Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2

Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2
Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2
AliAfif.Blogspot.Com - Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2

Baca Juga:
-Ching-ching keluar tanpa menoleh lagi. Ia tak sempat melihat dua anak sungai
mengalir di pipi Lung Shia.
Siu Li dan Ching-ching saling berdiam diri selama perjalanan. Entah kenapa, Siu
Li tidak mengomel. Ching-ching juga enggan berkata-kata sampai mereka tiba di
sebuah kapal milik seorang saudagar yang akan membawa Ching-ching ke Tiong-goan.
Gadis cilik itu sudah akan melangkahkan kaki ke kapal waktu disadarinya Siu Li
memegang tangannya erat, seolah tak mau melepas lagi. Ching-ching menoleh heran.
“Ada apa, Su-ci?”
“Eh, Siauw-moay. Aku … aku ingin memberikan sesuatu.” Siu Li mengeluarkan sebuah
benda panjang. Sebuah suling bambu harum, seperti yang diidamkan Ching-ching.
“Ini untukmu,” katanya kaku.
Ching-ching membelalak gembira. Tapi, kemudian ia malah menggeleng. “Su-ci, itu
suling kesayanganmu, bukan? Selama ini tak kauizinkan seorang pun menyentuhnya.
Mana boleh sekarang kauberikan kepadaku?”
“Tolol. Masih banyak waktu bagiku untuk membuat yang baru. Tapi, kau mau pergi,
tak tahu kapan kembali. Lebih baik kau aja yang membawa, untuk sesekali
menghibur diri.”
Ching-ching terharu. Matanya berkaca-kaca. Suaranya bergetar waktu ia
mengucapkan terima kasih.
“Kapal segera berangkat,” si pemilik kapal mengingatkan.
Ching-ching melangkah ke dalamnya. Ia berdiri di ujung geladak, sementara kapal
itu mulai berjalan. Layarnya terkembang, tertiup angin kencang, menambah laju.
Ching-ching melihat Siu Li masih mengawasi.
Entah perasaan apa yang mendorong gadis cilik itu melakukan hal ini. Tiba-tiba
saja ia melompat dari kapal, mendarat di hadapan Siu Li, dan memeluknya
erat-erat. Sucinya balas memeluk. Cukup lama mereka berangkulan, sebelum
masing-masing tersadar dan saling melepaskan diri dengan kikuk.
“Ching-moay, jaga diri baik-baik ya.”
“Suci juga. Jangan banyak mengomel lagi.”
Mereka terdiam. Kemudian serentak menoleh ke kapal yang makin jauh.
“Ching-moay, kau tak bakal sampai ke sana sekali lompat. Biar kubantu!” Siu Li
mengaitkan jemari tangannya, menyuruh Ching-ching menginjaknya. Kemudian, ia
melontarkan gadis itu ke arah kapal.
Ching-ching berpoksai beberapa kali di udara, sebelum kakinya mantap mendarat di
geladak. Ia menoleh lagi. Siu Li sedang melambaikan tangan ke arahnya, sampai
kapal yang membawa sumoy-nya tak terlihat lagi.
Beberapa minggu kemudian, Ching-ching turun dari kapal yang ditumpanginya,
menjejakkan kaki di tanah Tiong-goan. Ia berterima kasih pada saudagar pemilik
kapal itu, sekalian berpamit. Setelah itu, ia pergi untuk mencari A-thianya.
Ching-ching berjalan sendirian. Ia memperhatikan orang-orang yang lewat dan yang
berjualan. Tapi, sebenarnya justru dialah yang diperhatikan. Setiap orang yang
berpapasan karena dandanannya yang tidak lazim. Tentu saja, saat itu Ching-ching
masih mengenakan pakaian negeri Sha Ie. Apalagi ia berjalan sendirian tanpa
seorang pun menemani.
Ching-ching bukannya tak menyadari. Ia pun risih menjadi tontonan orang.
Karenanya, ketika ia lewat di sebuah desa, ia memasang mata mencari gadis kecil
yang perawakannya sama.
Ia tak usah jauh-jauh mencari. Malah anak-anak itu yang menghampirinya,
memandangi dengan mata menunjukkan rasa ingin tahu. Ada yang besar, ada yang
Ching Ching 102
kecil, laki-perempuan. Kebetulan, tak sedikit anak perempuan yang sebaya
dengannya.
“Hai,” katanya mulai berbicara dalam bahasa Han yang fasih. “Aku butuh ….”
Ching-ching tak bisa bicara lagi. Anak-anak itu sudah berseru-seru menyatakan
keheranan pada anak asing yang pandai bercakap-cakap dalam bahasa ibu mereka
ini. Mereka bahkan juga memegang-megang bajunya. Ching-ching diam saja menunggu
mereka puas dan bosa sendiri. Belum lagi hal itu terjadi, terdengar suara keplak
kuda dan tahu-tahu anak-anak itu sudah pada kabur semua!
Ching-ching cepat mengejar seorang anak perempuan yang seperawakan dengannya,
yang buru-buru lari dan bersembunyi di balik sebuah rumah dengan begitu
ketakutan. Ching-ching ikut mundur, mepet ke dinding, dan berdiri diam-diam di
sana.
Didengarnya suara orang berlari danb erteriak. Terdengar juga suara orang
mengaduh kesakitan. Tahu-tahu Ching-ching mencium bau yang menyengat hidung. Ia
menoleh ke si anak perempuan di sebelah.t ernyata anak itu telah
terkencing-kencing saking takutnya!
Ching-ching diam saja. Ia hendak menggerakkan badannya untuk melongok, ketika
tangannya ditarik. Anak di sebelahnya menempelkan telunjuk di bibir sambil
menggeleng-geleng. Terpaksa Ching-ching diam lagi.
Rasanya lama sekali sebelum terdengar suara derap kuda yang pergi menjauh. Dan
Ching-ching mendengar anak di sebelahnya jatuh terduduk dan menangis
tersedu-sedu. Ching-ching tak tahu apa yang harus dilakukan. Jadi, ia berjongkok
dan mengelus-elus pundak gadis cilik itu untuk menenangkan. Ketika tangisnya
mereda, barulah Ching-ching bertanya, “Kenapa kau lari barusan?
Gadis itu mengangkat kepala dengan heran. “Kau sendiri kenapa lari?”
“Tidak tahu. Kulihat kalian lari, jadi aku ikut lari saja.”
“Aku lupa, kau bukan orang desa kami. Kau pasti anak saudagar asing yang kaya
raya,” kata gadis itu sambil memandang iri ke baju Ching-ching. “Tadi itu
orang-orang perkumpulan besar di daerah barat. Namanya perkumpulan Hek-san-coa
(Ular gunung hitam), kalau tidak salah. Mereka sering lewat desa ini. Dan setiap
kali lewat sekalian merampok dan menculik orang.”
Ching-ching terperanjat. Nama itu mengingatkannya pada Hek-coa-kui-bo (Nenek
iblis ular hitam), pembunuh ibu angkatnya. Barangkali ada hubungan! Barangkali
ia dapat mencari A-thianya!
“Bajumu bagus,” kata anak perempuannya sambil berdiri. “Harganya pasti mahal.”
Kata-katanya mengingatkan Ching-ching akan tujuannya semula. Langsung ia
berkata, “Kalau kau suka, kau boleh ambil.”
Anak itu cekikikan. “Lalu kau pakai apa?”
“Tukar saja dengan bajumu itu.”
Bocah itu memandang ke baju Ching-ching. Lalu ke bajunya sendiri. Tiba-tiba
wajahnya merah, melihat celana yang basah. “Bajumu bagus,” katanya berdalih.
“Bajuku jelek, bertambalan, dan … kotor.” Wajah anak itu semu lagi.
“Kalau begitu, aku tak memaksa,” kata Ching-ching. Ia juga tak mau pakai celana
basah ke mana-mana.
“Tunggu! Aku masih punya baju bersih di rumah,” kata anak itu, yang kelihatannya
betul-betul menginginkan baju yang dipakai Ching-ching. “Ayo ke rumahku. Kau
bisa sekalian pakai di sana.”
Ching-ching mengangguk setuju.
Anak itu langsung memakai baju Ching-ching begitu dilepaskan. Dandanannya jadi
aneh. Sebatas kepala ke leher, ia tampak sebagai gadis desa biasa. Apalagi
Ching Ching 103
dengan rambutnya yang digelung kiri-kanan. Sebatas leher ke pergelangan kaki
seperti anak saudagar asing. Selebihnya kembali seperti anak desa dengan sepatu
yang sederhana, walaupun belum terlalu butut. Dan Ching-ching justru sebaliknya.
“Bagaimana kalau tukar sepatu sekalian?” tanya Ching-ching, dan langsung
diiyakan.
Ching-ching juga mengganti tatanan rambutnya. Ia mencopot semua jepitan rambut
dan tusuk kondenya yang terbuat dari emas dan berlian. Dibungkusnya dalam
saputangan bersama-sama dengan pek-giok dari ibu angkatnya, yang dimasukkan ke
dalam saku. Ia meniru model rambut anak desa. Nah, sekarang tak dapat ia
dibedakan dari anak desa biasa, kecuali bahwa ia lebih bersih daripada yang
lain. Ching-ching meraih suling bambu wanginya. Sekarang ia siap pergi.
Tahu-tahu ia ingat sesuatu.
“Kau punya makanan?” tanyanya.
“Tidak. Biasanya ibuku membawa makanan tiap sore dari …”
Ching-ching tidak dengar lagi. Ia sudah membalikkan badan. Ada satu arah yang
dituju. Hek-san!
Beberapa hari Ching-ching berjalan, ia mulai bingung.s etiap orang yang ditanyai
tentang tempat yang dituju cuma bisa menggeleng saja. Sepertinya belum pernah
mendengar tempat yang namanya Hek-san (Gunung Hitam). Bahkan perkumpulan
Hek-san-coa pun rupanya tak ada yang tahu. Ching-ching jadi ragu. Apakah waktu
itu dia yang salah dengar, atau orang yang salah bicara?
Tapi Ching-ching masih berharap. Selama ini ia hanya melewati dusun-dusun kecil
saja. Kini ia akan mencari jalan lewat kota-kota besar. Barangkali mereka di
sana ada yang tahu.
Ini adalah kota pertama yang ia masuki di daratan Tiong-goan. Tidak tahu
seberapa besarnya, tapi cukup ramai. Mudah-mudahan saja orang-orang Hek-san-coa
sering mampir ke kota ini. Sambil berjalan, Ching-ching memasang mata dan
telinga. Syukur kalau mendengar sesuatu. Sayangnya, sampai tengah hari, ia tak
mendapat sesuatu berita.
Ching-ching sampai di depan sebuah rumah besar. Di sana ramai sekali. Banyak
orang datang membawa kado. Kelihatannya mereka semua orang terpandang.
Ching-ching melihat papan nama yang besar di sana.
Peng-an-piauw-kiok
(Perusahaan Ekspedisi Selamat)
Heh, barangkali ada yang kawinan. Ching-ching tak peduli. Kemudian ia berpikir
lagi. Orang-orang ekspedisi biasanya sering pergi ke mana-mana. Barangkali ia
dapat menanyakan tempat yang ia tuju. Tapi, bagaimana? Ia tak mungkin
menyelonong masuk dan bertanya begitu saja.
Ching-ching mengitari rumah itu. Ia sampai ke belakang rumah. Di sana terdapat
pintu untuk keluar-masuk pelayan. Di pintu itu berdiri seorang perempuan
setengah baya yang tampak agak bingung. Ia masuk ke dalam. Tak lama kemudian,
sudah keluar lagi, memandang ke ujung jalan. Lalu masuk lagi.
Ching-ching memandangi dengan heran, tapi kemudian ia tak peduli dan duduk
bersila di tanah. Ia berpikir-pikir jalan mencari A-thia-nya.
Fung Ma, pelayan keluarga piaw-kiok Kwan memandangi bocah kecil yang duduk
termenung-menung itu. Ia mengira-ngira, dapatkah bocah ini dipercaya. Ah,
barangkali baiknya ia tunggu dulu A-ho barang sebentar. Sian-thong satu itu
memang dungu bukan main. Disuruh beli garam saja lama betul. Barangkali tersesat
di jalan. Entah kenapa, Kwan Piaw-su masih suka mempekerjakan dia. Tapi, si
Dungu itu memang bertenaga besar. Mungkin itu sebabnya.
Ching Ching 104
Beberapa saat menunggu, Fung Ma, tukang masak yang berbadan subur itu, menjadi
kesal. Ingin rasanya ia pergi membeli sendiri garam itu kalau saja kakinya tidak
sakit. Kakinya itu memang segan diajak jalan. Selalu terasa ngilu kalau jalan
jauh-jauh. Pelayan lain sudah punya tugas sendiri yang tak bisa ditinggalkan.
Tapi garam itu sangat perlu untuk membuat sayur. Apa kata tamu-tamu tuannya
nanti kalau makanan hambar tanpa rasa?
Fung Ma memandang anak perempuan yang sedang duduk itu. Kelihatannya bisa
dipercaya. Coba saja.
“Siaw-hai-jie (anak kecil),” panggilnya, membuat Ching-ching yang sedang melamun
jadi mendusin. “Mau kau tolongi A-ie sedikit?”
Ching-ching berpikir, Apa salahnya menolong orang sedikit. Siapa tahu nanti bisa
bertanya soal Hek-san. Atau sekalian perkumpulan apa yang ada di sana. Berpikir
begitu, Ching-ching menjawab, “Tolongi apa, A-ie?”
Fung Ma memberikan sekeping uang. “Ini uang. Beli garam di toko di depan sana.
Lekasan, ya.”
Ching-ching langsung berlari. Toko yang ditunjuk tidak susah dicari. Makanya ia
cepat balik, memberikan garam yang dipesan.
Fung Ma merasa senang. Tadi ia sempat berpikir, bagaimana kalau uang itu dibawa
gadis gembel dekil yang ia suruh. Ternyata bocah itu jujur juga. Fung Ma jadi
tertarik hatinya. Ia melarang ketika Ching-ching hendak duduk lagi di tanah.
“Eh, jangan duduk di situ. Kotor,” katanya. Lalu ia memandangi lagi gadis itu.
“Kau sudah makan? Belum? Kalau begitu, ayo ikut. Di dalam banyak makanan
enak-enak. Huh, kau bau. Biar kuganti sekalian bajumu.”
Di dalam, setelah Fung Ma pergi ke dapur dan menggarami masakannya, ia mengajak
Ching-ching ke sumur untuk membasuh diri. Setelah mukanya dicuci, Fung Ma dapat
melihat kulit Ching-ching yang putih halus, tidak seperti anak desa yang biasa
terbakar matahari. Tangannya pun halus, tak kasar macamnya anak kampung. Tapi
Fung Ma tidak bertanya. Anak macam begini biasanya berbohong kalau ditanya
asal-usulnya. Ia dulu pun begitu. Hanya saja, ia beruntung diangkat anak oleh
tukang masak keluarga Kwan yang terdahulu, sehingga sekarang hidupnya terjamin.
“Nah, kalau bersih, kau tampak cantik,” kata Fung Ma memuji. “Coba kau tinggal
lebih lama. Akan kuurus kau. Mau kau tinggal di sini? Nanti kuajari masak.”
Ching-ching menimbang-nimbang. Belum ia memutuskan, seorang kacung berlari
menghampiri.
“Fung Ma, mana masakan berikut? Dan sesudah ini, jangan lupa sop ikannya.”
“Aduh, aku lupa pada sop ikan itu. Celaka. Gara-gara si A-ho dungu itu!” Fung Ma
menyumpah-nyumpah, lupa pada Ching-ching. Ia bergegas ke dapur. Di belokan, ia
hampir bertabrakan dengan soerang berbadan besar. Karena menghindari tabrakan
itu, Fung Ma terpeleset dan jatuh terduduk. “A-ho sialan!” umpatnya pada orang
yang tadi hendak menabrak. “Kalau jalan, pakai matamu!” Fung Ma bangkit berdiri,
tapi kemudian menjerit dan terjatuh lagi. “Aduh, aduh kakiku!” katanya sambil
mengurut-urut kakinya. “Sakit, sakit. Aku tak dapat berdiri!”
“Celaka!” ujar kacung yang baru datang. “Lalu, bagaimana dengan makanannya?”
“Semuanya sudah siap. Tinggal mengangkatnya dari atas tungku.”
Kacung itu lari ke dapur.
“Semuanya gara-gara kau!” kata Fung Ma menuding A-ho. “Kau memang selalu bawa
sial buatku. Lihat, kakiku sakit! Sop ikan belum kubikin, menunggu kau
membawakan garam! Dan nanti, bisa jadi aku dipecat lantaran ….”
Tahu-tahu, orang yang dipanggil A-ho itu menangis! Ching-ching memandangnya
dengan heran. Sudah sebesar itu, diomeli saja menangis?
Ching Ching 105
“Dasar dungu!” Fung Ma mengomel pelan, tapi tak membentak lagi. Ia tak tega
melihat A-ho sesenggukan.
“A-ie, aku bisa masak sedikit-sedikit. Apa aku bisa bantu?” Ching-ching
menawarkan diri.
“Kau bisa masak sop ikan? Tidak? Ah, gampang. Begini caranya.” Fung Ma
memberitahukan dengan cepat. “Tapi, hati-hati ya. Masaknya jangan kelamaan.
Ikannya nanti hancur.” Fung Ma tampak lebih tenang. Ia percaya Ching-ching
pandai memasak. Anak desa biasanya begitu, namun mereka sering merendahkan diri
dengan pura-pura tak sanggup. “Nah, kau masaklah. Masak sop ikan, asal matang
dan bumbunya tepat, akan enak jadinya. A-ho, kau papah aku ke kamar!”
A-ho yang badannya besar itu menurut. Ia malah membopong Fung Ma sekalian. Ia
melihat ke arah Ching-ching beberapa kali. Ketika Ching-ching tersenyum, ia
buru-buru memalingkan muka, menunduk, dan jalan bergegas.
Sesampainya di dapur, Ching-ching mengambil ikan-ikan yang sudah dibersihkan.
Dipotong-potong, lalu direbus dalam panci besar. Uf, banyak sekali ikan-ikan
ini. Apa bisa habis dimakan nanti? Ah, itu bukan urusannya. Sekarang ia harus
memasukkan bumbu-bumbu ke dalam ….
Ching-ching tertegun. Baru disadarinya, ia tak tahu nama-nama bumbu yang ada di
situ. Ia hafal di luar kepala resep dari Fung Ma, tapi bumbu ini yang mana,
sayur itu yang bagaimana, ia tak tahu. Selama ini, ia belajar masak di Negeri
Sha Ie. Semua dalam Bahasa Mongol. Ia tak tahu bagaimana menyebut dalam Bahasa
Han. Belum lagi cara masaknya lain.
“Cepat, cepat,” seorang kacung datang. Rupanya yang barusan menemui Fung Ma. Ia
kaget melihat Ching-ching. “Mana Fung Ma? Kok kau yang ada di sini? Oooh, kau
disuruh menggantikan, ya? Apa bisa? Masa bodohlah! Asal kau cepat saja. Sebentar
sop ikan sudah harus keluar.” Habis bicara begitu, kacung berumur 17-an itu
pergi. Tinggal Ching-ching bengong sendiri.
Ia tak punya banyak waktu. Dan di sana tak ada orang yang bisa ditanyai. Aneh,
pada ke mana pelayan semua? Barangkali di depan, meladeni tamu. Akhirnya
Ching-ching mengambil keputusan nekad. Ia akan memasak, tapi dengan cara dan
resep Sha Ie. Kalau terpaksa, masukkan saja semua bumbu. Hasilnya bagaimana
nanti.
Begitulah ia bekerja. Semua tempat bumbu diambil dan dibaui. Ia dapat mengenali
beberapa bumbu, tapi yang lain …. Biarlah. Paling tidak, ia sudah berusaha.
Dua orang pelayan masuk ke dapur membawa belasan mangkuk. Mereka sama-sama
terkejut ketika melihat Ching-ching.
“Sopnya sudah siap!” kata Ching-ching, yang lantas saja menuangkan sop ke
mangkuk-mangkuk yang dibawa. Dua orang pelayan itu tak bertanya. Mereka sudah
cukup sibuk menjalankan tugas masing-masing. Akhirnya, puluhan mangkuk terisi
semua. Tinggal sisa sop sedikit di dasar panci. Tugas Ching-ching selesai.
Dengan lemas gadis itu duduk di lantai. Rasanya capek sekali, tapi ia senang.
Entah kenapa. Mungkin memasak membuatnya teringat akan Sha Ie, kongkong-nya,
subo-nya, para suci-nya, Chin Yee, dayang-dayang, dan Fei Yung, yang membuatnya
punya alasan meninggalkan negeri itu.
Tak tahu sudah berapa lama Ching-ching melamunkan masa-masa ia di Sha Ie. Ia
dikejutkan seorang pemuda tanggun. Usianya sekitar lima belas tahun. Bajunya
bagus, wajahnya tampan, namun tampak agak dungu ketika ia bengong menatap
Ching-ching.
“Kau siapa? Pelayan baru ya? Fung Ma di mana? Aku mau minta tambah sop ikan.”
“Sopnya ada di panci. Sini, kuambilkan.” Ching-ching menuangkan sisa sop di
Ching Ching 106
panci ke mangkuk yang dibawa anak itu.
“Fung Ma memang jago masak,” kata anak itu. “Tapi, baru kali ini ia masak sop
ikan yang begitu lezat. Omong-omong, di mana dia?”
“Dia ada di …” Ching-ching menangkap suara orang menyelinap di luar. Suara
langkah yang ringan, langkah seorang gadis. Benar saja, gadis itu sekarang
berdiri di pintu.
“Chin Wei-ko, lama benar kau pergi. Lekasanlah. Nay-nay (Nyonya) mencarimu.”
“Tunggulah, aku mau menghabiskan dulu sop ini.”
“Huh, kerjamu tak lain makan melulu.”
“Biar, mumpung masih bisa makan,” jawab Kwan Chin Wei. Ia makan agak
terburu-buru. Setelah habis, mangkuknya diberikan kepada Ching-ching. Ia
mengelap mulutnya dengan punggung tangan.
“Ih, Chin Wei Ko, kau jorok. Nih, pakai sapu tanganku.”
Chin Wei mengambil sapu tangan si gadis sambil melangkah pergi. Gadis itu
buru-buru mengikuti.
Ching-ching ikut pergi dari dapur. Ia menuju ke kamar Fung Ma. Ia hendak pamit,
meneruskan perjalanan. Ia menemukan Fung Ma masih mengomel di tempat tidurnya.
A-ho berdiri di sampingnya dengan kepala tertunduk.
“Ha, kau. Bagaimana kerjaanmu? Beres?”
“Sudah beres semua, A-ie. Sekarang aku—“
“Uh, aku lupa. Kau belum ganti baju,” Fung Ma tak memberi kesempatan bicara.
“Ayo, tukar, tukar. Ada beberapa baju bekas pelayan-pelayan lain di peti besar
itu. Ambillah satu yang cocok untukmu.”
“A-ie, aku …”
“Sudah, majikanku tak akan tahu. Lagipula, baju-baju itu sudah tak terpakai
lagi. Ayolah, hitung-hitung balas budiku padamu.”
Ching-ching tak dapat membantah lagi. Dari peti besar yang ditunjuk Fung Ma, ia
mengambil satu setel pakaian yang kira-kira cocok untuknya.
“Ayo pakai, pakai,” desak Fung Ma. Malu-malu Ching-ching melirik A-ho. Fung Ma
mengerti. Ia lantas membentak kacung yang agak dungu itu. “Mau apa kau di sini
terus? Mau lihat gadis berdandan?”
A-ho menggeleng-geleng. Dengan wajah merah ia keluar dari kamar dengan tak lupa
menutup pintu.
Ching-ching menukar pakaiannya yang butut. Sekarang bajunya kelihatan lebih
baik, dan ini berpengaruh pada wajahnya, yang jadi lebih berseri.
“Nah, kalau sudah bersih dan rapi, kau jadi lebih cantik,” puji Fung Ma.
“Walaupun modelnya sederhana dan sudah lama disimpan, setidak-tidaknya masih
lebih baik daripada bajumu sendiri. Pada dasarnya, kau memang cantik. Coba kalau
didandani dan diberi pakaian yang baik, orang akan mengira kau anak seorang
wan-gwee (hartawan).”
Wajah Ching-ching memerah. Ia risih dipuji terus-terusan. Tahu-tahu ia ingat
tujuannya menemui Fung Ma. “A-ie, aku sudah tak ada urusan lagi di sini. Baiknya
aku pergi saja.”
“Begitu cepat? Sayang sekali. Padahal, aku mengharapmu menjadi anak angkatku.
Hhh, nasibku jelek. Suamiku mati muda. Dia tak meninggalkan anak untuk
mengurusku di hari tua.”
“A-ie, bukannya aku tak suka, tapi …”
“Ya, ya, aku tahu. Aku bisa memintakan izin pada majikanku kalau … aduh-aduh!”
Tahu-tahu Fung Ma menjerit, memegangi pinggangnya.
“A-ie, kau kenapa?”
Ching Ching 107
“Aduh, pinggangku. Dasar sudah tua, semua penyakit datang menyerang.
Aduh-duh-duh!”
“A-ie, apakah sering begini?”
“Ya, apalagi kalau kecapekan. Sedari pagi, aku kerja tak berhenti. Pesta-pesta
memang selalu bikin repot. Untung cuma dua kali setahun. Pesta ulang tahun Loo
Hujin dan anaknya, Kwan Looya.”
“Barangkali encok. Aku pernah belajar sedikit ilmu tabib. Kalau A-ie percaya,
aku bisa menolong.”
“Ya, ya, daripada aku kesakitan begini.”
Ching-ching menggulung lengan bajunya. Ia mengingat-ingat waktu belajar pada
Tabib Yuk dulu. Ia memijit beberapa tempat di punggung Fung Ma sembari
mengalirkan hawa hangat lewat jempolnya itu.
Fung Ma merasakan hawa hangat yang nyaman mengalir lewat punggungnya, terus
menjalar sampai ke pinggangnya yang terasa ngilu. Pelan-pelan rasa ngilu itu
semakin berkurang, berkurang, dan kemudian lenyap. “Wah, hebat. Penyakitku
lenyap,” kata Fung Ma gembira. “Tapi sekarang kakiku yang sakit.”
Ching-ching menoleh ke kaki Fung Ma yang mulai membengkak, lalu ia mulai
memijiti, mengurut, meluruskan urat yang keseleo.
Saat itu masuklah seorang wanita berusia empat puluhan. Ia melihat ke arah
Ching-ching dan tersenyum. Ching-ching langsung menyukai wanita yang ramah ini.
“Fung Ma,” tegur wanita itu, “kucari ke mana-mana, tahunya kau kecapekan dan
sedang istirahat.”
“Oh, Hujin, sampai repot-repot datang kemari.” Fung Ma bangun dibantu
Ching-ching, menghampiri nyonyanya dengan terpincang-pincang.
“Kenapa kakimu?”
“Itu, keseleo tadi gara-gara si dungu A-ho.”
“Kalau begitu, baiknya istirahat saja. Aku cuma mau memberikan persenan. Kerjamu
hari ini baik sekali. Semua tamu memuji hidangan kita. Apalagi sop ikan yang
terakhir. Rasanya lezat betul, lebih dari yang biasa kaubuat.”
Fung Ma melirik Ching-ching. Ching-ching tersenyum dan diam menunduk.
“Ini siapa?” Kwan Hujin menunjuk.
“Ini kemenakan saya, famili jauh. Ia datang ke kota mencari kerja. Saya masih
butuh pembantu di dapur. Kalau nyonya tidak keberatan ….”
“Ya, ya dia boleh bekerja di sini, asal mau bekerja rajin. Siapa namanya?”
“Eyh, namanya … namanya A-ying,” Fung Ma gelagapan menyebut nama pelayan yang
sudah mati beberapa bulan lalu. “A-ying, ayo haturkan terima kasih kepada
Hujin!”
“Terima kasih, Hujin,” Ching-ching masih menunduk.
Begitu Kwan Hujin keluar, Fung Ma langsung berujar, “Aduh aku lupa tanya namamu.
Jadinya asal sebut saja. Jangan marah ya.”
“Tak apa, aku tak keberatan dipanggil A-ying.”
“Baiklah. Kalau begitu, kupanggil kau A-ying saja. Eh, omong-omong, kau pintar
masak ya.”
“Ah, tidak. Tadi itu kan aku cuma menuruti kata A-ie saja, tidak tahu kalau ada
bumbu yang salah masuk.”
“Ah, kau terlalu merendah. Sudah, kau tidur di sini saja sekarang. Besok baru
kukenalkan kepada teman-teman yang lain. Enak tidur ya. Banyak pekerjaan untukmu
besok.”
Jadilah Ching-ching bekerja di rmah Kwan Piaw-su. Esok paginya ia dikenalkan
pada semua pelayan sebagai famili jauh Fung Ma yang bernama A-ying. Pagi itu
Ching Ching 108
juga ia mulai bekerja. Tugas pertamanya adalah mencuci pakaian di sungai. Untung
saja, waktu di Sha Ie dulu ia sering mendapat tugas begini, jadi
setidak-tidaknya ia sudah tahu harus bagaimana.
Ching-ching bekerja dengan cepat. Kalau kerjanya cepat beres, ia akan sempat
main dulu sebelum pulang ke rumah. Baru saja akan merampungkan cucian terakhir,
telinganya yang terlatih mendengar suara orang berlari mendekat. Barangkali
masih jarak satu li dari tempatnya sekarang. Dari suara langkahnya, orang itu
pasti punya kepandaian bu (silat) walau cuma tingkat rendah. Kalau dari
beratnya, paling-paling yang datang pemudia umur belasan.
Ching-ching menunggu. Benar saja. Tak lama kemudian, kelihatan seorang pemuda
tanggung yang tak lain adalah Kwan Kongcu, anak majikannya. Tapi, Ching-ching
masih mendengar suara langkah yang lain. Langkah kaki-kaki kecil yang menyusul.
Kwan Chin Wei berlari sambil melihat ke belakang. Sepertinya ia ketakutan
dikejar seseorang. Melihat begitu, muncul lagi sifat Ching-ching yang asli.
Sambil berjongkok mencuci, sebelah kakinya dijulurkan ke belakang. Keruan saja
Kwan Chin Wei, yang tidak lihat jalanan, jatuh tersandung. Ia tidak marau waktu
berdiri mengebaskan debu di bajunya. Malah dia sendiri yang minta maaf.
“Maaf, maaf, aku tidak lihat. He, kau pelayan baru yang kemarin kan? Psst …
nanti kalau Sun Siocia datang bertanya, katakan kau tidak lihat aku …”
“Wei-ko, kau di mana?” sayup-sayup terdengar suara seorang gadis
memanggil-manggil.
“Celaka. Itu dia. Aku mesti sembunyi!” Kwan Chin Wei menghilang di balik
gerombol semak, tepat dengan datangnya Sun Pau, Anak Sun SS, tangan kanan
ayahnya.
Gadis itu sebaya Ching-ching kira-kira. Wajahnya cukup manis, bulat dengan pipi
kemerahan. Bibirnya mungil. Sayangnya, dari bibir itu sering keluar makian bagi
para pelayan. Seperti juga saat ini. Begitu melihat Ching-ching yang dikenalinya
sebagai pelayar rumah keluarga Kwan, langsung saja ia membentak. “He, kau! Kau
lihat Kwan Kongcu tidak?!”
Ching-ching tidak suka dibentak-bentak seperti itu. Ia diam saja, pura-pura
tidak mendengar.
“He, pelayan bau! Aku tanya, kau berani tidak menjawab?” Sun Pao mendorong
Ching-ching, tapi ank itu tidak bergimung. Kakinya seolah terpancang ke tanah.
Malah Sun Pao sendiri yang terpeleset dan jatuh. Gadis itu berdiri
menghentak-hentakkan kaki dan berdiri sambil menangis. “Hu … hu … kau pelayan
kurang ajar. Hu … hu … nanti kubilang Wei-ko, kau membuatku jatuh. Hu … hu … hu
… kau akan dipukulnya. Kubilang pada Thia-thia … hu … kau bakalan dipecat … hik
… hik … rasakan nanti.” Sambil menangis, Sun Pao berjalan pergi.
Sesudah gadis itu tak kelihatan lagi, barulan Kwan Chin Wei keluar dari
persembunyiannya. Ia duduk di batu, di samping Ching-ching yang baru saja
selesai mencuci. “Huuh, si Pao-pao itu ke mana-mana menempeeel terus. Maunya
ditemani. Semua kehendak mesti diturut. Kalau tidak, ngambek!” Chin Wei
mengoceh.
Ching-ching tidak peduli. Ia memasukkan pakaian terakhir ke dalam ember kayu dan
terus pergi.
Chin Wei terbengong-bengong. Palayan lain, kalau dia dekati, langsung bermanis
muka. Pelayan yang satu ini kok tidak. Bw jadi tertarik. Ia mengikuti dari
belakang. “He, kau kenapa sih? Marah gara-gara yang tadi? Aku kan sudah minta
maaf.”
Ching-ching masih diam.
Ching Ching 109
Chin Wei melambai-lambaikan tangan di depan muka gadis itu. “Kau kenapa sih?
Mendadak budek?” Ia menghalangi jalan di depan Ching-ching. “Ngambek? Takut?”
“Takut apa?” tanya Ching-ching heran.
“Takut dipecat. Pao-pao pasti sudah lapor pada ayahnya.”
“Dia juga bilang akan menyuruhmu memukulku.”
Chin Wei tertawa. “Mana aku mau. Kalau tadi aku tidak lihat, bisa jadi begitu.
Tapi tadi aku menyaksikan Pao-pao jatuh sendiri, nangis sendiri, ngambek sendiri
…”
“Lari sendiri,” sambung Ching-ching.
Chin Wei nyengir. “Ternyata kau pintar juga,” katanya. “Tahu tidak. Kau lebih
cantik kalau tertawa, daripada cemberut kayak tadi.”
Saat itu Ching-ching memang tersenyum. “Sekarang Siaoya harap minggir sedikit.
Aku mau lewat.”
Chin Wei menyingkir, membiarkan Ching-ching berjalan sendiri. Dipandanginya
gadis itu dari belakang. Ha, sepertinya ia bakal punya kawan baur. Memang
pelayan itu baru. Ia bahkan belum tahu namanya. Umurnya juga satu-dua tahun
lebih muda. Tapi, Chin Wei yakin, akan lebih menyenangkan bermain dengan pelayan
baru ini daripada dengan Sun Pao yang cengeng dan manja itu.
Untung bagi Ching-ching, Sun Pao melaporkan kejaidan itu pada ayahnya ketika
lelaki itu sedang sibuk, shingga tidak terlalu menanggapi anaknya. Ia berjanji
akan menghukum si pelayan kurang ajar, tapi begitu anaknya keluar, ia tenggelam
lagi dalam pekerjaannya. Sun Pao menunggu sampai beberapa hari, namun si pelayan
baru itu belum juga dihukum. Ia memutuskan untuk bertindak sendiri, tapi saat
ini belum menemukan cara membalas dendam. Yah, nanti sajalah ia minta bantuan
Chin Wei. Anak laki-laki itu paling jago kalau disuruh menjahili orang.
Betapa kecewanya Sun Pao ketika Chin Wei menolak membantu. Anak laki-laki itu
cuma menggeleng dan meninggalkannya sendirian. Sun Pao tidak tahu kalau beberapa
hari ini Kwan Chin Wei selalu mencari Ching-ching di sungai. Setelah Ching-ching
selesai mencuci, keduanya lantas bermain, menangkap ikan, mengejar kupu-kupu,
dan macam-macam lagi. Kwan Chin Wei tidak punya waktu buat Sun Pao.
Sun Pao bukan anak bodoh. Selama beberapa ari Chin Wei menghindarinya, pasti ada
sebab. Ia akan mengikuti ke mana Chin Wei pergi besok pagi.
Seperti biasanya, Chin Wei datang menemui Ching-ching di tepian kali. Jauh-jauh
ia sudah memanggil. “A-ying!” teriaknya melambaikan tangan.
Ching-ching menoleh sambil memasukkan baju yang terakhir dicucinya ke dalam
ember.
Chin Wei mendekati. “Sudah selesai kerjaanmu? Kita cari bunga yuk!”
Ching-ching meringis. “Aku tak suka bunga.”
Chin Wei bengong, tapi lantas tertawa. “Kau aneh. Biasanya anak perempuan suka
bunga. Sun Pao juga begitu.”
“Aku kan bukan Sun Siocia.” Ching-ching cemberut. Ia tak suka
dibanding-bandingkan dengan nona itu.
“Ya sudah. Jadi sekarang ngapain?” Chin Wei minta saran.
Ching-ching berpikir-pikir. “Siaoya, kau bisa meniup suling, tidak?”
“Apa susahnya meniup suling? Tinggal tiup pfff begitu saja.”
“Oh ya?” Ching-ching mengeluarkan suling bambu harumnya. “Coba kaumainkan lagu
untukku.”
Chin Wei mengambil suling itu. Ia sering melihat suling, tapi ia belum pernah
dan tidak tertarik mempelajari cara menggunakannya. Tapi, di depan pelayan ini,
tentunya dia harus bisa. Chin Wei, seperti juga bocah laki-laki lainnya, selalu
Ching Ching 110
ingin tampak jago di depan gadis-gadis kecil. Jadi, diambilnya saja suling itu.
Tapi, dia jadi bengong melihat banyaknya lubang pada bambu langsing itu, tak
tahu yang mana yang mestinya ditiup.
Ching-ching tersenyum-senyum melihat Chin Wei kebingungan. Tapi, ia juga tahu
dari pengalamannya selama ini dengan A-yuk, A-fuk, dan Fei Yung, anak laki-laki
pantang dibuat malu.
“Coba dengarkan dulu aku main,” kata Ching-ching merebut suling itud ari Chin
Wei. Ia duduk di batu dan mulai memainkan sebuah lagu.
Suara merdu mengalun, mengalahkan suara air yang gemercik. Burung-burung
berhenti bersiul, seolah terpesona alunan lagu itu. Seiring irama tiupan,
menghamburlah bau wangi dari suling itu.
Chin Wei terpesona. Ia masih melotot dengan mulut ternganga kektika Ching-ching
selesai membawakan lagunya. Barulah ketika Ching-ching memercikkan air ke
mukanya ia tersadar. “Wah! Hebat!” Chin Wei memuji. “Kau harus mengajari aku
lagu seperti itu.”
“Boleh, asal kaumainkan dulu satu lagu buatku.”
Setelah melihat Ching-ching main tadi, sepertinya mudah saja. Dengan mantap Chin
Wei meniup, tapi yang keluar cuma suara sumbang yang tidak berirama.
“Lagu apa tuh!”
“Laguku sendiri. Judulnya ‘Dua Anak di Tepi Kali’. Bagus tidak?”
“Bagus. Suaranya kok seperti kodok ya?”
“Kau berani meledekku, ya!” Chin Wei mencipratkan air. Ching-ching membalas.
Keduanya main air sambil tertawa-tawa.
Di balik sebuah pohon, sepasang mata memandang iri. Sun Pao sudah ada di situ
sejak tadi. Hatinya terbakar melihat semua itu. Matanya mulai memerah. Dua titik
air mata bergulir ke pipinya.
Sun Pao berlari pulang. Ia harus lapor pada Kwan Pehbo. Mana pantas seorang
terpandanga macam Chin Wei Koko bergaul dengan pelayan bau yang kurang ajar
macamnya A-ying itu. Kwan Pehbo pasti akan melarang. Kalau perlu, ia akan
memanas-manasi supaya A-ying diusir saja.
Sun Pao harus melewati kamar baca untuk menemui Kwan Hujin. Ia mendengar
pehpehnya sedang bercakap-cakap dengan seorang lain. Sun Pao tak akan tertarik
kalau saja tidak kebetulan mendengar namanya dan nama Chin Wei disebut-sebut.
“Selama ini cuma ibunya yang sanggup mengajari.” Itu suara Kwan Pehpeh.
“Guru-guru yang lain tak dapat bertahan dengan segala keisengannya.”
“Anda tak usah kuatir. Asal tidak keberatan kalau saya mengajar dengan keras,
saya kira saya dapat mengendalikan sebagaimanapun nakalnya.”
“Pokoknya, semua saya serahkan saja,” kata Kwan Pehpeh menyudahi pembicaraan.
“Mereka akan memulai pelajarannya besok pagi.”
Sun Pao buru-buru sembunyi. Ia ingin melihat, seperti apa rupa guru mereka yang
baru. Ternyata, orangnya tinggi-besar dan gagah. Umurnya sekitar tiga puluhan.
Penampilannya lebih mirip tukang pukul daripada seorang siucai (sastrawan). Sun
Pao bergidik. Guru yang ini tidak mirip seperti guru-guru yang dahulu, yang
biasa dipermainkan Chin Wei. Tiba-tiba Sun Pao tersenyum. Ia tak akan memberi
tahu Chin Wei tentang hal ini, biar pemuda itu terkejut dan tak akan sempat
memberi tahu A-ying. Biar saja besok gadis itu menunggu-nunggu di kali seperti
biasa. Masih dengan tersenyum-senyum, Sun Pao berjalan ke kamarnya dan melupakan
tujuannya semula.
Keesokan harinya, seperti biasa, Ching-ching menunggu di tepi kali seselesai
membereskan pekerjaannya. Tapi, sampai matahari meninggi, Chin Wei belum juga
Ching Ching 111
datang. Ching-ching terpaksa pulang dengan bertanya-tanya dalam hati.
Hari itu semua pekerjaannya tak ada yang betul. Di dapur dua buah mangkok pecah
olehnya. Fung Ma sempat mengomel. Disuruhnya Ching-ching memunguti pecahan
mangkok itu. “Sudah, kau menyapu saja di kebun samping daripada bikin rusak
barang.”
Ching-ching tidak membantah. Di depan orang-orang ia harus tampak sebagai gadis
desa yang penurut dan tidak banyakt ingkah. Selagi menyapu, ia mendengar suara
orang membaca sajak. Ching-ching yang pernah mempelajari sastra Tiong-kok jadi
tertarik. Ia diam mendengarkan, ingin tahu siapa yang membaca itu. Tapi, ia
tidak mengenali suara orang. Jadi, diam-diam ia mengendap dan mengintip ke dalam
kamar belajar. Dilihatnya seorang yang gagah sedang membaca sajak itu dengan
kepala berputar. Rambutnya jadi terkebas-kebas. Lucu! Ia juga melihat Sun Pao
yang serius mendengarkan sementara Kwan Chin Wei tampak terkantuk-kantuk.
Pantas Chin Wei tak menjumpaiku, pikir Ching-ching. Rupanya ada guru baru.
Ching-ching meneruskan pekerjaannya. Ia sudah hampir selesai ketika terdengar
suara Kwan Chin Wei berkata, “Sianseng, aku permisi dulu. Sakit perut nih.
Aduuuuh!”
“Ya, ya, pergilah,” terdengar suara guru itu. “Jangan terlampau lama.”
“Terserah perutnya,” kata Chin Wei sambil melesat keluar. Anak laki-laki itu
tertegun melihat Ching-ching di sana lewat membawa sapu. Tapi seketika ia
menjadi girang. “Psst, A-ying, ayo ikut!” Ia menarik lengan gadis itu.
“Ke mana?”
“Ke mana saja. Aku bosan di dalam sana.”
“Kusangka kau sakit perut.”
“Itu kan alasan supaya bisa kabur. Cepat!”
“Eh, sapunya …”
Chin Wei merebut sapu itu dan meletakkannya di sebuah sudut. Ching-ching
dibawanya berlari ke sungai. “Huuh, bebas sudah.” Chin Wei menjatuhkan diri di
batu.
“Siaoya, nanti kau dimaraih. Kita kembali saja.”
“Apa? Balik lagi? Hah, bisa budek aku mendengar sajak-sajak itu. Sudahlah,
sekarang kau temani aku car jangkrik. Kemarin aku janji pada tokoh mengadu
jangkrik hari ini.”
“Baiklah. Tapi setelah itu, aku mesti pulang.”
“Terserah.”
Ching-ching menemani Chin Wei mencari di antara semak. Pemuda itu berhasil
mendapatkan beberapa ekor yang disimpannya di dalam tabung-tabung bambu.
“Jangkrik begitu, mana bisa menang kalau diadu?” kata gadis itu. “Biar kucarikan
yang jago sekalian.” Ching-ching mendului mencari di tempat yang semak-semaknya
rimbun di bawah pohon-pohon besar. Ia membawa sebatang ranting sebagai senjata.
Jangan heran, karena yang dicarinya tak lain sarang ular!
Chin Wei amat terkejut ketika menemukan seekor ular yang tidur dengan bagian
perut menggelembung. Ular itu tidak terlalu besar, paling-paling selengan
Ching-ching. Warnanya bagus, hitam kebiruan. Tapi, walaupun tampak cantik, tetap
saja namanya ular, yang bikin orang jijik dan takut kalau melihat. “Eh, A-ying,
itu ada ular. Ayo pergi, sebelum ia bangun.”
“Justru ini yang kita carai. Ssst!” Ching-ching menyuruh pemuda itu diam. Ia
menyodok ular yang tertidur itu dengan ranting kayunya. Ular itu terbangun dan
mendesis marah. Chin Wei ketakutan dan mundur selangkah.
Ching-ching tidak bergeming. Ia sudah terbiasa dengan ular walaupun, kalau
Ching Ching 112
disuruh memegang, masih merasa jijik. Ia terus menyodok-nyodok. Ular itu menjadi
sangat marah dan menyerang ranting di tangan Ching-ching dan melibat naik.
Ching-ching melempar ranting itu dengan ular yang melilitnya jauh-jauh. Ia mulai
mengorek-ngorek tanah.
“Dapat!” serunya. “Siaoya, cepat! Mana tempat untuk jangkrik ini?” Jangkrik itu
dimasukkan ke dalam tabung. Chin Wei sempat melihatnya sebelum tabung itu
ditutup. Rupanya biasa saja, besarnya sama dengan jangkrik yang lain, cuma yang
ini warnanya agak biru seperti ular yang diusir Ching-ching tadi.
“A-ying, kok tahu-tahunya kau ada sarang jangkrik di situ?” Chin Wei bertanya
girang sekaligus heran.
“Dulu, tiap kali menangkap ular dengan su … eh, kakakku, aku selalu menemukan
jangkrik yang kalau diadu jarang kalah. Jadi, aku tahu,” jawab Ching-ching.
Nyaris saja ia kelepasan bicara tentang sucinya. “Ah, sudah siang. Aku mesti
balik ke rumah.” Tanpa menengok lagi, ia berlari meninggalkan Chin Wei.
Di depan ruang belajar ia bertemu dengan Sun Pao, yang langsung melotot ke
arahnya. Ching-ching berlagak tak tahu apa-apa, mengambil sapunya dan ngeloyor
pergi.
“He, kau lihat Kwan Saoya tidak?” tanya Sun Pao setengah membentak. Ching-ching
pura-pura tidak dengar sampai Sun Pao menarik lengan bajunya. “He, aku bertanya
padamu!”
“Kupikir bertanya pada He. Aku tidak menyajut jadinya.”
“Tolol kau! Lihat Kwan Saoya, tidak?”
“Tidak,” jawab Ching-ching singkat. Sun Pau melepas dia pergi dengan pandang
curiga.
Keesokan paginya Ching-ching mendengar Chin Wei dihukum gara-gara kabur sehari
sebelumnya. Guru anak itu, Kung Sianseng (Bapak Guru Kung) menghukumnya menulis
sajak yang kemarin dibacakan dan Kwan Piawsu, yang tahu kelakuan anaknya,
melarang Chin Wei keluar dari ruang belajar sebelum hukumannya dikerjakan.
Chin Wei, yang memang tak mendengarkan ajaran gugurnya, kelabakan sendiri. Sun
Pao yang menemaninya pun cuma bisa membantu sedikit. Chin Wei uring-uringan. Sun
Pao merasa bosan menemani anak itu dan main keluar bersama pelayannya.
Tengah hari Kwan Hujin menyuruh pelayan mengantar makanan buat anaknya. Namun,
pelayan itu keluar lagi dengan baju dan buka belepotan. Chin Wei mengamuk dan
mogok makan! Untung, pelayan itu tidak mengadu pada nyonyanya. Kalau tidak,
barangkali hukuman Chin Wei digandakan beberapa kali oleh Kwan Piawsu. Tapi,
akibatnya anak itu kelaparan dan tak bisa keluar karena ayahnya menyuruh pintu
ruang belajar dikunci.
Bw memutar otak mencari jalan keluar. Ia tak bisa kabur lewat jendela. Jendela
itu dipasangi teralis sejak ia coba-coba kabur lewat sana dua tahun lalu.
Sekarang kamar belajar itu menjadi penjara yang tepat buatnya. Chin Wei
menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak.
“He, buka! Aku tak mau dikunci di sini seharian!” Tapi, percuma saja. Penjaga di
luar kamar itu cuma patuh pada Kwan Piawsu, yang melarangnya membuka pintu
sampai diizinkan.
Chin Wei mencari jalan lain. Tahu-tahu ia tersenyum sendiri. Ia bergulingan di
lantai sambil mengaduh-aduh. “Aduh, tolong! Perutku sakit. Aaaw, melilit-lilit!
Aduh!”
Penjaga itu cepat mendekati pintu. “Kwan Saoya, kau kenapa?” tanyanya kuatir.
“Tidak tahu. Barangkali keracunan. Tolong aku!”
“Tapi … tapi …,” penjaga itu ragu-ragu.
Ching Ching 113
“Cepat! Kau mau biarkan aku mati? A-thia tak akan mengampunimu nanti!”
Penjaga itu membuka kunci dan menerobos masuk. Ia langsung terjerembab,
tersandung kaki Chin Wei yang memang sudah menunggu. Selagi orang itu belum
pulih kagetnya, Chin Wei sudah melesat keluar, ganti mengurungnya di kamar. “Kau
baik-baik saja di situ. Tunggu sampai aku pulang!” katanya sebelum pergi.
Chin Wei mencari Ching-ching ke sungai. Sayang, anak itu tidak ditemukan di
sana. Yang sedang mencuci malah seorang gadis umur sembilan belasan. “He, A-ying
mana?” tanyanya pada gadis itu.
“Di rumah,” jawab yang ditanya.
“Kenapa bukan dia yang mencuci?”
“A-ying sekarang kebagian membantu di dapur dan menyapu halaman samping. Saya
yang disuruh mencuci.”
Chin Wei membanting kaki kecewa. Sial, sungguh sial. Susah payah ia keluar
hendak menemui gadis itu, eh, yang dicari malah tinggal di rumahnya.
Chin Wei tak tahu mau pergi ke mana sekarang. Berjalan-jalan tanpa teman sungguh
tidak menyenangkan. Tapi … ah, dia pergi menemui temannya yang lain saja.
Biasanya mereka ada di bandar judi tengah hari begini. Ya, ke sana saja dia
pergi.
Seperginya Chin Wei, penjaga yang terkurung menggedor-gedor pintu dengan ribut.
Keribut ini menarik perhatian Kwan Piawsu yang sedang bicara dengan Kung
Sianseng. Keduanya buru-buru mendatangi. Kwan Piawsu marah sekali mengetahui apa
yang terjadi.
“”Anak itu perlu diajar adat!” geram Kwan Piawsu. “Cari dia! Seret kemari!
Kurung di kamar belajar sampai besok pagi. Kuncinya biar aku yang pegang!”
perintahnya kepada para pegawai.
Anak buahnya segera menyebar. Kwan Piawsu sendiri turun-tangan ikut mencari. Ia
bertekad menghajar anaknya kalau ketemu nanti.
Chin Wei sedang asyik menghamburkan di bandar judi bersama teman-temannya yang
juga anak-anak orang kaya, ketika seorang anak lain sebayanya masuk dengan
tergesa-gesa diiringi pelayannya.
“Chin Wei, tamat kau sekarang!” seru anak itu.
“Tamat apanya? Lihat, aku menang terus. Ini memang hari keberuntunganku.”
“Apa masih kauanggap untung, kalau tahu anak buah ayahmu mencari kau di seluruh
kota?”
Bar saja anak itu selesai berkata, empat orang bertubuh kekar masuk ke tempat
judi itu. Chin Wei mengenali mereka sebagai pegawai ayahnya. “Aduh, gawat!”
keluhnya.
“Chin Wei, di belakang ada jalan keluar,” kata temannya yang lain. “Cepat kabur
lewat sana.”
Chin Wei segera angkat kaki. Sayangnya, empat pegawai itu melihatnya berlari.
Mereka segera mengejar. Kawan-kawan Chin Wei yang lain sengaja merintangi.
Mereka anak-anak orang terpandang di kota ini. Tentu saja, pegawai-pegawai Kwan
Piawsu tak berani bertindak gegabah kepada mereka.
Chin Wei yang kabur lewat belakang tak tahu ada yang menunggu di sana. Dan orang
itu adalah ayahnya sendiri! Keruan saja anak itu panas-dingin ketika mengetahui
hal itu. Kwan Paiwsu menggiring anaknya yang terpaksa pulang dengan wajah
pucat-pasi.
Hukuman Chin Wei bertambah. Ia harus menuliskan hukuman yang lama ditambah
membaca satu buku tebal yang isinya sajak semua. Dari buku itu ia harus
menghafalkan dua buah sajak. Besok, di depan ayahnya, ia harus membacakan tiga
Ching Ching 114
sajak ditambah hukumannya hari ini. Ia tak boleh keluar kamar baca sampai
melunasi hukuman itu.
Tadinya Kwan Piawsu hendak melarang anaknya diberi makan, tapi setelah Kwan
Hujin membujuk-bujuk, akhirnya diperbolehkan juga. “Chin Wei kan anak kita
satu-satunya,” kata wanita itu. “Ia yang akan menerusakan keturunan nanti. Masa
kau tega?”
“Baiklah, baiklah. Suruh orang mengantar makanan untuknya,” potong Kwan Piawsu.
“Tapi, semalaman ini kau maupun Sun Pao tak boleh menemuinya.”
Kwan Hujin tidak keberatan. Ia buru-buru menyuruh orang menyiapkan makanan.
Ching-ching yang sekarang membantu di dapur kebagian mengantar.
Chin Wei girang melihat Ching-ching diizinkan masuk. Tapi, melihat apa yang
dibawa gadis itu, timbul lagi kemarahannya. “Aku tak mau makan!” katanya keras
kepala.
“Saoya, nanti kau sakit.”
“Biar, biar mampus sekalian!” Chin Wei hendak menampar nampan di tangan
Ching-ching, tapi gadis itu keburu menghindar, sehingga makanan yang dibawanya
tidak tertumpah.
“Saoya, jangan marah-marah. Nanti cepat keriput.”
“Apa pedulimu.”
“Nanti tak ada yang menggangguku kalau sedang bekerja,” kata Ching-ching. “Nah,
makanlah dulu. Nanti kuberi sesuatu.”
“Apa?” tanya Chin Wei penasaran.
“Nanti saja.”
Sambil menunggu Chin Wei makan, Ching-ching membereskan barangyang dibikin
berantakan. Chin Wei makan dengan cepat karena perut lapar dan karena penasaran
akan pemberian Ching-ching. Selesai makan, Chin Wei langsung menagih. “Coba, apa
yang mau kauberikan kepadaku?”
Ching-ching merogoh ke balik baju dan mengeluarkan sebatang suling dari bambu.
Dahi Chin Wei berkerut. Ia agak kecewa. Dikiranya Ching-ching membawa mainan.
“Ingat tidak, kau minta diajari main?”
“Ingat sih ingat. Tapi, bagusan kau bawa jangkrik buat diadu di sini. Jangkrikmu
yang kemarin itu menang terus. Semua jangkrik kawan-kawanku dihabisinya.”
“Mana bisa kubawa kemari? Kau lagi dihukum kan?”
Teringat lagi hukumannya, Chin Wei jadi murung. “Ya, aku tak bisa main gara-gara
hukuman sialan itu.” Anak laki-laki itu duduk menekuri pekerjaannya. Ching-ching
melihat pekerjaan itu. Dibacanya sebagian yang sudah ditulis Chin Wei. Tahu-tahu
ia nyerocos berkepanjangan sampai Chin Wei sendiri jadi bengong.
“Eh, tunggu, tunggu,” katanya memotong. “Kalau tak salah, itu lanjutan sajak
yang kutulis ini kan? Wah, hebat. Bagaimana kau bisa hafal?”
“Kebetlan waktu sedang menyapu kemarin dulu, aku mendengar Kuan Sianseng
membacakan.”
“Coba, coba kauulangi supaya aku dapat mencatatnya,” kata Chin Wei bersemangat.
Ching-ching nyaris tertawa melihat anak itu memegang pit (kuas untuk menulis).
Dibenarkannya dulu, bahkan kemudian Chin Wei dibimbingnya menulis!
Tahu-tahu pintu digedor orang. “A-ying, ngapain kau lama-lama di dalam! Cepat!
Kau dicari Fung Ma!”
Ching-ching buru-buru membereskan bekas makan Chin Wei dan hendak berlalu.
“A-ying, kau bantu aku dulu menyelesaikan hukuman ini!” rengek Chin Wei.
“A-ying, cepat!” kata pelayan yang menyusulnya.
Ching-ching jadi bingung. Ia ingin membantu Chin Wei, tapi ada kerjaan yang
Ching Ching 115
mesti dilakukan. Cepat diambilnya keputusan. “Saoya, baiknya sekarang kau tidur
dulu. Malam nanti aku datang lagi membantumu.”
“Eh, bagaimana caranya kau masuk nanti?” tanya Chin Wei, tapi Ching-ching keburu
menutup pintu kamarnya.
Malam itu, seperti yang dijanjikan, Ching-ching mengendap menuju kamar belajar.
Ia tak bisa mendobrak pintu yang terkunci kalau tak mau ketahuan. Tapi, ada
jalan lain. Genteng!
Dengan entengnya, gadis itu melompat ke atas genteng rumah. Tepat di atas kamar
belajar. Diambilnya genteng beberapa biji untuk membuat lubayang yang cukup
besar. Lantas ia melompat turun tanpa menimbulkan bunyi.
Seperti yang diduga, Chin Wei sedang tertdiru. Ching-ching mengguncang badannya
supaya pemuda itu terbangun. “Saoya, bangun!” desisnya. Chin Wei menggumam tak
jelas, tapi matanya masih terpejam. Ching-ching jadi tak sebar. Ditotoknya jalan
darah di belakang leher pemuda itu, yang membuatnya kontan terbangun.
“Eh, siapa … apa …” Chin Wei tergagap.
Ching-ching menyalakan pelita. “Saoya, ini aku!” kata Ching-ching. “A-ying!”
“A-ying? Ah, iya. Kau mau bantu. Ayo, kita cepat-cepat,” Chin Wei mengajak. Ia
sebenarnya agak heran, lewat mana pelayannya ini masuk tadi. Dan kenapa sekarang
ia sama sekali tidak mengantuk. Tapi … sudahlah, itu urusan belakang. Sekarang
ini, yang penting pekerjaannya beres dulu.
Sesudahnya, Chin Wei harus menghafalkan tiga buah sajak. Ching-ching sengaja
memilihkan sajak-sajak pendek baginya. Tapi, tetap saja pemuda itu mengomel.
Menghafal satu saja sudah susah, apalagi tiga. Untung, sekali ini Ching-ching
punya cukup kesabaran untuk mengajari.
Kwan Piawsu terbangun dari tidurnya. Entah apa yang membuatnya mendusin.
Dicobanya untuk tidur kembali, tapi tak bisa. Ia memutuskan untuk jalan-jalan
sebentar. Barangkali angin malam yang dingin dapat membuatnya mengantuk.
Ia turun dari pembaringan dan pergi keluar. Ia bertindak sangat hati-hati supaya
tidak membangunkan istrinya. Sesampai di luar, ia menuju ke kebun samping.
Lamat-lamat didenarnya suara orang membaca sajak. Ia memandang berkeliling.
Pelita di ruang belajar masih menyala. Kwan Piawsu tersenyum sendiri. Anaknya
sedang elajar!
Pelan-pelan Kwan Piawsu mengintip dari jendela. Ia menggunakan ginkang supaya
langkahnya tidak terdengar. Sebenarnya itu tidak perlu. Suara Chin Wei sudah
cukup keras untuk menutup suara dari luar. Kwan Piawsu melihat anaknya sedang
menekuni buku. Dan di sampingnya seorang gadis cilik menemani. Gadis itu
membelakangi jendela. Kwan Piawsu tak bisa melihat mukanya, tapi perawakan gadis
itu seperti Sun Pao. Tapi, dari mana anak itu bisa masuk? Barangkali ia meminta
pada ayahnya, Sun Chai. Kwan Piawsu tersenyum lagi. Biarlah. Kalau begini kan,
rencananya menjodohkan Sun Pao dan Chin Wei akan lancar. Sekarang, biar saja ia
tinggalkan kedua anak itu.
“A-ying, ini huruf apa?” Chin Wei menunjuk ke bukunya.
“Yen (walet),” kata Ching-ching.
“Kalau ini apa?”
“Lam (selatan).”
Begitulah sepanjang malam. Ternyata Chin Wei belum pandai membaca. Untung, daya
ingatnya lumayan. Menjelang pagi, ia sudah menghafal dua buah sajak.
Kwan Piawsu mengitari rumahnya yangluas. Ia lewat di bagian mana Sun Chai dan
anaknya tinggal. Kamar keduanya tertutup rapat. Kwan Piawsu tersenyum mengingat
Sun Pao yang sedang bersama Chin Wei. Tapi, pada saat itu juga ia mendengar
Ching Ching 116
suara orang bernapas di kamar Sun Pao. Ia segera waspada. Jangan-jangan ada
maling mengobrak-abrik kamar kemenakannya ini. Ia masuk pelan-pelan dan
memandang berkeliling. Matanya terpaku pada sosok tubuh yang sedang tidur.
Diperhatikannya baik-baik. Tak lain Sun Pao sendiri.
Kwan Piawsu kebingungan. Ia melihat sendiri Sun Pao ada di kamar belajar.
Bagaimana mungkin …
Ia membalikkan tubuh dan bergegas kembali. Ia mengintip lagi. Benar, ada seorang
gadis yang mendampingi Chin Wei. Tapi, siapa?
Karena seriusnya Ching-ching mendengar sajak yang dihafalkan Kwan Chin Wei,
gadis itu tidak mendengar suara langkah Kwan Piawsu di luar kamar.
“A-ying, aku sudah hafal hajak terakhir. Coba kau dengarkan,” kata Chin Wei.
“Musim berganti. Bunga-bunga telah mati. Burung … eh … burung ….”
“Burung walet,” Ching-ching membantu.
“Oh iya. Burung walet terbang ke … ke …”
“Selatan.”
“Burung walet terbang ke selatan,” Chin Wei mengulang. “Mau apa sih burung walet
ke selatan? Bikin repot aku yang menghafalkan.”
“Lanjutnya, bagaimana?”
“Mentari redup sinarnya. Tapi semangat sang pahlawan tak akan luntur, sekalipun
salju tiba. Nah, aku sudah hafal, bukan?”
“Ya, sudah bagus. Saoya, menghafalnya berhenti dulu. Kau istirahatlah.”
“Ya, aku juga sudah capek sekali.” Chin Wei merebahkan kepalanya di meja.
Ching-ching menunggui ketika pemuda itu hampir lelap, ditotoknya urat di leher
Chin Wei supaya lebih lelap tidur. Dipadamkannya pelita, kemudian ia keluar
lewat atap.
Kwan Piawsu tercengang melihat siapa yang bersama anaknya. A-ying, pelayan yang
baru, rupanya bukan gadis sembarangan. Caranya melompat lewat atap tadi
menunjukkan bahwa gadis itu tahu ilmu silat. Siapa dia sebenarnya? Mau apa
menyusup keluarga Kwan sebagai pelayan? Kwan Piawsu menggelengkan kepala.
Entahlah! Tapi soal ini akan segera diselidikinya!
Chin Wei terbangun ketika seorang pelayan masuk membawa baskom cuci muka buatnya
dan seperangkat pakaian. Setelah merapikan diri, Chin Wei menanti ayah dan
gurunya.
Kwan Piawsu datang menemui anaknya di kamar belajar itu. Ia langsung memeriksa
pekerjaan anaknya dan mengangguk puas. Begitu juga Kung Sianseng. Hafalan Chin
Wei dianggap cukup bagus, hingga pada hafalan terakhir. Anak itu lupa sama
sekali!
“Saoya, bagaimana hafalan terakhir?” tanya Kung Sianseng.
“Euh, tunggu, aku butuh istirahat dulu,” Chin Wei berdalih. Sambil duduk
beristirahat, dia mengingat-ingat. Tapi, makin dipikir ia makin lupa. Celaka!
Coba A-ying ada di sini. Paling tidak ia bisa membantu sedikit.
“A-wei, istirahatmu sudah cukup. Coba kauucapkan hafalanmu,” kata Kwan Piawsu,
yang tahu betul anakya sudah belajar semalaman.
“Sebentar lagi, Thia-thia,” kata Chin Wei. Tiba-tiba ia mendengar suara orang
menyapu di halaman samping. Cepat ia berdiri menghadap ke jendela. Ia girang
melihat A-ying sedang menyapu di sana.
“Pssst,” bisiknya menarik perhatian Ching-ching.
“Kau kenapa?” tanya ayahnya.
“Tidak, tidak apa-apa,” kata Chin Wei. Ia melihat Ching-ching menoleh padanya
dan memberi isyarat bahwa ia lupa sajak terakhir.
Ching Ching 117
Ching-ching dapat membaca gerak bibir Chin Wei. Ia buru-buru memberi tahu tanpa
suara. Sayang, Chin Wei cuma bisa mengerti separo.
“A-wei?” ayahnya menegur. “Kami tak punya waktu lama-lama.”
“Ya, Thia-thia. Bolehkah aku menghafal sambil memandang keluar? Langit yang biru
membantuku mengingat hafalanku.”
Kwan Piawsu bukannya tak tahu maksud Chin Wei, tapi ia membolehkan juga.
Chin Wei membacakan sajaknya. “Musim berganti … eh, musim berganti …” Pemuda itu
memperhatikan isyarat Ching-ching. Ia menggeleng tak mengerti.
Ching-ching memandang sekeliling dan memetik sekuntum bunga. “Haaatsyiii!” Ia
bersin mencium bau bunga itu. Huh! Bunga selalu membuatnya begitu. Itu sebabnya
sejak kecil ia tak suka bunga.
“Bunga telah bersin!” kata Chin Wei mantap. Ayahnya melotot mendengar ini.
Penjaga di pintu cepat menutupi mulut, takut tawanya tersembur-sembur. Kemudian
Chin Wei melihat isyarat Ching-ching. Buru-buru ia memperbaiki ucapannya dengan
wajah memerah. “Maksudku, bunga-bunga telah mati,” katanya malu.
“Teruskan!”
“Eh, terus,” Chin Wei memperhatikan Ching-ching yang mengepakkan tangan. “Burung
… burung …” Ching-ching menaruh tangannya di belakang, mengikuti ekor burung
walet yang bercagak. “Burung garpu? Oh, iya, burung walet terbang ke selatang.
Mentari berkelap-kelip, eh maksudku, redup sinarnya. Tapi semangat sang pahlawan
tak akan luntur, meskipun salju tiba.”
“Coba ulangi dari depan!”
Chin Wei mengulang, kali ini dengan lancar. Ayahnya mengangguk puas. “Baiklah,
kau sudah berusaha. Kau boleh main sesudah ini. Tapi, tengah hari nanti kau
harus belajar.”
“Baik, Thia.” Chin Wei bersorak girang, langsung lari keluar. Kwan Piawsu dapat
melihatnya lewat jendela. Ia melihatnya menemui Ching-ching, menunggui gadis itu
menyelesaikan pekerjaan, lalu pergi bersama.
“Kung Sianseng, aku ada urusan. Anda kutinggal dulu.” Kwan Piawsu yang kuatir
anaknya dijahati orang, cepat-cepat membuntuti dari belakang.
Chin Wei mengajak Ching-ching ke sebuah kolam yang penuh teratai. “A-ying, waktu
Popo she-jit kemarin, aku tak sempat memberi kado. Sekarang saja ya, daripada
tidak. Aku ingin memberi beliau bunga teratai. Popo senang sekali teratai.
Sayang, teratai di kolam di rumah tidak sebagus teratai di sini. Eh, A-ying,
coba ambil bambu panjang.”
“Buat apa?”
“Aku ingin mengambil teratai yang di tengah itu. Yang paling besar dari semua.”
“Repot amat pakai bambu segala. Aku punya jalan yang lebih gampang.” Ching-ching
melangkah ke atas daun-daun teratai yang lebar, menapak di atasnya sampai ke
tengah kolam.
“Wah, A-ying, bagaimana kau bisa jalan di situ?”
“Ini? Anak-anak juga bisa.”
“Betul? Aku juga mau ah!” Chin Wei ikutan melangkah. Tentu saja, daun yang
dipijaknya langsung tenggelam dan pemuda itu kecebur juga. Chin Wei naik ke tepi
sambil menyembur-nyembur.
“A-ying, katamu, anak-anak juga bisa, kok aku tidak?” tanya Chin Wei kesal,
merasa dikibuli.
Ching-ching tertawa. Tentu saja ia bisa berjalan di atas daun yang mengambang.
Ginkangnya kan sudah tinggi. Tapi ia berdalih, “Saoya, tentu saja kau tak bisa.
Badanmu jauh lebih berat daripada aku.”
Ching Ching 118
“Pantas, pantas,” Chin Wei mengangguk-angguk.
Saat itu sesosok tubuh muncul di jalan ke kolam tersebut. “Wei-ko!” panggil Sun
Pao yang baru datang.
“Hei, Pao-pao, kebetulan kau datang. Coba kau susul A-ying yang di tengah. Bisa
tidak? Ayolah, badanmu lebih enteng dariku dan kira-kira sama dengan A-ying.
Masa kau tidak sanggup?”
Ditantang sedemikian, Sun Pao tidak terima. Ia berniat menyusul Ching-ching.
“Siocia, jangan!” teriak Ching-ching mencegah dan buru-buru berlari ke tepi.
Tapi terlambat! Hal yang terjadi pada Chin Wei terulang pada Sun Pao.
Ching-ching dan Chin Wei membantu Sun Pao keluar dari kolam. Sun Pao mengomel.
“Wei-ko, bajuku basah gara-garamu.”
Chin Wei nyengir dan malah berkata, “Pao-pao, aku tak menyangka, kau lebih gemuk
daripada A-ying.”
Sun Pao melotot dengan wajah merah. Ia menangis dan lantas berlari pulang.
“Biarkan saja,” kata Chin Wei pada Ching-ching. “Mana teratainya? Aduh, rusak
diduduki si Pao-pao. A-ying, coba kauambil lainnya sebagai ganti, lalu kita
pulang dan berikan kepada Popo.”
Ching-ching menurut.
Ketika keduanya sudah beriringan pulang, Kwan Piawsu keluar ari tempatnya
sembunyi dengan dahi berkerut. A-ying mestinya murid seorang lihay luar biasa.
Tapi, siapa dan tujuan apa dia kemari? Kwan Piawsu sungguh tak bisa menduga.
Sejak itu, Kwan Piawsu selalu mengikuti Chin Wei dan A-ying dengan hati-hati. Ia
tahu, pelayan ini bukan orang sembarangan. Kalau tidak hati-hati, pasti bakal
ketahuan.
Chin Wei sekarang susah lepas dari Ching-ching. Sering ia memilih duduk dan
meminta petunjuk mengenai pelajaran kepada Ching-ching, daripada pergi main
tanpa gadis itu. Kadang-kadang kalau Ching-ching menyapu dan Chin Wei tidak ada
pelajaran, pemuda itu meminjam seruling dan belajar meniup alat musik itu.
Semua ini tak lepas dari pengamatan Kwan Piawsu. Susahnya, Chin Wei sering main
ke tempat pelayan dan Kwan Piawsu susah mengawasi kalau Ching-ching dan anaknya
kabur lewat pintu belakang. Oleh karena itu, suatu ketika Kwan Piawsu memanggil
anaknya ke ruang belajar.
“Ada apa memanggilku, Thia-thia?” tanya Chin Wei.
“A-wei, belakangan ini Kung Sianseng melapor bahwa pelajaranmu maju pesat,
melebih yang sudah diajari. Apakah ada orang lain yang mengajarimu?”
Chin Wei, biarpun badung, pada dasarnya adalah anak yang polos. Ia mengaku
terus-terang bahwa pelayan mereka, A-ying, sering membantunya menjelaskan
pelajaran yang sulit dimengerti.
“Kau tak heran, kenapa ia begitu pintar?” tanya ayahnya.
“Heran juga. Tapi, kata A-ying, ia dan ibunya pernah melayani seorang siucay
(pelajar sastrawan). Jadi, sedikit-sedikit ia tahu juga soal bun (sastra).”
Kwan Piawsu puta-pura percaya dan mengalihkan arah bicara. “W-wei, senangkah kau
seandainya A-ying disuruh menemani dan melayanimu selama belajar?”
“Maksud Thia-thia, jadi su-tong (pembantu khusus yang melayani anak majikan
belajar dan main), begitu? Tentu saja aku akan suka sekali.” Chin Wei menyambut
girang.
“Baiklah. Mulai besok, ia boleh melayani kau belajar.”
Chin Wei bersorak. Ia berlari keluar dan mengabarkan kepada A-ying. Kwan Piawsu
juga senang. Sekarang ia tak usah repot kalau mau mengawasi kedua anak itu.
Chin Wei bergegas mencari Ching-ching. Ia tak dapat menemui gadis itu di dapur.
Ching Ching 119
Ternyata pelayannya itu sedang menyapu di gendung depan. “A-ying, aku ada kabar
bagus buatmu!”
“Kabar apakah, Saoya?”
“Mulai besok kau boleh menemani aku sepanjang hari.” Chin Wei merebut sapu yang
dipegang Ching-ching dan melemparnya jauh-jauh. “Kau tak usah menyapu lagi.
Tugasmu cuma menemani aku main dan belajar.” Chin Wei memegang tangan
Ching-ching dan mengajaknya melompat berputar-putar. Di serambi, Sun Pao
memperhatikan dengan iri.
Semakin akrab Ching-ching dan Chin Wei, semakin Sun Pao merasa tersisih. Chin
Wei juga jarang bermain lagi dengannya. Pemuda itu merasa bermain dengan
Ching-ching yang senang main apa saja. Dari main judi, layangan, menangkap ikan,
adu jangkrik, sampai lempar-lemparan tanah. Tidak seperti Sun Pao, yang ini tak
suka itu tak mau.
Hari itu, setelah Chin Wei belajar, ia dan Ching-ching langsung main ke tanah
lapang, membawa layang-layang. Lagi-lagi Sun Pao ditinggal. “Main layangan
bertiga tidak enak,” kata Chin Wei. Sun Pao sakit hati bukan main. Diam-diam ia
merencanakan pembalasan pada Ching-ching.
Senang, Chin Wei dan Ching-ching main layangan bersama. Beberapa saat mereka
cuma berdua di tempat itu, sampai kemudian datang dua orang pemuda sebaya Chin
Wei juga main layangan di tempat itu dan tanpa permisi lagi langsung mengadu
layangan mereka.
“He, apa-apaan!” Chin Wei berseru kaget.
“Apa-apaan? Mengadu layangan. Apakah Kwan Kongcu begitu goblok, sampai tak tahu
orang mengadu layangan?”
“Menantang?” Chin Wei menegaskan.
“Begitulah.”
“Baik!”
Kedua layangan di angkasa saling menukik, menyambar hendak menjatuhkan lawan.
Tangkas Chin Wei mengulur dan menarik benang, diimbangi Ching-ching yang melepas
dan menggulung. Tapi, lawan mereka rupanya lebih jago lagi. Layangan mereka
membelit dengan sangat cepat dan memutus layangan Chin Wei.
“Ha, Kwan Kongcu, layangamu telah kalah. Hoi, Sun Siocia, tumben kau tidak
menangis menjerit-jerit.”
“Kau keliru,” kata Ching-ching. “Aku bukan Sun Siocia.”
Pemuda sombong yang mengalahkan mereka memperhatikan Ching-ching dari ujung
kepala sampai kaki. “Ha, rupanya Kwan Kongcu main sama pelayan bau, saking tak
punya teman.”
Ingin Ching-ching menyahuti, Dan matamu buta, tak dapat membedakan pelayan
dengan majikan, tapi ia tak mau membikin susah Chin Wei, jadi didiamkannya saja
pemuda itu mengoceh.
“Kwan Chin Wei, layanganmu putus, mau apa kau?”
“Sudah putus ya putus, kalah,” kata Chin Wei. “A-ying, mari kita pergi.”
“Tidak bisa. Kalian tidak boleh pergi sebelum mengalahkan aku,” kata pemuda itu
lagi.
“Bagaimana mau mengalahkan kau? Layangan kami sudah putus.”
“Beli lag! Kenapa? Apakah ayahmu sudah bangkrut dan tak sanggup membelikan
anaknya layangan baru?”
Wajah Chin Wei memerah sampai ke kuping mendengar ayahnya dihina. Ia
mengeluarkan kantung uangnya. “Baik, kalau begitu. Kau tunggulah!” Chin Wei
hendak pergi, tapi langkahnya terhenti ketika penantangnya berkata,
Ching Ching 120
“Buat apa repot? Suruh saja pelayan baumu.”
Chin Wei membalik, matanya mendelik marah. Sebetulnya Ching-ching juga sama-sama
dongkol, tapi ia punya cara lain untuk mengajar pemuda sombong itu. “Saoya, biar
aku yang beli,” katanya.
Chin Wei tak dapat berkata-kata karena marah. Ia diam saja. Beberapa saat
kemudian baru berkata, “Tak perlu. Aku tak sudi main dengan orang busuk macam
itu. A-ying, kita pulang!” Chin Wei bergegas pulang, diikuti Ching-ching di
belakang. Mereka mendenar lagu mengejek.
“Kwan Chin Wei takut kalah, lari pulang ke rumah, dengan pelayan setia,
terbirit-birit minggat.”
Muka Chin Wei merah membara. Langkahnya semakin lebar dan cepat. Ching-ching
mesti setengah berlari mengikutinya.
Sampai di tempat yang tak mungkin terlihat musuhnya, Chin Wei berhenti dan
meninju seatang pohon yang besar. Ditinjunya batang pohon itu berkali-kali
sampai tangannya berdarah. Ching-ching membiarkan saja. Kemarahan perlu
disalurkan. Ia tahu itu. Hanya saja, yang membuatnya heran, kenapa Chin Wei tak
langsung memukul orangnya tadi.
Akhirnya, Chin Wei kecapekan sendiri. Ia membanting diri ke tanah, duduk
menyandar ke pohon yang barusan dipukuli. Ching-ching menunggunya mengatur
napas.
“Saoya, tanganmu luka. Biar kubalut.” Ching-ching membalut luka di tangan Chin
Wei. “Saoya, dua orang tadi siapa?”
“Yang sombong tadi adalah Tan Hai Bun, putra Tan Piawsu, saingan ayahku. Yang
seorang lagi paling juga anak salah satu pegawai ayahnya itu. Huh! Kalau saja
aku tak berjanji pada Thia-thia untuk menahan marah, sudah kubikin rata muka si
Hai Bun. Heran, dia itu senang sekali memancingku berkelahi. Sudah empat kali
kuhajar, tidak kapok-kapoknya dia.”
“Kenapa ia selalu mengganggumu?”
“Tak tahu. Barangkali penasaran karena tak pernah menang berkelahi denganku.
Sudahlah, jangan dipikir lagi. Kita pulang saja.”
Ching-ching hampir melupakan kejadian itu sampai suatu hari Chin Wei mengajak ia
bermain bersama kawan-kawannya yang lain. Mereka sedang mengadu jangkrik.
Jangkrik milik Chin Wei menang terus. Bukan main girang pemuda itu melihatnya.
“Wah, Chin Wei, jangkrikmu hebat betul. Dapat dari mana?” tanya seorang anak.
“A-ying yang mencarikan untukku,” jawab Chin Wei bangga.
“Boleh juga kaucarikan buatku sekali, A-ying,” kata Ong Fu yang badannya gempal.
“Wah, wah, tak disangka kalian anak-anak orang terpandang sudi bermain dengan
pelayan bau.” Seorang pemuda yang tak lain adalah Tan Hai Bun mendatangi. “Hei,
kau, bau,” tudinya pada Ching-ching. “Pergilah dari sini sebelum kutendang
pergi. Kami tak mau ketularan baumu.”
“Jangan pergi!” kata Chin Wei. “Tidak ada orang yang boleh sembarangan
menyuruhmu selain aku.”
Ching-ching berdiri di tempatnya, tidak beranjak seperti disuruh.
“Tan Kongcu, kami sedang main. Kau jangan mengacau,” kata Chin Wei
disabar-sabarkan.
“Aku juga ma ikut main, tapi tidak selama si bau itu ada di sini.”
“Aku tidak cium bau apa-apa,” kata Ong Fu. “Tidak dari pelayan ini.”
“Ong Kongcu, kau anak hartawan terpandang. Kenapa sudi main dengan orang
rendahan?”
“Masih bagus main dengan orang rendahan, daripada main dengan orang kaya yang
Ching Ching 121
ngoceh melulu. Hayo kalau mau ikut main. Mana jangkrikmu?” tantang Ong Fu.
Sementara yang lain sudah menyingkir begitu Tan Hai Bun dan kawan-kawannya
datang. Ong Fu tidak takut pada Hai Bun. Pangkat ayahnya lebih tinggi daripada
Tan Piawsu.
“Hehe, nih jangkrikku.”
Kedua jangkrik saling mengadu. Yang menonton saling menjagoi. Ching-ching dan
Chin Wei tentu membela Ong Fu sementara Tan Hai Bun dibantu dua kawannya. Tak
berapa lama sudah terlihat siapa bakal menang. Jangkrik milik Ong Fu terkapar
sementara Hai Bun berjingkrakan.
“Jangkrikmu mati. Hayo, siapa berani melawan jangkrikku?”
“Huh, jangan girang dulu. Kau belum lihat kehebatan jagoanku,” kata Chin Wei
sambil mengeluarkan jangkrik dari bumbungnya.
Kedua jangkrik bertempur lagi. Sebentar saja, jangkrik Chin Wei sudah menang.
Kini giliran Ong Fu, Chin Wei, dan Ching-ching yang bersorak-sorak.
Tan Hai Bun berdiri. Dengan gemas ia menginjak jangkrik Chin Wei yang belum
sempat dimasukkan kembali ke bumbungnya. Sorakan terhenti. Ching-ching dan Ong
Fu berseru kaget.
“Tan Hai Bun. Kau … kau keterlaluan!” pekik Chin Wei marah dan langsung
menerjang Hai Bun. Keduanya segera terlibat perkelahian seru.
Teman-teman Hai Bun ingin membantu kawannya dengan mengeroyok Chin Wei, tapi
tentu saja dihalangi oleh Ong Fu dan Ching-ching.
Meskipun Ching-ching tidak menggunakan ilmu silat, teman Hai Bun yang
menyerangnya bisa dirobohkan dengan gampang. Gadis itu memakai pentungan bambu
untuk menghadapi lawannya. Terang saja penyerangnya langsung semaput begitu
terpuku.
Ong Fu, biarpun gadannya gemuk, bisa bergerak dengan gesit. Tak percuma ayahnya
menggaji seorang guru silat. Tak berapa lama, kawan Hai Bun yang seorang lagi
juga berhasil dibuat babak-belur.
Tan Hai Bun sendiri dihajar habis-habisan oleh Chin Wei, yang sudah marah betul.
Biarpun anak sombong itu sempat memukul telak sekali dua, Chin Wei seolah tak
merasa dan tetap menghajarnya. Perkelahian baru berhenti waktu Chin Wei berhasil
menduduki punggung Hai Bun yang teriak-teriak minta ampun. “Ampun, ampun. Kwan
Chin Wei, jangan pukul aku lagi. Kalau tidak, aku laporkan pada Thia-thia.”
“Masih berani mengancam?” Chin Wei mengetok kepala Hai Bun yang sudah
benjol-benjol.
“Tidak, tidak! Aduh, ampun!”
Chin Wei berdiri, mengebaskan debu di bajunya. “A-fu, A-ying, kita tinggalkan
saja manusia tak berguna ini. Mari pulang.”
“Ya, aku juga mesti belajar,” kata Ong Fu. Mereka meninggalkan Tan Hai Bun yang
terkapar merintih-rintih.
“Aduh!” teriak Chin Wei waktu Ching-ching mengobati lukanya.
“Sakitkan, Saoya?” tanya gadis itu.
“Sedikit,” jawab Chin Wei gagah. Padahal kesakitan betul dia.
Ching-ching mengobati Chin Wei di ruang belajar. Ternyata itu adalah kesalahan
besar karena kemudian Sun Pao datang hendak membaca buku. “Astaga, Wei-ko,
kenapa denganmu?” tanyanya terkejut.
“Tidak apa-apa,” kata Chin Wei ketus. “Kau tak usah ribut.”
“Wei-ko, kau pasti berkelahi. Aku bilang pada Pehpeh. Pehpeh!” Sun Pao keluar
sambil memanggil Kwan Piawsu.
“Eh, Pao-pao!” Chin Wei hendak mencegah, tapi Sun Pao keburu pergi. “Celaka aku!
Ching Ching 122
Kabur saja yuk,” ajak Chin Wei.
“Percuma,” kata Ching-ching. “Kalau nanti ketangkap, sama juga diomeli. Daripada
capek-capek lari, mendingan hadapi saja sekarang.”
“Ya. Kalau lari, nanti malah aku dikurung lagi.”
“Kwan Chin Wei!” seseorang yang tak lain adalah Kwan Piawsu membentak.
Ching-ching buru-buru memberi hormat pada majikannya. “Looya.”
“Kau boleh pergi,” kata Kwan Piawsu.
Ching-ching tak berani membantah, langsung ngacir keluar.
“Apa-apaan kau?” bentak Kwan Piawsu begitu tinggal berdua dengan anaknya. “Sudah
merasa hebat ya, sampai berkelahi segala? Dengar, Thia-thia mengajari kamu silat
itu untuk melindungi diri, bukan buat berkelahi.”
“Tapi, Thia….”
“Tidak ada alasan. Dua hari ini kau tak boleh keluar rumah. Kalau melawan,
hukumanmu ditambah.”
Chin Wei diam menunduk sambil cemberut. Percuma bicara kalau thia-thianya sedang
begini. Salang ngomong, bisa berlipat hukumannya. Lagipula A-ying pasti punya
cara supaya ia tak bosan tinggal di rumah.
Ketika keluar dari kamar belajar, Chin Wei bertemu Sun Pao. Pemuda yang sedang
kesal itu malah membuang muka dan lewat begitu saja.
“Wei-ko,” panggil Sun Pao.
Chin Wei berlagak tidak mendengar. Sun Pao berlari mengejar dan menarik
lengannya.
“Wei-ko!”
“Lepaskan!” kata Chin Wei galak. “Kalau kau tidak mengadu pada Thia-thia, aku
tak bakal dihukum dua hari tak boleh keluar rumah.”
Sun Pao mengkeret melihat Chin Wei melotot. Pada saat bersamaan Ching-ching
lewat, hendak menengok tuan mudanya.
“A-ying,” Chin Wei menyambut gembira. “Main, yuk.” Keduanya pergi.
Sun Pao ditinggal sendirian. Gadis itu memberengut. Sejak ada A-ying, Chin Wei
tak pernah main bersamanya lagi. Huh! Dia harus balas perlakuan A-ying. Apa
kira-kira yang bisa membuat gadis itu sengsara? Sambil berpikir-pikir, Sun Pao
masuk ke kamar belajar.
Sesudah main beberapa lama, Chin Wei kecapekan, mengajak Ching-ching
beristirahat. Saat itu matahari panas terik. Tak heran kalau Chin Wei agak
malas. “Panas-panas begini, enaknya ngapain ya? Oh ya, A-ying, kau pernah
mendengar Pao-pao menyanyi? Suaranya cukup merdu. Ayo, kita minta dia menyanyi.”
Ching-ching tak senang mendengar Sun Pao dipuji-puji. “Tapi, Saoya, kupikir kau
sedang marahan dengan Siocia. Bukankah dia yang mengadukanmu?”
“Ah, tidak enak marah lama-lama. Kupikir-pikir, rasanya aku tadi terlalu kasar
padanya. Kasihan Pao-pao. Aku juga sih. Padahal, aku seharusnya tak boleh kasar
pada adik sendiri.”
“Adik sendiri?”
“Ya. Pao-pao dan aku dibesarkan berdua. Ia sudah kuanggap adik.”
“Begitu.”
“He, A-ying, bagaimana kalau Pao-pao menyanyi dan kau mengiringi dengan suling?
Tiupan sulingmu sangat bagus. Aku ingin tahu, mana yang lebih merdu,” kata Chin
Wei.
“Baiklah,” kata Ching-ching. Ia ingin membuktikan bahwa suara sulingnya lebih
baik daripada suara Sun Pao. “Tapi kuambil dulu sulingku.”
“Ayo, kita balapan ke kamarmu,” sambut Chin Wei.
Ching Ching 123
Sun Pao tak betah lama-lama sendirian. Ia keluar dari kamar belajar. Lebih baik
ia minta A-hung, pelayannya, menemani bermain. Biar ia cari pelayannya itu. Sun
Pao pergi ke tempat para pelayan tingga. Ia memanggil-manggil.
“A-hung sedang ke pasar, Siocia,” seorang pelayan lain memberi tahu.”
Sun Pao kecewa. Tanpa berkata-kata, ia balik lagi ke gedung utama. Selagi lewat,
Sun Pao melihat jendela sebuah kamar terbuka. Ia mengintip ke dalam. Hmm, kamar
yang rapi. Kecil dan sederhana, tapi bersih. Di sana cuma ada sebuah tempat
tidur dan sebuah meja serta kursi. He, di atas meja itu ada sebuah suling!
Suling miliki A-ying! Sun Pao ingin mencoba suling itu. Kemarin dulu A-ying bisa
melagukan dengan baik. Masa ia yang lebih terpelajar tak sanggup menandingi?
Sun Pao masuk ke kamar itu dan mengambil suling bambu wangi yang tergeletak di
meja. Ditiupnya suling itu. Yang keluar cuma suara sumbang tidak berlagu.
Mencoba berkali-kali, tapi gagal terus. Sun Pao jadi kesal. Ditiupnya suling itu
kuat-kuat, masih juga tak bisa. Gemas, dilemparnya suling bambu itu ke dinding
kuat-kuat.
Prak! Suling bambu wangi itu tak tahan membentur benda keras. Sun Pao bengong.
Buru-buru diambilnya suling itu. Ia merasa takut. Matanya memandang berkeliling,
mencari tempat aman untuk menyembunyikan benda itu. Belum juga ketemu, pintu
kamar terbuka. Chin Wei masuk bersama Ching-ching. Keduanya kaget melihat Sun
Pao di sana, apalagi melihat potongan suling di tangan gadis itu.
“Sulingku!” jerit Ching-ching, merebut suling di tangan Sun Pao.
Chin Wei memandang marah kepada Sun Pao yang sudah menangis lagi, seperti
biasanya. “Lihat apa yang sudah kaulakukan!” Chin Wei membentak marah.
“Wei-ko, aku … aku sungguh tak sengaja,” Sun Pao tergagap. “Tadi aku cuma … cuma
…” Gadis itu tak bisa berkata-kata lagi. Ia berlari keluar sambil menangis.
Tinggal Chin Wei kerepotan menghibur Ching-ching.
Ching-ching sungguh menyesali sulingnya yang rusak. Itu adalah satu-satunya
benda yang diberikan Siu Li, sucinya yang paling galak, yang paling sering
bertengkar dengannya, tapi juga yang sayang padanya. Sebenarnya, Ching-ching
tidak biasa dan sungkan menangis. Gurunya mengajar dia menjadi gadis yang tegar.
Tapi, karena Chin Wei mau menghibur, ia malah sengaja menangis sesenggukan.
Rasanya senang ada yang memperhatikan dan membujuknya berhenti menangis.
Padahal, kalau Chin Wei tidak repot menghibur, Ching-ching juga tak mau
buang-buang air mata. Tapi, karena ada yang peduli … kesempatan!
Hari berikutnya, Chin Wei tak mau bertemu Sun Pao. Apalagi mengajaknya bicara.
Ia main berdua saja dengan Ching-ching. Setiap kali Sun Pao mendekati, ia ajak
Ching-ching menjauh. Kasihan Sun Pao. Ia benar-benar menyesal atas kejadian hari
itu.
Ching-ching sendiri masih penasaran, belum membalas dendam. Ia mencari
kesempatan yang baik. Kesempatan itu datang waktu Sun Pao datang dan Chin Wei
tidak melihat. Ching-ching menendang sebuah kerikil ke kaki Sun Pao, yang
langsung merasa kakinya kesemutan dan lemas sekali. Gadis itu jatuh terbanting
ke tanah. Kepalanya membentur batu dan berdarah.
Chin Wei menoleh ketika Sun Pao menjerit. Pemuda itu langsung memburu. “Pao-pao,
kau tak apa-apa?”
“Aduh, Wei-ko, sakit. Sakit sekali.” Gadis itu menangis.
Melihat darah yang mengucur dari kepala Sun Pao, Chin Wei panik, tak tahu apa
yang mesti dilakukan. “A-ying,” katanya bingung. “Ini bagaimana?”
“Baiknya dibawa ke dalam untuk diobati,” jawab Ching-ching.
Mereka memapah Sun Pao ke dalam. Ching-ching mencari obat untuknya ia juga yang
Ching Ching 124
mengobati.
“Aduh, aduh,” Sun Pao berteriak kesakitan.
“Tahan sedikit, Pao-pao, kemarin juga aku begitu,” hibur Chin Wei.
“Sudah, Siocia,” kata Ching-ching.
“A-ying, kau baik sekali,” kata Sun Pao berterima kasih. “Aku … aku belum minta
maaf atas kejadian kemarin.
“Sudahlah, lupakan,” Ching-ching berbasa-basi.
“Tapi, sulingmu …”
“Sudah patah, tak bisa disambung. Baiknya dilupakan saja, supaya tidak sedih.”
“Aku menyesal,” kata Sun Pao.
“Ih, aku tak suka acara sedih-sedihan,” Chin Wei memotong percakapan. “Sun Pao,
kemarin aku mau minta kau menyanyi, tapi lupa gara-gara itu. Bagaimana kalau
sekarang saja? Cuma tak ada yang mengiringi.”
“Saoya, bukankah di ruang musik ada sebuah khim? Aku bisa mengiringi dengannya.”
“Ah ya, betul. Ayo kita ambil.”
Sesudah hari itu, sisa hukuman Chin Wei mereka lewatkan bertiga. Ternyata main
bersama-sama itu menyenangkan. Sun Pao tidak iri lagi pada Ching-ching.
Ching-ching juga sudah membalaskan dendam, tak lagi mengungkit kejadian tempo
hari. Hukuman bagi Chin Wei tidak terasa membosankan lagi.
Sayang, hari-hari mereka dirusak dengan kedatangan Tan Piawsu ke rumah keluarga
Kwan, tepat pada hari Chin Wei bebas dari hukuman. Chin Wei yang sedang main
dengan Sun Pao dan Ching-ching mendadak dipanggil ke ruang tamu. Di sana sudah
menunggu Kwan Piawsu, Tan Piawsu, dan Tan Hai Bun.
“Nah, ini anaknya yang memukul anakku,” kata Tan Piawsu beringas. “Kwan Piawsu,
bagaiman tanggung jawabmu pada hal ini?”
“A-wek, ayo minta maaf pada Tan Piawsu dan Tan Kongcu,” perintah Kwan Piawsu,
menjawab pertanyaan saingannya.
Chin Wei langsung menuruti perintah ayahnya tanpa banyak tanya.
“Nah, urusan ini sudah selesai,” kata Kwan Piawsu.
“Cuma begitu saja?” Tan Piawsu mencak-mencak. “Aku tidak terima. Aku harus …”
“Tan Piawsu, sudah biasa anak-anak berkelahi,” potong Kwan Piawsu. “Mereka sudah
berbaikan lupa. Kita sebagai orangtua tak perlu banyak campur tangan urusan
anak-anak, bukan?”
“Tapi … tapi … Huh! A-bun, kita pulang!”
“A-wei, antarkan tamu!” perintah Kwan Piawsu.
Sambil senyum-senyum, Chin Wei mengantarkan Tan Piawsu dan putranya keluar. Di
depan Hai Bun menoleh kepadanya dan berkata, “Kwan Chin Wei, aku belum
membalaskan sakit hatiku.”
Justru itu, pikir Ching-ching. Kalau satu lawan satu, sudah pasti Hai Bun babak
belur. Sekarang ia berani menantang, pasti ada apa-apanya.
Chin Wei menghadapi hari pertarungannya dengan bersemangat. Ia bahkan rela
mengorbankan waktu bermainnya untuk berlatih silat. Kwan Piawsu sampai heran
akan kelakuan anaknya. Ia baru mengetahui sebabnya kemudian, semalam sebelum
pertandingan Chin Wei dan Hai Bun.
Malam itu, Kwan Piawsu baru pulang mengantar barang. Ia tergesa-gesa pulang
mendului pegawainya yang lain. Begitu sampai di rumah, ia mencari anaknya. Chin
Wei ditemuinya sedang bersama Ching-ching dan Sun Pao. Chin Wei sedang berlatih,
ditonton kedua gadis itu.
“A-wei, apa betul kau akan bertanding dengan Tan Hai Bun?” ayahnya langsung
bertanya.
Ching Ching 125
“Tapi … tapi Thia tahu dari mana?” Chin Wei menatap Ching-ching dan Sun Pao
curiga.
“Betul tidak?”
“Be-betul.”
“Kapan?”
“Besok. Thia ….”
“Pantas! Besok kau tak boleh keluar seharian!”
“Tapi, Thia ….”
“Tidak ada alasan! Untuk memastikan kau tidak kabur, mulai malam ini kau akan
kukurung di kamar belajar.” Kwan Piawsu menyeret anaknya ke kamar belajar yang
layaknya penjara kecil bagi Chin Wei. Kwan Piawsu sendiri yang mengunci pintu
dan mengantongi anak kuncinya. Tak ada jalan bagi Chin Wei untuk kabur.
“Thia, sebelum Thia pergi, beri tahukan dulu kepadaku, siapa yang mengabarkan
pertandinganku dengan Hai Bun.”
“Aku bertemu dengan Tan Piawsu di jalan.” Jawaban singkat Kwan Piawsu sudah
cukup memuaskan Chin Wei. Berarti teman-temannya tak ada yang mengkhianati dia.
Begitu Kwan Piawsu pergi, Ching-ching dan Sun Pao buru-buru mendekat.
“Payah! Kalian bantu aku cari jalan!”
Ching-ching sebenarnya sudah punya banyak jalan. Dulu di Sha Ie, soal kabur dia
nomor satu. Tapi, karena memikirkan keselamatan Chin Wei, ia berlagak bodoh.
“Tidak ada,” katanya.
Chin Wei kecewa. Malam ini ia terpaksa tidak enak tidur. Dan besok pagi … tak
ada apa pun yang bisa dilakukan untuk kabur. Setidaknya untuk malam ini.
Esoknya Chin Wei bangun pagi-pagi sekali. Pintu masih terkunci. Ia masih mencari
jalan keluar lain. Bagaimana kalau lewat atap? Tapi bagaimana caranya? Chin Wei
gelisah. Ia harus bisa keluar. Harus! Kalau tidak, ia akan diejek Hai Bun
habis-habisan. Sayangnya, sampai siang hari, kesempatan untuk kabur tidak ada.
Kwan Hujin kasihan melihat anaknya dikurung. Ia memohon pada suaminya supaya
diizinkan membawa makanan untuk Chin Wei.
“Baiklah,” kata suaminya.
“Akan kusuruh A-ying mengantarkan.”
“Tidak. Jangan A-ying. Jangan pula Sun Pao. Yang lain saja.”
Dari jauh Chin Wei sudah melihat pelayan yang membawakan makanan untuknya
dikawal salah seorang pegawai ayahnya. Pemuda itu langsung tahu apa yang mesti
dilakukan. Ia berbaring di lantai. Pura-pura pingsan. Pelayan yang membawa
makanan itu kaget melihat Chin Wei terkapar. Ia memanggil yang mengawalnya untuk
menolong. Pintu dibiarkan tidak terkunci. Begitu kedua pegawai ini membungkuk
untuk memeriksa keadaan majikannya, Chin Wei melompat berdiri dan menotok jalan
dari kedua orang itu sehingga tak dapat bergerak.
“Maafkan aku,” Chin Wei menjura. Aku cuma terpaksa. Jangan bilang sama
Thia-thia, ya.” Sudah itu, Chin Wei langsung minggat.
Chin Wei berlari ke Hek-cio-leng (Bukit Batu Hitam) yang letaknya lumayan jauh
dari rumah. Di sana sudah menunggu Tan Hai Bun dengan empat orang pegawa
penandunya dan seorang pendeta yang aneh dandanannya.
“Kwan Chin Wei, kau datang juga akhirnya. Kupikir nyalimu sudah terbang entah ke
mana.”
“Tan Hai Bun, pembohong, kau bilang akan datang sendiri-sendiri.”
“Aku tidak bilang begitu. Kataku, kau datanglah sendiri kalau berani. Aku tak
tahu apakah nyalimu begitu besar atau kau terlalu tolol sehingga berani
menghadapi aku sendirian.” Hai Bun tertawa. “Serang!”
Ching Ching 126
Empat orang maju bebareng, siap meneroyok Chin Wei yang sendirian!
Sun Pao bosan diam di kamar. Semua buku sudah dibaca. Sulamannya sudah selesai.
Apa lagi yang bisa dikerjakan? Ah, baiknya ia bercakap-cakap dengan Chin Wei.
Siapa tahu bisa menghibur pemuda itu. Ia berjalan ke ruang belajar dan mengetuk
pintu. “Wei-ko, kau tidak tidur, kan? Wei-ko, aku mau berbincang-bincang
denganmu.”
Tapi, tak ada jawaban dari dalam. Setelah beberapa lama memanggil belum juga
disahuti, Sun Pao jadi kuatir. Ia mengintip dari jendela. Yang ia lihat bukannya
Chin Wei, tapi dua orang yang membungkuk tanpa bergerak.
“Siocia? Ngintip apa?” tanya Ching-ching, yang juga datang ke tempat itu untuk
melihat apa yang terjadi pada pelayan yang bertugas membawakan makanan.
“A-ying, celaka! Wei-ko kabur!”
“Wah, gawat. Dai bisa babak-belur. Biar kususul! Siocia, kau tunggulah di sini.”
Sun Pao yang ditinggalkan Ching-ching meremas-remas tangannya karena bingung dan
cemas. Ia berjalan bolak-balik, tak tahu apa yang mesti dilakukan. “Ah, ya,
betul. Aku lapor Thia-thia dan Peh-peh. Mereka pasti bisa mencegah Wei-ko
berkelahi.” Ia belrari mencari ayah dan pamanya. Ia harus melaporkan semua.
Barangkali Chin Wei akan ketolongan. Paling tidak, tak akan sampai babak-belur
dihajar orang.
Sampai di Hek-cio-leng, Ching-ching melihat Chin Wei sudah keteteran dihajar
keempat pengeroyoknya. Darah mengucur dari mulut dan hidung, bahkan juga dari
kuping.! Rupa Chin Wei sudah tak bisa dikenali lagi, bengkak semua. Biarpun
sudah kepayahan, para pengeroyoknya tidak juga mau mengampuni.
Melihat itu semua, darah Ching-ching mendidih. Ia marah. Marah sekali. Disertai
khikang, ia bereriak gusar. “Hentikan!”
Mendengar suara menggelegar yang mengandung amarah, seketika pertempuran
terhenti. Semua berpaling ke asal suara, tercengang melihat siapa yang datang,
tak terkecuali Chin Wei.
“Sungguh tak tahu malu! Mengeroyok orang! Kalau berani, majulah satu-satu!”
“Pelayan bau, jaga mulutmu!” bentak Hai Bun. “Kaupikir kau ini siapa, berani
menasihati aku?”
“Tan Hai Bun, kau sungguh busuk. Aku paling benci binatang macammu yang
bersembunyi di belakang orang upahan untuk menghadapi lawan.”
“Eh, berani kau menyembut namaku dengan tidak hormat? Kau mesti dikasih
pelajaran!” Hai Bun melompat menerjang, hendak menggampar mulut Ching-ching yang
dianggapnya ceriwis. Tapi, kepandaian bocah itu terlalu rendah. Gampang saja
dilecehkan. Ching-ching tidak menghindari serangan Hai Bun. Ia menggunakan
tenaga dalam untuk melindungi diri. Tan Hai Bun tak tahu hal ini. Ketika
tangannya belum sampai seinci di hadapan Ching-ching, tahu-tahu tangannya balik
menggampar muka sendiri.
“Ha, rupanya kau sudah tahu salah dan menghukum diri sendiri.” Ching-ching
tertawa.
Hai Bun makin marah, menyerang lagi. Kali ini tidak dibiarkan oleh Ching-ching.
Jauh-jauh ia sudah menangkis dengan satu bagian tenaga dalamnya. Tapi ini pun
sudah cukup membuat Hai Bun terpental dua tombak jauhnya dan terbanting di kaki
pendeta yang aneh dandanannya.
“Suhu,” teriak Hai Bun. “Muridmu dihinakan berarti engkau juga dihina.”
“Aku tak akan membiarkan muridku dihajar orang,” kata pendeta itu dengan logat
aneh.
“Ini gurumu? Pantas kau tak becus berkelahi,” kata Ching-ching melecehkan.
Ching Ching 127
“Berani kau menghina See-cong-shak-wa?” pendeta itu membentak.
Ching-ching tertawa. “Tuh kan, namanya saja sudah See-cong-sa-kwa (Si Goblok
dari Tibet).”
“See-cong-shak-wa,” pendeta itu meralat. “Dalam bahasa Tibet, shakwa artinya
ayam hutan.”
“Pedulia pa? Dalam bahasa Han, sa-kwa artinya tak punya otak alias goblok.”
“Bocah kecil, berani kau hinakan aku? Kau harus dikasih pelajaran.” Pendeta itu
menyerang.
“Bocah besar, kau yang emsti diajar karena tak becus mendidik murid,” sahut
Ching-ching sambil menangkis.
Di antara keduanya terjadi pertempuran seru. Yang melihat keheranan. Apalagi
Chin Wei. Ia tak tahu kalau A-ying bisa sehebat itu.
Ching-ching sendiri, saking marah, lupa akan perannya sebagai A-ying, gadis
dusun yang lugu. Ia terlalu bersemangat memberi pelajaran pada Hai Bun dan
gurunya.
Setelah bertempur belasan jurus, pendeta Tibet yang mengaku bernama
See-cong-shakwa itu sadar kalau kepandaiannya tidak selihay Ching-ching. Ia
mencari jalan untuk kabur. Matanya jelalatan ke sana kemari.
“Mau lari, eh?” Ching-ching mengetahui maksud orang itu. “Jangan harpa aku
lepaskan kau begitu gampang. Paling tidak, tinggalkan dulu sebelah kaki atau
tanganmu untuk kenang-kenangan.”
See-cong Shakwa tahu, ancaman Ching-ching tidak main-main. Ia mencari siasat
lain. Pelan-pelan ia mundur mendekati Chin Wei yang berdiri sempoyongan, nyaris
pingsan. Ketika sudah dekat, secepat kilat dirangkulnya pemuda itu dan
diancamnya dengan sebatang jarum halus warna putih. “Jangan mendekat,” ancamnya,
“atau kutusuk anak ini dengan jarumku.”
“Apa takutnya sama jarum,” kata Ching-ching, tapi ia menghentikan juga
tindakannya.
“Gadis tolol, ini bukan jarum biasa. Ini jarum beracun yang paling ditakuti di
Tibet, Sie-tok-ciam (Jarum racun salju). Kalau kena racun ini sedikit saja, maka
akan kedinginan sehingga darah membeku dan lumpuh. Maka, mati tidak, hidup juga
susah. Kau mau dia mati merana?”
“See-cong Sha … Sha-anu, kau mau apa?” tanya Ching-ching yang tak berani salah
sebut, takut kalau pendeta Tibet ini marah dan mencelakai Chin Wei.
“Mau pergi. Kau jangan coba mengikuti, atau anak ini celaka!”
“Baik, kau pergilah. Tapi jangan celakai majikanku.”
See-cong Shakwa mundur-mundur menuruni bukit. Pada saat bersamaan, datang Kwan
Piawsu dan Sun Chai, ayah Sun Pao. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Yang
terlihat cuma seorang pendeta aneh menculik Chin Wei.
“Hoat-ceng (paderi asing), kauapakan anakku?” Kwan Piawsu melompat, menghadang
See-cong Shakwa.
“Looya, jangan!” cegah Ching-ching.
Terlambat. Karena kaget, See-cong Shakwa tak sengaja menggores Chin Wei dengan
jarumnya. Chin Wei menjerit keras, merasakan pedih di pundaknya dan semaput
seketika itu juga! See-cong Shakwa melepaskan pemuda itu dan lari menyelamatkan
diri. Ching-ching yang sudah waspada tidak tinggal diam. Ia melompat tinggi
melewati kepala Kwan Piawsu dan Sun Chai untuk mengejar penjahat.
“Padri botak, mau lari ke mana kau?” serunya, mencegat si pendeta Tibet.
See-cong Shakwa tak mau menyerahkan diri begitu saja. Ia mencoba melawan. Tapi,
pada dasarnya, ia memang sudah kalah tingkat. Ditambah kemarahan Ching-ching
Ching Ching 128
yang sudah sampai pada puncaknya, belum sampai sepuluh jurus, ia sudah kena
ditotok dan diseret kembali ke tempat Chin Wei terkapar.
“Mana obat pemudahnya?” tanya gadis itu.
“Aku … aku … aku tidak … tidak punya,” See-cong Shakwa menjawab tergagap-gagap.
Ching-ching tak sabar dan mengeluarkan belatinya. “Mana, cepat keluarkan! Kau
mau jiwamu terbang?”
“Tapi … tapi aku sungguh … sungguh tak punya.”
“Oh ya?” Ching-ching menggeledah pendeta itu. Memang tak ada penawar racun di
sana.
“Huh, tak berguna. Mestinya kubunuh saja kau. Tapi aku masih membutuhkanmu untuk
menyembuhkan Saoya.” “A-ying, eh, maksudku, Kouwnio, tidakkah lebih baik kita
bawa dulu keduanya ini ke rumah?” Kwan Piawsu buka suara, tak berani sembarangan
menyebut nama bekas pelayannya ini.
Ching-ching mengangguk. Beriiringan mereka pulang. Di jalan, gadis itu
menceritakan semua yang ia tahu, tapi selalu mengelak kalau ditanya mengenai
dirinya.
“Looya, namaku yang sebenarnya tidaklah penting. Sekarang, yang mesti dipikirkan
adalah keselamatan Saoya.”
“Mana boleh begitu? Aku …” Kwan Piawsu membantah.
“Sudahlah, jangan ributkan soal segala macam basa-basi. Looya, setelah kejadian
ini, masih bolehkah aku tinggal di rumah, setidaknya sampai Saoya sembuh?”
“Tentu saja. Bahkan …”
“Itu sudah cukup,” potong Ching-ching. Ia tak mau berkata-kata lagi.
Mulai hari itu, perlakuan keluarga Kwan pada Ching-ching berubah sama sekali. Ia
dianggap sebagai tamu terhormat, dilayani dan diberi pakaian bagus. Ching-ching
sendiri tak ambil pusing. Ia sudah sibuk dengan See-cong Shakwa yang bandel
bukan main. Diancam bagaimana pun, tetapi ngotot tak punya obat dan tak mau
memberi tahu cara pengobatan.
Racun Sie-tok-ciam mulai berpengaruh pada Chin Wei. Pemuda itu mulai kedinginan
terus, berapa pun banyaknya selimut membungkusnya. Ching-ching yang sudah pernah
pengalaman tinggal di puncak gunung yang dingin malah sudah menyuruh orang
membuat tempat tidur batu dengan tungku di kolongnya. Tapi, itu pun tidak banyak
menolong.
Hari kedua sudah lewat. Malamnya Ching-ching mendatangi lagi See-cong Shakwa
yang digantung terbalik di gudang.
“Sudah puas belum jadi kelelawar?” tanya Ching-ching begitu datang.
Yang ditanya tak menjawab, cuma mengerang saja. Dua hari digantung terbalik
bukan penderitaan enteng. See-cong Shakwa sudah merasa darahnya naik ke otak
semua.
“Kau sudah tobat belum? Kalau sudah, akan kuturunkan kau. Tapi janji bantu
sembuhkan Saoya.”
“Aku janji, aku janji,” kata See-cong Shakwa buru-buru.
Ching-ching mengambil belati dan memutuskan tapi penggantung. “Nah, kau bilang
tak punya obat. Tahu cara menyembuhkannya tidak? Saoya kedinginan terus. Aku
kasihan melihatnya.”
“Soal dingin sih gampang. Pakai saja tenaga dalam.”
“Ah ya, aku kok bisa lupa. Aku beri tahu Looya.”
Sesudah diberi tahu, Kwan Piawsu cepat menyalurkan tenaga dalam ke badan
anaknya. Hal ini memang berhasil sementara. Waktu Kwan Piawsu berhenti untuk
istirahat, Chin Wei menggigil lagi.
Ching Ching 129
“Celaka. Tenagaku tak kuat menolongnya terus-terusan.”
“Gantian saja,” kata Ching-ching. Ia langsung duduk bersila dan menggantikan
Kwan Piawsu. Tapi, kali ini bukannya ketolongan, Chin Wei malah makin gemetaran.
“Gawat, kenapa jadi begini?” Ching-ching menghentikan tenaganya. “Ah, pasti
Setan Tibet itu salah memberi petunjuk.” Ching-ching langsung menemui See-cong
Shakwa. “Hey, Ayam Tibet, aku menggunakan tenaga dalamku, kenapa Saoya malah
tambah kedinginan?”
“Itu karena kau perempuan.”
“Apa bedanya perempuan dan laki-laki?”
“Racun salju itu berhawa dingin. Tenaga perempuan adalah tenaga im yang juga
dingin. Tentu saja—“
“Sudah tahu, kenapa tak ngomong dari dulu?” Ching-ching menggetok kepala pendeta
Tibet itu dengan gagang belatinya. “Cara lain bagaimana?”
“Direbus!”
Ching-ching melapor pada Kwan Piawsu, yang cepat mencari periuk besar untuk
merebus anaknya. Tapi, yang terjadi Chin Wei bukannya mendingan, malah badannya
melepuh semua.
Ching-ching ngamuk, mendatangi lagi See-cong Shakwa. “Kau mau membunuh
majikanku?” bentaknya. “Badannya matang semua. Kau sengan menipu aku ya? Baik,
kuberi kau sedikit pelajaran.”
Dengan belatinya, Ching-ching mengukir tulisan See-cong Shakwa di kepala si
pendeta yang gundul. Sudah itu, diberinya obat yang cepat menyembuhkan luka,
tapi meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. Si Botak yang memang tertotok itu
tak dapat melawan. “Nah, dengan hiasan dariku, gundulmu itu tampak lebih bagus.”
Ching-ching melepaskan totokan, tanpa takut si pendeta kabur. Tali yang mengikat
badan pendeta itu sudah cukup membuatnya tidak berkutik. “Hayo, kau bilang
padaku cara menyembuhkan penyakit Saoya!”
“Tak sudi!” sahut See-cong Shakwa. “Biar saja saoyamu tersayang itu mati
sengsara.”
“Berani kau bilang begitu? Kepingin kutambah ‘kumis abadi’ di bawah hidungmu?”
Ching-ching menggerakkan belatinya ke atas bibir See-cong Shakwa. Sebenarnya ia
tak ingin melukai benar-benar, cuma sekadar menggertak. Mana tahu si pendeta
malah bergerak menghindar. Ssrrtt! Darah muncrat dari muka See-cong Shakwa yang
menjerit.
“Ih!” Ching-ching melompat mundur dengan ngeri. Hidung See-cong Shakwa sudah
terbabat putus! Gerakannya menghindar malah membuat pisau Ching-ching yang tajam
bukan main membeset hidungnya sehingga tak bersisa lagi! Sakitnya bukan alang
kepalang. See-cong Shakwa pingsan seketika.
“Nah lho, hidungnya copot!” kata Ching-ching bingung. Tapi, sejenak kemudian,
kemarahannya timbul kembali. “Berani melawan aku? Coba begini, masih tidak mau
memberi tahu caranya?” Ching-ching menusukkan jarum Sie-tok-ciam ke badan
See-cong Shakwa. “Coba saja kita lihat. Bagaimana caramu menyembuhkan diri,
begitu juga aku menyembuhan Saoya.” Sesudah itu, ia menyuruh beberapa orang
pegawai Kwan Piawsu untuk mengikat See-cong Shakwa ke pilar.
Tapi, betapa terkejut Ching-ching ketika esok harinya tidak mendapati See-cong
Shakwa di gudang. Yang ditemukan cuma secarik kain bertuliskan tinta darah.
Bocah kejam, aku tak kenal namamu, tapi aku punya dendam padamu. Suatu saat aku
akan kembali menagih utang dendam. Ada baiknya juga kau tahu, kalau saoyamu
tidak ditolong dalam tiga puluh hari sesudah terkena racun, ia akan mati. Aku
rasa, tak ada yang dapat menolongnya. Lebih baik kau siapkan peti mati dan
Ching Ching 130
lubang kubur untuk saoyamu itu.
Kwan Piawsu cuma bisa bengong saja membaca surat itu, tak tahu lagi apa yang
bisa dilakukan.
“Anakku. Putraku satu-satunya akan mati sia-sia,” ratap Kwan Hujin.
“Belum tentu,” kata Ching-ching tiba-tiba. “Aku ada kenalan seorang tabib.
Barangkali ia bisa menoong.
“Tak ada gunanya. Sudah puluhan tabib kita coba, tak satu pun sanggup
menyembuhkan A-wei.” Kwan Piawsu tampak putus asa.
“Tak ada salahnya mencoba sekali lagi. Jangan patah semangat dulu. Looya,
tahukah kau, seberapa jauhnya desa Chu-khe-cung dari sini?”
“Kira-kira sembilan hari perjalanan. Tunggu, tunggu. Chu-khe-cung? Bukankah di
sana tempat tinggal Yok Ong-phoa (Raja obat)?”
“Betul sekali. Aku akan minta Kongkong kemari.”
Kwan Piawsu mulai bersemangat lagi. “Tapi, apakah keburu? Sakitnya A-wei sudah
dua belas hari. Berarti waktunya tinggal delapan belas hari lagi. Padahal, dari
sini ke Chu-khe-cung bolak-balik sudah butuh delapan hari.”
“Benar,” kata Ching-ching. “Kalau begitu, baiknya aku berangkat hari ini juga.”
“Aku berangkat bersamamu,” kata Kwan Piawsu.
“Toa-heng, anakmu membutuhkan engkau. Lebih baik aku saja yang pergi.” Sun Chai
mengajukan diri. Setelah berbantahan sebentar, Kwan Piawsu setuju juga.
Ching-ching cepat mengemas barang-barang yang akan dibawanya. Saat sedang
beberes, Sun Pao masuk ke kamarmu.
“A-ying, Wei-ko ingin bertemu denganmu sebelum kau pergi. Barangmu biar aku saja
yang bereskan.”
Ching-ching langsung lari ke kamar Chin Wei. Pemuda itu sudah terbungkus
selimut-selimut tebal, tapi masih juga kedinginan. Bibirnya berwarna kebiruan
dan bergetar waktu berbicara. “A-ying, kata Pau-pau, kau mau pergi?”
“Ya, Saoya, aku akan mencari tabib untukmu.”
“Buat apa?” kata Chin Wei lemah. “Aku sudah tahu, aku tak akan sembuh lagi.
Lebih baik kita senang-senang sebelum ajalku tiba. Tak perlu kau merepotkan
diri.”
“Saoya, mana boleh kau ngomong begitu. Aku tak akan membiarkan kau mati. Janji,
kau tak akan bicara begitu di depanku!”
“Baik, baik, aku janji, aku tak akan mati kalau katu tidak di sampingku.”
Chin Wei masih ingin bicara banyak, tapi rasa dingin yang menyerangnya
menghalanginya. Ching-ching cepat tangap. Ia langsung mengalirkan sinkang
berhawa Yang ke tubuh tuan mudanya. Lalu ia menotok dua jalan darah di tengkuk
pemuda itu supaya bisa tidur nyenyak dan tidak merasakan dingin untuk sementara.
Sesudah membereskan semua, barulah Ching-ching berangkat bersama Sun Chai.
Sebenarnya, dengan menggunakan ginkang dan ilmu lari cepat Thian-li-hiap-beng
(Bidadari mengejar angin(, Ching-ching akan sampai ke Chu-khe-cung paling lama
?? hari. Tapi ginkang Sun Chai tidak sebaik Ching-ching. Gadis itu tak berani
mendului karena ia tak tahu jalan. Kalau kessasar, bisa berabe. Tapi mereka
sampai juga setelah delapan hari perjalanan. Waktu itu hari sudah malam. Mereka
tak keburu mendaki bukit untuk mencari rumah Tabib Yuk yang agak memencil.
Terpaksa mereka tidur di kaki bukit, di udara terbuka. Pagi harinya barulah
mereka mulai bergerak.
Bersemangat ingin bertemu Gie-ko dan kong-kongnya, Ching-ching melesat mendului
Sun Chai. Laki-laki itu cukup mengerti. Ia memandangi saja bayangan yang
bergerak lincah. Hmm, bukan ginkang sembarangan. Gadis A-ying ini mestinya murid
Ching Ching 131
serorang sakti. Heran, kenapa bisa nyasar jadi pelayan di rumah keluarga Kwan?
Sun Chai menemukan Ching-ching berdiri bengong memandangi sesuati. Ia cepat
mendekat, ingin tahu ada apa dengan gadis itu. Ketika sampai di tempat
Ching-ching, Sun Chai segera mengerti.
Ia melihat sebuah rumah yang kini tinggalpuing. Semuanya habis seperti bekas
terbakar. Hanya tanah persegi yang mendandakan bahwa di sana pernah ada rumah
tinggal.
“Kong-kong tidak ada,” kata Ching-ching dengan suara bergetar. Sun Chai
menepuk-nepuk pundaknya. Lelaki itu mengerti apa yang dirasakan Ching-ching. Ia
pun kecewa. Apakah Chin Wei, kemenakannya, tak akan ketolongan lagi jiwanya?
“Barangkali Kongkong sekarang tinggal di rumah Jieko,” kata Ching-ching. Ia
langas menarik Sun Chai menuruni bukit lewat sisi yang lain. Apa yang ditemuinya
di desa Chu-khe-cung malah membuat hati gadis itu tambah kuatir. Desa itu sudah
mati. Rumah-rumah sudah bobrok semua. Mereka tak bertemu siapa-siapa di sana,
bahkan tidak seekor binatang pun. Semuanya sepi. Mati.
Agak jauh, Ching-ching melihat kuburan berderet-deret. Ia cepat mendekat.
Berbagai perasaan campur aduk di dadanya. Bagaimana kalau Gie-heng dan
kong-kongnya mati? Apa yang akan terjadi pada Chin Wei? Ia mengharap tidak ada
nama mereka di antara kuburan itu. Tapi, kalaupun demikian, ke mana ia harus
mencari kerabatnya tersebut?
“Sun Looya, maukah kau menolong aku mencarikan nama she Yuk dan she Chow?”
Sun Chai mengangguk. Berdua mereka mencari dua nama keluarga itu.
“A-ying, di sini!” seru Sun Chai yang menemukan duluan.
Buru-buru Ching-ching mendekat. Melihat nama-nama yang tertera di sana, ia
langsung merasa lemas sehingga jatuh berlutut. “Yuk Pehpeh, Pehbo, Chow Pehpeh,
Pehbo, dan Chow Fei,” gumamnya. “Tapi mana nama Toako, Jieko, dan Kongkong?”
“Mungkin mereka selamat.”
“Sun Looya, Kongkong tidak ada di sini. Apa yang mesti kita lakukan?”
“Barangkali sudah taktir kita tak boleh menemuinya. Sekarang, tak lain yang bisa
kita lakukan cumapulang.”
Dengan lesu Ching-ching berdiri, mengikuti langkah Sun Chai pulang.
Mereka melewati kampung tetangga. Kebetulan matahari terik dan perut mereka
sudah minta diisi pula. Keduanya singgah dis ebuah kedai kecil. Ketika pelayan
datang mengantar pesanan mereka. Sun Chai menanyakan keadaan kampung
Chu-khe-cung yang baru mereka tinggalka.
“Oooh, kampung itu. Semua penduduknya sudah pergi meninggalkan desa. Pindah,
berpencar entah ke mana.” Cuma begitu yang diketahui si pelayan. Ia tak dapat
memberi keterangan lain. Ching-ching menunduk sedih. Sekarang ia tak tahu
bagaimana mencari kedua gie-heng dan kong-kongnya.
Semenjak perginya Ching-ching, keadaan Chin Wei semakin gawat saja.
Kedinginannya tidak berkurang. Ia sampai tak bisa tidur karenanya. Ayahnya, yang
mencoba membantu dengan mengalirkan sinkang, malah terluka sendiri karena telah
memaksa diri. Ia mencoba mengajari anaknya mengatur hawa di dalam tubuh, tapi
Chin Wei tak dapat berkonsentrasi, sehingga hal itut ak mungkin dilaksanakan.
Enam hari sudah lewat sejak Ching-ching pergi. Ada dua kejadian di rumah
keluarga Kwan. Hari itu Kwan Hujin membawakan bubur panas untuk anaknya. Ia akan
menyuapi putra tunggalnya. Tanpa disengaja, bubur yang amat panas itu tumpah
mengenai tangan Chin Wei. Tapi, pemuda itu seperti tidak merasa. Ia malah heran
waktu ibunya menanyakan apakah tangannya sakit.
Kwan Hujin lari mendapati suaminya dan melaporkan apa yang terjadi. Kwan Piawsu
Ching Ching 132
cepat mendapati anaknya.
“A-wei, sungguhkah kau tidak merasakan panas di tanganmu?”
“Tidak, Thia.”
Kwan Piawsu tidak yakin. Ia menyuruh orang mengambil air panas dan dingin.
Dengan saputangan, diusapkannya dua macam air itu ke tangan Chin Wei bergantian.
Tapi Chin Wei tak merasa apa-apa. Kwan Piawsu masih tidak puas. Ia mengambil
belati dan menggoreskan ke tangan Chin Wei. Keluar darah, agak kusam warnanya,
tapi Chin Wei tidak merasakan sakit sama sekali!
Kemudian datang laporan pada Kwan Piawsu. Salah seorang anak buahnya melihat
See-cong Shakwa ada di rumah Tan Piawsu. Demi anaknya, Kwan Piawsu lekas datang
ke rumah saingannya supaya anaknya ditolong.
“Sebenarnya aku tak mau repot dalam urusan ini,” jawab Tan Piawsu. “Ini adalah
urusan anak-anak. Urusan anak kecil, baiknya orang tua tidak ikut campur. Begitu
bukan, Kwan Piawsu?” katanya mengejek. “Tapi kau beruntung, kawan. Guru silat
anakku memberikan pemunah ini untuk anakmu.” Tan Piawsu mengambil sebuah botol
dari sakunya. “Dengan sayarat.”
“Apa syaratnya?”
“Pelayanmu. Yang galak itu. Kau mesti usir dia!”
“Tidak bisa. Ia sudah mati-matian mencoba menolong anakku. Mana boleh aku tak
tahu budi orang?”
“Yah, aku tak memaksa. Begini saja. Kuberikan obat ini kepadamu tanpa
sepengetahuan See-cong Shakwa. Tapi kau harus berjanji, tak akan rewel lagi soal
urusan ini.”
“Baiklah. Asal anakku sembuh, janji itu akan kutepati.” Setelah berterima kasih,
Kwan Piawsu pulang ke rumahnya sendiri. Memang ada perubahan pada Kwan Chin Wei.
Ia tak lagi kedinginan, tapi ia malah kesakitan terus. Dua malam seisi rumah
pedih hatinya mendengar rintihan remaja tanggung itu. Hari berikutnya Chin Wei
tak bersuara sama sekali. Ibunya sudah ketakutan anak itu mati. Ternyata tidak.
Chin Wei masih hidup. Dadanya masih naik-turun, tanda napasnya belum putus. Tapi
anak itu tak sadar berhari-hari lamanya.
Ketika Ching-ching dan Sun Chai datang, tak heran mereka mendapati rumah yang
sepi diselimuti duka. Keduanya tahu. Penyakit Chin Wei membuat suasana dirundung
mendung, tapi tak menyangka seberapa parah Chin Wei.
Ching-ching marah sewaktu tahu pemuda itu diberi obat yang didapat dari Tan
Piawsu. “Si Gendut itu pasti sengaja memberikan obat yang salah. Kwan Piawsu,
kita mesti menatangi dia dan meminta dia bertanggung jawab.”
Kwan Piawsu menghela napas. “Tak mungkin. Aku sudah berjanji tak akan
mengganggunya lagi dalam soal ini.”
“Kau berjanji. Aku tidak! Akan kudatangi ….” Bicaranya Ching-ching terputus oleh
seruan Sun Pao.
“Lihat, Wei-ko membuka mata!”
Benar, Chin Wei membuka matanya. Ketika melihat Ching-ching, pelan sekali kedua
sudut bibir pemuda itu tertarik ke atas. Ia tersenyum. Kemudian ia memejamkan
lagi matanya. Menghembuskan napas panjang. Dan cuma sampai di situlah mur pemuda
Kwan Chin Wei.
Sun Pao menjerit memanggil nama Chin Wei. Kwan Hujin tak tahan melihat itu
semua. Ia jatuh pingsan. Untung keburu dipegangi Sun Chai dan segera dipapah
keluar. Kwan Piawsu cuma berdiri tegak dengan mata berkaca-kaca.
Ching-ching menggigit bibir, sebisa mungkin menahan air mata yang hendak
meluncur ke pipinya. Chin Wei tak suka gadis cengeng. Ia tak boleh berlaku
Ching Ching 133
cengeng di depan pemuda itu. Ching-ching mengepalkan jemari tangannya. Tapi,
kemudian ia tak kuat lagi dan berlari keluar. Ia berlari terus, dan terus,
sampai di pinggiran kali tempat ia dan Chin Wei biasa bertemu.
Gadis itu menatap air bening. Ada bayangan wajahnya di air. Kemudian bayangan
itu berganti muka Chin Wei yang tersenyum. Lantas berubah lagi menjadi
bayang-bayang Tan Hai Bun dan ayahnya berganti-ganti.
Dengan gemas, Ching-ching memukul bayangan di air itu, tapi seolah bayangan
ayah-beranak she Tan menempel di pelupuk mata, tak bisa hilang. Gadis itu makin
marah. Dipukulnya air dengan lweekang. Air tersibak. Terlihat dasar yang lembap
berbatu. Tapi Ching-ching belum puas. Ia mengamuk ke segala penjuru, di mana
terdapat bayangan orang she Tan ayah-beranak.
Batu-batu berpecahan, pohon-pohon tumbang, angin berkesiuran. Air sungai bahkan
bergolak akibat tenaga yang dikerahkan Ching-ching. Sebentar saja tempat itu
hancur berantakan. Setelah capek, barulah Ching-ching duduk di tanah dan
melampiaskan sedih hatinya dengan menangis.
Malam itu tak seorang pun terlelap di rumah keluarga Kwan. Mereka semua sedang
menyembahyangi Kwan Chin Wei. Ching-ching yang dianggap orang luar tidak ikut
dalam upacara itu. Tak jadi masalah. Gadis itu sudah punya rencana lain. Ia akan
menyambangi rumah keluarga Tan malam ini!
Sebelum pergi, Ching-ching meninggalkan surat untuk Kwan Piawsu, berisikan
terima kasih atas tumpangannya dan menjelaskan rencananya, agar kelak kalau
keluarga Kwan dituduh membalas dendam kepada keluarga Dan, surat itu dapat
ditunjukkan untuk membersihkan nama. Ching-ching sudah bertekad tak akan kembali
lagi.
Rumah Tan Piawsu tampak sunyi. Rupanya semua sudah bermimpi. Agak kerepotan
Ching-ching mencari kamar Tan Piawsu di antara sekian banyak kamar di sana. Yang
ditemukan malah kamar Tan Hai Bun. Mau balas pada ayahnya, tak ketemu, anaknya
pun jadi, pikir Ching-ching.
Dihampirinya Tan Hai Bun. Ditotoknya urat di leher sebelah kiri pemuda itu.
Pemuda itu terbangun, merasakan totokan di lehernya. Melihat orang di kamarnya,
ia membuka mulut untuk menjerit minta tolong, tapi yang keluar cuma suara
bebisik saja.
Ching-ching mengangkat tangannya, hendak memukul. Hai Bun melotot ketakutan,
sampai pingsan saking takutnya. Ching-ching mendengus. Tak ada perlawanan sama
sekali. Sekali tangannya bergerak, kepala Hai Bun akan pecah dan tamat
riwayatnya. Tan Piawsu akan merasakan hal yang sama seperti keluarga Kwan.
Tapi, tunggu dulu! Tan Hai Bun tak boleh mati bersamaan dengan Kwan Chin Wei.
Kedua pemuda itu selalu bertengkar. Kalau mereka ketemu lagi, pasti berkelahi
lagi. Itu tak boleh dibiarkan.
“Tan Hai Bun, kau belum layak untuk mati. Tapi, dendam tetap mesti dibalas. Aku
akan pakai cara lain!” Ching-ching menempelkan telapak tangannya pada dahi Hai
Bun, lantas menyalurkan lweekang untuk merusak otak pemuda itu. “Rasakan!” desis
gadis itu puas. “Sekarang kau mati tidak, hidup juga tidak. Salahmu sendiri,
mencelakakan tuan mudaku lewat tangan gurumu.”
Setelah dendamnya punah, Ching-ching keluar dari kota itu. Ia tak punya urusan
lagi di sana. Waktunya sudah tiba untuk berkelana lagi mencari A-thianya.
Esok harinya sisi rumah Tan Piawsu gempar. Tan Hai Bun tidak mengenali orang. Ia
tak mengenal ayahnya, ibunya, kakaknya, bahkan dirinya sendiri. Sepanjang hari
kerjanya cuma ketawa-ketawa sendiri di kamar sambil teriak-teriak. “Chin Wei
mati! Aku tak punya saingan lagi! Semua harus tunduk padaku! Tunggu dulu … siapa
Ching Ching 134
aku? Aku siapa? Tentunya aku jagoan nomor satu di kolong langit. Semuanya!
Hahaha.”
Tan Piawsu bingung melihat anak kesayangannya menjadi sedemikian rupa. Istrinya
menangis terus-terusan. Dan anaknya yang sulung cuma bisa memandangi adiknya
dari jendela karena Hai Bun tak memperbolehkan seorang pun masuk.
“A-thia, kenapa Bun-tee jadi begitu?” tanya Hai Cong.
Tan Piawsu terdiam sejenak. “Pasti!” katanya kemudian. “Pasti A-bun diguna-gunai
oleh keluarga Kwan!”
“Diguna-guna?”
“Aku mesti ke sana sekarang. Kwan Piawsu mesti menyembuhkan anakku. Kalau tidak
….” Tan Piawsu menggumam sembari bergegas pergi.
Tan Hai Cong memperhatikan adiknya yang tampak sudah tenang dan sekarang sedang
duduk bengong di lantai. Hai Cong memberanikan diri membuka pintu kamar Hai Bun.
Ia bertindak pelan sekali, takut kalau adiknya mengamuk, melempari dengan
barang-barang seperti waktu a-thianya masuk pagi tadi.
“Bun-tee!” panggilnya lirih. Hai Bun seperti tidak mendengar, terus saja
menekuri lantai. “Bun-tee!” panggil Hai Cong lebih keras, barulah Hai Bun
menoleh. Melihat orang masuk tiba-tiba dia kumat lagi.
“Aaah, jangan! Jangan! Tolooong!”
“Bun-tee, ini aku!” kata Hai Cong.
Tapi, Hai Bun tak mengenali abangnya sendiri, terus saja menjerit-jerit.
“Jangan! Jangan! Ampun! Jangan ganggu aku! Bukan aku yang bunuh Chin Wei. Suhu
yang meracuninya.”
“Bun-tee, kau ngomong apa?”
“Kau … kau A-ying. Aah! Jangan mendekat!” Hai Bun lari menjauhi kakaknya.
“Ini aku, Hai Cong, abangmu!” Hai Cong mencoba menghampiri.
“Hai Cong? Siapa itu? Kau pasti orang suruhan A-ying. Ampun! Jangan bunuh aku.
Jangan!” Hai Bun menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan dengan keras. Hai
Cong sudah takut saja kepala adiknya copot menggelinding ke tanah. Ia
cepat-cepat keluar. Hatinya tergiris melihat keadaan Hai Bun yang menyedihkan.
Datang ke rumah keluarga Kwan, Tan Piawsu langsung mengamuk dan menuduh Kwan
Piawsu mencelakai anaknya. Keluarga yang berduka itu jadi marah melihat
kelakuannya yang tidak sopan di depan meja sembahyang. Hampir saja
pegawai-pegawai Kwan Piawsu menghajar si gendut she Than. Untung, mereka keburu
dicegah majikan mereka,yang tak mau cari ribut lagi.
“Tan Piawsu, ada urusan bolehkah diselesaikan baik-baik? Tak perlu marah-marah,”
tegur Sun Chai.
“Tak marah bagaimana? Anakku dicelakai orang, kau bilang aku tak usah marah?”
“Sebenarnya, ada apakah dengan anakmu?”
“Berlagak tidak tahu. Baiklah, kusebutkan supaya semua orang di sini mengetahui
keburukanmu. “Tan Piawsu menghadap kepada para tamu yang datang melayat. “Cuwi,
orang ini sudah menggunakan ilmu jahat untuk meneluh anakku sehingga jiwanya
terganggu!”
Sejenak orang-orang di sana ramai berbisik.
“Tan Piawsu, sungguh keji tuduhanmu. Aku tak pernah menggunakan ilmu apa pun
untuk meneluh orang. Bukan aku yang melakukannya.
Tan Piawsu terus saja menuduh. Sun Chai jadi panas hatinya. “Tan Piawsu, bukti
apa kau menuduh kami?”
“Kau sendiri, bukti apa menyangkal?”
“Aku ada surat yang boleh membuktikan bahwa bukan kami yang mencelakai anakmu!”
Ching Ching 135
Sun Chai mengeluarkan surat dari Ching-ching.
“Sun Siawtee, jangan membawa orang lain dalam urusan ini!” tegur Kwan Piawsu.
“Kwan Koko, rupanya kejadian ini sudah diramalkan A-ying dan surat ini adalah
untuk menyelamatkan nama kita.” Sun Chai memberikan seruat itu kepada Wan-gwe
yang dapat dipercaya, minta tolong dibacakan.
Wan-gwee membacakannya dengan suara keras di hadapan setiap orang. Surat
Ching-ching menceritakan semua persoalan, mulai dari perkelahian Kwan Chin Wei
dan Tan Hai Bun, terus sampai saat Chin Wei dicelakai, dan masih berlanjut hingg
terbukti Kwan Piawsu tidak punya salah dalam hal ini. Ching-ching mengatakan ia
melakukannya sendirian, tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia akan membalas dendam
pada Tan Piawsu dan anaknya.
Bukan main malu hati Tan Piawsu. Apalagi waktus emua orang melihatnya dengan
pandangan menuduh. Tanpa pamitan lagi, ia pulang dengan langkah bergegas.
Di jalan ke rumah, ia bertemu dengan anaknya yang sulung. Hai Cong
menghampirinya dengan muka pucat bagai mayat dan napas terengah. Matanya
membelalak panik.
“A-thia! Bun-tee ….” Hai Cong menunjuk ke arah rumah mereka. “Ia keluar,
menyelinap ke dapur, dan mengambil pisau. Tahu-tahu ia mengamuk seperti orang
kesetanan. Banyak pelayan kita yang terluka.”
Tergopoh-gopoh Tan Piawsu pulang ke rumahnya. Benar apa yang dikabarkan Hai
Cong. Baru sampai pintu depan saja, sudah ada tiga sosok mayat yang menyambut.
Di ruang tengah ada enam. Di kebun belakang Tan Piawsu melihat Hai Bun baru saja
mencabut pisau dari badan seorang yang kini sudah tak bererak lagi. Orang itu
tak lain adalah Tan Hujin!
Tan Piawsu begitu kaget sampai tak dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya saja
melotot memandang istrinya kinit erkapar. Ia bahkan tak bergerak waktu Hai Bun
mendekati dengan mata nyalang dan pisau di tangan. Barulah setela pisau itu
menancap ke jantungnya, ia menjerit lirih. Sedetik kemudian nyawanya terbang
menyusul istrinya yang mendului.
Tan Hai Cong terpana melihat itu semua. Hampir ia tak menyadari adiknya yang
mendekat sambil senyum-senyum. Untung ia cepat pulih. Ia mundur-mundur,
menghindari adiknya yang bersikap mengancam.
“Hehe, semua teman Chin Wei harus kuhabisi. Kau juga!” kata Hai Bun, menuding
kakaknya. Lalu ia menyerang.
Hai Cong sedapat mungkin menangkis pisau yang bergerak ke jantungnya. Tapi,
entah kenapa tenaga Hai Bun seolah bertambah sepuluh kali lipat. Kakaknya sudah
tak kuat adu tenaga dengannya. Nyawa Hai Cong sudah dalam tangan adiknya. Pemuda
itu sudah memejamkan matanya, pasrah!
Tahu-tahu Hai Bun melepas pisaunya, memegangi kepala dan berputar-putar.
Sebentar kemudian ia ambruk ke tanah, tak berkutik lagi.
“Sungguh menyedihkan. Satu keluarga hampir tak bersisa.”
Hai Cong menoleh. Ia mengenali orang yang baru datang. See-cong Shakwa!
“Anak muda, keluargamu terbasmi karena seorang gadis cilik. Kau tahu! Dan kau
tak akan dapat membalas dendam kecuali kau ikut denganku.”
Suara pendeta Tibet itu seolah menyihir Hai Cong. Ia menurut waktu diajak pergi.
Di otaknya cuma ada kata balas dendam! Padahal, waktu itu Hai Cong tak tahu
kepada siapa ia membalaskan sakit hatinya.
Chin Wei memperlihatkan surat itu kepada Sun Pao dan Ching-ching.
“Wei-ko, apakah kau akan menjawab tantangan ini?” tanya Sun Pao kuatir.
“Tentu saja. Aku bukan pengecut. Pasti kuhadapi si Tan Hai Bun itu. Pao-pao,
Ching Ching 136
kali ini kau harus berjanji padaku, tak akan mengadukan hal ini kepada
Thia-thia. Berjanjilah. Kalau tidak, aku tak mau bicara denganmu seumur hidup.”
“Wei-ko, jangan berkata begitu. Baiklah, aku berjanji.”
“Nah, begitu lebih baik.” Chin Wei tersenyum lega. Soalnya, celaka kalau ayahnya
sampai melarang. Bisa-bisa Tan Hai Bun mencapnya pengecut dan ia harus menerima
ejekan teman-temannya.
“Saoya, apakah kau betul-betul akan datang sendiri? Bagaimana kalau aku
menemanimu?” kata Ching-ching. Ia agak khawatir juga.
“Hai Bun menyuruh aku datang sendirian. Aku akan memenuhi tantangannya,” Chin
Wei bersikeras.
Ching-ching tahu, akan percuma membujuknya lagi. Tapi, ia betul-betul kuatir
kalau Chin Wei celaka. Bagaimana baiknya? Mestikah ia membuntuti dan melindungi
Chin Wei diam-diam?
“A-ying, apa yang kaupikirkan?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
“Kalian jangan terlalu kuatir,” Chin Wei menenangkan. “Paling juga aku akan
menghajar si Hai Bun sekali lagi.”
Justru itu, pikir Ching-ching. Kalau satu lawan satu, sudah pasti Hai Bun babak
belur. Sekarang ia berani menantang, pasti ada apa-apanya.
Chin Wei menghadapi hari pertarungannya dengan bersemangat. Ia bahkan rela
mengorbankan waktu bermainnya untuk berlatih silat. Kwan Piawsu sampai heran
akan kelakuan anaknya. Ia baru mengetahui sebabnya kemudian, semalam sebelum
pertandingan Chin Wei dan Hai Bun.
Malam itu, Kwan Piawsu baru pulang mengantar barang. Ia tergesa-gesa pulang
mendului pegawainya yang lain. Begitu sampai di rumah, ia mencari anaknya. Chin
Wei ditemuinya sedang bersama Ching-ching dan Sun Pao. Chin Wei sedang berlatih,
ditonton kedua gadis itu.
“A-wei, apa betul kau akan bertanding dengan Tan Hai Bun?” ayahnya langsung
bertanya.
“Tapi … tapi Thia tahu dari mana?” Chin Wei menatap Ching-ching dan Sun Pao
curiga.
“Betul tidak?”
“Be-betul.”
“Kapan?”
“Besok. Thia ….”
“Pantas! Besok kau tak boleh keluar seharian!”
“Tapi, Thia ….”
“Tidak ada alasan! Untuk memastikan kau tidak kabur, mulai malam ini kau akan
kukurung di kamar belajar.” Kwan Piawsu menyeret anaknya ke kamar belajar yang
layaknya penjara kecil bagi Chin Wei. Kwan Piawsu sendiri yang mengunci pintu
dan mengantongi anak kuncinya. Tak ada jalan bagi Chin Wei untuk kabur.
“Thia, sebelum Thia pergi, beri tahukan dulu kepadaku, siapa yang mengabarkan
pertandinganku dengan Hai Bun.”
“Aku bertemu dengan Tan Piawsu di jalan.” Jawaban singkat Kwan Piawsu sudah
cukup memuaskan Chin Wei. Berarti teman-temannya tak ada yang mengkhianati dia.
Begitu Kwan Piawsu pergi, Ching-ching dan Sun Pao buru-buru mendekat.
“Payah! Kalian bantu aku cari jalan!”
Ching-ching sebenarnya sudah punya banyak jalan. Dulu di Sha Ie, soal kabur dia
nomor satu. Tapi, karena memikirkan keselamatan Chin Wei, ia berlagak bodoh.
“Tidak ada,” katanya.
Ching Ching 137
Chin Wei kecewa. Malam ini ia terpaksa tidak enak tidur. Dan besok pagi … tak
ada apa pun yang bisa dilakukan untuk kabur. Setidaknya untuk malam ini.
Esoknya Chin Wei bangun pagi-pagi sekali. Pintu masih terkunci. Ia masih mencari
jalan keluar lain. Bagaimana kalau lewat atap? Tapi bagaimana caranya? Chin Wei
gelisah. Ia harus bisa keluar. Harus! Kalau tidak, ia akan diejek Hai Bun
habis-habisan. Sayangnya, sampai siang hari, kesempatan untuk kabur tidak ada.
Kwan Hujin kasihan melihat anaknya dikurung. Ia memohon pada suaminya supaya
diizinkan membawa makanan untuk Chin Wei.
“Baiklah,” kata suaminya.
“Akan kusuruh A-ying mengantarkan.”
“Tidak. Jangan A-ying. Jangan pula Sun Pao. Yang lain saja.”
Dari jauh Chin Wei sudah melihat pelayan yang membawakan makanan untuknya
dikawal salah seorang pegawai ayahnya. Pemuda itu langsung tahu apa yang mesti
dilakukan. Ia berbaring di lantai. Pura-pura pingsan. Pelayan yang membawa
makanan itu kaget melihat Chin Wei terkapar. Ia memanggil yang mengawalnya untuk
menolong. Pintu dibiarkan tidak terkunci. Begitu kedua pegawai ini membungkuk
untuk memeriksa keadaan majikannya, Chin Wei melompat berdiri dan menotok jalan
dari kedua orang itu sehingga tak dapat bergerak.
“Maafkan aku,” Chin Wei menjura. Aku cuma terpaksa. Jangan bilang sama
Thia-thia, ya.” Sudah itu, Chin Wei langsung minggat.
Chin Wei berlari ke Hek-cio-leng (Bukit Batu Hitam) yang letaknya lumayan jauh
dari rumah. Di sana sudah menunggu Tan Hai Bun dengan empat orang pegawa
penandunya dan seorang pendeta yang aneh dandanannya.
“Kwan Chin Wei, kau datang juga akhirnya. Kupikir nyalimu sudah terbang entah ke
mana.”
“Tan Hai Bun, pembohong, kau bilang akan datang sendiri-sendiri.”
“Aku tidak bilang begitu. Kataku, kau datanglah sendiri kalau berani. Aku tak
tahu apakah nyalimu begitu besar atau kau terlalu tolol sehingga berani
menghadapi aku sendirian.” Hai Bun tertawa. “Serang!”
Empat orang maju bebareng, siap meneroyok Chin Wei yang sendirian!
Sun Pao bosan diam di kamar. Semua buku sudah dibaca. Sulamannya sudah selesai.
Apa lagi yang bisa dikerjakan? Ah, baiknya ia bercakap-cakap dengan Chin Wei.
Siapa tahu bisa menghibur pemuda itu. Ia berjalan ke ruang belajar dan mengetuk
pintu. “Wei-ko, kau tidak tidur, kan? Wei-ko, aku mau berbincang-bincang
denganmu.”
Tapi, tak ada jawaban dari dalam. Setelah beberapa lama memanggil belum juga
disahuti, Sun Pao jadi kuatir. Ia mengintip dari jendela. Yang ia lihat bukannya
Chin Wei, tapi dua orang yang membungkuk tanpa bergerak.
“Siocia? Ngintip apa?” tanya Ching-ching, yang juga datang ke tempat itu untuk
melihat apa yang terjadi pada pelayan yang bertugas membawakan makanan.
“A-ying, celaka! Wei-ko kabur!”
“Wah, gawat. Dai bisa babak-belur. Biar kususul! Siocia, kau tunggulah di sini.”
Sun Pao yang ditinggalkan Ching-ching meremas-remas tangannya karena bingung dan
cemas. Ia berjalan bolak-balik, tak tahu apa yang mesti dilakukan. “Ah, ya,
betul. Aku lapor Thia-thia dan Peh-peh. Mereka pasti bisa mencegah Wei-ko
berkelahi.” Ia belrari mencari ayah dan pamanya. Ia harus melaporkan semua.
Barangkali Chin Wei akan ketolongan. Paling tidak, tak akan sampai babak-belur
dihajar orang.
Sampai di Hek-cio-leng, Ching-ching melihat Chin Wei sudah keteteran dihajar
keempat pengeroyoknya. Darah mengucur dari mulut dan hidung, bahkan juga dari
Ching Ching 138
kuping.! Rupa Chin Wei sudah tak bisa dikenali lagi, bengkak semua. Biarpun
sudah kepayahan, para pengeroyoknya tidak juga mau mengampuni.
Melihat itu semua, darah Ching-ching mendidih. Ia marah. Marah sekali. Disertai
khikang, ia bereriak gusar. “Hentikan!”
Mendengar suara menggelegar yang mengandung amarah, seketika pertempuran
terhenti. Semua berpaling ke asal suara, tercengang melihat siapa yang datang,
tak terkecuali Chin Wei.
“Sungguh tak tahu malu! Mengeroyok orang! Kalau berani, majulah satu-satu!”
“Pelayan bau, jaga mulutmu!” bentak Hai Bun. “Kaupikir kau ini siapa, berani
menasihati aku?”
“Tan Hai Bun, kau sungguh busuk. Aku paling benci binatang macammu yang
bersembunyi di belakang orang upahan untuk menghadapi lawan.”
“Eh, berani kau menyembut namaku dengan tidak hormat? Kau mesti dikasih
pelajaran!” Hai Bun melompat menerjang, hendak menggampar mulut Ching-ching yang
dianggapnya ceriwis. Tapi, kepandaian bocah itu terlalu rendah. Gampang saja
dilecehkan. Ching-ching tidak menghindari serangan Hai Bun. Ia menggunakan
tenaga dalam untuk melindungi diri. Tan Hai Bun tak tahu hal ini. Ketika
tangannya belum sampai seinci di hadapan Ching-ching, tahu-tahu tangannya balik
menggampar muka sendiri.
“Ha, rupanya kau sudah tahu salah dan menghukum diri sendiri.” Ching-ching
tertawa.
Hai Bun makin marah, menyerang lagi. Kali ini tidak dibiarkan oleh Ching-ching.
Jauh-jauh ia sudah menangkis dengan satu bagian tenaga dalamnya. Tapi ini pun
sudah cukup membuat Hai Bun terpental dua tombak jauhnya dan terbanting di kaki
pendeta yang aneh dandanannya.
“Suhu,” teriak Hai Bun. “Muridmu dihinakan berarti engkau juga dihina.”
“Aku tak akan membiarkan muridku dihajar orang,” kata pendeta itu dengan logat
aneh.
“Ini gurumu? Pantas kau tak becus berkelahi,” kata Ching-ching melecehkan.
“Berani kau menghina See-cong-shak-wa?” pendeta itu membentak.
Ching-ching tertawa. “Tuh kan, namanya saja sudah See-cong-sa-kwa (Si Goblok
dari Tibet).”
“See-cong-shak-wa,” pendeta itu meralat. “Dalam bahasa Tibet, shakwa artinya
ayam hutan.”
“Pedulia pa? Dalam bahasa Han, sa-kwa artinya tak punya otak alias goblok.”
“Bocah kecil, berani kau hinakan aku? Kau harus dikasih pelajaran.” Pendeta itu
menyerang.
“Bocah besar, kau yang emsti diajar karena tak becus mendidik murid,” sahut
Ching-ching sambil menangkis.
Di antara keduanya terjadi pertempuran seru. Yang melihat keheranan. Apalagi
Chin Wei. Ia tak tahu kalau A-ying bisa sehebat itu.
Ching-ching sendiri, saking marah, lupa akan perannya sebagai A-ying, gadis
dusun yang lugu. Ia terlalu bersemangat memberi pelajaran pada Hai Bun dan
gurunya.
Setelah bertempur belasan jurus, pendeta Tibet yang mengaku bernama
See-cong-shakwa itu sadar kalau kepandaiannya tidak selihay Ching-ching. Ia
mencari jalan untuk kabur. Matanya jelalatan ke sana kemari.
“Mau lari, eh?” Ching-ching mengetahui maksud orang itu. “Jangan harpa aku
lepaskan kau begitu gampang. Paling tidak, tinggalkan dulu sebelah kaki atau
tanganmu untuk kenang-kenangan.”
Ching Ching 139
See-cong Shakwa tahu, ancaman Ching-ching tidak main-main. Ia mencari siasat
lain. Pelan-pelan ia mundur mendekati Chin Wei yang berdiri sempoyongan, nyaris
pingsan. Ketika sudah dekat, secepat kilat dirangkulnya pemuda itu dan
diancamnya dengan sebatang jarum halus warna putih. “Jangan mendekat,” ancamnya,
“atau kutusuk anak ini dengan jarumku.”
“Apa takutnya sama jarum,” kata Ching-ching, tapi ia menghentikan juga
tindakannya.
“Gadis tolol, ini bukan jarum biasa. Ini jarum beracun yang paling ditakuti di
Tibet, Sie-tok-ciam (Jarum racun salju). Kalau kena racun ini sedikit saja, maka
akan kedinginan sehingga darah membeku dan lumpuh. Maka, mati tidak, hidup juga
susah. Kau mau dia mati merana?”
“See-cong Sha … Sha-anu, kau mau apa?” tanya Ching-ching yang tak berani salah
sebut, takut kalau pendeta Tibet ini marah dan mencelakai Chin Wei.
“Mau pergi. Kau jangan coba mengikuti, atau anak ini celaka!”
“Baik, kau pergilah. Tapi jangan celakai majikanku.”
See-cong Shakwa mundur-mundur menuruni bukit. Pada saat bersamaan, datang Kwan
Piawsu dan Sun Chai, ayah Sun Pao. Mereka tak tahu apa yang terjadi. Yang
terlihat cuma seorang pendeta aneh menculik Chin Wei.
“Hoat-ceng (paderi asing), kauapakan anakku?” Kwan Piawsu melompat, menghadang
See-cong Shakwa.
“Looya, jangan!” cegah Ching-ching.
Terlambat. Karena kaget, See-cong Shakwa tak sengaja menggores Chin Wei dengan
jarumnya. Chin Wei menjerit keras, merasakan pedih di pundaknya dan semaput
seketika itu juga! See-cong Shakwa melepaskan pemuda itu dan lari menyelamatkan
diri. Ching-ching yang sudah waspada tidak tinggal diam. Ia melompat tinggi
melewati kepala Kwan Piawsu dan Sun Chai untuk mengejar penjahat.
“Padri botak, mau lari ke mana kau?” serunya, mencegat si pendeta Tibet.
See-cong Shakwa tak mau menyerahkan diri begitu saja. Ia mencoba melawan. Tapi,
pada dasarnya, ia memang sudah kalah tingkat. Ditambah kemarahan Ching-ching
yang sudah sampai pada puncaknya, belum sampai sepuluh jurus, ia sudah kena
ditotok dan diseret kembali ke tempat Chin Wei terkapar.
“Mana obat pemudahnya?” tanya gadis itu.
“Aku … aku … aku tidak … tidak punya,” See-cong Shakwa menjawab tergagap-gagap.
Ching-ching tak sabar dan mengeluarkan belatinya. “Mana, cepat keluarkan! Kau
mau jiwamu terbang?”
“Tapi … tapi aku sungguh … sungguh tak punya.”
“Oh ya?” Ching-ching menggeledah pendeta itu. Memang tak ada penawar racun di
sana.
“Huh, tak berguna. Mestinya kubunuh saja kau. Tapi aku masih membutuhkanmu untuk
menyembuhkan Saoya.” “A-ying, eh, maksudku, Kouwnio, tidakkah lebih baik kita
bawa dulu keduanya ini ke rumah?” Kwan Piawsu buka suara, tak berani sembarangan
menyebut nama bekas pelayannya ini.
Ching-ching mengangguk. Beriiringan mereka pulang. Di jalan, gadis itu
menceritakan semua yang ia tahu, tapi selalu mengelak kalau ditanya mengenai
dirinya.
“Looya, namaku yang sebenarnya tidaklah penting. Sekarang, yang mesti dipikirkan
adalah keselamatan Saoya.”
“Mana boleh begitu? Aku …” Kwan Piawsu membantah.
“Sudahlah, jangan ributkan soal segala macam basa-basi. Looya, setelah kejadian
ini, masih bolehkah aku tinggal di rumah, setidaknya sampai Saoya sembuh?”
Ching Ching 140
“Tentu saja. Bahkan …”
“Itu sudah cukup,” potong Ching-ching. Ia tak mau berkata-kata lagi.
Mulai hari itu, perlakuan keluarga Kwan pada Ching-ching berubah sama sekali. Ia
dianggap sebagai tamu terhormat, dilayani dan diberi pakaian bagus. Ching-ching
sendiri tak ambil pusing. Ia sudah sibuk dengan See-cong Shakwa yang bandel
bukan main. Diancam bagaimana pun, tetapi ngotot tak punya obat dan tak mau
memberi tahu cara pengobatan.
Racun Sie-tok-ciam mulai berpengaruh pada Chin Wei. Pemuda itu mulai kedinginan
terus, berapa pun banyaknya selimut membungkusnya. Ching-ching yang sudah pernah
pengalaman tinggal di puncak gunung yang dingin malah sudah menyuruh orang
membuat tempat tidur batu dengan tungku di kolongnya. Tapi, itu pun tidak banyak
menolong.
Hari kedua sudah lewat. Malamnya Ching-ching mendatangi lagi See-cong Shakwa
yang digantung terbalik di gudang.
“Sudah puas belum jadi kelelawar?” tanya Ching-ching begitu datang.
Yang ditanya tak menjawab, cuma mengerang saja. Dua hari digantung terbalik
bukan penderitaan enteng. See-cong Shakwa sudah merasa darahnya naik ke otak
semua.
“Kau sudah tobat belum? Kalau sudah, akan kuturunkan kau. Tapi janji bantu
sembuhkan Saoya.”
“Aku janji, aku janji,” kata See-cong Shakwa buru-buru.
Ching-ching mengambil belati dan memutuskan tapi penggantung. “Nah, kau bilang
tak punya obat. Tahu cara menyembuhkannya tidak? Saoya kedinginan terus. Aku
kasihan melihatnya.”
“Soal dingin sih gampang. Pakai saja tenaga dalam.”
“Ah ya, aku kok bisa lupa. Aku beri tahu Looya.”
Sesudah diberi tahu, Kwan Piawsu cepat menyalurkan tenaga dalam ke badan
anaknya. Hal ini memang berhasil sementara. Waktu Kwan Piawsu berhenti untuk
istirahat, Chin Wei menggigil lagi.
“Celaka. Tenagaku tak kuat menolongnya terus-terusan.”
“Gantian saja,” kata Ching-ching. Ia langsung duduk bersila dan menggantikan
Kwan Piawsu. Tapi, kali ini bukannya ketolongan, Chin Wei malah makin gemetaran.
“Gawat, kenapa jadi begini?” Ching-ching menghentikan tenaganya. “Ah, pasti
Setan Tibet itu salah memberi petunjuk.” Ching-ching langsung menemui See-cong
Shakwa. “Hey, Ayam Tibet, aku menggunakan tenaga dalamku, kenapa Saoya malah
tambah kedinginan?”
“Itu karena kau perempuan.”
“Apa bedanya perempuan dan laki-laki?”
“Racun salju itu berhawa dingin. Tenaga perempuan adalah tenaga im yang juga
dingin. Tentu saja—“
“Sudah tahu, kenapa tak ngomong dari dulu?” Ching-ching menggetok kepala pendeta
Tibet itu dengan gagang belatinya. “Cara lain bagaimana?”
“Direbus!”
Ching-ching melapor pada Kwan Piawsu, yang cepat mencari periuk besar untuk
merebus anaknya. Tapi, yang terjadi Chin Wei bukannya mendingan, malah badannya
melepuh semua.
Ching-ching ngamuk, mendatangi lagi See-cong Shakwa. “Kau mau membunuh
majikanku?” bentaknya. “Badannya matang semua. Kau sengan menipu aku ya? Baik,
kuberi kau sedikit pelajaran.”
Dengan belatinya, Ching-ching mengukir tulisan See-cong Shakwa di kepala si
Ching Ching 141
pendeta yang gundul. Sudah itu, diberinya obat yang cepat menyembuhkan luka,
tapi meninggalkan bekas yang tak bisa hilang. Si Botak yang memang tertotok itu
tak dapat melawan. “Nah, dengan hiasan dariku, gundulmu itu tampak lebih bagus.”
Ching-ching melepaskan totokan, tanpa takut si pendeta kabur. Tali yang mengikat
badan pendeta itu sudah cukup membuatnya tidak berkutik. “Hayo, kau bilang
padaku cara menyembuhkan penyakit Saoya!”
“Tak sudi!” sahut See-cong Shakwa. “Biar saja saoyamu tersayang itu mati
sengsara.”
“Berani kau bilang begitu? Kepingin kutambah ‘kumis abadi’ di bawah hidungmu?”
Ching-ching menggerakkan belatinya ke atas bibir See-cong Shakwa. Sebenarnya ia
tak ingin melukai benar-benar, cuma sekadar menggertak. Mana tahu si pendeta
malah bergerak menghindar. Ssrrtt! Darah muncrat dari muka See-cong Shakwa yang
menjerit.
“Ih!” Ching-ching melompat mundur dengan ngeri. Hidung See-cong Shakwa sudah
terbabat putus! Gerakannya menghindar malah membuat pisau Ching-ching yang tajam
bukan main membeset hidungnya sehingga tak bersisa lagi! Sakitnya bukan alang
kepalang. See-cong Shakwa pingsan seketika.
“Nah lho, hidungnya copot!” kata Ching-ching bingung. Tapi, sejenak kemudian,
kemarahannya timbul kembali. “Berani melawan aku? Coba begini, masih tidak mau
memberi tahu caranya?” Ching-ching menusukkan jarum Sie-tok-ciam ke badan
See-cong Shakwa. “Coba saja kita lihat. Bagaimana caramu menyembuhkan diri,
begitu juga aku menyembuhan Saoya.” Sesudah itu, ia menyuruh beberapa orang
pegawai Kwan Piawsu untuk mengikat See-cong Shakwa ke pilar.
Tapi, betapa terkejut Ching-ching ketika esok harinya tidak mendapati See-cong
Shakwa di gudang. Yang ditemukan cuma secarik kain bertuliskan tinta darah.
Bocah kejam, aku tak kenal namamu, tapi aku punya dendam padamu. Suatu saat aku
akan kembali menagih utang dendam. Ada baiknya juga kau tahu, kalau saoyamu
tidak ditolong dalam tiga puluh hari sesudah terkena racun, ia akan mati. Aku
rasa, tak ada yang dapat menolongnya. Lebih baik kau siapkan peti mati dan
lubang kubur untuk saoyamu itu.
Kwan Piawsu cuma bisa bengong saja membaca surat itu, tak tahu lagi apa yang
bisa dilakukan.
“Anakku. Putraku satu-satunya akan mati sia-sia,” ratap Kwan Hujin.
“Belum tentu,” kata Ching-ching tiba-tiba. “Aku ada kenalan seorang tabib.
Barangkali ia bisa menoong.
“Tak ada gunanya. Sudah puluhan tabib kita coba, tak satu pun sanggup
menyembuhkan A-wei.” Kwan Piawsu tampak putus asa.
“Tak ada salahnya mencoba sekali lagi. Jangan patah semangat dulu. Looya,
tahukah kau, seberapa jauhnya desa Chu-khe-cung dari sini?”
“Kira-kira sembilan hari perjalanan. Tunggu, tunggu. Chu-khe-cung? Bukankah di
sana tempat tinggal Yok Ong-phoa (Raja obat)?”
“Betul sekali. Aku akan minta Kongkong kemari.”
Kwan Piawsu mulai bersemangat lagi. “Tapi, apakah keburu? Sakitnya A-wei sudah
dua belas hari. Berarti waktunya tinggal delapan belas hari lagi. Padahal, dari
sini ke Chu-khe-cung bolak-balik sudah butuh delapan hari.”
“Benar,” kata Ching-ching. “Kalau begitu, baiknya aku berangkat hari ini juga.”
“Aku berangkat bersamamu,” kata Kwan Piawsu.
“Toa-heng, anakmu membutuhkan engkau. Lebih baik aku saja yang pergi.” Sun Chai
mengajukan diri. Setelah berbantahan sebentar, Kwan Piawsu setuju juga.
Ching-ching cepat mengemas barang-barang yang akan dibawanya. Saat sedang
Ching Ching 142
beberes, Sun Pao masuk ke kamarmu.
“A-ying, Wei-ko ingin bertemu denganmu sebelum kau pergi. Barangmu biar aku saja
yang bereskan.”
Ching-ching langsung lari ke kamar Chin Wei. Pemuda itu sudah terbungkus
selimut-selimut tebal, tapi masih juga kedinginan. Bibirnya berwarna kebiruan
dan bergetar waktu berbicara. “A-ying, kata Pau-pau, kau mau pergi?”
“Ya, Saoya, aku akan mencari tabib untukmu.”
“Buat apa?” kata Chin Wei lemah. “Aku sudah tahu, aku tak akan sembuh lagi.
Lebih baik kita senang-senang sebelum ajalku tiba. Tak perlu kau merepotkan
diri.”
“Saoya, mana boleh kau ngomong begitu. Aku tak akan membiarkan kau mati. Janji,
kau tak akan bicara begitu di depanku!”
“Baik, baik, aku janji, aku tak akan mati kalau katu tidak di sampingku.”
Chin Wei masih ingin bicara banyak, tapi rasa dingin yang menyerangnya
menghalanginya. Ching-ching cepat tangap. Ia langsung mengalirkan sinkang
berhawa Yang ke tubuh tuan mudanya. Lalu ia menotok dua jalan darah di tengkuk
pemuda itu supaya bisa tidur nyenyak dan tidak merasakan dingin untuk sementara.
Sesudah membereskan semua, barulah Ching-ching berangkat bersama Sun Chai.
Sebenarnya, dengan menggunakan ginkang dan ilmu lari cepat Thian-li-hiap-beng
(Bidadari mengejar angin(, Ching-ching akan sampai ke Chu-khe-cung paling lama
?? hari. Tapi ginkang Sun Chai tidak sebaik Ching-ching. Gadis itu tak berani
mendului karena ia tak tahu jalan. Kalau kessasar, bisa berabe. Tapi mereka
sampai juga setelah delapan hari perjalanan. Waktu itu hari sudah malam. Mereka
tak keburu mendaki bukit untuk mencari rumah Tabib Yuk yang agak memencil.
Terpaksa mereka tidur di kaki bukit, di udara terbuka. Pagi harinya barulah
mereka mulai bergerak.
Bersemangat ingin bertemu Gie-ko dan kong-kongnya, Ching-ching melesat mendului
Sun Chai. Laki-laki itu cukup mengerti. Ia memandangi saja bayangan yang
bergerak lincah. Hmm, bukan ginkang sembarangan. Gadis A-ying ini mestinya murid
serorang sakti. Heran, kenapa bisa nyasar jadi pelayan di rumah keluarga Kwan?
Sun Chai menemukan Ching-ching berdiri bengong memandangi sesuati. Ia cepat
mendekat, ingin tahu ada apa dengan gadis itu. Ketika sampai di tempat
Ching-ching, Sun Chai segera mengerti.
Ia melihat sebuah rumah yang kini tinggalpuing. Semuanya habis seperti bekas
terbakar. Hanya tanah persegi yang mendandakan bahwa di sana pernah ada rumah
tinggal.
“Kong-kong tidak ada,” kata Ching-ching dengan suara bergetar. Sun Chai
menepuk-nepuk pundaknya. Lelaki itu mengerti apa yang dirasakan Ching-ching. Ia
pun kecewa. Apakah Chin Wei, kemenakannya, tak akan ketolongan lagi jiwanya?
“Barangkali Kongkong sekarang tinggal di rumah Jieko,” kata Ching-ching. Ia
langas menarik Sun Chai menuruni bukit lewat sisi yang lain. Apa yang ditemuinya
di desa Chu-khe-cung malah membuat hati gadis itu tambah kuatir. Desa itu sudah
mati. Rumah-rumah sudah bobrok semua. Mereka tak bertemu siapa-siapa di sana,
bahkan tidak seekor binatang pun. Semuanya sepi. Mati.
Agak jauh, Ching-ching melihat kuburan berderet-deret. Ia cepat mendekat.
Berbagai perasaan campur aduk di dadanya. Bagaimana kalau Gie-heng dan
kong-kongnya mati? Apa yang akan terjadi pada Chin Wei? Ia mengharap tidak ada
nama mereka di antara kuburan itu. Tapi, kalaupun demikian, ke mana ia harus
mencari kerabatnya tersebut?
“Sun Looya, maukah kau menolong aku mencarikan nama she Yuk dan she Chow?”
Ching Ching 143
Sun Chai mengangguk. Berdua mereka mencari dua nama keluarga itu.
“A-ying, di sini!” seru Sun Chai yang menemukan duluan.
Buru-buru Ching-ching mendekat. Melihat nama-nama yang tertera di sana, ia
langsung merasa lemas sehingga jatuh berlutut. “Yuk Pehpeh, Pehbo, Chow Pehpeh,
Pehbo, dan Chow Fei,” gumamnya. “Tapi mana nama Toako, Jieko, dan Kongkong?”
“Mungkin mereka selamat.”
“Sun Looya, Kongkong tidak ada di sini. Apa yang mesti kita lakukan?”
“Barangkali sudah taktir kita tak boleh menemuinya. Sekarang, tak lain yang bisa
kita lakukan cumapulang.”
Dengan lesu Ching-ching berdiri, mengikuti langkah Sun Chai pulang.
Mereka melewati kampung tetangga. Kebetulan matahari terik dan perut mereka
sudah minta diisi pula. Keduanya singgah dis ebuah kedai kecil. Ketika pelayan
datang mengantar pesanan mereka. Sun Chai menanyakan keadaan kampung
Chu-khe-cung yang baru mereka tinggalka.
“Oooh, kampung itu. Semua penduduknya sudah pergi meninggalkan desa. Pindah,
berpencar entah ke mana.” Cuma begitu yang diketahui si pelayan. Ia tak dapat
memberi keterangan lain. Ching-ching menunduk sedih. Sekarang ia tak tahu
bagaimana mencari kedua gie-heng dan kong-kongnya.
Semenjak perginya Ching-ching, keadaan Chin Wei semakin gawat saja.
Kedinginannya tidak berkurang. Ia sampai tak bisa tidur karenanya. Ayahnya, yang
mencoba membantu dengan mengalirkan sinkang, malah terluka sendiri karena telah
memaksa diri. Ia mencoba mengajari anaknya mengatur hawa di dalam tubuh, tapi
Chin Wei tak dapat berkonsentrasi, sehingga hal itut ak mungkin dilaksanakan.
Enam hari sudah lewat sejak Ching-ching pergi. Ada dua kejadian di rumah
keluarga Kwan. Hari itu Kwan Hujin membawakan bubur panas untuk anaknya. Ia akan
menyuapi putra tunggalnya. Tanpa disengaja, bubur yang amat panas itu tumpah
mengenai tangan Chin Wei. Tapi, pemuda itu seperti tidak merasa. Ia malah heran
waktu ibunya menanyakan apakah tangannya sakit.
Kwan Hujin lari mendapati suaminya dan melaporkan apa yang terjadi. Kwan Piawsu
cepat mendapati anaknya.
“A-wei, sungguhkah kau tidak merasakan panas di tanganmu?”
“Tidak, Thia.”
Kwan Piawsu tidak yakin. Ia menyuruh orang mengambil air panas dan dingin.
Dengan saputangan, diusapkannya dua macam air itu ke tangan Chin Wei bergantian.
Tapi Chin Wei tak merasa apa-apa. Kwan Piawsu masih tidak puas. Ia mengambil
belati dan menggoreskan ke tangan Chin Wei. Keluar darah, agak kusam warnanya,
tapi Chin Wei tidak merasakan sakit sama sekali!
Kemudian datang laporan pada Kwan Piawsu. Salah seorang anak buahnya melihat
See-cong Shakwa ada di rumah Tan Piawsu. Demi anaknya, Kwan Piawsu lekas datang
ke rumah saingannya supaya anaknya ditolong.
“Sebenarnya aku tak mau repot dalam urusan ini,” jawab Tan Piawsu. “Ini adalah
urusan anak-anak. Urusan anak kecil, baiknya orang tua tidak ikut campur. Begitu
bukan, Kwan Piawsu?” katanya mengejek. “Tapi kau beruntung, kawan. Guru silat
anakku memberikan pemunah ini untuk anakmu.” Tan Piawsu mengambil sebuah botol
dari sakunya. “Dengan sayarat.”
“Apa syaratnya?”
“Pelayanmu. Yang galak itu. Kau mesti usir dia!”
“Tidak bisa. Ia sudah mati-matian mencoba menolong anakku. Mana boleh aku tak
tahu budi orang?”
“Yah, aku tak memaksa. Begini saja. Kuberikan obat ini kepadamu tanpa
Ching Ching 144
sepengetahuan See-cong Shakwa. Tapi kau harus berjanji, tak akan rewel lagi soal
urusan ini.”
“Baiklah. Asal anakku sembuh, janji itu akan kutepati.” Setelah berterima kasih,
Kwan Piawsu pulang ke rumahnya sendiri. Memang ada perubahan pada Kwan Chin Wei.
Ia tak lagi kedinginan, tapi ia malah kesakitan terus. Dua malam seisi rumah
pedih hatinya mendengar rintihan remaja tanggung itu. Hari berikutnya Chin Wei
tak bersuara sama sekali. Ibunya sudah ketakutan anak itu mati. Ternyata tidak.
Chin Wei masih hidup. Dadanya masih naik-turun, tanda napasnya belum putus. Tapi
anak itu tak sadar berhari-hari lamanya.
Ketika Ching-ching dan Sun Chai datang, tak heran mereka mendapati rumah yang
sepi diselimuti duka. Keduanya tahu. Penyakit Chin Wei membuat suasana dirundung
mendung, tapi tak menyangka seberapa parah Chin Wei.
Ching-ching marah sewaktu tahu pemuda itu diberi obat yang didapat dari Tan
Piawsu. “Si Gendut itu pasti sengaja memberikan obat yang salah. Kwan Piawsu,
kita mesti menatangi dia dan meminta dia bertanggung jawab.”
Kwan Piawsu menghela napas. “Tak mungkin. Aku sudah berjanji tak akan
mengganggunya lagi dalam soal ini.”
“Kau berjanji. Aku tidak! Akan kudatangi ….” Bicaranya Ching-ching terputus oleh
seruan Sun Pao.
“Lihat, Wei-ko membuka mata!”
Benar, Chin Wei membuka matanya. Ketika melihat Ching-ching, pelan sekali kedua
sudut bibir pemuda itu tertarik ke atas. Ia tersenyum. Kemudian ia memejamkan
lagi matanya. Menghembuskan napas panjang. Dan cuma sampai di situlah mur pemuda
Kwan Chin Wei.
Sun Pao menjerit memanggil nama Chin Wei. Kwan Hujin tak tahan melihat itu
semua. Ia jatuh pingsan. Untung keburu dipegangi Sun Chai dan segera dipapah
keluar. Kwan Piawsu cuma berdiri tegak dengan mata berkaca-kaca.
Ching-ching menggigit bibir, sebisa mungkin menahan air mata yang hendak
meluncur ke pipinya. Chin Wei tak suka gadis cengeng. Ia tak boleh berlaku
cengeng di depan pemuda itu. Ching-ching mengepalkan jemari tangannya. Tapi,
kemudian ia tak kuat lagi dan berlari keluar. Ia berlari terus, dan terus,
sampai di pinggiran kali tempat ia dan Chin Wei biasa bertemu.
Gadis itu menatap air bening. Ada bayangan wajahnya di air. Kemudian bayangan
itu berganti muka Chin Wei yang tersenyum. Lantas berubah lagi menjadi
bayang-bayang Tan Hai Bun dan ayahnya berganti-ganti.
Dengan gemas, Ching-ching memukul bayangan di air itu, tapi seolah bayangan
ayah-beranak she Tan menempel di pelupuk mata, tak bisa hilang. Gadis itu makin
marah. Dipukulnya air dengan lweekang. Air tersibak. Terlihat dasar yang lembap
berbatu. Tapi Ching-ching belum puas. Ia mengamuk ke segala penjuru, di mana
terdapat bayangan orang she Tan ayah-beranak.
Batu-batu berpecahan, pohon-pohon tumbang, angin berkesiuran. Air sungai bahkan
bergolak akibat tenaga yang dikerahkan Ching-ching. Sebentar saja tempat itu
hancur berantakan. Setelah capek, barulah Ching-ching duduk di tanah dan
melampiaskan sedih hatinya dengan menangis.
Malam itu tak seorang pun terlelap di rumah keluarga Kwan. Mereka semua sedang
menyembahyangi Kwan Chin Wei. Ching-ching yang dianggap orang luar tidak ikut
dalam upacara itu. Tak jadi masalah. Gadis itu sudah punya rencana lain. Ia akan
menyambangi rumah keluarga Tan malam ini!
Sebelum pergi, Ching-ching meninggalkan surat untuk Kwan Piawsu, berisikan
terima kasih atas tumpangannya dan menjelaskan rencananya, agar kelak kalau
Ching Ching 145
keluarga Kwan dituduh membalas dendam kepada keluarga Dan, surat itu dapat
ditunjukkan untuk membersihkan nama. Ching-ching sudah bertekad tak akan kembali
lagi.
Rumah Tan Piawsu tampak sunyi. Rupanya semua sudah bermimpi. Agak kerepotan
Ching-ching mencari kamar Tan Piawsu di antara sekian banyak kamar di sana. Yang
ditemukan malah kamar Tan Hai Bun. Mau balas pada ayahnya, tak ketemu, anaknya
pun jadi, pikir Ching-ching.
Dihampirinya Tan Hai Bun. Ditotoknya urat di leher sebelah kiri pemuda itu.
Pemuda itu terbangun, merasakan totokan di lehernya. Melihat orang di kamarnya,
ia membuka mulut untuk menjerit minta tolong, tapi yang keluar cuma suara
bebisik saja.
Ching-ching mengangkat tangannya, hendak memukul. Hai Bun melotot ketakutan,
sampai pingsan saking takutnya. Ching-ching mendengus. Tak ada perlawanan sama
sekali. Sekali tangannya bergerak, kepala Hai Bun akan pecah dan tamat
riwayatnya. Tan Piawsu akan merasakan hal yang sama seperti keluarga Kwan.
Tapi, tunggu dulu! Tan Hai Bun tak boleh mati bersamaan dengan Kwan Chin Wei.
Kedua pemuda itu selalu bertengkar. Kalau mereka ketemu lagi, pasti berkelahi
lagi. Itu tak boleh dibiarkan.
“Tan Hai Bun, kau belum layak untuk mati. Tapi, dendam tetap mesti dibalas. Aku
akan pakai cara lain!” Ching-ching menempelkan telapak tangannya pada dahi Hai
Bun, lantas menyalurkan lweekang untuk merusak otak pemuda itu. “Rasakan!” desis
gadis itu puas. “Sekarang kau mati tidak, hidup juga tidak. Salahmu sendiri,
mencelakakan tuan mudaku lewat tangan gurumu.”
Setelah dendamnya punah, Ching-ching keluar dari kota itu. Ia tak punya urusan
lagi di sana. Waktunya sudah tiba untuk berkelana lagi mencari A-thianya.
Esok harinya sisi rumah Tan Piawsu gempar. Tan Hai Bun tidak mengenali orang. Ia
tak mengenal ayahnya, ibunya, kakaknya, bahkan dirinya sendiri. Sepanjang hari
kerjanya cuma ketawa-ketawa sendiri di kamar sambil teriak-teriak. “Chin Wei
mati! Aku tak punya saingan lagi! Semua harus tunduk padaku! Tunggu dulu … siapa
aku? Aku siapa? Tentunya aku jagoan nomor satu di kolong langit. Semuanya!
Hahaha.”
Tan Piawsu bingung melihat anak kesayangannya menjadi sedemikian rupa. Istrinya
menangis terus-terusan. Dan anaknya yang sulung cuma bisa memandangi adiknya
dari jendela karena Hai Bun tak memperbolehkan seorang pun masuk.
“A-thia, kenapa Bun-tee jadi begitu?” tanya Hai Cong.
Tan Piawsu terdiam sejenak. “Pasti!” katanya kemudian. “Pasti A-bun diguna-gunai
oleh keluarga Kwan!”
“Diguna-guna?”
“Aku mesti ke sana sekarang. Kwan Piawsu mesti menyembuhkan anakku. Kalau tidak
….” Tan Piawsu menggumam sembari bergegas pergi.
Tan Hai Cong memperhatikan adiknya yang tampak sudah tenang dan sekarang sedang
duduk bengong di lantai. Hai Cong memberanikan diri membuka pintu kamar Hai Bun.
Ia bertindak pelan sekali, takut kalau adiknya mengamuk, melempari dengan
barang-barang seperti waktu a-thianya masuk pagi tadi.
“Bun-tee!” panggilnya lirih. Hai Bun seperti tidak mendengar, terus saja
menekuri lantai. “Bun-tee!” panggil Hai Cong lebih keras, barulah Hai Bun
menoleh. Melihat orang masuk tiba-tiba dia kumat lagi.
“Aaah, jangan! Jangan! Tolooong!”
“Bun-tee, ini aku!” kata Hai Cong.
Tapi, Hai Bun tak mengenali abangnya sendiri, terus saja menjerit-jerit.
Ching Ching 146
“Jangan! Jangan! Ampun! Jangan ganggu aku! Bukan aku yang bunuh Chin Wei. Suhu
yang meracuninya.”
“Bun-tee, kau ngomong apa?”
“Kau … kau A-ying. Aah! Jangan mendekat!” Hai Bun lari menjauhi kakaknya.
“Ini aku, Hai Cong, abangmu!” Hai Cong mencoba menghampiri.
“Hai Cong? Siapa itu? Kau pasti orang suruhan A-ying. Ampun! Jangan bunuh aku.
Jangan!” Hai Bun menggelengkan kepala dan menggoyangkan tangan dengan keras. Hai
Cong sudah takut saja kepala adiknya copot menggelinding ke tanah. Ia
cepat-cepat keluar. Hatinya tergiris melihat keadaan Hai Bun yang menyedihkan.
Datang ke rumah keluarga Kwan, Tan Piawsu langsung mengamuk dan menuduh Kwan
Piawsu mencelakai anaknya. Keluarga yang berduka itu jadi marah melihat
kelakuannya yang tidak sopan di depan meja sembahyang. Hampir saja
pegawai-pegawai Kwan Piawsu menghajar si gendut she Than. Untung, mereka keburu
dicegah majikan mereka,yang tak mau cari ribut lagi.
“Tan Piawsu, ada urusan bolehkah diselesaikan baik-baik? Tak perlu marah-marah,”
tegur Sun Chai.
“Tak marah bagaimana? Anakku dicelakai orang, kau bilang aku tak usah marah?”
“Sebenarnya, ada apakah dengan anakmu?”
“Berlagak tidak tahu. Baiklah, kusebutkan supaya semua orang di sini mengetahui
keburukanmu. “Tan Piawsu menghadap kepada para tamu yang datang melayat. “Cuwi,
orang ini sudah menggunakan ilmu jahat untuk meneluh anakku sehingga jiwanya
terganggu!”
Sejenak orang-orang di sana ramai berbisik.
“Tan Piawsu, sungguh keji tuduhanmu. Aku tak pernah menggunakan ilmu apa pun
untuk meneluh orang. Bukan aku yang melakukannya.
Tan Piawsu terus saja menuduh. Sun Chai jadi panas hatinya. “Tan Piawsu, bukti
apa kau menuduh kami?”
“Kau sendiri, bukti apa menyangkal?”
“Aku ada surat yang boleh membuktikan bahwa bukan kami yang mencelakai anakmu!”
Sun Chai mengeluarkan surat dari Ching-ching.
“Sun Siawtee, jangan membawa orang lain dalam urusan ini!” tegur Kwan Piawsu.
“Kwan Koko, rupanya kejadian ini sudah diramalkan A-ying dan surat ini adalah
untuk menyelamatkan nama kita.” Sun Chai memberikan seruat itu kepada Wan-gwe
yang dapat dipercaya, minta tolong dibacakan.
Wan-gwee membacakannya dengan suara keras di hadapan setiap orang. Surat
Ching-ching menceritakan semua persoalan, mulai dari perkelahian Kwan Chin Wei
dan Tan Hai Bun, terus sampai saat Chin Wei dicelakai, dan masih berlanjut hingg
terbukti Kwan Piawsu tidak punya salah dalam hal ini. Ching-ching mengatakan ia
melakukannya sendirian, tanpa sepengetahuan siapa pun. Ia akan membalas dendam
pada Tan Piawsu dan anaknya.
Bukan main malu hati Tan Piawsu. Apalagi waktus emua orang melihatnya dengan
pandangan menuduh. Tanpa pamitan lagi, ia pulang dengan langkah bergegas.
Di jalan ke rumah, ia bertemu dengan anaknya yang sulung. Hai Cong
menghampirinya dengan muka pucat bagai mayat dan napas terengah. Matanya
membelalak panik.
“A-thia! Bun-tee ….” Hai Cong menunjuk ke arah rumah mereka. “Ia keluar,
menyelinap ke dapur, dan mengambil pisau. Tahu-tahu ia mengamuk seperti orang
kesetanan. Banyak pelayan kita yang terluka.”
Tergopoh-gopoh Tan Piawsu pulang ke rumahnya. Benar apa yang dikabarkan Hai
Cong. Baru sampai pintu depan saja, sudah ada tiga sosok mayat yang menyambut.
Ching Ching 147
Di ruang tengah ada enam. Di kebun belakang Tan Piawsu melihat Hai Bun baru saja
mencabut pisau dari badan seorang yang kini sudah tak bererak lagi. Orang itu
tak lain adalah Tan Hujin!
Tan Piawsu begitu kaget sampai tak dapat berbuat apa-apa. Hanya matanya saja
melotot memandang istrinya kinit erkapar. Ia bahkan tak bergerak waktu Hai Bun
mendekati dengan mata nyalang dan pisau di tangan. Barulah setela pisau itu
menancap ke jantungnya, ia menjerit lirih. Sedetik kemudian nyawanya terbang
menyusul istrinya yang mendului.
Tan Hai Cong terpana melihat itu semua. Hampir ia tak menyadari adiknya yang
mendekat sambil senyum-senyum. Untung ia cepat pulih. Ia mundur-mundur,
menghindari adiknya yang bersikap mengancam.
“Hehe, semua teman Chin Wei harus kuhabisi. Kau juga!” kata Hai Bun, menuding
kakaknya. Lalu ia menyerang.
Hai Cong sedapat mungkin menangkis pisau yang bergerak ke jantungnya. Tapi,
entah kenapa tenaga Hai Bun seolah bertambah sepuluh kali lipat. Kakaknya sudah
tak kuat adu tenaga dengannya. Nyawa Hai Cong sudah dalam tangan adiknya. Pemuda
itu sudah memejamkan matanya, pasrah!
Tahu-tahu Hai Bun melepas pisaunya, memegangi kepala dan berputar-putar.
Sebentar kemudian ia ambruk ke tanah, tak berkutik lagi.
“Sungguh menyedihkan. Satu keluarga hampir tak bersisa.”
Hai Cong menoleh. Ia mengenali orang yang baru datang. See-cong Shakwa!
“Anak muda, keluargamu terbasmi karena seorang gadis cilik. Kau tahu! Dan kau
tak akan dapat membalas dendam kecuali kau ikut denganku.”
Suara pendeta Tibet itu seolah menyihir Hai Cong. Ia menurut waktu diajak pergi.
Di otaknya cuma ada kata balas dendam! Padahal, waktu itu Hai Cong tak tahu
kepada siapa ia membalaskan sakit hatinya.
Setelah berhasil membalaskan dendam dan pergi dari kediaman Piauw-kiok Kwan,
Ching-ching mengembara luntang-lantung ke sana ke mari. Persediaan uangnya
semakin menipis dipakai membayar makan dan tidur di perjalanan. Hari ini pun
uangnya sudah tinggal sedikit. Paling-paling hanya cukup untuk makan sekali lagi
saja.
Lalu bagaimana aku membayar penginapan nanti malam? pikir Ching-ching. Tapi
perutnya yang keroncongan memaksanya untuk tidak lama-lama berpikir. Yah,
bagaimana nanti saja, katanya dalam hati. Kemudian ia segera memasuki rumah
makan besar.
Tengah Ching-ching menikmati hidangan yang dia pesan, datang serombongan orang
berpakaian indah memasuki rumah makan itu. Tampang mereka yang menyeramkan dan
pedang-pedang yang besar tergantung di pinggang orang-orang itu membuat ngeri
para pengunjung rumah makan tersebut. Para pengunjung itu mempercepat makannya.
Beberapa orang bahkan membatalkan pesanan dan terbirit-birit keluar sementara
rombongan yang baru datang dengan santainya menempati meja-kursi yang
ditinggalkan.
Sebentar saja rumah makan itu menjadi sepi. Hanya Ching-ching yang tidak peduli.
Ia hanya melirik sekilas lalu melanjutkan makannya.
Setelah menghabiskan makanannya, Ching-ching berjalan keluar. Ia berjalan santai
dengan kepala menunduk. Orang-orang itu membiarkannya lewat tanpa berbicara
sepatah kata pun. Sedari tadi mereka memang membisu.
Tiba-tiba Ching-ching iseng lagi. Sekarang ia butuh uang. Orang-orang ini
kelihatannya kaya. Bagaimana kalau ia mencopet seorang dari mereka.
Ching-ching melirik. Nah, anak muda di dekat pintu itu merupakan korban yang
Ching Ching 148
empuk. Ia berjalan menghampiri pemuda yang sedang asyik meneguk secawan arak.
Ketika melewati pemuda itu, tangannya bergerak cepat. Ia hanya menyenggol
sedikit saja.
“Maaf!” gumam Ching-ching. Ia terus saja melangkah. Ha, sekarang dompet pemuda
itu ada padanya. Sebelum mereka selesai makan, tak seorang pun akan menyadari.
Gadis itu berjalan memasuki gang kecil di antara dua gedung. Ia ingin tahu
berapa banyak uang yang berhasil dicopetnya.
Tiba-tiba ia tertegun. Kantung uang itu, dia mengenali kantung uang itu! Kantung
uang yang dijahitnya sendiri, bersulam gambar naga dengan benang keperakan!
Kantung uang yang diberikannya pada Fei Yung, pangeran kerajaan Mongol! Jadi
pemuda tadi ….
Didengarnya suara banyak orang berlari dan berteriak. Dari tempatnya
bersembunyi, ia lihat rombongan dari rumah makan tadi lewat. Dan pemuda yang
memimpin adalah Fei Yung!
Ching-ching keluar dari persembunyiannya. Ia tidak mau mengambil barang Fei
Yung. Tapi … bagaimana cara mengembalikannya? Rombongan tadi entah belok ke
mana, ia tak tahu lagi.
Ia jadi terpaku di tengah jalan. Tak dipedulikannya orang-orang yang lewat
memperhatikan dia.
“Itu orangnya!” teriak seseorang. Ternyata rombongan tadi kembali lagi. Tapi,
tak terlihat Fei Yung di antara mereka. Jumlahnya pun berkurang. Mungkin mereka
berpisah di tengah jalan.
Kalau tidak ada Fei Yung, gawat. Bisa-bisa ia disangka copet biasa. Ching-ching
memutuskan untuk lari. Ia tak mau ditangkap di depan orang banyak. Urusan dengan
Fei Yung lain kali saja.
Ching-ching membalikkan tubuhnya dan berlari. Rombongan di belakangnya mengejar.
Ching-ching menyelinap di antara orang-orang. Di jalan yang ramai ini ia tak
dapat gunakan ginkang untuk melarikan diri. Tapi, musuh pun akan sulit mengejar.
Brukk!!
Ching-ching terguling. Kakinya tersandung sebuah keranjang yang tergeletak di
tengah jalan. Celaka! Lututnya sakit sekali. Pergelangan kakinya sakit juga.
Barangkali terkilir. Sekarang untuk berdiri pun rasanya tak sanggup, apalagi
berlari. Pasrah sajalah.
Pengejarnya semakin dekat. Jumlahnya dua kali lipat. Tapi kali ini Fei Yung ada
di antara mereka.
“Putri Lung Ching!” seru Fei Yung. “Ternyata aku tidak salah mengenali orang.
Eh, kenapa kau duduk di tengah jalan?”
“Sialan, aku tak bisa berdiri, kau malah meledek!” sergah Ching-ching dalam
bahasa Mongol.
Fei Yung membantunya berdiri. “Terkilir, ya?” tanyanya dalam bahasa yang sama.
“Siapa suruh, dikejar malah lari. Padahal kami hanya mau buktikan kalau aku tak
salah lihat waktu di rumah makan.”
Ching-ching melotot. “Jadi kalian mengejar-ngejar cuma gara-gara itu?”
Fei Yung mengangguk.
“Bukan gara-gara ini?” Ching-ching menyodorkan kantung uang yang dicopetnya.
“Lho, bagaimana itu ada padamu?” tanya Fei Yung keheranan. “Tadinya tergantung
di sini.” Ia menunjuk pinggangnya.
“Sudah, nih, kukembalikan padamu. Aduh, gara-gara kau dan para pengawalmu,
kakiku jadi sakit.”
“Lalu bagaimana?”
Ching Ching 149
“Bagaimana, bagaimana! Bawa aku ke tabib untuk menyembuhkan kakiku. Dan kau
harus menanggung biayanya!”
“Tentu, tentu. Biar kusuruh pengawalku membuat tandu untukmu.”
Keisengan Ching-ching muncul lagi. Biar kukerjai dia, katanya dalam hati. “Tidak
mau!” tolaknya.
“Lantas bagaimana?”
“Kau gendong aku!”
“Aku?” Fei Yung terkejut. “Menggendongmu?”
“Kalau tidak mau, ya sudah,” Ching-ching merajuk. “Biar aku di sini saja.”
Fei Yung kebingungan. Ia tidak menyadari para pengawalnya kerepotan menahan tawa
di belakang pangeran mereka. “Baiklah, baiklah, naiklah ke punggungku, kita ke
rumah tabib sekarang.”
Ching-ching digendong di punggung Fei Yung. Ia tertawa-tawa gembira sementara
Fei Yung berasa kesal. Apalagi semua orang yang ditemui menertawakan mereka.
Perjalanan ke tempat tabib dirasanya jauuh sekali.
Akhirnya mereka sampai juga. Dengan lega Fei Yung menurunkan Ching-ching. Tabib
segera memeriksa.
“Bagaimana?” tanya Fei Yung dan Ching-ching bebareng.
“Tidak apa-apa, tidak apa-apa,” jawab tabib itu. “Nona, akan kubalut kakimu.
Sebentar lagi akan sembuh dan tidak sakit lagi. Tapi ingat, jangan dulu dipakai
berjalan selama dua hari.”
“Bagus!” kata Ching-ching. “Berarti ada kesempatan digendong lagi. Paling tidak
sampai ke penginapan.”
“Tidak mau!” kata Fei Yung buru-buru. “Punggungku sudah pegal.”
“Harus!” Ching-ching memaksa. Sebenarnya ia tidak sungguh-sungguh, hanya sekedar
ingin melihat reaksi Fei Yung.
Salah seorang pengawal Fei Yung maju dan membisiki pangerannya. Fei Yung
meringis. “Baiklah,” katanya. Terpaksa digendongnya lagi Ching-ching ke
penginapan.
“Aduh, pundakku sakit,” keluh Fei Yung setelah mengantar Ching-ching ke
kamarnya.
“Aduuh, kasihan,” kata Ching-ching. “Sudah, jangan meringis-ringis lagi. Sini,
kupijiti.”
“Nah, begitu lebih baik. Eh, Ching-ching, tanganmu kecil-kecil sih?”
“Kalau besar-besar, aku kerepotan dong membawanya. Kan berat,” canda
Ching-ching. “Fei Yung, omong-omong, kenapa kau keluyuran di sini?”
“Aku mencarimu.”
“Mencariku? Ada urusan apa?”
“Mau mengajakmu pulang.”
“Aku tidak mau pulang,” kata Ching-ching. “Aku lebih suka di sini. Lagipula aku
belum lupa untuk mencari A Thiaku.”
“Dengarkan, Ching-ching,” Fei Yung memandang lekat-lekat gadis manis di
hadapannya. “Kakekku mulai sakit-sakitan. Ia takut ajalnya segera tiba. Dan
sebelum mati, ia ingin melihat janjinya untuk mempersatukan dua negara
terpenuhi.”
“Kalau begitu, kau tunangan sama Chin Yee saja, kan sama.”
“Mana bisa sama, kau dan dia berbeda.”
“Huuh!” keluh Ching-ching. “Umurku baru 14 tahun lebih sedikit, sudah disuruh
kawin.”
“Ibu dan ayahku kawin waktu umur 14 juga.”
Ching Ching 150
“Itu kan ibu dan ayahmu. Aku lain!”
“Tapi Ching-ching, perjanjian antara kakekku dan kakekmu diadakan jauh sebelum
kita lahir.”
“Sudahlah,” Ching-ching mengibaskan tangan, “besok-besok saja kita bicarakan
lagi. Aku mau tidur.”
“Baiklah, selamat malam.” Fei Yung keluar kamar.
Ching-ching membaringkan diri di atas ranjangnya. Ia betul-betul lelah. Beberapa
saat kemudian ia sudah tertidur lelap.
Dua hari berlalu. Ching-ching sudah dapat berjalan lagi. Fei Yung membawanya ke
luar untuk melihat-lihat keramaian.
“Ching-ching, hari sudah siang. Mari kita makan dan kemudian berkemas.”
“Memang mau ke mana?”
“Pulang.”
Ching-ching menghela napas. Dua hari ia menghindar untuk membicarakan soal
kepulangan dan pertunangan. Sekarang Fei Yung malah langsung mengajak pulang.
“Fei Yung, kau pulang sendiri saja, aku tidak ikut.”
“Tapi Ching-ching—“
“Fei Yung, kau tahu tidak kalau Chin Yee menyukaimu?” potong Ching-ching. Pipi
Fei Yung bersemu merah sebelum kemudian ia menjawab, “Tahu.”
“Bagus kalau sudah tahu, lalu apa pendapatmu akan Chin Yee?”
“Eh …,” Fei Yung gelagapan. “Baik, dia anak baik, manis, lemah lembut ….”
“Nah, apa lagi?” kata Ching-ching. “Lagipula dia sebaya denganmu. Kalau aku sih
cuma pantas jadi adikmu saja.”
“Memangnya kalau umurmu lebih muda, kenapa?”
“Yaaa, tidak apa-apa, tapi kan lebih cocok kalau kau dengan Chin Yee.”
“Tapi aku dijodohkan denganmu. Keturunan langsung raja Sha-ie, Ching-ching.
Kalau Chin Yee kan anak sepupu ibumu.”
Ching-ching mendengus. “Baiklah, aku terus terang saja. Aku bukan keturunan raja
Sha-ie.”
“Aku tak percaya,” kata Fei Yung.
“Sudah, kau dengar saja aku cerita. Sambil makan.”
“Begitulah,” Ching-ching selesai bercerita tepat ketika hidangan di hadapan
mereka tandas.
“Lalu Soe-cie membawaku ke Sha-ie. Selebihnya kau tahu sendiri.”
Fei Yung menggeleng-geleng. “Ching-ching, aku sering kena kau tipu, tapi kali
ini tidak lagi. Ayolah, kau bohong, bukan? Kakekmu sendiri mengatakan kau
betul-betul mirip ibumu. Mana mungkin ada dua orang yang tidak berhubungan darah
bisa begitu persis.”
“Kalau tidak percaya, ya sudah!” bentak Ching-ching kesal. “Pokoknya aku tidak
mau pulang. Tahu tidak, aku minggat dulu itu karena tak mau kawin denganmu!”
“Ching-ching, katakan, apakah aku pernah berbuat salah padamu?”
“Tidak.”
“Apakah aku kurang baik padamu?”
“Tidak juga.”
“Ataaau karena wajahku jelek?”
Ching-ching cekikikan sebelum menjawab. “Siapa bilang. Buktinya Chin Yee
tergila-gila padamu.”
“Lalu apa kekuranganku sehingga kau tak mau pulang bersamaku?!” Fei Yung
membentak seraya menggebrak meja, membuat seisi rumah makan menoleh kepada
mereka.
Ching Ching 151
“Ssst, tenang dulu,” desis Ching-ching setelah hilang kagetnya. “Kita bicara di
luar saja.”
Mereka pergi dari tempat itu. Di jalan, mereka tidak mengeluarkan sepatah kata
pun. Fei Yung karena kesal, Ching-ching karena sedang memutar otak mencari akal.
Tiba-tiba ia mendapat ide. Fei Yung sangat patuh pada adat istiadat. Biar
kuakali lewat kebiasaan juga, katanya dalam hati.
“Fei Yung, apakah kau percaya, kalau orang melanggar sumpah, maka ia akan
termakan sumpah sendiri?”
“Percaya,” sahut Fei Yung pendek.
“Baiklah, aku katakan kepadamu. Duluuuu waktu ibuku sedang mengandung aku, A
Thia menjodohkan aku dengan orang lain ….”
“Mana bisa, kau sudah dijodohkan denganku, ibumu tentu tahu itu,” cetus Fei
Yung.
“Mungkin, tapi ayahku mana tahu. Pokoknya ia sudah bersumpah pada sahabatnya
yang sudah punya seorang anak laki-laki. Kalau kelak anak ayahku laki-laki juga,
maka akan dijadikan saudara, dan kalau perempuan, akan dijodohkan. Dan yang
melanggar akan mati tersambar petir.”
“Betapa keji sumpah itu. Tapiii kenapa ayahmu mau bersumpah sedemikian?”
“Eh, soalnya … soalnya,” Ching-ching mencari alsaan yang masuk akal, “soalnya
ayahku pernah berhutang budi dan tak dapat membalasnya.”
“Oh, begitu.” Fei Yung tampak berpikir. “Kau pernah menemui jodohmu itu? Kalau
tidak, seandainya kau kawin dengan orang lain, itu bukan salahmu atau ayahmu.”
“Siapa bilang belum pernah,” kata Ching-ching nekad. “Pernah saja.”
“Katakan padaku, berapa kira-kira umurnya?”
“Eh, kira-kira 2 tahun lebih tua dariku.”
“Apakah dia tampan?”
“Lumayan,” jawab Ching-ching sekenanya.
“Kau tahu di mana dia tinggal?”
Ching-ching terdiam.
“Bawa aku padanya. Kok rasanya aku tidak percaya kalau belum melihat orangnya,”
kata Fei Yung.
Ching-ching kaget. Mati aku, pikirnya. Di mana aku harus mencarinya dalam waktu
singkat kalau berita itu kukarang sendiri?
“Bagaimana?” tantang Fei Yung.
Ditantang begitu, Ching-ching jadi nekad. “Baik, kubawa kau ke sana. Tapi
tempatnya jauh dari sini.”
“Tidak mengapa, aku ingin meyakini kebenaran ceritamu.”
Ching-ching mengangkat bahu. Tapi dalam hati ia berkata, Bagaimana nanti saja.
Sekalian cari di jalan. Kalau tidak ketemu pun, setidaknya menangguhkan
kepulangan ke Sha-ie.
“Ching-ching, sudah berhari-hari kita berkuda, belum juga sampai. Sebenarnya di
mana sih tempat tinggal jodohmu itu?” tanya Fei Yung.
“Sebentar lagi,” kata Ching-ching. Padahal dalam hati ia pun bingung. Tiap anak
laki-laki yang ditemui di jalan tidak ada yang cocok dengan ceritanya pada Fei
Yung. Umur mereka rata-rata lebih 3 tahun darinya, sebaya dengan Fei Yung. Atau
malah sebaya dengannya. Banyak pula yang lebih kecil. Uf, ternyata sulit juga
mencari anak laki-laki yang tepat 2 tahun lebih tua. Padahal kalau tidak dicari,
rasanya banyaaaak sekali.
Mereka melewati sebuah sungai berbatu yang jernih airnya. “Kita istirahat di
sini,” kata Fei Yung pada para pengawalnya.
Ching Ching 152
“Hei, Fei Yung, lihat, sungai ini banyak ikannya. Kita tangkap, yuk. Lalu
dibakar. Seperti waktu di Sha-ie dulu. Mau?” kata Ching-ching.
“Boleh,” jawab Fei Yung.
“Jangan menangkap di sini, airnya terlalu deras. Banyak batu besar lagi. Sebelah
sana saja.” Ching-ching berlari mendului. Fei Yung memerintahkan rombongannya
untuk menunggu sementara dia pergi. Kemudian dikejarnya Ching-ching.
Dengan lincah Ching-ching melompati batu-batuan dan akar-akaran yang melintang
di jalan. Fei Yung yang tidak terbiasa harus berjalan lebih hati-hati. Akibatnya
ia tertinggal agak jauh di belakang.
Ching-ching sampai ke bagian sungai yang dangkal dan lebar. Di sana airnya
nampak lebih jernih sehingga ikan yang berenang kian-kemari terlihat lebih
jelas.
Ching-ching menggulung lengan bajunya. Ia menyibak air dan bermain-main membuat
ikan yang tadinya tenang jadi berenang serabutan.
“Hey, jangan kecipukan di situ, ikannya pada ketakutan nih!” seseorang berseru
mengejutkan Ching-ching. Nyaris gadis itu terjungkal masuk dalam air.
“Maaf, aku tidak tahu,” ujar Ching-ching. “Lagi buat apa kau di situ?”
“Memancing,” jawab yang ditanya, singkat.
Ching-ching berjalan mendekati arah suara itu. Dari tempatnya barusan ia tak
dapat jelas karena sinar matahari yang menyilaukan. Dari suara yang didengar,
dapat diketahuinya dengan pasti asal suara tersebut, tapi tak ada orang di
tempat ia memperkirakan menjumpai si pemilik suara. Yang ada cuma batu menjulang
lebih tinggi dari batu di sekutarnya.
“He, jangan bengong di situ. Kalau terpeleset, kecebur kau,” kata suara itu
lagi.
Ching-ching maju lebih dekat. Agak menyimpang dari sorot matahari barulah
terlihat bahwa batu yang menjulang tadi ternyata seorang anak laki-laki yang
sedang duduk memegang joran.
Ching-ching ikut naik ke batu yang diduduki anak itu. “Sudah dapat banyak?”
tanyanya.
“Belum,” jawab anak itu. “Sedari pagi aku duduk di sini, tak seekor ikan pun
nyangkut ke kailku.”
Sesaat mereka terdiam. Keduanya memperhatikan tali pancing yang lemas.
“He, ada yang nyangkut, ada yang nyangkut!” seru anak laki-laki itu girang.
“Tarik dong,” desak Ching-ching.
Anak laki-laki itu betul-betul menarik pancingnya. Tapi sentakannya terlalu
keras. Ikan yang menyangkut terlempar tinggi ke udara lalu jatuh lagi ke dalam
sungai. Anak itu tak dapat menahan sentakannya sendiri. Badannya terjengkang dan
ikut tercebur. Ching-ching menertawakan ketika anak itu kembali duduk di batu.
“Sial, sungguh sial,” gerutu anak itu. “Sedari pagi menunggu, begitu dapat,
lepas lagi. Tali pancingku putus pula, tinggal tangkainya saja!”
Ching-ching masih cekikikan. Anak laki-laki itu tampak kesal. “Sudah, jangan
sedih-sedih,” ujar Ching-ching. “Sinikan joran itu. Kuperlihatkan padamu
bagaimana seharusnya memancing ikan.”
Gadis itu menarik belatinya yang diikatkan ke kakinya. Ia memotong bagian
tangkai pancing yang tipis. Sisanya diraut hingga berujung runcing.
“Sekarang lihat!”
Ching-ching melompat ke udara. Berjumpalitan, lalu meluncur ke air dengan kepala
lebih dulu.
Tap, tap, tap! Ia menusukkan tangkai pancing tiga kali ke air.
Ching Ching 153
Ching-ching melompat berdiri sambil meminjam tenaga air. Ia sampai ke tepian
tanpa setetes air pun membasahi tubuhnya. Tiga ekor ikan menancap di joran.
Anak laki-laki di hadapannya terbengong-bengong. Matanya melotot dan mulutnya
terbuka. Ching-ching menjadi geli melihat tampangnya. “Kenapa kau?” tanyanya.
Tiba-tiba anak laki-laki itu berlutut dan menyembah sampai mencium tanah lalu
pay-kui berkali-kali.
“Hei, apa-apaan kau? Bangun! Hayo bangun!” Ching-ching kaget. Ia malah
ikut-ikutan berlutut.
“Kau ini dewi air atau apa?” tanya anak di hadapannya dengan wajah pucat.
“Aku manusia. Kenapa?”
“Kok bisa terbang dan berjalan di air?”
“Itu sih berkat latihan.” Ching-ching tersenyum.
Tiba-tiba namanya dipanggil orang. “Ching-ching! Kau di mana?”
“Brengsek! Aku lupa dia ikut,” gumam Ching-ching.
“Siapa?” tanya si anak laki-laki.
“Temanku,” jawab Ching-ching. Tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. Anak
laki-laki di hadapannya cocok dengan gambaran yang diberikan pada Fei Yung. He,
bagaimana kalau ….
“Kau mau bantu aku, tidak?” tiba-tiba Ching-ching bertanya.
“Bantu apa?”
“Pokoknya mau, tidak?”
“Mau, tapiii . . . .”
“Pokoknya kau jangan membantah apa pun yang kukatakan. Nanti kujelaskan.”
Tidak ada waktu untuk menjelaskan lagi. Fei Yung sudah sampai di hadapan mereka.
“Ching-ching, kau berjalan cepat sekali. Aku tak dapat mengikuti. Nyaris aku
tersesat tadi.”
Ching-ching tidak menjawab.
Fei Yung menoleh ke arah anak laki-laki di sampingnya. “Inii …,” ia memandang
bertanya.
“Oh, ini calon suamiku yang pernah kuceritakan padamu, ingat?” potong
Ching-ching cepat.
Wajah Fei Yung mendadak pucat. Ia memperhatikan anak yang setahun lebih muda
darinya itu, yang nyengir dengan wajah merahnya. Tapi segera ia berubah sikap.
Pandangannya meremehkan anak ceking yang bertampang bloon itu. Dengan sedikit
usaha saja ia yakin dapat merebut hati Ching-ching. Huh, anak gembel begini
saja, mana bisa dibandungkan denganku, pikirnya angkuh.
“Oooh, ini orangnya,” Fei Yung berkata dengan nada sinis. Ching-ching menangkap
kesan merendahkan itu. “Siapa namanya?” tanya Fei Yung pada Ching-ching. Ia
menganggap tak ada anak laki-laki itu, saingannya.
“Namanya … namanya …,” Ching-ching kelabakan. Sedari tadi ia belum sempat
bertanya. Diliriknya anak yang masih cengar-cengir itu dengan pandangan
bertanya. Tapi entah berlagak tidak tahu, atau betul-betul bego, yang dilirik
tetap saja pamer cengiran di wajahnya.
“Eh, namanya Yuk Lau.” Dalam bingung, Ching-ching menyebut nama kakak angkatnya.
Anak laki-laki itu tidak menyangkal. Ia malah mengangguk mengiyakan.
“Ching-ching, katanya kau mau menangkap ikan. Ayo!” ajak Fei Yung.
“Sudah,” jawab Ching-ching dan mengacungkan ikan-ikan yang ditangkapnya. “Kita
bakar di sini saja.”
Mereka menikmati ikan bakar di tepi sungai. Selama mereka makan, Fei Yung dan
Yuk Lau gadungan tidak bercakap-cakap. Ching-ching yang berceloteh riang pun tak
Ching Ching 154
berhasil mencairkan kebekuan di antara keduanya.
Hari itu mereka bermalam di tengah hutan. Yuk Lau ikut karena ia kepingin tahu
tentang Ching-ching lebih banyak. Ching-ching sendiri malah senang, dengan
demikian Fei Yung akan lebih yakin akan kebenaran ceritanya.
Sayangnya, Fei Yung tak pernah beranjak dari sisi Ching-ching sehingga Yuk Lau
tak dapat buru-buru minta penjelasan. Baru ketika Fei Yung berbincang-bincang
mengenai rencana kepulangan dengan para pengawalnya, Yuk Lau dapat mengobrol
berdua saja dengan gadis itu.
“Ching-ching,” Yuk Lau membuka pembicaraan. “Aku sudah turuti kemauanmu.
Sekarang ….”
“Tahu, tahu,” potong Ching-ching seperti kebiasaannya mendahului orang. “Aku
juga sudah mau cerita. Kau mau bertanya kenapa aku melibatkanmu untuk membohongi
orang, bukan? Gara-garanya si Fei Yung itu ngebet tunangan denganku.”
“Asyik!” komentar Yuk Lau.
“Asyik apanya!” Ching-ching melotot. “Aku tak mau sama dia.”
“Lebih mau sama aku, ya. Aduh, kejatuhan bulan aku. Punya jasa apa orang tuaku
hingga anaknya sedemikian beruntung.”
“Huh, kan cuma sementara, terpaksa lagi.”
“Duh, sengitnya. Padahal dalam hati— Aduh!”
Ching-ching menggetok lawan bicaranya.
“Sadis amat!” gerutu Yuk Lau sambil mengusap-usap kepalanya yang sakit.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau tak mau … eh, kawin sama dia? Kelihatannya orangnya
baik, pintar, kaya, cakep lagi.”
“Biar baik, pintar, kaya, cakep, kalau aku tak suka, mau apa?” tantang
Ching-ching.
“Harus ada alasannya.”
“Pokoknya tak suka!”
“Aku tahu, aku tahu. Kau beralih suka padaku begitu bertemu. Sekarang aku tahu
artinya cinta pada pandangan pertama seperti yang sering dikatakan pamanku.”
“Cinta kepalamu!” tukas Ching-ching sengit. “Umurku baru empat belas dan aku …
ah, sudahlah.” Dengan marah, Ching-ching bangkit dan pergi.
Yang ditinggal malah tersenyum. Anak laki-laki itu senang melihat Ching-ching
marah-marah. Lucu! Apalagi dengan bibir mencibir. Ah, ia suka gadis itu.
“Pssst, namamu sebenarnya siapa?” tahu-tahu Ching-ching menyapa dari belakang.
“Naaah, sudah pakai tanya-tanya nama lagi.”
Ching-ching mencibir lagi. “Aku tak mau terus-terusan memanggilmu Yuk Lau. Huh,
terlalu bagus untukmu.”
“Kenapa? Aku suka nama yang kauberikan.”
“Aku yang tidak suka. Ayo katakan, siapa namamu!”
“Yuk Lau,” kata anak itu ngotot.
“Brengsek!” maki Ching-ching. “Kalau begitu, aku akan memanggilmu sesuka
hatiku.”
“Apa misalnya?”
“Terserah aku. Mau si Bego, si Tolol, si Bloon, si Dungu, si—“
“Baiklah, baiklah. Namaku … terserah kaulah.”
Bukan main dongkolnya Ching-ching dipermainkan begitu. Sifat manjanya timbul
lagi. Setelah membanting kaki, ia berbalik dan pergi diiringi senyum Yuk Lau.
Yuk Lau menengadah memandang bintang yang bertebaran di langit. Ia ingat masa
lalu bersama pamannya. Seorang petani yang rajin. Dia juga yang mengasuh dan
memberinya nama. Sayang umur orang baik itu tidak panjang. Ia meninggal karena
Ching Ching 155
suatu penyakit. Setelah itu, keponakannya itu memutuskan untuk pergi daripada
sebatang kara di desanya.
Anak laki-laki itu menggelengkan kepala, mengusir kenangan sedih. Ia bangkit dan
mendekati Ching-ching yang merenung di depan api unggun di tengah perkemahan
yang didirikan di sana.
“Hei,” tegurnya pada gadis itu. “Marah, ya?”
Ching-ching melengos ke arah lain.
“Baik, aku kasih tahu namaku. Tapi aku tak yakin kau akan percaya.”
Ching-ching diam saja.
“Namaku Siauw Kui!” kata anak laki-laki itu. Ching-ching menoleh cepat tapi
segera membuang muka sambil mencibir sinis. “Tuh benar, kau tak percaya, padahal
aku sudah berkata sejujur-jujurnya.”
Suara memelas itu membuat Ching-ching kembali menoleh. “Betul?” tanyanya sangsi.
Siauw Kui mengangguk tegas.
“Itu nama panggilanmu, kan? Aku tanya namamu yang sesungguhnya,” kata
Ching-ching. Sikapnya agak lunak sekarang.
“Aku tak pernah dipanggil dengan nama lain kecuali hari ini. Namaku mendadak
bagus.”
“Apa iya?” Ching-ching tercekikik. “Pantas tadi tidak mau mengaku, namamu jelek
sih.”
Siauw Kui mengangkat bahu. “Sudah tidak marah?”
Ching-ching menggeleng. “Cuma aku masih belum percaya. Mana ada orang tua
memberi nama anakmu begitu rupa.”
“Itulah, aku tidak punya orang tua,” kata Siauw Kui. Wajahnya berubah murung.
Tetapi hanya sesaat saja.
“Lalu, siapa yang mengasuhmu? Dan kenapa kau dinamai Siauw Kui?”
“Aku diasuh pamanku … ah, bukan paman sebetulnya. Ia menemukan aku sedang
menangis. Waktu itu aku masih bayi, tergeletak di tepi jalan. Tepat ketika paman
menggendongku, aku ngompol. Paman memaki, ‘Siauw Kui!’ Karena ia tak tahu namaku
sebenarnya, maka aku dipanggil Siauw Kui.”
“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulut Ching-ching. Ia terharu juga mendengar
riwayat Siauw Kui sehingga bisu untuk beberapa saat. “Pamanmu tidak mencari
kalau kau tak pulang malam ini?” tanya gadis itu setelah rasa harunya hilang.
“Dia tak bisa mencariku lagi. Sudah mati.”
“Dibunuh?” Mata Ching-ching melebar.
Siauw Kui tertawa. “Kau ini sadis!” katanya disela gelak. “Pikir yang
bukan-bukan. Pamanku sakit. Entah apa penyakitnya. Cuma bertahan tiga hari lalu
… wusss!” Siauw Kui mengibaskan tangan.
“Kau tidak sedih?”
“Aku sempat menangis seharian sampai mata dan hidungku bengkak. Tetapi sesudah
itu ya sudah.”
Fei Yung mendekati mereka. Ia ikut duduk di seberang Ching-ching. “Besok kita
kembali ke kapal, lalu pulang.”
“Aku tidak mau pulang,” kata Ching-ching.
“Tapiii … kakekmu ….”
“Kau bilang saja padanya, aku masih betah di Tiong-goan.”
“Pokoknya kau harus pulang dulu. Aku sudah janji—“
“A-bun, jangan kuatir. Thia-thia akan membantu kau memberi pelajaran pada anak
ini.” sokong Tan Piawsu.
“Aku akan sabar menunggu tantanganmu, Tan Kongcu.”
Ching Ching 156
Dibalas begitu, Tan Hai Bun dan ayahnya pegi, tak menengok lagi.
Chin Wei tak usah lama-lama menunggu. Tiga hari sesudah kejadian itu, sebuah
surat sampai padanya. Tertancap di pintu kamar dengan sebauh pisau. Surat itu
berbunyi:
Kwan Chin Wei, sakit hatiku akan terbalas. Baiknya kau bersiap-siap. Dua hari
sesudah surat ini sampai di tanganmu, temui aku di Hek-cio-leng di utara kota.
Kalau berani, kau datanglah sendiri. Urusannya tinggal antara kau dan aku. Tan
Hai Bun
Chin Wei memperlihatkan surat itu kepada Sun Pao dan Ching-ching.
“Wei-ko, apakah kau akan menjawab tantangan ini?” tanya Sun Pao kuatir.
“Tentu saja. Aku bukan pengecut. Pasti kuhadapi si Tan Hai Bun itu. Pao-pao,
kali ini kau harus berjanji padaku, tak akan mengadukan hal ini kepada
Thia-thia. Berjanjilah. Kalau tidak, aku tak mau bicara denganmu seumur hidup.”
“Wei-ko, jangan berkata begitu. Baiklah, aku berjanji.”
“Nah, begitu lebih baik.” Chin Wei tersenyum lega. Soalnya, celaka kalau ayahnya
sampai melarang. Bisa-bisa Tan Hai Bun mencapnya pengecut dan ia harus menerima
ejekan teman-temannya.
“Saoya, apakah kau betul-betul akan datang sendiri? Bagaimana kalau aku
menemanimu?” kata Ching-ching. Ia agak khawatir juga.
“Hai Bun menyuruh aku datang sendirian. Aku akan memenuhi tantangannya,” Chin
Wei bersikeras.
Ching-ching tahu, akan percuma membujuknya lagi. Tapi, ia betul-betul kuatir
kalau Chin Wei celaka. Bagaimana baiknya? Mestikah ia membuntuti dan melindungi
Chin Wei diam-diam?
“A-ying, apa yang kaupikirkan?”
“Tidak, bukan apa-apa.”
“Kalian jangan terlalu kuatir,” Chin Wei menenangkan. “Paling juga aku akan
menghajar si Hai Bun sekali lagi.”
“Pokoknya, pokoknya,” Ching-ching mendengus. “Pokoknya tidak mau. Sudah! Aku mau
tidur.” Ching-ching meninggalkan kedua pemuda itu.
“Anak manja,” kata Fei Yung pelan.
“Tapi kau suka, kan?” goda Siauw Kui.
Fei Yung menoleh ke arah pemuda itu. Diperhatikannya baik-baik. Hmm, wajahnya
lumayan. Kocak, dengan bibir yang seolah tersenyum terus-menerus. Matanya dalam
bercahaya menandakan kecerdasan pemiliknya. Rahangnya kokoh dengan garis-garis
tegas. Dengan cahaya api yang mulai meredup, Fei Yung tidak menghadapi wajah
bloon yang dilihatnya di tepian kali tadi siang. Tapi saat berikutnya lagi-lagi
ia menatap wajah polos yang tolol.
Sebaliknya Siauw Kui pun sedang memperhatikan Fei Yung. Wajah yang tampan.
Alisnya tebal, matanya memandang tajam, bibirnya tipis, mengesankan keangkuhan.
Dagunya persegi, tegas, dan asing.
Mereka saling pandang seolah saling menilai. Tiba-tiba Siauw Kui memperlihatkan
lagi cengirannya. “Ada yang aneh di wajahku?” tanyanya.
Fei Yung tidak menjawab. Ia masih berpikir, apa kelebihan anak yang kurus kering
itu sampai Ching-ching ngotot tak mau pulang ke Sha-ie bersamanya. Rasanya anak
ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dia. Atau … barangkali diam-diam pemuda
ini punya ilmu silat yang tinggi? Biar kuuji, pikirnya.
“He, jangan pandangi aku seperti itu!” kata Siauw Kui. “Aku jadi takut.”
Fei Yung berlagak menoleh ke arah lain. “Kau kenal baik dengan Ching-ching?”
tanyanya.
Ching Ching 157
“Jelas, ia calon istriku.”
“Apa ia pernah cerita padamu?”
“Tentang apa?”
“Bahwa ia putri kerajaan Sha-ie.” Fei Yung memperhatikan reaksi pemuda di
depannya. Dia kecewa ketika dilihatnya anak itu tenang-tenang saja. Mestinya ia
terkejut menyadari Ching-ching seorang putri, pikirnya, atau minder, sedikitnya.
“Lalu?” Siauw Kui malah balas bertanya dengan wajah polosnya.
“Tidak apa-apa,” jawab Fei Yung dongkol.
“Huaah,” Siauw Kui menguap. “Kalau begitu, aku mau tidur saja.” Ia bangkit dan
berjalan ke arah tendanya.
Kesempatan! pikir Fei Yung. Ia menjentikkan sebutir kerikil ke arah sebuah pohon
tak jauh dari sana. Kerikil itu mental, tepat menuju kepala Siauw Kui. Bila ia
berkelit, berarti ia memiliki sedikit ilmu, paling tidak, pikir Fei Yung.
Tapi Siauw Kui tidak berkalit. Kerikil itu mengenai belakang kepalanya. “Aduh!”
pekik Siauw Kui. Tapi bukannya menoleh ke belakang, ia malah mendongak ke atas.
“Pohon apa yang buahnya sebegitu keras!” gumamnya. Tapi kemudian ia mengangkat
bahu tak peduli.
Fei Yung yang sejak kecil dididik untuk tidak lekas percaya, jadi curiga. Tapi
ia tak tahu, orang yang diincarnya benar-benar goblok atau sekedar pura-pura
saja. Dia memutuskan untuk menguji sekali lagi. Biar, malam nanti, aku akan
masuk dan menyerang dia di dalam tenda.
Fei Yung menyuruh pengawalnya diam di tempat kalau nanti ada sedikit
ribut-ribut, kecuali kalau ia berteriak. Diam-diam Fei Yung takut juga kalau
dihajar babak-belur oleh Yuk Lau. Dikenakannya pakaian hitam dan secarik kain
menutupi wajahnya. Bersenjatakan sebilah golok, perlahan-lahan ia masuk ke dalam
tenda. Dilihatnya Siauw Kui yang sedang tertidur lelap, meringkuk di bawah
selimut.
Brakk! Fei Yung sengaja menendang meja kayu yang ada di situ. Siauw Kui
terbangun, matanya masih terpejam.
“Hei, ini tendaku. Kau salah masuk!” gumamnya setengah bermimpi.
Tanpa berkata apa-apa Fei Yung menyerang. Goloknya meluncur lurus ke arah leher
Siauw Kui!
Melihat Siauw Kui tidak mengelak, Fei Yung terkejut. Tapi senjatanya terlanjur
bergerak, tak dapat ditarik pulang. Ia cuma sempat melencengkan arahnya, namun
gagang golok telah menghantam wajah Siauw Kui.
“Waaaa!” anak itu menjerit. Ia benar-benar bangun sekarang dan buru-buru
menghindar ke kolong.
Fei Yung menyerang lagi. Sekarang tidak terlalu sungguh-sungguh. Siauw Kui
berjingkrakan sambil teriak-teriak. Ia heran serangan makhluk hitam-hitam itu
tak satu pun mampir di tubuhnya, tetapi ia terkurung, tak dapat juga menyusup
keluar tenda.
“Hiaaat!” teriakan yang lantang terdengar. Siauw Kui maupun penyerangnya
terkesiap. Keduanya serempak menengok. Mereka melihat Ching-ching menyerbu
masuk.
Orang berpakaian hitam itu kelabakan menangkis dan menghindari serangan
Ching-ching. Tak berani ia melawan karena takut melukai gadis yang menyerang
bertubi-tubi itu. Sekali dilihatnya kesempatan kabur, dalam sesaat ia sudah
keluar dari tenda.
“Aduh, ada orang mau bunuh aku,” keluh Siauw Kui.
“Siapa bilang,” tukas Ching-ching. “Kalau ia hendaki kau mampus, sudah sedari
Ching Ching 158
tadi jiwamu melayang.”
“Lantas mau apa dia? Aku tak punya barang untuk dirampok.”
“Mana tahu,” kata Ching-ching ketus. “Kau tanya saja pada orangnya.”
Gadis itu keluar tenda setelah meyakinkan Siauw Kui bahwa takkan ada orang lagi
yang berani mengganggunya. Siauw Kui masih ketakutan. Ia minta ditemani tidur.
Jelas saja Ching-ching menolak mentah-mentah dan buru-buru pergi.
Di luar, pandangannya menyapu para penjaga yang menunduk tak berani balas
menatap, tapi terutama pada Fi Yung yang duduk di dekat api, ia memandang marah.
Fei Yung menunduk semakin dalam. Rasa bersalah memenuhi dadanya, tetapi hati
kecilnya membantah. Ia toh tak melukai anak laki-laki tadi, bahkan tak punya
niatan untuk itu.
Ching-ching tak mau menegur Fei Yung di depan bawahannya. Ia memberi isyarat
supaya pemuda itu mengikuti. Agak jauh, barulah Ching-ching angkat bicara. “Kau
mengecewakan aku,” katanya dingin.
“Lung Ching, aku tak bermaksud—“
“Besok pagi aku pergi,” potong Ching-ching. “Aku tak mau kau ikuti.”
“Tapi—“
“Pokoknya kalau aku pergi dan kau ketahuan menguntit, aku tak mau kenal lagi
seumur hidup.” Sehabis berkata demikian, Ching-ching kembali ke tendanya.
Tinggallah Fei Yung menyesali diri.
Esok paginya Fei Yung tak menemukan Ching-ching maupun pemuda yang bersamanya
itu. Keduanya sudah pergi sebelum ia bangun. Saking kesal Fei Yung menendang
pasak tenda hingga tenda itu roboh. Kurang ajar! Ching-ching benar-benar pergi
tanpa pamitan padanya.
Fei Yung tak mau mengejar lagi. Kesombongan dan keangkuhannya melarang. Lagipula
ia tak mau kalau Ching-ching memusuhinya seumur hidup. Fei Yung memandang ke
kejauhan. Dalam hatinya ia masih berharap bertemu gadis lincah bernama
Ching-ching itu.
Ching-ching dan Siauw Kui sudah cukup jauh dari hutan yang mereka tinggalkan.
Kini mereka sampai di sebuah desa.
“Perutku keroncongan, kita makan dulu du rumah makan di sana,” Ching-ching
membuka suara.
“Aku tidak punya uang,” kata Siauw Kui.
“Aku yang mengajak, aku yang bayar,” sahut Ching-ching. Ditariknya tangan Siauw
Kui memasuki rumah makan yang cukup ramai itu. Mereka duduk di meja yang paling
pojok. Ching-ching memesan makanan, dan sambil menunggu mereka bercakap-cakap.
“Siauw Kui, setelah ini kau mau ke mana?”
“Terserah,” jawab yang ditanya singkat.
“Kok, terserah?”
“Ya, terserah, dari kemarin juga ke mana kita pergi terserah padamu.”
“Iya, tapi setelah ini kita harus berpisah.”
“Harus? Kenapa harus? Aku mau ikut kau saja. Enak, setiap hari makan kenyang.
Gratis lagi.”
“Enak saja. Aku tak mau ke mana-mana diikuti manusia macammu.”
“Kok begitu? Kau kan istriku.”
“Permainan sandiawara kita sudah berakhir kemarin.” Muka Ching-ching agak
memerah ketika mengatakan hal itu.”
“Sayang,” kata Siauw Kui, “padahal kalau berlanjut pun aku tidak keberatan.”
Ching-ching memonyongkan mulutnya, siap mendamprat, tapi saat itu makanan mereka
datang. Perut yang lapar menunda perang mulut mereka.
Ching Ching 159
Selesai makan, Ching-ching meletakkan satu tael di meja. Tanpa berkata apa-apa
ia meninggalkan Siauw Kui yang masih menikmati santapannya. Dalam pikiran gadis
itu, kalau ia cepat-cepat pergi, Siauw Kui pasti malas mengikuti.
“Hei, Ching-ching, mau ke mana?”
“Pergi.”
“Tunggu aku, makanannya belum habis, kan sayang.”
Ching-ching tidak peduli, ia terus saja berjalan. Siauw Kui memandangi gadis
itu, lalu menoleh ke hidangan di hadapannya. Sayang, makanan sedemikian banyak
ditinggal. Padahal lain kali belum tentu bisa makan makanan selezat ini.
Tapi ia cepat ambil keputusan. Setelah menyambar ikan bakar yang masih sisa
separuh, ia berlari mengejar. “Tega-teganya kau tinggalkan aku,” kata Siauw Kui
dengan napas terengah ketika berhasil menjajari langkah Ching-ching.
“Kenapa kau ikut? Makananmu belum habis, kan?”
“Belum, tapi aku tak mau kau tinggalkan.”
“Aku tak mau kau ikuti!” bentak Ching-ching.
“Aku yang mau ikut,” Siauw Kui ngotot.
Ching-ching tidak berkata apa-apa lagi. Ia percepat jalannya, bahkan
dikerahkannya pula ginkang. Siauw Kui terpaksa berlari untuk tetap menjejeri,
tapi lama-lama tenaganya berkurang juga, apalagi membawa perut yang berat oleh
makanan. Akibatnya sebentar saja ia sudah ketinggalan jauh oleh Ching-ching yang
melesat cepat.
*
Ching-ching duduk mengaso di bawah sebuah pohon. Rasanya ia sudah cukup jauh
meninggalkan Siauw Kui, tidak apa-apa kalau ia beristirahat sebentar, mengatur
napas sambil menikmati angin sepoi-sepoi. Tak berapa lama, ia pun terlena,
tertidur di bawah pohon rindang itu.
*
Siauw Kui terengah-engah. Matanya memandang ke depan, tapi sejauh mata memandang
yang terlihat hanya jalan tanah dan pepohonan di sepanjang tepi.
“Brengsek!” umpatnya. “Cepat-cepat amat si Ching-ching berjalan. Aku sampai tak
bisa mengejar. Coba kalau dia tinggal di kampungku, boleh diadu lari sama si Tek
Hui, kepingin tahu siapa yang lebih cepat.”
Sambil berjalan, Siauw Kui mengomel. Teril matahari yang tepat di atas kepala
membuatnya pusing, maka semakin gencarlah gerutuan anak itu.
Ia terus berjalan, sekalipun tidak secepat sebelumnya. Masih untung dulu di
kampung ia sering naik-turun bukit. Setidak-tidaknya ia sudah terlatih berjalan
jauh. Kalau tidak ….
Siauw Kui menangkap bayangan putih di bawah pohon, agak terlewat di belakangnya.
Seketika jantungnya berdetak lebih cepat. Apa itu? Jangan-jangan mayat!
Mendengar cerita Ching-ching kemarin, seolah-olah begitu mudahnya orang saling
bunuh. Jangan-jangan ini salah satu dari mereka.
Anak itu ketakutan. Siap untuk berlari, tapi rasa ingin tahu menahannya. Ia
ingin melihat, tapi tak berani menoleh. Kepalanya seolah terpaku tak dapat
digerakkan. Tapi ia ingin tahu, apakah mayat di tepi jalan sama seperti yang
diceritakan Ching-ching. Matanya melotot, mulutnya menganga, lidahnya keluar,
hiiiy. Tetapi ia benar-benar ingin tahu.
Akhirnya ia berjalan, mundur, sampai tepat di tempat mayat itu tergeletak. Ia
tak berani langsung memandang. Ditutupnya kedua mata dengan tangan, baru
kemudian mengintip dari sela-sela jari.
Coba lihat matanya, melotot? Ah, tidak, matanya terpejam. Siauw Kui menutup lagi
Ching Ching 160
matanya. Sekarang bagaimana mulutnya, terbuka dengan lidah menjulur? Siauw Kui
mengintip lagi. Tidak juga, mulutnya tertutup, dan lidahnya pun jangankan
menjulur, terlihat pun tidak, tersembunyi di balik bibirnya yang mungil.
Siauw Kui menyingkirkan kedua belah telapak tangan yang menghalangi pandangan.
Seketika matanya terbelalak.
Itu Ching-ching! Celaka, dia mati! Barangkali dibunuh orang! Tiba-tiba Siauw Kui
merasa sedih. Ingin menangis rasanya. Baru saja berkenalan beberapa hari,
rasanya sudah bersahabat bertahun-tahun. Baru menjadi teman sekian lama,
sekarang sudah harus berpisah. Mati, lagi!
Mata Siauw Kui berkaca-kaca. Tangisnya nyaris meledak. Tapiii … tunggu, ia
melihat perut Ching-ching bergerak teratur naik-turun. Ia masih bernapas, hidup!
Siauw Kui memperhatikan baik-baik. Tubuh Ching-ching bersih, tidak berdarah.
Berarti tidak ada yang membunuhnya. Jadi ….
Siauw Kui merasakan wajahnya panas, malu. Sialan, rupanya Ching-ching ketiduran
di pinggir jalan. Dan dia, Siauw Kui, gara-gara dengar sedikit cerita yang seram
kemarin, sudah memikirkan yang tidak-tidak. Untung Ching-ching tidak tahu. Kalau
tidak, dia pasti ketawa ngakak.
Pemuda itu memandang wajah tenang yang sedang bermimpi di hadapannya. Tiba-tiba
timbul rasa iseng. Enak saja ia tidur! Padahal yang mengejar setengah mati.
Harus dikerjai, hitung-hitung balas dendam!
Dicabutnya sebatang rumput. Dengan benda itu digelitiknya Ching-ching. Gadis itu
mengebaskan tangan. Keisengan Siauw Kui semakain menjadi, digelitiknya pula
lubang hidung Ching-ching. Tiba-tiba gadis itu bersin tiga kali berturut-turut.
“Siapa berani menggangguku!” teriaknya seraya melompat berdiri.
“Aku,” sahut Siauw Kui sambil meluruskan kaki.
“Huh,” dengus Ching-ching. Segera ditinggalkannya tempat itu.
“He, tunggu, aku belum sempat beristirahat!” teriak Siauw Kui, tapi bangkit juga
menyusul. “Kau sempat tidur, aku kan belum. Tunggu aku!”
Tetapi lagi-lagi ia tertinggal jauh dari gadis yang dikejarnya.
*
Hari menjelang petang. Matahari sudah bergulir ke barat. Sesaat lagi ia akan
tenggelam, hari akan menjadi gelap. Ching-ching mulai kuatir. Ia tak tahu harus
tidur di mana malam ini. Di sekitarnya tidak tampak tanda-tanda adanya desa yang
dapat disinggahi. Ia tidak mau juga tidur di pinggir jalan. Atau berjalan
sendirian malam-malam. Sesiang ini saja ia sudah kesepian. Berjalan sendiri
tanpa teman bicara sangatlah tidak menyenangkan. Ah, dia jadi menyesal, mengapa
meninggalkan Siauw Kui tadi.
“Mudah-mudahan Siauw Kui masih membuntutiku,” gumam Ching-ching berharap.
Dilambatkannya langkah supaya Siauw Kui sempat menyusul. Tetapi setelah sekian
lama tidak juga terdengar langkah orang, Ching-ching tidak mengharap lagi.
Barangkali dia sudah bosan mengikutiku, keluhnya dalam hati.
Gadis itu duduk di pinggir jalan, merenung. Sebenarnya ia suka pada Siauw Kui.
Mereka sama-sama periang, cerewet, dan jahil. Cocok sebagai kawan. Tapi entah
kenapa tadi ia ngotot meninggalkan pemuda kocak itu. Dan semakin bersemangat
Siauw Kui ikut, makin kuat pula keinginannya menginggalkan.
Sayang sebenarnya. Teman seperjalanan yang menyenangkan begitu kok disia-siakan.
Padahal Ching-ching suka mendengarkan Siauw Kui berbicara dengan gayanya yang
kocak, senang melihat tingkahnya yang suka aneh-aneh. Gemas melihat cengirannya
atau wajahnya yang ketakutan begitu dibentak, atau caranya menggoda, atau ….
Ching-ching tersentak. Ada suara derap kuda yang dibedal dari arah ia datang.
Ching Ching 161
Dalam merahnya matahari senja, di kejauhan Ching-ching melihat seekor kuda yang
lari lari bagai kesurupan. Penunggangnya tampak tak dapat menguasai kudanya, ia
berteriak-teriak ketakutan.
Dengan cepat kuda itu menghampiri tempat Ching-ching duduk dan dengan cepat pula
ia lewat. Saat itulah penunggangnya sempat menoleh dan berteriak minta tolong.
“Tolong! Kudaku ngamuk! Tolooong!”
Cukan main kagetnya Ching-ching. Penunggang kuda itu dikenalnya. Bahkan baru
saja ia pikirkan.
“Siauw Kui!” teriak Ching-ching tanpa sadar. Tanpa buang waktu lagi, ia kerahkan
tenaganya untuk mengejar. Dibantu dengan ginkang yang cukup tinggi, Ching-ching
dapat berlari sangat cepat, tetapi masih kalah dengan kuda kekar yang kesurupan.
“Siauw Kui, tahan, aku datang!” seru Ching-ching.
“Toloooooong!” Rupanya Siauw Kui tidak melihat lagi siapa yang mengejar. Ia
memejamkan mata dan hanya ingat untuk berteriak minta tolong.
“Siauw Kui, pegangan yang kuat, aku susul!”
“Iya, dari tadi juga sudah pegangan, tanganku sudah pegal! Tolooong!”
Ching-ching mengempos semangat. Dikerahkannya seluruh tenaga dan kemampuannya
mengentengkan tubuh. Jaraknya dengan Siauw Kui semakin dekat. Ia dapat menjejeri
kuda itu.
“Siauw Kui, ini tanganku, tarik!” serunya.
Tapi, karena berbicara, tenaganya hilang sebagian, ia ketinggalan lagi. Kini
Siauw Kui hanya berpegang pada satu tangan, satunya lagi menjulur ke arah
Ching-ching, ia tak melihat Ching-ching tertinggal.
Ching-ching tahu, akan sulit untuk mengejar lagi. Sebelum itu, mungkin Siauw Kui
akan terjatuh dari kuda. Makanya ia nekat, melompat menyambar lengan Siauw Kui.
Meleset!
Tapi untung Siauw Kui sempat mencengkeran pergelangan tangan Ching-ching.
Beberapa saat gadis itu terseret. Pegangan Siauw Kui pun mengendor, kini hanya
telapak tangan yang saling cengkeram. Bertaut, kuat.
Dengan mengumpulkan segenap tenaga, Ching-ching mengentakkan tangan, lengan
Siauw Kui ikut tertarik, pada saat itu pegangannya pada surai kuda terlepas. Ia
terbanting, tepat menimpa Ching-ching. Keduanya bergulingan di tanah sampai
kemudian membentur sebuah pohon di tepi jalan.
“Aaaaagh,” Siauw Kui mengerang.
Ching-ching yang masih kaget bangkit pelan-pelan. Dirabanya seluruh tubuh.
Syukurlah, tak ada yang patah atau terkilir. Hanya saja bajunya robek di
beberapa tempat dan lecet-lecet pada tangan dan wajahnya.
“Aduuuuuuh,” Siauw Kui mengerang lagi.
Ching-ching menoleh ke arahnya. “Siauw Kui,” panggilnya dengan suara bergetar.
Napasnya masih memburu. “Siauw Kui, kau kenapa?”
Siauw Kui membuka matanya. “Ini di sorga atau di neraka?”
“Di neraka! Sialan!” Ching-ching mengumpat. Ia kesal, dalam keadaan demikian,
Siauw Kui masih juga bercanda. Tapi kalau Siauw Kui masih bisa bercanda, berarti
dia tidak apa-apa. Diam-diam Ching-ching merasa lega.
Siauw Kui bangkit duduk sambil meringis-ringis. “Kau sendiri bagaimana?”
tanyanya.
Ching-ching tidak menjawab. Ia berdiri dan mengebas-ngebaskan debu dari bajunya.
“Hei, masa sudah mau pergi lagi? Tega meninggalkan aku sendirian? Padahal tadi
kau menunggu aku di pinggir jalan. Iya, kan? Akui sajalah,” Siauw Kui mulai
mengoceh lagi.
Ching Ching 162
Ching-ching membuang muka dan melangkah pergi. Huh, ngaku. Enak saja!
“He, tunggu,” Siauw Kui hendak menyusul, tapi segera ia terjatuh lagi.
“Adududududuh!” jeritnya kesakitan.
Ching-ching yang sudah mau pergi jadi tertahan. Ia menoleh. Kasihan juga dia
melihat Siauw Kui yang pringas-pringis. “Kenapa kau?”
“Kakiku, aduh! Keseleo barangkali. Dan tanganku, sakiit!”
Ching-ching membungkuk dan memeriksa. Ketika tinggal di rumah Yuk Toahu dulu, ia
pernah mempelajari cara mengobati urat-urat yang keseleo atau tulang yang patah.
Mula-mula Siauw Kui cuma meringis-ringis ketika Ching-ching meraba kakinya. Tapi
kemudian ia menjerit kuat-kuat waktu tangannya tersenggol. “AAAAAW! Pelan-pelan
sedikit!” bentaknya.
“Diam!” Ching-ching balas membentak. “Diperiksa malah jerit-jerit. Kakimu cuma
terkilir sedikit, dikompres sebentar juga sudah baik. Tapi di sini tak ada air,
paling-paling kakimu besok bengkak.”
“Tanganku terkilir juga?”
“Tulangnya retak! Makanya jangan banyak tingkah!”
“Pasti gara-gara ditarik tadi. Kau sih, kasar,” Siauw Kui mencela. “Lain kali
jangan kasar-kasar.”
“Tidak akan ada lain kali!” hardik Ching-ching tersinggung. “Kalau kelak kau
dibawa kabur kuda edan, aku akan biarkan saja. Paling kepalamu bocor kalau
terbanting.”
Siauw Kui cuma nyengir dibentak-bentak begitu. Tapi berapa lama ia mengaduh-aduh
lagi.
“Jangan berisik!” Ching-ching membentak. “Cengeng! Lebih baik tidur sana, ini
sudah malam.”
“Malam apaan. Matahari baru saja tenggelam, bulan belum lagi muncul. Belum malam
namanya.”
“Masa bodo! Aku mau tidur, jadi jangan berisik!”
“Aduuuuuuh!” Siauw Kui sengaja mengeluh keras-keras.
“Apa lagi?” tanya Ching-ching kesal.
“Tanganku, sakit.”
Ching-ching bangkit. Dipatahkannya dua cabang pohon yang kecil, namun kuat.
Diapitnya tangan Siauw Kui yang sakit dengan benda itu, lalu diikat dengan sapu
tangannya kuat-kuat.
“Dengar,” kata Ching-ching. “Kalau tak mau tanganmu patah sekalian, jangan
banyak bergerak. Supaya tidak banyak bergerak, paling baik kau tidur.”
Siauw Kui diam. Tetapi begitu mata Ching-ching terpejam, ia mulai mengeluh lagi.
“Aduh, kakiku.”
“Kakimu tidak apa-apa,” kata Ching-ching mengantuk. “Besok saja diurus.”
Siauw Kui diam, tapi ia masih ingin menggoda Ching-ching. Makanya ia mulai
mengaduh-aduh lagi. Diliriknya Ching-ching yang mulai terlelap. Melihat itu,
jeritannya semakin keras.
Ching-ching pura-pura tidak mendengar. Ia diamkan saja Siauw Kui yang
berkeluh-kesah. Tapi lama-lama ia tak tahan juga. Dengan gusar ia bangkit duduk.
“Apa lagi sekarang?”
“Lapar, hari ini aku baru makan sekali.”
“Kau pikir aku tidak lapar?” Ching-ching mendelik. “Aku juga lapar, lelah,
ngantuk.”
“Makanya, ayo cari makan.”
“Cari makan ke mana? Ini sudah gelap, mana di sekitar sini tidak ada
Ching Ching 163
perkampungan. Sudah, tahan saja laparmu. Tidur sajalah.”
“Mana bisa tidur dengan perut lapar.”
“Huh,” Ching-ching mendengus kesal. Ia melompat, menyambar sebatang cabang pohon
yang cukup besar, dibersihkannya cabang pohon itu dari ranting-ranting kecil dan
dedaunan.
“Buat apa?” tanya Siauw Kui yang keheranan melihat kelakukan gadis itu. “Aku
tidak doyan dahan pohon.
Ching-ching tidak menjawab. Ia malah berbaring di sisi Siauw Kui.
“Ching-ching . . . .”
“Diam!” bentak Ching-ching. “Kalau macam-macam, kupukul kau dengan dahan ini.”
“Wah, jangan …,” Siauw Kui hendak menggoda, tapi tidak jadi kerna kepalanya
digetok.
“Aku tidak main-main!” kata Ching-ching.
Siauw Kui pun tidak berani lagi menggoda. Sesaat kemudian keduanya sudah
terlelap.
“Siauw Kui! Siauw Kui, bangun!” Ching-ching mengguncang-guncang tubuh kawannya
itu pada keesokan harinya.
“Emmh, entar dulu, ah, masih ngantuk,” Siauw Kui tertidur lagi.
“Siauw Kui, kalau kau tak mau bangun, kutinggal kau!” Ching-ching mengancam.
Siauw Kui buru-buru duduk. Sambil mengucek-ucek mata, ia mengejek, “Jadi dari
tadi kau belum pergi, ya. Baik hati betul.”
“Brengsek, mana tega aku. Kalau kutinggal, kau akan mati kelaparan di sini. Kau
kan tak bisa ke mana-mana. Kakimu terkilir, tanganmu juga rusak.”
“Iya, iya, kau memang gadis yang paling baik yang pernah kujumpai,” Siauw Kui
memuji. Ching-ching tersenyum. “Tapi paling galak.”
Lanjutan kalimat Siauw Kui membuat Ching-ching cemberut lagi. “Sudah, jangan
macam-macam. Kutinggal betul-betul kau nanti.”
“Bantu aku berdiri,” Siauw Kui mengulurkan tangan. Ching-ching terpaksa
menyambut. Ia juga memapah Siauw Kui yang berjalan sambil mendesis-desis
kesakitan.
“Sayang sebetulnya,” cetus Siauw Kui ketika mereka sudah berjalan cukup jauh.
“Apanya yang sayang?”
“Kuda yang kemarin itu. Padahal kalau kau tangkap sekalian, kan hari ini bisa
kita tunggangi. Kau juga tak perlu cape-cape.”
“Sudah ditolong, masih menyalahkan juga. Coba kalau kau dibawa kabur kuda
kesurupan itu, mau ngomong apa? Lagipula, apa kau sanggup mengurus kuda edan
macam itu?”
Siauw Kui meringis.
“Ngomong-ngomong, dari mana kau dapat kuda itu?”
“Kutemukan di jalan, terikat di pohon.”
“Tidak ada pemiliknya?”
“Pemiliknya sedang tidur, jadi ….”
Ching-ching tertawa. “Namanya mencuri, goblok! Bukan menemukan.”
“Biar, yang penting pemiliknya tidak tahu.”
“Ya, tapi akibatnya kau nyaris dibawa lari kuda itu.”
“Barangkali dia balas dendam karena dilarikan dari pemiliknya. Lantas ia larikan
pula aku. Impas!”
Ching-ching tertawa lagi. Siauw Kui senang, gadis itu sudah tidak marah-marah.
Sepanjang hari itu mereka bercanda dan bergurau dengan gembira.
“Sepi, ya,” kata Siauw Kui di antara senda-tawa mereka. “Sedari kemarin, tidak
Ching Ching 164
kujumpai orang yang lewat di jalan ini.”
“Iya, aku juga heran. He, lihat, di sana ada hutan. Ke sana, yuk.”
“Buat apa? Di hutan mana ada orang.”
“Setidaknya di sana lebih teduh daripada jalanan yang kering berdebu ini.”
“Iya, iya kita ke sana.”
Agak jauh ke tengah hutan, mereka beristirahat. Siauw Kui duduk bersandar di
bawah sebuah pohon yang lebat daunnya, sementara Ching-ching memeriksa kakinya
yang semakin membengkak.
“Kau tunggu di sini, jangan ke mana-mana,” kata Ching-ching setelah melihat
keadaan kaki Siauw Kui.
“Kau mau ke mana?”
“Aku dengar suara mengalir di sebelah sana. Aku mau ambil air untuk minum dan
untuk mengompres kakimu.”
“Suara air mengalir?” Siauw Kui menajamkan telinga. “Aku tidak dengar apa-apa.”
“Maklum, kau budek sih,” Ching-ching menggoda seraya berlari mebjauh, menuju
arah suara yang didengarnya.
Ternyata sungai yang melalui hutan itu lebih jauh dari dugaan Ching-ching, namun
lebih deras dari perkiraannya. Tetapi itu bukan masalah. Ching-ching yang
kehausan segera meminum air sungai yang jernih dan sejuk.
Setelah rasa hausnya hilang, Ching-ching mulai bingung. Ia tak membawa mangkuk
atau alat untuk membawa air itu kepada Siauw Kui. Ia juga tak melihat apa-apa di
sekitarnya yang dapat dipergunakan. Pepohonan di hutan itu berdaun kecil, kalau
saja lebih besar, mungkin bisa dibuat tabung.
“Sayang, sapu tanganku sudah dipakai untuk membebat lengan Siauw Kui, padahal
kalau dibasahi, lumayan buat minum,” gumam Ching-ching. “Atau … ah, kupapah saja
Siauw Kui ke sini, sekalian supaya tidak repot-repot boalk-balik ambil air.”
Ching-ching berlari kembali ke tempat Siauw Kui. Ketika ia berbalik, tiba-tiba
dilihatnya sebuah batu yang kebiru-biruan. Dengan heran, Ching-ching menghampiri
batu yang cukup besar itu.
Diperhatikannya batu itu dari dekat. Rupanya hanya batu biasa, hanya saja ada
semacam tumbuhan merambat yang menutupi seluruh permukaan batu tersebut. Warna
daunnya yang biru-hijau menyamrkan warna batu itu sendiri.
Ching-ching mencabut sebatang. Rasa-rasanya ia pernah melihat tumbuhan macam
ini. Kalau tidak salah, di rumah Yuk Toahu. Tapi nama tumbuhan itu sendiri ia
sudah lupa.
Gadis itu berjalan pelan-pelan sambil mengingat-ingat. Beberapa kali ia
tersandung karena tidak melihat jalan. Tahu-tahu ia berhenti dan menepuk dahinya
sendiri.
“Rupanya sudah pikun aku,” katanya pada diri sendiri. “Ini kan Siok-kut-co.
Kalau ditumbuk dan ditempelkan ke bagian yang patah, dalam satu minggu tulang
yang patah itu akan sembuh. He, ini bisa digunakan untuk mengobati Siauw Kui.”
Ching-ching mempercepat jalannya. Dia begitu gembira. Jauh-jauh, ia sudah
memanggil-manggil Siauw Kui saking senangnya.
Siauw Kui yang hampir terlelap, membuka matanya mendengar suara Ching-ching.
“Brengsek, baru saja mau bermimpi indah, sudah diganggu,” ia menggerutu, lalu
berseru, “Ya, aku di sini!”
“Siauw Kui, aku temukan obat buat tanganmu,” kata Ching-ching begitu melihat
kawannya. Tapi kemudian ia terpaku. Matanya memandang melotot ke satu arah.
Siauw Kui yang melihatnya jadi bingung sekaligus geli.
“Kenapa kau tiba-tiba beku?” tanyanya.
Ching Ching 165
“Diam, jangan bergerak,” desis Ching-ching sambil menggenggam belatinya.
“Apa-apaan kau?” Siauw Kui terkejut. “Buat apa belati itu? Jangan main-main.
Lagi kenapa aku tak boleh bergerak? Aku bisa bergerak sesukaku.” Anak itu
sengaja menggoyang-goyangkan badan.
Detik berikutnya ia merasakan sendiri akibat tindakan itu. Tiba-tiba bahunya
yang kiri terasa sakit seolah dihunjam dia batang paku. Siauw Kui berteriak.
Pada saat bersamaan, belati milik Ching-ching melayang dan menancap di pohon
tempat Siauw Kui bersandar. Dan sesuatu menimpa tubuh pemuda itu.
Siauw Kui menjerit ngeri melihat tubuh ular tanpa kepala yang menimpanya.
Cepat-cepat dilemparnya jauh-jauh bangkai binatang itu. Sesudahnya ia merasa
lemas sekujur tubuh.
“Makanya, kalau kusuruh, menurut saja,” omel Ching-ching seraya mendekat.
Siauw Kui diam saja. Untuk bicara pun rasanya tak kuat.
“Aduh, lihat! Ular yang menggigitmu berbisa. Itu, darah yang keluar dari lukamu
hitam warnanya,” kata Ching-ching agak panik.
“Tamat riwayatku,” keluh Siauw Kui. “Ching-ching, sampai jumpa di sorga.”
“Makhluk jelek macam kau belum pantas pergi ke sorga,” kata Ching-ching. Tanpa
berkata apa-apa ia berlutut dan menyedot darah yang keluar dari bahu Siauw Kui.
“Ching-ching, apa yang kau lakukan?”
Ching-ching meludahkan darah di mulutnya. “Menyedot kaluar racun itu, tolol,”
sahutnya. Ia menyedot beberapa kali sampai darah yang keluar tidak lagi
kehitaman. “Sekali lagi,” gumamnya.
“He, Ching-ching, aku jadi ingin tahu, mendingan mana, digigit ular, ata digigit
gadis galak macam dirimu.”
Ching-ching nyaris menelan cairan merah di mulutnya, untung masih sempat
buru-buru diludahkan. Dengan kesal ia menanggapi ocehan Siauw Kui. “Kau akan
segera tahu!” Digigitnya bahu Siauw Kui tepat di bagian sekeliling lukanya.
“Aaaw! Ching-ching! Gila kau, ganas! Lepaskan!”
“Wueeekh, dagingmu tipis. Ceking, sih!” Ching-ching meludah lagi. “Nah, sudah
kaurasakan. Mendingan mana?”
“Aduuuh!” Siauw Kui meringis menahan sakit. “Gawat dua-duanya. Sama-sama
berbahaya! Aduh!”
“Rasakan!” kata Ching-ching gemas. “Lain kali, kalau ngomong dipikir dulu!”
“Iya, kalau ingat,” jawab Siauw Kui ketus.
“Sekarang pindah ke pinggir sungai, sekalian mencuci lukamu,” Ching-ching
mengulurkan tangan hendak membantu. “Ayo!”
Siauw Kui malah membuang muka. Ia masih kesal gara-gara digigit barusan.
“Kesal, ya?” Ching-ching menggoda, tetapi Siauw Kui tak menjawab. Setelah
beberapa saat keduanya berdiam diri, kesabaran Ching-ching habis. Disentakkannya
tangan kiri Siauw Kui sampai pemuda itu berdiri. “Aku tak mau tahu,” kata
Ching-ching galak. “Ayo, kalau tidak kuseret kau!” Dan ia benar-benar melakukan
ancamannya ketika Siauw Kui tidak bergeming.
Siauw Kui mendengus. Ia terpaksa melangkah. “Awas kau, kubalas nanti,” ancamnya.
“Kita lihat saja nanti, apa yang bisa kaulakukan,” balas Ching-ching.
Begitu sampai di tepian sungai, Ching-ching langsung meraup air jernih dan
membawanya ke mulut untung menghilangkan bau darah dalam mulutnya.
Siauw Kui memperhatikan dari belakang. Sebuah ide melintas. Kesempatan. Ini
saatnya balas dendam. Dihampirinya Ching-ching pelan-pelan lalu didorongnya anak
itu ke sungai. Ching-ching yang tidak bersiaga terlontar dan mencebur agak jauh
ke tengah. Siauw Kui tertawa-tawa.
Ching Ching 166
“Aku sudah bilang akan balas dendam. Sekarang impas,” serunya. Ia duduk di
tepian dan minum air sungai itu, kemudian baru matanya mencari-cari. “Mana itu
anak?” gumamnya. “Dari tadi tidak muncul.”
“Tolong!” ia mendengar jeritan panik agak jauh dari tempatnya berdiri. Sebuah
tangan muncul disusul kepala yang megap-megap. Kemudian hilang.
“Gawat, Ching-ching terbawa arus!” Siauw Kui baru menyadari. “Aku harus tolong.”
Detik berikutnya ia sendiri sudah mencebur dan berenang cepat-cepat mengikuti
arah arus sungai. Tangannya yang kiri sakit sekali, tapi ia paksakan juga
menggunakannya. “Ching-ching, tunggu! Aku ke situ!” Siauw Kui berseru.
“Siauw Kui, berenangnya jangan jauh-jauh, ya,” terdengar sahutan di belakangnya.
Siauw Kui menoleh. Ia melotot melihat Ching-ching berdiri berkacak pinggang.
Ternyata dalamnya air hanya sebatas dada saja.
“Kenapa kau bisa ada di sini? Lalu siapa yang terseret arus tadi?”
“Aku,” kata Ching-ching sambil tersenyum lebar. “Cuma siasat. Kalau tidak
begitu, mana mau kau ikutan mandi di sini.”
Siauw Kui memukul air dengan kesalnya. “Kalau mau suruh mandi, bilang-bilang
supaya bajuku tidak basah semua.”
“Sekalian dicuci,” jawab Ching-ching ringan.
Siauw Kui mencipratkan air ke arah gadis itu. Ching-ching membalas. Jadilah
mereka bermain air sampai puas.
Matahari mulai bergulir ke barat ketika mereka maik ke darat. Keduanya langsung
merebahkan diri kelelahan.
“Pakaian kita basah semua, bisa-bisa masuk angin,” kata Ching-ching. “Siauw Kui,
kau nyalakanlah api.”
“Buat apa? Matahari belum tenggelam.”
“Supaya bajumu lebih cepat kering.”
“Nanti juga kering sendiri.”
“Masa bodoh, pokoknya nyalakan api.” Ching-ching berdiri.
“Nyalakan saja sendiri,” gumam Siauw Kui sebelum terlelap.
Siauw Kui terbangun ketika hidungnya mengendus harum daging dipanggang. Yang
pertama dilihatnya adalah bintang di angkasa. Rupanya matahari sudah tenggelam.
Ia menoleh, dilihatnya Ching-ching yang sedang duduk menghadap api.
“Wah, setelah dua hari kelaparan, akhirnya malam ini kita makan enak,” katanya.
“Kita? Aku, maksudmu,” kata Ching-ching.
“Kok begitu?”
“Itu sudah terang. Aku yang berburu, aku yang nyalakan api, aku yang memanggang,
aku yang makan! Kau cari makan saja sendiri.”
“Yaaa, tega-teganya. Lihat, kakiku keseleo, tanganku patah, perutku lapar, mana
sanggup aku berburu sendiri.”
“Aku suruh kau nyalakan api tadi, kau tidak mau bantu. Dan karena semuanya
kukerjakan sendiri, aku saja yang makan.”
Ching-ching makan sendirian. Siauw Kui cuma bisa bengong sambil menahan lapar.
Diam-diam Ching-ching merasa kasihan. Tapi ia perlu diberi pelajaran! katanya
dalam hati.
Tapi sekalipun sikapnya galak dan berangasan, sebenarnya Ching-ching memiliki
hati yang lembut. Segera saja ia lupakan kekesalannya. “Nih,” ia lemparkan
daging yang masih hangat. Siauw Kui segera menyambut dan makan dengan lahap.
“Lain kali kalau kau malas-malasan lagi, kubiarkan kau mati kelaparan!”
Selesai makan, Ching-ching mengambil daun obat yang ditemukannya tadi siang. Di
atas bati yang agak rata, ia menumbuk tumbuhan tersebut. Kemudian diletakkannya
Ching Ching 167
di tangan Siauw Kui yang luka dan dibalut supaya tetap di tempatnya.
“Obat apa ini?” tanya Siauw Kui. “Baunya aneh.”
“Jangan pedulikan baunya. Yang penting manjur.”
“Baiklah. Selamat tidur!”
Seminggu telah berlalu. Tangan Siauw Kui semakin membaik. Hari itu mereka akan
melanjutkan perjalanan.
“Siauw Kui, bagaimana tanganmu? Sudah tidak apa-apa kalau kita pergi hari ini?”
“Jangan kuatir, sudah tak sakit lagi.”
“Jelas, siapa dulu yang merawat.”
“Ya, ya, semuanya berkat perawatan istriku yang baik.”
“Huuh,” Ching-ching melengus sinis. “Punya suami semacammu, aku bisa cepat tua.”
“Biar sudah tua, aku suka.”
Ching-ching tersipu, tetapi cepat ditutupi dengan membentak, “Jangan
macam-macam! Ayo berangkat!”
Mereka keluar dari hutan itu.
“Ching-ching, ke mana kita akan mencari A Thiamu?” tanya Siauw Kui yang sudah
tahu riwayat hidup Ching-ching.
“Ke mana saja. Tapi mula-mula kita harus mencari kabar tentang si nenek jelek.
Kalau ia belum mampus, A Thiaku pasti takkan berhenti mengejarnya.”
Jalan yang dilalui membawa mereka ke jalan lain yang lebih besar. Di jalan besar
itu, lebih banyak orang yang lewat. Kebanyakan adalah pedagang yang membawa
gerobak yang dihela kuda. Untung bagi Ching-ching dan Siauw Kui, mereka dapat
menumpang satu di antaranya.
“Di depan sana ada kota. Mau ke sana?” tanya pemilik gerobak.
“Yaa, bolehlah,” sahut Siauw Kui.
Di dalam kota, mereka melihat banyak orang yang hilir mudik dengan membawa
segala senjata. Wajah mereka terlihat keras dan sangar. Ada juga beberapa yang
nampak ramah, dengan senyum yang terlalu dibuat-buat di bibir mereka.
“Rame, yah,” komentar Siauw Kui.
“Namanya juga kota,” sahut si pemilik gerobak.
“Siok-siok, memang ada apakah? Banyak betul yang bersenjata.”
“Kabarnya akan diadakan pie-boe untuk meramaikan ulang tahun Un Khoa Jin, orang
terkaya yang paling berpengaruh di kota ini.”
“Asyik,” sorak Ching-ching. “Bakal ada tontonan seru!”
“Asyik sih asyik,” dengus Siauw Kui, “tapi aku lapar.”
“Kalau begitu, kita turun saja, cari makan.”
Mereka berpamitan setelah berterima kasih kepada si pemilik gerobak.
“Ya, ya, pergilah,” kata orang yang baik hati itu. “Tetapi hati-hati, jaga lidah
dan sikap kalian. Terutama kalau sedang menonton nanti. Jangan bikin masalah.”
“Kami akan turut nasihat Paman,” kata Siauw Kui.
Ching-ching melambaikan tangan sebelum kemudian pergi mencari rumah makan. Siauw
Kui mengikuti. Mereka menuju rumah makan yang terdekat dan masuk ke dalam.
“Hei, he! Mau apa kalian?” seorang pelayan menghadang di pintu.
“Mau makan,” jawab Siauw Kui polos.
“Di sini tak ada makanan buat pengemis macam kalian,” kata pelayan itu.
“Siapa pengemis?” tukas Ching-ching sengit. “Kamu bukan pengemis.”
“Eh, tidak mengaku lagi. Lihat saja tampang kalian yang belepotan, baju
compang-camping tak keruan, bau lagi. Huh!” pelayan itu menutup hidung seolah
dua anak di depannya menyebarkan bau busuk. “Sana pergi!”
Ching-ching tersinggung diperlakukan demikian. Darahnya naik sampai ke
Ching Ching 168
ubun-ubun. Didorongnya pelayan sombong itu sampai terjengkang. Beberapa orang
yang sedang makan menoleh melihat keributan itu.
“Dengar!” bentak Ching-ching marah. “Kami bukan pengemis. Dan seandainya
pengemis pun, apa hakmu melarang makan di dalam, asal sanggup bayar. Kamu jangan
besar kepala, ya. Batu jadi pelayan lagaknya ….”
Siauw Kui meringis mendengar Ching-ching membentak-bentak pelayan itu. Nyalinya
ciut. Bukan karena takut pada bentakan Ching-ching, tapi ia lihat pengunjung
rumah makan mengerutkan kening karena merasa terganggu. Apalagi kebanyakan
adalah orang-orang yang kelihatan cukup berilmu. Cepat-cepat ditariknya lengan
Ching-ching dan diseretnya dari tempat itu. Ching-ching tidak sadar. Ia masil
mengomel sambil mengacung-acungkan tinju.
“Kau mau apa?!” bentaknya pada Siauw Kui ketika sudah agak jauh.
“Sudahlah,” kata Siauw Kui menenangkan, “kita cari tempat lain saja.”
“Memangnya kenapa? Kau takut sama pelayan jelek itu?”
“Bukan, tapi … ah, jangan cari gara-garalah.”
“Pelayan itu mesti dikasih pelajaran,” desis Ching-ching tanpa menggubris
omongan Siauw Kui. “Ayoh, balik ke sana.”
“Jangan,” Siauw Kui melarang. “Nanti diusir lagi.”
“Hmm, dia mengusir kita karena pakaian kita. Baik, akan kutunjukkan padanya.
Ayo!”
“Ke mana?”
“Cari baju,” kata Ching-ching sambil menarik Siauw Kui ke sebuah toko pakaian.”
Keluar dari toko itu, dandanan mereka sudah lain sama sekali. Ching-ching
berdandan cantik sampai Siauw Kui melotot ketika pertama kali melihatnya. Siauw
Kui sendiri diberi pakaian indah dan rapi seperti seorang kong-coe. Mereka
saling memandang kemudian tertawa-tawa.
“Ching-ching, lain sekali kau kalau sudah dandan.”
“Kau juga lain,” balas Ching-ching. “Tidak terlalu jelek. Sayangnya ceking.
Biarlah, paling-paling dikira anak orang kaya yang penyakitan.”
Siauw Kui cuma tertawa saja digoda begitu.
Ching-ching membuka kantung uangnya. Isinya dibagi dua dengan Siauw Kui. “Ini,
bawalah. Orang akan mengira kau kakakku. Jadi kau harus traktir aku di
mana-mana. Pakai uang ini. Dan hati-hati sama copet.”
“Beres!” kata Siauw Kui senang. Seumur hidup baru kali ini dia pegang uang dan
berpakaian bagus. Rasanya aneh sakali. Saking senangnya Siauw Kui menjadi sangat
hati-hati. Ia belum terbiasa, gerakannya jadi terganggu.
“Sst, jangan kaku begitu,” bisik Ching-ching sambil cekikikan. “Jangan sampai
orang lain tahu bahwa kau tuan muda yang kaya mendadak. Santai saja.”
Mereka kembali ke rumah makan yang tadi. Pelayan yang sombong tadi tampaknya
tidak mengenali. Siauw Kui dan Ching-ching disambut dengan baik. Dalam hati,
keduanya merasa geli.
Keduanya memesan macam-macam makanan. Ching-ching belum melakukan apa-apa sampai
pesanan datang. Ia masih menunggu saat yang baik untuk bertindak.
Siauw Kui makan dengan cepat dan agak terburu-buru. Ching-ching meringis
melihatnya. Ia menendang kaki Siauw Kui di kolong meja. “Tak usah buru-buru,
santai saja.”
“Masa bodoh, aku sudah kelaparan!”
Selesai makan, Ching-ching teringat niatnya semula, tapi pelayan yang diincarnya
tidak terlihat. Ia merasa iseng karena Siauw Kui kelihatan belum selesai makan.
“Rakus amat,” goda Ching-ching. “Kau makan tiga kali lebih banyak dari aku.”
Ching Ching 169
“Aku memang tiga kali lebih lapar darimu,” jawab Siauw Kui.
Ching-ching ingin menggoda lagi, tapi saat itu incarannya sedang menuju ke arah
mereka. Ia membawa makanan untuk orang yang duduk di belakang Ching-ching. Ini
saatnya, pikir Ching-ching girang.
Ditunggunya sampai pelayan itu lewat di sammpingnya, kemudian tanpa terlihat
siapa pun, dijulurkannya kaku untuk menjegal.
Berhasil! Pelayan itu tersandung, makanan yang dibawanya tumpah dan mengotori
pakaian salah seorang pelanggan yang langsung berdiri sambil marah-marah.
Ching-ching pura-pura tidak tahu. Dengan asyik ia menonton pelayan yang masih
terkapar itu dimaki-maki sebagai si dungu, tolol, otak kerbau, dan sebagainya.
Pelayan itu minta maaf berkali-kali. Ketika hendak membersihkan makanan yang
tumpah, ia terpeleset dan justru menubruk orang yang marah-marah tadi.
Ching-ching mendengus-dengus menahan tawa. Siauw Kui yang selesai menghabiskan
semua hidangan, memandangnya dengan bingung. Ching-ching semakin geli. Saat itu
pelayan yang kini dimarahi majikannya, menoleh. Beberapa lama mereka bertatapan.
Betapa terkejut si pelayan mengenali mata bening yang jenaka.
“Mau apa lihat-lihat?!” Ching-ching menggebrak meja. Pelayan itu kaget
dibuatnya. Begitu pun Siauw Kui yang sedang minum. Air teh membasahi mukanya.
Pelayan itu buru-buru menunduk. Ia bahkan tak berani melirik ketika Ching-ching
melangkah keluar sementara Siauw Kui membayar.
Di luar, Ching-ching melepaskan tawanya. Ia terbahak sampai perutnya sakit.
Tawanya menular, Siauw Kui ikut tertawa padahal ia tak tahu apa yang
ditertawakan.
“Kau lihat betapa pucat mukanya waktu dimarahi?” tersengal-sengal Ching-ching
berkata. “Aduuh, sampai sesak napasku menahan tawa.”
“Oh, jadi itu sebabnya kau mengeluarkan suara-suara aneh tadi?”
Yang ditanya tak sanggup menjawab. Ia cuma mengangguk kemudian cekikikan lagi
sampai terbungkuk-bungkuk.
Tawa mereka berhenti ketika serombongan orang lewat membawa tandu. Rombongan itu
berseragam kecuali yang memimpin di depan. Orang-orang menepi ketika rombongan
itu lewat. Mereka berbisik-bisik,
“Itu pasti Un Khoa-jin yang di dalam tandu itu.”
“Yang di depan itu siapa?”
“Un Kong-coe, putranya.”
“Mau ke mana mereka?”
“Ke alun-alun. Ada pie-boe di sana.”
Orang-orang berjalan ke satu arah, mengikuti rombongan tersebut. Siauw Kui dan
Ching-ching terbawa arus. Di samping itu mereka juga ingin tahu ada apa.
Mereka sampai di alun-alun. Di sana sudah didirikan semacam panggung yang
ditopang tonggak yang kokoh. Saat itu Un Kong-coe sedang memberikan kata
sambutan.
“… diadakan untuk meramaikan suasana. Pemenangnya akan diberi hadiah sebanyak
seratus tael emas!” Un Kong-coe berhenti sejenak. Setelah yang datang berhenti
berbisik-bisik, ia melanjutkan, “Karena pie-boe ini hanya untuk meramaikan
suasana saja, maka penggunaan senjata dalam bentuk apa pun dilarang.
Pertandingan hanya dengan tangan kosong. Siapa yang meninggalkan pie-boe atau
jatuh dari panggung lebih dulu adalah yang kalah. Tetapi, apabila ada korban
nyawa yang jatuh, tak seorang pun akan menanggung. Baiklah, untuk lebih
singkatnya kita mulai saja sekarang.”
Seorang berbadan kekar naik ke panggung. Di atas, ia melempar goloknya. Sambil
Ching Ching 170
berdiri berkacak pinggang, ia menantang, “Ada yang berani melawan?”
Seorang lain tak kalah gagah menyusul naik. Ia menjura seraya memperkenalkan
diri. “Aku Teng Chow Hui, ingin bermain-main denganmu.”
“Baik, mari kita main-main sebentar.”
Kedua orang itu bersiaga kemudian saling melancarkan serangan. Sebentar saja
terlihat bahwa orang yang pertama hanya mengandalkan tenaga saja sementara yang
bermarga Teng itu memiliki sedikit dasar ilmu silat. Banyak orang yang memang
berniat merebut hadiah mengetahui hal ini. Tetapi para penonton awam yang tidak
mengerti ramai bersorak-sorak saling menjagokan. Ching-ching dan Siauw Kui
berada di tengah-tengah penonton ini. Sayangnya mereka tak dapat melihat apa-apa
karena terhalang tubuh penonton lain.
“Kita maju ke depan, yuk,” ajak Siauw Kui. Ditariknya Ching-ching menyusup di
antara orang-orang itu. Setelah berkali-kali mendesak kiri-kanan, menginjak kaki
orang, dan dimaki-maki, dapat juga mereka sampai ke deretan depan. Paling depan
malah. Dengan demikian kini mereka dapat melihat dengan jelas sekalipun mesti
mendongak karena panggung itu cukup tinggi juga.
Melihat sebentar saja Ching-ching sudah bosan. “Payah,” celanya. “Ilmu jelek
begitu, apanya yang patut dilihat.”
“Seru, kok!” bela Siauw Kui. Ia ikut ribut bersorak-sorak.
Beberapa kali pertempuran terjadi. Setelah menang, Teng Chow Hui mundur
digantikan dua jago lain yang bertempur. Yang menang memberi kesempatan pada
yang lain. Belakangan mereka akan saling diadu untuk menentukan yang terbaik.
Cara semacam ini makan cukup banyak waktu. Barangkali sampai tiga hari. Jadinya
suasana di kota itu meriah selama hari-hari tersebut.
Hari pertama Ching-ching betul-betul kecewa. “Tidak seru!” omelnya ketika di
penginapan. Ia sibuk mencela. Siauw Kui diam saja. Ia tidak mengerti ilmu silat.
Lebih baik mengiyakan saja daripada ikut kena damprat.
Keesokan harinya Ching-ching ikut juga ke alun-alun sekalipun di jalan ia
mengancam, “Kalau hari ini tidak seru lagi, aku pulang ke penginapan.”
Tetapi kali ini pie-boe tak membosankan. Banyak orang lihay unjuk kepandaian.
Gadis itu tertarik sekali. Terutama kepada dua jago dari utara dan selatan yang
mengalahkan lawan-lawan mereka dengan cepat.
Jago dari utara adalah seorang pemuda she Yo yang berpakaian siu-cai. Wajahnya
tampan membayangkan kehalusan budi. Ilmunya cukup tinggi. Gerakannya lambat
namun mantap dan enak dilihat. Seperti orang menari saja layaknya. Dalam setiap
jurus terkandung syair-syair masyhur yang dalam maknanya.
Ching-ching yang pernah mempelajari sastra tingkat tinggi jadi terkagum-kagum.
Memang mata yang kurang celi menganggap goresan tangan di udara itu hanyalah
perubahan-perubahan biasa saja. Lain dengan beberapa orang pejabat yang datang.
Seperti juga Ching-ching, mereka mengagumi pemuda tersebut.
Penghargaan mereka semakin bertambah pula setelah melihat pemuda itu menjatuhkan
lawan-lawannya tanpa menyakiti. Ia hanya membuat lawannya terjatuh dari panggung
dan mengakui kekalahannya.
Jago yang satu lagi ialah seorang berusia 30-an. Badannya kurus dan jangkung.
Tulang pipinya menonjol sedangkan kulitnya kuning. Ilmunya lumayan. Gerakannya
cepat dan lincah sekali.
Sayangnya, berbeda dengan si pemuda she Yo, jagoan ini mengalahkan lawannya
dengan licik dan kejam. Sehari ini sudah tiga kali ia robohkan orang. Yang
seorang patah kaki, seorang bocor hidungnya, yang terakhir rompal giginya.
Besok adalah hari terakhir. Tinggal empat orang pendekar yang tersisa—si pemuda
Ching Ching 171
she Yo, si jangkung, dan dua orang lagi yang tingkatan ilmunya tidaklah tinggi.
Jadi bisa dipastikan si pemuda dan si jangkung akan bertanding. Inilah yang
ditunggu orang banyak. Sepintas kelihatan keduanya setanding. Pasti bakal jadi
adu kepandaian yang seru.
Malamnya secara kebetulan Ching-ching bertemu dengan pemuda yang bernama Yo
Chong itu di rumah makan. rumah makan itu penuh sekali. Kabarnya paling enak di
kota itu.
Yo Chong yang datang belakangan nyaris tak jadi masih melihat tak ada meja yang
tersisa. Pada saat itu Ching-ching yang sudah pesan tempat menyapa, “Yo Toako,
kebetulan bertemu di sini. Ayo, sekalian saja kuundang minum.”
Yo Chong jadi tak enak hati melihat orang yang undang dia hanyalah bocah cilik.
Ia pun menampik.
“Ayolah, Yo Toako,” Ching-ching memaksa. “Sudah kepalang basah datang ke sini.”
“Tapi aku—“
“Ayolah! Atau kau takut gengsimu turun ditraktir anak kecil? Baik, kau yang
bayar.”
Yo Chong mengangguk. Kemudian ia diseret Ching-ching ke meja tempat Siauw Kui
sudah menunggu. Sambil menunggu pesanan datang, Ching-ching berbincang-bincang
dengan Yo Chong.
“Yo Toako, tadi kulihat permainan silatmu bagus sekali,” puji Ching-ching.
“Ah, biasa-biasa saja,” kata Yo Ching merendah. Anak kecil tahu apa, sambungnya
dalam hati.
“Aku juga melihat banyak syair masyur yang terdapat dalam jurusmu.”
“Oh ya?” mata Yo Chong melebar. Kali ini ia perhatikan lawan bicaranya
betul-betul. Dandanan Ching-ching seperti seorang sio-cia. Wajahnya bercahaya.
Barangkali anak seorang wan-gwe. Kelihatannya terpelajar juga. Yo Chong jadi
tertarik. “Syair apa saja yang kau kenali?”
“Ada beberapa,” jawab Ching-ching. “Jurus yang pertama terdapat syair ‘Bulan di
atas Danau Ho’. Lalu jurus kedua mengandung syair ‘Pohon Ciong di kaki bukit’.
Yang ketiga ….”
Ching-ching nyerocos terus. Ia senang melihat Yo Chong terbengong-bengong.
Pemuda itu keheranan betapa Ching-ching dapat menyebutkan syair-syair itu dengan
tepat. Pandangannya berubah. Ia tidak lagi meremehkan Ching-ching.
Laim lagi dengan Siauw Kui yang malah mengeluh. Pamer lagi, pamer lagi, pikirnya
bosan. Ia lebih bersemangat menanti makanan yang dipesan. Celakanya, pesanan
mereka tak kunjung datang, padahal sudah sedari tadi perutnya berkeriuk minta
diisi.
Akhirnya pesanan datang. Siauw Kui yang paling senang. Tanpa sungkan-sungkan
lagi ia segera mulai makan. Ching-ching dan Yo Chong, sambil makan masih juga
bicara dan tukar pikiran tentang bun dan bu.
Selesai makan, Yo Ching ngotot mengantar sampai ke penginapan. Ching-ching
menerima tawaran dengan senang hati. Ia belum puas bercakap-cakap dengan pemuda
perlente yang bail pendidikannya itu. “Yo Toako, kau memang baik dalam bun dan
bu. Aku belum bosan menggali pengetahuan darimu,” puji Ching-ching ketika mereka
kembali ke penginapan.”
“Ching-moay, kau pun baik dalam kedua soal itu.”
“Tetapi belum sebaik engkau. Oh ya, aku juga lihat ilmu silatmu sangat bagus.”
Yo Ching tersenyum bangga.
“Yo Toako, besok kau harus hadapi jagoan ceking yang bakalan jadi lawanmu. Dia
itu licik nampaknya. Kau hati-hatilah.”
Ching Ching 172
“Ching-moay, kau jangan kuatir. Aku masih bisa kalahkan dia,” kata Yo Chong
meremehkan.
“Ya, tapi dia itu dapat saja jatuhkan kau dengan cara tidak baik atau malah
membahayakan dirimu.”
Yo Chong tersenyum lagi. Anak kecil tahu apa, pikirnya, tapi mulutnya berucap,
“Ching-moay, terima kasih atas perhatianmu.”
Ching-ching tidak menjawab. Ia sempat melihat senyuman sinis Yo Chong barusan.
“Eh, Yo Toako, sebenarnya kenapakah kau ikutan pie-boe di sini? Apakah tidak
punya uang? Kelihatannya kau bukan orang yang butuh uang. Apa artinya seratus
tael emas bagimu?” tanya Siauw Kui yang sedari tadi baru sekarang ia buka suara.
“Uang itu bukan untukku,” kata Yo Chong, “tapi buat orang-orang yang kena
musibah di daerah utara. Panen mereka tahun ini gagal. Banyak yang kelaparan.
Cara yang paling gampang untuk tolongi mereka adalah memberi uang. Dan bagiku
cara cari uang yang paling cepat adalah ikut pie-boe.”
“Begitu!” Siauw Kui mengangguk-angguk. Saat itu mereka sampai di tempat
penginapan. “Yo Toako, terima kasih mau mengantar kami,” kata Siauw Kui. “Kami
sudah repotkan kau.”
“Ah, sudah kewajibanku. Kalian istirahatlah. Aku pun akan segera pergi.”
“Selamat malam,” kata Ching-ching dan Siauw Kui bebareng. Yo Chong melangkah
pergi. Kedua remaja tanggung di belakangnya memandangi sampai pemuda itu
membelok di sudut jalan.
“Ching-ching,” kata Siauw Kui, “tapi kulihat dia seolah meremehkan
peringatanmu.”
“Tak usah kau omong pun, aku sudah tahu!” kata Ching-ching. “Sayang pemuda
setampan dan sepandai dia itu suka meremehkan orang lain. Satu kali ia akan
termakan kesombongannya itu.”
“Eh, kau bilang tampan? Tampan mana sama aku?” tanya Siauw Kui menggoda.
Ching-ching pura-pura memperhatikan. Siauw Kui pasang lagak. “Kau?” Ching-ching
nyengir. “Kau dibandingkan si ceking dari selatan pun masih lebih bagus ….”
Ching-ching sengaja tidak selesaikan ucapannya. Siauw Kui cemberut. Ia tahu apa
yang bakal dikatakan Ching-ching. Makanya ia berjalan pergi meninggalkan dengan
muka ditekuk.
“Hei, hei. Kenapa marah? Ucapanku belum selesai.”
“Aku tahu!” kata Siauw Kui ketus. “Kau mau bilang aku lebih jelek dari si
ceking, ka?”
“Siapa bilang? Aku tidak omong begitu. Kau sendiri yang anggap dirimu lebih
jelek dari si ceking.”
“Maksudmu, aku lebih mendingan?”
“Tidak juga. Aku mau bilang dibandingkan si ceking denganmu lebih bagus Yo
Chong.” Siauw Kui meringis. Ching-ching tertawa. “Tapi kau tak perlu sirik,”
kata Ching-ching kemudian. “Ditawari sepuluh Yo Ching, aku akan pilih si tolol
Siauw Kui seorang.”
Siauw Kui meringis lagi. Tetapi kali ini karena senang sekaligus terharu atas
ucapan sahabatnya.
Keesokan harinya, alun-alun sudah penud sedari pagi. Jalan-jalan sepi. Kota
seolah mati. Seluruh penduduk berkumpul untuk menyaksikan pie-boe. Bandar judi
ikut sibuk membuka usaha di sana. Penduduk banyak mencoba peruntungan.
Siauw Kui tertarik sejak tadi. Matanya bolak-balik melirik ingin ikut, tapi
Ching-ching sudah buru-buru menariknya menyusup di antara orang-orang supaya
dapat tempat paling depan.
Ching Ching 173
Pertandingan sudah mulai. Pertama-tama adalah jago selatan yang ceking melawan
seorang pendekar berumur 30-an. Seperti yang sudah diramalkan, si ceking
memnangkan pertandingan dengan cepat dan ganas. Hasilnya pendekar malang yang
melawannya dipecundangi hingga matanya bonyok, hidungnya bocor, kaki dan
tangannya patah. Orang itu semaput di atas panggung luitay dan terpaksa digotong
orang.
Berikutnya Yo Chong melawan pendekar tua umur 40-an. Sekali lihat saja orang
parobaya itu sudah tahu kepandaian Yo Chong ada jauh di atasnya. Walaupun
demikian, orang itu tak mau lekas-lekas menyerah. Ia tetap menghadapi lawannya
dengan gigih. Yo Chong yang tahu adat pun tidak buru-buru. Ia tak mau bikin malu
orang tua itu sekali gebrak. Jadinya mereka bertanding tidak dengan
sungguh-sungguh, hanya saling memamerkan kepandaian saja.
Penonton berorak-sorak riuh. Mereka tak tahu permainan di antara dua orang itu.
Mereka kelihatan begitu bersungguh dalam serangan maupun pertahanan. Akibatnya
pertempuran berjalan lebih lama.
Ching-ching mulai kuatir. Sudah pasti pertempuran ini dapat dimenangkan oleh Yo
Chong. Cepat atau lambat pemuda itu akan menang. Namun semakin lama pertempuran
berarti semakin kurangnya tenaga. Sungguh gawat bagi Yo Chong pada saat ia harus
betul-betul melawab si ceking kelak.
Yo Chong menyadari hal ini. Sebelum tengah hari ia harus cepat memenangkan
pertandingan. Kalau tidak, waktu istirahat akan sangat sempit. Belum tentu ia
akan dapat kumpulkan tenaga dan konsentrasi yang terbuyar.
Memikir demikian, Yo Ching mempergencar serangannya. Walaupun tidak mengarah ke
tempat-tempat berbahaya, lawannya cukup terdesak dan sambil menangkis terpaksa
melangkah mundur sampai mepet ke tepi panggung.
Pada suatu kesempatan bagus, Yo Chong memukul ke arah dada. Lawannya menangkis.
Perhatiannya terarah untuk melindungi tubuh bagian atas.
Sayangnya pukulan ini hanyalah pancingan. Pada saat bersamaan, Yo Chong menyapu
ke bawah. Yo Chong sengaja pelankan gerakan supaya lawannya sempat menghindar.
Si pendekar parobaya itu memang menghindar dengan berpoksai di udara ke arah
belakang dan ia mendarat dengan mantap di sebelah bawah panggung.
Penonton bersorak. Ching-ching bertepuk paling keras. Ia sungguh salut pada Yo
Chong. Sesuai dengan aturan permainan, dengan turun dari panggung saja, orang
sudah kalah. Tapi kali ini tanpa serasa malu, soalnya sekali pun pukulan Yo
Ching tidak ada yang mendarat telak.
Setelah berbasa-basi, kedua pendekar itu menyingkir. Yo Chong sempat
beristirahat sejenak. Ia menggunakannya untuk siulian sejenak, mengumpulkan
tenaga dan konsentrasi. Ching-ching dan Siauw Kui menjagai di sampingnya.
Lewat tengah hari, pertandingan antara Yo Chong dan si ceking akan segera
dimulai. Ching-ching sempat wanti-wanti sekali lagi. “Yo Toako, hati-hatilah
terhadap senjata rahasia.”
“Apa maksudmu?” Yo Chong malah bertanya.
“Si ceking bukan orang yang mau mengalah begitu saja. Ia akan gunakan segala
cara untuk menjatuhkanmu. Kalau perlu, membunuhmu dengan cara tidak jujur. Oleh
sebab itu, kau waspadalah.”
“Siauw-moay, kau janganlah cemas. Kau sendiri katakan ilmuku ada setingkat lebih
tinggi dari si ceking itu, kan?” Yo Chong menyahuti.
“Tapi—“ Ching-ching tak sempat bicara. Tanda sudah dibunyikan Yo Chong harus
segera naik panggung.
Pemuda itu berjalan dengan mantap dan gagah. Begitu pun si ceking lawannya,
Ching Ching 174
berjalan dengan kegagahan yang dibuat-buat. Malah lucu jadinya. Kelihatannya
seperti jerangkong yang berjalan, ketamplingan.
Kedua jago itu saling memberi hormat. Mereka juga memperkenalkan diri
masing-masing. Ternyata si ceking dari selatan itu bergelar Lam-tay-kim-tiau.
Bersama dengan adiknya Lam-tay-hek-tiau, mereka dikenal sebagai
Lam-tay-siang-tiau.
Ketika keduanya memulai pie-boe, penonton tenang sama sekali. Setelah beberapa
saat, barulah mereka hiruk-pikuk saling menjagokan jago masing-masing. Tidak
sedikit pula yang langsung pasang taruhan untuk kedua jagoan itu. Siauw Kui yang
sedari tadi sudah tertarik jadi tergoda. Ia melirik ke arah Ching-ching yang
asyik memperhatikan jalannya pie-boe.
Kalau aku minta ijin, Ching-ching mana membolehkan. Ah, kubohongi sajalah,
pikirnya. “Ching-ching!” panggilnya agak keras.
“Hmmm,” sahut Ching-ching tanpa menoleh.
“Aku ke sana dulu.”
“Mau apa?”
“Mau buang air.”
“Ya, baiklah. Jangan lama-lama!”
“Tidak.”
Siauw Kui menyusup ke bagian sebelah belakang tempat orang yang sedang bertaruh
bergerombol. Ching-ching tidak kelihatan di antara orang banyak. Siauw Kui
merasa aman. Ia mendekati kerumunan orang yang sedang sibuk pasang taruhan.
“Ini, aku tiga tael untuk Kim-tiau.”
“Aku juga tiga tael untuk si pemuda.”
“Aku ikut untuk Kim-tiau.”
“Aku juga. Ini uangnya.”
“Tunggu, tunggu, aku juga ikut!” teriak Siauw Kui.
Orang-orang itu menoleh kepadanya. “Eh, anak kecil mana boleh ikutan?”
“Boleh saja. Kalau aku punya uang, kau mau apa?” tantang Siauw Kui.
“Biarkan dia ikut,” kata bandar. “Coba, bocah, mana uangmu?”
“Nih, sepuluh tael. Aku pasang Yo Chong, siucai itu.”
“Eh, kecil-kecil sudah royal,” seorang terkekeh-kekeh. “Nih, aku juga tiga tael
untuk si ceking.”
Selesai memasangkan uangnya, Siauw Kui kembali ke samping Ching-ching. Ia
tinggal menunggu hasil. Ia hampir yakin Yo Chong bakal menang. Makanya, hampir
semua uang dipertaruhkan. Sisanya tinggal beberapa tael saja di dalam kantung
uang.
“Dari mana saja? Lama betul,” omel Ching-ching.
“Maklum, penuh orang sih. Aku kan harus cari tempat yang aman.”
“Sst, lihat tuh, si ceking mulai terdesak.”
Benar, di panggung, Yo Chong memang mulai berada di atas angin. Serangannya yang
lambat tidak membuatnya keteter. Justru bikin lawan bingung—kelihatannya
pertahanan pemuda itu terbuka, tetapi bila diserang selalu lolos.
Wajah Kim-tiau yang kuning pucat jadi kemerahan karena marah dan malu. Tadi ia
sudah sesumbar mengalahkan pamusa itu dalam beberapa jurus saja. Sekarang, sudah
hampir 200 jurus, bukan saja ia belum memanangkan pertandingan, malah berada di
bawah angin pula.
Kim-tiau juga mendengar beberapa orang berteriak melecehkan. Hal ini mengobarkan
amarahnya. Namun juga bikin perhatiannya terbagi dan gerakannya jadi kacau. Satu
pukulan telak dari Yo Chong bikin dadanya sakit sekali. Ia undur beberapa
Ching Ching 175
langkah. Matanya menyipit. Memang ia tak sampai muntah darah, tapi kepalanya
sempat pusing beberapa saat.
Penonton bersorak menjagoi Yo Chong. Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan,
Kim-tiau kesal bukan main. Dalam pandangannya ia sudah dipermalukan di depan
banyak orang. Ia harus balas. Ia harus kalahkan Yo Chong segera, Dengan cara apa
pun. Tetapi ia harus hati-hati, jangan sampai orang tahu akan kecurangannya.
Otak Kim-tiau berputar. Melihat keadaan sekarang, tampaknya tak banyak orang
berkepandaian tinggi yang menonton. Apabila ia berbuat curang, paling-paling
cuma adik seperguruannya yang melihat. Adiknya itu apsti membela tan tak tega
melapor atau mempermalukannya. Memang adiknya itu terlalu jujur, tapi tidaklah
goblok untuk permalukan nama perguruan di depan banyak orang.
Kim-tiau mengambil keputusan. Setelah memperbaiki kuda-kuda, ia mulai menyerang
dengan cepat. Hampir tanpa pertahanan sama sekali.
Yo Chong yang hati-hati mengira ada jebakan dan tidak gunakan kesempatan untuk
balas menyerang. Ia hanya bertahan dan bertahan.
Kim-tiau senang. Rencananya akan berjalan lancar. Sambil melompat berputar, ia
lancarkan serangan ke dada atas Yo Ching. Bersamaan dengan itu, ia luncurkan
jarum emas dari mulutnya ke arah leher. Yo Chong yang melindungi dada sempat
melihat senjata rahasia yang dilontarkan musuh.
“Hei!” serunya kaget.
“Curang!” teriak seorang tapi suaranya tenggelam oleh sorak penonton.
Yo Chong merasakan lehernya ditembus barang yang tipis halus. Tangannya bergerak
memegangi leher. Kim-tiau tidak sia-siakan waktu. Ia segera lancarkan pukulan
berantai ke arah dada kemudian dengan kedua telapak tangan memukul kepala Yo
Chong kiri-kanan. Kemudian sekali lagi lancarkan tendangan berputar ke kepala
lawan.
Yo Chong jatuh tak bergerak dengan kepala retak.
Sejenak penonton hening. Namun saat berikutnya sorak mereka membahana memekakkan
telinga. Kim-tiau kebutkan debu dari bajunya lantas menjura kepada penonton yang
masih juga sorak-sorai.
“Curang!” teriakan seseorang disertai khikang mengatasi suara lainnya. Lagi-lagi
penonton sepi. Kim-tiau mencari-cari asal suara itu. Matanya terpaku ke sosok
tubuh mungil yang melotot menantang.
“Eh, bocah kecil, atas dasar apa kau tuduh aku?” tanya Kim-tiau. Hatinya yang
sempat gentar kembali tenang melihat hanya bocah kecil yang berani
teriak-teriak.
“Kau gunakan senjata rahasia untuk kalahkan Yo Toa-ko. Dasar manusia licik!”
Ching-ching berteriak.
“Eh, eh, punya hubungan apa kau dengan pemuda ini sampai begitu sewot. Lagipula
semua orang melihat, dia mati gara-gara kepalanya bocor oleh tendanganku,”
sanggak Kim-tiau.
“Aku tidak ada hubungan. Hanya sebatas kawan. Tapi aku menuduh dengan bukti.
Suruh saja orang periksa. Pasti di lehernya ada titik bekas ditembus jarum emas.
Jarumnya pun masih di situ.”
Orang-orang berkasak-kusuk bikin suasana agak gaduh. Saat itu Siauw Kui
menerobos ke belakang.
Wajah Kim-tiau pucat pasi. Tapi otaknya masih berputar. Ia tersenyum sinis dan
berkata, “Eh, bocah, kau salah duga. Kalau tak percaya, periksalah sendiri
olehmu.”
“Huh, manusia tak berbudi, kau pikir aku tak tahu akal-akalanmu yang busuk.
Ching Ching 176
Begitu aku periksa dan tunjukkan bukti, kau akan tuduh aku mengada-ada dan
memfitnahmu.”
“Baik, kalau kau tak mau, aku akan tunjukkan sendiri padamu.”
“Manusia busuk, kau jangan bergerak. Biar saja pihak luar yang periksa,” tukas
Ching-ching.
“Biarkah aku mencoba bertindak adil antara kalian,” seorang pemuda maju. Dialah
Un Kong-coe.
Pemuda itu membungkuk di depan mayat Yo Chong. Ia memeriksa agak lama. Kemudian
ia perlahan berdiri. Orang-orang yang berbisik-bisik diam dan menungguk
keputusan.
Un Kong-coe menarik napas dulu sebelum berkata, “Aku melihat jarum emas
menyembul dari luka Yo Chong, namun aku tak dapat mencabutnya.”
“Biat aku yang lakukan,” seorang tinggi-besar dengan kulit cokelat terbakar
matahari melompat ke panggung.
“Soe-tee!” Kim-tiau berbisik, nyaris tak terdengar, tapi Ching-ching sempat
melihat gerak bibirnya. Dengan pandang curiga ia memperhatikan orang yang baru
muncul tersebut.
Orang itu membungkuk dan menepuk leher Yo Ching. Kim-tiau sudah senyum-senyum.
Adiknya pasti membela dan membuat kepala jarum yang menyembul makin melesak.
Berarti tak ada bukti menuduhnya.
Tahu-tahu si tinggi-besar berbalik. Tangannya mengacung memperlihatkan sebatang
jarum yang berlumur darah. Orang berseru-seru kaget. Tetapi yang paling terkejut
adalah Ching-ching dan Kim-tiau sendiri.
“Soe-tee, kau … kau ….,” Kim-tiau terbata.
“Soe-heng, kita adalah golongan putih. Kenapa kau sampai hati turunkan tangan
jahat pada orang yang tak bersalah. Apalagi pemuda ini kelihatan orang baik-baik
pula. Aku sungguh kecewa padamu.” Si tinggi-besar yang bergelar Lam-hay-hek-tiau
turun dari panggung meninggalkan si ceking yang terpana.
“Aku minta ganti rugi,” terdengar suara dari belakang. Siauw Kui berlari maju
dengan muka merah. Ia naik ke atas panggung dengan memanjat tiang penyangga. Itu
pun dengan susah payah. Kelakuannya bikin beberapa orang tersenyum geli. Siauw
Kui berdiri di hadapan Kim-tiau dengan napas ngos-ngosan.
“Mau apa!” bentak Kim-tiau garang.
“Pokoknya ganti. Semestinya aku menang taruhan. Gara-gara kau yang berlaku
curang, uangku hilang. Bandarnya minggat lagi.” Kini orang-orang tertawa.
“Siauw Kui, turun!” perintah Ching-ching.
“Ha, rupanya kau ada hubungan dengan bocah kurang ajar ini. Kau pun perlu diajar
adat.” Kim-tiau menendang. Refleks Siauw Kui menghindar ke samping. Gayanya
lincah dan cepat. Beberapa orang menyangka bocah itu setidaknya punya dasar ilmu
silat. Apalagi pakaiannya seperti seorang anak hartawan. Kim-tiau bergerak lagi.
Tangannya menampar. Kali ini Siauw Kui menunduk sambil lindungi kepala.
Orang-orang bersorak. Wajah Kim-tiau memerah, merasa dipermainkan. Darahnya
bergolak.
Ching-ching memandang kuatir. Ia takut kalau-kalau Kim-tiau mata gelap. Tapi ia
heran juga betapa Siauw Kui bisa menghindar. Kecurigaannya timbul. Jangan-jangan
Siauw Kui bisa silat juga. Karenanya, ia diamkan saja sementara.
“Bocah kecil, kau minta dihajar?!” bentak Kim-tiau.
“Bocah besar, kau gantikan dulu kerugianku!” Siauw Kui balas berteriak.
“Ini, rasakan!” Kim-tiau memukul.
“Aww!” Siauw Kui berteriak seraya berlari menghindar.
Ching Ching 177
“Setan cilik!” maki Kim-tiau.
“Eh, dari mana kau tahu namaku?” Siauw Kui malah bertanya lugu.
Mengira Siauw Kui sengaja putar balikkan kata Kim-tiau, penonton malah bersorak
dan tertawa-tawa. Ketegangan akibat matinya Yo Chong mencair akibat tingkah
Siauw Kui yang ketolol-tololan.
Sebaliknya, Kim-tiau saking marah, memukul serabutan. Penonton tambah terbahak
melihatnya. Siauw Kui yang kelabakan menghindar. Ia kena ditempeleng dan
ditendang beberapa kali.
“Anjing kecil, kau rasakanlah!” Kim-tiau menempeleng lagi. Tapi Siauw Kui keburu
jatuhkan diri hingga tangannya cuma kena angin.
“Kau bilang anjing kecil, ya anjing kecil.” Siauw Kui menrangkak-rangkak sambil
meniru-niru salak seekor anak anjing.
“Gila!” Kim-tiau berteriak saking bingung. Saat itu Siauw Kui mengincar betisnya
dan berhasil mencabik kain celana Kim-tiau dengan giginya. Tanpa sadar Kim-tiau
menghindar. Siauw Kui mengejar. Jadilah mereka uber-uberan di atas panggung.
Yang menonton terbahak sampai terguling. Seluruh tempat itu bergetar karena
mereka. Ching-ching pun iktu cekikikan.
“Kunyuk bau, mampuslah kau!” teriak Kim-tiau teraya menendang.
Siauw Kui meringis. Ia berdiri. “Kau bilang kunyuk, ya kunyuk.” Sekarang anak
itu berjingkrakan mengitari Kim-tiau.
Saking marahnya, Kim-tiau melupakan ilmu silatnya. Ia mengejar hendak menangkap
Siauw Kui tetapi gerakannya tanpa didasari ilmu silat sedikit pun. Kim-tiau
menubruk-nubruk berkali-kali, tetapi Siauw Kui berhasil menghindar walaupun
beberapa kali bajunya tercabik.
Sekali Kim-tiau menubruk. Lagi-lagi Siauw Kui menghindar. Kim-tiau menubruk
angin. Keseimbangannya hilang. Ia jatuh pada kedua tangan dan lutunya. Tanpa
sia-siakan kesempatan, Siauw Kui naik ke punggung Kim-tiau. Berpegangan pada
baju orang yang ditungganginya, Siauw Kui melonjak-lonjak.
Tentu saja Kim-tiau gondok bukan main. Ia berusaha menjatuhkan Siauw Kui dengan
mengebas-ngebaskan badan sambil merangkak-rangkak, tapi Siauw Kui tenang-tenang
saja. Walau badannya oleng ke kiri ke kanan, tetapi pegangannya cukup kuat.
Kim-tiau berdiri. Siauw Kui buru-buru memeluk leher orang sehingga tidak
terjatuh. Dengan satu tangan memeluk leher Kim-tiau, tangannya sebelah lagi
mengacak-acak rambut orang itu. Kini penampilan keduanya berantakan tak ketahuan
rupanya. Hal ini semakin menambah gelak penonton.
Kim-tiau berusaha menjatuhkan Siauw Kui. Tetapi semakin didorong, pegangan Siauw
Kui makin kuat. Jadinya Kim-tiau tercekik sendiri.
Bosan berada di punggung Kim-tiau, Siauw Kui merosot turun seperti turun dari
pohon. Ia langsung berlari dikejar. Sayangnya Siauw Kui sudah kecapean. Dengan
mudah ia ditangkap dan dihajar Kim-tiau habis-habisan.
Orang berteriak-teriak supaya Siauw Kui dilepaskan. Siauw Kui sendiri, walaupun
sudah setengah mati, masih berontak, mencakar, dan menggigit. Kim-tiau seolah
tidak merasakan.
“Hentikan!” Tanpa seorang pun menyadari, tahu-tahu Ching-ching sudah perada di
panggung.
“Oh, kau juga minta dihajar?! Baik, kau tenanglah di situ!” dengan gemas
Kim-tiau membanting Siauw Kui ke lantai.
“Manusia jahat! Percuma kau belajar silat dan mengaku-aku sebagai golongan
putih. Anak kecil pun tak kau ampuni? Barangkali gurumu tak mengajar adat
padamu.”
Ching Ching 178
Lam-hay-hek-tiau melompat naik. Panggung terasa bergetar ketika ia mendarat.
“Bocah, kalau kau marah karena soe-hengku berbuat curang, aku tak ikut campur.
Tapi kalau kau bawa-bawa nama guruku dalam urusan ini, aku tak bakalan tinggal
berpangku tangan,” katanya.
Ching-ching tak menjawab. Ia membantu Siauw Kui berdiri dan menyuruhnya turun.
Siauw Kui menurut dengan mulut berdesis-desis menahan sakit. Di bawah panggung,
orang-orang menyambutnya sebagai pahlawan menang perang. Ada yang mengipasi,
memberinya minum, memijiti, memeriksa lukanya, dan bermacam lagi. Siauw Kui diam
saja. Ia tak menolak dimanjakan seperti itu.
Ching-ching kembali menghadapi Hek-tiau dan soe-hengnya. Matanya yang membelalak
bersinar marah. Bibir mungilnya menipis. Bentaknya, “Oh, rupanya kau mau bela
soe-hengmu, ya. Huh, tak kusangka Lam-tay-siang-tiau tak lebih dari sepasang
siauw-jin tak tahu adat!”
“Bocah, kuharap kau tarik kembali kata-katamu.”
“Kalau tak mau, bagaimana?” Ching-ching menantang.
“Aku terpaksa ajar adat padamu.”
“Huh, justru kalian yang perlu diajar adat.”
“Baik, jangan salahkan aku kalau nanti menghajarmu,” kata Hek-tiau.
“Jangan salahkan aku juga kalau kau babak belur!” balas Ching-ching.
Seluruh penonton berbisik-bisik. Nama Lam-tay-siang-tiau memang belum begitu
dikenal, tetapi setidak-tidaknya mereka sudah dapat gelar dan tak dapat
dipandang enteng, sedangkan dua anak ingusan ini sungguh nekad, berani melawan
mereka.
“Eh, bocah kecil, nyalimu sungguh besar. Aku salut padamu,” puji Hek-tiau.
“Bocah besar, aku pun sempat salut padamu karena tak segan berlaku jujur,” balas
Ching-ching.
“Bocah kecil, aku tak suka turunkan tangan jahat. Begini saja. Sesuai aturan,
siapa turun duluan, dia yang kalah.”
“Baik!” sambut Ching-ching.
“Bukan itu saja. Kalau kau kalah, kau harus tarik kembali penghinaan pada guruku
dan harus kui dan memanggilku thia-thia. He-he-he, aku tak keberatan punya anak
pemberani macam kau, bocah.”
Ching-ching dan mereka yang menonton terperangah. Hek-tiau ini sungguh orang
yang berbelas kasihan. Sudah dimaki orang, malah balas memuji. Nyatalah tuduhan
pukul rata disamakan dengan soe-hengnya salah sama sekali.
Penghargaan Ching-ching terhadap Hek-tiau bertambah saja. Hatinya yang membara
dingin seketika. Ia tahu, mudah saja untuk mengalahkan Hek-tiau, tapi ia tak
berminat lagi. Namun untuk segera mundur dan mengaku kalah, tentunya merupakan
pantangan bagi gadis angkuh itu. Karenanya, ia mengangguk setuju.
“Tunggu dulu!” tahu-tahu Siauw Kui berteriak. “Bagaimana kalau kau yang kalah?”
serunya pada Hek-tiau.
“Terserah!” jawab Hek-tiau singkat.
“Kalau begitu, jika kau kalah, kau harus panggil popo padanya!” usul Siauw Kui.
“Enak saja!” Ching-ching menukas. “Kau pikir aku suka jadi nenek-nenek?”
“Ya sudah, panggil ie-ie sajalah,” kata Siauw Kui lagi.
Ching-ching hendak membantah, tetapi Hek-tiau keburu menyetujui. “Ha-ha,
baiklah, itu cukup adil.”
“Tapi—“ Ching-ching keberatan.
“Yang kukatakan pantang kutarik lagi,” potong Hek-tiau.
“Baik! Siauw Kui, tunggulah, nanti kau akan dapat bagian juga!” omel
Ching Ching 179
Ching-ching.
“Bocah cilik, kau lebih muda. Mulailah duluan.”
Hek-tiau memasang kuda-kuda yang kokoh. Ia menunggu serangan. Ching-ching tidak
buru-buru. Ia malah berdiri santai berpeluk tangan, memandangi lawannya.
Hek-tiau masih menunggu. Untuk menyerang duluan ia merasa sungkan. Untuk
bergerak pun akan turunkan gengsi. Badannya tegang dan pegal dikarenakan
kuda-kuda yang seolah memakunya ke lantai.
Lama mereka berdiri saling tatap. Penonton di situ mulai tak sabar. Ada yang
ribut membakar supaya Ching-ching segera mulai, ada yang mengejek mengira gadis
itu jeri menghadapoi Hek-tiau, ada lagi yang pasang taruhan.
“Ha, ayo taruhan. Lima tael, Hek-tiau pasti bikin anak itu babak belur!” kata
seorang yang berdiri dekat Siauw Kui.
“Aku pegang bocah nekad itu dua tael.”
“Mana bisa bocah itu menang. Nih, aku pasang tiga tael untuk Hek-tiau.”
“Aku juga tiga tael,” seorang kate menyeruak.
“He, aku enam tael pada si hitam itu,” kata seorang bermuka bopeng.
Siauw Kui mendengar pertaruhan itu. Mendapati lebih banyak yang menjagoi
Hek-tiau daripada Ching-ching, ia jadi gusar sendiri.
“Huh, kalian bakal hilang banyak. Nih, aku punya lima tael, kupasangkan semua
untuk istriku,” katanya.
“Istrimu? He, bocah, kecil-kecil kau sudah punya istri?” kata seorang petaruh.
“Iya, dia itu istriku,” kata Siauw Kui sambil menunjuk Ching-ching di panggung.
Orang-orang di sekitarnya tertawa. “Pantas dia begitu galak waktu membelamu.”
“Jelas! Istriku itu bukan orang sembarangan.”
“Baiklah, kau taruhkan untuk istrimu itu. Siap-siap saja kelaparan beberapa
hari.”
“Kujamin, istriku menang,” Siauw Kui menyombong.
Saat itu Ching-ching belum juga bergerak. Para petaruh lain melecehkan Siauw
Kui. “Tuh, lihat istrimu. Barangkali jeri melawan Hek-tiauw itu.”
“Eh, itu istriku sedang tunjukkan kesabaran, tahu,” bela Siauw Kui. Padahal
dalam hatinya ia sendiri keheranan dan mulai ragu.
Beberapa orang mulai menguap karena bosan menunggu. Siauw Kui mulai kuatir.
Jangan-jangan Ching-ching ….
Gubrak!
Suara keras terdengar dari atas panggung. Semua terkejut. Hek-tiau telah rubuh
di atas panggung dalam keadaan kuda-kuda. Badannya kaku, matanya melotot,
tangannya mengepal teracung, tetapi ia diam tak bergerak. Kim-tiau soe-hengnya
terkejut dan segera melompat untuk memeriksa.
Ching-ching menggeliat. Badannya berkeretekan. “Aduh, badanku pegal,” keluhnya.
Di bawah, Siauw Kui melompat-lompat girang. Ia mengumpulkan uang hasil
taruhannya, penuh sekantung.
“Sayang, aku cuma bertaruh dua tael,” gerutu satu-satunya orang yang bertaruh
untuk Ching-ching selain Siauw Kui.
“Nih, kubagi,” kata Siauw Kui. “Kalian lihat sendiri, tanpa bergerak saja
istriku dapat robohkan orang itu, apalagi kalau kepandaiannya dikeluarkan semua,
bisa gempa bumi.”
Sambil nyengir senang, Siauw Kui lantas hampiri Ching-ching yang duduk selonjor
di panggung dan memegang bahu gadis itu.
“Mau apa kau!” Ching-ching kaget dan menghindar.
“Kau mestinya pegal. Biar kupijit.”
Ching Ching 180
Orang-orang tersenyum melihat kelakuan dua bocah itu. Mereka tak percaya omongan
Siauw Kui dan anggap keduanya kakak-adik. Paling tidak saudara seperguruan.
Kim-tiau yang tak berhasil menyadarkan adkinya menjadi panik dan kalap. “Bocah
iblis, anak setan, ilmu siluman apa yang kau gunakan untuk rubuhkan Soe-teeku!”
“Tanya sendiri sama Soe-teemu,” Siauw Kui menyahut.
“Siluman iblis!” maki Kim-tiau. Lantas saja ia menyerang untuk membikin hancur
kepala Ching-ching.
Seruan-seruan terkejut terdengar. Beberapa orang menjerit ngeri. Tamatlah
riwayat kedua anak itu, pikir mereka.
Tapi mereka bengong melihat Ching-ching hanya mengebaskan tangan menangkis
bagaikan orang mengusir lalat saja. Lebih terpana lagi mereka melihat Kim-tiau
berjingkrak-jingkrak kesakitan. Orang ceking itu memegangi lengannya yang
barusan seolah beradu dengan besi sehingga kesemutan dan nyaris patah
tulang-tulangnya.
Namun Kim-tiau belum juga kapok dan menyerang lagi. Kali ini Siauw Kui yang jadi
sasaran. Anak laki-laki itu menjerit lalu berjongkek, melindungi kepalanya
dengan kedua tangan. Ching-ching tidak membiarkan perbuatan Kim-tiau. Ia juga
berjongkok. Tangannya cepat mendorong ke depan dan telak mengenai lutut si
jangkung-ceking itu.
Kim-tiau jatuh berlutut. Kakinya mati rasa. Ia tak dapat berdiri.
Ching-ching menepuk-nepuk pundaknya. “Nah, memang begitu seharusnya meminta
maaf, sambil berlutut. Sekarang kau lebih tahu adat, bukan? Berterimakasihlah
atas pengajaranku,” ejek gadis itu.
“He, Siauw Kui, jangan bengong saja. Antar dia turun panggung.”
“Buat apa susah-susah. Dorong saja begini,” Siauw Kui melaksanakan ucapannya.
Tubuh Kim-tiau tumbang ke bawah. Orang-orang bersorak. Mereka senang Kim-tiau
bisa dipecundangi dua bocah yang belum punya nama.
Ching-ching mendekati Hek-tiau. Bersama Siauw Kui diberdirikannya orang itu.
“Nah, kau boleh bergerak sekarang!” kata gadis itu seraya menepuk pundak
Hek-tiau.
Hek-tiau pun dapat bergerak. Terasa darahnya mengalir lagi dengan lancar. Ia
bergerak hendak berlutut tapi Ching-ching mencegah.
Hek-tiau menjura dan berkata, “Ie-ie, aku takluk padamu.”
“He, kau juga harus hormati Ie-thiomu,” kata Siauw Kui.
Ching-ching menjitak kepala anak itu. “Kau banyak omong, sekarang diamlah.” Lalu
katanya pada Hek-tiau, “Menurut aturan, siapa duluan meninggalkan pie-boe dialah
yang kalah. Nah, di antara kita, tak seorang pun turun dari panggung. Seri! Tak
ada yang kalah dan tak ada yang menang. Kau tak perlu panggil Ie-ie padaku.”
Hek-tiau mengangguk-angguk. “Lalu soe-hengku?”
“Jangan kuatir. Ia akan baik dalam waktu 2 jam. Ini kali dia beruntung tak
sampai mati. Lain kali kalu ia curang lagi, tak tahu apa akan terjadi. Sebab
itu, kau jagalah dia baik-baik.”
“He!” bentak Siauw Kui. “Istriku sudah berlaku baik, kalian belum juga pergi?
Sana, angkat kakakmu pergi dari sini sebelum aku putuskan untuk turun tangan
membunuhnya.”
Hek-tiau buru-buru bopong soe-hengnya. Ia memberi hormat sebelum pergi dari
tempat itu.
Un Kong-coe mendekati Ching-ching. Ia menyuruh orang-orangnya bawakan obat untuk
Siauw Kui. “Kouw-nio, kau berlaku sangat adil, aku salut padamu,” puji pemuda
itu. “Sekarang Lam-tay-kim-tiau sudah kau kalahkan. Dengan demikian, hadiah
Ching Ching 181
harus kuserahkan padamu.”
“Un Kong-coe, bukan aku tak menerima kebaikanmu,” tolak Ching-ching, “Tapi
rasanya kurang enak kalau aku kalahkan seorang lantas dapatkan hadiah. Begini
saja. Yo Toako bermaksud menyerahkan uang itu ke penduduk daerah utara kalau dia
menang. Semestinya dia berhak terima uang itu kalau saja Kim-tiau tidak berlaku
curang. Sebab itu, Un Kong-coe, kalau kau sudi kurepotkan, aku mohon antarlah
uang itu untuk penduduk daerah utara. Dengan demikian, jiwa Yo Toako tidak
terbuang sia-sia.”
Un Kong-coe tersenyum seraya anggukkan kepala. “Kouwnio, budimu sungguh luhur.
Begitu pun kawanmu ini,” katanya sambil menoleh pada Siauw Kui. “Kalau boleh
kutahu, siapakah nama jie-wie?”
“Sebut saja kami Siang-kui-hai-ji. Sejak tadi si Kim-tiau sudah sebut kami
demikian,” Siauw Kui berseru.
“Begitu pun bagus,” kata Ching-ching. “He, Siauw Kui, kita sudah banyak
main-main hari ini. Ayo pergi.”
“Ayo,” ajak Siauw Kui, Ia menyambar sebotol obat gosok. “Un Kong-coe, boleh
kubawa sebotol ini untuk oleh-oleh?”
“Tentu, tentu,” sahut Un Kong-coe dengan bingung. Ditawari uang ratusan tael
tidak mau, kok obat gosok disambar juga.
“Terima kasih.” Sambil nyengir Siauw Kui menyusul Ching-ching yang sudah agak
jauh berjalan. Sejak saat itu Siang-kui-hai-ji menjadi buah bibir di kota
tersebut.
Malamnya, di penginapan, Ching-ching mengobati luka-luka Siauw Kui dengan obat
gosok dari Un Kong-coe. Gadis itu berkerja dengan telaten dan hati-hati, tapi
Siauw Kui masih juga mendesis-desis kesakitan.
“Aduh, duh, pelan-pelan, kan sakit.”
“Kolokan!” gerutu Ching-ching sambil mendorong pundak Siauw Kui. Anak lelaki itu
menjerit. “Rasakan. Ini akibat ulahmu sendiri, sok jago melawan Kim-tiau.
Sekarang babak-belur, kau repotkan juga aku.”
“Lho, masih untung kau cuma repot mengobati lukaku. Kalau sampai repot mengurusi
penguburanku, bagaimana?”
“Buat apa repot-repot,” tukas Ching-ching ketus. “Kalau kau mampus, kubuang saja
mayatmu di kali!”
Siauw Kui melotot. “Kau tega?”
“Kenapa tidak?”
“Sadis!”
“Masa bodo.”
Tahu-tahu Siauw Kui berlutut membelakangi Ching-ching dan bersoja tiga kali.
“Mengapa kau?” tanya Ching-ching heran.
“Aku bersyukur masih diizinkan hidup sehingga tak usah jadi makanan ikan.”
Ching-ching meringis. Kalau Siauw Kui betul-betul mati, mana tega ia berbuat
demikian. Paling tidak, sobatnya itu akan dia kuburkan baik-baik. Lalu ia akan
cari pembunuhnya untuk membalas dendam. “Sudahlah!” katanya kemudian. “Baiknya
kau cepat tidur. Besok pagi-pagi sekali kita lanjutkan perjalanan.”
“Kenapa buru-buru? Kita kan baru saja menjadi pahlawan di sini.”
“Justru itu, aku risih dengan sikap mereka.”
Ching-ching lantas keluar kamar. Ia mau mencari pakaian baru buat Siauw Kui.
Besok pagi-pagi sekali keduanya harus segera pergi dari sana. Tak seorang pun
boleh tahu. Biarlah mereka menduga-duga siapa kedua anak yang bikin gempar kota
mereka.
Ching Ching 182
Siauw Kui tersaruk-saruk mengikuti Ching-ching. Mulutnya tak henti-henti
mengomel. Ia menyesal kenapa mau meninggalkan kota di mana ia dapat tinggal
dengan nyaman. Setidak-tidaknya ia dapat berteduh dari matahari yang bersinar
terik tepat di atas kepala.
“Ching-ching, kita sudah setengah hari berjalan. Aku lelah, lapar, haus. Ayo
kita istirahat dulu.”
“Sedari tadi istirahat melulu,” gerutu Ching-ching. “Tahu begini, aku tak mau
membawamu. Kerjaanmu hanya mengomel melulu, istirahat melulu. Menghambat
perjalananku saja.” Namun sambil mengomel-omel, gadis cilik itu menuruti juga
beristirahat.
“Huh, aku heran, kayaknya kau tak pernah lelah. Mana sedari tadi kau diaaam
terus. Kenapa sih?”
“Aku sedang berpikir. Siauw Kui, kau mau tidak kuat seperti aku? Maksudku, tidak
mudah lelah begitu.”
“Mau saja. Kau makan obat kuat, ya? Bagi aku!”
“Seenaknya!” Ching-ching tersinggung. “Aku belajar silat, makanya tahan
banting.”
“Oh, begitu.”
“Kau mau tidak belajar silat?”
“Buat apa?” Siauw Kui balik bertanya.
“Untuk melindungi dirimu supaya kali lain tak lagi dibikin babak-belur orang
lain.”
“Kan ada kau yang selalu lindungi aku,” Siauw Kui malah bercanda. Ia tertawa
melihat wajah Ching-ching memerah.
“Kau pikir aku tukang pukulmu!” bentak anak gadis itu.
“Yah, semacam itulah. Lagipula aku tidak tertarik. Sudah kubuktikan, orang yang
punya kepandaian kerjanya cuma mengadu-adu dengan orang lain sampai babak-belur.
Belum lagi yang suka menindas orang macam si Kim-tiau itu. Bah! Aku tak sudi
jadi seperti dia.
“Tolol!” maki Ching-ching. “Tidak semua orang berkepandaian menjadi seperti
mereka.”
“Contohnya?”
Ching-ching termenung sebentar. “Contohnya aku. Aku dapat melindungimu sehingga
tak terbunuh kemarin itu karena aku punya kepandaian lumayan.”
“Nah, itulah. Aku sudah punya tukang pukul, buat apa lagi aku repot-repot
belajar silat.”
“Goblok!” desis Ching-ching gemas. “Dengar, seandainya kau punya keluarga kelak,
lalu keluargamu diancam orang mau dibasmi, bagaimana kau lindungi keluargamu?”
“Gampang! Suruh saja istriku maju. Dia seorang pendekar kok.”
“Eh?!” Ching-ching terbelalak heran. “Masa?”
“Betul. Kan kau bilang sendiri kalau kepandaianmu lumayan.”
Muka Ching-ching memerah lagi menyadari diledek orang. “Huh, mana mau aku dengan
lelaki yang tak berguna.”
“Buktinya kemarin dulu kau bilang sama Fei Yung kalau aku ini calon suamimu.”
Ching-ching berdiri. “Kalau begitu, biar kucari Fei Yung dan menyatakan kau
batal jadi calonku.”
“Eh, jangan! Jangan! Aku masih betah jalan-jalan denganmu. Baiklah, baiklah, aku
mau belajar silat.”
“Bagus!” Ching-ching tertawa senang. “Aku akan mengajarimu.”
“Kau? Jadi guruku?” Siauw Kui terbelalak lalu mengeluh panjang. “Bisa-bisa,
Ching Ching 183
belum apa-apa aku sudah benjol duluan.”
“Aku juga akan mengajari sastra.”
“Sastra? Astaga! Aku paling bosan kalau dengar yang begituan.”
“Pokoknya aku akan memaksamu belajar, mau atau tidak mau. Ayo, berangkat lagi.
Kalau menuruti kemauanmu, sampai besok pagi kita akan diam di sini terus.”
Dengan sangat terpaksa, Siauw Kui kembali mengikuti Ching-ching menyusur jalan
yang seolah tiada berujung.
Menjelang sore, cuaca sudah mulai berubah. Hari yang semula cerah berganti.
Mentari yang bersinar terik ditutupi awan bergumpal yang membuat bayangan di
bumi.
Pada mulanya, Siauw Kui mensyukuri hal ini. Sekarang ia tak usah kepanasan lagi.
Setidak-tidaknya lumayan setelah sekian lama dipanggang cuaca. Celakanya, saat
malam tiba, awan-awan itu tidak juga menyingkir. Bulan tertutup sehingga jalan
diliputi kegelapan. Guruh mulai terdengar di kejauhan. Lebih celaka lagi, mulai
turun hujan yang rintik-rintik membasahi bumi.
“Ching-ching, hujan akan segera turun. Kita harus cepat cari tempat berteduh.”
“Aku tahu,” jawab Ching-ching.
Titik-titik air semakin besar. Kilat susul-menyusul membelah langit. Ching-ching
dan Siauw Kui mempercepat langkah. Mereka segan berbasah-basah di jalan. Hujan
semakin deras. Serempak Siauw Kui dan Ching-ching menghampiri sebuah pohon
besar.
“Celaka kita!” kata Siauw Kui. “Sudah perut lapar, badan cape, eh, harus
kedinginan dan kebasahan gara-gara hujan. Padahal banyak orang bisa berlindung
di rumah bagus, makanan berlimpah, selimut tebal, dilayani gadis-gadis cantik
lagi! Langit memang tak adil!”
“Eh, beraninya memaki langit. Kalau para dewa marah dan kau disambar geledek,
baru rasa!”
Tepat Ching-ching selesai berkata, kilat menyambar memberikan secercah cahaya
diiringi suara guntur memecah. Siauw Kui melompat terkejut.
“Aku takkan memaki lagi, jangan sambar akuuu!” jeritnya panik.”
“Hus, diam!” tukas Ching-ching. “Aku belum izinkan, mana boleh langir
menyambarmu?”
Langit terbelah lagi.
“Ching-ching, kau jangan ngomong sembarangan,” desis Siauw Kui.
“Tadi rasa-rasanya aku melihat bayangan gedung di sebelah sana!” gumam
Ching-ching. “Siauw Kui, kau lihatlah ke arah yang kutunjuk. Lihat ada bangunan,
tidak?”
“Tidak!” kata Siauw Kui sambil menajamkan mata. “Semuanya gelap.”
“Tunggu sampai ada cahaya. Nah, sekarang!”
Benar saja. Siauw Kui melihat bayangan hitam berbentuk rumah tak jauh dari sana.
“Barangkali di sana ada desa. Ke sana, yuk!”
Keduanya berlari menembus tirai air. Dengan demikian tubuh mereka basah kuyup
jadinya. Namun bayangan sebuah penginapan tempat berteduh dan numpang makan
membikin segala leraguan hilang.
Sebentar saja kedua remaja tersebut dapat melihat bangunan yang dituju.
Rupa-rupanya adalah sebuah bio yang sudah lama ditinggalkan. Namun setidaknya di
dalam lebih mending daripada basah di luar.
“Ternyata bio rusak,” kata Siauw Kui ketika sampai di dalam. “Tapi lumayan
daripada tidak.”
Ching-ching mengelilingi ruangan itu. Dilihatnya debu bertumpuk di mana-mana.
Ching Ching 184
Sebagian tersapu titik air yang memercik lewat jendela yang rusak. Di dalam
dingin. Tetapi mereka dapat membuat api.
Ruangan itu tak terlalu besar. Tak ada pula yang menarik. Ciri-ciri bio yang
rampak hanyalah lewat patung Budha di altar yang berdebu.
Ching-ching merasa ada sesuatu yang aneh di dalam bio itu. Tidak tahu apa, tapi
ia merasa tidak enak.
“Siauw Kui, kau merasakan keanehan dalam kuil ini, tidak?”
“Ya, aku merasakannya,” kata Siauw Kui yang saat itu sudah menyalakan lilin
merah yang tinggal separuh di altar. “Rasanya dingin. Aku merinding. Eh,
Ching-ching, jangan-jangan kuil ini ada setannya.”
“Eh, Siauw Kui, apa kau pernah lihat setan?”
“Belum, tapi katanya setan itu suka menjahati manusia. Suka mencekik, suka
menggigit. Katanya, setan itu bentuknya seperti manusia, tapi mukanya seram.
Matanya melotot dan lidahnya panjang menjulur keluar. Kadang-kadang setan
menyamar sebagai manusia. Ngomong-ngomong, kau sendiri apakah pernah melihat
setan?”
“Selama hidup aku baru sekali melihat setan.”
“Oh ya?” Siauw Kui jadi tertarik. Ia duduk di tanah. “Seperti apakah rupanya?
Seperti kata orangkah?”
“Justru sama sekali berbeda,” jawab Ching-ching. “Satu-satunya setan yang
kutemui ini lain. Tampangnya tidak menyeramkan, lucu malah. Ia tidak mencekik
atau menggigit ….”
“Barangkali jenis setan baik.”
“Mungkin. Pokoknya ia tidak jahat. Cuma kadang-kadang bikin kesal. Dan tololnya
bukan main. Kurang ajarnya, setan ini suka mengaku-aku sebagai suamiku dan
selalu ikut ke mana aku pergi.”
Siauw Kui bengong mendengar penuturan Ching-ching. Kok lain sama sekali dengan
yang suka dikatakan orang. Lama-lama muka Siauw Kui memerah. Sial! Rupanya
Ching-ching justru sedang menyindir dirinya.
Tawa Ching-ching meledak tidak tertahankan lagi. Suaranya menggema di dalam bio
itu sehingga terdengar menyeramkan. Tetapi Siauw Kui tidak takut. Ia malah
dongkol bukan main.
“Seenaknya saja menyamakan aku dengan setan,” kata Siauw Kui sambil cemberut.
“Lho, kau memang setan, kan?” kata Ching-ching di sela tawanya. “Dasar setan,
setan kecil!” Ching-ching tertawa sampai terguling. Ia masih cekikikan beberapa
saat. Tahu-tahu tawanya berhenti. Ia menekuri lantai.
“Eh, aneh,” gumamnya.
“Apanya?” tanya Siauw Kui tak tahan ngambek berlama-lama.
“Lantai ini kok tidak terlalu kotor, padahal lihat! Altar itu penuh debu, tapi
di lantai ini tidak.”
“Lalu?” Siauw Kui bertanya tak mengerti.
“Artinya ada yang membersihkan. Atau setidak-tidaknya sering masuk ke mari.”
“Alaaa, pusing amat. Mendingan tidur daripada pikir-pikir.” Siauw Kui berbaring
di lantai dan langsung pejamkan mata. Ching-ching yang juga merasa cape
menyandar ke pilar dan tidur.
Tak tahu sudah berapa lama tertidur, Ching-ching terbangun dan langsung waspada.
Ia mendengar suara orang berjalan mendekati bio. Ching-ching berlari ke jendela,
tapi ia tidak dapat melihat apa-apa. Sampai kilat menyambar, barulah dilihatnya
enam sosok tubuh yang berjalan menuju bio.
Ching-ching buru-buru memadamkan lilin di altar. Dibangunkannya Siauw Kui, tapi
Ching Ching 185
pemuda itu tak mau bangun juga. Jadi diseretnya saja ke balik meja altar. Ia
sendiri melompat bersembunyi di tiang-tiang penyangga atap. Ketika sedang
bersembunyi, dia baru sadar. Apa sih yang ditakutinya? Paling-paling enam orang
yang mau ikut berteduh di dalam bio.
Tapi melihat orang-orang yang datang itu, Ching-ching bersyukur telah waspada.
Tampang sangar orang-orang itu membuatnya bergidik. Diam-diam Ching-ching
mengintai dari tempatnya sembunyi.
“Hasil malam ini lumayan juga,” kata seorang yang paling besar badannya.
“Ya, sekali timpuk dapat dua ekor burung,” kata satu-satunya wanita di antara
kelompok itu.
“Ketika kulihat Wan Hoe-jin yang cantik, baru aku ngerti kenapa Sun Wan-gwe
menyuruh kita membunuh Wan Wan-gwe.”
“Aku sih lebih tertarik pada emas berlian milik si gendut Wan itu,” kata yang
lain sambil nyalakan lilin.
“Ngoceh saja. Aku lapar! Makan apa kita malam ini?”
“Nah, kan ada gunanya juga ayam yang kubawa dari Wan-gwe malang itu,” kata orang
yang gendut. Si gendut itu cepat membului tiga ekor ayam yang dibawa sementara
yang lain menyalakan api. Ayam-ayam itu segera diberi bumbu dan dibakar.
Harumnya memenuhi bio.
“Aduh, ada yang panggang daging. Bagi dong!” Siauw Kui keluar dari belakang
altar. Ia terkejut melihat enam orang itu. Sama terkejutnya dengan mereka yang
melihat dia.
“Heh, rupanya ada orang yang dengar pembicaraan kita,” kata yang berbadan besar
sambil maju membekuk Siauw Kui. Anak itu meronta tapi tak dapat lepas. “Enakan
kita apakan anak ini?”
“Direbus!” kata si gendut bersemangat.
“Potong kupingnya!” seru yang perempuan.
“Sekalian tangannya!”
“Kakinya juga.”
Siauw Kui gemetar. Orang ini tampaknya sadis semua. Bagaimana kalau mereka
benar-benar melaksanakan niatan. Celakalah dia! Aduh, Ching-ching ke mana sih,
bukannya menolong ….
“Ayo, cepat kita hajar rame-rame!”
“Aku mau hidungnya.”
“Kelihatannya kupingnya cukup bagus.”
Orang-orang itu semakin mendekat. Siauw Kui ketakutan. “Jangan, tolooong! Jangan
potong kupingkuuuu!”
Keenam rampok itu tertawa melihat Siauw Kui yang ketakutan. Mereka semakin
senang menakuti anak itu.
“Jangan kau sakiti aku! Nanti istriku akan menghajarmu dua kali lipat!” ancam
Siauw Kui. Matanya jelalatan mencari Ching-ching. Ke mana gadis itu?
“Eh, berani ngibul, ya?!” Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Siauw
Kui. “Ngancam lagi!” Bunyi tamparan lain terdengar.
Tahu-tahu orang yang menampar itu menjerit. Langsung roboh tak bergerak, sebilah
pisau menancap di punggungnya. Bersamaan dengan robohnya orang itu, sesosok
bayangan turun dari atap.
“Yang berani menyakiti suamiku harus mati.” Ching-ching mencabut pisaunya.
Mengelap darah yang menempel ke baju orang yang mati dan menyarungkannya kembali
ke tempat yang disembunyikan di sepatu.
“Kau … kau bocah jahanam! Kau bunuh adik kami A-heng!” jerit perampok perempuan.
Ching Ching 186
“Oh, jadi yang mati ini A-heng namanya. Maaf, aku tidak tanya dulu namanya
sebelum kubunuh.”
“Sit Yi, jangan banyak omong. Kita bunuh saja bocah ini untuk balaskan sakit
hati A-heng,” kata yang badannya paling besar sambil lantas menerjang.
Serangannya dengan mudah dielakkan oleh Ching-ching.
Lima orang perampok yang tersisa mengurung gadis ini. Mereka sudah melupakan
Siauw Kui yang lari meringkuk di sudut bio.
“Eh, mau main keroyokan, ya? Baik, hayo maju kalian bebareng supaya matinya juga
sama-sama.”
“Bocah busuk, kurobek nanti mulutmu!”
Kelima perampok itu menyerang serentak. Sambil ketawa-ketawa Ching-ching
meladeni mereka. Sebentar saja lima perampok itu sudah kena ditotok semua.
“Kepandaian kalian cuma segitu mau coba-coca merobek mulutku? Huh, belajar dulu
sepuluh tahun lagi,” ejek Ching-ching. “He, Siauw Kui, kemarilah. Kita kerjai
bandit-bandit ini.”
Siauw Kui mendekat dengan takut-takut. Apalagi melihat mayat yang terkapar di
lantai. Ia percaya orang yang mati tidak wajar rohnya akan jadi setan. Lalu
bagaimana kalau setan ini menggentayangi ia dan Ching-ching?
“Siauw Kui, lihat bandit yang satu ini. Kumisnya hebat betul.”
“Jelas saja hebat,” jawab orang yang ditunjuk. “Kumisku ini kupelihara
baik-baik.”
“Jadi kau bangga akan kumismu. Ha, biar kubikin lebih bagus kumismu,” kata
Ching-ching mencabut lagi belatinya.
“Hei, kau mau apa? Jangan sentuh kumisku.”
“Cerewet, jangan goyang-goyang, nanti kau luka.” Gadis itu menotok urat gagu
pecundangnya. “Nah, kau tenanglah. Itu lebih baik. Aku cuma mau cukur kumismu
separo yang sebelah kanan saja.”
Ching-ching dan Siauw Kui tertawa terpingkal-pingkal waktu lihat hasilnya.
“Siauw Kui, nih, pisau satu lagi. Kau kerjai yang ujung sebelah sana.”
Siauw Kui mengambil pisau yang diberikan Ching-ching dan meniru perbuatan gadis
itu. Tapi karena orang yang dihadapinya tak punya kumis, ia mencukur habis alis
mata orang itu. Begitu pun dengan kawan sebelahnya, kali ini kepalanya gundul
sebelah. Sementara itu Ching-ching mengerjai satu-satunya wanita di antara
perampok itu.
“Hmm, wajahmu lumayan,” pujinya. “Aku berani jamin kau pasti punya banyak pacar.
Ya, tidak?”
“Jelas!” jawan wanita itu bangga.
“Ada tidak pacarmu yang sudah jadi suami orang?”
“Kenapa?”
“Jawab saja, ada tidak?” Melihat wanita itu mengangguk, Ching-ching mendadak
berang. “Perempuan serakah, kalau semua jadi pacarmu, bagaimana gadis-gadis yang
belum menikah? Akan kubuat semua laki-laki yang melihatmu kabur. Nih!”
Ching-ching mencukur rambut panjang wanita itu dengan gesit. Semua dihabisi,
cuma disisakan sedikit membentuk jalur hitam dari ubun-ubun kepala sampai ke
belakang.
“Nah, begitu lebih bagus, bukan?”
Perampok-perampok yang sudah ditotok otot gagunya itu tak bisa bilang apa-apa.
Mata mereka saja yang membelalak marah.
“Siauw Kui, sudah waktunya tidur. Besok pagi kita sudah mesti berangkat.”
Ching-ching meniup lilin, tapi keburu dicegah oleh Siauw Kui.
Ching Ching 187
“Jangan dimatikan.” Takut-takut pemuda ini melirik ke mayat yang tidak
dipindahkan.
“Kenapa? Takut? Mayat ini sudah tak bisa apa-apa.” Ching-ching menendang tubuh
tanpa jiwa itu untuk buktikan ucapkannya. “Tapi kalau kau ketakutan juga ….”
Malam itu mereka tidur dengan pelita menyala.
Esoknya Ching-ching dan Siauw Kui bersiap pergi. Sebelum itu otot gagu para
penjahat sudah dilepas lebih dulu.
“Kulepas otot gagu kalaian supaya bisa saling bercakap-cakap melewatkan waktu.
Oh ya, lewat tengah hari semua totokan kalian akan lepas. Saat itu aku akan suah
jauh dari sini. Ingat, sebelum pergi, jangan lupa kuburkan si A-heng ini.”
“Kau bocah iblis. Katakan namamu supaya kami bisa balas dendam!”
“Sebenarnya itu rahasia pribadi. Tapi supaya kalian tidak penasaran, baiklah.
Dia ini, Ching-ching menunjuk hidung Siauw Kui, “suamiku Siauw Kui, sedangkan
aku Siauw-mo-lie. Kutunggu kalian sepuluh tahun lagi. Belajar baik-baik, ya.”
Kedua bocah itu meninggalkan bio rusak tempat mereka berteduh semalam, menyusur
jalan setapak, mencari ayah angkat Ching-ching.
Menjelang sore mereka sampai di tepi sebuah sungai deras. Ching-ching menanyakan
arah tujuannya kemarin. Untuk cepatnya mereka harus lewat sungai menuju ke
hilir. Kalau lewat jalan darat mereka harus lewat bukit dan lembah yang
berhutan. Tentunya lebih repot. Kebetulan di sana ada perahu sewa yang bisa
mengantar.
“Permisi, Coan-kee, Kalau mau ke kota Chun-an, makan waktu berapa lama?” tanya
Ching-ching.
“Kemarin hujan deras, air sungai mengalir lebih cepat. Hitung-hitung … besok
siang kita tiba di sana.”
“Bagus!” Ching-ching menarik Siauw Kui lompat ke dalam perahu. “Kami sewa
perahumu. Ini dua tael emas, kita berangkat sekarang!”
Hari itu mereka lewatkan di perahu yang meluncur tenang di air. Siauw Kui senang
sekali, ia belum pernah naik perahu sebelumnya. Mereka juga sempat memancing
ikan untuk dimakan bertiga. Malam harinya ketiga orang itu tidur lelap.
Esoknya Ching-ching yang bangun pertama kali. Ia merasakan suatu keanehan.
Perahu mereka sepertinya berjalan sangat cepat. Ia bangkit dan melihat lewat
jendela. Benar saja. Bayangan tepi sungai kelihatan cepat sekali terlewati.
Tahu-tahu saja gadis itu merasa kuatir, cepat ia keluar mencari si tukang perahu
yang ternyata masih tidur.
“Coan-kee, coan-kee, bangun. Kau lihatlah, apakah kita sudah lewat jalan yang
benar? Kenapa perahu ini jalannya cepat sekali?” tanyanya.
Tukang perahu itu bangun dengan malas-malasan. Tapi melihat ke mana mereka
menuju, mukanya langsung pucat. “Celaka, rupanya aliran sungai lebih cepat dari
perkiraanku hingga kita tak sempat memilih persimpangan di belakang tadi.”
“Persimpangan apa?” Ching-ching tak mengerti.
“Simpangan aliran sungai. Yang kanan menuju ke Chun-an, yang kiri ke—“
Perkataan tukang perrahu itu terpotong waktu tahu-tahu perahu berputar keras
sebelum kemudian kembali ke arah semua.
“Ada apa?” tanya Siauw Kui yang rupanya baru terbangun merasakan perahu
bergoyang-goyang.
“Perahu ini terseret arus!” seru Ching-ching yang berpegangan erat-erat ke
pinggiran perahu. Ia ketakutan. Air sungai yang kini berombak-ombak membuat
perahu seperti daun kering yang terombang-ambing.
Siauw Kui yang melihat betapa pucatnya wajah Ching-ching segera menghampiri dan
Ching Ching 188
memeluk gadis itu. “Tenanglah. Apa salahnya terbawa arus. Nanti juga bakal
berhenti. Malah lebih cepat lebih baik.”
Tahu-tahu terdengar suara bergemuruh di kejauhan.
“Apa itu?” tanya Ching-ching.
“Itu suara air terjun besar. Kita bisa terjungkir. Kalau itu terjadi, hancurlah
perahuku.”
“Peduli apa pada perahumu!” jerit Ching-ching. Jiwa kami lebih berharga dari
perahumu.”
“Coan-kee, tidak bisakan perahu ini diarahkan ke tepi? Barangkali kita sempat
lompat sebelum sampai di air terjun,” kata Siauw Kui yang mendadak pintar.
Tukang perahu itu mencoba arahkan perahu ke tepi, tapi tidak bisa. Sungai itu
terlalu dalam. Dayungnya tak bisa dipakai melawan arus. Malah ia sendiri nyaris
terjun ke dalam sungai!
Melihat itu, Siauw Kui tidak berlagak sok pahlawan lagi di depan Ching-ching. Ia
juga ketakutan setengah mati, apalagi suara gemuruh itu semakin dekat!
Tahu-tahu Ching-ching melompat berdiri sambil menggenggam tangan Siauw Kui.
“Siauw Kui, kau mati bersamaku, menyesal tidak?”
“Tidak!” jawab Siauw Kui berteriak untuk mengatasi deru air.
“Tapi kau masih ingin hidup, bukan?”
“Kalau bisa ….”
“Aku akan coba gunakan gin-kang untuk menyeberang. Kau naiklah ke punggungku!”
Ching-ching berjalan ke tepi, tapi susah sekali. Berdiri saja pun sulit di
perahu oleng itu. Padahal air semakin deras! Nekad dan untung-untungan,
Ching-ching melompat ke air. Bersamaan dengan itu, perahu terjungkir!
Sebisa-bisanya gadis itu gunakan ilmu entengkan tubuh andalannya untuk bertahan
berjalan di air. Tapi selama ini ia berlatih di air tenang. Jadinya susah
sekali, belum lagi ia membawa Siauw Kui.
Ia melihat ke depan. Tepian air terjun tidak seberapa jauh lagi. Tapi justru
saat itu Ching-ching terpeleset. Tanpa ampun lagi keduanya terseret ke bawah!
Ching-ching membuka mata. Tapi ia tak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap! Ia
duduk dan meraba-raba. Di mana ia sekarang? Apakah di akhirat? Seperti inikah
yang namanya akhirat? Kok gelap sekali.
“Ching-ching!” terdengar suara yang dikenalnya memanggil. Suara Siauw Kui, tak
jauh di sisinya.
Ia beringsut mendekat. “Siauw Kui?”
Keduanya sama meraba-raba ketika kedua tangan mereka bertemu. Keduanya saling
menggenggam seolah tak mau dipisahkan lagi.
“Ching-ching, apakah kita ada di akhirat? Kok seperti ini. Kata orang, di
akhirat kita bisa bertemu orang-orang yang mati mendahului kita. Aku ingin
ketemu pamanku, ayah dan ibukuu. Aku ingin tahu rupa orang tuaku.”
“Mana aku tahu ini akhirat atau bukan. Aku belum pernah jalan-jalan ke akhirat
sebelumnya. Mengirim orang sih sering.”
“Barangkali waktu ke akhirat, kita kesasar ….”
“Ssst, lihat, ada cahaya mendekat. Barangkali ada orang, eh, dewa menjemput
kita.”
Dengan tegang keduanya menunggu. Terdengar suara langkah mendekat dan sosok
tubuh hitam yang tinggi-besar terlihat. Genggaman tangan kedua remaja itu makin
erat. Cahaya lilin menerangi wajah sosok yang baru datang.
“Waaa!” keduanya menjerit dan tak sadar saling berangkulan. Rupa sosok yang baru
datang itu sungguh-sungguh mengerikan dengan mata yang amat besar, mulut
Ching Ching 189
menyeringai dan rambut acak-acakan. Hiii!
“K-k-k … kau … k-kau ini Giam-lo-ong atau apa?” tanya Siauw Kui setelah beberapa
lama.
“Giam-lo-ong apa? Aku ini manusia, sama seperti kalian.”
“Manusia?” Rasa takut Ching-ching lenyap seketika. Ia langsung berdiri dan
dengan gerakan kilat mencubit pipi orang itu.
“He, kau mau apa?” tanya orang itu sambil menghindar, tapi pipinya keburu
dicubit dan tercakar juga sedikit.
“Kau terdiri dari darah dan daging. Berarti benar kau manusia.”
“Dari dulu aku manusia. Dasar bocah gila!”
“Manusia juga? Kau juga mati seperti kami?” tanya Siauw Kui polos.
“Siapa yang mati? Anak edan, orang hidup sehat begini, disumpahi cepat mati,”
orang itu menggerutu.
“Lalu bagaimana kami sampai di sini? Bukankah kamu terseret air terjun tadi?”
Siauw Kui masih bingung.
“Kalian untung, rupanya Thian masih ingin kalian hidup. Waktu jatuh tempo hari,
bocah gila ini,” ia menuding Ching-ching, “berhasil ke pinggir dan
bergelantungan di batu yang menonjol dan kau menempel di punggungnya seperti
lintah. Aku ingin tahu binatang apa yang menempel di situ, lalu kukait kalian.
Ternyata sepasang manusia yang kepingin hidup bersama, mati berdua.”
“Tempo hari? Sudah berapa lama kami di sini?”
“Dua hari.”
“Dan selama itu kami tidak bangun? Wah!” Siauw Kui membelalak heran. “Pantas
sekarang ini aku lapar sekali.”
“Kau mau makan? Carilah sendiri,” kata orang itu. “Aku tak mau mencarikan kau
makanan.”
“Cari sendiri juga bisa.” Ching-ching melompat berdiri. “Ayo, Siauw Kui!” Ia
menuntun kawannya. Tapi tempat di sana gelap sekali. Untuk berjalan, Ching-ching
mesti meraba-raba. Ia juga mengandalkan telinga kalau-kalau ada orang menghadang
mereka. Untungnya tidak ada. Tapi di sana banyak terdapat lorong yang
berputar-putar. Berjalan sedari tadi Ching-ching merasa mereka masih di
situ-situ saja.
“Barangkali kau salah ambil jalan. Coba sini, aku yang cari,” kata Siauw Kui.
Gantian ia yang berjalan dii depan sambil memegangi tangan Ching-ching. Baru
beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Ching-ching merasa tangannya ditarik,
disusul suara ceburan keras. Siauw Kui lepas dari tangannya.
“Siauw Kui!” Ching-ching berseru panik.
“Di sini,” terdengat suara Siauw Kui dari arah bawah. “Hati-hati, rupanya di
sini ada kolam.”
“Kubantu kau naik!” Ching-ching mengulurkan tangan, tapi Siauw Kui rupanya tak
melihat. Ia sudah berada di sebelah Ching-ching duluan.
“Wah, basah bajuku,” keluh Siauw Kui.
“Ssst, aku dengar sesuatu!” bisik Ching-ching.
Mereka terdiam sementara Ching-ching menajamkan pendengaran. Ia mendengar suara
kecipak air yang halus sekali, hampir tak terdengar.
“Ha, aku tahu itu apa!” serunya. “Rupanya ini adalah kolam ikan. Berarti kita
bisa makan, Siauw Kui.”
“Kita tangkap, Ching-ching.”
“Aku saja. Kau carilah sebuah batu yang cekung. Dengan itu kita dapat membuat
pelita.
Ching Ching 190
Siauw Kui berhasil menemukan apa yang dicari. Waktu ia kembali, Ching-ching
sudah menangkap dua ekor ikan mengandalakan pendengaran dan kecepatan tangannya.
Ia membersihkan isi perut ikan itu. Ia sudah terbiasa melakukannya. Dengan mata
tertutup sekalipun. Karenanya gelap tak menghalangi pekerjaannya.
Cepat sekali ia bekerja. Sebentar saja ikan itu sudah bersih. Minyaknya
dipisahkan supaya nanti dapat dipakai jadi bahan bakaran pelita. Sehabis semua
itu, Ching-ching mengambil sepasang batu apinya yang debentikkan satu sama lain
peranti membuat unggun.
Habisnya makan, Ching-ching mengajak Siauw Kui mencari kamar untuk mereka
berdua. Ia tak mau hidup bersama si orang aneh. Beruntung di dalam sana banyak
lorong dan gua. Mereka menemukan sebuah yang cukup luas ke dalam celah yang
sempit. Taruhan, si orang aneh yang tinggi-besar itu tak bakal bisa lewat.
Gua yang mereka temukan memang cukup besar untuk ditinggali berdua saja, tapi
tak cukup luas buat bergerak, terutama bagi Ching-ching dan Siauw Kui.
Karenanya, jika ingin bermain, keduanya keluar dari tempat sembunyi mereka dan
pergi ke gua di mana terdapat kolam ikan atau ke tempat yang lebih luas dan
terang di balik curahan air terjun.
Setelah beberapa hari berrmain, Ching-ching merasa bosan juga. Ia mengusulkan
sesuatu yang lain pada Siauw Kui.
“Aku bosan main kucing-kucingan terus!” katanya sambil duduk merajuk.
“Lalu kita mau main apa?”
“Aku ada satu cara bagus, tapi tidak tahu kau setuju atau tidak.”
“Apa itu?”
“Aku akan mengajarimu silat!”
“Sudah kubilang, aku tidak butuh. Kalau kau mau, kau belajar saja sendiri.”
“Kau mau pergi dari sini, tidak? Kalau mau, kau harus belajar, baru bisa
keluar!”
“Bersamamu di sini, tak keluar lagi pun tak apa-apa.”
“Kau …. Kalau kau tak mau, baiklah. Aku juga tak mau bicara lagi padamu!”
Ching-ching mengancam.
“Baiklah, baiklah, aku menurut. Ayohlah, jangan marah lagi. Kalau kau suka, aku
akan berlatih sekarang juga. Lihat!” Siauw Kui memukul dan menendang-nendang
udara. Gerakannya serabutan sehingga pada akhirnya ia tersandung kaki sendiri.
“Ngaco!” Ching-ching tak tahan untuk tidak menertawai. “Sini, kuajari dulu cara
membikin bhesi yang kokoh.” Ia memberi contoh.
Siauw Kui mengikuti. Mulanya ia sanggup mengikuti, akan tetapi setelah beberapa
lama, ia tak sanggup menahan kuda-kudanya dan jatuh terduduk. “Aduh, pegal!”
keluhnya.
“Kau terlalu cepat menyerah!” Ching-ching cemberut. “Kalau kuda-kuda saja tak
sanggup, apa lagi yang lainnya.”
“Nanti aku latihan lagi. Sekarang istirahat dulu, apakah tidak boleh?”
“Jangan lama-lama.”
Selagi mereka melepas lelah bersama, datanglah si orang aneh ke tempat itu.
“Hih, rupanya kalian masih ada di sini. Beberapa hari menghilang, kupikir kalian
sudah mati kelaparan!”
“Kami belum mau mati di sini. Jadi jangan harap kami tak bisa makan,” kata
Ching-ching ketus. “Siauw Kui, ayoh, latihan lagi!”
“Siauw Kui? Hah, bocah bodoh, jangan mau dipanggil begitu. Kau mestinya terhina,
tahu!”
“Kenapa harus terhina? Memang namanya begitu!”
Ching Ching 191
“Bohong! Mana ada nama orang begitu.”
“Oh? Bagaimana namamu sendiri?”
“Apa hubungannya?”
“Aku mau tahu namamu!”
“Aku … aku Bu-beng-lo-jin.”
“Hah, namamu pasti begitu jeleknya sampai kau tak berani sebut!”
“Itu namaku, tak ada lain!”
“Bohong! Atau namamu Loo-wan barangkali? Atau Toa-koay? Atau Toa-loo-wan-koay?”
“Dasar perempuan. Cerewet! Bawel!” Bu-beng-lo-jin kehabisan kata. Ia minggat
meninggalkan Ching-ching.
“Hah, awas, kalau datang lagi. Ayoh, Siauw Kui, jangan malas-malasan. Lekas
latihan!”
Sudah dua hari Ching-ching mengajari Siauw Kui cara memperkokoh bhesi. Tapi
karena pemuda itu belajar karena terpaksa saja, sulitlah untuk mendapat
kemajuan. Ini hari ketiga ia diajari. Bahkan Ching-ching nyaris habis sabar.
Sedang ia memberi petunjuk, datanglah Bu-beng-lo-jin menertawai.
“Percuma kalau gurunya cuma bisa bawel tapi tak becus mengajari. Pantas saja
muridnya tak pandai-pandai.”
Ching-ching mengerutkan alis. Ia tak senang diolok-olok orang. Karenanya ia
lekas berbisik pada ‘suaminya’.
“Lihat kelakuanmu! Karena engkau, aku dipermalukan. Hayo, latihan yang betul!”
Baru kali ini Siauw Kui bersungguh-sungguh. Ia juga tak senang diperhinakan
orang. Akan tetapi, lagi-lagi Bu-beng-lo-jin mengolok-olok.
“Ha-ha, bhesi macam apa begitu. Itu sih monyet jongkok namanya.”
Ching-ching cepat mendekati Siauw Kui dan menepuk pundak pemuda itu. “Ikuti aku.
Jangan main-main. Kalau kau bersungguh-sungguh, aku yakin kau mampu!” Gadis itu
lantas memberi contoh sambil mengasih petunjuk. “Tarik napas, pentangkan kakimu
ke samping. Tekuk lutut sampai pahamu lurus, angkat sikumu, kepalkan tangan di
pinggang. Ya, begitu. Tahan!”
Ching-ching lantas menghadapi Bu-beng-lo-jin. “Apa mau kau kata sekarang?”
“Barangkali muridnya yang berbakat. Belum pasti gurunya yang pintar. Hm,
tulangnya bagus, ada bakat, ada kemauan. Boleh aku jadikan muridku.”
“Tidak bisa! Aku sudah jadi gurunya!”
“Lihat saja. Kamu perempuan kecil, mana becus jadi guru,” Sehabis berkata
demikian, Bu-beng-lo-jin lantas pergi.
Ching-ching adalah seorang yang angkuh. Dibilang tidak becus, ia malah
bersemangat membuktikan itu tidaklah benar. Yang jadi korban malah Siauw Kui. Ia
digembleng habis-habisan. Sebelum ia kuasai satu jurus, Ching-ching tak mau
layani ia bicara.
Biarpun bersemangat mengajari silat, Ching-ching tak lupa mengajari bun. Tiap
kali Siauw Kui beristirahat, Ching-ching mengajarinya baca-tulis dan sajak-sajak
mashur. Ia benar maui Siauw Kui menjadi seorang yang bun-bu-coan-cay seperti dia
sendiri.
Sebulan kemudian, Bu-beng-lo-jin datang lagi. Saat itu Ching-ching sedang
mengajari jurus baru.
“Lihat, inilah jurus ketiga .... Tarik napas, kepala tegak. Buang napas, kaki
melangkah ke belakang. Tarik lagi, rendahkan lutut. Buang napas sembari
memukul.”
“Ilmu sesat!” Bu-beng-lo-jin berkata.
“Kau bilang apa?” Ching-ching mendelik.
Ching Ching 192
“Kau mengajarinya ilmu sesat! Lihat, dia itu laki-laki, diajari ilmu gemulai
seperti orang menari. Di mana pantas? Laki-laki semestinya diajari ilmu yang
keras dan gagah supaya tidak diketawakan orang.”
“Ilmu yang keras dan gagah juga bisa diketawakan. Apalagi kalau ada di
tanganmu.”
“Paling tidak lebih baik dari ilmumu!”
“Betulkan? Coba buktikan!”
“Aku paling tidak suka menghajar perempuan. Apalagi yang masih kecil.”
“Kalau begitu, begini saja. Kau boleh tiga kali memukulku. Kalau aku roboh, aku
mengaku kalah.”
“Tidak adil!” kata Siauw Kui. “Masa dia boleh memukul dan kau sendiri tidak?”
“Baiklah, kita masing-masing memukul tiga jurus,” kata Bu-beng-lo-jin. “Kau
lebih muda, boleh memukul duluan. Ingat, yang kena dipukul paling banyak, yang
kalah.”
“Jadi. Awas serangan!” Ching-ching segera bertindak. Sambil menyerang, mulutnya
masih mengoceh, :Siauw Kui, inilah jurus … yang kemarin kuajarkan padamu. Lihat
baik-baik.”
Gadis itu menyerang dengan kepalannya yang mungil yang bergerak cepat.
“Jurusmu tak ada artinya.” Bu-beng-lo-jin tergelak sewaktu ia sempat
menghindari.
“Jurus kedua …!” seru Ching-ching.
Bu-beng-lo-jin tertawa sambil menghindar ka samping. Tapi kaki Ching-ching
bersiap menyambut di situ.
“Perjanjiannya dengan pukulan!” kata orang tua itu. Ching-ching membatalkan
tendangannya ke muka orang.
“Dua jurus lewat!” kata Bu-beng-lo-jin mengejek. “Gunakan ketikamu yang tinggal
sekali.”
“Jangan keburu senang, aku masih ada satu ketika!” kata Ching-ching geram. “Ini
jurus andalanku …, lihat baik-baik!”
Mulanya Bu-beng-lo-jin meremehkan peringatan orang. Ia tidak tahu pukulan
Lian-hoa-ban-hoan-ciang (Pukulan berantai selaksa teratai) lebih dahsyat dari
namanya. Jurus ini harus dilakukan dengan amat cepat, tapi tidak semua pukulan
bertenaga. Beberapa cuma jebakan saja supaya orang menghindar, dan justru karena
berkelit, orang itu akan kena pukulan lain yang betul-betul berbahaya.
Inilah yang terjadi pada Bu-beng-lo-jin. Berkali-kali ia terkena pukulan
Ching-ching hanya dalam satu jurus. Untung baginya, Ching-ching tidak kepingin
membunuh orang, akan tetapi tak urung gadis itu mengagumi di orang tua yang
dapat menghindari beberapa pukulan berbahaya.
Puas memukul orang, Ching-ching berhenti. Ia tersenyum manis dan mengejek,
“Habis tiga jurus, aku sudah memukulmu belasan kali. Ingin tahu apakah kau dapat
melebihi aku?”
“Iblis betina, lihat jurusku!” Bu-beng-lo-jin berseru sambil merangsek maju.
Pukulan yang dikirimnya betul-betul dahsyat seolah ia hendak membinasakan
Ching-ching. Sayangnya Bu-beng-lo-jin tak tahu kalau gadis itu lincah dan gesit
bukan main. Enteng ia berkelit dan melompat kemudian sampai di belakang
penyerangnya.
“Monyet tua, kau memukul apa? Aku ada di sini!”
Bu-beng-lo-jin membalik dan menyerang lagi. Kembali Ching-ching menghindar
sambil tertawa-tawa.
“Sudah dua jurus. Satu lagi dan kau mesti menyerah,” poyok Ching-ching.
Ching Ching 193
Bu-beng-lo-jin tidak menjawab. Ia berdiri tegak mengumpulkan tenaga. Ketika ia
bergerak lagi, berulah Ching-ching merasakan tenaganya yang dahsyat menimbulkan
angin berkesiuran.
Menghadapi jurus terakhir Bu-beng-lo-jin, Ching-ching rada kerepotan juga.
Apalagi ia tak boleh membalas. Kalau menangkis, ia takut kalah tenaga. Celakalah
kalau tangannya remuk nanti. Oleh karena itu, Ching-ching cuma mengandalkan
ginkang sebisa-bisanya.
Untunglah gadis itu memiliki ginkang yang jempol. Meski Bu-beng-lo-jin menyerang
dengan sebat, akan tetapi Ching-ching terlebih gesit. Dari semua pukulan yang
dikirim, cuma dua yang mampir di badannya. Itu pun agak meleset sehingga cuma
menimbulkan memar tanpa membahayakan jiwa.
Jurus ketiga habis dimainkan. Bu-beng-lo-jin belum puas menghajar, akan tetapi
ia ada punya harga diti, tak berani melanggar janji antara mereka. Orang tua itu
cuma bisa mengatur napas sembari memendam dendam selagi Ching-ching tergelak.
“Bu-beng-lo-jin, sudah kubilang, ilmu bagus pun kalau sampai di tanganmu,
pastilah merosot kehebatannya. Sekarang pergilah, aku masih banyak kerjaan.”
Orang tua itu tak dapat berkata-kata. Ia pergi dengan tindakan lebar dan hidung
mendengus-dengus lantaran kesal. Di belakangnya, Siauw Kui dan Ching-ching sama
mengolok-olok.
“Siauw Kui, dia sudah pergi. Hayo, belajar lagi.”
Setelah melihat kehebatan ilmu yang Ching-ching ajarkan, Siauw Kui terlebih
bersemangat. Ia latihan dengan bersungguk, menyenangkan ‘suhu kecilnya’.
Tak terasa sudah empat bulan mereka tinggal di dalam gua itu. Siauw Kui dan
Ching-ching semakin akrab. Belakangan Ching-ching tak terlalu memaksa sobatnya
belajar, ia lebih suka mengajak bercanda. Begitu pun Siauw Kui yang enggan
digembleng habis-habisan dalam waktu amat singkat.
“Ching-ching, jangan lupa aku ini suamimu. Kalau kau siksa terus-terusan, nanti
aku mati, bagaimana?”
“Coba kalau kau berani mati mendului aku,” Ching-ching menjewer kuping orang.
“Aku tak kasih permisi, mana boleh kau mati?”
“Aduh, sakit,” Siauw Kui pura-pura mengeluh. “Ya, ya, aku tak berani. Lagipula
tak tega aku tinggalkan kau sendirian.”
“Mm, baiklah kau belajar dulu, aku mau cari makanan.” Ching-ching meninggalkan
Siauw Kui yang lantas menurut dan segera berlatih.
Siauw Kui mengingat-ingat pelajaran istri kecilnya. Ia menggerakkan kaki dan
tangannya. Hem, lumayan. Ching-ching boleh bangga punya murid seperti dia.
Selagi berlatih, mendadak pemuda itu mendengar kesiuran angin di belakangnya.
Lekas ia menunduk. Lewatlah pukulan orang di atas kepala. Tapi belum sempat ia
menarik napas, sebuah tendangan mendarat di kakinya membuat ia jatuh berlutut.
Siauw Kui tak mau gampang-gampang menyerah. Ia bungkukkan badan ke belakang
dengan gaya Ang-pan-kio seperti yang diajarkan Ching-ching sembari menyerang
sekalian. Mana tahu penyerangnya cukup lihay dapat berkelit dari serangan
mendadak.
“Hah, cuma sebegitu yang diajarkan si iblis betina? Mana kau mampu melindungi
diri?” Bu-beng-lo-jin yang menyerang melecehkan. Selagi mulutnya berucap, tangan
dan kakinya tak henti memukul.
Siauw Kui kerepotan. Ia memang sudah kuasai beberapa jurus, tapi itu semua
belumlah cukup buat menghadapi orang tua ini. Meski demikian, Siauw Kui masih
melawan sebisa-bisanya. Ia tak peduli nanti mukanya bengap atau badannya lebam.
Yang ada di pikirannya hanyalah supaya jangan membikin malu kepada Ching-ching.
Ching Ching 194
“Heh-heh-heh, setan kecil, rupanya engkau bernyali besar juga. Tidak takut nanti
kupukul begini?” Bu-beng-lo-jin melancarkan pukulan, telak menggampar pipi Siauw
Kui hingga pemuda itu terputaran dan terjengkang dengan bibir pecah mencucurkan
darah.
“Siauw Kui!” Ching-ching yang baru datang menjerit menghampiri. Melihat Siauw
Kuinya terluka, ia menggereng marah. “Bu-beng-lo-jin, kau hendak mencari
mampus?”
“Hah, kebetulan kau datang. Aku mau menantangmu.”
“Kemarin dulu sudah kukalahkan, apakah belum cukup?”
“Tempo hari cuma sekedar main-main, kali ini aku mau yang bersungguh. Aku mau
berebut murid denganmu. Kalau aku kalah, biarlah aku tak mau ketemu kalian lagi.
Tapi kalau aku menang, setan cilik itu mesti jadi muridku.”
“Siapa sudi jadi muridmu!” Siauw Kui berseru.
“Kau dengar sendiri, tak seorang mau mengangkat guru kepadamu!”
“Itu cuma alasan saja. Setan kecil itu takut kau nanti mati di tanganku!”
Bu-beng-lo-jin mengipasi.
Ching-ching termakan omongannya. Ia berdiri melotot dengan mata mencorong marah.
“Siapa bilang aku nanti mati di tanganmu? Kau sendiri yang nanti melayang
jiwanya, monyet tua!”
“Coba, hayo buktikan perkataanmu. Aku menunggu!” tantang Bu-beng-lo-jin.
“Siauw Kui, kau lihatlah aku nanti mencincang monyet tua ini!” Ching-ching
berseru geram.
“Iblis betina, nanti kau akan kukirimkan ke neraka!” Bu-beng-lo-jin tak mau
kalah.
Ching-ching tak menyahut. Ia bersiap diri dan lantas menyerang orang tua yang
berdiri di hadapannya
Boe-beng-lo-jin sudah menjajal kemampuan gadis ini sekali. Ia sudah tahu sampai
di mana kelihayan Ching-ching, maka dari itu ia tak berani bertindak sembrono.
Sebaliknya dengan Ching-ching yang sedang marah, ia menyerang habis-habisan
dengan seluruh kepandaian. Ia berniat membalaskan perlakuan orang tua itu
terhadap Siauw Kui. Lewat serangannya yang bertubi-tubi, Ching-ching yakin akan
dapat membuat lawannya kelabakan. Bagus kalau nanti dapat dirobohkan.
Tapi, Boe-beng-lo-jin bukan orang bodoh. Ia jug athu kalau tenaganya ada lebih
besar daripada Ching-ching. Ia berkali-kali hendak mengadu tenaga, tapi
Ching-ching selalu menghindar. Boe-beng-lo-jin juga tau bahwa ilmu milik gadis
kecil ini takd apat dilawan dari jarak dekat. Ia menjaga jarak antara mereka.
Karena marah, Ching-ching tidak sadar bahwa Boe-beng-lo-jin lebih sering
bertahan dan mundur daripada menyerang balik. Ia baru sadar telah dipancing
orang ketika Boe-beng-lo-jin membawanya ke sebelah dalam, ke bagian gua yang
sangat gelap.
“Awas, kalau-kalau ada jebakan di dalam!” Siauw Kui yang terus mengikuti
jalannya pertempuran mengingatkan.
“Hah, kau takut kujebak dan mati di dalam?” Boe-beng-lo-jin berolok-olok kepada
Ching-ching.
Biarpun kau pakai segala macam jebakan, siapa takut kepadamu!” kata gadis itu
sembari menyusul masuk ke dalam gua.
Mulutnya brkata tidak takut, tapi Ching-ching tak urung lebih berhati-hati
setelah tiba di gua yang gelap itu. Ia tak dapat melihat, tapi ia masih dapat
mengandalkan kupingnya yang terlatih baik. Ia juga merasakan di tanah empuk di
bawah kakinya. Tanah kering, tidak, itu adalah pasir.
Ching Ching 195
“Boe-beng-lo-jin, jangan sungkan, aku siap menghadapimu!” Ching-ching sengaja
berteriak menantang. Ketika suaranya memantul dengan cepat, tahulah gadis itu,
gua yang dimasukinya tidak seberapa jauh.
Pada saat bersamaan ia mendengar suara kesiuran angin di belakangnya. Dengan
sigap gadis itu menunduk. Sebuah pukulan lewat di atas kepala, tapi ia juga jadi
tahu di mana adanya Boe-beng-lo-jin. Tanpa membuang waktu ia menghantam ke
depan.
Boe-beng-lo-jin merasakan pukulan keras pada perutnya membuat ia sesak napas
barang sejenak. Orang tua itu merasa heran. Ia yakin Ching-ching belum terbiasa
dalam gelap seperti dia sendiri yang sudah bertahun-tahun tinggal di perut bumi,
akan tetapi bagaimana mungkin gadis itu dapat menghindar dan memukul dengan
telak tanpa melihat?
Cuma kebetulan! pikir Boe-beng-lo-jin. Ia melihat bayangan Ching-ching bergerak
dan kemudian membalas serangan orang. Kali ini tak akan ada kebetulan lagi!
Bukan main kaget Boe-beng-lo-jin sewaktu pukulannya luput! Pula pada saat
bersamaan dengan itu, Ching-ching telah membalas kembali. Si Orang Tua jadi
berpikir, kebetulan tak mungkin datang dua kai berturutan. Mungkinkah
Ching-ching memang sedemikian hebat? Tidak, ia tak mau mengakui ada seorang yang
lebih muda umurnya memiliki kepandaian jauh di atas dia sendiri. Apalagi bocah
itu perempuan!
Ching-ching sendiri sebetulnya agak tergetar juga hatinya diajak bertempur di
gua gelap di mana ia tak bisa melihat, layaknya seorang buta. Tapi, gadis itu
pernah digembleng mati-matian sebelmnya, membuat ia percaya tak akan kalah
dengan mudah. Pula, meskipun ia tak dapat melihat, ia masih dapat menggunakan
telinganya buat mendengari tindakan orang. Setiap kali Boe-beng-lo-jin
bertindak, ia dapat mendengar bunyi kesiuran angin yang ditimbulkan biar sehalus
apa pun. Inilah yang menjadi kelebihannya. Dengan demikian ia dapat menghindar
ataupun balas menyerang bila mendengar tarikan napas orang.
Boe-beng-lo-jin bukan orang bodoh. Setelah beberapa lama, ia mengetahui juga
sampai di mana kelihayan Ching-ching. Diam-diam si orang tua itu mencari akal
mengalahkan orang. Mendadak ia mendapat akal yang bagus. Orang tua itu
membungkuk, mengambil segenggam pasir dan lantas melemparkannya ke belakang si
gadis.
Mendengar kesiuran mendatangi kepadanya, Ching-ching lantas merunduk dan sekali
lagi menghantam di mana ia menyangka Boe-beng-lo-jin berdiri. Sayang, pukulannya
cuma mengenai tempat kosong. Gadis itu mendengar kesiuran dari samping, ia
memukul pula. Lagi-lagi luput!
Boe-beng-lo-jin mengetahui akalnya berhasil lantas menjadi kegirangan. Ia lantas
tidak hanya melempar pasir, tapi juga batu-batu kecil ke arah dinding gua.
Batu-batu itu membuat suara berisik. Si Orang Tua tambah girang melihat
Ching-ching putar-putaran macamnya orang bingung. Dia lantas tidak buang waktu
dan terus menyerang sembari melempar segenggam batu ke lain-lain arah.
Ching-ching tak tahu lagi mana serangan yang betul. Ia cuma mengandalkan
pendengarannya. Satu-dua suara yang berlainan masih bisa ia bedakan, akan tetapi
suara batu menumbuk batu yang terus-terusan membuatnya bingung. Karenanya, gadis
itu tak menyadari serangan orang dari belakangnya. Sudah terlambat ketika ia
menyadari, badannya sudah kena terpukul tenaga besar yang membuat dia terlempar
dari gua gelap itu.
“Ching-ching!” Siauw Kui berseru kuatir ketika menghampiri gadis itu.
“Hahahahah, apakah kau masih tak mau mengaku kalah, iblis cilik!” kata
Ching Ching 196
Boe-beng-lo-jin mengejek sambil menyusul keluar.
“Bocah tua curang!” jerit Ching-ching sambil meringis kesakitan.
“Hah, pendekar macam apa tak mau akui kekalahan sendiri.” Boe-beng-lo-jin yang
takut Ching-ching akan membongkar kecurangannya di hadapan Siauw Kui buru-buru
menyelak, “Kalau kau benar berjiwa besar, tak usah banyak omong. Biarlah setan
kecil itu jadi muridku. Kalau tidak, kau tak usah jadi orang lagi.
Ching-ching tidak menyahut. Ia tak menghalangi Siauw Kui yang disuruh memberi
hormat pada gurunya. Ia juga tak mau menjawab ketika pemuda itu menanyakan apa
yang terjadi di dalam gua. Gadis itu memang tidak menjelekkan Boe-beng-lo-jin,
bukan karena ia berjiwa pendekar, tapi ia telah mempunyai cara untuk membalaskan
dendam!
Karena Siauw Kui sudah menjadi murid, Boe-beng-lo-jin menyuruhnya tinggal
bersama. Tapi, bocah itu tidak tega meninggalkan Ching-ching sendirian, ia
takmau pindah. Untunglah, Boe-beng-lo-jin ingin menyenangkan muridnya. Ia
membolehkan Ching-ching pindah ke tempat yang tak jauh dari gua tempatnya
tinggal.
Hari ini pertama kali Siauw Kui latihan di bawah pengawasan si orang tua tak
punya nama. Ching-ching menemaninya, gadis itu ingin tahu bagaimana Siauw Kui
berlatih.
“Hei kau, mau apa ikut-ikut?” kata Boe-beng-lo-jin yang memang tak senang pada
Ching-ching.
“Suamiku mau berlatih, bukankah istrinya harus menemani?” Ching-ching balas
bertanya.
“Tidak boleh!”
“Kalau tidak boleh, aku tak mau latihan!” Siauw Kui mengancam.
“Tapi kau sudah jadi muridku.”
“Aku masih mengakui soe-hoe, tapi tak usah menerima pelajaran juga tak apa-apa
asal tak usah berpisah dari istri kecilku.”
“Istri, istri, masih bocah sudah beristri. Kau belum tahu saja perempuan adalah
makhluk paling jahat di kolong langit,” Boe-beng-lo-jin menggerutu. Tapi, ia tak
berkata apa-apa sewaktu Ching-ching duduk di sebuah batu.
Melihat orang tidak berkeberatan, gadis itu menggunakan ketikanya. “Ada satu
lagi. Aku mau Siauw Kui tetap belajar boen denganku.”
“Puih, buat apa belajar boen. Banyak orang belajar sastra tetap saja susah kaya.
Akan tetapi, kalau hebat dalam boe, boleh menjadi jendral dan hidup jadi
terjamin.”
“Peduli, pokoknya Siauw Kui harus belajar boen, dan kau tak boleh ikut campur
kalau aku sedang mengajar!”
“Tidak ….”
“Siauw Kui, kau tak boleh belajar apa pun pada monyet besar ini!” seru
Ching-ching. Siauw Kui lantas mengangguk-angguk menurut.
“Hehhh, baiklah, baiklah, semau kalian saja. A-kui, kemari! Dengar, ilmu silat
yang akan kaupelajari adalah ilmu silat murni dari soe-hoeku sendiri, karena itu
di badanmu tak boleh ada aliran lain.” Sebelum melanjutkan, Boe-beng-lo-jin
melirik benci kepada Ching-ching, “Karena itu, aku mesti musnahkan dulu ilmu
siluman dalam tubuhmu!”
Sembari bicara, Boe-beng-lo-jin menotok beberapa jalan darah si pemuda di
ubun-ubun, pundak, dada, dan perut. Siauw Kui merasa badannya lemas sekali. Ia
lantas jatuh terduduk di tanah.
Ching-ching yang mengetahui apa yang diperbuat orang tua itu tidak terima dan
Ching Ching 197
lantas melompat berdiri. “Hei, kenapa kaumusnahkan semua ilmu dan tenaganya?”
“Sebagai istri, kau tak usah banyak campur urusan suamimu dan gurunya,” sahut si
Orang Tua yang lantas duduk di belakang Siauw Kui menghadapi punggungnya.
Boe-beng-lo-jin menempelkan tangan di punggung Siauw Kui dan memberi petunjuk
kepada muridnya. “Nanti kalau ada hawa panas memasuki tubuhmu, kau jangan
melawan. Biarkan saja hawa itu bergerak sekehendaknya. Yang perlu kaulakukan
cuma mengosongkan pikiran dan bernapas sesuai petunjukku. Dengarkan. Tarik napas
… pusatkan pikiran … buang napas. Tarik lagi …”
Tahu Boe-beng-lo-jin berniat baik kepada Siauw Kui, maka Ching-ching tak mau
mengganggu. Ia duduk diam-diam memperhatikan. Tapi, sebentar kemudian perutnya
berkeriukan lantaran lapar. Ching-ching bangkit berdiri, meninggalkan dua orang
yang sedang berlatih. Ia akan pergi mencari makanan buat dirinya dan Siauw Kui,
tentu saja. Mungkin juga Boe-beng-lo-jin akan diberi sedikit karena ia telah
berbaik hati memberikan sebagian tenaganya buat Siauw Kui. Tapi, si Tua itu
seringkali terlalu mencela. Kalau begitu, lebih baik tak usah dibagi saja.
Urusan dia mengoper tenaga, bukan Ching-ching yang berhutang budi.
Tak berapa lama kemudian, di seluruh gua tercium aroma yang sedap. Baik
Boe-beng-lo-jin maupun muridnya sama tergerak oleh wangi makanan. Mereka
tersadar, ini sudah waktunya mengisi perut. Kalaupun latihan dilanjutkan dengan
perut yang kosong, hasilnya tak akan sebaik latihan dengan pikiran dan perut
yang tenang. Oleh sebab itu, Boe-beng-lo-jin menyuruh muridnya berhenti
berlatih.
“Siauw Kui, makan!” seru Ching-ching yang datang membawa ikan yang dibakarnya.
“Kebetulan aku memang sudah lapar,” Siauw Kui bersorak. “Wah, apakah ini hari
kau ulang tahun? Kenapa memasak banyak sekali?”
“Kau berlatih hampir seharian, tentulah merasa lapar. Maka itu, aku masak yang
banyak.”
“Oh iya, aku hampir lupa. Soe-hoe, marilah bersantap bersama.”
“Aku tidak lapar,” ujar Boe-beng-lo-jin ketus. Sayangnya, perut sang guru justru
berbunyi tepat sehabis berkata.
“Soe-hoe, jangan terlalu sungkan. Marilah.”
“Aku masih kuat cari makanan sendiri.”
“Ayolah. Anggap saja Tee-coe bermohon kepadamu,” kata Siauw Kui yang tahu
kesombongan soe-hoenya.
Ching-ching tidak melarang. Meski tidak berniat mengajak Boe-beng-lo-jin, entah
kenapa ia memasak terlalu banyak buat dua orang. Ia diam saja membiarkan Siauw
Kui melayani gurunya. Diam-diam ia ingin tahu juga apa kata orang tua itu.
“Soe-hoe, bagaimana masakan istriku?” tanya Siauw Kui ketika Boe-beng-lo-jin
mengambil ikan untuk keempat kali.
“Masih kalah jauh dengan ikan bakar yang pernah aku makan sewaktu kecil dulu.
Dibandingkan itu, boleh dikata masakan istrimu tidak ada apa-apanya. Tidak lebih
baik dari ikan hangus di kota—“
“Oh, jadi kau tak suka masakanku, ya. Baiklah kau tak usah makan!” Ching-ching
merebut ikan yang dipegang Boe-beng-lo-jin, juga yang ada di tangan Siauw Kui.
Ia berlari ke tirai air terjun dan melemparkan semuanya ke bawah. “Nah, semua
sudah kubuang. Kau tak usah makan lagi.”
“Kalau tidak dipaksa-paksa, aku juga tidak mau?”
“Apakah ada yang menodongkan pedang ke lehermu? Apakah ada yang mau membunuhmu
kalau kau tidak makan masakanku? Tidak ada seorang yang mengancammu. Dan,
sungguh tak tahu diri orang yang tak sudi makan masakanku, tapi hampir
Ching Ching 198
menghabiskan empat ekor ikanku!”
“Kalau kau suka, biar kukembalikan padamu.” Boe-beng-lo-jin memasukkan jarinya
ke mulut supaya memuntahkan apa yang sudah dimakan.
“Soe-hoe, jangan! Ching-ching, kau jangan berkata demkian. Tadi bukankah aku
yang bermohon kepada Soe-hoe. Beliau tentu tak tega menolak.”
“Baru jadi murid belum tiga hari saja sudah mati-matian membela. Apalagi
setahun,” gerutu Ching-ching. Ia lantas melengos masuk ke dalam.
“Kebetulan iblis itu pergi. Kita bisa berlatih dengan tenang. Marilah!”
Boe-beng-lo-jin mengajak muridnya.
Dalam beberapa hari itu memang Ching-ching tidak mengganggu, tetapi
Boe-beng-lo-jin bergirang terlalu cepat. Hari kelima gadis itu mulai lagi. Ia
datang di tengah-tengah Siauw Kui berlatih.
“Siauw Kui, ingat tidak apa yang kuajarkan kemarin. Hayo, kau hafalkan
sekarang.”
“Tapi aku sedang—“
“Tidak peduli, kau sudah berjanji, bukan?”
“Bocah iblis, tidak kau lihat ia sedang berlatih? Kenapa kau tidak tinggal di
sarangmu menunggu semuanya beres?”
“E-e-e, Monyet Tua, bukankah kau sendiri yang membolehkan aku meneruskan
pengajaranku dalam boen? Sekarang kenapa engkau melarang-larang?”
“Kau ….”
“Hayo, Siauw Kui, hafalkan sajak yang semalam itu.”
Siauw Kui tidak membantah. Ia menghafalkan buru-buru supaya Ching-ching merasa
puas dan meninggalkan dia dengan gurunya. Pemuda itu tak mau nanti keduanya
bertengkar lagi, apa pun jika sampai berkelahi. Sayang, lantaran menghafal
terburu-buru ia malah lupa semuanya.
“Pokoknya sebelum hafal, kau tak boleh berlatih boe,” ancam Ching-ching.
Siauw Kui mengingat-ingat. Kini giliran Boe-beng-lo-jin tidak sabaran. Ia
mendengus-dengus lantaran sebal. “A-kui, kau latihan dulu sendiri. Nanti begitu
aku balik, apa yang kuajarkan kau mesti dapat melakukan dengan baik. Kalau
tidak, jangan salahkan aku nanti terpaksa mengusir setan betina itu dengan
kakiku.”
“He, kau mau menantang? Kenapa tidak secara berterang saja?” Ching-ching siaga
berkelahi.
“Hah, kalau begitu, jangan bilang aku berlaku kejam padamu. Kau akan kuhajar
pontang-panting!”
“Kau sendiri yang nanti terbirit-birit!” balas Ching-ching.
“Kalian bolehkan diam? Aku kini malah jadi pusing sekali,” kata Siauw Kui.
“Aku diam kalau monyet tua itu tidak mengoceh,” Ching-ching mengajukan syarat.
“Aku tak akan ngomong kalau iblis betina jelek itu tak banyak bertingkah.”
“Bagus. Kamu orang tak boleh diajak damai. Biar aku saja yang pergi.” Dengan
roman menyatakan kesal hatinya, Siauw Kui meninggalkan dua orang yang berebut
dia. Tinggallah dua-duanya saling menyalahkan.
“Lihat hasil perbuatanmua!” tuduh Ching-ching.
“Kalau bukan lantaran kau, mana dia bisa marah sedemikian,” Boe-beng-lo-jin
balas menyalahkan.
“Oh? Lihat saja, kalau bukan lantaran aku, mana dia mau berbaik padamu.”
“Kata siapa?”
“Kataku, tentu saja.”
“Kau berkata bohong.”
Ching Ching 199
“Coba saja kau pikir dengan otak pikunmu. Dia kenal aku lebih lama daripada kau.
Sudah terang ia akan lebih mendengar kataku ketimbang kau punya nasihat."
Boe-beng-lo-jin menjebi. “Aku tak percaya. Tapi, sekarang ini ia tak butuh
nasihat. Kau pasang omonglah dengannya supaya ia tak marahan lagi pada kita.”
“Kita? Kau sendirian, maksudmu itu?”
“Apa maumulah.” Boe-beng-lo-jin tak sudi lama-lama bersama Ching-ching. Ia
segera menghilang di kegelapan gua.
Ching-ching segera mencari Siauw Kui. Ia sendiri sebenarnya kuatir pemuda itu
marahan dan tak suka lagi bertemu dengannya. Ia mencari ke semua tempat, namun
pemuda itu belum ditemukan juga. Mendadak Ching-ching teringat satu tempat yang
diketahui cuma oleh berdua. Ia segera menuju ke gua sempit yang pernah mereka
temukan. Benar saja. Siauw Kui ada di situ, cemberut pada sebuah batu.
“Siauw Kui,” Ching-ching mengambil, namun yang memanggil tidak menyahut. Gadis
itu lantas mendekati sahabatnya yang sedang ngambek. “Apakah kau marah betulan?
Kau tak mau bicara padaku? Kalau kau tak mau, aku bicara sendiri saja.”
Siauw Kui pura-pura tak mendengar.
“Kau tak mau bilang, kenapa kau ngambek? Apa lantaran aku berebut mengajari
kamu? Kau tak suka diajari olehku?” Lalu dengan lagak meniru Siauw Kui, gadis
cilik itu melanjutkan. “Bukan begitu, aku cuma kesal kau dan Soe-hoe tak pernah
akur.” Ia menyambung dengan suaranya sendiri. “Salah gurumu. Ia selalu meledek.”
“Sebenarnya bukan semua kesalahan Soe-hoe. Kau juga tak jarang duluan mencari
gara-gara,” kata Siauw Kui.
“Kau menyalahkan aku?”
“Bukan begitu. Tapi, tolonglah sementara waktu, kau jangan ganggu terus-terusan.
Nanti kalau Soe-hoe marah—“
“Siapa takut soe-hoemu!”
“Aku. Kalau dia marah dan aku yang kena akibat, bagaimana?”
“Tak usah takut, ada aku!”
“Lagipula kalau seumur hidup kita tinggal di sini tak dapat keluar, mau tak mau
harus hidup dengan dia. Kalau kamu berdua terus bermusuhan, bagaimana bisa
senanghidup di sini? Paling tidak aku terjepit di antara kalian,” Siauw Kui
mengeluh. “Lagian, Ching-ching, aku benar-benar kepingin belajar silat, biar
mahir. Nanti kalau kita sudah bisa keluar dari sini, kau tak usah malu lagi
berjalan denganku.”
“Kau anggap aku selama ini merendahkanmu?”
“Bukan kau, tapi aku merasa begitu.”
“Baiklah. Demi kamu, aku janji tak dekat-dekat si Tua Jelek. Tapi, kalau dia
duluan yang cari gara-gara, kau jangan salahkan aku.”
“Kau memang paling mau mengerti.” Siauw Kui tersenyum senang. “Marilah kau ajari
aku menulis sekarang. Selain boe, aku juga kepingin pandai dalam boen.”
Ching-ching memenuhi janji. Sebisa mungkin ia menghindari bertemu dengan
Boe-beng-lo-jin. Ia tak mau Siauw Kui marah. Kalau pemuda itu sampai
memusuhinya, ia bakal tak punya teman di gua yang sempit dan pengap itu. Tapi,
sampai beberapa waktu ia masih senang mengganggu apabila sobatnya sedang
berlatih. Sengaja dengan khi-kang ia membacakan sajak terkenal, atau menyanyi
atau membuat segala macam keributan yang membuat Boe-beng-lo-jin tak dapat
mengajari Siauw Kui. Pemuda itu sendiri sudah tak ambil peduli lagi. Semenjak
peristiwa tempo hari, sudah jauh-jauh hari ia berlatih tidak mendengar bilang
Ching-ching merecoki. Mana tahu, justru Boe-beng-lo-jin yang tak dapat.
Kali itu giliran Ching-ching yang mengajari Siauw Kui, tetapi si pemuda sedang
Ching Ching 200
terlalu bersemangat dan tidak betah duduk saja menghafalkan segala macam sajak.
“Ching-ching, ini hari aku tak ingin belajar sastra. Bolehkah berlatih silat
saja?”
“Dengan monyet tua itu? Tidak boleh!”
“Di sini saja dengamu. Kau bisa lihat sampai di mana pelajaranku. Kalau ada yang
salah, kau juga dapat memperbaiki.”
“Baiklah. Coba kaulakukan!”
Siauw Kui memamerkan apa yang dipelajari dari Boe-beng-lo-jin. Ia bergerak
dengan cepat dan bersemangat. Tak disadarinya, selain Ching-ching ada sepasang
mata lain mengintai. Gurunya tersenyum bangga melihat betapa mantap Siauw Kui
melakukan semua. Kuda-kudanya, pukulannya, sempurna. Guru mana tak akan bangga
melihat anak muridnya berhasil?
“Bagaimana?” tanya pemuda itu ketika selesai satu jurus. “Apakah sudah bagus?”
“Bagusnya sih bagus, tapi masih belum sempurna.”
“Ah, masa?” Siauw Kui nampak tak percaya. Di tempatnya sembunyi, Boe-beng-lo-jin
juga menjebi. Paling juga lantaran Ching-ching sentimen, begitu sangkanya.
“Eh, tak percaya. Kau salah melakukan pernapasan. Tempo hari sewaktu aku
bertempur dengan si Setan Tua itu, ia gunakan jurus yang barusan kau mainkan.
Dari situ aku sempat perhatikan sewaktu dia menarik pukulan yang ketiga,
napasnya belum dibuang. Setelah selesai melakukan tendangan, nah baru napas
boleh dilepas. Dan waktu kau memukul, kuda-kudamu kurang kuat. Kalau ada orang
tak takut kena pukul dan malah menyerang menyapu kaki, kau akan jungkir-balik di
tanah,” kata Ching-ching menunjukkan kesalahan.
“Ehm, barangkali benar. Coba sekali lagi.” Siauw Kui bersiap mengulangi.
“Tidak boleh!” mendadak Boe-beng-lo-jin keluar dari tempatnya sembunyi. “Siapa
kasih permisi kau mengajari ilmuku kepada orang lain?”
“Siapa yang—“ Ching-ching hendak membantah.
“Dan kau, setan betina! Diam-diam kau mencuri ilmuku yah?”
“Siapa kesudian!” tukas Ching-ching. “Ilmu kampungan seperti itu, mana aku sudi
belajar.”
“Mau mungkir? Lantas tadi itu apa hayo?:
“Aku cuma memberi petunjuk!”
“Sebelum memberi petunjuk, apa bukan mencuri ilmu?”
Ching-ching cemberut terdiam. Kalau dipikir, ada benarnya juga apa yang
dikatakan Boe-beng-lo-jin.
“Hehehe. Dia mengaku punya ilmu kelas atas, tak tahunya masih juga mencuri ilmu
orang lain. Tak tahu malu.”
“Tak sudi aku!”
“Kalau betul tak sudi, coba buktikan. Selama A-kui belajar silat, kau tak boleh
dekat-dekat.”
“Baik!” sambung Ching-ching.
“Ingat saja janjimu!” kekeh Boe-beng-lo-jin, membuat Ching-ching kesal setengah
mati.
Sesudah itu, memang Ching-ching tak mau dekat-dekat Siauw Kui bila sedang
berlatih, tapi bukan berarti dia membolehkan pemuda itu belajar dengan tenang.
Si gadis bandel masih saja mengganggu dengan bermacam-macam keributan yang bikin
kepala Boe-beng-lo-jin serasa mau pecah. Sampai suatu ketika, Pendekar Tua itu
tak tahan lagi. Suatu siang sementara Siauw Kui berlatih, ia mendekati
Ching-ching.
“Mau apa kau?!” tanya Ching-ching bercuriga.
Ching Ching 201
“Eh, kau jangan melotot. Kali ini maksudku baik!”
“Uh, setan tua macam kau mana ada maksud baik kepadaku. Aku tak percaya.”
“Baiklah, aku bukannya mau baik padamu, tapi demi muridku.”
“Apa lagi? Bukankah maumu sudah banyak kuturut?”
“Kau memang tak bisa diajak berdamai. Terus terang saja, aku mau mengusirmu!”
“Tak usah diusir juga, kalau dapat, aku dan Siauw Kui sudah minggat sejak
setahun lalu.”

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2 ini diposting oleh ali afif pada hari Selasa, 11 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments