======
14.67. Kawan Lama
Begitu menginjak tanah, Siau Lo-seng sudah harus menyambut enam buah pedang. Sedang dari belakang
tampak serombongan jago-jago Bu-tong-pay berlarian menyerbunya.
Siau Lo-seng terpaksa mainkan pedang Ular Emas segencar hujan mencurah.
“Tring, tring,” terdengar dering benturan senjata yang tajam, menyusul bunga api memercik berhamburan,
maka putuslah keenam batang pedang yang menyerang Siau Lo-seng itu.
Sesaat kemudian terdengar beberapa erang ngeri dan darah menyembur. Empat orang anak murid Butong-
pay yang hendak menyerang dari belakang, telah rubuh dalam kubangan darah.
Tetapi serempak dengan itu, Siau Lo-seng pun mengerang tertahan karena tenaga pukulan yang tak
tampak dari Bu-tong Sam-siu telah melanda tubuhnya. Dia terhuyung-huyung jatuh sampai tujuh-delapan
langkah dan muntah darah.
Seiring dengan rubuhnya pemuda itu maka mencurahlah hujan sinar pedang ke tubuh pemuda itu.
Sekonyong-konyong Siau Lo-seng bersuit nyaring. Nadanya segempar naga meringkik. Pedang Ular Emas
pun berhamburan sederas air terjun.
Jerit lolong sambung menyambung mengerikan hati. Daging dan anggauta badan manusia berhamburan ke
udara, darah muncrat ke empat penjuru.
Duabelas jago Bu-tong-pay yang tergolong kelas satu, rubuh mandi darah.
Dalam beberapa kejap dapat merobohkan duabelas jago kelas satu dari Bu-tong-pay, benar-benar
mengejutkan sekali sehingga anak murid Bu-tong-pay lainnya merasa ngeri dan berbondong-bondong
menyurut mundur.
“Kepung dengan barisan Jit-sing-pak-tou-kiam-tin……” tiba-tiba terdengar seseorang berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar itu gelisahlah Siau Lo-seng. Bu-tong-pay memang termasyhur dengan ilmu pedangnya yang
sakti, Barisan pedang Jit-seng-pak-tou-kiam itu, merupakan barisan yang sesakti dengan Tat-mo-coat-ci-tin
dari perguruan Siau-lim.
Sebelum barisan sempat terbentuk maka Siau Lo-seng pun segera menyerang ke arah dua lapis jago-jago
Bu-tong-pay yang hendak mempersiapkan barisan itu.
Serangan yang dahsyat dan cepat itu, membuat keempatbelas jago-jago Bu-tong-pay kelabakan. Bagai
daun kering tertiup angin maka berjatuhan keempatbelas jago-jago Bu-tong-pay itu ke tanah.
Tetapi anak murid Bu-tong-pay selain berjumlah banyak, pun nekad sekali. Empatbelas orang jatuh,
empatbelas orang lain maju lagi.
Mereka bergerak-gerak dengan rapi dan tangkas. Dalam sekejap saja barisan pun sudah terbentuk.
Sekonyong-konyong genta biara Bu-tong-san bertalu keras dan tak henti-hentinya.
Seketika berobahlah cahaya muka ketiga Bu-tong Sam-siu.
“Siau sicu, engkau sudah dikepung barisan pedang. Mengapa engkau tak menyerah saja?” seru It Tim
Totiang.
Memang Siau Lo-seng menyadari bahwa menembus barisan pedang dari Bu-tong-pay tidak mudah. Masih
muda naik tangga ke langit.
“He, kiranya kamu bertiga Bu-tong Sam-siu juga bangsa yang suka main kerubut dan limbung pikirannya.
Kalianlah yang mendesak aku untuk membuka pembunuhan besar,” serunya untuk menutupi kegelisahan
hati.
Dia terus hendak mengangkat pedang untuk menghadapi barisan pedang Bu-tong-pay. Tetapi sekonyongkonyong
seorang imam muda memaksa dia mundur dari serangan pedang.
Saat itu suara gentapun makin deras dan nyaring.
“Siau sicu,” teriak It Tim Totiang, “berapa banyak kawan-kawanmu yang engkau ajak kemari?”
Siau Lo-seng terkejut. Ia menyadari bahwa suara genta itu adalah pertandaan bahaya dari Bu-tong-pay.
“Siau sicu, berapa banyak rombongan yang engkau bawa kemari?” tegur It Tim Totiang.
Kini Siau Lo-seng menyadari bahwa genta itu bukan dibunyikan anak murid Bu-tong-pay, tetapi orang lain,
entah siapa.
Dan pada lain kejap terdengar kumandang suara seruling yang aneh nadanya, mengalun nyaring di udara.
Mendengar itu seketika berobahlah cahaya wajah Siau Lo-seng, serunya: “Apakah itu Gi-hu.......”
Tetapi secepat itu iapun segera hentikan kata-katanya. Ia merasa telah salah bicara. Bukankah Gi-hu atau
ayah angkatnya itu seorang tua yang cacat tak punya kaki? Dan pula jelas kalau nada suara seruling itu
bukan seruling dari Gi-hunya. Memang hampir saja ia keliru menyangka suara seruling itu seperti suara
seruling Gi-hunya.
Anehnya, dalam alunan kumandang seruling itu, semangat Siau Lo-seng pun memancar lebih giat.
Tenaganya meluap-luap makin hebat sehingga setiap gerak pedangnya, menimbulkan deru angin tenaga
yang dahsyat.
Barisan pedang Jit-sing-pak-tou-kiam-tin memang bukan olah-olah hebatnya. Tetapi serangan pedang Siau
Lo-seng itu juga tak kalah hebatnya sehingga dapat menimbulkan lubang bobolan pada barisan itu.
Genta masih tetap bertalu-talu tak henti-hentinya. Sedang suara serulingpun meraung-raung bagai
menembus awan. Melengking tinggi, jauh membubung ke udara sehingga setiap orang yang berada di
tempat itu merasa terbuai semangatnya.
Beberapa saat kemudian ada beberapa jago Bu-tong-pay yang kurang tinggi ilmunya, segera menutup
kedua telinganya dan melakukan pernapasan untuk melancarkan darah dalam tubuhnya.
Tiba-tiba cahaya muka ketiga Bu-tong Sam-siu berobah dan serempak berseru: “Irama musik iblis dari
gedung Sian-hu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa mempedulikan Siau Lo-seng lagi, ketiga tokoh tua dari Bu-tong-pay itu segera loncat dan lari
mengejar ke arah datangnya suara seruling itu. Dan tak berapa kejap merekapun sudah lenyap dari
pandang mata.
Selepas kepergian ketiga tokoh tua Bu-tong-pay itu, dari belakang Siau Lo-seng mendengar seorang
berseru dalam nada yang tak asing baginya.
“Jangan takut, kubantu engkau keluar dari barisan mereka.”
Dari puncak wuwungan paseban Ceng-gi-tian melayang turun sesosok tubuh. Ketika masih berada di udara
kedua tangannya menampar sehingga barisan pedang yang menghadang di tempat yang ditujunya itu
tersiak ke samping, Dan ketika terdengar bentakan menggeledek, dua orang jago pedang Bu-tong-pay pun
terpental sampai dua tombak jauhnya. Lima orang jago lainnya terhuyung jatuh sampai tujuh-delapan
langkah.
Saat itu Siau Lo-seng dapat melihat jelas bahwa pendatang itu bukan lain yalah Kakek wajah dingin Leng
Tiong-siang. Siau Lo-seng tak mau menyia-nyiakan kesempatan lagi. Setelah berhasil melukai tiga jago
pedang, dengan menggembor keras ia melambung ke udara dan meluncur ke luar dari kepungan barisan.
Tetapi setelah melayang turun ke tanah, dia tak mau melarikan diri melainkan menegur pendatang itu
dengan dingin: “He, Leng Tiong-siang apa maksudmu?”
Leng Tiong-siang tertegun. Setelah merentang kedua tangan untuk mengundurkan jago-jago pedang Butong-
pay, ia menjawab keras: “Siau Lo-seng, mengapa engkau hendak cari mati?”
Siau Lo-seng sudah mengandung prasangka bahwa Leng Tiong-siang yang di hadapannya itu bukan Leng
Tiong-siang yang aseli. Tetapi Leng Tiong-siang palsu yang sudah berulang kali berternu dengan dia. Itulah
sebabnya Siau Lo-seng menduga tentulah Leng Tiong-siang yang muncul pada tempat dan saat seperti itu,
mempunyai rencana tertentu kepadanya.
“Jangan kira dengan berbuat begitu aku akan masuk ke dalam perangkapmu,” seru Siau Lo-seng,
“ketahuilah kedok mukamu itu sudah tak dapat mengelabuhi aku lagi.”
Leng Tiong-siang lepaskan sebuah pukulan kepada barisan pedang Bu-tong-pay, lalu loncat ke arah Siau
Lo-seng.
“Engkau menduga bagaimana terhadap diriku, aku tak peduli. Asal engkau tinggalkan tempat ini. Kalau
tidak, apabila ketiga Bu-tong Sam-siu itu kembali ke sini, jangan harap engkau mampu lolos lagi.”
Sebelum menjawab, Siau Lo-seng taburkan pedangnya untuk menghalau serangan jago-jago Bu-tong-pay,
lalu berseru kepada Leng Tiong-siang lagi: “Apakah engkau sudah datang lama di sini?”
“Benar, dan lagi memang demi kepentinganmu,” sahut Leng Tiong-siang.
Berpuluh-puluh jago pedang Bu-tong-pay segera menyerbu dari empat penjuru. Siau Lo-seng taburkan
Pedang Ular Emas seraya berseru,
“Siapa menghadang tentu mati, siapa menyingkir akan selamat......”
Pedang Ular Emas berhamburan memancarkan sinar yang berhawa dingin.
Leng Tiong-siang pun menghantam dengan kedua tangannya. Seketika terdengar erang jeritan ngeri dan
hamburan darah dari anggauta barisan pedang Bu-tong-pay.
Patah tumbuh hilang berganti. Selapis rubuh selapis pula berhamburan datang. Anak murid Bu-tong-pay itu
seperti orang kalap. Mereka tak mempedulikan jiwanya lagi.
Melihat itu Siau Lo-seng gentar sendiri. Bukan karena takut tapi ia tak sampai hati membunuh sekian
banyak anak murid Bu-tong-pay yang tak berdosa.
Ia menghela napas. Demikian pula Leng Tiong-siang. Keduanya saling bertukar pandang dan saling
menanggapi maksud masing-masing. Setelah mendesak dengan serangan dahsyat, tiba-tiba keduanya
melambung ke udara, melayang turun beberapa tombak jauhnya terus berloncatan lari menuju ke bawah
gunung sebelah barat.
Anak murid Bu-tong-pay berteriak-teriak gempar. Merekapun memburu. Tetapi lari kedua orang itu luar
biasa pesatnya. Setelah mengejar sampai tiga-empat lie jauhnya, kedua orang yang dikejarnya itupun
sudah lenyap dari pandang mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Berpuluh lie kemudian, barulah Siau Lo-seng dan Leng Tiong-siang lepas dari daerah kekuasaan Bu-tongpay.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berhenti.
“Leng-bin-sin-kun, mari kita berunding sampai selesai,” serunya.
“Berunding soal apa?” kakek berwajah dingin Leng Tiong-siang heran.
“Mengapa engkau masih pura-pura main sandiwara saja?” seru Siau Lo-seng geram, “aku sudah tahu
bahwa engkau bukanlah Leng Tiong-siang yang pada empatpuluh tahun berselang termasuk sebagai salah
seorang tokoh Su-ki.”
“O, apakah ada perbedaannya?” masih Leng Tiong-siang merasa heran, “bagaimana engkau dapat
memastikan bahwa aku bukan Leng-bin-sin-kun pada empatpuluh tahun yang lalu? Pada waktu aku
tinggalkan dunia persilatan dan mengasingkan diri, engkau masih menyusu atau mungkin belum lahir.”
“Hm, mungkin engkau belum mengetahui bahwa Leng-bin-sin-kun yang aseli saat ini sudah muncul lagi ke
dunia persilatan. Apabila engkau berjumpa dengan dia, entah hendak engkau sembunyikan kemanakah
ekormu nanti!”
“Apa yang harus kutakutkan kalau bertemu dengan dia. Akupun bisa memberi tahu kepadanya bahwa
akulah sebenarnya Leng-bin-sin-kun yang aneh itu.”
“Huh, tak tahu malu benar,” damprat Siau Lo-seng. “kalau engkau bukan Leng Tiong-siang mengapa
engkau harus menyamar sebagai dirinya.”
“Hati-hati sedikit kalau bicara,” dengus Leng Tiong-siang, “dalam dunia seluas ini, memang banyak terdapat
peristiwa-peristiwa yang mengherankan. Orang yang kembar pakaian dan wajahnya. Bukan hanya dua
tetapi dapat juga sampai beberapa orang......”
Siau Lo-seng tertawa dingin:
“Suatu jawaban yang tepat benar. Memang hal itu dapat terjadi juga,” serunya.
“Mengapa tidak?” sahut Leng Tiong-siang. “bahkan, kemarin akupun telah bertemu dengan seorang yang
wajahnya menyerupai engkau dan bahkan diapun membawa juga pedang serupa seperti yang engkau
bawa itu.”
“Hai, apa katamu?” Siau Lo-seng berteriak kaget sekali.
“Sepanjang hidup, aku tak pernah mengulang perkataan yang telah kukatakan satu kali,” dengus Leng
Tiong-siang lalu berputar tubuh.
Seketika teringatlah Siau Lo-seng akan sikap seluruh anak murid Bu-tong-pay yang menuduh dia sebagai
pembunuh dari ketua Bu-tong-pay (Giok Hi Tojin.) dan anak murid paseban Ik-seng-tong. Dan teringat pula
ia akan peristiwa pemalsuan diri Nyo Cu-ing di markas perkumpulan Naga Hijau. Ah, jika demikian jelas ada
orang yang memalsu dirinya lalu melakukan pembunuhan di markas besar Bu-tong-pay!
“Dimana engkau berjumpa dengan orang itu?” seketika ia bertanya kepada Leng Tiong-siang.
Tetapi kakek baju putih itu tak mau memberi jawaban melainkan memandang ke sekeliling seperti hendak
menyelidiki sesuatu.
“Hm, mengapa engkau tak mau menjawab?” tegur Siau Lo-seng.
Sambil masih keliarkan pandang matanya ke sekeliling penjuru, Leng Tiong-siang menyahut: “Orang bebas
untuk bicara. Mengapa engkau hendak mengurus aku mau bicara atau tidak?”
“He, engkau harus bicara!” teriak Siau Lo-seng marah lalu memukul.
Tanpa berpaling muka, Leng Tiong-siang tahu kalau anak muda itu memukulnya dari belakang. Sambil
berkisar ke samping, tiba-tiba ia ayunkan tangannya ke belakang untuk menyambar pergelangan tangan
Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng terkejut sekali. Ia turunkan lengannya ke bawah dan menekuknya lalu membenturkan siku
lengannya ke pinggang orang.
“Bagus!” seru Leng Tiong-siang yang secepat kilat memutar tubuhnya seraya menyambar siku Siau Loseng.
Siau Lo-seng tertawa hina. Tangan kirinya cepat dibalikkan untuk menampar tiga kali ke punggung orang
tua itu.
Tetapi memang tak kecewa bila Leng Tiong-siang diagungkan sebagai seorang tokoh persilatan yang sakti.
Tiba-tiba jubahnya menggelembung karena diam-diam telah disaluri dengan tenaga dalam. Dan secepat
berputar tubuh ia menyongsong tangan Siau Lo-seng.
“Bum…...”
Terdengar letupan keras ketika kedua pasang tangan mereka saling beradu. Siau Lo-seng tersurut mundur
tiga-empat langkah. Leng Tiong-siang loncat ke muka sampai tiga tombak jauhnya.
“Hm, ilmu kepandaianmu maju pesat sekali,” seru Leng Tiong.-siang, “tetapi masih jauh kalau hendak
engkau gunakan menempur aku.”
Sudah tentu Siau Lo-seng yang masih berdarah muda, panas sekali hatinya. Secepat mencabut pedang
Ular Emas ia segera maju menyerang.
“Bagus sekali!” teriak Lang Tiong-siang seraya bergerak untuk menyambut. Diapun tahu-tahu sudah
mencekal sebatang pedang pandak.
Demikian keduanya segera terlibat. Yang tampak hanya dua gulung sinar putih yang menyilaukan mata.
‘Tring......” dering melengking tajam dan keduanya pun tercerai. Leng Tiong-siang loncat dua tombak, tegak
mematung. Siau Lo-seng juga terlongong-longong.
Ternyata saat itu keduanya saling menyadari kekuatan lawan. Dalam beberapa kejap itu Siau Lo-seng telah
melancarkan tujuh buah serangan. Tetapi kesemuanya dapat dihapus dengan mudah oleh Leng Tiongsiang.
Bahkan kalau mau, tokoh tua itu tentu dapat melukainya dengan mudah.
Setitikpun Siau Lo-seng tak pernah menyangka bahwa tokoh yang selamanya tak pernah menggunakan
pedang sebagai Leng Tiong-siang itu, ternyata memiliki ilmu pedang yang luar biasa hebatnya. Diam-diam
ia mengakui bahwa ilmu pedang yang dimilikinya masih kalah jauh dengan orang tua itu.
Seketika nafsu ingin menang, berhamburan lenyap dalam hati Siau Lo-seng.
Melihat pemuda itu diam saja, Leng Tiong-siang berseru mengejek: “Hai, mengapa engkau tak menyerang
lagi?”
Dengan lesu Siau Lo-seng menyahut: “Aku tak dapat mengalahkan engkau. Tetapi mengapa engkau tak
mau melukai aku?”
Leng Tiong-siang kerutkan dahi. “Caramu melakukan serangan tadi, sungguh menghabiskan tenaga dalam,
hilang ketenanganmu. Selama tak mampu mengumpulkan hawa murni, tak mungkin engkau dapat
mencapai ilmu pedang tingkat tinggi……”
14.68. Ajaran Ilmu Pedang Sakti dari Musuh
“Kalau bertemu dengan ahli pedang, engkau tentu sudah menderita luka,” menambahkan orang tua baju
putih itu pula.
Merah padam selebar wajah Siau Lo-seng menerima kritikan itu. Diam-diam diapun malu dalam hati,
pikirnya, ”Sekali ngoceh, dia telah membongkar kelemahanku. Hm, tetapi jelas dia bukan hendak membakar
hatiku melainkan hendak memberi petunjuk.”
Baru ia hendak membuka mulut, Leng Tiong-siang pun sudah mendahului:
“Kepandaianmu masih begitu lemah masakan engkau layak akan mengajak orang merundingkan soal
menegakkan keadilan dalam dunia persilatan. Apalagi hendak menuntut balas kematian berdarah dari
orang-orang di Hay-hong-cung. Dan lagi pula, akupun sudah engkau anggap sebagai salah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
musuhmu. Apakah setelah kalah, engkau tak berani bertempur lagi? Huh, manusia takut mati semacam
engkau, tak perlu menepuk dada mengumbar omong besar!”
Mendengar ejekan itu, meluap pulalah kemarahan Siau Lo-seng. Dia merasa bahwa Kakek wajah dingin
Leng Tiong-siang yang berada di hadapannya saat itu, penuh dengan selubung rahasia dan keanehan.
Kepandaiannya sukar diduga. Demikian sikapnya. Sebentar bermusuhan sebentar bersahabat.
“Ah, tanpa menderita, tentu takkan memperoleh pelajaran,” pikir Siau Lo-seng. Maka segera ia tertawa
dingin.
“Apa maksudmu berkata begitu?” serunya.
“Kalau aku sungguh-sungguh menghendaki jiwamu, mungkin engkau takkan hidup sampai saat ini,” kata
orang tua itu menghela napas.
“Tetapi tidak semudah itu engkau hendak mengambil jiwaku. Harus mengambil dari tubuhku,” seru Siau Loseng.
“Kalau aku hendak mengambil jiwamu, perlu apa aku menolongmu dari Bu-tong-san lalu baru
membunuhmu di sini?”
“He, jangan bersikap seperti tikus yang menangisi kematian kucing. Tak mungkin aku akan berterima kasih
kepadamu.......” dengus Siau Lo-seng, “pada saat aku tak sadar, engkau mengambil pedangku Ular Emas
dan menyuruh seorang menyaru sebagai diriku untuk melakukan pembunuhan di Bu-tong-san. Kemudian
pada saat aku sedang dalam bahaya dikepung barisan pedang Bu-tong-pay, engkau muncul lagi untuk
menolongku. Dengan begitu aku tentu tak dapat menuduhmu mencelakai diriku. Tetapi apa engkau kira aku
tak tahu akal busukmu itu? Jika engkau kira tindakanmu itu dapat mengelabuhi mata orang di dunia
persilatan, engkau mengimpi atau memang pikiranmu itu seperti anak kecil.”
Mendengar itu Leng Tiong-siang terbeliak dan tertegun sampai beberapa saat.
“Taruh kata hal itu memang benar tipu muslihatku,” katanya beberapa jenak kemudian, “lalu apakah
dayamu supaya engkau dapat lolos dari kedosaan itu?”
Sebenarnya Siau Lo-seng hanya merangkai dugaan dan menuduhnya begitu. Tak kira kalau Leng Tiongsiang
mengaku semuanya. Jika demikian jelas Leng Tiong-siang inilah biang keladi pembunuhan di Butong-
san!
Tetapi apakah gerangan tujuannya untuk melakukan pembunuhan itu? Apakah dia memang hendak
mencelakai Siau Lo-seng? Tetapi apa sebab dia memfitnah anak muda itu?
Seketika berobahlah wajah Siau Lo-seng. Dia menduga musuh besarnya, pembunuh ganas yang telah
menghancurkan seluruh keluarganya pada delapanbelas tahun yang lalu, ternyata orang tua yang berdiri di
hadapannya itu.
Dada Siau Lo-seng serasa terbakar api dendam kesumat yang menyala-nyala.
“Kucari ke seluruh penjuru dunia tak berjumpa, kiranya tanpa banyak membuang tenaga sudah muncul
sendiri. Engkau tak menghendaki jiwaku tetapi akulah yang menghendaki jiwamu!”
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan Pedang Ular Emas ke kepala Leng Tiong-siang.
Tetapi orang tua itn tenang-tenang saja mengawasi luncur pedang Siau Lo-seng. Begitu pedang hampir
menyentuh kepalanya, tiba-tiba ia mengangkat pedangnya untuk melidungi kepala.
“Tring……”
Terdengar beberapa kali dering yang tajam dan tiga buah serangan pedang Siau Lo-seng telah dihalau
semua.
Kemudian Leng Tiong-siang mengisar kaki setengah langkah ke samping lalu berseru dingin.
“Penyakit lama,” serunya, “cara memainkan pedang seperti engkau ini, walaupun duapuluh tahun lagi tentu
tak mungkin dapat melukai aku. Dendam darah yang hendak engkau tuntut itu tak mungkin dapat
terlaksana.”
Bukan kepalang kejut Siau Lo-seng. Perasaannya seperti ditusuk beribu jarum. Hatinya lebih tersiksa
sehingga tubuhnya gemetar keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sekarang cobalah engkau terima sebuah serangan pedangku ini!” tiba-tiba Leng Tiong-siang berseru.
Habis berkata, pedangnya secepat kilat menusuk lurus ke muka.
Melihat gerakan pedang orang tua itu, seketika tergetarlah hati Siau Lo-seng.
“Inilah ilmu pedang yang tiada tandingnya di dunia,” pikirnya. “mengapa baru saat ini dia menggunakannya
untuk membunuh aku!”
Siau Lo-seng tak berdaya untuk menangkis serangan itu. Dan iapun segera pejamkan mata menunggu ajal.
Tetapi tiba-tiba Leng Tiong-siang menarik pulang pedangnya dan menyurut mundur, lalu menyerang lagi.
Dalam pada itu diam-diam Siau Lo-seng memperhatikan bahwa gerakan pedang Leng Tiong-siang itu
hanya terdiri dari beberapa jurus. Diulang dan diulang lagi sampai beberapa kali. Dan jelas bahwa orang tua
itu tak mau melukainya.
Lima-enampuluh jurus kemudian, pelahan-lahan pikiran Siau Lo-seng pun tenang kembali dan
mencurahkan seluruh perhatiannya ke arah pedang Leng Tiong-siang. Sambil mengingat-ingat diapun
mencari bagian-bagian kelemahannya agar dapat dipecahkan.
Siau Lo-seng memang memiliki otak yang sangat cerdas sekali. Pada saat Leng Tiong-siang mengulangi
serangannya sampai yang kesepuluh kali, diapun segera tahu cara untuk memecahkannya.
Dengan menggembor keras ia hendak balas menyerang, tetapi tiba-tiba Leng Tiong-siang luruskan ujung
pedang ke muka dan menyurut mundur, serunya,
“Dengan pedang Leng-hong-kiam mengalahkan engkau, engkau tentu masih penasaran. Sekarang aku
hendak menyambut tiga buah seranganmu dengan tangan kosong!”
“Hai!” Siau Lo-seng menjerit kaget. “engkau menggunakan pedang Leng-hong-kiam?”
“Benar, memang pedang ini Leng-hong-kiam, Pedang pusaka yang termasuk salah sebuah pusaka dalam
dunia persilatan,” sahut Leng Tiong-siang.
Siau Lo-seng tertegun.
“Jika demikian, engkau tentulah merampas pedang itu dari tangan Leng Tiong-siang ketika menghadapi
rapat besar di gunung Thian-san pada empatpuluh tahun yang lalu!” teriak Siau Lo-seng.
Leng Tiong-siang kerutkan alis.
“Mengapa engkau tahu peristiwa itu,” katanya, “setelah selesai rapat Thian-san, diam-diam kuajak Leng
Tiong-siang bertempur. Dia kalah dan menyerahkan pedang Leng-hong-kiam itu kepadaku dan lagi dia
harus mentaati perjanjian bahwa selama empatpuluh tahun tak boleh muncul di dunia persilatan. Mengapa
engkau menuduh aku merampas pedangnya?”
Kejut Siau Lo-seng pada saat itu sukar dilukiskan. Dia tak menyangka sama sekali bahwa musuh besarnya
itu ternyata tokoh yang mengalahkan Leng Tiong-siang pada empatpuluh tahun berselang. Kepandaian
orang itu memang sakti sekali dan ia merasa putus asa untuk dapat mengalahkannya.
Tetapi apakah ia harus melepaskan tujuannya untuk menuntut balas? Belasan tahun ia menyiksa diri untuk
mencari ilmu kesaktian, tak lain tak bukan hanyalah untuk menuntut balas. Sekarang setelah berjumpa
dengan musuhnya itu mengapa ia harus mundur?
Tidak, tidak! Biar dia mati tetapi tetap akan menuntut balas kepada orang itu. Darahnya mendidih dan
dendamnya menyala kembali.
“Tak peduli engkau ini siapa dan betapapun kesaktianmu……, tetapi engkau harus serahkan jiwamu!” tibatiba
ia berteriak lalu melangkah maju lima tindak. Tetapi tak mau tergesa-gesa menyerang melainkan
berkilat-kilat memandang wajah Leng Tiong-siang.
Leng Tiong-siang tertegun. Walanpun kerut wajahnya yang dingin itu tak memperlihatkan suatu perobahan,
tetapi biji matanya tampak bersinar cerah memancar kejut-kejut girang……
Demikian keduanya tegak mematung saling beradu pedang. Masing-masing menunggu suatu kesempatan
dan harus menekan kesabaran. Karena barang siapa lebih dahulu menyerang secara gegabah dia pasti
akan menderita serangan lawan yang tak mungkin dielakkan lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun sikapnya berbeda tetapi dalam hati mereka sama-sama tegang dan serius. Dan tak lama
kemudian kaki mereka pun mulai bergerak pelahan sekali.
Matahari makin naik, sekeliling tempat mereka berada, sunyi senyap. Walaupun matahari musim Jiu
(rontok) tidak begitu panas, tetapi kedua orang itu mandi keringat. Mata merentang memandang lawan
tanpa berkedip.
Saat itu Siau Lo-seng tenang sekali sehingga tak ingat apa-apa bahkan ilmu permainan pedang sekalipun.
Tetapi dalam keadaan demikian, pikirannya mulai mengendap dan mulai menyadari akan kesaktian ilmu
pedang, menyingkap intisari ilmu itu.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba dia menggembor keras dan pedang Ular Emas pun segera melancar.
Cepatnya bukan kepalang. Dalam sekejap saja dia sudah menyerang sampai tiga jurus.
Setelah merapat, keduanya lalu terpisah lagi, Siau Lo-seng mundur tiga langkah. Ujung pedangnya
menitikkan tetesan darah.
Leng Tiong-siang mundur sampai tujuh-delapan langkah. Tangan kirinya mendekap bahunya yang
mengucurkan darah sehingga bajunya yang berwarna putih, berlumuran merah.
Tokoh tua itu menengadahkan kepala, menghembuskan napas. Entah napas penyalur kemarahan,
kesedihan atau kegembiraan. Sukar diketahui isi hatinya. Hanya dia sendiri yang tahu.
Kemudian dia tertawa. Tetapi dalam tertawa itu, matanya menitikkan airmata. Dan pada saat jubahnya
tampak berkibar, diapun sudah loncat tujuh tombak jauhnya......
Siau Lo-seng tak mau mengejar dan memang tak berani mengejar. Karena ia tahu bahwa dalam serangan
tiga jurus tadi, sebenarnya Leng Tiong-siang sudah menyentuh punggungnya pada bagian jalan darah Simjiau.
Apabila jarinya menekan pastilah Siau Lo-seng akan hilang nyawanya. Tetapi ternyata orang tua itu tak
mau dan melainkan hanya mendorongnya saja ke samping.
“Mengapa dia tak mau melukai aku? Ha, ha, dia mengajarkan ilmu pedang kepadaku untuk melukainya.
Siapakah dia? Ya, siapakah sebenarnya orang itu......?” diam-diam Siau Lo-seng menimang-nimang dalam
hati.
Dia merasa tak mampu menghancurkan musuh besarnya bahkan malah menerima ajaran ilmu pedang.
Bukankah hal itu hina sekali? Ia tak tahu mengapa tanpa disadari, ia melakukan perintah orang itu.
Mengapa......?
Tiba-tiba ia merasa, seseorang telah menghampiri di belakangnya. Cepat ia berputar tubuh dan bersiap.
Hai...... ternyata tanpa diketahui entah kapan datangnya, tahu-tahu telah muncul rombongan tandu yang
dipikul oleh delapan lelaki baju merah dan dikawal oleh delapan lelaki baju putih. Dan tandu itu berisi si
Buddha Emas Ang Siong-pik.
Siau Lo-seng tak habis mengerti. Mengapa kedatangan rombongan sekian banyak orang tak menimbulkan
suara berisik sama sekali. Ah, dia tak berani membayangkan lebih lanjut. Apabila rombongan Ang Siong-pik
itu hendak mencelakai dirinya, bukankah amat mudah sekali?
“Bagaimana?” tiba-tiba Ang Siong-pik berseru, “mengapa engkau tampak begitu tegang? Heh, heh apakah
engkau sudah mempertimbangkannya?”
“Mempertimbangkan apa?” Siau Lo-seng terkejut.
“He, he,” teriak Buddha Emas Ang Siong-pik, “dengan usaha keras baru dapat menolong engkau lobos dari
Bu-tong-san, masakan sia-sia saja jerih payahku itu?”
Seketika Siau Lo-seng teringat akan suara seruling aneh dan talu genta yang gencar sehingga wajah Butong
Sam-siu berobah kaget itu. Segera ia menyadari apa yang dikatakan Ang Siong-pik.
“Hm, kiranya engkau bersekongkol dengan dia,” teriaknya sesaat kemudian.
“Sekongkol bagaimana?” Ang Siong-pik deliki mata, “selama hidup belum pernah aku bersekongkol dengan
orang.”
Siau Lo-seng tertegun.
“Suara seruling yang terdengar di Bu-tong-san itu, apa bukan engkau yang meniup?” serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ang Siong-pik tiba-tiba tertawa,
“Di seluruh dunia persilatan ini siapakah yang mampu menggunakan lima suara Cian-li-coan-im untuk
mengendapkan semangat orang yang sedang bertempur….?” tiba-tiba Ang Siong-pik hentikan kata-kata
dan deliki mata kepada Siau Lo-seng, “bilang, engkau mau melaksanakan perjanjian yang sudah engkau
setujui itu atau tidak?”
“Perjanjian apa?” Siau Lo-seng makin heran.
“Apa? Engkau hendak ingkar janji?” teriak Ang Siong-pik makin marah, “engkau telah menyanggupi
kepadaku. Setelah kutolong keluar dari Bu-tong-san, engkau segera membawa aku menemui peniup
seruling itu. Apakah sekarang engkau hendak menjilat ludahmu?”
Siau Lo-seng kerutkan alis lalu tertawa:
“Aneh benar, kapankah aku minta pertolongan kepadamu?”
“Leng Tiong-siang minta tolong kepadaku supaya menggoda Bu-tong Sam-siu agar dapat menolongmu.
Apakah dia tidak meminta persetujuanmu tentang hal itu?”
“Lucu benar,” Siau Lo-seng mendengus, “tak kira engkaupun kena diselomoti orang.”
Seketika gemetarlah Ang Siong-pik karena marahnya.
“Tutup mulutmu!” bentaknya, “tak peduli engkau mau mengakui atau tidak, engkau tak dapat gampanggampang
pergi. Sekarang jawablah, dimana orang tua peniup seruling itu?”
Sebenarnya Siau Lo-seng sendiri juga gelisah memikirkan ayah-angkatnya itu. Namun ia menolak untuk
mengatakan kepada Ang Siong-pik, serunya: “Tiada suatu keharusan bagiku untuk memberitahu
kepadamu.”
“Hm,” Ang Siong-pik mendengus geram. “arak wangi tak mau minum kebalikannya engkau minum arak
beracun. Lebih baik engkau bilang saja agar aku tak perlu turun tangan sehingga dapat merusakkan
hubungan kita.”
Tiba-tiba Siau Lo-seng mendapat pikiran, katanya: “Perlu apa engkau mencari dia? Apakah engkau
mempunyai hubungan dengan dia?”
Buddha Emas Ang Siong-pik menyeringai.
“Sudah lebih dari empatpuluh tahun lamanya aku bersembunyi dalam guha pertapaan. Sekarang baru
setengah tahun keluar ke dunia persilatan, sedang bertemu muka saja belum masakan sudah mempunyai
hubungan!”
Seketika cahaya wajah Siau Lo-seng pun berobah. Ia berkata seorang diri,
“Adakah sesuatu yang tak beres pada suara serulingnya......”
Ang Siong-pik tertawa panjang.
“Sungguh pintar,” serunya, “aku datang karena suara serulingnya itu. Thian-siau-sian-im, Cian-li-sian-im dan
Sang-goan-sam-jiok, adalah ilmu suara seruling penting dari guha Thian-siau-sian-tong. Karena ilmu pusaka
dari guha Thian-siau-sian-tong telah merembes keluar maka aku perlukan keluar untuk menyelidikinya.”
Kini baru Siau Lo-seng manyadari bahwa ilmu seruling ketiga irama itu, berasal dari satu sumber. Maka tak
heran kalau suara seruling dari Buddha Emas Ang Siong-pik hampir menyerupai dengan tiupan seruling dari
ayah angkatnya atau orang tua peniup seruling.
“Sekarang sudah kuterangkan semua dan engkau harus memberitahu dimana beradanya,” seru Ang Siongpik
pula.
Siau Lo-seng bingung. Dia sendiri belum tahu dimana dan bagaimana keadaan ayah angkatnya itu.
Sesaat timbul pikirannya untuk menggunakan tenaga Ang Siok-pik mencari jejak ayah angkatnya itu.
Pertama, ia ingin tahu bagai¬mana keadaannya apabila Ang Siong-pik berhadapan dengan ayah
angkatnya. Dan kedua, walaupun sekarang ia tahu dari mana sumber irama seruling dari ayah angkatnya
itu namun dia sesungguhnya belum tahu benar-benar, siapakah sebenarnya ayah angkatnya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
14.69. Siapa Kim Coa Long-kun Palsu!!??
Yang diketahuinya ayah angkatnya seorang tua yang cacat tubuh dan menderita luka hati. Tetapi
bagaimana asal usulnya, dia tetap tak tahu.
Ah, perlu apa banyak pikir? Selekas bertemu dengan ayah angkatnya, bukankah ia segera tahu
kesemuanya itu? Akhirnya ia memutuskan.
“Dia telah ditawan orang. Tetapi tempat itu sukar diselidiki,” serunya.
Ang Siong-pik tertawa gelak-gelak.
“Tempat manakah di dunia ini yang tak dapat kudatangi? Sekalipun sarang harimau kubangan naga, aku
tentu dapat mencarinya. Katakan, siapa yang menawannya…… eh, tetapi aku merasa curiga. Dalam dunia
persilatan dewasa ini, partai perguruan maupun tokoh persilatan manakah yang mampu mengalahkan dia?
Mungkin hanya mengundangnya bukan menangkap dia!”
Siau Lo-seng terperanjat.
“Kalau meuurut bicaramu, ilmu pelajaran dari Thian-siau-sian-tong itu tiada lawan di dunia?” serunya.
“Ah, aku tak berani mengatakan begitu,” kata Ang Siong-pik, “hanya saja, sejak aku turun ke dunia
persilatan, belum pernah aku bertemu dengan lawan yang setanding.”
“Ban Jin-hoan ketua Ban-jin-kiong, Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe dan Puteri Neraka serta Te-gak Kui-ong,
apakah mereka kalah dengan engkau?” Siau Lo-seng tak puas.
Buddha Emas Ang Siong-pik tertawa nyaring.
“Ban Jin-hoan dan Ui Siu-bwe itu masih tergolong angkatan lebih muda dari aku. Masakan engkau
sejajarkan diriku dengan mereka? Ha, ha, tentang Puteri Neraka dan Te-gak Kui-ong (Raja Akhirat),
walaupun mereka menggunakan ilmu pelajaran dari kitab pusaka guha Thian-siau-siau-tong untuk melatih
mumi, tetapi cukup dengan kutiupkan irama Thian-siau-mo-im saja mereka pasti akan rubuh terkapar.
Bahkan mungkin nyawanyapun terkuasai……”
“Engkau katakan ilmu membuat mumi itu juga berasal dari guha Thian-siau-sian- tong?” Siau Lo-seng
berteriak kaget.
Dia teringat akan keterangan ayah angkatnya bahwa ilmu menempa nyawa itu berasal dari Kiu-thian-sianhu.
Bermula Siau Lo-seng tak percaya, tetapi sekarang dia tak ragu lagi.
“Kitab Lian-hun-cin-keng (menempa nyawa) telah dicuri oleh Cian-li-tui-cong Ban Li-hong dari Kiu-thiansian-
hu baru tersebar ke dunia persilatan. Tentang hal itu, masakan aku perlu berbohong!”
Siau Lo-seng menghela napas. “Kalau begitu, locianpwe benar-benar tokoh sakti yang tiada lawannya
dalam dunia persilatan.”
Jawab Buddha Emas Ang Siong-pik: “Hanya ada seorang manusia yang menjadi sainganku yang
berat……”
Berkata sampai di situ tiba-tiba dia berhenti lalu beralih pada lain persoalan: “Sudahlah, jangan bicara yang
tak berguna. Lekas katakan, siapakah yang menangkap orang tua peniup seruling itu?”
Tiba-tiba Siau Lo-seng mendapat lain pikiran pula. Kalau Ang Siong-pik itu tak takut kepada Ban Jin-hoan
dan Jin Kian Pah-cu, jelas ayah angkatnya tentu juga tak takut. Tetapi dia hanya seorang diri, mungkin......
“Dia bersama nona Ui Hun-ing telah dibawa Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe ke Lembah Kumandang!” serunya
serentak.
“Benarkah itu?” Ang Siong-pik menegas.
“Aku sudah mengatakan, terserah percaya atau tidak,” sahut Siau Lo-seng.
“Jalan!” teriak Buddha Emas Ang Siong-pik memberi perintah kepada anak buahnya, “menuju ke Lembah
Kumandang!”
Tandupun segera diangkat dan dengan kepesatan langkah yang mengagumkan, rombongan pengawal baju
merah dan putih itupun segera lenyap di ujung jalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kepergian rombongan Ang Siong-pik itu telah meninggalkan berbagai kesan pada Siau Lo-seng. Dia masih
tak habis mengerti mengapa Leng Tiong-siang telah menolongnya. Dan bagaimana pendirian Buddha Emas
Ang Siong-pik itu, kawan atau lawan? Siapa pula orang tua peniup seruling yang menjadi ayah angkatnya
itu? Dia mengatakan ilmu kepandaiannya berasal dari Kiu-thian-sian-hu. Tetapi aliran apakah Kiu-thiansian-
hu itu?
Terakhir Siau Lo-seng masih bingung juga. Kemanakah sekarang ia harus pergi……?
Ia tak tahu kemana perginya barisan paderi dan bagaimana keadaan perkumpulan Naga Hijau.
Saat itu sudah senja. Cuacapun mulai gelap. Tiba-tiba ia merasa lapar. Ah, memang sehari itu belum
makan. Segera ia tinggalkan tempat itu dan tiba di sebuah kota. Ia mencari sebuah rumah makan agak
besar.
Ternyata rumah makan itu laris sekali penuh dengan tetamu. Siau Lo-seng terpaksa duduk bersama tiga
orang yang tak dikenal. Setelah hidangan yang dipesan datang, maka diapun terus makan dengan lahap
sekali.
Tengah enak-enak makan, tiba-tiba dia mendengar suara orang ramai membicarakan tentang seseorang.
“…… Kim-coa-long-kun Siau Mo…… sungguh ganas……, jika bukan Hun-liong-jit-gan, Kwan-gwa Suhiong……
Hoa-san Ngo-hou......”
Sudah tentu Siau Lo-seng terkejut dan pasang telinga. Seorang tetamu yang duduk pada meja lain berkata:
“Memang begitu! Kabarnya Lutung seribu tangan Ban Li-coan telah mengalami bencana hebat. Dalam
semalam saja, enampuluh jiwa dari desa tempat tinggalnya telah dibunuh habis. Wanitanya diperkosa baru
dibunuh. Kasihan adalah puteri tunggal dari Ban lo-enghiong, setelah diperkosa oleh Siau Mo lalu dibunuh.
Mayatnya yang masih telanjang, digantung di atas pintu gedungnya!”
Orang itu berhenti sebentar lalu melanjutkan ceriteranya lagi.
“……diapun menulis sebuah syair yang kotor dan cabul pada tembok pintu.”
Diam-diam Siau Lo-seng mengerling pandang untuk mengamati orang itu dengan cermat.
Tak kurang dari belasan lelaki berpakaian ringkas seperti kaum persilatan, membawa senjata tengah duduk
mengelilingi sebuah meja. Rata-rata mereka berperawakan gagah, kecuali orang yang mengoceh tadi yang
bertubuh pendek kecil.
Tiba-tiba seorang lelaki tua yang bermuka brewok tertawa nyaring.
“He, tuh lihatlah, Ma lo-ngo sudah ketakutan setengah mati,” serunya, “sepertinya Siau Mo itu sudah berada
di sini saja!”
Si pendek kecil menyelutuk: “Tan Siu-lam, jangan terlalu menganggap sepi orang. Sekalipun Siau Mo begitu
ganas tetapi aku Ma Tong tak takut kepadanya. Kalau ada kesempatan bertemu, kalian boleh lihat saja
bagaimana tindakanku.”
Orang brewok yang dipanggil Tan Siu-lam tertawa nyaring.
“Ma Lo-ngo, lebih baik jangan jual suara besar dulu,” serunya. “kelak apabila bertemu orangnya, mungkin
engkau tentu seperti anjing mengepit ekor.”
“Siu-lam!” teriak Ma Tong, “jangan menghina aku. Duapuluh tahun lamanya Ma Tong berkecimpung dalam
dunia persilatan dan bekerja sampai begitu lama di kantor antaran barang Ban-seng Piau-kiok. Tiap kali
leherku selalu terancam golok dan tombak. Dalam pertempuran apa saja aku pernah menghadiri. Hm,
mungkin lain orang takut kepada Siau Mo tetapi aku Ma Tong ini tidak takut, kalau memang berani……”
“Jangan berkentut!” Tan Siu-lam menukas, “kalau engkau......”
“Sudah, sudahlah!” tiba-tiba terdengar seorang lelaki mengerat kata-kata Siu-lam dalam nada yang
memancar tenaga dalam kuat, “jangan berbantah terus. Ma Tong coba engkau katakan apa saja syair yang
ditulis Kim-coa-long-kun Siau Mo pada tembok taman Jui-hoa-wan itu?”
“Saat itu banyak orang berkerumun dan membicarakan peristiwa itu tetapi tak ada seorangpun yang tahu
kecuali aku. Kulihat jelas huruf itu ditulis dengan darah dan berbunyi begini:
dunia-kangouw.blogspot.com
Salah benar itu hanya pikiran sesaat.
Mati hidup hanya peristiwa sekejap.
Manusia hidup dalam dunia
Gembira tetapi bukan kesenangan
O, kesenangan, kesenangan
Kesenangan memuncak. timbul kesedihan
Jiwapun harus berkorban
Yang memutuskan Hidup dan Mati
Apakah si Kim-coa-long?
“Entah digurat dengan apa sehingga huruf-huruf itu menyusup ke dalam dinding sampai lebih dari satu dim.
Menilik coraknya, huruf-huruf itu ditulis dengan jari dan darah. Di bawah syair diberi tanda lukisan Ular
Emas dan dibubuhi tanda tangan Siau Lo-seng. Congkak dan ganas, setiap kaum persilatan tentu marah
melihat syair itu. Bukan aku, Ma Tong, omong besar tetapi apabila bertemu dengan durjana ganas itu, tentu
akan kucincang untuk membalaskan dendam kematian mereka yang tak berdosa.”
Ma Tong menutup kata-katanya yang panjang lebar dengan mengertek geraham penuh menahan
kemarahan.
“Ma lo-ngo,” tanya Tan Siu-lam, “sungguh aku tak mengerti omonganmu itu, Kim-coa- long-kun itu bernama
Siau Mo atau Siau Lo-seng?”
“Keduanya sama,” sahut Ma Tong, “Siau Mo juga Siau Lo-seng, Siau Lo-seng juga Siau Mo. Yang
mengadakan pembunuhan besar-besaran di taman Jui-hoa-wan itu memakai nama Siau Lo-seng.”
Hampir meledak dada Siau Lo-seng mendengar cerita orang itu. Ia tak pernah menduga bahwa dirinya akan
difitnah orang. Dengan begitu jelas bahwa yang melakukan pembunuhan di markas Bu-tong-pay itu juga
orang yang memalsu dirinya.
Tetapi mengapa orang hendak memfitnah sedemikian keji? Ia mengeluh dalam hati. Jika tak secara
kebetulan makan di rumah makan itu tentu ia takkan tahu tentang peristiwa dirinya difitnah.
Saat itu ia bergidik dalam hati melihat cara-cara keji yang dilakukan orang terhadap dirinya.
Tiba-tiba seorang lelaki yang duduk di sebelah kiri dari rombongan orang-orang persilatan itu, berkata: “Ma
lo-ngo, lebih hati-hati sedikit kalau bicara. Ingat, tembok itu bertelinga. Apalagi Siau Mo itu dapat muncul
tanpa diduga-duga. Siapa tahu kalau saat ini dia juga sudah berada di sekeliling tempat ini?”
“Mengapa tidak?” sambut seorang lain, “kabarnya Siau Mo itu akan lewat di sini. Kalau dia singgah di rumah
makan ini, tentu akan terjadi pertunjukan yang ramai.”
Setelah orang itu berkata maka suasanapun sepi. Siau Lo-seng heran dan mengangkat muka hendak
melihat keadaan mereka. Saat itu pandang matanya terbentur dengan mereka. Wajah mereka pun serentak
berobah hebat lalu serempak berdiri. Ada beberapa yang malah sudah menyingkir.
“Kim-coa-long-kun……!”
“Siau Lo-seng……!”
Susul menyusul terdengar teriakan bernada kejut dan gentar dari mulut orang-orang itu.
Rupanya Siau Lo-seng menyadari bahwa dirinya salah diduga orang. Buru-buru ia berbangkit dan dengan
tertawa ia menghampiri ke tempat mereka.
“Saudara-saudara kaum persilatan……” ia berusaha mengucapkan kata-kata dengan nada ramah. Tetapi
orang-orang itu malah makin menyurut mundur. Wajah mereka pun menampilkan ketakutan hebat.
Tiba-tiba salah seorang terus lari keluar. Kawan-kawannya pun segera mengikuti jejaknya. Suasana pun
kacau. Bahkan tetamu-tetamu yang tak tahu duduk perkaranya, ikut-ikutan melarikan diri.
Siau Lo-seng mengejar mereka dan berseru: “Hai, kalian salah sangka, aku bukan……”
Tetapi mereka tak mau mendengar lagi. Bahkan karena pemuda itu lari memburu, merekapun cepatkan
larinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam sekejap saja, rumah makan itu kosong melompong. Yang tertinggal hanya pelayan dan pemiliknya.
Mereka terlongong-longong tak mengerti apa yang terjadi.
Tak berapa lama Siau Lo-seng kembali. Melihat keadaan rumah makan yang kacau balau, dia bertanya
kepada pelayan siapa yang menjadi pemilik rumah makan itu.
“Lekas hitung berapa banyak kerugian yang kalian derita dan akulah yang akan membayar semua.”
Mendengar kata-kata itu, pemilik rumah makan pun baru berani menonjol keluar dan berkata:
“……tuan...... sedikit kerugian itu…… tak jadi apa. Kami…… tak berani menerima uang kerugian dari
tuan......”
Tahu bahwa bagaimanapun dipaksa tentu tak ada gunanya maka Siau Lo-seng segera mengambil emas
hancur seberat tiga tail lalu dilemparkan: “Untuk mengganti semua kerugian di sini dan sisanya berikan
kepada pelayan-pelayan di sini.”
Habis berkata ia terus melangkah keluar. Tetapi begitu keluar ke jalan iapun tertegun, Ternyata jalan gelap
gelita. Rumah-rumah telah memadamkan lampunya semua. Tiada seorangpun yang berani keluar dari
rumahnya seolah-olah bakal terjadi geger.
“Aneh, mengapa mendadak terjadi perobahan begini?” tak habis ia mengerti. Namun hanya deru angin yang
menghembuskan jawaban kesunyian.
Tetapi malam itu beda suasananya dengan hari malam yang gelap. Karena malam itu penuh dengan
ketegangan yang tersembunyi.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar derap kuda berlari riuh dan cepat sekali sudah tiba di belakang Siau
Lo-seng.
Baru Siau Lo-seng menduga-duga apa yang akan terjadi tiba-tiba ia mendengar hembus angin melandanya
dari belakang.
“Hm,” Siau Lo-seng gemas juga. Ia hendak memberi sedikit hajaran kepada mereka.
Secepat berputar tubuh, ia gerakkan kedua tangannya untuk menampar penunggang kuda yang berada di
belakangnya.
Terdengar suara kuda meringkik keras dan tiba-tiba kuda pun loncat sampai setombak tingginya dan
melayang melampaui atas kepala Siau Lo-seng.
Pemuda itu terkejut. Dia belum sempat melihat jelas orang itu. Cepat ia tamparkan kedua tangannya
kepada panggung kuda itu pula.
“Ada ubi ada talas, engkau memukul, aku membalas!” lengking penunggang kuda itu seraya taburkan
senjata rahasia ke muka Siau Lo-seng.
Saat itu barulah Siau Lo Seng dapat melihat jelas bahwa panunggang kuda itu seorang dara baju merah.
Karena suasana gelap, ia tak dapat melihat jelas bagaimana raut wajah nona itu. Tetapi perawakan dan
potongan tubuhnya seperti pernah dikenalnya.
Namun Siau Lo-seng tak sempat merenung karena ia harus menyambuti senjata rahasia yang sudah
melayang ke mukanya. Cepat ia menyambar dengan tangannya. Tetapi ketika benda itu terasa lunak
seperti kapas, iapun terkejut sekali.
Pada saat ia tertegun, kudapun laju meluncur ke muka dan pada lain kejap, kuda dan nona baju merah
itupun lenyap dalam ujung kegelapan.
Peristiwa itu mendadak sekali datangnya dan mendadak pula lenyapnya.
“Apakah artinya ini? Apakah suatu amanat tantangan?” cepat benak Siau Lo-seng menimang.
Segera ia teringat akan peristiwa ketika berada di loteng tempat orang tua peniup seruling. Saat itu, seorang
dari ke empatpuluh barisan Algojo telah melemparkan sebuah gulungan kertas kepadanya. Karena tak
sempat maka gulungan kertas itu hanya disimpan dalam bajunya. Buru-buru ia mengambilnya keluar.
Pertama-tama ia membuka gumpalan benda lunak yang dilemparkan nona baju merah tadi. Ah, sebuah
saputangan sutera. Dibukanya saputangan itu dan di bawah penerangan rembulan remah ternyata
saputangan itu bertuliskan beberapa huruf yang berbunyi,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Saat ini engkau sedang dikepung oleh musuhmu, hati-hatilah.”
hurufnya ditulis indah tetapi tak dibubuhi tanda tangan apa-apa.
Siau Lo-seng tertegun. Ada dua hal yang menghuni dalam benaknya. Bahwa ternyata walaupun sudah lolos
dari Bu-tong-san, dia tetap dibayangi musuh. Dan kedua. munculnya seorang nona yang memberi
peringatan kepadanya. Jelas nona itu tentu bermaksud baik. Tetapi siapa gerangan dia?
Sesaat kemudian ia membuka gumpalan kertas yang disimpannya dalam baju sampai. beberapa lama.
Begitu membaca, keringat dingin segera mengucur deras.
14.70. Berita dari Bok-yong Kang yang Hilang
Ternyata surat itu menyangkut kepentingan dunia persilatan. Dan yang menanda-tangani Bok-yong Kang,
saudara-angkatnya yang sudah lama menghilang tak ketahuan rimbanya itu.
Dalam suratnya itu. Bok-yong Kang mengatakan. Dia telah ditawan Jin Kian Pah-cu. Tetapi karena pihak
Ban-jin-kiong menyerang Lembah Kumandang maka nona Ui Hun-ing dapat melepaskannya. Dia terpaksa
menyelundup masuk ke dalam barisan pihak Ban-jin-kiong. Tujuannya, hendak menyelidiki keadaan Banjin-
kiong. Tetapi Ban-jin-kiong memang ketat sekali peraturannya. Dengan susah payah ia (Bok-yong Kang)
baru berhasil menyelundup masuk ikut dalam barisan Algojo yang berjumlah empatpuluh dua orang itu.
“Aku terpaksa harus bersabar menahan diri,” kata Bok-yong Kang dalam suratnya itu. “sehingga sampai
sekian lama baru dapat mengadakan hubungan dengan Siau toako.”
Lebih lanjut Bok-yong Kang memberi laporan, bahwa pada nanti malam Tiong-jiu (pertengahan musim
rontok) Ban-jin-kiong akan mengadakan rapat besar tahunan. Seluruh anak buah yang tersebar di dunia
persilatan, harus hadir. Peristiwa itu penting sekali artinya. Untuk menumpas gerombolan Ban-jin-kiong
hanya tepat dilakukan pada saat itu. Rupanya dalam rapat besar itu akan diberikan petunjuk dan perintah
yang lebih lanjut dari gerakan Ban-jin-kiong untuk menguasai dunia persilatan.
“Demi kepentingan dunia persilatan, terpaksa aku harus menahan diri untuk tinggal dengan mereka. Surat
ini kukirim dengan pengharapan yang sangat, agar Siau toako segera bersiap-siap untuk menghadapi
peristiwa itu. Untuk menyelamatkan dunia persilatan dari bencana kehancuran......”
Demikian Bok-yong Kang mengakhiri suratnya. Dan tak lupa pula dia menguraikan tentang cara-cara ia
akan menyambut kedatangan Siau Lo-seng. Peta markas Ban-jin-kiong lengkap dengan tempat-tempat
yang dipasangi alat-alat rahasia.
Setelah mengamati dengan teliti peta itu, Siau Lo-seng menimang-nimang. Saat itu sudah bulan delapan
dan terpaut dari hari Tiong-jiu hanya tinggal tiga hari lagi. Ya, hanya tiga hari saja. Dapatkah ia akan
menyelesaikan segala persiapan yang perlu?
Perkumpulan Naga Hijau boleh dikata sudah berantakan. Tak mungkin dia hendak pinjam tenaga mereka.
Sedangkan partai-partai persilatan dewasa ini sudah di bawah ancaman penghianat dalam tubuhnya
masing-masing. Bahkan merekapun telah diaduk-aduk saling curiga mencurigai. Lebih celaka lagi, mereka
telah dihasut untuk memusuhi diri Siau Lo-seng. Dengan demikian pemuda itu merasa bahwa dirinya
sedang dimusuhi oleh seluruh partai persilatan.
Di samping Ban-jin-kiong, masih terdapat Lembah Kumandang yang menunggu kesempatan juga untuk
menaklukkan dunia persilatan. Kalau ia hendak mengajak tokoh-tokoh Ceng-pay untuk menghadapi Ban-jinkiong
apakah tidak akan memberi kesempatan pada Lembah Kumandang untuk bergerak?
Menilik gerak gerik Jin Kian Pah-cu yang licik dan ganas, rasanya jauh lebih jahat dari Ban-jin-kiong. Jika
tokoh-tokoh persilatan Ceng-pay sampai bertempur sama-sama hancur dengan Ban-jin-kiong, tidakkah
Lembah Kumandang yang mendapat keuntungan!
Tetapi kesempatan untuk menghancurkan Ban-jin-kiong sukar didapat lagi kecuali pada hari Tiong-jiu itu
nanti.
Demikian lalu lalang pemikiran yang menghuni dalam benak Siau Lo-seng ketika ayunkan langkah pelahanlahan
menyusup dalam kegelapan malam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba ia merasakan sesosok bayangan tinggi besar melintas di bawah sebuah pohon go-tong (semacam
jambu). Dan cepat sekali orang itu sudah lenyap dalam ujung gelap. Tetapi menyusul, beberapa sosok
bayangan segera berhamburan keluar.
Saat itu Siau Lo-seng tengah terbenam dalam renungan untuk mencari daya bagaimana mengatasi
persoalan yang tengah dihadapi saat itu.
Sekonyong-konyong ia merasa setiup angin telah menyambar ke arah punggungnya.
Dia mendengus dingin. Begitu mengisar ke samping ia terus jentikkan tiga kali sentilan jari.
“Aduh……!” terdengar sebuah jeritan ngeri. Sesosok tubuh besar terlempar ke udara. Pedangnya pun
terlempar dan melayang jatuh sampai setombak lebih jauhnya.
Tetapi serempak dengan itu lima orang lelaki bermunculan dari arah hutan yang gelap. Mereka cepat tegak
berjajar-jajar menghadang jalan, dengan menghunus senjata.
Siau Lo-seng tenang-tenang sapukan pandang mata ke arah mereka. Ia tetap berjalan maju dan makin
lama makin mendekati mereka.
Kerut wajah kelima orang itupun berobah-robah. Sebentar tegang marah, sebentar pucat ketakutan.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berhenti dan memandang tajam kepada mereka. Mereka tampak menggigil.
“Siau Lo-seng, akhirnya engkau datang juga!” tiba-tiba terdengar orang tertawa.
Arahnya dari dalam hutan. Menyusul belasan orangpun muncul. Lelaki, perempuan, tua dan muda. Mereka
memandang Siau Lo-seng dengan pandang penuh dendam.
“Perlu apa saudara-saudara mencari aku?” tegur Siau Lo-seng.
Seorang perempuan muda yang masih mengenakan pakaian berkabung, berseru keras: “Iblis ganas, hari ini
kami hendak minta engkau mengganti nyawa.”
Habis berkata janda muda itu terus bersikap hendak menyerang. Tetapi dicegah oleh seorang lelaki
pertengahan umur yang berada di belakangnya. Seorang perempuan tua pun menasehati dengan bisikbisik.
Siau Lo-seng mendengus.
“Aku Siau Lo-seng, selalu membedakan mana budi mana dendam. Apa yang kulakukan tentu
kupertanggung jawabkan. Apabila saudara-saudara hendak membalas dendam kepadaku, mengapa kalian
tak mau keluar semua dan masih ada yang bersembunyi di atas pohon?”
Sebagai jawaban, lebih dari duapuluh orang scgera berhamburan muncul dari atas pohon dan balik batu.
Salah seorang, seorang tua yang memanggul sebatang pedang di punggungnya, segera tertawa
menyeringai.
“Bagus Siau Lo-seng, nyata engkau amat perwira dan sakti maka engkau begitu congkak dan sombong.”
“Kulihat engkau ini seorang manusia. Cobalah engkau sebutkan namamu agar dapat kupertimbangkan
layakkah engkau bertempur dengan aku!” sahut Siau Lo-seng.
Lelaki tua itu tertawa nyaring.
“Aku bernama Auyang Sat-hong. Kalangan penyamun dalam dunia persilatan memberi gelar nama Tionggoan-
it-tiau (Rajawali dari tanah Tiong-goan). Hari ini baru kulihat dengan mata kepala sendiri bahwa Kimcoa-
long-kun Siau Lo-seng itu seorang jago muda yang berbakat hebat. Sayang, sayang!”
Siau Lo-seng tertawa.
“Apa yang kausayangkan? Kalau takut, harap menyingkir saja.”
Tiong-goan-it-tiau Auyang Sat-hong agak merah mukanya.
“Bahwa seorang pemuda yang cerdas telah terjerumus ke jalan yang sesat, menjadi seorang momok ganas.
Kelak mayatmu tentu tak terkubur di tanah. Apakah itu tidak sayang?”
Siau Lo-seng tertawa gelak-gelak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jika begitu aku harus berterima kasih atas perhatianmu. Tetapi aku masih tak ingin mati dan mungkin akan
mengecewakan keinginanmu.”
Baru Tiong-goat-it-tiau hendak membuka mulut lagi tiba-tiba seorang imam muda berdiri dan mengerat
omongan orang:
“Mengapa Auyang locianpwe berkering ludah terhadap momok jahat semacam itu? Tangkap dulu baru kita
adili!”
Siau Lo-seng mendengus dingin.
“Hm, enak saja engkau bicara, imam. Mengapa engkau tak mau memberitahukan namamu?”
“Aku Kiam Ho, hendak membalaskan kematian ketujuh Hun-liong-jit-gan yang engkau bunuh itu. Hari ini
akan merupakan hari terakhir dari kejahatanmu.”
“Ah, maaf, karena tak menghormat kepada totiang,” seru Siau Lo-seng, “kiranya totiang ini Kiam Ho Cinjin
yang ternama. Kematian Hun-long-jit-gan di bawah Pedang Ular Emas itu adalah karena memang mereka
harus mati. Apakah di tempat ini masih terdapat lain sahabat yang hendak ‘membalas dendam’ kepadaku
lagi? Kalau masih, silahkan maju dan memberitahukan namanya agar aku dapat 'mempertimbangkan
apakah dia layak menjadi lawan tempurku.”
Sudah tentu kata-kata Siau Lo-seng itu menimbulkan kemarahan sekalian orang. Janda muda yang berbaju
hitam itu segera melengking
“Aku Lu Kui-hun, mewakili ke tujuhpuluh dua arwah anak murid perguruan Sin-kun-hun, akan meminta ganti
jiwa kepadamu, pembunuh.......”
Dengan rambut yang terlepas ke bahu dan sepasang mata berwarna merah, wanita itu segera memainkan
goloknya untuk menyerang dalam jurus Thian-cu-te-hiat atau Langit roboh bumi amblong.
“Tunggu dulu!” seru Siau Lo-seng. Dengan sebuah geliatan tubuh, ia sudah menyingkir tiga tombak
jauhnya.
“Jahanam, masih hendak omong apa lagi?” teriak janda muda itu. Tiga buah jurus dilancarkan lagi secara
berturut-turut. Rupanya dia hendak mengadu jiwa.
Dalam beberapa kejap saja dia sudah melancarkan limabelas jurus kepada Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng diam saja tak mau membalas, melainkan menghindar. Dia berlincahan di bawah tabasan
golok. Berlarian mengeliling lawan.
Lu Kui-hun si janda baju hitam mulai gelisah. Matanya sudah berlinang-linang karena menahan malu dan
marah. Permainan goloknya pun makin kacau.
Tiba-tiba Siau Lo-seng meluncur ke samping untuk meloloskan diri dari sinar golok, lalu berseru:
“Dengan kepandaianmu yang sebegitu saja engkau hendak balas sakit hati, ah, masih jauh. Lebih baik
pulang dan berlatihlah sampai beberapa tahun baru nanti mencari aku.”
Karena serangannya gagal, Lu Kui-hun marah lalu menangis: “Suamiku, tunggulah aku. Karena tak dapat
membalaskan kematianmu, aku hendak menyusul engkau ke alam baka. Kalau benar engkau berada di
akhirat, jadilah engkau setan untuk mencabut nyawanya!”
Habis berkata ia terus hendak menabas lehernya sendiri.
Sekalian orang terkejut. Tetapi mereka baru saja habis tertegun menyaksikan pertempuran tadi. Walaupun
melihat si janda Lu Kui-hun hendak bunuh diri, tetapi mereka tak dapat menolong kecuali hanya berteriak
menyuruhnya jangan nekad.
“Tring…..”
Tiba-tiba terdengar dering yang nyaring dan pedangnya jatuh ke tanah. Tetapi orangnya pun rubuh.
“Cici!” teriak seorang pemuda berumur enambelasan tahun seraya loncat menyambuti tubuh si janda muda
yang hendak roboh itu.
Ketika memeriksa denyut nadi dan napasnya, pemuda itu dapatkan cicinya sudah tak bernyawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Serentak ia berpaling dan mendamprat Siau Lo-seng: “Jahanam, engkau telah membunuh seluruh keluarga
engkoh iparku. Sekarang engkau bunuh juga taciku. Aku akan mengadu jiwa dengan engkau!”
Siau Lo-seng tertegun. Diam-diam ia menimang dalam hati: “Aneh sekali, aku hanya menggunakan ilmu jari
baja Kim-kong-ci untuk menyiak pedangnya, mengapa dia mati!”
Tetapi saat si pemuda itu tiba dan menyerang dengan senjatanya yang berbentuk aneh. Semacam pukul
besi tetapi panjang seperti tongkat.
Siau Lo-seng hanya menghindar. Tujuh kali serangan si anak muda, tetapi dihindari saja.
“Apa katamu? Tacimu mati?” tegur Siau Lo-seng.
Serangannya luput dan menerima pertanyaan begitu, pemuda itu marah sekali. “Jahanam, sudah
membunuh orang masa masih mau berpura-pura. Terimalah seranganku Thian-to-coat-beng-sam-si ini!”
Tongkat palu segera diputar bagaikan sebuah bianglala yang mencurah ke tubuh Siau Lo-seng.
Diam-diam Siau Lo-seng terkejut dan kagum atas ilmu permainan itu. Apabila ilmu itu dimainkan dengan
menggunakan pedang, tentu hebat sekali.
“Hian, jangan menggunakan ilmu itu!” tiba-tiba Tiong-goan-it-tiau Auyang Sat-hong berseru, seraya
melayang ke tengah gelanggang dan rentangkan kedua tangannya untuk melindungi anak itu.
Tetapi rupanya peringatan orang tua itu tak dihiraukan si anak muda. Bahkan kebalikannya dia malah
mainkan senjatanya makin gencar.
Siau Lo-seng mendongkol. Ia gerakkan tangan kanannya untuk menyambar tongkat lalu menutukkan jari
kirinya ke tangan si pemuda.
Tetapi ketika tangan Siau Lo-seng berhasil menyambar tongkat, tiba-tiba pemuda itu tertawa dingin lalu
berputar tubuh. Seketika tongkatnya itupun putus. Separoh bagian ujungnya dipegang Siau Lo-seng dan
separoh bagian belakang segera menjadi sebatang tombak tajam. Setelah menghindar dari tiga tutukan jari
Siau Lo-seng, secepat kilat pemuda itu membabat pinggang Siau Lo-seng.
Setitikpun Siau Lo-seng tak menyangka bahwa senjata tongkat panjang itu ternyata terdiri dari dua ruas
batang. Bahkan ruas bagian belakang merupakan tombak yang runcing.
Dalam keadaan yang gawat itu tiba-tiba terdengar erang suara tertahan. Siau Lo-seng mundur setombak
jauhnya, ia telah tertusuk robek memanjang.
Tetapi anak muda itu rubuh ke tanah dan senjatanya yang aneh telah terlempar sampai tiga tombak
jauhnya.
Tiong-goan-it-tiau terkejut. Ia memang hendak melindung anak muda itu. Tetapi ketika tahu bahwa ujung
senjata si anak muda berhasil mengenai tubuh Siau Lo-seng, ia diam saja. Pikirnya, tentulah kali ini Siau
Lo-seng akan terluka. Tetapi di1uar dugaan dan dengan gerak yang sama sekali tak diketahuinya, ternyata
Siau Lo-seng mampu merobohkan anak muda itu dan memukul senjatanya sampai beberapa tombak
jauhnya.
Sekalian orang yang menyaksikan hasil pertempuran itu kesima. Bahkan Siau Lo-seng sendiri juga terbeliak
kaget.
Tadi janda muda tiba-tiba rubuh binasa dan kali ini anak muda itupun rubuh……
Saat itu Tiong-goan-it-tiau hendak mengangkat tubuh pemuda tadi. Tiba-tiba Siau Lo-seng berseru
mencegah, “Harap jangan memegangnya!”
Sambil berkata pemuda itu terus loncat maju dan ayunkan tangan untuk mendorong Tiong-goan-it-tiau.
Tiong-goan-it-tiau tak mengerti maksud Siau Lo-seng. Ia kira pemuda yang telah membunuh muridaya itu
hendak menyerang dia sekali. Maka marahlah ia.
“Siau Lo-seng, engkau ganas sekali!” serunya seraya maju hantamkan kedua tangannya ke arah Siau Loseng……
15.71. Suara Setan atau Manusia??
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bum......”
Terdengar letupan dahsyat dan kedua sosok tubuh yang bertempur itupun loncat berpencaran.
Tiong-goan-it-tiau terpental sampai lima langkah. Sementara Siau Lo-seng berhasil meraih tubuh anak laki
yang menggeletak di tanah lalu membiarkan dirinya didera angin pukulan Tiong-goan-it-tiau dan melayang
sampai tiga tombak jauhnya.
Terdengar teriakan geram dari beberapa orang yang segera berhamburan menyerang Siau Lo-seng.
Saat itu Siau Lo-seng tiba-tiba merasakan suatu aliran tutukan jari yang halus tak bersuara melanda dirinya.
Dia terkejut, lalu cepat menghindar mundur.
“Bluk, bluk......” orang-orang yang memburu hendak menyerangnya itu tiba-tiba berhamburan rubuh. Sudah
tentu hal itu mengejutkan sekalian orang.
Sesaat kemudian terdengar pula suara mendesis di udara. Tiga percik sinar hitam meluncur ke arah tubuh
Siau Lo-seng, mengarah tiga buah jalan darah maut pada tubuhnya. Serangan senjata rahasia itu meluncur
teramat cepat sekali.
Saat itu Siau Lo-seng masih melayang di udara. Cepat ia gunakan gerak Ombak dahsyat mengangkat
naga. Sambil berputar tubuh dia berhasil pula menyambar yang sebuah.
Dia rasakan senjata rahasia amat lunak tetapi mengandung tenaga yang luar biasa besarnya, sehingga
Siau Lo-seng terdorong sampai beberapa meter jauhnya.
Selekas turun ke bumi, dengan cepat Siau Lo-seng memandang ke arah hutan. Dilihatnya sesosok
bayangan putih melesat cepat lalu menghilang.
Ketika memeriksa senjata rahasia yang tergenggam di tangannya itu, amboi, ternyata hanya sehelai daun.
Keringat pemuda itu mengucur deras. Ia yang berilmu sakti, sejenak tertegun.
Siau Lo-seng pun lalu memegang pergelangan tangan anak laki itu. Denyut nadi pergelangannya amat
lemah. Kalau tak memeriksa dengan teliti tentu orang akan mengira bahwa anak itu sudah mati.
Anak muda baju biru itu tak menderita luka suatu apa, melainkan tubuhnya terasa amat dingin sekali dan
kaku. Tak ubah seperti mayat.
Sebagai seorang tokoh silat yang luas pengetahuan, cepat Siau Lo-seng dapat mengetahui bahwa anak itu
telah terkena ilmu tutukan dari jarak jauh.
Kembali Siau Lo-seng termangu-mangu. Siapa orang itu? Apa maksudnya membantu dia? Dan dalam dunia
persilatan tokoh manakah yang memiliki ilmu kepandaian sedemikian sakti itu?
Sebenarnya Siau Lo-seng memang sengaja hendak menempur orang-orang itu. Dia menerima saja apa
yang mereka tuduhkan. Setelah itu ia hendak mengumumkan kepada mereka bahwa ia memang hendak
menantang seluruh tokoh-tokoh Ceng-pay. Dengan demikian kaum persilatan golongan Ceng-pay tentu
akan marah. Tiga hari kemudian dia akan menantang pihak Ban-jin-kiong.
Demikian rencana yang diatur Siau Lo-seng. Tetapi di luar dugaan rencana itu terkacau oleh munculnya
orang sakti yang tak diketahui itu. Dia belum jelas, adakah orang itu kawan atau lawan. Ah, seorang Kakek
wajah dingin Leng Tiong-siang saja sudah cukup memusingkan kepala, kini tambah lagi dengan seorang
sakti yang tak ketahuan pendiriannya.
Suasana hening lelap. Hanya Tiong-goan-it-tiau yang merasa dirinya seperti duduk di atas beribu jarum.
Kemasyhuran namanya selama berpuluh tahun, hanya dalam sekejap telah hancur berantakan!
Dia benar-benar marah sekali karena terpukul mundur sampai tiga langkah oleh Siau Lo-seng tadi.
Sejenak menenangkan semangat, dia segera mencabut pedang pusaka yang tersanggul di punggungnya
lalu melangkah maju ke tempat Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng menghela napas melihat sikap jago tua itu.
“Siau Lo-seng,” seru Tiong-goan-it-tiau, “hari ini aku Auyang Sat-hong, dengan pedang ini hendak
melenyapkan bencana dalam dunia persilatan. Aku hendak membalaskan dendam kematian dari berpuluhpuluh
kaum persilatan. Hayo, majulah kemari!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau aku tak mau bertempur melawanmu?” Siau Lo-seng tertawa hambar.
Tiong-goan-it-tiau deliki mata.
“Hm, budak hina, apakah engkau ini benar-benar Pendekar Ular Emas Siau Lo-seng itu?”
“Ya,” sahut Siau Lo-seng, “aku memang Pendekar Ular Emas Siau Lo-seng. Tetapi bukan Siau Lo-seng
yang melakukan keganasan itu melainkan Siau Lo-seng yang hendak berjuang membela keadilan.”
Tiong-goan-it-tiau tertawa marah, bentaknya, “Engkau kira dengan beberapa patah kata itu engkau dapat
membersihkan diri?”
“Lalu bagaimana pendapatmu?”
“Jangan banyak mulut!” Tiong-goan-it-tiau menggembor marah, “kalau berani sambutilah seranganku
beberapa jurus saja!”
Gerakan pedang jago tua itu, memang bukan main hebatnya. Seketika hawa dingin membaur ke sekeliling,
ditingkah dengan deru angin yang menghamburkan debu dan pasir ke empat penjuru.
Siau Lo-seng tertawa dingin. Dia berlincahan menghindar kian kemari. Setiap serangan dapat dihindarinya
dengan gerakan yang indah.
Setelah belasan jurus tak berhasil, Tiong-goan-it-tiau makin meraung-raung seperti orang kalap. Rambutnya
meregang tegak, matanya merah membara. Pedang pun menyambar secepat kilat, sederas hujan
mencurah. Setiap serangan tentu mengarah jalan darah yang berbahaya.
Tiba-tiba Siau Lo-seng berputar tubuh. Bukan mundur kebalikannya dia malah maju dan tebaskan
tangannya.
“Engkau sudah menyerang sampai tigapuluh jurus. Jika tak mau berhenti, terpaksa aku akan membalas!”
bentaknya.
Karena marahnya hampir dada Tiong-goan-it-tiau seperti meledak: “Hari ini, engkau atau aku yang mati.
Hayo keluarkanlah seluruh kepandaianmu!”
Dalam pada berkata-kata itu, ia sudah lancarkan serangan sampai berpuluh jurus lagi.
Siau Lo-seng gelisah. Mana banyak hal yang harus dilakukan. Kalau terus menerus terlibat dalam
pertempuran di situ, bukan saja akan memakan waktu, memakan jiwa beberapa orang persilatan, pun
bahkan dirinya tentu takkan terhindar dari tuduhan sebagai pembunuh.
Akhirnya ia memutuskan untuk lolos dari tempat itu. Maka cepat ia menyurut mundur seraya lepaskan dua
hantaman. Setelah dapat mendesak mundur lawan, segera ia gunakan gerak Angin puyuh menghambur
daun untuk ia melambung ke udara hendak melayang ke samping.
Tetapi Siau Lo-seng lupa memperhitungkan siapa diri Tiong-goan-it-tiau itu. Digelari Tiong-goan-it-tiau atau
Rajawali nomor satu dari Tiong-goan adalah karena Auyang Sat-hong itu mempunyai keistimewaan dalam
ilmu ginkang.
Pada saat Siau Lo-seng melambung, tiba-tiba Tiong-goan-it-tiau sudah membentaknya: “He, hendak lari
kemana engkau?”
Ternyata jago tua itu sudah melambung empat tombak tingginya dan dengan gerak Elang menerkam ayam
dia memotong jalan dengan tabasan pedang kepada Siau Lo-seng.
Karena menjinjing tubuh anak lelaki itu maka gerakan Siau Lo-seng agak lamban. Dia terkejut sekali ketika
pedang Tiong-goan-it-tiau mengejarnya. Dalam gugup, cepat ia menghantam.
Tiong-goan-it-tiau tertawa dingin. Ia bergeliat melambung makin tinggi lalu dengan jurus gunung Thay-san
menindih puncak, ia menabas kepala Siau Lo-seng.
Seiring dengan ancaman maut itu, tiba-tiba Siau Lo-seng rasakan tubuh anak laki yang dikempitnya itu
terasa meronta-ronta. Rupanya anak itu sudah siuman. Cepat Siau Lo-seng menghantam ke atas lalu
mengendapkan berat badannya untuk meluncur turun ke bumi.
Sesaat kakinya menginjak tanah, segera ia rasakan punggungnya terlanda arus hawa dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai, mengapa dalam rombongan mereka terdapat seorang tokoh yang begitu sakti,” diam-diam ia
mengeluh kejut.
Cepat ia meluncur maju dua langkah lalu menyongsong dengan tamparan. Tetapi betapalah kejutnya ketika
pukulannya itu serasa terbenam dalam lautan kapas. Tahu gelagat berbahaya ia mundur lagi tetapi sudah
tak keburu.
Dadanya serempak terlanda oleh suatu arus tenaga dahsyat sehingga darahnya bergolak keras dan
tubuhnya pun terhuyung mundur tiga-empat langkah. Anak laki yang dikempitnya itupun terlepas jatuh ke
tanah.
Terjadi pula suatu keanehan. Ketika jatuh ke tanah, anak laki itu segera duduk. Sikapnya seperti orang yang
terjaga dari mimpi.
Serangan gelap itu membuat Siau Lo-seng marah sekali. Ketika ia hendak berpaling untuk menyelidiki
penyerangnya, Tiong-goan-it-tiau pun meluncur dari udara dan menabasnya.
Siau Lo-seng alihkan kemarahannya kepada jago tua itu. Dia balikkan tubuh dan songsongkan kedua
tangannya.
Tiong-goan-it-tiau menjerit ngeri. Pedangnya terlepas dan orangnya pun melayang-layang seperti layanglayang
putus tali untuk kemudian terbanting jatuh ke tanah. Dia berusaha untuk bangun, mulutnya
bercucuran darah. Baru sejenak berdiri, diapun sudah jatuh lagi.
Siau Lo-seng menarik napas longgar lalu berpaling ke arah kawanan orang yang berada di tempat itu.
Astaga……
Ia terbeliak kaget sekali ketika melihat pemandangan di tempat itu. Semua jago-jago yang berada di tempat
itu menggeletak di tanah. Si janda baju hitam dan anak lelaki tadi kebalikannya malah sudah terjaga.
Siau Lo-seng merasa benar-benar seperti bermimpi.
“Cici, engkau tidak meninggal?” teriak anak laki itu seraya lari menghampiri.
“Adik Toan, apakah yang telah terjadi?” Lu Kui-hun si janda baju hitam itu bertanya heran
“Paman Auyang telah dicelakai orang,” sahut anak laki itu.
Mendengar itu serentak menggigillah tubuh Lu Kui hun. Dan sesaat melihat Siau Lo-seng tampak berada di
tempat itu pula, ia terus menyerbu: “Jahanam, engkau telah mencelakai sekian banyak orang.”
Tiba-tiba telinga Siau Lo-seng terngiang suatu suara yang dipancarkan melalui ilmu Menyusup suara:
“Kalau tak mau pergi sekarang, akan tunggu kapan lagi? Orang-orang itu telah kututuk jalan darahnya. Dua
jam kemudian, mereka dapat bergerak lagi. Jangan hiraukan siapa diriku, kelak engkau tentu tahu
sendiri……”
Setelah menghindari serbuan si janda Lu Kui-hun, kembali suara ngiang nyamuk itu terdengar pula,
“Pukul janda itu lalu cepat lari ke arah timur. Dia takkan mati…...”
Tanpa disadari Siau Lo-seng telah melakukan perintah orang yang tak kelihatan itu. Sekali ayunkan tangan,
Li Kui-hun terlempar sampai beberapa langkah.
Tanpa melihat lagi bagaimana keadaan janda itu, Siau Lo-seng terus loncat dan lari menuju ke timur.
Selama berlari itu, suara seperti ngiang nyamuk itu tetap berkumandang di telinga Siau Lo-seng. Dia
penasaran sekali dan pesatkan lari untuk mengejar.
“He, apakah engkau mampu mengejar?” kembali terdengar suara orang tertawa meloroh.
Siau Lo-seng sudah mengejar mati-matian. Tetapi dia seperti mengejar bayangan setan saja. Betapapun
dia lari, suara orang itu tetap mengiang di telinganya.
Akhirnya ia berhenti, menghela napas putus asa lalu berseru nyaring ke udara:
“Siapakah engkau ini? Dimanakah sebenarnya engkau berada?”
Terdengar orang itu tertawa gelak-gelak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku berada dekat sekali dengan engkau. Dan pernah bertemu beberapa kali padamu. Saat ini aku berada
di sampingmu. Cobalah engkau terka, siapakah aku ini?”
Siau Lo-seng makin bingung. Setelah merenung beberapa jenak, dia tetap belum dapat memikirkan orang
itu tetapi rasanya ia sudah kenal dengan nada suaranya.
“Locianpwe, maafkan kebodohanku sehingga tak dapat menerka siapa engkau ini. Tolong tanya, siapakah
engkau ini sesungguhnya? Setan atau manusia?”
“Memang agaknya engkau ini tolol,” seru suara orang itu pula, “bicara begitu lama dengan engkau,
mengapa engkau masih belum dapat menerka siapa diriku. Bahkan bertanya apakah aku manusia atau
setan.”
“Kalau manusia, tentu tampak bayangannya, tetapi engkau tidak,” sahut Siau Lo-seng “maka tentu bangsa
setan atau roh.”
“Ya, benar, aku memang bangsa setan. Seorang setan yang sudah mati delapanbelas tahun berselang,
ah……, delapanbelas tahun hanya seperti kemarin saja. Waktu memang amat cepat sekali.”
Timbul rasa simpathi Siau Lo-seng mendengar helaan napas orang itu, serunya,
“Locianpwe, apakah engkau mempunyai kenangan lama yang menyedihkan? Maukah engkau bertemu
muka dengan aku? Dimanakah engkau saat ini?”
“Jauh di ujung samudera, dekat di depan mata. Bukankah telah kuberitahukan bahwa aku berada di
sisimu?”
“Mengapa aku tak dapat melihat?” seru pula Siau Lo-seng.
“Karena tergolong roh, sudah tentu engkau tak dapat melihat diriku.”
“Lalu mengapa engkau membawa aku kemari? Apakah hendak memberi petunjuk kepadaku?” tanya Siau
Lo-seng.
“Sungguh cerdik,” seru orang itu, “tak mengecewakan sebagat keturunan seorang pangcu.”
“Apa katamu?”
“Bukankah engkau masih ingat akan peristiwa berdarah di desa Hay-hong-cung pada delapanbelas tahun
yang lalu?”
“Sudah tentu tak mungkin kulupakan,” sahut Siau Lo-seng.
“Sudahkah engkau dapat mengetahui siapa musuhmu?”
“Ah sungguh memalukan sekali,” sahut Siau Lo-seng, “sampai saat ini aku belum dapat mengetahui orang
itu. Tetapi kutahu paman Siau Mo itu termasuk salah seorang algojonya.”
Orang itu menghela napas.
“Engkau salah,” serunya, “Siau Mo tak berdosa. Bahkan dia termasuk salah seorang korbannya. Hanya dia
telah dicelakai dengan cara lain.”
15.72. Rahasia Perguruan Thian-sian-bun
“Ngaco!” teriak Siau Lo-seng, “dengan mata sendiri kusaksikan dia sebagai algojo, dan diapun
melemparkan aku ke jurang. Itu memang nyata kulihat sendiri.”
“Budi dendam, dendam budi. Benar salah dan salah benar. Sukar untuk diputuskan. Gerak menimbulkan
lingkaran Sebab yang akan berjalan seperti roda tiada hentinya. Dahulu Siau Mo melakukan tindakan ganas
itu, memang dalam keadaan yang sulit baginya. Keadaannya pantas dikasihani. Memang peristiwa pada
waktu itu ruwet sekali......”
“Peristiwa di Hay-hong-cung telah menelan korban seratusan lebih jiwa manusia. Adakah mereka memang
layak harus mati?” bantah Siau Lo-seng dengan geram.
Orang itupun menghela napas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukan begitu penilaiannya, memang korban-korban itu tak bersalah. Tetapi si algojolah yang kejam dan
licin. Maksudku, pembunuh yang sesungguhnya itu bebas berkeliaran di luar. Sedang korban-korban itu
akan memberatkan kedosaan Siau Mo sehingga dianggap sebagai musuh besar dari keluarga Siau.
“Engkau mengatakan bukan Siau Mo yang menjadi biang keladi tetapi dia hanya diperalat orang untuk
membunuh keluargaku?” seru Siau Lo-seng.
“Bagaimana kejadian yang sebenarnya aku belum tahu. Tetapi dari hasil penyelidikanku selama bertahuntahun,
aku berani memastikan bahwa Siau Mo bukan biang keladi yang utama dalam pembunuban itu. Dan
selama delapanbelas tahun lamanya dia pun berusaha keras untuk mencari bukti dari peristiwa itu. Dia
amat menyesal sekali atas kejadian itu. Delapanbelas tahun lamanya dia tersiksa batinnya.”
Siau Lo-seng kerutkan dahi.
“Adakah locianpwe pernah bertemu dengan pamanku Siau Mo itu? Kalau tidak bagaimana locianpwe dapat
mengetahui jelas soal itu?”
Orang itu tertawa ringan.
“Bukan melainkan aku tetapi engkau sendiripun pernah bertemu. Bahkan sampai beberapa kali, tetapi
engkau tak tahu.”
“Apa? Aku pernah bertemu dengan dia?” Siau Lo-seng berteriak kaget.
“Bukan saja beberapa kali bertemu dengan engkau pun bahkan telah memberi pelajaran kepadamu dan
acapkali secara diam-diam telah melindungi engkau, beberapa kali menolong engkau dari bahaya.”
Benak Siau Lo-seng segera berkeliaran mencari bayangan-bayangan dari mereka yang pernah bertemu
dengan dia.
“Apakah dia bukan Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang itu?” serunya sesaat kemudian.
“Benar,” seru suara aneh itu, “memang dia Leng Tiong-siang yang diam-diam telah berulang kali
menolongmu!”
Siau Lo-seng termenung-menung. Mengapa tak pernah ia membayangkan bahwa Leng Tiong-siang itu
pamannya sendiri. Sebenarnya ia harus tahu. Semisal ketika dikeroyok oleh jago-jago Bu-tong-san, diamdiam
pamannya telah menolongnya lolos dan dengan cara membikin panas hati supaya bertempur, diamdiam
pamannya itupun telah mengajarkan ilmu pedang yang hebat.
“Tetapi bagaimana engkau tahu dia berbuat begitu kepadaku?” masih ia meragu dan melontarkan
pertanyaan.
“Dengan menyandang luka-luka, dia pernah menolongmu untuk menahan serangan orang Ban-jin-kiong.
Cobalah engkau pikirkan, masakan dia akan melakukan kesemuanya itu kalau dia hanya akan berpura-pura
saja? Misalnya seperti peristiwa tadi. Apabila dia diam-diam tidak bertindak lebih dahulu untuk menindas
kaki tangan orang Ban-jin-kiong, mampukah engkau lolos dengan selamat? Pepatah mengatakan 'tombak
yang ditusukkan, mudah dihindari. Tetapi panah yang dilepas secara menggelap sukar dijaga'. Di bawah
serangan gelap dari sekian banyak jago-jago berkepandaian tinggi, mampukah engkau meloloskan diri?”
Siau Lo-seng seperti dipagut ular kejutnya. “Tetapi bukankah engkau yang menutuk rubuh mereka?”
“Bukan. Siau Mo lah yang turun tangan. Walaupun aku mempunyai kemampuan untuk mengatasi mereka
tetapi aku tak berhak melakukan hal itu.”
“Ah, benar-benar aku tak mengerti. Mohon locianpwe suka menjelaskan,” kata Siau Lo-seng.
“Memang banyak sekali hal yang tak engkau ketahui. Baiklah, akan kuceritakan urusanku kepadamu. Aku
tak dapat turun tangan karena terpancing oleh suatu perjanjian yang belum batas waktunya.”
“O, apakah locianpwe masih terikat perjanjian dengan orang lain?’
“Ya, orang persilatan memang menjunjung tinggi perjanjian. Bahkan melebihi jiwanya sendiri. Misalnya
perjanjian pada delapanbelas tahun yang lalu antara Siau Mo, Ban Jin-hoan, Dewi Mega Ui Siu-bwe dan
Tay Hui Sin-ni. Walaupun mereka melakukan rencana-rencana yang busuk tetapi tak seorangpun berani
melanggar perjanjian itu. Selama masa perjanjian itu belum habis, mereka hanya dapat menggunakan
siasat-siasat yang licin saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng tertegun. Ia tak habis mengerti mengapa manusia itu menggunakan waktu hidupnya untuk
melakukan kejahatan.
“Menilik banyak sekali soal-soal dunia persilatan yang locianpwe ketahui, pastilah locianpwe sering
berkelana,” beberapa saat kemudian Siau Lo-seng berkata.
“Bukan melainkan berkelana di dunia persilatan saja, pun sudah setahun lebih aku membayangi di
sampingmu. Karena itu aku selalu tahu akan setiap gerak gerikmu.”
Bukan kepalang kejut Siau Lo-seng mendengar keterangan itu. Ia tak kira bahwa dirinya dibayangi orang
tanpa diketahuinya sama sekali.
Akhirnya ia menghela napas.
“Tetapi bukankah engkau sebuah roh?”
“Ah, meskipun aku seorang manusia tetapi kini keadaanku tak ubah seperti setan. Sekalipun engkau
melihat aku, mungkin engkau tentu mengatakan aku ini setan.”
“Walaupun belum melihat, tetapi kuyakin locianpwe tentu seorang yang menjujung Ceng-gi (kebenaran).
Tetapi siapakah sesungguhnya locianpwe ini? Mengapa aku memiliki perasaan akrab dengan locianpwe?”
“Bukankah telah kuberitahukan kepadamu bahwa aku adalah orang yang paling dekat dengan engkau.
Tentang wajahku, kelak pada suatu hari engkau tentu akan tahu. Saat ini aku berada pada jarak satu lie di
lereng bukit dan tengah mengawasi gerak gerikmu.”
“Terpisah satu lie?” Siau Lo-seng terkejut sekali, “mengapa dapat melihat keadaanku? Mengapa dapat
bicara dengan aku? Dengan begitu bukankah locianpwe setingkat dengan seorang dewa?”
Orang itu kedengaran tertawa.
“Mengapa engkau begitu percaya pada segala macam setan dan roh? Sebentar mengatakan diriku setan,
sebentar dewa. Pada hal apa yeng kulakukan itu hanya mengandalkan sebuah benda ajaib dan semacam
ilmu kepandaian yang istimewa saja.”
Serentak teringatlah Siau Lo-seng akan ayah angkatnya, orang tua peniup seruling itu. Tetapi ia kenal jelas
bahwa nadanya bukan nada ayah-angkatnya.
Lalu siapakah dia? Apakah dia juga memiliki seruling gaib seperti punya ayah angkatnya itu? Adakah di
dunia ini terdapat dua buah benda gaib yang sama? Andaikata punya seruling itu, tetapi bagaimana dengan
ilmu suara Cian-li-coan-im yang sakti itu?
“Locianpwe,” akhirnya ia berseru lantang, “dari ilmu Cian-li-coan-im dan ilmu Pendengaran yang sakti itu,
bukankah locianpwe sudah mencapai tingkat seperti seorang dewa?”
Orang tua aneh itu tertawa nyaring.
“Mana engkau dapat mengetahui kalau aku menggunakan semacam benda pusaka untuk melihat sejauh
satu lie? Tetapi ilmu menyusup suara sejauh satu lie itu, memang tak dapat ditempuh dengan
menggunakan benda ajaib ataupun kepandaian istimewa. Sebenarnya hal itu mudah saja, tidak ada hal
yang mengherankan. Walaupun sedikit sekali orang yang menguasai ilmu sakti itu. Tetapi bukankah engkau
sudah berjumpa dengan tiga orang yang memiliki ilmu itu? Tetapi mungkin ketiga orang itu tergolong pada
aliran yang sama.”
Serentak terbukalah pikiran Siau Lo-seng, serunya: “Locianpwe, ketiga orang itu kecuali engkau, yang dua
bukankah Buddha emas Ang Siong-pik dan ayat angkatku orang tua peniup seruling itu?”
“Benar, engkau memang cerdik. Pangcu mempunyai putera seperti engkau……” tiba-tiba ia hentikan katakata
karena merasa telah kelepasan omong.
“Locianpwe, siapakah yang engkau sebut pangcu itu? Apakah mempunyai hubungan dengan diriku?
Mengapa engkau tak melanjutkan perkataanmu?”
“Hm,” orang aneh itu mendesah, “memang benar mempunyai hubungan dengan dirimu. Dia menjabat
sebagai ketua kami sudah berselang duapuluh tahun yang lalu. Kini dia menjadi ciang-bun-jin kami, orang
yang paling akrab dengan aku, merupakan suhengku atau boleh dikata suhu yang memberi pelajaran
kepadaku. Apakah engkau merasa heran atas keteranganku ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak,” sahut Siau Lo-seng, “tak begitu pelik. Pangcu kalian itu mungkin sahabat karib kalian pada
duapuluh tahun yang lalu. Pada saat membentuk perkumpulan, dia menjadi pangcu. Duapuluh tahun
kemudian, perkumpulan itu bubar. Dia lalu menerima jabatan sebagai ketua partai persilatan. Dan engkau
masuk ke dalam partai persilatan itu, menjadi murid dan mengangkat suhu, orang itu sebagai suhumu. Saat
itu dia berkedudukan sebagai suheng, mewakili suhunya untuk memberi pelajaran ilmu kepandaian
kepadamu……”
Tiba-tiba Siau Lo-seng berhenti lalu bertanya: “Bukankah pangcumu itu Buddha emas Ang Siong-pik?”
Orang tua aneh itu tertawa gelak-gelak.
“Engkau memiliki daya nilai yang tajam sekali. Tetapi masih ada beberapa hal yang salah. Pangcu kami
bukan Buddha emas Ang Siong-pik tetapi ayah-angkatmu itu. Orang yang engkau katakan sebagai orang
tua peniup seruling. Aku telah melakukan perintahnya untuk mengikuti perjalananmu. Nah, sudah jelaskah
engkau sekarang?”
Siau Lo-seng ternganga.
“Apa? Bagaimana mungkin ayah-angkatku itu menjabat sebagai pangcu?”
“Mengapa tak mungkin?” balas bertanya orang aneh itu, “dahulu beliau seorang tokoh sakti yang tiada
lawannya. Mengapa tak dapat menjadi pangcu kami?”
“Bukan begitu maksudku,” Siau Lo-seng memberi keterangan, “maksudku, sekarang dia seorang cacad.
Bahkan berjalan saja sudah sukar, bagaimana dapat menjabat ketua sebuah partai persilatan? Bukankah
sekarang dia ditawan ketua Lembah Kumandang?”
Orang aneh itu tertawa datar,
“Apakah kau anggap beliau telah ditangkap oleh pihak Lembah Kumandang? Ha, ha…… walaupun
tubuhnya cacat, tetapi pangcu dapat bergerak dengan leluasa sekali. Sebuah gerombolan macam Lembah
kumandang masakan mampu merampas kebebasannya......”
“Lalu siapa yang menangkap ayah-angkatku itu? Sekarang dia berada dimana?” Siau Lo-seng cepat
bertanya.
“Walaupun yang pertama sejak sekian tahun ia muncul keluar, tetapi kupercaya beliau tentu takkan
tertimpah bahaya. Karena tadi akupun menerima perintahnya.”
Siau Lo-seng legah perasaannya.
“Locianpwe, berapa besarkah pengaruh partaimu itu? Dan berapa banyakkah muridnya? Mengapa aku tak
pernah mendengar tentang partai persilatan yang kalian bentuk itu?”
Kembali orang aneh itu tertawa.
“Partai kami yalah perguruan Thian-sian-bun dari guha Kiu-thian-sian-hu. Sampai sekarang sudah berdiri
seratus tahun lebih. Ketua yang pertama, Thian Lo Cinjin. adalah pendiri dari partai ini. Pada masa itu dia
dapat mengalahkan semua jago dunia persilatan. Kemudian dia menerima dua orang murid. Murid pertama
yalah Kiam Hay Cinjin. Waktu belum jadi pertapa bernama Can Seng-it.
Murid kedua bernama Li Yong-giat. Pada suatu hari kedua suheng dan sute itu berlatih ilmu pedang. Karena
selama itu belum pernah bertempur dengan orang, tanpa disengaja, Kiam Hay Cinjin telah mengeluarkan
ilmu pedang yang sakti. Karena terlambat untuk menangkis, Li Yong-giat telah terluka parah sehingga
meninggal.
Bukan kepalang sesal dan sedih Kiam Hay Cinjin karena peristiwa itu. Ia patahkan pedangnya dan
mengangkat sumpah. Selama-lamanya takkan keluar ke dunia persilatan dan bertempur dengan orang. Dia
mengasingkan diri dalam guha Thian-siau-sian-tong dan mengabdikan diri dalam ajaran suci......”
Bercerita sampai di sini, orang itu berhenti sebentar lalu melanjutkan lagi:
“Tahukah engkau berapa lama dia tinggal dalam guha Thian-siau-sian-tong itu? Dan apakah yang berhasil
dipelajarinya selama itu?”
“Paling tidak dia tentu tinggal sampai berpuluh-puluh tahun lamanya,” kata Siau Lo-seng.
Orang aneh itu tertawa keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau tentu takkan membayangkan bahwa suhuku itu telah mengasingkan diri selama enampuluh tahun.
Selama itu dia gunakan waktunya untuk membangun Thian-siau-sian-hu dan memutuskan takkan
berhubungan dengan dunia luar lagi untuk-selama-lamanya. Di luar dugaan ketika sedang membangun
guha itu, dia telah berhasil menemukan guha rahasia tempat penyimpan kitab pusaka dari Thian Lo Cinjin
pendiri Thian-sian-bun. Dalam guha itu terdapat bagian pertama dari kitab ilmu Thian-siau-lok-cin, memuat
empat buah irama. Kemudian terdapat lagi bab kedua dari kitab ilmu seruling Thian-siau-lok-cin berada di
atas empatpuluh tujuh batang jarum Kim-coa soh.......”
Kini Siau Lo-seng baru menyadari bahwa jarum Kim-coa-soh yang diperolehnya itu berasal dari kitab
pusaka yang paling diincar oleh setiap orang persilatan.
“Lalu sebatang seruling Thian-siau-ceng-ing-sin-tiok dan seruling Bi-hun-sin-siau,” kata orang aneh itu pula.
“Seruling gaib Thian-siau-ceng-in-sin-tiok bukankah yang dibawa ayah angkat ku itu dan seruling Bi-hun-sinsiau
yang dibawa Buddha emas Ang Siong-pik itu? Lalu bagaimanakah Kiam Hay Cinjin melewatkan
kehidupannya selama enampuluh tahun?”
“Pada saat suhu menutup mata, beliau telah memberikan seruling Thian-siau-ceng-ing-sin-tiok itu kepada
ayah-angkatmu. Seruling itu merupakan tanda kekuasaan dari ketua perguruan kami. Selama enampuluh
tahun itu, suhu hanya hidup dari tanaman dan buah-buahan serta sumber air Thian-yan-ci-wi-gok-coan.”
“Locianpwe, bukankah apabila minum air dari sumber itu terus akan tumbuh bulu?” tanya Siau Lo-seng.
“Benar, Thian-yan-ci-wi-gok-coan merupakan satu-satunya sumber air dalam guha Thian-siau-sian-hu.
Airnya bening tetapi agak pahit. Apabila meminumnya memang dapat menambah tenaga kekuatan tetapi
badan kita pun akan tumbuh bulu yang panjang dan tak dapat dihilangkan lagi. Karena apabila bulu itu
dihilangkan, darah akan mengucur keluar dari lubang pori dan orang pun tentu binasa.”
“Jika demikian Kiam Hay locianpwe, engkau, ayah angkatku dan Buddha emas Ang Siong-pik tentu penuh
dengan bulu panjang.”
“Sudah tentu aku tak terkecuali,” kata orang aneh itu, “tetapi suhuku tidak demikian. Hanya kepala dan
kumis serta jenggotnya yang panjang. Sedang tubuhnya tidak. Hal itu karena ada sebab lain……”
“Yang paling menyedihkan,” kata orang aneh itu pula, “setelah mengasingkan diri selama enampuluh tahun
itu, beliau masih harus mengalami riwayat yang lebih panjang dan nasib yang mengenaskan.”
“Ah, apakah dia masih mengalami penderitaan lagi?” tanya Siau Lo-seng.
Dengan nada rawan-rawan garam berkatalah orang aneh itu:
“Memang nasib suhu itu kurang baik. Selama enampuluh tahun itu beliau dengan tekun telah berhasil
mempelajari kita pusaka peninggalan Thian Lo Cinjin cousu dan setelah mengadakan perenungan selama
tujuh tahun, suhu telah berhasil menciptakan sebuah kitab untuk menempa arwah, disebut Lian-hun-cinkeng.
Dibagi menjadi tiga jilid.
Tetapi ketiga kitab itu bahkan malah menyebabkan dia harus mengalami hari-hari terakhir yang penuh
dendam……, ah, pada saat beliau menutup mata, beliau masih meninggalkan harapan yang belum
terpenuhi.”
15.73. Siapakah Peniup Seruling Aneh??
Tergetarlah hati Siau Lo-seng mendengar keterangan itu. Pikirnya, “Kitab itu telah dicuri oleh suhuku Ban Lihong.
Apakah Kiam Hay Cinjin telah dicelakai oleh suhuku……?”
“Adakah karena kehilangan kitab Lian-hun-cin-keng itu maka Kiam Hay Cinjin sampai menderita siksaan?”
serentak ia bertanya.
“Benar,” seru orang aneh itu, “adalah karena kitab itu maka suhu sampai dicelakai oleh muridnya yang
berhati binatang itu. Suhu telan dikutungi kedua kaki dan urat-uratnya. Tulang bahunya diikat dengan seutas
rantai Kim-kong-seng-thiat (campuran besi, emas dan baja) dan dipenjarakan dalam Thian-siau-sian-hu. Dia
disiksa seperti dalam neraka, siang malam dihancurkan ilmu kepandaian oleh murid binatang itu.”
Mendengar itu hampir pecahlah dada Siau Lo-seng karena diamuk hawa kemarahan. Dia tak kira kalau
suhunya ternyata seorang yang berlumuran dosa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan gemetar ia berseru, “Cianpwe, benarkah suhuku Ban Li-hong itu melakukan perbuatan yang
sedemikian di luar perikemanusiaan?”
Orang aneh itu menghela napas.
“Lo-seng, engkau salah. Apa engkau kira Ban Li-hong itu menjadi murid dari perguruan Thian-sian-bun?”
“Tetapi walaupun bukan murid yang berhianat, namun kematian dari suhuku adalah akibat Ban Li-hong
telah mencuri kitab Lian-hun-cin-kang dan ke empatpuluh tujuh batang jarum Kim-coa-soh itu.”
“Bukankah cianpwe mengatakan bahwa perguruan Thian-sian-bun itu sudah memutuskan hubungan
dengan dunia luar? Mengapa suhuku dapat mencuri kitab Lian-hun-cin-keng dan Jarum Kim-coa-soh?”
“Peristiwa itu memang aneh sekali. Gua Thian-siau-sian-tong terletak di sebuah karang buntu, di tengahtengah
gunung yang pelik keadaannya. Yang ada hanya sebuah jalan kecil menuju ke tempat itu. Kabarnya
Ban Li-hong sedang mencari tanaman daun obat ke karang buntu itu. Karena kurang hati-hati, dia tergelincir
ke bawah. Untung dia masih dapat selamat dan bahkan tanpa sengaja telah menemukan pintu dari guha
Thian-siau-tong. Ketika dia masuk, saat itu kebetulan suhu sedang melakukan semedhi yang gawat. Beliau
seolah-olah menghampakan diri, mematikan seluruh gerak panca inderanya. Dalam keadaan yang tak
berdaya itulah maka Ban Li-hong dapat mencuri salah satu dari ketiga kitab pusaka dan empatpuluh tujuh
batang jarum Kim-coa-soh. Sebelum pergi, ia meninggalkan tulisan, mengatakan hanya hendak meminjam
untuk sementara waktu saja. Ah, perbuatan Ban Li-hong, itu memang terkutuk.”
Orang aneh itu berhenti. Setelah menghela napas, ia melanjutkan lagi.
“……mungkin Ban Li-hong tak mengira bahwa perbuatannya itu akan mengakibatkan 3uhu sampai
menderita sedemikian hebat, ah......”
“Lalu bagaimaua kelanjutannya?” tanya Siau Lo-seng.
“Kepergian Ban Li-hong membawa kitab dan jarum, hanya terpaut setengah jam pada saat suhu
menyelesaikan semedhinya. Ketika suhu keluar mengejar, dengan ilmu ginkang yang istimewa Ban-Li-hong
sudah terbang jauh. Suhu merasa tak mampu mengejar dan terpaksa kembali ke dalam guha.”
“Masakan dengan kepandaiannya yang begitu sakti, Kiam Hay cianpwe tak mampu mengejar suhuku?”
tanya Siau Lo-seng.
“Sukar untuk kukatakan,” seru orang aneh itu, “hanya terpaut sekejap mata, sudah terpisah seribu lie.
Apalagi Ban Li-hong itu memang termasyhur memiliki ilmu ginkang yang luar biasa. Setengah jam baginya
sudah dapat mencapai seratusan lie, Mungkin karena arah pengejarannya salah atau memang ada lain
soal, suhu tak dapat mengejarnya. Sejak itu maka ilmu Lian-hun-cin-keng dan jarum kim-coa-soh itu segera
bocor di dunia persilatan. Dan ketika pulang ke guha sehabis mengejar Ban Li-hong, suhu mendapatkan
seorang menggeletak di depan pintu guha.”
“Bukankah dia murid penghianat yang menyiksa suhunya itu?” seru Siau Lo-seng.
“Benar, dia adalah Buddha emas Ang Siong pik!” seru orang aneh itu, “karena kuatir kitab Lian-hun-cin-keng
dan jarum Kim-coa dapat menimbulkan bencana dalam dunia persilatan maka suhu telah menerima Ang
Siong-pik menjadi murid. Tetapi tak kira.......”
“Ah, tak kiranya setelah dihantam jatuh ke dalam karang buntu oleh paderi Ko Bok dari Siau-lim ternyata
Ang Siong-pik malah ditolong oleh Kiam Hay locianpwe. Tetapi budi pertolongan itu dibalas dengan
tindakan macam binatang, bukan saja menghianati pun malah menyiksa suhunya sampai di luar
perikemanusiaan. Hm, apabila kelak berjumpa dengan Ang Siong-pik, aku tentu akan menuntutkan balas
untuk Kiam Hay cianpwe,” seru Siau Lo-seng.
Rupanya orang aneh itu tergerak mendengar pernyataan pemuda itu, serunya:
“Dendam itu, aku dan ayah-angkatmu memang takkan tinggal diam. Tetapi saat ini, memang belum
waktunya. Dan lagi Ang Siong-pik saat ini sudah berhasil mempelajari ilmu meniup seruling sampai tiga
buah irama dan memiliki seruling Bi-hun-sin-siau. Dan lagi pula diapun sudah menguasai enambelas
pengawal baju merah dari Thian-siau-sian-hu. Kekuatannya memang bukan main hebatnya. Jangan
dipandang enteng!”
Mendengar keterangan itu. Siau Lo-seng seperti disadarkan. Ternyata keenambelas pengawal baju merah
dan baju putih dari Ang Siong-pik itu berasal dari perguruan Thian-siau-sian-hu, itulah sebabnya maka
kepandaian mereka begitu tangguh. Dan lagi seperti manusia yang tak mempunyai kesadaran pikiran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lo-seng, tahukah engkau mengapa ayah angkatmu sampai kehilangan kaki dan tangannya?”
“Entahlah, apakah Ang Siong-pik yang mencelakainya?”
“Bukan secara langsung mencelakai. Tetapi secara tak langsung telah dicelakai.”
“Bagaimana maksudmu?” tanya Siau Lo-seng.
Orang aneh itu menghela napas.
“Ah, pada waktu ayah angkatmu dicelakai orang, sebelumnya dia telah tersasar masuk ke Thian-siau-sianhu.
Untuk memperbaiki pendirian perguruan maka suhu memutuskan untuk mengambil seorang murid lagi
agar dapat menghadapi Ang Siong-pik. Serta mengambil pulang kitab dan jarum Kim-coa-soh. Tapi karena
takut kelak ayah angkatmu akan berhianat seperti Ang Siong-pik maka dia diharuskan untuk mengutungi
kedua kaki dan tangannya sendiri sehingga dia menjadi manusia cacad. Adalah pengalaman pahit dari Ang
Siong-pik yang membuat suhu berobah menjadi manusia berhati dingin. Dia tak percaya pada setiap orang
sehingga ayah angkatmu dipaksa untuk mengutungi kaki dan tangannya.”
“Apakah ayah angkatku mau melakukan syarat itu?”
“Memang nasib ayah angkatmu yang dirundung kemalangan. Sebenarnya kedua kakinya memang sudah
lumpuh karena dicelakai musuh. Karena tak tahu maka suhuku memerintahkan mengutungi kedua kakinya
kemudian juga kedua tangannya. Adalah karena berkeras hendak menuntut balas, ayah-angkatmu
melakukan perintah itu juga. Dikemudian hari suhuku tahu peristiwa itu. Dia menyesal karena telah
memaksa ayah angkatmu mengutungi kedua tangannya itu.”
“Kiranya sccara tak langsung. Ayah angkatku telah menerima akibat dari perbuatan jahat Ang Siong-pik.
Hm, sejak saat ini aku bersumpah tak mau hidup di bawah satu kolong langit dengan manusia itu,” seru
Siau Lo-seng.
“Sebenarnya Ang Siong-pik itu seorang yang cerdas sekali. Tetapi sayang dia berhati kejam dan ganas.
Kelak apabila berjumpa dengan dia, engkau harus waspada.”
Siau Lo-seng merasa simpati sekali atas penderitaan nasib ayah angkatnya. Diam-diam dia berjanji dalam
hati, apabila urusannya sudah selesai ia akan mendampingi orang tua itu dan merawatnya.
“Locianpwe, dahulu ayah angkatku menjabat ketua partai perguruan apa saja?”
Orang itu menyahut agak tersendat-sendat: “Soal itu...... itu...... aku……”
Dia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Baru beberapa saat kemudian ia berkata pula,
“Pada masa ayahmu berkelana di dunia persilatan, yang ada hanyalah perkumpulan Hui-hou-pang, Giok-lipang
dan Ceng-liong-pang, tiga perkumpulan silat yang terbesar. Selain itu masih terdapat pula Peh-jinpang,
Toa-to-beng dan Kay-pang. Walaupun masih banyak lagi perkumpulan dan perhimpunan perguruanperguruan
silat, tetapi mereka kecil sekali pengaruhnya......”
“Apakah ayah angkatku menjabat ketua salah satu dari ketiga perkumpulan itu?”
“Bukan hanya salah satu tetapi pun yang paling besar pengaruhnya. Memiliki anak buah sampai tujuhribu
orang, lima buah cabang. Pengaruh perkumpulan itu sejajar dengan partai Siau-lim-pay yang dianggap
sebagai pemimpin dunia persilatan Tiong-goan.
“O, apakah Hui-hou-pang?”
Sebenarnya Siau Lo-seng sudah tahu bahwa perkumpulan Ceng-liong-pang atau Naga Hijau merupakan
perkumpulan yang paling besar dan berpengaruh. Tetapi dia tahu kalau yang menjabat ketuanya yang
terdahulu adalah ayahnya sendiri. Maka ia menerka ayah-angkatnya itu tentu menjabat ketua Hui-hou-pang
atau Macan Terbang.
Orang aneh itu mendecak tetapi tak jadi buka suara.
“Cianpwe, apakah ada suatu rahasia yang sukar dikatakan? Kalau memang demikian, tak apa jangan
dikatakan,” seru Siau Lo-seng.
Orang aneh itu tiba-tiba menghela napas: “Lambat atau cepat tentu akan kukatakan juga, lebih baik……”
“Lalu perkumpulan apa?” tukas Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dahulu ayah angkatmu itu menjabat sebagai ketua dari perkumpulan Naga Hijau......”
“Naga Hijau?” Siau Lo-seng berteriak kaget. “ayah-angkatku itu ketua Naga Hijau? Tetapi kudengar, ketua
Naga Hijau yang terdahulu adalah tokoh yang bergelar Naga sakti tanpa bayangan……” .
Orang aneh itu menghela napas pula.
“Lo-seng, sebenarnya aku telah menerima pesan dari ayahmu, untuk sementara tak boleh membocorkan
rahasia ini. Tetapi……”
“Locianpwe, apa engkau bilang?” Siau Lo-seng berteriak kaget, “engkau telah menerima pesan dari
ayahku? Dia……, dia……”
Hampir dia tak percaya pada pendengarannya sehingga ia menegas.
Dengan helaan napas rawan, orang aneh itupun berkata lembut:
“Seng-ji, tidakkah engkau tahu bahwa orang tua peniup seruling itu bukan lain adalah ayah kandungmu
yang telah berpisah dengan engkau selama delapanbelas tahun dan menjabat ketua terdahulu dari
perkumpulan Naga Hijau?”
Jantung Siau Lo-seng serasa meledak, darah berhenti mengalir dan airmatanya pun berderai-derai
membanjir ketika mendengar keterangan itu.
Bukan airmata kesedihan melainkan airmata kegembiraan yang tak terlukiskan……
Tak pernah setitikpun ia menyangka bahwa orang tua peniup seruling yang kedua kaki tangannya buntung
ternyata Siau Han-kwan, ayah kandungnya sendiri.
“Locianpwe, apakah beliau benar-benar Siau Han-kwan ayahku sendiri……?”
“Ya, dia memang Siau Han-kwan dari desa Hay-hong-cung, ayahmu sendiri.......”
“Locianpwe, adakah beliau sudah tahu bahwa aku ini puteranya?” masih Siau Lo-seng bertanya pula.
“Tolol, sudah tentu dia tahu! Kalau tidak masakan dia begitu memperhatikan dirimu?”
“Tetapi mengapa ayah tak mengakui aku?”
“Hal itu mungkin ada sebabnya,” kata orang aneh itu, “atau mengandung maksud lain. Bukankah telah
kukatakan bahwa pertemuan kita itu belum tiba saatnya? Sekarang sudah banyak rahasia yang kuberitahu
kepadamu. Hal itu sudah melanggar perintah ciang-bun (ketua). Pokoknya, kelak engkau tentu tahu
semua.”
“Peristiwa darah di Hay-hong-cung, tidakkah ayah mengetahui jelas?” masih Siau Lo-seng lontarkan
pertanyaan.
“Jika tahu masakan dia akan mengerahkan anak buah untuk menyelidiki pembunuhnya itu. Ketika terjadi
peristiwa itu, ayahmu juga kehilangan itu. Sudah tentu sekarang beliau tahu tetapi……”
“Apa? Adakah pembunuh-pembunuh itu hanya diperalat orang?” teriak Siau Lo-seng.
“Di antara pembunuh-pembunuh itu memang salah seorang mempunyai sedikit dendam kepada ayahmu.
Kemudian karena dihasut orang, dia telah melakukan perbuatan yang sekeji itu. Setelah diam-diam
kuselidiki, memang ada beberapa di antara pembunuh-pembunuh itu yang menyesal. Bahkan ada yang
bunuh diri...... Sedang biang keladinya memang seorang manusia yang licin sekali sehingga masih sukar
diketahui jejaknya.”
“Bagaimana mungkin sekali gus dia dapat menyuruh orang untuk melakukan pembunuhan itu?” Siau Loseng
terkejut.
“Ah, dia memang seorang tokoh yang luar biasa. Seorang manusia yang seperti naga kelihatan ekornya
tetapi tak tampak kepalanya. Setelah lebih dari sepuluh tahun merenungkan, akhirnya ayahmu dapat
menarik kesimpulan kepada beberapa orang yang cenderung untuk dicurigai. Tetapi sebelum mendapat
bukti-bukti yang nyata, masih belum berani menentukannya.”
“Siapa-siapa sajakah yang dicurigai itu?” Siau Lo-seng mendesak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sekalipun kusebut namanya, juga takkan membikin terang urusan itu,” kata si orang aneh, “saat ini kami
masih berusaha keras untuk mengumpulkan bukti-bukti agar kelak kita dapat mengumumkan kepada
dunia.”
“Jika demikian,” kata Siau Lo-seng, “Hun-liong-jit-gan, Kwan-gwa Su-hiong, Hoa-san Ngo-hou dan ketua
perkumpulan Sin-kun-bun itu, bukan biang keladi pembunuhnya……”
“Sekalipun bukan biang keladi tetapi mereka ikut turun tangan dalam pembunuhan itu. Kalau engkau
membunuh mereka, itupun tidak salah. Tetapi pembunuhan habis-habis terhadap keluarga perguruan Sinkun-
bun yang engkau lakukan itu, memang agak ganas.”
Siau Lo-seng terkejut.
“Locianpwe, tigapuluhan jiwa dari perguruan Sin-kun-bun itu bukan aku yang membunuh. Saat itu aku
sedang mengadakan pertempuran dengan Gan Ti-kiat di sebuah hutan lebih kurang setengah lie dari desa
tempat perguruan Sin-kun-bun. Dua orang pengawal dari Gan Ti-kiat telah mati kubunuh dengan pedang
Ular Emas. Sedang Gan Ti-kiat sendiri setelah bertempur dengan tangan kosong dalam satu jurus, dia mati
tertusuk Pedang Ular Emas juga. Tetapi aku heran dan curiga, mengapa sebagai ketua dari perguruan Sinkun-
bun, kepandaian Gan Ti-kiat begitu rendah sekali.......?”
“Dan setelah engkau kembali ke markas Sin-kun-bun, bukankah seluruh keluarga mereka telah binasa
semua?” tukas orang itu.
“Benar,” jawab Siau Lo-seng, “pikirku hendak memberitahu kepada mereka supaya mengurus jenazah Gan
Ti-kiat, tetapi ternyata seisi rumah telah ludas semua.”
“Bangsat itu memang licin sekali,” seru orang itu geram, “menilik keadaan itu, dia selalu membayangi
engkau saja. Dan kemungkinan Gan Ti-kiat bukan engkau yang membunuh.”
“Bermula kukira, pada saat dia kuajak berkelahi di luar desa, ada lain musuh yang menyerbu rumahnya dan
membasmi seluruh keluarganya. Gan Siok-tin, puteri bungsu dari Gan Ti-kiat tak ikut binasa. Dia terus
hendak mencari aku untuk membalas dendam. Tetapi gagal dan sejak itu dia tak muncul lagi. Baru tadi
kuketahui kalau keluarga Gan masih mempunyai seorang menantu perempuan yang tak terbunuh, yalah Lu
Kui-hun.”
“Itulah kelihayan pembunuh durjana,” seru orang aneh, “dia sengaja meninggalkan seorang menantu
perempuan dari keluarga Gan, agar mereka dapat mengatakan engkaulah yang membunuh keluarga Gan.
Kemudian menghasut orang-orang yang telah engkau celakai itu supaya memusuhi engkau sehingga
engkau sukar untuk muncul di dunia persilatan. Secara tak langsung, dia telah membunuh namamu di dunia
persilatan.
“Bangsat itu memang ganas benar,” teriak Siau Lo-seng.
“Tetapi hal itu hanya menurut kesimpulanku sendiri. Benar tidaknya, nanti dapat engkau buktikan setelah
engkau berhasil mengumpulkan bukti-bukti yang nyata.”
“Locianpwe, engkau mengatakan bahwa dalam waktu setahun juga, aku tak mungkin dapat menemukan
jejak pembunuh licin itu. Paling akhir ini di dunia persilatan muncul seorang pembunuh ganas yang
menggunakan nama Kim-coa Long-kun. Pada hal itu gelar yang diberikan orang persilatan kepada diriku.
Dengan begitu jelas dia hendak memfitnah dan memburukkan namaku. Adakah dia mempunyai hubungan
dengan biang keladi pembunuh itu? Siapakah kiranya orang itu?”
Orang aneh tertawa nyaring.
“Keadaanmu saat ini serupa dengan ayahmu pada sembilanbelas tahun yang lalu. Tetapi tak perlu engkau
resah. Orang yang memfitnah nama baikmu dengan melakukan pembunuhan dan memakai nama Kim-coa
Long-kun itu, sudah berada dalam genggaman kami. Kita akan gunakan dia untuk umpan memancing
keluar biang keladi pembunuh ganas itu.”
15.74. Paling Pintar adalah Paling Bodoh
“Kalau begitu locianpwe memang sengaja melepaskan dia berkeliaran melakukan pembunuhan?” tanya
Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukan begitu,” kata orang aneh. “kami hanya menghendaki supaya pembunuh utama dari Hay-hong-cung
itu akan kembali mempertunjukkan diri. Walaupun sangat pelik sekali manusia ganas itu menyelubungi
jejaknya, tetapi tentu meninggalkan setitik kelengahan yang pasti dapat kita ketemukan, Daripada
menyelidiki secara membabi buta tanpa pegangan, lebih baik kita gunakan semacam itu.”
“Locianpwe,” kata Siau Lo-seng pula, “Aku benar-benar bingung memikirkan keterangan locianpwe.
Terhadap peristiwa pembunuhan itu, tampaknya kalian sudah mempunyai pegangan tetapi masih tak berani
bertindak untuk menunjukkan bukti-buktinya. Adakah locianpwe terikat perjanjian dengan orang atau
menderita tekanan dari pihak tertentu?”
Orang aneh itu tertawa nyaring.
“Dalam dunia persilatan dewasa ini, kecuali ketua kami siapakah yang mampu menekan aku? Mengapa aku
harus takut segala macam ancaman...... Tindakan seseorang, adakalanya memang orang lain sukar
merabahnya. Urusan kami, sudah tentu engkaupun tak tahu jelas. Dan terakhir akan kuberitahu kepadamu,
bahwa karena akan mengurus suatu pekerjaan yang penting, terpaksa aku tak dapat melindungimu.
Kuharap engkau dapat menjaga diri dengan meningkatkan kewaspadaan. Berhati-hatilah dalam segala
tindakan!”
“Locianpwe, lebih dari setahun secara diam-diam engkau telah melindungi diriku. Tetapi selama itu belum
pernah engkau memberi bantuan yang nyata dalam setiap persoalan yang kuhadapi. Hal itu sungguh
membuat aku tak mengerti.”
“Benar,” sahut orang aneh itu. “memang selama setahun melindungi engkau itu, tak pernah aku turun
tangan membantumu, Tampaknya memang engkau tak merasakan suatu manfaat apa-apa, tetapi
sesungguhnya hal itu mengandung maksud yang penting. Kelak engkau tentu akan tahu.”
Siau Lo-seng makin bingung. Kata-kata orang aneh itu memberi kesan bahwa ayahnya tak begitu ngotot
untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung. Seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi.
Dan yang paling menggelisahkan pikirannya yalah mengapa ayahnya tak mau bertemu dengan dia?
Adakah perguruan Thian-sian-bun mempunyai peraturan, bahwa ayah dan putera itu tak boleh berkumpul?
Dan siapakah kiranya orang aneh yang tengah bicara dengannya saat itu? Adakah keterangannya dapat
dipercaya semua?
Siau Lo-seng menghela napas panjang,
“Locianpwe, siapakah engkau ini sesungguhnya? Bolehkah aku melihat wajah locianpwe?”
Siau Lo-seng mempunyai semacam perasaan bahwa selama bertukar pembicaraan dengan orang aneh itu,
dia merasa seperti sudah pernah kenal baik dan ada suatu perasaan yang dekat dalam hati.
“Masakan aku tak ingin sekali bertemu muka dengan engkau,” seru orang aneh itu, “namun terpancang oleh
peraturan perguruan dan lain-lain alasan…… tetapi janganlah engkau memikirkan hal itu. Tak lama engkau
tentu akan mengetahui semua urusan ini.......”
Nada orang itu amat tegang sekali. Seolah-olah dia sedang menekan luapan perasaan hatinya.
Sejenak berhenti, ia melanjutkan pula: “Lo-seng, tahukah engkau mengapa kupikat engkau datang ke sini?
Ah, tak perlu katakan lagi. Sekarang aku harus pergi. Apabila terlambat tentu akan menelantarkan urusan
besar. Engkau mau tahu aku ini siapa? Asal engkau dengan teliti menarik kesimpulan dari benda pengenal
diri yang kuberikan ini, mungkin engkau akan dapat menyingkap sedikit-sedikit. Nah, sampai jumpa lagi dan
harap menjaga dirimu baik-baik.”
Tiba-tiba kata-kata itu putus dan lenyap. Sekonyong-konyong Siau Lo-seng melihat semacam tanda aneh
meluncur cepat sekali ke arahnya. Cepat ia menyisih ke samping lalu menyambuti benda itu.
“Locianpwe, apakah engkau sudah pergi?” serunya nyaring.
Tetapi hutan sunyi senyap tiada suara penyahutan apa-apa.
Siau Lo-seng menyadari bahwa orang aneh itu tentu sudah pergi. Ia memeriksa benda yang digenggamnya
itu. Ah, ternyata sebuah lencana tembaga yang kuno bentuknya.
Pada lencana itu, permukaannya terdapat ukiran seekor naga hitam. Belakang lencana hanya terdapat
beberapa huruf. Siau Lo-seng seperti pernah melihat lencana itu. Tapi ia lupa dimana.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia memeriksa dengan teliti dan makin merasa bahwa dia pernah melihat lencana seperti itu.
“Adakah kulihatnya pada waktu aku masih anak-anak yang belum tahu apa-apa?” pikirnya, “ah, mungkin
benar. Bukankah orang aneh itu suruh aku merenung dengan teliti?”
Memang dunia ini penuh dengan hal-hal yang aneh. Ada kalanya, ‘ya tetapi bukan’ ada kalanya ‘bukan
tetapi ya”.
Pada saat itu timbullah suatu pengalaman dalam hati Siau Lo-seng. Ia merasa bahwa barang siapa yang
menganggap dirinya paling pintar, dialah orang yang paling bodoh.
Selama setahun ini, ia menganggap kepandaiannya sudah hebat dan gerak geriknya pun serba aneh.
Tetapi ternyata ada lain orang yang lebih hebat lagi karena telah mengikuti dirinya tanpa diketahuinya sama
sekali.
Iapun merasa bahwa banyak sekali perkara di dunia ini yang di luar dugaan orang.
Ayah-angkatnya seorang yang cacat, tak dapat berjalan seperti manusia biasa. Di luar dugaan tiba-tiba kini
ayah-angkat itu menjadi ayah kandungnya yang sungguh. Seorang ketua dari perguruan Thian-sian-bun
yang berilmu tinggi. Sebagai seorang putera, seharusnya Siau Lo-seng girang dengan hal itu. Tetapi entah
bagaimana, dia tak begitu cerah hatinya……
Teringat pula, betapa susah payah ia pontang panting kemana-mana untuk mencari balas pada pembunuh
yang telah menjagal seluruh keluarganya. Siapa tahu, ayahnya yang tertimpah bencana itu, malah tenangtenang
bersembunyi dalam gedung bertingkat itu dan menikmati kehidupan yang tenteram. Ayahnya telah
menitahkan seorang anak buahnya untuk mengikuti perjalanannya, tetapi hanya terbatas mengikuti saja dan
tak penah memberi bantuan yang nyata……
Aneh, aneh sekali…..!
********************
Demikian sambil ayunkan langkah, benak penuh dengan berbagai pikiran dan renungan.
Tiba-tiba ia mendengar kumandang suara pekikan dan gemerincing senjata beradu. Serentak terlintas
dalam pikirannya, apakah orang aneh itu telah dihadang musuh.
Walaupun jauh tetapi ia masih dapat menentukan arah suara itu. Setengah lie di sebelah timur. Cepat ia lari
menuju ke tempat itu.
Memang benar. Tak berapa jauh berlari, suara pertempuran itu makin terdengar jelas yang bertempur itu
bukan hanya sedikit melainkan rombongan orang banyak.
Siau Lo-seng mempercepat larinya. Tak berapa jauh berlari, di bawah lereng gunung di muka sebuah
padang belantara yang penuh ditumbuhi rumput dan semak, tiga-empatpuluh sosok bayangan orang tengah
bertempur seru.
Walaupun tengah malam tetapi Siau Lo-seng dapat melihat jelas orang-orang itu. Kecuali dua jenis pakaian
yang berbeda dari puluhan orang yang bertempur acak-acakan itu, ia melihat dua pasang partai
pertempuran itu, seperti sudah kenal dengan orangnya. Pertempuran itu berlangsung antara dua orang
nona lawan dua orang pemuda.
Partai yang satu, antara Li Giok-hou lawan Hiat Sat Mo-li, murid pertama dari Jin Kian Pah-cu.
Hiat Sat Mo-li mengenakan pakaian warna biru. Sepasang tangannya berkelebatan laksana menari.
Rambutnya bertebaran mengiring gerak tubuhnya. Cantik dan sedap dipandang.
Tetapi menghadapi permainan ilmu golok dari Li Giok-hou nona itu memang tak dapat berbuat banyak.
Keduanya berimbang kepandaiannya.
Sedang partai yang lain adalah dua orang anak muda yang sudah lama dicarinya karena berani menyamar
seperti dirinya. Yang lelaki, seorang pemuda bermuka putih, wajah mirip dengan dirinya, demikian juga
pakaiannya. Bertempur melawan seorang nona baju merah yang menggunakau pedang. Dan nona itu mirip
sekali dengan Nyo Cu-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Paling memuakkan hati Siau Lo-seng yalah pemuda baju putih itu kecuali wajahnya pun juga menggunakan
senjata pedang yang menyerupai dengan pedang Ular Emas.
Apabila saat itu Siau Lo-seng tak memergoki, lain orang tentu menganggap bahwa Siau Lo-seng lah yang
sedang bertempur itu.
Juga nona yang menyamar sebagai Cu-ing itu. Apabila Siau Lo-seng tak paham bahwa Cu-ing yang aseli
tak pernah mengenakan pakaian warna merah, tentulah dia akan keliru menyangka nona itu sebagai Cuing.
Cepat Siau Lo-seng menilai keadaan yang dilihatnya di depan mata saat itu. Cepat pula ia dapat
mengetahui bahwa pertempuran besar itu dilakukan oleh orang Lembah Kumandang lawan orang Ban-jinkiong.
Baginya, siapapun yang menang, tak ada kepentingannya. Bahkan kalau membiarkan mereka
bertempur sampai dua-dua remuk, rasanya lebih menguntungkan.
Tetapi terhadap kedua manusia yang menyamar sebagai dirinya dan Cu-ing itu, dia tak mau melepaskan.
Tetapi dia tak mau menindak mereka saat itu. Lebih baik dia bersembunyi melihat mereka bertempur.
Segera Siau Lo-seng enjot tubuhnya melambung ke atas sebatang pohon yang tinggi. Dari pohon itu dia
dapat melihat jelas jalannya pertempuran.
Walaupun pedang Ular Emas yang dimainkan pemuda Baju putih itu bukan pedang pusaka tetapi
permainan ilmu pedangnya memang hebat sekali.
Nona baju merah yang menyamar sebagai Cu-ing itu, walaupun tidak lemah tetapi kepandaiannya masih
kalah setingkat dengan pemuda baju putih itu. Beberapa jurus kemudian nona itu tampak tak kuat bertahan.
Tetapi rupanya pemuda baju putih memang sengaja hendak mempermainkannya. Setelah menghindar dari
tabasan si nona, pemuda baju putih itu tusukkan jarinya ke dada si nona seraya tertawa cabul:
“Ai, tak usah malu-malu. Siau Lo-seng dan Nyo Cu-ing itu seharusnya bermesra-mesraan. Ayo, kita saling
cium…...”
“Anjing, dia bukan seperti engkau. Cis, tak tahu malu!” nona itu mendamprat marah.
Mendengar itu Siau Lo-seng heran, pikirnya: “Aneh, dari manakah nona itu?”
Sambil memaki, nona itu bergeliat menghindari jari lawan lalu balas menyerang. “Sret, sret, sret……” tiga
buah tabasan segera dilancarkan.
Siau Lo-seng makin terkejut. Jelas diperhatikannya bahwa tiga jurus serangan pedang nona itu adalah ilmu
pedang ajaran Tay Hui Sin-ni. Mengapa nona itu dapat memainkan, bahkan sehebat gerakan Cu-ing?
Tiba-tiba terdengar bentakan keras. Tubuh pemuda itu mengendap ke bawah dan secepat kilat balas
menusuk tiga kali lalu membuang tubuh berguling-guling ke tanah.
“Sret……” lengan baju pemuda baju putih terpapas tetapi orangnya masih dapat menyelamatkan jiwanya.
Diam-diam Siau Lo-seng kagum. Pemuda baju putih itu memang lihay dan tenang sekali menghadapi
ancaman maut.
Tiga buah jurus ilmu pedang dari Tay Hui Sin-ni yang digunakan untuk menyelamatkan diri dari bahaya
maut. Walaupun tampaknya biasa sekali tak ada yang mengejutkan tetapi sekali dilancarkan akan membuat
lawan tak sempat menghindar.
Rupanya pemuda baju putih itu marah sekali. Dengan gerak Pek-ho-jong-thian atau Bangau putih
menerobos langit, dia melambung ke udara untuk menghindari babatan pedang si nona yang ditujukan ke
arah perut.
“Perempuan busuk, kiranya engkau masih mempunyai simpanan. Hendak kulihat berapa banyak jurus ilmu
pedang yang engkau curi dari Tay Hui Sin-ni!” teriak pemuda itu.
Sambil memaki, dia bergeliatan, menukikkan kepalanya ke bawah. Lalu dengan jurus Harimau buas
menerkam kambing, ia taburkan pedangnya ke kepala si nona.
“Tring……”
Terdengar lengking benturan pedang yang amat keras dan nona baju merah itupun terhuyung-huyung
mundur sampai tujuh-delapan langkah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mendapat angin, pemuda baju putih itu tak mau memberi ampun lagi. Ia cepat memburu maju dan
membentak: “Terimalah sebuah seranganku lagi, jurus Hong-soh cian-kun!”
“Tring.......”
Kembali kedua pedang saling beradu keras sehingga menimbulkan percikan bunga api. Nona baju merah
kembali terhuyung-huyung mundur sampai tujuh langkah.
Yong-kwan-jit-kun dan Ngo-gak-ya-ting adalah dua jurus serangan pedang yang dilancarkan pemuda baju
putih lagi. Nona baju merah pucat wajahnya dan terus menerus terhuyung mundur.
Saat itu tiba-tiba terdengar dua buah jeritan ngeri. Dua anak buah baju hitam dari Ban-jin-kiong telah hancur
kepalanya karena dihantam oleh Hiat Sat Mo-li.
Rupanya Li Giok-hou juga menderita luka dalam. Dia muntah darah. Dengan deliki mata ia membentak:
“Cobalah engkau sambuti ilmu pukulan Keng-bun-jit-ciang ini!”
Kedua tangannya bergerak dan tujuh buah pukulan berhamburan dilancarkan. Angin dahsyat melanda
seluruh jalan darah berbahaya dari Hiat Sat Mo-li.
Tetapi murid pertama dari Jin Kian Pah-cu itu memang lihay. Laksana ulat bermain dalam air ataupun kupukupu
berlincahan di antara bunga-bunga. Bergeliatan menghindar kian kemari sampai tujuh buah serangan
Li Giok-hou habis.
Kemudian dengan lengking tawa yang menggemerincing, ia melangkah maju, menyusupkan pukulannya di
antara hujan serangan.
“Bum……”
Dada Giok-hou tepat termakan tinju si nona. Seketika pemuda itu muntah darah dan terhuyung mundur
sampai empat-lima langkah.
Siau Lo-seng terkejut sekali. Ia tak pernah menyangka bahwa hanya dalam waktu setengah tahun tak
bertemu, sekarang kepandaian Hiat Sat Mo-li maju begitu pesat. Kecepatannya bertahan lalu menyerang
yang sedemikian pesat, memang jauh berbeda dengan Hiat Sat Mo-li setengah tahun yang lalu.
Hiat Sat Mo-li melangkah maju lagi dan secepat kilat telah lancarkan enam buah pukulan.
Li Giok-hou bukan jago lemah. Walaupun dalam beberapa saat ia terdesak, tetapi ia masih tetap dapat
bertahan.
15.75. Siau Lo-seng Palsu . . . . . ??!!
Di lain partai, pertempuran telah berobah pincang. Rambut nona baju merah kusut bajunya berhias
beberapa lubang tusukan pedang, Sikapnya pontang panting. Dia bertempur secara kalap.
Kebalikannya, pemuda baju putih itu dengan seenaknya berputar-putar melingkari si nona mengucapkan
kata-kata yang cabul dan secara tiba-tiba mencuri peluang untuk menusuk. Mantel si nona baju merah
terpapas jatuh, keadaannya makin mengenaskan.
Melihat itu bergolaklah darah Siau Lo-seng. Manusia semacam pemuda baju putih itu tak boleh dibiarkan
berkeliaran di dunia persilatan. Dia berani memalsu nama Siau Lo-seng, bertindak cabul dan seorang
pembunuh ganas.
Siau Lo-seng memutuskan untuk membasmi pemuda itu.
“Nona,” seru pemuda baju putih dengan tertawa cengar cengir. “hentikan seranganmu dan marilah kita
bersahabat mesra, engkau tentu akan mendapat kebahagiaan……”
Nona baju merah itu membuang ludah lalu memakinya “Engkau memang anjing yang tak tahu malu!”
Pemuda baju putih itu tertawa makin keras: “Engkau menyaru sebagai orang lain, kemana-mana memikat
orang apakah itu tidak lebih tak tahu malu?”
“Aku menyaru sebagai nona Nyo tetapi tidak sehina seperti engkau yang melakukan berbagai perbuatan
biadab dan nista!” teriak nona itu marah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menyiak pedang si nona, pemuda baju putih menusukkan Pedang Ular Emas ke perut lawan.
Terdengar jeritan nyaring. Celana nona itu telah robek sepanjang setengah meter sehingga karena malunya
nona itu sampai rubuh pingsan.
Tetapi pemuda baju putih itu memang ganas sekali. Tanpa merasa kasihan sedikitpun, dia mengangkat
pedang dan menabas kedua buah dada si nona.
Perobahan situasi itu terjadi cepat sekali sehingga orang tak sempat berbuat apa-apa lagi. Waktu
mendengar jeritan melengking. Hiat Sat Mo-li berpaling. Dia terkejut sekali melihat keadaan nona baju
merah itu, Tetapi karena jaraknya cukup jauh, iapun tak dapat menolong.
Pada saat maut hendak merenggut jiwa nona itu sekonyong-konyong terdengar suara bentakan
menggeledek: “Tahan!”
Bagai seekor burung rajawali, Siau Lo-seng melayang dari atas pohon tinggi dan terus menerkam kepala
pemuda baju putih itu.
Kembali sekalian orang terkejut menyaksikan peristiwa yang tak terduga-duga itu. Pemuda baju putih cepat
loncat ke belakang lalu maju pula membabat.
Betapapun ia bergerak cepat tetapi masih tetap terlambat selangkah.
Siau Lo-seng bergeliat cepat sekali seraya menjentikkan jari. Pemuda baju putih itu menjerit ngeri dan
pedangnya pun sudah pindah ke tangan orang. Dia loncat mundur sampai setombak jauhnya dan berseru
kaget: “Engkau……”
Saat itu Siau Lo-seng mencekal pedang Ular Emas tiruan dan tengah memandang ke arah pemuda baju
putih itu. Dia agak termangu. Bukan saja pemuda baju putih itu berkepandaian tinggi tetapi rasanya ia
sudah pernah kenal seperti ia kenal pada dirinya sendiri.
Kemunculan Siau Lo-seng telah mengejutkan sekalian orang. Mereka serempak berhenti bertempur.
Lapangan yang luas itupun hening lelap.
Siau Lo-seng mulai ayunkan langkah pelahan-lahan menghampiri pemuda baju putih.
Tampak pemuda baju putih yang memakai kedok muka seperti wajah Siau Lo-seng, gemetar tubuhnya.
Rupanya dia ketakutan dan setapak demi setapak mundur mengikuti derap langkah Siau Lo-seng.
“Siapa engkau?” bentak Siau Lo-seng.
Bentakan Siau Lo-seng itu telah membuat pemuda baju putih terhuyung mundur sampai beberapa langkah.
Rupanya ia menyadari kalau berbuat salah.
“Dengarkah engkau, siapa dirimu itu?!” teriak Siau Lo-seng.
Bibir pemuda baju putih itu bergerak-gerak tetapi sampai beberapa jenak baru dapat berkata, “Aku……
aku...... aku......”
“Siau Lo-seng,” tiba-tiba Li Giok-hou menyeletuk. “Jangan harap engkau akan mendapat keterangan dari
yu-kiongcu (putera pemimpin yang masih kecil). Percuma saja engkau membuang lidah!”
Siau Lo-seng mendengus dingin lalu mengulang pertanyaan lagi: “Siapa engkau? Engkau dapat mendengar
atau tidak?”
Dalam cengkaman ketakutan tiba-tiba terlintas suatu pikiran pada pemuda baju putih itu. Segera ia
menjawah dengan nada yang garang: “Siau Lo-seng, jangan kira aku takut kepadamu!”
“Hm, rupanya engkau ingin minum arak beracun daripada arak manis!” Siau Lo-seng mendengus.
Tiba-tiba Li Giok-hou menyeletuk lagi: “Yu-te, jangan percaya kepadanya! Dalam keadaan genting, tentu
orang kita akan menyambut.”
Siau Lo-seng tertawa nyaring.
“Li Giok-hou, sekarang ini keadaanmu sudah seperti orang yang terbenam dalam kedosaan. Adakah
engkau masih mengira hari ini dapat pergi dari sini dengan masih bernyawa? Ha, ha, ha!”
Nyaring tertawanya, seram nadanya sehingga mengerikan telinga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Giok-hou tertawa mengekeh, serunya, “Akan mati di tangan siapakah rusa itu, masih belum tahu. Jangan
engkau terlalu membanggakan dirimu, Siau Lo-seng.”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Dalam dunia persilatan tiada tempat lagi bagi kawanan bebodoran semacam engkau, Akulah Siau Lo-seng,
yang akan membersihkan segala kutu-kutu seperti dirimu itu!”
Nada pernyataan Siau Lo-seng yang begitu mantap telah membuat hati Li Giok-hou gemetar. Tetapi dia
seorang pemuda yang licin. Tak mau ia unjuk rasa ketakutan itu. Wajahnya tetap tenang saja. Bahkan ia
tertawa menghina.
“Siau Lo-seng, tahukah engkau daerah apa ini? Heh, heh…… jangan cepat-cepat tertawa dulu!”
Saat itu Hiat Sat Mo-li sudah berkisar ke tempat si nona baju merah untuk melindunginya. Mendengar katakata
Giok-hou, iapun segera melengking
“Li Giok-hou, kematian sudah di depan mata, engkau masih berani bicara segarang itu! Hm, engkau boleh
selicin ruba, tetapi jangan harap hari ini engkau mampu tiaggalkan daerah Lembah Kumandang ini!”
Mendengar itu Siau Lo-seng baru menyadari kalau dia telah keliru masuk ke Lembah Kumandang. Diamdiam
ia heran mengapa anak buah Ban-jin-kiong juga berada di lembah itu?
Adakah kedua pihak sudah mengadakan pertempuran secara resmi? Jika benar demikian, sungguh suatu
berkah bagi dunia persilatan.
Tetapi dalam pada itu Siau Lo-seng pun segera menyadari kedudukannya. Saat itu dia hanya seorang diri.
Kedua belah pihak itu, musuh semua. Lebih baik dia tak turun lebih dulu saja.
“Hiat Sat Mo-li,” seru Li Giok-hou tertawa seram, “apabila engkau tahu berapa kekuatan pihakku yang
datang ke lembah ini, mungkin engkau tentu akan pingsan!”
Diam-diam Siau Lo-seng mendengar kata-kata itu. Tetapi dia heran mengapa sampai sejauh itu tak tampak
orang-orang Ban-jin-kiong unjuk diri. Dia tak peduli bagaimana akibat yang akan menimpah kedua
gerombolan itu tetapi ia sempat memikirkan Ui Hun-ing. Bukankah nona itu masih ditawan dalam Lembah
Kumandang? Ah, ia harus menolong nona itu. Apabila pecah pertempuran antara Ban-jin-kiong dengan
Lembah Kumandang, diam-diam ia akan menyelinap ke dalam lembah untuk menolong Hun-ing.
Kini ia tumpahkan perhatiannya kepada pemuda baju putih, serunya,
“Jika engkau tak mau membuka kedok mukamu, aku tentu akan turun tangan!”
Pemuda baju putih mendengus dingin: “Siapa diriku, terserah bagaimana engkau hendak mengatakan.
Silahkan turun tangan!”
Siau Lo-seng kerutkan alis. Nafsu amarahnya menyala pula. Dengan menggembor keras, ia mengangkat
tangan kanannya dan secepat kilat menyambar siku kiri pemuda itu.
Tetapi pemuda baju putih itu tak mau unjuk kelemahan. Lengan kiri diendapkan ke bawah lalu dibalikkan
untuk balas mencengkeram siku kanan Siau Lo-seng. Kedua kakinya pun menyerempaki dengan
tendangan ke perut lawan.
Jurus itu dahsyat dan ganas sekali. Siau Lo-seng tak menyangka kalau lawan masih mampu melancarkan
serangan kaki yang begitu dahsyat. Cepat ia mengisar ke samping lalu menyurut mundur selangkah.
Tetapi ternyata setelah menendang, pemuda baju putih itu terus melambung ke udara dan berjumpalitan
melayang sampai lima tombak jauhnya. Selekas tiba di tanah, ia terus lari ke arah timur.
“Hai, hendak lari kemana engkau binatang!” teriak Siau Lo-seng seraya mengejar.
Tiba-tiba Li Giok-hou bersuit panjang lalu ayunkan tangan menghantam Siau Lo-seng. Tetapi Siau Lo-seng
lebih cepat. Dia sudah meluncur turun di muka pemuda baju putih. Dan tepat pada saat itu orang Ban-jinkiong
dan Lembah Kumandang melanjutkan pertempuran lagi.
Siau Lo-seng tegak di hadapan pemuda baju putih dengan sikap yang dingin. Dia ingin tahu siapakah
sesungguhnya pemuda baju putih. Ia merasa seperti sudah kenal tetapi tak dapat menduga siapakah dia.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena Li Giok-hou menyebutnya sebagai yu-kiongcu, tentulah pemuda baju putih itu salah seorang anak
lelaki dari Ban Jin-hoan. Tetapi selama ini ia belum pernah mendengar tentang pemuda itu. Lalu siapakah
dia?
Tampak pemuda baju putih itu memang takut kepada Siau Lo-seng. Dia tak berani beradu pandang dengan
Siau Lo-seng dan tak henti-hentinya beringsut mundur.
Lebih dahulu Siau Lo-seng membenamkan pedang Ular Emas ke tanah lalu berseru dingin, “Jika engkau
mampu melayani aku sampai tiga jurus, engkau boleh bebas!”
Mendengar itu timbullah sepercik harapan dalam hati pemuda baju putih itu, tetapi dia pun menyadari
bahwa tiga jurus serangan Siau Lo-seng itu tentu maut. Karena dia cukup paham akan kesaktian Siau Loseng.
Apalagi saat itu jalan darah pada tangan kanannya telah tertutuk, tak dapat digunakan.
“Untuk menghancurkan seorang yang tak dapat bergerak leluasa, kiranya tak perlu menggunakau sampai
tiga jurus,” serunya menyindir.
Siao Lo-seng tertawa gelak-gelak.
“Kutahu engkau hendak membikin panas hatiku agar secara gagah-gagahan aku mau membuka jalan
darahmu yang tertutuk itu……” tiba-tiba ia hentikan katanya ketika pandang matanya menatap ke wajah
pemuda baju putih yang minta dikasihani.
“Tetapi aku takkan membuatmu putus asa. Biarlah engkau kalah dengan puas,” Siau Lo-seng segera
menyusuli kata-katanya.
Siau Lo-seng menutup kata-kata itu dengan sebuah gerakan maju yang cepat sekali. Pemuda baju putih itu
gelagapan. Cepat ia menghantam dengan jurus Lam-hay-pok-liong atau Laut selatan mengangkat naga.
Sebuah gerakan menghindar yang aneh telah menempatkan Siau Lo-seng di sisi kanan pemuda baju putih
itu dan mencengkeram lengan kanannya yang menjulai. Dan dengan jari tengah tangan kanannya, cepat
sekali ia menutuk jalan darah siku lengan pemuda itu.
“Jurus pertama!” seru Siau Lo-seng sembari lepaskan lengan lawan. Ternyata dalam jurus pertama itu ia
hanya membuka jalan darah lengan pemuda baju putih yang tertutuk.
Tetapi rupanya pemuda itu tak tahu diri. Seharusnya ia menyerah setelah mengetahui kelihayan lawan.
Tetapi dia tak berbuat demikian. Begitu lengan kanannya sudah dapat bergerak, secepat kilat ia terus
menusukkan jarinya ke punggung dan menendang bawah perut Siau Lo-seng.
“Bagus, sambutlah jurus yang kedua!” Siau Lo-seng tertawa nyaring. Setelah berputar tubuh menghindari
tendangan, ia menyambar lengan kiri lawan dan tangan kirinya menangkis pukulan pemuda baju putih itu.
“Brakkk…….”
Ketika kedua pukulan beradu, keduanya sama-sama rasakan lengannya kesemutan. Begitu beradu, lalu
ditarik pulang. Tetapi Siau Lo-seng masih tetap mencekal siku lengan kiri orang. Sekali dipijat, pemuda
itupun lunglai dan menjuntai ke tanah.
Siau Lo-seng tertawa dingin: “Jurus yang ketiga yalah menyingkap kedok mukamu!”
Saat itu tubuh pemuda baju putih sudah mandi keringat dingin. Ia memekik geram, “Karena sudah jatuh ke
dalam tanganmu, silahkan engkau melakukan apa saja terhadap diriku.”
Sau Lo-seng mendengus.
“Hm, tidak begitu mudah engkau minta mati. Aku hendak bertanya beberapa patah kata. Kalau engkau tak
mau menjawab sejujurnya, akan kusuruhmu menikmati bagaimana rasanya ilmu Jo-kut-hut-jiu itu.”
“Sampai matipun, jangan harap engkau dapat memperoleh keterangan dari mulutku,” seru pemuda itu
marah, “sekalipun engkau bunuh aku tetapi jangan harap engkau sendiri dapat pergi dari lembah ini.
Selekas kiongcu memberi aba-aba, lembah ini tentu akan rata dengan tanah. Beratus-ratus orang Lembah
Kumandang terkubur dalam lembah ini.”
Terkejut Siau Lo-seng mendengar keterangan itu. Dia tak mencemaskan kehancuran lembah itu, melainkan
nasib dari nona Hun-ing dan beberapa tokoh sakti yang ditawan oleh Lembah Kumandang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng memperkeras cekalannya lalu bertanya: “Siapa yang mengatur serangan itu? Dimanakah
Ban-jin-kiong menyembunyikan alat-alatnya?”
Pemuda baju putih itu mengerang kesakitan: “Aku...... aku tak tahu, engkau ini anjing......”
Siau Lo-seng baru menyadari bahwa karena gelisah ia telah menggunakan tenaga terlalu keras sehingga
tulang lengan pemuda itu hampir pecah. Setelah agak mengendorkan cengkeramannya, ia ayunkan tangan
kiri menampar muka pemuda itu.
“Jika engkau tak mau mengatakan, segera akan kubeset kulit tubuhmu!” bentaknya.
Tamparan itu membuat pemuda baju putih berkunang-kunang. Mulutnya mengucurkan darah. Namun
dengan paksakan diri ia masih berani memaki, “Anjing, bunuhlah aku!”
Siau Lo-seng gemas. Kalau tak diberi sedikit pelajaran tentu dia tak tahu rasa. Cepat ia merobek baju
pemuda itu lalu guratkan jarinya beberapa kali pada dadanya. Serentak terdengarlah erang rintihan dari
mulut pemuda itu.
Tubuhnya bergeliatan mengejang. Wajahnya yang ditutup dengan kedok itupun ikut berkerut-kerut
menyeramkan sekali. Giginya dikatupkan sekencang-kencangnya. Jelas dia sedang menderita kesakitan
yang hebat dan berusaha untuk menahannya.
Diam-diam Siau Lo-seng kagum atas kekerasan kepala pemuda itu. Ia perkeras cengkeramannya dan
membentak:
“Dimana pusat pembakar dari bahan peledak yang kalian pasang di lembah ini?”
Karena sakitnya pemuda baju putih itu sampai mengucurkan airmata dan menyahutlah ia dengan suara
gemetar: “Lepaskan tanganmu...... aku akan bilang......”
Siau Lo-seng kendorkan cengkeramannya tetapi secepat kilat ia menutuk bawah dagu pemuda itu.
“Jangan coba hendak bunuh diri dengan menggigit lidahmu. Sekarang engkau tak mampu melakukan hal
itu,” serunya, “lebih baik engkau jawab pertanyaanku ini. Berapa jumlah orang Ban-jin-kiong yang berada di
Lembah Kumandang ini? Dan dimana mereka menanam bahan peledak?”
Dengan tersendat-sendat karena menahan kesakitan, pemuda baju putih itu menjawab:
“Seluruh anak buah Ban-jin-kiong telah dikerahkan kemari dan dipimpin oleh Kiong-cu sendiri, ah, aku tak
tahu……”
16.76. Imam Tua Misterius
Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran pemuda baju putih itu. Sesuatu yang lebih mengerikan dari
penderitaan yang dideritanya saat itu. Tubuhnya pun menggigil keras dan seketika rubuhlah ia tak sadarkan
diri lagi.
Siau Lo-seng geleng kepala. Ia merasa pemuda baju itu mempunyai watak yang kuat. Sayang dia tersesat
ke dalam perguruan.
Ia menghela napas, ulurkan tangan untuk membuka kedok muka pemuda itu.
Tepat pada saat tangannya hendak menjamah muka pemuda baju putih itu, tiba-tiba ia rasakan setiup angin
tenaga sakti melandanya. Belum sempat ia bergerak, tahu-tahu perut punggungnya telah dicengkeram
orang.
Kejut Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Menilik orang itu datang tanpa diketahuinya sama sekali, ia
menyadari bahwa kepandaian orang itu tentu lebih tinggi dari dirinya.
Siapakah gerangan dia?
Serentak pikirannya membayangkan beberapa tokoh sakti: Ban Jin-hoan, Jin Kian Pah-cu, Kakek wajah
dingin Leng Tiong-siang, Buddha emas Ang Siong-pik atau mungkin Bu-tong Sam-siu.
“Siapakah saudara ini? Apakah maksud saudara kepadaku?” akhirnya ia bertanya dengan nada sarat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang yang berada di belakang itu tak mau menyahut melainkan masih tetap menguasai jalan darah Bengbun
pada punggung Siau Lo-seng.
Sampai diulang tiga kali bertanya, tetap Siau Lo-seng tak mendapat jawaban, ia makin heran.
“Engkau ini manusia atau setan? Mengapa tak menjawab pertanyaanku?” serunya mangkal.
Namun orang itu tetap diam saja. Bulu kuduk Siau Lo-seng serempak meregang. Memang kalau manusia,
sukar untuk memiliki kepandaian yang sedemikian saktinya.
Jalan darah Beng-bun-hiat merupakan salah satu dari tiga jalan darah maut. Apabila orang menyalurkan
tenaga dalamnya. Siau Lo-seng pasti celaka. Kalau tidak muntah darah tentu akan putus jiwanya. Maka
sebelum mendapat kesempatan untuk lolos, Siau Lo-seng tak berani, bergerak gegabah.
Maka keduanya terbenam dalam keheningan. Sama-sama diam membisu. Entah selang berapa lama tibatiba
dari jauh terdengar suara suitan aneh yang gencar dan alunan suara seruling yang hampir tak
kedengaran.
Seketika Siau Lo-seng rasakan tangan orang di belakangnya itu agak gemetar. Sudah tentu pemuda itu tak
mau mensia-siakan kesempatan. Secepat ia rubuhkan tubuh ke muka lalu dengan jurus Lan-hou-sin-yau
atau Harimau malas menjulur pinggang ia ayunkan kaki menendang orang yang di belakangnya.
Jurus itu memang indah dan cepat sekali. “Bum, bum……,” terdengar suara keras sekali. Seketika Siau Loseng
rasakan kakinya menendang tembok besi. Sakitnya bukan kepalang. Disamping itu bahu kanannya
pun telah dihantam sebuah tangan keras sehingga ia jungkir balik sampai tiga kali dan terlempar sampai
tiga tombak jauhnya. Dadanya seperti terhimpit gunung, hampir ia tak kuat bertahan lagi.
Cepat ia tenangkan semangat lalu berpaling memandang ke arah orang tadi.
Tampak seorang manusia yang aneh. Tubuhnya tinggi kurus, kedua tangannya menjuntai sampai ke lutut.
Mengenakan pakaian hitam dan mukanya pun berkerudung kain hitam. Dia tegak terlongong-longong di
samping pemuda baju putih tadi.
Kejut Siau Lo-seng pada saat itu bukan dilukiskan. Tendangannya membalik ke belakang tadi tak kurang
dari seribu kati kekuatannya. Tetapi walaupun kena pada dadanya, orang aneh itu ternyata tak rubuh atau
terluka. Manusia atau setankah dia?
Sudah tentu Siau Lo-seng tak tahu bahwa manusia aneh itu adalah Te-gak-kui-ong atau si Raja Akberat,
seorang mumi yang terkenal dari istana Ban-jin-kiong.
Siau Lo-seng cepat mencabut pedang Ular Emas dari tanah lalu membentak: “Siapa engkau? Apa maksud
kedatanganmu kemari?”
Tetapi Raja Akherat itu tetap tegak mematung di sisi pemuda baju putih. Dia seperti seorang manusia yang
tak bernyawa. Hal itu cepat dapat disadari Siau Lo-seng. Dia berhadapan dengan seorang mumi, atau
manusia yang hilang kesadaran pikirannya. Mirip dengan si cantik Im-kian-li dari Lembah Kumandang.
Siau Lo-seng menimang. Dari pada menempur seorang mumi, lebih baik ia melakukan lain tugas yang lebih
penting. Dari keterangan pemuda baju putih tadi, ia tahu bahwa Lembah Kumandang telah dipasangi
dengan alat-alat peledak oleh pihak Ban-jing-kiong. Apabila benda-benda itu tak lekas dihancurkan, ribuan
jiwa manusia tentu akan hancur lebur.
Segera Siau Lo-seng menyimpan pedangnya lalu dengan hati-hati ia menghampiri ke tempat pemuda baju
putih.
Raja Akherat tetap tegak tak mengunjuk suatu reaksi apa-apa. Tetapi ketika Siau Lo-seng tiba pada jarak
dua-tiga meter dari tempat pemuda baju putih, barulah Raja Akherat itu mengangkat tangan kanannya
pelahan-lahan.
Tetapi Siau Lo-seng tak memberi kesempatan kepada manusia tak sadar itu. Dengan menggembor keras
dia lepaskan hantaman sampai delapan kali kepada Raja Akherat.
“Bum, bum, bum…….”
Tetapi bukan Raja Akherat itu yang celaka, melainkan Siau Lo-seng sendiri. Pemuda itu telah dilanda oleh
tenaga membal yang dipancarkan dari tangan Raja Akherat. Siau Lo-seng terlempar sampai lebih dari dua
tombak jauhnya. Kedua tangannya seperti patah. Dadanya sesak, pandang matanya gelap seperti hendak
rubuh pingsan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menggertek gigi. Setelah menyalurkan tenaga murni, ia mengangkat muka memandang ke
depan.
Tampak kedua kelopak mata Raja Akherat itu berkedip dua kali. Mulutnya mengeluarkan rintihan pelahan.
Siau Lo-seng benar-benar heran sekali. Delapan buah pukulannya telah gagal. Dia hampir tak percaya
bahwa tubuh Raja Akherat yang terbuat dari darah dan daging itu mampu menerima ke delapan
pukulannya.
Siau Lo-seng menduga bahwa Raja Akherat itu tentu sudah memiliki ilmu kebal Kim-kong-put-hoay-sinkang.
Pada hal Siau Lo-seng sendiri hampir lupa bahwa ia juga mulai mempelajari ilmu kebal itu.
Saat itu suara suitan aneh tadi makin lama makin dekat. Sedangkan suara seruling yang makin melengking
tinggi, tiba-tiba berhenti.
Serentak Siau Lo-seng mempunyai suatu firasat yang tak baik. Tanpa banyak berpikir lagi ia terus maju
menerjang. Dengan ilmu jari sakti Han-sim-ci-keng, menutuk tiga buah jalan darah di dada Raja Akherat.
Dan masih sempat pula ia ayunkan kaki menendang tubuh pemuda baju putih menggetetak di tanah itu.
Tiba-tiba Raja Akherat meraung aneh dan menyurut mundur sampai tujuh-delapan langkah. Matanya
berapi-api memandang Siau Lo-seng.
Tutukan jari Han-sim-ci-keng luput, tendangan ke arah pemuda baju putih itu pun tak kena. Ternyata
pemuda itu dapat berguling ke samping dan terus melenting berdiri. Sebenarnya pada saat Raja Akherat
datang, dia sudah sadar dari pingsannya. Dia ingin menyaksikan Siau Lo-seng dihancurkan Raja Akherat.
Tetapi ia kecewa karena walaupun menderita dua kali serangan dari Siau Lo-seng, Raja Akherat itu tak mau
balas menyerang.
Ia tahu bahwa Raja Akherat itu adalah seorang tokoh sakti yang telah ditempa menjadi seorang mumi oleh
Ban Jin-hoan. Raja Akhirat itu termasuk mumi Ong.pay (pengawal raja) khusus untuk menghadapi tokohtokoh
silat yang lihay. Dia amat ganas sekali tetapi mengapa saat itu sedemikian lunak sikapnya!
Karena hal-hal itulah maka setelah menghindari tendangan Siau Lo-seng, pemuda baju putih terus lari
ngiprit.
“Berhenti! Apakah engkau mampu melarikan diri!” bentak Siau Lo-seng.
Tetapi ketika ia hendak mengejar, Raja Akherat pun segera memekik keras dan menyerangnya. Belum
tangan manusia mumi itu tiba, Siau Lo-seng sudah rasakan angin pukulan yang panas melandanya. Ia
terkejut dan cepat melentikkan ke lima jari tangan kiri, sedang tangan kanan menyongsong ke muka.
“Jangan beradu pukulan, lekas mundur!” tiba-tiba terdengar teriakan keras dan sesosok tubuh meluncur
turun dari udara. Kedua tangannya direntang. Yang satu disongsongkan ke arah Siau Lo-seng dan satu
kepada Raja Akherat. Yang didorongkan kepada Siau Lo-seng menimbulkan angin pukulan lunak tetapi
yang dilontarkan kepada Raja Akherat itu memancarkan tenaga yang dahsyat sekali, sehingga
menimbulkan deru angin dahsyat, menebarkan debu dan pasir berhamburan dan merontokkan rantingranting
daun pohon.
Sesaat kemudian di gelanggang itu muncul seorang imam tua. Rambut dan jenggotnya putih, mukanya
bersih.
Raja Akherat ternyata sudah lenyap pada saat tempat itu diselubungi hamburan pasir.
Melihat imam tua itu, serentak Siau Lo-seng berseru kaget: “Bukankah totiang ini It Ceng Totiang dari Butong-
pay?”
Imam tua itu tersenyum, “Benar, aku memang It Ceng.”
Timbul pertanyaan dalam hati Siau Lo-seng. Ketika kesasar masuk ke markas Bu-tong-pay, dia telah
dituduh sebagai pembunuh murid-murid partai itu dan dimusuhi mereka. Tetapi mengapa imam tua yang
menjadi kepala dari Bu-tong Sam-siu itu menolong dirinya? Aneh.
“It Ceng locianpwe,” segera ia berseru dengan nada dingin, “apakah locianpwe hendak mencari aku?”
It Ceng Totiang mengelus-elus jenggotnya yang putih dan menjawab dengan nada ramah: “Benar, aku
memang hendak mencarimu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin tak mengerti Siau Lo-seng mclihat sikap imam tua itu. “Apakah kalian benar-benar tak mau
melepaskan diriku……?”
“Siau sauhiap,” cepat It Ceng Totiang menukas, “jangan salah paham. Salah duga, telah selesai. Dengan ini
aku mewakili partai Bu-tong-pay untuk menghaturkan terima kasih kepadamu.”
Legalah hati Siau Lo-seng. Ia menghela napas: “Ah, apabila locianpwe datang lebih pagi sedikit, tentulah
akan melihat orang yang menyaru jadi diriku itu.”
It Ceng Totiang tertawa.
“Pemuda baju putih yang menyaru jadi dirimu itu sudah kutangkap dan kutaruh dalam hutan.”
“Siau sauhiap,” tiba-tiba imam tua itu beralih pembicaraan, “tahukah engkau lawanmu bertempur tadi?”
“Baru pertama kali aku bertemu dengan dia,” kata Siau Lo-seng, “tetapi dia agak menyerupai Te-gak Kuiong
dari Ban-jin-kiong. Menilik kepandaiannya, sebelum menjadi manusia mumi, dia tentu seorang tokoh
yang sakti!”
“Apakah engkau sudah beradu pukulan dengan dia?” tanya It Ceng pula.
“Delapan buah pukulan telah kuhantamkan kepadanya tetapi selalu dia dapat memancarkan tenaga
membal yang luar biasa sehingga aku sendiri yang berkunang-kunang,” kata Siau Lo-seng, “locianpwe,
apakah ada sesuatu dalam hal itu?”
Beberapa saat It Ceng Totiang memandang dengan setengah bersangsi kepada pemuda itu, lalu berkata,
“Benarkah engkau telah menghantamnya sampai delapan kali.”
“Dan menendang kakinya satu kali,” Siau Lo-seng menambahkan. Melihat kerut wajah imam tua itu, ia
menduga tentulah tubuh Raja Akherat itu mengandung racun ganas.
Tiba-tiba It Ceng meluncur maju dan sebelum Siau Lo-seng tahu apa-apa, tangannya sudah dicekal imam
tua itu.
Beberapa saat kemudian ia lepaskan cekalannya dan berseru: “Siancay, siancay! Kuucapkan selamat
kepadamu karena ternyata engkau telah mempelajari ilmu kebal Kim-kong-put-hoay-sin-kang.”
“Apa? Aku sudah berhasil memiliki ilmu kebal itu?” teriak Siau Lo-seng heran.
“Tenaga dalammu makin bertambah sempurna,” kata It Ceng Totiang.
Memang ilmu kebal itu sesungguhnya merupakan ilmu tenaga dalam tingkat tinggi. Hanya beberapa tokoh
silat yang berhasi1 mencapai tataran setinggi itu.
“Locianpwe, bagaimana engkau tahu kalau aku sudah memiliki ilmu itu? Apakah locianpwe tidak salah?”
serunya menegas.
“Apabila engkau belum memiliki ilmu kebal itu, engkau tentu binasa menerima tenaga membal dari ilmu
Tay-lo-sin-kang orang itu.”
“Hai, apakah tenaga membal dari orang itu berasal dari ilmu Tay-lo-sin-kang partai siau-lim-si yang sudah
ratusan tahun lenyap? Lalu siapakah dia itu?”
Merenung sejenak, It Ceng Totiang berkata: “Menilik keterangan dari orang Siau-lim-si. Yang mampu
memperoleh kembali ilmu sakti Siau-lim-si yang telah lenyap ratusan tahun itu hanya seorang, yalah Ko Bok
Taysu. Tetapi beliau sudah meninggal dunia pada empatpuluh tahun yang lalu. Tak mungkin kalau Ko Bok
Taysu.”
Makin tergetar hati Siau Lo-seng. Ko Bok Taysu adalah paman guru dari Pek Wan Taysu. Apabila benar
masih hidup, tentu sudah berusia seratus tahun lebih. Tetapi mengapa yang sedemikian sakti, mengapa
dapat ditawan dan dijadikan, seorang manusia mumi?
Tetapi keheranannya itu segera terjawab. Bukankah wanita sakti Siang-hoa-hong-li juga dapat dijadikan
wanita mumi dan dirobah namanya menjadi Im-kian-li?
Kemungkinan Ko Bok Taysu juga begitu nasibnya.
Makin merenung makin menggigillah Siau Lo-seng. Tetapi serentak iapun teringat akan bahaya yang
mengancam Lembah Kumandang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Locianpwe, saat ini Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Apabila terlambat
selangkah, tentu akan menimbulkan banjir darah,” serunya.
“Ya, aku sudah tahu,” It Ceng Totiang tersenyum, “makin tergesa makin tak sampai. Yang benar kita harus
tenang untuk menilai keadaan, setelah itu baru mengambil langkah.”
Merah wajah Siau Lo-seng mendengar nasehat itu, serunya: “Locianpwe, ya memang benar begitu. Lalu
petunjuk apakah yang locianpwe akan berikan kepadaku?”
“Urusan di Lembah Kumandang, tak usah engkau gelisah,” kata It Ceng Totiang, “walaupun Ban-jin-kiong
telah mengerahkan anak-buahnya secara besar-besaran, tetapi Jin Kian Pah-cu pun bukan tokoh biasa.
Tak nanti dia begitu mudah akan menderita kekalahan. Dan menilik keadaan saat ini, kurasa Jin Kian Pahcu
tentu sudah menguasai keadaan pihak Ban-jin-kiong. Jika tidak, tak mungkin Ban Jin-hoan begitu mudah
membawa anak buahnya datang ke lembah ini.”
Sejenak berhenti, imam tua itu melanjutkan kata-katanya:
“Siau sauhiap, tahukah engkau tujuanku datang kemari?”
Siau Lo-seng terbeliak,
“Bu-tong Sam-siu, jarang mau keluar. Bahwa It Ceng locianpwe datang kemari tentulah karena hendak
melakukan suatu pekerjaan yang penting sekali,” sahutnya.
Entah bagaimana It Ceng Totiang menengadahkan kepala dan menghela napas panjang.
“Dunia memang penuh dengan soal-soal yang aneh. Antara benar dan salah terdapat liku-liku yang sulit.
Budi dan Dendam, Sebab dan Akibat, selalu berputar tiada putusnya. Sudah empatpuluh tahun lamanya
aku mengasingkan diri tak mencampuri urusan dunia, tetapi tetap tak dapat terhindar dari lingkaran budi dan
dendam itu. Ah...... memang segala sesuatu telah digaris oleh kodrat. Sungguh tak pernah kusangka bahwa
pada saat akhir-akhir ini setelah berselang empatpuluh tahun. Aku sih harus di ombang- ambingkan oleh
lingkaran budi dan dendam.”
Mendengar itu segera merta Siau Lo-seng menghaturkau maaf karena telah mengganggu pertapaan It
Ceng Totiang yang memerlukan datang untuk menolong dirinya.
“Apabila Siau sauhiap tak berkunjung ke Bu-tong-san, aku tentu masih hidup dalam kabut gelap dan dalam
kehidupan yang sekarang ini tentu takkan dapat memperbaiki dosaku.”
“Apakah maksud ucapan locianpwe?” seru Siau Lo-seng terkejut heran.
“Keluarku dari pertapaan kali ini, tak lain hanya bertujuan untuk membersihkan kalangan dalam perguruan
Bu-tong. Menghukum murid hianat dan membasmi bahaya yang mengancam dunia persilatan.”
“Akupun merasa bahwa dalam kalangan perguruan Bu-tong terdapat pengkhianat. Tetapi adakah locianpwe
sudah menyelidiki dengan teliti?”
16.77. Cinta Segi Tiga, Guru dan Murid
“Sungguh memalukan,” seru It Ceng Totiang dengan nada kecewa, “yang menjadi biang keladi dari
penghianatan itu tak lain adalah suteku sendiri, It Bing.”
“Ah, bagaimana mungkin, locianpwe?” teriak Siau Lo-seng, “bukankah It Bing cianpwe bersama Bu-tong
Sam-siu bertapa di ruang Ceng-siu-tian? Bagaimana dia dapat mengadakan hubungan dengan pihak luar?”
“Di situlah letak kuncinya,” kata It Ceng Totiang, “It Bing Totiang yang aseli sudah meninggalkan Bu-tongsan
sejak limapuluh tahun yang lalu. Dia meninggalkan seorang It Bing Totiang palsu untuk menyelundup
dan ikut kami bertapa selama empatpuluh tahun. Sedang It Beng yang sungguh, telah melakukan kejahatan
di luar, menimbulkan huru hara dan membahayakan dunia persilatan.......”
“Benarkah itu?” masih Siau Lo-seng agak kurang percaya, “masakan locianpwe tak dapat mengenali sute
sendiri.”
It Ceng totiang menggeram.
“Panjang sekali ceritanya. Limapuluh tahun yang lalu,” imam tua itu mulai bercerita, “pada saat suhuku
Thian Le Cinjin menyerahkan kedudukan Ciang-bun (ketua) kepadaku, diapun telah menerima seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
murid baru. Seorang pemuda orang biasa yang terkenal namanya sebagai Cian-bin-poa-an. Kala itu aku
sudah seorang pertengahan umur sedang dia baru seorang pemuda yang berumur duapuluh tahun. Karena
dia memang berbakat bagus dan amat cerdas, dia telah disayang suhu dan suhu sendirilah yang
menurunkan pelajaran kepadanya.”
It Ceng Totiang berhenti sejenak untuk mengambil napas.
“Cian-bin-poa-an itu apakah bukan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti yang pada limapuluh tahun berselang
menjadi pasangan dari Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li dan digelari sebagai sepasang pendekar nomor satu di
dunia?” Siau Lo-seng menyeletuk.
“Limapuluh tahun yang lalu dalam dunia persilatan telah muncul tiga pasang pendekar muda Cian-bin-poaan
Kho Ing-ti, Kim-coa-mo-kiam Siau Mo, Bu-eng-sin-liong Siau Han-kwan. Ketiga jago muda itu disebut
Sam-cay. Sedang ketiga pendekar wanita yalah Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa
dan Hun-siang-sian-cu Ui Siu-bwe. Mereka digelari Sam-ing (Tiga Jelita). Berturut-turut mereka muncul
dalam dunia persilatan dan serentak mereka saling berkenalan lalu membentuk persekutuan Heng-te-cimoy
(engkoh adik, taci adik). Merupakan peristiwa, yang indah dan dipuji dunia persilatan.
It Ceng Totiang berhenti, menatap wajah Siau Lo-seng lalu melanjutkan pula:
“Tetapi kemudian hari, Sam-cay dan Sam-ing itu akhirnya berantakan……, suteku Kho Ing-ti pulang ke Butong
dan bersumpah akan mensucikan diri.......”
“Bagaimanakah peristiwa bubarnya Sam-cay dan Sam-ing itu? Lalu akhirnya bagaimana?” Siau Lo-seng
gegas bertanya.
“Peristiwa itn memang terjadi di luar dugaan orang,” kata It Ceng Totiang, “tiada seorangpun yang pernah
menyangka bahwa Sam-cay Sam-ing yang begitu rukun seperti kakak beradik, tiba-tiba terpecah belah,
masing-masing mengambil haluan sendiri…… Menurut kesimpulanku, sebab dari perpecahan itu tentu
berkisar pada soal Asmara. Ah, asmara memang berkuasa. Dari dulu sampai kelak akhir jaman. Entah
berapa banyak muda mudi yang telah hancur binasa dihempas asmara itu.”
Saat itu makin dalam kesadaran Siau Lo-seng akan soal Asmara. Ya, asmara itu kuasa membahagiakan
orang tetapipun kuasa menghancurkan.
“Locianpwe, engkau tak begitu jelas tentang peristiwa itu tetapi mengapa dapat menarik kesimpulan bahwa
peristiwa itu disebabkan karena soal Asmara?” tanyanya.
“Memang benar, mereka telah bentrok karena urusan Asmara,” kata It Ceng Totiang. Tampak imam tua itu
gemetar di kala mengucapkan kata-kata itu. Matanya pun berlinang-linang. memancarkan sinar duka dan
geram. Rupanya dia sedang dilanda oleh gejolak ketegangan hati.
Diam-diam Siau Lo-seng heran. It Ceng Totiang ketua dari Bu-tong Sam-siu. Tiga tokoh tua yang paling
dihormati dalam partai persilatan Bu-tong-pay. Kepandaiannya sakti, imannya kuat. Tetapi mengapa masih
dapat terangsang oleh perasaan hatinya.
Tiba-tiba pula Siau Lo-seng mendapatkan bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu lain sikapnya
dengan Bu-tong Sam-siu yang dilihatnya ketika berada dalam markas Bu-tong. Waktu itu jelas Bu-tong
Sam-siu bersikap bengis dan keras. Walaupun wajahnya sama, tetapi beda sekali dengan It Ceng Totiang
yang berdiri di hadapannya saat itu.
Serentak timbul kecurigaan dalam hati Siau Lo-seng. Ia teringat akan ilmu Merobah raut muka dari orang
Ban-jin-kiong sehingga Nyo Cu-ing sampai tak kenal akan ayahnya sendiri yakni Nyo Jong-ho…… begitu
pula nona baju merah tadi. Benar-benar seperti pinang dibelah dua dengan Nyo Cu-ing.
“Ah……,” tiba-tiba Siau Lo-seng mendesah. Rupanya ia telah menemukan sesuatu rahasia. Dipandangnya
It Ceng Totiang dengan tajam.
Kerut wajah It Ceng pun berubah-rubah. Namun cepat ia segera mengajukan pertanyaan, “Siau sauhiap,
adakah sesuatu yang engkau rasakan?”
“Tidak, tidak,” sahut Siau Lo-seng gelagapan. “Dapatkah locianpwe menceritakan semua peristiwa yang
menimpa Sam-cay Sam-ing itu?”
“Kemunculan mereka di dunia persilatan bagaikan halilintar di terang hari. Setiap orang tahu dan menaruh
perhatian. Tetapi keakhiran kisah mereka sebagai kabut awan yang gelap. Tiada bersuara tiada berita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya sedikit orang saja yang mengetahui. Sudah berpuluh tahun aku tak pernah berjumpa dengan salah
seorang dari mereka,” kata It Ceng Totiang.
“Jika demikian, locianpwe sungguh tak tahu akan keadaan mereka yang sesungguhnya?”
Tampaknya ada sesuatu yang masih menghuni dalam benak imam tua itu. Setelah merenung beberapa
saat barulah ia berkata.
“Sebenarnya aku telah berjanji kepada It Bing sute, untuk tidak membocorkan peristiwa mereka. Tetapi
karena sekarang dia ternyata telah berkhianat maka diapun tak percaya kepadaku lagi. Akupun tak perlu
memegang janji itu. Peristiwa tiga Pasang pendekar dunia persilatan itu, kecuali mereka sendiri yang tahu
jelas hanya aku.”
“Locianpwe,” seru Siau Lo-seng mulai tegang lagi, “alangkah bagusnya bila locianpwe tahu akan peristiwa
mereka itu. Bertahun-tahun aku berkelana di dunia persilatan, tetapi tak berhasil menyelidiki.”
Dua dari Sam-cay itu adalah Siau Han-kwan, ayah Siau Lo-seng. Dan Siau Mo, paman pemuda itu. Itulah
sebabnya maka ia ingin sekali mengetahui peristiwa mereka. Dan peristiwa itu tentu mempunyai sangkut
paut dengan pembunuhan berdarah di Hay-hong-cung.
Tampaknya It Ceng Totiang bersangsi. Sesaat kemudian baru ia berkata dengan suara sarat: “Lambat laun
peristiwa itu tentu akan terungkap. Hanya sayang, orang yang tahu peristiwa itu malu diri untuk berbicara.”
“Apakah mereka juga melakukan kesalahan dan mengungkap peristiwa itu merupakan suatu hal yang hina
dan memalukan?” Siau Lo-seng heran.
“Benar,” sahut It Ceng agak geram, “yang tahu peristiwa itu hanya sedikit sekali tetapi mereka sendiripun
juga melakukan kesalahan besar. Apabila diungkap, bukan saja akan merosotkan gengsi mereka, pun juga
akan membawa akibat yang luas. Mungkin mereka tiada muka untuk menegakkan kaki di dunia persilatan
lagi……”
“Apakah peristiwa Sam-cay Sam-ing itu mempunyai hubungan dengan locianpwe sendiri?” tiba-tiba Siau Loseng
bertanya.
“Siau sauhiap, apa maksudmu? Bagaimana diriku mempunyai hubungan dengan peristiwa Sam-cay Saming
itu,” sahut It Ceng.
“Kulihat pada saat locianpwe menceritakan mereka, locianpwe agak terangsang. Jika tak mempunyai
hubungan dengan peristiwa itu masakan locianpwe sampai mempunyai perasaan seperti itu,” kata Siau Loseng.
It Ceng tertegun lalu berseru tergagap,
“Au, perasaanmu tajam sekali. Walaupun secara langsung aku tak mempunyai sangkut paut dengan Samcay
tetapi nasib yang diderita oleh It Bing sute itu, menyebabkan aku agak penasaran.”
Sudah tentu Siau Lo-seng tak mengerti apa maksud kata-kata imam tua itu. Tadi jelas It Ceng membenci It
Bing karena perbuatannya menghianat itu. Tetapi sekarang imam tua itu penasaran atas nasib sutenya.
Bukankah kedua ucapan itu saling bertentangan?
“Locianpwe, apakah sute locianpwe itu bukan ketua dari Ban-jin-kiong yang sekarang yakni Ban Jin-hoan
itu?” tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
“Kupastikan bahwa Ban-jin-kiong itu memang It Bing sute yang mendirikan. Tetapi adakah Ban Jin-hoan itu
benar It Bing sute, aku belum berani memastikan. Karena sepak terjang Ban Jin-hoan itu memang sukar
diduga, muncul lenyap tanpa diketahui orang......”
Siau Lo-seng kerutkan alis.
“Ucapan locianpwe itu terdapat sedikit kelemahannya. Kalau Ban-jin-kiong itu sute cianpwe yang
mendirikan, mengapa Ban Jin-hoan belum pasti kalau It Bing Totiang.
“Segala apa di dunia kalau belum melihat dengan mata kepala sendiri sukar untuk memastikannya,” sahut It
Ceng, “tetapi kupercaya, dalam kolong langit ini kecuali suteku Cian-bin-poa-an Ko Ing-ti, tak mungkin
terdapat lain orang yang menguasai ilmu merobah wajah sedemikian sempurnanya.”
“Benar,” Siau Lo-seng mengangguk, “orang Ban-jin-kiong tentu ada yang memiliki ilmu merobah muka yang
hebat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
It Ceng Totiang tersenyum: “Walaupun pada masa itu bukan hanya suteku seorang yang mahir dalam ilmu
merobah wajah itu.”
Tiba-tiba imam tua itu berhenti seolah-olah seperti telah kelepasan bicara. Sudah tentu hal itu tak terlepas
dari perhatian Siau Lo-seng.
“Siapa orang itu? Apakah bukan Jin Kian Pah-cu Ui Siu-bwe ketua dari Lembah Kumandang itu?' cepat Siau
Lo-seng bertanya.
Seketika wajah It Ceng Totiang berobah, serunya: “Bagaimana engkau tahu hal itu?”
Ketika Siau Lo-seng mengangkat muka, pandangan matanya beradu dengan sinar mata It Ceng yang
memancar sinar pembunuhan. Menggigillah hati pemuda itu.
“Ada orang dari pihak Ban-jin-kiong yang menyaru jadi diriku,” kata Siau Lo-seng, “tetapi dari pihak Lembah
Kumandang pun ada orang yang menyaru jadi nona Nyo Cu-ing. Keduanya dapat menyaru dengan
sempurna sekali. Itulah sebabnya maka aku memberanikan diri untuk menduga, bahwa orang kedua yang
memiliki kepandaian merobah wajah itu adalah Jin Kian Pah-cu.”
Mendengar keterangan itu siraplah pancaran sinar mata buas dari It Ceng Totiang. Katanya: “Dewi Mega Ui
Siu-bwe wanita busuk itu…….”
“Apa katamu?” Siau Lo-seng cepat mendesak.
Gemetarlah tubuh It Ceng Totiang. Cepat ia hendak menelan lagi kata-kata terakhir “wanita busuk” yang
diucapkan itu dan terus dialihkan:
“Ya, memang dugaanmu tepat. Yang dapat mengimbangi ilmu merobah wajah dari suteku Kho Ing-ti itu
memang sumoaynya Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa.”
Siau Lo-seng terbeliak kaget, serunya: “Apa? Kho Ing-ti dan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu saudara
seperguruan?”
It Ceng Totiang menghela napas.
“Sebelum masuk menjadi murid Bu-tong-pay suteku It Bing itu memang telah menjadi murid lain perguruan.
Dia berguru pada Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa. Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa itu dahulu menjadi sahabat karib dari
suhuku Thian Le Cinjin. Dia memang ahli sekali dalam ilmu merobah wajah. Sering dia menyamar sebagai
seorang penjual obat untuk berkelana di dunia persilatan. Umurnya belum berapa tua. Pada waktu
menerima Kho Ing-ti sebagai murid, umurnya hanya terpaut lima tahun dari muridnya. Dan dari muridnya
perempuan yalah Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa hanya terpaut tujuh tahun saja.”
“Eh, masakan guru dan murid umurnya terpaut begitu sedikit?” seru Siau Lo-seng.
“Adalah karena perbedaan umur yang tak berapa banyak itu akhirnya timbullah hubungan istimewa antara
Ou-hay-it-ki dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa. Tetapi Ou-hay-it-ki tak mengetahui kalau muridnya yang
satu, Kho Ing-ti, juga menaruh hati kepada Tan Bi hoa. Walaupun belum pernah saling mengutarakan, tetapi
hati mereka sudah saling setuju.”
“Cinta segi tiga?” seru Siau Lo-seng.
It Ceng Totiang tertawa memanjang.
“Pada suatu hari, Kho Ing-ti mengetahui bahwa suhunya Ou-hay-it-ki mencintai sumoaynya Tan Bin-hoa.
Dan saat itu juga, iapun mengetahui bahwa Ou-hay-it-ki ternyata seorang pemuda yang cakap dan gagah.
Demikian mereka telah melewatkan penghidupan yang pahit dan manis selama setahun. Selama itu sikap
Tan Bi-hoa terhadap suhunya hanya sebagai seorang murid yang menghormat suhu tetapi tak mau bergaul
rapat. Terhadap Kho Ing-ti bersikap jinak-jinak merpati. Didekati menjauh sedikit. Kalau Kho Ing-ti diam,
gadis itupun tak mau terbang.”
Termangu-mangu Siau Lo-seng mendengar kisah aneh dari guru dan kedua muridnya itu.
“Apakah Tan Bin-hoa sudah tahu kalau suhu dan suhengnya itu mempunyai hati kepadanya sehingga ia
bersikap demikian terhadap keduanya?”
“Ya!” sahut It Ceng Totiang, “sikap seorang murid terhadap guru. Sedang terhadap suhengnya, sekalipun
belum menyatakan dengan mulut, tetapi dia memang mencintainya dengan segenap hati.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Siau Lo-seng mendesuh dalam hati. Banyak sekali kelemahan-kelemahan dalam keterangan
yang diberikan It Ceng Totiang itu. Tetapi karena ia ingin mengetahui kisah itu dengan jelas maka ia
kendalikan hatinya untuk tidak membongkar kelemahan orang.
“Lalu bagaimana akhir kisah dari ketiga orang itu?” tanyanya.
“Rupanya Kho Ing-ti tak kuat bersabar dalam kehidupan yang menyesakkan dada itu. Ia mengelabuhi
suhunya dan mendesak Tan Bi-hoa diajak lari.”
“Apakah keduanya berhasil lari?” tanya Siau Lo-seng.
“Tidak!” sahut It Ceng Totiang, “sauhiap, aku hendak bertanya kepadamu. Menurut anggapanmu, salahkah
tindakan Kho Ing-ti yang hendak mengajak lari Tan Bi hoa itu?”
Siau Lo-seng tak mengerti mengapa It Ceng Totiang mengajukan pertanyaan semacam itu kepadanya.
Tetapi demi memperhatikan sorot mata imam tua itu menuntut jawaban, akhirnya iapun menjawab dengan
suara lantang:
“Locianpwe, walaupun tindakan Kho Ing-ti mengajak sumoaynya lari itu didorong oleh nafsu serakah, tetapi
itulah sifat manusia. Maka tak dapat dianggap salah. Dan tentang tindakan Tan Bi-hoa yang mau diajak lari
oleh suhengnya itu termasuk kebebasan azasi. Tiada seorangpun yang dapat campur tangan atau
melarangnya.”
Jawaban Siau Lo-seng itu dilantangkan dengan tegas atas dasar pendirian keadilan. Tampaknya It Ceng
Totiang berkesan mendengar jawaban itu. Ia menghela napas panjang.
“Dimanakah keadilan? Adakah budi kebaikan itu masih hidup di dunia? Sudah lama aku tak mendengar
uraian tentang Keadilan dan Kebaikan. Hari ini berjumpa dengan Siau sauhiap boleh dikata aku telah
membuka pantangan selama setengah abad dalam keputusanku untuk bertapa. Keputusanku
mengasingkan diri itu tak lain karena muak melihat Keadilan dan Budi telah luntur dalam dunia persilatan.”
“Engkau salah locianpwe,” seru Siau Lo-seng, “memang dunia persilatan itu penuh dengan beraneka ragam
manusia. Yang palsu, yang culas, yang kejam dan yang baik, yang jujur dan yang berpendirian lurus.”
Baru Siau Lo-seng berkata sampai di situ, tiba-tiba di angkasa terdengar pula kumandang suara seruling
yang bening dan nyaring.
Tergetar hati Siau Lo-seng mendengar kumandang seruling itu. Cepat ia berpaling memandang It Ceng
Totiang. Tetapi alangkah kejutnya ketika ia memperhatikan bahwa kerut wajah imam tua itu memantulkan
hawa pembunuhan.
“Siau sauhiap,” seru It Ceng, “apa engkau kira aku ini It Ceng tojin dari Bu-tong Sam¬siu?”
Siau Lo-seng tetap tenang, sahutnya: “Walaupun menilik raut wajah, locianpwe ini menyerupai It Ceng
totiang, tetapi sejak tadi aku sudah mengetahui bahwa locianpwe ini bukan It Ceng Totiang?”
Terkesiap It Ceng mendengar ucapan dan menghadapi sikap Siau Lo-seng yang begitu tenang. Seketika
cahaya mukanya pun berobah.
“Bukankah engkau sudah mengetahui bahwa aku ini seorang momok yang ganas dan licin?” serunya.
Siau Lo-seng kerutkan alis.
“Tak peduli engkau ini orang macam apa, tetapi ucapanmu saat ini memang keluar dari hati nurani yang
tulus. Kalau aku tak menduga salah, locianpwe ini tentulah yang dikatakan sebagai Cian-bin-poa-an Kho
Ing-ti.”
16.78. Otak Pembunuhan di Hay-hong-cung
It Ceng Totiang menghela napas panjang.
“Kho Ing-ti mendesak Tan Bi-hoa diajak lari telah diketahui oleh suhu mereka. Demi menyelamat nama
baiknya agar jangan dibuat buah tutur dunia persilatan maka Ou-hay-it-ki mengajak muridnya mengadakan
penyelesaian di belakang gunung. Coba engkau terka, siapakah yang menang dalam pertempuran antara
guru dan murid itu?”
“Kho locianpwe, apakah engkau kalah dengan suhumu?” Siau Lo-seng berbalik tanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
It Ceng tak terang-terangan mengakui kalau dia itu sebenarnya Kho Ing-ti. Ia melanjutkan kata-katanya.
“Dugaanmu salah! walaupun menjadi murid dari Ou-hay-it-ki, tetapi berkat kecerdasannya yang luar biasa,
dapatlah Kho Ing-ti memenangkan sejurus pukulan dan menusuk satu kali dengan pedang kepada suhunya.
Karena malu dan marah, akhirnya Ou-hay-it-ki telah membunuh diri……”
“Locianpwe, yang ingin kuketahui yalah kisah dari ketiga pasang pendekar yang lainnya itu serta Kho Ing-ti.
Adakah Kho Ing-ti itu bukan Ban Jin-hoan yang sekarang? Harap jangan bercerita panjang lebar yang tak
mempunyai hubungan mereka. Mengapa locianpwe tak mau berterus terang mengakui diri locianpwe ini
Kho Ing-ti atau It Beng Totiang ataukah Ban Jin-hoan?”
Serentak berobahlah cahaya muka imam tua itu. Akhirnya dengan rawan ia berkata: “Ya, benar, aku ini
sebenarnya Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, ah......”
Diam-diam Siau Lo-seng merasa bahwa Kho Ing-ti itu seorang yang telah menderita kepahitan hidup,
penderitaan dan nasib yang malang. Tetapi ia merasa bahwa imam tua yang berdiri di hadapannya itu
kemungkinan adalah Ban Jin-hoan sendiri. Hal itu didasarkan rasa keheranannya, kalau dia benar Kho Ingti,
apa maksudnya menceritakan sekian banyak peristiwa kepadanya?
Keduanya berdiam diri dan mendengarkan alunan suara seruling yang makin merdu. Tanpas disadari
perhatian mereka telah terpikat.
Berselang berapa saat kemudian barulah Siau Lo-seng membuka mulut.
“Kho locianpwe, adakah engkau ini Ban Jin-hoan atau bukan, kelak pada suatu hari tentu akan dapat
diketahui. Saat ini pihak Ban-jin-kiong telah bergerak besar-besaran menyerang Lembah Kumandang.
Mereka hendak menghancur binasakan seluruh orang Lembah Kumandang. Aku tak sampai hati melihat
pembunuhan besar-besaran itu, nah, sampai jumpa lagi.”
Habis berkata ia terus hendak pergi.
“Tunggu dulu!” seru It Ceng Totiang yang ternyata adalah Kho Ing-ti.
“Apakah masih ada petunjuk lagi?” Siau Lo-seng berputar tubuh.
Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti menghela napas rawan, serunya: “Sejak berkelana dalam dunia persilatan, tak
pernah seperti kali ini aku harus mengendapkan perasaanku. Tetapi tak boleh tidak aku harus mengatakan.
Hal itu mungkin berkaitan dengan rahasia asal usul dirimu. Kalau saat ini engkau tak mau mendengarkan,
kelak engkau tentu akan menyesal.”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Kukira masih ada lain hal yang sangat penting. Bilakah aku mempunyai rahasia tentang asal usul diriku?
Kecuali dendam darah keluargaku, apakah masih ada hal-hal yang perlu harus kusesalkan lagi?”
Wajah Ko Ing-ti mengerut beberapa kali, serunya, “Engkau memang hanya tahu bahwa engkau mempunyai
kewajiban untuk membalas dendam. Sekarang cobalah engkau jawab pertanyaanku ini. Siapakah
mamahmu itu? Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa berdarah itu telah terjadi?”
Siau Lo-seng terbeliak. Beberapa saat kemudian baru dapat berkata,
“Peristiwa yang sesungguhnya, tentu saja telah jelas. Lebih dari seratus jiwa orang Hay-hong-cung telah
binasa. Dendam berdarah itu harus dihimpaskan. Ibuku pun telah menjadi korban dari keganasan itu. Apa
maksudmu menanyakan peristiwa itu?”
Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti merenung. Beberapa saat kemudian baru ia berkata sarat:
“Mamahmu adalah sumoayku Liok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Peristiwa berdarah di Hay-hong-cung boleh
dikata sebagian adalah dikarenakan mamahmu.”
Siau Lo-seng seperti disambar petir kejutnya. Setitikpun ia tak pernah bermimpi bahwa mamahnya yang
begitu lemah ternyata adalah seorang Tiga jelita yang dahulu pernah menggemparkan dunia persilatan.
Mamahnya ternyata Giok-li-siu-hong atau Bidadari burung hong sakti Tan Bi-hoa!
Peristiwa itu sungguh mengherankan. Sungguh langka sekali dan sukar dipercaya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebenarnya dahulu ia memang pernah mendengar orang mengatakan bahwa mamahnya itu adalah Giok-lisiu-
hong Tan Bi-hoa. Tetapi ia tak percaya. Kini setelah mendengar sendiri dari mulut Cian-bin-poa-an Kho
Ing-ti, barulah ia mau percaya sungguh.
Tetapi iapun masih sangsi. Bukankah mamahnya telah terlibat cinta segitiga dengan Ou-hay-it-ki dan Kho
Ing-ti? Mengapa akhirnya menikah dengan ayahnya yakni Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan?
Adakah mamahnya itu seorang wanita yang gemar bercinta? Dan mengapa pula Kho Ing-ti mengatakan
kalau peristiwa berdarah di Hay-hong-cung itu timbul akibat soal mamahnya?
Jika begitu, jelas Kho Ing-ti inilah yang menjadi biang keladi pembunuhan itu. Dialah pembunuhnya!
Bukankah orang aneh yang menggunakan ilmu Menyusup suara telah membisiki kepadanya bahwa
pembunuh itu selalu membayangi kemana saja ia pergi?
Tidak! Tidak! Ia tak boleh percaya omongan Kho Ing-ti. Ia malu sendiri mengapa begitu mudah pendiriannya
hampir goyah karena mendengar cerita Kho Ing-ti. Bagamanapun halnya, ia harus melaksanakan tujuannya
untuk membalas dendam berdarah itu agar arwah mamahnya dapat beristirahat tenang di alam baka.
Bermacam-macam pikiran melintasi benak Siau Lo-seng.
“Ngaco belo!” akhirnya ia membentak Kho Ing-ti, “tak pernah kudengar selama ini bahwa peristiwa berdarah
di Hay-hong-cung itu mempunyai hubungan dengan mamahku. Jika engkau masih mengoceh tak keruan,
jangan salahkan kalau aku bertindak keras kepadamu!”
Dengan wajah serius berkatalah Kho Ing-ti, “Kesemuanya itu memang peristiwa kenyataan. Liku-liku
dendam pada masa yang lampau, berpangkal pada Giok-li-siu-hong Tan Bi-hoa. Liku-liku cinta yang selama
itu masih belum padam dan himpas.”
Sambil mendekap kepala dengan kedua tangannya, Siau Lo-seng membentak marah:
“Tutup mulutmu. Aku tak sudi mendengarkan ocehan seorang gila semacam engkau!”
Berobahlah cahaya muka Kho Ing-ti mendengar makian itu. Tetapi cepat ia dapat menekan perasaannya.
“Boleh saja engkau menganggap aku seorang gila,” katanya, “tetapi bagaimanapun aku hendak
menceritakan hal yang sebenarnya. Dan engkaupun harus mendengarkan dengan jelas. Engkau......
engkau mungkin bukan putera dari Siau Han-kwan. Sebelum menikah dengan Siau Han-kwan, mamahmu
telah melahirkan seorang anak dengan lain pria.”
Sepasang mata Siau Lo-seng merah membara seperti hangus.
“Buktikan kata-katamu itu!” teriaknya tegang. “jika engkau tak mampu memberi alasannya, takkan kubiarkan
engkau bicara seenakmu sendiri begitu!”
Sambil berkata dengan mata merah, Siau Lo-seng maju menghampiri ke tempat Kho Ing-ti.
Tetapi Kho Ing-ti tenang saja.
“Mau bukti? Asal engkau bertanya kepada mamahmu, segala sesuatu tentu jelas. Soal itu menyangkut
rahasia peribadi, bahkan Siau Han-kwan sendiri mungkin tak tahu.”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Omonganmu itu benar-benar ngaco belo! Mamahku telah ikut kalian bunuh dalam peristiwa berdarah di
Hay-hong-cung itu. Dan masakan ayahku tak tahu asal usulku. Hm, mengapa engkau tak malu mengatakan
hal semacam itu?”
“Tidak!” bantah Kho Ing-ti, “sungguh Tan Bi-hoa tidak binasa. Tak mungkin beberapa jago Bu-tong-pay itu
mampu membunuh mamahmu!”
Gemetarlah tubuh Siau Lo-seng mendengar kata-kata itu. Sinar matanya memancar hawa pembunuhan
yang buas. Pelahan-lahan ia mencabut pedang Ular Emas dari punggungnya lalu berseru nyaring:
“Engkau seorang pembohong yang berani mati sekali. Jelas dengan mata kepala sendiri kusaksikan
mamahku dibunuh oleh beberapa orang berkerudung muka kain hitam. Dengan begitu, makin jelaslah
bagiku bahwa engkaulah pembunuh utama dari Hay-hong-cung itu. Sekarang aku hendak melakukan
pembalasan untuk menghimpaskan sakit hati dari mereka yang engkau bunuh di Hay-hong-cung itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menutup kata-katanya dengan tabaskan dua kali pedang Ular Emas. Tabasan ita cepat sekali
tetapi dengan geliatkan tubuh, Kho Ing-ti telah menghindarinya dengan indah sekali.
“Engkau benar, memang akulah biang keladi yang menggerakkan pembunuhan di Hay-hong-cung itu.
Tetapi akupun berbuat begitu karena hendak menuntut balas. Siau Lo-seng, sebelum engkau tahu jelas
bagaimana asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa di Hay-hong-cung
itu? Dan lebih celaka lagi, engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu!”
Hati Siau Lo-seng bingung tak keruan, serentak ia berteriak marah.
“Tutup mulutmu! Engkau pembunuh keji, sudah lama aku mencarimu. Hayo, sekarang serahkanlah jiwamu.
Pedang Ular Emas berhamburan, tangan kiri Siau Lo-seng pun ikut melentikkan tujuh buah jari dan
lontarkan lima kali pukulan.
Kho Ing-ti menghela napas. Ia kebutkan sepasang lengan bajunya dan menghamburkan arus tenaga lunak.
Siau Lo-seng rasakan, pukulan dan pedangnya itu seperti menyusup ke dalam lumpur. Ia terkejut dan
cepat-cepat menyurut mundur.
Kho Ing-ti yang bergelar Cian-bin-poa-an atau Arjuna seribu wajah itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti.
Dia hendak menundukkan kekerasan hati pemuda itu. Diam-diam ia melancarkan ilmu tenaga dalam Hui-lokang
untuk menghapus tenaga pukulan Siau Lo-seng yang mampu menghancurkan batu karang.
Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa kepandainnya terpaut jauh sekali dengan Kho Ing-ti. Pada saat ia
hendak membuka mulut, tiba-tiba di udara berkumandang suara seruling yang aneh, seolah bersatu dengan
lolong kawanan anjing di kejauhan.
Wajah Kho Ing-ti berobah hebat. “Apa yang kukatakan kepadamu memang hal yang sesungguhnya,”
katanya. “kalau tak percaya, bolehlah engkau bertanya kepada Siau Han-kwan dan mamahmu Tan Bi-hoa
sendiri. Jika ada keperluan, marilah ikut aku ke Ban-jin-kiong.”
“Hai, engkau benar-benar Ban Jin-hoan!” teriak Siau Lo-seng. Dengan mengertek gigi segera lepaskan
sebuah hantaman yang disertai dengan tenaga penuh.
“Bum……”
Siau Lo-seng melihat bahwa pukulannya itu tepat mengenai punggung Kho Ing-ti yang saat itu sudah
angkat kaki. Tetapi entah bagaimana hasilnya karena Kho Ing-ti pun sudah meluncur lenyap dalam hutan
lebat…..
********************
Pada lain saat suara anjing menyalak itu pun sudah tiba di belakangnya dan sesosok bayangan putih
segera meluncur.
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia menabas dengan pedang. Tetapi ketika memperhatikan, ternyata sosok
bayangan putih. Itu adalah anjing putih bermata merah, peliharaan dari ayahnya.
Karena bergerak cepat, Siau Lo-seng tak sempat menghentikan pedangnya. Dan Salju si anjing putih itu
tentu tertabas.
Tetapi di luar dugaan, anjing putih Salju itu dapat berjumpalitan dan lolos dari mata pedang ular emas, lalu
meluncur ke tanah.
Siau Lo-seng menghela napas lega. Ia tahu binatang itu seekor anjing sakti. Setelah menyimpan pedang ia
bertanya: “Salju, bagaimana keadaan ayahku?”
Salju menyalak beberapa kali. Setelah menggigit ujung celana Siau Lo-seng, binatang itu terus lari pergi.
Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila tak ada urusan penting tentulah anjing putih itu tak sedemikian
tegangnya. Segera ia lari menyusul.
Anjing itu luar biasa cepatnya. Sambil menggonggong, ia menuju ka arah Lembah Kumandang. Walaupun
telah mengerahkan ilmu berlari cepat, namun tetap Siau Lo-seng tak dapat mengejar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam beberapa waktu, keduanya sudah masuk ke dalam hutan lebat dan tiba di sebuah lembah yang
terdiri dari batu-batu aneh dan karang-karang berbahaya. Lembah Kumandang!
Sebuah jalan kecil merentang ke dalam lembah. Pohon-pohon bertumbangan, daun-daun berhamburan dan
dua sosok mayat manusia terkapar di tepi jalan. Mayat itu masih mengalirkan darah.
Makin manyusup ke dalam, suasana makin kacau. Mayat-mayat berserakan, senjata, anggauta badan
orang dan bau yang anyir bertebaran menyengat hidung.
Mau tak mau menggigillah hati Siau Lo-seng. Walaupun diketahuinya bahwa mayat-mayat itu terdiri dari
orang-orang Ban-jin-kiong dan Lembah Kumandang, tetapi ia tetap ngeri menyaksikan pemandangan yang
begitu seram.
Tiba-tiba ia melihat juga, di antara mayat-mayat itu terdapat anak murid perkumpulan Naga Hijau. Begitu
pula beberapa tokoh persilatan.
Tiba-tiba ia tiba di sebuah lapangan. Pada lapangan yang bersandar karang curam, tampak didirikan
sebuah bangunan besar.
Halaman di muka gedung bangunan itu, penuh orang berhilir mudik masuk ke dalam ruang besar. Mereka
terdiri dari laki-laki dan wanita. Masing-masing membawa senjata. Pakaiannya kusut tubuh penuh dengan
noda darah. Jelas mereka tentu habis bertempur. Wajah mereka tampak serius dan diam tak berkata-kata.
Sedang di lapangan itu, sunyi dan merawankan penuh warna merah. Seolah digenangi darah.
Belum pernah sepanjang hidupnya, Siau Lo-seng menyaksikan pembunuhan massal secara begitu besar.
Keadaannya lebih mengerikan dari peristiwa di Hay-hong-cung dahulu. Berlinang-linang airmata pemuda
itu.
Mengapa harus terjadi pembunuhan besar-besaran semacam itu? Mengapa manusia saling bunuh
sedemikian buasnya?
Serentak timbullah rasa dendam kebenciannya terhadap manusia yang menjadi biang keladi peristiwa itu.
Dia benci sekali manusia yang lebih buas dari binatang itu.
Mengalihkan pandang ke arah gedung, tampak rombongan orang tadi sudah masuk ke dalam ruangan
besar. Yang tinggal hanya dua buah daun pintu besar yang tinggi kokoh, kanan kiri dijaga oleh dua regu
orang berpakaian hitam. Mereka tegak seperti patung.
Saat itu anjing Salju tak menggonggong lagi. Dan ruang gedung itupun sunyi. Diam-diam Siau Lo-seng
heran mengapa anjing putih masih tetap lari. Hendak kemanakah binatang itu?
Teringat pula ia akan peristiwa yang dialaminya tadi. Apakah tujuan It Ceng Totiang atau Kho Ing-ti atau
yang kemudian mengaku sebagai Ban Jin-hoan, mengikat dia dalam pembicaraan yang panjang. Apakah
Ban Jin-hoan menggunakan siasat agar dia tak ikut serta dalam pertempuran berdarah itu?
Jelas perkumpulan Naga Hijau juga ikut dalam pertempuran itu. Tetapi yang mati hanya belasan orang. Lalu
yang lain-lain kemanakah perginya?
Berdiri di balik beberapa batang pohon yang rindang, benak Siau Lo-seng diliputi oleh berbagai pikiran.
Sebelum ia dapat mengambil keputusan, tiba-tiba serangkum angin telah melandanya dari belakang.
Cepat Siau Lo-seng, gunakan gerak Menjungkir balikkan lonceng emas. SambiI ayunkan pedang ke
belakang, iapun meluncur ke samping.
Terdengar jeritan ngeri dan seorang Baju hitam terkapar mandi darah. Jeritan itu terdengar makin
mengerikan sekali. Empat penjuru Lembah Kumandang memantulkan gema kumandangnya.
“Celaka!” diam-diam Siau Lo-seng mengeluh. Baru ia hendak angkat kaki tiba-tiba limapuluhan orang
berhamburan lari keluar dari ruang gedung.
Siau Lo-seng makin terkejut. Cepat ia berputar tubuh dan lari. Tetapi baru tiga tombak jauhnya, lima-enam
orang baju hitam berhamburan loncat keluar dari balik gerumbul pohon. Begitu menghadang di jalan,
mereka terus menyerang dengan golok.
16.79. Masuk Lembah Kumandang
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Lo-seng hanya mendengus dingin. Ia menerjang mereka dengan taburan pedang. Lima buah
tabasan cepat ditujukan ke lima penghadang itu. Dan terdengarlah pekik jeritan ngeri.
Sebelum melihat orangnya, ke lima baju hitam itu pun sudah terkena oleh tusukan pedang. Yang empat
orang rubuh, yang seorang terhuyung-huyung dengan bahu mengalir darah. Dia bersandar pada sebatang
pohon.
Memang jurus yang diserangkan Siau Lo-seng itu, luar biasa cepat dan indah. Dalam sekejap lima orang
serempak terluka.
Sebenarnya Siau Lo-seng tak mau mengejutkan orang-orang Lembah Kumandang. Tetapi karana sudah
terlanjur ke sarang harimau, terpaksa ia harus bertindak. Cepat ia loncat dan lekatkan ujung pedang ke
tenggorokan orang itu.
“Bukankah engkau orang Lembah Kumandang?” bentaknya.
Mata orang baju hitam itu mendelik marah sahutnya: “Hm, kawanan pembunuh, engkau kira orang Lembah
Kumandang itu mudah dihina? Bunuhlah aku tetapi jangan harap engkau mampu lolos dari tempat ini.”
Siau Lo-seng cepat menyadari bahwa orang itu telah menyangka dia sebagai pembunuh orang Lembah
Kumandang.
“Aku hendak bertanya beberapa hal kepadamu. Kalau tak mau bilang, engkau akan merasakan penderitaan
yang lebih hebat dari pada apa yang Jin Kian Pah-cu pernah lakukan kepada orang.”
“Pemimpin kami, berbudi luhur berhati welas asih tak pernah menjatuhkan hukuman. Anak muridnya yang
bersalah hanya ditundukkan dengan kata-kata penyadaran. Adalah karena sikapnya yang welas asih itu
maka timbullah murid hianat. Dia menjadi musuh dalam selimut yang secara diam-diam telah memasukkan
musuh ke sini sehingga Lembah Kumandang mengalami bencana berdarah seperti saat ini.”
Siau Lo-seng terbeliak.
“Engkau maksudkan dalam Lembah Kumandang terdapat penghianat yang bersekongkol dengan musuh
untuk menghancurkan Lembah Kumandang?” serunya.
Orang berpakaian hitam berteriak geram:
“Kalau tiada penghianat dari dalam bagaimana mungkin kalian mampu memecahkan enambelas pos
berbahaya dalam Lembah Kumandang ini? Sekarang kau mau bunuh, bunuhlah sepuas hatimu. Tetapi
jangan harap engkau dapat keluar dari lembah ini dengan selamat.”
Siau Lo-seng guratkan ujung pedangnya ke kulit tubuh orang itu dan membentaknya:
“Aku tak peduli Lembah Kumandang akan jadi bagaimana. Aku hanya menghendaki engkau menjawab
pertanyaanku, apakah pihak Naga Hijau juga ikut dalam pembunuhan malam ini? Dan berapa banyakkah
jumlah mereka yang datang?”
Tiba-tiba ia hentikan kata-katanya karena saat itu ia telah merasa bahwa di belakangnya telah muncul
beberapa orang, segera terdengar suara seorang perempuan berseru.
“Akulah yang akan menjawab pertanyaanmu itu!”
Siau Lo-seng tak mengira di antara pendatang itu terdapat wanita juga. Ia agak condongkan tubuh ke
samping dan melirik ke belakang.
Lebih kurang dua tombak jauhnya, muncul sejumlah tiga-empatpuluh orang yang dipimpin oleh dua orang
nona cantik. Mereka bukan lain yalah Hiat Sat Mo-li yang bertempur dengan Li Giok-hou dan si nona baju
merah, sumoay ketiga dari Hiat Sat Mo-li.
Sebelah kanan, tampak pukulan seribu Buddha Leng Bu-sia, salah seorang dari Tiga Jago partai Go-bi-pay
dan Bandringan terbang Bwe Hui-ji. Sedang di samping kiri berjajar selusin gadis baju merah dengan
bersenjata pedang, di belakang mereka, tegak duapuluh lelaki berpakaian tempur.
Melihat Siau Lo-seng, wajah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji agak berobah. Mereka hendak bicara tapi tak jadi.
Siau Lo-seng pun terkejut, pikirnya: “Adakah Leng Bu-sia dan Bwe Hui-ji sudah pulih kesadaran
pikirannya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Walaupun terkejut tetapi Siau Lo-seng tetap bersikap tenang dan menegur mereka, “Aku memang justeru
hendak mencari kalian. Sungguh kebetulan sekali kalian sudah datang sendiri.”
“Saat ini Lembah Kumandang kami sedang menghadapi bahaya besar. Apa maksudmu datang kemari?”
tegur Hiat Sat Mo-li dengan nada serius.
“Aku hendak mencari orang. Masakan aku hendak memancing di air keruh?” sahut Siau Lo-seng.
“Walaupun tak ikut nimbrung tetapi jelas engkaupun telah membunuh anak buah Lembah Kumandang. Aku
tak mau menarik panjang urusan itu, tetapi saudara-saudara yang lain tak mau melepaskan engkau.
Sekarang, buang senjatamu dan ikutlah kami pergi. Setelah urusan di lembah ini selesai, nanti diputuskan
lagi.”
Siau Lo-seng tertawa gelak-gelak.
“Aku tak membunuh mereka tetapi mereka hendak membunuh aku. Apakah aku tak boleh mempertahankan
diri?”
Mendengar ucapan itu, barisan anak buah Lembah Kumandang serentak hendak mencabut senjatanya.
Tetapi Hiat Sat Mo-li mengangkat tangannya ke atas, mencegah mereka.
“Siau Lo-seng,” serunya kemudian, “engkau harus menyadari betapa pedih hati kita setelah mengalami
peristiwa di lembah ini. Anak buah kami seolah dibakar hangus oleh dendam kesumat. Jika engkau menolak
permintaanku, walaupun kepandaian mereka kalah dengan engkau tetapi mereka hendak menuntut balas
atas kematian saudara-saudara separtai. Mereka lebih suka ikut mati dari pada melepaskan pembunuhnya.”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Mereka sudah limbung pikirannya sehingga dirinya sendiripun tak tahu. Masakan manusia semacam itu
masih mempunyai perasaan belasungkawa dan menuntut balas? Hm, selama belum tahu jelas urusan ini,
sekalipun engkau suruh aku pergi, aku tetap tak mau pergi. Aku hendak bertanya kepadamu. Adakah orang
Naga Hijau juga ikut dalam peristiwa berdarah malam ini? Berapakah jumlah mereka yang datang?”
“Siau Lo-seng, jangan salah lihat,” seru Hiat Sat Mo-li, “mereka bukan manusia-manusia yang sudah
kehilangan kesadarannya. Tiga ribu anak buah Naga Hijau bukan saja telah datang ke sini tetapi
merekapun telah membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi musuh.”
“Apa? Naga Hijau membantu Lembah Kumandang?” Siau Lo-seng berteriak kaget. Secepat kilat ia
memandang Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia.
Kedua tokoh dari Go-bi Sam-hiat itu segera berseru,
“Memang benar. Hian Kim dan Ang Cui dua Thancu dari Naga Hijau telah menyatakan masuk menjadi
anggauta Lembah Kumandang. Mereka membantu Lembah Kumandang untuk menghadapi serangan
bersama dari Ban Jin-hoan serta partai-partai Go-bi, Tiang-pek, Kong-tong, Bu-tong, Ceng-sia dan Siau-limpay.
“Tutup mulutmu!” bentak Siau Lo-seng marah, “engkau sebagai Go-bi tianglo mengapa masih mempunyai
muka untuk mengatakan hal itu. Apakah orang-orang Naga Hijau telah kalian racuni semua?”
Habis berkata Siau Lo-seng lintangkan pedang Ular Emas.
Bwe Hui-ji dan Leng Bu-sia mundur tiga langkah dan berkata dengan suara bengis:
“Siau Lo-seng, lihatlah diriku. Adakah aku ini mirip dengan orang yang kehilangan pikiran? Ke tujuh partai
itu telah dihasut Ban-jin-kiong sehingga secara membabi buta mereka ikut menyerang Lembah Kumandang.
Andaikata ketua Go-bi-pay yang sekarang ini telah menjadi kaki tangan pihak Ban-jin-kiong, tentu sukarlah
untuk mencegah tindakannya. Maka kuambil jalan lain, membantu Lembah Kumandang untuk merintangi
tindakan mereka yang salah itu. Salahkah langkah yang kuambil itu?”
Siau Lo-seng tertegun. Diamatinya sinar mata kedua tokoh Go-bi-pay itu. Sinar matanya memancar
kesungguhan hati, bukan sinar mata orang yang limbung. Siau Lo-seng makin terkesiap.
“Apakah kalian suka rela masuk ke dalam gerombolan Lembang Kumandang ini?” serunya sesaat
kemudian.
Bwe Hui-ji tahu bahwa pemuda itu memang mempunyai prasangka buruk terhadap Lembah Kumandang.
Maka tokoh wanita Bwe Hui-ji itupun menghela napas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau salah, Siau Lo-seng. “Lembah Kumandang merupakan tempat penempaan untuk mengembalikan
manusia-manusia mumi. Sebuah perkumpulan yang berpijak pada Ceng-gi (Kebenaran). Adalah karena
hendak menyelamatkan dunia persilatan dari rencana ganas Ban Jin-hoan yang hendak menguasai kaum
persilatan maka Dewi Mega Ui Siu-bwe cianpwe telah rela mengorbankan masa remajanya untuk terjun
dalam gerakan penyelamatan itu.”
“Bwe Hui-ji, mengapa engkau limbung?” bentak Siau Lo-seng, “mungkin memang pikiranmu belum terang
betul. Adakah engkau telah melupakan peristiwa dirimu yang ditempa menjadi manusia mumi dahulu?
Lembah Kumandang dan Ban-jin-kiong setali tiga uang, buruk semua. Keduanya merupakan gerombolan
untuk menempa manusia mumi!”
“Aku tidak limbung. Memang kami sendiri yang menghendaki supaya dijadikan manusia mumi itu,” seru
Bwee Hui-ji, “bukan melainkan aku dan Leng-heng, pun semua manusia mumi di Lembah Kumandang itu
memang dengan suka rela menghendaki sendiri……”
“Kutahu pihak Ban-jin-kiong mempunyai banyak manusia-manusia mumi,” kata Bwe Hui-ji lebih lanjut, “dan
kesaktian mereka memang sukar dilawan oleh kaum persilatan. Demi menghadapi kekuatan Ban-jin-kiong
itu maka banyaklah tokoh-tokoh silat dan anak buah Lembah Kumandang yang menyatakan bersedia
dijadikan manusia mumi.”
Siau Lo-seng makin melongo.
“Bwe Hui-ji, engkau telah keracunan hebat sekali. Sukar diobati lagi,” sesaat kemudian Siau Lo-seng
berseru.
“Hm, Siau Lo-seng,” tiba-tiba Hiat Sat Mo-li ikut menyeletuk, “mengingat engkau pernah membantu aku dari
serangan musuh dan hubunganmu dengan ji-sumoayku, maka kuberi kesempatan kepadamu untuk lekaslekas
tinggalkan lembah ini. Karena apabila Pah-cu kami datang, jangan harap engkau mampu pergi dari
sini.”
Siau Lo-seng, tertawa dingin.
“Terima kasih atas kebaikanmu. Tetapi sayang aku tak ingin pergi.”
Hiat Sat Mo-li mendengus, serunya: “Kalau begitu pendirianmu, terpaksa kami akan bertindak!”
Seiring dengan kata-kata Hiat Sat Mo-li, ke duabelas dara baju merah serempak berseru nyaring, mencabut
pedang lalu berhamburan membentuk sebuah barisan, mengepung Siau Lo-seng di tengah.
Melihat barisan itu tergetarlah hati Siau Lo-seng, pikirnya: “Hebat sekali barisan mereka. Benar-benar tak
mudah dibobolkan.”
Pedang Ular Emas diacungkan menghadap ke muka. Tenaga dalam disalurkan ke ujung pedang dan
dengan wajah sarat, berserulah pemuda itu.
“Apabila kalian berani bergerak, jangan sesalkan aku tak kenal kasihan.”
“Karena engkau memang tak ada hubungan dengan Lembah Kumandang, segeralah engkau turun tangan!
Dengarkan, apabila engkau mampu memenangkan barisan pedang yang dilatih sendiri oleh Pah-cu kami,
engkau boleh tinggalkan tempat ini dengan bebas!”
Siau Lo-seng menyadari bahwa apabila bertempur tentu akan menimbulkan korban. Dan sebenarnya ia tak
ingin lagi melihat peristiwa berdarah.
Sejenak merenung, akhirnya ia berkata:
“Baiklah, aku akan pergi. Tetapi jangan kalian menganggap aku takut dengan barisan pedang itu. Melainkan
aku tak ingin melihat pertumpahan darah lagi. Sebelumnya aku ingin hendak bertanya beberapa hal
kepadamu.”
“Silahkan!”
“Kesatu, apakah nona Ui Hun-ing dan Nyo Cu-ing berada dalam lcmbah ini?”
“Kedua, mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan datang kemari?”
“Ketiga, dalam pertempuran malam ini apakah terdapat seorang lelaki tua cacad dengan membawa seekor
anjing putih?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hiat Sat Mo-li menjawab:
“Ji sumoayku (Ui Hun-ing) selalu berada di samping Pah-cu untuk melayaninya. Nona Nyo Cu-ing belum
pernah muncul di Lembah Kumandang. Mengapa ketujuh partai persilatan dan Ban Jin-hoan menyerang
Lembah Kumandang, hanya Pah-cu kami yang tahu sebabnya. Maaf, aku tak tahu. Memang benar malam
ini muncul seorang tua membawa seekor anjing putih.”
“Dimana orang tua itu sekarang?” cepat Siau Lo-seng menukas.
“Tubuh orang tua itu penuh ditumbuhi rambut yang panjang dan lebat tetapi dia tak cacad. Apakah
hubunganmu dengan dia?”
“Dia tidak cacad? Lalu dimana dia sekarang?” teriak Siau Lo-seng.
Melihat ketegangan pemuda itu, dengan ragu-ragu ia menjawab, “Orang tua aneh itu membantu kami untuk
mengundurkan serangan ketujuh partai. Saat ini dia tengah mengadu kepandaian dengan Pah-cu kami dan
kemungkinan sudah akan kalah.”
“Aku harus menemuinya!” teriak Siau Lo-seng seraya enjot tubuh melayang ke udara, melampaui kepala
orang-orang Lembah Kumandang dan terus masuk ke dalam ruang istana.
Hiat Sat Mo-li berteriak terus mengejar. Cepat sekali Siau Lo-seng sudah tiba di halaman. Tetapi alangkah
kejut dan geramnya ketika dilihatnya Hiat Sat Mo-li dan ke duabelas dara baju merah sudah lebih dulu
berada di lapangan itu.
Siau Lo-seng menerjang. Ia mendapat seorang dara baju merah tetapi dara itu cepat menggelincir ke
samping dan menghindarinya.
Sebelas orang dara yang lain serempak berhamburan menyerang Siau Lo-seng. Pemuda itu terkejut sekali.
Untung ilmu pedang telah dikuasai dengan mahir. Ia melambung lagi ke udara lalu meluncur kembali ke
arah ruangan. Tetapi sesaat ia tiba di lantai, ke duabelas dara baju merah itupun sudah menyambut dengan
tusukan pedang.
“Tring, tring, tring......” Pedang Ular Emas segera menghalau selusin pedang itu. Tetapi ilmu pedang ke
duabelas dara baju merah itu memang bukan olah-olah hebatnya. Ketika salah seorang dara memutarkan
pedangnya ke udara maka sebelas kawannya segera mengikuti. Berlapis-lapis gulung sinar pedang
mencurah ke arah kepala Siau Lo-seng.
Siau Lo-seng tak mau unjuk kelemahan. Ia gerakkan pedangnya sehingga menyerupai pagutan beribu ular.
Sesaat gumpalan sinar pedang ke duabelas dara baju merah itu lenyap dan orangnya pun loncat mundur.
Ternyata permainan pedang Ular Emas mampu menerobos lingkaran sinar pedang selosin dara baju
merah. Terpaksa mereka loncat mundur.
Hiat Sat Mo-li yang menyaksikan pertempuran itu, mencemaskan keselamatan Siau Lo-seng. Hampir saja ia
menjerit kaget karena serangan yang dilancarkan ke duabelas dara baju merah itu, belum pernah ada lawan
yang mampu lolos. Di luar dugaan ternyata pemuda itu mampu mendesak mereka mundur.
Ke duabelas dara itu menjungkatkan pedang ke atas udara lalu pelahan-lahan dijuntaikan ke bawah jelas
mereka hendak melacarkan serangan
16.80. Pemegang Lencana Matahari Terbit
Tiba-tiba anak buah Lembah Kumandang berbondong-bondong lari mengepung Siau Lo-seng. Jumlahnya
lebih dari seratus orang.
Siau Lo-seng mengerut dahi. Dengan kedua tangan ia mencekal Pedang Ular Emas, ditegakkan
menghadap ke atas. Kakinya pun telah bersiap dalam kuda-kuda yang kokoh. Sinar matanya menumpah ke
ujung pedang. Suatu sikap pembukaan yang mengejutkan sekalian anak buah Lembah Kumandang,
“Siau Lo-seng, engkau telah kami kepung rapat. Kalau tak mau membuang senjatamu, engkau tentu
menyesal,” seru Hiat Sat Mo-li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi Siau Lo-seng seperti orang yang kemasukan setan. Ia tak menghiraukan seruan nona itu dan tetap
bersiap. Wajahnya makin sarat, pucat. Sekilas tampak ujung Pedang Ular Emas itu seperti memancar sinar
emas.
“Siau Lo-seng,” seru Hiat Sat Mo-li pula, “seorang gagah tentu tahu gelagat. Engkau hanya seorang diri,
mengapa engkau nekad hendak mengadu jiwa? Kalau engkau berkeras kepala, kamipun terpaksa akan
bertindak!”
Namun pemuda itu tetap membisu.
Tiba-tiba duabelas dara baju merah itu memekik nyaring dan serempak dengan tebaran warna merah dari
pakaian mereka maka berhamburanlah duabelas sinar perak mencurah ke arah Siau Lo-seng.
Dari samping, Hiat Sat Mo-li dan Sam sumoay serempak berseru kaget, “Kim-jak menembus awan.”
Itulah nama jurus yang dilancarkan oleh ke duabelas dara baju merah. Entah apa maksudnya, belum jelas.
Adakah dia hendak memberi peringatan supaya Siau Lo-seng berhati-hati atau suatu perintah kepada anak
buah barisan.
Serempak dengan seruan itu. Siau Lo-seng pun segera taburkan pedangnya, melindungi tubuh dengan
sinar pedang.
Pada saat pedang kedua belah pihak akan saling beradu, sekonyong-konyong terdengar teriakan keras:
“Berhenti.......!”
Sesosok tubuh kecil muncul dan secepat kilat menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran.
“Tring, tring, tring……”
Terdengar serentetan dering senjata beradu disusul dengan jeritan ngeri dan erang tertahan.
Pertempuran bubar dan di tengah gelanggang muncul seorang pendatang baru. Pedang dari ke duabelas
gadis baju merah itu putus semua dan berhamburan jatuh di tanah. Bahkan ada tiga orang dara yang
lengannya berlumuran darah.
Siau Lo-seng mendengus dan mundur sampai tujuh langkah. Tiba-tiba ia berteriak kaget: “Hun-moay,
engkau……”
Wajah Hun-ing membeku. Ia tak menyahut pertanyaan Siau Lo-seng tetapi memandang anak buah Lembah
Kumandang, kemudian menatap kepada Hiat Sat Mo-li, serunya,
“Toa suci. Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Mayat sekalian saudara masih
hangat. Kemungkinan sisa-sisa musuh ada yang belum masuk ke dalam lembah. Engkau bertugas untuk
mengawasi penjagaan, mengapa engkau memanggil anak buah kita ke dalam ruang dalam dan mengapa
pula engkau suruh barisan Selusin Pedang pimpinan Pah-cu untuk menyerang orang dengan jurus Kim-jakboh-
hun-kiong Adakah kalian hendak meniru jejak keempat Su-tay-thian-ong yang menghianati Pah-cu?”
Wajah Hiat Sat Mo-li agak berubah, sahutnya dingin:
“Ji-sumoay, kapankah kuundang engkau untuk memberi ceramah kepadaku? Keadaan Lembah
Kumandang, kita sudah tahu bahkan sudah berjuang mati-matian. Sebaliknya engkau berada di ruang
dalam enak-enak saja. Karena terpaksa aku menggunakan barisan itu dan akupun tak memberi perintah
mereka supaya melancarkan jurus itu!”
Siau Lo-seng mendengus,
“'Hm, hebat sekalipun jurus itu tetapi tetap tak mampu melukai aku. Apabila nona Ui tak muncul, mereka
tentu sudah menjadi mayat semua.”
“Ji sumoay,” seru Hiat Sat Mo-li dengan wajah sarat, “aku berterima kasih karena engkau muncul tepat pada
saatnya sehingga tak sampai timbul pertumpahan darah. Tetapi tindakanmu ke luar dari ruang Jan-hui-si itu
apakah tidak melanggar juga?”
Nona baju merah pun ikut menyelutuk:
“Ji suci, engkau sendiripun harus sadar. Mengapa begitu keluar engkau terus menegur Toa suci? Apakah
engkau tak menyadari bahwa hampir saja engkau membuat Naga Hijau berantakan.”
Percakapan antara ketiga saudara seperguruan itu membuat Siau Lo-seng bingung.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hun-moay, bagaimana keadaanmu selama ditawan?” cepat ia bertanya kepada Hun-ing.
“Siau koko, harap jangan kuatir,” sahut Hun-ing. “Apa yang mereka katakan tadi memang benar. Tiga
Thancu dari Naga Hijau memang sudah ikut pada Lembah Kumandang. Kusuruh Sam sumoay menyaru jadi
adik Ing untuk membawa tigaribu anak buah Naga Hijau kemari......”
“Adik Hun, engkau gila......” teriak Siau Lo-seng.
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang bening serempak dengan seruan doa. Dari ruang besar muncul empat
orang. Yang paling muka adalah rahib termasyhur Tay Hui Sin-ni, diiring oleh Hian Kim, Sin Bok dan Ang
Cui ketiga Thancu perkumpulan Naga Hijau.
Siau Lo-seng tercengang.
“Tay Hui locianpwe, mengapa cianpwe juga berada di sini? Bagaimanakah ini?” serunya gopoh.
Dengan wajah bersungguh, rabib itu menyahut, “Lo-seng, engkau datang terlambat selangkah. Apabila
Hun-ing tak mempersiapkan rencana lebih dulu, mungkin akan terjadi pertumpahan darah yang hebat.”
Siau Lo-seng makin bingung tak keruan.
“Karena di luar lembah bertemu dengan Ban Jin-hoan maka aku tak dapat lebih pagi masuk kemari. Tetapi
apakah yang sesungguhnya telah terjadi d sini?” serunya.
“Ah, Ban Jin-hoan memang seorang durjana nomor satu di dunia. Aku sungguh merasa kagum kepadanya.
Tanpa menggunakan tenaga, dia dapat membasmi orang dengan ganas. Aku datang bersama ke tujuh
partai persilatan, untuk menyelamatkan ketiga ribu anak buah Naga Hijau serta anggauta barisan Tat-mocoat-
ci-tin.......”
“Ternyata tipu muslihat jahat itu Ban Jin-hoan yang merencanakan,” kata Tay Hui Sin-ni lebih lanjut, “dia
telah menipu supaya semua tokoh-tokoh persilatan datang ke Lembah Kumandang. Tujuannya hendak
menghancurkan mereka dengan meminjam tempat lembah ini. Untung dalam pertempuran itu, aku berhasil
memberi penjelasan kepada Hun-ing sehingga dia baru menyadari tipu keji dari Ban Jin-hoan dan dapat
menghancurkan obat pasang yang diatur Ban Jin-hoan untuk menghancurkan lembah dan ribuan anak
buah Lembah Kumandang dan Naga Hijau serta tokoh-tokoh persilatan.”
Walaupun hanya mendapat penjelasan secara singkat tetapi Siau Lo-seng cepat dapat mengetahui bahwa
hadirnya Tay Hui Sin-ni dan tindakan Hun-ing yang mengherankan itu, memberi kesimpulan bahwa Lembah
Kumandang itu ternyata bukan sebuah gerombolan jahat seperti yang diduganya semula. Memang hal itu
memerlukan penjelasan yang panjang apabila waktunya mengijinkan nanti.
“Locianpwe, bagaimana keadaan Pah-cu dan orang tua aneh itu?” tiba-tiba Hun-ing berseru kepada Tay Hui
Sin-ni.
Rahib itu menghela napas sarat.
“Mungkin dengan cara pertempuran yang mereka lakukan itu, sehari semalam lagi tentu belum ada
kesudahannya. Siapa yang tenaganya kurang, tentu akan mengalami kehancuran. Bahkan yang menang
pun juga akan kehilangan tenaga dalam yang besar.”
“Apakah tak dapat dilerai?”
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.
“Sampai saat ini aku belum punya daya. Karena barang siapa yang mendekati mereka, tentu akan mati
terdampar tenaga sakti dari pada kedua orang itu. Maka lebih baik tunggu saja beberapa jam lagi sampai
tenaga dalam mereka sudah banyak berkurang, baru nanti kucoba untuk memisahkan mereka.”
“Adik Hun, dimanakah mereka sekarang?” Siau Lo-seng berteriak kaget.
“Pah-cu dengan seorang tua yang mirip ayah-angkatmu, orang tua peniup seruling itu, sejak pagi tadi telah
mengadu tenaga dalam. Entah siapakah orang itu. Dia memang sakti sekali,” kata Hun-ing.
Siau Lo-seng segera menyadari bahwa yang bertempur dengan Jin Kian Pah-cu itu tentu bukan ayah
angkatnya. Karena Hun-ing sudah pernah bertemu muka dengan orang tua peniup seruling itu dan tentu
mengenalinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Adik Hun, peniup seruling itu sebenarnya ayah kandungku sendiri, Siau Han-kwan,” kata Siau Lo-seng,
“yang bertempur dengan Pah-cu itu, mungkin salah seorang anak buah ayahku ketika dahulu ayah
menjabat sebagai ketua Naga Hijau. Dia menjadi murid perguruan Thian-sian-bun dan menjadi sute dari
ayahku.”
“O,” tiba-tiba Tay Hui Sin-ni mendesuh, “seharusnya cepat aku sudah menduga dia……”
“Lekas antarkanlah aku kepada mereka,” seru Siau Lo-seng.
“Baik,” kata Hun-ing lalu loncat ke atas sebuah batu besar dan mengeluarkan sebuah lencana berukir
lukisan matahari terbit. Kemudian ia berseru nyaring kepada sekalian anak buah Lembah Kumandang.
“Atas nama Lencana Matahari Terbit dari Pah-cu kita, aku hendak menyampaikan perintah kepada kamu
sekalian.”
Mendengar itu seluruh anak buah Lembah Kumandang, termasuk Hiat Sat Mo-li dan sumoaynya, segera
berlutut dan serempak berseru menyambut amanat lencana Matahari.
Melihat itu Hun-ing buru-buru mempersilahkan mereka berdiri. Tetapi Hiat Sat Mo-li masih tetap berlutut,
katanya, “Lencana Matahari adalah lambang peribadi Pah-cu. Begitu lencana itu muncul, semua murid
Lembah Kumandang harus berlutut untuk menerima perintahnya. Harap sumoay segera mengumumkan
perintah Pah-cu.”
Berkata Hun-ing dengan lantang:
“Pah-cu menitahkan aku supaya menyampaikan amanat kepada saudara-saudara sekalian. Dalam
menghadapi bahaya dan keadaan yang bagaimana pun juga lembah kita ini, beliau minta supaya saudarasaudara
sekalian tetap bersatu padu dan berjuang sampai titik darah yang terakhir. Demi keamanan dunia
dan keselamatan dunia persilatan. Kita harus tetap bertahan sampai hari yang damai itu tiba. Walaupun
bertempur sampai orang yang terakhir dan titik darah yang penghabisan, pun kita tetap harus tegak di atas
pendirian luhur.”
Sekalian anak buah Lembah Kumandang serempak menyambut dengan pernyataan akan membela Pah-cu
dan cita-cita mereka.
“Baik, sekarang silahkan saudara-saudara kembali pada pos saudara masing-masing untuk menghadapi
segala kemungkinan,” seru Hun-ing pula.
Sekalian anak murid Lembah Kumandang pun segera berbondong-bondong tinggalkan tempat itu. Yang
masih berada di situ hanya tinggal Tay Hui Sin-ni, ketiga Thancu Naga Hijau, Ui Hun-ing, Hiat Sat Mo-li,
nona baju merah dan Siau Lo-seng.
Hiat Sat Mo-li maju dua langkah dan berkata kepada Hun-ing,
“Ji sumoay, maaf, tadi aku mempersalahkan engkau. Aku tak tahu kalau Pah-cu telah menyerahkan lencana
Matahari kepadamu. Sudah tentu akupun akan taat pada perintahmu.”
Hun-ing mengatakan bahwa penyerahan itu hanya sementara karena Pah-cu sibuk bertempur.
Sementara karena cemas akan pertempuran antara Jin Kian Pah-cu lawan sute dari ayahnya maka Siau
Lo-seng pun berseru gopoh: “Adik Hun, karena urusan di sini sudah selesai, harap suka antarkan aku ke
tempat mereka.”
Hun-ing mengiakan lalu melangkah ke dalam ruang istana. Yang lain-lain segera mengikuti di belakangnya.
Selama melalui tiga buah lorong, selalu terdapat penjaga dengan golok dan perisai. Penjagaan amat ketat.
Setelah itu baru mereka tiba di ruang utama.
Walaupun tidak menyerupai istana raja tetapi ruang utama itu juga indah sekali Dindingnya berkilau-kilau
memancar sinar keemasan. Tiang pilar terbuat dari batu kumala, besarnya sepemeluk tangan orang.
Lantainya tertutup permadani
Di tengah ruang itu, dua deret barisan terdiri dari tigapuluhan muda mudi, berjajar di ke dua samping. Wajah
meraka tampak serius. Di antaranya sebagian besar adalah anak buah Naga Hijau.
Mereka menghadap tirai terdiri dari berlapis-lapis kelambu sutera emas. Ketika layar-layar itu dibuka maka
tampaklah titian batu yang terdiri dari sepuluh tingkat. Ujung titian bagian atas, sebuah panggung yang luas
datar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Empat penjuru berhias pintu angin yang bercahaya. Di tengah-tengah diberi sebuah meja batu kumala dan
dua buah kursi beralas kulit harimau diduduki oleh seorang pria dan seorang wanita.
Yang lelaki mengenakan jubah panjang warna kuning emas. Tubuhnya penuh dengan bulu panjang.
Rambutnya pun terurai panjang sampai ke pinggang.
Yang wanita seorang berwajah cantik dan berwibawa. Itulah Jin Kian Pah-cu dari Lembah Kumandang atau
Dewi Mega Ui Siu-bwe.
Kedua orang duduk berhadapan, kedua tangan merela saling menjulur ke muka. Sikapnya amat tenang.
Sepintas pandang orang tentu menyangka keduanya sedang bercakap-cakap.
Di belakang Dewi Mega Ui Siu-bwe tegak empat nona cantik mengenakan pakaian panjang warna biru,
masing-masing memegang sebuah alat dari batu kumala.
Sedang di belakang lelaki aneh itu, mendekam si Salju, anjing sakti yang berbulu putih mulus.
Tay Hui Sin-ni yang berada di bawah batu titian, memandang ke arah kedua orang itu lalu berkata dengan
rawan,
“Mereka memang sama-sama saktinya. Setelah mengadu tenaga dalam beberapa jam, mereka hanya
kehilangan sepersepuluh dari tenaga dalamnya.”
“Locianpwe, apakah tak ada daya untuk melerai mereka?” tanya Hiat Sat Mo-li.
“Kecuali mereka menghentikan sendiri dan serempak menarik tenaga dalamnya, lalu ada seorang yang
bertenaga dalam sakti menyiaknya, baru1ah mereka dapat diceraikan. Kalau tidak……”
“Mengapa locianpwe tak mau turun tangan?” Siau Lo-seng berseru cemas.
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala.
“Kalau hanya begitu sederhana, tentu mudah dilakukan. Saat ini mereka saling tumpuhkan seluruh
semangatnya ke tubuh lawan. Sekalipun halilintar meletus di dekat mereka, mereka tetap tak mendengar.”
“Apakah mereka juga tak mendengar pembicaraan kira di sini?” tanya Hiat Sat Mo-li.
“Sudah tentu.”
Tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya kepada Hun-ing apakah Buddha Emas Ang Siong-pik juga datang ke
Lembah Kumandang.
Saat itu Hun-ing juga gelisah sekali. Perhatiannya tertumpah seluruhnya pada kedua orang yang sedang
beradu tenaga dalam. Mendengar Siau Lo-seng bertanya soal yang tak ada hubungannya, sembarangan
saja nona itu menyahut:
“Ya, datang.”
Tiba-tiba sepercik harapan memancar pada wajah Siau Lo-seng, serunya:
“Dimana dia sekarang?”
Dengan nada heran, Hun-ing menjawab: “Dia datang sebelum pecah pertempuran. Tetapi ketika
mendengar kumandang suara seruling, dia bergegas pergi. Siau koko, mengapa engkau bertanya soal itu?”
Siau Lo-seng berpaling memandang ke arah anjing putih di belakang orang aneh. Setelah merenung
beberapa jenak, ia berkata,
“Karena anjing putih itu datang, ayahku Siau Han-kwan tentu berada di lembah ini. Apabila dia masih
berada di sini, tentu akan tertolong.”
“Bagaimana engkau tahu kalau beliau mampu menolong keadaan ini?” Tanya Hun-ing.
“Mereka kaum Thian-sian-bun memiliki ilmu istimewa dalam soal menyusupkan suara dari seribu lie
jauhnya. Kurasa, ayah tentu dapat menyampaikan maksud kita kepada kedua orang bertempur itu. Atau
mungkin dapat meminta mereka berhenti bertempur,” kata Siau. Lo-seng.
Sekonyong-konyong, anjing putih itu melonjak ke udara dan menyalak keras-keras……
dunia-kangouw.blogspot.com
17.81. Keberuntungan Tak Terduga
Menurut arah suara itu, Siau Lo-seng melihat orang aneh berpakaian warna kuning emas itu membuka
mata. Kedua tangannya tampak gemetar dan tubuhnya pun agak merebah ke belakang.
Sekalian orang terperanjat sekali. Berpuluh pasang mata segera mencurah ke arah orang tua aneh itu.
Mereka terkejut melihat perobahan yang terjadi secara mendadak itu.
Tay Hui Sin-ni kerutkan dahi, ujarnya: “Seharusnya lebih baik jangan terjadi suasana begini.”
Pelahan-lahan tangan orang aneh itu tenang kembali dan sikapnya pun kembali seperti biasa lagi.
Saat itu alis dari Dewi Mega Ui Siu-bwe pun pelahan-lahan merebah dan bahkan mulai membuka kedua
matanya.
Kini kedua orang itu saling beradu pandang. Mereka seolah tak menghiraukan keadaan di kelilingnya lagi.
“Dia mau mendengarkan kata-kataku,” seru Siau Lo-seng girang.
“Apakah engkau menggunakan ilmu Menyusup suara untuk menyampaikan kata kepada orang baju indah
itu?” tanya Tay Hui Sin-ni.
“Ya,” sahut Siau Lo-seng. “aku serempak menyampaikan ilmu menyusup suara itu kepada mereka berdua.
Orang baju indah itu mau mendengar, tetapi Ui locianpwe tidak memberi tanggapan apa-apa.”
Tay Hui Sin-ni gelengkan kepala:
“Kalau orang baju indah itu menarik tenaganya, pun Ui sicu juga harus berbuat demikian. Kecuali apabila
mereka berdua memang dapat menangkap ilmu menyusup suara yang engkau lancarkan itu.”
“Pada saat orang aneh itu menarik tenaganya, kita susuli pukulan untuk menahan tenaga Ui locianpwe.”
“Ui li-sicu memiliki tenaga-dalam yang amat sakti. Siapa yang mampu menerima hamburan tenaga
saktinya? Aku sendiripun tak sanggup kecuali aku memiliki ilmu Kim-kong-sin-kang.
“Jika demikian, ada harapan!” teriak Siau Lo-seng seraya lari menghampiri maju.
“Siau koko!” teriak Hun-ing cemas.
Saat Siau Lo-seng sudah berdiri di belakang lelaki baju kuning emas. Dia menghadap pada Dewi Mega Ui
Siau-bwe. Sambil dekapkan kedua tangannya ke dada ia berkemak kemik mengucapkan beberapa patah
kata kepada lelaki baju kuning emas itu.
Melihat itu Tay Hui Sin-ni pun serentak berteriak keras, “Jangan, jangan!”
Tetapi seiring dengan teriakan itu, Siau Lo-seng pun juga menggembor keras seraya dorongkan kedua
tangannya ke arah kedua tangan Dewi Mega Ui Siu-bwe.
“Bum……”
Terdengar letupan keras macam batu karang hancur. Beberapa sosok bayangan berhamburan pencar dan
meja yang terbuat daripada batu kumala itupun hancur lebur berantakan.
Siau Lo-seng mengerang tertahan. Tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan terbanting keras.
Ia pingsan seketika.
Tetapi Dewi Mega Ui Siu-bwe pun mencelat dari kursi, berjumpalitan sampai setombak jauhnya. Keempat
dara baju biru serentak menyanggapi tubuh pemimpin mereka dengan tepat. Lelaki aneh baju kuning itu
tetap duduk di kursinya. Tetapi secepat itu pula ia meloncat memeluk Siau Lo-seng dan memeriksa denyut
nadi pergelangan tangannya.
Tay Hui Sin-ni pun bergegas menghampiri dan berseru cemas: “Dia…… bagaimana?”
Lelaki baju kuning emas itu melekatkan telinga untuk mendengarkan detak jantung Siau Lo-seng. Sejenak
kemudian ia berbangkit.
“Dia tak kurang suatu apa, bahkan malah bertambah dengan selapis tenaga dalam. Cobalah kalian periksa
Pah-cu kalian, dia tentu terluka parah,” serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hun-ing cepat memandang ke arah Jin Kian Pah-cu. Tampak rambut Dewi Mega Ui Siu-bwe lepas terurai,
wajahnya pucat lesi seperti seorang yang baru sembuh dari penyakit berat. Saat itu ia sedang pejamkan
mata menyalurkan tenaga dalam dan pernapasan.
Wajah Dewi Mega tampak lebih cantik tetapi dahinya yang halus itu bertambah dengan lipatan kerut
sehingga tampak ketuaannya.
“Bagaimana suhuku?” tanya Hun-ing cemas
Lelaki baju kuning emas menghela napas.
“Lo-seng telah berhasil menguasai ilmu hebat Kim-kong-put-hoay. Pukulan yang dilancarkan dengan
sepenuh tenaga oleh Ui Siu-bwe berarti telah memberikan seluruh tenaganya kepada Lo-seng. Tetapi saat
ini darah Lo-seng sedang bergolak keras sehingga menutup jalan darahnya. Nanti setelah sadar, tentu akan
sembuh sendiri Sedang Ui Siu-bwe nanti akan kehilangan seluruh tenaganya……”
Tay Hui Sin-ni berseru terkejut,
“Dalam usia yang masih begitu muda, Lo-seng telah mendapat rejeki yang luar biasa. Dia seperti memakan
buah ajaib macam som yang berumur seribu tahun. Sesungguhnya tak mungkin begitu muda dia sudah
berhasil menguasai ilmu tenaga kebal Kim-kong-put-hoay. Tentu ada sebabnya. Ah, musibah yang
menimpah diri Dewi Mega Ui Siu-bwe, adalah kesalahanku…..”
Saat itu Ui Siu-bwe tampak membuka mata.
“Ah, Sin-ni tidak bersalah. Itu sudah menjadi kehendak takdir...... huk, huk,” ia batuk-batuk dan ludahnya
bercampur darah. Tubuh wanita itu gemetar. Untung dua orang dara bujangnya segera menyanggapi.
Hiat Sat Mo-li bertiga segera berlutut di hadapan suhunya dan menangis: “Suhu, apakah suhu terluka
berat?”
“Sat-ji, Ing-ji, Li-ji, tak apalah. Lekaslah engkau memberi hormat kepada cianpwe itu,” seru Ui Siu-bwe.
Lelaki baju kuning emas buru-buru memberi hormat: “Ah, harap Dewi Mega jangan banyak peradatan.
Harap beristirahat sajalah.”
Berkata Ui Siu-bwe pula: “Sahabat ini memiliki ilmu kesaktian yang belum pernah kusaksikan seumur hidup.
Tadi apabila dia tak bermurah hati, mungkin saat ini aku sudah binasa.”
Lelaki baju kuning emas, itu tertawa,
“Ah, Dewi telah mencapai kesempurnaan dalam ilmu kepandaian yang termaktub pada kitab Lian-hun-cinkeng.
Jika Dewi tak bermurah hati tentu dalam babak pertama tadi, aku sudah terkapar.”
Jauh bedanya sikap ke dua orang itu. Jika tadi mereka mati-matian mengadu jiwa, sekarang mereka saling
berkata-kata dengan merendah. Sudah tentu Tay Hui Sin-ni tak habis herannya.
“Bahwa Ui sicu dapat sesaat menghapuskan segala garis jahat dan baik, sungguh suatu hal yang jarang. Ui
sicu lapang dada murah hati, membuat aku menyesal dan malu sendiri.”
Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas. “Peristiwa yang lampau bagai awan di langit. Hanya menyedihkan
hati apabila dibicarakan lagi. Dahuhu karena tercengkeram oleh nafsu dendam, hampir saja aku melakukan
kesalahan besar. Apabila tak mendapat penerangan dan petunjuk Sin-ni mungkin aku akan berlumuran
dosa, ah!”
“Tetapi walau Dewi saat ini sudah sadar, sayang sekali seluruh kepandaian sicu sudah lenyap. Aku
sungguh menyesal karena tak dapat mewakili sicu untuk menerima musibah itu,” kata Tay Hui Sin-ni pula.
Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa.
“Ah, anda telah menguasai ilmu Thian-siau-sin-kang,” katanya kepada lelaki baju kuning emas. “tentulah
murid dari Thian-sian-bun. Dapatkah anda memberitahukan nama anda yang mulia?”
“Maafkan, aku hendak ikut menerka,” tiba-tiba Tay Hui Sin-ni menyeletuk, “kalau tak salah dugaanku, sicu
ini apakah bukan Thancu Hou-su-than dari perhimpunan Naga Hijau yang......”
Lelaki baju kuning emas itu tertawa gelak-gelak:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, aku memang Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, salah satu dari kelima Thancu di masa Naga sakti tanpa
bayangan Siau Han-kwan menjabat sebagai ketua dari Naga Hijau.”
Dewi Mega Ui Siu-bwe pun tertawa.
“Angin dan mega telah bertemu. Sungguh tak terduga seorang pendekar besar Kwik Ing-tat juga berkunjung
ke Lembah Kumandang. Dan walaupun sudah delapanbelas tahun lamanya, masih tetap lawan yang
berimbang, tetapi mengapa engkau sekarang jadi begitu? Dan mengapa pula engkau telah masuk ke dalam
perguruan Thian-sian-bun?”
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa.
“Mega menghias cakrawala, laut mengairi sawah. Pemberian sebuah pukulan pada delapanbelas tahun
yang lalu tak pernah kulupakan sedetikpun juga. Dalam peristiwa di Hay-hong-cung, untung Ing-tat tak mati
dan dapat masuk ke dalam perguruan Thian-sian-bun. Sungguh tak kira kalau setelah berselang
delapanbelas tahun kemudian, aku masih tetap tak mampu mengalahkan Dewi. Sungguh memalukan!”
Kata-kata itu telah mengungkap sebab-sebab mengapa kedua orang itu bertempur. Peristiwa itu telah
menyangkut Budi dan Dendam.
“Anda seorang yang pegang kepercayaan,” seru Dewi Mega Ui Siu-bwe, “delapanbelas tahun masih tak
melupakan kata-kata yang engkau ucapkan...... ai, dalam pertemuan besar di gunung Thian-san dahulu,
aku telah terkena tipu manusia jahanam sehingga Hay-hong-cung menjadi korban.”
Wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat seketika berobah.
“Sekarang baiklah kita kesampingkan dulu urusan peribadi. Aku hendak menyampaikan pesan dari tuanku
kepada Dewi, harap Dewi suka memberi jawaban yang sebenarnya.”
“O, kukira engkau hendak menyelesaikan dendam lama, ternyata masih mempunyai lain kepentingan lagi.
Adakah tuanmu itu orang tua peniup seruling yang buntung kakinya itu?”
“Dewi, kuyakin engkau tentu tak dapat menduga bahwa tuanku itu bukan lain adalah pemimpin Naga
Hijau...... Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan?”
Seketika berobah cahaya wajah Dewi Mega Ui Siu-bwe, “Apa? Dia itu Siau Han-kwan? Dia tak mati dalam
peristiwa Hay-hong-cung?”
“Bukan saja tidak mati tetapi beliau kini menjabat sebagai ketua Thian-sian-bun. Dan telah menguasai ilmu
sakti dari Thian-siau.”
“Kalau dia belum mati, tak apalah. Urusan kita juga harus diselesaikan.”
Tiba-tiba terdengar suara berseru nyaring:
“Paman Kwik dan Ui cianpwe, harap menjelaskan liku-liku peristiwa budi dan dendam yang kalian alami
dahulu?”
Sekalian orang terkejut dan berpaling, Ah, kiranya entah kapan, Siau Lo-seng sudah berdiri di samping.
Wajahnya merah segar, semangatnya menyala-nyala.
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
“Seng-ji, bilakah engkau siuman. Lekas haturkan terima kasih kepada Ui cianpwe.”
“Untuk apa terima kasih itu?”
“Seng-ji, scbuah pukulan dari Dewi yang diberikan kepadamu tadi telah membuka jalan darah Tok-jin dalam
tubuhmu. Kini sempurnalah sudah ilmu sakti Kim-kong-put-hoay yang engkau miliki!” seru Kwik Ing-tat.
Saat itu barulah Siau Lo-seng sadar. Serta merta ia berlutut dan memberi hormat sampai tiga kali kepada
Dewi Mega Ui Siu-bwe.
“Mohon cianpwe memaafkan kebodohanku.”
Dewi Mega Ui Siu-bwe tertawa bahagia,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Yang muda akan menggantikan yang tua. Aku sudah tua tak berguna. Kelak tugas menyelamatkan dunia
persilatan terletak di bahumu. Tetapi aku heran mengapa dalam usia yang begitu muda engkau sudah
memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Maukah engkau menerangkan?”
“Aku sendiri juga heran,” kata Siau Lo-seng, “karena aku merasa tak pernah belajar ilmu sakti itu. Baru tadi
ketika bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti di luar lembah, dia mengatakan kalau aku sudah memiliki
ilmu sakti itu.”
“Apa?” teriak Ui Siu-bwe terkejut, “engkau bertemu dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti? Dia sudah mati
pada empatpuluh tahun yang lalu. Ah, tak mungkin!”
“Seng-ji,” kata Kwik Ing-tat, “bilakah engkau bertemu dengan dia? Dan dia dalam perwujutan bagaimana?”
Siau Lo-seng segera menceritakan peristiwa pertempurannya dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu.
“Aku sungguh tak mengerti mengapa dia menyaru sebagai Ban Jin-hoan. Begitu pula dia mengatakan
bahwa Ui cianpwe masih menyimpan pedangnya. Entah apakah Ui cianpwe suka untuk menjelaskan
mengapa dia membawa anak buahnya kemari? Dan menerangkan pula apakah sebenarnya yang terjadi
antara Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, Ou-hay-it-ki dan mamahku Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa itu?”
Dalam mendengarkan cerita Siau Lo-seng tadi, Ui Siu-bwe sudah dirangsang ketegangan. Kini setelah
mendengar permintaan Siau Lo-seng dia tak kuasa lagi mencegah airmatanya yang berderai-derai turun
seperti banjir.
Jin Kian Pah-cu, pemimpin dari Lembah Kumandang yang termasyhur itu, kini menangis tersedu sedan
seperti seorang wanita biasa.
“Ui cianpwe, maaf sekira permintaanku tadi menyinggung perasaan cianpwe,” buru-buru Siau Lo-seng
menghaturkan penyesalannya.
Tiba-tiba wajah Pemburu nyawa Kwik Ing-tat berobah gelap dan berseru: “Dewi Mega, apakah engkau juga
mempunyai hubungan dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?”
“Ya!” sahut Ui Siu-bwe, “memang aku mempunyai hubungan yang erat sekali dengan dia. Kwik Ing-tat,
bukankah tadi engkau mengatakan hendak menyampaikan pesan tuanmu kepadaku? Sekarang
katakanlah!”
“Tuanku hendak bertanya kepada Dewi tentang, peristiwa di Hay-hong-cung. Kabarnya hanya engkau yang
mempunyai hubungan dekat dengan Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa maka tuanku hendak bertanya hal itu
kepadamu.”
“Mohon tanya kepada Ui cianpwe,” tiba-tiba Siau Lo-seng ikut bicara, “adakah dahulu Lembah Kumandang
juga ikut campur dalam peristiwa Hay-hong-cung itu? Dan benarkah mamahku mempunyai hubungan kasih
dengan Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti?”
Siau Lo-seng mempunyai dugaan keras, tentu ada sebabnya mengapa ayahnya tak mau menceritakan
semua peristiwa yang telah terjadi. Begitu pula ia masih ingat akan kata-kata Kho Ing-ti, “sebelum engkau
jelas dengan asal usul dirimu, hak apakah engkau hendak menuntut balas atas peristiwa berdarah di Hayhong-
cung itu? Apalagi engkau telah mengakui seorang penjahat sebagai ayah kandungmu.”
Kata-kata itu masih mengiang-ngiang di telinga Siau Lo-seng.
“Seng-ji,” tiba-tiba berserulah Dewi Mega Ui Siu-bwe dengan nada gemetar, “memang Lembah Kumandang
ikut dalam peristiwa Hay-hong-cung. Berhasil merebut sebuah kitab Lian-hun-cin-keng dan salah satu dari
tiga pusaka persilatan yang disebut panah Cian-li-hiat-cian (panah darah seribu lie). Tetapi Lembah
Kumandang tak ikut dalam pembunuhan.”
“Lalu bagimana peristiwa yang sebenarnya terjadi?” tanya Siau Lo-seng.
“Sumber dari musibah Hay-hong-cung itu adalah karena Siau Han-kwan telah berhasil mendapat pusaka
Cian-li-hiat-cian dan dua buah kitab Lian-hun-cin-keng serta libatan liku-liku asmara yang aneh dari ketiga
Sam-cay Sam-ing.”
Ui Siau-bwe berhenti sejenak memandang sekalian orang.
“Ceritanya diawali dari Kho Ing-ti yang merobah diri menjadi Ban Jin-hoan. Tetapi jika dia tidak mengaku
bahwa Siau Lo-seng itu sebenarnya puteranya sendiri dan menuturkan semua peristiwa yang telah
dialaminya, tentulah hal itu akan terpendam selama-lamanya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar kata-kata suhunya, serentak Hun-ing berseru: “Suhu, kalau begitu Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti itu
adalah Ban Jin-hoan pemimpin dari istana Ban-jin-kiong?”
“Benar,” sahut Ui Siu-bwe, “jauh sebelum kemunculan Sam-cay dan Sam-ing, Kho Ing-ti telah membunuh
Oh-hay-it-ki. Rahasia dari pertempuran antara guru dan murid itu telah diketahui Siau Han-kwan. Dunia
persilatan marah mendengar peristiwa itu dan mengadakan gerakan serempak untuk membunuh Kho Ing-ti
sehingga Kho Ing-ti tak dapat menegakkan kaki di dunia persilatan lagi. Dia terpaksa mengembara jauh dan
tinggalkan sumoay Tan Bin-hoa yang dicintainya. Putus asa, patah hati dan diancam oleh dunia persilatan,
menyebabkan dari seorang pemuda yang baik budi dan berguna seperti Kho Ing-ti, menjadi seorang momok
yang ganas dan mengerikan.”
“Lalu mengapa Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan dapat menjadi pemimpin Ban-jin-kiong?”
tanya Siau Lo-seng.
Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.
“Dunia persilatan menganggap Kho Ing-ti telah mati. Karena sudah berpuluh tahun dia tak muncul lagi.
Mengapa dia menjadi Ban Jin-hoan itu menandakan kalau dia belum meninggal.”
“Jika demikian, jelas dia menyelundup masuk ke Tiong-goan lagi dan merobah namanya menjadi Ban Jinhoan
menyusup masuk menjadi murid Bu-tong-pay,” seru Siau Lo-seng.
Ui Siu-bwe mengangguk.
“Setelah Kho Ing-ti lenyap dari dunia persilatan maka beberapa tahun kemudian muncullah beberapa
pendekar muda seperti Pedang Ular Emas Siau Mo, Ban Jin-hoan dari Bu-tong-pay dan Naga sakti tanpa
bayangan Siau Han-kwan yang cemerlang. Mereka bersekutu dan menamakan diri sebagai Sam-cay.
Disamping itu Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Dewi Mega Ui Siu-bwe dau Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa pun
berserikat sebagai tiga serangkai Sam-ing.
“Dalam pertandingan adu kepandaian yang tak resmi, kepandaian Sam-cay dan Sam-ing itupun berimbang.
Sejak itu dunia persilatan menyanjung mereka dengan kata-kata pujian sebagai sepasang Tiga serangkai
Sam-cay dan Sam-ing.......”
Ui Siu-bwe berhenti sejenak lalu melanjutkan pula.
“Tetapi dunia persilatan tak tahu sama sekali, bahwa Ban Jin-hoan yang mereka puji itu ternyata Kho Ing-ti
yang mereka benci. Tujuan Kho Ing-ti merobah diri menjadi Ban Jin-hoan dan masuk dalam persekutuan
Sam-cay tak lain hendak membalas kepada dunia persilatan yang telah memberi dendam berdarah
kepadanya. Disamping itu supaya dapat berkumpul dengan sumoaynya Tan Bi-hoa yang dicintainya itu.”
17.82. Dendam Asmara
“Bagaimana ia melaksanakan pembalasan terhadap dunia persilatan?” tanya Siau Lo-seng.
“Dalam gerakan untuk membunuh Kho Ing-ti dahulu, kecuali Giok-li-sin-hong Tan Bi- hoa, boleh dikata
seluruh kaum persilatan dari aliran Hitam maupun Putih ikut semua. Karena mereka menganggap, seorang
murid yang berhianat dan membunuh gurunya, merupakan dosa paling besar. Kho Ing-ti menyadari bahwa
sekalipun ia selamat dan ilmu kepandaiannya pun sudah pulih kembali, tetapi tak mungkin ia dapat
menghadapi seluruh kaum persilatan.
Maka diam-diam ia segera membentuk Ban-jin-kiong, sebuah perkumpulan yang khusus hendak digunakan
untuk menuntut balas kepada dunia persilatan. Diam-diam Ban-jin-kiong menjalankan siasat mengadu
domba, menimbulkan kekacauan. Dengan ilmu Merobah wajah yang lihay, dia merobah diri menjadi
beberapa tokoh untuk mengadakan pembunuhan di sana sini agar partai-partai persilatan itu saling curiga
mencurigai.”
“Peristiwa Hay-hong-cung tentu dialah yang menciptakannya,” seru Siau Lo-seng.
“Memang dia seorang yang menciptakannya,” kata Ui Siu-bwe, “dan dengan kejam dia telah memutus
hubungan kasih antara ayah dan bundamu. Agar ayahmu tetap mendendam suatu dosa yang tak mungkin
ditebusnya.”
“Bagaimana ceritanya mamah dapat menikah dengan ayahku itu?” tanya Siau Lo-seng. Dipandangnya
wajah Ui Siu-bwe yang bercucuran air mata itu dengan tajam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Entah bagaimana Dewi Mega berpaling muka, seolah-olah tak berani menghadapi sinar mata si anak muda.
Airmatanya membanjir.
“Kutahu, ya, kutahulah peristiwa yang berliku-liku itu,” tiba-tiba Kwik Ing-tat menengadah kepala dan berkata
seorang diri.
“Paman Kwik, apa yang engkau ketahui?” seru Siau Lo-seng.
Tiba-tiba berkatalah Dewi Mega dengan nada yang penuh ditekan perasaan, “Seng-ji mamahmu berbuat
salah, dapatkah engkau memaafkannya?”
“Kesalahan apakah yang telah dilakukan mamahku?” Siau Lo-seng mulai curiga.
Tiba-tiba Kwik Ing-tat maju selangkah dan berseru, “Dewi, jangan sembarangan bicara kepada Seng-ji!”
“Berapakah harga sebuah nama itu?”sahut Dewi Mega, “dalam keadaan yang sudah seperti begini, apakah
ada hal-hal yang masih dirasa malu untuk dikatakan? Apabila masih ditutupi rasanya kita berdosa kepada
taci Tan Bi-hoa.”
Kwik Ing-tat menghela napas dan berkata kepada Siau Lo-seng: “Seng-ji, biarlah aku yang menceritakan
kelanjutannya.”
Sejenak berhenti maka iapun mulai menutur.
“Pada masa itu Siau Han-kwan merupakan kepala dari Sam-cay, Sedang Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li,
kepala dari Sam-ing. Desas desus orang luar mengatakan bahwa kedua orang itu tentu akan menjadi
pasangan hidup. Siau Mo dengan Ui Siu-bwe dan Ban Jin-hoan dengan Tan Bi-hoa. Tetapi ternyata tidak
demikian. Di luar dugaan, pangcu kami telah menikah dengan Tan Bi-hoa. Sejak peristiwa itu, mulailah
terjadi keretakan antara Sam-cay dan Sam-ing.
Pedang Ular emas Siau Mo berobah menjadi seorang manusia aneh yang gemar membunuh, Ban Jin-hoan
pulang ke Bu-tong dan, minta kepada It Ceng Totiang supaya menerimanya menjadi imam dan bergelar It
Bing, Siang-hoa-liong-li dan Dewi Mega pun menghilang dari dunia persilatan. Gempar dunia persilatan
membicarakan peristiwa itu tetapi tiada seorangpun yang tahu sebabnya.”
Berkata sampai di sini, Kwik Ing-tat melirik ke arah Dewi Mega Ui Siu-bwe dan hentikan ceritanya.
“Kwik Thancu, teruskan ceritamu sejelas-jelasnya,” seru Dewi Mega.
Sejenak meragu maka Kwik Ing-tat melanjutkan lagi.
“Sebenarnya Ban Jin-hoan sangat mencintai Tan Bi-hoa. Tetapi karena merasa dirinya telah menyebabkan
suhunya meninggal dan suhengnya melarikan diri maka Tan Bi-hoa sudah beku hatinya.
Siau Han-kwan sebenarnya mencintai Dewi Mega Ui Siu-bwe yang halus budi! Tetapi Ui Siu-bwe sebaliknya
mencintai Ban Jin-hoan. Sedang Pui Siu-li mencintai Siau Han-kwan. Siau Mo cinta sepenuh hati kepada
Siu-li. Buru memburu cinta itu, telah merupakan lingkaran Asmara yang aneh. Yang dicinta, mencintai lain
orang. Dan orang itu mencintai lain orang lagi.
Berhenti sejenak, ia meneruskan lagi,
“Pada suatu hari secara tak sengaja Siau Han-kwan telah menolong seorang tua yang tengah meregang
jiwa. Dia bukan lain yalah Cek Hi Sucia, ketua pertama dari perkumpulan Naga Hijau. Dan mendapatkan
benda kekuasaan perkumpulan itu serta dua buah kitab Lian-hun-cin-keng.”
“Oleh karena itu maka ayah lalu menerima jabatan ketua Naga Hijau,” seru Siau Lo-seng.
“Pada waktu itu Siau Han-kwan tak tahu bahwa dengan pusaka Cian-li-hiat-cian dapat menjadi ketua Naga
Hijau. Tetapi Ban Jin-hoan tahu hal itu. Maka diam-diam ia merebut pusaka panah darah itu dan hendak
merebut pimpinan Naga Hijau. Tetapi tindakannya itu telah dihalangi Dewi Mega Ui Siu-bwe. Oleh karena
mencintai Ban Jin-hoan maka Dewi Mega selalu memperhatikan gerak gerik Ban Jin-hoan.
Lama kelamaan Dewi Mega mulai mendapat kesimpulan bahwa Ban Jin-hoan memang mempunyai
rencana tersendiri. Demi membuktikan pandangannya terhadap Ban Jin-hoan, Dewi Mega segera
memberitahukan perasaan hatinya kepada Giok-li-sin-hong Tan Bi-hoa.
Pada waktu itu Tan Bi-hoa tak cinta Ban Jin-hoan. Walaupun orang luar menndesas desuskan keduanya
sebagai pasangan yang serasi, tetapi dia tak menaruh perhatian kepada Ban Jin-hoan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tan Bi-hoa meluluskan permintaan Dewi Mega dan mengajarkan ilmu merobah wajah dan memperboleh
Dewi Mega untuk menyaru sebagai dirinya agar dapat menguji isi hati Ban Jin-hoan yang sebenarnya.”
Sampai di situ, Kwik Ing-tat berhenti sejenak dan memandang ke wajah Hun-ing Dengan suara agak keras
ia melanjutkan ceritanya:
“Cinta Ban Jin-hoan terhadap Tan Bi-hoa memang sudah mendarah daging. Sudah tentu Ban Jin-hoan
terkejut dan menyambut girang kepada Dewi Mega yang menyaru sebagai Tan Bi-hoa itu.”
Karena dirinya dipandang oleh Kwik Ing-tat, diam-diam timbullah rasa heran Hun-ing, ”Mengapa dia
memandang diriku? Apakah peristiwa mempunyai hubungan dengan aku?”
Ketika Kwik Ing-tat bersangsi tak mau bercerita terus, Dewi Mega Ui Siu-bwe segera berseru suruh dia
melanjutkan.
“Dalam ujian pertama itu, harus disayangkan bahwa Dewi Mega telah tak kuasa menekan rindu dendamnya
kepada Ban Jin-hoan. Dan tergelincirlah kesuciannya……”
“O, itulah sebabnya maka Ban Jin-hoan salah menyangka kalau aku puteranya.” Tiba-tiba Siau Lo-seng
berseru.
Pemburu nyawa Kwik Ing-tat menghela napas, ujarnya, “Setelah mengalami peristiwa itu, mulailah Ui Siubwe
benci akan keganasan Ban Jin-hoan. Berulang kali dia hendak membuka rahasia diri Ban Jin-hoan
tetapi tak sampai hati. Karena hal itu maka timbullah akibat yang menyedihkan di desa Hay-hong-cung.”
Saat itu Ui Siu-bwe menangis terisak-isak. Sekalian anak muridnya merasa iba dengan suhunya.
“Di antara Sam-ing, hanya Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, yang paling lincah, cerdas. Karena cintanya
terhadap Siau Han-kwan, ia memberitahukan hal itu kepada Siau Han-kwan dan menasehatkan agar Siau
Han-kwan jangan melanjutkan cintanya kepada Dewi Mega Ui Siu-bwe.
“Tahu bahwa Ui Siu-bwe telah dicemarkan kesuciannya oleh Ban Jin-hoan,” Kwik Ing-tat melanjutkan pula,
“Dia kalap dan mendendam. Dia hendak membalas dendam. Dengan tergesa-gesa dia memaksa Giok-lisin-
hong Tan Bi-hoa mengumumkan pernikahannya kepada dunia persilatan dan menerima jabatan ketua
dari Naga Hijau lalu tinggal di desa Hay-hong-cung. Dia berbuat begitu karena hendak membalas dendam
kepada Ban Jin-hoan karena sesungguhnya dia tidak mencinta Tan Bi-hoa. Tetapi walaupun tindakannya
memang dapat mematahkan semangat Ban Jin-hoan, akhirnya telah menimbulkan akibat yang hebat dan
mengerikan.......”
Dengan begitu Pui Siu-li juga tidak berhasil mendapat cinta Siau Han-kwan walaupun sudah
memberitahukan rahasia diri Ui Siu-bwe dengan Ban Jin-hoan,” tukas Siau Lo-seng, “kebalikannya Ban Jinhoan
yang kehilangan Tan Bi-hoa dan marah terhadap Dewi Mega Ui Siu-bwe yang membocorkan rahasia
itu kepada Siau Han-kwan, makin meluap dendam kebenciannya kepada Siau Han-kwan. Diam-diam dia
telah mengerahkan tenaga dan pengaruh Ban-jin-kiong untuk menyebar fitnah kepada kaum parsilatan yang
tak tahu jelas akan persoalan Sam-cay dan Sam-ing. Kaum persilatan percaya bahwa Siau Han-kwan telah
merebut kekasih Ban Jin-hoan dan kedudukan ketua Naga Hijau serta bertujuan hendak menguasai dunia
persilatan. Seluruh partai-partai persilatan segera serempak menyerbu Hay-hong-cung dan terjadilah
pembunuhan besar-besaran itu……”
Kesimpulan yang diuraikan panjang lebar oleh Siau Lo-seng itu dibenarkan Kwik Ing-tat.
“Tetapi gerakan serempak dari partai-partai persilatan ke Hay-hong-cung itu walaupun mengunakan dalih
untuk menghukum perbuatan yang tak benar dari Siau Han-kwan tetapi sebagian besar mereka memang
mengandung maksud untuk merebut panah pusaka Cian-li-hiat-cian dan dua jilid kitab Lian-hun-cin-keng.”
“Dalam peristiwa Hay-hong-cung itu apakah Lembah Kumandang dan Naga Hijau ikut dalam
pembunuhan?” tiba-tiba Siau Lo-seng bertanya.
“Jangan terburu nafsu dulu,” kata Kwik Ing-tat, “Baik Lembah Kumandang maupun Naga Hijau
sesungguhnya datang hendak mencegah pertempuran berdarah itu…… Setelah Siau Han-kwan menikah
dengan Tan Bi-hoa maka Pui Siu-li karena putus asa hendak bunuh diri tetapi dapat diselamatkan oleh Dewi
Mega Ui Siu-bwe. Kedua taci adik seperguruan itu saling menumpahkan peristiwa kehancuran hati, yang
dialami mereka. Kemudian mereka mencapai sepakat untuk tetap bertahan hidup. Dan sejak itu mereka
menghilang dari dunia persilatan. Pada hal secara diam-diam mereka telah membentuk Lembah
Kumandang untuk menghadapi Ban Jin-hoan, menghalangi tindakan-tindakan orang Ban-jin-kiong yang
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak mengacau dunia persilatan. Tetapi di luar dugaan, dunia persilatan menganggap Lembah
Kumandang itu sebagai gerombolan aliran Hitam.”
Tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe menghela napas.
“Biarlah aku yang melanjutkan ceritanya. Karena dengan begitu barulah dapat meringankan dosaku dan
mengurangi penderitaan batinku.......”
Kata-kata terakhir itu diucapkannya dengan nada tersekat.
Hun-ing cepat maju memapah Ui Siu-bwe, serunya: “Suhu, jangan keliwat bersedih. Apa yang lalu telah
lalu. Walaupun membuat kesalahan yang bagaimana pun besarnya, pun telah lenyap dihanyutkan sang
waktu.”
Pun Kwik Ing-tat meminta agar Ui Siu-bwe beristirahat saja lalu bercerita lagi.
“Rencana penyerangan ke Hay-hong-cung itu timbul dari keinginan Ban Jin-hoan secara mendadak sekali
sehingga dalam keadaan terburu-buru Dewi Mega Ui Siu-bwe meminta sumoaynya, Pui Siu-li, supaya
memberitahu kepada Siau Han-kwan. Sedang dia sendiri akan memberi penjelasan kepada pimpinan
partai-partai persilatan supaya jangan melanjutkan rencana mereka. Tetapi ternyata gerik Pui Siu-li ke Hayhong-
cung telah diketahui oleh Ban Jin-hoan. Tujuan Pui Siu-li yang baik, telah dikacaukan menjadi suatu
peristiwa dendam.”
“Oh, bagaimana ceritanya?” tanya Siau Lo-seng.
Sejenak melirik ke arah Ui Siu-bwe, Kwik Ing-tat melanjutkan pula,
“Karena tak mau mengejutkan perhatian orang maka Pui Siu-li langsung menemui Siau Han-kwan dalam
kamar tulisnya. Dia menceritakan semua rencana Ban Jin-hoan dan menganjurkan supaya Siau Han-kwan
lekas-lekas meloloskan diri. Tetapi Siau Han-kwan sudah tak mau ingat pertalian kasih kepada Pui Siu-li
lagi. Dia menyambut dingin nasehat Pui Siu-li bahkan mendamprat nona itu karena berani masuk ke kamar
tulisnya. Sesungguhnya pada saat berhadapan dengan Siau Han-kwan, timbullah kenangan asmara lama
dihati Pui Siu-li. Menerima teguran yang pedas dari Siau Han¬kwan, ia marah dan balas mendamprat.
Ribut-ribut dalam kamar tulis itu telah terdengar oleh Siau Mo yang segera masuk ke dalam kamar itu……
“Dan sebelum Pui Siu-li sempat memberi penjelasan, partai-partai dan kaum persilatan golongan Hitam dan
Putih serta anak buah Ban-jin-kiong sudah menyerbu desa itu. Sudah tentu warga Hay-hong-cung yang
terdiri hanya seratusan orang itu, tak dapat melawan serangan mereka. Ketika lima Thancu dari Naga Hijau
dengan anak buahnya serta orang-orang Lembah Kumandang tiba di Hay-hong-cung, maka terjadilah
pertempuran besar yang awut-awutan. Seratusan orang Hay-hong-cung mati semua. Naga Hijau kehilangan
separoh anak buahnya. Tetapi Lembah Kumandang yang untung, karena berhasil mendapatkah jarum
Cian-li-hiat-sat dan sejilid kitab Lian-hun-cin-keng.”
Mendengar itu mereganglah bulu roma Siau Lo-seng.
“Dalam peristiwa pembunuhan di Hay-hong-cung itu kukira yang menjadi korban hanya warga Hay-hongcung
saja, ternyata banyak anak buah Naga Hijau yang korban jiwanya…… Ban Jin-hoan, aku bersumpah
akan mencincang tubuhmu!”
“Seng-ji, apakah engkau masih ingat berapa orang saudaramu itu?” tanya Ui Siu-bwe.
“Kalau tak salah, aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang adik lelaki. Tetapi mereka mati semua
dalam pembunuhan itu,” jawab Siau Lo-seng.
“Tahukah engkau bagaimana mereka terbunuh?” tanya Ui Siu-bwe pula.
“Tak tahu,” jawab Siau Lo-seng, “karena sejak kecil aku sudah menderita penyakit lumpuh yang sering
kambuh. Oleh karena itu maka aku dipisahkan dengan saudara-saudaraku. Aku hanya dijaga oleh seorang
bujang. Tetapi ketika aku terbangun dari mimpi, kulihat tiada seorangpun dalam kamarku tetapi kulihat
engkoku Siau Lo-wi dan adikku Siau Lo-pat telah menjadi mayat yang mengerikan. Ketika itu akupun
menangis......”
“Seng-ji tahukah engkau bahwa saudara-saudaramu sebenarnya dibunuh sendiri oleh ayahmu?” tanya Ui
Siu-bwe pula.
Siau Lo-Seng seperti mendengar halilintar disambar kilat kejutnya: “Ngaco belo!”
“Memang benar!” sahut Ui Siu-bwe dengan suara serius.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Walaupun menikah dengan Siau Han-kwan, tetapi mamahmu tidak merasa berbahagia,” kata Ui Siu-bwe
pula, “demi menjabat ketua perkumpulan Naga Hijau maka Siau Han-kwan menyembunyikan diri rapatrapat
sehingga dia mendapat gelar sebagai Naga sakti tanpa bayangan. Perkawinannya dengan Tan Bi-hoa
hanya menuruti rasa dendam terhadap Ban Jin-hoan saja. Dia memang tak mencintai Tan Bi-hoa sungguhsungguh.
Maka sikapnya pun dingin terhadap Tan Bi-hoa. Ditambah pula pada peristiwa pembunuhan di
Hay-hong-cung itu dengan pintar sekali, Ban Jin-hoan telah menimbulkan salah paham antara kedua suami
isteri itu maka dalam kemarahannya yang meluap-luap, akhirnya Siau Han-kwan sampai membunuh
puteranya sendiri!”
“Tutup mulutmu,” teriak Siau Lo-seng, “bagaimana mungkin ayahku membunuh anaknya sendiri? Mengapa
dia tak membunuh aku sekalian? Katakanlah!”
“Adalah karena Ban Jin-hoan keburu datang maka engkau tertolong dan Jin-hoan mengira kalau engkau
puteranya hendak dibunuh Siau Han-kwan maka dengan mati- matian dia menyerang Siau Han-kwan......
ingatlah, saat itu jiwamu sudah gawat sekali. Setiap saat kau dapat meninggal. Masakan aku tetap akan
membohongimu?”
“Apa buktinya kalau mamah dan saudaraku dibunuh ayah sendiri?” seru Siau Lo-seng.
“Macan yang buaspun takkan makan anaknya,” kata Dewi Mega Ui Siu-bwe, “memang sukar dipercaya
kalau aku mengatakan seperti tadi. Tetapi hal itu memang mamahmu sendiri di kala mau menutup mata,
yang mengatakan kepadaku. Mamahmu sebenarnya benci kepada ayahmu. Tetapi ia dapat memaafkan
ayahmu. Dalam kemarahannya, mamahmu telah nekad menyerbu ke dalam pertempuran dan akhirnya
binasa.”
Mendengar itu amarah Siau Lo-seng seperti diguyur air es, serunya: “Benarkah itu? Aku tentu akan
bertanya kepada ayah!”
“Seng-ji, engkaupun harus memaafkan ayahmu. Belasan tahun dia telah menderita siksaan hidup, lahir dan
batin.”
“Ah, mamah, semoga arwahmu beristirahat di alam baka dengan tenang...... mengapa aku mempunyai
seorang ayah yang sampai hati membunuh puteranya sendiri? O, itulah sebabnya maka dia tak berani
mengakui aku sebagai anaknya…...”
“Seng-ji, nasibmu itu memang menggetarkan perasaan setiap orang. Tetapi apa boleh buat, mungkin itu
garis hidupmu dan terimalah dengan lapang dada,” kata Ui Siu-bwe, “ketahuilah. Tiada hal yang paling
menyedihkan pada hati seorang lelaki kecuali melihat isterinya berada dalam pelukan lain lelaki…… apalagi
dalam keadaan yang genting itu. Karena tak ingin puteranya dibunuh orang maka ia menghabisi jiwa
puteranya itu sendiri.”
“Apa? Apakah mamahku berbuat serong?” seru Siau Lo-seng.
“Tidak,” jawab Ui Siu-bwe, “walaupun mamahmu tak cinta kepada ayahmu tetapi dia tak sampai berbuat
serong kepada lain orang. Tetapi ayahmu telah termakan fitnah yang disebarkan Ban Jin-hoan yang
mengatakan bahwa mamahmu pernah berbuat jinah dengan dia. Ban Jin-hoan mengejek ayahmu,
mengatakan janganlah ayahmu bangga karena memperisteri Tan Bi-hoa karena sebenarnya Tan Bi-hoa itu
tidak mencintainya…...”
“Adakah ayahku cepat percaya omongan itu?” seru Siau Lo-seng.
“Sudah tentu tidak,” kata Ui Siu-bwe, “tetapi dengan menggunakan ilmu Merobah wajah, Ban Jin-hoan
mencari seorang wanita yang dirobah wajahnya seperti Tan Bi- hoa. Diajaknya wanita itu main di hadapan
ayahmu……”
“Saat itu Siau Han-kwan seperti dibakar kemarahan. Segera dia menyerang Ban Jin-hoan dan wanita yang
menyaru sebagai Tan Bi-hoa. Ketika ayahmu hendak membuat perhitungan mamahmu, datanglah Pui Siu-li
yang memberitahu kepada ayahnya bahwa Ban Jin-hoan itu sebenarnya adalah suheng dari Tan Bi-hoa.
Hal itu makin memperhebat kebencian ayahmu terhadap Tan Bi-hoa. Dirangsang oleh ketegangan dan
kemarahan saat itu maka ayahmu membentak-bentak Pui Siu-li……, dan hal itu diketahui oleh Siau Mo.”
Mendengar itu hati Siau Lo-seng tak keruan rasanya. Karena tak tahu bagaimana ia harus berbuat, dia
sampai menitikkan airmata sendiri.
“Adakah pamanku Siau Mo juga membenci ayahku dan ikut turun tangan mencelakainya?” tanya pemuda
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Seng-ji,” kata Ui Sin-bwe,” jangan persalahkan pamanmu Siau Mo. Sejak ikut aku dan sumoayku Pui Siu-li
bersembunyi di Lembah Kumandang, karena tak mendapat hiburan dan perhatian orang, akhirnya ia masuk
ke dalam perkumpulan Ko-bok-pay. Tiga tahun kemudian dia kembali ke Hay-hong-cung sebagai manusia
yang telah berobah perangainya. Pada saat ia dikipasi oleh Ban Jin-hoan dan menyaksikan sendiri betapa
Siau Han-kwan telah bertengkar dengan Pui Siu-li yang dicintainya, dia tak dapat menguasai diri lagi.
Sebenarnya dia datang ke Hay-hong-cung hendak menyampaikan berita. Tetapi melihat adegan itu,
marahlah dia. Cepat dia menuju ke muka desa. Untuk melampiaskan marahnya, tak peduli siapa saja, baik
musuh atau orang Hay-hong-cung, diserang dan dibunuhnya. Entah berapa banyak jiwa menjadi korban
Pedang Ular Emasnya. Terakhir dia membuka sebuah jalan berdarah lalu melarikan diri ke dalam hutan.
Kebetulan dia bertemu dengan gurumu Jiu-lan. Dalam keadaan pikiran masih kacau, ketika melihat pakaian
guru wanita itu berlumuran darah, seketika timbullah hawa pembunuhannya lagi. Lebih dulu gurumu itu
dibunuhnya dan karena engkau menangis maka dia lalu melempar engkau ke dalam jurang.”
Saat itu Siau Lo-seng benar-benar seperti orang yang kehilangan pegangan. Mau menangis, tiada air mata.
Hatinya seperti disayat-sayat.
Tiba-tiba Tay Hui Sin-ni yang sejak tadi diam saja, saat itu ikut membuka suara, “Kodrat tak dapat dihindari
lagi. Darah sudah terlanjur mengucur, ah...... Siau Mo tiga tahun lamanya masuk ke dalam partai Ko-bokpay
kami. Dia tampak rajin sekali dan pendiam. Tetapi Kaucu kami suka kepadanya. Tak sangka setelah
pulang ke desanya, dia harus tercebur dalam pertumpahan darah yang begitu hebat.”
“Mengapa selama bertahun-tahun menyelidiki, aku tak berhasil memperoleh keterangan tentang peristiwa
itu?”“ tanya Siau Lo-seng.
Ui Siu-bwe memberi jawaban:
“Setiap orang yang terlibat dalam peristiwa, masing-masing mempunyai kesalahan. Sudah tentu mereka tak
mau membuka rahasia itu. Engkau tak mau membuka rahasia itu. Engkau tak sampai mati adalah
disebabkan Ban Jin-hoan masih mengandung setitik harapan, agar mamahmu tetap masih mempunyai
kasih kepadanya.”
“Ban Jin-hoan memang ganas sekali,” tiba-tiba Dewi Mega Ui Siu-bwe berganti nada keras, “kesemuanya
itu adalah dia yang menciptakan. Apabila Lembah Kumandang dan Naga Hijau masih tetap berdiri, pada
suatu hari mereka tentu akan membuat perhitungan dengan manusia ganas itu.”
Kata-kata Dewi Mega Ui Siu-bwe itu telah disambut dengan sorak bergemuruh dari sekalian anak buah
Lembah Kumandang dan Naga Hijau yang berada di setiap sudut tempat.
Tetapi sorak sorai pernyataan tekad untuk mentaati keputusannya itu bahkan malah menimbulkan
kesedihan hati Dewi Mega. Kembali ia mengucurkan air mata.
“Cianpwe, mengapa engkau mengucurkan airmata lagi?” tanya Siau Lo-seng heran.
“Aku merasa dosaku juga besar,” katanya tersendat, “kalau dulu tidak...... tentu tak kan terjadi peristiwa
yang berdarah semacam itu.”
“Cianpwe, engkau tak bersalah,” kata Siau Lo-seng, “ah, sesungguhnya nasib cianpwe sendiri juga tak
beruntung.”
“Suhu,” Hun-ing menyeletuk, “jangan bersedih hati. Akulah yang akan menghimpas dendam suhu itu.”
17.83. Istana Selaksa Hantu
Tiba-tiba pula Siau Lo-seng berpaling kepada Pemburu nyawa Kwik Ing-tat, serunya “Paman Kwik,
dimanakah ayahku sekarang?”
“Dia memikat supaya Buddha emas Ang Siong-pik tinggalkan lembah ini. Sekarang aku pun juga tak tahu
dia berada di mana. Tetapi menurut dugaanku, dia tentu menuju ke Ban-jin-kiong untuk mencari Ban Jinhoan.”
“Jika begitu aku harus ke Ban-jin-kiong,” kata Siau Lo-seng.
“Seorang diri?” tanya Hun-ing.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagaimanapun juga aku harus membuat perhitungan dengan Ban Jin-hoan,” kata Siau Lo-seng. Kemudian
ia menyampaikan berita yang diucapkan oleh adik angkatnya Bok-yong Kang kepada sekalian orang di situ.
“Ban-jin-kiong pasti akan melaksanakan rencananya,” kata Siau Lo-seng pula, “untung sekarang kita masih
dapat menghancurkan kekuatannya. Hanya saja tak boleh bertindak sccara gegabah melainkan secara
diam-diam menyerbu dan pada suatu saat yang tak diduga-duga, kita serempak bergerak menghancurkan
Ban-jin-kiong.”
Habis berkata ia berpaling ke arah Tay Hui Sin-ni lalu Kwik Ing-tat, serunya:
“Kuharap paman Kwik dan Tay Hui Sin-ni cianpwe suka memberi bantuan. Entah bagaimana pendapat
cianpwe.”
Kwik Ing-tat tertawa gelak-gelak.
“Tanpa engkau minta, aku sendiri juga akan membuat pertarungan dengan Ban-jin-kiong. Tahukah engkau
bahwa jiwaku orang tua ini juga hampir melayang di tangannya?” kata Kwik Ing-tat.
Tay Hui Sin-ni menghela napas.
“Omitohud! Siau sauhiap, kabut rahasia yang menyelimuti dendam darahmu, kini sudah tersingkap jelas.
Kutahu engkau tentu mendendam sekali. Walaupun engkau mempunyai dendam tak dapat hidup di bawah
kolong langit dengan Ban Jin-hoan. Tetapi engkau harus tahu bahwa dendam dan pembalasan itu akan
berlarut-larut tiada berkeputusan. Demi membalas dendam di Hay-hong-cung, entah sudah berapa banyak
jiwa yang engkau bunuh? Tahukah engkau berapa banyak anak yang sebatang kara karena ditinggal oleh
kedua orang tuanya? Betapa sengsaralah hidup mereka itu?”
Siau Lo-seng tergetar. Seketika teringatlah ia akan semua peristiwa yang telah dialaminya selama ini.
“Bukan maksudku hendak melarang engkau membalas dendam,” kata Tay Hui Sin-ni, “Ban Jin-hoan
mempunyai dendam darah kepadamu. Diapun seorang durjana dunia persilatan. Setiap orang berhak untuk
menumpasnya, sebagaimana setiap kaum persilatan berhak untuk menjaga keselamatan dunia persilatan.
Tetapi kini darah dan korban sudah banyak sekali yang jatuh. Aku tak sampai hati lagi melihat timbulnya
peristiwa berdarah pula. Kuharap apabila mungkin dihindarkan, hindarkanlah.”
“Petunjuk Sin-ni sungguh mulia sekali. Menandakan bahwa Sin-ni mengandung hati welas asih yang besar.
Maka akupun tak berani memaksa Sin-ni harus ikut dalam perjalanan ini,” kata Siau Lo-seng.
“Tay Hui Sin-ni,” Hun-ing ikut bicara, “gerakan untuk menumpas Ban-jin-kiong harus tetap dilakukan. Kita
tak menumpasnya, dia akan menumpas kita. Apalagi saat ini mungkin adik Cu-ing, Pek Wan Taysu serta
paderi anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin masih berada di tangan mereka. Betapapun kita tak dapat tak
bertindak menolong mereka.”
“Apa? Paman Pek Wan masih ditawan di Ban-jin-kiong?” Siau Lo-seng berseru kaget.
“Ya,” sahut Hun-ing, “bahkan mungkin kesadaran pikiran merekapun telah dihilangkan.”
“Barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si, menggetarkan seluruh dunia persilatan. Bagaimana mereka
dapat ditawan pihak Ban-jin-kiong? Apa pula Pek Wan Taysu itu seorang tokoh sakti. Walaupun dalam
tawanan Ban-jin-kiong, mereka tentu takkan terancam bahaya,” kata Tay Hui Sin-ni.
Tiba-tiba kedengaran Ui Siu-bwe menghela napas ringan, serunya:
“Kali ini perhitungan Sin-ni kurang tepat. Walaupun barisan Tat-mo-coa-ci-tin itu tiada lawan tetapi bukan
tandingan dari ilmu Thian-siau-mo-gak dari perguruan Thian-sian-bun.”
“Thian-sian-mo-gak, hanya Siau Han-kwan dan Ang Siong-pik yang pernah mempelajari. Bahkan Kwik sicu
pun belum tentu mengerti, mengapa dalam Ban-jin-kiong terdapat orang yang mempelajari ilmu itu?”
Berkata Pemburu nyawa Kwik Ing-tat:
“Benar Sin-ni, ilmu Thian-siau-mo-gak itu memang tak sembarang orang mampu mempelajarinya. Hampir
enampuluh tahun lamanya suhuku mempelajari ilmu itu. Pun baru dapat menguasai empat buah irama.
Sedang empat irama yang lain berada pada ke empatpuluh tujuh batang jarum Ular Emas itu. Kecuali
pangcu dan Buddha emas Ang Siong-pik, aku sendiri tak mempunyai kesempatan untuk belajar ilmu
itu.......”
Tiba-tiba Kwik Ing-tat teringat sesuatu, serunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, apabila Sin-ni tak mengatakan ilmu Thian-siau-gak-cin itu, mungkin aku lupa akan tujuanku datang
kemari……, mohon tanya kepada Dewi, bagaimanakah dengan duapuluh batang jarum Ular Emas itu?”
“Bukankah keduapuluh tujuh batang jarum Ular Emasku itu telah direbut pihak Lembah Kumandang?” tanya
Siau Lo-seng.
“Memang benar,” sahut Ui Siu-bwe, keempat Su-tay-thian-ong dari Lembah Kumandang telah berhianat
mencuri jarum itu serta pena Keng-hun-pit. Begitu pula sejilid kitab Lian-hun-cin-keng, ah……, inilah
kegagalanku yang paling besar. Tak kira kalau keempat Tay-thian-ong yang kudidik itu ternyata anak buah
Ban-jin-kiong.”
“Ah, urusan makin lebih gawat,” kata Kwik Ing-tat.
“Dosa bertimbun dosa,” seru Tay Hui Sin-ni, “sungguh tak kira kalau Ban-jin-kiong memang benar-benar
mengandung rencana untuk menguasai dunia persilatan.”
“Memang kekuatan Ban-jin-kiong makin dahsyat. Mereka sudah dapat menguasai separoh bagian dunia
persilatan. Dan manusia mumi yang dibuatnya itu setingkat lebih tinggi dari buatanku. Untuk menggempur
Ban-jin-kiong memang bukan suatu pekerjaan gampang,” kata Ui Siu-bwe.
Sambil mendengarkan percakapan itu, Siau Lo-seng mondar mandir di luar ruang.
“Siau koko, hendak kemanakah engkau?” tanya Hun-ing yang cepat menghampiri.
Siau Lo-seng berpaling. Kebetulan pandang mata keduanya saling beradu. Dan sorot mata nona itu seperti
memancar sinar dendam dan kasih.
Siau Lo-seng buru-buru palingkan muka untuk menghindari pandang mata si nona.
“Aku hendak ke Ban-jin-kiong……, melakukan apa yang harus kulakukan…….”
Habis berkata pemuda itu terus berputar tubuh dan melesat keluar ruang.
Terdengar suara anjing menyalak. Anjing putih yang sejak tadi mendekam di tepi, saat itu menyalak keras
lalu lari menyusul langkah Siau Lo-seng.
“Omitohud,” Tay Hui Sin-ni menghela napas, “seorang anak yang keras hati, seorang anak yang bernasib
malang.”
Tiba-tiba Hun-ing menjerit dan berlutut di hadapan Dewi Mega Ui Siu-bwe.
“Subo, perkenankanlah aku dan saudara-saudara dari perkumpulan kita semua untuk menuntut balas.”
Beribu-ribu anak buah Naga Hijau pun segera berlutut. Mereka menumpahkan pandang ke arah Dewi
Mega. Pandang yang memohon keputusan dari pimpinan mereka.
“Bangunlah kalian semua. Ing, engkaupun lekas bangun. Aku mengabulkan permintaanmu,” akhirnya Dewi
Mega Ui Siu-bwe memberi keputusan dengan nada yang rawan.
Serentak terdengarlah sorak sorai yang gegap gempita. Karena girangnya, Hun-ing segera memeluk kedua
kaki Dewi Mega. Dua butir air mata menitik dari kelopak mata nona itu.
Dewi Mega membelai-belai rambut Hun-ing. Ia menghela napas penuh kedukaan dan kerawanan.
Airmatanya pun berderai-derai mengucur ke tanah.
Tiada seorangpun yang mengetahui isi hati pemimpin Lembah Kumandang itu. Helaan napasnya itu penuh
mengandung dengan berbagai derita perasaan.
Derita dari perjalanan hidupnya di masa yang lalu. Suatu perjalanan hidup yang telah memberi akibat
penderitaan lahir dan batin sehingga sampai detik itu.
Dia telah melakukan suatu perbuatan yang seharusnya takkan dilakukan dan sebenarnya tak ingin
dilakukannya.
Tetapi kesemuanya itu telah terjadi. Dan apa yang telah terjadi tak mungkin akan dihapus kembali…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam itu sunyi sekali. Dan amat pekat karena di tengah musim rontok. Empat penjuru alam seolah tertutup
selimut hitam.
Dalam kegelapan malam yang pekat itu sesosok bayangan melesat keluar kemudian dikejar oleh dua sosok
bayangan lagi.
“Hai, berhenti! Saat ini tak boleh keluar. Tempat ini terlarang!”
Seiring dengan teriakan itu lima lelaki baju hitam dan bersenjata golok segera berhamburan keluar dari
dalam hutan dan menghadang jalan.
Sosok bayangan yang pertama segera hentikan langkah, mengeluarkan sebuah Leng-pay (lencana) dan
berseru:
“Aku menerima titah dari Sau-kongcu untuk memeriksa penjagaan di istana. Hari ini akan dilakukan
upacara. Semua tempat harus dijaga keras!”
Mendengar itu kelima baju hitam itupun buru-buru mengiakan, “Baik, Lau Jin-tin dan kawan-kawan, anak
buah dari Istana Kesatu, akan melaksanakan perintah!”
“Berapa banyak penjaga di sini?”
Salah seorang baju hitam menyahut: “Kelompok muka lima orang. Kelompok belakang sepuluh orang.”
Orang itu mendengus. “Baik, sekarang keluarkan pertandaan leng-hu kalian!”
Kelima baju hitam itu segera merogoh ke dalam baju untuk mengambil keluar pertandaan. Tiba-tiba dua
orang pendatang yang mengaku sebagai petugas ronda itu maju dan secepat kilat menutuk. Hanya
beberapa orang, suara tertahan dari mulut yang terdengar dan kelima orang baju hitam itupun serempak
rubuh ke tanah.
“Siau koko,” kata pendatang yang pertama tadi, “inilah pos penjagaan terakhir dari lingkung luar Ban-jinkiong.
Di dalam masih ada sepuluh orang yang harus kita bereskan.”
“Bokyong-te, setelah lingkung luar ini, apakah masih ada penjagaan lain lagi?” tanya Siau Lo-seng.
“Setelah seratus empat buah pos penjagaan luar, hanya terdapat sebuah jalan rahasia di bawah tanah. Di
situ dijaga oleh duabelas pos penjagaan. Menurut keterangan, penjaga di situ yang jaga adalah duabelas
Manusia Kim-kong atau kebal. Mereka memeriksa setiap orang yang hendak masuk ke dalam istana di
bawah tanah. Setiap pos penjagaan diperkuat dengan dua regu barisan manusia yang kehilangan
pikirannya. Sekali memberi perintah kedua regu manusia mumi itu segera akan menyerang. Memang hebat
dan mengerikan sekali. Harap toako jangan memandang rendah.”
“Jalan ke istana di bawah tanah itu, apakah hanya sebuah jalanan kecil saja?” tanya Siau Lo-seng.
“Antara Istana bawah tanah dengan istana di atas tanah terpisah oleh sebuah lembah buntu. Lembah itu
sempit dan dalam, ke empat dindingnya setebal tembok benteng. Penuh tanaman hutan dan pakis yang
licin. Sering tertutup kabut tebal penuh dengan ular berbisa. Tak mungkin dilalui orang.”
Siau Lo-seng terkejut.
“Lalu mengapa bala bantuan kita dari luar itu dapat masuk ke dalam Istana bawah tanah dan bertempur
dengan mereka? Kalau mereka tetap menjaga di dalam, bukankah kita tak berdaya untuk menggempur
mereka? Atau apakah mereka memang tak kenal pada kita?”
Bok-yong Kang tertawa.
“Sudah tiga bulan lamanya aku menyelundup ke dalam barisan Algojo yang terdiri dari empatpuluh dua
orang. Karena itu aku agak paham akan jalan-jalan dan pintu-pintu istana itu. Mengapa aku sampai tak
dapat dipergoki karena setiap anak buah Ban-jin-kiong itu tentu mengenakan kerudung muka sehingga
sukar untuk saling mengenali. Asal berhasil masuk ke dalam istana bawah tanah dan menerima perintah
dari Cong-kiongcu (kepala istana) tentu kita dapat bergerak dan bertindak.”
“Dimanakah Pek Wan Taysu ditahan? Apakah adik Cu-ing juga berada dalam istana Ban-jin-kiong ini?”
tanya Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang Pek Wan Taysu dan seluruh anak buah barisan Toat-mo-coat-ci-tin telah tertangkap dalam
perangkap istana. Menurut keterangan yang kuperoleh mereka berada di istana Jun-wa-kiong atau Lianhun-
kiong. Karena kedua tempat itu digunakan untuk memberi hukuman kepada murid hianat atau tawanan.
Tentang Nyo Cu-ing, sampai saat ini belum pernah berhubungan dengan kami. Tentu berbahaya
keadaannya.”
Tiba-tiba Bok-yong Kang hentikan kata-katanya dan berbisik,
“Awas, regu penjaga belakang akan tiba. Hati-hati menjalankan rencana kita.”
Memandang ke muka, Siau Lo-seng melihat sebuah rombongan lentera hijau sedang bergoyang-goyang di
dalam hutan yang jaraknya antara setengah lie. Di bawah gerumbul lentera itu terdapat sebuah rumah
pondok. Selintas pandang mirip dengan sebuah rumah petani.
Menyusur sebuah jalan kecil, keduanya segera tiba di rumah pondok itu. Aneh, rumah pondok itu sunyi
senyap.
“Bokyong-te, mengapa di sini sunyi-sunyi saja? Mungkin tak ada alat rahasia di sini,” kata Siau Lo-seng.
“Aneh,” Bok-yong Kang juga heran, “tempat ini jelas merupakan pos istimewa dari Ban-jin-kiong, mengapa
tiada barang seorang penjaganya. Cobalah kulihatnya!”
Ia menghampiri ke pondok dan berhenti setombak jauhnya.
“Hai, apakah kalian di sini mati semua? Mengapa kalian tak keluar menjaga?”
Tetapi ternyata tiada penyahutan apa-apa.
Tiba-tiba Siau Lo-seng gunakan ilmu jari Kim-kong-ci-keng ke arah pondok itu, “Bum……” terdengar
beberapa benda rubuh.
Siau Lo-seng dan Bok-yong Kang cepat menyerbu masuk. Ketika melihat keadaan dalam pondok itu, kejut
mereka bukan kepalang.
Ternyata dalam pondok sudah siap menunggu empat orang baju hitam dengan mencekal golok. Mata
mereka memandang ke arah kedua pemuda itu. Tidak bergerak, pun tidak bersuara apa-apa.
Siau Lo-seng gunakan ilmu menutuk jarak jauh dan keempat lelaki baju hitam itupun berhamburan
rubuh……”
“Bokyong-te, lebih dulu mereka sudah ditutuk jalan darahnya oleh orang,” Siau Lo-seng kerutkan dahi.
“Apakah ada tokoh sakti yang mendahului kita?” Bok-yong Kang terkejut.
“Mari kita selidiki,” kata Siau Lo-seng seraya lari keluar, berputar ke sekeliling tempat lalu kembali.
“Di luar terdapat enam orang anak buah Ban-jin-kiong yang juga telah tertutuk jalan darahnya. Hebat sekali
kepandaian orang itu,” kata Siau Lo-seng.
“Tak mungkin kalau Nyo Cu-ing,” sambut Bok-yong Kang, “karena setelah masuk, tak mungkin kawankawan
yang berada di dalam itu akan keluar lagi.”
“Memang besar kemungkinan kalau Nyo Cu-ing tentu sudah tertawan. Kalau tidak masakan dia tak
berusaha mencari hubungan dengan kita. Tetapi yang jelas, orang aneh itu sehaluan dengan kita. Mari,
waktunya sudah tak mengijinkan lagi,” kata Siau Lo-seng.
“Hari ini istana Ban-jin-kiong penuh dengan tetamu-tetamu dari lima gunung. Tentu di antara mereka
terdapat tokoh-tokoh yang sehaluan dengan kita. Hanya kalau menilik gerak geriknya yang paham akan
keadaan Ban-jin-kiong, tentulah sudah lama dia menyelundup di sini. Ah, kalau begitu kita tak berjuang
sendiri!”
“Ban-jin-kiong hendak menguasai dunia persilatan. Sudah tentu mempersiapkan anak buah yang besar
jumlahnya. Gerakan kita kali ini, apabila berhasil tentulah akan dapat membebaskan dunia persilatan dari
kehancuran.”
Bok-yong Kang tertawa.
“Siau toako, tujuan baik tentu diberkahi Allah. Tetapi entah adakah bantuan dari luar itu akan dapat kerja
sama dengan kita yang bergerak dari dalam?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng menghela napas.
“Bokyong-te, sungguh aku menyesal sekali bahwa setelah pertempuran dahulu itu, sampai sekarang aku
masih belum berhasil mengadakan hubungan dengan partai-partai persilatan. Kebalikannya malah mengikat
salah paham dengan mereka. Tetapi malam ini aku berani memastikan. Yang datang ke Ban-jin-kiong ini
nanti tentu tak kurang dari seribu orang jumlahnya. Kalah atau menang, tergantung dari cara kita untuk
mengatur langkah.”
“Aku percaya saja atas setiap langkah yang Siau toako hendak memutuskan.”
Saat itu mereka sudah tiba di jalan kecil yang menuju ke istana bawah tanah. Di sebelah muka tampak
beberapa orang berjalan berkelompok-kelompok. Mereka sama mengenakan kerudung muka kain hitam.
Tampaknya sangat bergegas-gegas sekali. Walaupun sama-sama berjalan di jalan kecil itu tetapi mereka
tak saling menegur. Sikapnya seperti orang asing yang belum saling kenal.
“Siau toako, apakah engkau masih ingat akan sandi kata-kata dari ke duabelas pos rahasia itu? Di sebelah
muka itu, pos pertama. Harap berhati-hati!” bisik Bok-yong Kang.
Dengan ilmu menyusup suara Siau Lo-seng menjawab,
“Bokyong-te, jangan kuatir. Kata-kata sandi aku ingat semua. Sekarang mari kita berpencar, agar jangan
menimbulkan kecurigaan mereka.”
Habis berkata ia terus meluncur ke arah rombongan orang-orang itu. Setelah melintasi sederet hutan,
mereka tiba di sebuah lapangan rumput seluas setengah lie. Melintasi padang rumput itu tampak barisan
gunung berjajar-jajar. Puncaknya menjulang sampai ke langit.
17.84. Tantangan Ke Duabelas Pos Rahasia
Setitikpun Siau Lo-seng tak menyangka babwa di belakang hutan lebat itu terdapat sebuah tempat yang
indah alamnya. Lebih tak menyangka lagi dia bahwa jalanan di bawah tanah dari istana Ban-jin-kiong itu,
begitu pelik sekali.
Ketika lepaskan pandang ke muka, di jalan sempit pada jajaran puncak gunung itu, tampak lima orang
berjalan cepat sekali. Pada lain kejap kelima orang itupun lenyap.
Siau Lo-seng tak mempunyai waktu untuk menikmati pemandangan alam di situ. Bergegas-gegas dia
menuju ke mulut jalanan itu.
Tiba di bawah karang buntu, tampak sebuah pintu batu. Di atas pintu melintang sekeping papan batu yang
bertuliskan:
“Pos Pertama.”
Pada saat Siau Lo-seng tengah memandang papan nama itu tiba-tiba sebuah suara parau membentaknya.
“Apanya yang perlu dilihat? Kalau takut menghadapi perkara, jangan datang kemari!”
Siau Lo-seng terkejut. Buru-buru ia melangkah masuk seraya berseru nyaring,
“Cabang ketujuh dari Kwan-gwa. Siau Kok-su, mohon diperiksa.”
Dari balik pintu batu kembali terdengar suara teriakan yang kasar, “Di situ bukan tempat yang aman,
berpaling ke belakang akan melihat tepi.”
“Jalan ini dapat mencapai ke negara Emas, lekas masuk,” sahut Siau Lo-seng.
Tiba-tiba suara dari balik pintu batu itu tertawa gelak-gelak: “Nomor tujuh dari Kwan- gwa, masuklah.”
Apa yang diucapkan oleh kedua orang itu merupakan kata-kata sandi. Karena Siau Lo-seng dapat
menanggapi dengan tepat maka diapun segera diperintahkan masuk.
Begitu masuk ke dalam pintu batu itu. Siau Lo-seng segera melihat seorang tua kate, berwajah seperti
kanak-anak, sedang rebah di atas sebuah kursi goyang. Tangannya mencekal sebuah kipas dari batu
kumala dan tengah berkipas-kipas diri.
Empat penjuru merupakan gerumbul pohon Kui-hoa. Tiada seorang lain kecuali si kate itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rupanya orang kate itupun pura-pura tak melihat Siau Lo-seng. Tanpa mengisar pandang mata ia segera
bersenandung:
Belibis berkawan-kawan terbang ke selatan,
Burung walet terbang pulang ke sarang,
O, manusia yang bodoh menyerahkan diri,
ke dalam istana Mo-kiong.
Sebenarnya Siau Lo-seng tak percaya kalau orang kate itu memiliki suara yang berkumandang besar
berwibawa. Tetapi setelah mendengar senandungnya, barulah ia terkejut dan berhenti. Dipandangnya orang
itu sejenak lalu menghampiri dan memberi hormat,
“Mohon......”
“Tempat ini bukan tempat yang aman,” tukas orang tua kata itu. “berpaling dan engkau akan melihat tepi.
Aneh, aneh, sungguh aneh. Di sorga terdapat jalan yang lebar, mengapa harus menerobos masuk ke
neraka? Tadi telah datang seorang tolol sekarang datang lagi dua kepala kerbau. Ho, ho, ho, aku Jit-haymo-
thong Tan Lip-jin, mau pejamkan mata tidur sebentar saja tidak bisa. Nah, lanjutkanlah ketololanmu,
kerbau gila, mengapa tak lekas pergi. Apabila ditangkap dan dimasukkan dalam istana, tentu akan mati!”
Siau Lo-seng terkejut. Jelas orang tua kate itu mengoceh hendak memberi peringatan kepadanya. Jelas
bahwa dalam istana Ban-jin-kiong itu terdapat banyak sekali jago-jago yang sakti.
Seingat pengetahuannya, orang kate Tan Lip-jin yang bergelar Jit-hay-mo-thong atau Iblis anak tujuh
samudera itu, sudah sejak duapuluh tahun yang lalu tak muncul. Dahulu dia seorang iblis yang termasyhur.
Tetapi mengapa sekarang tiba-tiba berada di istana Ban-jin-kiong? Menilik ocehannya, jelas orang kate itu
tak mau menjadi anak buah Ban-jin-kiong.
Di atas karang buntung tampak beberapa sosok bayangan. Dua orang berkerudung muka kembali muncul.
Cepat sekali Siau Lo-seng segera mendapat pikiran. Ia lari menuruni jalan kecil.
Dalam gerakan untuk menumbangkan istana Ban-jin-kiong kali ini, Siau Lo-seng makin besar keyakinannya.
Sambil berlari, ia sempat juga merenungkan tentang rencana dan siasat untuk menghadapi orang Ban-jinkiong.
Diam-diam ia gembira.
Pos kedua,
Terletak di sebuah jalan kecil. Yang menjaga di situ adalah seorang tokoh bernama Ciau Hui-ing bergelar
Cian-pit-ko-lo atau Tengkorak seribu lengan.
Untunglah dengan mengucapkan beberapa kata sandi, Siau Lo-seng dapat melewati pos kedua itu dengan
selamat.
Pos ketiga
Terletak di atas kelompok gunduk batu. Penjaganya kepala bagian dari perhimpunan Hui-hou-pang atau
Macan Terbang. Namanya Lim Bu-seng bergelar Thiat-pay-ong atau Raja lencana besi.
Tampaknya batu-batu yang berserakan di tanah itu tak teratur dan biasa saja. Tetapi sesungguhnya
merupakan sebuah barisan bentuk Kiu-kiong-tin atau Barisan Sembilan istana.
Orang yang tak mengerti ilmu barisan, sekali masuk tentu akan tersesat tak dapat keluar. Dan datanglah
Thiat-pay-ong Lim Bu-seng segera akan menangkapnya.
Bagi Siau Lo-seng, sudah tentu barisan batu itu bukan suatu halangan.
Pos Keempat.
Dijaga olah Ciong Su-ing yang bergelar Kiu-coat-mo-cun atau Iblis sembilan tumpas. Dia duduk di sebuah
meja kecil di tepi jalan. Di atas meja kecil itu terdapat sepuluh macam obat, sembilan macam racun yang
bekerja pelahan dan satu macam bubuk racun yang luar biasa ganasnya.
Setiap orang yang lalu di situ, harus memilih satu macam dan harus segera diminum saat itu juga. Entah dia
mati atau hidup, iblis Ciong Su-ing itu tak menghiraukan dan melepaskannya.
Juga rintangan ini bagi Siau Lo-seng tak menjadi soal. Karena sudah mendapat kisikan dari Bok-yong Kang
maka dia dapat memilih dengan tepat dan terus menelannya. Sekalipun begitu untuk menjaga kemungkinan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang tak diinginkan, diam-diam Siau Lo-seng juga menggunakan siasat. Dikumpulkannya racun itu dalam
mulut lalu dalam suatu kesempatan yang tak terduga, segera ia memuntahkannya lagi keluar.
Pos Kelima.
Penjaganya adalah seorang tokoh yang pada empatpuluh tahun berselang telah menggetarkan dunia
persilatan. Seorang iblis yang aneh sepak terjangnya. Ya termasuk aliran Hitam, juga termasuk aliran Putih.
Dunia persilatan menjulukinya dengan gelar Se-hong-it-to atau Golok tunggal dari barat Namanya Pui Sehiap.
Iblis tua itu tetap mengenakan dandanan aneh seperti empatpuluh tahun yang lalu. Pakaiannya, separoh
pakaian wanita, separoh pakaian pria.
Caranya untuk menguji setiap pendatang yang menghampiri ke tempat posnya juga aneh. Orang itu akan
diserang dari belakang dengan golok. Jika dapat menghindari, orang itu bebas melanjutkan perjalanan.
Tetapi kalau tak tahu cara bagaimana harus menghindar, jangan harap ia mampu lolos dari golok yang
pernah menggemparkan dunia persilatan empatpuluh tahun yang lalu.
Pada saat Siau Lo-seng tiba di pos kelima itu, dilihatnya dua sosok mayat manusia rebah di tanah.
Sudah tentu karena mendapat keterangan dari Bok-yong Kang, Siau Lo-seng dapat lulus dari serangan
golok Pui Se-hiap.
Pos Keenam.
Penjaganya benggolan iblis dari Tibet yang terkenal sangat kejam, licik dan ganas. Namanya Cia Lu-wi,
bergelar Pek-tok-kun atau Manusia seratus racun.
Ketika Siau Lo-seng tiba di pos keenam itu maka Pek-tok-kun Cia Lu-wi segera menyongsong dengan tawa
yang aneh.
“Pada saat engkau rasakan perutmu sakit, nah, saat itulah merupakan hari terakhir bagimu. Sekarang
silahkan engkau melanjutkan perjalanan!”
Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia kerahkan tenaga dalam untuk menguji keadaan tubuhnya. Ternyata tak
terdapat suatu anggauta dalam tubuhnya yang tak wajar.
Tetapi pada saat ia hendak melepaskan pengerahan tenaga dalam itu, tiba-tiba ia rasakan tubuhnya dingin
sekali. Ia kaget dan menyadari bahwa dirinya telah termakan racun.
Sebelum ia sempat membuka mulut, Pek-tok-kun Cia Lu-wi sudah mendahului menghela napas rawan.
“Apabila hal ini terjadi pada tempo dahulu, saat ini engkau tentu sudah terkena racunku Hian-ping-tok-ceng.
Tetapi mengingat engkau sudah berhasil menjaga pos yang keenam, maka aku takkan menyulitkan engkau
dan silahkan engkau pergi.”
Pos Ketujuh.
Ketika melihat sesosok tubuh duduk membelakangi di atas sebuah dingklik sambil minum arak maka Siau
Lo-seng pun segera berseru: “Kepala cabang nomor tujuh dari Kwan-gwa……”
Belum selesai kata-katanya itu, tiba-tiba orang tua aneh itu melonjak. Siau Lo-seng yang memang sudah
siap sedia, terus hendak menghantam.
Tetapi ternyata kakek berambut putih itu tidak menyerang melainkan berteriak dengan gembira:
“He, tua bangka Lam Ki, akhirnya engkau datang juga. Sudah bertahun-tahun aku menunggumu……”
Tetapi tiba-tiba pula ia hentikan kata-katanya lalu memandang Siau Lo-seng dengan marah, bentaknya:
“Hai, siapa engkau! Engkau pengapakan si tua Lam Ki itu, lekas bilang atau kupukulmu mati!”
Ternyata kakek berambut putih itu memakai kaca mata. Dan waktu memandang Siau Lo-seng kaca
matanya pun menunduk ke bawah sehingga hampir jatuh. Dengan mata memancar berapi-api, ia
melangkah menghampiri Siau Lo-seng. Sikapnya seperti hendak menyerang.
Siau Lo-seng cepat mundur beberapa langkah, serunya gopoh,
“Apakah engkau bukan Naga laut terbang Lu Kong-tui?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Theng-hay-hui-kau atau Naga laut terbang Lu Kong-tui cepat sekali menghampiri ke dekat dan tiba-tiba
tangan kirinya direntangkan, jari-jarinya yang menyerupai cakar burung garuda itu segera menerkam muka
Siau Lo-seng.
Pemuda itu kaget sekali. Dia tak menduga sama sekali bahwa kakek yang belum dikenalnya itu akan
menyerang sedemikian cepat dan ganas. Cepat ia gunakan jurus Cian-liong-jiu atau Tabasan naga untuk
menabas seraya gunakan gerak putaran yang aneh untuk menyurut mundur sampai tujuh-delapan langkah.
“Budak, siapakah engkau ini?” bentak Naga laut terbang Lu Kong-tui, “kalau tak mau memberitahu
namamu, engkau tentu kupukul mati!”
Dalam berkata-kata itu, Lu Kong-tui pun sudah mengisar maju ke muka Siau Lo-seng.
Tetapi Siau Lo-seng tak gentar. Bukannya mundur kebalikkannya ia malah maju untuk lancarkan tiga buah
tutukan jari seraya balas membentak:
“Aku Siau kok-su akan menangkapmu untuk mendirikan pahala besar……”
Tetapi di luar dugaan, bagaikan seekor ular yang licin, tahu-tahu tubuh Lu Kong-tui sudah mencelat sampai
dua tombak jauhnya lalu tertawa gelak-gelak,
“He, kiranya engkau si Kok-su itu! Mengapa engkau tak lekas bilang? Si tua Lam Ki mengapa tak datang?
Tahukah engkau kalau saat ini engkau telah menempuh bahaya besar? Ah, si tua Lam Ki itu memang……”
Siau Lo-seng tertegun. Tetapi cepat juga ia dapat menanggapi apa yang dikatakan kakek aneh itu.
“Katakanlah, bahaya apa yang telah kuterjang itu? Aku hendak bertanya kepadamu, apakah engkau ini
benar-benar Naga laut terbang Lu Kong-tui?”
“Gila, apakah engkau tak kenal kepadaku?” teriak Lu Kong-tui, “aku ini paman Lu atau Lu Kong-tui yang
pernah mengajarmu tiga jurus ilmu Hay-liong-sam-si. Walaupun engkau dengan si tua Lam Ki itu ayah dan
anak, tetapi engkau tak dapat mewakilinya menghadapi upacara sembahyang besar musim Tiong-jiu.
Engkau tentu sudah tahu apabila tindakanmu ini sampai kepergok, hukuman apa yang akan engkau terima!”
Sekonyong-konyong dari jauh bermunculan beberapa sosok bayangan yang berlari gegas menuju ke
tempat itu.
Melihat gelagatnya, Siau Lo-seng cepat berseru dengan nada dingin,
“Jangan kuatir! Setengah tahun yang lalu si tua itu sudah kalah dalam pertempuran. Sekarang akulah yang
memegang tanggung jawab pimpinannya.”
Lu Kong-tui terbeliak kaget.
“Apa? Si tua Lam Ki dicelakai orang? Kalau begitu…… engkau ini tentu sudah masuk ke dalam gerombolan
Ban-jin-kiong!”
Setelah memperhatikan bahwa kawanan orang yang berdatangan itu tak berapa jauh lagi, Siau Lo-seng
cepat berseru gopoh:
“Kuberitahu kepadamu. Dia telah dimasukkan ke dalam istana Lian-hun-kiong untuk dicuci otaknya. Jika tak
ada lain urusan lagi, aku hendak melanjutkan perjalanan.”
Habis berkata ia terus berputar tubuh dan ayunkan langkah. Dari belakang masih didengarnya si kakek Lu
Kong-tui itu bersungut-sungut seorang diri:
“Habis, habis semua. Yang tua habis, yang mudapun habis. Tak kira setelah berhamba selama duapuluh
tahun kepada Ban-jin-kiong, si tua Lam Ki hanya memperoleh balasan yang begitu rupa……, Kok-su,
pergilah! Aku, Lu Kong-tui, walaupun harus rontok tulang-tulangku yang tua ini tetapi aku tetap hendak
melakukan pembalasan. Ketua Ban-jin-kiong, tunggu sajalah nanti!”
Diam-diam Siau Lo-seng menghela napas longgar. Ah, apabila dia tak menerima petunjuk Bok-yong Kang
untuk menyaru sebagai Siau Kok-su, tak mungkin saat itu dia dapat melewati tujuh buah pos penjagaan.
Pos kedelapan.
Dijaga oleh momok iblis yang termashyur yalah Cakar setan Tan Ping-bun. Tetapi Siau Lo-seng berhasil
juga melewatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pos kesembilan.
Penjaganya bernama Tio Yan-lip, seorang iblis yang bertubuh tinggi sehingga hampir dua meter. Sepasang
tangannya menyerupai sepasang kipas. Kedua kakinya bagai dua buah tonggak yang kokoh. Kepalanya
pun besar tetapi otaknya kosong alias tolol.
Maka dengan gunakan sedikit siasat, dapatlah Siau Lo-seng melintasi pos penjagaan itu.
Pos Kesepuluh.
Penjaganya bekas Cong-hou-hwat atau kepala pelindung dari perhimpunan Giok-li-pang. Seorang wanita
bernama Coa Siok-ki bergelar Rajawali mata ungu. Walaupun saat itu dia sudah tua tetapi kecantikannya
masih tampak membekas.
Dari seorang wanita yang termasyhur gagah dan cantik pada duapuluh tahun berselang, kini dia telah
berobah menjadi seorang wanita yang pendiam jarang berkata.
Dia hanya mengajukan sebuah pertanyaan dan setelah dijawab tepat oleh Siau Lo-seng, maka pemuda
itupun dipersilahkan berjalan.
Pos Kesebelas.
Di pos ini penjaganya beda dengan yang lain-lain. Dia adalah ketua dari perkumpulan Macan Terbang,
Pangeran berwajah riang Ong Pok-goan. Yang istimewa dia mempunyai binatang peliharaan seekor
harimau buas. Saat itu harimau tampak kurus karena kelaparan sekali. Binatang itu mendekam di sisi Ong
Pok-goan.
Pangeran berwajah tertawa itu tidak lagi tertawa mukanya tetapi malah menghela napas.
“Penjaga dari pos kesepuluh, apakah bukan Ui Siok-hoa?” tanyanya.
Siau Lo-seng terkejut. Diam-diam ia menimang dalam hati, “Ketua perkumpulan Giok-li-pang Ui Siok-hoa
mengapa muncul di sini? Bukankah wanita itu pada delapanbelas tahun yang lalu membunuh diri karena
putus asa, merindukan kasih kepada ayah Siau Lo-seng tetapi ayah Siau Lo-seng atau Siau Han-kwan tak
membalas cintanya?”
“Bukan, pos kesepuluh itu dijaga oleh Rajawali mata Ungu Coa Siok-ki, bukan Ui Siok-hoa,” sahut Siau Loseng.
Kembali Ong Pok-goan menghela napas. “O, dia. Kutahu memang selamanya tak mungkin kalau Ui Siokhoa.
Pergilah engkau!”
Demikian dengan tanpa banyak rintangan. Siau Lo-seng dapat melalui pos kesebelas yang menyeramkan
itu. Dia terus melanjutkan perjalanan menuju ke pos keduabelas.
Dia harus melalui sebuah lembah yang penuh ditumbuhi pohon jati dan bambu.
Sisi kanan dari lembah itu merupakan sebuah karang yang curam dan menjulang tinggi. Dari atas karang itu
menumpah sebuah air terjun.
Saat itu pertengahan bulan delapan atau yang disebut Tiong-jiu, pertengahan musim rontok. Bunga-bunga
Kui-hoa tengah mekar. Dibawa oleh kesiur angin, bunga-bunga itu menebarkan bau yang harum.
Tempat yang indah alam pemandanganya itu bukan suatu tempat yang tersohor ataupun tempat dewadewa
melainkan Mo-kiong (istana iblis) di bawah tanah dari istana Ban-jin-kiong.
Saat itu banyak sekali tokoh-tokoh silat yang diam-diam telah menyelundup masuk ke markas Ban-jin-kiong.
Siau Lo-seng salah seorang dari mereka. Mereka tak saling bertukar bicara, seolah tak mengenal satu
sama lain.
Melihat sejumlah besar orang berbondong-bondong masuk ke dalam hutan bambu. Siau Lo-seng pun
segera mengikuti.
Begitu masuk ke hutan bambu, pemandangan alam di situpun berobah. Pohon-pohon bambu bergoyanggoyang,
daun-daunnya saling bergesek, menimbulkan bunyi yang menyayat hati.
“Ah, walaupun tak dijaga orang tetapi Ban-jin-kiong sudah dilindungi oleh barisan pohon bambu yang hebat.
Barisan pohon bambu itu menyerupai dengan barisan yang pernah dibentuk oleh Buddha emas Ang Siongdunia-
kangouw.blogspot.com
pik tempo hari. Bedanya kalau Ang Siong-pik menggunakan pengawal tetapi Ban-jin-kiong menggunakan
pohon bambu.
Serentak timbul berbagai pertanyaan dalam benak Siau Lo-seng. Kalau Ang Siong-pik tidak ikut pada Banjin-
kiong, tentulah Ban Jin-hoan mengerti juga ilmu barisan seperti yang dimiliki Ang Siong-pik. Ataukah, hal
itu hanya secara kebetulan saja sama.
Siau Lo-seng keluar dari hutan itu. Sekonyong-konyong terdengar suara gelak tertawa nyaring lalu sebuah
suara orang yang tak asing baginya,
“Bagus, bagus, ternyata engkau masih ingat kehebatan dari, barisan ini, ha, ha……”
18.85. Istana Iblis.
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia mengangkat muka, memandang ke muka.
Tampak di sebelah muka tegak berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi besar. Wajah berbentuk pesegi. Dari
bagian mata kiri sampai pada pipi, masih membekas sebuah luka goresan pedang.
Ang Piau, jago dari istana Ban-jin-kiong yang dua kali hampir mati di bawah ujung pedang Siau Lo-seng.
Ang Piau masih tetap menyanggul golok berbatang seperti gergaji di belakang punggungnya.
Tampak orang she Ang itu hendak membuka mulut tetapi tak jadi dan hanya memandang Siau Lo-seng
dengan pandang keragu-raguan. Tiba-tiba ia geleng-geleng kepala dan berkata seorang diri
“Ah, bukan, bukan!”
Siau Lo-seng terkejut, Diam-diam ia telah salurkan tenaga dalam bersiap-siap menghadapi setiap
kemungkinan yang akan terjadi.
“Adakah dia mengenali diriku?” pikir pemuda itu.
Dengan cepat pula Siau Lo-seng segera menilai keadaan di sekitarnya. Jalan keluar dari hutan bambu itu
hanya sebuah jalan yang dapat mencapai ke dalam istana di bawah tanah.
Diperhatikannya juga bahwa mulai pada jarak satu tombak di belakang Ang Piau sehingga sampai ke mulut
ruangan yang jaraknya antara tujuh tombak, di kedua tepi jalan itu penuh berjajar-jajar barisan Sip-hun-jin
atau Manusia tanpa pikiran dengan memegang golok penjagal.
Sikap kawanan Sip-hun-jin itu hampir seragam. Tangan kanan masing-masing mencekal golok, punggung
golok dilekatkan pada badan dan mata golok dihadapkan ke muka.
Tengah Siau Lo-seng menilai-nilai keadaan yang dihadapinya, tiba-tiba Ang Piau membentaknya bengis:
“Beritahukan namamu!”
Siau Lo-seng gelagapan. Setelah menenangkan perasaannya ia menyahut dengan tenang, “Siau Kok-su
dari Kwan-gwa nomor tujuh.”
°O, kiranya kawan Siau!” seru Ang Piau.
Legalah hati Siau Lo-seng. Cepat-cepat ia menyahut, “Ya, apakah aku boleh melanjutkan perjalanan?”
Sejenak melontar pandang, Ang Piau mempersilahkan Siau Lo-seng masuk.
Dengan gembira Siau Lo-seng pun segera melangkah masuk. Tetapi baru kira-kira lima langkah tiba-tiba
Ang Piau membentaknya:
“Berhenti!”
Siau Lo-seng terkejut, cepat-cepat ia berpaling, “Apakah masih ada pesan lain?”
Sepasang mata Ang Piau berkilat-kilat memancar sinar pembunuhan. Ditatapnya pemuda itu dari ujung kaki
sampai ke ubun-ubun kepala. Sesaat kemudian pelahan-lahan ia maju menghampiri.
Siau Lo-seng mengeluh. Diam-diam ia merasa gelagatnya tidak baik. Segera ia salurkan tenaga dalam ke
arah kedua tangan untuk bergerak mendahului menindas orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi mata yang berapi-api dari Ang Piau itupun segera pudar dan kedengaran menghela napas.
“Saudara Siau,” katanya, “sekalipun engkau mengenakan kerudung muka kain hitam, kutahu bahwa engkau
datang kepada kami, baiklah, silahkan masuk!”
Siau Lo-seng tertegun. Diam-diam ia kembali bersikap tenang. Dia makin bingung. Sikap dan ucapan Ang
Piau yang tak menentu itu seolah-olah memberi kesan bahwa sesungguhnya Ang Piau sudah mengetahui
penyamarannya. Tetapi mengapa dia mau melepaskannya?
Sejenak termenung, Siau Lo-seng melangkah ke mulut ruangan, tiba-tiba dua jajar barisan Sip-hun-jin itu
serempak mengangkat golok yang berkilat-kilat tajam sekali.
Tetapi Siau Lo-seng tak gentar. Ia tetap berjalan di bawah naungan golok. Dan anehnya, Ang Piau pun tidak
memberi perintah untuk menabas, dengan demikian dapatlah Siau Lo-seng mencapai pintu ruangan dan
melangkah masuk.
Jalan yang menuju ke ruang besarpun dijaga ketat oleh barisan penjaga bersenjata lengkap. Mereka
mengawasi dengan tajam setiap orang yang masuk.
Sesaat memasuki ruangan besar, Siau Lo-seng segera melihat banyak orang-orang yang sudah hadir.
Tetapi muka mereka ditutup dengan kain hitam. Mereka tegak berdiam diri dengan serius.
Setiap orang yang masuk, pun tak berkata apa-apa terus berdiri di belakang orang yang sudah berada di
situ. Mereka tegak seperti patung semua.
Dalam keadaan itulah, setelah sejam kemudian maka ruangan yang besar sekali telah penuh beratus-ratus
orang.
Dan pada saat itu Siau Lo-seng pun sudah mengamat-amati keadaan dalam istana di bawah tanah itu.
Demikian pula iapun berhasil mengadakan hubungan dengan Bok-yong Kang dan kawan-kawannya.
Istana di bawah tanah itu kecuali letaknya yang di kelilingi barisan puncak gunung dan lembah, ternyata
masih dibagi pula dengan beberapa tingkat. Sepintas pandang dari luar, memang hanya merupakan sebuah
ruangan biasa. Tetapi bangunannya amat kokoh, dinding terbuat dari besi dan beton.
Siau Lo-seng pun mendapat kesan bahwa orang-orang yang hadir di situ tentulah sama dengan dirinya
yalah harus memasuki berlapis pos penjagaan yang ketat.
Tiba-tiba terompet pertandaan dan genderang berbunyi dari balik layar hitam yang menutupi empat keliling
ruang besar itu.
Tetabuhan yang riuh itu menimbulkan gema kumandang yang keras sehingga memekakkan telinga.
“Hm, megah juga peralatan upacara ini. Entah apa yang akan dipertunjukkan nanti,” diam-diam Siau Loseng
berkata dalam hati.
Tiba-tiba dari balik kain selubung sebelah kiri terdengar suara orang berseru,
“Kedua belas Hou-hwat memasuki ruangan!”
Tetabuhanpun berganti nada dengan irama yang lembut. Dari kedua samping sebelah muka berbondongbondong
keluar duabelas orang. Mereka berjalan dalam dua kelompok. Kelompok di sebelah kiri dipimpin
oleh Jit-hay-mo-thong Tan Lip-jin. Keduabelas orang itu menuju ke muka kursi yang telah disiapkan di muka
kain layar lalu tegak berdiri tak bergerak.
Sesaat kemudian terdengar pula pembawa acara berseru nyaring:
“Kepala dari tiap-tiap keraton segera akan masuk ke tempatnya.”
Kain layar warna putih perak yang berada di belakang keduabelas Hou-hwat tadi terbuka sendiri. Di balik
layar perak tampak selapis kain layar warna merah segar. Di muka layar itu telah disediakan lima buah kursi
yang berisi alas kulit harimau. Ternyata kelima kursi itu sudah diduduki oleh lima orang lelaki.
Sesaat Siau Lo-seng selesai melihat siapa kelima orang itu, maka darahnya lalu segera bergolak. Ingin
sekali ia segera tampil ke muka untuk mencincang mereka.
Kiranya yang disebut kepala Istana Kesatu itu, adalah putera dari Nyo Jong-ho yang pernah menjadi
muridnya ketika ia diundang ke rumah keluarga Nyo untuk memberi pelajaran sastera, Nyo Ih, adik dari
nona Nyo Cu-ing, bocah lelaki yang pernah diajaknya melihat-lihat makam raja-raja jaman dulu di Lok-yang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan saat itu pula segera Siau Lo-seng menyadari bahwa orang yang memalsu, menyamar sebagai dirinya
dan ketika di Lembah Kumandang telah ditolong jiwanya oleh Ban Jin-hoan itu tak lain tak bukan juga si
bocah lelaki Nyo Ih yang kini sudah menjadi seorang pemuda besar.
Kepala Istana Kedua yalah Li Giok-hou pemuda yang sudah beruIang kali hampir mati di tangannya.
Yang paling mengherankan dan memuakkan hati Siau Lo-seng yalah kepala Istana Ketiga. Dia bukan lain
adalah kepala Hian-kim-than-cu dari perkumpulan Naga Hijau, yalah The Kong-it yang digelari orang
sebagai Say-cu-kat atau seperti Cukat Liang seorang pandai dari jaman Sam Kok.
Kepala istana Keempat, yalah Pedang Patah hati Ong Han-thian, ketua partai Go-bi-pay yang termasyhur.
Kepala Istana Kelima, seorang lelaki bertubuh tinggi, wajah terang tapi dingin seperti tak berperasaan.
Mengenakan jubah panjang warna biru, Siau Lo-seng tak kenal padanya.
Selekas kelima kepala-kepala istana itu muncul maka terdengar suara hiruk sekali. Ada beberapa orang
bahkan telah memekik terkejut. Jelas kehadiran kelima kepala istana, mungkin baru pertama kali itu
diperkenalkan kepada para hadirin karena jelas masih banyak yang belum pernah tahu.
Siau Lo-seng tak kurang kejutnya. Setitikpun ia tak menyangka bahwa beberapa anak buah yang paling
dipercaya oleh mendiang ayahnya ketika memegang pimpinan perkumpulan Naga Hijau dahulu, yalah The
Kong-it yang merupakan kun-su (penasehat meliter) dari Naga Hijau, ternyata telah berhianat juga.
Duapuluh tahun lamanya Siau Lo-seng menderita susah payah dalam usahanya untuk membalas dendam
berdarah pada peristiwa di Hay-hong-cung, ternyata di antara anak buah perkumpulan Naga Hijau pimpinan
ayahnya itu, terdapat seorang penghianat yang telah menjual jiwa kawan-kawannya sendiri.
Saat itu terdengar pula genderang berbunyi dahsyat di tengah suara orang yang sangat hiruk pikuk. Dan
tiba-tiba layar sutera emaspun diangkat naik.
Sebuah panggung datar yang diselimuti dengan permadani merah yang amat luas telah terbentang di balik
layar itu. Empat penjuru merupakan pintu-pintu yang terbuat daripada kaca bening dan mengkilap sekali.
Ruang disanggah oleh beberapa tiang pilar yang penuh ditabur dengan mutiara dan batu-batu mustika yang
memancarkan sinar gilang gemilang.
Sebuah kaca cermin berbingkai tembaga yang berbentuk kuno (antik) tampak dipasang di tengah ruangan.
Di muka cermin kuno itu disiapkan sebuah meja dari batu kumala. Kecuali perabot-perabot itu, panggung
permadani tersebut sunyi senyap tak tampak barang seorang manusiapun juga.
Tak berapa lama, suara genderangpun berhenti. Dari balik layar terdengar suara orang berteriak keras:
“Kiong-cu (kepala istana) segera hadir. Perayaan musim Tiong-jiu akan dimulai.”
Sehabis pengumuman itu maka berbagai suara genderang dan tetabuhan lain, mendengung-dengung pula.
Di antara gemerisik bunyi tetabuhan itu sayup-sayup seperti terdengar suara alat- alat mesin berderakderak.
Dari papan lantai di samping meja batu kumala itu, tiba-tiba terungkap naik sebuah kursi yang beralaskan
kulit harimau. Kursi itu diduduki oleh seorang imam yang mukanya bertutup kain selubung. Dia mengenakan
jubah warna kuning emas.
Sesaat imam berjubah kuning emas dan berselubung muka itu telah muncul seluruhnya, tiba-tiba di antara
deretan rombongan para Su-cia (utusan) bangkit seorang bertubuh besar seraya berseru:
“Ban Jin-hoan, serahkan jiwamu......”
Menyusul dengan teriakan, berpuluh-puluh benda macam bintang, segera berhamburan ke arah imam
jubah kuning emas.
Peristiwa itu terjadi di luar dugaan sama sekali. Penyerangnya memang sudah bertekad untuk
membinasakan imam itu. Serangan senjata rahasia itu dilakukan tanpa memberi kesempatan orang dapat
menghindar lagi.
“Bum……”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar ledakan dahsyat yang diiring dengan jeritan ngeri. Imam jubah kuning emas yang wajahnya
berselubung kain itu, mencelat sampai setombak tingginya lalu berhamburan jatuh ke atas lantai yang juga
sudah hancur berkeping-keping. Bau daging terbakar hangus segera bertebaran dari tubuhnya.
Suara tetabuhan, terompet dan genderang berhenti seketika. Sekalian orang terlongong-longong kesima
seperti patung.
Hanya Li Giok-hou dan Nyo Ih yang cepat menyadari apa yang telah terjadi. Keduanya berhamburan loncat
ke atas panggung lalu memeluk imam berjubah kuning emas itu seraya berteriak-teriak merintih:
“Ayah...... ayah……”
Tiba-tiba penyerang gelap tadi membuka kain selubung mukanya sendiri, lalu tertawa gelak-gelak.
“Ha, ha, Ban Jin-hoan, akhirnya engkau juga harus mengalami hari seperti ini. Engkau seorang penipu
besar dalam dunia persilatan. Masih enak kalau mati secara begitu saja. Hanya menerima taburan
limabelas butir pelor bik-li-tan......”
Siau Lo-seng terkejut melihat wajah penyerang gelap itu. Dan cepat ia dapat mengenalinya sebagai Liat
Hwat Thancu, salah seorang Thancu dari Naga Hijau yang karena salah paham tak mau menerima
penjelasan, pernah bertempur dengan dia.
Kecuali lelaki berwajah terang dan berjubah biru yang tetap tenang, para kepala istana-istana dan
keduabelas Hou-hwat dari istana Ban-jin-kiong serentak berobah tegang sekali wajahnya.
Li Giok-hou dan Nyo Ih pun segera barhamburan menyerbu dan berteriak kalap:
“Binatang, serahkan jiwamu!”
Siau Lo-seng tergetar hatinya. Pada saat ia hendak mengambil tindakan, tiba-tiba dari bawah panggung
berturut-turut muncul lima-enam orang yang menyongsong Li Giok-hou dan Nyo Ih. Dan pula terdengar
suara seorang wanita berseru melengking,
“Nyo Ih, kemarilah engkau!”
Teriakan itu disusul oleh sesosok tubuh langsing yang menaburkan sinar pedang ke arah Nyo Ih.
Melihat pendatang itu, Nyo Ih tak berani menangkis. Dia menyurut mundur sampai tujuh-delapan langkah
seraya menjerit kaget:
“Engkau, engkau…… engkau taci......”
Pada saat itu juga, kelima orang yang menyerbu tadipun sudah menempur Li Giok-hou dan orang-orang
Ban-jin-kiong.
Suasana berobah kacau balau. Beratus-ratus hadirin segera melolos senjata dan terus terjun dalam
pertempuran. Ada sebagian orang yang tak tahu apa yang harus dilakukan sehingga mereka segera
menyingkir ke samping.
Dalam keadaan yang acak-acakan itu tiba-tiba meletuslah sebuah suara tertawa nyaring. Nadanya
bagaikan suara lonceng bergema yang memecahkan telinga.
Sedemikian keras dan kuat tenaga yang dihamburkan suara tertawa itu sehingga suara hiruk pikuk
kekacauan itupun tertindas. Setiap orang merasa darahnya bergolak, telinganya serasa pecah.
Serempak sekalian orang memandang ke arah suara tertawa luar biasa itu.
Tampaknya orang tua berjubah biru dan berwajah terang itu tertawa terkial-kial sehingga tubuhnya ikut
berguncang-guncang keras. Tampaknya orang itu tak mengacuhkan apa yang terjadi di gelanggang.
“Sun Cin-hui, Gi-huku mati dibunuh orang, mengapa engkau masih tertawa!” bentak Li Giok-hou dengan
deliki mata.
Orang tua jubah biru yang bernama Sun Cin-hui itu tak mengacuhkan peringatan Li Giok-hou. Ia
menyapukan pandang mata ke segenap hadirin. Seolah-olah hendak meneropong hati mereka.
Mata yang berkilat-kilat tajam dari orang tua itu, menyebabkan sekalian hadirin menggigil seram.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pun ketika beradu pandang dengan orang tua itu, tergetarlah hati Siau Lo-seng. Ia merasa seperti pernah
bertemu dengan orang itu.
“Sun Cin-hui, dalam keadaan begini, engkau masih hendak bertingkah apa lagi!” pun Nyo Ih membentak
marah sekali.
Sun Cin-hui yang bergelar Sip-hun-jiu atau Tangan pencabut nyawa itu, tenang-tenang berpaling dan
memandang kedua pemuda itu.
“Ih-ji, Hou-ji, cobalah kalian lihat yang jelas, siapakah aku ini?” serunya.
“Gi-hu, engkau!” serempak Giok-hou dan Nyo Ih berteriak kaget dan gembira sekali, “apakah Gi-hu tak kena
suatu apa?”
Sambil kebutkan lengan jubah, Sun Cin-hui tertawa gelak-gelak:
“Sudah tentu tak mati. Aku, Ban Jin-hoan, kalau semudah itu dicelakai orang, bagaimana aku mampu
menguasai istana Ban-jin-kiong, ha, ha ha...... yang mati itu hanya seorang penghianat saja. Dan lagi
cobalah kalian lihat para penghianat itu. Bukankah mereka sudah menampakkan wajahnya? Ha, ha,
ha.......”
18.86. Rahasia Para Ketua Partai Persilatan
“Dia benar Ban Jin-hoan......” tiba-tiba terdengar seseorang berseru kaget.
Teriakan orang itu menggetarkan segenap hadirin. Benar-benar suatu perobahan suasana yang tak
mungkin dibayangkan.
Sik Hwat-san atau yang biasa disebut Liat Hwat Thancu dari Naga Hijau, melongo seperti orang melihat
setan.
“Apakah dia benar Ban Jin-hoan? Apakah dia sungguh belum mati?” serunya sesaat kemudian.
Ban Jin-hoan tertawa dingin,
“Hanya dengan kepandaianmu yang tak berarti itu engkau kira mampu mencelakai diriku? He, masih jauh
sekali. Lebih baik engkau kembali ke istana Lian-bun-kiong untuk belajar menempa jiwa lagi.”
Tiba-tiba wanita yang melengking tadipun berseru: “Ban Jin-hoan, jangan keburu-buru tertawa dulu. Hari ini
akan merupakan hari terakhir dari kejahatanmu yang sudah menumpuk itu. Cobalah engkau lihat siapakah
kami ini?”
Habis berkata orang itu melambaikan tangannya. Lebih dari limabelas orang yang mukanya berkerudung
kain hitam, serempak mencabut kain kerudung muka mereka. Dan seketika tampaklah wajah dari berbagai
tokoh-tokoh persilatan.
Saat itu Siau Lo-seng baru mengetahui bahwa yang memimpin rombongan tokoh-tokoh persilatan itu bukan
lain yalah nona yang sudah lama menghilang, yakni Nyo Cu-ing.
Dan yang lebih mengejutkan Siau Lo Seng lagi yalah bahwa rombongan hadirin yang menyelundup ke
dalam istana di bawah tanah itu ternyata tokoh-tokoh pimpinan dari partai-partai persilatan yang ternama.
Selain Ong Han-thian ketua dari partai Go-bi-pay, kelimabelas tokoh lainnya adalah In Co-liong ketua partai
Tiam-jong-pay, Khu Ti-gwan ketua partai Thian-tay-pay, Ki It-hong ketua partai Heng-san-pay, Mo Se-kin
ketua Kun-lun-pay, Ki Jong-ceng ketua Kong-tong-pay, Coa Ngo-ping ketua Tiang-pek-pay, Lim Ciong-lam
ketua Ceng-sia-pay, Ceng Gi Totiang ketua Bu-tong-pay, Goan Gong Siansu ketua Siau-lim-pay.
Selain ketua dari partai-partai persilatan, pun terdapat tokoh-tokoh sakti dari berbagai aliran persilatan,
antara lain Tang-hay-it-cun Co Sau-ih, Te-sat Tan Beng-hi, Thian-kong Ui Kim-ing serta tianglo dari Siaulim-
si yakni Gwat Kui Taysu, Kang San-poh yang bergelar Nenek hati murni, dan lain-lain.
Setitikpun Siau Lo-seng tak mengira bahwa tokoh-tokoh sakti dari delapan penjuru dunia persilatan yang
jarang menampakkan diri, kini serempak muncul di tempat situ.
Nyo Cu-ing saat itupun telah mencabut kain kerudung, lalu serunya,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ban Jin-hoan, apakah engkau sudah melihat jelas sekarang? Tipu muslihat hanya dapat mengelabuhi
seorang tetapi tak mungkin dapat membohongi dunia. Sejak dahulu sampai sekarang Kejahatan itu tentu
akan dikalahkan oleh Kebenaran. Hari ini segala tipu muslihat yang engkau lakukan akan terbongkar.
Kejahatanmu pun segera berakhir.”
Tiba-tiba Ban Jin-hoan tertawa panjang. Ia memandang ke segenap gelanggang lalu berseru,
“Ban Jin-hoan kebetulan hari ini memang sedang baik sekali perangainya. Kalau kemarin engkau begitu liar
tingkahmu di hadapanku, tentu akan kusuruh engkau tak dapat membuka mulut selama-lamanya, hm,
memang sudah lama aku Ban Jin-hoan menunggu saat kehadiran kalian di sini. Tentu kalian merasa heran,
bukan?”
Ban Jin-hoan berhenti sejenak lalu melanjutkan pula,
“Ha, ha, aku Ban Jin-hoan setiap saat berganti rupa menjadi Sun Ci-hui salah seorang dari kalian semua.
Sudah barang tentu tiga hari di muka aku sudah tahu tentang kedatangan kalian kemari. Jelasnya, gerak
gerik setiap orang tak ada yang terlepas dari pengamatanku.”
Tang-hay-it-cun atau Kakek dari laut Tang-hay, Co Sau-ih itu tertawa mengejek,
“Bagus, dengan demikian, jiwa kita semua ini tampaknya sudah berada dalam tanganmu. Heh, heh, tetapi
janganlah engkau selalu memandang rendah kepada orang tua dari Laut Tang-hay itu. Hm….... masa
dengan ilmu kepandaian beberapa ilmu silat cakar kucing, namun jangan harap dapat menjatuhkan aku.”
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak.
“Sudah tentu tak mungkin mampu menandingi barisan Kiu-hwe-thian-tin di pulau kediamanmu Lui-suan-to di
laut Tang-hay itu. Tetapi ketahuilah, kalian saat ini berada di istana Ban-jin-kiong. Lebih baik kalian jangan
bergerak sembarangan. Karena anak buah dari istana Ban-jin-kiong itu selamanya tak pernah memberi
ampun orang.”
Lim Ciong-lam ketua partai persilatan Ceng-sia-pay, tiba-tiba melangkah maju tiga tindak lalu mengangkat
kedua tangan seraya menggembor keras,
“Ban Jin-hoan, hutangmu terhadap jiwa engkohku Lim Tay-som itu, hari ini harus engkau bayar!”
“Omitohud……” Goan Gong Siansu ketua Siau-lim-si buru-buru mencegah, “harap Lim sicu jangan bergerak
sembarangan. Betapapun keruhnya, akhirnya setelah mengendap tentu akan dapat diketahui mana yang
jernih dan mana yang kotor. Walaupun kita mengemban tugas, tetapi hendaknya jangan sampai hari ini kita
mengalami kegagalan.”
Kemudian ketua Siau-lim-si itu berpaling dan berseru kepada Ban Jin-hoan.
“Ban Jin-hoan, engkau telah melumuri dirimu dengan lumpur kejahatan. Engkau telah menggenangi dunia
persilatan dengan banjir darah tapi engkau masih memfitnah orang lain yang engkau suruh menanggung
dosa. Hampir saja di Lembah Kumandang timbul dendam berdarah lagi. Hm, sungguh berdosa. Sekarang
dunia persilatan sudah sadar. Ban Jin-hoan telah dianggap sebagai musuh dunia persilatan. Maka
kunasehatkan lebih baik engkau menyerah saja untuk menerima peradilan dunia persilatan.”
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak.
“Benar atau salah itu, hanya tergantung dari penilaian masing-masing. Kalian mengatakan aku Ban Jinhoan
seorang berdosa. Tetapi aku Ban Jin-hoan sebaliknya merasa, kalian ini tak ubah seperti kawanan
binatang yang berpakaian manusia baik-baik. Apa yang kalian banggakan sebagai Sembilan Partai
persilatan itu, tak lain hanya gerombolan yang menindas orang. Hm, dengan merebut jiwa orang itu, apakah
bukan berarti membunuhnya? Kalau menghancurkan harta benda orang, apakah itu bukan dosa?”
Kepala dari istana Ban-jin-kiong itu melontarkan pandang matanya yang berpengaruh. Seolah-olah hendak
menembus hati setiap hadirin.Kemudian melanjutkan pula,
“Jika aku, Ban Jin-hoan, berbuat seperti kalian, tentu sudah lama aku bunuh diri. Hm, umum memandang
kalian ini tokoh-tokoh terhormat dari sebuah partai persilatan. Tetapi cobalah kalian renungkan apa yang
telah kalian lakukan! Sebagian besar dari kalian ini, telah melakukan kesalahan. Tetapi kalian berusaha
untuk melemparkan kesalahan itu pada orang lain, orang yang tak punya kekuasaan dan pengaruh.
Bukankah hal itu suatu perbuatan yang memalukan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kata-kata itu diucapkan dengan lancar dan lantang. Seolah seperti seorang sahabat yang tengah
menyadarkan kawannya.
Tampak wajah Nyo Cu-ing membeku lalu tertawa dingin, serunya:
“Ban Jin-hoan, hari kematian sudah tiba. Apakah sebelum mati engkau tetap berkeras menyangkal
dosamu?”
“Omitohud!” tiba-tiba Goan Gong Siansu ketua Siau-lim-pay berseru pelahan, “Ban sicu, apakah ke
delapanpuluh satu anak buah barisan Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si dan Pek Wan Tianglo, berada
dalam istana Ban-jin-kiong? Jika mereka bisa bebas tak kurang suatu apa, kami dari Siau-lim-si segera
akan tinggalkan tempat ini......”
Mendengar ucapan dari ketua Siau-lim-si itu tergeraklah hati sekalian orang.
Ban Jin-hoan tertawa dingin.
“Goan Gong. Mengapa sekarang engkau menyebut aku Ban sicu? Beberapa hari yang lalu, kuingat engkau
masih menyebut diriku sebagai Kiong-cu (Pemilik istana). Hm, di bawah sinar matahari yang panas, hati
manusia tak pernah layu. Tidakkah engkau pernah merenungkan, dengan cara bagaimanakah engkau
mendapatkan kedudukan sebagai ketua itu?”
Mendengar itu seketika berobahlah wajah para ketua Sembilan Partai. Entah bagaimana, mereka tampak
tersipu-sipu malu dan menundukkan kepala. Ucapan Ban Jin-hoan itu seperti ujung pisau yang menusuk ulu
hati mereka.
Siau Lo-seng yang mengikuti pembicaraan itu dengan cepat dapat mengetahui apa yang terjadi.
Mungkin pengaruh Ban Jin-hoan telah tersebar luas ke segenap lapisan dunia persilatan bahkan menyusup
juga ke dalam organisasi partai-partai persilatan. Dengan begitu Sembilan Partai itupun telah dikuasai oleh
pengaruh Ban Jin-hoan juga. Kekurangan pimpinan partai-partai itu berada di tangan Ban Jin-hoan. Dengan
demikian, diri para ketua partai-partai persilatan itupun jadi persoalan.
Ceng Gi Totiang, ketua Bu-tong-pay yang paling muda usia, serempak tampil bersuara:
“Ban Jin-hoan, suhengku yang menjabat ketua Bu-tong-pay dahulu, apakah semasa masih hidup juga
berada dalam kekuasaanmu?”
Ban Jin-hoan tertawa dingin.
“Kecuali engkau sebagai ketua yang terakhir dari partaimu, para ketua lain-lain partai persilatan tiada
seorangpun yang lepas dari kekuasaanku!”
Mendengar itu sekalian ketua partai persilatan cepat berpaling muka. Mereka malu dan geram. Mereka tak
berani beradu pandang dengan Ceng Gi Totiang, ketua dari Bu-tong-pay itu.
“Ban Jin-hoan,” teriak Ceng Gi Totiang dengan marah, “mengapa engkau membunuh Giok Hi Suheng dan
ketigapuluh dua anak murid paseban Ik-seng-tong itu? Mengapa?”
Ban Jin-hoan tertawa hambar.
“Soal itu bukan begitu sederhana. Tanyakanlah sendiri kepada para ketua partai persilatan itu. Segera
engkau akan mengetahui mengapa mereka harus mati!”
Ceng Gi Totiang terbeliak. Segera ia memandang ke arah para ketua partai persilatan. Tetapi mereka sama
tundukkan kepala.
Melihat itu berkatalah Nyo Cu-ing:
“Para cian-bun cianpwe sekalian. Dewapun bisa berbuat salah apalagi manusia biasa. Salah bukan suatu
hal yang mengerikan. Tetapi kalau salah tak mau mengaku salah dan mengulangi kesalahan lagi, itulah
merupakan suatu dosa besar. Bukankah sang Buddha mengajarkan supaya kita berpaling ke arah tepi
kesadaran dan membuang golok penjagal, masuk ke dalam biara untuk bertaubat?”
Berhenti sejenak gadis itu melanjutkan pula:
“Urusan telah berkembang sedemikian rupa, sekalian orangpun telah berani datang ke Ban-jin-kiong.
Adakah takut untuk mengakui hal sekecil itu? Jika masih menunda waktu, bukankah berarti mensia-siakan
jerih payah Siau locianpwe?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng terkejut.
“Siapakah yang disebut Siau locianpwe itu? Apakah ayahku Siau Han-kwan atau paman Siau Mo? Jika
benar, kedua orang tua itu telah berusaha keras untuk menghubungi tiap-tiap partai persilatan, tujuannya
tak lain tentu hendak menolong mereka dari kabut beracun yang telah ditebarkan oleh Ban-jin-kiong. Ah,
betapa susah sekali usaha itu!”
Tiba-tiba ketua Tiam-jong-pay, Thian-tay-pay dan Heng-san-pay serempak berseru:
“Benar, karena urusan sudah sampai begini, mengapa perlu harus malu mengatakan. Aku akan
mengatakannya!”
Menyusul para ketua dari partai Kun-lun-pay, Kong-tong-pay, Tiang-pek-pay dan lain-lain berturut-turut
menceritakan peristiwa itu.
Seketika suasanapun kacau.
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak, serunya:
“Bilakah kalian akan mempunyai keberanian seperti itu? Ha, ha, mungkin kalian telah termakan oleh ucapan
yang manis dari bangsat Siau Mo itu!”
“Tutup mulutmu!” bentak Cu-ing, “engkau Ban Jin-hoan, sudah tak berhak untuk menilai seseorang lagi.”
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak lagi.
“Cu-ing, suhumu Tay Hui Sin-ni seorang pendiam. Tetapi mengapa dia mengajarkan engkau seorang anak
perempuan yang secerewet itu?”
“Rasanya engkau ini hanya bertindak demi kepentingan Siau Lo-seng, si anak sebatang kara itu.”
“Tutup mulut!” bentak Cu-ing, “nama engkoh Lo-seng, tidak layak engkau yang menyebut.”
Tiba-tiba dengan ilmu Singa meraung, Ki It-hong ketua partai Heng-san-pay berseru keras:
“Ijinkan kuberitahukan kepada Ceng Gi to-heng. Suheng totiang dan ketigapuluh dua anak buah paseban Ikseng-
tong dari partai Bu-tong-pay itu, adalah kami yang membinasakannya.”
“Mengapa?” tanya Ceng Gi Totiang yang di luar dugaan, malah berobah tenang.
Ketua Heng-san-pay menghela napas rawan: “Memang peristiwa itu merupakan kesalahan kami. Kami para
ketua partai persilatan dalam kehidupan yang sekarang ini tak mungkin dapat memperbaiki kesalahan itu
lagi. Ah, boleh dikata kami ini memang lebih buas dari binatang. Hanya karena berebut nama dan
keuntungan, demi merebut kedudukan ketua, telah menerima bujukan Ban Jin-hoan. Dalam keadaan yang
limbung pikiran itu, kami membunuh suhu, suheng, sute dan para angkatan tua dalam partai. Bahkan ayah
bunda. Tak lain hanya demi kedudukan ketua itu.
Berkata sampai di situ, tampak para ketua partai bercucuran air mata. Ketua partai Heng-san-pay saat itu
sudah tak dapat bicara lagi.
Lim Ciong-lam ketua Ceng-sia-pay lah yang melanjutkan:
“Karena telah melakukan kesalahan yang tak berampun itu maka kami hendak tumpahkan kesalahan itu
pada diri Ban Jin-hoan. Dia hendak menggunakan, kesalahan itu untuk menekan kami, pada hal hati nurani
kami tetap menentang.”
“Tetapi terus terang, kami tak mempunyai keberanian mengakui kesalahan-kesalahan itu. Pada suatu
waktu, Giok Hi Totiang telah mengundang para tokoh-tokoh sakti dan murid-murid paseban Ik-seng-tong
dari Bu-tong-pay sama berkumpul di puncak Thou-ban-hong gunung Bu-tong. Di situ Giok Hi Totiang telah
membongkar semua rahasia dan minta agar semua rahasia besar dalam dunia persilatan itu segera
diumumkan. Di luar dugaan berita itu telah bocor. Ban Jin-hoan segera menyuruh kami untuk melenyapkan
Giok Hi Totiang dan anak murid paseban Ik-seng-tong agar menghapuskan saksi-saksi dari perbuatannya.
Karena menyangkut soal kepentingan diri kita, maka……”
“Maka para ketua partai persilatan lalu bersepakat untuk membunuh suhengnya dan anak murid paseban
Ik-seng-tong itu, bukan?” tukas Ceng Gi Totiang, ketua Bu-tong-pay yang sekarang.
“Tidak,” bantah Lim Ciong-lam, “pada waktu itu ketua dari Istana Kesatu memimpin para ketua partai
persilatan dan beberapa jago sakti untuk mengurung Bu-tong-san.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mayat dari suhengku dan anak murid paseban Ik-seng-tong diketemukan di puncak Thou-ban-hong,
bagaimana mereka telah binasa di situ?” tukas Ceng Gi Totiang.
Lim Ciong-lam menghela napas.
“Mayat itu hanya mayat orang lain. Mayat Giok Hi Totiang yang sesungguhnya telah dibawa ketua istana
Kesatu ke Ban-jin-kiong. Mungkin saat ini dia tentu amat menderita sekali. Ah, mereka memang melebihi
kawanan binatang.”
Habis berkata ia terus hendak menerjang ke atas panggung. Tetapi Goan Gong Siansu cepat
mencegahnya.
“Setelah kita beber semua kedosaan Ban Jin-hoan, barulah kita bertindak,” kata ketua itu.
Saat itu Nyo Cu-ing sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Menuding Nyo Ih, adiknya, ia
berteriak:
“Nyo Ih, tampillah maju. Kiranya engkau telah melakukan pekerjaan yang sehina itu. Keluarga kita hancur
berantakan tetapi engkau malah masuk menjadi anak buah Ban-jin-kiong dan melakukan kejahatankejahatan
yang seganas itu, engkau......”
Nyo Cu-ing tak dapat melanjutkan kata-katanya karena terlanda oleh tangisnya. Dengan jurus Bidadari
menyusup hutan, ia segara tusukkan ujung pedang ke tubuh adiknya.
Nyo Ih bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
“Kembali!” tiba-tiba Ban Jin-hoan kebutkan lengan bajunya ke arah Cu-ing, “kalau mau membuat
perhitungan, nanti kita selesaikan setelah semua urusan telah terang.”
Seketika Cu-ing merasa seperti dilanda oleh angin keras sehingga dada Cu-ing terasa sesak. Terpaksa ia
menyurut kembali ke tempatnya semula.
Peristiwa itu menimbulkan kemarahan segenap hadirin. Thian-kong Ui Kim-ing dan Tan Beng-hi si Algojo
Neraka, serempak meloncat ke atas panggung.
“Ban Jin-hoan, kalau engkau memang sakti hayo tanding dengan kami. Jangan menghina seorang anak
perempuan!”
Di tempatnya yang tinggi, Ban Jin-hoan memandang hadirin di bawah panggung, lalu berseru dingin:
“Hm, masih terlalu pagi kalian kalian hendak unjuk tingkah liar di sini. Pada waktu aku ke luar ke dunia
persilatan, kalian tentu masih bocah ingusan. Telah kukatakan, setelah rahasia yang menyelubungi
peristiwa ini terbuka, sudah tentu aku akan menghadapi kalian untuk menyelesaikan urusan itu!”
“Dimanakah kepala istana keempat?” seru Ban Jin-hoan pula.
Say-cu-kat The Kong-it serentak menyahut, “The Kong-it mengunjuk hormat kepada Kiong-cu.”
“Yang melanggar peraturan istana Ban-jin-kiong, harus menerima hukuman bagaimana?” kata Ban Jinhoan.
“Apabila sudah masuk menjadi anak buah Ban-jin-kiong harus setia,” sahut The Kong-it. “Seluruh jiwa raga
harus diserahkan untuk kepentingan istana. Apabila berkhianat, berarti mengutamakan kepentingan diri
sendiri dan merugikan kepentingan istana. Menurut peraturan Ban-jin-kiong, pengkhianatan semacam itu
harus dimasukkan ke dalam penempahan jiwa di istana Lian-hun-kiong.”
18.87. Ban Jin Kiong-cu Asli
“Bagus, dimana kedua belas Hou-hwat?” seru Ban Jin-hoan pula.
“Ya, kami siap!” seru beberapa orang.
Ban Jin-hoan mendengus,
“Anak iblis tujuh lautan Tan Lip-jin, Hantu sembilan bisa Ciong Su-ing, Kesatria seratus racun Cia Lu-wi,
Naga terbang Lu Kong-tui, Rajawali mata ungu Coa Siok-ki, memang telah kuduga kalian tentu berada di
sini. Hm, lekas tampil ke muka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lebih dahulu Lu Kong-tui si Naga terbang yang apungkan tubuh naik ke atas panggung.
Tiba-tiba ia membentak Ban Jin-hoan:
“Menipu orang hanya dapat sementara waktu. Dan yang ditipupun hanya dapat ditipu pada waktu itu saja.
Adalah karena kalah dengan ilmu kepandaianmu Ciang-gah-sut (mata sihir) maka dahulu aku sampai jatuh
ke bawah kekuasaanmu. Tetapi saat ini kami sudah mempunyai kekuatan untuk adu jiwa dengan engkau.
Aku, Lu Kong-tui, apabila sampai kalah lagi, aku bersedia akan bunuh diri di tempat ini.”
Seiring dengan kata-kata Lu Kong-tui itu, Hantu Sembilan bisa Ciong Su-ing pun melayang ke atas
panggung dan berseru:
“Aku orang she Ciong pun ingin hendak menerima pelajaran ilmu sakti dari engkau lagi. Jika tetap kalah,
aku Ciong Su-ing pun akan memberi pertanggungan jawab yang tegas.”
Menyusul Iblis tujuh lautan Tan Lip-jin, Kesatria seratus racun Cia Lu-wi dan Rajawali mata Ungu Coa Siokki
tegak berjajar hendak menantang pada Ban Jin-hoan.
Ban Jin-hoan tetap tertawa,
Sepuluh tahun lamanya, hampir dapat dikata tiap tahun kalian tentu bertempur dengan aku. Tetapi siapakah
yang mampu menandingi aku? Dunia persilatan paling menjunjung perkataan. Sekali ucap, tak dapat dijilat
kembali. Selama ini apakah aku memperlakukan kalian dengan semena-mena? Tetapi karena kalian tetap
tak mengaku kalah, Ban Jin-hoan pun setiap saat bersedia untuk melayani.”
Tan Lip-jin mencabut sebatang kipas kumala lalu berseru,
“Aku Tan Lip-jin yang pertama akan menghadapi engkau.”
Berobah wajah Ban Jin-hoan dengan marah.
“Apakah kalian sungguh-sungguh hendak mengingkari janji kepadaku? Baik, kalau begitu engkaulah yang
akan kujadikan contoh bagi mereka!”
Tan Lip-jin tertawa mengekeh,
“Kalau hari ini Tan Lip-jin mendapat perhatianmu, memang suatu rejeki yang besar bagiku. Selama ini aku
hanya hidup sebagai patung di sini. Kalau tidak mati karena sesak dada, pun tentu mati karena terlalu
senggang. Dari pada akhirnya juga mati, lebih cepat lebih baik.”
“Tan Lip-jin, jangan ngoceh tak keruan. Kalau takut mati, mundurlah. Lebih baik aku dulu yang akan
membikin perhitungan hutang piutang lama!” tiba-tiba Lu Kong-tui yang bergelar Naga terbang berseru.
“Hm, kalian berdua boleh maju bersama!” Ban Jin-hoan tertawa dingin.
Tiba-tiba Nyo Ih dan Li Giok-hou tampil dan serempak berseru, “Gi-hu, kamilah yang seharusnya
menghadapi mereka!”
Tanpa menunggu jawaban Ban Jin-hoan, kedua pemuda itu terus ayunkan tangan. menyerang.
Setelah berlangsung amat seru, akhirnya Lu Kong-tui di kalahkan Nyo Ih.
Hal itu sangat menusuk perasaan hati Lu Kong-tui sehingga bercucuran airmata dan berseru dengan penuh
ketegangan:
“Siau-heng, aku gagal untuk membalaskan sakit hatimu, tunggulah, aku akan ikut padamu!”
“Lu-heng, tunggu!”
“Paman Lu, jangan bunuh diri!”
Cia Lu-wi yang berdiri disamping, cepat mencekal pergelangan tangan Lu Kong-tui dan serempak pada saat
itu, sesosok tubuh berpakaian hitam loncat menghampiri seraya berseru: “Paman Lu, apakah paman ingat
pada Su-ji?”
Lu Kong-tui tertegun lalu memeluk pendatang itu serta berseru dengan nada gemetar
“Su-ji, paman tak dapat!”
Tiba-tiba Lu Kong-tui mencekal pergelangan tangan orang itu dan membentaknya:
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa engkau? Mengapa hendak menipu aku?”
“Paman Lu, aku ini anak Siau Lam-ki yang bernama Siau Cok-su. Apakah paman lupa?”
Secepat kilat Lu Kong-tui mencabut kedok muka yang menutupi wajah orang itu dan seketika melayangkan
mata:
“Apakah engkau benar Su-ji?”
Pada saat itu terdengar getaran keras. Pertempuran antara Li Giok-hou lawan Tan Lip-jin pun sudah
berhenti. Keduanya, ternyata berimbang kekuatannya.
Ban Jin-hoan tertawa gelak-gelak,
“Di antara para Hou-hwat, siapa lagi yang masih belum tunduk, supaya tampil ke muka untuk menerima
pelajaran, ha, ha, ha!”
Suasana hening lelap seketika. Setiap orang masing-masing memperhitungkan kekuatannya sendiri apakah
mampu untuk menghadapi kedua pemuda anak angkat Ban Jin-hoan itu.
Tiba-tiba pula Lu Kong-tui membentak marah:
“Siapa engkau? Mengapa engkau berani menyaru sebagai Su-ji untuk mengelabuhi aku?”
Ternyata pendatang itu adalah Siau Lo-seng. Karena Lu Kong-tui bersitegang leher, diam-diam Siau Loseng
memberi isyarat anggukan kepala suruh Bok-yong Kang yang berada di sampingnya segera bertindak.
“Locianpwe, jangan salah paham,” teriak Bok-yong Kang, “dia memang Siau Cok-su putera dari Kwan-gwajit-
ho. Yang engkau jumpai di Kwan-gwa itu adalah salah seorang dari sahabatnya.”
Habis berkata Bok-yong Kang pun segera lambaikan tangannya. Seratus delapan puluh jago-jago silat
serempak mencabut kedok muka mereka dan mencabut senjata masing-masing.
Dengan gerak cepat merekapun segera memencar diri, menjaga ke empat sudut ruangan besar istana itu.
Berseru Bok-yong Kang kepada mereka,
“Yang kita harapkan dari saudara-saudara yalah supaya bersatu hati untuk membasmi kaum durjana. Kami
telah berusaha untuk menyelundup ke dalam istana Ban-jin-kiong tanpa sebelumnya mengadakan
hubungan dengan saudara-saudara sekalian sehingga tak dapat menghindari kesalahan paham di antara
kita.”
“O, saudara Bok-yong,” cepat-cepat Cu-ing berteriak, “tak kira engkau juga berada di sini. Dimana Siau
toako?”
Bok-yong Kang tertawa gelak-gelak.
“Jauh dimata, dekat dihati. Dia sudah beberapa waktu berada dalam istana iblis ini!”
Tergetarlah hati nona itu setelah mendengar keterangan Bok-yong Kang. Segera ia keliarkan pandang ke
hadirin. Tetapi di antara sekian banyak hadirin yang tak kurang dari limaribu orang itu kecuali mereka sudah
membuka kedok mukanya tentu sukar untuk mengenali yang manakah Siau Lo-seng itu.
Tampak mata Ban Jin-hoan berkilat-kilat tajam dan sapukan pandang mata ke seluruh hadirin. Akhirnya
pandang matanya berhenti pada Siau Lo-seng. Dia tertawa dingin.
“Berapa jumlah kalian yang datang, terserah. Ban Jin-hoan takkan melayani dengan tak memuaskan. Siau
Lo-seng, majulah ke muka!” serunya.
Siau Lo-seng terkejut. Setitikpun ia tak menyangka bahwa hanya sekali pandang saja, Ban Jin-hoan sudah
dapat mengetahui dirinya. Maka iapun tak mau main sembunyi lagi. Pelahan-lahan ia membuka kerudung
mukanya dan berseru nyaring:
“Engkau dapat mengenali diriku Siau Lo-seng, tidaklah mengherankan. Tetapi suruh engkau mengenali
wajahmu sendiri, itulah yang sukar. Kukira lebih baik segera saja engkau buka kedok mukamu itu!”
Ban Jin-hoan tiba-tiba gemetar, serunya,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku bukan Sun Cin-hui, juga bukan It Bing taysu. Sudah tentu nama Ban Jin-hoan itu pun bukan nama
yang sesungguhnya. Telah kuberitahu kepadamu, aku memang menggunakan ratusan nama dan gelar.
Mengapa engkau merasa bangga dapat mengetahui salah satu dari namaku itu?”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Yang kumaksudkan yalah wajahmu sendiri yang aseli itu. Duapuluh tahun yang lalu adalah Ban Jin-hoan
yang merencanakan pembunuhan besar-besaran di Hay-hong-cung. Empatpuluh tahun berselang adalah
Ko Ing-ti yang pernah menggetarkan seluruh dunia persilatan.”
Mendengar kata-kata Siau Lo-seng itu, seketika terdengarlah hiruk pikuk yang gempar di seluruh ruangan.
Beberepa tokoh angkatan tua bahkan sampai mengeluarkan teriakan tertahan.
Naga terbang Lu Kong-tui hampir tak percaya. Ia mementang mata lebar-lebar dan berseru:
“Engkau ini murid kesayangan dari Ou-hay-it-ki Lim Ing-hoa…… ah, bagaimana mungkin.”
Memang peristiwa Kho Ing-ti dahulu telah menimbulkan kegemparan besar di dunia persilatan, sehingga
seluruh kaum persilatan tahu akan hal itu.
Bahwa saat itu Siau Lo-seng mengatakan bahwa Ban Jin-hoan itu bukan lain adalah Kho Ing-ti, sudah tentu
menimbulkan berbagai reaksi pada hadirin. Ada sebagian yang meragukan karena Siau Lo-seng yang
masih begitu muda belia bagaimana dapat mengetahui diri Ban Jin-hoan.
Masih membekas dalam hati kaum persilatan bahwa tindakan Kho Ing-ti membunuh suhunya, Ou-hay-it-ki
Lim Ing-hoa itu, suatu perbuatan hianat yang tak dapat diampuni. Dahulu seluruh dunia persilatan hendak
membunuh Ban Jin-hoan, tetapi gagal karena Ban Jin-hoan dapat menyembunyikan diri.”
Tetapi mereka masih ragu. Adakah yang dikatakan Siau Lo-seng itu benar? Jangankan Siau Lo-seng itu
masih seorang pemuda, bahkan orang yang pernah kenal pada Kho Ing-ti pun, sudah sukar untuk
mengenalinya lagi sekarang.
Tiba-tiba Ban Jin-hoan memperdengarkan suara tawa panjang yang menusuk telinga. Entah tawa gembira,
entah penasaran. Hanya yang jelas tubuhnya tampak meregang tegang.
“Adakah kalian percaya bahwa aku ini Kho Ing-ti dahulu? Kalau memang percaya, anggaplah aku ini Kho
Ing-ti. Kalau tidak, jangan anggap aku ini dia.”
Siau Lo-seng mendengus dingin.
“Ya atau tidak, terserah kepadamu. Kalau engkau mempunyai nyali untuk mengelabuhi mata dan telinga
seluruh kaum persilatan, mengapa engkau tak berani membuat pengakuan? Engkau memang benar-benar
si Poa-an seribu muka Kho Ing-ti pada duapuluh tahun berselang telah melarikan diri keluar daerah Tionggoan.
Engkau adalah benggolan penjahat yang pernah menggemparkan dunia persilatan, seorang
pembunuh yang paling ganas di dunia.”
Seribu muka Kho Ing-ti tertawa.
“Aku seorang pembunuh yang paling ganas di dunia, seorang durjana yang menjadi biang keladi mengacau
dunia ha, ha, ha……”
Tiba-tiba terdengar seorang berseru dalam nada sarat,
“Kho Ing-ti, urusan sudah berkembang begini, apakah engkau masih hendak menyembunyikan apa-apa
lagi. Kabut dan awan hanya sementara, karena upacara dan matahari tentu akan bersinar. Mengapa
engkau tak mau membuka kartu dengan terus terang?”
“Paman Siau Mo,” tiba-tiba Siau Lo-seng berseru girang. Dan memang di tempat itu telah tambah pula
dengan seorang pendatang baru.
Dia adalah Siau Mo si Iblis pedang Ular Emas. Rambutnya sudah menjunjung uban, alis tebal menaungi
mata yang besar. Memelihara jenggot tipis yang juga sudah putih.
Dahinya penuh beralas keriput usia tua. Sekalipun begitu masih tampak bekas-bekas kacakapannya masa
muda. Memberi kesan yang baik kepada seluruh hadirin.
Siau Lo-seng juga terkesiap. Seumur hidup baru pertama kali itu ia melihat wajah aseli dari pamannya.
Diam-diam rawanlah hati anak muda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Banyak sekali rasanya kata-kata yang hendak diucapkan tetapi sukar keluar dari mulutnya.
Saat itu tampak wajah Kho Ing-ti berobah seram.
“Siau Mo, apakah engkau lupa akan perjanjian kita? Aku tak mengijinkan engkau membuka rahasiaku, tak
boleh untuk selama-lamanya.”
Pedang ular emas Siau Mo menghela napas panjang.
“Peristiwa yang telah lampau bagai awan berarak. Dapat dikenang, tak dapat dikembalikan lagi. Benar dan
salah merupakan liku-liku kehidupan manusia. Asal engkau hidup dalam dunia, engkau tentu akan
terdampar dalam liku-liku itu. Kurasa lebih baik......”
“Tutup mulutmu!” bentak Kho Ing-ti, “masakan hal itu aku harus memerlukan nasihatmu?”
“Ah, berapa lamakah manusia itu akan hidup?” Kho Ing-ti melanjutkan kata-katanya, “aku Kho Ing-ti, apakah
kalah pengalaman dengan engkau? Apakah aku kalah dalam soal penderitaan hidup dengan siapa saja?
Katakanlah!”
“Aku memang tahu jelas bagaimana perjalanan hidupmu. Engkau memang mempunyai penderitaan sendiri.
Tetapi ketahuilah, bahwa di dunia masih terdapat manusia yang lebih menderita dari engkau.”
Kho Ing-ti terkesiap, serunya marah:
“Engkau maksudkan dirimu? Bukankah hanya penderitaan kulit luar saja yang engkau terima selama ini?
Hm, engkau mengatakan bahwa Keadilan itu merupakan kodrat alam. Sekarang aku hendak bertanya
kepadamu. Apakah adil penderitaan yang telah dialami Kho Ing-ti itu?”
Nadanya penuh dengan ketegangan, penasaran dan kemarahan. Habis berkata ia terus berputar tubuh
menghadap ke arah hadirin lagi. Pada saat berhadapan dengan sekalian orang, dia sudah bersikap sebagai
Ban Jin-hoan lagi. Mukanya sudah memakai kain kerudung hitam.
Sekalian orang yang hadir terkejut Mereka tak mengira bahwa Kho Ing-ti memiliki ilmu merobah wajah
sedemikian lihay. Sekali berputar tubuh dia sudah dapat berganti wajah seperti Ban Jin-hoan.
“Benar, memang aku adalah Phoa-an seribu wajah Kho Ing-ti,” serunya dengan nada dingin, “dan juga Ban
Jin-hoan pemilik dari istana Ban-jin-kiong di sini. Sekarang apakah kalian bersedia menurut perintahku atau
tidak? Aku tak memaksa. Tetapi kalianpun harus ingat bagaimana biasanya Ban Jin-hoan bertindak.”
Gemparlah sekalian orang mendengar ancaman halus dari Ban Jin-hoan itu. Seketika Siau Mo pun
berteriak keras.
“Kho Ing-ti, tindakanmu itu hanya hendak menghindari kenyataan. Suatu tindakan yang lemah dan
ketakutan.”
“Tutup mulutmu!” bentak Kho Ing-ti, “aku mempunyai cara bekerja sendiri, tak perlu engkau ikut mengurusi.
Sekarang kupersilahkan engkau lekas-lekas pergi jauh dari istana Ban-jin-kiong!”
Habis berkata ia melambaikan tangan, serunya:
“Hou-ji, Ih-ji, Ong-thian dan The Kong-it, sekarang lakukan tugas kalian masing-masing!”
Tiba-tiba terdengar suara alat berderak-derak dan menyusul sebuah seruan Omitohud yang berkumandang
di telinga orang.
“Omitohud! Maafkan kelancangan pinni Tay Hui dan kawan-kawan, masuk kemari.”
Dari sebuah pintu batu, pelahan-lahan muncullah beberapa tokoh yang tak terhitung jumlahnya. Mereka
adalah Tay Hui Sin-ni, Leng-bin-sin-kun Leng Tiong-siang serta empat dayang dara berpakaian biru yang
menggotong sebuah tandu berisi Dewi Mega Ui Siu-bwe, Siang-hoa-liong-li Pui Siu-li, Hiat Sat Mo-li, Ui
Hun-ing dan anak buah Lembah Kumandang. Di belakang mereka masih muncul Tui-hun-khek Kwik Ing-tat,
iman It Ceng, It Tim dari Bu-tong-pay, Pek Wan Taysu serta ke delapanpuluh satu paderi anak buah barisan
Tat-mo-coat-ci-tin dari Siau-lim-si serta para Thancu dari perhimpunan Naga Hijau. Lalu Tiong-goan-it-ho
Auyang Sat-hong, Kiam Ho Tojin, Lui Kui-hun dari perguruan Sin-kun-bun dan lain-lainnya.
Cu-ing dan Siau Lo-seng segera lari menyongsong Pek Wan Taysu serta Ui Hun-ing.
“Paman Pek Wan, apakah paman tak kurang suatu apa?” tanya Siau Lo-seng.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Itulah karena mengandalkan tenaga dari ayahmu. Kalau tidak, kami tentu sudah jadi mayat. Ah, derita
dijebloskan dalam istana Lian-hun-kiong memang sukar dikatakan.”
“Apa? Ayahku masih hidup? Dimanakah dia saat ini?” teriak Siau Lo-seng.
“Ayahmu masih segar bugar. Setelah dapat menolong kami, dia mengatakan, dia hendak menyelesaikan
persoalan yang harus diselesaikan. Setelah itu dia terus pergi. Mungkin dia masih berada dalam istana Banjin-
kiong ini.”
Saat itu Siau Lo-seng pun melihat adik angkatnya, Bok-yong Kang tengah berpelukan dan si nona baju
merah Cu Li yakni murid ketiga dari Dewi Mega Ui Siu-bwe, saling berpelukan mesra.
“Bokyong-te, bilakah engkau berkenalan dengan sam-siocia itu?” tegur Siau Lo-seng heran.
“Siau toako,” sahut Bok-yong Kang, “mengapa aku dapat menyelundup ke dalam Ban-jin-kiong tak lain
karena mengandalkan bantuan nona Cu yang mahir dalam ilmu Merobah wajah. Selama itu kami terus
mengadakan hubungan dan meminta nona itu menyampaikan berita-berita bagi toako.”
18.88. Penyelesaian Dunia Persilatan
Seketika teringatlah Siau Lo-seng pada suatu malam seorang dara baju merah dengan berkuda telah
menyampaikan peringatan kepadanya dengan ilmu Menyusup suara.
Serentak Siau Lo-seng pun tertawa:
“Ah, kalau begitu aku menghaturkan terima kasih kepada kalian berdua.”
Saat itu Hun-ing dan Cu-ing pun berseru:
“Kuhaturkan selamat atas kebahagiaan sam sumoay karena telah mendapatkan kawan hidup yang sesuai
dengan cita-citamu.”
“Malu!” teriak si dara baju merah Cu Li, “cici Hun dan cici Ing adalah pasangan yang paling serasi dengan
Siau toako, jodoh yang ditentukan oleh Thian.”
Di saat muda mudi itu berseloroh dengan gembira, tiba-tiba terdengar Kho Ing-ti tertawa, “Bagus, kalian
datang pada saat yang tepat sekali.”
Pencabut nyawa Kwik Ing-tat balas tertawa:
“Jika tidak datang pada waktunya, tentu tak mampu menangkap Ciong Pek-to salah seorang dari keempat
Thian-ong dari Lembah Kumandang. Begitu pula tak mungkin kami dapat menyelundup ke dalam istana di
bawah tanah.”
Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang tertawa menyeringai,
“Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti, kekuatan Ban-jin-kiong sudah berantakan. Betapapun akalmu, tetapi tak
mungkin engkau mampu lolos dari jaring. Barisan pendam dan alat-alat rahasia dari istanamu sudah kita
hancurkan semua. Lian-hun-kiong, Jun-gui-kiong pun telah kami ratakan dengan tanah.”
“Apakah engkau tak mau menyerah dan masih hendak berkeras kepala?”
Mendengar keterangan itu, Kho Ing-ti alias Ban Jin-hoan hanya tertawa dingin.
“Yang kalian hancurkan itu hanya dua buah ruangan kosong. Sekarang akan kuperlihatkan kekuatan
sebenarnya dari istana Ban-jin-kiong.”
Ia menutup kata-katanya dengan gerakan tangan. Serentak gendering pun mendengung keras dan berlapislapis
layar di atas panggung segera terangkat naik.
Pertama-tama yang muncul yalah Long Wi, kepala dari paseban Penempa jiwa atau Lian-hun-tian,
menuntun empat ekor anjing menyerupai serigala. Mulut anjing itu terengah-engah sehingga taringnya
tampak menyeramkan.
Dari layar sebelah kiri yang terbuka, muncul sepuluh deretan Sip-hun-jin atau manusia-manusia yang sudah
hilang kesadaran pikirannya. Mereka menghunus golok pembantai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Layar sebelah kanan, muncul limaratus barisan pemanah. Mereka telah siap dengan anak panah terpasang
dibusur. Ujung anak panah itu ditujukan ke arah setiap orang yang berada di bawah panggung.
“Nah, apa sudah melihat?” Cian-bin-poa-an Kho Ing-ti tertawa, “Beratus-ratus Sip-hun-jin ini adalah jagojago
silat yang sakti dalam dunia persilatan. Dan kebanyakan mereka mempunyai hubungan dengan kalian.
Apabila kalian berani bertindak sembarangan, mereka tentu akan mengadakan pembantaian secara buas.”
Setelah itu Kho Ing-ti menunjuk pada sebuah layar lain, serunya:
“Dan di balik layar itu merupakan pusat penggerak alat-alat rahasia dari istana Ban-jin-kiong. Penggerak itu
menggunakan daya tenaga sebuah air terjun. Dengan memanfaatkan daya tekanan yang keras untuk
menutup kawah sebuah gunung berapi. Jika daya itu dihancurkan, maka uap panas dalam perut gunung itu
tentu akan meletus. Mungkin seluruh istana Ban-jin-kiong, bahkan sampai beratus lie sekitar tempat ini akan
rata dengan tanah.”
“Kalian, kita, mereka beribu-ribu jiwa manusia pasti akan terkubur dalam timbunan tanah. Ha, ha, ha, suatu
penyelesaian yang paling adil dan paling tepat.”
Siau Mo berseru gugup:
“Kho Ing-ti engkau gila, jangan lakukan itu!”
Kho Ing-ti tertawa gelak-gelak.
“Benar, memang aku sekarang momok yang gila. Karena wanita dan cinta, aku kalap. Karena ilmu
kepandaian silat, aku gila. Karena, hendak menuntut balas, aku mengamuk. Bagaimana apakah takut mati?
Bukankah tadi terdengar seseorang berkokok mengatakan, bahwa mati itu dianggapnya sebagai pulang ke
rumah? Hm, mengapa harus ngeri terhadap kematian? Bukankah kematian itu merupakan perjalanan
terakhir yang harus dilalui setiap manusia? Siau-heng, bukankah begitu kenyataan hidup itu?”
Tiba-tiba Ong Pek-goan, ketua dari perhimpunan Hui-hou-pang, tampil ke muka dan membentak,
“Orang gila, kembalikanlah Hou-ji!”
Walaupun saat itu Kho Ing-ti sedang dirangsang oleh ketegangan dan kelimpungan pikiran tetapi dia masih
waspada. Tiba-tiba ia mengisar tubuh dan lepaskan sebuah hantaman keras. Tubuh Ong Pek-goan
terlempar jatuh ke arah rombongan orang-orang Sip-hun-jin.
“Hm, engkau hendak minta kembali si Hou-ji. Ambillah mereka!” Kho Ing-ti tertawa dingin.
Ternyata yang dimaksud dengan Hou-ji itu atau anak harimau itu, adalah tiga ekor harimau piaraan Ong
Pek-goan yang saat itu sudah diterkam dan dimakan oleh kedua anjing buas yang tengah dipegang oleh
Long Wi itu.
“Penjahat, berhenti!”
Rupanya Siau Lo-seng tak dapat menahan diri lagi. Ia terus meluncur ke atas punggung, tangan kanan
menjentikkan ilmu jari Han-sim-ci ke arah jalan darah yang berbahaya pada tubuh Kho Ing-ti. Dan tubuhnya
lanjut bergeliatan di udara untuk menyambar tubuh Ong Pek-goan.
Tetapi terlambat. Kawanan Sip-hun-jin sudah mendahului menghantam tubuh Ong Pek-goan.
Ketua dari perkumpulan Hui-hou-pang atau Macan terbang itu terdampar balik. Pada saat Siau Lo-seng
berhasil meraih tubuhnya ternyata ketua dari Hui-hou-pang itu sudah menjadi mayat yang berlumuran
darah.
Cara pembunuhan itu sungguh kejam dan mengerikan sekali.
Setelah meletakkan tubuh Ong Pek-goan, Siau Lo-seng terus maju menghampiri Sip-hun-jin yang
melakukan pembunuban itu.
“Siau toako, jangan, dia adalah Te-gak-kui-ong,” Hun-ing dan Cu-ing serempak berteriak mencegah Siau
Lo-seng.
Kho Ing-ti sendiripun entah bagaimana, cepat-cepat berseru,
“Kui-ong. Seng-ji, berhentilah!”
Tetapi terlambat. Terdengar letusan dahsyat dan hamburan angin keras ke seluruh penjuru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siau Lo-seng mengeram tertahan. Tubuhnya terlempar sampai setombak jauhnya. Tepat ditanggapi oleh
Kho Ing-ti.
Kui-ong atau Raja Akhirat, juga terhuyung-huyung sampai belasan langkah baru dapat berdiri tegak.
Tiba-tiba Pek Wan Taysu berteriak kaget:
“Te-gak-kui-ong ternyata suhu Ko Bok. Beliau ternyata belum meninggal.”
Ternyata kain hitam yang menyelubungi muka Te-gak-kui-ong atau si Raja Akhirat, telah robek sehingga
tampak wajahnya. Dia ternyata memang Ko Bok Taysu, seorang tokoh angkatan tua Siau-lim yang sakti.
Dalam pada itu Hun-ing gelisah bukan main melihat Siau Lo-seng berada di tangan Kho Ing-ti. Cepat ia
taburkan pedangnya untuk menusuk jalan darah maut pada tubuh kepala Ban-jin-kiong itu.
Suatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga
lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar.
Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pukulan.
Saat itu digunakan oleh Siau Lo-seng untuk meronta dan melepaskan diri dari tangan Kho Ing-ti.
Rupanya Kho Ing-ti marah karena lengannya terluka dan Siau Lo-seng dapat lepas.
Dengan geram ia mengangkat kaki dan hendak menendang Hun-ing yang tak ingat diri itu.
“Perempuan hina, engkau cari mampus!”
Siau Lo-seng terkejut. Cepat ia taburkan pedang Ular Emas ke arah Kho Ing-ti.
Tetapi tiba-tiba sesosok bayangan melayang lebih cepat dari taburan pedang Ular Emas itu.
Terdengar jeritan nyaring mengerikan dan Pedang Ular Emas itupun sudah menyusup ke dada orang itu.
Dia rubuh terkapar di tanah.
“Ui locianpwe, engkau……” tiba-tiba pula Siau Lo-seng menjerit kaget.
Ternyata sosok tubuh yang melayang ke tengah gelanggang untuk menghalangi pedang Ular emas itu,
bukan lain adalah Dewi Mega Ui Siu-bwe sendiri.
Tidak seorangpun yang tahu mengapa Dewi Mega bertindak sedemikian anehnya. Mengapa ia
mengurbankan diri untuk melindungi Kho Ing-ti.
Hiat Sat Mo-li, Cu Li, kedua murid Dewi Mega serempak munghampiri dan berlutut di muka Dewi Mega
seraya menangis.
“Suhu, mengapa suhu berbuat begitu......?”
Tiba-tiba Siau Lo-seng berteriak keras:
“Ui locianpwe, aku harus mati, aku telah keliru membunuh locianpwe.”
Sekonyong-konyong Dewi Mega menggeliat dan paksakan membuka mata, tersenyum sayu.
“Seng-ji, engkau tak salah, aku sendiri yang sengaja menahan pedangmu. Betapapun apabila sudah tua,
orang tentu mati. Ah, Li-ji, Sat-ji, tak usah kalian bersedih. Bagaimana dengan Ing-ji, apakah dia terluka?”
Sambil menangis sedih, Hiat Sat Mo-li menyahut:
“Hun-ing sumoay menderita luka dan pingsan. Tetapi tak berbahaya. Sebentar lagi dia tentu sudah sadar.”
Dewi mega Ui Siu-bwe muntahkan segumpal darah lalu dengan napas terengah-engah berkata:
“Seng-ji,” katanya kepada Siau Lo-seng, “setelah aku mati, kuserahkan Hun-ing kepadamu. Hek, hek, hek,
apakah ayahmu Siau Han-kwan sudah datang? Beritahukan kepadanya, bahwa sumoayku berterima kasih
atas pertolongannya mengobati penyakitnya sehingga kini Siu-li sumoay dapat pulih kembali seperti
manusia biasa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan lagi, beritahu kepadanya, aku Ui Siu-bwe pun berterima kasih sedalam-dalamnya. Uh, benar Ban Jinhoan,
ah bukan, Kho Ing-ti...... beritahu kepadanya bahwa dia telah melukai pada puterinya sendiri dan
memakinya sebagai perempuan hina, ah......”
Mendengar ucapan itu, Siau Lo-seng seperti mendengar halilintar meletus di siang hari.
“Apa? Adik Hun-ing itu puterinya......”
Dua butir airmata menitik dari sudut mata Dewi Mega dengan suara yang makin lemah ia berkata:
“Ya, benar Ing-ji memang seorang anak yang bernasib malang. Dia adalah puteriku yang berasal dari
tetesan darah Kho Ing-ti yang saat itu mengira bahwa aku mamahmu, maka setiap kali dia keliru
menyangka kalau engkau ini anaknya…… Yang benar, Hun-ing itulah puterinya.”
Habis berkata yang terakhir, ia hentikan kata-katanya, kepalanya melentuk dan matanya pun menutup
rapat-rapat.
Dewi Mega Ui Siau-bwe yang selama ini dikenal sebagai Jin Kian Pah-cu, ketua dari Lembah Kumandang,
akhirnya telah melepaskan nyawanya di hadapan Siau Lo-seng, kedua muridnya dan puterinya Hun-ing
serta Kho Ing-ti, kekasih yang memberinya seorang anak itu.
Suasana seketika terasa berkabung. Sekalian orang menundukkan kepala mengantarkan kepergian
seorang wanita yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Seorang wanita yang dalam perjalanan
hidupnya telah menderita kegagalan cinta.
Seorang wanita yang karena cintanya telah rela menyamar sebagai wanita lain agar dapat berhubungan
dengan pria yang dicintainya itu.
Siau Lo-seng pejamkan mata dan berkata seorang diri:
“Ah, hidup ini memang penuh aneka liku-liku perjalanan, manusia memang penuh dengan kisah hidup yang
luar biasa.”
Pada saat itu dari sudut ruangan terdengar seseorang berkata seorang diri pula:
“Ah, seorang wanita yang telah menjadi korban cinta. Kho Ing-ti, ai, Kho Ing-ti, apakah engkau masih
mempunyai permintaan lagi?”
Tiba-tiba terdengar orang berteriak kaget:
“Kho Ing-ti hendak memutar alat penggerak mesin rahasia. Lekas, lekas cegah dia!”
Siau Lo-seng paling cepat bertindak. Dia lebih dulu, sudah menerobos layar dan masuk untuk mencari Kho
Ing-ti. Tetapi ternyata Kho Ing-ti tak tampak batang hidungnya.
“Lekas cari pusat penggerak alat rahasia itu!” tiba-tiba terdengar orang berseru.
Kemudian terdengar pula orang berteriak keras, “Saudara-saudara, lekas, lekas tinggalkan tempat ini.
Gunung berapi akan meledak.”
Jerit pekikan, berhamburan memenuhi tempat itu.
Baik anak buah istana Ban-jin-kiong maupun para jago-jago silat yang hadir dalam perayaan itu, tampak
bingung dan berteriak ketakutan.
Bagaikan kawanan tawon dionggok dari sarang, mereka berhamburan menerobos keluar dari ruang besar
dari Te-te-mo-kiong atau istana iblis di bawah tanah.
Apabila Kho Ing-ti menggerakkan pusat penggerak alat rahasia, maka meletuslah gunung berapi itu dan
istana di bawah tanah tentu akan ambruk menimbuni mereka.
Mereka takut kalau Kho Ing-ti yang sudah terdesak dalam keadaan tak berdaya itu akan nekad dan
melakukan hal itu. Dan mereka tahu siapa Kho Ing-ti itu. Seorang manusia yang akan melakukan apa saja
di luar dugaan.
Pedang Ular Emas Siau Mo menghela napas. Katanya kepada Tay Hui Sin-ni,
“Begitukah sifat manusia itu? Mereka begitu ketakutan sekali untuk lari dari kematian. Pada hal apabila
gunung berapi sudah meletus, apakah mereka mampu terhindar dari pada kematian?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Omitohud,” Tay Hui Sin-ni berseru pelahan, “tetapi memang, hal itu merupakan kodrat manusia. Sebelum
maut, berpantang ajal. Ah...... pergolakan dalam dunia persilatan selama inipun segera akan selesai.
Selanjutnya dunia persilatan tentu akan menikmati hari-hari yang tenang. Mari kita keluar!”
“Tetapi apakah tidak akan sia-sia apabila sebentar lagi gunung ini akan diledakkan Kho Ing-ti?” Siau Mo
meragu.
“Apa daya kita?” sahut Tay Hui Sin-ni, “kalau memang begitu, kitapun harus mati juga, tapi kitapun wajib
pula untuk meninggalkan tempat ini. Terserah bagaimana nanti yang akan terjadi.”
Demikian rombongan Tay Hui Sin-ni dan para anak muda, Siau Lo-seng dan kawan-kawannya segera
berjalan keluar.
Mereka tak mau lari seperti halnya dengan jago-jago persilatan tadi, melainkan berjalan dengan tenang.
Karena mereka menginsyafi kalau Kho Ing-ti memang mau meledakkan gunung, lari mati-matian pun tiada
gunanya.
Ketika keluar dari istana di bawah tanah, Siau Lo-seng, Cu-ing dan Hun-ing menemukan sesosok mayat
yang tubuhnya penuh bulu.
Itulah Buddha Emas Ang Siong-pik. Mereka tahu bahwa tokoh itu tentu dibunuh oleh Naga tanpa bayangan
Siau Han-kwan demi pembersihan dalam perguruaunya.
Ternyata gunung tidak meledak dan Kho Ing-ti pun menghilang tak ketahuan jejaknya. Dia tak pernah
muncul lagi di dunia persilatan. Demikian pula dengan Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan.
Hanya pada suatu malam Tiong-jiu atau pertengahan musim rontok, di tepi telaga Se-ou tampak seorang
lelaki tua yang kedua kaki dan tangannya buntung, tengah menikmati rembulan purnama. Tak berapa lama
muncul seorang wanita cantik, seorang pemuda dan dua orang nona.
Lelaki cacad itu adalah Siau Han-kwan dan wanita cantik itu Puteri Neraka Pui Siu-li. Pui Siu-li tetap setia
cinta pada Siau Han-kwan. Kini keduanya sudah terangkap sebagai suami isteri.
Sedang pemuda cakap itu bukan lain adalah Siau Lo-seng yang juga menjadi suami isteri dengan kedua
nona cantik Nyo Cu-ing dan Ui Hun-ing.
Purnama raya memancarkan sinar bahagia.
>>>>> T A M A T <<<<<
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Dewasa Model Terbaru Pendekar 100 hari 4 Tamat ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 07 Mei 2018. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.