Cerita Birahi Model : PKK 9

AliAfif.Blogspot.Com -
Cerita Birahi Model : PKK 9


“Hm, siasat yang tak beres. Kalau kutolong engkau,
tentu engkau akan bertingkah lagi.” Gak Lui tak dapat
menjelaskan. Diam2 ia kerahkan tenaga dalam dan
hendak bergeliat bangun. Tetapi rupanya pemilik lembah
itu sudah mempunyai pengalaman dengan Ceng Ki palsu
tadi. Cepat ia mendorong tubuh Gak Lui seraya
membentak: “Budak, jangan bergerak! Kalau engkau tak
mau menjadi cairan air, engkau harus bicara terus terang
!”
“Paman Li, jangan terlalu mencurigai diriku! Aku
adalah kakak angkat dari puterimu Li Siu-mey. Aku
sedang membantunya untuk mencari ayahnya yang
hilang. Harap percaya omonganku !”
“O ....,” mendengar disebutnya Li Siu-mey, pemilik
lembah itu menggigil dan dengan suara gemetar berseru
: “Engkau bahkan sudah datang kerumahku ? Bagus,
kalau bukan si Hui-ting yang menghianati, bagaimana
engkau tahu ?”
“Bukan dia!” bantah Gak Lui, “Tabib-jahat Li Hui-ting
telah mencelakai banyak orang, dosanya besar sekali.
Tetapi terhadap keadaan rumah-tangga paman, dia
benar2 tak menceritakan kepadaku .....”
“Hm, binatang itu masih mempunyai setitik hati baik
juga. Lalu bagaimana engkau tahu tentang rumah
tanggaku? Bilanglah terus terang!”
805
Gak Lui lalu menceritakan semua pengalaman yang
dialaminya selama ini. Terutama pertemuannya dengan
Li Siu-mey yang telah menolong jiwanya ketika ia ditelan
seekor ular besar yang berumur ratusan tahun. Kini
barulah pemilik lembah itu tahu bahwa puterinya masih
hidup dan sudah dewasa sedang isterinya sudah
meninggal dunia. Air matanyapun mengantar isak
tangisnya. Setelah orang berhenti menangis, barulah
Gak Lui berkata pula:
“Paman Li, kukira sekarang paman tentu suka
menolongku.” Pemilik lembah Setan Penyakit yang
ternyata memang benar Tabib-sakti Li Kok-hoa
bersangsi. Setelah merenung beberapa saat, wajah tabib
itu berobah, serunya: “Tidak semudah itu. Dengan kalian
kaum persilatan sudah dua kali aku berhubungan. Setiap
kali aku selalu hampir mati, selalu menderita celaka.
Maka sekarang untuk yang ketiga kalinya ini aku harus
hati2”
“Paman, aku sudah suruh orang mengundang
puterimu datang kemari. Apakah hal itu masih belum
dapat meyakinkan paman ?”
“Ya, kuingat hal itu. Kita tunda dulu semua urusan ini
sampai dia datang.”
“Lalu aku sekarang…..”
“Engkau harus menunggu dengan sabar,” kata Li
Kok-hoa sembari mengambil huncwe kumala dan
menghisapnya kedalam mulut. Gak Lui terkejut. Tetapi
cepat ia dapat memperhatikan pipa kumala itu. Ternyata
pipa itu terbagi dalam tiga lubang. Lubang kesatu
berwarna merah, lubang kedua putih dan lubang ketiga
kuning, Ketiga warna itu mengandung tiga macam obat
yang berlainan. Pada saat Gak Lui tertegun, segulung
806
asap kuning menyembur kearah hidungnya. Ia pingsan.
Li Kok hoa gunakan obat bius yang berlipat ganda
kekuatannya. Maka betapapun tinggi kepandaian Gak
Lui, tetapi ia tak mampu melawan kekuatan obat bius itu.
Dalam kelelapan tidurnya yang nyenyak itu, ia bermimpi
mengenangkan semua peristiwa yang dialaminya selama
ini. Ayah bunda, ayah angkat, paman guru, bibi guru dan
beberapa tokoh ketua perguruan silat telah berjatuhan
gugur, darah bergenangan. Kesemuanya itu adalah
gara2 si Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Demi
kesombongan, dan keinginan untuk menguasai dunia
persilatan, durjana itu telah membunuh sekian banyak
jiwa. Dan karena hendak menuntut balas, Gak Lui telah
keliru membunuh beberapa orang yang baik, menanam
dendam permusuhan dengan partai2 persilatan ...
“Bunuh.....!” teriak Gak Lui dalam mimpinya, Ia
hendak menghancurkan manusia durjana itu. Tetapi ah
.... ternyata ia tak dapat bergerak. Kaki tangannya serasa
tak bertenaga. Namun ia nekad meronta-ronta dengan
sekuat tenaga dan ....
“Engkoh Lui! Engkoh Lui? Engkoh sudah siuman !”
tiba2 terdengar lengking suara seseorang.
“Hai, bukankah itu suara Siu-mey ? Apakah dia
benar2 datang ?” Gak Lui terkejut dan membuka mata.
Ah... ternyata Siu-mey memang tegak berdiri disamping
tempat tidurnya sambil tersenyum. Dibelakang Siu-mey
tampak seorang lelaki tua yang berwajah terang dan
lemah lembut. Walaupun masih ragu2 tetapi dari baunya
dapatlah Gak Lui mengetahui bahwa orangtua itu yalah
si Tabib-sakti Li Kok-hoa. Rupanya tabib itu telah
menghapus penyaruan wajahnya dan kembali
mengunjukkan wajahnya yang aseli.
“Ah, ayah dan anak itu sudah berjumpa....,” pikir Gak
807
Lui. Ia ikut gembira dan hendak bergeliat duduk. Tetapi
sebelum sempat membuka mulut, tabib itu sudah
mendahului berkata dengan ramah: “Hian say, silahkan
bangun. Karena salah faham, terpaksa kusuruh engkau
menderita beberapa hari ....”
Mendengar tabib itu memanggilnya dengan kata
'Hian-say' atau anak menantu, Gak Lui tertegun dan
sampai beberapa saat tak dapat bicara.
“Hubunganmu dengan anakku, sudah kudengar,”
kata tabib itu, “dan lagi bibi gurumu sudah meninggalkan
pesan, menyetujui pernikahanmu. Dan aku sendiri.....juga
setuju. Apakah engkau tak suka ?”
“Bukan, bukannya tak suka,” sahut Gak Lui, “tetapi
saat ini masih ada dua buah urusan yang belum ....
selesai.”
“Soal apa ?”
“Pertama, musuh besar belum terbalas.”
“Dendam sakit hati ayah bunda, memang harus
dibalas. Tetapi setelah selesai, tentulah tak ada
persoalan lagi.”
“Setelah melakukan pembalasan, aku harus
berkabung sampai tiga tahun.”
“Hm ... rasa bhakti memang perlu. Dan anakkupun
harus menyertai engkau. Lalu apakah soal yang kedua
itu?”
“Ini...,” ketika teringat akan pergolakan dalam dunia
persilatan dan peristiwa2 yang mungkin timbul secara tak
terduga-duga, Gak Lui tak dapat melanjutkan kata
katanya. Terhadap ramalan si Raja sungai Gan Ke-ik
ketua Partai Gelandangan dan petunjuk rahasia dari
Kaisar Persilatan, mau tak mau ia tak boleh
808
mengabaikan. Hanya karena itu termasuk soal tahayul,
maka ia tak dapat menerangkan kepada orang. Setelah
berdiam diri beberapa saat, barulah ia berkata dengan
nada serius: “Paman Li, bukan aku hendak mengulur
waktu tetapi soal pernikahan itu merupakan soal selama
hidup. Setelah aku dapat mengadakan sembahyangan
kepada para angkatan tua, barulah dapat memberi
keputusan ...”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Siu-mey tak marah maupun kecewa mendengar
keterangan Gak Lui itu. Ia bahkan setuju dengan
tindakan Gak Lui. Ia percaya penuh kepada pemuda itu
tentu akan menepati janjinya. Melihat sikap Gak Lui dan
puterinya begitu tenang, Li Kok-hoa tak mau ngotot.
Iapun beralih pada lain pembicaraan: “Sejak datang
kemari engkau selalu mengenakan kedok muka. Karena
aku tak mau mencampuri urusan orang lain, maka
akupun tak membuka kedok mukamu itu....”
“Terima kasih paman. Memang kedok yang
kukenakan ini tak boleh dibuka.”
“Mengapa? Apakah wajahmu mempunyai.... sesuatu
yang tak boleh dilihat orang ?”
“Aku sendiri juga tak jelas.” Li Kok-hoa terbeliak
heran. Pada saat ia hendak mendesak, Siu- mey sudah
mendahului, menceritakan asal mula Gak Lui memakai
kedok muka itu.
“Ah, ah,” Li Kok-hoa mendesuh, “kiranya begitu.
Kukira karena wajahnya cacad maka aku bersedia akan
mengobatinya ....”
“Paman Li,” tiba2 Gak Lui menyelutuk, “aku
809
mempunyai taci angkat yang mukanya rusak penuh
guratan pedang. Apakah paman dapat mengobati ?”
“Tujuan dari ilmu pengobatan itu adalah untuk
menolong orang. Jangan lagi saudara angkatmu, sedang
orang yang belum kenal saja asal aku dapat mengobati
tentu akan kutolong ....”
Juga Siu-mey ikut menyelutuk: “Engkoh Lui, yang
engkau maksudkan dengan taci angkatmu itu apakah
bukan Hi Kiam-gim yang mukanya ditutup dengan kain
kerudung itu?”
“Benar,” sahut Gak Lui, “apakah dia sudah ke Cengsia-
san ?”
“Memang sudah tetapi sayang dia dingin sekali
terhadap orang. Kecuali hendak membunuh si Maharaja,
lain2 hal dia tak mau peduli. Maksudmu yang baik itu
mungkin sukar diterimanya !”
“Kukira ... dia dapat menerima...”
“Mengapa ?”
“Engkau masih ingat ketika di sumber air Pencuci
Jiwa engkau hampir berjumpa dengannya?”
“Ya.”
“Karena melihat kuburanku maka dia lalu merusak
wajahnya sendiri. Kalau sekarang kita tak kurang suatu,
tentulah dia juga ingin wajahnya itu pulih kembali.”
“O,” Siu-mey mendesuh dan kerutkan alis seperti
orang cemburu. Pada saat ia hendak bertanya,
ayahnyapun sudah mendahului menghela napas,
ujarnya: “Soal itu aku sudah meluluskan tetapi adalah hal
semacam itu maka rumahtanggaku sampai berantakan.
Sungguh suatu kenangan yang menyedihkan ...”
810
“Paman, apakah Li Hui-ting juga menipu paman
untuk mengobati orang yang wajahnya rusak?”
Li Kok-hoa mengiakan.
“Lalu siapakah yang paman obati?” Mata si tabib
berkilat-kilat memancar rasa ketakutan dan tak mau
menjawab. Melihat itu Siu-mey cepat mendesak: “Yah,
tak perlu engkau takut. Biar musuh bagaimana kuatnya
tetapi aku dan engkoh Lui sanggup menghadapi !”
“Ini ....”
“Mengapa ayah masih ini itu lagi! Karena engkau
menghilang, mamah sampai meninggal karena sedih.
Kalau ayah sekarang tetap tak mau bilang, bukankah
ayah berdosa kepada mamah?”
“Ai ...” tabib itu menghela napas panjang melihat
puterinya berduka, “baiklah. Kesatu, peristiwa itu sudah
berselang puluhan tahun dan pula durjana itu sudah
mati. Tentulah mereka tak tahu kalau aku masih hidup.
Nah, silahkan kalian tanya saja kepadaku !”
Gak Lui segera mengajukan pertanyaan: “Paman,
dari pembicaraan paman dengan Tio Yok-bing tempo
hari, pernah paman menyebut seorang Hidung
Gerumpung. Sedang tentang Tabib-jahat Li Hui-ting
memang paman sebut2 beberapa kali. Apakah paman
ditipu oleh Li Hui-ting untuk mengobati paman guruku
yang bernama Lengan-besi-hati-baik itu? Kalau benar,
mengapa wajahnya belum sembuh?”
“Murid hianat itu memang benar telah menipu aku
untuk mengobati wajah seseorang, tetapi siapa orang itu,
aku tak tahu !”
“Pernahkah paman pergi ke gunung Busan?”
“Busan ?”
811
“Benar, yalah tempat persembunyian dari paman
guruku itu.”
“Memang aku dibawa oleh muridku hianat itu
melintasi beberapa gunung dan sungai. Tetapi di
manakah letak Busan itu sampai sekarang aku tak jelas.”
“O, kiranya selain ditipu pun paman diikat oleh murid
penghianat itu ?”
“Ya, benar.”
“Kalau begitu tolong paman berikan sedikit gambaran
tentang wajah orang yang paman obati itu.” Li Kok-hoa
gelengkan kepala menghela napas: “Wajah mereka
akupun tak dapat mengatakan. Kecuali tahu kalau
hidungnya gerumpung, lain2nya aku tak dapat melihat.”
“Mereka? Apakah jumlahnya lebih dari seorang ?”
“Dua!”
“Apakah keduanya mengenakan kerudung muka
semua ?” Li Kok-hoa mengiakan.
“Apakah keduanya terserang penyakit yang sama ?”
baru Gak Lui bertanya begitu tiba2 hatinya tergetar. Ia
teringat suatu peristiwa yang aneh dan buru2 menyusuli
kata : “Tidak! .... paman, ah ,.... apakah engkau
memotong hidung paman guruku untuk dipindahkan
kepada seorang ?”
Gemetarlah tubuh tabib-sakti Li Kok-hoa mendengar
perkataan itu. Dengan terbata-bata ia menyahut:
“Benar.... ya, benar. Tetapi bagaimana engkau dapat
menduga seseorang?” Mendengar tabib itu sudah
mengaku, tersadarlah pikiran Gak Lui. Kini jelaslah ia
mengapa pada saat menutup mata paman gurunya si
Lengan-besi-hati-baik itu menanyakan diri Maharaja
Persilatan Tio Bik-lui. Kiranya kedua orang itu
812
mempunyai hubungan yang erat sekali sehingga Lengan
besi hati-baik mau mengorbankan hidungnya diberikan
kepada Tio Bik-lui. Tujuan daripada paman gurunya
Lengan-besi hati-baik itu tentulah mengharap agar Tio
Bik-lui mau menyadari kesesatan dan kembali kejalan
yang benar. Itulah pula sebabnya ketika Gak Lui
menceritakan bagaimana dirinya ditolong oleh Tio Bik lui,
paman gurunya segera memuji Tio Bik-lui itu memang
orang yang baik hati. Padahal tindakan Tio Bik-lui
menolong dirinya itu hanya suatu siasat untuk mengambil
keuntungan. Sama sekali bukan suatu tanda kalau orang
itu sudah mau memperbaiki kesalahannya. Kini makin
jelaslah Gak Lui akan pribadi paman gurunya yang
berhati luhur dan pribadi Tio Bik-lui yang ganas. Tiba2 ia
tertegun. Timbul seketika suatu pertanyaan dalam
hatinya. Ya, mengapa paman gurunya begitu baik hati
sekali kepada Tio Bik-lui ? Dan mengapa Tio Bik-lui
membalas kebaikan Lengan-besi-hati-baik dengan
tindakan bermusuhan ? Gak Lui tak dapat menjawab
pertanyaan itu. Ia tegak termenung- menung memikirkan
soal itu. Karena melihat pemuda itu diam saja, Li Kokhoa
mengira kalau Gak Lui tak puas kepadanya. Maka
buru2 ia menyusuli keterangan lagi: “Sesungguhnya
memindahkan anggauta badan orang kepada orang lain
itu melanggar kodrat alam dan tidak seharusnya
kulakukan. Tetapi .... benar2 aku terpaksa melakukan hal
itu dan karenanya akupun tak leluasa mengatakan.....”
“Paman Li, dalam hal itu memang paman guruku
sendiri mempunyai tujuan dan tak dapat menyesalkan
paman. Tetapi kuharap paman suka mengingat lagi
peristiwa itu dan memberi keterangan yang jelas.”
“Baik, baik! Sekarang hendak kuceritakan dulu
tentang riwayat murid hianat Li Hui-ting itu.”
813
“Silahkan, paman.”
“Pada waktu datang mengangkat guru kepadaku, dia
memang bersikap baik sekali. Akupun tahu kalau dia itu
seorang persilatan tetapi tak mengerti ilmu pengobatan.
Tetapi dia menaruh perhatian besar terhadap obat2
racun.”
“Adakah paman tak memberikan pelajaran ilmu itu
kepadanya ?”
“Kuberinya sedikit ilmu tentang racun. Sedang obat2
istimewa dari perguruanku, tak kuberikan kepadanya.”
“Apakah diantaranya termasuk ilmu cairan racun
yang dapat menyurutkan tubuh ?”
“Benar.”
“Apakah dia begitu saja lalu lepaskan keinginannya
?”
“Dia seorang yang mempunyai tipu muslihat banyak
sekali. Tahu kalau aku tak mau mengajarkan, diapun tak
dapat berbuat apa2. Tetapi lewat beberapa waktu
kemudian, iapun pergi dari rumahku.”
“Dia baru kembali lagi ketika hendak menipu paman,
bukan?”
“Benar, pada suatu malam kira2 delapan belas tahun
yang lalu, tiba2 dia muncul dan meminta kepadaku untuk
mengobati seorang penderita penyakit yang sukar
diobati. Dia meminta supaya aku membawa peti obat dan
ikut bersamanya ke suatu tempat.”
“Pada waktu paman tinggalkan rumah, apa saja yang
paman alami ?”
“Tak berapa jauh meninggalkan rumah, tiba2 murid
hianat itu menutuk jalan darahku hingga pingsan lalu
814
membawaku kesebuah tempat. Setelah aku sadar,
kulihat empat orang berkerudung muka tengah
menunggu. Salah seorang yang menjadi pemimpinnya
bicara tetapi suaranya tak jelas. Terang kalau dia tak
mempunyai hidung.”
“Hm, yang mencelakai gihu-ku, tentulah keempat
orang itu. Yang tiga orang adalah kawanan Topeng Besi
yang sudah hilang kesadaran pikirannya. Tetapi Lima
Pendekar Im-leng itu masih belum masuk dalam
gerombolan itu. Kuharap tawanan yang dibawa ke Cengsia
itu, salah seorang dari ketiga Topeng Besi itu agar
dapat diperoleh keterangan2 yang penting...” pikir Gak
Lui.
“Paman Li, bagaimanakah sikap Hidung Gerumpung
itu kepadamu?”
“Dia bertanya apakah aku dapat menambal hidung?
Kujawab kalau aku dapat melakukan hal itu. Tetapi
dengan syarat bahwa hidung yang akan ditambal itu
belum membusuk. Kalau sudah busuk, aku tak sanggup.”
“Lalu apakah hidungnya yang terpapas hilang masih
disimpannya?”
“Dia mengatakan kalau sudah hilang. Kukatakan
kepadanya bahwa aku sanggup membuat hidung palsu,
tetapi dia hanya mendengus dingin dan mengatakan
sebuah cara yang ganas.”
“Cara bagaimana ?”
“Dia hendak menangkap seorang manusia, suruh aku
pilih yang cocok untuk ditambatkan pada hidungnya.”
“Adakah paman menolak ?”
“Memang aku menolak…” tetapi sampai di sini wajah
Li Kok-hoa tampak merah, katanya pula: “tetapi dia
815
hendak membunuh seluruh keluargaku. Karena terpaksa,
akupun meluluskan.”
“Karena sudah memutuskan dengan cara itu,
mengapa mereka masih mencari paman guruku di Busan
dan memindahkan hidungnya kepada orang itu?” tanya
Gak Lui pula.
“Karena dia bertanya kepadaku, berapa lamakah
waktu yang kubutuhkan untuk pencangkokan hidung itu.
Aku mengatakan kalau memakan waktu lebih kurang
tujuh hari. Rupanya dia terburu buru sekali. Tak dapat
menunggu lama. Akhirnya ia memutuskan membawa
aku. Ia hendak menyelesaikan suatu pekerjaan lain dulu
baru nanti mengurus soal pengobatan itu lagi.”
“Bagaimana pengalaman sepanjang jalan?”
“Mereka menutup kedua mataku dan suruh si Hui-ting
menggendong aku. Oleh karena itu aku tak dapat melihat
suatu apa kecuali mendengar suara kesiur angin dan
gemercik air mendesir di tanah pegunungan.”
“Kemudian ?”
“Kemudian tiba di sebuah gunung. Di situ kedatangan
kami disambut oleh seseorang. Kain penutup mukakupun
dibuka. Kudapati diriku berada di sebuah gunung yang
aneh. Gunung itu terdiri dari duabelas puncak. Lapisan
dalam enam puncak dan lapisan luar enam puncak.
Keadaan tampaknya berbahaya sekali ....”
“Benar, itulah tempat persembunyian paman guruku
di Busan. Lalu apakah paman dibawa masuk?”
“Tidak, kurasa saat itu aku berada di tepi dari keenam
puncak gunung itu.”
“Lalu bagaimana gerak gerik paman guruku ?” Li Kok
hoa kerutkan kening mengenangkan peristiwa yang
816
lampau itu, lalu menjawab: “Paman gurumu juga
mengenakan kerudung muka sehingga tak tampak
bagaimana wajahnya. Saat itu ketiga orang Kerudung
Hitam dan muridku hianat si Hui-ting tidak berada di situ.
Mungkin mereka bersembunyi di balik batu karang.
Hanya tinggal si Hidung Gerumpung yang berhadapan
dengan paman gurumu.”
“Bicara apa sajakah mereka itu?”
“Kuperhatikan kain kerudung mereka bergerak-gerak
tengah bicara tetapi sama sekali aku tak dapat
mendengar pembicaraan mereka.”
“Paman, mereka telah menggunakan ilmu Menyusup
Suara yang tinggi. Sudah tentu paman tak dapat
menangkap pembicaraan mereka. Lalu ?”
“Lama juga mereka bicara. Tampak keduanya tegang
seperti orang yang sedang berdebat keras. Akhirnya
mereka sama2 menunjuk ke langit dan ke bumi seperti
orang yang mengangkat sumpah. Setelah itu baru
putuslah pembicaraan mereka.”
“Kemudian ....?”
“Tiba2 paman gurumu mengulurkan tangan meminta
pedang dari si Hidung Gerumpung. Setelah itu ia
memapas hidungnya sendiri....”
“Oh…..”
“Setelah itu paman gurumu lemparkan pedang lalu
lari menyusup ke dalam gerumbul di puncak gunung.
Cepat2 akupun memungut batang hidung paman gurumu
lalu kulekatkan pada hidung si Hidung Gerumpung....”
Mendengar berita itu tahulah sekarang Gak Lui mengapa
paman gurunya si Lengan besi-hati baik tak punya
hidung sebaliknya Maharaja Persilatan Tio Bik-lui
817
hidungnya utuh. Diam2 ia terkejut sekali.
“Paman, orang yang engkau obati hidungnya itulah
musuhku besar. Dia adalah durjana nomor satu yang
membawa bencana pada dunia persilatan. Tetapi menilik
keganasannya, mengapa paman dapat lolos dari
cengkeramannya? Dan mengapa rumahtangga paman
tak dibasmi ?”
“Ceritanya amat panjang,” kata si tabib sakti Li Kokhoa,
“tak mudah kujaga jiwaku yang tua ini.....,” ia
menghela napas lalu melanjutkan lagi, “Setelah
kupasang hidung baru padanya, kembali dia
membawaku pergi dari Bu-san. Setiap hari aku harus
melumurkan obat pada hidungnya sehingga sampai
sembuh benar2. Setelah pekerjaanku berhasil maka aku
menerima upah yang besar.”
“Oh, apakah upahnya ?”
“Dia akan membunuhku supaya aku tak
membocorkan rahasia itu ....”
“Oh ....”
“Dalam keadaan terdesak terpaksa akupun gunakan
siasat untuk menggertaknya.”
“Dengan mengatakan bahwa apabila tak makan obat
dari paman, hidungnya itu akan membusuk lagi ?” tukas
Gak Lui.
“Benar!” sahut Li Kok-hoa tertawa masam, “bukan
saja kukatakan begitu pun kubilang karena terburu2, obat
itu masih ketinggalan di rumah.”
“Apakah paman tak takut mengundang serigala ke
dalam rumah? Apakah itu tiada bahaya?”
“Tidak! Kulihat dia banyak sekali urusannya. Tak
818
mungkin akan menyertai aku pulang. Tentu dia hanya
menyuruh si Hui-ting itu yang membawa aku. Dan Huiting
itu sekalipun bukan orang baik tetapi sekurangkurangnya
dia masih dapat diajak bicara.”
“Kalau begitu, dia tentu mau melepas paman dan
melindungi paman dalam perjalanan itu?”
“Ah, dia bukan manusia sebaik itu. Dia menetapkan
untuk mengadakan perjanjian tukar menukar.”
“Hm, dia tentu hendak meminta resep pembuatan
cairan racun penyurut tubuh.”
“Ya, benar. Tak berapa lama Hui-ting membawaku
pergi. Dia segera menelanjangi kebohonganku kepada si
Hidung Gerumpung yang sudah kutambal hidungnya itu.
Hui-ting sihianat itu mengajukan tukar menukar. Dia
bersedia melepaskan aku tetapi menghendaki resep
pembuatan racun penyurut tubuh. Dan lagi dia bilang,
lebih baik aku jangan pulang membawa keluarga
menyingkir.”
“Alasannya ?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Rumah tinggal dan desaku, fihak lawan tak tahu.
Hui-ting mengatakan asal aku menyembunyikan diri, dia
akan melaporkan kalau aku sudah dibunuh. Kemudian ia
hendak menggunakan obat palsu untuk menipu sibekas
Hidung Gerumpung itu. Tetapi kalau aku pulang ke
rumah tentu akan ketahuan jejakku. Berbahaya bagi
jiwaku, juga jiwa si Hui-ting itu sendiri. Demi keselamatan
anak isteri, aku terpaksa menerima perjanjian itu ....”
Berbicara sampai di situ, tampak tabib sakti itu berduka
sekali. Air matanya berderai-derai turun. Siu-meypun ikut
819
menangis terisak- isak. Tangis dan air mata itu telah
membangkitkan gelora jiwa Gak Lui. Walaupun
menderita kesengsaraan besar, tetapi Li Kok-hoa itu
masih dapat berjumpa dengan puterinya. Sedang dia
sendiri sudah sebatang kara. Ayah meninggal dan ibunya
hilang tiada ketahuan jejaknya. Penderitaannya lebih
besar dari kedua ayah dan anak itu.
“Paman Li,” akhirnya ia menghibur tabib sakti itu,
“peristiwa yang sudah lampau, biarlah lalu. Tak perlu kita
sesali lagi. Kurasa paman boleh pulang ke desa lagi.”
“Ya, benar,” seru Siu-mey sambil menghapus
airmata, “pulanglah yah, agar aku dapat merawatmu
sampai di hari tua ....”
“Tidak bisa,” kata tabib Li Kok-hoa, “saat ini aku
belum dapat pergi.”
“Mengapa ?”
“Gerombolan manusia ganas itu benar2 telah
menghancurkan nyaliku...”
“Yah, jangan takut. Aku dan engkoh Lui dapat
membasmi mereka.”
“Kalau begitu, kutunggu setelah kalian selesai
melakukan pembalasan, baru aku pulang.”
“Perlu apa? Sekarang juga bisa pulang.”
“Ah, tidak semudah itu. Sekian banyak penderita sakit
dalam lembah ini, harus kuatur dengan baik baru aku
dapat pergi dengan lapang hati...”
Terhadap watak ayahnya yang suka menolong orang,
memang Siu-mey sudah faham. Ia tak dapat berbuat
apa2 lagi, kecuali berkata: “Yah, kalau engkau hendak
tetap tinggal di sini akupun tak dapat memaksa. Aku
820
akan pergi bersama engkoh Lui dan cepat akan kembali
lagi ke sini. Setelah selesai melakukan pembalasan, kami
berdua tentu cepat akan mengambil ayah kemari.”
“Baiklah, aku tetap akan tinggal di sini,” kata Li Kokhoa
lalu berpaling kepada Gak Lui, “bawalah Hi Kiam-gim
kemari. Tentang kerusakan wajahnya, aku yang akan
mengobati sampai sembuh.”
Demikian dengan diantar oleh Li Kok-hoa, Gak Lui
dan Siu-mey keluar dari lembah itu. Di tengah jalan tiba2
Gak Lui teringat sesuatu. Anggauta Topeng Besi yang
dibawa ke Ceng-sia itu belum tentu dapat disembuhkan
pikirannya yang limbung. Menilik kepandaian Li Kok-hoa
yang begitu sakti dalam ilmu pengobatan, mengapa ia
tak meminta obat kepadanya?
“Paman Li, apakah engkau mempunyai obat untuk
menyembuhkan orang yang hilang kesadaran
pikirannya?” cepat ia bertanya.
“Obatnya sih ada, tetapi entah manjur atau tidak,”
sahut sitabib sakti.
“O……”
“Karena penyakit itu tidak sama berat ringannya.
Maka ada bedanya sedikit. Kalau penyakit itu hanya baru
saja, sekali minum tentu sembuh. Tetapi penyakit itu
makin lama diderita, makin sukar pengobatannya dan
obat itupun tak mudah memberi hasil.”
Gak Lui segera menceritakan tentang anggauta
Topeng Besi yang sudah dibius selama delapan belas
tahun. Mendengar itu Li Kok hoa kerutkan alis,
menyahut: “Kalau dia sudah menderita selama delapan
belas tahun, berarti sudah seperti seorang mayat hidup.
Sukar untuk diobati dan lebih baik jangan
821
menghamburkan itu dengan sia2 ....”
“Tetapi orang itu penting sekali artinya. Harus dapat
disembuhkan!”
“Ini.... berarti kuda mati dianggap kuda hidup. Coba
saja akan kuusahakan sekuat tenaga!” Si tabib
meluluskan lalu membawa kedua anak muda itu ke
dalam kamar obatnya. Ruang obat itu berdinding lemari
obat2an yang penuh dengan botol obat besar kecil.
Jumlahnya tak terhitung banyaknya. Dengan ahli sekali Li
Kok-hoa cepat mengambil sebuah botol kecil, diberikan
kepada Gak Lui. “Obat ini adalah buatanku sendiri.
Kuberi nama Kiu-coan-ting sin-tan. Khusus untuk
mengobati penyakit hilang ingatan. Cobakan saja
kepadanya bagaimana nanti hasilnya.” Gak Lui
mengaturkan terima kasih lalu bersama Siu mey
tinggalkan lembah itu. Dengan gunakan ilmu berlari cepat
mereka menuju ke gunung Ceng-sia-san. Ternyata Gak
Lui masih mempunyai pertanyaan yang hendak diajukan
kepada Siu mey. Maka sambil berlari ia bertanya: “Adik
Mey, pukulan-sakti The Thay sudah membawa si
Kerudung Hitam ke Ceng-sia. Adakah ketua kelima partai
persilatan sudah mengenalinya ? Apakah sudah
diketahui siapa orang itu ?”
“Adakah yang engkau maksudkan orang sakit yang
dibawa adik Hong lian itu ?”
“benar.”
“Sudah dikenal dirinya. Kalau kukatakan siapa orang
itu engkau tentu akan melonjak kaget...”
“Siapa ?”
“Dia adalah tokoh nomor satu dari perguruan Cengsia
pay. Kalau dia tidak lenyap, tentulah kedudukan
822
pimpinan Ceng-sia-pay tak jatuh ditangan Thian Lok
totiang ...”
“Oh ....,” Gak Lui terkejut dan gemetar. Cepat ia
dapat menduga siapa orang itu. Dia bukan lain yalah
Thian Wat totiang. Dengan begitu jelas yang dibunuh
Gak Lui itu yalah paderi Hwat Gong dari perguruan
Heng-san-pay, Hui wi dari perguruan Siau-lim-pay dan
imam Ceng Ci dari perguruan Bu tong-pay, serta Wi Cun
imam dari Kong tong-pay yang sungguh2 berhianat itu.
Tokoh2 terkemuka dari kelima partai persilatan yang
hilang itu, kecuali yang seorang, yang empat orang
sudah terbunuh semua. Ah, tindakan Gak Lui itu tentu
akan menimbulkan reaksi yang menyulitkan dirinya.
Setelah merenung beberapa jenak, akhirnya ia berkata
dalam hati : “Ah, dengan mendapatkan Thian Wat totiang
ini, sekurang kurangnya perguruan Ceng-sia-pay tentu
takkan memusuhi aku....” Melihat pemuda itu diam saja,
Siu-mey segera menegur: “Engkoh Lui, kata2ku tadi
hanya bergurau saja. Masakan benar2 hendak menakuti
engkau !”
“Apa ?” Gak Lui tersentak kaget. Siu-mey mencekal
tangan sang kekasih, serunya : “Jangan linglung begitu,
bilanglah lekas !”
“Aku bukannya takut melainkan memikirkan sesuatu
...”
“Soal di Ceng-sia itu?”
“Benar, apakah Thian Wat totiang itu sudah pulih
kesadaran pikirannya ?”
“Sama sekali belum !” sahut Siu-mey, “tokoh2 partai
persilatan sudah berusaha menyembuhkannya. Ada
yang menggunakan tenaga dalam, ada yang pakai obat.
Tetapi sedikitpun tak berhasil. Sebaiknya nanti kita
823
cobakan obat dari ayahku itu.”
“Lalu bagaimana dengan keadaan barisan Thian-lotoong-
tin dari kelima partai persilatan itu?”
“Hebat sekali! Nanti setiba di Ceng-sia engkau tentu
mengetahui sendiri betapa kehebatan barisan paderi dan
imam itu.”
“Kalau begitu, segenap anggauta barisan itu sudah
datang semua?”
“Ya, seluruh kaum persilatan golongan Putih sudah
datang lengkap. Kecuali tokoh2 dari Lima Partai
Persilatan, masih hadir pula kedua partai Pengemis dan
Gelandangan, perguruan Kiu- hoan-bun juga datang.”
“Bagus !” seru Gak Lui gembira dan
memperhitungkan keadaan mereka tentu terjamin
keselamatannya. Dengan memiliki barisan itu tentu
mudah menghadapi golongan hitam. Mengenai Maharaja
Tio Bik-lui yang akan muncul, Gak Lui sudah siap.
Lawannya itu tak tahu kalau pedang laknat Thian luikoay-
kiam tak dapat dicabut dari warangkanya. Maka
Maharaja Persilatan itu tetap takut. Maharaja Persilatan
Tio Bik-iui sudah menyatakan tantangannya. Nanti
sebulan lagi akan bertempur digunung Im-leng-san. Jelas
yang dianggap lawan berat oleh Maharaja itu tentulah
dirinya (Gak Lui). Membayangkan hal itu, diam2 hati Gak
Lui terhibur dan wajahnyapun berseri senyum. Rupanya
Siu-mey memperhatikan perobahan air muka Gak Lui,
dapat ia berseru : “Engkoh Lui, jangan engkau pandang
enteng persoalan itu. Paman The Thay dan adik Hiong
lian masih mempunyai sedikit kesulitan !”
“O, apakah partai2 persilatan itu hendak mencari
mereka ?”
824
“Benar, partai2 persilatan itu tahu bahwa Topeng
Besi itu adalah tokoh kelas satu yang hilang. Kalau
sekarang Thian Wat totiang dari Ceng-sia-pay sudah
kembali, sudah tentu mereka akan mencari orang2nya
yang hilang itu.”
“Lalu bagaimana adik Hong-lian menjawab mereka ?”
“Dia bilang kalau yang lain sudah mati. Dan hal2
yang lain silahkan tanya kepadamu.”
“Jawaban yang tepat,” kata Gak Lui, “mari kita
percepat lari kita agar lekas tiba disana.” Agar dapat
mengimbangi larinya ia menggandeng tangan Siu- mey.
Dengan demikian dapatlah mereka berlari sama
cepatnya.
Saat itu mereka tiba disebuah tanah datar yang luas.
Empat penjuru penuh dengan belukar rumput. Ditengah
dataran itu tampak sebuah kuil kuno. Ketika terpisah
seratusan tombak dari kuil itu, tiba2 Gak Lui lambatkan
larinya dan memandang kearah kuil itu.
“Engkoh Lui, adakah engkau mencium bau manusia
?” tanya Siu- mey.
“Benar, rupanya disekitar tempat ini terdapat
sejumlah besar orang yang bersembunyi !”
“Apakah gerombolan kaki tangan Maharaja?”
“Kemungkinan. Karena baunya tak asing lagi.”
“Lalu bagaimana tindakan kita? Mau bunuh? Dengan
kekuatan kita berdua, tentu dapat membunuh mereka
habis-habisan. Mau lari? Selagi mereka belum muncul,
kita mengambil jalan mengitar saja.....”
Gak Lui menunduk lalu menjawab dengan sepatah
kata yang seram: “Bunuh .... Jika mereka benar kawanan
825
anak buah Maharaja, mereka tentu akan mengikuti
perjalanan kita ke Ceng-sia. Dari pada di sana
menimbulkan kesulitan lebih baik sekarang saja kita
basmi mereka agar dapat menghemat tenaga !”
Mendengar itu Siu-mey segera singsingkan lengan baju
dan unjukkan sepasang ular emas: “Benar, mari kita
terjang ....”
“Tunggu !”
“Tunggu apa ?” Gak Lui maju selangkah berkata:
“Membasmi kawanan jahat itu adalah urusanku. Engkau
tak perlu ikut campur. Lebih baik ...”
“Lebih baik bagaimana ?”
“Pergi ke gunung Ceng-sia-san saja.”
“O, aku tahu,” sahut Siu-mey, “engkau anggap
kepandaianku masih rendah sehingga takut kalau
mengganggu permainanmu dan menambah beban
pikiranmu.”
Memang demikianlah pikiran Gak Lui. Namun kalau
ia berterus terang, ia kuatir akan membuat nona itu
mengambek. Tetapi kalau tak bilang, ia kuatir nona itu
akan mengganggu rencananya. Maka ia menyahut
dengan tak langsung: “Bukan karena takut engkau
mengganggu sepak terjangku. Tetapi menurut
kenyataan, musuh sudah tahu jelas tentang
kepandaianku. Dan diapun takut terhadap pedang
pusaka Thian-lui-koay-kiam. Maka kalau dia tak
mengirimkan orang untuk menghadang, itu memang
tepat. Namun kalau dia masih berani mengirim anak
buahnya untuk mengganggu aku, tentulah dia sudah
mempersiapkan rencana yang hebat. Oleh karena itu
baiklah kita hati2.....”
826
“Ih .... ,” Siu-mey mendesis.
“Dan lagi Thian Wat totiang dari Ceng-sia-pay itu
merupakan tokoh penting. Banyak rahasia dari musuh
yang dapat tergali dari mulut paderi itu apabila dia dapat
pulih kesadaran pikirannya. Maka yang penting yalah
mengobati penyakitnya itu, makin cepat makin baik....”
“Maksudmu engkau hendak suruh aku lekas-lekas
bawa obat itu ke Ceng-sia ?” Siu-mey menegas.
“Setidak-tidaknya engkau mengerti tentang ilmu
pengobatan. Jauh lebih baik engkau yang membawa
kesana daripada aku.”
“Hm, memang sesuai juga,” akhirnya nona itu dapat
ditundukkan. Dengan tertawa riang ia menerima tugas itu
dan meminta kepada Gak Lui supaya memberikan obat
itu kepadanya. Setelah menerima obat, sejenak Siu-mey
memandang ke arah kuil tua dan akhirnya beri pesan
kepada Gak Lui supaya berhati- hati jangan sampai
terjebak siasat lawan.
“Jangan kuatir, aku dapat menjaga diri,” Gak Lui
tertawa, “kuharap engkaupun harus berhati-hati dan
lekas menuju ke Ceng sia. Mungkin aku dapat
menyusulmu dalam waktu singkat.”
Demikian Siu mey menuju ke Ceng sia. Setelah nona
itu lenyap dari pandang mata, barulah Gak Lui perlahanlahan
melangkah menuju ke kuil tua. Kuil itu sunyi sekali.
Dinding temboknya penuh ditumbuhi pakis (lumut) dan
rotan. Kedua pintunyapun tertutup rapat. Papan nama
yang tergantung di atas pintu masih dapat dibaca 'Ping
An Ko Si ' atau kuil Keselamatan. Tiba di pintu, diam2
Gak Lui tertawa: “Sungguh suatu sindiran yang tepat
sekali. Kuil Keselamatan.... tetapi di dalamnya
bersembunyi durjana2 persilatan yang ganas. Dan
827
tempat pemujaan yang suci ini akan berobah menjadi
suatu neraka.” Gak Lui keliarkan pandang matanya ke
sekeliling lalu mendebur pintu keras2.
“Siapa !” terdengar derap kaki orang orang berjalan
keluar dan berseru. Dari nada suaranya tahulah Gak Lui
bahwa yang berada dalam kuil itu seorang tua yang tak
mengerti ilmu silat.
“Aku Gak Lui, karena kebetulan lalu di sini hendak
memberi hormat pada malaekat kuil ini.”
“Ho, ho !” kedengaran orang tua itu berseru pula,
“pintu tak dikancing, silahkan masuk.” Gak Luipun
mendorong dengan sebuah jarinya dan benar juga, daun
pintu itu segera terbuka. Tampak seorang paderi tua
berumur tujuhpuluhan tahun, rambut alisnya sudah putih,
tegak berdiri di belakang pintu, ia mengulurkan sebelah
tangannya yang kurus sebagai isyarat untuk
mempersilahkan tetamunya masuk. Tetapi Gak Lui tak
mau segera masuk. Ia memberi hormat:
“Silahkan taysu berjalan dulu.”
“Sicu hendak mempunyai keperluan apa? Mengapa
tak mau masuk ?” kata paderi tua itu. Sicu adalah
sebutan yang digunakan para paderi dan imam terhadap
seorang tetamu yang belum dikenal.
“Tak perlulah,” kata Gak Lui, “tolong taysu sampaikan
saja, suruh orang2 yang bersembunyi di dalam itu keluar
berhadapan dengan aku !”
“Uh !” paderi itu berseru kaget, “orang2 di dalam?
Paderi yang manakah yang hendak engkau cari ?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
828
“Bukan paderi tetapi kawanan penjahat yang
mengancam pada taysu itu !”
“Kawanan penjahat? Tidak, tidak! Di dalam kuil ini
tiada orang, lebih2 kawanan penjahat !”
“Benarkah ?”
“Sudah ... tentu benar,” wajah paderi itu agak
berobah. Tangannya memegang pintu, “kalau sicu mau
masuk, aku tentu menyambut dengan gembira. Tetapi
kalau sicu tak mau masuk, aku pun tak .... memaksa dan
terpaksa akan menutup daun pintu ....”
“Tunggu dulu !” seru Gak Lui. “Taysu berkeras tak
mengaku beradanya kawanan penjahat dalam kuil ini
dan tak mau menyampaikan pesanku kepada mereka ?”
Paderi tua itu gelengkan kepala: “Kuil ini benar2 tiada
orang luar dan akupun tak menerima ancaman apa2. Tak
peduli engkau hendak bertanya dengan cara apa, aku
tetap menjawab begitu !”
Gak Lui curiga tetapi ia tak mau turun tangan
terhadap seorang paderi tua yang tak mengerti ilmu silat.
Akhirnya ia memutuskan untuk mengganti caranya
bertanya dengan pertanyaan semacam menyelidiki :
“Kalau begitu, mohon tanya taysu. Apakah kedudukan
taysu dalam kuil ini ?”
“Ini .... ini ......,” rupanya paderi itu tak menyangka
akan menerima pertanyaan semacam itu sehingga ia
tersekat-sekat tak dapat menyahut apa yang ditanyakan
melainkan memperkenalkan diri:
“Aku ... bergelar Beng Gwat.”
“Dengan kedudukan ?”
“Sebagai .... sebagai ... Ti-khek-ceng ....” Ti-khek829
ceng yalah paderi yang bertugas menyambut tetamu.
“Ti-khek ceng ?”
“Ya, benar, benar, aku adalah Ti-khek-ceng, bertugas
untuk menyambut setiap tetamu yang datang kekuil ini
....”
“Beng Gwat hong tiang, jangan engkau bermain
sandiwara! Salah sebuah pantangan dari kaum agama
yalah tidak boleh BOHONG ! Mengapa engkau
melanggar pantangan itu ?”
Merah muka paderi tua itu seketika. Setelah
menenangkan semangat ia tetap berkeras : “benar,
memang aku adalah hong- tiang dikuil ini. Lain2 hal aku
tak membohongimu ....” Hong-tiang yalah kepala
pengurus sebuah gereja, biara atau kuil.
“Karena hong-tiang tetap berkukuh, terpaksa aku
akan bicara dengan terus terang untuk membuka
kebohonganmu.”
“Silahkan .... apa salahku ?”
“Pertama, pintu tertutup jelas mengandung
kecurigaan. Tak ingin dilihat orang luar. Kedua, sebagai
seorang hong-tiang engkau membuka pintu sendiri. Jelas
kalau engkau tentu mendapat ancaman orang. Dengan
kedua bukti itu, cukuplah untuk menyatakan
kebohonganmu !”
“Ini .... ini......” karena telah ditelanjangi, paderi tua itu
tak dapat bicara lagi. Tubuhnya gemetar. Gak Lui
kasihan pada paderi tua itu. Buru2 ia menghiburnya: “Ah,
tak perlu hongtiang ketakutan. Karena aku datang
kemari, tentu akan berusaha untuk menyelamatkan kuil
ini. Jangan takut hongtiang, aku takkan merembet
dirimu.”
830
“Sungguh ?” paderi tua itu menegas, “mereka
mengatakan engkau ini seorang algojo besar dalam
dunia persilatan. Begitu melihat orang tentu akan
membunuh. Apakah engkau takkan membunuh paderi2
dalam kuil ini ?”
“Harap hongtiang suka renungkan. Kalau aku hendak
membunuh masakan aku mau bicara begini lama dengan
engkau ? Aku tak mau mengotorkan tempat suci ini maka
kumohon taysu suka menyampaikan kepada mereka
agar mereka keluar menerima kematiannya.”
“O,” Beng Gwat taysu mendesuh. Kini ia mengerti
maksud anak muda itu. Ia menyurut mundur dua
langkah, lalu berpaling kebelakang hendak memanggil
orang. Tetapi tepat pada saat ia berpaling kebelakang,
tiga sosok tubuh melesat keluar dari dalam ruangan
besar. Mereka tegak berjajar dimuka pintu. Gak Lui
tenang2 saja memandang ketiga pendatang itu. Cepat ia
dapat mengenali mereka. Yang berdiri ditengah, paderi
lama dari Segak (Tibet). Kepalanya gundul, muka merah,
tubuh gagah perkasa. Tangannya memegang tongkat
Hang mo-kim-go atau tongkat penunduk iblis. Yang
disebelah kiri seorang imam. Kepalanya memakai kopiah
sembilan segi, jenggot menjulai turun menutup dada,
sepasang mata berkilat-kilat tajam dan mencekal
sebatang pedang Liat-yan- kiam atau pedang Asappanas,
jelas seorang imam yang berkepandaian tinggi.
Sedangkan yang berdiri disebelah kanan, seorang lelaki
pertengahan umur yang aneh. Mukanya mirip seekor
orangutan, lengan panjang, kaki pandak. Tangan
mencekal sebatang tongkat Lan-gin-pang atau tongkat
Perak-hancur. Beratnya tak kurang dari seratusan kati.
Seorang yang memiliki tenaga kuat sekali.
Puas memandang ketiga lawan, diam2 Gak Lui
831
terkejut. Selain memiliki kepandaian tinggi, ketiga orang
itu membekal senjata berat. Jelas tujuannya tentu
hendak menghadapi pedang pusakanya. Dari hal itu saja
dapatlah diketahui bahwa lawan sudah mengadakan
persiapan yang sempurna. Dengan menghadang
ditengah jalan itu, apabila ia (Gak Lui) mati terbunuh;
dengan sendirinya pertempuran di gunung Im-leng-san
nanti tentu akan batal dengan kemenangan difihak
Maharaja Tio Bik-lui.
Paderi muka merah hendak membuka mulut tetapi
didahului Gak Lui: “Kalau mau bicara, silahkan ke
halaman luar. Jangan mengganggu ketenangan tempat
suci ini !” Secepat bicara, secepat itu pula Gak Lui sudah
melesat keluar, dia berdiri dihalaman. Gerakan ketiga
orang bukan kepalang hebatnya. Dengan bersuit aneh,
mereka serempak loncat ke hadapan Gak Lui. Dan
serempak dengan suitan itu, dari empat penjuru, muncul
berpuluh-puluh orang dengan menghunus pedang.
“Apakah kalian sudah lengkap semua ?” seru Gak Lui
dengan tenang. Sambil menudingkan tongkat Penaklukiblis,
paderi muka merah itu berseru menggeledek:
“Sudah lengkap semua ....”
“Bagus, lekas beritahukan namamu untuk menerima
kematian ....!”
“Heh, heh! Ha, ha, ha, ha!” paderi muka merah itu
tertawa marah dan menghambur tertawa aneh yang
dilambari dengan tenaga- dalam. Lalu menggembor
keras: “Budak, kabarnya engkau sombong sekali tak
pernah memandang mata kepada orang. Apa yang
kusaksikan saat ini, memang benar !”
Sejak bertempur dengan Kaisar Persilatan, Gak Lui
dapat menyelami tentang rahasia penting dalam
832
pertempuran. Yalah tak boleh cepat2 marah kepada
lawan. Maka ia hanya tertawa dingin dan menyahut:
“Kusuruh kalian laporkan nama bukan ingin
mendengarkan kalian merintih dan melolong seperti
anjing begitu. Perlu apa kalian bertingkah seperti itu?”
Mendengar ejekan itu meluaplah kemarahan si paderi
muka merah. Urat2 dahinya melingkar-lingkar mengantar
gemboran dahsyat: “Kalau kuberitahu namaku, engkau
tentu akan melonjak kaget. Maka bersiap siaplah untuk
berdiri tegak ....”
“Kakiku masih kuat berdiri, tak perlu engkau jual
gertakan !”
“Aku adalah Hang-mo ceng atau paderi penakluk iblis
dari Segak, bergelar Thong Leng.”
“Dan siapakah kedua makhluk yang lain itu?”
Pertanyaan Gak Lui benar2 membuat si imam tua dan
siorang aneh yang berdiri di samping paderi muka merah
itu seperti orang kebakaran jenggot. Baru kedua orang
itu hendak membuka mulut, Gak Lui sudah menunjuk
kepada paderi muka merah, serunya: “Engkau lebih
tinggi kedudukanmu, engkau saja yang bicara !”
“Totiang ini bergelar Siau Yau tojin, tokoh dari
gunung Thian-bok, ilmu kepandaiannya amat tinggi.”
“Cukup! Siapa yang satunya !” cepat Gak Lui
menukas.
“Dia adalah Dewa-lengan-sakti Nyo Beng. Berasal
dari gunung Tiang-pek-san, mahir menggunakan tongkat
timah-hancur, di dalam dunia tiada tandingan ....”
“Cukup! Dia menggunakan tongkat, aku sudah
mengetahui sendiri, tak perlu engkau terangkan.” Karena
omongannya selalu diputus oleh Gak Lui, paderi muka
833
merah itu merah padam mukanya. Tubuhnya menggigil
keras sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Adalah Dewa-lengan-sakti Nyo Beng yang berasal dari
luar perbatasan, karena pengalamannya tentang dunia
persilatan Tiong goan kurang luas, tak kenal siapa Gak
Lui itu. Matanya berkilat2 tajam memandang wajah Gak
Lui yang mengenakan kedok muka itu, lalu berseru :
“Budak, menilik umurmu, apakah engkau ini benar2 Gak
Lui sendiri ?”
Gak Lui mengangguk. Serempak dengan itu si imam
Siau Yau tojinpun tertawa menyeringai: “Benar, memang
budak inilah si Gak Lui. Ketika di istana Lok-ong-kiong
tempo hari kulihat sendiri dia pontang panting melarikan
diri dari serangan pedang Maharaja!”
Gak Lui menyahut dingin, “O, diantara kawanan
anjing yang mengeroyok aku di Lok-ong-kiong tempo
hari, terdapat engkau juga ?”
“Benar, aku memang hadir di situ dan melihat engkau
menjadi setan gentayangan yang dikejar pedang !” sahut
Siau Yau tojin yang dapat menahan kemarahannya.
Gak Lui maju setengah langkah, tertawa: “Kalau
begitu engkau tentu tahu bagaimana nasib dari ketiga
algojo Maharaja dan ketiga Siluman dari Goha darah itu,
bukan?”
“Mereka binasa ditanganmu, akupun tahu juga!”
“Lalu mengapa engkau masih berani datang kemari?
Apakah engkau tak tahu apa yang disebut kematian itu?”
seru Gak Lui.
“Ini .... aku sudah mengerti. Oleh karena itu aku
mengundang beberapa tokoh berilmu untuk
membasmimu, agar di kelak kemudian hari tak
834
menimbulkan bahaya.”
“Berapa jumlah orangmu yang datang ?”
“Semua jago2 istana Lak ong-kiong serta tokoh2 dari
tiga bukit lima gunung. Semua berjumlah sembilanpuluh
sembilan orang !”
“Hai, belum banyak, seratus saja masih kurang satu.
Tetapi ....,” tiba2 Gak Lui hentikan kata-katanya sejenak,
lalu berkata lagi, “tetapi yang kulihat di empat penjuru
hanya sembilanpuluh tujuh orang, lalu ke mana yang dua
orang?”
“Rupanya engkau menaruh perhatian besar kepada
kedua orang itu. Akan kuberitahukan nama mereka tetapi
di mana mereka saat ini berada, nanti engkau akan tahu
sendiri !”
“Katakanlah !”
“Yang seorang yalah Penghitung-besi Ci Tong-lay,
dia yang seorang Nyonya pelebur-tulang Tan Jui-hong.
Engkau pasti sudah mendengar nama mereka.....”
JILID 17
“O...,” Gak Lui mendesuh kejut. Ia memang pernah
mendengar kedua tokoh itu. Penghitung-besi seorang
ahli siasat. Seorang durjana yang sukar dihadapi.
Barisan pengepung saat itu, kemungkinan tentu dia yang
merencanakan. Sedang orangnya sendiri mungkin masih
bersembunyi di sekitar tempat situ, belum mau unjuk diri.
Sedang Wanita-pelebur-tulang itu, seorang iblis wanita
yang terkemuka. Selain kepandaiannya sakti pun ilmu
hitam yang cabul. Kabarnya belum pernah ia gagal
mendapatkan lelaki yang disukai. Dari sembilanpuluh
sembilan jago2 golongan Hitam, dapatlah diketahui
835
betapa besar kekuatan mereka. Dan rupanya mereka
telah mengerahkan seluruh kekuatan untuk menghadapi
Gak Lui. Merenungkan hal itu diam2 hati Gak Lui
bercekat. Bukan karena takut menghadapi begitu banyak
musuh, melainkan karena tak sampai hati untuk
melakukan pertumpahan darah. Biang keladi dan musuh
besarnya yalah Maharaja Persilatan Tio Bik-lui. Mengapa
harus meminta korban jiwa sekian banyak orang?
Memikir pada hal itu, diam2 nafsu pembunuhan dalam
hati Gak Luipun reda. Segera ia berseru dengan nada
serius kepada ketiga lawannya : “Baik, tak peduli kalian
berjumlah berapa banyak tetapi pokoknya kalian telah
menerima perintah Maharaja. Di antara kalian memang
sudah banyak yang berlumuran darah, tetapi Buddha
bersabda: „lepaskan golok penjagal dan lekas kembali ke
jalan terang'. Dengan itikad baik, aku bersedia melepas
kalian tetapi ada syaratnya.”
“Bagaimana ?” imam Siau Yau menegas dengan
wajah dingin.
“Harus bersumpah agar bertaubat takkan melakukan
kejahatan lagi. Dengan perbuatan menebus kejahatan
yang lalu !”
“Oh, sederhana sekali syarat itu !”
“Menerima atau tidak terserah. Ini kesempatan
terakhir yang kuberikan !”
“Heh, heh, heh, Heh,” imam itu terawa mengekeh
seraya memandang ke langit. Serempak dengan itu, dari
empat penjuru kawanan jago2 golongan Hitam berpindah
langkah menghampiri ketengah barisan. Setiap deret
terdiri dari sembilan orang. Mereka membentuk diri
dalam formasi barisan yang rapat dan ketat sekali.
Setelah barisan tersusun rapi, barulah imam Siau Yau
836
berhenti tertawa. Dengan wajah membesi, ia berseru :
“Budak she Gak, tak kira kalau seorang pembunuh ganas
seperti engkau, dapat juga mengucap soal budi
kebaikan. Ketahuilah, kami sembilanpuluh sembilan
orang ini telah bersumpah sehidup- semati untuk
mencincang tubuhmu !”
“Hm, apakah benar2 kalian hendak melepaskan
peringatanku yang terakhir ?” seru Gak Lui.
“Heh, heh ! Tempo hari Maharaja pernah
mengeluarkan perintah supaya menangkapmu hiduphidup.
Tetapi sekarang boleh dibunuh mati. Apa yang
engkau ocehkan kesempatan terakhir itu ? Ho, engkau
sendirilah yang wajib hati2 ....” Habis berkata orang itu
terus mengangkat pedangnya Pedang- bara-panas.
Sinar berkilat memancar tajam, kawanan jago2 itupun
segera menghunus senjatanya masing2.
Dalam detik2 yang tegang itu, diam2 Gak Lui
menghela napas. Ia sesalkan orang2 yang sudah mata
gelap sehingga tak mau mendengar peringatannya.
“Ah, terpaksa aku harus melakukan pembunuhan
ganas. Untung Siu-mey mau mendengar kata dan pergi
lebih dulu sehingga takkan melihat pemandangan yang
ngeri ini.....” pikirnya. Setelah perasaannya tenang, ia
segera mencabut pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam
dibahu. Tetapi tepat pada saat itu sesosok tubuh melesat
keluar diantara berpuluh-puluh orang. Gak Lui
memandangnya dan menduga bahwa yang muncul itu
tentu si Wanita-pelebur-tulang. Selain amat cantik, pun
tubuh wanita itu tampak menonjol memantul perangsang
yang besar, lebih merangsang atau sexy dari pada
gadis2 muda. Begitu muncul wanita itu dengan genit
memandang kedua belah fihak. Siau Yau totiang, pudar
sinar pembunuhan pada wajahnya. Bahkan Gak Luipun
837
tergetar hatinya, hatinya mendebur keras.
“Ah, nyonya sudah pulang !” seru imam jahat itu
dengan perlahan.
“Ya.....” sahut wanita genit itu dengan nada
menggerincing seperti seruling. Kembali hati Gak Lui
seperti kena aliran listrik dan bergetar keras. Diam2 ia
menyadari bahwa wanita genit itu memiliki tenaga- dalam
yang amat kuat sekali. Setelah sejenak berbatuk-batuk,
imam jahat Siau Yau itu berseru pula : “Adakah nyonya
sudah berhasil ?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Ya, seorang budak perempuan kecil, masakan harus
menggunakan banyak tenaga!” sahut wanita genit itu.
Mendengar itu tergetarlah hati Gak Lui, pikirnya: “Apakah
Siu- mey yang ditangkapnya?” Dengan mata berkilat-kilat
ia menatap wanita genit itu. Pun tepat pada saat itu
siwanita genit pun memandangnya, kemudian berseru:
“Gak sauhiap, kawanmu gadis itu telah kutangkap.
Sengaja kuberitahu hal itu kepadamu.”
“Hm, apakah engkau hendak menjadikan gadis itu
seorang sandera untuk menekan aku ?”
“Ah, mengapa begitu getas ?” seru wanita itu dengan
tertawa genit, sedikitpun tak marah mendengar suara
Gak Lui yang kaku.
“Orang she Gak !” tiba2 si imam Siau Yau
menyelutuk, “hari ini kami menghendaki jiwamu dan tak
perlu segala sandera. Penangkapan atas diri budak
perempuan itu yalah untuk mencegah agar dia jangan
melapor ke Ceng sia. Mengerti ?” Mendengar keterangan
itu, cepat2 wanita genit berputar tubuh, menghadapi Gak
838
Lui lalu gunakan ilmu Menyusup-suara berkata:
“Gak sauhiap, jangan pedulikan dia ! Kuambil nona
itu tak lain karena aku berunding dengan engkau
mengenai beberapa hal...”
“Tentang apa?” Gak Luipun merobah nadanya.
“Kuminta kita berdua bekerja sama.”
“Kerja sama ?” Gak Lui menegas.
“Ya, apabila engkau mau meluluskan Dunia
persilatan harus tunduk kepadaku ... kita berdua.” Gak
Lui terkejut. Diam2 ia memaki wanita itu. Lalu dengan
nada bengis ia menyahut.
“Aku tak mempunyai keinginan akan hal itu. Jangan
engkau mimpi yang bukan2.”
“Tetapi dalam usahamu untuk membunuh si
Maharaja, aku bersedia membantumu. Apakah syarat ini
tak perlu engkau pertimbangkan ?”
Walaupun tekadnya sudah bulat untuk membalas
dendam kepada si Maharaja Persilatan, namun Gak Lui
tetap muak terhadap wanita genit itu. Lebih2 ia sudah
marah atas siasat yang dilakukan wanita genit itu
terhadap Siu-mey. Rupanya wanita genit itu dapat
membaca isi hati Gak Lui. Dengan tertawa genit ia
berseru pula : “Sauhiap, kalau engkau tak mau kerja
sama, aku hendak minta kepadamu saling tukar
menukar.”
“Tukar menukar apa?”
“Jiwa dari gadis yang amat berharga bagimu serta
keadaan dari Maharaja, akan kuberikan kepadamu dan
engkau memberikan pedang Thian-lui-koay-kiam itu
kepadaku !”
839
“Ini.....” Gak Lui tak dapat melanjutkan kata2nya. Ia
marah tetapi iapun memikirkan keselamatan Siu mey
yang ditawan siwanita genit.
“Jangan gelisah, sauhiap. Tak perlu saat ini engkau
jawab tetapi bolehlah engkau pertimbangkan dulu.
Sebagai tanda dari kesungguhan hatiku, nanti dalam
pertempuran ini engkau harus memperhatikan bagian
yang kosong orangnya !” Habis berkata, wanita genit
itupun lalu berpaling kearah Siau Yau tojin, paderi
Penakluk iblis dan si Dewa-kera bertiga, serunya :
“Apakah kalian menghendaki aku yang mengepalai
barisan atau suruh aku disamping mengawasi budak
perempuan itu ?”
Ketiga orang itu melihat jelas bagaimana tadi
sewaktu berhadapan dengan Gak Lui, wanita genit itu
bergerak gerak bibirnya seperti bicara dengan ilmu
Menyusup-suara. Tetapi oleh karena terpengaruh oleh
kecantikan si Wanita-pelebur tulang, ketiga orang itu pun
tak berani mencurigainya. Pertanyaan wanita cantik itu
laksana hamburan air zamzam yang menyegarkan
semangat. Serempak ketiga orang itupun menyahut:
“Harap nyonya menyaksikan disamping saja. Biarlah
kami yang memberesi budak lelaki itu !”
“Baik, kudoakan kalian menang!” wanita genit itupun
melesat pergi. Tatapi sebelum pergi masih ia diam2
melirik kepada Gak Lui.
“Lihat senjataku!” seru paderi Penakluk-iblis secepat
wanita genit itu berlalu. Gerakan paderi itu segera diikuti
oleh imam Siau Yau dan Dewa kera. Dengan senjatanya
yang aneh2, ketiga orang itu segera menyerang Gak Lui
dari atas, tengah dan bawah. Tetapi Gak Lui sudah siap.
Dam2 ia sudah kerahkan tenaga- dalam untuk
840
melindungi tubuh. Tangan kiri diangkat untuk
menghantam, tangan kanan siap mengayun pedang
Thian-lui- koay-kiam. Demikian pertempuran segera
meletus. Angin menderu-deru dahsyat dan tubuh
keempat orang itupun berlincahan amat pesat. Tetapi
beberapa saat kemudian, tiba2 paderi Penakluk iblis
menggerung keras dan hendak melarikan diri.
“Hai, hendak lari kemana engkau !” teriak Gak Lui
seraya hendak mengejar. Tetapi sebelum ia sempat
bergerak, seluruh barisan dari jago2 golongan Hitam
itupun memekik dengan serempak. Pekikan dari hampir
seratus orang jago2 silat yang berkepandaian tinggi,
benar2 seperti gempa bumi yang menggoncangkan
gunung. Bahkan Gak Lui sendiripun menderita kesakitan
pada telinganya. Perhatiannya terganggu dan
gerakannyapun menderita akibat, lebih lamban. Sebuah
kelompok dari sembilan orang melesat keluar dari
barisan. Seketika Gak Lui rasakan kakinya goncang dan
hampir terdorong mundur. Tetapi tanpa berpaling kepala,
Gak Lui balikkan tangan kiri. Kemudian iapun
menghamburkan pekikan yang dahsyat. Tangan kiri yang
menyusup kedalam ketiak, tiba2 melancarkan pukulan
Algojo dunia kearah kesembilan jago2 Hitam itu.
“Bum, bum, bum !” Pukulan itu menimbulkan dering
keras sekali pada sembilan senjata aneh dari jago2 itu.
Cepat mereka menyiak kesamping dan melesat mundur.
Tetapi secepat mereka lenyap, kelompok sembilan orang
yang lainnya, menerobos dari sudut lain dan terus
menyerang Gak Lui. Melihat musuh hendak gunakan
siasat bertempur secara bergilir untuk memeras
tenaganya, Gak Luipun tak mau terpancing. Ia segera
berhenti dan tegak berdiri dengan lintangkan pedang di
muka dada. Matanya memandang tajam kesekeliling.
Segera tampak hampir seratus orang bergerak dan
841
berpindah pindah macam bintang jatuh. Mereka bergerak
cepat dan ruwet sehingga sukar diketahui mata rantai
pertahanannya. Tetapi dalam gerak dan perobahan
bentuk yang bagaimana pun juga, formasi mereka tetap
tiap kelompok berisi sembilan orang.
“Hm, silahkan kalian bergerak, aku akan tetap
menunggu ....,” pikir Gak Lui. Tangan kiri menjulur
melindungi dada, tangan kanan mengangkat pedang
keatas kepala, siap untuk menyerang. Setelah
pertempuran dimulai, imam Sau Yau dan kawan2 tak
mau bicara apa2 lagi. Dengan wajah serius mereka terus
memimpin gerak langkah barisannya. Karena tegangnya,
sampai mereka tak mengetahui bahwa sebenarnya saat
itu Gak Lui sudah berhenti dan tegak bersiap. Mereka
tetap bergerak-gerak dengan senjata terhunus.
Kesembilan kelompok barisan itu bergerak maju mundur,
berpindah tempat dengan cepat dan rapi, sehingga sukar
diketemukan rantai barisan yang kosong. Memang boleh
dikata, anggauta barisan itu terdiri dari jago2 yang
berilmu tinggi. Tak ada seorangpun yang lemah.
Gabungan jago2 sakti yang dipersatukan dalam sebuah
barisan, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya.
Betapa sakti seseorang tentu sukar untuk menghadapi
serangan dahsyat dari sekian banyak lawan. Pada lain
saat, Gak Lui mendapat pikiran. Segera ia bergerak
dalam tata-langkah Ni-coan-ngo-heng yang istimewa,
menyusup kedalam barisan.
Pada saat Gak Lui hampir mendekati barisan, jurus2
gerakan barisan itupun hampir selesai. Tetapi paderi
Penakluk-iblis tak menghiraukan. Ia mengandalkan
jumlah orangnya yang lebih besar. Begitu Gak Lui tiba,
tigapuluh enam anggauta barisan serempak kerahkan
tenaga-dalam dan Bum... bum..... Dalam kepul debu
yang tebal, tampak empat orang anggauta barisan
842
terlempar empat tombak jauhnya dan terkapar tak dapat
berkutik lagi di-tanah ! Tetapi Gak Lui sendiri juga
merasa sesak dadanya. Setelah menghela napas, ia
rasakan tangannya agak linu. Saat itu ia menyadari
bahwa dengan gunakan tenaga untuk adu kekerasan, ia
masih dapat menghadapi mereka. Kini ia makin mantap.
Segera ia ayunkan tangan dengan kecepatan yang luar
biasa, ia terbang menyusup kedalam barisan musuh.
Tangan kiri memancarkan ilmu tenaga-dalam menyedot
tenaga musuh lalu dipancarkan keluar dari ujung pedang.
Dengan menggunakan ilmu 'Pinjam tenaga' itu, dapatlah
Gak Lui merobah suasana yang berbahaya menjadi reda.
Setelah dapat melintasi tiga lapis kelompok barisan,
difihak musuh telah jatuh enam tujuh orang lagi. Tetapi
imam Siau Yau rupanya tetap gigih dan tak mau
mengalah. Apabila seorang anggauta barisan yang
didepan rubuh, maka dari belakang tentu cepat maju
mengganti. Dengan begitu barisan tetap rapat. Begitu
pula suara gemboran yang dapat meruntuhkan nyali
orang itu makin lama pun makin menggemparkan. Pekik
rintihan macam setan menangis, membuat hati seperti
disayat ....
Demikian didataran gunung yang sepi pada malam
tiada berbintang, telah berlangsung pertempuran
berdarah. Korban berjatuhan, mayat bergelimpangan dan
darahpun berkubangan..... Tigaratus jurus kemudian,
Gak Lui sudah berhasil melintasi berpuluh lapis
kelompok. Tubuhnya mandi keringat, napas terengah
engah. Walaupun banyak korban yang jatuh namun fihak
musuh masih mempunyai enampuluh lebih anggauta
barisan. Paderi Penakluk iblis, Dewa Kera dan imam
Siau Yau tetap bertempur mati- matian.
“Celaka !” diam2 Gak Lui mengeluh, “apabila
pertempuran tetap dilanjutkan dengan cara begini,
843
tentulah kedua belah fihak akan menderita. Barisan ini
tak ubah seperti bayangan. Kemana aku pergi, mereka
tentu mengikuti. Ah, aku harus berusaha untuk lolos ....”
Dalam pada menimang itu, Gak Lui tetap mainkan
jurusnya dengan gencar. Tetapi berbagai jurus telah
dimainkan, tetap ia tak dapat lolos dari libatan musuh.
Dia makin terkejut dan mulai gelisah. Tiba2 ia teringat
akan pesan melalui ilmu Menyusup suara dari Wanitapelebur-
tulang. Ya, wanita genit itu mengatakan apabila
bertempur harus memperhatikan tempat yang tiada
orangnya. “Tentulah hal itu, bukan tempat seperti kuil Ho
ping si ini tetapi tentu dilain tempat ...”
Ia memandang kemuka dan kesekeliling penjuru.
Tiba2 matanya tertumbuk pada gerumbul pohon yang tak
berapa jumlahnya. Sebagian sudah rubuh, sebagian
masih bergoncang-goncang terdera sambaran angin
pukulan jago2 dalam barisan itu. Diperhatikannya bahwa
diantara gerumbul pohon itu ada sebatang pohon yang
paling besar, puncaknya amat tinggi dan lebat daunnya.
“Adakah ciri2 kelemahan itu terdapat pada batang
pohon itu ....?” diam2 Gak Lui menimang. Setelah
mengundurkan empat kelompok barisan musuh, cepat ia
gunakan gerak Rajawali-rentang sayap, melayang ke
bawah pohon besar itu. Tepat pada saat itu, paderi
Penakluk-iblis menghambur gemboran keras dan
menggerak-gerakkan senjatanya. Seketika terdengarlah
dering gemerincing logam keras yang menggema
diseluruh penjuru.
“Ho, kalian hendak mengacau telingaku?” diam2 Gak
Lui mendamprat paderi itu. Ia curiga atas tingkah laku
paderi itu maka iapun segera pusatkan perhatian untuk
menangkap setiap suara yang akan muncul. Dengan
kecermatan telinganya yang tajam, akhirnya ia berhasil
844
menangkap suara bunyi bergerakan, macam jari
memainkan alat swipoa.
“O, kiranya si Penghitung besi itu tengah duduk
diatas dahan pohon untuk memberi perintah kepada
barisan. Karena kurang teliti, aku telah dapat
dikelabuhinya !” tiba2 Gak Lui tersadar. Kini tahulah ia
bagaimana untuk membobolkan barisan musuh. Sekali
melambung, ia melayang keatas pohon, memijak sebuah
dahan, ia enjot tubuhnya melambung keatas dahan
dipuncak. Melihat Gak Lui hendak menyerangnya,
Penghitung-besi Ci Tong-lay gugup. Cepat ia mainkan
alat swipoanya. Seketika berhamburan biji2 swipoa itu
kearah kepala Gak Lui.
“Bagus!” seru Gak Lui seraya menangkis dengan
pedang dan tetap melambung keatas. Melihat anak
muda itu tetap melayang keatas, Penghitung-besi terkejut
bukan kepalang sehingga kakinya menyurut mundur,
hampir tergelincir jatuh. Buru2 ia bergeliatan untuk
menegakkan keseimbangan tubuhnya. Tetapi pada lain
saat terpaksa ia harus menangkis hantaman senjata
aneh dari pemuda itu. Tring, tring... tubuh Penghitungbesi
miring, tangannya linu dan darah dalam tubuhnya
bergolak keras. Dalam pada itu dengan cepat Gak Lui
melayang keatas dahan dan mencari tempat untuk
berdiri. Saat itu keduanya hanya terpisah pada jarak satu
tombak. Masing2 mengerahkan tenaga dalam, siap untuk
melakukan pertempuran mati matian.
Imam Siau Yau dan barisannya saat itu mengerumuni
pohon. Mereka memandang keatas dengan gelisah. Mau
menyusul ke puncak pohon, sukar mendapat tempat dan
tak mungkin dapat mengeroyok. Kalau tinggal diam saja
dibawah pohon Penghitung- besi tentu terancam jiwanya.
Walaupun kepandaiannya tinggi, tetapi tetap kalah kalau
845
berhadapan satu lawan satu dengan Gak Lui. Rupanya
perasaan kawan kawannya yang berada dibawah pohon
itu sama dengan perasaan Penghitung-besi. Seorang diri
tanpa bantuan, ia sudah merasa putus asa dan
ketakutan. Tetapi karena tak dapat berbuat lagi, terpaksa
ia harus berjuang mati2an. Dengan menggerung keras,
ia segera hamburkan alat swi-poanya. Biji2 swipoa dari
bahan besi yang sebesar telur ayam segera melanda
lawan. Tetapi Gak Lui sudah siap. Pada saat lawan
menggembor, iapun bersuit tajam. Suitan itu tiba2 timbul
peristiwa yang aneh. Biji2 swipoa yang dihamburkan
Penghitung-besi itu, bukan saja tak dapat memancar,
pun jalannya makin lama makin perlahan dan akhirnya
berhenti diudara. Ternyata tenaga dalam Algojo-dunia
yang dilancarkan Gak Lui itu jauh lebih kuat dari tenagadalam
lawannya sehingga taburan biji2 swipoa itu macet
di tengah jalan. Penghitung-besi terkejut. Ia hendak
melayang turun kebawah tetapi terlambat. Sekali Gak Lui
dorongkan telapak tangannya, biji2 swipoa itupun
melayang kembali kepada pemiliknya. Terdengar jeritan
ngeri dan sesosok tubuhpun melayang jatuh dari puncak
pohon itu. Tubuh Penghitung-besi itu telah tertembus
beberapa biji swipoa. Dia terkena senjatanya sendiri.
Ketika jatuh ditanah, nyawanyapun sudah melayang.
Kawan-kawannya yang mengelilingi dibawah pohon,
terkejut sekali menyaksikan pemandangan sengeri itu.
Mereka serempak mundur. Suasana makin tegang. Tiba2
Gak Lui meluncur dari atas pohon, dua kali ia gerakkan
pedang dan pukulan, beberapa anggauta barisan lawan
menjerit rubuh.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 30 bagian 30.2
Imam Siau-Yau, paderi Penakluk-iblis dan anak buah
846
Maharaja itu serasa terbang semangatnya. Keadaan
barisan mereka mulai panik. Untunglah imam Siau Yau
cepat menyadari bahwa dengan cara bertempur seperti
tadi, mereka berhasil mengepung Gak Lui. Meskipun
Penghitung-besi sudah terbunuh, tetapi kekuatan barisan
itu masih cukup besar, ia harus cepat2 menyusun
barisan lagi untuk mengepung pemuda itu. Cepat ia
mengatasi keadaan dan menyusup pula barisan.
Dipadang belantara pegunungan yang sepi, kembali
berlangsung pertempuran dahsyat. Tetapi ibarat ular
kehilangan kepala, dengan hilangnya Penghitung-besi,
komando barisanpun lenyap dan barisan kehilangan pula
pimpinan. Betapapun berpuluh puluh kelompok jago2
Hitam itu hendak berjuang, namun gerak mereka tak
lancar dan selalu dapat didesak Gak Lui. Beberapa saat
kemudian terdengar jerit orang dari beberapa anggauta
barisan yang rubuh berhamburan darah. Kemana Gak
Lui menerjang, di situ tentu meninggalkan korban.
Walaupun ia banyak menghamburkan tenaga-dalam
tetapi kemenangan sudah terbayang didepan mata.
Berpuluh jurus kemudian hampir barisan itu sudah
berantakan, hanya tinggal paderi Penakluk-iblis bersama
sembilan kawannya yang masih bertahan mati-matian.
Gak Lui memperhatikan bahwa beberapa orang yang
masih nekad bertempur itu sudah kehabisan tenaga. Hal
itu dapat dilihat dari gerak tangan serta kaki mereka yang
sudah lamban. Gak Lui kerahkan sisa tenaganya. Ia
mainkan pedang pusaka Thian-lui-koay kiam dan
pukulan tangan kiri. Bum .... terdengar letusan keras dan
debu mengepul tebal. Ketika kepulan debu lenyap,
ditanah terkapar malang melintang sosok2 mayat dari
paderi Penakluk-iblis, Dewa Kera, imam Siau Yau dan
kawan- kawannya ....
Tetapi Gak Lui sendiripun lelah sekali, ia telah
847
tumpahkan seluruh tenaganya. Ia memutuskan untuk
mencari Wanita-pelebur tulang dan meminta Siu-mey.
Tetapi lebih dulu ia hendak beristirahat memulihkan
tenaganya. Demikian ketika ia duduk bersemedhi
memusatkan seluruh pikiranya tiba2 sebuah tangan yang
halus lunak telah mengelus- elus bahunya. Serempak
bau yang amat harum berhamburan menyerang
hidungnya. Gak Lui terkejut dan membuka mata. Ah,
kiranya si wanita genit Pelebur tulang yang dengan
menyungging senyum memikat, tengah lekatkan
tangannya yang halus runcing ke bahunya.
“Gak sauhiap, engkau menang. Sekarang tentulah
engkau dapat meluluskan syaratku itu, bukan ?” serunya
dengan suara merdu merayu. Ternyata ketika Gak Lui
tengah mengosongkan pikiran terbenam dalam semedhi,
diam2 wanita genit itu menyelinap keluar dan lekatkan
tangannya pada jalan darah dibahu Gak Lui. Gak Lui tak
dapat berkutik lagi. Ia terkejut dan cepat2 siapkan tenaga
dalam Algojo-dunia. Asal wanita itu pancarkan tenaga
dalam untuk menghancurkan bahunya, iapun sudah siap
untuk mengembalikan. Tetapi ternyata wanita genit itu
hanya tertawa: “Mengapa sauhiap diam saja ?
Permintaanku itu layak sekali. Masakan engkau tak mau
meluluskan?”
Sambil mencekal pedang Thian-lui-koay-kiam dengan
kedua tangannya, Gak Lui menjawab dingin : “Lepaskan
dulu tanganmu agar kita bicara dengan leluasa !”
“Baik,” seru wanita genit itu. Dengan agak ragu2 ia
segera menarik pulang tangannya, “Kurasa engkau
seorang cerdik. Dalam soal sekecil itu tentu dapat
memberi keputusan yang tepat!” Gak Lui memperhatikan
setiap gerak gerik wanita itu. Dari pandang matanya yang
begitu menginginkan sekali akan pedang Thian-lui-koay848
kiam dan sikapnya yang maju mundur hendak
mencelakai dirinya, tahulah Gak lui bahwa wanita itu
memang takut kepada pedang Thian lui koay-kiam.
Karena itu dalam saat2 terakhir, wanita itupun
memperlunak sikapnya dan membatalkan niatnya
hendak mencelakai.
“Lepaskan Siu-mey baru nanti kita berunding lagi,”
kata Gak Lui setelah mengetahui kelemahan orang.
Wanita genit itu tertawa mengikik : “Kalau begitu artinya
engkau setuju usulku untuk membentuk persekutuan
bersama menguasai dunia persilatan ?”
“Aku tak mempunyai niat begitu !”
“Kalau begitu engkau bersedia meminjamkan pedang
Thian-lui- koay-kiam itu kepadaku?”
“Pusaka perguruan, lebih tak dapat diberikan kepada
orang !”
Kedua permintaannya ditolak, tawa wanita genit
berobah seram: “Kalau kedua permintaanku itu engkau
tolak lalu dengan barang apa engkau hendak menukar
Siu-mey ?”
“Dengan jiwamu akan kutukarnya!” kata Gak Lui
dengan nada bengis.
“Ha, ha, ha, ha .... ,” wanita genit itu tertawa lebar,
“sauhiap, harap jangan memandang keliwat rendah
kepadaku ... ha, ha, ha, ha ....”
“Hai, engkau hendak unjuk permainan apa itu?
Adakah engkau mampu melebihi kekuatan barisan imam
Siau Yau yang terdiri dari sembilanpuluh delapan jago
Hitam itu ?”
“Sudah tentu tidak !”
849
“Lalu apa modalmu ?”
“Kuberitahu dengan terus terang. Siu-mey telah
kukuasai dengan ilmu penutuk istimewa. Dan saat ini
kusimpan dalam sebuah tempat rahasia. Kalau engkau
melukai aku, diapun akan mati juga!”
“Heh, heh,” Gak Lui tertawa mengejek, “engkau dapat
menguasai, aku mampu membebaskannya. Dan apakah
engkau benar2 tak takut akan ilmu kepandaian
perguruanku?”
Wanita genit itu terbeliak. Tetapi cepat ia dapat
menguasai ketenangan hatinya dan berkata pula: “Oh,
tak kira semuda itu usia sauhiap, tetapi cara tindakanmu
begitu ganas. Sekarang coba engkau jawab,
bagaimanakah artinya kata2 'Seorang ksatrya dapat
membedakan budi dan dendam'. Apakah engkau anggap
kata2 itu salah ?”
“Sudah tentu benar !”
“Itulah ! Diantara kita tiada dendam permusuhan dan
lagi dalam pertempuran tadi aku telah membantumu.”
“Engkau maksudkan soal kata-kataku mengenai Siumey
itu ?”
“Benar, itupun salah satu.”
“Bagaimana kejadiannya ?”
“Barisan bersembunyi yang kami adakan kali ini,
benar2 ketat sekali. Dan kawanmu itu menuju Ceng-sia,
Jika tak kuhalangi tentu lain orang yang akan
merintanginya!”
“Hm ...”
“Dan lagi apabila tak kusembunyikannya di-tempat
jauh, tentu akan jatuh kedalam tangan kawanan imam
850
Siau Yau itu. Mereka telah mendapat perintah untuk
membasmi habis-habisan. Taruh kata engkau dapat
lolos, gadis itu tentu tak mungkin terhindar dari
kematian.” Tergetar juga hati Gak Lui. Diam2 ia
mengakui kata2 wanita genit itu memang benar. Lalu
katanya : “Kalau begitu, engkau memberitahukan tempat
bersembunyinya Penghitung-besi itu juga engkau
anggap sebagai sebuah jasa ?”
“Sudah tentu begitu,” sahut siwanita genit, “selain itu
akupun dapat memberitahukan tempat beradanya si
Maharaja. Soal itu tentu lebih berguna kepadamu.”
“Kalau begitu silahkan bicara terus terang !”
Wanita genit tertawa riang : “Bicara sih tak jadi
halangan. Tetapi ... engkau belum mengatakan janjimu
yang tegas !” Gak Lui merenung, ujarnya: “Sebelum aku
berjanji, hendak kutanyakan sebuah soal kepadamu.”
“Silahkan.”
“Sebagai anak buah si Maharaja, engkau hendak
membocorkan rencana Maharaja dan menghendaki
kematiannya. Kecuali ingin merajai dunia persilatan,
alasan apakah maka engkau melakukan hal itu?”
“Ini ... ini .... alasan untuk merajai dunia persilatan,
apakah belum cukup ...” jawab wanita genit itu sambil
mainkan matanya yang bagus.
“Orang sebagai dirimu, tak mungkin hanya
berdasarkan alasan yang begitu sederhana. Lebih baik
engkau katakan dengan terus terang.”
Wanita genit itu menggigit bibir mengicupkan ekor
mata lalu menghela napas panjang: “Terus, terang saja
kukatakan bahwa Maharaja itu dengan aku ... memang
mempunyai hubungan erat.”
851
“Hm.”
“Tetapi setelah bergaul lama sekali, kuanggap dia
seorang yang licin, tak boleh dipercaya..”
“Mengapa ?”
“Dia dapat mempelajari ilmu Suitan-pengikat-jiwa dan
Jari-maut Kiu-im-coat-yang dari aliran Bu-kau yang
sudah lama lenyap. Tetapi dia tak mau mengajarkan
kedua ilmu itu kepadaku. Dari situ jelas . , .. dia memang
tidak jujur, Kelak mungkin dapat .... dapat….”
“Dapat meninggalkan engkau, bukan ?” tukas Gak
Lui.
“Ya.”
“Apakah engkau amat sayang kepadanya ?”
“Tidak ! Tidak !” wanita genit itu menolak getas, “aku
tak mencintainya dan lagi aku memang tak suka
dipermainkan orang. Peribahasa mengatakan “Yang
turun tangan lebih dulu tentu menjadi kuat”. Benar tidak
?”
“Mengapa engkau begitu bernafsu sekali hendak
mempelajari ilmu dari aliran Bu-kau itu?”
“Kalau dapat mempelajari ilmu itu, sudah tentu besar
sekali gunanya. Kalau engkau mau bersekutu, akan
kuberitahukan tentang rahasia keistimewaan dari ilmu
itu.”
“Hm, kiranya ilmu yang digunakan Maharaja untuk
melenyapkan kesadaran pikiran orang itu disebut Jarimaut
Kiu-im-coat-yang. Kini aku baru tahu. Dan wanita
itu sebagai isteri si Maharaja, ternyata juga sangat
bernafsu sekali untuk mempelajari ilmu sakti dari aliran
Bu-kau itu. Tujuan hendak menguasai dunia persilatan.
852
Kedua suami isteri benar2 merupakan penjahat dan
pelacur!” diam2 Gak Lui menimang.
“Sauhiap rasanya pertanyaanmu tentu sudah cukup.
Lalu bagaimana keputusanmu ?” tanya wanita genit itu
pula. Sambil mengangkat kepala, berkatalah Gak Lui
dengan tegas:
“Janjiku sederhana sekali. Asal engkau mau
melepaskan pikiranmu untuk menguasai dunia persilatan
dan kembali kejalan yang terang, kali ini aku tentu rela
melepaskanmu dan takkan menuntut perbuatanmu yang
lalu.”
“Ih...,” wanita genit itu melongo, “kalau begitu jelas
engkau tak mau meluluskan perjanjian itu dan tak mau
pula meminjamkan pedang....”
“Kerjasama, jelas tak mungkin. Maharaja biarlah aku
sendiri yang akan menghadapinya. Dan engkaupun tak
perlu meminjam pedang ini.”
“Apakah itu jawabanmu yang terakhir ?”
“Ya.”
“Apakah engkau tak dapat mempertimbangkan
lagi….”
“Tak perlu ! Lekas bebaskan Siu-mey dan kita tak
saling menganggu.”
Melihat keputusan pemuda itu tak dapat dirobah lagi,
mata wanita genit itu berkilat-kilat. Tiba2 ia tertawa lalu
menghela napas : “Baiklah, engkau tak mau menuntut
perbuatanku yang lalu dan mau memberi jalan hidup,
itupun sudah cukup baik. Sekarang silahkan ikut aku
untuk menolong kawan seperjalananmu itu.”
Melihat gerak gerik wanita genit itu, timbullah
853
kecurigaan Gak Lui. Tetapi karena mengandalkan
kepandaiannya, ia segera menerima. Demikian keduanya
segera tinggalkan tempat itu. Kira2 sepeminum teh
lamanya, tibalah mereka disebuah kobong, yalah tempat
pembakaran genteng dan batu merah. Keadaan tempat
kobong itu sudah amat rusak. Begitu tiba dimuka pintu,
siwanita genit berkata : “Gak sauhiap, temanmu itu
berada didalam. Silahkan engkau masuk !”
Gak Lui tak mau buru2 masuk, melainkan
menggunakan alat hidungnya yang tajam. Benar juga, ia
memang dapat mencium bau tubuh Siu-mey.
“Tak perlu engkau curiga. Aku yang jalan di muka
dan engkau ikut di belakangku,” seru wanita genit itu pula
seraya terus ayunkan langkah masuk kedalamnya lebih
dulu, Gak Luipun segera mengikuti. Semula Gak Lui
mengira kalau tempat kobong itu tentu kosong tetapi
ternyata didalamnya penuh dengan tumpukan batu
merah. Sepintas pandang, mirip sebuah barisan. Setelah
membiluk beberapa kali, tibalah keduanya ditengah
ruang. Tiba2 wanita genit menjerit ngeri. Gak Lui cepat
loncat keatas tumpukan batu merah. Dilihatnya wanita itu
gemetar seperti orang kalap.
“Mengapa ?” seru Gak Lui. Dengan gemetar wanita
itu menyahut; “Ular...ular .... ular ....!”
“Ular ?” Gak Lui mengulang kejut. Pikirannya segera
menduga- duga apakah ular milik Siu-mey itu telah lepas.
Kembali terdengar wanita itu mendesuh dan tubuhnya
gemetar keras lalu tiba2 mengejang dan rubuh
kebelakang. Melihat itu Gak Lui cepat loncat turun dan
hendak menolong. Tetapi pada saat ia membungkukkan
tubuh hendak memeriksa keadaan wanita itu, tiba2
wanita itu secepat kilat gerakkan kedua tangannya
menutuk jalan darah dada Gak Lui. Gak Lui terkejut tapi
854
tak keburu menghindar. Diam2 ia kerahkan tenaga dalam
untuk menerima tutukan. Crek ... tubuhnya condong
kebelakang. Dengan menurutkan tutukan itu, Gak Lui
melenting kebelakang. Tetapi ternyata wanita genit itu
memang sudah siapkan rencana. Begitu Gak Lui
terlempar kebelakang, cepat ia mencabut sapu tangan
terus dikebutkan kemuka pemuda itu. Karena jalan
darahnya tertutuk, gerakan Gak Luipun lambat. Ia
mencium bau wangi yang aneh dan berbangkis. Tetapi
makin banyak ia menyedot bau harum itu, iapun
terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah lalu jatuh
terduduk ditanah. Ia hendak meronta, namun tenaganya
sudah lunglai. Wanita genit itu tertawa mengikik. Dengan
mata yang genit ia berbangkit memandang Gak Lui.
“Budak kecil, engkau hebat sekali dapat menerima
dua kali tutukanku. Justeru hal itulah yang
menyenangkan hatiku, ... hi, hi, hi...” wanita genit tertawa
mengikik Gak Lui terengah-engah. Ia berusaha hendak
menyalurkan tenaga-murni tetapi apabila darah melancar
keperut, ia rasakan nafsunya menggelora hebat. Kaki
dan tenaganya makin melentuk. Ia tetap tak dapat
berbangkit.
“Ha, ha!” kembali wanita genit itu tertawa girang,
“engkau masih tak mau menyerah dan tetap ngotot
hendak melawan? Coba hendak kulihat sampai berapa
lama engkau mampu bertahan ......” sambil berkata ia
ayunkan langkah menghampiri pemuda itu.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 30 bagian 30.3
Gak Lui bingung. Dalam pandang matanya, wanita
genit itu berobah menjadi seorang wanita yang amat
cantik sekali. Kalau ia tak dapat mengatasi, tentu akan
855
dicelakai wanita itu. Diam2 Gak Lui lekatkan telapak
tangannya ketanah untuk menyalurkan tenaga-dalam
Algojo-dunia. Matanya tak lepas memandang tajam kearah
wanita. Wanita Pelebur-tulang memang seorang
wanita yang berpengalaman. Melihat sinar mata pemuda
itu memancar kemarahan, ia sengaja bergeliatan tubuh
dan berseru genit:
“Jangan kuatir, budak kecil. Aku takkan memaksa
orang yang kesusahan dan tak mau merayu orang. Aku
inginkan engkau sendiri hilang kesabaran dan datang
mengantar diri .... kulihat saat ini engkau masih dapat
bertahan .... kita begini saja dulu, sampai ada yang
menyerah !”
Habis berkata wanita genit itupun duduk bersila pada
jarak satu meter dari tempat Gak Lui sambil menatap
pemuda itu lekat2. Satu meter adalah jarak yang dekat.
Sekalipun tak bicara dan tak bergerak tetapi bau harum
dari tubuh wanita itu, benar2 membaur kehidung Gak Lui,
bagaikan aliran listrik yang menggetarkan debur
jantungnya dan menggelorakan nafsu....
Gak Lui hampir akan hentikan usahanya menjalankan
peredaran darah. Asal ia ulurkan tangan tentu segera
dapat meraih wanita genit itu kedalam pelukannya. Ia
berjuang mati-matian untuk menahan gejolak nafsu dan
bisikan iblis. Sekujur tubuhnya sampai mandi keringat
dan gemetar keras. Dan akhirnya ia tak kuat lagi
bertahan...
Segera ia ulurkan tangan hendak meraih wanita itu.
Tetapi baru saja tangannya yang gemetar itu bergerak
tetapi serangkum angin dingin meniup tangannya.
Ternyata tenaga dalam Algojo- dunia itu masih belum
reda dayanya. Seketika ia seperti diguyur angin dingin.
856
“Berbahaya sekali ! Hampir saja aku termakan siasat
hina dari wanita cabul itu dan melakukan perbuatan yang
memalukan...” ia menggerutu. Segera ia lekatkan
tangannya ketanah. Begitu wanita genit itu lengah, ia
segera menampar perutnya sendiri. Tamparan itu telah
menghapus gejolak nafsunya dan semangatnyapun
timbul pula. Kini ia berhasil mengembalikan penyaluran
tenaga-dalamnya. Asal ia sudah dapat mengeluarkan
racun-nafsu, tentulah tenaga murninya pulih. Tetapi ia
kuatir, waktu yang dibutuhkan itu akan terganggu oleh
tindakan wanita genit itu. Karena dalam keadaan saat itu,
ia masih dikuasai wanita Pelebur-tulang.
Difihak wanita Pelebur-tulang yang banyak
pengalaman itupun sudah memperhitungkan bahwa Gak
Lui tentu tak tahan. Akhirnya pemuda itu akan
menyerahkan diri untuk memuaskan nafsunya.
Membayangkan hal itu, tubuhnyapun meregang-regang
dan nafsunya membinal. Pada waktu melihat Gak Lui
mengangkat tangan dan keringatnya mengucur deras,
diam2 ia sudah bergirang dalam hati : “Hm, akhirnya
engkau tentu tak tahan, marilah kemari.....” Tetapi
ternyata pemuda itu hentikan gerak tangannya. Suatu hal
yang membuat wanita itu benar2 heran. Ia tak percaya
pemuda itu dapat menolak daya obat perangsang nafsu.
Sebentar lagi tentu pemuda itu sudah menyerah kedalam
pelukannya.
“Baik, makin engkau kuat bertahan, makin bagus.
Akupun tak terburu-buru dan akan menunggu sampai
engkau datang meminta sendiri. Saat itu barulah akan
kuisap tenaga- murnimu ....” wanita cabul itu menimangnimang.
Demikian keduanya tenggelam dalam
keheningan. Yang satu berjuang terus untuk
mengembalikan pengerahan tenaga- murninya. Yang lain
sedang melamun akan kenikmatan yang akan diperoleh
857
dari pemuda itu. Kedua-duanya sama2 menunggu. Tak
berapa lama sepeminum tehpun telah lalu. Penyaluran
tenaga-dalam yang dilakukan Gak Lui sedang mencapai
pada tingkat penyatuan. Racun perangsang-nafsu telah
dapat didesak sampai kelengannya. Sebentar lagi, ya
sebentar lagi tentu sudah selesai. Tetapi rupanya wanita
genit itulah yang tak sabar. Tiba2 ia bergeliat bangun.
Melihat itu Gak Lui mengeluh tetapi tak berani berbuat
apa2. Karena sedikit saja ia melakukan gerakan, tenagamurninya
tentu akan berhamburan binal dan ia tentu
akan lumpuh, kehilangan seluruh ilmu kepandaiannya.
Saat itu wanita genit telah melekatkan kedua tangannya
yang halus ke bahu Gak Lui.
“Celaka !” karana tak dapat menghindar, Gak Luipun
mengeluh. Dan karena gemetar, pedang Thian-lui-koaykiam
yang tersanggul pada bahunya tersentuh tangan
siwanita genit. Wanita Pelabur tulang itu bukan wanita
lemah. Ilmu silatnyapun tinggi. Cepat ia mendekap
pedang pusaka itu : “Hai, apakah ini bukan pedang
Thian-lui-koay-kiam ?”
Membayangkan pedang itu merupakan pusaka yang
jarang terdapat dalam dunia persilatan, nafsu wanita
itupun turun. Cepat ia hendak melolos pedang itu, terus
loncat mundur setombak jauhnya dan memeriksa pedang
itu dengan wajah berseri gembira... Walaupun pedang itu
telah diambil siwanita genit namun Gak Lui tak mau
terkecoh. Asal ia segera pulih kembali tenaga-murninya,
mudah sekali untuk merebut kembali pedang itu. Ia tetap
pejamkan mata dan pusatkan seluruh perhatiannya.
Wanita Pelebur-tulang tak memperhatikan keadaan Gak
Lui. Sambil mencekal pedang itu dengan kedua
tangannya ia memeriksa dengan teliti. Batang pedang
yang terbungkus lekat dengan lahar itu, dikiranya adalah
kerangka pedang. Begitu pula tangkainya, juga
858
terbungkus dengan sutera. Tak usah seperti pedang
yang kebanyakan.
“Aneh, mengapa pedang yang begitu termasyhur
mempunyai kerangka yang begini aneh dan juga
dibungkus dengan sutera. Kalau digunakan bukankah tak
leluasa sekali ?” pikir wanita itu. Ia hendak mencoba
pedang itu maka cepat ia mencabut batang pedang itu
dari kerangkanya. Tetapi : “Huh, mengapa tak dapat
dicabut ?” Wanita itu terkejut dan heran sekali. Dengan
ilmu kepandaiannya, masakan ia tak mampu mencabut
sebatang pedang saja ! Ia penasaran, kerahkan tenaga
dan mencabutnya lagi. Uh .... pedang Thian-lui-koaykiam
tetap melekat pada kerangkanya.
“Setan, aku tak percaya kalau tak mampu
mencabut....” ia mencekal pedang ditangan kiri lalu
mencabut sekuat kuatnya dengan tangan kanan. Krek,
krek…tali sutera yang tergantung pada tangkai pedang
itupun putus berhamburan jatuh. Gak Lui terkejut tetapi
karena ia sedang dalam keadaan tegang, ia hanya
merasa bingung tetapi tak dapat membuka suara. Benar
jugalah. Setelah merobek suteranya, wanita itu
mencengkeram tangkai pedang dan tiba2 ia seperti
kerasukan setan. Sepasang matanya yang bening
seketika berobah seperti setan yang haus darah. Kedua
pipinya yang merah, pun memancar sinar darah. Wanita
itu telah tercengkeram dalam tenaga-sakti pedang Thianlui-
koay-kiam. Dari seorang wanita yang cantik saat itu
telah berobah menjadi seorang wanita haus darah.
Tampak mata wanita itu berkilat-kilat memandang
kesekeliling. Segera pandang matanya tertumbuk pada
Gak Lui. Saat itu tangan Gak Lui pun mulai diangkat
keatas. Keringat panas berderai2 mengucur dari telapak
tangan. Keringat yang mengandung racun perangsang
nafsu ....
859
“Bunuh…!” Memekiklah mulut wanita itu laksana
seekor singa betina. Dan pedang Thian lui koay-kiampun
segera diayunkan kearah kepala Gak Lui yang saat itu
masih tercengkam dalam usahanya untuk menyalurkan
keluar racun perangsang-nafsu. Tepat pada saat pedang
hanya kurang beberapa belas senti dari kepala Gak Lui,
pemuda itupun beruntung telah dapat mengucurkan
keringat racun yang terakhir. Cepat ia gerakkan tangan
kiri, pancarkan tenaga-dalam-penyedot kearah ujung
pedang. Wanita genit itu terkejut ketika dapatkan ujung
pedang condong kesamping dan pada lain saat terus
dicengkeram tangan Gak Lui.
“Bunuh, bunuh !” demikian yang terisi pada benak
wanita genit itu. Cepat ia memegang pedang itu dengan
kedua tangannya lalu dengan sepenuh tenaga ia
menyabat pemuda itu. Saat itu Gak Lui masih duduk
ditanah tetapi tenaga-murninya sudah pulih. Jika mau
adu kekerasan, wanita itu tentu hancur. Tetapi ia masih
membutuhkan keterangan wanita itu tentang keadaan si
Maharaja. Ia harus menangkap wanita itu hidup2. Cepat
ia keraskan tenaga-dalam-penyedot sehingga wanita
genit itu terseret maju dan begitu dekat, Gak-Lui segera
menyongsong dengan tangan kanan yang dilambari
dengan tenaga-dalam Algojo dunia. Bum... terdengar
jeritan ngeri dari si wanita genit. Ia lepaskan kedua
tangan dan tubuhnyapun terlempar sampai beberapa
meter, bruk.... membentur tumpukan batu merah. Batu
merah berguguran menimpa wanita itu sehingga teruruk.
Karena tumpukan batu merah itu ambruk maka
terbukalah sebuah tempat kosong dan serempak
tampaklah sebuah tangan yang halus, bersinar
keemasan. Melihat itu girang Gak Lui bukan kepalang.
Ya, tak salah lagi, tangan bersinar emas itu adalah
tangan Siu-mey yang memakai gelang ular. Cepat ia lari
860
menghampiri dan memeluknya. Ternyata jalan darah
nona itu telah tertutup oleh tutukan jari. Cepat Gak Lui
salurkan tenaga dalam untuk menolongnya. Beberapa
saat kemudian Siu-mey tersadar. Begitu melihat keadaan
dalam tempat itu, ia berseru : “Hai, mengapa aku berada
disini. Mana wanita cantik itu.....”
“Yang engkau maksudkan tentulah wanita Peleburtulang
itulah,” kata Gak Lui.
“Mungkin benar,” kata Siu-mey, “dia mengatakan
datang dari gunung Ceng-sia dan akan menemani aku
mengundang beberapa tokoh sakti. Setelah itu lalu
menyongsongmu.”
“Engkau ditipu ! Wanita itu bukan saja tak datang dari
Ceng-sia, pun dia itu gerombolan musuh yang
bersembunyi dikuil Ho-ping si itu. Tujuan menangkapmu
yalah untuk ditukarkan dengan pedang Thian-lui koaykiam.”
“O,” Siu-mey mendesuh, wajahnya tersipu merah,
“makanya ketika aku berputar diri tiba2 kurasakan
punggungku kesemutan dan saat itu aku tak tahu apa
yang terjadi lagi. Kiranya wanita busuk itu menggunakan
tipu siasat untuk mencelakai diriku. Lalu dimanakah
wanita itu ?”
“Dia sudah terpendam dalam tumpukan batu merah
yang ambruk itu,” Gak Lui menunjuk pada tumpukan
merah yang menggunduk tinggi.
“Bagus, aku harus membuat perhitungan dengan dia
!” seru Siu mey seraya terus loncat ketempat gunduk
batu merah itu. Ia hendak membalas dendam kepada
siwanita genit. Gak Lui buru2 mencegahnya. Lalu ia
gunakan tenaga-dalam- penyedot menghantam gunduk
batu merah itu. Beberapa batu merah segera
861
berhamburan mencelat keatas. Setelah batu merah itu
tersisih kesamping, tampaklah tubuh siwanita genit
terkapar ditanah. Wajahnya pucat lesi, pakaian dan
mulutnya berlumuran darah .... Gak Lui menyadari bahwa
wanita itu tentu menderita luka parah akibat hantaman
tenaga dalam Algojo-dunia yang dilancarkan tadi. Cepat
ia menghampiri dan memberi saluran tenaga-dalam. Tak
berapa lama kemudian, pendarahan wanita itupun
berhenti. Dengan napas terengah-engah, ia dapat
sadarkan diri. Pertama-tama ia melihat Siu-mey dan Gak
Lui menjaga disampingnya. Iapun coba untuk
mengerahkan tenaga-dalam tetapi ah.... ia menyadari
kalau menderita luka parah sekali dan tentu sudah mati
kalau tak disaluri tenaga-murni Gak Lui.
“Terima kasih….aku tak mempunyai maksud
membunuh orang ….harap kalian...memaafkan ...”
katanya tersekat-sekat. Kalau teringat bagaimana wanita
itu gunakan racun perangsang- nafsu, Gak Lui memang
masih mendongkol. Tetapi menilik bahwa wanita itu tak
mencelakai Siu-mey. Gak Lui agak lunak hati. Ia
mengangguk ! “Asal engkau sudah menyesal dan sadar,
kami tentu memaafkan.”
“Sungguh ....?”
“Orang yang sudah menyadari kesalahannya, itu
sudah kembali kejalan benar.”
“Ah….kalian ... memang baik .... aku sungguh ....
menyesal.... sayang .... terlambat ....” wanita genit itu
katupkan mata dan mengucurkan air mata. Gak Lui
dapatkan napas wanita itu makin lemah. Buru2 ia
tambahkan tenaga-dalamnya. Dan wanita itupun kembali
dapat menghela napas pula, ujarnya tersekat: “Sauhiap,
harap dengarkan baik2…..aku… kukatakan tentang
Maharaja……”
862
“Silahkan,” Gak Lui mengangguk.
“Saat ini dia berada digunung im-leng-san...giat
mempelajari... ilmu pedang….sebelum pertemuan di
Ceng-sia ... dia takkan muncul....”
“O, apakah ilmu pedangnya hebat sekali ?”
“Gunung Im-leng-san...merupakan tempat....pusat
hawa dingin Im han...dapat membantu peyakinannya...
sauhiap, kalau kesana .... harap berhati-hati....”
“Apa yang harus dijaga ?” Siu-mey menyelutuk.
“Masuk ke gunung itu ....harus berjalan ....sebelah
selatan menyingkiri api...jangan keliru berjalan di sebelah
.... utara.....”
“Tadi engkau mengatakan sebelum pertemuan di
Ceng-sia, dia tak mau unjuk diri. Lalu siapakah yang
akan bertemu dengan dia itu ?” tanya Siu-mey pula.
“Itu ... itu.....” rupanya wanita itu sudah tak bertenaga
lagi sehingga mengucap dua patah kata saja sukar
tampaknya, ia pejamkan mata, kepala melentuk dan
putuslah jiwanya....
“Siapa orang itu ? Lekas kasih tahu.... hai,
bangunlah...bangunlah...!” Siu-mey berulang-ulang
mengguncang bahu wanita itu namun wanita itu sudah
meninggal dunia.
“Tak perlu ditanya, dia sudah meninggal,” akhirnya
Gak Lui menarik pulang tangannya. Siu-mey menghela
napas. Keduanya lalu mengubur mayat wanita itu.
Setelah itu keduanya menuju kegunung Ceng sia-san.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 31 bagian 31.1 Bab 31.
863
Lidah pedang Gunung Ceng-sia-san saat itu seolaholah
diliputi oleh hawa pedang. Masih kurang tujuh
delapan li dari gunung itu, Gak Lui dan Siu-mey
berpapasan dengan rombongan2 partai persilatan
golongan putih. Diantara terdapat kaum paderi, imam,
orang biasa. Jumlahnya tak terhitung banyaknya. Begitu
melihat Gak Lui, mereka lalu mengirim pertandaan
rahasia lalu berbondong menyambut pemuda itu.
Demikian setelah melalui beberapa pos penjagaan,
akhirnya mereka tiba di kaki gunung. Tampak diatas
gunung, sosok2 tubuh manusia yang hilir mudik amat
sibuk. Dari gerakan langkah mereka yang tangkas,
tahulah Gak Lui bahwa mereka tentu tokoh2 yang
berilmu tinggi. Beberapa saat kemudian muncul belasan
tokoh menyongsong kedatangan Gak Lui. Yang berada
didepan adalah ketua perguruan Ceng-sia-pay, Thian
Lok totiang. Tampak imam tua itu masih segar bugar dan
bersemangat. Dengan tersenyum ia bersikap ramah
sekali kepada Gak Lui. Yang kedua yalah Sebun
sianseng, tokoh perguruan Kun-lun-pay. Biasanya dia
amat periang tetapi saat itu sikapnya tenang dan tak
banyak bersenyum. Jelas tokoh itu masih bersedih atas
kematian Tanghong sianseng, saudara seperguruannya.
Kemudian paderi Tek Yan taysu, tokoh perguruan Go-bipay.
Sikapnya biasa tetapi wajahnya agak serius.
Tentulah mengandung sesuatu dalam hati. Dibelakang
Tek Yan taysu, tegak berjajar ketua perguruan Kongtong-
pay, yalah imam Wi Ih dan keempat saudara
seperguruannya. Juga Hui Hong taysu dari Siau-lim-si
turun menyambut. Tetapi sikap ketua Siau lim si itu
berlainan dengan yang dulu. Dulu ia pernah menjanjikan
akan memberi penjelasan tentang diri Gak Lui dihadapan
partai2 perguruan silat, tetapi saat itu tampak dia agak
864
tak acuh.
Gak Lui yang cerdik segera dapat meneropong
perasaan tokoh2 silat itu. Kecuali Thian Lok totiang yang
telah mendapat kembali suhengnya Ging Sing totiang,
yang lain2 itu tentu masih mengandung rasa tak puas
atas kematian dari saudara2 seperguruan mereka yang
hilang dan ternyata menjadi kaki tangan Maharaja,
kemudian mati dibunuh Gak Lui. Karena menyadari apa
yang terkandung dalam hati mereka, Gak Lui pun tak
menyesal atas sikap mereka yang mengunjuk tak
bersahabat itu. Di samping rombongan tokoh2 itu,
tampak juga paderi Kak Hui, seorang paderi dari
perguruan Heng-san pai yang berusia lebih kurang
empatpuluh tahun. Ketua Heng-san-pay, Hwat Hong
taysu, telah binasa di depan mata Gak Lui. Sedang Hwat
To taysu, pun juga dari Heng-san- pay, telah mati di
tangan Hong-lian. Karena hal2 itu, tak heran kalau sikap
Kak Hui tampak kaku.
“Ha, ha, sauhiap sudah tiba kemari. Dengan begitu
dapatlah kulepaskan sebuan beban perasaan dalam
hatiku...,” Thian Lok totiang berseru menyambut. Sebun
sianseng dan rombongan tokoh2pun segera mengucap
kata2 sambutan. Gak Lui dan Siu-mey sibuk juga untuk
membalas hormat. Demikian setelah saling membalas
salam, akhirnya beberapa tokoh angkatan tua segera
minta Gak Lui berdua masuk ke dalam gedung untuk
melanjutkan pembicaraan lagi. Tetapi rupanya Hwat Lui
tojin tak kuat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah
maju dua tindak. Sebelum membuka mulut, ia
memandang pedang yang tersanggul di pinggang Gak
Lui. Hal itu cukup dimengerti Gak Lui. Tentulah orang
heran mengapa tak menyelip pedang Pelangi.
“Aku harus meminta maaf sebesar-besarnya,” buru2
865
ia memberi penjelasan, “bahwa pedang Pelangi telah
jatuh di tangan si Maharaja. Tetapi aku memberi jaminan
bahwa tak lama lagi pedang itu tentu kembali ....” Karena
didahului berkata, imam Hwat Lui pun tertegun.
Kemudian dengan nada kurang senang ia bertanya:
“Setelah membuat pedang itu jatuh ke tangan musuh,
apakah saudara masih sanggup untuk mendapatkan
kembali ?”
“Aku tentu dapat merebutnya kembali dan
menyerahkan kepada totiang,” sahut Gak Lui tegas.
“Kalau sampai gagal, bukankah perguruan kami akan
menggigit jari ?”
“Kusediakan nyawaku untuk jaminan !”
“Jiwa ?” Hwat Lui tojin mendengus, “jiwamu itu suatu
soal dan pedang pusaka perguruan lain soal lagi !”
Mengingat akan kematian ketiga tokoh tua dari Bu-tongpay,
Gak Lui tak mau meladeni kata-kata Hwat Lui yang
tajam. Tetapi Siu- mey tak dapat menahan kemengkalan
hatinya lagi. Nona itu segera melengking: “Kalau engkoh
Lui bilang akan mengembalikan tentu akan
mengembalikan sungguh2. Mengapa engkau bicara tak
keruan begitu ?” Rasa sedih dan penasaran Hwat Lui,
ditumpahkan kepada nona itu. Sambil mencekal batang
pedang ia berseru: “Urusan ini tiada sangkut pautnya
dengan dirimu. Sebaiknya jangan ikut campur. Atau ....
hem !”
“Bagaimana ?”
“Jangan kira kalau pedang perguruan Bu-tong-pay itu
tidak tajam !”
“Bagus !” Siu mey marah dan melangkah maju:
“Dengan kata dan ucapan yang baik tak dapat
866
menasehati engkau. Terpaksa harus kuberi pelajaran,
agar kelak kemudian hari dapat berobah baik!”
Dalam pada itu ketiga imam dari Bu-tong-pay pun
cepat mencabut pedang. Melihat itu Gak Lui melesat ke
muka Siu-mey. Begitu pula Thian Lok totiang dan
beberapa tokoh lain, mencegah tokoh2 Bu tong-pay
supaya jangan berkelahi dengan seorang nona yang
lebih muda umur dan tingkatannya. Nasehat itu telah
membuat Hwat Lui totiang tersipu merah wajahnya.
Tiba2 dari atas gunung muncul dua sosok bayangan.
Terdengar salah seorang tertawa nyaring dan berseru
memanggil Gak Lui dengan sebutan 'engkoh Lui'.
Ternyata yang datang itu Pukulan-sakti The Thay
bersama puterinya, The Hong-lian. Melihat kedatangan
adik seperguruannya, hilanglah kemarahan Siu-mey.
Dengan gembira ia menyambut kedatangan Hong-lian.
Kedua nona itu bercakap cakap sendiri. Melihat itu ketua
Heng-san-pay yakni paderi Kak Hui berbatuk lalu
meminta Gak Lui naik ke atas gunung. Gak Luipun
menerimanya. Mereka segera menuju ke paseban besar
gunung Ceng-sia. Ketika hampir tiba di gedung itu,
kembali muncul dua rombongan. Yang dari sebelah kiri
ternyata siburung cantik dari gunung Busan, yakni Yanhong.
Pertemuan Gak Lui dengan nona itu amat
menggembirakan sekali. Gak Lui lalu
memperkenalkannya kepada Siu-mey dan Hong-lian.
Ternyata mereka bertiga sudah pernah berjumpa tetapi
belum akrab. Saat itu mereka bertiga tampak gembira
sekali karena mendapat kawan yang mencocoki hati.
Sedang yang muncul dari sebelah kanan yalah si Rajabengawan
Gan Ke-ik ketua Partai Gelandangan serta
ketua perguruan Kiu- hoan-bun Rajawali-tanpa-bayangan
Ih Lo-cin. Oleh karena kedua tokoh itu ketua dari
perguruan persilatan maka kemunculan mereka disambut
867
serempak oleh para ketua partai persilatan.
“Ah, harap sekalian ciang-bunjin jangan sungkan.
Aku hanya mempunyai sedikit urusan dengan Gak
sauhiap.....” kata Gan Ke- ik.
“Silahkan, pangcu bicara dengan Gak sauhiap,” kata
Thian Lok totiang, “kami akan menunggu di sini.” Melihat
si Rajawali-tanpa-bayangan, diam2 tergetarlah hati Gak
Lui. Ia ingat tokoh itu pernah mengatakan, apabila
berjumpa lagi tentu akan mengajak adu kepandaian. Ia
kuatir orang itu akan menantangnya. Maka setelah Thian
Lok totiang selesai bicara, Gak Luipun minta kepada
ketiga nona itu supaya menyingkir dulu. Ketiga nona
itupun menurut, hanya Pukulan-sakti The Thay yang
masih menemani Gak Lui. Setelah itu Gak Luipun minta
kepada sekalian tokoh2 supaya masuk lebih dulu
kedalam ruangan. Begitu selesai urusannya dengan Gan
Ke-ik, ia tentu segera masuk. Setelah para ketua dan
tokoh2 persilatan masuk kedalam ruangan, barulah Gan
Ke-ik menunjuk kepada Rajawali tanpa bayangan dan
berkata kepada Gak Lui: “Sauhiap, kiranya engkau
sudah kenal dengan saudara ini.”
“Ya, kami sudah pernah berjumpa.”
“Dia adalah sahabatku selama 20 tahun yang lalu.
Sungguh tak terduga kalau sampai bentrok dengan
engkau. Maka hari ini sengaja datang untuk
mendamaikan hal itu. Harap engkau menerima dengan
lapang hati.”
Gak Lui tertawa nyaring : “Ah, sudah tentu aku
menerima dengan gembira sekali atas kelapangan hati
ciang-bunjin. Soal kesalahan membunuh anak murid Kiuhoan-
bun, dengan ini aku menghaturkan maaf yang
sedalam dalamnya.” Rajawali-tanpa-bayanganpun
868
menyahut dengan sungguh2 :
“Perkelahian dalam dunia persilatan, tentu berakibat
terluka atau mati. Soal salah faham yang lalu itu, tak
perlu kita ungkat lagi. Yang penting yalah mengatur cara
untuk menghadapi kawanan Maharaja itu !” Serta merta
Gak Lui menyambut pernyataan itu dengan hormat:
“Ketujuh partai persilatan telah menunggu didalam
ruangan besar. Maaf aku hendak menemui mereka, baru
nanti akan menemani saudara lagi ....”
“Aneh,” kata Gan Ke-ik sambil mengurut janggut,
“Jika soal itu menyangkut kepentingan umum, mengapa
mereka tak mau mengundang kami. Apakah ada suatu
rahasianya….”
“Ah, soal itu bukan rahasia apa2 .....” sahut Gak Lui
tersenyum.
“Lalu mengapa begitu dirahasiakan ?”
“Pangcu tentu mengetahui peristiwa kembalinya
Thian Wat totiang, bukan ?”
“Ya.”
“Semula Thian Wat totiang itu telah dikuasai
Maharaja dan menjadi anggauta Topeng Besi selama
bertahun-tahun. Kini setelah dapat kubebaskan,
beberapa ketua partai persilatan juga akan menanyakan
tentang orang2 mereka yang hilang....”
“Benar, kemanakah orang2 itu ?”
“Karena kesalahan tangan, mereka telah kubunuh !”
“O….,” Gak Ke-ik terkejut, ''tentang imam Ceng Ci
yang engkau kesalahan membunuhnya, memang telah
kudengar. Tetapi kalau hanya berdasarkan soal itu lalu
mereka hendak cari2, bukankah akan merepotkan
869
engkau ?”
Gak Lui tertawa tawar : “Memang dunia ini penuh
dengan kesukaran. Akupun tiada niat hendak berbantah
dengan mereka. Segala apa, biarlah aku sendiri yang
tanggung. Tentu ada jalan untuk menyelesaikannya.”
“Perlukah kita membantumu ?”
“Tak perlu, disana ada The Thay cianpwe yang akan
bantu menjelaskan.” Akhirnya Gan Ke-ik mempersilahkan
Gak Lui untuk menemui mereka. Apabila ada keperluan,
supaya lekas memberitahu. Demikian Gak Luipun lalu
bersama Pukulan-sakti The Thay masuk kedalam ruang
besar. Karena dahulu pernah mengunjungi, maka Gak
Lui tak asing dengan tempat itu. Berpuluh-puluh kursi
dan meja telah disiapkan dalam ruang itu. Diantaranya
tampak tujuh buah kursi kehormatan untuk tujuh ketua
partai persilatan. Kesemuanya diatur dengan rapi
menurut susunan tingkat kedudukan masing2. Setelah
Gak Lui dan The Thay dipersilahkan duduk, maka tuan
rumah yakni Thian Lok totiang segera berseru nyaring.
“Gak sauhiap, kuingat tempo hari engkau datang
kemari dengan membawa obat dan menolong jiwaku.
Begitu pula ketika markas Ceng sia-san ini dikepung oleh
kawanan Sam-koay, engkaupun telah membantu....”
“Tentang penyakit yang diderita suheng totiang
akupun telah mendapatkan obat Kiu-coan-ting-sin-tan.
Mudah-mudahan pil itu akan dapat menyembuhkannya,”
Gak Lui menukas.
“O ... kebetulan sekali,” seru Thian Lok totiang
dengan gembira, “budi bantuan sauhiap, sungguh besar
sekali kepada perguruan kami.”
“Ah, harap totiang jangan mengatakan begitu.
870
Menolong orang, itu sudah kewajiban. Tak perlu harus
mengharap balas.”
“Tetapi ....,” Thian Lok totiang sengaja
memanjangkan nada suaranya dan memandang kearah
hadirin, “semangat sauhiap itu sungguh sikap seorang
kesatrya. Dalam soal ini.... kurasa sekalian orang tentu
akan mengakui.” Gak Lui tahu bahwa para ketua partai
persilatan itu tentu akan meminta keterangan tentang
tokoh2 perguruan mereka yang tiada beritanya itu.
Ucapan Thian Lok totiang itu jelas suatu pembelaan
untuknya agar para ketua partai persilatan itu menjadi
dingin hatinya.
“Ah, ucapan totiang itu keliwat memanjakan diriku,”
seru Gak Lui, “kurasa para ciangbunjin dan tokoh2 yang
hadir di sini, tentu memikirkan tentang saudara
seperguruannya yang tiada ketahuan nasibnya itu. Maka
jika ada yang hendak bertanya, silahkan, harap jangan
sungkan !”
Sebenarnya Thian Lok totiang hendak menghindari
suasana itu tetapi ternyata Gak Lui sudah menukas
dengan terus terang. Seketika wajah ketua Ceng-sia-pay
itu berobah. Ia kehilangan faham.
“Gak sauhiap,” berseru Hui Gong taysu dari Siau-limsi,
“akupun mengakui bahwa engkau telah menolong
jiwaku dengan pemberian obat itu. Budi itu takkan
kulupakan selama lamanya. Tetapi suhengku Hui Ki itu
merupakan tetua dari perguruan Siau- lim. Tentang
kematiannya.....terpaksa aku tak boleh tinggal diam dan
terpaksa menanyakan !” Dalam mengucap kata2 itu
tampak wajah ketua Siau-lim-si itu rawan dan berduka.
Imam Wi Ih dari Kong-tong-pay, Hwat Lui dari Butong-
pay dan Kak Hui dari Heng-san-pay tampak
871
menganggukkan kepala menyetujui. Sedang Sebun
sianseng dan Tek Yan taysu dari Go-bi pay tiada
kehilangan orang, maka dalam urusan itu mereka tak
menyatakan apa2.
“Terus terang taysu,” Gak Luipun menyahut dengan
nada bersungguh, “suheng taysu telah kubunuh secara
tak sengaja. Dalam hal itu aku sungguh merasa
menyesal sekali.”
“Soal itu akupun sudah tahu,” kata Hui Gong.
“Tetapi menilik kepandaian sauhiap, kiranya tak
mungkin sampai terjadi hal yang sedemikian itu !”
“Dalam pertempuran, memang sukar untuk
mencegah kesalahan tangan. Adalah karena
kepandaianku yang rendah maka sampai tak dapat
menguasai permainanku !” Mendengar itu Hui Hong
taysu maju selangkah dan menegas ;
“Apakah benar begitu ?” Melihat suasana itu, The
Thay yang sejak tadi diam saja, kini berseru nyaring :
“Saudara2 sekalian, dalam soal itu kiranya akulah yang
paling mengetahui jelas. Harap saudara2 mendengarkan
penjelasanku....”
Gak Lui tergetar hatinya. Ia menatap jago tua itu
dengan pandang mata mencegahnya jangan ikut campur
dalam persoalan itu. Rupanya The Thay tahu akan
maksud Gak Lui. Ia merasa kalau salah bicara. Dan lagi
pemuda itu tadi sudah mengatakan bahwa segala apa
yang akan terjadi dalam rapat pertemuan itu adalah
menjadi tanggung jawabnya semua. Kalau ia
mengatakan bahwa yang membunuh tokoh2 dari
beberapa partai persilatan itu, antara lain dilakukan oleh
Hong-lian, tentu akan lebih ruwet dan sulit lagi akibatnya.
872
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 31 bagian 31.2
The Thay tiba2 mendapat akal dan segera merobah
nada pembicaraannya.
“Aku sendiri pernah ditawan oleh gerombolan
Kerudung Hitam dan Topeng Besi digunung Hek-san.
Disana aku disuruh membuat pedang. Untunglah Gak
sauhiap datang menolong dan berjumpa dengan anak
perempuanku Hong-lian. Mereka lalu dikepung musuh.
Dalam gugup, Gak sauhiap telah bertindak agak cepat
sehingga selain Thian Wat totiang, pun yang lain2.... ikut
menjadi korban !” Dengan kata2 itu, The Thay telah
menuturkan apa yang telah terjadi tetapi tak sampai
menimbulkan reaksi yang menyulitkan Gak Lui. Tetapi
rupanya ketua Siau-lim-si Hui Hong taysu curiga.
Memandang kearah The Thay, ia menegas dengan nada
dingin :
“Apakah omongan The sicu itu dapat dipercaya ?”
“Sungguh......” kata The Thay menelan air liurnya lalu
menyusul lagi, “kalau menilik kepandaian Gak sauhiap,
memang tak mungkin sampai terjadi hal begitu. Tetapi
dalam pertempuran itu karena kepandaian anak
perempuanku masih dangkal, beban Gak sauhiap
menjadi bertambah berat karena ia harus membagi
perhatian untuk melindungi anak itu. Demikian pula
karena diriku, Gak sauhiap bertambah berat lagi
bebannya. Karena itu maka sampai timbul peristiwa yang
tak diinginkan.....”
“Hm...,” karena menganggap alasan itu cukup
beralasan maka Hui Hong taysu hanya mendesah. Ia
873
hanya menghela napas:
“Omitohud! Suhengku Hui Ci memang telah
melakukan banyak kejahatan tetapi dia dikuasai
Maharaja, pikirannya tidak sadar. Ah sungguh tak kira
kalau semasa hidupnya suheng telah menuntut
kehidupan yang begitu cemar dan kemudian mati secara
begitu mengenaskan. Ai, soal itu, tak tahu aku
bagaimana harus mempertanggung jawabkan kepada
para leluhur Siau-lim….”
“The sicu, Gak sauhiap,” tiba2 Wi Ih totiang dari
perguruan Kong- tong-pay membuka mulut, “aku juga
ingin bicara sedikit.”
“Silahkan.”
“Perguruan kamipun tidak beruntung. Toa-suheng Wi
Cun telah menghianati perguruan dan ikut dalam
gerombolan kaum Hitam. Sebagai seorang ketua, aku
terpaksa harus bertindak untuk membersihkan noda2
dalam tubuh perguruan Kong-tong-pay.”
The Thay mengangguk: “Tindakan tegas dari totiang
itu, memang sesuai dengan jiwa dan semangat seorang
ketua. Sungguh suatu hal yang harus mendapat
penghormatan. Setiap kaum persilatan harus dapat
mengetahui tindakan totiang!”
“Ah, jangan terlalu memuji,” kata Wi Ih totiang, “tetapi
... ketika murid hianat Wi Cun itu masuk ke Ceng sia,
telah diketahui Gak Lui. Dan pada kedua kalinya bertemu
digunung Hek-san, tentulah Gak sauhiap tak asing lagi
kepadanya. Anehnya, mengapa Gak sauhiap tak
menangkapnya hidup2 saja lalu diserahkan kepada kami
agar kami dapat memberi pertanggungan jawab?”
Mendengar itu Gak Lui balas bertanya: “Maksud
874
totiang bukankah hendak menyalahkan aku mengapa
main hakim sendiri ?”
Wi Ih totiang merah mukanya: “Kejahatan Wi Cun
dalam dunia persilatan, memang sudah selayaknya
dibunuh, tetapi…dia adalah murid kepala dari perguruan
kami. Dalam kedudukanku, akupun juga harus
melaporkan pada sekalian angkatan tua dari leluhur yang
lalu, baru dapat memberi keputusan. Apalagi engkau...”
“Ucapan totiang memang beralasan,” cepat2 The
Thay menukas karena kuatir imam itu akan
mengutarakan kata2 yang tak sedap didengar, “menurut
peraturan, memang suheng totiang itu harus diserahkan
kepada ketua Kong-tong-pay dan dimintai
pertanggungan jawab. Tetapi ketika aku ditawan
digunung Hek- san, dialah yang menjaga diriku. Lain2
anak buah Maharaja itu menurut perintahnya saja.
Adalah demi menolong diriku maka Gak sauhiap harus
memikirkan kepentingan kedua belah fihak. Karena itu ....
kalau totiang tak puas akan peristiwa itu, baiklah totiang
umpankan kemarahan totiang kepada diriku saja !”
Beberapa anak murid Kong-tong-pay berobah
wajahnya. Begitu pula Wi Ih totiangpun segera
memandangnya lekat2 : “The sicu, betapapun engkau
hendak berputar lidah tetapi tanggung jawab itu tetap
ada pada Gak… Gak sauhiap. Sekalipun engkau
mengaku bertanggung jawab, tetapi kamipun tetap
takkan mencari engkau !”
Enak kedengarannya ucapan itu tetapi artinya cukup
menyinggung perasaan. Dengan kata2 itu jelas kalau
The Thay itu dianggap remeh, sehingga tak sepadan
kalau harus disuruh bertanggung jawab. The Thay
berwatak berangasan juga. Tetapi memandang Gak Lui,
terpaksa ia hanya mengertak gigi menahan
875
kemarahannya.
Melihat itu, cepat Gak Luipun menyanggapi: “Baiklah,
totiang menghendaki aku yang bertanggung jawab.
Akupun takkan menghindar. Lalu apakah yang totiang
maukan dari aku?”
“Ini.....,” pertanyaan itu membuat Wi Ih totiang
tertegun sendiri. Sebenarnya ia memang mempunyai
kesan baik kepada Gak Lui. Sedang suhengnya, Wi Cun
totiang itu, memang sudah seharusnya dibunuh. Tetapi
dalam kedudukan sebagai seorang ketua partai
persilatan, terpaksa ia harus mengurus hal itu. Hanya
ketika menghadapi pertanyaan Gak Lui, memang ia tak
dapat memberi jawaban. Dalam detik2 keheningan itu,
tiba2 berserulah Kak Hui dari perguruan Heng san. Dia
masih muda, baru berumur sekitar 40- an tahun. Diantara
golongan ketua persilatan, boleh dikata dia yang paling
muda.
“Gak sauhiap,” serunya, “menurut suasana
pembicaraan, sepertinya kita menyalahkan engkau.
Tetapi sebenarnya engkau telah melupakan sebuah hal.”
“Dalam hal apa?”
“Kudengar Hui Hong cianpwe pernah mengatakan.
Beliau menasehati engkau supaya membawa kawanan
Topeng Besi itu kepada masing2 perguruannya agar
diberi hukuman sendiri. Tetapi rupanya engkau tetap
berkeras tak mau dan hendak mengadili sendiri. Dengan
begitu akhirnya harus menghadapi keadaan seperti saat
ini !”
Mendengar itu diam2 Gak Lui terkejut. Pikirnya :
“Sebenarnya aku memang sudah bertindak hati2, tetapi
ternyata adik Hong liang telah bertindak terlalu terburu
nafsu sehingga menjadi begini akibatnya....”
876
“Totiang !” sahut Gak Lui. “dunia ini penuh dengan
soal yang tak seperti kita harapkan. Oleh karena itu
dalam peristiwa ini, aku tak mau menghindari tanggung
jawab. Akupun tak menyalahkan engkau hendak
mendesak aku !”
“Kalau begitu baiklah,” sahut paderi dari Heng-san
itu, “memang kematian suhuku ditangan gerombolan
penjahat itu, aku tak mempersalahkan engkau. Tetap
tentang kematian paman guruku Hwat Gong itu, aku
terpaksa mempersalahkan engkau !”
Gak Lui kerutkan dahi lalu menyahut: “Sudah
kukatakan, bahwa aku bersedia mempertanggung
jawabkan hal itu !”
Habis berkata ia memperhatikan bahwa wajah Hwat
Lui tampak mengerut seperti hendak bicara. Maka Gak
Luipun lalu berpaling kearah mereka bertiga, serunya :
“Jika perguruan totiang masih hendak mengutarakan apa
saja, silahkan bilang !”
Hwat Lui segera menyambut : “Perguruan kami Butong
kiam-pay sudah termasyhur diseluruh dunia.
Sekalipun paman guru kami Ceng Ci telah lenyap, tetapi
markas digunung Bu-tong-san tetap tak kurang suatu
apa. Tetapi setelah engkau datang ke gunung kami,
ketua kami Ceng Ki totiang menjadi co-hwe jip-mo dan
binasa !” Berhenti sejenak, Hwat Lui melanjutkan pula :
“Sebelum menutup mata, beliau telah memberikan
pedang pusaka perguruan Bu- tong kepadamu.
Pengganti ketua yalah Ceng Suan totiang, demi menjaga
pedang pusaka itu telah turun gunung tetapi sungguh
naas sekali, akhirnya beliau telah binasa ditangan
Maharaja.....”
Berkata sampai disini ketiga imam dari perguruan Bu877
tong-pay itu sampai mengucurkan air-mata. Dengan
berlinang-linang Gak Lui berkata, “Budi kebaikan kedua
totiang itu, aku sungguh amat berterima kasih sekali.....”
“Kedua cianpwe itu binasa karena engkau. Adalah
karena ingin membantu orang maka beliau rela menutup
mata. Kami yang menjadi angkatan muda tak dapat
berbuat apa2. Tetapi seharusnya engkau berusaha
sekuat tenaga untuk menolong Ceng Ci totiang sebagai
balas budi atas pengorbanan kedua totiang itu. Tetapi
ternyata ketika bertempur ditelaga Kiam-than, engkau tak
mau memperhatikan lagi siapa musuhmu itu, engkau
terus main bunuh. Dan akibatnya beliaupun ikut engkau
bunuh. Orang she Gak, engkau.., engkau... mempunyai
alasan apa lagi yang dapat membuat kami puas dan rela
?”
Gak Lui menyesal tak terhingga : “Memang akulah
yang lengah...sungguh amat menyesal sekali...”
Mendengar itu The Thay menyanggah dengan
menerangkan :
“Soal itu juga tak dapat mempersalahkan Gak
sauhiap seluruhnya. Pertempuran ditelaga Kiam-than itu,
musuhpun main keroyokan. Kawanan Kerudung Hitam
dan Topeng Besi campur baur sukar dibedakan. Apalagi
paman gurumu sudah kehilangan kesadaran pikirannya
sehingga menyerang secara membabi buta. Maka kalau
hendak menyalahkan, si Maharajalah yang harus
disalahkan. Tak boleh.....”
“Tunggu!” tukas Hwat Lui, “walaupun ucapan The
sicu itu beralasan, tetapi makin jauh dari persoalannya.
Berbicara tentang Gak sauhiap turun gunung untuk
memapas pedang, pedangku sendiripun kena ditabasnya
kutung. Ya, walaupun soal itu salahku sendiri mengapa
kepandaianku begitu dangkal. Tetapi kenyataannya,
878
yang menimbulkan gara2 itu adalah dia, bukan aku.
Itulah sebabnya maka ketua perguruan kami sampai
menghapus perintah menutup gunung, pendek kata,
apabila tidak ada Gak Lui yang menjadi gara2, perguruan
Bu-tong-san tentu tak sampai mengalami nasib seperti
saat ini.”
Buru2 Gak Lui menanggapi: “Aku amat menyesal
sekali, tentu dapat.....”
“Orang2nya mati, pedangnya hilang. Apa guna
ucapan maaf itu !” tukas Hwat Lui.
“Lalu bagaimana menurut kehendak totiang?”
“Hutang darah bayar darah, dendam harus
dihimpaskan !”
“Kecuali itu ?”
“Tiada jalan lain !”
“Ah, apakah totiang tidak terburu nafsu?” Rupanya
Hwat Lui yang sudah diamuk dengan dendam dan
penasaran, serentak berbangkit sambil memegang
tangkai pedang, serunya: “Sekali-kali aku tak dirangsang
nafsu. Kepandaian kita berduapun sudah
kupertimbangkan. Tetapi demi membalas dendam dan
angkatan tua, sekalipun kalah aku tetap akan
mencobanya.”
Gak Lui menyadari bahwa ucapan paderi dari Butong
itu memang bukan kata2 kosong. Diam2
mengagumi Hwat Lui yang bernyali besar. Tetapi kalau
bertempur sungguh, sekalipun lawan maju tiga orang,
tetap ia dapat mengatasi. Gak Lui tak mau menuruti hati
yang panas. Ia memberi isyarat tangan meminta mereka
duduk. Dalam suasana yang tegang itu, beberapa ketua
perguruan silat antara lain ketua Heng-san pay, ketua
879
Kong-tong-pay, ketua Siau-lim-pay bahkan tuan rumah
yakni Thian Lok totiang sebagai ketua Ceng-sia-pay, juga
tak dapat bicara apa2. Beberapa saat kemudian setelah
memberi kicupan mata kepada Tek Yan taysu,
berkatalah Sebun sianseng dengan tenang :
“Saudara2 ! Kurasa kedua belah fihak memang
sama2 mempunyai alasan yang kuat. Maka
kesimpulannya, segala apa itu rupanya memang sudah
takdir yang tak dapat dirobah manusia ...”
“Menurut cianpwe, karena sudah takdir maka kita tak
perlu mengurus lagi ?” Hwat Lui membantah.
“Jika mau mengurus, sebaiknya tunggu setelah dapat
melenyapkan si Maharaja, baru kita nanti berunding lagi.”
“Kalau begitu, fihak Kun-lun-pay dan Go-bi-pay dapat
memberi jaminan bahwa setelah musuh besar itu
terbasmi, maka kami dan Gak Lui akan bertanding untuk
menentukan siapa yang lebih unggul kepandaiannya ?”
seru Hwat Lui pula.
“Tidak !” serempak Sebun sianseng dan Tek Yan
menyahut. Hwat Lui, Kak Hui dan Wi Ih totiangpun
serempak bertanya:
“Kalau perguruan saudara tak mau memberi jaminan,
bukankah hal itu seperti hendak menghalangi kami.....”
“Sama sekali tidak menghalangi !” seru Sebun
sianseng dengan wajah berobah, “bagaimana tindakan
dalam dunia Persilatan, kiranya semua orang tentu
sudah jelas. Aku bukanlah seorang manusia yang ingin
mencari muka kepada orang, sedang perguruanku
sendiri pun kehilangan suhengku Tanghong Giok. Dalam
hal itu kalau aku tak menyadari benar tidaknya peristiwa
itu, tentulah dengan membabi buta kutimpahkan
880
kesalahan itu diatas kepalanya !”
Ucapan itu membuat Hwat Lui dan lain2 merah
mukanya. Namun seperti tak memperhatikan mereka,
Sebun sianseng tetap melanjutkan kata2-nya : “Soal
urusan dendam saudara ini, selainkan setelah nanti
Maharaja dapat dibasmi baru dirundingkan lagi, pun
supaya dipertimbangkan yang lebih hati2.”
“Cianpwe menghendaki kita mempertimbangkan
bagaimana lagi ?” seru Hwat Lui penasaran.
Sebun sianseng deliki mata kepada paderi itu: “Paling
tidak .... bertempur itu bukan cara yang terbaik.”
“Karena cianpwe menganggap kepandaian kami tidak
memadai ?”
“Sekalipun ilmu kepandaian saudara tinggi, tetapi
kurang layak kalau menggunakan kegagahan untuk
bertempur mati-matian !”
“Habis bagaimana ?”
“Kurasa.....,” Sebun sianseng meragu lalu
memandang Gak Lui, “lebih baik serahkan Gak sauhiap
yang memutuskan saja!”
“Serahkan dia?” Hwat Lui mengulang kaget seperti
tak percaya apa yang didengarnya. Sebun Sianseng
memandang sekalian hadirin, lalu berseru:
“Benar! Gak sauhiap berwatak keras tetapi lurus. Apa
yang diputuskan tentu takkan merugikan kalian!”
Hwat Lui dan lain2 makin terkejut. Mereka
memandang Hui Hong taysu dan Wi Ih totiang.
Maksudnya meminta kedua tokoh itu untuk menyatakan
pendapat. Hui Hong taysu merenung seraya memandang
sekalian hadirin. Kemudian ia menghela napas: “Aku
881
pernah menerima budi dari Gak Sauhiap. Persoalan
perguruan, akupun tak dapat berpeluk tangan. Apabila
Gak sauhiap mempunyai pendapat yang memuaskan
kedua belah fihak, Siau-lim-si pun takkan menyatakan
lain.”
Wi Ih totiangpun mengangguk: “Musuh kuat berada
didepan mata, lebih dulu kita harus bersatu menghadapi,
baru nanti bicara lain2. Karena itu...Kong-tong-pay juga
menyatakan setuju.” Karena kedua tokoh tua itu sudah
menyatakan pendapatnya, Hwat Lui dan Kak Huipun tak
tak dapat berkeras lagi.
“Sudahlah,” seru Thian Lok totiang, “soal ini sudah
beres. Sekarang kita lanjutkan dengan perundingan
untuk mengatur rencana menghadapi musuh. Adakah
selama diluaran ini. Gak siauhiap pernah mendengar
sesuatu tentang Maharaja?”
Gak Lui tersenyum: “Dia sendiri tak muncul.”
Ucapan itu mengejutkan sekalian hadirin. Bagi
sementara ketua perguruan, mereka merasa lega tetapi
ada beberapa yang kecewa. Gak Lui lalu menuturkan
tentang peristiwa barisan-bersembunyi dari Siau Yau
tojin tetapi akhirnya mereka dapat disapu berantakan.
“Bagus!” seru Thian Lok totiang, “kecuali si durjana
itu, siapapun musuh yang datang tentu tak mungkin lolos
dari barisan Thian-lo- to-ong-tin ...”
Gak Lui kerutkan alis: “Oleh karena ini aku tak dapat
lama2 disini dan segera akan minta diri hendak menuju
ke Im-leng-san. Aku hendak memenuhi janji untuk
berhadapan seorang diri dengan dia dan merebut
kembali pedang Pelangi!”
“Ah ...” terdengar desah sekalian hadirin.
882
“Saudara Gak,” seru Sebun sianseng dengan wajah
tegang, “kepergianmu untuk memenuhi tantangan itu,
kecuali mengandalkan ilmu kepandaian engkau tentu
juga mengandalkan kedahsyatan dari pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam itu, bukan?”
“Hm... benar,” sahut Gak Lui, “ilmu Suitan-maut dari
manusia durjana itu hanya dapat ditumpas dengan
pedang ini!”
Sebun sianseng mengicup mata dan gunakan ilmu
Menyusup- suara berkata: “Pedang itu tak boleh
sembarangan dipakai. Engkau harus mempertimbangkan
akibat dibelakangnya.”
Gak Luipun menyahut dengan ilmu Menyusup-suara
juga: “Aku sudah mengetahui dan merasakan daya iblis
dari pedang itu. Dan untuk menjaga kemungkinan yang
tak diharapkan, aku sudah menyediakan empat orang
pembantu !”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 31 bagian 31.3
“Bagus,” sebun sianseng menjawab pula lalu berkata
dengan omongan biasa, “apakah sauhiap perlu
membawa orang ke sana ?”
“Aku hendak mengundang empat orang nona ....”
“O, empat orang nona ?”
“Mereka bukan orang luar tetapi mempunyai
hubungan dengan perguruan Bu-san dan Thian liongpay.
Mereka juga mempunyai dendam permusuhan
dengan durjana itu.”
“Peristiwa besar yang jarang terjadi itu, entah apakah
aku dapat menyaksikan ?” seru Thian Lok totiang dengan
883
gembira.
“Hm....” Gak Lui merenung sejenak lalu menyahut,
“menurut pendapatku, lebih baik jangan.”
Oleh karena soal itu milik Gak Lui bersama Maharaja,
karena Gak Lui keberatan, merekapun tak dapat berbuat
apa2 kecuali kecewa dalam hati. Entah bagaimana tiba2
Sebun sianseng mendapat pikiran. Segera ia buka suara:
“Saudara Gak, karena beberapa ketua perguruan
mempunyai kegembiraan untuk menyaksikan, lebih baik
engkau luluskan. Pun aku sendiri juga kepingin melihat !”
Bermula Gak Lui terkesiap karena anggap kata
Sebun siangseng itu tentu mengandung maksud tertentu.
Namun ia masih tak tahu. Maka ditatapnya tokoh itu
dengan pandang mata bertanya. Sebun sianseng tak
menyahut melainkan keliarkan pandang matanya. Ketika
tertumbuk pada pedang Thian lui-koay-kiam, tiba2
matanya merentang lebar2.
“Oh.....” Gak Lui cepat dapat menduga bahwa tokoh
itu menguatirkan keganasan pedang Thian lui-koay-kiam
maka selain keempat nona itu mereka pun ingin
menyaksikan agar dapat memberi bantuan apabila
diperlukan.
“Atas maksud para ciang-bunjin yang baik, akupun
menerima. Tetapi pada waktu pergi, kuharap supaya
menurut sebuah permintaanku,” kata Gak Lui.
“Ya, kami akan menurut engkau,” seru Sebun
siangseng dan Thian Lok totiang serempak.
“Perjalanan di gunung Im-leng san itu amat
berbahaya,” kata Gak Lui, “lebih dulu aku hendak
mengajak keempat nona itu memasuki gunung itu. Di
sepanjang jalan akan kutinggalkan tanda rahasia agar
884
saudara2 sekalian dapat mengikuti naik. Pada waktu
menyaksikan pertempuran harap jangan
memberitahukan!”
“Sudah tentu tidak!” seru Sebun siangseng sembari
tertawa, “dalam pertempuran mati hidup itu, sekalipun
engkau minta aku membantu, aku pun takut sendiri.”
Demikian setelah tercapai keputusan, akhirnya
pertemuan untuk meminta pertanggungan jawab kepada
Gak Lui itu telah selesai. Para ketua partai persilatanpun
berbondong-bondong minta diri. Thian Lok totiang
menemani Gak Lui berjalan dibelakang rombongan
tetamu. Keduanya hendak mengambil pil Kiu-cuan- tingsim-
tan untuk menolong Thian Wat totiang, tetapi ketika
berjalan sampai diluar, mereka berpapasan dengan
ketua Kaypang dan beberapa orang yang hendak
mencari Gak Lui. Ternyata mereka hendak menanyakan
keadaan pemuda itu sejak berpisah. Setelah pertemuan
yang menggembirakan itu selesai,
Gak Lui minta kepada The Thay supaya suruh Siumey
mengambilkan obat. Tak berapa lama Siu-mey pun
muncul dengan membawa obat. Mereka lalu menuju
ketempat Thian Wat totiang. Tetapi belum berapa jauh
berjalan, tiba2 diluar gunung meluncur sebatang panah
api lalu disusul dengan dengung terompet yang
menggema diangkasa. Melihat itu berobahlah wajah
Thian Lok totiang, serunya agak tergetar: “Hm, sungguh
besar sekali nyali musuh. Mereka berani datang kemari!”
Gak Lui kerutkan alis lalu menyatakan hendak
menyambut musuh.
“Tak perlu,” sahut Thian Lok totiang, “karena
Maharaja tidak datang, lain2 saudara dapat menghadapi.
Kurasa sauhiap lebih baik masuk dan mengobati
suhengku.”
885
“Baiklah, kalau ada suatu perobahan yang genting,
harap memberitahu kepadaku,” kata Gak Lui seraya
melangkah kedalam halaman. Sambil menunjuk sebuah
bangunan, Thian Lok totiang berkata : “Disitulah tempat
tinggal suheng. Dahulu nona ini pernah datang kemari,
harap nona suka membawa Gak Sauhiap kesana.”
Setelah itu Thian Lok totiang keluar lagi untuk
bergabung dengan tokoh2 persilatan. Sedang Siumeypun
segera membawa Gak Lui keruang tempat Thian
Wat totiang. Dua orang imam kecil yang mengenal kedua
anak muda itu segera memberi hormat.
“Bagaimana keadaan totiang dalam beberapa hari ini
?” tanya Siu-mey.
“Sehari-hari sucou hanya duduk termenung
seperti...memikirkan sesuatu,” kata imam kecil itu.
“Baiklah, kalian boleh menyingkir dulu. Nanti apabila
ada keperluan tentu akan kupanggil.”
Setelah penjaga2 itu menyingkir kehalaman, Gak
Luipun bertanya mengapa tampaknya Siu-mey begitu
tegang. Sambil memandang kearah ruang itu, Siu-mey
berkata perlahan : “Tindakanku ini ada dua maksud.
Pertama, apabila daya ingatan totiang sudah pulih
kembali, mungkin dapat menceritakan banyak sekali
rahasia. Maka paling baik jangan sampai terdengar orang
luar.”
“Hm….”
“Dan lagi, sebelum diberinya minum pil Kiu-coan-tingsim-
tan, perlu hendak kujelaskan tentang keadaannya
yang lalu agar diam2 engkaupun dapat berjaga jaga.”
“Baik !”
“Pada waktu The Thay lo-cianpwe mengantarnya
886
pulang, totiang dalam keadaan tak sadarkan diri, mirip
seperti mayat berjalan. Setelah minum obat dari
beberapa partai persilatan dan dirawat dengan cermat,
dia baru sedikit timbul daya ingatannya. Makan, minum
dan bicara sudah seperti orang biasa.”
“Adakah ia ingat akan peristiwa ditawannya dahulu ?”
“Tidak ingat dan pula ...”
“Bagaimana ?”
“Sekalian orangpun tak berani mengatakan kalau dia
pernah ditawan Maharaja dan melakukan banyak hal
yang tak pantas. Karena kuatir akan menusuk
perasaannya dan dapat menimbulkan hal2 yang tak
terduga !”
“Oh !” Gak Lui terkejut. Diam2 ia menimang: “Sayang
sekali, totiang sesungguhnya seorang tokoh yang jujur
dan lurus. Apabila hal itu diketahuinya mungkin akan
menimbulkan hal yang tak diinginkan. Tetapi jika tak
kutanyakan hal itu, dendam sakit itu tentu sukar diketahui
sampai akarnya. Hm, bagaimana aku harus bertindak ?”
Rupanya Siu-mey tahu akan kegelisahan Gak Lui.
Segera ia menegurnya: “Engkoh Lui, jangan gelisah.
Obat yang sekarang hendak diminumkan itu masih suatu
pertanyaan adakah mempunyai daya khasiat atau tidak.
Jangan memikirkan terlalu jauh dulu....”
“Kalau gagal, tiada gantinya lain lagi. Tetapi kalau
berhasil ....”
“Tentu totiang akan sembuh. Dan tentang
pengalamannya yang lalu, terserah saja kepadamu !”
Demikian keduanya segera menghampiri dan mulai
mengetuk pintu. “Siapa.....!”
887
JILID 18
“Gak Lui mohon menghadap totiang !”
“Gak .... Lui ?” suara dari dalam itu mengulang
dengan nada tawar.
“Aku Li Siu-mey dengan engkoh-angkatku, hendak
mengantar obat untuk totiang !” seru Siu-mey.
“O, kiranya nona Li,” seru orang itu dengan nada
cerah lalu mempersilahkan masuk. Setelah mendorong
pintu dan melalui dua buah ruang barulah kedua muda
mudi itu masuk ke ruang tempat Thian Wat totiang. Gak
Lui terkejut ketika menyaksikan keadaan paderi itu, Thian
Wat totiang yang dikenalnya berkepala gundul tetapi saat
itu memelihara rambut panjang. Sepasang matanya
berkilat-kilat memberingas.
“Tiap hari aku duduk bersemedhi dalam kesunyian.
Sungguh kebetulan sekali kalian datang,” Thian Wat
totiang tertawa gelak2. Siu-mey tertawa pula :
“Kedatangan kami memang hendak menemani kesepian
totiang sembari menghaturkan obat Kiu- coan-ting-simtan.
Apalagi engkoh Gak Lui itu bukan orang asing
karena totianglah yang telah ditolong olehnya.”
“O,” desuh Thian Wat totiang, “makanya aku seperti
sudah kenal, kiranya penolongku. Maaf, kalau aku
berlaku kurang menghormat.” Gak Lui mengucap kata2
merendah.
“Dan sauhiap mengantar obat lagi kemari. Benar2
aku amat berterima kasih. Apakah obat itu boleh segera
kuterima ?”
“Ada sedikit hal yang perlu kujelaskan ...” kata Gak
Lui.
888
Setelah Thian Wat totiang mempersilahkannya, Gak
Lui melanjutkan pula: “Kalau obat itu tak manjur, harap
totiang jangan putus asa .....”
“Tentu.”
“Tetapi kalau manjur, totiang tentu akan kembali pula
daya ingatannya dan akan teringat akan segala peristiwa
yang lampau. Mungkin... akan menambah kegelisahan
totiang !”
“Ah, memang dapat beberapa hari ini aku seperti
orang mimpi. Aku tak ingat segala peristiwa yang lampau
.......”
“Tetapi kalau peristiwa lama itu tak menyenangkan,
bukankah lebih baik tak ingat saja ?”
Thian Wat tetap berkeras meminta obat itu. Apa
boleh buat, Gak Lui melirik ke arah Siu-mey. Siu-meypun
merenung sejenak.
Sesaat kemudian ia mengambil keluar botol obat,
ujarnya: “Totiang apakah engkau mau
mempertimbangkan lagi atau tidak ?”
“Sudah lama kupertimbangkan sampai berulang kali.
Sepanjang ingatanku, memang ada suatu yang terang.
Entah baik atau buruk, harus kubikin jelas. Nona, engkau
.... bantulah !”
Melihat Thian Wat totiang begitu mantap dan tak
mengunjuk rasa sesal suatu apa, barulah Siu-mey
memberikan pil dalam botol itu kepadanya. Thian Wat
amat gembira sekali sehingga tanpa berkata apa2 lagi ia
terus menelan pil itu lalu pejamkan mata menjalankan
peredaran darah, menggunakan tenaga-dalam untuk
mengembangkan daya obat itu. Beberapa saat
kemudian, tampak napasnya mulai teratur dan
889
semangatnyapun tenang. Rupanya dia sudah memasuki
tingkat kehampaan dalam semedhi. Melihat itu Siu-mey
berkata kepada Gak Lui : “Engkoh Lui, maukah engkau
mengurutnya supaya dia cepat sembuh ?”
“Kurasa tak perlu,” sahut Gak Lui, “memang bermula
kukira dia menderita penyakit yang parah sehingga tak
dapat melakukan penyaluran tenaga-dalam. Tetapi
ternyata tidak. Hanya saja.....aku merasa cemas dengan
khasiat obat itu...”
“Ah, mengapa tiba2 saja engkau begitu hati2 .....,”
seru Siu-mey,
“ingatlah, ayah pernah mengatakan, jika totiang itu
memang sudah dibius selama 18 tahun, obat ini memang
tak berguna. Kurasa.... waktu selama 18 tahun itu
memang mungkin terjadi pada diri totiang, karena
itu.......”
“Bagaimana ?” seru Gak Lui terkejut.
“Obat itu tak berguna, percuma engkau begitu tegang
!” seru Siu- mey.
Saat itu tampak dahi Thian Wat totiang mengucurkan
keringat sebesar kedele. Cahaya wajahnyapun berobah
robah tak menentu, riang, marah, sedih dan gembira.
“Ah,” tiba2 Gak Lui mendesuh pelahan, “rupanya
daya obat sudah mulai tampak. Totiang sudah dapat
mengingat peristiwa yang lampau !”
Siu-meypun terkejut juga: “Aneh sekali ! Rasanya
ilmu pengobatan ayah itu takkan salah. Kecuali .... waktu
pembiusan totiang itu memang kurang dari 18 tahun.”
“Kalau kurang dari 18 tahun berarti dia juga seorang
murid hianat !”
890
“Engkoh Lui, apakah maksudmu ?”
“Jelas,” sahut Gak Lui, “hal itu membuktikan bahwa
dia tidak dikuasai Maharaja tetapi memang dengan
kemauannya sendiri menggabung diri pada kawanan
penjahat, menjadi kaki tangan mereka !”
“Akhirnya apa dia bukan menjadi anggauta Topeng
Besi itu?”
“Hal itu terjadi belakangan, kemungkinan musuh
memutuskan untuk menghancurkan kesadaran
pikirannya. Kalau tidak, seharusnya dalam waktu 18
tahun itu dia tentu tak sadar pikirannya !”
“Oh....” hanya demikian Siu-mey dapat berseru
gemetar tanpa berkata apa2. Gak Luipun tampak
memandang lekat pada Thian Wat totiang yang saat itu
amat tegang sekali. Wajahnya mengernyit, menimbulkan
gelombang kerut yang berombak keras, penuh dengan
lamunan dan pertentangan batin. Tubuhnyapun mengigil
keras. Dalam pada itu sayup2 Gak Lui mendengar gema
suitan berulang kali. Ia duga tokoh2 partai persilatan
tentu sedang bertempur melawan musuh. Lebih kurang
setengah jam kemudian, tapak wajah Thian Wat totiang
agak tenang. Keringat yang membasahi tubuhpun sudah
kering. Akhirnya dia membuka mata. Begitu melihat Gak
Lui ia segera berseru : “Saudara, harap memberitahukan
siapakah nama saudara ini ?” Gak Lui balas menatap
dengan tajam lalu memberitahukan namanya.
“Gak Lui, hm….hm.....” Thian Wat totiang anggukkan
kepala dan bertanya pula: “Siapakah nama ayahmu ?”
Gak Lui tergetar. Dengan nada dingin ia balas bertanya :
“Mengapa totiang menanyakan hal itu ? Tentulah
ingatan totiang sudah pulih kembali !”
891
“Jawablah pertanyaanku lebih dulu !”
“Tidak, lebih baik totiang yang menjawab dulu !”
“Ingatan itu berada dalam otakku. Apa yang
dipikirkan tentu lain orang tak dapat mengetahui. Karena
itu.....lebih baik engkau dahulu yang menjawab !”
“baik,” sahut Gak Lui lalu dengan nada setengah
marah berseru : “Mendiang ayahku bernama Gak Tiangbeng,
orang memberi gelaran sebagai Dewa Pedang !”
“Benarkah dia ?”
“Sudah tentu benar !”
“Heh, heh, heh.....,” tiba2 totiang itu tertawa
mengekeh. Tubuhnya gemetar, ia mengadahkan kepala
dan menghambur tertawa yang menyeramkan. Tegak
bulu kuduk Gak Lui mendengar suara-tertawa itu.
Amarahnya mulai meluap. Dengan mata memberingas,
ia berteriak : “Mengapa engkau tertawa begitu rupa !”
Tetapi Thian Wat totiang tetap tak menjawab. Ia
hentikan tawa dan menghela napas berulang2. Kerut
wajahnyapun mulai serius seperti semula lagi dan
sikapnya amat tenang sekali. Tetapi pembicaraan tadi
telah didengar dan mengejutkan dua orang paderi kecil
yang menunggu diluar. Salah seorang paderi kecil itu
segera berseru dengan nyaring dan hormat: “Hatur
beritahu kepada sucou, apakah sucou memerlukan kami
menunggu didalam ?”
“Tak perlu !” seru Thian Wat totiang, “kalian mundur
semua !” Paderi kecil itu mengiakan dan melangkah
keluar dari ruang itu. Tetap baru mereka pergi, kembali
terdengar derap langkah orang menerobos masuk. Gak
Lui terkesiap. Belum sempat ia membuka mulut,
pendatang itu atau Thian Lok totiang sudah berseru :
892
“Suheng, engkau bagaimana....”
“Berhenti !” teriak Thian Wat totiang dengan bengis.
Derap langkah diluarpun berhenti. Lalu Thian Wat
berseru pula: “Aku tak kurang suatu apa, jangan masuk
dulu !”
“Sungguh ?”
“Masakan suheng membohongi engkau !”
“Kalau begitu,” Thian Lok totiang berobah tenang dan
riang suaranya, “aku hendak bicara beberapa patah kata
dengan Gak sauhiap, entah apakah suheng meluluskan
?”
“Tentu saja boleh,” sahut Thian Wat totiang dengan
nada lebih tenang, “silahkan engkau bicara dari luar saja,
Gak sauhiap tentu sudah mendengar.”
Maka Thian Lok totiangpun segera berkata dari luar :
“Gak sauhiap, akan kusampaikan kepadamu sebuah
berita baik. Musuh yang datang kegunung ini telah dapat
kami hancurkan dalam barisan Thian lo te ong-tin !”
“Bagus !” seru Gak Lui memuji, “hasil itu berkat
pimpinan totiang yang hebat!”
Thian Lok totiang mengucapkan kata2 merendah
kemudian berkata lebih lanjut: “Musuh telah menderita
kekalahan yang cukup parah sehingga takkan kembali
lagi. Kelak sauhiap dapat mencurahkan seluruh
perhatian untuk menghadapi Maharaja. Tentang diriku,
aku hendak mengatur lain2 urusan termasuk memanggil
murid2 yang kutugaskan sembunyi di beberapa tempat.
Akan kusuruh mereka beristirahat ....”
“Silahkan totiang,” kata Gak Lui. Thian Lok totiangpun
pamit dan setelah menanyakan tentang keadaan
suhengnya, ia terus melesat keluar. Perhatian Gak Lui
893
kini ditumpahkan pula kearah Thian Wat totiang. Tampak
kerut wajah pendeta tua itu bergeliatan dan pada lain
saat mulutnya kedengaran menghela napas : “Gak
Sauhiap, kenangan masa lampau, memang benar seperti
yang engkau katakan .. tidak menggembirakan.”
“Kalau demikian,” Gak Lui berusaha keras untuk
menenangkan gejolak hatinya, “adakah totiang suka
untuk menceritakan ?”
“Tentu !”
“Kalau begitu, silahkanlah.”
“Tetapi sebelum minum obat, engkau berulang kali
memberi peringatan supaya peristiwa masa lampau yang
tak menyenangkan itu, dilupakan saja.”
“O,” Gak Lui mendesuh. Diam2 ia menduga paderi
tua itu tentu mempunyai rahasia yang sukar
diberitahukan orang. Dari nadanya, seolah-olah paderi itu
sudah mengandung penyesalan.
“Totiang, adalah totiang sekarang hendak melupakan
peristiwa lampau itu ?” tanyanya dengan nada ikut
prihatin.
“Tidak !” tiba2 paderi tua itu menyahut, “aku sudah
dapat mengingat dan takkan lupa lagi. Maksudku yalah...
selayaknya engkaupun harus mendengar karena hal itu
juga tak menggembirakan bagimu !”
“Tak apa,” sahut Gak Lui, “dalam menghadapi
peristiwa lampau itu, aku sudah mengemasi hatiku. Terus
terang, aku telah bersusah payah untuk mencari tahu
peristiwa lama itu. Itu pulalah sebabnya maka kutolong
engkau !”
“Baik, karena engkau bersedia mendengarkan,
akupun akan bercerita mulai dari…. 18 tahun yang
894
lalu.....” Mendengar itu Gak Lui dan Siu-mey terbeliak.
Mereka mencurahkan perhatian benar2 kepada cerita
yang akan dibawa paderi itu. Maka mulailah Thian Wat
bercerita.
“Pada masa itu, Maharaja masih menyembunyikan
diri dari dunia persilatan. Aku sudah mulai bergerak diluar
untuk membasmi Kelima Durjana yang selalu membikin
keruh suasana dunia persilatan. Ketika tiba di .... sekitar
daerah Tibet, aku berpapasan dengan seorang yang
mengenakan kerudung muka. Bermula orang itu tak
membuat suatu gerakan apa2. Tetapi begitu aku agak
lengah, dia telah gunakan ilmu tutukan yang luar biasa
menutuk jalan darahku....” Mendengar itu, Gak Lui cepat
menukas pertanyaan : “Penutukan itu bukankah terjadi
pada 18 tahun yang lalu ?”
“Hm ... benar.”
“Sejak masa itu bukankah totiang kehilangan
kesadaran pikiran ?”
“Tidak ! Pikiranku masih sadar .... hampir setahun
lamanya !”
“Benarkah omongan totiang itu atau apakah hanya
suatu rangkaian totiang sendiri ?”
“Mengapa sauhiap tak percaya ?”
“Tindakan orang itu tentu bermaksud kalau tak
menguasai engkau, masakan engkau masih dapat sadar.
Kalau masih sadar, jelas membuktikan bahwa
engkau.....” Thian Wat totiang kerutkan alis dan
menukas: “Membuktikan bahwa aku ini seorang murid
hianat, benar tidak ?”
“Terpaksa aku harus menduga demikian,” sahut Gak
Lui.
895
“Engkau memang tak salah. Tetapi aku memang
mempunyai alasan sendiri. Harap suka dengarkan
sampai selasai.”
“Hm,” Gak Lui mendesuh.
“Pada waktu bersua dengan si Maharaja-persilatan
Tio Bik-lui hatiku sudah mempunyai kecurigaan. Maka
ketika dia melakukan tutukan dengan cepat dan tiba2,
sebelumnya aku sudah siap dan diam2 telah kukerahkan
tenaga-dalam untuk bertahan. Maka lewat sehari dua
hari saja, aku sudah pulih lagi kesadaran pikiranku !”
“Lalu mengapa tak berusaha melepaskan diri?”
“Sesungguhnya akupun mempunyai maksud begitu
juga,” sahut Thian Wat totiang, “tetapi kenyataan tidak
mudah. Aku harus memakai sebuah topeng besi. Kalau
hendak kulepas sendiri, tentu akan menyebabkan
benakku hancur dan jiwaku melayang.”
“Lalu ?”
“Ketika aku rubuh, dia sudah gunakan tutukan Im-jijiu-
hwat. Maka sekalipun pikiranku masih sadar, tetapi
kecerdasanku menurun. Apalagi setiap kali mendengar
suitannya yang aneh, hatiku merana dan aku segera
menurut semua perintahnya.”
“Apakah masih ada lain sebab lagi ?” tanya Gak Lui
lagi.
“Selain mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, pun
dia memiliki beberapa pembantu yang ganas,
namanya.....”
“Tabib-jahat Li Hui-ting dan si Penjaga Akhirat ....”
“Ah, benar, benar, walaupun kepandaian mereka
tidak berapa tinggi tetapi cerdik dan julig sekali. Oleh
896
karena itu dalam keadaan menderita luka itu, aku tak
berani bertindak sembarangan. Pun kudengar rencana
mereka untuk membasmi Bu-san-su-kiam lebih dulu baru
nanti setiap partai persilatan. Aku pun segera timbul
suatu rencana.”
“Rencana bagaimana ?”
“Mereka tak tahu kalau pikiranku masih sadar. Maka
akan kugunakan kesempatan itu untuk mendengarkan
rahasia2 mereka. Begitu ada kesempatan aku segera
akan meloloskan diri dan memberitahukan rahasia
mereka kepada dunia persilatan.”
“Kemudian lalu?”
“Setelah menetapkan keputusan itu, aku tetap
bersikap tenang dan diam2 kuperhatikan gerak gerik
musuh. Dalam beberapa waktu memang aku masih
dijaga dan tak dibawa keluar. Tetapi tak berapa lama,
kembali mereka dapat menawan tiga orang tokoh silat
yang sakti lagi. Menilik ilmu kepandaian ketiga tawanan
itu, jelas mereka adalah paderi Hui Ceng dari Siau lim-si,
imam Ceng Ci dari partai Butong-pay dan Hwat Gong
Paderi dari Hong san-pay.”
“Wi Cun dari partai Kong-tong-pay itu masih belum
dihitung !” seru Gak Lui. Mendengar disebutnya nama
imam Wi Cun, mata Thian Wat totiangpun tampak
bersinar, serunya : “Orang itu tak berharga disebut.
Sebagai seorang murid partai Ceng-pay, dia berhati
congkak dan temaha sehingga mau menghianati
perguruannya !”
“Hanya karena sebab itu ?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 32 bagian 32.2
897
“Menurut apa yang kudengar, walaupun Wi Cun itu
murid kepala dari Tujuh jago-pedang partai Kong-tongpay,
tetapi karena perangainya amat jumawa, ketua
Kong-tong-pay menganggap dia tak dapat menjadi
pewaris perguruan sehingga diam2 ketua Kong-tong pay
telah merencanakan untuk mencari lain murid yang lebih
baik. Karena sakit hati, Wi Cun lalu menggabung pada
kaum Sesat. Dia tetap bercita-cita untuk merebut
kedudukan dalam partai Kong tong-pay-lagi ...”
“Setelah membantu empat serangkai Topeng Besi itu
dan ditambah Wi Cun serta Penjaga-Akhirat, jumlah anak
buah merekapun cukup banyak. Lalu bagaimanakah
tindakan selanjutnya ?”
“Sebenarnya mereka hendak mencari Empat-pedang
Bu-san tetapi ditengah jalan telah berpapasan dengan
ayahmu...”
“O ... !” Gak Lui mendesuh kaget.
“Ayahmu memang tajam sekali penglihatannya. Dari
gerak langkah si Maharaja, dia cepat dapat mengetahui
kalau Maharaja itu seorang tokoh persilatan. Segera ia
menghentikan dan menanyakan diri Maharaja .....”
“Hm, bagaimana jawabannya?”
“Dia gentar akan kebesaran nama Dewa-pedang
sehingga tak berani mengaku siapa dirinya. Tetapi
ayahmu tak mudah dibohongi. Dia mengangkat pedang
untuk mengujinya. Setelah empat jurus serangan yang
disambut orang itu dengan jurus yang aneh dan luar
biasa, barulah ayahmu tahu bahwa sumber ilmu mereka
sama. Pada jurus keempat, pedang si Maharaja
ujungnya terpapas kutung sedikit...”
898
“Benar !” seru Gak Lui.
“Karena menderita kekalahan, Maharaja lalu bersuit
dan memerintahkan kami beramai ramai untuk
menyerang ayahmu. Saat itu sebenarnya aku hendak
membantu ayahmu karena betapapun saktinya, karena
hanya seorang diri akhirnya ia tak tahan dikeroyok lalu
loncat keluar !”
“Apakah setelah itu sudah selesai ?”
“Belum,” Thian Wat totiang gelengkan kepala,”
ayahmu memberi peringatan !”
“Bagaimana beliau memberi peringatan?”
“Dia suruh Maharaja melenyapkan ilmu
kepandaiannya dan jangan muncul didunia persilatan lagi
untuk selama-lamanya. Kalau Maharaja menolak,
ayahmu akan mengerahkan Empat- pedang Bu-san
untuk menumpasnya !”
“Lalu apa jawab Maharaja ?”
“Maharaja malah menantang. Kalau keempat jago
pedang Bu-san itu tak muncul, itu untung. Tetapi kalau
mereka berani datang, Maharaja akan menyambut
gembira sekali karena dapat menghemat waktu dan
tenaga membasminya.”
“Lalu ?”
“Dengan marah ayahmu pergi dan karena takut
Maharaja tak berani mengejar. Dan bulan kemudian
Maharaja berhasil mendapatkan keterangan tentang
tempat tinggal ayahmu.”
“O!”
“Dia segera membawa orang2nya menuju ke-tempat
tinggal ayahmu...”
899
“Bagus, dia berani datang menantang ?”
“Dia tak berani menghadapi Empat-pedang Bu-san.
Setelah tahu ayahmu hanya seorang diri karena ketiga
saudara seperguruannya belum pulang, Maharaja lalu
bertindak. Maka pada suatu malam yang berangin keras
...” bercerita sampai di situ Thian Wat totiang berhenti
memandang Gak Lui.
“Malam itu bagaimana ?” desak Gak Lui.
“Gak sauhiap,” Thian Wat totiang batuk2 sejenak,
“apakah engkau tetap hendak mendengar kisah itu ?
Kurasa lebih baik ....”
“Ya, aku tetap hendak mendengarkan. Silahkan
totiang bercerita terus,” tukas Gak Lui. Thian Wat totiang
menghela napas panjang, ujarnya : “Pada malam gelap
itu, kami beramai-ramai mengepung rumahnya. Tetapi
ayahmu tak ada. Setelah bertanya pada salah seorang
bujang barulah diketahui bahwa belum berapa lama
ayahmu keluar pintu.”
“Kalau begitu,” Gak Lui mulai tegang,
“mamahku…..?”
“Sebelum menceritakan tentang mamahmu, lebih
dulu aku menghaturkan maaf kepadamu.”
“Me ... mengapa ?”
“Aku sebagai seorang murid dari partai agama tetapi
ternyata tak berbuat suatu apa melihat orang yang
tertimpa kecelakaan. Itu suatu dosa besar !”
Mendengar itu dada Gak Lui serasa meledak dan
airmatapun berderai-derai turun. Namun dikuatkan jua
perasaan dan bertanya : “Karena totiang berada dalam
cengkeraman durjana ....kiranya bukan suatu
kesalahan....apa pun yang telah terjadi .... harap totiang
900
suka menuturkan semua....”
“Melihat ayahmu tak berada dalam rumah, Maharaja
lalu memberi perintah supaya membasmi seluruh
keluarga ayahmu. Ah, kasihan benar. Mamahmu yang
tak mengerti ilmu silat itu harus menderita kematian yang
mengenaskan .... Tetapi....”

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cerita Birahi Model : PKK 9 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 03 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments