Baca Juga:
- Cerita Romantis Mandarin Legendaris Sam Pek Eng Ta...
- Cerita Silat Mandarin Online : Seruling Sakti dan ...
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Suling Pualam dan...
- Cerita Silat PDF : Suling Pualam dan Rajawali Terb...
- Cerita Cersil Keren Terbaik : Jinsin Tayhiap 4 Tam...
- Cerita Silat Online Terbaik terbaru : Jinsin Tayhi...
- Cerita Silat Cersil Terbaik : Jin Sin Tayhiap 2
- Cerita Silat terbaik : Jinsin Tayhiap 1
- Cerita Tamat Cinta Ching Ching Yang Mirip Raisa
- Cerita Cinta Raisa Sekarang Sebelum Putus : Ching ...
- Cerita Mesum Raisa Nggak Doyan Nyepong : Ching Chi...
San Pek menggoyangkan tangannya. Ia pun tertawa.
“Tidak demikian halnya, Saudaraku,” katanya.
“Singkatnya, apa yang kau sukai itulah milikmu.”
“Kak, jelas Kakak menyanjung-nyanjung aku!
Bukankah segala hal yang ku sukai juga disukai olehmu?
Maka dari itu, janganlah Kakak membeda-bedakan....”
Memang, di atas meja segala barang telah dipisahpisahkan,
kecuali seekor burung-burungan walet dan
bebek mandarin atau belibis Tiongkok yang terbuat dari
kuningan, masih terletak di sisi bak-hi.
“Dik,” kata San Pek seraya menunjuk burung-burungan
itu, “apa yang kau sukai menjadi kesukaanku pula,
demikian pula belibis ini
“Kakak Nio, jadi Kakak menyukai burung-burungan
ini...?” kata Eng Tay.
“Bagiku, melihat burung-burungan ini seperti juga
melihatmu,” kata San Pek.
Eng Tay mengambil burung-burungan itu, dimainmainkannya
dengan kedua belah tangannya.
“Kak, burung ini berdekatan denganmu,” katanya.
“Nanti setelah aku pergi, Kakak bisa sering-sering bermain
dengannya.”
San Pek mengawasi si adik yang tampan.
“Ah, Dik,” katanya, “jadi kau hendak serahkan burung
kuningan ini padaku? Tetapi, kata-katamu tadi
membuatku tidak mengerti....”
Eng Tay tidak mengatakan apa-apa, ia hanya
memperhatikan barang-barang lainnya di atas meja itu.
“Dik, coba lihat isi keranjang itu,” kata San Pek.
Eng Tay menurut, ia melongok ke dalam keranjang,
terus ia mengambil satu sarung mopit yang terbuat dari
tembikar. 20 Sarung mopit itu berlukiskan setangkai buah
delima.
“Kakak Nio, dapatkah sarung mopit ini Kakak berikan
20 Di zaman Chin Timur itu belum ada sarung mopit dari porselen.
padaku?” tanya Eng Tay.
“Adikku, tak usah ku jelaskan lagi,” jawab San Pek
tersenyum. “Sarung mopit itu bermakna.”
“Apa maknanya?”
“Delima, adalah salah satu tanaman buah yang mudah
beranak, mudah tumbuh dan berbuah,” ujar San Pek
menjelaskan. “Adikku semata wayang, kelak di belakang
hari Adik akan mudah memperoleh turunan....”
Eng Tay tertawa.
“Kalau Kakak, anak tunggal atau bukan?” ia balik
bertanya.
San Pek turut tertawa. “Aku sama dengan kau, Dik!”
Keduanya lalu tertawa bersama.
Eng Tay mengawasi sarung mopit di tangannya, ia
melihat si buah delima yang sudah merekah dan bijibijinya
tampak nyata. Ia tertawa pula: “Delima ini hendak
diserahkan kepada siapa, kepada sang tuan atau sang
nyonya?”
“Tentu saja pada sang tuan!” sahut San Pek. Si adik
mengangguk.
“Aku ingat sekarang,” katanya, “Ketika dulu aku beli
sarung mopit ini, aku telah menghadiahkannya pada
Kakak dengan harapan nanti berbuah dan beranak...”
“Itulah tanda kebaikan hati Adik. Namun, Dik, kenapa
kau sendiri tidak menghendakinya?”
Eng Tay melihat sekelilingnya, di situ tidak ada orang
ketiga. Ia berpikir cepat, lantas ia berkata di dalam hati:
“Inilah saatnya aku harus sadarkan dia!” Maka segera ia
berkata: “Aku? Tentu saja aku, mengingininya, asal
bersama kau, Kak....”
Tampak si pemuda bingung.
“Dik, apakah arti perkataanmu ini?” tanyanya.
“Apa artinya? Apakah Kakak masih belum tahu?”
“Aku memang belum mengerti....”
“Aku telah bicara jelas, kau masih belum mengerti,
baiklah!” pikir Eng Tay dalam hati. Maka lantas ia
meletakkan sarung mopit itu bersebelahan dengan dua
burung-burungan, burung walet dan belibis mandarin,
kemudian ia menghadap ke pria di hadapannya seraya
berkata: “Tunggu, hendak ku lihat-lihat dulu.”
“Silakan, Dik”
Eng Tay mengamati barang-barang di hadapannya itu.
ia melihat sepotong tembikar yang merupakan alat
penindih buku, berukuran lebar kira-kira 6 atau 7 inci,
demikian juga panjangnya. Di atasnya, yaitu bagian
depannya, ada relief sepasang kupu-kupu besar berwarnawarni
indah. Melihat itu, ia tertarik, segera diambilnya,
terus ia perlihatkan pada si anak muda sambil berkata:
“Jadi ini juga Kakak hadiahkan padaku?”
“Benar!” jawab San Pek lekas. “Bukankah Adik sangat
menyukainya? Telah ku lihat, selama membaca buku, Adik
tak pernah terpisah dari tatakan ini. Ya, Adik selalu
memakainya untuk menindih buku!”
“Memang aku menyukai kupu-kupunya,” sahut gadis
itu. “Sengaja aku memilih ini untuk diberikan pada
Kakak.”
San Pek menatap tajam kawan yang tampan itu.
“Bagaimana, Dik?” katanya. “Bagaimana bisa kau
berikan barang ini padaku? Aku melihat tiada barang lain
selain ini yang Adik sangat sukai. Kalau aku terima ini,
bukankah kau seperti telah kehilangan sesuatu?”
“Memang benar, barang ini sangat ku sukai,” ujar Eng
Tay menjelaskan, “tetapi kalau sekarang ku berikan pada
Kakak itu karena ada maksudnya. Nanti, setelah aku
pulang, bila Kakak melihat penindih kupu-kupu ini, Kakak
pasti akan merasa, ada Kakak juga ada aku, dengan
demikian, pastilah hati Kakak akan tergugah untuk
mengenang kita berdua.”
“Kata-katamu kurang tepat, Dik. Kau lihat, kupu-kupu
itu toh sepasang, satu jantan, satu betina. Ya, bukan
kupu-kupu jantan semua. Mana bisa kau samakan dengan
kita berdua...
Eng Tay mengawasi penindih dari tembikar itu, ia pun
menoleh pada pria muda dan tampan di hadapannya. Ia
mendapatkan pemuda itu agak kurang senang, ia bisa
memakluminya. Namun, ia mendapat harapan. Jelas San
Pek tidak menduga bahwa dia sedang berhadapan dengan
seorang gadis jelita. Lalu tiba-tiba ia tertawa sendiri.
San Pek heran, dia menatap wajah Eng Tay.
“Eh, Dik, kenapa tertawa?” tanyanya polos.
“Karena aku melihat Kakak lugu sekali!” jawab Eng Tay.
“Tidak apa-apa, aku hanya menghendaki kau terima baikbaik
penindih buku ini.”
Sambil berkata begitu, gadis itu meletakkan sarung
mopit dan penindih itu menjadi satu di atas meja.
San Pek terpaksa menerima.
“Baiklah kalau demikian,” katanya. “Nah, apa lagi yang
hendak Adik katakan?”
Kembali Eng Tay berkata di dalam hatinya: “Apa lagi
yang harus ku utarakan? Aku, seperti telah membuka
pintu hingga gunung pun terlihat.” Akan tetapi ia toh
memberikan jawabannya: “Tidak, tidak ada lagi. Besok
Kakak hendak mengantarku satu lintasan, di sepanjang
jalan mungkin kita akan bisa melihat orang atau
menyaksikan sesuatu. Atau, kita bercakap-cakap lagi....”
San Pek masih tidak menyangka bahwa EngTay adalah
seorang wanita, dia belum curiga mungkin karena ia
terlalu memikirkan: besok mereka berdua akan berpisah.
Keduanya lantas membenahi barang-barang itu dan
Ong Sun datang untuk membawanya pergi. Gin Sim hanya
membawa barang yang akan dibutuhkan dalam
perjalanan.
Malam itu, kedua muda-mudi itu duduk mengobrol.
Mereka duduk berhadapan.
“Kakak Nio,” pesan Eng Tay, “kalau nanti Kakak selesai
sekolah, ku harap Kakak lekas-lekas datang ke rumahku.
Aku tidak bekerja, aku hanya mengharap Kakak....”
“Dik, pasti aku akan mengunjungimu!” kata San Pek.
“Barangkali telah ada kabar gembira untuk Adik?”
Mendengar kata-kata “kabar gembira” itu, tiba-tiba
wajah Eng Tay bersemu merah. Ia tahu, pasti San Pek
menduga ia akan segera menikah. Sahabat itu tak tahu
bahwa ia adalah seorang gadis. Namun ia bertanya: “Kak,
ada kabar gembira apakah untukku?”
“Adik mengharap aku lekas-lekas datang, bukankah itu
berarti Adik akan segera menemui mertua? Aku girang
kalau kau mempunyai nyonya!”
Mau tidak mau, Eng Tay tertawa.
“Kak, terkaanmu ini jauh meleset!” katanya. “Tetapi
nanti, setelah aku pulang Kakak tentu akan mengerti.”
“Ya, aku pasti akan mengerti!” kata San Pek, yang
masih belum sadar bahwa dirinya sebenarnya sangat
lugu....
Seterusnya mereka berbincang-bincang lagi, dan Eng
Tay senantiasa tersenyum-senyum. Mereka seperti tidak
peduli bahwa sang kala merayap terus.
Akhirnya Gin Sim muncul dengan kedua matanya
kesap-kesip.
“Tuan Muda berdua, sudah saatnya beristirahat,”
katanya pada majikan serta tamunya. “Besok pagi kita
akan berangkat, dan Tuan Muda Nio, bukankah akan
mengantar selintas? Sekarang sudah larut malam, nanti
besok terlambat bangun.”
Mendengar itu, muda-mudi ini seperti tersadar, lantas
saja mereka pergi tidur.
9
Perpisahan
MEGA indah di waktu pagi perlahan-lahan bergerak
dihembus angin tenggara yang sepoi-sepoi basah. Sang
surya juga sudah terbit, tampak menyinarkan cahayanya
yang masih lembut. Keadaan demikian itu bagaikan
menganjurkan, barangsiapa hendak melakukan
perjalanan, seyogyanya berangkat pagi-pagi sebelum panas
terik. Itulah hari-hari di bulan ketiga.
Su Kiu bersama Gin Sim sudah siap, Gin Sim membawa
buntalannya. Mereka berdua berjalan di depan, perlahanlahan.
Di belakang mereka, Eng Tay dan San Pek
menunggang kuda masing-masing bersebelahan. Mereka
pun berjalan santai, setelah keduanya berpamitan pada
bapak guru dan istri guru mereka, yang mengharapkan
keselamatan mereka di perjalanan.
“Kakak Nio, kita harus mengenang Pak Guru yang telah
membimbing kita dengan baik sekali,” kata Eng Tay di
tengah jalan. “Kita terpaksa harus meninggalkan rumah
sekolah kita yang bagus ini.”
“Memang,” kata San Pek. “Buktinya kau, Dik. Kau
pandai dan mendapat pujian dari kawan-kawan, bahkan
ada yang mengatakan bahwa kau mirip salah seorang di
antara Han Kee Sam Kiat, tiga sastrawan di zaman dinasti
Han. Thio Liang yang muda dan kewanita-wanitaan, kau
dapat disamakan dengannya.”
Eng Tay tersenyum.
“Tak mungkin, Kak! Mana bisa aku disamakan dengan
Thio Liang yang pandai dan ternama itu?”
“Adik merendah saja,” kata sang kakak angkat.
Ketika itu mereka tiba di jalan yang di kiri dan
kanannya ditumbuhi pohon-pohon kaya yang besar,
bercabang banyak dan berdaun rindang. Di sebuah cabang
pohon kebetulan ada sepasang burung kucica sedang
berkicau berdua....
Eng Tay berkata: “Aku sekarang sedang dalam
perjalanan pulang, burung-burung itu bernyanyi, berita
sukacita apakah yang mereka bawa?”
Terus saja gadis kita ini mengalunkan syairnya:
“Sungguh, cabang-cabang lebat membentuk rimba,
Mega tebal nan hitam memenuhi lembah yang hampa,
Di ranting burung kucica bernyanyi,
Bernyanyi-nyanyi gembira untuk menyenangkan hati.
Bukankah itu angin baik yang datang menyambut?
Maka kita berdua, jangan kita berkhayal-khayalan,
Menyulut api bunga tunjung, teratai emas!
San Pek sangat gembira, dia kagum.
“Dik, kau pandai sekali!” katanya memuji. “Baru saja
kita melihat pohon-pohon, kau sudah lantas dapat
membuat syairnya. Namun, tak aku mengerti makna
syairmu itu! Apakah artinya ‘Maka kita berdua, jangan kita
berkhayal-khayalan. Menyulut api lilin bunga tunjung,
teratai emas’. Ya, apa artinya itu?”
“Artinya...?” kata Eng Tay, yang tersenyum dan terus
tertawa.
Si anak muda heran, walaupun demikian ia tidak
bertanya lagi.
Tanpa terasa, keduanya telah tiba di batas tembok kota.
Di situ, orang-orang yang berlalu-lalang sudah berkurang.
Kelihatan tujuh atau delapan buah rumah, juga terdapat
pepohonan. Ada orang-orang yang berjalan terus, ada yang
berhenti dan berteduh di bawah pohon. Di situ pun
terdapat kedai makan. Ada pula beberapa orang sedang
memanggul kayu dan rumput.
Eng Tay tidak mengerti, dia bertanya: “Biasanya
pembawa kayu masuk ke kota di malam hari, mengapa
mereka ini justru di siang hari?”
“Itu kebiasaan saja,” ujar San Pek menerangkan. “Jelas
mereka penduduk di dekat sini, mereka pergi ke gunung
mencari kayu lalu mereka bawa itu ke kota untuk dijual.
Mereka ke kota siang hari dan lohornya pulang sehabis
membeli berbagai barang. Sebaliknya dari kebiasaan
penduduk kota.”
Eng Tay paham.
“Jadi mereka melakukan pekerjaan itu untuk hidup
mereka sehari-hari,” katanya. “Kak, tak samakah cara
hidup mereka dengan Kakak?”
“Jelas tidak, Dik. Mereka mondar-mandir mencari
nafkah untuk istri dan anak-anak mereka, untuk makan
dan pakaian. Aku? Aku hanya sedang mengantar kau yang
berangkat pulang kampung.”
Keduanya berjalan terus memasuki kota. Mereka tetap
menunggang kuda mereka perlahan-lahan. Semua hijau di
sekitar mereka, maklum ini bulan ketiga. Di hadapan
mereka tampak sebuah bukit kecil, di sana ada sebuah
liok-kak-teng, bangunan tempat perhentian berbentuk segi
enam. Ke sana mereka menuju.
“Kakak Nio,” kata Eng Tay, “ingatkah kau ketika dulu
kita bertemu dan singgah di perhentian? Itu namanya
jodoh! Sekarang kita akan berpisah. Tanpa terasa tiga
tahun telah berlalu. Sungguh pesat lewatnya sang hari!
Perhentian ini mengingatkan kita pada masa lalu,
bagaimana kalau kita singgah di sana?”
San Pek setuju.
“Baik!” sahutnya.
Eng Tay segera meneriaki Su Kiu dan Gin Sim agar
mereka singgah.
Hanya sebentar, mereka sudah tiba di perhentian itu.
Selagi menurunkan buntalan, Su Kiu tertawa. Ia
berkata pada Gin Sim: “Gin Sim, bungkusan ini ringan
sekali, aku merasa seperti tidak membawa barang apa
pun. Kawanmu si Ong Sun, sungguh baik sekali.
Sekiranya aku menjadi Ong Sun, pada majikanmu pasti
aku berkata: kalau saudara Gin Sim menikah, aku akan
menjadi tamu pertama untuk makan dan minum biar
puas. Bagiku, Gin Sim adalah bagaikan saudaraku!”
Mendengar kawannya bergurau, Gin Sim tertawa.
“Lalu bagaimana dengan arakku? Kau minum atau
tidak?” tanyanya.
Su Kiu terlihat heran.
“Apa katamu?”
Eng Tay mendengar dua abdi itu bergurau, ia menyela:
“Su Kiu, jangan kau tanya pada Gin Sim atau aku, tanya
saja Tuan-Mudamu! Nah, kau lihat tanda petunjuk jalan di
tepi jalan itu!”
Memang di tepi jalan ada selembar papan
pemberitahuan. Bunyinya:
Kalau mau mendaki Gunung Hong Hong, Naikilah dari
depan, menuju ke barat.
“Ya,” kata San Pek, “di atas bukit itu ada taman mungil
yang dinamakan Hong Ciat, di sana banyak pohon bunga
bow-tan yang indah-indah. Sayang kita tak dapat
mengambil bunga itu untuk dihadiahkan kepada orang....”
“Kakak benar,” kata Eng Tay. “Kalau Kakak gemar
bunga bow-tan di rumahku, di kebunku, aku tanam
banyak. Coba Kakak datang, sebaiknya waktunya
dipercepat, lebih awal lebih baik. Pendek kata, asal Kakak
datang, jangankan bunga bow-tan akan menjadi milik
Kakak, juga semua lainnya yang berada di dalam kebun
itu!”
Mendengar kata-kata sang adik, San Pek benar-benar
menjadi tidak mengerti, sia-sia belaka ia berpikir dan
berjalan mondar-mandir. Maka ia membungkam saja.
Eng Tay tertawa, ia merasa lucu karena sahabatnya itu
tetap tak dapat menerka maksud sebenarnya dari
ucapannya. Bagi San Pek, hal itu terlalu kabur.
“Kakak Nio, perlahan-lahan saja Kakak
memikirkannya,” katanya. “Mari!”
Gadis ini mendahului melangkah ke luar dari
perhentian. Mereka kembali ke jalan besar. Tetapi di
sepanjang jalan, gadis itu terus berpikir: “Kakak Nio ini
benar-benar polos. Aku telah bicara begitu jelas, masih
saja dia belum dapat menerka.”
Sambil berjalan dengan kepala merunduk, otak Eng Tay
terus bekerja. Ketika kemudian ia melihat ke depan,
tampak sebuah selokan yang airnya mengalir deras, hingga
di tempat dangkal di mana air itu mengalir, pasirnya
memperdengarkan suara nyaring. Air itu mengalir terus
sampai menjadi sebuah empang kecil. Di tengah empang
itu sekawanan angsa putih sedang berenang kian ke mari.
“Lihat, air itu bening laksana kaca,” kata Eng Tay
sambil menunjuk ke empang. “Lihat, kawanan angsa itu
bagaikan berada di dalam cermin!”
“Ya,” sahut San Pek membenarkan. “Air jernih, angsa
yang sedang bermain, sungguh suatu pemandangan yang
mempesona!”
“Nah, angsa itu bersuara, apakah Kakak dengar?” tanya
Eng Tay.
“Tentu saja!” sahut sang kawan. “Hanya saja, suaranya
kurang enak didengar....”
“Tidak benar, Kak,” kata si adik. “Kawanan itu bagaikan
memperdengarkan syair pujian. Yang di depan adalah yang
jantan, yang betina mengiringi di sebelah belakang. Yang
betina itu khawatir nanti semua mengeluarkan suaranya.
Ya, semuanya bagaikan mengatakan: Kak! Kak...!”
Mendengar itu, San Pek tersenyum.
Tengah mereka berjalan, Gin Sim berkata pada Su Kiu:
“Su Kiu, majikanmu itu jalan di depan, dia mirip ayam
jago!”
San Pek mendengar gurauan abdi itu, ia tertawa, malah
ia berkata: “Majikanmu justru dapat bicara seperti angsa
memanggil ‘Kak! Kak!’ Eh, Gin Sim, kau terlalu! Kau
samakan aku dengan angsa! Kau ngaco!”
Eng Tay berjalan di depan, kepalanya menunduk. Ia
merenung mengapa San Pek masih belum juga sadar.
Melihat sahabatnya membungkam saja, San Pek pun
menegur: “Dik, kau sedang memikirkan apa?” Eng Tay
menoleh, tetapi tak sepatah pun keluar dari mulutnya.
Di hadapan mereka sekarang tampak sebuah kali kecil,
airnya mengalir deras sekali. Lebar kali kira-kira tiga
tombak, airnya dangkal. Lewat menerjang banyak
bebatuan, air itu berbunyi keras juga. Untuk menyeberangi
kali, yang mirip kanal, penduduk mengatur rapi batu-batu
besar untuk pijakan kaki.
Eng Tay tak berani menggunakan cara penyeberangan
itu maka San Pek mengajaknya menggunakan jembatan
kayu yang beralaskan daun serta papan.
Ketika mereka sedang berjalan, suatu barang Eng Tay
terjatuh.
“Dik, barangmu jatuh! Barang apakah itu?” tanya San
Pek memberitahu.
Ternyata satu kupu-kupu kemala, yang biasa diikat
dengan pita merah sebagai gantungan kipas.
“Kakak Nio, tolong ambilkan,” pinta Eng Tay. “Ayo
pegangi aku....”
Jembatan kayu itu sempit, gadis itu merasa ngeri. Maka
San Pek segera memegangi tangannya. Tubuh mereka
hampir merapat.
“Kakak Nio, perlahan-lahan jalannya,” kata Eng Tay.
Mereka berjalan perlahan sekali.
“Jangan takut,” kata San Pek.
Segera juga mereka sampai di seberang.
“Terima kasih, Kakak Nio!” kata gadis itu setibanya di
seberang itu.
“Tidak apa-apa, Dik,” kata si pemuda tertawa. “Lain kali
kau harus memberanikan diri....”
“Lain kali pun aku masih perlu mengandalkan
bantuanmu, Kak....”
Gadis itu tertawa.
San Pek juga tertawa, bahkan dia berkata: “Dik, lain
kali kau justru harus menjadi pelindung Nyonya Ciok!
Mana bisa aku terus menjadi pelindungimu? Nah, ini
kupu-kupumu.”
Sambil berkata begitu, si pemuda menyerahkan
gantungan kupu-kupu yang tadi dipungutnya.
Eng Tay, mengawasi pemuda itu, ia tidak mengulurkan
tangan untuk menerimanya. Malah kemudian ia berkata:
“Kakak Nio, ku berikan kupu-kupu kemala itu padamu.
Tak lama lagi, kupu-kupu ini akan berpasangan, maka
harap kau simpan baik-baik.”
San Pek heran. Mengapa di tengah jalan, ia dihadiahi
kemala itu. Namun ia terima saja sambil mengucapkan
terima kasih. Ia tidak berkata apa-apa sehubungan dengan
pesan agar menyimpan baik-baik kemala itu. Ia lantas
menyimpannya di pinggangnya.
Gin Sim dan Su Kiu berhenti di bawah sebuah pohon.
“Tuan Muda Ciok takut menyeberang bahkan ia minta
Tuan-Mudaku menjadi pelindungnya,” kata Su Kiu pada
kawannya.
“Hus!” bentak San Pek. “Kamu tahu apa? Hayo jalan!”
Su Kiu membungkam, ia berjalan bersama Gin Sim.
Di hadapan mereka, kini tampak banyak pohon cemara,
besar dan tingginya tujuh atau delapan kaki, cabangnya
banyak, daunnya rimbun.
“Entah siapa pemilik pohon-pohon cemara ini,” kata
Eng Tay. “Rindang sekali!”
“Dan itu di sana, entah kuburan siapa,” kata San Pek.
tangannya menunjuk.
“Coba kita lihat batu nisannya,” ujar Eng Tay mengajak.
Ramai-ramai mereka menghampiri makam itu.
“Oh, rupanya ini adalah kuburan sepasang suami-istri!”
kata Eng Tay. “Letak kuburannya baik sekali, ada
pepohonan dan bagian depannya terbuka. Menurutku,
nanti seratus tahun kemudian, Kakak dan aku, oleh
turunan kita akan dikubur seperti ini supaya kelak siapa,
saja yang lewat dapat melihat dan mengetahuinya....”
San Pek heran.
“Dik,” katanya sambil menggelengkan kepala, “kau dan
aku adalah saudara angkat yang berlainan nama keluarga,
mana bisa kita dikubur bersama?”
“Bisa saja,” jawab Eng Tay. “Aku bilang bisa, tentu
bisa.”
San Pek bingung, maka ia berkata: “Dik, kali ini aku
sedang mengantarkan Adik pulang kampung, sebaiknya
kita bicara hal-hal yang baik saja. Urusan seratus tahun
kemudian, lebih baik tak usah kita bicarakan sekarang....”
Dengan urusan ‘seratus tahun kemudian’ dimaksudkan
‘setelah meninggal dunia’.
Eng Tay tidak berkata apa-apa, mereka bersama-sama
meninggalkan kuburan itu, kembali ke jalan besar. Berdua
mereka menyusul Su Kiu dan Gin Sim. Lewat kira-kira dua
li, mereka berhenti di sebuah tempat yang banyak pohon
serta jalannya terbuat dari batu hijau.
“Kak, di sini tentunya ada rumah penduduk,” kata Eng
Tay. “Kita istirahat di sini sebentar.”
San Pek setuju.
Maka berhentilah ia di bawah sebuah pohon tungching.
21 Su Kiu dan Gin Sim lantas saja duduk di bawah
sebuah pohon.
“Sebaiknya kita mencari air minum,” kata San Pek. Ia
haus.
Eng Tay mengangguk, lantas ia melihat ke sekeliling.
Segera ia melihat seorang petani yang sedang memikul dua
tahang, muncul dari samping pepohonan yang lebat. Ia
cepat menghampiri orang itu.
“Kak, kami sedang dalam perjalanan, kami mau mencari
air minum, di manakah bisa kami dapat?”
“Mau minum? Oh, ada,” sahut petani itu. Dari sini jalan
ke sana, di situ ada sebuah sumber air serta ada
gayungnya juga.”
Eng Tay mengucapkan terima kasih, lantas ia mengajak
kawannya maju ke depan. Benar saja, di tepi jalan ada
sebuah mata air yang jernih sekali. Mata air itu hidup,
airnya selalu bergolak naik. Benar pula, di sisi itu tersedia
gayung piranti menyendok air yang terbuat dari kulit labu.
“Bagus,” kata San Pek, “kita bisa minum! Su Kiu, Gin
Sim, kalian juga boleh membasahi kerongkongan kalian!
Sementara itu, Eng Tay berpikir.
21 Pohon tung-ching, nama Latinnya Hex Gedunculosa.
“Sebaiknya sekarang aku bicara lebih jelas, mungkin dia
mengerti,” demikian pikirnya, dan terus ia maju mendekat
dua langkah. Ia pun lalu bertanya: “Apakah airnya segar?”
San Pek memegang gayung, ia sedang hendak
menyendok air.
“Pasti segar, Dik,” katanya. “Nah, coba Dik minun.” Ia
menyendok air dan memberikan itu kepada kawannya.
Eng Tay menerimanya, terus ia minum.
Di saat itu, Su Kiu dan Gin Sim sudah selesai minum
dan berada sedikit jauh dari majikan mereka. Eng Tay
melihat mereka, lalu ia berkata pada San Pek: “Kak, mari
kita lihat mata airnya. Ayo kita berkaca di air, melihat
bagaimana wajah kita setelah melakukan perjalanan
sampai di sini....”
“Baik, Dik,” jawab San Pek. “Ayo!”
Maka bersama-sama, mereka menghampiri mata air
yang berkubang. Mereka berdiri bersebelahan, menghadap
ke air yang jernih sekali hingga bayangan mereka berdua
terlihat jelas.
“Bayangan kita di dalam air, bagus sekali,” kata Eng
Tay.
“Ah, tidak terlalu mirip,” kata San Pek polos.
Wajah Eng Tay mendekati telinga sahabatnya.
“Bukankah bayangan kita itu tegas sekali?” katanya.
“Seorang tampan, seorang lagi lemah-lembut. Dua
bayangan berdiri rapat, sekali, sungguh sedap dipandang!
“Biar bagaimana, itu hanya bayangan” kata San Pek.
“Bayangan tinggal bayangan, tetap parasnya lain....”
“Ah, sudahlah,” kata San Pek sambil menolak tubuh
gadis itu. “Kau agak aneh, Dik. Apakah pikiranmu kacau
karena kita akan segera berpisah? Mari, kita berjalan
selintas lagi!”
Eng Tay menurut. Kemudian, dengan sebelah tangan
memegang sebatang cabang yang-liu, ia menoleh pada pria
di sisinya sambil berkata. “Kak, aku hendak berteka-teki,
coba kau terka!”
“Apakah itu, Dik?”
“Jernihnya mata air, di depanku dia memancarkan
wajah yang cantik bagaikan batu kemala. Syair itu tidak
mudah, bagaikan hanyutnya batang yang-liu. Angin halus
meniup rambut indah, membuat orang terperanjat dan
tertawa. Apakah yang disebut gunung nan bersih dan
jernih? Coba terka!”
Gadis itu tertawa, San Pek pun tertawa.
“Dik” katanya, “itu syair, bukannya teka-teki! Kau
sungguh cerdas, begitu kau buka mulut, jadilah sebait
kata-kata yang puitis!”
Demikianlah si anak muda, ia menjawab tetapi tidak
menerka.
Eng Tay jengkel sekali.
“Tolol!” katanya dalam hati. Ia tak bisa tertawa, juga
tidak bisa juga ia menghilangkan kemasygulan,
kekecewaannya. Pemuda itu teramat polos....
“Gin Sim!” panggilnya. Ia melemparkan ranting yang-liunya.
Sang abdi menyahuti, ia muncul dari sela-sela pohon
kayu.
Gadis itu masih membungkam beberapa lama, hingga
akhirnya ia berkata: “Ayo kita berangkat!” Dan ia
melangkah. “Cuacanya baik sekali!”
Berempat, mereka memulai lagi perjalanan mereka.
Kemudian...
Jauh di depan, Eng Tay melihat sebuah perhentian.
“Kita sudah sampai di Perhentian Delapan Belas Li, ayo
kita singgah,” kata gadis itu.
Segera juga mereka sampai di perhentian itu. Mereka
memasukinya untuk menghilangkan lelah.
Perhentian itu bertiang empat. Atap gentengnya terbuka
di empat penjuru. Lantainya berundak-undak. Di bagian
dalam terdapat meja dan kursi batu untuk duduk
beristirahat.
Gin Sim melangkah memasuki perhentian untuk
meletakkan buntalannya, sedangkan Su Kiu menambatkan
kuda majikannya agar kudanya bisa merumput.
San Pek tampak tidak bergembira bahkan wajahnya
tampak kecut. Ia berdiri diam saja, matanya memandang
ke empat penjuru. Ia termenung, memandang jauh....
Eng Tay juga turut melihat ke sekitarnya. Di saat
sesunyi itu, dialah yang membuka pembicaraan. Katanya:
“Kakak Nio, kita telah sampai di Perhentian Delapan Belas
Li ini, maka dari itu, sebaiknya kau tak usah
mengantarkan aku lebih jauh....”
San Pek mengangguk.
“Ya,” sahutnya lesu. “Tiga tahun kita sekolah bersamasama,
sekarang kita berpisah. Tak ada kata-kata yang
dapat melukiskan perasaan kita ini....”
Eng Tay mengawasi kawannya juga itu. Tiga tahun
mereka tinggal bersama, selama ini di tengah perjalanan,
semua itu lebih dari cukup baginya untuk mengenal
pribadi San Pek sebenarnya. Seorang pemuda yang baik
dan polos, tulus. Lagi pula, jelas dia tidak pernah mengira
bahwa pemuda tampan di hadapannya adalah seorang
gadis.
“Ya, benar,” ia pun berkata. “Di dalam hati kita ada
perasaan yang sulit, yang sukar dikemukakan, akan tetapi
aku mempunyai suatu jalan. Kakak Nio, jika kau
menyayangiku, adikmu, kau tentu dapat mengingatnya
selama-lamanya....”
San Pek heran, ia tertarik. Maka ia menatap kawannya
itu.
“Jalan apakah itu, Dik?” tanyanya.
“Bukankah Kakak pernah mengatakan tentang sikap
ayah-bunda Kakak mengenai jodoh Kakak?” kata Eng Tay.
“Karena Kakak adalah anak tunggal, dalam hal memilih
gadis menantu, ayah-bunda Kakak bersikap sangat hatihati,
karenanya, sampai sekarang Kakak masih belum
mempunyai pasangan. Apakah masih ingat ucapan Kakak
itu?”
“Tidak salah, aku pernah mengatakan hal itu! Kenapa
Adik mengingatkan ucapanku itu?”
Eng Tay melihat pemuda itu menatapnya. “Aku...”
katanya tertahan. “Aku apa, Dik?”
Eng Tay memegangi pilar erat-erat.
“Soalnya begini, Kak,” sahutnya kemudian. “Aku punya
seorang adik perempuan, namanya Kiu Moy, aku berpikir
akan menjalin rapat antara si dan lo...22 Entah bagaimana
pendapat Kakak?”
San Pek menatap kawannya itu.
“Oh, jadi Adik masih punya adik?” ujarnya menegaskan.
“Be... benar...” sahut Eng Tay.
Luar biasa sambutan San Pek si pendiam yang polos
itu. “Adikku sudi menjadi perantara untuk jodohku, mana
mungkin aku tidak setuju!” katanya cepat. “Namun,
karena aku belum pernah melihat orangnya, aku masih
merasa sedikit bimbang....”
“Tentang hal ini, harap Kakak jangan khawatir,” sahut
Eng Tay memastikan. “Aku dan Kiu Moy adalah anak
kembar, parasnya dan parasku sama, sangat mirip satu
sama lain. Sedangkan tentang pelajarannya dan
kepintarannya sama dengan aku yang pernah sekolah di
rantau, tidak ada bedanya. Aku telah mengeluarkan katakataku,
itu sudah sama juga dengan kata-kata Kiu Moy
sendiri!”
“Perkataanmu, Dik, pasti tidak salah,” kata San Pek.
“Hanya, bagaimana dengan sikap ayah dan ibu?”
“Tentang ayah dan ibuku, itu mudah,” jawab Eng Tay.
“Nanti setelah tiba di rumah, akan ku beritahu pada kedua
beliau. Yang paling perlu ialah Kakak sendiri. Aku harap
Kakak lekas-lekas datang ke rumahku agar pembicaraan
dapat segera dikukuhkan. Dengan begitu, aku tak usah
memikirkan lagi siang dan malam.”
“Kalau demikian, Adikku, baiklah kau tetapkan saja
harinya.”
“Baik, Kak,” kata Eng Tay, yang menatap lagi si anak
22 Dua kata ‘si’ dan ‘lo’ adalah singkatan dari ‘toh-si’ dan ‘li-lo.’ Itulah nama dua
macam pohon rumput merambat, yang merapat sangat erat. Karenanya, kedua
rumput itu biasa diandaikan satu pasangan hingga berarti suatu pepohohan. Katakata
ini terdapat dalam suatu syair tua.
muda. “Kita main teka-teki saja. Aku janjikan: satu tujuh,
dua delapan, tiga enam, empat sembilan.”
San Pek tercengang.
“Oh...!” serunya tertahan “Satu tujuh, dua delapan, tiga
enam dan empat sembilan ia diam sejenak, ia berpikir.
“Apakah artinya itu?”
Eng Tay berkata: “Sekarang ini, tak usah Kakak
menerka-nerka. Tetapi nanti, setelah Kakak pulang dan
tiba di rumah, asal Kakak ingat dan memikirkannya,
segera Kakak akan mengerti dan dapat menebaknya!”
“Oh!” kata si anak muda heran. “Setelah sampai di
rumah, setelah aku memikirkannya, aku dapat
menerka....” Eng Tay tersenyum. Ia hanya berkata: “Lihat
di sana, awan putih sudah mulai naik! Aku akan pergi
menuju ke arah sana! Nah, di sini saja kita berpisah!”
Berkata begitu, gadis yang dalam penyamaran itu lantas
menjura pada San Pek, memberi hormat.
Agak repot, si anak muda menjura juga membalas
hormat itu.
“Baiklah, Dik!” sambutnya. “Maafkan aku, aku tak
dapat mengantar lebih jauh lagi. Semoga Adik selamat
dalam perjalanan!”
“Terima kasih, Kak!”
Kemudian gadis itu menggapai ke luar perhentian.
“Gin Sim, ke sini! Kau beri hormat pada Tuan Muda!”
Si kacung menghampiri, segera dia memberi hormat
pada San Pek sambil berkata: “Tuan Muda, harap Tuan
Muda tidak melupakan Tuan Muda saya ini!”
“Pasti tidak!” San Pek menjawab. Kemudian ia
memanggil: “Su Kiu, kemari! Kau beri hormat pada Tuan
Muda!”
Su Kiu dari luar lari mendatangi, ia lantas menjura
pada Eng Tay seraya berkata: “Tuan Muda, lewat sedikit
waktu Tuan Muda akan pergi berkunjung. Su Kiu akan
ikut serta sebab saya ingin menjenguk adik Gin Sim. Di
sana nanti; harap Tuan Muda menyambut baik Tuan Muda
saya....”
“Itu pasti!” sahut Eng Tay, yang terus memberi hormat
sekali lagi pada San Pek, setelah itu ia menghampiri Gin
Sim yang sudah siap dengan kudanya. Maka ia lantas
menunggang kudanya itu dan mulai berangkat. Gin Sim
mengikuti dari belakang.
San Pek berdiri diam, mengawasi kawannya itu berlalu.
Ia masih melihat Eng Tay menoleh kepadanya. Bersama Su
Kiu, ia memandang terus, sampai kawan serta kacungnya
itu lenyap di balik pepohonan....
“Tuan Muda,” kata Su Kiu pada majikannya, “mari kita
pulang!”
San Pek tidak menjawab, tetapi ia bergerak, menaiki
kudanya, dan terus berjalan pulang dengan dibuntuti
abdinya.
“Mengantar Sejauh Delapan Belas LU” kata sebuah
syair. Itulah artinya perpisahan: Pergi berempat, pulang
masing-masing berdua! Berpisah!
10
Pulang
SAAT lohor, San Pek tiba kembali di asrama sekolah.
Lenyap kegembiraannya, sebab kini ia tak berkawan. Ya, ia
sendiri saja. Tiga tahun dan sekarang terasa hampa.
Hanya kenangan saja yang masih tinggal, bagaikan
bayangan. Ada banyak teman sekolah, tetapi mereka
bukan Eng Tay. Hambar rasanya. Tak lagi ada kawan,
dengan siapa ia bisa keluar berjalan-jalan. Saking
kesepian, ia mendadak teringat teka-teki Eng Tay, teka-teki
perpisahan.
“Kata Eng Tay, setelah pulang aku akan dapat
menerkanya,” katanya dalam hati. “Sekarang baiklah aku
coba-coba....” Terus saja ia mengulangi: “satu tujuh, dua
delapan, tiga enam, empat sembilan
Dalam berpikir, pemuda ini berkata di dalam hati: “Satu
kali tujuh: tujuh. Dua kali delapan: enam belas. Tiga kali
enam: delapan belas. Empat kali sembilan: Tiga puluh
enam....”
Selagi membaca itu, San Pek menggerak-gerakkan jarijari
tangannya untuk menghitung, tetapi tak juga ia
memperoleh jawaban.
“Kata Adik Ciok, setibanya, asal aku berpikir, aku akan
dapat menebaknya,” katanya dalam hati. “Nyatanya, masih
sulit....”
Pemuda ini bingung beberapa lama.
“Ah, sudahlah!” pikirnya. “Hari ini gagal, besok akan
aku pikirkan lagi....”
Malam itu, San Pek tak bisa tidur dengan tenang.
Kemudian ia teringat kata-kata Eng Tay tentang Kiu
Moy, si adik kembar, yang segala sesuatunya, paras dan
kepandaiannya persis sama dengan sang kawan.
“Kenapa sebelumnya Eng Tay tak pernah menyebutnyebut
adiknya itu?” pikir si anak muda. Dia heran.
“Bagaimana sebenarnya wajah Kiu Moy?”
Tiba-tiba tampak seorang berjalan mendatangi,
langkahnya perlahan. Dia seorang wanita muda, parasnya
mirip Eng Tay, jalannya lemah-gemulai.
San Pek segera menyambut gadis itu dan memberi
hormat. Sang dara membalas hormat, sikapnya wajar
sekali.
“Nona, maaf, aku ingin bertanya,” kata si anak muda
kemudian. “Aku lihat, kau mirip sekali dengan Ciok Eng
Tay hian-te.”
Dengan ‘hian-te’ si pemuda maksudkan ‘adik laki-laki’.
Si gadis melipat kedua tangannya ketika menjawab:
“Aku adalah Kiu Moy. Kami anak-anak kembar maka kami
mirip satu sama lain.”
“Oh, kiranya Adik Kiu Moy!” kata San Pek tertegun.
“Ketika itu Kakak Eng Tay pulang,” lanjut Kiu Moy, “ia
mengutarakan tentang soal pernikahanku, katanya aku
telah dijodohkan denganmu, Kakak Nio.”
San Pek mengangguk.
“Aku dengan kakakmu adalah seperti saudara
kandung,” ujarnya menerangkan, “maka dari itu, apa
katanya ku turuti saja. Sekarang aku melihat kau, Dik,
nyata penjelasan adik Eng Tay benar sekali. Ini dia yang
dikatakan, ‘kebahagiaan tiga kali reinkarnasi!’
Bagaimanakah pikiran Nona sendiri?”
Kiu Moy tersenyum manis. Itulah jawabannya.
San Pek melipat kedua tangannya.
“Dan bagaimana dengan Ayah dan Ibu?” tanyanya.
“Kakak Eng Tay telah memberitahukan bahwa Kakak
Nio adalah seorang budiman dan sangat rajin belajar,”
jawab gadis itu, “mendengar hal itu, Ayah dan Ibu senang
sekali dan menyetujui. Sekarang ini Kakak Nio diminta
segera datang melamar.”
“Namun,” kata San Pek perlahan, “Adik Eng Tay dan
Ayah serta Ibu demikian baik, juga Adik sendiri,
bagaimana dengan aku? Aku ini dari keluarga miskin,
mana aku pantas....”
Kiu Moy menunjuk dengan kedua tangannya ke arah
tembok, kemudian ia menghadap anak muda di depannya
dan berkata serius: “Uang bukan masalah! Asal pihak lakilaki
dan pihak perempuan bersatu hati, jendela kuningan
dan tembok besi pun dapat ditembus!”
San Pek kagum sekali.
“Oh...!” serunya. “Jendela kuningan dan tembok besi
pun dapat ditembus!”
Sewaktu pemuda ini mengutarakan keheranan atau
kekaguman itu, tubuh gadis itu bergerak cepat sekonyongkonyong
ia telah menghilang....
“Kiu Moy!” seru si anak muda, memanggil nama gadis
itu. Atau ia lantas diam, bagaikan orang terkesima.
Sebab.... ternyata ia telah bermimpi dan lenyapnya gadis
itu membuatnya mendusin dari tidurnya!
Beberapa lama anak muda ini masih diam saja. Ia
sedang memikirkan mimpinya itu. Impian itu aneh. Aneh
juga kata-kata gadis itu: asal pria dan wanita bersatu hati!
Itulah ucapan yang jelas sekali.
“Tidak, aku tak bisa menyia-nyiakan waktu lagi!”
kemudian ia berkata dalam hati. “Aku harus segera
menemuinya untuk memberi penjelasan guna memperoleh
kepastian, khususnya untuk menemui ayah-bundanya....”
Berpikir sampai di situ, anak muda ini jadi teringat lagi
dengan teka-teki Eng Tay tentang ‘satu tujuh’, yang masih
tetap belum sanggup ia pecahkan. Kemudian ia pun
mengeluarkan dari sakunya cenderamata dari Eng Tay,
untuk dimain-mainkan....
Masih lewat beberapa lama, setelah letih berpikir, San
Pek tertidur. Esok paginya, ia sekolah seperti biasa. Di
waktu, lohor, tidak seperti biasanya, ia diundang Ho-si, si
nyonya guru. Ia heran tetapi segera ia pergi menemuinya.
Ho-si tertawa dan bangkit dari kursinya atas
kedatangan si anak murid. Bahkan ia segera mendahului
berkata.
“Keponakan Nio, aku hendak bicara dengan kau.
Silakan duduk!”
Sebagai murid dari suaminya, Ho-si memanggil San Pek
‘keponakan’.
San Pek memberi hormat, dalam rasa herannya ia
duduk. Kemudian ia memandang, mengawasi saja sang
istri guru.
“Kau belajar rajin sekali, ini aku tahu,” kemudian Ho-si
berkata lagi. “Karena kau terlalu rajin, agaknya kau
sampai kurang perhatian atas cara hidupmu setiap hari.
Itu kurang tepat.”
San Pek berdiam, ia tidak mengerti. Ia hanya
mengangguk.
Ho-si mengawasi si anak muda, ia berkata lagi: “Kau
sekolah bersama Eng Tay, sekarang dia sudah pulang,
maka kini aku bisa bicara terus-terang. Ijinkan aku
bertanya: sesudah sekian lama berkumpul bersama, coba
jawab pertanyaanku: dia itu sebenarnya pria atau wanita?”
San Pek tercengang. Itu pertanyaan aneh, di luar
dugaan sama sekali.
“Dia seorang pria,” jawabnya sambil memberi hormat.
“Apakah Su-bo melihat sesuatu?” Sang istri guru tertawa.
“Bukan, kau keliru!” katanya. “Eng Tay itu wanita!
Bukan hanya dia, pengikutnya juga wanita!”
San Pek tercengang, ia sungguh heran.
“Su-bo,” tanyanya kemudian, “bagaimanakah Su-bo tahu
hal ini?”
“Aku mengetahui hal ini ketika dia pamit untuk
pulang,” ujar Ho-si menerangkan. “Ia telah menjelaskan
segalanya padaku.”
Heran atau tidak, sekarang San Pek tidak sangsi lagi.
Yang bicara pun istri gurunya.
Ho-si berkata pula: “Eng Tay mengatakan juga, setelah
tiga tahun sekolah dan berkumpul bersama, ia ketahui
dengan baik sekali bahwa kau lah seorang laki-laki sejati,
maka dari itu dia rela menyerahkan dirinya padamu.
Bahkan dia telah menitipkan kupu-kupu kemala, untuk
diserahkan padamu sebagai tanda mata.”
Sambil berkata begitu, nyonya guru itu merogoh
sakunya, mengeluarkan kupu-kupu kemala yang
disebutkannya tadi. Lantas saja ia berikan pada si anak
muda itu.
San Pek menerimanya dengan hormat. Sebagai seorang
terpelajar, ia kenal baik adat-istiadat. Sambil mengawasi
cenderamata itu ia bolak-balik di tangannya. Sekarang
barulah ia sadar benar.
“Terima kasih, Su-bo!” katanya kemudian “Ah, sungguh
tidak saya sangka ia adalah seorang wanita. Tiga tahun
kami sekolah bersama, bahkan juga sama-sama tinggal di
satu rumah, saya sama sekali tidak duga. Ketika
perpisahan, dia menjodohkah saya dengan Kiu Moy.
Siapakah gadis itu? Bukankah yang disebut adiknya itu,
dia sendiri...?”
“Kiu Moy adalah Eng Tay!” kata Ho-si. “Sekarang,
setelah kau ketahui segalanya, kau harus lekas pergi
menemui Bapak-Ibu Ciok supaya bisa diajukan lamaran
resmi!”
Si anak muda itu mengangguk.
“Benar! “jawabnya. “Apakah Pak Guru juga tahu urusan
ini?”
“Tadinya tidak, sekarang sudah,” sahut Ho-si. “Tapi,
aku akan menemuinya lagi untuk menjelaskan bahwa kau
sudah mengetahui hal-ihwal kalian berdua. Guru justru
yang menganjurkan agar kau lekas pergi menyusul Eng
Tay untuk menemui ayah-bundanya.”
“Baiklah!” kata San Pek. “Nanti sore akan saya temui
Pak Guru agar beliau bisa pilihkan hari yang baik untuk
keberangkatan saya. Su-bo, San Pek mengucapkan terima
kasih pada Su-bo!”
Sambil berkata begitu, anak muda ini lantas memberi
hormat.
Sambil tersenyum, Ho-si menyambut hormat itu.
San Pek pamit, terus kembali ke kamarnya. Pertamatama,
kupu-kupu kemala itu ia persatukan dengan kupukupu
kemala yang lain, miliknya, hingga keduanya
menjadi sepasang.
“Dik!” katanya kemudian seorang diri, “mengapa sekian
lama kau tidak menunjukkan tanda apa pun hingga aku
tidak tahu sama sekali?”
Pemuda ini lantas duduk berdiam diri saja, namun
pikirannya bekerja.
“Sebenarnya akulah yang kurang perhatian,” katanya
kemudian seorang diri. “Coba aku berprasangka, aku pasti
mengetahui juga akhirnya. Ya, ku ingat sekarang! Ketika
itu aku sedang berlatih kaligrafi, ia berada di sampingku,
sedang menggosok bak. Ketika kebetulan aku menoleh,
kulihat liang kecil di cuping telinganya. Aku hanya terkejut
karena heran, tetapi dia mengatakan kepadaku bahwa
kupingnya dilubangi oleh ibunya yang membayar kaul.
Aku tidak curiga, aku mempercayainya. Dasar aku terlalu
lugu! Masih ada lagi suatu pertanda. Tatkala dia sakit, aku
berbaik hati dengan menemani tidur di ujung kakinya.
Saat itu dia menolak namun akhirnya ia setuju juga
setelah ada perjanjian tentang penghalang yang ditaruh di
tengah tempat tidur. Mengenai hal ini, ia pun menyebutnyebut
kebiasaannya sejak kecil bersama ibunya.
Sebenarnya, bagaimana masuk akal alasan ibunya itu?
Yang jelas dia hendak mengekang aku. Ya, mengapa aku
terlalu polos hingga aku dibohonginya?”
Merenung sampai di situ, San Pek berhenti berpikir
dengan sendirinya. Ia menghampiri pembaringannya untuk
merebahkan diri. Namun beberapa lama, matanya masih
terbuka terus, dan hanya menatapi langit-langit
pembaringan....
Sekonyong-konyong, langit-langit kelambu terbelah dua,
muncullah Eng Tay berdandan wanita dan gadis itu segera
berkata: “Asal pria dan wanita bersatu hati, tembok
kuningan dan besi pun dapat ditembus....” Lalu,
mendadak
saja gadis itu lenyap!
Tembok kuningan dan besi pun dapat ditembus?
San Pek sadar dan bangun, ia berdiri.
Justru itu, Su Kiu muncul untuk berbenah. Tak ia
sangka, majikannya sedang berdiri dengan wajah berseriseri
hingga ia menjadi heran.
“Su Kiu, kau sudah lama tinggal bersama Gin Sim, kau
tahu atau tidak bahwa dia....”
Si abdi tercengang, dia menatap tuannya itu.
San Pek pun segera meneruskan pertanyaan: “Tahukah
kau, macam apa dia itu?”
“Dia orang yang baik sekali,” jawab Su Kiu. “Semenjak
dia dan majikannya berkumpul bersama kita, kami berdua
belum pernah bermuka merah.”
Artinya, Su Kiu dan Gin Sim belum pernah bertengkar.
“Bagus!” kata sang majikan. “Dua atau tiga hari lagi kita
akan pergi ke dusun Ciok untuk menjenguknya!”
Su Kiu heran, namun dia tertawa.
“Itu bagus, Tuan Muda!” katanya.
San Pek tak berkata apa-apa lagi, kemudian ia berjalan
mondar-mandir dalam kamarnya itu. Otaknya bekerja,
mengiringi langkah kakinya.
“Satu tujuh, dua delapan, tiga enam, empat
sembilan....”
Otaknya bekerja hingga ia tak tahu bahwa kacungnya
sudah berlalu. Seorang diri, ia masih mondar-mandir
sampai tiba-tiba ia berkata sendiri: “Satu tujuh, dua
delapan.... Di samping satu dua, ada tujuh delapan, dan
tujuh tambah delapan ialah lima belas. Tiga enam, empat
sembilan. Di samping tiga dan empat, enam tambah
sembilan ialah lima belas juga! Satu, dua, tiga dan empat,
itulah nomor urut. Ini bukan masalah. Hanya dua kali lima
belas, itulah artinya satu bulan. Ah, apakah itu berarti
adik Eng Tay menghendaki agar aku mendatanginya,
jangan lewat dari satu bulan?”
Berhenti sejenak, San Pek berkata pula: “Apakah aku
tidak salah tafsir?”
Kembali, di dalam hati dia mengulangi menyebut “satu
tujuh, dua delapan, tiga enam, empat sembilan.”
“Tak salah, ada satu, ada dua, ada tiga, ada empat.
Lalu, apakah maksudnya itu?” demikian ia bertanya-tanya
sendiri, suaranya keras.
Di luar dugaan, di halaman luar ada beberapa orang
teman sekolah sedang berkumpul. Mereka heran
mendengar San Pek bersuara keras seorang diri, mereka
lari menghampirinya dan bertanya: “Ada apa...?”
“Ah, tidak ada apa-apa,” jawab San Pek yang merasa
jengah sendiri. Ia pun tertawa: “Baru saja ada kelabang,
aku terperanjat, setelah ku usir, dia kabur....”
Kawan-kawan itu maklum, mereka pun bubar.
San Pek duduk, ia memainkan lagi kupu-kupu kemala
itu. Ia mengamatinya, ya, ia termenung. Ia pun tersenyum
simpul. Ya, otaknya bekerja terus....
“Sikap Adik Eng Tay ada maksudnya,” pikirnya
kemudian. “Sepasang kupu-kupu kemala ini, dua kali ia
serahkan padaku. Bukankah itu ada artinya? Tiga kali dia
mengembalikan barang-barangku: walet, delima dan kupukupu!,
Dia pun mengingatkan aku agar dalam waktu tiga
puluh hari, aku harus menyusulnya. Ya, aku harus segera
mendatanginya!”
Anak muda ini menggebrak meja seraya berseru
perlahan: “Ya, berangkat!”
Malam itu San Pek menemui gurunya untuk mohon
diri.
Pak guru Ciu mengetahui hal-ihwal anak muda itu, ia
menasihatinya. Ia pun menetapkan hari keberangkatan si
anak muda: Lusa.
Hari itu tiba dengan cepatnya. San Pek sudah siap.
Pagi-pagi ia berpamitan dengan guru dan istrinya. Hanya
kali ini ia harus berjalan kaki, kudanya telah mati karena
sakit. Su Kiu mengikuti dari belakang dengan membawa
buntalan-nya.
Setelah berada, di jalan besar dan melihat pepohonan,
San Pek terkenang pertemuannya semula dengan Eng Tay
dan bagaimana gadis itu bersyair. Ia ingat benar bunyi
syair itu. Ya, ia ingat segala pengalamannya berdua dengan
gadis itu.
“Ya, Kiu Moy adalah Eng Tay!” pikirnya kemudian. Ia
girang hingga sering ia tersenyum dan tertawa sendiri,
sampai-sampai Su Kiu si abdi, menjadi heran.
“Aneh, mengapa aku tidak sadar juga....” kata si anak
muda itu, sendirian.
“Tuan Muda,” tanya Su Kiu, heran, “apa yang tak sadar
juga?”
“Tidak apa-apa!”jawab sang majikan.
Keduanya berjalan terus, sampai suatu hari tibalah
mereka di kampung halaman mereka. Kebetulan sang
ayah, Nio Ciu Po, sedang berada di ambang pintu, dan ia
melihat dua orang sedang mendatangi.
“Tuan Besar!” seru Su Kiu sambil menghampiri, terus
dia memberi hormat.
“Oh, San Pek pulang!” kata sang ayah girang.
Segera juga San Pek memberi hormat pada ayahnya,
dan menanyakan kesehatannya.
“Mari, Nak, temui !” kata ayah itu.
Maka masuklah mereka ke dalam. Sang ayah berseru:
“Ma, San Pek pulang!
Nyonya Nio, atau Kho-si, ibu San Pek, pun sangat
girang.
San Pek segera memberi hormat pada ibunya itu.
“Oh, anakku!”seru ibunya.
“Mama baik-baik saja?” tanya pemuda itu.
“Kau baik, Nak? Aku baik-baik saja.”
Maka gembiralah keluarga Nio itu. Maklumlah, tiga
tahun ayah-bunda berpisah dari putranya, dan sekarang,
mereka bertemu dan semua sehat-walaflat.
Su Kiu memberi hormat pada nyonya majikan itu
sesudah meletakkan buntalannya.
Malam itu selagi si putri malam bertengger di langit,
ayah dan ibu serta sang putra duduk berkumpul di ruang
dalam. Pemuda itu menceritakan segala sesuatu yang
berlangsung selama ia sekolah, dan kedua orangtua itu
menanyakan berbagai hal. Mereka senang dan puas,
terutama karena mereka dapat berkumpul bersama dalam
keadaan segar-bugar. Hanya ayahnya tampak lebih tua
dan ibunya wajahnya sedikit keriput.
Kemudian pembicaraan sampai pada masalah Ciok Eng
Tay, gadis itu bernyali besar, yang berani menyamar
sebagai pemuda dan merantau menuntut ilmu bertahuntahun
dengan penyamaran yang sempurna sekali.
“Namun ternyata dia bukan pria melainkan wanita,”
kata San Pek akhirnya. Tentu saja, penyamaran Gin Sim
pun turut disebut-sebut.
Ciu Po dan Kho-si senang mendengar kisah putranya,
yang menemui pengalaman yang luar biasa itu. Mereka
memuji Eng Tay.
“Bagaimana asal-mulanya sampai ketahuan bahwa dia
wanita?” kemudian tanya sang ayah.
San Pek menjelaskan, mulai dari pertemuannya di
tengah jalan, hingga mereka sekolah dan tinggal sekamar;
bagaimana mereka bergaul erat, sampai akhirnya mereka
berpisah sebab gadis itu dipanggil pulang berhubung
ibunya sakit. Sepulangnya gadis itu barulah rahasia
penyamaran itu dibuka atau terbuka.
Tentu saja San Pek menerangkan bagaimana Eng Tay,
secara samar-samar telah menyatakan sudi menyerahkan
dirinya sebagai istri. Kemudian putranya ini mohon maaf
kepada ayah dan ibunya karena ia telah lancang menerima
“lamaran” Eng Tay.
Ayah dan ibu itu tidak berkurang senangnya, bahkan
sebaliknya, mereka girang.
“Bagaikan dongeng saja!” kata ayahnya. “Tetapi
sekarang, bagaimana pikiranmu tentang kau dan Eng Tay
selanjutnya?”
“Saya pikir, sebaiknya segera pergi mengunjungi Eng
Tay,” jawab San Pek. “Besok atau lusa....”
“Pergilah, kau memang harus pergi, Nak,” kata Kho-si,
sang ibu, “hanya di sana, bagaimanakah nanti sikap
Bapak dan Ibu Ciok?”
“Menurut Eng Tay, sikap ayah-bundanya nanti sudah
tidak menjadi soal,” jawab San Pek.
Ciu Po bangkit berdiri.
“Kepergianmu bukannya soal lagi,” katanya kemudian.
“Hanya kita, bagaimana dengan pihak kita? Kita orang
miskin....”
“Masalah sebenarnya sulit, bagaimana nanti saja.”
“Kalau begitu, berangkatlah lusa,” kata si ayah
akhirnya.
“Baik, Pa,” kata San Pek.
11
Dua Perantara Jodoh
LIMA hari setelah berpisah dengan Nio San Pek, Eng Tay
yang sedang menunggang kudanya mendapatkan bahwa
dia segera akan tiba di rumah. Waktu itu siang hari.
“Ong Sun pasti sudah sampai di rumah kemarin,” kata
gadis itu pada abdinya. “Tentu sudah ada orang yang
menantikan kita di depan pintu....!”
“Ya, Non,” sahut Gin Sim. “Sekarang kita mudah
pulang, tetapi dulu, waktu hendak berangkat, betapa
sulitnya....”
“Sudahlah, lain dulu lain sekarang,” kata Eng Tay. “Tak
heran kalau Papa semula menentang. Tak mudah buat kita
menyamar dan harus menjaga diri di rantau. Semoga
beberapa ratus tahun kemudian, kaum wanita bisa
mencari ilmu pengetahuan secara bebas merdeka. Sayang
kita lahir terlalu pagi!”
Nona majikan dan abdinya masih asyik bicara, tanpa
terasa mereka sudah sampai di muka pintu rumah
mereka. Benar saja, di depan pintu sudah ada orang yang
menantikan! Bahkan ada yang lantas menyambut kuda
dan buntalan mereka.
“Apakah aku berubah?” tanya Eng Tay.
“Tidak!” terdengar jawaban.
Gadis itu tertawa.
“Aku telah tukar pakaian selama tiga tahun, mana
mungkin tidak ada perubahan?” katanya. “Hanya diriku
saja yang tetap, tidak berubah!”
Para penyambut itu tersenyum.
Segera juga Eng Tay berada di dalam. Di sana ayah dan
ibunya sudah menantikannya sebab mereka ini telah
mendapat kabar tentang tibanya putri mereka.
“Papa! Mama!” teriak Eng Tay memanggil, girangnya
tiada kepalang. Ia maju mendekat dan memberi hormat,
menjura dalam-dalam.
Teng-si, sang ibu, tertawa.
“Untuk apa kau menjalankan adat penghormatan
besar,” katanya dengan senang sekali.
Ciok Kong Wan, sang ayah pun tertawa.
“Dia masih dandan sebagai seorang pemuda, pantas
saja penghormatannya ini!” katanya, gembira bukan
kepalang. Apalagi putri mereka pun sehat walafiat, tak
kurang sesuatu pun.
Gin Sim segera menghampiri guna memberi hormat
pada majikannya itu.
“Mama sakit, apakah sekarang sudah sembuh betul?”
tanya Eng Tay seraya menatap ibunya.
Sang ibu tersenyum.
“Itu hanya ulah !” katanya. “Ia mendustaimu agar kau
lekas pulang!”
Gadis itu, juga abdinya, tersenyum. Mereka tak kecewa.
Mereka senang karena orangtua dan majikan itu segarbugar.
“Kau baru tiba, Nak, pergilah kau ke kamarmu dulu dan
tukar pakaian,” kata Kong Wan pada putrinya. “Setelah
tiga tahun, sebentar kita bicara lagi ceritakan
pengalamanmu.”
Eng Tay menurut, bersama abdinya ia masuk ke
kamarnya, terus mereka beristirahat.
Malam itu, selesai bersantap Eng Tay berdiri di depan
ayah dan ibunya dan berkata: “Papa, Mama, ketika akan
berangkat, aku diberi tiga macam syarat dan itu tak dapat
kul upakan. Sekarang silakan Papa memanggil bidan
untuk memeriksa diriku!”
“Ah, Nak!” kata orangtua itu, yang agak terperanjat.
“Kata-kataku di saat keberangkatanmu, kau masih
ingat....”
“Tentu saja, Pa,” sahut sang putri. “Tak berani aku
melupakannya.”
“Baiklah kalau begitu. Dua hari lagi, akan kupanggilkan
bidan.”
Teng-si melihat, sang ayah dan putrinya agak likat, ia
menyelak: “Sudahlah, kenapa mesti terburu-buru sekali.
Putri kita sudah bicara, ya, sudah saja. Cukup asal kita
tahu.”
Setelah bicara yang lain sebentar, Eng Tay kembali ke
kamarnya. Dalam keadaan senggang, segera ia terkenang
San Pek. Maka ia merasa: Dalam berjanji, waktu satu
bulan rasanya pendek sekali, akan tetapi sekarang, waktu
itu terlalu lambat, terlalu lama. Ya, ia memikirkannya
setiap saat senggang, baik di kala siang maupun malam
tatkala rembulan terang-benderang. Ya, ia menanti....
Pada suatu siang, di saat angin selatan silir-semilir,
sekonyong-konyong berhembus angin utara. Saat itu Ciok
Kong Wan sedang berada di taman bunganya, dan Gin
Sim. sedang menyapu di halaman taman itu.
Tiba-tiba, sambil mengusap janggutnya dan tertawa,
Kong Wan berkata pada abdinya itu: “Ini, di sini, juga
harus disapu. Eh, ya, bagaimana dengan Nonamu? Di
saat-saat begini, selain baca buku, biasanya ia datang ke
taman, bukan?”
Belum lagi Gin Sim menjawab, tampak Ong Sun datang
dengan langkah lebar seraya terus saja melapor pada
majikannya: “Tuan, di luar ada pegawai Li Tiang-su,
katanya dia hendak menyampaikan pesan.”
“Baik,” sahut sang majikan. “Suruh dia tunggu
sebentar.”
Selagi bujangnya mengundurkan diri, majikan itu pun
pergi ke luar, ke ruang tamu. Ong Sun kemudian
menyusul, bersama seorang tamunya. Sang tamu segera
memberi hormat seraya berkata: “Li Tiang-su, atasanku,
tadi pagi kedatangan seorang tamu, yaitu Tian Ci-su.
Katanya tamu itu minta diperkenalkan dengan Tuan Ciok.”
“Boleh, boleh saja,” kata tuan rumah. “Sayang di sini
aku tidak punya sesuatu untuk disuguhkan pada tamutamuku....”
“Tian Ci-su sekarang sedang dalam perjalanan ke mari,”
kata si pegawai pula. “Saya diperintahkan mengabarkan
terlebih dulu. Sekarang saya ingin kembali untuk
memberitahukan Li Tiang-su.”
Setelah berkata demikian, pegawai itu memberi hormat
lagi, terus dia pergi.
Sewaktu berjalan, Kong Wan girang. Ia ingat dulu,
semasa ia menjadi camat, Tian Ci-su itu, seorang gubernur,
adalah atasannya. Sekarang, pensiunan gubernur itu
berkunjung padanya, pasti itulah suatu kehormatan
baginya. Di pihak lain, dalam hatinya, ia berpikir bahwa ia
harus berhati-hati menyambut tamunya itu. Ia hanya tidak
dapat menduga, apa maksud kunjungan itu. Paling-paling,
ia berpesan agar segera disiapkan suguhan untuk jamuan
penyambutan.
Tidak lama kemudian, pengawal di depan mengabarkan
tentang tibanya sang tetamu.
Tuan rumah ini segera pergi ke depan untuk
menyambut.
Para tamu datang dengan tiga buah kereta yang
dihentikan tepat di depan pintu. Dari kereta pertama
muncul seorang berkopiah hijau, berjubah sulaman biru,
janggutnya belah tiga. Dialah Li Tiang-su atau Li Yu Seng
yang dikenal baik oleh tuan rumah.
Dari kereta kedua turun seorang berkopiah sastrawan,
jubahnya tersulam dan berwarna merah. Ia pun berjanggut
tiga tetapi berwarna putih. Ia bermuka lebar. Tangannya
mencekal tim-bwe, semacam pengebut. Wajahnya agak
berwibawa. Dialah Tian Ci-su.
Kereta yang ketiga adalah kereta untuk pengawal.
Kong Wan segera menghampiri menyambut tamutamunya
sambil memberi hormat dengan menjura. Setelah
itu, ia mengundang mereka untuk masuk ke dalam, dan
duduk di ruang tamu. Selagi menyambut, ia berkata
sebagai orang desa, merupakan suatu kehormatan besar
karena ia mendapat kunjungan kedua tamu agung itu.
“Kami merepotkan saja,” kata Li Yu Seng, merendah.
“Kami cuma ingin bercakap-cakap.”
Mereka lantas saja disuguhkan teh.
Segera juga Tian Ci-su menanyakan jumlah anak lakilaki
Kong Wan.
“Tidak, saya tidak punya anak lelaki, hanya seorang
anak perempuan,” sahut Kong Wan menerangkan.
“Benar,” ujar Li Tiang-su turut bicara. “Bahkan
kabarnya putrinya itu cantik dan pintar sekali!” Ia
tersenyum sambil mengusap j anggutnya.
“Ah, tidak,” Kong Wan merendah. “Tapi benar ia telah
belajar mirip anak lelaki.”
“Berapakah usianya sekarang?” tanya Tian Ci-su.
“Tahun ini genap dua puluh,” sahut tuan rumah.
“Apakah dia masih terus bersekolah?”
Kong Wan tertawa. Ia menjawab: “Niat putriku itu terus
sekolah, tetapi awal tahun ini ia berhenti. Tak leluasa
baginya meneruskan sekolah....”
“Memang,” kata Li Yu Seng, “kalau anak perempuan
terus bersekolah, kurang leluasa. Sekarang ini, Leng-ay 23
sudah berjodoh atau belum?”
Mendengar pertanyaan itu, Kong Wan segera dapat
menerka maksud kunjungan tamu-tamunya ini jelas pihak
lelaki meminta Li Tiang Su dan Tian Ci-su menjadi
perantara jodoh.
“Siao-li 24 belum ada jodohnya,” sahut Kong Wan terusterang.
“Putriku itu semata wayang, dia anak perempuan,
tak apa dia berdiam lama sedikit di rumah....”
“Kalau demikian, biar kujelaskan saja maksud
kedatanganku bersama Saudara Yu Seng ini,” kata Tian
Leng Bow, si Ci-su atau pembesar berkedudukan sebagai
gubernur sipil. “Apakah kau kenal Thay-siu Ma Cu Beng?”
Kong Wan melipat kedua belah tangannya.
“Saya telah lama mendengar namanya,” sahutnya. “Beliaukah
yang tinggal di Lang-taw kecamatan Gin-koan?”
23 Leng-uy: kata halus untuk menghormat anak gadis tuan rumah. Kira-kira, “Putri
Anda,” bukan “Anak Tuan.”
24 Siao-li berarti “anak perempuan yang tak berarti”.
“Benar,” kata Leng Bow sambil mengangguk. “Ma Thaysiu
punya seorang putra bernama Bun Cay, dia sekolah di
rumah di bawah bimbingan guru khusus. Sebagai pelajar,
namanya sangat terkenal. Thay-siu dengar, Anda
mempunyai seorang cian-kim sio-cia,25 yang cantik dan
pintar sekali, maka dari itu ia mengutus kami berdua ke
mari untuk menjalin kedua keluarga menjadi satu, yaitu
agar gadis itu dijodohkan dengan Ma Bun Cay. Aku sendiri
merasa khawatir tidak bisa menjelaskan maka aku datang
bersama Li Yu Seng. Aku percaya Saudara Ciok tidak akan
menampik....”
Sambil berkata demikian, pak comblang ini terus saja
tertawa.
Segera juga Ciok Kong Wan tertarik dengan lamaran itu,
apalagi kedua perantara jodoh itu bukan sembarang orang.
Tambahan pula, keluarga Ma adalah keluarga termasyhur.
Walaupun demikian, ia masih bertanya:
“Kata-katamu tadi tak berani aku menolaknya. Namun,
dapatkah aku diberitahu, berapa usia Ma Bun Cay
sekarang, dan bagaimana perilakunya? Semua ini belum
ku ketahui.”
Tian Leng Bow tertawa mendengar pertanyaan tuan
rumahnya itu.
“Maaf, kata-kata kami tadi kurang jelas,” katanya,
menjawab tuan rumah. “Bun Cay sekarang berusia dua
puluh dua tahun. Begini....”
Belum lagi Ci-su itu selesai, Yu Seng sudah memotong:
“Ya, sama-sama dua...!” Dia mau maksudkan cocok, Eng
Tay dua puluh, Ma Bun Cay dua puluh dua.
Ciok Kong Wan mengangguk.
“Kata-kata Tuan berdua sudah jelas,” katanya, “tetapi
kami mohon diberi izin untuk berpikir dulu sekitar, tiga
hari, setelah itu, akan kami berikan jawaban kami.
Keluarga Ciok, hanya mempunyai satu anak perempuan
25 Cian-kim sio-cia: harfiah, gadis bernilai seribu emas, artinya, “Nona yang
Terhormat”.
yang sangat kami sayangi, selain itu, ibu si anak pun
harus diberitahu lebih dulu. Saya mohon maaf.”
Yu Seng agak heran.
“Apakah masih ada yang kurang jelas?” tanyanya.
Tetapi Tian Leng Bow menyela, katanya: “Waktu tiga
hari tidak terlalu lama. Baiklah, dalam tiga hari, kami akan
menanti berita!”
“Terima kasih,” kata tuan rumah. “Maaf, istri saya perlu
diberitahu lebih dulu.”
Sambil berkata begitu, Kong Wan bangkit dari tempat
duduk. Ia membungkuk, memberi hormat sambil meminta
agar kedua tamunya maklum akan keterangannya itu.
Kedua tamu itu berdiri, dan membalas hormat.
Kemudian kedua belah pihak, duduk pula. Dengan
berbicara lebih jauh, Leng Bow mengatakan bahwa
keluarga Ma adalah keluarga hartawan sehingga apa saja
yang dibutuhkan keluarga Ciok dimintanya agar dikatakan
saja, karena pasti akan dipenuhi. Sebaliknya Kong Wan
menyatakan bahwa pihaknya tidak membutuhkan apaapa,
karena ia pun berkecukupan.
Setelah itu, Kong Wan pamit untuk memberi tahu
istrinya, sementara kedua tamu itu menunggu.
Tatkala Kong Wan masuk ke dalam, ia mendapati
istrinya sedang duduk di dekat jendela. Sang istri
sebaliknya melihat wajah suaminya itu agak gembira, ia
bertanya: “Apakah para tamu sudah pulang?”
“Belum,” jawab suaminya, yang terus menjura pada
istrinya sambil mengucapkan: “Selamat, Nyonya Besar,
selamat!”
Istrinya menjadi heran. Namun ia berdiri membalas
hormat sang suami. Ia menatapnya.
“Ada apa? Apakah maksud kegiranganmu ini?”
“Coba kau terka, mau apa kedua tamu itu datang jauhjauh?”
“Mana kutahu....”
“Mereka datang untuk melamar Eng Tay, putri kita!”
“Oh, begitu!” kata sang istri. “Untuk keluarga siapa?”
“Untuk putra Ma Thay-siu yang bernama Bun Cay,”
jawab suaminya. “Anak itu baru berusia dua puluh dua
tahun. Mereka berdua di utus sebagai perantara jodoh.
Lihat, perantaranya saja bukan sembarang orang.”
“Ma Thay-siu itu memang ternama,” kata Nyonya Ciok,
“akan tetapi putranya itu, kita berdua belum pernah
melihatnya. Maka dari itu, ku pikir, kita perlu bersabar
dulu. Lagi pula, walau keluarga itu kaya, putranya masih
sekolah. Bukankah kita perlu melihat dulu
kepandaiannya?”
“Pikiranmu sama dengan pikiranku, istriku. Akan ku
sampaikan keinginan kita ini pada kedua perantara itu.
Apakah kaup unya pikiran yang lain?”
“Masih ada,” sahut istrinya. “Ya, tentang Eng Tay, putri
kita. Ia sangat terpelajar, orang biasa saja tak nanti ada di
matanya. Maka dari itu, perlu kita tanyakan dulu
pendapatnya. Bukankah baik sekali kalau dia
diperlihatkan karya tulis pihak sana?”
Ciok Kong Wan duduk di sisi istrinya. Tetapi,
mendengar kata-kata terakhir istrinya, ia menjadi geram
bahkan wajahnya tampak merah.
“Nah, inilah kekeliruanmu!” katanya tiba-tiba dengan
keras. “Dulu ketika Eng Tay mau pergi belajar ke Hang-ciu,
aku tidak setuju, kemudian karena segala ucapanmu, aku
memberikan izin. Coba pikir, selama tiga tahun itu, betapa
berat perasaan kita, kecemasan kita. Ya, itu masih perkara
kecil. Tapi sekarang, urusan pernikahan, ini urusan besar.
Kita tidak bisa berikan lagi kebebasan seperti dulu! Dalam
hal ini ada keluarga Ma! Mana bisa kita mendapatkan
keluarga lain? Sedangkan kedua perantara itu, mana kita
mencari mereka? Kau mau tanya dulu pikiran Eng Tay, itu
terlalu memusingkan kepala. Di samping itu, juga tidak
ada alasan baginya untuk menampik.”
Teng-si heran mendapatkan suaminya mendadak saja
bicara sedemikian rupa. Ia mengawasi. Karena tahu sifat
suaminya, ia bersabar.
“Aku juga tahu keluarga Ma terkenal,” katanya, sabar.
“Akan tetapi putranya, bagaimana? Selain tentang
kepandaiannya, juga perihal paras wajahnya! Bagaimana
kalau dia macam ‘tiga bagian manusia dan tujuh bagian
hantu’? Apakah Eng Tay pantas dijodohkan dengan dia?
Eng Tay pasti tidak setuju. Lagi pula, bagi Eng Tay ilmu
budaya adalah bagaikan jiwanya.”
“Ya, pulang-pergi, pikiranmu sama saja! Lalu, apa lagi
katamu?”
“Tidak ada lagi,” sahut istrinya.
“Baiklah kalau begitu,” kata suaminya. “Sekarang
hendak ku layani tamu-tamu kita.”
Kembali ke ruang tengah, Kong Wan mendapatkan
tamunya sedang berjalan-jalan di taman. Ia lantas
menyuruh pelayan memanggil mereka.
Tatkala bertemu, Tian Leng Bow menggeleng-gelengkan
kepala, terus dia tertawa dan berkata: “Putrimu itu benarbenar
bukan sembarang orang! Aku telah melihat syairnya
di papan ayunan. Sayang sekali tidak ada mopit hingga
aku tidak dapat mengutipnya, tetapi kira-kira begini:
‘Benang merah mewarni para tamu, satu kali menantang
orang pandai!’ Yang lainnya ialah ‘Rembulan terang
mengantarkan kepergian mega, angin lembut jatuh ke
bumi’. Itulah lukisan mengenai gerak-gerik ayunan. Tanda
tangannya ialah: ‘Eng’, maka aku menduga, itulah tulisan
putrimu. Seorang gadis berusia dua puluh tahun sudah
bisa bersyair demikian indah, sungguh luar biasa!”
Mendengar pujian itu, Kong Wan tertawa.
Li Yu Seng juga berkata: “Tidak sembarang orang bisa
menulis begitu!”
Segera Tian Leng Bow menanyakan bagaimana
pendapat Nyonya Ciok.
Kong Wan pun menjelaskan sikap istrinya.
“Kalau demikian, tujuh atau delapan bagian, urusan
akan berhasil!” kata Leng Bow. “Kau bagaimana, saudara
Yu Seng?”
Orang yang di tanya mengangguk.
“Benar, urusan akan segera berhasil!” katanya.
“Sekarang tinggal tulisan dari Ma Bun Cay. Itu bukan soal
lagi. Bun Cay sekarang ada di rumah asal ku temui dan
bicara dengannya, pasti dia bersedia. Besok aku akan
kirim orang untuk mengambil karya tulis Bun Cay. Bukan
hanya satu karya, semuanya pun boleh. Dengan demikian
aku berharap, urusan ini tak menemui kesulitan. Kak Leng
Bow, kalau begini akan beres seluruhnya. Sekarang kita
tinggal menanti lewatnya dua hari lagi!”
Orang bermarga Li ini sangat gembira.
Tian Leng Bow pun tertawa.
“Benar juga, tak ada hal yang sukar lagi!” katanya.
“Saudara Ciok, bukankah urusan sudah dapat di anggap
selesai?”
“Ya, sudah selesai!” jawab Kong Wan tertawa. “Hanya
tinggal istri saya, ia ingin sekali dapat melihat Tuan Muda
Ma sendiri serta dua buah naskah karangannya. Mengenai
hal ini, saya harap perhatian Saudara berdua. Sekarang,
sesudah lama kita bicara, saya mengundang Saudara
sekalian menikmati jamuan seadanya bersama-sama.”
Kedua tamu terhormat itu menerima baik undangan
perjamuan itu, mereka mengucapkan terima kasih. Maka
di lain detik, ketiganya sudah duduk berkumpul,
bersantap dan minum bersama. Setelah itu, mereka masih
mengobrol di ruang tamu dan kedua orang perantara itu,
menegaskan pula agar sang tuan rumah bersedia
menerima lamaran keluarga Ma.
Kemudian Li Yu Seng berkata: “Begini saja! Enam atau
tujuh hari lagi, akan ku suruh istriku membawa naskah
karya Tuan Muda Ma ke sini, asal saja Nyonya sudi
menerimanya, agar naskah itu dapat diperiksa. Aku
percaya, sesama wanita, bicaranya lebih mudah. Mengenai
kehendak Nyonya melihat bakal menantunya, kita lihat
saja belakangan. Nah, bagaimana, cocok, bukan?”
Kong Wan tidak berani banyak bicara lagi, ia
mengangguk. Maka sampai di situ kedua tamu itu lantas
minta diri untuk pulang.
12
Gadis Luar Biasa
CIOK Eng Tay sedang berada di ruang belakang tatkala ia
mendapat kabar tentang kedatangan dua orang tamu
ayahnya. Ia tidak memperhatikan hal itu. Sesudah lima
hari, ia mendengar laporan dari seorang abdi perempuan
bahwa ibunya sedang menerima kunjungan Law-si, istri Li
Yu Seng. Kali ini ia merasa agak curiga, bukankah tamu
itu belum pernah mendatangi rumahnya? Sekarang tibatiba
dia muncul, mau apakah dia?
“Gin Sim, coba kau selidiki,” katanya pada abdinya.
Sebenarnya Ciok Kong Wan, sesudah menerima
kunjungan dua orang tamunya itu, pernah berpesan pada
orang-orangnya agar tidak sembarangan membawa cerita.
Juga Teng-si, si ibu, tidak memberitahukan putrinya
mengenai kedatangan kedua tamu itu serta maksud
kedatangannya. Maka ketika Law-si datang, ia menyambut
sendiri.
Nyonya Li Tiang-su berusia empat puluh lebih, dia
mengenakan baju berwarna merah tua. Berhadapan
dengan nyonya rumah, dia menghormat. Kemudian Teng-si
mengundangnya duduk di ruang tamu.
Setelah berbasa-basi, Law-si berkata. “Kedatanganku ini
menyambung kunjungan suamiku beberapa hari yang lalu,
maka Nyonya tentu sudah tahu maksudnya.”
“Pasti urusan putriku,” sahut Teng-si. “Kami merasa
berterima kasih sekali”
“Ya, inilah urusan keluarga Ciok dengan keluarga Ma,”
kata Law-si. “Semoga kedua keluarga nanti berjalin
menjadi satu!”
Teng-si mendapat kesan baik mengenai sang tamu,
yang apik bicaranya.
“Terima kasih,” katanya tertawa. “Kabarnya Tuan Muda
Ma itu baik sekali, maka kami ingin sekali melihatnya.”
Sang tamu tersenyum.
“Memang, paling tidak mesti bertemu satu kali,” kata
Law-si. “Umpama barang, harus di lihat dulu burukbaiknya.
Terus-terang, Tuan Muda Ma sekarang berada di
rumahku, asal Nyonya setuju, pertemuan akan segera
terlaksana. Bagaimana pendapat Nyonya?”
Teng-si tidak menyangka akan jawaban tamunya itu,
karenanya ia menjawab: “Mengenai hal ini, tak berani aku
mengambil keputusan, perlu ku tanyakan dulu pendapat
suamiku. Baiklah, nanti saja ku beri kabar lebih lanjut.”
“Apakah Tuan Ciok ada di rumah?” tanya Law-si.
“Ada,” jawab Teng-si.
“Bagus!” kata Law-si yang tampak girang sekali.
“Baiklah aku akan duduk menanti disini. Tanyakanlah
kepada Tuan di mana pertemuan dapat dilakukan!”
Nyonya rumah tertawa.
“Kulihat di antara dua perantara, yang wanita lebih
mendesak daripada yang pria! Hanya sayang, pembicaraan
tidak bisa segera diputuskan. Memangnya sudah sangat
ingin minum arak kebahagiaan, ya?”
“Ya!” kata Law-si secara polos. “Terus-terang saja, tak
ada lagi keluarga lain yang lebih serasi dari dua keluarga
Ciok dan Ma! — Oh ya, aku lupa akan sesuatu....”
Sambil berkata begitu, si tamu merogoh sakunya. Ia
mengeluarkan segulung pita merah dan sambil
memberikannya pada nyonya rumah, ia berkata: “Ini
naskah Tuan Muda Ma untuk Tuan Ciok lihat dan periksa.
Nah, dengan ini telah kami kabulkan permintaan Tuan.
Maka sekarang, kami tinggal menanti saja sepatah kata
dari Tuan!”
Teng-si berdiri, menyambut gulungan naskah itu.
“Terima kasih!” katanya.
Saat itu, Gin Sim muncul, melintas di ruang tamu itu.
“Eh, Gin Sim!” ujar si nyonya majikan memanggil,
“pergilah kau temui Tuan Besar dan katakan, sebentar aku
mau bicara dengannya.”
Gin Sim meng-iya-kan, terus ia berjalan pergi.
“Abdi siapa itu?” tanya nyonya tamu.
“Dia abdi putriku,” sahut nyonya rumah.
“Kebetulan sekali!” kata Law-si lagi. “Aku ingin bicara
dengannya. Dapatkah dia dipanggil kembali?”
“Gin Sim, ke mari!” Teng-si lantas memanggil abdinya
itu. Sebenarnya ia tidak setuju tetapi ia malu hati kepada
tamunya. “Kau beri hormat pada Nyonya Li ini.”
Abdi itu belum sampai di luar, segera ia kembali. Ia
menjura pada tamunya itu.
Nyonya Li tertawa, ia berkata: “Ku dengar Nona
majikanmu itu pandai ilmu budaya, beberapa pemuda
tidak sanggup menyaingi dia. Hari ini kebetulan aku
beruntung dapat berkunjung ke sini. Sudah seharusnya
aku menemui dia, paling tidak satu kali. Nah, coba kau
temui Nonamu dan katakan padanya bahwa ada seorang
wanita dari keluarga Li yang sangat ingin bertemu
dengannya.”
“Baik, Nyonya,” jawab Gin Sim. Akan tetapi dia tidak
lantas mengundurkan diri, melainkan berpaling pada
nyonya majikannya untuk menunggu perintah.
Teng-si maklum, ia tak dapat menolak kehendak
tamunya itu.
“Ini Nyonya Law-si, istri Li Tiang-su,” katanya pada
abdinya, “Nyonya ini sedang melakukan kunjungan
kehormatan pada kita. Sekarang beritahukan Nonamu
agar bersiap-siap, kami hendak menemui dia.”
“Ah, tak usah bersiap-siap” kata Law-si tertawa. “Biasabiasa
sajalah....”
Gin Sim mengangguk, terus ia mengundurkan diri.
Lebih dulu ia menghampiri Ciok Kong Wan untuk
menyampaikan pesan Teng-si, kemudian baru ia kembali
pada nona majikannya untuk menyampaikan berita. Ia
berjalan sangat cepat.
“Hei, kau berlari-lari, ada apa?” tegur Eng Tay pada
abdinya itu. “Kabar baik apa yang kau bawa?”
“Kabar luar biasa, Non!” sahut abdi itu. “Ketika, saya
lewat di ruang tengah, Nyonya Besar melihat saya.
Sewaktu Nyonya Li mengetahui siapa saya, saya dipanggil
kembali, terus Nyonya Besar mengatakan bahwa tamu itu
ingin bicara dengan Nona. Saya diperintahkan memberi
kabar agar Nona bersiap-siap di sini. Nyonya Besar beserta
tamunya hendak menemui Nona.”
Eng Tay heran, dia berpikir: “Seorang tamu perempuan
datang, lalu dia ingin bertemu denganku, mau apa dia?”
Kemudian dia mengangguk dan berkata pada abdinya:
“Ku tunggu di loteng, jika tamunya datang, persilakan dia
naik ke atas.”
Setelah berkata, gadis itu tersenyum dan terus naik ke
loteng.
Gin Sim mengangguk dia diam, tapi di dalam hati dia
menerka-nerka: “Mestinya Nona sudah dapat menduga
maksud kedatangan tamu itu. Tunggu saja sebentar untuk
mendengarkan bagaimana Nona dan tamunya bersilat,
lidah!”
Lantas, abdi itu tetap di tempat, menantikan tamunya.
Hanya seketika, terdengar suara langkah kaki, lalu
Teng-si muncul, memandu Law-si.
Tamu itu kagum melihat keadaan ruang dalam ini,
hingga ia memuji: “Tak usah melihat orangnya,
menyaksikan saja segala pohon bambu dan cemara beserta
bayangannya, lantas sudah dapat diduga bahwa nona
rumahnya bukan sembarang orang!” Di dalam, terlihat
kursi meja dan perabot rumah lainnya, semua teratur rapi
dan serasi, sederhana tetapi menarik hati. Lain lagi meja
tulis dan rak bukunya.
Gim Sim tidak menanti sang tamu menyapanya, ia
mendahului: “Nyonya, silakan menaiki tangga, Nona kami
berada di atas sedang membaca buku, tetapi tahu akan
ada tamu, ia sudah menanti.”
“Oh, Nonamu menanti di loteng?” kata Law-si agak
heran. “Kamar ini sudah luar biasa, masih ada loteng pula!
Baik, mari kita naik!”
Gim Sim mendahului tamunya, tiba di atas, ia bersuara:
“Non, tamunya sudah sampai!”
Law-si mengikuti naik, tiba di atas, kembali ia menjadi
kagum. Di tembok tergantung sekeping papan bertuliskan
tiga huruf ‘Hwe Sim Law’, artinya, ‘Loteng Menemui Hati’
atau ‘Hati Bertemu’. Memandang ke luar jendela, tampak
taman mungil serta pohon yang-liu yang seakan-akan
menaungi loteng itu. Suasana tenang tetapi menarik hati.
Rak buku itu ada dua buah, berisikan buku-buku dan
gulungan-gulungan gambar serta kaligrafi yang besarbesar
dan indah. Di situ terdapat juga alat musik yang
dinamakan kim, sejenis kecapi. Ya, segala sesuatunya
lengkap sebagai kamar seorang pelajar. Tanaman bunga
dalam pot menambah kesemarakan loteng itu. Law-si
kagum karena ia juga mengerti sedikit ilmu budaya.
“Ah, aku harus berhati-hati....” kata Nyonya Li Yu Seng
dalam hati.
Sementara itu Eng Tay telah muncul di ambang pintu,
karena ia telah mendengar suara Gim Sim tadi. Segera ia
menyambut tamunya sambil memberi hormat, pertanda
selamat datang.
Segera juga Law-si melihat seorang nona dengan rias
rambut Poan-liong-ki, gelung “Naga Melingkar” yang
berparas sangat ayu, hidungnya bangir, wajahnya
bagaikan selalu tersenyum. Kedua belah pipinya berlesung
pipit pula!
Tamu ini membalas hormat seraya tersenyum manis
dan berkata: “Telah lama aku mendengar bahwa Nona
berilmu budaya yang sangat tinggi, aku khawatir
selamanya aku tak akan dapat menemui Nona, siapa
nyana hari ini aku sangat beruntung, bisa bertemu muka!”
“Tetapi saya hanya belajar beberapa tahun saja,” kata
Eng Tay, “semua itu belum ada artinya. Silakan duduk!”
Tamu itu duduk, maka duduklah mereka berdua
berhadap-hadapan.
Teng-si lantas berkata pada putrinya: “Aku hendak
bicara dengan papamu, maka ku tinggalkan Nyonya Li di
sini, kau layani dia baik-baik, Nak.”
“Baik, Ma,” sahut putrinya.
Sang ibu lalu memohon diri dari tamunya, terus ia
mengundurkan diri.
Law-si masih melihat-lihat sekitarnya, ia tertarik
dengan rak buku. Maka ia bertanya: “Semua buku itu
pasti sudah Nona Besar baca. Sebenarnya, buku apa saja
di rak itu?”
“Nah, nah, rupanya kau hendak mengujiku!” kata Eng
Tay dalam hati. “Tapi, aku tak peduli! Aku hendak lihat
lagakmu...!” Maka ia lantas menjawab: “Itu buku-buku
sejarah karya pujangga Suma Cien dan beberapa buku
yang lain.”
“Seluruh buku ini adalah modal kaum cendekiawan,
harus dibaca,” kata si tamu. “Sayang sekali aku sekolah
tidak lama; mengenai sejarah, sedikit sekali yang ku
ketahui, maka buku-buku itu belum pernah ku baca habis
seluruhnya. Nona, bukumu begini banyak kau hebat
sekali. Karena itu, ku kira, mengenai pekerjaan wanita,
kau tak perlu turun tangan, bukan?”
Kata terakhir itu bersayap. Artinya, “Kau tentu tak
becus masuk dapur!” Eng Tay mengerti, maka ia berkata
dalam hati: “Kau mau main-main, ya?!” Terus saja ia
tersenyum dan berkata: “Pekerjaan wanita, jahit-menjahit,
sulam-menyulam, itu sudah kewajiban anak perempuan
dan kebanyakan telah saya lakukan walaupun sedikit
kasar. Tidak apa, bukan? Dalam hal ini, Papa dan Mama
tidak begitu mempersoalkan. Tapi inilah bukti bahwa
pekerjaan wanita, saya dapat melakukannya.”
“Oh, kalau begitu, pekerjaan di dapur pun termasuk di
dalamnya....”
Eng Tay kembali dapat menerka maksud kata-kata itu,
ia mengangkat wajahnya dan tertawa. Maka berkatalah ia:
“Bibi Li tentu punya anak perempuan, maka kalau nanti
Bibi pulang, tolong tanyakan saja padanya, pasti Bibi akan
memperoleh jawabannya....”
Law-si terdesak, namun ia tertawa. Ia tidak bertanya
lagi.
Gadis itu tidak mau terlalu menyudutkan tamunya,
maka ia tersenyum saja.
Law-si melihat kecapi, ia tertarik.
“Nona tentu suka bermain musik,” katanya. Ia
menunjuk ke arah kim.
“Ya, pada empat atau lima tahun yang lampau, pernah
saya pelajari,” jawab Eng Tay, “tetapi sekarang ini, saya
telah meninggalkannya.”
Law-si masih berpikir untuk menanyakan lagi sesuatu,
namun ketika melihat munculnya Kiok Ji, si abdi itu
segera berkata padanya: “Sekarang ini Nyonya Besar
sedang menantikan di ruang tamu, kalau pembicaraan di
sini sudah selesai, Nyonya Li dipersilakan menemuinya.”
Tamu itu belum sempat menjawab, Eng Tay sudah
mendahului bangkit berdiri, siap sedia mengantarkan
tamunya pergi.
Menyaksikan gerak-gerik gadis itu, Law-si mengerti,
maka ia berpamitan sambil berjanji bahwa lain waktu ia
akan datang lagi untuk “memohon pengajaran.”
“Memberi pelajaran, itu saya tidak sanggup,” kata Eng
Tay, tertawa. “Bolehlah bila saya mengundang Bibi untuk
datang berbincang-bincang.”
Law-si mengangguk, terus ia turun dari loteng dan
menuju ruang tamu. Begitu melihat sang nyonya rumah,
lantas saja ia memberikan pujian: “Sungguh hebat, gadis
luar biasa! Sayang anak-anakku semua sudah keluar
pintu, jika tidak, gadis yang demikian cantik dan pandai,
siapakah yang tidak menyukainya? Sungguh tepat bila dia
dipasangkan dengan Tuan Muda Ma! Nyonya tentu telah
bicara dengan Tuan Ciok. Apa katanya?”
“Naskah itu telah dibaca,” sahut nyonya rumah,
“katanya boleh juga. Hanya....”
“Memang, kalau dibandingkan dengan putrimu, tentu
beda,” kata si tamu. “Sekarang ini Tuan Muda Ma ada di
rumahku, dia ditemani oleh suamiku. Maka, andaikata
Nyonya mau menemuinya, silakan datang saja ke
rumahku.”
“Kalau bisa, itu lebih baik lagi,” kata Teng-si.
“Jika demikian, datanglah ke rumah! “ kata Law-si pula.
“Hendaknya Nyonya datang beserta Tuan agar bersamasama
dapat menemui Tuan Muda Ma!”
Teng-si puas dengan sikap tamunya itu, ia pun berjanji
bahwa lain hari ia akan berkunjung. Setelah itu, ia
mengundang sang tamu bersantap tengah hari. Selesai
perjamuan, pulanglah si tamu.
Benar saja, keesokan pagi Teng-si bersama Ciok Kong
Wan pergi berkunjung. Nyonya itu tampak senang sekali.
Di rumah, para pegawai lantas ramai membicarakan
kepergian kedua majikan mereka.
Gin Sim si pencari berita segera saja menemui
majikannya untuk menyampaikan kabar. Katanya: “Non,
Tuan Besar bersama Nyonya Besar telah pergi ke rumah
keluarga Li, katanya ada soal baru, yaitu ingin menemui
calon menantu laki-laki....”
Eng Tay yang biasa berada di loteng, ketika itu sedang
membaca buku. Mendengar berita si abdi, ia meletakkan
bukunya, terus ia berkata padanya: “Tentang hal itu aku
sudah tahu, tetapi ku anggap tiada artinya. Sejak
kedatangan Bibi Li kemarin, aku telah dapat menduga
maksudnya, hanya dia tidak berani bicara terus-terang
padaku. Mengenai kepergian Ayah dan Ibu, aku juga
maklum. Tetapi ini bukan soal yang dapat diselesaikan
dalam tempo dua-tiga hari, maka itu sebaiknya kita jangan
bingung tidak keruan. Hanya anehnya, tentang janji yang
ku berikan pada Tuan Muda Nio — harinya akan segera
tiba, mengapa dia masih belum muncul juga? Ini
membuatku prihatin.”
“Ya, seharusnya ia sudah sampai,” kata Gin Sim.
“Menurut perhitungan saya, setelah kita berangkat, lima
atau enam hari kemudian, ia pun seharusnya sudah
berangkat juga. Sekiranya dia memerlukan perjalanan
lima-enam hari dan di rumah tiga-empat hari, sekarang
seharusnyalah sudah tiba....”
Eng Tay duduk sambil bertopang dagu. Ia diam saja,
agaknya ia sedang termenung.
“Sudahlah, Non, tak usahlah terlalu dipikirkan,” kata
Gin Sim kemudian. “Saya hendak ke luar mencari berita.”
Eng Tay diam terus, ia membiarkan abdinya berlalu.
Ketika Gin Sim kembali, ia tidak membawa berita
penting. Ia tahu kedua majikannya sudah pulang, tetapi
tidak tahu hasil kepergian mereka ke rumah keluarga Li.
Yang jelas para pegawai lainnya menunjukkan wajah
gembira.
Ketika Eng Tay menerima laporan abdinya itu, ia
berkata: “Kalau Papa dan Mama tidak menjelaskan apaapa,
jelas ada sesuatu yang tidak wajar. Tetapi biarlah, tak
perlu dicari tahu.”
Gin Sim sebaliknya masih saja berpikir. Ia merasakan
adanya kejanggalan.
“Mengapa paras semua orang tampak girang?”
tanyanya, seakan-akan pada dirinya sendiri.
“Sudahlah, tak usah menduga-duga,” kata Eng Tay.
“Kalau benar ada berita penting, pastilah Papa memberitahu
aku.”
Mendengar suara majikannya itu, Gin Sim barulah
diam.
Di luar dugaan, setelah lewat lima hari, Ciok Kong Wan
memberitahukan bahwa dia sudah menerima baik lamaran
keluarga Ma, yaitu: Ciok Eng Tay dipertunangkan dengan
Ma Bun Cay, putra Ma Thay-siu dan bahwa emas kawin
akan segera diantar!
Maka, tak ada waktu lagi untuk menentang keputusan
itu....
13
Ayah Kontra Anak
SUATU hari di awal bulan, langit jernih sejak fajar. Tatkala
Ciok Kong Wan melihat matahari muncul dan angkasa di
ufuk timur mulai terang-benderang, ia memerintahkan
para pegawai di rumahnya untuk, berbenah,
membersihkan segala perabot rumah tangga.
Eng Tay mengetahui persiapan pembersihan di
rumahnya itu, ia mengira akan diadakan upacara, entah
upacara sembahyang apa. Ia tidak mengacuhkan hal itu
dalam pikirannya.
Tiba saatnya sarapan, Kiok Ji menerima perintah
majikan tuannya. Ciok Kong Wan berkata : “Beritahu Nona
Eng Tay bahwa Papa dan Mama sedang menantikannya. Ia
diharap lekas datang karena ada urusan penting yang
hendak dibicarakan dengannya.”
Kiok Ji menuruti perintah itu. Cepat ia pergi ke dalam,
ke halaman belakang. Di sana ia memperdengarkan
suaranya: “Apakah Nona sudah bangun tidur? Non, Tuan
Besar dan Nyonya Besar sedang menanti di ruang dalam!”
Sesudah berkata demikian, abdi ini terus masuk ke
kamar majikannya.
Ketika itu Eng Tay sedang duduk di sisi jendela,
matanya memandang jauh ke luar. Kala itu, hujan turun
rintik-rintik. Ia sedang termenung. Suara Kiok Ji
membuatnya tersadar dari lamunannya, sehingga ia juga
menegaskan: “Apa? Papa memanggilku?”
“Benar, Non.”
“Apakah ada upacara sembahyang? Apakah aku harus
tukar pakaian?” tanya gadis itu. Ia merasa heran.
“Entahlah, Non,” ujar Kiok Ji menjelaskan. “Tidak ada
upacara apa-apa. Tuan Besar hanya mengatakan bahwa
Nona sedang ditunggu.”
“Baiklah!” kata gadis itu, yang terus berpikir: “Masa
bodoh ada urusan apa pun, aku keluar begini saja, tak
usah tukar pakaian!” Dan ia terus berjalan, mengikuti si
abdi.
Ruang tengah tampak bersih dan rapi, meja abu leluhur
dilengkapi buah-buahan untuk sembahyang. Di kiri-kanan
terdapat meja panjang, meja itu kosong, tanpa isi. Di kiri
dan kanannya kursi-kursi tampak teratur. Tuan dan
nyonya rumah sedang duduk bersebelahan.
“Papa, Mama!” kata Eng Tay segera memanggil.
Ciok Kong Wan memandang putrinya.
“Selamat, Anakku!” katanya. “Selamat!”
Putrinya heran.
“Bukankah hari ini adalah hari sembahyang leluhur?”
tanyanya. “Ada selamatan apakah?” Kong Wan mengusap
janggutnya.
“Sembahyang ini ada hubungannya dengan selamatan
untukmu, Nak,” jawabnya. “Inilah soalnya, akan ku
beritahukan padamu.”
Eng Tay diam, ia mengawasi papanya sambil memasang
telinga.
Ciok Kong Wan tanpa ayal lagi lantas memberikan
keterangannya.
“Beberapa hari yang lalu,” demikian ia mulai, “Tiang-su
Li Yu Seng bersama Ci-su Tian Leng Bow telah datang ke
rumah kita. Mereka ternyata sama-sama menjadi
perantara Ma Thay-siu untuk mengajukan lamaran bagi
anak sulungnya yang bernama Ma Bun Cay. Papa lihat
kedua keluarga itu sederajat, Papa setuju sekali. Tetapi
Papa belum pernah melihat Tuan Muda Ma itu, maka Papa
janjikan, setelah berkesempatan melihatnya, barulah
keputusan akan diambil.”
“Lewat beberapa hari. Nyonya Li Yu Seng telah datang
berkunjung ke rumah kita ini,” sambung sang ayah,
setelah berhenti sejenak. “Ia memberitahukan bahwa Tuan
Muda Ma sudah berada di rumahnya dan karenanya setiap
saat kita bisa datang melihat dan menemuinya. Nyonya Li
juga membawa karya tulis pemuda itu. Setelah
membacanya, Papa anggap karyanya bagus. Maka Papa
menyatakan pada Nyonya Li bahwa Papa akan datang
menengok Tuan Muda Ma.”
Kembali ayahnya berhenti bicara sejenak, tetapi segera
ia meneruskan keterangannya,
“Kami melihat pemuda itu,” ujar ayahnya, melanjutkan.
“Menurut Papa, pemuda itu berparas cakap dan
dandanannya rapi. Buat seorang anak lelaki, asal dia rajin
belajar, sudah cukup, kelak dia dapat membangun diri.
Lainnya adalah soal nanti. Demikianlah, Papa telah
menerima baik lamaran keluarga Ma itu. Hari ini pihak
sana akan menyampaikan emas kawin, maka dari itu
sekarang Papa menyiapkan sembahyang bagi leluhur kita
untuk merestui pernikahan ini. Eng Tay, kau telah menjadi
anggota, keluarga Ma. Keluarga Ma itu berpangkat Thaysiu,
itu sudah cukup....”
Eng Tay berdiri di sisi ayahnya. Mendengar keterangan
ayahnya itu, ia terkesima. Ia berdiri terpaku, tubuhnya
seakan-akan tertikam beberapa golok tajam. Wajahnya,
dari merah menjadi pucat pasi. Walaupun demikian, ia
berhati keras dan kuat. Maka juga, sebelum ayahnya
selesai bicara, ia memotong.
“Pa, ini adalah urusan hidupku seumur hidup, mengapa
Papa tidak terlebih dulu memberitahu aku? Ma, Mama
juga tahu tabiatku, mengapa Mama juga mendustaiku?”
Gadis yang biasa berbakti dan lemah-lembut itu,
mendadak berubah tingkahnya, ia berani bicara
sedemikian rupa pada ayah dan ibunya.
Teng-si tercengang mengawasi putrinya. Akan tetapi ia
masih bisa membatasi diri. Katanya sabar: “Sebenarnya
Mama mau memberitahukan kau, Nak, juga di saat
sepulangnya Mama dan papa dari rumah keluarga Li.
Namun ketika Law-si datang dan bicara denganmu, dia
memujimu sebagai seorang anak yang baik. Katanya pula,
meskipun Tuan Muda Ma masih sekolah sekarang, dalam
hal kepandaian dia mungkin tidak sama denganmu. Malah
dia menerangkan juga tentang kau, Anakku, mungkin kau
tidak sudi atau tidak suka. Ia mengatakan agar lamaran
diterima dulu, barulah kau diberitahu. Dengan demikian,
tidak akan terjadi penolakan. Mama setuju walau mulanya
ragu-ragu. Lagi pula, kalau keluarga Ma ini kita tolak, di
mana ada keluarga Ma yang kedua seperti ini. Karena
hanya soal beberapa hari, terpaksalah kami
membohongimu. Keluarga Ma itu kaya-raya, hartawan
pertama di kota ini. Kau tahu, calon mertuamu itu
berpangkat Thay-siu, pangkatnya jauh lebih tinggi dari
pangkat dulu. Maka itu Mama pikir, kau tentu setuju....”
Eng Tay menjadi sangat bingung, terutama tak tahu
alasan apa yang bisa ia ajukan untuk menyatakan
penolakannya. Ia tak dapat membuka rahasia hatinya.
Hingga akhirnya, ia berkata: “Urusan jodoh ini, aku tidak
setuju — seribu kali tidak setuju, selaksa kali tidak
setuju!”
Setelah berkata demikian, Eng Tay berdiri tegak, kedua
tangannya dan sepuluh jarinya terlipat menjadi satu, dan
diletakkan di depan dadanya. Ia mengawasi ayahbundanya.
Wajahnya Ciok Kong Wan, ayahnya, mendadak berubah
menjadi merah.
“Kau kira ini urusan apa sehingga kau tidak setuju?”
katanya. “Kenapa mesti menyebut-nyebut seribu dan
selaksa kali tidak setuju? Bukankah cukup dengan
mengatakan saja, satu kali tidak setuju? Mari Papa tanya
kau: Apakah pangkat thay-siu itu kecil? Kekayaan keluarga
Ma, di sekitar sini, adalah yang paling tersohor, apakah itu
masih kurang juga? Mengenali Tuan Muda Ma, dia
sekarang memang sedang sekolah. Siapa tahu kalau
kemudian hari dia juga akan berpangkat, pangkat yang
lebih tinggi dari ini? Apakah kau tidak memikirkan hari
kemudianmu — hari keberuntunganmu?”
Gadis itu tertawa terbahak-bahak tatkala mendengar
papanya berulang kali menyebut-nyebut keluarga Ma
sebagai keluarga hartawan besar dan berpangkat tinggi.
Tanpa terasa ia tertawa.
Ciok Kong Wan heran. Dia menatap putrinya itu.
“Kenapa kau tertawa?” tanyanya. “Kau tertawakan
siapa? Apakah kau kira bohong?”
“Aku tidak mengatakan Papa dan Mama mendustaiku,”
kata gadis itu kemudian. “Papa dan Mama memang sangat
menyayangiku, akan tetapi sekarang ternyata, itu
berlebihan. Pa, Ma, aku hendak bertanya: Papa dan Mama
masih menyayangi aku atau tidak?”
Teng-si, yang sedari tadi diam saja, mengangguk.
“Sayang tidak sayang, untuk apa kau tanyakan lagi?”
katanya. “Papa dan mama ini tidak punya anak lain lagi!
Papa dan Mama, seumur hidup hanya punya kau seorang,
dan untukmu....”
Kong Wan, sang ayah, turut berkata. “Ketika tiga tahun
yang lalu Papa izinkan kamu menyamar sebagai lelaki
sekolah ke Hang-ciu, itu karena Papa menyayangimu! Papa
sudah tua, kau berada jauh di lain kota, Papa senantiasa
memikirkan kesehatanmu, sampai-sampai duduk dan
tidur pun tidak tenang. Kau sekarang sudah ada di rumah,
betapa girangnya Papa dan mama !”
“Baiklah, Pa,” kata gadis itu. “Sekarang aku ingin bicara
terus-terang. Dulu dalam perjalanan ke Hang-ciu, di
tengah jalan aku bertemu dengan Nio San Pek, pemuda
yang usianya lebih tua setahun dari aku. Dia terpelajar
dan sopan-santun. Dia tahu aku adalah seorang gadis
tetapi dia sedikit pun dia tidak berniat jahat, malahan
kami berdua sudah mengangkat sumpah menjadi saudara
angkat. Selama tiga tahun, setelah mempelajari dirinya
aku mengetahui sifatnya. Selama belajar, dia sangat
banyak membantuku. Ketika aku pulang, dia mengantarku
sampai sejauh delapan belas li. Tatkala kami berpisah,
kuberikan dia teka-teki, namun dia tak dapat menebaknya.
Karena itu, aku percaya bahwa dia adalah orang jujur.
Kemudian padanya ku beritahukan, bahwa aku
mempunyai seorang saudara perempuan bernama Kiu
Moy, yang belum menikah. Aku ingin dia menikah dengan
adik itu. Ku katakan bahwa Kiu Moy, segala-galanya, sama
denganku. Nio San Pek percaya perkataanku, dia girang
sekali. Pada istri guru Ho-si, aku telah membuka rahasia
dan padanya ku titipkan kupu-kupu kemala sebagai tanda
mata dan sekalian minta ia menjadi perantara. Ia sangat
setuju dan bersedia membantuku. Demikianlah duduk
persoalannya. Ku kira, tidak lama lagi, Nio San Pek akan
datang ke mari. Sekarang, Papa dan Mama, aku mohon
pertimbangan....”
Gadis itu bercerita panjang-lebar, ayah dan ibunya
mendengarkan saja. Setelah putrinya itu selesai bicara,
sang ayah berjingkrak.
“Kau gila!” teriaknya. “Tiga tahun kau sekolah, kau
perempuan tetapi kau tak tahu bahwa dirimu perempuan,
sungguh kau sangat jujur! Dan, di saat berpisahan,
seorang perempuan menyerahkan adiknya! Benar-benar
gila!
“Tidak, Pa, aku tidak gila!” kata Eng Tay.
“Lalu, bagaimana dengan Kiu Moy?”
“Kiu Moy adalah Eng Tay.”
“Karena perbuatanmu ini, bagaimana sekarang dengan
Papa dan mama?” tanya ayahnya.
Saking gusarnya, tubuh orangtua ini gemetar. Ia
berpegangan pada jendela.
“Bukankah sekarang aku telah minta izin Papa dan
Mama?” kata putrinya.
“Kamu meminta izin Papa dan mama? Bagus!” kata
ayahnya. “Bagus, tapi aku tidak mengizinkan kamu
menikah dengan Nio San Pek! Satu kali tidak mengizinkan,
seribu kali juga tidak!”
Beda dari biasanya, sebagai anak Eng Tay sangat
penurut. Akan tetapi kali ini, sifatnya berubah garang
sekali. Tampak dia tidak takut sama sekali. Ia hendak
bicara, tetapi ibunya segera maju mencegah.
Teng-si melihat gelagat tidak baik, sambil memegangi
tangan putrinya, ia berkata: “Nak, kau tahu aturan atau
tidak? Kau sedang bicara dengan papamu! Mengapa
sikapmu begini keras?”
“Aku tidak bersikap keras, Ma,” kata putrinya. “Papa
bertanya, aku menjawab. Apa salahnya? Memangnya tidak
boleh?”
“Bukan itu masalahnya,” kata ibunya. “Mama mau
tanya kau. Sekarang tentang lamaran keluarga Ma!
Bagaimana kita harus menjawabnya? Emas kawin akan
segera tiba, bagaimana kita menyambutnya? Nak, kau
jangan bersikeras tidak keruan....”
Eng Tay melepaskan diri dari pelukan ibunya.
“Itu bukan masalah!” katanya dengan keras. “Suruh
orang mencegat di tengah jalan, katakan bahwa keluarga
Ciok tidak dapat menerimanya, suruh dia bawa pulang.”
“Kau dengar!” teriak Kong Wan. Tangannya pun
menuding anak gadisnya. Ia menambahkan: “Kaudengar,
apa kata anak ini! Dia sudah gila!”
“Aku tidak gila Pa, sedikit pun tidak!” kata Eng Tay. “Ya,
emas kawin itu harus ditolak, dikirim pulang!”
“Ah, apa maksud perkataan anak ini?” kata Kong Wan
bingung. Ia terus menjatuhkan diri, duduk di kursinya.
“Sudahlah, kau kembali dulu ke kamarmu,” kata Tengsi.
“Di sini....”
Ia menolak tubuh putrinya, disuruhnya gadis itu
mengundurkan diri.
Gadis itu tidak mempedulikan ibunya, malah ia berkata:
“Di sini ada banyak orang, biar kita bicara supaya semua
pun tahu! Ini lebih baik lagi! Aku justru ingin supaya
semua orang mendengar dengan jelas!”
Tubuh Kong Wan bergetar, tangannya menunjuk ke
atas, ke langit.
“Tidak! Tidak!” serunya. Tetapi, ia tidak
melanjutkannya.
Ketika itu langit mendung, hujan pun, turun, angin
menyusul.
Teng-si menggapai.
“Kalian ke mari” katanya, “kalian ajak Nonamu ke
kamar. Kalau ada yang mau dibicarakan, kita bicarakan
lain kali saja....”
Kata-kata majikan itu ditaati, maka para abdinya lantas
membujuk Eng Tay.
Melihat kepergian ibunya, Eng Tay berkata seorang diri:
“Aku pun tidak mau bertengkar dengan Mama dan Papa,
maka aku tidak sudi mengadu mulut lebih lama lagi! Tapi
aku telah mengambil keputusan: Aku lebih baik mati, aku
tak mau menjadi anggota keluarga Ma...!”
Selesai berkata demikian, gadis ini lantas berjalan
seorang diri kembali ke kamarnya.
Gin Sim sudah menanti di bawah tangga, ia menyambut
nona majikannya itu dan terus menaiki tangga, masuk
kamar.
“Sayang sekali tidak dari awal kita memperoleh kabar.”
kata Eng Tay pada abdinya, “sekarang, walaupun,
menolak, sudah terlambat....”
Sewaktu berkata demikian, gadis ini berdiri bersandar
pada pembaringannya, matanya memandang kosong
mengawasi lantai.
“Sudah terlambat, Non, lalu Nona hendak berbuat apa?”
tanya Gin Sim.
“Bukankah telah ku katakan,” katanya sengit,
“walaupun harus mati, aku bukan anggota keluarga Ma!
Putusanku sudah pasti, itu tak akan berubah!”
“Kalau demikian, Nona sebaiknya bersabar dulu,” kata
Gin Sim. “Kita tunggu dua hari ini, sampai tibanya Tuan
Nio. Pada saat itu, barulah kita pikirkan lagi.”
Eng Tay menghela napas.
“Andaikata pun Tuan Muda Nio datang hari ini, sudah
terlambat katanya.
“Tetapi, Non, sebaiknya kita bersabar,” kata Gin Sim
lagi. “Kita tunggu saja tibanya Tuan Nio. Sekarang, aku
hendak mencari berita.”
“Sudahlah, tak usah!” kata Eng Tay. “Kita pasrah saja!”
Mengetahui sikap nona majikannya, Gin Sim diam. Ia
mengundurkan diri.
Di luar dan di depan rumah suasana ramai, tetapi Eng
Tay menganggap seperti tidak ada apa-apa. Ia terus
mengunci diri di dalam kamarnya.
Hari itu hujan turun, sebentar deras, sebentar
berkurang. Di latar, di halaman, terdengar bunyi daundaun
bambu dan cemara yang dipermainkan sang bayu.
Tuan rumah, Ciok Kong Wan, sudah selesai mengatur
rumahnya. Tetapi selanjutnya, satu hari itu ia tak melihat
putrinya. Bagaimanapun juga, ia menjadi gelisah. Akhirnya
ia perintahkan untuk memanggil Gin Sim.
Abdi Eng Tay itu segera muncul.
“Apakah Nonamu baik-baik saja?” tanya si tuan rumah
pada abdinya.
Gin Sim melihat majikan tua itu duduk di kursi batu
dengan wajah muram.
“Agaknya Nona kurang enak badan,” sahut abdi ini.
“Nona terus tidur dengan menutup pintu kamarya.”
Kong Wan diam, beberapa lama kemudian barulah ia
mengangguk. Kemudian ia melambaikan tangannya. Gin
Sim mengerti, ia mengundurkan diri. Majikan itu diam
terus, tetapi otaknya bekerja.
Malam itu Eng Tay tidak bersantap, tidak juga esok
paginya. Kong Wan mengetahui hal itu, tetapi ia tidak
berkata apa-apa. Tidak demikian dengan Teng-si, si ibu
kandung. Sang ibu segera pergi melihat putrinya.
Eng Tay sedang duduk di bangku, sebelah tangannya
ditegakkan di atas meja, sedang bertopang dagu. Di atas
meja ada sejilid buku tetapi buku itu tidak disentuhnya. Ia
duduk, tak bergeming walau Teng-si, ibunya, telah
melangkah di ambang pintu dan dia berdiri mengawasi
putrinya.
“Eng Tay,” akhirnya ibunya berkata, “apakah kau sakit?
Mama berdiri sekian lama, kau masih tidak tahu...!”
Mendengar suara ibunya, Eng Tay menoleh.
“Oh, Mama!” katanya.,”Silahkan duduk!”
“Sudah dua kali kau tidak makan, tidak seharusnya
begitu,” kata ibunya, yang sangat menyayangi putrinya.
“Waktu makan, makanlah, kalau ada yang ingin
dibicarakan, bicaralah. Itu baru caranya gadis remaja.”
Gadis itu berdiri di tepi meja, ia tersenyum.
“Ya, ada nasi, makan; ada kata-kata, bicara,” katanya.
“Itu memang paling benar! Akan tetapi, ada nasi tak
dapat dimakan, ada kata-kata tak dapat diucapkan, itu
juga caranya gadis yang dewasa....”
“Kau bilang kau punya kata-kata tetapi tidak dapat
diucapkan?” kata ibunya. “Itu tidaklah tepat. Suaramu
nyaring, di dalam dan di luar, semua orang
mendengarnya....”
“Seandainya semua orang mendengar, apalah artinya
bagiku?” tanya putrinya.
“Ini.... ah, sudahlah!” kata ibunya yang tampak
kewalahan. “Nak, kau harus bisa menenangkan hatimu.
Kau harus makan walaupun sedikit. Kemudian....”
“Kemudian?” tanya putrinya. Ia mendesak.
“Sudahlah!” kata Teng-si tertawa. “Apa yang bisa
menyenangkan hati, hayo, mari kita bicarakan!”
“Dua kali Mama menyebutkan, kita tak perlu bicarakan
masalah,” kata Eng Tay. “Memang benar, kecuali masalah
itu tidak ada lagi yang patut dibicarakan. Sebenarnya
mudah saja untuk menenangkan kegelisahanku. Aku
jangan dipandang sebagai orang hukuman! Hanya dengan
demikian barulah hatiku tenang. Ma, kita sudah cukup
bicara, silakan Mama keluar dari kamarku ini.”
Teng-si terperanjat.
“Oh, Anakku,” katanya, hatinya tersentak, “jadi kau
tidak menginginkan lagi Papa dan Mama?”
“Aku tidak bermaksud demikian,” kata Eng Tay. “Aku
hanya mohon agar Mama sudi keluar dari kamarku ini....”
Teng-si berdiri, agaknya dia hendak berjalan pergi,
tetapi tiba-tiba ia tidak bergerak. Ia menghadap ke
putrinya dan terus bertanya: “Nak, Mama ingin
menjelaskan. Ketika kemarin ini Nyonya Li datang
membawa naskah, telah melihat naskah itu dan katanya,
karya itu bagus. Naskah itu telah diberikan kepada Mama
untuk diteruskan kepadamu, supaya kau periksa dan
kemudian utarakan pendapatmu. Saat itu Mama lihat kau
agaknya kurang setuju, maka Mama belum serahkan
padamu. Naskah itu masih ada padaku, Mama tak berani
serahkan padamu.”
“Apa yang ku katakan, demikianlah adanya,” kata Eng
Tay. “Aku bukan sanak atau kenalan pihak Ma, bukan
juga sahabat sejati, maka dari itu, buat apa aku membaca
tulisan orang?”
Teng-si mengawasi putrinya, ia mengerti gadis itu masih
saja mendongkol. Ia menghela napas. Tak kurang
herannya si ibu, anak gadisnya yang lemah-lembut, yang
biasanya penurut, sekarang menjadi demikian keras
sikapnya.
Akhirnya Teng-si berkata: “Baiklah! Kau tahu, Mama
pernah memberitahukan bahwa kau, Anakku, bersifat
seperti lelaki, dan menasehatkan agar dalam urusan
pernikahanmu nanti, agar berhati-hati. Sejak kau kembali
dari Hang-ciu, gerak-gerikmu berubah mirip laki-laki.
Karenanya, dalam urusan jodohmu, Mama menjadi lebih
prihatin. Sekarang muncul lamaran keluarga Ma. Mama
melihat keluarga itu keluarga berpangkat, lagi pula kayaraya,
maka Mama pikir, keluarga semacam itu pantas
menjalin hubungan keluarga dengan kita. Tuan Muda Ma
juga tidak bercela. Siapa sangka selama kau di Hang-ciu,
kau telah berkenalan dengan Nio San Pek, bahkan dengan
caramu sendiri kau telah jodohkan dia dengan Kiu Moy.
Ah, sungguh sulit....”
Gin Sim berada di tepi jendela mendengar suara
majikan tuanya itu, ia ikut bicara. Katanya: “Keluarga Ma
itu datang belakangan, bukankah mudah untuk
membatalkan urusan lamarannya?”
“Hei, kau mengerti apa?” tegur sang majikan. “Lamaran
keluarga Ma itu sudah tidak bisa dibatalkan lagi!”
Eng Tay mendengarkan kata-kata ibunya, juga
dampratan si ibu pada Gin Sim. Ia tidak menanggapi,
tetapi ia berkata pada ibunya: “Ma, silakan Mama kembali.
Tak usah Mama bicarakan lagi urusan ini!”
Teng-si kembali memandang putrinya, sukar rasanya
untuk bicara lagi, maka ia kembali menghela napas
panjang, lantas berjalan pergi, terus ke depan. Tetapi di
ruang tengah ia berhenti.
“Gin Sim!” ujarnya memanggil.
Sang abdi segera muncul.
“Ya, Nyonya Besar, ada apa?” tanyanya.
“Nonamu sedang dongkol, kau layani dia baik-baik,”
kata Teng-si. “Apa yang Nonamu kehendaki, segera
kausediakan. Sebentar tengah hari, sewaktu makan siang,
kau sediakan segala hal yang diinginkannya, apa pun
juga.”
Gin Sim mengangguk.
“Baik, Nyonya.” katanya.
Teng-si lantas berjalan terus, perlahan-lahan.
Hari itu cuacanya terang sekali. Matahari bertengger di
tengah-tengah langit. Daun-daun pohon bambu dan
cemara, semua terbayang di permukaan bumi. Di bawah
pepohonan, nyaman rasanya.
Seorang diri Eng Tay berjalan perlahan-lahan di bawah
keteduhan pepohonan itu. Hanya pohon-pohon bambu
halus yang selalu menghadangnya. Di belakangnya,
tampak Gin Sim mengikuti dari belakang.
Menghadapi abdinya itu, gadis itu berkata: “Pohonpohon
bambu ini berdiri tegak lurus. Walau kau telah
menebangnya, mereka tetap saja lurus. Karenanya aku
sangat menyukai pohon bambu. Demikian pula manusia:
Manusia harus lurus seperti pohon bambu, dengan
demikian, manusia pun tidak akan menjadi keropos! Kau
mengerti atau tidak?”
Gin Sim menjawab: “Setelah Nona mengucapkannya
sekarang, aku baru maklum.”
“Orang yang bermarga Ma itu tidak bersalah padaku,”
kata Eng Tay lagi kemudian. “Dia boleh turunan
bangsawan dia boleh berpangkat besar, dia boleh berharta!
Tetapi aku, aku tidak menghiraukan itu semua! Kalau kini
keluargaku menjadi kacau-balau itu hanya disebabkan
ulahku sendiri! Ya, akulah penyebabnya! Ingat Gin Sim,
mulai hari ini ku larang kamu menyebut-nyebut nama
keluarga Ma. Walau sepatah kata pun! Itu pertanda bahwa
aku tidak jodoh dengan mereka!”
Gin Sim memaklumi amarah majikannya itu.
“Baik Non!” sahutnya sambil mengangguk.
Sejak hari itu, Eng Tay menutup pintu halaman
belakang rumahnya. Ia tetap berada di belakang. Setiap
hari ia hanya berkawan dengan pohon-pohon cemara dan
bambunya itu.
Dengan demikian, lambat-laun ia merasa agak
tenang....
14
Pertemuan di Loteng
TERIKNYA matahari siang di awal musim panas itu sangat
menyengat para musafir. Justru saat itulah, setelah
menempuh perjalanan yang cukup jauh, Nio San Pek dan
Su Kiu tiba di dusun Ciok, kampung halaman keluarga
Ciok.
Dari jauh sudah tampak rumpun pohon bambu yang
seakan-akan mengurung sebuah rumah besar berloteng
tinggi. Segera majikan dan abdinya itu tiba di depan rumah
dan San Pek menyuruh Su Kiu mengetuk pintu.
“Mencari siapa?” tanya seorang tua, yang muncul di
ambang pintu.
“Kami dari Hwe-ke, hendak menemui Tuan Besar Ciok
Kong Wan,” ujar Su Kiu memberitahu.
“Kalian datang tak pada waktunya,” kata orang tua itu,
“Tuan Besar kami sedang bepergian sejak kemarin.”
San Pek menghampiri orang tua itu.
“Kalau Tuan Muda Ciok Eng Tay ada di rumah, aku
ingin bertemu dengannya,” katanya.
Mendengar itu, si orang tua tercengang.
“Di sini tidak ada Tuan Muda Ciok,” katanya heran.
“Itu.... Tuan Muda yang dulu sekolah di Hang-ciu,” ujar
San Pek menjelaskan. Ia pun heran dan, tidak menyadari
kekeliruannya. “Aku Nio San Pek, dulu selama tiga tahun
sekolah bersama Tuan Muda. Tak mungkin dia tak ada di
sini....”
Orang tua itu tertegun, dia menatap si anak muda di
hadapannya.
“Oh, Tuan Nio?” katanya kemudian. “Nyonya Besar ada
di dalam, tunggu sebentar-saya memberitahukannya.”
“Kalau Nyonya Ciok ada di rumah, kebetulan, aku pun
hendak menjumpainya,” kata San Pek. Ia ingat, si nyonya
besar yang dimaksud adalah ibu Eng Tay.
Si orang tua mencari majikannya yang sedang berada di
taman. Ia memberitahu kedatangan tamu bermarga Nio
yang ingin menjumpai tuan besar, nona Eng Tay, dan juga
sang nyonya.
Teng-si terperanjat.
“Nio San Pek datang?” tanyanya menegaskan. “Apakah
dia seorang diri?”
“Ia datang bersama seorang abdinya.” Nyonya rumah
berpikir sejenak.
“Dia datang dari tempat yang jauh, sudah seharusnya
diterima,” katanya kemudian. “Kau ajak dia ke ruang
tamu.”
Pegawai tua itu menurut, tetapi lebih dulu ia pergi ke
kamar nona majikannya. Di dalam hati ia berkata. “Nona
sangat baik padaku, teman sekolahnya datang, mau tidak
mau aku mesti memberitahukannya....”
Demikianlah, sampai di Loteng Hati Bertemu, ia
memanggil: “Gin Sim!”
“Siapa ya? Ada berita apa?” tanya Gin Sim, yang muncul
di jendela.
“Ada kabar penting!”
“Kabar penting apa?”
“Ada tamu berpakaian biru datang, ia bermarga Nio.”
“Oh, dia datang..!” seru Gin Sim tertahan. “Tunggu...!” Abdi
ini pun berlari turun.
“Dia menyebut dirinya Nio San Pek?” tanyanya setelah
menghampiri si pegawai tua.
“Benar, karena Tuan Besar tidak ada di rumah, ia minta
bertemu dengan Nyonya Besar. Nyonya Besar mengizinkan
dia masuk.”
Gin Sim mengangguk pada pegawai tua itu.
“Terima kasih, Paman!”
“Lekas beritahu Nona! Dan ada kacungnya, dia itu mau
bertemu dengan kau, Gin Sim!” Gin Sim tertawa.
“Baiklah, aku hendak menyambut tamu dulu....” dan si
abdi tua berlari ke luar, sedangkan Gin Sim masuk.
“Bagus! Bagus!” katanya sambil berjalan cepat.
Ketika itu Eng Tay sedang hendak naik ke lotengnya.
Mendengar suara Gin Sim, ia berhenti, bahkan langsung
bertanya: “Ada apa, bagus-bagus?”
Sang abdi berdiri di depan nonanya, dia tertawa.
“Tadi penjaga pintu mengabarkan, Tuan Nio datang,”
jawabnya. “Dia sekarang sedang mengundangnya masuk.”
Eng Tay diam, ia menunduk.
“Non, bagaimana sekarang?” tanya Gin Sim. Ia tak
bergurau lagi.
“Jangan-jangan Mama melarangku menemuinya.
Aku....”
“Ya, habis bagaimana?” desak Gin Sim.
“Baiklah, mari kita ke ruang tamu. Biar ibuku tahu
bahwa aku sudah tahu. Mama mau mempertemukan kami
atau tidak, masa bodoh, aku tetap akan menemuinya
juga!”
Gin Sim mengangguk. Maka mereka pergi berdua ke
ruang tamu.
Ketika itu San Pek sudah berada di ruang tamu, Su Kiu
mengikutinya.
“Bibi, terimalah hormat dari keponakan Bibi!” kata San
Pek selekasnya begitu ia melihat seorang nyonya sedang
menantikannya. Ia memberi hormat karena percaya bahwa
nyonya itu pasti ibu Eng Tay.
Teng-si menyambut.
“Tak perlu menjalankan adat penghormatan,” katanya.
“Setelah melakukan perjalanan jauh, tentunya kau lelah.”
San Pek tetap memberi hormat dengan menjura sebanyak
empat kali, lalu disuruhnya Su Kiu memberi hormat juga.
Ia tidak berani duduk walau nyonya rumah telah
mempersilakannya. Lantas ia bertanya, mengapa tuan
rumah, tidak ada di rumah.
“Ia sedang menemui sahabatnya,” ujar Teng-si
menerangkan. “Mungkin dua hari lagi, baru pulang.”
San Pek menoleh ke sekitarnya.
“Adik Eng Tay tentu ada di rumah,” katanya, “saya
mohon bertemu dengannya.”
Teng-si mengawasi anak muda di depannya itu, baru
saja ia mau menjawab “Eng Tay tak ada di rumah,”
muncullah Gin Sim. Ia terperanjat. Bahkan segera pelayan
gadisnya itu menghampiri si anak muda tamunya itu, dan
menyapa: “Tuan Nio, apa kabar?”
San Pek menoleh, ia terkejut. Ia melihat seorang
pelayan muda berkundai sepasang bajunya hijau,
wajahnya lonjong. Abdi Eng Tay kiranya telah berganti
wajah!
“Gin Sim!” seru San Pek kemudian yang telah mengenali
gadis remaja itu.
Su Kiu berdiri di sisi majikannya, ia pun heran sekali,
hingga ia melotot mengawasi sahabatnya itu.
“Kakak Su Kiu, kau baik-baik saja?” tanya Gin Sim
mendahului menegur sambil tertawa manis. Dia tak malumalu
lagi walau sekarang ia telah menjadi seorang
perempuan....
“Ah, kau adik Gin Sim?” kata Su Kiu sambil tetap
menatap.
Gin Sim mengangguk, ia tersenyum.
Menyaksikan pemandangan di hadapannya itu, untuk
sementara Teng-si tercengang, tetapi kemudian ia berkata:
“Eng Tay adalah putriku, pasti Keponakan sudah tahu.
Tiga tahun kalian sekolah bersama, tentu sekali kalian
mau bertemu muka. Gin Sim, mana Nonamu?”
Nyonya ini terpaksa harus mengubah niatnya, ia tak
dapat berdusta.
Belum sempat Gin Sim menjawab nyonya majikannya
itu, dari balik sekesel, muncullah Eng Tay sebagai seorang
gadis nan ayu, bukan lagi seorang pemuda tampan. Ia
memakai baju merah hingga kecantikannya bertambah. Ia
berkundai ‘Naga Melingkar’ tetapi bedaknya tipis, sedang
alisnya lancip dan menantang. Ia lantas menghampiri San
Pek dan memberi hormat sambil menjura dalam, ia pun
tak canggung-canggung lagi.
“Kakak Nio, apa kabar?” sapanya, suaranya merdu. Si
anak muda repot membalas hormat.
“Kau Eng Tay?” tanyanya. “Wah!”
“Benar,” sahut gadis itu. “Panggil saja aku Sio-moy....” 26
“Hian-moy, 27 kakakmu baik-baik, saja,” jawab San Pek.
“Kau pun baik-baik saja?”
“Aku, ya, baik,” jawab gadis itu tetapi ia lantas
merunduk.
“Su Kiu, ke sini!” kata San Pek pada abdinya. “Ini Ji siocia
dari keluarga Ciok, ayo kau beri hormat kepadanya!”
Ji sio-cia ialah ‘Nona yang kedua’.
Abdi itu segera menghampiri ia memberi hormat seraya
menyapa: “Ji siang-kong!”
Eng Tay tertawa.
“Ya, sapaan ji siang-kong pun baik!” katanya menggoda.
San Pek turut tertawa.
Su Kiu kembali ke sisi majikannya, ia jengah sendiri.
Teng-si puas melihat tamunya itu: muda dan tampan
serta tahu sopan-santun. Dia pun terpelajar seperti anak
gadisnya sendiri. Kata-kata si anak muda juga halus. Coba
tidak ada Tuan Muda Ma, pasti pilihannya jatuh pada
pemuda ini. Ia juga memperhatikan suasana di
hadapannya, ia merasa bahwa ia harus tahu diri maka
terpaksa ia berkata: “Keponakan Nio, saya masih punya
urusan, maaf saya tak dapat menemanimu lama-lama. Eng
Tay, baik-baik saja kau layani Kakak Niomu....” “Bibi,
silakan!” kata San Pek.
Teng-si mengangguk, terus ia berjalan, tetapi sambil
berkata: “Eng Tay, ke mari, Mama ingin bicara denganmu!”
Eng Tay mengawasi ibunya, lantas ia mengikuti.
Dimintanya San Pek untuk menanti sebentar.
Terpisah agak jauh dari ruang tamu itu, Teng-si lantas
berkata pada putrinya. “Sebenarnya Mama hendak
beritahukan bahwa kau sedang tak ada di rumah, tak
disangka Gin Sim tiba-tiba muncul. Karenanya Mama
26 Sio-moy berarti perempuan.
27 Hian-moy aninya “adik perempuan yang bijaksana”.
duga, kau tentu sudah mengetahui tentang kedatangan
San Pek ini, hingga Mama tak dapat membohonginya.
Terpaksa Mama mempertemukan dia denganmu. Sayang
ayahmu tidak ada di rumah. Jika beliau berada di rumah,
beliau girang sekali karena kalian berdua telah bertemu
setelah berpisah sekian lama. Sekarang layani dia baikbaik,
Mama akan menyuruh agar disediakan hidangan
untuk kalian berdua.”
“Dulu kami adalah dua saudara angkat,” kata Eng Tay,
“tetapi sekarang kami adalah kakak dan adik perempuan,
walau dari lain keluarga. Bukankah aku boleh bicara lama
dengannya?”
“Boleh-boleh saja, tetapi kau harus ingat bahwa
sekarang ini kau adalah anggota keluarga Ma,” kata
ibunya, mengingatkan. “Kau harus jaga agar urusan kau
ini jangan sampai terdengar orang luar. Nah, kalau sudah
mengerti, pergilah kau temani dia!”
Sehabis berkata demikian ibunya berlalu dengan cepat.
Eng Tay jadi sangat berduka. Namun hanya sebentar, ia
lantas memperlihatkan wajah gembira. Saat itu San Pek
sedang mendengarkan Su Kiu dan Gin Sim yang sedang
asyik berbicara. Si pemuda membiarkan keduanya
bercakap-cakap, bahkan ia turut mendengarkan.
“Kakak Nio, mari ikut aku,” ajak Eng Tay. “Di sini
bukan tempat untuk bicara. Aku punya kamar baca di
loteng, di sana kita dapat leluasa bicara.”
San Pek mengangguk.
“Baik sekali,” katanya. Sekarang tak lagi ia sungkan
seperti semula.
Eng Tay lantas berkata pada Gin Sim: “Gin Sim,
pergilah ke bawah loteng sana, kau temani Su Kiu
istirahat.”
Abdi itu meng-iya-kan, lalu ia berkata pada sahabat
lamanya itu: “Kakak Su Kiu, ayo ikut aku!”
Pelayan San Pek mendekati majikannya, ia bertanya
perlahan: “Bolehkah saya pergi ke sana?”
“Boleh, asal kau hati-hati!” pesan sang majikan.
Mendengar demikian, abdi ini lantas mengikuti Gin Sim.
“Kakak Nio, mari!” ujar Eng Tay mengajak sahabatnya.
San Pek berjalan mengikuti. Mereka melangkah
perlahan sekali. Si anak muda puas menyaksikan keadaan
sebelah dalam rumah gadis sahabatnya ini. Segala
sesuatunya tampak indah, sedap dipandang mata. Tiba di
muka tangga loteng, ada sebuah papan bertuliskan tiga
huruf besar. Hwe Sim Law - Hati Bertemu....
Sampai di atas, mereka menghadapi sebuah meja
panjang. Eng Tay lantas mengundang: “Kakak Nio, silakan
duduk! Di sini kita dapat bebas mengobrol.”
Juga di sini, sang tamu mengagumi segala sesuatu di
sekitarnya. Itulah bukti dari perawatan yang teliti dan
sempurna. Sungguh tepat untuk seorang sastrawan!
“Sungguh indah Hwe Sim Law ini!” akhirnya si pemuda
memuji. “Memang menyenangkan sekali bila berbincangbincang
di sini.”
“Kakak hanya memuji,” kata Eng Tay tersenyum.
Kemudian ia bertanya: “Kak, kau datang ke mari hanya
untuk bercakap-cakap?”
“Itu hanya salah satu alasannya,” jawab San Pek. “Yang
terutama ialah aku hendak menyatakan hormat pada
Paman dan Bibi, kemudian barulah mengenai janjimu, Dik.
Kau tahu, aku tak berani berlambat-lambat lagi. Ya, aku
ingin menengok Kiu Moy!”
“Oh, Kiu Moy....!”
“Benar! Terima kasih, Adikku yang cerdik, yang telah
menunangkan dia denganku. Sekarang aku datang dengan
maksud untuk memastikan jodoh kita itu!”
Eng Tay tersenyum.
“Di sini, mana aku punya Kiu Moy?” katanya. “Kiu Moy
adalah Eng Tay!”
Sambil berkata begitu, gadis ini mencabut bunga dari
kundainya.
San Pek Pun tertawa, malah dia bertepuk tangan. “Ini
telah ku ketahui sejak awal!” katanya. “Inilah jodoh kita!”
Betapa berbunga-bunga hati si pemuda. Mendadak saja
Eng Tay bangkit berdiri.
“Kakak Nio....” katanya, perlahan, sekali bagaikan
kehabisan tenaga.
Si anak muda heran, dia menatap gadis di hadapannya
ini
“Dik, ada apa?” tanyanya. “Kenapa kau tampak raguragu?
Aku tak mengerti....”
“Ah, Kakak Nio!” kata gadis itu lagi. “Kak...” Tiba-tiba
Eng Tay mundur dua langkah, tampak pucat wajahnya.
San Pek bingung.
“Ada urusan yang membuat kedatanganku terlambat
dua hari,” katanya. “Bukankah keterlambatan itu tak
menjadi masalah?”
“Kedatangan Kakak tidak terlalu terlambat,” kata Eng
Tay, “akan tetapi orang lain tak dapat menanti, dia telah
mendahului....”
San Pek benar-benar heran, hingga dia pun bangkit
berdiri.
“Orang lain tidak dapat menanti?” katanya. “Apakah
artinya itu?”
“Setelah adikmu pulang dari Hang-ciu,” kata Eng Tay,
“telah datang dua orang pembesar negeri. Mereka itu
mengaku diri sebagai perantara jodoh. Papaku melihat
yang datang itu bukan sembarang orang, ia tidak berdaya.
Lalu Papa menerima lamaran itu, aku dijodohkan dengan
keluarga Ma....”
Sehabis berkata demikian, tiba-tiba muka gadis itu
berubah menjadi pucat-pasi, namun dengan kedua
tangannya ia memegang rak buku kuat-kuat. Jelas ia
berusaha menjaga agar dirinya tidak roboh.
“Eh, kau mengapa?” tanya San Pek kaget, walau hatinya
pun tergetar mendengar bahwa sang adik sudah
ditunangkan dengan orang lain.
Eng Tay tidak menjawab, sebaliknya, ia mengeluh,
menyusul kemudian, tubuhnya bergoyang sempoyongan
seperti hendak jatuh, tetapi, ternyata ia masih dapat
menguatkan hatinya. Tiba-tiba saja ia melangkah cepat,
turun dari lotengnya itu.
Justru di saat itu Gin Sim sedang menaiki loteng sambil
membawa dua mangkuk teh, ia kaget sekali. Ia
mendapatkan San Pek sedang berpegangan pada rak buku,
matanya memandang kosong ke bawah loteng. Ia sadar, ia
maklum apa arti perubahan itu. Ia cepat-cepat meletakkan
mangkuknya.
San Pek menoleh pada abdi itu, dia masih sempat
berkata: “Baru saja Nonamu menyebut tentang keluarga
Ma, wajahnya lantas menjadi pucat-pasi. Tanpa berkata
apa-apa, ia lari turun dari loteng! Gin Sim, kau tentu tahu
sebabnya?”
“Ah, sudahlah, jangan Tuan Muda tanyakan itu,” sahut
Gin Sim. Ia melihat wajah si tuan muda pun pucat sekali.
San Pek dapat menguatkan hati, tetapi ia masih
memegang ujung meja. Dengan mata sayu, ia memandang.
Gin Sim, lalu ia berkata: “Saat ini adalah saatnya mati dan
hidup, mana boleh aku tidak bertanya?”
Gin Sim tidak menjawab, ia hanya mengambil mangkuk
untuk dibawa turun dari loteng. Akan tetapi San Pek
segera menghadang. Mau tidak mau, terpaksa ia menjawab
juga. Katanya: “Nonaku telah diserahkan oleh Tuan Besar
kepada putra keluarga Ma....”
“Oh, Ma Bun Cay?” kata San Pek, separuh menjerit.
Lalu ia memegang keras-keras ujung meja.
Saat itu, Eng Tay kembali.
“Kakak Nio, sekarang ini aku sudah tidak menguasai
diriku lagi....” katanya perlahan, suaranya sangat lemah.
“Baiklah, Dik, aku mengerti,” kata San Pek. “Ini bukan
lagi soalmu sendiri. Aku tak dapat tinggal lebih lama lagi di
sini, itu tidak baik. Maka, izinkanlah aku pamit....”
Sambil berkata begitu, anak muda ini lantas menjura
kepada gadis itu.
“Kakak Nio, tunggu sebentar,” kata, Eng Tay, yang
berdiri di depan tangga, “walaupun kedatanganmu ini siasia
belaka, tetapi mengingat persahabatan kita selama tiga
tahun, hal itu tak dapat dilewatkan dengan cara begitu
saja.
Aku telah menyiapkan hidangan sebagai balasan
cintamu....”
San Pek mengawasi, ia mengangguk.
“Baiklah,” katanya perlahan. Ia tak jadi pergi, bahkan ia
duduk lagi.
Eng Tay benar-benar menyiapkan hidangan, semua itu
dibawa oleh Gin Sim dari bawah loteng ke atas, lantas
diatur di atas meja.
Muda-mudi itu duduk berhadapan, untuk sesaat
mereka membungkam. Kemudian, Eng Tay-lah yang lebih
dulu memecah kesunyian.
“Kakak Nio, ingatkah kau akan Malam Cit Sek?
“demikian tanya gadis itu. “Ya, tentang pembicaraan Thian
Ho. Ingatkah kau akan pembahasan tentang Daun Hijau di
hari Tiong Yang?”
Dengan ‘Daun Hijau’ dimaksudkan perjamuan yang
menggembirakan selama perayaan Tiong Yang itu, suatu
perayaan di zaman dahulu.
San Pek menarik napas panjang.
“Ya, aku tahu itu,” sahutnya. “Hanya dulu itu, mana ku
tahu bahwa kau adalah seorang wanita....”
“Apakah Kakak masih ingat saat aku sakit?” tanya Eng
Tay lagi.
Si anak muda mengangguk lesu.
“Tentu saja,” sahutnya perlahan.
“Kakak Nio, kau benar-benar lelaki sejati. Kau tidur
bersamaku di satu pembaringan, tetapi kau sama sekali
tidak bermaksud untuk berbuat sesat. Akan tetapi aku....”
Tiba-tiba gadis itu berhenti bicara, sebaliknya, air
matanya berlinang. Ia merunduk tetapi segera pula ia
mengangkat wajahnya, memandang pemuda di
hadapannya, lalu memandang Gin Sim, abdinya, yang di
saat itu muncul dengan membawa hidangan yang baru
matang, yang segera diatur di atas meja.
Eng Tay bangkit berdiri, air matanya telah diusapnya.
“Kakak Nio, ayo, ku berikan kau tiga cawan arak,”
katanya.
Gin Sim yang cerdik pun turut berkata: “Tuan Muda
Nio, silakan minum. Inilah tanda rasa hormat yang tulus
dari Nona saya.”
San Pek kemudian berdiri, kepada Gin Sim dia
mengangguk. Sang abdi segera mengundurkan diri, turun
dari loteng.
“Kakak Nio, silakan duduk,” kata Eng Tay menyilakan.
“Aku tak usah duduk lagi,” sahut si anak muda.
“Sesudah minum, aku hendak segera pulang.”
Eng Tay mengangkat cawan arak, lantas diletakkannya
di depan si anak muda, kemudian ia mengangkat juga guci
arak untuk menuangkan isinya. Ia hampir tidak kuat
mengangkat dan menuangkan isinya.
“Kakak Nio, mari minum....” ujarnya mengajak,
suaranya lemah. “Semoga kau memperoleh kemajuan...!”
San Pek menyambut cawan itu, bahkan ia segera
mengeringkan isinya. Begitu meletakkan cawan di atas
meja, ia berkata: “Adikku, Kakakmu berangkat...!”
“Kakak Nio, jalan perlahan-lahan,” kata Eng Tay. Ia
melangkah di depan si anak muda.
“Jalan perlahan-lahan,” kata si anak muda. “Oh, adikku
masih mau berjalan bersama-sama? Baiklah....”
“Tidak, aku tak dapat pergi bersamamu,” jawab Eng
Tay. “Sekeliling kampung ini berada dalam kekuasaan
Papa. Begitu ada perintah tangkap, nanti Kakak tak dapat
ke luar dari sini. Belum lagi di sana, pengaruh keluarga Ma
besar sekali.”
“Kalau demikian, Adikku hendak bicara apa lagi?”
“Telah ku persembahkan kupu-kupu kemala, apa itu
masih ada?”
“Ah, aku lupa! Ini, ada di sakuku. Memang harus ku
kembalikan padamu.”
Eng Tay menggoyangkan tangannya.
“Bukan, bukan, bukan itu maksudku! Aku justru mau
minta agar Kakak bersedia menyimpannya baik-baik.”
San Pek merogoh sakunya.
“Sudah menjadi keluarga Ma, buat apa kemala ini?”
“Aku.... ku mohon, Kak, ku mohon Kakak sudi
menyimpannya. Biarlah itu menjadi tanda kenanganku
bagimu....”
“Adikku, apa arti ucapanmu ini? Kenapa Adik ucapkan
itu?”
“Kak, selama kita di sekolah, aku telah banyak bicara
ku harap kau mengerti, tetapi sayang sekali, kau malah
sebaliknya. Kau sangat baik. Selama aku sakit, sekalipun
saudaraku sendiri, tak mungkin dia bisa menjagaku
sepertimu. Maka, sejak itu aku diam-diam telah
mengambil keputusan, kecuali dengan Kakak, aku tak
akan menikah; maka juga di saat perpisahan, telah ku
serahkan barang yang paling ku sukai. Sayang sekali,
masih saja Kakak tidak mengerti. Dan di perhentian
Delapan Belas Li, telah ku utarakan seluruh isi hatiku,
tetapi Kak, masih saja Kakak tidak mengerti. Karenanya,
aku sampai menyerahkan Kiu Moy, supaya kita menjadi
satu.... Siapa sangka, hanya dalam waktu satu bulan,
perubahan besar telah terjadi.... Walaupun demikian,
hatiku tidak berubah!”
Berkata sampai di situ, merahlah wajah gadis ini, tetapi
segera berubah menjadi pucat lagi. Ia pun mesti berpegang
erat-erat pada meja.
San Pek mengawasi, ia bingung sekali.
“Adikku, aku terlalu lugu, terlalu bodoh hingga aku....”
kata si anak muda. Lalu tiba-tiba ia berhenti bicara, ia
batuk-batuk, dan lekas-lekas merogoh sakunya untuk
mengeluarkan sapu-tangan. Dengan itu, dengan kedua
tangannya, ia menutup mulutnya. Ia pun tak dapat berdiri
terus, lalu ia jatuh terduduk di kursinya, terus merunduk.
Mulutnya masih ditutup dengan sapu-tangannya.
Beberapa kali ia batuk-batuk pula.
Eng Tay tertegun, lalu ia terkejut sekali hingga
berteriak: “Eh, kenapa sapu-tanganmu merah? Apakah
kau muntah darah?”
Ditanya begitu, San Pek tidak bersuara, ia diam saja.
Eng Tay menghampiri, tangannya diulur. Ia memegang
sapu-tangan berdarah! Dengan sendirinya tangan itu
gemetar!
“Ah, kau benar-benar batuk darah...! Oh, adikmu telah
mencelakaimu...!”seru Eng Tay kemudian. Ia menjadi
sangat bingung.
San Pek mencoba menenangkan diri.
“Tidak apa,” katanya lemah. “Mendadak saja hatiku
sakit dan muntah darah. Sebentar tentu sudah baik...”
Eng Tay meletakkan sapu-tangan itu di atas meja,
lantas ia mengambil semangkuk kuah, terus diserahkan
pada si anak muda.
“Kak, ayo minum,” katanya.
San Pek mengawasi gadis itu.
“Terima kasih!” katanya. Ia menerima mangkuk itu dan
menghirup dua kali. Terus dikumurnya, air kumur itu
dimuntahkannya pada sapu-tangannya. Lalu ia bangun
berdiri seraya berkata: “Aku tak boleh sakit di sini, aku
mesti pulang sekarang....”
Eng Tay meletakkan mangkuk sup itu dengan perlahan
sekali, dan ia mengangguk.
“Baiklah, Kak,” katanya kemudian. “Akan ku antar
Kakak selintasan....”
Di mulut gadis itu berkata demikian, tetapi airmatanya
ternyata berlinang tak tertahankan. Ia tak mampu bicara
lebih jauh.
San Pek menghela napas panjang.
“Dari jauh aku datang ke mari, semata-mata untuk
menjengukmu, Dik,” katanya kemudian, “tetapi
sekarang....”
Sambil berkata demikian, si anak muda menuruni
tangga loteng, jalannya sempoyongan.
Eng Tay khawatir kawannya roboh, ia mengiringi tetapi
tak berani ia memegangi. Sambil berjalan ia berkata:
“Setiap hari aku membaca buku, kapan saja aku
mendengar suara langkah kaki, ku kira Kakak datang;
sekarang, Kakak datang, tetapi Kakak justru muntah
darah merah...”
“Tetapi tak apa, Dik. Bagiku cukup asal Adik senantiasa
mengingatku....”
Ketika itu Gin Sim dan Su Kiu berada di bawah loteng.
Melihat si anak muda berjalan turun, perlahan-lahan,
dengan tubuh yang agak goyah hingga perlu didampingi
Eng Tay, mereka terperanjat saking herannya.
“Tuan Muda!” ujar mereka memanggil. Mereka pun
cepat mendekati.
“Gin Sim, siapkan kudaku!” kata Eng Tay pada
pembantunya. “Aku hendak mengantarkan Tuan Muda!”
Gin Sim menyahut, terus ia berlari ke luar, untuk
menyediakan kuda yang diminta.
“Sudahlah, Dik, Adik tak usah mengantarkan aku,” kata
San Pek sambil memberi hormat pada Eng Tay.
Eng Tay mengawasi pemuda itu, kedua matanya
tergenang airmata. Ia membalas hormatnya.
“Setelah sampai di rumah, Kak, kau baik-baik merawat
dirimu,” pesannya. “Kalau nanti kau sudah sembuh, harap
kau datang lagi menjengukku....”
“Asal aku tidak sakit, aku pasti akan datang lagi,” sahut
si anak muda. “Tetapi, kalau sakitku bertambah parah,
aku khawatir tidak berumur panjang, mungkin aku tidak
akan sanggup datang lagi.”
Ketika itu, mereka sudah turun dari loteng.
Kala itu, matahari sudah doyong ke barat.
“Jangan kau ucapkan kata-katamu itu, Kak,” kata Eng
Tay perlahan. “Akan tetapi, jika toh terjadi hal yang tidak
baik, kau ingat dusun Ow-kio-tin di tepi sungai Yong-kang
bukan? Nah, itulah tempat di mana kita nanti tinggal
bersama-sama selama ribuan tahun. Semoga di sana
dipasang sepasang batu nisan, yang satu bertuliskan ‘Nio
San Pek’, dan yang satu lagi ‘Ciok Eng Tay’. Aku....”
Tiba-tiba, air-mata gadis itu mengucur deras. Ia tak
sanggup meneruskan kata-katanya.
Di saat itu, dari luar terdengar ringkik kuda.
Hati San Pek bagaikan hancur-luluh. Ia berkata: “Oh,
dusun Ow-kio-tin menjadi tempat kediaman abadi kita
selama ribuan tahun? Jadi Adikku sudi pergi ke sana...?”
“Ya!” jawab gadis itu. “Telah ku putuskan, kecuali
dengan Kakak, aku tidak akan menikah, sampai mati pun!
Keputusanku ini tidak akan berubah! Asal Kakak telah
memastikan memilih tempat itu, ke sana Adikmu akan
pergi! Di sana kita akan terkubur bersama...!”
“Pesanmu, Dik, akan pasti terlaksana!” sahut San Pek
memberi kepastian. “Kalau benar aku tidak beruntung,
akan ku pesan orang di rumahku agar membuatkan dua
batu nisan di dusun itu, untuk menantikan kedatangan
Adik di sana....”
Eng Tay menangis terus, ia tak mampu lagi bicara.
“Tuan Muda, mari kita pulang,” kata Su Kiu. “Tuan
Muda tidak sehat....”
San Pek pun melipatkan kedua tangannya kepada Eng
Tay.
“Dik, aku berangkat katanya seraya memberi hormat.
Eng Tay mengangguk, ia menyahut, “Ya,” suaranya
lemah. “Kak....”
15
Sepucuk Surat
DI luar pintu pekarangan, Gin Sim sudah menyiapkan dua
ekor kuda lengkap dengan pelananya. Ia menuntun kuda
itu masing-masing di tangan kiri dan kanannya. Su Kiu,
mendampingi San Pek, melangkah menghampirinya.
“Adik Gin Sim, kau siapkan dua ekor kuda, untuk apa?”
tanya Su Kiu.
“Tuan Muda sedang tidak sehat, ia mesti lekas tiba di
rumah,” sahut orang yang ditanya, “maka itu kau dan
Tuan Muda masing-masing naik seekor kuda. Kakak jadi
tak usah berlari-lari mengikutinya.”
“Terima kasih! “ kata San Pek seraya menerima seekor
kuda. “Memang, dengan menunggang kuda, aku akan
cepat sampai di rumah.”
“Kau baik sekali, Dik, terima kasih!” kata Su Kiu juga.
“Lain hari aku akan mengantarkannya kembali.”
Gin Sim mengangguk. Ia tidak berani tertawa karena
dilihatnya San Pek pucat-pasi, lemah sekali. Tetapi ia
berpesan: “Tuan Muda, setibanya di rumah harap kirim
surat memberi kabar.”
Anak muda itu hanya mengangguk.
“Selamat jalan!” kata Gin Sim. Dan di lain saat, ia
melihat mereka sudah pergi jauh.
Tanpa banyak bicara, Nio San Pek bersama Su Kiu
melakukan perjalanan pulang.
Saat itu pertengahan bulan, perjalanan dapat dilakukan
juga diwaktu malam. Dini hari San Pek sudah tiba di
rumah. Su Kiu segera minta dibukakan pintu agar majikan
mudanya bisa segera masuk ke dalam rumah.
Nio Ciu Po, sang ayah, heran mendapatkan anaknya
pulang di saat itu. Ia menduga telah terjadi sesuatu.
Lekas-lekas ia keluar, untuk menemui putranya. Dan, San
Pek pun segera merebahkan diri di dalam kamarnya,
wajahnya pucat sekali.
“Ah, kau sakit, Nak?” tanya orang tua itu, bingung.
Pemuda itu mengangguk.
“Tidak apa-apa, Pa,” sahut San Pek perlahan. “Aku
masuk angin, besok pagi tentu sembuh.”
Ayah itu meraba kepala putranya, terasa panas sekali.
Ia heran.
“Nak, apakah kau pulang sebelum tiba di dusun Ciok?”
tanyanya.
“Sudah, sudah sampai, Pa.”
“Apa mungkin keluarga Ciok itu tidak ada di rumah?”
tanya ayahnya.
“Ada, Pa. Malahan aku telah bertemu dengan adik Eng
Tay itu. Eng Tay sekarang sudah ganti wajah sebagai
seorang wanita. Ia menyambutku dengan baik sekali.”
“Terus, apakah ada pembicaraan tentang perjodohan?”
“Tentang perjodohan, panjang ceritanya, Pa. Besok saja
kita bicarakan.”
Ciu Po sudah duduk di sisi tempat tidur, segera ia
bangkit berdiri. Ia tidak bertanya secara rinci lagi karena
tahu anaknya sedang sakit.
“Baiklah,” katanya. “Ku dengar ringkik kuda yang ramai
- itu toh bukan seekor?”
“Ya, dua ekor. Yang satu dipakai Su Kiu atas kebaikan
adik Eng Tay.”
Hati ayah itu lega juga. Lantas ia bertanya, putranya
ingin makan apa, tetapi San Pek menggelengkan kepala.
Tak lama muncullah Kho-si, sang ibu.
“Ah, anakku sakit!” katanya, melihat putranya yang
lemas dan pucat.
“Tidak apa-apa, Ma, besok pagi juga sudah baik,” kata
putranya. Ia masih mencoba tersenyum.
Ketika itu Su Kiu muncul, segera ia berkata pada kedua
majikan tuanya: “Bapak dan Ibu berdua sebaiknya kembali
ke dalam saja, Tuan Muda sekarang perlu istirahat. Besok
pagi kesehatan Tuan Muda tentu akan pulih kembali”
Ayah dan ibu itu menurut, mereka mengundurkan diri.
Seberlalunya kedua majikannya itu, Su Kiu menggeser
bangku ke tepi pembaringan majikannya, untuk
menemaninya tidur.
Saking letihnya, San Pek tertidur, tetapi ia diganggu
mimpi. Dalam mimpinya, ia bertemu dengan Ciok hianmoy,
si adik perempuan yang cantik jelita dan berbudipekerti
halus.
“Hal-ihwalku ini harus ku jelaskan pada Papa dan
Mamaku,” pikirnya setelah mendusin. Karena bisa
memutuskan demikian, hatinya menjadi lapang dan ia
dapat tidur pulas. Ia tidak bermimpi lagi. Hanya, tidak
lama kemudian ia sudah terbangun pula karena fajar telah
tiba. Ia pun merasakan tubuhnya lemas, ia kaget! Sewaktu
hendak duduk di ranjang, ia roboh pula!
“Pulang dengan menunggang kuda, aku masih bisa,”
pikirnya, heran sekali. “Mengapa sekarang, setelah
beristirahat dengan tidur, tenagaku habis? Ya, kepalaku
pusing....
Su Kiu mendusin, ia mendengar suara keras robohnya
sang majikan. Dilihatnya sang majikan itu sudah
mendusin tetapi masih berbaring saja.
“Tuan Muda kenapa?” tanyanya heran.
“Aku tak bisa bangun,” jawab sang majikan. “Coba kau
bawakan aku air panas.”
Su Kiu lantas menggeser bangkunya, terus ia berlalu.
Sementara itu, Ciu Po pun sudah bangun. Terlebih dulu
ia melihat anaknya.
“Anakku, bagaimana?” tanya ayahnya.
“Mungkin aku sakit, Pa,” jawab putranya. “Sungguh
cepat....
Ayah itu mengawasi putranya, yang masih saja rebah,
wajahnya pucat bahkan agak mengerut, kedua matanya
suram. Pemuda itu tidak memakai baju panjang, hanya
baju dalam warna putih.
“Kalau begitu, perlu panggil tabib,” kata ayahnya
kemudian.
“Boleh juga, Pa,” kata pemuda itu, “tetapi mungkin tak
ada gunanya....
“Apa katamu?” tanya ayahnya menegaskan. “Mengapa?
Aneh!”
“Sebentar, setelah Mama bangun, akan ku jelaskan,”
kata San Pek.
Ciu Po tidak bisa menunda lagi. Di satu pihak ia
menyuruh orang memanggil tabib, di lain pihak Ia
membangunkan istrinya, memberi tahu bahwa putra
mereka sakit.
Su Kiu sementara itu telah siap dengan air panas. San
Pek segera minum, namun, baru dua teguk, ia sudah
menggoyangkan kepala. Diletakkannya cawan di atas meja.
Waktu itu, Ciu Po dan istrinya muncul. Mereka segera
duduk menghadap putra mereka, mengawasi dengan hati
gelisah.
“Nak, coba kau ceritakan sekarang,” pinta ayahnya.
San Pek, sambil berbaring, memperhatikan kedua
orang-tuanya itu.
“Ini benar-benar soal sulit, Pa,” demikian pemuda itu
mulai menutur. “Hal ini menyangkut kedua orangtua Eng
Tay, tetapi keduanya tak dapat disalahkan. Di sini terlibat
suatu kekuasaan....”
Seterusnya San Pek menceritakan perihal Eng Tay telah
dijodohkan dengan anak keluarga Ma dan bagaimana
pertemuannya dengannya. Sebagai penutup ia berkata:
“Maafkan aku, Pa, Ma. Kalau terjadi sesuatu atas diriku,
sia-sia Papa dan Mama memeliharaku. Aku belum pernah
menunaikan baktiku, aku sangat berdosa. Semoga di lain
kehidupan aku dapat membalas budi Papa dan Mama....”
Kedua orangtua itu tercengang, mereka sangat heran
dan sekaligus berduka.
“Rupanya demikian,” kata ayahnya kemudian. “Tapi,
Nak, kau jangan bersedih hati. Sekarang kau rawat saja
dirimu, nanti setelah kau sembuh, kita akan pikirkan
bagaimana baiknya.”
“Benar, Nak,” ujar ibunya turut bicara. Ibunya pun
sangat cemas seperti suaminya. “Mama akan
membantumu sedapat-dapatnya. Sekarang jangan berpikir
terlalu banyak. Bila terjadi sesuatu atas dirimu, bagaimana
dengan Papa dan Mama ini? Ingat, kau masih muda,
jangan sekali-kali kau putus asa.”
San Pek tak ingin ayah dan ibunya bersedih, ia mengiya-
kan saja. Namun apa mau dikata, hari demi hari
penyakitnya bertambah parah. Sia-sia saja obat dari tabib,
obat itu bagaikan tenggelam dalam samudera. Bahkan
selewat lima hari kemudian, Ciu Po menyaksikan sakit
putranya bertambah parah.
“Kuda keluarga Ciok sudah dikembalikan atau belum?”
tanya San Pek suatu kali. “Kuda itu harus dipulangkan.
Aku pun ingin menyuruh Su Kiu pergi ke dusun Ciok. Aku
ingin menyampaikan pesan pada adik Eng Tay.”
“Boleh saja kau sampaikan pesanmu itu, Nak,” kata Ciu
Po. “Kuda keluarga Ciok akan dikirim pulang.”
San Pek masih melayap, tetapi ia senang mendengar
kata-kata ayahnya itu. Sejenak, ia dapat tersenyum.
Kemudian ia berkata: “Pa, aku hendak menulis surat....”
“Kau sedang sakit, Nak, tak perlu menulis surat,” ujar
ayahnya menasihati. “Cukup kalau Su Kiu saja disuruh
untuk menyampaikan pesan.”
“Tidak apa, Pa,” kata San Pek, yang terus
menggerakkan tubuhnya untuk tengkurap. “Aku harus
menulis surat.”
Ciu Po heran sekali, hingga ia hanya mengawasi
putranya.
Su Kiu cerdas, segera dia menyiapkan alat-alat tulis. Ia
senang melihat majikannya sudah bisa duduk. Sebagai
meja, ia sediakan sekeping papan.
Lantas saja San Pek menulis. Demikian bunyi suratnya
itu:
“Kakakmu, San Pek, menyampaikan surat ini pada Adik,
Eng Tay. Aku ingin mengutarakan sesuatu.
Pertemuan kita di Hwe Sim Law membuatku merasa
sangat beruntung. Tiga tahun kita sekolah bersama, tak
tahu aku bahwa kaulah seorang wanita sejati. Dasar
kakakmu yang tolol. Baru sekarang aku sadar.
Di luar dugaaanku, telah datang lamaran keluarga Ma
itu. Satu di selatan, satu di utara, mana bisa bertemu,
bersatu?
Demikianlah kesedihan, nasib manusia. Kesedihan kita,
tak ada yang melebihinya! Adikku, kau menangis, tetapi
Kakakmu hanya bisa merunduk, bersedih saja.
Adikku, sekarang ini Kakakmu sedang sakit, dia tidak
berdaya. Mengapa nasib kita begini menyedihkan?
Empat hari sepulangku, setiap malam aku
memimpikanmu, Adikku. Sia-sia belaka aku minum obat,
obat bagaikan batu tercebur ke sungai dan tenggelam. Maka
dari itu, Kakakmu kira, tak akan lama lagi Kakakmu hidup
di dunia.
Adikku, aku tahu adik mempunyai resep obat yang
sangat mujarab, maka dari itu aku mengirim Su Kiu
padamu, akan mohon resep obat itu. Semoga saja resep
obatmu itu dapat menolong Kakakmu ini.
Nah, Adikku, sekian saja suratku. Aku mengucapkan
terima kasih sekali padamu.
Kakakmu, San Pek
Sehabis menulis, San Pek mengulang membaca
suratnya itu, kemudian ia berkata: “Suratku ini, tolong
kirimkan!”
Ia meminta kertas tebal untuk menggulung suratnya.
Kemudian surat tersebut diserahkan pada Su Kiu, yang
dipesankan untuk menyampaikannya pada Eng Tay.
Abdinya itu sudah tahu kewajibannya, ia tak perlu
dinasihati lagi.
Tetapi Nio Ciu Po, sang ayah, berkata: “Apakah surat ini
dapat sembarang disampaikan? Tadi aku telah turut
membaca isinya. Bagaimana kalau surat ini diketahui oleh
ayah-bunda Nona Eng Tay? Apakah tak dikhawatirkan
akan terjadi sesuatu nanti?”
“Jangan khawatir,” kata Su Kiu. “Abdimu tahu
bagaimana surat ini harus disampaikan pada Nona Eng
Tay.”
“Baiklah kalau begitu,” kata Ciu Po, yang terus
berpesan pada abdinya: “Kau harus berlaku hati-hati.
Setelah dapat resep obat itu, simpanlah baik-baik. Apabila
nanti Tuan Mudamu sembuh, kami sangat berterima kasih
padamu!”
Su Kiu mengangguk, ia berjanji.
Kho-si, sang ibu, girang sekali mendapatkan putranya
bisa menulis surat. Ia sampai tersenyum.
“Kau harus menunggang kuda,” kata Ciu Po pada Su
Kiu. “Pasti Nona Eng Tay akan menulis surat balasan, kau
simpan itu baik-baik, terutama resep obatnya. Mungkin
esok pagi kau sudah akan tiba kembali!”
Su Kiu meng-iya-kan, lantas saja ia berangkat.
Majikan itu mengantarkan abdinya sampai di luar
pintu. Su Kiu pergi dan segera menuntun dua ekor kuda.
Seekor, yakni kudanya sendiri ia tunggangi, sebab ia harus
pulang dengan cepat. Tak perlu dikatakan lagi bahwa ia
bekerja dengan baik sekali. Ia mengenal si pengawal pintu
keluarga Ciok, begitu bertemu ia memberitahukan bahwa
majikannya sudah sampai di rumah dan sekarang ia
mengembalikan kuda yang telah dipinjamkan oleh Nona
Eng Tay yang baik hati itu.
Pengawal itu menerima kuda tersebut, terus ia
bertanya, apakah ada pesan buat nona majikannya.
Su Kiu berdiri diam, ia tidak segera menjawab.
Pengawal itu, yang sudah tua, mengerti. Maka ia
berkata: “Sekarang ini Tuan Besar ada di rumah, tak baik
kalau beliau mengetahui kedatanganmu ini. Sebaiknya aku
langsung mengajakmu menemui Gin Sim, dan kemudian
biarlah ia mengajakmu masuk menemui Nona.”
Su Kiu setuju, ia mengucapkan terima kasih sambil
memberi hormat.
“Kamu tunggu sebentar,” kata si pengawal itu lagi,yang
terus saja masuk. Segera ia telah kembali bersama Gin
Sim.
“Oh, Kakak Su Kiu, kau datang?” tanya nona pembantu
itu. Dia girang sekali. “Bagaimana dengan sakit Tuan
Muda?”
“Sakit Tuan Muda bertambah parah, tetapi hari ini lebih
baik,” sahut Su Kiu. “Bagaimana dengan Nona?”
“Nona justru sedang menantikanmu untuk
mendengarkan keteranganmu!” kata Gin Sim, yang terus
mengajak sahabatnya itu masuk ke dalam, langsung ke
loteng. Maka segera Su Kiu bertemu dengan Ciok Eng Tay.
“Apakah keadaan Tuan Muda Nio baik?” gadis itu
langsung bertanya.
Su Kiu memberi hormat dulu, baru ia menyahut:
“Setibanya di rumah, Tuan Muda terus tidur. Tabib telah
dipanggil, setiap hari Tuan Muda makan obat, akan tetapi
tidak ada hasilnya, bahkan keadaannya semakin parah.
Kali ini majikanku memerintahkan aku memulangkan
kuda. Tatkala majikan tuaku menanyakan niatnya untuk
mengirimkan pesan atau tidak, mendadak saja Tuan Muda
dapat menulis surat untuk Nona....”
“Oh, ada surat?” kata Eng Tay cepat.
“Ya inilah suratnya,” Su Kiu, yang terus mengeluarkan,
surat majikannya dan diserahkannya pada gadis itu.
Eng Tay mengenali surat San Pek, segera ia buka
gulungannya dan membacanya. Mendadak saja, airmatanya
berlinang. Tak sempat ia mengucapkan apa-apa.
Su Kiu mengawasi gadis itu, Ia berdiri terpaku. Gin Sim
pun diam di tempat.
Eng Tay memperhatikan kedua pelayan itu.
“Gin Sim, kau ajak Su Kiu makan,” perintahnya.
“Sebentar, setelah bersantap, kau ajak dia ke mari untuk
mengambil surat dariku.”
Abdi itu mengangguk, lantas saja ia ajak Su Kiu
mengundurkan diri.
Eng Tay membaca lagi surat kekasihnya, lalu ia diam
termenung matanya masih basah. Berulang kali ia
menghela napas. Akhirnya ia pergi ke meja dan menulis
surat. Beginilah bunyi suratnya:
“Adikmu, Eng Tay, menghaturkan surat ini pada Kakak,
San Pek.
Begitu membaca surat kakak, airmataku mengalir. Aku
mengerti setiap kata-kata Kakak. Mengenai kesehatan
Kakak, aku hanya bisa mengharapkan semoga lekas
sembuh. Tentang nasib kita lihat saja nanti. Kita pasrahkan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun mengenai diriku,
aku pasti tidak akan menikah dengan orang lain. Aku
bersumpah!
Kak, andaikata Kakak mesti meninggalkan Adikmu ini,
selagi perjalananmu belum jauh, tunggulah aku. Aku akan
pergi menyusul, sampai di alam baka. Adikmu bicara,
malaikat menjadi saksinya.
Kak, hatiku risau sekali, aku tak bisa menulis banyakbanyak.
Maka ku harap Kakak berlaku tenang merawat diri
baik-baik. Kak, terimalah hormat Adikmu ini, Eng Tay.”
Selesai menulis, Nona Ciok melipat dan menggulung
suratnya itu.
Ketika itu sudah waktunya menyalakan api. Gin Sim
segera muncul untuk memasang lilin. Gadis itu lantas
berkata padanya: “Ajaklah Su Kiu ke mari, aku hendak
bicara dengannya.”
Gin Sim menurut, ia cepat turun dari loteng, tetapi
segera kembali lagi beserta Su Kiu, si sahabat abadi
“Aku telah selesai menulis surat,” kata Eng Tay pada
abdi sahabatnya. “Ini surat balasanku. Setelah tiba di
rumah kau serahkan suratku ini pada Tuan Mudamu,
katakan juga bahwa aku sangat memperhatikan sakitnya,
mengharapkan agar ia merawat diri baik-baik. Setelah
sembuh, kita akan bertemu lagi. Tetapi kalau....”
Mendadak saja gadis itu menghentikan ucapannya. Ia
duduk terpaku. Ketika sesaat kemudian ia berdiri, ia
berpegangan pada meja, tubuhnya bergetar. Bahkan lantas
saja airmatanya menitik...
Su Kiu hanya mengawasi gadis itu, ia tak berani
berkata.
Gin Sim sangat terharu, ia menghampiri nona
majikannya. Ia berkata perlahan: “Non, Tuan Besar baru
saja pulang, kita tak boleh bicara keras-keras. Nona mau
berpesan, apa lagi pada Kakak Su Kiu, agar dia bisa cepatcepat
pulang?”
Tidak ada lagi pesanku,” jawab Eng Tay sambil
mengusap airmatanya. “Semua telah ku tulis dalam
suratku.”
Sambil berkata-begitu, Eng Tay menyerahkan suratnya
pada abdi sahabatnya.
Su Kiu menerima surat itu, terus ia simpan dalam
bajunya.
“Ada pesan apa lagi, Tuan Muda Ciok?” tanyanya. “Saya
hendak segera pulang.”
“Sebaiknya berangkat nanti saja setelah kau istirahat
dulu,” kata Eng Tay. “Kau telah melakukan perjalanan
jauh, kau pasti letih sekali.”
Su Kiu lantas memberi hormat, terus ia mengundurkan
diri. Gin Sim mengantarkan ke luar karena ia khawatir
sahabatnya itu salah jalan.
Sambil berjalan, melihat tidak ada orang di tempat itu,
perlahan Su Kiu berkata pada pengantarnya itu: “Kalau
Tuan Mudaku tidak beruntung, bagaimana dengan Tuan
Muda Ciok, eh, Nona Ciok?”
“Entahlah, sukar dikatakan,” kata Gin Sim. “Tapi aku
tahu watak Nonaku.”
“Aku dapat mengerti sikap Nonamu,” kata Su Kiu. “Lalu,
bagaimana dengan kita?”
Gin Sim tertawa.
“Tidak apa-apa!”jawabnya.
“Eh, aku bicara sungguh-sungguh!”
“Nonaku sedang dalam kesulitan, mana ada waktu buat
kita bicara?”
“Kalau sampai ada waktu, aku khawatir kau sudah
tidak berkuasa lagi atas dirimu.”
“Terus bagaimana sekarang?”
Su Kiu menggelengkan kepala, ia menarik napas
panjang.
Ketika itu mereka sudah sampai di pintu depan, penjaga
pintu mengundang Su Kiu agar bersantap lebih dulu.
Katanya, hidangan sudah sedia.
Abdi San Pek itu menampik, tetapi ia minta diberi
kesempatan untuk berbaring guna istirahat sejenak.
“Hus, perlahan!” kata Gin Sim mengingatkan.
“Adik Gin Sim, masuklah, mungkin Nonamu memerlukanmu.”
Abdi itu mengawasi Su Kiu, ia tidak berkata apa-apa,
hanya sambil merunduk, ia lantas kembali ke dalam.
Su Kiu mendapat tempat untuk berbaring, tetapi ia
kepulasan hingga si pengawal membangunkannya. Sehabis
minum, segera ia berangkat. Seperti waktu pergi, waktu
pulangnya ini ia melarikan kudanya dengan kencang.
Maka dengan cepat ia pun tiba di rumah. Baru saja ia
sampai, Nio Ciu Po,majikannya sudah menemuinya sambil
bertanya: “Apa ada surat balasan dari Nona Ciok?”
Abdi itu menyahut “Ya” sambil segera mengeluarkan
surat Eng Tay.
Ciu Po menerima surat itu, terus ia buka dan
membacanya. Lantas saja ia menarik napas dan berkata
perlahan: “Gadis itu benar-benar baik sekali, tetapi San
Pek, anakku....”
Tepat pada saat itu dari jendela terdengar suara
putranya: “Pa, Papa bicara dengan siapa? Apakah Su Kiu
sudah kembali?”
“Ya, Tuan Muda!”jawab sang abdi mendahului majikan
tuanya. “Ya, Nona Ciok juga membalas surat..!”
Ciu Po menggulung lagi surat Eng Tay dan
menyerahkannya pada Su Kiu, dan abdi ini segera berlari
masuk ke dalam, langsung ke kamar San Pek. Ketika itu si
tuan muda sedang rebah dengan separuh berselimut. Ia
segera mengulurkan sebelah tangannya seraya
mengucapkan pertanyaan yang lemah dari mulutnya:
“Mana suratnya?”
Cepat sekali Su Kiu menyerahkan surat Eng Tay.
San Pek menerima surat itu, bahkan dengan sangat
cepat ia membukanya untuk dibaca. Setelah itu dia
menghela napas, lalu mengeluh: “Inilah kehendak Tuhan
Yang Mahakuasa, apa mau dikata?”
16
Permintaan Terakhir
NIO Ciu Po menyusul masuk ke dalam dan sempat melihat
putranya melemparkan surat Eng Tay. Ia sangat berduka
dan menghela napas. Tapi toh ia bertanya: “Bagaimana isi
surat itu?”
“Isi suratnya?” putranya balik bertanya. “Ah, sudah
terlambat.... Kasihan dia! Karena di zaman ini sudah tiada
harapan, biarlah kami menanti di zaman lain saja.”
Habis berkata demikian, sambil berbaring si tuan muda
memperhatikan Su Kiu.
Ciu Po memungut surat itu lantas ia berpaling pada
pelayannya.
“Kau telah pergi ke dusun Ciok, sekarang coba
ceritakan semuanya....”
Ketika itu Kho-si muncul, ia pun ingin sekali mendengar
penuturan abdinya.
“Penyambutan di sana baik sekali,” kata Su Kiu, yang
terus saja dengan sabar menyampaikan ceritanya,
khususnya tentang kesedihan Eng Tay.
“Memang, kecuali Paman Ciok, semua orang di sana
baik sekali,” kata San Pek. “Tetapi, Paman Ciok juga tidak
dapat disalahkan. Siapa suruh dia lahir di zaman seperti
ini, hingga ia terpengaruh oleh harta dan kekuasaan!
Selesai berkata demikian, San Pek menutupi tubuhnya
dengan selimut. Ia pun bergolek miring.
“Oh, Anakku,” kata Kho-si “Kau tulis surat, kau
harapkan surat jawaban, sekarang surat balasan sudah
datang, kenapa kau tidak gembira. Mengapa?”
“Surat balasannya ada di sini, akan ku bacakan supaya
kau tahu,” kata Nio Ciu Po. “Su Kiu juga boleh turut
mendengar.”
Tuan majikan ini membaca, di dekat jendela. “Ah, gadis
itu bisa berpikir demikian, sungguh luar biasa!” kata Khosi.
Tetapi, ketika mendengar “janji” Eng Tay yang akan
“menyusul ke alam baka,” nyonya ini menangis. Ia sangat
terharu, ia kagum terhadap Eng Tay. Namun kemudian ia
berkata pada putranya: “San Pek, Eng Tay benar. Kau
harus baik-baik merawat dirimu.”
San Pek mengangguk seraya menyahut “Ya.” Tetapi,
kemudian ia terus tidur.
Sementara itu, Su Kiu berdiri terpaku, airmatanya
berlinang.
Ciu Po menggulung surat itu, lalu diselipkannya di
bawah bantal.
“San Pek sudah tidur, mari, kita pun beristirahat,”
katanya kemudian mengajak istrinya. “Di sini biar Li-so 28
yang menjaga.”
Ternyata mereka tak bisa beristirahat. Kho-si gelisah.
Dia tak tenang, ada saja yang dirisaukannya. Sering ia
menatap langit atau melongok pemandangan alam di luar,
bahkan juga pergi ke dapur, memikirkan masakan untuk
putranya. Kemudian ia teringat sesuatu, maka
dipanggilnya Su Kiu agar datang padanya.
“Tuan Mudamu sekolah bersama Ciok Eng Tay, sekolah
bersama selama tiga tahun, apakah benar ia tak tahu
sama sekali bahwa kawannya itu perempuan?” tanyanya
kepada abdinya itu.
“Nona itu menyamar dengan sempurna sekali, kami
benar-benar tidak tahu,” jawab Su Kiu. “Bahkan aku pun,
tak tahu bahwa si Gin Sim pun ternyata perempuan....”
“Apa mungkin Tuan Mudamu tak tahu sama sekali?”
“Memang Tuan Muda tidak tahu sedikit pun.”.
“Tuan Mudamu adalah anakku, pasti aku percaya dia,”
kata Kho-si kemudian. “Sekarang ia sakit begini rupa,
bagaimana jadinya? Apa dayaku...?”
“Abdimu ini orang bodoh, bagaimana kalau kita tulis
28 Hian-moy aninya “adik perempuan yang bijaksana”.
surat pada Ma Thay-siu?” kata Su Kiu. “Kita jelaskan
tentang hubungan Tuan Muda dan Nona Ciok, lalu kita
minta pihaknya membatalkan lamarannya supaya Tuan
Muda bisa menikah dengan Nona Ciok. Atau kalau dia
menolak, kita tegaskan saja bahwa Nona Ciok sudah
bersumpah tidak akan menikah dengan siapa pun, hingga
kalau pernikahan putranya dilangsungkan juga, akhirnya
akan sia-sia saja?”
Kho-si ragu-ragu.
Justru saat itu muncul Ciu Po seraya menggoyangkan
tangan.
“Tidak, mana bisa!” katanya. “Tidak mungkin pihak Ma
mau mundur. Kita harus berusaha sendiri. Paling benar
bila kita rawat dulu San Pek, setelah ia sembuh, baru kita
pikirkan lagi bagaimana baiknya. Kita bujuk saja anak kita
agar dia bersabar. Surat Nona Ciok pun masih memberi
sedikit harapan....”
Kho-si tidak bisa berbuat lain. Maka ia terus merawat
dan menjagai putranya. Bantuan tabib telah diusahakan.
Tetapi, sia-sia saja San Pek minum obat. Dia terus tidur,
tetapi otaknya bekerja, terus mengenang Eng Tay. Ia
bermimpi.
Sebuah perhentian berbentuk segi enam, terlindung
oleh daun-daun dan cabang-cabang pepohonan. Di sana,
San Pek berjalan-jalan seorang diri. Di situ ada sebuah
pohon mawar berbunga merah muda, indah sekali di
antara daun-daunnya yang hijau tua. Dijalan besar,
beberapa orang sedang berlalu-lalang.
San Pek ingat, itulah kampung Paman Ciok, hanya
bedanya, di sana ada tanaman mawar itu. Justru ketika ia
mengawasi pohon bunga itu, tiba-tiba Eng Tay muncul
berdandan seorang wanita. Ia heran hingga ia berseru:
“Dik, Adik!”
“Kakak Nio!” jawab gadis itu.” Adikmu sangat
memikirkanmu, maka, walau penjagaan sangat keras, aku
toh ke luar juga dan datang ke mari....
“Kau hebat, Dik,” kata San Pek. “Lalu, sekarang
bagaimana? Kini kau akan pergi ke mana?”
“Lebih jauh meninggalkan rumah, lebih baik,” jawab
Eng Tay. “Sekalipun ke gunung dan laut, harus pergi juga!”
San Pek tertawa.
“Bagus!” serunya. “Tempat ini, kau lihat, tempat
apakah, dan di mana?”
“Masa aku tidak ingat,” sahut gadis itu. “Ini tempat dulu
kita bertemu dan menjalin persahabatan.”
“Tetapi telah bertambah dengan tanaman ini,” kata si
pemuda.
“Inilah pohon yang ku tanam dengan tanganku sendiri.
Tunggu, akan ku petik dua kuntum.”
Habis berkata demikian, Eng Tay lantas menghampiri
pohon mawar itu, yang tumbuhnya di luar tempat
perhentian, di bawah undak-undakan. Namun apa lacur,
ia berjalan cepat, tanpa terasa ia salah menaruh kaki.
Tidak ampun lagi, ia terjatuh!
San Pek kaget bukan-kepalang, dia menjerit keras. Ia
maju, ia lari menghampiri, maksudnya untuk menolong.
Disambarnya tangan si gadis, terus ditariknya dengan
sekuat tenaga.
Bersamaan dengan itu, telinga si anak muda
mendengar, suara keras di sisinya: “San Pek! San Pek!
Jangan kau tarik-tarik tanganmu sendiri!”
Itulah suara Kho-si, sang ibu.
San Pek membuka matanya, ia tercengang. Ternyata ia
telah bermimpi bertemu dengan Eng Tay, sang kekasih. Ia
memegang dengan keras dan menarik tangan kirinya
sendiri.
Sang ibu sedang duduk di sisi ranjang. Ia mengawasi
putranya.
“Kau kenapa, Nak?” tanyanya.
“Tak apa-apa, Ma,” jawab putranya. “Aku hanya
bermimpi....”
“Kau bermimpi apa?”
“Anak mimpikan Eng Tay,” jawab putranya, terusterang.
“Mimpi itu karena hati, karena kenangan, sebaiknya
jangan terlalu kau pikirkan,” kata ibunya yang sangat
menyayangi putranya itu.
Tepat di saat itu, Su Kiu muncul. Ia mengabarkan
perihal datangnya utusan keluarga Ciok.
“Ma, ada orang suruhan keluarga Ciok datang!” kata
San Pek. “Siapakah dia? Lekas tengok!” Ia pun segera
menyingkap selimutnya, lalu duduk.
Kho-si tahu bagaimana kerasnya keinginan putranya, ia
lantas pergi ke luar. Di ruang dalam, Su Kiu terlihat
bersama seseorang yang sedang membawa barang, yang
telah diletakkannya. Saat itu juga, Ciu Po muncul sesudah
diberitahu. Lantas saja sang abdi memperkenalkan: “Tuan
Besar.... Ini kakak Ong Sun!”
Pesuruh dari keluarga Ciok itu, memang Ong Sun. Ia
memberi hormat seraya berkata: “Nona kami tahu bahwa
Tuan Muda Nio sakit. Ia mengirim saya, Ong Sun, untuk
menjenguk. Nona telah bicara dengan ibunya, terus saya
diperintahkan membawa barang ini kesini. Harap Bapak
sudi menerimanya.”
“Oh, Nyonyamu baik sekali” kata Ciu Po. “Mana berani
aku menolaknya.”
Sewaktu Kho-si pun muncul, Su Kiu memperkenalkan
Ong Sun kepadanya. Ong Sung sebaliknya segera memberi
hormat pada sang nyonya rumah.
Kho-si lantas melihat barang kiriman Ciok Eng Tay,
yang terdiri dari buah eng-toh, buah pipa, buah pir, daging
asin, ayam panggang asap serta tujuh atau delapan
bungkusan yang lain. Ia kagum hingga berseru: “Oh,
semua ini makanan untuk orang sakit! Terima kasih!”
“Semua ini tidak berarti, Nyonya,” kata Ong Sun. “Di
mana Tuan Muda Nio sekarang? Nona saya berpesan agar
saya menjenguknya.”
“Oh, ia masih menghendaki kamu menjenguknya?” kata
Kho-si. “Mari ikut aku!”
Dan sang nyonya mengajak Ong Sun masuk ke kamar
San Pek.
Si anak muda sedang duduk di atas pembaringannya.
“Oh, kau, Ong Sun!” dia mendahului menyapa.
“Ya, Tuan Muda,” jawab Ong Sun sambil memberi
hormat. Di dalam hati ia sangat terharu. Si anak muda
sangat kurus, wajahnya pucat, bibirnya kering. “Nona
berpesan agar Tuan Muda merawat diri baik-baik. Nona
pun menyampaikan beberapa jenis buah-buahan dan
makanan untuk Tuan Muda.”
Su Kiu pun lantas muncul bersama barang-barang
kiriman Eng Tay, untuk diperlihatkan pada majikannya.
“Sampaikan terima kasihku pada Nonamu,” kata San
Pek. “Barangkali ada pesan lainnya?”
“Semua barang ini dikirim sepengetahuan Nyonya Besar
kami,” kata Ong Sun. “Nona minta agar Tuan Muda
merawat diri baik-baik. Tetapi ketika saya hendak
berangkat, Gin Sim menitipkan sepotong sapu-tangan
merah, katanya dari Nona, buat Tuan Muda. Katanya juga,
kalau Tuan Muda menerima ini, Tuan Muda akan mengerti
sendiri.”
Sambil berkata begitu, Ong Sun merogoh sakunya
untuk mengeluarkan barang tersebut yang segera
diangsur-kannya pada si anak muda.
San Pek menyambut sapu-tangan itu yang jelas adalah
barang lama tetapi masih baru.
“Aku maklum,” katanya perlahan. “Sampaikan pada
Nona, penyakitku ini mungkin tak akan sembuh. Aku ingin
menulis surat balasan, namun hari ini aku tak dapat
menulis, tubuhku lemas sekali, maka itu sampaikanlah
pada Nona bahwa aku sudah mengerti. Ya, kami tahu
sama tahu....”
Ong Sun meng-iya-kan. Ia mengerti keadaan si anak
muda, terus ia mohon diri. Setelah memberi hormat, ia
mengundurkan diri. Barang antaran tadi dibawa ke luar
lagi oleh Su Kiu.
Di dalam kamarnya, San Pek bermain-main dengan
sapu-tangan Eng Tay. Selama itu ia tidak berkata apa-apa.
Tidak lama kemudian....
Ong Sun muncul lagi. Tadi, di luar, ia disuguhi
hidangan tengah hari, setelah itu ia datang lagi untuk
pamit. San Pek mengangguk padanya. Ia mengerti, sulit
bagi si anak muda berkata-kata, maka segera ia memberi
hormat, terus mundur untuk segera pulang.
Malam itu, sehabis makan bubur, San Pek tampak agak
segar. Saat itu ia ditemani ayah dan ibunya. Ia berkata
pada kedua orangtuanya: “Pa, Ma, penyakitku ini sudah
parah sekali. Aku mohon maaf, inilah tanda tidak
berbaktinya aku. Sudah tidak ada jalan untuk sembuh,
maka itu, harap Papa dan Mama memaafkan putramu ini.
Pa, setelah aku menutup mata, ku minta dikuburkan di
Ow-kio-tin dan kuburannya menghadap ke sungai Yong. Di
samping itu, anak minta dibuatkan dua batu nisan, yang
satu berbunyi ‘Makam Nio San Pek’, yang lainnya, ‘Makam
Ciok Eng Tay’. Percayalah, tidak lama lagi, kata-kataku ini
akan ada buktinya. Mengenai barang-barangku, hanya ada
satu yang harus ku bawa. Itulah sepasang kupu-kupu
kemala hadiah dari Ciok Eng Tay. Sekarang kupu-kupu
kemala itu ada di tubuhku....”
“Anakku, sungguh kau tidak beruntung,” kata Ciu Po,
ayahnya. “Bagaimana jadinya, orang berambut putih
mengantarkan orang berambut hitam? Inilah nasib yang
harus disesalkan dalam kehidupan manusia.... Baiklah,
Nak, pesanmu akan Papa wujudkan, tetapi mengenai
kedua batu nisan, rasanya sukar dilaksanakan. Ciok Eng
Tay adalah anak gadis keluarga Ciok, ia juga masih berada
di antara kita, maka kalau kita membuatkan nisannya, apa
kata orang banyak nanti? Bukankah itu janggal? Lagi pula,
pihak Ciok barangkali tidak senang....”
“Hal itu tidak ada halangannya, Pa,” kata San Pek.
“Papa buatkan saja. Nanti, di saat batu nisan itu dipasang
di kuburanku, batu nisan atas nama Ciok Eng Tay, Papa
pendam saja di samping kuburanku....”
“Kalau nisan dikubur, apa artinya itu? Apa gunanya?”
“Tentang itu, tak usah Papa pusingkan....”
“Baiklah, Nak” kata ayahnya dengan tegas. “Akan Papa
jalankan pesanmu!”
Selagi ayah dan anak itu berbicara, Kho-si diam saja, ia
hanya mendengarkan, akan tetapi kedua matanya
berkaca-kaca, airmatanya berlinang. Ia tidak dapat
menangis ataupun berkata-kata.
“Ma, jangan menangis,” kata San Pek. “Ma, anak belum
lagi pergi....”
Sang ibu mengusap air-matanya.
“Ya,” katanya perlahan. “Tetapi kau harus tahu, Mama
hanya mengharap, agar kau hidup terus. Nak, dengan
kata-katamu ini, apakah masih ada harapan bagi yang
sudah tua ini...?”
Pilu rasa hati San Pek mendengar keluhan ibunya itu,
airmatanya lantas saja mengalir hingga membasahi
bantalnya. Ia menutupi wajahnya dengan bantal itu.
Ciu Po menyelimuti tubuh putranya. Dengan
saputangan diusapnya airmata putranya itu.
“Nah, Nak, sekarang tidurlah,” kata ayahnya kemudian
sambil menepuk-nepuk pembaringan dengan perlahan. Itu
sama saja dengan menepuk-nepuk tubuh anaknya.
“Semoga kau dapat tidur nyenyak agar besok keadaanmu
lebih baik. Biarlah Su Kiu menemanimu.”
San Pek meng-iya-kan sambil mengangguk.
Kho-si turut bicara, tetapi dia hanya bertanya: “Ketika
Su Kiu menemani tidur, aku pernah dua atau tiga kali
menengok ke mari, Su Kiu tahu atau tidak?”
Su Kiu yang berada di luar kamar, terdengar menjawab:
“Pernah juga saya tidak tahu, Nyonya Besar.” Abdi ini
jujur, ia mengaku terus-terang.
“Kalau begitu, mulai malam ini kau harus berjaga,”
pesan Ciu Po si majikan.
“Baik, Tuan Besar,” jawab sang abdi.
Ayah dan ibu itu pun lantas ke luar dari kamar.
Hari-hari lewat tanpa ada perubahan pada diri Nio San
Pek, ia tetap tidak mengalami kemajuan. Tidak demikian
halnya di hari keempat, di saat jauh tengah hari, di kala
sinar sang surya telah condong ke tembok sebelah timur
rumah keluarga Nio.
Di saat itu San Pek sedang tidur melayap. Ia melihat
seberkas cahaya pelangi berwarna lima, yang serta-merta
berubah menjadi apa yang dinamakan “Thay Ow Cio” -Batu
Telaga Thay- dan yang segera berubah lagi. Di bagian
tengah batu itu, yang sangat tinggi dan besar, mendadak
terbuka sebuah pintu bagaikan mulut gua. Mula-mula
tampak segumpal awan, yang perlahan-lahan mengapung
naik. Sekonyong-konyong, dari pintu itu muncul wanitawanita
berdandanan dayang keraton. Mereka itu
menggapai-gapai seraya memanggil: “Mari, mari! Mari lekas
naik ke langit!”
San Pek, di sana, melihat seorang wanita mirip Ciok
Eng Tay. Ia menatapnya dengan tajam. Kemudian hendak
ia panggil gadis itu, tetapi tiba-tiba ia mendusin. Yang ada
di depannya sekarang hanyalah ayah-ibunya, bertiga
bersama Su Kiu. Ia merasa heran sekali.
“Pukul berapa sekarang?” tanyanya.
Ciu Po menengok ke luar.
“Sudah lohor,” sahutnya.
San Pek memperhatikan ayahnya itu.
“Papa,” katanya, “dapatkah aku memperoleh keikhlasan
Papa dan Mama berdua, bila aku menutup mata, agar
dikubur di Ow-kio-tin?”
Nio Ciu Po tertegun. Airmatanya mendadak berlinang.
“Dapat, Nak,” sahutnya cepat. “Dapat Papa lakukan
itu....”
“Terima kasih, Pa!” kata San Pek. “Maafkan aku, aku
tidak dapat turun dari ranjang untuk menjalankan
penghormatan, aku mengangguk saja dari atas ranjang
ini....”
Selesai berkata demikian, benar saja ia miringkan
kepalanya.
Kho-si tidak dapat berkata-kata, hanya airmatanya
bercucuran. Ia mendekati pembaringan, mengawasi
putranya dengan airmata berlinang-linang. Ia menangis
tersedu-sedu....
“Su Kiu, ke mari....” ujar San Pek memanggil abdinya.
“Ada apa, Tuan Muda?” tanyanya.
“Aku menyesal, selama tujuh-delapan tahun kamu
mengikutiku, aku tidak dapat berbuat apa-apa untukmu,”
kata sang majikan. “Tetapi aku percaya Papa dan Mamaku
tidak akan menyia-nyiakanmu, maka, kau jangan
khawatir....”
“Ya, Tuan Muda....” jawab abdi itu. Tangisannya
membuat ia tak dapat berkata lebih jauh.
“Sekarang aku hendak berpesan satu kali lagi,” kata
San Pek lagi. “Kalau aku telah tiada maka kau tak usah
membantu mengurus hal lain di sini, tetapi kau harus
segera pergi ke dusun Ciok untuk menyampaikan berita.
Kau katakan pada gadis itu, jenazahku tidak akan segera
dirawat, akan menunggu kedatangannya untuk pertemuan
sekali lagi, pertemuan yang terakhir. Kalau Nona Ciok
mendengar berita ini, dia pasti akan datang....”
Su Kiu tidak dapat menjawab, ia hanya tersedu-sedan,
tetapi ia mengangguk.
San Pek berkata pula dengan lemah. “Papa... Mama...
Pa, tadi Papa mengatakan bahwa sekarang sudah lohor,
maka sekarang aku hendak pergi....”
Sang ibu kaget sekali. Ia menubruk.
“Tidak! Tidak...!” teriaknya. “Kau tidak boleh pergi....”
San Pek mengulurkan kedua tangannya, memegangi
tangan ayah dan ibunya, ia memegangnya erat-erat.
Beberapa detik, ia tak dapat membuka mulutnya. Tetapi
kemudian, dengan lemah, dapat juga ia, berkata: “Aku
menyesal tidak dapat berbuat apa-apa untuk Papa dan
Mama, aku sangat menyesal. Mengenai pernikahanku,
harap Papa dan Mama ikhlaskan, itu bukan hanya urusan
Papa dan Mama saja, itu adalah masalah anak laki-laki
dan anak perempuan. Ku harap Papa dan Mama
memaklumi. Papa dan Mama dapat mengerti, tidak
demikian dengan kedua orangtua keluarga Ciok. Pa, Ma,
mereka itu kalah dengan kekuasaan, mereka mencintai
kemasyhuran yang kosong. Pa, Ma, sekian saja kata-kata
putramu....”
Suara terakhir San Pek hampir tak terdengar, tenaga di
sekujur tubuhnya berangsur-angsur lenyap, napasnya pun
perlahan-lahan menghilang.
Ciu Po dan Kho-si memegangi tangan putranya itu
sampai mereka merasakan denyut nadinya berhenti....
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Cinta Romantis Mandarin Sampek engtay 2 ini diposting oleh ali afif pada hari Kamis, 20 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.