Cersil Terbaru Pendekar 100 Hari 1

Cersil Terbaru Pendekar 100 Hari 1
baca juga
------
01.01. Maut Berpesta?
Kota Lok-yang yang tengah dicengkam musim salju, tampak sunyi senyap. Kota bekas kota kerajaan itu
seolah terbungkus oleh selimut putih.
Di pesanggrahan yang menjadi makam raja-raja Han, tampak dua orang tengah menikmati keadaan tempat
itu.
Yang satu seorang anak lelaki kecil, memegang tali kendali dua ekor kuda tegar. Anak itu tak henti-hentinya
menggigil kedinginan.
Sedang yang satu, seorang pemuda berwajah pucat. Dandanannya seperti seorang guru sekolah atau
sasterawan. Dari makam yang terletak di dataran yang ketinggian, ia lepaskan pandang mata ke arah jalan
raya dalam kota Lok-yang. Tampak beberapa penunggang kuda mencongklang di sepanjang jalan raya itu.
“Nyo Ih, mari kita pulang,” tiba-tiba sasterawan muda itu berseru kepada si anak lelaki.
“Ih, Siau sianseng, aku sungguh kagum sekali kepadamu,” seru anak itu, “dalam hawa begini dingin engkau
tak kedinginan sama sekali. Apakah engkau juga belajar ilmu silat seperti ayahku?”
Dalam bicara itu Nyo Ih si anak lelaki itupun sudah menyemplak kudanya. Sasterawan muda menepuknepuk
bahu anak itu dan tersenyum: “Nyo Ih, bagaimana engkau tahu kalau aku tak kedinginan? Itulah
karena aku biasa tahan lapar dan tahan dingin. Lihatlah tanganku ini. Betapa lemahnya, sampai tak kuat
untuk menyembeli ayam saja. Bagaimana engkau mengatakan aku bisa ilmu silat?”
Demikian kedua penunggang kuda itu, seorang sasterawan muda dan seorang anak lelaki, segera
mengendarai kudanya menyusur sepanjang jalan raya di kota Lok-yang.
Lok-yang adalah kota raja timur pada jaman kerajaan Han. Sebuah kota yang ramai, makmur dan indah.
Setelah masuk kota dan melintasi sebuah gang, akhirnya sasterawan muda dan anak lelaki itu berhenti di
muka pintu sebuah gedung besar yang terletak di bagian barat kota.
“Nyo Ih, engkau ini bagaimana? Kemana saja engkau pada hari sedingin ini......?” Serentak terdengar
lengking suara seorang anak perempuan yang merdu dan halus.
Dan serempak dengan seruan itu seorang nona baju hijau melesat keluar dari dalam pintu.
Melihat si nona, sasterawan muda itu cepat loncat turun dari kudanya dan memberi hormat. “Nona Nyo,
maafkan aku. Karena keisengan kuminta Nyo Ih membawa aku melihat-lihat makam raja.”
Sasterawan muda itu menutup kata-katanya dengan menjurah selaku minta maaf. Jelas tubuh sasterawan
itu menggigil kedinginan.
Ketika melihat sasterawan muda itu hanya mengenakan baju tipis, heranlah nona itu, serunya: “Siau
sianseng, mengapa engkau keluar hanya mengenakan pakaian begitu tipis? Toh, engkau sampai gemetar,
kalau sampai terserang dingin tentu bisa sakit...... mari, lekas ikut aku masuk ke dalam rumah.”
Memang saat itu tampak wajah sasterawan muda pucat, tubuh gemetar keras. Ia pun terus ikut nona itu
masuk ke dalam. Si anak lelakipun ikut juga.
Ketika melalui sebuah lorong, nona baju hijau berkata: “Siau sianseng, hari ini akan terjadi suatu peristiwa
dalam rumahku. Ayah telah pesan kepada seluruh penghuni supaya jangan keluar rumah. Engkau tadi
membawa adik Ih keluar, kalau sampai terjadi apa-apa, wah......”
Nona itu tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang ayu menampil kecemasan.
Sasterawan muda terkejut, tanyanya: “Apa katamu, nona Ing? Apakah yang akan terjadi di rumah nona ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Nona baju hijau itu berpaling memandangnya lalu menghela napas: “Engkau seorang sasterawan yang tak
kenal seluk beluk dunia persilatan. Walaupun kuberitahu, engkau tetap takkan mengerti liku-liku kehidupan
dalam dunia Persilatan......”
Kemudian ia berpaling kepada adiknya si anak lelaki: “Lekas engkau masuk ke dalam, mamah sudah
bingung mencarimu.”
Mendengar itu Nyo Ih pun segera bergegas lari masuk.
Nyo Cu-ing, demikian nama nona baju hijau itu, menghela napas dan berkata pula: “Siau sianseng, saat ini
di ruang besar sudah penuh dengan tetamu-tetamu. Mereka kebanyakan adalah tokoh-tokoh silat kelas
satu. Mari engkau ikut aku masuk. Apabila engkau mendengarkan pembicaraan mereka, tentu engkau bakal
mengetahui sendiri peristiwa itu.”
Sasterawan muda itu menjadi guru ilmu sastera pada keluarga Nyo Jong-ho, ayah si nona baju hijau. Dia
bernama Siau Lo-seng. Nyo Jong-ho khusus mengundang guru itu untuk mengajar ilmu sastera kepada
putera tunggalnya Nyo Ih, anak lelaki tadi.
Selekas melangkah masuk ke dalam ruang besar, ternyata di situ sudah penuh dengan tetamu-tetamu yang
tak kurang dari duapuluh orang jumlahnya. Mereka duduk di kursi yang telah dijajar-jajar menurut urutan
tingkat kedudukan. Sedangkan pada deret atas, terdapat duabelas kursi thay-su-ih atau kursi kehormatan.
Tetapi saat itu yang isi baru lima kursi.
Kelima tetamu yang duduk pada kursi kehormatan itu, yang tiga orang lelaki pertengahan umur. Bertubuh
kekar, alis lebat, matanya bundar besar. Masing-masing memanggul pedang di bahunya. Sedang yang
seorang lagi, seorang tua berambut putih, bertubuh kurus kering. Sepasang matanya meram-meram melek
seperti ayam yang tengah tidur.
Di atas kursi pimpinan, duduklah tuan rumah sendiri Nyo Jong-ho bergelar It-pit-ci-thian atau Pena Penunjuk
Langit. Seorang tokoh yang berumur limapuluhan tahun, mata tajam, tubuh tinggi besar. Jenggotnya
menjulai ke dada, menambah kewibawaan wajahnya. Dia mengenakan pakaian warna biru.
Melihat puterinya masuk ke dalam ruang dengan bapak guru Siau, Nyo Jong-ho memberi anggukan kepala.
Kemudian ia berkata kepada tetamu orangtua bertubuh kurus tadi.
“Saudara Han, hanya dalam satu tahun Kim-coa Long-kun itu muncul dalam dunia persilatan, tetapi kaum
persilatan sudah merasa gentar dengan sepak terjangnya yang ganas. Kemunculannya seolah-olah akan
mengaduk lagi suasana dunia persilatan yang sudah tenang......”
Saat itu sasterawan muda Siau Lo-seng sedang berjalan di samping para tokoh-tokoh silat. Sampai setelah
ia duduk di samping si nona yang mengambil tempat duduk di deret kursi thay-su-ih, ternyata tubuh guru itu
masih bergemetaran.
Melihat wajah guru Siau pucat sekali, bertanyalah si nona: “Siau sianseng, apakah engkau kedinginan?
Kalau badanmu tak enak, aku akan suruh orang memanggilkan sinshe. Sekarang baiklah engkau
beristirahat di ruang dalam saja.”
Siau sianseng, berarti guru Siau. Sebutan yang diberikan oleh putera puteri keluarga Nyo kepada Siau Loseng.
“Ai, nona Nyo, terima kasih,” kata guru muda itu, “disini lebih hangat dari di luar. Sebentar lagi aku tentu
baik.”
Aneh, begitu dia mengatakan tentu baik, tubuhnyapun tidak lagi gemetar. Bahkan wajahnya yang pucat lesi,
pun mulai bertebar merah.
Sekalian tetamu melihat keadaan guru muda yang begitu lemah, mereka tak menghiraukan lagi.
Salah seorang dari ketiga tetamu yang duduk di kursi thay-su-ih, tertawa dingin. serunya: “Nyo tayhiap,
ucapanmu itu keliwat memuji orang. Hanya seorang Kim-coa Long-kun saja, masak engkau anggap begitu
hebat sehingga mampu mengaduk ketenangan dunia persilatan? Hm, bukan aku Gak Kiong hendak
menyombongkan diri. Tetapi apabila Kim-coa Long-kun berjumpa dengan kami bertiga saudara Kang-lam
Sam-kiam, tentu dia baru tahu rasa!”
Kata-kata besar itu kalau lain orang yang mengucapkan tentu akan ditertawakan orang. Tetapi bicara itu
adalah salah seorang dari Kang-lam Sam-kiam atau Tiga pedang dari Kang-lam yang selama duapuluh
dunia-kangouw.blogspot.com
tahun namanya menggetarkan dunia persilatan. Dia bernama Gak Kiong bergelar Toan-ciok-kiam atau
Pedang Pembelah Batu.
Kang-lam Sam-kiam terdiri dari tiga tokoh pedang yakni Than-lui-kiam atau Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti,
Ceng-kong-kiam atau Pedang Baja Hijau, Bok Seng-bu dan Pedang Pembelah Batu Gak Kiong.
“Ah, memang saudara Gak bertiga, amat cemerlang dalam angkasa persilatan. Jarang orang yang mampu
meloloskan diri dari Kang-lam Sam-kiam. Tetapi......” tiba-tiba tuan rumah, Nyo Jong-ho hentikan katakatanya.
“…… sepak terjang Kim-coa Long-kun itu memang luar biasa, tindakannya ganas. Selama setahun ini
berturut-turut dia telah membunuh tokoh-tokoh ternama antara lain Hun-liong Jit-gan (Tujuh Belibis dari
Hun-liong), Kwan-gwa Su-hiong (Empat Jago dari Kwan-gwa), Hoa-san Ngo-hou (Lima Harimau Hoasan)......
Bila kematian mereka itu berturut-turut dibunuh Kim-coa Long-kun, itu masih tak mengherankan.
Tetapi yang mengejutkan, mereka serempak pada waktu yang sama, mati di bawah Pedang Ular Emas, dan
lagi kabarnya......”
Nyo Jong-ho mengangkat muka memandang tetamunya, si orang tua yang matanya meram-meram melek
itu. Tampak orangtua itu menyalangkan matanya lebar-lebar. Sinar matanya yang berkilat-kilat tajam
mencurah kepada ketiga persaudaraan Kang-lam Sam-kiam, lalu berkata dengan nada dingin:
“Ketua perguruan Sin-kun-bun, Pembelah laut Gan Ti-kiat yang bersahabat baik dengan aku, pada
setengah bulan yang lalu telah mati dibunuh Kim-coa Long-kun. Tigabelas jiwa keluarganya, satupun tak
dibiarkan hidup......”
Mendengar itu berobahlah seketika wajah ketiga Kang-lam Sam-kiam itu. Kiranya orang tua itu adalah ketua
dari perguruan Thay-kek-bun yang termasyhur. Namanya Han Ceng-jiang. Dia dan Pembelah laut Gan Tikiat,
dianggap sebagai dua tokoh tua dalam dunia persilatan. Yang satu ahli pukulan Thay-kek-ciang dan
yang satu ahli ilmu pukulan Sin-kun. Setiap orang persilatan tahu siapa kedua jago tua itu.
Mendengar bahwa Gan Ti-kiat beserta ketigabelas keluarganya dibasmi habis-habisan oleh Kim-coa Longkun,
ketiga jago Kang-lam Sam-kiam itu terkejut bukan alang kepalang.
Nyo Jong-ho pun berkata pula dengan nada serius: “Dahulu atas budi kecintaan dari segenap sahabatsahabat
persilatan, aku telah diangkat sebagai pemimpin persilatan baik dari golongan Putih maupun dari
golongan Hitam. Tujuh tahun yang lalu, karena sudah merasa tua, aku pun mengundurkan diri hingga
sekarang. Tetapi walaupun tak aktif dalam dunia persilatan, aku mendapat laporan dari muridku tentang
keadaan dunia persilatan. Tokoh-tokoh baru yang muncul hanya sedikit sekali, boleh dikata dapat dihitung
dengan jari. Tetapi kemunculan Kim-coa Long-kun itu sungguh mengejutkan sekali. Sama sekali orang tak
dapat mengetahui asal usulnya bahkan namanyapun tiada orang yang tahu......”
Nyo Jong-ho berhenti sejenak untuk menghela napas. Kemudian melanjutkan pula.
“Yang aneh lagi, kabarnya Kim-coa Long-kun itu seorang pembunuh bayaran. Dia datang dan lenyap
seperti bayangan, sepak terjangnya ganas luar biasa. Mengingat peristiwa itu amat gawat, maka akupun
terpaksa bergerak lagi. Kukirim surat undangan kepada sahabat-sahabat persilatan untuk datang kemari
merundingkan persoalan itu. Mengingat jaraknya amat jauh, kemungkinan wakil perguruan Tong dari Sujwan,
baru besok pagi bisa datang. Oleh karena belum lengkap, baiklah kita tunggu saja sampai besok pagi.
Sekarang silahkan saudara Han, saudara Cu bertiga beristirahat dalam ruang yang telah kami sediakan......”
Baru tuan rumah mengucap begitu, tiba-tiba seorang penjaga pintu masuk dan memberi laporan: “Nyo loya,
Tong lihiap bersama Hong-hu tayhiap telah datang.”
Mendengar itu Nyo Jong-ho dan sekalian tetamu segera memandang keluar. Aneh, jika tuan rumah dan
tokoh-tokoh terkemuka itu terkejut mendengar kedatangan kedua suami isteri dari Su-jwan, tidaklah
demikian dengan delapan tetamu yang duduk pada deretan tempat duduk di bagian bawah, tidak ikut
terkejut melainkan masih duduk seperti patung.
Nyo Jong-ho dan tokoh-tokoh terkemuka itu tak sempat memperhatikan keadaan mereka.
Sesaat kemudian dari luar terdengar suara seorang wanita melengking tawa: “Hai, Nyo Jong-ho, mengapa
engkau tak keluar menyambut kedatangan kami berdua suami isteri......”
Seiring dengan lengking suara si wanita yang masih berkumandang itu, seorang pria dan seorang wanita
pun sudah melangkah masuk ke dalam ruang besar. Yang wanita, berpakaian indah gemilang. Yang pria
pun mentereng sekali. Usia mereka baru tigapuluhan tahun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kedua orang itu adalah sepasang suami isteri yang memimpin perguruan Tong-ke-bun di Su-jwan.
Namanya amat termasyhur di dunia persilatan. Yang perempuan bernama Tong Ki, digelari oleh kaum
persilatan sebagai Cek-jiu-tok-ciam atau Tangan Ganas Jarum Beracun. Sedang suaminya Hong-hu Hoa
gelar Hian-giok-siau atau Seruling Kumala.
Nyo Jong-ho serentak berbangkit dan tertawa: “Kalian berdua suami isteri, benar-benar seperti naga sakti.
Kepalanya tampak tetapi ekornya tak kelihatan. Bagaimana aku sempat untuk menyambut? Mari, silahkan
masuk dan maafkan keterlambatanku menyambut!”
Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki serta suaminya Seruling Kumala Hong-hu Hoa tersenyum. Dari
deretan kursi yang keempat, mereka naik keatas deretan kursi yang muka.
Sekonyong-konyong Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki melengking kaget......
Dengan tubuh agak gemetar ia berputar tubuh menghampiri ke muka seorang tetamu, mengamatinya
sejenak lalu tiba-tiba mundur tiga langkah, dengan tangan kiri ia menampar pelahan.
“Plak......,” angin tamparan itu membuat tetamu yang diam saja itu rubuh seperti batang pisang ditabas.
Sudah tentu peristiwa itu mengejutkan sekalian orang yang hadir. Mereka saling berpandangan dengan
heran.
Nyo Jong-ho, ketua Thay-kek-bun Han Ceng-jiang dan ketiga jago pedang Kang-lam serempak berbangkit
lalu cepat-cepat menghampiri.
Seruling Kumala yang bermata tajam segera mengetahui bahwa ketujuh tetamu yang duduk pada deretan
dengan orang yang rubuh tadi pun sudah tak bernyawa lagi.
Beberapa tokoh ko-jiu (sakti) yang duduk di sebelah ketujuh orang itu, ulurkan tangan mendorong. “Bluk,
bluk......” ketujuh orang itupun berhamburan rubuh ke lantai.
“Hai, mereka sudah mati!” teriak seorang tetamu bertubuh kekar yang merabah hidung dan dada salah
seorang korban itu.
Nyo Jong-ho serentak berobah wajahnya. Dengan suara serak ia bertanya kepada Tangan Ganas Jarum
Beracun Tong Ki: “Tong lihiap, bagaimanakah sesungguhnya yang telah terjadi?”
Peristiwa menggemparkan itu memang Tong Ki yang lebih dahulu mengetahui. Itulah sebabnya maka tuan
rumah mengajukan pertanyaan kepadanya.
Pertanyaan tuan rumah itu segera disusul dengan pandang mata dari segenap tetamu yang mencurah ke
arah jago wanita yang berwajah cantik. Bahkan ada sementara tetamu yang menjatuhkan prasangka bahwa
peristiwa itu tentu Tong Ki yang melakukan.
Memang Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki memiliki kepandaian melepas senjata-rahasia yang tiada
lawannya dalam dunia persilatan. Tanpa mengeluarkan suara dan tanpa diketahui, dia dapat membunuh
orang dengan senjata rahasia. Jarumnya yang beracun termasyhur sebagai jarum maut.
Melihat dirinya dilihat begitu rupa oleh sekalian orang, marahlah Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki. Ia
kerutkan alis dan mendengus geram.
“Nyo tayhiap,” serunya, “kalian sekian banyak orang mengapa tak ada seorangpun yang tahu bahwa ada
delapan orang yang telah dicelakai musuh. Malah kalian bertanya kepadaku tentang hal itu. Adakah kalian
mendakwa aku yang membunuhnya?”
Kata-kata itu diucapkan dengan nada geram dan menyindir.
Saat itu Nyo Cu-ing pun menghampiri ke samping ayahnya. Mendengar kata-kata itu, iapun marah, serunya:
“Diketahuinya kedelapan orang itu mati, adalah setelah kalian berdua masuk. Sudah tentu kalian berdua
suami isteri tak lepas dari prasangka orang!”
01.02. Siapa Pembunuh Gelap?
Ucapan puteri dari Nyo Jong-ho itupun membangkitkan kemarahan sekalian orang terhadap Tong Ki dan
suaminya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah tentu Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki makin murka. Ia membentak: “Kedelapan orang itu
memang aku yang membunuh, lalu kalian mau apa?”
Mendengar itu Nyo Cu-ing pun marah juga, serunya: “Bunuh jiwa harus ganti jiwa. Tanpa sebab apa-apa
engkau membunuh mereka begitu kejam. Kalau tak dapat memberi alasan yang masuk akal, jangan harap
kalian berdua suami isteri dapat tinggalkan tempat ini dengan selamat!”
Karena marahnya Tong Ki tertawa mengikik. Nadanya macam hantu mengukuk di tengah malam, serunya:
“Engkoh Hoa, mari kita pergi. Coba lihat saja mereka mampu berbuat apa terhadap kita!”
Suasanapun menjadi tegang sekali. Tong Ki mengajak suaminya keluar dari ruang itu. Sudah tentu sekalian
tokoh terutama si nona baju hijau Cu-ing takkan tinggal diam.
Apabila sekalian orang begitu tegang, tidaklah seperti guru Siau. Dia masih duduk terlongong-longong,
entah sedang memikirkan apa. Oleh karena seri wajahnya begitu kosong, sukarlah orang untuk mengetahui
apakah dia saat itu sedang dicengkam ketakutan atau kemarahan......
Begitu Tong Ki ayunkan langkah maka Cu-ing pun cepat melesat menghadangnya, Tong Ki menampar
dengan tangan kiri.
Melihat tamparan itu mengandung tenaga dalam yang tersembunyi, terkejutlah Cu-ing. Diapun puteri dari
Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho yang pernah menjadi pemimpin dunia persilatan. Sudah tentu nona
itupun memiliki kepandaian yang hebat.
Setelah agak mengendapkan tubuh sedikit ke bawah, Cu-ing terus hendak menyongsong dengan tangan
kanannya......
“Ing, berhenti!” bentak Nyo Jong-ho seraya kebutkan lengan jubahnya yang kiri untuk merintangi tangan
puterinya. Kemudian jago tua itu berpaling: “Tong lihiap, ini suatu kesalahan paham. Harap maafkan
kelancangan puteriku tadi......”
Kemudian ia menyuruh Cu-ing meminta maaf kepada wanita itu. Sesungguhnya Cu-ing masih penasaran
tetapi ia tak berani membantah perintah ayahnya.
“Saudara Nyo, sudahlah, tak perlu minta maaf,” melihat itu Seruling Kumala Hong-hu Hoa cepat
menyelutuk, “semua ini hanya salah paham. Ya, kejadian ini memang terlalu mendadak sekali sehingga
kami berduapun tak tahu apa-apa.”
Mendengar itu, Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki deliki mata dan hendak membantah suaminya tetapi
Seruling Kumala Hong-hu Hoa membisikinya: “Ki-moay, menilik gelagatnya, pembunuh itu memang sengaja
hendak memindahkan kedosaannya kepada kita. Dia jelas hendak mengadu domba. Maka yang penting
kita harus memeriksa dulu bagaimana keadaan luka korban-korban itu.”
Tetapi rupanya wanita bengis itu masih belum lenyap kemarahannya. Ia mendengus: “Apakah hubungannya
soal itu dengan kita?”
“Tong soso, maafkan kekurang ajaranku tadi,” tiba-tiba Cu-ing meminta maaf, memberi hormat lalu mundur
ke samping.
Nyo Jong-ho menghela napas, ujarnya: “Sungguh tak kira kalau si pembunuh berada di depan hidung dan
sekali gus telah membunuh delapan......”
Tiba-tiba tuan rumah itu hentikan kata-katanya. Rupanya ia menyadari telah kelepasan omong. Dia bekas
pemimpin dunia persilatan golongan Putih dan Hitam dari tujuh wilayah. Namanya sangat termasyhur dan
terhormat. Apabila ia melanjutkan kata-katanya, berarti ia menampar mukanya sendiri.
Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang menghiburnya: “Ah, tak perlu Nyo bengcu menyesal. Rasanya setiap
saudara yang berada disini juga mempunyai perasaan seperti bengcu.”
Setelah Cu-ing meminta maaf, kemarahan Tong Ki pun sudah reda. Saat itu ia mulai memeriksa mayat
seorang korban. Ia mendesis kaget.
Kiranya mayat itu kecuali tubuhnya kaku, wajahnya masih tetap seperti biasa. Dan tubuhnya tak terdapat
setitik lukapun juga. Demikian dengan lain-lain mayat. Tetapi Tong Ki seorang ahli senjata rahasia. Cepat ia
dapat mengetahui bahwa kematian korban-korban itu disebabkan karena terkena senjata rahasia yang
menyusup tepat pada jalan darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi saat itu ia belum dapat menemukan senjata rahasia yang berada dalam tubuh korban. Suatu hal
yang membuatnya heran. Ia kerutkan dahi merenung.
Beberapa saat kemudian baru ia berkata: “Nyo bengcu, tolong suruh orang untuk memeriksa kepala setiap
korban itu.”
Serempak lima orang segera menyibak rambut kepala beberapa korban dan memeriksa jalan darah Pekhui-
hiat di ubun-ubun.
“Hai...... benar! Memang ubun-ubunnya terkena sebatang senjata rahasia!” seru mereka terkejut. Ketika
rambut di bagian ubun-ubun kepala disibak, tampaklah sebuah titik yang bersinar emas.
“Jangan dicabut!” Tong Ki cepat mencegah ketika salah seorang hendak mencabut benda bersinar emas
itu. Ia menghampiri dan memeriksa benda itu. Dengan kuku jarinya ia mengungkit benda itu keluar.
“Ha, si Pendekar Ular Emas yang membuat gara-gara!” serunya.
Sekalian orang memandang ke arah benda berwarna emas itu. Panjangnya hanya satu dim lebih sedikit,
bulat berkeluk-keluk seperti ular.
Jarum Ular Emas!
Setelah beberapa saat Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki memperhatikan jarum Ular Emas itu, ia
menghela napas: “Perguruan keluarga Tong di Su-jwan sudah berpuluh tahun menjagoi dunia persilatan
dalam ilmu menggunakan senjata rahasia. Tetapi jarum Ular Emas ini luar biasa sekali buatannya. Terbuat
dari bahan emas murni dan indah sekali bentuknya!”
Saat itu ketiga jago pedang dari Kang-lam pun menjemput sebatang jarum Ular Emas dari kepala seorang
mayat.
Menyaksikan peristiwa itu, kejut Nyo Jong-ho tak terlukiskan. Dia segera teringat akan suatu peristiwa ngeri
yang telah lampau. Tetapi ia samar-samar ingat peristiwa itu karena tak begitu berkesan dalam hatinya.
Beberapa saat lamanya tuan rumah itu tegak terlongong-longong seperti patung.
“Nyo bengcu,” tiba-tiba Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki berseru kepadanya, “dapatkah engkau
menuturkan bagaimana peristiwa ini sampai terjadi?”
Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang menghela napas: “Harap Tong lihiap jangan menanyakan soal itu. Jika
engkau tak datang dan mengetahui hal itu, mungkin sampai saat ini kami yang hadir disini tak mengetahui
bahwa kedelapan orang itu sudah mati.”
“Dari keadaan para korban itu,” kata Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki, “kematian mereka, terjadi
paling lama setengah jam yang lalu. Dengan begitu terang kalau pembunuhnya itu tentu belum dapat
melarikan diri.”
Kemudian jago wanita itu berpaling ke arah tuan rumah: “Nyo bengcu, cobalah engkau periksa, apakah ada
salah seorang tetamu yang telah meninggalkan ruangan ini?”
Mendengar itu Nyo Jong-ho segera keluarkan mata memandang sekalian tetamu.
“Tidak ada yang pergi. Semua masih lengkap,” serunya sesaat kemudian.
Jago wanita itu anggukkan kepala, ujarnya: “Menurut perhitunganku, pembunuhnya kalau tidak
menyelundup di antara yang hadir disini untuk melepaskan senjata rahasia......”
Berkata sampai disini tiba-tiba wajah Tong Ki berobah cerah, serunya pula: “Nyo bengcu, kapankah kalian
memasuki ruangan ini?”
“Dua jam yang lalu,” sahut Nyo bengcu atau ketua Nyo. Tiba-tiba ia teringat akan kata-kata jago wanita itu
bahwa para korban itu telah mati setengah jam yang lalu. Diam-diam ia terkejut.
“Setelah kalian masuk,” tanya pendekar wanita itu pula, “sebelum kami berdua suami isteri datang, siapakah
yang masuk ke dalam ruang ini......”
Dalam berkata-kata itu Tong Ki memandang kepada sekalian tetamu. Tiba-tiba pandang matanya tertumbuk
pada sasterawan muda yang menjadi guru di gedung keluarga Nyo. Seketika ia berseru: “Hai, siapakah
orang itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Cu-ing cepat berpaling. Ketika dilihatnya guru Siau duduk seperti patung, ia terkejut sekali
karena mengira guru itupun tentu terkena jarum Ular Emas.
“Siau sianseng, Siau sianseng......” serunya cemas.
“Ah,” Siau Lo-seng mendesah seperti orang terbangun dari mimpi, “sungguh membuat orang mati kaget.
Delapan orang yang sehat tak kurang suatu apa, dalam sekejap saja sudah jadi mayat......”
Habis berkata guru muda itu gemetar tubuhnya dan matanya memancarkan rasa ketakutan.
Melihat itu Nyo Jong-ho kerutkan alis, menghela napas kecil: “Ah, dia guru ilmu sastera dari puteraku.
Nyalinya kecil seperti tikus. Seorang sasterawan yang lemah dan tak kuat mengangkat sebatang pedang
saja.”
“Lalu siapa yang masuk paling akhir?” tanya jago wanita Tong Ki pula.
“Guru sastera itu,” kata Nyo Jong-ho, “bersama anakku Cu-ing.”
Mendengar keterangan itu seketika berobahlah wajah Tong Ki. Cepat ia melesat ketempat sasterawan
muda itu.
Melihat itu Cu-ing cepat berseru gopoh: “Tong soso, dia...... dia guruku sastera.”
Tangan Ganas Tong Ki tertawa dingin: “Jangan kuatir, tak nanti aku melukainya!”
Tetapi walaupun mulut mengatakan begitu, kedua tangan Tong Ki yang putih sudah menjulur untuk
mencengkeram pergelangan tangan guru muda Siau. Sedang jari tangan kirinya secepat kilat menusuk
tenggorokan guru itu.
“Celaka!” Nyo Jong-ho terkejut dan berseru tertahan. Ia tak menduga kalau Tong Ki akan bertindak begitu,
maka tak keburu mencegahnya lagi.
Sepintas pandang, gerakan Tong Ki itu luar biasa ganas, seperti menghadapi lawan yang dibencinya.
Ganas dan dahsyat.
Tetapi sebenarnya serangan itu hanya untuk menguji saja, adakah guru itu seorang yang berisi atau
kosong. Jika guru muda itu memang mengerti silat, dia tentu akan menghindari serangan maut pada
tenggorokannya. Atau paling tidak, perobahan mukanya tentu dapat diketahui.
Pada saat ujung jari Tong Ki hampir menyentuh tenggorokan ternyata guru itu hanya terlogong-logong
memandang penyerangnya saja.
Sudah tentu Tong Ki terkejut dan cepat menggelincirkan ujung jarinya ke leher.
“Aduh......,” guru Siau menjerit kaget dan tubuhnyapun rubuh ke belakang. Untunglah Tong Ki cepat
menyambar tangan kiri guru itu terus ditariknya supaya jangan jatuh.
Guru Siau itu benar-benar tak bertenaga. Begitu ditarik, tubuhnyapun ikut terangkat ke muka terus hendak
menjatuhi dada Tong Ki.
Tong Ki terkejut. Karena muka guru itu hampir rebah pada buah dadanya. Cepat ia lepaskan cekalan
tangannya dan meluncur ke belakang.
“Bluk......,” karena menubruk tempat kosong, guru Siau pun rubuh ke tanah.
Melihat itu, Cu-ing buru-buru menghampiri dan menolongnya bangun. Tampak wajah guru itu pucat lesi dan
tubuhnya gemetar. Dia terlongong-longong memandang Cu-ing.
Nona itu marah. Dipandangnya Tong Ki dengan geram lalu berseru dingin: “Seorang pendekar wanita yang
termasyhur, masakan bertindak begitu keliwatan terhadap seorang sasterawan yang lemah……”
“Ing, bawalah Siau sianseng masuk,” cepat ayahnya membentak.
Sebenarnya Cu-ing hendak menumpahkan kata-kata yang pedas terhadap Tong Ki tetapi karena dibentak
ayahnya, terpaksa ia hentikan kata-katanya, lalu berbisik kepada guru Siau.
“Siau sianseng, jika engkau belajar silat, tentu takkan dihina orang sampai begitu. Mari, pembicaraan dari
orang-orang persilatan disini, tak selayaknya engkau ikut mendengarkan,” kata Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Siau Lo-seng berpaling memandang Tong Ki lalu memberi hormat kepada Nyo Jong-ho:
“Tuan Nyo, maaf karena aku telah mengganggu pembicaraan para orang gagah di sini.”
Habis berkata ia terus melangkah keluar.
Saat itu tampak Tong Ki juga agak malu. Wajahnya merah dan tegak termangu.
Nyo Jong-ho memberi hormat kepada jago wanita itu serunya: “Maafkan kalau kedatangan Tong lihiap
berdua ke rumahku telah menderita beberapa peristiwa yang menyinggung perasaan. Besok aku tentu akan
menghaturkan maaf sendiri. Dan saat ini sudah malam, harap lihiap berdua suka beristirahat dalam
pondokku.”
Tangan Ganas Tong Ki menunduk, merenung lalu berkata seorang diri: “Aku tak percaya dalam dunia
persilatan terdapat ilmu melepas senjata rahasia yang sedemikian luar biasa itu. Kurasa tentu dia, tetapi ah,
dia sama sekali tak mengerti ilmu silat......”
Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang menghela napas: “Kalau menilik gelagatnya, saat ini Pendekar Ular Emas
itu sudah berada di antara kita. Dengan membunuh delapan penjaga, mungkin dia memang sengaja datang
kemari hendak memusuhi kita.”
Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti dari tiga serangkai jago pedang Kang-lam, tertawa dingin: “Kami kuatir dia
tak berani unjuk muka. Kalau Pendekar Ular Emas itu berani unjuk diri, kami bertiga Kang-lam Sam-kiam
lah yang pertama-tama akan menghadapinya.”
Hong-hu Hoa, suami dari Tangan Ganas Jarum Beracun Tong Ki, seorang pendiam. Dia tahu dan ikut
memikirkan pula peristiwa aneh yang terjadi dalam ruangan itu tetapi karena wataknya diam maka diapun
tak mau ikut banyak bicara.
Hanya ketika mendengar pernyataan Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti yang garang tadi, ia tersenyum,
serunya: “Saudara Cu, sifat gagah perwira dan berbudi itu memang baik. Tetapi......”
Tiba-tiba isterinya menukas dengan bisik-bisik: “Engko Hoa, seharusnya engkau membantu isterimu untuk
menghindari kesulitan di sini.”
Nyo Jong-ho pun tahu akan kecerdasan Seruling Kumala itu. Maka iapun segera meminta: “Saudara Honghu,
bagaimanakah pendapat saudara tentang peristiwa aneh yang terjadi disini ini?”
Tampak wajah Hong-hu hoa berobah serius sahutnya: “Apa yang dikatakan isteriku tadi memang benar.
Pendekar Ular Emas itu memang berada di antara kita disini. Tetapi setelah dilakukan pertanyaan dan
pemeriksaan, jumlah orang yang patut dicurigai menjadi lebih kecil. Karena betapapun saktinya seorang
tokoh, dalam ilmu melepas senjata rahasia pun tak mungkin dapat melepas senjata rahasia jarum Ular
Emas itu tanpa diketahui orang sama sekali. Senjata rahasia itu tentu mengeluarkan suara atau cahaya.
Dan setiap suara atau cahaya yang aneh, tentu tak mungkin terlepas dari pandang Nyo bengcu. Maka
kesimpulannya, pembunuh itu tentu menggunakan ilmu menjentik dengan jari untuk melentikkan senjata
jarum rahasia itu ke kepala korbannya......”
Mendengar uraian itu diam-diam Nyo Jong-ho mengagumi. Ia kerutkan dahi dan bertanya pula: “Tetapi
saudara Hong-hu......?”
Hong-hu Hoa cepat menukas dengan tertawa pelahan: “Nyo bengcu, sebenarnya aku sudah mempunyai
rencana. Tak sampai besok pagi tentu sudah dapat kita ketahui siapa biangkeladinya......” tiba-tiba ia
membisiki ke dekat telinga tuan rumah.
Sesaat kemudian Nyo Jong-ho lalu berseru kepada beberapa penjaga: “Kalian boleh mundur dan bawalah
ke delapan jarum Ular Emas itu kemari.”
Rombongan pengawal gedung kediaman keluarga Nyo itu segera melakukan perintah. Mereka segera
keluar.
Dalam ruangan kini tinggal tujuh orang tokoh yakni ketiga jago pedang Kang-lam, Thay-kek-ciang Han
Ceng-jiang, tuan rumah sendiri, jago wanita Tong Ki dan Hong-hu Hoa.
Setelah bicara dengan pelahan-lahan mereka bertujuh pun masuk ke dalam, sedang kedelapan batang
jarum Ular Emas tadi, diletakkan di atas meja di ruang pertemuan tadi.
Ruang pertemuan yang beberapa saat tadi penuh dengan tetamu dan gempar dengan peristiwa
terbunuhnya delapan orang, saat itupun sepi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Nyo Jong-ho menyetujui rencana Hong-hu Hoa. Ia meninggalkan delapan batang jarum Ular Emas itu di
atas meja dan mengajak para tetamunya masuk ke dalam.
Rupanya Hong-hu Hoa hendak menjebak si pembunuh. Apabila pembunuh itu berani mengambil kembali
jarumnya, mereka segera akan menyergap.
Malampun makin kelam.
01.03. Kim-coa Long-kun
Kentungan tengah malam telah berbunyi Kota Lok-yang sunyi senyap. Kota yang pada siang hari sibuk
bermandikan keramaian dan perdagangan, saat itu tidur nyenyak.
Demikian gedung kediaman keluarga Nyo yang termasuk gedung kelas mewah. Sunyi lelap.
Tiba-tiba dari halaman sebuah bangunan yang terletak di belakang gedung besar, dan dari wuwungan
gedung besar, melambung dua-tiga sosok bayangan.
Bangunan di belakang gedung besar itu sebuah villa yang diberi nama villa Merah Delima. Menjadi tempat
tinggal Nyo Cu-ing, puteri kesayangan dari Nyo Jong-ho. Tetapi sejak kedatangan guru Siau pada tiga bulan
yang lalu, Cu-ing pindah dan villa itu dipakai oleh guru Siau.
Lampu di kamar tulis villa Merah Delima saat itu masih menyala. Dan terdengar suara keras dari guru yang
masih membaca buku.
Di balik pohon yang tumbuh di luar villa itu terdengar sebuah helaan napas. Lalu terdengar nada suara tuan
rumah berkata seorang diri: “Sudah berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan.
Apakah kali ini aku salah menduga orang? Ah…… dia ternyata memang seorang pelajar yang miskin.”
Habis berkata Nyo Jong-ho terus melangkah ke lorong serambi. Tiba-tiba dari atas wuwungan gedung
melayang turun sesosok tubuh.
Nyo Jong-ho tidak terkejut bahkan berseru kecewa: “Ai, saudara Gak, malam ini hanya merepotkan kalian
saja.”
Sosok tubuh yang melayang turun dari wuwungan rumah besar itu ternyata Gak Kiong, salah seorang dari
tiga pendekar pedang Kang-lam.
“Nyo bengcu, apakah ada gerak gerik guru Siau yang mencurigakan?” bisik Gak Kiong.
Nyo Jong-ho gelengkan kepala: “Saudara Gak, tak perlu kita menyelidikinya lagi. Dia hanya, seorang pelajar
yang giat belajar untuk mengangkat nama. Malam begini larut dan dingin, dia masih saja membaca buku.
Aku akan ke ruang depan menemui Hong-hu tayhiap suami isteri.”
Gak Kiong kerutkan alis: “Kalau begitu, kemana kita harus menyelidiki jejak Pendekar Ular Emas itu?”
Kim-coa long-kun itu memang benar-benar seperti hantu yang mengganas di dunia persilatan. Terpaksa kita
harus menunggu sampai dia datang mencari kita......”
Jago tua itu menghela napas pula. Suatu helaan napas dari rasa kecewa dan malu. Ya, betapa tidak. Dia
adalah seorang jago kelas satu yang namanya termasyhur dalam dunia persilatan. Dia adalah pemimpin
atau bengcu dari dunia persilatan pada tujuh tahun yang lalu. Tetapi peristiwa yang dihadapi saat itu benarbenar
mencontreng arang di mukanya. Delapan orang telah mati terbunuh di depan matanya tanpa ia
mengetahui siapa pembunuhnya. Dan setelah tahu yang membunuh itu Kim-coa Long-kun atau Pendekar
Ular Emas, ia pun tak berdaya. Ah, jangankan menangkap, sedang melihat orangnya saja ia tak dapat.
Tidak demikian dengan Gak Kiong yang bergelar Pedang Pembelah Batu itu. Anggauta dari Tiga Pendekar
pedang Kang-lam itu tertawa hina.
“Dahulu orang menyohorkan Nyo Jong-ho itu seorang tokoh yang gagah perkasa. Tetapi apa yang kulihat
saat ini, ternyata dia hanya bernama kosong. Ha, ha, mungkin dia sudah tua. Sudah merasa bahwa jaman
keemasannya sudah lewat. Dan dunia persilatan dewasa ini adalah menjadi milik angkatan kita,” pikir Gak
Kiong.
Nyo Jong-ho memandang jago Kang-lam itu. Rupanya ia dapat membaca isi hati orang. Ia tidak marah
melainkan tersenyum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apabila murid kesayanganku hari ini bersama gurunya tiba, tentulah mereka dapat menyelidiki peristiwa
ini,” kata Nyo Jong-ho.
Gak Kiong tertawa dingin, tanyanya: “Nyo bengcu, ucapanmu itu sungguh membuat orang sukar mengerti.
Siapakah murid bengcu itu? Dan mengapa dia mempunyai suhu lagi? Siapakah suhunya?”
“Saudara Gak, muridku itu bernama Li Giok-hou……”
Mendengar itu seketika berobahlah wajah Gak Kiong, tukasnya: “Pedang Beracun Pembasmi Iblis Li Giokhou
itu? Bukankah dia itu murid Go-bi Sam-hiap?”
Nyo Jong-ho tertawa: “Benar, memang muridku Giok-hou itu mempunyai rejeki besar sehingga Go-bi Samhiap
sampai tertarik dan menerimanya sebagai murid. Memang kali ini akupun mengundang Tiga Pendekar
Go-bi yang sudah lebih dari duapuluh tahun tak pernah keluar, supaya turun gunung.”
Go-bi Sam-hiap atau Tiga Pendekar gunung Go-bi memang memiliki nama yang cemerlang di dunia
persilatan. Dan Li Giok-hou yang bergelar Pedang Beracun Pembasmi Iblis itu, dianggap oleh kaum
persilatan sebagai tokoh muda yang akan menjadi tiang utama dari dunia persilatan.
Tahun yang lalu ketiga jago pedang dari Kang-lam itu pernah menerima bantuan Li Giok-hou. Maka
mendengar bahwa pemuda itu ternyata murid dari Nyo Jong-ho. Tersipu-sipulah Gak Kiong menjurah
memberi hormat.
“Nyo bengcu, aku mempunyai mata tetapi tak dapat melihat gunung Thay-san dihadapanku. Harap suka
maafkan,” serunya.
Nyo Jong-ho hanya ganda tertawa, katanya: “Saudara Gak, harap suruh kedua saudaramu itu hentikan
penyelidikan. Aku hendak kembali ke rumah besar. Besok kita berunding lagi.”
“Baiklah, Nyo-heng,” kata Gak Kiong, “harap bengcu beristirahat saja. Akulah yang akan ke gedung besar
untuk sekalian memberitahu kepada saudara Hong-hu suami isteri.”
Habis berkata Gak Kiong memberi hormat lalu melambung ke atas wuwungan rumah lagi. Memang jago
pedang dari Kang-lam itu memiliki ilmu ginkang atau meringan tubuh yang hebat sekali. Cepat sekali dia
sudah melalui dua buah bangunan.
Tetapi pada saat dia hendak melintasi bangunan yang ketiga, tiba-tiba ia rasakan tengkuknya dingin seperti
dijamah tangan orang.
Sebelum kakinya menginjak genteng, ia empos semangat dan meluncur ke samping. “Tring......” tahu-tahu
ia sudah mencabut pedang dan menabas ke belakang dengan jurus Hong-biau-lok-hoa atau angin meniup
jatuh bunga.
Jurus itu merupakan ilmu simpanannya. Seiring dengan tabasan pedang, orangnya pun ikut berputar. “Wut,
wut......”
Ah, hanya angin kosong yang ditabasnya. Tiada barang seorangpun yang berada di belakangnya. Gak
Kiong benar-benar terlongong-longong. Jelas ia merasa tengkuknya telah dipegang orang, mengapa sama
sekali tak ada orangnya!
“Ah, mungkin perasaanku terlalu tegang, sehingga mengada-ada. Kalau memang terdapat manusia yang
mengganggu aku, tak mungkin dia dapat terhindar dari tabasan pedangku, ha, ha......” akhirnya ia geli
sendiri atas perbuatannya tadi. Ia berputar tubuh terus hendak ayunkan langkah. Tetapi segera matanya
tertumbuk akan sesuatu yang membuatnya menggigil.
“Siapa engkau!” bentaknya.
Ternyata terpisah tiga tombak di sebelah muka, tegak seseorang yang bertubuh kurus. Mukanya sedingin
es, matanya menyeramkan dan mengenakan pakaian serba putih. Bahunya menyanggul sebatang pedang
yang aneh bentuknya.
“Heh, heh, heh......,” orang itu tertawa mengekeh. Nadanya lebih seram dari badai di musim dingin.
Mendengar suara tertawa itu, menggigillah Gak Kiong. Ia menyurut mundur selangkah.
“Siapa engkau!” bentaknya pula.
“Kim-coa Long-kun!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar nama itu, dada Gak Kiong seperti tertikam belati. Ia terkejut dan menyurut mundur tiga
langkah......
“Hm, hm, hm......” hidung Pendekar Ular Emas itu berulang kali mendengus. Penuh rasa muak dan hina.
Gak Kiong batuk-batuk untuk mengembalikan nyalinya lalu tertawa dingin. “Hm, tak kira kalau engkau
berani unjuk diri. Bagus Gak Kiong dari Kang-lam Sam-kiam hendak minta pelajaran barang beberapa jurus
dari engkau!”
Habis berkata Gak Kiong terus mencekal tangkai pedang terus hendak dicabut. Tetapi sebelum ia sempat
menyerang, Pendekar Ular Emas itu sudah berayun kehadapannya dan seketika terdengarlah lengking
jeritan yang ngeri dari Gak Kiong.
Jago pedang dari Kang-lam yang berulang kali sumbar-sumbar hendak membunuh Kim-coa Long-kun,
hanya dalam sekejap mata saja sudah rubuh......
Terdengar suara tertawa dingin dan sosok tubuh yang melambung ke udara, Kim-coa Long-kun atau
Pendekar Ular Emas pun sudah lenyap di balik wuwungan yang gelap.
Lolong jeritan dari Gak Kiong tadi telah memecah kesunyian malam. Beberapa tokoh yang sedang berada
dalam ruang besar segera berhamburan lari mendatangi.
Mereka ialah Nyo Jong-ho, Pendekar wanita Tong Ki, Hong-hu Hoa, Thay-kek-ciang Han Ceng-jiang serta
kedua jago pedang Kang-lam yakni Cu Kong-ti dan Bok Seng-bu dan lain-lain.
Tepat pada saat keenam tokoh itu keluar untuk menolong Gak Kiong, sesosok bayangan putih melayang
turun ke dalam ruang gedung besar yang terletak di muka. Dia bukan lain ialah Kim-coa Long-kun si
Pendekar Ular Emas itu.
Dengan langkah seringan kapas, ia masuk ke dalam ruang. Tetapi telinganya tajam segera mendengar
lengking suara yang nyaring tetapi dingin.
“Hm, makanya kaum persilatan selalu tak dapat mengejar jejak Pendekar Ular Emas, karena ternyata di
dunia persilatan ini terdapat beberapa Pendekar Ular Emas......”
Serempak dengan kata-kata itu dari balik tirai melesat keluar seorang nona baju hijau. Ah, kiranya Nyo Cuing,
puteri dari Nyo Jong-ho.
Tampak wajah nona itu merah padam karena marah dan terus membentaknya: “Hai, jawablah, engkau ini
Kim-coa Long-kun yang mana?”
Dengan ucapan itu jelaslah bahwa selama menunggu bersembunyi di balik tirai, Cu-ing sudah melihat
beberapa Kim-coa Long-kun yang muncul di ruang situ.
Tiba-tiba Pendekar Ular Emas itu mengangkat tangan memberi hormat, serunya: “Nona...... “
“Tak perlu merengek-rengek. Kedelapan batang jarum Ular emas itu sudah diambil orang. Maka engkau
harus menyebut siapa dirimu itu!” tukas Cu-ing.
Tiba-tiba Pendekar Ular Emas itu mendengus, serunya, “Tokoh-tokoh dunia persilatan dewasa ini,
mempunyai dendam permusuhan dengan Kim-coa Long-kun. Karena dendam itu sudah mendalam, maka
akupun takkan melepaskan engkau, kecuali hanya dengan sebuah jalan.”
Mata si nona memandang lekat-lekat ke wajah Pendekar Ular Emas yang pucat lesi itu lalu tertawa hambar:
“Jangan anggap aku takut kepadamu, tetapi untuk sementara ini aku memang tak mau bentrok dulu dengan
engkau!”
Sahut Pendekar Ular Emas tawar-tawar: “Hm, engkau angkuh sekali. Rupanya engkau tentu memiliki ilmu
kepandaian yang sakti!”
Habis berkata Pendekar Ular Emas maju menghampiri si nona. Tiba-tiba tangan kanannya berayun dan
tahu-tahu ia menusuk nona itu.
Cu-ing terkejut sekali. Ia tak pernah menduga bahwa Pendekar Ular Emas dapat mencabut pedang dan
menyerang dengan kecepatan yang begitu luar biasa. Untuk menghindar, jelas sudah tak keburu lagi.
Tetapi nona itu tak gugup. Dengan nekad ia tusukkan jarinya ke jalan darah di dada orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepercik sinar kemilau melintas di samping tubuh si nona dan dari belakang tirai segera terdengar suara
orang mengerang kesakitan......
Tepat pada saat Pendekar Ular Emas menusuk tangan, Cu-ing pun menutuk. Pada saat ujung jari nona itu
hampir menyentuh dada, tiba-tiba Pendekar Ular Emas meluncur ke belakang sampai tiga langkah.
Seiring dengan gerakan Pendekar Ular Emas itu, sesosok tubuh melesat keluar dari balik tirai. Sekali loncat
ia sudah berada di luar dan dengan loncatan yang kedua orang itupun sudah lenyap dalam kegelapan
malam.
Pendekar Ular Emas memandang tubuh orang itu mengucurkan darah, hanya tertawa dingin. Ketika ia tiba
di mulut ruang, ternyata orang itupun, sudah lenyap.
Peristiwa itu benar-benar membuat Cu-ing terpaku seperti patung. Setelah menutuk luput, ia tak mau
menyusuli dengan pukulan lagi karena menyadari bahwa ternyata Pendekar Ular Emas itu telah menolong
dirinya. Tusukan pedang Pendekar Ular Emas itu ternyata bukan ditujukan kepada dirinya melainkan
kepada orang yang bersembunyi di belakang tirai.
Pada saat Pendekar Ular Emas hendak melangkah keluar dari ruang, tiba-tiba terdengar derap langkah
yang ringan. Dan sesaat kemudian muncullah seorang pemuda berpakaian bagus. Pemuda itu
menghadang Pendekar Ular Emas.
“Hm, apakah engkau hendak menghadang aku?” tegur Pendekar Ular Emas dengan nada dingin.
Nadanya tidak keras tetapi berkumandang sikap yang angkuh dan yakin serta berwibawa.
Pemuda berpakaian bagus itu mengangkat muka lalu tertawa nyaring. Nadanya berdering-dering bagai palu
besi menghantam batu.
Habis tertawa pemuda itu segera membentak: “Kim-coa Long-kun, dengan berjumpa padaku, hari
kematianmu sudah tiba. Mengapa engkau masih berlagak seperti tuan besar?”
Pendekar Ular Emas tertawa mengejek, “Li Giok-hou, dalam hidupnya seseorang itu hanya mati satu kali.
Apakah engkau benar-benar tak sayang kepada jiwamu?”
Mendengar namanya disebut, pemuda berpakaian bagus itu terkejut. Wajahnya berobah seketika,
bentaknya: “Besar nian mulutmu, sahabat. Siapakah engkau?”
Pendekar Ular Emas menyahut: “Siau Mo, Pendekar Ular Emas Siau Mo......”
Melihat pemuda yang datang itu suhengnya, gembiralah hati Cu-ing. Segera ia lari menghampiri. Ketika
mendengar Pendekar Ular Emas itu memberitahu namanya, tergetarlah hati nona itu.
“Ing sumoay, menyingkirlah sedikit jauh!” teriak Li Giok-hou ketika melihat Cu-ing menghampiri.
Dalam berkata itu Li Giok-hou pun sudah lepaskan sebuah pukulan seraya loncat maju. Dua jari menutuk
Pendekar Ular Emas.
Pendekar Ular Emas menangkis tutukan itu. Tahu kalau berhadapan dengan seorang lawan yang luar
biasa, Li Giok-hou tak berani adu kekerasan. Ia menyurut mundur selangkah. “Tring,” ia sudah mencabut
pedang dari punggungnya.
Pada saat itu muncullah beberapa orang ke dalam ruangan. Mereka ialah Nyo Jong-ho, Tong Ki. Hong-hu
Hoa, Han Ceng-jiang dan lain-lain tokoh gagah. Mereka berpencaran berdiri di empat penjuru. Begitu pula
ruangan yang semula gelap kini diterangi dengan beberapa lampu.
Dengan tangan kanan memegang pedang, tangan kiri Li Giok-hou pun bergerak-gerak untuk membuat
gerakan imbangan. Dia seorang pemuda yang gagah dan cakap. Memiliki kewibawaan dan seorang jago
muda yang dapat diharapkan akan menjadi tiang utama dari dunia persilatan dikelak kemudian hari.
Pendekar Ular Emas juga seorang pemuda yang tampan, hanya tubuhnya agak kurus dan wajahnya pucat.
Menyerupai wajah seorang pelajar kutu buku.
Kini kedua jago muda itu saling berhadapan. Hanya perhatian sekalian tokoh-tokoh itu lebih tercurah
kepada Pendekar Ular Emas daripada Li Giok-hou.
Li Giok-hou memang termasyhur tetapi mereka sudah mengenalnya. Tidak demikian dengan Kim-coa Longkun
atau Pendekar Ular Emas yang baru setahun muncul di dunia persilatan tetapi telah menggemparkan
dunia-kangouw.blogspot.com
dunia persilatan. Bukan saja karena tokoh itu sakti dan dapat merubuhkan beberapa tokoh persilatan yang
termasyhur, pun karena sepak terjang Pendekar Ular Emas itu luar biasa anehnya. Selama ini orang hanya
tahu jejak tindakannya yang ganas tetapi belum pernah melihat bagaimana diri pendekar itu.
Saat itu barulah mereka mendesuh dalam hati. Kiranya Pendekar Ular Emas yang begitu termasyhur tak
lain tak bukan ialah guru ilmu sastera yang diundang oleh keluarga Nyo untuk mengajar ilmu sastra kepada
puteranya. Seorang mahasiswa miskin yang pucat kurus. Ya, guru Siau atau namanya yang lengkap Siau
Mo.
Mereka tak mendapatkan suatu keluarbiasaan pada diri Pendekar Ular Emas itu kecuali sepasang matanya
yang tajam dan kerut dahinya yang memancarkan hawa pembunuhan.
Mata berkilat-kilat tajam, memang suatu ciri dari seorang ahli silat yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Mereka agak terheran akan hal itu. Kalau tadi mata guru Siau itu redup tak bersinar, mengapa Pendekar
Ular Emas ini begitu berpengaruh sinar matanya. Hal itu menimbulkan sedikit keraguan dalam hati sekalian
tokoh. Mereka masih mengandung sedikit keraguan adakah Pendekar Ular Emas itu benar guru Siau Loseng?
Ya, walaupun baik tinggi badan, roman dan panca inderanya, semuanya menyerupai dengan guru
itu.
Dan masih ada sebuah keraguan yang terkandung dalam hati sekalian tokoh itu. Bukankah baru beberapa
detik yang lalu mereka habis kembali ke villa Merah Delima. Dan bukankah guru Siau masih asyik membaca
buku dengan mengeluarkan suara?
Mengapa saat itu guru Siau muncul sebagai Pendekar Ular Emas? Kalau benar pendekar Ular Emas itu
memang guru Siau, tentulah dia memiliki ilmu Hun-sim-sut atau ilmu Memecah Diri. Tetapi benarkah didunia
itu terdapat ilmu gaib semacam itu?
01.04. Pendekar Ular Emas Kembar
Tiba-tiba Nyo Jong-ho membisiki seorang anak buahnya yang berada didekatnya: “Lekas pergilah ke villa
Merah Delima dan lihatlah apa Siau sianseng masih berada di kamarnya? Kalau ada, lekas engkau undang
dia kemari. Mengerti?”
Anak buahnya yang berpakaian hitam dan bertubuh tinggi besar mengiakan dan terus menyurut mundur.
Saat itu tampak Pendekar Ular Emas tenang-tenang saja menghadapi Li Giok-hou yang sudah siap dengan
pedang terhunus.
Dan saat itu pula Li Giok-hou pun sudah berkisar langkah dan pelahan-lahan menggerakkan tangan.
Sekonyong-konyong pedang berkiblat, Lam-hay-tiau-han atau gelombang dingin dari Laut Selatan, sebuah
jurus ilmu pedang yang hebat segera melancar ke arah Pendekar Ular Emas.
Disebut Gelombang dingin laut selatan karena gerak pedang itu benar-benar menyerupai gelombang yang
dahsyat, berhamburan menerjang pantai.
Rupanya Pendekar Ular Emas terkejut juga melihat kehebatan ilmu pedang dari lawannya. Cepat ia
menyurut mundur.
“He, Siau Mo, jangan lari, sambutlah pedangku ini,” Li Giok-hou berseru nyaring sambil maju mengejar.
Kali ini pedang seperti terpecah dua. Kedua sinar pedang itu laksana bianglala yang tertimpa sinar
matahari, berkilau-kilauan menyilaukan mata. Dua-duanya mengarah jalan darah Pendekar Ular Emas.
Sekalian tokoh terkejut menyaksikan ilmu pedang Li Giok-hou yang aneh itu. Kebanyakan mereka belum
pernah melihat bahwa dalam ilmu pedang terdapat jurus permainan yang sedemikian luar biasanya.
Memang dewasa itu seluruh harapan kaum persilatan tertumpah pada diri Li Giok-hou. Mereka menjunjung
pemuda itu sebagai tiang utama di dunia persilatan. Dia didambakan dengan gelar sebagai Pedang
Beracun Pembasmi Iblis. Ilmu kepandaiannya memang luar biasa.
Jurus ilmu pedang yang dilancarkan kepada Pendekar Ular Emas saat itu, memang hebat sekali. Tak ubah
seperti sebuah jaring yang tak memungkin orang untuk lolos.
“Wut……” tiba-tiba Pendekar Ular Emas menyurut mundur tiga langkah. Baju lengannya yang sebelah kiri
telah tergurat pecah oleh ujung pedang, dan darahpun berketes-ketes ke lantai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Pendekar Ular Emas Siau Mo, seorang lelaki yang berhati keras. Sedikitpun ia tak mengeluarkan
suara erang kesakitan. Dipandangnya tetesan darah itu dengan tenang sekali, setenang orang menikmati
air hujan yang meluncur dari kelopak bunga.
Sikap yang tenang dari Pendekar Ular Emas itu membuat Li Giok-hou kesima sehingga tak melanjutkan
pula serangannya itu, cukuplah sudah bagi Li Giok-hou untuk berbangga hati.
Pedang Ular Emas yang begitu ditakuti sebagai momok nomor satu dalam dunia persilatan, hanya dalam
dua jurus saja, telah dapat dilukai. Hal itu benar-benar suatu prestasi atau hasil yang gemilang!
Apalagi peristiwa disaksikan oleh sumoaynya, Nyo Cu-ing yang dicintai dan para tokoh-tokoh persilatan
terkemuka. Alangkah bangganya!
Dan memang seri wajah pemuda itu menampilkan sinar kegembiraan dan kebanggaan.
Tiba-tiba Pendekar Ular Emas mengangkat muka. Sepasang bola matanya yang berkilat-kilat menyapu
sekalian orang gagah yang berdiri. Dan pelahan-lahan tangannya mulai menjamah tangkai pedang yang
terselip di belakang punggung lalu dihunusnya keluar.
Kim-coa-kiam atau Pedang Ular Emas! Pedang yang telah menggegerkan dunia persilatan karena telah
membunuh banyak sekali tokoh-tokoh persilatan sakti.
Pun cara Pendekar Ular Emas mencabut pedang pusakanya begitu pelahan dan tenang, menimbulkan
suasana yang menyeramkan dan tegang. Suatu ketegangan seperti dikala orang menunggu meletusnya
sebuah bom.
Bahkan Seruling Kumala Hong-hu Hoa yang memperhatikan wajah Pendekar Ular Emas itu, tergetar juga
hatinya dan diam-diam menimang, “Jika tidak memiliki ilmu tenaga dalam yang hebat, tak mungkin dia
berlaku sedemikian tenangnya!”
Sejak mengetahui bahwa Pendekar Ular Emas itu bukan lain yalah Siau Mo, guru sastera yang mengajar
puteranya, timbullah suatu kesan yang mengerikan dalam hati Nyo Jong-ho. Kesan dari suatu peristiwa
yang lampau......
“Mungkinkah dia?” gumam hati jago tua itu. Dan tanpa sadar ia telah mengeluarkan suara tertahan.
Sudah tentu sekalian tetamu terkejut. Dan terutama ketika melihat tuan rumah malah terus loncat ke muka
Pendekar Ular Emas. Gerakan Nyo Jong-ho itu teramat cepat sekali sehingga sekalian tetamu tak tahu apa
yang terjadi saat itu.
Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas yang tampaknya tenang-tenang itu, sudah siap siaga. Begitu Nyo
Jong-ho hendak menyerangnya, ia terus memutar kakinya sampai berpuluh kali dan Pedang Ular Emas di
tangannya pun menukik ke bawah lalu dengan jurus Hun-tiong-wu-soh atau Awan menghalang embun
mengabut, menusuk ke muka.
“Sring......”
Terdengar suara dering keras yang melengking tajam sekali!
Tampak kedua bahu Nyo Jong-ho bergetar, kakinya menyurut mundur tiga langkah. Wajah berobah pucat
dan lengan kanannya menjulai.
Sekalian tetamu yang berada dalam ruang besar itu adalah tokoh-tokoh silat yang terkemuka. Mata mereka
amat tajam. Namun mereka hampir tak mengetahui apa yang berlangsung antara Nyo Jong-ho dengan
Pendekar Ular Emas itu.
Kiranya Nyo Jong-ho waktu loncat tadi, telah melancarkan jurus Pit-ci-jiang-kiong atau Pit menunjuk
angkasa. Tetapi karena dia tak membekal alat tulis pit maka dia gunakan jari tangan untuk menutuk
Pendekar Ular Emas.
Tetapi dengan sebuah permainan pedang yang luar biasa indahnya, dapatlah pendekar Ular Emas
menggagalkan serangan tuan rumah. Karena disambut dengan pedang, terpaksa Nyo Jong-ho gelincirkan
jari dan menutuk batang pedang, “tring......”
Terdengar dering nyaring macam naga meringkik tadi. Dan walaupun batang Pedang Ular Emas dapat
tersiak ke samping, tetapi tangan Nyo Jong-ho pun terasa sakit sekali sehingga tulangnya serasa pecah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah melingkarkan pedangnya dalam sebuah gerak perputaran, Pendekar Ular Emas pun tegak berdiri
dengan mencekal pedangnya pula. Wajahnya tampak serius, sikapnya setenang batu karang di tengah laut.
Karena Nyo Jong-ho mendahului loncat menerjang Pendekar Ular Emas maka Li Giok-hou pun terpaksa
hentikan serangannya. Ia menarik pulang pedangnya dan menyurut mundur selangkah.
Kiranya sikap yang diambil Pendekar Ular Emas, berdiri tegak dengan pusatkan seluruh perhatian,
merupakan sikap dari ilmu pedang tataran tinggi.
Sekalian tokoh terbeliak kaget......
Cu Kong-ti salah seorang dari Tiga jago pedang Kang-lam, segera berkata bisik-bisik kepada jago tua Han
Ceng-jiang yang menjadi ketua perguruan Thay-kek-bun: “Han ciang-bun, kalau saat ini tak dibasmi, kelak
dia tentu membahayakan dunia persilatan!”
Dengan kata-kata itu Cu Kong-ti bermaksud hendak mengajak ketua Thay-kek-bun itu untuk bersama-sama
menggempur Pendekar Ular Emas.
Wajah jago tua Han Ceng-jiang tampak berobah dingin. Sahutnya, “Benar, walaupun hanya mengeluarkan
beberapa jurus permainan saja, tetapi gerakannya luar biasa sekali. Saudara Cu, bagaimana pendapat
saudara dengan jurus Pit menunjuk angkasa dari Nyo Jong-ho tadi?”
“Hebat dan kurasa aku sendiri tak mampu lolos dari tutukan jari semacam itu,” sahut Cu Kong-ti.
Kata ketua Thay-kek-bun itu pula: “Memang bukan maksudku hendak memuji saudara Nyo Jong-ho. Tetapi
memang tokoh-tokoh silat dalam dunia persilatan dewasa ini, tiada seorangpun yang mampu lolos dari
serangan jari maut Nyo Jong-ho. Tetapi ternyata orang itu dengan sebuah gerakan pedang dapat
menghalaunya......”
Tiba-tiba kedengaran Hong-hu Hoa bertanya kepada sang isteri, pendekar wanita Tong Ki: “Adik Ki, apakah
engkau sudah menemukan sesuatu yang mencurigakan?”
Jarum beracun Tong Ki menjawab: “Tampaknya dia sudah terluka dan tenaga dalamnya berkurang,
semangatnya buyar sehingga tak dapat menjalankan ilmu pedang Ih-kiam-sut.”
Ternyata saat itu kedua belah tangan Pendekar Ular Emas yang memegang pedangnya, pelahan-lahan
menjulai turun. Wajahnya yang putih makin pucat dan lengannyapun sedikit gemetar.
Rupanya Li Giok-hou dapat mengetahui hal itu. Ia tertawa dingin lalu ayunkan langkah ke tempat Pendekar
Ular Emas.
Sekonyong-konyong seorang lelaki dengan tubuh berlumuran darah menerobos masuk ke dalam ruang,
terus berteriak keras: “Nyo bengcu, Siau......”
Belum sempat menyelesaikan kata-katanya, tiba-tiba dia sudah rubuh ke lantai. Ternyata dadanya tertancap
sebatang Pedang Ular Emas yang panjangnya sejengkal tangan.
Lelaki itu bukan lain anak buah Nyo Jong-ho yang disuruh untuk mengundang guru Siau di villa Merah
Delima.
Li Giok-hou cepat loncat ke tempat orang itu. Ketika merabah dadanya ternyata orang itu sudah putus
jiwanya.
Kejut sekalian orang bukan alang kepalang. Mereka terbelalak dan melongo. Tak tahu apa yang telah terjadi
karena dengan terbunuhnya bujang itu oleh sebatang Pedang Ular Emas, tentulah bukan Pendekar Ular
Emas yang berada di situ yang membunuhnya.
“Hai...... kemanakah dia!” tiba-tiba Cu-ing berteriak.
Teriakan nona itu telah mengguyur semangat sekalian tokoh yang sedang melayang-layang itu. Mereka
serentak memandang ke sekeliling. Tetapi ah...... Pendekar Ular Emas Siau Mo ternyata sudah lenyap!
Sekian banyak tokoh-tokoh berilmu tinggi yang berada dalam ruang itu, tetapi tiada seorang pun yang tahu
dan mendengar gerak Pendekar Ular Emas melenyapkan diri.
Wajah sekalian tokoh itupun pucat seketika!
Mereka seperti ditampar mukanya oleh Pendekar Ular Emas. Suatu hinaan bagi tokoh-tokoh persilatan
kelas satu apabila mereka dipermainkan begitu rupa seperti anak kecil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali mereka terlongong-longong kehilangan paham.
Nyo Jong-ho tiba-tiba berkata seorang diri: “Apabila orang itu tak dilenyapkan, dunia persilatan pasti takkan
mengenyam ketenangan.”
Sekalian orang serempak mencurah pandang ke arah tuan rumah.
Ketua perguruan Thay-kek-bun, Han Ceng-jiang, menghela napas panjang.
“Berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan tetapi tak pernah aku menerima ejekan
semacam ini. Peristiwa ini apabila sampai tersiar di luar, dimanakah kita akan menaruhkan muka kita?”
katanya menggeram.
Sekalian tokoh-tokoh silat yang berada di ruang itu, tahu kemana arah tujuan ucapan jago dari Thay-kekciang
itu. Yalah secara halus memperingatkan agar sekalian orang jangan sampai menyiarkan peristiwa itu
keluar. Karena hal itu hanya menghilangkan muka mereka sendiri saja.
Seruling Kumala Hong-hu Hoa tiba-tiba tertawa ringan.
“Kelenting dari tanah liat tak urung tentu pecah di mulut sumur. Seorang panglima tentu sukar menghindari
barisannya hancur. Kita, kaum persilatan yang berkelana dalam dunia persilatan, tentu takkan terhindar juga
bertemu dengan peristiwa semacam itu,” kata jago yang bergelar Seruling Kumala itu. “Tetapi yang paling
menjengkelkan sendiri ialah, ke delapan batang jarum Ular Emas itu telah diambil orang, saudara Gak
Kiong terluka dan kita pontang panting sampai semalam lamanya tetap belum juga dapat mengetahui jejak
musuh itu......”
Berkata sampai disini, ia sapukan pandang matanya ke arah nona Cu-ing, lalu berhenti.
Rupanya Nyo Jong-ho tahu akan sikap Hong-hu Hoa itu. Maka ia segera bertanya kepada Cu-ing: “Ing,
pada waktu engkau bersembunyi di balik tirai kain tadi, apakah yang engkau lihat?”
Ternyata siasat dari Hong-hu Hoa untuk menjebak siapa yang akan mengambil ke delapan jarum Ular Emas
tadi, dilaksanakan oleh Hong-hu Hoa dengan isterinya dan nona Cu-ing pun diikut sertakan dan disuruh
bersembunyi di balik tirai.
“Yah,” sahut nona itu, “pada waktu aku bersembunyi di balik tirai tadi, kulihat dua orang Pendekar Ular
Emas muncul di ruang ini. Pendekar Ular Emas yang muncul pertama, amat gesit sekali gerakannya dan
ilmu kepandaiannya agaknya lebih hebat dari Pendekar Ular Emas yang berasal dari guru Siau itu. Pada
saat Pendekar Ular Emas pertama melesat ke meja dan mengambil ke delapan batang jarum Ular emas,
Pendekar Ular Emas Siau Mo pun muncul...... tetapi dia terus disambut dengan serangan oleh Li suheng.”
Dalam keterangannya itu Cu-ing tak mengatakan bagaimana Pendekar Ular Emas Siau Mo telah menolong
dirinya dengan menusuk orang yang bersembunyi di balik tirai dan yang hendak membunuh si nona.
Setelah mendengar keterangan puteri dari tuan rumah, sekalian tokoh makin bingung. Mereka berdiam diri
merenung. Semula mereka mengira ke delapan batang jarum Ular Emas itu tentu diambil oleh Siau Mo.
Tetapi ternyata bukan dan yang mengambil ialah seorang Pendekar Ular Emas lain.
Pendekar Ular Emas kembar!
Pendekar Ular Emas yang seorang, sudah diketahui kalau guru Siau atau Siau Mo. Tetapi siapakah
gerangan Pendekar Ular Emas yang kedua itu?
Li Giok-hou tampil ke muka, memberi hormat kehadapan Nyo Jong-ho lalu berseru lantang: “Gihu, maafkan
karena aku datang terlambat sehingga iblis itu sempat melarikan diri. Tetapi siapakah gerangan yang gihu
sebut dengan nama Siau Lo-seng itu?”
Gihu artinya ayah angkat. Memang bukan saja hanya sebagai murid, pun Li Gok-hou itu telah diambil putera
angkat oleh Nyo Jong-ho.
Sambil kebutkan lengan baju suruh Li Giok-hou bangun, berkatalah Nyo Jong-ho: “Giok-hou, apabila tak
salah dugaanku, sejak saat ini dunia persilatan bakal mengalami pergolakan besar. Tetapi hal itu aku tak
dapat menerangkan sebabnya. Sekarang mari kita menuju ke villa Merah Delima untuk menemui guru Siau.
Di situ barulah kita akau jelas duduk perkaranya.”
“Benar,” sambut Jarum maut Tong Ki, “kurasa Siau Lo-seng itu sama dengan Siau Mo. Kalau bukan, jelas
Siau Lo-seng itu seperti yang dikatakan adik Ing tadi, ialah Pendekar Ular Emas yang muncul pertama.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian para tokoh-tokoh gagah itu segera bergegas-gegas menuju ke villa Merah Delima. Ruang besar
kembali sunyi senyap. Yang tinggal di situ hanya Cu-ing seorang.
Tiba-tiba nona itu mencabut pedangnya lalu menghampiri ke muka meja dan berseru dengan dingin:
“Apakah engkau tak mau keluar?”
Tetapi tirai kain yang dipandangnya itu tak terdengar suatu penyahutan apa-apa.
Cu-ing kerutkan dahi dan membatin: “Apakah dia benar-benar pergi? Tetapi di belakang tirai itu tak ada
pintu atau jendelanya!”
Kiranya satu-satunya orang yang melihat Siau Mo meloloskan diri tadi, hanya nona itu. Ia melihat Pendekar
Ular Emas Siau Mo melesat ke balik tirai.
“Hm, jangan mempermainkan aku,” dengus nona itu seraya lekatkan ujung pedang ke kain tirai. Sesaat
kemudian terus ditusukkan ke dalam.
Dari sinar lampu, dapatlah pandang mata Cu-ing menembus ke belakang tirai dan tahu apa yang berada di
situ.
Dilihatnya di balik tirai itu guru muda Siau sedang duduk bersila pejamkan mata. Wajahnya pucat lesi,
dadanya agak berkembang kempis. Tetapi mulutnya tak mengeluarkan suara erang atau rintihan suatu apa.
Cu-ing terkejut. Ujung pedangnya sudah terlanjur menusuk ke muka dan bahkan sudah hampir mengenai
dada orang itu. Tetapi aneh, orang itu masih tetap duduk tenang dan tak membuat suatu gerakan untuk
mengisar tubuh ataupun menangkis.
Cu-ing makin bingung sendiri. Cepat ia menarik kembali ujung pedangnya......
Tepat pada saat itu Siau Mo si Pendekar Ular Emas pun membuka mata dan menegurnya dingin: “Mengapa
engkau menarik pulang pedangmu?”
Mendengar pertanyaan itu Cu-ing malah terlongong.
“Ya, mengapa aku tak menusuknya? Apakah dia menghendaki supaya aku membunuhnya......” pikir gadis
itu.
Tiba-tiba Siau Mo berbangkit.
“Perobahan pikiranmu tadi, tentu akan membuat engkau menyesal seumur hidup. Terus terang kukatakan
kepadamu. Tadi tusukanmu itu tentu berhasil karena saat itu aku sudah tak mempunyai tenaga sedikit pun
untuk melawan......”
Belum selesai ia berkata, Cu-ing sudah membentak, dengan murka: “Huh......” ia terus menusuk lagi.
01.05. Pengepungan Villa Merah Delima
Tusukan itu dilancarkan dengan kemarahan besar sehingga pedang sampai membaurkan suitan tajam.
Pada jarak yang sedemikian dekat, betapapun saktinya Pendekar Ular Emas itu, tak mungkin dia dapat
menghindar.
Tetapi Pendekar Ular Emas Siau Mo itu telah membuat gerakan yang luar biasa. Jari tangan kanannya
menjentik dan sedesis angin tajam segera menampar ujung pedang. Lalu dengan gerakan yang cepat,
tangan kirinya menyambar pergelangan tangan kanan nona itu.
“Tring......” terdengar suara menggemerincing dan jatuhlah pedang si nona ke tanah. Pergelangan
tangannya pun telah dicekal oleh Siau Mo.
“Hm, engkau telah mensia-siakan kesempatan baik untuk membunuh aku. Kelak kalau mau membunuh
aku, harus menunggu kesempatan baik lagi,” Siau Mo tertawa dingin.
Kata-katanya itu tajam, penuh sindiran dan merambang sehingga sukar ditangkap maksudnya.
Habis berkata ia terus lepaskan cekalannya dan berputar tubuh lalu pergi.
“Berhenti!” seru Cu-ing bengis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo tenang-tenang memalingkan muka, serunya: “Nona Nyo, bukankah engkau hendak bertanya? Agar
jangan banyak ribut-ribut, kuterangkan kepadamu. Aku ini adalah tokoh Pendekar Ular Emas yang dibenci
oleh dunia persilatan itu. Namaku Siau Mo dan guru sekolah yang memakai nama Siau Lo-seng itu hanya
nama samaranku.”
Kejut Cu-ing bukan kepalang, serunya: “Jangan terburu-buru pergi dulu, aku masih akan bertanya lagi.”
Tetapi pada saat sehabis memberi keterangan tadi Pendekar Ular Emas Siau Mo memang sudah terus
melesat keluar dari ruangan.
Cu-ing memandang bayangan orang itu lenyap dalam kegelapan. Tak disadarinya, nona itu mengucurkan
airmata……
Cu-ing merasa seperti telah melakukan suatu langkah yang menyalahi orang. Mengapa ia tak mau
memberitahukan kepada ayah dan para tokoh bahwa Siau Mo bersembunyi di balik kain tirai itu?”
“Ah, aku takut kalau-kalau...... yang bersembunyi di belakang tirai itu guru Siau......” ia menjawab
pertanyaan dalam hatinya sendiri.
Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas itu mengaku kalau dirinya benar Siau Lo-seng atau guru Siau.
“Benarkah itu?” ia masih bertanya setengah tak percaya pada dirinya sendiri, “mungkinkah di dunia ini
terdapat orang yang wajahnya mirip satu sama lain?”
Setelah merenung beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk memberitahu hal itu kepada ayahnya…..
********************
Ruang muka pada villa Merah Delima itu hanya kecil. Saat itu tampak sunyi senyap. Hanya bunyi dahan
dan ranting pohon yang berdesir-desir tertiup angin malam.
Karena villa itu semula menjadi tempat kediamannya maka Cu-ing paham sekali keadaannya. Setiba di luar
halaman, ia mengangkat muka dan memandang ke sekeliling penjuru. Rumput masih menghijau, kolam
bunga teratai masih beriak-riak tenang ditingkah sinar rembulan. Semua masih seperti hari-hari yang lalu.
Empat penjuru sunyi senyap tiada tampak seorangpun juga.
Cu-ing terbeliak, diam-diam ia bertanya sendiri: “Lalu kemanakah ayah dan para tetamu itu?”
Baru ia memikir sampai di situ tiba-tiba dari belakang melesat keluar sesosok bayangan. Cu-ing cepat
berputar tubuh, tahu-tahu tangannya telah dicekal oleh orang itu yang bukan lain ayahnya sendiri, Nyo
Jong-ho.
Nyo Jong-ho menarik Cu-ing loncat ke bawah sebatang pohon. Di situ Nyo Jong-ho membisiki puterinya:
“Ing, di halaman villa itu sudah penuh bersembunyi musuh-musuh kuat. Jangan engkau bergerak
sembarangan.”
Mendengar itu Cu-ing terperanjat, pikirnya: “Baru beberapa kejap Siau Mo pergi dari ruang gedung depan,
tak mungkin dia sudah berada di halaman villa ini......”
Sebenarnya saat itu ia hendak memberitahu kepada ayahnya bahwa Pendekar Ular Emas Siau Mo tidak
lenyap melainkan bersembunyi di balik tirai. Tetapi entah bagaimana tiba-tiba terlintas suatu pikiran lain:
“Ah, tetapi bagaimana aku memberi alasan kepada ayah. Mengapa saat itu aku tak mau memberitahukan
hal itu kepadanya......
Kemudian nona itu memandang beberapa sosok tubuh yang bersembunyi di bawah pohon itu.
“Yah, dimana engkoh Giok-hou?” tanyanya.
Kiranya selain Nyo Jong-ho, yang bersembunyi di bawah pohon situ terdapat juga keempat pengawal
keluarga Nyo dan ketua perguruan Thay-kek-bun Han Ceng-jiang. Tokoh-tokoh yang lain entah berada
dimana.
“Saudara Nyo,” tiba-tiba Han Ceng-jiang bertanya bisik-bisik, “kedua pengawal saudara itu, kemungkinan
besar tentu mendapat bahaya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu wajah Nyo Jong-ho tampak serius sekali, sahutnya: “Saudara Han, baiklah kita tunggu sebentar
lagi.”
Baru ia berkata begitu, sesosok tubuh cepat melesat datang. Ternyata dia Pedang Beracun Pembasmi Iblis
Li Giok-hou. Kemudian berturut-turut menyusul pula Hong-hu Hoa bersama isterinya, Tong Ki.
“Giok-hou, bagaimana keadaan dalam ruang villa itu?” tanya Nyo Jong-ho.
Giok-hou gelengkan kepala: “Memang aneh sekali. Di dalam ruang tak terdengar suatu suara apapun tetapi
kedua orang bawahan kita tadi seperti terbenam dalam lautan. Sama sekali tak ada gerak gerik maupun
suaranya. Menurut hematku. kedua orang itu tentu sudah tertimpah bahaya, maka kurasa lebih baik kita
serbu saja.”
Kiranya kedatangan sekalian tokoh ke villa Merah Delima itu telah menghadapi suatu suasana yang tegang.
Mereka memencar diri mengepung villa itu dari segala penjuru untuk menjaga jangan sampai Pendekar Ular
Emas Siau Mo dapat lolos lagi.
Untuk menjajagi keadaan dalam villa, Nyo Jong-ho menyuruh dua orang sebawahannya memasuki ruang
villa. Tetapi sampai sekian lama belum juga kedua orang itu muncul lagi.
Setelah mendengar keterangan dari muridnya, Nyo Jong-ho memandang kepada sekalian tetamunya.
“Lebih baik kita jangan bergerak sendiri,” katanya, “sekarang aku hendak berunding dengan saudarasaudara
sekalian mengenai sebuah hal. Giok-hou, undanglah saudara Cu Kong-ti dan Bok Seng-bu
kemari......”
“Tuh lihatlah, kedua orang itu sudah datang,” seru Han Ceng-jiang ketua Thay-kek-bun.
Memang saat itu dari arah ujung tembok halaman sebelah timur, dua sosok bayangan melesat dan
beberapa kejap kemudian sudah tiba di samping pintu. Di bawah sinar rembulan dapatlah diketahui bahwa
kedua orang itu memang Cu Kong-ti dan Bok Seng-bu, dua jago dari Tiga pedang Kang-lam.
Melihat itu berobahlah wajah Nyo Jong-ho, cepat ia menyuruh muridnya: “Giok-hou, lekas cegah mereka
jangan masuk!”
Tetapi saat itu Pedang baja Bok Seng-bu sudah berteriak: “Hai, orang di dalam gedung, lekas keluar
berhadapan dengan aku!”
Dan habis berkata jago itupun sudah menghunus pedang dan melangkah masuk ke dalam halaman lalu
menuju ke pintu villa.
“Aduh......!” terdengar jeritan ngeri dan sesosok tubuhpun melesat keluar dari dalam pintu itu.
Sekalian tokoh terkejut. Menilik suara jeritan itu, jelas tentu orang itu menderita luka.
Secepat kilat Giok-hou pun berayun loncat ke halaman dan dengan tangkas ia menyanggapi tubuh orang itu
supaya jangan jatuh.
Cu Kong-ti pun loncat menghampiri tetapi kalah cepat dengan Giok-hou.
Setelah menyanggapi tubuh orang itu tanpa melihatnya siapa, Giok-hou terus saja loncat lagi kembali ke
bawah pohon.
Ketika sekalian orang memandang siapa orang yang di bawah Giok-hou itu maka menjeritlah Cu Kong-ti,
“Bok sute......!”
Memang orang yang terluka itu bukan lain ialah Bok Seng-bu. Mukanya berlumuran darah, keadaannya
mengenaskan sekali. Dia rebah tak berkutik di tangan Giok-hou.
Cu Kong-ti bercucuran airmata melihat keadaan sutenya itu.
Nyo Jong-ho cepat menghampiri, memeriksa denyut pergelangan tangannya dan terlongong-longong......
Denyut pergelangan tangan jago dari Kang-lam itu sudah berhenti. Bok Seng-bu sudah putus jiwanya.
Cu Kong-ti pun meraba pernapasan hidung sutenya. Demi mengetahui sutenya sudah meninggal,
menjeritlah jago pertama dari Tiga jago pedang Kang-lam itu, lalu berputar tubuh terus melangkah ke muka.
Ia hendak mengadu jiwa dengan orang di dalam villa yang telah membunuh Bok Seng-bu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketua perguruan Thay-kek-bun, jago tua Han Ceng-jiang cepat mencegahnya.
“Saudara Cu, harap jangan diburu nafsu kemarahan. Untuk membalas dendam, tak perlu harus menuruti
hati panas. Lain waktu kita masih mempunyai kesempatan,” kata ketua perguruan Thay-kek-bun itu.
Pedang Siput Rawa Cu Kong-ti adalah tokoh kesatu dari Tiga pedang Kang-lam. Dia memang seorang jujur
dan serius. Mendengar nasehat jago tua Han Ceng-jiang. iapun hentikan langkah.
Tiba-tiba ia merasa curiga terhadap kematian sutenya yang ketiga itu. Bok Seng-bu memiliki kepandaian
yang sakti. Secara jujur ia mengakui bahwa kepandaian sutenya itu tak di bawah kepandaiannya. Maka ia
heran mengapa dalam beberapa kejap saja sutenya telah terbunuh begitu mudah. Apabila benar begitu,
jelas orang yang berada dalam villa itu, berkepandaian sakti sekali. Pun ganasnya bukan kepalang.
Sekalian tokoh ternyata juga mempunyai penilaian serupa dengan Cu Kong-ti. Tampak wajah mereka
bermuram durja. Bahwa pendekar wanita Tong Ki yang sejak datang sudah mengunjuk sikap dan ucapan
yang angkuh sombong, saat itupun tampak terkejut.
Di antara orang itu, Cu-ing lah yang paling berdebar sendiri hatinya. Tak henti-hentinya ia bertanya dalam
hati: “Siapakah pembunuh dalam villa itu?” Jelas tentu bukan Siau Mo! Apakah? Mungkinkah Siau Lo-seng?
Tetapi bukankah tadi Siau Mo sudah mengaku bahwa Siau Lo-seng itu sama dengan dirinya......?”
Sedangkan saat itu Giok-hou tak sempat memikirkan siapa pembunuh misterius yang berada dalam vilia
Merah Delima. Ia mencurahkan perhatian untuk memeriksa luka Bok Seng-bu.
“Kematian saudara Bok ini......” akhirnya setelah memeriksa keadaan mayat Bok Seng-bu. Giok-hou
memberi keterangan, “bagian mukanya habis dicakari oleh semacam senjata. Kemungkinan senjata Cakar
garuda atau Cakar baja. Memang senjata semacam itu hebat sekali. Tetapipun tak mungkin dalam waktu
yang begitu singkat dapat menghilangkan jiwa saudara Bok. Selain serangan senjata cakar itu, musuh tentu
menyerempaki lagi dengan pukulan ganas dari tenaga dalam yang beracun. Pukulan itulah yang
menghancurkan urat-urat nadi tubuh saudara Bok.”
Mendengar penjelasan itu, sekalian orang mengagumi kepandaian Giok-hou meneliti jejak pukulan musuh.
Kemudian Giok-hou bertanya kepada mereka: “Di antara saudara disini, siapakah yang pernah mengetahui
tokoh yang biasa menggunakan senjata Cakar garuda itu?”
Ketua Thay-kek-bun Han Ceng-jiang menyahut, “Memang sungguh memalukan sekali. Pendekar Ular Emas
itu benar seperti seekor naga yang tampak kepalanya tetapi tak kelihatan ekornya. Membuat orang benarbenar
bingung. Karena siapa yang melihat wajahnya, tentu akan dibunuh.”
“Ya, kalau tidak memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, tak mungkin dia berani menantang dunia
persilatan,” pendekar wanita Tong Ki menanggapi.
Giok-hou kerutkan alis, serunya: '“Menurut pandangan saudara-saudara disini, pembunuh yang berada
dalam gedung itu, jelas tentu Pendekar Ular Emas. Tetapi aku tak mengerti. Pendekar Ular Emas itu hanya
seorang atau beberapa orang jumlahnya?”
Nyo Jong-ho tiba-tiba menghela napas, serunya: “Giok-hou, apakah suhumu sudah menerima surat
undanganku?”
Belum Giok-hou menyahut, tiba-tiba Seruling Kumala Hong-hu Hoa berteriak kaget: “Lihatlah! Siapa itu?”
Sekalian orang serentak berpaling memandang ke arah yang ditunjuk Hong-hu Hoa.
Seorang berbaju putih tengah tegak di lorong kecil dari taman bunga dalam lingkungan tembok halaman
villa Merah Delima. Sejenak memandang ke arah villa itu, terus ayunkan langkah menuruni titian......
“Hai, siapakah orang itu kalau bukan Pendekar Ular Emas?!”
Gegerlah sekalian tokoh-tokoh itu. Bermula mereka mengira bahwa pembunuh yang berada di dalam villa
itu tentulah Pendekar Ular Emas Siau Mo. Tetapi setelah menyaksikan Siau Mo berada di taman bunga
bingunglah hati sekalian orang itu. Diam-diam mereka membantah sendiri tuduhannya tadi.
“Kalau begitu, pembunuh dalam rumah villa itu tentulah Pendekar Ular Emas Siau Lo-seng,” pikir tokohtokoh
silat itu.
Memang hanya Cu-ing seorang yang tahu bahwa Siau Mo itu sama dengan Siau Lo-seng. Tetapi sekalian
tokoh tak tahu hal itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu sekalian orang melihat Pendekar Ular Emas Siau Mo dengan langkah yang cepat sudah
menghampiri ke pintu halaman.
Jarak taman bunga dengan pintu halaman itu hanya tujuh atau delapan tombak. Tetapi anehnya, walaupun
tampak berjalan cepat, Siau Mo seperti menempuh perjalanan tujuh-delapanpuluh tombak jauhnya. Cepat
tetapi lama.
“Ilmu apakah itu?” tanya sekalian orang.
Hong-hu Hoa menghela napas.
“Ilmu kepandaian yang dimiliki orang itu benar-benar seperti laut yang sukar dijajagi dalamnya,” kata Honghu
Hoa, “cara jalan yang dilakukan itu jelas untuk menjaga kemungkinan diserang oleh orang yang berada
dalam rumah. Dengan begitu jelas dia tak ada hubungan dengan pembunuh dalam villa itu, Nyo bengcu,”
serunya kepada tuan rumah, “marilah sekarang kita serempak menyerbu ke dalam rumah itu!”
Belum selesai ia mengucap, tiba-tiba tampak Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah menerjang ke dalam
ruang villa.
Serempak dengan itu segera terpantullah sinar pedang yang berkilat-kilat menerangi ruang. Sesaat
kemudian terdengar suara erang tertahan dan pantulan sinar pedang itupun segera lenyap lagi.
Ruang dalam rumah itu kembali sunyi senyap.
“Apakah dia juga terbunuh......?” sekalian tokoh-tokoh itu mulai menduga-duga.
Membayangkan hal itu, makin ciutlah nyali sekali jago-jago silat itu. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana
tadi di gedung besar, Pendekar Ular Emas Siau Mo itu telah mengunjukkan kepandaiannya yang hebat.
Beberapa orang yang pernah adu pukulan, antara lain Li Giok-hou, dapat mengetahui jelas bagaimana
kesaktian Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Bahkan jago-jago angkatan tua seperti Nyo Jong-ho dan ketua
perguruan Thay-kek-bun Han Ceng-jiang sendiri pun mengakui bahwa Siau Mo itu seorang jago muda yang
luar biasa hebatnya.
Apabila saat itu Siau Mo juga mengalami nasib serupa dengan Bok Seng-bu tadi, maka sukarlah
dibayangkan betapa hebat kesaktian orang yang berada dalam ruang villa itu.
Giok-hou dan Hong-hu Hoa yang sudah hendak bergerak menyerbu pun terpaksa hentikan langkahnya dan
berpaling memandang Nyo Jong-ho.
Rupanya tuan rumah itu sendiripun seperti kehilangan paham dan sesaat tak tahu bagaimana harus
memberi perintah.
Tiba-tiba dari arah villa itu terdengar seseorang berseru dingin: “Manusia hidup dalam dunia ini, paling
banyak hanya mati satu mengapa kalian tak berani masuk kemari?”
Astaga! Suara itu jelas suara Pendekar Ular Emas Siau Mo.
Sudah tentu sekalian tokoh-tokoh itu terlongong-longong seperti kehilangan semangat. Kalau Siau Mo
belum mati lalu jelas tentu pembunuh dalam villa itu yang kalah.
Tiba-tiba terdengar suara Pendekar Ular Emas Siau Mo berseru, “Pendekar Ular Emas sejak setahun
muncul di dalam dunia persilatan ini, memang telah menggegerkan orang. Kalian dari empat penjuru dunia
sama datang kemari, bukankah karena hendak menyelidiki jejak Pendekar Ular Emas? Nah, sekarang
Pendekar Ular Emas berada disini, mengapa kalian tak berani masuk menghadapi aku?”
Mendengar tantangan yang mengejek itu, marahlah Giok-hou, serunya: “Siau Mo, Pedang Beracun
Pembasmi Iblis Li Giok-hou akan masuk menemui engkau!”
Pemuda itu menutup kata-katanya dengan mencabut pedang terus loncat menerjang.
“Giok-hou, jangan masuk!” cegah Nyo Jong-ho.
Tetapi pemuda itu sudah terlanjur mengayunkan tubuh. Dan dia memang memiliki ilmu ginkang atau
meringankan tubuh yang hebat. Sekali berayun, sudah tiba di muka pintu ruang villa.
Kuatir muridnya mendapat bahaya, Nyo Jong-ho pun terpaksa ikut loncat menyusul.
Tiba-tiba ruang villa yang semula gelap itu, mendadak terang. Tentulah Siau Mo menyalakan lampu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Giok-hou dan Nyo Jong-ho terus menyerbu masuk. Tetapi apa yang mereka saksikan dalam ruang benarbenar
membuat mereka terkejut ngeri.
Pada tiang penglari dari ruang villa itu, tergantung dua sosok tubuh manusia. Angin malam berhembus dan
kedua sosok tubuh itupun bergelantungan kian kemari......
Ketika Giok-hou dan Nyo Jong-ho memandang dengan teliti, kiranya kedua mayat yang digantung itu ialah
dua orang anak buah yang disuruh Nyo Jong-ho untuk menyelidiki keadaan dalam rumah villa itu.
Saat itu Hong-hu Hoa, Tong Ki, Cu-ing dan jago tua Han Ceng-jiang pun sudah berhamburan masuk ke
dalam ruangan.
Kecuali dua sosok mayat yang bergelantungan pada tiang penglari dan darah yang berketes-ketes turun ke
lantai, Pendekar Ular Emas Siau Mo sama sekali tak tampak bayangannya.
Giok-hou penasaran sekali. Sambil membabat tali penggantung kedua mayat itu, ia berseru menantang:
“Hai, Siau Mo, engkau bersembunyi dimana?”
“Aku disini, masakan engkau tak mengetahui?” tiba-tiba terdengar suara Siau Mo menyahut.
Dan serempak dengan itu dari arah kamar tulis menyala sebatang korek api......
02.06. Pembunuhan Keluarga Siau
Li Giok-hou dan sekalian tokoh-tokoh terkejut ketika melihat kamar tulis di samping kiri Villa Merah Delima
itu menyala terang.
Cepat rombongan orang-orang gagah itu melihat Pendekar Ular Emas Siau Mo tengah duduk di atas kursi
batu. Kedua tangannya mencekal Pedang Ular Emas yang terletak di atas lututnya. Dia pejamkan mata,
wajahnya pucat lesi.
Di samping tempat duduknya terdapat seorang berpakaian hitam yang duduk melingkar.
Hong-hu Hoa segera membisiki isterinya:
“Dia duduk pada jarak tujuh langkah dari pintu. Sesuai dengan tujuh bintang dalam lingkungan ujung kaki,
sebuah tata langkah dalam jurus bintang Pak-tou. Dan jari tengahnya agak dijungkatkan ke atas itu sesuai
dengan jurus Tangan memetik bintang. Jika kita gegabah menyerbu tentu sukar terhindar dari serangannya
yang ganas.”
Walaupun berkata kepada sang isteri, tetapi secara tak langsung Suling Kumala Hong-hu Hoa juga
memberitahu kepada sekalian orang gagah.
Demi mendengar uraian Hong-hu Hoa, sekalian tokoh-tokoh pun segera mengamati sikap duduk dari
Pendekar Ular Emas Siau Mo. Dan apa yang dikatakan Hong-hu Hoa itu memang benar.
“Ah, setiap saat Pendekar Ular Emas itu selalu berhati-hati menjaga diri. Apabila kita tak berhati-hati
memeriksa tentu akan mati di tangannya,” demikian pikir sekalian tokoh-tokoh gagah itu.
Mereka tak berani bergerak lebih dulu, melainkan memandang sekeliling penjuru. Aneh, mengapa tiada
terdapat lain orang lagi? Kemanakah lenyapnya Siau Lo-seng?
Kemudian mereka mencurahkan pandang mata ke arah orang berpakaian hitam yang mendekam di
samping Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Apakah orang itu yang menjadi pembunuh misterius dalam
ruangan tadi?
Belum sampai merangkai dugaan lebih jauh, tiba-tiba orang berbaju hitam yang mendekam di tanah itu
bangun lalu ayunkan tinjunya ke arah Siau Mo.
“Bokyong-te, aku......” Siau Mo membuka mata dan berseru.
Orang itu terkejut kemudian menarik pulang pukulannya.
“Siau toako, aku bertemu lagi dengan Wanita Suara Iblis itu,” serunya tertahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di tingkah sinar penerangan lilin, tampak orang berpakaian hitam itu seorang pemuda yang bertubuh gagah.
Bahunya bidang, pinggang ramping, muka terang. Memiliki sepasang mata besar bundar yang dinaungi
oleh alis tebal.
Pada saat menyebut nama Wanita Suara Iblis tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan berpaling memandang
ke arah sekalian tokoh-tokoh yang berada dalam ruang villa.
“Bokyong-te, aku sudah tahu,” sahut Siau Mo, “tadi anak buah dari Wanita Suara Iblis itu sudah bertempur
dengan aku.”
Pemuda yang disebut Bokyong-te atau adik Bok-yong itu terkejut: “Siau toako, engkau......”
Tiba-tiba ia berhenti lagi.
Sekalian orang yang berada dalam ruang villa itu adalah tokoh-tokoh yang banyak pengalaman dalam dunia
persilatan. Mendengar pembicaraan Siau Mo dengan pemuda baju hitam itu, mereka segera dapat
mengetahui hal yang sebenarnya.
Segera Nyo Jong-ho melangkah maju beberapa tindak, memberi hormat dan berseru: “Ah saudara Siau,
bolehkah aku minta keterangan kepadamu tentang banyak hal yang tak kuketahui?”
Tiba-tiba Siau Mo mengangkat muka. Matanya yang berkilat-kilat tajam memandang kepada sekalian tokohtokoh
itu.
“Soal apa yang engkau tak mengerti itu?” serunya.
Belum Nyo Jong-ho membuka mulut, Giok-hou sudah melesat ke samping gurunya dan membentak Siau
Mo: “Siapa engkau? Dan siapakah pula orang itu?” ia menunjuk pada pemuda baju hitam.
Pemuda baju hitam itu tertawa: “Li Giok-hou, jangan jual kegarangan! Kalau minta keterangan kepada Siau
toako ku, harus bicara yang baik. Hm, hm, kalau engkau bertanya aku siapa, aku seorang kerucuk
persilatan yang tak bernama, Bok-yong Kang.”
Mendengar nama itu, Giok-hou tertegun. Mereka memang belum pernah mendengar nama itu dalam dunia
persilatan.
“Saudara Siau,” seru Nyo Jong-ho. “kalau tak salah, Siau Lo-seng itu mungkin nama samaranmu.”
“Ya, benar. Aku memang Siau Lo-seng,” sahut Siau Mo.
Cu-ing berseru: “Engkau, engkau apa benar Siau sianseng itu?”
Sebenarnya ia sudah mendengar hal itu dari mulut Siau Mo sendiri. Tapi ia tetap tak percaya dan ingin
mendapat penegasan yang jelas lagi.
Tetapi Siau Mo tak mau meladeni pertanyaan si nona. Ia meramkan mata dan berkata,
“Bokyong-te, harap wakili aku menjawab pertanyaan mereka. Tetapi paling banyak hanya boleh bertanya
tiga kali.”
Pemuda baju hitam yang bernama Bok-yong Kang itu segera tampil ke muka berdiri di depan Siau Mo.
“Apa yang kalian tak mengerti, lekaslah ajukan pertanyaan. Tetapi hanya boleh tiga kali bertanya,” katanya.
Giok-hou mendengus dingin, mencabut pedang dan membentaknya: “Budak hina, besar benar mulutmu.
Aku tak percaya kalau kalian ini sakti sekali.”
Karena masih muda, darah Giok-hou masih panas. Melihat sikap Siau Mo dan Bok-yong Kang, begitu
congkak, dia tak dapat menahan hatinya lagi.
“Giok-hou!” buru-buru Nyo Jong-ho mencegah, “Mereka toh di sini, nanti pun masih ada kesempatan yang
cukup untuk adu kepandaian dengan mereka.”
Nyo Jong-ho hendak mencari keterangan lebih dulu. Sebelum mendapat keterangan yang jelas ia tak mau
bertempur.
Kemudian jago tua itu berpaling kepada Seruling Kumala: “Saudara Hong-hu, silahkan mengajukan tiga
buah pertanyaan kepada mereka.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong-hu Hoa tertawa gelak-gelak lalu maju menghampiri, katanya: “Kalau begitu aku hendak bertanya lebih
dahulu tentang diri Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis itu.”
Seruling Kumala Hong-hu Hoa memang seorang yang cermat. Begitu mendengar pembicaraan antara Siau
Mo dan Bok-yong Kang tadi, cepat ia segera menarik kesimpulan bahwa pembunuh misterius dalam ruang
villa tadi, adalah anak buah dari tokoh Wanita Suara Iblis itu. Tetapi siapakah Wanita Suara Iblis itu? Kaum
persilatan belum pernah mendengar tentang tokoh wanita itu.
“Pertanyaanku yang pertama, ialah, siapakah Wanita Suara Iblis itu?” Seru Seruling Kumala.
Bok-yong Kang menjawab: “Pertanyaan yang bagus. Wanita Suara Iblis itu adalah pemimpin dari suatu
gerombolan yang hendak menguasai dunia persilatan. Dia muncul dan lenyap sukar diduga. Ganasnya
bukan main.”
Seruling Kumala Hong-hu Hoa tertawa dingin: “Engkau pun menjawab bagus sekali. Apakah begitu sudah
bisa dianggap sebagai jawaban?”
Kata Bok-yong Kang: “Bukankah engkau tanya, siapa Wanita Suara Iblis itu? Keterangan itu sudah memberi
jawaban bagaimanakah wanita itu. Sudahlah jangan banyak bicara. Lekas engkau ajukan pertanyaan yang
kedua.”
Tangan ganas jarum beracun Tong Ki tertawa: “Tahukah engkau, kalian nanti akan menerima nasib
bagaimana?”
Jawab Bok-yong Kang: “Kalau engkau minta aku menjawab, akan kuanggap sebagai pertanyaan kedua.”
Kuatir kalau isterinya akan naik pitam, Hong-hu Hoa mendahului bertanya: “Siau Mo itu apakah bukan
Pendekar Ular Emas yang telah membunuh ketujuh tokoh Hun-liong-jit-gan, ke empat jago Kwan-gwa, lima
pendekar Hoa-san, ketua perguruan Sin-kun-bun Gan Ti-kiat sekeluarganya serta yang kemarin malam
membunuh ke delapan orang dalam gedung keluarga Nyo ini?”
“Ada yang benar, ada yang tidak,” Bok-yong Kang menyahut.
“Apa? Aku tak jelas keteranganmu itu,” seru Hong-hu Hoa.
“Korban-korban yang engkau katakan itu ada yang bukan dibunuh oleh Siau toako. Karena Siau toako tak
mau sembarangan membunuh orang yang baik dan orang yang tak berdosa!” jawab Bok-yong Kang.
“Lalu yang mana yang dibunuh Siau Mo?”
Bok-yong Kang mendesak.
“Apakah pertanyaanmu itu dapat kuanggap balas bertanya?”
“Jawabanmu untuk pertanyaan yang kedua tadi belum jelas, mengapa engkau hendak menganggapnya
sebagai pertanyaan ketiga?” tiba-tiba Cu-ing menyeletuk.
Bok-yong Kang tertawa: “Jawabanku tadi sudah cukup jelas.”
Cu-ing mengerut kemarahan, bentaknya:
“Baik, kalau begitu akulah yang akan mengajukan pertanyaan ketiga itu. Siau Mo menyaru jadi guru sekolah
Siau Lo-seng dan menyelundup ke dalam rumahku. Kemudian membunuh beberapa orang yang sedang
berada di rumahku. Apakah maksudnya berbuat demikian?”
Mendengar itu Bok-yong Kang merenung. Beberapa saat kemudian, baru ia menjawab: “Pembalasan dari
dendam darah!”
Mendengar jawaban itu berobahlah Nyo Jong-ho.
“Siau Mo!” bentak jago tua itu, “Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan itu pernah apa dengan engkau?”
Mendengar itu sekalian tokoh-tokoh terkejut sekali. Bu-eng-sin-liong atau Naga sakti tanpa bayangan Siau
Han-kwan, sebuah nama yang menggetarkan dunia persilatan. Tetapi sedikit orang persilatan yang pernah
melihat orangnya. Sesuai dengan gelarnya sebagai Naga sakti tanpa bayangan, sepak terjang Siau Hankwan
itu memang aneh. Dia muncul tak diketahui, lenyap pun tak diketahui. Jika muncul hanya seperti naga
yang menampakkan kepala, tapi menyembunyikan ekornya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang setiap pemunculannya karena hendak melerai suatu pertikaian antara sesama kaum persilatan.
Tetapi tiada seorang pun tahu tempat tinggalnya dan bagaimana wajahnya.
Saat itu ruangan pun sunyi sehingga suara orang bernapas pun terdengar jelas. Sekalian mata tokoh-tokoh
persilatan mencurah ke arah Siau Mo si pendekar Ular Emas. Mereka ingin mendengar jawabannya.
Tampak Siau Mo masih duduk di kursi batu, dadanya berombak keras seperti orang yang terengah-engah
napasnya.
Sekonyong-konyong ia membuta mata. Bola matanya memancarkan sinar merah darah. Sinar
pembunuhan.
Sesaat kemudian ia berkata dengan tersegu-segu: “Arwah ayah bunda di alam baka...... akhirnya aku
bertemu dengan orang yang kenal kepadamu, ......anak akan membalaskan sakit hati ayah bunda
berdua...... kematian adik yang mengenaskan engkoh......”
Walaupun kata-katanya terputus-putus tetapi jelas nadanya penuh kedukaan dan keharuan.
Sayup-sayup mata Siau Mo seperti membayangkan suatu pemandangan yang ngeri. Sebuah desa timbul
banjir darah, mayat berserakan di segala penjuru, pekik jeritan menyayat hati, tangis rintihan merobek-robek
sanubari. Saat itu seolah-olah telah terjadi kiamat.
Tiba-tiba Siau Mo berteriak: “Adikku, lekaslah engkau lari, adik!”
Baru pendekar Ular Emas Siau Mo melamunkan peristiwa yang lampau, tiba-tiba Li Giok-hou membentak.
Dan serempak menusuk dengan ujung pedangnya ke arah Siau Mo.
“Li Giok-hou, apakah engkau hendak cari mati?” bentak Bok-yong Kang seraya menghantam.
Li Giok-hou kebutkan pedang. Terdengar bunyi mendesis-desis dan tenaga pukulan Bok-yong Kang
terhapus lenyap.
Bok-yong Kang dengan menggembor lepaskan tiga pukulan.
Angin menderu-deru bagai prahara yang melanda Giok-hou. Hebat, memang hebat sekali pukulan Bokyong
Kang itu sehingga Giok-hou terkejut dan menarik pedang dan loncat mundur tiga langkah.
Saat itu Siau Mo masih melamun tentang peristiwa berdarah yang menimpah keluarganya. Rasa ngeri dan
duka, mencengkam hatinya sehingga tak menghirau perkelahian kedua orang itu.
Selekas menginjak tanah, Giok-hou cepat menerjang maju lagi.
Serangannya memang istimewa. Seperti menabas tetapi seperti menusuk, pun seperti menutuk. Dan ketiga
serangan itu cepatnya bukan kepalang. Lingkaran sinar pedangnya menyerupai bianglala.
Melihat ketiga buah serangan pedang lawan begitu aneh dan istimewa, diam-diam Bok-yong Kang terkejut
sekali. Dia tahu bahwa dalam tiga buah serangan itu, mengandung suatu serangan yang haus darah,
serangan yang maut. Pada hal ia tak dapat mundur karena harus melindungi jiwa Siau Mo.
Ya, dia harus melindungi Siau Mo, karena hanya dialah satu-satunya orang yang tahu rahasia Siau Mo.
Walaupun dalam dunia persilatan, seluruh orang persilatan tahu bahwa Pendekar Ular Emas seorang tokoh
sakti yang memiliki kepandaian hebat. Tetapi siapakah yang tahu bahwa ada suatu waktu, Pendekar Ular
Emas berobah menjadi seorang yang amat lemah sekali. Bahkan sedemikian lemah sekali. Bahkan
sedemikian lemah sehingga mengangkat pedang saja tak mampu.
Mengingat kewajiban itu, tiba-tiba Bok-yong Kang menggembor keras lalu menyongsong pedang Giok-hou
dengan sebuah pukulan. Diam-diam ia salurkan tenaga segera meluncur menampar pedang.
Giok-hou tertawa. Pedang ditebarkan dalam sebuah lingkaran sinar lalu menusuk ke dada Bok-yong Kang.
Perubahan itu benar-benar cepat bukan kepalang. Bok-yong Kang, hendak menghindar sudah tak ke buru
lagi. Dan memang dia pun tak ingin menghindar. Walaupun mati ia akan tetap melindungi Siau Mo.
Dalam keadaan yang berbahaya itu Siau Mo berseru:
“Bokyong-te, menyingkirlah!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu Bok-yong Kang menghindar ke samping. Pada saat itu Siau Mo pun sudah melangkah ke
tempat Bok-yong Kang tadi sehingga ujung pedang Giok-hou pun langsung menuju ke dadanya.
“Tring......,” terdengar suara senjata beradu ketika Siau Mo menangkis dengan Pedang Ular Emasnya.
Kejut Giok-hou bukan main, hampir semangatnya terbang, sehingga pedangnya hampir terlepas. Buru-buru
ia mundur.
Tetapi Siau Mo bertindak cepat sekali. Pedang berputar-putar dan ujungnya menggurat bahu Giok-hou.
“Hm,” Giok-hou mengerang, ketika lengannya robek, sedangkan pedangnya pun terlepas jatuh ketanah.
Adegan itu cepat sekali sehingga sekalian orang hanya terlongong-longong dengan wajah pucat.
Melihat muridnya terluka, cepat Nyo Jong-ho pun loncat ke tengah gelanggang untuk menjaga apabila Siau
Mo hendak melanjutkan serangannya. Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas itu hanya tertawa dingin dan
tenang-tenang menarik pulang pedangnya.
“Li Giok-hou, tadi engkau melukai bahuku. Sekarang kuhajar dengan luka di bahumu juga,” serunya.
Pedang Beracun Pembasmi Iblis memang merupakan seorang tunas muda yang cemerlang. Oleh karena di
sana sini mendapat pujian, maka ia berobah mangkak dan congkak. Memang selama ini belum pernah ia
menderita kekalahan. Bahwa saat itu ia sampai kena dilukai olen Siau Mo sudah tentu membuatnya malu
dan marah sekali.
Li Gok-hou silangkan tangan, menggembor keras terus hendak loncat menyerang tetapi Pedang Ular Emas
dari Siau Mo itu lebih cepat. Sekali berkiblat, ujung Pedang Ular Emas itu sudah mengancam Giok-hou.
“Kalau engkau minta mati, pun jangan saat ini dulu. Tiga hari kemudian nanti tentu akan datang orang yang
akan membasmi kalian. Simpanlah tenagamu untuk menghadapi orang itu!”
Mendengar ucapan itu berobahlah wajah Nyo Jong-ho, serunya dengan bengis: “Siau Mo, apakah artinya
omonganmu itu? Harap suka menjelaskan!”
Pendekar Ular Emas menyahut tawar: “Nyo Jong-ho, apakah dahulu engkau ikut dalam pembunuhan
terhadap Naga Sakti Tanpa Bayangan Siau Han-kwan?”
02.07. Hidup Seratus Hari
Pucatlah wajah Nyo Jong-ho mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya gemetar dan kepalanya menengadah
mengenangkan peristiwa yang telah lampau itu.
Siau Mo tertawa, “Tentang hilangnya beratus jiwa dari keluarga Siau Han-kwan itu pada suatu hari tentu aku
dapat menyelidiki sampai terang. Barang siapa ikut dalam pembunuhan itu tentu akan kubasmi.”
Habis berkata Siau Mo melangkah keluar. Bok-yong Kang pun mengikutinya.
Sesaat tokoh-tokoh itu tak berani merintangi kepergian kedua anak muda itu.
Tiba-tiba Giok hou mengeram, memungut pedangnya lalu hendak memburu.
“Giok-hou, jangan mengejarnya!” cegah Nyo Jong-ho.
Bahu Giok-hou masih mengucurkan darah.
Diam-diam pemuda itu terkejut menyaksikan kesaktian Siau Mo. Maka ia pun hentikan langkah dan
berpaling.
“Gihu, siapakah yang disebut Naga Sakti Tanpa Bayangan itu?”
Nyo Jong-ho menghela napas tak menyahut. Ketua perguruan Thay-kek-bun menghampiri ke samping Nyo
Jong-ho dan berbisik:
“Saudara Nyo, anak si Naga sakti tanpa bayangan muncul lalu bagaimana kita harus mengatur persiapan?”
Hong-hu Hoa memberi hormat kepada Nyo Jong ho, serunya: “Nyo bengcu, kepandaian kami berdua suami
isteri ternyata jelek sekali. Kami tak berguna disini, bukan saja tak mampu memberi bantuan kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
keluarga Nyo pun kebalikannya malah akan membikin malu saja. Maka kami hendak mohon diri kembali ke
kampung halaman kami.”
Habis berkata Seruling Kumala dan Tong Ki hendak melangkah pergi.
“Cu Kong-ti.........” tiba-tiba Tong Ki menjerit.
Ternyata jago pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu wajahnya pucat.
Mendengar jeritan ngeri itu, cepat Nyo Jong ho menghampiri ke tempat Cu Kong-ti dan memegang
tubuhnya. “Bluk......” tiba-tiba Cu Kong-ti rubuh ke lantai.
Ketika Nyo Jong-ho merabah hidungnya, ternyata tokoh pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu sudah
putus jiwanya.
“Siapakah yang membunuhnya?” teriak Giok-hou.
Pertanyaan itu hanya menambah kegelisahan sekalian tokoh saja. Karena mereka pun juga ingin
mengetahui siapa yang membunuh Cu Kong-ti. Karena sejak tadi diperhatikan tiada seorang musuh yang
muncul yang menyerang Cu Kong-ti. Tahu-tahu tokoh dari Kang-lam itu ternyata sudah mati.
Jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa Siau Mo tadi berada dalam kamar tulis. Dan waktu pergi dia
keluar dari pintu samping.
Dengan begitu jelas bukan Siau Mo yang membunuhnya.
Setelah beberapa saat memandang termangu ke arah mayat Cu Kong-ti, berkatalah Nyo Jong-ho dengan
gentar:
“Ah, tak kira, karena memenuhi undanganku kemari, ketiga jago pedang dari Kang-lam itu harus kehilangan
jiwa. Ah, sungguh merasa berdosa kepada arwah mereka.”
Ucapan jago tua yang penuh dengan kerawanan dan kedukaan itu membuat sekalian orang bersedih.
Semula Seruling Kumala Hong-hu Hoa menganggap peristiwa itu tak ada sangkut pautnya dengan mereka
berdua suami isteri.
Tetapi pada saat melihat bagaimana tiga jago pedang Kang-lam telah dibunuh dengan ganas seketika
bangkitlah perasaannya sebagai seorang pendekar.
Demikian pula perasaan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki. Dia juga terkejut atas kematian Cu Kong-ti.
Kedua suami isteri itu menyadari bahwa musuh benar-benar ganas sekali.
Sejenak memandang ke arah isterinya, Hong-hu Hoa bertanya kepada Nyo Jong-ho:
“Nyo bengcu, bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu? Harap Nyo bengcu memberi keterangan latar
belakang dari peristiwa itu. Apabila memerlukan tenaga kami berdua, sekali pun harus menerjang lautan
api, kami pun tetap akan melakukan.”
Nyo Jong-ho menghela napas panjang, ujarnya:
“Pembunuhan besar-besaran dalam dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan sudah
mulai. Sejak saat ini dunia persilatan takkan tenteram.”
Berkata ketua perguruan Thay-kek-bun dengan bersungguh-sungguh: “Apa yang dikatakan Siau Mo tadi
bahwa dalam tiga hari ini akan berlangsung pembunuhan besar-besaran untuk membasmi kita semua.........
apabila saat ini kita tak cepat bertindak mengundang para jago-jago partai persilatan kemari tentulah
bakal......”
Nyo Jong-ho menukas: “Saudara Han, apakah engkau kira dapat begitu cepat mengundang mereka
kemari? Harus makan waktu berapa lamakah untuk mengundang mereka datang ke sini? Air laut yang jauh
tidak dapat menolong kebakaran di desa. Musuh dapat muncul dan lenyap secara gaib menurut kehendak
hatinya.”
“Saat ini Siau Mo tentu belum pergi jauh. Aku tak percaya dengan kepandaian kita semua tak mampu
membunuhnya,” kata Giok-hou.
Kembali Nyo Jong-ho menghela napas:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Giok-hou, yang kumaksudkan sebagai musuh itu, bukan Siau Mo tetapi lain orang lagi. Rasanya Siau Mo
memang kenal pembunuh itu.”
“Lalu siapakah yang hendak mencari balas kepada gihu itu?” tanyanya heran.
Nyo Jong ho gelengkan kepala: “Aku pun juga tak tahu. Giok-hou, lekaslah engkau bawa adikmu Cu-ing
dan Nyo Ih tinggalkan kota Lok-yang ini!”
Belum selesai jago tua itu mengucap, tiba-tiba Giok-hou memekik kaget: “Hai, kemanakah adik Ing?”
Ternyata Cu-ing tak berada di ruang situ. Nyo Jong-ho terkejut sekali.
“Giok-hou, lekas engkau cegah dia,” seru jago tua itu.
Giok-hou pun keluar memanggil gadis itu: “Adik Ing.....” sekali loncat ia melayang ke atas wuwungan rumah
dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi di empat penjuru sunyi tiada tampak seorang pun juga…..
********************
Tadi selekas keluar dari halaman, Siau Mo dan Bok-yong Kang terus keluar. Tiba-tiba Siau Mo mengerangerang
tertahan dan terus jatuh ke tanah.
“Siau toako, apakah engkau terluka?” cepat Bok-yong Kang menghampiri dan mengangkatnya bangun.
Siau Mo tersenyum rawan:
“Bokyong-te, dalam setahun ini aku selalu merepotkan engkau saja. Engkau ikut aku dan merawat diriku.
Ah, Bokyong-te, dalam kehidupanku yang sekarang ini mungkin aku tak dapat membalas budimu.”
Melihat wajah Siau Mo mengerut kesakitan Bok-yong Kang kerutkan dahi:
“Siau toako, apakah penyakit jantungmu kambuh lagi?”
Memang saat itu dahi Siau Mo bercucuran keringat, wajahnya pucat lesi. Dia tertawa lesu dan menjawab:
“Penyakit jantungku makin lama makin berat. Mungkin aku takkan dapat hidup lama.”
“Siau toako, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Bok-yong Kang gelisah, “apakah dengan ilmu
kepandaian toako yang begitu sakti, toako tak dapat mengatasi penyakit itu? Maaf kalau aku lancang
memberi petunjuk pada toako. Mungkin toako sendiri yang tak mau mengobati penyakitmu itu.”
Siau Mo menghela napas:
“Bokyong-te, kita sudah bergaul hampir setahun, masakan engkau tak tahu perasaan hatiku. Masakan aku
rela mati begitu saja? Apa lagi dendam darah.”
Berkata sampai disini, ia menekan dadanya dan mengerang pelahan. Setelah itu ia lanjutkan pula:
“Penyakit jantungku ini, adalah penyakit turunan. Sekali pun saat ini aku sudah memiliki ilmu kepandaian
yang sakti tetapi kesemuanya itu malah mempercepat kematianku. Memang sebelum belajar silat aku
sudah menyadari akibatnya. Setelah dapat menghimpaskan dendam darah keluargaku, sekali pun mati aku
sudah puas. Tetapi ternyata keadaan penyakitku sudah payah. Kalau perhitunganku tak salah, paling lama
dalam seratus hari ini aku sudah mati. Cobalah engkau bayangkan, bagaimana dalam waktu seratus hari
yang begitu cepat, aku mampu melaksanakan pembalasan dendam itu dan melakukan penyelidikan kepada
siapa-siapa yang menjadi musuh keluargaku.”
Bok-yong Kang percaya bahwa Siau Mo tak bohong. Tetapi suatu hal yang membuatnya heran ialah,
dengan kepandaian sakti Siau Mo mengapa dia tak mampu mengatasi kambuhan penyakitnya itu?
Dan Bok-yong Kang pun tahu bahwa kecuali hebat dalam ilmu silat pun Siau Mo itu pandai juga dalam
pengobatan. Adakah penyakitnya itu tiada obatnya? Ah, seorang tunas muda yang sakti dalam ilmu silat,
apabila sampai mati muda, bukankah sayang sekali?
Bok-yong Kang menghela napas: “Siau toako, apakah engkau yakin penyakitmu tak dapat diobati lagi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo tertawa, “Kalau aku tak belajar silat, mungkin aku dapat hidup, hidup mencapai umur
empatpuluhan tahun, tetapi karena aku memutuskan untuk belajar silat maka umurku pendek. Dalam hal itu
aku tak menyesal dan menyalahkan nasib.”
Jago muda itu menengadahkan kepala dan tertawa panjang.
“Kalau Tuhan tak mengganjar aku penyakit ini, cobalah engkau bayangkan, di dunia ini siapakah yang
mampu menandingi aku...... .?” serunya.
Kiranya Siau Mo itu seorang pemuda yang luar biasa cerdasnya dan memiliki bakat istimewa. Dalam belajar
sastera ia dapat mengingat dengan jelas apa yang dibacanya. Bahkan kitab-kitab Su-si-ngo-keng dan kitabkitab
agama Buddha yang mutu sasteranya tinggi, ia dapat mengingat dengan baik.
Lebih-lebih dalam belajar ilmu silat. Sekali melihat gerakan jurusnya, dengan cepat dapat menirukan.
Bertahun-tahun dia mengembara ke seluruh dunia persilatan untuk menuntut ilmu silat dari beberapa aliran.
Dan kesemuanya itu ia sudah berhasil meraihnya.
Tetapi rupanya apa yang dikata orang itu memang benar. Bahwa kecantikan yang luar biasa dan
kecerdasan yang luar biasa, tentu tak diberi umur panjang.
Dibalik dari kepandaiannya yang luar biasa itu, Siau Mo menderita penyakit yang berbahaya yalah penyakit
jantung.
Mendengar ucapan Siau Mo tadi tergeraklah hati Bok-yong Kang. Sudah setahun lamanya ia ikut pada Siau
Mo. Semula ia memang tak percaya bahwa Siau Mo menderita penyakit yang berbahaya.
Tetapi sudah berulang kali ia menyaksikan sendiri Siau Mo bertempur. Sebenarnya ia dapat membunuh
musuh tetapi entah bagaimana tiba-tiba malah ia yang kena dilukai musuh dan muntah darah.
Ternyata pada saat itu penyakit Siau Mo tiba-tiba kumat sehingga tenaganya hilang seketika. Karena
mengetahui hal itu, maka Bok-yong Kang tak mau meninggalkan Siau Mo dan tetap menjaga di
sampingnya.
Selama ikut pada Siau Mo, Bok-yong Kang pun telah menerima ajaran-ajaran ilmu silat sehingga
kepandaiannya makin tinggi. Budi itulah yang ia hendak balas sekali pun ia sendiri harus binasa karena
melindungi Siau Mo.
Tetapi pada saat itu sewaktu mendengar keterangan bahwa Siau Mo hanya dapat hidup seratus hari lagi,
hati Bok-yong Kang terasa pilu sekali. Dengan air mata bercucuran dipandangnya Siau Mo.
Siau Mo menghela napas.
“Bokyong-te, jangan bersedih, setiap orang takkan terhindar dari kematian. Sudah tentu bila masih ada
kesempatan untuk bertahan hidup, takkan kusia-siakan. Aku akan berjuang membasmi penyakit itu.
Tetapi......”
Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan pula.
“Apabila dalam waktu seratus hari ini aku benar-benar mati dan tak dapat melaksanakan pembalasan
dendam keluargaku, akan kuminta engkau yang, melanjutkan. Apabila engkau mau meluluskan
permintaanku ini, aku Siau Mo, berjanji akan tenang.”
Air mata Bok-yong Kang bercucuran makin deras.
“Siau toako, mengapa engkau mengatakan begitu? Aku telah berhutang budi besar kepadamu. Sekali pun
tubuhku hancur lebur berkeping-keping juga belum dapat menghimpas budi toako kepadaku. Siau toako
jangan kuatir. Apabila Yang Kuasa akan memanggilmu, aku tentu akan melaksanakan pesanmu untuk
meneruskan pembalasan yang belum selesai itu.”
Siau Mo menghela napas panjang.
“Dalam hidupku yang tinggal seratus hari, aku akan berusaha untuk menyelidiki siapa-siapa musuhku.”
“Sembari juga akan kuberikan kepadamu pelajaran-pelajaran ilmu silat yang sakti, untuk mempersenjatai
dirimu lebih kuat,” katanya pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siau toako,” kata Bok-yong Kang, “ada suatu hal yang membuat aku heran. Mengapa Wanita Suara Iblis itu
selalu membayangi jejak kita? Dan mengapa sebabnya setiap kali, dia tentu mendahului membunuh musuh
toako?”
Siau Mo merenung katanya: “Begitulah! Karena tindakannya itu maka setiap orang yang sudah selesai
kuselidiki menjadi lenyap sehingga penyelidikanku menjadi keruh lagi. Ah, dan yang lebih mengherankan
lagi, rupanya Wanita Suara Iblis itu membayangi aku karena hendak mengambil jarum Ular Emas.”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan merenung. Beberapa saat kemudian kedengaran ia mengoceh
seorang diri.
“......... mungkin hal itu suatu rencana busuk dalam dunia persilatan......... yang menyangkut ribuan jiwa
kaum persilatan. Tetapi urusanku sendiri sudah keliwat banyak. Bagaimana aku sempat mencampuri
urusan itu? Hm, dunia persilatan telah membenci aku, perlu apa aku mengurus soal itu.”
Mendengar kata-kata itu terkejutlah Bok-yong Kang. Ia duga karena keluarga Siau Mo telah mengalami
peristiwa mengerikan, maka hati Siau Mo menjadi dingin.
Siau Mo memandang Bok-yong Kang, serunya: “Bokyong-te, selama setahun, kita bergaul adakah engkau
mempunyai anggapan bahwa segala tindakanku selama ini lepas dari aliran Hitam dan Putih?”
Bok-yong Kang terkesiap, sahutnya: “Dalam beberapa waktu terakhir itu, toako tak melakukan hal-hal yang
merugikan dunia persilatan.”
Siau Mo tersenyum: “Mengapa engkau tak menyalahkan aku, kenapa tak mau membela dunia persilatan?”
Jawab Bok-yong Kang: “Siau toako, kupercaya hatimu tentu sudah mempunyai rencana terhadap dunia
persilatan.”
Memang Bok-yong Kang seorang yang cerdas. Tetapi walaupun sudah setahun bergaul dengan Siau Mo, ia
tak dapat menyelami hati pendekar Ular Emas itu.
Ia merasa bahwa dalam waktu akhir-akhir ini, Siau Mo tampak sibuk untuk melakukan penyelidikan
terhadap musuh-musuh keluarganya....... Tetapi tampaknya juga waspada terhadap perangkap yang
dilakukan kaum persilatan terhadap dirinya.
Dunia persilatan memandang Siau Mo sebagai musuh besar yang ganas dan kejam. Sebagai pembunuh
yang misterius.
Hanya Bok-yong Kang yang tahu pribadi Siau Mo itu.
Tiba-tiba Siau Mo berseru bengis:
“Hai, siapakah itu?”
Dan serentak terdengar suara tertawa dingin:
“Aku!”
Bok-yong Kang terkejut dan cepat berpaling. Di bawah bayangan sebatang pohon besar, tampak sesosok
tubuh langsing tegak berdiri.
“Hai, siapakah engkau!” bentak Bok-yong Kang.
Di tengah kesunyian alam sekeliling yang merupakan hutan itu, tiba-tiba terdengar suara menggerincing
laksana butir-butir mutiara tertumpah di lantai. Bukan suara harpa, dan bukan suara seruling, bukan pula
tetabuhan, melainkan suara tertawa seorang wanita.
Bok-yong Kang terkejut. Ia rasakan bahwa nada tertawa itu bukan tertawa biasa tetapi mengandung suatu
kekuatan yang melelapkan perasaan hati orang.
Ia memandang ke sekeliling penjuru tetapi tak dapat mengetahui dari arah manakah suara tertawa itu.”
Tiba-tiba Siau Mo tertawa: “Hm, Wanita Suara Iblis, tak kira kalau engkau datang sendiri hendak mencari
aku?”
02.08. Suara Iblis
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu terkejutlah Bok-yong Kang, pikirnya: “Kalau bayangan hitam di bawah pohon itu si Wanita
Suara Iblis, lalu suara tertawa aneh itu apakah dia yang melantangkan? Ah, benar-benar suatu kepandaian
yang sangat mengherankan.”
Bayangan hitam itu tertawa dingin: “Siau Mo, kukira engkau tahu apa maksud kedatanganku ini?”
“Kapan engkau muncul kemari?” tanya Siau Mo.
Suara iblis itu memperdengarkan suara tertawa dari tenggorokan, serunya: “Sudah lama aku datang.
Tentang rahasia dirimu, akupun sudah tahu. Siau Mo, apakah saat ini jantungmu masih sakit?”
Diam-diam terkejutlah Siau Mo pikirnya: “Kalau setelah mengetahui rahasia diriku, dia menyiarkan ke dunia
persilatan. Tentulah berbahaya. Kaum persilatan yang hendak membunuh aku tentu akan mengikuti
kemana pergiku. Begitu tahu keadaanku sedang kambuh, mereka tentu akan turun tangan...... Hm, satusatunya
jalan hanyalah membunuh wanita ini untuk melenyapkan rahasia itu.”
Sesaat Bok-yong Kang pun tak dapat bertindak apa-apa. Ia dan Siau Mo menghampiri ke tempat Wanita
Suara Iblis itu.
Wanita itu tenang-tenang saja. Ia tak mempunyai rasa kuatir bahwa kedua pemuda itu akan membunuhnya.
Sikap yang setenang itu bahkan malah membuat Siau Mo dan Bok-yong Kang tergetar hatinya. Mereka
hentikan langkah dan menatap ke arah wanita itu.
Sampai sepeminum teh lamanya, barulah Siau Mo bertanya pula: “Apakah maksudmu mencari aku?”
Wanita Suara Iblis melengking: “Mengapa kalian begitu penakut tak berani turun tangan kepadaku?”
Kata-kata wanita itu menyebabkan Siau Mo terkejut.
Ah, jelas dia bukan seorang wanita biasa. Nyatanya dia dapat muncul lenyap tanpa diketahui, pikir Siau Mo.
Siau Mo mendengus: “Jangan salah terka. Siapa yang bilang, aku takkan turun tangan kepadamu?”
Secepat kata melantang, secepat itu pula tangan Siau Mo sudah menyerangnya. Tetapi secepat itu juga
Wanita Suara Iblis itu songsongkan lengannya untuk mencengkeram siku lengan Siau Mo.
Ilmu Kin-na-jiu atau merebut senjata dengan tangan kosong yang dilakukan wanita itu cepat sekali.
Siau Mo sekonyong-konyong balikkan lengannya. Dengan jari tangan ia menyelentik ke arah tangan lawan.
Tetapi wanita itu memang tajam sekali perasaannya. Selentikan jari Siau Mo yang menimbulkan desir angin
tajam, cepat dapat ditanggapi bahayanya. Maka ia segera menarik pulang tangannya lagi, mengayunkan
tubuh sampai tiga langkah, sehingga desis angin selentikan jari Siau Mo hanya lewat di depannya.
“Hm, mengapa engkau tak berani menyambut tutukan jariku?”
Tetapi Wanita Suara Iblis itu tertawa mengikik: “Kalau mau membunuhmu, juga takkan kulakukan saat ini.”
“Siapakah yang menyuruh engkau kemari?” seru Siau Mo.
“Benar, kiranya engkau sudah tahu bahwa aku memang diperintah orang,” sahut Wanita Suara Iblis itu.
Siau Mo tertawa dingin:
“Memang mataku belum kabur. Kalau engkau hari ini tak mau mengatakan terus terang, jangan harap
engkau dapat tinggalkan tempat ini dengan masih bernyawa.
“Ah, belum tentu! Engkau menghendaki aku mengatakan apa?” balas wanita itu.
“Jawablah! Ketujuhbelas batang jarum Ular Emas yang kulepaskan itu bukankah engkau yang
mengambilnya semua?”
Sahut wanita itu: “Benar, apakah engkau hendak mengambil kembali ketujuhbelas batang jarum Ular Emas
itu?”
Siau Mo menggeram: “Dengan menggunakan jarum Ular Emas milikku, engkau melakukan pembunuhan
pada orang, bukankah engkau bermaksud menodai namaku sebagai pembunuh?”
Wanita Suara Iblis tertawa ringan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nama Pendekar Ular Emas itu sudah cemerlang. Kalau aku lebih menyemarakkan nama itu dengan
tambahan yang ganas, apa aku salah?” katanya.
Siau Mo tertawa:
“Hah, kalau begitu aku harus menghaturkan terima kasih!”
Dalam pada tertawa itu Siau Mo pun sudah condongkan tubuh ke muka. Tetapi ternyata wanita itu lebih
gesit dan waspada. Secepat itu juga ia sudah loncat menyingkir beberapa langkah lagi.
“Ah, tak usah engkau berterima kasih kepadaku. Anggap saja sebagai saling memperhatikan,” seru wanita
itu.
Selama sedang bicara dengan Siau Mo, diam-diam Bok-yong Kang memperhatikan Wanita Suara Iblis itu.
Ia melihat gerak kisaran langkah wanita itu luar biasa anehnya dan lagi selalu mengambil posisi untuk
menyerang lebih dulu. Suatu posisi yang membuat Siau Mo tak leluasa lancarkan serangan. Karena apabila
ia nekad hendak menyerang, tentulah ia akan didahului oleh wanita itu.
Akhirnya Siau Mo menghela napas.
“Siapakah sesungguhnya engkau ini!”
“Siau Mo,” Wanita Suara Iblis itu menjawab dalam nada dingin, “hari ini setelah beruntung bertemu muka,
memang benar bahwa engkau ini seorang pemuda yang menonjol. Tetapi kuperingatkan engkau. Selama
engkau tak menghalangi gerak gerik kami, aku takkan membikin susah kepadamu. Sekarang aku telah
mengetahui penyakitmu. Jika aku bermaksud hendak membunuh, adalah semudah orang membalikkan
telapak tangannya. Nah, sampai di sini pertemuan kita, kuharap engkau mempertimbangkan dengan
seksama. Sampai berjumpa lagi.”
Terdengar lengking suara macam iblis meringkik dan Wanita Suara Iblis itu segera lenyap ditelan
kegelapan.
Siau Mo menghela napas panjang.
“Bokyong-te, menilik gelagat, sepak terjang kita ini sudah diawasi orang. Ah, siapakah wanita itu? Rupanya
ia tahu jelas akan sumber kepandaianku,” katanya.
“Siau toako, rupanya dia tak mau bertempur dengan engkau. Mungkin dia gentar akan kepandaian toako,”
kata Bok-yong Kang.
Siau Mo mengangkat muka, menengadah dan merenung. Wajahnya berobah-robah tidak menentu.
Bok-yong Kang tahu bahwa memang begitulah Siau Mo. Maka dia pun tak mau menegur dan pelahan-lahan
menghampirinya. Tetapi ia tak mau mengajaknya bicara.
“Bokyong-te,” tiba-tiba Siau Mo berseru, “hayo kita lekas pergi, mungkin wanita itu mengganas lagi.”
Bok-yong Kang terkesiap: “Kemana?”
Tiba-tiba dari tengah hutan terdengar lengking suara seorang wanita:
“Siau Mo, jangan pergi!”
Bok-yong Kang memandang ke muka. Di bawah sinar bulan tampak sesosok tubuh langsing tengah berlarilari
mendatangi. Ilmu gin-kangnya hebat sekali. Ternyata seorang dara cantik baju hijau.
Setelah melihat gadis itn, berobahlah wajah Siau Mo.
“Nona Nyo, engkaukah yang memanggil aku?” serunya.
Dara cantik baju hijau itu memang Nyo Cu-ing, puteri kesayangan dari Nyo Jong-ho. Tampak nona itu
berkabut kemarahan. “Sret……,” serentak ia mencabut pedang.
“Siau Mo aku hendak bertanya, apakah engkau ini benar-benar guru sekolah Siau Lo-seng itu?” serunya.
Siau Mo agak tenang, sahutnya: “Benar, apakah nona masih belum percaya?”
“Bagus,” Cu-ing membentak, “durjana yang licin, sambutlah pedangku ini.”
Secepat berkata, secepat itu pula Cu-ing terus menusuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bok-yong Kang melolos sebatang ruyung dari pinggangnya. Ruyung itu disebut Ko-lo-pek-kut-pian. Secepat
kilat ruyung diayunkan untuk menangkis pedang si nona.
“Hm, engkau bukan tandingannya Siau toako, biarlah aku yang melayaninya.”
“Enyahlah,” bentak Cu-ing dengan gusar. Pedang digentakkan keatas dan ditaburkan menjadi lingkaran
sinar yang menimpah ke tubuh Bok-yong Kang dan menusuk jalan darahnya yang berbahaya.
Bok-yong Kang pun serentak balikkan ruyung ke atas untuk menyambuti. Ia yakin nona itu tak mungkin
terhindar dari ruyungnya. Tetapi diluar dugaan, Cu-ing tak mau menghindar malah menangkis.
“Tring!”
Tetapi secepat itu pula Cu-ing terus tebarkan pedangnya menjadi sebuah lingkaran sinar yang menghambur
lagi ke arah lawan.
Demikian keduanya segera terlibat dalam pertempuran seru.
Tampak serangan Cu-ing lebih hebat dan lebih terarah. Setiap tusukannya tentu mencari sasaran jalan
darah Bok-yong Kang yang berbahaya. Apabila terkena, kalau tidak mati tentulah pemuda itu menderita
cacad parah.
Bok-yong Kang tahu bahwa selama menjadi guru, Siau Mo telah mendapat perlakuan baik sekali dari dara
itu. Maka ia pun tak mau menggunakan jurus-jurus yang ganas. Tetapi karena kesungkanan itu, dia telah
dikuasai oleh pedang si nona.
Melihat serangan pedang Cu-ing, Bok-yong Kang terkejut. Pikirnya:
“Mengapa ilmu pedangnya begitu luar biasa? Siapakah gurunya? Rupanya kepandaian nona itu lebih tinggi
dari ayahnya.”
Dalam beberapa saat saja Cu-ing telah melancarkan delapanbelas serangan. Tapi semua itu dapat
dipecahkan oleh Bok-yong Kang. Saat itu barulah Cu-ing sadar bahwa pemuda itu memang sakti.
“Kalau pembantunya saja sudah demikian hebat, tentulah Siau Mo itu lebih mengerikan lagi,” pikirnya.
Siau Mo yang sejak tadi memperhatikan gaya serangan, sesaat melihat nona itu merobah jurus pedangnya,
cepat ia berseru: “Bokyong-te, mundurlah, nona Nyo hendak mengeluarkan Ilmu pedang Giok-li-kiam-hwat.”
Bok-yong Kang selalu taat kepada perintah Siau Mo. Cepat ia menghindar mundur sampai tiga langkah.
Sebenarnya Cu-ing tak mau memberi ampun kepada Bok-yong Kang. Tetapi demi mendengar kata-kata
Siau Mo tadi ia cepat menarik pulang pedangnya.
“Bagaimana engkau tahu aku murid partai Ko-bok-pay?” serunya.
“Tay Hui Sin-ni dari Ko-bok-pay, seorang rahib yang amat sakti dan seumur hidupnya hanya menerima
seorang murid. Bahwa nona ternyata murid dari Sin-ni yang sakti itu, benar-benar diluar dugaanku,” kata
Siau Mo.
Dengan kata-kata itu jelas bahwa sebelumnya Siau Mo memang belum tahu tentang diri si nona. Setelah
melihat jurus-jurus permainannya barulah ia dapat mengetahuinya.
Cu-ing terkejut sekali: “Apakah engkau kenal pada suhuku?”
Dengan hormat Siau Mo berkata, “Atas budi kebaikan Sin-ni, aku…… aku pernah tinggal di Ko-bok tiga hari.
Sayang aku tak dapat menerima pelajarannya lebih lama lagi.”
“Apakah omonganmu itu boleh dipercaya?” seru Cu-ing.
Cu-ing tahu bahwa daerah Ko-bok itu merupakan sebuah tempat yang pantang didatangi orang lelaki.
Selangkah saja orang lelaki berani menginjak tempat itu, tentu akan dibunuhnya.
Bahkan dahulu ketika ayahnya, Nyo Jong-ho membawanya kepada Tay Hui Sin-ni untuk berguru, juga tak
diperbolehkan masuk ke daerah Ko-bok atau Kuburan Tua itu.
Tetapi mengapa Siau Mo dapat tinggal di Ko-bok selama tiga hari? Kalau menilik raut wajah Siau Mo begitu
menghormat ketika menyebut nama Tay Hui Sin-ni, memang tampaknya pemuda itu tak bohong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo tertawa, “Menilik peraturan keras dari suhu nona, tentu nona tak percaya pada keteranganku.”
Cu-ing bertanya: “Siau Mo, apakah sesungguhnya maksudmu terhadap ayahku? Korban-korban yang mati
di rumahku itu apakah bukan engkau yang melakukannya?”
Siau Mo menghela napas.
“Kalau aku bicara dengan sesungguhnya, belum tentu engkau mau percaya. Nona Ing, urusan ini gawat
sekali. Lekaslah engkau pulang untuk menolong ayahmu.”
Cu-ing terkesiap, serunya: “Apakah maksudmu?”
“Kalau dugaanku tak salah, dalam tiga hari ini keluargamu pasti akan mengalami peristiwa yang ngeri.
Mungkin hal itu malah akan terjadi pada malam ini. Maka harap nona lekas pulang saja. Kalau engkau
hendak minta keterangan, aku tak dapat menjelaskan.”
Berobahlah wajah Cu-ing seketika, serunya:
“Kalau dalam tiga hari tak terjadi apa-apa dalam rumahku, walaupun ke ujung dunia aku tetap akan
mencarimu.”
Rupanya dalam hati nona itu memang seperti mempunyai firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang tak
menggembirakan. Maka ia terus bergegas pulang.
“Nona Ing,” tiba-tiba Siau Mo berseru, “kalau dalam rumah nona benar-benar sudah terjadi sesuatu
peristiwa, harap nona jangan masuk ke dalam gedung.”
Tetapi Cu-ing sudah lenyap dalam kegelapan malam.
“Semoga Tuhan jangan merestui peristiwa itu sampai terjadi……” terdengar Siau Mo berdoa.
Sudah tentu Bok-yong Kang tak mengerti yang dimaksudkan dengan peristiwa itu, ia berpaling memandang
Siau Mo.
“Siau toako,” serunya. “tentang urusanmu sebenarnya aku tak suka banyak mulut. Tetapi engkau
memanggil aku datang ke Lok-yang ini benar membuat aku bingung. Apakah tujuan Siau toako datang ke
Lok-yang ini bukan hendak menyelidiki musuh-musuh keluarga toako?”
Siau Mo menghela napas pelahan.
“Bokyong-te, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu, harap suka menjawab dengan sepenuh hati.”
“Siau toako,” sahut Bok-yong Kang, “Bok-yong Kang telah menerima budi toako. Setiap saat aku selalu
mencari kesempatan untuk membalas budi toako itu. Tetapi aku belum mempunyai kesempatan yang
memadai. Maka kalau toako hendak memberi perintah silahkan toako mengatakan. Aku tentu akan
mengerjakan dengan sepenuh hati.”
“Aku bukan hendak menyuruh engkau melakukan suatu pekerjaan, ah!” Siau Mo menghela napas lalu
melanjutkan:
“Bokyong-te, bagaimanakah pandanganmu tentang soal Baik dan Jahat itu?”
Bok-yong Kang terkesiap, sahutnya: “Baik, yalah perbuatan yang baik. Jahat, yalah amal pekerjaan yang
jahat.”
02.09. Hadangan Pendekar Wanita Baju Merah
“Kalau engkau dihadapi dua hal Baik dan Jahat, lalu engkau memilih yang mana?” tanya Siau Mo pula.
“Sudah tentu memilih yang Baik.”
Siau Mo mengangguk.
“Ah, Bokyong-te,” Siau Mo melanjutkan lagi, “dengan sejujurnya kuberi tahu kepadamu. Sebenarnya bagiku,
Baik dan Jahat itu tak ada bedanya. Kurasa orang yang melakukan Kebaikan dan orang yang melakukan
Kejahatan, serupa saja. Pada akhirnya juga takkan terlepas dari mati. Misalnya: Go Jo itu seorang dorna
besar, walaupun namanya jatuh dan dihina orang, tetapi juga meninggalkan nama sampai beribu tahun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kebalikannya, Gak Hui itu seorang panglima yang setia, pun juga meninggalkan nama sampai beribu tahun.
Jahat meninggalkan nama. Baik pun meninggalkan nama. Soal itu bagi yang bersangkutan karena sudah
mati, juga tak ada sangkutannya apa.
“Bokyong-te, mungkin karena kelahiranku ini dengan membawa penyakit maka watakku juga aneh dan
mempunyai prasangka terhadap orang. Pandanganku terhadap Baik dan Jahat, pun tak sama dengan
orang biasa. Itulah sebabnya maka sejak berkelana dalam dunia persilatan sepak terjangku tak menentu di
antara garis-garis Baik dan Jahat itu.”
Mendengar itu diam-diam Bok-yong Kang terkejut, pikirnya:
“Memang perangai Siau toako ini luar biasa anehnya. Kalau dia sampai terjerumus ke arah jalan yang
Jahat, entah berapa banyak jiwa manusia yang akan melayang. Ah, baiklah aku terus mendampingi saja
untuk mempengaruhi alam pikirannya.”
“Selama tiga tahun ini,” sesaat kemudian Siau Mo meneruskan kata-katanya lagi, “Aku sering mencampur
adukkan Kesadaran dan Prasangka, sehingga sering aku tak dapat membedakan mana yang baik mana
yang buruk, yang salah dan yang benar. Itulah sebabnya aku tak sungguh-sungguh memikirkan tentang
keadaan dunia persilatan. Dan karena itu timbullah bahaya mengancam keselamatan dunia persilatan. Ya,
pembunuhan-pembunuhan besar dewasa ini boleh dikata akulah yang menyebabkannya.”
Bok-yong Kang terkejut,
“Toako, bagaimana engkau mengatakan kalau peristiwa berdarah dalam dunia persilatan dewasa ini
engkau yang menimbulkan? Selama setahun ini, kecuali mengadakan pembasmian manusia-manusia jahat,
toako tak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian yang besar pada dunia persilatan.”
Siau Mo gelengkan kepala.
“Ada beberapa perbuatanku yang engkau tak tahu,” katanya.
Bok-yong Kang berseru nyaring: “Dewasa ini dunia persilatan memang sedang dilanda demam
pembunuhan. Siau toako memiliki kecerdasan yang luar biasa. Apabila toako dapat melakukan tindakan
yang menyelamatkan dunia persilatan, tentulah hal itu sebagai suatu berkah dari Tuhan.”
Mendengar itu Siau Mo menengadahkan kepala memandang ke langit yang luas.
Bok-yong Kang menyadari bahwa karena keluarganya menderita peristiwa yang mengerikan, maka Siau Mo
menjadi berwatak aneh dan dingin terhadap urusan dunia. Tetapi diam-diam ia memperhatikan bahwa
dalam waktu terakhir ini, tampaknya Siau Mo mengalami perobahan dalam hati. Bila hal itu terarah pada
suatu keputusan, pentinglah bagi dunia persilatan.
Siau Mo mempunyai kekuatan yang dahsyat. Dia dapat menyelamatkan dunia persilatan, tetapi pun mampu
membuat dunia persilatan hancur berantakan.
Tiba-tiba mata Siau Mo memancar sinar aneh, serunya dengan nada sarat:
“Bokyong-te, aku telah mengambil keputusan bahwa dalam sisa hidupku ini, akan kugunakan untuk
melakukan suatu pekerjaan besar yang menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bok-yong te, mari kita
lekas kembali masuk ke dalam kota lagi.”
Melihat Siau Mo sudah mendahului ayunkan langkah, Bok-yong Kang menyusulnya.
Saat itu hari sudah menjelang terang tanah. Lari Siau Mo secepat bintang meluncur. Kakinya sama sekali
tak mengeluarkan suara.
Setiap loncatan dapat mencapai tujuh-delapan tombak jauhnya. Dengan gerakan itu, dalam beberapa kejap
saja ia sudah jauh meninggalkan Bok-yong Kang di belakang.
Bok-yong Kang terkejut.
“Dalam usia yang begitu muda ternyata Siau toako sudah memiliki kepandaian yang begitu sakti. Sungguh
jarang terdapat dalam dunia, orang yang seperti toako itu. Walaupun sudah setahun bergaul dengan dia
tetapi aku masih belum mengetahui dari perguruan mana toako itu. Dan yang membuat heranku,
tampaknya dia mengerti semua aliran ilmu silat dari berbagai partai persilatan. Ah, Thian sungguh tak kenal
kasihan! Mengapa seorang pemuda yang begitu cemerlang bakatnya diganjar dengan penyakit yang tak
dapat diobati lagi? Kalau dia sampai meninggal sungguh merupakan suatu kehilangan besar bagi dunia
persilatan!” demikian pikir Bok-yong Kang sembari lari.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba ia mendapatkan dirinya sudah berada di tepi kota.
“Berhenti, bung!” sekonyong-konyong terdengar bentakan keras. Dan menyusul sesosok tubuh
menghadang jalan.
Bok-yong Kang terkejut. Lebih-lebih ketika memperhatikan bahwa gerakan orang itu sangat cepat. Tanpa
banyak bicara ia terus ayunkan tangannya memukul.
Tetapi alangkah kejut Bok-yong Kang ketika pukulannya seperti tenggelam dalam laut. Dan serentak
dengan itu ia merasakan suatu tenaga membal yang meluncur dari tubuh orang sehingga ia terpental
mundur sampai delapan langkah.
Ketika memandang ke muka Bok-yong Kang pun terbelalak. Sesosok bayangan hitam dengan pelahanlahan
melangkah keluar dari tembok kota dan ketika makin dekat barulah diketahui dengan jelas.
Seorang wanita pertengahan umur yang berwajah cantik sekali dan mengenakan pakaian seperti puteri
keraton.
“Siapa engkau?” bentak Bok-yong Kang, “kami tak kenal mengenal mengapa engkau menghadang
jalanku?”
Wanita cantik itu tertawa:
“Engkau tak kenal aku tetapi aku kenal padamu. Bok-yong Kang pengawal pribadi dari Kim-coa Long-kun
alias Pendekar Ular Emas,” serunya.
Mendengar itu Bok-yong Kang terlongong-longong heran. Sesaat kemudian segera ia teringat siapa wanita
itu. Cepat ia lepaskan sebuah hantaman ke arah wanita baju merah itu lalu berputar tubuh hendak pergi.
Tetapi astaga!
Tiga sosok bayangan hitam tegak berdiri menghadang jalan. Bok-yong Kang menduga ketiga orang lelaki
itu tentulah anak buah dari wanita cantik Baju Merah.
Sambil memandang salah seorang yang bertubuh kurus dan bermata aneh, Bok-yong Kang berseru:
“Bukankah kalian ini diperintah ke mari oleh Wanita Suara Iblis?”
Wanita cantik Baju Merah menyahut:
“Ah, nyata benar engkau ini adalah seorang yang cerdik, maka cepat dapat mengetahui, begitu lihay.”
Bok-yong Kang tak meragukan lagi bahwa ketiga lelaki itu memang anak buah Wanita Suara Iblis yang
diperintahkan untuk menghadang perjalanannya.
Ia duga Wanita Suara Iblis itu tentu sudah memperhitungkan bahwa bila Bok-yong Kang tak mengawal Siau
Mo, mudahlah membereskan jiwa Siau Mo, karena jelas Siau Mo itu seorang yang menderita penyakit
berbahaya.
Maka wanita itu mengatur rencana. Lebih dulu pengawalnya harus dilenyapkan baru membereskan Siau
Mo. Demikianlah pemikiran Bok-yong Kang.
Bok-yong Kang pun percaya bahwa dugaannya tentu benar. Tetapi alangkah kejutnya nanti apabila ia
mengetahui bahwa dugaannya itu salah.
Wanita cantik Baju merah itu bukan anak buah Wanita Suara Iblis.
Setelah menyimpulkan kesan, pemuda itu mencabut ruyung.
“Hi, hi, Bok-yong Kang,“ seru wanita Baju merah itu, “engkau harus tahu diri. Dengan ruyung tulang-tulang
orang mati itu masakan engkau mengalahkan ketiga pengawalku. Lebih baik engkau menyerah saja!”
Bok-yong Kang tertawa dingin.
“Hm, kalau eugkau hendak suruh aku menurut perintahmu, lebih dulu engkau harus mampu mengalahkan
ruyungku ini,” serunya. Serentak ruyung pun segera diayunkan ke arah wanita cantik itu.
Sekali bergeliat wanita Baju Merah itu sudah meluncur tiga langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat tata langkah wanita itu sedemikian luar biasa, diam-diam Bok-yong Kang terkejut. Namun sudah
terlanjur menyerang, ia pun tak mau berhenti setengah jalan. Ruyung digentakkan dan majulah menyerang.
Tiba-tiba ketiga lelaki itu serempak maju.
Tiga buah serangan telah dilancarkan Bok-yong Kang dengan ruyung tulang tengkoraknya. Dan ketiga jurus
itu cepatnya laksana halilintar menyambar dan gerakannya pun luar biasa anehnya.
Dua dari ketiga orang lelaki itu segera menyingkir tetapi tak sempat menghindar. Ujung ruyung telah
melanda bahu kirinya, darahpun bercucuran ke tanah.
Memang jurus terakhir dari ketiga jurus serangan ruyung yang dilancarkau Bok-yong Kang merupakan jurus
maut.
Karena jalan darah Kian-keng-hiat pada bahu orang itu tersambar tak ampun lagi orang itu segera terkapar
di tanah.
Kedua kawannya terkejut dan hendak menolong tetapi segera disambut dengan sabetan ruyung oleh Bokyong
Kang. Dan sekali menyerang tak maulah Bok-yong Kang memberi kesempatan kedua orang itu untuk
bernapas. Ruyung berkelebatan menyambar ke kanan kiri dengan dahsyat dan cepat sekali. Dan setiap
serangan selalu mengarah jalan darah yang berbahaya. Bahkan disamping itu Bok-yong Kang pun masih
menyerempaki dengan pukulan tangan kiri lagi.
Kedua orang itu meski pun jago-jago yang tangguh tetapi karena diserang oleh ruyung dan pukulan yang
gencar dan aneh, mereka menjadi kalang kabut juga.
Tigapuluh jurus kemudian, kedua orang itu pun tak mampu meloloskan diri dari lingkaran ruyung dan
pukulan Bok-yong Kang.
Melihat kedua orang itu akan kalah, wanita Baju merah mombentaknya,
“Mundurlah!”
Tetapi Bok-yong Kang tak mau memberi kesempatan kepada kedua orang itu. Dengan bersuit pelahan ia
segera lepaskan tiga buah pukulan dahsyat. Pukulan itu membuat kedua orang itu menyurut mundur.
“Sring, sring!”
Bagaikan ular memagut, ruyung-ruyung segera meluncur maju menyambar. Terdengar kedua orang itu
mengerang. Jalan darah mereka tertutuk dan mereka rubuh ke tanah.
Bok-yong Kang cukup bersikap kesatria. Habis menutuk ia tak mau menyusuli lagi dan menarik pulang
ruyungnya.
Wanita itu tertawa seraya menghampiri serunya: “Ih, mereka bertiga memang seharusnya mati.”
Tiba-tiba wanita cantik itu terus ayunkan kakinya menendang ketiga orang yang rebah di tanah itu.
Bok-yong Kang terkejut. Ia mengira wanita Baju Merah itu hendak menolong dengan membuka jalan darah
yang tertutuk.
Tetapi di luar dugaan terdengarlah jeritan ngeri dari ketiga orang itu. Darah menyembur dari mulut dan
seketika hilanglah nyawa mereka.
Tindakan yang tak diduga-duga itu membuat Bok-yong Kang melongo. Kemudian ia berteriak:
“Hai, mengapa engkau membunuh anak buahmu sendiri?”
Wanita Baju Merah tersenyum. “Mereka bertiga manusia yang tak berbudi. Perlu apa dibiarkan hidup?”
Bok-yong Kang tertegun,
“Mereka telah menjual jiwa kepadamu, mengapa engkau masih mengatakan mereka tak setia?” serunya.
Memang pemuda itu berhati polos. Ia tak puas atas tindakan wanita yang dianggapnya terlalu kejam
terhadap anak buahnya. Walaupun ketiga orang itu jelas memusuhi dirinya, tetapi ia merasa kasihan juga
kepada mereka.
Wanita Baju Merah tertawa:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mereka itu anak buah dari Nyo Jong-ho, tetapi mereka telah menjual tuannya. Mereka selayaknya kalau
dibunuh.”
Bukan kepalang kejut Bok-yong Kang mendengar keterangan wanita itu, serunya: “Apakah ke tiga orang itu
bukan anak buahmu?”
“Bukan!”
Diam-diam Bok-yong Kang terkejut: “Kalau begitu, dugaan Siau toako itu memang benar bahwa rumah
kediaman keluarga Nyo sudah terjadi peristiwa besar, karena itu beberapa anak buah Nyo Jong-ho lalu
berpaling muka dan ikut pada Wanita Suara Iblis.”
Pada saat Bok-yong Kang tengah merenung, tiba-tiba wanita Baju merah itu melesat kehadapannya dan
secepat kilat menyambar pergelangan tangan anak muda itu.
Bok-yong Kang tersentak dari renungannya, cepat ia menyurut mundur dua langkah. Tetapi dengan sebuah
gerak kisaran tubuh yang aneh dan cepat, wanita Baju Merah itu pun sudah membayangi di sampingnya
lalu ayunkan tangan memukul.
Melihat betapa cepat dan luar biasa gerak wanita itu, diam-diam Bok-yong Kang menyadari bahwa wanita
itu tentu berilmu tinggi. Cepat ia menyurut mundur lima langkah lagi seraya gentakkan ruyungnya untuk
menangkis. Dan tangannya kiri menyerempaki dengan sebuah hantaman kepada wanita itu.
Pukulan dengan tangan kiri itu dilontarkan Bok-yong Kang dengan tenaga penuh sehingga menimbulkan
sambaran angin keras.
Tetapi tampaknya wanita itu tak gentar menghadapi pukulan Bok-yong Kang. Ia mengangkat tangannya
untuk menangkis.
Bok-yong Kang tak gentar. Ia percaya bahwa pukulan itu tentu dapat menyurutkan lawan ke belakang.
Tetapi dugaannya itu meleset. Wanita cantik itu tetap menangkis. “Huak,” mulut Bok-yong Kang menguak,
memuntahkan segumpal darah. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai delapan langkah.
Wanita Baju merah itu tertawa,
“Untuk memberimu sedikit pelajaran, sekarang engkau boleh pilih, mencari jalan hidup atau jalan mati?”
Ternyata Bok-yong Kang telah menderita serangan membalik dari tenaga dalam wanita itu sehingga ia
terluka dan jatuh terduduk di tanah. Ia berusaha bangun tetapi kepalanya terasa pusing sekali.
Dengan tenang wanita itu berkisar ke muka Bok-yong Kang lalu lekatkan telapak tangannya ke ubun-ubun
Bok-yong Kang seraya membentak:
“Engkau mau mati atau hidup?”
“Hm. jalan hidup bagaimana, jalan mati bagaimana?”
“Kalau mau hidup, harus menyerah.”
Bok-yong Kang menyadari bahwa wanita itu memiliki kepandaian aneh. Ia tak mengerti entah menderita
pukulan ganas macam apa sehingga tenaganya lumpuh.
“Mati atau hidup boleh semua,” dengus Bok-yong Kang. “bukankah saat ini jiwaku berada di tanganmu?”
Wanita Baju merah tertawa mengikik. Nada tawanya aneh mengandung nada ejek dan hina.
Merah muka Bok-yong Kang, bentaknya:
“Apa yang engkau tertawakan?”
Tiba-tiba wanita itu wajahnya mengabut hawa pembunuhan.
“Mati aku......,” melihat itu Bok-yong Kang pun mengeluh dalam hati.
Sekonyong-konyong terdengar sebuah suara nyaring:
“Bwe sumoay, jangan mengganggu jiwanya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya wanita itu sudah hendak memancarkan tenaga dalam ke arah telapak tangannya yang melekat
di ubun-ubun Bok-yong Kang. Mendengar suara itu ia menghentikannya.
Memandang ke muka, Bok-yong Kang melihat empat orang muncul dari gumpalan kabut pagi. Yang dua
orang, Bok-yong Kang dapat mengenali sebagai suami isteri Hong-hu Hoa dan Tong Ki. Dan yang dua
orang, ia belum kenal. Yang satu, seorang tua. Jenggotnya yang putih menjulai turun ke dada, sedang
punggung memanggul pedang.
Sedang yang seorang juga seorang tua gemuk wajahnya seperti Bi-lek-bud, tetapi tak membekal senjata.
Sesaat Bok-yong Kang tak tahu apa yang dihadapi saat itu. Ia terlongong memandang Seruling Kumala
Hong-hu Hoa dan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki dengan penuh pandang bertanya. Bermula ia kira
wanita Baju merah itu anak buah Wanita Suara Iblis.
Melihat orang tua berambut putih, wanita cantik Baju merah itu segera bersikap serius, serunya:
“Ciang-bun suheng, inilah anak buahnya seorang musuh.”
Ciang-bun suheng artiuya kakak seperguruan yang menjadi ketua partai perguruan. Dengan demikian orang
tua rambut putih itu menjadi suheng dari wanita Baju merah dan juga menjadi ketua perguruan mereka.
Orang tua berambut putih mengangguk.
“Ya, kutahu, tetapi masih banyak hal yang kita tak mengerti dan perlu mencari keterangan dari orang itu.
Sekarang kita bawa saja dia ke tempat keluarga Nyo untuk diperiksa.”
Bok-yong Kang tertawa dingin.
02.10. Misteri Rumah Kediaman Keluarga Nyo
“Orang apakah kalian ini?” dengusnya. “Bok-yong Kang boleh kehilangan kepalanya tetapi jangan harap
kalian dapat mencari keterangan dari aku.”
Tiba-tiba wanita itu berpaling ke arah Bok-yong Kang dan tertawa:
“Kami adalah Tiga Pendekar Go-bi. Hm, jangan jual lagak!”
Habis berkata tiba-tiba wanita itu melentikkan jarinya dan mengeranglah Bok-yong Kang tertahan jalan
darahnya kena tertutuk dengan lentikan jari si wanita.
Orang tua rambut putih berkata kepada orang tua bermuka Bi-lek-hud:
“Ji-te, tolong engkau mewakili sam-sumoay mengangkat anak itu.”
Orangtua gemuk tertawa lalu ulurkan tangan macam burung alap-alap menyambar anak ayam, ia terus
mengangkat tubuh Bok-yong Kang lalu dipanggul bahunya.
Tepat pada saat itu terdengar suara dingin: “Leng Bu-sia, lepaskan dia!”
Rombongan ketua Go-bi-pay terkejut dan memandang ke muka. Tiga tombak jauhnya, tegak seorang
pemuda baju putih, sepasang matanya berkilat tajam.
“Siau Mo!” seru Tong Ki tertahan. Ya, memang yang muncul itu Siau Mo.
Diam-diam Hong-hu Hoa dan Tong Ki terkejut dalam hati, pikirnya: “Mengapa kita sama sekali tak tahu dan
tak mendengarkan kemunculannya. Mungkin karena lengah kita berdua agak kurang perhatian. Tetapi
bukankah ketiga tokoh Go-bi-pay itu merupakan tokoh-tokoh yang terkemuka dalam dunia persilatan?
Mengapa dalam jarak hanya tiga tombak saja mereka juga tak dapat mendengar sama sekali? Adakah ilmu
kepandaian Siau Mo itu sedemikian tingginya, hampir mencapai kesempurnaan?”
Ternyata wanita Baju Merah, orang tua berambut putih dan orang tua gemuk itu adalah Tiga Tokoh Go-bi
yang termasyhur.
Wanita itu bernama Bwe Hui-ji bergelar Lui-sing-hui-siu atau Bintang meluncur lengan terbang. Orang tua
gemuk, tokoh nomor dua, bernama Leng Bu-sia, digelari Cian-jiu-hud-ciang atau Tangan seribu kepalan
Buddha.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sedang orang tua rambut putih yalah Ong Han-thian bergelar Cui-jong-kiam atau Pedang penghancur usus.
Dia adalah ketua dari partai Go-bi-pay saat ini. Mereka mendapat undangan dari Nyo Jong-ho dan bergegas
datang ke Lok-yang.
Saat itu berkata pula orang muda berbaju putih dengan suara sarat: “Leng Bu-sia, apakah engkau tak mau
lekas-lekas melepaskan Bok-yong Kang?”
Bwe Hui-ji mengisar langkah menghampiri pemuda baju putih, tegurnya: “Apakah engkau Siau Mo yang
termasyhur sebagai Pendekar Ular Emas itu?”
Tepat pada saat habis berkata Bwe Hui-ji pun sudah tiba di muka pemuda baju putih dan secepat kilat
menyambar pergelangan tangan pemuda baju putih dengan jurus Kim-soh-poh-kau.
Bwe Hui-ji yakin serangannya yang dilakukan mendadak itu tentu akan berhasil. Tetapi apa yang dirasakan
saat itu benar-benar mengejutkan hatinya sekali.
Pada saat si baju merah Bwe Hui-ji gerakkan tangan, pemuda baju putih itu pun menyerampaki kebutkan
lengan bajunya ke muka. Di tengah jalan tiba-tiba ia balikkan tangan, ulurkan jari telunjuk dan jari tengah
menutuk pergelangan tangan Bwe Hui-ji.
Jurus mengebut, memukul, menutuk itu dilambari ilmu menampar jalan darah dan menabas urat nadi.
Bwe Hui-ji terkejut dan mundur, tegak termangu-mangu.
Ong Han-thian memperhatikan permainan pemuda baju putih. Seketika meluncurlah ke samping
sumoaynya.
Tetapi ternyata pemuda baju putih itu tak mau menyerang lagi. Ia memandang sekalian tokoh-tokoh dan
berseru lantang: “Go-bi Sam-hiap, musuh besar sudah tiba. Sebaiknya kalian jangan memusuhi agar aku
jangan menghabiskan tenaga kalian. Asal kalian lepaskan Bok-yong Kang, akupun tak mengganggu kalian.”
“Apa katamu? Apa maksudmu?” seru Ong Han-thian.
Pemuda baju putih memandang ketua Go-bi-pay, sahutnya: “Ong ciangbun, tadi engkau dan Leng Bu-sia
telah melukai dua orang anak murid kesayangan Wanita Suara Iblis. Kalau dugaanku tak keliru paling
lambat malam ini, Wanita Suara Iblis itu tentu akan datang melakukan pembalasan.”
Mendengar itu seketika berobahlah wajah Ong Han-thian, serunya pula: “Siapakah Wanita Suara Iblis itu?
Apakah dia bukan sealiran dengan engkau?”
“Memang kaum persilatan menganggap aku dan Wanita Suara Iblis itu satu aliran. Itulah sebabnya kalian
berusaha mencelakai aku. Hm, sungguh menggelikan sekali!” seru pemuda baju putih itu.
Tiba-tiba terlintas pada benak Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki, serunya:
“Siau Mo, banyak hal-hal yang tak mampu kita pecahkan. Harap engkau ikut kami ke rumah keluarga Nyo
agar kami dapat mohon keterangan dari engkau.”
Pemuda baju putih itu memang Siau Mo. Dia tertawa dingin: “Gedung keluarga Nyo sudah menjadi sebuah
tempat yang menyeramkan dan sunyi. Siapakah yang kalian hendak cari ke sana?”
Seruling Kumala Hong-hu Hoa terkejut.
“Apa katamu?” teriaknya, “adakah Nyo Jong-ho dan keluarganya sudah tinggalkan gedung kediamannya
yang mewah itu?”
Ternyata ketika Li Giok-hou mengejar jejak sumoaynya yalah si dara Cu-ing. Hong-hu Hoa dan isterinya pun
ikut mencari. Di dalam kota Lok-yang, kedua suami isteri itu telah berjumpa dengan kedua tokoh Go-bi-pay,
Ong Han-thian dan Leng Bu-sia. Itulah sebabnya kedua suami isteri itu tak mengetahui apa yang terjadi
dalam rumah keluarga Nyo.
Kebalikannya, Siau Mo sudah kembali ke gedung keluarga Nyo dan dapatkan rumah itu telah ditimpah
suatu peristiwa mengejutkan.
Siau Mo tak lekas menjawab pertanyaan Hong-hu Hoa, melainkan merenung. Sesaat kemudian baru ia
menyahut: “Apa yang terjadi di gedung keluarga Nyo, silahkan datang melihatnya sendiri.”
Ia berhenti sejenak lalu menegur tokoh kedua dari Go-bi-pay:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Leng Bu-sia, apakah kalian betul-betul hendak mendesak aku supaya bertempur baru engkau melepaskan
Bok-yong Kang?”
Memang saat itu Leng Bu-sia masih memanggul Bok-yong Kang. Tokoh gendut itu tertawa gelak-gelak:
“Siau Mo, sikap dan lagakmu benar-benar membuat orang seperti makan cuka. Baik, aku hendak minta
pelajaran dari kecongkakanmu itu.”
Go-bi Sam-hiap merupakan tokoh golongan cianpwe atau angkatan tua dalam dunia persilatan. Karena
Siau Mo terus menerus memanggil Leng Bu-sia secara langsung dan nada bicaranya agak memandang
rendah, murkalah ketiga tokoh Go-bie-pay itu.
“Bluk,” sekali lepas jatuhlah tubuh Bok-yong Kang dari punggung Leng Bu-sia. Dan tokoh kedua dari Go-bipay
itu bersiap hendak menempur Siau Mo.
Tiba-tiba setiup angin membawa lengking teriakan ngeri dari seorang wanita: “Siau Mo, Siau Mo!”
Tokoh-tokoh Go-bi-pay dan suami isteri Hong-hou Hoa terbeliak.
Dari pintu kota tampak sesosok tubuh berlari-lari mendatangi. Dalam sekejap mata orang itu pun sudah tiba
di tempat rombongan orang-orang Go-bi-pay.
Ah, teryata pendatang itu adalah Nyo Cu-ing. Tangan dara itu mencekal pedang, rambutnya terurai kusut.
Melihat keadaan nona itu terkejutlah Siau Mo. Ia menghela napas panjang.
Demi melihat Siau Mo, dara itu pun terus menjerit:
“Siau Mo, Siau Mo, ke manakah seluruh keluargaku?”
Ternyata ketika pulang, Cu-ing mendapatkan keadaan rumahnya seperti apa yang dikatakan Siau Mo.
Suatu peristiwa besar telah terjadi. Dan yang lebih mangejutkan lagi yalah di tengah-tengah ruang besar
terpancang sebatang tiang bambu. Puncak tiang itu digantungi sebuah lentera kematian.
Karena kejutnya, Cu-ing menjerit lari ke dalam ruang besar. Alat perabot masih tetap di tempat masingmasing
tetapi sebatang hidung pun tak ada orangnya.
Cu-ing terus masuk ke ruang dalam. Tetapi di situ kosong tak ada orang. Lalu kemana ketua Thay-kek-bun
Han Ceng-jiang serta Li Giok-hou dan lain-lainnya?
Jika mengatakan bahwa dalam waktu singkat Nyo Jong-ho telah pindah untuk menyingkir dari bahaya, tak
mungkin dalam waktu yang begitu cepatnya bujang-bujang dan seluruh penghuni gedung itu sudah pergi
dan satu pun tak ada yang masih tinggal di situ.
Walaupun sudah mencari ke seluruh ruangan, tetap Cu-ing tak bertemu seorang pun juga. Segera ia
tinggalkan rumahnya lalu mencari ke seluruh penjuru kota Lok-yang. Pikirnya, kalau benar ayahnya pindah,
tentu belum mencapai jarak jauh.
Tetapi ah...... walaupun ia sudah mencari ke seluruh tempat dalam kota bahkan sudah menyelidiki sampai
seluas satu lie di luar kota, tetap ia tak bertemu dengan ayahnya.
Siau Mo menghela napas:
“Nona Ing, apakah engkau sudah pulang ke rumahmu?” tanyanya.
“Siau Mo, bagaimanakah peristiwa ini? “ Cu-ing menjerit.
Siau Mo gelengkan kepala: “Aku sendiri juga tak tahu.”
“Tetapi mengapa engkau tahu bakal terjadi peristiwa dalam rumahku?”
Tiba-tiba Ong Han-thian bertanya: “Nona Nyo apakah yang telah terjadi dalam rumah kediaman ayah
nona?”
Kuatir kalau Cu-ing tak kenal siapa orang tua rambut putih itu, buru-buru Tong Ki memperkenalkannya:
“Adik Ing, inilah Ong Ciang-bun ketua dari Go-bi-pai.”
Mendengar itu Cu-ing segera memberi hormat kepada orang tua berambut putih itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dari ribuan lie jauhnya Ong tayhiap memerlukan berkunjung ke Lok-yang, aku mewakili ayah
menghaturkan terima kasih.”
Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji cepat berseru: “Sudahlah, harap jangan banyak peradatan.
Apakah yang sebenarnya telah terjadi dalam rumah nona? Lekaslah bawa kami ke sana. Dan bukankah
Giok-hou sudah datang ke sini?”
Cu-ing tahu bahwa ketiga tokoh dari Go-bi-pay itu termasyhur dan kaya pengalaman dalam dunia
persilatan. Mungkin mereka dapat menyelidiki peristiwa yang aneh itu.
Ia hendak menyahut tetapi tiba-tiba matanya tertumbuk pada Siau Mo.
“Siau Mo sebelum peristiwa ini jelas persoalannya engkau tak dapat menghindar dari tanggung jawab.”
Habis berkata ia terus berkata kepada Ong Han-thian: “Ong tayhiap, dalam beberapa hari ini rumahku telah
mengalami peristiwa yang aneh. Mohon tayhiap bertiga suka membikin terang peristiwa itu.”
Kemudian nona itu terus hendak ayunkan langkah. Tetapi tiba-tiba Siau Mo berseru dengan nada serius:
“Nona Ing, sekarang ini lebih baik kalian jangan sembarangan bertindak, kemungkinan akan terjadi peristiwa
yang ngeri pula. Dengan begitu keselamatan jiwa ayahmu dan lain-lain akan lebih berbahaya lagi.”
Cu-ing terkesiap: “Bagaimanakah ayah sekarang ini?”
Merenung sejenak, Siau Mo menjawab: “Saat ini aku juga tak tahu. Tetapi aku mengetahui ayahmu dan
rombongannya telah ditawan orang dan jiwanya pun terancam.”
“Bagaimana engkau tahu kalau ayahku dan lain-lain telah ditangkap orang?” tanya Cu-ing.
“Pada saat engkau pulang ke rumah, engkau tentu melihat sebatang tongkat bambu dan sebuah lentera
kematian. Apakah engkau ingat tulisan yang terdapat pada lentera kematian?” tanya Siau Mo.
Cu-ing tertegun: “Ah, benar. Memang lentera kematian itu seperti terdapat tulisannya. Tapi karena gelap
dan aku gelisah, akupun tak memperhatikannya…….”
“Apakah bunyi tulisan itu?” akhirnya ia bertanya.
Siau Mo menghela napas,
“Jangan bertanya kepadaku, cukup engkau mendengar omonganku sajalah. Tentang mati hidupnya
ayahmu dan lain-lain orang itu, selewat siang ini tentu akan ketahuan.”
Tiba-tiba Cu-ing menghela napas: ”Siau sianseng, apakah engkau mau bersumpah bahwa engkau takkan
mencelakai keluargaku?”
Tiba-tiba Bok-yong Kang yang rebah di tanah tadi melenting bangun dan menyeletuk, “Nona Nyo
sebenarnya Siau toako berusaha hendak mencegah terjadinya peristiwa dalam rumahmu itu. Tapi kalian
menganggap toakoku sebagai musuh. Karena marah, toako pun tidak mau campur tangan 1agi.”
Melihat Bok-yong Kang dapat berdiri lagi, terkejutlah Bwe Hui-ji, pikirnya, “Mengapa tenaga dalamnya begitu
tinggi? Dia mampu membuka jalan darah yang tertutuk.”
Memang tokoh wanita dari Go-bi-pay tak menduga bahwa Bok-yong Kang itu memang memiliki tenaga
dalam yang tinggi.
Pada saat pemuda itu ditutuk jalan darahnya oleh Bwe Hui-ji, berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dia
hanya lemas tetapi tak sampai pingsan. Apa yang berlangsung dalam pembicaraan tadi, ia dapat
menangkap semua. Maka ketika Leng Bu-sia hendak melepaskan tubuhnya, diam-diam pemuda itu sudah
mengerahkan tenaga dalam untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk.
Berkatalah Cu-ing menegas: “Apakah kedatanganmu ke Lok-yang ini sungguh tak bertujuan membalas
dendam?”
Dari wajah Siau Mo yang dingin, meluncurlah penyahutan tawar:
“Soal itu tanyakan sendiri kepada ayahmu. Hm, hm, nona Ing, jangan mengira kalau aku ini bukan musuh
dari keluarga Nyo. Tetapi harap jangan kuatir, sebelum persoalan di antara ayah nona dengan aku dapat
kuketahui sejelas-jelasnya aku tidak akan mengijinkan orang lain hendak mencelakai ayah nona.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian Siau Mo berpaling ke arah rombongan Go-bi-pay dan mempersilahkan mereka melanjutkan
perjalanan ke gedung kediaman keluarga Nyo. Dan dia sendiri pun lalu memberi isyarat tangan kepada
Bok-yong Kang untuk mengajaknya pergi.
Tetapi Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji menggeliatkan tubuh menghadang jalan, lalu tertawa
melengking:
“Hendak kemana engkau? Mengapa tak bersama-sama kami menunggu sampai lewat siang hari?”
Sahut Siau Mo: “Saat ini kita sudah di bawah pengawasan musuh. Kalau aku berada di sini bersama kalian,
musuh tentu dapat memusatkan pengawasannya. Maka lebih baik kita berpencar diri masuk ke dalam Lokyang
dengan mengambil dua jalan. Nanti kita bertemu lagi di hotel Hun-liong-lo. Kumohon nona Ing suka
memesankan sebuah kamar. Kalau tengah hari aku belum tiba, harap kalian segera menuju ke tempat
kediaman keluarga Nyo.”
Penghadangan tokoh wanita dari Go-bi-pay itu dimaksud agar Siau Mo jangan ngacir pergi.
Mendengar ucapan Siau Mo, tokoh wanita berpaling ke arah toa-suhengnya. Ong Han-thian pun memberi
isyarat dengan anggukkan kepala.
Walaupun rombongan tokoh-tokoh itu tak percaya kepada omongan Siau Mo, tetapi pada saat-saat
keadaan masih begitu keruh, begitu pula munculnya peristiwa-peristiwa aneh secara berturut-turut, terpaksa
rombongan tokoh-tokoh itu menuruti permintaan Siau Mo.
Demikian rombongan tokoh-tokoh Go-bi-pay segera berbondong-bondong masuk ke dalam kota dan
mencari rumah penginapan Hun-liong-lo.
Setelah mereka pergi barulah Bok-yong Kang bertanya:
“Siau toako, apakah dalam keluarganya Nyo benar-benar terjadi peristiwa yang mengerikan?”
Siau Mo menghela napas panjang.
“Apabila dugaanku tak salah, Wanita Suara Iblis itu baru musuhku yang sesungguhnya. Menilik dalam
setahun ini dia selalu membayangi jejak kita dan selalu membunuh lebih dulu orang-orang yang kuduga
menjadi musuh keluargaku. Kemungkinan tentu ada suatu rahasia dalam tindakan wanita itu.”
Bok-yong Kang kerutkan alis.
“Walaupun kita belum tahu wajah sebenarnya dari Wanita Suara Iblis itu, tetapi nada suaranya menandakan
dia belum banyak usianya. Mengapa bermusuhan dengan toako?”
Siau Mo tertawa.
“Bokyong-te, yang kumaksudkan ialah orang di belakang layar yang memberi perintah kepada Wanita
Suara Iblis itu. Aku mempunyai dua dugaan. Satu, mereka mempunyai rencana untuk mengaduk dunia
persilatan supaya kacau. Dan kedua, tentu mempunyai dendam dengan ayahku.”
Bok-yong Kang bertanya: “Lalu hendak ke mana kita sekarang ini?”
Siau Mo menghela napas.
“Bokyong-te, marilah kita cari sebuah tempat yang sepi. Aku hendak mengajarkan ilmu pukulan kepadamu.”
“Siau toako, engkau sedang sakit. Janganlah membuang-buang tenaga!”
“Justeru karena aku sakit, engkau harus belajar dengan sungguh-sungguh. Ingat, apabila aku mati,
engkaulah yang akan meneruskan perjuanganku. Maka kuputuskan dalam waktu seratus hari yang singkat
itu hendak kuturunkan ilmu sakti kepadamu,” kata Siau Mo.
Habis berkata ia terus ayunkan langkah.........
03.11. Rahasia Pendekar Ular Emas
Di kala Bok-yong Kang mengikuti berjalan di belakang Pendekar Ular Emas Siau Mo, pikirannya penuh
dengan berbagai renungan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Semoga Tuhan memberi panjang umur kepada pemuda yang berbakat luar biasa ini,” diam-diam ia
memanjatkan doa.
Dalam pada itu iapun heran, mengapa dengan kepandaiannya yang begitu tinggi, Siau Mo tak mampu
mencegah penyakit yang akan merenggut jiwanya itu?
Merenungkan saat-saat terakhir dari seratus hari nanti, Bok-yong Kang menghela napas.
Setengah jam kemudian, kedua pemuda itu mulai mendaki sebuah lereng gunung. Barisan gunung berjajarjajar
di empat penjuru. Salju putih yang menutup puncak gunung, makin berkilau-kemilau ditingkah sinar
matahari.
Tetapi kedua pemuda itu tak menghiraukan pemandangan alam yang indah itu. Setelah membiluk dua buah
tikung gunung, tibalah mereka di depan sebuah batu karang yang menjulang tinggi. Siau Mo berhenti.
“Waktu amat berharga sekali, sekarang aku hendak mengajarkan engkau ilmu pukulan. Kulihat tenagamu
kuat sekali maka tepat kalau belajar ilmu pukulan. Siang malam aku memeras otak dan akhirnya berhasil
menggabungkan ilmu pukulan dari berbagai partai persilatan, menjadi delapan jurus ilmu pukulan.
Bagaimana kesaktiannya, aku sendiri juga belum tahu. Ke delapan jurus ilmu pukulan itu memang luar
biasa indahnya maka engkau harus belajar sungguh-sungguh.”
Habis berkata Siau Mo lalu mengangkat tangan, katanya: “Karena untuk memelihara tenaga, gerakanku ini
pun tak menggunakan kekuatan. Cukup asal engkau mengingat jalan dan jurusnya. Juga tak perlu engkau
menggunakan tenaga dulu.”
Bok-yong Kang tahu kalau Siau Mo itu seorang pemuda yang berhati keras. Apa yang dikatakan tentu
dilakukannya Karena Siau Mo sudah memutuskan dalam seratus hari akan menurunkan pelajaran,
betapapun dinasehatinya, dia tentu pantang mundur. Demi menjaga agar toakonya itu jangan sampai
membuang banyak tenaga maka Bok-yong Kang pun buru-buru mengikuti gerakannya.
Dengan wajah bersungguh-sungguh, sambil gerakan tangan, Siau Mo tak henti-hentinya menerangkan
kegunaannya. Bok-yong Kang pun curahkan seluruh perhatiannya untuk mendengarkan dan mengikuti
gerakan tangan Siau Mo.
Setelah menginjak jurus yang keempat, diam-diam terkejutlah Bok-yong Kang. Apa yang Siau Mo ajarkan
itu ternyata adalah jurus-jurus ilmu pukulan yang menjadi kelemahan dari ilmu silat yang dimiliki Bok-yong
Kang selama itu. Memang sebelum mendapat pelajaran dari Siau Mo, Bok-yong Kang merasa adanya
kelemahan-kelemahan dalam ilmu silat yang dimilikinya. Dengan kelemahan itu ia sukar untuk menangkis
serangan musuh.
Walaupun tahu bahwa Siau Mo itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti, tetapi Bok-yong Kang tak tahu asal
usul perguruan Siau Mo. Setelah menerima pelajaran, makin besarlah keheranan dan kekaguman Bok-yong
Kang terhadap Siau Mo. Pada hal Siau Mo itu hanya terpaut beberapa bulan lebih tua dari dirinya, tetapi
mengapa pemuda itu dapat memiliki ilmu kepandaian yang begitu luas dan sakti?
Dalam belajar ilmu silat ada tiga unsur penting. Waktu, guru dan bakat. Belajar dalam waktu singkat, tak
mungkin orang akan mencapai kesempurnaan. Dan kalau tak mendapat guru yang pandai, pun tak mungkin
dapat mencapai tingkat tinggi. Kemudian bakat, kalau tak punya bakat bagus, tentu juga sukar untuk
memiliki kepandaian yang tinggi.
Tiba-tiba Bok-yong Kang menghela napas, katanya: “Siau toako, apabila dengan ilmu kepandaianmu yang
sakti itu engkau beristirahat selama sepuluh tahun untuk mengobati penyakitmu, kurasa engkau pasti dapat
sembuh.”
Siau Mo tertawa tawar. “Apakah aku juga tak menyayangi jiwaku? Ah.......”
Ia berhenti menghela napas, ujarnya pula: “Tentang bagaimana keadaan penyakitku, setelah seratus hari
tentu kuberitahu kepadamu.”
Bok-yong Kang tertegun. Ia memandang Siau Mo dan dapatkan wajah pemuda itu tampak berkabut
kerawanan, pikirnya: “Apakah maksudnya rahasia penyakitnya itu?”
“Siau toako, apakah engkau mau memberitahu tentang apa yang engkau maksudkan dengan “rahasia
penyakit” itu?”
Siau Mo menghela napas pula, ujarnya: “Telah kucurahkan seluruh pikiran dan akhirnya aku dapat
menemukan semacam obat yang kemungkinan besar dapat menyembuhkan penyakitku, tetapi……”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai, benarkah itu, toako? Kalau begitu engkau takkan meninggal!” tukas Bok-yong Kang.
“Omonganku belum selesai,” kata Siau Mo, “tetapi usahaku untuk merebut nyawa itu, mungkin akan
mengakibatkan malapetaka dunia.”
“Apa?” Bok-yong Kang terkejut.
“Penyakitku ini,” kata Siau Mo, “adalah penyakit keturunan. Boleh dikata tak mungkin dapat disembuhkan
lagi. Tetapi setelah dengan jerih payah kucari berpuluh-puluh buku pengobatan, akhirnya kuketemukan
memang terdapat semacam cara pengobatannya. Tetapi cara itu akan mengakibatkan rusaknya urat syaraf
kepalaku…….”
Mendengar itu Bok-yong Kang pun menghela napas, pikirnya: “O, kiranya begitu maka toako tak berani
mengambil cara itu. Seorang yang hilang ingatannya, tak ubah seperti orang gila. Itu jauh lebih menderita
daripada mati.”
Siau Mo melanjutkan lagi: “Kalau aku sampai menjadi seorang yang hilang ingatan, itu sih tak apa. Tetapi
yang paling menakutkan, yalah.......”
“Bagaimana?” desak Bok-yong Kang.
Dengan nada berat berkatalah Siau Mo: “Aku dapat menjadi seorang iblis pembunuh yang ganas!”
“Mengapa begitu?” Bok-yong Kang terkejut,
“Karena engkau tak tahu cara pengobatan yang hendak kulakukan itu maka engkau tak tahu bagaimana
akibatnya yang mengerikan. Setahun lamanya kupikirkan hal itu tetapi belum dapat kuambil keputusan.”
“Toako, apakah benar-benar akan timbul kemungkinan semacam itu?” tanya Bok-yong Kang pula.
Tiba-tiba Siau Mo menurunkan nadanya seperti berbisik, ujarnya: “Bokyong-te, apa yang disebut Bu-kekcek-
hoan itu? Caraku mengobati penyakitku nanti, juga akan menggunakan cara itu. Akan kuminum racun
yang paling ganas untuk membius urat syarafku. Sekarang ini aku sudah mempersiapkan obat-obat itu,
nanti apabila tiba saatnya memang hendak kucoba. Apabila nanti sampai terjadi sesuatu yang tak
diinginkan, aku menjadi seorang momok yang ganas, engkau harus lekas-lekas membunuhku agar aku
jangan sempat menimbulkan malapetaka pada orang lain.”
“Tetapi bagaimana aku tahu kalau toako menggunakan obat itu dengan betul atau keliru?” tanya Bok-yong
Kang.
Siau Mo makin merendahkan nada bisikannya: “Itulah yang kukatakan sebagai 'rahasia'. Dan hal itu
menyangkut nasib dunia persilatan juga. Apabila setelah minum obat mataku berkilat-kilat memancarkan
sinar kebiru-biruan, itu tandanya aku akan berobah menjadi momok yang kejam. Nah, saat itu segera saja
engkau bunuh aku. Tetapi kalau sinar mataku tetap seperti orang biasa, berarti pengobatan itu berhasil.
Jika........”
Tiba-tiba Siau Mo kerutkan dahi lalu membentak sekerasnya: “Siapa itu!”
Dan serentak iapun sudah loncat lari menuju ke lereng gunung.
Bok-yong Kang ikut terkejut. Ia memandang ke arah yang dituju Siau Mo tetapi tak melihat suatu apa.
Namun ia percaya penuh akan ketajaman telinga dan mata dari Siau Mo. Makapun segera ikut menyusul.
Tetapi mereka tak menemukan suatu apa.
“Bokyong-te,” kata Siau Mo gopoh, “telah kulihat seseorang, kepandaiannya hebat sekali......”
Habis berkata ia terus lari turun ke bawah.
Bok-yong Kang terpaksa menyusul lagi. Sejak mengikuti Siau Mo selama setahun, belum pernah ia melihat
wajah Siau Mo sedemikian tegang seperti tadi.
Begitu tiba di bawah gunung Siau Mo terus lari ke sebuah tikung jalan. Tiba-tiba ia melihat seorang
berpakaian biru sedang berjalan dengan pelahan-lahan, dari sebuah bukit.
“Berhenti!” teriak Siau Mo.
Tetapi rupanya orang berpakaian biru itu tak mendengar. Ia tetap berjalan seenaknya, menuruni sebuah
anak bukit lalu lenyap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan cepat Siau Mo pun segera lari mengejar. Begitu tiba di bukit itu, ia berdiri termangu-mangu.
Tak berapa lama, Bok-yong Kang pun tiba. Memandang ke muka, tampak sebuah padang rumput yang
merentang sampai jauh ke muka. Dan samar-samar tampak sesosok tubuh baju biru sedang berjalan
pelahan-lahan menuju ke ujung padang rumput.
Bok-yong Kang terkejut. Baru beberapa kejap saja orang baju biru itu menuruni bukit, mengapa saat itu
sudah berada pada jarak berpuluh-puluh tombak jauhnya. Dan bukankah tampaknya orang itu hanya
berjalan seenaknya saja?
Tiba-tiba mulut Siau Mo mengingau seorang diri, “.......angin puyuh menimbulkan deru suara, melayanglayang
akhirnya lenyap. Ilmu gin-kang yang hebat, dapat berjalan dengan seenaknya, mengangkat berat
terasa ringan, tampaknya pelahan tetapi sebenarnya cepat......”
“Hai, Bokyong-te,” kata Siau Mo kepada Bok-yong Kang, “rupanya ilmu gin-kang orang sudah mencapai
tataran yang sempurna. Bahkan akupun tak mampu mengejarnya. Tetapi bagaimanapun juga, jangan
sampai orang itu tinggalkan tempat ini......”
Sesaat Siau Mo memandang ke muka lagi, orang berbaju biru itupun sudah lenyap dari pandang mata.
Terpaksa Siau Mo batalkan niatnya untuk mengejar. Ia menghela napas……..
Juga Bok-yong Kang terkejut sekali melihat kehebatan ilmu ginkang orang berbaju biru itu. Tetapi ia heran
mengapa Siau Mo tampak begitu tegang.
“Siau toako, kenalkah engkau kepada orang itu?” tanyanya.
Siau Mo gelengkan kepala, menghela napas.
“Alangkah baiknya kalau aku kenal kepadanya. Tetapi ilmu ginkangnya yang begitu luar biasa tak memberi
kesempatan kepadaku untuk melihatnya. Perawakannya tidak tinggi pun tidak pendek, tetapi ilmu
ginkangnya benar-benar luar biasa sekali…… menilik umurnya, rasanya dalam dunia persilatan tak terdapat
seorang tokoh lihay semacam itu…….”
“Toako,” kata Bok-yong Kang, “dia menuju ke Lok-yang. Kalau kita ke sana, kemungkinan tentu dapat
bertemu.”
Wajah Siau Mo tampak gelap dan berkatalah ia dengan nada sarat: “Apabila orang itu menjadi anak buah
Wanita Suara Iblis, celakalah kita……”
“Bokyong-te,” katanya pula, “ketahuilah, apabila orang itu sampai mengetahui rahasia penyakitku, aku pasti
mati.”
Bok-yong Kang terbeliak heran, “Toako, aku tak mengerti apa yang engkau maksudkan.”
Siau Mo menghela napas rawan.
“Bokyong-te, ketahuilah! Bila setelah aku sadar dari minum obat, ada orang yang menggunakan ilmu Sipsin-
to-in-sut (menghilangkan kesadaran pikiran dan memberi perintah) untuk menyuruh aku melakukan
perbuatan-perbuatan yang ganas, aku tentu akan menjadi seorang momok pembunuh yang tak sadar. Ini
berbahaya sekali dan kuharap engkau harus menjaga keras agar rahasia diriku itu jangan sampai diketahui
orang.”
Berhenti sejenak, Siau Mo berkata pula: “Mari kita kejar dia dan menyelidiki orang itu. Menurut dugaanku,
orang itu mungkin bukan anak buah Wanita Suara Iblis. Karena kalau menilik kepandaiannya yang begitu
bebat, rasanya dia lebih lihay dari Wanita Suara Iblis.”
Demikian kedua pemuda itu segera menuju ke dalam kota Lok-yang. Tiba diluar pintu kota, haripun sudah
petang. Siau Mo mengajak kawannya masuk kota dan mencari hotel Hun-liong-lo.
Hun-liong-lo merupakan hotel yang terbesar di kota Lok-yang. Gedungnya besar dan megah, kamarnya tak
kurang dari empatratus buah.
Baru melangkah ke serambi hotel, segera seorang jongos menyambutnya: “Bukankah tuan berdua hendak
mencari kamar. Ah, hotel kami memiliki kamar yang bersih dan indah…...”
“Kawan kami sudah memesankan kamar di sini, harap engkau......”
dunia-kangouw.blogspot.com
“O, kalau begitu sudah lama kami menunggu kedatangan tuan,” cepat jongos itu menukas kata-kata Bokyong
Kang. Rupanya dia sudah dipesan oleh Cu-ing, “mari, silahkan ikut kami ke dalam.”
Memang hotel itu besar dan mewah sekali. Lantainya dari batu marmar kembang. Dan di sepanjang
halaman serambi dalam ditanami pohon cemara kate. Pada setiap pintu kamar, dihias dengan setengah
losin pot bunga seruni.
Pada saat mereka berjalan, Siau Mo gunakan ilmu menyusup suara: “Bokyong-te, kulihat orang berbaju biru
itu berada dalam serambi kamar nomor tiga.”
Bok-yong Kang terkejut. Memandang ke muka, tujuh-delapan tombak di sebelah depan, terdapat sebuah
pagar tembok yang melingkari tiga buah villa, tetapi tak tampak seorangpun juga.
Jongos berpaling, katanya: “Tuan, nona Nyo dan beberapa sahabatnya, menempati dua buah villa sebelah
kanan dan kiri. Villa di tengah untuk tuan berdua. Nona Nyo pun memberi pesan, apabila tak dipanggil, aku
tak boleh sembarangan datang. Maka harap tuan berdua suka maafkan kalau aku tak dapat mengantar tuan
sampai ke gedung itu.”
Habis berkata jongos terus berputar tubuh dan kembali keluar.
Mendengar keterangan dari jongos bahwa Cu-ing menempati sebuah villa tersendiri, terkejutlah Siau Mo.
Cepat ia menyelinap masuk ke arah villa di sebelah kiri.
Melihat Siau Mo masuk ke arah halaman vila dimana orang baju biru tadi menampakkan diri, Bok-yong
Kang cepat-cepat menduga bahwa tentu akan terjadi suatu peristiwa. Maka lekas-lekas iapun menyusul.
“Nona Nyo, toako ku sudah datang,” serunya memanggil Cu-ing.
Tetapi tiada penyahutan sama sekali dari dalam kamar.
“Bokyong-te, lekaslah engkau masuk dan periksa dalam kamar,” seru Siau Mo.
Dan ia sendiri serentak terus melambung ke atas wuwungan rumah lalu berlari-lari di sepanjang wuwungan.
Apabila memang terdapat musuh, tak mungkin dapat lepas dari pengamatannya. Tetapi sampaipun ia telah
menyelidiki ke setiap ujung dan pelosok, tetap si baju biru itu tak dapat diketemukan.
Siau Mo terpaksa kembali ke villa sebelah kiri lagi. Ketika memasuki ruang gedung itu, di1ihatnya Bok-yong
Kang tengah berdiri termangu memandang ke lantai.
Ternyata di atas lantai yang semula putih bersih itu, penuh dengan noda darah yang berceceran.
Seketika berobahlah wajah Siau Mo. Secepat kilat ia menerobos masuk ke dalam kamar tidur tetapi ah……
Cu-ing tak ada.
“Toako, mereka tentu tertimpah bahaya,” seru Bok-yong Kang
Saat itu hati Siau Mo benar-benar gelisah sekali. Betapapun cerdasnya, namun menghadapi peristiwa yang
seaneh itu, iapun merasa seperti dalam kabut yang gelap. Kedua pemuda itu termangu-mangu kehilangan
paham.
Sampai beberapa lama, barulah Siau Mo berkata: “Marilah kita periksa kedua villa itu.”
Siau Mo masuk ke dalam ruang villa di tengah sedang Bok-yong Kang menuju ke ruang villa yang sebelah
kanan.
Begitu melangkah ke dalam serambi muka ruang villa, segera Siau Mo melihat sehelai saputangan putih.
Dengan hati-hati ia memungutnya. Tetapi sebelum sempat memeriksa tiba-tiba dari villa sebelah kanan
terdengar Bok-yong Kang membentak dan sebuah erang tertahan.
Siau Mo terkejut sekali dan cepat loncat melampaui tembok pemisah yang tak berapa tinggi lalu menerobos
masuk ke dalam ruang. Astaga, Bok-yong Kang rebah menggeletak di lantai……
Kejut Siau Mo tak terlukiskan lagi. Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi seperti Bok-yong Kang
mengapa dalam beberapa kejap saja sudah dirubuhkan orang.
Cepat ia memeriksa keadaan Bok-yong Kang. Ternyata pemuda itu tertutuk jalan darahnya.
Siau Mo pun segera membuka jalan darah pemuda itu. Tetapi begitu tersadar, tiba-tiba Bok-yong Kang
membentak dan menghantam Siau Mo.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bokyong-te, akulah,” seru Siau Mo seraya menghindar.
Bok-yong Kang tertegun. Sesaat kemudian baru ia dapat berkata: “Wanita Suara Iblis, ya, lagi-lagi wanita
itulah!”
“Apakah yang menyerangmu tadi si Suara Iblis itu?” Siau Mo kerutkan alis.
Bok-yong Kang mengiakan: “Ya, memang seorang wanita.”
Melihat kawannya itu tak menderita luka, legahlah hati Siau Mo. Tiba-tiba ia teringat akan saputanganputih
yang dipungutnya tadi. Ketika diperiksa ternyata memang terdapat tulisan yang berbunyi:
…….bermula aku mencurigai tuan, tetapi sekarang tabir sudah tersingkap. Musuh tangguh mengintai, harap
tuan hati-hati dan waspada……
Habis membaca, Siau Mo kerutkan dahi merenung. Tulisan itu tak dibubuhi tanda tangan. Tetapi kata-kata
dalam tulisannya itu, agaknya cukup memberi petunjuk jelas siapa penulisnya. Ya, itulah Nyo Cu-ing.
03.12. Serba Misterius
Tetapi kata-kata selanjutnya yang memberi peringatan supaya ia berhati-hati terhadap musuh, kata-kata itu
agaknya bukan dari Cu-ing. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?”
Bok-yong Kang pun membaca tulisan itu tetapi ia hanya terlongong-longong saja.
“Bokyong-te, mari kita pergi,” tiba-tiba Siau Mo berseru dan terus bergegas tinggalkan hotel itu.
“Siau toako, hendak kemanakah kita?” tanya Bok-yong Kang setelah keluar dari hotel.
“Bokyong-te, apakah engkau merasa pasti bahwa yang menyerangmu itu si Wanita Suara Iblis?” tanya Siau
Mo.
“Tak mungkin salah lagi, memang seorang wanita,” kata Bok-yong Kang dengan nada bersungguh. “dia
maju menghampiri dan menutuk jalan darahku. Ilmu tutukannya itu serupa dengan apa yang kualami ketika
berada di villa Merah Delima dalam gedung keluarga Nyo.”
“O,” desah Siau Mo, “kalau begitu dia bukan Wanita Suara Iblis!”
“Hah?” Bok-yong Kang menganga. “kalau bukan dia lalu siapa?”
“Mungkin orang berbaju biru itu,” kata Siau Mo. “Bokyong-te, sewaktu engkau ditutuk apakah engkau sama
sekali tak dapat melihat warna pakaian orang itu?”
Wajah Bok-yong Kang berobah, sahutnya: “Maaf toako, karena kepandaian begini rendah maka sampai
pakaiannya saja aku tak dapat melihatnya.”
Diam-diam Siau Mo berpikir: “Tingkat kepandaian Bok-yong Kang ini sudah sama dengan jago persilatan
kelas satu. Tetapi dua kali menderita tutukan orang, dua kali itu pula ia tak mampu melihat warna
pakaiannya penutuknya. Jelas kepandaian orang itu luar biasa sekali……”
Kemudian ia berkata, “Kepandaian orang berbaju biru itu memang sukar diraba tingginya. Dan lagi diapun
memiliki kecerdasan yang hebat. Sekalipun aku sudah dua kali melihatnya, pun hanya dapat melihat warna
pakaiannya tetapi tak mampu melihat wajahnya.”
”Toako, apakah engkau duga yang menyerang aku itu si Baju Biru?” tanya Bok-yong Kang.
Siau Mo mengangguk.
“Turut rabaanku, memang yang menyerang engkau tadi adalah orang baju biru itu. Tetapi adakah dia itu si
Wanita Suara Iblis sendiri, aku kurang jelas. Sekarang kita akan menuju ke gedung keluarga Nyo. Go-bi
Sam-hiap dan nona Cu-ing, kemungkinan tentu sudah mengalami sesuatu yang tak terduga.”
Saat itu Siau Mo dan Bok-yong Kang sudah tiba di tempat yang sepi. Tiba-tiba dari sebuah gang kecil
muncul seekor kuda yang tegar. Seekor kuda tinggi besar bulu kebiru-biruan dari Mongolia.
Penunggangnya seorang lelaki mengenakan mantel warna hitam dan memakai topi caping bambu yang
lebar. Mantelnya sedemikian lebar hingga menutupi punggung kuda dan kedua kaki penunggang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Begitu tiba dan lewat di sisi Siau Mo dan Bok-yong Kang, penunggang itu tetap tak berpaling kepala.
Seolah-olah seperti tak tahu kalau di samping jalan terdapat orang lain.
Setelah kuda itu lewat, tiba-tiba Siau Mo mendesuh dan berpaling. Rupanya Bok-yong Kang juga merasa
heran dan berpaling.
Tetapi ah...... kuda tegar itu ternyata sudah lenyap dari lorong gang.
Kali ini Siau Mo dan Bok-yong Kang benar-benar terperanjat. Baru beberapa kejap saja kuda itu lewat,
mengapa sudah menghilang ke tikungan jalan besar. Padahal gang itu ke jalan besar tak kurang dari
duapuluhan tombak panjangnya.
“Bokyong-te, apakah engkau melihat wajah penunggang kuda tadi?” tanya Siau Mo.
Bok-yong Kang gelengkan kepala,
“Aneh benar,” katanya, “kurasa, tadi aku sudah menumpahkan perhatian untuk melihat wajahnya tetapi
mengapa hanya bayangan kuda itu saja yang masih kuingat dan penunggangnya sama sekali tak ingat
lagi?”
Siau Mo menghela napas.
“Penunggang kuda itu jelas menggunakan ilmu Hoan-ing-pian-tong-sim-hwat atau ilmu Bayangan kosong.
Sekalipun dia berada dihadapan kita, pun kita tak mungkin dapat melihat wajahnya.”
“Hai, mengapa dalam ilmu silat terdapat semacam ilmu begitu aneh?” seru Bok-yong Kang.
“Itu memang suatu ilmu kepandaian silat tataran tinggi,” menerangkan Siau Mo, “asalnya dari sumber ilmu
silat perguruan Bi-cong-pay dari Tibet. Ah, rupanya dalam bulan-bulan terakhir ini tokoh-tokoh dunia
persilatan sudah mengetahui bahwa di Lok-yang bakal timbul peristiwa besar. Maka tak mengherankan
kalau kota ini penuh dengan tokoh-tokoh silat dari seluruh penjuru.”
“Siau toako,” kata Bok-yong Kang. “sampai detik ini aku masih bingung memikirkan. Siapakah
sesungguhnya Wanita Suara Iblis itu?”
“Seorang tokoh penting dari suatu gerombolan yang hendak mengacau balau dunia persilatan,” kata Siau
Mo, “untuk mengetahui siapa pemimpinnya, terpaksa kita harus mencari keterangan dari anak buahnya.
Sungguh menjengkelkan sekali, bagaimana wajah Wanita Suara Iblis itu, kita tak mampu mengetahuinya.
Tetapi kebalikannya wanita itu tahu semua sepak terjang kita...... Ah, sebenarnya aku tak mempunyai
keinginan hendak bentrok dengan wanita itu, maka selama dua tahun ini akupun tak mau menaruh
memperhatikan mereka. Akibatnya dalam beberapa hari ini aku termakan siasat mereka tanpa dapat
berbuat apa-apa!”
Bok-yong Kang yang sudah tahu perangai Siau Mo, percaya penuh apa yang dikatakan toakonya itu.
Walaupun sudah setahun lamanya, Wanita Suara Iblis itu selalu membayangi di belakangnya tetapi Siau Mo
tentu tak mempedulikan.
“Tetapi Siau toako memiliki kecerdasan dan ilmu silat yang luar biasa. Betapapun kawanan tikus itu hendak
unjuk kepandaian tak urung mereka pasti akan hancur di bawah pedang kebenaran dari toako,” kata Bokyong
Kang.
Siau Mo tertawa hambar.
“Bokyong-te” katanya, “begitu tinggi engkau menyanjung diriku sampai aku menjadi gelisah sendiri.
Sudahlah, mari kita menuju ke gedung keluarga Nyo. Salah langkah dalam menjalankan sebuah biji catur,
dapat mengakibatkan kita menderita kekalahan.”
Tak berapa lama kedua pemuda itupun tiba di sebuah jalan kecil yang sepi. Dari jauh sudah tampak puncak
bangunan dari kediaman keluarga Nyo yang merupakan gedung termegah di kota Lok-yang.
Siau Mo menarik tangan Bok-yong Kang diajak bersembunyi di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi
jalan.
“Bok-yong-te,” bisiknya, “gedung itu saat ini sudah berobah keadaannya. Penuh dengan bahaya. Baiklah
untuk sementara waktu kita menunggu perkembangannya di sini dulu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memandang ke arah gedung itu, Bok-yang Kang melihat pintunya yang bercat merah tertutup rapat.
Ditingkah oleh sinar matahari, suasana gedung yang sunyi itu diliputi oleh hawa pembunuhan yang
menyeramkan.
Dan mata pemuda yang tajam itupun dapat melihat bahwa di ruang keempat dalam gedung itu terpancang
sebatang tonggak bambu yang tinggi. Di atas tonggak bambu itu digantungi sebuah lentera yang biasa
digunakan di rumah keluarga yang mengalami kematian. Di bawah lentera itu berkibar sehelai kain putih
yang berkibar-kibar di tiup angin.
Sepintas pandang memberi kesan bahwa gedung itu memang sedang berkabung.
“Pemandangan dalam gedung itu, masih serupa seperti semalam,” kata Siau Mo, “itu membuktikan bahwa
nona Ing dan orang-orang itu belum datang ke situ. Baiklah kita beristirahat dulu di sini menunggu sampai
tengah hari.”
“Lalu apakah yang akan kita lakukan apabila nanti kita masuk ke dalam gedung itu?” tanya Bok-yong Kang.
“Lentera kematian dan kain putih itu merupakan lambang dari gerombolan Wanita Suara Iblis. Memberi
tanda bahwa nanti tengah hari mereka akan menyambut orang.
“Siapakah yang akan mereka sambut?” tanya Bok-yong Kang.
“Apabila dugaanku tak salah, tentulah Nyo Jong-ho sekeluarga.”
“Toako,” seru Bok-yong Kang, “kurasa mereka tentu akan memasang siasat. Kalau akan menyambut orang,
mengapa harus pada waktu tengah hari?”
“Orang yang tak kenal pertandaan itu tentu tak tahu apa sebab mereka akan menyambut orang pada waktu
tengah hari. Bukankah siang hari itu akan diketahui orang?” kata Siau Mo, “saat ini masih ada sedikit yang
aku masih belum mengerti yalah apakah Nyo Jong-ho dan orang-orang itu masih berada dalam gedung
itu?”
“Bukankah ketika toako datang tadi malam, toako mengatakan kalau rumah itu sudah kosong sama sekali?”
Kata Siau Mo: “Memang tak mungkin anak buah Wanita Suara Iblis dapat mengangkut keluarga Nyo Jongho
yang berjumlah lebih dari seratus orang itu ke lain tempat dalam waktu yang begitu singkat. Maka aku
lebih cenderung untuk menduga bahwa mereka tentu masih disembunyikan dalam gedung itu. Mungkin
dalam sebuah kamar rahasia.”
Sambil menengadah memandang ke cakrawala berkatalah Bok-yong Kang: “Matahari sudah naik di tengah,
pertanda sudah tengah hari. Tetapi mengapa nona dan orang-orang itu masih belum datang? Apakah kita
takkan masuk dulu ke dalam gedung itu?”
Siau Mo mengangguk.
“Engkau yang ke pintu muka dan minta pintu dibuka dan aku yang akan lompat dari pagar tembok samping.
Sekalian supaya dapat kuselidiki keadaan sekeliling gedung. Kalau pintu tak dibuka, dobrak saja.”
Habis berkata Siau Mo pun terus melesat ke muka. Ketika Bok-yong Kang berjalan menuju pintu besar yang
bercat merah itu, ternyata Siau Mo sudah lenyap. Maka Bok-yong Kang pun segera mendebur pintu dengan
grendel bundar yang dipasang di atasnya.
Walaupun menimbulkan suara keras namun sampai beberapa saat, belum juga pintu itu dibuka. Keadaan
dalam gedung tetap sepi.
Menuruti pesan Siau Mo, Bok-yong Kang segera kerahkan tenaga mendobraknya. “Brak……” pintu besar
itupun tiba-tiba terpentang lebar.
Ternyata pintu itu memang tak dipalang.
Halaman muka dalam gedung itu sunyi sekali. Tiba-tiba angin berembus masuk dan pohon-pohon yang
tumbuh dalam halaman itu berdesir-desir menimbulkan suasana yang menyeramkan.
Setelah menenangkan perasaannya, Bok-yong Kang pun segera melangkah masuk. Ia mendorong pintu
gedung dan memandang ke dalam. Seketika terbanglah semangatnya!
Dia berdiri termangu-mangu……
dunia-kangouw.blogspot.com
Ruang besar gedung itu sudah berobah menjadi sebuah tempat yang menyeramkan. Ruangan seolah-olah
tertutup oleh kain putih tetapi lantai penuh dengan darah merah yang berasal dari berpuluh-puluh mayat
tanpa…… kepala!
Pada saat Bok-yong Kang kehilangan paham, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dan kata-kata
menggeram: “Hem, ganas bukan kepalang!”
Bok-yong Kang cepat berpaling dan entah bilamana munculnya, tahu-tahu ketiga tokoh Go-bi-pay sudah
berada di belakangnya.
Bwe Hui-ji tokoh wanita dari Go-bi segera maju menghampiri dan membentak dengan bengis: “Bagaimana
peristiwa ini terjadi? Kemanakah Siau Mo?”
Watak Bok-yong Kang itu, di luar ramah tetapi hatinya keras. Mendengar sikap dan nada pertanyaan yang
begitu kasar, diapun naik pitam juga.
“Bagaimana yang terjadi, bukankah engkau sudah melihat sendiri? Perlu apa bertanya kepadaku?”
Bwe Hui-ji kerutkan alis lalu tertawa dingin.
“Memang, telah kuduga bahwa engkau dan Siau Mo itu bukan orang baik. Dan ternyata memang benar.
Kalau saat ini engkau tak mau mengatakan apa yang terjadi di sini, hm, jangan engkau harap dapat
tinggalkan ruang ini!”
Semalam ketika menderita tutukan dari Bwe Hui-ji, Bok-yong Kang memang masih penasaran. Saat itu
demi mendengar ucapan yang gila dari wanita itu, meluaplah amarahnya.
“Dengan kepandaian yang dimiliknya itu, apakah Go-bi Sam-hiap mampu merintangi aku?” ia tertawa
mencemooh.
“Budak yang tak tahu diri!” bentak Leng Bu-sia tokoh kedua dari Go-bi-pay, “karena bertahun-tahun tak
turun gunung maka sekarang banyak kawanan katak dan ulat yang berobah menjadi siluman……”
“Berkatalah dengan jelas, siapa yang engkau maki itu!” Bok-yong Kang pun balas membentak.
Leng Bu-sia tertawa meloroh. Tiba-tiba tangan kanannya menyambar pergelangan tangan Bok-yong Kang.
Dia yakin gerakannya itu tentu dapat menguasai si pemuda.
Tetapi diluar dugaan, Bok-yong Kang menekuk tangannya ke bawah lalu mengirim sebuah tendangan dan
diserempaki pula dengan hantaman tangan kiri.
Serangan kaki dan tangan dari pemuda itu memaksa Leng Bu-sia harus mundur selangkah.
Tepat pada saat itu dari sebelah dalam ruang terdengar suitan macam naga meringkik.
Bok-yong Kang terkesiap. Ia tahu bawa suitan itu tentu berasal dari Siau Mo. Ia pun segera balas bersuit,
berputar tubuh lalu melangkah pergi.
“Hih, budak, apakah engkau mau pergi seenakmu sendiri saja?” Bwe Hui-ji tertawa dan melesat lalu
menghantam.
Bok-yong Kang menyadari bahwa kepandaian dari ketiga tokoh Go-bi itu memang hebat sekali. Iapun
segera balas memukul dua kali.
Bwe Hui-ji diam-diam terkejut. Ia melihat dua buah pukulan Bok-yong Kang itu luar biasa sekali. Di dalam
gerakannya mengandung ancaman maut.
Jago wanita itu tak berani menangkis melainkan menyingkir ke kiri lalu mundur dua langkah.
Kiranya dua buah pukulan yang dilancarkan Bok-yong Kang itu menggunakan ajaran dari Siau Mo.
Pada saat Bwe Hui-ji menyurut mundur, Bok-yong Kang terus loncat hendak meloloskan diri.
“Rubuh!” bentak Ong Han-thian seraya menabas dengan pedangnya.
“Cret……”
Bok-yong Kang mengerang tertahan, ia terhuyung-huyung dan bahu kirinya mengucurkan darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pukulan buddha seribu tangan Leng Bu-sia, cepat memburu dan dengan tertawa dingin terus ayunkan
tangan menghantam.
Bok-yong Kang merah matanya. Sambil berputar tubuh dan menggembor keras ia menangkis dengan
tangan kanan.
“Bum……”
Bok-yong Kang terpental sampai setombak jauhnya. Tetapi Leng Bu-sia pun juga tersurut dua langkah ke
belakang.
Bok-yong Kang penasaran. Mencabut ruyung Tulang tengkorak segera ia mainkan dalam jurus Heng-sohcian-
kun atau menyapu ribuan prajurit untuk menyerang Bwe Hui-ji. Ruyung itu menderu-deru menimbulkan
sambaran angin yang dahsyat.
Melihat pemuda itu dapat meloloskan diri dari tabasan pedangnya dan dapat menyambuti pukulan Leng Busia,
diam-diam terkejutlah Ong Han-thian, ketua Go-bi itu.
Sebagai seorang tokoh silat, diam-diam ia menilai, “Pemuda itu hebat sekali kepandaiannya. Daripada kelak
menimbulkan bahaya besar, lebih baik sekarang kita lenyapkan saja.”
Serentak timbullah nafsu pembunuhan dalam hati tokoh pertama dari Go-bi itu.
Saat itu Bok-yong Kang sedang memainkan ruyung untuk menggempur Bwe Hui-ji. Walaupun menyadari
bahwa dirinya bukan lawan dari ke tiga tokoh Go-bi itu, namun karena dirangsang oleh kemarahan, Bokyong
Kang tak mau menghiraukan suatu apa lagi. Ia mainkan ruyung Tulang tengkoraknya dengan hebat
dan gencar sekali. Berulang kali Ong Han-thian hendak turun tangan tetapi tak melihat suatu peluang pada
permainan anak muda itu.
Tiba-tiba terdengar pula suitan panjang dari sebelah dalam ruangan dan sesosok tubuh melesat keluar.
Itulah Siau Mo
Saat itu Bok-yong Kang tengah melancarkan tiga buah pukulan untuk mengimbangi gerakan ruyungnya.
Ketiga buah pukulan itu bukan saja mempunyai gerak perobahan yang aneh tetapi dahsyatnya pun bukan
kepalang. Kekuatannya dapat menghancurkan batu karang.
03.13. Tokoh Tersembunyi
Menghadapi serangan nekad dari anak muda itu terpaksa Bwe Hui-ji mundur dua langkah.
Tiba-tiba Bok-yong Kang menghentikan serangannya dan berputar tubuh lalu loncat ke samping Siau Mo.
“Toako, engkau bagaimana?” serunya terkejut ketika melihat keadaan Siau Mo saat itu.
Tangan Siau Mo berlumuran darah, pakaiannya yang berwarna putih pun berlumuran cipratan darah.
Tangan kanannya masih mencekal pedang Ular Emas yang meneteskan darah ke lantai……
Melihat Siau Mo dalam keadaan serupa itu ketiga tokoh Go-bi terlongong-longong.
Mereka cepat dapat menduga bahwa darah di pedang Siau Mo itu tentu darah lain orang yang dibunuhnya.
Dan meniliknya banyaknya darah, tentulah jumlahnya korbannya tak sedikit.
Semula Bok-yong Kang mengira kalau Siau Mo menderita luka tetapi setelah memperhatikan keadaan
toakonya itu sampai beberapa jenak barulah ia dapat mengetahui kalau darah itu bukan berasal dari tubuh
Siau Mo.
Siau Mo melirik dan melihat bahu Bok-yong Kang berdarah. Serentak ia terus maju menghampiri ketiga
tokoh Go-bi.
Go-bi Sam-hiap itu tokoh-tokoh yang termasyhur dalam dunia persilatan. Tetapi pada saat melihat sikap dan
wajah Siau Mo yang begitu seram, tergentar jugalah hati mereka.
Tiba-tiba Bok-yong Kang berseru memanggil: “Siau toako…….”
Siau Mo hentikan langkah, berpaling, “Bokyong-te, siapakah yang melukai engkau?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat wajah Siau Mo yang begitu membengis tahulah Bok-yong Kang kalau toakonya itu hendak membuat
perhitungan deagan Go-bi Sam-hiap.
Bok-yong Kang tahu bahwa peristiwa dengan Go-bi Sam-hiap tadi hanya karena salah paham. Iapun tahu
bahwa Go-bi Sam-hiap itu tokoh-tokoh pendekar yang menjunjung kebenaran. Apabila Siau Mo sampai
bertempur dengan mereka, salah paham itu tentu makin berlarut panjang.
“Toako,” seru Bok-yong Kang, “tadi hanya suatu kesalahan paham saja. Mereka salah menduga toako ini
seorang jahat.”
“Bokyong-te, apakah engkau tak mau membalas dendam?” seru Siau Mo.
Bok-yong Kang gelengkan kepala.
Tiba-tiba Siau Mo mengusap Pedang Ular Emas ke telapak sepatunya beberapa kali untuk menghilangkan
noda darah. Setelah itu dimasukkan ke dalam sarung.
“Kereta berderak-derak, kuda meringkik-ringkik...... Bokyong-te, mari kita pergi!” seru Siau Mo.
Saat itu wajah ketiga tokoh Go-bi sama berobah. Kiranya mereka pun mendengar dari arah jalan di luar
gedung, suara kereta berderak-derak mendatangi dan suara kuda meringkik-ringkik.
Mendengar ajakan Siau Mo, Bok-yong Kang pun terus berputar tubuh dan hendak mengikuti Siau Mo.
“Ho, hendak kemana kalian ini?” tiba-tiba Leng Bu-sia membentak.
Mendengar itu sekonyong-konyong Siau Mo herhenti, berputar tubuh dan maju menghampiri Go-bi Samhiap.
Leng Bu-sia mendahului menyambut kedatangan Siau Mo dengan sebuah pukulan ke arah dada.
Tetapi pemuda itu hanya sedikit melingkarkan kaki dan tetap maju. Melihat itu Leng Bu-sia pun mendengus
lalu tabaskan tangannya ke pinggang orang.
Tabasan itu hebat sekali. Betapa pun Siau Mo hendak menyelinap dari arah mana saja, tetap tak dapat
menghampiri maju.
Di luar dugaan, Siau Mo gerakan tangannya dengan cepat untuk menutuk jalan darah orang. Tetapi
serempak dengan itu Leng Bu-sia pun sudah susulkan tangan kirinya lurus ke muka untuk mendorong dan
menyambar pergelangan tangan orang.
Demikian keduanya saling menyerang dengan gerak yang cepat sekali dan perobahan yang tak terdugaduga.
Untuk menghindari serangan Leng Bu-sia, Siau Mo turunkan tangannya ke bawah lalu secepat kilat
menendang perut orang
Tendangan itu tampaknya biasa saja. Tetapi merupakan suatu gerakan yang seharusnya tak dilakukan
pada saat dan keadaan seperti itu.
Leng Bu-sia kerutkan dahi. Cepat-cepat ia menyurut mundur tiga langkah lalu dengan menggembor keras ia
lepaskan sebuah hantaman dari jauh.
Tetapi Siau Mo hanya tertawa dingin, ia menangkis. Ketika kedua pukulan itu berbentur, timbullah angin
yang keras sekali disusul dengan erang tertahan.
Tubuh Leng Bu-sia yang gemuk itupun terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah.
Melihat suhengnya kedua menderita kekalahan, Bwe Hui-ji serentak maju menyerbu Siau Mo. Tetapi Siau
Mo tak memberi kesempatan tokoh wanita itu untuk memukul. Ia cepat menyongsong dengan sebuah
hantaman ke arah dada.
Bwe Hui-ji terkejut melihat cara Siau Mo lancarkan serangannya. Selain gerakan jarinya yang aneh, pun jarijari
Siau Mo itu tepat hendak menutuk jalan darah yang berbahaya pada tubuhnya.
“Sumoay, lekas mundur jangan menyambuti serangan musuh!” melihat sumoaynya terancam bahaya,
cepat-cepat Ong Han-thian meneriakinya, seraya mengebutkan lengan baju dan terus melesat maju
menutukkan jarinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gerakan ketua Go-bi-pay itu memang bukan alang kepalang hebatnya. Dia telah menggunakan ilmu tutukan
jari Thian-kiam-ci atau Jari pedang langit. Sebuah ilmu warisan partai Go-bi yang boleh dikata tak
diturunkan kepada muridnya.
Berkat tenaga dalamnya yang tinggi, dengan tekun sekali Ong Han-thian mempelajari ilmu tutukan Jari
Pedang itu sampai berpuluh tahun. Angin yang terpancar dari tenaga tutukan jari pedang itu dapat
melubangi sebuah batu karang.
Melihat itu terkejutlah Bok-yong Kang. Ia hampir saja menjerit.
Tetapi Siau Mo dengan tenang dan gesit sudah menyelipat selangkah ke samping lalu tubuhnya berputar
dalam gerak setengah lingkar. Suatu gerakan yang indah sekali untuk menghindari tutukan jari maut dari
ketua Go-bi.
Memang sepintas pandang gerakan Siau Mo itu amat sederhana sekali. Tetapi sebenarnya gerakan itu
merupakan suatu gerak ilmu silat tataran tinggi. Memang kelihatannya gampang, tetapi sukarnya bukan
kepalang.
Wajah Ong Han-thian berobah seketika dan janggutnya sampai agak menggigil. Ia benar-benar terkejut
heran melihat kepandaian Siau Mo yang begitu luar biasa.
“Bangsat!” tiba-tiba Leng Bu-sia membentak dan menghantam lagi.
Siau Mo mendengus lalu ayunkan tangan kanannya untuk menyongsong. Kembali timbul deru angin yang
dahsyat ketika kedua angin pukulan saling beradu. Bahkan pasir di tanah berhamburan dan daun-daun
gugur bertebaran ke empat penjuru.
“Ji-te, berhentilah dulu!” teriak Ong Han-thian.
Ketika saling beradu pukulan, Leng Bu-sia terkejut ketika mendapatkan tenaga pukulan Siau Mo lebih hebat
dari dirinya. Dan ketika toa-suhengnya meneriakinya supaya berhenti, iapun cepat loncat ke samping.
“Toa-suheng hendak memberi perintah apa?” serunya.
Siau Mo tertawa dingin dan mendahului menjawab: “Go-bi Sam-hiap telah diagungkan orang sebagai
bintang cemerlang di angkasa persilatan. Apabila saat ini kalian bertiga hendak maju berbareng. entah
kalah entah menang, tetapi peristiwa itu tentu akan menambah cerita yang menarik di dunia persilatan!”
Siau Mo menutup ucapannya dengan gerakkan tiga buah serangan. Dari jarak beberapa langkah, ia
ayunkan tangan kiri menghantam ke arah Leng Bu-sia, gerakan jari tangan kanan untuk menutuk Ong Hanthian
dan ayunkan kaki kiri menendang ke arah Bwe Hui-ji. Sekali gus jago pedang Ular Emas itu hendak
menyerang tiga tokoh dari Go-bi yang termasyhur itu.
“Berhenti dulu!” tiba-tiba Ong Han-thian menggembor keras, menghantam dan loncat menghindar.
“Apakah kalian takut?” seru Siau Mo.
“Tunggu dulu, aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu, baru nanti kita bertempur lagi,” sahut ketua
Go-bi-pay.
“Apa lagi yang hendak engkau tanyakan?”
Wajah Ong Han-thian tampak serius, serunya, “Dari perguruan manakah engkau ini?”
“Soal itu tak perlu engkau tanyakan,” sahut Siau Mo tawar.
Berkata pula ketua Go-bi itu: “Kabarnya engkau masih mempunyai hubungan dengan Naga sakti tanpa
bayangan Siau Kwan. Siapakah dia itu?”
Mendengar itu teganglah raut muka Siau Mo, sahutnya dengan nada tergetar: “Dia adalah ayahku, apakah
engkau kenal padanya?”
“Kalau begitu apakah engkau tahu tentang soal budi dan dendam dari ayahmu itu?” seru Ong Han-thian
dengan suara sarat.
Tiba-tiba terlintas pula dalam benak Siau Mo tentang peristiwa berdarah yang telah menimpah keluarganya
dahulu...... Darah bergenangan, mayat-mayat berserakan dan tulang-tulang berhamburan…….
dunia-kangouw.blogspot.com
Terhuyung-huyunglah Siau Mo karena tubuhnya menggigil keras. Beberapa saat kemudian barulah dia
dapat menguasai ketenangan hatinya pula.
“Tidak tahu!” sahutnya hambar.
“Kalau begitu mengapa engkau mengamuk dan mengganas sesama sahabat persilatan dan
menghancurkan seluruh keluarga Nyo Jong-ho?” teriak Ong Han-thian dengan keras.
Mendengar itu Siau Mo pun mengangkat muka, ketegangannya agak mengendor.
“Ong ciang-bun, mengapa engkau menuduh Siau toako ku yang membunuh seluruh keluarga Nyo?” tibatiba
Bok-yong Kang menyeletuk.
Bwe Hui-ji tertawa dingin: “Bukti sudah nyata, apakah engkau masih menyangkal?”
Siau Mo menatap Ong Han-thian, berulang kali bibirnya tampak bergerak hendak berkata tetapi tak jadi.
“Bokyong-te, mari kita pergi,” tiba-tiba ia malah mengajak Bok-yong Kang pergi.
Tetapi Leng Bu-sia cepat berseru dingin: “Ho, tak begitu mudah untuk kalian pergi. Bukankah Go-bi Samhiap
akan ditertawakan orang?”
Siau Mo menatap ketiga tokoh Go-bi itu, serunya: “Selama aku bertindak, tak pernah aku mendapat
rintangan orang. Begitu pula, akupun tak suka adu lidah dengan orang. Selidiki dulu yang jelas, baru nanti
kalian boleh menuduh aku yang membunuh keluarga Nyo......”
Berhenti sejenak ia melanjutkan pula: “...... Kalau saat ini kalian hendak menahan aku, hm, kuberitahukan
kepadamu, selama ini belum pernah aku bertempur dengan orang sampai berlangsung sepuluh jurus.
Dalam sepuluh jurus orang tentu sudah berlumuran darah Terserah saja kalian mau percaya omonganku ini
atau tidak.”
Kata-kata itu diucapkan Siau Mo dengan nada yang sungguh. Habis berkata ia terus berputar tubuh dan
hendak pergi.
Tetapi cepat Leng Bu-sia sudah melesat menghadangnya seraya lepaskan dua buah pukulan: “Aku tak
percaya engkau mempunyai kemampuan begitu hebat!”
Siau Mo mundur dua langkah untuk menghindari pukulan itu. Tiba-tiba wajahnya memberingas hawa
pembunuhan. Cepat ia maju menutuk.
Leng Bu-sia terkejut. Ia tak menyangka bahwa setelah tersurut mundur, Siau Mo dapat menyerang begitu
cepat. Karena ia sedang menyerang maju maka agak lambatlah ia menghindar. Lengan kanannya tertutuk
ujung jari Siau Mo, seketika separoh tubuhnya terasa lunglai.
Habis menutuk Leng-Bu-sia, tiba-tiba Siau Mo balikkan tangan menampar bahu kiri Bwe Hui-ji.
Gerakan itu benar-benar diluar dugaan sama sekali. Bwe Hui-ji yang berada di belakangnya, baru
menyadari setelah merasa disambar angin. Ia hendak menghindar mundur tetapi sudah tak keburu lagi.
Terpaksa ia kerahkan tenaga dalam ke arah bahu kirinya untuk bertahan.
“Sumoay, jangan adu kekerasan!” seru Ong Han-thian seraya cepat-cepat menabas tangan Siau Mo.
Terdengar suara dengusan dan tubuh Bwe hui-ji pun terhuyung ke muka. Sedangkan Siau Mo sudah
melesat beberapa tombak jauhnya lalu bersama Bok-yong Kang lari keluar dari lingkungan gedung keluarga
Nyo.
Sambil mencekal pedang pusaka Cui-jong-kiam yang berkilat-kilat memancarkan sinar hijau, Ong Han-thian
memandang kedua sosok bayangan itu dengan terlongong-longong. Beberapa saat kemudian terdengar ia
menghela napas.
“Ah, ombak di bengawan Tiang-kang, yang belakang mendorong yang muka. Tunas dari setiap generasi
baru tentu lebih hebat dari generasi yang lama. Sepuluh tahun menutup diri, dunia persilatan sudah terjadi
perobahan besar......”
Ia mengusap-usap jenggotnya yang putih lalu melanjutkan kata-katanya: “Orang tua saat ini sudah bukan
waktunya kita unjuk muka di dunia persilatan lagi.”
Ucapan itu sebuah pernyataan dari pengunduran seorang jago tua yang menyadari akan perobahan jaman
dan keadaan dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dahulu Go-bi Sam-hiap itu memang menjagoi dunia persilatan. Tetapi demi menyaksikan kesaktian Siau Mo
yang masih muda itu, turunlah semangatnya sampai beberapa derajat.
Patut diketahui, bahwa ketiga tokoh Go-bi yang masyhur itu tak mampu menghadang seorang Siau Mo,
benar-benar telah menghancurkan semangat mereka!
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau berseru: “Go-bi Sam-hiap tak perlu patah semangat. Walaupun
Siau Mo itu memang sakti tetapi kalau sam-hiap bertiga dapat bersatu padu untuk menggempurnya, belum
tentu Siau Mo mampu menghadapi sam-hiap bertiga.”
Ketiga tokoh Go-bi terkejut dan serentak mengangkat muka mencari orang yang bersuara itu. Tetapi
ternyata di dalam ruang maupun di halaman, tak tampak seorangpun juga.
“Siapakah saudara ini?” teriak Bwe Hui-ji.
Orang yang parau suaranya itu berseru pula: “Dalam soal ilmu kepandaian silat, yang terutama yalah bakat
dan guru. Tanpa digembleng oleh tukang pandai, tak mungkin batu kumala dapat menjadi barang perhiasan
berharga. Jika dapat mengetahui asal usul perguruan Siau Mo dan tahu bahwa dia memang mempunyai
kepandaian begitu sakti, kalian baru boleh mengambil keputusan. Layak atau tidak, kalian belum-belum
sudah patah semangat itu……”
Go-bi Sam-hiap benar-benar terkejut bukan kepalang karena kali ini, arah datangnya suara itu berlainan
dengan yang tadi.
Wajah Ong Han-thian serentak berobah.
“Ong Han-thian dari Go-bi, merasa bahwa hari ini benar-benar bertemu dengan seorang sakti seperti tuan.
Dapatkah kami mendapat tahu nama tuan yang mulia? Dan dapatkah tuan memberitahu perguruan Siau Mo
itu? Go-bi Sam-hiap sungguh akan berterima kasih sekali,” seru ketua Go-bi-pay itu.
Tiba-tiba suara yang parau itu berobah nadanya menjadi lengking yang tinggi:
“Siau Mo mendapat pelajaran dari Tay Hui…… Thian-san Pak…… hiong…… Hay-sin…… dia telah
menerima ajaran dari beberapa orang sakti. Itulah sebabnya maka dalam usia yang begitu muda, dapat
menandingi kalian bertiga……”
Suara itu terdengar keras-keras lemah, tersendat-sendat tak kedengaran sehingga Go-bi Sam-hiap tak
dapat mendengar jelas.
“Siapakah tuan ini? Maaf, kami tak dapat mendengar jelas, harap suka mengatakan sekali lagi,” seru Ong
Han-thian.
Terdengar pula suara orang itu dalam kata yang terputus-putus:
“Aku…… aku telah menderita luka dari pedang Siau Mo dan segera akan mati....... Dia adalah Tay-hui……
Thian-san Pak…... Hong…… Hay-sin…… aku adalah….. adalah…... adalah......”
Kali ini suara melengking tinggi dan tajam macam orang bersuit. Dan suitan yang melengking di udara itu
telah ditiup lenyap oleh angin. Kata-kata yang di muka, dapatlah ketiga tokoh Go-bi itu menangkapnya tetapi
kata-kata bagian belakang, yalah yang hendak mengatakan tentang diri orang itu, mereka tak dapat
mendengar jelas.
“Dimanakah engkau?” teriak Leng Bu-sia, “apakah engkau benar-benar tahu akan asal perguruan Siau
Mo?”
03.14. Kawat Baja Pembawa Maut
Tak terdengar jawaban apa-apa. Tiba-tiba beberapa saat kemudian, kembali terdengar suara orang itu.
“Aku…… aku berada di ruang tengah dari gedung ini,” kata orang itu, “Go-bi Sam-hiap, lekaslah kemari, aku
akan memberitahu tentang diri Siau Mo kepada kalian……”
Mendengar itu Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji terus melesat ke ruang tengah. Melihat kedua sute dan
sumoaynya masuk, Ong Han-thian pun juga hendak menyusul.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi sekonyong-konyong terdengar suara aneh berteriak: “Leng Bu-sia, Leng Bu-sia, Bwe Hui-ji, Bwe Huiji……,
Ong Han-thian, Ong Han-thian…… lekaslah kalian kemari…… lekaslah kalian kemari. Aku berada di
sebelah muka……”
Suara itu beda dengan suara yang tadi. Nadanya kecil tajam dan mangandung keharuan dan kesedihan.
Tetapi pun memiliki suatu daya pesona yang kuat sekali.
Hanya dua kali namanya dipanggil, tetapi cukuplah sudah hati Ong Han-thian tergetar keras. Semangatnya
merana dan kesadaran pikirannya pun lenyap. Dia seolah-olah jatuh ke dalam kekuasaan orang itu.
Ong Han-thian memiliki tenaga-dalam yang tinggi dan diapun seorang tokoh tua yang banyak pengalaman.
Cepat sekali ia menyadari akan suara yang telah menyerang kesadaran pikirannya.
“Ji-sute, Sam-sumoay, Suara Aneh Kumandang Lembah, ilmu yang sudah lenyap ratusan tahun yang
lalu……”
Ia meneriaki kedua sute dan sumoaynya tetapi saat itu Leng Bu-sia dan Bwe Hui- ji sudah melangkah ke
dalam pintu.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertahan. Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji serempak terhuyung dan rubuh……
Sudah tentu Ong Han-thian terkejut bukan kepalang. Cepat ia mencabut pedangnya, ah…… saat itu ia
rasakan lengan kanannya seperti digigit nyamuk atau disengat tawon. Ia mengerang pelahan. Tetapi
seketika itu pula ia rasakan pandang matanya gelap, kepala berputar-putar…...
Kejut jago tua dari Go-bi itu tak terkira. Dia adalah seorang ketua dari sebuah perguruan yang termasyhur.
Dalam detik-detik yang menentukan itu, dia masih dapat memikirkan bagaimana cara untuk meloloskan diri.
Bukan saja jiwanya tertolong, pun ia harus menyelamatkan jiwa ribuan kaum persilatan. Ya, ia telah
menemukan sebuah rahasia besar yang menyangkut kepentingan dunia persilatan.
Dengan kerahkan sisa tenaga dalamnya, ketua Go-bi-pay itu segera bersuit panjang lalu berputar tubuh dan
lari keluar dari gedung.
Sambil tak henti-hentinya menghamburkan suara yang aneh, ia terus pesatkan larinya menuju ke luar kota.
Lari, ya, larilah ketua Go-bi-pay itu sekencang sang kaki dapat membawanya. Ketika tiba di sebuah
gerumbul di sebelah utara luar kota Lok-yang, rubuhlah jago tua itu……
********************
Sekarang marilah kita ikuti lagi Siau Mo dan Bok-yong Kang yang juga lari keluar dari gedung keluarga Nyo.
Melihat pakaian putih dari Siau Mo berlumuran darah, bertanyalah Bok-yong Kang: “Toako, apakah ketika
masuk ke dalam ruang tengah engkau bertemu dengan musuh?”
Siau Mo mengangguk.
“Telah kubunuh tigabelas orang tetapi tetap tak dapat mencari keterangan tentang keadaan Nyo Jong-ho
dan rombongannya. Selain ketigabelas orang berpakaian hitam yang kubunuh itu, aku tak melihat lain orang
lagi.”
Bok-yong Kang kerutkan alis, “Kalau begitu, anak buah Nyo Jong-ho telah dibunuh habis oleh Wanita Suara
Iblis itu……”
Kemudian iapun menceritakan tentang berpuluh mayat yang berada di ruang besar serta timbulnya salah
paham dengan ketiga tokoh Go-bi.
Siau Mo menghela napas.
“Aii, memang perangaiku beda dengan lain orang…… aku tak suka berunding dan bertukar pendapat
dengan orang. Itulah sebabnya maka sering timbul salah paham dan mengalami peristiwa-peristiwa yang
tak diinginkan. Saat ini untuk mengejar jejak musuh, memang sukar. Dan dimana nona Ing, lebih sukar
diketahui lagi.”
“Toako, darah pada tubuhmu......” tiba-tiba Bok-yong Kang berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Mo hanya mendesuh lalu masuk ke dalam sebuah hutan dan ganti pakaian.
Ketika melihat pakaiannya, Siau Mo tundukkan kepala merenung. Tiba-tiba ia membisiki Bok-yong Kang:
“Bakyong-te, lekaslah engkau sediakan dua ekor kuda dan tunggu aku di sini. Aku hendak memeriksa ke
gedung keluarga Nyo satu kali lagi.”
Habis memberi pesan, ia terus lari kembali ke arah kota Lok-yang.
Bok-yong Kang menduga bahwa toakonya itu tentu menemukan sesuatu yang penting. Iapun segera
melaksanakan perintah, menyediakan dua ekor kuda.
Tetapi Siau Mo belum datang. Ia hendak menyusul tiba-tiba sesosok tubuh berlari-lari mendatangi. Ternyata
dia itu Siau Mo.
“Toako, apakah telah terjadi suatu perobahan?” seru Bok-yong Kang.
Siau Mo gelengkan kepala.
“Apakah mereka benar-benar telah pergi…… ah, tidak, tidak bisa. Suara ringkik kuda dan derak kereta itu
tentulah untuk menjaga pendengaran dan mata musuh. Bokyong-te, hayo kita kejar!”
Siau Mo terus loncat ke atas kuda dan mencongklang ke arah pintu barat. Bok-yong Kang pun segera
menyusul.
Tiba-tiba Siau Mo berseru: “Bokyong-te, lekas gunakan gerak It-ho-jong-thian lalu Leng-hun-theng-gong
loncat ke belakang!”
Bok-yong Kang terkejut mendengar kata-kata yang aneh itu. Tetapi karena begitu gopoh Siau Mo
mengucapkannya, iapun segera melakukan perintah. Sekali kedua kaki memijak, kedua tangannya
merentang dan meluncurlah ia ke udara. Di atas udara ia berjumpalitan dan melayang ke belakang.
Tetapi pada saat kakinya belum tiba di tanah terdengarlah dua buah ringkikan kuda yang nyaring sekali.
Bok-yong Kang terkejut. Begitu tiba di tanah, cepat ia berpaling ke belakang. Seketika pucatlah wajahnya. Ia
terlongong-longong seperti melihat hantu di siang hari……”
Kudanya dan kuda yang dinaiki Siau Mo, telah kutung perutnya, kepalanyapun menggelinding terpisah dari
badan. Darah bergenangan memerah tanah.
Sampai detik itu belum juga Bok-yong Kang tahu apa sebab dan bagaimana kedua ekor kuda itu sampai
mati sedemikian mengenaskan……
Ia memandang ke sekeliling penjuru tetapi tak melihat suatu manusia pun. Lalu siapakah yang mempunyai
kesaktian sedemikian hebat dapat membelah perut dan kepala kedua ekor binatang itu.
Saat itu Siau Mo pun sudah melayang di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi jalan. Sepasang
matanya berkilat-kilat memancarkan kemarahan.
Bok-yong Kang segera menghampiri ke tempat toakonya. Tiba-tiba ia melihat pada sebatang pohon siong
dan pohon pek-yang yang tumbuh di sebelah muka, telah dipasang dua helai kawat halus.
Kini tahulah ia bagaimana kedua ekor kuda itu menderita kematiannya.
Kawat yang merentang di tengah jalan itu terbuat dari baja yang tajam sekali. Karena lari pesat, putuslah
kepala dan badan kedua kuda itu.
Diam-diam Bok-yong Kang terkejut. Kalau Siau Mo tak berteriak memberi peringatan, diapun tentu akan
menderita nasib sama. Diam-diam Bok-yong Kang makin ngeri memikirkan keadaan dunia persilatan yang
penuh dengan tipu muslihat dan perbuatan-perbuatan kejam.
Dengan Pedang Ular Emas, Siau Mo membabat putus kawat maut itu.
“Setelah kehilangan kuda, lalu bagaimana kita akan melanjutkan perjalanan?” tanya Bok-yong Kang.
Siau Mo merenung sejenak, katanya, “Mereka menggunakan dua utas tali kawat ini untuk merintangi
pengejaran musuh. Tetapi takkan Siau Mo berhenti karena rintangan ini. Kukira musuh tentu berada di
sekitar tempat ini. Mari kita cari!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekeliling penjuru tempat itu merupakan sebuah belantara padang rumput. Tiada rimba, tiada hutan. Diamdiam
Bok-yong Kang heran mengapa Siau Mo dapat menentukan kalau musuh berada di sekitar tempat itu.
Sejenak Siau Mo memandang ke cakrawala, ujarnya: “Saat ini hari menjelang petang. Tak lama matahari
tentu sudah silam. Malam ini kemungkinan kita akan mengalami pertempuran berdarah. Maka baiklah kita
beristirahat dulu untuk memulihkan tenaga. Dan disamping itu musuh tentu mengira kalau kita telah terkena
jerat mereka atau setidak-tidaknya tentu tersesat di tengah jalan. Dengan begitu mereka tentu agak lengah.”
“Toako, apakah engkau sudah tahu di mana sarang mereka?” tanya Bok-yong Kang.
Siau Mo tersenyum: “Baiklah kita beristirahat barang dua jam di atas dahan pohon pek-yang yang tinggi ini.”
Habis berkata ia terus ayunkan tubuh melambung ke udara sampai tiga-empat tombak lalu menyambar
sebatang dahan pohon. Sekali berayun lagi, tubuhnya terlempar tiga tombak ke atas, berjumpalitan lalu
hinggap pada puncak pohon.
Melihat ilmu ginkang Siau Mo yang sedemikian hebatnya, diam-diam Bok-yong Kang leletkan lidah. Iapun
coba-coba untuk menyusul. Tetapi setelah mengerahkan tenaga sampai empat kali berayun dari satu dahan
ke lain dahan, barulah ia dapat tiba di tempat Siau Mo dan terus duduk di sebelahnya.
Kebetulan Bok-yong Kang duduk menghadap ke arah timur. Karena duduk di puncak pohon yang tinggi
dapatlah ia melihat ke sekeliling penjuru dengan bebas. Beberapa lie jauhnya, seperti tampak sebuah
gedung.
Sambil menunjuk ke arah bangunan itu, Siau Mo herkata: “Kalau dugaanku tak salah, markas mereka tentu
berada dalam gedung itu.”
Diam-diam Bok-yong Kang mengagumi ketajaman mata Siau Mo. Walaupun masih berada di atas pohon,
dapat melihat bangunan yang beberapa lie jauhnya.
“Siau toako, aku sungguh kagum kepadamu,” ia berseru menyatakan pujiannya kepada Siau Mo.
“Sinar matahari mulai lenyap, hayo kita lekas kumpulkan tenaga. Nanti malam pada saat penyakitku
kambuh, engkaulah yang akan melakukan pekerjaan ini,” kata Siau Mo.
Memang Bok-yong Kang tahu bahwa penyakit Siau Mo itu sering kumat pada malam hari. Hanya waktunya
memang tak dapat ditentukan. Mula-mula tak ada tanda apa-apa, dan mendadak terus kumat. Maka iapun
buru-buru duduk menenangkan pikiran dan semangat untuk mengumpulkan tenaga.
Siau Mo juga pejamkan mata beristirahat.
Entah lewat berapa lama, tiba-tiba Bok-yong Kang mendengar suara derap tapal kaki kuda berdering.
Segera ia membuka mata dan melihat beberapa tombak di sebelah bawah, seorang penunggang kuda
tengah mencongklangkan kudanya. Penunggang kuda itu hanya seorang diri.
Tetapi apa yang membuat Bok-yong Kang terbelalak kaget yalah penunggang kuda itu bukan lain yalah si
orang aneh baju biru.
Bok-yong Kang hendak berteriak memanggil Siau Mo yang masih meramkan mata tetapi tiba-tiba telinganya
tersusup oleh ngiang suara dalam ilmu Menyusup suara: “Aku sudah tahu, jangan mengeluarkan suara,
biarlah dia lewat.”
Diam-diam Bok-yong Kang mengeluh dan malu dalam hati karena hendak memberitahu. Padahal ternyata
sebelumnya Siau Mo sudah tahu sendiri.
Tiba-tiba telapak kaki kuda itu berhenti. Ketika memandang ke bawah, tampaklah oleh Bok-yong Kang
bahwa orang aneh itu berhenti pada jarak sepuluhan tombak dari pohon tempat ia bersembunyi.
Saat itu Siau Mo menghela napas dan membisiki dengan ilmu Menyusup suara: “Orang itu memang luar
biasa waspadanya dan ilmu kepandaiannya sukar diukur tingginya. Tampaknya dia sudah merasakan jejak
kita. Bokyong-te, cobalah engkau waspadakan, bagaimanakah sesungguhnya wajah orang itu.”
Bok-yong Kang menurut. Tetapi pada saat ia hendak melongok ke bawah tiba-tiba orang itu memutar
kepala kudanya dan terus mencongklang lagi. Dalam beberapa kejap, penunggang kuda itu sudah berada
berpuluh-puluh tombak jauhnya.
“Bagaimana Bokyong-te, apakah engkau dapat melihat wajahnya?” seru Siau Mo.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bok-yong Kang gelengkan kepala dan tertawa hambar: “Jangankan melihat orangnya, bayangannya pun tak
mampu.”
“Kalau dia menjadi lawanku, aku benar-benar tentu pusing tujuh keliling.........” kata Siau Mo.
“Toako, kuda biru itu agaknya seperti kuda sakti yang jarang terdapat di dunia,” kata Bok-yong Kang.
Siau Mo mengangguk.
“Badannya tinggi tegar seperti naga, larinya secepat angin, memang benar-benar seekor kuda Cian-li-liongma
(kuda naga yang sehari dapat menempuh seribu lie). Tetapi penunggangnya lebih aneh lagi. Benarbenar
seperti seekor naga yang memperlihatkan kepala tapi tak kelihatan ekornya.”
“Toako, orang itu memang aneh tetapi pun mencurigakan gerak geriknya,” kata Bok-yong Kang. “rupanya
dia seperti hendak mengikuti jejak kita. Anehnya, mengapa tokoh semacam itu kita tak pernah mendengar
namanya?”
Siau Mo merenung beberapa jenak, lalu berkata: “Kemungkinan malam nanti kita akan bertemu dia lagi.
Sekarang hari sudah petang, malam segera tiba. Mari kita bersiap-siap.”
Siau Mo terus meluncur turun dari pohon pek-yang yang tingginya enam-tujuh tombak.
“Toako, apakah malam ini engkau merasa akan kambuh penyakitmu?” tanya Bok-yong Kang.
Siau Mo gelengkan kepala dan menyatakan tak tahu. Ia memandang ke langit barat. Tampak matahari
silam tengah memancarkan sinarnya yang lembayung ke arah gumpalan awan putih yang berarak-arak di
langit. Menimbulkan suatu pemandangan dari suatu dunia yang indah dan tenang.
Tak berapa lama, suryapun terbenam lenyap di balik gunung. Dan tubuh Siau Mo pun seperti ikut gemetar.
Mulutnya mengingau:
“……Matahari silam tiada terperikan indahnya, pertanda berakhirnya siang hari. Namun keindahannya, tiada
lain keindahan yang mampu menandingi…… kalau aku dapat mempersingkat hidupku yang tinggal seratus
hari itu, tentulah aku takkan mengalami penderitaan dari seorang yang lumpuh……”
Kata-kata itu diucapkan pelahan sekali sehingga walaupun mendengar tetapi Bok-yang Kang tak tahu apa
artinya.
Tak berapa lama malampun mulai menebarkan selimutnya yang hitam. Kedua pemuda itu berjalan menuju
ke pedesaan di sebelah timur.
Tiba-tiba Siau Mo merasa di tengah padang rumput itu seperti ada seseorang yang berlari. Diam-diam ia
terkejut: “Adakah jejakku sudah diketahui orang?”
Bok-yong Kang juga mengetahui bahwa di padang rumput kira-kira pada jarak duapuluhan tombak,
terdengar derap lari seorang persilatan. Ilmu ginkang orang itu hebat sekali. Rupanya orang itupun
mengetahui juga akan Siau Mo dan Bok-yong Kang. Serentak dia mendatangi dan menghadang kedua
pemuda itu.
Siau Mo dan Bok-yong Kang terpaksa hentikan larinya. Tampaknya orang itu terkejut melihat Siau Mo dan
Bok-yong Kang dapat serentak berhenti dari lari yang cepat.
Saat itu malam mulai menebar, bintang-bintang belum muncul dan sekeliling penjuru meremang gelap.
Orang itu menghampiri.
“Siapakah kalian berdua?” serunya.
Siau Mo yang bermata tajam cepat dapat melihat orang itu seorang sasterawan yang berumur pertengahan.
Mengenakan pakaian warna biru, kopiah sasterawan. Wajahnya berseri-seri gagah, matanya tajam.
Bok-yong Kang mendapat kesan bahwa orang itu tentu dari golongan Putih. Maka ia segera memberi
hormat dan menanyakan namanya.
Rupanya orang itu agak terkesiap. Pertanyaannya belum dijawab tetapi malah ditanya. Ia tertawa nyaring:
“Oleh sahabat-sahabat persilatan, aku telah menerima sebuah gelar Roda mas rembulan matahari.”
“O, maafkan kami kurang menghormat. Ternyata saudara ini salah seorang ketua dari partai Ceng-liongpang,”
seru Siau Mo.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, lengkapnya Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki?” Siau Mo menyusuli kata-kata pula,
Orang itu tampak terkejut, pikirnya: “Siapakah kedua pemuda ini? Dari nadanya jelas dia tak gentar
mendengar namaku.......”
Kemudian orang itu atau Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki tertawa ringan: “Maaf, mataku yang
kabur sehingga tak tahu siapakah nama siauhiap berdua ini. Mohon suka memberitahukan kepadaku.”
Bok-yong Kang hendak menyahut tetapi Siau Mo cepat mendahului: “Malam ini kami sungguh beruntung
dapat berjumpa dengan Tan Than-cu dari partai Ceng-liong-pang. Biasanya Tan Than-cu tinggal di dalam
kota. Mengapa malam hari ini Tan Than-cu menempuh perjalanan di tempat begini? Tentulah ada urusan
penting. Air laut tak mencampuri air sumur. Baiklah kita masing-masing lanjutkan perjalanan sendiri. Sampai
jumpa.”
Habis berkata Siau Mo memberi salam, berputar tubuh terus hendak pergi. Demikianpun Bok-yong Kang,
sehabis memberi anggukan kepala terus menyusul Siau Mo.
Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki terlongong-longong. Dia merasa namanya sudah masyhur.
Sekalipun seorang ketua persilatan yang mempunyai dendam permusuhan kepadanya tetapi apabila
berjumpa tentu terpaksa harus bicara dengan baik. Setitikpun ia tak menyangka bahwa malam itu ia
bertemu dengan pemuda yang tak memandang mata kepadanya.
Meluaplah kemarahan ketua cabang Ceng-liong-pang atau perhimpunan Naga hijau, sebagai seorang tokoh
yang berpengalaman, ia cepat menarik kesimpulan bahwa kedua pemuda itu tentu golongan Hitam
sehingga takut memberitahukan namanya.
“Hai, berhenti dulu kalian berdua!” serunya serunya mengejar dan menghadang.
Siau Mo kerutkan alis dan berseru dingin, “Tan Gun-ki, silahkan engkau jalan sendiri dan kami mengambil
jalan sendiri. Air sumur tak mengganggu air sungai. Harap engkau jangan mencari banyak kesulitan.”
Tiba-tiba mata Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki melihat punggung Siau Mo memanggul pedang
Ular Emas. Seketika ia menengadahkan kepala, tertawa keras.
“Oho, kiranya engkau, tak heran kalau engkau tak berani memberitahukan namamu, ha, ha, ha……”
03.15. Perkumpulan Ceng-liong-pang
Mendengar itu, Bok-yong Kang cepat memberi hormat: “Tan than-cu, harap jangan salah mengerti. Karena
ada urusan penting, maka kami……”
Wajah ketua cabang perhimpunan Naga Hijau itu serentak berkabut muram. bentaknya: “Apakah dia bukan
Pendekar Ular Emas Siau Mo? Hm, hm, hampir saja aku kena kalian selomoti.”
Siau Mo diam saja Tetapi matanya berhamburan memandang Tan Gun-ki dengan berapi-api. Melihat itu
Bok-yong Kang gelisah.
Tiba-tiba Siau Mo mendengus, berputar tubuh lalu ayunkan kaki.
Tan Gun-ki tertawa gelak-gelak, serunya “Gerak gerik kalian ini sungguh dapat menimbulkan kecurigaan
orang. Maafkan aku......”
Sebelum menghabiskan kata-katanya ia sudah melancarkan sebuah serangan.
Siau Mo sudah loncat mundur lalu gerakkan tangan kiri menghantam Tan Gun-ki.
Melihat itu Bok-yong Kang mengeluh dalam hati: “Hm, mengapa engkau cari kesulitan sendiri mendesak
toako turun tangan? Sekalipun engkau seorang ketua perhimpunan Naga Hijau yang termasyhur, tetapi
jangan harap engkau mampu mengalahkan toako ku……”
Melihat pukulan Siau Mo amat dahsyat, Tan Gun-ki tak berani menangkis melainkan loncat menghindar.
Siau Mo memang aneh wataknya. Kalau sedang sabar, ia tak mau turun tangan. Tetapi sekali bertempur,
jangan harap orang dapat bernapas lagi.
Pukulan pertama luput, pukulan kedua segera menyusul. Dalam sekejap saja ia sudah melancarkan lima
pukulan dan tiga buah tendangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serangan-serangan itu bukan saja luar biasa cepatnya pun dahsyatnya bukan kepalang sehingga memaksa
Tan Gun-ki terus menerus mundur.
Sudah tentu ketua Naga Hijau itu terkejut bukan main. Dalam dunia persilatan, jarang sekali terdapat tokoh
yang mampu mendesaknya sedemikian rupa hingga ia tak dapat balas menyerang. Dan pemuda yang
dihadapinya saat itu, benar-benar membuatnya tak dapat berkutik sama sekali. Belum pernah seumur
hidup, ia mengalami peristiwa yang memalukan seperti saat itu.
Setelah melancarkan serangan sampai delapan jurus, Siau Mo tertawa dingin lalu menyurut mundur tiga
langkah.
“Tan Gun-ki,” serunya dingin, “ilmu kepandaianmu boleh juga. Engkau mampu menghadapi delapan jurus
seranganku. Tetapi kalau kulanjutkan, tentu berbahaya. Karena kalau engkau belum mati tentu aku tak mau
berhenti. Silahkan engkau pergi!”
Habis berkata, Siau Mo pun terus berputar tubuh dan melangkah pergi.
Bok-yong Kang terbeliak. Baru pertama kali itu ia melihat Siau Mo mau memberi ampun kepada seorang
musuh. Biasanya tak pernah toakonya itu mau memberi kelonggaran begitu.
“Tan Than-cu kemasyhuran namamu tentu tak mudah diperolehnya. Kuharap lebih baik Than-cu suka
menjaga nama itu,” kata Bok-yong Kang sembari memberi hormat. Habis berkata pemuda itupun segera
ayunkah langkah menyusul Siau Mo.
Tan Gun-ki seorang jago yang pernah mengalami gelombang badai pengalaman dalam dunia persilatan.
Sudah tentu ia dapat menangkap kata-kata dari Bok-yong Kang yang menganjurkan supaya ia jangan
melanjutkan cari perkara kepada Siau Mo. Apabila sampai kalah tentulah akan menghancurkan namanya
yang dengan jerih payah telah didirikannya selama berpuluh tahun, tentu akan hancur berantakan dalam
satu detik saja.
Memang selama menderita serangan dari Siau Mo tadi. Tan Gun-ki terkejut atas ilmu silat Siau Mo yang
begitu sakti. Diam-diam ia memang tak mempunyai harapan lagi untuk menang.
Maka mendengar kata-kata Bok-yong Kang, iapun termangu-mangu diam dan tak merintangi mereka lagi.
Tepat pada saat itu dari arah utara terdengar serangkum panah api meluncur ke udara.
“Bum……” begitu di atas langit, panah api itupun meletus dan menghamburkan bunga api ke segenap
penjuru.
Melihat itu pucatlah wajah Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki. Tak mau lagi ia menghiraukan Siau
Mo, terus gunakan ilmu gin-kang lari menuju ke utara.
“Panah api itu mungkin pertandaan dari partai Naga Hijau, ah.......” kata Siau Mo, “seorang ketua dari
sebuah perhimpunan yang sebesar Naga Hijau telah datang ke Lok-yang, tentulah lain-lain tokoh terkemuka
juga akan datang kemari.”
Partai Naga Hijau ternyata merupakan sebuah perhimpunan yang besar. Anak muridnya tersebar di kedua
wilavah Kang-lam dan Kang-pak. Memiliki jago-jago yang lihay, pengaruhnya lebih besar dari kesembilan
partai persilatan besar. Partai itu didirikan pada seratusan tahun yang lalu.
Sejak turun temurun, ketua dari Partai Naga Hijau itu selalu tak pernah menunjukkan diri. Kecuali tokohtokoh
partai yang penting, sekalipun anak murid partai juga tak tahu bagaimana ketuanya itu. Itulah
sebabnya maka ketua partai Naga Hijau itu merupakan tokoh misterius di dunia persilatan. Dunia persilatan
tak tahu berapa banyak wakil ketua dari partai Naga Hijau itu.
Ketua partai Naga Hijau dibantu oleh lima orang wakil ketua yang menjabat sebagai ketua daerah, disebut
Than-cu. Kelima Than-cu itu dikepalai oleh seorang Cong-thancu atau ketua than-cu.
Karena peraturan partai itu amat keras, maka selama ratusan tahun ini anak muridnya selalu mendapat
perindahan dari masyarakat.
“Toako,” kata Bok-yong Kang, “bukankah dunia persilatan mengatakan bahwa ketua Naga Hijau itu seorang
yang misterius?”
Siau Mo mengangguk.
“Benar, apakah pendapatmu tentang hal itu?” tanyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang berpakaian biru hijau yang menunggang kuda itu, mungkinkah ketua Ceng-liong-pang?” tanya Bokyong
Kang.
Siau Mo merenung, Beberapa saat kemudian ia berkata: “Akupun juga mempunyai kecurigaan begitu.
Tetapi tokoh-tokoh persilatan itu memang aneh dan sukar dirabah. Biasanya tentu di luar dari dugaan
orang. Ah, mudah-mudahan saja dia bukan ketua Naga Hijau…...”
Bok-yong Kang terkejut. Apakah Siau Mo itu mempunyai dendam permusuhan dengan partai Naga Hijau?”
Pada saat itu mereka tiba di sebuah waduk air yang terletak di depan gedung. Tiba-tiba Siau Mo berhenti
dan memandang ke sekeliling dengan seksama.
“Waduk air, hutan, gedung terpencil, benar-benar menimbulkan teka teki,” katanya seorang diri, “sebuah
gedung mewah di tengah tempat yang sepi, bagaikan seekor burung bangau di tengah-tengah kawanan
ayam. Sangat menyolok sekali. Ha, ha, pasti yang ini.”
Ketika Bok-yong Kang memandang ke muka, dilihatnya apa yang dikatakan Siau Mo itu memang benar.
Selain sawah air (waduk) yang luasnya beberapa bahu itu, terdapat pula sebuah hutan lebat dan di tengah
hutan itu dibangun sebuah gedung besar. Jika tak melihat dengan perdata tentu orang takkan melihat
bangunan gedung itu.
Diam-diam Bok-yong Kang mengagumi ketajaman mata Siau Mo.
“Malam belum lama,” kata Siau Mo pula, “mereka tentu belum mengatur orang untuk menjaga. Kita dapat
lebih leluasa ke sana.”
Bok-yong Kang tahu kalau Siau Mo itu dapat memperhitungkan sesuatu dengan cermat dan tepat. Iapun
segera mengikutinya menuju ke hutan itu.
Ternyata di tengah hutan itu memang terdapat sebuah bangunan gedung besar dan mewah.
Tetapi keadaannya sunyi senyap.
Keliling gedung itu ditumbuhi dengan pohon-pohon yang lebat dan bunga-bunga memenuhi halaman.
Memang merupakan sebuah gedung yang indah kecuali suasananya yang sunyi senyap seperti sebuah
kuburan.
“Kali ini Siau toako mungkin salah hitung. Memang gedung ini agak mencurigakan tetapi kalau menilik
suasana yang begitu sunyi, tentulah merupakan gedung kosong yang lama tak ditinggali orang,” diam-diam
Bok-yong Kang menimang dalam hati.
Sebaliknya wajah Siau Mo tampak berseri girang bahkan saat itupun kedengaran berkata dengan pelahan:
“Mari kita menyelinap ke bagian belakang gedung tentu akan melihat sesuatu.”
Ilmu ginkang kedua pemuda itu memang hebat. Tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. mereka mengitari
jalan di samping gedung yang panjangnya berpuluh tombak, menuju ke halaman belakang!
Ternyata halaman belakang dari gedung itu tak sama dengan halaman di muka. Halaman di situ penuh
ditanami pohon-pohon bunga. Keadaannya rapi dan bersih seperti tiap hari dibersihkan orang.
Bintang mulai berhamburan menghias langit. Malampun makin sunyi. Diam-diam Bok-yong Kang merasa
heran, pikirnya: “Kalau gedung ini benar menjadi sarang dari si Wanita Suara Iblis, mengapa tiada
penjagaan sama sekali…...”
Baru ia berpikir begitu tiba-tiba dari arah tengah halaman terdengar suara orang batuk lalu derap kaki orang
berjalan.
Rupanya Siau Mo pun sudah mendengar suara itu dan wajahnya tampak berobah. Cepat ia memberi isyarat
agar Bok-yong Kang lekas menyingkir.
Ternyata derap kaki itu amat cepat sekali. Dalam sekejap saja sudah berada beberapa tombak jauhnya.
Siau Mo memijak tanah dan apungkan tubuh melayang ke atas rumah. Bok-yong Kang hendak mengikuti
tetapi tak sempat lagi. Buru-buru ia loncat bersembunyi di sudut rumah yang gelap.
Tetapi sebelum Bok-yong Kang sempat bertindak, suara langkah kaki itupun sudah berhenti di belakangnya.
“Ah, bukan main cepatnya,” diam-diam Bok-yong mengeluh. Ia terpaksa berputar tubuh dan memandang ke
muka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang yang berpakaian serba hitam tegak beberapa langkah di belakangnya. Bukan saja pakaiannya,
pun wajah orang itupun hitam legam seperti pantat kuali. Di bawah dagunya tumbuh jenggot panjang,
sepasang matanya berkilat-kilat menikam hati orang.
Diam-diam Bok-yong Kang pun kerahkan semangat. Dipandangnya orang hitam itu dengan lekat. Ia tahu
apabila orang hitam itu menyerang, mungkin ia tak mampu bertahan diri.
Sampai sepeminum teh lamanya kedua orang itu saling beradu pandang mata.
“Ikutlah aku!” tiba-tiba orang hitam itu berseru dingin lalu berputar tubuh dan ayunkan kaki.
Bok-yong Kang tertegun. Ia masih heran mengapa ia ingin mengikuti orang itu. Tiba-tiba terdengar ngiang
suara Siau Mo dalam ilmu Menyusup suara.
“Dia mengira engkau orang mereka. Ikut sajalah kepadanya. Tampaknya dia berkepandaian tinggi, engkau
harus waspada……”
Mendengar pesan Siau Mo itu segera Bok-yong Kang ayunkan langkah menyusul orang hitam itu. Tak
henti-hentinya ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Makin masuk ke dalam, Bok-yong Kang makin terkejut. Pikirnya: “Tampaknya gedung ini kosong, tiada
berpenghuni, tetapi ternyata penuh dengan penjagaan. Celaka! Kalau aku terus mengikuti orang hitam itu
masuk, kemungkinan tentu akan ketahuan orang. Ah, aku harus mencari daya untuk lolos.......”
Tampak, si Baju Hitam itu berjalan ke muka dengan cepat. Bok-yong Kang pun terpaksa harus ikut
mempercepat langkahnya.
Tiba-tiba si Baju Hitam berhenti dan berpaling: “Apakah jabatanmu dalam perhimpunan kita ini?”
Bok-yong Kang terkesiap. Tetapi cepat pula ia menyahut sekenanya: “Tho-cu.”
Pikir Bok-yong Kang, tiap perhimpunan atau perkumpulan di dunia persilatan tentu mempunyai cabang dan
ranting di segala tempat. Maka ia segera menjawab menjadi Tho-cu atau ketua daerah.
Tetapi betapalah kejut Bok-yong Kang ketika tiba-tiba si Baju Hitam menerkamnya: “Ngaco Perhimpunan
kita tak mengadakan ketua daerah!”
Untunglah sebelumnya Bok-yong Kang sudah waspada. Maka cepatlah ia dapat menghindar lalu mengirim
sebuah tendangan ke perut orang itu.
Orang itu mendengus dan mundur dua langkah untuk menghindar. Setelah itu ia maju menyerang pula.
Tangan kanan secepat kilat menghantam, tangan kiripun menggunakan ilmu Kin-na-jiu untuk
mencengkeram siku lengan Bok-yong Kang.
Kepandaian Bok-yong Kang sudah setingkat dengan jago kelas satu. Tangkas sekali ia geliatkan diri untuk
menghindari kedua serangan itu.
Orang itu terkesiap: “Bagus budak, siapa engkau? Kepandaianmu hebat juga!”
Kembali orang itu menghantam.
Dalam menghadapi si Baju Hitam itu, bermula Bok-yong Kang memang gentar. Dilihatnya lorong gedung itu
penuh dengan para penjaga yang bersenjata lengkap. Ia takut mereka tentu akan menyergapnya. Tetapi
setelah berlangsung beberapa jurus, ternyata orang-orang itu hanya melihati saja tak ikut turut campur.
Tetapi Bok-yong Kang tak dapat enak-enak melamun dalam keheranan karena saat itu pukulan si Baju
Hitam pun sudah melandanya lagi, Terpaksa ia harus menangkis.
“Krak……”
Bok-yong Kang terpental mundur sampai tiga langkah. Melihat itu si Baju Hitam cepat maju menyerang lagi.
Tiga jurus cepat sudah dilancarkannya.
Tetapi tiga jurus itu cepatnya bukan kepalang sehingga Bok-yong Kang menjadi kalang kabut.
Baju Hitam tertawa dingin. Tangan kiri menyusuli dua buah hantaman, sedang tangan kanannya
menggunakan jurus Bangau kaget tinggalkan payau, mendorong ke muka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba pukulan orang itu berobah menjadi gerak sambaran yang berhasil mencengkeram siku lengan
kanan Bok-yong Kang.
“Sungguh besar nyalimu berani memalsu menjadi anak murid perhimpunan ini!” seru orang itu.
Bok-yong Kang pun marah juga: “Siapa yang mau menyaru jadi anak murid kalian? Salahmu sendiri
mengapa punya mata tetapi tak dapat mengenali orang!”
Tiba-tiba sebuah suara nyaring melengking: “Hui-heng, engkau ribut-ribut dengan siapa itu? Tempo hanya
kurang sejam, kita harus lekas-lekas mulai bersiap atau nanti akan menggagalkan seluruh rencana.”
Baju Hitam menyahut, “Aku telah menangkap seorang yang mencurigakan. Entah kaki tangan musuh
atau.........”
“Tutuk saja jalan darahnya dan campurkan dengan lain-lain tawanan,” seru orang itu pula.
Bok-yong Kang hendak menanyakan asal usul si Baju hitam itu tetapi tiba-tiba orang itu telah mendahului
menutuk jalan darahnya.
Untunglah karena tenaga dalamnya tinggi, walaupun terkena tutukan, tetapi Bok-yong Kang tak sampai
pingsan. Diapun tahu bahwa si Baju Hitam itu telah memanggil dua orang penjaga untuk mengangkutnya ke
bagian dalam.
Tetapi ketika kedua penjaga itu melewati sebuah halaman, tiba-tiba sesosok bayangan melesat dan secepat
kilat menutuk rubuh kedua penjaga itu lalu manampar jalan darah Bok-yong Kang yang tertutuk.
“Siau toako, engkau!” seru Bok-yong Kang demi mengetahui penolongnya itu Siau Mo, “rupanya mereka
orang Naga Hijau!”
“Ah, tak kira kalau mata dan telinga anak buah Naga Hijau itu begitu tajam. Sebelumnya mereka sudah
menguasai gedung ini,” kata Siau Mo seraya menyeret kedua penjaga ke dalam gerumbul pohon. Setelah
itu ia mengajak Bok-yong Kang bersembunyi di tempat yang gelap.
Siau Mo ulurkan tangan mencekal tangan kiri Bok-yong Kang. Sekali mengempos semangat, ia gunakan
ilmu lari Sembilan langkah naik ke udara. Dengan cepat sekali kedua pemuda itupun sudah melalui tiga
buah halaman dan tiba di sebuah taman bunga yang besar.
Siau Mo menyusup ke dalam gerumbul pohon bunga yang lebat.
“Bokyong-te, rupanya gedung ini penuh dengan jago-jago sakti,” katanya.
“Sebenarnya bagaimana peristiwa ini?” tanya Bok-yong Kang,” semula kita mengira kalau gedung ini penuh
dengan anak buah si Wanita Suara Iblis tetapi mengapa sekarang berganti dengan orang-orang Naga
Hijau?”
“Memang malam ini kita bekerja sia-sia,” kata Siau Mo, “kalau orang-orang Naga Hijau tak mengadakan
persiapan begitu hebat, tentulah sukar untuk menghalau anak buah Wanita Suara Iblis.”
Habis berkata Siau Mo memandang ke langit. Rupanya dia tengah memikirkan sesuatu yang rumit.
Bok-yong Kang cukup kenal akan kebiasaan toakonya itu. Setiap menghadapi kesukaran tentu akan
merenungkannya dengan serius. Dan setiap kali merenung, tentu segera menghasilkan suatu keputusan.
Ia tak berani mengganggunya. Dia sendiri juga mulai membuat analisa dalam hatinya. “Nyo Jong-ho, Han
Ceng-jiang, Li Giok-hou dan lain-lain tokoh itu kalau tidak ditawan Wanita Suara Iblis, mengapa tiba-tiba
lenyap begitu aneh. Siapakah sebenarnya Wanita Suara Iblis itu......”
Baru ia berpikir sampai di situ, tiba-tiba Siau Mo menghela napas dan membuka suara.
“Ah, sungguh lihay sekali Wanita Suara Iblis itu. Hampir saja aku termakan siasatnya!”
04.16. Raja Langit Selatan
Bok-yong Kang terkejut.
“Toako, apa maksud toako?” tanyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang-orang Naga Hijau itu tak seorang pun yang datang kemari,” kata Siau Mo, “orang-orang tadi jelas
anak buah Wanita Suara Iblis semua. Ia menggunakan siasat itu untuk menimbulkan kesangsian orang agar
mundur teratur.”
“O, mengapa?” tanya Bok-yong Kang makin tak mengerti.
“Mari,” seru Siau Mo,” kita terlambat selangkah lagi dari Wanita Suara Iblis itu. Dia tentu hendak
mengantarkan Nyo Jong-ho dan rombongannya kembali ke Lok-yang lagi.”
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin yang bernada seram.
“Siau Mo, jangan lari!”
Dari taman bunga yang luas itu muncul seorang lelaki berpakaian hitam dengan diiringi oleh delapanbelas
pengawal bersenjata.
Bok-yong Kang segera mengenali bahwa pengawal-pengawal itu yalah penjaga-penjaga yang berada
dalam gedung tadi.
Siau Mo tak gentar. Ia menghadapi si Baju Hitam dan menegurnya dengan dingin: “Apakah kedudukanmu
dalam kalangan anak buah Wanita Suara Iblis?”
Wajah lelaki baju hitam yang sehitam pantat kuali itu, sedikitpun tak menampilkan perobahan cahaya.
“Hm, engkau mau tahu?” serunya. “karena toh malam ini engkau takkan lolos dari sini, aku pun tak
keberatan untuk memberitahu. Aku dan kedelapanbelas pengawal ini adalah pengawal pribadi dari Wanita
Suara Iblis.”
Siau Mo mengangguk.
“Bagus, dengan begitu engkaupun tentu dapat memberi keterangan, apa tujuan majikanmu itu menangkap
Nyo Jong-ho dan rombongannya?”
“Tiga pusaka dunia persilatan,” sahut si Baju Hitam.
Tiba-tiba pada saat itu Siau Mo mengetahui suatu hal yang ada sangkut pautnya dengan dendam kematian
keluarganya. Segera ia tersenyum. Senyum yang selama ini tak pernah merekah pada bibirnya.
“Sebenarnya aku hendak membasmi kalian kesembilan belas orang ini. Tetapi sekarang kurobah
putusanku. Kalian akan kubiarkan hidup semua.”
Baju Hitam tertawa mengekeh: “Heh, heh, pemimpinku Wanita Suara Iblis memang agak jeri kepadamu.
Tetapi kurasa, kepandaianmu itu biasa saja!”
Siau Mo tersenyum: “Memang tak kecewa engkau menjadi anak buah Wanita Suara Iblis. Engkau seorang
yang cerdas dan kaya akan tipu muslihat. Sayang aku tak kena engkau kelabuhi. Bokyong-te, mari kita
pergi.”
Tiba-tiba si Baju Hitam tertawa seram lalu hendak menyergap Bok-yong Kang. Tetapi Siau Mo segera
menampar dadanya dengan jurus Kim-pa-lok-jiau atau Macan kumbang mengulur cengkeram.
Jurus itu memang sebuah jurus biasa. Tetapi dimainkan oleh Siau Mo, jurus itu berobah lain. Memiliki
perbawa dan tenaga yang dahsyat.
Dalam pada itu, Bok-yong Kang pun segera berputar tubuh dan terus melesat keluar. Tetapi
kedelapanbelas pengawal itu segera menyerbunya.
“Bokyong-te, menuju Lok-yang, aku menyusul belakang,” teriak Siau Mo seraya menerjang kedelapanbelas
pengawal itu. Laksana hujan mencurah, ia menghajar serangan kepada mereka. Dalam sekejap saja,
delapan buah pukulan telah dilancarkan.
Segera terdengar suara orang mengerang tertahan dan segera tujuh orang rubuh ke tanah.
Terdengar sebuah suitan nyaring yang menembus udara dan bagaikan angin puyuh, tubuh Siau Mo pun
berputar-putar meluncur keluar.
Melihat Siau Mo keluar, tiba-tiba wajah si Baju Hitam itu berseri girang.
Sesaat kemudian terdengar suara lengking seorang wanita dari dalam gedung:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hui Sin, siasatmu memang hebat sekali. Tetapi ketahuilah bahwa Siau Mo itu bukan hanya sakti dalam
ilmu silat saja, pun dia seorang pemuda yang cerdas dan pandai memperhitungkan sesuatu. Dikuatirkan
siasatmu 'memancing harimau tinggalkan sarang' ini, sukar untuk mengelabuhinya.......”
Hui Sin, demikian nama si Baju Hitam itu, tiba-tiba membentak keras: “Hai, kalian kedelapanbelas
pengawal! Lekas kalian menjaga sekeliling gedung ini dengan ketat. Apabila melihat seseorang yang
mencurigakan, lekas kalian memberi laporan…….”
Habis berkata dia terus berputar tubuh memandang ke muka.
Diambang pintu yang jaraknya beberapa tombak di sebelah muka, tampak berdiri seorang berpakaian
hitam. Melihat itu Hui Sin pun segera memberi hormat.
“Hui Sin mendapat perintah dari Raja Langit Selatan untuk menyambut kedatangan Mo-seng-li (Wanita
Suara Iblis) di sini. Apabila agak terlambat dalam penyambutan ini, mohon Mo-seng-li suka memberi maaf.”
“Apakah Raja Langit Selatan membawa titah dari Pah-cu?” tanya orang berpakaian hitam yang bukan lain
adalah Mo-seng-li sendiri.
“Benar,” sahut Hui Sin, “Pah-cu telah menyerahkan titah kepada Raja Langit Selatan.”
“Kapankah Raja Langit Selatan akan datang?” tanya Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis.
“Karena menjabat kedudukan penting dari Pah-cu, maka Raja Langit Selatan itu ditimbuni dengan
kesibukan-kesibukan. Mungkin agak terlambat datangnya, harap Mo-seng-li suka memaafkan.”
“Raja Langit Selatan adalah salah seorang dari keempat Raja langit yang tinggi kedudukannya. Bagaimana
aku Mo-seng-li berani menyesalinya? Baiklah, apabila Raja Langit Selatan datang, segeralah engkau
beritahu kepadaku.”
Habis berkata Mo-seng-li terus melangkah masuk ke dalam ruangan.
Hui Sin si Baju Hitam itu tersipu-sipu memberi hormat ke arah Mo-seng-li. Setelah itu ia terus loncat ke atas
wuwungan gedung lalu melesat ke muka dan lenyap dalam kegelapan…..
********************
Di balik rumpun pohon bunga dalam taman bunga di halaman luas dari bagian belakang gedung itu,
bersembunyilah sesosok tubuh. Ah, siapa lagi orang itu kalau bukan Pendekar Ular Emas Siau Mo.
Siau Mo melambaikan tangan dan sesosok tubuhpun segera melesat datang.
Ternyata Siau Mo itu memang bukan kepalang pintarnya. Sebenarnya ia masih belum pasti apakah Moseng-
li berada dalam gedung itu atau tidak. Karena itu maka ia mengatur siasat. Ia akan menurutkan
perangkap yang dipasang lawannya.
Pada saat si baju hitam dan kedelapanbelas pengawal muncul menghadang, segera Siau Mo yang tajam
perasaannya, mendapat kesimpulan bahwa Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis itu, memang berada dalam
gedung itu.
Tetapi rencananya untuk menyergap Wanita Suara Iblis gagal akibat Bok-yong Kang yang disuruhnya ikut
masuk bersama si Baju Hitam Hui Sin telah diketahui rahasia dirinya. Terpaksa ia menolong Bok-yong Kang
dan mencari lain siasat lagi.
Di depan Hui Sin dan rombongan pengawalnya, sengaja Siau Mo mengajak Bok-yong Kang menuju ke Lokyang
karena Mo-seng-li tentu sudah kembali ke kota itu lagi.
Tetapi diam-diam Siau Mo telah menggunakan ilmu menyusup suara, membisiki Bok-yong Kang, suruh
pemuda itu membiluk ke belakang gedung.
Dengan siasat itu, Siau Mo telah menyesatkan perhatian orang. Musuh tentu mengira kalau ia bersama
Bok-yong Kang tentu benar-benar menuju ke Lok-yang. Pada hal kedua pemuda itu mengitar dan
bersembunyi di belakang taman bunga.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Toako,” bisik Bok-yong Kang setelah berada di samping Siau Mo, “sebenarnya mereka itu golongan kaum
persilatan apa? Mengapa mereka mempunyai sebutan nama yang aneh-aneh, seperti Pah-cu, Raja langit,
Wanita Suara Iblis segala macam yang menyeramkan begitu?”
“Dengan menggunakan nama-nama seaneh itu mereka memang hendak mengaburkan telinga orang dan
meruntuhkan nyali orang saja,” sahut Siau Mo.
“Yang membuat orang terkejut,” kata Bok-yong Kang, “ternyata Wanita Suara Iblis itu bukan otak dari
gerombolan mereka.”
“Tetapi toh wanita itu sudah sedemikian lihaynya,” tukas Siau Mo.
“Lalu apakah yang mereka sebut-sebut Tiga Pusaka dunia persilatan itu?” tanya Bok-yong Kang pula.
Sekonyong-konyong Siau Mo ulurkan tangan menjamah lengan Bok-yong Kang.
Bok-yong Kang pun segera tutup mulut lalu memandang ke muka. Dari atas wuwungan rumah, melayang
sesosok tubuh berpakaian hitam. Sejenak memandang ke sekeliling taman bunga dari halaman, bayangan
hitam itu atau Hui Sin segera melesat pergi lagi.
Siau Mo gunakan ilmu Menyusup suara kepada Bok-yong Kang: “Si Baju Hitam Hui Sin itu hebat
kepandaiannya dan juga cermat sekali. Untuk sementara ini janganlah kita banyak bicara. Lain hari tentu
akan kuberimu pelajaran tentang ilmu Menyusup suara ini agar kita dapat bicara tanpa didengar orang.”
Bok-yong Kang menurut. Kini ia keliarkan pandang matanya mengamati keadaan sekeliling tempat itu.
Taman bunga itu luasnya hampir setengah bahu. Selain penuh ditanami pohon-pohon bunga, pun juga
diberi segunduk gunung buatan. Di bawah gunung buatan, terdapat sebuah empang air seluas satu tombak.
Walaupun tak berapa luas tetapi taman bunga itu memiliki pemandangan yang indah.
Empat keliling taman itu didirikan ruangan-ruangan dan kamar-kamar yang kesemuanya menghadap ke
arah taman bunga.
Diam-diam Bok-yong Kang memuji Siau Mo yang telah memilih tempat persembunyian di balik gerumbul
pohon bunga. Karena dari situ dapat melihat ke seluruh ruang dan kamar, sedang mereka tak dapat melihat
tempat persembunyiannya.
Suasana makin senyap. Malam pun makin kelam. Hampir dua jam lamanya Siau Mo dan Bok-yong Kang
bersembunyi di situ. Dan sudah empat kali si baju hitam Hui Sin datang meronda ke taman bunga itu.
Tiba-tiba salah sebuah ruang kamar, menyala terang. Seorang wanita duduk membelakangi jendela kamar.
Rupanya dia tengah merenung.
Siau Mo dan Bok-yong Kang cepat menarik kesimpulan bahwa wanita itu tentulah Mo-seng-li atau Wanita
Suara Iblis.
Wanita Suara Iblis!
Seorang wanita yang misterius sekali dan teramat ganas. Bagaimana sesungguhnya wajah wanita itu? Siau
Mo dan Bok-yong Kang ingin sekali dapat melihat wajah wanita itu.
Saat itu Wanita Suara Iblis tengah duduk dengan rambut terlepas ke atas bahu. Dihempas angin malam,
rambutnya yang panjang itu bertebaran memain dibahunya.
Menilik potongan tubuh belakangnya, tentulah ia seorang jelita yang cantik sekali.
Pada saat Bok-yong Kang termangu-mangu memandang wanita itu, tiba-tiba Siau Mo berseru kaget:
“Celaka! Mungkin dia sudah mengetahui jejak kita......”
Siau Mo tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu tiba-tiba si wanita loncat keluar jendela.
Memandang ke langit yang bertabur bintang, ia menghela napas panjang lalu dengan langkah yang gemulai
pelahan-lahan menghampiri ke tempat persembunyian Siau Mo dan Bok-yong Kang.
Tiba-tiba setiup angin menghambur dan si baju hitam Hui Sin muncul lagi.
“Jam berapakah ini?” tanya Wanita Suara Iblis dengan nada dingin.
“Kurang lebih jam dua,” sahut Hui Sin dengan suara menghormat, “Raja Langit Selatan sudah tiba.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tepat pada saat itu dari arah halaman terdengar derap orang berjalan mendatangi.
Wanita Suara Iblis cepat menyanggul rambutnya lagi. Lalu berkata: “Silahkan Raja Langit Selatan itu ke
pagoda peranginan!”
Habis berkata Wanita Suara Iblis pun menuju ke arah rumah berbentuk segitiga yang berada di atas gunung
buatan.
“Ah, hampir saja…..,” Bok-yong Kang menghela napas longgar.
Derap langkah orang yang akan datang itu makin lama makin dekat dan pada lain saat, muncullah
beberapa sosok bayangan di halaman itu.
Ketika lepaskan pandang matanya kepada mereka, seketika berobahlah wajah Siau Mo. Yang muncul di
halaman enam orang. Yang seorang yalah si baju hitam Hui Sin, lalu dua orang lelaki tinggi besar
berpakaian biru. Di belakangnya dua orang lagi, yang seorang wanita dan seorang pria. Kedua orang itu
bukan lain yalah Buddha seribu tangan Leng Bu-sia tokoh nomor dua dari Go-bi-pay. Dan wanita itu yalah
Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji tokoh ketiga dari Go-bi Sam-hiap.
Yang paling belakang sendiri, seorang tua bertubuh pendek gemuk dan berpakaian warna kelabu.
Demi melihat rombongan itu, Wanita Suara Iblis pun segera keluar dari pagoda peranginan untuk
menyambutnya,
“Ah, selamat datang Raja Langit Selatan,” seru Wanita Suara Iblis, “sudah tiga tahun kita tak bertemu.”
Orang tua gemuk pendek yang berada paling belakang segera berseru dengan nada suara yang parau:
“Mo-seng-li, ah, jangan banyak peradatan.”
Wanita Suara Iblis mempersilahkan tetamunya masuk ke pagoda peranginan. Setelah orang tua baju kelabu
itu duduk, barulah ia mengambil tempat duduk di depannya.
Si baju hitam Hui Sin dan kedua lelaki baju biru serta Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji tegak berjajar di samping.
Bok-yong Kang pun melihat juga akan kedua tokoh dari Go-bi Sam-hiap itu. Diam-diam ia terkejut karena
tak mengira bahwa mereka ternyata anak buah dari Raja Langit Selatan. Suatu hal yang tak mungkin ia
mau percaya apabila tak melihat sendiri.
Memandang sejenak ke arah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji, berkatalah Wanita Suara Iblis: “Kalau dugaanku
tak salah, kedua orang itu tentulah tokoh dari Go-bi Sam-hiap, Buddha seribu tangan dan Bintang meluncur
lengan terbang.”
Orang tua batu kelabu itu tertawa menyeringai: “Ah, masakan pengalaman anda yang begitu luas tak kenal
pada Go-bi Sam-hiap.”
“Nama Go-bi Sam-hiap termasyhur sekali di dunia persilatan selama empatpuluhan tahun. Mereka benarbenar
bukan tokoh sembarang tokoh. Dengan mempunyai dua orang pembantu sehebat itu, ditambah pula
dengan kesaktian Raja Langit Selatan sendiri, tentu hebat sekali. Musuh yang bagaimana saktinya tentu
dapat di atasi,” kata Wanita Suara Iblis.
Orang tua baju kelabu atau Raja Langit Selatan tertawa. Menunjuk pada kedua lelaki baju biru serta Hui Sin,
ia berkata: “Mereka bertiga mana ada seorangpun yang bukan jago kelas satu, ha, ha, ha……”
Karena nadanya parau maka suara tertawa itu tak sedap didengar.
Setelah menunggu sampai orang tua itu selesai tertawa, barulah Wanita Suara Iblis menghela napas rawan.
“Raja Langit Selatan,” serunya, “Go-bi Sam-hiap itu merupakan salah sebuah pimpinan partai dari sembilan
partai persilatan besar dalam dunia persilatan. Mereka merupakan tokoh-tokoh yang terpuji dalam golongan
Putih. Apabila diketahui bahwa mereka telah kita celakai, bukan saja partai Go-bi-pay, pun sembilan partai
besar dalam dunia persilatan itu pasti akan bangkit untuk melawan kita. Dengan demikian kita pasti tak
punya kawan lagi.”
Mendengar itu tersadarlah Siau Mo dan Bok-yong Kang. Kiranya kedua tokoh Go-bi Sam-hiap itu bukan
sungguh-sungguh menjadi anak buah mereka melainkan karena dicelakai, kemungkinan telah dibius
kesadaran pikirannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ya, memang Go-bi Sam-hiap tak mungkin akan menghambakan diri kepada golongan Hitam macam
gerombolan Raja Langit Selatan.
Memperhatikan keadaan kedua tokoh Go-bi itu, Bok-yong Kang mendapat kesan bahwa kedua orang itu
memang seperti orang linglung yang kehilangan kesadarannya.
Lalu kemanakah gerangan ketua Go-bi-pay si Pedang penghancur usus Ong Han- thian?
Mendengar keterangan Wanita Suara Iblis itu, tiba-tiba berobahlah seri wajah Raja Langit Selatan.
“Pah-cu sudah menitahkan dan memberi kekuasaan kepada keempat Raja langit untuk membereskan
partai-partai persilatan. Kalau aku memulai dengan menyergap tokoh-tokoh Go-bi, apakah aku bersalah?”
“Aku tak mengatakan kalau Raja Langit Selatan bersalah,” kata Mo-seng-li, “melainkan merasa bahwa
tindakan itu agak kurang tepat. Pah-cu telah mengutus aku mencari Tiga Pusaka dunia persilatan, tetapi
tugas itu sebenarnya mengandung perintah untuk menyelidiki keadaan dunia persilatan......”
Raja Langit Selatan tertawa dingin.
“Pah-cu sudah tak sabar menunggu laporanmu maka memerintahkan aku untuk bergerak.”
“Penyelidikan yang dilakukan serba terburu-buru, mungkin akan memberi akibat besar,“ sahut Mo-seng-li,
“bahkan mungkin akan menggagalkan rencana.”
Raja Langit Selatan membentak: “Nyalimu makin lama makin besar sehingga engkau berani mengeritik
tindakan Pah-cu.”
Pah-cu artinya pemimpin.
04.17. Tiga mustika
“Bukan mengeritik tetapi memang suatu kenyataan,” bantah Wanita Suara Iblis.
Raja Langit Selatan tersenyum: “Sering kudengar orang mengatakan bahwa Mo-seng-li itu berkepandaian
sakti dan cerdas maka paling disayang oleh Pah-cu......”
“Ah, anda terlalu memuji,” tukas Mo-seng-li, “bukan hanya aku seorang tetapi kami bertiga Mo-li (wanita
iblis) yang disayang Pah-cu.”
Mendengar pembicaraan itu Siau Mo dan Bok-yong Kang kerutkan dahi. Alangkah luas dan dahsyatnya
organisasi mereka itu, Empat Raja langit, Tiga Wanita Iblis dan seorang Pah-cu yang menjadi pemimpinnya.
Selang beberapa jenak kemudian, berkata pula Wanita Suara Iblis: “Lam-thian-ong, entah dengan tujuan
apakah anda berkunjung ke Lok-yang ini?”
Lam-thian-ong atau Raja Langit Selatan menjawab: “Kalau engkau tak tanya, hampir saja aku lupa. Pah-cu
mengutus aku kemari untuk menyelidiki kabarmu.”
“Apakah tentang Tiga Pusaka dunia persilatan itu?” tanya Mo-seng-li.
Raja Langit Selatan mengangguk.
“Benar,” katanya, “sudah tiga tahun lamanya engkau mencari Tiga Pusaka itu tetapi sampai saat ini belum
juga ada hasilnya…..”
“Lam-thian-ong,” tegur Wanita Suara Iblis, “apakah maksudmu hendak mengatakan aku tak becus?”
Lam-thian-ong atau Raja Langit Selatan tertawa tetapi yang bergerak hanya kulit bibirnya, sedangkan
giginya tetap mengencang rapat.
“Ah, Mo-seng-li seorang jelita yang cerdas dan sakti. Masakan aku berani mengatakan begitu......
seharusnya….. huh.......” Lam-thian-ong batuk-batuk sejenak lalu melanjutkan pula, “Tetapi aku memang
diutus Pah-cu untuk menanyakan beritamu.”
Wajah Wanita Suara Iblis berobah, serunya dingin: “Apakah Pah-cu menyangsikan kesetiaanku?”
Raja Langit Selatan tertawa hambar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sebenarnya Pah-cu hendak datang sendiri. Tetapi karena sibuk terpaksa suruh aku yang pergi dan
melaporkan hasilnya kepada Hiat Sat Mo-li yang memegang Bagian Hukum.”
Sahut Wanita Suara Iblis dengan nada hambar juga: “Pah-cu adalah guruku dan tak ubah seperti ibuku
sendiri. Bagaimana aku dapat menghianati budinya. Masakan aku tak takut akan penyelidikan para Raja
langit?”
Tiba-tiba Lam-thian-ong berpaling ke arah si baju hitam Hui Sin, serunya: “Keluarlah dan perketat
penjagaan di sekeliling gedung ini.”
Setelah Hui Sin pergi, Raja Langit Selatan berkata pula kepada Wanita Suara Iblis.
“Aku percaya penuh kepadamu, Mo-seng-li. Mana aku berani menduga-duga dirimu. Tetapi kabar angin di
luaran mengatakan bahwa engkau telah melakukan suatu hal yang melanggar perintah Pah-cu. Soal itu
terpaksa harus kutanyakan kepadamu.”
“Baik,” sahut Wanita Suara Iblis, “apabila ada sesuatu kecurigaan, silahkan Lam-thian-ong bertanya.”
“Pertama-tama aku hendak menanyakan, apa sajakah yang engkau lakukan selama tiga tahun ini?” kata
Raja Langit Selatan.
“Mencari jejak Tiga Pusaka,” sahut Wanita Suara Iblis dengan hambar.
“Lalu, apakah engkau sudah memperolah hasil?”
“Pusaka yang ketiga, sudah kukirim kepada Pah-cu. Pusaka yang kesatu dan kedua pun sudah diketahui
jejaknya,” sahut Wanita Suara Iblis.
“Kabarnya pusaka kesatu yalah Jarum Ular Emas itu, engkaupun sudah memperolehnya?” tanya Lam-thianong
dengan tiba-tiba.
Mendengar kata-kata itu, Siau Mo dan Bok-yong Kang terkejut sekali. Benar-benar tak disangkanya bahwa
Jarum Ular Emas itu ternyata merupakan pusaka nomor satu dalam dunia persilatan.
Soal itu Siau Mo sendiri juga tak tahu. Kini barulah ia menyadari apa sebabnya setiap kali ia menuju ke
sebuah tempat, Wanita Suara Iblis itu tentu membayanginya. Dan setiap kali ia melontarkan jarum Ular
Emas, jarum-jarum itu tentu diambil orang secara misterius.
Jarum Ular Emas!
Apakah sesungguhnya yang tersembunyi dalam jarum itu sehingga dipandang sebagai pusaka nomor satu
dalam dunia persilatan?
“Benar,” sahut Wanita Suara Iblis, “dari empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu, sudah kuperoleh
tujuhbelas batang. Jadi kurang tigapuluh batang. Karena itu maka belum kulaporkan kepada Pah-cu.”
Lam-thian-ong batuk-batuk sejenak lalu bertanya pula: “Jika sudah dapat memperoleh tujuhbelas batang,
tentulah engkau sudah tahu jarum pusaka itu berada pada siapa. Mengapa engkau tak lekas turun tangan
kepadanya? Mo-seng-li, ketahuilah! Apabila hal ini kulaporkan kepada kepala Bagian Hukum yalah Hiat Sat
Mo-li, dia pasti tak segan-segan akan bertindak. Dia seorang yang tegas dan berani menjalankan peraturan
hukuman partai dengan keras. Yang salah pasti akan dihukum tanpa pandang bulu. Walaupun engkau amat
disayang Pah-cu, tetapi kalau bersalah tentu akan dijatuhi hukuman juga.”
“Benar, memang toaciku itu keras dan tak pandang bulu dalam melakukan tugasnya. Tetapi aku merasa tak
melanggar peraturan, toaci tentu takkan menghukumku,” sahut Mo-seng-li.
“Kalau engkau merasa tak bersalah, engkau harus memberi keterangan yang jelas,” kata Lam-thian-ong.
Marahlah Mo-seng-li, serunya, “Sudah tentu dalam hal itu mengandung banyak alasan.”
Tiba-tiba sepasang mata Raja Langit Selatan itu memancarkan sinar yang berapi-api, mencurah ke arah
Mo-seng-li.
“Alasan apa? Bilanglah dengan terus terang,” kata Raja Langit Selatan, “kuberitahu kepadamu bahwa
diantara ketiga pusaka itu yang paling penting yalah jarum Ular Emas. Pah-cu menghargakan sendiri.”
Mo-seng-li menjawab dingin: “Jarum Ular Emas memang benda pusaka dalam dunia persilatan, masakan
hal itu aku tak tahu? Engkau bertanya mengapa aku berayal turun tangan? Alasannya sederhana sekali.
Pemilik jarum Ular Emas itu seorang yang memiliki kepandaian sakti!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa?” tanya Raja Langit Selatan, “masakan engkau tak mampu meringkusnya?”
“Siau Mo si Kim-coa Long-kun atau Pendekar Ular Emas yang menggegerkan dunia persilatan dewasa ini,”
sahut Mo-seng-li.
Mendengar itu Raja Langit Selatan mengangkat muka memandang ke atas dan tertawa gelak-gelak.
“Kukira orang sakti mana, tak tahunya hanya budak kemarin sore yang belum hilang bau popoknya,”
serunya.
Bok-yong Kang terkejut dan berpaling memandang Siau Mo. Ia duga Siau Mo tentu marah karena dirinya
dianggap sebagai anak kecil. Tetapi ternyata Siau Mo tenang-tenang saja. Diam-diam Bok-yong Kang
mengagumi peribadi Siau Mo yang begitu kuat.
Mo-seng-li tertawa mengikik.
“Bukan aku memuji kekuatan lawan dan meremehkan kekuatan kita sendiri. Tetapi kesaktian Kim-coa Longkun
itu memang hebat. Engkau sendiri tentu tak sanggup menandinginya.”
Sudah tentu Raja Langit Selatan marah karena dihina begitu: “Budak hina.......” tetapi cepat ia menyadari
bahwa kata-kata itu tak layak ditujukan kepada Mo-seng-li. Maka buru-buru ia hentikan.
Kini Mo-seng-li yang berbalik marah, bentaknya: “Selalu kuhormati engkau dengan sebutan Thian-ong.
Tetapi mengapa engkau mengandalkan ketuaan untuk menyemprot orang?”
Diam-diam Bok-yong Kang membatin, karena kedua orang itu saling menggunakan kata-kata keras,
kemungkinan mereka tentu akan berkelahi.
Tetapi di luar dugaan, Lam-thian-ong diam. Beberapa jenak kemudian baru berkata, “Kalau tahu engkau
kalah sakti dengan Siau Mo, mengapa engkau tak segera melapor pada Pah-cu agar Pah-cu dapat
mengirim orang untuk membunuhnya?”
“Tidak semudah itu urusannya,” sahut Mo-seng-li, “kalau mengirim orang mana seorang saja mampu
menandingi Siau Mo.......”
Lam-thian-ong tertawa dingin: “Tiap patah perkataanmu selalu memuji setinggi langit kepada budak itu.
Adakah dia lebih sakti dan keempat Thian-ong (raja langit)? Ehm, hm, desas desus di luar mengatakan
tentang dirimu. Apakah benar-benar engkau dan Siau Mo……”
Mo-seng-li kerutkan alis, menukas: “Jangan menghambur fitnah!”
Berhenti sejenak, Wanita Suara Iblis itu berkata pula: “Hm, engkau tahu apa! Kepandaian Siau Mo itu
memang luar biasa dan diapun amat cerdas sekali. Sungguh seorang tunas yang berbakat luar biasa……”
Lam-thian-ong tahu akan tabiat wanita itu. Seorang wanita yang cerdas dan angkuh. Jarang sekali dia mau
memuji orang. Diam-diam Lam-thian-ong terkejut karena mendengar pujian wanita itu kepada Siau Mo. Mau
tak mau ia tertegun juga.
“Apakah di dunia ini terdapat orang yang sedemikian saktinya?” akhirnya ia bertanya.
Dalam pada itu diam-diam Bok-yong Kang girang karena Mo-seng-li mengagumi Siau Mo.
Tetapi Siau Mo sendiri malah mengunjuk muka gelisah.
“Mengapa aku harus membohongi Lam-thian-ong?” dengus Mo-seng-li lalu menghela napas pelahan,
katanya pula: “Aku mempunyai beberapa sebab mengapa tak mau turun tangan membunuhnya. Betapa
sakti kepandaian Siau Mo itu tetapi tetap tak dapat melawan keempat Raja langit atau kami bertiga saudara
taci adik serta Pah-cu.”
Berkata Lam-thian-ong: “Di antara ketiga Mo-li, engkaulah yang paling cerdas. Harap engkau mengatakan
sebab-sebab mengapa engkau belum mau membasmi Siau Mo itu?”
Mo-seng-li tersenyum.
“Mengapa aku tak turun tangan untuk merebut jarum Ular Emasnya adalah pertama, karena dia
berkepandaian sakti. Mungkin aku seorang tak mampu mengalahkannya. Kedua, dia amat cerdas.
Dikuatirkan akan terjadi 'karena rumput dihantam, ularnya kaget'. Maka aku terpaksa menjalankan siasat,
menunggu dia melontarkan jarum Ular Emas baru kuambilnya. Dan selama itu, kubayangi saja kemana ia
pergi.......”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sebenarnya,” kata Mo-seng-li pula, “yang penting, Siau Mo itu masih kabur pendiriannya. Bukan dari
golongan Putih, pun bukan golongan Hitam. Dia seorang ganas. Apabila membiarkan dia hidup di dunia
persilatan, tentulah ia dapat mewakili kita untuk membunuh tokoh-tokoh golongan Ceng (Putih). Aku
mempunyai rencana untuk 'mengambil' orang itu. Apabila dengan sepak terjangnya yang ganas itu dia
dianggap sebagai momok berbahaya dan dimusuhi oleh seluruh kaum persilatan, tentulah mudah untuk
membujuknya masuk menjadi anak buah Pah-cu. Tetapi rencana itu sudah tentu harus memakan waktu
panjang, tak dapat cepat-cepat terlaksana.”
Berulang kali Lam-thian-ong mengangguk-anggukkan kepala mendengar uraian Wanita Suara Iblis.
Tetapi di tempat persembunyiannya, Bok-yong Kang tampak terlongong-longong. Sedang Siau Mo sendiri
hanya menyungging senyum.
“Pusaka kedua dari dunia persilatan yalah Keng-hun-pit (Pena Penggoncang Jiwa), berada di tangan
siapa?” tiba-tiba Lam-thian-ong bertanya pula.
Mo-seng-li berkata: “Keng-hun-pit, telah lenyap dari dunia persilatan selama berpuluh tahun. Tetapi tanpa
sengaja, dari mulut seorang sahabat persilatan, pada duapuluh tahun yang lalu Nyo Jong-ho itu
menggunakan senjata pit. Setelah kuselidiki sampai beberapa lama, memang hal itu benar. Kemudian
kusesuaikan dengan gelaran Nyo Jong-ho sebagai It-pit-ci-thian atau Sebatang pit menunjuk langit, maka
kutarik kesimpulan bahwa nama itu mengandung arti Keng-hun-it-pit-ci-thian atau Sebatang pit
Pengguncang Jiwa Menunjuk Langit. Maka pit pusaka itu jelas berada di tangan Nyo Jong-ho.......”
Mendengar itu Bok-yong Kang pun serentak teringat sesuatu. Pikirnya: “Siau toako pernah memberi
peringatan kepada Nyo Jong-ho bahwa dalam tiga hari lagi tentu akan tertimpah bahaya besar. Apakah
toako sebelumnya sudah mengetahui tentang pit pusaka itu berada pada Nyo Jong-ho……?”
Berkata Lam-thian-ong, “Tetapi aku sudah memeriksa seluruh tempat dan pelosok dari gedung keluarga
Nyo dan tetap tak dapat menemukan pit pusaka itu. Apakah pengamatanmu itu tidak salah? Dan
kemanakan perginya Nyo Jong-ho?”
“Dia sudah kuringkus dan kusuruh orang mengantarkan dengan kuda kepada Pah-cu. Sedang penghuni
rumahnya kutahan dalam gedung itu,” jawab Mo-seng-li.
“Bagus, bagus sekali!” seru Lam-thian-ong memuji,” engkau telah bertindak dengan tepat sekali. Soal itu
akan kusuruh orang untuk melaporkan kepada Hiat Sat Mo-li.”
Sejenak berhenti Lam-thian-ong berkata pula: “Atas titah Pah-cu maka tugasmu supaya diterimakan
kepadaku. Harap suka memberikan ke tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu kepadaku. Dan silahkan
engkau pulang menghadap Pah-cu.”
Mo-seng-li menyahut dingin: “Apa yang Lam-thian-ong ucapkan aku tentu menurut saja. Tetapi tempo hari
Pah-cu tegas-tegas memberi titah, apabila mendapatkan ketiga pusaka itu, kecuali pada Pah-cu sendiri, tak
boleh diserahkan kepada lain orang.”
Mendengar itu marahlah Lam-thian-ong.
“Apa? Engkau tak percaya kepadaku?” serunya.
“Walaupun kedudukan keempat Raja langit itu amat tinggi,” sahut Mo-seng-li, “tetapi demi mentaati perintah
Pah-cu, maaf aku terpaksa tak dapat meluluskan permintaanmu.”
Serentak berbangkitlah Lam-thian-ong dari tempat duduknya dan berseru: “Aku membawa lencana
kekuasaan dari Pah-cu, apakah engkau tetap tak percaya?”
Habis berkata Lam-thian-ong terus merogoh ke dalam baju dan mengeluarkan sebuah panji kecil warna
kuning.
Melihat Panji Kuning itu serentak gemetarlah Mo-seng-li lalu berlutut memberi hormat.
Melihat itu Bok-yong Kang terkejut. Begitu besar perbawa panji kecil itu. Suatu pertanda bahwa Pah-cu itu
tentu seorang tokoh yang maha sakti.
Lam-thian-ong tertawa dingin.
“Lekas serahkan ke tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu kepadaku dan segeralah, engkau pulang ke
Lembah Kumandang untuk menunggu perintah Pah-cu,” serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mo-seng-li bangun lalu tertawa.
“Panji Kuning itu adalah wakil dari gi-bo (ibu angkat). Sudah tentu aku tak berani menentang……”
Belum selesai Mo-seng-li berkata tiba-tiba terdengar setiup angin menderu dan si baju hitam Hui Sin pun lari
ke pagoda peranginan situ, seraya berteriak, “Lam-thian-ong…..!”
Lam-thian-ong terkejut. Cepat ia berpaling ke arah Hui Sin tegurnya, “Mengapa?”
“Hamba hendak mengaturkan laporan penting!”
Melihat wajah orang itu tampak gugup sekali, Lam-thian-ong segera suruh dia bicara.
“Di dekat waduk air kira-kira satu lie dari sini, telah diketemukan jejak orang-orang Naga Hijau yang hendak
mengintai tempat kita ini,” seru Hui Sin.
“Apa?” teriak Lam-thian-ong terkejut, “sudah lebih dari sepuluh tahun lamanya orang-orang Naga Hijau itu
tak bergerak di dunia persilatan. Masakan sekarang mereka datang ke Lok-yang?”
Tiba-tiba Mo-seng-li menyeletuk “Naga Hijau, sebuah perkumpulan yang besar pengaruhnya dalam dunia
persilatan. Pah-cu pernah memesan, sebelum urusan kita selesai, baiklah jangan sampai bentrok dengan
orang-orang Naga Hijau.”
Lam-thian-ong tertawa dingin.
“Apakah kiranya Pah-cu telah merobah pendiriannya? Perintah dari Lembah Kumandang mengatakan
bahwa justeru partai Naga Hijau yang besar pengaruhnya itu harus dilumpuhkan.”
“Kalau begitu,” kata Mo-seng-li, “berapakah jumlah anak buah kita yang menyertai Lam-thian-ong kemari?”
Pertanyaan nona itu rupanya seperti sebuah badik yang menikam Lam-thian-ong. Dia termangu-mangu
sampai beberapa saat seperti tengah menimbang suatu persoalan yang sukar. Beberapa saat kemudian
baru ia berputar tubuh ke arah Mo-seng-li.
“Tahukah engkau berapa kekuatan Naga Hijau di Lok-yang?” tanyanya
Wanita Suara Iblis tersenyum.
“Adalah karena jeri akan kekuatan partai Naga Hijau itu maka aku sampai menyembunyikan diri di tempat
ini. Menurut penyelidikanku, tokoh-tokoh Naga Hijau yang muncul di Lok-yang itu, selain Roda emas
rembulan matahari Tan Gun-ki, pun juga tokoh persilatan sama berkumpul di Lok-yang. Dalam satu-dua hari
lagi tentulah jumlahnya akan bertambah banyak pula.”
Mendengar kata-kata itu diam-diam Bok-yong Kang mengagumi ketajaman mata dan telinga Mo-seng-li.
Sungguh tak tersangka, bahwa gerak gerik dari kawanan tokoh-tokoh persilatan yang berada di Lok-yang
itu, tak lepas dari pengamatannya.
“Mo-seng-li,” tiba-tiba Lam-thian-ong berseru, “atas nama Panji Kuning dari Pah-cu, engkau akan kuminta
tinggal di sini selama dua hari lagi. Karena anak buah yang kubawa itu baru nanti dua hari lagi tiba di Lokyang.”
Wanita Suara Iblis tertawa dingin.
“Tetapi dalam dua hari itu, siapakah yang memberi perintah? Engkau memerintah aku atau aku yang
memberi perintah kepadamu?”
Lam-thian-ong tak lekas menyahut melainkan merenung beberapa jenak lalu berseru memanggil si baju
Hitam Hui Sin.
Setelah Hui Sin menghadap, Lam-thian-ong pun bertanya, “Berapakah jumlah orangmu di sini?”
04.18. Mo-seng-li, Gadis Jelita
“Bersama hamba hanya berjumlah duapuluh satu orang ditambah pula dengan pengawal peribadi Mo-sengli
yalah si Kipas besi Kau Thian-seng,” sahut Hui Sin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapkan enam orangmu yang tangkas. Aku akan mengajakmu keluar untuk membasmi mata-mata itu,”
seru Lam-thian-ong pula.
Hui Sin mengiakan terus melangkah keluar. Kemudian Lam-thian-ong berpaling kepada Mo-seng-li.
“Kedudukanku lebih tinggi dari engkau,” katanya, “apalagi aku membawa Panji Kuning dari Pah-cu. Sudah
tentu engkau harus menerima perintahku. Sekarang kuperintahkan supaya engkau menyerahkan ke
tujuhbelas batang jarum Ular Emas itu kepadaku!”
Mo-seng-li memandang ke arah Panji Kuning itu lalu mendengus.
“Demi menghormat kepada Panji Kuning, kuterima permintaanmu. Tetapi nanti setelah menghadap gi-bo,
aku tentu akan membuat perhitungan dengan engkau.”
Habis berkata nona itu segera mengambil sebuah kotak kumala dari dalam bajunya. katanya: “Tujuhbelas
batang jarum Ular Emas itu berada dalam kotak kumala ini……”
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, tiba-tiba sesosok bayangan secepat kilat melesat tiba.
Sedemikian cepat sekali orang itu bergerak untuk menyambar lengan kiri Mo-seng-li.
Mo-seng-li terkejut. Cepat ia menyadari kalau berhadapan dengan seorang musuh yang sakti. Tiba-tiba ia
berputar tubuh untuk menghindar keluar dari pagoda. Dan pada saat bergerak keluar itu, iapun sudah
memasukkan kotak kumala ke dalam bajunya lagi.
Tetapi penyerang itu tertawa dingin. Cepat ia memburu keluar dan terus menutukkan jarinya ke dada Moseng-
li.
“Pendekar Ular Emas Siau Mo!” teriak Mo-seng-li setelah sempat melihat siapa penyerang itu. Cepat iapun
gerakkan kedua tangannya ke belakang dan ke muka. Sebuah hantaman dilancarkan dengan hebat.
Gerakan itu merupakan dua jurus yang digabung menjadi satu.
“Hem, aku datang hendak mengambil kembali jarumku!” dengus Siau Mo.
Tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh, tangan kirinya mendorong lurus ke muka dan tangan kanan menyiak
ke atas. Suatu gerakan yang luar biasa anehnya.
Tetapi pada saat tangan kirinya itu hampir mengenai Mo-seng-li, sekonyong-konyong dihentikan. Getaran
gerakan tangan itu memancarkan tenaga sakti yang melanda ke dada Mo-seng-li.
Sedang tangan kanannya pun berganti gaya. Bermula pelahan tetapi tiba-tiba di balikkan cepat sekali dan
berobah menjadi jurus mencengkeram,
“Aduh......!” terdengar nona itu menjerit karena siku lengan kirinya telah dicengkeram lawan. Seketika nona
itu rasakan tubuhnya lunglai dan cepat-cepat tangan kanan nona itu mendekap siku lengan kirinya yang
kesakitan itu.
Melesat dari tempat persembunyian, menyerbu Mo-seng-li, memburunya keluar dan mencekal lengan
Wanita Suara Iblis lalu menutuk jalan darah punggungnya, kesemua itu dilakukan dengan gerak cepat yang
sukar dibayangkan. Sehingga pada saat Lam-thian-ong terkejut dan memburu keluar, Mo-seng-li sudah
dikuasai oleh Siau Mo.
“Wut……” dengan geram Lam-thian-ong segera lepaskan sebuah hantaman.
“Krak……” Siau Mo menampar dengan tangan kiri sedang tangan kanannya tetap mencekal siku lengan si
nona lalu dibawa berputar-putar mundur sampai setombak jauhnya.
“Bokyong-te, pondonglah dia!” seru Siau Mo ketika Bok-yong Kang lari menghampiri.
Bok-yong Kang tertegun meragu. Tetapi pada lain kejap ia segera melakukan perintah.
Siau Mo kuatir kalau Lam-thian-ong akan menyerang lagi maka buru-buru ia menyerahkan Mo-seng-li
kepada Bok-yong Kang. Tetapi ternyata habis memukul, Lam-thian-ong tak menyerang lagi. Rupanya dia
gentar juga melihat kesaktian Siau Mo.
“Bokyong-te, mari kita pergi. Wanita ini kita jadikan penukar dengan nona Cu-ing,” seru Siau Mo.
Mendengar itu Lam-thian-ong pun segera berseru pelahan: “Leng Bu-sia, Bwe Hui-ji, lekas kalian hadang
mereka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar perintah itu, kedua tokoh Go-bi Sam-hiap yang sejak tadi berdiri seperti patung, saat itu segera
melayang turun dari atas pagoda peranginan.
Sedang saat itu, Lam-thian-ong sendiripun maju menghadang Siau Mo.
Siau Mo menyambut kedatangan tokoh Raja langit itu dengan tusukkan dua buah jari tangannya ke dada
orang.
Tetapi Lam-thian-ong pun bergerak tangkas. Tangan kirinya cepat menabas pergelangan tangan Siau Mo.
Siau Mo tertawa dingin. Cepat ia menarik pulang tangannya lalu berputar terus melesat untuk menyongsong
Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji serta dua orang pengawal baju biru.
Saat itu rupanya Siau Mo telah memperlihatkan kepandaiannya yang sakti. Kedua tangannya berhamburan
melakukan serangan dahsyat.
Serangan gencar itu memaksa Leng Bu-sia, Bwe Hui-ji dan kedua pengawal baju biru tak sempat balas
menyerang. Mereka berturut-turut mundur tiga-empat langkah.
Apabila ko-jiu (jago sakti) bertempur, gerak serangan mereka dilakukan serba cepat. Demikian pula
perobahan jurus permainannya.
Dalam pada itu Bok-yong Kang pun segera melakukan perintah toakonya. Secepat kilat ia memanggul Moseng-
li lari keluar pagar tembok.
Dua kali berturut-turut telah ditindas oleh Siau Mo, marahlah Lam-thian-ong. Bagaikan seekor burung
rajawali, ia melambung keudara lalu melayang ke arah Siau Mo seraya lepaskan hantaman.
Tetapi karena Bok-yong Kang sudah berhasil membawa lari Mo-seng-li, Siau Mo tak berminat meladeni
Lam-thian-ong. Sekali ayunkan tubuh, ia melayang setombak jauhnya.
Karena menyerbu tempat kosong, Lam-thian-ong makin marah. Sambil lintangkan kedua tangan untuk
melindungi dada, ia lari mengejar.
Siau Mo tertawa seram. Sebelum sempat Lam-thian-ong berdiri tegak, ia segera lontarkan hantaman.
Lam-thian-ong terkejut dan cepat-cepat dorongkan kedua tangannya untuk menyongsong.
Ketika kedua tenaga pukulan dari jauh itu berbentur, terdengarlah letupan di udara.
“Hebat sekali pukulanmu,” seru Siau Mo. Ia berputar tubuh menggelincir lima langkah ke samping kiri.
Saat itu Hui Sin pun tiba bersama enam orang anak buahnya.
“Hui Sin, lekas kejar mereka, Mo-seng-li telah ditawannya……” seru Lam-thian-ong.
“Hm, nanti saja yang mengejar itu. Sekarang kalian harus menyambut beberapa jurus seranganku,” dengus
Siau Mo.
Pedang Ular Emas meluncur maju. Kedua tangannya berhamburan menghantam tujuh kali kepada Hui Sin
dan rombongannya. Ketujuh jurus pukulan itu luar biasa anehnya sehingga Hui Sin bertujuh menjadi
kelabakan.
Melihat kegagahan Siau Mo, karena marahnya tubuh Lam-thian-ong sampai menggigil, serunya: “Kalau hari
ini engkau sampai mampu lolos.......” Sambil berkata Lam-thian-ong pun loncat menerjang Siau Mo.
Menyadari bahwa Siau Mo itu hebat sekali kepandaiannya, Lam-thian-ong pun mengeluarkan seluruh
kepandaiannya. Jari tangannya bergerak-gerak menjulur surut sukar diduga.
Dalam beberapa kejap saja ia sudah lancarkan tigabelas jurus. Tetapi Siau Mo tetap berlincahan
menghindar dan menghalau. Sekalipun begitu, diam-diam Siau Mo terkejut juga dalam hati. Ternyata Lamthian-
ong itu memang hebat sekali kepandaiannya.
“Hai, mengapa kalian hanya berdiri seperti patung dan tak lekas mengejar musuh yang lari itu!” bentak Lamthian-
ong, ketika melihat Hui Sin dan anak buahnya berdiri termangu-mangu.
Siau Mo tertawa mengejek.
“Lam-thian-ong, kawanku sudah lari jauh. Maaf, akupun hendak menyusulnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wut, Wut, Wut,” tiga buah pukulan dahsyat segera dilancarkan oleh Siau Mo.
Lam-thian-ong terkejut. Ia tahu bahwa setelah melancarkan serangan, Siau Mo tentu segera pergi. Tetapi
apa daya, ia tak dapat berbuat apa-apa karena harus terus menerus mundur.
Siau Mo tertawa gelak, serunya: “Nah, sampai jumpa, aku hendak pergi!”
Tiba-tiba Lam-thian-ong tertawa sinis: “Ho, apakah engkau mampu meninggalkan tempat ini?”
Saat itu Siau Mo sudah berputar tubuh hendak angkat kaki. Tiba-tiba ia mendengar -setiup suara aneh dari
belakang. Mirip suara nyamuk atau kumbang.
Siau Mo yang tajam nalurinya cepat dapat menyadari bahwa suara aneh itu tentu berasal dari senjata
rahasia. Maka tanpa ayal lagi, ia segera berjongkok ke bawah, dengan meminjam injakan kaki ia melayang
ke samping sampai tiga meter jauhnya.
Cepat sekalipun ia bergerak tetapi saat itu ia rasakan paha kirinya seperti tergigit nyamuk. Apabila dia tak
tajam perasaannya tentu tak mungkin dapat merasakan gigitan tajam itu.
Pun ia merasa bahwa senjata rahasia itu merupakan senjata rahasia beracun yang paling ganas di dunia.
Maka cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menutup jalan darah di pahanya. Sekalipun begitu ia tetap
rasakan kepalanya pusing, pandang matanya gelap.
Dalam keadaan begitu tak ada lain jalan bagi Siau Mo kecuali melayang keluar dari pagar tembok lalu
melenyapkan diri dalam kegelapan.
Melihat Pendekar Ular Emas mampu lolos, Lam-thian-ong pun terlongong-longong. Di dunia jarang terdapat
tokoh yang mampu lolos dari serangan jarum rahasia Nyamuk Kumbang Berdarah. Sedemikian halus dan
kecil senjata rahasia itu hingga hampir-hampir tak mengeluarkan suara. Sesaat orang mendengar suara itu,
dia sudah terkena. Benar-benar sebuah senjata yang jarang terdapat di dunia. Ketiga tokoh Go-bi Sam-hiap
juga terkena senjata rahasia itu.
Timbullah keragu-raguan dalam benak Lam-thian-ong. Adakah Siau Mo benar-benar terkena senjata
rahasia itu? Mustahil dia dapat menghindari tetapi mengapa dia dapat lari? Dan kalau terkena tak mungkin
pula ia mampu bergerak melarikan diri.
“Hui Sin,” tiba-tiba ia berteriak marah, “lekas sebar orang untuk menyelidiki sekeliling tempat ini. Mo-seng-li
telah dibawa pergi. Kalau tak mampu merebutnya kembali, engkau harus bertanggung jawab!”
Sambil berkata, Lam-thian-ong pun membawa kedua pengawal Baju Biru, Leng Bu-sia dan Bwe Hui-jin
untuk mengejar…..
********************
Di lain pihak, dengan memondong Mo-seng-li, Bok-yong Kang lari secepat-cepatnya melintasi waduk air
menuju ke hutan sepi. Tiba-tiba ia teringat bahwa tadi Siau Mo belum memesan ke arah mana ia harus lari.
Bagaimanakah nanti Siau Mo akan mencarinya. Teringat hal itu, iapun hentikan langkah.
Angin malam berhembus menggigit tulang. Tiba-tiba Bok-yong Kang rasakan dadanya seperti ditiup oleh
hawa wangi yang hangat. Segera ia teringat bahwa itulah napas dari hidung Mo-seng-li.
Segera terlintas dalam benaknya untuk mengetahui siapakah sebenarnya wanita itu. Walaupun ia berulang
kali mendengar tentang nama Mo-seng-li tetapi selama itu belum pernah ia melihat wajahnya.
Ah, bukankah wanita itu berada di dadanya? Mengapa ia tak melihatnya barang sejenak saja?
Keinginan yang keras telah menyebabkan ia tundukkan kepala memandang wanita itu.
Amboi......
Mo-seng-li atau Wanita Suara Iblis, sebuah nama yang aneh. Menilik namanya itu. tentulah orangnya buruk
menyeramkan. Tetapi ternyata tidak demikian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa yang disaksikan Bok-yong Kang benar-benar telah mengguncangkan kelima panca-inderanya. Moseng-
li itu ternyata seorang nona yang luar biasa cantiknya. Sedemikian cantiknya hingga luar biasa
cantiknya.
Ah…… benarkah di dunia ini terdapat seorang insan wanita yang sedemikian cantiknya?
Seketika berdebarlah jantung Bok-yong Kang dan darahnyapun tersirap keras memandang wajah si cantik
itu.
Sepasang buah dada si nona yang melekat pada dadanya, hembusan napasnya yang wangi dan sepasang
bibirnya yang semerah delima dan wajahnya yang bagai rembulan berselaput awan putih yang tipis seperti
kemalu-maluan, benar-benar mempesonakan hati Bok-yong Kang.
Bok-yong Kang cepat mengangkat muka memandang ke depan lagi. Memang tempat itu sepi sekali tetapi
tak urung wajah pemuda itu bertebar warna merah.
Cepat ia berusaha untuk menekan darahnya yang bergolak keras dan tak berani memandang si nona lagi.
“Bokyong-te, mengapa wajahmu bertebar warna merah?” sekonyong-konyong terdengar sebuah suara yang
ramah.
Cepat Bok-yong Kang berpaling ke belakang. Ah, ternyata Siau Mo sudah berdiri tiga tombak di
belakangnya tanpa diketahuinya sama sekali……
Kuatir karena Siau Mo akan tahu perbuatannya mencuri lihat wajah Mo-seng-li tadi, buru-buru berkata:
“Toako, kemanakah kita akan membawanya?”
Merenung sejenak Siau Mo berkata: “Mereka tentu akan mengejar. Kita harus cari tempat persembunyian
yang dekat di sekitar tempat ini.”
Ia memandang ke empat penjuru lalu ayunkan kaki lari menuju ke puncak gunung sebelah utara.
Lebih setengah jam berlari, tiba-tiba Bok-yong Kang memperhatikan bahwa kedua kaki Siau Mo mulai
lambat gerakannya.
“Toako bagaimanakah engkau?” serunya terkejut.
Tiba-tiba Siau Mo mengerang dan rubuh.
“Toako……” teriak Bok-yong Kang seraya menghampiri. Dilihatnya kening Siau Mo bercucuran keringat,
wajah pucat seperti kertas dan mengerut kesakitan.
“Toako, apakah penyakitmu kambuh lagi?” seru Bok-yong Kang gopoh.
Siau Mo gelengkan kepala.
“Aku telah terkena senjata rahasia yang ganas sekali…… dan lagi penyakitku pun terasa kambuh……”
Bukan kepalang kejut Bok-yong Kang mendengar keterangan itu, serunya: “Apa? Apakah toako terkena
senjata rahasia beracun?”
Habis berkata Bok-yong Kang terus hendak letakkan tubuh Mo-seng-li ke tanah tetapi Siau Mo
mencegahnya.
“Jangan, kita cari saja tempat persembunyian yang aman,” katanya.
“Toako, mari kupapah.”
“Tak usah, aku masih dapat berjalan sendiri.”
Bok-yong Kang menyadari bahwa setiap kali penyakitnya kambuh, Siau Mo tentu tak punya tenaga lagi.
Dengan begitu tentulah racun dari senjata rahasia itu akan menyusup lebih dalam. Akibatnya tentu ngeri.
“Toako. mari kita beristirahat di sini,” kata Bok-yong Kang ketika tiba di sebuah rimba di puncak bukit.
“Tidak,” Siau Mo menggeleng, “kalau musuh mengejar kemari, kita tentu akan menjadi anak kambing yang
akan disembelih.......”
Saat itu Siau Mo rasakan dadanya sakit. Diam-diam ia terkejut sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat itu Bok-yong Kang makin gelisah. Tiba-tiba ia melihat di sebuah hutan yang tak jauh dari tempatnya,
seperti memancarkan sekelip sinar lampu.
“Toako, rupanya di dalam hutan itu terdapat rumah orang, mari kita kesana,” segera Bok-yong Kang
berseru.
“Itu bukan sinar lampu tetapi nyala korek yang biasa digunakan oleh orang persilatan,” sahut Siau Mo.
Diam-diam Bok-yong Kang terkejut, “Ah, kiranya toako juga melihat cahaya itu. Tetapi dia bilang bukan sinar
lampu. Masakan di tempat begini sepi terdapat orang persilatan yang berkeliaran.......”
Tiba-tiba Siau Mo menghela napas pelahan, serunya: “Itu sebuah kuil, mungkin kuil yang sudah rusak. Mari
kita kesana.”
Ketika berjalan, langkah Siau Mo terhuyung-huyung. Ia mengerang pelahan lalu mendekap dada dengan
kedua tangannya dan terkulai ke tanah lagi.
Bok-yong Kang cepat menghampiri, ulurkan tangan kiri untuk menyanggahnya.
“Bokyong-te, mungkin aku akan mati di tempat ini……,” kata Siau Mo dengan rawan.
Bok-yong Kang makin gugup. Dengan kerahkan tenaga segera ia memondong Siau Mo. Walaupun
memondong dua tubuh namun ia masih dapat berlari menuju ke kuil gunung itu.
Memang benar. Di balik hutan itu terdapat sebuah kuil beratap merah. Cukup besar juga bangunannya.
Tetapi keadaannya sudah rusak. Temboknya rengkah, halamannya penuh ditumbuhi rumput liar dan di
dalamnya gelap.
Melihat keadaan Siau Mo makin payah, Bok-yong Kang cepat letakkan tubuh Mo-seng-li di sudut ruang lalu
cepat merebahkan tubuh Siau Mo dan mengurut-urutnya.
04.19. Engkau Memang Tolol Benar!
Tetapi sampai beberapa lama mengurut, bukannya sadar kebalikannya tubuh Siau Mo malah makin kejang
dan mulutnya berbuih. Bok-yong Kang hentikan pengurutan dan berseru memanggilnya: “Siau toako……
Siau toako......”
Biasanya apabila Siau Mo kambuh penyakitnya, setelah Bok-yong Kang mengurut jalan darahnya, menurut
yang diajarkan Siau Mo, tentulah beberapa saat kemudian Siau Mo akan sadar.
Tetapi kali ini tidak demikian. Cara pengurutan itu ternyata tak berhasil. Sudah tentu Bok-yong Kang makin
gugup. Ia hendak membangunkan Siau Mo dan menanyakan cara bagaimana harus mengurut tubuhnya.
Tetapi walaupun dipanggil sampai dua kali, Siau Mo tetap tak sadarkan diri.
Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat akan keterangan Siau Mo: “Uh, toako mengatakan kalau dirinya terkena
senjata rahasia beracun. Tetapi di bagian mana yang terkena......”
Teringat akan hal itu Bok-yong Kang pun segera memeriksa seluruh tubuh Siau Mo. Akhirnya ia melihat
sebuah bintik merah pada paha kiri Siau Mo. Ia segera tundukkan kepala hendak mencabut benda
berwarna merah itu.
“Hentikan tanganmu!” tiba-tiba terdengar bentakan bernada dingin.
Bok-yong Kang terkejut dan menarik pulang tangannya. Tiba-tiba secepat kilat ia berputar tubuh lalu
hantamkan tangan kirinya.
Sesosok bayangan berkelebat ke samping dan mencengkeram pergelangan tangan Bok-yong Kang.
Pemuda itu deliki mata dan menggeram seraya hantamkan tangan kanannya.
Hantaman itu menggunakan sepuluh bagian tenaganya dan tepat pada saat itu juga ia dapat mengetahui
siapakah penyerangnya itu.
Ternyata Mo-seng-li dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk. Dan agaknya nona itu jeri juga melihat
tenaga pukulan yang dilancarkan Bok-yong Kang saat itu. Ia segera menghindar.
“Hm, kepandaianmu belumlah memadai kepandaianku. Engkau masih belum tandinganku. Kalau aku
meladeni engkau, dialah yang akan celaka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mau apa engkau?” teriak Bok-yong Kang marah.
Nona itu mendengus: “Aku bermaksud baik untuk memberi peringatan kepadamu, mengapa engkau begitu
bengis?”
Bok-yong Kang terkesiap mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba ia teringat akan diri Siau Mo. Cepat ia
berpaling dan kejutnya bukan kepalang.
“Toako…… engkau…… engkau……,” teriaknya terputus-putus.
Ternyata saat itu tubuh Siau Mo sudah kaku dan dingin. Dadanya juga tak berombak, wajahnya pucat
seperti mayat.
Mo-seng-li tiba-tiba menghampiri lalu melekatkan tangan ke hidung Siau Mo untuk memeriksa
pernapasannya.
“Jangan menyentuhnya!” bentak Bok-yong Kang.
Tetapi Mo-seng-li lebih cepat. Ia sudah ulurkan tangannya. Dan karena menyangka nona itu hendak
mencelakai Siau Mo, Bok-yong Kang segera menghantamnya.
Mo-seng-li pun cepat-cepat menarik pulang tangannya dan membentak, “Apakah engkau menghendaki dia
mati?”
Bok-yong Kang tertegun dan tak memukul lagi. Ia mencekal tangan Siau Mo dan terkejut sekali. Tangan
toakonya itu sudah seperti es dinginnya. Ia terkejut sekali. Lepaskan cekalannya ia merabah dada Siau Mo.
“Toako, apakah engkau benar-benar meninggal?” serentak wajahnya berobah dan mulut berteriak kaget.
Airmatanya pun berderai-derai membanjir turun.
Ternyata detak jantung Siau Mo sudah berhenti dan tubuhnya pun dingin seperti es. Dengan Siau Mo, Bokyong
Kang sudah menganggap sebagai saudara sendiri. Melihat kematian toakonya yang begitu
mengenaskan, sudah tentu Bok-yong Kang tak dapat menguasai goncangan hatinya dan menangislah ia
tersedu-sedu seperti seorang anak……
“Hm, seorang anak laki mengapa gampang-gampang mengucurkan air mata. Sungguh tak berguna……”
nona itu mendampratnya.
Mendengar itu marahlah Bok-yong Kang, te¬riaknya makin kalap: “Siapa yang engkau maki? Kalau orang
tua dan saudaramu mati, apakah eng¬kau tak menangis?”
Mo-seng-li tertawa dingin: “Huh, bagaimana engkau tahu kalau dia mati?”
Tergetarlah hati Bok-yong Kang, serunya: “Apa? Apakah dia belum mati? Bagaimana eng¬kau tahu dia
belum mati?”
“Hm,” dengus Mo-seng-li, “orang yang mati¬ masakan kulitnya masih begitu segar? Apalagi, jantungnya
masih belum berhenti sama sekali. Hanya lemah sekali sehingga hampir tak terdengar.”
Tiba-tiba Bok-yong Kang teringat, pikirnya: “Ya, tubuh toako memang dingin sekali seperti es. Orang yang
baru mati juga takkan sedingin itu tubuhnya…… apakah toako benar-benar belum mati?”
Cepat ia lekatkan telinganya ke dada Siau Mo. Ah, memang benar. Jantung Siau Mo masih berdetak lemah.
Dan hilanglah kesedihan Bok-yong Kang berganti dengan seri kegembiraan.
“Jangan bergirang dulu,” kata Mo-seng-li, “sekalipun dia belum mati tetapi diapun lekas akan mati.”
Ucapan itu membuat Bok-yong Kang seperti diguyur air dingin. Ia termangu-mangu kesima.
Beberapa lama kemudian, akhirnya Bok-yong Kang menghela napas pelahan.
“Kalau engkau dapat menolong menyembuh¬kan toakoku ini, dengan syarat apapun juga, aku tentu akan
meluluskan kepadamu,” katanya de¬ngan putus asa.
Mo-seng-li gelengkan kepala: “Aku tak punya kemampuan sehebat itu, hanya saja.......”
Tiba-tiba Bok-yong Kang memberingas dan mem¬bentak marah: “Kalau toakoku sampai tak dapat tertolong
jiwanya, aku bersumpah akan membas¬mimu dan gerombolanmu bangsa siluman itu, un¬tuk membalas
sakit hati toako!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mo-seng-li tertawa dingin.
“Mengapa engkau begitu terburu nafsu? Bu¬kankah omonganku belum selesai? Di kolong dunia ini, hanya
seorang yang kutahu dapat menolong jiwanya.......”
“Siapa?” desak Bok-yong Kang.
“Dia adalah suhuku Jin Kian Pah-cu. Tetapi beliau tinggal amat jauh sekali dari sini. Apabila harus
membawa Siau Mo kesana, tentulah dia su¬dah mati beku.”
“Apakah engkau hendak mengolok-olok aku?” bentak Bok-yong Kang makin marah.
Tiba-tiba nona itu marah juga, serunya menan¬tang: “Ya memang aku mengolok-olok, engkau mau apa?
Hm, terus terang, kalau tadi aku mau menghantammu, apakah sekarang engkau masih dapat bernjawa?”
Bok-yong Kang tertegun, pikirnya: “Benar dia telah ditangkap toako, tetapi mengapa tak mau melarikan diri.
Dan lagi dia memang lebih sakti dari aku. Apabila tadi ia mau turun tangan mencelakai aku, apakah aku
mampu lolos dari tangannya?”
Berpikir sampai disitu, Bok-yong Kang pun mengangkat kepala memandang ke arah nona itu.
Kedengaran nona itu menghela napas.
“Persahabatanmu dengan dia sungguh meng¬harukan sekali,” katanya, “ah, kuberitahu kepadamu,
sesungguhnya ketika Siau Mo tiba aku sebenarnya sudah tersadar. Racun dalam tubuhnya mulai bekerja
dan dia tak kuat lalu rubuh dan lain-lain telah kulihat semua. Bahkan ketika engkau me¬mondongnya ke kuil
ini, dia mengambil beberapa butir pil untuk ditelannya dan sesaat kemudian dia lalu jatuh pingsan, satu demi
satu telah kusaksikan semuanya.”
Kemudian nona itu berkata pula:
“Maka, kutarik kesimpulan bahwa dia ping¬san tak sadarkan diri itu tentulah mempunyai hubungan dengan
pil yang ditelannya tadi. Walaupun dia terkena senjata rahasia dari Lam-thian-ong yang disebut Hiat-bunbong
itu tetap dengan kepandaiannya yang sakti, tak mungkin secepat itu dia akan mati. Dan lagi yang kena
itu bukanlah bagian yang berbahaya. Pula akibat kerja senjata rahasia itupun bukan begitu macam.”
“Ah!” nona itu menghela napas, “dia seo¬rang naga dari manusia. Apabila tak keliru dugaanku dia tentu
akan dapat siuman sendiri.”
Mendengar itu barulah terbuka hati Bok-yong Kang. Dalam pada itu diam-diam iapun mengagumi si jelita
yang bernama Wanita Suara Iblis itu. Tetapi pada lain kilas timbullah kecurigaannya. Kalau sudah datang
kesitu mengapa Mo-seng-li itu tak mengunjuk setitik sikap permusuhan sama sekali kepada Siau Mo?
Bokyong Kang menghela napas.
“Ah, semoga dugaanmu benar, ah! Nona, engkau......”
“Jangan cepat menyangka bahwa aku tak mengandung rasa permusuhan kepadamu,” cepat Mo-seng-li
menukas, “sebenarnya untuk sementara waktu ini aku hanya hendak memelihara kekuatan kita untuk
menghadapi musuh yang akan datang.”
“Dari golongan mana?” Bok-yong Kang kaget.
“Masih belum diketahui jelas dari golongan mana, “sahut Mo-seng-li, “tetapi kami sudah di¬kepung mereka.”
“Hai, benarkah itu?” Bok-yong Kang terkejut sekali.
Mo-seng-li tertawa tawar:
“Engkau memang tolol benar,” katanya, “sebelum engkau datang ke kuil ini, bukankah engkau mengetahui
tentang korek api yang menyala itu? Ada nyala api tentu ada orang. Tetapi mengapa kuil ini sunyi senyap
begini? Hm, jelas mereka tentu hendak menjebak kalian datang kemari. Dan memang setelah kuteliti benarbenar,
di sekitar kuil ini kudengar derap langkah orang.”
Bok-yong Kang mendengarkan uraian nona itu dengan penuh perhatian sehingga saat itu iapun dapat
menangkap derap kaki orang dari belakang kuil. Ia kerutkan dahi.
“Bagaimana tindakan kita?” tanyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sahut nona itu dengan tawar: “Air yang datang harus ditimbuni dengan tanah. Panglima datang, prajurit
yang menyambut. Perlu apa engkau harus gelisah?”
Mendengar bagaimana enak dan longgar nona itu menjawab, bukan Bok-yong Kang ikut tenang tetapi
masih tetap gelisah. Betapa tidak! Walaupun Siau Mo memiliki ilmu kepandaian yang amat sakti tapi saat itu
dia masih pingsan. Tentu tak dapat menghadapi musuh. Siapa musuh itu, entah kuat entah lemah, tetapi
harus dihadapinya. Memang bagi Mo-seng-li mungkin dapat mengatasi mereka. Tapi bagaimana dengan
dirinya sendiri dengan Siau Mo?
Karena gugup Bok-yong Kang lalu memeluk tubuh Siau Mo.
“Hai, hendak engkau bawa kemana dia?' tegur si nona.
“Akan kubawa ke tempat yang lebih aman,” kata Bok-yong Kang.
Si nona tertawa dingin.
“Di sini sudah cukup aman,” katanya, “apabila engkau keluar tentu akan diserang mereka. Kalau engkau
tetap berada di sini, walaupun musuh tangguh sekali dan berjumlah banyak, tetap tak perlu ditakuti. Saat ini
Siau Mo sedang dalam kebekuan. Apabila engkau sembarangan saja membawanya mungkin akan
menambah berat lukanya.”
Mendengar itu Bok-yong Kang cepat meletakkan tubuh Siau Mo di bawah meja sembahyang.
Serempak dengan itu dari luar terdengar orang berseru, “Hai, siapa itu!”
Seruan itu disusul olah sebuah jeritan ngeri yang memecah kesunyian.
Baik Mo-seng-li maupun Bok-yong Kang serempak tertegun. Jelas di luar telah terjadi pertempuran. Entah
siapa lawan siapa kawan.
Sekonyong-konyong terdengar lengking tertawa:
“Kukira dari golongan mana, ternyata orang-orang Naga Hijau. Mengapa kalian kemari?”
Mendengar nada suara perempuan itu seketika berobahlah wajah Mo-seng-li.
“Ah, sumoayku datang, celaka!” ia mengeluh pelahan.
Dan saat itu di luar kuil terdengar pula jeritan ngeri.
Bok-yong Kang menduga tentu ada orang Naga Hijau yang rubuh di tangan sumoay dari Mo-seng-li. Tetapi
diam-diam iapun heran mengapa Wanita Suara Iblis tampak begitu gelisah mendengar sumoaynya datang.
Bukankah seharusnya ia bergembira?
Tiba-tiba si nona berpaling dan membisikinya,
“Lekas engkau rebah di samping Siau Mo dan pura-pura seperti telah kututuk jalan darahmu. Karena
sumoayku datang tentulah toa-suciku juga sudah tak jauh dari sini.”
Tanpa menunggu jawaban Bok-yong Kang, nona itu terus melesat ke samping pintu.
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa melengking tinggi dan dari luar terdengar suara orang
berseru: “Hai, siapakah yang bersembunyi di dalam kuil itu?”
“Wut!” setiup angin segera menghambur ke arah Mo-seng-li. Sudah tentu nona itu terkejut. Ia cepat
menghindar keluar dan berteriak: “Hai, sam-sumoay, akulah!”
Mendengar pesan Mo-seng-li tadi Bok-yong Kang tak segera menurut melainkan termangu menimangnimang,
adakah ia akan melakukan perintah itu. Dan sebelum ia sempat mengambil keputusan, pendatang
itupun sudah melayang di mulut ruang. Bok-yong Kang terpaksa memandang ke muka.
Tampak diambang pintu ruang kuil tegak seorang dara berumur tujuhbelas tahun. Belakang bahunya
memanggul dua batang pedang. Dadanya bertabur jamrud mutiara cemerlang dan wajahnya cantik jelita.
Sepasang bibirnya yang merekah merah menyungging senyum itu, benar-benar memikat hati setiap orang
yang memandangnya. Pun dara itu mengenakan pakaian warna merah sehingga makin menonjolkan
kecantikannya.
Melihat Mo-seng-li, dara baju merah itu tertawa mengikik: “Ai, ji-suci bagaimana kabarmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mo-seng-li agak membungkukkan tubuh sebagai tanda memberi salam.
“Sam-sumoay, aku sungguh girang karena sumoay telah menyelesaikan pelajaran dan diperkenankan turun
gunung. Lalu bagaimana dengan toa-suci?”
Belum habis ucapan Mo-seng-li, tiba-tiba dua sosok tubuh melayang turun dari tengah gerumbul pohon.
Dara baju merah itu tertawa, “Toa-suci, juga datang. Kudengar ji-suci telah ditawan orang, mengapa
sekarang tak kurang suatu apa?”
Saat itu cepat sekali kedua sosok tubuh itu sudah tiba dan berhenti di pintu.
Bok-yong Kang tertegun. Dilihatnya yang datang itu seorang tua pendek berpakaian warna kelabu dan
seorang gadis baju biru yang mencekal sebatang hud-tim atau kebut pertapa.
Orang tua pendek itu yalah Lam-thian-ong atau Raja Langit Selatan. Demi melihat Mo-seng-li, ia terus maju
dua langkah.
“Selamat kuhaturkan kepada Mo-seng-li karena sudah terlepas dari bahaya,” serunya.
Nona baju biru itu kira-kira berumur duapuluh lima tahun. Rambutnya terurai lepas ke bahu. Wajahnya
serius dan alisnya menampil hawa pembunuhan. Memang menyeramkan sekali. Tetapi sebenarnya, dia
seorang nona yang berwajah cantik dan usianya pun sudah masak.
Melihat nona baju biru itu Mo-seng-li segera memberi hormat.
“Maafkan siaumoay yang tak menyambut kedatangan toa-suci,” katanya.
Nona baju biru itu tersenyum.
“Kudengar keterangan dari Lam-thian-ong bahwa engkau telah ditawan orang. Sudah tentu hatiku cemas
sekali dan segera mengajak beberapa pengawal berangkat kemari. Ah, ternyata engkau sudah bebas,
hatiku pun lega.”
Kiranya nona baju biru itu adalah toa-suci atau taci seperguruan yang pertama dari Mo-seng-li. Sebutannya
Hiat Sat Mo-li atau Wanita Iblis Darah.
Habis berkata Hiat Sat Mo-li memandang ke dalam ruangan. Tiba-tiba wajahnya berseri, serunya,
“Siapakah pemuda itu?”
Lam-thian-ong tertawa, “Salah seorang yang telah menawan Mo-seng-li.”
Melihat kedatangan mereka, kejut Bok-yong Kang bukan kepalang. Ia menyesal karena tak lekas menurut
pesan Mo-seng-li. Tetapi karena sudah terlanjur ia harus cari akal.
“Menilik omongan Lam-thian-ong, mereka agaknya belum tahu kalau toako berada di sini. Asal Mo-seng-li
tidak mengatakan, merekapun tentu tak tahu toako di sini,” pikirnya.
Tiba-tiba ia mendapat akal. Serentak ia terus ayunkan langkah menuju ke pintu.
Kemunculan pemuda itu tak mengejutkan Hiat Sat Mo-li. Dingin-dingin saja nona itu berseru:
“Ah, dia bukan Siau Mo!”
Bok-yong Kang tertawa keras.
“Kalau toako ku di sini, tak mungkin Mo-seng-li mampu bebas,” serunya.
04.20. Pang-cu Perkumpulan Naga Hijau.
Habis berkata secepat kilat pemuda itu mencuri pandang ke arah Mo-seng-li. Tampak nona itu diam saja
dengan tenang.
“Apakah Siau Mo benar-benar tak berada di sini?” tiba-tiba Lam-thian-ong mengajukan pertanyaan kepada
Mo-seng-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mo-seng-li menyahut tawar, “Kepandaianku kalah dengan Siau Mo. Engkau sendiri tentu sudah tahu. Kalau
dia di sini mungkinkah aku dapat membebaskan diri?”
Lam-thian-ong tertawa gelak-gelak.
“Kalau begitu sekali pun telah ditawan musuh Mo-seng-li tetap selamat tak kurang suatu apa, selamat
kuhaturkan kepadamu.”
Hiat Sat Mo-li mengangkat kebut hud-tim pelahan, serunya: “Saat ini orang-orang Naga Hijau masih
mengepung kita. Untuk sementara baiklah kita jangan bentrok dengan mereka. Ji-sumoay, lekas engkau
bunuh dia!”
Mo-seng-li menimang sejenak, lalu berkata:
“Dia berkepandaian sakti juga. Kalau kita dapat mempergunakannya tentu lebih baik. Apalagi aku telah
mengadakan perjanjian dengan dia untuk bekerja sama menghadapi pihak Naga Hijau.”
“Ah, ternyata Mo-seng-li tak mau mengatakan tentang diri toako. Legalah hatiku,” pikir Bok-yong Kang.
Habis berpikir ia terus lanjutkan langkah.
“Hai, hendak kemana engkau?” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li berteriak seraya menutuk dengan ujung hud-tim.
Tetapi Bok-yong Kang memang sudah bersedia. Melihat betapa bulu-bulu hud-tim yang lemas itu tiba-tiba
berobah menjadi seikat jarum yang tajam dan kaku. Terkejutlah Bok-yong Kang. Buru-buru ia menghindar
ke samping.
“Hm, ternyata memang hebat,” kata Hiat Sat Mo-li, “kalau engkau mampu menghindari sejurus lagi akan
kuterima.”
Sekali kedua bahu nona itu bergetar, maka orangnya pun segera maju dan sekali tangan membalik maka
kebut hud-tim pun segera meluncur ke bawah dan menutuk dengan cepat sekali.
Bok-yong Kang deliki mata. Ia menghantam dengan tangan kanan dan kiri, lalu berjumpalitan membuat
tubuh ke belakang sampai setombak jauhnya.
“Hm, engkau hendak menerima aku, sayang aku tak mau menjadi hambamu. Kalau memang
berkepandaian sakti silahkan membunuh aku,” serunya menggeram.
Setelah serangan kedua gagal Hiat Sat Mo-li menarik pulang kebutnya.
“Engkau tak mau pun harus mau juga,” serunya sambil maju dua langkah dan secepat kilat dengan tangan
kiri menyambar bahu Bok-yong Kang.
Bok-yong Kang loncat ke samping lalu balas memukul dada orang. Tapi nona baju biru itu hanya tertawa
dingin. Ia menyelinap dua langkah ke samping, kebut di tangan kanan menampar dan tangan kiri cepat
menyambar pergelangan tangan lawan.
Memang Bok-yong Kang masih kalah tinggi kepandaiannya dengan Hiat Sat Mo-li, Kalah tingkat, memang
berat. Maka dengan mudah sekali nona itu segera dapat menguasai pergelangan tangan Bok-yong Kang.
Seketika Bok-yong Kang rasakan lengan kanannya lunglai tiada bertenaga.
Sekonyong-konyong terdengar suata suitan yang nyaring dan sesosok bayangan bagaikan anak panah
melayang turun ke titian pintu kuil. Kecepatan gerak orang itu mengejutkan rombongan Hiat Sat Mo-li.
Dan ketika mereka berpaling tampak seorang tua bertubuh kurus dan memelihara jenggot panjang menjulai
sampai ke dada, tengah berdiri dengan tenang.
Dan serempak dengan kemunculan orang tua berjenggot panjang itu dari belakang dan muka kuil, pun
bermuculan berpuluh-puluh lelaki berpakaian hitam, tegap dan tangkas. Mereka segera berbondongbondong
masuk ke dalam kuil lalu membentuk sebuah lingkar barisan.
Tenang-tenang saja Hiat Sat Mo-li menghadapi rombongan pendatang itu. Setelah menutuk pelahan jalan
darah Bok-yong Kang, ia berpaling:
“Lam-thian-ong, tolong engkau bawa pergi orang ini.”
“Tunggu dulu!” kata orang tua jenggot panjang itu. Sekonyong-konyong ia gentakkan tongkat bambunya ke
muka menutuk ke arah Hiat Sat Mo-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hiat Sat Mo-li kerutkan alis. Lalu kebutkan hud-tim menampar tongkat itu seraya membentak bengis:
“Apakah engkau mau cari mati?”
Tetapi ternyata orang tua berjenggot panjang itu lihay sekali. Cepat ia berputar tubuh, membabat pinggang
lawan.
Melihat dua buah serangan kakek itu amat ganas terkejutlah Hiat Sat Mo-li, pikirnya: “Apakah
kedudukannya dalam Naga Hijau? Mengapa tenaganya begitu sakti?”
Dengan kerahkan tenaga dalam nona itu dorongkan tangannya ke muka sembari menarik tubuh Bok-yong
Kang ke belakang, menyusul dia sendiripun cepat loncat mundur menghindari sambaran tongkat.
Kekek tua jenggot panjang tertawa dingin, lintangkan tongkat ia berseru: “Siapakah di antara kalian yang
bernama Mo-seng-li?”
Mo-seng-li tampil maju dan berseru: “Siapa engkau? Mengapa mencari aku?”
Orang tua jenggot panjang itu mengangkat muka memandang si nona.
“Aku Ko-tok Siu, Than-cu (ketua) dari Naga Hijau,” katanya, “aku hendak bertanya kepadamu. Ketiga jago
Go-bi Sam-hiap itu apakah terluka di tanganmu?”
Mendengar orang tua jenggot panjang salah seorang dari lima Than-cu perkumpulan Naga Hijau, diamdiam
terkejutlah Hiat Sat Mo-li.
Dengan pelahan, Lam-thian-ong maju ke muka dan berseru, “Ketiga jago Go-bi itu terluka di tanganku,
engkau mau apa?”
Ketua Naga Hijau bagian Sin-bok-than yalah Ko-tok Siu itu, termasyhur sekali di dunia persilatan.
Perkumpulan Naga Hijau mempunyai lima bagian yang dikepalai oleh seorang ketua dengan pangkat thancu.
Ko-tok Siu ketua bagian Sin-bok-than atau Paseban Kayu sakti.
Dengan menyebutkan namanya dimuka, Ko-tok Siu mengira kalau nona itu akan berlaku sungkan atau
memberi hormat kepadanya. Tetapi di luar dugaan ternyata Lam-thian-ong pun berani bersikap begitu kasar
kepadanya.
Tetapi Ko-tok Siu seorang jago tua yang sudah kenyang makan garam dunia persilatan. Pengalamannya
luas sekali. Pikirnya: “Kalau dapat melukai ketiga Go-bi Sam-hiap. tentulah orang ini memiliki kepandaian
yang luar biasa.”
Dengan pertimbangan itu, Ko-tok Siu lintangkan tongkat, bertanya “O, siapakah kiranya nama saudara?”
Masih dengan nada sinis, Lam-thian-ong menjawab: “Salah seorang dari keempat Thian-ong pimpinan Jin
Kian Pah-cu, namaku Lam-thian-ong.”
Ko-tok Siu kerutkan alis: “Dimanakah sekarang beradanya si Buddha tangan seribu Leng Bu-sia dan
Bintang meluncur lengan terbang Bwe Hui-ji?”
Tiba-tiba Lam-thian-ong berpaling ke arah Hiat Sat Mo-li,
“Hiat Sat Mo-li,” serunya, “yang penting kalian kejar Siau Mo saja. Orang-orang Naga Hijau ini serahkan
saja kepadaku.”
Hiat Sat Mo-li mengangkat kebutnya pelahan-lahan lalu berkata kepada si dara baju merah, “Sam-sumoay
bawalah pemuda itu, mari kita pergi.”
“Saat ini tempat di sini sudah dikepung rapat. Walaupun kalian berjumlah besar, juga tak mungkin dapat
lolos,” seru Ko-tok Siu.
“Dengan mengandalkan nama Naga Hijau saja apakah kalian sanggup menahan kami?” seru Lam-thianong.
“Kalau tak percaya silahkan coba sendiri!” kata Ko-tok Siu, “Beberapa di sekeliling tempat ini telah juga ketat
dijaga oleh anak buah Naga Hijau. Untuk menjaga datangnya bala bantuan dari pihakmu.”
Lam-thian-ong tertawa sinis.
“Kalau begitu aku ingin mengetahui kelihayan orang Naga Hijau.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata ia terus julurkan dua jari tangan kanannya untuk menutuk dada Ko-tok Siu.
Telah dikatakan di atas, Ko-tok Siu merupakan salah seorang dari kelima than-cu Naga Hijau. Sudah tentu
kepandaiannya amat sakti.
Sudah tentu serangan yang walaupun dilakukan secara menggelap dan tiba-tiba oleh Lam-thian-ong itu tak
mungkin dapat mengenai dirinya. Ia tabaskan tangan kiri kepergelangan tangan Lam-thian-ong dan
tongkatnya pun menyapu.
Lam-thian-ong tertawa seperti telah menduganya lebih dulu. Tubuhnya bergeliatan seperti menyusup ke
dalam sambaran tongkat dan menamparkan tangan kiri ke dada orang.
Apabila ko-jiu (orang sakti) bertempur, gerak dan perobahan jurus dilakukan hanya dalam sekejap mata.
Karena jurus serangannya gagal, saat itu Ko-tok Siu telah dikuasai lawan. Terpaksa ia loncat mundur tiga
langkah.
Pada saat kedua orang itu bertempur, si dara baju merah atau sumoay ketiga dari Mo-seng-li pun sudah
menghampiri ke muka Bok-yong Kang. Tiba-tiba dilihatnya pemuda itu sudah berdiri dan terus menendang
dara itu.
Dara baju merah tak menyangka akan menerima tendangan itu. Ia tak mengerti dan terkejut, mengapa Bokyong
Kang yang menurut keterangan Mo-seng-li tadi telah ditutuk jalan darahnya, saat itu ternyata dapat
membebaskan diri sendiri.
Tetapi dara baju merah itu berkepandaian tinggi. Dalam kejutnya ia masih sempat menggerakkan tangan
kanannya untuk menebas kaki Bok-yong Kang.
Bok-yong Kang terpaksa menarik pulang kakinya lalu loncat menyingkir setombak jahunya.
“Melihat gerakan Bok-yong Kang begitu lihay si nona baju biru atau Hiat Sat Mo-li segera berseru: “Samsumoay,
jangan lepaskan orang itu!”
Dara baju merah melengking terus menyerbu Bok-yong Kang. Tujuh buah serangan sekali gus
dihamburkannya seperti hujan mencurah.
Serangan yang deras itu memaksa Bok-yong Kang mundur sampat ke titian pintu.
Lam-thian-ong dan Ko-tok Siu pun terkejut melihat Bok-yong Kang mampu membebaskan sendiri jalan
darahnya yang tertutuk. Serempak kedua orang itu berpaling.
Ko-tok Siu menyaksikan sendiri tadi bahwa Bok-yong Kang telah ditutuk jalan darahnya oleh si nona baju
biru Hiat Sat Mo-li. Kalau dia mampu membuka jalan darahnya sendiri jelas tentu memiliki kepandaian yang
sakti. Tetapi mengapa begitu mudah ia dapat diringkus oleh si nona baju biru dan ditutuk jalan darahnya?
Kiranya Bok-yong Kang mempunyai rencana sendiri. Memang sengaja ia memberikan dirinya ditangkap si
nona baju biru dan ditutuk jalan darahnya. Agar dengan begitu ia dapat dibawa oleh rombongan nona itu
keluar dari kuil dan selamatlah Siau Mo dari sergapan mereka.
Tetapi perhitungannya itu kandas ketika mengetahui bahwa tempat di sekeliling kuil itu sudah dikepung
rapat sekali oleh orang-orang Naga Hijau.
Sia-sia ia menyerahkan diri pada rombongan nona-nona itu. Maka cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk
membuka jalan darahnya yang tertutuk itu.
Demikian karena mendengar perintah si nona baju biru maka dara baju merah itu pun menyerang dengan
gencar.
Bok-yong Kang pun marah. Cepat ia mengangkat tangan dan gunakan jurus pukulan Coan-sim-ciang atau
pukulan menyusup hati, memukul dada si dara baju merah.
“Hm, engkau memang harus mati,” si dara baju merah mendengus geram. Setelah menangkis pukulan, ia
loncat tamparkan tangan kanannya kepada lawan.
Melihat pukulan yang dilancarkan sam-sumoay itu, diam-diam Mo-seng-li terkejut dan mengeluh, “Tamatlah
engkau sekarang.”
Tetapi di luar dugaan telah terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan. Tepat pada saat dara baju merah itu
menampar sekonyong-konyong ia menjerit kaget,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aduh!”
Tubuhnya, terhuyung-huyung empat langkah ke belakang, “Huak,” mulutnya segera menguak
menyemburkan segumpal darah.
Peristiwa yang tak terduga-duga itu benar-benar telah terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan. Mereka
adalah tokoh-tokoh persilatan yang ternama. Tahulah mereka betapa dahsyatnya tenaga dalam yang
dipancarkan dari tamparan tangan dara baju merah itu kepada Bok-yong Kang. Mereka memastikan Bokyong
Kang tentu akan rubuh.
Merekapun sama sekali tak melihat pemuda itu gerakan tangan menangkis atau balas memukul. Tetapi
tahu-tahu dara baju merah itu sudah menjerit terhuyung-huyung dan muntah darah.
Nona baju biru atau Hiat Sat Mo-li juga terkejut sekali. Seketika seri wajahnya berobah pucat. Ia tahu bahwa
tamparan yang dilancarkan sam-sumoay itu disebut Sam-yang-ciang-keng atau Tiga tenaga positif. Sebuah
pukulan tenaga dalam yang bukan olah-olah hebatnya. Sekalipun sakti kepandaian Bok-yong Kang, juga
sukar untuk terlepas dari bencana.
Cepat Hiat Sat Mo-li melesat ke samping si dara baju merah: “Sam-sumoay, apakah engkau terluka berat?”
Sebenarnya Bok-yong Kang sendiri juga heran melihat peristiwa itu. Pada saat si dara baju merah
menamparnya segera ia rasakan dadanya terdampar oleh angin pukulan yang hangat. Dia memang
bingung bagaimana harus menghalau pukulan itu.
Tiba-tiba dari arah belakang, ia merasa didampar oleh segelombang tenaga dalam yang hebat. Dan tenaga
dalam itu seperti terus melanda ke arah si dara. Dan tahu-tahu si dara menjerit.
Bok-yong Kang terlongong-longong memandang si dara baju merah. Pikirnya menimang: “Siapakah yang
membantu secara diam-diam itu? Apakah Siau toako sudah siuman?”
Wajah si dara baju merah yang segar, saat itu tampak pucat seperti kertas. Mulutnya masih mengumur
darah.
“Toa-suci, aku....... aku terkena pukulan Sam-im-ciang. Huak……,” kembali ia muntah darah lagi dan tahutahu
rubuhlah ia tak sadarkan diri, di dalam pelukan Hiat Sat Mo-li.
Hiat Sat Mo-li terkejut lalu cepat menutuk tujuh buah jalan darah di bagian saluran urat Thay-im-king-meh.
Kemudian berpaling kepada Mo-seng-li,
“Ji-sumoay, lekas engkau panggul dia!”
Melihat sam-sumoay nya terluka begitu parah, Mo-seng-li terkejut bukan kepalang. Ia tahu bahwa di ruang
kuil hanya terdapat seorang tokoh sakti yang bersembunyi yalah Pendekar Ular Emas Siau Mo. Menilik
kepandaian Bok-yong Kang tak mungkin pemuda itu mampu melukai sam-sumoay nya sedemikian rupa.
Mo-seng-li maju menghampiri lalu menyanggapi tubuh si dara baju merah. Melihat wajah sam-sumoay nya
pucat seperti kertas, terharulah hati Mo-seng-li.
Saat itu Hiat Sat Mo-li memandang Bok-yong Kang dengan mata berkilat-kilat, serunya dingin: “Hm, tak kira
engkau telah menyembunyikan kepandaian yang hebat.”
Setenang kata-katanya, setenang itu pula ia pelahan-lahan maju menghampiri ke tempat Bok-yong Kang.
Tiba-tiba ia membentak pelahan:
“Kena!”
Kebut hud-tim tiba-tiba ditaburkan menjadi ratusan lembar kawat halus, menghamburkan menyerang
berpuluh jalan darah di tubuh Bok-yong Kang.
Jurus itu cepatnya seperti kilat menyambar-nyambar dahsyatnya bagai gunung meletus. Bagaimana pun
juga, Bok-yong Kang tentu sukar lolos dari serangan maut itu.
Tetapi kembali suatu peristiwa ajaib telah terjadi. Pada saat Hiat Sat Mo-li melancarkan serangan, tiba-tiba
setiup angin lembut menghambur ke arahnya dan bulu-bulu kuda dari kebut hud-timnya itu pun tersiak ke
samping.
Hiat Sat Mo-li terkejut. Cepat ia loncat mundur tiga langkah dan berteriak: “Hai, siapakah orang sakti yang
berada dalam ruang ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Teriakan nona baju biru itu telah menyadarkan perhatian sekalian orang. Serempak mereka mencurah
pandang ke arah ruang besar yang gelap pekat.
Teriakan Hiat Sat Mo-li itu tak bersambut suatu apa. Ruangan sunyi senyap tiada penyahutan.
Hiat Sat Mo-li mendengus dingin. Sekali melesat ia menyelinap dari samping Bok-yong Kang terus
menerobos ke dalam ruang besar.
Tiba-tiba dari ruang besar terdengar deru angin meniup dan pada lain saat Hiat Sat Mo-li pun loncat keluar
pula dari ruang besar itu.
Ketika sekalian orang memandang ternyata rambut nona baju biru itu sudah kusut masai, seraya
memandang ke arah ruang besar.
Saat itu dari ruang besar terdengar derap langkah orang berjalan keluar.
Bok-yong Kang tegang hatinya. Ia yakin yang keluar itu tentulah Siau Mo. Maka cepat ia berpaling dan
berseru: “Siau toako.”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya dan terbeliaklah kedua matanya memandang orang yang muncul keluar
itu.
Orang itu bukan Siau Mo melainkan seorang lelaki berjubah longgar dan mukanya ditutup dengan selubung
kain warna biru.
Ah, kiranya si Baju biru. Sudah dua-tiga kali Bok-yong Kang melihatnya. Sekalipun belum pernah melihat
bagaimana wajahnya, tetapi ia tak lupa akan perawakan orang itu.
Bukankah orang itu si Baju Biru yang mengendarai kuda hijau tempo hari?
Selekas Baju Biru itu muncul, sekalian anak buah perkumpulan Naga Hijau pun segera memberi hormat dan
serempak berseru, ”Semoga panjang usialah ketua Naga Hijau yang kami hormati!”
Bahkan Ko-tok Siu pun segera membungkukkan tubuh memberi hormat kepadanya. seraya berseru: “Harap
Pangcu memberi maaf atas kelengahan Sin Bok Than-cu Ko-tok Siu terlambat menyambut kedatangan
pangcu.”
Orang aneh baju biru itu hanya lambaikan lengan jubahnya yang gerombyongan tanpa menjawab dan
sekalian anak buah Naga Hijau itu pun segera berbangkit dan tegak berjajar di empat penjuru.
Hiat Sat Mo-li dan lain-lain orang terbeliak kaget. Orang aneh berkerudung kasa biru ternyata ketua
perkumpulan Naga Hijau seorang tokoh yang termasyhur di seluruh dunia persilatan.
05.21. Naga Lawan Harimau.
Orang aneh itu mengenakan jubah gerombyongan warna biru yang menutup seluruh tubuhnya sehingga
sukar mengetahui bagaimana perawakannya yang sesungguhnya, kurus atau gemuk, lelaki atau
perempuan.
Bahkan sepasang matanya tertutup oleh kain Sutera warna biru.
“O, kiranya saudara ini ketua Naga Hijau……, sungguh tak kira saat dan di tempat ini aku dapat berjumpa
dengan saudara,” kata Hiat Sat Mo-li dengan tertawa dingin.
Bok-yong Kang tetap resah. Ia kira yang muncul Siau Mo tetapi ternyata si orang aneh Baju Biru yang
misterius. Tetapi apa maksudnya dia muncul di kuil situ?
Walaupun tadi ketua Naga Hijau itu telah membantunya tetapi ia masih tidak tahu bagaimana tindakan
orang itu terhadap Siau Mo.
Karena tak tahan memikirkan keselamatan Siau Mo, tiba-tiba Bok-yong Kang terus lari menuju dalam ruang
besar.
Tetapi sekali orang aneh itu kebutkan lengan bajunya, Bok-yong Kang seperti dilanda oleh sebuah tenaga
dahsyat yang memaksanya tersurut mundur sampai ke titian.
“Bagaimana dengan toako ku?” teriak Siau Mo terkejut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi ketua Naga Hijau itu tak mau menjawab.
Tiba-tiba Lam-thian-ong tertawa dingin.
“Aha, ketua Naga Hijau ternyata seorang gagu!” serunya, “tetapi entah hanya pura-pura atau memang
sungguh-sungguh gagu!”
Habis berkata Lam-thian-ong terus memutar tubuh hendak menghampiri ke tempat ketua Naga Hijau itu.
Tetapi Ko-tok Siu cepat membentak dan lintangkan tongkatnya menghadang.
Lam-thian-ong tertawa dingin, ulurkan tangannya untuk menyambar tongkat itu. Tetapi secepat kilat Ko-tok
Siu gerakkan tongkatnya dalam jurus Sun-cui-thui-cou atau Menurut air mendorong perahu untuk menutuk
orang itu.
Ko-tok Siu memiliki tenaga dalam yang hebat.
Walaupun jurus itu hanya biasa tetapi di tangannya telah berobah menjadi serangan yang berbahaya sekali,
Lam-thian-ong terkesiap, lalu condongkan tubuh ke samping, balas memukul dengan jurus Angin puyuh
menyambar pohon liu.
Ko-tok Siu dipaksa harus mundur sampai tiga langkah.
“Lam-thian-ong, mari kita lekas mundur,” seru Hiat Sat Mo-li.
Sebenarnya saat itu Lam-thian-ong hendak lancarkan serangan. Demi mendengar teriakan Hiat Sat Mo-li, ia
tertawa dingin lalu loncat mundur setombak jauhnya.
Ternyata nona baju biru itu tajam sekali nalurinya. Tiga jurus adu pukulan dengan ketua Naga Hijau, segera
ia merasakan bahwa tenaga orang itu memang luar biasa hebatnya. Ia menyadari kalau tak mampu
mengimbangi.
Sam-sumoay nya atau si dara baju merah sudah terluka di tangan ketua Naga Hijau itu. Kalau ia tetap
nekad bertempur tentu berbahaya akibatnya. Maka ia memutuskan untuk mundur,
Tiba-tiba ketua Naga Hijau atau si orang baju biru yang sejak tadi tegak berdiam diri di pintu, tiba-tiba
melesat maju.
Hiat Sat Mo-li menjerit lalu tamparkan kebutnya ke arah ketua Naga Hijau itu. Jurus yang dilancarkan itu
teramat ganas. Jurus maut.
Bulu suri yang semula lemas, karena disaluri tenaga dalam si nona, telah berobah kaku dan tajam seperti
jarum. Dan kebutan itu mengarah jalan darah maut dari tubuh lawan.
Kenekadan nona itu memaksa ketua Naga Hijau tak dapat mendekatinya.
Dalam pada itu Bok-yong Kang timbul gagasan. Selagi kedua orang itu bertempur, mengapa ia tak
menerobos masuk untuk mencari Siau Mo.
Dan cepatlah ia melaksanakan rencana itu. Ia menerobos ke dalam ruang, langsung menuju ke bawah meja
sembahyangan dan melongok. Ah, ternyata Siau Mo masih tetap rebah membujur di lantai.
Bok-yong Kang terkejut. Buru-buru ia berjongkok ulurkan tangan merabah hidung Siau Mo.
Tiba-tiba Siau Mo deliki mata dan secepat kilat mencengkeram pergelangan tangan Bok-yong Kang.
“Toako, akulah,” Bok-yong Kang terkejut dan buru-buru berseru.
Siau Mo lepaskan cekalannya lalu bergeliat duduk, tangannya: “Bokyong-te, dimana Mo-seng-li?”
Melihat Siau Mo sudah tersadar dan pulih kesadaran pikirannya, Bok-yong Kang girang sekali, “Toako, ah,
engkau benar-benar sembuh. Kukira kita sudah takkan berjumpa lagi.......”
Siau Mo kerutkan alis dan bertanya: “Siapakah yang bertempur di luar itu?”
Ternyata saat itu di luar kuil memang terdengar hiruk pikuk pekik jeritan yang ngeri, suara orang mengerang
dan menggeram serta derap langkah orang berkejar-kejaran.
Jelas tentulah Mo-seng-li dan rombongannya telah bertempur dengan anak buah Naga Hijau.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pihak rombongan Mo-seng-li lawan orang-orang Naga Hijau,” kata Bok-yong Kang.
Wajah Siau Mo agak berobah, serunya gopoh: “Bokyong-te, kau lidungi aku. Aku hendak mengerahkan
tenaga dalam untuk mengeluarkan racun dalam tubuhku. Rupanya mereka hendak tinggalkan tempat ini.
Kalau semua jarum Ular Emas itu sampai dibawa Mo-seng-li, akibat di belakang hari tentu hebat sekali.”
“Toako, mengapa ke empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu dianggap sebagai pusaka nomor satu di
dunia persilatan?” tanya Bok-yong Kang.
Siau Mo gelengkan kepala.
“Aku sendiri juga tak jelas,” katanya, “tetapi sekarang kuketahui bahwa jarum-jarum Ular Emas itu
menyangkut sebuah rahasia besar dalam dunia persilatan. Ai, sayang dari empatpuluh tujuh batang jarum
itu aku hanya mengambil duapuluh empat batang.......”
Habis berkata ia terus meraba dadanya. “Hai!” tiba-tiba ia berteriak kaget, “kemana sisa tujuh batang jarum
yang masih kusimpan itu?”
Bok-yong Kang juga terkejut: “Apa? Sisa jarum Ular Emas yang ada pada toako itu hilang semua?”
“Bokyong-te,” kata Siau Mo, “bagaimanakah peristiwanya? Ketujuh batang jarum Ular Emas itu tentu diambil
oleh Mo-seng-li.”
Bok-yong Kang merenung lalu berkata: “Hm, tentu ketua Naga Hijau itu yang mengambilnya.......”
Bok-yong Kang memang menyaksikan sendiri bahwa Mo-seng-li tak pernah menggeledah tubuh Siau Mo.
Maka ia duga tentulah ketua Naga Hijau itu yang bertindak di waktu Siau Mo pingsan.
“Apa?” Siau Mo makin kaget, “ketua Naga Hijau juga datang ke Lok-yang....... Bokyong-te, nanti engkau
harus menerangkan dengan lengkap apa yang telah terjadi selama aku dalam keadaan pingsan. Nah,
sekarang aku hendak segera melenyapkan racun dari senjata rahasia itu.”
Saat itu suara hiruk pikuk dari pertempuran sudah agak jauh dari ruang besar. Ketika Bok-yong Kang lari
keluar, dilihatnya di halaman kuil itu memang sudah sepi dan gelap. Tujuh sosok tubuh orang menggeletak
tak bernyawa.
Melihat itu Bok-yong Kang menghela napas, “Ah, pertempuran telah berlangsung begitu cepat. Tadi di
halaman penuh dengan jago-jago silat, mengapa dalam waktu beberapa kejap saja sudah sunyi lagi.”
Segera ia kembali masuk kedalam. Tampak Siau Mo duduk bersila pejamkan mata. Wajahnya tegang dan
membesi. Bok-yong Kang tahu bahwa toakonya itu tentu tengah menyalurkan tenaga murni untuk
mengenyahkan racun yang bersarang dalam tubuhnya. Segera ia menjaga di sisi Siau Mo.
Sepeminum teh lamanya tiba-tiba Siau Mo berseru: “Bokyong-te, mari kita lekas kejar Mo-seng-li!”
Dari sudut ruang, tiba-tiba pula terdengar lengking suara seorang nona: “Tak perlu engkau kejar, aku sudah
berada di sini.”
Dan seiring dengan kata-kata itu dari sudut ruang yang gelap, muncullah seorang nona berpakaian baju
hitam. Ah, siapa lagi kalau bukan si jelita yang menggunakan nama seram sebagai Mo-seng-li atau Wanita
Suara Iblis!
Kejut Bok-yong Kang bukan alang kepalang. Mengapa Mo-seng-li masih berada di situ? Mengapa dia tak
ikut lari dengan suci dan sumoaynya? Apakah dia tak takut Siau Mo akan menangkapnya?
Saat itu Siau Mo pun sudah berbangkit dan mendengus dingin: “Bagus, dengan begitu dapat menghemat
waktu dan tenagaku.”
Mo-seng-li tertawa pelahan: “Ah, belum tentu.”
Sekonyong-konyong Siau Mo ayunkan tubuh dan lepaskan sebuah pukulan. Mo-seng-li cepat berputar
tubuh menyingkir lima langkah lalu membentak: “Siau Mo, berhenti dulu!”
Siau Mo segera hentikan gerakannya dan tertawa dingin.
“Di nirwana yang pintunya terbuka engkau tak mau masuk. Tetapi malah mencari Neraka yang tak ada
pintunya. Hm, hm...... Mo-seng-li, lebih dulu kuperingatkan kepadamu, janganlah engkau unjuk tingkah
dihadapanku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Berhenti sejenak, Siau Mo melanjutkan pula: “Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa Siau Mo takkan
mudah-mudah melepaskan engkau?”
Nona itu tertawa hambar. “Sudah tentu tahu. Karena aku mengetahui rahasia dari penyakit jantungmu. Siau
Mo, jika aku sungguh-sungguh hendak membunuhmu, masakan engkau dapat hidup sam¬pai saat ini.”
Siau Mo tertegun.
“Engkau berani masuk ke dalam jaring. Nyalimu sungguh terpuji. Lalu apa yang hendak eng¬kau katakan
sekarang?”
Mo-seng-li tengadahkan kepala tertawa melengking: “Benar, memang aku mempunyai sebuah hal yang
hendak kurundingkan dengan engkau.”
Siau Mo kerutkan alis.
“Apakah yang hendak engkau rundingkan dengan aku? Lekas katakan!” serunya.
“Soal rahasia besar yang menyangkut kehidupan dunia persilatan. Lebih dahulu kuminta engkau suka ikut
menemui seseorang.”
Siau Mo tertawa dingin.
“Bukankah engkau hendak membawa aku menemui Pah-cu? Lebih dahulu engkau harus mengatakan,
bagaimana sebenarnya Jin Kian Pah-cu itu?”
Mo-seng-li menyahut hambar: “Jin Kian Pah-cu, seorang manusia yang mempunyai muka dan mulut,
wataknya dingin dan kejam, tetapi hatinya amat lapang sekali. Seorang wanita yang hendak mendirikan
usaha besar dalam dunia persilatan. Tetapi aku bukan hendak mengajakmu menghadap beliau, melainkan
hendak menemui Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho!”
Mendengar kata-kata itu terbeliaklah seketika Siau Mo dan Bok-yong Kang. Pikirnya: “Untuk apa dia hendak
mengajak aku menemui Nyo Jong-ho? Bukankah tadi Mo-seng-li sudah mengatakan kalau Nyo Jong-ho
sudah dikirim ke Lembah Kumandang?”
“Dimana dia sekarang?” seru Siau Mo.
“Dia tinggal di rumah seorang yang sepi sekali tempatnya dan terpisah kira-kira tujuh lie dari sini. Sudahlah,
jangan berayal agar jangan sampai timbul perobahan lagi. Lekaslah engkau ikut aku ke sana!”
“Hm, baik, engkau tunjukkan jalannya,” Siau Mo tertawa dingin.
Mo-seng-li mengangguk lalu berputar tubuh, lalu keluar dari ruang besar dan lari menuju ke barat. Siau Mo
dan Bok-yong Kang pun mengikutinya dari belakang.
Mereka bertiga menggunakan ilmu lari cepat sehingga tampaknya seperti kuda lari.
Pada waktu lari, Siau Mo membisiki Bok-yong Kang: “Bokyong-te, perempuan ini penuh dengan rahasia
sehingga orang sukar menduga isi hatinya. Kita harus hati-hati. Sekarang aku hendak menyusul di sisinya.”
Habis berkata Siau Mo terus kencangkan larinya dan cepat sudah menyusul di sisi kiri Mo-seng-li.
Tiba-tiba nona itu berkata: “Sekarang aku hendak mengatakan sebuah hal kepadamu. Mungkin engkau tak
percaya. Dewasa ini dunia persilatan sudah mengandung suatu bahaya terpendam yang hebat sekali.
Bahaya itu mengancam keselamatan beribu jiwa kaum persilatan.”
“Bahaya itu hanya engkau seorang yang menciptakan,” kata Siau Mo dingin, “agar seluruh dunia persilatan
menganggap pihak Lembah Kumandang itu memiliki suatu kekuatan gaib.”
Mo-seng-li gelengkan kepala.
“Bukan,” sahutnya, “bahaya itu timbul dari adanya Tiga Pusaka dunia persilatan.”
Dalam pada mereka berlari, saat itu dari arah barat terdengar sebuah suara aneh berseru: “Mo-seng-li, Moseng-
li.......”
Suara itu memiliki suatu pengaruh hebat dalam hati orang. Mendengar itu Mo-seng-li menjerit dan terus
rubuh ke tanah……
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo terkejut sekali. Cepat ia berputar dan berhenti di samping nona itu.
Tampak wajah Mo-seng-li pucat lesi dan berseru dengan gelisah: “Toa-suciku telah menggunakan ilmu sihir
Kiu-im-sip-sim-mo-hwat memanggil aku. Engkau...... engkau lekas menutuk jalan darahku di bagian Sin-kihiat.......”
Saat itu kembali terdengar suara orang aneh itu memanggil-manggil “Mo-seng-li, Mo-seng-li.......”
Siau Mo cepat lakukan perintah si nona. Dia gunakan dua buah jari untuk menutuk jalan darah di bagian
Sin-ki-hiat tubuh si nona.
Heran!
Begitu jalan darah itu ditutuk, maka wajah yang takut dan tangan dari Mo-seng-li itupun segera lenyap.
Tetapi ia tetap duduk di tanah. Sepasang matanya yang indah berkilau-kilau menatap Siau Mo.
Tetapi Siau Mo tak mau menyambut dan palingkan muka memandang ke arah lain.
Dalam pada itu Bok-yong Kang heran sekali mengapa Mo-seng-li begitu ketakutan mendengar suara itu.
Setelah terdengar beberapa saat, suara itu, lenyap dari udara.
Siau Mo pun segera pelahan-lahan menutuk jalan darah si nona agar terbuka lagi.
Mo-seng-li menghela napas.
“Meskipun baru dua bagian dapat mempelajari ilmu Kiu-im-sip-sim-mo-hwat tetapi toa-suci sudah dapat
menguasai semangatku,” katanya.
Siau Mo terkejut.
“Siapakah sesungguhnya Jin Kian Pah-cu itu?” tanyanya, “siapa namanya? Apakah engkau dapat
memberitahu kepadaku?”
Mo-seng-li gelengkan kepala.
“Walaupun sudah tujuh-delapan tahun bersama-sama melayani beliau, tetapi kami bertiga saudara
seperguruan ini tetap tak dapat mengetahui nama beliau. Bahkan bagaimana wajahnya yang
sesungguhnya, kamipun tak jelas,” sahut Mo-seng-li.
Tiba-tiba Siau Mo tengadahkan kepala dan menghela napas panjang,
“Ah, sungguh aneh sekali. Seperti engkau sendiri, dalam beberapa hari ini memang agak aneh bicara, sikap
dan tingkah lakumu.......”
Siau Mo berhenti sejenak lalu melanjutkan lagi: “Kalau begitu, tulisan pada saputangan yang kudapati di
dalam hotel Long-hun-gek-can itu, tentu engkau yang menulisnya.”
Mo-seng-li terbeliak kaget. Setitikpun ia tak mengira kalau Siau Mo masih mengingat peristiwa di hotel
Liong-hun-gek-can. Diam-diam ia memuji ingatan Siau Mo yang luar biasa kuatnya.
Mo-seng-li tersenyum, serunya: “Ingatanmu yang luar biasa tajamnya, sungguh mengagumkan sekali.
Apalagi yang harus kukatakan.”
Mendengar ucapan nona itu diam-diam Bok-yong Kang bergirang hati: “Ah, kalau begitu jelas Mo-seng-li itu
seorang nona dari aliran Putih……”
Teringatlah Bok-yong Kang pula bahwa tulisan pada saputangan yang ditinggalkan Mo-seng-li di hotel itu
berbunyi, “semula aku curiga terhadap anda, tetapi saat ini kecurigaanku sudah lenyap....... saat ini musuh
kuat sedang mengepung, harap anda waspada……”
Ah, jika benar-benar tulisan itu Mo-seng-li yang menulis, jelas nona itu tak mempunyai rasa permusuhan
terhadap Siau Mo.
Tampak Siau Mo merenung diam. Beberapa saat kemudian ia kedengaran menghela napas pelahan.
“Jika dugaanku tak salah, engkau tentulah si Baju Biru yang misterius itu atau sama dengan ketua Naga
Hijau.”
dunia-kangouw.blogspot.com
05.22. Saling Membuka Jati Diri
Bok-yong Kang seperti dipagut ular kejutnya. Ia menganggap kata-kata Siau Mo itu tak mungkin terjadi, ya,
mustahil apabila Mo-seng-li itu ketua Naga Hijau!
Masih Bok-yong Kang melanjutkan pengupasannya: “Mengapa Siau toako mengatakan Mo-seng-li itu si
orang Baju Biru? Bukankah tadi ketua Naga Hijau muncul di dalam kuil dan berhadapan dengan Mo-sengli?
Sejauh ini, toako selalu dapat menduga setiap peristiwa dengan tepat tetapi kali ini tentu salah……”
Bok-yong Kang cepat berpaling ke arah Mo-seng-li. Dilihatnya Wajah nona itu mengulum senyum yang
misterius, serunya: “Pendekar Ular Emas Siau Mo, memang tak kecewa sebagai seorang yang berbakat
luar biasa. Mengapa heran?”
Mendengar kata-kata nona itu, kejut Bok-yong Kang makin menjadi-jadi.
“Engkau,....... engkau benar ketua Naga Hijau? Lalu siapakah ketua Naga Hijau yang muncul dalam kuil
itu……?” serunya tersekat-sekat.
Mo-seng-li tertawa datar.
“Nyo Cu-ing……” sahutnya dengan enak, sambil mengemasi rambutnya yang terurai kemudian nona itu
berdiri dan berkata pula: “Baiklah, menggunakan kesempatan saat ini, akan kuceritakan kepada kalian
semua peristiwa yang membingungkan kalian ini……”
Mo-seng-li terus ayunkan langkah menuju ke lereng gunung yang berada di sebelah kanan.
Rupanya Bok-yong Kang masih tak percaya pada pendengarannya. Ia benar-benar tak percaya sedikitpun
bahwa Mo-seng-li itu adalah si orang si Baju Biru atau ketua Naga Hijau.
Bok-yong Kang segera berpaling memandang Siau Mo, tanyanya: “Toako, mungkinkah hal itu?”
Siau Mo mengangguk.
“Dia adalah Mo-seng-li, juga si Baju Biru dan ketua Naga Hijau pula. Apa sebabnya aku sendiripun tak
dapat mengetahui jelas. Tetapi di dunia ini memang banyak hal yang sering tak dapat dimengerti orang,”
katanya.
Saat itu Mo-seng-li pun sudah menuju ke sebuah tanah rumput yang bersih dan segera melambaikan
tangannya. “Siau sauhiap, silahkan kalian kemari beromong-omong.”
Bok-yong Kang berkata pelahan: “Kalau dia benar ketua Naga Hijau, mengapa ada kalanya
kepandaiannya.......”
Tetapi ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saat itu Siau Mo pun sudah menarik tangannya diajak
berjalan pelahan-lahan. Tiba-tiba telinga Bok-yong Kang mendengar suara macam nyamuk mengiang.
Ternyata suara itu berasal dari Siau Mo yang menggunakan ilmu Menyusup suara.
“Mengapa ada kalanya kepandaian nona itu sakti tetapi ada kalanya lemah, akupun tak mengerti. Mungkin
hanya pura-pura saja. Agar orang jangan sampai mengetahui kalau dirinya ketua Naga Hijau yang sakti.
Semoga kesemuanya itu benar dan semoga pula kuharap ia jangan sampai memimpin anak buah Naga
Hijau ke jalan yang sesat,” kata Siau Mo.
Melihat kedatangan kedua pemuda itu, Mo-seng-li segera menunjuk pada dua gunduk batu: “Di gunung
belantara, tak ada tempat yang bagus. Silahkan kalian duduk di batu itu untuk mendengarkan ceritaku.”
Setelah Siau Mo dan Bok-yong Kang duduk maka Mo-seng-li segera membuka pembicaraan,
“Lebih dulu ijinkanlah aku memperkenalkan diri. Aku orang she Ui, namaku Hun-ing.......”
Siau Mo batuk-batuk kecil, pikirnya: “Ui Hun-ing, si burung Kenari Kuning. Wahai...... betapa indah namamu
itu. Orangnya pun secantik namanya. Dia muncul dan lenyap bagai burung Kenari di atas mega yang
kuning.......”
Hun-ing menghela napas.
“Tetapi.......,” katanya, “aku sendiri juga belum pasti apakah Ui Hun-ing itu namaku yang aseli. Karena sejak
kecil aku sudah sebatang kara dan sejak kecil pula telah dipelihara oleh suhuku Jin Kian Pah-cu.......”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona Ui,” tiba-tiba Siau Mo menukas kata-kata si nona, “mengapa engkau hendak menghianati orang yang
telah melepas budi besar kepadamu yalah Jin Kian Pah-cu itu?”
Hun-ing tersenyum.
“Siau sauhiap,” katanya. “tak perlu engkau berprasangka jelek. Sebenarnya aku memang tak sampai hati
untuk melupakan budi suhu yang sebesar lautan itu. Tetapi suhu seorang yang berhati kejam dan ganas
sekali. Aku tak sampai hati melihat kaum persilatan menjadi tumpukan bangkai akibat nafsu pembunuhan
suhuku. Tiga tahun yang lalu, aku telah membawa perintah gi-bo (ibu angkat) untuk mencari Tiga Pusaka
dunia persilatan.......”
Belum si nona selesai bercerita. Tiba-tiba Bok-yong Kang sudah menukas: “Nona Ui, selain jarum Ular
Emas, pena Keng-hun-pit, masih ada pusaka apa lagi yang disebut Tiga Pusaka itu?”
“Ciang-li-hiat-cian......” sahut Hun-ing.
Ciang-li-hiat-cian artinya Panah darah seribu lie. Panah pencari darah orang yang dapat melayang sampai
seribu lie jauhnya.
“Apakah maksud Jin Kian Pah-cu menyuruh nona mencari Tiga Pusaka dunia persilatan itu?” tanya Siau Mo
“Gi-bo mencari Tiga Pusaka itu tak lain tujuannya yalah hendak mengalahkan tiga orang sakti dalam dunia
persilatan,” kata Hun-ing.
Siau Mo meregang alis, serunya: “Siapakah ketiga orang sakti yang dimaksudkan suhu nona itu?”
Sahut Hun-ing: “Siapa ketiga orang sakti itu, aku sendiripun juga tak tahu. Karena Gi-bo pun tak
mengatakan kepadaku. Tetapi kutahu bahwa gi-bo memang mendendam kepada ketiga orang sakti itu,
tetapi beliau takut kepada mereka……”
Berhenti sejenak, Hun-ing melanjutkan pula: “Maka akan kubawa kalian kepada Nyo Jong-ho tak lain yalah
hendak meminta keterangan kepadanya, siapakah sesungguhnya ketiga orang sakti itu. Dan lain-lain
peristiwa dunia persilatan yang selama ini merupakan rahasia, mungkin juga bisa diketahui dari dia.”
Siau Mo menghela napas.
“Nona Ui, maafkan kalau aku bicara dengan blak-blakan. Terus terang, sampat saat ini, aku tetap
mencurigai dirimu.”
Hun-ing tertawa mengikik,
“Hal itu akupun tak mempersalahkan engkau,” katanya, “engkau tak percaya kepadaku sudah tentu karena
engkau mempunyai pandangan tersendiri. Memang baru beberapa saat tadi aku seorang Wanita Suara Iblis
yang ganas, kemudian tiba-tiba saat ini berobah menjadi seorang baik. Sikapku memang mengherankan
engkau. Mengapa sejak kecil dipelihara orang, tahu-tahu setelah besar akan menghianatinya. Tindakanku
yang bolak-balik tak menentu itu, memang mudah menimbulkan kecurigaan orang. Tetapi ketahuilah Siau
Mo, ada kalanya engkau sendiripun terpaksa harus berbuat begitu.”
Nona itu berhenti lagi, lalu melanjutkan.
“Terus terang, suhulah pada tiga tahun yang lalu Gi-bo memberi Ciang-li Hiat-cian kepadaku, yalah pusaka
dari ketua perkumpulan Naga Hijau, “Tujuannya tak lain untuk mengacau perkumpulan itu. Tetapi entah,
aku mempunyai perasaan sendiri......”
Siau Mo berkata hambar: “Engkau tentu timbul pikiran untuk menjagoi dunia persilatan dan akan bertanding
dengan suhumu untuk menentukan siapa yang lebih sakti?”
Hun-ing tersenyum.
“Benar,” sahutnya, “karena sejak kecil diasuh oleh suhu, akupun mewariskan juga sifat-sifatnya yang kejam
dan licin, ganas dah licik. Pada masa itu aku merasa bahwa kepandaianku tak di bawah suhu. Lalu timbul
pertanyaan dalam hatiku. Mengapa aku harus menerima perintahnya? Bukankah dengan begitu berarti aku
memendam diriku sendiri......”
Bok-yong Kang dan Siau Mo diam-diam terkejut mendengar pengakuan nona itn. Pikirnya: “Pikirannya,
sungguh jahat sekali. Tak kira kalau terhadap seorang ibu angkat yang telah melepas budi sedemikian
besar, dia tetap mengandung pikiran sejahat itu...... “
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kedua pemuda itu diam saja, Hun-ing pun melanjutkan ceritanya.
“Tetapi, orang mengatakan dekat dengan gincu tentu merah, dekat tinta tentu hitam. Pepatah itu memang
benar. Pada waktu aku tinggalkan suhu dan berkelana di dunia persilatan, boleh dikata aku banyak
berhubungan dengan orang-orang persilatan golongan Hiap-gi (kesatria). Mereka pendekar-pendekar yang
luhur budi dan perwira. Lambat laun sifat-sifat jahat yang kuwarisi dari gi-bo, makin luntur. Dan mulailah aku
menyesal atas perjalanan hidupku yang lalu...... Lewat perenungan dan penilaian yang lama, akhirnya
kuputuskan untuk memasuki sebuah perkumpulan yang beraliran Putih. Dan perkumpulan inilah yang akan
kupersiapkan untuk menghadapi markas gerombolan Lembah Kumandang yang jahat itu......”
Berhenti sejenak untuk merenung, nona itupun melanjutkan pula.
“Dua tahun sudah aku menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Banyak rencana dan tindakan yang telah
kulakukan. Walaupun aku tak berani mengatakan bahwa seluruhnya baik dan berhasil, tetapi sekurangkurangnya
Naga Hijau telah berhasil merebut nama harum.”
Siau Mo menghela napas dan memuji.
“Kesadaran dan keberanian nona untuk meninggalkan kejahatan dan kembali ke jalan yang terang, benarbenar
aku Siau Mo harus memberi hormat. Sungguh mengagumkan sekali dan tak perlu harus disesalkan.”
Mendengar pernyataan Siau Mo itu, dapatlah Bok-yong Kang menyadari bahwa kata-kata toakonya itu
memang mengandung arti tersendiri. Karena selama ini sepak terjang Siau Mo itu memang masih belum
mempunyai warna yang jelas, Hitam atau Putih.
Tiba-tiba sepasang mata Hun-ing memancar kilat tajam.
“Tentang sepak terjang Siau sauhiap selama berkecimpung dalam dunia persilatan,” kata nona, “pernah
kuperintahkan orangku untuk diam-diam menyelidiki. Bahkan sekali pernah kuperintahkan anak buahku
untuk mengejar dan membunuh sauhiap. Tetapi karena jejakmu sukar diduga, muncul dan lenyap tanpa
diketahui, maka tiga-empat kali mengejar, orang-orang Naga Hijau yang terdiri dari jago-jago sakti itu tak
berhasil menemukan dirimu. Maka pada tahun yang lalu, aku terpaksa keluar sendiri. Dan kala itulah aku
baru mengetahui bahwa engkau memiliki salah sebuah dari Tiga Pusaka dunia persilatan yalah jarum Ular
Emas. Dan sejak itulah maka aku selalu membayangimu dari dekat……”
Si nona itu berhenti sejenak lalu melanjutkan pula:
“Kudapati sepak terjangmu, tidaklah sejahat seperti yang tersiar di dunia persilatan. Sejak itu berobahlah
pandanganku. Kuanggap engkau seorang tunas yang memiliki bakat amat luar biasa. Apa yang engkau
lakukan selama ini adalah karena engkau menderita penyakit. Bukan karena suara hatimu sendiri.
Melainkan lebih banyak dipengaruhi oleh rasa putus asa dan kebencian. Tetapi apa yang engkau ucapkan
ketika berada di hutan lembah kemarin, bahwa engkau akan berusaha untuk menyelamatkan dunia
persilatan dari kehancuran, benar-benar mengharukan dan menggembirakan sekali. Akupun makin
mengagumimu.”
Bok-yong Kang seperti orang yang tersadar dari kegelapan. Ia mengangguk-angguk kepala dan berpikir:
“Ah, itulah sebabnya mengapa Mo-seng-li selalu membayangi jejak toako saja.”
Siau Mo tertawa gelak-gelak.
“Mendengar ucapan Ui Pangcu yang begitu memuji setinggi langit, sungguh menyebabkan Siau Mo
gelisah!”
Kata Hun-ing: “Ah, engkau terlalu merendah diri. Pada hal apa yang engkau lakukan selama ini, kecuali
hanya dipengaruhi oleh nafsu-nafsu kemarahan, lain-lain hal rasanya tak ada yang harus dibuat malu.”
Wajah Siau Mo berobah serius.
“Memang akupun sudah tahu apa yang kulakukan dahulu adalah semata-mata karena keadaan tubuhku
sehingga sering hatiku timbul walaupun ada kalanya tak menurut garis kebenaran dan bahkan setempo
memang ganas, tetapi hal itu disebabkan karena keadaan yang terpaksa. Keadaan yang sebenarnya di luar
dari kehendakku......”
“Siau sauhiap,” kata Hun-ing, “sekarang sudah menumpah isi diri kita. Segala kesalahan paham saat inipun
sudah cair. Sekarang kita bakal menghadapi suatu bahaya besar yang harus segera kita atasi. Aku hanya
seorang anak perempuan, tak mungkin akan terus berkecimpung dalam pergolakan dunia persilatan. Pula
dunia-kangouw.blogspot.com
tak mampu untuk menghadapi peristiwa besar itu. Oleh karena itu maka aku bermaksud hendak
menyerahkan kedudukan ketua Naga Hijau itu kepada orang......”
Si nona hentikan kata-katanya dan memandang kepada Siau Mo.
Bahwa nona itu telah menjelaskan keadaan diri dengan terus terang, diam-diam Bok-yong Kang gembira
sekali. Tetapi setitikpun ia tak menyangka kalau nona itu begitu mengindahkan sekali kepada Siau Mo
sehingga rela menyerahkan kedudukan sepenting itu. Apabila toakonya itu mau menerima jabatan tersebut,
ah, benar-benar suatu hal yang amat menguntungkan bagi dunia persilatan.
Tetapi di luar dugaan, Siau Mo hanya tertawa rawan.
“Nona Ui, engkau sesungguhnya seorang dewi yang menjelma di dunia. Baik kecerdasan maupun ilmu
kesaktianmu, jarang terdapat keduanya di dunia persilatan,” kata Siau Mo, “kalau seorang seperti engkau
tak berani menjabat kedudukan ketua Naga Hijau, lalu siapa lagi orang yang berani menjabatnya?”
Dengan pandang mata yang penuh arti, Hun-ing menatap Siau Mo.
“Kutahu dalam dunia ini hanya seorang yang dapat mengalahkan aku dalam kecerdasan dan ilmu
kesaktian. Kalau dia mau menerima jabatan sebagai ketua Naga Hijau dan akupun membantunya dari
belakang, kuberani memastikan bahwa Naga Hijau tentu mampu mengatasi aliran-aliran hitam yang
manapun juga.......”
Hun-ing berhenti untuk menghela napas.
“Gi-bo seorang yang berhati tinggi dan angkuh,” katanya pula, “dan mempunyai anak buah jago-jago silat
yang lihay. Kalau hanya aku seorang diri, jelas tentu sukar menghadapi mereka. Seperti apa yang terjadi
hari ini, toa-suciku Hiat Sat Mo-li telah muncul di Lok-yang. Jelas dia tentu dikirim oleh suhu kemari untuk
menghadapi aku. Dengan demikian jelas pula kalau beliau tentu sudah mendengar tentang gerak gerikku
yang hendak menentang Lembah Kumandang.”
“Ui Pangcu memiliki kepandaian yang amat sakti,” kata Bok-yong Kang, “kurasa toa-sucimu tentu tak dapat
berbuat apa-apa kepadamu.”
Hun-ing geleng-geleng kepala dan menghela napas,
“Diantara kami bertiga saudara seperguruan walaupun belum tentu aku kalah dengan toa-suci, tetapi karena
sudah tiga tahun aku pergi dari Lembah Kumandang maka tak dapatlah kuketahui sampai dimana tingkat
pelajaran yang telah dicapai toa-suci dan sam-sumoay sekarang. Misalnya seperti ilmu Kiu-im-sip-sim-mo
yang dilantangkan toa-suci tadi, itulah suatu ilmu yang khusus untuk menggempur kelemahanku. Dengan
bukti itu jelas kalau gi-bo tentu sudah mengajarkan kepada toa-suci ilmu istimewa yang khusus untuk
menghancurkan ilmu kepandaianku.”
Bok-yong Kang terkejut, pikirnya: “apakah di dunia ini benar-benar terdapat ilmu suara yang begitu sakti
sehingga dapat menghancurkan ilmu kepandaian orang?”
Dengan mata yang memancar kecemasan nona itu berkata lagi: “Telah kukatakan bahwa gi-bo itu seorang
wanita yang luar biasa kejamnya. Karena beliau tahu aku hendak berkhianat maka beliau tentu takkan
memberi ampun lagi. Begitu aku berada dalam genggamannya. Naga Hijau tentu akan menjadi ular tanpa
kepala. Oleh karena itu maka sejak beberapa waktu aku sudah memikir untuk mencari penggantiku sebagai
ketua Naga Hijau. Apabila Siau sauhiap benar-benar memiliki jiwa kesatrya, mau menyelamatkan dunia
persilatan dari bencana kehancuran, tentulah sauhiap mau menerima jabatan itu. Dengan mempunyai
seorang ketua seperti Siau sauhiap, Naga Hijau pasti akan dapat memenuhi harapan seluruh kaum
persilatan.”
Mendengar itu tergerak juga hati Siau Mo.
“Walaupun aku mempunyai cita-cita hendak menyelamatkan dunia persilatan tetapi siapakah yang tahu
akan keadaan diriku? Ah, karena bingung mengatasi penyakit dalam diriku maka aku telah minum racun.
Sekarang jiwaku hanya tinggal seratus hari. Apabila harus dipersingkat lagi...... ah, dalam waktu yang begitu
singkat, apakah yang dapat kukerjakan untuk kepentingan dunia persilatan?” pikirnya.
Hun-ing menghela napas rawan.
“Siau sauhiap,” katanya, “kutahu apa yang engkau pikirkan. Memang hidup manusia itu amat pendek, tetapi
apabila dalam hidupnya yang pendek itu kita dapat berusaha keras, kemungkinan tentu akan memperoleh
apa yang kita cita-citakan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Mo merenung diam. Wajahnya berobah-robah tak menentu.
Hun-ing dan Bok-yong Kang memandang lekat-lekat ke arah wajah Siau Mo. Mereka tahu bahwa Siau Mo
tentu sedang mempertimbangkan suatu soal penting.
Tiba-tiba mata Siau Mo memancarkan kilat yang tajam dan berkatalah ia dengan nada lepas: “Baiklah! Akan
kugunakan umurku yang pendek itu guna melakukau suatu pekerjaan besar. Demi untuk menegakkan
Kebajikan, akan kuhapuskan semua pikiran dan sepak terjangku yang buruk.”
Kata-kata itu seperti diucapkan kepada dirinya sendiri. Ia membeliakkan mata memandang si nona dan Bokyong
Kang lalu tertawa datar.
“Yang lalu biarlah lalu,” katanya, “nama Pendekar Ular Emas Siau Mo biarlah ikut lenyap dibawa masa lalu.
Sekarang aku hendak mengembalikan wajahku yang sebenarnya…...”
Tiba-tiba Siau Mo meraba belakang daun telinganya dan segera menyingkap kulit mukanya.
Amboi……
Hun-ing tercengang. Bahkan Bok-yong Kang yang sudah dua tahun bergaul dengan Siau Mo, saat itupun
terkejut bukan kepalang.
Ternyata yang disingkap oleh Siau Mo itu selembar kulit manusia tetapi bukan kulit muka Siau Mo sendiri
melainkan sebuah kedok muka terbuat dari kulit manusia. Sedemikian halus dan sempurna kedok kulit itu
sehingga orang tentu menyangka kalau Siau Mo memang begitu raut wajahnya.
Saat itu yang duduk dihadapan Hun-ing dan Bok-yong Kang bukanlah Siau Mo si Pendekar Ular Emas yang
berwajah pucat seperti orang sakit. Tetapi seorang pemuda yang gagah dan tampan. Sepasang alis yang
tebal menaungi sepasang bola matanya yang bening tajam. Wajahnyapun merah segar……
Siau Mo tertawa ringan.
“Inilah tampang mukaku yang sebenarnya. Sejak sekarang, nama Siau Mo pun akan kutanggalkan bersama
dengan kedok muka ini. Aku hendak menggunakan namaku yang aseli Siau Lo-seng untuk berkecimpung
dalam dunia persilatan!”
Pada saat mengucapkan kata-kata itu, tampak wajah Siau Lo-seng berkabut kedukaan. Sejenak
memandang ke arah Hun-ing dan Bok-yong Kang ia menghela napas pula.
“Ui Pangcu dan Bokyong-te,” katanya, “mungkin kalian tentu menaruh kecurigaan atas pergan¬tian nama
yang kulakukan ini, bukan?”
Hun-ing tertawa.
“Menilik Siau sauhiap seorang muda yang gagah dan perwira, memang rasanya aneh mengapa sauhiap
mengambil nama Mo (Iblis). Bahwa sekarang sauhiap telah menggantinya dengan nama Lo-seng, itu
memang lebih baik. Adakah engkau mempunyai suatu rahasia dalam menggunakan nama Mo itu?”
Tiba-tiba tubuh Siau Lo-seng gemetar.
“Siau Mo, nama itu adalah nama pamanku. Mengapa kugunakan nama itu untuk mengganas di dunia
persilatan, memang panjang ceritanya,” kata pemuda itu. Berkata sampai di situ, ia mendesah seperti
membayangkan sesuatu yang menyedihkan.
“Menurut yang kuketahui, terbunuhnya seratusan jiwa keluarga Siau itu, adalah pamanku Siau Mo yang
menjadi biang keladinya....... itulah sebabnya maka aku menggunakan nama untuk memancing agar paman
mau keluar dari tempat persembunyiannya. Selama dua tahun aku melakukan perbuatan ganas, tak lain
hanya menggali liang kebencian dunia persilatan kepada paman. Apabila merenungkan peristiwa itu, aku
Siau Lo-seng memang seorang manusia yang tak berharga. Aku telah mengecewakan arwah kedua orang
tuaku di alam baka…...”
“Ah, manusia itu bukan dewa. Tentu tak lepas dari kesalahan,” Hun-ing menghiburinya, “tahu kesalahan dan
dapat merobahnya, barulah seorang yang berjiwa besar. Apalagi Siau sauhiap mempunyai kewajiban untuk
menuntut balas. Kesalahan-kesalahan yang sauhiap lakukan itu, memang sukar dielakkan. Harap sauhiap
jangan kecewa.”
AliAfif.Blogspot.Com - AliAfif.Blogspot.Com -

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cersil Terbaru Pendekar 100 Hari 1 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 07 Mei 2018. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments