Cerita Dewasa Terbaik Pendekar 100 Hari 2

Cerita Dewasa Terbaik Pendekar 100 Hari 2-----
baca juga
05.23. Mahluk Aneh Di Tanah Kuburan
“Hm, memang menjengkelkan sekali pamanku yang licin bagai belut dan buas seperti harimau itu. Sampai
detik-detik ini-dia belum juga mau mengunjuk diri dan tetap membiarkan aku mengganas dan
membunuh.......”
“Apakah tak mungkin pamanmu Siau Mo itu sudah meninggal dunia?” tanya Hun-ing.
Siau Lo-seng menghela napas.
“Mungkin,” katanya, “mungkin pamanku memang sudah mati. Kalau masih hidup dia tentu sudah unjuk diri.
Tetapi umurku terbatas, kalau hal itu barlarut lebih lama lagi, bagaimana aku dapat menuntut balas
kematian orang tua dan saudara-saudaraku? Maka, sia-sia dan celakalah aku yang telah menggunakan
nama Siau Mo itu untuk melakukan perbuatan ganas selama ini.......”
“Ah,” Siau Lo-seng mendesah, “maka sekarang kuputuskan untuk menampakkan wajahku yang
sebenarnya. Dengan umurku yang terbatas itu, aku hendak berbuat sesuatu untuk menebus dosaku yang
lalu. Agar aku tak mengecewakan arwah kedua orang tuaku di alam baka!”
Mendengar penuturan itu terbukalah kini pikiran Bok-yong Kang akan sikap dan tingkah laku yang aneh dari
Siau Mo selama ini. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Siau Lo-seng telah sadar dan akan kembali ke
jalan yang benar.
Bok-yong Kang ulurkan tangan menjabat tangan Siau Lo-seng, katanya: “Toako, engkau tak bersalah.
Sekalipun taruh kata salah, dunia pun akan memaafkan kesalahanmu itu.”
Darah di dada Siau Lo-seng bergolak keras. Dan berkatalah dia dengan tegang: “Bokyong-te, engkau
adalah satu-satunya sahabatku yang tahu diriku. Saat ini baru aku menyadari betapa aku telah banyak
membikin susah kepadamu. Selama setahun ini, aku selalu memendam kesedihan dalam hatiku sendiri dan
tak membagikan kepadamu. Pun tak mau menceritakannya.”
“Tidak, toako,” sahut Bok-yong Kang, “engkau adalah penolongku yang melepas budi besar. Apapun
kesalahan yang toako lakukan, bagiku tetap benar. Engkau tak menyalahi aku. Karena kutahu bahwa hati
nuranimu itu sebenarnya amat berbudi.”
Hun-ing memandang cakrawala lalu berseru: “Hari segera akan terang tanah, marilah kita lanjutkan
perjalanan lagi!”
Tiba-tiba Siau Lo-seng melepaskan Pedang Ular Emas yang tersanggul di bahunya dan membuat sebuah
liang di tanah. Pedang dan kedok muka dari kulit orang itu dikubur bersama-sama di tanah dalam liang itu.
“Siau Mo sudah mati. Kedok muka Pendekar Ular Emas dan pedang Ular Emas pun harus ikut dikubur.
Sejak saat ini, aku Siau Lo-seng, akan menempuh hidup baru!”
“Tepat,” seru si nona, “sejak saat ini dunia persilatan takkan terdapat Siau Mo lagi. Bila muncul orang yang
menyebut dirinya Siau Mo, dialah musuh besar kita!”
Mereka bertiga segera menimbuni liang dengan tanah. Kemudian mereka lalu tinggalkan lereng gunung itu.
Tetapi tepat pada saat ketiga orang itu pergi, dari atas lereng gunung terdengar sebuah tertawa dingin.
Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dan lari menghampiri ke tempat liang itu.
Cepat sekali orang aneh itu segera membongkar liang dan mengambil Pedang Ular Emas. Karena hari
masih belum terang tanah maka cuacapun masih gelap sehingga tak dapat diketahui bagaimana wajah
orang yang mengambil pedang Ular Emas itu.
Siapakah orang misterius itu…..?
********************
Pada saat itu Siau Lo-seng Bok-yong Kang dan Hun-ing bertiga tengah berlari melintasi sebuah belantara
sunyi. Tiba-tiba terdengar suara suitan seram memecah angkasa.
Ketiga anak muda itu terkejut dan hentikan larinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah toa-suci nona mengeluarkan suitan lagi?” tanya Siau Lo-seng kepada Hun-ing.
Hun-ing gelengkan kepala.
“Suitan aneh itu terang bukan ilmu Suitan Iblis dari Lembah Kumandang. Suitan itu luar biasanya tajamnya
sehingga menegakkan bulu roma orang. Tak beda seperti jeritan iblis yang sesungguhnya.”
Tetapi setelah melengking di udara, suara suitan itupun segera lenyap. Karena ditunggu sampai sekian
jenak tak ada suatu perobahan apa-apa, merekapun segera lanjutkan perjalanan lagi.
Di balik karang yang menggunduk di sebelah muka itu, terdapat sebidang tanah kuburan yang sudah
hampir menjadi belantara hutan kecil.
“Setelah melintasi hutan kecil ini, akan terdapat sebuah pondok. Nyo Jong-ho berada di situ. Mari kita lekas
menemuinya,” kata Hun-ing.
Tetapi pada saat itu pula, suitan seram tadipun melengking lagi. Dan dari tengah tanah kuburan tua itu
berhamburan muncul beberapa belas sosok bayangan setan. Tubuh mereka yang bergemerlapan dan
angin pun menderu-deru ketika mereka serempak lari menghampiri kepada rombongan Siau Lo-seng.
Dalam saat dan tempat seperti itu, betapa besar nyali seseorang, tentu tak urung akan terbang juga
semangatnya.
“Ai.......,” Hun-ing menjerit kaget terus menubruk dada Siau Lo-seng.
Bok-yong Kang pun terkejut dan menyurut mundur tiga langkah.
Melihat kawanan setan itu menyerbu dengan cepat, Siau Lo-seng cepat membentaknya: “Kawanan setan
berhenti!”
Bentakan Siau Lo-seng itu bagaikan halilintar dahsyatnya. Dan kawanan mahluk aneh itupun serempak
berhenti.
Pun Hun-ing terkejut karena suara Siau Lo-seng yang begitu menggeledek. Pikirnya: “Dengan berada di
samping seorang pemuda yang tak takut segala apa ini, mengapa aku begitu ketakutan?”
Tiba-tiba Siau Lo-seng menepuk pelahan bahunya: “Ui Pangcu, mereka bukan setan tetapi manusia biasa.
Tak perlu takut.”
Dengan pipi bersemu merah, nona itu berkisar dari dada Siau Lo-seng.
“Biarpun setan, kalau berada di sampingmu, akupun tak takut,” serunya.
Kawanan mahluk itu berhenti pada jarak tujuh tombak jauhnya. Tiba-tiba tiga dari mereka bersama maju.
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Hai, kalian ini dari golongan mana? Mengapa berani menyaru jadi setan. Itu kan bukan laku seorang
gagah!” serunya.
Tetapi ketiga mahluk aneh itu seperti tak mendengar. Mereka tetap menghampiri maju.
Siau Lo-seng kerutkan alis lalu berpaling kepada Bok-yong Kang: “Bokyong-te, jagalah Ui Pangcu.”
Habis berkata ia terus loncat ke atas batu nisan sebuah makam. Seorang diri ia hendak menghadapi
kawanan mahluk aneh itu.
“Wut......” kawanan mahluk aneh itupun serempak melayang ke atas sebuah makam juga.
Siau Lo-seng kerutkan dahi. Kawanan mahluk aneh itu berjumlah tigabelas orang. Mengenakan pakaian
hitam, kepala dan mukanyapun ditutup dengan kerudung hitam hanya bagian mata diberi lubang.
Tiba-tiba Hun-ing memekik kaget, serunya: “Hai mustahil dalam saat begini kawanan setan mau unjuk diri.
Apakah tak mungkin mereka datang untuk menyergap Nyo Jong-ho......”
Tetapi segera pikiran nona itu membantah pendapatnya sendiri: “Ah, tetapi Nyo Jong-ho jarang unjuk diri di
dunia persilatan. Mengapa kawanan mahluk aneh itu......”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tepat pada saat itu seorang mahluk aneh loncat melayang ke tempat Siau Lo-seng. Diam-diam pemuda itu
memperhatikan bahwa gerak loncatan mahluk aneh itu hebat sekali. Cepat iapun segera lepaskan sebuah
hantaman.
Belum mahluk aneh itu menginjakkan kaki pada batu nisan yang terpisah tiga tombak dari tempat Siau Loseng,
angin pukulan pemuda itupun sudah tiba melandanya.
Siau Lo-seng memang sengaja hendak menghancurkan nyali orang. Maka pukulannya itupun dilambari
dengan enam bagian tenaga.
“Krek, krek......” mahluk aneh itu menangkis tetapi segera ia menjerit ngeri dan terlempar ke udara lalu jatuh
di atas gunduk makam. Namun secepat itu pula, ia dapat melenting bangun lagi.
Siau Lo-seng terkejut, pikirnya: “Apakah kawanan mahluk aneh itu memang bangsa setan yang
sesungguhnya? Mengapa pukulanku tak mampu merubuhkannya......”
Tiba-tiba ia teringat akan bunyi `krek, krek` tadi. Bunyi itu mirip dengan suara setan. Seketika ujung kaki
Siau Lo-seng dirayapi oleh serangkum hawa dingin.
Pada saat itu pula, tiga mahluk aneh berhamburan loncat maju. Mereka berpencaran di tiga arah.
Siau Lo-seng segera melambung ke udara dan menghantam mahluk aneh yang berada di tengah.
Rupanya mahluk aneh itu tak menduga kalau lawan memiliki gerakan sedemikian gesitnya. Mereka terkejut
dan tak sempat menangkis. Belum sempat mereka mencari pikiran untuk menghindar, angin pukulan Siau
Lo-seng pun sudah melanda dadanya.
Uh…… orang itu mengerang tertahan. Tubuhnya jungkir balik sampai dua kali lalu melayang rubuh di tanah.
Mendengar suara erang tadi, tahulah kini Siau Lo-seng bahwa itu suara manusia biasa, bukan bangsa
setan. Seketika menggeloralah nyalinya. Setelah berhasil merubuhkan seorang, Siau Lo-seng terus
berputar tubuh dan menerjang lawan yang berada di sebelah kiri.
Baru mahluk aneh itu menginjakkan kaki ke atas sebuah makam, Siau Lo-seng pun sudah tiba dengan
pukulan Ngo-ting-biat-ciok yang mengarah kepala.
Melihat Siau Lo-seng menyerang kawannya, mahluk aneh yang berada di sebelah kanan cepat maju
menyerang, memukul punggung lawan.
Mahluk aneh di sebelah kiri nekad mengangkat untuk menangkis pukulan Siau Lo-seng. Tetapi dia segera
terpental mundur dan terhuyung-huyung. Untung tak sampai rubuh.
Mahluk aneh yang menyerang punggung Siau Lo-seng itu hampir bersorak girang karena pukulannya
hampir mengenai sasaran. Tetapi betapa kejutnya ketika tahu-tahu tubuh pemuda itu telah merebah ke
samping. Karena mahluk aneh itu menggunakan seluruh tenaganya untuk memukul maka tubuhnyapun ikut
menjorok ke muka.
“Plak,” enak saja Siau Lo-seng menampar punggung mahluk aneh itu. Serentak terdengar jeritan ngeri dan
mulut mahluk aneh itupun menyembur darah segar dan rubuhlah ia ke muka.
Lebih sial pula, ketika orang itu menjorok ke muka, tepat dia bertubrukan dengan kawannya yang hendak
menyerang Siau Lo-seng dari sebelah kiri. Keduanyapun berhamburan jatuh.
Menyaksikan sendiri betapa dalam waktu beberapa kejap saja Siau Lo-seng dapat merubuhkan tiga orang
aneh yang berkepandaian tinggi, terkejutlah Hun-ing. Nona itu diam-diam bertanya dalam hati: “Begitu sakti
kepandaiannya, entah dari siapakah dia mendapat ilmu kepandaiannya itu?”
Tetapi beda dengan penilaian Hun-ing, kawanan orang aneh itu tak gentar karena tiga orang kawannya
telah dirubuhkan Siau Lo-seng. Mereka tetap maju hendak menyerbu pemuda itu.
Tiba-tiba terdengarlah teriakan aneh macam burung hantu melantang dari ujung kuburan. Mendengar itu
kawanan orang aneh pun segera berhenti berputar tubuh lari kembali ke arah bagian sebelah dalam dari
tanah kuburan itu.
Siau Lo-seng terkejut ketika melihat ke empat orang yang dipukulnya rubuh itupun dapat bangun kembali
dan menyusul kawan-kawannya.
“Uh, orang golongan apakah mereka itu? Mengapa mereka sedemikian anehnya……” pikirnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seketika timbul keinginannya untuk mengetahui kawanan orang aneh itu. Karena tegangnya ia sampai lupa
untuk memberi isyarat kepada Hun-ing dan Bok-yong Kang.
Dengan gunakan gerak loncatan yang hebat, dalam tiga-empat kali loncatan saja ia sudah dapat menyusul
orang aneh yang lari paling belakang sendiri.
Siau Lo-seng enjot tubuhnya melambung sampai tiga tombak ke udara lalu lepaskan sebuah hantaman ke
arah orang aneh itu.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa aneh dan dari balik sebuah makam besar, muncullah seorang aneh.
Melihat dandanannya yang luar biasa aneh dan gerakannya yang hebat, Siau Lo-seng dapat menduga yang
muncul itu tentu pemimpin kawanan orang aneh.
Siau Lo-seng tahu hahwa pemimpin orang aneh itu tentu jauh lebih lihay dari anak buahnya. Maka diamdiam
ia salurkan tenaga dalam ke arah tangan kanan. Kemudian ia melompat ke udara dan melayang ke
arah pemimpin itu sambil lepaskan sebuah hantaman dahsyat yang disebut jurus Halilintar menyambar ke
bawah.
Orang aneh itupun tak gentar. Iapun loncat menyongsong dengan dahsyat. “Krak......,” terdengar letupan
keras dari dua kerat tulang yang saling beradu.
Pemimpin orang aneh itu terpelanting jatuh ke tanah tetapi Siau Lo-seng pun terlempar sampai tiga tombak
jauhnya dan jatuh di atas sebuah makam.
Diam-diam Siau Lo-seng terkejut sekali. Sejak turun ke dunia persilatan baru pertama kali itu ia bertemu
dengan seorang lawan yang dapat menandingi kepandaiannya. Ia mengangkat muka memandang orang
itu.
Ternyata orang itu seorang bungkuk yang mengenakan baju hitam. Mukanya penuh dengan gurat-gurat
bekas luka yang menyeramkan.
Begitu jatuh di tanah si Bungkuk pun cepat melenting bangun lalu lepaskan hantaman ke arah Siau Lo-seng
lagi. Pikirnya, selagi pemuda itu belum sempat bangun, ia hendak mendahului meremukkannya.
Tetapi ternyata Siau Lo-seng sudah bersiap. Begitu melihat si Bungkuk gerakkan tangan, iapun segera enjot
tubuhnya melambung ke udara, menghindari pukulan orang lalu balas menyerangnya.
Si Bungkuk mendengus. Ia menyongsong maju dua langkah. Tangan kanan lurus ke muka memukul dada
lawan sedang tangan kiri menabas lambung.
Tetapi Siau Lo-seng tak gugup menghadapi dua serangan maut itu. Segera ia mengatupkan kedua tangan
dan lancarkan jurus Hun-he-ki-gwat atau Membelah kabut mengambil rembulan.
Si Bungkuk terkejut melihat kepandaian pemuda itu. Dengan gerakan yang indah, pemuda itu bukan saja
dapat menghindari pukulannya, pun malah sekalian menyerangnya. Menghindar sambil menyerang, benarbenar
jurus yang hebat. Dan menyadari kalau berhadapan dengan seorang pemuda sakti, si Bungkuk pun
terpaksa mundur dua langkah dan bergeliatan untuk menghindari serangan balasan dari Siau Lo-seng.
Karena sampai beberapa jurus tak juga memperoleh hasil, marahlah orang bungkuk itu. Hawa pembunuhan
meluap-luap. Dengan jurus Harimau lapar menerkam kambing, ia menyerang Siau Lo-seng dengan buas
sekali. Tangan kiri melakukan gerak ilmu Kin-na-jiu untuk menyambar pergelangan tangan lawan. Tangan
kanan khusus untuk melancarkan pukulan dahsyat.
Dengan demikian sekali gus orang bungkuk itu telah melancarkan dua macam gaya serangan. Dan kedua
jurus itu merupakan jurus-jurus yang hebat. Sekalipun seorang ketua partai persilatan tentu akan sibuk dan
terluka apabila menghadapi dua serangan istimewa itu.
Siau Lo-seng juga terkejut. Ia tak menyangka sama sekali bahwa seorang bungkuk yang berwajah begitu
buruk ternyata memiliki ilmu kepandaian yang begitu sakti.
Siau Lo-seng tak berani lengah. Setelah dapat menghindari kedua serangan itu, segera ia lancarkan
serangan balasan yang dahsyat. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkannya.
Dalam sekejap saja, pemuda itu sudah melakukan lima buah pukulan dan tiga tendangan.
Si Bungkuk dapat didesak mundur dua langkah tetapi setiap kali mundur, ia terus maju lagi untuk
menyerang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah di tanah kuburan yang sunyi di lereng pelantara gunung, berlangsunglah pertempuran dahsyat.
Pertempuran antara dua jago silat sakti yang jarang terdapat di dunia persilatan.
Angin menderu-deru mengantar pertempuran itu. Mautpun telah mcngintai untuk mengangkut nyawa orang
yang kalah.
Rupanya si Bungkuk itu amat penasaran sekali. Masakan orang yang memiliki kepandaian begitu sakti
seperti dirinya, ternyata tak mampu untuk merubuhkan seorang pemuda yang tak terkenal. Penasaran itu
segera ditumpahkannya dalam serangan yang sederas hujan mencurah.
Tetapi Siau Lo-seng saat itupun seperti orang yang kerangsokan setan. Tampaknya tenaga pemuda itu tak
habis-habisnya dan jurus-jurus yang dilancarkan makin luar biasa anehnya. Betapa si Bungkuk menyerang
dengan tenaga dahsyat dan jurus yang hebat, tetapi Siau Lo-seng selalu dapat melayani, menghindar lalu
balas menyerang.
Saat itu tampaknya hanya kedua orang itu saja yang berada di tanah kuburan. Kawanan orang aneh tadi
sudah tak tampak bayangannya.
Sambil bertempur, diam-diam Siau Lo-seng mencemaskan Hun-ing dan Bok-yong Kang. Mengapa kedua
orang itu tak datang menyusulnya.
Karena pikirannya melayang, gerakannya pun agak lambat sehingga si Bungkuk berhasil mendesaknya
mundur dua langkah.
Tiba-tiba si Bungkuk mengangkat tangan kanannya ke atas. Siau Lo-seng terkejut ketika melihat telapak
tangan si Bungkuk itu berwarna merah darah.
“Apakah itu bukan pukulan Cu-sat-ciang yang sukar dipelajari?” diam-diam ia menimang.
Siau Lo-seng memiliki pengetahuan ilmu silat yang luas. Ia tahu bahwa Cu-sat-ciang atau pukulan Pasir
merah itu sebuah pukulan yang amat beracun. Maka iapun segera mencurahkan seluruh perhatiannya
kepada gerak si bungkuk.
05.24. Saudara Angkat Sang Ayah
Tiba-tiba tangan kanan si Bungkuk pun pelahan-lahan didorongkan ke muka. Melihat itu Siau Lo-seng pun
tak berani berayal lagi. Ia mengatupkan kedua tangan ke dada, tangan kanan menjulur ke muka, dua buah
jari tengah dan jari telunjuk segera menutuk ke muka.
Terdengar suara mendesis pelahan ketika pukulan beradu dengan jari.
Seketika berobahlah wajah si Bungkuk. Cepat-cepat ia loncat muncur. Sedang Siau Lo-seng tetap tegak
berdiri ditempatnya.
Beberapa saat kemudian, kedengaran orang bungkuk itu berseru: “Engkau murid perguruan mana?”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Menilik kepandaian anda begitu hebat, tentulah anda ini bukan tokoh yang tak ternama,” sahut Siau Loseng.
“Hm,” dengus si Bungkuk, “walaupun engkau tak mau mengatakan tetapi akupun tahu bahwa ilmu jari yang
engkau gunakan tadi berpuluh-puluh tahun dari dunia persilatan, disebut ilmu jari Han-sim-ci......”
Han-sim-ci artinya Jari hati dingin.
Siau Lo-seng tersenyum.
“Kalau sudah tahu hebatnya ilmu jari itu, apakah engkau hendak mencobanya?” serunya.
Si Bungkuk meraung keras: “Apakah engkau kira lo-siu takut walaupun engkau mempunyai ilmu jari yang
hebat itu?”
Karena orang bungkuk itu menyebut dirinya sebagai lo-siu maka Siau Lo-seng menduga kalau orang itu
tentu seorang tua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekonyong-konyong dari arah belakang tanah kuburan, terdengar sebuah jeritan nyaring bernada
ketakutan: “Engkoh Lo-seng……”
Seruan itu amat nyaring sekali dan terdengar jelas oleh Siau Lo-seng. Ia terkejut karena tahu bahwa suara
itu adalah suara nona Hun-ing. Siau Lo-seng terkejut. Ia dapat menduga tentu Hun-ing dan Bok-yang Kang
telah ditawan oleh kawanan manusia setan.
“Nona Ui……,” cepat ia berseru. Aneh, setelah berteriak satu kali tadi, Hun-ing tak kedengaran lagi.
Saat itu hari sudah terang tanah tetapi tanah kuburan masih remang-remang tertutup kabut.
Dengan dua tiga kali loncatan, Siau Lo-seng pun sudah menuju ke tempat ketigabelas orang aneh tadi
berkerumun, tetapi ternyata mereka sudah tak tampak bayangannya. Yang tampak hanyalah gundukgunduk
makam.
Siau Lo-seng terkejut.
“Nona Ui....... Bokyong-te....... ,” ia berteriak sekeras-kerasnya. Namun sampai diulang beberapa kali tetap
tiada penyahutan kecuali angin pagi yang bertebaran menyiak rumput di sepanjang tanah kuburan.
Siau Lo-seng seorang pemuda yang cerdas tangkas. Tetapi menghadapi keadaan yang begitu
mengherankan iapun terlongong-longong seperti kehilangan paham.
Aneh, benar-benar aneh. Baru sekejap mata teriakan Hun-ing melengking mengapa tahu-tahu sudah lenyap
tak berbekas. Apakah musuh dapat bergerak sedemikian cepatnya untuk membawa lari kedua orang itu.
Siau Lo-seng benar-benar seperti tenggelam dalam kabut teka teki aneh.
Segera ia gunakan ilmu lari cepat untuk menjelajah seluruh penjuru tanah kuburan itu, Dan hampir lima lie
jauhnya ia menyusur tanah kuburan itu namun tetap tak melihat apa-apa.
Dari nada teriakannya tadi, Siau Lo-seng dapat menduga tentulah Hun-ing menderita kegoncangan hati
yang hebat sehingga ia sampai berteriak minta pertolongan. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?
Adakah nona itu ditawan oleh anak buah si Bungkuk?
Tiba-tiba ia teringat akan si Bungkuk. Cepat ia berputar tubuh dan lari ke tempat orang itu. Tetapi, ah,
ternyata orang bungkuk itupun sudah lenyap.
Siau Lo-seng makin bingung. Ia tegak terlongong-longong seperti orang kehilangan semangat.
Entah berselang berapa lama, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang menyebut doa,
“Omitohud.”
Suaranya mengandung kekuatan gaib seperti genta pagi yang bertalu-talu membangkitkan hati insan untuk
menunaikan ibadahnya.
Dan Siau Lo-seng pun terkejut. Ia berpaling ke belakang.
Tiga tombak di sebelah belakang, entah kapan munculnya, tiba-tiba tampak seorang paderi tua yang
mengenakan jubah putih.
“Siapa engkau?” tegur Siau Lo-seng.
Sambil rangkapkan kedua tangan, paderi tua itu menjawab: “Lo-ni, Pek Wan dari gereja Siau-lim-si di
gunung Ko-san.”
“Apa maksudmu datang kemari?” seru Siau Lo-seng pula.
Mendengar pertanyaan itu Pek Wan agak menyalangkan mata dan memandang pemuda itu dengan tajam.
“Lo-ni melihat sicu tegak mematung, tentulah karena sicu telah menderita sesuatu yang menggoncangkan
hati. Orang yang berlatih silat, pantang untuk terlongong-longong kehilangan semangat. Maka Lo-ni
memberanikan diri untuk menjagakan sicu,” kata paderi tua itu.
Siau Lo-seng mendesah: “Hai, kalau begitu lo-siansu hanya kebetulan lewat di sini.”
Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang tak keruan arahnya itu, Pek Wan Taysu pun heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Omitohud,” serunya pelahan, “kalau Lo-ni tak salah lihat, sicu ini tentu seorang tokoh silat yang sakti.
Maukah sicu memberitahukan nama sicu yang mulia?”
Siau Lo-seng menghela napas kecil, sahutnya: “Harap taysu jangan menanyakan hal itu.”
Habis berkata Siau Lo-seng terus ayunkan kaki melangkah pergi.
“Sicu, harap tunggu sebentar.......,” teriak Pek Wan Taysu, “apakah sicu hendak mencari orang?”
Mendengar kata-kata itu, Siau Lo-seng cepat berputar tubuh dan melesat kehadapan paderi tua itu.
“Bagaimana taysu tahu kalau aku sedang cari orang?”
Paderi tua itu terkejut melihat gerakan Siau Lo-seng yang sedemikian gesitnya, hanya dengan sekali loncat,
pada jarak tiga tombak jauhnya, pemuda itu sudah berdiri dihadapannya.
Tetapi Pek Wan Taysu adalah seorang paderi tua yang berilmu. Walaupun terkejut namun ia tetap dapat
berlaku tenang.
“Tadi di tengah jalan Lo-ni melihat seorang nona telah dibawa oleh orang. Maka Lo-ni duga tentulah sicu
hendak mencari nona itu,” katanya.
“Taysu,” teriak Siau Lo-seng gopoh, “apakah engkau dapat melihat jelas wajah nona itu? Dan ke arah
manakah mereka pergi?”
“Omitohud,” seru paderi tua itu, “kawanan durjana itu memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang hebat
sekali. Dan lagi kabut pagi amat tebal sekali sehingga Lo-ni hanya dapat mendengar teriakan nona itu.
Ketika Lo-ni hendak memburu, merekapun sudah lenyap.”
Pek Wan Taysu memandang Siau Lo-seng lalu mengajukan pertanyaan:
“Siapakah sicu ini dan siapakah nona yang dilarikan orang itu?”
Siau Lo-seng menghela napas.
“Ah, kali ini celaka sekali. Aku orang she Siau nama Lo-seng. Nona yang dilarikan penjahat itu adalah ketua
Naga Hijau dan masih ada seorang lagi, saudara angkatku.”
Mendengar itu berobahlah wajah Pek Wan Taysu: “Siau sicu, engkau mengatakan gadis yang ditawan itu
ketua Naga Hijau, bagaimana mungkin hal itu terjadi?”
Memang beralasan juga kata-kata paderi Siau-lim-si itu. Naga Hijau memang sangat terkenal di dunia
persilatan, bahkan namanya tersiar sampai ke empat penjuru lautan. Seorang ketua perkumpulan yang
begitu termasyhur masakan semudah itu dapat ditawan orang?”
Memang Siau Lo-seng sendiri juga terkejut masakan anak muda yang memiliki kepandaian tinggi seperti
Hun-ing dan Bok-yong Kang dapat ditawan orang. Dia hampir tak percaya hal itu.
Siau Lo-seng menghela napas.
“Jika taysu tak percaya, memang sukar untuk meyakinkan. Aku sendiri merasa telah kelepasan mengatakan
suatu hal yang merugikan nama baik ketua Naga Hijau. Maaf, aku tak dapat memberi keterangan lagi
kepada taysu dan silahkan taysu melanjutkan perjalanan.”
Habis berkata Siau Lo-seng berputar diri hendak pergi tetapi paderi Siau lim-si itu memburunya.
“Siau sauhiap, harap berhenti dulu. Aku turun gunung kali ini adalah karena mendapat perintah dari ciangbun-
jin (ketua) untuk menanyakan beberapa hal kepada Naga Hijau. Karena ketuanya telah ditawan orang,
akupun tak dapat kembali ke Siau-lim-si memberi keterangan. Kalau sauhiap tak memandang rendah
kepada Lo-ni, Lo-ni ingin menyertai sauhiap untuk mengejar jejak mereka.”
Siau Lo-seng tahu bahwa kecuali ada urusan penting, memang kaum paderi Siau-lim-si itu jarang sekali
turun ke dunia persilatan. Mungkin karena pergolakan suasana dunia persilatan dewasa inilah yang
menyebabkan pihak Siau-lim-si juga menaruh perhatian.
Siau-lim-pay termasuk salah sebuah partai persilatan besar dalam dunia persilatan Tiong-goan. Bahkan
gereja itu dianggap sebagai pemimpin kaum persilatan. Pengaruhnya besar sekali. Apabila dapat menerima
bantuan dari pihak Siau-lim-si tentu akan lebih berhasil untuk menghadapi pergolakan masa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejenak merenung Siau Lo-seng pun tersenyum katanya: “Atas kesediaan taysu itu, sudah tentu aku
menyambut dengan amat gembira.”
Sejenak berhenti maka pemuda itu bertanya pula: “Taysu mengatakan hendak menanyakan suatu hal
kepada Naga Hijau, entah hal apakah itu? Dapatkah taysu memberitahu kepadaku?”
Sepasang mata Pek Wan yang selalu setengah mengatup itu, tiba-tiba direntangkan lebar-lebar untuk
menatap Siau Lo-seng.
“Apakah Siau sicu ini juga anggauta Naga Hijau?”
Siau Lo-seng gelengkan kepala: “Bukan, tetapi ketua Naga Hijau itu adalah sahabatku.”
Pek Wan Taysu menghela napas.
“Lo-ni diperintahkan turun gunung untuk menyelidiki tentang sebuah rahasia yang menyangkut kepentingan
dunia persilatan. Dan rahasia itu kuncinya terletak pada ketua Naga Hijau. Tolong tanya Siau sicu, apakah
benar saat ini Naga Hijau sudah mempunyai kepala?”
Siau Lo-ceng kerutkan alis.
“Menurut kabar di dunia persilatan tentang peraturan yang berlaku pada perkumpulan Naga Hijau itu.
Barang siapa yang memperoleh Cian-li-hiat-cian, dapat menjabat sebagai ketua perkumpulan itu. Seluruh
anak buah Naga Hijau akan tunduk perintahnya.”
“Tetapi pusaka Cian-li-hiat-cian yang menjadi kekuasaan sebagai ketua Naga Hijau, tak mungkin orang luar
dapat memperolehnya. Yang dapat merebut pusaka itu hanya ketuanya yang dulu. Setelah ketua itu
dibunuh orang, pusaka Cian-li-hiat-cian pun ikut lenyap sampai sekarang,” kata paderi Pek Wan.
Mendengar itu diam-diam Siau Lo-seng terkejut.
“Apakah taysu memastikan bahwa yang membunuh ketua Naga Hijau yang dulu, adalah si pencuri pusaka
itu atau sama dengan ketuanya yang sekarang ini?” seru Siau Lo-seng.
“Lo-ni tak berani mengatakan bahwa sahabat sicu atau ketua yang sekarang itulah pembunuhnya,” kata Pek
Wan Taysu, “tetapi hanya dengan melalui jejak itulah baru dapat dilakukan penyelidikan...…”
Paderi tua itu menghela napas pelahan lalu melanjutkan pula: “Ketua Naga Hijau yang terdahulu, adalah
sahabat baik Lo-ni. Semasa hidupnya ia banyak melakukan tindakan-tindakan yang terpuji. Melerai setiap
perselisihan kaum persilatan, menegakkan keadilan, membela kebenaran dan membasmi kaum durjana
dunia persilatan. Sungguh tak terkira sebelum jasa-jasanya itu terbalas, dia telah dibunuh orang secara
mengenaskan.......”
Rupanya paderi tua itu tampak berduka ketika menuturkan tentang kisah hidup sahabatnya atau ketua Naga
Hijau yang dulu.
Tergerak hati Siau Lo-seng, tanyanya: “Taysu siapakah namanya ketua Naga Hijau yang terdahulu itu?”
Dengan wajah menampil kerut kesedihan, paderi tua itu menjawab: “Dia adalah tokoh yang oleh dunia
persilatan digelari sebagai Naga sakti tanpa bayangan namanya Siau Han-kwan.......”
Mendengar itu Siau Lo-seng seperti mendengar halilintar meletus di siang hari.
“Hai, ternyata ayah itu ketua Naga Hijau lalu, ah! Sungguh tak kira, ke segenap penjuru dunia kucari jejak
musuhku, ternyata tentang diri ayah aku sama sekali tak tahu……”
Sebenarnya hampir saja Siau Lo-seng hendak mengatakan bahwa Siau Han-kwan itu adalah ayahnya.
Tetapi tiba-tiba ia mendapat lain pikiran. Lebih baik untuk sementara ia merahasiakan dulu siapa dirinya.
Adalah karena bersedih mengenangkan nasib sahabatnya itu maka Pek Wan Taysu tak sempat
memperhatikan perobahan wajah Siau Lo-seng. Bahkan kemudian paderi Siau-lim-si itupun melanjutkan
pula penuturannya.
“Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan, luar biasa dalam ilmu kepandaian dan kecerdasan. Dalam
melakukan setiap pekerjaan dan tindakan, ia selalu tak memikirkan soal cari nama atau memburu
keuntungan. Tetapi walaupun seluruh kaum persilatan mendengar akan nama Siau Han-kwan yang begitu
cemerlang tetapi hanya sedikit sekali orang yaag tahu tentang riwayatnya. Kematiannya itu sungguh
dunia-kangouw.blogspot.com
mengherankan Lo-ni. Lo-ni mempunyai dugaan pembunuhnya itu tentulah salah seorang sahabatnya karib
atau orang yang paling tahu keadaan dirinya.......”
Mendengar keterangan paderi Siau-lim-si itu diam-diam Siau Lo-seng menimang dalam hati: “Menilik
ucapan paderi ini, pembunuh ayah tentulah paman Siau Mo sendiri. Ya, tentu dia……”
“Locianpwe,” tiba-tiba Siau Lo-seng berseru, “tahukah lo-cianpwe tentang diri Siau Mo?”
Mendengar itu serentak paderi Siau-lim itu membelalakkan mata dan menatap Siau Lo-seng, “Siau sicu,
kenalkah engkau pada orang itu?”
Siau Lo-seng gelengkan kepala dan menghela napas: “Pernah kubertemu dengan dia satu kali tetapi di
sudah meninggal.”
“Sicu ketemu padanya waktu dia masih muda atau setelah tua?” tanya Pek Wan Taysu gopoh.
Dengan kata-kata itu Siau Lo-seng dapat menduga bahwa paderi tua itu tentu kenal pada Siau Mo.
“Mengapa ada yang muda dan yang tua? Apakah di dunia ini terdapat dua orang Pendekar Ular Emas Siau
Mo?” tanyanya.
Pek Wan Taysu menengadah memandang ke langit biru dan menghela napas panjang lalu berkata seorang
diri.
“Pendekar Ular Emas Siau Mo, ah, mengapa terdapat nama yang begitu tepat sekali……. ah, Siau sicu,
benarkah Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah meninggal?”
“Benar,” sahut Siau Lo-seng, “dia memang sudah meninggal.”
Kembali Pek Wan Taysu mengingau seorang diri
“Bermula kukira dia adalah keturunannya...... tetapi itu tak mungkin...... Mayat yang berserakan di desa Hayhong-
cung, darah yang membasahi tanah, tua muda besar kecil semua telah dijagal habis-habisan tak ada
yang disisakan...... “
Mendengar itu merahlah mata Siau Lo-seng. Seolah-olah terbayanglah peristiwa seperti yang dilukiskan
Pek Wan Taysu. Tubuhnyapun menggigil keras.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berpaling: “Hai, Siau sicu, mengapa engkau ini?”
Siau Lo-seng gelagapan dan buru-buru tenangkan ketegangan hatinya: “Ah, tak apa-apa taysu. Aku hanya
teringat sebuah hal yang mengerikan. Mari taysu, kita lanjutkan perjalanan lagi.”
Habis berkata ia terus berputar tubuh. Pek Wan Taysu terpaksa mengikutinya.
“Siau sicu, kemanakah kita hendak pergi?” tanya paderi tua itu.
“Kita menemui seseorang yalah Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho!” sahut Siau Lo-seng.
Ternyata Siau Lo-seng teringat akan kata-kata nona Hun-ing yang hendak mengajaknya menemui Nyo
Jong-ho. Karena nona itu dan Bok-yong Kang telah diculik orang dan tak dapat diketahui jejaknya maka
Siau Lo-seng memutuskan untuk mencari Nyo Jong-ho. Ia duga jago tua she Nyo itu tentu mempunyai
hubungan dengan peristiwa itu.
“Dia dimana? Lo-ni memang hendak mencarinya?” seru Pek Wan Taysu.
Menunjuk pada sebuah hutan di ujung tanah kuburan, Siau Lo-seng berkata: “Dia berada di sana. Kalau
terlambat, mungkin terjadi perobahan lagi.”
Sambil bicara keduanya berlari dengan ilmu lari cepat.
Waktu mengikuti di belakang Siau Lo-seng, diam-diam Pek Wan Taysu memperhatikan bahwa pemuda itu
memiliki ilmu ginkang yang hebat sekali. Terkejutlah hati paderi tua itu, pikirnya: “Bilakah di dunia persilatan
muncul seorang pemuda yang begini sakti kepandaiannya? Melihat ilmu ginkangnya, dia tak di bawah Loni.......”
Pek Wan Taysu kerahkan tenaga untuk mempercepat larinya agar dapat menyusul di samping pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
05.25. Siapa Pembunuh Nyo Jong-ho?
Dalam beberapa kejap saja, hutan itupun sudah tampak tak jauh di sebelah depan. Tetapi sekonyongkonyong
terdengar suara kuda meringkik keras sekali.
Cepat kedua orang itu loncat berpencaran ke samping kanan dan kiri dan hentikan larinya.
Dari arah hutan keluarlah seekor kuda yang lari sekencang angin. Sedemikian pesatnya sehingga pada saat
kedua orang itu menyiak ke samping, kuda itupun lari melintas di tengah mereka.
Siau Lo-seng menggembor keras lalu secepat kilat menyambar kendali kuda dan menghentikannya. Kuda
terkejut, meringkik keras dan melonjak ke atas lalu tiba-tiba rubuh ke tanah.
Ternyata pada saat menyambar tali kendali, Siau Lo-seng pun menyerempaki dengan sebuah hantaman.
Sesosok tubuh loncat melayang dari punggung kuda dan melayang setombak jauhnya ke tanah.
Melihat cara Siau Lo-seng menghantam rubuh kuda dan penunggang kuda itu dapat loncat menghindar dari
kudany, Pek Wan Taysu terkejut.
“Tring......” secepat menginjak tanah, penunggang kuda itupun sudah mencabut pedang.
Ketika memandang dangan seksama siapa penunggang kuda itu, kejut Siau Lo-seng bukan kepalang.
“Li Giok hou......”serunya dalam hati.
Penunggang kuda itu seorang pemuda yang berwajah putih, alis tebal bibir merah. Siapa lagi kalau bukan Li
Giok-hou, murid pertama dari Pena Penunjuk Langit Nyo Jong-ho
Juga Giok-hou tak kurang kagetnya demi melihat seorang pemuda cakap bersama Pek Wan Taysu.
Dipandangnya pemuda itu lekat-lekat.
Memang saat itu Siau Lo-seng sudah bukan lagi Siau Mo si Pendekar Ular Emas. Ia sudah menanggalkan
kedok kulit muka dari wajah Siau Mo. Tetapi samar-samar Giok-hou seperti pernah melihat wajah pemuda
itu, tetapi ia lupa entah dimana.
Tiba-tiba Siau Lo-seng memberi hormat.
“Maaf, mengapa saudara tampaknya begitu tergopoh-gopoh sekali? Maaf pula karena aku telah kesalahan
menghantam kuda saudara,” serunya.
Giok-hou terkesiap. Sambil menuding Siau Lo-seng dengan ujung pedang, ia membentak: “Siapa engkau?
Mengapa engkau berani bertindak begitu liar?”
Pada waktu menuding, Giok-hou kerahkan tenaga dalam sehingga pedang itu bergetar dan mendesis-desis
suaranya.
Pek Wan Taysu terkejut atas kesaktian tenaga dalam anak muda itu. Pikirnya: “Mengapa dewasa ini di
dunia persilatan telah muncul dua jago muda yang begitu sakti?
Pemuda penunggang kuda yang berbaju kuning, Li Giok-hou telah mengunjukkan kesaktiannya
menggetarkan batang pedangnya. Jelas yang dipertunjukkan anak muda itu tentu ilmu pedang tataran
tinggi. Itulah yang disebut dasar-dasar ilmu pedang Ning-kiam-jut-gi atau menyalurkan hawa murni dalam
tubuh ke arah pedang.
Siau Lo-seng juga terkejut melihat kelihayan Li Giok-hou, pikirnya: “Dengan dapat menggetarkan batang
pedang sehingga mengeluarkan suara mendesis-desis itu, jelas dia telah memiliki tenaga dalam yang tinggi
dan lebih meningkat dari beberapa waktu yang lalu. Apakah dahulu dia memang hendak menyembunyikan
kepandaiannya……?
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia berpaling memandang Pek Wan Taysu, serunya: “Taysu,
silahkan meninjau ke dalam.”
Rupanya Pek Wan Taysu dapat menangkap arti kata-kata Siau Lo-seng, iapun menyahut: “Baiklah, Lo-ni
akan ke sana dan cepat kembali.”
Paderi Siau-lim-si itu terus hendak melewati sisi Gok-hou. Tetapi pemuda itu tertawa dingin dan
membentak: “Berhenti!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pedang berkiblat dan ujungnya pun mengarah ke dada Pek Wan.
Pek Wan Taysu merupakan paderi Siau-lim-si yang tinggi tingkatnya. Sudah tentu tak begitu mudah untuk
melukainya. Ia kebutkan lengan jubahnya dan melesat ke samping setengah meter.
“Harap jangan menyerang dulu,” seru Siau Lo-seng seraya maju menamparkan tangannya untuk
menggagalkan serangan kedua yang hendak dilancarkan Giok-hou.
Giok-hou terkejut. Ringan saja tampaknya pemuda itu menamparkan tangannya tetapi ternyata tenaga yang
dihamburkan amatlah dahsyatnya. Dia terpaksa menyurut mundur setengah langkah. Lintangkan pedang
dan berdiri tegak. Lalu tertawa dingin.
“Ho, karena mengandalkan kepandaian sakti maka saudara berani bertindak liar. Siapa engkau? Rasanya
kita pernah bertemu!” serunya.
Siau Lo-seng tertawa.
“Ah, saudara salah lihat,” sahutnya, “kita belum pernah bertemu dan tak kenal mengenal!”
“Katamu tak kenal mengapa engkau berani memukul kudaku dan menghadang jalanku!” Giok-hou makin
marah.
Siau Lo-seng tertawa meloroh.
“Gerak gerik saudara mencurigakan dan tampak gopoh sekali. Entah apakah yang hendak saudara
kerjakan?” tanyanya.
Dalam pada bertanya itu diam-diam Siau Lo-seng teringat akan keterangan Hui-ing bahwa Nyo Jong-ho
berada dalam rumah pondok di tengah hutan. Tetapi mengapa dalam pondok itu tak kedengaran suara apaapa?
Saat itu Li Giok-hou berdiri di tengah jalan kecil yang membelah ke dalam hutan. Apabila Pek Wan Taysu
hendak melangkah ke sana tentu harus melalui hadangan Giok-hou.
Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang dianggap kurang ajar, meluaplah hawa pembunuhan pada dahi Li
Giok-hou.
“Kata-katamu itu terlalu keliwat batas hendak memaksa orang. Hm, jangan keliwat menghina aku......” habis
berkata Giok-hou terus taburkan pedangnya dan menyerang Siau Lo-seng sampai tiga jurus.
Siau Lo-seng hanya tertawa meloroh sambil berlincahan menghindar.
Penasaran sekali Giok-hou karena ketiga jurus serangannya yang dahsyat dan cepat itu tak mampu melukai
orang.
“Apabila tak mampu melukainya, paling tidak dia harus dapat kuhalau mundur. Kalau tidak, ah......”
Tetapi Siau Lo-seng tidak mundur, kebalikannya malah maju setengah langkah untuk menyambar siku
lengan kanan Giok-hou.
Giok-hou terkejut sekali dan terpaksa menarik pulang pedang untuk mundur selangkah.
“Siapa engkau ini? Apa perlumu datang kemari?” bentaknya.
Siau Lo-seng tetap tersenyum. “Kami hendak mencari Pena Penunjuk Langit Njo Jong-ho atau Nyo
bengcu.”
Giok-hou berobah wajahnya lalu tertawa dingin: “Kalau begitu kalian ini orang Lembah Kumandang.”
Pek Wan Taysu tertawa, menyebut doa Omitohud: “Lo-ni adalah Pek Wan dari ruang Tat-mo-tong gereja
Siau-lim-si.
Mendengar keterangan itu terkejutlah Giok-hou, pikirnya: “Ah, tak kira kalau paderi tua ini salah seorang dari
empat paderi sakti Siau-lim-si......”
Serentak berobahlah wajah Giok-hou menjadi ramah. Ia tertawa: “Ah, sudah lama kudengar nama taysu
yang termasyhur. Kiranya taysu ini salah seorang dan Empat Paderi Sakti Siau-lim-si. Maaf, Pedang berbisa
Pembasmi Iblis Li Giok-hou tak mempunyai mata.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar nama Giok-hou, Pek Wan Taysu pun terkesiap, pikirnya: “Ah, tak kira kalau pemuda ini jago
muda yang harum namanya dalam dunia persilatan. Ya, putera angkat dari Nyo Jong-ho.
Tiba-tiba pula Giok-hou menghela napas.
“Pek Wan Taysu,” katanya, “kalian telah datang terlambat. Gi-hu Nyo Jong-ho telah dibunuh orang dan
jenazahnya diletakkan di dalam rumah pondok itu…… beliau...... beliau mati secara mengenaskan
sekali.......”
Beberapa butir airmata menitik dari pelupuk anak muda itu.
“Apa?” teriak Pek Wan Taysu terkejut, “Nyo lo-enghiong sudah binasa?”
Dengan berlinang-linang Li Giok-hou menyahut: “Kalau tak percaya silahkan taysu masuk ke dalam hutan.”
Mendengar itu Siau Lo-seng kerutkan sepasang alis. Dia memang menguatirkan hal ini akan terjadi. Dan
ternyata memang benar, Nyo Jong-ho telah dibunuh orang.
Tanpa bicara apa-apa, paderi Siau-lim-si itu teruskan masuk ke dalam hutan.
Siau Lo-seng menatap wajah Giok-hou, serunya: “Li Giok-hou, harap engkau tunggu di sini sebentar.”
“Siapa engkau,” bentak Giok-hou, “apakah engkau hendak menuduh aku sebagai pembunuh ayah angkatku
sendiri?”
Siau Lo-seng menyahut dingin: “Engkau adalah putera angkatnya, Nyo bengcu dibunuh orang, seharusnya
engkau berdaya untuk membalas sakit hati……”
“Untuk mencari jejak si pembunuh, harus melakukan pemeriksaan dan mencari bukti. Itulah sebabnya
kutahan saudara Li agar dapat memberi keterangan yang jelas. Sama sekali aku tak menuduh saudara
yang membunuhnya,” sambung Siau Lo-seng.
Dalam pada berkata itu tampak Pek Wan Taysu keluar dari dalam hutan dengan langkah gopoh.
“Locianpwe, benarkah Nyo Jong-ho sudah meninggal?” seru Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
“Dalam pondok terdapat tiga sosok mayat. Dua orang tua dan seorang lelaki gagah. Sedang di luar pondok
banyak terdapat kepala manusia. Tetapi Lo-ni tak kenal Nyo lo-enghiong, harap sicu ke sana menelitinya.”
Siau Lo-seng segera menuju ke dalam hutan. Lebih kurang sepuluhan tombak, di tengah hutan itu terdapat
sebuah tanah lapang seluas belasan tombak dan tiga buah rumah pondok.
Di halaman rumput muka rumah pondok itu penuh berceceran darah dan tujuh-delapan sosok mayat yang
sudah tak keruan keadaannya. Ada yang putus lengannya, kutung kakinya dan hilang kepalanya.
Siau Lo-seng cepat dapat mengenali mayat-mayat itu sebagai anak buah Naga Hijau.
Segera ia menuju ke rumah pondok yang di tengah. Di ambang pintu rebah mayat seorang lelaki yang dari
corak pakaiannya jelas bukan anak buah Naga Hijau.
Pada dinding pondok di kanan kiri mayat orang itu tegak dua orang tua yang dadanya masing-masing
terpaku oleh pedang Ular Emas. Kedua orang tua itu sudah tak bernyawa.
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Ia segera mengenali kedua orang tua itu, yang satu yalah ketua
Thay-kek-bun Han Ceng-jiang dan yang satu bukan lain....... Nyo Jong-ho sendiri!
Cepat Siau Lo-seng mencabut Pedang Ular Emas yang menancap pada dada Nyo Jong-ho terus bergegas
keluar dan melintas hutan.
Pek Wan Taysu dan Li Giok-hou masih berada di situ.
“Saudara Li,” kata Siau Lo-seng, “Pembunuhan dilakukan dengan Pedang Ular Emas ini?”
Dengan kurang senang Giok-hou menyahut: “Pedang Ular Emas telah membunuh Tiga Jago Kang-lam dan
membunuh ayah angkatku. Pembunuhnya Siau Mo, adalah musuhku besar. Aku tak mau hidup bersama
dia dalam satu kolong langit!”
“Apa?” Pek Wan Taysu terkejut, “apakah pedang itu milik Pendekar Ular Emas Siau Mo?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata paderi Siau-lim-si itu berpaling dan memandang lekat pada Siau Lo-seng. Bukankah tadi Siau
Lo-seng mengatakan bahwa Siau Mo itu sudah meninggal. Lalu dari manakah Pedang Ular Emas itu?
Siau Lo-seng menengadah memandang ke langit. Pikirannya melayang-layang: “Mengapa pedang Ular
Emas ini sama dengan pedang Ular Emas yang kupakai dahulu? Aku bersumpah kepada Thian bahwa
pembunuhan ini bukan aku yang melakukan. Tetapi siapakah pembunuhnya itu? Mengapa menggunakan
Pedang Ular Emas ini untuk memfitnah aku sebagai pembunuh?”
Ia menghela napas panjang.
“Saudara Li,” katanya, “pembunuhnya jelas bukan Siau Mo. Pendekar Ular Emas Siau Mo itu sudah mati.”
Tiba-tiba sepasang mata Giok-hou membelalak lebar dan dengan penuh dendam kemarahan ia berseru:
“Bagaimana Siau Mo itu mati? Hm, siapakah engkau?”
“Saudara Li,” kata Siau Lo-seng, “untuk sementara ini janganlah engkau menanyakan tentang diriku. Aku
masih ingin bertanya sebuah hal kepadamu. Kapankah saudara datang kemari? Dan bagaimana saudara
tahu kalau ayah angkat saudara itu berada di sini?”
Giok-hou deliki mata: “Engkau ini memang mencurigakan. Kalau engkau tak mau mengatakan siapa dirimu,
terang engkau ini.......”
“Tutup mulutmu!” bentak Siau Lo-seng dengan geram.
Namun Giok-hou tetap tertawa nyaring, serunya: “Kalau engkau tak mau menyebut namamu, pedangku ini
takkan melepaskan engkau pergi!”
Siau Lo-seng kerutkan kedua alis dan menjawab dingin: “Kalau engkau percaya pedangmu itu dapat
membunuh aku, silahkan saja!”
Melihat itu buru-buru Pek Wan Taysu melerai. “Harap sicu berdua jangan bertengkar. Kalau ada persoalan
silahkan bicara dengan tenang. Li sauhiap sicu ini adalah......
Belum paderi tua itu hendak menyebutkan nama Siau Lo-seng, tiba-tiba telinganya terngiang kata yang
disusupkan dengan ilmu Menyusup suara oleh Siau Lo-seng: “Locianpwe, harap jangan mengatakan
namaku kepadanya.”
Memang Pek Wan Taysu sudah menduga bahwa Siau Lo-seng itu tentu seorang anak muda yang berdarah
panas dan suka menurutkan tabiat anak muda. Dia tentu tak mau unjuk kelemahan kepada Giok-hou
dengan berkeras tak mau menyebut namanya. Terpaksa paderi Siau-lim-si itupun hentikan kata-katanya.
Giok-hou memperhatikan bahwa bibir Siau Lo-seng telah bergerak-gerak tetapi tak mengeluarkan suara
apa. Tahulah ia bahwa pemuda itu tentu menggunakan ilmu Menyusup suara kepada Pek Wan Taysu.
Giok-hou tertawa dingin, serunya: “Taysu, apabila tak mau menyingkir, maaf, aku hendak menyerang.”
Saat itu Giok-hou sudah julurkan pedang ke muka dada dan siap hendak menyerang.
Tiba-tiba Siau Lo-seng melangkah maju ke hadapan Giok-hou.
“Li Giok-hou, silahkan menyerang!” serunya.
Li Giok-hou getarkan pedang, terus membabat. Tetapi Siau Lo-seng tenang-tenang saja. Setelah pedang
hampir mengenai tubuh, tiba-tiba ia menggeliat ke samping dan menendang siku lengan Giok-hou.
Giok-hou pun endapkan lengannya ke bawah menghindari tendangan dan menarik pedang lalu serentak
ditusukkan ketiga buah jalan darah maut di tubuh Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menggunakan jurus Menengadah memandang wajah, menyerempaki sinar
pedang untuk meliukkan tubuh rebah ke belakang.
Tetapi Giok-hou tak mau memberi kesempatan lagi. Tiba-tiba ia merobah pedangnya dalam jurus Kim-ciamting-
hay atau Jarum emas menyusup laut. Ujung pedang secepat kilat ditusukkan ke bawah.
Dalam pada rebah ke tanah tadi, dengan cepat Siau Lo-seng sudah bergelindingan memutar ke belakang
Gok-hou, melenting bangun dan menampar belakang pemuda itu.
“Giok-hou, dari mana engkau mempelajari jurus permainan pedang itu?” bentak Siau Lo-seng dengan
keras, sehingga suaranya hampir memecahkan anak telinga Giok-hou.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dari mana aku belajar, apa pedulimu? “sahut Giok-hou dengan tertawa mengejek.
Pedang ditaburkan dan bagai hujan mencurah berhamburan ke tubuh Siau Lo-seng. Sekali gus Giok-hou
telah menaburkan tiga jurus serangan.
Sepintas pandang pedang Giok-hou itu mirip dengan sinar bianglala yang mencurah di angkasa.
Melihat permainan pedang yang sehebat itu terkejutlah Pek Wan Taysu, serunya gopoh: “Li sauhiap, harap
berlaku murah…...”
Belum habis paderi Siau-lim itu berkata tiba-tiba terdengarlah suara orang mengerang tertahan……
06.26. Pengakuan Sang Keponakan
Serentak dengan suara orang yang tertahan, taburan sinar pedangpun lenyap seketika.
Tangan kanan Giok-hou melentuk ke bawah. Sambil masih menjinjing pedang, ia terus berputar tubuh dan
lari tinggalkan lawan.
Lengan baju sebelah kiri dari Siau Lo-seng pecah. Ia terlongong-longong memandang bayangan Giok-hou
yang melarikan diri itu kemudian menghela napas pelahan.
“Orang itu menyembunyikan ilmu kepandaiannya yang tinggi. Dia lebih unggul dari Tiga jago Go-bi. Benarbenar
menimbulkan kecurigaan.......” katanya seorang diri,
Makin tenanglah hati Pek Wan Taysu demi melihat Siau Lo-seng tak kurang suatu apa.
“Siau sauhiap,” kata paderi itu, “kini terbukalah mataku bahwa ombak sungai Tiang-kang itu yang di
belakang tentu mendorong yang di muka. Yang muda tentu mengganti yang tua.”
Memang paderi tua itu kesima menyaksikan pertempuran yang bermutu tinggi dari kedua anak muda itu.
Keduanya telah mencurahkan ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya.
“Taysu, mari kita kejar,” tiba-tiba Siau Lo-seng menarik lengan jubah paderi itu, “jangan sampai dia dapat
lolos!”
“Siapa?” Pek Wan Taysu terkesiap.
“Li Giok-hou, dialah pembunuhnya!” seru Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu gelengkan kepala: “Bagaimana mungkin hal itu?”
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau dari seorang tua: “Ya, Jong-ho dan Han Ceng- jiang……”
Serentak Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu berpaling ke belakang. Tampak seorang kakek baju putih
melangkah keluar dari hutan. Walaupun rambut dan jenggotnya sudah putih dan menjulai panjang sampai
ke dada, tetapi tubuh dan sikap kakek itu masih gagah sekali.
Wajah kakek itu menampilkan kewibawaan besar tetapi saat itu tampak membeku seperti es.
“Rasanya locianpwe tentu mengetahui peristiwa kejam itu, mengapa locianpwe tak berusaha mencegah?”
seru Siau Lo-seng.
Kakek baju putih itu mendengus dingin.
“Aku tak suka campur urusan manusia. Sekalipun manusia di seluruh dunia itu mati semua, akupun tak
peduli,” sahutnya.
Mendengar itu Pek Wan Taysu kerutkan alis.
“Locianpwe,” seru Siau Lo-seng pula, “ketahuilah bahwa pembunuhan itu mempunyai hubungan besar
dengan keamanan dunia persilatan.”
Kembali kakek baju putih itu mendengus.
“Budak, hak apa engkau hendak memberi nasehat kepadaku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menyahut: “Ah, masakan aku berani memberi nasehat kepada locianpwe. Aku hanya merasa
bahwa locianpwe ini berhati kejam sekali......”
Habis berkata Siau Lo-seng terus berpaling dan mengajak Pek Wan Taysu: “Taysu, mari kita lanjutkan
mengejar Li Giok-hou!”
“Tunggu!” tiba-tiba kakek baju putih membentak keras seraya berputar tubuh menghadang di hadapan Siau
Lo-seng.
“Sian-cay,” seru Pek Wan Taysu, “harap sicu suka memberi jalan agar kami dapat mengejar pembunuh itu.”
Tetapi Siau Lo-seng hanya memandang lekat pada kakek baju putih itu dan bertanya: “Apakah locianpwe
hendak memberi petunjuk?”
Kakek baju putih itu berkilat-kilat menatap wajah Siau Lo-seng, serunya dingin:
“Ada sebuah hal yang hendak kutanyakan kepadamu.”
“Soal apa?” kata Siau Lo-seng.
“Aku ingin menanyakan tentang diri seseorang.”
“Siapa?” Siau Lo-seng terkesiap.
“Gan-li-tui-cong Ban Li-hong!”
Mendengar nama itu, terkejutlah Pek Wan Taysu. Pikirnya: “Ban Li-hong itu seorang begal tunggal yang
pernah menggegerkan dunia persilatan pada limapuluhan tahun yang lalu. Kabarnya, dia memiliki ilmu
kepandaian yang tiada tandingnya. Sepak terjangnya serba misterius. Dia pun mahir sekali dalam ilmu
mencuri.”
Berhenti sejenak, paderi itu melanjutkan renungannya lagi.
“Dahulu partai-partai persilatan pernah kecurian kitab pusakanya yang mengandung ilmu pelajaran sakti.
Kitab-kitab itu Ban Li-hong yang mencurinya. Oleh karena itu segenap partai persilatan lalu berunding untuk
mengadakan gerakan serempak mengejar jejak orang itu. Tetapi hampir lebih dari empatpuluh tahun, dia
tak muncul lagi sehingga sampai sekarang. Tak terduga-duga orang tua baju putih ini menanyakan soal Ban
Li-hong lagi…… ah, apakah dia mempunyai hubungan dengan Ban Li-hong......”
Habis berpikir, Pek Wan berpaling ke arah Siau Lo-seng, Tampak pemuda itu berobah seri wajahnya dan
merenung.
Beberapa saat kemudian baru dia berkata: “Apakah keperluan locianpwe menanyakan orang itu?”
“Bukankah engkau ini murid dari Ban Li-hong itu?” tiba-tiba kakek baju putih itu berseru dengan suara keras.
“Kalau ya, bagaimana?” Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Dimana dia sekarang!” bentak kakek baju putih.
Siau Lo-seng kerutkan alis dan menyahut dengan nada dingin: “Atas dasar apa aku diharuskan menjawab
pertanyaanmu itu?”
Kakek baju putih mendengus dingin.
“Bagus, budak, kalau tak kuberimu sedikit ajaran, engkau tentu tak takut kepadaku,” serunya. Habis berkata
tiba-tiba ia mengangkat tangan dan lepaskan sebuah pukulan.
Gerakan tangan kakek baju putih itu menimbulkan desir angin yang keras, melanda ke arah Siau Lo-seng.
Saat itu barulah Pek Wan Taysu menyadari bahwa Siau Lo-seng adalah anak murid dari seorang tokoh
sakti yang luar biasa anehnya. Diam-diam paderi itu terkejut sekali.
Siau Lo-seng gerakkan tangan kiri untuk menangkis. Tetapi seketika itu juga Siau Lo-seng rasakan
lengannya kesemutan, tenaganya lunglai seolah-olah telah dilalap hilang oleh tenaga kakek baju putih itu.
Siau Lo-seng terhuyung-huyung mundur empat-lima langkah ke belakang baru dia dapat berdiri tegak.
Melihat itu, terkejutlah Pek Wan Taysu, pikirnya: “Siapakah orang tua baju putih ini? Mengapa tenaga
dalamnya sedemikian hebat?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menggerung marah. Laksana harimau terluka, ia loncat menerjang kakek baju putih itu.
“Hm, budak, engkau cari mati!” dengus kakek baju putih seraya menghantam dengan tangan kanan.
Siau Lo-seng pun cepat dorongkan kedua tangannya untuk menangkis. Tetapi ketika kedua tenaga pukulan
mereka beradu. Siau Lo-seng berjumpalitan jungkir balik sampai beberapa kali baru ia melayang turun
empat-lima tombak jauhnya.
Secepat itu kakek baju putihpun terus melesat ke muka Siau Lo-seng dan menyusuli dengan sebuah
hantaman lagi.
Tetapi pemuda itu memang luar biasa beraninya. Begitu menggeliatkan tubuh, ia gunakan ke dua
tangannya untuk menyerang dua buah jalan darah di tubuh si kakek.
Melihat pemuda itu dapat menerima pukulan yang dilambari dengan tujuh bagian tenaganya bahkan dengan
nekad masih balas menyerang, kakek itu terkejut. Kali ini dia tak mau adu pukulan melainkan menghindar
ke samping.
Tetapi serempak dengan itu, Pek Wan Taysu pun segera loncat melayang ke hadapan kakek baju putih dan
berseru nyaring, “Leng-bin-sin-kun!”
Mendengar seruan paderi Siau-lim itu, wajah si kakek baju putih yang membeku seperti es, tampak
mengerenyut.
“Mengapa? Tak kira kalau di dunia persilatan dewasa ini, masih ada orang yang kenal kepadaku,” serunya.
Mendengar nama itu, pucatlah wajah Siau Lo-seng. Diam-diam ia mengeluh: “Celaka, kali ini mungkin aku
tak dapat lepas dari libatannya......”
Kakek baju putih yalah Leng-bin-sin-kun atau Kesatria wajah dingin Leng Tiong-siang. Empatpuluhan tahun
berselang, dia sama masyhurnya dengan rahib Tay Hui Sin-ni,
Dan Siau Lo-seng rupanya mengetahui tentang dendam pertikaian antara Leng-bin-sin-kun Leng Tiongsiang
dengan Cian-li-tui-cong atau Pemburu jejak seribu lie Ban Li-hong.
“Hari ini Lo-ni dapat bertemu dengan Leng sicu, sungguh suatu keberuntungan,” kata Pek Wan Taysu.
Wajah dingin Leng Tiong-siang tertawa hambar,
“Sejak dahulu aku tak suka ribut-ribut dengan paderi Siau-lim-si. Baiklah engkau jangan mencampuri urusan
itu.”
Baru berkata sampai di situ, tiba-tiba kakek itu berteriak: “Budak, hendak lari kemana engkau?”
Memang menggunakan kesempatan kedua orang itu bicara, diam-diam Siau Lo-seng telah melarikan diri.
Ketika Kesatria wajah dingin Leng Tiong-siang hendak mengejar, tiba-tiba Pek Wan Taysu menyambar baju
kakek itu dan berseru: “Leng sicu, harap suka mendengar perkataanku.”
Kakek wajah dingin balikkan tangannya untuk menyiak cengkeraman paderi Siau-lim itu, diserempaki lagi
dengan sebuah tendangan ke arah perut.
“Keledai gundul, kalau budak itu sampai lolos, engkaulah yang harus bertanggung jawab!” bentak kakek
baju putih dengan marah.
Karena tendangan itu Pek Wan Taysu terpaksa menyurut mundur. Dan seketika itu juga Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang pun sudah melesat sepesat angin.
Tetapi bayangan Siau Lo-seng sudah tak kelihatan lagi.
Pek Wan Taysu cepat berputar tubuh menuju ke dalam hutan. Begitu masuk ke dalam hutan dan
memandang ke muka ternyata Siau Lo-seng sudah tegak berdiri di depan pondok.
Pek Wan Taysu tertegun, serunya: “Siau sauhiap, larimu sungguh menakjubkan sekali.”
Ternyata sebelum lari, Siau Lo-seng sudah gunakan ilmu Menyusup suara suruh paderi Siau-lim-si itu
menunggunya di dalam hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekalipun begitu tak pernah disangka Pek Wan Taysu, bahwa Siau Lo-seng sudah tiba lebih dahulu di
depan pondok itu. Maka kalau dia terkejut, memang dapat dimengerti.
Sambil tertawa Siau Lo-seng berkata: “Taysu, marilah kita kejar jejak Li Giok-hou!”
Pek Wan Taysu kerutkan dahi.
“Siau sauhiap, baru saja Lo-ni tiba di kota Lok-yang ini tetapi mengapa banyak sekali terjadi peristiwa yang
aneh?”
“Memang dewasa ini, dunia persilatan akan dilanda kekacauan besar. Durjana-durjana yang sudah lama
menyembunyikan diri, kini sama berbondong-bondong muncul lagi. Sudah tentu suasana menjadi keruh tak
menentu.”
Pek Wan Taysu menghela napas.
“Siau sauhiap,” serunya, “walaupun Lo-ni tak ada hubungan dengan engkau, tetapi entah bagaimana
rasanya Lo-ni sudah merasa erat dengan sicu. Maka apapun yang engkau utarakan tadi, aku tak ragu-ragu
dan curiga. Tetapi hanya soal pernyataan sicu bahwa Li Giok-hou lah yang membunuh Nyo Jong-ho, benarbenar
membuat Lo-ni bingung memikirkan. Pedang Beracun Pembasmi Iblis Li Giok-hou itu sesungguhnya
adalah bengcu pemimpin baru dari golongan Hitam……”
Mendengar itu serangkum hawa panas meluap ke dada Siau Lo-seng dan dengan suara tergetar ia berseru:
“Paman, aku harus menerima hukuman mati……”
Tiba-tiba Siau Lo-seng maju menghampiri lalu berlutut memberi hormat kepada Pek Wan Taysu.
Sudah tentu paderi tua itu terkejut sekali. Ia segera memeluk pemuda itu. Ketika melihat Siau Lo-seng
bercucuran air mata, seketika tergeraklah hati Pek Wan Taysu.
“Engkau…… engkau adalah Siau toako......,” serunya dengan kegirangan yang meluap-luap.
“Paman,” seru Siau Lo-seng dengan terharu, “aku memang anak yang telah lolos dari penjagalan manusia
di desa Hay-hong-cung. Aku Siau Lo-seng pun juga si Pendekar Ular Emas Siau Mo itu. Karena……”
Siau Lo-seng lalu menuturkan apa yang telah terjadi dan dilakukannya selama ini kepada Pek Wan Taysu.
Paderi itu tegang sekali. Sambil membelai-belai kepala Siau Lo-seng ia berkata: “Anak Seng engkau tak
salah. Walaupun pada waktu yang lalu engkau telah menggunakan nama Siau Mo untuk melakukan
pembunuhan-pembunuhan, tetapi orang tentu dapat memaafkan keadaanmu, ah…… Lo-ni benar-benar
gembira sekali karena Siau toako masih mempunyai seorang putera engkau.”
Siau Lo-seng mengusap airmatanya.
“Siok-siok,” katanya, “tempo dahulu aku dilempar oleh paman Siau Mo ke dalam jurang…… ketika
membuka mata kulihat seorang tua baju biru sedang merawat aku dengan penuh kesayangan. Dialah
guruku yang berbudi, Cian-li-tui-cong Ban Li-hong.”
Pek Wan Taysu menghela napas.
“Mungkin itu sudah menjadi garis hidupmu dapat bertemu dengan seorang sakti yang berwatak aneh seperti
dia……. ah, walaupun dia telah melepas budi besar kepadamu dengan begitupun juga penolongmu. Tetapi
entah dimanakah dia sekarang?”
“Tiga bulan setelah menolong aku, beliau meninggal dunia,” kata Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu terkejut: “Apa? Lalu siapakah yang mengajarkan ilmu kepandaian itu kepadamu?”
“Aku belajar sendiri.......” kata Siau Lo-seng. Pemuda itu segera terkenang akan peristiwa hidupnya pada
belasan tahun yang lampau.
“Pada saat menutup mata, Ban Li-hong telah memberi pesan kepadanya: “…… nak, aku ini sebenarnya
seorang penyamun besar. Namaku Cian-li-tui-cong Ban Li-hong. Semasa hidupku, aku telah menggarong
kitab-kitab pusaka dari partai-partai persilatan termasuk kitab-kitab pelajaran ilmu sakti dari partai-partai
persilatan itu…... Sebenarnya dapat kuajarkan engkau menjadi seorang sakti yang tiada lawannya. Tetapi
sayang, aku tak dapat hidup lebih lama di dunia lagi.......”
Berhenti sejenak tokoh itu berkata pula:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, anak yang bernasib malang, akan kuberitahu kepadamu sebuah hal. Selama tiga bulan ini aku telah
memeriksa tulang dan urat-urat nadimu. Kudapati engkau menderita suatu penyakit yang berbahaya……
penyakitmu itu penyakit warisan orang tuamu, pula karena sejak kecil engkau kurang perawatan sehingga
tubuhmu lemah dan tak boleh belajar ilmu silat.......”
Siau Lo-seng teringat lagi. Setelah gurunya Ban Li-hiong meninggal dunia, dia tak menghiraukan pesannya
lagi dan dengan giat ia mulai mempelajari ilmu kesaktian yang terdapat dalam kitab-kitab pusaka itu. Tujuh
tahun kemudian baru ia mendapatkan tubuhnya memang terdapat gejala-gejala yang berlainan dengan
orang lain. Setiap ia kerahkan tenaga, jantungnya terasa sakit, hawa murni dalam tubuhnyapun terpecah
belah tak keruan…….
Teringat akan hal itu, Siau Lo-seng pun menghela napas.
“Dalam sepanjang hidupnya, Ban Li-hong berhasil mencuri pusaka milik berbagai partai persilatan,” kata
Pek Wan Taysu, “bahwa engkau dapat mempelajari sendiri kitab-kitab pusaka itu dan dapat menggembleng
dirimu menjadi orang sakti, memang itu sudah digariskan engkau berjodoh……”
Mendengar itu Siau Lo-seng menitikkan air mata, serunya haru: “Paman, tetapi aku menyesal karena tak
menurut pesan suhu……”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Ia teringat bahwa soal penyakitnya itu tak layak diceritakan kepada
seorang paman yang baru saja dijumpainya.
“Apa saja kata Ban Li-hong kepadamu?” tanya Pek Wan Taysu.
Siau Lo-seng berusaha untuk menindas kedukaan hatinya. Ia gelengkan kepala: “Tidak bilang apa-apa.”
06.27. Engkau……. Pembunuh Ayahku!
Melihat kerut wajah pemuda berobah-robah tak menentu, tahulah Pek Wan Taysu bahwa Siau Lo-seng
tentu masih menyembunyikan sesuatu. Tetapi pemuda itu tak mau mengatakannya. Pek Wan Taysu pun
tak mau mendesak dan beralih pada lain pembicaraan.
“Anak seng,” katanya, “pembunuhan terhadap Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang itu tentu mempunyai latar
belakang mengenai suatu rahasia dalam dunia persilatan.”
“Dengan tindakannya membunuh seorang guru yang menjadi juga ayah angkatnya, jelas Li Giok-hou itu
menyalahi perikemanusiaan dan keluhuran budi. Kurasa tentu ada suatu liku-liku dendam di dalam peristiwa
itu, Maka baiklah kita lekas-lekas mengejar anak itu agar dapat kita ketahui kejadian yang sebenarnya.”
Pek Wan Taysu merenung.
“Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang adalah orang yang mengetahui tentang rahasia pembunuhan ayahmu.
Apabila kedua orang itu dibunuh, mungkin……”
Mendengar itu diam-diam Siau Lo-seng pun berpikir, “Ya, mengapa aku tak memikirkan hal itu…… apakah
orang yang selalu membayangi aku dan selalu mendahului membunuh orang yang hendak kuselidiki dan
kucurigai sebagai pembunuh ayahku itu Li Giok-hou sendiri.......”
Dulu ia menganggap yang melakukan hal itu yalah Mo-seng-li. Tetapi setelah nona itu dengan terus terang
memberitahukan tentang asal usul dirinya, sudah tentu kecurigaan Siau Lo-seng pun lenyap.
Berpikir sampai di situ, tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak: “He, bagus budak, ternyata engkau......”
Tetapi ketika ia merenung lagi, timbullah kesangsian dan pertanyaan dalam hatinya. Apa tujuan Li Giok-hou
membunuh guru dan ayah angkatnya sendiri itu? Apakah Giok- hou mempunyai hubungan deugan
pembunuhan atas keluarga Siau Lo-seng yang lalu.
Ah, tidak, tidak mungkin! Dia tentu masih kecil.
Apabila Li Giok-hou melakukan perbuatan terkutuk membunuh ayah angkatnya sendiri, tentu karena dia
hendak merebut pusaka Keng-hun-pit, senjata dari Nyo Jong-ho yang menjadi salah sebuah dari Tiga
Pusaka dunia persilatan.
Tengah Siau Lo-seng merenungkan hal itu, tiba-tiba dari jauh terdengar jeritan ngeri dan teriakan keras.
Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu terkejut. Suara itu hilang-hilang terdengar, terbawa angin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anak Seng,” tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru, “dapatkah engkau mcngenali suara jeritan dan teriakan itu?”
Setelah beberapa saat berdiam diri, tampak wajah Siau Lo-seng berobah gelap, serunya: “Rupanya dari
orang-orang Lembah Kumandang. Mari kita tinjau!”
Baru dia hendak bergerak tiba-tiba terdengar sebuah suitan nyaring membelah angkasa. Siau Lo-seng dan
Pek Wan Taysu cepat loncat melayang ke arah sebatang pohon siong.
Tepat pada saat kedua orang itu bersembunyi di pohon itu, sesosok bayangan melayang turun dari udara
dan muncullah seorang lelaki yang aneh. Tubuhnya luar biasa besarnya dan wajahnyapun juga besar.
Sepasang matanya yang sebesar kelinting berkeliaran memandang sekeliling tempat itu lalu ayunkan
langkah menuju ke rumah pondok.
Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu terkejut melihat orang aneh itu. Jelas dia itu seorang tokoh silat yang
berilmu tinggi.
Tiba-tiba di pintu pondok, ia melongok ke dalam. Setelah melihat mayat Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang,
dia berputar tubuh hendak tinggalkan tempat itu.
“Tunggu dulu,” tiba-tiba terdengar suara tertawa “anak buah Naga Hijau sudah mengepung saudara!”
Dari dalam hutan muncullah seorang sasterawan pertengahan umur dengan mengenakan baju warna biru,
diiring oleh belasan orang yang juga memakai pakaian warna biru.
Melihat munculnya rombongan orang baju biru itu, segera Siau Lo-seng gunakan ilmu Menyusup suara
berkata kepada Pek Wan Taysu: “Sasterawan baju biru itu adalah si Roda emas rembulan matahari Tan
Gun-ki, salah seorang than-cu dari Naga Hijau.”
“Kalau begitu teriakan nyaring tadi tentu berasal dari dia yang hendak mengejar langkah orang aneh itu,”
kata Pek Wan Taysu juga dengan ilmu Menyusup suara.
Melihat beberapa sosok mayat di halaman pondok itu seketika berobahlah wajah Tan Gun-ki. Dia tahu
bahwa dalam pondok itu terdapat Nyo Jong-ho dan Han Ceng-jiang. Tentulah telah terjadi suatu peristiwa.
Memandang sejenak ke arah Tan Gun-ki, tiba-tiba lelaki aneh itu tertawa menggeledek, serunya: “Naga
Hijau sungguh tak beruntung. Di mana-mana tempat terdapat mayat anak buah Naga Hijau. Ha, ha, aku
sungguh merasa sedih atas nasib yang mengerikan dari anak buah Naga Hijau itu.”
Tan Gun-ki tak menyahut melainkan berpaling ke belakang dan berkata kepada dua orang pengiringnya:
“Cobalah periksa di dalam pondok apakah Nyo loenghiong masih berada di dalam atau tidak!”
Ternyata ketua Naga Hijau yakni Ui Hun-ing atau yang dikenal sebagai Mo-seng-li telah mengeluarkan
perintah agar segenap jago-jago sakti dari Naga Hijau pada siang itu berkumpul di rumah pondok itu guna
merundingkan suatu masalah penting.
Itulah sebabnya mengapa Tan Gun-ki lebih dahulu telah memimpin orang-orangnya untuk mengadakan
penjagaan di sekeliling pondok itu.
Tetapi dia tak tahu bahwa semalam di dalam rumah pondok itu telah terjadi suatu perobahan besar.
Setelah menerima perintah dari pemimpinnya, kedua anak buah Naga Hijau itupun segera menuju ke
pondok itu. Tetapi ketika kedua anak buah Naga Hijau tiba kira-kira tiga tombak dari tempat si orang aneh,
sekonyong-konyong kedua orang itu menjerit ngeri dan rubuh ke tanah.
Sau Lo-seng terkejut dan cepat gunakan ilmu Menyusup suara kepada Pek Wan Taysu: “Paman, orang
aneh itu sakti sekali. Gerakan tangannya pun sangat aneh. Rupanya seperti orang Lembah Kumandang!”
Terkejut dan marahlah Roda emas rembulan matahari Tan Gun-ki melihat kedua anak buahnya dibunuh
orang aneh itu. Ia cepat melesat maju.
“Sudah tujuh atau delapan anakbuahku yang engkau lukai. Siapakah engkau!” bentaknya.
Orang aneh itu tertawa gelak-gelak.
“Jangan tanya aku ini siapa,” sahutnya, “karena jangan harap kalian semua ini dapat pergi dari sini.”
“Wut……” ia menutup kata-katanya dengan menghantam Tan Gun-ki.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar lengking teriakan yang gopoh: “Tan Than-cu. jangan menangkis pukulannya dan lekas
menghindarinya!”
Seiring dengan teriakan itu, sesosok tubuh melayang di udara dan segulung sinar pedang bercahaya merah
segera menimpah orang aneh itu.
“Tring……”
Sinar pedang lenyap dan sebagai gantinya muncullah seorang gadis baju hijau, memegang sebatang
pedang panjang dan tegak berdiri dengan wajah terkejut.
Sedang Tan Gun-ki pucat wajahnya, terhuyung mundur sampai tiga-empat langkah.
“Anak Seng,” tiba-tiba Pek Wan Taysu gunakan ilmu menyusup suara bertanya kepada Siau Lo-seng,”
agaknya Tan Gun-ki telah menderita luka karena pukulan aneh dari orang aneh itu. Ilmu pedang yang
dimainkan gadis baju hijau itu seperti jurus pembukaan dari ilmu Pedang terbang. Siapakah dia?”
Sahut Siau Lo-seng: “Memang hebat sekali kepandaian orang aneh itu. Pukulannya tentu mengandung
tenaga sakti beracun. Gadis itu puteri dari Nyo Jong-ho, namanya Nyo Cu-ing.”
Tampaknya orang aneh itupun tak kurang kejutnya ketika diserang oleh Cu-ing. Ia menyurut mundur
selangkah, wajahnya meregang rasa kejut yang besar lalu tertawa keras.
“Menilik umurnya masih muda tetapi engkau mampu menguasai ilmu Pedang terbang. Apakah engkau
orang Naga Hijau?” serunya.
Nyo Cu-ing tak menyahut. Ketika melihat mayat-mayat berserakan di halaman pondok itu, seketika
berobahlah wajahnya. Ia terus ayunkan langkah ke arah pondok.
Orang aneh itu tertawa dingin. Tiba-tiba ia menghantam.
Cu-ing meleking, orang dan pedang bergulung menjadi satu sehingga merupakan sebuah bianglala yang
menumpah ke arah orang aneh itu.
Orang aneh itu membentak keras seraya menghantam dengan kedua tangannya. Dua buah gelombang
angin yang bertenaga dahsyat segera melanda si nona.
Cu-ing tak berani menangkis. Cepat ia enjot tubuh melambung ke udara.
Hantamannya luput, orang aneh itupun juga mengejar loncat ke udara dan menghantam.
Tiba-tiba terdengar lengking dingin dan tubuh Cu-ing pun berjumpalitan di udara. Orang aneh itu telah
merebut pedang si nona terus dilontarkan ke arah pohon siong tempat persembunyian Siau Lo-seng.
“Hai, siapakah yang bersembunyi di atas pohon itu?” seru orang aneh itu.
Kiranya orang aneh itu cepat dapat mengetahui bahwa pedang yang dilontarkan ke arah daun pohon siong
yang lebat, bagai batu yang masuk ke dalam laut, sama sekali tak bersuara. Dia duga di dalam gerumbul
daun pohon itu tentu bersembunyi orang yang tak diketahui.
Pun Cu-ing juga segera dapat mengetabui bahwa dalam gerumbul daun pohon siong itu memang terdapat
seorang tokoh persilatan.
Kira mereka memang benar. Dari balik gerumbul daun yang lebat, segera menyembul dua buah kepala
orang. Dengan gunakan gerak Burung ho mencabik air, dari ketinggian tujuh-delapan tombak, meluncurlah
dua sosok tubuh. Seorang paderi tua yang berwajah terang dan seorang pemuda cakap yang mencekal
sebatang pedang.
Walaupun dari jarak yang sedemikian tinggi, tetapi kedua orang itu telah tiba di tanah tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun juga. Benar-benar laksana dua lembar daun kering yang berguguran ke tanah.
Sekalian orang terkejut menyaksikan kesaktian kedua orang itu. Terlebih lagi Cu-ing. Demi melihat Siau Loseng,
seketika Cu-ing pun segera berteriak: “Siau……”
Tetapi ketika melihat bahwa pemuda yang melayang turun itu bukan Pendekar Ular Emas Siau Mo, nona
itupun hentikan teriakannya.
Siau Lo-seng juga tergetar hatinya mendengar teriakan nona itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata pedang Cu-ing telah dibawa oleh Siau Lo-seng dan pemuda itupun segera menghampiri ke tempat
si nona.
“Nona Nyo, silahkan nona masuk ke dalam pondok untuk menjenguk ayah nona. Di sini serahkan padaku
yang mengurusnya.
Habis berkata Siau Lo-seng pun serahkan pedang kepada si nona lagi.
“Ayahku bagaimana?” teriak Cu-ing terkejut.
Serentak nona itu terus loncat memburu ke dalam pondok. Anehnya orang aneh itupun tak mau merintangi
lagi.
Siau Lo-seng tenang-tenang berkisar tubuh dan menegur orang itu: “Saudara tadi telah memperdengarkan
suitan yang aneh. Apakah saudara ini orang Lembah Kumandang?”
Dengan wajahnya yang dingin, orang aneh itu hanya mendengus: “Engkau orang she Siau, tentulah si
Pendekar Ular Emas Siau Mo itu?”
Baru dia berkata begitu, Cu-ing pun sudah menerobos keluar dari pondok. Dengan airmata bercucuran
deras, ia terus menuding dengan pedangnya kepada Siau Lo-seng dan menghardiknya: “Siapakah engkau?
Lekas bilang!”
Tergetarlah hati Siau Lo-seng, karena tahu bahwa Cu-ing telah mencurigainya. Walaupun saat itu dia sudah
berganti wajah tetapi karena sudah lama bergaul dengan Cu-ing, nona itu tentu dapat mengenali suaranya
sebagai si guru Siau Lo-seng atau Siau Mo si Pendekar Ular Emas.
“Engkau…… engkau seorang pembunuh kejam! Engkau telah membunuh ayahku……!” teriak Cu-ing lalu
dengan kalap terus menusuk dada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng hanya terlongong-longong seperti patung, cepat-cepat Pek Wan Taysu meneriakinya: “Anak
Seng……”
Sebenarnya tanpa diperingatkan Pek Wan Taysu, Siau Lo-seng sudah menggeliat ke samping untuk
menghindari pedang.
Kiranya sewaktu masuk ke dalam pondok dan melihat ayahnya serta Han Ceng-jiang sudah menjadi mayat,
Cu-ing hampir pingsan. Dan ketika melihat dada Han Ceng-jiang tertusuk dengan pedang Ular Emas segera
ia memastikan bahwa Siau Mo si Pendekar Ular Emas itu yang menjadi pembunuhnya.
Seorang yang hatinya sedang sedih dan gelisah tentu pikirannya pun gelap. Demikian dengan Cu-ing. Nona
itu segera memastikan siapa pembunuhnya. Pada hal apabila ia mau memperhatikan dan menyelidiki
dengan teliti, tentulah ia akan menemukan sesuatu yang mencurigakan.
Tetapi Cu-ing sudah kalap. Begitu tusukannya luput segera ia susul lagi dengan tiga buah serangan pedang
yang dahsyat. Sedemikian dahsyat dan ganas serangan itu sehingga Siau Lo-seng hampir saja celaka.
“Nona Nyo, jangan salah mengenal orang!” bentak Siau Lo-seng.
Cu-ing kerutkan sepasang alis dan dengan marah ia membentak: “jahanam, sekalipun engkau menjadi
tumpukan abu, akupun tetap akan mengenalimu……”
Cu-ing menutup kata-katanya dengan gerakkan pedangnya pula dalam tiga buah serangan yang aneh.
Seperti menusuk tetapi pun seperti menabas. Beberapa belas jalan darah di tubuh Siau Lo-seng terancam
oleh ujung pedang.
Sekalian tokoh yang menyaksikan ilmu pedang nona itu, terkejut heran. Sedang Siau Lo-seng sendiripun
memang sudah mengetahui bahwa nona itu adalah murid dari rahib sakti Tay Hui Sin-ni. Nona itu tentu
sudah mendapat ilmu pedang yang diwariskan oleh rahib sakti itu.
Siau Lo-seng tak berani berayal. Tangan kanan menjulur maju untuk menjemput punggung pedang.
Gerakan tangan itu menimbulkan tenaga kuat yang menyiak pedang ke samping. Sedang tangan kiri segera
menyusup ke muka untuk mencekal siku lengan sebelah kanan dari si nona.
Gerakan yang istimewa anehnya itu memaksa Cu-ing harus cepat-cepat menyurut mundur tiga langkah.
“Jahanam, aku akan mengadu jiwa kepadamu!” tariak nona itu seraya maju pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini pedang Cu-ing berhamburan laksana berpuluh kilat menyambar di udara. Dan gerakan pedang itupun
menimbulkan deru angin prahara yang dahsyat.
Diam-diam Siau Lo-seng mengeluh dalam hati. Ia tak mengira bakal terlibat dalam kesulitan semacam itu.
Apabila tak diberi penjelasan nona itu tentu akan kalap dan akan sungguh-sungguh mati-matian mengadu
jiwa.
Tetapi ia bingung juga mencari akal bagaimana cara untuk memberi penjelasan kepada nona itu.
Karena pikirannya menuju ke hal itu maka saat itu ia telah terkurung dalam sinar pedang Cu-ing.
Melihat keselamatan jiwa Siau Lo-seng terancam, Pek Wan Taysu mulai cemas. Demikian pula dengan si
orang aneh itu. Rupanya iapun tertarik juga akan pertempuran yang dilakukan kedua muda mudi itu.
Setelah duapuluh jurus menerima serangan pedang, Siau Lo-seng pun segera berkata, “Nona Nyo, kalau
hendak membalas dendam, harus menyelidiki dulu siapa pembunuh ayahmu. Setelah jelas barulah engkau
turun tangan membunuhnya.”
Habis berkata Siau Lo-seng terus maju merapat ke muka.
Cu-ing menjerit kaget dan cepat-cepat katupkan pedang untuk melindungi diri. Tetapi serempak dengan
gerakan si nona itu. Siau Lo-seng pun ternyata sudah menggelincir ke samping.
Cu-ing terlongong-longong, ia heran sekali menyaksikan gerakan Siau Lo-seng yang begitu aneh dan
istimewa. Belum pernah ia menyaksikan dan mendengar nama dari ilmu sedemikian itu. Cepat-cepat ia
menyurut mundur dua langkah dan dua kali tabaskan pedangnya.
Tetapi dengan gerakan berputar-putar yang aneh dan mengagumkan, pemuda itu tetap menyusup maju dan
pada lain saat, tangan kanannya pun sudah mencekal siku lengan kanan dari si nona.
“Wut……” dalam gugup, Cu-ing hantamkan tangan kirinya ke dada Siau Lo-seng. Tetapi pemuda itupun
sudah miringkan tubuh. Selekas pukulan si nona lewat, secepat kilat tangan kiri Siau Lo-seng pun terus
menyambar siku lengan sebelah kiri dari si nona. Dengan demikian maka kedua siku lengan Cu-ing telah
dikuasai Siau Lo-seng.
Tetapi ternyata pemuda itu tak mau mencelakai si nona. Setelah menarik pelahan, ia segera lepaskan
tangannya pula dan mundur sampai lima-enam langkah.
Adegan itu berlangsung dalam sekejap mata. Bukan hanya Cu-ing yang termangu-mangu heran, pun si
orang aneh tadi serta Pek Wan Taysu juga terkejut.
“Nona Nyo,” seru Siau Lo-seng dengan pelahan dan tenang, “dewasa ini seluruh kaum persilatan sedang
mengarahkan perhatiannya kepada Tiga Pusaka dunia persilatan. Mereka saling berebut dan bunuh
membunuh untuk mendapatkau pusaka itu. Peristiwa itulah yang menimbulkan pergolakan dunia persilatan
waktu ini……”
“Kematian ayahmu dan beberapa tokoh per-
Page 29-30 are missing…………
Pek Wan Taysu amat tegang. Sepasang matanya berkilat-kilat. Belum pernah rasanya paderi dari Siau-limsi
itu semarah saat itu.
06.28. Kabut hitam.
Tetapi orang itu tetap acuh tak acuh. Wajahnya tenang-tenang saja. Pada hal sesungguhnya dia sedang
salurkan tenaga dalam untuk menyembuhkan luka dalam tubuhnya.
Sementara itu, Cu-ing ayunkan langkah menghampiri ke tempat Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu kuatir kalau nona itu hendak menyerang, buru-buru memberi penjelasan.
“Nona Nyo, Lo-ni paderi Pek Wan dari Siau-lim-si. Sejak semalam bersama keponakanku berada di sini. Loni
berani bersumpah, Nyo loenghiong dan beberapa tokoh itu, bukan keponakanku yang membunuh.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Empat serangkai paderi sakti dari Siau-lim-si, termayhur sekali. Terkejutlah Cu-ing mendengar Pek Wan
Taysu memperkenalkan diri. Diam-diam nona itu menimang: “Ah, ternyata dugaanku memang benar. Paderi
ini salah seorang tokoh Siau-lim yang termasyhur.”
“Locianpwe,” kata Cu-ing dengan nada haru, “Mohon locianpwe suka memberi keterangan siapakah
pembunuh ayahku itu. Budi locianpwe takkan kulupakan seumur hidup.”
Berkata Pek Wan Taysu dengan serius: “Lo-ni, juga belum dapat memastikan siapa pembunuhnya. Tetapi
kita akan berusaha untuk menyelidiki.”
Kemudian paderi itu menunduk dan bertanya pelahan kepada Siau Lo-seng, “Lo-seng, apakah engkau
terluka?”
Belum pemuda itu menjawab, si orang aneh sudah menyelutuk dengan suara sinis: “Dia memang terluka
karena pukulan Pek-kut-im-hong-ciang yang kulancarkan. Hawa beracun dari pukulan itu telah menyusup
ke dalam urat nadinya. Walaupun dia memiliki tenaga dalam yang tinggi, tetap tak dapat hidup lebih lama
dari tujuh hari lagi
Pek-kut-im-hong-ciang artinya pukulan Angin yang mengandung phospor tulang mayat. Ilmu pukulan itu
berasal dari daerah Biau di pedalaman Sin-kiang.
Mendengar itu Pek Wan Taysu segera berpaling dan mengamati Siau Lo-seng. Tampak pada dahi pemuda
itu terdapat segurat warna merah tua. Dan saat itu tengah pejamkan mata untuk menyalurkan tenaga
dalam.
“Celaka, Lo-seng benar-benar telah terkena pukulan beracun......,” Pek Wan Taysu mangeluh.
Rupanya orang aneh itu tahu akan kecemasan Pek Wan Taysu. Maka diapun berseru pula,
“Apabila menghendaki dia hidup, itu mudah saja. Asal minum obatku, racun dalam tubuhnya tentu hilang
seketika.”
“Ciong Pek-to,” seru Pek Wan Taysu dengan sarat, “empatpuluh tahun yang lalu engkau telah murtad dari
Siau-lim-si, apakah sampai saat ini engkau belum bertobat?”
Orang aneh itu tengadahkan kepala dan tertawa gelak-gelak.
“Pek Wan suheng, sungguh tak kira kalau engkau masih kenal padaku. Ha, ha, ha bagus, bagus sekali.
Dengan begitu suheng lebih jelas akan maksudku untuk memiliki ilmu sakti Hwat-lun-it-coan (roda berputar).
Apabila suheng menghendaki pemuda itu hidup, akan kuberinya obat penawar racun tetapi pun suheng
harus memberikan kitab pusaka ilmu Hwat-lun-it-coan itu kepadaku.”
Kiranya orang aneh itu adalah murid dari Siau-lim-si, namanya Ciong Pek-to. Empatpuluh tahun yang lalu,
karena dia diam-diam telah mencuri belajar ilmu pukulan Hwat-lun-it-coan. Akhirnya ketahuan dan
dimasukkan dalam ruang Hui-ko-si atau ruang bertobat. Tetapi ternyata dia malah makin gila. Melukai
beberapa paderi Siau-lim dan melarikan diri. Siau-lim-si pernah memerintahkan beberapa tokoh saktinya
untuk mencari murid hianat itu tetapi tak berhasil. Dia menghilang tanpa bekas. Maka sungguh tak
disangka-sangka bahwa saat itu dia muncul lagi.
“Murid murtad, ternyata engkau masih belum insyaf!” bentak Pek Wan Taysu.
Orang aneh itu atau Ciong Pek-to tertawa hina: “Pek Wan suheng, mengingat hubungan kita dahulu begitu
baik maka aku masih berlaku sungkan kepadamu. Sekarang aku sudah mengatakan keinginanku, terserah
saja engkau setuju atau tidak.”
Habis berkata ia terus berpaling dan ayunkan langkah. Tetapi beberapa tindak kemudian, ia berpaling lagi.
“Pek Wan suheng,” serunya, “terus terang kuberitahu kepadamu. Tak sampai satu tahun lagi, gereja Siaulim-
si tentu akan terjadi peristiwa besar. Pada saat itu seluruh paderi Siau-lim-si tentu akan tunduk
kepadaku.......”
Mendengar itu Pek Wan Taysu terkejut. Jelas kata-kata orang aneh itu mengandung suatu ancaman hebat.
Seketika berobahlah wajah Pek Wan Taysu.
“Ciong Pek-to, berhenti dulu!” serunya.
Ciong Pek-to tertawa dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Wan Taysu menyadari bahwa bekas sutenya itu memang seorang yang cerdik sekali. Pada waktu
berumur duapuluhan tahun, Ciong Pek-to itu sudah menonjol dan melampaui murid-murid Siau-lim-si yang
lain.
Apalagi kini sudah berselang empatputuh tahun lagi, entah sampai berapakah tingginya kepandaian Ciong
Pek-to itu. Kalau menilik beberapa jurus yang di dimainkan tadi, jelas dia telah mencapai tingkat yang sukar
dinilai tingginya.
Dalam penilaian itu terhentilah Pek Wan Taysu pada suatu kekuatiran bahwa jangan-jangan ia tak mampu
mengalahkan bekas sutenya itu.
“Ada beberapa soal yang hendak kutanyakan kepadamu,” kata paderi Siau-lim itu dengan serius.
“Katakanlah!”
“Bahwa dunia persilatan telah timbul gelombang tanpa angin, kekacauan yang tak diketahui siapa
pengacaunya. Adakah engkau juga terlibat di dalamnya?”
“Ya,” sahut Ciong Pek-to tanpa tedeng aling-aling, “tetapi aku hanya salah satu saja……”
Habis berkata ia berpaling memandang ke arah Siau Lo-seng yang masih duduk bersila di tanah.
Pek Wan Taysu pun juga ikut berpaling. Dilihatnya tak ada suatu perobahan pada diri pemuda itu.
Sekonyong-konyong mulut Ciong Pek-to mendesis dan terus loncat ke tempat Siau Lo-seng.
”Murtad!” bentak Pek Wan Taysu seraya menampar.
Namun Ciong Pek-to tetap menerjang maju. Tangan kanannya bergerak dan segulung angin yang
mengandung tenaga dahsyat segera menyongsong ke arah Pek Wan Taysu.
Ketika kedua tenaga sakti saling beradu maka di udara segera terdengar gelombang angin prahara yang
keras.
Jubah Pek Wan Taysu bertebar-tebar dan kakinya surut ke belakang setengah langkah.
Tetapi Ciong Pek-to bahkan secepat kilat menyerbu Siau Lo-seng. Melihat itu Cu-ing melengking kaget dan
terus taburkan pedangnya. Sekali gus nona itu menusuk tiga buah jalan darah Ciong Pek-to.
Jurus itu luar biasa anehnya. Walaupun Ciong Pek-to memiliki kepandaian sakti tetapi ia tetap tak mampu
memecahkan serangan itu. Buru-buru ia hentikan gerakannya dan berputar ke samping.
Tetapi ia tak berhenti melainkan tetap berputar-putar menghampiri ke tempat Siau Lo-seng.
Melihat Ciong Pek-to begitu ngotot hendak menyerbu Siau Lo-seng, heranlah Pek Wan Taysu. Cepat ia
berpaling ke arah pemuda itu. Apa yang disaksikan, benar-benar membuat hatinya tergetar.
Ternyata pemuda itu masih tetap duduk pejamkan mata. Guratan merah tua pada dahinya sudah tak
tampak. Tetapi sebagai gantinya, ubun-ubun kepala pemuda itu seperti mengeluarkan asap warna merah.
Serentak teringatlah Pek Wan Taysu akan suatu hal. Suhunya pernah bilang kepadanya bahwa ilmu silat itu
seperti laut yang sukar diduga dalamnya. Jurus gerakannya menitik-beratkan pada perobahan yang sukar
diduga orang. Demikian pula dengan ilmu lwekang atau tenaga-dalam. Bahkan ilmu lwekang itu lebih
banyak perobahannya lagi.
Ilmu lwekang terbagi dalam tiga aliran pelajaran. Kesatu, ilmu lwekang aliran Ceng-pay yang
mengutamakan penyaluran tenaga murni menurut peraturan yang layak. Kedua, ilmu lwekang yang terbalik
cara penyalurannya. Dan ketiga yalah jenis aliran yang aneh. Yalah dapat menyalurkan tenaga dalam
keluar dari tubuh untuk melindungi diri.
Tengah dia berpikir sampai di situ, Ciong Pek-to dan Cu-ing sudah melangsungkan dua jurus pertempuran.
Dan kini Ciong Pek-to mulai mengadakan serbuan yang kedua kalinya. Dia lepaskan sebuah pukulan
Membelah gunung Hoa-san ke arah nona itu.
Menderita dua kali serangan dari Ciong Pek-to, Cu-ing terdesak dan mundur di muka Siau Lo-seng. Saat itu
ia mainkan pedangnya dalam jurus Menyongsong angin-membabat rumput untuk menabas lengan kiri
Ciong Pek-to.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi tiba-tiba Ciong Pek-to menarik kembali tangannya seraya menyiak pedang si nona. Kemudian kaki
kanannya maju setengah langkah dan secepat kilat tangannya kanan menyambar lengan sekali pijat,
terlepaslah pedangnya si nona.
Gerakan Ciong Pek-to itu memang luar biasa anehnya sehingga Cu-ing tak berdaya menjaga diri lagi.
Ciong Pek-to tidak berhenti sampai di situ saja. Setelah dapat memaksa Cu-ing lepaskan pedangnya, kaki
kanan orang itu diulurkan untuk mencongkel pedang yang menggeletak di tanah. Begitu pedang
melambung ke atas, cepat ia sambuti dengan tangan kiri. Dan secepat mencekal pedang, ia terus menusuk
dada Siau Lo-seng.
“Jahanam, jangan mengumbar keganasanmu!” Pek Wan Taysu terkejut dan terus maju menendang bekas
sutenya itu.
Tetapi serempak pada saat itu, tiba-tiba Siau Lo-seng yang duduk diam seperti patung tiba-tiba berteriak:
“Nona Nyo, paman, silahkan mundur!”
Menghadapi tendangan Pek Wan Taysu, Ciong Pek-to hanya mengendapkan tubuh, berputar setengah
lingkaran untuk menghindari. Sedang tusukannya tadi tetap tak berobah.
“Ah.......” karena tak berdaya menolong, Cu-ing menjerit kaget.
Tetapi tiba-tiba Siau Lo-seng julurkan sebuah jari tangannya. “Tring……,” tepat sekali ujung jarinya menutuk
batang pedang dan seiring dengan bunyi mendering itu, batang pedang pun putus menjadi dua……
Dan entah bagaimana, Ciong Pek-to terhuyung-huyung mundur beberapa langkah, berputar tubuh lalu
loncat pergi.
Gerakan Ciong Pek-to itu memang cepat sekali sehingga Pek Wan Taysu dan Cu-ing tak keburu lagi untuk
menghadangnya.
Sambil memandang bayangan Ciong Pek-to, Siau Lo-seng menghela napas panjang.
“Ah, jika dia nekad menyerang aku beberapa jurus lagi, aku tentu celaka di tangannya......” habis berkata
pemuda itu terus pejamkan mata seperti orang yang kehabisan tenaga.
Pek Wan Taysu maupun Cu-ing mengetahui bahwa tutukan jari pemuda itu telah menghabiskan tenaga
dalamnya. Paling tidak pemuda itu harus beristirahat memulangkan tenaga selama satu jam.
Pek Wan pun juga ikut duduk bersemedhi di samping Siau Lo-seng. Wajahnya tampak sarat. Ternyata
paderi itu sedang gelisah menampung bermacam persoalan.
Cu-ing tegak terlongong-longong seperti orang yang kehilangan semangat. Kesedihan dan kehancuran
hatinya sukar dilukiskan.
Entah berapa lama kemudian tiba-tiba terdengar seorang anak buah Naga Hijau berteriak kaget: “Hai, Tan
Than-cu meninggal……!”
Teriakan itu mengejutkan Cu-ing dan Pek Wan Taysu. Memandang ke muka mereka melihat Tan Gun-ki,
Than-cu Naga Hijau duduk bersila di tanah tak bergerak lagi. Setelah menderita pukulan dari Ciong Pek-to,
ketua bagian dari Naga Hijau itu duduk di bawah pohon siong untuk menyalurkan tenaga dalam.
Pek Wan Taysu dan Cu-ing bergegas menghampiri.
“Tan Than-cu, Tan Than-cu……” teriak Cu-ing pelahan.
Tetapi Tan Gun-ki tak menyahut.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu melihat punggung ketua bagian dari Naga Hijau itu tertancap sebatang pedang
pandak. Buru-buru ia hendak mencabutnya.
“Paman, jangan terburu-buru mengambilnya dulu,” dari arah belakang terdengar suara Siau Lo-seng. Dan
serentak pemuda itupun sudah melesat tiba. Lebih dulu ia mengerling pandang ke sekeliling penjuru
kemudian baru memeriksa pedang yang tertancap pada punggung Tan Gun-ki.
Ah, pedang itu ternyata pedang Ular Emas. Pedang yang serupa terdapat pada dada Nyo Jong-ho dan Han
Ceng-jiang.
Setelah sejenak memeriksa, berkatalah Siau Lo-seng: “Jangan menjamahnya dulu……”
dunia-kangouw.blogspot.com
Habis berkata pemuda itu terus lari ke dalam pondok dan pada lain kejap ia keluar lagi.
Tiba-tiba Cu-ing mengertak gigi dan berseru dengan geram: “Hm, ternyata pembunuh itu masih tak pergi
dari sini. Bangsat, keluarlah engkau! Aku Nyo Cu-ing akan mengadu jiwa dengan engkau!”
Melihat nona itu menumpahkan kemarahannya begitu tegang, Siau Lo-seng menghela napas.
“Nona Nyo, pembunuh ayahmu dengan pembunuh Tan Than-cu ini tidak sama orangnya,” katanya.
Mendengar itu Cu-ing dan Pek Wan Taysu terbeliak.
“Lo-seng, bagaimana engkau dapat mengatakan begitu?” seru Pek Wan Taysu.
“Cobalah paman renungkan,” kata Siau Lo-seng, “betapapun saktinya orang itu, tetapi kalau dia mampu
membunuh Tan Than-cu di depan hidung kita tanpa kita ketahui sama sekali, rasanya hal itu mustahil
sekali.”
Mendengar itu diam-diam Cu-ing teringat akan kematian Pedang siput rawa Cu Kong-ti yang juga dibunuh
di depan para tetamu-tetamu yang berada di villa Merah Delima gedung keluarga Nyo.
Teringat peristiwa itu, Cu-ing dapat menyetujui kata-kata Siau Lo-seng.
“Hasil penyelidikan yang kulakukan,” kata Siau Lo-seng pula, “walaupun Pedang Ular Emas yang menancap
di tubuh Nyo bengcu dan Han Ceng-jiang sama dengan yang menancap di punggung Tan Than-cu ini.
Tetapi caranya membunuh berlainan. Pembunuh Nyo bengcu dan Han Ceng-jiang jelas berkepandaian
sakti. Tetapi pembunuh Tan Than-cu ini masih kalah sakti dengan pembunuh Nyo bengcu.”
Memang Tan Gun-ki itu bukan tokoh sembarangan. Walaupun menderita luka tetapi tak mudahlah orang
hendak mencelakainya secara menggelap.
Tiba-tiba Siau Lo-seng menyalangkan mata dan memandang ke arah rombongan anak buah Naga Hijau.
“Kuberani memastikan bahwa sebelum punggungnya ditusuk pedang, Tan Than-cu tentu sudah
menghembuskan napas karena menderita luka parah. Inilah sebabnya maka ia tak melawan ataupun
mengerang kesakitan,” kata Siau Lo-seng dengan tenang.
“Kalau begitu Tan Than-cu mati karena pukulan Ciong Pek-to,” seru Cu-ing.
Siau Lo-seng mengangguk.
“Benar, pukulan beracun dari orang itu, cukup dapat menghancurkan jiwa Tan Than-cu,” katanya.
Pek Wan Taysu pun membenarkan: “Menilik darah yang mengalir dari punggung Tan Than-cu, keterangan
Lo-seng memang tepat.”
“Kalau begitu pembunuhnya……” belum habis Cu-ing berkata tiba-tiba Siau Lo-seng menyambar tubuh
seorang anak buah Naga Hijau yang berada di belakangnya.
“Hm, memang sudah lama kuperhatikan gerak gerikmu……” katanya seraya menguasai pergelangan
tangan orang itu.
Tetapi orang itu mengerang tertahan dan tahu-tahu sudah tak bernyawa. Sebatang pedang Ular Emas yang
berkilat-kilat telah menancap di dada orang itu.
Peristiwa itu sungguh mengejutkan sekali dan mendenguslah Siau Lo-seng dengan geram.
“Hm, sungguh tak kira kalau mereka begitu memandang enteng jiwanya!”
Ternyata anak buah Naga Hijau yang berdiri di belakang Siau Lo-seng itu diam-diam sudah mengeluarkan
pedang Ular Emas. Maksudnya selagi Siau Lo-seng asyik bicara, ia hendak menikamnya dari belakang.
Tetapi ternyata punggung pemuda itu seperti tumbuh mata. Sebelum orang bertindak dengan kecepatan
yang tak terduga-duga ia menyambar ke belakang dan menyiak pedang itu hingga menusuk ke dada
orangnya.
“Eh, kalau menilik luka di dadanya itu, kiranya tak mungkin secepat itu dia bisa mati,” kata Pek Wan Taysu.
06.29. Pesona Im-kian-li
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sebelumnya dia memang sudah mengulum obat racun,” kata Siau Lo-seng, “sekali kulit pembungkus obat
itu digigit pecah, racun segera mencabut nyawanya. Sambaran yang kulakukan secara tiba-tiba tadi
sebenarnya untuk mencegah jangan sampai ia keburu bunuh diri. Ah, tetapi racun itu memang cepat sekali
kerjanya.”
Setitik pun Cu-ing tak menyangka bahwa dalam kalangan anak buah Naga Hijau ternyata terdapat matamata
musuh. Tiba-tiba ia teringat akan kematian Cu Kong-ti dan......,
“Ih, apakah suami isteri itu!” tanpa disadari mulut nona itu mendesuh.
Mendengar itu Pek Wan Taysu dan Siau Lo-seng menatapnya.
“Nona Nyo, soal apa yang engkau curigai?” tegur Siau Lo-seng.
“Di dalam rumahku pernah terjadi peristiwa begini.......” Cu-ing lalu menuturkan tentang peristiwa kematian
Cu Kong-ti, salah seorang dari Tiga Jago Kang-lam. Tokoh itupun mati dengan punggung tertancap
sebatang pedang Ular Emas.
“Ah, apabila tak keluar dari gereja, aku tentu tak tahu tentang peristiwa-peristiwa ini,” Pek Wan Taysu
menghela napas.
Siau Lo-seng kerutkan sepasang alis. Rupanya dia tengah berpikir keras. Beberapa saat kemudian ia
berkata seorang diri: “Ah, urusan menjadi makin lama makin ruwet.”
“Lo-seng,” kata Pek Wan Taysu, “menilik gejolak kekacauan dalam dunia persilatan dewasa ini, biang
keladinya bukanlah hanya pihak Lembah Kumandang saja.”
Siau Lo-seng mengiakan.
“Memang disamping itu masih terdapat perkumpulan yang mempunyai lambang Pedang Ular Emas.
Kekuatan, pengaruh dan rapinya perkumpulan itu, jauh lebih hebat dari Lembah Kumandang. Tetapi entah
siapakah pemimpinnya. Dan mengapa menggunakan pedang Ular Emas untuk membunuh orang.”
Tiba-tiba Cu-ing memandang Siau Lo-seng, serunya: “Huru hara dalam dunia parsilatan itu, timbulnya sejak
Pendekar Ular Emas muncul. Mungkinkah perkumpulan itu dipimpin oleh Pendekar Ular Emas itu?”
Pek Wan Taysu menghela napas.
“Anakku Lo-seng, engkau seharusnya memberi penjelasan kepada nona Nyo.”
Cu-ing pun ikut menghela napas rawan, ujarnya pula: “Siau Mo memang kukenal padanya. Tetapi tindakan
adat dan perangainya tetap belum kuketahui jelas. Betapapun dia hendak memberi penjelasan
kepadaku.......”
Mendengar itu Pek Wan Taysu cepat menarik kesimpulan bahwa nona itu memang sudah tahu bahwa Siau
Lo-seng itu bukan lain adalah Siau Mo si Pendekar Ular Emas.
“Nona Nyo,” cepat paderi itu berkata, “engkau harus dapat memaafkan kesulitan Lo-seng. Apa yang nona
alami hari ini, Lo-seng pun pernah menderita begitu ketika dia berumur tujuh tahun. Karena itulah maka
wataknya berobah aneh. Padahal sebenarnya dia seorang yang berbudi lemah lembut. Dia seorang yang
berhati perwira.”
Mendengar itu terkejutlah Cu-ing.
“Dia…… dia sungguh Siau Mo?” serunya tegang sekali.
Walaupun dia tahu bahwa Siau Lo-seng itu Siau Mo si Pendekar Ular Emas. Tetapi ia masih belum berani
yakin akan hal itu, itulah sebabnya maka ia kaget sekali.
Siau Lo-seng menghela napas.
“Nona Nyo,” ujarnya, “namaku yang sesungguhnya yalah Lo-seng. Siau Mo itu adalah nama pamanku yang
telah membunuh seluruh keluargaku. Dengan menggunakan nama itu, aku bermaksud hendak memancing
dia keluar dari persembunyiannya.”
“Siau sauhiap,” kata Cu-ing dengan rawan, “ada sebuah hal yang hendak kutanyakan kepadamu.”
“Silahkan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah maksudmu menyelundup ke dalam rumahku. Yang kuketahui, sejak kedatanganmu itu, timbullah
bermacam peristiwa yang menyedihkan ini. Ayahkupun meninggal. Tetapi aku tak tahu apa sebab ayah
terlibat dalam peristiwa itu?”
“Nona Nyo,” kata Siau Lo-seng dengan penuh sesal, “tujuanku menyelundup ke dalam rumah keluarga Nyo,
tak lain karena hendak menyelidiki pembunuh dari ayahku. Dalam hal itu, maaf, memang ayahmu yang tahu
paling jelas. Soal kematian ayahmu, walaupun dapat dikata memang ada sedikit hubungannya dengan
dendam kematian ayahku. Tetapi tujuan dari si pembunuh itu yang terutama tentu karena hendak merebut
Keng-hun-pit (Pena Penggoncang Jiwa) milik ayahmu. Karena senjata itu merupakan salah satu dari Tiga
Pusaka dunia persilatan yang diburu oleh kaum persilatan.”
“Nona Nyo,” Pek Wan Taysu menyelutuk, “tentang pembunuh Nyo loenghiong, walaupun belum mendapat
bukti-bukti yang jelas, tetapi kita telah mencurigai seseorang. Dan orang itu rasanya engkau dan Lo-ni
sudah kenal.”
“Siapa?” tanya Cu-ing, “apakah suami isteri Hong-hu Hoa?”
“Bukan,” Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
“Nona, dimanakah ibu dan adik nona sekarang ini?” tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
Mendangar itu bercucuran airmata Cu-ing, sahutnya: “Mereka entah berada dimana, aku tak tahu. Siau
sauhiap, siapa sesungguhnya yang membunuh ayahku itu?”
“Nona Nyo,” kata Siau Lo-seng dengan tenang, “pembunuhnya itu mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan keluargamu. Apabila kukatakan namanya, engkau pasti tak percaya. Tetapi saat ini akupun belum
berani memastikan kalau dia pembunuhnya. Harap nona suka memaklumi kesukaranku.”
Ternyata selama tiga bulan menjadi guru pada keluarga Nyo, Siau Lo-seng tahu bahwa Nyo Jong-ho telah
memperjodohkan puterinya itu dengan Li Giok-hou. Apabila saat itu ia mengatakan nama Li Giok-hou
sebagai pembunuhnya, ia kuatir nona itu akan menderita kegoncangan hebat dalam hatinya. Dan pula, Siau
Lo-seng memang belum mempunyai bukti yang kuat.
Mendengar jawaban itu, Cu-ing kerutkan alis dan merenung dalam-dalam.
Kedengaran Siau Lo-seng menghela napas pula,
“Nona Nyo,” katanya, “dalam kehidupan di dunia ini tiada seorang manusia yang tak tertimpah peristiwa.
Yang penting kita harus dapat menerimanya dengan segala kesabaran dan jiwa yang besar.”
Berhenti sejenak ia melanjutkan: “Nona Nyo, engkau pasti belum tahu bahwa nona Ui Hun-ing (Mo-seng-li)
telah diculik orang. Saat ini masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan maka terpaksa aku tak dapat
ikut menyelesaikan urusan ayahmu……”
Mendengar Hun-ing ditangkap orang, terkejutlah Cu-ing.
“Apa? Ketua itu ditangkap orang?” serunya.
“Juga saudaraku Bok-yong Kang itupun ditawan musuh,” sahut Siau Lo-seng, “harap nona selekasnya
mengurus jenazah ayah nona dan segera mengerahkan jago-jago dari Naga Hijau untuk mencari jejak
ketua Ui itu. Maaf, aku terpaksa pergi dulu.”
“Seng-ji, kemanakah engkau hendak mencari di dunia yang begini luas?” seru Pek Wan Taysu.
Merenung sejenak, Siau Lo-seng berkata: “Pada saat ini segenap tokoh-tokoh silat sama berkumpul di Lokyang.
Rasanya sebelum mendapat apa yang diinginkan, mereka tentu takkan pergi dari Lok-yang.”
“Siau sauhiap, setelah selesai mengurus jenazah ayah, bagaimana aku dapat menghubungi engkau?” tibatiba
Cu-ing berteriak.
“Di manakah markas Naga Hijau dalam kota Lok-yang itu?” tanya Siau Lo-seng.
“Tempo hari Ui Pangcu telah merencanakan bertempat di rumahku.”
“Baiklah,” kata Siau Lo-seng, “karena nona tentu akan membawa jenazah ayah nona pulang, maka paling
lambat dalam tiga hari lagi, syukur malam ini, kita dapat berjumpa di rumah nona.”
Demikianlah setelah selesai bersepakat, Siau Lo-seng dan Pek Wan Taysu segera berpisah dengan nona
itu. Kedua orang itu gunakan ilmu lari cepat menuju ke arah timur.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Rupanya ada orang yang mengikuti kita dari belakang,” tiba-tiba Pek Wan Taysu berkata.
“Memang telah kuduga dia tentu akan mengikuti kita,” sahut Siau Lo-seng.
Pek Wan Taysu terkejut, tanyanya: “Siapakah orang itu?”
“Seorang wanita cantik berpakaian biru. Pada saat Ciong Pek-to bersuit aneh sebelum muncul, wanita itu
sudah mendahului kita bersembunyi di atas sebatang pohon siong......”
Pek Wan Taysu terkejut. Pikirnya: “Mengapa sama sekali aku tak tahu hal itu? Adakah kepandaian Seng-ji
(anak Seng) itu sudah mencapai tataran yang sempurna……”
Kembali Siau Lo-seng berbisik: “Wanita itu pun menyaksikan pertempuran kita dengan Ciong Pek-to.
Karena kuatir dia lebih sakti dari kita maka akupun tak mau mengutik-ngutik persembunyiannya.”
“Dia kawan atau lawan kita?” kata Pek Wan Taysu.
“Menurut dugaanku. Kalau bukan Jin Kian Pah-cu, tentulah wanita itu yalah orang menjadi pemimpin
gerombolan Pedang Ular Emas,” kata Siau Lo-seng.
“Lalu bagaimana kita akan menghadapinya?”
“Kepandaian wanita itu memang hebat sekali,” kata Siau Lo-seng, “Mungkin paman dan aku maju berdua,
belum tentu dapat menang.”
Mendengar itu, Pek Wan Taysu merenung, Keduanya segera mempercepat larinya tetapi sosok tubuh
berpakaian biru itu tetap mengikuti di belakang pada jarak sepuluh tombak.
“Sebaiknya kita cari daya untuk menghindari wanita itu,” kata Pek Wan Taysu beberapa saat kemudian.
“Kalau wanita itu benar Jin Kian Pah-cu atau pemimpin gerombolan Pedang Ular Emas, lambat atau cepat
kita tentu akan berhadapan dengan dia. Apalagi hilangnya Hun-ing (Mo-seng-li) dan Bok-yong Kang itu
kemungkinan tentu ada hubungannya dengan wanita itu. Dari pada besok lebih baik kita hadapi dia
sekarang saja.”
Pek Wan Taysu menghela napas.
“Ilmu ginkangnya, hampir sama dengan kita. Menilik hal itu kemungkinan kepandaiannya pun tak terlalu
terpaut jauh dari engkau.”
“Paman,” kata Siau Lo-seng, “paman tak memperhatikan ilmu ginkang wanita itu. Dia dapat berlari seperti
tak menginjak tanah. Ilmu ginkang semacam ini di dunia persilatan rasanya tiada terdapat keduanya lagi “
Pek Wan Taysu terkejut dan berpaling ke arah wanita itu. Tetapi alangkah kejutnya ketika melihat wanita itu
makin dekat.
“Seng-ji, dia akan menyerang kita,” serunya terkejut.
Memang wanita yang terpisah pada jarak sepuluhan tombak itu, melayang ke udara dan meluncur turun ke
arah kedua orang itu. Walaupun kecepatan lari Pek Wan Taysu dan Siau Lo-seng tak berkurang tetapi
gerakan melambung ke udara dan meluncur turun dari wanita itu jauh lebih cepat. Saat itu jarak mereka
hanya terpisah tujuh tombak.
“Paman, menyingkirlah!” seru Siau Lo-seng seraya enjot tubuhnya melambung ke udara, menyongsong
kepada wanita itu.
Gerakan Siau Lo-seng itu dilakukan luar biasa cepatnya. Tetapi pada lain saat terdengar mulutnya
mengerang tertahan dan tubuhnya berjumpalitan sampai dua kali di udara lalu melayang turun empat
tombak jauhnya.
Pek Wan Taysu cepat loncat ke tempat Siau Lo-seng. Wanita itupun berhenti.
“Seng-ji, apakah engkau terluka?” tanya Pek Wan Taysu cemas.
Setelah menenangkan semangat, Siau Lo-seng menyahut: “Hm, sungguh tenaga- membal yang lihay
sekali. Ilmu apakah itu?”
Ternyata Siau Lo-seng dan wanita baju biru tak beradu pukulan. Tetapi Siau Lo-seng telah dilanda oleh
suatu tenaga membal yang luar biasa kuatnya sehingga ia jungkir balik di udara.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di bawah sinar matahari yang gemilang tampak wanita baju biru itu tegak berdiri terlongong-longong
memandang Siau Lo-seng.
Dan ketika Siau Lo-seng sempat memandang wajah wanita itu, hatinyapun tergetar keras, mulut tak hentihentinya
mendesis kekaguman.
Wanita itu ternyata seorang nona yang masih muda. Usianya di sekitar duapuluhan tahun. Mengenakan
pakaian warna biru. Kulitnya putih seperti salju dan wajahnya secantik bidadari.
Karena terpesona, di luar kesadarannya, pandang mata Siau Lo-seng menyusuri segenap indera wajah
nona itu.
Sepasang alisnya melengkung bagai bulan tanggal satu. Hidungnya ramping menaungi sepasang bibir yang
merah basah. Gundu matanya berkilau laksana bintang kejora, dipagari dengan bulu mata yang lebat.
Kulitnya yang putih memancarkan warna merah muda dari kesegaran. Ah, benar-benar seperti seorang
bidadari yang turun dari kahyangan.
Apabila Nyo Cu-ing itu dikatakan cantik dan Ui Hun-ing itu jelita. Maka nona baju biru ini mempunyai keduaduanya,
cantik dan jelita.
Hanya satu yang agak mengecewakan orang. Wajah nona itu seperti tak pernah tersenyum.
Melihat Siau Lo-seng kesima, Pek Wan Taysu pun tanpa disadar ikut mengangkat muka dan memandang
ke arah nona itu. Berdebarlah jantung paderi itu demi menyaksikan kecantikan si nona. Cepat ia mengucap
doa dan menundukkan kepalanya lagi, tak berani memandang.
Disamping kecantikannya yang gilang gemilang itu ternyata nona yang baru berumur duapuluhan tahun itu
memiliki ilmu ginkang yang sedemikian hebatnya.
Nona cantik itupun termangu-mangu memandang Siau Lo-seng. Sampai beberapa jenak ia tak bicara apaapa.
Rupanya Siau Lo-seng cepat menyadari keadaan itu. Segera ia memberi hormat.
“Entah siapakah gerangan nama nona yang mulia?” tanyanya dengan tenang.
Nona itu kedipkan mata dan berseru dengan pelahan, “Siau Mo.”
Ah, seruan itu bernada lembut dan mesra. Pek Wan Taysu merasakan nada suara nona itu mengandung
pesona yang memikat jiwa orang. Ketika memperhatikan Siau Lo-seng seperti terbuai semangatnya, cepatcepat
paderi itu meneriakinya:
“Seng-ji……!”
Tersentaklah semangat Siau Lo-seng mendengar teriakan paderi itu. Seketika pulihlah kesadaran
pikirannya.
“Siapa engkau?” bentaknya kepada nona itu. Bahkan ia mengiring bentakannya itu dengan sebuah
hantaman.
Tetapi tampaknya nona itu tak jerih menghadapi pukulan yang sedahsyat gelombang raksasa itu. Ia
gerakan tangan kanan, memutar dalam gerak lingkaran dan tahu-tahu tenaga pukulan Siau Lo-seng pun
sirna.
“Paman, mundurlah!” seru Siau Lo-seng kepada Pek Wan Taysu lalu enjot tubuhnya melambung ke udara.
Pek Wan Taysu mendengar teriakan Siau Lo-seng itu tetapi ia tak mengerti apa maksudnya. Tiba-tiba ia
merasa seperti dilanda oleh segelombang tenaga raksasa. Dalam kejut, iapun cepat loncat ke udara.
“Wut,” sebuah gelombang angin menderu keras di bawah kaki paderi itu dan sesaat kemudian terdengarlah
letupan yang keras, “brak……” Sebatang pohon besar yang tumbuh dua tiga tombak dari tempat mereka
telah patah dan rubuh. Batang pohon besar itu menimpah tanah, debu muncrat dan daunnya berhamburan
keempat penjuru.
Ketika melayang turun di samping Siau Lo-seng, bertanyalah paderi itu: “Seng-ji, kapankah tadi ia
melepaskan pukulan itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Paman,” sahut Lo-seng gopoh, “hari ini rasanya kita sukar lolos dari bahaya. Kalau dugaan tak salah, nona
itu sudah berhasil mempelajari ilmu Mo-thian-ciang, sebuah ilmu yang sudah lenyap beratus tahun. Kita tak
mungkin dapat melukainya.”
Dari kitab pusaka seluruh partai persilatan yang dicuri oleh Ban Li-hong dapatlah Siau Lo-seng mempelajari
berbagai ilmu kepandaian, baik ilmu pusaka yang sudah lenyap maupun yang masih terdapat dalam dunia
persilatan. Itulah sebabnya maka ia kenal akan ilmu pukulan Mo-thian-ciang yang dilancarkan si nona.
Mo-thian-ciang atau pukulan Iblis langit merupakan sebuah ilmu pukulan sakti yang dapat memiliki daya
membal untuk mengembalikan segala macam pukulan tenaga dalam.
Jelita baju biru itu termangu memandang Siau Lo-seng. Tiba-tiba mulutnya berbisik “Siau Mo......”
Siau Lo-seng bersuit keras untuk menghapus pengaruh gaib dari suara merdu nona itu yang mengandung
daya pesona.
Sekonyong-konyong berobahlah wajah nona cantik itu. Wajahnya tegang dan berkabut dengan hawa
pembunuhan. Dan mulailah ia ayunkan langkah menghampiri Lo-seng.
06.30. Lingkaran Setan
“Paman, awas! Dia hendak menurunkan tangan ganas,” seru Siau Lo-seng seraya loncat mundur.
Tetapi jelita itu bagai sesosok bayangan telah memburu pemuda itu. Tangan kiri mencengkeram bahu orang
dengan gerak Yu-leng-co-hun atau Roh gentayangan menangkap jiwa. Pukulan itu sama sekali tak
mengeluarkan suara. Sedang tangan kanan menampar kepala dengan pukulan Hun-soh-ngo-gak atau
Awan-menutup lima-gunung.
Dengan pengetahuan tentang ilmu silat yang luas, dapatlah Siau Lo-seng menilai kepandaian nona itu.
Bukan saja jurus-jurus yang dimainkan itu luar biasa dan sakti serta sukar ditangkis, pun pemuda itu merasa
seperti dihambur oleh beberapa macam tenaga. Muka, belakang, atas dan bawah serasa seperti dikurung
oleh semacam tenaga dahsyat.
Melihat Lo-seng terancam bahaya, Pek Wan Taysu cepat loncat lalu dorongkan kedua tangan ke muka.
Paderi tua dari Siau-lim-si itu memang jarang keluar dari gereja dan jarang berkelahi. Tetapi sekali ia turun
tangan, hebatnya seperti gunung rubuh. Pukulan itu ditujukan pada punggung si nona.
Serempak pada saat paderi itu memukul, Siau Lo-seng pun telah lancarkan sebuah pukulan yang dilambari
dengan tenaga dalam sepenuhnya.
Dua buah pukulan yang sedahsyat gunung rubuh telah menjepit nona itu dari muka dan belakang. Andai
tubuh nona itu terbuat dari baja pun, tetap tak tahan menerima kedua pukulan dahsyat itu.
Tetapi ketika melihat Pek Wan Taysu juga memukul, berobahlah wajah Siau Lo-seng.
“Paman, mengapa engkau turun tangan?” serunya cemas.
Tetapi teriakan itu kalah cepat dengan tindakan si nona baju biru yang saat itu sudah rentangan kedua
tangannya ke belakang dan muka.
Seketika Siau Lo-seng rasakan pukulannya itu tersedot oleh segulung tenaga kuat, sedang dari muka
sebuah tenaga tekanan kuat sedang melanda kepadanya. Ia terkejut dan hendak menyurut mundur tetapi
terlambat.
Tubuh Siau Lo-seng seperti disambar petir. Dia terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Pandang
matanya berkunang-kunang dan telinganya pun mengiang-ngiang. Tetapi ia masih sempat mendengar
suara erang tertahan. Buru-buru ia tenangkan semangat dan memandang ke muka.
Jelita baju biru tegak dengan tenang mengawasi Siau Lo-seng.
“Siapakah engkau ini?” bentak Siau Lo-seng dengan marah.
Wanita itu gelengkan kepala dan menyahut seperti orang tak sadar: “Aku hendak mencari Siau Mo, akan
kubunuhnya......”
Sambil berkata ia maju menghampiri ke tempat anak muda itu lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng termangu heran mendengar kata-kata jelita itu.
Beberapa langkah ke muka, berserulah nona itu: “Engkau Pendekar Ular Emas Siau Mo atau bukan? Yang
hendak kubunuh yalah Siau Mo......”
Pada saat itu barulah Siau Lo-seng tahu apa yang dihadapi saat itu. Dia pernah membaca dalam buku
bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat semacam ilmu yang disebut Memerintah mayat. Orang
yang akan meninggal diberi minum obat racun untuk membius kesadaran pikirannya. Apabila orang itu
hidup kembali, dia akan menjadi manusia tanpa mempunyai kesadaran otak dan dapat diperintah
melakukan apa saja.
Teringat akan hal itu, tergetarlah hati Siau Lo-seng. Jika demikian, adakah nona cantik itu seorang mayat
hidup?
Jika benar, dia tentu diperalat orang untuk membunuhnya. Lalu siapakah yang memerintah itu? Dan siapa
pula nona cantik itu?
Tengah Siau Lo-seng termangu memikir hal itu, si jelita baju birupun sudah tiba dihadapannya dan tanpa
bersuara apa-apa ulurkan jari tangannya yang runcing untuk menutuk jalan darah di ubun-ubun kepala Siau
Lo-seng.
Siau Lo-seng terbelalak kaget. Secepat kilat iapun menutuk telapak tangan si nona.
Nona itu menjerit kaget, mundur tiga-empat langkah dan memandang pemuda itu.
Siau Lo-seng telah gunakan ilmu tutukan Han-sim-ci atau Jari hati dingin. Walaupun ia berhasil dapat
mengundurkan si nona tetapi ia telah kehabisan tenaga. Wajahnya mengucur keringat deras dan napas
terengah-engah keras. Darah dalam tubuhnya bergolak, kepala pening mata pudar.
Tetapi pemuda itu tetap pertahankan diri untuk tegak berdiri. Tangan kanan diangkat ke muka kelima jarinya
menjulur ke langit. Tangan kiri melindungi dada. Suatu sikap dari sebuah jurus yang amat sakti.
Rupanya nona itu kenal akan pembukaan dari jurus yang diambil Siau Lo-seng itu. Dia tampak terkejut,
tegak termangu-mangu.
Selagi kedua orang muda itu sama-sama tegak beradu pandang adalah saat itu Pek Wan Taysu tengah
pejamkan mata untuk menyalurkan tenaga dalam menenangkan darah dalam tubuhnya yang bergolak
keras. Ia merasa aneh mengapa tak mendengar apa-apa. Buru-buru ia membuka mata dan demi melihat
sikap pembukaan yang diunjuk Siau Lo-seng, ia terkejut juga.
Jurus yang dipertunjukkan Siau Lo-seng itu mengandung penuh bahaya maut. Tiada suatu jurus manapun
yang mampu menyerang anak muda itu.
Diam-diam Pek Wan Taysu menghela napas, pikirnya, “Saudara angkatku sungguh beruntung mempunyai
seorang putera yang sedemikian hebat. Dendam darah keluarganya, tentu dapat terhimpas.”
Tetapi demi pandang mata paderi itu tertumbuk pada butir-butir keringat yang mengucur dari kepala Siau
Lo-seng, terkejutlah sekali paderi itu. Jelas diketahuinya bahwa Siau Lo-seng sebenarnya sudah tak kuat
bertahan lagi.
“Huak......” karena gelisah dan cemas, darah dalam tubuh Pek Wan Taysu yang sudah mulai mengendap
itu, tiba-tiba bergolak lagi lalu meluap keluar dari mulutnya.
Siau Lo-seng pun terkejut dan berpaling.
Pada saat perhatiannya terlengah itu, sesosok bayangan setan, nona baju biru itupun sudah menyelinap
maju dan menampar dada Lo-seng, “plak......”
Tubuh pemuda itu terlempar sampai tujuh-delapan tombak jauhnya dan “bum….,” jatuhlah ia terduduk di
tanah. Mulutnya mengucur darah. Namun dalam keadaan bagaimanapun buruknya, Lo-seng tetap duduk
dalam sikap jurus pembukaan yang aneh tadi.
Nona baju biru memburu dan hendak menyusuli sebuah pukulan lagi tetapi demi melihat sikap yang
dipertahankan Lo-seng untuk menjaga diri, nona itupun terpaksa menarik pulang tangannya.
“Seng-ji......” Pek Wan Taysu herteriak kaget ketika melihat Lo-seng, terdampar ke udara. Tetapi ketika
melihat pemuda itu jatuh dengan masih tetap duduk, paderi itupun hentikan teriakannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Saat itu tenaga murni Siau Lo-seng dapat dikata sudah habis. Kalau nona itu memukulnya lagi, betapapun
ringannya pukulan itu, tetap Siau Lo-seng tentu akan rubuh dan habis riwayatnya.
Timbul pikiran Siau Lo-seng untuk mempertahankan jiwanya maka dengan menahan luka dalam yang
parah, ia tetap mempertahankan sikap tangannya dalam jurus aneh tadi.
Tampak nona itu heran atas ilmu kepandaian yang dimiliki Siau Lo-seng, tinggi dan luar biasa. Seberapa
kali pemuda itu dapat lolos dan menerima pukulan mautnya. Mau tak mau nona itu kagum dan terlongonglongong
memandang si pemuda.
Detik-detik berlangsung penuh ketegangan. Bayang-bayang maut bertebaran untuk setiap detik menca¬but
jiwa.
Sekonyong konyong terdengar teriakan yang melengking tinggi: “Im-kian-li…… Im-kian-li…… Im-kianli……!”
Mendengar teriakan itu, nona baju biru seperti tersentak kaget dan balas bersuit lalu seperti sesosok
bayangan terus melesat pergi dan lenyap.
Im-kian-li artinya Puteri Neraka.
Seiring dengan lenyap nona itu, tubuh Siau Lo-seng berguncang-guncang seperti tertiup angin.
“Seng-ji, Seng-ji!” teriak Pek Wan Taysu gopoh,
Dengan paksakan diri Siau Lo-seng loncat bangun dan menghampiri ke tempat paderi itu.
Dengan nada suara yang lemah lunglai, ia berseru, “Paman lekas, ambilkan botol kumala dalam bajuku......”
Pek Wan Taysu cepat melakukan permintaan pemuda itu, ia mengambil keluar empat botol berwarna ungu,
merah, putih dan hitam. Setiap botol berisi yok-wan atau pil.
“Yang ungu dan merah ambilkan masing-masing sebutir, yang putih tiga butir dan yang hitam empat……”
berkata sampai di situ tampaknya Siau Lo-seng sudah lunglai kehabisan tenaga.
Pek Wan Taysu cepat melakukan perintah. Setelah menyusupkan butir pil itu ke mulut Lo-seng, ia
mengambil bekal botol minum dan suruh Lo-seng meneguk.
Aneh, tak berapa lama setelah minum keempat macam pil itu, tampak wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi
berobah merah pula. Dan ketika membuka mata, sinar mata pemuda itupun tampak berkilat-kilat penuh
semangat.
Pek Wan Taysu terkejut dan heran melihat kehebatan pil itu. Dipandangnya Lo-seng dengan pandang
keheranan.
Siau Lo-seng menghela napas, ujarnya: “Setelah pil-pil dalam empat botol itu habis, jiwakupun ikut habis
juga.”
Sudah tentu hal itu mengejutkan Pek Wan, serunya: “Seng-ji, engkau memiliki kepandaian sakti. Setelah
minum pil mujijat itu, engkau sudah sembuh kembali. Mengapa engkau mengatakan kata-kata yang
menyedihkan begitu?”
Siau Lo-seng gelengkan kepala.
“Paman, mana pil itu obat yang mujijat. Pil yang kutelan tadi adalah obat racun yang amat ganas. Apabila
orang lain makan sebutir saja, dia tentu mati seketika.”
“Apa?” Pek Wan Taysu berteriak kaget, “yang engkau minum itu pil beracun?”
Mimpipun tidak paderi itu kalau pil yang ditelan Lo-seng itu racun. Sebutir saja orang tentu akan mati. Tetapi
menggapa pemuda itu telah menelan sembilan butir dan bahkan malah segar semangatnya?
“Benar, paman,” kata Siau Lo-seng, “keempat botol pil itu, dahulu adalah suhuku Ban Li-hong yang mencuri
dari Ui Se-cu si Raja racun. Pil ungu itu yalah ramuan Jiok-ting-kwan, yang merah Peh-poh-wan, yang putih
Kim-hiang dan yang hitam Toan-jong-oh.
Pek Wan Taysu terlongong. Keempat macam jenis obat itu, merupakan racun yang hebat.
“Seng-ji, mengapa engkau harus menelan racun yang seganas itu?” serunya sesaat kemudian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Raja racun Ui Se-cu memang termasyhur sebagai tokoh yang ahli dalam racun. Dahulu pernah terjadi
sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia persilatan. Ssorang tokoh silat golongan hitam, diam-diam
telah berhasil mencuri sebutir pil Toan-jong-oh (pil penghancur usus). Peristiwa itu terjadi pada empatpuluh
tahun yang lalu ketika sedang diselenggarakan sebuah rapat besar seluruh kaum persilatan. Tokoh
golongan hitam itu lalu diam-diam mencampurkan Toan-jong-oh ke dalam minuman dan akibatnya sungguh
ngeri sekali. Enampuluh tokoh silat yang ternama mati seketika.
“Paman,” ujar Siau Lo-seng, “ada suatu kesulitan yang tak dapat kukatakan. Harap paman jangan
menanyakan dahulu soal itu. Pada saatnya paman tentu akan mengetahui sendiri. Saat ini semangat dan
tenagaku sudah pulih kembali. Ah, marilah kita kejar nona itu!”
Melihat wajah pemuda itu sudah segar kembali, Pek Wan Taysu pun tak mau mendesak lebih lanjut. Ia
setuju tetapi menghela napas.
“Seng-ji, memang kata-kata nona Nyo itu benar, engkau memang seorang yang aneh.”
“Paman……” tiba-tiba Siau Lo-seng menjerit dan bercucuran airmata. Saat itu ia teringat akan nasibnya
yang celaka. Ia hendak menceritakan hal itu kepada Pek Wan Taysu tetapi pada lain kilas, ia tak
melanjutkan kata-katanya. Ia kuatir paderi itu akan sedih kalau mendengar keadaannya. Dan ia tak ingin
pamannya itu ikut berduka.
“Seng-ji, bukan aku hendak mendamprat engkau, hanya……”
“Paman,” tukas Siau Lo-seng, “harap jangan membicarakan dulu. Aku ingin tahu, apakah sewaktu nona
baju biru itu pergi, ada orang yang memanggilnya?”
Ternyata pada saat tadi, perhatian Siau Lo-seng hanya tercurah seluruhnya pada gerak gerik si nona baju
biru. Ia tetap menjaga setiap kemungkinan nona itu hendak menyerangnya. Oleh karena itu ia tak
mendengar suara orang memanggil nona itu.
Pek Wan Taysu mengangguk.
“Benar,” katanya, “memang ada suara orang memanggil Im-kian-li kepadanya dan setelah itu ia terus
melesat pergi. Rupanya suara itu mempunyai pengaruh yang gaib terhadap si nona...... aneh, mengapa
nona yang begitu sakti dapat dikuasai orang?”
Siau Lo-seng kerutkan dahi merenung dalam-dalam.
“Im-kian-li?” katanya sesaat kemudian, “Ah, nama itu jelas bukan nama manusia di dunia. Siapakah dia?
Kasihan, seorang nona yang begitu cantik telah menjadi korban dari keganasan orang.”
“Seng-ji, kulihat gerak gerik nona itu memang agak aneh dan tak wajar. Dia seperti orang yang tolol dan tak
mempunyai kesadaran pikiran,” kata Pek Wan Taysu.
Siau Lo-seng menghela napas.
“Paman, pernah paman mendengar tentang ilmu Memerintah mayat?”
Serentak Pek Wan Taysu teringat memang dahulu, gurunya pernah menceritakan tentang ilmu semacam
itu. Ia terkejut.
“Apakah wanita itu sebuah mayat hidup?” seru paderi itu.
Siau Lo-seng mengangguk: “Benar, dia seorang wanita yang tiada mempunyai roh lagi.”
Sesaat itu terasalah pada Pek Wan Taysu bahwa dunia persilatan sedang dilanda oleh awan yang
menyeramkan. Awan yang berkabut hawa pembunuhan dan akan turun menjadi hujan darah.
Seperti si nona baju biru itu, seorang nona yang memiliki kepandaian sakti tetapi kehilangan kesadaran
pikirannya karena telah dikuasai oleh seorang durjana jahat. Nona itu tentu merupakan salah satu dari alat
yang akan menimbulkan banjir darah di dunia persilatan nanti.
“Paman, mari cepat kita berangkat,” seru Lo-seng. “Kita harus menyelidiki siapakah yang menguasai nona
itu dan dengan cara bagaimana dapat menjalankan kekuasaannya itu. Kalau terlambat, akibatnya tentu
hebat bagi dunia persilatan nanti.”
Mengingat betapa gawatnya hal itu tanpa menghiraukan lukanya yang parah, Pek Wan Taysu pun segera
paksakan diri bangun.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mari kita kejar, dia menuju ke arah tenggara,” seru paderi itu.
Keduanya segera gunakan ilmu lari cepat.
Dalam beberapa kejap saja keduanya telah menempuh enam-tujuh buah puncak gunung. Tiba-tiba Pek
Wan Taysu mengerang dan rubuh.
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menolong paderi tua itu. Tampak wajah Pek Wan Taysu pucat lesi seperti
mayat tak berdarah.
“Paman, bagaimana engkau?” seru Lo-seng cemas.
Dengan terengah-engah paderi itu menjawab: “Ah, aku sudah tua, tak berguna lagi.”
Nada ucapannya penuh kerawanan dan kedukaan.
Berpuluh puluh tahun lamanya Pek Wan Taysu tinggal di gereja membenam diri dalam kesucian ajaran
agama dan tekun untuk meyakinkan pelajaran ilmu silat. Setitikpun tak pernah ia mengira bahwa sekali
turun dari gunung, ia harus menderita kekalahan dari seorang nona cantik yang masih muda. Inilah yang
menyebabkan paderi itu terpukul semangatnya.
Rupanya Lo-seng tahu juga isi hati paderi itu. Diam-diam ia heran dan tak menyangka bahwa seorang
paderi yang sudah setua itu dan tinggi pula derajat kedudukannya dalam gereja Siau-lim, ternyata masih
memiliki hati yang ingin menang. Suatu hal yang menandakan bahwa paderi tua itu masih belum dapat
melepaskan diri dari rasa ke-Aku-an.
“Paman, baiklah kita beristirahat di sini dulu,” kata Siau Lo-seng
Pek Wan Taysu gelengkan kepala: “Tidak, setelah memulangkan napas sebentar, nanti kita lanjutkan
perjalanan lagi......”
“Huak……,” belum habis berkata, tiba-tiba paderi itu muntah darah, tubuhnya gemetar dan wajahnya makin
pucat.
Siau Lo-seng terkejut. Ia tahu bahwa paderi itu telah menderita pukulan dahsyat sehingga menderita luka
dalam yang parah. Dan karena paderi itu paksakan diri untuk menggunakan tenaga lari menempuh
perjalanan sekian jauh maka habislah tenaganya. Dan karena dia tetap berkeras hendak menyalurkan
pernapasan maka darahnya meluap keluar.
Buru-buru Siau Lo-seng menutuk jalan darah paderi itu supaya darahnya tenang kembali. Kemudian sambil
memapahnya bangun, ia mengajak paderi itu mencari tempat beristirahat.
“Paman, mari kita cari sebuah tempat yang sesuai untuk mengobati luka paman......”
07.31. Si Cantik Manusia Mumi
Siau Lo-seng berhasil mendapatkan tempat yang sesuai. Ia membawa Pek Wan Taysu ke dalam sebuah
guha dari sebuah karang tinggi yang di kelilingi pegunungan.
Luka dalam yang diderita paderi Siau-lim itu memang parah dan saat itu keadaannya memang sudah payah
sekali.
Buru-buru Siau Lo-seng meletakkan tubuh paderi itu lalu mulai mengurut seluruh jalan darah di tubuhnya
untuk melancarkan darahnya.
Tak berapa lama paderi itupun dapat menghela napas dan membuka mata.
“Ah, sungguh tak kira kalau pukulan nona itu begitu sakti sekali,” katanya.
“Bukan pukulannya, paman,” Siau Lo-seng menerangkan, “tetapi pukulan yang paman derita itu sebenarnya
berasal dari tenaga pukulanku yang disedot lalu dipancarkan oleh tenaga balik dari nona itu!”
Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu tertawa rawan.
“O, kiranya begitu,” katanya, “jika demikian matipun aku sudah puas.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Berkata Siau Lo-seng dengan serius: “Tidak paman. Sekalipun lukamu parah tetapi sekarang sudah tak
berbahaya. Asal sudah menyalurkan tenaga dalam beberapa waktu. tentu sudah sembuh kembali.”
Memang setelah diurut oleh Lo-seng, Pek Wan Taysu rasakan dadanya tenang dan longgar napasnya. Ia
segera duduk bersila untuk menyalurkan ilmu pernapasan.
“Lo-seng,” katanya beberapa saat kemudian “walaupun usiamu masih muda tetapi engkau telah memiliki
ilmu pengobatan yang tinggi. Kuyakin, arwah ayahmu tentu akan gembira di alam baka.”
Teringat akan keadaan dirinya yang takkan dapat hidup lama, merahlah muka Lo-seng.
“Lo-seng,” kata Pek Wan Taysu pula, “engkau tentu letih juga. Baiklah engkau juga bersemedhi
memulangkan tenaga.”
Setelah paderi itu pejamkan mata melakukan ilmu pernapasan.
Lo-seng tak dapat menahan luapan kesedihannya. Butir-butir air matanya pun menitik keluar.
Bayangan maut yang segera akan menimpah dirinya, mulai menghantui pikirannya. Bukan karena ia
bersedih harus mati tetapi karena ia merasa belum dapat menghimpaskan dendam darah keluarganya,
Jangankan membalas, sedang siapa pembunuh dari keluarganya itu, tetap ia belum dapat mengetahui
jelas.
Perlombaan itulah yang menindih perasaan hatinya. Kalau, ia telah membalas sakit hati dan mati, ia puas.
Tetapi bagaimana kalau ia sudah harus mati sebelum dapat menghimpaskan dendam darah itu? Ah......
Adalah karena tekadnya sudah bulat untuk menuntut balas maka ia sampai meminum obat racun yang
paling ganas. Empat obat racun yang tergolong jenis racun paling ganas di dunia telah diminumnya. Tak
lain sekedar supaya ia dapat bertahan hidup sampai ia menyelesaikan dendam darah keluarganya itu.
Ia pun menyadari pula bahwa racun yang diminumnya itu hanya dapat mempertahankan hidupnya sampai
waktu yang tertentu saja. Pun ia menyadari pula bahwa racun itu apabila salah jalan tentu akan menjadikan
dia seorang momok pembunuh yang amat ganas. Seorang pembunuh yang haus darah!
Kemungkinan ia akan menjadi semacam manusia hidup yang tak berjiwa dan mati perasaannya, seperti
nona cantik baju biru itu.
Demikian pikiran Lo-seng melayang-layang mengembara sehingga tak terasa ia telah jatuh lelah……
Matahari mulai condong ke barat dan merayap di punggung gunung. Tak lama lagi malam tentu akan
segera tiba.
Entah sampai berapa lama, tiba-tiba Siau Lo-seng mendesis, membuka mata dan memandang ke
sekeliling.
Rupanya Pek Wan Taysu terkejut juga mendengar desis mulut Lo-seng. Iapun segera membuka mata dan
menegur: “Mengapa engkau Lo-seng?”
“Pada waktu bersemedhi tadi, agaknya aku mendengar suara adik angkatku berseru memanggil namaku,”
kata Lo-seng.
Pek Wan Taysu mempertajam pendengarannya. Pada lain saat ia berkata, “Ah, di sekeliling pegunungan
yang sepi ini, mana terdapat suara orang.”
Lo-seng juga memasang telinganya. Tetapi iapun tak mendengar suara apa-apa lagi.
Tiba-tiba setiup angin berhembus ke arah dirinya. Ia terkejut, serunya: “Aneh, mengapa angin meniup dari
dalam guha ini?”
Ternyata angin itu memang berasal dari dalam sebuah guha di belakang. Dan ketika Pek Wan Taysu
memeriksa memang benar begitu.
“Paman, mari kita masuk ke dalam guha itu,” kata Lo-seng seraya berbangkit.
Pek Wan Taysu mengiakan.
Guha itu gelap dan menyeramkan. Hampir setengah jam lamanya masuk, belum juga mereka mencapai
ujung guha. Diam-diam merekapun heran, mengapa lorong guha sedemikian panjangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita sudah menyusup sampai tigaratus tombak lebih,” kata Pek Wan Taysu.
“Rupanya di sebelah depan tampak terang, mungkin sudah hampir tiba di ujung guha,” sahut Lo-seng yang
berjalan di sebelah muka.
Benar juga setelah membiluk sebuah tikungan, sepuluhan tombak jauhnya di sebelah muka tampak
sepercik penerangan yang samar-samar.
Tetapi lorong guha yang hendak mendekati ujung jalan keluar, makin lama makin sempit menyerupai
pecahan dari cela-cela batu karang yang merekah lebar.
“Aneh,” gumam Lo-seng.
Lebih kurang sepuluh tombak lagi, Pek Wan Taysu yang bertubuh lebih gemuk, tak dapat menyusup lorong
guha lagi. Lorong itu amat sempit.
Melihat keadaan itu Lo-seng tertawa rawan: “Ah, hanya kurang dua tombak lagi dari jalan keluar mengapa
lorong begini sempit. Apakah paman harus kembali dan menyusur lorong guha sepanjang tiga-empat ratus
tombak?”
Sahut Pek Wan Taysu: “Tak apa, engkau boleh menyusup keluar lebih dulu. Sedikit-sedikit aku mengerti
ilmu Sat-kut-kang (menyurutkan tulang). Aku hendak......”
Tiba-tiba Lo-seng mendesuhkan isyarat supaya pendeta itu jangan bicara. Dari lorong guha di sebelah
muka tiba-tiba terdengar suara orang mengingau. Dan jelas dapat ditangkap Lo-seng bahwa suara orang
tidur mengingau itu suara seorang perempuan.
Lo-seng dan Pek Wan Taysu heran sekali mengapa di pegunungan yang sedemikian sepi, terdapat seorang
perempuan yang sedang tidur?
Setelah memberi isyarat tangan kepada Pek Wan Taysu, Lo-seng pun segera maju pelahan-lahan.
Ternyata ujung dari guha itu merupakan sebuah ruang batu. Siapakah wanita yang berada dalam ruang itu.
Lo-seng tak berani gegabah masuk melainkan menunggu perkembangan lebih lanjut.
Tiba-tiba ia mendengar suara langkah kaki seseorang. Lo-seng makin terkejut, pikirnya: “Ha, hebat sekali
ilmu meringankan tubuh orang ini.”
Memandang ke muka, Siau Lo-seng makin terkejut. Dua sosok tubuh manusia, pelahan-lahan bergerak
menghampiri ke ruang batu itu.
“Ha, siapakah mereka? Rupanya mereka itu, tiada hubungannya dengan wanita dalam ruang batu,”
pikirnya.
Karena memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi maka mata Lo-seng pun luar biasa tajamnya. Saat itu ia
dapat melihat jelas bahwa kedua pendatang itu kaum lelaki. Dan serentak iapun mulai menduga cemas:
“Hm, jangan-jangan kedua orang itu hendak berbuat tak senonoh terhadap wanita yang berada dalam ruang
itu.”
Baru ia menduga begitu, kedua orang itupun sudah tiba dan herhenti pada jarak dua-tiga meter dari ruang
batu.
Salah seorang yang berdiri di sisi kanan, kedengaran membuka suara: “Apakah wanita itu?”
Siau Lo-seng terkesiap. Ia merasa tak asing dengan nada suara orang itu.
Orang yang berada di sebelah kirinya, memberi hormat dan menyahut: “Benar Sau-kiongcu.”
Kiong-cu artinya pemilik gedung besar semacam istana. Dan Sau artinya muda. Jadi tuan muda pemilik
istana disebut Sau-kiongcu.
Orang yang berdiri di sebelah kanan itu mendengus dingin: “Ha, jangan panggil aku Sau-kiongcu. Gedung
kediamanku saat ini belum mengangkat nama di dunia persilatan.”
Siau Lo-seng makin kejut dan makin jelas bahwa nada suara itu adalah suara Li Giok-hou murid
kesayangan dari Nyo Jong-ho.
“Baik, baik,” kata orang itu dengan hormat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nyalakan korek, biar kuperiksanya,” kata Giok-hou pula.
Mendengar itu Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia lekatkan tubuhnya lekat-lekat pada karang.
Tepat pada saat itu korekpun menyala dan teranglah ruang batu itu. Tetapi aneh, sampai beberapa saat tak
kedengaran suara apa-apa.
Karena kuatir Gok-hou tahu maka terpaksa Lo-seng tak berani melongok ke dalam ruang. Tetapi dengan
begitu, ia tercengkam dalam kegelisahan. Apakah yang telah terjadi dalam ruang batu? Apakah Giok-hou
sudah pergi? Kalau sudah mengapa sama sekali ia tak mendengar suara langkah kakinya? Apakah yang
mereka lakukan?
Karena tak kuat menahan hati maka Lo-seng pun melongok ke dalam ruang.
Seorang lelaki berpakaian biru tengah memegang korek api yang diangkat tinggi ke atas kepalanya untuk
menyuluhi keadaan dalam ruang itu. Sedang di sisinya tampak Li Giok-hou sedang memandang ke arah
sebuah balai-balai batu. Di atas balai-balai batu itulah seorang gadis sedang tidur.
Tampak sepasang mata Li Giok-hou bersinar terang dan wajahnya tampak tegang ketika memandang tubuh
gadis itu.
Siau Lo-seng seorang pemuda yang berhati bersih. Sekalipun ia dapat menatapkan pandang matanya dan
mengetahui siapa gadis di atas tempat tidur batu itu, namun ia tak mau.
“Hm, kiranya Li Giok-hou itu seorang manusia berhati binatang,” dengusnya dalam hati.
“Rupanya dia tidur pulas seperti orang mati,” kata lelaki yang memegang korek, “jika tidak dibangunikan
oleh orang yang menguasainya, dia tentu akan takkan mampu bangun. Silahkan Sau-kiongcu melihatnya,
tak perlu kuatir.”
Rupanya saat itu Giok-hou masih seperti orang yang kehilangan semangat. Dia tegak terlongong
memandang gadis itu.
Siau Lo-seng terkejut mendengar keterangan orang itu. Serentak timbullah pertanyaan dalam hatinya:
“Siapakah gadis itu?”
Berkata orang yang mencekal korek itu pula: “Dia seorang gadis yang luar biasa cantiknya. Sekalipun orang
yang berhati dingin, tentu akan terpikat......”
Rupanya Giok-hou tersadar mendengar ucapan orang itu. Ia mendesuh: “Ah, ternyata di dunia ini memang
terdapat seorang jelita yang menyerupai bidadari...... ha, ha......”
Lelaki baju biru itu cepat menambah minyak ke dalam api, serunya: “Bukankah Sau-kiongcu memiliki tenaga
dalam yang hebat? Mengapa hanya memandang saja kepadanya? Ah, kalau aku jadi Sau-kiongcu, tentu
sudah tadi-tadi...... ha, ha.”
Siau Lo-seng heran. Ia memperhatikan orang itu. Ternyata sambil memegang korek, orang itu tak
memandang langsung ke arah tempat tidur batu melainkan berpaling memandang ke arah lain.
Siau Lo-seng makin meluap keinginan tahunya. Serentak iapun berpaling ke arah tempat tidur si gadis. Dan
begitu matanya tertumbuk pada gadis yang tidur di tempat itu, hampir saja ia berteriak kaget.
Gadis yang dipuji setinggi langit sebagai jelita nomor satu di dunia oleh Giok-hou itu, tak lain dan tak bukan
yalah si nona cantik baju biru tadi.
Dalam keadaan tidur telentang di atas ranjang batu makin jelaslah kecantikan nona itu. Wajahnya yang
cantik jelita dan potongan tubuhnya yang menggiurkan, benar-benar membuat seorang paderi harus
menelan air liurnya.
Siau Lo-seng cepat membuang muka. Ia tak berani memandang lebih lama.
“Wajah nona itu agak aneh,” tiba-tiba Giok-hou menggumam.
“Dia bukan orang hidup melainkan seorang siluman. Setiap anggauta tubuhnya pun berlainan dengan
manusia biasa,” kata lelaki baju biru.
“Bangsat, siapa suruh engkau mengoceh tak keruan!” bentak Giok-hou.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng pun makin menjadi-jadi keheranannya. Bagaimana mungkin wanita cantik itu tidur seorang diri
dalam ruang guha di situ? Dan kalau menurut nada pembicaraan Giok-hou dengan lelaki baju biru itu, jelas
wanita cantik itu bukanlah orang golongannya.
“Bagaimana cara membangunkannya,” tegur Giok-hou.
“Kita belum tahu bagaimana cara menguasainya, lebih baik jangan membangunkannya dulu,” kata lelaki
baju biru.
Giok-hou mendengus dingin.
“Aku tak percaya omonganmu,” seru Giok-hou, “untuk membuktikan apakah dia benar seorang mayat hidup
atau manusia biasa, engkau bangunkan dia dulu!”
“Sau-kiongcu,” seru lelaki baju biru terkejut, “ini bukan sendau gurau. Sekali dia bangun berbahaya
sekali......”
“Sau-kiongcu,” seru lelaki itu pula, “Hiat Sat Mo-li segera datang, baiklah tuan menyelinap ke dalam celahcelah
batu itu.”
Ia menunjuk ke arah cela batu karang tempat Lo-seng bersembunyi.
“Apakah...... Puteri Neraka itu telah dikuasai Hiat Sat Mo-li?” tanya Giok-hou.
“Di kolong dunia ini hanya Jin Kian Pah-cu yang dapat menguasai Puteri Neraka,” kata lelaki baju biru, “Hiat
Sat Mo-li hanya mampu membangunkan dan memanggilnya saja.”
Mendengar keterangan itu, bukan kepalang kejut Siau Lo-seng. Kiranya wanita cantik Puteri Neraka itu
anak buah Lembah Kumandang.
Pengaruh Lembah Kumandang besar sekali. Masih pula ditambah dengan seorang Puteri Neraka yang sakti
kepandaiannya.
Sekarang Im-kian-li atau Puteri Neraka tengah terbaring di atas balai-balai batu. Jika ia segera turun tangan
menghancurkannya, bukankah dunia persilatan akan terbebas dari malapetaka?
Demikian Lo-seng menimang-nimang dalam hati. Tetapi sebelum ia sempat mengambil keputusan, dari luar
guha terdengar langkah kaki orang mendatangi......
Giok-hou cepat menyelinap masuk ke dalam celah karang. Tetapi secepat kilat, Lo-seng sudah menerkam
pergelangan tangan kanan Giok-hou.
Giok-hou terkejut. Setitikpun ia tak mengira bahwa di celah karang terdapat seseorang Karena cepatnya Loseng
bergerak, Giok-hou tidak mau melepaskan diri lagi. Tetapi diapun juga lihay. Kelima jari tangan
ditebarkan lalu menerkam tangan Lo-seng.
Kali ini Lo-seng lah yang terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka bahwa setelah dicekal pergelangan
tangannya, Giok-hou masih mampu bergerak. Karena tak menyangka, Lo-seng pun kena tercengkeram
tangannya.
Seketika itu keduanya rasakan pergelangan tangan masing-masing telah dicengkeram oleh tangan besi.
Giok-hou menggeram. Secepat kilat ia gerakkan tangan kiri untuk menabas lengan orang.
Lo-seng hanya mendengus dingin dan menyambut dengan tusukkan jari kirinya.
Tusukan itu memaksa Giok-hou menarik pulang tangannya. Tetapi serempak dengan penarikan itu, diamdiam
ia kerahkan tenaga-dalam dan melingkarkan tangan kanannya.
Gerakan Giok-hou itu bukan kepalang dahsyatnya sehingga kuda-kuda kaki Lo-seng tergempur goncang
dan tubuhnyapun ikut menjorok dua langkah ke muka.
Saat itu langkah kaki pendatang baru itupun makin dekat dan tiba di ambang pintu.
“Hm, siapakah yang berani datang ke tempat terlarang sini?” bentak lelaki baju biru.
Tetapi serempak dengan itu, beberapa sosok tubuh segera berhamburan menerobos masuk.
Setelah berhasil melingkarkan Lo-seng ke muka, Giok-hou berteriak kaget: “Engkau!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wut,” ia terus menghantamnya.
“Hm, Li Giok-hou,” dengus Lo-seng. “tak kira kita akan berjumpa lagi.” Habis berkata iapun dorongkan
tangan kiri ke muka.
Memang tak terperikan kejut Giok-hou setelah mengetahui siapa penyerangnya itu. Tangan kanannya
dikuasai Lo-seng, tetapi iapun dapat mencengkeram tangan kanan Lo-seng. Yang masih bebas digerakkan,
hanya tangan kiri.
Segera ia menekuk siku lengan kirinya ke bawah dan lancarkan tiga buah pukulan.
07.32. Sau-kiongcu Dari Ban-jin-kiong
Tetapi Lo-seng pun gunakan tangan kirinya untuk balas menyerang.
“Berhenti kalian ini!” tiba-tiba terdengar lengking suara seorang wanita. Dan serempak dengan itu pula maka
ruanganpun terang benderang.
Ternyata yang mengepalai rombongan pendatang itu seorang nona yang cantik tetapi dingin wajahnya.
Umurnya sekitar duapuluhan tahun. Dia bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li, toa-suci atau kakak seperguruan
yang nomor satu dari nona Ui Hun-ing.
Dia membawa pengikut sembilan lelaki berbaju biru dan bersenjata pedang.
Saat itu Lo Seng dan Giok-hou sedang melangsungkan pertempuran jarak dekat yang seru. Tangan kanan
masing-masing masih saling berlekatan, sedang tangan kiri saling berserabutan melancarkan pukulan dan
tutukan. Sedikit lengah, jalan darah tentu tertutuk. Kalau tidak mati tentu akan terluka parah.
Pertempuran semacam itu memang amat berbahaya sekali. Selain menggunakan ilmu kepandaian pun juga
kecerdasan otak. Siapa lambat tentu kalah.
Hiat Sat Mo-li terkejut menyaksikan mereka bertempur sedemikian dahsyatnya.
Dalam beberapa kejap saja kedua anak muda itu telah berhantam sampai duapuluh jurus lebih.
Tiba-tiba terdengar suara mengerang tertahan. Giok-hou terhuyung-huyung tiga-empat langkah. Wajahnya
pucat lesi. Tetapi secepat kilat pemuda itupun sudah mencabut pedangnya.
“Giok-hou, hari ini jangan harap engkau mampu lolos dari tanganku,” Lo-seng tertawa dingin.
Giok-hou tertawa sinis.
“Hm, akupun sudah dapat mengetahui siapa engkau ini sebenarnya. Hm, hm...... sungguh tak kira ternyata
engkau seorang manusia seribu muka.”
Lo-seng terkejut dalam hati, pikirnya: “Apakah dia benar sudah tahu siapa diriku ini? Hm, dia seorang yang
cerdik dan ganas sekali. Kalau tak dilenyapkan mungkin kelak tentu menimbulkan banyak kesulitan.......”
“Siapa engkau!” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li menegur Lo-seng.
Karena sudah tahu siapa Hiat Sat Mo-li itu maka Lo-seng pun tertawa hambar: “Aku Siau Lo-seng.”
Tampak wajah nona itu berobah. Pikirnya: “Siau Lo-seng? Ah, rasanya nama itu belum pernah terdengar di
dunia persilatan.......”
“Kalian berdua berani mati menyelundup ke tempat ini,” sesaat kemudian nona itu berseru, “jangan harap
kalian dapat keluar dengan masih bernyawa.”
Lo-seng picingkan mata melirik ke arah Puteri Neraka yang masih terbaring di atas ranjang batu.
“Puteri Neraka itu,” sahutnya, “tentulah kalian yang menguasainya, bukan?”
Sambil berkata, diam-diam Lo-seng teringat akan Pek Wan Taysu. Ia heran mengapa sampai sekian lama
belum juga paderi Siau-lim itu muncul?
“Siapakah di antara kedua musuh ini yang harus kuselesaikan dulu?” pikirnya.
Menunjuk pada Siau Lo-seng, Giok-hou berseru pelahan kepada Hiat Sat Mo-li:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia bukan lain yalah Pendekar Ular Emas yang termasyhur itu. Harap nona segera menyadarkan Puteri
Neraka dan selekasnya membereskan orang itu!”
Seketika berobahlah wajah Hiat Sat Mo-li. Serentak ia menudingkan kebut pertapaannya ke arah seorang
anak buahnya dan berseru: “Lekas ringkus dulu penghianat itu!”
Yang dimaksud penghianat oleh Hiat Sat Mo-li yalah lelaki baju biru yang menyertai Giok-hou tadi.
Perintah itu mengejutkan Giok-hou. Dan lelaki baju biru yang datang bersamanya tadi pun pucat seketika.
Delapan lelaki baju biru pengawal Hiat Sat Mo-li serempak berhamburan menyerbu dan pada lain saat leher
lelaki baju biru tadi sudah dilekati empat batang pedang.
Hiat Sat Mo-li pelahan-lahan goyangkan kebut pertapaannya dan tertawa genit: “Li Giok-hou, lain orang
mungkin tak tahu riwayatmu. Tetapi aku tahu jelas. Pihak Ban-jin-kiong hanya mengandalkan engkau,
seorang Li Giok-hou. Jangan harap engkau mampu menandingi kekuatan Lembah Kumandang. Dan karena
hari ini engkau sendiri telah masuk ke dalam jaring maka jangan harap engkau dapat tinggalkan tempat ini.”
Terkejut hati Siau Lo-seng. Ia tak pernah mendengar nama Ban-jin-kiong atau Istana Selaksa manusia. Apa
dan bagaimana gerombolan Ban-jin-kiong itu?
Giok-hou tertawa mengekeh.
“Ah, terima kasih, terima kasih,” serunya, “tetapi sampai dimanakah kekuatan dari Puteri Neraka yang
engkau peralat itu? Aku sih sedikit……”
Tiba-tiba Lo-seng meluncur ke arah Puteri Neraka yang rebah di atas ranjang batu. Ia telah mengambil
keputusan. Lebih dulu menghancurkan Puteri Neraka, kemudian menangkap Giok-hou memaksanya
supaya memberi keterangan tentang perkumpulan Ban-jin-kiong itu.
“Hai. engkau hendak cari mati? Berhenti!” teriak Hiat Sat Mo-li. Dan secepat itupun terus memburu Lo-seng.
Melihat Hiat Sat Mo-li, turun tangan, Giok-hou pun menyerempaki dengan memukulkan tangan kanannya
dalam jurus Menabas gunung Hoa-san ke arah Lo-seng.
Memang pemuda itu licin sekali. Kedatangannya kesitu tak lain karena ia ingin tahu dengan cara bagaimana
Hiat Sat Mo-li dapat menguasai Puteri Neraka. Maka ia membantu Hiat Sat Mo-li untuk menghalangi Loseng.
Tetapi Siau Lo-seng memang sakti. Walaupun menghadapi dua musuh yang tangguh, ia tetap tak gentar.
Dengan tenang ia menghindari kebut pertapaan dan pedang lalu terus meluncur ke arah ranjang batu.
Saat itu ia sudah hampir terpisah dua meter dari ranjang batu. Sekonyong-konyong terdengar suara orang
berseru memberi peringatan.
“Siau toako, lekas mundur. Dua meter sekeliling ranjang batu itu, dipasangi alat perkakas rahasia........”
Kaki Siau Lo-seng yang sudah akan dilangkahkan ke muka, karena mendengar peringatan itu cepat-cepat
dihentikan dan terus loncat mundur lalu berpaling ke belakang.
Dari empat penjuru batu karang yang tertutup rapat itu tiba-tiba merekah sebuah pintu. Seorang gadis
berpakaian hitam pelahan-lahan melangkah keluar, diikuti oleh seorang paderi tua.
Melihat kedua orang itu, bukan kepalang girang Lo-seng. Gadis berpakaian hitam itu bukan lain yalah Ui
Hun-ing yang sejak beberapa lama telah menghilang. Sedang paderi tua yang berjalan di belakangnya tak
lain yalah Pek Wan Taysu sendiri.
Kebalikannya, begitu melihat Hun-ing, wajah Hiat Sat Mo-li serentak berobah.
“Bagus,” serunya sinis, “ji-sumoay, nyata engkau telah menghianati Lembah Kumandang.”
Saat itu Hun-ing sudah berada di sisi Lo-seng. Dengan tertawa dingin ia menyahut teguran Hiat Sat Mo-li .
“Bahwa Jin Kian Pah-cu memanggil Puteri Neraka untuk menghadapi aku, tentulah karena kalian sudah
mengetahui aku telah berhianat. Perlu apa kalian banyak mulut lagi?”
Seketika itu sadarlah pikiran Lo-seng. Siapa lagi yang menawan Hun-ing dan Bok-yong Kang ketika di tanah
kuburan tempo hari kalau bukan Im-kian-li atau Puteri Neraka itu? Kini Hun-ing sudah lolos tetapi mengapa
Bok-yong Kang tak ikut serta?
dunia-kangouw.blogspot.com
Belum Lo-seng bertanya, Hun-ing pun sudah mendahului menegurnya: “Siau toako, bagaimana luka Bokyong
Kang?”
Lo-seng terbeliak.
“Apa? Bok-yong Kang terluka? Engkau……”
Hun-ing kerutkan alis dan balas berseru.
“Ih, dia dilukai Puteri Neraka sampai pingsan, masakan engkau tak tahu?”
Lo-seng makin terkejut, serunya: “Tidak tahu! Begitu mendengar engkau memanggil, aku cepat memburu
tetapi tak dapat melihat Bokyong-te.......”
“Lalu siapa yang menangkapnya?” seru Hun-ing. Kemudian ia alihkan pandang mata ke arah kakak
seperguruannya, Hiat Sat Mo-li.
“Toa-suci,” serunya, “apakah engkau telah menawan Bok-yong Kang di tempat ini?”
Kemunculan Hun-ing di guha itu, telah memberi kesan kepada Hiat Sat Mo-li bahwa jago-jago sakti dan
alat-alat rahasia dalam lorong guha, telah dihancurkan oleh Hun-ing.
Diam-diam Hiat Sat Mo-li menimang dalam hati. Ia menyadari bahwa kekuatan anak buahnya yang
berjumlah beberapa orang itu, tentu tak dapat melawan Siau Lo-seng.
Jalan satu-satunya yalah membangunkan Puteri Neraka. Tetapi iapun tak paham bagaimana cara untuk
memerintahkan Puteri Neraka menyerang musuh. Kalau salah perintah, ia sendiri tentu takkan terluput dari
keganasan Puteri Neraka.
Namun kalau ia mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng atau Bejana emas pengusir arwah untuk menguasai
Puteri Neraka, ia kuatir Hun-ing tahu dia akan merebutnya.
Kalau ia sibuk mengambil keputusan, tiba-tiba Hun-ing menanyakan soal Bok-yong Kang. Serentak ia
menyahut: “Ji-sumoay, engkau tentu maklum apa hukuman seorang murid yang berani menghianati
gurunya itu?”
Hun-ing tertawa hambar.
“Ketahuilah,” serunya. “walaupun Jin Kian Pah-cu itu amat ganas tetapi aku tak peduli. Dan sekalipun aku
berhianat tetapi tak perlu engkau banyak mulut lagi. Sekarang jawablah pertanyaanku tadi. Apakah Bokyong
Kang engkau tawan di tempat ini?”
Ternyata ketika diringkus oleh Puteri Neraka, Hun-ing pingsan sehingga tak tahu apakah wanita itu juga
membawa Bok-yong Kang. Baru setelah mendengar keterangan Lo-seng tadi, ia segera menduga tentulah
Bok-yong Kang telah ditawan oleh Puteri Neraka.
Hiat Sat Mo-li menekan kemarahannya. Ia menjawab dengan tawar: “Benar, dia memang berada di sini.”
Mendengar keterangan itu, segera Lo-seng berkata kepada Hun-ing, “Pangcu, tolong pinjam pedangmu.”
Hun-ing segera mencabut pedangnya dan diserahkan kepada anak muda itu, katanya: “Tetapi Siau toako,
mungkin mereka memasang siasat. Kalau saudara Bok-yong berada di sini, mengapa tak......
Selekas menerima pedang, Lo-seng segera mengerahkan tenaga dalam dan “sring......” ia segera lontarkan
pedang ke arah ranjang batu tempat Puteri Neraka tidur.
Mendengar Lo-seng hendak meminjam pedang, semula Hiat Sat Mo-li mengira kalau pemuda itu akan
menyerangnya. Maka betapalah kejutnya ketika Lo-seng melemparkan pedang itu ke arah Puteri Neraka.
“Im-kian-li……” segera Hiat Sat Mo-li berteriak nyaring.
Teriakan Hiat Sat Mo-li itu mengandung tenaga sihir yang kuat sehingga sekalian orang meregang bulu
romanya. Tetapi teriakan itu memberi pengaruh atas diri Puteri Neraka. Wanita cantik itu bergeliatan bangun
dan duduk.
Lontaran pedang Lo-seng itu seperti kilat cepatnya. Jago silat yang bagaimanapun saktinya tentu sukar
untuk menghindari. Tetapi entah bagaimana, Puteri Neraka memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa
anehnya. Sekali tangan kiri menampar ke muka, tangan kanannya pun secepat kilat menyusur maju.
“Cret.......” pedang itupun telah terjepit di sela jarinya yang melentik indah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekalian orang yang menyaksikan kepandaian Puteri Neraka itu, sama terlongong-longong.
“Siau toako,” buru-buru Hun-ing berseru, “ilmu kepandaiannya tiada yang mampu menandingi.”
Tetapi setelah menjepit pedang, Puteri Neraka itu tetap berdiri termangu-mangu.
Siau Lo-seng menyadari bahwa ia tentu tak mampu melawan serangan Puteri Neraka. Tetapi iapun tahu
bahwa kalau hari itu ia tak membunuh wanita cantik itu kelak dunia persilatan tentu akan dilanda oleh hanjir
darah pembunuhan besar-besaran.
“Paman Pek Wan, silahkan pergi dulu bersama Ui Pangcu,” serunya sesaat kemudian.
Rupanya Giok-hou tak tahu keganasan Puteri Neraka maka ia tetap berdiri pada tempatnya hendak
menyaksikan apa yang akan terjadi.
Ternyata setelah membangunkan Puteri Neraka, Hiat Sat Mo-li tak memberi perintah lagi. Rupanya ia
menghadapi kesulitan. Kalau mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng untuk memberi perintah kepada Puteri
Neraka, ia kuatir orang akan tahu dan akan merebutnya.
Setelah beberapa saat berdiri di ranjang batu rupanya Puteri Neraka makin sadar Sepasang matanya yang
berkilat-kilat memancarkan sinar biru mulai memandang ke sekeliling.
“Siau toako,” teriak Hun-ing cemas. “mari kita lekas pergi. Dia mulai akan menyerang.”
Hiat Sat Mo-li sendiri juga bingung. Kalau saat itu ia tak lekas mengeluarkan pusaka Ki-hun-kim-teng, ia
kuatir Puteri Neraka akan menyerang dengan membabi buta, Mungkin juga akan menyerang dirinya.
“Lo-seng,” Pek Wan Taysu pun berseru pula, “wanita itu bukan manusia biasa. Kita pernah menderita luka
di tangannya. Kurasa lebih baik kita menyingkir saja.”
“Mengapa Siau toako pernah bertempur dengan wanita itu?” seru Hun-ing terkejut.
“Siang tadi hampir saja aku kehilangan jiwa karena pukulan wanita itu,” menerangkan Lo-seng, “tetapi
sekarang aku hendak menghadapinya. Mungkin aku dapat mengatasi serangannya......”
Hun-ing tahu jelas bahwa Puteri Neraka itu seorang mayat hidup yang telah diolah oleh ]in Kian Pah-cu
menjadi jago yang tiada tandingannya di dunia. Setiap menyerang tentu akan menghabiskan jiwa orang.
Hun-ing tak percaya kalau Lo-seng mampu melawan wanita itu.
Tiba-tiba dari luar terdengar suara orang tertawa seram dan dingin. Seketika tergetarlah hati Lo Seng.
Hun-ing pun berobah wajahnya, serunya. “Siau toako, bukankah suara tertawa itu pernah terdengar di tanah
kuburan?”
Ternyata suara tertawa itu mirip sekali dengan nada tertawa dari gerombolan manusia aneh yang muncul di
tanah kuburan.
Mendengar suara tertawa itu, wajah Hiat Sat Mo-li berobah membesi dan berseru kepada Giok-hou yang
berdiri di samping:
“Hm, tak kira engkaupun membawa anakbuahmu kemari!”
Giok-hou tertawa meloroh.
“Tentu akan menarik sekali nanti,” serunya dengan bangga, “mana yang lebih lihay antara Puteri Neraka
dari Lembah Kumandang atau Manusia tanpa nyawa dari istana Ban-jin-kiong?”
Habis berkata pemuda itu menengadahkan kepala dan bersuit panjang sampai dua kali. Nadanya berpadu
dengan suara tertawa seram itu.
Makin lama suara tertawa setan itupun makin dekat dan pada lain kejap sudah berada di luar guha.
Dan ketika sekalian orang berpaling ternyata guha itu sudah tambah dengan tigabelas manusia aneh
berpakaian hitam. Dan di belakang mereka terdapat seorang tua bungkuk yang bertubuh kekar.
Kejut Lo-seng bukan kepalang. Ketigabelas manusia aneh itu bukan lain yalah gerombolan yang pernah
muncul di tanah kuburan.
Orang tua bungkuk itu cepat maju kehadapan Giok-hou dan memberi hormat,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Melaksanakan perintah Kiong-cu (tuan), hamba telah membawa ketigabelas Sip-hun-jin datang membantu
Sau-kiongcu,” katanya.
Rupanya Giok-hou pun mengindahkan orang bungkuk itu Cepat ia balas memberi hormat, “Kalau kepala
paseban Lian-gak-tian yang datang sendiri, itulah sungguh bagus. Sekarang kita bersikap diam dulu untuk
mengatur barisan dan menunggu bagaimana perkembangannya.”
Siau Lo-seng, Hun-ing dan Pek Wan Taysu kerutkan dahi. Mereka benar-benar tak pernah mendengar
tentang istana Ban-jin-kiong itu.
Dan yang lebih mengejutkan hati ketiga orang itu yalah bahwa seorang tokoh muda yang kelak akan
menjadi pewaris Go-bi-pay, yakni Pedang racun pembasmi iblis Li Giok-hou ternyata pun masuk menjadi
anggauta perkumpulan itu. Bahkan diangkat menjadi Sau-kiongcu.
Siau Lo-seng cerdas tetapi saat itu benar-benar ia tak mampu memecahkan teka teki yang aneh itu.
Demi pandang matanya tertumbuk kepada Lo-seng, orang tua bungkuk itu terkesiap dan berpaling ke arah
Giok-hou.
07.33. Pertempuran Manusia Mumi
“Sau-kiongcu, orang itu......”
“Long Tian-cu,” tukas Giok-hou tertawa, “aku sudah tahu siapa dia.”
Dalam pada mereka bicara itu, bola mata Puteri Neraka tampak makin memancar. Pedang di tangannya
pun pelahan-lahan diangkat dan ujungnya ditujukan ke arah Lo-seng bertiga.
Hun-ing terkejut. Gerakan Puteri Neraka itu menyatakan bahwa ia hendak membunuh Siau Lo-seng lebih
dahulu.
Kiranya walaupun wanita cantik itu tiada memiliki kesadaran pikiran tetapi samar-samar ia melihat bahwa di
antara beberapa orang yang berada dalam ruang itu, hanya Siau Lo-seng yang berkesan dalam hatinya.
Karena pemuda itu pernah menempurnya dengan gigih.
“Paman, Ui Pangcu, silahkan menyingkir ke samping,” segera Lo-seng pun bersiap dan meminta kedua
kawannya menyingkir.
Tepat pada saat ia berkata, Puteri Neraka itupun sudah apungkan tubuh dan melayang ke arahnya.
Sepercik sinar tajam segera menyambar Lo-seng.
Sambaran sinar pedang itu luar biasa cepatnya sehingga tak ubah seperti sebuah bianglala menggagah di
angkasa.
Hun- ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Tetapi sebelum kedua orang itu sempat bergerak untuk menghalau,
sinar pedangpun sudah mengarah ke dada Siau Lo-seng. Karena terkejut, menjeritlah kedua orang itu......
“Tring......”
Tiba-tiba terdengar lengking suara yang nyaring sekali dan pedang Puteri Neraka itupun kutung menjadi
dua.
Siau Lo-seng mengerang tertahan, bahunya bergetar dan tubuhnyapun terhuyung mundur tiga langkah.
“Huak......” ia muntahkan segumpal darah segar.
Terkejutlah sekalian orang. Mereka tak tahu dengan ilmu apakah Siau Lo-seng dapat mematahkan pedang
Puteri Neraka itu. Jelas ketika ujung pedang itu sudah tiba tiga dim di dada Siau Lo-seng pemuda itu masih
tak bergerak. Tetapi tahu-tahu pedang Puteri Neraka telah kutung menjadi dua.
Sebenarnya Siau Lo-seng memang menggunakan ilmu yang sakti. Walaupun dia tak mau menyingkir
ataupun menangkis tetapi diam-diam ia sudah bersiap dalam sikap Pay-koan-im atau Menyembah dewi
Koan Im. Kedua tangannya menjepit batang pedang, sekali kerahkan tenaga dalam maka putuslah pedang
itu.
Memang dia berhasil menghancurkan pedang lawan. Tetapi tenaga dalam dari Puteri Neraka yang
disalurkan ke arah pedangnya itu masih mampu melukai perkakas dalam dada Lo-seng sehingga pemuda
itu terhuyung dan muntah darah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika pedangnya putus, Puteri Neraka tertegun kaget. Cepat ia lemparkan kutungan pedangnya dan terus
melayang ke arah Siau Lo-seng.
Melihat itu Pek Wan Taysu yang sejak tadi sudah kerahkan tenaga dalam, segera menyambutnya.
Tetapi Puteri Neraka tak gentar. Ia balikkan tangannya untuk menangkis. Seketika Pek Wan Taysu rasakan
pukulannya tadi seperti tersedot ke dalam gelombang tenaga-dalam.
Pek Wan Taysu terkejut, serunya: “Lo-seng, Ui Pangcu awas dia akan menyerang!”
Paderi Siau-lim-si itu sudah mengetahui bahwa Puteri Neraka memiliki semacam ilmu yang luar biasa
saktinya. Wanita itu dapat menyedot pukulan orang lalu disalurkan untuk menyerang lain orang. Itulah
sebabnya maka Pek Wan Taysu bergegas memberi peringatan kepada Lo-seng dan Hun-ing.
Tetapi ternyata Puteri Neraka tak menyerang Siau Lo-seng melainkan kepada orang tua bungkuk. Seketika
terdengarlah desus angin pukulan yang dahsyat ke arah orang bungkuk itu.
Orang tua bungkuk itu ternyata seorang tokoh persilatan yang kaya akan pengalaman. Berpuluh tahun
berkelana di dunia persilatan, ia pernah bertemu dengan tokoh-tokoh sakti dari berbagai aliran cabang
persilatan. Dengan pengalaman yang luas itu ia dapat mengenal ilmu silat berbagai perguruan.
Tetapi ilmu luar biasa yang dimiliki Puteri Neraka itu benar-benar belum pernah dilihat sepanjang hidupnya.
Menerima dan menyedot tenaga pukulan orang untuk disalurkan menyerang lain orang.
Tetapi orang bungkuk itu tak mempunyai kesempatan untuk merenung lagi. Segera ia kerahkan hawa murni
dan terus enjot tubuhnya melambung ke atas. Pukulan Puteri Neraka itupun menyambar lewat di bawah
kakinya.
Dilain pihak ……
Giok-hou tertawa dingin, serunya: “Ho, kiranya engkau menggunakan Kim-teng (bejana emas) itu untuk
memberi perintah kepada Im-kian-li.”
Hun-ing terkejut. Mengangkat muka, ia melihat memang toa-sucinya, Hiat Sat Mo-li sedang memegang
sebuah Kim-teng yang indah. Tetapi sebelum Hun-ing sempat bertindak, ternyata Giok-hou sudah
mendahului menyerang Hiat Sat Mo-li dengan pedang.
“Im-kian-li, lekas bunuh orang itu!” teriak Hiat Sat Mo-li.
Saat itu Puteri Neraka sedang melangkah ke arah Siau Lo-seng. tetapi demi mendengar teriakan Hiat Sat
Mo-li, cepat ia berputar tubuh dan meluncur ke arah Giok-hou.
Giok-hou terkejut sekali. Dalam sekejap mata saja, tubuh Puteri Neraka itu sudah tiba di hadapannya.
Gerakannya cepat dan terjangannya dahsyat sekali.
Cepat Giok-hou pun tebarkan pedangnya dalam jurus Tok-coa-jut-tong atau Ular berbisa keluar guha. Ia
menutuk tiga buah jalan darah di dada wanita cantik itu.
Di luar dugaan. Puteri Neraka tak mau menghindar dan tak mau menangkis pula. Ia hanya tamparkan
tangannya.
“Huh……”
Sambil membawa pedang, Li Giok-hou loncat mundur tujuh-delapan langkah. Kepalanya basah dengan
keringat, wajahnya menampil kerut kengerian.
Ilmu kepandaian Puteri Neraka itu benar-benar menakjubkan sekali. Jika dua tokoh muda yang sakti seperti
Siau Lo-seng dan Li Giok-hou tak mampu menyambut sejurus serangannya, apalagi orang-orang yang hadir
di ruang situ.
Melihat Giok-hou menderita luka, orang tua bungkuk itupun segera mengangkat muka dan bersuit nyaring
yang aneh.......
Ketigabelas orang aneh berpakaian hitam seperti menerima perintah, terus berhamburan menyerbu Puteri
Neraka.
“Long Tian-cu, barisan Manusia tanpa nyawa kita itu, mungkin tak dapat menangkap Im-kian-li,” teriak Giokhou,
“lebih baik kita berusaha mundur dulu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Walaupun tak mampu menangkap tetapi barisan Manusia tanpa nyawa itu akan dapat menahan
keganasannya,” jawab si Bungkuk.
“Kalian hendak meloloskan diri? Heh, heh, heh,.......” terdengar Puteri Neraka tertawa mengikik.
Ketigabelas Manusia tanpa nyawa atau Sip-hun-jin telah mengurung Puteri Neraka. Tampaknya Puteri
Neraka agak jeri terhadap ke tigabelas barisan Sip-hun-jin. Dia tak menyerang, melainkan hanya
bergeliatan dengan gerak pelahan.
Saat itu Lo-seng mengambil tigabelas butir pil dan menelannya.
“Lo-seng, apakah yang engkau makan itu pil beracun?” tanya Pek Wan Taysu dengan bisik-bisik.
Lo-seng tertawa rawan.
“Benar, paman,” sahutnya, “karena hanya pil itulah yang dapat menimbulkan tenagaku.”
Mendengar itu tergetarlah hati Hun-ing. Serentak ia teringat akan kata-kata Siau Lo-seng kepada Bok-yong
Kang ketika berada di lembah gunung dahulu.
“Apakah keterangannya itu benar?” pikirnya. Dan serentak berlinang-linanglah airmata nona itu. Ia menatap
Lo-seng dengan pandang penuh kerawanan.
“Siau toako, apakah engkau tak dapat sembuh dari kelumpuhan?” ia menghela napas. Ia masih belum
percaya dan bertanya.
“Masakan aku bohong?” sahut Lo-seng.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru: “Lo-seng, baiklah kita gunakan kesempatan ini untuk lolos.”
“Paman Pek Wan,” jawab Lo-seng, “rasanya paman tentu memaklumi, bahwa apabila kesempatan iai
sampai hilang, entah berapa banyak jiwa orang persilatan yang akan mati di tangan Puteri Neraka yang
ganas itu.”
Pek Wan Taysu menghela napas.
“Walaupun kita ingin melenyapkan bahaya itu tetapi tenaga kita tak sampai. Maka lebih baik kita lolos dulu
dan baru pelahan-lahan berusaha untuk mengatur rencana lagi,” kata paderi tua itu.
“Ah, paman,” Lo-seng menghela napas, “aku percaya dalam waktu singkat semalam ini, dapat
meningkatkan tenagaku sedemikian rupa hingga dapat menghancurkan Puteri Neraka. Tetapi.......”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya.
“....... tetapi, jiwa Siau toako juga akan lenyap.......,” tiba-tiba Hun-ing menyelutuk. Ia pernah mendengar
pembicaraan Siau Lo-seng di lembah gunung maka tahulah ia apa yang dimaksudkan pemuda itu.
Lo-seng tertawa rawan.
“Benar, apabila dalam malam ini aku dapat membasmi Puteri Neraka, matipun aku sudah puas.”
“Siau toako,” teriak Hun-ing. “jalan pikiran itu salah. Walaupun yang berada di sini, orang-orang penting dari
Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong, tetapi mereka bukanlah tokoh pimpinannya. Taruh kata malam ini
mereka dapat engkau hancurkan tetapi Jin Kian Pah-cu dan ketua istana Ban-jin-kiong itu tetap masih
hidup. Dalam sepuluh tahun kemudian mereka akan mampu menempa manusia-manusia tanpa nyawa
seperti sekarang ini. Maka yang penting kalau mau membasmi gerombolan itu, basmilah pemimpinnya.
Hancurkanlah Jin Kian Pah-cu dan kepala istana Ban-jin-kiong. Kurasa lebih baik Siau toako jangan
sembarangan mengorbankan jiwa secara sia-sia.”
Uraian nona itu telah membuat wajah Lo-seng berobah. Diam-diam ia menimang: “Kata-kata Hun-ing itu
memang benar. Apabila dalam malam ini kutelan habis semua pil beracun itu, walaupun dapat
menghancurkan Puteri Neraka dan barisan Sip-hun-jin, tetapi akupun tentu akan kehilangan kesadaran.
Mungkin juga akan menderita putus urat nadi dan mati. Apakah aku bukan……”
Belum selesai ia merenung, tiba-tiba Hiat Sat Mo-li kedengaran berseru: “Im-kiam-li, mengapa engkau tak
balas menyerang? Hendak menunggu sampai kapan?”
Rupanya karena jemu melihat Puteri Neraka hanya bergeliatan menghindari serangan ia berseru memberi
perintah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba bola mata Puteri Neraka berkilat-kilat tajam sekali. Secepat kitat ia terus menyerang lingkaran
pertama dari barisan Sip-hun-jin yang terdiri dari empat orang.
Keempat orang aneh yang mengenakan kerudung muka hitam itu, berdiri pada empat jurusan. Jago silat
yang bagaimanapun saktinya tak mungkin sekali gus dapat menghancurkan mereka berempat. Tetapi
ternyata serangan Puteri Neraka itu memang sekali gus dilontarkan serempak ke arah empat penjuru.
Sesaat terdengar jeritan ngeri dan keempat orang aneh itu terlempar ke udara.......
Bagaikan ular menari, maka Puteri Neraka pun berputar-putar tubuh dan menghamburkan pukulan maut ke
arah ketigabelas barisan Sip-hun-jin.
Terdengar susul menyusul jeritan ngeri tetapi suatu peristiwa anehpun telah muncul. Setelah berhamburan
terlempar ke udara, ketigabelas barisan Sip-hun-jin itupun meluncur dan menempati kembali tempatnya
semula. Mereka tetap mengepung Puteri Neraka.
Siau Lo-seng dan Hun-ing terkejut menyaksikan kejadian yang luar biasa itu.
“Siau toako, betapakah kekuatan dari pukulan Im-kian-li itu,” tanya Hun-ing.
“Berpuluh ribu kati beratnya dan mampu menghancurkan karang,” sahut Lo-seng.
“Aneh,” gumam Hun-ing, “apakah mereka terbuat dari baja?”
Lo-seng menghela napas.
“Memang di dunia ini penuh dengan hal yang aneh. Ketika di pekuburan akupun juga telah menggunakan
duabelas bagian tenaga dalam untuk menempurnya. Tetapi tak mampu menghancurkannya, ah......”
“Ya, memang lebih baik kita mundur dulu,” kata Lo-seng pula, “silahkan paman Pek Wan dan Ui Pangcu
berjalan di muka dan aku yang di belakang untuk menahan serangan Puteri Neraka apabila dia mengejar.”
Pek Wan Taysu dan Hun-ing segera melesat ke pintu guha. Di pintu itu ke delapan pengawal baju biru dari
Hiat Sat Mo-li masih menjaga. Cepat mereka berhamburan menghadang jalan.
“Yang menghadang, pasti hancur. Yang menyisih tentu selamat,” seru Hun-ing.
Sambil berkata Hun-ing menyelinap ke dalam pedang lawan. Sekali menyambar ia berhasil merebut
sebatang pedang dan “sring......” terdengarlah jeritan ngeri...... dua orang pengawal baju biru rubuh dalam
genangan darah.
Sekali Pek Wan Taysu kebutkan lengan jubah, dua orang pengawal yang hendak menyerangnya pun
terlempar keluar.
Melihat Pek Wan Taysu dan Hun-ing segera akan dapat menerobos keluar, dengan melengking tinggi Hiat
Sat Mo-li enjot tubuh dalam gerak Bintang jatuh mengejar bulan, melambung terus meluncur menghadang
Hun-ing.
Tetapi serempak saat itu. Lo-seng tertawa dingin dan loncat memburu. Hiat Sat Mo-li terkejut.
“Im-kian-li......” serentak ia berteriak keras.
“Hm, rupanya engkau ingin menjadi semacam Im-kian-li. Akan kupenuhi keinginanmu,” dengus Lo-seng.
Ia menutup kata-katanya dengan melontarkan sebuah hantaman ke arah nona itu. Tetapi pada saat itu juga,
dari arah belakang Lo-seng terdengar desir angin menyambar.
Tanpa berpaling muka, Lo-seng sudah dapat menduga bahwa yang datang itu tentu Puteri Neraka.
Terpaksa ia tarik pulang pukulannya dan terus loncat ke muka sembari menghantam dengan kedua
tangannya.
Tetapi kembali Puteri Neraka itu mengangkat tangan untuk menyedot tenaga pukulan Lo-seng.
Lo-seng terkejut dan cepat hendak menarik pukulannya tetapi terlambat. Saat itu ia rasakan suatu
gelombang tenaga membalik yang menuju ke arahnya.
Lo-seng menyadari bahwa apabila ia berkeras hendak adu pukulan, tentu akan menderita luka lagi. Cepat ia
lepaskan pengerahan tenaga dalam dan membiarkan dirinya dibawa terbang oleh arus tenaga yang
dipentalkan oleh Puteri Neraka. “Wut......” ia terlempar sampai tujuh-delapan tombak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekalian orang terkejut tetapi pemuda itu yang paling terkejut sendiri. Karena begitu ia menginjak bumi,
Puteri Neraka sudah berada beberapa langkah dihadapannya. Sepasang bola mata wanita itu berkilat-kilat
ngeri memandang Lo-seng. Pelahan-lahan wanita itupun mengangkat tangan kanannya......
Lo-seng marah sekali. Sebelum wanita itu melancarkan pukulan, iapun cepat mendahului memukul dada
wanita itu. Dan tangan kanannya melentikkan ilmu tutukan jari Han-sim-ci, menutuk dua buah jalan darah
Puteri Neraka.
Tetapi serempak pada saat Lo-seng bergerak Puteri Neraka pun juga bergerak, mencengkeram lengan kiri
Lo-seng yang hendak memukul dadanya.
Seketika Lo-seng rasakan lengan kirinya kesemutan. Ia terkejut. pikirnya: “Huh, ilmu apakah yang
digunakan itu, mengapa belum pernah kulihat?”
Dalam berpikir itu Lo-seng tetap melanjutkan tutukan jarinya. Kedua jarinya pun sudah menyentuh kulit
Puteri Neraka. Tetapi tiba-tiba wanita itu melengking nyaring dan menyurut ke belakang sampai empat
langkah.
Memang jari Lo-seng berhasil menyentuh kulit si wanita tetapi seketika itu ia rasakan tuhuh wansia itu
memancarkan tenaga balik yang kuat. Pemuda itu terkejut terus menyurut mundur
“Ui Pangcu, paman Pek Wan, lekas lari,” kata Lo-seng. Ternyata kedua orang itu masih berada di situ
karena kuatir Lo-seng menderita luka.
Sejenak tertegun karena menderita tutukan jari Lo-seng, Puteri Neraka pun terus menyerbu lagi.
Untunglah pada saat itu Lo-seng sudah mendapat daya untuk menghadapi wanita ganas itu. Ia menyadari
bahwa Puteri Neraka itu memiliki daya tahan dan tenaga yang luar biasa. Jauh melebihi orang biasa.
Betapapun dihantam dengan pukulan sakti, tetap tak dapat melukai wanita itu. Satu-satunya jalan hanyalah
menggunakan jurus-jurus istimewa dari ilmu silat tinggi. Wanita itu sudah kehilangan kesadaran pikirannya.
Dalam menghadapi serangan, dia tentu kurang cepat dapat menanggapi.
Demikian setelah menentukan rencana, Lo-seng pun segera gunakan jurus-jurus serangan cepat. Dalam
beberapa kejap saja ia sudah lancarkan sepuluh jurus serangan dan menggunakan berpuluh macam aliran
ilmu silat yang istimewa.
Tepat juga perhitungan Lo-seng. Menghadapi serangan yang aneh itu. Puteri Neraka memang tak mampu
balas menyerang.
Dan pada suatu kesempatan, Lo-seng pun berhasil sekali melancarkan tiga buah pukulan. Selain luar biasa
cepatnya pun serangan itu serempak dilancarkan dari tiga arah. Puteri Neraka kewalahan dan terpaksa
menyurut mundur beberapa langkah.
“Im-kian-li, kemarilah!” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li memanggil.
Dalam pada itu terdengar pula suara tertawa dingin dari Giok-hou yang berkata kepada si orang tua
bungkuk: “Long Tian-cu, asal dapat merampas Kim-teng di tangan nona itu, kita tentu dapat memberi
perintah kepada Im-kian-li!”
Im-kian-li pun cepat berputar tubuh dan terus meluncur pergi. Gerakan tubuhnya yang mirip dengan ilmu
meringankan tubuh Teng-gong-hui-heng (berjalan di udara) itu, menyebabkan Lo-seng menghela napas
panjang.
07.34. Keputusan Minum Pil Racun Terakhir
“Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki wanita itu, cepatnya seperti burung terbang. Sukar untuk
menandinginya......”
“Siau toako, mari cepat pergi. Kalau tidak Hiat Sat Mo-li tentu akan menyuruhnya mengejar kita lagi,” seru
Hun-ing.
Kali ini Lo-seng menurut. Demikian dengan gunakan ilmu gin-kang atau meringankan tubuh, mereka bertiga
segera menerobos lari keluar.
Setengah jam kemudian mereka pun tiba di pegunungan yang lebat puncaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siau toako, apakah engkau sudah bertemu dengan Nyo Jong-ho?” tiba-tiba Hun-ing bertanya.
Pek Wan Taysu menghela napas: “Ah, Nyo loenghiong sudah meninggal.......”
Paderi Siau-lim itu segera menuturkan apa yang telah terjadi.
“Apakah nona Nyo sudah mengetahui kalau pembunuh ayahnya itu Giok-hou sendiri?” tanya Hun-ing.
“Karena Lo-seng kuatir nona itu akan bersedih, dan karena belum berani memastikan bahwa Giok-hou itu
pembunuhnya maka Lo-seng pun belum memberitahu kepada nona Nyo,” jawab Pek-wan.
Kemudian paderi itu berpaling ke arah Lo-seng: “Lo-seng, baiklah engkau bersama Ui Pang-cu kembali ke
Lok-yang. Aku sendiri segera akan kembali ke gereja Siau-lim-si untuk melaporkan peristiwa ini kepada
Ciang-bun-jin.”
Lo-seng menghela napas.
“Paman, tak perlu paman pulang. Dalam beberapa hari ini banyak persoalan yang ingin kurundingkan
dengan paman,” katanya.
“Soal apa?'
“Soal setelah aku mati,” kata Lo-seng.
Mendengar itu Pek Wan Taysu seperti dipagut ular kejutnya: “Seng-ji, benarkah engkau tak kan hidup
lama?”
Lo-seng tertawa hambar.
“Paman Pek Wan,” katanya, “kalau saat ini tak kukatakan, tentu kalian masih belum percaya.”
“Benar, memang kita takkan percaya di dunia terdapat keanehan semacam ini. Minum racun tetapi tidak
mati.”
Hun-ing menyeletuk, “maaf, Siau toako, aku memang menyangsikan bahwa yang engkau minum itu bukan
obat racun.”
“Akupun juga tak pernah mendengar bahwa racun dapat mengembangkan daya kekuatan,” Pek Wan Taysu
ikut menambahi.
“Memang tak salah kalau kalian tak percaya,” kata Lo-seng, “tetapi hal itu memang nyata. Cobalah
renungkan, andaikan kata kalian belum menyaksikan sendiri seorang mayat hidup seperti Puteri Neraka dan
barisan manusia tanpa nyawa dari istana Ban- jiu-kiong itu, tentulah kalian tak percaya bahwa di dunia
terdapat keanehan semacam itu.......”
Diam-diam Hun-ing teringat bahwa suhunya pernah mengatakan hendak menempa seorang Puteri Neraka.
Tetapi kala itu ia tak percaya.
“Soal aku meminum racun untuk melawan penyakitku samalah halnya dengan cara-cara untuk melatih
seorang Puteri Neraka yang disebut mumi itu,” kata Lo-seng pula, “memang mencipta sebuah mumi itu
sukar sekali. Tetapi racun untuk mengembangkan tenaga, memang terdapat juga dalam ilmu pengobatan.”
“Benar,” akhirnya Hun-ing berkata, “memang kurasa Puteri Neraka itu berumur sekitar duapuluh enam
tahun......”
“Menilik kepandaian Puteri Neraka itu, dahulu dia tentu sudah memiliki ilmu silat yang sakti,” kata Lo-seng.
“Mengapa?” tanya Hun-ing.
“Menciptakan seorang mumi, termasuk suatu ilmu Hitam. Seorang mumi dapat ditempa menjadi semacam
mayat hidup yang tak punya kesadaran pikiran dan bertubuh baja. Tetapi sukar untuk membentuk tenaga
dalam pada mumi itu. Memang barisan Sip-hun-jin itu kalah sakti dengan Puteri Neraka. Tetapi mereka pun
bertubuh sekeras baja seperti Puteri Neraka itu. Maka kupastikan, sewaktu masih menjadi wanita biasa,
Puteri Neraka itu tentu seorang tokoh sakti.”
“Kalau benar begitu mengapa kita tak tahu siapa dia?” tanya Hun-ing.
Lo-seng menghela napas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Puteri Neraka itu bukan tokoh silat jaman sekarang,” katanya.
Hun-ing heran. Puteri Neraka itu lebih kurang baru berumur duapuluh enam. Mengapa dikatakan bukan
manusia jaman sekarang?
Tiba-tiba Lo-seng berpaling kepada Pek Wan Taysu: “Paman, kurasa soal ini mempunyai sangkut paut
dengan soal obat racun yang kuminum.”
“Soal apa yang engkau maksudkan?”
“Kurasa ilmu aneh yang dimiliki Jin Kian Pah-cu dan kepala istana Ban-jin-kiong, dengan pengetahuanku
tentang ilmu Mumi itu, rasanya berasal dari satu sumber,” kata Lo-seng.
“Apa?” Hun-ing terkejut, “obat racun yang Siau toako minum itu juga semacam obat untuk merobah diri
menjadi mumi......”
Lo-seng tertawa rawan: “Benar, aku hendak menjadi mumi kalian. Ketika di lembah gunung pernah
kukatakan kepada Bok-yong Kang bahwa begitu obat racun itu habis kuminum semua, aku tentu akan
menjadi seorang manusia yang tak punya kesadaran pikiran lagi
“Siau toako, mengapa engkau lakukan hal itu…..,” Hun-ing berseru dengan nada sedih.
“Terpaksa, pangcu,” sahut Lo-seng, “hanya dengan cara itu aku takkan lenyap. Walaupun aku menjadi
seorang mumi yang tak punya kesadaran pikiran, tetapi aku tetap dapat hidup dan menyelesaikan dendam
darah keluargaku.”
“Siau toako,” kata Hun-ing penuh haru, “cara yang engkau tempuh itu berarti merusak jiwamu sendiri. Aku
tak percaya di dunia ini tiada terdapat obat yang dapat menyembuhkan penyakitmu.”
“Ui Pangcu,” sahut Lo-seng,” engkau mungkin tak tahu siapakah guruku itu? Karena itu engkaupun tak tahu
bagaimana keadaan penyakitku. Ya, penyakitku itu tak mungkin diobati lagi. Kalau bisa, masakan guruku
Pemburu jejak Ban Li-hong tak mampu mengobati?”
“Apa? Suhu toako itu Ban Li-hong locianpwe?” seru Hun-ing terkejut.
Ban Li-hong itu seorang pencuri sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan pada masa
empatpuluh tahun berselang. llmusilatnya, tiada yang mampu menandingi. Dan lagi diapun pandai dalam
ilmu pengobatan.
“Guruku itu telah mengumpulkan kitab-kitab pusaka ilmu silat dari berbagai aliran, ilmu pengobatan, ilmu
perbintangan dan lain-lain ilmu yang hebat. Dia sudah mempelajari, semua kitab, tetapi tak ada satupun
yang memuat tentang resep obat untuk mengobati penyakitku…… Hanya dalam kitab yang berjudul Lianhun-
cin-keng (Kitab menempa roh), dia menemukan ilmu membuat mumi dan mencobakan pada diriku……”
Berhenti sejenak Lo-seng melanjutkan pula:
“Tadi kukatakan bahwa ilmu yang dimiliki Jin Kian Pah-cu dan kepala Ban-jin-kiong itu berasal dari sumber
yang sama dengan ilmu yang kumiliki. Kuduga mereka masing-masing tentu mempunyai kitab Lian-hun-cinkeng.”
“Mengapa begitu?” tanya Hun-ing.
“Pada halaman pertama dari kitab Lian-hun-cin-keng, suhuku menulis bahwa kitab itu sebenarnya terdiri
dari tiga jilid. Yang di tangan suhu hanya satu jilid. Suhupun menulis bahwa ia penasaran karena tak dapat
memperoleh kedua jilid itu. Demikian catatan pada kitab peninggalan suhu. Menilik hal itu jelas kitab Lianhun-
cin-keng itu dahulu pernah menimbulkan pertumpahan darah besar di dunia persilatan.”
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru: “Kalau begitu kematian ayahmu itupun tentu dicelakai orang karena
peristiwa kitab Lian-hun-cin-keng.”
“Apa?” Lo-seng terkejut.
“Seng-ji,” kata Pek Wan Taysu, “kalau engkau tak menceritakan tentang kitab Lian-hun-cin-keng itu, akupun
hampir lupa akan sebuah peristiwa.”
“Kuingat dahulu ayahmu pernah berkata kepadaku,” kata paderi itu lebih lanjut, “bahwa dia telah berhasil
mendapatkan sebuah kitab pusaka yang berjudul Lian-hun-cin-keng. Tetapi kala itu aku tak menanyakan
lebih lanjut. Dan berpuluh tahun kemudian akupun lupa akan peristiwa itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jika demikian jelas yang membunuh ayah itu tentulah orang-orang Lembah Kumandang atau istana Banjin-
kiong,” pikir Lo-seng.
“Menurut kesimpulan,” kata Pek Wan Taysu pula, “pembunuhan ayahmu itu tentu akibat dari kitab Lian-huncin-
keng juga.”
Lo-seng menghela napas rawan.
“Hidupku tak lama lagi,” kata anak muda itu dengan nada rawan, “soal menuntut balas dendam keluargaku
terpaksa kuserahkan kepada paman.”
“Siau toako, sampai kapankah pil beracun yang ada padamu itu akan habis?” tiba Hun-ing menyelutuk.
“Memang sekarang ini aku hendak memberitahukan tentang hal itu,” kata Lo-seng, “mungkin dalam tujuh
hari lagi sisa persedian pil itu akan kutelan habis.”
“Mengapa begitu cepat!” teriak Pek Wan Taysu terkejut.
Lo-seng memandang kepada kedua orang itu, katanya: “Sekarangpun kalau mau aku dapat menelan habis
semua pil itu......”
“Siau toako, bukankah engkau dapat bertahan hidup sampai berpuluh hari lagi sebelum pil itu habis?” tanya
Hun-ing.
“Ui Pangcu,” kata Lo-seng dengan senyum hambar, “lambat atau cepat akhirnya pil itu harus kutelan habis.
Perlu apa aku harus memperpanjang hidup apabila hanya untuk menderita saja?”
Kata-kata pemuda itu bagaikan sembilu yang menyayat hati si nona.
“Ah, Siau toako, mengapa engkau tak tahu isi hatiku kepadamu. Aku tak ingin engkau menjadi seorang
mumi…… karena aku cinta kepadamu......” Hun-ing meratap dalam hati.
“Ui Pangcu, aku telah mengambil keputusan untuk menghabiskan pil itu dalam waktu tujuh hari lagi,” kata
Lo-seng.
“Setelah pil itu habis, lalu bagaimanakah keadaanmu?” tanya Hun-ing dengan nada penuh kecemasan. Ia
sudah tahu namun masih ingin mencari penegasan lagi.
“Setelah pil itu kutelan habis, kesadaran pikiranku pun lenyap. Pada saat itu, kalian harus membuat aku
mencurahkan pandang kepada sebuah alat untuk menguasai diriku. Panggillah terus namaku sampai aku
nanti rubuh. Setelah itu masukkanlah mayatku ke dalam sebuah peti mati. Tunggulah peti mati itu sampai
tujuh hari tujuh malam. Kemudian panggillah namaku. Kalau aku bangun, saat itu aku sudah menjadi
seorang mumi.”
Mendengar keterangan itu bercucuranlah air mata Hun-ing.
“Ah, betapa mengenaskan hal itu......”
Namun Lo-seng tak menghiraukan dan terus melanjutkan keterangan lagi.
“Saat itu walaupun kesadaran pikiranku hilang tetapi tubuhku masih hidup. Dan hanya dengan cara itu
barulah kita dapat menghadapi pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jin-kiong. Tanpa pengorbanan
itu, kaum persilatan aliran Putih tentu akan hancur binasa di tangan Puteri Neraka. Untuk menolong dunia
persilatan dari kehancuran, Siau Lo-seng rela berkorban......”
Airmata Hun-ing makin berderai-derai mencurah deras. Demikian pula dengan Pek Wan Taysu.
“Dan pesanku yang terakhir,” kata Lo-seng lagi, “setelah kawanan durjana itu terbasmi, kalian harus lekaslekas
hancurkan diriku. Kalau tidak, aku tentu akan menjadi momok pembunuh yang ganas!”
“Sungguh seperti sebuah impian yang tak mungkin orang mau percaya,” akhirnya Hun-ing berkata dengan
rawan.
“Waktu tujuh hari itu dengan cepat segera akan tiba,” kata Lo-seng, “maka lebih baik sebelumnya kita sudah
mengadakan persiapan. Mari kita cari sebuah tempat yang sepi.”
“Siau toako, mengapa engkau tak mau memperpanjang hidupmu?” seru Hun-ing dengan haru.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sehari memperpanjang hidup, berarti sehari akan menambah jumlah korban kaum persilatan di tangan
Puteri Neraka,” jawab Lo-seng, “sekarang sebelum Jin Kian Pah-cu mulai bergerak lebih baik kita
mendahului bersiap.”
Baik Pek Wan Taysu maupun Hun-ing tak ingin melihat seorang pemuda yang berbakat seperti Siau Loseng
akan mengalami nasib yang begitu mengenaskan. Tetapi kedua orang itu tak berdaya mencari lain
cara untuk menyelamatkan Lo-seng dan dunia persilatan.
Diam-diam Pek Wan Taysu berdoa mohon ampun kepada arwah ayah Lo-seng bahwa ia telah tak berhasil
menyelamatkan puteranya.
Hun-ing pun berdoa dalam hati: “Siau toako pengorbananmu yang perwira itu, tentu akan hidup abadi dalam
kenangan kaum persilatan. Jangan kuatir Siau toako. Pada saat dunia persilatan sudah aman dan kaum
durjana sudah terbasmi, pada hari itulah aku tentu akan menemani engkau bersama-sama menuju ke
gerbang Nirwana......”
“Sudahlah Ui Pangcu, janganlah engkau bersedih untuk diriku,” kata Lo-seng, “soal itu memang sudah lama
kurencanakan. Semula aku hendak minta kepada saudara Bok-yong Kang untuk melaksanakan pesanku
ini. Tetapi sampai saat ini ternyata dia tak ketahuan dimana jejaknya. Maka kuminta engkaulah Ui Pangcu,
yang melaksanakan hal itu. Apakah Ui Pangcu mau meluluskan?”
Mendengar pertanyaan Lo-seng, girang-girang sedihlah hati Hun-ing. Sedih karena pemuda yang
dicintainya itu akan mati. Girang karena ia mendapat kepercayaan untuk melaksanakan pesan Lo-seng.
Dengan airmata berlinang-linang, Hun-ing pun mengangguk.
“Siau toako, di bawah kesaksian langit dan bumi, aku Ui Hun-ing akan tetap mendampingi Siau toako untuk
membasmi kaum iblis durjana. Apabila hatiku sampai bercabang, biarlah aku ditumpas Thian!”
Lo-seng tersenyum.
“Jika demikian, akan kubawa budi kebaikan nona itu sampai akhir hayatku. Ui Pangcu, lalu dimanakah
engkau hendak memilih tempat untuk mempersiapkan rencana kita itu?”
“Soal ini menyangkut nasib dunia persilatan,” kata Hun-ing, “seharusnya kita memilih tempat yang aman
dan rahasia untuk melaksanakan hal itu. Tetapi mengingat bahaya yang mengancam dunia persilatan
sudah di depan mata maka kita tak boleh mengulur waktu lebih panjang lagi. Bagaimana kalau kita
mengambil tempat di kuil tua sebelah muka itu?”
“Baik, mari kita ke sana,” kata Lo-seng.
Maka dengan gunakan ilmu berlari cepat, mereka bertiga segera menuju ke arah barat laut. Hanya dalam
sepeminum teh lamanya, merekapun sudah tiba di kuil tua itu.
Sambil melangkah ke dalam ruang kuil, Lo-seng berkata: “Ui Pangcu, tempat ini harus dijaga dengan ketat!”
Hun-ing memang menyadari hal itu. Kalau dalam waktu tujuh hari tujuh malam sampai timbul gangguan dari
orang luar, pastilah rencana itu akan gagal.
“Kalau rahasia ini dapat dijaga dengan rapat, tentu takkan menimbulkan hal yang tak diinginkan. Dan oleh
karena menyangkut kepentingan dunia persilatan maka kitapun terpaksa harus berusaha sekuat tenaga,”
Lo-seng memberi peringatan pula.
Berkata Hun-ing: “Jika mengerahkan tokoh-tokoh persilatan untuk menjaga tempat ini, tentu akan
menimbulkan kecurigaan, mengundang perhatian musuh. Tetapi kalau hal ini dilakukan secara diam-diam,
apabila pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jin-kiong mengetahui lalu menyerang sudah jelas aku
dan Pek Wan Taysu tentu tak mampu melindungi......”
“Lalu bagaimana baiknya menurut pendapat Ui Pangcu,” kata Lo-seng.
Nona itu balas memandang Lo-seng, katanya: “Kurasa Siau toako tentu sudah menemukan suatu jalan
yang baik......”
Tiba-tiba wajah Lo-seng berobah tegang dan berseru bisik-bisik: “Ada orang datang. lekas kita
bersembunyi.”
Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Ketika mengerahkan pendengaran, memang benar di luar kuil
terdengar derap langkah orang berjalan cepat ke arah kuil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat ketiga orang itu melayang ke atas tiang penglari di ruang belakang. Dari tempat itu mereka dapat
melihat ke dalam ruang besar.
Sesaat kemudian muncullah seorang kakek bungkuk diiring oleh tigabelas orang lelaki berpakaian dan
berkerudung muka kain hitam. Kemudian yang terakhir yalah Li Giok-hou. Menilik keadaannya mereka
seperti habis bertempur. Begitu masuk kakek bungkuk dan Giok-hou kedengaran menghela napas longgar
dan terus duduk di lantai.
Kemudian kedengaran si kakek bungkuk mengangkat muka, menghela napas dan berkata: “Aku Long Wi,
telah mendapat penghargaan besar dari Kiong-cu (kepala istana) dan diangkat sebagai kepala paseban
Lian-gak-tian dari istana Ban-jin-kiong. Tetapi sungguh tak terduga begitu datang di Lok-yang aku telah
menderita kekalahan begini memalukan. Bagaimana aku mempunyai muka untuk menghadap Kiong-cu
lagi?”
Giok-hou tertawa meloroh: “Kalah menang itu sudah jamak dalam pertempuran. Mengapa Long Tian-cu
berkecil hati?”
“Selama Im-kian-li itu belum terbasmi, kita tentu selalu mengalami gangguan di kota Lok-yang,” sahut Long
Wi.
“Long Tian-cu, bilakah ayah mengatakan akan datang kemari?” tanya Giok-hou.
Sejenak Long Wi memandang ke luar kuil, katanya: “Kiong-cu pesan kepadaku, sebelum fajar akan tiba
kemari. Rupanya saat ini sudah hampir tiba waktunya. Mari kita bersiap-siap menyambut kedatangan
beliau.”
Ia terus berdiri dan memberi perintah kepada rombongan orang berkerudung muka supaya berkemaskemas
menyambut kedatangan Kiong-cu atau kepala istana Ban-jin-kiong.
Ketigabelas orang berkerudung itupun segera tegak berjajar di kedua samping pintu.
Lo-seng kerutkan dahi lalu gunakan ilmu Menyusup suara berkata kepada Hun-ing, “Ui Pangcu, ketua Banjin-
kiong segera datang. Harap perhatikan saja siapakah dia itu. Giok-hou memanggilnya ayah, entah
bagaimana hubungannya.”
Tepat pada saat Lo-seng berkata, tiba-tiba si orang tua bungkuk berseru: “Kiong-cu datang!”
07.35. Penguasa Istana Ban-jin-kiong
Dari jauh terdengar bunyi tambur dan seruling memecah kesunyian malam.
“Ah, suara itu masih berada beberapa lie jauhnya,” pikir Hun-ing.
Tiba-tiba bunyi-bunyian itu berhenti.
Giok-hou dan si Bungkuk serempak berlutut di depan pintu dan berseru: “Giok-hou dan Long Wi menyambut
dengan hormat!”
Sesaat kemudian muncullah seorang lelaki bertubuh tinggi besar ke dalam ruang kuil. Dia mengenakan
pakaian seorang imam warna hitam, memakai kopiah dan dadanya mengenakan sebuah benda bundar
yang berkilat-kilat memancar warna emas.
Tetapi bagaimana wajahnya tak dapat diketahui karena diapun mengenakan kain kerudung warna hitam.
Diam-diam Lo-seng, Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Mereka sangsi apakah kepala istana Ban-jinkiong
itu seorang manusia biasa. Karena waktu datang, sama sekali tak terdengar langkah kakinya. Dan
dalam sekejap mata saja dia sudah tiba dari tempat beberapa lie.
Kebutkan lengan jubahnya, kepala istana Ban-jing-kiong berkata: “Hou-ji, Long Tian-cu, bangunlah.”
Kakek bungkuk dan Giok-hou pun segera bangun. Dan serentak Giok-hou terus berseru: “Ayah......”
“Ya, kutahu,” tukas kepala istana Ban-jin-kiong itu sambil lambaikan tangan.
“Hm, dia memang sudah tahu apakah hanya berlagak tahu apa yang hendak dikatakan Li Giok-hou,” diamdiam
Hun-ing menimang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Barisan Sip-hun-jin kita memang belum sempurna sekali,” kata kepala Ban-jin-kiong pula,” nanti Long Tiancu
boleh membawa pulang mereka ke istana.”
“Anak hendak memberitahu bahwa musuh dari Ban-jin-kiong itu, selain orang Lembah Kumandang, pun
masih......:”
“Bukankah engkau hendak mengatakan Siau Lo-seng?” tukas kepala Ban-jin-kiong.
“Benar,” sahut Giok-hou, “dia memiliki ilmu kepandaian sakti yang aneh. Anak merasa dialah musuh yang
sesungguhnya dari Ban-jin-kiong. Apakah ayah dapat memberi kekuasaan kepadaku untuk
membunuhnya?”
Kepala istana Ba-jin-kiong merenung sejenak lalu berkata: “Memang ayah tahu bahwa kalau Siau Lo-seng
itu tak dibasmi, kelak tentu akan lebih berbahaya dari Im-kian-li. Maka telah kuperintahkan kepada Te Gak
Kui-ong untuk menangkap orang itu dan membawa ke Ban-jin-kiong.
Te Gak Kui-ong artinya Raja iblis dari Neraka.
Baik Lo-seng maupun Hun-ing dan Pek Wan Taysu kerutkan kening. Siapakah kepala istana Ban-jin-kiong
itu? Menilik bicaranya, agaknya ia tahu semua gerak gerik dalam dunia persilatan.
“Ayah, lalu tugas apakah yang ayah berikan kepadaku di Lok-yang?” tanya Giok-hou.
Tiba-tiba kepala istana Ban-jin-kiong itu mendengus, serunya: “Giok-hou, selesaikan dulu dua orang yang
bersembunyi di atas tiang penglari ruangan ini. Ayah segera akan memberimu petunjuk cara memberi
perintah kepada Te Gak Kui-ong itu. Setelah itu ringkus dan bawalah Siau Lo-seng ke istana Ban-jin- kiong.”
Mendengar perintah itu bukan saja Lo-seng bertiga terkejut, pun si kakek bungkuk dan Giok-hou sendiripun
terperanjat juga. Ternyata mereka tak tahu bahwa di atas tiang penglari ruang itu terdapat orang yang
bersembunyi.
Tahu kalau dirinya sudah diketahui maka Lo-seng memutuskan untuk unjuk diri. Serentak iapun berseru:
“Hm, bukan dua orang tetapi tiga......”
Belum habis ia mengucap, tiba-tiba terdengar bunyi tambur menggema. Lo-seng terkejut dan cepat berseru:
“Ui Pangcu, lekas menghindar…...”
Dari ambang pintu meluncur selarik sinar emas yang mirip dengan panah berapi. Secepat kilat benda
bersinar emas itupun meluncur ke arah tiang penglari.
Mendengar seruan Lo-seng, Pek Wan Taysu dan Hun-ing pun cepat melentangkan tubuh dan meluncur
turun.
Benda bersinar emas itupun meluncur turun lagi keluar ruang dan tepat disanggapi oleh tangan kepala Banjin-
kiong. Suara tambur pun sirap seketika.
Setelah menenangkan hati, Lo-seng memandang pemuda dan baru mengetahui bahwa benda bersinar
emas tadi bukan lain yalah benda bulat yang melekat di dada kepala istana Ban-jin-kiong.
Dengan mata berkilat kilat memancar sinar kejut, kepala istana Ban-jin-kiong itu memandang Lo-seng
bertiga.
“Di bawah kolong langit, baru yang pertama ini orang dapat lolos dari sambaran Kupu-kupu terbang ke
langit,” serunya pelahan.
Hun-ing terkesiap. Kiranya benda bersinar emas yang menyambar ke atas penglari tadi bukan lain emas
bundar yang menghias pada dada kepala istana Ban-jin-kiong itu. Menurut kata pemiliknya, benda itu
sebuah senjata rahasia maut yang disebut Ki-im-suan-thian-hui-tiap atau Kupu-kupu berbunyi aneh di langit.
Pun Lo-seng juga terkejut mendengar ucapan kepala istana Ban-jin-kiong itu.
“Ho, kiranya kalian bertigalah,” seru Giok-hou demi mengetahui siapa ketiga orang itu, “kalian mampu lolos
dari Im-kian-li tetapi jangan harap dapat lolos dari ruangan ini.”
Walaupun menyadari bahwa yang di hadapannya itu kepala istana Ban-jin-kiong yang sakti dan mungkin
dirinya tak dapat melawan, namun Hun-ing tak mau unjuk kelemahan, ia tertawa dingin.
“Huh, siapa yang dapat membatasi kebebasanku. Mau pergi, aku pergi dengan bebas. Kalau tak percaya,
lihat saja,” serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala istana Ban-jin-kiong memasang pula senjata rahasia Kupu-kupu Emas itu di dadanya lalu berseru
dengan tenang,
“Kalau tak salah engkau tentulah Mo-seng-li Ui Hun-ing, murid yang telah menghianati Jin Kian Pah-cu itu,
bukan?”
Nada suaranya masih tetap ramah, sedikitpun tak mengunjuk kemarahan. Tetapi Hun-ing cukup tahu siapa
kepala istana Ban-jin-kiong itu. Dia seorang momok yang ganas bukan buatan.
Diam-diam Lo-seng mengeluh dalam hati. Ia merasa dengan kekuatan tiga orang tak mungkin dapat
menghadapi rombongan orang-orang istana Ban-jin-kiong.
“Omitohud,” tiba-tiba Pek Wan Taysu berseru, “sepanjang pengetahuan Lo-ni, di dunia persilatan ini tiada
terdapat seorang tokoh seperti anda. Siapakah sesungguhnya anda ini?”
“Pek Wan Taysu,” seru kepala istana Ban-jin-kiong, “hari ini jangan harap kalian bertiga masih dapat melihat
matahari esok pagi. Perlu apa engkau tanyakan siapa diriku?”
Lo-seng tertawa dingin.
“Aku merasa kagum karena engkau dapat mendirikan suatu perkumpulan rahasia yang besar pengaruh
seperti Ban-jin-kiong. Tetapi hanya dengan beberapa patah kata engkau suruh kami bertiga menyerah,
benar-benar suatu lelucon yang tak lucu!” serunya.
Dengan kata itu jelas Lo-seng telah bertekad untuk menghadapi ketua Ban-jin-kiong dengan kekerasan.
Pemuda itu telah merenungkan dengan seksama. Walaupun ia menyadari bahwa kemungkinan
kepandaiannya sukar untuk mengalahkan kepala istana Ban-jin-kiong itu tetapi ia mendapat kesan. Bahwa
tadi kepala Ban-jin-kiong itu lambat untuk mengetahui ia bersembunyi di atas tiang penglari, ia percaya
kesaktian kepala Ban-jin-kiong itu tidaklah berlipat ganda dari dirinya.
“Hm, jika kutelan semua sisa pil beracun yang kusimpan itu, tentulah dalam waktu singkat tenagaku akan
bertambah lipat beberapa kali. Mungkin aku dapat menghadapinya,” demikian perhitungan Lo-seng.
“Siau Lo-seng, apakah engkau yakin hari ini engkau mampu lolos dari sini?” seru ketua Ban-jin-kiong.
“Mungkin dapat,” sahut Lo-seng.
Sikap dan nada Lo-seng yang begitu tenang dan penuh kepercayaan, terpaksa membuat ketua Ban-jinkiong
meragu dalam hati.
“Hm, adakah kepandaian budak itu lebih hebat dari yang kusangka?” katanya dalam hati.
“Giok-hou, cobalah engkau main-main dengan ia barang beberapa jurus,” serunya kepada Giok-hou.
Beberapa kali menderita kekalahan, memang Giok-hou benci sekali kepada Lo-seng. Mendapat perintah
dari ketua Ban-jin-kiong, cepat ia menghunus pedang dan loncat maju.
Giok-hou menerjang dengan penuh semangat. Pikirnya, apabila ia kalah, ketua istana Ban-jin-kiong tentu
akan membantunya untuk membunuh Lo-seng. Dengan demikian jadilah dia tokoh muda yang paling sakti
dalam dunia persilatan dewasa itu.
Hun-ing cepat maju ke muka Lo-seng: “Siau toako, engkau adalah pemimpin kami. Berikan orang itu aku
yang menghadapi!”
Lo-seng cepat menyelinap ke sisi si nona. “Ui Pangcu, jelas kepandaianku memang kalah dengan ketua
Ban-jin-kiong itu. Tetapi saat ini keadaan sudah begini gawat. Tiada lain pilihan lagi kecuali aku harus
menelan habis pil beracun untuk mengembangkan daya tenagaku. Agar racun itu cepat dapat bekerja,
perlulah darahku harus bergolak keras. Maka lebih baik aku saja yang menghadapi pemuda itu agar
darahku lekas panas......” katanya kepada Hun-ing dengan menggunakan ilmu Menyusup suara.
Tujuan Giok-hou yalah hendak bertempur dengan Lo-seng. Melihat Lo-seng berdiri di samping si nona
dengan bibir bergetaran tetapi tak terdengar bicara, tahulah Giok-hou bahwa pemuda itu sedang
menggunakan ilmu menyusup suara untuk memberi petunjuk kepada Hun-ing bagaimana cara untuk
mengalahkan dirinya.
“Siau Lo-seng,” Gok-hou segera tertawa mengejek, “walaupun sudah beberapa kali bertempur tetapi selalu
belum ada kesudahannya. Maka kali ini marilah kira bertempur sampai ada salah seorang yang mati.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Giok-hou menutup tantangannya dengan tusukkan ujung pedang kepada Lo-seng.
Tiba-tiba Lo-seng mengangkat tangan menampar pedang lawan. Giok-hou terkejut. Tamparan Lo-seng itu
telah menimbulkan gelombang tenaga dahsyat yang melanda pedangnya. Buru-buru ia menarik pulang
pedangnya.
Maju dua langkah ke muka, berserulah Lo-seng dengan dingin: “Hem, kepandaianmu semacam itu, masih
belum layak menjadi lawanku. Kalau tak percaya, silahkan coba!”
Hun-ing terkejut mendengar ucapan Lo-seng itu. Seketika hatinyapun seperti disayat sembilu. Ia tahu
bahwa pemuda yang dicintainya itu telah nekad menelan habis pil beracun.
Walaupun dia akan bertambah besar tenaganya tetapi hal itu berarti suatu penyelesaian bagi jiwanya.......
Kebalikannya, Giok-hou marah sekali mendengar ejekan lawan. Segera ia taburkan pedang melancarkan
dua buah serangan.
Sambil beringsut menghindar ke samping, Lo-seng maju dua langkah pula dan ayunkan tangan kirinya:
“Hati-hatilah, aku akan balas menyerang!”
Diejek begitu rupa, berkobarlah amarah Giok-hou. Ia loncat mundur untuk menghindari pukulan lalu loncat
menyerang dari samping. Gerak penghindaran dan penyerangan itu dilakukan dengan luar biasa cepatnya.
Namun Lo-seng tetap menghalaunya dengan sebuah tamparan.
Tampaknya hanya menampar tetapi ternyata pedang Giok-hou hampir terlepas dari tangan. Kejut Giok-hou
bukan alang kepalang.
“He, walaupun ilmu serangan pedangmu itu hebat sekali, tetapi jangan mimpi dapat melukai aku,” Lo-seng
tertawa mengejek.
Di hadapan ayahnya, menerima hinaan yang begitu memalukan, Gok-hou benar-benar seperti hendak
meledak dadanya. Tiga buah serangan dahsyat segera ia lancarkan berturut-turut. Jurus penyerangan
itupun amat maut dan ganas sekali.
Memang Lo-seng sengaja hendak membakar kemarahan lawan, tetapi begitu Giok-hou melancarkan tiga
buah serangan yang istimewa, diam-diam Lo-seng terkejut juga. Ia tak berani berlaku ayal lagi. Dengan
gunakan gerakan yang aneh, ia berusaha untuk meloloskan diri dari kepungan pedang maut.
Kini Giok-hou lah yang balas mengejek:
“He, mengapa engkau tak balas menyerang lagi?”
Tiba-tiba ia menusuk dada lawan. Tampaknya suatu gerak yang bersahaja tetapi sesungguhnya
mengandung tiga jurus perobahan. Ataukah Lo-seng hendak menangkis ataukah hendak menghindar tentu
tak mungkin lagi. Tiga jurus dalam sebuah gerak itu memang merupakan kepungan yang ketat sekali.
Memang benar, baru saja tubuh Lo-seng beringsut, ujung pedang Giok-hou pun sudah menusuk dua kali.
Tetapi ketika dua buah tusukan itu melancar Lo-seng pun bagaikan seekor ikan, sudah menyelinap ke
belakang lawan.
“Sret.......” dengan gerak cepat yang tak terduga-duga tiba-tiba Giok-hou balikkan tangannya ke belakang.
Lengan tangan kiri Lo-seng telah terbabat dan pedang yang dingin itu sudah melekat di kulit orang. Untung
tak sampai melukai.
Serangan itu benar-benar membuat Lo-seng terkejut. Ia menyurut mundur lima langkah dan cepat
mengambil botol pil dari dalam baju dan menelan tujuh belas butir sekali gus.
Melihat itu bercucuranlah airmata Hun-ing dan Pek Wan Taysu. Sebuah botol pil telah habis, kini pemuda itu
hanya mempunyai tiga botol lagi. Isinya lebih kurang tujuh puluh butir pil,
“Lihat pedangku!” dengan tertawa gembira
Giok-hou menyerang lagi. Kali ini dengan jurus Bunga heng dilanda hujan. Begitu bertebar, pedangpun
segera mengembangkan beribu sinar pedang yang mencurah deras.
Tampak sepasang mata Lo-seng berkilat-kilat tajam dan sesaat kemudian iapun melontarkan sebuah
hantaman. Angin menderu mengantar gelombang tenaga yang dahsyat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tergetarlah hati Giok-hou. Cepat ia merobah gerakan pedang dalam bentuk mirip dengan bianglala
melingkar untuk melindungi dirinya.
Tetapi serempak dengan menghantam tadi Lo-seng pun segera melangkah maju dan melancarkan
serangan sampai tujuh-delapan jurus.
Berulang kali pukulan dan pedang saling berbentur dan akibatnya beberapa kali pedang Giok-hou tentu
tertampar mundur. Giok-hou rasakan pedangnya tersambar oleh gelombang tenaga dalam yang dahsyat
sehingga tangannya pun ikut kesemutan.
Tetapi Giok-hou bukanlah seorang jago lemah. Dia tetap pertahankan pedangnya dan bahkan
memainkannya lebih gencar untuk melindungi dirinya.
Saat itu Lo-seng seperti orang kalap. Dia menyerang dengan hebat dan cepat. Setiap pukulan dan
tendangan tentu dilambari dengan tenaga dalam yang dahsyat.
Hun-ing dan Pek Wan Taysu tahu bahwa pemuda itu sedang mengerahkan seluruh tenaganya agar racun
lekas bekerja untuk mengembangkan kekuatannya.
Dalam beberapa kejap saja, Lo-seng sudah melancarkan duapuluh tujuh pukulan. tigapuluh enam tamparan
dan tujuhpuluh tendangan.
Tiba-tiba terdengar Giok-hou mendesuh pelahan. Sinar pedang yang melindungi tubuhnya pun tiba-tiba
menyurut dan serentak menjadi satu lalu bergerak dalam jurus Naga sakti keluar dari awan, ujung pedang
segera menusuk lawan.
Jurus itu memang hebat sekali. Luncuran batang pedang menimbulkan angin yang deras sekali. Dan
gerakannyapun sukar diduga, seperti hendak menusuk pun seperti hendak menabas.
Saat itu wajah Lo-seng mulai menampilkan hawa pembunuhan. Dengan menggembor keras, ia julur
surutkan tangan kanan macam gerak ular memagut. Dan begitu merapat pada batang pedang, secepat kilat
ia mencengkeram siku lengan Giok-hou.
Jurus yang luar biasa itu membuat Giok-hou serasa terbang semangatnya. Ia hendak merobah gerak
pedangnya tetapi terlambat. Siku lengannya sudah dicengkeram oleh Lo-seng.
Dalam keadaan seperti itu apa boleh buat Giok-hou terpaksa lepaskan pedangnya dan cepat-cepat
menggelincir mundur.
Setelah berhasil merebut pedang, Lo-seng loncat menerjang, melingkar-lingkar dan menyerang sampai
enam kali.
Seketika tampaklah suatu pemandangan yang mempesonakan. Bagaikan bunga api berhamburan di udara,
sinar pedang bertaburan mengimbangi gerak tubuhnya yang luar biasa anehnya.
Giok-hou terkejut dan berulang-ulang harus menyurut mundur. Pada saat Lo-seng melancarkan serangan
yang ketujuh, Giok-hou pun menyadari bahwa ia takkan mampu melawan lagi. Maka secepat kilat iapun
terus meluncur lari keluar kuil.
Lo-seng tertawa dingin: “Hem, engkau telah membunuh gurumu sendiri, Nyo Jong-ho. Biarlah dendam
darah itu kuserahkan pada nona Cu-ing untuk membalasnya sendiri. Sekarang aku hanya akan membabat
kutung sebuah lenganmu dulu!”
Dalam pada berkata-kata itu, bayangan Lo-seng pun sudah mengejar dan terus menabas.
“Aduh……”
Terdengar Giok-hou menjerit ngeri dan lengan kirinyapun segera terkutung jatuh ke tanah.
Giok-hou terhuyung-huyung jatuh sampai tiga langkah. Pakaiannya bersimbah darah. Ia mengangkat muka
memandang kepala istana Ban-jin-kiong dan berteriak: “Ayah....... lenganku kutung!”
Kepala istana Ban-jin-kiong memapah Giok-hou bangun lalu menutuk jalan darah pada bahu kirinya agar
darah berhenti mengalir.
Setelah itu berkatalah orang aneh itu dengan tenang: “Giok-hou, jangan engkau bersedih karena kehilangan
sebuah lengan. Ayah masih dapat memberimu ilmu kepandaian yang lebih sakti……”
Habis berkata ia menutuk lagi jalan darah supaya anak muda itu pingsan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Baik Lo-seng maupun Pek Wan Taysu atau Hun-ing sama kerutkan dahi. Masakan seorang ayah yang
melihat anaknya kehilangan sebuah lengan, masih bersikap sedemikian tenang dan sedikitpun tak marah
atau bersedih.
“Long Tian-cu, rawatlah Giok-hou,” sesaat terdengar kepala istana Ban-jin-kiong itu berkata kepada orang
tua bungkuk atau Long Wi.
Long Wi cepat-cepat menghampiri ke tempat Giok-hou. Sekonyong-konyong kepala istana Ban-jin-kiong
menutuk bahu kiri si bungkuk
“Uh……” si bungkuk mengerang dan terhuyung-huyung. Lengan kirinya menjulai tak bertenaga lagi.
“Long Tian-cu,” kata kepala istana Ban-jin-kiong dengan tenang. “tahukah apa sebabnya kulumpuhkan
sebelah lenganmu?”
Dengan sikap menghormat, si bungkuk menjawab: “Long Wi merasa bersalah karena tak dapat menjaga
Sau-kiongcu sehingga sampai kehilangan sebelah lengannya. Dosa ini harus dihukum berat. Atas
kemurahan Kiong-cu hanya melumpuhkan sebelah lenganku. Long Wi menghaturkan banyak terima kasih.”
Adegan itu menyebabkan Lo-seng bertiga terlongong heran.
Dalam dunia persilatan, kepandaian yang dimiliki Long Wi itu sudah dapat digolongkan sebagai seorang
ketua partai persilatan. Tetapi ternyata dia begitu takut dan patuh kepada kepala Ban-jin-kiong.
Tetapi dari tindakan kepala Ban-jin-kiong terhadap Long Wi itu, dapatlah Lo-seng menduga bahwa kepala
Ban-jin-kiong itu sesungguhnya marah sekali atas malapetaka yang diderita puteranya.
Dan Lo-seng pun menyadari bahwa dalam seberapa jenak lagi, kepala istana Ban-jin-kiong itu tentu akan
menuntut balas kepadanya. Diam-diam Lo-seng pun bersiap-siap,
“Tetapi walaupun engkau kehilangan sebelah lengan, akupun takkan mengecewakan engkau,” kata kepala
Ban-jin-kiong pula, “sekarang bawalah Sau-kiongcu dan rombongan Sip-hun-jin pulang ke Ban-jin-kiong
dulu.”
“Long Wi akan melakukan perintah,” seru orang bungkuk itu dengan hormat lalu memanggul tubuh Giok-hou
dan setelah bersuit aneh ia terus meluncur pergi.
Saat itu malam hampir pudar. Suasana di dalam dan di luar kuil sunyi senyap seperti kuburan. Tetapi dalam
kesunyian itu, ketegangan dan hawa pembunuhan berhamburan memenuhi ruang kuil. Bayang-bayang
melaekat Maut sudah melalu lalang untuk menyambut nyawa setiap korban yang terbunuh.
Tiba-tiba kepala istana Ban-jin-kiong berseru pelahan kepada Lo-seng.
“Siau Lo-seng, mengapa engkau tak lekas berlutut minta ampun kepadaku?”
Lo-seng tertawa gelak-gelak........
08.36. Misteri Hilangnya Mayat Siau Lo-seng
Orang berkerudung itu membiarkan Siau Lo-seng bermanja tawa. Sesaat kemudian baru ia berseru.
“Apa yang engkau tertawakan? Dalam beberapa bulan kemudian, akan kujadikan engkau seorang manusia
yang selalu bersedih.”
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah loncatan ke muka Lo-seng dan secepat kilat tangan kirinya sudah
melepaskan tiga buah pukulan.
Lo-seng hentikan tawa dan cepat menghindari serangan itu lalu balas mengirim sebuah tusukan.
Tetapi dengan sebuah gerak yang luar biasa anehnya orang itu membalikkan siku lengan dan menyiak
pedang ke samping lalu tutukkan ujung jarinya ke dada si pemuda.
Lo-seng terkejut sekali. Cepat ia menekuk kedua lutut mengendapkan tubuh ke bawah seraya menyurut
mundur bebetapa langkah.
Kali ini, orang berkerudung itulah yang terperanjat. Tetapi pada lain kejap, sepasang matanya bahkan lebih
berapi-api memancarkan nafsu pembunuhan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba orang itu memutar tubuhnya, sederas angin puyuh dan tahu-tahu menghampiri ke tempat Lo-seng.
Mendengar kata-kata orang itu tahulah Lo-seng bahwa ia hendak ditangkap hidup-hidupan untuk dijadikan
mumi (mayat hidup) dalam istana Ban-jin-kiong. Ia menyadari betapa akibatnya apabila hal itu sampai
terjadi.
Ketika orang itu hampir tiba dihadapannya Lo-seng segera menusuknya. Tetapi orang itu tak mau
menangkis ataupun menghindar. Sesaat ujung pedang sudah hampir mengenai dadanya, tiba-tiba ia
tamparkan tangan kanannya,
“Uh......” terdengar suara mulut mendesuh tertahan. Pedang Lo-seng terlempar keluar dari ruangan
bersama dengan orangnya.
“Bum......”
Hun-ing dan Pek Wan Taysu berteriak kaget dan cepat-cepat memburu keluar. Tetapi gerak orang
berkerudung itu jauh lebih gesit. Ia sudah mendahului ayunkan tubuh kehadapan Lo-seng.
Selekas jatuh di tanah. Lo-seng cepat bergeliatan bangun dan berseru nyaring: “Ui Pang-cu, paman Pek
Wan, lekas kalian menyingkir!”
Dalam pada berseru itu, Lo-seng pun sudah menerjang kepada orang berkerudung. Gerakannya mirip
dengan seekor harimau terluka.
Orang berkerudung pun tak mau banyak bicara, Lo-seng kalap, iapun segera menyambutnya dengan
sebuah pukulan.
Tampaknya pukulan orang berkerudung itu lemah gemulai tiada bertenaga. Tetapi entah bagaimana tibatiba
Lo-seng rasakan kaki kanannya lunglai dan “bluk…...” jatuhlah ia ke tanah macam pohon ditabas.
Kiranya pukulan orang berkerudung tadi, tepat meremukkan isi rongga dada Lo-seng, sehingga dia
menderita luka-dalam yang amat parah.
Lo-seng tahu akan hal itu tetapi ia nekad hendak berjuang sampai napas yang terakhir. Ia tak mau
ditangkap hidup-hidupan untuk dijadikan mayat hidup. Maka dengan kerahkan seluruh sisa tenaganya, ia
meraung dan menerjang lawan. Ia sudah bertekad hendak mati bersama-sama.
Tetapi orang berkerudung itu tahu akan maksud Lo-seng. Ia tak mau melayani tindakan lawan dan
melainkan gunakan ilmu menutuk dari jauh, merubuhkan kaki orang.
Saat itu kecuali hanya sebelah kaki kirinya dapat dikata Lo-seng sudah tak dapat berkutik lagi, Namun
melihat Hun-ing dan Pek Wan Taysu tetap tak mau pergi, ia memekik sekuat-kuatnya: “Lekas kalian pergi
jangan sampai mati semua di tempat ini.”
Kemauan hati memang merupakan suatu tenaga gaib pada manusia. Walaupun dalam keadaan tertutuk,
namun karena sedemikian keras kemauan hati Lo-seng untuk menyelamatkan Hun-ing dan Pek Wan
Taysu, maka dengan kerahkan seluruh tenaga ia enjot tubuhya melintas ke sisi orang berkerudung. Dengan
jurus Tui-ciok-tiam-hay atau Mendorong batu menimbun laut, dia hantam orang itu sekuat-kuatnya.
Lo-seng sebenarnya sudah menyadari bahwa apabila mau, lawan dengan mudah saat itu dapat
menghantamnya mati. Tetapi ia tak takut dan memang sudah mengambil keputusan untuk mati. Ia
mengharap agar lawan marah karena serangan itu lalu menurunkan Tangan Ganas untuk membunuhnya.
Tetapi rupanya orang aneh itu tak menghiraukan serangan Lo-seng. Bahkan ketika angin pukulan anak
muda itu melandanya, iapun seolah membiarkan tubuhnya ikut dilayangkan ke udara.
Karena tubuh orang melayang ke atas udara pukulan Lo-seng pun mengenai angin kosong. Dan karena ia
terlalu bernafsu sekali menghantam maka tubuhnyapun ikut menjorok ke muka. Karena kaki kanannya telah
tertutuk jalan darahnya sehingga kaku, sudah tentu ia tak mampu menguasai keseimbangan tubuhnya lagi.
“Uh......” mulut mendesis dan orangnyapun seperti sebuah peluru roket yang akan membentur batu titian.
“Uh…….” kembali mulut pemuda itu mendesis tertahan ketika ia rasakan tubuhnya seperti tersedot oleh
suatu tenaga yang lunak.
Tindakan mencegah Lo-seng terbentur titian itu memang dilakukan oleh orang berkerudung, Tetapi karena
ia sedang menyalurkan tenaga untuk menjaga keseimbangan tubuhnya di udara maka tamparannya berisi
dunia-kangouw.blogspot.com
tenaga dalam penyedot itu pun kurang keras. Walaupun dapat mengurangkan kecepatan tubuh Lo-seng
meluncur ke muka, namun tetap kepala pemuda itu membentur batu titian juga.
“Darrrr…... seketika pingsanlah Lo-seng tak sadarkan diri lagi.
“Engkoh Siau......” Hun-ing menjerit kaget. Cepat ia menerjang dan menghantam punggung orang
berkerudung itu.
Seperti punggungnya mempunyai mata, orang berkerudung itu tenang-tenang membalikkan tangan kanan
untuk menyongsong serangan si nona.
“Celaka,” Pek Wan Taysu mengeluh. Ia tahu bahwa kepandaian nona itu bukan tandingan orang
berkerudung.
Tetapi ternyata suatu peristiwa aneh yang tak terduga-duga telah terjadi. Terdengarlah letupan keras ketika
kedua tenaga pukulan mereka saling beradu. Hun-ing terkulai duduk di tanah tetapi orang berkerudung
itupun tersurut mundur selangkah……
“Hm, orang sakti siapakah yang bersembunyi dalam ruang ini?” seru orang berkerudung sesaat kemudian.
Sebagai penyahutan sesosok tubuh orang tua berjenggot panjang muncul dari ruangan yang gelap itu.
Wajah orang tua itu dingin dan hambar
Melihat kehadiran orang tua berwajah dingin itu seketika Pek Wan Taysu berseru kejut: “Hai, Leng-bin-sinkun
Leng Tiong-siang......”
Memang kakek jenggot panjang dan berwajah dingin itu bukan lain yalah Leng-bin-sin-kun atau Kakek
berwajah dingin Leng Tiong-siang yang pernah bertemu muka dengan Pek Wan Taysu dan Lo-seng di
sebelah luar hutan.
Tampak wajah orang berkerudung itu mengerut kejut, lalu berseru dengan pelahan: “Leng Tiong-siang,
ternyata engkau sudah berada di Lok-yang.”
Namun dengan tenang dan sedingin es, Leng Tiong-siang mendengus: “Ah, tak perlu berlaku sungkan.
Bukankah engkau sendiri juga sudah berada di Lok-yang?”
Kata-kata itu diucapkan pelahan, tandas dan bergema panjang.
Orang berkerudung menengadahkan kepala, merenung dan berseru: “Larangan selama delapanbelas
tahun, hari ini sudah habis. Mengapa aku tak boleh keluar ke dunia persilatan.”
Kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang menyahut tawar: “Masih kurang seperempat jam lagi maka
matahari yang terbit dari sebelah timur selama delapanbelas tahun itu akan lenyap. Tetapi soal perjanjian itu
sampai saat ini masih ada. Engkau dan aku sama-sama telah melanggar fatsal kesatu dari perjanjian itu.
Maka janganlah sampai melanggar fatsal yang kedua lagi. Dihadapan kita berempat yang telah bersepakat
membuat perjanjian itu, telah dikatakan bahwa siapapun di antara kita berempat tak boleh membunuh orang
di hadapan seorang dari kita berempat ini.”
“Uh, ingatanmu sunggah tajam sekali. Baiklah, kalau begitu aku akan pergi saja,” kata orang berkerudung.
Habis berkata orang itu terus berputar tubuh. Dia berayun, lenyaplah dia dalam keremangan cuaca
menjelang fajar.
Singkat percakapan yang diadakan orang berkerudung dengan Kakek berwajah dingin. Tetapi jelas di situ
mengandung suatu peristiwa budi dan dendam dalam dunia persilatan. Sudah tentu orang luar, tak mengerti
apa yang mereka bicarakan.
Setelah orang berkerudung pergi, tanpa memandang barang sekejap pun kepada Lo-seng, Pek Wan Taysu
maupun Hun-ing, kakek jenggot panjang itu terus menuruni titian.
Peristiwa itu memang tak pernah diduga-duga. Tetapi secara tak sengaja Kakek berwajah dingin Leng
Tiong-siang telah menyelamatkan jiwa Hun-ing. Dan secara tak disadari pula, apa yang terjadi pada saat itu
telah menyelamatkan pula dunia persilatan dari malapetaka, di kelak kernudian hari.
Hun-ing tak mengacuhkan mereka. Cepat ia lari menghampiri ke tempat Lo-seng, serunya: “Siau toako,
Siau toako.......”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pelahan-lahan Lo-seng membuka mata dan berseru dengan gemetar: Ui…… Ui Pang-cu…… lekas
minumkan semua pil ke mulutku. Setelah menelan semua pil itu dalam duabelas jam aku tak terjaga, berarti
aku sudah mati…… tetapi kalau dalam duabelas jam itu aku tersadar, kuminta engkau melakukan apa yang
kupesan tadi. Nasib dunia persilatan hanya tergantung pada diriku. Apakah aku akan menjadi mayat hidup
atau tidak……. Lekas minumkan pil itu…… napasku sudah makin habis…… aku segera mati……”
“Siau toako…….” Hun-ing menjerit seraya cepat mengambil simpanan pil dari dalam baju Lo-seng. Seluruh
pil, diminumkan ke mulut Lo-seng.
Lo-seng pun pingsan. Melihat itu Hun-ing lalu mengangkat tubuh pemuda itu dan berbangkit: “Pek Wan
locianpwe, dimana kita akan melindunginya?”
“Di ruang belakang dari kuil tua ini sajalah,” seru Pek Wan Taysu.
Hun-ing meletakkan tubuh Lo-seng di ruang belakang dari kuil tua itu. Ia menjaga dengan tekun.
Cepat sekali sehari telah lalu dan saat itu, malam pun tiba kembali. Sudah berlangsung duabelas jam, tetapi
Lo-seng yang rebah di pangkuan Hun-ing masih tetap belum sadar. Bahkan dadanya pun tak kelihatan
bergerak, tubuhnya dingin dan kaku seperti orang mati.
Sayup-sayup seperti terngiang pesan Lo-seng tadi…… “jika dalam waktu duabelas jam aku tak sadar,
berarti aku tentu sudah mati……”
Terkenang akan hal itu berderai-derailah airmata Hun-ing membanjir dari kelopak matanya. Ah, pemuda
yang dikasihinya itu telah pergi jauh ke alam baka.
“Tidak, tidak,” Hun-ing meratap dalam hati, “Siau toako takkan mati, takkan mati.”
Nona itu mempunyai keyakinan bahwa Lo-seng tak mungkin mati. Maka ia membiarkan saja tubuh Lo-seng
berada di pangkuannya. Ia telah bertekad bulat untuk menjaganya sampai tujuh hari tujuh malam.
Haripun berlalu dengan cepat. Hari kedua…… ketiga…… keempat…… keenam……
Pada malam yang keenam, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang mengejutkan sekali. Memang setiap
malam, Hun-ing selalu bermimpi buruk. Demikian juga pada malam yang keenam itu sehingga ia terjaga.
Seperti yang telah dilakukan, setiap saat ia membuka mata ataupun terjaga dari tidur, pertama-tama
pandang matanya tentu menumpah ke arah tubuh Lo-seng yang terbaring di ruang belakang kuil tua itu.
Demikian pada malam itu. Selekas ia terjaga dari mimpinya yang buruk, ia segera berpaling dan
memandang ke tempat Lo-seng. Tetapi……
“Hai……” serentak Hun-ing menjerit dan melenting bangun, “kemana Siau toako? Apakah dia sudah bangun
atau……”
Pek Wan Taysu juga terkejut. Cepat keduanya mencari ke ruang belakang, bahkan ke segenap sudut dari
kuil tua itu. Tetapi sia-sia.
Lo-seng hilang lenyap. Pemuda yang setelah minum pil beracun dan pingsan beberapa hari, secara
misterius telah hilang di bawah penjagaan Ui Hun-ing, nona yang menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau
dan Pek Wan Taysu, seorang paderi sakti dari Siau-lim-si.
Benar-benar sukar untuk dipercaya tetapi memang suatu kenyataan bahwa tubuh Lo-seng telah hilang dari
ruang belakang kuil tua itu.
Siapakah yang mencuri tubuh Lo-seng? Apakah pemuda itu telah sadarkan diri lalu secara diam-diam
pergi?
Apabila benar dicuri orang, untuk apakah sesosok mayat itu? Ah, jika dicuri, pencurinya kemungkinan besar
tentulah pihak istana Ban-jin-kiong. Gerombolan itu tentu hendak menjadikan mayat Lo-seng menjadi
seorang mayat hidup dan nantinya akan dijadikan barisan Mayat Hidup yang ganas.
Bila tidak dicuri orang, kemungkinan tentulah Lo-seng telah sadarkan diri lalu ngacir pergi. Mungkin karena
menyadari dirinya telah cacad atau kepandaiannya rusak akibat racun yang diminumnya maka pemuda itu
putus asa dan lolos.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ah, tetapi kesemuanya itu hanya merupakan dugaan. Misteri hilangnya mayat Lo-seng tetap belum
terpecahkan, walaupun Hun-ing dalam kedudukannya sebagai ketua Naga Hijau telah memerintahkan
kepada anak buahnya dan tokoh-tokoh yang berkepandaian tinggi untuk menyelidikinya.
Segenap penjuru kota Lok-yang dan sepuluh lie sekeliling luar kota itu telah diselidiki namun sama sekali
tiada bekas-bekas dapat diketemukan.
Hun-ing dan Pek Wan Taysu telah berusaha mati-matian namun tiada berhasil.
Ada suatu hal yang agak mengherankan. Sejak Lo-seng lenyap, ketegangan dalam kota Lok-yang pun
malah mereda. Tampaknya pihak Lembah Kumandang dan istana Ban-jm-kiong telah menghentikan
gerakannya.
Dengan begitu hanya anak buah Naga Hijau, yang giat bergerak untuk menyelidiki jejak Lo-seng.
Hun-ing juga merasa heran atas redanya ketegangan kota Lok-yang. Ia tahu bahwa keredaan itu tidak
sewajarnya. Mungkin masing-masing sedang menyusun rencana sehingga sekali meletus pertempuran
tentu akan menimbulkan pertumpahan darah yang dahsyat.
Hun-ing memerintahkan anak buahnya supaya waspada dan berjaga-jaga…..
********************
Malam kelam. Bulan remang-remang bintang pun jarang. Kota Lok-yang seolah dicengkam kelelapan.
Tiba-tiba terdengar guruh mendegup-degup memberi peringatan kepada rakyat Lok-yang bahwa kota itu
akan dilanda hujan. Suasana malam itu makin seram.
Pada detik-detik yang sunyi seram itu, tiba-tiba tigabelas sosok tubuh manusia berpakaian hitam muncul di
halaman rumah keluarga Nyo. Mereka menyerbu masuk dan serentak terdengarlah dering senjata, pekik
jeritan disusul dengan sosok-sosok tubuh manusia yang rubuh.
Saat itu di halaman tengah gedung keluarga Nyo, tigabelas manusia aneh berkerudung kain hitam tegak
berjajar-jajar membentuk diri jadi tiga deret. Dihadapan mereka tujuh atau delapan anak murid perkumpulan
Naga Hijau rubuh terkapar di tanah.
Sesaat kemudian, seorang tua baju hitam berumur lebih kurang limapuluh tahun. melayang turun dari
wuwungan rumah. Dia serempak dengan itu pula, berpuluh-puluh anak buah Naga Hijau pun berhamburan
keluar.
“Siapakah kalian ini? Apa maksud kalian datang kemari pada waktu malam begini?” teriak orang tua baju
hitam itu kepada rombongan Kerudung Hitam.
Tetapi ke tigabelas rombongan Kerudung Hitam itu tak menyahut melainkan saling bertukar pandang.
“Nyo Cong-thancu datang!” tiba-tiba seorang anak buah Naga Hijau berseru.
Seiring dengan teriakan itu, Nyo Cu-ing bersama Ko-tok Siu dan beberapa anak buah Naga Hijau muncul.
Sejenak memandang keadaan halaman itu, Cu-ing segera bertanya kepada orang tua baju hitam: “Hian-kim
Thancu, apakah artinya ini?”
Orang tua baju hitam itu bernama Hian Kim dan menjabat sebagai than-cu atau ketua bagian dari
perkumpulan Naga Hijau,
Hian Kim memberi hormat, “Ketigabelas orang aneh Berkerudung Hitam ini telah menyerang ke sini,
menghancurkan empat pos penjagaan dan lima buah pos besar kita. Mereka tak mau memberi keterangan
apa-apa.”
“Nyo Cong-thancu,” kata Ko-tok Siu yang menjabat sebagai ketua bagian Sin-bok, “ijinkan aku menguji
mereka barang beberapa jurus.”
Habis berkata tanpa menunggu jawaban Cu-ing, dia terus taburkan tongkatnya menyerang tiga orang
Berkerudung Hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perkumpulan Naga Hijau yang diketuai nona Ui Hun-ing itu, dibantu oleh beberapa than-cu (kepala bagian).
Beberapa than-cu itu diketuai oleh seorang Cong-thancu atau pemimpin kepala bagian. Kedudukan Congthancu
ini di pegang oleh Nyo Cui-ing, puteri dari jago tua Nyo Jong-ho yang mati terbunuh oleh muridnya
sendiri, Li Giok-hou.
08.37. Malam Naas Perkumpulan Naga Hijau
Ketiga orang Berkerudung Hitam itu tidak menangkis maupun menghindar. Hanya setelah tongkat Ko-tok
Siu hampir tiba di dada mereka, serempak mereka balikkan tangannya menampar.
Seketika Ko-tok Siu rasakan dilanda oleh gelombang tenaga yang dahsyat. Dan gelombang tenaga itu
bukan lain yalah tenaga hantaman tongkatnya sendiri yang dipentalkan balik.
Ko-tok Siu terkejut dan cepat-cepat loncat mundur. Sekalipun demikian ia masih tetap mendengus pelahan
karena gelombang tenaga itu masih menyerempet juga bahunya, memaksanya terhuyung mundur tigaempat
langkah dan tongkatnya pun hampir terlepas.
Gemparlah sekalian anak buah Naga Hijau ketika melihat Ko-tok Siu salah seorang dari pemimpin mereka
yang terkenal sakti, harus menelan kekalahan dalam gebrak permulaan saja.
Cu-ing juga tak terluput dari rasa kejut. Diam-diam ia menimang: “Ah, manusia manusia aneh ini entah dari
golongan mana? Menilik dalam satu gebrak saja Ko-tok Siu sudah dikalahkan, malam ini kita tentu akan
mengalami pertempuran dahsyat.”
Menderita kekalahan yang begitu memalukan, Ko-tok Siu marah dan malu. Dengan kerahkan seluruh
tenaga ia hendak maju menyerang lagi. Tetapi Cu-ing cepat mencegahnya, “Sin-bok Thancu, silahkan
mundur.”
Habis berseru, nona itu maju selangkah dan berseru dengan nada sarat: “Dari golongan manakah kalian
ini? Apakah kalian mempunyai dendam permusuhan dengan Naga Hijau?”
Tetapi ketigabelas manusia aneh Kerudung Hitam itu hanya tegak seperti patung dan sepatahpun tak mau
menyahut.
Cu-ing kerutkan alis, berpaling kepada orang tua baju hitam, serunya: “Hian-kim Thancu, undanglah Li
pangcu kemari!”
“Nyo Cong-thancu,” sahut orang tua itu, “sejak masih pagi tadi, Ui Pang-cu telah pergi bersama dua orang
than-cu serta Pek Wan Taysu untuk menyelidiki keadaan musuh. Sampai saat ini belum kembali.”
“Jika begitu, lekas engkau kumpulkan anak buah kita yang berkepandaian tinggi untuk menangkap
gerombolan manusia Kerudung Hitam ini,” seru Cu-ing pula.
Hian-kim Thancu atau yang nama sebenarnya Lim Tay-som mengiakan dan terus melangkah keluar.
Cu-ing pun serentak mencabut pedang dan membentak: “Hai, siapakah kalian ini? Kalau tetap berlagak bisu
jangan sesalkan aku berlaku kejam.”
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa mengekeh: “Heh, heh. Sekalipun engkau bertanya sampai
pecah kerongkonganmu, mereka tidak nanti akan menjawab......”
Sekalian orang terkejut dan serempak berpaling memandang keluar. Dari balik sebatang pohon Pek-yang
muncullah seorang lelaki tua yang bertubuh kekar, tangan kanannya mencekal sebatang ruyung panjang
warna emas. Itulah Lian-hun-tian-cu atau kepala bagian Paseban penempa jiwa yang bernama Long Wi.
Cu-ing terkejut. Ia tak menduga sama sekali bahwa si tua Long Wi yang bungkuk itu sudah bersembunyi di
balik pohon Pek-yang yang tumbuh di halaman. Diam-diam ia gentar juga karena jelas si bungkuk Long Wi
itu tentu memiliki kepandaian yang amat sakti.
“Ah, kepandaianmu sungguh hebat sekali,” seru Cu-ing. “ketigabelas manusia aneh ini tentu engkau yang
membawanya kemari, bukan?”
Si bungkuk Long Wi tertawa mengekeh lagi, “Benar, benar. Dan engkau tentulah Nyo Cu-ing, bukan?”
Cu-ing tak memberi keterangan melainkan berkata lagi: “Engkau dan aku tak kenal mengenal. Mengapa
engkau membawa manusia-manusia aneh itu kemari?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Long Wi tertawa. Kali ini nada tertawanya dingin, “Bukankah Nyo Jong-ho itu ayahmu?”
Cu-ing mendapat kesan bahwa orang bungkuk itu tahu jelas akan keluarga Nyo. Tetapi masih bertanya lagi.
“Sudah tahu mengapa engkau masih bertanya lagi?” tegurnya.
Long Wi tertawa dingin.
“Nona Nyo,” serunya, “apakah pusaka Keng-hun-pit dari ayahmu itu berada padamu?”
Wajah Cu-ing serentak berobah. Diam-diam dia berkata dalam hati: “Memang pusaka milik ayah itu berada
padaku. Hm, coba saja apakah engkau mampu mengambil benda itu dari tanganku.”
Ternyata waktu masih hidup Nyo Jong-ho sudah mempunyai firasat tajam bahwa keluarganya akan
tertimpah bencana besar. Maka sebelumnya ia telah memberitahu kepada puterinya segala sesuatu tentang
senjata Keng-hun-pit itu. Baik mengenai rahasia pada pusaka itu maupun tentang cara untuk
menyembunyikannya.
Karena menyadari bahwa senjata pusaka itu mempunyai sangkut paut yang penting bagi dunia persilatan,
maka Cu-ing pun tak mau membocorkan rahasia itu.
Tetapi alangkah kejut nona itu ketika mendengar pertanyaan si bungkuk Long Wi. Jelas orang itu sudah
tahu tentang rahasia penyerahan pusaka Keng-hun-pit kepada dirinya.
Cu-ing merenung sejenak lalu menyahut dengan nada dingin: “Pusaka Keng-hun-pit itu telah dirampas oleh
pembunuh mendiang ayahku. Sayang engkau datang terlambat.”
Tiba-tiba Long Wi tertawa nyaring.
“Nona Nyo, kami bukan anak kemarin sore. Mataku masih terang, telingaku masih tajam. Jelas kuketahui
bahwa senjata Keng-hun-pit itu tidak berada pada ayahmu. Lebih baik nona mengaku terus terang saja.”
Mendengar kata-kata si bungkuk, berobahlah seketika walah Cu-ing, bentaknya: “Kalau begitu, engkaulah
pembunuh ayahku itu!”
“Nona Nyo,” jawab si bungkuk tenang-tenang, “baik nona jangan bicara yang tidak berguna. Kalau engkau
tak mau menyerahkan senjata Keng-hun-pit itu, terpaksa akan kuperintahkan kepada ketigabelas mayat
hidup itu untuk mengganas. Nah, pada saat itu, janganlah nona menyesal lagi.”
Saat itu Cu-ing sudah jelas mengetahui bahwa si bungkuk Long Wi itu adalah orang istana Ban-jin-kiong.
Sebelumnya, Hun-ing pun telah memberitahukan kepadanya tentang orang-orang gerombolan istana Banjin-
kiong, begitu pula tentang perbuatan terkutuk dari Li Giok-hou yang telah membunuh ayah Cu-ing.
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Suara guruh dan halilintar sahut menyahut membelah angkasa.
Sejenak Cu-ing mengerling pandang dan memperhatikan bahwa Hian-kim Thancu pun sudah
mempersiapkan jago-jago lihay dari Naga Hijau bersiap di empat penjuru.
Setelah persiapan selesai maka Cu-ing segera berteriak nyaring: “Anak buah Naga Hijau, jangan biarkan
seorangpun dari manusia-manusia aneh itu lolos!”
Perintah itu segera disambut dengan munculnya berpuluh anak buah Naga Hijau. Bagaikan tawon dionggok
dari sarang, mereka berhamburan keluar menyerang musuh.
Si bungkuk Long Wi tertawa dingin. Segera ia gentakkan ruyung emasnya, “tar, tar, tar……” menyabet tiga
kali ke udara.
Rupanya itulah tanda perintah maka bergeraklah tiga orang mayat hidup menerjang anak buah Naga Hijau.
Cepat sekali segera terdengar tiga buah lengking jeritan dari tiga anak buah Naga Hijau yang rubuh.
Cu-ing terkejut sekali. Dilihatnya ketiga mayat hidup itu menerjang dengan jurus serangan yang aneh.
Menghantam, menabas, menendang, menampar dan mencengkeram dengan gerak yang luar biasa
tangkasnya, Dan setiap kali mereka bergerak, tentulah ada anak buah Naga Hijau yang menjerit rubuh.
Dalam beberapa kejap saja sudah tujuh-delapan anak buah Naga Hijau yang hancur.
Cu-ing tak dapat tinggal diam lagi. Dengan melengking nyaring, ia taburkan pedang menyerang ketiga
mayat hidup itu. Ko-tok Siu pun juga memutar tongkatnya menyerang maju.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rupanya ketiga manusia yang sudah hilang kesadaran pikirannya itu tahu juga akan kelihayan ilmu pedang
Cu-ing dan tongkat Ko-tok Siu. Mulut mereka bercuit-cuit aneh dan cepat menghindar ke samping.
Sudah tentu Cu-ing tak mau memberi kesempatan lagi. Cepat ia menyusup maju dan dengan jurus
Gelombang pasang di laut selatan, ia tusukkan ujung pedangnya.
Jurus itu merupakan ajaran istimewa dari rahib sakti Tay Hui Sin-ni. Cepatnya bukan alang kepalang.
Karena tak sempat menghindar, punggung manusia aneh itu terkena tusukan. Darah mengucur, campur jadi
satu dengan air hujan yang menggenangi tanah.
Manusia aneh itu mendengus geram lalu menyerang Cu-ing.
“Engkau cari mati!” bentak Ko-tok Siu yang berada di samping seraya menyabetkan tongkat ke pinggang
lawan dengan jurus Menyapu ribuan lasykar.
“Bluk…… krak……”
Terdengar dua buah suara. Yang satu yalah suara putusnya tongkat Ko-tok Siu. Pada hal tongkat itu
kerasnya seperti baja tetapi ketika menyabet pinggang manusia aneh, tongkatpun putus jadi dua. Tangan
Ko-tok Siu sakit seperti pecah tulangnya.
Suara yang kedua tak lain dari tubuh si manusia aneh yang termakan tongkat. Dia terhuyung-huyung
sampai dua kali, menjerit-jerit keras dan terus menerkam bahu Ko-tok Siu.
Melihat itu Cu-ing cepat menabas dan menjeritlah manusia aneh itu ngeri sekali karena kedua tangannya
kutung.
Tetapi walaupun kedua tangannya kutung, manusia aneh itu tetap tak mau menghentikan serangannya.
Tangannya yang kutung itu tetap diteruskan untuk menusuk punggung Ko-tok Siu.
“Huak……” Ko-tok Siu muntah darah, dia terhuyung-huyung mundur sampai tujuh-delapan langkah.
Setelah melukai Ko-tok Siu, manusia aneh itu lalu menyerang Cu-ing.
Cu-ing benar-benar gentar melihat sepak-terjang seorang manusia yang begitu aneh. Dia tak berani
menyambut serangan orang itu melainkan menghindar ke samping.
Manusia aneh itu marah dan hendak mengejar tetapi sekonyong-konyong terdengar Long Wi memberi
perintah: “Sip-hun-jin nomor dua, mundurlah……”
Walaupun manusia aneh itu menurut perintah tetapi dia masih melengking-lengking dan meraung-raung
seperti masih penasaran.
“Tar……..” Long Wi segera mencambukkan ruyung emasnya ke tubuh orang itu. Rupanya orang itu takut
sekali akan ruyung emas. Dengan mengerang tertahan ia segera mundur dan kembali ke tempat barisan
kawan-kawannya.
“Nona Nyo,” seru Long Wi pula. “sekarang tentu engkau sudah mengetahui betapa dahsyatnya Sip-hun-jin
itu. Jika engkau tetap menolak menyerahkan pusaka Keng-hun-pit, apabila kuperintahkan ketigabelas Siphun-
jin itu bergerak, coba saja, apakah kalian sanggup melawan mereka?”
Cu-ing seorang nona yang cerdik. Dalam menghadapi keadaan seperti pada saat itu ia menyadari bahwa
kekuatan pihak Naga Hijau tak mungkin dapat melawan mereka.
Tetapi belum ia mengambil keputusan, tiba-tiba Hian-kim Thancu sudah menyelutuk: “He, engkau hendak
menggertak kami? Lihatlah dahulu keadaan di sekeliling tempat ini, barulah engkau boleh buka mulut!”
Menggunakan kesempatan kilat mencerah cuaca, Long Wi cepat dapat mengetahui bahwa empat penjuru
sekeliling tempat itu memang telah penuh dengan barisan panah dari anak buah Naga Hijau. Mereka sudah
siap dengan busur terentang setiap saat siap melepaskan beratus-ratus batang anak panah ke arah
gerombolan manusia aneh itu.
Long Wi tertawa.
“Ha, ha, kalau ditujukan pada orang lain, memang barisan panah itu menakutkan sekali. Tetapi terhadap
diriku dan ketigabelas Sip-hun-jin itu jangan harap kalian dapat mencelakai.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Anak buah Naga Hijau sekalian, lekas mundur keluar dari tempat ini. Barisan panah supaya melindungi,”
tiba-tiba Cu-ing berseru memberi perintah.
Serentak dari atas rumah berhamburanlah hujan anak panah ke arah Long Wi dan ketigabelas Sip-hun-jin
itu.
Long Wi membentak keras seraya taburkan ruyung emas untuk menyapu hujan anak panah.
Sedang ketigabelas manusia aneh itu segera berpencaran untuk menyerbu barisan anak panah Naga Hijau.
Merebut dan menghancurkan busur mereka.
Setelah berhasil menghampiri ke bawah serambi, rombongan manusia aneh itupun dapat terhindar dari
serangan anak panah yang dilepas dari atas wuwungan.
Di halaman gedung keluarga Nyo saat itu pecah pertempuran yang dahsyat. Lolong jeritan muncratan darah
dan anggauta badan manusia, berhamburan ke empat penjuru. Dalam beberapa kejap saja sudah duapuluh
tukang panah anak buah Naga Hijau yang mati di tangan gerombolan manusia aneh.
Cu-ing makin marah. Segera ia kembangkan ilmu pedang Giok-li-kiam (Pedang Bidadari), menyerang Long
Wi.
Ilmu pedang Giok-li-kiam itu merupakan ilmu pedang ciptaan rahib Tay Hui Sin-ni sendiri. Sekali dimainkan
maka Long Wi pun segera terkurung dalam lingkaran sinar pedang.
“Jika tak lekas memerintahkan kawanan Sip-hun-jin itu berhenti, jangan harap engkau dapat tinggalkan
tempat ini dengan masih bernyawa,” bentak Cu-ing.
Long Wi hanya tertawa hina dan terus menggerakkan ruyung emas. Setelah menahan pedang Cu-ing, ia
meluncur mundur beberapa langkah.
“Nona Nyo,” serunya, “engkau harus dapat melihat kenyataan. Pertempuran hari ini. tidak sama dengan
waktu yang lalu. Apabila engkau tak mau menyerahkan pusaka Keng-hun-pit itu, seluruh anak buah Naga
Hijau akan hancur semua!”
Sejenak memperhatikan keadaan sekeliling, Cu-ing melihat jago-jago sakti dari Naga Hijau sudah
bertempur dengan ketigabelas Sip-hun-jin. Jeritan ngeri berselang-selang terdengar di sana sini.
Diperhatikannya pula bahwa tubuh-tubuh yang rubuh terluka atau mati itu, kebanyakan tentu anak buah
Naga Hijau. Sedangkan gerombolan Sip-hun-jin itu makin lama bahkan makin garang dan dahsyat. Mereka
seperti bukan manusia.
Tiba-tiba nona itu melihat tujuh anak buah Naga Hijau telah ditangkap dan dipeluk oleh tujuh Sip-hun-jin.
“Krak, krak, krak......,” sesaat kedengaran jeritan ngeri ketika tubuh ketujuh anak buah Naga Hijau itu putus
menjadi dua. Dan begitu dilepas ketujuh anak buah Naga Hijau itupun berguling-guling dan menjerit-jerit
ngeri di tanah.
Gemetarlah tubuh Cu-ing karena marah. Dengan melengking keras, ia terus hendak menyerang tetapi
secepat itu juga Long Wi getarkan ruyungnya uutuk menahan.
Hoan-sim-hiat-long atau Membalik tubuh menghantam ombak adalah jurus yang digerakkan Cu-ing untuk
membabat si bungkuk. Tetapi orang bungkuk itu segera memutar ruyungnya yang lemas, melilit batang
pedang si nona lalu ditariknya.
Hampir saja pedang Cu-ing terlepas. Untung ia cepat-cepat mengerahkan tenaga untuk menahan.
Demikian keduanya segera kerahkan tenaga masing-masing untuk adu kekuatan saling tarik.
“Nona Nyo,” seru Long Wi, “kalau engkau mau menyerahkan pusaka Keng-hun-pit, urusan dapat kita
anggap selesai sampai di sini saja. Tetapi kalau engkau berkeras tak mau menyerahkan, tentulah engkau
sendiri yang akan rugi. Cobalah nona pikir masak-masak!”
Walanpun marah tetapi Cu-ing seorang gadis yang cerdas. Tahu bahwa apabila ia berkeras menolak
permintaan orang, malam itu pihak Naga Hijau tentu akan menderita kerusakan besar.
“Hentikan gerakan Sip-hun-jin dulu, baru kita berunding lagi,” akhirnya ia berseru.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar suitan panjang yang nyaring. Cepat sekali suara itu segera tiba di
tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seketika itu juga baik Long Wi maupun Cu-ing tergetar hatinya. Suitan itu bagaikan halilintar meletus.
Sebelum tahu apa yang terjadi, di udara berkilat dua buah sinar emas. Yang satu begitu tiba terus lenyap
sedang yang satu meluncur ke bawah. “Bum……”
Ledakan keras diiring jeritan ngeri segera memecah suasana dalam ruang pertempuran. Menyusul tiga
sosok tubuh manusia Sip-hun-jin segera rubuh.
Sekalian orang terlongong-longong menyaksikan kejadian yang luar biasa itu. Tahu-tahu di gelanggang
telah bertambah dengan seorang pendatang baru. Dia berdiri tegak sambil lintangkan pedang ke muka
dada.
“Siau Lo-seng!” tiba-tiba Long Wi menjerit kaget.
Dan ketika Cu-ing memandang ke muka, memang pendatang itu bukan lain adalah Siau Lo-seng, pemuda
yang mati karena minum pil beracun dan mayatnya hilang tak berbekas itu.
08.38. Mumi Setengah Jadi . . . . . .
Dan yang lebih menggetarkan hati Cu-ing, pemuda itu memegang Pedang Ular Emas. Setelah termangu
sejenak, Cu-ing lalu menghampiri dan menegurnya: “Siau losu……”
Karena sudah biasa memanggil dengan sebutan 'losu' (guru), maka Cu-ing pun menggunakan panggilan itu.
Siau Lo-seng tenang-tenang berpaling muka. Wajahnya dingin sekali. Ia deliki mata kepada Cu-ing. Begitu
beradu pandang dengan sinar mata pemuda itu, menggigillah hati Cu-ing.
Sejenak memandang si nona, Lo-seng gelengkan kepala dan berkata seorang diri: “Bu¬kan…… bukan……”
Ia hanya mengatakan sepatah kata lalu tegak mematung lagi.
Cu-ing terkejut, serunya: “Siau sian-seng, apakah engkau tak kenal padaku? Aku ini Nyo Cu-ing.”
Namun pemuda itu tetap gelengkan kepala. Ia mengangkat muka menengadah ke atas, membiarkan air
hujan mencurah ke mukanya.
Tiba-tiba wajah pemuda itu mengembang sinar pembunuhan yang ngeri. Serentak pedang pusaka Ular
Emas digentakkan menuding ke arah sembilan gerombolan Sip-hun-jin lalu berkata seorang diri: “Yang
hendak kubunuh yalah mereka. Ya, benar, kawanan manusia itu……”
Kesembilan Sip-hun-jin tampak ketakutan dan berbondong-bondong mundur. Pedang Ular Emas tetap
diarahkan Siau Lo-seng ke tempat kawanan Sip-hun-jin itu.
“Tar, tar, tar…….”
Long Wi segera getarkan ruyung emasnya. Ia marah karena kawanan Sip-hun-jin ketakutan mundur.
“Sip-hun-jin, kamu sekalian adalah jago nomor satu di dunia, lekas serang musuh itu!” teriaknya.
Mendengar itu, kesembilan Sip-hun-jin itupun segera meraung-raung lalu berhamburan menyerbu Siau Loseng.
Sip-hun-jin itu adalah tokoh-tokoh silat sakti yang telah ditundukkan oleh orang istana Ban-jin-kiong. Dengan
ilmu Menempa Jiwa, mereka telah dibius hingga hilang kesadaran pikirannya. Mereka tak takut kepada
siapapun juga.
Tetapi aneh. Ketika pandang mata mereka terbentur dengan sinar mata Lo-seng yang memancarkan
pembunuhan itu, patahlah nyali kawanan Sip-hun-jin itu. Bermula setelah mendengar perintah si bungkuk
Long Wi, mereka memberingas dan maju menyerang. Tetapi ketika beradu pandang dengan mata Lo-seng,
mereka berputar tubuh dan lari.
Siau Lo-seng tak memberi ampun lagi. Dengan bersuit nyaring ia segera loncat membabat mereka.
Terdengar jeritan ngeri dan dua butir kepala orang Sip-hun-jin segera terlempar ke udara dan tubuhnya
melayang dua tombak jauhnya. Tiga orang Sip-hun-jin yang lain, terbabat kutung pinggangnya......
Air hujan yang menggenangi bumi, berwarna merah darah menyeramkan mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serangan Siau Lo-seng itu cepatnya bukan alang kepalang sehingga tokoh-tokoh yang berada di halaman
itu tak tahu ilmu pedang apakah yang digunakan anak muda itu.
Tetapi sekalian orang tak sempat untuk memikirkan hal itu. Dilihatnya Lo-seng seperti seorang gila yang
mengamuk. Dia mengejar sisa Sip-hun-jin yang masih empat orang itu.
Sekali loncat ia membabat dan terdengarlah jeritan ngeri. Seorang Sip-hun-jin terbelah menjadi dua, dua
orang lagi terbabat kutung pahanya......
Pemandangan ngeri itu benar-benar membuat bulu tengkuk orang meregang tegang. Siau Lo-seng tak ubah
seperti seekor harimau yang tengah berpesta pora dengan darah.
“Ah, agaknya dia juga sudah menjadi Sip-hun-jin......” tiba-tiba timbullah suatu kesan dalam hati Cu-ing.
Setelah membasmi delapan Sip-hun-jin. wajah Lo-seng tampak membeku dingin. Matanya berkilat-kilat
menyapu ke arah orang yang masih berada di sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba matanya mencurah kepada Long Wi dan seorang Sip-hun-jin yang masih hidup.
Si bungkuk Long Wi gemetar sehingga mulutnya bergemerutukan. Sikapnya yang garang tadi, seketika
lenyap ditelan rasa ketakutannya. Ia mundur dua langkah ke belakang,
Tiba-tiba Cu-ing tertegun melihat Sip-hun-jin yang masih hidup itu. Rasanya ia kenal dengan orang itu.
“Mengapa dia mirip sekali dengan ketua partai Bu-tong-pay imam Hun Ho……,” diam-diam ia menimang
dalam hati.
Dalam pada itu, Siau Lo-seng pun sudah ayunkan langkah menghampiri ke tempat kedua orang itu.
Long Wi pucat dan terus menerus menyurut mundur. Sedangkan Sip-hun-jin itupun gemetar tubuhnya tetapi
dia tetap tegak di tempatnya.
Saat itu hujanpun mulai reda. Angin dingin menambah keseraman suasana.
Setelah mundur sampai tiga tombak jauhnya si bungkuk Long Wi berteriak memberi perintah: “Hai, nomor
tigabelas, lekas serang musuhmu!”
Sip-hun-jin itu gemetar keras, mau maju tetapi tak jadi. Ia geleng-geleng kepala dan merintih-rintih.
Saat itu Siau Lo-seng pun sudah maju dan gerakkan ujung pedang ke arah dada Sip-hun-jin itu.
Sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar lengking teriakan yang memanggil-manggil: “Siau Loseng……
Siau Lo-seng toako…… Siau Lo-seng toako…….”
Mendengar itu ujung Pedang Ular Emas yang sudah hampir terbenam di dada Sip-hun-jin, dihentikan.
Rupanya dia mendengar juga teriakan orang itu dan tertegun.
“Siau Lo-seng…… Siau Lo-seng……,” suara orang berteriak memanggil nama pemuda itupun terdengar
lagi.
Aneh untuk dikata. Tangan Siau Lo-seng gemetar mendengar suara itu. Setiap kali ia hendak menusuk
dada Sip-hun-jin, tiba-tiba ia hentikan apabila mendengar teriakan itu.
“Tar, tar……,” si bungkuk Long Wi cepat sabetkan ruyungnya ke udara. Tetapi agaknya Sip-hun-jin nomor
tigabelas itu sudah patah nyalinya. Walaupun ia mendengar perintah Long Wi tetapi tak berani menyerang
Siau Lo-seng.
Melihat Sip-hun-jin nomor tigabelas itu takut kepada Siau Lo-seng, Long Wi pun bersuit nyaring dan
berseru: “Nomor tigabelas, mundur dan lekas pergilah!”
Habis memberi perintah Long Wi terus melarikan diri. Demikian Sip-hun-jin yang sebelum diperintah Long
Wi, ternyata sudah mendahului lari lebih dulu.
Siau Lo-seng masih tertegun. Ia berpaling ke arah suara yang memanggil namanya tadi.
“Siau toako......” sekonyong-konyong terdengar teriakan gembira dan susul menyusul dua sosok tubuh
segera menerobos masuk ke dalam dan lari ke tempat Siau Lo-seng.
“Huh......” tiba-tiba Siau Lo-seng mendesuh dan loncat menghindar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siau toako...... Siau toako...... berhentilah dulu......” teriak pendatang itu.
Cu-ing segera mengenali siapa kedua pendatang itu, teriaknya: “Ui Pang-cu……”
Ternyata kedua pendatang itu yalah Ui Hun-ing dan Pek Wan Taysu. Setelah memandang ke sekeliling
tempat yang penuh dengan mayat, berserulah paderi Siau-lim-si itu: “Omitohud......”
Ia ngeri melihat pemandangan di tempat itu. Belasan mayat anak buah Naga Hijau dan duabelas mayat Siphun-
jin malang melintang dalam kubangan air darah.
Hun-ing menggentakkan kaki dan menghela napas: “Ah kita terlambat. Pembunuhan ngeri telah terjadi. Ai.
kemanakah kita harus mencarinya lagi?”
“Ui Pang-cu, agaknya Siau toako telah kehilangan kesadaran pikirannya. Dia telah menjadi......”
Belum selesai Cu-ing berkata, Hun-ing sudah cepat menukas: “Benar dia memang telah menjadi seorang
yang hilang kesadaran pikirannya. Tetapi belum lenyap sama sekali......”
Rupanya Cu-ing tak mengerti apa yang dimaksud Hun-ing, tanyanya: “Ui Pang-cu. bagaimanakah artinya?”
Hun-ing menghela napas.
“Jika dia sudah lenyap pikirannya, tak mungkin dia hanya membasmi kawanan Sip-hun-jin itu saja. Mungkin
diapun tentu akan membunuh kita semua!”
“Ya, benar,” kata Cu-ing, “tetapi dia sudah tak kenal lagi padaku.”
Hun-ing menghela napas lagi: “Aku sendiri juga heran. Entah dia memang sungguh begitu atau hanya purapura
saja.”
“Menilik sikapnya tadi, mungkin ia memang tak pura-pura,” kata Cu-ing, “sejak kukenal padanya, dia
memang aneh sekali sikapnya. Apabila Pek Wan Taysu tidak menjelaskan dia itu putera dari Naga tanpa
bayangan Siau Han-kwan, tentu aku akan tetap menganggapnya sebagai pembunuh ayahku.”
“Nyo Cong-thancu,” tiba-tiba Pek Wan Taysu bertanya kepada Cu-ing, “aku hendak minta tanya kepadamu.
Apakah semasa hidupnya. Nyo lo-enghiong pernah meninggalkan pesan mengenai diri Siau Han-kwan?”
“O, benar,” seru Cu-ing. “memang ayah telah meninggalkan beberapa pesan kepadaku. Di antaranya juga
mengenai Siau Han-kwan tayhiap. Tetapi ayah pesan wanti-wanti agar aku jangan mengatakan hal itu
kepada siapa saja, kecuali pada Siau toako sendiri……, ah......”
Berhenti sejenak, Cu-ing melanjutkan pula dengan nada rawan.
“Sayang sekali, riwayat hidup Siau Han-kwan tayhiap itu baru kuketahui setelah terlambat sekali sehingga
sekarang ini tak dapat kuberitahukan kepada Siau Lo-seng toako tentang hal itu.”
Mendengar keterangan itu Pek Wan Taysu dan Hun-ing kerutkan alis. Diam-diam keduanya merenung:
“Apakah yang hendak dikatakan kepada Siau Lo-seng?”
Walaupun keduanya ingin tahu tetapi mereka sungkan untuk meminta Cu-ing memberitahukan.
Sambil memandang ke langit, Hun-ing berkata: “Sekarang, hujan sudah berhenti. Mari kita mencarinya!”
Kemudian ia memberi pesan kepada Hian-kim Thancu supaya mengurus mayat anak buah Naga Hijau.
Mayat kawanan Sip-hun-jin supaya dimasukkan dalam peti dulu.
“Ui Pang-cu,” kata Cu-ing. “kalau tak salah, seorang Sip-hun-jin itu, mirip seperti Hun-Ho Totiang ketua Butong-
pay. Apakah kita tak perlu memeriksa dulu?”
“Ah, kurang perlu,” suhut Pek Wan Taysu, “memang mereka adalah tokoh-tokoh sakti dalam dunia
persilatan. Maka nanti akan kuberitahukan kepada partai-partai persilatan supaya datang mengenali orangorang
mereka.”
“Benarkah itu?” Cu-ing terkejut.
“Ya, memang peristiwa itu amat menyedihkan sekali Mereka telah ditangkap dan dijadikan mayat hidup oleh
pemimpin istana Ban-jin-kiong tetapi akhirnya dibunuh oleh Siau toako,” kata Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ui Pang-cu,” kata Pek Wan Taysu, “baiklah engkau lekas melakukan penyelidikan pada Lo-seng. Aku
hendak pulang ke gereja Siau-lim-si untuk minta bantuan barisan Lo-han-tin.”
“Terima kasih, taysu,” kata Hun-ing dengan nada rawan, “dengan kehilangan sekian banyak anak buah,
memang Naga Hijau menjadi lemah dan tak kuasa menghadapi pihak Ban-jin-kiong maupun Lembah
Kumandang. Perjuangan memberantas kaum durjana itu, terpaksa harus meminta bantuan gereja Siau-lim.”
Pek Wan Taysu menghela napas: “Tetapi aku sendiri masih kuatir kalau-kalau barisan Lo-han-tin dari Siaulim-
si tak mampu menghadapi mereka.”
“Ah, Lo-han-tin merupakan barisan yang termasyhur dari gereja Siau-lim-si. Apabila taysu dapat
mengundang mereka, kupercaya tentu dapat menyapu kawanan durjana itu.”
Pek Wan Taysu menyatakan hendak berusaha sekuat tenaga agar Siau-lim-si mau membantu. Demikian
ketiga orang itu segera berangkat menuju ke luar kota Lok-yang. Pek Wan Taysu hendak menuju ke Kosan,
kedua nona itu hendak mencari Siau Lo-seng.
Tiba-tiba mereka melihat sesosok bayangan muncul dari tempat gelap tembok kota. Serentak Cu-ing pun
berteriak: “Siau toako......”
Memang bayangan yang muncul bukan lain adalah Siau Lo-seng. Punggungnya menyanggul pedang
pusaka Ular Emas. Wajahnya dingin sekali.
Tampaknya dia terkesiap ketika mendengar dipanggil namanya. Ia berhenti dan memandang ketiga orang
itu.
“Lo-seng, apakah engkau tak kenal aku? Aku adalah pamanmu Pek Wan,” seru Pek Wan Taysu
Lo-seng gelengkan kepala.
“Pek Wan…… Pek Wan…... aku tak kenal engkau dan takkan membunuhmu,” katanya.
Dengan kata-kata itu jelas sudah bahwa Lo-seng memang sudah kehilangan kesadaran pikirannya. Dia lupa
apa yang telah terjadi dulu. Dia tak kenal lagi pada Pek Wan Taysu, demikian tentu lupa juga kepada Huning
dan Cu-ing.
Tetapi Hun-ing masih ingin mencoba: “Siau toako, apakah engkau masih ingat ketika engkau dilukai oleh
orang Ban-jing-kiong.”
Belum selesai mendengar pertanyaan si nona, Siau Lo-seng sudah kerutkan dan menukas: “Apa? ketua
Ban-jin-kiong? Dimanakah dia sekarang?”
Melihat itu serentak timbullah suatu pikiran pada benak Hun-ing, cepat ia berseru: “Apakah maksudmu
hendak mencarinya?”
Siau Lo-seng mendengus dingin, “Sudah tentu hendak kubunuhnya.”
Hun-ing berpaling ke arah Cu-ing dengan wajah gembira, kemudian melanjutkan lagi: “Baiklah, memang kita
juga hendak membunuh kepala Ban-jin-kiong itu. Kalau engkau mau bersama kita, nanti apabila bertemu
dengan ketua Ban-jin-kiong, tentu akan kuberitahu kepadamu.”
Siau Lo-seng gelengkan kepala: “Tidak, tidak, aku tak dapat mengikuti kalian.”
“Mengapa? Apakah engkau tak dapat bersama-sama kita? Mengapa?” Hun-ing heran.
Pek Wan Taysu dan Cu-ing tahu bahwa Hun-ing sedang menyelidiki diri Lo-seng maka merekapun diam
saja.
“Engkau hendak menyelidiki diriku?” seru Lo-seng.
Hun-ing tertawa: “Kalau engkau tak mau pergi bersama kita, engkau tentu tak dapat melaksanakan
keinginanmu membunuh ketua Ban-jin-kiong.”
Siau Lo-seng mendengus: “Mengapa kalau tak bersama kalian aku tak dapat membunuh orang itu?”
Mendengar itu rawanlah hati Hun-ing. Seorang pemuda yang cerdas seperti Lo-seng, saat itu benar-benar
telah menjadi seorang tolol.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Karena engkau tentu tak dapat mengenali ketua Ban-jin-kiong itu,” Hun-ing paksakan tersenyum,
“sekalipun bertemu mungkin engkau tentu tak tahu.”
“Siapa bilang aku tak kenal? Hm.......,” dengus Siau Lo-seng.
“Kalau begitu apakah engkau kenal juga pada Ui Hun-ing, Nyo Cu-ing, Bok-yong Kang dan Siau Lo-seng?”
cepat Hun-ing menyelinapkan pertanyaan. Ia hendak menguji sampai dimana ingatan yang masih dimiliki
Lo-seng.
Ternyata waktu mendengar nama-nama itu, Lo-seng kerutkan dahi dan berkata seorang diri: “Siau Lo-seng,
Bok-yong Kang, Ui Hun-ing, Nyo Cu-ing…… siapakah mereka? Ya, rasanya pernah kudengar nama-nama
itu…… tetapi ah, mengapa aku tak ingat sama sekali……”
Habis berkata Lo-seng menengadah memandang ke langit. Rupanya dia tengah menggali ingatannya akan
masa yang lalu.
Melihat keadaan anak muda itu, diam-diam Hun-ing, Cu-ing dan Pek Wan Taysu girang dalam hati.
Ternyata ingatan Lo-seng sama sekali belum hilang seluruhnya. Penyakit yang dideritanya, apabila diobati
dengan tekun, tentu dapat disembuhkan. Umumnya penyakit begitu disebabkan karena mendarita suatu
ketegangan dan kekagetan yang hebat.
Tetapi menurut dugaan Hun-ing, penyakit Lo-seng itu tentu disebabkan karena bekerjanya pil beracun yang
menyerang sel-sel otaknya sehingga ia lupa akan peristiwa yang telah lalu.
Beberapa saat kemudian, Lo-seng pun gelengkan kepala.
“Apakah engkau tahu siapa namamu sendiri?” tanya Hun-ing.
Dahi Lo-seng mengerut gelap. Jelas ia pun lupa akan namanya sendiri.
08.39. Kesadaran Melalui Suara Seruling Aneh
Hun-ing menghela napas: “Siau toako, apakah engkau lupa bahwa engkau ini orang she Siau dan namamu
Lo-seng?”
Waktu mengatakan nama itu, sengaja Hun-ing gunakan tenaga dalam agar suaranya dapat menggetarkan
hati Lo-seng. Terapi di luar dugaan pemuda itu. hanya termangu-mangu saja memandang langit.
Kira-kira sepeminum teh lamanya, tanpa berkata apa-apa, Siau Lo-seng terus berputar tubuh dan ayunkan
langkah pergi.
“Siau toako, tunggu sebentar!” teriak Cu-ing.
Siau Lo-seng tak menghiraukan. Dia berjalan dengan kepala menunduk.
“Adik Ing,” kata Hun-ing, “jangan mencegahnya. Cukup kita ikuti dia dari belakang. Entah kemana dia
hendak menuju nanti.”
“Ui Pang-cu,” kata Pek Wan Taysu dengan rawan, “ternyata dia memang sudah kehilangan kesadaran
pikirannya. Ah sungguh tak kira bahwa seorang pemuda yang begitu gagah dan diharapkan akan menjadi
penyelamat dunia persilatan, akhirnya menjadi sedemikian mengenaskan nasibnya.”
“Pek Wan locianpwe,” kata Hun-ing, “yang kita kuatirkan dia itu dikuasai orang. Kalau hanya kehilangan
ingatan sendiri, itu tak mengapa.”
“Kurasa dia tidak di bawah kekuasaan orang,” kata Cu-ing
“Ya, benar,” sahut Pek Wan Taysu, “rasanya dia telah menderita penyakit itu karena obat racun yang
diminumnya itu.”
“Taysu,” tiba-tiba Hun-ing gelengkan kepala, “tahukah taysu bahwa Pedang Ular Emas yang dibawanya itu,
pernah ditanam di sebuah tempat sepi di luar kota Lok-yang? Kalau dia kehilangan ingatan karena obat
beracun itu, tentulah dia takkan dapat mencari tempat pedang itu dan menggalinya lagi?”
Pek Wan Taysu termenung beberapa saat katanya: “Benar, memang dia pernah memberitahu kepadaku
bahwa dia hendak melenyapkan pedang Ular Emas itu. Tetapi apakah yang terjadi pada dirinya di kuil tua
dunia-kangouw.blogspot.com
itu? Mengapa dia hilang? Apakah dia bangun lalu pergi ataukah dibawa orang? Kalau menilik keadaannya
saat ini, rasanya dia memang bangun sendiri lalu lolos dan berkelana kemana-mana.”
Hun-ing mengangguk.
“Pendapat taysu memang sama dengan pendapatku,” kata Hun-ing, “tetapi hendaknya dalam mengupas
persoalan, harus kita pandang dari segi baik dan buruknya. Taysu, bagaimana pun dapat taysu mengenal
Pedang Ular Emas yang dipakai oleh Siau toako lagi itu?”
“Hal itu dapat diterangkan menurut beberapa tafsiran,” kata Pek Wan Taysu. “menilik tadi dia dapat
mengingau seorang diri, jelas kesadaran pikirannya masih belum lenyap sama sekali. Berdasarkan hal itu
maka dapatlah kita membuat tafsiran begini. Dia mungkin masih teringat akan pedang pusaka Ular Emas,
lalu dia mencarinya lagi. Kemungkinan lain, ada orang yang mencuri Pedang Ular Emas dan kebetulan
berpapasan dengan Lo-seng. Lo-seng lalu merebutnya. Kita tahu bahwa sebelum dia kehilangan
ingatannya, pedang Ular Emas itu merupakan senjata yang paling disayanginya Maka dia tentu kenal sekali
dengan pedang itu.”
Uraian Pek Wan Taysu itu walaupun agak dipaksakan tetapi beralasan juga.
Kemudian Hun-ing pun mengemukakan pendapatnya: “Akupun hendak membuat pengandaian. Bahwa
mayat Siau toako telah dicuri orang lalu orang itu menggunakan dia sebagai alat pun bukan suatu hal yang
mustahil, bukan?”
Pek Wan Taysu mengangguk: “Ui Pang-cu, harap suka melanjutkan tafsiran pangcu!”
Hun-ing merenung sejenak lalu berkata:
“Pada waktu Siau toako menderita luka parah ia berkata: ‘apabila dalam duabelas jam dia tidak terjaga,
berarti dia mati’. Tetapi ternyata kita telah menjaganya sampai enam hari enam malam dan dia masih belum
meninggal……”
Berhenti sebentar, Hun-ing melanjutkan lagi, “Mengapa Siau toako perlu memberitahu kepada kita, tentulah
dikarenakan dia sudah mengetahui khasiat obat itu. Dia kuatir, obat racun itu akan menyerang jantungnya
sehingga dia meninggal.”
“Benar, memang begitulah pesan Lo-seng waktu itu,” Pek Wan Taysu mengiakan.
“Tetapi kenyatannya tidak seperti yang dikatakan itu. Selama enam hari enam malam dia masih hidup.
Mampukah dia bangun sendiri dan terus pergi? Siau toako pun pernah menceritakan tentang ilmu membuat
mayat hidup. Maka aku berani mengatakan bahwa dia tentu dicuri orang dan dijadikan alat.”
Pek Wan Taysu tertawa: “Tetapi Ui Pang-cu dapatkah engkau mengatakan siapakah kiranya yang mampu
mencuri tubuhnya? Bukankah siang malam kita menjaganya dengan keras.
Hun-ing merenung sejenak.
“Memang dunia persilatan penuh dengan hal-hal yang aneh dan tak terduga-duga. Cobalah taysu
renungkan. Bukankah suatu hal yang tak dapat kita duga sebelumnya. mengapa tiba-tiba Kakek wajah
dingin Leng Tiong-siang muncul di kuil tua itu?”
Seketika berobahlah wajah Pek Wan Taysu, serunya “Ui Pang-cu, apakah engkau maksudkan Kakek wajah
dingin Leng Tiong-siang itu yang mencuri mayat Lo-seng?”
“Aku memang mempunyai firasat begitu,” kata Hun-ing, “mohon tanya taysu, bagaimanakah peribadi Leng
Tiong-siang itu?”
“Jika begitu, Lo-seng tentu diperalat oleh Leng Tiong-siang......” Pek Wan Taysu menghela napas.
“Bagaimana mungkin hal itu terjadi?” tanya Hun-ing.
“Sukar kukatakan,” sahut Pek Wan Taysu. “mengapa begitu. Tetapi kupercaya Leng Tiong-siang tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tak dilihat orang......”
Tiba-tiba terdengar suara seseorang menyelutuk dengan nada dingin: “Hm, kalian hanya ngotot main duga
saja sehingga tak tahu kalau orang yang kalian hendak ikuti itu telah lenyap jejaknya.”
Hun-ing dan Pek Wan Taysu terkejut. Cepat mereka berputar tubuh dan ah...... ternyata Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang sudah mengikuti di belakang mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ui Pang-cu, mana Siau toako?” seru Cu-ing.
Ternyata Siau Lo-seng yang berjalan di sebelah muka saat itu sudah tak tampak bayangannya lagi.
Hun-ing terbeliak dan cepat meminta Cu-ing supaya mengejar jejak Lo-seng.
“Tak perlu,” kata Leng Tiong-siang.
Tetapi Cu-ing tak peduli. Ia terus lari ke muka.
“Adik Ing, jika bertemu Siau toako kasihlah api pertandaan kepada kita,” seru Hun-ing.
Setelah nona itu pergi, Pek Wan Taysu beralih kata kepada Leng Tiong-siang: “Leng sicu, engkau tentu
mendengar apa yang kita bicarakan tadi, bukan?”
Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang menjawab dingin-dingin, “Terus terang, sejak berpisah di tanah
pekuburan, aku memang secara diam-diam mengikuti kalian. Akupun tahu bagaimana Siau Lo-seng
membunuh keduabelas orang Sip-hun-jin itu dan lain-lain. Lalu bagaimanakah kehendak kalian ini?”
“Jika demikian, tentulah Leng sicu yang menggunakan Lo-seng,” kata Pek Wan Taysu.
“Mengapa engkau berlagak pintar sendiri?” seru Leng Tiong-siang, “jika aku dapat menggunakan orang,
tentulah dunia persilatan ini sudah kukuasai.”
Pek Wan Taysu kerutkan dahi. Sementara Hun-ing segera bertanya: “Leng locianpwe, mengapa engkau
mengatakan begitu? Apakah engkau anggap kesaktian Siau Lo-seng itu tiada tandingnya di dunia
persilatan?”
Berobahlah wajah Kakek wajah dingin seketika, serunya: “Budak perempuan, bagaimana kau dapat
menduga kalau aku yang mencuri mayat Siau Lo-seng?”
Tergetar hati Hun-ing, pikirnya: “Ah, ternyata memang dia yang mencuri mayat Siau toako…... aku hanya
menduga-duga ternyata tepat juga......”
“Mudah saja,” katanya kepada Kakek wajah dingin. “cukup mengandalkan perasaan hati.”
“Perasaan dalam hati? Ngaco!” teriak Kakek wajah dingin.
“Tidak percaya?” sahut Hun-ing. “sebenarnya aku tahu juga peristiwa bagaimana setelah Siau Lo-seng
tersadar, engkau harus bertempur seru dengan dia. Tetapi engkau tetap kalah.”
Seketika marahlah Kakek wajah dingin, serunya: “Benar, memang aku kalah. Bagaimana engkau tahu hal
itu?”
Mendengar itu. diam-diam Hun-ing mengeluh sendiri: “Celaka, mengapa aku ngelantur bicara? Kalau dia
dapat mencuri tubuh Siau toako masakan dia kalah bertempur?”
Memang sebenarnya kata-katanya tadi hanya menduga-duga saja Tak pernah disangkanya kalau hal itu
benar.
“Ah, locianpwe” akhirnya ia terpaksa tersenyum, masakan engkau tak tahu kalau aku hanya sembarangan
menduga saja?”
“Apa?”
“Locianpwe, sebenarnya aku tak tahu kalau engkau mencuri tubuh Siau toako, begitu pula locianpwe telah
berkelahi dengan dia. Maka kumohon locianpwe suka menerangkan apa yang telah terjadi dengan Siau
toako!”
“Budak perempuan, engkau memang cerdik,” kata Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang, “aku si orang tua
ini sampai terpancing memberi pengakuan kepadamu!”
“Locianpwe, pedang pusaka Ular Emas itu kiranya tentu locianpwe yang mengambil lagi dari tempatnya “
kata Hun-ing pula.
“Budak perempuan,” kata Kakek wajah dingin. “tak usah engkau menggunakan kata-kata tuduh untuk
menggali keterangan dari mulutku. Kalau aku tak mau mengatakan. engkau tentu hanya mengoceh sendiri.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Leng locianpwe” kata Hun-ing. “ternyata engkau adalah seorang yang berhati panas tetapi berwajah dingin.
Dunia persilatan mengatakan engkau seorang yang sukar diajak bersahabat. Tetapi kurasa tidak.”
Pek Wan Taysu menghela napas: “I.eng sicu kumohon dengan sangat sukalah engkau memberitahu,
benarkah tubuh Siau Lo-seng itu engkau yang mengambilnya?”
“Bukankah tadi sudah jelas, mengapa aku aku harus banyak bicara lagi? Memang tubuh Siau Lo-seng aku
yang mengambil, begitu juga pedang Ular Emas yang ditanamnya di tanah itu, juga kuambil…… dengan
pedang itu hendak kukuasainya tetapi gagal, dia dapat merebut pedang itu.”
Ternyata setelah bertempur beberapa jurus dengan Siau Lo-seng di kuburan diam-diam kakek itu mengikuti
gerak gerik Lo-seng. Juga ia dapat mencuri dengar tentang uraian Lo-seng mengenai ilmu membuat mayat
hidup. Tetapi ia tak dapat mendengar keterangan kalau anak muda itu menderita luka parah.
Pada hari keenam setelah Siau Lo-seng ‘mati’, dia datang dan mencuri mayatnya. Tetapi ketika ia dapat
menyadarkan Siau Lo-seng ternyata ia tak dapat menguasainya. Terjadi pertempuran, dia kalah dan
pedang Ular Emas dapat direbut pemuda itu.
Setelah mendengar keterangan itu, Hun-ing gembira: “Kalau begitu, dia tidak dikuasai oleh orang lain?”
“Ceritaku belum habis, mengapa engkau buru-buru bergirang?' kata Kakek wajah dingin.
Hun-ing tertegun, “Masih belum selesai? Apakah masih ada kelanjutannya?”
Dengan nada sarat, kakek itu berkata pula: “Dunia ini memang penuh dengan peristiwa yang tak terdugaduga.
Setelah sadar dari dari ‘mati’ selama enam hari, kepandaiannya malah bertambah hebat berlipat
ganda sehingga aku pun tak sanggup melawannya. Pada saat dia dapat merebut pedang Ular Emas itu,
kulihat sinar matanya berkilat-kilat menyeramkan sekali.”
“Mungkin dia hendak membunuhmu,” kata Hun-ing.
“Benar, memang dia hendak membunuh aku. Tetapi pada saat yang berbahaya itu tiba-tiba terdengar suara
seruling...... entah bagaimana tiba-tiba dia tenang kembali...... dalam kesempatan itu segera kulancarkan
sebuah pukulan kepadanya. Tetapi tampaknya dia tak menderita luka. Setelah berteriak memanggil
namaku, dia terus melarikan diri.”
“Apa? Dia memanggil namamu?” Hun-ing terkejut.
“Memang, aku sendiri juga terkejut,” kata Kakek wajah dingin, “jelas kuperhatikan pada saat dia memanggil
namaku itu, dia tampak seperti seorang yang sadar pikirannya. Maka segera kukejarnya...... Dia lari
melintasi beberapa puncak gunung uutuk mengejar suara seruling itu. Tiba-tiba suara seruling itu lenyap.
Dia kembali dan menempur aku lagi.”
“Siapakah yang meniup seruling itu?” tanya Hun-ing.
“Bermula aku tidak memperhatikan suara seruling itu. Tetapi karena setiap kali dia bertempur dengan aku
lalu terdengar suara seruling itu berbunyi dan dia terus pulih kesadarannya, dia pun heran. Dia bertanya
kepadaku siapakah yang membunyikan seruling itu?”
Pek Wan Taysu terkejut mendengar keterangan itu.
“Sejak saat itu barulah aku mulai menaruh perhatian pada bunyi seruling yang aneh itu. Berapa bulan aku
mengejarnya, dengan begitu, aku dan Siau Lo-seng seolah-olah telah dibawa suara seruling itu untuk
menjelajah beberapa puncak gunung,” kata Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang.
Rupanya Hun-ing juga heran dan terkejut mendengar keterangan itu. Ia menegas: “Apakah hal itu sungguhsungguh?”
“Mengapa aku harus berbohong?” sahut Kakek wajah dingin, “kalau kalian tak percaya, orang yang meniup
seruling itu saat ini berada di sekitar kota Lok-yang. Apabila kalian mengikuti Siau Lo-seng tentu kalian akan
mendengar bunyi seruling aneh itu.”
Tepat pada saat si kakek mengatakan soal itu, tiba-tiba dari kejauhan seperti terdengar suara seruling yang
beralun perlahan.
“Dengarkanlah,” serentak Kakek wajah dingin berseru, “suara seruling itulah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang Pek Wan Taysu dan Hun-ing pun mendengar alunan suara seruling. Iramanya sesyahdu nyanyian
dewa, halus tenang dan damai sehingga hati orangpun merasa tenteram.
Tetapi suara seruling seolah berkumandang di udara sehingga sukar untuk menentukan arah tempat orang
yang meniupnya.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara Cu-ing berseru memanggil-manggil, “Siau toako, Siau toako......”
“Pek Wan Taysu, mari kita ke sana!” kata Hun-ing.
Tepat pada saat itu dari arah tenggara, meluncur sebatang panah api ke udara. Cepat Hun-ing lari ke arah
itu. Pek Wan Taysu dan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang pun segera mengikuti.
Suara seruling masih terdengar dan tiba-tiba I.eng Tong-siang pun berseru: “Hm, Siau Lo-seng datang.”
Dari berpuluh tombak jauhnya, sesosok tubuh bergerak menghampiri dengan cepat sekali. Dan pendatang
itu bukan lain adalah Siau Lo-seng
Melihat itu Hun-ing bergegas menyongsong tetapi cepat-cepat Pek Wan Taysu berseru: “Ui Pang-cu, hatihatilah.
Dia belum sadar pikirannya……”
Paderi itu memperhatikan bagaimana luar biasa sekali gerak Siau Lo-seng. Apabila membentur Hun-ing,
nona itu tentu celaka.
Tetapi peringatan itu sudah terlambat. Benar-benar bagaikan kilat menyambar, tahu-tahu Siau Lo-seng
sudah tiba dihadapan nona itu. Untuk menghindar Hun-ing sudah tak sempat lagi.
Dalam keadaan itu Hun-ing tak gentar sama sekali. Sambil pejamkan mata ia pasrah dalam hati: “Kalau
harus mati, aku puas mati di tangannya.”
Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba Siau Lo-seng berseru kaget: “Ui Pang-cu, engkau!”
Dengan gerak yang sukar dipercaya, anak muda itu berputar-putar dan berhenti sehingga benturan maut itu
dapat dicegah.
Hun-ing membuka mata dan dapatkan pemuda itu tegak merapat dihadapannya. Hampir dia tak percaya
pada pandang matanya.
“Siau toako…… engkau…… kenal padaku……,” berderai-derailah airmata Hun-ing dan serta merta, ia
rebahkan diri ke dada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng menjamah kedua bahu si nona lalu menyurut mundur selangkah kemudian berpaling ke arah
Pek Wan Taysu dan Leng Tiong-siang.
“Paman Pek Wan, Leng locianpwe, kalian juga berada di sini.”
Bukan kepalang kejut Pek Wan Taysu saat itu. Jelas Siau Lo-seng sudah pulih kesadarannya. “Lo-seng,
engkau…… engkau…… sudah sembuh,” serunya tegang.
Siau Lo-seng menghela napas rawan: “Paman Pek Wan, aku tak sempat untuk memberi penjelasan kepada
kalian. Singkatnya, jiwaku saat ini hanya tergantung pada suara seruling aneh itu....... hanya suara seruling
itu yang dapat mengembalikan kesadaran pikiranku.”
Tiba-tiba Cu-ing lari mendatangi dan melengking: “Siau toako, mengapa engkau tak menghiraukan
diriku.......”
Siau Lo-seng berpaling memandangnya, “Nona Nyo, harap engkau dapat memaafkan kesukaran
hatiku……, oh, ya, ada sebuah hal yang perlu kuberitahukan kepadamu. Li Giok-hou itu.......”
“Siau toako, engkau…… tidak kehilangan ingatanmu…….” karena gembira, Cu-ing cepat menukas. Nona
itu mengucurkan airmata.
Hun-ing menyadari bahwa sehatnya pikiran Siau Lo-seng itu hanya tergantung dari suara seruling. Kalau
seruling itu berhenti, anak muda itu tentu akan berobah menjadi harimau yang buas lagi.
Kenyataan itu harus digunakan sebaik-baiknya oleh Hun-ing. Cepat nona itu menyeletuk: “Adik Ing, pulihnya
ingatan Siau toako itu karena mengandalkan suara seruling aneh itu. Nanti akan kujelaskan hal itu
kepadamu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
08.40. Ungkapan Hati Dua Dara Jelita
Rupanya Cu-ing juga menyadari hal itu bahwa sembuhnya pikiran Siau Lo-seng itu memang tidak
sewajarnya.
Selama kedua nona berbicara dengan Siau Lo-seng, hanya Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang yang
pejamkan mata, kerahkan perhatian untuk memperkirakan arah datangnya suara seruling itu.
“Ui Pang-cu, apakah kalian sudah mengetahui hal itu?” tanya Siau Lo-seng,
“Ya, Leng locianpwe sudah menerangkan kepada kami,” jawab Hun-ing.
“Leng locianpwe,” tiba-tiba Lo-seng menegur, “kali ini seruling berbunyi lama sekali. Apakah engkau sudah
dapat memperkirakan arah tempat peniupnya?”
Mendengar itu Leng Tiong-siang membuka mata.
“Hanya dua kemungkinan, dari arah tenggara atau dari barat daya. Mari kita berpencar mencarinya. Engkau
ke tenggara dan aku menuju ke barat daya,” kata kakek itu. Dan habis berkata ia terus loncat lari menuju ke
barat daya.
“Ui Pang-cu,” kata Lo-seng, “kalau kalian hendak mengejar aku, apabila tidak kedengaran seruling itu
berbunyi, harap jangan menyongsong aku, perihal diriku, silahkan bertanya kepada Leng locianpwe.”
Habis memberi pesan, pemuda itu terus ayunkan tubuh dan lari sekencang angin.
Hun-ing, Pek Wan Taysu dan Cu-ing tercengang heran menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh
dari Lo-seng saat itu.
“Ilmu ginkang itu termasuk ilmu yang paling tinggi dalam dunia persilatan,” kata Pek Wan Taysu.
“Pek Wan Taysu, mari kita kejar Siau toako,” ajak Hun-ing.
“Ah, sia sia,” sahut Pek Wan, “saat ini dia sudah berada beberapa lie jauhnya.”
Sekalipun mengatakan begitu, tetapi paderi Siau-lim-si itu mau juga bersama kedua nona lari menuju ke
tenggara.
“Pek Wan Taysu,” kata Hun-ing sembari berlari, “mengapa Siau toako mengejar peniup seruling itu karena
tahu bahwa orang itu akan dapat menyembuhkan kesadaran pikirannya.”
“Benar,” jawab Pek Wan, “rupanya Lo-seng tahu kalau dia kehilangan ingatan. Ah, sungguh suatu peristiwa
yang aneh sekali.”
“Ah, alangkah senangnya kalau aku dapat meniup seruling itu,” kata Cu-ing.
Hun-ing tersenyum, ujarnya: “Adik Ing, apakah engkau kuat untuk meniup seruling setiap hari dan malam
tanpa berhenti?”
Mendengar itu merahlah wajah Cu-ing, sahutnya: “Kalau aku bisa meniup, tentu akan kuajarkan juga
kepada cici Hun. Dengan demikian kita dapat bergiliran meniupnya.”
Ucapan itu merupakan curahan hati Cu-ing. Ia cinta kepada Siau Lo-seng tetapi iapun rela membagi cinta
anak muda itu kepada Hun-ing.
“Ah, apabila Lo-seng beruntung mendapat jodoh kedua nona itu, alangkah bahagia hidupnya. Tetapi ah,
rupanya nasib anak itu memang malang……” diam-diam Pek Wan Taysu merenung dalam hati.
“Adik Ing, apakah ucapanmu keluar dari hatimu yang tulus?” kata Hun-ing yang dapat menangkap maksud
hati Cu-ing.
“Ai, cici Hun, masakan engkau masih meragukan kecintaanku terhadapmu,” kata Cu-ing.
Hun-ing tertawa bersemangat: “Baiklah, adik Ing, mari kita kejar peniup seruling. Sampai ke ujung langit pun
kita tetap harus mencarinya dan minta kepadanya supaya mengajarkan ilmu meniup seruling itu.”
Tiba-tiba suara seruling lenyap.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, seruling berhenti,” Cu-ing terkejut.
“Dan berhenti juga kesadaran pikiran Siau toako,” sambut Hun-ing dengan rawan.
Pek Wan Taysu, menghela napas, ujarnya: “Aku akan segera pulang ke Siau-lim-si dan secepatnya akan
mengirim jago-jago Siau-lim-si yang lihay untuk bantu mencari peniup seruling itu. Akan kuminta supaya
orang itu suka mengajarkan cara meniup seruling kepada kalian berdua.”
“Locianpwe, apakah engkau segera hendak pulang ke Siau-lim-si?” tanya Hun-ing.
Menurut keterangan Leng Tiong-siang sicu tadi, dia dan Lo-seng sudah beberapa bulan berkelana mencari
peniup seruling itu. Dengan begitu jelas menandakan bahwa orang itu tentu seorang tokoh yang sakti.
Untuk menemukan orang itu, tiada lain jalan kecuali harus mengerahkan tokoh-tokoh yang sakti. Oleh
karena itu, aku akan pulang ke Siau-lim-si untuk mengirim seratus delapanpuluh murid-murid yang
berkepandaian tinggi ke Lok-yang.”
Menengadah ke langit, Hun-ing mengatakan bahwa agaknya hujan akan turun lagi. Ia minta agar Pek Wan
Taysu suka menunda perjalanan sampai besok pagi saja.
Tetapi paderi itu berkeras hendak berangkat saat itu. Iapun segera mengucap selamat tinggal kepada
kedua nona dan terus berangkat.
Malam gelap sekali.
“Cici Hun, kemanakah kita akan menuju?” tanya Cu-ing.
“Sudah hampir sejam lamanya mencari, tetap kita belum bertemu Siau toako,” kata Hun-ing
Tiba-tiba kilat memancar dan menyusul terdengar halilintar menggelegar. Dalam kilatan sinar kilat yang
walaupun hanya sekejap itu, mata Hun-ing yang tajam dapat melihat bahwa di bawah sebatang pohon siong
tua yang tumbuh di lembah kaki puncak gunung, terdapat sesosok tubuh orang tengah berdiri. Dan
perawakan orang itu rasanya tak asing lagi.
“Hai, dia...... Siau toako!” teriak Cu-ing.
“St, adik Ing, lebih baik kita jangan mendekati dia dulu,” kata Hun-ing setengah berbisik.
Angin menderu keras. Batu dan pasir berhamburan terbang. Kilat dan halilintar sahut menyahut tiada
berkeputusan.
“Siapakah orang-orang itu?” tiba-tiba Cu-ing berseru pelahan pula.
Ternyata pancaran sinar dari kilat tadi memberi kesempatan pada Hun-ing dan Cu-ing untuk mencurahkan
pandang matanya lebih seksama. Dilihatnya dalam lembah itu bukan hanya Lo-seng seorang saja,
melainkan masih terdapat belasan orang yang berpencaran di dalam lembah. Terutama di sekeliling pohon
siong tempat Lo-seng berdiri.
Hai…... tiba-tiba tersiraplah darah Hun-ing dan Cu-ing di kala memperhatikan bahwa tubuh-tubuh yang
berserakan di sekeliling pohon siong itu ternyata merupakan mayat-mayat yang terkapar malang melintang.
Berkurangnya amukan kilat dan halilintar segera disusul dengan hujan yang mencurah deras. Dan di antara
lebatnya hujan itu terdengarlah berulang kali suara tertawa nyaring, pekik bentakan dan lengking jeritan
yang ngeri dan menyeramkan.
Tetapi jeritan-jeritan ngeri itu seolah-olah lenyap ditelan oleh ledakan halilintar yang dahsyat.
Saat itu Hun-ing dan Cu-ing terpaksa meneduh di sebuah batu cekung. Mereka berdua tak dapat melihat
apa yang telah terjadi. Malam gelap tertutup hujan deras. Tetapi mereka dapat menduga bahwa Siau Loseng
telah bertempur dan membunuh berpuluh musuh.
Menurut dugaan kedua nona itu, musuh-musuh yang bertempur dengan Lo-seng itu kalau bukan anak buah
Lembah Kumandang tentulah anak buah istana Ban-jin-kiong.
Untunglah hujan lebat itu tak berlangsung lama. Sepeminum teh lamanya, hujanpun berhenti. Angin reda
pula. Di cakrawala muncul rembulan yang memancarkan sinar terang.
“Hai, Siau toako dan orang-orang itu......?” tiba-tiba Cu-ing berseru kaget.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lembah yang terletak di sebelah bawah dari tempat meneduh kedua nona itu. merupakan sebuah lembah
yang liar, penuh ditumbuhi rumput dan belukar. Saat itu di tengah lembah, penuh dengan tebaran senjata
dan mayat-mayat yang berserakan memenuhi empat penjuru.
Yang mengherankan kedua nona yalah saat itu Lo-seng tak tampak berdiri di bawah pohon siong tua lagi.
Apakah pemuda itu juga binasa?
“Cici Hun, mari kita turun memeriksanya,” Cu-ing tak sabar lagi.
Tetapi Hun-ing mencegahnya: “Tunggu dulu, rupanya dalam rumah gubuk di tengah lembah itu seperti ada
orangnya.”
Ketika Cu-ing memandang ke arah rumah gubuk yang berdiri di tengah lembah, dilihatnya delapan orang
lelaki muncul keluar dengan membawa tombak. Mereka mengenakan pakaian warna merah seperti kaum
bu-su atau pengawal istana.
Kemudian keluar pula sebuah tandu yang indah sekali bentuknya. Tandu itu dipikul oleh delapan lelaki
perkasa baju putih.
Karena kain penutup tandu tidak ditutup maka dapatlah kedua nona itu melihat isi tandu itu.
Seorang lelaki tua. Tetapi kerena gelap kedua nona itu tak dapat melihat jelas bagaimana raut wajahnya.
Saat itu tandupun berjalan maju dengan diiring oleh kedelapan pengawal baju merah dan pada lain kejap
merekapun sudah lenyap dalam kegelapan malam.
“Adik Ing, betapalah pesat langkah kaki mereka,” seru Hun-ing.
Cu-ing mengiakan.
“Lekas mari kita turun,” seru Hun-ing pula. Nona itu tak ingat untuk memeriksa apakah dalam tumpukan
mayat-mayat itu terdapat juga mayat Lo-seng. Perhatiannya hanya tertuju pada rombongan tandu yang
aneh itu. Ia seperti mendapat firasat yang tak baik.
Setelah menuruni lembah, mereka dapatkan mayat-mayat yang malang melintang di tanah itu adalah anak
murid Lembah Kumandang. Siau Lo-seng tak ada di antara mereka.
“Adik Ing, mari kita kejar tandu itu,” kata Hun-ing.
“Cici Hun, bukankah kita hendak mencari Siau toako? Mengapa harus mengejar tandu itu?” batas Cu-ing.
“Adik Ing, apakah engkau sudah melihat jelas orang di dalam tandu itu?”
Cu-ing gelengkan kepala: “Tidak! Tetapi apakah Siau toako?”
“Bukan hanya seorang lelaki tua.”
“Lalu mengapa kita harus mengejarnya?” tanya Cu-ing.
“Adik Ing, engkau tentu tahu mengapa Siau toako berada di sini. Bukankah dia hendak mengejar orang
yang meniup seruling itu?”
“Cici,” seru Cu-ing. “engkau maksudkan orang tua dalam tandu itu yang meniup seruling.”
“Aku belum berani memastikan,” jawab Hun-ing. “tetapi kurasa orang tua itu memang mencurigakan sekali
gerak geriknya. Menilik kepandaian enambelas orang pengawal tandu itu, jelas mereka tentu tokoh-tokoh
silat kelas satu. Kepandaian mereka tak di bawah kita berdua Dengan begitu jelas kalau orang tua dalam
tandu itu tentu seorang yang teramat sakti. Kuduga dia tentu orang yang meniup seruling.”
“Mudah-mudahan dugaan cici itu benar, hayo, kita kejar!” seru Cu-ing gembira.
Tepat pada saat itu dari lembah terdengar alun suara seruling pula.
“Itulah!” seru Cu-ing.
“Benar, benar orang tua dalam tandu itu tentu yang meniup seruling,” Hun-ing terkejut girang.
Tetapi serempak pada saat itu, terdengarlah pekik bentakan yang diantar oleh angin. Menyusul lalu gelak
tertawa nyaring dan makian kemarahan…….
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing dan Cu-ing cepat lari menuju ke arah suara itu. Setelah melintasi beberapa puncak bukit, suara
gaduh itu makin terdengar jelas. Bahkan terdengar pula dering senjata beradu.
“Ha, ternyata mereka di sini,” seru Hun-ing girang.
Tampak tandu tadi berhenti di sebuah anak bukit yang tingginya duapuluhan tombak. Kedelapan pengawal
baju putih sedang meniup seruling besi. Sedang kedelapan pengiring baju merah saat itu sedang bertempur
dengan orang-orang yang hendak mendaki ke atas bukit.
“Adik Ing, kita lihat dari samping saja, untuk sementara jangan ikut campur pertempuran mereka,” bisik Huning
Kedua nona itu segera mencari sebuah tepat di lereng bukit. Dari tempat itu mereka dapat menyaksikan
jalannya pertempuran.
Kedelapan baju merah itu tegak menjaga di bawah puncak. Setiap terlihat musuh akan naik sampai dua-tiga
tombak, mereka tentu dibabat oleh kawanan baju merah itu. Bertubi-tubi sosok tubuh jatuh bergelundungan
ke kaki bukit. Dalam beberapa kejap saja tak kurang dari tujuhbelas-delapanbelas orang yang rubuh.
Tetapi musuh yang berada di kaki bukit, tak terhitung banyaknya. Satu mati, yang lain naik. Patah tumbuh,
hilang berganti.
“Cici Hun, siapakah orang-orang yang nekad itu?” tanya Cu-ing.
“Jelas mereka bukan orang Lembah Kumandang. Hai, lihatlah, bukankah itu Li Giok-hou?” seru Hun-ing.
Ternyata saat itu dari bawah bukit terdengar suitan panjang dan beberapa sosok tubuh berhamburan lari
mendatangi dengan pesat sekali. Yang paling depan bukan lain yalah Pedang berbisa pembasmi iblis Li
Giok-hou. Dan yang lain adalah si bungkuk Long Wi serta tiga orang tua baju hitam.
“Hayo. kalian mundur semua!” setiba di tempat pertempuran Li Giok-hou terus berseru nyaring.
Sambil berkata dia terus mendahului enjot tubuhnya ke atas puncak. Dalam beberapa lompatan saja dia
sudah tiba di muka ke delapan pengawal baju merah.
Saat itu ke delapan pengawal baju merahpun sudah mempersiapkan diri. Mereka bersikap garang. Tegak
berdiri berjajar untuk melindungi tandu yang berada tujuh tombak di belakang mereka.
Melihat Li Giok-hou, serentak meluaplah darah Cu-ing. Tanpa menghiraukan pesan Hun-ing lagi, nona itu
terus loncat ke luar dan menghampiri ke arah pemuda itu.
Giok-hou terkejut ketika melihat Cu-ing muncul. Serunya dengan wajah tertawa: “Adik Ing, mengapa engkau
di sini.......”
Tiba-tiba ia melihat di belakang Cu-ing itu, menyusul Hun-ing. Maka ia tak mau melanjutkan kata-katanya.
Dengan wajah merah membara, Cu-ing tertawa nyaring: “Li Giok-hou, mengapa tak engkau lanjutkan
perkataanmu…… heh, heh, heh……. sungguh tak kira, sungguh tak nyana. Seorang murid kesayangan dari
Go-bi Sam-hiap, ternyata menjadi pemimpin muda dari istana Ban-jin-kiong. Ayahku telah mati di tanganmu
secara licik sekali. Engkau benar-benar seorang manusia berhati binatang!”
Saat itu berdatangan Long Wi dan ketiga orang tua baju hitam.
Giok-hou tertawa sinis.
“Bagus,” serunya, “engkau sudah tahu hal itu sehingga aku tak perlu memberi penjelasan. Sekarang
silahkan engkau menyingkir ke samping dulu. Setelah urusan di sini kuselesaikan, nanti kita selesaikan
urusan kita itu.”
Habis berkata Gok-hou terus berpaling ke arah kedelapan pengawal baju merah, serunya: “Tandu yang
berani melanggar daerah terlarang dari istana Ban-jin-kiong itu, bukankah berisi…… Bu Beng Lojin?”
Sebenarnya Cu-ing hendak bertindak tetapi Hun-ing yang sudah berada di belakangnya segera menarik
lengan nona itu diajak menyingkir ke samping.
“Adik Ing,” bisik Hun-ing, “murid hianat itu tinggi sekali kepandaiannya. Mungkin kita tak mampu
melawannya. Apalagi saat ini kita hanya dua orang. Untuk membalas dendam masih ada waktu cukup, tak
perlu engkau harus melakukan sekarang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun Cu-ing ingin sekali mencincang tubuh Giok-hou tetapi dia seorang nona yang berpikiran panjang.
Ia tahu kekuatan pihaknya dengan kekuatan lawan. Maka diapun menurut nasehat Hun-ing.
Ke delapan pengawal baju merah itu tak mau menjawab pertanyaan Giok-hou.
Tiba-tiba dari dalam tandu terdengar sebuah suara yang parau: “Ya, memang aku inilah Bu Beng Lojin.
Bulan yang lalu aku telah pesiar ke istana Ban-jin-kiong. Apakah hal itu suatu kesalahan yang harus
dihukum mati?”
Kini Hun-ing baru mengetahui bahwa di antara Bu Beng Lojin atau Orang tua tak bernama dengan pihak
orang Ban-jin-kiong telah bentrok. Ketika mendengar nada suara orang tua itu, Hun-ing kerutkan dahi lalu
mencurah pandang untuk memandang ke dalam tandu dengan tajam.
Kiranya yang berada dalam tandu itu seorang lelaki tua yang rambutnya terurai lepas, menutupi tubuhnya.
Mukanyapun penuh dengan kumis dan brewok yang lebat tak terurus sehingga sampai menutupi kedua
matanya, hidung dan mulut. Jika tak bicara mungkin orang tak percaya kalau dia itu seorang manusia.
“Tempat suci istana Ban-jin-kiong merupakan daerah terlarang bagi setiap orang. Penjagaannya sekuat
dinding baja. Bagaimana engkau mampu masuk ke dalam istana itu?” seru Giok-hou sambil tertawa hina.
“Dengan naik tandu dan diiring oleh keenambelas pengawal, aku masuk dari pintu besar dan keluarpun dari
pintu besar itu,” sahut Bu Beng Lojin dengan nada dingin.
Giok-hou terbeliak: “Benarkah itu!”
Ia hampir tak percaya keterangan Bu Beng Lojin itu karena jelas bahwa pintu gerbang Ban-jin-kiong dijaga
ketat oleh berpuluh jago-jago silat sakti. Bahkan anak buah Ban-jin-kiong sendiri juga diperiksa keras
apabila melalui pintu gerbang itu.
“Bagi lain orang memang istana Ban-jin-kiong merupakan rawa naga sarang harimau. Tetapi bagiku tak lain
seperti rumahku sendiri.
Saat itu rupanya Giok-hou sudah menyadari bahwa orang tua itu seorang sakti yang aneh. Mungkin dia
sudah mengetahui susunan istana Ban-jin-kiong lalu menggunakan surat jalan palsu untuk masuk keluar
dari pintu gerbang. Kalau tidak begitu, tentu tak mungkin dia mampu melewati penjagaan pintu gerbang
istana.
Giok-hou tertawa meloroh, serunya:
“Maaf, maaf, karena terlambat memberi hormat kepada anda. Tetapi entah siapakah gerangan nama anda
yang mulia itu?”
Bu Beng Lojin tertawa.
“Bukankah engkau sudah tahu gelaranku Bu Beng Lojin atau Kakek tanpa nama? Mengapa masih bertanya
lagi?”
09.41. Barisan Sakti.
Saat itu tampak si bungkuk Long Wi dan ketiga orang tua kurus baju hitam, sudah siap bergerak. Mereka
pelahan-lahan mengisar tubuhnya.
“Tadi tuan mengatakan bahwa Ban-jin-kiong itu seperti rumah sendiri, dapat bergerak bebas ke luar masuk.
Apakah tuan berani melakukan hal itu sekali lagi?” tiba-tiba Giok-hou berseru.
“Budak licin, engkau memang selicin belut, secerdik kancil,” seru orang tua dalam tandu itu, “tetapi di
hadapanku, janganlah engkau jual tingkah. Tak perlu engkau undang, lain kali aku tentu akan datang pula
ke Ban-jin-kiong. Sekarang lekaslah engkau pulang dan perkuatlah penjagaan Ban-jin-kiong. Ketahuilah,
untuk yang kedua kalinya masuk ke dalam Ban-jin-kiong nanti, aku takkan ke luar dengan tangan hampa.”
Merahlah muka Giok-hou seketika.
“Apakah dengan beberapa patah kata yang engkau ucapkan terus hendak tinggalkan tempat ini?” serunya
dengan nada hina, “Hm, ketika engkau masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong andaikata Kiong-cu dan
berpuluh jago-jago sakti berada dalam istana, tak mungkin engkau mampu keluar secara begitu mudah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pengawal Merah Putih, kita jalan!” tiba-tiba orang tua itu berseru memberi perintah. Dia tak mau
menggubris Giok-hou lagi.
“Ho, tak mudah untuk pergi, kawan!” seru Giok-hou seraya ayunkan tubuh menerjang ke atas puncak.
Seorang pengawal baju Merah segera menyambut dengan menusukkan tombak dalam jurus Membabat
lima gunung.
Giok-hou tertawa dingin. Sekali getarkan lengan tubuhnya tiba-tiba melambung ke atas. Setelah
menghindar tombak, ia segera meluncur ke samping penyerangnya.
Pengawal Baju Merah itu marah. Cepat ia hantamkan tangan kirinya. Sebelum Giok- hou menginjak tanah,
iapun sudah mendahului membalikkan tangan kanannya untuk manyambut serangan lawan. Dan dalam
pada itu ia lanjutkan melayang turun ke tanah.
Pengawal baju merah itu seketika merasa bahwa pukulannya telah tersiak ke samping.
Diam-diam dia terkejut sekali. Cepat ia kerahkan tenaga dalam untuk menahan tubuhnya yang akan
terdorong ke samping seraya menyerempaki berkisar tiga langkah.
“Cobalah engkau terima sebuah pukulan lagi?” seru Giok-hou dingin. Tangan kanan menampar dengan
pelahan.
Melihat kepandaian Giok-hou, seketika berobahlah wajah Hun-ing. Ia membisiki Cu-ing “Adik Ing, lihatlah,
luar biasa sekali kepandaian Li Giok-hou itu sekarang.”
Cu-ing pun mengetahui hal itu. Dia menyadari betapa jauh sekarang terpautnya kepandaiannya dengan
anak muda itu. Tetapi sekalipun begitu, ia tetap tak gentar. Kalau dapat, saat itu juga ia ingin menghancur
leburkan tulang belulang Giok-hou.
“Cici Hun,” katanya, “apakah kita tak membantu pengawal baju merah itu?”
“Ah, lihatlah, adik Ing,” bisik Hun-ing pula, “kawanan baju merah itu hebat sekali kepandaiannya……”
Ternyata pengawal baju merah itu kisarkan kaki dan menghindari tamparan Giok-hou. Daa serempak pada
saat itu, seorang pengawal baju merah cepat tampil maju dan berturut-turut melancarkan lima buah
serangan kepada Giok-hou.
Permainan tombak orang itu sungguh mengagumkan sekali. Tombak itu seakan-akan berobah menjadi
sinar memanjang yang mengurung tubuh Giok-hou, sehingga pemuda itu terpancing gerak serangannya.
“Huh,” tiba-tiba pula seorang pengawal baju merah lain menusuk dari samping dan memaksa Giok-hou
mundur sampai setombak jauhnya.
Setelah memaksa Giok-hou mundur kawanan pengawal baju merah itu tegak pula di atas puncak. Mereka
tak mau mengejar Giok-hou. Dan kedelapan pengawal baju putih pun segera menyelipkan seruling besi ke
pinggang masing-masing lalu mengangkat tandu dan terus dibawa berjalan dengan pesat sekali.
Ke delapan pengawal baju merah, pecah diri menjaga di kanan kiri tandu. Dalam beberapa kejap, mereka
sudah belasan tombak jauhnya.
Giok-hou terlongong-longong menyaksikan sepak terjang orang-orang itu sehingga sesaat ia lupa untuk
mengejarnya.
“Adik Ing, mari kita kejar,” seru Hun-ing. Ia menarik tangan Cu-ing diajak lari menuruni bukit.
Pada saat rombongan tandu itu tiba di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara tertawa yang nyaring.
“Itulah Siau toako,” Cu-ing berteriak kaget.
Memang suara tertawa nyaring yang cepat disusul dengan datangnya orang, ternyata memang Siau Loseng.
Kemunculan Siau Lo-seng itu mengejutkan kawanan pengawal baju merah dan baju putih. Cepat mereka
hentikan tandu dan lalu berbaris rapi di muka tandu.
Melihat Lo-seng, Cu-ing terus hendak menyongsong tetapi cepat ditahan Hun-ing: “Adik Ing, pikirannya
belum sadar, jangan sembarangan bergerak.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang tampak mata Lo-seng berkilat-kilat tajam memandang tandu. Dan pelahan-lahan tangannyapun
mulai mencabut pedang pusaka Ular Emas yang tersanggul di bahunya.
Sikap Lo-seng itu persis seperti dia menghadapi dan membasmi tigabelas Sip-hun-jin beberapa waktu yang
lalu.
“Ih, cici Hun, dia hendak membunuh mereka,” bisik Cu-ing.
“Kalau orang tua aneh dalam tandu itu memang benar peniup seruling, dia tentu dapat menguasai Siau
toako,” kata Hun-ing.
Sengaja Hun-ing memperkeras suaranya agar didengar orang tua dalam tandu itu.
Pada saat itu Li Giok-hou pun membawa anak buahnya mendatangi tempat itu. Begitu melihat Siau Loseng,
Giok-hou tertegun kaget.
Si bungkuk Long Wi pun pucat, katanya: “Sau-kiongcu, jangan cari perkara kepadanya.”
Giok-hou kerutkan alis.
“Long Tian-cu, benarkah keduabelas Sip-hun-jin kita itu dibunuh olehnya?” tanyanya.
“Kecuali aku dan seorang Sip-hun-jin memang seluruhnya telah dihancurkan dengan Pedang Ular Emas
itu,” sahut Long Wi.
Giok-hou mendesuh pelahan,
“Hm, jerih payah Kiong-cu untuk menciptakan tigabelas Sip-hun-jin, begitu muncul di dunia persilatan, terus
dihancurkan oleh pemuda itu. Bagaimanakah Long Tian-cu hendak memberi pertanggungan jawab kepada
Kiong-cu kita nanti?”
“Apapun yang Kiong-cu hendak menjatuhkan hukuman kepadaku, aku rela menerima,” kata si bungkuk
dengan nada rawan.
Giok-hou tertawa dingin.
“Lebih baik kita melihat di samping dulu,” katanya, “karena aku memang tak percaya sepenuhnya akan
keterangan Long Tian-cu bahwa dia begitu sakti dapat membinasakan kawanan Sip-hun-jin dari istana Banjin-
kiong.
“Sau-kiongcu,” kata si bungkuk Long Wi, “cobalah perhatikan sikap dan wajahnya itu. Bukankah dia seperti
seorang yang kehilangan pikiran. Kalau dugaanku tak salah, dia memang menyerupai Raja Iblis dari istana
Ban-jin-kiong kita, seorang......”
Tiba-tiba Long Wi hentikan kata-katanya.
Giok-hou mendengus: “Hm, aku tak percaya di dunia ini, kecuali ayahku dan Jin Kian Pah-cu, ada orang
ketiga lagi yang mampu menciptakan mumi. Sudahlah, jangan ngelantur.”
“Memang yang kucemaskan kalau Sau-kiongcu tak percaya hal itu,” kata si bungkuk Long Wi, “aku
mempunyai kesan bahwa kesaktian pemuda itu, tak dapat kita lawan...... kalau Sau-kiongcu tak membawa
Raja Akhirat itu, lebih baik kita cepat-cepat tinggalkan tempat ini.”
Saat itu Siau Lo-seng masih belum bergerak sedang ke delapan pengawal baju merah itupun hanya
bersiap-siap.
Hun-ing dan Cu-ing pun heran juga mengapa Siau Lo-seng tetap belum bergerak. Kedua nona itu mencurah
perhatian ke arah Lo-seng.
Tampak Siau Lo-seng termangu-mangu memandang kawanan baju merah itu.
“Adik Ing, apakah engkau memperhatikan cara ke delapan baju merah itu berbaris?” tiba-tiba Hun-ing
berkata.
Memang sepintas pandang tampaknya ke delapan baju merah itu secara tak teratur berdiri menghadang di
muka Siau Lo-seng. Tetapi sebenarnya mereka sedang membentuk diri dalam sebuah barisan yang aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Posisi dan sikap mereka berdiri itupun tidak sama. Dua orang yang berada paling depan, berdiri saling
berhadapan di kanan dan kiri. Kedua kaki mereka direntang seperti orang naik kuda. Sepasang tangan
mencekal tombak diacungkan ke atas.
Kemudian tiga orang yang berada di belakang, membentuk diri dalam formasi segitiga. Mereka memegang
tombak dengan tangan kiri. Lalu yang dua orang lagi, berdiri di sayap kanan dan kiri dari barisan. Terakhir,
yang seorang mencekal tombaknya, siap menyerang.
Barisan aneh itu memang angker dan berwibawa tampaknya.
Hun-ing pun terkejut.
“Adik Ing,” bisiknya, “barisan itu benar-benar istimewa sekali. Sekokoh dinding baja, sedahsyat kekuatan
ribuan lasykar berkuda. Rupanya Siau toako juga menyadari hal itu maka dia tak segera bertindak.”
“Cici Hun,” kata Cu-ing, “apabila Siau toako nekad menyerbu, apakah dia akan terluka?”
Pikiran gadis itu tak lain hanya tertuju pada keselamatan Lo-seng saja.
Hun-ing gelengkan kepala.
“Walaupun kepandaian Siau toako sakti sekali tetapi kurasa barisan itu mampu menghadapi serangan yang
bagaimanapun ganasnya.”
Baru Hun-ing memberi keterangan begitu, dari dalam tandu terdengarlah orang tua itu berseru.
“Hai, budak perempuan, siapakah engkau ini?” serunya.
Mendengar itu, Hun-ing maju dua langkah dan menyahut: “Locianpwe, aku ini adalah ketua perkumpulan
Naga Hijau yang sekarang. Namaku Ui Hun-ing. Mohon locianpwe suka memberi petunjuk.”
Mendengar keterangan itu tiba-tiba si orang tua berseru dengan nada dingin: “Ngaco belo! Umurmu masih
begitu muda apalagi engkau seorang budak perempuan. Bagaimana mungkin engkau dapat memimpin
sekian banyak orang gagah dalam dunia persilatan.”
Hun-ing tersenyum.
“Locianpwe mendamprat tepat sekali. Memang aku seorang anak perempuan yang kurang pengetahuan
dan miskin pengalaman. Tak layak menjabat seorang ketua dari perkumpulan orang gagah. Tetapi aku
hanya menjabat sebagai pejabat ketua untuk sementara waktu.”
“Engkau maksudkan, engkau rela menyerahkan kepada orang yang lebih cakap, bukan?” seru orang tua itu
pula.
“Benar,” sahut Hun-ing, “mengapa agaknya locianpwe menaruh perhatian akan soal itu?”
Memang Hun-ing maupun Cu-ing merasa heran mengapa orang tua dalam tandu itu bertanyakan urusan
Naga Hijau.
“Kalau kalian berdua tak takut kepadaku, ikutlah aku ke guha pertapaanku Thian-siau-sian-tong. Disana
engkau boleh memberi keterangan.”
Mendengar nama guha Thian-siau-sin-tong seketika berobahlah wajah Cu-ing, serunya terbata-bata:
“Thian-siau-sian-tong? Jika begitu engkau ini……”
Rupanya ia dicengkam perasaan takut yang hebat sehingga tak melanjutkan kata-katanya.
Memperhatikan kerut wajah Cu-ing, Hun-ing segera bertanya bisik-bisik: “Adik Ing, dimanakah guha Thiansiau-
sian-tong itu?”
“Entahlah,” Cu-ing gelengkan kepala. “tetapi kutahu di guha pertapaan itu terdapat seorang penghuni yang
aneh.”
“Siapakah orang itu?” tanya Hun-ing pula.
Belum Cu-ing menyahut, orang tua dalam tandu itu sudah berseru: “Apabila kalian ikut aku ke sana,
tentulah akan tahu orang itu.”
Hun-ing merenung sejenak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik, apabila tak keberatan kami akan ikut ke guha itu,” sesaat kemudian nona itu berkata.
Nona itu mempunyai rencana. Apabila orang tua itu memang, Si peniup seruling ajaib ia hendak berunding
dengan dia cara untuk menolong Siau Lo-seng. Tetapi apabila bukan, iapun ingin mengetahui siapakah
sebenarnya orang tua dalam tandu itu.
Tiba-tiba Cu-ing menunjuk pada Siau Lo-seng dan berkata: “Lo-cianpwe, apakah dia boleh ikut dibawa ke
sana?”
“Siapakah dia itu?” orang tua aneh balas bertanya.
Mendengar pertanyaan itu tergetarlah hati Hun-ing, pikirnya: “Ah, kiranya orang tua ini tak kenal kepada
Siau toako......”
Cu-ing menghela napas.
“Dia adalah toako kami,” katanya, “yalah calon ketua dari perkumpulan Naga Hijau!”
“Tetapi rupanya dia sakit,” seru orang tua dalam tandu itu.
“Benar, dia memang menderita sakit lupa ingatan,” kata Hun-ing dengan rawan.
Berkata pula orang tua dalam tandu itu: “Dia memiliki kepandaian yang mengejutkan orang. Menurut
penilaianku dalam dunia persilatan dewasa ini, hanya barisan Gun-hap-ki-bun-tin dari pengawal baju merah
dan baju putih tadi, yang mampu melawan serangannya.”
“Gun-hap-ki-bun-tin?” ulang Cu-ing heran, “apakah artinya barisan itu?”
“Gun-hap-ki-bun-tin artinya barisan istimewa yang terdiri dari gabungan beberapa macam barisan. Yalah
barisan Thay-kek, barisan Liang-gi dan barisan Su-giong.”
“Jika anak buah locianpwe dapat membentuk barisan sehebat itu, locianpwe tentu seorang sakti yang
terpendam,” seru Hun-ing.
Orang tua Tanpa Nama atau Bu Beng Lojin itu berkata, “Ketika di dalam lembah apabila tiada barisan
gabungan itu, aku dan anak buahku tentu sudah binasa semua. Mana dapat disebut orang sakti terpendam,
Ha, ha…… aku ini sebenarnya hanya seorang tua yang cacat badan.”
“Menurut hematku,” kata Hun-ing pula. “walaupun barisan gabungan itu dahsyat sekali tetapi mereka tak
memiliki daya untuk menyerang musuh. Dengan begitu entah sampai berapa lama lagi mereka harus
berhadapan menunggu serangan orang.”
Hun-ing memang cerdas sekali otaknya. Dalam beberapa saat saja ia sudah dapat menilai keadaan barisan
ke delapan baju merah itu. Mereka hebat tetapi hanya bersikap membentuk pertahanan. Musuh tak
menyerang, merekapun tak dapat menyerang dulu.
Orang tua itu tertawa panjang.
“Pintar, pintar benar engkau,” serunya. “sungguh tak kira engkau mampu mengetahui kelihayan dan
kelemahan barisan itu. Tetapi engkau tentu belum tahu kegunaan dari barisan itu yang sesungguhnya maka
cobalah engkau perhatikan lagi dengan seksama. Engkau tentu akan mengerti.”
Ketika Hun-ing berpaling ke arah gelanggang dilihatnya Siau Lo-seng sudah beralih tempat. Kedua
tangannya menggentakkan pedang dan sepasang matanya tercurah pada seorang pengawal baju merah.
Tumit kaki Siau Lo-seng pun mulai diangkat. Tampaknya dia hendak melakukan serangan yang dahsyat.
Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring dan terus serempak menyelinap pada pengawal baju merah di sayap
barisan sebelah kanan. Pedang pusaka ular Emas berhamburan laksana bunga api mencurah, pemuda itu
terus menyerbu ke dalam barisan.
Seketika keadaan barisan gabungan itu tampak kacau. Seorang pengawal baju merah harus berlincahan
tukar tempat sampai beberapa kali.
Tiba-tiba Siau Lo-seng bersuit nyaring lagi lalu loncat keluar sampai tiga tombak jauhnya dan tegak berdiri
dalam sikap yang berbeda lagi.
Melihat itu heranlah Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cici Hun,” tanyanya, “pada waktu Siau toako menyerbu tadi bukankah barisan itu tampak kacau? Tetapi
mengapa Siau toako loncat keluar dari barisan lagi? Apakah mungkin di dalam barisan itu terdapat bagianbagian
yang sulit?”
“Jangan engkau memandang rendah barisan itu,” kata Hun-ing, “memang tampaknya tadi barisan itu kacau
tetapi langkah kaki mereka merupakan gerakan yang luar biasa hebatnya. Memang dari sini kita tak tahu
bagaimana hal yang sebenarnya tetapi menilik Siau toako harus loncat keluar lagi, jelas dia tentu kewalahan
tak dapat menerjang masuk.”
Tiba-tiba orang tua dalam tandu itu tertawa meloroh.
“Benar, benar,” serunya, “memang tadi dia benar-benar berhasil mendobrak masuk tetapi dengan cepat
barisan itu segera membaiki kedudukannya lagi sehingga tertutup rapat...... he, he, he......”
09.42. Nyanyian iblis dari Rumah Dewa
Mendengar percakapan itu, Li Giok-hou dan anak buahnya tergetar dalam hati. Terutama Giok-hou terkejut
sekali atas kesaktian Siau Lo-seng.
Setelah barisan itu menyusun pertahanan, memang diam-diam Giok-hou mengamat-amati keadaannya.
Tetapi belum lagi ia mengetahui apa nama barisan itu dan bagaimana keadaannya yang sebenarnya, tahutahu
Siau Lo-seng sudah dapat mendobraknya.
Saat itu timbul pada pikiran Giok-hou, bahwa Siau Lo-seng itu sesungguhnya jauh lebih cerdik dan lihay dari
dirinya.
Dalam pada itu Siau Lo-seng pun tampak mengitari barisan. Rupanya ia sedang mencari lubang kelemahan
dari barisan itu, untuk diserbunya.
Gerak gerik Siau Lo-seng tak ubah seperti seekor harimau yang tengah melingkari sekelompok korbannya.
Tiba-tiba dia menggembor keras. Tubuh melambung ke udara, dengan gerak semacam kuda terbang di
udara, ia taburkan pedang Ular Emas mencurah ke atas kepala seorang pengawal baju merah yang
mengacungkan tombak ke atas dan menduduki posisi di pusar barisan itu.
Cepat sekali gerak layang dari Siau Lo-seng, secepat itu pula pedangnya berhamburan laksana hujan
mencurah dari langit.
“Tring, tring.......”
Terdengar dering suara yang melengking tajam sekali ketika delapan batang tombak serempak menangkis
Pedang Ular Emas.
Dengan kepala menukik ke bawah dan kaki menjulang ke atas, Siau Lo-seng menyelinapkan tangan kirinya
untuk menampar kepala pemimpin barisan baju merah itu.
Tetapi orang itu tanpa mengangkat kepala ke atas segera songsongkan tangannya, “bum……”
Siau Lo-seng terlempar jungkir balik melayang-layang ke tanah sampai tiga tombak jauhnya dan masih pula
terhuyung-huyung tujuh-delapan langkah baru ia dapat berdiri tegak. Pedang Ular Emas menjulai ke bawah.
“Huak, huak…..” dia muntah darah sampai dua kali.
“Siau toako!” Cu-ing menjerit kaget, terus hendak memburu ke tempat pemuda itu tetapi cepat dicegah Huning.
“Adik Ing, jangan bertindak sembarangan. Saat ini Siau toako masih belum sadar pikirannya.......”
Walaupun Hun-ing mengucapkan kata-kata itu dengan berbisik namun tertangkap juga oleh telinga jagojago
Ban-jin-kiong.
Giok-hou dan Long Wi saling bertukar pandang. Keduanya saling menjajagi pikiran dan kesan masingmasing.
Wajah Giok-hou berseri girang. Cepat ia berpaling ke arah Siau Lo-seng lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rambut Siau Lo-seng terurai lepas menutup kedua bahunya. Mulutnya masih bercucuran darah tetapi
tangan kirinya masih membentuk sikap bersilat. Pedang pusaka di tangan kanannya menjulai tanah.
Sepasang matanya merah membara. Sepintas pandang dia menyerupai seekor binatang buas yang tengah
menderita luka.
Sekonyong-konyong sinar emas memancar.
Tiada seorang yang berada di gelanggang itu tahu bagaimana caranya bergerak tahu-tahu Siau Lo-seng
dengan kecepatan seperti kilat, sudah menyerbu lagi ke dalam barisan.
“Tring, tring, plak, plak…...”
Terdengar beberapa kali benturan senjata tajam dan pukulan yang dahsyat. Tiba-tiba sesosok tubuh
terlempar keluar sampai lima tombak. “Bum…... rubuhlah dia ke tanah.
Peristiwa itu berlangsung amat cepatnya. Seolah-olah hanya dalam beberapa kejap mata saja sehingga
orang tak sempat lagi untuk melihat apa yang terjadi. Tahu-tahu Siau Lo-seng terlempar dari barisan dan
rubuh di tanah.
Pemuda itu memang gila. Dia melenting bangun dari tempat berlumpur dimana ia telah terlempar jatuh.
Dengan menggigit gigi kencang-kencang ia segera tegak berdiri lagi.
Rambutnya terurai, menutup separoh dari mukanya. Dari celah-celah rambut itu, tampak sepasang matanya
berkilat-kilat buas sekali. Wajahnya pucat seperti mayat, mulut berlumuran darah dan pakaiannya kotor
penuh lumpur.
Suasana di gelanggang itu tampak seram sekali, tegang dan mencengkam hati.
Siau Lo-seng terhuyung-huyung mundur dua langkah, bibirnya mengatup kencang, mata melotot.
Tiba-tiba kilat menyambar dan halilintarpun meletus dahsyat. Bumi tergetar dan serasa pecahlah anak
telinga orang-orang yang berada di tempat itu Setelah gemuruh halilintar lenyap hujan gerimispun turun.
Tubuh Siau Lo-seng bergoncang-goncang lalu rubuh ke tanah.
Sekonyong-konyong terdengar suara seruling berkumandang.
“Suara seruling yang aneh……“ seru Cu-ing.
Tetapi kebalikannya, pucatlah seketika wajah orang tua dalam tandu itu. Ia mengingau seorang diri,
“Nyanyian iblis dari Rumah Dewa…… dia…… apakah belum meninggal.......”
Alunan suara seruling yang aneh itu bagai aliran anak sungai, bunga-bunga gugur. Sedemikian halus dan
lembut tetapi jelas. Membuat orang terbuai melayang-layang dalam alam kedewaan.
Mendengar suara seruling itu, menggigillah tubuh Siau Lo-seng lalu pelahan-lahan bangkit berdiri.
Sepasang matanya memancarkan sinar yang aneh. Dari perut dan dadanya menghambur arus hawa
hangat yang terus mengalir ke atas, lalu ke seluruh badannya.
Tiba-tiba kepalanya bergetar dan serentak pikirannya pun terang. Semangatnya pulih lagi,
“Jalan! Lekas jalan!” seru orang tua dalam tandu memberi perintah kepada pengawalnya.
Ke delapan pengawal baju putih cepat mengangkut tandu mewah itu dan dalam beberapa kejap sudah tiba
di lereng sebelah tenggara.
Melihat itu Siau Lo-seng hendak mengejar tetapi Cu-ing meneriakinya: “Siau toako……”
Siau Lo-seng berhenti dan berpaling, “Oh, adik Ing, kalian……”
Cu-ing terus lari menubruk tubuh pemuda itu, serunya: “Apakah engkau tak kurang suatu apa? Ah, aku
hampir terkejut pingsan.”
Li Giok-hou dan si bungkuk Long Wi pun membawa anak buahnya mengejar tandu itu, Dalam beberapa
kejap. sunyilah tempat itu.
“Mereka……” teriak Siau Lo-seng gopoh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing tertawa mengikik: “Sudahlah Siau toako, tak perlu bingung. Orang itu bukanlah peniup seruling
yang hendak engkau cari itu......”
Cu-ing gelagapan ketika menyadari bahwa ia masih memeluk tubuh Siau Lo-seng. Buru-buru dia menyiak
tubuh pemuda itu dan bersungut-sungut penasaran: “Cici Hun, engkau sungguh bikin malu orang.”
Hun-ing tertawa terkial-kial.
“Hai, apa-apaan ini?” Siau Lo-seng makin bingung. Ia heran melihat gerak gerik kedua nona itu.
Mendengar kata-kata Siau Lo-seng, Cu-ing pun ikut tertawa.
Suasana yang tegang regang segera berganti dengan gelak tawa yang gembira. Tetapi kalau kedua nona
itu bersuka tawa, adalah karena mengetahui apa yang ditertawakan, Siau Lo-seng makin kebingungan
sampai mengucurkan keringat dingin.
Tiba-tiba Hun-ing berhenti tertawa dan berseru: “Sudahlah, jangan ribut-ribut, dengarkan suara seruling itu.”
Nyanyian seruling itu memang tidak lagi lemah lembut tetapi berobah gencar dan deras seperti derap
berpuluh kuda berpacu.
Rupanya Siau Lo-seng pun menyadari bahwa kesadaran pikirannya tergantung dari suara seruling itu. Maka
cepat-cepat ia minta kepada kedua nona untuk memberitahu apakah yang telah terjadi tadi.
Hun-ing dengan ringkas menuturkan peristiwa tadi.
“Jika begitu orang tua dalam tandu itu bukan orang yang meniup seruling?” seru Siau Lo-seng.
“Memang bukan,” jawab Cu-ing, “kalau tak salah, dia adalah tokoh yang pada limapuluh tahun berselang
pernah menggetarkan dunia persilatan. Namanya Ang Siong-pik bergelar Buddha Emas.”
“Hai, kalau begitu dia bersama Leng Tiong-siang dan Tay Hui Sin-ni merupakan tiga serangkai tokoh sakti
yang disebut orang sebagai Tiga Buddha Emas,” seru Hun-ing
“Ah, tak mungkin,” seru Lo-seng, bukankah Buddha Emas Ang Siong-pik sudah tewas ketika pada
limapuluh tahun yang lalu bertempur selama lima hari lima malam melawan paderi sakti Ko Bok dari gereja
Siau-lim-si? Kemudian karena Ko Bok juga putus urat jantungnya, dia pulang ke gereja Siau-lim-si dan
akhirnya menutup mata. Peristiwa itu diketahui seluruh kaum persilatan dan merupakan suatu peristiwa
yang menggemparkan. Bagaimana engkau menduga kalau orang tua itu si Buddha Emas Ang Siong-pik?”
“Karena dia menyebut tempat tinggalnya di guha Thian-siau-sian-tong maka dugaanku jatuh pada Buddha
Emas Ang Siong-pik,” kata Cu-ing.
“Tetapi atas dasar apa engkau memastikan dugaanmu itu?” tanya Hun-ing pula.
“Karena guruku Tay Hui Sin-ni pernah menceritakan peristiwa itu kepadaku,” jawab Cu-ing, “ketika suhu
berkelana sampai ke sebuah lembah di pedalaman gunung belantara, tiba-tiba ia menemukan senjata
tongkat pertapaan emas milik Ang Siong-pik. Tongkat itu berukir sebuah syair yang menyatakan kalau
pemilik tongkat hendak mengasingkan diri mencari kesucian batin di guha Thian-siau-sian-tong.”
“Lalu apakah Tay Hui Sin-ni tak mencari jejak Ang Siong-pik?” tanya Hun-ing.
“Walaupun sudah menjelajah seluruh pegunungan belantara namun suhu tak juga dapat menemukan guha
yang disebut Thian-siau-sian-tong itu,” kata Cu-ing. “Tetapi suhupun tak mau menceriterakan hal itu kepada
orang persilatan. Hanya diam-diam suhu selalu memperhatikan kabar-kabar, apakah Ang Siong-pik muncul
lagi di dunia persilatan. Ah, tak kira setelah berselang limapuluh tahun, aku bertemu dengan seorang tua
yang mengaku tinggal di guha Thian-siau-sian-tong. Maka ku duga ia tentu si Buddha Emas Ang Siong-pik.”
Hun-ing dan Siau Lo-seng terpikat perhatiannya mendengar cerita itu sehingga mereka tak merasa bahwa
suara seruling itu sudah lenyap sejak tadi.
Hun-ing lebih dulu dapat menyadari hal itu buru-buru dia memandang Siau Lo-seng dan berseru:
“Engkau……”
“Aku……” Siau Lo-seng terlongong heran. Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara orang berseru:
“Benar, memang orang tua itu adalah Buddha Emas Ang Siong-pik. Tetapi taraf dugaanmu tadi masih
salah. Dan memang kalian tak tahu hal itu.”
“Ah, Leng locianpwekah itu?” cepat Hun-ing berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah kapan waktunya, tahu-tahu memang Leng Tiong-siang si Kakek wajah dingin sudah berada di
belakang ketiga anak muda itu.
“Leng locianpwe, apakah pembicaraan kita tadi engkau dengar semua?” tegur Hun-ing.
Leng Tiong-siang mengiakan: “Ya, memang sudah lama aku berada di sini.”
Tiba-tiba Siau Lo-seng menatap wajah kakek itu serunya “Leng locianpwe, tadi engkau mengejar peniup
seruling itu atau tidak?”
“Bukankah pikiranmu sekarang sudah sadar?” kakek berwajah dingin balas bertanya.
“Ya, pikiranku terang.”
“Kalau begitu engkau sudah sembuh,” seru Cu-ing tegang sekali.
“Ah, bagaimanakah sesungguhnya ini?” Hun-ing benar-benar heran.
“Mungkin hal itu ada hubungan dengan luka yang diderita Siau Lo-seng dalam pertempuran dahsyat dengan
barisan baju merah tadi. Kalau ingin tahu bagaimana keadaan yang sesungguhnya silahkan tanya pada
orang yang meniup seruling itu,” kata Leng Tiong-siang.
“Kalau begitu, akan kucarinya sekarang!” habis berkata Siau Lo-seng terus hendak pergi.
“Ah, tak perlu mencarinya,” Leng Tiong-siang menghela napas.
“Mengapa?”
“Bukankah selama berbulan-bulan ini kita selalu mencarinya? Dan apakah engkau pernah berhasil
mendapatkannya?”
Siau Lo-seng terkesiap. Diam-diam ia mengakui kebenaran kata-kata kakek berwajah dingin. Memang luar
biasa anehnya peniup seruling itu. Suaranya berada di sebelah timur, apabila diburu ke timur, tiba-tiba
suara itu beralih ke sebelah barat. Dan suara seruling itu hanya selalu kedengaran pada waktu ia
menghadapi bahaya saja. Seolah-olah peniup seruling itu diam-diam telah memberi bantuan kepadanya.
“Cobalah engkau renungkan,” Leng Tiong-siang berkata pula “Cobalah engkau gerakkan tenagamu,” tibatiba
Leng Tiong-siang berkata pula, “apakah masih tetap hebat?”
Siau Lo-seng segera kerahkan tenaga dalam. Ia rasakan darahnya berjalan lancar, tenaga dalamnya
penuh. Segera ia menghampiri segunduk batu besar yang berada di dekat hutan. Sekali dorong batu besar
itupun terlempar beberapa belas langkah.
“Bagus, untuk sementara waktu ini ingatanmu masih belum hilang. Mari kita lanjutkan perjalanan,” kata
Leng Tiong-siang dengan wajah berseri girang.
“Ke mana?” tanya Siau Lo-seng.
“Istana Ban-jin-kiong.”
“Hai! Ke Ban-jin-kiong?” teriak Hun-ing dan Cu-ing serempak.
“Lekas kita jalan,” kata Leng Tiong-siang. “sambil berjalan sambil kuterangkan. Kalau tidak kita tentu
terlambat.”
Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang sekali bergerak sudah berada tiga tombak jauhnya. Siau Lo-seng dan
kedua nonapun mengikuti.
Sambil berlari Leng Tiong-siang bercerita: “Pada waktu kita berpisah dan aku memburu ke tenggara untuk
menyergap peniup seruling itu, tanpa sengaja aku telah kesasar masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong.”
“Apa? Engkau masuk ke Ban-jin-kiong?” teriak Siau Lo-seng.
“Bukan melainkan aku saja pun peniup seruling itu juga masuk ke istana Ban-jin-kiong dan berada tak jauh
dari sini.”
Kedua nona itu menggunakan seluruh kepandaiannya berlari baru dapat mengimbangi ilmu berlari dari Siau
Lo-seng dan Leng Tiong-siang.
“Hah, istana Ban-jin-kiong tak jauh di sekitar tempat ini?” teriak Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, memang berada di gunung ini,” sahut Leng Tiong-siang.
“Bukankah Buddha Emas Bu Beng Lojin itu juga pernah masuk ke dalam istana Ban-jin-kiong,” tiba-tiba Cuing
berseru.
Siau Lo-seng pun ikut bertanya: “Leng locianpwe, bukankah tadi engkau mengatakan bahwa tingkat
penafsiran adik Ing itu masih kurang sempurna? Cobalah engkau terangkan.”
“Pertanyaan yang baik,” kata Leng Tiong-siang “tahukah kalian bahwa sebenarnya Buddha Emas Ang
Siong-pik itu sebenarnya delapanbelas tahun yang lalu sudah muncul lagi di dunia persilatan?”
“Tidak tahu,” sahut Hun-ing, “dan rasanya dunia persilatan pun tak pernah mengetahui hal itu.”
Wajah Leng Tiong siang makin dingin dan sepasang matanyapun berkilat-kilat tajam.
“Disitulah letak kuncinya,” kata kakek berwajah dingin itu, “memang kemunculan yang kedua kali dari Ang
Siong-pik pada delapanbelas tahun berselang sangat dirahasiakan sekali. Dan pada masa itu bukankah
dunia persilatan penuh dengan peristiwa-peristiwa yang aneh? Misalnya seperti terbunuhnya seluruh
keluarga Siau Han-kwan, ketua perkumpulan Naga Hijau. Begitu pula lenyapnya beberapa tokoh persilatan
ternama……”
Mendengar disebutnya peristiwa pembunuhan ayahnya, seketika teganglah perasaan Lo-seng. Peristiwa
berdarah itu terbayang kembali dalam benaknya. Sepasang matanya membara merah dan serentak ia
hentikan larinya.
“Apakah pembunuhan itu mempunyai sangkut paut dengan hilangnya beberapa tokoh itu?” serunya,
Leng Tiong-siang terkejut dan hentikan langkah juga: “Eh, mengapa?”
“Siau Han-kwan si Naga sakti tanpa bayangan itu adalah ayahku!” seru Lo-seng dengan penuh keharuan.
“Engkau putera Siau Han-kwan?” Leng Tiong-siang terkejut, “peristiwa berdarah pada keluarga Siau
rupanya mulai tampak titik-titik terang.”
“Harap Leng locianpwe jangan main menyembunyikan rahasia dan lekas memberi tahu,” Cu-ing
menyeletuk.
Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang segera menuturkan sebuah rahasia dunia persilatan yang terjadi pada
empatpuluh tahun berselang.
09.43. Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong
Empatpuluh tahun yang lalu, dunia persilatan tenteram dan damai. Tetapi ternyata suasana itu hanya
seperti 'api dalam sekam' di luar, tenang, di dalam menyala. Tiap-tiap partai persilatan sedang kasak kusuk
untuk merencanakan langkah merebut kedudukan sebagai pemimpin dunia persilatan.
Pada waktu itu diam-diam telah timbul sebuah persekutuan yang menamakan diri sebagai Ho-ping-beng
atau persekutuan Cinta Damai.
Persekutuan itu bertujuan untuk mengadu kesaktian dengan para pimpinan partai-partai persilatan. Adu
kesaktian itu disertai dengan sebuah syarat. Apabila pimpinan partai persilatan tersangkut dapat menang
maka dia berhak mencrima pusaka, baik senjata maupun kitab, menurut apa yang dikehendaki. Begitu pula
wakil persekutuan Cinta Damai yang kalah itu akan menurut dan tunduk pada perintah ketua partai
persilatan yang menang itu.
Tetapi apabila ketua partai persilatan tersebut kalah, dia harus mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Oleh karena hadiah pusaka yang akan diberikan oleh persekutuan Cinta Damai itu memang sungguhsungguh
luar biasa nilainya maka banyak jago-jago silat sakti yang datang dan minta diadu dengan wakil
persekutuan Cinta Damai.
Ternyata selama itu, tiada seorangpun tokoh silat yang menang. Jago dari persekutuan Cinta Damai itu
memang luar biasa saktinya.
Sejak itu dunia persilatan berangsur-angsur tenang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menutur sampai di situ, Leng Tiong-siang berhenti. Sejenak ia memandang Siau Lo-seng. Dilihatnya anak
muda itu termangu-mangu mendengarkannya.
“Bukankah pimpinan persekutan Cinta Damai itu hanya terdiri dari empat orang?” tiba-tiba Cu-ing
menyeletuk.
“Rupanya engkau tahu hal itu,” serunya.
“Tidak, aku hanya tahu sedikit sekali,” sahut nona itu.
“Tetapi kemudian, persekutuan Cinta Damai itu kalah di tangan seorang jago pedang,” kata Leng Tiongsiang
pula.
“Siapa?” tanya Cu-ing.
Leng Tiong-siang tak lekas menyahut melainkan termenung beberapa jenak.
“Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan,” kata Leng Tiong-siang sesaat kemudian.
Serempak ketiga orang itupun memandang ke arah Siau Lo-seng. Tetapi alangkah kejut mereka!
Ternyata saat itu Siau Lo-seng sudah tak ada di tempatnya. Dan sebagai gantinya, di tempat itu telah berdiri
seorang baju hitam yang mengenakan kerudung muka.
Peristiwa itu berlangsung pada waktu Leng Tiong-siang bicara dengan kedua nona tanpa diketahui sama
sekali oleh mereka bertiga.
Dapat dibayangkan betapa kejut Leng Tiong-siang dan kedua nona itu.
“Hai, engkau manusia atau setan!” bentak Hun-ing.
Tetapi orang bertubuh tinggi kurus yang mengenakan kerudung muka hitam itu tak bergerak. Kedua
tangannya menjulur ke lutut.
Diam-diam Leng Tiong-siang tergetar hatinya. Dengan kepandaian yang dimiliki toh ia masih tak dapat
mengetahui kemunculan orang itu.
Dalam pada itu Hun-ing dan Cu-ing tak dapat menahan sabar lagi. Kedua nona itu serempak membentak
dan lepaskan pukulan.
Tetapi orang aneh itu seolah-olah tak mengacuhkan pukulan dahsyat dari kedua nona. Dia tetap tegak,
tidak menghindar maupun menangkis.
“Bum, bum…..”
Pukulan itu tepat mendarat di dada orang berkerudung. Tetapi suara mengerang tertahan malah terdengar
dari mulut Hun-ing dan Cu-ing. Kedua nona itu terhuyung mundur dua langkah. Tangan mereka terasa sakit.
Sedang orang berkerudung hitam itu tetap tegak seperti patung.
“Siu-lo-sin-kang!” teriak Leng Tiong-siang seketika.
“Apa? Siu-lo-sin-kang?” Hun-ing yang saat itu sudah berdiri tenang, pun terkejut.
Siu-lo-sin-kang merupakan ilmu simpanan yang istimewa dari gereja Siau-lim-si. Sejak Siau-lim-si berdiri
hanya beberapa tokoh yang mampu menguasai ilmu sakti itu. Sejak seratus tahun yang lalu Liau Liau
Siansu dapat menguasai ilmu itu. kemudian dalam tiga angkatan murid-murid Siau-lim-si tidak ada
seorangpun yang berhasil memahami ilmu sakti itu.
Menurut ceritanya, seorang yang dapat melatih ilmu sakti sin-kang itu, dia akan kebal dengan segala racun,
air, api dan segala macam senjata tajam. Tubuhnya akan menjadi lindung atau kebal.
Siapakah orang aneh itu? Mengapa dia juga memiliki ilmu sakti Siu-lo-sin-kang?
Tiba-tiba Leng Tiong-siang membentak keras dan menghantam: “Cobalah engkau terima pukulanku ini!”
Serangkum arus gelombang tenaga yang dahsyat segera berhamburan ke arah orang aneh itu.
Tampak orang aneh itu mengangkat tangannya dan tenaga pukulan Leng Tiong-siang pun bukan saja
lenyap tetapi orangnya juga tersurut mundur tiga langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing mempunyai pengalaman yang luas dan otak yang cerdas sekali. Dia segera tahu bagaimana kedua
tokoh itu telah saling adu tenaga dalam. Dan ternyata tenaga dalam dari Kakek wajah dingin Leng Tiongsiang
masih kalah dengan orang aneh itu.
Leng Tiong-siang sendiri memang bukan kepalang kejutnya. Setitikpun tak pernah ia duga bahwa hanya
dengan gerakkan kedua tangannya ke muka, orang aneh itu telah mampu menghapus pukulan yang disaluri
dengan lima bagian tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.
Karena penasaran kakek wajah dingin itu segera menghantam dengan kedua tangannya. Kali ini ia
menyalurkan sepuluh bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi.
Tampak orang aneh itu tetap tegak di tempatnya. Tidak menangkis, pun tidak menghindar.
“Uh, apakah dia benar-benar sudah menguasai ilmu sakti Siu-lo-sin-kang dan sengaja memancing aku
supaya memukul lebih hebat lalu hendak menggunakan tenaga balik untuk melukai aku?” diam-diam Leng
Tiong-siang menimang dalam hati demi melihat orang aneh itu diam saja.
Cepat ia mengurangi dua bagian dari tenaga dalam Coat-im-liang-gi-cin-gi pada pukulannya itu. Setelah
tenaga pukulan Leng Tiong-siang hampir mengenai tubuhnya, barulah orang aneh itu condongkan tubuh ke
samping lalu ajukan kaki kiri maju setengah langkah, tangan kanan membalik ke atas, dengan jurus No-haypok-
liong atau Laut marah menangkap naga, ia menerkam pergelangan tangan kanan Leng Tiong-siang.
Tetapi Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang bukan seorang yang lemah. Dengan gerak yang istimewa ia
berputar tubuh dan maju menyerang lagi dengan kedua tangannya.
Saat itu segera pecah pertempuran yang dahsyat dari dua tokoh yang sakti.
Tampaknya Leng Tiong-siang benar-benar menumpahkan perhatiannya pada pertempuran itu. Ia
menyerang dengan hebat, pukulan dan tendangan bertubi-tubi dilancarkan. Dahsyat dan cepatnya bukan
alang kepalang. Jurus-jurus serangannyapun aneh dan sukar diduga lawan.
Dahulu Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu merupakan datuk dari Kwan-ga-sam-ki atau Tiga Datuk
dari Tibet. Sudah tentu kepandaiannya amat sakti. Dan apa yang diunjukkan dalam pertempuran itu
memang membuktikan betapa kesaktian yang dimiliki oleh tokoh itu.
Hun-ing dan Cu-ing termasuk pendekar wanita kelas satu dalam dunia persilatan. Tetapi mereka harus
terbelalak kaget ketika menyaksikan pertempuran itu. Diam-diam mereka malu dalam hati dan menyadari
bahwa ilmu silat itu memang tiada batasnya. Dibanding dengan dirinya, kedua tokoh itu jauh lebih sakti
berlipat ganda.
Tetapi ternyata kepandaian dari orang berkerudung hitam lebih hebat lagi. Setiap kali ia gerakan tangan
tentu selalu dapat menghapus serangan maut dari lawan. Begitu pula gerak tubuhnya, serba cepat dan tak
terduga-duga arahnya. Karena berpakaian serba hitam dan mukanyapun ditutup dengan kain hitam, maka
sepintas pandang dia benar-benar menyerupai sesosok hantu yang menari-nari di tengah malam.
Sudah tigapuluh lima jurus serangan dahsyat dan cepat dilancarkan Leng Tiong-siang. Namun jangankan
mengenai bahkan menyentuh ujung pakaian lawanpun tak mampu.
Leng Tiong-siang makin marah. Dia memperhebat serangan sedemikian rupa dan memperlipat gandakan
kecepatannya.
“Kena!” tiba-tiba Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang berseru. Ia menyelonong maju dan secepat kilat
menyelinapkan tangan kanannya memukul dada lawan yang dilindungi dengan bayangan kedua tangannya.
Tetapi pada saat tangannya menyentuh dada lawan, tiba-tiba tangan kanannya telah dicengkeram musuh.
Seketika ia rasakan kesemutan dan tenaganyapun lunglai. Yang berhasil mendarat di dada lawan hanyalah
sebelah tangan kirinya.
“Duk……”
Terdengar benda berat macam palu besi jatuh di tanah. Dan seketika itu kedua tubuh merekapun
berpencar.
Karena terseret tangannya, Leng Tiong-siang terlempar sampai tujuh-delapan langkah baru dapat berdiri
tegak. “Huak…...” dia muntah darah.
Sedangkan orang aneh itu mengerang aneh dan menyurut mundur sampai beberapa langkah. Sepasang
matanya berkilat-kilat memandang ke arah Leng Tiong-siang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing dan Cu-ing benar-benar terpesona mengikuti jalannya pertempuran itu sehingga mereka tegak
termangu-mangu seperti patung. Lupa untuk berseru menegur Leng Tiong-siang, lupa untuk menjerit kaget
karena kakek wajah dingin telah muntah darah.
Dengan wajah terkejut, Leng Tiong-siang memandang orang aneh itu. Dia benar-benar kagum akan
kepandaian orang itu. Ilmu sambaran Kin-na-jiu yang digunakan orang aneh itu, betul-betul luar biasa.
Mungkin dalam dunia persilatan tiada sebuah ilmu silat yang mampu menghindari cengkeraman itu.
Tiba-tiba orang aneh itu berputar tubuh dan tanpa berkata apa-apa terus lari pergi.
“Hai, betapa hebat ilmu larinya itu......” teriak Hun-ing ketika melihat dalam sekejap mata si orang aneh
sudah lenyap.
Leng Tiong-siang menghela napas rawan. Ia mengangkat muka memandang ke langit. Ada suatu pikiran
melintas pada benaknya Ah, betapa luas dunia, betapa kecil dirinya dan betapa masih rendah ilmu
silatnya……
Pelahan-lahan ia berputar tubuh memandang ke arah kedua nona yang termangu-mangu.
Tiba-tiba matanya tertumbuk pula akan sesosok bayangan orang yang berada di tempat gelap kira-kira dua
tombak jauhnya. Ah, lagi-lagi muncul seorang sakti yang kedatangannya sama sekali tak diketahui oleh
mereka bertiga.
“Ban-jin Kiong-cu, bagus engkau sudah datang sendiri. Aku memang hendak mencarimu,” tiba Leng Tiongsiang
berseru.
Di bawah sinar rembulan remang, tampak seorang imam yang mukanya tertutup kerudung hitam, tengah
berdiri pada jarak dua tombak. Cepat Hun-ing dapat mengenali orang itu sebagai yang memapas kutung
sebelah lengan si bungkuk Long Wi ketika di kuil tua tempo hari.
Ban-jin Kiong-cu atau yang dipertuan dari istana Ban-jin-kiong tertawa ringan.
“Sahabat Leng, perlu apa engkau hendak mengindari aku?” serunya.
Berhadapan dengan musuh, seketika merahlah mata Leng Tiong-siang.
“Ketahuilah bahwa larangan yang kita buat pada delapanbelas tahun yang lalu, sekarang sudah ada lima
buah yang hapus. Akupun boleh menempur engkau,” seru kakek wajah dingin itu.
Kepala Ban-jin-kiong tertawa mengekeh.
“Heh, heh, setelah berpisah selama delapanbelas tahun, kepandaian Leng-bin-sin-kun tentu maju pesat.
Tetapi apakah engkau lupa akan perjanjian yang nomor tujuh itu?”
Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang berseru dingin: “Tetapi janganlah engkau lekas bergembira dulu.
Larangan ke tujuh itu pun segera akan hapus.”
Rapanya kepala dari Ban-jin-kiong itu paham akan perangai Leng Tiong-siang. Semakin marah, Leng
Tiong-siang semakin diam dan dingin.
“Heh, heh,” kepala Ban-jin-kiong itu tertawa mengekeh pula, “mengapa Leng-bin-sin-kun marah-marah
begitu rupa? Di antara kita masakan tak ada yang tak dapat dirundingkan?”
Leng Tiong-siang berseru dingin: “Cepat atau lambat, aku pasti dapat membuka kedok kejahatanmu.
Sekarang aku hendak bertanya, siapakah orang aneh tadi? Bukankah dia salah sebuah mayat hidup yang
engkau ciptakan? Kalau tak salah, kepandaian orang itu tak di bawah aku dan engkau.”
Kepala Ban-jin-kiong tertawa meloroh.
“Engkau menanyakan orang itu?” serunya gembira, “adalah Raja Akhirat dari Ban-jin-kiong bukan mumi
bukan pula orang-orangan kayu. Kalau engkau tahu asal usulnya, engkau tentu takkan penasaran kalau
dikalahkannya.”
“Huh, Leng Tiong-siang tak pernah mengagumi manusia yang manapun juga,” seru Kakek wajah dingin,
“bukankah telah engkau bius kesadaran pikirannya supaya dia mati-matian menjual jiwa untukmu……”
“Terserah bagaimana engkau hendak mengatakan saja, ha, ha, ha……”
“Hm, ketahuilah,” seru Leng Tiong-siang, “bahwa malam ini Ban-jin-kiong tentu akan timbul peristiwa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ban-jin Kiong-cu tersenyum: “Terima kasih atas peringatan saudara Leng. Apakah alasanmu mengatakan
begitu?”
“Soal itu engkau tak perlu tahu.”
Kepala Ban-jin-kiong tertawa keras, serunya: “Ah, kalau begitu aku telah mengukur baju orang dengan
ukuran badanku. Mengukur hati seorang siau-jin (orang rendah) dengan ukuran hati seorang kesatria.”
“Ban-jin Kiong-cu, bagaimana Siau toako kami!” tiba-tiba Hun-ing membentak.
Kepala Ban-jin-kiong terkesiap lalu tertawa keras: “Aneh, aneh, engkau sendiri yang menyebabkan dia
pergi, sekarang engkau minta.”
Menggigillah Hun-ing karena marah, serunya: “Jika engkau berani mengganggu selembar rambutnya, aku
tentu akan mengadu jiwa dengan engkau…….”
Walaupun mulut mengancam tetapi Hun-ing menyadari kelihayan kepala Ban-jin-kiong itu maka ia tak
berani gegabah bertindak.
Tetapi Cu-ing sudah tak dapat menahan diri lagi. Dengan melengking keras ia segera menerjang kepala
Ban-jin-kiong dengan pedangnya seraya memaki: “Imam busuk, terimalah seranganku!”
Kepala Ban-jin-kiong terkesiap tetapi cepat-cepat iapun menghindar ke samping.
“O, kiranya engkau Nyo Cu-ing anak murid Tay Hui Sin-ni, maaf, maaf!” serunya, “kali ini Ban-jin-kiong akan
mengadakan perjamuan besar untuk menyambut sahabat-sahabat lama. Bukankah begitu saudara
Leng.......”
Karena tusukannya luput, Cu-ing segera kembangkan ilmu pedang Tay-hui-kiam-hwat. Pedang segera
berhamburan memancarkan sinar dingin. Pedang menyambar naik turun, menusuk, menabas, membabat
dan memagut jalan darah berbahaya di seluruh tubuh lawan.
Kepala Ban-jin-kiong berayun menghindari diri sampai setombak jauhnya.
“Bagus, budak perempuan,” ia tertawa gelak-gelak, walaupun engkau sudah mendapat pelajaran seluruh
ilmu pedang dari Tay Hui Sin-ni tetapi untuk melawan aku, masih jauh dari kurang?”
Cu-ing penasaran kerena dengan mudah lawan dapat lolos dari pedangnya, serunya: “Imam jahat, cobalah
engkau terima serangan pedangku lagi!”
Nona itu maju dan tiba-tiba pedangnya telah berganti gaya. Angin menderu keras, empat penjuru dilingkupi
sinar dingin. Dalam sekejap saja, kepala Ban-jin-kiong itu sudah terkurung dalam sinar pedang.
Tiba-tiba ketua Ban-jin-kiong itu tertawa panjang, serunya: “Hebat, hebat benar ilmu pedang Tay-hui-kiamhwat
itu...... ha, ha, ha!”
Dalam pada tertawa itu bagaikan sesosok setan, ia sudah berlincahan menerobos keluar dari kepungan
sinar pedang. Sekali ulurkan tangan ia sudah dapat mencengkeram tangan si nona dan terus merebut
pedangnya.
Cu-ing benar-benar terkejut sekali. Cepat ia ayunkan tangan kirinya untuk menghantam dada orang.
Ketua Ban-jin-kiong menghindar ke samping, sesaat tinju Cu-ing melayang, segera ia tutukkan jarinya ke
lengan si nona dan terus menarik lalu mengepitnya.
Peristiwa itu berlangsung hanya dalam sekejap mata saja sehingga Hun-ing masih tertegun dan Leng
Tiong-siang pun tak sempat memberi pertolongan lagi.
Sesaat kemudian tanpa menghiraukan bagaimana akibatnya lagi, Hun-ing terus menyerang dengan
pedangnya.
Sesosok tubuh berayun dan tahu-tahu tangan ketua Ban-jin-kiong itu sudah bertambah lagi dengan
sebatang pedang dan Hun-ing pun sudah berada dalam pelukannya.
Jika tak melihat sendiri tentu Leng Tiong-siang tak percaya bahwa hanya dalam sekejap mata saja kedua
nona itu sudah dapat dikuasai ketua Ban-jin-kiong.
Kakek wajah dingin itu berobah wajahnya lalu berseru dengan dingin sekali, “Ban-jin Kiong-cu, lepaskan
kedua orang itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepala Ban-jin-kiong tertegun malihat sikap Leng Tiong-siang yang begitu dingin menyeramkan. Tetapi
sesaat kemudian ia berseru: “Jika tak kulepaskan?”
09.44. Tempat Rahasia Istana Ban-jin-kiong
Dengan dingin dan tegas, Leng Tiong-siang pun berkata, “Jika tidak aku tentu engkau yang akan mati di
sini.”
Ketua Ban-jin-kiong tertawa gelak-gelak.
“Leng Tiong-siang, sekarang bukanlah seperti tempo dahulu. Memang empatpuluh tahun yang lalu aku
agak takut kepadamu. Delapan tahun berselang, masih gentar juga kepadamu. Tetapi sekarang, ha, ha, aku
Ban Jin-hoan boleh menepuk dada mengatakan bahwa engkau Leng Tiong-siang, belum tentu dapat
mengalahkan aku. Apalagi aku mempunyai anak buah yang banyak jumlah. Engkau Leng Tiong-siang
sudah tak berarti apa-apa bagi Ban-jin-kiong.”
Ternyata kepala Ban-jin-kiong itu bernama Ban Jin-hoan.
“Hm, silahkan coba,” seru Leng Tiong-siang dingin.
Tiba-tiba Ban Jin-hoan tersenyum sinis, serunya, “Leng Tiong-siang, tampaknya engkau masih
mengenangkan wanita busuk itu tetapi belum tentu dia masih mau mengenalmu.”
Mendengar kata-kata itu gemetarlah Leng Tiong-siang, serunya, “Ban Jin-hoan, jangan terlalu menghina
orang. Mengungkat peristiwa delapanbelas tahun yang lalu, berarti membuka borok yang tak sedap dilihat.
He, jangan kira aku dapat engkau bikin panas hati dengan ejekanmu itu. Jangan kuatir soal itu!”
Tiba-tiba kepala Ban-jin-kiong menengadahkan kepala dan tertawa nyaring. Nadanya penuh kerawanan,
dendam, marah dan kebencian.
“Ban Jin-hoan,” seru Leng Tiong-siang dengan nada agak iba. “jika engkau mau menghapus dendam lama
itu, aku Leng Tiong-siang pun akan menurut untuk mengundurkan diri dari dunia persilatan dan takkan
menuntut perbuatanmu, apa yang engkau lakukan selama delapanbelas tahun ini.”
Tubuh ketua Ban-jin-kiong itu agak gemetar. Walaupun mukanya ditutup kain kerudung tetapi jelas dia
tegang sekali wajahnya.
Suasana hening, dunia seolah tenggelam dalam kepekatan.
“Ban Jin-hoan, apakah engkau setuju?” tiba-tiba Leng Tiong-siang memecah kesunyian.
“Tidak,” sahut Ban Jin-hoan dengan nada dingin, “aku tak pernah menyesal. Dengan memandang mukamu,
kedua budak perempuan ini kulepaskan. Tetapi ketahuilah, bahwa sejak saat ini, himpaslah sudah budi
yang engkau berikan kepadaku. Lain kali kalau bertemu lagi, kita akan menyelesaikan dengan kepandaian
masing-masing. Cukup sekian dan sampai jumpa lagi!”
Setelah lepaskan Cu-ing dan Hun-ing, ketua Ban-jin-kiong itu terus berputar tubuh dan pergi.
“Tunggu!” tiba-tiba Leng Tiong-siang berseru.
“Masih ada urusan apalagi?” ketua Ban-jin-kiong berpaling.
“Tentang diri Siau Lo-seng anak itu. “Jika engkau tak mau memandang mukaku, baiklah engkau mengingat
ibunya dan jangan terlalu menyusahkannya!”
Ketua Ban-jin-kiong tertawa dingin, serunya: “Sebelum aku sekali lagi bertemu muka dengan ibunya, aku
takkan mencelakainya.”
“Kalau begitu, bebaskanlah dia!” kata Leng Tiong-siang.
Ban Jin-hoan tertawa meloroh.
“He, bahkan engkaupun tak percaya kepada Ban Jin-hoan. Walaupun aku Ban Jin-hoan itu seorang
manusia yang ganas, licin dan licik, tetapi aku masih dapat pegang janji. Kalau tidak masakan saat ini aku
mau berhadapan dengan engkau.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik,” seru Leng Tiong-siang, “dalam hal itu aku percaya kepadamu. Ang Siong-pik si Buddha Emas dan
peniup seruling yang belum diketahui orangnya, tak lama lagi akan menyerbu istana Ban-jin-kiong. Kalau
perhitunganku tak meleset, Tay Hui Sin-ni dan dia...... pun segera akan datang. Engkau harus lekas pulang
untuk bersiap sedia.”
“Hm, jangan lupa,” kata Ban Jin-hoan dengan nada dingin, “sekarang di antara kita berdua sudah tiada
ikatan bahkan sudah menjadi lawan. Tak perlu engkau cari muka.”
Hahis berkata kepala Ban-jin-kiong itu sudah meluncur lenyap dalam kegelapan malam.
Leng Tiong-siang menghela napas. Sambil memandang bayangan Ban Jin-hoan yang lenyap dalam
kegelapan, dia masih terkesan akan kata-kata yang terakhir dari kepala Ban-jin-kiong itu. Walaupun
diucapkan dengan nada dingin tetapi jelas mengandung percikan nada yang lembut.
Ah, masa beredar, jaman berganti dan manusiapun berganti. Hanya dia seorang dan ketua Ban-jin-kiong itu
masih tak berobah keadaannya.
Walaupun sudah dilepas tetapi karena jalan darahnya ditutuk oleh Ban-jin Kiong-cu maka kedua nona Huning
dan Cu-ing tak dapat berkutik dan bicara. Tetapi pikiran mereka masih sadar.
Apa yang telah terjadi antara Leng Tiong-siang dengan kepala Ban-jin-kiong itu dapat dilihat dan
didengarkan mereka. Segera mereka mendapat kesan bahwa di antara Leng Tiong-siang dengan kepala
Ban-jin-kiong itu terdapat suatu jalinan hubungan yang tidak biasa. Dan hubungan itu menyangkut dirinya
serta Siau Lo-seng.
Betapapun cerdasnya kedua nona itu namun karena peristiwa itu mempunyai liku-liku yang ruwet dan
berbelit-belit, kedua nona itupun tak dapat merangkai dugaan.
Hanya ketika melihat bagaimana Leng Tiong-siang seperti orang yang kehilangan semangat, kedua nona
itupun menitik airmata ikut terharu.
Tetapi mereka tak tahu mengapa ikut menitikkan airmata dan mengapa mereka harus menaruh simpathi
terhadap orang yang diserangnya tadi……
Tiba-tiba Leng Tiong-siang kedengaran berkata seorang diri: “Empatpuluh tahun telah berlalu seperti air
mengalir. Awan berarak angin berhembus dan langitpun membekas dendam…...”
Pada wajah Leng Tiong-siang kakek yang dingin itu, menitik dua butir airmata.
Alam sekeliling makin senyap dan rawan.
Tiba-tiba terdengarlah Kakek wajah dingin itu bersenandung sebuah lagu yang mengharukan:
Air beriak di musim semi
Sungai mengalir jauh ke muara
Bertemu laut kembali asal.
Langkahpun tertatih-tatih
Hatimu remuk rendam......
Tetapi siapa yang tahu
Hatiku patah......
Bagai guguran bunga Tho
Hanyut dibawa air mengalir......
Nada yang haru, mencurahkan hati yang patah dan tubuh Leng Tiong-siang pun diayun langkah tertatihtatih
lenyap dalam kegelapan malam.
Duniapun sunyi senyap…..
********************
“Adik Ing, hutan ini aneh sekali,” tiba-tiba terdengar lengking suara seorang nona memecah kesunyian
suasana.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, memang benar, sudah hampir tiga jam kita tak dapat keluar dari sini dan tak berjumpa dengan seorang
manusiapun juga. Adakah istana Ban-jin-kiong ini memang tiada penghuninya?” seru seorang nona lain.
Ternyata kedua nona itu adalah Hun-ing dan Cu-ing. Setengah jam setelah Leng Tiong-siang pergi barulah
keduanya dapat terbuka jalan darahnya.
Walaupun sudah mendengar janji dari kepala Ban-jin-kiong akan membebaskan Siau Lo-seng tetapi kedua
nona itu tetap cemas. Mereka menuju ke bagian belakang gunung dan masuk ke hutan itu.
“Adik Ing, rasanya hutan ini memang diatur menurut susunan barisan yang aneh,” kata Hun-ing pula, “tetapi
segala macam barisan kita sudah pernah masuk mengapa yang ini tak dapat keluar. Rasanya rumah gubuk
itu mempunyai rahasia. Mari kita periksa kesana.”
“Aku sudah masuk ke situ,” sahut Cu-ing. “kecuali setumpuk rumput kering, di situ tak terdapat lain-lain
barang lagi.”
“Tetapi aku hendak memeriksanya,” kata Hun-ing.
Dan kedua nona itupun terus ayunkan tubuh lari menyusup ke dalam hutan. Tak lama tampaklah sebuah
rumah gubuk yang hampir roboh.
“Hutan di empat penjuru yang mengelilingi pondok itu jelas diatur seperti susunan barisan Su-giong-ngoheng-
tin. Tetapi yang sebelah sana sungguh aneh sekali. Walaupun kita menyusup menurut susunan
barisan Thay-kek, Su-giong-ngo-heng, Kiu-kiong-pat-kwa dan Jit-jing-pak-tou, tetap tak dapat keluar,” kata
Hun-ing.
“Tak usah menghiraukannya,” kata Cu-ing, “hayo kita beristirahat sebentar dalam gubuk itu.”
“Hai, waktu engkau pergi tadi, bukankah pintu gubuk itu engkau buka? Mengapa sekarang tertutup sendiri?”
tiba-tiba Hun-ing berseru heran.
Cu-ing pun melonjak kaget.
“Benar, waktu aku keluar, pintu itu memang kubuka tetapi mengapa sekarang tertutup lagi?” kata Cu-ing,
“jelas pintu itu tak mungkin dapat menutup sendiri. Apakah di dalam gubuk itu terdapat orangnya?”
“Hayo, kita 1ihat ke sana,” kata Cu-ing.
“Jangan gegabah bertindak,” cegah Hun-ing.
“Takut apa? Kalau ada orangnya, lebih baik. Kita seret dia keluar.”
“Ah, adik Ing, mengapa engkau masih suka mengumbar nafsu?”
“Tetapi kita tak bisa hanya menunggu di sini saja?” bantah Cu-ing.
“Baiklah,” akhirnya Hun-ing mengalah, “aku yang masuk dan engkau jaga di luar.”
“Tidak,” seru Cu-ing. “lebih baik aku saja yang masuk.”
Diam-diam Hun-ing tertawa dan menganggap Cu-ing itu masih berhati kekanak-kanakan.
“Baiklah, engkau ikut di belakangku tetapi jangan sembarangan bergerak.”
Demikian kedua nona itu segera ayunkan langkah menuju ke pondok, tertutup rapat dan tak kedengaran
suara apa-apa.
“Hai, apakah di dalam ada orang?” teriak Hun-ing seraya mempersiapkan pedang. Tetapi sampai diulang
beberapa kali, tetap tiada jawaban.
Rupanya Cu-ing tak sabar lagi. Mendorong pintu ia terus menerjang masuk.
Ternyata pintu memang tidak dikancing sehingga sekali dorong, terbuka.
Hun-ing terkejut dan cepat-cepat memberi peringatan: “Hati-hati, adik Ing.” Iapun segera ikut masuk.
Dalam pondok itu ternyata penuh dengan sarang labah dan debu. Daun jendela sudah rusak. Keadaan itu
memberi kesan bahwa memang sudah lama pondok tersebut tak didiami orang. Suasana yang suram dan
sepi membuat bulu roma Cu-ing meremang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar suara bercuit-cuit. Cu-ing menjerit kaget dan mundur tiga langkah, memeluk Hun-ing.
Ternyata pada waktu Hun-ing masuk telah mengejutkan seekor tikus. Tikus ketakutan dan mencicit lari ke
ujung pondok.
“Ah, hanya seekor tikus, mengapa engkau ketakutan setengah mati?” Hun-ing tertawa.
“Apa?” teriak Cu-ing, “kurang ajar, tikus itu tentu kubunuh.”
“Sudahlah adik Ing, jangan garang-garang. Apa tidak ingat tadi?” Hun-ing menertawakan.
“Apa? Aku tidak takut!” merah muka Cu-ing lalu melangkah masuk ke sebelah dalam.
“Tunggu!” seru Hun-ing, “apakah engkau tak heran kalau di sini terdapat tikus?”
Cu-ing seorang dari yang cerdas. Segera dapat menangkap maksud pertanyaan Hun-ing.
“Benar, cici Hun,” serunya tersadar, “di sekitar tempat ini tiada terdapat rumah orang dan pondok ini sudah
lama kosong. Tak ada sedikitpun makanan di sini. Tetapi mengapa kawanan tikus itu tinggal di sini? Apakah
masih ada tempat rahasia lain?”
Kedua nona itu mulai memeriksa ujung pondok yang gelap.
“Adik Ing, lihatlah,” tiba-tiba Hun-ing berbisik, “bukankah daun pintu itu agak aneh?”
Sesaat Cu-ing memandang seksama, iapun merasa heran. Sebuah daun pintu yang tingginya dua meter,
saat itu tampak bersih tiada debunya. Dan ketika pertama masuk ke situ, ia tak sempat melihat daun pintu
itu.
“Benar, cici Hun,” kata Cu-ing, “rupanya daun pintu itu telah dipegang orang.”
Cu-ing segera songsongkan ujung pedang mencongkel daun pintu, “brak……” daun pintu itupun terbuka.
Suaranya menambah keseraman suasana rumah pondok itu.
Dengan lintangkan pedang melindungi dada, Hun-ing melongok ke dalam ruang. Dalam keremangan, ia
melihat sebuah tangga batu yang menuju ke bawah. Ah, ternyata sebuah tangga batu dari suatu ruangan di
bawah tanah.
Teganglah perasaan Hun-ing.
“Adik Ing,” serunya, “ternyata rumah pondok itu mempunyai ruang di bawah tanah. Penghuni rumah ini tentu
seorang yang menyangsikan.”
“Apa lagi!” gerutu Cu-ing, “karena tempat ini berada dalam lingkungan istana Ban-jin-kiong, sudah tentu
orang-orangnya jahat. Kalau tidak masakan mereka akan membuat tempat yang begini menyeramkan.”
Tanpa disengaja ucapan Cu-ing itu telah membuat muka Hun-ing merah. Karena bukankah ia juga menyaru
menjadi Mo-seng-li yang serba misterius gerak geriknya?
“Ya, memang bukan orang baik semua,” serunya dengan menyeringai.
Cu-ing tak memikirkan hal itu lagi. Dan memang ia tak bermaksud hendak menyindir Hun-ing.
“Cici Hun, lekaslah cari obor dan mari kita masuk,” kata dara itu.
Hun-ing menjemput sebatang dahan kayu dan segenggam rumput kering lalu menyalakan korek api dan
menyulutnya.
Demikianlah kedua nona itu dengan tangan kiri mencekal obor dan tangan kanan memegang pedang,
pelahan-lahan mulai menuruni tangga batu ke bawah.
“Aku akan turun dulu,” kata Cu-ing terus loncat melayang ke bawah.
Hun-ing terpaksa menyusul.
Begitu tiba di tanah dengan langkah lebar Cu-ing terus menuju ke sebelah dalam dan Hun-ing bergegas
menyusulnya.
Tiba-tiba hidung mereka terlanda serangkum hawa busuk dan serempak pada saat itu Cu-ing pun menjerit
kaget dan menyurut mundur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing songsongkan obor ke muka dan mementang mata. Astaga…… ternyata dalam ruang itu terdapat
belasan peti mati.
Walaupun bernyali besar tetapi mau tak mau, Hun-ing menggigil juga hatinya. Sampai beberapa saat baru
ia dapat bicara.
“Apakah artinya itu?” katanya, “hayo, kita periksa.”
Cu-ing tegakkan semangat lalu menghampiri sebuah peti mati: “Cici Hun, bagaimana kalau kubuka peti mati
ini?”
“Boleh tetapi harus hati-hati,” kata Hun-ing.
Cu-ing menurut. Setelah mundur dua langkah dan lintangkan sebelah tangan melindungi dada, ia mulai
mencongkel peti mati itu dengan pedang.
“Tunggu,” tiba-tiba Hun-ing berseru.
Cu-ing hentikan gerakannya dan mundur tiga langkah.
Hun-ing mengangkat obor tinggi-tinggi dan memandang ke sekeliling ruang itu. Empat sudut ruang itu
tergantung dua buah lentera. Yang lain-lain sudah padam. Hun-ing lalu menyalakan sebuah lentera di
sebelah kanan. Demikianpun Cu-ing. Kedua nona itu sibuk menyulut lentera-lentera yang berjumlah
delapan buah.
Kini setelah terang barulah dapat diketahui bahwa peti mati yang berada dalam ruang itu berjumlah
delapanbelas buah.
“Kita buka sebuah peti mati dan lihat apa isinya,” kata Cu-ing pula.
“Hati-hatilah,” kata Hun-ing seraya kerahkan tenaga dalam untuk bersiap-siap.
Cu-ing tertawa hambar, “Rasanya isi peti itu tentu hanya sesosok tulang kerangka. Perlu apa kita takut?”
“Dunia persilatan itu penuh dengan kelicikan dan tipu muslihat. Baiklah engkau berhati-hati,” Hun-ing
memberi peringatan.
Hun-ing mulai ayunkan langkah menghampiri peti mati tadi. Ia tusukkan ujung pedang pada tutup peti lalu
sekali mecongkel, terus menyurut mundur.
“Brak…...”
Tutup peti terlempar jatuh ke lantai dan dari dalam peti itu muncullah sebuah benda.
Cu-ing menjerit dan Hun-ing pun terkejut bukan kepalang.
Tanpa melihat jelas apa sesungguhnya benda itu Cu-ing terus taburkan pedangnya. Dalam pada itu Hun-ing
pun lepaskan sebuah hantaman.
“Bum, bum…….”
Pedang tepat menyusup ke dada benda itu dan karena pukulan Hun-ing, pedang makin menembus sampai
ke punggung.
Tetapi ketika kedua nona itu memandang dengan seksama, menjeritlah Cu-ing: “Hai, hanya sesosok mayat.
Tetapi mengapa mayat itu dapat duduk?”
Memang yang dikatakan Cu-ing itu benar. Benda yang muncul dari dalam peti mati, sesosok mayat yang
terbungkus kain putih.
Hun-ing yang bermata tajam cepat dapat mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Ternyata mayat itu diikat
dengan seutas tali halus pada tutup peti. Begitu tutup peti terbuka, mayat itupun ikut terangkat naik.
“O, kiranya diikat dengan tali,” setelah mengetahui, Cu-ing pun berseru.
Dengan siapkan tenaga dalam, Hun-ing maju menghampiri untuk memeriksa keadaan peti mati itu.
Ia mencabut pedang dan diserahkan kepada Cu-ing seraya memberi pesan, lain kali jangan sembarangan
melontarkan senjatamu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apakah artinya benda itu?” tanya Cu-ing.
09.45. Mayat Hidup
“Hanya sesosok mayat yang dibalut dengan kain putih. Sudah tentu dia tak menderita luka apa-apa,” jawab
Hun-ing.
“Kita buka lagi sebuah peti lain,” kata Cu-ing. Ia segera menghampiri ke sebuah peti lagi dan mendorong
tutupnya. “Brak……” tutup peti terbuka tetapi mayat tetap rebah dan tidak duduk seperti yang tadi.
Cu-ing mengusulkan untuk membuka semua peti mati. Hun-ing setuju. Keduanya lalu bersama membuka
peti mati.
Ketika Hun-ing membuka sebuah peti mati, di dalamnya terdapat sesosok mayat yang dibalut dengan
sutera putih.
“Hai, peti mati ini juga terdapat mayat yang dibalut sutera putih,” seru Cu-ing ketika membuka sebuah peti
mati.
Dengan cepat kedua nona itu telah membuka duabelas buah peti mati yang berisi duabelas mayat dibalut
sutera putih. Yang belum dibuka tinggal enam buah.
“Astaga!” tiba-tiba Cu-ing menjerit kaget.
“Mengapa?” tegur Hun-ing,
“Lihatlah kemari, mayat ini mati atau masih hidup?”
Ketika Hun-ing menghampiri ia melihat dalam peti mati itu berisi seorang lelaki bertubuh besar, muka
brewok dan mengenakan pakaian pertapa. Dia rebah membujur dalam peti dengan kedua mata merentang
lebar seperti orang hidup.
Dalam sebuah ruang di bawah tanah, belasan peti mati berisi mayat itu sudah cukup menyeramkan. Dan
apabila ditambah pula dengan seorang mayat yang menyerupai orang masih hidup, sudah tentu Cu-ing
menjerit kaget.
“Cici Hun, kenalkan engkau pada orang ini?” tanya Cu-ing.
Sejenak Hun-ing memandang dengan teliti dan berobahlah wajahnya: “Ketua partai persilatan Ceng-siapay,
Pedang seribu bayangan Lim Tay-som!”
“Ya, benar, memang dia,” kata Cu-ing.
“Ah, sungguh tak terduga bahwa ketua partai Ceng-sia-pay yang menghilang sejak enambelas tahun yang
lalu ternyata mayatnya berada di sini,” kata Hun-ing pula.
Tiba-tiba Cu-ing gelengkan kepala: “Aneh sekali!”
“Tentu saja mengherankan,” sambut Hun-ing.
“Bukan,” sahut Cu-ing pula. “bukan soal itu.”
“Soal apa?”
“Menilik tutup peti penuh dengan debu, jelas peti itu tentu sudah beberapa tahun berada di sini. Mengapa
mayat di dalamnya tidak rusak?” kata Cu-ing.
Memandang pula keadaan mayat dalam sebuah peti mati, berkatalah Hun-ing: “Mungkin mayat itu telah
direndam dengan obat, sehingga……”
Tiba-tiba Hun-ing menjerit kaget dan hentikan kata-katanya.
“Mengapa?” seru Cu-ing ikut terkejut.
“Mayat ini adalah mumi!” teriak Hun-ing.
“Mumi?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ya, mayat-mayat ini jelas mumi ciptaan orang Ban-jin-kiong,” seru Hun-ing pula, “masih ingatkah engkau
akan keduabelas mayat hidup yang menyerang dengan tiba-tiba ke markas perkumpulan kita tempo hari?
Wanita Im-kian-li, Raja Akhirat dan Siau toako sendiri waktu kehilangan kesadaran pikirannya. Bukankah
mereka memiliki kekuatan yang luar biasa hebatnya? Jelas kesemuanya itu adalah ciptaan dari ketua Banjin-
kiong yang rupanya paham akan ilmu membuat mayat hidup!”
“Kalau begitu mayat-mayat yang berada dalam peti mati ini terdiri dari tokoh-tokoh persilatan ternama. Lalu
bagaimana tindakan kita?” kata Cu-ing.
“Bagaimana kalau kita buka sama sekali beberapa peti mati yang masih tertutup itu?” tanya Hun-ing.
Nona itu bahkan terus menghampiri sebuah peti dan terus mendorong tutupnya.
“Hai......!” kedua nona itu menjerit dan menyurut dua langkah. Wajah keduanya berobah pucat.
Beberapa saat kemudian barulah Cu-ing bertanya: “Cici Hun, apakah yang kita lihat itu suatu kenyataan?”
Kiranya yang rebah dalam peti mati itu adalah sebuah mayat yang dikenal mereka. Ya, tak lain adalah Han
Ceng-jiang, ketua perguruan Thay-kek-bun.
“Adik Ing, pada waktu Han ciang-bun meninggal, bukankah engkau sudah memeriksa bahwa dia benarbenar
sudah putus nyawanya?” seru Hun-ing
Belum Cu-ing menyahut tiba-tiba terdengar suara jawaban: “Pada waktu itu bukankah Han Ceng-jiang
sudah mati dan mayatnya pun sudah dingin.
Cu-ing dan Hun-ing seperti disambar kilat kejutnya. Suara itu jelas dari Siau Lo-seng. Cepat kedua nona itu
berpaling.
Disamping sebuah peti mati lebih kurang tujuh tombak jauhnya, tampak tegak seorang pemuda...... Siau Loseng.
“Siau toako, engkau…… engkau di sini!” seru Cu-ing.
Siau Lo-seng menghela napas pelahan, sahutnya: “Harap kalian lekas kemari untuk memeriksa siapakah
orang ini?”
Kedua nona itu terkejut dan cepat-cepat maju menghampiri.
“Ayah......” serentak menjeritlah Cu-ing ketika mengetahui bahwa mayat yang berada dalam peti mati itu
bukan lain adalah ayahnya, Pit penyanggah langit Nyo Jong-ho.
Airmata Cu-ing berderai-derai membanjir turun.
“Siau toako, apakah kesadaran ingatanmu tidak lenyap?” tanya Hun-ing.
“Saat ini aku sedang memikirkan sebuah persoalan yang aneh,” jawab Lo-seng.
“Lalu bagaimana pendapat Siau toako mengenai mayat Han ciang-bun dan paman Nyo ini,” tanya Hun-ing
pula.
Hun-ing memang cerdas. Setelah melihat jenazah kedua tokoh tua itu, serentak ia sudah membayangkan
suatu dugaan.
Dan jelas pada waktu itu jenazah kedua tokoh sakti itu telah dibawa anak buah Naga Hijau pulang ke Lokyang.
Tetapi mengapa tahu-tahu berada di tempat ini?
Mendapat pertanyaan Hun-ing, Siau Lo-seng merenung sejenak lalu berkata: “Apakah mayat yang kita lihat
tempo hari bukan mayat dari Nyo bengcu dan Han ciang-bun?”
“Tak mungkin,” seru Cu-ing. “Siau toako, masakan kita semua tak kenal pada mendiang ayahku dan Han
ciang-bun?”
“Memang hal itu tak mungkin,” seru Hun-ing.
“Peristiwa dalam dunia, sebelum terjadi memang sering dianggap mustahil oleh orang,” kata Siau Lo-seng.
“tetapi bagaimana kita harus berkata kalau kenyataannya seperti yang kita hadapi saat ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekali lagi Cu-ing memandang mayat dalam peti mati itu. Ingin ia memeriksa dengan jelas apakah mayat itu
benar mayat ayahnya atau bukan.
Dapatkah dalam waktu yang begitu singkat, orang-orang Ban-jin-kiong mengambil jenazah ayahnya dari
Lok-yang dibawa kemari? Dan mengapa jenazah ayahnya sudah meninggal beberapa bulan itu masih tetap
tak rusak?
Cu-ing yang biasanya cerdik, kali ini benar-benar bingung.
“Siau toako bagaimana sesungguhnya hal ini?” akhirnya ia berseru kepada Lo-seng.
Siau Lo-seng menghela napas kecil.
“Menurut dugaanku, jauh beberapa bulan yang lalu paman Nyo dan Han ciang-bun telah dibunuh oleh
orang Ban-jin-kiong lalu dibawa ke mari hendak dijadikan mumi……”
“Lalu mayat siapakah yang kita lihat dalam pondok dahulu itu?” tanya Cu-ing.
“Sebuah mayat palsu!” seru Lo-seng.
“Aku tak percaya di dunia terdapat orang yang mampu menciptakan seorang manusia yang mirip satu sama
lain.”
“Justeru hal itulah yang membuat aku merasa kagum kepada Ban-jin-kiong,” kata Siau Lo-seng.
Akhirnya berkatalah Hun-ing, “Apa yang dikemukakan Siau toako itu memang benar. Sekarang tinggal
bagaimana langkah kita terhadap mayat-mayat yang belum ditempa jadi mumi ini.”
“Sekali pihak Ban-jin-kiong dapat menjadikan tokoh-tokoh itu sebagai mumi, dunia persilatan pasti akan
kiamat……” kata Lo-seng.
Tanpa berkata apa-apa, Cu-ing terus membacok mayat ayahnya itu.
“Adik Ing, jangan......” teriak Hun-ing. Tetapi sudah tak keburu lagi. Untunglah saat itu Lo-seng cepat
melentikkan jari tangan kirinya untuk menyiak tangan Cu-ing. Pedang nona itupun menyasar ke samping
dan menusuk pada dasar peti mati.
“Siau toako...... mengapa engkau menghalangi aku......” teriak Cu-ing seraya bercucuran airmata.
Cu-ing mengakui kebenaran ucapan Siau Lo-seng tadi. Ia tahu bagaimana peribadi ayahnya sewaktu masih
hidup. Maka ia tak rela ayahnya akan dijadikan mumi yang ganas. Lebih baik ia lenyapkan saja.
Rupanya Hun-ing dan Siau Lo-seng tahu isi hati Cu-ing.
“Adik Ing, maksud kita bukan hendak menghancurkan mayat-mayat ini,” kata Siau Lo-seng.
“Walaupun ayahku tidak mati tetapi kalau dijadikan seorang mumi, bukankah tak beda seperti orang mati?”
seru Cu-ing, “kalau sekarang kita hancurkan mayat-mayat ini, bukan saja arwah mereka akan dapat
mengasoh dengan tenteram di alam baka. Pun terhadap dunia persilatan akan terbebas dari musibah
besar. Dan mayat-mayat itupun tak sampai melakukan dosa berdarah yang hebat.”
Diam-diam Hun-ing memuji alasan yang dikemukakan dara itu.
“Adik Ing,” kata Hun-ing sesaat kemudian, “Harap jangan gelisah. Kalau Siau toako mencegahmu, dia tentu
sudah mempunyai cara yang baik.”
“Kecuali dapat menghidupkan mereka, tiada langkah yang lebih baik daripada menghancurkan mumi-mumi
itu agar jangan sampai menimbulkan malapetaka di dunia persilatan,” kata Cu-ing.
“Benar,” sahut Siau Lo-seng, “kalau tak dapat menghidupkan memang lebih baik kita hancurkan saja.”
“Siau toako,” seru Hun-ing, “dapatkah engkau mengembalikan kesadaran pikiran mereka?”
Siau Lo-seng tertawa hambar dan gelengkan kepala: “Kalau bisa, mengapa aku tak mau melakukan?”
“Kalau begitu, lebih baik kita hancurkan saja,” kata Cu-ing terus hendak menusuk pada peti mati.
“Nanti dulu,” seru Hun-ing. “walaupun Siau toako tak dapat tetapi kurasa di dunia ini masih terdapat
seseorang yang mampu menyembuhkan mereka.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa? Apakah ketua Ban-jin-kiong?” teriak Cu-ing tegang.
“Walaupun ketua Ban-jin-kiong mampu tetapi jelas dia tentu tak mau,” kata Hun-ing, hm...... yang
kumaksudkan yalah orang yang meniup seruling itu.
Siau Lo-seng mengangguk dan diam-diam memuji kecerdikan nona itu.
“Hai, betul,” seru Cu-ing gembira, “mengapa aku sampai lupa kepada orang itu. Tetapi dalam dunia yang
begini luas kemanakah kita akan mencarinya?”
Kemudian Hun-ing berkata kepada Lo-seng:
“Siau toako, tak perlu kita hiraukan orang itu dulu,” katanya, “yang penting apakah suara seruling itu dapat
menyadarkan pikiran mayat-mayat ini?”
“Adik Hun,” jawab Siau Lo-seng, “engkau benar. Suara seruling itu belum tentu dapat menyembuhkan
ingatan seorang mumi. Tetapi tiada jeleknya untuk dicoba karena hal itu merupakan satu-satunya harapan
kita.”
Hun-ing menghela napas panjang.
“Kalau begitu, nasib dunia persilatan kelak hanya tergantung dari sebatang seruling ajaib itu, ah, locianpwe,
kalau engkau memang golongan pihak kita, mengapa tak mau unjuk diri untuk menolong......”
Siau Lo-seng dan Cu-ing termangu heran melihat Hun-ing berkata seorang diri itu.
“Ah, suara seruling...... adik Hun, bagaimana engkau tahu?” tiba Siau Lo-seng seperti menyadari sesuatu.
Ternyata saat itu ia memang mendengar sealun suara seruling yang lembut, antara terdengar dan hilang.
Ia tak tahu bilakah suara seruling itu berbunyi. Dan apakah ia dapat sadar pikirannya karena seruling itu
terus menerus berbunyi sejak tadi.
“Siau toako, apakah engkau mendengar suara seruling?” tanya Hun-ing.
“Masih,” Siau Lo-seng mengangguk, “adakah kalian tidak mendengar apa-apa?”
“Aku tidak mendengar apa-apa,” kata Cu-ing heran lalu berpaling kepada Hun-ing, “Cici Hun apakah engkau
mendengar?”
Hun-ing gelengkan kepala.
“Suara seruling dewa itu, kecuali Siau toako, kita tentu tak dapat menangkapnya,” katanya.
“Adik Hun, mengapa engkau tahu kalau seruling itu masih berbunyi?” Siau Lo-seng mengulang
pertanyaannya.
“Ah, bukan karena aku pandai menduga atau dapat mengetahui apa yang terjadi sebelumnya. Tetapi aku
hanya menduga-duga saja dan ternyata dapat menduga benar.”
“Cici Hun, engkau dapat menduga benar apa saja?” tanya Cu-ing.
“Kuduga peniup seruling itu tentu terus menerus mengikuti Siau toako. Dia hendak mengobati ingatan Siau
toako dengan seruling itu,” kata Hun-ing.
“Hai, mengapa kita tak dapat menemukan orang itu?” Cu-ing terkejut.
“Peniup seruling itu sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu meringankan tubuh.”
“Apakah saat ini dia masih berada di sekitar Siau toako?” tanya Cu-ing pula.
“Suara seruling tetap mengiang, jelas dia tentu tak meninggalkan Siau toako.”
Cu-ing membelalakkan mata. Ia heran tetapi tak berani tak percaya karena ia tahu babwa Hun-ing seorang
nona yang cerdas sekali.
Hun-ing menghela napas, ujarnya: “Bermula aku heran mengapa Siau toako dapat sembuh ingatannya. Aku
masih tak percaya tanpa suara seruling kesadaran Siau toako sudah pulih kembali. Maka ketika Siau toako
muncul, aku selalu memperhatikan kerut wajahnya. Kulihat tiap kali wajahnya mengerut tegang seperti ada
sesuatu yang menguasai pikirannya. Oleh karena itu aku segera menduga kalau Suara seruling itu masih
dunia-kangouw.blogspot.com
mengiang di telinganya secara rahasia. Dan ternyata Siau toako memang mengakui kalau masih
mendengar suara seruling itu sehingga makin memperkuat dugaanku.”
“Adik Hun, engkau sungguh cerdas,” Siau Lo-seng memuji.
“Tetapi cici Hun,” Cu-ing menyelutuk, “bagaimana engkau tahu kalau orang itu tengah meniup seruling
untuk mengobati Siau toako?”
“Kalau tidak untuk mengobati Siau toako, perlu apa seruling itu berbunyi berkepanjangan?” kata Hun-ing.
“Kalau begitu orang itu tentu kenal pada Siau toako?” seru Cu-ing.
Seketika berobahlah kerut wajah Hun-ing serunya: “Siau toako, mari kita cari orang itu!”
“Eh, bukankah cici mengatakan orang itu berada di sekitar tempat ini?” tanya Cu-ing.
Hun-ing tertawa: “Adik Ing, mengapa engkau makin lama makin tolol? Masakan di dunia ini terdapat ilmu
menghilang? Yang kumaksudkan suara serulingnya yang selalu dekat pada Siau toako.”
“Apakah engkau tahu tempat bersembunyinya peniup seruling itu?” tanya Siau Lo-seng.
Hun-ing mengangguk: “Adik Ing mengatakan peniup seruling itu tentu sudah kenal pada Siau toako karena
itu aku minta waktu untuk merenungkan orang itu dan mungkin dapat kita ketahui tempat
persembunyiannya.”
“Dimana?” tanya Siau Lo-seng.
“Di sini bukan tempat yang sesuai untuk bicara. Ingat pohon-pohon bisa tumbuh telinga. Mari kita-lekas
berangkat saja,” kata Hun-ing.
“Cici Hun, bagaimana dengan mayat-mayat ini?” tanya Cu-ing.
“Untuk sementara waktu, biarkan saja,” jawab Hun-ing, “mereka belum sempat ditempa maka belum
berbahaya. Sekarang yang penting, kita cari peniup seruling itu untuk mengobati penyakit Siau toako.”
“Ah, hampir saja lupa,” tiba-tiba Siau Lo-seng berkata, “bagaimana kalian bisa datang kemari
“Ketika tiba-tiba Siau toako lenyap, kami kira Siau toako telah diculik orang Ban-jin-kiong, maka aku
bersama cici Hun segera menyusup ke dalam hutan dan akhirnya dapat menemukan rumah pondok ini,”
menuturkan Cu-ing.
“Ah, mereka begitu memperhatikan diriku. Bagaimana kelak aku dapat membalas budi kebaikan mereka?”
diam-diam Siau Lo-seng mengeluh dalam hati.
“Siau toako, bagaimana tiba-tiba engkau muncul di sini?” tiba-tiba Hun-ing bertanya.
“Pada saat pikiranku limbung, aku gentayangan ke mana-mana. Ada kalanya otakku dapat berpikir
adakalanya tidak. Aku tak tahu apa yang kulakukan.”
“Kalau begitu, ingatanmu itu hanya tergantung pada suara seruling itu?” tanya Hun-ing.
Siau Lo-seng mengangguk.
“Benar, pada saat kutinggalkan kalian itu mungkin suara seruling itu berhenti untuk beberapa waktu.”
Tiba-tiba Cu-ing melengking: “Tempat ini sebuah tempat penting dalam istana Ban-jin kiong. Mengapa tiada
dijaga sama sekali?”
Hun-ing tertawa.
AliAfif.Blogspot.Com - AliAfif.Blogspot.Com -

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cerita Dewasa Terbaik Pendekar 100 Hari 2 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 07 Mei 2018. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments