng Tiong-siang yang muncul sekarang ini bukanlah Leng Tiong-siang yang aseli.
Kini Jin Kian Pah-cu telah memberikan pusaka sakti semacam Keng-hun-pit kepada Leng Tiong-siang.
Walaupun Lo-seng tidak mempunyai keinginan untuk memilikinya, tetapi ia tak rela kalau pusaka itu sampai
jatuh ke tangan seorang seperti Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serentak timbul keputusannya untuk menggagalkan peristiwa itu. Siau Lo-seng segera loncat menyambar
Keng-hun-pit.
Sudah tentu Leng Tiong-siang marah sekali. Serentak ia lepaskan sebuah pukulan Biat-gong-ciang ke arah
anak muda itu, sedang tangan kirinya berusaha untuk menyambar Keng-hun-pit.
Siau Lo-seng memang tak menginginkan pit pusaka itu. Cepat ia menghindar ke samping lalu menghantam
Keng-hun-pit.
Terkena hantaman Siau Lo-seng, Keng-hun-pit mencelat ke samping.
Karena tangan kirinya menyambar angin, cepat Leng Tiong-siang berputar sembilanpuluh derajat lalu
melayang ke arah Keng-hun-pit.
Seorang albojo baju hitam dari Ban-jin-kiong yang kebetulan berdiri disamping, cepat geliatkan tubuh untuk
menyambar pit itu. Tetapi dia terhuyung-huyung sampai setombak jauhnya akibat hebatnya tenaga luncur
Keng-hun-pit.
Keempat dayang baju biru, bagaikan kupu-kupu serentak berhamburan menyerang. Baru algojo baju hitam
itu berdiri tegak, ia sudah dikurung oleh keempat dayang dan diserang.
Melihat itu Leng Tiong-siang menggembor dan menghantam keempat dayang itu. Kala ini ia gunakan
tenaga penuh untuk menghantam sehingga sampai mengeluarkan deru angin yang keras.
Tetapi ketika angin pukulan tiba, keempat dayang itu serempak melambung ke udara sampai dua tombak
tingginya. Bagaikan dua pasang kupu-kupu berterbangan meluncur dari udara, mereka meluncur turun dan
menyerang algojo baju hitam lagi.
Sudah tentu algojo baju hitam itu amat kaget. Cepat ia mainkan golok gergajinya untuk melindungi diri
seraya menyurut mundur sampai setombak jauhnya.
Sekonyong konyong Jin Kian Pah-cu meluncur ke belakang algojo baju hitam itu lalu menghantam
punggungnya.
Tindakan Jin Kian Pah-cu itu mengejutkan orang. Mereka tak menyangka bahwa seorang tokoh, setingkat
kedudukannya seperti Jin Kian Pah-cu, ternyata mau menyerang dari belakang pada seorang anak buah
barisan dari Ban-jin-kiong.
Tetapi peristiwa yang tak terduga-duga telah terjadi. Algojo baju hitam yang mengenakan kerudung muka
hitam itu menggembor keras. Tangan kiri memainkan golok ke arah keempat dayang. Tangan kanan tibatiba
mengarahkan Keng-hun-pit pada Jin Kian Pah-cu yang menyerang dari belakang. Kemudian masih
menyusuli dengan tendangan berantai.
Terdengar jerit melengking tajam dan lambung Jin Kian Pah-cu pun termakan sebuah tendangan sehingga
tersurut mundur sampai tiga langkah.
Jin Kian Pah-cu tercengang kejut seolah-olah tak percaya apa yang dialaminya saat itu.
Siau Lo-seng pun terkejut. Ia tak menyangka bahwa dalam barisan algojo Ban-jin-kiong yang terdiri dari
empatpuluh tujuh orang itu ternyata masih terdapat seorang jago yang berkepandaian sedemikian
hebatnya.
Sejenak memandang orang baju hitam itu, meluaplah hawa pembunuhan pada dahi Jin Kian Pah-cu. Ia
tertawa mengikik.
“Sungguh tak kira. Kalau parit hampir dapat menterbalikkan perahu. Hampir saja aku kena engkau kelabuhi.
Setengah hari berada di sini, kiranya baru kuketahui kalau cu-jin (ketua) bersembunyi di dalam barisan
Algojo. Sungguh pintar sekali……”
Tiba-tiba algojo baju dan berkerudung muka hitam itu menengadahkan kepala tertawa panjang. Tiba-tiba ia
mencabut kain kerudung muka dan segera tampaklah sebuah wajah yang berlainan. Rambutnya mirip
seperti seorang imam tetapi wajahnya masih tetap tertutup oleh sebuah kain sutera hitam.
Melihat orang itu serentak Siau Lo-seng pun berseru: “Ketua Ban-jin-kiong, Ban Jin-hoan.”
“Ayah……” serentak Li Giok-hou pun berteriak kaget. Dia sendiri juga tak pernah menyangka bahwa ketua
Ban-jin-kiong itu akan menyelundup ke dalam barisan Algojo baju hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bagai seorang anak yang menderita dilukai orang, serta merta Li Giok-hou lari menghampiri ketua Ban-jinkiong
itu.
“Plak, plak……!”
Bukan tegur sapa yang mesra tetapi dua buah tamparan ke pipi yang diperoleh Li Giok-hou dari ketua Banjin-
kiong itu. Karena tak menyangka, pipi Giok-hou pun begap dan mengucurkan darah.
Tamparan itu aneh sekali. Tiada seorangpun yang tahu cara ketua Ban-jin-kiong menampar. Yang diketahui
orang hanya dia gerakkan tangan dan tahu-tahu Giok-hou sudah begap pipinya.
“Ayah……,” Giok-hou menjerit.
Ketua Ban-jin-kiong tak menghiraukan. Ia mengangkat tangan dan menampar lagi.
Tamparan itu memang aneh Giok-hou tahu tangan ayahnya melayang tetapi dia tak berani menghindar.
Dan andaikata ia berani pun tak mungkin dapat menghindar. Seketika ia rasakan kepalanya pening dan
darah menyembur dari mulutnya.
Dua buah tamparan yang belakangan itu, rupanya lebih berat dari yang tadi. Telinga Giok-hou sampai
tergiang-ngiang dan tubuhnya menggigil keras.
“Hou-ji, tahukah engkau kesalahanmu?” tegur ketua Ban-jin-kiong.
Wajah Giok-hou berobah. “Bluk,” seketika ia jatuhkan diri dan berseru dengan nada gemetar: “Ya, aku
merasa bersalah, mohon dihukum.”
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu tertawa mengekeh, “Ban Jin-hoan, kalau mau mengurus urusan rumah tangga,
silahkan pulang dulu, hi, hi……”
Wanita itu berseru pula, “Ban Jin-hoan, sekarang aku hendak membuat perhitungan dengan engkau.
Beberapa hari yang lalu engkau telah menyelundup masuk ke dalam Lembah Kumandang dan membunuh
tujuhbelas anak buahku. Sebenarnya hendak kuberi tanda mata kepada anakmu yang manis itu supaya
melapor kepadamu. Tetapi tak kira engkau sudah datang sendiri.”
Tampak ketua Ban-jin-kiong berputar diri dan berkata tenang,
“Aku, Ban Jin-hoan, selalu menarik garis antara budi dan dendam. Setiap budi tentu kubalas, setiap dendam
kuhimpaskan. Karena aku sudah tiba kemari, tentu akan menyelesaikan urusan ini dengan engkau. Tetapi
harap tunggu setelah kubereskan beberapa persoalan.”
Dia kebutkan lengan baju dan berseru kepada Li Giok-hou: “Hou-ji mengapa tak lekas bangun?”
Dengan beringsut-ingsut Giok-hou bangun lalu berkata dengan gemetar: “Terima kasih atas budi ayah yang
telah memberi keringanan hukuman atas kesalahanku mencemarkan nama ayah.”
Siau Lo-seng terkejut, pikirnya “Huh, mengapa karena kepandaiannya kalah dengan orang dia dianggap
mencemar nama baik Ban Jin-hoan? Lucu benar……”
Saat itu cuaca sudah gelap. Suasana di gelangang pun sunyi senyap. Tiada seorangpun yang berani buka
suara. Juga tiada yang berani bergerak.
Sapasang mata Ban Jin-hoan berkilat-kilat memandang ke sekeliling penjuru, ke setiap orang yang berada
di tempat itu. Seolah-olah hendak membaca hati setiap orang.
Terakhir ia mencurahkan pandang matanya ke arah Leng Tiong-siang.
“Leng Tiong-siang!” serunya pelahan-lahan. “apakah engkau masih ingat akan janji pada delapanbelas
tahun berselang?”
12.58. Pendeta Sakti, Tay Hui Sin-ni
Sahut Leng Tiong-siang dengan dingin,
“Mengapa tidak?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus!” seru Ban Jin-hoan dengan nada sarat, “Sekarang aku hendak bertanya kepadamu. Menurut
perjanjian itu cara bagaimanakah aku akan mengembalikan Keng hun-pit?
“Setelah delapanbelas tahun, akan minta kepadamu,” sahut Leng Tiong-siang,
“Kalau sudah tahu harus minta kembali kepadaku, mengapa engkau menggunakan kekerasan untuk
merebut dari tangan Giok-hou? Apakah engkau hendak menelan janjimu lagi?”
Pertanyaan itu membuat Leng Tiong-siang tak dapat menjawab. Beberapa saat kemudian baru tiba-tiba ia
berteriak marah: “Ngaco belo! Sekarang sudah delapanbelas tahun lewat beberapa bulan. Mengapa aku tak
boleh mengambil kembali milikku?”
Mendengar pembicaraan itu, seketika timbul kesan dalam hati Siau Lo-seng. Makin jelas bahwa Leng
Tiong-siang yang berada di tempat itu seorang Leng Tiong-siang palsu.
Buktinya, mengapa Leng Tiong-siang tersebut tak mau terang-terangan meminta pusakanya kepada ketua
Ban-jin-kiong? Bukankah sudah beberapa kali dia bertemu dengan ketua Ban-jin-kiong itu. Mengapa begitu
melihat Keng-hun-pit berada di tangan Giok-hou. Leng Tiong-siang itu terus berkeras hendak merebutnya?
Tengah Siau Lo-seng, terbenam dalam penilaian-penilaian mengenai diri Leng Tiong-siang itu sekonyongkonyong
dari arah belakang terdengar seseorang berseru dengan nada yang lembut:
“Ban Jin-hoan, apabila Leng Tiong-siang dapat merebut Keng-hun-pit, yang salah adalah orang sendiri
mengapa tak mau menjaganya. Mengapa engkau mengatakan Leng Tiong-siang melanggar janji?”
Suara itu datangnya sangat tiba-tiba sehingga mengejutkan sekalian orang dan cepat-cepat mereka
berpaling ke arah suara itu.
“Tay Hui Sin-ni……” serempak berteriaklah Leng Tiong-siang dan Ban Jin-hoan demi melihat pendatang itu.
Ketika Siau Lo-seng berpaling, diapun terkejut. Cu-ing yang menderita luka dan ditidurkan di atas rumput
tadi, entah kapan, tahu-tahu saat itu sudah duduk bersila menyalurkan pernapasan.
Dan di belakang dara itu tegak berdiri seorang rahib tua yang berwajah ramah. Rahib tua itu bukan lain
yalah Tay Hui Sin-ni, suhu dari Cu-ing.
Bahwa Tay Hui Sin-ni muncul tanpa diketahui sama sekali telah mengejutkan sekalian tokoh yang hadir di
tempat itu. Jelas rahib tua itu telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu gin-kang
Kejut ketua Ban-jin-kiong tak terkira. Namun ia cepat menutupi rasa resah hatinya dengan tertawa meloroh.
“Pertemuan hari ini benar-benar menggembirakan sekali. Karena tak kuduga akan bertemu kembali dengan
para sahabat lama dari empatpuluh tahun yang lalu. Karena Tay Hui Sin-ni mengatakan begitu, akupun tak
boleh tidak akan menurut saja untuk mengembalikan pusaka itu kepada Leng-heng.”
“Memang sepantasnya begitu,” Jin Kian Pah-cu tertawa.
Ban Jin-hoan mengangkat Keng-hun-pit tinggi-tinggi ke atas kepala dan berseru:
“Saat ini aku Ban Jin-hoan hendak melaksanakan perjanjian pada delapanbelas tahun yang lalu dengan ini
hendak mengembalikan benda pusaka kepada pemiliknya……”
Tiba-tiba Siau Lo-seng loncat ke muka dan berseru: “Tidak, jangan mengembalikan pusaka itu kepadanya.
Dia tak layak memiliki Keng-hun-pit!”
Saat itu Leng Tiong-siang sudah tampil ke muka hendak menyambut Keng-hun-pit. Sudah tentu dia marah
sekali karena Siau Lo-seng merintangi.
“Hai, budak semacam engkau berani mencampuri urusan ini? Keng-hun-pit adalah milikku mengapa engkau
berani mengatakan aku tak layak menerimanya?”
Siau Lo-seng mendengus dingin:
“Engkau sendiri tentu dapat mengetahui, apakah engkau layak menerima pusaka itu?”
Marah Leng Tiong-siang bukan kepalang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hm, budak liar, rupanya engkau telah makan hati macan sehingga berani mengurus aku. Apabila engkau
tak dapat memberi keterangan yang benar, terpaksa aku akan melanggar pantangan membunuh untuk
menghancurkan tubuhmu.”
Siau Lo-seng menengadahkan kepala tertawa keras. Kemudian berseru dingin:
“Apakah engkau masih mempunyai muka untuk mengatakan bahwa engkau ini Leng Tiong-siang yang
sesungguhnya? Sungguh tak punya malu! Apakah engkau kira penyamaranmu tiada orang yang tahu?”
Kata-kata Siau Lo-seng itu telah menimbulkan kegemparan besar di kalangan tokoh-tokoh yang hadir di
tempat itu. Sekalian orang sama, mencurah pandang ke arah Leng Tiong-siang. Tetapi anehnya, ketua Banjin-
kiong tetap tenang-tenang saja.
Tampak Leng Tiong-siang tertegun. Cahaya wajahnya berobah. Sebentar merah sebentar pucat.
Melihat perobahan warna muka makin teballah kecurigaan Siau Lo-seng bahwa dia itu memang Leng
Tiong-siang palsu.
“Bagaimana, bukankah engkau sudah tak menyangkal lagi?” serunya gembira.
Berpuluh mata yang mencurah ke arah Leng Tiong-siang itu, penuh dengan keheranan, kaget dan
bermacam-macam penilaian kepada orang itu.
Sesungguhnya Leng Tiong-siang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Tetapi ia menyadari bahwa
perhatian sekalian tokoh tengah tertumpah kepada dirinya. Maka cepat-cepat ia membersihkan wajah dan
bersikap dingin lagi,
“Jika engkau menuduh aku bukan Leng Tiong-siang, jelas engkau menghamburkan fitnah beracun. Kalau
engkau tak dapat mengemukakan bukti-bukti tuduhanmu, aku tentu akan mencabut nyawamu!” serunya
dalam nada sedingin es.
Kini mata sekalian orang beralih memandang ke arah Siau Lo-seng.
Tenang-tenang Siau Lo-seng berseru: “Apakah engkau hendak mendesak supaya aku membuka
rahasiamu……”
“Budak, katakanlah rahasiaku itu,” teriak Leng Tiong-siang malah.
Siau Lo-seng tertawa dingin. Saat itu ia hendak mengatakan tentang keterangan dari orang tua peniup
seruling tetapi pada lain kilas ia teringat bahwa dengan berbuat begitu berarti ia memberitahu kepada
sekalian orang tentang rahasia orang tua peniup seruling itu. Ah……
“Baiklah sekatang engkau boleh memberi keterangan. Bagaimana engkau dapat membuktikan kalau
engkau ini Leng Tiong-siang yang sesungguhnya,” cepat Siau Lo-Seng beralih dengan pertanyaan.
“Aku tetap aku!” seru Leng Tiong-siang murka, “Dewi Mega Ui Siu-bwe, Ban Jin-hoan dan Tay Hui Sin-ni
adalah kawan-kawan lama pada empatpuluh tahun yang lampau. Mereka dapat membuktikan bahwa aku ini
Leng Tiong-siang. Pada masa aku mengangkat nama di dunia persilatan empatpuluh tahun yang lalu,
engkau masih belum keluar dari rahim ibumu. Mengapa engkau berani mengoceh tak keruan, huh, budak
hina, engkau harus dilenyapkan……!”
Leng Tiong-siang menutup kata-katanya dengan dorongkan kedua tangannya menghantam. Karena marah,
dia sudah menggunakan tenaga sepenuhnya untuk menyerang. Dapat dibayangkan betapa kedahsyatan
dari pukulannya itu.
Siau Lo-seng memang diam-diam sudah berjaga-jaga sudah menduga Leng Tiong-siang tentu akan marah
dan menyerangnya.
Maka begitu Leng Tiong-siang bergerak, iapun menyerempaki memutar pedang Ular Emas untuk
melindungi diri lalu ayunkan tangan kiri untuk menghantam.
“Bum……”
Terdengar letupan keras. Tubuh Siau Lo-seng bersama pedangnya mencelat sampai dua tombak tingginya.
Dia berjumpalitan di udara dan melayang turun ke bumi dengan gerak yang indah sekali.
“Bagus……!” serempak terdengar seruan memuji dari orang-orang yang berada di gelanggang itu.
Siau Lo-seng tegak berdiri dengan wajah tenang dan tenang-tenang pula ia berseru:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukankah tindakanmu itu membuktikan bahwa karena rahasiamu terbongkar engkau lalu marah?”
Gemetar sekujur tubuh Leng Tiong-siang karena menahan kemarahannya. Namun dengan nada dingin ia
berseru pula:
“Tutup mulutmu, budak! Aku sudah menunjuk tiga orang sebagai saksi. Apabila engkau masih tak bisa
mengunjukkan bukti, saat ini juga engkau tentu kubunuh!”
Masih Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Wajahmu engkau tutupi dengan sebuah kedok muka Leng Tiong-siang dan engkaupun dapat menirukan
sikap dan tingkah lakunya dengan bagus sekali. Siapakah yang tepat mengatakan engkau ini palsu atau
tulen?”
“Mereka dapat mengenali nada suaraku ini tulen atau palsu!” teriak Leng Tiong-siang.
“Sudah berselang empatpuluh tahun dan pula jarang bertemu muka. Sudah tentu sukar untuk mengenali
nada suara orang. Bagaimana bisa disuruh membedakan yang palsu dari yang aseli?”
Tiba-tiba Leng Tiong-siang menengadahkan muka dan tertawa panjang, sampai tubuhnya bergetar-getar.
Selekas berhenti tertawa, dia terus berseru dengan bengis:
“Dengan Tay Hui Sin-ni, Ban Jin-hoan dan Dewi Mega Ui Siu-bwe, bukan empatpuluh tahun lalu aku tak
ketemu. Yang terakhir aku bertemu mereka pada delapanbelas tahun yang lalu. Sudah tentu mereka masih
iugat pada diriku. Sekarang aku hendak mempersilahkan mereka untuk mengenali diriku.”
Siau Lo-seng anggap saran itu memang benar. Dia setuju dan mempersilahkan ketiga tokoh itu untuk
memeriksa.
Maka pandang mata sekalian orang kini beralih pada ketiga tokoh besar itu.
Pertama-tama adalah ketua Ban-jin-kiong yang membuka suara.
“Walaupun hanya berpisah delapanbelas tahun, tetapi perobahan-perobahan memang banyak terjadi.
Misalnya, yang kecil akan bertambah dewasa. Terus terang aku memang tak dapat mengenali dengan
tepat.”
Sehabis ketua Ban-jin-kiong menyatakan pendapat maka kini mata sekalian orang memandang ke arah Jin
Kian Pah-cu.
“Walaupun selama delapanbelas tahun terjadi banyak perobahan, tetapi dia tetap Leng Tiong-siang, salah
seorang dari Empat tokoh aneh yang termasyhur pada empatpuluh tahun berselang.”
Mendengar itu berseri gembiralah wajah Leng Tiong-siang. K.emudian dia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni.
Saat itu Cu-ing sudah berdiri dan sandarkan kepala ke bahu Tay Hui Sin-ni. Mata dara itu memandang Siau
Lo-seng dengan mesra lalu memandang wajah suhunya.
Keterangan dari rahib itu merupakan keputusan yang penting. Karena dari tiga tokoh, yang satu yakni ketua
Ban-jin-kiong meragukan tetapi yang seorang yakni Jin Kian Pah-cu membenarkan keaselian Leng Tiongsiang.
Suasana hening lelap menanti keputusan dari mulut Tay Hui Sin-ni.
Sejenak rahib itu sapukan pandang mata ke arah sekalian orang lalu pelahan-lahan membuka mulut dan
berkata dengan serius:
“Kurasa dia memang benar Leng Tiong-siang……”
Mendengar itu longgarlah kesesakan dada sekalian orang. Demikian Leng Tiong-siang. Wajahnya berseriseri
dan berpaling memandang Siau Lo-seng.
Tampak Siau Lo-seng seperti orang yang berdiri di atas bara. Ia menyeringai menghadapi pandang mata
sekalian orang.
“Bagaimana, apakah engkau masih membela diri lagi?” tegur Leng Tiong-siang
dunia-kangouw.blogspot.com
Keadaan Siau Lo-seng benar-benar bagai seorang pesakitan yang menghadapi para hakim. Mendengar
tegur Leng Tiong-siang yang bernada mengejek itu, marahlah dia.
“Keterangan orang banyak, belum tentu pasti benar. Mungkin mereka kurang cermat sehingga tak dapat
meneliti jelas dirimu,” serunya.
Mendengar itu Leng Tiong-siang hendak marah tetapi tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong berseru.
“Leng Tiong-siang, mengapa tak engkau unjukkan barang sebuah dua buah ilmu kepandaianmu yang
istimewa untuk membuktikan dirimu itu aseli?”
Ucapan itu telah menyadarkan sekalian tokoh dari kelupaannya. Dan Leng Tiong-siang pun segera tertawa
dingin, serunya:
“Ya, ya, mengapa aku lupa hal itu. Sekarang akan kupersilahkan engkau menikmati sebuah ilmu pukulan
Peng-thian-jo-kut-ciang (pukulan dingin) untuk membuktikan diriku ini Leng Tiong-siang atau bukan.”
Kata-kata itu penuh mengandung luap kemarahan dan dendam pembunuhan. Dengan langkah sarat, ia
maju menghampiri Siau Lo-seng.
Saat itu pikiran Siau Lo-seng kacau balau. Setitikpun ia tak mengira bahwa Tay Hui Sin-ni yang
dianggapnya seorang rahib suci yang menjunjung keadilan, ternyata mengakui bahwa orang yang berada di
tempat itu memang benar Leng Tiong-siang yang aseli.
“Adakah pengamatan orang tua peniup seruling itu salah?” pikirnya. “Ah, tidak,” ia membantah pikirannya
sendiri. Bukan karena ia percaya secara membabi buta kepada orang tua peniup seruling itu. Tetapi
memang kecerdasan otaknya juga mempunyai penilaian begitu. Dan ia yakin akan penilaiannya itu.
Adalah karena terbenam dalam renungan, ia sampai lupa akan keadaan dirinya dan suasana tempat itu.
Melihat itu Cu-ing gugup dan terus memeluk suhunya seraya berseru: “Siau koko……”
Jeritan dara itu telah menyadarkan lamunan Siau Lo-seng. Begitu pula, saat itu ia telah memperoleh
keputusan yang pasti. Dia tetap yakin bahwa Leng Tiong-siang yang berada di hadapannya itu adalah
palsu.
Cepat ia kerahkan tenaga dalam ke seluruh tubuh lalu mengambil sikap. Tegak sekokoh batu karang sambil
siapkan pedang Ular Emas.
“Baik, aku akan menyambut pukulan Peng-thian-joh-kut-ciang,” serunya.
Tay Hui Sin-ni yang bermata tajam sudah tentu mengetahui juga ulah tingkah muridnya itu. Ia tahu bahwa
muridnya itu telah menaruh hati pada Siau Lo-seng, pemuda yang tampak bersikap angkuh dan yakin itu.
Dan sebagai suhu, ia kenal baik akan perangai Cu-ing. Demikian pula, dalam kedudukan sebagai seorang
guru pula, iapun wajib memikirkan kepentingan muridnya.
Tay Hui Sin-ni cukup tahu betapa kesaktian pukulan Peng-thian-jo-kut-ciang dari Leng Tiong-siang itu.
Dengan pukulan itu pada empatpuluh tahun yang lalu, Leng Tiong-siang telah mengangkat nama dan
disanjung sebagai salah seorang Empat Serangkai tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Sekali terkena pukulan sakti itu, jalan darah di seluruh tubuh orang akan membeku dan tubuh menjadi
sedingin es. Tetapi tulang terasa panas seperti dibakar. Dalam keadaan tulang terbakar tetapi daging
membeku dingin, orang tentu akan mengalami derita siksaan yang paling mengerikan. Itulah sebabnya
maka pukulan tersebut dinamakan Peng-thian-joh-kut-ciang atau pukulan Dingin yang membakar tulang.
Leng Tiong-siang jarang menggunakan pukulan maut itu. Selama hidup, ia baru menggunakan dua kali.
Sebagai seekor anak kambing yang tak takut pada harimau, demikianlah keadaan Siau Lo-seng pada saat
menghadapi Leng Tiong-siang. Namun betapapun tinggi kepandaian anak muda itu tetap dia sukar untuk
menghadapi ilmu pukulan istimewa yang telah diyakinkan selama berpuluh tahun.
12.59. Pembuktian Kakek Berwajah Dingin
Melihat Cu-ing gelisah, Tay Hui Sin-ni tak sampai hati. Pada saat Siau Lo-seng hendak menghadapi bahaya
maut, cepat rahib itu loncat ke tengah mereka dan berseru:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Omitohud! Salah dan benar, tulen dan aseli, hanya selintas angan-angan belaka. Keng-hun-pit memang
sebuah benda pusaka yang jarang terdapat di dunia, tetapi benda itu dapat dikata merupakan sebuah
benda yang tidak membawa kebahagiaan. Duaratus tahun yang lalu benda itu telah menimbulkan
pertumpahan darah besar. Dan sejak empatpuluh tahun yang lalu telah dimiliki oleh Leng Tiong-siang.
Tetapi seratus tahun kemudian, siapakah yang tahu benda itu akan jatuh di tangan siapa? Demi benda itu
Leng Tiong-siang pun telah melakukan pembunuhan-pembunuhan berdarah. Adakah tak menyadari akan
kodrat Kebenaran Manusia Hidup?”
Berhenti sejenak, rahib itu melanjutkan pula:
“Sang Buddha bersabda: pohon Bodi itu sesungguhnya bukan pohon. Cermin itu tiada bayangan dan Asal
itu sebenarnya Hampa. Mengapa harus melumurkan diri dengan debu kekotoran?
“Siau sauhiap tiada mengandung rasa hendak memiliki dan Leng Tiong-siang pun telah menunggu dengan
sabar sampai empatpuluh tahun. Mengapa harus menghilangkan kesabaran itu dan hendak berebut?”
Ucapan rahib yang mengandung falsafah hidup yang baik itu membuat Siau Lo-seng kagum dan
mengindahkan. Tetapi dalam pada itu iapun tahu bahwa rahib itu telah salah menilai bahwa ia hendak
menginginkan Keng-hun-pit sehingga menimbulkan perebutan dengan Leng Tiong-siang.
Siau Lo-seng hendak memberi penjelasan tetapi Leng Tiong-siang telah mendahului.
“Ucapan Sin-ni penuh mengandung nasehat yang baik sehingga orang tersadar dan mendapat penerangan
hidup. Aku bukan seorang manusia yang liar. Hanya karena sikap budak itu keliwat batas dan keliwat
mendesak orang maka aku sampai lupa diri. Kalau tidak masakan seorang tua semacam diriku mau
meladeni seorang budak yang tak ternama semacam dia?”
Mendengar kata-kata Leng Tiong-siang itu. Siau Lo-seng hendak membantah tetapi Tay Hui Sin-ni
mencegahnya dengan kedipan mata.
Berkatalah pula rahib itu,
“Setiap jengkal tanah setiap orang tentu menginginkan. Leng sicu memang pandai dan cerdas sehingga
dalam waktu sekejap dapat menilai sesuatu yang menguntungkan. Tetapi seratus tahun hidup manusia itu,
dalam sekejap tentu sudah lewat. Hanya sekejap mata, selintas angan-angan. Demikian sabda sang
Buddha. Kiranya Leng sicu tentu menyadari hal itu pula.”
Tay Hui Sin-ni berhenti sekejap memandang Siau Lo-seng lalu melanjutkan lagi,
“Tetapi mencari kebenaran memang sudah menjadi kodrat manusia. Maksud Siau sauhiap mendesak Leng
sicu untuk membuktikan keaselian diri sicu itu, tak lain maksudnya untuk menjaga agar pusaka itu tak jatuh
di tangan orang yang tak baik. Dalam hal itu, Leng sicu tak perlu harus mengunjukkan bukti pukulan yang
dapat membahayakan jiwa orang. Cukuplah apabila Leng sicu mengunjukkan pedang yang termasyhur
pada empatpuluh tahun yang lalu yakni Leng-hong-kiam.”
Suasana yang tegang regang penuh bertebaran hawa pembunuban, hanya dengan beberapa patah
perkataan saja dapatlah ditenangkan oleh Tay Hui Sin-ni.
Diam-diam Siau Lo-seng pun mengagumi dan menaruh perindahan tinggi kepada Tay Hui Sin-ni yang
memiliki peribadi dan wibawa kuat. Memang dengan cara penyelesaian itu, dapatlah persoalan dapat
diselesaikan tanpa membawa korban jiwa manusia.
Di luar dugaan, penyelesaian sederhana sekali seperti yang diajukan Tay Hui Sin-ni itu telah menimbulkan
reaksi besar pada Leng Tiong-siang.
Seketika wajah Leng Tiong-siang menyeringai dan sepasang matanya memancarkan kilat dendam
kemarahan dan bara permusuhan yang membuat tubuhnya sampai menggigil…….
Beberapa saat kemudian baru dia tampak tenang kembali dan berseru dengan dingin:
“Pedang Leng-hong-kiam itu telah hilang empatpuluh tahun yang lalu. Maaf, aku tak dapat melakukan
permintaan Sin-ni.”
Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni menghela napas.
“Peristiwa hilangnya pedang Leng-hong-kiam itu tiada seorang kaum persilatan yang tahu. Demi
menyelesaikan persoalan hari ini, harap Leng sicu suka menuturkan tentang peristiwa itu, dimana tempat
hilangnya dan jatuh ke tangan siapa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hanya sedikit yang dapat kuterangkan,” kata Leng Tiong-siang, “pada waktu aku mengunjungi pertemuan
besar di gunung Thian-san, pedang itu telah direbut orang. Berpuluh-puluh tahun aku menyiksa diri
menyakinkan ilmu kepandaian adalah demi hendak mencari balas kepada orang itu.”
Keterangan itu telah menimbulkan kegemparan hati sekalian orang. Jika pedang seorang tokoh sesakti
Leng Tiong-siang sampai dapat direbut orang, orang itu tentu seorang tokoh silat yang luar biasa saktinya.
Siapakah gerangan orang itu?
Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni membungkukkan tubuh meminta maaf: “Maafkan kalau aku sampai membangkitkan
peristiwa lampau yang menyakitkan hati sicu. Kalau sicu tak mau mengatakan nama orang itu, baiklah,
akupun takkan memaksa. Dan aku dapat menjamin bahwa Leng sicu ini memang……”
“Keterangan dengan mulut, tidak dapat dipercaya penuh. Kaum durjana dalam dunia persilatan,
mengadakan cara apa saja untuk melakukan kejahatan. Keterangan lisan tanpa bukti, bukan suatu jaminan
kalau ucapannya itu benar,” tiba-tiba Siau Lo-seng berseru menukas.
Marahlah Leng Tiong siang seketika.
“Kukatakan, aku ini kakek moyangmu tiga angkatan yang terdahulu, bagaimana, apa engkau tidak puas?”
serunya.
“Itu hanya suatu penyelimutan untuk menghindarkan diri dari keadaan yang sebenarnya!” teriak Siau Loseng.
Cu-ing terkejut dan menjerit: “Siau toako, apakah engkau gila……”
Karena marahnya, Leng Tiong-siang sampai berbuih mulutnya.
“Budak, hari ini engkau harus mati!” teriaknya.
Tetapi Siau Lo-seng yang kukuh bahwa Leng Tiong-siang itu palsu, segera berseru lan-tang:
“Kalau engkau memang mempunyai kepandaian, tak apalah, biar aku mati sampai beberapa kali.”
Melihat keadaan sudah tak dapat diredakan diam-diam Cu-ing mengerahkan tenaga dalam. Apabila Siau
Lo-seng terancam, ia tentu akan mengadu jiwa dengan orang tua itu.
“Siau sauhiap, jangan bertindak sekehendakmu sendiri……,” cepat Tay Hui Sin-ni berseru mencegah.
Saat itu Leng Tiong-siang sudah mempersiapkan pukulannya Peng-thian-joh-kut-ciang. Wajahnya yang
putih tampak putih mayat. Telapak tangan kirinya yang putih pun berobah merah warnanya. Sedangkan
telapak tangan kanannya seperti mengeluarkan asap.
Pada saat Tay Hui Sin-ni berseru tadi, Leng Tiong-siang pun sudah mendorongkan kedua tangannya ke
muka. Tiada suara apa-apa pada gerak pukulan itu,
Siau Lo-seng menggembor keras. Kelima jari tangan kiri agak ditekuk lalu melentik kan ilmu jari Ngo-louhan-
sim-ci-keng atau Lima sinar jari pembeku hati. Sedang tangan kanannya memancarkan tenaga dalam
melalui pedang Ular Emas.
Tenaga sakti yang dipancarkan kedua orang itu sama-sama berlawanan sifatnya. Ilmu tangan sakti jari Hansin-
ci dan Kam-kong atau pancaran tenaga sakti dari pedang, termasuk tenaga keras.
Sedangkan tenaga pukulan Leng Tiong-siang itu termasuk jenis Im dan Ji, lunak dan halus sehingga sukar
untuk diketahui ukuran kesaktiannya.
Demikian kedua tenaga sakti itupun saling berbentur. Sarentak terdengar letupan yang disusul dengan deru
angin keras.
Secepat kilat Leng Tiong-siang menghindar ke samping. Bahu kanannya telah pecah dan menghamburkan
darah.
Siau Lo-seng mengerang, bersama pedangnya terlempar sampai dua tombak jauhnya. “Bum…..,” dia
terkapar di tanah tak berkutik lagi.
Cu-ing menjerit lalu lari menubruk tubuh pemuda itu. Dirasakannya tubuh Lo-seng amat dingin sekali, napas
lemah dan menggigil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Peristiwa itu terjadi terlampau cepat sekali sehingga orang tak sempat berbuat apa-apa.
Tiba-tiba Cu-ing melengking: “Aku akan mengadu jiwa dengan engkau……”
Dara itu terus menyerang Leng Tiong-siang dengan pedang.
“Cu-ing, engkau gila, lekas berhenti!” Tay Hui Sin-ni terkejut dan cepat-cepat berteriak. Rahib itu memang
kuatir kalau Leng Tiong-siang sampai marah dan memukul. Cu-ing tentu melayang jiwanya. Maka iapun
terus loncat untuk mencegah.
Tetapi suatu hal yang aneh telah terjadi. Entah karena kehabisan tenaga atau bagaimana, Leng Tiong-siang
tak bergerak walaupun ujung pedang Cu-ing sudah hampir menusuk ke tubuhnya.
Tiba-tiba ia terkejut dan cepat menggeliat untuk menghindari. Tetapi Cu-ing sudah kalap. Ia terus memburu.
Rupanya Leng Tiong-siang tak mau melukai Si nona maka dia hanya menghindar mundur tak mau balas
menyerang.
Melihat itu Tay Hui Sin-ni serba sukar. Ia heran mengapa Cu-ing sedemikian nekad hendak membela Siau
Lo-seng. Kalau ia membantu, berarti ia mengerubuti Leng Tiong-siang. Namun kalau diam saja ia kuatir Cuing
akan celaka.
Sesaat rahib itu kehilangan paham, tak tahu harus berbuat bagaimana.
“Adik Ing, mundurlah!” sekonyong-konyong terdengar Siau Lo-seng meraung sedahsyat harimau marah.
Mendengar itu Cu-ing gemetar kejut dan hentikan serangannya. Dilihatnya pemuda yang dicintainya itu
sudah berdiri dengan semangat yang perkasa. Hanya wajahnya yang menampil kedukaan dan sesal.
“Siau koko, engkau…… engkau......” Cu ing cepat lari menghampiri dan memegang bahu pemuda itu. “Tak
menderita luka?”
Siau Lo-seng gelengkan kepala:
“Jangan kuatir, tak takkan mati. Hanya aku telah kehilangan kepercayaan pada diriku sendiri. Aku telah
menduga salah…...”
Sekalian tokoh-tokoh yang berada di tempat itu memang terkejut dan heran bahwa Siau Lo-seng dapat
berdiri pula tak kurang suatu apa.
Rembulan susut menerangi cakrawala malam. Sunyi senyap di bumi yang remang.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong tertawa memecah kesunyian.
“Empatpuluh tahun tak berjumpa, ilmu pukuluan Peng-thian-joh-kut-ciang Leng-heng sudah sedemikian
sempurna. Aku orang she Ban baru terbuka mataku dan makin jelas. Aku harus menepati janjiku pada
delapanbelas tahun yang lalu untuk mengembalikan pusaka Keng-hun-pit kepada Leng-heng……”
Sepintas dengar memang ucapan ketua Ban-jin-kiong itu amat nalar sekali. Tetapi bagi pendengaran Leng
Tiong-siang tak ubah seperti ujung pedang yang menusuk ulu hatinya.
Leng Tiong-siang gemetar menahan kesedihan dan kemarahan.
Saat itu Tay Hui Sin-ni segera mengetahui mengapa Siau Lo-seng dapat bangun lagi tak kurang suatu apa.
“Omitohud,” serunya bersama sebuah helaan napas panjang dan dalam.
Leng Tiong-siang cepat kembali pada sikapnya yang dingin pula, serunya:
“Sekarang aku hendak memberi keterangan kepada kalian. Keng-hun-pit dan pedang Leng-hong-kiam itu
karena tipu siasat orang, telah jatuh di tangan orang lain. Walaupun bukan aku sendiri yang menyerahkan
kepada Ban Jin-hoan tetapi hari ini aku harus meminta kembali benda pusaka itu. Karena memang milikku.
Empatpuluh tahun lamanya aku sudah menunggu dan menderita, tiada lain tujuan lagi......”
Berhenti sejenak, sepasang matanya memancar sinar keganasan dan kemarahan.
“Karena itu, peristiwa hari ini bukanlah sebagai tak hendak menagih janji pada delapanbelas tahun yang lalu
dengan orang yang menyaru sebagai diriku. Kali ini kemunculanku ke dunia persilatan, yalah bertujuan
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak mencari orang itu dan menyelesaikan hutang piutang pada empatpuluh tahun yang lalu. Tiada
sangkut pautnya dengan urusan delapanbelas tahun yang lalu itu.”
Mendengar itu jelaslah kini Siau Lo-seng akan persoalannya. Leng Tiong-siang yang berada di tempat itu
sekarang ini, bukanlah Leng Tiong-siang yang muncul delapanbelas tahun yang lalu.
Lalu siapakah yang menyamar jadi Leng Tiong-siang pada delapanbelas tahun yang lalu itu?
Tiba pada pemikiran itu, Siau Lo-seng lalu menatap pada Leng Tiong-siang lagi.
Ban Jin-hoan tiba-tiba tertawa nyaring:
“Leng-heng sungguh seorang yang penuh kesabaran sehingga kuat menunggu sampai empatpuluh tahun.
Tak peduli bagaimana akibatnya nanti tetapi aku tentu akan mengembalikan Keng-hun-pit itu kepada Lengheng.
Dan maafkan atas kesalahanku. Kelak apabila Leng-heng memerlukan tenagaku, aku tentu siap
membantu.”
Mendengar angsuran persahabatan dari ketua Ban-jin-kiong itu, terharulah Leng Tiong-siang.
“Terima kasih, Ban-heng. Apabila saudara tak menolak, akupun ingin bersahabat dengan saudara Ban.”
Sekonyong-konyong Jin Kian Pah-cu tertawa mengikik. Nadanya penuh ejek dan sinis.
“Sejak saat ini dunia tentu akan berkabut mendung. Kalau tidak, masakan seorang ketua Ban-jin-kiong yang
berkecimpung dalam alam kekejaman, keganasan dan tipu muslihat, begitu mudah mengulurkan tangan
persahabatan kepada orang? Mungkin berita-berita dalam dunia persilatan itu benar atau omong kosong.
Tetapi apa yang tampak saat ini, Ban Jin-hoan itu ternyata seorang tokoh yang penuh semangat keluhuran
dan perwira.”
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak:
“Memang beraneka ragam cerita-cerita dalam dunia persilatan itu. Orang yang suka, tentu mengatakan
baik. Tetapi yang benci tentu mengatakan jelek. Apapun yang orang mengatakan tentang Ban-jin-kiong,
akupun menerimanya saja. Karena kuanggap nama itu tidak penting. Pendirianku yalah, apa yang
kulakukan tentu takkan mengecewakan hatiku.”
“Saudara Ban seorang yang berhati lapang dan terbuka. Sifat seorang kesatria yang aku orang she Leng
merasa kalah,” seru Leng Tiong-siang.
Mendengar Leng Tiong-siang masih belum menyadari ucapan Jin Kian Pah-cu, Tay Hui Sin-ni hanya
menghela napas.
“Apabila demikian kelapangan hati Ban sicu, silahkan di hadapan orang banyak. Ban sicu menyerahkan
kembali Keng-hun-pit itu kepada Leng Tiong-siang. Kupanjatkan kepada sang Buddha, semoga Leng sicu
mendapat penerangan agar dunia persilatan bebas dari pergolakan dan pertumpahan darah.”
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak:
“Ah, harap Sin-ni jangan terlalu mengandalkan pada doa saja. Siapakah yang dapat menduga bahwa dalam
ketenangan dunia persilatan dewasa ini mengandung bara yang akan mengobarkan pergolakan? Sin-ni
memang seorang rahib yang hidup di luar alam keduniawian, dan hampir mencapai tingkat kedewaan
tentulah dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Hukum sebab dan akibat, tentu akan menimbulkan
peristiwa-peristiwa yang panjang……”
Ban Jin-hoan hentikan kata-kata dengan tertawa yang mengandung tenaga pancaran hawa pembunuhan.
Seketika berobahlah cahaya wajah sekalian orang. Leng Tiong-siang, Jin Kian Pah-cu dan Siau Lo-seng
pun ikut tertawa panjang.
Karena beberapa tokoh sakti itu ikut serempak tertawa maka gemparlah tempat itu dengan kumandang
tertawa yang menggemuruh bagai guruh diangkasa.
Tiba-tiba gemuruh tawa itu berhenti.
“Bluk, bluk……”
Beberapa orang telah rubuh ke tanah akibat suara sakti Aum Singa yang berhamburan dari tokoh-tokoh
yang tertawa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Omitohud!” seru Tay Hui Sin-ni.
Ketua Ban-jin-kiong tertawa menyeringai.
“Berpisah empatpuluh tahun, ternyata kepandaian saudara Leng telah maju pesat dalam mencapai
kesempurnaan. Demikian pula dengan ilmu Ing-hun-kang (Melayangkan jiwa) dari Dewi Mega Ui Siu-bwe,
sungguh menakjubkan sekali. Aku Ban Jin-hoan, sungguh beruntung hari ini dapat menyaksikan……”
Habis berkata pandang mata ketua Ban-jin-kiong itu beralih ke arah Siau Lo-seng. Sekalian mata tokohtokoh
yang berada di gelanggang itupun segera tercurah pada pemuda aneh itu. Ingin mereka mengetahui
dengan jelas apakah pemuda itu benar-benar tak kurang suatu apa menerima pukulan Peng-thian-joh-kutciang
dari Leng Tiong-siang tadi.
Saat itu Siau Lo-seng tengah duduk bersila pejamkan mata, menyalurkan napas. Dia tak tahu kalau
sekalian tokoh sedang memperhatikan dirinya.
Tampak pemuda itu tenang sekali. Tak mengunjukkan tanda-tanda orang yang menderita luka.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong kebutkan lengan baju dan berseru nyaring,
“Saudara Leng, saat ini aku hendak minta Tay Hui Sin-ni menjadi saksi,” serunya. “untuk menyerahkan
Keng-hun-pit kepada pemiliknya. Harap saudara Leng suka menerima dan maafkan kesalahanku
menyimpan pusaka itu sampai sekian lama.”
Habis berkata ketua Ban-jin-kiong itu dengan kedua tangan dan sikap menghormat, maju menyerahkan
Keng-hun-pit ke hadapan Leng Tiong-siang.
Baik ucapan dan sikap ketua Ban-jin-kiong memang aneh dan lain dari sikap biasanya. Cu-ing heran sekali.
Setelah bersangsi sejenak, Leng Tiong-siang berkata, “Terima kasih sekali atas budi kebaikan saudara
Ban……”
Ia terus ulurkan tangan hendak menerima Keng-hun-pit. Tetapi sekonyong-konyong sebuah tangan yang
halus dengan kecepatan macam kilat, telah mendahului menyambar pusaka itu.
Peristiwa itu mendadak sekali datang dan tak pernah diduga-duga oleh sekalian orang. Karena Ban Jinhoan
dan Leng Tiong-siang tak siaga, Keng-hun-pit pun telah direbut orang.
Kedua tokoh terkejut bukan kepalang.
Tanpa melihat lebih dulu siapa orang itu, ketua Ban-jin-kiong terus gerakkan tangan kiri untuk
mencengkeram tangan orang dan serentak tangan kanannya pun segera menampar.
Leng Tiong-siang pun endapkan tubuh lalu gerakkan kedua tangannya. Berturut-turut dia telah lancarkan
tujuh pukulan, enam buah tusukan jari ke arah perampasnya itu.
12.60. Tiga Jurus Jin Kian Pah-cu
Dua tokoh serempak melancarkan serangan, sudah tentu bukan kepalang dahsyatnya. Angin menderu
menghamburkan tenaga yang mampu merobohkan bukit.
Tetapi orang yang merampas Keng-hun-pit itu bagaikan segumpal kapas yang mengikuti damparan tenaga
pukulan dahsyat, melayang sampai lima-enam tombak lalu dengan gerak yang amat indah, bergeliatan
meluncur turun ke bumi.
“Im-kian-li……”
“Siang-hoa-liong-li……”
“Pui Siu-li……”
Berbagai nama itu meluncur dari mulut beberapa tokoh yang segera mengenali siapa perampas Keng-hunpit
itu.
Tetapi sebelum orang-orang itu sempat melanjutkan kata-katanya lebih lanjut, dengan kecepatan yang luar
biasa. Im-kian-li atau Puteri Neraka sudah lari ke arah barat……”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua Ban-jin-kiong dan Leng Tiong-siang berturut-turut enjot tubuh untuk mengejar. Dalam sekejap mata,
tokoh-tokoh itu sudah lenyap ditelan kegelapan.
Suasana sepi pula.
Melihat anak buah barisan Algojo yang bergelimpangan di tanah, tanpa banyak bicara, Li Giok-hou diamdiam
menyelinap pergi.
Tetapi Dewi Mega Ui Siu-bwe atau yang terkenal dengan gelar Jin Kian Pah-cu segera melayang ke
hadapan Li Giok-hou.
“Li Giok-hou apakah begitu saja engkau hendak tinggalkan tempat ini?” tegurnya tertawa.
Berobahlah seketika cahaya muka Giok-hou, serunya: “Lalu apa maksudmu……”
“Ayah yang berdosa, anak yang mewakili,” kata Jin Kian Pah-cu, “peristiwa ayahmu membawa jago-jago
Ban-jin-kiong menyelundup ke dalam Lembah Kumandang dan bunga dari tindakanku menyelamatkan
jiwamu tadi, seharusnya engkau memberi imbalan.”
Mendengar itu semangat Li Giok-hou serasa terbang. Karena gametar, ia sampai mundur selangkah.
“Huh, engkau……”
Dengan senyum yang menawan Jin Kian Pah-cu maju menghampiri Giok-hou……”
Senyum dari wajah wanita cantik itu mampu menggoyahkan imam seorang paderi. Tetapi dalam pandang
mata Giok-hou saat itu, senyum itu bagai senyum iblis yang menyeramkan. Ia terhuyung-huyung ke
belakang kakinya terasa lunglai.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu menampar dan terdengarlah jeritan ngeri. Tubuh Giok-hou terlempar jungkir balik
sampai tiga kali. Wajah pemuda itu pucat lesi.
Melihat tangan Jin Kian Pah-cu tak mengenai Giok-hou tetapi anak muda itu sudah jungkir balik sendiri,
bertanyalah Cu-ing kepada Tay Hui Sin-ni:
“Suhu, apakah Li Giok-hou itu terkena pukulan Bu-ing-heng-ciang?”
“Tidak,” sahut Tay Hui Sin-ni, “Jin Kian Pah-cu tak melukainya!”
Terdengar Jin Kian Pah-cu berseru:
“Ih, mengapa engkau takut setengah mati? Bukankah ia tadi menyebut dirimu sebagai seorang durjana?
Mengapa sekarang engkau ketakutan begitu rupa? Mengapa engkau tak berani mengadu pukulan dengan
aku? Kalau ayahmu datang, dia tentu akan marah dan memberi hadiah tamparan lagi kepadamu.”
Mendengar itu wajah Giok-hou yang pucat tampak berobah merah. Darahnyapun menggelora, nyalinya
bangkit kembali.
“Ya, aku hendak mengadu jiwa dengan engkau!”
Habis berkata ia terus maju menerjang.
“Hm, begitu baru layak,” Jin Kian Pah-cu tertawa.
Sambil berkata. ia bergeliatan maju menyongsong seraya gerakkan jarinya.
Li Giok-hou rasakan pandang matanya nanar dan tubuhnya seperti dilanda oleh angin dingin, sehingga ia
sampai gemetar. Seranganpun hanya mengenai tempat kosong sehingga tubuhnya menjorok jatuh sampai
empat-lima langkah ke muka.
“Suhu. apakah kali ini Jin Kian Pah-cu tidak melukainya?” tanya Cu-ing pula,
Wajah Tay Hui Sin-ni agak berobah dan menyebut Omitohud dan berseru kepada Jin Kian Pah-cu.
“Delapan tahun berpisah, pukulan Bu-heng-soh-jiu-ciang Ui sicu benar-benar bertambah sempurna.
Walaupun dia memang penuh dosa tetapi bukan dia yang menyalahi Ui sicu Harap Ui sicu suka memberi
kemurahan sedikit!”
Jin Kian Pah-cu tertawa,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Budak itu takkan mati. Kecuali apabila ayahnya tak mau mendengar perintahku. Tetapi sesungguhnya aku
memang ingin membunuhnya untuk melenyapkan seorang manusia bebodoran di dunia persilatan, heh,
heh……”
Habis berkata wanita itu ayunkan tubuh, menjinjing tubuh Ui Hun-ing lalu loncat sampai tiga tombak jaubnya
dan turun di atas tandu.
“Berangkat,” serunya.
Keempat dayang baju biru segera mengangkat tandu dan terus lari ke arah tenggara.
Tiba-tiba Siau Lo-seng loncat bangun dan lintangkan pedang Ular Emas menghadang tandu dari Jin Kian
Pah-cu.
“Ih, mau apa engkau menghadang jalanku? Apakah engkau juga ingin merasakan pukulanku Bu-eng sohjiu-
ciang? Kurasa lebih baik engkau beristirahat saja dulu.”
Sahut Siau Lo-seng dengan lantang:
“Apanya yang harus ditakuti dengan pukulan Bu-eng-soh-jiu-ciang itu? Kalau mau pergi, tinggalkan gadis
itu.”
Bermula Jin Kian Pah-cu terkesiap lalu tundukkan kepala memandang Hun-ing yang berada di
pangkuannya. Kemudian tersenyum,
“Ai, sungguh aneh,” serunya,” sejak kecil Hun-ing ini aku yang membesarkan dan mengajarkan ilmu silat.
Duapuluh tahun lamanya aku merawat dan memeliharanya, mengapa sekarang engkau larang kubawanya
pulang? Siapakah engkau? Mengapa engkau hendak merampasnya?”
Merah wajah Siau Lo-seng mendengar teguran Jin Kian Pah-cu. Tetapi sesaat kemudian ia berseru keras:
“Setelah tinggalkan gadis itu, kupersilahkan engkau pergi. Tetapi kalau tak mau melepaskannya, jangan
harap kalian akan pergi. Nona Hun-ing sudah lepaskan hubungan guru dan murid dengan engkau. Apabila
tak percaya, silahkan engkau tanya kepadanya sendiri.”
Jin Kian Pah-cu tertawa keras. Tiba-tiba wajahnya membeku, serunya:
“Hm, kiranya engkaulah yang merayu muridku supaya berhianat. Tidak kuurus soal itu, sudah baik bagimu,
tetapi sekarang engkau malah cari perkara sendiri. Ketahuilah, Hun-ing seorang murid yang berhianat. Dia
akan kubawa pulang ke Lembah Kumandang untuk menerima hukuman perguruan. Apabila engkau
mempunyai kepandaian, boleh saja kalau mau merebutnya…...”
Tanpa menunggu orang selesai bicara, Siau Lo-seng pun sudah menggembor keras dan menyerang
dengan jurus Burung walet menerobos hutan.
Tiba-tiba keempat dayang itu serempak memukul lalu cepat-cepat mengangkat mundur tandu sampai
beberapa langkah.
Serangannya gagal, Siau Lo-seng bersuit panjang dan terus memburu. Sambil lancarkan empat serangan
pedang, diapun menyusul juga dengan delapan buah pukulan dan duabelas tendangan.
Sambil meletakkan tandu pada bahu, keempat dayang itu serempak melepaskan pukulan dahsyat ke arah
Siau Lo-seng.
Terdengar letupan keras disusul dengan lengking jeritan ngeri. Keempat dayang itu terhuyung-huyung
mundur beberapa langkah sehingga tandu pun hampir jatuh ke tanah.
Dua dari keempat dayang itu jelas telah menderita luka yang tak ringan.
Siau Lo-seng tak mau menyusuli pukulan lagi melainkan loncat mundur. Tegak berdiri siapkan pedang dan
memandang mereka.
Tampak sinar mata Jin Kian Pah-cu memancar keheranan. Tiba-tiba ia tertawa:
“Ah, ternyata kepandaianmu lebih tinggi setingkat dari yang kuduga. Rupanya engkau memang mempunyai
kepandaian yang berisi……”
“Engkau mau melepaskan gadis itu atau tidak?” seru Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jika engkau mampu bertahan pada tiga buah pukulanku, tentu akan kuberikan anak perempuan ini supaya
mengangkat engkau sebagai ibunya. Tetapi kalau engkau tak mampu, engkau harus mengaku kalah dan
jangan merintangi perjalananku lagi.”
“Sekalipun sampai tigaratus jurus juga aku sanggup menerima,” seru Siau Lo-seng dengan garang.
“Bagus jangan ingkar janji,” seru Jin Kian Pah-cu, “hati-hatilah karena setiap saat aku segera akan
menyerang!”
Jin Kian Pah-cu maju menghampiri dan tiba-tiba mengangkat tangannya dengan gaya yang aneh. Seketika
sebuah arus tenaga dahsyat melanda dadanya.
Dalam waktu bertukar bicara, diam-diam Lo-seng memang sudah sedia. Begitu wanita itu gerakkan
tangannya secara aneh, ia tertegun. Tetapi di kala ia tertegun itulah dadanya telah terlanda gelombang
tenaga keras. Kejutnya bukan kepalang.
Cepat pedang Ular Emas ditaburkan seraya diiringi dengan empat buah pukulan tangan kiri lalu iapun
menyurut mundur beberapa langkah.
Tampak tubuh Jin Kian Pah-cu bergetar dan tiba-tiba meluncur maju menyambar pergelangan tangan
pemuda itu.
Baru kaki tegak di tanah, Jin Kian Pah-cu sudah tiba. Siau Lo-seng benar-benar kaget setengah mati. Cepat
ia mengisar ke samping lalu bergerak maju tetapi tiba-tiba ia menyurut mundur sampai lima-enam langkah.
Gerak tipuan yang aneh itu telah mempedayakan lawan dan loloskan pemuda itu dari ancaman tangan Jin
Kian Pah-cu.
Jin Kian Pah-cu tertegun, pikirnya: “Ih, ilmu apakah yang dilakukannya itu? Benar-benar luar biasa sekali
karena mampu lolos dari sambaranku. Anak ini memang hebat kepandaiannya.”
“Sudah dua jurus engkau menyerang,” seru Siau Lo-seng sembari lintangkan pedang, apakah engkau
melaksanakan janjimu?”
Jin Kian Pah-cu tertawa.
“Aku bukan manusia yang suka menjilat ludah lagi. Kedudukan diriku melarang aku membohongi anak
muda semacam engkau.”
“Jika begitu, lepaskanlah gadis itu dan berikan kepada Tay Hui Sin-ni locianpwe,” seru Lo-seng.
Jin Kian Pah-cu perdengarkan tertawa yang merdu sekali. Dalam tawa itu mengandung tenaga pesona
yang mengikat jiwa orang.
Dan seketika Siau Lo-seng rasakan darahnya bergolak, semangatnya menggelora. Ia terkejut dan cepatcepat
tenangkan hatinya lalu salurkan hawa murni untuk bersiap-siap.
Jin Kian Pah-cu hentikan tertawanya dan berseru: “Apakah engkau jakin dapat terhindar dari pukulanku
yang terakhir?”
Siau Lo-seng denguskan hidung. “Demi membasmi kejahatan dan menegakkan kebenaran, biar tubuhku
hancur lebur, aku tetap akan menyambut pukulanmu.”
Kelantangan Siau Lo-seng mengucap kata-kata itu telah mengetuk hati sekalian orang. Terutama Tay Hui
Sin-ni, diam-diam ia memuji anak muda itu.
“Penuh daya tarik dan memikat, tak heran kalau beberapa muridku telah terpesona kepadamu,” Jin Kian
Pah-cu tertawa dingin.
“Apa katamu?” teriak Siau Lo-seng.
“Sudahlah, jangan banyak bicara, segera engkau bersiap untuk menyambut pukulanku yang ketiga ini!”
dengus Jin Kian Pah-cu.
“Silahkan!”
Jin Kian Pah-cu mendengus pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hm, budak, rupanya engkau sudah bosan hidup karena mempersilahkan aku menyerang dulu. Pada hal
engkaulah yang harus menyerang dulu. Hanya ingat, kali ini aku takkan memberi ampun lagi. Engkau harus
tanggung segala akibatnya sendiri.
Walaupun tahu bahwa jurus yang ketiga dari Jin Kian Pah-cu itu tentu luar biasa ganas dan hebatnya, dan
kemungkinan ia tak sanggup bertahan. Namun karena orang terlalu memandang rendah kepadanya,
marahlah Siau Lo-seng.
“Silahkan engkau menumpahkan seluruh kepandaianmu,” seru pemuda itu sambil tertawa dingin.
Dalam pada berkata itu, iapun cepat maju ke muka, tangan kirinya menjulur untuk menutuk tiga buah jalan
darah di dada wanita itu.
“Bagus,” seru Jin Kian Pah-cu seraya mengisar ke samping.
Tutukannya luput, Siau Lo-seng segera taburkan pedang dan tangan kirinya pun menyerempaki memukul
beberapa kali.
Jin Kian Pah-cu tertawa hina, serunya:
“Aku hendak turun menyerangmu, hati-hatilah!”
Entah bagaimana caranya bergerak. Jin Kian Pah-cu sudah menyurut mundur untuk menghindari pedang
dan pukulan lawan. Kemudian tubuhnya berputar dalam bentuk setengah lingkaran, menggelincir sepanjang
batang pedang dan berada di samping Siau Lo-seng.
Gerakannya aneh, cepatnya bukan alang kepalang. Siau Lo-seng terkejut dan cepat lintangkan pedang ke
muka dada seraya mundur tiga langkah.
Tetapi Jin Kian Pah-cu tetap bergerak-gerak menerobos ke dalam sinar pedang dan secepat kilat jarinya
menyulur ke dada Siau Lo-seng.
Melihat itu Cu-ing menjerit keras lalu loncat menusuk punggung Jin Kian Pah-cu.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Serentak ia hantamkan tangan kirinya ke lawan.
“Heh……” terdengar orang tertahan dan tahu-tahu tubuh pemuda ittu mencelat sampai dua tombak jauhnya.
Pedang Ular Emasnya jatuh ke tanah.
Dalam pada itu Cu-ing pun menjerit nyaring dan terhuyung-huyung sampai tujuh langkah. Pedangnyapun
telah berpindah ke tangan Jin Kian Pah-cu.
Jurus yang dimainkan Jin Kian Pah-cu itu benar-benar luar biasa sekali indahnya. Tiada seorangpun yang
tahu bagaimana cara ia bergerak untuk melemparkan Siau Lo-seng dan merampas pedang Cu-ing.
Tiba-tiba Jin Kian Pah-cu berpaling dan memandang ke arah Siau Lo-seng, menghela napas dan berseru,
“Ombak sungai Tiang-kang, yang belakang tentu mendorong yang di muka. Boleh kuanggap, engkau
adalah seorang tunas muda paling cemerlang yang pernah kujumpahi…… jangan berkeras kepala dan
jangan bicara. Duduklah menyalurkan tenaga murni, mungkin tenagamu akan pulih kembali. Kalau tidak,
ilmu kepandaianmu tentu hilang selama-lamanya……”
13.61. Misteri Pembunuhan di Hay-hong-cung
Habis berkata, Jin Kian Pah-cu melayang ke atas tandu. Gerakannya indah gemulai seperti tak terjadi suatu
apa.
Keempat dayang baju birupun segera mengangkat tandu dan lari ke arah tenggara.
“Tunggu……!” tiba-tiba Siau Lo-seng berseru.
Tetapi habis berseru, mulutnya mengucur darah dan tubuhnya rubuh berguling-guling sampai tiga kali baru
ia paksakan diri untuk berdiri lagi. Tetapi rupanya tak mampu dan jatuh terduduk.
“Engkoh Seng, engkau……” teriak Cu-ing seraya lari menghampiri tetapi dicegah oleh Tay Hui Sin-ni.
“Jangan menganggunya, biar dia beristirahat,” seru rahib itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu hati Siau Lo-seng terasa hampa. Pikirannya gelisah seperti kehilangan sesuatu……
Peristiwa mengerikan muncul dalam bayang-bayang pikirannya. Seratus jiwa besar kecil, telah dibasmi di
desa Hay-hong-cung. Dan peristiwa itu terjadi pada suatu malam sunyi delapanbelas tahun berselang.
Ia terbangun mendengar jerit teriakan. Lalu berseru memanggil ayah bundanya dan saudara-saudaranya.
Tetapi betapa keras ia memanggil, mereka tiada yang muncul. Bahkan beberapa bujang perempuan yang
tiap hari mengasuhnya, pun tak kelihatan.
Ketika ia keluar ke pintu, kejutnya bukan kepalang. Seluruh desanya telah menjadi lautan api. Di sana sini
terdengar jerit pekikan yang menyayat hati. Mayat-mayat tumpah tindih memenuhi halaman. Ada yang
hilang kepalanya, hilang kaki tangan, tubuhnya terkutung dua, ususnya berhamburan keluar.
Melihat pemandangan sengeri itu, ia tak mau menangis lagi. Perasaan takut pun lenyap seketika. Ia
mencatat peristiwa itu dalam lubuk hatinya. Suatu peristiwa yang takkan dilupakannya seumur hidup.
Dilihatnya anak buah Hay-hong-chung melawan dengan mati-matian. Tetapi susul menyusul mereka
bergelimpangan dalam kubangan darah.
Di sebelah ujung kebakaran itu, tampak empat orang berkerudung muka tengah mengepung seorang
wanita yang rambutnya terurai lepas dan tubuhnya mandi darah. Hai, wanita itu bukan lain mamahnya
sendiri.
Ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa mamahnya telah dirubuhkan oleh ke empat orang
berkerudung itu. Mamahnya rubuh bergelimpangan dalam kubangan darah……
Dalam peristiwa pembunuhan besar-besaran itu ia telah dibawa lari oleh seorang wanita yang tubuhnya
penuh luka-luka berdarah, menuju ke sebuah hutan di belakang gunung.
Setelah melintasi hutan lebat dan pegunungan yang berliku-liku, akhirnya ia dibawa ke dalam sebuah guha.
Saat itu ia baru tahu bahwa wanita yang menyelamatkan dirinya itu bukan lain yalah guru wanita Kui Lan
yang biasanya tampak lemah dan tak kuat mengangkat pedang.
Tetapi sebelum guru wanita Kui Lan sempat menceritakan peristiwa yang terjadi, tiba-tiba muncullah
seorang lelaki tua. Lelaki yang dikenalnya baik sehingga saat ia lari menghampiri dengan gembira. Ia
anggap, orang itu tentu akan girang karena ia selamat.
Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat betapa mengerikan wajah lelaki itu sehingga ia tertegun.
Pada hal jelas lelaki yang datang itu adalah pamannya sendiri yang bernama Siau Mo. Tetapi saat itu
pamannya tak lagi menampakkan wajahnya yang ramah senyum melainkan berobah menjadi seorang yang
berwajah bengis menakutkan.
Guru wanita Kui Lan terkejut sekali, sehingga gemetar. Segera guru wanita berlutut dan meratap minta
supaya suka membari ampun kepada Siau Lo-seng.
Ngiang suara rintih dan ratapan dari guru wanita itu masih sering mengiang di telinga Siau Lo-seng.
Dilihatnya mulut pamannya itu tertawa menyeringai laIu mengangkat pedang dan pelahan-lahan menusuk
dada guru wanita yang berlutut di hadapannya.
Pada saat guru wanita itu rubuh mandi darah, dalam detik-detik terakhir masih sempat berteriak menyuruh
Siau Lo-seng untuk menuntut balas atas pembunuhan biadab yang terjadi di desa Hay-hong-cung
Tetapi pada lain saat ia telah diangkat oleh pamannya lalu dilemparkan ke bawah jurang yang terjal.......
…………………………………..
Teringat akan peristiwa itu, berkobarlah api dendam kesumat dalam dada Siau Lo-seng.
“Aku harus menuntut balas……!” sekonyong-konyong ia menggembor sekuat-kuatnya.
Sudah tentu Cu-ing terkejut, serunya: “Engkoh Seng, engkau kenapa……?”
Dara itu lepaskan diri dari tangan suhunya lalu memburu ke tempat Siau Lo-seng, lalu memeluk tubuh
pemuda itu.
Tetapi cepat Siau Lo-seng menyiak dara itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu-ing terkejut dan sedih. Airmatanya berlinang-linang.
“Siau toako, engkau……,” seru dara itu tersendat-sendat.
Siau Lo-seng menghela napas rawan lalu membuka mata dan memandang ke arah awan yang berarakarak
di langit malam itu.
Ada suatu perasaan yang mencengkam hatinya. Ia merasa kepandaiannya masih dangkal. Tak mungkin
dengan kepandaian yang dimiliki itu ia dapat menegakkan keadilan dalam dunia persilatan. Tak mungkin
pula ia akan menuntut balas atas kematian ayah bundanya.
Demi untuk menuntut balas, berpuluh tahun ia menyiksa diri untuk belajar silat. Tetapi hasilnya ternyata jauh
dari yang diharapkan. Hanya dalam tiga jurus serangan Jin Kian Pah-cu, dia sudah rubuh. Ah……
Seluruh semangat dan harapannya, dalam sekejap itu sudah hancur berantakan.
Tengah ia tenggelam dalam lamunan duka, tiba-tiba dari belakang terdengar suara seseorang yang
dikenalnya, “Siau Lo-seng, berdirilah!”
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia melenting bangun. Sambil lintangkan pedang untuk menjaga diri, ia berputar
tubuh.
Setombak jauhnya tampak seorang berpakaian dan mengenakan kain kerudung muka warna hitam. Persis
seperti dandanan dari barisan Algojo Ban-jin-kiong.
Empat penjuru sunyi senyap. Yang ada hanya Tay Hui Sin-ni, Cu-ing entah kemana.
“Apakah engkau yang memanggil aku?” seru Siau Lo-seng.
“Benar,” sahut orang berkerudung hitam seraya tabaskan goloknya.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Tahu-tahu ujung golok sudah hampir mendarat di dadanya. Cepat ia gunakan
jurus Ikan le-hi melenting untuk loncat ke belakang sampai setombak.
Tetapi orang berkerudung hitam itu tetap membayangi. Begitu kaki Lo-seng menginjak tanah, golokpun
sudah menyambarnya lagi.
Untung Siau Lo-seng masih dapat menginjakkan ujung kakinya ke tanah melambung ke udara sampai
beberapa meter lalu berjumpalitan menukik ke bawah seraya menabas dengan pedang Ular Emas.
“Tring……”
Terdengar lengking yang nyaring disertai dengan percikan bunga api. Orang berkerudung hitam itu
terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri tegak.
Sedang Siau Lo-seng pun terpental sampai dua tombak, jungkir balik meluncur turun ke bumi.
Siau Lo-seng makin rawan hatinya. Berturut-turut ia telah menderita kekalahan dari Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang, Jin Kian Pah-cu dan sekarang dengan seorang anggauta barisan algojo dari Ban-jinkiong.
“Mengapa engkau tak lari? Apakah tunggu sampai kubunuh?” serunya.
Mendengar itu orang berkerudung hitam itupun melenting bangun dan acungkan golok lurus ke muka dada
lalu lancarkan lima buah serangan. Ia menggunakan ilmu permainan pedang dan menjadikan golok sebagai
pedang.
Kelima jurus serangan pedang itu cepat dan luar biasa dahsyatnya.
Siau Lo-seng menjerit kaget dan mundur beberapa langkah. Ia tegak terlongong-longong memandang
orang itu.
Bukan karena kedahsyatan kelima jurus serangan lawan melainkan ia merasa bahwa ke lima jurus itu sama
dengan pelajaran ilmu pedang yang pernah dipelajarinya dalam sebuah kitab ilmu pedang. Ia heran
mengapa orang itu dapat memainkan sedemikian indah dan sempurna?
Tiba-tiba telinganya terngiang suara yang lembut sekali: “Markas besar Ceng-liong-pang di Lok-yang terjadi
peristiwa, lekas ke sana.......”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng terkesiap. Jelas lawanlah yang menggunakan ilmu Menyusup suara kepadanya.
“Engkau…… siapa.......?” serunya.
Sebagai penyahutan, orang berkerudung itu lancarkan serangan yang dahsyat. Siau Lo-seng terpaksa
harus menghadapi dengan loncat mundur beberapa langkah.
Tiba-tiba telinganya terngiang suara halus tadi: “Pada saat kuserang dengan jurus Ban-li-hui-hong, engkau
harus mundur sampai tiga tombak lagi dari sini.”
Habis berkata orang berkerudung hitam itupun menyerang lagi.
Jarak keduanya hanya terpisah beberapa meter. Apabila sebelumnya tidak memberi peringatan atau tak
kenal jurus yang dimainkan, tak mungkin Siau Lo-seng mampu menghindar.
Dengan gunakan jurus Thian-ma-heng-gong atau Kuda sembrani terbang dilangit, Siau Lo-seng melambung
ke udara dan melayang sampai tiga tombak jauhnya.
Tampaknya orang berkerudung itu marah sekali karena serangannya gagal. Dengan menggembor keras ia
mengejar.
Baru kaki Siau Lo-seng menginjak tanah, ia sudah merasakan sambaran golok yang melanda hebat.
Terpaksa ia loncat ke belakang lagi.
Setelah berulang kali mundur, diam-diam Siau Lo-seng berpikir: “Saat ini tiada lain orang kecuali Tay Hui
Sin-ni. Jika dia bukan musuh, mengapa dia berlaku sedemikian aneh?”
Pada saat ini hendak menegur, kembali orang itu menggunakan ilmu menyusup suara,
“Saat ini, aku tak dapat menjelaskan kepadamu. Pada saat aku menyerang lagi, gunakanlah tangan kirimu
untuk menyambuti senjata rahasia dan gunakan tangan kananmu untuk menangkis……”
Habis berkata orang bekerudung hitam itu kembali menerjang maju dengan jurus Gelombang laut
mendampar dan tangan kirinya mengayunkan senjata rahasia ke arah dada Siau Lo-seng.
Tetapi karena Siau Lo-seng sudah bersedia maka dia segera berkisar ke samping, tangan kiri menutuk
senjata rahasia lawan lalu pedang Ular Emas di tangan kanannya segera ditaburkan untuk menyongsong
lawan.
Terdengar jeritan ngeri dan bahu orang orang berkerudung itu berlumuran darah. Dia membuang tubuh
sampai dua tombak ke belakang dan terhuyung-huyung beberapa langkah.
Sekonyong-konyong orang itu loncat dan lari ke arah tenggara. Seiring dengan itu, empat sosok tubuh atau
kawan dari orang berkerudung itupun segera mengikuti jejaknya. Dalam beberapa kejap, kelima orang
itupun lenyap dalam kegelapan.
Siau Lo-seng tegak terlongong-longong memandang ke arah larinya ke lima orang itu. Dia benar-benar
heran dan tak mengerti. Jelas tubuh orang itu masih terpisah beberapa inci tetapi mengapa tiba-tiba malah
membenturkan diri ke arah pedang Ular Emas sehingga bahunya terluka.
Siapakah gerangan orang itu?
Setitik pun ia tak menduga bahwa di kalangan algojo dari Ban-jin-kiong ternyata masih terdapat tokoh dari
aliran Ceng-pay! Liku-liku dunia persilatan benar-benar aneh sekali dan sukar diduga-duga.
“Dewasa ini kaum durjana malang melintang uujuk gigi. Kemungkinan besar dunia persilatan akan
menderita pertumpahan darah besar,” tiba-tiba kedengaran Tay Hui Sin-ni menghela napas rawan.
Siau Lo-seng cepat berpaling.
“Locianpwe hendak memberi petunjuk apa aku bersedia mendengarkan,” katanya dengan hormat.
“Siau sauhiap memang hebat sekali,” kata Tay Hui Sin-ni, “dapat mematahkan serangan lawan yang lihay.
Ya, memang aku hendak bertanya sebuah hal……”
“Ah, Sin-ni keliwat memuji,” Siau Lo-seng tersipu-sipu malu, “kepandaianku masih jauh dari memuaskan.
Apabila cianpwe hendak memberi petunjuk, mohon memberi tahu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, seorang muda yang tak membanggakan diri seperti sauhiap, memang sukar dicari keduanya,” kata Tay
Hui Sin-ni pula, “Kepandaian yang sauhiap miliki saat ini walaupun belum dapat menjagoi dunia, tapi sudah
sukar dicari tandingannya. Berapa tahun kemudian, sauhiap tentu akan mencapai kemajuan yang
menakjubkan sehingga tiada yang dapat melawan. Walaupun dunia persilatan akan dilanda oleh banjir
darah tetapi seperti telah digariskan oleh Yang Kuasa, kaum yang jujur tentu akan menang. Dalam hal itu,
tugas berat untuk mengatasi kekacauan itu memang terletak pada bahu tunas-tunas muda seperti sauhiap.”
“Walaupun kepandaianku masih dangkal, tapi untuk tugas memberantas kaum durjana itu, tentulah aku
akan membaktikan diri sekuat tenaga. Hanya saja, mohon cianpwe sudi memberi petunjuk kepada kami
anak-anak muda yang masih kurang pengalaman.
“Apabila terdapat pula beberapa pemuda seperti sauhiap ini, dapat dipastikan bahwa kaum durjana dalam
dunia persilatan itu tentu akan dapat terbasmi. Tetapi selama dunia masih berputar, manusia masih terikat
dengan karma Sebab dan Akibat, maka kekacauan dan kekeruhan tentu masih silih berganti muncul. Setiap
orang yang tak kuat imannya dan tak sadar pikirannya, mungkin dapat menjadi seorang momok durjana
yang ganas……”
Tay Hui Sin-ni berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.
“Misalnya seperti Dewi Mega Ui Siu-bwe, Ban Jin-hoan dan lain-lain…… empatpuluh tahun yang lalu
mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang harum namanya. Tetapi karena tergelincir dalam soal
Asmara, mereka telah menghapuskan keharuman nama mereka dan berobah menjadi momok-momok yang
mengerikan. Hendaknya Siau sauhiap dapat menarik pelajaran dari peristiwa itu. Pasti akan menjadi
kebahagiaan kaum persilatan apabila Siau sauhiap tetap berpijak pada pendirian kesatria yang luhur budi.”
“Terima kasih atas nasehat cianpwe,” kata Siau Lo-seng. “Akan kuingat dalam hati. Setelah nanti selesai
menuntut balas atas kematian ayah-bunda dan membasmi kaum durjana, aku tentu takkan sembarangan
membunuh jiwa manusia.”
Tay Hui Sin-ni mengangguk.
“Sungguh menggirangkan sekali bahwa sauhiap mudah menyadari hal itu. Tetapi telah kukatakan,
kehidupan manusia itu memang aneh, sering tak dapat melakukan apa yang telah dikatakan. Berpijaklah
pada Keadilan, Kebenaran dan Kesucian. Dengan bekal itu, apapun yang akan engkau derita, tentu
akhirnya akan dapat teratasi.”
Siau Lo-seng menyatakan rasa terima kasih yang tak terhingga atas penerangan dan petunjuk yang telah
diberikan oleh rahib itu.
“Tadi sauhiap mengatakan hendak menuntut balas dendam keluarga,” kata Tay Hui Sin-ni pula. “apakah hal
itu bukan menyangkut peristiwa yang terjadi pada delapanbelas tahun di desa Hay-hong-cung itu?”
“Benar, Sin-ni,” kata Siau Lo-seng dengan nada gemetar, “memang Naga sakti tanpa bayangan Siau Hankwan
itu adalah ayahku. Berpuluh tahun aku menyiksa diri untuk menuntut ilmu kepandaian, tak lain adalah
karena hendak membalas sakit hati berdarah dari keluargaku itu.”
“Peristiwa berdarah di Hay-hong-chung, walaupun tak tahu jelas bagaimana duduk perkaranya tetapi
menurut dugaan adalah dikarenakan ayah sauhiap Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan. Peristiwa itu
telah melibatkan kalangan yang amat luas. Walaupun pin-ni tak berani mengatakan siapa yang benar dan
siapa yang salah, tetapi menilik keganasan yang dilakukan pembunuh itu, jelas dia tentu mempunyai
dendam kesumat besar dengan ayah sauhiap,” kata rahib itu pula.
13.62. Memancing Harimau
“Sudah bertahun-tahun aku mencari jejak peristiwa itu, tetapi belum juga kuketemukan sumber yang
sesungguhnya. Tetapi memang pamankulah yang melemparkan diriku ke dalam jurang pada waktu itu.
Sampai detik ini aku masih ingat akan wajahnya yang menyeramkan,” kata Siau Lo-seng.
“Apa? Kim-coa-mo-kiam Siau Mo yang melakukan perbuatan terkutuk itu? Ah, sungguh di luar dugaan
sama sekali. Tidak, tidak mungkin. Apakah engkau benar-benar melihat jelas dia yang melemparkan
engkau.......”
Siau Lo-seng tertegun. Baru pertama kali itu ia mendengar bahwa pamannya Siau Mo ternyata bergelar
Kim-coa-mo-kiam atau Iblis pedang ular emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukan saja melempar diriku ke bawah jurang, pun kulihat sendiri dia telah membunuh guruku wanita Kui
Lan. Masakan aku tak dapat mengenali seorang paman yang tiap hari berada bersama keluargaku?” seru
Siau Lo-seng kurang puas.
Tampak rahib menegang wajahnya.
“Omitohud!” serunya, “Dosa, dosa sungguh di luar persangkaan orang bahwa Siau Mo akan melakukan
perbuatan sehina itu.”
Diam-diam Siau Lo-seng heran mengapa ketika membicarakan diri Siau Mo, mendadak wajah Tay Hui Sinni
berobah sedemikian tegang.
Ia hendak menanyakan hal itu tetapi tiba-tiba wajah rahib itu tampak tenang kembali.
“Siau sauhiap, kenalkah engkau pada seorang peniup seruling?” tanyanya.
Bukan main kejut Siau Lo-seng mendapat pertanyaan itu. Seketika iapun teringat bahwa ke empat orang
baju hitam tadi seperti lari ke luar dari loteng tempat Gi-hunya si orang tua peniup seruling. Ya. mengapa
sampai saat itu belum juga ia melihat suatu tanda-tanda dari Gi-hunya itu?”
Seketika menyahutlah Siau Lo-seng: “Dia adalah Gi-hu ku……”
Habis berkata ia terus berputar tubuh lalu bergegas lari ke arah loteng, Sudah tentu Tay Hui Sin-ni terkesiap
lalu menyusul anak muda itu.
Selekas masuk ke dalam ruang loteng, tergetarlah hati Siau Lo-seng ia mendapat firasat tak baik tentang
diri Gi-hu nya.
Ruangan tampak kacau balau. Lantai penuh berserakan belasan mayat orang-orang baju hitam. Rupanya di
ruang itu telah terjadi suatu pertempuran dahsyat.
Tetapi kemanakah gerangan perginya orang tua peniup seruling itu?
Bergegas-gegas Siau Lo-seng lari ke dalam lagi. Keadaan di situpun mengejutkan hati. Berpuluh-puluh
kawanan Baju Hitam terkapar malang melintang memenuhi ruang.
Tay Hui Sin-ni berjongkok dan meraba pernapasan seorang mayat lalu memeriksa pergelangan tangannya.
Beberapa saat kemudian ia berpaling dan geleng-geleng kepala: “Mereka sudah mati semua......”
Siau Lo-seng pun memeriksa sebuah mayat, serunya: “Ah, mereka telah terkena ilmu tutukan istimewa.
Karena tak dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk itu akhirnya darah mereka membeku dan
orangnyapun mati.”
“Bagaimanakah ini?” tanya Tay Hui Sin-ni.
Siau Lo-seng merenung.
“Saat ini aku tak dapat memberi penjelasan apa-apa kepada Sin-ni,” katanya sesaat kemudian, “Gi-hu ku
yalah orang tua peniup seruling itu memang tinggal di loteng ini. Dia seorang tua yang cacad, tak punya kaki
dan tangan. Tetapi mengapa tiba-tiba ia lenyap?”
“Bagaimanakah perwujutan Gi-hu mu itu?” tanya Tay Hui Sin-ni.
“Rambutnya terurai sampai ke bahu, kedua kakinya sebatas lutut telah kutung dan kedua tangannya pun
telah dihancurkan urat nadinya oleh orang. Tak mungkin ia dapat berjalan keluar sendiri. Kumungkinan
tentu ditangkap orang.”
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
“Ah, sudah tahu dia seorang diri di sini, mengapa engkau tak berusaha untuk melindunginya?”
“Gi-hu sudah lama tinggal di sini mengasingkan diri dari keramaian dunia. Siapakah yang telah
mengganggunya? Sekali pun kawanan baju hitam itu ditambah lagi jumlahnya, tetap tak dapat melawan Gihu,”
kata Siau Lo-seng.
“Kawanan baju hitam itu telah dirubuhkan oleh Gi-hu mu. Tahukah engkau dari golongan manakah kawanan
baju hitam itu?”
Siau Lo-seng gelengkan kepala,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Walaupun sudah berpuluh tahun berkelana di dalam dunia persilatan tetapi aku tak pernah melihat
kawanan manusia semacam itu. Dandanan mereka menyerupai dengan kawanan algojo dari Ban-jin-kiong.”
“Menilik tubuh-tubuh mayat yang sudah kaku itu kemungkinan mereka sudah mati lima-enam jam yang lalu.
Mereka terkena tutukan kira-kira pada siang tadi,” kata Tay Hui Sin-ni pula.
Diam-diam Siau Lo-seng menimang. Apabila dugaan Tay Hui Sin-ni itu benar, saat itu ia sedang menantang
Ang Piau keluar. Saat itu dia melihat yang keluar dari loteng yalah Jin Kian Pah-cu dan keempat dayang
baju biru. Jika demikian apakah kawanan mayat-mayat baju hitam itu anak buah dari Lembah Kumandang?
Berbagai dugaan dan rangkaian telah melalu lalang pada benak Siau Lo-seng. Tetapi di antara sekian
banyak hanyalah pihak Lembah Kumandang yang besar kemungkinannya.
Tetapi apakah maksud Jin Kian Pah-cu menawan Gi-hu nya?
“Locianpwe. kemanakah adik Cu-ing?” tiba-tiba Siau Lo-seng teringat.
“Dia mengatakan hendak ke markas besar Naga Hijau di Lok-yang.”
“Celaka!” Siau Lo-seng mengeluh. Kalau begitu kita harus cepat-cepat ke Lok-yang. Kalau tidak
kemungkinan adik Ing tentu terancam bahaya.”
Habis berkata Siau Lo-seng terus loncat dan lari menuju ke Lok-yang.
Tay Hui Sin-ni terpaksa mengikuti.
Dengan menggunakan ilmu lari cepat, menjelang fajar mereka sudah tiba di kota itu. Mereka langsung
menuju ke tempat kediaman keluarga Nyo yang sudah menjadi runtuhan puing.
Tiba-tiba Siau Lo-seng terkejut. Saat itu dia sudah berada di daerah markas besar Naga Hijau. Tetapi
mengapa sampai sekian lama belum melihat barang seorang penjaga pos rahasia? Apakah markas besar
Naga Hijau sudah pindah ke lain tempat?
Tiba-tiba telinga Siau Lo-seng yang tajam segera menangkap suatu suara erang dari seorang yang tengah
meregang jiwa.
Cuaca masih remang belum terlepas dari selimut malam. Ketika mendengar erang rintihan lagi segera Siau
Lo-seng dapat menentukan bahwa suara erang itu berasal dari arah kanan. Lebih kurang sepuluh tombak
jauhnya.
Cepat Siau Lo-seng menuju ke arah tempat itu. Tetapi makin dekat suara itu makin tak kedengaran.
Menyapukan pandang mata ke sekeliling empat penjuru tampak sunyi senyap. Tetapi pada saat itu iapun
dapat melihat sederet rumah yang telah hancur. Serambi depan penuh dengan galagasi dan daun
jendelanya pun sudah rusak tak keruan keadaannya.
Tetapi ia cukup paham akan tempat itu. Keadaan tempat yang menyeramkan itu memang sengaja dibuat
oleh perkumpulan Naga Hijau untuk menyelimuti markasnya.
Tetapi yang aneh, mengapa sampai saat itu tak tampak barang seorang pun yang muncul. Kemanakah
orang-orang itu?
Siau Lo-seng menghampiri deretan rumah rusak itu lalu memandang ke sebelah dalam. Ia terkejut ketika
melihat bagian dapur diterangi lampu. Sayur mayur dan bahan-bahan masakan penuh lengkap dan nasi
yang masih hangatpun mengepulkan asap yang harum. Tetapi mengapa sepi sekali keadaannya?
Sekonyong-konyong dari arah satu lie jauhnya, terdengar suara orang tertawa yang nadanya mirip dengan
iblis meringkik. Menyusul terdengar bentak makian dan dering senjata beradu.
Suara itu memang samar-samar kedengarannya. Apabila tak memiliki telinga setajam Siau Lo-seng tentu
sukar untuk menangkapnya.
Tiba-tiba pula erang rintihan yang menyeramkan terdengar lagi. Bahkan kali ini terdengar jelas. Nadanya tak
ubah seperti orang yang akan menghembuskan napas terakhir.
Siau Lo-seng pun cepat dapat menentukan bahwa suara itu berasal dari taman bunga di belakang dapur.
Cepat ia menghampiri tempat itu.
Tetapi apa yang disaksikan di situ benar-benar membuat bulu roma berdiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berpuluh-puluh mayat yang tak utuh tubuhnya malang melintang memenuhi kebun bunga itu.
Di antaranya terdapat seorang ko-jiu atau jago sakti dari perkumpulan Naga Hijau yang biji matanya telah
dikorek keluar, batang lehernya dipenggal putus. Demikian keadaan setiap mayat, mengerikan semua.
Ada seorang korban yang masih belum mati dan mengerang-erang. Suara erang tadi tentu berasal dari
orang itu. Pakaiannya berlumuran cairan racun berwarna hitam. Dia mengerang dan menggigil karena
menahan kesakitan yang hebat.
Siau Lo-seng sampai menitikkan airmata melihat keadaan tempat itu. Pada saat ia hendak menghabisi jiwa
orang itu agar jangan terlalu lama menderita kesakitan, tiba-tiba dari belakang terdengar suara helaan
napas sarat.
“Omitohud! Dosa, dosa, sungguh suatu pembunuhan yang mengerikan sekali. Ah, hanya terlambat
selangkah saja, telah mengakibatkan dendam pembunuhan yang ngeri sekali. Ah, takdir, takdir……”
Ternyata entah kapan, Tay Hui Sin-ni sudah berada di belakang Siau Lo-seng.
“Locianpwe, harap segera membantu aku untuk menyadarkan orang ini.”
Siau Lo-seng pun segera membuka jalan darah orang itu. Juga Tay Hui Sin-ni menutuk beberapa jalan
darah orang itu.
“Racun telah menyusup ke dalam urat-urat nadinya. Kalau jalan darahnya engkau buka, dia tentu segera
mati,” kata rahib itu.
“Apakah cianpwe dapat menyadarkannya?” Siau Lo-seng terkejut.
“Pembunuhnya memang ganas sekali. Dia tak memberi ampun lagi.”
“Kalau begitu apakah kita mengawasi saja dia mati tersiksa?”
“Masih ada sebuah daya,” kata rahib itu.
“Harap cianpwe suka memberi petunjuk.”
“Lebih dulu lindungi jantungnya lalu mendesak racun itu ke dalam aliran darah. Dia tentu dapat sadarkan diri
dalam beberapa saat. Tetapi akibatnya tentu lebih hebat lagi.”
“Saat ini yang penting dia sadar agar dapat memberi keterangan,” kata Siau Lo-seng lalu lekatkan
tangannya di bawah perut orang itu, menyalurkan tenaga dalam untuk melindungi jantungnya.
Tay Hui Sin-ni pun segera menutuki beberapa jalan darah orang itu. Bermula orang itu mengerang
kesakitan tetapi beberapa saat kemudian mulai tenang kembali. Dia pejamkan mata mengembalikan
semangat.
Beberapa saat kemudian ia membuka mata lalu menggeliat duduk memandang Tay Hui Sin-ni dan Siau Loseng
dengan terlongong-longong.
Atas pertanyaan Siau Lo-seng, orang itu terkejut dan balas bertanya, “Siapakah kalian ini?”
Siau Lo Seng memperkenalkan diri sebagai sahabat dari perkumpulan Naga Hijau lalu memperkenalkan
Tay Hui Sin-ni.
“Oh, maaf,” orang itu berseru lalu menghaturkan terima kasih karena telah ditolong. Dia mengatakan
bernama Go Cui-coan, murid dari Liat Hwe Thancu, kepala bagian dari perkumpulan Naga Hijau.
Diam-diam Tay Hui Sin-ni menghela napas sedih. Ia membayangkan betapa dalam beberapa saat lagi
orang itu tentu akan menderita siksaan hebat akibat darahnya yang binal dan menyerang uluhati. Akibatnya,
pembuluh darah akan pecah dan matilah dia seketika.
“Harap lekas saja menceritakan apa yang telah terjadi,” kata rahib itu.
“Kemanakah perginya beratus-ratus anak buah Naga Hijau?” buru-buru Siau Lo-seng mendesak.
“Kemarin petang, tiba-tiba datang seorang anak buah Naga Hijau yang memberi laporan bahwa pangcu
(ketua) dan Cong-thancu (ketua kepala bagian) sedang mendapat kesulitan di tempat tak jauh dari markas.
Dia minta supaya markas segera mengirim bala bantuan. Hian-kim Thancu segera membawa empatratus
anak buah menuju ke tempat itu...... tetapi siapa tahu……”
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu berhenti sejenak memandang Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni dengan rawan, lalu berkata pula,
“Kemarin malam, tiba-tiba Nyo Cong-thancu bergegas datang……”
“Ah, tak mungkin tengah malam, coba engkau ingat yang jelas,” tukas Siau Lo-seng.
“Memang benar tengah malam,” kata Go Cui-coan dengan yakin, “begitu Nyo Cong-thancu datang terus
memerintahkan aku supaya menjaga bagian selatan. Dan akulah yang mengantar Nyo Cong-thancu masuk
ke dalam ruang.”
“Aneh, dia menyuruh engkau menjaga di selatan lalu engkau mengantar dia masuk ke dalam ruang. Apakah
ada dua orang Nyo Cong-thancu yang datang ke markas?” tanya Siau Lo-seng.
“Benar, memang mengherankan sekali seperti dalam impian,” kata Go Cui-coan.
“Yang kesatu, bagaimana caranya datang?”
“Dia datang dengan pakaian berlumuran darah seperti orang yang habis bertempur. Ketika aku hendak
menghampiri, dia membentak dan suruh memanggil kedua Thancu. Ang Cui dan Liat Hwe Thancu datang.
Habis berkata dia terus masuk ke dalam ruangan dan akupun karena gugup. terus memanggil Ang Cui
Thancu dan Liat Hwe Thancu.”
Berkata sampai di situ Go Cui-coan tampak terengah-engah napasnya dan berhenti berkata-kata.
Sisu Lo-seng cepat salurkan tenaga dalam untuk mengendapkan darahnya yang bergolak lalu bertanya:
“Bukankah Nyo Cong-thancu itu menghendaki supaya Ang Cui dan Liat Hwe berdua Thancu mengerahkan
anak buah Naga Hijau dan pergi bersama dengan Nyo Cong-thancu?”
“Ya, tetapi mungkin karena kedua Thancu itu tak saling akur, maka Liat Hwe Thancu menolak.”
“Hai, dia berani menolak perintah Cong-thancu?” Siau Lo-seng terkejut.
Go Cui-coan menjawab dengan tersendat-sendat: “Saat itu Nyo Cong-thancu tampak bergegas-gegas
sekali. Dia hanya memanggil secara lisan tak memberi surat kepadaku. Maka Liat Hwe Thancu berani
menolak dengan alasan bahwa menurut peraturan lima Thancu dari Naga Hijau tak boleh serempak keluar
dari markas. Harus ada seorang yang menjaga markas. Maka Nyo Cong-thancu pun hanya bersama Ang
Cui Thancu dan anak buahnya yang pergi untuk menolong ketua.”
“Huh, siasat mereka memang lihay. Anak buah Naga Hijau yang pergi itu tentu celaka semua,” Siau Loseng
menggeram.
“Ya, mengapa Cu-ing sampai begitu limbung. Tetapi jelas dia baru pergi lewat tengah malam, mengapa
menjelang tengah malam dia sudah tiba di sini?” kata Tay Hui Sin-ni.
“Dia tentu termakan siasat musuh,” kata Siau Lo-seng, lalu bertanya kepada Go Cui-coan lagi: “Lalu
bagaimana dengan Nyo Cong-thancu yang kedua itu
“Lewat tengah malam dia baru datang. Sekalian anak buah Naga Hijau heran. Setelah meminta bukti bahwa
yang datang itu benar Nyo Cong-thancu yang sesungguhnya, barulah kami mengetahui kalau tadi telah
termakan siasat lawan. Saat itu Nyo Cong-thancu segera akan mengejar dan karena kuatir Nyo Congthancu
hanya seorang diri maka Liat Hwe Thancu menyatakan ikut. Ia hanya meninggalkan duapuluhan
anak buah untuk menjaga markas. Belum lama mereka pergi aku segera mendapat laporan bahwa markas
telah dimasuki oleh orang yang mencurigakan……”
“Mereka orang Ban-jin-kiong atau Lembah Kumandang?” tanya Siau Lo-seng gopoh.
“Bukan orang Ban-jin-kiong juga bukan orang Lembah Kumandang tetapi duabelas jago pedang dari
perguruan Bu-tong-pay dan Ceng-sia-pay. Di bawah pimpinan ketua Bu-tong-pay Ceng-hi-cu yang
membawa enam-tujuhpuluh anak murid kedua perguruan, datang menyerang kemari……”
13.63. Siapa Pembunuh Murid-murid Naga Hijau!!??
Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni serempak berseru kaget. Mereka tak percaya akan keterangan orang itu.
“Sudah berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan dan sudah beberapa kali bertemu
muka dengan Ceng-hi-cu ketua Bu-tong-pay. Tak mungkin salah lihat……,” Go Cui-coan berkata dengan
yakin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mendapat laporan aku segera keluar untuk menyambut,” kata pula Go Cui-coan dengan mengertak gigi,
“ah, tak kira kalau manusia-manusia yang menamakan diri sebagai pemuka aliran Ceng-pay itu ternyata
juga sama seperti kaum durjana. Mereka mengganas dan menyerbu markas. Segera kuperintahkan
seorang anak buah untuk memberi portolongan kepada para korban dan disamping itu kuminta lima orang
jago-jago kami yang sakit menyelamatkan keluarga-keluarga para anak murid.......”
Berkata sampai di sini tampak Go Cui-coan tegang sekali wajahnya, penuh dengan dendam kemarahan
sehingga matanya merah seperti bara.
Kemudian dengan geram ia melanjutkan:
“Kawanan manusia yang melebihi binatang buas itu telah menyerbu dan melakukan pembunuhan biadab.
Tua muda, laki perempuan, besar kecil telah disembelih…… secara mengerikan…… hek, hek, hek.”
Ia batuk-batuk lalu muntah darah dan menangis tersedu pilu.
Siau Lo-seng seperti terbayang akan pembunuhan ngeri di desa Hay-hong-cung lagi. Ia teringat pula akan
pemandangan yang mengerikan ketika seluruh keluarga dan penghuni Huy-hong-cung dijagal habishabisan.
“Darah…… jiwa…… hutang darah harus bayar darah…… hutang jiwa harus kembalikan jiwa…… aku
hendak menuntut balas,” tiba-tiba ia mengingau kalap.
Melihat itu bergidiklah hati Tay Hui Sin-ni. Ia meresa bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi.
Serentak ia pejamkan mata dan melantangkan doa mantra.
Tiba-tiba Go Cui-coan mendekap dada dan jatuh terduduk lalu merintih seperti menahan kesakitan yang
hebat.
“Siau sauhiap, engkau harus menuntut balas atas kematian saudara-saudara dari Naga Hijau……
dendam…… huak.......”
Kembali orang itu muntah darah. Siau Lo-seng tersayat hatinya menyaksikan keadaan anak buah Naga
Hijau itu.
Apabila sadah dikuasai oleh sifat kejam, manusia itu lebih kejam dari binatang buas. Terutama dalam dunia
persilatan. Segala budi perilaku hanya kosong belaka. Yang ada dan dikenal dalam dunia persilatan itu
hanya Hukum Rimba, yang kuat menang, yang lemah binasa. Siasat dilawan siasat, kekejaman dibalas
kekejaman. Itulah bahasa yang dikenal oleh kaum persilatan.
Tay Hui terkejut melihat sikap dan perobahan wajah Siau Lo-seng. Ia kuatir apabila Siau Lo-seng dihinggapi
oleh kesan buruk terhadap dunia persilatan, maka dunia persilatan pasti akan mengalami kehancuran dan
masa-masa yang gelap.
Buru-buru rahib itu gunakan ilmu tenaga dalam sakti untuk menyadarkan pikiran Siau Lo-seng.
“Dendam kesumat, bunuh membunuh, bagaikan api yang membakar jiwa manusia. Apabila kita tak
berusaha untuk memadamkan, hanguslah jiwa raga kita terbakar oleh kejahatan berdarah itu. Apabila dapat
menyadari bahwa alam itu mempunyai hukum Sebab dan Akibat, bahwa segala kehidupan itu akan pulang
ke asal masing-masing, maka kitapun harus menyadari agar jangan sampai terlibat dalam jerat Karma yang
tiada berkeputusan.”
Siau Lo-seng mengangkat muka dan memandang rahib itu dengan terlongong-longong.
“…… segala kehidupan itu dari satu sumber dan akan pulang ke asalnya…… ha, ha, ha…...” tiba-tiba
pemuda itu tertawa. Nadanya penuh kerawanan dan kehampaan.
Dia seperti seorang panglima yang habis memenangkan pertempuran. Suatu pertempuran batin yang
dahsyat dimana hampir saja dia bertekuk lutut menambahkan pembunuhan dan kekejaman.
“Ah,” tiba-tiba ia menghela napas longgar, “terima kasih cianpwe telah menyadarkan kekeruhan batinku.
Jika tidak, aku pasti akan hilap dan terjerumus dalam kesesatan yang kejam dan ganas.......”
Tay Hui Sin-ni longgar perasaannya karena pemuda itu telah menemukan kesadarannya pula. Ia memberi
nasehat apabila pada suatu saat menghadapi persoalan yang menekan batin, ia harus dapat menggunakan
pikiran yang jernih dan batin yang terang untuk memecahkan persoalan itu. Sekali-kali jangan sampai kalah
dan jatuh ke dalam cengkeraman nafsu yang jahat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Go Cui-coan yang terkapar di tanah itu mengerang-erang menahan derita kesakitan yang bebat.
Darahnya yang keracunan itu mulai membinal menerjang ke arah uluhati.
Siau Lo-seng menyadari bahwa keadaan anak buah Naga Hijau itu sudah tak dapat ditolong lagi. Lebih
lekas dibebaskan, lebih berkurang penderitaannya. Segera Siau Lo-seng bertindak.
Tetapi pada saat ia hendak menutuk dada Go Cui-coan. tiba-tiba terdengar lengking bentakan yang
dahsyat: “Anjing buduk, jangan main bunuh!”
Seketika itu Siau Lo-seng merasa setiup angin menyambar punggungnya. Cepat ia tamparkan kedua
tangannya ke belakang. “Plak, plak……”
Dua buah senjata rahasia yang akan melanda punggung pemuda itu tertampar ke udara. Tetapi penyerang
dari belakang itu menyusuli pula dengan pukulan dari jauh. Pemuda itupun cepat-cepat berputar-putar
sampai tiga kali seraya silangkan kedua tangan untuk melindungi diri. Lalu dengan gerak kecepatan yang
luar biasa, ia ulurkan tangan kanan untuk menyambar pergelangan tangan orang dan tangan kiri
menghantam.
Tetapi penyerang itu hebat juga. Setelah lepaskan dua kali pukulan, dengan meminjam tenaga pukulan itu,
ia melambung dan berjumpalitan di udara, melayang di atas kepala Siau Lo-seng lalu menghantam kepala
pemuda itu……
“Sik Thancu tahan……!” tiba-tiba terdengar seseorang menggembor dan menyusul belasan sosok tubuh
manusia pun melayang tiba.
Serangannya gagal, orang tua jenggot merah itu marah sekali sampai jenggotnya meregang tegak.
“Bangsat, kalau berani membunuh orang mengapa takut adu jiwa dengan aku?” teriaknya. Ia memutar
senjatanya dan hendak menyerang lagi.
Tiba-tiba seorang baju hitam menghadangnya.
“Sik Thancu, jangan salah paham,” katanya. “cobalah engkau lihat, dia kan Siau sauhiap teman baik dari
pangcu kita.”
Siau Lo-seng memandang ke sekeliling. Ternyata orang-orang yang datang itu adalah para ko-jiu atau jago
sakti dari Naga Hijau.
“Adakah anda ini Liat Hwe Thancu?” tegurnya kepada orang tua yang menyerangnya itu.
Tetapi orang tua jenggot merah itu berteriak marah: “Aku adalah Sik Hwe-san. Sekalipun engkau teman
baik dari pangcu tetapi engkau hendak membunuh anak buah kami. Mengapa?”
Habis berkata Sik Hwe-san atau Gunung berapi itu segera lontarkan dua buah pukulan lagi.
Tetapi Siau Lo-seng tak mau menangkis melainkan menyurut mundur lagi: “Sik Thancu, dengarkan katakataku!”
“Sik Thancu, harap sabar dulu, ini hanya salah paham,” orang baju hitam tadipun ikut berseru.
Saat itu Siau Lo-seng pun sudah songsongkan kedua tangannya ke atas tetapi Tay Hui Sin-ni cepat
meneriakinya: “Sauhiap, jangan menangkis pukulannya!”
Habis berkata rahib itu kebutkan lengan jubahnya ke arah kedua orang itu.
Terdengar letupan yang menusuk telinga. Angin pukulan penyerang itu memancarkan sinar api. Siau Loseng
terkejut. Cepat ia menyelinap dua tombak ke samping untuk menghindari hujan percikan api itu.
Ternyata penyerang itu menggunakan suatu senjata rahasia untuk menyerang kepala Siau Lo-seng. Untung
Tay Hui Sin-ni amat waspada. Dan kebutan lengan jubahnya dapat pula melemparkan penyerang itu
sampai tiga-empat tombak jauhnya.
Ternyata dia seorang tua bertubuh pendek gemuk, memelihara jenggot merah yang menjulai sampai ke
dada.
“Pembunuh kejam, serahkan jiwamu “ teriak orang tua pendek itu. Dan sekali bergerak, ia sudah mencekal
sebatang senjata aneh dan tiba di hadapan Siau Lo-seng lalu menyerang lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng tahu bahwa senjata aneh dari orang itu tentu berbahaya maka cepat-cepat ia lepaskan
delapan buah pukulan untuk menahan, lalu cepat loncat mundur sampai tiga tombak.
“Menyingkirlah,” bentak orang tua jenggot merah itu. “salah paham, huh, kentut! Kalau hari ini aku tak
menuntut balas atas kematian saudara-saudara kita, aku Sik Hwe-san bersumpah tak mau jadi orang
lagi......”
Ia mendorong orang baju hitam itu ke samping lalu melangkah maju.
Melihat keliaran orang, marahlah Siau Lo-seng: “Bagaimana engkau membuktikan aku seorang
pembunuh?”
Liat Hwe Thancu tertawa hina.
“Kalau tak ingin dilihat orang janganlah melakukan sesuatu. Apakah engkau kira tipu muslihatmu
‘memancing harimau tinggalkan sarang’ itu sudah hebat? Nyo Cong-thancu telah menduga engkau akan
datang, tetapi sudah terlambat, darah telah menumpah. Namun Thian tetap bermurah hati sehingga engkau
mengantarkan jiwa lagi ke sini!”
Habis berkata ia terus loncat ke muka Siau Lo-seng. Tangan kanan menghantam kepala, tangan kiri
menaburkan berpuluh butir pelor bik-lik-tan.
Siau Lo-seng tak mau melayani. Ia loncat mundur lalu dorongkan kedua tangannya untuk menampar pelor
itu.
“Jangan ditangkis, lekas tiarap!” cepat-cepat Tay Hui Sin-ni berteriak.
Tetapi terlambat. Tenaga tamparan Siau Lo-seng telah membentur pelor itu. Terdengar letupan keras dan
bunga apipun berhamburan di udara.
Siau Lo-seng menjerit kaget dan cepat-cepat tutupkan tangannya ke dada. Pakaiannya penuh lubang bekas
terbakar bercampur bintik-bintik darah yang mengucur dari tubuhnya. Dia terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Tetapi Liat Hwe Thancu pun terkejut sekali. Dia bergelar Hwe-mo-sin atau Setan Api. Memiliki senjata
rahasia dari bahan peledak yang ganas. Terutama pelor Bik-lik-tan, sudah termasyhur di dunia persilatan.
Jarang dia menggunakan senjata pelor itu kalau tak perlu. Kali ini dia taburkan berpuluh-puluh butir pelor
tetapi ternyata pemuda itu tak mati melainkan pakaiannya saja yang terbakar.
“Dimana saat ini Nyo Cong-thancu?” serunya dengan nada dingin.
“Nyo Cong-thancu mengejar anak buah kawanan anjing itu. Tetapi jangan kira engkau mampu lolos dari
sini, beberapa kawan kita di sini akan mencingcang tubuhmu!”
Habis berkata orang tua jenggot merah itu terus hendak turun tangan. Rupanya sebelum dapat membunuh
Siau Lo-seng, ia tak puas.
Saat itu beberapa ko-jiu Naga Hijau pun segera mencabut senjata dan mengepung Siau Lo-seng.
Serempak mereka memaki dengan marah. “Penghianat, engkau mempunyai dendam permusuhan apa
dengan Naga Hijau sehingga engkau sampai bertindak sedemikian ganasnya kepada kawan-kawan kami?”
Melihat suasana makin panas, Siau Lo-seng tak mau bertindak gegabah melainkan mencurah pandang ke
arah Tay Hui Sin-ni.
Tetapi ternyata rahib itu tengah pejamkan mata seenaknya saja. Seolah-olah urusan di situ tak ada sangkut
pautnya dengan dia. Sudah tentu Siau Lo-seng tak habis ngerti.
Liat Hwe Thancu Sik Hwe-san maju dua langkah lagi dan membentak, “Bagaimana? Bukankah engkau tak
dapat menjawab?”
“Jangan kalian mendesak aku keliwat batas,” sahut Siau Lo-seng, “siapa yang membunuh kawan-kawanmu
itu. Hm, sungguh manusia yang tak tahu kebaikan orang! Mereka telah dibunuh oleh anak buah perguruan
Bu-tong pay dan Ceng-sia-pay yang dipimpin oleh Ceng-hi-cu dan duabelas jago pedang Ceng-sia-pay.
Kami baru saja tiba di sini. Terserah kalian mau percaya atau tidak!”
“Tutup mulutmu!” bentak orang tua jenggot merah pula, “bukti sudah jelas, masih engkau berani
menyangkal dan hendak timpahkan kesalahan pada lain orang. Apakah engkau kira Sik Hwe-san ini
seorang anak kecil? Ha, ha, ha……, dengan mata kepala sendiri kusaksikan engkau membunuh muridku
dunia-kangouw.blogspot.com
Go Cui-coan dan badanmu berlumuran darah....... masakan engkau masih berani menyangkal. Serahkan
jiwamu......”
Kilat menyambar puncak. Ribuan kenangan lenyap dan Menelan Sembilan laut, adalah tiga jurus yang
segera dilancarkan oleh orang tua jenggot merah itu untak menyerang Siau Lo-seng. Sedang tangan kirinya
pun menaburkan pasir beracun yang disebut Sip-hun-yan-tok-sat.
Ketika bertempur dengan puluhan anak buah Ban-jin-kiong, pakaian dan tubuh Siau Lo-seng berlumuran
noda darah sehingga saat itu dia memang menyerupai seorang pembunuh yarg habis menjagal korbannya.
Karena menduga orang tua jenggot merah itu tentu akan menyerangnya lagi maka diam-diam Siau Lo-seng
pun sudah bersiap. Cepat ia loncat menyingkir ke samping.
“Sik Thancu, engkau salah paham. Harap dengarkan penjelasanku…...” serunya tetapi cepat dibentak orang
tua jenggot merah itu:
“Apa yang perlu dijelaskan? Apakah engkau membunuh muridku itu, bukan terjadi sesungguhnya?”
Siau Lo-seng memang berotak cerdas. Dalam sekejap saja ia sudah mempunyai penilaian. Jika dia bukan
seorang yang berwatak berangasan, tentulah ada sesuatu yang mencurigakan pada dirinya.
Karena sejak dia muncul membawa anak buahnya, dia tetap tak mau menerima penjelasannya dan
beberapa kali melancarkan serangan maut kepadanya. Bukankah hal itu dapat menimbulkan kesan, seolaholah
Liat Hwe Thancu itu berkeras hendak melenyapkan dirinya (Siau Lo-seng) karena ia tahu akan latar
belakang pembunuhan ngeri di markas Naga Hijau?
Setelah mempunyai bayangan penilaian semacam itu, Siau Lo-seng pun segera mendapat akal. Dengan
nyaring ia berseru kepada Tay Hui Sin-ni.
“Locianpwe tolong locianpwe membereskan urasan di sini. Aku bendak mengurus suatu hal yang penting
dan terpaksa aku pergi!”
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan enjot tubuhnya ke udara, melayang melampaui kepala jagojago
Naga Hijau itu dan dengan beberapa loncatan segera menghilang dalam kegelapan.
Sekalian jago-jago itu gempar tetapi tiada seorangpun yang berusaha untuk mengejar. Dan andai mengejar,
merekapun tak mungkin mampu menyusul Siau Lo-seng. Kecepatan gerak pemuda itu memang
mengagumkan sekali.
Ketika tiba di luar kota Lok-yang, haripun menjelang terang tanah. Siau Lo-seng menghela napas longgar.
Peristiwa berdarah di markas Naga Hijau memang masih merupakan teka teki baginya. Menurut keterangan
dari Go Cui-coan, benar hampir tak dapat dipercaya bahwa perguruan Bu-tong-pay yang tergolong
perguruan yang harum namanya, akan melakukan tindakan yang sedemikian di luar peri kemanusiaan.
Memang jelas bahwa ada seseorang yang telah menyaru sebagai Nyo Cu-ing yang mengajak beratus-ratus
anak buah Naga Hijau menolong ketua Naga Hijau yang katanya mendapat bahaya di lain tempat. Jelas hal
itu, suatu siasat untuk ‘memancing harimau tinggalkan gunung’. Markas Naga Hijau kosong karenanya.
Tetapi sungguh aneh sekali bahwa yang datang ke markas Naga Hijau itu adalah ketua Bu-tong-pay sendiri
bersama ke duabelas jago pedang partai Ceng-sia-pay yang termasyhur.
Sekalipun kedua partai persilatan itu mempunyai dendam permusuhan dengan Naga Hijau tetapi sebagai
partai aliran Ceng-pay, masakan mereka akan melakukan pembunuhan yang sedemikian kelewat batas
ganasnya.
Lalu siapakah sebenarnya pembunuh ganas itu? Adakah mereka itu orang Lembah Kumandang atau Banjin-
kiong?
Ah, memang kedua gerombolan itu, licin, licik dan luar biasa kejamnya. Mudah sekali bagi mereka untuk
menyaru jadi tokoh-tokoh pimpinan Naga Hijau.
Ya, benar. Li Giok-hou pernah mengatakan bahwa Ban-jin-kiong itu terdiri dari tokoh-tokoh ternama dari
segala aliran partai persilatan. Sekalipun seorang ketua dari sebuah partai persilatan yang termasyhur, pun
juga menjadi budak dari Ban-jin-kiong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Teringat akan hal itu, terbaliklah pikiran Siau Lo-seng. Segera ia mempunyai kesan bahwa bukan mustahil
yang melakukan pembunuhan besar-besaran di markas besar Naga Hijau itu memang benar orang Butong-
pay.
13.64. Bu-tong-pay
Tetapi Siau Lo-seng tak habis herannya. Dengan cara bagaimanakah Ban-jin-kiong dapat menguasai
sekian banyak tokoh-tokoh persilatan yang ternama itu. Mengapa sebagai ketua Bu-tong-pay yang
termasyhur, Ceng-hi-cu mudah diperintah oleh Ban-jin-kiong?
Akhirnya Siau Lo-seng menarik kesimpulan bahwa sumber dari teka teki itu terletak pada partai Bu-tongpay.
Bukankah Pek Wan Taysu dan barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si juga menuju ke gunung Butong-
san untuk memberi bantuan pada partai itu?
Dengan kesimpulan itu akhirnya Siau Lo-seng memutuskan untuk menuju ke Bu-tong-san. Dia segera
berangkat menempuh perjalanan ke markas Bu-tong-pay yang jauh jaraknya itu…..
********************
Ketika menyusur lereng gunung Bu-tong-san, ia tak tertarik akan alam pemandangan yang permai dari
pegunungan itu. Dia hanya mempercepat langkah untuk mencapai jalan yang menuju ke Ceng-cin-kiong,
markas besar partai Bu-tong-pay.
Ceng-cin-kiong, sebuah biara yang megah bangunannya. Puncaknya menjulang tinggi di antara rindangnya
pohon-pohon yang mengelilingi tempat itu. Pagar temboknya amat tebal dan kokoh. Pintu biara itu tertutup
rapat dan tak tampak barang seorang penjaga sama sekali.
Siau Lo-seng mondar mandir di luar pintu. Ia heran sekali mengapa sebuah markas besar dari perguruan
yang termasyhur dalam dunia persilatan tampak begitu sunyi senyap. Ribuan lie telah ia tempuh siang dan
malam. Adakah ia akan menemui suatu markas yang sudah kosong?
Tiba-tiba dari jalan kecil sebuah hutan, muncul seorang imam yang memikul dua buah tahang air. Tetapi
begitu melihat Siau Lo-seng imam itu cepat-cepat masuk ke dalam hutan lagi.
Sudah tentu Siau Lo-seng heran. Cepat-cepat ia loncat mengejar. Tetapi ketika masuk ke dalam hutan, ia
terlongong-longong. Hutan itu lebat dengan pohon dan imam itu lenyap entah kemana. Diam-diam ia
terkejut mengapa imam itu dapat bergerak lebih cepat dari dirinya.
Tiba-tiba ia merasa setiup angin melanda punggungnya. Cepat ia gunakan gerak Naga sakti keluar laut,
loncat ke udara dan melayang beberapa tombak jauhnya.
“Bum…...” tiga batang pohon rubuh, menimbulkan suara yang dahsyat.
Belum sempat Siau Lo-seng mengetahui siapa penyerang gelap itu, tiba-tiba sebatang senjata yang
panjang telah menyapu dirinya. Cepat dia loncat mundur sampai setombak.
“Bum......” kembali tiga batang pohon terhantam rubuh.
Tetapi pada saat itu ia dapat melihat jelas siapakah penyerang itu. Ternyata imam muda yang memikul
tahang air tadi. Dia menggunakan pikulan besi untuk menyerang.
Serangannya gagal, imam muda itu menggembor keras dan menghantamkan pikulan besinya ke dada Siau
Lo-seng dengan jurus Menyiak awan melihat matahari.
“Tunggu dulu sebentar……” teriak Siau Lo-seng. Ia mengisar dua langkah ke samping seraya menabaskan
tangan kiri ke arah pikulan besi.
“Plak……” pikulan besi terlepas tetapi di luar dugaan, imam muda itu dengan cepat segera menampar dada
Siau Lo-seng.
Serangan imam muda itu memang tak terduga-duga dan amat ganas sekali. Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia
loncat menghindar sampai setombak jauhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah bagaimana tampaknya imam muda itu mendendam sekali kepada Siau Lo-seng. Ia loncat dan
menyerang gencar.
Tak kurang dari sebelas jurus serangan telah dilancarkan imam muda itu. Selain cepat pun setiap gerak
pukulannya mengandung tenaga dalam yang dahsyat sehingga Siau Lo-seng terpaksa harus sibuk
menghindar kian kemari dan loncat mundur sampai empat-lima langkah.
Karena melihat kekalapan imam muda itu, marahlah Siau Lo-seng. Segera ia balas menghantam.
“Bum..….”
Imam muda itu mengerang tertahan. Tubuhnya mencelat sampai tiga tombak dan membentur sebatang
pohon besar.
Siau Lo-seng cepat menghampiri dan hendak mencekal pergelangan tangan imam itu.
Siau Lo-seng mendengus. Tangan kanan menebas paha dan tangan kiri menyambar siku lengan imam itu.
Secepat kilat, imam itu sudah dapat dikuasainya. Tulang pahanya patah.
Sebenarnya Siau Lo-seng memang tak mau melukainya tetapi kerena imam itu keliwat tak dapat diajak
bicara, terpaksa dia lakukan hal itu.
Sambil melepaskan cengkeramannya pada siku lengan si imam, Siau Lo-seng bertanya,
“Mengapa engkau begitu bernafsu sekali menyerang aku secara ganas. Nah, engkau sampai menderita
luka begitu.”
“Aku sudah jatuh ke tanganmu, kalau mau bunuh, bunuhlah. Tak usah pura-pura bermurah hati,” teriak
imam itu dengan geram.
Karena perlu mencari keterangan terpaksa Siau Lo-seng menahan kesabaran,
“Bukankah engkau ini murid Bu-tong-pay?” tanyanya.
“Bangsat, perlu ada bertanya begitu?” damprat imam itu.
“Plak, plak……” karena marah, Siau Lo-seng menampar muka imam itu.
“Apakah engkau benar-benar menghendaki aku membunuhmu? Jawab pertanyaanku, kalau tak mau
memberi keterangan sejujurnya, terpaksa akan kucabut nyawamu!” bentak Siau Lo-seng.
Tiba-tiba imam muda itu muntah darah lalu tertawa garang, “Sekalipun mau, jangan harap engkau mampu
mendapat keterangan dari mulutku!”
Karena tak menduga, darah dari mulut imam itu hampir menyembur muka Siau Lo-seng. Cepat ia surutkan
kepala ke belakang. Tetapi bajunya yang berwarna hijau kena tertumpah darah imam itu.
“Plak, plak, plak……” karena marah, Siau Lo-seng menampar muka imam itu dan membentaknya, “Apakah
engkau minta mati?”
Muka imam itu bengap dan giginya rompal. Mulutnyapun berlumuran darah tetapi dia tetap memaki-maki,
“Hai, kawanan bangsat jahanam! Ketahuilah, perbuatanmu yang kejam itu kelak tentu akan mendapat balas
yang setimpal sehingga tubuhnya hancur lebur……”
Siau Lo-seng terkejut. Ia duga tentu ada sesuatu dalam peristiwa itu. Cepat ia menyambar tangan si imam
dan berseru: “Apa katamu? Tahukah engkau siapa aku ini?”
Rupanya imam itu menderita kesakitan karena tangannya dicengkeram. Tetapi dia tak mau mengerang.
Sapasang matanya tampak merah membara lalu membentak, “Bangsat, kukatakan bahwa hari kematianmu
sudah dekat!”
Tiba-tiba biji matanya terbeliak membalik dan tubuhnya segera terkapar lunglai. Siau Lo-seng terkejut dan
buru-buru lepaskan cekalannya. Ah, ternyata imam itu sudah mati. Dia bunuh diri dengan menggigit putus
lidahnya.
Diam-diam Siau Lo-seng menyesal karena tak dapat menahan kesabaran. Walaupun bukan dia yang
membunuh tetapi imam itu mati karena marah kepadanya. Dan celakanya, ia tak dapat mencari keterangan
apa-apa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Adakah markas Bu-tong-pay sudah diobrak-abrik musuh sehingga imam itu menyangka dia tentu salah
seorang dari kawanan pembunuh itu?
Akhirnya ia kembali menuju ke biara Ceng-kiong. Loncat ke pagar tembok ia melayang turun ke halaman
biara itu.
“Aneh, mengapa tak tampak barang seorang manusia dalam biara ini? Apakah telah terjadi peristiwa ngeri?”
pikirnya.
Setelah menunggu sampai beberapa saat tetap tak tampak suatu perobahan akhirnya ia nekad masuk.
Dengan pedang Ular Emas ia mengungkit pintu yang tertutup rapat lalu masuk ke dalam ruangan. Ah,
kosong melompong.
Keheranannya makin meningkat. Kalau partai Bu-tong-pay benar telah mengalami peristiwa, juga tak
mungkin biara itu penuh dengan debu seperti tempat yang sudah lama tak dihuni orang. Namun kalau biara
itu memang tak dihuni orang lalu dari manakah imam muda yang mengambil air dari hutan tadi?
Setelah melintasi sebuah pendapa, Siau Lo-seng tiba di sebuah ruangan yang besar. Di atas ruangan itu
tergantung sebuah papan berbunyi,
“Ceng-cin-ceng-tian”
atau ruang besar biara Ceng-cin-kiong
Pintunya terbuka. Di muka bangunan itu terdapat halaman yang ditumbuhi beberapa pohon besar.
Siau Lo-seng masuk ke dalam gedung itu dan tiba di paseban Siu-cin-tong. Di situ tampak imam tua
berjubah kelabu tangah memasang dupa di muka sebuah meja sembahyang. Asap dupa berkepul-kepul
membubung ke atas dan tampaknya imam tua itu tenang sekali menyelesaikan pekerjaannya.
Tiba-tiba timbul pikiran Siau Lo-seng untuk menguasai imam tua itu. Kemungkinan dia akan dapat mencari
keterangan dari imam tua itu. Cepat ia menghampiri dan menutuk punggung imam tua itu. Tetapi imam tua
tetap diam saja dan tenang-tenang hendak menancapkan dupa ke meja.
“Celaka,” Siau Lo-seng mengeluh kaget ketika jarinya serasa menyentuh kulit yang keras. Buru-buru ia
menyurut mundur.
Memandang ke muka, ternyata imam tua itu masih tenang-tenang menancapkan dupa ke meja.
Sejenak termangu, Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas lalu maju menusuk punggung imam tua itu.
Tetapi kali ini imam itu mengisar selangkah ke samping dan sekonyong konyong berputar tubuh
songsongkan dupa menahan pedang.
Seketika itu Siau Lo-seng rasakan batang pedangnya tergetar karena dilanda suatu tenaga yang aneh.
Cepat ia menyurut mundur tiga langkah dan memberi hormat:
“Totiang amat sakti, maafkan kelancanganku.”
“Bu-liang-siu-hud! Sudah lama menunggumu,” tiba-tiba dari belakang terdengar suara orang berseru.
Siau Lo-seng terkejut sekali dan cepat berputar tubuh, lintangkan pedang dan memandang ke muka. Entah
kapan, tampak dua imam tua berambut putih yang dandanannya sama dengan imam tua yang melakukan
sembahyangan tadi.
Saat itu imam tua yang bersembahyang tadi pun berputar ke muka Siau Lo-seng. Setelah beberapa saat
memandang ke muka itu, dia berkata:
“Kepandaian sicu ternyata hebat sekali. Ditilik dari jurus Kiam-hay-biau-hoa yang engkau mainkan tadi,
entah berapa banyak orang persilatan yang telah kehilangan jiwanya di tangan sicu.”
Siau Lo-seng mendapat firasat bahwa saat itu ia bakal menghadapi peristiwa lagi. Ia memperhatikan bahwa
sinar mata ketiga imam yang sudah berusia tinggi itu memancar suatu sikap yang tak bersahabat.
“Totiang sekalian, tolong tanya siapakah gelaran totiang yang mulia ini,” seru Siau Lo-seng, “aku belum
pernah bertemu muka dengan totiang bertiga. Mengapa mengatakan kalau sudah lama menunggu
kedatanganku.”
“Bu-liang-siu-hud,” seru imam yang bersembahyang tadi. “pinto bergelar It Ceng dan kedua suteku ini It
Bing dan It Tim. Dahulu disebut sebagai Bu-tong Sam-siu (Tiga serangkai dari Bu-tong-pay). Sudah sejak
dunia-kangouw.blogspot.com
empatpuluh tahun mengasingkan diri dan tak mengurus soal-soal perguruan lagi maka tak heran kalau sicu
tak kenal pada kami.”
Mendengar keterangan itu diam-diam terkejutlah hati Siau Lo-seng. Ia tak sangka bahwa ketiga imam tua itu
adalah Bu-tong Sam-siu yang termasyhur pada empatpuluh tahun berselang. Konon menurut ceritera orang
persilatan, Bu-tong Sam-siu itu telah mencapai penerangan dalam ilmu agama dan mengasingkan diri.
Tetapi mengapa mereka muncul di paseban Ceng-cin-ceng-tian? Adakah sesuatu yang telah menimpah
pada Bu-tong-pay?
Siau Lo-seng membungkukkan tubuh memberi hormat: “Sudah lama aku mendengar keharuman nama
totiang bertiga. Hari ini sungguh merasa beruntung sekali karena dapat berjumpa.”
Salah seorang Bu-tong Sam-siu yang umurnya paling muda tertawa dingin.
“Sayang hari ini pinto terpaksa barus membuka pantangan yang sudah pinto lakukan selama empatpuluh
tahun. Pinto hendak menghukummu, budak yang tak kenal adat berani sembarangan mengaduk tempat ini!”
serunya.
“Tetapi aku tak bersalah kepada totiang. Mengapa totiang hendak menghukum aku?” seru Siau Lo-seng.
It Tim Totiang maju tiga langkah dan membentak dengan bengis:
“Seorang lelaki berani berbuat harus berani bertanggung jawab. Tetapi mengapa sekarang engkau hendak
menyangkal? Apakah cukup dengan beberapa patah kata saja engkau hendak menghapus tindakanmu?”
Siau Lo-seng benar-benar tak mengerti.
“Totiang,” serunya lantang, “bagaimana kesalahanku, mohon totiang memberi keterangan. Kalau memang
bersalah, aku pasti mau mengakui.”
Tampak rambut It Tim meregang karena marah sekali.
“Siau sicu, kami memang hendak menunggu engkau bicara. Karena sekarang engkau menyatakan
bertanggung jawab atas perbuatanmu, maka harap ikut kami menuju ke Ceng-gi-tong menerima
keputusan,” serunya.
“Bagaimana engkau tahu kalau aku orang she Siau?” Siau Lo-seng berseru kaget, “paseban Ceng-gi-tong
itu untuk mengadili anak murid Bu-tong-pay yang bersalah. Tetapi aku bukan murid Bu-tong-pay, mengapa
aku harus ikut kalian ke Ceng-gi-tong?”
Tiba-tiba It Bing Totiang berseru: “Sam-sute perlu apa banyak bicara dengan budak yang seliar itu?”
Tahu-tahu imam tua itu sudah meluncur maju terus hendak menyambar pergelangan tangan Siau Lo-seng.
Pemuda itu terkejut. Ia endapkan tangannya ke bawah lalu dibalikkan untuk menusuk. Tangan kirinya pun
juga menampar seraya menyurut mundur.
Karena Siau Lo-seng dapat meronta lepas dari cengkeramannya. It Bing Totiang mengisar ke samping
untuk menghindari tamparan lalu maju menyerang.
Siau Lo-seng menghindar dan loncat mundur lagi seraya berseru marah: “Jika kalian tetap mendesak,
jangan salahkan kalau aku bertindak keras. Aku mau mengalah bukan karena takut kepada kalian!”
“Sudah empatpuluh tahun aku tak bertempur dengan orang. Hari ini akan kulihat sampai berapa jurus
engkau mampu melayani seranganku,” seru It Bing Totiang.
Imam tua itu maju pula, dan lancarkan serangan dahsyat bertubi-tubi. Siau Lo-seng terkejut. Serangan
imam tua itu menghamburkan tenaga dalam yang dahsyat sekali.
“Jika demikian akupun terpaksa melayani totiang,” seru Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng pun segera mainkan jurus-jurus ilmu pukulan yang indah dan sukar diduga. Keduanya
bertempur dengan seru dan dahsyat.
Diam-diam It Bing Totiang terkejut sekali. Setitikpun ia tak menyangka bahwa pemuda itu ternyata mampu
melayaninya sampai belasan jurus.
It Bing penasaran. Ia mendesak maju. Kedua tangannya bergerak cepat sekali sehingga dalam beberapa
kejap saja sudah enam jurus serangan yang dilancarkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
13.65. Tuduhan Pembunuh Ketua Bu-tong-pay
Siau Lo-seng terdesak mundur sampai setombak jauhnya. Tiba-tiba ia hentikan pukulannya.
“Ah, hawa iblis makin merajalela. Kemungkinan makin berat beban untuk memberantas mereka,” ia
menghela napas.
Tiba-tiba berpuluh-puluh imam tua dan muda berhamburan masuk memenuhi ruangan itu. Siau Lo-seng
terkejut. Bukankah tadi biara itu kosong melompong? Mengapa sekarang mendadak muncul sekian banyak
imam?
“Ceng Hi, apa maksud kalian datang kemari?” tiba-tiba It Tim Totiang menegur.
Seorang imam pertengahan umur, tampil ke hadapan It Tim Totiang, berlutut dan berseru dengan nada
getar:
“Hatur beri tahu kepada susiok. Sekalipun dijatuhi hukuman perguruan yang berat tetapi para murid tetap
hendak menyaksikan matinya pembunuh yang telah membinasakan ciang-bun-jin suheng dan ketigapuluh
dua anak murid paseban Ik-seng-tong. Murid Ceng Hi, akan bunuh diri sebagai hukuman karena tak mampu
melindungi mereka tetapi murid mohon agar supeh dan susiok dapat menangkap pembunuh itu dan
membalaskan sakit hati ciang-bun-jin suheng dan para murid-murid paseban Ik-seng-tong.”
Habis berkata Ceng Hi mencabut pedang hendak ditabaskan ke lehernya. Tetapi tiba-tiba empat orang
imam loncat menghampiri. Yang dua menyekap tangan Ceng Hi dan yang dua berlutut di hadapannya.
“Suhu, jika suhu hendak bunuh diri, harap bunuh semua murid-murid dulu,” seru kedua imam itu.
Sekalian imam yang memenuhi ruangan itu serempak menundukkan kepala dan mengucurkan air mata.
Bahkan ada yang terisak-isak.
Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia menyadari apa yang telah terjadi. Ternyata anak murid Bu-tong-pay itu
telah menuduh bahwa dialah pembunuh dari ciang-bun-jin (ketua) Bu-tong-pay dan ketigapuluh dua muridmurid
paseban Ik-seng-tong.
Apakah yang telah terjadi di markas Bu-tong-pay? Ah, sebelum jelas akan persoalannya ia akan membatasi
diri untuk tidak bertindak gegabah agar jangan sampai terulang lagi peristiwa seperti dengan Liat Hwe
Thancu dari perkumpulan Naga Hijau itu.
Jelas sudah bahwa Bu-tong-pay sudah menduga bahwa dia tentu akan datang ke markas mereka. Maka
sebelumnya mereka sudah mengadakan persiapan untuk menyambut.
Karena tak kuat menahan ketegangan hatinya, Siau Lo-seng segera berseru lantang,
“Hai, harap jangan percaya pada orang yang memfitnah diriku sebagai pembunuh. Aku baru pertama kali ini
datang ke sini. Aku tak tahu peristiwa apa yang terjadi di markas Bu-tong-san ini.”
Tiba-tiba imam muda yang mendekap lengan Ceng Hi membentak: “Bangsat, terimalah pedangku ini!”
Seiring dengan bentakannya, ia terus loncat ke udara dan taburkan pedang dalam jurus Ribuan tawon
keluar sarang. Berpuluh-puluh percikan sinar pedang segera mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.
Tahu bahwa imam muda itu memainkan jurus ilmu pedang Bu-tong-pay yang hebat, Siau Lo-seng pun tak
berani memandang rendah. Ia menyurut mundur beberapa langkah lalu mencabut Pedang Ular Emas dan
digerak-gerakkan untuk menangkis.
“Tring, tring......”
Ketika kedua pedang itu saling beradu, Siau Lo-seng tetap tegak di tempatnya tetapi imam muda itu
terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah baru berdiri tegak lagi.
Dari hasil adu senjata itu dapatlah diketahui bagaimana ukuran kepandaian kedua orang itu.
Ilmu kepandaian Siau Lo-seng berasal dari Cian-li-tui-cong Ban Li-hong. Dan Ban Li-hong menguasai
segala ilmu silat maupun ilmu pedang segenap aliran perguruan dalam dunia persilatan. Sudah tentu ilmu
pedang Bu-tong-pay yang dimainkan imam muda itu takkan terlepas dari penguasaan Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah tentu imam muda itu tak tahu. Dia hanya merasa kalah tingkat kepandaiannya tetapi dia telah
bertekad bulat dan berteriak keras: “Bangsat, aku akan mengadu jiwa dengan engkau!”
Tok-coa-jut-tong atau Ular berbisa keluar guha, Gin-u-hui-say atau Hujan perak mencurah berhamburan
dan Thian-ho-to-lo atau Bintang langit berjungkir arah, adalah tiga buah serangan pedang yang dilancarkan
imam muda itu kepada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng terpaksa mengangkat Pedang Ular Emas untuk melayani. “Tring, tring,” dalam dering
benturan pedang, pedang imam muda itupun terlepas dan orangnya pun terlempar sampai setumbak lebih
jauhnya.
Ceng Hi dan beberapa anak muridnya terkejut. Mereka berhamburan loncat hendak menolong. Tetapi
sebelum mereka bergerak ternyata imam muda itu sudah meluncur di tanah tak kurang suatu apa.
Melihat muridnya tak kurang suatu apa, legahlah hati Ceng Hi. Saat itu, tujuh imam jubah kuning sudah
mengepung Siau Lo-seng.
“Hat Ceng, mundurlah!” teriak It Tim Totiang.
Mendengar itu, ketujuh imam jubah kuning serempak berseru: “Memberi tahu kepada susiok-cou……”
“Mundur, serahkan urusan di sini pada kami!” seru It Bing Totiang.
“Susiok,” seru Ceng Hi Totiang. “aku malu menjabat ketua perguruan kita. Ijinkan aku adu jiwa dengan dia.”
Saat itu berpuluh murid Bu-tong-pay sudah maju menghampiri Siau Lo-seng. Tiba-tiba It Ceng Totiang
berseru: “Berhenti! Suruh dia mengatakan alasannya!”
Mendengar perintah suhunya, Ceng Hi pun segera memerintahkan sekalian anak murid Bu-tong-pay itu
mundur. Dan karena ketuanya yang memberi perintah, murid-murid Bu-tong-pay itupun segera mundur.
Melihat itu, Siau Lo-seng meminta kepada Ceng Hi supaya murid-murid Bu-tong-pay itu disuruh tinggalkan
ruangan situ.
“Ah, engkau memang banyak tingkah,” gerutu Ceng Hi, “mengapa murid Bu-tong-pay tak boleh
mendengarkan urusan perguruannya? Tanyakan sendiri apakah mereka mau meninggalkan ruangan ini
atau tidak?”
Siau Lo-seng mendengus.
“Hm, engkau sebagai seorang ketua masakan tak dapat memberi perintah kepada mereka. Kalau engkau
tak mau, maaf, akupun tak dapat memberi keterangan apa-apa,” serunya.
“Ceng Hi, perintahkan mereka,” seru It Ceng.
“Suhu......” Ceng Hi pucat wajahnya.
Ternyata baru-baru saja Ceng Hi menerima jabatan ketua Bu-tong-pay itu. Adalah karena usianya masih
muda maka banyaklah anak murid Bu-tong-pay yang tak puas.
“Ceng Hi, suruh engkau melakukan hal itu mengapa tak lekas mengerjakannya,” seru It Bing Totiang,
“adakah setelah menjabat ketua partai engkau merasa dapat menolak perintah suhumu?”
“Ah, murid tak berani, tetapi, tetapi……”
“Tetapi bagaimana?”
Ceng Hi terpaksa mengangkat Giok-leng atau lambang kekuasaan Bu-tong-pay ke atas kepala dan berseru
kepada sekalian anak murid.
“Sekalian murid Bu-tong-pay, dengarkanlah! Aku menerima titah Tiang-lo, menyuruh kalian tinggalkan
ruangan ini, harap diindahkan!”
Dari kalangan murid-murid Bu-tong-pay segera timbul kehirukan. Setiap murid yang tinggalkan tempat itu
tentu memandang Siau Lo-seng dengan penuh kemarahan. Tetapi Siau Lo-seng tak menghiraukan mereka.
Setelah ruangan itu tiada orangnya, barulah Ceng Hi berkata: “Harap Siau sicu segera mengutarakan
persoalan itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bila, dimana dan dalam keadaan bagaimanakah ketua dan ke tigapuluh dua anak murid Ik-seng-tong dari
perkumpulan Bu-tong-pay itu menderita kecelakaan?” Siau Lo-seng membuka pembicaraan dengan sebuah
pertanyaan.
“Ah, sudah tahu mengapa masih bertanya pula?” dengus Ceng Hi.
“Aku hanya minta engkau supaya menjawab pertanyaanku itu,” seru Siau Lo-seng dengan tegas.
“Saat ini engkau sudah terkepung rapat. Lebih baik engkau tahu diri dan dapat berpikir yang tepat,” Ceng Hi
Tojin marah.
“Ceng Hi, jawablah pertanyaannya,” tiba-tiba It Ceng Totiang, guru dari Ceng Hi, ikut campur.
“Perlu apa engkau menanyakan tentang kematian ciang-bun-jin suheng dan ke tigapuluh dua murid
paseban Ik-seng-tong itu? Kalau tiada sangkut pautnya, janganlah terlalu mencampuri urusan perguruan
kami,” Ceng Hi melengking marah.
“Bukan saja mempunyai hubungan dengan peristiwa berdarah dalam perguruan Bu-tong-pay tetapi pun
menyangkut keselamatan dari segenap kaum persilatan,” sahut Siau Lo-seng, “jika engkau tak mau
menerangkan sejujurnya, seluruh kaum persilatan tentu akan mengalami malapetaka hebat dan engkaupun
tentu akan memikul tanggung jawab yang besar.”
Sejenak berhenti memandang keempat tokoh tua dari Bu-tong-pay, Siau Lo-seng melanjutkan pula.
“Dewasa ini seluruh kaum persilatan sudah terancam bahaya, bahkan ada yang sudah tertimpah
malapetaka itu. Dua-tigapuluh anak murid Bu-tong-pay yang binasa dan berpuluh jiwa anak buah
perkumpulan Naga Hijau yang mati hanyalah merupakan permulaan dari tibanya malapetaka itu. Kalau
kalian tak lekas menyadari hal itu dan tetap gelap pikiran, dikuatirkan, beratus-ratus tahun keharuman nama
Bu-tong-pay akan hancur lebur dalam sehari saja.”
“Sebelum engkau membuktikan dirimu bukan pembunuh, janganlah engkau mengumbar suara besar
menilai keadaan perguruan kami,” seru Ceng Hi Totiang.
“Hm, coba jawablah,” balas Siau Lo-seng. “perlu apa aku minta engkau memerintahkan anak murid Butong-
pay keluar dari ruangan ini. Apakah hal itu hanya karena aku hendak bicara yang tak penting artinya?”
“Lalu untuk apa?” teriak Ceng Hi Tojin makin marah.
“Untuk manusia ini......” teriak Siau Lo-seng lalu melambung dan lepaskan beberapa kali ilmu Han-sim-cikang
atau tutukan jarak jauh dengan jari, ke arah empat imam jubah kuning tadi.
Dari baju keempat orang itu berhamburan jatuh beberapa senjata rahasia beracun. Dan karena tutukan jari
Han-sim-ci dari Siau Lo-seng tadi, keempat imam jubah kuningpun jatuh dan tepat menimpah pada
senjatanya sendiri yang beracun itu.
Mereka berguling-guling menahan kesakitan yang hebat sekali.
Tiba-tiba Ceng Hi Tojin menggembor keras terus menyerang Siau Lo-seng: “Binatang, engkau berani
membunuh……”
Siau Lo-seng tak mengira sama sekali bahwa Ceng Hi Tojin akan menyerangnya dengan pedang. Karena
jaraknya amat dekat, pedang ketua Bu-tong-pay itu tentu akan menusuk tubuh Siau Lo-seng.
“Tring…...”
Tiba-tiba terdengar dering pedang jatuh ke lantai dan tubuh Ceng Hi pun terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya terkejut sekali ketika mengetahui apa yang terjadi.
“Suhu, engkau bagaimana......?”
Ternyata It Ceng Totianglah yang kebutkan lengan jubahnya untuk menampar jatuh pedang Ceng Hi,
kemudian imam tua itu loncat menghampiri ke empat imam jubah kuning. Tetapi terlambat. Mulut ke empat
imam jubah kuning itu berlumuran darah. Ternyata mereka telah menggigit putus lidahnya sendiri sehingga
mati.
It Ceng menghela napas dan tegak termangu-mangu.
Siau Lo-seng segera menghampiri dan memberi hormat: “Terima kasih atas bantuan cianpwe. Kalau tidak,
aku tentu menderita celaka tadi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mata It Ceng Totiang berkilat-kilat menatap Siau Lo-seng, serunya dingin: “Tak perlu engkau berterima
kasih kepadaku. Aku memberi pertolongan agar engkau melanjutkan keteranganmu.”
Kemudian imam tua itu berpaling dan menegur Ceng Hi: “Keempat imam jubah kuning termasuk anak murid
paseban mana?”
“Paseban Ik-seng-tong dan imam golongan Hoa,” sahut Ceng Hi.
“Lekas panggil ketua Ik-seng-tong kemari,” perintah It Tim.
“Ah, hatur beritahu kepada susiok bahwa kepala paseban Ik-seng-tong, Thian It Totiang karena tujuh hari
yang lalu telah menghilangkan sebuah benda pusaka dari perguruan Bu-tong-pay, dia bunuh diri sebagai
penebus dosa.”
“Jelas itu suatu pembunuhan yang direncanakan,” seru Siau Lo-seng.
“Tutup mulutmu!” bentak Ceng Hi, “jangan lupa, engkau masih tersangka sebagai pembunuh!”
Siau Lo-seng tertawa nyaring,
“Ketua, engkau sendiri juga tak terluput dari tuduhan sebagai pembunuh!” serunya.
Gemetar tubuh Ceng Hi mendengar kata-kata anak muda itu. Dengan mengertek gigi, ia berseru geram:
“Bagaimana engkau hendak mempertanggung jawabkan atas kematian keempat imam perguruan kami ini?”
Tiba-tiba Siau Lo-seng bahkan malah tertawa makin keras. Setelah itu ia menjawab dengan nada dingin.
“Ternyata perguruan anda terdapat anak murid yang berani sembarangan melanggar perintan ketuanya,
berani masuk ke ruang terlarang. He, kurasa kewibawaanmu memang hebat benar!”
Kata-kata itu benar-benar menampar muka Ceng Hi. Wajahnya merah padam dan ubun-ubun kepalanya
seperti mengeluarkan asap.
“Itu urusan perguruan kami sendiri,” serunya, “tak perlu engkau ikut campur. Betapapun engkau hendak
putar lidah tetapi jangan harap engkau dapat lolos dari dosamu membunuh orang!”
“Kalau ada murid yang secara menggelap hendak membunuh orang-orang yang berada di ruang haruskah
dia dibunuh?” Siau Lo-seng balas bertanya,
“Murid kami yang melakukan kesalahan sudah diatur dalam hukum peraturan perguruan kami sendiri.
Engkau berani lancang membunuh mereka berarti engkau tak mengindahkan kepada perguruan Bu-tongpay.
Kesalahanmu itu tak mungkin diampuni lagi,” jawab Ceng Hi.
“Kalau mereka hendak membunuh engkau? Lalu bagaimana keputusanmu?”
“Tak mungkin mereka berani melakukan hal semacam itu!” bentak Ceng Hi marah sekali.
Jawab Siau Lo-seng tenang-tenang,
“Tak peduli siapa yang hendak dibunuh, tetapi mereka telah mempersiapkan rencana yang keji dan harus
dibasmi. Apakah engkau yakin dapat terhindar dari taburan senjata beracun yang serempak dilakukan oleh
keempat imam itu? Kalau, engkau tak percaya mereka akan membunuh engkau maka hanya dua
kemungkinan. Kalau engkau bukan komplotan mereka, tentulah engkau ini seorang musuh dalam selimut.”
“Engkau maksudkan bahwa kematian dari anak murid Bu-tong-pay itu disebabkan karena di dalam partai
terdapat musuh dalam selimut yang telah bersekongkol dengan musuh luar?”
“Bermula aku memang menduga-duga saja,” kata Siau Lo-seng, “tetapi sekarang aku berani memastikan
bahwa dalam perguruan Bu-tong-pay memang terdapat komplotan penghianat.”
Tiba-tiba It Tim Totiang mengerat kata-kata Siau Lo-seng: “Siau sicu, harap jangan omong yang tak penting.
Apakah maksudmu datang kemari?”
“Atas terjadinya peristiwa menyedihkan dalam perguruan Bu-tong-pay, aku ikut perihatin,” kata Siau Loseng,
“kedatanganku kemari karena hendak menyelidiki suatu peristiwa berdarah. Tetapi tak kira kalau Butong-
pay juga sudah dilanda oleh peristiwa berdarah itu. Karena dalam peristiwa ini tentu ada sebab dan
penggeraknya maka kupercaya atas kebijaksanaan locianpwe untuk menyimpulkan keputusan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami bertiga sejak empatpuluh tahun yang lalu sudah tak mengurusi lagi persoalan perguruan,” kata It Tim
Totiang, “sungguh tak kira pada hari ini, perguruan kami akan tertimpah bencana macam begini. Kalau kami
orang-orang tua ini tak bertindak untuk membersihkan perguruan, kemungkinan Bu-tong-pay tentu akan
hancur berantakan......”
Ia mengakhiri kata-katanya dengan sebuah helaan napas yang dalam dan panjang.
“Locianpwe sungguh bijak dan cerdas, aku menaruh kekaguman yang tak terhingga......”
Tiba-tiba It Tim Totiang deliki sepasang matanya dan berseru dingin,
“Siau sicu, jangan mengira kami sudah terpengaruh oleh sikap dan kata-katamu itu. Aku memang kagum
atas tingkah laku yang engkau mainkan di hadapanku ini. Tetapi akupun heran mengapa tingkah laku dan
ucapanmu itu tidak sesuai dengan berita-berita dalam dunia persilatan yang menyohorkan engkau sebagai
seorang pembunuh ganas yang berdarah dingin.
“Apa?” Siau Lo-seng terbelalak. “apakah engkau juga menuduh aku sebagai pembunuh? Adakah engkau
tahu nama yang diberikan kaum persilatan kepada diriku?”
Tiba-tiba Ceng Hi tertawa mengejek.
14.66. Bunuh Diri karena Gagal
Puas tertawa, Ceng Hi Tojin, ketua Bu-tong-pay berseru nyaring: “Aha, sungguh menggelikan sekali katakatamu
itu. Siapakah kaum persilatan yang tak tahu bahwa Pedang Ular emas Siau Mo itu seorang momok
pembunuh yang ganas?”
Diam-diam Siau Lo-seng terkejut. Belum sampai setahun dia muncul di dunia persilatan mengapa orangorang
Bu-tong-pay yang bermarkas di daerah sejauh Oupak, dapat mengetahui dan mengenali dirinya?
“Hm, aneh sekali. Mungkin ada sesuatu dalam hal itu,” diam-diam ia merangkai dugaan.
“Bagaimana engkau memastikan aku ini Siau Mo?” serunya.
“Wajah dan pakaianmu boleh berganti seribu macam tetapi engkau sulit untuk menyembunyikan ciri-ciri
khusus dari senjata pembunuh yang ganas yakni pedang Ular Emas!”
“Engkau menuduh pedang Ular Emas ini?” tanya Siau Lo-seng.
“Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau kebetulan saja menemukan senjata itu atau Siau Mo
telah memberikan kepadamu?” desak Ceng Hi Tojin.
Saat itu Siau Lo-seng seperti orang gagu yang ketulangan. Mulut sakit tetapi tak dapat mengatakan. Ia tak
menyangka bahwa penyaruannya sebagai Siau Mo, walaupun hanya berjalan beberapa waktu saja ternyata
telah termasyhur di seluruh dunia persilatan.
Melihat Siau Lo-seng tak dapat menjawab. Ceng Hi makin mendesak dengan kata-kata bengis:
“Tuhan Maha Pemurah,” serunya, “perbuatan jahat akhirnya tentu akan tumpas seperti yang engkau alami
hari ini.”
“Kalau engkau berkeras menuduh aku sebagai Siau Mo akupun tak dapat memberi keterangan suatu apa,”
kata Siau Lo-seng. “hanya kuminta engkau suka menerangkan bila dan bagaimana ketua dan anak murid
Bu-tong-pay sampai menderita kematian itu?”
“Apakah engkau sungguh-sungguh hendak bertanya?”
“Kalau tidak untuk menyelidiki, perlu apa aku harus banyak mulut?” balas Siau Lo-seng.
Tampak ketiga tokoh tua Bu-tong Sam-siu sedang berunding. Tetapi mereka tak terdengar mengeluarkan
suara. Hanya ujung bibirnya yang bergerak-gerak. Berulang kali menganggukkan kepala seperti memberi
persetujuan. Ternyata mereka menggunakan ilmu Menyusup suara untuk berunding.
Cahaya wajah Ceng Hi tampak berobah ketika mendengar penyahutan Siau Lo-seng.
“Tujuh hari yang lalu, mereka telah terbunuh di puncak Thou-ban-hong,” kata Ceng Hi. “sejak berdirinya Butong-
pay, baru pertama kali itu mengalami peristiwa yang sedemikian mengerikan. Tiada seorangpun dari
dunia-kangouw.blogspot.com
pembunuh itu yang dapat dibekuk sehingga kalian dapat pergi dengan bebas. Tak terduga, apa yang diduga
Hun Hay sutit ternyata benar. Kami terpaksa mengundang para Tiang-lo Bu-tong-pay supaya melindung
biara kami. Rencana itu memang benar dapat menjebak kedatanganmu kemari.”
“Ah, ternyata memang benar......” tiba-tiba Siau Lo-seng menghela napas.
Ceng Hi tertegun.
“Pada waktu itu ada orang yang melihat engkau menggunakan pedang Ular Emas untuk membunuh anak
buah kami. Walaupun tak kenal engkau tetapi setiap orang persilatan tentu mengetahui bahwa hanya Siau
Mo lah yang menggunakan pedang Ular Emas!”
“Benarkah ketua Bu-tong-pay yang lalu telah mati terbunuh?” tegur Siau Lo-seng.
“Masakan pura-pura mati!” bentak Ceng Hi Tojin yang sekarang menggantikan kedudukan sebagai ketua
Bu-tong-pay, “saat ini jenasahnya masih berada di belakang ruang.”
“Bukan, aku bukan bermaksud begitu,” seru Siau Lo-seng, “maksudku hendak bertanya, apa jenasah Giok
Hi ciang-bun-jin itu masih utuh sehingga dapat kita kenali orangnya?”
“Masakan aku tak dapat mengenali suheng sendiri,” Ceng Hi Tojin makin marah, “hm, kalau engkau mau
lihat, akan kuberi kesempatan kepadamu.”
Habis berkata ketua Bu-tong-pay itupun segera berputar tubuh dan melangkah menuju ruang samping lalu
menyingkap kain tirai yang menutup pintu.
Ternyata dalam ruang itu terdapat dua deret peti mati warna merah. Entah berapa jumlahnya. Di tengahnya
sebuah peti mati yang besar dan indah, mungkin berisi jenasah Giok Hi Tojin, ketua Bu-tong-pay yang
terbunuh itu. Di depan peti terdapat meja sembahyangan. Asap dupa masih berkepul-kepul. Ruang jenasah
itu diterangi dengan lilin besar.
Suasana yang menyeramkan itu, amat menyentuh perasaan Siau Lo-seng sehingga ia mundur selangkah
terlongong-longong.
Dalam pada itu terdengarlah mulut Ceng Hi Tojin berkemak-kemik mengucapkan doa:
“Ciang-bun suheng, mohon suheng suka memberi bantuan agar aku yang ditunjuk menggantikan
kedudukan sebagai ketua perguruan kita dapat menuntut balas atas kematian keempatpuluh jiwa anak
murid kita.”
Sehabis berdoa dia lantas berputar tubuh dan melangkah maju menghampiri Siau Lo-seng dengan mata
berkilat-kilat penuh dendam pembunuhan.
Entah bagaimana, Siau Lo-seng setapak demi setapak mundur ke belakang.
“Setelah menyaksikan, segeralah engkau berikan nyawamu!” teriak ketua Bu-tong-pay itu seraya menabas
dengan pedang.
Siau Lo-seng cepat menghantam dan loncat menghindar ke samping. Tetapi Ceng Hi tak mau memberi
kesempatan lagi. Ia loncat seraya menabas.
“Aduh......!” tiba-tiba terdengar lolong jeritan ngeri.
Bahu Siau Lo-seng tergurat ujung pedang dan tubuhnya terhuyung mundur sampai tujuh-delapan langkah.
Tetapi serempak dengan itu terdengar suara bentakan dan erang tertahan. Tahu-tahu Ceng Hi Tojin
menderita hebat. Dadanya termakan tiga buah pukulan, sebuah tutukan jari dan sebuah tendangan kaki.
Mulutnya menyembur darah dan orangnya pun terlempar jauh. “Bluk,” dia jatuh terduduk di tanah.
Ceng Hi Tojin mengekeh. Dengan muka berlumuran darah ia paksakan diri bangun dan maju menghampiri
Siau Lo-seng.
Melihat gerak gerik ketua Bu-tong-pay itu, Siau Lo-seng merasa seram juga. Jelas Ceng Hi Tojin seperti
orang kalap yang tak menghiraukan jiwanya lagi.
Pemuda itu berpaling memandang ke arah ketiga tokoh tua Bu-tong-pay dengan pandang mengharap
bantuan. Tetapi tampak wajah ketiga tokoh tua itu tegang sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat terpisah lima langkah dari tempat Siau Lo-seng. Ceng Hi Tojin taburkan pedangnya dalam
sebuah jurus yang luar biasa dahsyatnya. Beratus-ratus sinar pedang berhamburan mencurah ke tubuh
Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng tegak dengan tenang. Pada lain saat dia agak condongkan tubuh ke samping dan mengendap
ke bawah. Sesaat kemudian pedang Ular Emas segera melancar.
Tiba-tiba Ceng Hi Tojin menggigil dan wajahnya berubah seram, mulut menjerit ngeri. Serangkum darah
segera mencurah ke muka Siau Lo-seng. Itulah akibat dari guratan ujung Pedang Ular Emas yang melukai
dagu sampai ke dada.
“Jang-kiong-coat-beng-in!” seru ketiga Bu-tong Sam-siu dengan terkejut.
Memang karena terpaksa Siau Lo-seng menggunakan jurus ilmu pedang itu. Pada hal itu belum pernah
menggunakannya dan belum tahu bagaimana akibatnya.
Tampak sepasang mata Ceng Hi Tojin melotot seperti mau keluar. Tubuhnya menggigil, dagunya
bercucuran darah, dadanya berlumuran juga. Sepintas keadaannya amat menyeramkan.
Dia berkeras hendak maju menghampiri Siau Lo-seng, tetapi langkahnya terhuyung-huyung jatuh……
Dia bangun lagi dan berusaha untuk berdiri walaupun wajahnya mengeriput kesakitan. Keringat bercucuran
membasahi mukanya.
Sejumlah besar jago-jago Bu-tong-pay segera berhamburan masuk ke dalam ruang. Tetapi mereka segera
tertegun menyaksikan pemandangan saat itu.
Sepasang mata Ceng Hi merah membara, memandang ke arah rombongan jago-jago Bu-tong-pay. Tibatiba
dia menghamburkan tertawa yang bernada rawan penuh kepiluan.
Nada tertawa itu jauh lebih berpengaruh dari segala perintah. Tiada seorang anak murid Bu-tong-pay yang
berani mendengus napas. Mereka merasa nada tawa Ceng Hi Tojin itu bagaikan sembilu yang menyayat
hati mereka. Mereka tundukkan kepala tak berani memandang ketua mereka!
Habis tertawa. Ceng Hi muntahkan segumpal darah. Tubuhnya menggigil keras. Tiba-tiba dia mengeluarkan
sebuah Giok-ji-ih atau lencana kumala, diangkat tinggi-tinggi ke atas kepala dan berseru nyaring,
“Sekalian anak murid Bu-tong pay, dengarkanlah! Apakah benda yang berada di tanganku ini?”
Terdengar suara berderap-derap memberisik ketika berpuluh-puluh anak murid Bu- tong-pay yang berada
dalam ruang itu serempak jatuhkan diri berlutut. Bahkan ketiga tokoh tua Bu-tong Sam-siu pun ikut berlutut
juga.
Siau Lo-seng merasa bahwa keadaan sudah berkembang sedemikian rupa. Iapun merasa akan
menghadapi suatu bencana yang tak dapat dihindari.
Setelah mengeluarkan pandang ke arah murid-murid Bu-tong-pay maka dengan suara tegang-tegang
gemetar, Ceng Hi Tojin berseru:
“Aku telah menderita nasib yang tak beruntung…… saat ini berada dalam detik-detik akhir hayatku...... sejak
beratus-ratus tahun berdirinya perguruan Bu-tong-pay, peristiwa ini merupakan bencana yang paling
besar…... suatu hinaan yang paling memalukan…... setiap anak murid Bu-tong-pay harus memiliki rasa
tanggung jawab dan melaksanakannya dengan sepenuh tenaga...... peristiwa ini merupakan pelajaran
berdarah...... kenyataan berdarah...... kalian semua telah menyaksikan sendiri!”
Berkata sampai di situ, nada suara Ceng Hi mulai berobah parau. Darah dan keringat bercucuran
membasahi tubuhnya.
“Ceng Hi memang tiada berguna dan tidak cakap. Sejak menerima pengangkatan sebagai ketua bahkan
hanya membawa keributan dalam perguruan Bu-tong-pay. Bukan saja tak mampu membalaskan sakit hati
atas kematian Ciang-bun suheng…… pun bahkan menimbulkan kegelisahan di kalangan anak murid.
Berulang kali terbit pertengkaran, bahkan menjerumuskan anak murid dan saudara-saudara seperguruan ke
dalam lembah kejahatan dan penghianatan terhadap perguruan...... dosa ini tiada ampun bagiku karena
perbuatan itu telah melumurkan hinaan besar kepada perguruan...... aku, Ceng Hi, akan menebus dosa itu
sendiri……”
Kata-kata yang panjang lebar dari ketua Bu-tong-pay itu telah menggemakan rasa sesal dan malu dalam
hati setiap anak murid. Bahkan ada beberapa yang mencucurkan airmata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Ceng Hi Tojin berteriak nyaring pula:
“Suhu dan para susiok. Dalam keadaan begini, aku rela menerima dosa sebagai seorang penghianat.
Semoga angkatan Bu-tong-pay dikelak kemudian hari dapat mengetahui dan memberi ampun
kepadaku....... Dengan benda lambang kekuasaan Bu-tong-pay yang tertinggi ini aku hendak mohon kepada
suhu dan para susiok sekalian untuk menghapus pantangan dan membalaskan sakit hati murid.......
membersihkan hinaan yang diderita para leluhur perguruan kita....... menangkap pembunuh itu.......”
“Bu-liang-siu-hud, Ceng Hi, engkau.......” baru It Ceng Totiang hendak berseru, Ceng Hi pun sudah
menukas:
“Suhu, jangan bicara apa-apa lagi? Betapa pun halnya, aku mohon suhu sekalian turun tangan. Masakan
suhu dan susiok sampai hati melihat perguruan kita hancur berantakan.......”
Kembali Ceng Hi muntah darah lalu berkata makin sunyi,
“Sekalian murid Bu-tong-pay, dengarkanlah! Kata-kata telah kuucapkan, terserah kepada kalian sendiri.......
aku merasa hina diri terhadap kalian dan para leluhur perguruan kita, aku.......”
“Suhu, engkau......” tiba-tiba terdengar suara teriakan yang melengking kejut-kejut sedih. Ternyata itulah
imam Hwat Hian yang berbangkit dari duduknya, menjerit dan terus loncat memeluk tubuh Ceng Hi.
Ternyata mulut Ceng Hi telah berlumuran darah. Dia telah bunuh diri......
Serentak terdengarlah tangis yang mengalun tinggi rendah. Sesaat kemudian tiba-tiba terdengar suara
orang berteriak nyaring: “Hai, pembunuh, serahkan jiwamu......”
Pertama-tama adalah Hwat Hian yang menerjang dengan jurus Beng-kui-kiu-im. Laksana kilat menyambar,
pedangnya telah menyabet ke arah Siau Lo-seng.
Menyusul dengan itu, maka berhamburanlah teriak kemarahan yang diserempaki dengan serangan pedang,
golok dan pukulan.
Siau Lo-seng memang sudah menduga akan menghadapi peristiwa semacam itu. Dengan jurus Heng-sohcian-
kun ia menyongsong mereka. Tangan kiri melepaskan dua belas pukulan, kaki mengirim delapan buah
tendangan. Tetapi tiap pukulan maupun tendangan itu pada setiap setengah jalan tentu segera ditarik
kembali. Dia tak mau melukai orang.
Setelah dapat mendesak mereka mundur, Siau Lo-seng pun cepat lolos dari kepungan. Tiba-tiba terdengar
suara bentakan yang bernada lain. Mantap dan penuh wibawa. Lain dari yang lain.
Memang suara itu berasal dari It Tim Totiang, salah seorang dari Bu-tong Sam-siu atau tetua Bu-tong-pay.
Bagaikan sesosok bayangan, dia maju, gerakkan kedua tangannya untuk menghantam ke arah Siau Loseng
yang saat itu sedang melambung ke udara hendak meloloskan diri.
Terasa dirinya dilanda oleh segelombang angin dahsyat, buru-buru Siau Lo-seng melayang turun ke
samping untuk menghindari.
Tetapi sebelum kakinya sempat menginjak bumi, It Tim Totiang secepat kilat sudah loncat ke samping dan
dengan sebuah gerakan yang indah, menyambar siku lengan kanan pemuda itu.
Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia ayunkan kaki menendang dalam jurus Gan-yang coat-beng-thui, sedang
ujung pedang Ular Emas ditutukkan ke ulu dada It Tim.
Pada saat It Tim terpaksa harus menyurut mundur, Siau Lo-seng pun cepat melambung ke udara, melayang
melampaui kepala murid-murid Bu-tong-pay.
Hardik, gembor dan teriakan keras berhamburan serempak dengan beratus ratus benda bergemerlapan ke
arah tubuh pemuda itu.
Anak murid Bu-tong-pay telah menaburkan berbagai senjata rahasia ke arah Siau Lo-seng.
Namun Siau Lo-seng masih dapat memutar pedang Ular Emas untuk melingkari tubuhnya dari serangan
senjata-senjata maut itu. Dengan meminjam tenaga gerakan pedang itu, tubuhnya melayang ke paseban
Ceng-gi-tian. Tetapi selekas kakinya menginjak lantai, kejutnya pun segera merangsang hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah kapan, tahu-tahu It Ceng Totiang, suhu dari Ceng Hi Tojin, sudah menghadang di hadapan.
Jenggotnya yang panjang menjulai di dada tampak bertebaran. Tenang sekali sikap tokoh Bu-tong Sam-siu
itu.
“Bu-liang-siu-hud!” serunya, “hendak lari kemanakah Siau sicu? Saat ini seluruh penjuru gunung Bu-tongsan
telah dijaga ketat. Sekalipun engkau mempunyai sayap, juga sukar untuk keluar dari sini......”
Setelah tenangkan hati, Siau Lo-seng berseru: “Totiang, apakah engkau hendak mendesak aku turun
tangan?”
Dalam berkata-kata itu, Siau Lo-seng pun sudah menyerang bertubi-tubi. Tiga buah tusukan pedang,
delapan buah pukulan dan enam buah tendangan.
Apabila jago sakti bertempur, maka setiap gerak tangan mereka tentu merupakan serangan maut.
Selama itu It Ceng Totiang tak mau balas menyerang melainkan berlincahan menghindar kian kemari dan
menyurut mundur.
“Penjahat engkau berani……” tiba-tiba terdengar It Tim Totiang melantang teriakan dan secepat kilat loncat
menghantam punggung Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng tahu siapa It Tim Totiang itu. Cepat berputar tubuh ke belakang dan songsongkan kedua
tangannya untuk menangkis pukulan Bu-seng-kong-gi yang dilepaskan It Tim Totiang.
“Bum......”
Terdengar letupan ketika dua buah pukulan tenaga sakti itu saling beradu.
Kedua bahu It Tim Totiang tergetar dan terhuyung mundur sampai tiga langkah. Sedang tubuh Siau Lo-seng
terlempar ke udara, berputar-putar lalu melayang turun di luar paseban.
“Hai, hendak lari kemana engkau!” ketiga Bu-tong Sam-siu yakni It Ceng, It Bing dan It Tim serempak
berteriak dan mengejar ke luar paseban.
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Dewasa Lugu Polos Pendekar 100 Hari 3 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 07 Mei 2018. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.