Cerita Ngentot Sutradara Ayu : PKK 8
- Cerita Dewasa Model Indo : PKK 7
- Cerita Seks Model Baru : PKK 6
- Cerita Ngentot Model Cantik : PKK 5
- Cerita Ngentu Model Pendatang Baru : PKK 4
- Cerita Ngentot Model Anyar : PKK 3
- Cerita Dewasa Model Indonesia : PKK 2
- Cersil Baru Terbit : Pedang Kunang Kunang
Gak Lui.
“Dan kudengar pula bahwa si Pengemis Ular hendak
menyerang Ceng-sia-pay. Maka kuperlukan datang
kemari untuk membantu barisan orang gagah dan
menumpas penghianat itu untuk membersihkan nama
Kay-pang !”
Gak Lui tertawa: “Ya, kalau dapat dipersatukan
kembali, alangkah tepatnya kalau cianpwe yang
memegang tampuk pimpinan. Selain dapat
mengendalikan partai Kay-pang, pun merupakan suatu
berkah bagi dunia persilatan.” Setelah itu Gak Lui lalu
berkata kepada Pok Tin: “Kedatangan saudara ini tentu
membawa berita baik !”
Pok Tin tertawa gelak2: “Benar, aku sudah
menemukan sarang penjahat itu !”
“O !”
“Sebenarnya hal itu terjadi secara tak sengaja. Dalam
mencari jejaknya aku tak mempunyai arah tertentu.
Tetapi pada waktu melintasi gunung Hek-san, aku
menemukan sedikit jejak.”
“Apakah itu ?”
“Pada waktu masuk kedaerah gunung itu, saat itu
716
pada tengah malam, Kulihat sebuah penerangan
dipuncak gunung.”
“Lalu ?”
“Aku curiga lalu menghampiri. Kiranya penerangan itu
timbul dari perut gunung tetapi tak ada suatu gerakan,
atau seorang manusiapun yang muncul. Tiba2 aku
menyadari ....”
“Apakah orang sedang membuat api untuk menempa
pedang ?”
“Benar ! Memang demikianlah dugaanku,” tetapi tiba2
Pok Tin berhenti karena merasa keterangannya itu ada
sebagian yang salah. Ia tahu bahwa Pukulan-sakti The
Thay itu seorang yang keras hati. Tak mungkin ia mau
disuruh orang untuk menempa pedang.
“Saat itu ingin sekali aku terus hendak menerobos
untuk melihatnya. Tetapi aku teringat akan pesan supaya
jangan menggunakan kekerasan. Akhirnya aku dengan
hati2 mendekati tempat itu dan benar juga telah
mengetahui jejak dari si Orang Berkerudung.”
“Dan siapa lagi?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Seorang nona yang cantik ...”
“Oh...!” Gak Lui terkejut. Ia duga tentulah The Honglian,
“nona itu bagaimana keadaannya? Ditawan atau ...”
“Jangan kuatir!” Pok Tin tertawa, “nona itu lincah
sekali. Dia juga bersembunyi dalam hutan seperti
menunggu kesempatan untuk turun tangan..”
“Adakah kalian tak saling jumpa dan adakah engkau
717
tak memberitahukan keadaanku kepadanya?” tanya Gak
Lui.
“Ini ... tidak,” Pok tin tertegun, “aku tak tahu kalau
kalian sudah saling kenal. Maka aku malah bersembunyi
seperti orang yang main kucing2an.”
“Tak apa,” kata Thian Lui, “pedang pusaka itu sudah
kudapatkan dan kita segera mencari mereka.”
“Perlukah kubantu?”
“Ah, tak perlu merepotkan saudara.” Pok Tin
melangkah maju setengah tindak, katanya: “Aku sendiri
memang mempunyai urusan juga.”
“Soal apa?”
“Demi urusanmu, aku terpaksa menahan keinginan
hati untuk bertempur. Tetapi kalau engkau hanya
seorang diri dan musuh berjumlah tujuh sampai delapan
orang, seharusnya engkau bagi kepadaku yang dua atau
tiga orang!”
Mendengar itu tahulah Gak Lui bahwa Pok Tin
kambuh lagi penyakitnya untuk menantang orang
bertanding pedang. Maka ia tertawa : “Kelak dalam rapat
di Ceng-sia, tentu yang hadir terdiri dari golongan Putih
dan Hitam tentu banyak yang hadir. Jika hendak mencari
orang itu untuk diajak bertanding, tentulah cukup banyak
...”
“Kalau siorang berkerudung itu sudah engkau bunuh,
mana ada rapat lagi?”
“Ah, saudara keliru,” kata Gak Lui, “Kaki tangan
Maharaja Persilatan banyak sekali. Boleh dikata seluruh
kaum persilatan golongan Hitam, menjadi kaki
tangannya. Gerombolan orang berkerudung dapat
kubasmi tetapi kaum durjana tetap masih banyak!”
718
“Soal itu .....” tengah Pok Tin masih merenung, kedua
ketua partai Pengemis dan Jembel itu segera ikut campur
bicara : “Ah, tak perlu kiranya saudara kecewa. Nanti
apabila terjadi pertempuran dahsyat, saudara pasti akan
kita minta ikut. Pasti puaslah!”
“Apakah saudara ketua berdua berani menjamin?”
“Dalam lain2 hal tak berani tetapi dalam hal itu kami
berani memberi jaminan.”
“Baik,” akhirnya Pok Tin mau mengalah. Gak Luipun
memberi hormat minta diri kepada ketiga orang itu.
Tetapi baru ia hendak melangkah pergi, si Raja-sungai
Gan Ke-ik mencegahnya : “Tunggu dulu! Tadi istana Bikiong
tiba2 meledak sehingga kami terkejut sekali.
Mengapa hal itu terjadi seharusnya engkau
menerangkan kepada kami.”
Sejenak berdiam diri, akhirnya Gak Lui menerangkan
dengan terus terang : “Ya, aku sudah berhasil
mendapatkan pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam dari
perguruanku.”
“O...” ketiga tokoh itu serentak berseru kejut dan
terbeliak. Pedang Thian-lui-koay-kiam itu merupakan
pedang yang sudah hampir terlupakan dalam dunia
persilatan. Mereka ingin tahu bagaimana keadaan
pedang yang termasyhur itu.
“Dapatkah kami melihat sebentar pedang pusaka
yang termasyur itu?” lebih dulu Raja-sungai Gan Ke-ik
atau ketua partai Gelandangan bertanya paling dulu. Gak
Lui mempunyai kesan yang baik terhadap ketiga orang
itu. Setelah merenung sejenak ia mengangguk : “Baik,
sayang tak ada sesuatu yang menarik pada pedang itu,”
ia terus membuka bungkusan kain baju. Demi melihat
keadaan pedang yang tak menyerupai pedang melainkan
719
seperti sebatang tongkat batu, ketiga tokoh itu leletkan
lidah karena merasa heran. Beberapa saat kemudian
berkatalah si Raja-sungai pula : “Gak sauhiap, pedang
termasyur itu benar2 sesuai dengan namanya yalah
Koay atau aneh ...” Juga ketua Partai Kay-pang
menambahi pendapat rekannya :
“Sepintas pandang tidak lagi menyerupai pedang
melainkan seperti sebatang tongkat batu ...” Pun Pok Tin
ikut memberi komentar, “Saudara Gak, kalau begitu tak
dapat melihat jelas. Maukah engkau menariknya keluar
batang pedangnya?”
“Maaf,” kata Gak Lui dengan wajah serius lalu
memanggul pedang itu lagi, “untuk saat ini pedang
pusaka ini belum dapat dicabut keluar. Kelak saja
kuunjukkan pada saudara2.” Ketiga orang itu menduga
tentu ada sesuatu yang terjadi pada pedang pusaka itu.
Maka merekapun tak mau banyak bertanya.
“Saudara Gak,” tiba2 Raja sungai Gan Ke-ik buka
suara lagi,
“kabarnya engkau telah berjumpa dengan Kaisar
Persilatan dan mendapat pusaka Thian-liong-kim-jiu.
Sudah bertahun tahun aku tak berjumpa dengan Li
tayhiap itu. Dengan melihat pusaka Kim- jiu, berarti sama
dengan melihatnya.”
“Baiklah,” Gak Lui tak keberatan atas permintaan
orang. Dengan hati2 ia mengeluarkan pusaka pemberian
Kaisar Persilatan itu. Ketika melihat pusaka itu
terkenanglah si Raja-sungai akan peristiwa yang lampau
dimana ia dahulu bersama Kaisar Persilatan, berjuang
bahu membahu untuk membasmi kawanan durjana
persilatan. Ketua Partai Gelandangan itu termangumangu
mengenangkan masa yang lampau dengan
720
Kaisar Persilatan ... Sebenarnya Gak Lui ingin lekas2
pergi tetapi karena melihat ketua Partai Gelandangan itu
masih tertegun sambil mencekal pusaka Kim-jiu,
terpaksa ia segan untuk mengganggunya. Dalam pada
menunggu itu, Gak Lui menyempatkan diri untuk
berpaling memandang kearah istana Bi kiong diatas
gunung Bu- san. Berbareng pada saat itu, si berangasan
Pok Tinpun ikut berpaling memandang kearah gunung
itu. Tetapi matanya cepat tertarik akan sesuatu yang
terdapat pada barisan batu2 aneh dari ke enam puncakgunung
lapisan luar. Ia kerutkan dahi.
Pada saat sekalian orang sedang terbenam dalam
kenangan masing2, tiba2 Pok Tin loncat ke-arah barisan
batu itu dan secepat kilat kedua tangannya menaburkan
sepuluh batang pedang-terbang. Sekalian kawannya
terkejut tetapi cepat mereka tahu tentulah tindakan si
berangasan itu mempunyai sebab. Ketika mereka
mencurahkan mata kearah barisan batu itu segera
samar2 mereka melihat sesosok tubuh manusia sedang
bersembunyi dalam barisan itu. Belum mereka tahu siapa
orang itu, Pok Tin sudah kedengaran berseru, “Hai,
Orang berkerudung, kiranya engkau juga muncul !”
Kejut Gak Lui bukan alang kepalang. Kalau
gerombolan Manusia- berkerudung-muka itu masih
berada digunung Hek-san menempa pedang, tak
mungkin mereka muncul disitu. Dan sekalipun datang,
juga tak mungkin mampu masuk kedalam barisan batu
digunung Bu-san. Kalau begitu pendatang yang
bersembunyi dibalik barisan batu itu tentu si Maharaja
sendiri. Ya, tak dapat disangsikan lagi. Dendam darah....!
Musuh besar....! Seketika meluaplah darah Gak Lui.
Apalagi ketika melihat si brangasan Pok Tin sudah maju
menyerang, tentu berbahaya. Serentak tubuh Gak Lui
berputar dan dengan gerak kecepatan yang hampir tak
721
dapat dipercaya, tubuhnyapun sudah melambung
keudara. Saat itu dari barisan batu berhembus angin
yang mengandung tenaga-dahsyat. Tring, tring....
taburan ke 10 pedang dari Pok Tin tadi pun berhamburan
jatuh keempat penjuru. Tetapi si brangasan Pok Tin tetap
nekad menyerbu kedalam barisan batu.
“Celaka!” Gak Lui mengeluh. Tepat pada saat itu
terdengar letupan keras. Tubuh Si berangasan Pok Tin
yang tinggi besar, bagai sebuah layang2 yang putus tali
terdampar berputar-putar diudara. Dengan
menyemburkan darah, dia meluncur turun dan rebah tak
bangun lagi. Kejadian itu berlangsung dalam waktu
sekejab mata hingga Gak Lui tak keburu memberi
pertolongan lagi. Bahkan ketua Partai Pengemis dan
Partai Gelandanganpun memburu kedalam barisan untuk
menolong, tetapi tetap terlambat. Pada saat Gak Lui
meluncur kedalam barisan, rupanya orang berkerudung
muka itu tak mau melayani. Dengan sebuah loncatan dari
ilmu Meringankan tubuh yang mengagumkan, orang itu
melayang mundur sampai tiga lapis batu disebelah
belakang lalu menyelinap ke sebelah kiri. Sekalipun
orang itu membelakangi dan mengenakan jubah hitam,
tetapi mata Gak Lui yang tajam cepat dapat mengenali
punggung orang itu. Hatinya tegang sekali. Baru ia
hendak melambung keudara lagi, tampak kedua ketua
partai perguruan itu sudah menyusup kebelakang
gunung. Tampak pula wajah mereka seperti orang yang
bingung karena tak dapat menemukan jalan. Rupanya
mereka seperti tersesat. Karena hal itu, perhatian Gak
Lui beralih tercurah kepada keadaan kedua ketua partai
perguruan itu, serunya: “Tiga langkah, belok ke-kiri !”
Kemudian seperti bintang meluncur, Gak Lui gunakan
gerak Ni- coan-ngo-heng untuk menyerbu kedalam
barisan batu. Tetapi orang berkerudung muka itu juga tak
722
kalah gesitnya. Tetapi rupanya ia faham akan barisan
batu itu. Setelah setengah li, ia teringat akan seruan Gak
Lui kepada kedua ketua partai persilatan tadi. Maka
iapun menirukan. Setiap tiga langkah, membiluk kekiri.
Oleh karena itu setelah melalui beberapa tikungan,
akhirnya ia dapat dikejar Gak Lui. Kini keduanya saling
berhadapan, Mereka saling mendesuh kejut. Terutama
Gak Lui. Dia cepat mencabut sepasang pedang.
Mulutnya berbuih, mata memancarkan sinar
pembunuhan yang seram .... Kiranya orang berkerudung
yang berada di-hadapannya itu bukan lain yalah si
Maharaja Persilatan sendiri. Durjana yang ganas tetapi
sakti.
Dengan mengerut geraham menahan dendam
kebencian, berserulah Gak Lui dengan nada sedingin es
: “Bangsat keparat ! Karena sudah berani masuk ke
Busan jangan engkau mimpi akan lari dari sini. Dengan
cara Tiga-langkah-biluk-ke-kiri yang tolol itu, jangan
harap seumur hidup engkau mampu keluar dari sini ....”
“Heh, heh, heh.....” orang itu mengekeh seram,
“Budak kecil Gak, sebenarnya aku sudah keliwat berlaku
murah hati kepadamu tetapi engkau sendiri yang tetap
hendak cari mati. Dan lagi kali ini ... hm, hm , .. aku tak
memerlukan keteranganmu lagi .....”
“Engkau tak perlu bertanya tentang keempat Bu-san
Su-kiam itu lagi?”
“Ha, orang sudah mati, tak perlu ditanyakan lagi !”
sahut Maharaja.
Mendengar itu serentak teringatlah Gak Lui akan
keterangan nona Yan-hong si Burung-hong-cantik dari
Busan, bahwa nona itu telah memberi pertandaan
dengan dahan pohon pada goha tempat pemakaman
723
ayahnya tetapi ternyata dapat diketahui orang. Nona itu
tak tahu siapakah orang yang menyelundup untuk
menyelidiki jenazah ayahnya. Tetapi kecurigaannya jatuh
kepada diri Tio Bik lui. Kini setelah mendengar kata2 si
Maharaja, barulah Gak Lui menyadari bahwa yang
melakukan perbuatan itu tentulah si Maharaja. Gak Lui
gemerincingkan pedangnya seraya berseru bengis :
“Rupanya semua keinginan sudah terpenuhi. Nah,
lekaslah engkau memberitahukan namamu sebelum
menerima kematian !”
“Memberi tahu nama ?” Maharaja mengulas heran.
“Menangkap bintangpun tahu namanya, masakan
engkau manusia tak bernama ?” balas Gak Lui.
“Heh, heh,” Maharaja mengekeh, tubuhnya menggigil
menahan kemarahan, kemudian dengan menekan
perasaan ia menyahut:
“Aku sudah mempunyai gelar kehormatan. Mengapa
harus menggunakan nama dahulu lagi ? Dan lagi
engkau….”
“Aku bagaimana ?”
Maharaja menatap Gak Lui dengan pandang berkilat2.
Menyusuri seluruh tubuh Gak Lui, dari kaki sampai
ujung kepala. Dengan nada agak meragu, Maharaja
berseru : “Dimana pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam
yang engkau curi itu ? Lekas serahkan padaku !”
“O, engkau menanyakan pedang itu ?”
“Benar !” Gak Lui tengadahkan kepala tertawa
nyaring. Kiranya karena pedang pusaka itu dibungkus
dengan kain dan dipanggul dipunggung, karena
bentuknya sudah tak menyerupai seperti pedang lagi,
maka seorang durjana julig semacam Maharaja pun tak
724
dapat mengenalinya. Maka sambil kisarkan langkah, Gak
Lui tak mau menjawab bahkan balas bertanya : “Kecuali
pedang, masih ada sebuah pusaka lagi. Mengapa tidak
engkau tanyakan ?”
“Pusaka yang mana ?” Maharaja pura2 tak tahu.
“Pusaka Thian Long-kim jiu !”
“Ini ...”
“Perlu apa engkau berlagak pilon ? Bukankah sudah
beberapa kali engkau suruh orangmu untuk merebut ?
Masakan engkau lupa !”
Sambil meneguk air liur, Maharaja membentak :
“Jangan ngacau balau ! Yang kutanyakan padamu
sekarang ini yalah soal pedang itu !”
Diam2 Gak Lui menimang, ia tahu bahwa Maharaja
itu tentu menginginkan kedua benda pusaka itu. Tetapi
karena ia belum tahu jelas tentang pedang Thian-luikoay-
kiam, maka ia menekankan pertanyaan pada benda
itu. Sambil gentakkan bahu dan menunjuk pada
bungkusan kain yang dipanggulnya, Gak Lui berseru :
“Benda itu berada padaku, engkau dapat melihat atau
tidak ?”
“O….” Maharaja mendesuh kejut dan menyurut
mundur dua langkah kebelakang. Wajahnya berobah2
tak menentu. Melihat kerut wajah dan sikap orang,
tahulah Gak Lui bahwa orang sudah ber-siap2 hendak
turun tangan. Tetapi agaknya Maharaja itu masih gentar
akan pedang pusaka yang berada ditangan lawan. Pada
saat Maharaja masih ragu2, Gak Lui-pun diam2 sudah
kerahkan tenaga-dalam dan secepat kilat taburkan
sepasang pedangnya. Bagaikan dua buah petir yang
menyambar, yang satu menusuk kening dan yang satu
725
menusuk dada lawan. Maharaja sebenarnya sudah tahu
bahwa Gak Lui sudah mendapat warisan ilmu dari Samcoat
(Tiga durjana) dan Sam yau (Tiga siluman), enam
tokoh persilatan yang termasyhur. Tetapi setitik-pun
Maharaja tak menduga sama sekali bahwa Lengan-besihati-
baik juga telah menyalurkan tenaga murninya
kepada anak muda itu.
Melihat kedahsyatan serangan lawan, Maharaja
batalkan rencana untuk mengalah sampai beberapa
jurus. Setelah dapat keterangan jelas tentang pedang
pusaka itu, barulah ia turun tangan membalas. Tetapi
ternyata perhitungannya meleset. Serangan Gak Lui
sedemikian cepat dan maut sehingga ia tak keburu untuk
mencabut pedang lagi. Untunglah berkat pengalamannya
yang luas dan kepandaiannya yang tinggi, ia masih dapat
mengempiskan dadanya sampai setengah meter
kebelakang. Berbareng itu ia tengadahkan muka dan
kibarkan kepalanya menggunakan jurus Naga-hijaugoyang-
kepala. Wut, wut .... terdengar dua buah arus
angin menderu keras. Sayang karena terlalu bernafsu
sekali untuk membalas dendam sehingga kurang tenang.
Serangannya maut itu dapat dihindari musuh hanya pada
jarak seujung rambut saja. Sebenarnya dalam ilmu
tenaga-dalam, sekarang Gak Lui sudah tak kalah dengan
Maharaja. Hanya dalam pengalaman memang ia masih
kalah. Juga dalam soal keyakinan, ia kalah jauh dari
Maharaja yang sudah berjerih payah meyakinkan ilmu
kepandaian sakti selama berpuluh tahun.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Serangannya luput, Gak Lui makin kalap. Hanya
berhenti dalam sekejap saja, tampak tubuh Maharaja
sudah menggelembung besar. Kelima jarinya yang
726
menyerupai cakar baja segera mencengkeram bahu
lawan. Sebenarnya Gak Lui tak gentar sama sekali
menghadapi Maharaja itu. Tetapi ia mencemaskan
pedang Thian-lui-koay-kiam itu akan timbul
keanehannya. Cepat ia kisarkan langkah menghindar lalu
kiblatkan pedang Pelangi membelah dada lawan. Apabila
tokoh persilatan kelas tinggi saling bertempur, kalah
menang itu dapat ditentukan dalam sekejap mata.
Maharaja karena congkak, maka dalam babak pertama ia
terdesak. Tetapi Gak Lui karena terlalu bernafsu,
permainan pedangnyapun kurang mantap.
Pada saat Gak Lui menggerakkan pedang, dengan
mendengus dingin, Maharaja sudah menarik pulang
tangannya yang hendak merebut senjata lawan tadi, dan
serempak dengan miringkan tubuh ia terus hendak
menyambar pergelangan tangan Gak Lui. Gak Lui tahu
bahaya tetapi sudah tak keburu lagi hendak menghindar.
Seketika tangannya serasa membentur aliran listrik. Lima
buah jalan darah pada pergelangan tangannya telah
dicengkeram lawan .... Keadaan itu sungguh berbahaya
sekali. Apabila Maharaja menekankan kuku2 jarinya yang
runcing, tangan Gak Lui pasti hancur lebur. Dalam
gugup, untunglah Gak Lui cepat timbul akalnya. Buru2 ia
gunakan ilmu tenaga dalam Kian-gun-it-sat atau Algojodunia,
untuk menyedot tenaga lawan.
Alangkah kejut si Maharaja ketika dapatkan tangan
pemuda itu selemas kapuk dan memancarkan daya
sedot yang keras. Ia seorang tokoh yang kaya
pengalaman. Tahu hal itu berbahaya, cepat ia menarik
tangannya dan hendak loncat kebelakang. Tetapi pedang
Pelangi yang dimainkan Gak Lui tadi belum sempat
dihentikan dan masih melayang itu dapat disambar
Maharaja. Kejut Gak Lui bukan kepalang. Dengan
mendapat pedang itu, Maharaja seperti harimau tumbuh
727
sayap. Keganasannya pasti menjadi-jadi. Dan lagi
pedang itu adalah pusaka perguruan Bu- tong. Dan ia
sudah berjanji akan mengembalikannya kepada yang
berhak. Dengan direbutnya pedang itu, tentu sukar ia
akan dapat memenuhi janjinya.
Gak Lui nekad. Tanpa memindahkan pedang
ditangan kiri ketangan kanan, secepat kilat sambil
condongkan tubuh ia membabat siku lengan lawan.
Gerak serangan pemuda itu cepatnya bukan kepalang,
tetapi ternyata Maharaja juga tak kalah cepatnya. Apalagi
saat itu ia sudah memegang pedang pusaka yang
tajamnya bukan kepalang.
“Heh, heh, heh ...” sambil tertawa mengekeh
Maharaja taburkan pedang untuk memapas pedang Gak
Lui. Tring, tring ... terdengar dering gemerincing dari dua
batang pedang yang saling beradu. Dalam serangan itu
dan adu pedang itu, pedang Gak Lui yang memancarkan
sinar putih, makin lama tampak makin pandak.
Kebalikannya, pedang Maharaja yang bersinar kehijau
hijauan tetap seperti semula, bahkan makin lama makin
dahsyat gerakannya. Memang pedang yang dimainkan
Gak Lui itu adalah pemberian dari gi-hu atau ayahangkatnya
si Pedang Aneh, terbuat daripada baja murni.
Tetapi mana mampu menandingi pedang Pelangi,
pedang pusaka dari perguruan Bu-tong-pay.
Setelah jurusnya selesai, pedang Gak Lui hanya
tinggal tangkainya saja. Sedangkan serangan Maharaja
makin ganas dan saat itu sedang mengarah kedadanya.
Dalam keadaan terdesak, Gak Lui lontarkan tangkai
pedang itu ke dada lawan. Maharaja tak berani
memandang ringan. Lebih dulu ia menampar tangkai
pedang itu baru kemudian lancarkan serangannya lagi
untuk menusuk ulu hati lawan. Pada saat Maharaja
728
menangkis tangkai pedang, kesempatan itu digunakan
Gak Lui untuk mundur setengah tombak. Walaupun
dengan tangan kosong, tetapi ia tak gentar. Cepat ia
gerakkan tangan kiri menghantam dengan pukulan
Menundukkan-iblis. Sedang tangan kanan secepat kilat
merogoh kedalam baju.
“Heh, heh, serahkan jiwamu!” Maharaja mengekeh
dan songsongkan tangan kirinya menangkis. Pedang
Pelangi dengan kecepatan yang luar biasa menusuk
lawan. Tring .... terdengar benturan benda yang
mendering keras. Gak Lui terhuyung mundur dua
langkah. Tetapi saat itu ia sudah dapat mengambil keluar
pusaka Thian-liong kim-jiu.
“O, kiranya benda itu juga ada padamu!” walau kaget
karena tusukannya membentur benda keras, berobah
menjadi rasa girang sekali ketika melihat pusaka Kim jiu.
Serentak ia perhebat serangan pedangnya dalam
kecepatan yang luar biasa.
(Halaman 64 – 65 tidak ada…)
Memang kedua ketua kaum pengemis dan
gelandangan itu merupakan tokoh2 kelas dalam dunia
persilatan. Tetapi dalam hal ilmu pengetahuan tentang
jalan-darah tubuh manusia, ternyata Maharaja lebih
unggul setingkat. Dalam gugupnya, si Raja-sungai Gan
Ke-ik terpaksa lemparkan pedang dan loncat kebelakang.
Setelah ia gunakan tiga jurus ilmu-istimewa ajaran Kaisar
Persilatan, barulah ia dapat terhindar dari rasa malu
karena pedangnya terbabat kutung. Sedang ketua Kaypang,
masih mending keadaannya. Karena
menggunakan tongkat kumala dan lawan dengan tangan
kosong, cepat ia menarik tongkat untuk melindungi
tubuh. Gerakannya itu ternyata memang tepat pada
saatnya.
729
Dalam pada itu setelah memulangkan napas dan
mengatur tenaga murni, Gak Lui segera mulai
menyerang lagi dengan pusaka Thian-liong-kim jiu.
Demikianlah dalam sebuah tempat yang istimewa dan
jarang terdapat didunia, telah terjadi juga dalam dunia
persilatan. Pedang berkelebat, tongkat menyambar,
pukulan menderu dan anginpun berhamburan laksana
suatu prahara. Batu pecah, pasir berhamburan
membubung keangkasa. Gak Lui gunakan pukulan ilmu
Menaklukkan-iblis, perbawanya seperti menghancurkan
gunung. Sedang pusaka Thian-kim-jiupun menyambarnyambar
memancarkan sinar maut yang merontokkan
nyali orang.
Tongkat-kumala dari ketua Kay-pang, juga sedahsyat
hujan mencurah. Tenaganya makin lama makin menyirap
darah orang. Sedang ketua Partai Gelandangan, si Rajasungai
Gan Ke-ik mengandalkan tiga jurus ilmu-istimewa
ajaran Kaisar Persilatan. Dengan ilmu itu ia dapat
mempertahankan diri. Ditambah pula dengan ilmu
pukulan Api-petir dari perguruannya, iapun dapat
melancarkan serangan balasan. Diserang oleh tiga
musuh yang tangguh, si Maharaja masih tetap congkak.
Ia keluarkan jurus permainan dari kelima partai persilatan
: bu-tong, Ceng sia, Heng-san, Kong-tong dan Siau-lim.
Pedang Pelangi berkelebatan memancar sinar
keempat penjuru. Baik bertahan maupun menyerang,
dilakukan dengan serba cepat. Jelas ia tak kalah angin.
Namun betapapun lihaynya Maharaja, karena dikerubut
oleh tiga tokoh sakti, apalagi kepandaian Gak Lui itu tak
terpaut banyak atau hampir berimbang dengannya,
diam2 ia sudah mengeluh dan membayangkan
kekalahan. Keadaan si Maharaja cepat diketahui Gak
Lui. Maka sambil menyerang, ia membentak bengis:
“Huh, kematianmu sudah hampir tiba, apakah engkau
730
tetap tak mau memberitahukan namamu yang aseli...?”
Ucapan pemuda itu bagai air dingin yang mengguyur
kepala Maharaja. Tubuhnya gemetar. Matanya
berkeliaran dan cepat ia memutuskan untuk meloloskan
diri ....
“Baik, kalian dengarkanlah yang jelas,” ia tertawa
nyaring sambil menarik serangannya. Gak Lui dan kedua
kawannya pun perlambat serangannya dan pasang
telinga. Nama aseli dari Maharaja itu memang
merupakan rahasia besar dalam persilatan. Setiap orang
persilatan ingin sekali mengetahui. Gak Lui bertiga ingin
menyiarkan berita nama aseli dan kematian dari si
Maharaja kepada dunia persilatan. Maharaja meneguk
air liur, tiba2 ia ngangakan mulutnya. Seketika ketiga
orang itu rasakan matanya pudar, kepala pening dan
kakipun miring sehingga tubuh mereka hampir rubuh.
Ternyata pada saat ketiga lawannya menumpahkan
perhatian, bukan menyebutkan namanya yang aseli
tetapi kebalikannya Maharaja malah dengan sekuat
tenaga menghamburkan ilmu suitan Pencabut nyawa.
Sebuah ilmu suitan yang tenaganya dapat
menghancurkan batu dan kumandangnya menembus
awan dilangit .......
JILID 15
Yang pertama terkena pengaruh suitan Pengikatnyawa
adalah ketua Kay-pang Ong Ping-gak. Ia
lepaskan tongkat kumala dan menutup telinganya lekat2.
Kepalanya bercucuran keringat dingin. Menilik sikapnya,
rupanya ia menderita kesakitan hebat! Raja-sungai Gan
Ke-ik masih mendingan. Dalam gugup ia masih dapat
menyalurkan tenaga-murni lalu tekankan pedang ke
tanah untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Gak Lui
731
terkejut. Tanpa menghiraukan keselamatan diri, ia
ulurkan tangan kiri untuk menyangga tubuh ketua Kaypang.
Lalu ia sendiri menutup ketujuh lubang indera,
untuk melawan pengaruh suitan maut itu ..... Tetapi
setelah mendapat angin, Maharaja tak mau kendorkan
serangannya. Ia makin memperdahsyat suitannya. Bluk
... bluk ... terdengar dua suara tubuh jatuh ke tanah.
Raja- sungai Gan Ke-ik dan ketua Kaypang susul
menyusul rubuh ke tanah. Gak Lui memang masih dapat
bertahan tetapi saat itu pikirannya sudah kacau, kaki
tangan lemas. Buru2 ia memeluk pusaka Thian-liongkim-
jiu ke dada untuk melindungi uluhati. Dengan
tindakan itu ia memang berhasil dapat bertahan. Tahu
kalau lawan itu sudah hilang daya perlawanannya, si
Maharaja kendorkan suitannya, mengisar langkah lalu
ulurkan tangan kiri. Dengan ujung jari tengah ia menutuk
belakang kepala ketua Kaypang.....
“Aneh, dia mempunyai pedang pusaka mengapa
memakai ujung jari? Apakah maksudnya ?” walaupun tak
dapat bergerak, tetapi diam2 Gak Lui merasa heran
melihat gerak gerik si Maharaja. Tetapi cepat sekali ia
menemukan jawabannya. Kiranya bukan karena murah
hati tak mau membunuh, melainkan tindakan si Maharaja
itu bertujuan untuk melenyapkan kesadaran pikiran ketua
Kay pang agar dapat dijadikan pengikutnya macam
gerombolan Topeng Besi itu. Teringat pula Gak Lui akan
penuturan si nona Yan-hong. Kini jelas sudah, bahwa si
Maharaja itu bukan lain adalah si pembunuh yang telah
mencuri pelajaran ilmu suitan maut dari perguruan Bu
kau dan juga ilmu Jari-maut. Maharaja inilah yang telah
menipu ibu sinona. Cepat Gak Lui membentak sekeraskerasnya:
“Jahanam. Kiranya engkaulah yang telah
merusak hati seorang wanita dan menipu ilmu pelajaran
dari perguruan Bu-kau itu !”
732
“O .....” Maharaja tersentak kaget sehingga
jarinyapun terhenti. Dengan mata membulat ia beralih
memandang Gak Lui:
“Mengapa engkau menuduh begitu ?”
“Saksinya masih ada di sini, apakah engkau masih
mau menyangkal?”
“Ho, yang engkau maksudkan sebagai saksi tentulah
sibudak hina itu ....” Dengan kata2 itu jelas kalau
Maharaja sudah mempunyai kecurigaan terhadap Yanhong.
Oleh karena itu dia suruh orang untuk menangkap
nona itu. Tetapi Allah maha murah, Yan-hong tidak mati,
kebalikannya malah bertemu dengan Gak Lui dan
menuturkan rahasia itu. Mendengar kata2 Maharaja,
meluaplah darah Gak Lui. Apalagi suitan Maharaja sudah
berhenti sehingga Gak Lui sudah agak pulih tenagamurninya.
Cepat ia hendak menyerang. Tetapi
Maharajapun sudah terangsang oleh hawa pembunuhan.
Dendam kemarahannya kini ditumpahkan pada diri Gak
Lui seluruhnya. Lepaskan perhatiannya kepada ketua
Kay-pang, kini ia putar pedangnya hendak membunuh
Gak Lui lebih dulu. Saat itu sebenarnya tenaga Gak Lui
masih belum kembali seluruhnya. Apalagi ia tak
mempunyai senjata yang sesuai. Untuk mempertahankan
jiwa, dalam gugup ia mencabut pedang laknat Thian-luikoay-
kiam dari bahunya. Sebenarnya pedang laknat itu
tak mempunyai perbawa yang berlebih-lebihan. Tetapi
rupanya Maharaja sudah ketakutan sendiri. Melihat
pemuda itu mencekal batang pedang dan setiap saat
dapat menggunakannya untuk menyerang, Maharaja
cepat loncat beberapa tombak ke belakang dan
bersembunyi di balik segunduk batu karang.
“Hai, mau lari ke mana engkau !” teriak Gak Lui
seraya hendak mengejar. Tetapi ia kalah cepat.
733
Terdengar angin berkesiur dan laksana segulung asap,
Maharaja itu sudah ngacir lenyap entah ke mana ....
“Celaka !” Gak Lui mengeluh. Kalau ia mengejar, ia
merasa tak mampu melawan ilmu Suitan-maut dari
lawan. Apalagi saat itu kedua ketua perguruan Kay-pang
dan Gay-pang sedang menggeletak di tanah dan perlu
pertolongan. Apa boleh buat. Terpaksa ia tahan
kemarahannya dan selipkan pedang Thian-lui-koay-kiam
ke bahu lagi. Ia hendak menolong kedua ketua itu lebih
dulu. Setelah diurut dan disaluri tenaga-murni, kedua
ketua perguruan itupun sadar dari pingsannya. Kemudian
mereka keluar dari barisan Bu-san-tin. Setelah mengubur
jenazah Pok-tin, Gak Lui menghaturkan terima kasih atas
bantuan kedua ketua perguruan itu. Wajah si Raja-sungai
Gan Ke-ik berobah merah dan dengan nada menyesal
berkata: “Sudahlah, jangan membicarakan hal itu lagi.
Sejak duapuluh tahun, baru pertama kali ini aku
kehilangan muka. Bermula aku tak percaya desas desus
akan diri Maharaja, tetapi setelah berhadapan.....”
“Hampir kehilangan jiwa !” sambut ketua Kay-pang
Ong Ping-gak seraya menghela napas dan geleng2
kepala: “Rasanya selain Gak sauhiap, tokoh2 persilatan
angkatan tua, tak berguna semua .....”
Berkata Gak Lui dengan rawan: “Terus terang, dalam
pertempuran tadi, kita dapat menghalau musuh karena
berkat kewibawaan nama angkatan tua dari Bu-san. Dan
yang paling disayangkan, musuh telah berhasil
menggondol pedang pusaka Pelangi yang lihay !”
Suasana hening beberapa saat. Masing2 terbenam
dalam renungannya. Si Raja sungai Gan Ke-ik tiba2
menatap beberapa kali ke muka Gak Lui.
“Apakah yang pangcu lihat ?” karena heran, Gak
Luipun menanyakan sebabnya.
734
“Aku teringat akan peristiwa yang lalu,” jawab ketua
Partai Gelandangan itu.
“Peristiwa apa ?”
“Yalah ketika kita pertama kali berjumpa dan melihat
pada kaca wasiat milik Sehong sianseng....”
“O....,” Gak Lui mendesus kejut dan tanpa terasa ia
menggigil. Rupanya ia seperti diingatkan akan peristiwa
itu. Gak Lui masih ingat akan ucapan Sehong sianseng
yang mengatakan: “Si Hidung Gerumpung dalam guha
itu akhirnya pasti akan mati ....” Dan ramalan itu ternyata
sudah terbukti pada diri si Lengan-besi- hati-baik atau
paman guru Gak Lui yang menunggu pedang pusaka
Thian-lui-koay-kiam itu. Lalu Sehong sianseng juga
mengatakan: “Maharaja berjalan di atas tumpukan
mayat, pedangnya menunjuk ke langit ...”
“Pedang menunjuk ke langit?” diam2 Gak Lui
mengulangi kata2 itu pula. Sampai saat itu belum juga ia
dapat memecahkan arti daripada ramalan Sehong
sianseng itu.
“Pangcu,” akhirnya Gak Lui menyatakan
keraguannya kepada si Raja-sungai Gan Ke-ik, “adakah
kau berpendapat bahwa pedang pusaka Pelangi itu
menimbulkan sesuatu yang di luar dugaan….”
“Hm, boleh diartikan begitulah,” jawab ketua Partai
Gelandangan.
“Maksudmu.....”
“Pedang itu memancarkan cahaya biru, termasuk
sifat Im-ji (lunak). Dan ilmu pedang Bu-tong-pay juga
termasuk gerak lunak menundukkan keras, dengan
ketenangan menindas gerak lawan. Maka dengan
memperoleh pedang itu, sungguh tepat sekali baginya
735
....”
“Jadi dengan begitu si Maharaja dapat menggunakan
pedang itu dengan sehebat-hebatnya?” Gak Lui
menegas.
“Ya, menurut dasar ilmu pedang, dia tentu dapat
menggunakan pedang itu sehebat-hebatnya. Dan kalau
digabung dengan tenaga Im-keng yang lain, tenaganya
tentu lebih dahsyat lagi!”
“Lalu bagaimanakah pendapat pangcu ?”
“Ah .... belum ada. Hanya kuharap engkau segera
dapat menyalurkan perbawa pedang Thian-lui-koay-kiam
itu. Mungkin dapat mengatasinya.”
“Hm...,” Gak Lui kerutkan alis lalu berbangkit: “Demi
mengejar pedang Pelangi itu dan memburu-buru
beberapa orang berkerudung muka, aku terpaksa harus
pergi. Kuharap pangcu berdua menuju Ceng-sia dan
berjaga-jaga di sana.”
Beberapa saat berdiam diri akhirnya Raja-sungai Gan
Ke-ik ketua kaum Gelandangan berkata: “Memang
begitulah tetapi masih ada sesuatu yang kurang
sempurna.”
“Yang mana ?”
“Kalau si Maharaja belum pergi jauh dan kita
berpapasan di tengah jalan, bukankah repot ?”
“Ini... ya, memang kesempatan bertemu itu banyak
sekali,” kata Gak Lui, “tetapi kalau dia memang mau
membuntuti, tentulah aku yang diincar. Harap pangcu
berdua jangan kuatir.”
“Ai, ucapan sauhiap itu salah alamat. Yang kami
kuatirkan memang keselamatanmu.”
736
“Ya, benar, benar,” ketua Kay-pang Ong Ping-gak
ikut bicara, “di samping memikirkan keselamatan dunia
persilatan kamipun prihatin juga akan dirimu.”
“Terima kasih atas perhatian pangcu berdua. Tetapi
kali ini jelas Maharaja lari ketakutan melihat pedang
Thian-lui-koay-kiam. Andaikata dia datang lagi tentulah
tak berani unjuk diri terang- terangan. Maka baiklah aku
pergi seorang diri saja agar dapat menghemat tenaga
dan waktu.” Kedua ketua partai Pengemis dan
Gelandangan itu akhirnya tak dapat berbuat apa2 dan
melepas Gak Lui pergi seorang diri.
“Sampai jumpa di gunung Ceng-sia-san !” Gak Lui
memberi hormat lalu lari menuju ke gunung Hek-san.
Entah berapa jauh menembus kegelapan malam,
akhirnya Gak Lui melihat sebatang pohon tua yang amat
tinggi dan rindang. Gak Lui hendak beristirahat di situ
untuk memulangkan tenaga. Tetapi beberapa tombak
jauhnya dari tempat yang hendak ditujunya itu, tampak
duduk seorang lelaki dengan wajah mengerut tegang. Ia
menengadah memandang langit: “Ah, hari segera terang
tanah !” Orang itu menghela napas. Ketika melihat Gak
Lui muncul, orang itu terbeliak kaget: “Hai...”
“Oh.....” Gak Luipun mendesis kejut. Kiranya orang itu
bukan lain adalah Tio Bik-lui, tokoh berkepandaian sakti
itu.
“Tio cianpwe, jangan takut, aku Gak Lui !” cepat Gak
Lui berseru.
“Ah .... ah .... engkau !”
“Benar,” sahut Gak Lui, “mengapa begitu kebetulan
sekali kita dapat berjumpa di sini ?”
“Aku memang hendak mencarimu ...”
737
“Terima kasih. Tetapi bagaimana cianpwe dapat
menduga aku akan datang ke sini ?”
“Bukan menduga tetapi memang ada orang yang
memberi petunjuk.”
“Siapa ?”
“Kedua pangcu Kay-pang dan partai Gelandangan.”
“Di manakah cianpwe bertemu dengan mereka ?”
“Di dekat gunung Bu-san. Mereka mengatakan baru
beberapa jam saja engkau pergi. Maka bergegas-gegas
aku mengejar kemari.”
“Cianpwe hendak memberi petunjuk apa kepadaku ?”
tanya Gak Lui.
“Bukan memberi petunjuk melainkan setelah melihat
istana Bi- kiong di puncak gunung Busan itu meledak,
aku hendak meminta keterangan kepadamu.”
“Ah, terima kasih atas perhatian cianpwe ...”
“Bukan, bukan begitu yang kumaksudkan,” kata Tio
Bik-lui lalu berganti nada serius, “perjalananmu ke Busan
itu adalah atas petunjukku maka aku mempunyai
tanggung jawab. Kalau sampai terjadi apa2 pada dirimu,
bagaimana aku memberi pertanggungan jawab kepada
keempat Bu-san-su kiam ?” Gak Lui tersipu-sipu
menghaturkan maaf atas kekhilafannya bicara.
“Ha, ha,” Tio Bik-lui tertawa, “engkau bukan orang
luar. Banyak hal yang perlu kubicarakan. Kurasa di
bawah pohon itu cukup bersih tempatnya, mari kita
duduk di situ.” Demikian keduanya segera duduk di
bawah pohon.
“Gak hiantit,” Tio Bik-lui mulai membuka mulut, “di
dalam istana Bi-kiong itu apakah engkau berhasil
738
bertemu dengan Lengan- besi-hati-baik si murid hianat
itu ?”
“Ya, aku sudah bertemu tetapi dia bukan murid hianat
!”
“Kalau bukan murid hianat lalu bagaimana?”
“Dia seorang yang berhati baik sehingga sesuai
dengan gelarannya si Hati-baik. Dan kalau menurut
perbuatannya selama ini, seharusnya layaklah kusebut
dia sebagai paman guru.”
“Kalau begitu dia tentu bersikap baik kepadamu.
Mungkin kemajuan yang engkau peroleh begitu pesat,
disebabkan karena dia menyalurkan tenaga-murninya
kepadamu, bukan?”
“Ya.”
“Kecuali itu apakah dia membicarakan lain2 soal lagi
?”
“Ya, sebelum menutup mata, dia menanyakan
bagaimana keadaan cianpwe paling akhir ini...”
“O...,” Tio Bik-lui mendesuh kaget, “dia... dia...
menanyakan diriku... Lalu bagaimana jawabmu ?”
“Kuceritakan tentang tindakan cianpwe dengan
sebuah pukulan dapat menghalau ketiga Sam-coat itu
dan menyelamatkan jiwaku ....”
“Lalu bagaimana katanya ?”
“Wajah paman guru berseri girang dan tampak puas.
Dia mengatakan cianpwe ini memang seorang yang
baik.”
“Ah ... ,” kembali Tio Bik-lui menghela napas panjang
lalu bertanya pula, “apakah hanya itu saja? Apakah
739
masih ada lainnya lagi ?”
“Berkata sampai di situ, api dalam bumi membakar
tubuhnya sehingga menjadi asap. Sebenarnya....”
“Bagaimana ?”
“Rupanya dia teringat suatu hal lain tetapi sayang tak
sempat berkata lagi.”
“Soal lain? Tetapi orangnya sudah mati, sukar untuk
menduga…..” Tiba2 Gak Lui teringat sesuatu, tanyanya:
“Tio cianpwe, engkau mengatakan pada 30 tahun yang
lampau pernah berjumpa dengan dia. Dan mengatakan
kalau dia mengangkangi pedang Thian-lui-koay-kiam.
Tetapi kesanku, dia tak mempunyai rasa permusuhan
kepadamu, bahkan dia amat memperhatikan dirimu. Lalu
bagaimanakah yang sebenarnya?”
“Ini....,” Tio Bik-lui berhenti sejenak, lalu melanjutkan:
“Ketika berjumpa di dunia persilatan, walaupun
hubungan kita tidak sangat rapat tetapi kita saling
mempunyai rasa kecocokan. Tetapi kemudian setelah dia
diusir dari perguruan dan mengasingkan diri di istana Bikiong,
sudah tentu aku mempunyai kesan tak baik
terhadap dirinya.”
“Memang prasangka cianpwe itu dapat dimengerti.
Tetapi bagaimana cianpwe tahu kalau paman-guruku
diusir dari perguruannya?” tanya Gak Lui.
“Sudah tentu peristiwa semacam itu sukar ditutup dari
perhatian orang persilatan ....”
“Ah, belum-tentu,” bantah Gak Lui.
“Kudengar peristiwa itu dari lain orang yang
mengatakan.”
“Dari siapa ?”
740
“Maaf, sudah lama sekali sehingga aku tak dapat
mengingat lagi .... tetapi kelak bila aku ingat tentu akan
kuberitahukan kepadamu,” kata Tio Bik-lui. Gak Lui
anggap ucapan tokoh itu memang beralasan. Sukar
kiranya untuk mengingat lagi orang yang bercerita hal itu
pada 30 tahun yang lampau.
Gak Lui tak mau mendesak lebih lanjut. Tetapi ia
teringat akan dua buah hal yang telah lalu. Pertama,
pada waktu bertemu dengan nona Hi Kiam gin lagi,
ternyata nona itu sudah mendapat pelajaran ilmu pedang
dari Lengan-besi hati-baik. Sayang saat itu Gak Lui
belum jelas akan asal usul paman gurunya itu. Maka ia
berbantah dengan Hi Kam- gin. Nona itu mengatakan
kalau Lengan-besi-hati baik seorang tua yang berbudi
baik. Tetapi ia menganggap paman gurunya itu seorang
murid hianat. Dalam perbantahan itu Gak Lui menyebut
tentang nama aseli dari Lengan-besi-hati-baik. Iapun
mengatakan dari siapa ia dapat mengetahui nama
paman gurunya itu. Hi Kiam gin heran dan mengatakan
bahwa orang yang memberitahu tentang nama aseli dari
Lengan-besi-hati baik itu patut dicurigai.
Dari peristiwa itu jelaslah bahwa hanya sedikit sekali
orang yang tahu siapa nama aseli Lengan-besi hati baik.
Kecuali mereka yang menjadi sahabat baik paman
gurunya. Kedua, terhadap Tio Bik-lui, sinona Yanhongpun
merasa tak senang. Walaupun perasaan itu
termasuk naluri seorang wanita, tetapi tak boleh
diabaikan begitu saja.
Seketika timbullah pertanyaan dalam hati Gak Lui
terhadap Tio Bik-lui, tokoh yang saat itu ada di
hadapannya. Ya, Tio Bik-lui itu memang aneh! Karena
saat itu tiada bukti apa2, Gak Lui tak dapat menarik
kesimpulan adakah Tio Bik-lui itu bicara dengan
741
sejujurnya atau ada sebab lainnya .... Tiba2 Tio Bik-lui
mengisar tubuh mendekati tempat si anak muda,
serunya: “Hiantit, begitu leluasa engkau dapat masuk dan
keluar dari istana Bi-kiong. Tentulah engkau sudah dapat
mempelajari ilmu Ni coan-ngo-heng?”
“Ya,” Gak Lui mengiakan seraya mengisar setengah
meter ke belakang. Setelah itu ia menuturkan tentang
pemberian pusaka Thian-liong-kim-jiu dari Kaisar
persilatan. Mendengar itu Tio Bik-lui menyatakan hendak
melihat pusaka Thian liong-kim jiu itu barang sejenak
saja. Tiba2 tergetarlah hati Gak Lui. Ia membayangkan
kemungkinan untuk mengadakan ujian secara
berbahaya. Ia memutuskan untuk memperlihatkan
pusaka Kim-jiu itu kepada Tio Bik-lui. Ia memutuskan
untuk memperlihatkan pusaka itu kepada Tio Bik- lui. Jika
orang bermaksud jahat tentu akan merebutnya. Tetapi
jika memang tidak bermaksud apa2, tentu takkan terjadi
sesuatu.
Segera ia menunjukkan pusaka itu ke hadapan Tio
Bik-lui. Dengan tajam Gak Lui mengawasi perobahan air
muka orang. Ternyata Tio Bik-lui dingin2 saja
memandang pusaka itu. Setelah beberapa jenak melihat,
ia berkata: “Hm, memang apa yang disohorkan orang itu
tak bernama kosong. Tak kiranya kalau sebuah alat
tangan-emas yang begitu sederhana, ternyata
mengandung keistimewaan yang hebat. Lekas simpanlah
lagi, jangan sampai hilang agar dapat engkau serahkan
kembali kepada Kaisar Persilatan.”
“Ah, tidak tampak sesuatu yang mencurigakan!
Apakah aku terlalu berprasangka?” diam2 Gak Lui
berkata dalam hati setelah melihat sikap Tio Bik-lui yang
tenang. Setelah Gak Lui menyimpan pusaka itu, Tio Biklui
bertanya pula:
742
“Adakah pedang Thian-lui-koay-kiam itu juga sudah
berada di tanganmu ?”
“Dia.....” baru Gak Lui berkata begitu, ia
memperhatikan sinar mata Tio Bik-lui memancar tajam
seperti bara api dan memandang ke arah bahunya.
Untuk mengatakan tidak mendapatkan pedang itu, jelas
sudah diketahui orang.
“Benar .... aku sudah mendapatkan pedang Thian-luikoay-
kiam itu. Ya, kupanggul di bahuku ini,” akhirnya Gak
Lui menerangkan.
“Boleh melihat ?”
“Boleh....,” seru Gak Lui dengan nada nyaring. Sekali
melolos ia mencekal pedang pusaka itu. Tangkainya
dipegang dengan tangan kanan, ujungnya dengan
tangan kiri. Gak Lui hendak melolos pedang itu dari
sarungnya.
“Tunggu dulu !” tiba2 Tio Bik-lui berseru gemetar dan
menyurut mundur. Wajahnya pucat. Tiba2 kedua
tangannya menekan tanah dan wut..... ia melayang
sampai tiga tombak jauhnya. Tetapi ketika ia menginjak
bumi, ternyata Gak Lui tetap tegak berdiri di tempat, tak
mencabut pedang itu.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Hiantit, engkau .... sungguh menakutkan aku.
Pedang itu tak boleh sembarangan dicabut keluar !” seru
Tio Bik-lui. Gak Lui tertawa: “Jangan kuatir, aku tahu
kesaktian pedang itu dan tak nanti sembarangan
mencabutnya.” Tio Bik-lui maju menghampiri lagi seraya
ulurkan tangannya:
“Coba berikan kepadaku. Aku hendak melihatnya,
743
biar lebih aman.”
Diam2 Gak Lui kerahkan tenaga-dalam dan berseru
dingin: “Boleh saja melihatnya, tetapi lebih dulu jawablah
sebuah pertanyaanku.”
Pandangan mata Gak Lui yang tajam itu rupanya
agak menggetarkan hati Tio Bik-lui.
Cepat-cepat orang itu berseru: “Baik, silahkan
bertanya !”
Sejenak melirik ke arah bahu orang, Gak Lui
menuding peti segi empat yang berada di punggung Tio
Bik-lui, serunya: “Apakah isinya peti itu?”
“Ini .... ha, ha, ha, ha !” Tio Bik-lui berseru seraya
tertawa gelak2:
“Isinya hanya sebuah khim (harpa) kuno ....”
“Khim kuno ?” Gak Lui menegas.
“Benar !”
“Cianpwe gemar musik ?”
“Benda ini merupakan kesayanganku bertahuntahun.”
“Kalau begitu .... kita tukar menukar.”
“Tukar menukar apa ?”
“Antara pedang dengan khim.”
“Hm .... baiklah !” sejenak Tio Bik-lui merenung lalu
lepaskan kotak dari bahunya dan siap hendak
melemparkannya: “Akan kulemparkan kepadamu dan
engkau juga harus melemparkan pedang itu ke arahku
....”
“Tidak! Jangan dengan cara lempar melempar!”
744
“Tidak mau melempar ?”
Tio Bik-lui kerutkan alis dalam sikap yang angkuh dan
dengan nada kurang senang berseru pula: “Lalu
bagaimana kehendakmu ?”
“Mudah saja! Bukalah petimu, cukup kalau aku dapat
melihat sebentar.”
“O ...” dengus Tio Bik-lui menggeram, “Gak Thian-lui,
atas dasar persahabatanku dengan keempat Bu-san-sukiam,
atas dasar budi yang kulepas kepadamu, dengan
sikapmu yang banyak curiga itu, apakah tidak terlalu
keliwatan.....”
“Cianpwe !” teriak Gak Lui menukas, “kebaikanmu
takkan kulupakan. Tetapi pedang ini besar sekali
hubungannya dengan dunia persilatan. Tak boleh tidak
aku terpaksa harus hati2...”
“Hm !”
“Dan lagi permintaanku itu sebenarnya mudah saja.
Mengapa tak dapat engkau luluskan ?”
“Aku memang tak setuju !”
“Kalau tak setuju, jelas membuktikan !”
“Membuktikan apa ?”
“Bahwa peti itu tidak berisi khim kuno, tetapi ....”
“Tetapi apa ?”
“Barang yang tak boleh dilihat orang maka tak dapat
diperlihatkan !”
“Ah, tidak, heh, heh, heh, heh...,” Tio Bik-lui
menengadahkan kepala menghambur tertawa marah.
Sesaat kemudian wajahnya tampak dingin dan
berserulah ia dengan nada seram: “Sekalipun engkau tak
745
mau melemparkan, aku tetap dapat mengambil sendiri !”
Ucapan itu ditutup dengan gerakan tubuhnya yang
cepatnya bukan buatan. Serempak tubuh bergerak,
tangannyapun menyambar. Tio Bik-lui cepat tetapi Gak
Lui lebih cepat juga. Apalagi jaraknya masih setombak.
Pemuda itu cepat songsongkan pedangnya ke
tenggorokan orang. Telah dikatakan di muka bahwa
sarung pedang itu sudah lebur dan membeku dengan
lahar sehingga batang pedang tak dapat dicabut lagi.
Gerakan Gak Lui itu hanya suatu reaksi dalam
menghadapi gerakan orang. Tetapi rupanya Tio Bik-lui
tak mengetahui tindakan pemuda itu. Begitu
serangannya tak berhasil, ia terkejut sekali. Dan pada
saat Gak Lui hendak songsongkan pedang, Tio Bik-lui
sudah miringkan tubuh dan dengan gerak Naga-hijaugoyang-
kepala ia menghindar dan lalu melesat mundur
sampai lima tombak jauhnya.
“Ha, ha, ha, ha!” kali ini giliran Gak Lui yang tertawa
nyaring. Nadanya penuh penasaran dan pembunuhan.
Sesaat berdiri tegak, cepat Tio Bik-Lui berseru menegur:
“Mengapa engkau tertawa begitu rupa?”
Setenang patung menyahutlah Gak Lui sepatah demi
sepatah dengan nada tegas: “Orang she Tio, jangan
engkau bermain sandiwara lagi. Lekas beritahukan
namamu !” Sambil memondong peti itu ke dada, Tio Biklui
balas bertanya:
“Apa maksudmu?”
“Hm, aku hendak mengajukan beberapa pertanyaan
kepadamu. Cobalah engkau jawab sedapat mungkin
agar engkau tak dapat menyangkal lagi dan nanti dapat
mati dengan meram !”
“Budak she Gak !” seru Tio Bik-lui, “berani benar
746
engkau menghina seorang tua. Silahkan bertanya. Jika
engkau menghina orang baik2, aku akan mencari
keempat Bu-san-su-kiam untuk meminta keadilan.”
Gak Lui mendengus dingin lalu berkata: “Karena
engkau menyebut-nyebut tentang orang yang lebih tua,
pertanyaankupun akan kumulai dari situ. Pertama kali
engkau bertemu padaku, engkau ngotot menanyakan
tentang keadaan keempat jago pedang dari Bu san.
Tetapi sekarang engkau tak pernah bertanya lagi ....”
“Aku .... ah, aku memang tak memikirkan ….”
“Apa tak memikirkan? Jelas engkau tentu sudah tahu
tentang keadaan keempat tokoh pedang itu sejelasjelasnya
!”
“Keadaan yang jelas? Aku benar2 tak mengerti apa
maksudmu ?”
“Tak perlu pura2 !” teriak Gak Lui, “Dan kedua kali,
setiap kali engkau muncul tentu akan timbul banyak hal2
yang aneh. Setiap kali tentu mengunjuk diri seperti
seekor rubah yang tak berani unjuk muka tetapi
menonjolkan ekornya sehingga orang merasa curiga !”
“Apa yang mencurigakan pada diriku? Ada bukti
apa?”
“Bukti, cukup banyak. Misalnya si Pelajar Penjaganeraka
dan keempat puluh anggauta gerombolan yang
mati di guha Bu-san dan ibu dari nona Yan-hong.
Engkaulah yang mencelakainya!”
“Ngaco !” bentak Tio Bik-lui, “itu urusan si Maharaja,
tiada sangkut pautnya dengan diriku.”
“Ketiga kalinya,” Gak Lui tetap melanjutkan katakatanya
tanpa menghiraukan orang, “engkau sengaja
mengadu domba hubunganku dengan Lengan-besi-hati747
baik agar engkau dapat memperoleh keuntungan !”
“Makin jauh makin gila, mengapa aku...”
“Keempat kalinya,” tetap Gak Lui bicara terus,
“engkau pura2 menjadi orang baik dan jual tingkah di
hadapanku. Padahal sebenarnya engkau hendak
memperbudak diriku untuk menyelidiki keadaan ke empat
tokoh pedang Bu-san itu. Dan rencanamu setelah aku
berhasil mendapat pedang pusaka Thian- lui-koay-kiam,
engkau baru akan bertindak ....”
Wajah Tio Bik-lui seperti mayat dan tertawalah ia
dengan nada sengeri iblis: “Heh, heh, budak, engkau
benar2 ngaco belo. Engkau kira aku ini siapa? Apakah
engkau anggap aku ini penyamaran dari si Maharaja
Persilatan ?”
Kaki dan tangan Gak Luipun mulai gemetar,
wajahnya makin menampil hawa pembunuhan, serunya:
“Orang she Tio, sejak engkau keluar dari kandangmu,
rupanya hari ini engkau bicara seperti seorang manusia !”
Tio Bik-lui makin murka sehingga rambutnya sama
tegak meregang. Sepasang matanya memancar api.
Hendak menyerang tetapi takut kesaktian pedang laknat
Thian-lui-koay- kiam. Maka dengan menggertak gigi ia
nericis menyangkal:
“Benar-benar suatu fitnah yang keji, sungguh ngaco
belo…..”
“Rupanya engkau tetap tak mengaku?”
“Sudah tentu tidak !”
“Agar hatimu benar2 puas, baiklah sekarang akan
kubongkar semua tipu muslihatmu dari awal sampai
akhir,” kata Gak Lui dengan serius. Tak berapa lama
berserulah Gak Lui dengan lantang: “Untuk
748
melampiaskan kesombongan dan keangkuhanmu,
engkau merobah dirimu sebagai si Maharaja Persilatan.
Dengan Amanat Maut, engkau mengganas tokoh2
persilatan golongan Putih. Setelah mengetahui aku turun
gunung, timbullah kecurigaanmu bahwa keempat pedang
Bu san itu masih hidup. Engkau tak berani buru2 turun
tangan dan hanya suruh orang mencariku. Maka dalam
pertemuan di istana Lok ong-kiong yang lalu, engkau
cemas kalau2 aku berhasil mendapatkan pedang pusaka
itu. Itulah sebabnya engkau muncul lagi ....”
“Hm,” Tio Bik-lui mendengus, “kalau aku benar si
Maharaja, mengapa aku tak membunuhmu ?”
“Karena mengetahui tak mampu mengambil pedang
itu, engkau lalu menggunakan tenagaku. Dalam rangka
mencapai kepercayaanku maka aku diserang oleh ketiga
Sam-coat. Dan ketika pertempuran sedang berlangsung
seru, engkau segera muncul dan dengan sekali bergerak
dapat engkau halau ketiga orang itu. Kemudian
engkaupun memberi petunjuk tentang keadaan istana Bikiong
di gunung Bu-san itu. Tetapi di balik pertunjukan
itu, terselimut tujuanmu yang jahat. Apabila aku sampai
mati dibunuh Lengan-besi-hati-baik, engkau berhasil
meminjam tangan orang untuk melenyapkan diriku.
Tetapi apabila aku berhasil mendapat pedang itu, engkau
akan mengatakan bahwa ilmu kepandaianku masih
belum cukup dan minta supaya pedang itu kuserahkan.
Apabila aku menolak, engkau akan merebut dengan
kekerasan...” Sampai di situ tampak tubuh Tio Bik-lui
menggigil dan tak dapat membantah lagi.
“Setelah itu,” Gak Lui melanjutkan lagi, “aku berhasil
menangkap si Penjaga Neraka. Dia sudah tahu semua
riwayatmu. Tetapi selagi aku tak berjaga-jaga, diam-diam
kau gunakan ilmu tutukan jari im-ji guna untuk
749
membunuhnya agar dia tak dapat memberikan
keterangan kepadaku. Dan pada waktu aku tiba di Busan,
kembali engkau sudah menunggu kedatanganku
dan memberi petunjuk cara memasuki barisan. Begitu
aku terjerumus ke dalam guha, engkau melihat
munculnya nona Yan-hong. Seperti dahulu engkau
menipu ibunya dan mencuri ilmu Suitan Maut, saat itu
engkaupun hendak menangkap Yan-hong. Ketika nona
itu jatuh ke dalam guha, engkau segera mengirim 40
orang anak buahmu untuk membunuhnya. Kuatir aku
belum mati, maka engkau tutuk jalan darah keempat
puluh anak buahmu itu agar lenyap daya ingatannya ....”
“Tidak ... tidak demikian!” teriak Tio Bik-lui.
“Siapa tahu, orang baik selalu dilindungi Tuhan,” kata
Gak Lui, “rantai yang engkau pergunakan untuk
menangkap Yan-hong itu dapat kumanfaatkan untuk
merayap keluar dari guha. Pada waktu yang kedua
kalinya naik gunung, engkaupun sudah menunggu lagi.
Engkau hendak menggunakan tipu muslihat gelap tetapi
keburu diketahui oleh Pok Tin. Dalam keadaan terdesak
engkau turunkan tangan ganas kepadanya. Kemudian
engkau hendak gunakan kekerasan merebut pusaka
yang ada padaku. Tetapipun gagal. Akhirnya saat ini
engkau muncul dengan siap membawa rencana untuk
menipu aku ... Ho, Tio Bik-lui! Kejahatanmu sudah
melewati batas. Apakah engkau hendak menyangkal
lagi?” Diam2 Tio Bik-lui kerahkan tenaga-dalam lalu
berteriak seram:
“Tak perlu aku berkata apa2. Hampir setengah hari
engkau mengoceh itu, apakah buktinya?”
“Bukti ?”
“Ya !” Gak Lui mengertak geraham, serunya: “Pada
750
waktu bertempur di Bu-san, hampir saja engkau dapat
kubunuh. Tetapi dengan gunakan jurus Naga-hijau
goyang-kepala, engkau berhasil menghindar. Dalam
gerakan hendak merebut pedangku tadi, engkaupun
gunakan jurus itu lagi ....”
“Huh, jurus itu berasal dari perguruan Bu-tong-pay.
Setiap jago silat kelas satu, pasti akan tahu. Mana
mungkin hal itu engkau jadikan bukti ?”
“Kecuali itu, masih ada sebuah lagi ...”
“Bagaimana ?”
“Yalah yang berada dalam petimu itu !”
“Tidak! Tidak mungkin !”
“Jangan ribut! Lekas bukalah!”
“Aku segan membukanya dan akupun tak punya
waktu lagi untuk adu lidah dengan engkau. Aku akan
pergi.....” Belum habis berkata, Tio Bik-lui sudah melesat.
Tetapi sebelumnya Gak Lui sudah siap. Secepat kilat ia
sudah menyergapnya. Dalam gugup, Tio Bik-lui
menampar petinya, pyur .... peti pun hancur berantakan
dan tahu2 pedang pusaka Pelangi sudah berada di
tangannya.
“Bangsat, serahkan pedang itu!” teriak Gak Lui makin
marah. Tetapi Tio Bik-lui tak berani menyerang. Sambil
jujukan ujung pedang ke muka, ia mundur setapak demi
setapak. Karena kedua fihak menggunakan tenagadalam
sepenuhnya, maka setiap langkah Tio Bik-lui tentu
meninggalkan telapak kaki yang dalamnya beberapa
senti. Kedua orang itu dirangsang ketegangan hebat.
Mereka akan melakukan pertempuran maut. Tetapi
setelah mundur tujuh delapan langkah, Tio Bik-lui tidak
melakukan serangan melainkan tiba2 menghela napas
751
dalam2. Lalu dengan nada sinis ia berseru: “Budak she
Gak, engkau salah duga. Musuhmu yang sebenarnya
adalah orang yang tak mempunyai batang hidung. Tetapi
aku tak ada cacad begitu. Mengenai pedang ini,
kuperoleh dengan tak sengaja ....”
“Kentut! Engkau masih tetap menyangkal mati-matian
!”
“Heh, menilik hinaan yang engkau lontarkan
kepadaku ini, akupun tak dapat memberi ampun lagi.
Kalau engkau berani, nanti pada satu bulan lagi, dengan
disaksikan oleh seluruh kaum persilatan untuk
menyaksikan kita bertempur yang terakhir kalinya!”
“Huh, engkau mengigau !” dengus Gak Lui seraya
maju selangkah.
“Heh, heh, engkau hendak mengadu kekerasan?
Apakah engkau tak takut akan pedang Pelangi yang luar
biasa tajamnya itu ?”
“Jangan main digertak! Sudah lama kupakai pedang
itu dan tahu keadaannya. Tak perlu engkau katakan !”
Dengan cara lunak maupun keras, Tio Bik-lui tak
berhasil menundukkan Gak Lui. Ia geram sekali kepada
anak muda itu, serunya: “Pedang itu berada di tanganmu
dan di tanganku jauh sekali bedanya !”
Dalam berkata-kata itu, Tio Bik-luipun sudah
kerahkan tenaga- dalam. Wajahnya tampak
menyeramkan sekali. Diam2 Gak Lui tergetar hatinya. Ia
tahu siapa Tio Bik-lui itu. Selain memiliki kepandaian
sakti, pun mempunyai ilmu suitan perenggut nyawa,
ditambah pula kini mendapat pedang pusaka sedahsyat
pedang Pelangi ! Ah, apabila dapat mencabut pedang
Thian-lui-koay-kiam itu, tentulah ia dapat melakukan
752
balas dendam. Saat itu lawan masih jeri kepadanya
karena ia memiliki pedang Thian lui koay-kiam. Tetapi
apabila pertempuran tak dapat dicegah lagi, tentulah
lawan akan mengetahui bahwa pedang Thian lui-koaykiam
itu tak dapat dicabut dari kerangkanya. Bukankah
hal itu amat berbahaya? Sakit hati atas kematian kedua
orangtuanya, paman2 dan bibi gurunya, seakan-akan
meledakkan dada Gak Lui. Betapa inginlah ia
mencincang tubuh lawannya itu. Tetapi iapun menyadari
akan kesukaran yang dihadapinya. Saat itu terjadi
pertentangan dalam bathinnya sendiri. Walaupun belum
dapat memutuskan tindakan apa yang harus diambil,
namun kakinya tetap melangkah maju ke arah Tio Bik-lui.
Pada detik2 yang menegangkan itu tiba2 telinganya
terngiang kata si Pedang Aneh yakni ayah angkatnya :
“Lui, engkau tak kuijinkan membalas sakit hati tetapi
engkau tetap berkeras hendak melakukannya. Entah
sudah berapa banyak jiwa yang melayang karena
urusanmu itu. Jika sekarang ini kepandaianmu masih
terpaut jauh sekali, janganlah engkau gegabah bertindak.
Sekali engkau bertindak menuruti kepanasan hatimu,
seluruh harapan kita habis ludas. Sia-sia saja
pengorbanan kita. Engkau harus berpikir dan
berpikir.....berpikir ....!”
Lenyapnya suara ayah-angkatnya itu, berganti
dengan suara ketua perguruan Bu-tong-pay paderi tua
Ceng Ki : “aku takkan penasaran karena harus mati, ...
begitu pula pedang pusaka perguruan Bu-tong-pay pasti
dapat direbut kembali asal engkau dapat mengendalikan
diri.”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
753
Kemudian wajah paman gurunya si Pedang Iblis, bibi
gurunya Pedang Bidadari, kedua jago pedang Samodera
dan Pedang Gelombang, ahli pembuat pedang Bok
kiamsu dan paman gurunya yang tertua yakni Lengan
besi-hati-baik, susul menyusul terbayang di pelupuk
matanya..., mereka adalah para cianpwe yang telah
mengorbankan jiwanya untuk kepentingan Gak Lui. Saat
itu mereka seolah-olah muncul dan dengan wajah
bersungguh memperingatkan kepada Gak Lui supaya
tenang dan mengendalikan kemarahannya. Tetapi Gak
Lui merasa bahwa saat bagus seperti saat itu, sayang
kalau dibiarkan berlalu. Tangannya yang mencekal
tangkai pedang Thian-lui-koay-kiam sudah bergemetar
dan mengucurkan keringat dingin. Ingin sekali ia dapat
mencabut pedang pusaka itu untuk mencincang tubuh
musuhnya.
“Jangan !” tiba2 terdengar suara ayahnya yakni si
Dewa Pedang mengiang di telinganya: “Lui, anakku,
jangan kelewat mengumbar nafsu. Terimalah
tantangannya untuk bertempur di puncak Im- leng-nia itu.
Di hadapan segenap tokoh persilatan engkau bunuh dia!
Selain dapat membalas sakit hati, pun engkau berjasa
kepada dunia persilatan karena dapat membasmi
seorang durjana....”
Tiba2 kaki Gak Lui terhenti tetapi ia tak bicara apa2.
“Bagaimana? Engkau menerima atau tidak?” tegur
Tio Bik-lui. Gak Lui tersadar dari lamunannya. Nada
suara lawan itu dalam pendengarannya tak ubah seperti
aum seekor harimau yang terkurung.
“Ya, kuterima ....,” akhirnya dengan nada dingin Gak
Lui menyahut. Belum habis ia berkata, tiba2 Tio Bik-lui
menyeringai iblis dan secepat kilat melesat ke arah
hutan. Gak Lui tegak termangu-mangu ditingkah sinar
754
mentari pagi. Tubuhnya menggigil keras dan kedua
tangannya yang masih mencekal pedang Thian-lui-koaykiam
itupun berguncang- guncang.
“Celaka! Celaka!” ia menggeram dan memaki dirinya
sendiri, “pedang Thian-lui-koay-kiam tak mampu kucabut,
musuh kulepas pergi ...” Dibawa oleh rasa kemarahan,
Gak Lui mainkan pedang itu ke arah sebatang pohon.
Daun2 berguguran, dahan dan cabangnyapun
bergoncang keras. Bum, bum, bum ..... ia seperti orang
kalap menghantam ke sana, menabas ke sini. Pohon dan
batu di sekeliling tempat itu habis diamuknya. Entah
sampai berapa lama Ia melampiaskan badai kemarahan
hatinya itu. Ia mengamuk, kalap seperti kerbau gila ....
“Gak Lui ... Gak Lui ... !” tiba2 terdengar seseorang
berseru memanggilnya.
“Berhenti!” seru orang itu ketika Gak Lui tak
menghiraukan. Sambil berseru kedua jarinya menyambar
lengan Gak Lui. Saat itu Gak Lui baru tersadar. Ia deliki
mata tetapi tak dapat melihat siapa yang
mengganggunya itu. Ternyata orang yang tak dikenal itu
gerakkan jarinya dari belakang. Cepat dan tepat sekali.
Jelas dia tentu memiliki ilmu yang sakti. Cepat Gak Lui
berputar tubuh ke belakang seraya kerahkan tenagadalam
Algojo-dunia, ia hendak meronta dari
cengkeraman orang. Tetapi begitu Gak Lui hendak
meronta, dengan suatu gerak yang menakjubkan
sehingga Gak Lui tak menyadari, tangan orang itupun
sudah ditarik ke belakang. Gak Lui memandang orang itu
dengan tajam tetapi ia merasa tak kenal. Dan saat itu
ternyata pengganggu itu sudah berada dua tombak
jauhnya.
“Hebat !” Gak Lui kerutkan alis dan tercengkam
dalam rasa heran yang tak terkira. Kepandaian orang itu
755
benar2 melebihi kepandaian si Maharaja Tio Bik-lui. Dan
itu mendorong Gak Lui untuk memperhatikan orang
dengan lebih seksama. Seorang lelaki setengah tua yang
berwajah penuh wibawa. Bermata bundar dengan
sepasang alis yang indah. Sikapnya gagah, penuh
kewibawaan dari seorang kaisar.
“Gak Lui, apakah engkau tak kenal padaku?” seru
orang itu. Mendengar nada suaranya, Gak Lui seperti tak
asing tetapi ia lupa2 ingat. Dia teringat nada itu adalah
suara dari seorang lelaki biasa yang berpakaian
compang camping. Tetapi ia terkejut melihat mata orang
itu memancarkan sinar yang amat tajam. Suatu pertanda
kalau dia tentu memiliki tenaga-dalam yang tinggi.
Sejenak merenung, segera bertemulah Gak Lui akan
ingatannya kepada orang itu. Serentak ia berseru tegang
riang : “Hai, kiranya engkau ... Kaisar Persilatan Li...... Li
cianpwe!”
“Benar,” sahut orang itu. Serta merta Gak Lui maju
menghampiri dan memberi hormat dengan khidmat:
“Terima kasih atas petunjuk cianpwe. Wanpwe sudah
berhasil masuk ke dalam istana Bi-kiong dan berhasil
mendapatkan pedang Thian-lui-koay-kiam milik
perguruan kami. Budi pertolongan cianpwe takkan
kulupakan seumur hidup. Dan sekarang wanpwe hendak
menyerahkan kembali pusaka Thian- liong-kim-jiu itu.” Ia
mengeluarkan pusaka Thian liong kim-jiu untuk
diserahkan. Kaisar Persilatanpun menyimpannya.
“Kulihat gerakanmu tadi bukan merupakan jurus2
permainan ilmu pedang tetapi lebih banyak mirip sebagai
orang yang mengamuk karena menumpahkan
kemarahannya.”
Merah padam wajah Gak Lui mendengar kata2 itu.
Segera ia mengutarakan rasa penasaran dan
756
kekecewaan hatinya. Sambil mendengarkan, tak henti
hentinya Kaisar Persilatan mengangguk kepala.
Mendengar tentang keadaan pedang Thian lui-koay-kiam
yang tak dapat dicabut dari kerangkanya dan tentang
tantangan Maharaja untuk bertempur dengan Gak Lui,
berserulah Kaisar Persilatan itu dengan agak kaget: “O,
pedang pusaka itu dapat diluluhkan oleh lahar gunung?
Ah, sungguh tak kuduga. Kalau begitu.... bolehkah
engkau memberikan kepadaku untuk kuperiksanya ?”
“Sudah tentu boleh, cianpwe,” kata Gak Lui lalu
menyerahkan pedang itu. Setelah membuka lipatan
robekan baju yang membungkus pedang itu, Kaisar
Persilatan terus mencekal pedang itu.
“Jangan menyentuhnya !” teriak Gak Lui terkejut.
Tetapi terlambat. Tampak lengan Kaisar tergetar seperti
terbentur aliran listrik. Sepasang matanya memancar api.
Ia coba mencabut pedang itu dari kerangkanya tetapi tak
berhasil maka dengan hati2 ia meletakkannya kembali.
“Sungguh lihay! Bila aku tak menyalurkan tenagadalam
Liok-to sin-thong, mungkin aku sudah tersedot
oleh pengaruh gaib dari pedang ini dan mungkin akan
melakukan pembunuhan ...” seru Kaisar Persilatan.
Mendengar itu Gak Lui kejut2 girang. Dalam pada itu, ia
lebih berkesan atas ilmu tenaga-dalam Liok-to-sin-thong.
“Kurasa memang sukar untuk mencabutnya. Tetapi
tadi apabila engkau benar2 jadi bertempur dengan si
Maharaja, mungkin akan mendapat daya upaya !”
“O, daya bagaimana?”
“Ini ... ,” Kaisar Persilatan merenung beberapa jenak
lalu tertawa :
“Hal itu hanya suatu dugaan saja. Mungkin bisa,
757
mungkin tidak. Apalagi hal itu sudah lewat, tak perlu kita
pikirkan lagi. Marilah kita bicara hal2 yang akan datang
saja.”
Gak Lui tak mau mendesak. Ia menceritakan tentang
usahanya untuk menggosok lahar pada pedang itu
dengan batu berlian.
Kaisar Persilatan gelengkan kepala: “Walaupun cara
itu baik tetapi tentu makan waktu dan tenaga yang lama
sekali. Sedang soal yang harus engkau lakukan banyak
sekali. Pun waktu dari tantangan Maharaja kepadamu itu
sudah dekat. Cara menggosok “linggis menjadi jarum' itu,
tentu sudah tak keburu lagi.”
“Ah, celaka !” Gak Lui mengeluh. Waktu ia
menghitung temponya, memang tak keburu lagi.
“Cianpwe, lalu bagaimanakah aku harus bertindak ?
Apakah kupakai saja pedang tongkat batu ini untuk
menghadapinya ?” Tidak menyahut, malah Kaisar
Persilatan itu balas bertanya :
“Memakai pedang batu atau tidak, sama saja.
Adakah engkau takut tak mampu melawannya ?”
“Apa .... apakah kepandaianku cukup sepadan untuk
menghadapinya ?”
“Kepandaianmu sebenarnya berimbang dengan si
Maharaja. Tetapi dia memiliki latihan selama dua
tigapuluh tahun lamanya. Sedang kekurangan padamu
yalah kurang pengalaman dalam menghadapi
pertempuran. Asal engkau selalu ingat pada sikap- pokok
'Tenang', tentu engkau takkan menderita sesuatu yang
tak terduga.”
“Tetapi ... sekarang dia memiliki pedang Pelangi yang
sesuai dengan tenaga-dalam Im-ji yang dimilikinya ....”
758
“Kutahu,” sahut Kaisar Persilatan, “pada duapuluh
tahun berselang, pedang itu pernah kupakai. Berada di
tangannya sudah tentu akan menambah kelihayannya.
Perbawa pedang itu jauh lebih dahsyat daripada yang
engkau duga.”
“Kalau begitu bukankah dia makin ganas?”
“Tidak ! Kebalikannya akan menguntungkan engkau.”
Ucapan Kaisar Persilatan itu benar2 tak masuk akal
sehingga Gak Lui bingung dan bertanya: “Dapatkah
cianpwe menjelaskan hal itu? Aku benar-benar tak
mengerti !”
Kaisar Persilatan tertawa nyaring : “Bukan aku
hendak jual rahasia. Tetapi kalau kukatakan sekarang,
pada saatnya malah akan mempengaruhi jurus2
permainanmu maka lebih baik tak kukatakan dulu.”
Walaupun hati ingin tahu tetapi Gak Lui segan untuk
mendesak lebih lanjut. Maka ia alihkan pada lain soal:
“Musuhpun masih mempunyai ilmu Suitan-maut yang
lihay, berasal dari ilmu istimewa perguruan Bu-kau.
Terhadap suitan itu, benar2 wanpwe tak dapat
menghadapi. Mohon cianpwe suka memberi petunjuk.”
“Pertama, gunakanlah ilmu Liok-to-sin-thong yang
kuajarkan itu, dapat mengatasi suitan itu..”
“Ya, benar,” kata Gak Lui, “cianpwe memang pernah
mengajarkan ilmu itu kepadaku ketika di istana Yok-ong
kiong dahulu. Memang ilmu itu hebat sekali.” Gak Lui tak
melanjutkan kata-katanya. Ia ingin menerima lagi
pelajaran ilmu sakti itu karena apa yang diterimanya
dahulu, tidaklah begitu mendalam. Tetapi ia sungkan
untuk meminta.
Kaisar Persilatan cepat dapat menyelami isi hati
759
pemuda itu. Ia tertawa lebar: “Aku mengerti akan
maksudmu. Ya, walaupun ilmu sakti Liok-to-sin-thong itu
istimewa sekali, tetapi aku suka mengajarkan
kepadamu.”
“Sungguh ... ?”
“Sudah tentu aku tak membohongimu. Hanya saja
jangan sekarang !”
“Kapan ?”
“Saat ini dirimu masih terlibat oleh liku2 budi dan
dendam, suka dan duka, kasih dan kebencian. Sebelum
kesemuanya itu selesai, tak mungkin engkau dapat
mempelajarinya dengan berhasil. Bahkan malah
membahayakan dirimu !”
“O ...” Gak Lui mendesuh. Kegembiraannya
mendengar janji dari Kaisar Persilatan, seperti awan
dihembus angin. Pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam tak
dapat digunakan dan ilmu sakti Liok-to- sin thongpun tak
jadi diterimanya. Ia kecewa dan terlongong longong
dalam rasa putus asa. Melihat keadaan Gak Lui, segera
Kaisar Persilatan menghiburnya: “Jangan terburu nafsu.
Walaupun engkau belum menerima pelajaran ilmu Liokto
sin-thong itu tetapi dengan memiliki pedang Thian-luikoay-
kiam itu, engkaupun tetap dapat membasmi musuh
dan melenyapkan gerombolan orang2 jahat ....”
“Ah ....” Gak Lui menghela napas. Ia mendebat:
“Cianpwe, jelas cianpwe mengetahui bahwa pedang
Thian lui-koay-kiam itu tak mungkin dicabut tetapi
cianpwe malah menghibur dengan kata2 begitu. Apakah
itu tidak bertentangan dengan kenyataan ?”
“Tidak,” sahut Kaisar Persilatan dengan wajah serius,
“kupercaya si Maharaja itu pasti akan mati dengan
760
pedang itu. Jangan engkau ragu hatimu !”
“Cianpwe hanya mendasarkan pada rasa
kepercayaan sajakah ... ?”
“Baiklah, terpaksa akan kuberitahukan secara terus
terang kepadamu. Menurut perhitungan dengan ilmu
Liok-to-sin-thong itu, kesudahan dari peristiwa yang
engkau hadapi nanti tentu begitu….”
“O ... !” kembali Gak Lui mendesuh kejut. Ia memang
tak meragukan tentang keterangan Kaisar Persilatan itu
tetapi ramalan menurut cermin tembaga milik si Rajasungai
Gan Ke-ik, juga tepat. Menurut Cermin Tembaga
itu, nanti akan berakhir dengan suatu kesudahan yang
menyedihkan. Tetapi Kaisar Persilatan baru mau
mengajarkan ilmu sakti itu setelah urusan balas dendam
selesai. Apabila nasibnya seperti yang digambarkan
Kaca wasiat si Raja-sungai, bukankah ia takkan sempat
lagi belajar ilmu Liok-to-sin-thong itu?
“Li cianpwe,” akhirnya Gak Lui mengutarakan isi
hatinya, “soal mati atau hidup aku tak menghiraukan.
Tetapi demi melenyapkan segala kesangsianku, apakah
cianpwe tak keberatan untuk memberi sedikit petunjuk
tentang nasibku ... ?”
Kaisar Persilatan memandangnya tajam2: “Apakah
engkau dapat mempercayai omonganku?”
“Sudah tentu percaya. Kuingat seperti tempo hari
cianpwe pernah secara halus memperingatkan kematian
Hwat Hong taysu, akhirnya benar2 taysu itu telah
meninggal....”
“Engkau percaya setelah Hwat Hong meninggal atau
pada saat baru mendengar peringatan tentang
kematiannya ?”
761
“Mendengar peringatan cianpwe, saat itu aku sudah
mempunyai perasaan firasat.”
“Bagus, bagus,” Kaisar Persilatan mengangguk,
“perasaan nalurimu cukup tajam, aku kagum. Nasib itu
tak boleh kita percaya mati2an. Karena kecuali dewa,
manusia tak tahu bagaimana nasib yang akan
dialaminya, sekarang engkau hendak bertanya mengenai
nasibmu, akupun tak dapat menolak tetapipun tak berani
membangga...
(halaman --- 42 – 43 ga ada….)
Se-thian. Burung penjelmaan itu tak pernah dapat
kenyang sehingga daging sang Gautama habis
dimakannya ....
“Apakah sang Buddha tak meninggal ?” Gak Lui ngeri
juga.
“Tidak,” kata Kaisar Persilatan, “itu hanya suatu ujian
untuk membuktikan sampai di mana Cinta Kasih sang
Gautama. Dengan kerelaan dan keberanian untuk
melaksanakan Cinta Kasih itu akhirnya luluslah sang
Gautama mencapai tingkat sebagai Buddha.”
“Ah…” Gak Lui menghela napas panjang. Namun
melihat pemuda itu masih kerutkan kening mengandung
kesangsian, Kaisar Persilatan buru2 menyusuli kata2
lagi: “Hanya sebuah cerita tetapi bukan karangan
kosong. Dalam kitab suci Buddha hal itu diceritakan
dengan jelas. Jangan kira aku hanya mendongeng
kosong.”
“Wanpwe tahu,” sahut Gak Lui. “memang cerita itu
bukan sekedar dongeng melainkan sebuah tamsil
(perumpamaan). Maksudnya mengajar orang supaya
kenal akan arti dan tujuan hidup. Misalnya ... Maharaja
762
Persilatan itu dapat disamakan dengan si Rajawali lapar
dan kaum persilatan yang kepandaiannya masih rendah
dapat diumpamakan seperti.....” Tiba2 ia hentikan katakatanya
karena ia menyadari ucapannya itu salah. Kalau
mengatakan si Maharaja itu sebagai Rajawali lapar dan
kaum persilatan sebagai kelinci, lalu siapakah yang harus
memberi makan rajawali lapar itu. Adakah orang
semacam Maharaja Persilatan itu tak harus dibunuh ....
“Hm, engkau mengerti bahwa dongeng itu hanya
sebuah tamsil, itu sudah baik,” tiba2 Kaisar Persilatan
berkata, “siapa yang menjadi sang Gautama, siapa si
Rajawali lapar dan siapa kelincinya, baru nanti apabila
tiba saatnya engkau tentu tahu sendiri. Soal itu kita
hentikan sampai di sini saja. Cukup asal engkau catat di
dalam hatilah.”
Serta merta Gak Lui mengiakan. Sejenak berdiam, ia
membuka mulut lagi: “Li cianpwe, sekarang aku hendak
mengajukan permohonan yang terakhir.”
“Silahkan.”
“Tempo hari cianpwe pernah meluluskan pada saat
berjumpa lagi hendak menguji kepandaianku. Sekarang
aku memberanikan diri untuk mohon petunjuk cianpwe
barang beberapa jurus saja.”
“Ah, tak berani kuberi petunjuk. Dan pula kuanggap
hal itu tak perlu.”
“Mengapa ?”
“Kepandaianmu memang maju pesat sekali. Sekali
lihat saja sudah kuketahui.”
“Tetapi... wanpwe tetap menghendaki diuji !” Kaisar
Persilatan terkesiap, serunya heran: “Mengapa ?”
“Ketika tinggalkan gunung Yau-san, di hadapan
763
pusara ayah- angkatku aku telah bersumpah hendak
menuntut ilmu kepandaian yang tiada tandingannya.
Dengan tanganku sendiri hendak kubunuh musuh itu ....”
“Adakah karena hendak mengetahui kepandaian saat
ini maka engkau hendak mengajak bertanding aku?”
Kaisar Persilatan menegas.
“Boleh diartikan begitu.” Mata Kaisar Persilatan
segera memancar sinar berkilat, serunya: “Engkau sudah
mempunyai pegangan tentu dapat mengalahkan aku ?”
Juga mata Gak Lui memancar tajam, sahutnya tegas:
“Tetapi wanpwe sudah mempunyai ketetapan hati.”
“Ketetapan hati? Hanya ketetapan saja belum berarti
!”
“Wanpwe memiliki nyali keberanian juga.”
“Ha, ha, ha, ha !” Kaisar Persilatan tertawa nyaring,
“benar! Keberanian disertai dengan kemantapan hati,
tentu bisa berhasil. Kalau begitu, asal dalam 3 jurus
serangan engkau mampu merapat dekat di hadapanku,
dengan tulus hati aku akan mengundurkan diri dari dunia
persilatan dan akan menjadikan semua cita2
keinginanmu! Tetapi ...”
“Bagaimana ?”
“Kewajiban membasmi kawanan durjana, juga
seluruhnya menjadi tanggunganmu. Apakah engkau
setuju ?”
“Wanpwe serahkan jiwa dan raga untuk menunaikan
tugas itu !”
“Bagus, engkau benar2 memiliki pambek yang tinggi.
Mari kita mulai bertanding !” Kaisar Persilatan terus
berbangkit. Diam2 Gak Lui menimang dalam hati. Ia
764
merasa amat berterima kasih sekali atas kebaikan budi
tokoh sakti itu, pikirnya: “Aku harus mengerahkan seluruh
kepandaianku agar dia jangan kecewa. Tetapi .... dia
mengatakan kalau dalam tiga jurus aku dapat merapat di
hadapannya, aku dianggap menang. Apakah cara itu
tidak merugikan dia ....” Sambil merenung iapun
melangkah ke tanah lapang dan berseru: “Li cianpwe,
sebelum mulai wanpwe mempunyai dua buah harapan.”
“Katakanlah !”
“Kesatu, harap cianpwe jangan keliwat sungkan dan
masih menyimpan kepandaian ataupun mengalah
kepada wanpwe.”
Wajah Kaisar Persilatan berobah serius: “Tidak !
Sekali sudah meluluskan hendak bertanding dengan
engkau, aku tentu sudah menganggap engkau seorang
lawan yang cukup berharga. Aku takkan seperti tokoh2
persilatan yang suka meremehkan anak muda.”
“Dan kedua kalinya, harap cianpwe jangan sungkan.
Meskipun pedang Thian-lui-koay-kiam belum dapat
kucabut tetapi tetap akan kupakainya sebagai tongkat
batu. Kukira juga merupakan senjata yang cukup bagus
!”
“Jangan kuatir, aku mempunyai pusaka untuk
melindungi tubuhku,” sahut Kaisar Persilatan seraya
terus balikkan tangan memegang pusaka Thian-liongkim-
jiu. Demikian pada saat itu di atas tanah lapang yang
ditingkah sinar matahari, tegak berdiri dua sosok tubuh
dari manusia yang akan menguji ilmu kepandaian sakti.
Keduanya terpisah pada jarak lima tombak. Mereka mulai
berputar-putar mengelilingi lapangan. Setelah berpatar
tiga lingkaran, Gak Lui merasa tak kuat menahan
hatinya. Walaupun pertempuran itu takkan
765
menumpahkan darah tetapi baginya mempunyai arti yang
penting sekali. Dapatkah ia mencapai pelajaran ilmu sakti
tiada tanding, dapatkah ia nanti mengalahkan musuh,
akan diputuskan dalam tiga jurus nanti. Ujian itu akan
menentukan nasibnya. Karena itu teganglah perasaan
Gak Lui. Ketika memandang ke muka, dilihatnya Kaisar
Persilatan sudah berhenti. Tangan kanannya menjulur
lurus ke muka mengarahkan pusaka Thian liong-kim-jiu
kepadanya. Gak Lui heran dan tak tahu apa maksud
tokoh itu. Ia hentikan langkah, siapkan pedang Thian luikoay-
kiam, dengan tenang ia berdiri tegak siap
menyerang. Tetapi baru ia hendak bergerak, Kaisar
persilatan sudah membentaknya: “Jurus pertama sudah
selesai!”
“Jurus pertama?” Gak Lui mengulang heran, “aku
baru pasang kuda mengapa sudah dianggap melakukan
jurus pertama?” Melihat pemuda itu tak tenang, Kaisar
Persilatan berseru:
“Engkau terlalu tegang sehingga kedudukanmu
salah!”
“O.... !” ia mendesuh kaget dan merentang mata.
Tetapi secepat itu matanya terserang oleh sinar kemilau
yang keras sehingga ia tak dapat melihat apa2. Cepat ia
berputar tubuh dan berpindah tempat sampai setombak
jauhnya. Saat itu baru ia terhindar dari gangguan sinar.
“Ah, sungguh memalukan! Li cianpwe mengatakan
aku belum cukup pengalaman dan tak cukup tenang,
memang benar,” diam2 ia menyesali dirinya sendiri.
Kemudian ia salurkan seluruh tenaga-dalam. Ternyata
akibat dari rasa tegang tadi, sembilan bagian dari tenaga
dalamnya buyar tak keruan. Ia harus melakukan
pernapasan untuk memusatkannya lagi. Beberapa saat
kemudian setelah ia berhasil mengumpulkan tenaga
766
dalam lagi, barulah mulai bergerak dengan jurus Rajawali
pentang-sayap, melambung ke udara. Pedang batu lurus
ditujukan ke muka dan ia melayang turun ke arah kepala
orang. Namun di bawah ancaman serangan maut itu,
tampaknya Kaisar Persilatan acuh tak acuh. Ia berdiri
tenang sambil memegang pusaka perguruannya.
Sedikitpun tak mengunjuk sikap hendak balas
menyerang. Peda saat Gak Lui tiba tiga tombak di
hadapannya, barulah sekonyong konyong ia membuka
suara, bersuit nyaring. Sesungguhnya nada suitan itu tak
berapa keras tetapi dalam telinga Gak Lui, suitan itu
seperti suara gunung meletus. Seketika itu Gak Lui
rasakan jantungnya berdebar keras dan seperti teraling
suatu pagar tenaga yang tak kelihatan, diapun segera
melayang turun ke bumi.
“Ah, jurus kedua tentu sudah selesai,” diam-diam Gak
Lui terkejut dan mengeluh, “kali ini aku benar2 kurang
keberanian. Baru musuh bersuit, hatiku sudah
tergetar.....”
Dua kali kegagalan itu mengetuk pintu hati Gak Lui.
Semangatnya serentak berbangkit dan dadanya serasa
meledak. Serentak ia enjot tubuh ke udara lagi dan sekali
ngangakan mulut, iapun menghamburkan sebuah
gemboran dahsyat yang menyerupai aum harimau
kelaparan. Mendengar gemboran itu, Kaisar Persilatan
kerut dahi. Wajahnya menampil rasa kejut2 girang.
Dengan gerakan yang luar biasa anehnya, tubuh Kaisar
Persilatanpun mulai berputar-putar laksana gumpalan
awan dihembus angin .... Tetapi walaupun ia bergerak
pesat, ternyata Gak Lui sudah siap. Setelah
memperhatikan gerak-langkah orang, ia segera
menurutkan langkah Ngo-heng-pian hoa, bergeliatan di
udara lalu meluncur turun terus bergerak dalam langkah
Ni-coan-ngo-heng. Demikian dua sosok tubuh bergerak
767
amat cepat. Yang satu seperti anak panah dihamburkan
dari busur. Yang satu bagai bintang jatuh dari langit.
Setelah beberapa waktu kemudian, keduanya kembali
berada di tempatnya semula lagi.
“Bagus! Bagus !” Kaisar Persilatan tertawa ber-seri2
dan mulutnya beberapa kali memuji. Sedang Gak Lui
yang tegak kurang lebih dua meter di hadapannya,
tampak sibuk hentikan gerakannya.
“Cianpwe, walaupun dalam tiga jurus aku dapat
mendekat ke muka cianpwe, tetapi dalam ilmu
kepandaian, aku merasa masih kalah jauh sekali.
Maka.... kelak tentu terulang ....”
“Ha, ha! Arus sungai Tiangkang selalu maju, yang di
belakang mendorong yang di muka! Setiap masa tentu
berganti manusia. Mulai saat ini, aku tak dapat bertempur
dengan orang. Dan engkaupun jangan mengungkat soal
itu lagi !”
“Tetapi ....”
“Tidak ada tetapi ! Terus terang kukatakan, memang
ilmu kepandaian kita terpaut jauh tetapi aku lebih dulu
sudah meyakinkan selama duapuluh tahun.”
“Ah, tidak bisa....”
“Tidak bisa?” wajah Kaisar Persilatan berobah serius
lalu balas bertanya pula: “Adakah engkau tak mau
memikul beban untuk membasmi kaum durjana?”
“Bukan begitu.”
“Kalau begitu tak perlu engkau sungkan lagi,” kata
Kaisar Persilatan seraya menyimpan pusaka Thian liong
kim jiu, “sebelum berpisah, aku hendak memberikan
petunjuk tentang kesudahan perjalanan hidupmu.....”
768
Gak Lui mengiakan dan mendengarkan dengan
khidmat. Dengan nyaring berdendanglah Kaisar
Persilatan: “... dari hidup lalu mati, setelah mati menuju
ke alam Kehidupan, dengan darah membayar darah,
tentu mengerti Jalan Kegaiban (Sin thong).”
Gak Lui tak mengerti apa yang disebut sebut soal
mati-hidup, hidup-mati itu. Tetapi kata2 Kaisar yang
terakhir itu dapat juga ia menduga artinya.
“Cianpwe, adakah cianpwe hendak mengatakan
bahwa kelak aku bakal mengerti ilmu Liok-to-sin thong itu
....” tanyanya.
“Benar!”
“Lalu ketiga baris kata yang lain itu ...”
“Bila sampai saatnya engkau tentu akan mengerti
sendiri. Selain itu engkau harus ingat baik2. Bila berada
keadaan yang genting dan sulit, jangan lupa akan cerita
siburung rajawali yang kututurkan itu !”
“Baik, cianpwe.”
“Nah, selama gunung masih menghijau, kelak kita
tentu dapat berjumpa lagi. Nah, aku hendak pergi !”
Belum kumandang kata2 itu reda, tampak sesosok
bayangan putih melesat pergi. Bayangan itu
menghamburkan sinar kemilau yang amat keras
sehingga Gak Lui silau matanya. Ketika sinar kemilau
hilang, di tanah lapang situpun sudah tiada orangnya
lagi. Tokoh persilatan Li Liong-ci yang sakti dan
menggetarkan dunia persilatan, dengan gunakan ilmu
Liok-to sin-thong telah tinggalkan tempat itu. Gak Lui
terlongong-longong kesima. Dia masih tegak di
tempatnya. Anak muda itu seperti sedang bermimpi.
Tokoh sakti tiada tanding dari angkatan lama dan
769
kewajiban untuk membasmi kaum durjana, dua hal itu
telah jatuh di atas bahunya. Ia telah mendapat warisan
dari tokoh sakti si Kaisar Persilatan Li Long-ci. Warisan
nama dan beban....
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Pikirannyapun segera melayang pada tantangan
Maharaja Persilatan untuk adu kesaktian itu. Tantangan
itu penting sekali artinya. Apabila ia dapat mengalahkan
si Maharaja, berarti ia telah menunaikan tugas untuk
membasmi kaum durjana. Tetapi pada saat
mengenangkan musuhnya, tiba2 timbullah keraguan
dalam hati. Mengapa Maharaja Tio Bik-lui itu masih utuh
hidungnya? Bukankah ayah-angkatnya si Pedang Aneh
mengatakan bahwa musuhnya itu seorang yang
berhidung gerumpung? Bukankah hal itu saling
bertentangan? Ah, waktulah yang akan memberi jawaban
atas pertanyaan itu. Akhirnya ia memutuskan pendirian
hatinya. Untuk sementara ia kesampingkan dulu soal itu
dan mulai ia mengingat lagi tentang pesan Kaisar
Persilatan tadi. Tentang soal Mati dan Hidup serta
dongeng burung rajawali dan sang Gautama, memang
merupakan ajaran dari kaum Buddha. Gak Lui tak dapat
menyelami arti daripada kesemuanya itu. Ia hanya
mencatat dalam hati, kelak akan membuktikan dalam
peristiwa jalan hidupnya. Hanya dalam pembicaraan itu
adalah sebuah hal yang Gak Lui merasa aneh. Yalah
Kaisar Persilatan tadi mengatakan kalau pedang Thianlui-
koay-kiam itu tak dapat dibuka dengan digosok batu
berlian. Karena waktunya sudah tak keburu lagi. Dan
Kaisar mengatakan pula bahwa kelak jika sungguh2 ia
akan bertempur dengan Tio Bik-lui, mungkin bisa ....
“Ah, mungkin bisa bagaimana? Adakah waktu
770
bertempur itu pedang Thian-lui-koay-kiam akan mampu
memancarkan kewibawaannya sendiri? Ah, tidak, tidak
mungkin ....!” Demikian ia menanggalkan semua lamunan
dan dugaan yang makan pikiran lalu memutuskan
rencana. Ia hendak menuju ke gunung Hek-san, untuk
menolong Pukulan-sakti The Thay dan mencari puterinya
yakni nona The Hong-lian. Ia hendak minta keterangan
kepada nona itu, siapakah tabib yang paling sakti.
Setelah mengetahui, ia akan mencari tabib itu dan minta
supaya menyambung kedua kaki sinona yang telah
kutung itu. Kemungkinan di dunia ini tabib yang memiliki
ilmu kepandaian sesakti itu hanyalah si Tabib sakti Li
Kok-hoa, ayah dari Siu-mey.
“Ah, aku harus lekas ke sana. Kalau terlambat,
apabila The cianpwe sudah memperbaiki pedang pusaka
itu, kawanan durjana tentu akan membunuhnya!” Dengan
ketetapan hati itu, Gak Lui segera ayunkan langkah
menuju ke Hek-san atau Gunung Hitam. Disebut gunung
Hitam karena gunung itu penuh dengan hutan belantara
yang lebat sekali sehingga alam pemandangannya gelap
hitam. Gak Lui menempuh perjalanan siang malam.
Ketika tiba di gunung itu, ia memandang keatas. Tampak
selarik asap membubung di puncak gunung.
“Ah, tentulah asap itu tempat The cianpwe menempa
pedang,” pikirnya. Segera ia pesatkan langkah, sambil
lari menyusup hutan belantara sambil merancang
rencana: “Kawanan orang berkerudung muka itu tentu
bergiliran menjaga. Kalau mereka tahu kedatanganku,
tentu mereka akan menjadikan The cianpwe sebagai
sandera untuk mengancam aku! Maka baiklah kuhindari
jalan kekerasan dan mencari adik Lian dulu, setelah itu
baru kubertindak menolong The cianpwe ...” Pada saat
itu ia sudah terpisah hanya seratusan tombak dari
puncak gunung. Dengan mengempos semangat, ia
771
menyusup gerumbul pohon sambil berpikir: “Menurut
kata Pok Tin, adik Lian juga bersembunyi di dekat sini
mengawasi gerak gerik lawan. Tetapi hutan begini lebat,
entah dia bersembunyi di mana ....?” Terpaksa ia
mengambil jarak tertentu untuk mengitari gunung itu.
Sepenanak nasi lamanya, tiba2 ia mencium
serangkum bau harum. Girangnya bukan kepalang. Itulah
bau nona Hong-lian yang hendak dicarinya. Setelah
melintasi sebuah hutan akhirnya ia melihat nona itu
sedang bertopang dagu duduk di bawah pohon. Rupanya
ia tengah memikirkan suatu soal yang sukar.
“Adik Lian !” serentak Gak Lui berseru
memanggilnya.
“Siapa ?” sambut nona itu dengan girang karena ia
merasa tak asing dengan nada suara orang.
“Engkoh Lui.......” serunya dengan suara tertahan. Ia
hampir tak percaya pada pendengarannya sehingga
hatinya tegang sekali. Dan ketika Gak Lui muncul, serta
merta nona itu loncat memeluknya. Gak Luipun
mendekapnya erat2. Mereka saling berpandangan
dengan mesra. Melihat gerakan nona itu amat lincah,
tahulah Gak Lui bahwa luka pada kaki nona itu sudah
sembuh dan bahkan kini ilmu kepandaiannyapun
bertambah maju pesat. Pun Hong lian mempunyai
perasaan demikian juga. Ia melihat bukan melainkan
kepandaian Gak Lui bertambah maju sekali, pun
tampaknya pemuda itu makin cakap dan makin gagah.
Beberapa jenak kemudian barulah Gak Lui lepaskan
pelukannya dan bertanya perlahan: “Sudah berapa
lamakah engkau berada disini? Adakah Permaisuri Biru
yang memberi petunjuk supaya engkau datang kemari ?”
Hong lian mengiakan : “Ya, memang suhu yang
772
memberi petunjuk kepadaku, aku sudah 10 hari lebih
datang kemari tetapi jika tak melihat gumpalan asap itu,
aku tentu tak dapat menemukan tempatnya !”
“Akupun juga begitu,” sahut Gak Lui, “tetapi adalah
selama 10 hari itu engkau pernah melihat The cianpwe ?”
“Belum pernah,” jawab sinona, “tetapi dari gumpalan
asap yang selalu membubung siang malam itu, ayah
tentu sedang bekerja menempa pedang.”
“Apakah ada orang lain ?”
“Banyak juga ! Tetapi hanya kawanan Orangberkerudung
yang pernah kita lihat digunung Pek wansan.
Mereka dua2 bergiliran menjaga tempat itu.”
“Kalau begitu mudah dihadapi ...”
“Engkau anggap mudah tetapi aku tidak. Kalau
memang mudah, tentu dulu2 sudah kuserbu!”
“Kalau begitu, kita atur rencana agar jangan
membikin kaget mereka.”
“Baiklah, kuserahkan saja bagaimana engkau hendak
mengaturnya,” kata Hong-lian. Sejenak merenung
berkatalah Gak Lui: “Kawanan orang itu semua kenal
padaku. Dan ada dua yang kenal padamu. Oleh karena
itu terpaksa kita tak dapat bekerja secara terangterangan…..”
“Ah, belum tentu begitu. Mereka takut kepadamu
tetapi tidak gentar kepadaku. Aku boleh mengunjuk diri
untuk memikat mereka kedalam hutan agar dapat
kubunuh yang seorang!”
“Jangan!” seru Gak Lui, “kawanan itu manusia yang
licin dan banyak muslihat. Mereka tentu tahu kalau
engkau menderita luka yang sukar sembuh selama773
lamanya. Kalau secara tiba2 engkau unjuk diri mereka
tentu menduga kalau engkau tentu ditolong oleh orang
sakti dan telah mendapat pelajaran ilmu sakti. Kalau
andaikata mereka tak takut kepadamu tentu takut juga
kepada suhumu.”
“Hm, benar juga…” sambut Hong lian. “tetapi kalau
aku tak unjuk diri bagaimana dapat memikat mereka
keluar dari tempat itu ?”
“Ini.... ah, kita bisa menyulut obor. Menilik keadaan
tempat ini, asap obor itu tentu akan tampak dari puncak
gunung. Mereka tentu mengira kalau timbul kebakaran
dan tentu akan buru2 datang kemari.”
“Memang siasat itu baik juga, tetapi ingat, jangan
sampai mencelakakan ayah !” kata Hong-lian.
“Sudah tentu tidak ! The cianpwe tentu faham soal
api, tak mungkin dia akan sembarangan keluar dari guha.
Dan lagi aku sudah mempunyai persiapan, selekasnya
menyelesaikan kawanan penjahat itu.” Dengan lembut
Hong lian anggukkan kepala. Tetapi ia masih mempunyai
sebuah pertanyaan lagi : “Engkoh Lui, ada suatu hal
yang aku masih tak mengerti !”
“Soal apa ?”
“Bagaimana perangai ayahku, tentulah engkau sudah
tahu.”
“Ya.”
“Apakah orang yang perangainya seperti ayah itu,
benar2 sudi membuatkan pedang untuk musuh? Apakah
tak mungkin lain orang yang disitu ?” Gak Lui tertawa:
“Bermula aku memang mempunyai pemikiran begitu.
Kecuali beliau, rasanya lain ahli pembuat pedang tak
mempunyai kepandaian sehebat itu.”
774
“Lalu apa sebab ia mau membantu musuh?”
“Hal itu akupun masih belum jelas juga,” kata Gak
Lui, “setelah menolong ayahmu, barulah kesemuanya itu
akan jelas.” Demikian setelah menetapkan rencana
keduanya segera berpencar mencari ranting kayu. Tak
berapa lama mereka sudah berhasil mengumpulkan
tumpukan bahan bakar kayu. Dan secepatnya
merekapun segera menyulutnya. Ternyata tempat
penempaan pedang itu berada dipuncak gunung. Sudah
tentu mudah melihat api yang menyala dibawah gunung.
Setelah api menyala benar, Gak Lui buru2 memberi
pesan kepada Hong-lian : “Nanti ikutlah dibelakangku,
jangan terburu nafsu.....”
“Ya, aku tahu. Selanjutnya pekerjaan berikutnya,
serahkan saja kepadaku, tanggung beres,” sahut sinona.
Tiba2 mereka mendengar suara orang memekik
marah : “Celaka, timbul kebakaran, gunung ini akan
terbakar, hayo kita cepat2 menolong…..” Teriakan itu
menimbulkan suara jeritan yang gaduh :
“Lekas.....lekas .... engkau kesana, aku yang
ketengah ....”
“Sungguh aneh sekali api itu.....!”
“Sudah jangan mengurusi api itu aneh atau tidak,
lekas padamkan saja !”
“Mungkin ada orang yang sengaja menimbulkan
kebakaran....”
“Jangan ngaco ! Siapa berani membakar gunung ini ?
Sudahlah, jangan banyak bicara!” Nada suara orang
yang terakhir itu menimbulkan ingatan Gak Lui. Ia
teringat suara itu adalah suara paderi Wi Cun. Dalam
gerombolan Orang-berkerudung itu, hanya Wi Cun yang
775
benar2 termasuk murid hianat. Gak Lui hendak
menangkap paderi itu untuk diserahkan kepada
perguruan Kong tong. Disamping itu, Wi Cun tentu
mengetahui rahasia dari Maharaja Tio Bik-lui. Baru Gak
Lui merenungkan hal itu, tiba2 tampak dua sosok tubuh
lari menyusup kedalam hutan. Yang satu seorang
berkerudung muka dan satu anggauta Topeng Besi.
Gak Lui cepat menghadang. Dengan tajam
ditatapnya orang yang dimuka: “Apakah engkau bukan
sipaderi jahat Wi Cun ?”
Orang itu tidak menyahut. Tetapi dari kerut wajahnya,
ia setengahnya geli setengahnya takut. Gak Lui tak mau
banyak bicara lagi, ia melolos pedang Thian-lui- koaykiam
yang menyerupai pedang batu, terus menusuk dada
orang itu. Tetapi orang itu rupanya tak tahu bahaya.
Melihat senjata lawan hanya pentung batu, ia menangkis
dengan pedangnya. Tring .... orang berkerudung muka
itu menjerit kaget ketika pedangnya putus. Padahal
pedang itu baru saja selesai ditempa oleh seorang ahli
pembuat pedang yang termasyhur. Dalam gugup ia
hendak berputar tubuh melarikan diri seraya hendak
bersuit memberi pertandaan kepada kawan kawannya.
Tetapi belum sempat ia melaksanakan rencananya itu,
pentung batu Gak Lui suduh menghunjam dadanya.
Darah muncrat berhamburan. Orang itu tak sempat
menjerit lagi karena dadanya tertembus pedang Thianlui-
koay-kiam. Setelah berhasil membunuh seorang
lawan, Gak Lui tak mau mensia-siakan tempo. Dengan
dua buah jari tangan kiri ia menutuk batang pedang si
orang bertopeng besi. Tring .... ujung pedang Topeng
Besi itupun rompal.
“Aneh !” diam2 Gak Lui terkejut sendiri. Namun ia tak
sempat memikir lebih panjang. Secepat kilat ia
776
menyambar pergelangan tangan orang itu terus berseru
kepada Hong-lian: “Yang ini menjadi bagianmu ....”
“Bagus ...!” Hong lian loncat menerkam orang itu.
Dengan demikian mereka berhasil membunuh tiga orang
berkerudung dan menawan seorang anggauta Topeng
Besi. Tetapi ternyata ketiga orang berkerudung muka
bukan imam jahat Wi Cun. Gak Lui tetap menunggu
karena percaya orang berkerudung yang akan muncul
nanti tentulah penyaruan dari imam Kong-tong-pay yang
murtad. Karena tak juga ada orang yang muncul lagi, ia
segera menyusup keatas puncak gunung. Ternyata imam
jahat Wi Cun yang mengenakan kerudung muka itu,
tengah menjaga disebuah mulut guha. Guha itu rupanya
baru saja dibuat untuk keperluan menempa pedang.
Ternyata imam itu juga tajam sekali matanya. Cepat ia
dapat mengetahui kedatangan Gak Lui. Imam Wi Cun
tergetar hatinya. Buru2 ia bersuit memberi pertandaan
agar manusia Topeng Besi yang berada disamping
segera menyerang Gak Lui. Setelah itu ia sendiri lalu
menyusup masuk kedalam guha.
“Hai, hendak lari kemana engkau!” teriak Gak Lui dan
Hong-lian hampir serempak. Kedua anak muda itu
terkejut karena tahu apa maksud imam itu lari masuk
kedalam guha. Tentulah dia hendak meringkus Pukulansakti
The Thay untuk dijadikan sandera. Serentak kedua
anak muda itu berhamburan loncat mengejar. Dalam
gerakan itu ternyata Gak Lui dapat mendahului Honglian.
Tetapi iapun segera disambut dengan tusukan
pedang oleh anggauta Topeng Besi. Rintangan itu
terpaksa membuat Gak Lui hentikan langkah. Sekali
menghantam dengan pedang batu, pedang lawanpun
hancur. Dan secepat kilat, Gak Lui menyusuli dengan
sebuah tutukan jari yang berhasil melumpuhkan si
Topeng Besi itu. Saat itu Hong-lianpun sudah tiba dimulut
777
guha. Sedang si imam Wi Cun sudah masuk kedalam
guha.
“Celaka....!” Gak Lui mengeluh dalam hati.
Memandang kebawah, tempat dimana ia menyulut api
tadi, api makin besar dan menimbulkan kebakaran luas.
Cepat ia mengepit orang bertopeng besi itu lalu loncat
kemulut guha. Bum ... bum .... terdengar angin pukulan
menderu-deru dari arah dalam guha.
“Bagus.....” Gak Lui menghela napas longgar. Ia
dapat membedakan deru angin itu. Itulah angin yang
timbul dari pukulan The Thay. Sedang suara mendering
dering itu jelas berasal dari semacam senjata. Belum
sempat ia bertindak, dari dalam guha meluncur keluar
dua sosok tubuh. Yang di-muka ternyata si imam Wi Cun.
Dia memegang pedang yang sudah kutung. Sedang
yang mengejar dibelakangnya, bukan lain adalah The
Thay sendiri. Ahli pembuat pedang itu menghantam
dengan tangan kiri, sedang tangannya mengayunayunkan
sebuah pukul besi besar alat penempa pedang.
Dengan wajah memberingas, The Thay mengamuk dan
mengejar imam itu. Bukan main girang Gak Lui setelah
melihat ahli pembuat pedang itu lolos dari bahaya. Ia
segera hendak loncat untuk meringkus imam Wi cun agar
dapat mengorek keterangan tentang rahasia Maharaja
Tio Bik-lui. Tetapi ternyata kalah dulu dengan Hong-lian
yang sejak tadi sudah siap dimulut guha. Begitu imam Wi
Cun menerobos keluar, Hong lian segera membenamkan
ujung pedangnya ke perut si imam. Cres .... seorang
tokoh angkatan tua dari partai perguruan Kong tong-pay,
karena menggabungkan diri dengan gerombolan durjana,
telah mati dibawah ujung pedang Hong-lian. Sebenarnya
Gak Lui hendak berteriak mencegah tindakan Hong-lian
tetapi sudah terlambat, terpaksa ia loncat menghampiri
ketempat si nona.
778
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Ketika melihat puterinya, Pukulan-sakti The Thay
melonjak girang seperti orang gila. Dengan masih
mencekal palu besi ia memeluk puterinya. Demikian
kedua ayah dan anak itu saling berpelukan dengan rasa
haru dan girang yang tiada terhingga.
“Paman The,” beberapa saat kemudian baru Gak Lui
berani membuka suara. The Thay baru gelagapan dan
lepaskan pelukannya: “Oh, engkau Gak ... Lui... adakah
kalian tak kurang suatu apa ?” Demikian pertemuan
ketiga orang itu berlangsung dalam suasana yang
mengharukan dan menggembirakan. Ayah dan puterinya
sudah berkumpul lagi. Dengan singkat Gak Lui lalu
menuturkan semua pengalaman yang telah dialami
selama ini hingga sampai berhasil menemukan tempat
orangtua itu. Habis berceritera, tiba2 Gak Lui teringat
sesuatu dan berteriak: “Adik Lian, mana orang2 yang
kuserahkan kepadamu itu ?”
“Siapa ?” tanya si nona.
“Dua orang berkerudung dan seorang anggauta
Topeng besi ?”
“Oh, mereka telah kutusuk mati semua !”
“Ah, maksudku kusuruh engkau membawanya
kemari, bukan suruh membunuhnya....”
Mendengar dirinya didamprat, dengan agak terisakisak,
Hong- lian menyahut, “Engkau... hanya bilang
menyerahkan orang itu kepadaku....mana aku tahu kalau
suruh menawannya....”
The Thaypun ikut menyesali puterinya: “Lian, engkau
memang terlalu mengumbar kemarahan. Mengapa tak
779
engkau biarkan mereka hidup agar dapat kita korek
keterangan. Tentu kita akan mendapat keterangan yang
penting ....”
Ayahnya turut mendamprat, nona itu makin deras
mengucurkan airmata, jawabnya membela diri: “Dalam
suasana kebakaran yang begitu besar, aku sudah tak
keburu. Mengapa kalian menyalahkan aku…..”
Karena sudah terlanjur, Gak Lui anggap tak perlu
membicarakan soal itu lagi. Dengan matinya imam Wi
Cun, rahasia si Maharajapun ikut lenyap. Demikianpun
dengan ketiga Topeng Besi itu. Mereka dibunuh mati
semua oleh Hong-lian. Jika hal itu diketahui oleh partai
perguruan masing2, tentulah mereka akan menuntut
balas kepada The Thay dan puterinya.
“Sudahlah, adik Lian, tak usah menangis. Semua
perkara ini adalah tanggung jawabku,” Gak Lui
menghiburnya. Kemudian ia dengan hati2 lepaskan
tawanan Topeng Besi yang dikepitnya, lalu membuka
topengnya, pikirnya : “Entah orang ini dari perguruan
mana, yang penting semua rahasia gerombolan
Maharaja itu berada padanya ....”
Topeng besi karena sudah bertahun-tahun dipakai,
sudah karatan sehingga sukar membukanya. Terpaksa
Gak Lui kerahkan tenaga-dalam menyingkap, krak .....
terdengar derak suatu alat pekakas dan serempak
terdengar Gak Lui menggembor keras. Tangannya
berlumuran darah dan dua keping topeng besipun
terlempar ke udara. Sedangkan siorang Topeng Besi
terkapar di- tanah tak berkutik sama sekali. The Thay dan
Hong-lian terkejut dan memandang Gak Lui. Pemuda itu
tertegun memandang ke arah manusia Topeng Besi.
Ternyata orang itu belum mati. Rambutnya terurai, kumis
dan mukanya penuh brewok lebat sehingga susah
780
dikenal dia itu murid agama atau orang biasa. Dia tak
menderita luka apa2 dan jelas darah itu memang berasal
dari tangan Gak Lui.
“Engkoh Lui, apakah engkau terluka ?” seru Honglian
cemas.
“Ah, hanya luka luar, tak mengapa….”
“Lalu mengapa tanganmu berdarah ?”
“Maharaja memang manusia durjana, dalam topeng
besi itu dilengkapi dengan alat pekakas rahasia ....”
“Alat pekakas apa ?”
“Dua buah per yang mengandung bahan peledak dan
tertuju pada kening sipemakai. Begitu kucabut topeng itu,
alat itupun muntahkan peluru dan hampir saja
menghancurkan benak orang ini.”
“Lalu engkau tanggapi dengan tangan?” menegas
sinona dengan cemas ....
JILID 16
“Kalau tidak ditangkis, mana aku bisa hidup?” sahut
Gak Lui lalu membuka jalan darah orang itu.
“Memang bisa hidup tetapi mungkin tak dapat bicara,”
seru Hong- lian seraya geleng kepala. Mendengar itu
Pukulan-sakti The Thay menyelutuk perlahan:
“Lian, jangan banyak bicara. Biarlah engkohmu Gak
Lui mengurut urat2 orang itu. Mungkin bisa sembuh….”
Ucapan orangtua itu memang tepat seperti yang
dikandung dalam hati Gak Lui. Untuk mencari jejak, ia
harus dapat menolong orang bertopeng besi itu. Segera
ia lekatkan kedua tangan ke pantat dan ubun orang lalu
781
memberi seluruh tenaga-murni. Hendak diusahakan agar
orang itu sadar dari pingsannya. Tak berapa lama Gak
Lui rasakan hawa Im yang dingin di tubuh orang itu
sudah terhalau. Bahkan sepasang mata orang itu yang
terlongong-longong seperti kehilangan semangat, pun
sudah dapat bergerak biasa lagi. Gak Luipun menarik
penyaluran tenaga-murni dan bertanya dengan nada
lembut: “Siapakah engkau? Apakah engkau sekarang
sudah tersadar?” Biji mata orang itu berputar lalu
mencurah pada wajah Gak Lui yang memakai kedok
muka dari kulit kera tetapi tak bicara apa2.
“Apakah keadaanmu sudah baik? Mengapa engkau
tak menjawab pertanyaan engkoh Lui?” Hong-lian yang
berada di samping, ikut mendesak. Tetapi si Topeng Besi
itu hanya keliarkan sepasang biji matanya dan
memandang sinona. Tetapi sampai beberapa saat tetap
tak bicara. Melihat itu Gak Lui gelengkan kepala: “Ah, dia
sudah kehilangan daya ingatan dan tak dapat menjawab
pertanyaan.”
The Thay suruh Gak Lui untuk mengurutnya lagi.
Tetapi Gak Lui menerangkan: “Kurasa tak mungkin lagi.
Untuk mengembalikan daya ingatannya, bukanlah soal
yang mudah. Hanya menggunakan cara urut saja, tak
berguna.”
“Lalu bagaimana ?”
“Bawa dia ke gunung Ceng-sia-san supaya para
tokoh2 perguruan silat mengenalinya. Kalau dia benar
salah seorang murid dari suatu perguruan silat, baru kita
nanti berusaha untuk menyembuhkan.”
“Engkoh Lui, apakah engkau sudah mempunyai
suatu rencana ?” Selutuk Hong lian pula.
“Belum,” kata Gak Lui lalu menerangkan dengan
782
terus terang,
“Digunung Ceng-sia-san berkumpul tokoh2 sakti.
Mungkin mereka dapat mengusahakan daya. Kalau
masih gagal, terpaksa kita tunggu saja apa yang akan
terjadi.”
The Thay setuju dan mengajak berangkat saat itu
juga. Gak Lui mengiakan tetapi Hong-lian mencegah :
“Ah, mengapa harus buru2 ? Aku masih ada beberapa
hal yang hendak kutanyakan pada ayah.”
“Katakanlah.” Hong-lian bertanya dengan nada
sangsi: “Yah, mengapa engkau mau membantu musuh
membuatkan pedang? Aku sungguh tak mengerti!”
“Adakah engkau kira aku lebih suka mati daripada
menyerah ?” sahut The Thay.
Mata sinona merah dan dengan nada berduka
berkata: “Menilik perangai ayah, aku.... kuatir ..,terjadi
sesuatu diluar dugaan….”
“Tolol !” dengan mesra The Thay membelai rambut
puterinya, “walaupun ayah ini berwatak keras tetapi ....
tak ingin meninggalkan kalian.., maka aku walaupun
hanya dapat hidup beberapa hari, aku tetap hendak
mencarimu baru hatiku tenang. Soal pembuatan pedang
itu, hanya suatu siasat saja.”
“Siasat ?”
“Ya.”
“Siasat bagaimana, aku belum mengerti,”
Tetapi rupanya Gak Lui cepat dapat memaklumi
ucapan The Thay. Ia segera memberi penjelasan kepada
Hong-lian : “Yang dibuat paman The itu hanya pedang
palsu. Dengan mengunakan siasat itu ia hendak
783
mengantar beberapa orang itu kearah kematiannya.”
“Maksudnya yalah…..”
“Apakah engkau tak melihat begitu beradu dengan
pedangku, pedang mereka terus hancur?”
“Oh .... benar ! Tetapi apakah sangkut pautnya hal itu
?” masih Hong-lian menegas.
“Paman The seorang ahli pembuat pedang. Sudah
tentu bisa saja ia gunakan akal dalam membuat pedang
mereka sehingga walaupun tampaknya bagus tetapi
pedang mereka itu mudah patah.”
“O....,” kali ini Hong-lian mendesuh girang karena
sudah jelas.
The Thay pun tertawa : “Itulah maka kukatakan
engkau ini seorang budak tolol .. Karena sekarang sudah
jelas mari kita segera berangkat. Masih banyak
peristiwa2 yang akan kita alami nanti !”
Gak Lui berbangkit dan memberi isyarat tangan agar
si Topeng Besipun bangun. Tetapi si Topeng Besi itu
hanya keliarkan biji mata dan tetap menggeletak ditanah.
Rupanya dia enggan berbangkit. Gak Lui tahu keadaan
orang itu. Ia segera menepuk bahu orang itu dan
berbangkitlah ia tegak mematung menunggu perintah
Gak Lui.
“Paman, tolong paman bawa orang ini ke Ceng-sia
san. Sepanjang jalan dia harus didorong supaya jalan,”
kata Gak Lui.
“Apakah engkau tak pergi bersama-sama aku?” tanya
The Thay.
“Aku hendak menyelidiki siapakah yang telah
menyembuhkan kedua kaki adik Lian itu,” kata Gak Lui.
784
Mendengar itu Hong-lian memandang bergantian kepada
ayah dan pemuda yang dikasihinya itu. Kedua-duanya ia
tak tega berpisah. Tetapi apa boleh buat..... Setelah
merenung beberapa jenak akhirnya ia menghampiri Gak
Lui: “Baiklah, aku ikut engkau !”
“Tidak, lebih baik engkau ikut paman The. Asal
engkau memberitahukan letak tempat itu, aku tentu dapat
mencarinya sendiri.” Hong-lian kecewa lalu melengking
tak senang: “Hm, akan kubawa engkau kesana, engkau
tak mau, akupun tak mau memberitahukan tempat itu.
Terserah engkau dapat mencarinya sendiri atau tidak
nanti.....”
“Adik Lian, maksudku hanya hendak menghemat
tempo. Dan lagi kalau engkau bersama paman The Thay
engkau dapat saling membantu sehingga aku tak perlu
cemas hati lagi,” kata Gak Lui. Rupanya nona itu masih
tak puas. Untung The Thay segera menyelutuk : “Tempat
itu aku dapat memberi tahu. Tetapi .... syarat yang
dikehendaki tabib itu luar biasa sekali. Mungkin engkau
tak sanggup menerimanya.”
“O….” desuh Gak Lui. “bukankah adik Lian itu diantar
oleh Permaisuri Biru. Masakan harus menghadapi
beberapa syarat lagi?” Sahut Hong-lian : “Suhuku
mengabdi pada agama, lapang dada pemurah hati. Oleh
karena itu beliau mau menerima syarat2 itu, tetapi
engkau masih muda, tentu lain soalnya.”
“Kalau lain orang dapat menerima, masakan aku
tidak? Katakanlah nama tempat itu!” cepat Gak Lui
menanggapi. Hong lian kerutkan alias seperti merenung.
Katanya sesaat kemudian : “Tempat itu disebut Lembah
Setan Penyakit. Didalam lembah penuh dengan
penderita2 sakit yang aneh2. Tabib itu sendiri tinggal
didalam guha .....”
785
“Siapakah namanya ?”
“Sewaktu dalam keadaan terluka, aku tak sempat
bertanya. Agaknya dia bernama .... bernama ... Pemilik
lembah setan Penyakit…..”
“Tak apalah,” kata Gak Lui. Diam2 ia menimang, jika
tabib sakti itu benar Li Kok-hoa, dia tentu akan
menyembunyikan nama dan berganti dengan nama
palsu.
“Bagaimanakah potongan wajah orang itu ?” akhirnya
ia coba mencari keterangan.
“Entahlah !” sahut Hong lian.
“Aneh, mengapa tak tahu bagaimana wajahnya?
Bukankah engkau sudah tinggal lama di-lembah Setan
Penyakit itu ?” Gak Lui agak kurang percaya.
“Aku tinggal tujuh hari lamanya. Setelah kakiku
tersambung, suhu lalu membawaku pergi.”
“Selama tujuh hari itu masakan engkau tak pernah
melihat mukanya ?”
“Benar, memang aku tak bohong,” kata Hong-lian,
“selama tujuh hari itu aku dibiusnya. Hal itu kemudian
hari baru suhu memberitahu kepadaku. Dan lagi... dan
lagi.....”
“Dan lagi bagaimana ?”
“Suhu memberi pesan agar aku jangan sembarangan
mengatakan hal itu kepada orang lain. Untuk
menghindari kaki tangan Maharaja akan mencari tabib
itu.”
“Hm,” Gak Lui mendesuh. Diam2 ia menimang.
Apakah si Setan Penyakit itu bukan Tabib-sakti Li Hokhoa
sendiri. Ah, demi kepentingan Siu-mey, ia harus
786
mencarikan ayah nona itu. Tetapi tabib itu mengajukan
syarat. Kalau ia tak dapat memenuhinya, kemungkinan
tabib itu takkan mengacuhkannya. Ah, tiba2 ia teringat
akan Li Siu-mey. Jika nona itu berada disitu, tentulah ia
dapat mengenali Setan Penyakit itu ayahnya atau bukan.
“Baiklah, adik Lian. Setelah tiba di Ceng-sia, carilah
Gadis-ular Li Siu-mey dan beritahukan tempat yang
kutuju itu. Minta dia supaya lekas menyusul kesana,”
akhirnya ia memberi pesan kepada Hong-lian. Hong-lian
mengiakan. Tetapi saat kemudian ia bertanya :
“Siapakah nona itu ? Apakah hubungannya dengan
engkau ?”
“Dia juga .... seorang saudara angkat…..” kata Gak
Lui. Karena dengan Siu-mey ia mempunyai hubungan
yang istimewa maka dalam memberi keterangan, ia agak
terbata-bata. Hong lian makin curiga. Dengan nada
cemburu ia berkata:
“Kurasa agaknya engkau tak jujur. Pergilah, aku tak
mau mengurus soal itu lagi !”
Gak Lui meringis. Untung The Thay tahu akan
perangai puterinya. Buru2 ia memberi isyarat kepada
Gak Lui supaya mendekat kepadanya: “Apakah engkau
belum faham akan perangai si Lian ? Kecuali ada
petunjuk2 yang istimewa, dia baru menurut. Kalau tidak,
aku sebagai ayahnya-pun tak digubris.”
“Petunjuk istimewa ?” Gak Lui merenung sejenak,
katanya pula:
“Bahwa kalau kuberinya pelajaran sebuah jurus ilmu
pedang perguruanku, setujukah paman ?”
Sudah tentu The Thay girang sekali karena puterinya
akan mendapat ilmu pedang perguruan Bu-san yang
787
termasyhur itu. Sebenarnya nasehatnya kepada Gak Lui
itu hanya akan minta agar pemuda itu membujuk Hong
lian dengan kata2 yang manis. Setitikpun ia tak
menyangka kalau pemuda itu akan memberi pernyataan
yang tak terduga begitu.
“Maksudmu itu memang baik sekali. Tetapi... apakah
hal itu tidak terlalu memberatkan engkau ?” katanya.
“Tidak,” sahut Gak Lui, “kuberinya pelajaran ilmu
pedang itu adalah demi kepentingan kita semua. Jadi
bukan soal sungkan. Harap paman suka mengatakan
kepadanya.”
The Thay dengan gembira menyampaikan hal itu
kepada puterinya. Rencana Gak Lui untuk mengajarkan
sebuah ilmu pedang kepada Hong-lian itu demi
memperlengkapi pembentukan sebuah barisan pedang.
Hi Kiam-gin sudah mendapat satu jurus. Bu-san Yan
liong dan gadis ular Siu-mey masing2 sudah mempelajari
satu jurus. Jika sekarang Hong-lian satu jurus lagi maka
lengkaplah barisan pedang perguruan Busan yang terdiri
dari empat orang.
“Jika dalam menggunakan pedang pusaka Thian luikoay-
kiam, aku sampai kalap dan hilang kesadaran
pikiranku, mereka berempat dapat mengeroyok aku
sehingga keganasanku dapat diatasi....” diam2 Gak Lui
menimang dalam hati.
“Engkoh Lui, ah, engkau cukup baik hati, hayo
ajarilah ilmu pedang itu dengan sungguh2, nanti tentu
kusampaikan pesanmu kepada nona itu!” tiba2 Hong lian
melesat ketempatnya dan berseru girang.
Demikian Gak Lui segera memberinya pelajaran ilmu
pedang jurus Menjolok-bintang-memetik-rembulan
kepada nona itu. Cepat sekali Hong-lian sudah dapat
788
memahami jurus itu. Akhirnya merekapun berpisah untuk
melanjutkan rencana perjalanan masing2. Setelah ayah
dan anak yang membawa seorang tawanan Topeng Besi
itu lenyap dalam gerumbul, Gak Luipun segera lari
menuju ke lembah Setan Penyakit untuk mendapatkan
tabib yang telah mengobati kaki Hong lian. Ia duga tabib
yang memiliki kepandaian begitu sakti, kemungkinan
besar tentulah Li Kok-hoa, ayah dari Siu-mey. Ia harus
mencari tabib itu agar Siu-mey dapat mencari ayahnya
yang menghilang tiada tentu rimbanya itu. Disamping itu,
ia percaya, apabila tabib itu benar Li Kok hua, tentulah ia
akan memperoleh keterangan yang berharga mengenai
diri Maharaja Persilatan. Ketika matahari memancarkan
sinarnya yang panas, tibalah Gak Lui disebuah lembah.
Angin yang mengantar bau manusia, cepat dapat tercium
oleh hidung Gak Lui yang tajam.
“Menilik keadaannya, lembah Setan Penyakit itu
berada ditepi sana.....,” pikirnya lalu enjot tubuh
melayang ke tanjakan gunung. Tiba ditempat itu bau
busuk itu makin menusuk hidung sehingga ia hampir
muntah. Dilihatnya ditepi lembah sebuah pagar kayu.
Dibalik pagar itu tampak dua sosok bayangan manusia.
Melihat keadaan itu hampir Gak Lui tak percaya bahwa
Permaisuri Biru akan membawa Hong-lian ketempat itu
untuk berobat. Tetapi kenyataan memang demikian. Agar
jangan membuat kaget orang, ia tak mau menggunakan
ilmu Meringankan tubuh melainkan dengan perlahanlahan
ia menuju ketempat itu. Pada saat ia melintasi
hutan, tampak tubuh2 manusia tersebar dimana-mana
dengan pandang mata yang beraneka ragam. Seram dan
mengerikan. Gak Lui cepat menduga bahwa tempat itu
tentulah rombongan penderita sakit yang berat. Tetapi
karena tertolong oleh tabib sakti, walaupun keadaan
mereka berlumur cacad, jiwa mereka masih dapat
789
dipertahankan. Rombongan orang sakit itu muncul keluar
dari semak gerumbul pohon. Berjenis-jenis keadaan
mereka. Ada yang menyerupai kerangka terbungkus
kulit, ada yang tubuhnya begap2, ada yang penuh
berlumur dengan kudis2. Ngeri sekali, menyeramkan
hati.....
Gak Lui ingin menegur tetapi dilihatnya mereka itu
seperti patung yang berjiwa. Bernapas tetapi sedikitpun
tak mempunyai mimik perasaan. Hanya sorot mata
mereka yang memancar sinar aneh. Mereka heran
mengapa Gak Lui mengenakan kedok muka dan
mengapa datang ketempat situ. Adakah pemuda itu
mengandung penyakit yang sukar disembuhkan?
Demikian mereka menduga- duga. Gak Lui lanjutkan
langkah. Ketika tiba di-tempat yang dituju, sekeliling
penjuru penuh dengan penderita penyakit yang aneh.
Keadaan tempat itu tak ubah seperti setan2 dalam
neraka.
“Tolong tanya paman berdua.....” baru ia membuka
mulut sampai disitu, hatinya seperti disayat sembilu.
Kedua penderita yang ditegur itu tubuhnya penuh kudis
yang mengandung nanah dan darah. Telinga dan hidung
sudah membusuk bahkan pelupuk matanyapun berkudis
darah, kepalanya macam buah delima yang bertaburan
luka. Tetapi karena sudah tiba ditempat itu akhirnya Gak
Lui meneguhkan nyali dan bertanya pula: “Tolong tanya,
dimanakah pemilik Lembah ini? Aku hendak mohon
bertemu dengan dia.”
“A.. a ... !” rupanya kedua orang itu mendengar
pertanyaan Gak Lui. Mereka menatap ke-arah Gak Lui
dan berkaok-kaok tak jelas.
“Celaka ! Menilik suaranya mungkin lidah mereka
juga sudah hancur. Ah, runyam sekali,” Gak Lui
790
mengeluh. Tiba2 ia mendapat pikiran. Dengan gunakan
ilmu Pemusat Suara, ia susupkan kata-katanya tadi
ketelinga orang itu.
“A,a,a.a ....,” orang itu menguak-nguak. Rupanya
sekarang ia mengerti apa yang ditanyakan. Dengan
lidahnya yang hanya tinggal separoh. ia balas bertanya :
“Engkau ... engkau ... , mencari dia .... mengapa ....”
“Ada urusan penting !”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Bukan .. bukan .... hendak berobat…..?”
“Hm, apakah harus sakit baru dapat menjumpainya ?”
“Benar... benar .... sakit baru .... baru dapat
menemuinya ... kalau tidak .... boleh juga engkau
membawa orang sakit kemari... selain itu .... tak bisa
bertemu !”
“O ….,” desuh Gak Lui. Memandang kedalam pagar,
ia tak melihat jalan masuk kedalam goha. Tetapi ia
menyadari andaikata menemukan pintu masuk itu, tentu
juga akan mendapat rintangan. Kalau yang merintangi itu
seorang ganas, ia dapat menyingkirkan mereka. Tetapi
yang menjaga itu hanya dua orang penderita sakit yang
sudah rusak tubuhnya, bagaimana ia sampai hati untuk
berkelahi dengan mereka? Akhirnya ia memutuskan
untuk menunggu kedatangan Siu-mey dulu. Tetapi pada
lain saat ia merobah pikirannya. Siu-mey datang atau
tidak, sama saja. Karena rencana yang akan dijalankan
yalah berpura-pura menjadi orang sakit. Daripada
menunggu kedatangan Siu-mey lebih baik saat itu juga ia
mengaku kalau dirinya sakit agar dapat diantar
menghadap tabib sakti itu.
791
“Ya, memang aku mengidap penyakit, perlu berjumpa
dengan Ko- cu,” katanya.
“Ngaco !” bentak orang itu,” engkau.... mengidap sakit
apa...orang semuda dirimu .... kecuali sakit hati .... tentu
sakit jiwa ....”
“Benar !” sahut Gak Lui, “memang aku mengidap
sakit di hati dan harus minta obat kepadanya.”
“O !” kedua orang itu serempak mendesuh dan
berbangkit, “kalau memang .... ada penyakit.....harus
menurut peraturan.... disini ...!”
“Apakah peraturan itu ?”
“Harus.,., harus... lebih dulu minum semangkuk
air....racun....baru engkau dapat....masuk !”
“Air racun ?”
“Ya..... benar !” Gak Lui merenung sejenak lalu
membusungkan dada, menyahut:
“Baik ! Bawalah kemari !” Cepat sekali orang itu
sudah mengambil sebuah mangkuk kasar dari atas meja.
Lalu menuangkan sebuah guci yang berisi air warna
hijau. Mangkuknya saja sudah menyeramkan. Apalagi
yang menuang itu seorang manusia yang lebih
menyerupai setan dari insan hidup. Dengan ibu jarinya
yang berlumuran darah, orang itu membenamkannya ke
dalam mangkuk racun. Hampir Gak Lui hendak muntah
melihat pemandangan itu. Perutnya sudah mulai muak.
Bermula ia tak mau menyambuti tetapi pada lain kilas ia
menimang: “Ah, kalau aku tak masuk ke dalam neraka,
siapa lagi yang berani masuk?”
Tanpa ragu2 ia segera menyambuti mangkuk itu
terus diteguknya habis. Sebelumnya ia sudah kerahkan
ilmu tenaga-dalam Algojo Dunia untuk menyisihkan racun
792
itu dan akan dikeluarkan lagi. Belum sempat ia
meletakkan mangkuk, orang cacad itu sudah
membentaknya: “Pergilah !” Terdengar bunyi berderak
keras dan papan lantai yang diinjak Gak Lui itu terbuka.
Karena tak menyangka sama sekali, Gak Luipun
melayang jatuh ke dalam terowongan goha. Entah
berselang berapa lama, ketika Gak Lui siuman, ia
rasakan dirinya terbaring di sebuah pembaringan batu.
Sunyi senyap tiada orang tetapi hidungnya mencium bau
obat yang keras. Ia duga tempat itu tentu goha kediaman
pemilik lembah Setan Penyakit. Ia hendak bergerak
tetapi kaki tangannya lentuk tiada bertenaga sama sekali.
“Ah, racun yang hebat. Aku tak dapat menghalaunya
dengan tenaga dalam......” Gak Lui mengeluh tanpa
dapat berkutik. Ia memandang ke sekeliling tempat dan
dapatkan tempat itu merupakan sebuah ruang
pengobatan yang cukup luas. Diterangi lilin merah yang
terang benderang. Tiba2 ia terkejut ketika melihat di
sebuah pembaringan di bawah, terbaring seorang lelaki
tua berumur 50-an tahun. Mukanya sama sekali tak
dikenal tetapi perawakannya, baunya, Gak Lui tak asing
sama sekali. Seketika tergetarlah hati Gak Lui.
Amarahnya meluap. Ingin ia menerkam orang itu dan
merobek2 tubuhnya. Orang itu bukan lain yalah sipaderi
Ceng Ki palsu. Ia tak duga kalau bakal bertemu di situ.
Gak Lui hanya dapat mengertak gigi karena ia tak kuasa
bangun. Pikirnya: “Bagus, engkau juga tak mampu
bergerak dan tak mungkin lolos dari tempat ini. Nanti aku
sempat untuk menanyakan tentang asal usul si
Maharaja…..”
Sambil menatap kepada orang itu diam2 Gak Lui
timbul kecurigaan. Ceng Ki palsu dan Hong-lian
bersamaan waktunya menderita luka. Dan tentu
bersamaan pula datang ke situ untuk berobat. Tetapi
793
mengapa mereka tak saling berjumpa? Dan lagi kalau
Hong-lian yang kedua kakinya buntung masih dapat
disambung lagi mengapa Ceng Ki palsu yang hanya
putus sebelah lengannya, sampai saat itu belum juga
sembuh. Tengah ia menimang hal itu, pintu tembok tiba2
merekah terbuka. Seorang lelaki bermuka hitam dan
buruk sekali, melangkah ke luar.
“Ah, dia tentu pemilik lembah Setan Penyakit !” pikir
Gak Lui. Dipandangnya orang itu dengan tajam. Ia
hendak mencari sesuatu ciri pada wajahnya yang
menyerupai Hong-lian. Karena biasanya antara ayah dan
anak itu tentu ada ciri2 yang sama. Tetapi ternyata ciri2
itu tak diketemukan pada wajah orang itu. Pemilik lembah
Setan Penyakit itu perlahan-lahan menghampiri ke
samping pembaringan Ceng Ki palsu. Ia mengeluarkan
semacam huncwe atau pipa dari kumala lalu
disemburkan ke lubang hidung Ceng Ki palsu itu.
Sekonyong-konyong Ceng Ki palsu itu berbangkis dan
kaki tangannya bergerak-gerak, membalikkan tubuhnya
turun dari pembaringan. Gak Lui terperanjat. Dia masih
belum dapat berkutik. Apabila Ceng Ki palsu itu
mengetahui dirinya, tentu akan turun tangan. Tetapi
rupanya orang itu tak mau menghiraukan Gak Lui. Begitu
bangun ia terus menghadap ke arah tuan rumah dan
berseru dengan nada kasar : “Tanganku seharusnya
sudah baik, bukan?”
“Hampir !”
“Aku sudah datang ke sini cukup lama. Tiap hari
engkau bius dengan obat. Sebenarnya aku sudah tak
tahan lagi. Dan lagi engkau mengatakan kalau hari ini
lukaku itu sudah boleh dibuka. Mengapa engkau bilang
kalau hampir sembuh dan belum sembuh sama sekali ?”
“Tuan, sepuluh hari setelah terluka baru engkau
794
datang kemari. Engkau sendiri yang menunda waktu.
Jangan menyalahkan orang yang mengobati ....”
“Ah ....” mendengar pembicaraan itu barulah Gak Lui
mengetahui bahwa Ceng Ki palsu itu terlambat datang ke
situ. Sudah tentu tak berjumpa dengan Hong-lian.
“Walaupun terlambat datang tetapi waktu itu aku
sudah minum obat penghenti pendarahan. Mengapa
engkau masih sukar untuk mengobati ?”
“Cara pengobatan yang engkau lakukan itu, akhirnya
akan membawa akibat engkau menderita cacad seumur
hidup. Sekarang aku hendak menyambung lagi tulangtulangmu
yang putus sehingga harus memakan waktu
agak lama.”
“Sudah, jangan banyak bicara. Lekas engkau buka !”
teriak Ceng Ki palsu seraya menjulurkan lengannya yang
terbalut kain putih. Gak Lui terkejut. Ya, benar. Lengan
itulah yang telah dibabat kutung dengan pedang yang
dilontarkannya tempo hari. Pemilik lembah Setan
Penyakit tak gugup. Tenang2 ia menyahut:
“Baik, tetapi sebelum kubuka engkau harus
menjawab beberapa pertanyaanku.”
“Ya,” sahut orang itu menggeram, “bukankah
peraturannya hanya mengobati saja dan tak
menanyakan lain2nya ? Mengapa sekarang engkau
hendak mengajukan pertanyaan ?” Pemilik lembah Setan
Penyakit tertawa : “Anggap saja aku akan membuat
suatu pengecualian kepadamu !”
“Mengapa ?”
“Karena engkau memiliki ilmu silat yang lihay maka
akupun merasa heran.”
“Kalau begitu pertanyaan yang engkau hendak
795
ajukan itu tentu menyangkut soal2 penting dalam dunia
persilatan ?”
“Ah, belum tentu. Tentang penting atau tidaknya soal
itu, aku sendiri yang akan memutuskan. Engkau cukup
menjawab saja !”
“Hm, engkau berani menekan padaku. Terus terang,
jangan harap engkau dapat menyampaikan maksudmu !”
Pemilik lembah Setan Penyakit itu balas berteriak
dengan tak kurang tajamnya: “Akupun hendak
memberitahu kepadamu dengan terus terang. Lenganmu
aku yang menyambung. Tetapi masih perlu makan obat.
Kalau engkau tak mau menyahut pertanyaanku, obat
takkan kuberikan. Dalam tiga bulan jalan darahmu akan
macet. Pada saat itu jangan engkau marah kepadaku.”
“Huh, adakah caramu itu suatu perbuatan yang mulia
?”
“Maaf, tetapi keadaan memang berlainan, terpaksa
aku harus berbuat begitu.”
“Besar sekali nyalimu….,” dalam marahnya Ceng Ki
palsu itu kerahkan tenaga dalam hendak menghancurkan
si tabib. Gak Lui gelisah sekali. Ia tahu bahwa pemilik
lembah itu tak mengerti ilmu silat. Tetapi ternyata pemilik
lembah itu hanya tersenyum tenang dan berseru :
“Lengan itu milikmu. Apakah engkau tak
menghendakinya?” Dengan sikap yang tenang sekali ia
mengisap lagi pipa huncwenya. Walaupun marah tetapi
Ceng Ki tak berani sembarangan bertindak. Dengan
geram ia mendengus: “Baik, tanyalah! Tetapi ingat, kalau
pertanyaan itu keliwat batas sehingga mengundang
bencana pembunuhan, jangan engkau sesalkan aku !”
“Itu urusanku,” sahut si tabib, “tak perlu engkau
bingung. Nah, pertanyaan pertama yang hendak
796
kuajukan yalah : Kedatanganmu ke lembah Setan
Penyakit untuk berobat ini, apakah karena mendengar
cerita orang atau ada orang yang menunjukkan ?”
“Mendengar cerita orang.”
“Apakah bukan dari Li Hui-ting yang mengatakan ?”
“Li Hui-ting ?” Ceng Ki palsu mengulang dengan nada
kejut karena ia kenal dengan Li Hui-ting si Tabib-jahat itu.
Ia dan tabib jahat itu separtai. Tetapi Li Hui-ting sudah
mati dibunuh Gak Lui. Gak Luipun terkejut juga. Li Huiting
itu adalah murid dari tabib- sakti Li Kok-hoa. Tetapi Li
Hui-ting telah menipu gurunya sehingga tabib sakti itu
menghilang dari masyarakat. Mengapa sekarang pemilik
lembah Setan Penyakit menanyakan diri Li Hui- ting?
Adakah pemilik lembah itu memang benar Tabib-sakti Li
Kok-hoa, ayah dari gadis ular Siu-mey? Ataukah ada lain
rahasia yang menyelubungi diri pemilik lembah ini.....
Tiba2 Ceng Ki palsu balas bertanya: “Engkau ....
mengapa kenal akan Tabib-jahat itu ? Mengapa engkau
menanyakan dirinya ?”
“Tuan,” sahut pemilik lembah dengan nada sarat,
“kuharap engkau suka ingat baik2. Engkau yang
menjawab dan aku yang bertanya. Dan jawablah dengan
terus terang !”
“Dia sudah lama mati. Bukan dia yang memberitahu
kepadaku!” kata Ceng Ki palsu.
“Hm, saudara tentu seorang persilatan. Mohon tanya
siapakah nama saudara dan apakah gelar yang saudara
pakai? Dari perguruan manakah saudara ini?”
“Ini.....,” Ceng Ki palsu terkerat-kerat lalu merenung
beberapa jenak. Diam2 timbullah rencana jahat dalam
hatinya. Segera ia menyahut dengan terus terang: “Aku
797
bernama Tio Yok-beng. Dengan kelima suheng, aku
tergabung dalam kelompok yang disebut Lima-pendekar
dari Imleng.”
“Lima pendekar dari Im-leng?” diam2 Gak Lui
mengulang dalam hati. Musuh telah menantang dia
berkelahi digunung Im-leng-san. Kemungkinan tentulah
sarang dari gerombolan kelima orang itu. Tetapi pada
lain saat, Gak Lui agak bingung sendiri. Lima pendekar
Im-leng itu berjumlah lima orang. Yang empat sudah
jelas menjadi gerombolan Kerudung Hitam. Lalu
kemanakah yang seorang ? Pemilik lembah Setan
Penyakit bertanya pula: “Adakah kelima pendekar itu
masih hidup semua?”
“Toa-suhengku sudah .... kehilangan daya ingatannya
dan menjadi patung hidup. Sedang yang lainnya masih
hidup semua.” Mendengar itu Gak Lui diam2 menggeram
dalam hati: “Huh, omong kosong kalau saudara
seperguruanmu yang tertua itu kehilangan daya
ingatannya. Yang benar dia telah kalian ceiakai dan
menjadi salah seorang anggauta Topeng Besi, yang
empat orang bergabung dengan Wi Cun totiang menjadi
gerombolan Kerudung Hitam yang bergerak hendak
merebut kedudukan ketua dari tiap partai persilatan.
Tetapi rupanya engkau masih belum tahu kalau mereka
sudah hancur ...”
Setelah mendengar keterangan Ceng Ki palsu,
pemilik lembah maju setengah langkah, dengan nada
yang dingin sekali ia berkata : “Tadi engkau mengatakan
bahwa Li Hui-ting itu sudah mati. Kalau begitu .... dalam
dunia persilatan tentu terdapat seorang .... tokoh
berhidung gerumpung. Apakah orang itu masih hidup?
Adakah saudara kenal padanya ?”
Pertanyaan itu bagaikan halilintar berbunyi di tengah
798
hari. Kalau dapat berkutik, Gak Lui tentu sudah melonjak
bangun. Karena hidung gerumpung yang ditanyakan
pemilik lembah itu adalah paman gurunya si Lenganbesi-
hati-baik. Gak Lui benar2 heran mengapa pemilik
lembah itu hendak campur tangan dengan rahasia besar
dalam dunia persilatan. Ceng Ki palsu rupanya tak
mengacuhkan pertanyaan itu. Dengan enggan ia
menyahut: “Hm, banyak sekali orang persilatan yang
kukenal tetapi tak pernah kudengar tentang tokoh yang
berhidung gerumpung. Sudahlah, jangan bertanya yang
tidak2. Tanya saja yang genah!”
Melihat orang tak begitu menaruh perhatian akan diri
tokoh berhidung gerumpung, setelah merenung sejenak
maka berkatalah pemilik lembah: “Lain2 hal aku tak perlu
menanyakan lagi. Tetapi kuminta pembicaraan kita hari
ini, harus dipegang rahasia jangan sampai terdengar
orang ketiga dan jangan disiarkan keluar agar jangan
mengganggu keselamatanku.”
“Baik,” kata Ceng Ki palsu.
“Hanya setuju di mulut masih belum meyakinkan.
Engkau harus mengangkat sumpah.”
“Sumpah ?”
“Ya.” Ceng Ki palsu menahan kemarahan. Terpaksa
ia mengucap sumpah: “Kalau aku sampai mengingkari
perjanjian hari ini, kelak ....”
“Bagaimana ?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
“Kelak dalam waktu beberapa kejab saja, tubuhku
biar luluh menjadi air !” Sumpah semacam itu
sesungguhnya suatu hal yang tak mungkin. Tetapi Ceng
799
Ki palsu sengaja hendak mengelabuhi orang dan
anehnya tampak pemilik lembah merasa puas. Ia tertawa
nyaring.
“Bagus, setelah engkau bersumpah sekarang
julurkanlah lenganmu yang kanan itu. Akan kubuka
pembalutnya dan kuperiksa apakah sudah sembuh atau
belum.” Ceng Ki palsu menyingkap lengan baju dan
ulurkan lengannya ke muka. Gak Lui tahu bahwa Ceng Ki
palsu mengandung maksud jahat. Begitu kain pembalut
sudah dibuka, ia tentu akan menghajar pemilik lembah.
Tetapi apa daya. Ia tak dapat berkutik bangun. Terpaksa
ia hanya memandang kedua orang itu dengan perasaan
tegang .... Demikianlah pemilik lembah segera mulai
membuka kain pembalut lengan Ceng Ki palsu. Pada
lipatan pembalut yang terakhir, tampaklah lengan Ceng
Ki palsu yang kutung itu sudah pulih kembali seperti
semula.
“Ho, nama gelaranku memang sekuat dengan ilmu
kepandaianku,” kata pemilik lembah dengan nada puas.
Diam2 Ceng Ki palsu kerahkan tenaga dalam ke arah
lengannya yang baru itu. Setelah mendapatkan bahwa
lengannya itu benar sudah pulih kembali maka tertawalah
ia menyeringai iblis: “Benar! Memang pulih kembali
seperti semula .... heh, heh ... heh, heh, heh, heh ...”
Tampak wajah pemilik lembah tiba2 berobah ngeri
ketakutan. Selangkah demi selangkah ia menyurut
mundur. Walaupun Ceng Ki palsu itu tegak
membelakangi, namun Gak Lui dapat menduga orang itu
tentu mengunjuk wajah yang menyeramkan. Wajah
pembunuhan yang menyala-nyala.
“Ho, engkau telah mengerjakan diriku dengan ngeri.
Sekarang engkaupun harus menjawab beberapa
pertanyaanku !” seru Ceng Ki palsu.
800
“Apakah engkau melupakan perjanjian kita tadi ?”
seru pemilik lembah.
“Tidak, aku tak lupa !”
“Lalu engkau.....”
“Orang berobah menjadi cairan air, takkan mungkin
terjadi. Jangankan engkau tak mengerti ilmu silat, taruh
kata engkau seorang tokoh yang sakti, pun juga tak
mungkin mempunyai kemampuan begitu !”
“Hm, aku bukan seorang yang mudah ditindas.
Jangan terlalu percaya pada dirimu !”
“Heh, heh! Soal itu aku sendiri yang memutuskan.
Sekarang lebih dulu engkau harus memberitahukan
namamu. Dan jelaskan mengapa engkau begitu menaruh
perhatian tentang urusan dunia persilatan. Teristimewa
terhadap Tabib jahat Li Hui-ting serta tokoh hidung
gerumpung itu ...”
“Aku tak sudi menjawab! Jangan lupa engkau masih
memerlukan minum obatku!”
“Setan Penyakit! Dengan mengandalkan ilmu
pengobatan engkau hendak menindas diriku. Tetapi
sekarang lenganku sudah sembuh. Setiap saat aku
dapat mengambil obat itu sendiri!”
“Engkau tak kenal....”
“Aku tak kenal tetapi engkau kenal obat itu. Kalau
engkau membangkang, dapat kugunakan ilmu
Menyungsang-balikkan tulang dan urat. Kuyakin pada
saat itu engkau tentu akan menjawab semua
pertanyaanku!”
Saat itu mulut pemilik lembah tampak bergerak
seperti hendak menyemburkan sesuatu. Tetapi Ceng Ki
801
palsu lebih cepat. Walaupun terpisah pada jarak satu
setengah tombak, dengan tenaga-dalam ia menampar.
Mulut pemilik lembah tak sempat menyembur, bahkan
empat buah giginya rontok jatuh.
“Lekas bilang! Akan kuhitung sampai sepuluh. Kalau
engkau tetap membangkang, terpaksa akan kugunakan
kekerasan!” seru Ceng Ki palsu. Pemilik lembah Setan
Penyakit tertegun. Dia tak mengerti ilmu silat untuk
menghadapi tekanan tenaga dalam lawan. Keringatpun
bercucuran membasahi tubuh. Sedangkan telinga mulai
mendengar Ceng Ki palsu menghitung: “Satu .... dua ....
tiga .... empat ....” Melihat pemandangan ngeri yang
berlangsung di hadapannya tanpa ia dapat berbuat suatu
apa, benar2 membuat Gak Lui seperti gila. Sekali lagi ia
kerahkan seluruh tenaga dalam untuk menghalau racun
yang berada dalam tubuhnya. Tepat pada saat mulut
Ceng Ki palsu menghitung 'sepuluh', tiba2 Gak Lui dapat
bergeliat duduk. Tetapi tenaganya tetap lemas. Begitu
duduk, tubuhnya miring dan bluk .... jatuhlah ia dari
ranjang. Tetapi karena jatuh itu, ia berhasil menolong
pemilik lembah dari bencana kematian. Karena Ceng Ki
palsu terkejut dan berpaling. Cepat sekali ia dapat
mengenali Gak Lui. Pemilik lembah itu mudah diatasi,
yang penting ia harus membereskan Gak Lui dulu.
Serentak tertawalah ia nyaring2 lalu berseru: “Bagus,
budak kecil, engkau mengantar kematian kemari...”
Sekali enjot tubuh, ia melayang sambil julurkan kedua jari
tangannya hendak mengorek biji mata Gak Lui.
“Habis riwayatku.....” Gak Lui mengeluh. Karena tak
dapat berbuat suatu apa, ia pejamkan mata menunggu
maut. Bluk .... tiba2 ia terkejut karena mendengar
sesosok tubuh jatuh di tepi ranjang. Cepat ia membuka
mata. Hai ... mengapa Ceng Ki palsu yang menyerang itu
rubuh sendiri ? Dipandangnya orang itu. Tiada tampak
802
sebuah lukapun pada tubuhnya melainkan sebuah benjul
merah sebesar buah jambu tampak menonjol pada
tengkuknya.
“Aneh…..” diam2 Gak Lui terkejut heran. Dilihatnya
pada benjul merah itu mulai mengeluarkan asap warna
kebiru-biruan. Dan rambut serta kulit kepala Ceng Ki
palsu itupun seperti segunduk salju yang tertimpa sinar
matahari. Pelahan-lahan luluh menjadi cairan air! Dalam
waktu tak berapa lama, lenyaplah tubuh Ceng Ki palsu itu
menjadi kubangan air. Saat itu pemilik lembahpun
berjalan menghampiri. Mulutnya masih menghisap pipa
huncwe kumala. Dia tak menghiraukan cairan air mayat
Ceng Ki palsu, melainkan dengan wajah terkejut
memandang Gak Lui, seolah-olah hendak bilang: “Tak
ada obatnya, mengapa engkau dapat bergerak?”
Rupanya Gak Lui dapat menangkap pandang mata
pemilik lembah itu. Ia paksakan diri mengangkat kepala
dan bertanya dengan tegang: “Mohon tanya, apakah
engkau ini bukan Tabib- sakti Li Kok-hoa?”
“Ai...,” pemilik lembah itu menjerit kaget, sehingga
pipanya jatuh ke tanah, “engkau…. engkau bilang apa ?”
“Tolong tanya, apakah engkau ini bukan Tabib-sakti
Li Kok-hoa?”
“Mengapa engkau tahu ?” seru pemilik lembah
dengan suara parau dan tubuh gemetar. Jelas ia telah
mengunjukkan siapa dirinya. Dengan gembira Gak Lui
menjawab: “Aku hanya menduga saja ....”
“Dengan dasar apa ?”
“Tabib-jahat Li Hui-ting dan Hidung gerumpung.”
Mendengar kata2 itu seketika wajah pemilik lembah
berobah buas, kaget dan marah. Hawa pembunuhan
bertebaran di wajahnya. Melihat itu Gak Lui cemas dan
803
buru2 memberi penjelasan: “Paman Li, jangan salah
faham ...” Tetapi karena pemilik lembah itu sudah
terlanjur dirangsang oleh ketegangan hebat, ia tak
mendengar kata2 Gak Lui lagi.
“Wut ....” mulutnya meniup hawa dingin ke arah
tenggorokan Gak Lui. Gak Lui terkejut tetapi untunglah ia
tak kurang suatu apa. Karena pemilik lembah itu hanya
meniup dengan mulut. Pipa huncwenya sudah jatuh ke
tanah tetapi ia lupa.
“Paman, tunggu dulu. Muridmu Tabib-jahat Li Hui-ting
itu akulah yang membunuh. Hidung gerumpung itu
adalah paman guruku. Harap jangan salah faham ...”
cepat Gak Lui berseru pula.
“Ngaco belo! Engkau tentu salah seorang
gerombolan Lima pendekar Im-leng!”
“Tidak! Aku bukan golongan mereka! Pribadiku
menjamin hal itu.”
“Huh, apa gunanya pribadi? Iblis itupun tadi sudah
mengangkat sumpah tetapi tetap melanggar !”
“Paman, tolong angkat aku bangun. Akan kuceritakan
semua keadaan kepadamu.”
“Hm, serentetan kata2 yang mengandung maksud tak
baik ...”
“Aku berkata dengan sungguh2.”
“Benar ?”
“Ya.”
“Kalau begitu akan kutanya kepadamu,” wajah
pemilik lembah yang buruk itu berpaling sedikit lalu
berseru dengan nada dingin:
804
“Pada saat engkau masuk ke dalam lembah ini
engkau mengatakan menderita penyakit. Tetapi setelah
kuperiksa urat nadimu, ternyata engkau tak menderita
suatu apa. Adakah hal itu menyatakan kejujuranmu ?”
Wajah Gak Lui merah padam. Cepat ia memberi
penjelasan: “Hal itu terpaksa kulakukan agar dapat
bertemu dengan paman ....”
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Ngentot Sutradara Ayu : PKK 8 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 03 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.