Cerita Dewasa Bukan Raisa Tapi Ching Ching 1

Cerita Dewasa Bukan Raisa Tapi Ching Ching 1
Cerita Dewasa Bukan Raisa Tapi Ching Ching 1
AliAfif.Blogspot.Com - Cerita Dewasa Bukan Raisa Tapi Ching Ching 1
baca juga:

Di sebuah hutan kecil dua orang gadis cilik tampak berlari-lari di antara
pepohonan. Keduanya sedang mengejar kupu-kupu. Yang seorang tampak lebih tua
dari yang lain. Itulah Lan Siu Yin, anak dari Lan Man Fung. Umurnya baru tujuh
tahun. Sikapnya lemah lembut, namun agak cengeng seperti kebanyakan bocah
lainnya. Sayang, dalam usianya yang masih muda ia sudah yatim piatu sehingga
kini diasuh saudara seperguruan ayahnya, Lie Chung Yen.
Seorang lagi adalah Lie Mei Ching, sepupu Lan Siu Yin. Selisih umrunya hanya
setahun lebih muda. Berbeda dengan Siu Yin, Ching-ching lincah sifatnya,
periang, dan pemberani. Kuncir rambutnya tak pernah diam, selalu
bergoyang-goyang. Bibirnya yang mungil selalu berceloteh sambil sesekali melirik
piauw-cienya (kakak sepupu perempuan).
“Ching-moay (Adik Ching),” kata Siu Yin beberapa waktu setelah mereka berjalan
mengelilingi hutan, “baiknya kita pulang saja. Aku sudah cape, lagipula sebentar
lagi kita harus belajar. Sian-seng (Guru pelajaran sekolah) tentu sudah menunggu
kita.”
“Ah, Yin Cie-cie (Kakak Yin) selalu begitu. Kecapean setiap kali jalan-jalan.
Kita belum sampai di sungai kecil di sana itu. Aku ingin menangkap ikan,” kata
Ching-ching cemberut merajuk. Gadis manja itu menarik lengan baju sang
piauw-cie. “Ayolah, mumpung kita dikasih izin keluar rumah.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, Ching-ching berlari mendului. Ia tahu piauw-cienya
akan terpaksa mengikuti. Dan memang itulah yang terjadi. Sambil menghela napas
Siu Yin mengikuti. Ia tak berani pulang sendiri sekalipun rumah mereka tak
seberapa jauh dari sana.
Begitu sampai di sungai kecil, Ching-ching segera melepas sepatu dan menggulung
lengan baju serta ujung celananya. Ia pun segera masuk ke air. Di tepi sungai,
Siu Yin berteriak-teriak mengingatkan,
“Ching-moay, hati-hati. Nanti bajumu basah. Kau bisa sakit. Sudah, kalau mau
ikan, beli saja di pasar.”
“Ah, tidak enak. Lebih enak ikan tangkapan sendiri. Nanti dibakar dan kita makan
berdua,” sahut Ching-ching. “Cie-cie, kau tidak ikut turun? Di sini asyik,
sejuk. Airnya dingin.”
Siu Yin menggeleng. “Tidak, ah, nanti bajuku basah.”
“Alaa, basah sedikit tidak apa-apa,” kata Ching-ching seraya mencipratkan air
Ching Ching 2
sungai pada Siu Yin. Piauw-cienya menjerit dan menjauh, kemudian duduk di bawah
pohon mengawasi piauw-moaynya (adik sepupu perempuan) menangkap ikan.
Ching-ching mencoba menangkap ikan-ikan besar. Tapi betapa sulitnya. Beberapa
kali ia sempat memegang beberapa ikan yang besar, namun selalu terlepas lagi.
“Heran, kenapa sih badan ikan itu licin bukan main? Jadi sulit menangkapnya,”
gumam Ching-ching kesal.
Ching-ching tidak putus asa. Ia masih mencoba menangkap beberapa ekor ikan yang
lewat di dekatnya. Nah, itu ada seekor yang besar sekali! Ching-ching
mengendap-endap mendekati. Lalu dengan sangat cepat, tangannya terulur menangkap
ikan itu! Dapat!
“Cie-cie, lihatlah! Aku dapat! Aku dapat! Besar sekali!”
Siu Yin cepat-cepat mendekati. Ching-ching mengangkat ikan itu tinggi-tinggi,
mencengkeram kuat-kuat dengan kedua tangannya yang kecil. Ikan gemuk yang berat
itu menggelepar-gelepar. Ching-ching kerepotan jadinya. Tapi, anak bandel itu
tak berniat melepaskan lagi.
“Lihat, Cie-cie,” katanya pada Siu Yin. “Cepat cari kayu. Wah, makan besar kita.
Cepat, ambil kayu bakar—“
Tiba-tiba saja Ching-ching terpeleset. Badannya terjengkang ke belakang. Dengan
suara berdebur, ia jatuh ke dalam air.
Byur! Suara ceburan terdengar lagi. Siu Yin nekat mencebur untuk menolong
adiknya. Tapi, alih-alih mau menolong, ia sendiri tergelincir. Siu Yin panik. Ia
tak pernah masuk ke sungai sebelumnya, sekarang malah terseret arus sungai yang
cukup deras. Gelagapan, Siu Yin mencengkeram apa saja yang ada di dekatnya.
Ching-ching berdiri. Air sungai memang tak sampai sepinggangnya. Ia tertawa
gembira. “Cie-cie, kau pun ikut basah jadinya.”
Namun, melihat gerakan-gerakan Siu Yin yang tak terkendali, gadis kecil yang
cerdas itu segera mengerti. Diraihnya lengan Siu Yin dan diseretnya ke tepi.
Berat juga, apalagi pakaian Siu Yin basah kuyup semua.
Ching-ching membaringkan piauw-cienya di tanah. Ia ketakutan melihat Siu Yin
yang pucat dan diam tak bergerak.
“Cie-cie, bangunlah. Cie-cie, ayo bangun, jangan diam saja. Kau belum mati, kan?
Ayolah, jangan kau takuti aku.”
Siu Yin masih diam saja. Ching-ching makin mengguncangkan badannya.
“Cie-cie, ayo bangun. Kita pulang saja. Bukankah Sian-seng menunggu kita?
Ayolah, katanya takut diomeli Thia-thia (Ayah) kalau terlambat.”
Ching-ching semakin ketakutan melihat Siu Yin tak bergerak. Tanpa terasa air
matanya mengalir. Kemudian ia mendapat akal. Dicipratkannya air sungai ke wajah
Siu Yin.
Benar saja. Kelopak mata Siu Yin bergerak. Ia terbatuk-batuk dan memuntahkan air
yang sempat membikin kembung perutnya. Ching-ching cepat-cepat membantunya duduk
dan mengurut-urut punggung piauw-cienya.
Setelah memuntahkan air yang tertelan, Siu Yin merasa lebih enakan. Dibantu
Ching-ching, ia berdiri. “Ching-moay, kita pulang saja sekarang.”
Ching-ching mengangguk. Tanpa sengaja ia melihat tangan kanan Siu Yin yang
mengepal. “Yin Cie-cie, apa yang kau genggam itu?”
Siu Yin membuka genggaman tangannya. Dengan mata terbelalak ia menatap benda di
tangannya.
“Ih!” serunya jijik seraya melemparkan benda yang ternyata seekor ikan kecil
yang mati kehabisan napas. Rupanya ketika kelelep tadi, tanpa sadar ia
mencengkeram ikan kecil yang lewat di dekatnya.
Ching Ching 3
“Yin Cie-cie, kau menangkap ikan ini?” Ching-ching mengambil ikan itu dengan
menjepit ekornya dengan jari telunjuk dan jempol. “Hei, kita bawa pulang saja.
Pasti lucu jadinya kalau ikan ini kita masukkan ke dalam baju Sian-seng.”
Ching-ching tergelak-gelak membayangkan hal itu.
Siu Yin menggeleng-geleng. “Ching-moay, jangan keterlaluan. Kau ingat waktu kau
iseng menggunting kumis Sian-seng kemarin dulu? Siok-siok (Paman) marah sekali.
Dan kau dihukum rotan 12 kali sampai tak dapat duduk berhari-hari lamanya.
Masakan kau belum kapok juga?”
Ching-ching meringis. Walaupun hukulan itu sudah tak berbekas lagi, tapi kalau
ingat, sakitnya masih tak terasa. Tidak, ia tak mau dihukum lagi. Lebih baik
dibuangnya saja ikan itu. “Aku pun tak mau dirotan lagi,” kata anak itu.
“Baiknya kita pulang saja sebelum Thia-thia mencari. Tapi … Cie-cie, jangan
bilang-bilang, kalau aku main air di sungai.”
Siu Yin mengangguk. Tak terpikir olehnya bahwa bajunya yang basah akan
menyatakan kebenaran. Sambil bergandengan tangan, kedua anak itu berjalan
pulang.
Lie Chung Yen sedang berbincang-bincang dengan Meng Sian-seng. Ia ingin tahu,
sampai di mana tingkat pelajaran anaknya.
Meng Sian-seng menghela napas sebelum menjawab. “Lan Sio-cia anak yang baik. Dia
sangat menyukai sastera, lukis, dan sejarah.”
“Bagaimana dengan anakku Ching-ching?”
“Ching-ching sebenarnya amat pandai. Ia anak yang cerdas. Daya ingatnya kuat. Ia
mudah menangkap apa yang diajarkan. Tapi … sering kali konsentrasinya tidak pada
pelajaran. Kelihatannya ia lebih tertarik kepada ilmu silat daripada pelajaran.
Saat belajar, ia lebih sering memperhatikan murid-murid yang berlatih di ruang
belajar daripada apa yang kukatakan.”
“Kalau begitu mulai besok aku akan menyuruh murid-muridku berlatih di kebun
belakang saja.”
“Sebenarnya itu tak perlu,” kata Meng Sian-seng sungkan.
“Tidak apa-apa,” potong Lie Chung Yen. “Ini demi anakku juga, bukan? Ah, ya.
Bukankah ini waktu anak-anak belajar? Kalau begitu aku tak akan mengganggu lagi
Meng Sian-seng.” Lie Chung Yen minta diri. Ia melangkah ke luar dan hampir saja
ia bertubrukan dengan anak dan kemenakannya.
“Thia-thia!” Ching-ching berseru kaget.
“Ching-ching, Siu Yin, dari mana kalian?”
“Dari … dari …,” Siu Yin menjawab terbata.
“Kami habis bermain layangan,” jawab Ching-ching.
Lie Chung Yen menatap Siu Yin yang cepat-cepat menunduk dengan wajah memerah.
Melihat gelagatnya, tentu Ching-ching telah berbohong. Belum lagi rambut Siu Yin
yang basah sekalipun pakaiannya kering. “Siu Yin, dari mana kalian?”
“Dari bermain—“ Ching-ching menjawab lagi.
“Thia-thia tidak tanya kau!” bentak ayahnya.
Ching-ching langsung mengkeret. Siu Yin ngeri juga. Seperti biasa, air matanya
langsung mengalir.
Chung Yen iba melihatnya. Namun ia tak berkata apa-apa. “Kenapa rambutmu basah?”
tanyanya dengan nada lunak.
Siu Yin tidak berani berbohong lagi. Dengan terisak-isak ia menceritakan apa
adanya.
Ching-ching meringis. Keringat dingin mengalir. Ia tahu sebentar lagi pasti ia
dihukum. Thia-thianya pernah bilang, sekalipun tidak berbahaya, ia tak boleh
Ching Ching 4
main ke sungai kecil. Di sana sepi. Kalau ada apa-apa, tentu tak ada yang bisa
menolong.
Lie Chung Yen melirik anaknya. Anak itu mesti diajar adat supaya jadi orang
baik-baik kelak. Sebenarnya Chung Yen tidak tega. Ia sangat sayang pada anaknya.
Dan setiap hukuman yang diterima Ching-ching seolah-olah dia sendiri yang
merasakan.
“Siu Yin, pergilah ke kamarmu,” katanya setelah mendengar penuturan anak itu.
Siu Yin segera berlari, tapi diam-diam ia bersembunyi di balik tembok untuk
mengetahui apa hukuman yang akan diterima moay-moaynya.
Lie Chung Yen mengetahui hal ini, tapi tak apa pun dibuatnya. Ia tak pernah tega
menghukum Siu Yin. Anak itu penurut. Kalau tidak karena Ching-ching, tentu tak
akan berbuat nakal. Sifatnya lembut, dibentak sedikit saja air matanya mengalir
tak terhenti. Melihat anak itu menangis, Chung Yen selalu teringat akan pesan
soe-hengnya (kakak seperguruan laki-laki) yang terakhir untuk menjaga Siu Yin.
Ching-ching memandang kepergian piauw-cienya dengan lega. Rasanya ia tabah
menerima hukuman apa saja asal tak ada Siu Yin di sana. Siu Yin selalu menangis
kalau melihat ia dihukum. Hal ini menyebabkan ia ikut menangis juga. Bukan
karena hukumannya, tapi melihat Siu Yin menangis, siapa pun akan teriris
hatinya.
Lie Chung Yen menggendong anaknya dengan sayang. Ching-ching melingkarkan tangan
ke leher ayahnya. Ia tahu sekalipun sering dihukum, itu adalah karena salahnya
sendiri, bukan karena Thia tidak sayang padanya. Ibunya pernah mengatakan bahwa
justeru karena sayang maka ia dihukum.
“Kenapa Yin Cie-cie tak pernah dihukum?” tanya Ching-ching waktu itu. “Apakah
Thia-thia tak sayang padanya?”
“Yin Cie-cie itu anak penurut. Kalau tidak karena kamu, mana mau ia melanggar
kata-kata thia-thiamu,” jawab ibunya sambil tertawa.
Lie Chung Yen membawa anaknya ke ruang baca. Ada suara langkah kaki-kaki kecil
di belakangnya. Namun, berlagak tidak mendengar, ia berjalan terus.
“Berlutut!” perintah Chung Yen pada anaknya begitu sampai di ruang baca. “Jangan
berdiri sebelum kuijinkan.”
Ching-ching menurut walaupun ia tahu bahwa hukuman berlutut akan berlanjut.
Paling tidak sampai matahari terbenam nanti.
Di luar Siu Yin berlari-lari menjauh. Dengan pandangan kabur karena air mata, ia
mencari siok-bonya (bibi) untuk minta ampunan bagi Ching-ching walaupun biasanya
Lie Chung Yen tetap pada pendiriannya.
“Tahu apa kesalahanmu?” tanya Chung Yen pada anaknya.
Ching-ching mengangguk. “Karena main ke sungai kecil, melanggar larangan
Thia-thia,” jawabnya.
“Tahu kesalahanmu yang lain?”
Ching-ching menggeleng. Ia mengerutkan kening, berpikir.
“Kau nyaris mencelakakan cie-ciemu. Kau tahu?” Chung Yen menghela napas.
“Ching-ching, dalam setiap perbuatanmu, jangan sampai kau mencelakakan orang
lain, mengerti?”
Dalam usianya yang enam tahun, Ching-ching sulit mencerna kata-kata ayahnya.
Tapi dengan pikiran anak-anaknya, ia dapat mengerti inti kalimat itu.
“Oh ya,” kata ayahnya lagi. “Meng Sian-seng bilang kau sulit konsentrasi pada
pelajaranmu. Katanya, kau lebih tertarik pada murid-murid yang sedang berlatih.
Betul begitu?”
Ching-ching mengangguk lagi.
Ching Ching 5
“Kau mau belajar silat?” tanya Chung Yen lagi.
Ching-ching menatap ayahnya tak percaya. Ia membelalak dengan pandangan
bertanya. Ketika ia lihat ayahnya mengangguk dengan wajah sungguh, barulah ia
menjawab. “Tentu mau, Thia-thia,” katanya bersemangat.
“Sebetulnya kau terlalu kecil untuk itu,” gumam ayahnya pelan. “Baiklah. Kau
boleh belajar silat, tetapi dengan satu syarat.”
“Apa syaratnya, Thia?”
“Kau harus bisa membagi antara pelajaran silat dengan apa-apa yang diajarkan
Meng Sian-seng. Kau tak boleh meninggalkan salah satunya. Kau sanggup?”
“Sanggup, Thia.”
“Mau berjanji?”
“Tentu.”
“Seorang pendekar selalu menepati janji,” kata Chung Yen. “Kalau pelajaranmu
minggu ini baik, Thia-thia akan mengajarimu silat minggu depan.”
Lie Chung Yen bangkit. Ia melangkah keluar. Ching-ching masih harus menjalani
hukumannya. Namun, anak itu tidak lagi peduli. Yang ada di otaknya hanyalah
silat dan silat. Ia akan menjadi sehebat ayahnya kelak. Mungkin ia akan
mendirikan perguruan sendiri. Atau meneruskan perguruan ayahnya. Ah, hebat
sekali nampaknya.
Lie Chung Yen tersenyum melihat anaknya begitu bersemangat. Namun ia tahu,
Ching-ching cepat sekali bosan akan sesuatu. Mungkin nantinya ia akan menganggap
pelajaran lebih menyenangkan daripada silat sebab berlatih silat, selain teori,
dibutuhkan pula kesabaran dan ketekunan. Apalagi pada tingkat permulaan.
Pelan-pelan Chung Yen meninggalkan kamar itu.
Di luar, Han Mei Lin menghampiri. “Suamiku, apa lagi yang dibuat anak kita hari
ini?” tanyanya.
“Ia main ke sungai kecil dan hampir-hampir mencelakakan Siu Yin.”
“Ooo, pantas barusan Siu Yin berkali-kali menyalahkan dirinya atas hukuman
Ching-ching.”
“Siu Yin bercerita kepadamu?”
“Ya, ia mencariku supaya memintakan ampunan bagi Ching-ching. Tapi ceritanya
terputus-putus, sehingga aku hanya dapat mengira-ngita saja apa yang terjadi.”
“Dia lakukan itu? Padahal aku menyuruhnya tinggal di kamar. Ah, rupanya ia juga
ketularan bandelnya Ching-ching.”
Istrinya tertawa. “Melihat mereka berdua, aku ingat akan kau dan soe-hengmu
selagi muda. Kalian begitu akur. Semua pekerjaan dikerjakan bersama,
susah-senang ditanggung berdua. Padahal sifat kalian berbeda sekali. Sekarang
Ching-ching mewarisi kenakalan ayahnya. Itu bukan salahnya.”
Chung Yen tersenyum. Sewaktu kecil ia memang sebandel anaknya. Lebih malah.
Karena itu ia sering dihukum oleh gurunya. Dan tiap kali ia dihukum,
soe-hengnya, ayah Lan Siu Yin, menemani sekalipun kesalahan jelas-jelas ada
padanya.
Sayang, sekarang Lan Man Fung sudah tiada. Tapi ia menitipkan Siu Yin padanya.
Maka dari itu, ketika mendengar Siu Yin hampir celaka, ia menjadi gusar. Dalam
pikirnya, andaikan Siu Yin tidak tertolong, entah bagaimana ia menghadap
soe-hengnya kelak.
Chung Yen menghela napas. “Lin-moay, aku ada urusan sedikit. Aku harus pergi ke
pertemuan para pendekar. Barangkali baru besok pagi bisa pulang. Ching-ching ada
di dalam. Begitu aku pergi, boleh kau lepaskan dia.”
Han Mei Lin mengantar suaminya keluar. Lalu ia pergi mendapati anaknya yang
Ching Ching 6
masih berlutut di ruang baca. “Ching-ching,” panggilnya.
Ching-ching menoleh. “Nio (Ibu)!”
“Ching-ching, apa yang kau buat hingga Thia-thia menghukummu?”
“Aku mengajak Yin Cie-cie ke sungai kecil untuk menangkap ikan. Waktu dapat ikan
besar, tiba-tiba saja terpeleset. Yin Cie-cie mau menolong, tapi ikut
tergelincir dan tercebur ke sungai.”
“Ching-ching, kalau cuma menangkap ikan, buat apa jauh-jauh. Di kolam belakang
kan ada. Lebih besar dan gemuk pula.”
“Ikan-ikan di kolam itu gemuk dan lamban, Nio. Menangkapnya terlalu mudah. Di
sungai kecil ikannya langsing dan gesit. Biarpun lebih sulit, tapi lebih
menyenangkan.”
“Baiklah, baiklah,” ibunya mengakui. “Sekarang bangkitlah. Ini waktumu belajar,
bukan? Hayo, jangan biarkan Sian-seng menunggu terlalu lama.”
“Tidak, Nio, aku tidak boleh berdiri sampai Thia-thia mengijinkan.”
“Thia-thia sudah mengampunimu. Ia sudah katakan pada Nio untuk melepaskanmu.”
“Tapi … tapi ….”
“Kenapa? Kau tidak percaya pada Nio?”
“Bukan, bukan begitu,” jawab Ching-ching buru-buru. “Tentu saja aku percaya pada
Nio. Tapi orang yang berbuat salah mesti dihukum. Dan hukuman itu harus sesuai
kesalahan. Kalau Thia-thia bilang berlutut, aku akan berlutut sampai Thia-thia
ijinkan Ching-ching berdiri.”
Han Mei Lin menatap dalam-dalam mata anaknya. “Ini bukan akalmu untuk menghindar
dari pelajaran, bukan?” katanya curiga.
“Nio, kalau Nio tidak percaya, biarlah Meng Sian-seng mengajar di kamar baca ini
supaya aku bisa ikut belajar.”
“Ching-ching, kau benar-benar tidak akan berdiri sebelum thia-thiamu pulang?
Mungkin thia-thiamu pulang esok pagi, apakah kau tahan?”
Ching-ching mengangguk tegas. Paling-paling kakinya pegal-pegal nantinya.
Ibunya pun tidak dapat lagi membujuk anaknya. “Kau betul-betul keras kepala
seperti ayahmu,” gumamnya. “Baiklah, biar Nio panggil Meng Sian-seng supaya
mengajar di sini.”
Siang itu Meng Sian-seng boleh bergembira. Lie Mei Ching menjadi anak terbaik
yang pernah dilihatnya. Sekalipun sambil berlutut sekian lama, anak itu dapat
belajar dengan baik. Sekali dengar saja, apa yang dikatakan gurunya dapat
diulangi dengan tepat.
Siu Yin yang belajar bersamanya pun merasa senang. Kalau tiap hari Ching-ching
seperti hari ini, tentu piauw-moaynya itu tak akan lagi dihukum dan mereka dapat
bermain bersama seharian.
Sampai malam menjelang, Ching-ching tak bergeser dari tempatnya. Ia menolak
ketika ibunya datang membujuk untuk tidur di kamarnya. Padahal, saat itu rasa
kantuk sudah menyerang Ching-ching. Tak berapa lama ia pun tertidur dalam
keadaan berlutut hingga tak tahu ketika ibunya datang menyelimuti dan meniup
padam lilin.
Pagi-pagi keesokan harinya Ching-ching merasa seluruh tubuhnya pegal dan kaku,
tapi ia tak merasakan apa-apa pada kakinya. Dan ketika ia membuka mata, ternyata
thia-thianya sedang duduk membaca.
“Thia-thia,” panggilnya, “kapan Thia-thia pulang?”
“Baru saja,” jawab ayahnya tersenyum. Ching-ching, kau tidak turuti kata ibumu
kemarin.”
“Kemarin aku tidak ke mana-mana, Thia. Sungguh. Bahkan belajar dan makan pun,
Ching Ching 7
aku berlutut,” Ching-ching cepat membela diri.
“Thia-thia tahu, tapi bukankah ibumu menyuruhmu berdiri kemarin?”
“Tapi … Thia-thia bilang …. “
“Sudahlah, sekarang kau boleh berdiri.”
Ching-ching mencoba berdiri. Dirasanya kakinya sakit sekali. Bertumpu pada meja
di dekatnya, ia berhasil berdiri. Namun, kakinya seolah tidak menapak tanah. Ia
pun terjatuh.
Sebelum tubuh anaknya menyentuh lantai, Lie Chung Yen sudah melompat dan
menyambar. Sebelum disadari oleh Ching-ching, gadis itu sudah berada dalam
gendongan ayahnya.
“Kakimu sakit sekali, bukan? Tapi tak apa. Besok pagi kau akan pulih kembali.
Anggap saja sebagai latihan permulaan perlajaran silatmu. Dan hari ini kau boleh
beristirahat seharian di kamar.”
“Tidak usah belajar?” tanya Ching-ching.
“Senang, ya, tidak usah belajar?” kata Chung Yen sambil memijit hidung gadis
ciliknya. Ching-ching tertawa dan menyandarkan kepala di pundak ayahnya.
Ching-ching sudah memulai pelajaran silatnya. Kini ia tak pernah bermain ke luar
rumah. Setiap ada kesempatan, ia berlatih silat. Pada permulaannya ia dan Siu
Yin belajar bersama-sama. Tapi Siu Yin yang lembut tidak menyukai
latihan-latihan yang berat. Padahal waktu itu mereka baru mempelajari kuda-kuda.
Tapi Ching-ching bertahan. Ia memang bosan belajar memperko-koh kuda-kuda yang
mengesalkan. Kaki direntang, lutut ditekuk hingga paha lurus. Punggung dan
kepala tegak. Lengan dan siku tegak lurus. Siku menempel di pinggang. Tangan
mengepal. Dan ia harus berdirid dengan sikap demikian berjam-jam.
Bagi gadis cilik yang lincah itu, latihan demikian amatlah berat. Dia yang
biasanya tak pernah diam, kini harus tegak bagai batu dengan konsentrasi penuh.
Kadang-kadang Ching-ching meminta murid ayahnya untuk mengawasi atau melatih,
tapi murid pemula ayahnya yang berumur antara 12-17 tahun malah lebih sering
menggoda. Untunglah dengan kebulatan tekadnya, dengan cepat Ching-ching dapat
menguasai kuda-kuda yang ko-koh.
Bahkan ia sudah dapat menguasai pukulan-pukulan yang berbahaya dalam waktu
singkat. Walaupun pukulan-pukulan itu tidak dibarengi lwee-kang (tenaga dalam),
tetapi sudah cukup terarah.
Bebareng dengan itu kemajuannya dalam pelajaran cukup pesat. Hampir-hampir
melampaui piauw-cienya yang rajin. Hal ini membuat Meng Sian-seng menyayanginya
dan guru itu dengan senang hati menuruti beberapa permintaan Ching-ching.
Misalnya melukis wajah Ching-ching, mengajarnya bermain suling dan memetik khim
(kecapi), dan kadang-kadang membebaskan muridnya dari pelajaran dengan bercerita
tentang pendekar-pendekar masa lampau.
Tetapi kehidupan demikian lama-lama membuat jenuh. Seperti hari ini, kebandelan
Ching-ching nampak kembali.
“Sian-seng, hari ini tak usah belajar sajalah.”
“Baik, kalau begitu aku akan bercerita tentang pendekar—“
“Hari ini aku tak berminat mendengarkan cerita,” potong Ching-ching cepat-cepat.
“Sian-seng, hari ini aku ingin bermain-main di luar. Boleh, ya?”
Meng Sian-seng ragu-ragu. Semalam ia keasyikan membaca buku sampai larut
sehingga hari ini merasa tidak bersemangat. Kalau ia dapat tidur sejenak,
barangkali akan lebih segar ketika bangun nanti.
“Baiklah,” katanya kemudian. “Tapi jangan lama-lama. Setelah bermain nanti,
kalian harus belajar lagi.”
Ching Ching 8
Ching-ching dan Siu Yin berlari keluar.
“Ching-moay,” kata Siu Yin, “akan main apa kita sekarang?”
“Tidak tahu,” jawab Ching-ching. “Aku akan berlatih silat saja, ah.”
Ching-ching menggerakkan tangan dan kaki seperti yang diajarkan ayahnya. Siu Yin
memandangnya dengan kagum.
“Siauw-sio-cia (Nona Kecil), latihanmu sungguh baik,” seseorang tiba-tiba
berkata. Ialah Sie Ling Tan, salah satu murid Pek-eng-pay (Partai Elang Putih)
pimpinan Lie Chung Yen, yang cukup berbakat, berumur 12 tahun.
“Tan Ko-ko (Abang Tan),” sapa Ching-ching. “Tumben kau tidak berlatih, biasanya
paling rajin.”
“Siauw-sio-cia, aku mau menghadiahkan ini pada Toasiocia (Nona Besar),” kata
Ling Tan sambil menyodorkan beberapa kuntum bunga kepada Siu Yin.
“Terima kasih,” kata Siu Yin lirih.
“Untukku mana?” tanya Ching-ching.
“Siauw-sio-cia, aku tak tahu kau suka bunga juga.”
“Memang tidak. Tapi kalau Yin Cie-cie diberi, aku juga mau.”
“Wah, aku tidak membawa. Aku hanya sempat memetik selembar daun ini saja.”
“Daun? Aku tak mau daun,” Ching-ching cemberut, merajuk.
“Tapi daun ini istimewa.”
“Apa istimewanya? Daun di mana-mana juga sama.”
“Yang ini lain. Lihat!” Ling Tan membawa daun kecil itu ke mulutnya. Terdengar
suatu siulan merdu. Ling Tan menyiulkan lagu yang gembira. Siu Yin dan
Ching-ching bertepuk tangan.
“Tan Ko-ko, ajari aku, ajari aku,” pinta Ching-ching.
“Bukankah kau cuma ingin bunga? Biar kucarikan,” kata Ling Tan. Anak laki-laki
itu berbalik.
Ching-ching menarik bajunya. “Tan Ko-ko, jangan begitu. Kau tahu aku tak peduli
pada bunga.”
Ling Tan tersenyum. Sekali lagi suatu siulan terdengar.
“Biar kucoba,” kata Ching-ching. Pfff, pfff. Ia meniup-niup, namun tak berhasil.
“Marilah kuajari.” Ling Tan membeli contoh. “Lihat, jepit ujung-ujung daun ini
dengan telunjuk dan jempol. Lalu pegang di depan bibir, melintang. Tiup begini
….”
Ching-ching mencoba berkali-kali. Setelah beberapa lama, sebuah siulan sumbang
berhasil keluar. “Huh, daunnya sudah jelek,” katanya. “Tan Ko-ko, di mana kau
dapatkan daun ini. Aku ingin juga memetiknya banyak-banyak.”
“Di hutan kecil,” jawab Ling Tan.
“Antar aku ke sana!” kata Ching-ching bersemangat.
“Ching-moay, jangan,” cegah Siu Yin. “Kita tak boleh main lama-lama. Kalau Lie
Siok-siok tahu kita tak belajar, bisa-bisa diomeli.”
“Tidak apa-apa,” Ching-ching bersikeras. “Sudah lama aku tidak diomeli. Kalau
sekarang mesti diomeli, ya tak apa.”
“Tan Ko-ko,” Siu Yin ganti memohon pula pada Ling Tan. “Jangan bawa Ching-moay
main jauh-jauh.”
“Siauw-sio-cia,” kata Ling Tan, “kau tunggulah di sini. Biar kuambilkan beberapa
lembar untukmu.”
“Tidak mau, aku mau ambil sendiri.”
“Kau kan tidak tahu tempatnya.”
“Karena itu Tan Ko-ko harus tunjukkan padaku.”
Ling Tan berdiri dengan bingung di tempatnya.
Ching Ching 9
Melihat itu, Ching-ching jadi kesal. “Kalau begitu biar kucari sendiri.”
“Eh, kau bisa tersesat, Siauw-sio-cia.”
“Makanya kau antar aku.”
Ling Tan terpaksa menuruti kehendak Ching-ching. Siu Yin ragu-ragu sejenak. Tapi
akhirnya ia ikut juga.
Di hutan kecil, Ling Tan menunjukkan tempat daun itu tumbuh. Ia juga memilihkan
bagi Siu Yin dan Ching-ching. Berlatih beberapa kali, Ching-ching sudah dapat
meniup dengan betul. Sementara Siu Yin sedari tadi sudah menyerah.
“Tan Ko-ko, ajari aku lagu yang lucu,” pinta Ching-ching.
Ling Tan mengajarinya sebuah lagu riang. Mendengar sekali saja Ching-ching sudah
dapat mengikuti.
“Lagunya bagus,” kata Siu Yin yang memang menyukai musik. “Siapa yang
mengajari?”
“Kukarang sendiri,” kawab Ling Tan bangga. “Tapi Toa-sio-cia jangan bilang
kawan-kawanku, ya. Bisa-bisa aku ditertawakan.”
Siu Yin tersenyum, memandang kagum. Anak sekecil ini bisa mengarang lagu? Hebat
betul.
“Tan Ko-ko, tolong petikkan beberapa helai daun di dahan yang tinggi itu!” kata
Ching-ching.
Ling Tan bangkit membantu. “Banyak amat, Siauw-sio-cia. Untuk apa?”
“Untuk persediaan. Supaya aku tak perlu bolak-balik kalau mau memainkan daun
ini.
Ling Tan tertawa. “Siauw-sio-cia, asal kau tahu saja, daun yang sudah layu tak
bisa lagi dimainkan.”
“Kenapa?”
“Karena daun yang layu itu lemas. Kalau ditiup, getarannya tidak pas, maka tak
dapat mengeluarkan bunyi.”
“Kalau begitu daun ini kutanam saja di kebun di rumah.”
“Mana bisa daun ditanam?” Siu Yin menyela.
“Habis bagaimana?” Ching-ching balas bertanya.
“Siauw-sio-cia, kalau mau menanam, ambil saja tumbuhan yang masih kecil.” Seraya
berkata demikian, Ling Tan mencabut tanaman yang masih kecil. “Tapi kau harus
menunggu cukup lama untuk mencabuti daunnya.
“Nah, aku sudah puas memetiknya. Ayo kita pulang sekarang.”
“Baiklah.”
Mereka melangkah pulang.
“A-hoa, A-hoa!” Tiba-tiba terdengar suara keras menggema.
Ketiga anak kecil itu berhenti mendadak. Dari kejauhan di balik pepohonan tampak
bayangan yang cepat sekali mendekat. Tiba-tiba saja di depan mereka telah
berdiri seorang laki-laki berumur 40-an yang tinggi besar. Rambut orang itu
acak-acakan. Kumis dan jenggotnya lebat. Alisnya tebal dan ia membawa pedang
besar di punggunggnya.
Siu Yin gemetar ketakutan. Ia merapatkan diri pada Ling Tan. Ching-ching
sebaliknya dari takut, malah maju menghampiri orang itu dan memperhatikan dari
dekat.
“A-hoa, ayo pulang,” kata orang itu seraya menarik lengan Ching-ching.
“Aku bukan A-hoa,” kata gadis cilik itu. “Namaku Lie Mei Ching.”
“Kau bukan A-hoa? Tidak, kau pasti A-hoa anakku. A-hoa, pulanglah. Ibumu sudah
lama menanti di rumah.”
Ching-ching mulai ketakutan. Ia menoleh pada Ling Tan. Anak laki-laki itu tak
Ching Ching 10
tahu apa yang harus dilakukan. Tetapi ketika orang aneh itu menggendong
Ching-ching, ia segera menyerang bertubi-tubi.
Ching-ching juga tak tinggal diam. Ia berontak, memukul, menendang, menggigit,
tapi seolah tak dirasakan orang itu. Sementara Ling Tan sudah dibikin
jungkir-balik beberapa kali. Kemudian dengan satu gebrakan saja anak itu
tergolek pingsan.
Siu Yin yang sedari tadi ketakutan menjadi panik. Sambil menangis ia menghampiri
orang aneh itu. “Lo-peh (Paman Tua), lepaskanlah Ching-moay. Aku mohon padamu,
lepaskanlah piauw-moayku.”
“Huh? Siapa piauw-moaymu? A-hoa bukan piauw-moaymu. A-hoa anakku. Dan akan
kubawa pulang sekarang.” Laki-laki itu melesat pergi.
“Ching-moay!” Siu Yin menjerit memanggil.
“Yin Cie-cie! Yin Cie-cie, tolong aku!” Dalam gendongan orang itu, Ching-ching
pun menangis menjerit-jerit. Tapi ia dibawa pergi cepat, cepat sekali. Sebentar
saja Siu Yin tak dapat melihatnya lagi.
Siu Yin jatuh terduduk di tanah. Ia masih menangis memanggil-manggil nama
piauw-moaynya. Beberapa saat kemudian pandangannya menjadi kabur. Pepohonan di
sekitarnya nampak berputar. Siu Yin ketakutan. Sekali lagi ia memanggil nama
Ching-ching lalu pingsan di samping Ling Tan.
Meng Sian-seng terjaga dari tidurnya. Ia bermimpi seram sekali. Ada siluman
hijau membawa Ching-ching pergi. Dan siluman itu ingin menghisap darah Meng
Sian-seng juga.
Tanpa terasa ia bergidik ngeri. Namun hatinya merasa kuatir. Entah sudah berapa
lama ia tertidur. Ching-ching dan Siu Yin tidak membangunkannya. Ia memandang ke
luar jendela. Hari sudah gelap. Astaga! Rupanya ia tertidur berjam-jam. Pantas
saja mimpinya seram.
Meng Sian-seng melangkah ke luar kamar. Di kebun dilihatnya Lie Hoe-jin (Nyonya
Lie) menatap ke kejauhan.
“Ah, Meng Sian-seng. Hari ini mengajar lama sekali. Apakah tidak lelah?
Bagaimana Ching-ching? Tidak bosankah ia?”
Muka Meng Sian-seng memerah. Ia seolah disindir. Tapi jawabnya, “Ching-ching
baik. Ia belajar rajin.”
“Ah, ya. Sejak ayahnya bersedia mengajari silat, ia menjadi anak yang patuh,
bukan?”
“Ya.”
Kedua orang itu terdiam. Tak tahu apa lagi yang harus dibicarakan.
“Soe-nio (Istri guru),” tiba-tiba sebuah suara terdengar di belakang mereka.
Keduanya menoleh dan terkejut. Ling Tan membopong Siu Yin yang masih pingsan.
Siu Yin sendiri tampaknya tidak apa-apa, tapi anak laki-laki itu kelihatan memar
di sekujur tubuhnya.
“Astaga, Ling Tan! Kenapa?” Han Mei Lin menghampiri. “A-hung,” katanya pada
pelayan, “bawa Toa-sio-cia ke kamarnya! Ling Tan, kau ikut aku ke kamar obat.”
Ling Tan mengikuti soe-nionya dari belakang. Di depan kamar obat mereka
berpapasan dengan Lie Chung Yen.
“Ling Tan, kenapa mukamu? Berkelahi dengan saudara seperguruanmu?”
“Suamiku, biarlah luka-lukanya diobati dulu, baru kau tanyakan sebab-sebabnya.
Tadi ia pulang membawa Siu Yin yang pingsan.”
“Bagaimana Siu Yin?” tanya Chung Ten pada istrinya yang mulai mengobati Ling
Tan.
“Tidak apa-apa, cuma pingsan.”
Ching Ching 11
“Ching-ching?”
“Bukankah ada di kamar belajar?”
“Tadi kutengok ke sana, tidak ada siapa pun.”
“Di kamar baca?”
“Aku malah baru dari sana. Tidakkah Ching-ching pulang bersama Siu Yin? Biasanya
kedua anak itu bermain bersama.”
“Soe-hoe (Guru),” Ling Tan berkata sambil menangis. “Siauw-sio-cia ...
Siauw-sio-cia dibawa kabur orang!”
“Dibawa kabur?” Chung Yen dan istrinya membelalak terkejut. “Apa maksudmu?”
Tersendat-sendat Ling Tan menceritakan segala yang terjadi di hutan kecil. Han
Mei Lin hampir-hampir pingsan ketika mendengar semua itu. Untung ia masih dapat
menguasai perasaannya. Sekalipun demikian, sedu-sedan tak dapat ditahannya.
Chung Yen sendiri terpekur beberapa saat. “Aku akan mencari Ching-ching,”
katanya dengan suara bergetar. “Biar kubawa beberapa orang murid. Mudah-mudahan
ia selamat. Mendengar cerita Ling Tan, kelihatannya orang asing itu tidak
bermaksud jahat.” Chung Yen menghela napas. “Lin-jie, kau uruslah Siu Yin dan
Ling Tan aku pergi dulu.”
Lie Chung Yen membawa murid-muridnya mencari Ching-ching. Bukan saja hutan kecil
yang mereka jelajahi, tetapi juga sampai ke pelosok-pelosok desa di sekitar
tempat itu. Berhari-hari mereka mencari, namun jejaknya saja pun tidak
diketemukan.
Pada hari kedua belas, Lie Chung Yen memutuskan untuk pulang sekalipun dengan
hati remuk. Ia tak mau memikirkan diri sendiri. Masih banyak tugas yang harus ia
lakukan. Pek-eng-pay tak boleh terbengkalai. Apalagi ia masih harus bertanggung
jawab atas Siu Yin. Karena itu ia merelakan Ching-ching walaupun dalam hati ia
menjerit.
Ching-ching dibawa orang aneh itu dengan cepat, melewati hutan dan gunung.
Saking cepatnya, Ching-ching tak dapat melihat apa yang dilewati. Hanya
samar-samar saja sesekali ia mengenali batang-batang pohon yang berjajar.
Kadang-kadang mereka bermalam di tepi sungai. Pada saat-saat demikian,
Ching-ching boleh makan ikan sepuasnya. Bila melewati hutan, orang itu menangkap
ayam liar atau burung untuk dipanggang. Rasanya lezat. Ching-ching belum pernah
makan makanan seperti itu di rumahnya.
Setelah beberapa hari, Ching-ching tidak takut lagi pada orang itu. Ia malah
senang dibawa menjelajahi hutan-hutan sekalipun kadang-kadang menangis bila
teringat orang tua dan piauw-cienya. Namun, orang aneh di sampingnya selalu
menghibur.
Dari percakapannya, Ching-ching mengerti kalau orang itu menganggapnya sebagai
anak. Entah apa sebabnya. Orang itu pun menyuruh Ching-ching memanggil A-thia
kepadanya. Meskipun heran, Ching-ching menurut. Ia tak mempedulikan panggilan.
Yang penting orang itu baik kepadanya, ia tak keberatan disuruh panggil apa
saja.
Malam itu mereka berhenti di sebuah hutan. Hari itu hari kesembilan. Mereka
membakar seekor ayam hutan yang ditangkap sore harinya.
“A-hoa,” kata orang itu. “Ini ayamnya sudah matang. Nih, kau ambillah pahanya
yang berdaging empuk.”
Ching-ching mengambil daging yang disodorkan. Ditiup-tiupnya sebentar, lalu
digigit sedikit-sedikit. Selesai makan, mereka berbaring berdampingan, menatap
bintang yang bertebaran di langit.
“A-thia,” panggil Ching-ching takut-takut.
Ching Ching 12
“Hmmm,” jawab yang dipanggil tanpa berpaling dari bintang yang tergantung jauh
di sana.
“A-thia, sudah berhari-hari kita berjalan. Ke manakah tujuannya?”
“Anak tolol, tentu saja pulang menemui ibumu!”
“Pulang ke mana?”
“Ke puncak Gunung Leng-yi. Kau lupa? Kita dulu hidup bersama-sama di sana. Ah,
tentu saja kau lupa. Kan sudah lama sekali kau tidak pulang ke rumah.”
“A-thia,” kata Ching-ching lagi. “Jauhkah Leng-yi-san dari sini?”
“Tidak, tidak jauh lagi. Dari sini pun kau sudah dapat melihatnya. Tuh, kau
lihat bayangan hitam yang besar di sana? Itulah Leng-yi-san.”
“Berapa hari perjalanankah untuk sampai di sana, A-thia?”
“Paling-paling tiga hari lagi kau sudah dapat bertemu ibumu. Sudahlah, sudah
malam. Kau tidurlah. Jangan bertanya-tanya lagi.”
Tak berapa lama a-thianya sudah mendengkur, Ching-ching masih belum tidur. Ia
memikirkan tentang dirinya. Entah apa lagi yang akan terjadi nanti.
Sedang apa, ya, Yin Cie-cie sekarang? Pasti sudah meringkuk di bawah selimut.
Nio mungkin sedang menyulam, sementara Thia-thia sedang membaca, pikirnya.
Ching-ching tidak tahu, saat itu thia-thianya sendan mencari ke sana ke mari. Ia
mengira thia-thianya mungkin akan merasa kuatir beberapa hari, tapi tidak selama
itu. Tapi Siu Yin mungkin akan sangat kehilangan dan ibunya akan menghibur
piauw-cienya dengan kasih sayang.
Berpikir hal-hal demikian, Ching-ching merasa rindu akan rumahnya. Tanpa terasa
air matanya mengalir. Ia terisak pelan sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Hari kedua telah lewat. Mereka tiba di sebuah desa di kaki Leng-yi-san.
Ching-ching dibawa ke sebuah rumah makan di desa itu. A-thianya segera memesan
macam-macam makanan dan dua guci arak.
“A-hoa, makanlah kenyang-kenyang. Perjalanan ke rumah nanti cukup panjang dan
A-thia tidak akan berhenti di jalan supaya kita bisa sampai di rumah sebelum
hari menjadi gelap.”
“A-thia, ceritakan padaku, apakah Ibu itu baik orangnya?”
“Tentu saja. Ibumu adalah wanita yang terbaik di dunia. Dulu ibumu adalah
seorang pendekar. Semua orang segan padanya. A-thiamu juga.”
Ching-ching mendengarkan sambil sibuk mengunyah makanan. “Kalau begitu Ibu hebat
sekali, ya.”
“Ya, ia seorang yang baik budi. Banyak orang-orang jahat yang bertobat karena
dia. Karena itu, selain disegani, ibumu juga dihormati dan mempunyai banyak
sahabat yang hebat. Padahal waktu itu ia baru berumur 20 tahun.”
“Bagaimana Ibu bertemu dengan A-thia?”
“Waktu itu a-thiamu berumur 25 tahun dan sedang melewati sebuah hutan. Tiba-tiba
terdengar suara senjata beradu. A-thia cepat-cepat mendekat. Di sana A-thia
lihat seorang gadis sedang bertempur melawan seorang nenek jelek—“
“Dan gadis itu adalah Ibu, betulkah?”
“Anak pintar, aku benar. Dia ibumu.”
“Bagaimana akhirnya, A-thia?” tanya Ching-ching tak sabar seperti biasanya.
“Siapa yang menang? Ibu atau nenek itu?”
“Tentu saja ibumu. Nenek tua jelek itu seudah terdesak. Tapi, dasar nenek licik,
pada saat hampir mati di ujung pedang, ia lemparkan puluhan jarum beracun ke
arah ibumu. Sekalipun ibumu cukup lihay, namun beberapa jarum beracun itu sempat
menancap di tubuhnya. Dan nenek tua itu kabur. A-thia mencoba menolong ibumu.
Namun racun jarum-jarum itu amat kuat. A-thia tidak dapat mengeluarkan semua
Ching Ching 13
racun. Akibatnya kelihayan ibumu lenyap. Dan sampai sekarang racun-racun itu
masih sering dirasanya.”
Ching-ching mengerutkan kening. Setahunya jarum adalah logam tipis yang
digunakan untuk menyulam atau menjahit. Bagaimana bisa berpengaruh begitu hebat?
Ching-ching terkejut ketika A-thia menepuk pundaknya.
“A-hoa, nanti kau harus urus ibumu baik-baik. Jangan bikin sedih hatinya, ya?”
“A-thia jangan kuatir. Aku akan layani Ibu sebaik-baiknya,” kata Ching-ching.
“A-hoa, ini, kau minum juga arak, temani A-thia minum.”
Ching-ching membelalak. Minum arak? Apa boleh? Ibunya bilang, anak kecil tidak
boleh minum arak. Apalagi perempuan. Karenanya Ching-ching diam saja.
“Ayo minum. A-thiamu jago minum. Anaknya pun harus begitu juga.”
Ragu-ragu Ching-ching mengambil cawan araknya yang penuh terisi.
“Jangan ragu,” kata a-thianya. “Lihatlah a-thiamu.” Sekali teguk, cawan araknya
sudah licin.
Ching-ching tak ragu lagi. Sambil memejamkan mata, ia menghabiskan isi cawannya.
“Bagaimana? Enak bukan?”
Ching-ching bersiap untuk mengangguk. Tetapi tiba-tiba saja lehernya terasa
panas. “Aduh, aduh, panas,” keluhnya.
“Anak bodoh, masa sebegitu saja kepanasan? Nih, minum lagi.”
Ching-ching tak berani menolak walaupun setiap menghabiskan satu cawan,
kepalanya terasa semakin berat. Akhirnya ia tak tahan lagi. Belum habis setengah
guci, kepalanya sudah terkulai lemas. Tak didengar a-thianya berkata,
“A-hoa, bukan maksud A-thia memaksamu minum arak. Tapi perjalanan ke puncak
Leng-yi-san masih jauh dan dingin hawanya. Arak itu akan membuatmu pulas dan
tubuhmu akan terasa hangat. Dengan demikian A-thia akan lebih leluasa
membawamu.”
Dan orang itu memondong Ching-ching di pundaknya. Setelah membayar, ia melesat
pergi dengan sangat cepat diiringi pandangan kagum orang-orang di kedai itu.
Ching-ching membuka mata. Ia mendapati dirinya tidur di sebuah kamar yang
sederhana. Kamar itu dikelilingi tembok batu yang disusun rapi berjajar. Di sana
terdapat sebuah ranjang dari batu yang sedang ia tiduri. Ada juga sebuah meja
dan empat kursi. Semuanya dari batu.
Ching-ching mencoba untuk duduk. Uh, kepalanya masih puyeng. Ia bersandar ke
dinding. Ih, dingin betul dinding itu. Tapi kok ranjangnya hangat?
Dilongoknya kolong tempat tidur. Oh, pantas. Di bawah tempat tidur itu terdapat
pendiangan dan apinya dinyalakan.
Ia melompat turun dari tempat tidur. Barangkali di luar A-thia menunggunya. Tapi
begitu turun dari tempat tidur dirasanya dingin yang luar biasa. Merasuk sampai
ke tulang. Bibirnya gemetar. Badannya menggigil dan giginya saling beradu
menimbulkan suara bergemerutuk.
Ia cepat-cepat kembali ke ranjang dan duduk di sana. Nah, sekarang sudah
mendingan! Tapi Ching-ching tidak berani turun lagi, takut kalau-kalau ia beku
kedinginan. Karenanya ia duduk saja termenung di tempat tidur.
Tapi tak berapa lama, ia kedinginan juga. Sekalipun tempat tidurnya hangat, tapi
tak dapat mengusir dinginnya hawa di kamar itu. Ching-ching meringkuk di sudut.
Beberapa kali ia bersin-bersin. Hidungnya mampat dan matanya berair.
Tiba-tiba pintu kamarnya dibuka orang. Seorang wanita melangkah masuk sambil
membawa dua buah baki. Baki yang satu berisi mangkuk, di atas baki yang lain
terdapat sesuatu yang kelihatannya seperti kulit binatang berbulu tebal.
Ching-ching memandang wanita itu dengan mata terbelalak. Cantik sekali wanita
Ching Ching 14
ini! Jauh lebih cantik daripada ibunya sendiri yang selama ini diketahuinya
sebagai wanita tercantik yang pernah ia lihat. Sekarang, di hadapannya tiba-tiba
ada yang lebih jelita. Ching-ching menjadi kagum. Ia bahkan tak berkedip karena
takut. Kalau-kalau wanita itu hanya bayangan dan akan menghilang begitu matanya
dikedipkan.
Melihat Ching-ching yang terbengong-bengong, wanita itu merasa geli dan
tersenyum. “Kenapa? Adakah sesuatu yang menakutkanmu pada diriku?”
Ching-ching memandang wanita itu dari ubun-ubun sampai ke kaki. Wajahnya bulat
telur, hidungnya mancung, alisnya terbentuk indah, matanya bening, bibirnya
mungil, merah sekalipun tanpa gincu, kulitnya putih halus bagai pualam. Ada
sesuatu yang membuat Ching-ching merasa aneh. Sesuatu yang membedakan dari
wanita-wanita lainnya. Tapi tidak ada sesuatu yang menakutkan. Karenanya
Ching-ching menggeleng. “Tidak, rasanya tidak ada yang perlu kutakuti.”
“Lalu kenapa kau melihatku seperti itu?”
Ching-ching segera menjawab, “Karena aku belum pernah melihat orang lain yang
secantik ... secantik ....” Sejenak Ching-ching bingung hendak menyebut apa dia
pada wanita itu. Menilik umurnya, paling-paling yak beda jauh dengan ibunya. Mau
panggil nyonya, bagaimana kalau ternyata belum menikah. Mau panggil nona,
rasanya tidak pantas.
“Secantik apa?” tanya wanita itu tersenyum.
“Secantik Kouw-kouw (Bibi),” kata Ching-ching.
“Ah, gadis cilik, rupanya kau pandai mengambil hati pada orang lain.”
“Sungguh, aku tidak bohong,” sanggah Ching-ching.
“Sudahlah. Ini kubawakan sop dan baju untukmu. Kau kedinginan, bukan?”
Saat itu Ching-ching merasakan lagi hawa dingin di kamarnya. Padahal waktu
bercakap-cakap sebentar tadi hawa dingin itu tidak terasa.
“Ini, pakai dulu,” kata wanita itu seraya menyodorkan pakaian di atas baki.
Ching-ching mengambilnya dan meraba-raba baju dari kulit binatang itu dengan
heran. Setahunya pakaian biasa dibuat dari kain, bukan dari bulu.
“Ayo pakai!” desak wanita itu lagi. “Nanti kau beku karena kedinginan.” Dan ia
membantu Ching-ching mengenakannya sebagai baju luar. “Nah, sekarang makanlah
sop ini supaya badanmu hangat terus.”
Ching-ching menurut. Dihirupnya sop hangat itu. Lezat sekali dan dari sop yang
mengalir lewat tenggorokan itu sirasanya sesuatu yang menghangatkan. Dari leher,
ke dada, lalu ke perut. Akhirnya seluruh tubuh. Dan ia tidak kedinginan lagi.
“Hmm, enak sekali,” katanya memuji. “Kouw-kouwkah yang memasaknya?”
Wanita itu mengangguk.
“Kouw-kouw harus mengajarkan aku caranya. Nanti kalau sudah besar, aku juga
ingin membuat sop selezat ini,” kata Ching-ching lagi sambil menyodorkan mangkuk
yang telah licin.
“Ya, ya, kau boleh belajar nanti,” kata wanita itu seraya tertawa dan berjalan
ke pintu.”
“Kouw-kouw,” panggil Ching-ching, teringat sesuatu. “Adakah melihat a-thiaku?”
Wanita itu mengerutkan kening. Lalu tiba-tiba tersenyum. “Ia ada di luar. Kau
mau menemuinya?”
Ching-ching melompat dari tempat tidur. “Kouw-kouw mau antarkan aku?”
“Baiklah. Tapi aku harus membawa dulu mangkok ini ke dapur.”
Wanita itu menuntun Ching-ching. Bersama mereka pergi keluar kamar. Ching-ching
diajaak melewati beberapa lorong yang pendek namun berbelok-belok. Mereka tiba
di dapur yang tidak terlalu besar, namun rapi dan bersih. Ching-ching menunggu
Ching Ching 15
wanita itu sambil memperhatikan keadaan di luar.
Gumpalan-gumpalan salju mulai turun membuat Ching-ching keheranan. Ini baru
bulan tujuh, bagaimana mungkin turun salju? Untuk memastikannya, Ching-ching
menadahkan tangan menampung gumpalan putih yang berjatuhan itu.
Benar! Salju. Salju di bulan ketujuh! Ching-ching tak habis pikir. Ia termenung
memperhatikan salju yang mulai bertumpuk di tanak.
Tiba-tiba natanya menangkap suatu gerakan. Ada benda putih yang bergoyang-goyang
di sela-sela pagar. Ching-ching mendekat menghampiri. Dan ia mengenali benda
itu. Kelinci. Seekor kelinci putih dengan mata yang merah lucu.
Diulurkannya tangan untuk menangkap. Kelinci itu lari. Ching-ching mengejar.
Sebentar saja ia sudah tertinggal jauh. Kelinci itu berhenti. Seolah menunggu.
Tapi begitu jarak di antara mereka mengecil, ia mulai lari lagi dengan gerakan
yang lincah luar biasa.
Ching-ching mulai cape, tetapi ia tak putus asa. Kelinci itu terus dikejarnya,
sekalipun beberapa kali ia sempat terjerembab di atas salju yang lunak.
Lama-lama ia tak tahan lagi. Tanpa peduli akan sekitarnya, ia duduk di atas
tanah berlapis salju itu.
“Kelinci putih, aku tak sanggup lagi, Napasku habis,” katanya tersengal-sengal.
Kelinci yang dikejarnya berhenti berlari juga. Ia memandang nona kecil yang
kelelahan itu kemudian maju beberapa tindak, berhenti lagi. Telinganya
bergerak-gerak seolah menanyakan kenapa mereka berhenti bermain.
Ching-ching menjadi gemas. Ia bangkit dan menubruk kelinci itu. Sekali lagi ia
jatuh terjerembab, namun hanya salju yang berhasil ia pegang. Ching-ching
mengejar lagi.
“Aku akan menangkapmu, kelinci kecil,” katanya penuh tekad.
Tiba-tiba ia berhenti berlari. Seseorang bertubuh tinggi-besar telah terlebih
dulu menghadang dan menangkap kelinci itu.
“A-thia,” panggil Ching-ching girang.
“A-hoa, kau takkan bisa mengejar kelinci ini. Larinya jauh lebih cepat darimu,”
kata ayahnya.
“Aku tahu,” kata anak itu, “tapi aku tak mau menyerah. Aku yakin suatu saat aku
bisa menangkapnya.”
“Ya, suatu saat, tapi tidak sekarang. Kau harus mempelajari gin-kang (ilmu
mengentengkan badan) dulu, baru dapat menangkap kelinci kumala ini.”
“A-thia, ajari aku gin-kang itu.”
“A-thia akan ajari mulai besok,” kata a-thianya tertawa sambil memberikan
kelinci itu dan menggendong Ching-ching sekalian.
“A-thia, kenapa kelinci ini disebut kelinci kumala?”
“Karena warnanya putih, bulunya tebal dan halus, larinya sangat cepat. Sulit
bagi orang yang ilmunya tidak tinggi untuk menangkap. Kau tahu, A-hoa, ketika
bermain denganmu barusan, dia sudah berlari sangat-sangat pelan? Oh ya, kau
bertemu ibumu?”
Ching-ching menggeleng. “Belum.”
“Kalau begitu dari mana kau dapatkan baju ini?”
“Kouw-kouw yang memberikannya padaku.”
“Kouw-kouw?”
“Iya, Kouw-kouw yang cantik sekali. Itu orangnya.” Ching-ching menunjuk wanita
cantik yang bergegas menghampiri. “Kouw-kouw!” serunya. “Lihat, aku punya
kelinci putih yang lucu.”
“A-hoa, itu bukan kouw-kouw, itu ibumu.”
Ching Ching 16
“Ibu?”
“Dia boleh memanggil apa saja padaku,” kata wanita itu, yang sudah datang
mendekat.
“Tidak bisa. Ia anakmu, maka ia harus memanggil ibu padamu.”
Wanita itu terdiam. Ia memandang suaminya dengan sedih.
“A-hoa, ayo panggil ibumu!”
“Ibu,” kata Ching-ching tanpa ragu lagi.
“Ha-ha-ha, anak baik, anak baik,” a-thianya memuji.
“Sudahlah,” kata wanita itu. “Hari mulai gelap, mari kita pulang.”
“Baik,” jawab suaminya.
Ching-ching telah tidur di kamar batunya. Ia tak tahu ketika ibunya masuk dan
duduk di tepi ranjang, memperhatikan.
“Kau memang mirip A-hoa,” gumamnya, teringat akan anaknya. Akan hari-hari yang
pernah mereka lewati bertiga suaminya.
A-hoa memang serupa anak yang dibawa suaminya itu. Tak heran kalau laki-laki itu
salah mengenali orang. Tetapi berbeda dari anak ini, A-hoa adalah seorang
pemalu. Anak itu lemah lembut dan sangat mereka sayangi. Umurnya pun ada selisih
tiga tahun. Hanya saja, ketika tiga tahun lalu anaknya meninggal karena sakit,
umurnya memang sebaya anak ini.
Sejak itu, suaminya jadi seorang yang ada terganggu pikirannya. Suatu waktu ia
tampak normal, tapi di lain saat tiba-tiba berlari turun gunung dan mengatakan
ia akan mencari anaknya yang hilang. Beberapa kali ia pergi dan mengatakan
berjumpa anaknya di jalan. Tapi belum pernah ia culik anak orang lain dan
membawanya pulang.
Wanita itu menghela napas. Tak disangka, Chow Han Wei suaminya bisa jadi seorang
yang demikian. Seandainya saja ilmunya tidak hilang, mungkin mereka masih dapat
hidup seperti orang-orang lain. Tak perlu takut akan balas dendam orang lain
sampai harus menyingkir ke gunung.
Ia mengingat kehidupannya sendiri. Mengingat ketika pertama kali pergi dari
negerinya dan melancong ke Tiong-goan dan jatuh cinta pada negeri yang begitu
besar. Dan bagaimana dengan kemahirannya bersilat, ia malang-melintang di dunia
Kang-ouw (dunia persilatan). Dikenal sebagai Sat-kauw-sian-lie (Bidadari
Penjagal Anjing) dikarenakan ia tak tahan melihat kezaliman merajalela.
Sampai akhirnya ia dibokong seorang nenek kejam dengan jarum beracunnya yang
jahat. Kalau tidak ada suaminya yang menolong dan merawat dia, barangkali takkan
sempat ia menikmati dunia lebih lama lagi. Namun, sekalipun nyawanya tak jadi
melayang, ia harus kehilangan ilmunya. Memang ia masih dapat melakukan
gerakan-gerakan silat. Namun, tanpa dibarengi tenaga dalam, silat itu adalah
seperti tarian indah, tidak berbahaya.
“Lung Yin, sungguk jelek nasibmu,” katanya pada diri sendiri. Ia menghela napas
kemudian meniup lilin di kamar itu hingga padam.
Ching-ching termenung di depan kamarnya sambil mengelus-elus kelinci kemala.
Sekarang ke mana pun dan secepat apa pun kelinci itu lari, Ching-ching akan
dapat mengejar dan menangkapnya. Ia juga tak pernah kedinginan lagi sejak
ayahnya mengajarkan cara mengatur hawa dalam tubuhnya supaya tetap merasa
hangat. Apalagi A-thia juga mengalirkan tenaga dalam padanya.
“A-hoa.”
“Ibu,” Ching-ching menoleh.
“Kenapa? Kau ingat akan keluargamu di kota?”
Ching-ching mengangguk.
Ching Ching 17
“Kau rindu pada mereka?”
“Sedikit.”
Lung Yin menghela napas. “Kau salahkan A-thia karena membawamu ke sini?”
Buru-buru Ching-ching menggeleng. “Tidak, tentu saja tidak. Hanya saja aku
merasa kesepian. Teman mainku hanya seekor kelinci. Lagi di sini tiap hari yang
kulakukan itu-itu melulu. Makan, tidur, main. Untung A-thia mengajari ilmu
ringan tubuh. Kalau tidak, uuuh, bosan.”
“Sebenarnya di sini pun banyak yang bisa kau lakukan. Belajar menjahit, memasak,
menyulam.”
“Menjahit dan memasak Ibu akan ajari aku, kan?”
“Kau mau?”
“Tentu. Daripada bosan. Tapi … nanti kalau semua sudah kupelajari, apa lagi yang
harus kulakukan?”
“Mungkin kau bisa belajar silat pada a-thiamu. Ibu juga dapat mengajarkan
padamu. Kau mau?”
“Mau, mau. Waktu di kota, ayahku juga mengajarkan silat padaku.”
“Oh ya? Coba kau perlihatkan pada Ibu.”
Dengan senang hati Ching-ching memamerkan apa yang sudah ia pelajari dari
ayahnya.
“Bagus, bagus,” kata ibunya begitu Ching-ching selesai. “Rupanya kau anak
berbakat. Ibu akan senang mengajarmu. Tapi sekarang lebih baik kita siapkan dulu
makanan untuk ayahmu sebelum ia pulang menangkap ikan. Ayo, aku kan mau belajar
masak?”
“Tentu mau, Ibu,” Ching-ching berlari mendului ibunya. Di belakang, Lung Yin
mengikuti sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak itu.
“Ingat, A-hoa. Pusatkan seluruh tenaga dan pikiran pada pukulanmu. Ayunkan
tangan kanan dan kiri sambung-menyambung seperti ini …. Inilah Cian-lan-hoa
Lian-hoan-ciang (Pukulan berantai seribu anggrek) yang pernah begitu disegani di
Kang-ouw. Nah, kau cobalah.”
Ching-ching meniru gerakan itu. Lung Yin mengangguk-angguk puas. Apalagi
Ching-ching baru melihat satu kali, sudah meniru tepat.
“Bagus. Tak percuma Ibu mengajarimu. Kelak, kalau lwee-kangmu sudah cukup, kau
harus hati-hati dengan pukulan ini sebab dapat membuat orang mati seketika.”
“Mati?” tanya Ching-ching ngeri. “Aku tak mau bikin orang mati.” Ia
menggeleng-geleng tegas.
“A-hoa dalam Kang-ouw cepat atau lambat kau harus bikin mati orang,” tiba-tiba
Chow Han Wei, a-thianya, telah berdiri di belakang mereka.
“Kenapa begitu, A-thia?”
“Karena di masyarakat orang biasa saling bunuh. Kalau kau mau tetap hidup, kau
harus bunuh orang lain lebih dulu.”
Ching-ching bergidik. “Kalau begitu aku tak mau turun gunung. Lebih enak di
sini. Tenang dan damai bersama Ibu dan A-thia,” katanya.
“Kau tidak bosan?” tanya ibunya. “Beberapa bulan yang lalu kau bilang kesepian
di sini.”
“Sekarang tidak lagi,” jawab Ching-ching. “Di sini aku bisa belajar masak,
menjahit, silat, meniup suling, memetik khim, dan macam-macam.”
“Nio-coe (Istriku), kau sudah ajarkan A-hoa memetik khim dan meniup seruling
juga?”
Lung Yin mengangguk.
“A-hoa, coba perlihatkan pada A-thia apa lagu yang sudah kau pelajari dari
Ching Ching 18
ibumu!”
“Baiklah, A-thia. Tunggu sebentar, ya. Aku ambil khimnya dulu.” Ching-ching
berlari masuk ke dalam rumah.
“Dia anak yang pintar bukan?” kata Chow Han Wei pada istrinya. “Aku bangga punya
anak seperti dia. Oh ya, Nio-coe, sudah sampai manakah tingkat pelajaran yang
sudah kau berikan padanya?”
“Sudah pada tahap ketiga, pukulan berantai. Pada tahap ketujuh nanti, ia akan
menguasai seluruh ilmuku!”
“Ya, kelak ia akan secantik dan sehebat ibunya.”
Lung Yin tersipu. “Sayang, tenaga dalamku kini sudah hilang. Kalau tidak tentu
perkembangan ajaran itu akan lebih pesat,” katanya.
“Jangan terburu-buru. Belum sampai setahun ia sudah kuasai tahap ketiga tingkat
akhir, itu sudah cukup, bukan? Paling sedikit tiga tahun lagi ia sudah kuasai
seluruh ilmumu.”
“Aku takut tak cukup waktu untuk itu,” gumam Lung Yin.
“Nio-coe, apa katamu?”
“Ah, tidak. Emh, ajaran Wei Ko-ko sendiri sudah sampai mana? Cukup cepatkah
A-hoa menerima?”
“Pertama-tama, A-hoa harus punya gin-kang yang baik dulu, baru aku bisa ajar
dia. Kau tahu, bukan, ilmu silatku mengandalkan tenaga dan kecepatan? Tanpa
gin-kang, sulit untuk mempelajarinya. Ah, Nio-coe, seharusnya kau saja yang
mengajar gin-kang pada A-hoa. Walau lwee-kangmu sudah hilang, tapi ilmu ringan
tubuhmu masih lebih tinggi daripadaku,” kata Han Wei.
“Wei Ko-ko janganlah kuatir. Begitu pukulan berantai A-hoa lancar nanti, aku
akan ajarkan tahap keempat yang memperdalam gin-kang. Setelah itu A-hoa bisa
belajar darimu.”
Han Wei mengangguk-angguk.
“A-thia, tolong aku membawa khim ini,” kata Ching-ching sambil memeluk khim kayu
yang berat. A-thianya membantu meletakkan alat musik itu di atas sebuah batu
besar yang datar.
“Nah, coba kau mainkan sebuah lagu untuk A-thia.”
Ching-ching mulai memetik khim mengalunkan sebuah lagi. Jari-jarinya yang kecil
agak kerepotan memetik senar, namun masih dapat bergerak lincah.
Chow Han Wei dan Lung Yin saling berpandangan. Lagu itu membawa mereka ke masa
lampau. Ke masa muda mereka.
Lan Siu Yin merenungi daun kecil dalam genggamannya. Hati ini tepat setahun ia
berpisah dengan Ching-ching, piauw-moaynya. Ia ingat, hari terakhir itu
Ching-ching mengajak ia dan Ling Tan memetik daun ini di hutan kecil.
Masih segar dalam ingatannya betapa girang Ching-ching ketika berhasil meniupkan
sebuah lagu. Ia sendiri sampai saat ini tak dapat melakukannya. Bukan apa-apa.
Tetapi setiap kali melihat daun itu, ia ingat piauw-moaynya dan kemudian segera
saja pandangannya kabur oleh air mata dan terisak-isak. Dengan demikian,
bagaimana mungkin ia dapat lakukan hal itu?
Ia menghela napas dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Sejak
Ching-ching pergi, Siok-siok dan Siok-bo menjadi amat sayang padanya. Mereka
memanjakan dia lebih daripada Ching-ching. Namun beberapa lama kemudian
siok-sioknya menyibukkan diri dengan urusan partai. Tinggal siok-bonya yang
masih sempat memperhatikan.
Sehari-hari ia bermain dengan Ling Tan. Mulanya memang menyenangkan. Ling Tan
selalu menuruti kemauannya. Tapi lama-lama bosan juga. Ia jauh lebih menyukai
Ching Ching 19
Ching-ching yang selalu memaksakan kehendak tapi sekali-sekali mengikuti
keinginan piauw-cienya. Tapi yang cuma sekali-sekali itu rasanya lebih
menyenangkan daripada setiap kali.
“Toa-sio-cia, ada apakah? Mengapa mengangis?”
“Oh, Tan Ko-ko,” buru-buru Siu Yin mengusap air matanya. “Tidak ada apa-apa.”
“Tapi mengapa menangis?” Ling Tan yang mengejutkan Siu Yin bertanya, “Apakah ada
orang yang mengganggumu? Katakan, siapa orang itu, akan kuhajar dia!”
“Tidak, tidak ada yang menggangguku. Aku cuma ingat pada … pada Ching-moay.” Siu
Yin mulai menangis lagi.
Wajah Ling Tan menjadi keruh. Ia sering menyalahkan dirinya atas kejadian di
hutan kecil itu. Siu Yin mengetahui hal ini. Ia cepat-cepat alihkan pembicaraan.
“Ling Tan Ko-ko, aku ingin memetik bunga.”
“Aku antar,” kata Ling Tan dengan wajah cerah kembali.
Ching-ching memperhatikan ikan-ikan yang berkejaran di bawah lapisan es yang
bening. Ia sedang berada di tengah danau yang membeku. Hari ini ibunya akan
mengajarkan tingkat akhir tahap keempat, Sui-ciang-heng (Berjalan di atas air).
“A-hoa, jangan ke mana-mana. Ibu akan pulang untuk mengambil tali pelindung
tubuhmu yang ketinggalan,” ibunya berteriak.
“Ya, Bu, aku akan menunggumu di sini.”
Ching-ching kembali memperhatikan ikan-ikan tersebut. Warnanya bagus-bagus. Ada
yang kuning, merah, biru, ungu, hitam, belang-belang, dan macam-macam. Sekalipun
demikian warna-warna itu agak mengerikan. Ikan-ikan yang ia lihat biasanya
berwarna merah, kuning, atau hitam. Ada pula yang jingga. Tapi yang biru dan
ungu? Uh, baru sekarang ia lihat yang macam demikian.
Tapi ikan yang bergerombol itu nampak tidak membeda-bedakan warna. Kelihatannya
mereka sedang mengobrol dengan mulut yang selalu membuka-menutup. Eh, tunggu
dulu. Menurut Meng Sian-seng, ketika ia dan piauw-cienya dulu menanyakan mengapa
ikan selalu mengobrol, katanya ikan-ikan itu sedang bernapas, bukan
bercakap-cakap. Tapi kata Meng Sian-seng juga, untuk bernapas dibutuhkan hawa
(udara). Apakah di bawah es juga terdapat udara?
Selagi Ching-ching berpikir demikian, tiba-tiba matanya menangkap suatu bayang
putih yang meluncur cepat di bawahnya. Bayangan itu membuat gerombolan ikan tadi
buyar.
Ketika bayangan itu diam, barulah Ching-ching dapat jelas melihat bentuknya. Tak
lain adalah seekor ikan berwarna putih bersih laksana salju. Tapi bentuk ikan
itu aneh. Matanya menonjol keluar. Di atas kepalanya terdapat semacam jengger
berbentuk bunga putih yang selalu bergerak-gerak. Memiliki dua kumis panjang di
sisi atas mulutnya. Badannya tidak aneh, sama seperti ikan-ikan yang lain.
Tetapi ekornya lebaaar sekali—untuk ukuran seekor ikan tentunya.
Ikan itu menggerak-gerakkan ekor dan jenggernya dengan angguk kemudian berenang
pelan-pelan menuju ke tengah-tengah danau. Tiba-tiba sebuah bayangan keperakan
menabraknya. Kemudian kelebatan-kelebatam warna putih dan perak silih berganti
membuat Ching-ching yang melihat pusing dibuatnya. Tapi ia menduga kalau ikan
putih dan makhluk perak tersebut sedang berkelahi.
Bayangan ikan yang sedang bertempur itu bergerak ke tengah diiringi gerombolan
ikan yang lain. Ching-ching menjadi tertarik. Pelan-pelan ia mengikuti arah
gerak ikan-ikan itu sampai ke tengah danau yang esnya nampak lebih bening dan
licin.
Beberapa saat ia perhatikan ikan yang bertempur itu. Tiba-tiba ia rasakan es
yang dipijaknya bergerak. Ia kehilangan keseimbangan dan terperosok ke air yang
Ching Ching 20
dingin, tepat menuju ikan yang sedang berkelahi itu.
Ching-chign merasakan sesuatu yang dingin berlendir menggores pipinya. Tapi ia
tak sempat memikirkan makhluk apakah itu. Tubuhnya seolah tersedot ke bawah. Dan
gerakan air—mungkin karena ikan-ikan yang berenang serabutan—membuatnya terseret
beberapa saat ke pinggir.
Dirasanya dada yang sesak. Air sempat masuk ke perutnya lewat mulut dan hidung.
Ia cepat menutup jalan pernapasan dan mencari lubang tempat ia terperosok tadi.
Tapi, setelah berenang berputar-putar beberapa saat, tak ditemukannya juga
tempat itu.
Dadanya semakin sesak. Matanya mulai berkunang-kunang. Nekat, ia mendorong es di
atas kelapanya dengan kedua tangan. Tapi, betapa kerasnya. Barangkali di sebalah
sini es lebih tebal daripada lapisan es yang amblas tadi.
Ia mulai kedinginan. Cepat-cepat dia lakukan ajaran a-thianya yang membuat suhu
tubuh panas. Tapi napasnya sudah habis. Paru-parunya seolah akan meledak. Panik,
dipukul-pukulnya es dengan kedua tangan. Namun beberapa lama kemudian tenaganya
habis. Ia memejamkan mata pasrah.
Lung Yin berlari menghampiri suaminya yang sedang berlatih. “Wei-ko, adakah kau
melihat anak kita?”
“Bukankah ia bersamamu tadi?”
“Ya, tadi ia memang bersamaku. Namun kemudian kutinggal sebentar di danau untuk
mengambil tali. Waktu balik lagi, A-hoa sudah tak ada. Kupikir ia kemari minta
kau temani.”
“Tidak, ia tidak kemari. Aduh, jangan-jangan ada orang menculiknya.” Chow Han
Wei menghunus pedang besarnya. “A-hoa, tunggu! A-thia akan menolongmu!”
Ia berlari ke arah danau. Lung Yin mengikuti dari belakang.
“Wei-ko, barangkali orang tua A-hoa yang membawa dia pergi,” kata Lung Yin
begitu mereka tiba di tepi danau.
“Nio-coe, kau ini bagaimana? Orang tua A-hoa kan kita sendiri. Eh, kau lihatlah
lubang di tengah danau itu! Astaga, jangan-jangan A-hoa terjeblos ke sana.”
Chow Han Wei melompat ke tengah danau dan mendarat tepat di samping lubang itu.
Namun es di bawah kakinya retak. Cepat-cepat ia melompat lagi ke tempat lain.
Tapi didengarnya bunyi keretakan yang lain. Terpaksa ia melompat lagi. Demikian
beberapa kali sampai akhirnya ia berdiri di lapisan es yang cukup tebal, jauh
dari lubang tempat Ching-ching terperosok.
“Brengsek!” Aku tak dapat mencapai tempat itu!” Dengan kesal ia membanting kaki
membuat es di bawahnya berderak untuk kesekian kali.
“Wei-ko, biar aku saja yang ke sana. Badanku lebih ringan darimu. Kau ke
pinggirlah.”
Lung Yin melompat-lompat ringan di atas es itu. Ia berhenti di tempat es-es yang
retak tanpa kuatir terperosok. Gin-kangnya memang tinggi. Selain gurunya
sendiri, tak ada manusia lain yang dapat menandingi dia.
Wanita itu melihat ke sekeliling tempat kakinya menapak. Agak jauh di sebelah
sana—di bawah permukaan es—dilihatnya sebuah bayangan biru. Cepat-cepat ia
hampiri. Ya, itu baju A-hoa anaknya.
“Wei-ko, Wei-ko! Ini, di sini!” katanya terbata.
Chow Han Wei begegas benghampiri. Dengan menghampiri. Dengan menggunakan seluruh
kemampuannya meringankan badan, dapat juga ia sampai di tempat itu.
“Nio-coe, kau minggirlah. Biar kuhancurkan es ini dengan pedangku.”
Lung Yin menyingkir ke tepian. “Kau sendiri bagaimana, Wei-ko?”
“Aku bisa menjaga diri.”
Ching Ching 21
Han Wei mengayunkan pedangnya. Es itu terbelah-belah menjadi potongan kecil.
Cepat-cepat disambarnya tubuh Ching-ching dan melompat ke pinggir, menyusul
istrinya.
Dibaringkannya anak itu di tanah. Lung Yin ketakutan melihat betapa pucat wajah
anaknya. Wajah yang biasanya berseri kemerahan kini dingin, putih kebiruan. Tak
terasa air matanya mengalir.
“Apakah … apakah dia … sudah mati?” tanya wanita itu pada suaminya yang
memeriksa nadi Ching-ching.
“Aku takut …,” jawab Han Wei. “Paru-parunya sudah banyak kemasukan air. Ia pasti
kedinginan di bawah sana. Darahnya … darahnya mungkin membeku!”
Lung Yin meletakkan dua jarinya di depan hidung Ching-ching untuk mengetahui
sudah matikah anak itu.
“Napasnya sudah tak ada lagi!” jeritnya panik. Ia menubruk anak itu sambil
menangis tersedu-sedu. A-hoa mati! Ia mati untuk kedua kalinya. Sekali lagi ia
kehilangan anak, tapi kali ini ia sendirilah penyebabnya. Seandainya saja ia tak
membawa anak itu ke danau, kalau saja ia tak terburu-buru mengajarkan ilmunya
pada anak itu, pasti sekarang A-hoa masih hidup, mungkin sedang berkejaran
dengan kelinci putihnya.
“Dia mati,” desah wanita itu. “Aku penyebabnya. Aku tak akan bisa ampuni diriku
sendiri.”
“Tidak!” tiba-tiba suaminya berdiri dan berteriak. “A-hoa tidak boleh mati.
Anakku tak boleh mati.” Ia memondong anaknya dan berlari pulang.
Ching-ching dibaringkannya di ranjang batu. Pendiangan di bawahnya dinyalakan.
Chow Han Wei duduk di dekatnya sambil memegangi tangan mungil yang dingin.
“A-hoa kau istirahatlah,” katanya. “Besok A-thia akan mengajakmu menangkap ikan.
Besok kau bangun pagi-pagi, ya? Kita pergi sama-sama.”
Lung Yin memperhatikan di pintu kamar. Dulu waktu anak kandung mereka meninggal,
begitu juga kelakuan suaminya. Berhari-hari ia mengajak bicara jenazah anak
mereka sampai-sampai untuk menguburnya Lung Yin harus menipu suaminya lebih
dulu.
“Wei-ko, A-hoa sedang beristirahat. Janganlah kau ganggu dia. Bukankah kau
sendiri harus beristirahat juga?” katanya menegur di antara isak-tangisnya.
“Hari masih sore, matahari belum lagi terbenam. Biarlah aku menunggui A-hoa di
sini.”
Lung Yin tidak berkata apa-apa lagi. Ia keluar berlari ke kamarnya sendiri dan
menumpahkan tangisnya di sana.
Malam ini adalah malam ketiga A-hoa terbujur kaku di ranjang batu. Lung Yin
duduk di sampingnya memandangi wajah anak itu.
Hari-hari terasa sepi tanpa celoteh manja gadis kecil ini, tanpa derap kakinya
yang kecil, tiada lagi tawanya yang riang yang membuat orang lain ingin tertawa
juga. Takkan terlihat lagi mata yang bening bercahaya dan pipi yang montok
kemerahan. Yang tinggal hanyalah sosok yang dingin, terbaring, tak bergerak!
Dua malam Chow Han Wei menunggui kamar ini. Tidak makan, tidak minum, tidak
tidur. Dalam waktu yang singkat itu wajahnya menjadi bertambah tua. Sering ia
menanyakan mengapa A-hoa tidak mau bangun. Tingkah suaminya bagaikan seorang
anak yang polos, lugu, tak mengenal arti kematian. Hal ini membuat Lung Yin
semakin berduka.
Hanya malam ini Han Wei berhasil dibujuk untuk makan. Dan dalam makanan itu Lung
Yin membubuhkan sedikit obat tidur supaya suaminya dapat beristirahat. Ia
sendiri ganti menjagai A-hoa.
Ching Ching 22
“A-hoa, betapa sayang aku dan A-thia padamu,” gumam Lung Yin. Ia dan suaminya
memang sangat sayang pada anak itu. Memang A-hoa yang sekarang berbeda dengan
A-hoa yang dulu, namun setelah kehilangan yang pertama, mereka menjadi lebih
sayang pada A-hoa yang baru. Apalagi pembawaannya yang lincah cepat sekali
merebut kasih sayang mereka.
Lung Yin sadar. A-hoa yang sekarang bukanlah anak kandungnya. Bahkan nama anak
itu yang sesungguhnya ia tak tahu. Tetapi hatinya sedih. Bahkan lebih dari
kematian anaknya yang pertama. Baru setahun A-hoa membawa kegembiraan kepada
mereka. Ia dan suaminya. Mengapa maut begitu cepat merenggutnya? Tidakkan dapat
menunggu beberapa tahun lagi? Lung Yin bahkan rela mnukar sisa hidupnya dengan
nyawa anak itu.
Wanita itu mulai tersedu. Ia memeluk A-hoa dan meletakkan kepalanya di atas dada
anak itu. Ia menangis beberapa lama sampai akhirnya tertidur.
Lung Yin terjaga. Sesaat ia tak tahu apa yang membuatnya terbangun. Dibukanya
mata. Apakah suaminya datang? Tidak, tak ada suatu suara pun di luar. Lung Yin
menajamkan telinganya yang sudah terlatih. Tapi suasana sunyi. Tak ada suara
seekor binatang malam sekalipun. Ia bahkan dapat mendengar detak jantungnya
sendiri yang berdebar lemah.
Tunggu! Ia dapat merasakan degup cepat jantungnya. Jadi, apa yang sesungguhnya
ia dengar?
A-hoa! Lung Yin baru tersadar kepalanya beralaskan tubuh anak itu. Rupanya ia
tertidur dalam posisi duduk. Berarti ….
“A-hoa belum mati, ia belum mati!”
Lung Yin hampir tak percaya. Untuk memastikan, ia perhatikan anak itu. Tubuhnya
masih sebeku dan sedingin kemarin. Napasnya pun tidak terasa. Barangkali suara
detak jantung itu hanya khayalan saja. Tapi Lung Yin benar-benar ingin percaya
bahwa anaknya masih hidup. Ia menempelkan lagi telinganya ke dada A-hoa Dan
detak itu terdengar lagi.
Bukan main gembiranya Lung Yin. Beberapa saat ia hanya bisa duduk
terlongong-longong. Tettapi saat berikutnya ia belari secepat mungkin. Ia
berlari mendapati suaminya yang masih tertidur di kamar lain.
“Wei-ko! Wei-ko! Bangun!” Diguncangnya badan laki-laki itu dengan keras. Tapi
biarpun ia menjerit-jerit, suaminya belum bangun juga. Rupanya perngaruh obat
yang diberikan tadi masih kuat. Sebagai usah terakhir Lung Yin menyambar secawan
teh dan menyiramkannya ke wajah Chow Han Wei.
Laki-laki itu gelagapan terbangun. “Nio-coe, ada apakah? Kau mimpi menyiram
tanaman, ya?”
“Wei-ko, kau bangunlah. Cepat!”
“Ada apa? Aku masih ngantuk.”
“A-hoa. Dia—“
Begitu mendengar nama anaknya disebut, bagai terbang Han Wei pergi ke kamar
A-hoa. “Tidak kenapa-kenapa,” katanya.
“Dia … dia masih hidup.”
“Ya, dia hidup. Hanya tidurnya lama sekali.”
Lung Yin bingung bagaimana cara menyampaikan berita itu. “Maksudku … maksudku
…,” ia mencari kata-kata yang tepat, “maksudku dia … dia hampir bangun.”
“Hampir bangun, hampir bangun? Horeee!” Chow Han Wei memegang tangan istrinya
dan melompat-lompat girang. Lung Yin ikut larut. Keduanya bertingkah laku bagai
dua anak kecil yang kesenangan.
Tahu-tahu Han Wei berhenti. Ia meraba tubuh A-hoa. “Badannya dingin. Dia
Ching Ching 23
kedinginan! Nio-coe, cepat sediakan air panas untuk merebusnya.”
“Me … me … merebus?” Lung Yin membelalak. Sudah sampai begitu gawatkah
kesintingan suaminya?
“Iya, merebus. Ayo, cepat, Nio-coe. Mungkin kemarin-kemarin darahnya beku
sehingga tidur tidak bangun-bangun. Sekarang kita harus bikin darahnya lancar
lagi.”
Lung Yin baru mengerti. Ya, ya, barangkali suaminya benar. Ia sangat sayang pad
A-hoa. Tak mungkin berniat mencelakakan. Cepat-cepat ia ke dapur mengambil ember
besar dan kayu bakar. Segalanya ia persiapkan demi anaknya. Demi A-hoa.
Hampir empat hari A-hoa ‘direbus’. Lung Yin nyaris putus asa lagi. Tapi semalam
napas anaknya mulai teratur. Cepat-cepat ia diangkat dari air panas sebelum
‘matang’ di sana.
Hari selebihnya Han Wei yang berusaha melancarkan jalan darah gadis kecil itu
dengan tenaga dalamnya.
Setelah lewat sehari, A-hoa dibiarkan terbaring. Han Wei dan istrinya menunggui.
Kini A-hoa benar-benar seperti tidur. Suhu badannya normal, pipinya mulai
memerah. Tinggal menunggu ia tersadar.
Ching-ching membuka mata. Samar-samar dilihatnya kedua orang yang menunggui. Ia
tersenyum. A-thianya tersenyum juga. Ching-ching menoleh ke arah Lung Yin Ibu
angkatnya itu tersenyum manis sekali tapi air matanya juga mengalir deras. Ingin
Ching-ching menanyakan mengapa wanita itu menangis. Tapi, uh, tak ada suara yang
keluar dari tenggorokannya.
Lung Yin melihat bibir anak itu bergerak-gerak. Ia tidak dapat menangkap
kata-kata yang ingin diucapkan.
“A-hoa, kau haus? Biar Ibu ambilkan minum.”
Ching-ching dibantu minum. Setelah itu barulah ia dapat keluarkan suara. Itu pun
masih serak.
“Ibu, kenapa menangis? Apakah karena A-hoa lakukan kesalahan?”
Lung Yin menggeleng.
“Kalau begitu pasti A-thia. A-thia ganggu Ibu, ya. A-thia jangan nakal, lihat,
Ibu jadi menangis. Kata A-thia, orang menangis itu jelek. Makanya A-thia jangan
bikin Ibu jadi jelek.”
Chow Han Wei tertawa. “Tidak, lain kali A-thia tidak nakal lagi.”
“A-thia, kemarin, di danau, kulihat seekor ikan putih yang aneh ....”
Ching-ching berceloteh. Lung Yin senang anaknya sudah begitu bergembira. Ia
sendiri pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan.
“A-hoa, kau tahu, tidak,” kata Han Wei selesai Ching-ching bercerita, “kau tidur
selama sepuluh hari? A-thia dan ibumu sampai kuatir sekali.”
“Aku tidur selama sepuluh hari?” Ching-ching terlompat duduk. “Rasanya sebentar.
Kalau begitu ternyata aku anak malas. A-thia, siapakah yang membantu Ibu ketika
aku tidur?”
“Ibumu mengerjakan segala sesuatunya sendiri.”
Pintu terbuka. Lung Yin masuk membawa makanan. “Ayo, makan dulu. Hari ini kita
makan di kamarmu, A-hoa.”
Ching-ching bersorak girang.
“A-hoa,” kata a-thianya. “Kau makanlah yang banyak supaya cepat sehat.”
Ching-ching mengangguk dengan mulut penuh makanan.
Sejak itu Lung Yin dan suaminya semakin sayang pada Ching-ching. Sekalipun
demikian mereka tidak kapok memberi ilmu serta latihan yang berat. Terutama Lung
Yin yang berambisi menurunkan seluruh ilmu yang pernah ia pelajari.
Ching Ching 24
Kini Ching-ching hampir menguasai semua jurus gin-kang ibunya. Tinggal tiga
jurus lagi—Lian-hoa-sui-siang (Teratai di atas air), Yap-siang-hui (Terbang di
atas daun), dan Lan-hoa-hui-hong-ciu (Anggrek melayang tertiup angin).
Hari ini mereka tak dapat berlatih. Salju turun begitu lebat. Ching-ching
sendiri tidak berkeberatan berlatih di antara gumpalam-gumpalan putih itu, tapi
ibunya melarang.
Karena itu mereka menghabiskan waktu dengan bermain musik di depan jendela. Lung
Yin memetik kecapi, Ching-ching meniup seruling. Lagu yang mereka mainkan
menyatu dengan angin yang bertiup. Lung Yin menjadi terharu sendiri. Lagu itu
adalah lagu asal negerinya yang jauh. Negeri yang begitu lama ia tinggalkan.
Lung Yin menghentikan permainannya. Ching-ching ikut berhenti juga. Mulutnya
terbuka untuk bertanya, tapi melihat wajah ibunya yang keruh, bibirnya terkatup
lagi.
“A-hoa, pernahkah kau rindu akan rumahmu, keluargamu, atau teman-temanmu yang
dulu?” tanya Lung Yin.
“Kadang-kadang.”
“Lalu apa yang kau lakukan kalau rindu pada mereka?”
“Kubayangkan aku sedang bermain dan bercanda dengan mereka.”
“Lalu apakah rasa rindu itu hilang?”
“Tidak, malah bertambah.”
Jawaban Ching-ching membuat Lung Yin terkejut. “Bukankah kau akan bertambah
sedih nantinya?” tanya wanita itu heran.
“Bukan, hanya bertambah rindu. Dan rindu itu akan kukumpulkan sampai banyaaaak
sekali supaya nanti kalau bertemu dengan mereka, senangnya juga banyak sekali.”
Lung Yin tertawa. Ia tak dapat mengerti jalan pikiran Ching-ching, tapi ucapan
anak itu dirasanya lucu. “A-hoa—ah, bukan, bukan A-hoa. Namamu yang sebenarnya
bukan A-hoa, kan? Siapa namamu?”
“Ching-ching. Lie Mei Ching.”
“Kau tidak keberatan kalau kami panggil A-hoa?”
“Tidak, aku tidak peduli orang mau panggil apa. Asal orang baik padaku, aku
sudah senang.”
“A-hoa, dengarlah. Nanti kalau kau pergi dari sini, gunakanlah namamu yang
sebenarnya.”
“Mengapa begitu, Bu?”
“Orang tuamu memberi nama, artinya mereka sayang padamu. Karenanya hargailah
kasih sayang mereka dengan menjaga nama baikmu.”
“Tapi, Bu, supaya nama mereka tidak rusak kalau aku berbuat salah, bukankah
lebih baik menggunakan nama lain?”
“Kau belum mengerti. Nanti kalau kau sudah besar, kau akan tahu.”
“Tapi aku tidak akan pergi. Aku sudah berjanji pada A-thia untuk menjaga Ibu.”
“Suatu saat kau harus pergi juga. Sudahlah, kita siapkan saja makanan untuk
a-thiamu. Ibu akan buatkan sop ikan yang enak untuk makan siang kita.”
Dalam mengajarkan jurus-jurus terakhir gin-kangnya, Lung Yin harus meminta
bantuan suaminya yang bertenaga besar supaya menjagai Ching-ching dalam latihan.
Pinggang Ching-ching dililit sebuah selendang yang ditenun dari serat tipis yang
kuat dan panjang. Sisa lilitan itu dipegangi ayahnya sementar Lung Yin memberi
contoh.
Untuk jurus Lian-hoa-sui-siang, mereka berlatih di danau beku yang esnya telah
agak mencair. Berkali-kali Ching-ching kecebur, tapi ia menanggapi dengan
gembira sehingga ibu dan ayahnya tidak kuatir. Setelah berlatih sembilan hari
Ching Ching 25
Ching-ching dapat menguasai dengan baik.
Jurus berikutnya adalah Yap-siang-hui. Kali ini mereka berlatih di hutan.
Selendang tipis masih melilit Ching-ching. Han Wei terpaksa ikut melompat-lompat
dengan meringankan tubuh.
Mula-mula Ching-ching melompati pohon-pohon kecil, melompat dari satu pohon ke
pohon lain dengan cara menjejak ujung pohon menggunakan ujung depan alas
kakinya. Semakin lama pohon yang dilompati semakin tinggi. Hari ini Ching-ching
harus berlatih menggunakan daun-daun di pohon-pohon yang tertinggi di hutan.
“Ingat, A-hoa, pusatkan seluruh konsentrasi pada ujung jari kakinya. Jangan
sampai kau menjejak angin. Kau belum sampai pada tahap itu.”
Ching-ching mencoba menuruti ajaran ibunya. Ia meringankan tubuhnya mencoba
mencapai puncak tertinggi. Yang pertama dan kedua gagal. Tapi ia tidak cedera
karena a-thianya selalu siap melompat menyelamatkan. Kali yang ketiga ia
berhasil. Setelah itu mudah saja baginya untuk melompat ke beberapa pohon lain.
Pohon-pohon di sebelah utara hutan agak gundul. Ching-ching harus menengok ke
bawah supaya pijakannya tepat.
Ching-ching melihat betapa jauh ia dari tanah. Kalau jatuh .… Ia bergidik.
Konsentrasinya buyar. Dengan cepat tubuhnya melayang ke bawah.
Chow Han Wei terkejut. Cepat-cepat ditariknya selendang. Tapi angin bertiup.
Arah selendang yang tegang melenceng, membuat Ching-ching tersangkut di pohon.
Lung Yin memburu ke pohon itu. Han Wei menyusul. Ia pun ikut melompat ke atas.
Ching-ching pingsan. Wajahnya pucat, kemungkinan akibat keterkejutan jatuh dari
tempat yang tinggi.
Pelajaran tertunda. Kaki Ching-ching terkilir. Bulan kedua barulah ia berhasil
menguasai jurus tersebut.
Jurus terakhir dipelajarinya dalam waktu tiga bulan. Kini ia dapat melayang lama
di udara. Dengan sedikit latihan lagi ia akan dapat melebihi a-thianya dalam
gin-kang.
Selain latihan dari ibunya, Ching-ching juga belajar dari a-thianya.
Kadang-kadang ia bingung sendiri dengan ajaran ibunya yang lambat-gemulai dan
dengan ajaran a-thianya yang cepat dan keras. Tapi dengan cepat ia dapat
menyesuaikan diri.
Hari masih pagi benar. Ching-ching dan a-thianya berjalan menuju danau. Mereka
akan menangkap ikan. Lung Yin tinggal sendirian di rumah. Ia membuka lemari dan
mengambil sehelai pakaian yang setengah jadi dari dalamnya. Pakaian itu ia buat
untuk Ching-ching. Pakaian dari sutra yang mahal dengan model pakaian negeri
asal wanita itu.
Ia kasihan melihat Ching-ching. Ketika datang kemarin dulu, pakaiannya halus dan
indah. Kini gadis kecil itu hanya memakai pakaian dari kulit binatang yang
dijahit kasar dan sederhana.
Sengaja ia buatkan pakaian model begitu supaya anaknya berbeda dari anak-anak
lain. Di samping itu dengan cara demikian kerinduan akan tanah airnya sedikit
terhapus. Lung Yin menjahit sambil mengenangkan masa kecilnya.
Tiba-tiba saja dadanya terasa sakit. Tangannya gemetar. Jarum dan kain yang ia
pegang meluncur ke tanah.
“Sialan, rupanya racun si nenek jahat Kim-hoa-po-po (Nenek Bunga Mas) sudah
sampai di jantungku,” Lung Yin mengumpat. “Rupanya aku sudah harus mati.”
Ia menyeret badannya ke ranjang dan berbaring. Pingsan.
“Ibu. Ibu, aku bawa pulang ikan yang besar sekali,” Ching-ching berlari ke
dapur. Tapi yang dicarinya tidak ada di sana. Ching-ching keluar. “Ibu, Ibu
Ching Ching 26
bersembunyi di mana?” Anak itu meletakkan ikan yang dibawanya. “A-thia, lihat
Ibu?” katanya ketika Chow Han Wei menghampiri.
“Tidak ada di dapur? Di kamar barangkali.”
Ching-ching segera menuju kamar. Benar, ibunya ada di situ. Terbaring dan
wajahnya pucat bukan main.
“Ibu, bangun, Ibu,” kata Ching-ching kuatir. “Ibu sakit, ya? Biar kubuatkan sop
ikan untukmu. “Ibu, jawab aku, Ibu.”
Tapi Lung Yin diam saja.
“A-thiaaaa!” Ching-ching berteriak memanggil.
Chow Han Wei segera datang tergopoh-gopoh. “Ada apa?”
“Itu, Ibu.”
Han Wei segera memeriksa keadaan istrinya. “Celaka, racun di tubuhnya sudah
sampai ke jantung!”
Han Wei membantu istrinya duduk. Ia sendiri bersila dan mulai menyalurkan
lwee-kang untuk mengeluarkan racun. Ching-ching ingin bertanya, racun apa yang
mengeram dalam tubuh ibunya. Tapi dengan melihat kelakuan a-thianya saja pun ia
sudah tahu, pasti racun yang sangat jahat menyebabkan ibu angkatnya menderita.
Sudah kira-kira sepertanak nasi, Lung Yin membuka mata. Ia tersenyum ketika
melihat Ching-ching memandang kuatir. Ia berkata juga pada suaminya, “Wei-ko,
sudahlah, aku sudah baikan.”
Hen Wei menghentikan penyaluran tenaganya dan membaringkan istrinya.
“Wei, ko, aku ingin berdua saja dengan A-hoa.”
Tanpa berkata-kata Han Wei meninggalkan kamar. Lung Yin memandang Ching-ching.
Matanya mulai berkaca-kaca.
“Ibu, jangan menangis. Apakah sakit sekali?”
“A-hoa sebenar Ibu akan pergi, jauuh sekali.”
“Ke manakah itu?”
“Ke langit.”
Wajah Ching-ching memucat. Dulu ia punya nenek yang sering sakit-sakitan. Lalu
suatu ketika ia dapati neneknya tidur tak bangun lagi. Ibu kandungnya bilang,
nenek pergi ke langit menjadi sian-lie (dewi). Lalu apakah ibu angkatnya ini
akan tidur juga dan tak bangun-bangun lagi seterti thia-thianya bilang … mati?
“Kau sudah tahu kan tentang Kim-hoa-po-po?” tanya Lung Yin. Ching-ching
mengangguk pelan. “Racun nenek jahat itu sudah sampai ke jantungku. Jadi aku
....”
“Tidak, Ibu tak akan mati, pasti ada pemunahnya, Kim-hoa-po-po pasti punya, Ibu
tenang saja, aku dan A-thia akan cari dia sampai ketemu, kalau dia tak mau beri,
kita bisa paksa, Ibu pasti sembuh, Ibu takkan ….”
Ching-ching mengatakan semua itu dengan cepat tanpa jeda dalam satu tarikan
napas panjang. Suaranya gemetar. Tapi ia akhirnya berhenti dan menangis karena
sadar, apa yang dikatakannya tak akan terjadi.
“A-hoa, kau haris tabahkan hatimu. Kalau tidak, siapa yang akan urusi a-thiamu?
Aku tahu kau rindu keluargamu, tapi a-thiamu tak punya siapa-siapa lagi. Kau
harus janji .…”
Langsung saja Ching-ching mengangguk-anggukkan kepala.
Lung Yin mengambil pakaian yang sedang dikerjakannya. “Ah, aku harus cepat-cepat
menyelesaikan ini,” katanya sambil tersenyum pahit. Ia tak tahu itu bakal
terlaksana atau tidak. “A-hoa, kau jangan bilang apa-apa tentang ini kepada
a-thiamu. Kau tahu sendiri dia seperti apa.”
Setelah itu ia langsung sibuk menjahit, jadi Chign-ching pun keluar kamar. Baru
Ching Ching 27
pintunya dibuka, Han Wei masuk.
“Wei-ko, ada apa?” tanya Lung Yin. Ia takut suaminya mendengar percakapan tadi.
“Nio-coe, kau sudah baik lagi, jadi aku hendak turun gunung. A-hoa akan temani
kau di sini,” kata Han Wei.
Lung Yin merasa lega mendengar itu, tapi heran juga. “Wei-ko, kau hendak ke
mana?”
“Aku mau cari Kim-hoa-po-po. Nio-coe, kau sudah cukup menderita. Aku ingin dia
rasakan juga sedikit penderitaanmu.” Tanpa berkata apa-apa lagi, Han Wei
meninggalkan kamar.
Hari itu juga ia turun gunung, meninggalkan Ching-ching dan Lung Yin berdua.
Ching-ching merawat Lung Yin dengan penuh kasih sayang.
Lewat beberapa hari, pada suatu pagi, Ching-ching seperti biasa mengantarkan
sarapan ke kamar Lung Yin. Ia heran ketika melihat ibunya duduk di tempat
tidurnya, tidak menjahit atau membaca buku seperti biasa.
“A-hoa, kemari sebentar,” katanya perlahan.
Ching-ching menaruh makanan di meja lalu mendekati ibunya dengan hati
berdebar-debar. Lung Yin menepuk sisi ranjangnya dan Ching-ching duduk di situ.
Lung Yin mengambil sehelai pakaian dan sebuah batu giok putih yang tadi terletak
di sampingnya. “A-hoa, aku ingin memberikan ini kepadamu.”
Ching-ching menerima kedua barang itu. Pakaiannya bagus sekali, kainnya halus,
warnanya pun ceria. Batu giok putih itu juga indah bukan main. Kalau biasa,
Ching-ching sudah berterima kasih bolak-balik dan parasnya jadi berseri-seri.
Tapi sekarang ia hanya membisikkan terima kasih singkat dengan suara serak.
Matanya sudah mulai merah.
“Cuma ini yang dapat kuberikan. Kuharap kau akan menyimpannya selalu,” kata Lung
Yin. Dari suaranya, kedengaran bahwa ia sedang menahan sakit.
Ching-ching hanya mengangguk saja.
“Aku ingin kau mengurus a-thiamu seperti yang pernah kubilang. Aku tahu akan
makan waktu untuk cari dia. Tapi aku akan selalu bersamamu. Dengan batu giok itu
kau bisa selalu ingat aku dan rindui aku. Jadi kalau kita bertemu lagi di
kehidupan yang akan datang, kau akan senang bertemu denganku karena tentu rindu
yang kau kumpulkan sudah banyaaak sekali.”
Mau tak mau Ching-ching tersenyum mendengar kata-kata itu. Tapi kemudian Lung
Yin meringis kesakitan. “Ibu … kau ….”
“A … hoa … ku … rasa … Ibu ….”
Perkataan itu diucapkan sepatah-sepatah, Ching-ching, yang terus memandangi
barang pemberian ibunya, harus menunggu sejenak untuk mendengar patahan
berikutnya. Tapi setelah kata Ibu, ia menunggu lama, tapi tak terdengar lagi
suara Lung Yin. Takut-takut ia menoleh.
“Ibu!” serunya, melihat Lung Yin sudah menutup mata. Ia menggoncang-goncang
tubuh orang, tapi ibunya tak bereaksi. Ching-ching menaruh jarinya di depan
hidung Lung Yin.
Dia sudah tak bernapas. Dia sudah tidak bernapas! Dia sudah m—
Tidak, dia belum mati. Ching-ching kan bukan tabib, tahu dari mana ia bahwa
ibunya sudah mati? Masa hanya karena tak ada napas jadi mati? Tidak, ibunya
belum mati.
Ching-ching memeriksa denyut nadi Lung Yin … tidak terasa apa-apa. Dicobanya
mendengar detak jantung … tidak terdengar apa-apa.
Tapi ia belum yakin. Ia tak mau ibunya mati. Ia harus tunggu sampai a-thianya
datang. Baru ia bisa pastikan. A-thia pasti dapat tentukan mati-hidup.
Ching Ching 28
Ching-ching keluar kamar, keluar rumah, lalu duduk menunggu Han Wei meskipun di
luar terasa dingin. Baru ketika salju turun, ia masuk ke dalam dan menunggu di
depan jendela.
Karena sudah kebiasaan, tanggan menggapai mengambil seruling dan mulutnya
meniup, memainkan lagu yang sudah dikenalnya, telinganya menikmati harmonisnya
suara suling dan khim—
Tapi kali ini tak ada suara khim yang menemani. Ching-ching diam mendengarkan,
menunggu. Tapi tetap tak ada suara khim yang datang ke telinganya.
Diam-diam air matanya meleleh di pipinya. Ia sadar sekarang, ia tak akan pernah
mendengar suara khim itu lagi. Karena yang memainkannya pun sudah tak ada, pergi
… untuk selamanya.
Untuk selamanya … lama sekali.
Perlahan ia bangkit dan pergi ke kamar Lung Yin. Dibawanya jenazah ibunya ke
luar, dibaringkannya rapi-rapi. Lalu ia mulai menggali. Menggali lubang untuk
tempat peristirahatan terakhir wanita itu. Setelah selesai, ia menghormat tiga
kali di depan makam itu.
Dan selama itu, air matanya tak pernah berhenti mengalir.
Sekarang ia harus mencari a-thianya. Ching-ching segera bersiap untuk pergi.
Pakaian dan batu giok dari Lung Yin disimpannya baik-baik di dalam buntelannya.
Hari itu, Lie Mei Ching turun dari gunung Leng-yi yang sudah menjadi rumahnya
selama … untuk mencari Chu Han Wei.
Ching-ching menuruni gunung. Ia mengenakan pakaian yang dibuat oleh ibunya dan
tentu saja giok putih dari ibunya harus juga dia bawa yang lain tak perlu lah.
Ia tak mau bikin badannya penuh dengan segala macam barang yang membuatnya
kesulitan sewaktu berjalan.
Ching-ching sampai di desa di kaki gunung Leng-yi. Ia segera menuju ke sebuah
rumah makan dan masuk ke dalamnya. Barangkali ada A-thia di sana. Biasanya
A-thia pergi ke sini untuk membeli arak.
“Bocah kecil, mencari siapakah?” tanya pemilik rumah makan.
“Mencari A-thiaku,” jawab Ching-ching.
“Bagaimanakah rupa A-thiamu itu?”
“Tinggi-besar, berjenggot lebat, dan membawa sebuah pedang besaaar,” Ching-ching
membentangkan tangan untuk menunjukkan sebagaimana besarnya pedang itu.
“Apakah pedangnya digantung di punggung?” tanya seorang pelayan.
“Ya betul! Ada di sinikah dia?”
“Tidak,” jawab pelayan itu. Wajah Ching-ching berubah keruh. “Tetapi beberapa
hari yang lalu ia lewat ke sini dan membeli dua guci arak. Kemudian pergi ke
arah sana.” Pelayan itu menunjuk.
Ching-ching segera lari ke arah itu. Pemilik rumah makan dan pelayanannya
bengong. Apalagi ketika anak itu memutar arahnya dan kembali ke rumah makan
tersebut dan berhenti tepat di depan si pelayan.
“Terima kasih,” kata Ching-ching, membuat kedua orang itu bertambah
terheran-heran. Kemudian ia kembali berlari mengerahkan gin-kang supaya dapat
dengan cepat mengejar A-thianya.
Sepanjang perjalanan Ching-ching bertanya pada setiap orang yang ia jumpai.
Banyak yang menjawab dengan ramah, tapi tidak sedikit pula yang cuma
terbengong-bengong menatapnya. Terutama pada bajunya yang tidak seperti orang
kebanyakan.
Ching-ching tidak punya uang. Ia bahkan tidak tahu nilai uang. Tapi ia mengerti
bahwa segala sesuatu di desa harus ditukar dengan sesuatu. Karenanya, setiap
Ching Ching 29
kali merasa lapar, Ching-ching mencari hutan atau sungai di mana ia dapat
memperoleh binatang atau ikan untuk dimakan.
Berhari-hari gadis kecil itu berjalan. Semakin lama badannya semakin lemah.
Sekarang bahkan tidak kuat ia mengerahkan gin-kang. Apalagi hujan tak pernah
turun beberapa hari ini. Matahari bersinar terik. Udaara menjadi pengap dan
panas. Tapi Ching-ching berjalanterus dengant abah.
Hari kedelapan, Ching-ching tiba di sebuah perbukitan yang tandus. Tidak ada
sungai di sekitar tempat itu. Tidak ada tumbuhan, tidak ada binatang dan tak
seorang pun berpapasan dengannya. Padahal Ching-ching sudah kelaparan. Ia tak
makan sejak kemarin siang. Semalam pun tidur dengan perut keroncongan.
Panas matahari semakin menyengat. Ching-ching berjalan tertatih-tatih di atas
tanah kering yang berdebu. Lehernya semakin kering. Perutnya melilit. Cahaya
matahari berubah menjadi warna-warna aneh. Jingga—merah—kelabu—dan akhirnya
hitam. Ching-ching tidak ingat apa-apa lagi.
* * *
“Kong-kong, kemarilah cepat. Ada anak mati di sini. Kasihan sekali,” Yuk Lau
memanggil-manggil.
Orang tua yang berjalan di belakangnya bergegas menghampiri. “Anak ini tidak
mati, Yuk Lau. Cuma pingsan karena kepanasan dan tidak makan semalaman,” kata
orang tua itu. “Baiknya kita bawa pulang saja dan dirawat di rumah.”
Anak yang dipanggil Yuk Lau menggandong bocah yang pingsan itu di punggungnya.
Si kakek sendiri menggendong keranjang besar bertudung yang isinya obat-obatan.
Kakek tersebut tak laina dalah Yuk Fung, seorang sin-she yang terkenal dengan
gelar Yok-ong-phoa. Hari itu ia kebetulan lewat di tempat itu sepulang mengambil
jamur obat tak jauh dari sana bersama cucunya.
Yuk Lau, anak laki-laki berumur dua belas tahun yang bersama si tabib adalah
cucu dari anak angkatnya sendiri. Ia tinggal bersama orang tuanya tak jauh dari
rumah si Dewa Obat sehingga sering ikut pergi bersama kakeknya.
“Kong-kong kenal anak ini?”
“Tidak,” jawab Yuk Fung. “Tapi wajahnya mengingatkanku pada seseorang. Seseorang
yang pernah menolongku. Apalagi dengan baju macam ini.”
“Baju apa sih ini? Kok tidak seperti baju yang dipakai teman-temanku.”
“Ini baju ala negeri Sha-ie di dekat Tibet. Modelnya memang berbeda dengan
pakaian di negeri kita.”
“Kong-kong pernah ke sana?”
“Sekali, itu pun tidak sengaja. Waktu itu Kong-kong sednag berlayar ke See-tok
untuk mempelajari beberapa macam racun yang berhasal dari negeri tersebut. Di
jalan, tiba-tiba badai mengamuk, memecahkan kapal yang ditumpangi. Entah berapa
hari aku terapung-apung di laut, sampai seorang putri raja negeri Sha-ie yang
sedang berlayar menolong dan membawaku pulang ke negerinya.”
“Apakah wajah anak ini mirip dengan yang menolong kakek itu?” tebak Yuk Lau.
“Ya, sangat mirip. Hanya saja saat itu putri tersebut sudah berumur kira-kira 17
tahun. Anak iini paling-paling baru delapan atau sembilan tahun.”
“Kong-kong, apakah ada dua orang yang tidak punya hubungan darah tapi bisa
sangat mirip satu sama lain?”
“Di kolong langit banyak hal bisa terjadi. Sudahlah. Kita cepat-cepat saja
berjalan supaya tidak kemalaman.”
* * *
Ching-ching siuman. Yang pertama ia rasakan adalah leher yang kering. “Haus,”
gumamnya serak.
Ching Ching 30
Seseorang meminumkan air kepadanya. Setelah lehernya dialiri air dingin yang
segar, Ching-ching merasa enakan. Ia membuka mata. Seorang kakek tua duduk di
smaping tempat tidurnya.
“Di manakah aku?” tanya Ching-ching. “Kenapa bisa ke sini?”
“Kau ada di Bukit Giok-lam. Kami temukan kau di kaki bukit dalam keadaan
pingsan.”
Ching-ching bangkit duduk dan menyoja. “Terima kasih Loo-peh-peh sudah
menolongku.”
“Jangan sungkan. Kita sesama orang memang tugasnya untuk saling menolong.”
Seorang anak lelaki masuk ke kamar itu. “Kong-kong, ini obatnya.” Tapi, melihat
Ching-ching sudah siuman ia sodorkan obat langsung pada anak itu. Ching-ching
langsung meneguk habis. “Istirahatlah, Kouw-nio … eh … Kouw-nio ….”
“Namaku Ching-ching,” kata Ching-ching. “Tidak pakai kouw-nio.”
Yuk Fung tersenyum. “Baiklah, Ching-ching, kau istirahatlah. Yuk Fung mengajak
cucunya keluar.
Ching-ching merebahkan kepala dan terlelap lagi.
***
Beberapa hari Ching-ching dirawat di sana. Dengan cepat ia menjadi akrab dengan
Yuk Lau. Ching-ching sudah menceritakan bahwa ia mencari ayahnya. Yuk Fung
merasa tidak tega. Ia menahan Ching-ching lebih lama. Ching-ching tidak menolak.
Ia senang bermain dengan Yuk Lau. Ia juga senang membantu Yuk Fung—yang
dipanggilnya Kong-kong—menyembuhkan orang-orang.
Setiap hari, banyak orang datang minta diobati. Kadang sampai tidak cukup satu
hari untuk memeriksa. Ching-ching sering membantu sambils esekali menanyakan
ini-itu. Dalam satu bulan ia sudah memahami beberapa macam penyakit dan
pengobatannya sekalian.
Suatu hari Yuk Lau datang berlari-lari ke tempat kediaman kakeknya.
“Ching-ching!” panggilnya pada teman main yang sedang membantu kakeknya menjemur
obat. “Coba tebak apa yang kubawa hari inI!”
Ching-ching mencoba mengintip apa yang dibawa Yuk Lau di balik punggungnya, tapi
tak berhasil. Terpaksa ia menebak-nebak. “Ikan,” terkanya.
“Salah.”
“Jangkrik,” Yuk Lau memang suka membawa jangkrik untuk diadu.
“Bukan.”
“Kue barangkali.”
“Bukan juga.”
“Nyerah deh.”
Yuk Lau tertawa. Ia mengulurkan kedua tangannya yang membawa layang-layang dan
benangnya.
“Layangan!” seru Ching-ching. Sudah lama sekali ia tidak main layangan, sejak
dibawa ke gunung Leng-yi oleh A-thianya.
“Thia-thia membelikannya di kota,” kata Yuk Lau. “Ayo kita main di lapangan.”
“Ayo!” kata Ching-ching. Tapi kemudian ia ingat akan pekerjaannya. “Tidak bisa
sekarang,” katanya lagi. “Aku sedang membantu Kong-kong.”
Yuk Lau tampak kecewa. “Padahal hari begini paling bagus-bagusnya main
layangan.”
“Ching-ching, kau pergilah. Semua ini sudah cukup,” kata Yuk Fung. “Sisanya
tinggal sedikit. Kong-kong bisa lakukan sendiri.”
Yuk Lau bersorak. “Kong-kong, pergi dulu,” kata Ching-ching dan Yuk Lau bebareng
seraya berlari pergi sambil berpegangan tangan.
Ching Ching 31
Di lapangan ternyata ada beberapa pasang anak lain yang sudah lebih dulu datang.
“Yuk Lau, Ching-ching, mau bermain juga?”
“Ya, kemarin Thia-thia membawa layangan untukku.”
“Hei, bagaimana kalau kita mengadu?” tanya seorang anak.
“Nanti saja,” jawab Yuk Lau. “Aku tidak ingin cepat-cepat kehilangan layangan.
Ching-ching, mari kita main di tempat yang agak sepi di sebelah sana.”
Mereka memisahkan diri dan mulai bermain. Mula-mula Ching-ching memegangi
layangan, sementara Yuk Lau menerbangkannya, lalu Ching-ching memegangi golongan
benang. Mereka bergantian menerbangkan layangan. Ketika hari menjelang sore,
hampir semua anak kehilangn layangan. Mereka semua pulang kecuali seorang anak
bersama temannya yang masih memiliki layang-layang.
“Yuk Lau, yang tersisa tinggal layangan kita. Bagaimana kalau kita adu
sekarang?” kata A-fuk, anak yang memiliki layangan itu.
Yuk Lau memandang Ching-ching minta persetujuan. Ching-ching mengangkat bahu.
“Terserah,” katanya.
“Baik,” kata Yuk Lau kemudian. “Adu tinggi atau adu benang?”
“Dua-duanya. Mula-mula adu tinggi dulu. Ayo turunkan layanganmu.”
Mereka mulai mengadu lagi. Layangan Yuk Lau yang berbentuk capung meliuk-liuk di
angkasa. Semakin tinggi dan semakin tinggi. Angin bertiup kencang. Lawannya tak
dapat mengejar, takut kalau-kalau benangnya putus. Semetara layangan Yuk Lau
sudah berada di atas awan.
“A-fuk,” kata Yuk Lau memanggil kawannya. “Layanganku sudah menang. Kau menyerah
tidak?”
“Ya, ya, aku menyerah. Ayo kita adu sekarang.”
“Baik!” Yuk Lau merendahkan layangannya. Ching-ching menggulung benang dengan
cepat.
Dua layangan di angkasa seolah bertempur. Saling mematuk, saling melilit dan
berputar mengejar lawannya. Ching-ching sudah sering main layangan. Ia dapat
mengimbangi gerak Yuk Lau dengan menggulung atau mengulur benang. Suatu ketika,
benang Yuk Lau hampir melilit layangan A-fuk. A-fuk gugup. Ia cepat-cepat
mengulur benangnya.
“Ulur, ulur!” perintah A-fuk kepada A-yong yang memegang benang.
“Aduh, tidak bisa. Benangnya kusut,” jawab kawannya itu.
A-fuk menggeram kesal. Tapi layangannya sudah menukik jatuh di antara pepohonan
besar, tak jauh dari tempat bermain itu.
“Kau cari sana!” bentak A-fuk lagi. “Biar benangnya aku yang uraikan.”
A-yong lari terbirit-birit mencari layangan itu. Yuk Lau tertawa-tawa. Ia
menurunkan layangannya.
“Aku penasaran,” kata A-fuk. “Kenapa sih aku selalu kalah darimu kalau main
layangan? Padahal dengan teman-teman yang lain, aku selalu menang.”
“Entah, ya,” jawab Yuk Lau. “Barangkali karena kau kurang cekatan daripada aku
soal memainkan benang. Dan jangan lupa, kawanmu harus tahu juga kapan waktu
mengulur dan menggulung benang. Kalau tidak main bersama Ching-ching, barangkali
hari ini aku yang kalah.”
Ching-ching jadi bangga dipuji begitu.
“Ya, ya, kalau benangku tidak kusut tadi, semestinya aku dapat melepaskan
layanganku dari punyamu. Ching-ching, lain kali kau main denganku, ya.”
“Baik, tapi kalau Lau Koko tidak keberatan.”
“Lain kali boleh kaucoba,” sahut Yuk Lau.
A-fuk kembali menekuni benang kusutnya. Tapi semakin diurai, tampaknya semakin
Ching Ching 32
kusut saja benang itu. “Huh, benang sialan!” umpatnya sambil mencoba melepaskan
benang yang melilit kakinya. Ching-ching dan Yuk Lau tertawa melihat A-fuk yang
berjingkrakan sambil mengomel-omel.
“Sini, biar aku yang kerjakan.” Ching-ching menolong A-fuk melepaskan diri dari
lilitan benang. Sesudahnya, malah dia luruskan juga benang kusut itu.
“Yuk Lau,” bisik A-fuk pada temannya, “beruntung benar kau, tahu-tahu punya adik
yang bisa diajak main macam-macam. Sabar, cekatan, dan, kata Fei-fei adikku,
Ching-ching pintar masak juga, ya.”
“Iya sih. Masakannya memang enak. Belakangan ini, aku malah lebih sering makan
di rumah Kong-kong daripada di rumah sendiri. Ibuku sampai iri pada Ching-ching.
Tapi kau belum tahu. Ching-ching itu, kalau tidak suka sama orang, bisa galak
dan tidak sabaran.”
“Ah, masa iya?” A-fuk menyangsikan.
“Suatu saat kau akan lihat.”
“Tolong … tolong …!” Tiba-tiba A-yong lari dari balik pepohonan. Ketiga anak
yang lain menoleh.
“Ada apa?” Yuk Lau mencegat.
A-yong menghindari tabrakan dengan Yuk Lau, tapi ia malah tersandung Ching-ching
yang masih berjongkok. Gulungan benang yang sudah rapi tertendang sampai terurai
lagi dan melilit kedua anak yang terguling di rumput.
Keduanya duduk di rumput dengan badan terlilit benang. Ching-ching kesal sekali.
Benang yang susah payah diurainya kini kusut lagi. Melilit badannya pula.
Dicobanya berdiri, tapi benang yang melilit kaki membuat dia terduduk kembali.
“Sial!” umpatnya. “Kenapa sih kau lari-lari tidak lihat-lihat jalan! Benangnya
kusut lagi tu. Padahal, tadi sudah rapi kugulung. Heran, sudah lari-lari tanpa
sebab, membuat orang terguling lagi. Kalau mau jungkir-balik, ya
jungkir-baliklah sendiri. Tak perlu ajak-ajak orang lain.”
A-yong bengong, disemprot dengan omelan yang tidak karuan itu. Wajahnya yang
pias makin pucat. A-fuk nyengir memandang Yuk Lau.
Yuk Lau meringis. “Tuh, apa kubilang? Betul kan? Soalnya, aku juga pernah
dimarahi waktu itu.”
Keduanya menghampiri Ching-ching yang sibuk melepaskan diri, dan ikut membantu
tanpa peduli pada A-yong yang duduk tak bergerak. Tetapi, setelah beberapa saat,
belitan benang itu tak mau lepas juga.
“Putuskan saja,” kata A-fuk tak sabar.
“Tak sayang?” tanya Ching-ching. “Benang panjang begini?”
“Kalau kau senang duduk di situ sampai besaok, aku sih tidak keberatan.”
Ching-ching diam. Tentu saja dia tak mau duduk semalaman di lapangan itu.
Apalagi kalau malam, tempat itu sepi sekali. Hiy! Tidak, dia tak mau menginap di
situ. Maka, ia diam saja waktu A-fuk mulai memutuskan benang dengan giginya,
dibantu Yuk Lau. Tak berapa lama, lilitan benang terlepas. A-yong juga bebas.
Anak itu sudah agak tenang sekarang.
“Nah, katakan pada kami. Apa yang kaulihat di sana?” tanya Yuk Lau.
“Ada … ada tangan,” jawab A-yong.
“Tangan apa?”
“Tangan besar. Berdarah! Hiii!” A-yong bergidik ngeri membayangkan apa yang
dilihatnya.
“Tangan siapa? Mengapa berdarah?” tanya Ching-ching.
“Mana aku tahu?” sahut A-yong. “Aku belum sempat bertanya pada yang punya
tangna. Bahkan tak sempat melihatnya.”
Ching Ching 33
“Jangan-jangan cma tangan doang. Buntung. Siapa tahu?” kata A-fuk.
“Sudah,” Ching-ching mulai tak sabar lagi. “Daripada pusing-pusing, bagusan kita
lihat sendiri ke sana.” A-fuk dan Ching-ching belari ke arah dari mana A-yong
datang tadi.
Yuk Lau memandangi A-yong. “Mau ikut ke sana lagi?”
“Aku … aku mau pulang saja,” kata A-yong, terbirit-birit lari ke rumahnya.
Ching-ching dan A-fuk celingukan mencari tangan yang disebut-sebut A-yong.
“Itu tuh!” A-fuk menunjuk.
Ching-ching mengikuti arah tunjukannya. Ia melihat seekor burung terkapar dengan
sayapnya yang terbentang. Sayap kanannya luka. “Itu sih burung.”
“Tangannya luka.”
“Bukan tangan. Sayap.”
“Sama saja,” A-fuk ngotot, dan menghampiri burung tersebut. “Sudah mati!”
Ching-ching menggeleng. “Yang kita cari, tangan manusia.”
“Kata siapa? A-yong cuma bilang tangan, begitu.”
“Iya, tapi besar. Ingat? Sayap burung ini kecil.”
A-fuk mengangkat bahu, lalu berdiri dan celingkukan lagi.
“Sudah ketemu?” tanya Yuk Lau yang menyusul belakangan.
“Belum,” serentang kedua anak lain menggeleng.
“Pencar saja, supaya cepat. Sebentar lagi gelap.”
Mereka berpencar ke arah yang berlainan. Beberapa saat kemudian, terdengar A-fuk
berteriak. “Horeee! Kutemukan!”
Ching-ching dan Yuk Lau berlari mendekat. “Mana? Mana?”
“Ini!” A-fuk menyodorkan benda di tangannya. Sebuah layangan!
“Heeey! Kita ini sedang mencar tangan, bukan layangan!” teriak Ching-ching
jengkel.
Yuk Lau hanya mendengus saja dan berbalik, kembali mencari. Ching-ching juga. Ia
mengawasi semak-semak sambil menggerundeng. Tiba-tiba dilihatnya genangan merah
kehitaman. Darah! Ia menoleh ke sekeliling. “Darahnya ada, tapi mana tangannya?”
Dicarinya di antara semak-semak, tapi tetap tak ditemukan. Ching-ching mengawasi
sekeliling genangan darah itu. Tak ada setetes jejak darah lain di sana. Sesuatu
jatuh dari atas pohon tepat ke genangan darah itu, membuat riak-riak kecil.
Ching-ching melihat ke atas.
“Aaaaaaa!” tahu-tahu ia menjerit sampai kaget sendiri. Dia melihat tangan besar,
penuh darah, menggelantung di antara rimbunnya daun, tak jauh di atas kepalanya.
Ching-ching memejamkan mata untuk menentramkan hati. Didengarnya Yuk Lau dan
A-fuk mendekat.
“Di mana?” tanya mereka langsung.
Ching-ching menunjuk ke atas. Yuk Lau dan A-fuk tidak bersuara lagi. Ching-ching
memberanikan diri membuka sebelah matanya. Ternyata kedua anak lelaki itu sedang
melotot dengan mulut ternganga!”
“Wah, besar betul,” kata A-fuk setelah tercengan beberapa lama. “Bahkan lebih
besar dari tangan ayahku.” A-fuk berjingkat dan menyentil tangan besar itu
dengan telunjuknya.
Gedubrak! Tangan itu jatuh dengan suara keras, bersama tubuh yang empunya,
tentu.
Ching-ching membuka mata yang satunya. Gawan, patah tulang-tulangnya nanti,
pikir anak itu.
Orang itu laki-laki. Umurnya paling aru 17 tahun. Wajahnya lumayan tampan. Aneh,
warnanya sebelah pucat sebelah lagi kehitaman. Tangannya begitu juga. Yang tidak
Ching Ching 34
berdarah warnanya pucat.
“Keracunan!” kata Yuk Lau, yang mengetahui ciri-ciri orang keracunan dari
kakeknya.
“Kita bawa saja ke tempat kakekmu. Aduh!” A-fuk memegangi jarinya yang tiba-tiba
sakit.
“Kenapa?”
“Entah, jariku tiba-tiba sakit.” A-fuk memperlihatkan jarinya yang seperti
melepuh. “Padahal, tadi tidak apa-apa.”
“Tai tadi kau menyentuh tangan orang ini,” kata Yuk Lau agak panik. “Darah orang
ini beracun rupanya. Ayo, cepat pulang ke rumah kakekku.”
Yuk Lau melepas bajunya, membungkus tangan yang berdarah, kemudian menyeret
orang itu. A-fuk membantu mendorong kakinya, sambil sesekali mendesis kesakitan.
Ching-ching berjalan mendahului, membawa layangan mereka.
***
“Orang ini terkena Racun Pemunah Jiwa,” kata Tabib Yuk Fung. “Susah dicari
obatnya.”
“Apakah dia akan mati?” tanya A-fuk.
“Ya, ia akan mati kehabisan darah. Lihat, darah dari ujung jarinya mengucur tak
berhenti.”
“Tidakkah Kong-kong dapat menyembuhkannya?” Ching-ching bertanya penuh harap.
“Kelihatannya orang ini baik. Sayang, kalau mesti cepat-cepat mati.”
“Ya, entah bagaimana ia dapat terkena racun ini. Jangan-jangan
Toat-beng-kim-sian (Dewa emas pencabut nyawa) sesungguhnya belum mati.”
“Aduh, aduh!” Tiba-tiba A-fuk menjerit dan terguling di lantai, kemudian diam
tak bergerak.
“Tangannya hitam!” jerit Ching-ching yang berdiri paling dekat dengan A-fuk.
Yuk Fung cepat-cepat mendekat dan mengamati. “Dia terkena racun yang sama!” seru
tabib sakti terkejut. “Pasti telah disentuhnya darah orang itu.”
“Oy ya, tadi memang disentuhnya tangan orang itu.”
“Seharusnya kalian bilang sejak tadi.” Tabib Yuk Fung mengeluarkan sebuah pil
bulat putih bagai mutiara dan memasukkannya ke mulut A-fuk. “Sekarang keadaannya
malah lebih berbahaya dari orang yang kalian tolong. Orang itu akan mati sekitar
lima hari lagi. Tapi A-fuk … kalau kita tidak cepat-cepat cari obat, dalam tiga
hari ia akan kehilangan nyawanya.”
“Bagaimana bisa begitu?” Ching-ching tertarik.
“Orang yang kalian tolong telah terpukul oleh pukulan Hoan-beng-ciang (Pukulan
pengantar nyawa) yang berhawa racun. Sejak hari ia terpukul, darahnya akan
mengucur dari ujung jari dan tak akan berhenti sampai darahnya habis. Hal itu
makan waktu sepuluh hari. Jadi, orang ini sudah lima hari tergantung di pohon.
A-fuk yang menyentuh darah orang ini akan mati dalam tiga hari sebab darah
beracunnya masuk lewat pori-pori ke pembuluh darah. Racun itu akan menjalar
pelan-pelan bersama darah. Setelah tiga hari, racun sampai ke jantung dan A-fuk
akan mati.”
Ching-ching dan Yuk Lau berpandangan. “Mestinya kita tidak usah menolong orang
itu,” kata Ching-ching.
“Tidak bisa,” sahut Yuk Lau. “Biar bagaimana, orang yang kesulitan mesti
ditolong. Tapi, kalau tahu jadinya begini ….”
Pintu diketuk orang. “Tabib Yuk, Tabib Yuk,” panggil orang di luar itu.
“A-lau, coba kalu lihat siapa di luar,” kata Tabib Yuk kepada cucunya.
“Ching-ching, kau ambillah sewaskom air. Sebentar lagi A-fuk akan demam. Kita
Ching Ching 35
akan kompres dengan air itu.”
Ching-ching pergi mengambil air, sementara Yuk Lau membuka piontu. Di depan
pintu berdiri Chow Fa, ayah A-fuk.
“Chow Siok-siok (Paman Chow),” panggil Yuk Lau.
“Yuk Lau, adakah kau melihat A-fuk? Sejak pagi ia tidak pulang. Ibunya khawatir
sekali.
Yuk Lau tak bisa menjawab. Ia takut Chow Fa menyalahkannya, kalau tahu A-fuk
terbaring tak sadarkan diri di rumah kakeknya. Karena itu ia diam saja dan
bengong menata Chow Fa.
“A-lau, siapakah tamunya?” tanya Tabib Yuk dari dalam kamar. Ia keluar dan
melihat. “A-fa, rupanya kau. Ada apakah?”
“Cuma hendak menanyakan apakah A-fuk main bersama Yuk Lau. Ia belum pulang ke
rumah sejak tadi.”
“Oh, A-fuk ada di sini. Itu di kamar.”
Yuk Lau panas-dingin. Chow Fa dikenal sebagai orang paling pemarah di kampung
mereka. Kalau marah-marah di sini, bisa-bisa ….
“A-fuk ada di kamar? Sedang apa?” Tanpa menunggu dipersilakan lagi, Chow Fa
menerobos ke dalam.
Ching-ching yang sedang mengompres A-fuk terkejut melihat lelaki besar itu.
Karena kaget, tak sengaja tangannya menyenggol baskom tempat air, sehingga
tubuhnya tersiram basah kuyup.
“Apa yang kaulakukan pada anakku!” bentak Chow Fa.
“Lihat apa yang kaulakukan!” kata Ching-ching balas menghardik.
“Apa yang kulakukan?” Saking kagetnya melihat anak kecil yang berani membentak
dirinya, Chow Fa malah jadi bingung sendiri.
“Siapa suruh kau masuk gedubrakan,b ikin orang kaget tanpa alasan yang jelas.
Memangnya kalau kau masuk pelan-pelan, apa salahnya? Lihat, lantai kamar kini
basah. Aku harus mengepelnya. Dan ini … bajuku kuyup juga. Dasar manusia tak
berguna, menambah-nambah kerjaan orang saja.” Ching-ching mencak-mencak di depan
Chow Fa yang berdiri bengong dengan tampang dungu.
Di belakang mereka, Yuk Lau tersenyum-senyum menahan tawa. Nah, kena batunya
sekarang, Chow Siok-siok, pikir anak itu.
Ching-ching memungut waskom kayu yang terguling. “Minggir!” katanya pada Chow Fa
yang menghalangi. Gadis kecil itu keluar untuk mengambil air sekali lagi.
Yuk Lau mengikutinya dari belakang. “Ching-ching, kau … luar biasa!”
“Memangnya kenapa?”
“Kau tahu orang yang kaubentak-bentak barusan?”
Ching-ching menggeleng.
“Dia itu ayah A-Fuk.”
“Masa bodoh ayahnya, kakeknya, atau siapa pun. Aku tidak terima dibentak tanpa
alasan yang jelas,” kata Ching-ching ketus. Dia masih kesal.
“Tapi, dia itu orang yang paling galak di kampung ini. Barangkali sekali-kalinya
seumur hidup ia dimaki-maki anak kecil. Kau lihat tidak tampangnya tadi? Hihihi,
kalau A-fuk tahu ayahnya bisa bertampang seperti itu ….”
Ching-ching ingat bagaimana tampang Chow Fa tadi. Memang lucu sekali. Sudut
bibir Ching-ching tertarik ke atas. Detik berikutnya, ia dan Yuk Lau sudah
tertawa sampai bergulingan di tanah.
Yuk Lau menghapus hair mat ayang keluar waktu tertawa tadi. “Sudah, sudah. Aku
tak kuat lagi,” katanya. “Ayo, Ching-ching. Kau kan mau ambil air buat
mengompres A-fuk.” Yuk Lau mengambil waskom dari atas tanah, tapi Ching-ching
Ching Ching 36
masih diam saja. “Ayo, apa perlu kugendong kau?”
Ching-ching tidak menjawab. Matanya menerawang.
Yuk Lau duduk lagi di sampingnya. “Ada apa?”
“Lau Ko-ko, bagaimana kalau A-fuk mati?”
Yuk Lau jadi ikut termenung. “Tidak!” katanya sambil melompat berdiri. “A-fuk
tidak akan mati. Dia tidak boleh mati!”
“Tapi ….”
“Kong-kong pasti dapat menyembuhkannya. Pasti! Ching-ching, sebelum kau kemari,
dialah temanku yang paling baik.”
“Apakah ketika aku datang, ia bukan lagi teman yang baik?”
“Bukan begitu. Tapi, setelah kau kemari, aku jadi malas bermain dengan
teman-temanku."
“Kalau begitu, lebih baik aku pergi saja.”
“Jangan! Kau tidak usah pergi. Lebih bagus, kuajak kau ikut main bersama semua
temanku. Kau sudah kenal beberapa kan?”
“Ya. Tapi aku ingin kenal semuanya.”
“Nanti kukenalkan. AH, kalau kita main terus, aku tak akan sempat lagi mencicipi
masakanmu.”
“Tentu saja aku akan tetap masak, sekalipun kita ermain.”
“A-fuk juga bilang ingin merasakan masakanmu.”
“Nanti, kalau dia sudah sembuh, aku akan buatkan semua makanan yang ia sukai.”
“Aku juga akan main layangan lagi dengannya.”
Ching-ching menatap Yuk Lau. “Dia penasaran ingin mengalahkanmu. Apakah kau
nanti akan mengalah padanya?”
Yuk Lau balas memandang gadis cilik di hadapannya. “Tidak!” katanya tegas. “Aku
tidak suka berpura-pura. Kalau memang harus kalah, aku terima. Tapi, kalau
mestinya kalah, diberi menang pun aku tak suka.”
“Sudah kuduga,” kata Ching-cing. “Ayolah, kita mengambil air sekarang.”
“Baik. Biar aku yang menimba.”
“Ayo.”
Di dalam kamar, Tabib Yuk sedang menjelaskan kepada Chow Fa, apa yang telah
terjadi pada anaknya.
“Jadi, ia akan mati, Tabib Yuk?”
“Tidak, kalau cepat ditolong,” sahut Tabib Yuk.
“Kalau begitu, cepat tolonglah dia.”
“Sebelumnya aku harus mencari bahan-bahan obat dulu.”
“Kapan?”
“Secepatnya.”
“Aku bantu.”
“Tidak, kau ditunggu anak dan istrimu di rumah.”
“Lalu, bagaimana A-fuk?”
“Jangan khawatir. Aku akan merawatnya.”
Chow Fa tampak kurang percaya, tapi kemudian ia berkata, “Baiklah, Tabib Yuk.
Tolong kaujaga anakku baik-baik.”
Tabib Yuk mengangguk-angguk dan mengantar tamunya keluar.
“Yuk Lau, Ching-ching!” panggilnya.
“Ada apa, Kong-kong?” sahut kedua anak itu dari belakang rumah, seraya
menghampiri kakek mereka. Yuk Lau meletakkan baskom yang dibawanya di dalam
kamar, lalu keluar lagi.
“Yuk Lau, Ching-ching, malam ini Kong-kong akan mencari obat. Kalian jaga rumah
Ching Ching 37
baik-baik. Yuk Lau, sebaiknya kau pulang dulu. Katakan pada orang tuamu, kau
menginap di rumah Kong-kong beberapa hari.”
“Kong-kong, aku ikut,” rengek Ching-chign. “Aku belum pernah ikut mencari obat.”
“Ching-ching, kau di rumah saja. A-fuk dan orang yang kalian bawa kemari perlu
perawatan. Lagipula, kau belum masak untuk makan kita, bukan?”
Ching-ching merengut, tapi ia mengangguk juga. “Kong-kong tidak pergi lama-lama
kan?”
“Nanti malam Kong-kong akan sudah tiba di rumah. Setelah itu kita akan bekerja
keras. Kalian tidak keberatan?”
Ching-ching dan Yuk Lau menggeleng. “Asal A-fuk bisa sembuh, kami akan lakukan
apa saja,” kata mereka.
Ching-ching dan Yuk Lau menunggu smpai jauh malam. Mereka bolak-balik mengompres
A-fuk dan orang yang mereka temukan. Darah orang itu tidak mengucur lagi sejak
diberi obat oleh Tabib Yuk, tapi mukanya masih setengah hitam setengah putih.
Ching-ching ngeri melihatnya. Ia memilih mengurusi A-fuk saja.
“Baiklah,” kata Yuk Lau, ketika Ching-ching mengatakan hal itu. “Tapi hati-hati,
jangan sampai tersentuh tangannya yang hitam itu.”
Malam telah larut. Rumah terasa sunyi. Yuk Lau menemani Ching-ching menjagai
A-fuk yang belum sadar. Waktu seolah bergulir lebih lambat dari biasanya.
“Lau Ko-ko,” Ching-ching memecah kesunyian, “aku takut kalau A-fuk—“
“Ssst!” potong Yuk Lau. “Jangan bicarakan hal itu. Yang lain saja.”
“Apa?”
“Bicarakan A-thiamu saja.”
“Aku kan sudah ceritakan semuanya. Ah, aku tak tahu ke mana harus mencarinya.
Sekarang malah tersangkut di sini.”
“Sudah. Barangkali ayahmu itu sudah pergi jauh. Buat apa dicari lagi? Lebih baik
kau tinggal saja di sini.”
“Mana bisa? Aku sudah janji pada Ibu untuk menjaga A-thiaku itu.”
“Memang A-thiamu sakit?”
“Tidak.”
“Lalu buat apa dijagai? Kan sudah besar?”
Ching-ching mengangkat bahu.
“Padahal, mestinya ayahmu yang mengurusi kau.”
“Ssst, ada orang di luar,” desis Ching-ching.
Yuk Lau menajamkan pendengarannya. “Aku tidak dengar apa-apa,” bisiknya.
“Itu Kong-kong!” seru Ching-ching. Ia segera berlari membukakan pintu untuk
Tabib Yuk. “Kong-kong, bagaimana?”
“Semua bahan sudah ada,” kata Tabib Yuk.
Ching-ching berlari ke dapur mengambilkan teh hangat. Yuk Lau membantu kakeknya
membawa keranjang yang penuh dedaunan obat ke dalam rumah. Setelah meminum
tehnya, Tabib Yuk menatap dua anak yang memandangnya penuh tanya.
“Yuk Lau, Ching-ching, sekarang kalian harus bekerja berat. Apakah kalian siap?”
kata Tabib Yuk. Yuk Lau dan Ching-ching mengangguk serempak. “Baik. Kalian
ambillah lesung batu, berikut alu kayu yang terseimpan di kolong tempat tidurku.
Kedua benda itu penuh debu. Kalian bersihkan dulu!”
Kedua anak yang disuruh melakukan perintah kong-kongnya bersama-sama, sementara
Tabib Yuk sendiri memisah-misahkan jenis obat yang dibawanya.
“Kong-kong, sudah. Apa lagi?”
“Kalian bawa dulu keduanya ke halaman. Lalu kembali ke sini.”
Alu batu yang berat itu mereka gotong keluar. Baru mereka diberi tahu apa yang
Ching Ching 38
harus dilakukan.
“Yuk Lau, Ching-ching, kalian harus bekerja bersama di luar rumah. Gunakan
mantel kalian untuk menahan angin malam. Kong-kong akan merebus obat yang harus
ditunggui benar-benar. Kalian tidak boleh mengganggu. Karenanya, dengar dan
ingat baik-baik perintahku.
“Lihat daun berwarna kebiruan ini? Kalian tumbuk sampai halus. Setiap kali
warnanya berubah merah, beri sedikit air. Ingat, sedikit saja! Dan tumbuk sampai
betul-betul halus. Jangan sekaligus. Sekali memasukkan, cukup lima lembar saja.
Dan kalau nanti embun pagi uturn, campurkan dengan bunga kuning ini. Sementara
itu, seorang dari kalian harus mengumpulkan embun pagi satu cawan penuh. Setelah
itu, campurkan pada obat yang ditumbuk. Pindahkan ke dalam sebuah mangkuk. Baru
kalian panggil aku. Mengerti?”
“Kong-kong, embun pagi itu yang sudah menempel di rumput atau yang langsung dari
udara?” tanya Yuk Lau yang sudah banyak tahu ilmu pengobatan.
“Sebenarnya, embun yang belum sampai ke tanah jauh lebih baik, tetapi untuk
mendapat satu cawan penuh sulit sekali. Sudahlah, embun dari rerumputan boleh
juga, asal jangan sampai tersentuh oleh tangan kalian.”
Ching-ching dan Yuk Lau melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka.
Sementara Yuk Lau menumbuk, Ching-ching siap dengan poci airnya. Sebagai penahan
dingin, mereka meminjam mantel Tabib Yuk. Mantel itu terlalu besar bagi mereka,
sehingga ketika angin bertiup agak kencang, mantel itu berkibar. Tapi, kedua
anak tersebut tidak peduli. Mereka terus saja bekerja dan bekerja.
“Aduh, tanganku pegal,” keluh Yuk Lau setelah beberapa lama menumbuk dengan alu
kayu yang besar.
“Kalau begitu, gantian denganku,” kata Ching-ching. Ia merebut alu itu dan
menyerahkan poci airnya kepad Yuk Lau. Tapi, baru beberapa saat saja,
Ching-ching hampir kepayahan. Untung, A-thia dan ibunya di Gunung Leng-yi pernah
mengajarkan ilmu silat. Ching-ching mengerahkan tenaga dalamnya. Dengan begitu,
ia dapat bertahan lebih lama.
Yuk Lau, yang sama sekali tak mengerti ilmu silat, keheranan. Apalagi, tumbukan
Ching-chig yang semula kendor, bukannya melemah, makin lama malah makin mantap.
Kuat betul anak ini, pikirnya. Padahal perempuan. Aku yang laki-laki saja kalah.
“Ching-ching, lenganku sudah tidak pegal lagi. Ayo gantian!”
Mereka bertukar tempat. Begitu terus sampai pagi menjelang. Kabut tipis mulai
menyelimuti mereka.
“Ching-ching, embunnya mulai turun. Sama ambil cawan. Kumpulkan embun-embun
itu,” kata Yuk Lau.
Ching-ching menurut. Sebetulnya, ia ingin menawarkan diri menumbuk dan Yuk Lau
yang mengumpulkan embun. Tapi pikirnya, Nanti kan gantian. Ia menghampiri
pepohonan di halaman rumah. Ya, embun mulai turun di sana. Mulai dari
bintik-bintik kecil, berkumpul menjadi butiran-butiran air. Ia memetik sehelai
daun untuk menggantikan ujung jari, mendorong masuk embun dari permukaan daun ke
dalam cawan. Butiran embun yang didorongnya itu menggelinding, dan kemudian
masuk ke cawan itu. Lucu kelihatanya. Ching-ching semakin asyik dengan
pekerjaannya. Ia lupa pada Yuk Lau yang bekerja berat sendirian.
“Ching-ching, tolong gantikan. Aku capek!” Seru Yuk Lau.
Ching-ching menggantikan. Satu cawan sudah penuh dengan embun. Embun itu mereka
campurkan ke dalam tumbukan obat, kemudian mereka pindahkan ke dalam sebuah
mangkuk. Matahari sudah terbit. Yuk Lau maupun Ching-ching sudah lelah sekali,
tapi mereka masuk ke dalam rumah dengan gembira untuk mencari kong-kongnya.
Ching Ching 39
“Kong-kong, sudah selesai!” teriak mereka sambil berlari ke dapur.
Tabib Yuk mencampurkan bahan-bahan obat itu. Ching-ching dan Yuk Lau
memperhatikan, tapi karena lelahnya, mereka malah tertidur. Terpaksa Tabib Yuk
bekerja sendiri.
Hari sudah berlalu. Orang yang mereka tolong sudah sadar. Racun di tubuhnya
sudah lenyap. Ching-ching yang lincah sebentar saja sudah akrab dengan Yang Chia
Sen. Ia juga menanyakan bagaimana Yang Chia Sen bisa terkena Pemunah Jiwa.
Ketika Chia Sen bercerita, Yuk Lau dan kakeknya ikut mendengarkan.
“Waktu itu,” Chia Sen mulai bercerita, “aku baru turun gunung. Guruku menyuruh
menyusul Su-heng yang sedang menjalankan tugas. Hampir satu bulan aku mencari,
tak juga kutemui su-hengku itu. Suatu hari ada kabar bahwa Su-heng sudah kembali
ke perguruan. Aku segera pulang. Di perjalanan, ketika melewati sebuah desa,
kudengar suara orang bertempur. Ketika kudekati suara itu, kutemukan banyak
mayat bergelimpangan, dan orang-orang yang berteriak ketakutan. Ternyata seorang
laki-laki tengah mengamuk membabi-buta, membunuhi semua makhluk hidup yang ada
di dekatnya.” Sampai di sini ia berhenti.
Ching-ching penasaran dan berkata, “Lalu bagaimana?”
“Aku tidak terima kalau rakyat tidak berdosa dibunuh semena-mena. Kuhalangi
orang yang mengamuk itu. Namun, dalam dua gebrakan saja, aku kenal dipukul.
Sudah itu, aku tidak ingat apa-apa sampai ada orang membawaku ke sebuah sungai
dan mengguyur kepalaku.”
“Siapa orang itu?” tanya Ching-ching.
“Ching-ching!” tegur Tabib Yuk.
Chia Sen tersenyum dan meneruskan ceritanya. “Aku tidak kenal orang itu. Aku
tidak tahu namanya. Tapi, dia mengatakan bahwa aku terkena pukulan beracun dan
umurku tinggal sepuluh hari. Katanya, yang bisa menyembuhkanku hanya tiga orang.
Yang seorang sudah mati, seorang yang memukulku, seorang lagi adalah Dewa Obat.
Ia menunjukkan jalan ke bukit ini, dan minta maaf tak bisa mengantar karnea
harus membalas dendam pada seorang nenek jelek. Lalu, kubeli seekor kuda dan
kupacu ke bukit ini, siang-malam tanpa henti. Ketika sampai di dekat sebuah
lapangan, hari sudah malam. Karena tak ingin mengganggu orang, aku mencari
sebuah pohon dan tidur di salah satu cabang. Kemudian, ketika bangun, aku sudah
ada di tempat ini.”
Ching-ching tampak berpikir-pikir. Ia tak mendengar beberapa kalimat Chia Sen
yang terakhir. “Balas dendam … nenek jelek. Nenek jelek! Nenek jelek!
Jangan-jangan …”
“Ching-ching, kenapa?” tanya Yuk Lau yang memperhatikan.
Ching-ching tidak menjawab. Ia malah bertanya kepada Chia Sen. “Yang Ko-ko,
in-kongmu itu rupanya bagaimana?”
Yang Chia Sen mengingat-ingat. “Emh. Orangnya tinggi, besar. Jenggot dan
kumisnya lebat. Bajunya dari kulit binatang. Lalu … Oh ya, ia membawa pedang
besaaar sekali di punggungnya.”
“Itu A-thia!” seru Ching-ching seraya melompat berdiri. “Yang Ko-ko, apakah dia
berkata ke mana dia akan pergi?”
“Kalau tidak salah, ke Bukit Rase.”
“Aku akan menyusul,” kata Ching-ching bersemangat.
“Ching-ching, apa kau tahu di mana Bukit Rase itu?” tanya Yuk Lau. Ching-ching
menggeleng. “Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke sana?”
“Aku tahu tempatnya,” kata Chia Sen tiba-tiba. “Aku akan mengantar kau ke sana.”
“Tapi, Yang Ko-ko kan belum sembuh betul.”
Ching Ching 40
“Kalau begitu, kau tunggu sampai Yang Ko-ko sembuh,” kata Yuk Lau.
Tiba-tiba dari kamar sebelah terdengar suara gedubrakan. Tabib Yuk dan kedua
cucuknya memburu ke asal suara itu. Mereka melihat A-fuk terkapar di lantai.
“A-fuk!” Ching-ching dan Yuk Lau mendekat.
“Jangan!” seru A-fuk. “Jangan mendekat.”
“Kenapa?”
“Lihat!” A-fuk menunjuk ke kelambu di atas tempat tidur. Kelambu itu robek.
Bagian yang robek itu hangus seperti dimakan api. “Dan itu!” A-fuk menuding
lagi. Kali ini daun meja, yang di tengahnya terdapat telapak hitam. “Itu … itu
bekas tanganku.”
“Kok bisa begitu?” Kong-kong, kenapa jadi begini?”
Tabib Yuk menghampiri A-fuk. “Coba perlihatkan tanganmu!” A-fuk menyodorkan
tangan kanannya yang kehitaman. Tabib Yuk mengangguk-angguk. “Hhh,” desahnya.
“Ternyata aku belum mampu menyembuhkan secara tuntas.”
“Memangnya A-fuk kenapa, Kong-kong?”
“Yah, racun di tubuhnya tidak akan menjalar lagi, tapi mengendap di telapak
tangan sampai sebatas pergelangan. Racun itu berhawa panas. Sekarang, apa saja
yang dipegang A-fuk akan hangus terbakar.”
“Aduh!” A-fuk mengeluh. “Kalau semua yang kupegang hangus, bagaimana nanti aku
bermain? Atau membantu A-thia? Atau kalau makan, berpakaian?”
“Ada satu cara untuk membantumu. Tunggu sebentar!” Tabib Yuk keluar dari kamar.
Ching-ching yang ingin tahu mengikuti dari belakang. Tabib Yuk mengambil
beberapa buah buku.
“Ching-ching, kebetulan. Kau bantulah aku mencari resep untuk sarung tangan
air.”
“Sarung tangan? Buat apa, Kong-kong?”
“Untuk tangan A-fuk. Dengan sarung tangan itu ia akan dapat mengerjakan apa-apa
seperti biasa.”
Kedua orang itu segera tenggelam dalam pekerjaan mereka. Kadang-kadang mereka
bersin-bersin akibat debu dari buku-buku tua yang disimpan terlalu lama.
“Kong-kong, ini bukan?” kata Ching-ching sambil menyodorkan halaman buk yang
terbuka.
“Ah, ya, betul,” sahut Tabib Yuk. Ia membaca sebentar. Ching-ching ikut membaca
lewat pundak kong-kongnya.
“Wah, Kong-kong. Di mana kita harus mencari kulit ikan perak untuk bahan sarung
tangan itu? Dan bunga semalam untuk merendamnya?”
“Kalau kulit ikan perak, Kong-kong masih punya, pemberian tabib dari Tibet.
Tapi, kalau bunga semalam, cukup sulit. Soalnya, bunga itu hanya mekar setahun
sekali pada saat bulan purnama. Hanya semalam pula.”
“Kong-kong tahu kapan bunga itu akan mekar?”
Tabib Yuk menghitung-hitung. “Kalau tidak kemarin, ya malam ini.”
“Kalau ternyata mekarnya kemarin, bagaimana?”
“Terpaksa menunggu tahun depan.”
“Kong-kong, kalau harusnya mekar hari ini tapi bulan tertutup awan, bagaimana?”
“Mungkin akan mekar besok.”
“Bagus! Kemarin hujan turun lebat sekali. Mudah-mudahan bunga itu mekar hari
ini.”
“Kuharap begitu,” kata Tabib Yuk. “Malam nanti kita akan menunggu di balik bukit
tempat bunga itu tumbuh.”
Malamnya, Tabib Yuk pergi bersama Yuk Lau. Ching-ching tinggal di rumah. Ia
Ching Ching 41
memasak makanan untuk semuanya. Ia juga menyuapi A-fuk yang belum dapat
menggunakan tangannya.
“Wah, Ching-ching, makananmu enak sekali,” puji A-fuk seselesai makan.
“Memang enak,” sahut Ching-ching. “Kalau tidak, mana mungkin kau makan begitu
banyak.”
“Meskipun tidak enak, kalau kau yang menyuapi, pasti rasanya enak,” goda A-fuk.
“Kau enak. Aku nih yang pegal.”
“Yang penting, enak. Kalau tiap hari dilayani begini, mau aku kehilangan dua
tangan sekaligus.”
“Jagngan kuatir. Selama tiga hari menunggu sarung tanganmu jadi, aku akan selalu
menyuapi. Tapi sesudah itu tidak bisa lagi. Aku mau pergi!”
“Lho, kok pergi?” A-fuk terkejut. “Kenapa? Tidak suka menyuapiku? Besok aku
makan sendiri, tapi kau tak perlu pergi!”
“Bukan begitu. Aku harus mencari A-thiaku secepatnya.”
“Ke mana?”
“Ke Bukit Rase. Yang Ko-ko akan mengantarku.”
“Yang Ko-ko? Siapa itu?”
“Orang yang kita tolong tempo hari. Ingat?”
“Oooh, orang yang belang itu? Dia sudah baik?”
“Ya, sekarang dia sudah baikan dan tidak belang lagi,” sahut Ching-ching
tersenyum.
“Omong-omong, sudah berapa hari aku pingsan?”
“Ada kira-kira enam hari.”
“Lama juga! Kok tidak terasa?”
“Kau yang tidur terus-terusan memang tidak merasakan. Kami yang menunggui,
khawatir sekali kalau kau tidak bangun lagi. Belum ayahmu yang bolak-balik
menanyakan anak kesayangannya.”
“Ayahku bolak-balik kemari?”
“Ya. Katanya, asal kau cepat sembuh, apa pun yang kauminta akan diberikan.”
“Asyiiik. Aku mau minta layangan yang banyak ah. O ya, Ching-ching, sebelum kau
pergi nanti, kau harus main layangan dulu bersamaku!”
“Baiklah. Tapi sekarang aku mau ke dapur dulu, membuat sop obat untuk Yang
Ko-ko.”
“Aku dibuatkan tidak?”
“Tidak. Kau cerewet sih. Sekarang kau istirahat saja. Nanti, kalau lenganku
tidak pegal lagi, baru kuberi sopnya.”
“Ya. Tapi jangan terlalu lama!”
“Suka-suka!” kata Ching-ching sambil meleletkan lidah dan keluar dari kamar itu.
A-fuk tersenyum. “Kalau saja dia adikku!” gumamnya pelan.
Besok Ching-ching akan pergi. Hari ini ia menyiapkan semua barang-barangnya,
dikumpulkan dalam sebuah buntalan. Yuk Lau menunggui di sampingnya. A-fuk yang
minta izin tidak pulang juga memperhatikan.
“Ching-ching, kapan kau kembali ke sini?” tanya Yuk Lau.
“Kapan-kapan,” jawab Ching-ching ringan, seperti biasanya.
“Ching-ching, kenapa tidak di sini saja, jadi adikku,” kata A-fuk.
“Kalau kau suka, kauanggap aku adik, boleh saja. Tapi aku tetap harus mencari
A-thiaku.”
Yang Chia Sen, yang mendengarkan pembicaraan mereka, mengusulkan, “Kenapa kalian
tidak angkat saudara saja?”
Yuk Lau, A-fuk, dan Ching-ching saling berpandangan.
Ching Ching 42
“Boleh juga,” kata A-fuk.
Tabib Yuk tersenyum. Ia segera menyiapkan segala sesuatunya. Upacara
pengangkatan saudara dilakukan di luar rumah, di bawah langit yang berbintang,
disaksikan Tabib Yuk dan Yang Chia Sen.
“Mula-mula, kalian menyatukan darah di mangkuk bersisi air ini,” Chia Sen
memandu, memberikan belatinya.
“Yang kiri, yang kanan?” tanya A-fuk.
“Yang kiri saja. Tangan kananmu mengandung racun. Malah mati bebareng nanti.”
Tiga anak yang akan mengangkat saudara itu melukai jari tangan masing-masing dan
membiarkan tiga tetes darah bercampur dalam air.
“Nah, sekarang masing-masing minum air dari mangkuk ini.
Mereka minum.
“Nah, sekarang bersumpahlah di depan altar.”
Tabib Yuk membagikan hio. Yuk Lau dan kedua anak yang lain berlutut.
“Ikuti kata-kataku!” ucap Chia Sen. “Demi langit dan bumi.”
“Demi langit dan bumi,” tiru ketiga anak itu.
“Kami bersumpah sebagai saudara dan akan rukun seumur hidup dan saling membantu.
Susah-senang satu orang adalah susah-senang bersama.”
“Jangan cepat-cepat,” protes A-fuk, tapi kemudian ia ikut bersumpah seperti dua
anak yang lain.
“Membungkuk delapan kali!”
Mereka menurut.
“Saling memberi hormat!”
“Tunggu, tunggu,” kata A-fuk. “Siapa yang tertua?”
“Aku lahir bulan dua tahun anjing,” kata Yuk Lau.
“Kalau begitu, kau harus panggil Toa-ko padaku,” kata A-fuk. “Aku lahir bulan
dua belas tahun ayam.”
“Aku tahun macan,” kata Ching-ching.
“Tidak tanya,” sahut A-fuk. Ching-ching cemberut.
“Sudah, ayo saling beri hormat!” kata Chia Sen.
Setelah upacara pengangkatan saudara selesai, mereka masuk ke dalam rumah.
“Toa-ko, aku ada sesuatu untukmu,” kata Ching-ching kepada A-fuk. Ia
mengeluarkan sesuatu yang keperakan dari balik baju luarnya.
“Sarung tangan air!” seru A-fuk mengenali benda itu. “Ching-ching, eh, maksudku
Sam-moay, aku kan sudah punya, sarung tangan yang kaujahitkan ini.” A-fuk
menunjukkan tangan kanannya yang memang bersarung.
“Aku tahu,” jawab Ching-ching. “Tapi kalau kau besar nanti, sarung tangan itu
pasti kekecilan. Makanya, kubuatkan yang ini, yang berukuran besar.”
“Iya ya. Kalau begitu, terima kasih. Tapi, sarung tangan yang kupakai ini pun
akan kusimpan. Lumayan, kenang-kenangan dari Sam-moayku.”
“Eh, Sam-moay,” kata Yuk Lau. “Buat Toa-ko kau memberi kenang-kenangan sarung
tangan. Mana buatku?”
“Aduh, lupa,” kata Ching-ching. “Ini saja deh.” Ia mengeluarkan sebuah kantung
dari buntelannya.
“Kantung uang?” tanya A-fuk.
“Tidak tahu. Itu pemberian piaw-cieku dulu. Dia buatkan sendiri. Belum pernah
kugunakna. Habis, aku tak tahu untuk apa barang itu.”
“Terserah kantung uang atau apa pun. Pokoknya kenang-kenangan,” kata Yuk Lau.
“Ching-ching, apakah kau tak akan kembali kemari?” Tabib Yuk bertanya.
“Aku tidak tahu, Kong-kong,” jawab Ching-ching.
Ching Ching 43
“Ching-ching, eh lupa lagi. Sam-moay, nanti kalau kau bertemu ayahmu, ajak saja
ia tinggal di desa kita ini,” kata A-fuk.
“Ya, nanti kuajak.”
“Nanti, kalau kau tinggal di sini, kita kalahkan lagi si Yuk Lau seperti
kemarin.”
“Tidak bisa,” protes Yuk Lau. “Lain kali, kau yang kukalahkan. Ya tidak,
Sam-moay?”
“Lain kali, aku yang akan mengalahkan kalian,” kata Ching-ching.
“Sudah, sudah,” kata Tabib Yuk. “Sekarang sudah larut. Ching-ching harus
istirahat. Kalian juga.”
“Baik, Kong-kong,” kata tiga anak itu bebareng.
Ching-ching sudah lama berada di kamarnya, tapi ia belum bisa juga tidur.
Matanya menatap langit-langit kamar. Besok, dia tidak lagi tidur di kamar ini.
Tidak lagi membantu kong-kongnya meramu obat. Tidak lagi bermain dengan Yuk Lau
dan A-fuk dan kawan-kawannya yang lain. Hhh, sebenarnya ia tak ingin
meninggalkan desa ini. Tapi, ia harus mencari A-thianya.
“Sam-moay, Sam-moay!” seseorang memanggil-manggil di jendela kamar dengan
bisikan.
“Siapa?”
“Aku.”
Ching-ching membuka jendela. “Toa-ko-ko, ada apa?”
“Aku cuma mau memberikan ini. “A-fuk menyodorkan dua belati kecil.
“Aduuuh, bagus sekali! Dapat dari mana?”
“Kubuat sendiri.”
“Oh ya, aku lupa kalau kau anak tukang besi.”
“Ssst. Kau jangan bilang sama Jie-tee.”
“Kenapa?”
“Soalnya dia bolak-balik minta dibikinkan, tapi aku tidak kasih.”
“Baik, aku tak akan beri tahukan dira.”
A-fuk pergi. Ching-ching memperhatikan belati kembar di tangannya. Bagus sekali.
Dibuat dengan hati-hati. Cepat betul A-fuk membuatnya. Padahal, hanya beberapa
hari Ching-ching mengundur hari kepergiannya.
“Sam-moay,” bisikan dari jendela terdengar lagi.
Ching-ching mengerutkan kening. Mau apa lagi, Toa-ko-ko? Pikirnya. Tapi kali ini
Yuk Lau yang berdiri di depannya. “Jie-ko?”
“Ya, aku. Aku tidak lama-lama. Cuma mau memberikan ini. Jangan bilang Toa-ko,
ya.”
“Ya, ya. Kenapa memang?”
“Dia merengek minta diajari cara membuatnya, tapi aku tidak mau. Di desa ini
hanya aku yang punya barang begini. Orang laint idak bisa bikin.”
“Oh, begitu. Terima kasih, Jie-ko-ko.”
Jendela ditutup lagi. Ching-ching memperhatikan pemberian Yuk Lau. Bambu yang
dibelah dua dan diukir halus. Gambarnya dua anak yang sedang main layangan.
Gambar Ching-ching dan Yuk Lau.
Ching-ching tersenyum. Ada-ada saja kedua saudara angkatnya itu. Masing-masing
memberi, tapi dengan pesan supaya yang laint idak tahu. Hihi, lucu. “Masa bodoh.
Aku mau tidur saja,” gumam Ching-ching. Ia memejamkan mata, siap untuk bermimpi.
“Ching-ching, hati-hati di jalan,” kata Yuk Lau ketika mengantar kepergiannya
pagi itu.
“Yang Ko-ko, tolong jaga Sam-moay baik-baik,” pesan A-fuk. “Sam-moay, kalau kau
Ching Ching 44
rindu pada … eh, pada desa ini, buat saja layang-layang dan terbangkan. Nanti
rasa rindu itu akan bertambah.”
“Lho, kok begitu?” Yang Chia Sen keheranan.
“Iya. Supaya Sam-moay cepat balik kemari,” jawab A-fuk.
Ching-ching mengerti maksud A-fuk, tapi tidak berkata-kata. Ia takut, begitu
sepatah kata ia ucapkan, air matanya akan mengalir juga. Wah, malu dong.
Bisa-bisa habis dia diledek A-fuk. Ia hanya melambaikan tangan sebentar, lalu
berbalik dan tidak menoleh lagi. Tinggal Yuk Lau dan A-fuk yang terus
memperhatikan sampai hilang dari pandangan.
“Yuk Lau, aku rasanya ingin menangis,” A-fuk berkata dengan suara bergetar.
“Aku juga,” kata Yuk Lau dengan sedihnya.
“Kalau begitu, mari menangis sama-sama.”
“Baiklah. Tapi, cari tempat sepi dulu, supaya tidak dilihat teman-teman.”
“Bagaimana kalau di belakang bukit?” Teman-teman jarang ke sana.”
“Baiklah.”
Keduanya berlari ke belakang bukit, bersembunyi di balik semak-semak, dan
menangis dengan suara keras.
Sepanjang perjalanan Ching-ching diam saja. Chia Sen mencoba menghibur dengan
cerita-cerita lucu, tapi Ching-ching tidak menanggapi. Hanya sesekali saja ia
tersenyum hambar, cuma supaya Chia Sen tidak disangka gila, tertawa-tawa sendiri
di jalan.
Lama-lama, bosan juga Chia Sen berbicara sendiri. Ia tidak melanjutkan ceritanya
dan berdiam diri. Ching-ching seolah tak menyadari. “Ching-ching!”
Yang dipanggil tak menyahut.
“Ching-ching!” Chia Sen berteriak di telinga Ching-ching.
“Ada apa, Yang Ko-ko?”
“Sepanjang hari kau membisuuu terus. Ching-ching yang kukenal tidak bersifat
demikian. Jangan-jangan aku salah bawa orang.”
“Yang Ko-ko, aku sedang tidak ingin bercanda.”
“Baik, aku tidak bergurau lagi. Ada apa denganmu? Sakit? Tidak enak badan?”
tanya Chia Sen. Ching-ching menggeleng. “Oooh, aku tahu. Kau berat meninggalkan
dua saudara angkatmu, bukan? Kalian tentunya sudah sangat akrab. Berapa lama
kalian saling mengenal?”
“Kira-kira tiga bulan.”
“Tiga bulan? Kok bisa begitu dekat?”
“Tidak tahu. Barangkali karena sebelumnya aku tidak pernah punya teman.”
“Sudahlah. Tak lama lagi kau akan jumpa dengan mereka.”
“Dari mana bisa tahu?”
“Bukt Rase lamanya hanya empat belas hari perjalanan. Di sana nanti kau akan
segera bertemu A-thiamu. Kemudian, kalian akan kembali ke tempat Tabib Yuk.
Paling lama, bulan depan kalian sudah dapat berkumpul.”
Wajah Ching-ching menjadi cerah. “Betul juga. Bulan depan aku dapat berkumpul
dengan mereka.”
“Nah, makanya jangan terllau sedih. Sekarang kita makan dulu. Perutku sudah
berbunyi.”
Dituntun oleh Yang Chia Sen, Ching-ching dibawa masuk ke sebuah rumah makan
besar. Mereka memesan segala macam makanan sampai kemudian kekenyangan.
“Ching-ching, sebentar lagi kita kana melewati sebuah pantai,” kata Yang Chia
Sen. “Kau sudah pernah pergi ke pantai?”
“Belum. Seperti apa pantai itu?”
Ching Ching 45
“Seperti … seperti apa ya? Pokoknya pantai itu adalah dataran luas yang berpasir
di tepi laut.”
“Kalau laut, aku tahu. Seperti danau yang sangat besar kan?”
“Betul. Di sana kita bisa main air sepuasnya.”
“Ya. Sudah berhari-hari kita jalan, tak sempat main air.”
Beberapa lama mereka berjalan dengan berdiam diri sampai kemudian terdengar
suara debur ombak di kejauhan.
“Ching-ching, itu lautnya sudah kelihatan. Bagaimana kalau kita adu cepat ke
sana?”
“Baik!” sambut Ching-ching gembira.
Pada awalnya Yang Chia Sen memimpin, tapi tak lama kemudian Ching-ching menyusul
dan menjejeri. Chia Sen kaget. Dilihat dari fisiknya, ia mesti menang jauh.
Tapi, karena masih muda, Chia Sen malah berpikir bagaimana mengalahkan gadis
kecil di sampingnya. Ia mengerahkan gin-kang. Ching-ching ketinggalan.
Chia Sen berlari beberapa lama. Kemudian ia melihat ke belakang untuk mengetahui
seberapa jauh Ching-ching tertinggal. Betapa kagetnya ia melihat anak itu
berlari tak lebih setombak di belakangnya. Ia menghentikan larinya. Anak itu
ikut berhenti.
“Yang Ko-ko, kau lari cepat sekali. Aku sampai kehabisan napas mengejermu,” kata
Ching-ching dengan napas terengah-engah.
“Ching-ching, siapa yang mengajarimu ilmu meringankan tubuh?” langsung Chia Sen
bertanya.
“Ibuku,” jawab Ching-ching.
“Ibumu? Dia mestinya seorang yang lihay. Siapa nama beliau?”
“Namanya … ah, percuma. Yang Ko-ko tidak akan kenal,” Ching-ching mengelak. Ia
malah berlari menghampiri laut yang menggelora.
Yang Chia Sen menyusul. Ia sungguh penasaran. Mustahil orang yang mengajarkan
gin-kang tingkat tinggi namanya tak dikenal.
Baru saja Chia Sen akan mengatakan hal itu, Ching-ching sudah menariknya berlari
menyusur pantai. “Yang Ko-ko, lihat! Di sana ada kapal bagus sekali,” kata
Ching-ching sambil menunjuk ke sebuah kapal yang memang besar dan indah. “Aku
kepingin tahu, apa isinya kapal besar macam begitu,” kata Ching-ching sambil
bergegas menghampiri kapal itu. Dengan sekali lompat saja, ia sudah berada di
atasnya.
“Ching-ching, jangan!” cegah Chia Sen. “Ayo, turun! Itu kapal pribadi orang.”
“Tidak apa-apa!” teriak Ching-ching. Ia malah masuk ke kapal tersebut.
Chia Sen ragu-ragu. Mau ikut masuk, takut didamprat yang punya. Tidak ikut,
khawatir ada apa-apa dengan Ching-ching. Akhirnya Chia Sen memutuskan untuk
menunggu saja. Nanti juga Ching-ching keluar sendiri. Paling-paling diceburka
yang punya kapal ke dalam air, pikirnya.
Ching-ching sendiri asyik menjelajah kapal. Aneh, dalam kapal sebesar itu, tidak
ada orang sama sekali. Ia berada dalam sebuah ruangan luas. Di sana ada
kursi-kursi tersusun rapi. Berjajar. Dan di sana, di depan, agak naik seperti
sebuah panggung pendek, ada tiga kursi berdert. Yang paling besar dan paling
bagus, terletak di tengah.
“Rupanya ruang pertemuan,” gumam Ching-ching.
Ia menghampiri kursi itu dan duduk di sana. Dibayangkannya sedang memimpin
sebuah rapat besar. Tak lama kemudian, ia bosan dan meneruskan penyelidikannya.
Ia sampai ke sebuah lorong yang panjang. Pada setiap sisinya terdapat banyak
sekali pintu. Ia membuka salah satunya. Di dalam kamar yang dilihatnya itu,t
Ching Ching 46
erdapat sebuah tempat tidur, meja rias, dan meja kursi untuk menerima tamu.
Semuanya menempel ke keempat dinding ruangan.
Ia menutup pintu dan masuk ke kamar lain. Isinya sama saja dengan yang pertama.
Demikian pula dengan kamar-kamar yang lainnya.
Di ujung lorong ia membelok ke kanan dan masuk ke sebuah ruangan yang di
sudutnya terdapat sebuah tangga menurun. Ching-ching turun lewat tangga itu. Ia
tiba di lorong lain, di salah satu sisinya terdapat tirai hijau yang tebal.
Dikuakkannya tirai itu. Dilihatnya orang-orang berbaju putih, semuanya wanita,
sedang berkumpul di sana. Seorang wanita cantik berpakaian indah berwarna putih
sedang berbicara di depan dengan bahasa yang tidak dimengerti Ching-ching. Tapi
itu bukan soal. Ia memang tak berminat mendengarkan.
Plak! Seseorang mendaratkan tangannya di pundak Ching-ching. Anak itu melompat
dan berbalik.s eorang gadis berwajah galak berdiri di belakangnya sambil
mengacungkan pedang melengkung yang berkilat-kilat!
Chia Sen menunggu dengan gelisah. Sudah lama Ching-ching di dalam, tapi belum
keluar-keluar juga. Apalagi diceburka ke air. Barangkali ia sudah ditangkap di
dalam, dan sekarang sedang ditanyai. Atau langsung dihajar? Tapi ia tak
mendengar apa-apa. Barangkali Ching-ching langsung dibunuh. Mungkin dipenggal!
Hiii!
Tapi, mungkin yangmenangkapnya orang baik-baik. Lalu, ketika ditangkap, bukannya
dimarahi, Ching-ching malah dijamu. Sekarang kan sudah waktu makan.
Namun, untuk naik ke kapal itu, Chia Sen mesti berpikir-pikir lagi. Ia
ragu-ragu. Entah apa yang akan ditemui di atas kapal itu.
“Sudahlah, aku menunggu saja sebentar lagi.” Ia duduk di pasir dan mengawasi
kapal itu.
Belum berapa lama ia duduk, dilihatnya seorang gadis berbaju putih melongok dari
kapal. Melihat Chia Sen, gadis itu tampak terkejut. Ia berbicara sambil
menunjuk-nunjuk.
“Apa?” teriak Chia Sen. “Aku tidak dengar.”
Gadis itu berbicara lagi. Tangannya bererak-gerak. Cia Sen tidak tahu bahasa apa
yang dipakai gadis itu, tapi dari gerakannya, kentara bahwa gadis itu
mengusirnya dari dekat kapal.
“Tidak bisa!” sahut Chia Sen lagi. “Aku sedang menunggu orang!” Chia Sen tetap
duduk di depannya. Gadis yang mengusirnya tampak gusar. Ia membalikkan badan dan
masuk ke dalam kapal.
Ching-ching dibawa ke tengah-tengah orang yang berkumpul tadi. Gadis yang
membawanya berbicara dengan wanita yang tadi memimpin pertemuan. Ching-ching
memandang berkeliling. Penuh sekali ruangan ini. Pantas dari tadi ia tak ketemu
orang. Rupanya semua sedang berkumpul di tempat ini.
“Siauw-moay, ada urusan apa kau masuk ke kapal kami?” tanya wanita yang berbaju
putih, kelihatannya pemimpin di antara kawan-kawannya.
“Tidak ada apa-apa,” kata Ching-ching. “Cuma ingin melihat-lihat, apa saja yang
ada di dalam kapal.”
“Melihat-lihat sambil menyambar apa yang bisa diambil,” cetus gadis yang berbaju
hijau sinis. “Huh, kecil-kecil sudah jadi pencuri.”
“Aku tidak mengambil apa-apa,” tukas Ching-ching.
“Aku tak percaya sebelum memriksa sendiri,” kata gadis berbaju hijau tadi dengan
logat bicara yang asing. Ia maju mendekati. Tangannya terjulur menjamah
Ching-ching. Gadis kecil itu menghindar. Si baju hijau kelihatan kesal ketika
tangannya hanya menyentuh angin. Tapi, sebelum lengannya bergerak lagi, seorang
Ching Ching 47
gadis berbaju putih masuk terburu-buru sambil nyerocos dalam bahasa mereka yang
aneh.
“Ada seorang pemuda di luar,” kata si pemimpin, dalam bahasa yang dimengerti
anak itu. “Kau kenal pada orang itu?”
“Mungkin,” jawab Ching-ching asal-asalan. Ia masih kesal dituduh sebagai
pencuri.
“Jawab yang betul!” hardik si baju hijau yang galak.
“Lho, sudah betul kok!” tantang Ching-ching tak kalah galaknya. “Tadi aku kemari
memang dengan seorang pemuda. Tapi, siapa tahu dia sudah pergi dan kemudian ada
pemuda lain yang datang.”
Si baju hijau mengumpat-umpat dalam bahasanya sendiri. Ching-ching tak peduli.
Dia toh tak mengerti apa yang dikatakan gadis galak itu.
Ching-ching digiring keluar, ke tempat ia naik tadi. Anak itu melongok ke bawah.
Dilambaikannya tangan ke arah Chia Sen.
“Ternyata kau memang kenal orang itu,” kata si Hijau.
“Lalu kenapa kalau kenal? Iri? Kukenalkan sekarang, mau?” goda Ching-ching.
Si Hijau galak tampak mendongkol. Ia mendengus dan membuang muka.
“Adik kecil, sekarang pergilah!” kata wanita yang berbaju putih. “Lain kali,
kalau mau masuk kapal orang, minta izin dulu ya!”
Ching-ching bersiap melompat turun, tapi tangan si Hijau Galak menahannya.
“Tunggu, aku belum yakin kau tak mengambil apa-apa dari kapal kami.”
“Berani sumpah disamar petir, aku tidak mencuri barang apa pund ari kapal ini.”
“Aku belum percaya!” sergah si baju hijau. Ia segera menggeledah Ching-ching.
Anak itu mengelak. Akhirnya merke amalah kejar-kejaran di atas perahu. Si baju
hijau mengatakan sesuatu kepada gadis yang berbaju putih, tapi jawabannya hanya
gelengan kepala. Mulanya, Ching-ching selalu lolos dari kejaran. Ia terpaksa
mengerahkan gin-kang untuk itu. Tapi, ilmu ringan tubuh si gadis galak ada
setingkat di atasnya. Tenaganya pun menang jauh. Pada suatu ketika, Ching-ching
kena dijambret.
“Nah, apa kubilang,” kata gadis itu. “Batu giok mahal macam begini, mana bisa
anak kumal seperti kau memilikinya?”
Ching-ching melotot. Batu giok itu pemberian ibu angkatnya sebelum meninggal.
Sekarang kena dirampas orang. Ia tak boleh tinggal diam. “Kembalikan barangku!”
teriaknya seraya menerjang.
Gadis galak berbaju hijau berkelit. Ching-ching menyerang beruntun. Lama-lama
yang diserangnya kelabakan dan menangkis. Ching-ching menyerang lagi. Ia
keluarkan semua ilmu yang ia punyai. Lawannya tercengang juga melihat anak kecil
dapat menyerang cukup mantap. Si baju hijau balas menyerang. Ilmunya di atas
Ching-ching. Tak heran, sebentar saja ia berada di atas angin.
Yang Chia Sen yang menonton dari bawah tampak heran. Tak ia sangka, Ching-ching
punya ilmu silat yang lumayan. Tapi, yang lebih mengherankan adalah dua orang
yang bertempur di kapal itu memakai jurus yang mirip.
Gadis anggun berbaju putih agaknya menyadari hal ini. Ia berseru-seru menyuruh
berhenti. Sekali dalam bahasanya sendiri, sekali dalam bahasa negeri. Si baju
hijau mendengar kata-katanya. Perhatiannya terpecah. Geraknya menjadi agak
lamban.
Ching-ching tak menyia-nyiakan kesempatan. Ditendangnya siku gadis galak itu,
yang segera saja membuat kesemutan. Benda di tangannya terlempar dan meluncur ke
laut.
Yang Chia Sen segera memburu. Ia melompat, menyambarnya. Namun, sebuah selendang
Ching Ching 48
putih bergerak lebih cepat. Chia Sen menangkap angin dan, tanpa dapati dicegah
lagi, badannya mencebur ke air.
“Sial!” umpat pemuda itu. Ia melompat naik ke atas kapal. “He!” katanya pada
gadis berbaju putih yang memperhatikan giok itu. “Kembalikan barang orang!
Sembarangan!”
Ching-ching yang sudah berhenti bertempur turut menghampiri si baju putih. “Itu
milikku, sumpah, aku bukannya mencuri dari kapal!”
Yang diajak bicara tidak menjawab. Wajahnya malah berubah pucat. Ia menyerukan
sesuatu. Tiba-tiba saja semua berlutut, menunduk di hatapan Ching-ching dengan
tangan kanan terkepal, menyilang di dada. Si baju hijau tampak ragu-ragu
sejenak, kemudan juga mengikuti perbuatan yang lain.
“Apa-apaan?” cetus Chia Sen heran.
Ching-ching juga heran, tapi ia lebih peduli pada barang peninggalan ibunya.
“Sekarang, kuminta baik-baik. Tolong kembalikan milikku itu.” Tanpa banyak
bicara barang itu sudah ada di tangannya. “Aku sudah bosan main di sini. Yang
Ko-ko, mari kita pergi.”
“Mereka bagaimana?” tanya Chia Sen, menunjuk orang-orang yang berlutut.
Ching-ching, yang sudah melangkah pergi, balik lagi dan berjongkok di depan si
baju putih. “Sekarang bagaimana? Kalian mau berlutut di sini sampai besok?”
“Kami tak akan berdiri sebelum disuruh.”
“Siapa yang menyuruh?”
Si baju putih memandang Ching-ching.
“Aku?” tanya Ching-ching. “Oooh, rupanya begitu cara kalian minta maaf. Repot
amat. Baiklah. Bangun! Bangun! Aku mau pergi. Mau mengantar?”
Serentak orang-orang itu berdiri.
“Nah, begitu kan peres,” kata Chia Sen. “Ching-ching, ayo kita lanjutkan
perjalanan!”
“Tunggu!” cegah si baju putih. “Sebelumnya kami minta penjelasan.”
“Apa lagi?” kata Ching-ching. “Sudahlah, masa bodoh. Aku mau pergi.” Chia Sen
mengikuti. Mereka terus pergi tanpa menghiraukan panggilan si Baju Putih.
“Kalau begitu, maafkan!” teriakan si Baju Putih terdengar. Tia-tiba saja Chia
Sen dan Ching-ching pingsan.
“Su-moy, ini dua puluh tahil,” perintah si Baju Putih kepada gadis berbaju
hijau. “Pergilah ke penginapan terdekat. Serahkan pemuda ini kepadanya.”
“Tapi … kenapa tidak keduanya ….”
“Nanti di jalan pulang kujelaskan.”
“Yang lain saja, jangan aku.”
“Di antara kita, hanya kau dan aku yang dapat berbahasa Han. Maka, kau kusuruh.
Jangan lama-lama! Begitu kau kembali, kita berangkat.”
Si baju hijau segera bertindak tanpa membantah lagi.
Samar-samar, Ching-ching mendengar suara-suara di dekatnya. Ia ingin membuka
mata untuk melihat, tapi berat sekali. Ia mengerang lemah.
Suara-suara itu berhenti. Ching-ching memaksa matanya supaya terbuka. Ternyata,
dua gadis berbaju putih berdiri di dekatnya. Pakaian mereka seragam dengan
gadis-gadis yang ada di perahu.
“Ini di mana?” tanya Ching-ching pada mereka. Kedua gadis itu menggeleng.
“Jie-cie tidak tahu juga?” tanyanya lagi. Yang ditanya menggeleng lagi. “Jie-cie
kenapa?” Ching-ching bingung melihat dua orang itu cuma menggeleng-geleng terus,
tapi lagi-lagi mereka menggeleng dengan dahi berkerut.
Ching-ching melompat dari tempatnya berbaring. Berdiri di tengah kamar. Tapi,
Ching Ching 49
tiba-tiba saja kepalanya pusing, perutnya mual. Cepat-cepat ia berbaring lagi.
Kenapa aku ini? pikirnya. Jangan-jangan sudah kena diracun orang, supaya aku
berbaring terus dan tidak ke mana-mana. Tapi, siapa yang mau meracuniku? Ah,
coba aku berdiri lagi.
Ching-ching berdiri lagi, tetapi perasaannya itu kembali lagi. Dilihatnya
barang-barang di kamar itu oleng semua. Badannya sendiri limbung. Nyaris saja ia
tersungkur jatuh, kalau tidak ditopang dua gadis di sampingnya.
Ching-ching dibaringkan lagi. Kepalanya masih saja pusing. Ia memejamkan matanya
rapat-rapat, tidak ingin melihat benda-benda yang miring ke sana kemari.
“Siaw-moy, kau tidak apa-apa?” sebuah suara halus terdengar. Suara yang pernah
ia dengar.
“Ada racun di tubuhku,” jawab Ching-ching.
“Racun apa?” suara itu bernada panik.
“Tidak tahu. Pokoknya racun yang membuat aku mual kalau berdiri.”
“Sejak kapan racun itu ada di tubuhmu?”
“Tidak tahu. Yang jelas, aku belum pernah merasa begini sebelum bangun tadi.”
Suara halus itu tertawa. Ching-ching gondok. Orang sengsara kok ditertawai. Ia
membuka matanya, siap memelototi orang tak tahu diri itu.
“Siaw-moy, rupanya kau mabuk laut.” Ternyata pemilik suara itu adalah si nona
cantik yang berbaju putih.
“Mabuk laut? Aku baru dengar kata itu.”
“Oh ya? Kalau begitu, kau belum pernah berlayar ya?”
“Belum. Mabuk laut itu apa sih?”
“Ituuu … yah, perasaan pusing dan mual jika sedang berada di tengah laut.”
“Di tengah laut?” Ching-ching terperjanjat. “Mau ngapain di tengah laut?”
“Membawamu pulang.”
“Pulang? Lewat laut? Pulang ke mana?”
“Ke utara.”
“Ke utara, buat apa lewat laut? Lewat darat kan lebih dekat.”
“Tapi lewat darat sulit sekali untuk melewati perbatasan.”
“Perbatasan? Astaga. Jadi, kita akan ke negeri tetangga?”
“Begitulah. Ke Sha Ie, negeri kami.”
“Tidak bisa.” Ching-ching bangkit dan menggeleng-geleng, lupa akan mabuk
lautnya. “Aku harus mencari A-thiaku. Kalau berlama-lama, keburu A-thiaku pergi
dan tak ada lagi jejaknya.”
“Siaw-moay, kau harus ikut dengan kami untuk menjelaskan beberapa hal.”
“Hal apa? Soal pencurian? Aku sudah bilang, aku bukan pencuri. Aku naik ke kapal
pun cuma untuk melihat-lihat.
Gadis berbaju putih itu tersenyum. “Aku percaya, tapi ….”
“Tidak ada tapi,” tukas Ching-ching. “Pokoknya aku tak mau ikut. Aku mau cari
A-thiaku.” Gadis cilik itu melompat dan berlari ke luar kamar. Si Baju Putih
mengejar di belakang.
Sesampai di geladak, Ching-ching dihadang beberapa orang gadis yang
mengepungnya. Mengandalkan gin-kang dan kepandaian yang diajarkan orangtua
angkatnya, gadis kecil itu melawan. Ia dapat menjatuhkan beberapa orang, namun
ia sendiri cukup kewalahan dengan yang lain. Ching-ching semakin terdesak sampai
mepet ke pinggir geladak.
Gadis yang berbaju putih membiarkan saja. Diperhatikannya gerakan-gerakan
Ching-ching dengan kening berkerut. Kadang digeleng-gelengkannya kepala atau
sesekali mengeluh dengan nada tidak puas.
Ching Ching 50
Ching-ching agak terdesak, tapi ia masih dapat bertahan, sampai dilihatnya
lautan biru yang bergelombang terbentang luas. Seketika perasaan mualnya datang
lagi. Kepalanya seolah berputar. Napasnya sesak dan pandangannya
berkunang-kunang. Gerakannya sulit diatur, hingga beberapa kali ia sempat
terpukul tanpa berusaha membalas.
Tahu-tahu si gadis yang berwibawa itu sudah melompat ke hadapannya. Ia
mengebaskan tangan, mengusir pengeroyok Ching-ching. “Siaw-moy, dari mana kau
belajar ilmu silatmu itu?” tanyanya.
Ching-ching tidak menjawab. Ia sibuk mengatur napas, emncegah isi perutnya
berontak keluar. “Uh.” Setelah beberapa saat, dapat juga ia bersssuara. “Aku
tidak tahan di tengah laut macam begini. Pek-ie Cie-cie (Kakak baju putih),
tolong antarkan aku kembali ke darat.”
“Nanti juga kau akan sampai di darat.”
“Tidak mau nanti!” Ching-ching membanting kaki. “Sekarang! Mana Yang Ko-ko? Dia
pasti mau mengantarku.”
“Dia sudah ada di darat. Kami tidak bawa dia.”
Ching-ching melotot. Tahu-tahu ia menangis. “Aku tidak mau di laut!”
“Cerewet!” tiba-tiba gadis yang berbaju hijau mengomel. “Rewel amat.”
“Masa bodoh! Aku mau pulang!”
“Siaw-moy, marilah, aku punya obat yang bisa bikin pusingmu lenyap. Kemudian kau
dapat ikut berlayar dengan kami dengan senang hati.” Si baju putih hendak
memegang lengan Ching-ching, tetapi bocah itu keburu menghindar dan lari ke tepi
geladak.
“Aku mau pulang!” teriak Ching-ching. “Antarkan aku ke darat, atau aku lompat ke
laut!”
Si baju hijau mendengus sinis. “Coba saja kalau berani,” tantangnya.
Ching-ching hendak melaksanakan ancamannya. Ia bersiap melompat, walaupun
nyalinya ciut melihat laut biru yang menggelora di bawahnya.
Gadis itu memejamkan mata, dan kemudian ia betul-betul melompat!
Ia mendengar jeritan tertahan di belakangnya. Ia juga merasakan kakinya tidak
menapak. Tetapi, tak didengarnya suara mencebur. Ia tak merasakan dinginnya air.
Malah, seolah-olah tubuhnya melayang ke atas dan kemudian mendarat dalam
gendongan seseorang.
“Siaw-moy, kau betul-betul nekat,” kata si baju putih yang menggendongnya. Ialah
yang mencegah Ching-ching terjun dengan cara menjerat dengan selendang sutra
putihnya. “Kalau begitu, aku terpaksa melakukan ini.”
Ia menotok jalan darah Ching-ching sehingga si cilik yang bandel itu lemas tak
berdaya. Apalagi otot gagunya ikut kena ditotok orang. Si baju putih menyerukan
sesuatu kepada yang lain sebelum ia sendiri menggendong Ching-ching ke dalam
kamar.
Di kamarnya, Ching-ching dibaringkan di tempat tidur. Ia disuapi semacam madu
yang baunya menyengat, tetapi rasanya masam sekali.
“Siaw-moy,” kata si baju putih, “setelah ini kau mengasolah. Kalau kau bangun
nanti, kau tak akan pusing lagi.”
Ching-ching tak dapat berkata apa-apa, seandainya ia ingin sekalipun. Yang dapat
dilakukannya hanyalah memejamkan maa. Bahkan tak dilihatnya gadis berbaju putih
itu keluar dari kamar.
Keesokan harinya Ching-ching bangun dengan pikiran jernih, tetapi badannya pegal
semua. Totokan di tubuhnya belum dilepas. Ia mengeluh dalam hati.
Tiba-tiba ia ingat ajaran ibu angkatnya mengenai cara membuka jalan darah.
Ching Ching 51
Segera saja ia mempraktikkan ajaran itu. Dikumpulkannya seluruh tenaga.
Dikonsentrasikannya ke titik jalan darah yang tertutup. Dapat dirasakannya hawa
yang hangat berputar dari tan-tian, mengalir ke seluruh tubuh. Pelan-pelan hawa
itu berkumpul menjadi satu, lalu mengalir seperti air menjebol sumbat di jalan
darahnya.
Bagi anak seumur Ching-ching, hal ini cukup sulit dilakukan. Apalagi kalau tidak
pernah melatih lwee-kang secara mendalam. Tenaga Ching-ching pun didapat dari
orangtua angkatnya, yang disalurkan ke tubuhnya. Masih bagus ia pernah mendapat
gemblengan keras dari ibu angkatnya, sehingga berhasil menguasai tenaga sakti
dalam tubuhnya.
Kira-kira sepertanak nasi, Ching-ching baru berhasil membuka satu jalan darah di
bahu kanan. Kini ia dapat menggerakkan seluruh tangan kanannya. Tanpa buang
waktu, ia segera mengerahkan untuk membuka jalan darah yang lain. Dengan waktu
yang sama dengan sebelumnya, dapat juga ia membuka tiap-tiap jalan darah yang
ditotok.
Ching-ching melompat bangun. Beberapa saat ia berdiri tak bergerak, kalau-kalau
mabuk lagi macam kemarin. Tapi, ia tak merasakan apa-apa. Rupanya obat yang
diberikan si Baju Putih kemarin memang manjur.
Pelan-pelan Ching-ching melangkah. Ia membuka pintu. Betapa kagetnya ia ketika
bertemu si Baju Hijau di luar. “Aaaa …!” jeritnya terkejut.
“Aaaa …!” si Baju Hijau ikut menjerit. Baki yang dibawanya lepas. Lantas saja ia
berbalik sambil menjerit-jerit ribut.
Ching-ching meringis. Ia segera bergerak meninggalkan tempat itu. Didengarnya
suara orang berlarian. Barangkali mencari dirinya. Beberapa orang lewat.
Ching-ching bersembunyi di balik sebuah tirai. Selamat!
Ia berlari ke geladak. Uh, banyak orang! Lebih baik di bawah, banyak tempat
sembunyi. Ia tak mau kejadian kemarin berulang. Ditotok orang dikiranya enak?
Badan jadi pegal semua.
Ching-ching menemukan sebuah kamar yang bagus. Rupanya tempat berlatih musik. Di
sana ada khim di atas meja. Sebuah suling emas tergantung di dinding. Ada
semacam terompet dari tanduk. Beberapa macam tambur yang besar dan keicl, dan
macam-macam alat musik lainnya. Anehnya, di situ juga terdapat pedang, tombak,
dan belati.
Didekatinya kecapi di atas meja. Bagus sekali kecapi ini. Lebih bagus daripada
milik ibu angkatnya. Ching-ching terkenal lagi pada wanita yang seperti ibunya
sendiri itu.
Tanpa terasa jari-jarinya memetik kecapi itu. Suara kecapi yang jernih mengalun.
Teringat oleh gadis cilik itu kebaikan ibunya. Saat-saat bersama ketika mereka
bermain musik maupun berlatih silat.
“Siauw-moay, permainanmu bagus sekali,” sebuah suara halus memuji, diiringi
orang bertempuk tangan. “Sayang, iramanya sedih.”
Ching-ching buru-buru mengusap matanya yang basah. Ia menatap ke arah orang itu.
“Pek-ie-cie, jangan kau totok lagi aku,” pintanya. “Badanku pegal semua
jadinya.”
“Tentu tidak,” kata yang dipanggil tersenyum. “Asal kau tidak coba kabur lagi.”
“Mau kabur juga ke mana?” sahut Ching-ching setengah mengeluh. “Di mana-mana
laut melulu.”
“Eh, Siauw-moay, apa kau melepaskan totokanku, sendiri?”
“Iya?” jawab Ching-ching.
“Siapa mengajarimu?”
Ching Ching 52
“A-thiaku dan ibuku juga.”
“Siapa nama A-thiamu?”
“Chu Han Wei.”
“Dan ibumu?”
“Aku cuma tahu ayahku memanggilnya Nio-coe,” kata Ching-ching. Si baju putih
nampak kecewa. “Cie-cie, namamu sendiri siapa?”
“Aku? Guru memanggilku Sioe Pek.”
“Kalau Cie-cie yang galak siapa namanya?”
“Itu soe-moayku. Namanya Sioe Lie.”
“Sioe Pek dan Sioe Lie. Sesuai dengan pakaian masing-masing.”
“Kami tujuh bersaudara memang dipanggil oleh Soe-bo sesuai warna masing-masing
baju.”
“Oh ya?” mata Ching-ching membulat. “Siapa saja?”
“Soe-cieku yang pertama Sioe Hung. Yang kedua Sioe Chen, ketiga Sioe Hek,
soe-moayku Sioe Lie, Sioe Lan, dan Sioe Tien.”
“Wah, bagus!” cetus Ching-ching. “Kalau dijejerkan, warna-warni seperti
pelangi.”
“Siauw-moay, aku belum menanyakan namamu.”
“Eh, aku …” ia bingung. Bagusnya A-hoa atau ….
“Siauw-moay, kenapa? Lupa nama sendiri?”
“Eh, aku Ching-ching, tapi A-thia biasa memanggil A-hoa.”
“Kenapa begitu?”
Ching-ching mengangkat bahu, lalu memalingkan muka memandangi isi kamar.
“Pek-ie-cie-cie, di sini banyak alat musik, tetapi kenapa banyak senjata juga?”
“Siauw-moay, senjata itu adalah untuk berlatih silat, sedangkan khim dan
lain-lain alat musik di sini untuk mengiringi tarian.”
“Kenapa disimpan bebarengan? Apakah tidak ada kamar lain?”
“Bukan begitu. Tarian yang kami lakukan juga latihan silat.”
“Begitu?”
“Ya. Kau tahukah, tairan dan silat sebetulnya hampir sama. Bedanya, dalam silat
digunakan untuk menyerang dan bertahan, dibarengi tenaga, sementara tarian
semata untuk keindahan dan bertumpu pada gemulainya gerak tubuh.”
“Wah, hebat! Pek-ie-cie, sudikah kau perlihatkan padaku?”
“Kalau kau suka melihatnya, baiklah.”
Saat itu Sioe Lie masuk dengan tergesa. Ia tertegun melihat Ching-ching ada di
sana juga. “Bocah kecil, dicari sedari tadi rupanya kau ada di sini,” desisnya
gemas.
“Siapa suruh cari-cari,” sahut Ching-ching. “Sedari tadi aku diam di sini.”
Sioe Lie berpaling ke arah soe-cienya dan mengoceh dalam bahasa aneh dengan
sangat cepat. Sioe Pek cuma menjawab singkat-singkat saja. Sioe Lie cemberut
lantas keluar sambil menghentak-hentakkan kaki gemas.
“Pek-ie-cie, kau bicara bahasa apa barusan?”
“Itu bahasa Mongol. Kau tertarik mempelajari?”
“Boleh juga,” jawab Ching-ching. “Di kapal ini aku tidak punya kerjaan. Tapi,
sekarang kau lebih ingin melihatmu menari.”
Sioe Pek bertepuk tangan tiga kali. Lima orang memasuki ruangan, langsung
mengambil alat-alat musik dan siap memainkannya begitu ada perintah. Sioe Pek
mengambil sepasang golok pendek yang melengkung berkilat-kilat.
Gadis itu memberi tanda. Musik segera mengalun merdu. Sioe Pek mulai menari,
gemulai, layaknya seorang bidadari. Ching-ching yang menonton, melotot tak
Ching Ching 53
berkedip.
Ia masih terbengong-bengong ketika musik berhenti. Sesaat kemudian, barulah ia
tersadar dan lantas saja bertepuk tangan dengan serunya. “Bagus sekali, bagus
sekali!” serunya. “Pek-ie-cie, ajari aku tarianmu itu.”
“Besok-besok aku akan mengajari kau, asalkan kau mau memainkan sebuah lagu
untukku.”
“Tentu saja mau,” sambut Ching-ching gembira.
“Kudengar tadi permainan khimmu baik juga. Nah, perdengarkanlah padaku!”
“Baik!” Ching-ching duduk menghadapi kecapi. “Lagu apa yang kausuka?”
“Apa saja, asal tidak sedih seperti yang tadi.”
“Aku akan memainkan sebuah, mudah-mudahan Cie-cie suka mendengarnya.”
Jari-jari mungil Ching-ching mulai memetik. Ia memilih sebuah lagu yang lincah
gembira. Lagu itu adalah lagu kesukaan ibu angkatnya dulu.
Sioe Pek mendengarkan dengan asyik. Ia menggerak-gerakkan kepalanya. Kakinya
ikut mengetuk lantai. Ia menyukai lagu itu. Aneh, rasanya lagu tersebut tidak
asing baginya.
Tahu-tahu gadis berbaju putih itu melompat berdiri. Ya, ia mengenal lagu itu!
Lagu tarian perang yang hanya dipelajari oleh pewaris tahta kerajaan negeri
Sha-ie. Memang, jari-jari Ching-ching belum cukup panjang untuk memainkannya
dengan sempurna, tetapi ia memetik cukup baik sehingga Sioe Pek dapat mengenali
lagu tersebut.
Ching-ching yang melihat kelakuan Sioe Pek menjadi keheranan. Ia menghentikan
permainannya. “Pek-ie-cie, aku bermain jelek. Kau tentu tak suka mendengarnya.”
Sioe Pek tidak menjawab. Ia malah menatap Ching-ching lekat-lekat. “Siauw-moay,
dari mana kau belajar lagu itu?”
“Dari ibuku,” jawab Ching-ching.
“Dan batu giok putih yang kemarin itu?”
“Dari ibuku juga.”
“Dan ilmu silat yang kaugunakan?”
“Sama. Kenapakah Pek-ie-cie?”
“Siauw-moay, coba perlihatkan padaku giok itu,” pinta Sioe Pek. Ching-ching
mengeluarkan giok itu dari balik bajunya. “Siauw-moay, kalau benar ibumu pemilik
giok ini, maka sebenarnyalah ia seorang putri. Katakanlah, apakah ia punya tanda
merah berbentuk kepala rajawali di telapak tangannya?”
“Betul sekali,” kata Ching-ching bersemangat. “Pek-ie-cie, dari mana kau tahu?
Apakah kau mengenalnya?”
“Tidak. Aku bahkan belum pernah melihatnya. Tapi, guruku pernah cerita … Sioe
Pek pun menceritakan apa yang pernah ia dengar dari gurunya.
Kira-kira 28 tahun berselang, kerajaan Sha-ie di bilangan daerah Mongol dipimpin
seorang raja yang gagah perkasa lagi adil bijaksana bernama Lung Fei. Raja yang
dicintai rakyatnya ini mempunyai seorang anak perempuan yang berumur delapan
belas tahun, Lung Yin namanya. Dialah satu-satunya pewaris tahta kerajaan.
Sesuai adat mereka, semenjak lahir di tangannya diberi tanda untuk menghindari
hal-hal tertentu, semisal penukaran bayi untuk merebut tahta atau semacamnya.
Putri kerajaan ini dididik dalam bidang politik dan sastra. Selain itu, ia juga
diajari bermacam kepandaian perang. Untuk yang terakhir ini ia diserahkan kepada
seorang panglima perang wanita bernama Lung Shia, adik lain ibu dari Lung Fei
sendiri. Gadis ini sejak muda sudah diajarkan untuk membela keadilan. Ajaran
bibinya ini mengakar dalam di hatinya. Apalagi, bibinya itulah satu-satunya
pengganti ibu kandungnya yang telah mangkat sejak ia masih kecil.
Ching Ching 54
Lung Yin bukanlah seorang yang berbakat boe. Ia lebih berhasil di bidang boen.
Hanya didikan keras dan kasih sayang Lung Shia saja yang dapat membuatnya cukup
memiliki ilmu untuk melindungi diri dalam tingkat lumayan. Di lain pihak, jiwa
petualang sang bibi menurun pada Lung Yin. Ia bercita-cita datang ke Tiong-kok
yang menurut cerita orang, banyak orang pandai baik mengenai boen maupun boe.
Untuk itu, sedikitnya ia harus berkepandaian supaya dapat melindungi dari
penjahat yang katanya lagi tak kurang banyaknya di sana.
Lung Yin belum lagi menamatkan pelajaran ketika suatu saat berkesempatan
mewujudkan keinginannya. Ia berlayar ke Tiong-kok tanpa seizin ayah maupun
bibinya yang juga sebagai gurunya.
Kabar terakhir yang didengar tentang dirinya adalah ia mendapat julukan
Sat-kauw-sian-lie, menandakan Lung Yin adalah seorang yang selalu menegakkan
keadilan. Sesudah dua tahun malang-melintang di Tiong-kok, tak seorang pun juga
pernah mendapat kabar mengenai gadis ini.
Lung Fei tak pernah berhenti mencari kabar putrinya itu. Tiap tiga tahun sekali
ia mengirim utusan pencari berita. Sayangnya, semua usaha sia-sia belaka.
Untuk menentramkan rakyat yang gelisah bahwa pewaris tahta tak kunjung tiba,
Lung Fei menunjuk kemenakannya laki-laki menggantikan putrinya. Ia juga
mengawinkan kemenakannya ini dengan putri bangsawan terpandang. Dari perkawinan
ini hasilnya adalah seorang anak perempuan yang diberi nama Chin Yee.
Sungguh kasihan nasib Chin Yee. Ayahnya mati lebih dulu daripada Lung Fei. Dan
istrinya menjadi sakit-sakitan saking merana dan menyusul suaminya sebelum Chin
Yee berusia dua tahun. Sejak itu, Chin Yee diasuh Peh-kongnya dan kelak dialah
yang akan memerintah kerajaan Sha-ie. Kecuali, Lung Yin atau keturunannya
kembali ke negeri tersebut …
“Pek-ie-cie, apakah kau mengira putri Lung Yin adalah ibuku?” tanya Ching-ching
setelah Sioe Pek bercerita.
“Siauw-moay, kau memang sungguh pintar.”
“Bagaimana bisa? Lantas, aku kauculik ini mau dibawa pulang ke Sha-ie?”
“Tepat sekali.”
“Lantas, aku harus menggantikan kedudukan … eh, siapa itu … Chin Yee itu?”
“Betul.
Ching-ching menggeleng-geleng sambil tertawa. “Pek-ie-cie, terus terang saja,
aku tidak percaya.”
“Aku tidak berdusta.”
“Hah, baiklah. Mau tidak mau, aku toh mesti percaya juga. Tapi … Pek-ie-cie, aku
sungguh ada urusan penting di daratan. Sebelum ibuku meninggal ….” Ching-ching
melihat wajah Sioe Pek berubah pucat. “Eh, aku lupa ngomong kalau …”
“Ibumu meninggal?” Sioe Pek mengeluh dalam bahasanya sendiri.
Ching-ching melanjutkan kata-katanya. “Sebelum ibuku meninggal, beliau minta
supaya aku menjaga A-thia. Sekarang A-thia pergi. Aku harus cari. Belakangan
kudengar ia ada urusan di Hoei-ho. Tak nyana, di tengah jalan aku dibawa kabur
orang …”
Wajah Sioe Pek memerah. “Siauw-moay, aku bukan tukang culik.”
“Aku tahu,” kata Ching-ching cepat. “Tapi, Pek-ie-cie, aku sungguh harus
mendapatkan ayahku. Perjalananku sudah tertinggal berhari-hari. Aku tak mau
ketinggalan semakin jauh. Pek-ie-cie, kau mengerti bukan? Sekarang bisakah kita
kembali ke darat mencari ayahku? Setelah itu aku akan ikut ke Sha-ie, lagian
ayahku belum leihat gak-hoenya bukan?”
“Siauw-moay, aku sungguh ingin, tetapi saat ini angin berhembus ke utara.
Ching Ching 55
Kembali ke Tiong-kok berarti menentang angin. Itu bakal makan lebih banyak waktu
dan tenaga. Begini saja. Kau ikut kami ke Sha-ie. Sesampai di sana, aku akan
usahakan utusan-utusan tercepat untuk menyusul a-thiamu. Aku berjanji. Kau mau
kan?”
“Sesungguhnya tidak mau, tetapi tak ada lagi yang dapat kulakukan.” Dengan
kecewa, Ching-ching meninggalkan kamar musik itu diiringi pandangan menyesal di
mata Sioe Pek.
Hari-hari selebihnya, Ching-ching sungguh senang tinggal di kapal besar itu. Ia
belajar menari, bermain musik, memasak, bahkan kadang-kadang berlatih silat
dengan Sioe Pek. Ia juga banyak belajar bahasa Mongol dari gadis-gadis lain di
kapal itu, sekalipun pengucapannya agak kurang tepat, sehingga membuat orang
tertawa.
Pembawaannya yang lincah membuat ia cepat disayangi semua orang. Mereka mau saja
kalua Ching-ching mengajak bermain kucing-kucingan atau petak umpet. Sioe Pek
yang biasanya begitu anggun pun kadang-kadang ikut juga. Hanya Sioe Lie saja
yang masih tidak suka pada Ching-ching. Ching-ching juga selalu menghindar
darinya. Hanya saja, kalau ia benar-benar iseng, ia mendekati Sioe Lie lalu
meledek gadis itu.
Sioe Lie yang penaik darah sering terpancing. Kalau sudah begitu, ia akan
mengejar Ching-ching ke mana pun anak itu lari. Saat-saat inilah yang menjadi
hiburan bagi seisi kapal. Mengerjai Sioe Lie, cuma Ching-ching orang yang
berani.
Dua hari lagi mereka akan tiba di Sha-ie. Ching-ching menunggu dengan gelisah.
Ia ingin tahu, macam apakah negeri yang mereka tuju itu. Suatu malam, ia
menanyakan hal itu kepada Sioe Pek.
“Sha-ie adalah negeri yang indah. Kecil memang, namun ramai. Orang dari
berbagai-bagai negeri sering singgah di sana. Begitulah, sehingga kebudayaan
Sha-ie merupakan gabungan kebudayaan beberapa negeri.”
“Kedengarannya menarik.”
“Besok pagi kau bisa lihat sendiri. Sekarang baiknya kau istirahat. Sehabis
kejar-kejaran dengan Sioe Lie tadi, kau mestinya lelah kan?”
“Iya, Sioe Lie Cie-cie larinya cepat sekali.”
“Kalau di darat, kau tak akan dapat lepas darinya.”
“Oh ya? Sampai di darat nanti aku akan coba.”
“Boleh, tapi sekarang kau tidurlah.
Di kamarnya, Ching-ching masih berpikir-pikir. Duluuu sekali, Meng Sian-seng
pernah cerita bahwa seorang putri raja tinggal di gedung yang besar dan indah.
Kerjanya sehari-hari hanya makan, main, dan berdandan. Kalau ia jadi putri
Sha-ie, akankah hidupnya seperti itu juga? Betapa membosankan. Tetapi, bagaimana
kalau raja Sha-ie menolaknya? Akankah ia dapat pulang ke Tiong-kok lagi? Kalau
dijebloskan ke penjara bagaimana?
Ching-ching berpikir-pikir sampai akhirnya tertidur kelelahan. Dalam mimpinya,
ia hidup sebagai putri raja yang memakai pakaian mewah dan mukanya berbedak
serta bergincu. Sehari-harinya ia hanya main kejar-kejaran dengan Sioe Lie yang
menjadi dayang-dayangnya.
Garis pantai sudah tampak. Tak sampai setengah hari lagi, mereka akan tiba di
Sha Ie. Siu Li, Siu Pek, dan Ching-ching berdiri berjajar di geladak. Mereka
tidak berkata-kata. Hanya pandangan ke arah yang sama.
Kapal merapat ke tepian, tempat kapal-kapal besar yang lain menanti. Siu Li
melompat, mendarat di pantai. Kelakuannya menyebabkan seruan kagum dari beberapa
Ching Ching 56
orang yang menjaga kapal-kapal besar.
Siu Pek tidak mau kalah. Ia melayang bagai kapas tertiup angin. Bajunya yang
panjang berikubar. Selendangnya meliuk. Gayanya anggun sekali. Mata yang
menonton terbelalak. Seruan mereka makin keras. Dikiranya ada bidadari dari
kahyangan.
Siu Pek melayang turun, tepat di sebelah Siu Li. Tahu-tahu mukanya memerah
ketika melihat Ching-ching masih di atas kapal. Ia sungguh malu. Gara-gara ingin
mendapat pujian, sampai dilupakannya Ching-ching, “tamu” mereka. Ia sudah
menggerakkan selendang untuk menolongi Ching-ching ketika Siu Li menahannya.
Siu Li ingin membalas kelakuan Ching-ching di kapal. Biar anak itu turun, dan
basah kecebur, pikirnya. Melihat anak itu belum bergerak juga, Siu Li berteriak
menantang. “He! Ayo, turun! Kenapa diam saja? Takut ya?”
Ditantang begitu, karuan saja Ching-ching marah. Diamnya barusan adalah karena
kagumnya melihat Siu Pek. Kalau soal turun, ia belum pikirkan. Anak itu lantas
saja melompat ke air.
Siu Li bersorak. Basah dia sekarang! Aku bisa ejek! Pikirnya.
Siu Pek sudah bersiap menolong kalau-kalau Ching-ching tak bisa berenang dan
tenggelam.
Tapi, Ching-ching tidak butuh pertolongan siapa-siapa. Ia melompat bukannya
tanpa perhitungan. Diingat-ingatnya ajaran ibu angkatnya. Ia mengerahkan
gin-kang dalam Lan-hoa-sui-sang sehingga dapat berjalan di atas air. Ia
melangkah dengan mantap, seperti di tanah datar saja. Semua mata yang melotot ke
arahnya tidak dihiraukan.
Sorak Siu Li terhenti. Ia ikut membelalak. Ketika Ching-ching menginjak daratan,
ributlah orang bersorak dan bertepuk tangan. Orang-orang itu memang kagum
melihat Siu Li dan Siu Pek yang bisa terbang. Tapi, di Sha Ie tak sedikit orang
berkepandaian demikian. Setidak-tidaknya mereka pernah dengar. Tapi berjalan di
atas air? Cuma dewa yang bisa lakukan!
Siu Li dan Siu Pek tak kalah heran. Gin-kang Ching-ching begitu hebat.
Barangkali ada setingkat di atas mereka. Diam-diam mereka kagum pada gadis cilik
itu.
“Eh, kenapa jadi bengong? Ayo jalan. Ke mana kita sekarang?” Ching-ching
berceloteh, tak peduli dengan sekitarnya.
“Kita … kita ke kota raja sekarang,” terkejut Siu Pek ketika menyahuti.
“Asyik,” sorak Ching-ching. “Seberapa jauh dari sini?”
“Tidak lama. Dengan berlari cepat, kita akan sampai lewat tengah hari nanti,”
ucap Siu Li.
Dahi Siu Pek berkerut. Buat apa repot? Dengan berkuta, mereka akan lebih cepat
tiba. Tapi, kemudian ia melihat kilatan mata adik seperguruannya. Siu Li masih
ingin menguji. Biarlah, supaya soe-moaynya itu senang sedikit.
“Baik, sambut Ching-ching. “Ayo.”
Mereka mulai berlari. Mula-mula belum terlalu cepat. Ching-ching masih dapat
mengikuti. Lama-kelamaan, Siu Lie berlari makin cepat dan makin cepat.
Ching-ching mulai kelabakan. Sekarang ia tahu maksud Siu Lie, dan ia pantang
menyerah begitu saja.
Siu Li gemas melihat Ching-ching masih dapat menyusul. Ia tambah lagi kekuatan
larinya, tapi masih juga dapat dijejeri. Herannya, Ching-ching hanya berusaha
menjejeri dan bukannya mendului.
Ini merupakan taktik Ching-ching. Ia ingin menunjukkan kebolehannya di depan Siu
Li. Untuk kalah, pantang baginya. Paling sedikit, ia harus selalu menjejeri Siu
Ching Ching 57
Li. Bisa saja ia mendului pada saat permulaan, tetapi hanya sementara. Tenaganya
akan habis duluan. Beberapa li ke depan, bisa jadi malah ketinggalan. Belum
lagi, ia tak tahu jalan. Kalau semestinya belok dan ia jalan terus, wah bisa
berabe. Lagipula, sekarang ini pun ia sudah kepayahan. Tapi, tentu saja Siu Li
tak boleh tahu hal itu.
Siu Pek tidak mengikuti persaingan, hanya menonton. Ia berlari di belakang Siu
Li dan Ching-ching. Setiap kali kecepatan keduanya bertambah, ia juga menambahi
tenaganya. Pokoknya, jarak ia dan kedua gadis itu selalu tetap.
Setelah mengikuti belasan li, ia dapat melihat betapa Ching-ching kepayahan dan
mulai ketinggalan, sementara Siu Li, yang menyadari Ching-ching berada beberapa
tombak di belakang, makin mengempos semangat. Ching-ching masih berusaha
menyusul, namun sia-sia belaka. Dalam gin-kang, boleh jadi ia jago. Tapi, soal
tenaga, ia tertinggal jauh dari Siu Li.
Siu Pek, yang melihat gigihnya usaha Ching-ching, tidak rela kalau anak itu
kalah. Tapi, apa yang dapat ia lakukan? Satu ingatan melintas! Ya, ia dapat
menolong Ching-ching mengalahkan Siu Li. Buru-buru dijajarinya Ching-ching.
“Siaw-moy, kau tak mau kalau ketinggalan dari su-moyku itu kan?”
Ching-ching mengangguk-angguk. Ia tak mau buka suara, kalau-kalau ketinggalan
semakin jauh.
Siu Pek menahan Ching-ching sehingga mereka berhenti berlari. “Kau mau segera
menyusulnya?”
Ching-ching mesti mengatur napas dulu sebelum sanggup menjawab. “Tentu saja,
tapi bagaimana bisa?”
“Ada satu jalan. Ayo!”
Siu Pek menarik Ching-ching ke tepian jalan. Tak jauh dari tempat mereka
berdiri, ada sebuah jalan kecil yang hampir-hampir tidak kelihatan dari jalan
utama. Ke sanalah mereka berdua menuju.
“Siaw-moy, di depan nanti Siu Li harus melalui jalan yang berbelok-belok. Kalu
lewat jalan ini, kita akan menembus jalan yang rata, mendahului su-moyku. Kita
tak perlu buru-buru, jadi kau dapat memulihkan tenaga sejenak.”
Ching-ching mengangguk-angguk mengerti. Mereka menyusuri jalan kecil itu tanpa
berkata-kata. Ching-ching mengatur napas sambil berjalan.s ebentar saja ia sudah
tidak tersengal-sengal. Tenanganya juga hampir pulih. Ujung jalan pintas itu
sudah di depan mata.
“Pek-ie-cie, menurut perhitunganmu, apakah Ci-ci Siu Li sudah lewat ke sini?”
“Belum. Kalau di jalan ia tidak istirahat, sebentar lagi barulah ia lewat.”
“Bagus, biar kita duduk-duduk sebentar.”
“Lho? Kok begitu?”
“Ya. Ci-ci Siu Li bukan orang bodoh. Kalau tanpa melewatinya aku tah-tahu sudah
berada di depan, dengan segera akan diketahui kalau aku mengambil jalan pendek.
Tapi, kalau kita biarkan ia lewat lalu menyusul dan mendului, setidaknya butuh
waktu lebih lama untuk tahu sebabnya.”
Siu Pek mengangguk-angguk. “Baiklah. Asal kau ingat, di simpang pertama yang
kautemui nanti, beloklah ke kiri. Kira-kira tiga li dari sana, kau akan tiba di
gerbang kota raja. Jangan masuk lewat depan. Lewatlah pintu barat. Kau akan
melihat rumah makan bear. Pesanlah makanan dan tunggu kami di sana.”
Saat itu, kelihatanlah bayangan Siu Li yang masih berlari. Ching-ching
mengintai, membiarkan saingannya lewa sekitar dua ratus tombak ke depan. Lalu ia
berbisik pada Siu Pek, “Pek-ie-cie, sampai ke temu di rumah makan. Lalu, ia
melesat menyusul Siu Li.”
Ching Ching 58
Semenjak berhasil mendului Ching-ching, Sui Li sudah senang bukan main. Ia
memang lelah, tapi tak mau berhenti beristirahat, takut kalua-kalau Ching-ching
sempat menyusul. Hanya saja, setelah beberapa kali menengok ke belakang dan
tidak melihat bayangan Ching-ching maupun su-cinya, ia mulai merasa heran.
Apalagi, kupingnya yang terlatih baik tak dapat mendengar derap kaki orang.
Tapi, dalam hatinya ia menduga, Barangkali bocah sialan itu semaput di jalan dan
Su-ci kerepotan menolong.
Berpikir begitu, hampir saja Siu Li berhenti dan beristirahat. Tapi ia adalah
seorang yang licik dan curigaan pula. Jangan-jangan ia memang jebak aku supaya
istriahat. Sukur-sukur kalau aku ketiduran dan gampang saja ia menyusul. Huh,
dasar bocah licik!
Termakan pikiran sendiri, Siu Li buru-buru mempercepat larinya. Ia tak
memperhatikan sekitar. Yang ada dalam kepala hanyalah perintah untuk lari dan
lari, supaya menang dari Ching-ching, bocah yang selalu bikin panas hatinya itu.
Dan, karena ia berkonsentrasi ke jalan di depannya, tak kelihatanlah bayangan di
balik semak-semak yang mengintai.
Ching-ching mengerahkan tenaga mengejar Siu Li yang sudah ratusan tombak di
depan. Jarak mereka semakin dekat. Kini hanya beberapa belas tombak saja antara
mereka. Tanpa buang waktu, ia lantas menyusul.
“Permisi, Ci-ci Siu Li, aku duluan,” katanya ketika melewati Siu Li.
Siu Li kaget bukan main. Hatinya mencelos. Tenaganya jadi berkurang, sehingga
Ching-ching dapat melewatinya makin jauh.
Siu pek yang mengawasi diam-diam bersorak. Sudahnya, dia malu sendiri. Heran,
sebelum ini ia tak pernah berniat mempermainkan orang. Memikirkan saja pun belum
pernah. Tapi, tak lama mengenal Ching-ching, ia sudah ketularan iseng. Dan dia
merasa senang atas keisengannya itu!
Ching-ching mengikuti petunjuk Siu Pek. Tak seberapa lama, ia sudah sampai di
tembok kota raja. Di pintu gerbang utama dilihatnya beberapa penjaga memeriksa
dengan teliti orang-orang yang datang. Ching-ching tak mau direpotkan mereka.
Seperti yang disuruh Siu Pek, ia mengitar ke sebelah barat.
Pintu gerbang barat ini tidak sebesar pintu gerbang selatan. Di sini juga ada
beberapa penjaga, tapi kelihatan tidak segawat rekan-rekannya tadi. Ching-ching
juga melihat beberapa saudagar yang menyogok dibiarkan lewat tanpa pemeriksaan
lagi. Hmm, jad begitu caranya melicinkan jalan.
Ketika Ching-ching lewat, para penjaga itu tampak tak peduli. Paling anak salah
seorang saudagar, pikir mereka. Lagipula, apa yang bisa didapat dari seorang
anak kecil yang berjalan sendirian?
Sesampainya di dalam kota raja, Ching-ching segera menunggu di rumah makan yang
disebut Siu Pek dalam petunjuknya. Ia sempat melihat banyak orang yang datang
dan pergi sebelum Siu Pek dan Siu Li akhirnya datang.
“Siaw-moay, sudah lama menunggu?” Siu Pek menyapa lebih dulu. Di belakangnya Siu
Li mengikuti dengan wajah cemberut.
“Lumayan,” jawab Ching-ching.
“Kenapa kau tidak pesan makanan?”
“Pelayan itu tidak mengerti apa yang kukatakan. Padahal, aku sudah bicara dalam
bahasa Mongol.”
Tahu-tahu Siu Pek tertawa. Siu Li tersenyum-senyum. “Siaw-moay, ini adalah rumah
makan orang Han. Pelayannya juga bangsa Han dan mereka rupanya tidak mengerti
bahasa Mongl. Kau kusuruh ke sini karena aku kuatir kau kesulitan dalam bahasa.”
Siu Pek masih tertawa.
Ching Ching 59
Wajah Ching-ching memerah. “Pek-ie-cie, semestinya kau bilang dari tadi-tadi.”
“Siapa suruh kau sok tahu,” sahut Siu Li ketus. Ching-ching mencibir Siu Li
balas mencibir juga.
“Sudah, sudah. Jangan musuhan terus. Sekarang waktu makan.” Siu Pek memanggil
pelayan dan memesan makanan. Selama makan, Ching-ching dan Siu Li saling diam
sekalipun ada saatnya kedua gadis itu saling melirik dengan sikap bermusuhan.
Sekali waktu, Ching-ching dan Siu Li sama-sama hendak mengambil daging ayam di
sebuah piring. Kebetulan mereka memilih sepotong yang sama pula. Sumpit yang
mereka pegang beradu.
“Itu milikku!” kata Siu Li.
“Siapa bilang? Aku duluankok.” Ching-ching tak mau kalah.
Siu Li mencapit sumpit Ching-ching, menjauhkannya dari piring daging.
Ching-ching enggan menyerah. Ia juga menghalangi sumpit Siu Li yang siap
mengambil daging. Akhirnya terjadi perang sumpit di antara mereka. Siu Li
berhasil mengambil daging yang diincarnya, ketika sumpit Ching-ching membentur
sumpitnya. Daging ayam itu terlontar ke atas, dan sebelum jatuh ke atas mangkuk
milik Ching-ching, sepasang sumpit lain sudah keburu mendapatkannya.
“Terima kasih memberikan daging ini untukku, Leng-moay.” Siu Pek menggigit
daging yang jadi rebutan itu, sementara Siu Li dan Ching-ching sama-sama melotot
kesal.
“Aku tak mau makan.” Siu Li membanting sumpitnya ke meja hingga patah menjadi
potongan-potongan kecil.
Tadinya, Ching-ching juga hendak berlaku demikian, tapi demi melihat Siu Li
berkata duluan, ia berubah pikiran. Diambilnya sayuran lain dania makan dengan
enak. “Sayur seenak ini, sayang kalau tidak dimakan. Aneh, Cie-cie Siu Li baru
makan beberapa suap, sudah kenyang. Barangkali takut kegemukan ya?” sindir gadis
bandel itu.
Siu Li mendelik marah, lantas membuang muka dengan amat kesalnya.
Sehabis makan, agak terburu-buru mereka melanjutkan perjalanan ke kerajaan.
Sebenarnya Ching-ching ingin melihat-lihat keramaian di sepanjang perjalanan.
Banyak barang yang indah, yang belum pernah ia lihat. Sayangnya, mereka tak
punya waktu untuk singgah.
Ching-ching terkagum-kagum ketika sampai di istana. Bangunannya luaaas sekali,
dengan halaman yang juga sangatluas.
“Ini belum apa-apa,” kata Siu Li. “Kalau nanti kau masuk, hati-hati, jangan
sampai pingsan di hadapan raja.”
“Kalau nanti aku masuk ke ruang utama, baiknya kalian tunggu di luar,” kata Siu
Pek.
“Aku tak mau berdua dengannya,” Siu Li menolak.
Siu Pek berkata sangat-sangat cepat dalam bahasa Mongol, sehingga Ching-ching
tak dapat menangkap. Tapi, ia melihat wajah Siu Li yang berubah keruh. Ia
menduga bahwa gadis itu diomeli su-cienya. Sukur! Siapa suruh melawan melulu!.
Siu Pek masuk ke dalam ruangan utama. Lung Fei, raja Kerajaan Sha Ie baru saja
selesai memimpin sidang bersama para penasihatnya. Ia terkejut melihat Siu Pek
memberi hormat. “Hormatku pada Tuanku!”
“Eh, kuterima hormatku. Kau … bukankah kau salah satu murid adikku? Kau kan yang
mendapat tugas mencari kabar ke Tiong-goan?”
“Itulah saya, Tuanku.”
“Apakah ada berita tentang anakku?”
“Tidak pasti, tetapi saya ada membawa seorang anak perempuan ….” Siu Pek
Ching Ching 60
menceritakan pertemuannya dengan Ching-ching sampai bocah itu dibawa ke Sha Ie.
“Hmm, jadi ia memiliki pek-giok milik putriku?” Lung Fei mengerutkan kening.
“Coba bawa dia masuk. Aku ingin melihatnya!”
Siu Pek mengundurkan diri, keluar ruangan mencari Ching-ching, tapi ia tak
bertemu siapa pun di luar sana. Tidak ada Ching-ching. Siu Li juga entah ke
mana. Kebingungan ia mencari di sekitar sana. Ia menemukan keduanya di halaman
belakang, sedang berlarian. Siu Li mengejar-ngejar Ching-ching, sementara bocah
bandel itu lari sambil mengacung-acungkan sesuatu.
“Ching-ching, Siu Li, sedang apa kalian?” tegur Siu Pek. “Bukankah tadi aku
suruh kalian berdua menunggu di luar ruang utama?”
Ching-ching buru-buru menghampiri dan bersembunyi di belakang gadis itu. Siu Li
mengejar sambil bersungut-sungut.
“Su-ci, bocah ini sungguh kurang ajar,” kata Siu Li, disambung serentetan omelan
dalam bahasa Mongol.
“Ching-ching, kauapakan adikku?”
“Dia mencopet suling bambuku,” Siu Li yang menyahuti.
“Betul?” Siu Pek bertanya pada Ching-ching.
“Salahnya sendiri,” Ching-ching membela diri. “Mau pinjam saja, pelit betul.
Diminta baik-baik, tak boleh. Ya sudah, kusambar saja dari pinggangnya.”
“Sudahlah. Ayo ikut menghadap raja. Tapi ingat, di hadapan beliau nanti, kau
jangan main gila.”
“Baiklah.”
“Eh, tunggu! Kembalikan dulu sulingku!” Siu Li membentak.
“Nih!” Ching-ching melempar suling itu jauh-jauh. Siu Li mengejar, tak rela
kalau sulingnya sampai menyentuh tanah. Ching-ching tertawa.
Siu Pek menggeleng-gelengkan kepala. “Kalau murid guruku sepertimu semua, bisa
makan hati su-moyku itu.”
“Kalau begitu, murid gurumu baik-baik semua ya.”
“Jelas. Guruku orangnya amat tegas dan keras dalam mendidik.”
“Wah, baru dengar saja, aku sudah ngeri,” kata Ching-ching, “apalagi kalau
bertemu orangnya.”
“Sst. Ayo masuk. Kau jangan lupa beri hormat.”
“Beres.”
Keduanya menghadap ke ruang utama. Ching-ching terbengong-bengong melihat tempat
yang luas itu. Banyak sekali orang di dalam sana. Dan bajunya aneh-aneh. Lucu
sekali.
Hampir Ching-ching lupa memberi hormat. Baru ketika Siu Pek berlutut, ia
teringat dan langsung menyoja. Tapi ia belum berlutut. “Aku Ching-ching memberi
hormat,” katanya lantang.
Siu Pek melirik, terkejut melihat anak itu hingga sama-sama berlutut.
Ching-ching hendak berdiri lagi, namun tangan Siu Pek menekan tangannya,
sehingga ia tak dapat berdiri. Ching-ching meringis.
“Aduh, Pek-ie-cie, pegangnya jangan keras-keras,” katanya pelan, tapi belum
cukup pelan sehingga masih dapat didengar oleh Lung Fei.
“Lepaskan!” perintah Lung Fei.
Begitu dilepas, Ching-ching bangkit berdiri lagi. Tanpa takut-takut, ia langsung
menentang mata Lung Fei yang terbelalak menatapnya.
Lung Fei, semenjak Siu Pek melapor tadi, sudah kegirangan akan mendengar kabar
mengenai anaknya, walaupun ia kurang percaya kalau ia sudah punya cucu. Tapi,
hatinya berharap juga kalau bocah yang dibawa murid adik tirinya ini betul
Ching Ching 61
cucunya. Akan seperti siapa wajahnya? Mirip ibunyakah, mirip ayahnya, atau
gabungan keduanya? Lung Fei sudah menduga-gua. Namun, ketika melihat
Ching-ching, ia terkejut bukan main. Apalagi, ketika bertemu pandang dengan
sorot mata gadis itu.
Ching-ching kini dapat melihat orang yang disebut raja Sha Ie itu lebih jelas.
Orangnya sudah cukup tua, kira-kira tujuh puluh tahun umurnya. Rambut, kumis,
dan alisnya sudah memutih. Jenggotnya juga. Matanya menyorot ramah. Ching-ching
langsung menyukai orangtua itu, sekalipun tampak ketolol-tololan dengan mata
melotot dan mulut terbuka.
Lung Fei terperanjat seolah melihat setan. Bukan main. Bocah yang ada di
hadapannya ini sama persis dengan putrinya. Ia seolah melihat lagi putrinya tiga
puluh yang lalu, ketika masih kecil.
Tahu-tahu Ching-ching tertawa keras sekali, memcah kesunyian di ruangan itu. Ia
merasa geli, melihat kakek tua di hadapannya dan orang-orang di sekelilingnya
bengong memandangi dia. Tawanya membuat Lung Fei dan para penasihatnya tersadar.
Dan tawa Ching-ching selalu membuat orang di sekitarnya tertawa juga. Akhirnya,
semua orang di ruangan itu ikut tertawa tanpa tahu apa yang mereka tertawai,
kecuali Siu Pek. Gadis itu menunduk dengan wajah merah padam.
Ketika akhirnya semua sudah berhentit ertawa, suasanya yang kaku dan tegang di
ruangan itu berubah hangat dan akrab. Masih tersenyum-senyum, Lung Fei memanggil
bocah di hadapannya supaya mendekat. Tanpa ragu, Ching-ching melangkah maju.
“Anak kecil, mengapa kau tertawa?” tanya Lung Fei.
“Kau sendiri kenapa tertawa?” Ching-ching balas bertanya.
Siu Pek tersekat. Astaga, anak itu menyebut rajanya yang sangat ia hormati itu
kau begitu saja dengan enteng. Seperti kepada seorang teman saja!
Lung Fei gelagapan. Ia tak tahu sebabnya tertawa barusan. Mungkin karena terharu
bertemu cucunya, tapi ia tak tahu pasti. “Aku tidak tahu,” jawabnya setelah
terdiam beberapa waktu. “Barangkali karena aku sedang senang hari ini. Eh, anak
kecil, siapa tadi namamu? Berapa tahun umurmu?”
“Namaku Ching-ching. Bulan depan, umurku tepat sembilan tahun.”
“Ching-ching, siapa orangtuamu?”
“Thia-thia, Nio, A-thia, dan Ibu,” jawab Ching-ching menyebutkan sekaligus
orangtua kandungnya dan orangtua angkatnya.
Namun, Lung Fei salah mengerti. Dikiranya Ching-ching menyebutkan dua kali untuk
menegaskan. “Siapa nama ayahmu?”
“Yang mana?” tanya Ching-ching.
“Tentu saja A-thiamu,” kata Lung Fei, karena sebuatan A-thia kedengaran lebih
akrab.
“A-thiaku Chow Han Wei.”
“Ibumu?”
Ching-ching teringat ibu angkatnya. “A-thia memanggilnya Nio-cu.
Lung Fei agak kecewa. Masa anaknya tidak memberitaukan nama sendiri kepada
cucunya ini.
“Kau anak tunggal?” tanya Lung Fei, mengharap anaknya berketurunan laki-laki.
Tapi, ia tidak menyesal ketika Ching-ching mengangguk. Pokoknya, ia punya cucu.
“Ibumu ada berikan tanda kepadamu?”
“Ya. Ini.” Ching-ching mengeluarkan kemala putih dari saku baju dan
menyodorkannya kepada Lung Fei.
Lung Fei tercekat melihat giok putih dengan lambang kepala rajawali itu. Benar,
itu milik anaknya. Putri satu-satunya yang pergi mengembara dua belas tahun
Ching Ching 62
lalu. “Ini milik anakku,” gumamnya dengan suara bergetar. “Di mana dia? Di mana
ibumu?”
“Ada di mana-mana,” jawab Ching-ching. “Di langit, dan di dalam sini.” Ia
menunjuk ulu hatinya.
“Ibumu … sudah … meningal?” Lung Fei berkata nyaris tak terdengar.
Ching-ching mengangguk dengan mata yang mulai kabur oleh air mata.
Lung Fei terdiam sesaat. Lantas ia berbicara dalam bahasa Mongol kepada
orang-orangnya. Serentak semua laki-laki di ruangan itu membuka kopiah mereka
dan yang perempuan menguraikan rambutnya tanda berkabung.
“Sudah berapa lama?” tanya Lung Fei lagi.
“Satu tahu,” jawab Ching-ching setelah menguatkan hati supaya suaranya tidak
gemetar.
Lung Fei mengangguk. Ia meletakkan kedua tangannya di pundak Ching-ching. “Kau
cucuku,” katanya. “Mulai sekarang, kau harus tinggal bersamaku. Kau akan dididik
dan dilatih segala macam ilmu yang pantas diajarkan pada seorang raja.”
Setelah berkata demikian, Lung Fei mengebaskan tangan, menyuruh Siu Pek
mengundurkan diri bersama Ching-ching. Siu Pek mengajak gadis cilik itu pergi.
Di luar, Ching-ching tidak tahan untuk tidak bertanya. “Pek-ie-cie, sekarang aku
mau diapakan?”
“Putri sudah dengar sendiri. Putri akan tinggal bersama Raja di istana.”
“Eh, Pek-ie-cie, apa-apaan. Aku bukan putri. Namaku Ching-ching.”
“Sekarang kau seorang putri Kerajaan Sha Ie.”
“Apa peduliku. Pokoknya, namaku Ching-ching, titik. Jangan diembel-embeli
macam-macam.”
“Tapi—“
“Tidak pakai tapi, atau aku pergi dari sini.”
“Mana bisa?”
“Mau bukti?” Sekali bergerak, Ching-ching sudah berlari menjauh.
Siu Pek kaget, namun cepat kuasai diri. Tanpa banyak kesukaran, ia dapat
menangkap Ching-ching.
“Tidak sekarang, kan bisa nanti.” Ching-ching belum mau mengalah.
“Sudah, jangan banyak tingkah.” Tahu-tahu Siu LI sudah ada di belakang mereka.
“Sejak sekarang, ada dayang-dayang yang mengikutimu ke mana pun kau pergi.”
“Hmm, kalau kau yang jadi dayang-dayangku, lebih baik tak usah.” Ching-ching
mencibir.
“Huh, siapa kesudian jadi pelayanmu.”
“Kalau begitu, aku akan minta supaya kau yang melayaniku.” Mat Ching-ching
berkilat jahil.
“Tak sudi.” Siu Li membalikkan badan dan pergi.
Ching-ching dan Siu Pek berjalan ke arah lain, menuju kamar. Benar saja, di
kamar itu ada dua orang kiong-lie yang siap melayani Ching-ching. Siu Pek sudah
akan pergi, supaya Ching-ching bisa beristirahat, ketika Ching-ching menarik
bajunya.
“Pek-ie-cie, temani aku di sini,” rengek anak itu.
“Eh, kenapa? Kan sudah dua orang yang tinggal menemanimu?”
“Aku tak kenal mereka. Lagian, apa mereka mengerti apa yang kuomongkan?”
“Oh ya. Aku lupa kau belum dapat bicara lancar dalam bahasa Mongol. Begini saja.
Sekarang harus sudah sore. Kau bersihkan dirimu, makan, dan istirahat. Kau tidak
perlu bicara kepada mereka. Besok pagi, begitu kau bangun, aku akan ada di sini
dan menemanimu seharian.”
Ching Ching 63
“Kenapa tidak sekarang saja?”
“Aku harus menemui guruku lebih dulu.”
“Aku ikut.”
“Katanya, kau ngeri ketemu guruku,” goda Siu Pek. “Lagipula, tempatnya cukup
jauh. Kalau sekarang aku berkuda cepat-cepat, sebelum malam aku akan sampai di
sana, dan besok pagi bisa cepat kemari lagi.”
“Su-ci, kuda kita sudah siap.” Kepala Siu Li nongol di antara tirai.
“Aku segera ke sana,” sahut Siu Pek. “Nah, Ching-moay, kau istirihatlah. Sampai
ketemu besok pagi.” Siu Pek pergi.
Ching-ching memandangi kedua dayang-dayangnya. Ia tersenyum kepada mereka, manun
kedua gadis usia enam belasan tahun itu buru-buru menunduk. Ching-ching
mendengus kesal. Dipikir-pikir, mendingan punya dayang kayak Siu Li, daripada
yang pemalu macam manusia di depannya ini.
Siu Pek dan sumoynya memacu kuda ke luar kota raja. Di sebelah utara kota itu
ada gunung yang tinggi. Ke sanalah mereka menuju. Ke tempat yang agak terpencil
dari dunia luar. Tempat mereka belajar seumur hidup bersama guru dan
saudara-saudara seperguruan mereka, yang semuanya perempuan.
Belum sampai setengah perjalanan, mereka melihat lima orang yang measing-masing
menunggang kuda yang terawat baik. Mereka langsung mengenali orang-orang itu,
yang tak lain adalah Lung Shia, guru mereka, dan empat muridnya.
Kedua gadis itu buru-buru turun dari kuda dan memberi hormat pada guru mereka
yang turun dari kereta.
“Guru,” sapa kedua gadis itu.
“Hmm.” Cuma itu tanggapan Lung Shia. “Kita kembali ke kota raja.” Wanita itu
kembali memacu kudanya, diikuti keenam muridnya.
Siu Li sengaja mengambil tempat paling belakang, mengajari salah seorang murid
yang tingkatannya masih di bawah dia. ”Bagaimana guru bisa turun gunung?”
bisiknya.
“Orang kita yang ditinggal di perahu segera mengirim kabar ke perguruan tentang
anak kecil yang kalian bawa. Belum lagi raja mengirim burung dara memanggil guru
secepatnya.”
“Pantas. Tidak sering-sering guru mau turun gunung.”
Langit sudah gelap ketika rombongan kecil itu sampai di istana. Mereka segera
disambut baik. Lung Shia diantar ke tempat kakaknya lain ibu, Lung Fei.
“Ada keperluan penting apakah Abang memanggilku?” tanpa basa-basi Lung Shia
langsung bertanya.
Lung Fei tidak langsung menjawab. Ia memperhatikan dulu adiknya. Gadis kecil
yang keras kepala itu belum berubah sekalipun sekarang sudah enam puluh taun
usianya. Sedari dulu, cuma Lung Fei yang dapat mengerti perasaannya. Gadis yang
gagah, tak mau dibedakan dari abang-abangnya yang lain. Lebih senang berburu
daripada tinggal di kamarnya. Dan bersikeras tak mau menikah selamanya hanya
karena dijodohkan dengan orang yang belum pernah ia lihat. Berbakat dalam ilmu
silat, bahkan melebih semua putra raja yang lain. Yang menyingkir karena—
“Abang,” Lung Shia menegur lagi.
“Ah, Adik, sudahkah muridmu bercerita ia ada membawa orang kemari?”
“Orangku ada mengatakannya. Tapi, sepenting apakah dia, sampai kau
memerintahkanku turun gunung ini?”
“Heh. Kau tak akan percaya. Dia cucuku!”
“Cucu?” Lung Shia terbelalak heran.
“Ya, cucuku dari anakku satu-satunya.
Ching Ching 64
“Lung Yin?”
“Betul.”
“Apakah Lung Yin sudah kembali?” Ada nada senang dalam nada suara Lung Shia,
berbaur dengan marah yang terpendam.
“Dia tak akan bisa kembali. Dia udah mati.”
“Mati?” Wajah Lung Shia memucat. Tapi, ia cepat menguasai diri yang
menyembunyikan isi hatinya. Ia malahan berkata. “Sudah kuduga. Aku yakin dia
mati akibat dendam salah seorang musuhnya. Huh, salahnya sendiri. Dididik
baik-baik, malah kabur.”
Lung Fei tidak berkomentar. Ia tahu kekesalan adik tirinya ini. Anaknya memang
tak tahu diuntung. Baik-baik diajari, malah lari.dan hal inilah yang membuat
Lung Shia menyingkir ke gunung dan mendirikan perguruan. Ia ingin membuktikan
bahwa ia dapat mendidik banyak murid yang jauh lebih baik daripada muridnya
pertama.
“Lalu, bagaimana dengan cucumu itu?” tanya Lung Shia pada abangnya yang
lagi-lagi mulai melamun.
“Itulah yang membuat aku bingung. Menurutmu, bagaimana baiknya? Apa yang harus
kulakukan dengan bocah itu?”
“Kau yakin itu cucumu? Dia tak menipu?”
“Tunggu sampai kaulihat sendiri. Kau akan betul-betul yakin. Dialah keturunan
anakku.”
“Bagaimana ayahnya?”
“Astaga, aku lupa bertanya!” Lung Fei menepuk jidat sendiri.
Lung Shia menghela napas kesal. Abangnya ini sering tidak teliti. “Baiklah kalau
begitu. Malam ini aku dan murid-muridku akan tinggal di sini. Besok biar aku
sendiri yang akan menanyai cucumu.”
“Begitu pun bagus. Oh, aku hampir lupa. Besok aku akan mengumumkan tiga hari
berkabung. Bagaimana?”
“Terserah. Sebetulnya tak perlu, tapi itu anakmu. Bagaimana kau saja.” Lung Shia
keluar.
Lung Fei memandangi tirai yang menutup. Wanita itu begitu keras, tapi ia tahu
itu cuma kulit luarnya saja. Di dalam hati, iap asti sangat sedih mendengar
kemenakannya tersayang tak akan kembali.
Lung Shia duduk diam di kamarnya. Ada sesuatu yang kosong dalam hatinya. Sesuatu
yang membuat matanya basah. Lung Yin, kemenakannya yang dianggapnya sebagai anak
sendiri. Yang dididiknya dengan kasih sayang yang berlebihan, yang pergi tanpa
pamit, membuat hatinya marah tak terkira. Yang sampai sekarang masih dirindukan
untuk kembali, kini sudah mati.
Keesokan paginya, seisi istana berkabung. Mereka mengenakan baju putih dan
membiarkan rambut mereka terurai. Ching-ching terkejut sekali melihat kedua
pelayannya dengan dandanan demikian menakutkan. Ia bengong saja duduk di tepi
pembaringan sampai kemudian Siu Pek masuk ke kamarnya.
“Ching-ching, ayo cepat berdandan. Raja ingin menemuimu.”
“Wah, kok pagi-pagi betul,” Ching-ching mengeluh enggan.
“Sudah. Ayo cepat.
Siu Pek mendandani Ching-ching sama seperti dirinya dan kedua dyaang-dayang di
kamar itu.
“Ini yang dinamai dandan?” protes Ching-ching. “Masih lebih bagus waktu bangun
tidur tadi. Wah, gawat. Bisa-bisa aku diledek Ci-ci Siu Li.”
“Dia pun berdandan seperti ini.”
Ching Ching 65
“Kalau begitu, biar aku yang goda dia.”
Setengah diseret, Ching-ching dibawa menghadap ke kamar tempat Raja sudah
menunggu. Siu Pek meninggalkan mereka berdua. Sebentar saja kedua orang di dalam
kamar itu sudah bercakap-cakap dengan akrab dan sesekali tertawa. Ching-ching
bercerita macam-macam sampai pada cerita tentang A-thianya.
“Jadi, selama ini kau sendirian mencari A-thiamu?”
“Ya. Dan itu sebabnya aku tak bisa tinggal lama-lama di sini. Aku harus balik
ke—“
“Tidak, tidak. Itu tidak perlu. Kau harus tinggal di sini.”
“Tapi … A-thia ….”
“Jangan kuatir. Begitu angin berganti arah, aku akan mengirim orang mencari
A-thiamu. Selama itu, kau tinggal di sini ya?”
Ching-ching berpikir. Ya, bagusan begitu. Ia tidak capek dan A-thianya akan
dicari dan dibawa ke Sha Ie menemuinya. Ya, kenapa tidak? “Baiklah,” jawab anak
itu.
Lung Fei tertawa girang. Ching-ching ikut tertawa. Tahu-tahu Lung Fei teringat
sesuatu. “Wah, semestinya aku ke ruang utama. Semua menteriku pasti sudah lama
menunggu. Ching-ching, nanti sore, kalau semua tugas Kakek sudah selesai, kita
omong-omong lagi ya?”
“Kakek, ada satu lagi permintaanku!”
“Apa?”
“Dayang-dayangku tak dapat diajak bercakap-cakap. Diganti Siu Li Cie saja.”
“Siu Li, yang sering berbaju hijau itu? Baiklah, baiklah. Nanti kusuruh dia
untuk melayanimu.”
“Terima kasih, Kakek.” Ching-ching berjingkrakan. Sudah terbayang dalam otaknya,
apa saja yang akan dilakukan untuk membuat Siu Li kerepotan.
Setelah menyuruh Siu Lie melayani Ching-ching, Lung Fei bergegas ke ruang
sidang. Benar saja, semua penasihatnya sudah menunggu, hendak melaporkan urusan
kerajaan yang selalu membikin jidat berkerut. Namun, wajah sang Raja hari ini
sedang cerah. Moga-moga semua urusan cepat beres.
Ketika sidang berakhir, hari sudah menjelang sore. Tapi, masih ada satu hal lagi
yang mesti dibicarakan. “Mengenai cucuku,” kata Lung Fei. “Ia akan tinggal di
istana dan jika masa berkabung sudah selesai, aku akan mengenalkannya kepada
rakyat.”
Para penasihat raja setuju. Kemudian, seorang dari mereka maju ke muka. “Tuanku,
mengenai perjodohan dengan pangeran Sie Hsia untuk mempererat persaudaraan,
siapa yang akan dijodohkan? Putri Chin Yee ataukah …” Penasihat itu ragu-ragu
ketika hendak menyebutkan nama Ching-ching.
“Lung Ching. Namanya Lung Ching. Sesuai adat kebiasaan, dia akan dipanggil
demikian. Ah, aku hampir lupa soal perjodohan itu. Bagaimana baiknya menurut
kalian?”
Seorang menteri lain angkat bicara. “Tuanku, perjodohan dimaksudkan supaya kelak
Sha Ie dan Sie Hsia dipersatukan menjadi negara yang lebih besar dan kuat.
Apalagi dengan kebudayaan serupa, peperangan akand ikurangi, seperti yang pernah
terjadi dulu. Dengan begitu, seharusnya ahli waris kerajaanlah yang dijodohkan.”
“Tuanku,” menteri lain mengambil bagian. “Selama ini, dalam setiap kunjungan
kemari, Pangeran Fei Yung hanya mengenal Putri Chin Yee. Kalau tahu-tahu
berubah, bisa-bisa ia merasa tertipu, dan pecah lagi perang antara Sie Hsia dan
Sha Ie.”
Perdebatan berlanjut sampai hari gelap. Akhirnya diambil keputusan. Karena
Ching Ching 66
Ching-ching tidak mengenal kebudayaan Sha Ie, ia akan dididik dengan baik lebih
dulu mengenai segala sesuatu yang harus diketahui sebagai seorang putri. Setelah
itu, barulah ia akan dipertemukan degan Fei Yung. Pangeran itu boleh memilih
mana yang lebih ia sukai, Ching-ching atau Chin Yee.
Hari ketiga sudah berlalu. Masa berkabung telah usai. Hari ini Ching-ching akan
diperkenalkankepada rakyat. Ia didandani secantik-cantiknya, mengenakan baju
seorang putri. Entah kenapa, ia gugup sekali. Mungkin karena akan menghadapi
orang banyak. Dan dalam kegugupan, jahilnya semakin menjadi. Lihat saja, rambut
Siu Li putih semua ditaburi bedak, padahal gadis itu sudah berdandan cantik.
Terang saja ia jadi marah-marah. Tapi, untuk hari ini, ia harus mengampuni semua
kesalahan Ching-ching.
Sudah tiba saatnya untuk berangkat. Ching-ching akan diarak ke alun-alun kota
dengan sebuah tandu. Ia merasa tangan dan kakinya dingin. Rasanya jauh sekali.
Ketika turun dari tandu dan naik ke panggung batu di tengah lapangan itu, kaki
Ching-ching gemetar. Bagus ia masih dapat melangkah. Astaga, ia belum pernah
seperti ini sebelumnya.
Ching-ching tidak ingat apa yang ia lihat dan apa yang ia lakukan. Semua rasanya
berlangsung begitu cepat. Seperti mimpi saja. Ia tidak ingat kalau ia tersenyum
terus, tak ingat ia melambai pada rakyat yang bersorak menyambutnya. Ia tak
ingat apa-apa.
Tetapi, tidak demikian dengan rakyatnya. Pertemuan yang singkat itu membekas
dalam hati mereka. Seorang putri yang baru, yang ramah, yang menarik segala
tingkah lakunya. Tapi, terutama bagi mereka yang sudah berumur, seolah melihat
kembali putri mereka, Lung Yin, yang telah hilang bertahun-tahun lalu.
Selama beberapa hari Ching-ching berada di istana, ia berteman dengan siapa
saja. Dari dayang, pengawal, koki, semua akrab dengannya. Apalagi dengan
kekeknya, Ching-ching cepat sekali akrab. Dan orang tua itu amat memanjakan dia.
Ching-ching tidak menyadari ada anak lain yang iri padanya. Dialah Chin Yee.
Selama ini, Chin Yee adalah satu-satunya putri di istana itu. Sekarang, seluruh
perhatian terpusat pada Ching-ching. Bahkan, dayang-dayangny sendiri sering
kepergok sedang memuji-muji Putri Lung Ching di depan dayang-dayang lain.
Itu sebabnya Chin Yee selalu menghindar untuk bertemu Ching-ching. Ia benci,
benciii sekali pada anak itu. Karenanya, ia sering pura-pura tak melihat kalau
Ching-ching tersenyum padanya. Sering pula tidak mendengar kalau disapa. Tapi,
diam-diam ia mengawasi gadis itu, ingin tahu apa miliknya yang tidak dipunyai
Chin Yee, sehingga ia disukai semua orang.
Orang lain yang mengawasi Ching-ching adalah Lung Shia. Ia tak sering menemui
Ching-ching, hanya memperhatikan diam-diam. Ia segera menyadari bahwa
Ching-ching sangat berbakat dalam silat, tetapi juga keras kepala dan manja luar
biasa. Lung Shia menyayangkan kalau bakat itu disia-siakan. Di lain pihak, ia
juga tak rela kalau anak kemenakannya ini rusak karena sifat manjanya. Harus ada
orang yang mendidiknya. Kakek anak itu tak dapat diharapkan. Kalau begitu, dia
sendiri yang akan mendidik anak itu.
Ia sudah mengawasi Ching-ching sebulan ini ketika akhirnya memutuskan untuk
mengatakan kepada abangnya mengenai rencana mendidik anak Lung Yin itu.
“Tapiii ….” Lung Fei agak keberatan. Ia sudah mulai sayang pada gadis yang
membuatnya merasa lebih muda dua puluh tahun itu. Ia tak mau jauh-jauh darinya
sekarang. Adik tirinya meminta anak itu supaya dididik di gunung sepi?
“Dia akan rusak kalau dimanjakan seperti Lung Yin dulu.” Ada nada getir dalam
suara Lung Shia.
Ching Ching 67
“Ah, tidak bisa. Dia kan harus diajari macam-macam kepandaian oleh banyak guru.
Kau mana mau terima orang luar di perguruanmu?”
“Kali ini kekecualian. Aku akan bangun gedung belajar di luar perguruan.”
“Eh, dia juga mesti dikenalkan pada jodohnya, Pangeran Fei Yung.”
“Dia selalu mengunjungi dua tahun sekali. Aku bisa mengantar anak itu ke sini
pada waktu-waktu tertentu. Lagipula, akan lebih baik kalau anak itu sudah
terdidik sehingga pantas dipertemukan.”
“Yah, aku pikir-pikir dulu.”
“Aku butuh keputusan sekarang. Besok aku akan pulang. Perguruan tak bisa
ditinggal terlalu lama.”
“Lalu kapan aku bertemud engannya?”
“Jadi kau setuju? Aku akan suruh dia berkemas.”
“Kau belum jawab aku.”
“Pada waktu hari jadimu, ia boleh datang ke sini.” Lung Shia keluar, tak menoleh
lagi.
Lung Fei termenung-menung. Baru sebulan, ia sudah harus berpisah dengan cucu
yang dikasihi. Tapi, mungkin itu yang terbaik bagi semua. Baginya, bagi anak itu
sendiri, dan bagi Lung Shia. Mudah-mudahan sakit hatinya akan terobati.
Ching-ching diboyong ke bukit tempat Lung Shia mendirikan perguruan. Sebenarnya,
ia merasa sayang meninggalkan kakeknya tempat ia bermanja-manja. Tapi, ia juga
senang dapat pindah ke tempat yang belum pernah ia lihat. Apalagi, ia juga akan
bertemu lagi dengan teman-temannya di kapal dulu. Sayang, ia harus bertemu
dengan Lung Shia setiap hari. Dalam hatinya, Ching-ching merasa takut pada nenek
judes itu, tapi ia tak memperlihatkan hal itu.
Lain dengan Siu Li. Ia merasa gembira ketika diajak gurunya pulang dan tak usah
melayani Ching-ching lagi. Rasanya bebas dari hukuman. Anak itu memang brengsek.
Selama satu bulan ini, Siu Li benar-benar dijadikan pelayan. Pernah sekali
Ching-ching belajar membuat perahu kertas. Setiap kali gagal, diremasnya hancur
dan dilempar jauh-jauh. Kamarnya jadi berantakan dan Siu Li harus membereskannya
sendirian. Siu Li agak kecewa mengetahui Ching-ching ikut pulang dan diangkat
jadi murid gurunya. Tapi, di lain pihak, ia bisa membalas dendam sekarang. Ya,
ia akan membalas perlakuan bocah busuk itu padanya tempohari.
Ching-ching nyaris menggerutu ketika mereka harus mendaki sebuah tebing. Di
puncak tebing itulah berdiri perguruan yang didirikan oleh Lung Shia, dan untuk
sampai ke atas, satu-satunya jalan adalah dengan mendaki. Ching-ching mendongak.
Tebing itu tinggi sekali. Barangkali ada sekian tombak. Gadis itu meringis.
Bagaimana caranya sampai ke atas?
Lung Shia melihat keraguan di wajah Ching-ching. Ia mengisyaratkan Siu Li dan
dua muridnya yang lain naik duluan. Kedua murid yang lain langsung melompat.
Mereka kadang-kadang menjejak sisi tebing untuk melompat lagi ke tempat yang
lebih tinggi. Keduanya seolah-olah berlari di tanah datar saja.
Siu Li mendengus meremehkan. Ia menyusul ketika kedua saudaranya sudah mencapai
tiga perempat tebing. Enak saja ia melayang lurus ke atas. Siu Li cuma perlu
menotol kaki tiga kali sebelum ia sampai di puncak dan tidak kelihatan lagi.
“Naik kau sekarang!” perintah Lung Shia pada Ching-ching.
Ching-ching kaget, tak langsung bertindak. Diam-diam hatinya gentar melihat
tebing terjal itu. Karena Lung Shia berbicara dalam bahasa Mongol, Ching-ching
pura-pura bengong tak mengerti.
“Ching-ching, suhuku bilang—“ Siu Pek mau membantu menjelaskan dalam bahasa Han.
“Tidak perlu. Kau tak perlu mengulangi. Ia mengerti!” kata gurunya. Kepada
Ching Ching 68
Ching-ching ia berkata, “Lakukan apa yang kusuruh sebelum kau kuseret ke atas
dan kulempar dari atas sana.”
Ching-ching bergidik ngeri. Sambil menetapkan hati, ia langsung memanjat sambil
mengentengkan tubuh sebisa-bisanya. Gadis cilik itu berhasil sampai setengah
bagian sebelum ia menemukan tempat pijakan yang baik untuk beristirahat. Tetapi,
pijakan itu tidaklah terlalu baik. Ia harus berpegang erat-erat pada cekungan
bekas murid-murid Lung Shia memijak.
Ching-ching menoleh ke bawah, melihat seberapa jauh ia memanjat. Sayangnya, ia
belum terbiasa pada tempat tinggi. Begitu melihat ke bawah, kepalanya langsung
pusing. Buru-buru dipejamkannya mata. Tapi, justru bayangan tanah yang jauh itu
berputar dalam bayangannya. Ching-ching lupa ia harus berpegang erat. Ia hendak
memegang kepalanya yang terasa berat, takut kalau copot dan jatuh duluan ke
bawah. Tapi, karena itu pegangannya lepas. Dan tubuhnya betul-betul meluncur ke
bawah.
Siu Pek merasa jantungnya berdebar ketika melihat Ching-ching mulai mendaki.
Tapi, ia mulai agak tenang ketika menyaksikan kelincahan gadis kecil itu, dan
melihat dengan mantap dan tenang. Gadis itu bergerak makin tinggi dan makin
tinggi. Siu Pek tidak tahu, saat itu Ching-ching menutupi rasa takutnya yang
hebat.
Ching-ching merasa seolah jantungnya melompat ke perut waktu ia terjatuh.
Dibukanya mata dan cepat ditutup lagi saat melihat langit berputar. Ching-ching
tahu, ia tak boleh tinggal diam, menanti tubuhnya terbanting ke tanah dan remuk
berantakan. Ia cepat membuka mata. Tangannya menggapai ke arah tebing, tapi
gerakan itu justru mempercepat jatuhnya. Tahu-tahu sebuah selendang melilit
pinggangnya dan melontarkannya mendekati tebing. Ching-ching mencengkeram sisi
tebing. Ia tak menunggu terlalu lama, langsung mencoba memanjat lagi.
Napas Siu Pek terhenti sejenak ketika menyaksikan sosok tubuh mungil melayang
jatuh. Ia menjerit tertahan dan gerak refleksnya meluncurkan selendang panjang
yang melilit pinggang ke arah tubuh itu.
Tapi, ada selendang lain yang lebih dulu melibat tubuh Ching-ching. Itulah
selendang Lung Shia. Siu Pek menoleh ke arah Lung Shia dan kaget menyadari
betapa pucat muka gurunya itu. Namun, berangsur-angsur wajah yang pasi itu
dialiri darah kembali. Dalam beberapa saat, wajah yang menampakkan kecemasan,
ketakutan, dan penyesalan itu lenyap, berganti wajah dingin beku dengan segaris
bibir tipis yang menunjukkan kekerasan hati.
Setelah jatuh sekali, Ching-ching kapok menengok lagi. Ia buru-buru memanjat
supaya cepat sampai di tanah yang rata. Namun, biarpun terburu-buru, ia tetap
berhati-hati. Meamng ia sempat terpeleset beberapa kali, tapi tangannya sudah
mendapat pegangan kuat. Belum lagi ilmu mengentengkan badannya sudah tinggi.
Hanya saja, ia belum terbiasa menggunakan di tempat yang tegak lurus dengan
tanah.
Sesampainya di atas, Ching-ching langsung saja merebahkan diri di rumput tebal
yang menghampar. Selendang di pinggangnya sudaht idak ada. Ia tak tahu kapan
selendang itu lepas. Ia juga tak peduli ketika Siu Li mengejek. Ia seperti tak
punya sisa tenaga untuk membalas.
Dua murid Lung Shia yang lain saling berpandangan dan tersenyum diam-diam, geli
dengan tingkah Siu Li. Padahal, tadi mereka sempat mendengar Siu Li mendoakan
jangan sampai Ching-ching mati.
Sebuah siulan terdengar. Kedua murid itu cepat bergerak ke balik rumpun semak.
Ketika kembali lagi, keduanya menggotong sebuah keranjang besar, kemudian
Ching Ching 69
melempar keranjang itu ke bawah. Saat itu baru Ching-ching melihat tali yang
diikatkan ke keranjang itu, sementara ujung lainnya digantung di sebuah batu
kukuh yang ada lubang ditengahnya, tembus ke belakang, ke sebuah roda batu yang
bisa berputar lalu ditembus balik lagi. Leat lubang yang lain, dari sana tali
ditarik pelan-pelan, keranjang di ujung tali naik.
Ching-ching mengomel-omel, mengetahui untuk apa itu semua. “Kalau tahu ada jalan
mudah sampai di atas, mana mau repot-repot memanjat tebing,” katanya kesal. Ia
berbicara dalam bahasa Mongol sehingga dua kawan Siu Li mengerti dan tertawa
melihat kejengkelannya.
“Kau harus!” kata Siu Li. “Kalaupun tadi keranjang itu ada di bawah, Guru akan
memaksamu memanjat.”
“Tak ada yang boleh memaksaku,” cibir Ching-ching.
“Lihat saja!” sahut Siu Li balas menjebi.
Siu Pek dan gurunya sampai di atas dengan keranjang besar, yang langsung
disimpan di balik semak lagi. Lung Shia memimpin muridnya ke perguruan mereka.
Ketika tiba, Siu Li dan dua kawannya menghilang. Tinggallah Lung Shia, Siu Pek,
dan Siu Li di sbuah kamar besar. Ching-ching berdiri di hadapan Lung Shia. Ia
tak suka berdiri begitu. Seperti orang mau dihukum saja. Karenanya, Ching-ching
tak bisa diam dan menggerakkan sebelah kakinya berputar-putar.
“Tak bisakah kau diam?” tanya Lung Shia dingin.
Ching-ching langsung berhenti. Ada sesuatu yang membuat hatinya bergetar,
mendengar suara beku itu. Ching-ching berdiri tegak. Memandang lurus ke depan,
ke arah Lung Shia.
“Apa yang kaulakukan sehingga tadi kau nyaris mati?”
Ching-ching kaget. Ia tak menyangka akan ditanya begitu. “Tadi kapan? Oh, waktu
memanjat? Aku cuma melihat ke bawah.”
“Apa yang kaurasakan?”
“Euh,” Ching-ching mengingat-ingat, “pusing.” Ia tak mau mengaku bahwa waktu itu
ia ketakutan. Tapi, Lung Shia tahu isi hati bocah di hadapannya. Ia sudah sekian
lama mengasuh kemenakannya sebelum gadis itu pergi. Dan, anaknya ini tentu dak
beda jauh dari ibunya.
“Katakan sejujurnya!” kata Lung Shia datar, tapi memaksa Ching-ching tak dapat
berdusta lagi.
“Aku takut,” katanya. Ia menunduk.
“Pandang orang yang sedang bicara padamu!” perintah Lung Shia. “Dan jangan
pernah takut memandang orang yang kauajak bicara. Lihat matany! Sebab lidah bisa
berdusta, tetapi mata mengatakan yang sebenarnya.”
Ching-ching mengangkat kepalanya. Ia memandang Lung Shia tepat di mata. Ia ingin
tahu, mata itu mau bilang apa. Bagaimana caranya berbicara?
“Bagus! Sekarang kau tahu, apa yang nyaris bikin kau mati?”
“Rasa takut?” jawab Ching-ching ragu-ragu. “Tapi bagaimana bisa?”
“Ketakutan membuat orang lengah dan lupa akan akal. Itu yang menjadi ciri orang
lemah. Di sini kau akan diajari cara menghilangkan takut. Itu pelajaran pertama
bagimu.”
Lung Shia memberi isyarat kepada Siu Pek, lalu berdiri dan keluar dari kamar.
Siu Pek mengajak Ching-ching pergi, membawanya ke kamar lain. “Hari ini kau
boleh istirahat. Besok kau harus mulai pelajaranmu,” kata Siu Pek.
“Pelajaran apa?”
“Naik-turun tebing dengan ginkangmu!”
Esok harinya, bersama Siu Pek, Ching-ching berlatih di tebing. Pada awalnya ia
Ching Ching 70
masih ketakutan, tapi ia tak mau dianggap lemah. Jadi, ditekannya rasa takut itu
sebisa mungkin. Ching-ching sempat dua kali terpeleset. Untung Siu Pek sudah
waspada dan menolong. Kalau tidak, barangkali badannya sudah terbanting remuk ke
bawah. Menjelang tengah hari, Ching-ching sudah dapat turun-naik tanpa melakukan
kesalahan sama sekali.
“Ching-moay, kau pandai sekali,” puji Siu Pek. “Sekarang kau tak usah takut lagi
kalau mesti naik-turun.”
Ching-ching tersenyum. Ia merasa bangga.
“Hari ini sekian saja pelajaranmu. Sekarang kita istirahat dan makan dulu. Sudah
itu, kau akan kukenalkan pada saudara-saudaraku yang lain.”
“Ah ya, sedari kemarin aku belum pernah melihat mereka. Pada ke mana sih?”
“Mereka mengajar murid-murid tingkat dua dan tiga, tapi hari ini kau pasti
ketemu.”
Sambil berjalan pulang, keduanya bercakap-cakap, tak menyadari sepasang mata
mengawasi. Lung Shia keluar dari tempatnya sembunyi. Hmm, anak Lung Yin ini
tampaknya cukup berbakat, tapi bandel tak ketulungan. Mesti diawasi baik-baik.
Kalau tidak, gadis itu tak akan sanggup menamatkan pelajara.
Selesai makan, Ching-ching diajak menemui saudara-saudara seperguruannya. Mereka
berkumpul di satu kamar besar. Siu Pek mengenalkan saudaranya pada Ching-ching
satu persatu, tapi belum ia membuka suara, gadis itu sudah menyerobot.
“Wah, lihat semuanya, pakai baju berlainan warna. Pek-ie-cie, kau tak usah
kenalkan, aku sudah tahu siapa-siapanya,” Ching-ching nyerocos.
“Betul? Coba kau tebak, siapa namaku?” kata seorang gadis berbaju ungu. “Dan
murid keberapa aku?”
“Nama Cici pasti Siu Tien. Murid ketujuh, ya kan?”
“Tidak salah!” kata gadis dengan baju jingga. “Coba sebut namaku.”
“Cici Siu Chen, murid kedua.”
“Kalau suciku ini pasti kau tak tahu namanya,” kata gadis baju biru, mendorong
yang bajunya hitam. “Siapa nama kami berdua?”
“Siu Hek, murid ketiga, dan Siu Lan, murid keenam. Yang ini,” Ching-ching
menjura kepada gadis baju merah, “pasti Cici Siu Hung, murid pertama.”
“Wah, Siaw-moay, aku tak sangka kau ingat nama suci dan sumoyku dengan urutannya
sekalian,” kata Siu Pek kagum. “Aku sendiri tak ingat, kapan memberi tahu
kepadamu.”
“Apa anehnya?” tukas Siu Li sinis. “Tiap orang, kalau tidak buta, pasti dapat
kenali kita satu-satu.”
“Betul!” kata Ching-ching. “Tapi, orang buta pun pasti kenali Cici Siu Li yang
galaknya bukan main.”
Siu Li marah hendak mencubit. Tak disangkanya, Ching-ching menghindar gesit
sekali. Siu Li penasaran. Seperti biasa, kalau keduanya bertemu, pasti
kejar-kejaran.
Ching-ching berlari keliling ruangan, dikejar Siu Li. Untung, di ruangan itu ada
banyak yang menghalangi larinya Siu Li. Buat Ching-ching sendiri tidak masalah.
Badannya kecil. Ia bisa menyusup di mana-mana. Siu Li juga tak tahu ketika ia
bersembunyi di balik pilar. Keruan saja gadis itu terkejut ketika Ching-ching
keluar sambil berteriak mengagetkan dia. Saudara-saudara gadis galak itu tertawa
melihat kelakuan mereka. Siu Lan malah sampai jatuh terduduk di tanah.
“Haduh, aduh,” kata Siu Lan sambil memegangi perutnya yang sakit, karena tertawa
melihat Siu Li yang terjepit di kolong meja karena mencoba menyusul Ching-ching
lewat jalan yang sama. “Baru kali ini ada orang yang bisa mempermainkan engkau,
Ching Ching 71
Suci.”
Wajah Siu Li merah padam karena marah dan malu. Ia menggerakkan tangan, membikin
hancur meja kecil itu. Sambil berdiri mengebaskan baju, ia melotot ke arah
Ching-ching yang bersembunyi di balik punggung Siu Hung. “Awas kau nanti!”
ancamnya.
Ching-ching bukannya takut, malah meleletkan lidah. Siu Li pergi dengan amat
marahnya. Siu Lan masiht ertawa, harus dibantu berdiri karena badannya lemas
semua.
“Pantas Siu Li tampak sebal ketika bercerita tentangmu kemarin, Siaw-moay.
Rupanya kau senang menggodanya, ya,” Siu Hung menegur Ching-ching dengan harus.
“Sudah melihat, aku baru percaya cerita Siok Lan,” kata Siu Tien. “Katanya, di
kapal ada anak yang berani mengganggu Li Suci habis-habisan. Aku pikir dia
bohong. Mana ada orang yang sanggup menantangi Li Suci yang galak kelewatan
itu?”
“Ching-ching, kau harus menjaga kelakuanmu. Jangan keterlaluan. Nanti kau susah
sendiri,” kata Siu Hung.
“Ya. Siu Li, kalau membalas, tidak setengah-setengah,” tambah Siu Chen. “Tapi
aku tak yakin Siu Li akan sempat membalas.”
“Justru ia akan punya banyak waktu membalas,” bantah Siu Hung. “Kalian tahu apa
yang Guru katakan padaku kemarin? Ching-ching akan diajari oleh kita, murid
tingkat satu, secara bergiliran. Aku mengajar ilmu tendangan, Siu Chen ilmu
pukul, Siu Hek semadi dan tenaga dalam, Siu Pek ginkang. Siu Li mengajarkan ilmu
tombak, Siu Lan ilmu pedang, dan Siu Tien dengan selendang.”
Gadis-gadis itu terdiam. Ya, Siu Li bisa sadis kalau ia kesal. Diam-diam keenam
gadis di ruangan itu mulai suka pada Ching-ching yang berpembawaan lincah.
Mereka agak kuatir juga.
“Biarlah,” kata Ching-ching. “Kata orang-orang, aku ini bandel. Butuh dihajar
sekali-sekali. Cici semua tak usah kuatir. Aku akan hati-hati di hadapan Cici
Siu Li nanti.”
“Ya. Siu Li juga tak mungkin keterlaluan. Guru bisa marah-marah,” kata Siu Tien.
“Sudah, jangan kepikiran terus,” kata Siu Lan. “Siaw-moay, coba kau ceritakan
waktu kalian di kapal dulu. Siu Li Cie tidak pernah cerita.”
Dengan senang hati Ching-ching menceritakan semua. Sampai mentari silam, mereka
baru selesai berbincang-bincang.
Berbulan-bulan Ching-ching dilatih sucinya yang tujuh orang. Kecuali Siu Li,
semua sangat suka melatihnya karena, selain berbakat, Ching-ching juga pandai
mengambil hati orang.
Ching-ching sudah mengenal sucinya satu-satu. Siu Hung, sucinya pertama,
bijaksana sikapnya, sabar, pintar, lemah lembut, penyayang. Dari sucinya ini
Ching-ching belajar juga taktik perang.
Siu Chen, murid kedua, periang sifatnya. Badannya agak gemuk karena ia senang
makan dan suka memasak. Ching-ching menimba ilmu dapur darinya. Siu Chen agak
malas bergerak, sebab itu ia memilih keahlian melempar pisau, yang kemudian
diajarkan kepada Ching-ching.
Siu Hek adalah murid Lung Shia yang paling pendiam. Sikapnya dingin terhadap
siapa pun. Jarang-jarang bisa melihat senyum di wajahnya. Ching-ching paling
segan disuruh menghadap Siu Hek. Dalam mengajari, kalau Ching-ching berbuat
salah, Siu Hek tak pernah menegur. Cuma gerak alis dan pancaran matanyayang
menyatakan sesuatu. Karenanya, Ching-ching tak pernah mencoba main-main dengan
Siu Hek yang senang menyendiri. Hanya, kadang-kadang mereka bicara banyak kalau
Ching Ching 72
Ching-ching minta petunjuk Siu Hek dalam melukis. Dari Siu Hek juga Ching-ching
memperdalam ginkang.
Siu Pek dan Siu Li sudah dikenal, tak perlu dipercakapkan lagi.
Siu Lan, murid keenam, cepat sekali tertawa. Makin sering ia tertawa, makin
sering juga Ching-ching menggodanya. Siu Lan adalah pemburu ulung, pandai
menggunakan busur dan panah. Keahlian ini diajarkannya kepada Ching-ching dengan
suka hati, karena dengan demikian ia punya teman berburu. Selain senang berburu,
Siu Lan juga sayang sekali pada kuda dan dapat menunggangi binatang itu dengan
amat baik.
Siu Tien, murid ketujuh, susah ditebak sifatnya. Kadang periang, kadang suka
marah-marah tanpa sebab. Kadang cemberut berhari-hari, kadang baik sekali. Kalau
Siu Tien sedang uring-uringan, ia lebih baik tak dekat-dekat. Hal lain yang
menyebabkan Ching-ching enggan terlalu dekat dengan Siu Tien adalah ular-ular
berbisa peliharaan gadis yang selalu berpakaian ungu itu. Tapi, Ching-ching
selalut ertarik pada pengetahuan tentang racun yang dimiliki Siu Tien. Jadi,
kadang-kadang ia harus juga berteman dengan binatang-binatang peliharaan sucinya
itu.
Dari kesemua sucinya, cuma Siu Li yang sering marah padanya. Kalau memberi
latihan juga, Siu Li selalu menggembleng dengan keras. Terlalu keras, menurut
murid-murid yang lain. Untungnya, Ching-ching murid yang tabah, keras hati, pula
bertulang dan bakatnya besar. Semua gemblengan Siu Li dapat dijalani dengan
baik. Tapi, ia juga selalu punya cara menggoda sucinya yang pemarah itu.
Siu Li sangat pandai meniup suling. Alat musik kesayangannya terbuat dari bambu
wangi, yang kalau ditiup menebar bau wangi selain suara yang indah. Siu Li tak
pernah mau mengajarkan kepandaiannya ini kepada Ching-ching. Tapi, gadis cilik
yang cerdik itu sering dapat menjebaknya, sehingga tak sadar memberi tahu juga.
Kalau sudah begitu, tinggal Siu Li kesal, tak bisa menjaga mulutnya.
Setahun laanya Ching-ching digembleng sucinya. Anak iut telah dapat menguasai
pelajaran sampai tingkat tiga belas. Hampir menyamai semua sucinya yang
rata-rata sudah selesai tingkat delapan belas. Tapi, selama itu juga Ching-ching
tak pernah melihat Lung Shia. Baru setelah ia menamatkan tingkat empat belas, ia
bertemu dengan subonya itu.
“Ching-jie, sudah sampai sebagaimana tingkat kepandaianmu?” tanya Lung Shia
waktu memanggil muridnya.
“Sudah sampai tingkat empat belas, Subo,” jawab Ching-ching.
“Bagus. Kalau begitu, kau sudah bisa kudidik sendiri. Tetapi, kemarin aku
mendapat kabar dari kongkongmu, bahwa akan dikirim seorang guru sastra untuk
mengajarmu. Kau tahu, sebagai putri raja, kau haruslah terdidik. Tapi, bukan
berarti kau boleh mengabaikan pelajaran-pelajaran silatmu. Bisa jadi kau harus
bekerja dua kali lebih keras.”
“Teecu mengerti, Subo.”
“Bagus. Hari ini kau boleh main. Besok guru sastramu akan datang dan kau tak
bisa santai-santai lagi.”
“Teecu mohon diri dulu, Subo.” Ching-ching mengundurkan diri.
Sesampai di luar, ia mencari jalan bersenang-senang. Enaknya ngapain aku
sekarang? Berburu? Menggoda Siu Li Cici, menggambar, atau apa?”
“Ching-ching, awas senjata!” seseorang berteriak.
Ching-ching menoleh dan cepat menghindari senjata rahasia yang puluhan
jumlahnya, yang dilempar oleh Siu Chen. Ditangkisanya pisau-pisauyang
beterbangan. Semua dibuatnya menancap di sebatang pohon yang tumbuh tak jauh
Ching Ching 73
dari tempatnya berdiri.
“Tidak jelek, tidak jelek,” kata Siu Chen mendekat, memperhatikan pisau-pisaunya
yang menancap dan ternyata membentuk huruf menyebutkan namanya. “Wah,
Ching-moay, kau nakal sekali. Sekarang di pohon itu tertera namaku selamanya.”
“Salahnya,” kata Ching-ching sambil tertawa. “Siapa suruh menyerang orang dengan
mendadak.”
“Bukan menyerang. Aku cuma mau lihat, kau waspada tidak. He, Ching-moay, kata
Subo beliau akan mengujimu besok pagi. Kau jangan bikin malu aku ya.”
“Tak perlu kuatir,” kata Ching-ching menenangkan.
“Baguslah. Sekarang kita adu lempar pisau yuk.”
“Aku sedang tidak minat.”
“Bagaimana kalau makan saja?”
“Tidak lapar.
“Heh, kau berniat mempermainkan Li-moay lagi, ya? Tuh, dia sedang meniup suling
di sana. Siu Chen meninggalkan Ching-ching.
Begitu Ching-ching pergi menjauh, datang Siu Lan dengan wajah tegang.
“Ching-moay, kemarilah. Ambil busur dan panah ini.”
“Aduh, Suci, aku sedang tidak ingin latihan.”
“Besok kau akan diuji oleh Subo. Paling tidak, akuharus mencobai lebih dulu.”
Malas-malasan Ching-ching mengambil busur dan panah itu. Ia mengikuti Siu Lan
mendekati sebuah pohon, yang tergantungi sebuah sangkar burung dengan seekor
burung hitam di dalamnya.
Siu Lan memutar sangkar burung itu makin lama makin cepat. Jeruji yang berputar
membuat pertahanan kuat bagi burung di dalamnya. Ching-ching mengerti. Ia harus
memanah burung hitam jelek itu, tapi panahnya tak boleh membentur ruji.
Ching-ching mengangkat busur, memperhatikan sangkar burung yang berputar,
mencari saat yang tepat untuk melepaskan anak panahnya. Anak panah itu melesat
dengan cepat menuju sasaran, tetapi tidak berhenti, tentu saja menembus sangkar
itu.
Wajah Siu Lan memucat. Apakah panah Ching-ching hanya tembus begitu saja? Tidak
sedikit pun menyentuh burung di dalamnya? Astaga! Bagaimana pertanggungannya
pada subonya nanti?
Dengan lesu Siu Lan menghentikan putaran sangkar itu dan menurunkannya dari
pohon. Tapi, melihat isinya, Siu Lan malah menjerit senang. Burung di sangkar
itu telah mati dengan leher putus! “Ching-ching, ternyata kau melakukannya
dengan baik.”
“Ya, jawab Ching-ching lesu. Ia mengembalikan busur dan panah kepada Siu Lan.
“Hei, kau mau ke mana?” tanya sucinya.
“Main,” jawab Ching-ching. Padahal, ia sendiri tak tahu mau main apa. Tahu-tahu
ia melihat Siu Li. Melihat sucinya yang satu itu, timbul lagi isengnya. Ia
berlari mendapati sucinya, dan dengan gerakan kilat menyabet suling bambu dari
pinggang gadis itu. Siu Li bukannya tidak tahu kedatangan Ching-ching. Cepat
gadis itu berkelit, dan sulingnya pun aman sudah.
“Payah,” komentar Siu Li. “Gerakanmu sih lumayan cepat. Tak sia-sia Siu Hek Cici
mengajarimu.”
“Kalau sudah cepat, bagaimana kau bisa menghindari begitu gampang?” tanya
Ching-ching, kecewa pada diri sendiri.
“Lain kali, kalau mau menyerang orang secara diam-diam, jangan berisik.”
“Berisik apa? Tadi aku sudah menggunakan ginkang.”
“Ya, tapi terburu-buru. Buat orang seperti aku yang kupingnya terlatih, suaramu
Ching Ching 74
barusan ribut sekali. Dan besok, kalau kau buat begitu rupa di hadapan Subo,
bakal habis kau diomeli. Puas!”
“Suci, lantas aku mesti bagaimana?”
“Pakai otakmu memikirkannya!”
“Oh ya, aku nanti tinggal bilang, Suci tak becus mengajari dan giliran Suci yang
diomeli.”
“Mana boleh begitu?” Siu Li baru sadar. Memang dia yang ditunjuk gurunya untuk
mengajarkan ilmu Bla-bla-bla.
“Maunya begitu bukan?” kata Ching-ching sambil melipat tangan.
“Baik. Kalau begitu, kuberi kau petunjuk sekali lagi.” Siu Li menyeret sumoynya
ke kebun tempat terdapat sebuah balok memanjang agak tinggi di atas kepala. Di
balok itu terdapat tali-tali yang menjuntai. Di ujung tiap tali digantungi
balok-balok yang lebih kecil dan pendek. Angin yang bertiup di sekitar tempat
itu menyebabkan tali tipis yang diganduli beban bergoyang-goyang tak teratur.
Namun demikian, ternyata tali-tali itu cukup kuat juga, dan bergerak cepat dan
kencang pula.
“Kau lewatlah di sepanjang balok itu. Kalau selamat sampai di seberang, berarti
kau pantas dihadapkan pada Subo.”
“Mau ke seberang saja susah amat. Begini saja.” Ching-ching mernagkak lewat di
bawah balok yang bergelantung.
“Coba kalau begini. Ingin tahu, apakah kau masih bisa lewat.” Siu Li
membentangkan seutas tali kira-kira tiga jengkal dari tanah. Di bawah tali itu,
ditancapkannya beberapa potong bambu yang runcing ujungnya.
“Suci, apakah aku harus berjalan di tali ini?’
“Pakai juga otakmu,” kata Siu Li sinis. “Tunggu, kau harus pakai ini juga.”
Gadis itu menyodorkan secarik kain hitam, dan kemudian mengikatkannya di kepala
Ching-ching, menutupi mata bocah itu.
“Suci, apakah ini mesti?”
“Ya, kalau kau tak mau diomeli Subo besok.”
Sambil mengeluh, Ching-ching naik juga ke tali itu. Ia terpaksa berjalan
pelan-pelan. Ia harus hati-hati menggunakan ginkang dan keseimbangan untuk
berjalan di atas tali, tapi juga harus berkonsentrasi mendengar gerakan tali
yang panjangnya tidak tentu, kalau tak mau terhajar kayu dan jatuh ke bawah,
tempat bambu-bambu runcing sudah menanti dan sedikitnya pasti bikin lecet kaki.
Buk! Sebuah kayu membentur kepala Ching-ching.
“Aduh!” gadis itu berseru kaget dan tidak menyangka perkiraannya meleset. Ia
melempar diri untuk menghindari bambu dari bawah.
“Tolol! Konsentrasi! Kosongkan pikiran! Ayo, ulang dari depan!”
“Ngoceh sih gampang!” gumam Ching-ching kesal. Biarpun dengan hati mendongkol,
ia ulangi juga ujiannya. Kali ini ia lewat dengan mulus.
Akan tetapi, Siu Li belum puas. “Kurang cepat!”
“Ngoceh melulu! Mending kalau sendirinya lebihb aik!”
“Tentu saja lebih baik. Coba lihat!” Siu Li menutup mata dan melompat ke atas
tali.
Diam-diam Ching-ching menjauh dari sucinya.
“He, mau ke mana?” tanya Siu Li yang mendengar langkah.
“Di sini panas. Aku mau ke sana yang agak teduh.” Ching-ching sengaja memilih
tempat agak jauh.
“Ching-ching, kau lihatlah!”
“Iya, dari tadi juga lihat,” sahut Ching-ching. Ia menunggu sampai Siu Li sampai
Ching Ching 75
di tengah tali, lalu cepat gadis bandel ini memanjat pohon besar tempat ia
berteduh. Sambil bertolak pada dahan pohon yang kuat, ia melompat pergi sambil
mengerahkan ginkang. Ia berpoksai lima kali di udara, sebelum dirasanya Siu Li
tak mungkin lagi mendengar jejak langkahnya di tanah. Lantas, ia kabur
cepat-cepat.
Ching-ching tak berani berhenti seblum sampai di kaki sebuah bukit batu. Ia
menempelkan telinganya ke tanah. Tak ada suara orang mengejar. Bagus!
Paling-paling Siu Li, sucinya yang galak itu, sedang menyumpah-nyumpah
sendirian.
Ching-ching mendaki bukit batu itu. Di puncaknya ada sebuah tempat datar
berumput. Itulah tempatnya sembunyi kalau kabur dari suci-sucinya saat belajar
silat. Dengan ginkang, sebenarnya ia bisa sampai ke atas sekali lompat, tapi
tidak seru jadinya. Ia lebih suka memanjat dengan cara biasa.
Sesampainya di atas, nyaris Ching-ching terbanting lagi ke bawah melihat siap
yang sudah duluan di sana. Untung ia sempat melompat tinggi dan mendarat mulus
di rumput tebal.
“Ching-ching, kabur dari siapa kali ini?”
“Cici Siu Hek!” Ching-ching menjatuhkan diri ke rumput. “Suci, kau jangan uji
aku lagi. Aku sudah capek dkerjai Cici Siu Li, Siu Chen, dan Siu Lan. Kalau
disuruh lagi, aku bisa mati kecapekan. Latihan sehari tiga kali, masak belum
cukup.”
Siu Hek menggelengkan kepala melihat kelakuan sumoynya, tapi ia tak
berkata-kata.
“Suci, apakah kau marah padaku?”
“Tidak,” jawab Siu Hek singkat.
“Lantas, kenapa diam saja?”
“Apakah biasanya aku bawel?” Siu Hek balas menanya.
Ching-ching menggeleng. “Suci malah paling pendiam dari semua. Aku sampai takut
kadang-kadang.”
Siu Hek tersenyum saja menanggapi kata-kata Ching-ching.
Tidak diajak bicara, Ching-ching juga malas bercakap-cakap. Ia merebahkan
badannya ke rumput yang tebal. Sebentar saja ia sudah pulas.
Siu Hek heran melihat sumoynyayang biasa cerewet tahan berdiam diri. Melihat
Ching-ching tidur pulas, ia pun tak mau mengganggu. Dipandangnya saja wajah
sumoynya yang tengah pulas. Sumoynya ini memang manis kalau sedang tidur. Lain
dengan tingkahnya waktu terjaga. Bandelnya luar biasa. Tapi, dari semua saudara
seperguruannya, cuma Ching-ching juga yang berani mendekatinya. Yang lain tampak
segan mendekat, tak terkecuali sucinya, bahkan gurunya sendiri.
Siu Hek bukannya suka tiada berteman, tapi sejak kecil ia tak pandai bergaul.
Kalau tak didekati, tak mau mendekat duluan. Ia juga tak pandai bicara, sehingga
lebih suka tutup mulut daripada bercakap-cakap. Yang lain sering mengira ia tak
mau mendengar, disebabkan tak suka menanggapi. Pelan-pelan mereka pun menjauh.
Tinggal Ching-ching seorang yang tidak bosan menemaninya. Ia juga yang suka
mengoceh macam-macam tentang semua hal. Siu Hek jadi tidak kesepian lagi.
Hari ujian Ching-ching sudah tiba. Ching-ching dan ketujuh sucinya menunggu
kedatangan guru mereka. Kentara sekali ketegangan di antara mereka. Tidak cuma
Ching-ching, semua sucinya pun berdebar-debar.
Lung Shia mengajak semua muridnya ke sebuah lapangan. Ia membawa sebuah patung
kayu dan memberi kepada Ching-ching sebuah busur dan anak panah. “Aku nanti akan
berjalan mengelilingimu dan kau harus memanah patung kayu ini dan
Ching Ching 76
menghancurkannya dengan lweekangmu lewat panah yang kaulepaskan.”
Ketika Ching-ching mengangguk tanda mengerti, Lung Shia mulai bergerak mengitari
gadis itu dari jarak kira-kira tiga tomak. Ching-ching cepat merentang busur. Ia
memperhatikan Lung Shia yang bergerak makin cepat dan makin cepat, sehingga yang
kelihatan bayangan orang yang seperti ratusan banyaknya. Ching-ching bingung
sendiri, tak tahu mana Lung Shia yang asli.
“Huh!” terdengar dengusan sinis.
Ching-ching mengenali suara itu. Cuma Siu Li yang bisa mendengus macam itu.
Seketika ia ingat lagi pelajaran dari sucinya yang galak.
Ching-ching tidak lagi ikut berputar-putar. Ia diam, memandang ke satu arah.
Ditajamkannya telinga. Ha! Sekarang ia tahu ada di mana Lung Shia. Kupingnya
sudah menangkap gerakan subonya itu. Ditunggunya Lung Shia sampai berada di
samping kanan, barulah ia melepas anak panah. Anak panah itu melesat tanpa
berhenti terus, sampai menancap ke sebuah pohon. Lantas, anak panah itu runtuh
jadi debu.
Lung Shia menghentikan tindakannya. Patung kayu masih berdiri di tangannya, tapi
begitu ia benar-benar berhenti, patung itu bernasib sama seperti anak panah yang
dilepas. Runtuh jadi abu!
“Horeee!” tak sadar Siu Lan bersorak, tapi ia langsung berhenti melihat muka
subonya yang dingin.
Gurunya itu membungkuk, memungut sesuatu dari tangah, memperlihatkannya pada
Ching-ching. Ternyata benda itu adalah serpihan kayu yang belum hancur, besarnya
tak lebih dari seruas jari. Namun, cukup membuat Lung Shia tak puas. “Lweekangmu
kurang sempurnya,” katanya kepada Ching-ching.
Gadis itu menunduk, sambil matanya melirik Siu Hung dengan perasaan bersalah. Ia
memang palings ering kabur dari pengawasan sucinya pertama. Bocah yang memang
lincahitu tak pernah mau siu-lian lama-lama untuk mengumpulkan tenaga.
Kiranya cuma itulah satu-satunya kegagalan Ching-ching hari itu. Ujian lain
dapat ia lewati dengan baik, sehingga membuat Lung Shia sungguh-sungguh puas,
bahkan dalam ujian senjata di mana Ching-ching harus menggunakan barang yang
macam-macam untuk senjatanya. Bahkan rumput sekalipun mesti digunakan untuk
senjata.
Malam harinya, saat semua ujian sudah terlewati, Lung Shia mengajak Ching-ching
ke kamarnya. Tidak seperti biasanya, ia mengusir semua yang ada di kamarnya,
sehingga tinggallah mereka berdua.
“Ching-jie, apakah kau senang tinggal di sini?”
“Senang, Subo.”
“Tidak bosan?”
“Belum.”
Lung Shia mengetahui maksud bocah sepuluh tahun ini dengan jawabannya itu. Kalau
Ching-ching mengatakan tidak, berarti ia bohong. Sebab, mana tahu kalau di masa
mendatang ia merasa bosan? Diam-diam Lung Shia tertawa dalam hati. Sebenarnya
jawaban Ching-ching agak lancang. Tapi ia tak peduli. Bukankah dulu waktu muda
ia sendiri juga tak peduli segala macam basa-basi? Lung Shia semakin menemukan
kemiripan Ching-ching dengan dirinya semasa kecil. “Ching-jie, benarkah kau
senang belajar silat?”
“Senang, Subo.”
“Inginkah kau menjadi ahli silat?’
“Tentu.”
“Kenapa?”
Ching Ching 77
“Sebab, kalau jadi ahli silat, pasti jadi terkenal, banyak yang menghargai, dan
tak ada orang yang berani mengganggu. Bisa menolongi banyak orang dan berbuat
banyak jasa.”
Lung Shia mengangguk-angguk. “Lalu, sudah puaskah kau dengan kepandaianmu yang
sekarang?”
Ching-ching menggeleng. “Bukankah Subo sendiri yang bilang, kalau ilmuku belum
sempurna?”
“Kau benar. Lantas, kalau sudah sempurna?”
“Kalau masih ada tingkatan yang lebih tinggi, ya belajar lagi.”
“Bagus. Sekarang aku tak ragu lagi mengajarkan padamu. Ching-ching, kau
ketahuilah. Beberapa tahun ini aku sering menyendiri, tak lain adalah untuk
memecahkan rahasia suatu ilmu yang disebut Thian-lie-sin-kun (Ilmu silat sakti
bidadari). Dan baru kemarin aku berhasil mengerti kesemuanya. Aku ingin
mengajarkan kepada murid-muridku. Namun, yang paling berbakat di antara mereka
sudah mencapai tingkat sempurna. Padahal, untuk mempelajari ilmu ini, tidak
boleh menimpa ilmu lain. Dua tenaga sempurna dapat bertentangan. Akibatnya,
kalau bukan hilang ingatan, malah tewas sekalian.”
Ching-ching bergidik. Melihat Lung Shia diam memperhatikan, ia tahu apa yang
dipikirkan subonya itu. “Subo, maksudmu, aku yang harus mempelajarinya?”
Lung Shia mengangguk. “Kau suka?”
“Tidak tahu,” kata Ching-ching. Ia senang bisa mempelajari ilmu baru, tetapi
ngeri juga. Memang ia belum sempurna menguasai ilmunya yang sekarang, tapi kalau
seandainya untuk mempelajari ilmu baru, kepandaian lama mesti dimusnahkan,
sayang juga.
“Jangan kuatir,” kata Lung Shia yang dapat membaca hati muridnya. “Kau tak usah
takut kepandaianmu musnah. Dan kau juga tak akan sinting atau tewas. Tentunya,
asal kau mau belajar sungguh-sungguh, sehingga tak salah jalan, maka semua akan
beres.”
Mendengar itu Ching-ching tak ragu lagi. “Kalau demikian, Teecu akan senang
sekali mempelajari Thian-lie-sin-kun,” katanya bersemangat.
Lung Shia tersenyum dalam hati melihat betapa Ching-ching bersemangat demikian.
“Hari ini sudah cukup melelahkan. Kau lebih baik pergi beristirahat.”
Setelah mohon diri pada subonya, Ching-ching berjalan ke kamar. Asyiiik, bosk
dia akan belajar ilmu baru. Ia tak usah lagi diawasi sucinya. Apalagi Siu Li
yang galak. Tapi, ia kan masih dapat bertemu mereka setiap hari.
Ternyata Lung Shia mendidik Ching-ching lebih keras daripada murid-muridnya yang
lain. Celakanya, tidak seperti ketika diawasi sucinya, kali ini Ching-ching
tidak dapat kabur dari subonya. Tapi, kepandaiannya jadi cepat sekali bertambah.
Apalagi, pada dasarnya, ia memang berbakat besar. Maka, dalam waktu tiga bulan
saja, ia sudah menguasai puluhan jurus.
Lewat tiga bulan, datanglah guru sastra yang dikirim oleh Lung Fei. Seorang
laki-laki kira-kira lima puluh tahun umurnya. Wajahnya tidak seperti yang
dibayangkan Ching-ching. Dikiranya ia akan bertemus eorang yang lucu berkumis
dan mudah dipermainkan seperti Meng Sian-seng dulu. Ternyata, yang ditemuinya
justru kebalikannya sama sekali.
Gurunya ini memang berkumis dan bercambang yang terpelihara baik dan justru
menambah kegagahannya. Tidak seperti kebanyakan guru sastra yang menurut
Ching-ching lembek, gurunya yang ini sepertinya lebih pantas sebagai seorang
ho-han.
Lung Fei membangun sebuah rumah kecil di kaki tebing. Lung Shia tidak
Ching Ching 78
mengizinkan Liu Shen, guru baru itu, menginjak tanah perguruannya di atas
tebing. Terpaksa Ching-ching yang bolak-balik setiap hari naik-turun tebing
untuk belajar sastra.
Pada mulanya Ching-ching malas-malasan. Ia sering mencoba kabur dari Siu Shen.
Lung Shia, yang kemudian memergoki Ching-ching, lantas mengirim Siu Hek untuk
mengawasi. Sekarang Ching-ching tak mungkin bolos lagi.
Lui Shen juga tahu cara mengatasi bocah bandel ini. Ia tidak memaksakan
Ching-ching belajar. Seringkali ajaran yang ia berikan seperti obrolan biasa
saja. Ketika Ching-ching mulai tertarik, barulah diberinya pengajaran yang
sungguh-sungguh. Lui Shen, yang juga dari Tion-goan asalnya, sering pula
menceritakan kepahlawanan para pendekar di sana. Ini yang membuat Ching-ching
betah diam berlama-lama di tempat Liu Shen. Dalam waktu singkat, hubungan
Ching-ching dan gurunya sudah teramat dekat. Dan ternyata Ching-ching tidak
hanya berbakat dalam bu. Dalam soal bun ia juga punya bakal besar, hal yang
membuat Liu Shen bertambah sayang padanya.
Tahun kedua lewat sudah. Sebelas tahun kini umur Ching-ching. Dengan dua macam
ilmu yang digabungkan, kepandaian gadis itu hampir menyamai ketujuh sucinya.
Hanya saja, selama ini ia belum pernah pergi dari lingkungan pengawasan Lung
Shia. Padahal, Ching-ching sudah bosan sekali. Semua daerah di tempat itu sudah
ia ketahu. Tak ada lagi tempat bermain yang menarik.
Tapi, pada suatu hari, datanglah kesempatan. Lung Shia menerima kabar dari
kakaknya, bahwa terjadi pemberontakan suku Nam di utara. Abangnya itu ingin agar
ia, sebagai panglima wanita, datang dalam pertemuan membahas masalah ini di
istana.
“Ini kesempatan baik,” kata Lung Shia kepada murid-muridnya. “Aku ingin tahu,
bagaimana Ching-ching menghadapi lawan.”
“Tapi, Subo, dia baru sebelas tahun,” kata Siu Pek.
“Apa salahnya sebelas tahun?” bantah Siu Li. “Semakin muda digembleng, semakin
bagus nanti jadinya.”
“Siu Li benar,” Lung Shia setujui pendapat muridnya. “Ini kesempatan bagi
Chingching mempraktekkan apa yang diketahuinya. Selama ini, ia cuma latihan
saja. Kita tidak tahu benar-benar, apakah ia sudah mahir atau belum.”
Ching-ching merasa senang ketika diberi tahu bahwa ia boleh ikut ke medan
perang. Ia girang sekali. Cepat ia berlari ke kaki tebing, memberi tahu Liu
Sian-seng. Tidak seperti yang diharapkan, gurunya itu tidak tampak gembira. Bisa
dikata murung malah. Ching-ching mengira gurunya sedih karena akan ditinggalkan.
“Sian-seng jangan kuatir,” katanya. “Hek Suci tidak ikut pergi. Nanti kupesankan
kepadanya supaya ia menemani Sian-seng tiap hari.”
“Tidak perlu,” kata Liu Shen, terharu akan perhatian muridnya. “Aku tak mau
sucimu terepotkan. Lagipula, tak baik seorang laki-laki berduaan dengan seorang
gadis.”
“Kalau dengan murid kok boleh?”
“Kau kan masih kecil.”
“Kenapa sih di mana-mana aku dikatai masih keciiil terus,” protes Ching-ching.
“Lantas, kapan besarnya?”
“Baiklah, jangan barah. Kau sudah besar kalau tidak bandel lagi.”
“Memangnya aku bandel?”
“Ya.”
“Ya sudah. Memang bandel dari dulu. Watak orang susah diubah.”
“Kalau mau, tentu dapat.”
Ching Ching 79
“Tetap saja susah.”
“Sudahlah, jangan meributkan soal itu lagi.”
“Sampai lupa. Aku kemari mau pamitan padamu.”
“Jaga dirimu. Pulang dengan selamat ya.”
“Sianseng juga jaga diri baik-baik. Aku tak mau pulang lantas menemui kau tidak
sehat.”
Liu Shen mengangguk-angguk. Habis itu, Ching-ching cepat kembali ke puncak
tebing. Gurunya memperhatikan saja dari jauh. Mudah-mudahan anak itu diberkati
Buddha dan dapat pulang dengan selamat.
Lung Shia tidak terlalu lama di istana membahas masalah. Wanita pemberani itu
langsung mengajukan diri menjadi panglima misi tersebut dan murid-muridnya
menjadi perwira. Kecuali Ching-ching, tentunya.
Lung Fei sebenarnya tak mengizinkan cucunya ikut-ikutan, tetapi Ching-ching
memaksa. Lung Shia mendesak pula. Dengan berat hati, diizinkan jugalah mereka.
Tidak buang waktu lagi, Lung Shia menyiapkan pasukan untuk segera menumpas
pemberontakan suku Nam di utara.
Sha Ie adalah sebuah negara yang membawahi banyak suku-suku kecil. Di setiap
suku diangkat seorang ketua yang mesti mengurus daerah sendiri. Selama ini,
mereka sudah cukup puas hidup demikian, kecuali suku Nam. Suku yang jumlah
penduduknya cukup banyak itu tinggal di ujung utara Sha Ie yang berbatasan
dengan Mongol. Suku yang senang berperang ini tidak puas diberi wilayah tetap.
Mereka ingin menguasai seluruh daerah, seperti juga suku-suku Mongol yang
mengembara. Ini tentu mengganggu suku lain, sehingga mereka mengadu ke ibukota.
Sampai ke wilayah yang mulai dikuasai suku Nam tidaklah mudah. Lung Shia dan
seluruh pasukannya mesti melewati padang gurun luas berhari-hari. Tak heran
kalau mereka kerepotan membawa banyak perbekalan.
Pada akhirnya, mereka sampai juga di tujuan. Setelah semua tenda terpasang dan
semua beristirahat, semangat mereka pulih kembali. Lung Shia dan murid-muridnya
mulai merencanakan penyerangan. Mreka memperhitungkan kekuatan musuh dan dengan
teliti menyusun rencana penyerbuan. Ching-ching memperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Ternyata, praktek lebih menyenangkan dari segala macam teori
yang bikin pusing itu.
Hari yang ditentukan tibalah sudah. Penyerangan dilakukan terhadap perkampungan
yang diduduki suku Nam. Yang diserang tidak tinggal diam. Mereka melawan. Yang
tua-muda, laki-laki dan perempuan. Bahkan anak-anak semua bertempur gagah
berani. Melihat perlawanan yang hebat, Lung Shia salut juga. Tapi, terhadap suku
pemberontak ini, ia tidak boleh lemah hati, supaya tidak mendatangkan petaka di
kemudian hari. Ia memerintahkan pasukannya untuk membunuh semua suku Nam tanpa
pandang bulu. Pokoknya, dibasmi seluruhnya, tak peduli anak-anak.
Ching-ching menonton agak jauh. Ia termasuk dalam regu panah, yang memang tak
perlu terlalu dekat. Gadis cilik ini, walaupun ilmunya sudah tinggi, namun baru
sekali melihat pembantaian besar-besaran seperti itu. Tak sadar ia begidik.
Tangannya gemetaran. Pikirannya kacau. Karenanya, ia tak dapat memanah dengan
baik. Ia tak tahan lagi. Ia berlari pergi, keluar dari kelompoknya. Duduk
menyendiri agak jauh. Panahnya ditinggalkan. Ia mencoba menguatkan hati.
Tiba-tiba ia mendengar suara berkeresek di dekatnya. Kupingnya yang terlatih
dapat mendengar meskipun suara pertempuran masih amatlah ramainya. Gadis ini
cepat bersiaga dan menoleh. Dilihatnya sebuah mata panah menyembuh dari
semak-semak. Sebagai ahli panah yang baik, ia dapat segera menentukan dari
kelompok mana asal panah ini dan siapa yang menjadi sasaran. Itu adalah mata
Ching Ching 80
panah suku Nam. Dapat dibedakan karena ukurannya lebih besar daripada mata panah
prajurit Sha Ie. Dan sasaran panah itu tak lain jantung Siu Pek. Sucinya yang
sedang bertempur!
“Jangan!” teriak Ching-ching sambil menerjang semak-semak asal panah itu. Tapi
terlambat. Anak panah sudah meluncur ke sasarannya meskipun agak melenceng
arahnya. Mata panah itu menancap di lengan Siu Pek. Setidaknya, nyawa gadis
berbaju putih itu terselamatkan.
Dengan marah, Ching-ching menyeret keluar orang yang bersembunyi di semak-semak
itu. Ternyata adalah seorang anak laki-laki sebayanya. Ching-ching merebut busur
di tangan anak itu dan mematahkannya menjadi dua potong dengan sebelah tangan.
Melihat busurnya patah, anak laki-laki itu menggereng dan langsung menyerang
membabi-buta. Ching-ching menangkis dan membalas. Lawannya malah bertempur
nekad, tapi tak jadi masalah bagi gadis cilik ini. Sebentar saja, ia berhasil
menotok, sehingga lawannya tak punya daya lagi.
“Berani kau mencoba bunuh suciku! Rasakan akibatnya!”
“Masa bodoh dengan sucimu. Aku mau bunuh semua orang kerajaan, kau mau apa? Mau
bunuh? Bunuhlah! Aku, Ku Mang, tak takut mati.”
“Banyak lagak!” gerutu Ching-ching. Ia menyeret bocah itu ke kelompoknya. Lupa
kalau tadi ia meninggalkan tempat pertempuran. Sekarang ia justru pulang membawa
tawanan.
Pertempuran itu berlalu dengan dimenangkanoleh kerajaan. Lung Shia sungguh puas
melihat tak satu pun suku Nam yang masih hidup. Ia sungguh kaget waktu
Ching-ching membawa tawanan kepadanya.
“Subo, dia ini tadi mau membunuh Cici Siu Pek.”
Tadinya Lung Shia mau turun tangan sendiri, tapi ia sudah mendapat laporan dari
Siu Lan bahwa Ching-ching belum merobohkan musuh seorang pun. Ia tak percaya
muridnya lemah hati.
“Ini sebuah belati. Bocah ini tawananmu. Kau boleh membunuh dia untuk negara,
atau melepaskan dia. Terserah!” katanya.
Ching-ching tercengang mendengar ucapan gurunya. Ia memang sangat marah pada
bocah yang dibawanya ini. Ia berharap gurunyalah yang turun tangan. Tapi,
gurunya malah melimpahkan hal itu kepadanya. Apa kini yang harus dilakukan?
Gadis itu menggenggam belati yang diberikan gurunya erat-erat. Bunuh, jangan,
bunuh, jangan. Ia belum pernah membunuh orang sebelumnya. Bagaimana rasanya
membunuh orang? Apakah sedih? Seperti waktu ibu angkatnya mati?
“Kau sudah mengambil putusan?” gurunya mendesak. “Jangan buang waktu.”
“Ya, Teecu sudah mengambil putusan,” kata Ching-ching mantap. Apalah yang bisa
dilakukan anak umur sebelas tahun seperti anak laki-laki ini di hadapan gurunya,
pikirnya. Ia pun melepas ikatan yang melilit bocah sebayanya itu.
Anak laki-laki itu memandang tak percaya. Setelah susah-payah menangkap, ia
dilepas begitu saja? Bocah yang sejak kecil diajar bertindak keras itu menyangka
gadis di depannya ini miring otaknya atau … cari mati. Ya, mati. Dan ia akan
mengabulkan harapannya.
“Heaa …” anak laki-laki itu menyambar belati di tangan Ching-ching,
menusukkannya ke tubuh gadis itu.
Seperti kebiasaan saat latihan, kalau ada orang menyerang dengan senjata,
Ching-ching selalu menangkap pergelangan penyerang, memuntir dengan satu tangan,
merebut senjata, dan mengayun senjata di tangannya ke depan.
Darah muncrat membasahi tangan Ching-ching. Gadis itu terbengong memandangi
tubuh bocah yang ambruk di hadapannya, kemudian memandang pisau itu pada gurunya
Ching Ching 81
kemudian melangkah pergi. Siu Li mengejarnya dari belakang.
“Subo.” Siu Pek yang terluka melirik kuatir pada Ching-ching. “Barangkali ia
belum kuat.”
“Siapa bilang? Ia tidak pingsan atau menjerit-jerit. Artinya dia mampu. Kita tak
boleh memanjakannya lagi mulai sekarang. Aku tak mau ia menjadi lembek macam
kongkongnya.”
Ching-ching berjalan ke sungai kecil, tak jauh dari sana. Di sungai dangkal
berbatu itu, ia mencuci tangannya. Air sungai itu menjadi merah sebentar, lalu
kembali bening.
“Hei, bagaimana rasanya habis membunuh orang?” tanya Siu Li.
“Biasa,” jawab Ching-ching.
“Berapa orang yang kaubunuh hari ini?”
“Satu. Mati!”
“Kau ini kerasukan atau apa? Dibunuh, ya mati dong, tolol.”
“Iya. Mati.”
Siu Li mencipratkan air yang dingin ke wajah Ching-ching. “Kau tak apa-apa?”
tanyanya kuatir.
“Tidak.”
Waktu pulang ke tendanya, Lung Shia sudah ada di dalam tenda Ching-ching. Ia
menanyakan hal yang sama dengan Siu Li. Dijawab tak berbeda pula.
“Bagus, kalau begitu. Lain hari, kau ingatlah. Jangan lepaskan seorang pun
lawanmu. Kau bisa mati konyol karenanya. Dan jangan pernah kau menyesal membunuh
orang yang bersalah kepadamu. Mengerti? Jangan menjadi orang yang lemah!”
“Ya, Subo.”
“Bagus. Kau tidurlah. Besok kita akan kembali ke istana.”
Esoknya Siu Pek berkuda di sebelah Ching-ching yang tampak murung. Tidak seperti
waktu pergi, tanya itu-ini, cerewet sekali. “Ching-moay, kau sakit?” tanya gadis
berbaju putih itu.
“Tidak.”
“Murung? Ada pikiran yang mengganggumu? Barangkali soal kemarin?” Siu Pek
menghela napas sebelum berkata. “Membunuh orang pertama kali memang agak berat.
Tapi, pada saat ini, hal tersebut adalah soal biasa. Kalau kita tidak membunuh,
kita yang terbunuh. Kemarin kau sudah buktikan, bukan? Sudahlah, jangan banyak
dipikir. Kau baru membunuh satu orang, sudah cemberut. Aku sudah laksaan. Kalau
aku sepertimu, bisa cepat ubanan. Tersenyumlah.kau sungguh jelek kalau cemberut
terus-terusan.”
Agak terpaksa, Ching-ching tersenyum juga.
“Janji ya. Jangan pikir-pikir hal itu selama di jalan.”
“Ya, Suci.”
Ching-ching menepati janji. Ia berusaha melupakan hal itu. Tak sampai sehari, ia
sudah berlaku seperti biasa. Bawel dan agak banyak tingkah. Diganggunya Siu Li
habis-habisan. Dibuatnya kuda gadis baju hijau itu mabur kalang-kabut.
Lung Shia yang melihat berlagak tidak tahu. Bagus, kalau muridnya sudah kuat
hati. Tapi, ia harus menggembleng lebih banyak lagi, supaya benar-benar kuat tak
tergoyangkah. Ia akan minta izin abangnya untuk membasmi semua pemberontak, dan
Ching-ching akan diajaknya serta.
Pulang ke istana, Lung Fei yang sudah kanget pada cucunya tidak mengizinkan
Ching-ching buru-buru kembali ke perguruan. Ia menahan Ching-ching beberapa
lama. Lung Shia juga tak ingin meninggalkan muridnya sendirian. Ia ikut menemani
di gedung mewah itu, sementara murid-muridnya yang lain pulang.
Ching Ching 82
Selama di istana, Ching-ching banyak bersenang-senang dengan kakeknya. Ia sering
mengajak kakeknya memancing atau mengejar kupu-kupu. Pokoknya, segala macam
permainan yang jarang bisa dilakukan orang istana.
Lung Fei juga amat sayang pada Ching-ching. Ia juga senang pada permainan yang
aneh-aneh. Cucunya ini memang tak peduli pada segala macam aturan. Berbeda
dengan Chin Yee, yang semua tingkah lakunya sangat baik, sesuai tata cara
mereka. Herannya, Lung Fei justru tidak suka. Tingkah laku Chin Yee selalu
mengingatkan bahwa ia adalah seorang raja yang mesti diatur kelakuannya.
Sebaliknya, bersama Ching-ching, ia benar-benar bisa merasakan bahwa ia adalah
seorang kakek.
Tak berapa lama, sebelum Lung Shia dan muridnya kembali, datanglah berita bahwa
ada keributan di Utara. Mongol, yang menganggap suku Nam sebagai bagian dari
mereka, marah, hendak balas menyerbu ke Sha Ie.
Lung Shia sebagai panglima tak tinggal diam berlama-lama. Ia mendesak abangnya
memberi izin pergi, menghadapi bangsa Mongol itu. Dan Lung Fei tak kuasa
mencegah adiknya. Maka, jadilah Lung Shia dan murid-muridnya kembali memapaki
pasukan Mongol.
Pasukan Mongol ternyata tak bisa dianggap enteng. Siasat perang mereka pun tidak
jelek, walaupun lebih mengandalkan jumlah prajurit yang nekat dan berani
mati—berbeda dengan Lung Shia yang mengutamakan keselamatan prajuritnya dan
mengusahakan supaya jumlah korban tidak banyak. Untuk itu, semuanya direncanakan
baik-baik.
Tapi, justru perhitungan Lung Shia jauh dengan apa yang terjadi. Pasukan Mongol
selalu menyerang pada saat kedudukan prajurit Sha Ie lebih kuat. Serangan ini
tentu saja tidak diduga. Lung Shia tidak mengira, Mongol lebih mengutamakan
kemenangan, biarpun harus mengorbankan sekian ribu prajuritnya. Karena itulah,
walaupun Lung Shia masih selalu menang dalam peperangan, jumlah prajuritnya
menyusut banyak.
Sampai pada suatu ketika, saat Lung Shia dan murid-muridnya sedang merundingkan
siaasat menghadapi lawan, datang laporan dari anak buahnya.
“Lapor, Panglima!” kata prajurit yang datang.
“Ada apa?” tanya Lung Shia, agak kesal karena rundingan mereka terpotong.
“Pengiriman ransum kita dicegat pasukan Mongol.”
“Kurang ajar!” Lung Shia menggebrak meja. “Rupanya, diam-diam Mongol mengitari
perkemahan kita dan mencegat di selatan.”
“Celaka!” Ching-ching, yang sedari tadi cuma mendengarkan guru dan sucinya,
bicara kini ikut-ikutan. “Eh, prajurit ransum yang tersisa bisa dipakai seberapa
lama?”
“Paling lama empat hari.”
“Huaduh!” Ching-ching mengeluh. “Sungguh celak! Sudah pengiriman ransumnya
terlambat, kini dicegat orang pula. Mana lagi kita tak ada persiapan untuk
kelaparan. Payah!”
“Kapan pengiriman ransum berikut?”
“Bulan depan.”
“Waaah.” Ching-ching sudah mau mengomel lagi, tapi mulutnya langsung rapat,
melihat gurunya melirik.
“Kalau begitu, kirimkan kabar ke ibukota supaya mengirim ransum sekali lagi,”
Lung Shia memberi perintah. “Dan, selama menunggu ransum datang, semua orang di
perkemahan makan bubur saja. Semua, kataku!”
Si prajurit langsung mengundurkan diri, menjalankan titah panglimanya.
Ching Ching 83
Enam hari sudah berlalu sejak Lung Shia mengeluarkan perintahnya. Tiap orang di
perkemahan sudah bosan dengan bubur yang tak cukup mengganjal perut yang lapar.
Begitupun Ching-ching, yang senasib dengan prajuritnya. Ia mengomel kepada Siu
Pek. “Makin hari, bubur ini makin encer saja,” gerutunya. “Kalau ransum tidak
datang juga, lama-lama kita makan air juga. Subo juga sih. Kenapa kita yang
pangkatnya lebih tinggi mesti ikutan makan bubur? Padahal, kalau mau, kita boleh
mendapatkan nasi."
“Ching-moay, Subo sudah melakukan hal yang benar. Sebagai pemimpin, beliau tidak
cuma tahu enaknya saja, tapi juga mau sama-sama merasakan penderitaan. Begitulah
watak pemimpin sejati. Kau ingatlah kelak, kalau sudah menggantikan menjadi raja
di Sha Ie.”
Penjelasan Siu Pek singkat saja, tetapi Ching-ching memahaminya. Sejak itu ia
tak mengomel lagi. Ia ingin belajar menjadi pemimpion sejati mulai sekarang. Ia
juga tidak mengeluh waktu pada akhirnya seisi perkemahan mesti menahan lapar
karena ransum belum juga dikirimkan.
“Ini sungguh bahaya,” kata Lung Shia waktu berunding kembali dengan
murid-muridnya. “Kalau Mongol menyerang, kita tak akan dapat melawan. Seandainya
mereka tidak mengambil tindakan pun, kita akan mati kelaparan.”
“Apa yang mesti kita lakukan, Subo?”
“Gampang!” sela Ching-ching. “Mereka mencuri dari kita, kenapa tidak kita rampas
lagi dari mereka?”
“Maksudmu, kita mencuri ransum bangsa Mongol itu?”
“Itu juga yang aku pikir,” kata Lung Shia. “Justru sekarang ini aku hendak
memilih siapa yang harus pergi.”
Murid-murid itu berebutan ingin pergi. Mereka tahu tugas ini cukup berbahaya dan
masing-masing ingin melindungi yang lain dengan mengajukan diri.
“Cukup, tenang semua!” bentak Lung Shia. “Siu Hung, kau yang paling besar. Kau
saja yang pergi. Pilihlah seorang adikmu untuk menyertai.”
Ini sunggu tugas berat bagi Siu Hung. Memilih satu dari sumoynya berarti
mengajaknya serta dalam bahaya. Ia tak menginginkan hal itu.
“Subo, biar aku yang pergi,” kata Siu Chen. “Dari semua, aku yang paling banyak
makan. Sudah sepantasnya kalau aku yang memikul tugas ini.”
“Baiklah. Kalian pergilah malam ini. Bawa sepuluh orang prajurit dan lima
gerobak untuk mengangkut.”
“Aku ikut!” Ching-ching melompat dari duduknya.
“Mana bisa. Kau masih—“ Siu Li mencegah.
“Aku tahu,” potong Ching-ching. “Masih kecil. Dari dulu memang kecil terus, tak
pernah besar. Bosan!”
“Siapa bilang kau kecil. Aku mau bilang, kau masih kurang pengalaman,” sanggah
Siu Li, padahal dalam hati ia mengakui apa yang dikatakan Ching-ching.
“Jadi, kurang pengalaman, lantas aku tak boleh pergi? Kalau tak diberi
kesempatan, lantas kapan aku berpengalaman?” Ching-ching membalikkan kata-kata
Siu Li.
“Tapi, lebih pantas kalau—“ Siu Li membantah.
“Jangan bertengkar lagi. Biarlah Ching-ching ikut dengan Siu Hung dan Siu Chen,”
Lung Shia melerai. “Kalian boleh pergi, kecuali Siu Chen dan Siu Hung. Ada yang
mesti dibicarakan.”
Semua melakukan apa yang disuruh Lung Shia. Kedua muridnya tertua tinggal di
tempat. Setelah itu, barulah Lung Shia angkat bicara.
“Ching-ching benar. Ia harus diberi kesempatan. Malam ini ia ikut dengan kalian.
Ching Ching 84
Berdua kalian harus menjaga dia baik-baik. Ingat, bagaimanapun ia adalah seorang
putri kerajaan Sha Ie, walaupun ia adalah sumoy kalian juga. Kalau nanti sampai
terjadi apa-apa padanya, bukan saja kalian harus menerima hukuman dariku, tapi
kalian juga akan diadili secara militer. Mengerti?”
“Mengerti, Subo,” jawab kedua gadis itu bebareng.
Berpakaian hitam-hitam supaya tersaru di gelap malam, Siu Hung dan kedua adiknya
serta sepuluh prajurit terpilih mengendap-endap mendekati perkemahan prajurit
Mongol. Mereka bersembunyi, mengawasi keadaan, mencari saat yang kira-kira tepat
untuk bertindak.
Penjagaan ransum prajurit Mongol ternyata tidak terlalu ketat. Pengawalnya hanya
dua orang yang berpratoli mengelilingi tenda ransum. Butuh waktu cukup lama
mengitari tempat itu. Dan cuma sebegitu waktu yang dibutuhkan Siu Hung untuk
mencuri kembali perbekalan mereka.
“Kita lumpuhkan dua penjaga itu supaya lebih aman,” kata gadis itu kepada
sumoynya. “Dengan pisaumu, dapatkah aku bunuh mereka sekaligus, tanpa banyak
ribut?”
“Tentu,” kata Siu Chen, sambil menyiapkan dua pisau terbangnya. “Kalian
tunggulah aku memberi tanda, baru bertindak.”
Gadis bertubuh gempal itu ternyata dapat bergerak lincah. Samar-samar terlihat
bayangannya maju mendekati sasaran mereka. Lalu, terlihatlah dua kilatan senjata
tertimpa cahaya api, disusul robohnya dua penjaga tanpa suara sama sekali.
Sebatang pisau pendek tertancap di leher masing-masing. Siu Chen memberi tanda.
Sebelum bergerak, Siu Hung berpesan kepada sumoy-nya yang paling kecil. “Kalau
nanti ada keributuan, atau kami terlalu lama pergi, kau larilah lapor pada Subo.
Sebelum itu, tunggu kami di sini. Jangan ke mana-mana!” Tanpa menunggu lagi
jawaban, Siu Hung pergi.
Ching-ching menunggu dengan patuh dan memperhatikan dari kejauhan. Ia melihat
para prajurit mengangkuti karung-karung beras dan memuatnya di gerobak. Setiap
gerobak mengangkut sepuluh karung. Semuanya cukup untuk ransum selama dua bulan
untuk seluruh tentara. Ia juga melihat kedua suci-nya kembali.
“Ha, mereka sudah berhasil,” gumamnya. “Aku tak perlu lagi berjaga-jaga di sini.
Heh, di sini tidak ada tontonan. Kenapa aku tidak masuk saja ke perkemahan
musuh?”
Dengan cepat dan tanpa suara, Ching-ching mendekati markas prajurit Mongol. Ia
mengambil jalan agak memutar untuk menghindari berpapasan dengan kedua suci-nya.
Ia tak mau kehilangan kesempatan mencari pengalaman malam ini.
Sampai di tempat semula, Siu Hung dan Siu Chen kebingungan tidak mendapati
Ching-ching. Padahal, mereka harus cepat pergi sebelum tindakannya diketahui
musuh.
“Suci, ke mana Ching-ching?”
“Entahlah,” jawab Siu Hung.
“Apakah ia terlalu lama menunggu, sehingga lebih dulu pulang melapor pada Subo?”
“Bisa jadi. Biasanya ia memang tak sabar akan segala sesuatu.”
“Kalau begitu, kita harus segera pulang, mencegah ia melaporka yang
bukan-bukan.”
“Baiklah.”
Padahal, saat itu Ching-ching sedang keluyuran di kemah musuh. Tak sulit baginya
yang bertubuh kecil untuk menyelinap di tempat gelap, melewati para penjaga yang
rata-rata hanya tahu memanah dan bergulat, tanpa memahami ilmu silat.
Sesudah melihat-lihat sebentar, tahu-tahu gadis bandel itu mendapat akal untuk
Ching Ching 85
membuat kacau prajurit di sana. Ia mengambil dua batang obor yang ditancapkan di
tanah. Dilemparnya obor itu ke tenda ransum. Seketika tenda itu terbakar hebat.
Para prajurit yang segera mengetahuinya berlarian panik mencari air. Sambil
tersenyum-senyum, Ching-ching bersembunyi di bawah bayangan sebuah tenda yang
paling bagus.
Seorang gagah keluar dari tenda itu, mendekati tempat keributan. Tidak
menyia-nyiakan kesempatan, Ching-ching masuk ke dalam. Bagian dalam tenda itu
sungguh nyaman. Ada sebuah tempat tidur besar di sana. Di atas sebuah meja
kecil, terdapat banyak makanan dan juga arak. Rupanya si pemilik tenda sedang
pesta-pora sendirian.
“Tidak adil!” cetus Ching-ching. “Kami kelaparan, sedangkan kau makan enak di
sini. Padahal, beras ini juga hasil rampasan. Curang! Kubalas kau. Kumakan saja
semua sayuran ini dan nasinya kulempar. Hup!” Ching-ching melakukan
kata-katanya. Ia mulai memakan sayur yang tersisa. Separo saja, asal perutnya
kenyang. Lalu, ia mengambil poci arak yang menebarkan bau arak wangi. Langsung
diteguk saja dari pocinya.
Arak itu ternyata baik buatannya, tidak seperti arak beras yang biasa diminim
bersama A-thianya. Sebentar saja, gadis cilik itu mulai merasa pusing. Apa-apa
kelihatan berputar. Perut dan dadanya terasa panas. Lehernya kering. Untuk
membasahi tenggorokannya, Ching-ching menghabiskan seisi poci arak. Setelah
habis semua, ia berdiri.
“Aku harus pulang,” gumamnya setengah tak sadar. Ia berputar-putar di dalam
tenda besar itu. “Mana sih pintunya? Aku mau keluar.”
Saat itu rupanya kebakaran sudah dapat diatasi. Seorang berbadan besar masuk ke
tenda tempat Ching-ching berada.
“Oh, di situ jalan keluarnya,” kata gadis itu menghampiri pintu. “Terima kasih.”
Orang yang baru masuk itu mencengkeram pundak gadis kecil yang sempoyongan
karena mabuk. “Kau siapa?” tanyanya.
“Aku?” tanya Ching-ching sambil menunjuk hidung sendiri. “Aku anak kecil yang
mesti pulang sebelum Subo marah.” Lalu ia memandang orang di hadapannya dengan
heran. “Apakah badanmu cuma kaki saja? Tidak punya kepala?” Dalam mabuknya,
Ching-ching tak sadar kalau orang di hadapannya adalah tinggi-besar. Tinggi
Ching-ching sendiri tak sampai sepinggang orang itu.
“Bocah, kau mau melihat kepalaku? Biaklah, kukabulkan.” Dengan sebelah tangan,
orang itu mengangkat Ching-ching setinggi mukanya.
Gadis itu kaget bukan main melihat wajah aneh di hadapannya. Kepala yang
besar-bulat, mata yang sipit hampir tertutup pipi tembam, hidung pesek yang
amat-amat besar, dan mulut yang luar biasa lebar. “Siluman,” desah Ching-ching.
“Siluman babi.” Sudah itu ia tak ingat apa-apa lagi.
Ching-ching baru sadar lagi waktu mukanya disiram air. Ia mendapati dirinya
terikat erat di tiang di tengah-tengah tenda. Tapi, bukan tendak yang kemarin ia
masuki. Bukan tenda tempat tinggal. Di sini banyak orang, sepertinya para
panglima Mongol. Berarti tenda inia dalah semacam ruang besar tempat berunding
dan menerima tamu.
“Akhirnya kau bangun juga, eh bocah kecil.” Sepasang kaki besar yang kukuh
tampak di depannya. Ching-ching mesti mendongak untuk melihat siapa lawannya
bicara. Tak lain si Muka Babi yang dilihatnya kemarin.
“Memangnya sudah berapa lama aku …?”
“Semalaman kau tidak bangun. Kusangka kau mati gara-gara kebanyakan minum arak.”
“Arak sebegitu, untuk membuat perutku kembung pun, tidak cukup.”
Ching Ching 86
“Jangan ngomong kalau tidak ditanya! Nah, sekarang kau mau mengaku tidak, untuk
siapa kau bekerja?”
“Bego, masa tidak tahu?” ejek Ching-ching.
“Tentunya untuk pasukan Sha Ie yang tak tahu diri. Kau juga yang membakar ransum
kami?”
“Masih tanya?”
“Kurang ajar! Berani kau mempermainkan panglima besar Mongol?” Orang berwajah
seperti babi itu menampar muka Ching-ching dengan tangannya yang tebal dan
lebar, sampai gadis kecil yang dipukul menjadi pening kepalanya dan pecah
bibirnya hingga mencucurkan darah.
“Jahanam, kubalas kau nanti,” ancam Ching-ching dendam.
“Mulutmu lancang. Bagusnya kubunuh saja kau!” Tangan si panglima sudah terayun.
“Tahan, Jendral, jangan keburu nafsu,” cegah seorang perwira. “Siapa tahu bocah
ini berguna juga bagi kita.”
“Bocah tak tahu adat buat apa?”
“Panglima, cobalah pikirkan. Apa gunanya anak kecil begini dibawa ke medan
perang, kalau bukan untuk mempelajari situasi tempur. Dan pula, ia adalah anak
perempuan. Anak perempuan diajari berperang sedikitnya anak bangsawan atau anak
jendral. Barangkali bisa kita gunakan untuk mengancam Kerajaan Sha Ie.”
“He, kau betul juga. Bocah, nasibmu mujur. Aku tak akan membunuhmu sementara
waktu. Tapi, aku mesti tahu dulu, siapa kau sebenarnya. Ayo jawab!”
biarpun si panglima membentak, menampar, dan mengancam, Ching-ching diam saja
sampai penanyanya kecapekan sendiri. “Kau tak mau bilang, kuhajar kau sekali
lagi.”
“Jangan!” jerit Ching-ching tiba-tiba. “Kau mau tahu? Marilah sini, kubisiki.”
Panglima yang tinggi besar itu mesti berlutut dulu. Ia lantas mendekatkan
kupingnya ke mulut Ching-ching. Gadis itu menarik napas dulu dalam-dalam.
“KAU BABI GENDUT TAK PUNYA OTAK TAK TAHU MALU, SILUMAN JAHAT,
BISANYA MAKAN!”
Ching-ching berteriak disertai khikang. Tiang-tiang di sana sampai berderak.
Tanah yang dipijak terasa agak bergetar. Jangankan si panglima di deakatnya,
perwira yang jauh juga merasa telinganya agak sakit. Tapi, mereka tak sampai
pingsan dengan kuping berdarah, seperti orang yang seperti siluman itu.
Semua yang ada di situ kaget melihat pemimpinnya pingsan. Mereka cepat
membawanya keluar. Sebelum pergi, perwira yang tadi memberi saran, menyuruh
penjaga bersiaga di luar tenda, tak boleh mengizinkan siapa pun masuk.
“Hmf, mau menawanku, kau pikir mudah!” gumam gadis itu. Ia masih ada cara untuk
kabur. Tapi, pertama-tama tentu ikatan badannya mesti dibuka dulu. Satu-satunya
senjata yang dibawa adalah sebilah belati di kakinya. Ching-ching melipat
kakinya ke dada, mencoba meraih belati itu dengan mulutnya. Untung, badannya
lentur karena terlatih baik, sehingga melakukan hal demikian tidaklah sukar
buatnya.
Ching-ching mencapit belati dengan dua baris giginya. Belati itu
digesek-gesekkannya ke tali yang mengikat badannya. Serat demi serat terpotong.
Akhrinya, tali itu putus sama sekali. Ia bebas kini.
Ching-ching tahu, di pintu tenda pasti ada penjaga. Ia tak mau cari ribut. Kalau
tidak, ia tak akan dapat segera pulang. Karena itu, ia memilih jalan belakang,
merangkak lewat di kolong tenda!
Ia mencari-cari tempat kuda tertambat. Ah, itu dia! Tapi, di sana ada seorang
penjaga. Cepat, tapi tak bersuara, Ching-ching menyergap penjaga itu, menusuknya
Ching Ching 87
tepat di jantung, sehingga prajurit itu mati tanpa sempat buku mulut.
Gadis itu memilih kuda yang paling baik, lalu menaikinya. Sebelum mengeprak
kduanya, lebih dulu ia melepaskan kuda-kuda yang laind an dihalaunya pergi.
Semua kuda itu berlari serabutan.
“Hei!” tiga orang perwira terkejut melihatnya. Gegerlah semua prajurit di sana.
Beberapa orang mencoba mengejar kuda-kuda yang lari. Mereka sibuk sendiri. Tak
seorang pun memperhatikan gadis cilik yang menunggang kuda mengarah ke selatan.
Dikiranya adalah seorang dari mereka yang juga sedang mengejar kuda-kuda itu.
Dengan berkuda, Ching-ching cepat sampai ke perkemahannya sendiri. Dari jauh ia
sudah berteriak-teriak mengabarkan kedatangannya. “Suci, ini aku datang, membawa
kuda besar!” katanya gembira. Beberapa orang prajurit memberi hormat dan membawa
kudanya setelah Ching-ching melompat turun. Namun, tak seorang pun suci-nya
datang.
Setelah keliling mencari-cari, tahu-tahu Ching-ching mendengar suara cambuk
dihentak dari dalam sebuah tenda. Ia cepat masuk dan menjerit kaget melihat apa
yang terjadi did alam. Kedua suci-nya, Siu Hung dan Siu Chen, sedang menerima
hukuman cambuk yang dilaksanakan subo-nya sendiri.
“Subo!” Ching-ching berteriak dan mendarat di hadapan subo-nya. “Subo, jangan!”
“Ching-ching? Kau ….”
“Subo, kenapa kedua suci dihukum? Bukankah semalam tugas sudah dilaksanakan
dengan baik?”
“Semuanya gara-gara kau juga, pakai kabur-kaburan segala!”
“Siu Li!” subo-nya membentak. Siu Li langsung diam, tapi matanya mendelik marah.
Ching-ching berlutut di hadapan subo-nya. “Subo, kalau memang kesalahan Teecu,
harap Subo hukum Teecu seorang saja,” ia memohon. “Jangan bawa Suci dalam urusan
ini.”
“Kedua suci-mu pantas dihukum karena tak becus menjaga putri mahkota. Tahukah
kau?”
“Jadi, semua berawal dariku juga. Biarlah aku yang menerima akibatnya.”
Lung Shia menghela napas. Ia dan muridnya yang satu ini memang sama-sama keras
kepala. “Baiklah, kalau kau minta,” katanya.
Cemeti sudah diangkat, siap turun mencambuk Ching-ching. Melihat muka
Ching-ching yang sudah babak-belur, sebenarnya Lung Shia tak tega. Tapi, ia tak
boleh menunjukkan kelemahan hati di hadapan murid-muridnya yang lain. Ia
mengeraskan hati. TAR! Cambuk berbunyi saat mengenai sasaran. Tapi, cuma itu
saja yang kedengaran. Ching-ching tidak bersuara. Meringis pun tidak.
Tahu-tahu seisi ruangan berlutut, termasuk Siu Li, memohon ampunan dari guru
mereka.
Melihat itu, hati Lung Shia luluh. Sebenarnya ia merasa lega juga, tak usah
menghukum Ching-ching, murid kesayangannya. Tanpa berkata apa-apa, ia keluar.
Serengah semua yang ada di situ menyerbu tiga orang terhukum untuk mengobati
luka-luka mereka.
Ching-ching meringis kesakitan waktu diobati. Luka akibat cambuk tidak seberapa,
justru bengkaknya gara-gara dipukuli kemarin.
“Kenapa kau bisa babak belur begini?” tanya Siu Pek, yang kebagian mengobati
Ching-ching.
“Dihajar siluman,” kata gadis cilik itu. Ia lalu menceritakan pengalamannya.
Semua mendengarkan, tak menyadari seseorang datang. Entah sudah berapa lama ia
berdiri di sana. Kemudian, seseorang tersadar, disusul yang lain. Akhirnya semua
berpaling.
Ching Ching 88
“Subo!” sapa mereka menghormat.
Lung Shia membalas dengan anggukan. “Ching-ching, Siu Pek, ikut aku!”
perintahnya.
“Ya, Subo,” serempak dua muridnya menyahuti.
Ketika mereka sudah tinggal bertiga di ruang tinggal Lung Shia, barulah ia
mengatakan masalah. “Ching-ching, besok kau, ditemani Siu Pek dan beberapa
pengawal, harus kembali ke ibukota!”
“Subo,” Ching-ching langsung protes. “Mana boleh begitu? Subo, kalau gara-gara
kemarin malam—“
“Bukan karena itu. Ini adalah perintah dari kongkong-mu sendiri. Aku sebetulnya
lebih suka kau tinggal, tapi perintah raja adalah tak terbantah!”
“Tapi … tapinya …,” Ching-ching mulai merengek.
“Jangan rewel!” bentak gurunya. Gadis itu langsung cemberut. “Kau keluarlah.
Bereskan barang-barangmu. Besok pagi-pagi buta kalian sudah harus berangkat. Siu
Pek, aku mau bicara.”
Setengah ogah-ogahan, Ching-ching menjalankan perintah subo-nya. Sial sungguh.
Padahal, ia masih ingin ikut menggempur pasukan Boan itu. Terutama balas
menghajar si Siluman Babi. Huh, kongkong-nya sih pakai menyuruh pulang segala.
Jadinya, ia tak bisa ikut senang-senang. Siu Li pasti akan menyombongkan diri
nanti, sedangkan dia …. Apa yang dapat dibanggakan? Huh! Ching-ching
mengomel-omel sendiri.
Bengkak-bengkak di muka Ching-ching makan waktu cukup lama untuk sembuh.
Kongkongnya kaget bukan buatan melihat cucunya tersayang babak belur. Ia
mengomeli adiknya perempuan yang tak becus menjaga murid. Tapi, waktu
Ching-ching menceritakan pengalamannya, ia memuji dengan bangga.
“Kong-kong, kenapa aku dipanggil pulang?”
“Hehe, aku mau mempertemukan kau dengan seseorang. Aku yakin kau akan gembira.”
“Apakah A-thia?” tanya Ching-ching berharap.
“Kau lihat saja nani. Tapiii … kau tak bisa menemui dia dengan begini. Ah, kau
harus menyembuhkan dulu semua lukamu.”
Lung Fei menyuruh beberapa orang dayang-dayang membawa Ching-ching ke kamar, tak
peduli gadis kecil itu berteriak-teriak kesal. Ditemani Siu Pek, ia dibawa ke
bagian istana yang agak jauh dan jarang dilewati orang. Ia harus tinggal di situ
dan tak boleh keluar sampai lukanya sembuh, sementara Siu Pek mengajarinya tata
krama.
Cuma dua hari Ching-ching bertahan. Hari berikutnya ia sudah benar-benar bosan.
Gadis bandel itu kabur dari sucinya sambil membawa busur dan panah. Hih, ia
lebih suka pergi berburu daripada mendengar semua aturan Siu pek. baYangkan,
minum saja ada caranya sendiri. Harus begini, begitu, lalu ini, itu. Mendingan
minggat saja.
Ching-ching menuju hutan, tak terlalu jauh dari istana. Hutan itu memang sengaja
dijadikan tempat berburu para bangsawan. Binatang di sana banyak. Kecuali sedang
sial, hampir tak mungkin oran gpulang dari sana tanpa hasil buruan. Sebenarnya
Ching-ching kurang suka berburu di sana. Terlalu mudah baginya. Tapi, mau
bagaimana? Keluar istana itu sulit sekali. Daripada tidak sama sekali, apa boleh
buat.
Baru berjalan beberapa langkah ke dalam hutan itu, Ching-ching sudah melihat
buruannya. Seekor burun hutan yang terbang tinggi dan badannya gemuk sekali.
Ching-ching cepat menarik busurnya. Tanpa membidik lagi, anak panahnya
dilepaskan. Gadis itu sudah terlatih berburu. Meskipun tanpa membidik, ia yakin
Ching Ching 89
anak panahnya kena sasaran.
Burung yang diincarnya jatuh. Ching-ching cepat berlari ke arahnya, tapi
seseorang berkuda lebih dulu mencapai tempat itu. Orang di atas kuda itu
menyambar burung buruan Ching-ching tanpa menghentikan kudanya. Melihat hasil
jerih-payahnya diambil orang, Ching-ching tidak terima. Ia terus mengejar.
“He, kembalikan! Itu milikku!” teriaknya.
Kuda yang ia kejar berhenti. Penunggangnya menoleh, menunggu Ching-ching
mendekat. “Ada apa?” tanyanya. Ternyata, ia adalah seorang pemuda. Kira-kira
lima belas tahun umurnya. Ditilik dari pakaiannya yang indah dan kudanya yang
terawat baik, paling tidak ia adalah anak bangsawan.
“Itu burung buruanku. Kenapa kau ambil?” tuduh Ching-ching.
“Siapa bilang? Ini burung yang kupanah jatuh,” kata pemuda itu, memperlihatkan
burung di tangannya. Ternyata, pada tubuh burung itu tertdapat dua batang anak
panah yang menancap di leher. “Ternyata memang buruanmu,” kata pemuda itu
mengaku. “Tapi milikku juga. Lihat, anak panahku juga ada di lehernya. Sekarang
bagaimana?”
“Hmm, bagaimana kalau dibagi dua?” usul Ching-ching.
“Boleh juga.” Pemuda itu mencabut golok melengkung yang tergantung di pinggang,
hendak membelah burung itu di tengah-tengah.
“Jangan!” cegah Ching-ching. “Kalau sudah dibuka perutnya, nanti tak enak
dimasak. Begini saja. Bagaimana kalau kita masak dan kita makan berdua? Bukankah
lebih baik?”
Pemuda itu ragu-ragu dan beberapa kali menoleh ke arah dia datang.
“Ayolah,” desak Ching-ching. “Aku tak punya banyak waktu.”
“Baiklah,” kata pemuda itu. “Aku tahu tempat yang baik untuk bersantai.”
Tahu-tahu ia menyambar pinggang Ching-ching dan membawanya naik ke atas kuda.
Mulanya gadis itu terkejut. Tapi, mengetahui maksud pemuda ini, ia tak meronta.
Kuda itu membawa mereka ke sebuah tempat yang agak lapang. Ching-ching langsung
bekerja. Dengan cekatan, ia menguliti burung itu, lalu mengambil tabung-tabung
bumbu di pinggangnya, membumbui buruan mereka, sementara pemuda yang bersamanya
membuat api. Tak berapa lama, mereka sudah menikmati bersama hasil masakan
Ching-ching.
“Enak!” komentar si pemuda. “Rupanya kau pintar masak.”
“Tentu saja. Aku suka makan enak. Jadinya, terpaksa harus masak enak juga. Kau
tahu, setiap kali berburu, aku selalu membawa macam-macam bumbu masak.”
“Aku tidak menolak kalau dikasih makan enak, tapi masak, nanti dulu.”
“Rugi kau. Percuma jago berburu kalau tak bisa mengolah.”
“Ag, gampang. Cari saja istri yang pintar masak. Beres!”
Tahu-tahu Ching-ching tersadar. Sudah terlalu lama ia pergi. “He, aku mesti
pulang!” katanya buru-buru berdiri.
“Tunggu. Makanan ini bagaimana? Tanggung, tinggal sedikit.”
“Kau boleh habiskan.” Ching-ching menyambar busur dan panahnya, hendak segera
berlalu.
“Nanti dulu. Aku belum tahu namamu!”
Ching-ching tak berani menyebut namanya. Kalau pemuda ini tahu siapa dia, tentu
sikapnya akan berubah sungkan. “Nama tak penting,” jawabnya. “Kau boleh panggil
aku apa saja.”
“Kalau begitu, kupanggil kau si tukang masak.”
“Dan kau si tukang makan,” balas Ching-ching. “Tukang makan, aku pergi dulu.”
“Tukang masak, besok ketemu lagi ya!” seru pemuda itu.
Ching Ching 90
Ia memandangi punggung Ching-ching. Tiba-tiba, didengarnya suara kuda
mendatangi. Cepat pemuda itu mematikan api, menutupinya dengan daun. Kemudian,
mencongklang kudanya minggat dari situ, menuju ke arah suara yang ia dengar.
“Pangeran Fei Yung!” seorang gadis manis menyapanya. “Kucari kau sedari tadi,
ternyata kau ada di sini. Aku sudah kuatir saja, kau tersesat, tak tahu jalan
kembali.”
“Chin Yee, aku memang agak lama. Soalnya, burung yang kubidik jatuh tidak
ketemu.”
“Barangkali digondol serigala.”
Wajah Fei Yung memerah, merasa dirinya disamaikan dengan seekor serigala. “Sudah
sore. Mari pulang!” ajaknya.
Biarpun agak heran dengan kelakuan Fei Yung, Chin Yee menurut.
Fei Yung benar-benar tertarik pada gadis cilik yang ia temui di hutan. Dari
pakaiannya, pastilah ia anak pejabat tinggi. Tapi, dari sikapnya, waah,
dayang-dayang istana masih lebih bagus. Justru itu yang membuat Fei Yung
tertarik. Ia sudah terbiasa dengan kelemahlembutan wanita. Ia lebih suka yang
“lain”.
Esoknya, Fei Yung berburu lagi dengan harapan bertemu dengan gadis yang kemarin.
Sengaja ia pergi sendiri. Ia tak mau senang-senangnya dengan si tukang masak
terganggu. Apalagi oleh Chin Yee.
Sayangnya, sampai matahari naik tinggi di atas kepala, Fei Yung leum juga
bertemu dengan kawan barunya. Dan tak seekor binatang pun berhasil ia buru. Ia
memang tak berminat. Menjangan yang melintas santai di hadapannya pun didiamkan
saja. Pemuda itu sudah putus asa. Ia melangkahkankaki pergi. Perlahan sekali ia
berjalan. Dalam pikirnya, jalan pelan-pelan dapat mengobati hati yang kecewa.
“Hoooy!” Ketika lewat tak jauh dari sungai kecil, ia mendengar teriakan
memanggil. “Tukang makan, kemarilah!”
Fei Yung menoleh. “Hei, Tukang Masak, sedang apa di situ?”
“Menangkap ikan.”
Fei Yung mendekat, tertarik akan apa yang dilakukan Ching-ching. Gadis itu
berdiri di tengah-tengah sungai. Celananya digulung sebatas lutut. Di tangannya
tergenggam ranting pendek.
“Tukang Makan, kau pernah makan ikan bakar?”
“Belum,” jawab Fei Yung.
“Bagus. Hari ini kau akan merasakan sedapnya ikan. Tapi, kau bantu aku.”
Fei Yung cepat membuka sepatu dan menggulung bajunya. Ia ikut masuk ke air.
“Lihat, begini caranya.” Ching-ching menunjukkan. Ia mengangkat ranting yang
dipegang sambil mengincar seekor ikan besar. Tahu-tahu tangannya bergerak cepat
sekali. Crepp! Ikan itu ditembusi ranting.
“Sudah lihat?” Ching-ching mencabut ranting dari ikan yang ia dapat. “Nih,
sekarang giliranmu,” katanya sambil menyodorkan ranting itu. Ia sendiri pergi ke
tepi, membuat api, dan membakar ikannya.
Fei Yung berusaha menangkap ikan sendiri. Tadi kelihatan gampang, tapi ternyata
sangat sulit dilakukan. Ikan-ikan yang diincarnya bergerak lincah ke sana
kemari. Fei Yung kerepotan. Seekor ikan membuat ia terpeleset dan tercebur.
Ching-ching yang melihat tertawa geli. Fei Yung ngambek. Ia membuang ranting di
tangannya dan menyusul gadis itu.
“Payah!” ejek Ching-ching. “Kau sih bisanya makan saja.” Ia menyodorkan ikan
yang matang dibakar.
“Kau tidak makan?”
Ching Ching 91
“Sudah kenyang. Tadi sebelum pergi, aku makan dulu. Astaga, aku mesti pulang.”
“Buru-buru amat.”
“Besok aku mau ketemu orang penting. Hari ini aku tak boleh keluar lama-lama. Oh
ya, besok aku tak dapat menemuimu. Lusa barangkali. Jangan sedih ya, Tukang
Makan,” kata Ching-ching sambil berlari menjauh.
Fei Yung cemberut. Huh, dia tak senang makan sendirian. Tapi, ikan ini tampak
enak sekali. Dicuilnya sedikit untuk dicicipi. Hm, memang enak.
“Fei Yung!” Tahu-tahu Chin Yee sudah ada di dekatnya. “Kau jahat. Pagi-pagi
pergi tak berpamit. Seharian aku mencarimu, kau malah enak-enak duduk di sini.”
“Hai, Chin Yee. Aku ada makanan enak. Mau?”
“Tidak. Fei Yung, tak kuduga, kau pandai memasak.”
“Aku suka makan enak sih,” kata Fei Yung, tak berani berterus terang. “Aku mau
cari istri yang pintar masak, ah.”
“Kalau begitu, mulai besok aku akan belajar masak,” kata Chin Yee tersipu.
“Oh, jadi kau belum bisa masak?”
Malu-malu Chin Yee menggeleng.
“Tidak bisa disalahkan,” hibur Fei Yung. “Kau sejak kecil tinggal di istana.
Perlu apa masak? Sudah ada selusin kiongli yang melayani setiap mau makan. Betul
tidak? Tapi, kalau aku kawin nanti, aku tak mau diladeni orang lain selain
istriku.”
Chin Yee tersindir. Ia diam saja.
“Eh, Chin Yee, besok katanya adik sepupumu akan datang. Aku ingin tahu. Seperti
apa sih orangnya?” tanya Fei Yung.
Dahi Chin Yee berkerut. Ia sudah tahu, Fei Yung nanti akan harus memilih antara
ia dan sepupunya untuk pendamping seumur hidup. Sementara itu, ia sudah jatuh
hati pada pemuda ini. Chin Yee tak rela kalau Fei Yung menyukai gadis lain. Ini
adalah kesempatannya meruntuhkan nama putri mahkota Lung Ching di hadapan
pangeran negeri tetangga ini.
“Ooh, maksudmu Lung Ching?” Chin Yee tersenyum meremehkan. “Dia itu sungguh
keterlaluan. Tak pantas sebagai putri raja. Ia tak bisa main musik, sastra,
berkuda, menari.” Gadis itu berlagak tahu baik sepupunya. “Sehari-harian
kerjanya cuma lari-lari dan teriak-teriak bikin ribut. Pemalasnya bukan main.
Jalan-jalan ke tangan bunga saja, ia tak pernah. Apalagi mask-masuk hutan. Dan
dia tak pernah berdandan! Huh. Kalau aku ingat mukanya … dayang-dayangku saja
masih lebih bagusan.”
“Wah, gadis macam itu, mana pantas jadi permaisuri?” gumam Fei Yung. “Mestinya,
putri raja itu pandai menunggang kuda, cantik, dan baik hati. Sepertimu, Chin
Yee.”
Hampir saja Chin Yee melonjak kegirangan dipuji. Tapi ia cuma menunduk malu,
menutupi kegembiraannya.
“Haah, kenyang aku.” Fei Yung menepuk-nepuk perutnya. “Mari pulang.” Ia
menggandeng Chin Yee pergi.
Ching-ching didandani habis-habisan. Ian disuruh duduk diam berjam-jam. Mana
gadis itu tahan? Ia mengomel dan bergerak terus, membuat sulit para pelayannya.
“Aduuh, mau ketemu A-thia saja, kenapa begini repot? Mana A-thia mengenaliku
dalam dandanan aneh begini. Sudahlah, biar kupakai pakaianku yang dulu saja.”
“Jangan rewel. Nanti dandananmu rusak,” kata Siu Pek.
“Peduli!” kata Ching-ching bandel. Ia menggerakkan kaki, hendak kabur. Siu Pek
cepat menotoknya.
“Kau tak boleh ke mana-mana sebelum semua beres!” katanya tegas.
Ching Ching 92
“Huh!” Ching-ching mendengus kesal. Untungnya, tak berapa lama dandanannya pun
beres sudah.
“Coba kau diam dari tadi, pasti sudah beres lama.” Siu Pek membuka totokannya.
“Masa bodo! Ayo, Cici Siu Pek, aku tak sabar ketemu A-thia.”
Siu Pek tampak hendak mengatakan sesuatu, tapi tak jadi. Ia malah merapikan
dandanan sendiri, yang tak kalah meriah dari Ching-ching. “Baiklah. Tungguh enam
pelayan, tujuh denganku, mengirimu. Cara jalanmu dibenahi seperti yang kuajarkan
kemarin.”
“Alaaa … begini saja,” Ching-ching berjalan sambil melompat-lompat.
“Mana boleh begitu? Hayo, yang betul. Kalau tidak, kau tak boleh keluar!” ancam
Siu Pek, yang entah kenapa begitu senewen sehingga menjadi galak.
Ching-ching menurut. Ia mengikuti ajaran Siu Pek biarpun mulutnya mengomel.
“Kebanyakan aturan!”
Dari bangunan tempatnya tinggal sampai ke ruang besar tempat menerima tamu,
Ching-ching ditandu. Di depan pintu, barulah tandu diturunkan dan Ching-ching
mesti berjalan. Gadis itu merasa jantungnya berdebar. Ia akan bertemu A-thia-nya
sebentar lagi!
Kentara betapa kecewa ia melihat pria tinggi-besar yang duduk di samping Lung
Fei bukanlah A-thia-nya. Merasa tertipu, nyaris Ching-ching ngambek dan minggat,
tapi Siu Pek yang sudah kenal sifatnya dapat mengetahui gelagat. Ia cepat
menotok pundak Ching-ching untuk kedua kali. Lagi-lagi gadis itu terpaku, tak
dapat bergerak.
“Kau menurutlah. Kalau tidak, aku adukan Subo dan kau harus siu-lian sebulan!”
bisik Siu Pek cepat-cepat. “Ayo menghormat, seperti yang kuajarkan kemarin!”
Siu Pek tahu, Ching-ching paling benci disuruh samadhi. Ia harus duduk
berkonsentrasi, tak bisa kabur. Kalaupun bisa, tak akan ada yang seorang pun
menganggapnya ada, mengajak bicara, atau memarahi. Apa pun yang ia lakukan
dibiarkan. Ia dianggap angin lalu sampai tuntas menamatkan samadhinya. Ini
adalah hukuman yang paling ditakuti gadis cilik itu. Maka, Ching-ching tak
berani memabantah kehendak suci-nya, biarpun melakukan dengan tampang masam.
“Senyum!” bisik Siu Pek.
Ching-ching menarik sudut bibirnya ke atas. Itu bukan senyum, lebih menyerupai
seringai. Tak apalah. Tokh tak ada yang tahu karena Ching-ching tak boleh
mengangkat kepala sebelum hormatnya diterima. Sebab itu, ia tak tahu, seorang
pemuda di sebelah tamu agung itu melotot melihatnya.
“Putri Lung Ching datang memberi hormat,” Siu Pek memperkenalkan pada tamu.
“Hormatmu kami terima,” kata Lung Fei.
Barulah Ching-ching menegakkan kepala. Nyaris ia tersandung jubah sendiri
melihat pemuda yang memperhatikannya, tak lain adalah si Tukang Makan yang
sering ia temui di hutan.
Siu Pek menyenggol sumoy-nya yang terbengong-bengong. “Duduklah di sana.” Ia
mennjuk ke sebuah tempat kosong di atas panggung, di seberang tempat Fei Yung,
di samping Chin Yee. Diikuti Siu Pek, Ching-ching menuju tempat itu.
Santapan disediakan. Sementara itu, beberapa gadis menghibur dengan tarian dan
musik. Setelah makan, Chin Yee berdiri. Ia akan memperlihatkan keahliannya
kepada para tamu. Semua tahu, Chin Yee sangat pandai menari dan itulah yang akan
ia tunjukkan saat ini.
Musik mengalun. Chin Yee mulai bergerak memulai tarian. Gemulai indah, seiring
alunan musik. Semua berseru kagum memuji tarian Chin Yee. Ketika berakhir, semua
bertepuk tangan. Sang tamu agung, Fei Chan, bertepuk paling keras. Sejenak
Ching Ching 93
Ching-ching tertegun memperhatikan tangan raja Sie Sha itu, yang besar luar
biasa.
“Hebat sekali!” puji Fei Chan. “Putri Chin Yee memang selalu dapat menari dengan
baik, menyenangkan hatiku. Kalau Putri Lung Ching bagaimana? Adakah keahlian
yang kaumiliki untuk ditunjukkan?”
Ching-ching kaget. Buru-buru ia menggeleng.
“Ayolah, jangan malu-malu,” desak Fei Chan.
“Ya, ayolah,” Lung Fei ikut membujuk. “Aku kakekmu juga belum pernah melihat kau
punya kepandaian.”
Siu Pek menyentuh pundak Ching-ching. “Jangan menolak!” bisiknya pelan sehingga
hanya Ching-ching yang dapat mendengar.
“Aduh, Suci, keahliah apa yang harus kutunjukkan?”
“Permainan khim-mu baik.”
“Jariku gemetar, mana bisa memetik khim?”
“Menari saja.”
“Tari apa?”
“Apa yang kauingat?”
“tidak satu pun. Lupa semua,” kata Ching-ching gugup.
“Yang paling kausuka?”
“Eeh, tarian Dewi Perang,” kata Ching-ching ragu.”
“Itu saja. Aku akan memainkan musiknya,” Siu Pek memutuskan.
Ching-ching berdiri. “Kong-kong, aku akan menari saja.”
“Itu pun baik. Tarian apa?”
“Tarian Dewi Perang.”
“Bagus sekali,” Lung Fei menyambut gembira. “Sudah puluhan tahun aku tak melihat
tarian itu.”
“Puluhan tahun?” Fei Chan bertanya heran. “Tarian apakah kiranya yang begitu
langka dilihat?”
“Ini adalah tarian yang menceritakan seorang dewi di kahyangan. Pada mulanya ia
hidup senang, tapi kemudian, melihat kejahatan di dunia, ia menjadi marah
sehingga bertekad berperang melawan kejahatan yang berwujud naga. Dan untuk
menarikan tarian ini, orang haruslah memiliki kepandaian menari, musik, ilmu
golok, dan memainkan selendang.”
“Wah, tentunya menjadi kehormatanku dapat melihat tarian ini. Aku jadi tak
sabar.”
Lung Fei bertepuk tiga kali. Beberapa orang gadis datang membawa perlengkapan
menari—dua batang golok emas, gelang kaki berkerincing perak, dan sebuah
selendang hijau.
Agak gemetar Ching-ching memakai perlengkapannya. Golok diselipkan di pinggang,
selendang dililit di lengan, melingkar ke punggung, dan melingkari lengan yang
lain. Ketika melangkah, gelang kakinya bergemerincing. Ia berdiri di tengah
ruangan. Dua orang pelayan melepaskan jubahnya. Musik dari khim yang dipetik Siu
Pek mengalun. Ching-ching mulai bergerak mengikuti lagu merdu yang sendu. Gelang
di kakinya tidak lagi mengeluarkan suara, ditahan lweekang yang menyedot lewat
kaki. Gerak Ching-ching begitu gemulai. Semua terpesona. Diam-diam Fei Yung
terkagum-kagum. Awalnya ia meragukan Lung Ching. Bukankah Chin Yee bilang,
sepupunya itu serampangan? Kenapa tadi kelihatan begitu anggun? Dan ia hampir
tak mempercayai matanya. Si Tukang Masak yang lincah-cerewet dapat menari begitu
halus-gemulai.
Seperti yang diceritakan Lung Fei, pada mulanya tarian yang dibawakan
Ching Ching 94
Ching-ching menceritakan kedamaian. Tapi, kemudian musik berganti. Suara khim
lenyap. Terdengar suara tambur dipukul bertalu-talu. Gerak gemulai pun berubah
bersemangat. Selendang dikibaskan, meliuk-liuk cepat dan bertenaga seolah seekor
naga yang mengacau di langit. Dan digambarkan dewi perang yang marah, mencabut
sepasang golok emas memerangi sang naga.
Ching-ching terbawa dalam tarian. Ia menari dengan kaki menghentak bumi.
Giring-giring yang ia pakai berbunyi nyaring, makin cepat, makin cepat. Tak
terlihat lagi gerakan Ching-ching. Yang kelihatan Cuma selendang hijau yang
bergerak terus dan sepasang golok emas menyambar-nyambar, menggambarkan perand
dewi dengan sang naga yang berlangsung seru.
Tiba-tiba musik berhenti. Seisi gedung hening. Khim mengalun syahdu. Diceritakan
sang naga mati di tangan dewi. Langit kembali tenang. Ching-ching menari dengan
keceriaan. Gelang berbunyi gembira sambil ia mengundurkan diri.
Seisi gedung sepi. Semua masih terpesona melihat tarian tadi. Tapi, kemudian
serentak semua bertepuk tangan, seperti ingin meruntuhkan gedung dengan tepukan
itu. Siu Pek mengangguk bangga pada Ching-ching. Sumoy-nya itu tersipu dan
melepas perlengkapannya untuk dikembalikan ke ruang pusaka kerajaan.
“Luar biasa,” puji Fei Chan yang tak henti-hentinya bertepuk tangan. “Hebat
betul! Aku sangka Putri Chin Yee adalah penari terbaik. Tak tahunya, Putri Lung
Ching lebih hebat lagi.”
Geram hati Chin Yee mendengarnya. Selama ini, dialah yang selalu dipuji.
Sekarang, begitu Ching-ching datang, perhatian tercurah kepadanya. Juga Fei
Yung. Chin Yee sempat melihat pemuda itu tersenyum kepada Lung Ching. Ia
cemburu! Memikirkan hal ini, Chin Yee tak dapat lagi menikmati pesta yang
seharian itu.
Sejak hari itu, Chin Yee tak pernah lagi sempat berduaan dengan Fei Yung. Selalu
ada Lung Ching di antara mereka. Atau lebih tepat, Chin Yee yang ada di antara
Fei Yung dan Lung Ching. Keduanya semakin akrab, lebih dari Fei Yung dan dia
sebelum ini. Chin Yee takut pemuda itu diambil darinya. Lebih lagi, ketika suatu
hari, berlima dengan Lung Fei dan Fei Chan mereka berburu. Melihat seekor
menjangan yang cepat sekali larinya, Fei Yung dan Ching-ching cepat membalapkan
kuda mengejar. Chin Yee ketinggalan. Tak sengaja ia mendengar pembicaraan
kongkong-nya dan tamu mereka.
“Lihatlah orang muda itu. Begitu bersemangat mereka. Nantinya kita-kita yang tua
ini Cuma kebagian sisa.”
“Memang sudah waktunya kita digantikan. Apalagi, dengan demikian kerajaan akan
bertambah luas dan makmur. Lihatlah keduanya begitu serasi. Aku tak sabar
melihat mereka bersanding. Dan bagusnya lagi, Putri Lung Ching dapat cepat
mengambil hati Fei Yung dengan kepandaiannya berburu.”
“Bukan cuma berburu yang ia bisa. Berperang pun sanggup,” kata Lung Fei bangga.
“Betul?” Fei Chan kagum. “Fei Yung juga pandai berperang. Bagaimana kalau besok
kita lihat mana yang lebih unggu?”
“Baik!” Lung Fei setuju.
Chin Yee makin gelisah. Bahkan Fei Chan lebih suka Ching-ching sebagai menantu.
Lalu apa yang tersisa buat dia?
Esoknya Ching-ching dan Fei Yung setuju diadu. Masing-masing bersiap di atas
kuda sambil menggenggam senjata. Pertandingan diadakan di padang rumput. Rakyat
dibolehkan menonton karena selain adu senjata, diadakan juga hiburan lain.
Waktunya telah tiba. Masing-masing petarung membalapkan kuda ke tengah arena.
Senjata beradu, menyebabkan bunyi berdencing. Ching-ching yang bersenjatakan
Ching Ching 95
siang-kiam berusaha bertempur jarak dekat. Justru Fei Yung yang memilih tombak
sebagai senjata menjauh terus. Masing-masing menyerang dan bertahan
sungguh-sungguh—Fei Yung karena gengsi kalau dikalahkan perempuan, Ching-ching
karena ingin membuktikan bahwa ia mampu memainkan senjata dengan baik.
Nyatanya, Fei Yung mahir sekali bermain tombak. Ching-ching harus menggunakan
semua kepandaian kalau mau menang. Tapi, selain keahlian, ia juga menggunakan
otak. Ketika tombak Fei Yung bergerak, ia menyambuti dengan menjepitnya dengan
pasangan pedang sehingga tombak Fei Yung tak bebas lagi. Terjadi adu tenaga.
Ternyata tenaga dalam Ching-ching masih lebih baik daripada Fei Yung. Tombak itu
tak dapat terlepas.
Dari atas panggung, Siu Pek memperhatikan dengan khawatir. Akan jelek akibatnya
kalau Ching-ching mempermainkan Fei Yung seperti itu. Tamu mereka akan mendapat
malu. Siu Pek berusaha menarik perhatian Ching-ching.
Gadis cilik itu menoleh. Melihat isyarat Siu Pek, ia segera mengerti.
Dikendorkannya tenaga di tangan kiri, sehingga Fei Yung dapat mendesak lepas,
bahkan membuat pedang terpental ke tanah. Tinggal sebatang pedang di tangan
Ching-ching. Ia berlagak bertahan mati-matian, tapi dilepasnya pedang waktu
beradu dengan tombak Fei Yung. Ia kalah!
Rakyat bersorak. Fei Yung tersenyum bangga. Ia mendekat dan meraih kendali kuda
Ching-ching. Beriringan mereka menepi. Fei Chan memuji Ching-ching. Sebaliknya,
Lung Fei menyanjung Fei Yung setinggi langit. Chin Yee juga. Tapi, Fei Yung
seperti tak memedulikan gadis itu. Ia malah mengajak Ching-ching menjauh dari
keramaian.
“Lung Ching, lihat, aku punya sesuatu untukmu.” Ia membuka telapak tangannya. Di
sana ada sebuah mutiara besar berwarna putih keperakan.
“Bagus betul,” puji Ching-ching. “Untukku?”
“Ya, kalau kau dapat merebutnya!” Fei Yung menjauh.
Ching-ching mengejar. Tapi, ternyata Fei Yung gesit sekali. Sampai lelah,
Ching-ching belum dapat menyusul. Ditambah lagi, ia pusing berputar-putar di
situ. “Capek!” keluhnya.
“Kalau begitu, kau tak bisa mendapat mutiara ini.”
“Bisa saja,” kata Ching-ching. “Lihat!” Tiba-tiba ia berseru sambil menunjuk ke
atas.
“Ada apa?” tanya Fei Yung.
Begitu Fei Yung mendongak, Ching-ching merebut mutiara di tangannya. “Dapat!”
serunya girang.
Di atas, Fei Chan dan Lung Fei tertawa-tawa melihat kelakuan dua anak itu.
“Cucumu sungguh cerdik,” puji Fei Chan. Lung Fei menyetujui. Sementara Chin Yee
semakin sebal pada Ching-ching.
“Lung Ching,” aku sudah memberikan tanda mata. Sekarang apa yang akan kauberikan
untukku?” tanya Fei Yung.
“Apakah harus?”
“Tentu saja.”
“Tapi aku tak mempersiapkan apa-apa untuk kuberikan.”
“Berikan saja apa yang kaubawa.”
Ching-ching berpikir-pikir. “Baiklah,” katanya kemudian. Ia memunggungi Fei Yung
sebentar. Waktu membalik lagi, ia menyodorkan dua kepalan tangan. “Tebak, ada di
mana barang itu.”
Fei Yung memilih. “Yang kanan!” tebaknya.
“Salah!” Ching-ching memperlihatkan telapak tangan yang kosong.
Ching Ching 96
“Kalau begitu, yang kiri.”
“Salah juga.”
Fei Yung jadi bingung. “Jadi ada di mana?”
“Belum kukeluarkan,” kata Ching-ching sambil mengambil sesuatu dari sakunya. Ia
memberikan benda itu kepada Fei Yung, yakni sebuah kantung uang dari kain sutra
dengan sulaman naga dari benang berwarna keperakan.
“Bagusnya,” Fei Yung terkagum-kagum. “Kau buat sendiri?”
Ching-ching mengangguk. “Tapi tak semahal pemberianmu.”
“Siapa bilang?” bantah Fei Yung. “Ini jauh lebih mahal. Biar orang mau menukar
dengan seember mutiara, aku tak akan berikan.”
“Huh, kau bohong!” tukas Ching-ching, padahal dalam hati senang sekali. Tak
sengaja matanya melirik Chin Yee dan ia terkejut melihat gadis itu tampak begitu
amarah. Namun, ia tak sempat lama-lama memperhatikan. Fei Yung sudah mengajaknya
bercanda lagi.
Malam harinya, di kamar, Siu Pek sedang menemani Ching-ching.
“Suci, kenapa tadi pagi kau suruh aku mengalah pada Fei Yung? Padahal, sedikit
lagi, aku yakin menang.”
“Memang, aku juga yakin itu. Tapi, tak baik mempermalukannya di depan orang
banyak. Tahukah kau, anak laki-laki tak suka dikalahkan anak gadis, kecuali
dalam pekerjaan seperti menyulam atau memasak.”
“Kenapa?”
Siu Pek sudah membuka mulut hendak menjawab, waktu pintu kamar Ching-ching
diketuk orang.
“Masuk!” seru Ching-ching.
Chin Yee masuk. Melirik ke arah Siu Pek. Gadis itu tahu diri. Setelah menyalami,
ia lantas pergi.
“Ada apa, Piauw-cie?” tanya Ching-ching ramah.
“Aku … aku mau … kau jahat!” tiba-tiba Chin Yee menangis. “Mula-mula kau datang,
kau rebut Kong-kong, kemudian kau pamer di depan para tamu, merendahkan aku.
Lalu … lalu sekarang Fei Yung kauambil juga.”
“Aku mengambil Fei Yung?” Ching-ching keheranan. “Kok rasanya tidak. Buat apa
kuambil dia?”
“Mana kutahu? Yang jelas, setelah bertemu denganmu, Fei Yung tak lagi baik
padaku. Yang ada di pikirannya cuma kamu saja. Ingat dua hari lalu? Waktu itu
aku mengajak Fei Yung menemaniku ke taman bunga. Ia menolak, beralasan tak enak
badan. Nyatanya, siang hari itu aku memergoki kalian sedang mencari ikan.”
Ching-ching mengerutkan kening. Ia tak mengerti apa yang diomelkan Chin Yee,
tapi ia tak berkata apa-apa, takut kalau salah ucap dan gadis itu tambah berang.
Chin Yee masih mengoceh. “Kau sudah mendapatkan semuanya. Kong-kong,
dayang-dayang, bahkan kerajaan in akan jatuh ke tanganmu. Sedangkan aku … apa
yang kudapat? Bahkan, semua pelayanku memuji-mujimu di belakangku. Dan, dan
sebentar lagi kau akan kawin dengan Fei Yung.”
Tahu-tahu Ching-ching tertawa. “Rupanya kau sudah edan. Siapa bilang aku mau
kawin dengannya?”
“Kau akan!” Chin Yee terisak. “Kong-kong sudah memutuskan.”
Wajah Ching-ching berubah pucat. “Tapi aku tak mau. Kenapa bukannya kau saja
dengan si Fei Yung itu?”
“Karena kau yang akan mewarisi kekuasaan Kong-kong, bodoh. Karena kau keturunan
langsung darinya!” Chin Yee keluar, meninggalkan Ching-ching yang bengong saking
terkejut.
Ching Ching 97
Siu Pek masuk lagi. Melihat keadaan Ching-ching, ia menjadi sangat kuatir.
“Siauw-moay, kau tak apa-apa?”
Ching-ching menoleh. “Su-cie, benarkan aku harus menggantikan Kong-kong
nantinya?”
“Tentu saja. Kau kan cucunya.”
“Benarkah aku harus kawin dengan Fei Yung?”
“Tahu dari mana?”
“Benar?”
Siu Pek mengangguk.
“Tapi aku bukan cucu Kong-kong!” Ching-ching menyapu semua benda yang ada di
meja. Beberapa cawan teh dan pocinya pecah berantakan.
“Ssst!” Siu Pek mendesis kuatir. “Kau ngomong apa? Jangan bicara begitu lagi di
sini.”
“Su-cie, aku benar bukan cucu Kong-kong. Aku cuma anak angkat Ibu. Aku tak mau
di sini. Aku mau pulang mencari A-thia!”
“Ngomongmu ngaco. Apakah kau barusan minum arak?”
“Su-cie, aku benar bukan anak kandung Ibu.”
“Ching-ching, jangan main-main lagi. Siapa pula yang mau mendengar omonganmu?
Semua tahu wajahmu mirip sekali dengan Lung Yin. Kalau kau cuma mau mencari
A-thiamu, nanti bisa dibicarkaan dengan kakekmu.”
“Tapi, Su-cie, aku betul-betul—“
“Sssh,” potong Siu Pek. “Barangkali kau kecapekan. Tidurlah. Pikiranmu akan
tenang besok pagi.”
Siu Pek membantu Ching-ching ke tempat tidur. Gadis itu mematikan pelita dan
pergi. Ia tak mau mendengar ocehan sumoynya yang dianggap sedang mabuk.
Ching-ching tahu, tak ada gunanya bicara soal ini dengan Siu Pek. Lebih baik ia
menunggu Su-bo pulang. Pasti dia akan lebih mengerti. Tapi, kapan subonya
datang?
Sejak pembicaraan dengan Chin Yee malam itu, Ching-ching selalu berusaha
menjauhi Fei Yung. Ada saja akalnya mengibuli pemuda itu sehingga, biarpun tak
usah mengeram diri di kamar, Fei Yung juga tak bisa dekat-dekat. Ia kini selalu
dikelilingi enam orang kiong-li ke mana-mana. Dengan begitu, biarpun Fei Yung
dapat menemuinya, tak dapat ia bicara bebas sebab Ching-ching melarang
pelayannya pergi selain ia yang menyuruh.
Fei Yung menjadi heran dan juga kesal. Ia tak berhenti mengejar. Sampai suatu
hari, ia dapat menemui Ching-ching yang sedang berlatih dengan Siu Pek. Melihat
Fei Yung datang, mendadak Ching-ching berlagak bodoh dan minta macam-macam
petunjuk pada suci-nya. Sayang, Siu Pek tidak tanggap akan maksud sumoy-nya. Ia
malah berkata, “Sudahlah, sudah cukup untuk hari ini. Jangan sampai terlalu
capek. Nanti terluka sendiri. Kau pergi main sajalah.” Siu Pek meninggalkan
merkea berdua.
“Eh, Suci—“ Ching-ching tak sempat mencegah. Siu Pek keburu menghilang.
Ching-ching hendak menyusul, tapi Fei Yung menghadang dan langsung berkata,
“Lung Ching, ada apa denganmu? Belakangan ini kau selalu menghindari bertemu
denganku.”
“Siapa bilang,” sahut Ching-ching cepat. “Belakangan ini aku cuma lebih giat
berlatih. Tak kaudengar, Subo sebentar lagi pulang? Pasukan Goan sudah dibikin
kocar-kacir. Tapi, tak peduli bagaimana, tiap kali ketemu aku, Subo pasti
menguji. Jadi aku mesti latihan baik-baik. Sudah, kau minggirlah. Aku mau minta
beberapa petunjuk pada Suci.”
Ching Ching 98
“Betul bukan, kau menghindariku? Katakanlah, Lung Ching, adakah aku berbuat
salah padamu? Kalau benar, maafkanlah atau marahi aku. Kau boleh pukul aku kalau
mau. Tapi, jangan begini caranya.”
“Kau tak punya salah. Kalau punya, tak perlu kau minta, aku akan pukul kau. Aku
cuma …. Sudahlah. Kalau kau mau bicara, tunggu saja di taman bunga. Sebentar aku
menyusul.”
Fei Yung heran mendengar tempat yang disebut. Aneh, biasanya Ching-ching selalu
menjauhi bunga. Baunya membuat hidung gatal, katanya. Lantas, sekarang kenapa ia
malah ingin bertemu di sana?
Lama Fei Yung menunggu, tapi Ching-ching tak datang-datang juga. Malah kemudian
terlihat sosok Chin Yee yang datang ke situ.
“Mana Lung Ching?” tanya Chin Yee. “Katanya, ia mau menemuiku di sini?”
“Entah,” sahut Fei Yung. “Aku juga sedang menantinya.” Pemuda itu mulai curiga
maksud Ching-ching mengundangnya ke tempat ini. Keduanya membisu, menunggu
beberapa saat lamanya.
Tak lama kemudian seorang kiongli menghampiri, memberi hormat, lalu menyampaikan
surat dari Ching-ching, dan kemudian pergi. Dahi Fei Yung langsung berkerut
membaca surat itu. Isinya adalah permintaan maaf Ching-ching yang tak bisa
datang, berhubung harus mengatur penyambutan subo-nya besok siang. Terbukti
sudah kecurigaan Fei Yung. Ching-ching benar-benar menjebaknya bersama Chin Yee.
“Fei Yung, karena ia tak datang, kenapa kita tidak berjalan-jalan saja?” ajak
Chin Yee.
Fei Yung menimbang-nimbang. Melihat pengharapan di mata Chin Yee, ia tak tega
menolak. “Baiklah!” sambutnya, meski dengan omelan dalam hati.
Esoknya Lung Shia pulang. Ia disambut dengan pesta besar-besaran. Begitulah
kalau pahlawan pulang perang membawa kemenangan.
Ching-ching tak sabar menanti kesempatan bicara dengan subo-nya, tapi
kongkong-nya sudah mendului berunding dan berbincang-bincang dengan Lung Shia.
Tentu saja gadis yang tak sabaran itu jadi mengomel-omel tak keruan.
Akhirnya Lung Shia keluar juga. Ching-ching langsung memburunya. “Su-bo, ada
sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”
“Tak bisakah menunggu besok pagi?”
“Tapi ini penting sekali.”
“Baiklah, ayo ke kamarku.”
Mereka masuk ke kamar Lung Shia. Ching-ching menutup pintu dan langsung berlutut
di hadapan gurunya. “Su-bo, aku sudah melakukan kesalahan besar!”
Dahi Lung Shia berkerut. “Kenapa? Kau membunuh pelayanmu karena tidak becus? Itu
soal biasa.”
“Bukan! Bukan!” Ching-ching menggelengkan kepala. “Tapi—Su-bo, aku bukan anak
Lung Yin.”
Plak! Pedih terasa pipi Ching-ching ditampar oleh Lung Shia. Gadis cilik itu
sampai terjengkang karenanya.
“Berani kau tidak mengakui ibumu sendiri?!” Lung Shia membentak marah.
“Su-bo, bukan maksudku. Tapi, aku benar-benar bukan anak kandungnya. Nama ibuku
yang sebenarnya adalah Han Mei Lin dan ayahku Lie Chung Yen. Aku sendiri she
Lie, bernama Mei Ching.”
“Tak mungkin!” Lung Shia tak percaya. “Tak mungkin kau bukan anak Lung Yin.
Wajah kalian begitu—begitu mirip satu sama lain. Lagipula, kau dapat memainkan
lagu blablabla, mempelajari sebagian ilmu Lung Yin, dan memiliki pek-giok
miliknya.”
Ching Ching 99
“Tidak,” kata Ching-ching. “Anak Ibu yang sebenarnya bernama Chu Hoa. Usianya
dua tahun di atasku. Ia sudah mati.” Ching-ching menceritakan riwayat hidupnya
kepada Lung Shia. Mula-mula ceritanya tak dipercayai, tapi kemudian keyakinan
Lung Shia goyah.
“Kenapa selama ini kau tidak cerita?”
“Tidak ada yang menanyakan padaku.”
“Aku pun tidak bertanya. Kenapa kau cerita?”
“Su-bo, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Kata Chin Yee, aku harus kawin
dengan Fei Yung karena aku adalah keturunan langsung dari Kong-kong. Dan, kata
Cici Siu Pek, kalau sudah begitu, aku tak boleh lagi pergi ke Tiong-goan.
Lantas, bagaimana aku memenuhi pesan Ibu untuk mencari dan menjaga A-thia?”
“Kalau A-thiamu ada di sini, akankah kau tinggal dan mengawini Fei Yung?”
Ching-ching meringis. “Tidak,” katanya. “Mungkin aku senang di sini. Tapi, kalau
mesti kawin dengan Fei Yung, mendingan kabur saja.”
Lung Shia mengangguk. Ia teringat bahwa ia sendiri dulu nekat menyepi ke gunung
karena dipaksa orangtuanya, sama seperti Ching-ching. Ia dapat mengerti
keputusan gadis kecil muridnya itu. “Pantas abangku menyinggung-nyinggung
penggabungan dua negara. Rupanya ini adalah maksud sebenarnya. Kapan Fei Yung
akan melamarmu?”
“Entah. Tapi, kata Chin Yee, Kong-kong sudah memutuskan.”
“Sudah diputuskan?” Lung Shia terkejut. “Ching-ching, apakah kau sudah menerima
tanda mata dari Fei Yung? Apakah kau juga sudah memberikan tanda mata
kepadanya?”
“Rasanya aku tidak … Eh!” Tiba-tiba ia tersentak. “Subo, apakah mutiara dan
kantung uang dapat dianggap tanda mata? Aduh, berarti sudah. Memangnya kenapa?”
“Itu berarti Fei Yung sudah memilih. Kau memberi tanda mata, berarti kau pun
menyukainya. Kalian akan segera bersatu.”
“Aduh, Subo, aku tak tahu kalau …. Lalu, apa yang harus kulakukan?”
“Abangku seumpat bilang, Fei Yung akan pulang lusa untuk mempersiapkan segala
sesuatu. Kau harus pergi sebelum itu.”
“Kapan?”
“Besok malam.”
“Baiklah. Besok pagi aku akan bilang pada Kongkong.”
“Jangan!” cegah Lung Shia. “Kau akan dilarangnya pergi. Lagipula, ia begitu
gembira mempunya cucu. Jangan kau rusak kesenangannya. Dan satu lagi. Selain
aku, di Sha Ie tak seorang pun boleh tahu bahwa kau bungan anak Lung Yin. Ingat
itu. Sekarang pergilah. Panggil semua suci-mu kemari. Dan kau istirahatlah.”
Tanpa banyak tanya, Ching-ching melaksanakan perintah subo-nya.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Ching-ching sudah menemui kongkong-nya, yang
begitu senang melihat dia. Mereka menghabiskan waktu dengan membicarakan
macam-macam. Lung Fei lebih banyak mengajari soal pemerintahan. Kemudian,
kesenangan mereka terganggu dengan kedatangan Fei Chan dan anaknya.
“Ah, Ching-ching, aku ada urusan. Kau pergilah menemui Fei Yung,” kata
kongkongnya.
Fei Yung senang. Hari itu Ching-ching baik sekali kepadanya. Semua kemauan
pemuda itu dituruti. Seharian mereka main berdua saja. Ching-ching tak mau
ditemani pelayan. Fei Yung juga tak mau ada orang lain. Ketika hari menjelang
malam, sebelum berpisah dengan Fei Yung, Ching-ching bertanya,
“Fei Yung, tahukah kau Chin Yee amat menyukaimu?”
“Tentu saja. Orang yang tidak buta pun akant ahu.”
Ching Ching 100
“Sukakah kau padanya?”
“Aku lebih suka kau.”
Ching-ching tidak menggubris. “Fei Yung, lain hari jangan kaujauhi dia. Kau
harus lebih sering main dengannya. Seperti dulu.”
“Yah, kalau kau lebih suka begitu, baiklah. Mulai besok, kita akan selalu main
bertiga dengannya.
Ching-ching cuma tersenyum saja. “Kau pergilah. Aku mau istirahat.”
“Tidur yang enak ya. Jangan lupa bawa aku dalam mimpimu.” Fei Yung melambaikan
tangan. Ching-ching membalas. Dalam hati, gadis itu mengucapkan selamat
berpisah.
Sesudah Fei Yung tak kelihatan lagi, ia menyelinap ke kamar Lung Shia. Subo dan
semua suci-nya berkumpul di sana. Mereka sudah menyiapkan apa yang dibutuhkan
Ching-ching dalam perjalanannya nanti.
“Kau sudah siap?” tanya Lung Shia.
Ching-ching mengangguk. Ia memang sudah siap meninggalkan guru dan semua
suci-nya biarpun terasa berat. Tak terasa, mata gadis itu berkaca-kaca.
“Jangan menangis!” bentak subo-nya. “Sudah berapa kali kubilang, menangis adalah
pekerjaan orang lemah. Kau tak boleh jadi orang lemah!”
Ching-ching buru-buru menghapus air matanya.
“Begitu lebih baik.” Lung Shia menatap dalam ke mata bening gadis cilik itu.
“Sebentar lagi kau harus segera berangkat. Seorang sucimu akan mengantar. Kau
boleh pilih seorang dari mereka.”
Ching-ching menoleh. Ia tahu semua suci-nya mengharap dipilih. Kecuali Siu Li
barangkali. Sedari tadi ia terus-menerus memalingkan muka. Ching-ching nyengir.
Ini terakhir kalinya ia dapat mengerjai gadis baju hijau itu. “Harap para Suci
yang lain mengerti. Aku ingin diantar Cici Siu Li.”
“Aku?” Siu Li terkejut, sementara yang lain tersenyum-senyum.
“Kau dengar sendiri,” kata Lung Shia. “Kau terpilih mengantar Putri sampai ke
kapal.
Terpaksa Siu Li mengangguk.
“Kalian keluarlah. Aku perlu bicara dengan sumoy kalian.”
Ching-ching tinggal berdua di dalam kamar.
“Ching-jie, sebelum kau pergi, aku ingin bertanya. Ingatkah kau ajaranku? Nah,
coba kaukatakan, bagaimana orang yang lemah itu.”
“Orang yang lemah adalah orang yang gampang menangis, gampang melupakan
kesalahan orang lain, dan suka mengampuni musuh. Oh ya, orang pengkhianat juga
adalah orang lemah. Betul kan?”
“Lalu, bagaimana orang pintar?”
“Yang tahu kemampuan sendiri, tidak gampang percaya, dan berani mundur kalau
tiba saatnya.”
“Orang berani?”
“Yang tak takut mati, juga tak takut hidup.”
“Baiklah. Cukup. Aku percaya kau ingat semua. Ching-jie, di Tiong-goan nanti,
baik-baiklah menjaga diri. Kabarnya, di sana tak sedikit orang berkepandaian
tinggi. Hati-hati menghadapi mereka. Dan ketahuilah, bakatmu dalam boe baik
sekali. Jangan kausia-siakan. Di sana, carilah ilmu setinggi mungkin. Makin
tinggi ilmumu, makin mudah menjaga diri. Jangan sungkan mengangkat guru selain
aku. Mengerti?”
“Ya, Su-bo.”
“Pergilah. Jaga dirimu baik-baik!”
Ching Ching 101
“Su-bo juga harap jaga diri baik-baik.”

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cerita Dewasa Bukan Raisa Tapi Ching Ching 1 ini diposting oleh ali afif pada hari Selasa, 11 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments