Cerita Dewasa Model Sutradara: PKK 10 Tamat

AliAfif.Blogspot.Com -
Cerita Dewasa Model Sutradara: PKK 10 Tamat

“Hm...hm ....,” Gak Lui mendesuh dengan katupkan
gigi kencang2 untuk menahan tangisnya. Namun
gelombang kesedihan yang hebat, telah menghancurkan
pertahanan nurani. Akhirnya ia menjerit, “Mah...
mamah….nasibmu sungguh mengenaskan sekali!”
“Tetapi....,” Thian Wat totiang menelan pula air
liurnya, “bayi puteranya itu, untung tak berada padanya.
Mungkin sebelumnya sudah disingkirkan kelain tempat.”
“Apakah disembunyikan didalam ?”
“Benar, memang telah disembunyikan didalam
onggok rumput diluar gedung.”
“Tetapi mengapa dapat diketahui?”
“Karena engkau menangis keras sehingga
mengejutkan Maharaja!”
“Lalu.... lalu bagaimana aku dapat tertolong?”
“Ketika Maharaja memeriksa tumpukan rumput itu,
saat itu aku kebetulan lari dimukanya maka akulah yang
terus mendahului untuk menusukmu dengan pedang !”
“Oh….”
“Tetapi tusukan itu hanya melukai bagian luar dan tak
sampai melukai tulang. Maharaja dan anak buahnya
yang lain tak menduga sampai disitu. Karena melihat
engkau berlumuran darah, diapun segera tak ikut turun
tangan!”
901
“Aduh !” mendengar Gak Lui ditusuk pedang, Siumey
menjerit kaget. Gak Luipun ikut tegang sehingga ia
mengangkat tangan untuk merabah mukanya. Tetapi ah
.... mukanya masih tertutup dengan topeng kulit kera.
“Apakah .... wajahku terdapat bekas tanda luka ? Dan
karena itulah maka gihu memakaikan topeng kulit ini
kepadaku ?” pikirnya. Untung Siu-mey tak sempat
memperhatikan perobahan air muka pemuda itu.
“Totiang, bahwa Gak Lui sampai dapat hidup hari ini,
adalah atas budi pertolongan totiang. Budi sebesar
lautan itu entah bagaimana aku dapat membalasnya,”
katanya dengan penuh haru terima kasih kepada Thian
Wat totiang.
“Ah, engkau telah membalas berlipat ganda,” ujar
Thian Wat totiang perlahan, “jika tiada engkau,
bagaimana aku masih dapat hidup ? Dan aku masih
memiliki kesadaran. Oleh karena itu kita sudah saling
memberi budi dan tak perlu merasa berhutang budi. Nah,
dengarkanlah ceritaku…..”
“Baik, silahkan totiang melanjutkan.”
“Setelah membunuh, mereka lalu membakar gedung
keluargamu. Kemudian mereka melanjutkan pula
rencana untuk membasmi Empat-pedang Bu-san. Tetapi
si Maharaja itu memang seorang durjana yang amat julig,
banyak akal muslihatnya. Takut kalau rencananya bocor
ia segera suruh orang untuk menyelidiki disekitar tempat
itu. Akhirnya penyelidikan itupun berhasil mendapatkan
jejak!”
“Tentulah engkoh misanku Gak Ci-cin dan aku !”
“Benar, engkoh misanmu itu telah meninggalkan
sebuah jejak telapak kaki yang menimbulkan kecurigaan
902
musuh. Dia segera membawa anak buah menyusur jejak
itu. Celaka, hasil dari pencarian itu telah menyebabkan
mereka tahu bahwa engkau belum mati.”
“Kalau begitu apakah mereka tak curiga kepada
totiang ?”
“Untung aku pura2 seperti orang limbung dan jejak
telapak kaki engkoh misanmu itu menjurus ketempat
kediaman Empat-pedang Bu-san. Oleh karena terlalu
girang, Maharaja sampai lupa pada diriku. Bahkan
keinginannya untuk membunuh engkau pun
dikesampingkan juga.”
“Lalu mereka terus masuk kedaerah gunung Wansan
?”
“Ya, benar,” Thian Wat totiang, “tetapi setelah masuk
pegunungan Wan-san, karena keadaannya sulit dan
berbahaya, akhirnya hanya si Maharaja dan kami ketiga
Topeng Besi yang dapat masuk jauh kedalam. Wi Cun
dari partai Kong-tong-pay ketinggalan dibelakang. Saat
itu engkoh misanmu sudah mengatur persiapan hendak
pindah kelain tempat.”
“Lalu siapakah yang membunuhnya ?”
“Sudah tentu si Maharaja! Setelah dia
membunuhnya, tiba2 muncullah seorang jago pedang!”
“Dia adalah ayah angkatku Pedang-aneh ji Ki-tek,”
Gak Lui menerangkan.
“Munculnya si Pedang-aneh cepat dapat diketahui
Maharaja yang menduganya sebagai salah seorang
tokoh Empat-pedang Bu- san. Karena sudah mendapat
hajaran dari ayahmu maka Maharaja tak berani gegabah
bergerak. Lebih dulu ia suruh kami yang maju
menyerang. Tak terduga, hanya dalam tiga jurus saja,
903
ujung pedang kami bertiga telah dipapasnya kutung dan
dengan gerak yang luar biasa cepatnya, dia dapat
menusuk alis kami.”
“Ya, aku tahu tentang hal itu. Adalah karena
mendengar suara tangisku, maka beliau agak terganggu
perhatiannya dan kena di....”
“Dibabat kutung kaki dan tangannya. Tetapi
musuhpun terkena supit yang dihembuskan dengan
mulut oleh ayah-angkatmu sehingga ujung hidungnya
hilang dan terbirit-birit lari ketakutan!” sambut Thian Wat
totiang.
“Lari kemana ?”
“Setelah tinggalkan tempat itu, Maharaja memeriksa
lukanya dan dapatkan tidak kena racun. Tetapi nyalinya
sudah rontok tak berani coba2 menghadapi panah-supit
dari Bu-san. Dan lagi ia menganggap bahwa Pedanganeh
tentu sudah mati. Begitu pula bayi yang baru
berumur beberapa bulan yalah engkau, dia anggap tak
berbahaya. Kalau engkau berangkat besar tentu akan
menjadi manusia liar. Oleh karena itu Maharajapun
segera mengajak anak buahnya menuju ke Bu-san.”
“bukankah ditengah jalan bertemu dengan Tabibsakti
Li Kok-hoa yang disuruhnya mengobati lukanya itu
?”
“Benar !”
“Peristiwa dalam perjalanan itu akupun sudah
mendengar dari Tabib-sakti Li Kok hoa. Tetapi setelah
masuk kegunung Bu-san, timbul lagi sebuah
pertanyaan.”
“Sauhiap maksudkan yang mana ?”
“Waktu Maharaja membawa Tabib-sakti bertemu
904
dengan paman guruku Lengan-besi-hati-baik, mereka...”
“Mereka mengadakan pembicaraan beberapa saat
lalu paman gurumu memotong hidungnya sendiri
diberikan kepada Maharaja.”
“Hai, adakah totiang melihat sendiri peristiwa itu?”
“Ya, setiap saat aku selalu waspada. Sekali Maharaja
suruh kami bertiga sembunyi dibelakang batu besar
tetapi diam2 aku mengisar keluar untuk mencuri dengar
pembicaraan mereka.”
“Ah, tetapi......” Gak Lui menghela napas putus asa,
“mereka melakukan pembicaraan dengan ilmu
Menyusup-suara. Mungkin, totiang tak dapat menangkap
pembicaraannya....”
“Justeru kebalikannya !”
“Oh !” Gak Lui mendesuh tegang.
“Setiap patah pembicaraan mereka telah kudengar
dengan jelas !”
“Mungkinkah itu ?” masih Gak Lui setengah kurang
percaya.
“Gak sauhiap, dalam hal itu memang ada suatu
lubang kelemahan. Adakah engkau tak pernah
menduganya ....”
“Apakah totiang memperhatikan gerak bibir mereka ?
Tidak, tidak mungkin ! Mereka berdua saat itu sama
mengenakan kerudung muka tentu tak kelihatan
bibirnya.....”
“Memang pada saat itu aku hampir putus asa. Tetapi
dalam keputusan-asa itu, tiba2 aku mendapat pikiran.
Ilmu Menyusup suara itu menggunakan tenaga-dalam
untuk memancarkannya. Betapapun saktinya tenaga905
dalam seseorang, tentulah pancaran ilmu Menyusupsuara
itu tetap menghamburkan gelombang getaran.
Kebetulan sekali barisan batu2 karang digunung itu
dapat memantulkan kumandang dari getaran suara
itu.....”
“Ah, aku mengerti,” segera Gak Lui menukas dan
mengangguk, “kiranya totiang hendak mencari pantulan
kumandang getaran itu sehingga totiang dapat
menangkap pembicaraan mereka!”
“Benar !”
“Kalau begitu harap totiang suka memberi-tahu isi
dari pembicaraan itu. Kumohon totiang mengingat semua
pembicaraan itu, jangan sampai ada sepatahpun yang
kelupaan,” kata Gak Lui dengan nada bersungguh.
Thian Wat totiangpun segera merenung dan
kerahkan ingatannya untuk mengenangkan peristiwa
yang lampau itu. Beberapa saat kemudian ia berkata :
“Setelah berhadapan dengan paman- gurumu, dan
mengucap beberapa patah kata, Maharaja lalu
mengajukan permintaan untuk meminta pedang pusaka
Thian-lui- koay-kiam!”
“Lalu apa jawaban paman guruku ?”
“Dengan tegas ia menolak dan memberitahu kepada
Maharaja bahwa kecuali Empat- pedang Bu-san itu
bersama-sama datang, mungkin pedang itu mungkin
dapat diambil. Karena dia sendiri juga tak dapat
mengambilnya.”
“Setelah mendapat jawaban itu lalu bagaimana kata
Maharaja ?”
“Tampaknya dia tak berani menggunakan kekerasan.
Dengan kata2 yang sungkan ia menyatakan hendak
906
meminta pedang itu namun kalau tak boleh, cukup asal ia
diperbolehkan untuk masuk kedalam istana Bi-kiong dan
melihat sejenak perwujudan pedang itu, ia sudah puas
....”
“Paman guruku meluluskan atau tidak ?”
“Paman gurumu memberi nasehat dengan tajam.
Dan bertanya mengapa Maharaja Tio Bik-lui tiba2
menghendaki pedang pusaka itu?”
“Dia tentu berkata bohong!”
“Maharaja mengatakan bahwa dia dicelakai orang
didunia persilatan. Dia terkena panah beracun sehingga
ujung hidungnya kutung maka ia hendak menggunakan
pedang pusaka untuk melakukan pembalasan. Tetapi
paman gurumu tak percaya dan malah memakinya
mengapa ia gemar berkelahi dengan orang.”
“Aneh,” gumam Gak Lui dengan kerutkan alis,
“mengapa paman bersikap begitu baik terhadap Tio Biklui
seperti seolah-olah paman itu sudah faham akan
perangai Maharaja itu. Tentulah didalam soal itu ada
rahasianya.....Hm. sungguh aneh benar.” Demikian Gak
Lui menimang dalam hati.
“Mendengar itu Tio Bik-lui segera berganti nada,”
tiba2 Thian Wat totiang berkata pula, “dia mengatakan
pedang Thian lui-koay- kiam itu seharusnya menjadi hak
miliknya. Maka kalau saat itu ia datang untuk meminta,
sudahlah sewajarnya....”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 32 bagian 32.3
“Apakah dasarnya?”
907
“Dia adalah putera dari pemilik pedang itu!”
“O!” Gak Lui terkejut seperti disambar kilat. Dia
benar2 tak percaya akan kata-kata itu, “Dia... dia... putera
dari.....kakek guruku ?” Thian Wat menghela napas dan
berkata dengan suara parau :
“Benar, memang dia adalah putera yang murtad dari
kakek gurumu. Ah, jangan terburu buru engkau terkejut
dulu. Cerita yang akan kututurkan dibagian belakang
masih banyak yang menggemparkan hatimu!”
“Maaf,” buru2 Gak Lui menghaturkan maaf karena
berulang kali mengganggu penuturan orang.
“Mendengar pengakuan itu paman gurumu marah.
Mereka bertengkar sampai lama. Dalam perbantahan
mulut itu Maharaja telah memaparkan sebuah rahasia
yang terjadi antara paman gurumu dengan mereka ayah
dan putera.....” Rahasia itulah yang selama itu
merupakan teka teki dalam hati Gak Lui. Sudah tentu ia
menaruh perhatian besar sekali untuk mengetahui
rahasia itu. Hatinyapun mulai tegang. Sejenak meneguk
air liur dan mengatur pernapasan, maka Thian Wat
totiangpun melanjutkan ceritanya lagi.
“Kesimpulan dari perbantahan mereka dapatlah
diketahui bahwa kakek-gurumu itu ternyata hanya
mempunyai seorang putera yalah Tio Bik-lui itu. Dia
seorang anak yang cerdas tetapi sayang perangainya
amat ganas. Kalau dia berhasil meyakinkan ilmu silat
yang sakti, mungkin dunia persilatan akan menderita
malapetaka....”
“Oleh karena itu maka kakek guruku tak mau
mengajarkan ilmu silat kepadanya ?” tukas Gak Lui pula.
“Boleh dikata begitulah. Kakek-gurumu hanya
908
memberinya beberapa dasar ilmu silat saja lalu
dihentikan. Kebalikannya karena melihat muridnya si
Lengan-besi-hati-baik itu jujur dan berbudi, kakekgurumu
telah menurunkan seluruh ilmu kepandaiannya
kepadanya. Bahkan rahasia dari pedang pusaka Thianlui-
koay-kiam itupun diberitahukan kepada Lengan-besihati-
baik.”
“Kalau begitu .... Tio Bik-lui tentu penasaran dan dia
tentu akan merapat pada lengan-besi-hati-baik, minta
supaya diberi pelajaran ilmu silat.”
“Benar,” kata Thian Wat totiang, “sebenarnya kakekgurumu
sudah memberitahu kepada Lengan-besi-hatibaik
bahwa ilmu silat yang diajarkannya itu tak boleh
diberikan kepada lain orang atau Tio Bik-lui. Tetapi ah,
paman-gurumu itu memang keliwat baik sekali hatinya.
Dia sayang Tio Bik-lui seperti adiknya sendiri. Karena
terus diminta oleh Tio Bik-lui, akhirnya paman-gurumu
tak sampai hati dan mau menurunkan ilmu
kepandaiannya kepada Tio Bik-lui. Bahkan memberitahu
juga tempat penyimpanan pedang pusaka itu.
Akhirnya....”
“Ketahuan, oleh kakek-guruku !” tukas Gak Lui.
“Benar, setelah kakek-gurumu mengetahui hal itu,
beliau marah sekali. Pertama, dia hendak menghukum
Tio Bik-lui dulu.”
“Pada usia 30 tahun, kakek-guruku telah kehilangan
isteri. Sudah tentu beliau amat sayang kepada puteranya
tunggal itu ...”
“Mungkin hal itu salah satu sebab. Tetapi-pun
dikarenakan paman-gurumu memohonkan ampun untuk
Tio Bik-lui dan paman gurumu bersedia untuk mewakili
menerima hukuman itu seluruhnya dan rela akan
909
mengasingkan diri di istana bi-kiong menjaga pedang
pusaka itu untuk selama lamanya ....”
“Akhirnya kakek-guruku menerima permohonan
paman-guruku. Puteranya yang murtad itu diusir dan tak
boleh menggunakan ilmu silat perguruan ayahnya,”
sambung Gak Lui.
“Ya, benar begitu..” Mendengar itu Gak Luipun
menghela napas panjang dan diam2 merenung: “O,
makanya paman guru begitu baik terhadap Tio Bik-lui,
kiranya mereka sudah seperti saudara. Tentang kakekguru
menerima Empat pedang Bu-san sebagai murid
bukan untuk menjaga paman guru melainkan takut kalau
puteranya yang murtad itu tak menurut perintah dan
membuat huru hara di dunia persilatan !” Pikirannya lebih
lanjut: “Tetapi, mungkin kakek-guru... tak suka
mengatakan tentang nasib rumah tangganya yang
malang atau kuatir Empat-pedang Bu-san itu akan
seperti paman-guru. Maka kakek-guru telah
mengeluarkan perintah yang keras dan bengis.” Dalam
pada ia berpikir itu, Thian Wat totiangpun berdiam diri.
Sepasang matanya berkilat-kilat menatap wajah pemuda
itu.
“Adakah dalam perbantahan itu Tio Bik-lui dan
paman guruku tak mengungkat tentang Empat-pedang
Bu-san ?” tanya Gak Lui.
“Tidak karena rupanya Maharaja tak berani
membicarakan soal itu. Sedang karena keliwat
dirangsang kemarahan, paman gurumupun tak
memperhatikan soal itu,” Sahut Thian Wat totiang.
“O, maka ketika ayahku dikurung dalam lubang batu
disitu, paman gurupun tak tahu,” kata Gak Lui, “lalu
bagaimana kelanjutannya?”
910
“Setelah lagi dengan susah payah paman gurumu
menasehati Maharaja supaya jangan menimbulkan gara2
dan sebagai imbalan, paman gurumu bersedia
menyerahkan batang hidungnya kepada Maharaja agar
Maharaja itu pulih kembali wajahnya. Asal Maharaja
jangan mengungkat soal pedang Thian- lui-koay-kiam
dan jangan masuk kedalam istana Bi kiong. Sudah tentu
karena tahu akan kelihayan paman gurumu, Maharaja
terpaksa menerima perjanjian itu. Dia tinggalkan Bu-san
dan membuat lain rencana.”
“Rencana apa lagi ?” tanya Gak Lui.
“Setelah tinggalkan Bu san, kecuali menduga bahwa
Pedang- aneh tentu sudah mati; Maharaja tetap gelisah
karena tak dapat menemukan tempat tinggal ketiga tokoh
Empat-pedang Bu-san yang lain, termasuk ayahmu. Dia
merasa selama tokoh2 pedang dari Bu-san itu belum
lenyap, tentu sukar baginya untuk merajai dunia
persilatan. Pada waktu itu dia segera berunding untuk
mengatur siasat dengan Wi Cun, murid hianat dari
perguruan Kong-tong-pay.”
“O,” Gak Lui mendesuh.
“Wi Cun menganjurkan agar Maharaja mempelajari
ilmu simpanan dari kelima partai persilatan melalui diri
kami. Dengan begitu kepandaian Maharajapun
bertambah lipat saktinya.”
“Lalu siapakah yang merencanakan supaya
menyamar dan memalsu sebagai diri totiang berlima itu
?” tanya Gak Lui.
“Soal itu ....,” sepasang mata Thian Wat totiang
berkilat-kilat dan merenung sejenak, lalu berkata pula,
“aku tak begitu ingat. Karena daya pikiranku makin
lemah, kesadarankupun makin menurun. Pokoknya,
911
mereka masing2 mempelajari suatu aliran ilmu silat dan
lagi .... Maharajapun memiliki suatu ilmu Suitan yahg
dapat memberi perintah kepada kami.”
“Adakah totiang masih ingat akan tempat digunung
Im-leng-san itu ?”
“Tempat itu adalah tempat Maharaja berlatih ilmu
kepandaian. Sayang otakku sudah tumpul sehingga tak
ingat akan keadaannya yang pelik.”
Gak Lui tak putus asa mendengar jawaban Thian Wat
totiang. Maklumlah, Thian Wat totiang sudah makin tua
dan makin lemah ingatannya, mungkin tak ingat jelas
tempat itu.
“Totiang, adalah daya ingatanmu pada waktu akhir2
ini hampir hilang?”
“Hm...” Thian Wat totiang merenung beberapa jenak
lalu tertawa : “Maaf, walaupun pil dari sauhiap itu amat
mustajab tetapi karena umurku sudah makin lanjut, daya
ingatankupun mundur sekali. Oleh karena itu, obat pun
tak banyak menolong diriku !”
“Ah, tak apalah,” Gak Lui menghiburnya.
“Dalam mencita-citakan untuk merajai dunia
persilatan itu, ada dua hal yang masih ditakuti Tio Biklui,”
katanya pula, “pertama, kepada Kaisar Li Liong-ci
dan kedua kepada ayahku dan paman2 guruku. Tentang
paman guruku yang kesatu, karena tak pernah pergi dari
Bu-san, maka Tio Bik-luipun tak menguatirkan. Untuk
menghadapi tokoh2 yang ditakutinya itu maka dia
memerlukan pedang pusaka Thian-lui koay-kiam. Tetapi
dalam beberapa tahun ini Empat-pedang Bu san
berturut-turut telah meninggal dunia. Sedang Kaisar
Persilatanpun telah pergi dari daerah Tiong-goan. Kini
912
dunia persilatan telah dikuasai oleh si Maharaja dengan
gerombolannya.” Lebih lanjut Gak Lui berpikir : “Setelah
aku turun gunung untuk menumpulkan ujung pedang dari
setiap musuh yang kuhadapi, terpaksa kugunakan ilmu
pedang Bu-san. Hal itu benar2 seperti orang haus yang
diberi air bagi diri Maharaja. Dan hal itupun menimbulkan
kecurigaannya bahwa Empat pedang Bu-san itu tentu
masih hidup. Maka berulang kali ia hendak
menyelidikinya bahwa dengan berpura-pura menjadi
orang baik dia memberi petunjuk kepadaku bagaimana
cara untuk mengambil pedang Thian-lui-koay-kiam
kegunung Bu-san....”
“Tetapi rupanya Thian maha murah dan adil. Bukan
saja aku mendapat tambahan ilmu kepandaian, pun juga
memperoleh pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam. Biarlah
dia telah memiliki ilmu suitan Pencabut-nyawa yang
hebat, tetapi pedang pusaka itu tetap akan dapat
membasminya.....” berpikir sampai disitu, Gak Lui
memegang kerangka pedang erat2. Pikirannya
melayang- layang tak keruan. Thian Wat totiangpun
menatap wajah Gak Lui lalu pedang yang tersanggul
pada bahu pemuda itu. Sesaat keadaan sunyi senyap.
Rupanya Siu-mey tak enak hati kalau sebagai tetamu
diam saja. Maka ia menggamit siku lengan Gak Lui.
Pemuda itu terkejut dan memandang Siu-mey. Dari
pancaran mata sinona tahulah kalau Siu-mey
mengajaknya pergi. Gak Lui anggap memang Thian Wat
totiang perlu beristirahat. Tetapi sebelum minta diri, ia
berkata : “Totiang, tadi engkau mengatakan bahwa
diantara kita berdua tiada yang berhutang budi. Baiklah,
akupun tak menyatakan terima kasih tetapi totiangpun
jangan mengingat tindakanku memberi obat itu sebagai
suatu budi....”
913
“Baiklah,” Thian Wat totiang mengangguk. Tetapi
ketika Gak Lui berbangkit hendak pergi, Thian Wat
totiang mencegahnya :
“Tunggu dulu, aku masih mempunyai sebuah
pertanyaan.”
Gak Lui buru2 duduk kembali dan mempersilahkan
paderi itu mengatakan. Sejenak batuk2, dengan suara
parau Thian Wat totiang bertanya :
“Beberapa sahabatku yang menderita kesukaran itu
.... bagaimanakah keadaannya saat ini ?”
“Sahabat yang tertimpah kesukaran ?” Gak Lui
menegas.
“Benar.”
“Totiang tanyakan .... Hwat Gong taysu dan kawankawannya
itu ?”
“Ya, mereka senasib dengan diriku, menjadi
anggauta Topeng Besi sampai belasan tahun maka
sudah seharusnya aku bertanya tentang diri mereka.”
“Adakah keadaan mereka, totiang tak pernah
mendengar ?” Gak Lui balas bertanya.
“Pernah kutanyakan kepada sute dan beberapa ciang
bunjin tetapi tiada seorangpun yang memberi jawaban
sesungguhnya !”
“Terus terang saja, ketika bertempur digunung Hek
san; mereka telah keliru terbunuh.”
“O, sauhiap .... keliru membunuh mereka?”
“Benar.”
“Lalu apakah engkau menyesal atau tidak ?”
914
“Bukan melainkan hanya menyesal pun.....”
“Pun bagaimana ?”
“Aku merasa berdosa....”
“Mengapa ?”
“Mereka tak seharusnya menerima kematian begitu.”
“Sauhiap, kata-katamu itu salah !”
“Mengapa ?”
“Gerombolan Topeng Besi itu telah mengganas dunia
persilatan. Sudah layak kalau menerima kematian. Kalau
membunuh orang jahat masih merasa menyesal, biarlah
aku mati saja !”
“Tidak, tidak ! Soalnya berbeda. Kalau aku memang
tahu tetapi kurang hati2. Sedang totiang itu adalah diluar
kehendak totiang sendiri.”
“Ah.....” Thian Wat totiang menghela napas panjang,
“sauhiap membunuh mereka itu suatu berkah bagai
keselamatan dunia persilatan. Pun bagi diri yang mati
itu.”
“Mengapa ?” Gak Lui terkejut.
“Apabila engkau menolong mereka dengan pil ini,
setelah mereka sembuh, keadaan mereka tentu lebih
menyedihkan maka lebih baik mati.”
“Oh,” Gak Lui mendesuh dan gemetar. Walaupun
totiang itu mengatakan dalam banyak peristiwa yang
lampau ia tak ingat tetapi ucapannya yang terakhir itu
menandakan kalau ia masih ingat semua. Gak Lui
menimang. Daripada membantah, dikuatirkan akan
menimbulkan reaksi hebat dalam hati paderi itu, lebih
baik ia segera angkat kaki dari situ. Katanya : “Ucapan
915
totiang memang benar, aku sekarang sudah mengerti
dan takkan bersedih hati.”
Thian Wat totiang tertawa. Kemudian Gak Lui
menanyakan lagi adakah totiang itu perlu beberapa anak
murid untuk menjaga di situ. Thian Wat totiang
mengiakan. Gak Lui dan Siu-mey minta diri, melangkah
ke luar. Lebih dulu ia suruh paderi kecil untuk menjaga di
situ setelah itu kedua pemuda itu lalu masuk ke dalam
ruang tetamu. Tampak Thian Lok totiang menyambut
dengan wajah tegang: “Sauhiap, bagaimana keadaan suhengku
?”
“Selamat, totiang, Thian Wat totiang telah pulih
kesadarannya kembali dan telah menerangkan banyak
hal kepadaku....”
“Ah, sauhiap.....engkau sungguh baik sekali. Cengsia-
pay tak tahu bagaimana akan berterima kasih
kepadamu !” seru Thian Lok totiang.
“Ah, harap totiang jangan memikirkan hal itu.
Silahkan totiang masuk, Thian Wat totiang hendak
bicara.”
Dengan gembira Thian Lok totiang segera masuk ke
dalam ruangan untuk menjumpai suheng-nya.
“Engkoh Lui, rasanya persoalan ini telah berakhir
memuaskan. Mereka kakak dan adik seperguruan
tentu....” belum selesai Siu- mey berkata, Gak Lui ulurkan
jarinya untuk ditempelkan ke bibir nona itu agar jangan
bicara. Tiba2 dari dalam ruang persemedhian, terdengar
jeritan-ngeri dari Thian Wat totiang. Disusul dengan
suara benda jatuh di lantai dan jeritan nyaring dari paderi
kecil yang menjaga di situ.
“Celaka!” Gak Lui terkejut terus lari menerobos ke
916
dalam lagi. Tampak Thian Wat totiang terkapar dalam
kubangan darah di lantai. Sedang Thian Lok totiangpun
menggeletak di bawah tempat tidur. Paderi kecil tegak
seperti patung, tubuh gemetar dan lidah menjulur keluar.
Kejut Gak Lui bukan kepalang. Tetapi cepat ia menyadari
apa yang telah terjadi. Lebih dulu ia memeriksa tubuh
Thian Wat totiang. Dicobanya untuk memberi
pertolongan dengan menyalurkan tenaga dalam tetapi
ternyata totiang itu sudah putus nyawanya. Gak Lui lalu
menghampiri Thian Lok totiang untuk memeriksa
keadaannya.
“Engkoh Lui, mengapakah mereka ini ?” tanya Siu
mey, “perlukah memberitahukan kepada yang lain ?” Gak
Lui mengatakan tak perlu.
“Kalau sampai terjadi sesuatu, apakah takkan
menimbulkan kesulitan pada kita ?”
“Thian Lok totiang segera akan siuman. Serahkan
saja bagaimana dia nanti akan mengurus. Kalau suruh
lain orang masuk kemari, tentu lebih berabe !”
“Mengapa begitu?”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 32 bagian 32.4
Sambil mengurut tubuh Thian Lok totiang, Gak Lui
menerangkan :
“Menilik keadaannya, Thian Wat totiang itu tentu
membunuh diri dengan memutuskan urat2 nadinya.
Bagaimana sebabnya nanti tunggu setelah Thian Lok
totiang sadar dari pingsannya. Dalam masalah segawat
ini, aku tak berani bertindak sendiri dan kuserahkan saja
kepada fihak Ceng-sia-pay.....”
917
Tiba2 mulut Thian Lok totiang terdengar mengerang
perlahan dan membuka mata. Lalu cepat2 ber-bangkit.
“Harap ciang-bunjin suka tenang. Kalau ciang-bunjin
gugup, Ceng-sia-pay tentu tiada yang memimpinnya,”
Gak Lui menghibur.
“Sau-hiap.....” kata Thian Lok totiang dengan nada
gemetar, “suheng ternyata sudah meninggal .... aku....
sungguh .... tak percaya!”
“Oh, totiang tak menyaksikan kejadian itu ?” Gak Lui
terkejut.
“Ketika masuk dalam ruang ini, suheng sudah
terkapar diatas tempat tidur!”
“Kalau menurut pendapatku, Thian Wat totiang telah
membunuh diri ....”
“Apakah engkau berani memastikan?” ketua
perguruan Ceng-sia- pay itu menegas dengan nada
kurang percaya.
Gak Lui terkejut. Buru2 ia menunjuk pada paderi
kecil, serunya.:
“Jika ciang-bunjin tak percaya, silahkan tanya
padanya !” Thian Lok seperti disadarkan, ia menatap
paderi kecil. Karena paderi kecil itu tetap diam saja,
Thian Lok membentaknya:
“Engkau ....engkau .... mengapa tak lekas kemari!”
Dengan tersipu sipu ketakutan paderi kecil itu segera
menghampiri. Tubuhnya masih gemetar keras sehingga
geraham giginya terdengar berkerutukan tetapi tak dapat
mengeluarkan perkataan. Thian Lok makin marah dan
hendak menamparnya tetapi Gak Lui cepat
mencegahnya: “Totiang, harap jangan marah. Memang
dapat dimengerti kalau murid totiang itu tentu terbang
918
semangatnya menyaksikan peristiwa ini. Walaupun dia
mendapat tugas untuk menjaga Thian Wat totiang tetapi
karena kepandaiannya terbatas, dia tak dapat berbuat
apa2. Makin totiang marah, makin dia takut !”
Thian Lok totiang menyadari kalau dirinya keliwat
terangsang kemarahan, ia segera menutuk jalan darah
paderi kecil itu supaya jalan darahnya lancar. Beberapa
saat kemudian paderi kecil itu menangis: “Hatur beritahu
kepada ciang-bun ..... kakek guru .... telah meninggalkan
pesan ... bahwa ia membunuh diri sendiri ....”
“O, masih sempat berpesan!”
“Ya, masih sempat meninggalkan pesan...”
“Bagaimana ucapannya?”
“Beliau mengatakan .... dosa selama 18 tahun
berlumuran dosa. Sekalipun karena kesadarannya hilang
dan diluar kehendaknya tetapi Thian Wat totiang tetap
merasa malu untuk bertemu orang .... malu kepada para
leluhur partai perguruan Ceng-sia-pay .... malu terhadap
kaum persilatan ....”
“Lalu apa lagi ?”
“Beliau mengatakan pula .... setelah kembali ke
gunung sekalipun kaum persilatan tak mencarinya untuk
membuat perhitungan tetapi hati nuraninya tetap tak
mengijinkan. Satu-satunya jalan untuk melepaskan
kedosaannya.... hanyalah mati!”
“Kemudian ?”
“Kebetulan suhu terlambat datang kemari!”
“Huak ....,” mendengar itu darah Thian Lok totiang
bergolak dan meluap. Ia muntah darah dan tubuhnya
terhuyung hampir rubuh pingsan lagi. Untung Gak Lui
919
sudah bersiaga. Cepat ia ulurkan tangan memapahnya.
Setelah lunglai sampai beberapa saat, akhirnya ketua
Ceng sia- pay itu membuka mata dan berkata rawan :
“Sauhiap, aku mempunyai sebuah perkataan yang
sesungguhnya masih maju mundur untuk kukatakan!”
“Dari pada terpendam dalam hati lebih baik totiang
tumpahkan saja.”
“Obat yang engkau berikan itu ... memang amat
mujarab kepada orang lain tetapi setelah diminum
suheng, mengorbankan jiwanya. Kalau tahu begitu, lebih
baik tidak minum obat itu...” Gak Lui tertawa getir: “Soal
itu memang sudah kupertimbangkan.”
“Lalu mengapa masih tetap memberikan kepadanya
?”
Siu-mey penasaran melihat sikap ketua perguruan
Ceng-sia-pay itu. Tetapi ia dapat memaklumi keadaan
orang. Katanya: “Totiang, engkoh Lui memang kuatir
setelah pulih kesadaran pikirannya, suhengmu akan
menyesal dan melakukan putusan pendek. Maka engkoh
Luipun menerangkan beberapa kali dan Thian Wat
totiang tetap menghendaki obat itu .... Kurasa Thian Wat
totiang memang telah mempertimbangkan keputusan itu
dengan masak2. Dia lebih baik mati daripada kehilangan
moril. Betapapun dia itu juga seorang manusia yang
memiliki perasaan halus. Maka akibat daripada
kematiannya itu sekali kali bukan karena gara2 kami
memberi obat melainkan karena kesadaran dari Thian
Wat totiang sendiri.”
Setelah merenung beberapa saat barulah ketua Ceng
sia-pay itu berkata dengan nada agak menyesal: “Kalian
benar, karena hatiku amat berduka maka sampai
mengeluarkan ucapan yang tiada layak. Harap kalian
920
suka maafkan. Dan perjamuan malam ini .... akan
menjadi sebuah upacara sembahyangan arwah
suheng...”
Sesungguhnya setelah dapat menghancurkan kaki
tangan Maharaja para orang gagah itu sedianya akan
mengadakan pesta untuk merayakan kemenangan.
Tetapi setelah mendengar berita kematian Thian Wat
totiang, merekapun ikut berduka-cita. Seluruh tokoh2
persilatan yang berada di gunung Ceng-sia-san sama
sembahyang di muka jenazah Thian Wat totiang. Setelah
sembahyang Gak Lui mundur ke samping. Ia
memandang ke sekeliling. Tampak tokoh2 dari perguruan
Bu- tong-pay, Heng-san pay, Siau-lim-si, Gobi-pay,
Kong-tong-pay dan Ceng sia-pay, memandang dengan
sinar mata yang aneh. Tak berapa lama iapun melihat
sigadis cantik Yan-hong dari Bu san, The Hong lian dan
Siu-mey bersama-sama sembahyang. Di belakang ketiga
nona itu tampak seorang lelaki berpakaian serba putih,
bersembahyang dengan berlutut di hadapan peti mati
Thian Wat totiang. Gak Lui terkejut. Ia maju menghampiri
hendak menegur tetapi orang itu cepat2 melangkah
keluar dari ruang jenazah. Gak Lui hendak menyusul
tetapi karena orang begitu banyak, ia tak dapat cepat2
mengejar. Ketika ia menuruni batu titian, orang itupun
sudah lenyap entah ke mana.
“Engkoh Lui !”
“Adik Lui !” Terdengar berturut-turut dua buah suara
memanggil dan Gak Luipun cepat berpaling ke belakang.
Ah, ternyata ketiga nona tadi sudah menyusulnya.
“Bukankah engkau hendak mencari Hi Kiam-gin ?”
tanya Siu-mey lebih dahulu.
“Ya.”
921
“Jangan buang tenaga sia2. Dia sudah
mengasingkan diri tak mau bertemu orang terutama
dengan engkau !”
“Apakah engkau tak memberitahu kepadanya bahwa
ayahmu sudah meluluskan untuk mengobati wajahnya ?”
“Sudah kukatakan,” kata Siu-mey.
“Lalu bagaimana jawabnya ?”
“Dia mengucapkan terima kasih kepada ayah tetapi
dia tak mau berobat.”
“Hm...” Gak Lui mendesuh, “kalau begitu beritahu
padaku di mana tempat tinggalnya. Aku akan
menjumpainya.”
“Ah, perlu apa? Engkau hanya akan ketemu batu saja
....”
“Aku mempunyai urusan yang penting sekali maka
harus bertemu muka dengan dia!”
“Apa?” ketiga nona itu serempak berseru.
“Soal itu amat penting sekali. Mempunyai hubungan
erat dengan perguruanku dan keselamatan sekian
banyak orang. Aku harus berunding dengan cici Kiam gin
....”
“O, engkau tak dapat memberitahukan lebih dahulu
kepada kami ?”
“Aku harus bertemu dan berunding dengan dia atau
urusan itu sukar dilaksanakan!” sahut Gak Lui.
“Uh, uh....,” ketiga nona itu mendengus ejek, “kami
percaya dia tentu tak mau mempedulikan engkau lagi,
sudahlah, jangan jual mahal !”
“Lain soal mungkin dia menolak tetapi dalam urusan
922
ini dia tentu harus mempedulikan. Sudahlah jangan
banyak cakap, bawalah aku ke sana !” Siu-mey terpaksa
menurut. Sambil berjalan ia bersungut-sungut:
“Hm, bagus, kalau belum tiba di dasar sungai Hongho
tentu tak puas. Kami akan melihat bagaimana engkau
nanti memainkan perananmu.”
Setelah menyusur tikungan tak berapa lama mereka
tiba di sebuah bangunan. Tempat itu sebenarnya
diperuntukkan tetamu wanita oleh karenanya
suasananyapun sepi. Dari tutup kain jendela yang
ditingkah sinar lilin, tampak sesosok tubuh tengah duduk
di dalam sebuah ruang. Gak Lui duga tentulah nona Hi
Kiam-gin.
“Sudah sampai,” seru Siu-mey, “urusan meminta
pintu, terserah kepadamu.” Gak Lui segera melangkah
maju, mengetuk pintu: “Cici Gin ....” Belum sempat ia
melanjutkan ucapannya, Hi Kiam-gin sudah menyahut
dengan nada sedingin es: “Aku tak menerima tetamu,
silahkan kembali.”
“Aku Gak Lui....”
“Kutahu engkau ini siapa. Diantara kita berdua sudah
putus hubungan, tak perlu menyebut adik lagi !”
“Aku mempunyai soal penting yang harus
kurundingkan dengan engkau....”
“Kalau tak mau enyah, jangan menyesal kalau
kulepaskan Cek yan-sin hwe yang ganas!” bentak Hi
Kiam-gin yang tak sabar lagi. Cek-yan-sin-hwe atau apisakti-
asap-merah, merupakan senjata obat pasang yang
ganas. Begitu menyentuh kulit orang tentu terbakar.
Bahkan rumahpun dapat terbakar oleh obat pasang itu.
Gak Lui terkejut dan mundur selangkah. Dalam pada itu
923
ia memperhatikan ketiga nona tadi. The Hong-lian
tertawa geli, si dara Yan-hong agak kasihan dan Siu-mey
seperti mengejeknya. Gak Lui tak mau menghiraukan
mereka dan berseru pula kepada Hi Kiam gin: “Hi Kiamgin,
jika engkau masih ingat akan kematian yang
mengenaskan dari ayahmu dan masih ingin membalas
dendam, kuharap engkau sadar dan mau berunding.”
Ucapan itu walaupun tak segera mendapat jawaban
tetapi Hi Kiam-gin berdiam diri tidak segetas tadi. Hal itu
menandakan bahwa ia memang belum dapat melupakan
soal membalaskan sakit hati ayahnya.
“Pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam sudah diberikan
oleh suhumu Lengan besi-hati-baik kepadaku. Engkau
ingin melihat atau tidak ... !”
“Hm... ,” Hi Kiam-gin mendengus.
“Besok pagi aku hendak ke gunung Im-leng-san
untuk mencari musuh kita. Siu-mey bertiga ingin ikut.
Kalau engkau suka, bawalah mereka bersama. Kalau
tidak...”
“Bagaimana ?”
“Kami akan berangkat sekarang !”
“Oh...” Hi Kiam gin mendesuh kejut, “lalu apa
perlunya engkau mencari aku ?”
“Pedang ini.....”
“Bagaimana ?”
“Soal itu memang ada sedikit liku2 yang harus
kurundingkan dengan engkau. Jika engkau tak
melupakan pemberian ajaran ilmu pedang Bu-san itu,
seharusnya engkau mau menemui kami untuk
berunding.”
924
Kembali Hi Kiam-gin berdiam diri. Beberapa saat
kemudian terdengar ia berkata dengan agak gemetar:
“Masuklah....!” Ketika Gak Lui masuk ke dalam kamar itu,
ketiga nona tercengang. The Hong lian leletkan lidah :
“Aneh sekali ! Mengapa engkoh Lui ingin berunding
dengan seorang nona yang begitu dingin. Apakah yang
hendak dirundingkan ?”
“Sudahlah, jangan bicara. Mungkin kita dapat
mendengarkan pembicaraan mereka,” seru Su-mey.
Tetapi betapapun ketiga nona itu berusaha untuk
mendengarkan pembicaraan mereka, namun tetap tak
mendengar suatu apa. Rupanya Gak Lui dan Hi Kiam-gin
menggunakan ilmu Menyusup- suara. Beberapa saat
kemudian, Gak Lui berpaling dan mempersilahkan ketiga
nona itu masuk. Gak Lui memperkenalkan mereka
kepada Hi Kiam-gin dan menuturkan riwayatnya
masing2.
“Taci bertiga tentu sudah mahir mempelajari ilmu
pedang Busan itu ?” tiba2 Hi Kiam gin mengajukan
pertanyaan.
“Ah, kami ingat pelajaran itu ....”
“Bagus,” seru Hi Kiam-gin. Ia segera menguraikan
tentang kehebatan dari keempat pedang apabila
serempak bermain dalam ilmu pedang perguruan Busan.
Adalah Siu-mey yang cepat dapat menyelami
keadaan, serunya:
“Kami masing2 telah mempelajari sebuah jurus dari
ilmu pedang Busan. Apabila kita berempat bergabung,
tentu dapat membantu engkoh Lui membasmi musuh.
Bukankah tujuan ke gunung Im leng-san itu juga dengan
begitu?”
“Ini ... ,” kata Hi Kiam-gin tersekat, ia tampak ragu2
925
untuk memberi keterangan. Adalah Gak Lui yang
melanjutkan: “Soal itu tidak benar seluruhnya begitu.
Walaupun ilmu pedang istimewa tetapi harus dilihat
bagaimana kepandaian masing2.”
“Engkau maksudkan kepandaian kami masih dangkal
sehingga tak dapat menghadapi musuh ?”
“Menurut tingkat kepandaian, kalau ini memang tak
terpaut banyak satu dengan lain. Dan kali ini kepergian
kita ke Im leng- san itu bukan semata2 hanya
menghadapi musuh, tetapi menghadapi ....”
“Siapa ?”
“Menghadapi pedang pusaka Thian lui koay-kiam !”
“O !” ketiga nona itu serempak mendesuh kaget. Yan
hong sidara cantik dari Bu-san cepat tertawa: “Adik Lui,
mungkin dahulu kakek gurumu kuatir kalau pedang itu
sampai jatuh ke tangan orang lain maka ia telah siapkan
rencana begitu. Tetapi sekarang pedang sudah berada di
tanganmu, mengapa masih takut lagi!”
Dengan wajah bersungguh Gak Lui menjawab:
“Pedang itu memiliki tenaga iblis. Mudah dimainkan tetapi
sukar ditarik kembali. Untuk lain orang mungkin tak tahu
tetapi engkau tahu jelas sekali !”
“Tentu,” sahut Yan hong. Ia teringat akan cerita
ibunya bahwa pedang itu memang sukar dikendalikan
sehingga telah melukai banyak sekali murid2 perguruan
Bu-kau. Ia menggigil dan bertanya : “Adakah engkau ....
menghendaki kami .... menghadapi engkau.....”
“Bukan menghadapi tetapi menjaga !”
“Tidak, tidak, tidak!” seru Yan hong dan kedua nona
lainnya dengan serempak. Rupanya hanya Hi Kiam-gin
yang dapat mengetahui intisari dari ilmu pedang dari
926
perguruan Bu-san itu. Boleh dikata tiga dari empat jurus
ilmu pedang itu hanyalah untuk memapas, mencongkel
dan menjatuhkan pedang itu dari tangan orang. Hanya
jurus Hawa-pedang-menembus-malam, benar2
berbahaya. Pun apabila orang dapat menguasainya juga
takkan melukai orang. Dengan pertimbangan itulah maka
ia dapat menerima permintaan Gak Lui. Gak Lui
menguraikan intisari dari ilmu pedang itu dan cara2
menggunakannya untuk memukul lepas pedang Thianlui-
koay- kiam. Demikian hampir setengah hari memberi
pelajaran, akhirnya Gak Lui dapat menjelaskan ketiga
nona itu sehingga mereka mau meluluskan
permintaannya. Hanya Yan hong yang tetap berkeras
kepala tak setuju.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 32 bagian 32.5
“Taci Yan,” kata Gak Lui agak kurang senang.
“engkau adalah pewaris dari perguruan Bu-kau. Masakan
engkau tak ingat akan peristiwa kakek guru dahulu?
Mengapa engkau masih berbanyak hati dan kukuh ?”
“Ya, sudah tentu aku ingat.... tetapi pedang dan golok
itu tidak bermata. Apabila sampai melukai engkau.....”
Mendengar itu Hi Kiam-gin cepat menyelutuk: “Di dalam
memainkan pedang, titik beratkan pada pertahanan dan
kurangkan serangan. Bukankah tadi dia sudah
mengatakan ....”
“Ya, memang dia sudah mengatakan dan akupun
sudah mendengar jelas,” sahut Yan-hong.
“Kalau begitu tak perlu cemaslah. Apalagi jurus
Hawa-pedang- menembus-malam itu merupakan jurus
927
yang terakhir, kemungkinan tak perlu digunakan lagi.”
“Cici menjamin ?”
“Tak perlu menjamin. Jurus itu engkau yang
menerima pelajarannya. Engkau dapat bergerak menurut
keadaan.”
“Eh, bukankah tadi telah disepakatkan, bila Gak Lui
tak dapat mengendalikan pedang pusaka itu, kita
berempat harus serempak mengepungnya? Mengapa
sekarang cici mengatakan lain?”
“Ah, bukan begitu. Kita berempat harus membentuk
diri seperti tembok pedang. Lebih dulu membendung
keganasan pedang itu lalu kita gunakan jurus Menjolokbintang-
memetik-bintang atau Membelah-emasmemotong-
kumala, memapas jatuh pedang itu dari
tangannya.”
“Kalau gagal baru kugunakan jurus Hawa-pedangmenembus
malam itu, bukan ?” Yan-hong cepat
menyelutuk.
“Kukira....,” kata Hi Kiam-gin, “tokoh sakti kalau
bertempur, dalam sekejab saja sudah dapat diketahui
menang kalahnya. Oleh karena itu jurus keempat itu
mungkin tak perlu engkau keluarkan. Dan ingat,
walaupun sebuah jurus ilmu permainan itu hebat, tetapi
pun harus mengandalkan tingkat tenaga orang itu.....”
“Hm, kalau begitu engkau anggap tenaga
kepandaianku ini yang paling lemah sendiri diantara kita
berempat ini. Sekalipun aku menyerang juga tak sampai
melukai adik Lui,” cepat Yan-hong merangkai kesimpulan
sendiri. Hi Kiam-gin diam saja tak mau meladeni Yanhong
yang sedang marah itu. Apalagi Siu-mey dan The
Hong-lian saling bertukar pandang seperti menyetujui
928
pernyataan Yan-hong. Melihat itu Gak Lui tak sabar lagi.
Segera ia berkata kepada Yan- hong: “Taci Yan,
katakanlah. Engkau ingin membalas dendam sakit hati
atau tidak?”
“Adik Lui, aku ingin sekali menuntut balas,” jawab
Yan hong, “dan kuharap engkau berhasil membalas sakit
hati kepada musuh.”
Dengan mengertak gigi Gak Lui berkata: “Demi
memikirkan perasaanmu terhadap ibumu, terpaksa aku
tak dapat mengelabuhi engkau lagi !”
“Ih, dalam soal apa engkau mengelabuhi aku ?” tanya
Yan hong agak kaget.
“Yang menipu dan mencuri ilmu kepandaian Bu-kau
dari ibumu, bukan lain yalah Maharaja Tio Bik-lui itu
sendiri.” Mendengar itu seketika pecahlah tangis sinona.
Dengan gemetar ia berseru: “Mengapa.....engkau tak
mengatakan dari dulu ?”
“Karena tiada sempat dan kedua kali demi menjaga
agar engkau jangan menempuh bahaya!”
“Tidak .... tidak peduli bagaimana, aku hendak
mencarinya dan membuat perhitungan......hendak
kucincang tubuhnya ...”
“Tetapi kepandaiannya engkau tentu sudah
mengetahui sendiri. Apalagi ditambah dengan beberapa
ilmu yang istimewa itu, kecuali dengan pedang pusaka
Thian-lui koay-kiam, tak mungkin dapat
menundukkannya. Hanya saja apabila menggunakan
pedang pusaka itu harus mempunyai persiapan agar
jangan menimbulkan akibat yang membahayakan lain
orang. Jika engkau benar2 hendak melakukan
pembalasan, engkau harus meluluskan permintaanku.
929
Kalau tidak....”
“Bagaimana ?”
“Aku takkan membawa kalian semua !”
“Kalau tak dapat menguasai pedang pusaka itu, lalu
bagaimana?”
“Toh gunung Im-leng-san itu sunyi belantara, setelah
membunuh musuh, aku akan mencari daya.... kalau perlu
hanya orang dan pedang itu harus hancur bersama agar
jangan menimbulkan dosa berdarah pada lain orang.....”
“Jangan! Jangan !” Yan-hong menjerit kaget. Dia tak
tega kalau pemuda itu sampai celaka. Tetapi iapun tak
sampai hati untuk bertempur mengepung Gak Lui.
“Ah, di dunia ini memang penuh dengan soal
kesukaran dan penderitaan,” tiba2 Hi Kiam-gin berkata
dengan nada dingin, “dalam soal hubungan asmara saja
adik Lui belum dapat memutuskan, sekarang akan
bertambah dengan soal pembalasan sakit hati. Dalam
soal pembalasan ini, aku memang wajib mengambil
bagian dan harus membantu sekuat tenaga. Yang
dibutuhkan adik Lui, bukan bantuan tenaga untuk
menghancurkan musuh melainkan apabila selesai
menghancurkan musuh, pedang Thian-lui-koay-kiam itu
akan membuas dan membunuh orang lain. Nah, keadaan
itulah yang memerlukan tenaga kita untuk mengatasinya.
Kecuali kita memang menghendaki dia ....supaya binasa
bersama pedang pusaka itu ....”
Ucapan itu telah menggetarkan sanubari ketiga nona
yang lain. Serempak mereka berkata dalam hati, rela
menempuh bahaya daripada membiarkan Gak Lui akan
binasa bersama pedang Thian-lui-koay-kiam. Akhirnya
dengan airmata bercucuran, Yan-hong menerima
930
permintaan Gak Lui.
Gak Lui serasa terlepas dari himpitan batu besar. Ia
memandang dengan penuh rasa terima kasih kepada Hi
Kiam-gin. Nona itu tundukkan kepala. Dua butir airmata
menitik turun dari pelupuknya. Setelah perundingan
selesai, Hi Kiam-gin mengantar keluar tetamunya lalu
seorang diri masuk kedalam kamarnya. Siu-mey
bertigapun kembali kedalam kamar dan tidur. Gak Lui
masih mondar mandir dalam paseban markas Ceng-siapay.
Di ruang sembahyang peti-mati Thian Wat totiang
masih terdengar para anak murid Ceng-sia-pay
membaca kitab suci, memanjatkan doa untuk arwah
Thian Wat totiang. Kemudian ia ke ruang samping dan
duduk bersemedhi. Entah berapa lama, tiba2 ia terkejut
bangun. Saat itu hari sudah terang tanah tetapi yang
mengejutkan Gak Lui yalah suara hiruk pikuk yang
menggema dalam ruang paseban besar itu. Cepat ia
melangkah keluar. Suara hiruk pikuk makin nyaring.
Seluruh markas seolah-olah tergetar. Cepat ia mencari Hi
Kiam gin dan ketiga nona lainnya untuk diajak berangkat
Im-leng-san. Tetapi ketika ia melangkah keluar, kejutnya
bukan kepalang. Hidungnya terbaur angin berbau anyir
yalah bau dari bangsa ular.
“Hai, dari manakah sekian banyak ular itu ?
Sekalipun gunung ini ada ularnya, juga tak bergolak
seperti ini ?” pikirnya terus hendak mencari Siu-mey.
Baru beberapa langkah, ia berpapasan dengan Thian
Lok totiang ketua Ceng sia-pay. Dilihatnya ketua Cengsia-
pay itu tengah bingung sembari memberi petunjuk
kepada anak murid untuk mengelompok jadi satu.
Ratusan anak murid Ceng-sia-pay itu sama menghunus
pedang, ujungnya ditunjukkan ke tanah. Mata merekapun
memandang ke tanah dengan ketakutan. Melihat itu Gak
Lui cepat melesat ke hadapan Thian Lok totiang.
931
“Sauhiap, ke manakah engkau ini ? Mengapa sampai
lama tak dapat kucarimu...” seru Thian Lok totiang.
“Aku sedang duduk bersemedhi di ruang samping.
Tolong tanya, apakah yang terjadi?”
“Ular ... barisan ular telah menyerbu markas di
gunung Ceng-sia- san sini. Murid2 dari partai2 persilatan
yang sedang tidur banyak yang digigit terluka ... bahkan
mati.”
“Lalu di manakah para ciang-bunjin?”
“Berada di sekitar gunung ini memberi petunjuk
kepada anak muridnya menghadapi serangan ular...”
“Oh, banyakkah jumlahnya ular itu?”
“Tak dapat dihitung banyaknya. Markas Ceng-sia-pay
mungkin akan penuh!” Gak Lui terkejut. Karena ia pernah
makan rumput Hiang-coh, ia tak takut kepada bangsa
ular. Tetapi ia tahu bagaimana kelihayan bangsa ular itu.
Bagi orang persilatan yang belum tinggi kepandaiannya
tentu tak dapat melawan. Diam2 ia heran siapakah tokoh
yang mampu memerintahkan barisan ular untuk
menyerang markas Ceng-sia-pay itu ? Tiba2 ia teringat
bahwa di antara yang datang ke Ceng-sia-san itu
terdapat juga partai Pengemis daerah selatan.
Pemimpinnya si Pengemis Ular yang termasyhur itu
memang hendak melakukan pembalasan sakit hati atas
musuh yang telah membunuh Pengemis-jahat.
“Ketua partai Kay-pang seorang ahli menghadapi
bangsa ular beracun. Sekarang ini dia berada di mana?”
“Di bagian selatan gunung. Tetapi menurut katanya,
ia mungkin tak mampu menghadapi serangan sekian
banyak ular ini.”
“Kewalahan?”
932
“Ya,” sahut ketua Ceng sia pay.
“Lalu di manakah adikku Siu-mey itu ?”
“Dia sih mempunyai daya. Saat ini sedang
mempertahankan dibagian muka gunung dan hendak
mencari sauhiap!”
“Kalau begitu harap totiang menjaga diruang paseban
ini, aku hendak mencarinya.” Sepanjang jalan Gak Lui
melihat anak murid partai persilatan masing2 membentuk
diri dalam barisan, menggunakan senjatanya untuk
menghalau serangan barisan ular ular. Tetapi ular2 itu
pun lincah dan gesit sekali sehingga masih ada yang
dapat meloloskan diri. Gak Lui percepat larinya. Ia
lepaskan hantaman untuk menghancurkan barisan ular
itu. Tetapi di luar markas, kawanan ular itu makin banyak
jumlahnya. Tokoh2 silat yang berilmu tinggi terhambat di
tengah barisan ular. Mereka mengamuk dan membabat
kawanan ular itu. Tetapi asal sedikit ayal saja tentu ada
yang digigit ular. Dan begitu orang itu rubuh tentu terus
dibuat „pesta' oleh kawanan ular. Dalam beberapa kejab
saja, tubuh orang itu habis dagingnya dan tinggal
merupakan seperangkat tulang tengkorak. Dalam
perjalanan itu tak sedikit Gak Lui menolong beberapa
orang. Tetapi ketika hampir tiba di pintu markas, ternyata
di situ sudah merupakan seperti lautan ular. Melihat itu
Gak Lui segera gunakan pedangnya untuk mengamuk.
Bum, bum, bum ... pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam
dan pukulan, menyiak sebuah jalan-darah. Dan saat itu ia
sudah berada diluar pintu besar. Didalam lingkaran
hanya seluas tiga tombak tampak seorang tokoh
menggunakan senjata aneh, sebuah payung besi dan
sebuah kipas besi. Bagaikan angin puyuh yang menderu
deru, orang itu mengamuk sehingga tiada seekor ularpun
yang mampu menyusup dekat.
933
“Sebun sianseng, berhentilah. Akulah yang datang!”
seru Gak Lui serentak. Karena tahu ular tak dapat
masuk, Sebun sianseng hentikan gerakannya. Dan saat
itu Gak Luipun menyelinap mendekatinya.
“Sauhiap, aku sudah terkepung oleh kawanan ular
jahat. Sungguh tak nyana kalau aku benar2 merasa
kewalahan menghadapi mereka,” Sebun sianseng
tertawa hambar.
“Kalau sianseng tak kuat, bolehkah aku memberi
bantuan?” tanya Gak Lui.
“Tak usah! Tadi gadis ular Siu-mey sudah
menghampiri kemari dan memberikan rumput wangi
kepadaku. Oleh karena itu aku dapat terlindung dari
bahaya maut...”
“Dimana dia sekarang?”
“Menyusur lamping gunung...”
“Mengapa?”
“Dia percaya beberapa ketua partai persilatan tentu
serupa keadaannya dengan diriku. Maka dia hendak
mencari mereka untuk membagikan rumput wangi itu.”
“Marilah kuantar sianseng ke dalam markas, di sana
keadaannya lebih aman ....”
“Juga tak perlu,” sahut Sebun sianseng, “kalau tak
dapat membasmi orang yang melepaskan ular itu, dalam
setengah hari saja di luar dan di dalam markas tentu
akan dibanjiri ular. Maka lebih baik aku tetap berada di
sini. Kalau musuh hendak menyerang ke atas, aku dapat
menahannya.” Gak Lui anggap pernyataan tokoh itu
beralasan juga. Maka ia minta diri dan menuju ke arah
yang ditunjukkan Sebun sianseng untuk mencari Siumey.
Tetapi sampai melingkari gunung, tetap ia tak
934
berhasil menemukan Siu-mey. Yang dijumpainya
hanyalah beberapa ketua partai persilatan. Mereka ada
yang bersembunyi dalam guha ada yang di atas dahan
pohon dan ada pula yang keadaannya serupa dengan
Sebun sianseng tadi yalah terkurung di tanah datar.
Adalah karena makan rumput-wangi pemberian Siu-mey,
mereka dapat bertahan dari serbuan ular. Tak berapa
lama tibalah ia dibalik gunung. Terdengar desis gemuruh
dan bau yang anyir sekali dari sebuah dinding tinggi yang
terdiri dari beribu ekor ular. Didepan tembok ular itu
tampak dua sosok tubuh, seorang tua berambut putih
dan seorang nona cantik sedang berputar-putar. Orang
tua itu ternyata Ong Ping-gak ketua Kay-pang dan sinona
yalah Siu-mey. Mulut Siu-mey bersuit perlahan untuk
menghalau ular sedang kedua tangannya bagai orang
menari-nari. Sepasang ular kecil yang menghias
tangannya itu pun bergeliatan mematuk musuh. Ular
yang betapa besar dan berbisa, apabila tersentuh oleh
sepasang ular kecil dari Siu-mey itu tentu jatuh ketanah
dan mati. Walaupun kedua orang itu sibuk membasmi
serangan ular tetapi karena jumlah barisan ular itu
terlampau banyak maka sukarlah bagi keduanya untuk
menghancurkan semua. Melihat itu Gak Lui terus maju
menghampiri.
“Sauhiap,” seru Ong Ping-gak dengan girang seraya
membuka jalan untuk Gak Lui. Siu-mey pun bukan
kepalang girangnya :
“Engkoh Lui, kebetulan sekali engkau datang.
Rumput-wangiku sudah habis kubagi-bagikan. Rupanya
dibelakang barisan ular itu ada orang yang memberi
perintah. Aku kewalahan untuk menghalau mereka,
harap engkau cari daya !”
Sejenak berpikir, Gak Lui berkata ; “Tentulah
935
perbuatan si Pengemis Ular itu. Apakah engkau
melihatnya?”
“Tidak,” sahut Siu-mey, “aku sibuk dengan serangan
ular sehingga tiada perhatian kesitu.”
Kemudian Gak Lui bertanya kepada ketua Kaypang.
Pun ketua partai pengemis itu menyatakan tak melihat
orang itu. Ia menambahkan keterangan: “Pengemis Ular
itu memang misterius dan hebat dalam ilmu
menundukkan ular. Andai nona Li tak berada disini,
tulang2ku tentu sudah dimakan kawanan ular jahat itu....”
Melihat kedua ahli menundukkan ular itu kewalahan
juga, terkejutlah Gak Lui. Ia memandang kesekeliling
penjuru. Ah, empat penjuru hanya lautan ular berbisa.
Tetapi tiba2 matanya tertarik pada seekor benda yang
aneh. Besarnya sepelukan tangan orang, panjang satu
setengah meter. Kaki dan kepala sama besarnya
sehingga mirip seperti sebuah tiang daging. Cepat Gak
Lui menduga sesuatu. Ia berseru kepada Siu-mey :
“Ikut aku !” dengan pedang pusaka Thian lui-hoaykiam
ia terus mendahului menerjang barisan ular. Dalam
dua tiga kali loncatan ia sudah tiba diatas batu karang itu.
Rupanya ular aneh yang bergeliatan diatas karang itu
tahu juga akan gelagat yang berbahaya. Ular itu
membalikkan badan melorot turun. Tetapi terlambat.
Sekali loncat, kaki Gak Lui pun sudah menginjak perut
ular itu. Ular aneh itu melengkung tubuhnya, tiba2
menyemburkan cairan air racun. Tetapi tubuh Gak Lui
sudah kebal dengan racun ular. Ia keraskan injakannya
sehingga ular aneh itu menjerit jerit kesakitan dan tiba2
dapat meratap : “Tuan, ampunilah jiwaku ...”
“Siapa yang engkau sebut tuan itu?” dengan marah
Gak Lui perhebat kakinya sehingga mulut orang itu
936
menyembur darah segar.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 32 bagian 32.6
“Sauhiap .... sau ... hiap ampunilah jiwaku...!” orang
itu merintih- rintih minta ampun.
“Rupanya engkau ini anak buah si Pengemis Ular,”
Seru Gak Lui seraya gunakan ujung jari untuk menggurat
tubuh ular itu, bratt.....kulit ular pecah dan tampaklah
sebuah wajah menyeringai kesakitan dari seorang
pengemis.
“Ya ... ya ....,” dengan napas terengah-engah, orang
itu mengangguk.
“Lekas bilang, dimana dia sekarang?”
“Sembunyi ditengah tembok ular itu !”
“Bangun !” bentak Gak Lui, “bawa aku kesana !”
“Baik ... ,” baru orang itu mengucap, tiba2 di udara
meluncur seekor ular kecil yang terus menyambar dan
menggigit tenggorokannya. Orang itu mengaduh tertahan
terus rubuh ke bawah batu karang ! Gak Lui menjentik
ular kecil itu tetapi dengan gesit ular itu terbang hendak
menyambar muka Gak Lui. Untunglah pada saat itu
sepasang ular dari Siu-mey sudah melayang tiba. Pada
lain kejab, ular kecil itupun sudah rubuh ditanah dan tak
bernyawa lagi. Serempak dengan hancurnya ular kecil
itu, dari dalam dinding ular, muncullah seorang manusia
aneh yang berwajah menyeramkan sehingga Gak Lui
sendiri sampai menyurut mundur selangkah ! Dengan
seksama diperhatikannya manusia-aneh itu atau si
Pengemis Ular. Rambut terurai, dada dan kaki telanjang,
937
tulang sekeras baja, tubuh hampir tak tampak berpakaian
kecuali dililit oleh belasan ekor ular.
“Heh, heh, heh, heh !” Pengemis Ular mengekeh.
Karena tertawa, tubuhnya tergetar dan ular2 pada
tubuhnya itupun ikut bergeliatan memagut-magut
kemuka. Melihat itu Siu-mey marah sekali. Ia terus
hendak menggerakkan sepasang ular Kim-giok untuk
membinasakan orang itu. Tetapi Gak Lui mengicupkan
mata mencegahnya. Pikirnya, kalau terus dibunuh tentu
tak dapat mempergunakan orang itu mengenyahkan
barisan ular. Setelah puas tertawa, Pengemis Ular
dengan jumawa berseru kepada ketua partai Pengemis:
“Hai orang she Ong, bukankah kita sudah setuju
membagi wilayah? Mengapa engkau masih berani
datang kemari ? Kalau hari ini engkau mati disini, jangan
engkau sesalkan diriku....”
“Tutup mulutmu !” bentak Gak Lui marah.
“dihadapanku, jangan engkau jual lagak ....”
Pengemis Ular tertawa mengekeh : “Budak she Gak,
jangan engkau berlagak seperti tuan besar. Adik
seperguruanku si Pengemis Jahat yang engkau bunuh
itu, harus engkau bayar dengan jiwamu!”
“Apakah engkau mampu ?” ejek Gak Lui.
Pengemis Ular deliki mata: “Budak, jangan bermulut
tajam. Dengan ilmu silat, memang aku tak dapat
menghadapimu. Tetapi kalian telah masuk dalam
perangkap si Maharaja. Jiwa dari sekalian tokoh2
perguruan silat yang berada di gunung ini, berada dalam
tanganku ....”
“Engkau kira aku tak berani membunuhmu?”
“Kukira engkau tak berani karena engkau tentu tak
938
mampu membasmi kawanan ular ini!”
“Engkau menghendaki syarat ?”
“Ha, ha, cerdik juga engkau !”
“Katakanlah saja, apa yang engkau maukan.”
“Sudah tentu ....,” Pengemis Ular itu tertawa-tawa
riang sambil memandang kearah ketua Kay-pang dengan
mata mengejek. Setelah itu ke-arah Siu-mey. Pandang
matanyapun berobah. Di- samping memuji akan
kecantikan nona itu, pun diam2 gentar melihat sepasang
ular maut yang menghias tangan nona itu. Kemudian
Pengemis Ular alihkan matanya kepada Gak Lui.
Terhadap pemuda itu, benar2 ia menaruh kewaspadaan
yang luar biasa.
“Kalau mau bicara, lekas! Jangan plintat plintut
macam begitu.”
“O, apakah melihat saja tidak boleh ....”
“Untuk mencabut jiwamu, adalah semudah
membalikkan telapak tanganku!” bentak Siu-mey.
Rupanya gentar juga Pengemis Ular mendengar
bentakan sinona yang garang itu. Segera ia menyahut:
“Syaratku itu amat sederhana.”
“Apa?”
“Berikanlah pedang Thian-lui-koay-kiam itu
kepadaku!”
“Oh......lalu syarat yang kedua ?” seru Gak Lui.
“Engkoh Lui, jangan meluluskan permintaannya itu.
Pusaka perguruan merupakan benda yang penting !”
“Ya, kutahu,” sahut Gak Lui.
“Syarat yang kedua itupun juga mudah saja. Asal
939
budak perempuan itu mau menyerahkan sepasang ular
mustikanya kepadaku, jadilah !”
“Syarat yang ketiga ?”
“Yang ketiga ?”
“Ya, benar !” Pengemis Ular itu kicupkan mata melirik
ke-arah ketua partai Pengemis lalu tertawa sinis: “Lain2
soal aku dapat menyelesaikan sendiri, tak perlu kalian
ikut campur....”
“Kalau begitu engkau sudah tak ada syarat lain lagi ?”
“Tidak ada !”
“Tetapi dengan apa engkau hendak memberikan
imbalan untuk pedang Thian-lui-koay-kiam dan sepasang
ular mustika itu ?”
“O, engkau masih menghendaki barang penukarnya
?”
“Sudah tentu !” Pengemis Ular terkesiap. Belum
sempat ia membuka mulut, Siu- meypun sudah
menyelutuk: “Engkoh Lui, mengapa engkau mau
berunding dengan orang itu? Dia kan manusia tanpa
ceng-li !”
Gak Lui tertawa rawan: “Jangan cemas. Memikirkan
keselamatan jiwa tokoh2 persilatan di gunung ini,
terpaksa aku harus berunding....”
“Sudahlah, budak she Gak, terus terang kuberitahu
kepadamu. Kedua benda itu memang yang kukehendaki.
Soal imbalannya, jangan engkau menuntut apa2 dari aku
!”
“Kalau kedua benda itu sudah kuserahkan, apakah
engkau mau mengundurkan kawanan ular itu?”
940
“Ini....” Pengemis-Ular tersekat meragu.
JILID 19
Setelah agak tersekat, Pengemis Ular memberi janji
bahwa ia tentu segera mengundurkan barisan ular
selekas menerima pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam.
“Engkoh Lui, jangan percaya padanya !” seru Siumey,
“setelah mendapat pusaka dia tentu tak mau
pegang janji dan kita sudah terlambat mencegahnya.”
“Hm...” Gak Lui mengangguk kemudian menatap
Pengemis Ular :
“Bagiku apa yang telah kujanjikan tentu akan
kutepati. Tetapi demi pengamanan, sekurang-kurangnya
engkau harus dapat mengajukan sebuah jaminan, kalau
tidak .....”
“Bagaimana ?”
“Terpaksa aku harus mempertimbangkan lagi.”
Diam2 Pengemis Ular itu merenung dan
memperhitungkan untung ruginya. Jika ia berkeras
mendesak, dikuatirkan Gak Lui tentu akan memberi
reaksi keras. Padahal ia tahu kalau kepandaiannya kalah
tinggi dengan pemuda itu. Melihat pengemis itu meragu,
Gak Lui cepat menyusuli pula :
“Permintaanku jauh lebih sederhana dari engkau.
Sesungguhnya tak perlu banyak dipikir lagi.”
“Kalau begitu, katakanlah.”
“Engkau kasih tahu cara mengusir ular itu. Apabila
engkau pergi, kamipun dapat melakukan sendiri.”
“Ini ...” Pengemis Ular terus mengangkat tangan
941
seperti hendak mengambil barang tetapi pada lain saat ia
merasa salah tindak lalu menurunkan tangan lagi dan
menyahut sinis : “Gak Lui, terserah padamu percaya atau
tidak. Engkau hanya menyerahkan pusaka itu dan
akupun akan menetapi janji. Tetapi jika hendak minta
ajaran cara mengusir ular, jangan engkau harap !”
“Baik,” Gak Lui pura2 menghela napas tetapi diam2
ia sudah mengetahui rahasia itu dari gerak gerik
pengemis itu tadi. Sambil melepas ikatan pedang Thianlui-
koay-kiam dan menunjuk pada Siu-mey, Gak Lui
berkata : “Pedang akan kuserahkan begitu pula ular.
Tetapi masih ada sebuah rahasianya yang hendak
kuberitahu kepadamu agar jangan menimbulkan hal2
yang tak diinginkan.”
“Katakanlah !”
“Kedua ekor ular itu, merupakan binatang keramat
yang tiada keduanya didunia. Tetapi ular itu luar biasa
racunnya. Tentunya tadi engkau sudah menyaksikan
sendiri.”
“Ya, sudah.”
“Karena itu kuharap engkau bersiap-siap agar jangan
sampai tak dapat mengendalikan.....”
“Heh, heh...,” pengemis itu mengekeh, “sudah sejak
kecil aku bermain ular, aku mempunyai itu untuk
menundukkannya. Sudahlah, jangan banyak kuatir,
serahkan dulu pedang pusaka itu!”
“Baik, sambutilah !” tanpa ragu2 lagi Gak Lui terus
ayunkan tangan, setelah membuat gerak setengah
lingkaran, pedang melayang kearah Pengemis-ular.
Setelah menyambuti dan memeriksa pedang itu
terbungkus dengan sutera putih, diam2 pengemis itu
942
heran. Tetapi ia masih harus menyambuti sepasang ular
mustika dari Siu-mey. Maka tanpa membuka bungkusan
sutera itu ia terus berteriak: “Budak perempuan, lekas
lemparkan ularmu kemari.” Siu-mey yang cerdas pun
dapat melihat gerak gerik pengemis itu tadi. Jelas
pengemis itu mengangkat tangan hendak mengambil
barang tetapi karena badannya telanjang jadi tak dapat
diketahui benda apakah yang hendak diambilnya itu.
Maka untuk mengetahui rahasia itu, terpaksa ia harus
gunakan kedua ularnya : “Sambutilah !” serunya. Dua
buah sinar perak dan emas segera melayang kearah
Pengemis-ular. Pada saat pengemis itu menyambuti,
terjadilah peristiwa yang mengejutkan kedua belah fihak.
Begitu kedua ular itu berada ditangan si pengemis, terus
saja melenting dan menggigit pengemis itu. Menikah bisa
ular itu, seharusnya pengemis Ular harus mati. Tetapi
ternyata hanya kesakitan saja. Suatu hal yang membuat
Siu-mey benar2 terkejut sekali. Tetapi Gak Lui tetap
tenang. Ia tahu bahwa Pengemis-ular itu seorang tokoh
persilatan yang ternama. Sudah tentu sakti sekali.
Sepasang ular Mas dan Perak itu hebat sekali. Begitu
melihat tak mampu menggigit mati korbannya, ia terus
melenting ke tubuh Pengemis-ular dan menggigit
kawanan ular yang melilit tubuh pengemis itu. Kawanan
ular itu merupakan ular2 hebat yang dengan susah
payah dipiara oleh Pengemis-ular. Tetapi sudah tentu
kalah hebat dengan sepasang ular Mas dan Perak.
Sekali tergigit, ular2 itupun segera mati dan melorot jatuh
ketanah, sedangkan Pengemis-ular itu sendiripun sudah
menderita luka yang hebat. Racun sepasang ular kecil itu
sudah bercampur dalam darahnya. Hanya karena dia
sudah pernah makan obat penawar racun ular, barulah ia
dapat bertahan beberapa lama. Tetapi apabila ular2 yang
melilit tubuhnya habis mati digigit kedua ular kecil itu,
943
tentulah akan tiba gilirannya akan digigitnya lagi. Ah,
celaka ! Dalam gugup Pengemis-ular terus mencekal
tangkai pedang Thian-lui-koay-kiam yang terbungkus
sutera, untuk menjaga kalau2 Gak Lui main gila. Lalu
bibirnya mulai bergerak-gerak menghambur siulan tajam
yang panjang. Mendengar siulan itu sepasang ular Mas
dan Perak serentak berhenti menggigit, menyelinap
lenyap dalam tumpukan ular. Kawanan ular yang lainpun
berserabutan mundur dari gunung. Dan suitan itupun
suatu pertandaan untuk memanggil dua orang murid
Pengemis-ular. Dengan meraung-raung histeris, kedua
orang yang tubuhnya berpakaian puluhan ekor ular itu
berlari-lari datang menolong. Perobahan itu membuat
ketua Kay-pang terlongong, pun Siu mey juga gelisah
memandang Gak Lui dan mengharap pemuda itu lekas
turun tangan. Namun Gak Lui tetap tenang dan berkata :
“Tenanglah, tak perlu kita turun tangan, dia tentu
akan hancur sendiri.” Dalam pada itu tampak Pengemisular
sudah menyingkap sutera pembungkus pedang dan
mulai menggenggam batang pedang. Bagaikan kena
aliran stroom, segera dia terkuasai oleh tenaga ganas
dari pedang itu. Sepasang bola matanya merah darah,
wajah memberingas seram. Sambil bersuit memanggil
ular, tangan menghantam dengan pedang :
“Pulanglah....!”
Gak Lui pun cepat bertindak. Ia lepaskan pukulan
tenaga-dalam Algojo-dunia dari jauh, Pengemis-ular itu
tersurut mundur dua tombak, tepat berdiri disamping
kedua muridnya. Tetapi saat itu Pengemis-ular sudah
gila. Tak lagi ia dapat mengenali lawan atau kawan. Yang
mengeram pada benaknya yalah hanya membunuh
orang. Sekali ayun, ia hantamkan pedang laknat itu
kepada kedua muridnya sendiri.
944
“Auh.....” terdengar jeritan ngeri ketika tubuh kedua
murid itu hancur lebur beserta puluhan ekor ular yang
melibat tubuhnya. Selesai menghancurkan kedua
muridnya, Pengemis-ular loncat kedalam barisan ular
dan mengamuk. Setelah barisan ular itu makin menipis
barulah tampak tubuh si Pengemis-ular terkapar ditanah.
Yang tinggal hanya seperangkat tulang kerangka,
tangannya masih mencekal pedang Thian-lui koay-kiam.
Sepasang ular Mas dan Perak masih melingkar
ditubuhnya. Sedang daun yang digunakan untuk bersuit
memanggil ular tadi, masih terkulum digiginya. Gak Lui
segera mengambil pulang pedang Thian-lui-koay-kiam
dan mengambil pula sempritan daun itu, demikian
sepasang ular mustika lalu diberikan kepada Siu mey.
Selesai adegan yang menyeramkan itu, berkatalah ketua
Kay pang kepada Gak Lui : “Sauhiap, kuhaturkan
selamat karena engkau telah berhasil membasmi sebuah
malapetaka dalam dunia persilatan. Soal menghalau ular
itu, sekarang boleh engkau serahkan kepadaku.”
Gak Lui mengiakan : “Harap pangcu suka meninjau
seluruh gunung, halaulah kawanan ular itu kedalam
rawa2 agar jangan mencelakai orang.” Ketua Kay pang
menyambuti suitan lalu menuju ke barisan ular.
Sementara Gak Lui pun lalu mengajak Siu-mey kembali
kedalam paseban Ceng-sia-pay dan disitu Thian Lok
totiang tengah memimpin murid2nya untuk membasmi
kawanan ular. Bukan kepalang ketua Ceng-sia-pay demi
melihat Gak Lui muncul. Mereka amat berterima kasih
sekali atas bantuan pemuda itu yang telah dapat
mengatasi serangan ular dari Pengemis-ular. Gak Lui
segera minta diri karena hendak menuju ke gunung Imleng-
san, memenuhi tantangan Maharaja Tio Bik-lui.
Setelah itu Gak Lui menemui Hi Kiam-gim, The Hong-lian
dan Yan-hong. Setelah memberi pesan seperlunya
945
kepada keempat nona itu, Gak Lui lalu berangkat.
Setelah para rombongan partai Persilatan berkumpul
dipaseban besar, mereka sibuk mengobati anak
muridnya masing2 yang menjadi korban keganasan
kawanan ular. Dalam anggapan para rombongan partai
persilatan, kali ini Siu-meylah yang menjadi juru selamat
mereka. Jika nona itu tak memberikan rumput Kim-cian,
para ketua partai persilatan itu tentu celaka. Selain Siumey,
pun Hi Kiam-gin, Hong-lian juga mendapat
perindahan besar. Siu-mey gelisah sekali. Ia ingin lekas2
menyusul Gak Lui tetapi terpaksa harus bersabar karena
membantu mengobati murid2 partai persilatan yang
terluka dulu. Setelah setengah hari sibuk menolong
korban2, barulah keempat nona itu dapat minta diri
kepada sekalian ketua partai persilatan. Mereka cepat
menyusul Gak Lui ke Im-leng-san. Demikianpun para
ketua partai persilatan itu.
Setelah para murid2 mereka tertolong, merekapun
ikut prihatin atas diri Gak Lui yang akan melakukan
pertempuran terakhir dengan Maharaja. Berulang kali
mereka mendapat bantuan Gak Lui, sudah tentu mereka
akan berusaha untuk membantu juga kepadanya itu.
Akhirnya mereka bersepakat, setelah nanti ketua Kay
pang datang, mereka akan mengajaknya menyusul ke Im
leng-san. Dan ternyata ketua Kay-pangpun setuju.
Keesokan harinya, setelah mengatur rombongan murid
masing2 supaya pulang ke markas perguruannya, ketua
Partai Gelandangan Raja-bengawan Gan Ke ik, ketua
Go-bi pay Tek Yan taysu, ketua Kiu-hoan-bun Ih Ci-cin,
ketua Kun-lun-pay Sebun sianseng dan Pukulan-sakti
The Thay, segera menuju ke Im-leng san. Mereka
hendak menyaksikan pertempuran antara Gak Lui lawan
Maharaja Tio Bik lui.
946
Dalam pada itu dengan menggunakan ilmu lari cepat,
Gak Lui bergegas menuju kegunung Im leng san.
Disamping sepanjang jalan ia meninggalkan pertandaan
rahasia, pun ia memperhitungkan waktunya agar
keempat nona dan rombongan ketua partai persilatan itu
tiba digunung Im leng san tepat pada waktunya.
Demikian tepat pada waktu dari tantangan itu, tibalah
Gak Lui digunung Im leng-san. Keadaan gunung itu
cukup seram. Puncaknya menjulang tinggi sampai
menembus awan. Sedang sekeliling puncak itu tertutup
oleh hutan belantara yang lebat. Demikian salju yang
menutup puncak itu sampai kehijau-hijauan warnanya.
“Hm....,” gumam Gak Lui. “menilik keadaannya, pada
puncak yang tertutup salju itu tentu ada sesuatu
rahasianya....”
Sekonyong-konyong dari puncak itu tampak
memancar sinar biru yang keras. Gak lui terkejut. Ia tak
asing lagi dengan sinar biru kemilau itu. Itulah sinar
pedang Pelangi yang direbut oleh si Maharaja. Tampak
pedang itu jauh lebih ganas daripada ketika masih
berada ditangannya. Dua tiga kali pedang itu
berkelebatan sehingga gumpalan saljupun ikut terpancar
sinar biru. Melihat itu Gak Lui menggeram : “Hm, kiranya
Tio Bik-lui bersembunyi disana dan berlatih ilmu pedang.
Rupanya dia telah mencapai latihan yang sedemikian
hebat. Tetapi jelas kalau gerak permainannya itu masih
belum mencapai kesempurnaan .....” Tanpa disadar Gak
Lui meraba pedang pusaka Thian-lui-koay- kiam.
Seketika besarlah semangatnya. Ia yakin pedang Thianlui-
koay-kiam yang memiliki tenaga gaib itu tentu dapat
mengatasi pedang pelangi si Maharaja. Tetapi pada lain
saat ia teringat juga akan pesan Kaisar persilatan Li
Liong ci bahwa apabila nanti dia mainkan pedang itu
berhadapan dengan lawan, tentu akan timbul suatu
947
keanehan...
“Hm, tak peduli ada atau tidak keanehan itu, tetapi
dengan mengandalkan tekad, aku tetap harus membasmi
durjana itu !” akhirnya ia membulatkan keputusannya.
Teringat akan dendam kematian orangtuanya,
mendidihlah darah Gak Lui. Dengan gunakan ilmu
meringankan tubuh, ia terus enjot tubuhnya melayang ke
lamping gunung. Empat penjuru hutan belantara
terbentang luas. Seketika ia teringat akan pesan kata2
dari Wanita Pelebur-tulang agar didalam menghadai
jebakan si Maharaja Persilatan, ia harus mencari ke
tempat yang tiada api, jangan menuju kesebelah utara
yang tergenang air. Demikian setelah menimang-nimang
keadaan tempat, akhirnya ia meninggalkan sebuah tanda
rahasia, ia terus enjot tubuh melambung keudara,
hendak melayang kearah goha itu. Dendam kesumat
untuk membalas sakit hati kematian orang-tua, membuat
Gak Lui seperti orang kesetanan. Ia gunakan seluruh
ilmu kepandaiannya untuk berloncatan maju. Lebih
kurang satu li jauhnya, tiba2 ia merasakan sesuatu yang
tak wajar. Segera ia melayang turun dan hendak
meninjau keadaan. Tetapi astaga.....ternyata kakinya
menginjak tempat kosong. Dicobanya sekali lagi, pun
tetap serupa. Serempak dengan itu keadaan
sekelilingnya pun gelap gelita dan hawanyapun dingin.
Bluk, akhirnya ia jatuh ketanah dan separoh dari
tubuhnya terbenam dalam sebuah kubangan yang airnya
amat dingin sekali. Saat itu Gak Lui baru menyadari
bahwa karena terlalu dirangsang nafsu, ia telah
terperosok jatuh kedalam sebuah tebat atau telaga kecil
yang ratusan tombak didasar lembah. Ia kerahkan
tenaga- dalam dan menyambar keping2 benda yang
memenuhi tebat itu. Ah.... hampir saja tubuhnya lemas
ketika mendapatkan keping2 benda itu bukan lain adalah
948
hancuran tulang kerangka manusia. Sebuah tebat yang
penuh dengan keping2 tulang manusia. Makin ia
gunakan tenaga makin tubuhnya tenggelam kebawah.....
“Celaka!” cepat ia hentikan tenaga murni dan tak
berani berkutik.
“Hm, kalau aku terus menerus terbenam disini, tentu
celaka. Rombongan ketua partai persilatan itu
kemungkinan tentu akan terperosok juga kesini. Seorang
saja yang jatuh kesini, aku tentu akan tertindih dan
tenggelam kebawah dasar tebat ini. Dan apabila
Maharaja mengetahui aku berada disini, mudahlah bagi
dia untuk membunuhku....” Gak Lui menimang-nimang
dengan gelisah.
Setelah termenung beberapa saat tiba2 ia
menemukan akal. Ya, hanya dengan tenaga sakti Algojodunia
yang mempunyai daya tenaga sedot itu, dapatlah
ia keluar dari tempat celaka disitu. Segera ia gerakkan
kedua tangannya. Tangan kiri menghantam keatas,
tangan kanan menampar kebawah. Wut...tangan kiri
mengalir suatu tenaga keras yang membuat tubuhnya
ikut tersedot naik. Dan karena ia gunakan tenaga-dalam
itu hampir delapanpuluh bagian, maka tubuhnyapun
seperti sebuah anak panah yang meluncur keatas, lalu
melayang turun ke sebuah batu karang.
“Tebat celaka semacam ini, hanya mencelakai
manusia saja. Lebih baik kutimbuni,” pikir Gak Lui yang
lalu menghantam batu karang. Karang berguguran jatuh
menimbuni liang tebat itu. Setelah selesai, ia enjot
tubuhnya melambung keatas lagi dan melanjutkan
perjalanan lagi. Diluar dugaan, ia tak menemui suatu
rintangan apa2, ia duga Maharaja merasa tentu tak ada
orang yang mampu menandinginya, maka ia tak mau
membuat macam2 perangkap dan hanya tumpahkan
949
seluruh tenaganya pada pos yang terakhir nanti. Jelas
bahwa pertempuran terakhir yang akan dihadapinya
nanti tentu bukan kepalang dahsyatnya. Menilik
persiapan2 yang dilakukan, jelas pula bahwa Maharaja
itu mempunyai keyakinan tentu menang. Memikir sampai
disitu, tergetarlah hati Gak Lui dan tangannyapun
meraba pedang pusaka Thian-lui-koay-kiam yang
tersanggul di belakang bahunya. Seketika timbul
pemikiran dalam hatinya.
“Soal batang pedang yang sudah lelah dan lekat jadi
satu dengan kerangkanya, memang sukar. Tetapi tangkai
pedang yang terbungkus dengan sutera itu, apakah
dibiarkannya begitu saja. Kalau tidak kubuka, tentu tak
leluasa kumainkan dalam pertempuran. Tetapi kalau
kubuka selubung sutera itu, ah, pedang itu akan
memancarkan tenaga-sakti aneh yang tak dapat
dikendalikan.....”
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 33 bagian 33.2
Setelah termenung-menung beberapa saat akhirnya
ia memutuskan untuk membuka selubung sutera tangkai
pedang itu. Sekali tarik, selubung sutera itupun hancur
berhamburan. Seketika hati Gak Luipun tegang regang.
Dendam kesumat terhadap Maharaja, makin meluap2
dan menyala-nyala membakar seluruh tubuhnya. Tiba2 ia
teringat akan pesan Kaisar-persilatan Li Liong Ci supaya
berlaku tenang.
“Ya, benar. Memang harus tenang menghadapi tipu
muslihat musuh dan akal muslihat musuh,” katanya
dalam hati. Akhirnya ia tiba diluar daerah yang
merupakan terowongan dan terus loncat mendaki kepuncak.
950
“Ya, akhirnya tibalah juga,” katanya seraya hentikan
langkah dan memandang kesekeliling penjuru. Duapuluh
tombak jauhnya disebelah muka, terbentang sebuah
terowongan yang berliku liku menuju kepuncak gunung.
Ia terus hendak melangkah maju tetapi berhenti lagi,
pikirnya: “Apakah tak mungkin orang semacam Maharaja
itu akan melakukan penyerangan gelap dari atas. Ah,
lebih baik kuujinya dulu dengan pukulan ....”
Bum, bum, bum, ia lontarkan tiga buah pukulan ke
terowongan yang terbungkus dengan gumpalan sinar itu.
Gumpalan sinar berhamburan lenyap dan sebagai
gantinya muncullah sesosok tubuh dari manusia yang
paling dibenci oleh Gak Lui. Ya, Maharaja persilatan Tio
Bik-lui, musuh bebuyutan pemuda itu !
“Ho, ternyata memang benar engkau !” seru Gak Lui
mengertak gigi, “engkau seorang putera yang tak
berbakti, seorang kakak yang hina, berhati binatang,
mencelakai sesama saudara seperguruan. Lekas
serahkan jiwamu, mau tunggu apa lagi!”
“Oh ....” Maharaja terkesiap lalu bertanya seperti tak
mengerti, “apakah maksudmu, aku tak mengerti.”
Gak Lui maju setengah langkah, menatap tajam2 :
“Orang she Tio ! Engkau adalah putera dari Bu-san It-ho.
Wataknya ganas, tak mau memikirkan muka ayahmu.
Dan sampai saat ini engkau masih berusaha untuk
menghindar diri...”
“Heh, heh, heh, heh,” Tio Bik lui tertawa mengekeh
dengan hamburan tenaga-dalam sehingga pedang
Pelangi yang dicekalnya ikut berguncang-guncang,
“karena sudah tahu siapa diriku, mengapa engkau berani
berlaku kurang ajar. Bukankah engkau seorang muda
yang kurang adat terhadap orang yang lebih tua ...”
951
“Tutup mulutmu!” bentak Gak Lui dengan mata
berapi-api, “aku Gak Lui saat ini sedang melaksanakan
titah dari seorang cianpwe. Lebih baik engkau lekas
habisi nyawamu sendiri dari pada aku harus turun tangan
!”
“Budak busuk, jangan besar mulut! Terus terang
kuberitahu kepadamu. Ketika di istana Bi-kiong, engkau
tak mampu berbuat apa2 terhadap diriku. Dan sekarang
jangan mimpi engkau dapat mengalahkan aku lagi. Lebih
baik engkau menurut sebuah permintaanku....”
“Hm, engkau masih ada permintaan lagi ?”
“Pedang Thian-lui-koay-kiam itu seharusnya menjadi
milikku, jika mau menyerahkan dengan baik2,
mungkin....”
“Bagaimana !”
“Dapat kulepaskan engkau dengan selamat dari guha
ini !”
“Heh, heh ! Heh, heh, heh !” Gak Lui mengekeh
marah. Tangannya bergerak melingkar terus hendak
turun tangan. Tetapi baru dia hendak bergerak, wajah
Maharaja tampak berobah serius. Ia menengadah
memandang kelangit lalu menghamburkan suitan paling
dahsyat dalam dunia yakni Suitan Pengikat jiwa. Seketika
mengigillah Thian Lui seperti orang yang disiram es.
Sekujur tubuhnya seperti disusupi ribuan kutu2 sehingga
sakitnya bukan kepalang. Untung tenaga dalamnya saat
itu sudah jauh lebih maju dari ketika berada diistana Lokong-
kiong dahulu. Kala itu ia pingsan mendengar
Maharaja mengeluarkan suitan mautnya. Kini walaupun
tubuhnya berguncang tetapi ia tak sampai rubuh. Dan
teringatlah ia akan pesan Kaisar Persilatan supaya tetap
tenang. Setelah itu ia maju kemuka.
952
Sudah tentu Tio Bik-lui kaget sekali. Wajahnya
berkerenyutan, tangannyapun siap hendak mencabut
pedang Pelangi. Oleh karena jaraknya terpisah duapuluh
tombak lebih maka Gak Luipun tak cepat dapat tiba
dihadapan lawan. Tetapi kedudukan Maharaja saat itu
lebih baik. Dengan pedang Pelangi itu ia dapat
melakukan serangan dari jarak jauh. Mengingat hal itu
Gak Lui segera meraba pedang pusaka Thian-lui-koay
kiam. Begitu tangan menyentuh, suatu aliran kekuatan
gaib telah menjuluri tubuh dan tanpa banyak berpikir lagi
ia terus menarik dan mencekal pedang pusaka itu.
Kemudian dengan gerak langkah yang istimewa iapun
mulai bergerak.
“Tahan !” teriak Maharaja demi mengetahui bahwa
suitan mautnya tak dapat merubuhkan pemuda itu. Dan
dalam pada itu tergetarlah hatinya melihat Gak Lui
mencekal pedang Thian-lui- koay-kiam. Ia hentikan
suitannya dan berteriak keras: “Tempat ini terlalu sempit,
pedang panjang tentu tak dapat dimainkan. Berhenti dulu
!”
“Apakah engkau hendak melarikan diri?” seru Gak
Lui.
“Huh, masakan aku takut kepadamu ! Kalau engkau
berani mari kita bertempur dipuncak gunung,” sahut
Maharaja.
“Disinilah tempat kubur tulang mayatmu, mengapa
engkau masih memilih....,” belum selesai Gak Lui
mengucap tiba2 Maharaja taburkan pedang Pelangi dan
tahu2 tubuhnya mencelat ketengah jalan sempit terus
menyusup masuk ke-dalam terowongan yang berliku-liku.
“Hai, engkau hendak lari kemana ?” teriak Gak Lui
seraya loncat mengejar. Terowongan yang turun melurus
953
kebawah itu sebenarnya sebuah guha rahasia dari perut
gunung. Bukan saja amat licin, pun tingginya hampir
seratusan tombak. Memang kalau lain orang tentu sukar
menuruni tetapi tokoh semacam Maharaja dan Gak Lui
hal itu bukan halangan. Sepintas pandang kedua orang
itu mirip dengan dua buah bintang yang saling kejar
mengejar dilangit. Tiba2 Gak Lui melihat terowongan
guha disebelah muka tertutup kabut tebal dan pada lain
saat Maharajapun menyusup lenyap kedalamnya. Gak
Lui hanya terpisah sepuluh tombak dibelakang lawan.
Ketika keluar dari guha ternyata Maharajapun sudah tak
kelihatan batang hidungnya lagi. Saat itu Gak Lui
dikuasai oleh pengaruh tenaga gaib pedang Thian luikoay
kiam. Dalam pandang matanya hanya darah saja
yang tampak. Matanya merah membara, panas sekali.
Didadanya penuh dilanda nafsu pembunuhan yang
menyala-nyala.
Melihat Maharaja menghilang, Gak Lui mengamuk, ia
memutar pedang Thian lui koay kiam, wut, wut, wut ....
angin menderu deru laksana prahara melanda.
Permainan itu dilakukan terus menerus oleh Gak Lui
sehingga sampai tigapuluh jurus. Walaupun tenaga
dalamnya hebat tetapi tak urung ia mandi keringat juga.
Dan dalam hati kecilnya yang masih tersisa sedikit
kesadaran, merasa bahwa ia harus berlaku tenang.
Tetapi tenaga gaib yang menguasai dirinya itu memang
sukar ditahan. Saat itu Tiok Bik-lui memang bersembunyi
dibalik kabut tebal. Dia sudah mempelajari keadaan
gunung itu. Pada saat itu tentu kabut dan awan yang
mengabut tebal. Dengan menggunakan keadaan itu ia
hendak membingungkan mata dan telinga Gak Lui,
kemudian baru turun tangan membunuhnya. Tetapi
ternyata gerak gerik Gak Lui sukar diikuti arahnya.
Tahulah ia bahwa Gak Lui sudah mulai mengunjuk
954
kebingungan. Maka diam2 ia menghampiri sambil
kerahkan seluruh tenaga menghambur suitan mautnya.
Tetapi justeru tindakan itu malah membantu Gak Lui.
Pemuda yang bermula telah hilang kesadaran pikirannya,
demi mendengar suitan maut itu, hatinya berdebar dan
tubuh menggigil keras. Rasa limbung yang mencengkam
pikiran-nyapun mulai berkurang. Ia melihat bahwa dalam
gumpalan kabut tebal itu memancar segulung sinar hijau
yang dingin dan dengan amat cepat sekali sinar itupun
menyerang punggungnya. Ah, pedang Pelangi! Kejut
Gak Lui bukan kepalang. Cepat ia berputar tubuh dan
menangkis dengan Jurus Membelah emas-memotongkumala.
Tring, tring ... kedua pedang pusaka itu saling
berbentur, terdengar dering suara yang amat tajam, bumi
seolah olah terbelah. Tenaga mereka hampir setingkat,
begitu pula jurus ilmu pedang yang digunakan. Yang lain
hanya pedang yang digunakan. Pedang Thian-lui-koaykiam
masih terbungkus dengan kerangkanya sehingga
Gak Lui lebih menderita. Ia tersurut mundur sampai tiga
langkah. Kesempatan itu tak disia-siakan Maharaja.
Dengan kerahkan seluruh tenaga dalam dan secepat
kilat, ia membabat pedang Gak Lui dan dilanjutkan
kearah lambungnya.
“Celaka !” diam2 Gak Lui mengeluh. Tangannya
bergetar dan hampir saja ia lepaskan pedang. Tetapi
tenaga-gaib pedang Thian-lui-koay-kiam itu seolah-olah
melekat pada telapak tangannya. Terpaksa Gak Lui
kencangkan genggamannya dan serentak gunakan
gerak Rajawali-pentang sayap, melambung sampai
sepuluh tombak jauhnya. Ia berhasil menyelamatkan diri
dari sasaran musuh. Tio Bik-lui tak mau terburu nafsu
mengejar. Ia menghentikan pedang lalu mengambur
suitan maut lagi sekeras kerasnya. Ia tak mengetahui
bahwa suitan maut itu tak mampu menembus tenaga955
gaib pedang Thian-lui-koay-kiam. Gak Lui
menyempatkan diri memeriksa pedangnya. Bukan
kepalang kejutnya ketika mendapatkan batang pedang
itu telah terkupas sekelumit bagian yang terbeku dengan
kerangkanya.
“Hai ....,” tiba2 Gak Lui terhentak dari lubuk
ingatannya. Ia ingat bagaimana Kaisar persilatan Li
Liong-ci mengatakan agar dalam menghadapi Tio Bik-lui,
tak usah kuatir. Tak perlu harus menggosok pedang
Thian-lui koay kiam itu dengan berlian, nanti tentu sudah
dapat digunakan. Kini baru ia menyadari ucapan tokoh
itu. Apabila beradu dengan pedang Pelangi sekali lagi,
tentulah pedang itu akan terlepas dari kerangkanya. Ia
segera memandang mencari dimana beradanya Tio Biklui.
Tetapi ternyata lawan seolah2 lenyap dalam
bungkusan kabut tebal. Hanya suitan mautnya yang
mengiang-ngiang berkumandang memakan telinga.
Tetapi justeru itu yang membuat kesadaran pikiran Gak
Lui makin pulih. Dengusnya:
“Hm, bila kabut sudah lenyap, engkau tentu mati
kucincang !” Suitan maut itu makin keras. Nadanya
bagai-burung hantu menguguk di tengah malam, lain
saat seperti orang-utan memekik mekik. Rupanya
Maharaja Tio Bik-lui hendak mengacaukan pikiran Gak
Lui dengan suitan mautnya itu. Lebih kurang tiga jam
lamanya, kabutpun mulai menipis, sinar matahari mulai
tampak. Gak Lui tetap tenang2 saja sedang Tio Bik-lui
tampak tak sabar. Ia mengira suitan maut yang
dihamburkan sekian lama tentu sudah dapat menguasai
lawan. Begitu kabut lenyap iapun segera melaksanakan
rencananya. Maka dengan wajah membesi dan langkah
sarat, ia maju menghampiri Gak Lui. Tiba2 segumpal
sinar matahari memancar dari gumpalan kabut dan
kedua lawan itu baru mengetahui bahwa mereka hanya
956
terpisah sepuluh tombak. Melihat itu Gak Lui tak dapat
mengendalikan diri lagi. Ia putar pedangnya dalam jurus
Memetik- bintang menjolok-bulan, maju menyerang
musuh. Maharajapun menyeringai. Ia menyongsong
dengan memutar pedang Pelangi. Tring, tring, tring,
dering menggerincing bagaikan halilintar memekik-mekik
ditengah udara dan berhamburan bunga api dari
kerangka terbungkus lahar yang membeku jadi satu
dengan batang pedang Thian-lui-koay-kiam. Pada saat
batang pedang itu hampir terkupas bersih, Gak Lui
gentakkan menyabat pedang lawan. Tring.....terdengar
letupan keras dan bagaimana ular naga muncul dari
liang, pedang pusaka Thian lui-koay kiampun
menampakkan dirinya yang aseli. Pedang itu
memancarkan sinar merah darah yang menyilaukan
mata. Seketika sinar biru dari pedang Pelangi seolaholah
ditelan lenyap oleh sinar merah. Dan benturan itu
hampir membuatnya tak dapat bernapas.
“Ah....,” Maharaja menghambur seluruh tenagadalam,
bersuit sekeras kerasnya, menarik pulang pedang
dan terus meluncur kedalam sisa gumpalan kabut.
“Hai, hendak lari kemana engkau!” teriak Gak Lui
seraya mengejar. Karena kabut sudah tipis maka
tampaklah tubuh kedua orang yang sedang kejar
mengejar itu. Karena nyalinya pecah, Maharaja lupa
untuk menggunakan sisa kabut menutup diri. Dia hanya
lari mati-matian, Gak Lui mengejar sepesat angin. Tiba
dari tikung terowongan, bermuncullah empat orang nona,
yakni Hi Kiam gin dan kawan-kawannya. Sebenarnya
mereka sudah memperhitungkan tentu dapat tiba pada
waktu yang tepat. Tetapi suitan maut dari Maharaja itu
membuat mereka limbung dan lemas. Kemunculan
keempat nona itu membuat Maharaja terkesiap tetapi
pada lain saat ia segera menghambur tertawa seram.
957
Serentak berputar tubuh sambil bersuit keras, ia mainkan
pedang Pelangi sederas hujan mencurah, menyerang
keempat nona itu. Tampak keempat nona itu menggigil
dan serempak rubuh ketanah. Gak Lui terperanjat,
secepat kilat ia lari menerjang tetapi Maharaja
mendahului loncat dan menyelinap lenyap kesamping
jalan. Karena perlu menolong keempat nona, Gak Lui tak
mau mengejar. Untunglah, keadaan keempat nona itu tak
membahayakan karena tak menderita luka. Ia
memindahkan mereka kebalik sebuah batu besar lalu
mulai mengurut mereka. Saat itu pedang Thian-lui-koaykiam
masih tergenggam dalam tangan kanannya.
Pedang itu memancar tenaga-gaib. Maka dalam
beberapa kejab saja keempat nona itupun dapat
disadarkan dari pingsannya.
“Taci Gin, harap kalian tunggu disini. Bertindaklah
menurut keadaan nanti,” kata Gak Lui. Hi Kiam-gin
mengangguk. Siu-mey, The Hong-lian dan Yan hong
terkesiap heran melihat Gak Lui mencekal sebatang
pedang yang bersinar merah. Tetapi ketika hendak
bertanya, tiba2 terdengarlah suitan si Maharaja dalam
nada yang aneh dan rendah sekali....
“Celaka, kemungkinan dia tentu melarikan diri,” Gak
Lui terkejut, ia tak mau membuang waktu lagi, “harap
hati2.....!” habis berkata ia terus loncat melesat kearah
suara suitan itu. Walaupun suitan itu terdengar makin
halus, tetapi karena gumpalan kabut sudah menipis,
setelah memusatkan perhatian, dapatlah Gak Lui
menentukan arah tempat Maharaja. Maharaja itu berada
disebuah puncak karang setinggi seratus tombak ! Cepat
Gak Lui menuju ketempat itu. Sebuah karang yang
menjulang tinggi seperti sebatang pilar. Gak Lui
menimang. Kalau dia mendaki keatas tentu terperangkap
oleh tipu muslihat musuh yang menunggu diatas. Tetapi
958
kalau tidak naik keatas, musuh tentu tak dapat ditangkap.
“Ah, aku tak dapat membiarkannya !” akhirnya ia
mengambil keputusan. Karena lawan berhenti bersuit,
darah Gak Lui memancar panas. Nafsu membunuh mulai
berkobar lagi, hampir tak dapat ditahannya. Rupanya
ditempat persembunyian, Maharaja memperhatikan
gerak gerik pemuda itu. Ia tahu akan perobahan warna
dari pedang Thian lui-koay-kiam yang makin lama makin
memancarkan sinar merah darah. Diam2 Maharaja
kerahkan seluruh tenaga-dalam kearah tangannya
sehingga ujung pedang Pelangi tampak makin menyala
warna biru. Ya, ia telah memutuskan untuk melancarkan
serangan yang dahsyat. Rupanya Gak Luipun
mengetahui hal itu. Tetapi ia hanya melihat sinar biru tak
dapat melihat orangnya. Dendam kesumat dan
pertempuran mati hidup segera akan pecah di puncak
karang itu ....
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 33 bagian 33.3
Pada lain kejab, sinar merah dan biru itu berkembang
menjadi segumpal lingkaran. Jelas keduanya sedang
mengerahkan seluruh tenaga-dalam untuk
mengembangkan daya kesaktian pedang masing2.
Dengan matanya yang celi, dapatlah Gak Lui mengetahui
tempat beradanya lawan. Secepat tiba disana,
merekapun saling beradu pandang. Maharaja
memandang Gak Lui seperti seekor harimau buas yang
haus darah. Dendam kesumat terpantul pada wajah
pemuda itu, seolah olah seorang utusan Pencabut
Nyawa yang datang hendak merenggut jiwa.
“Lihatlah pedang.....!” teriak Maharaja dengan nada
gemetar tetapi masih bersikap congkak. Dengan
959
kerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya, ia
lancarkan serangan maut. Gak Lui meraung seperti
seekor singa. Ia kerahkan seluruh tenaga-dalam untuk
menyongsong serangan musuh. Tring...... Terdengarlah
bunyi menggemerincing bagai naga meringkik ketika
kedua pedang pusaka itu saling beradu keras. Sinar
merah dan biru pecah berhamburan memenuhi puncak
karang. Dua sosok tubuh saling merapat lalu menyurut
pisah, melambung dan melingkar diudara kemudian
meluncur pula ditengah gelanggang. Selekas tiba
ditanah, Gak Lui enjot tubuh loncat kemuka lagi. Pedang
Thian-lui-koay-kiam menjulur beberapa meter lagi.
Sedang Maharaja terhuyung dan pedang Pelanginyapun
ikut berguncang, sinarnya agak menyurut. Tring.....
terdengar pula dering nyaring disusul dengan suara
orang menguak. Maharaja muntahkan segumpal darah
segar. Tubuhnya beberapa kali menggigil, kuda2
kakinyapun bergetar. Tanah yang dipijaknya
menimbulkan tebaran debu dan meninggalkan bekas
telapak kaki yang cukup dalam! Karena mengenakan
topeng kulit muka, maka tak dapat diketahui bagaimana
keadaan roman Gak Lui saat itu. Tetapi dari sepasang
matanya yang memancar sinar berkilat-kilat merah,
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa saat itu ia bagaikan
seekor harimau yang haus darah. Dalam hati pemuda itu
hanya terukir sepatah kata 'bunuh'. Ya, membunuh untuk
mencuci dendam sakit hati orang tuanya. Karena
terdesak akhirnya Maharaja tiba pada tepi gunung.
Kecuali jalan terowongan itu, gunung Im-leng-san tiada
jalan lain lagi. Dibawah puncak, terbentang lembah yang
amat curam sekali. Untuk melarikan diri sudah tak
mungkin lagi. Dan lagi seorang berhati congkak seperti
dia tentu tak rela mati ditangan seorang pemuda yang tak
terkenal sebagai Gak Lui. Akhirnya ia nekad. Sambil
960
berputar tubuh, ia tegak berdiri diatas puncak, berputar
tubuh dan kerahkan seluruh sisa tenaganya yang masih
dimiliki, siap hendak melakukan perjuangan yang
terakhir. Ia berpantang mati sebelum ajal. Tetapi gerakan
Gak Lui jauh lebih cepat. Pedang Thian-lui-koay- kiam
yang bersinar merah darah itu hanya terpisah setengah
tombak dari dada Maharaja. Bukan melainkan bola
matanya yang merah, bahkan bibir mulut dan kulit tubuhnyapun
memancarkan sinar merah padam. Tring..... Adu
pedang yang ketiga kali itu merupakan adu senjata yang
terakhir. Terdengar dering keras menyerupai petir
menyambar. Kumandangnya seperti memecah seluruh
lembah sehingga keempat nona yang masih berada
ditempat persembunyiannya itu tergetar hatinya. Tubuh
Tio Bik-lui si Maharaja Persilatan yang termasyhur
sebagai durjana ganas itu, begitu tersentuh pedang
Thian lui-koay-kiam, segera hancur lebur menjadi
berkeping keping. Pedang Pelangi mencelat keudara
sampai berpuluh tombak tinggi lalu meluncur jatuh lagi
ketanah. Saat itu kabut yang menutup puncak gunung
berwarna seperti pelangi. Merah darah tubuh Maharaja,
warna biru dan pancaran pedang Pelangi bercampur
dengan sinar kabut yang lembab mengandung air. Tegak
berdirilah Gak Lui menyaksikan peristiwa penting yang
menjadi-jadi cita2 hidupnya selama belasan tahun.
Musuh besar dan bebuyutan selama ini, saat itu telah
dapat ditumpasnya. Ia termangu dan menyungging
senyum ...... Dalam pada itu keempat nonapun bukan
kepalang tegangnya. Tegang karena luapan kegirangan
atas kemenangan Gak Lui. Dengan kemenangan itu
dapatlah Gak Lui menghimpaskan dendam sakit hati
selama delapan belas tahun.
“.....engkoh Lui.....” terdengar teriak melengking dari
empat sosok tubuh yang berhamburan lari menghampiri
961
ketempatnya. Mendengar itu Gak Lui perlahan lahan
berputar tubuh, Keempat nona itu terperanjat demi
melihat pakaian dan mata pemuda itu berwarna merah.
Mereka berhenti pada jarak tiga tombak. Dalam sinar
merah membara pandang mata Gak Lui, masih tampak
tiga bagian kesadarannya. Hal itu disebabkan karena
tenaga-dalamnya yang amat kuat sehingga ia tak sampai
terlelap dalam pengaruh tenaga gaib pedang Thian-luikoay-
kiam. Pertentangan antara hati nurani yang baik
dengan pengaruh jahat dari tenaga gaib itu menimbulkan
gejolak keras dalam hati Gak Lui. Seolah-olah suatu
suara halus selalu mengiang di-telinganya .... bunuh...
bunuh.... bunuh... gunakanlah pedang Thian-lui-koaykiam
untuk membunuh sepuas-puasmu .... Dilain fihak,
hati nuranipun melengking-lengking.....tenang ....
tenang.... lekas lepaskan pedang ..... Tetapi suara hati
nurani itu amat lemah sehingga hampir tak kedengaran.
Sedang tangannya masih mencekal pedang. Karena itu
matanya masih memancar sinar pembunuhan dan
permusuhan terhadap keempat nona itu. Keempat nona
itu memang menaruh hati kepada Gak Lui. Walaupun Hi
Kiam gin sudah memerintahkan ketiga kawannya supaya
mencabut pedang tetapi mereka tetap masih ragu2 untuk
menyerang. Justeru rasa kebimbangan itulah yang
menyebabkan mereka harus menderita. Saat itu Gak Lui
makin terperangsang oleh tenaga-gaib pedang Thian-luikoay
kiam. Sekali bahu bergerak maka ia mendahului
turun tangan.
“Cepat!” teriak Hi Kiam-gin yang menyadari keadaan
gawat itu. Dengan bersuit menyaring ia pun putar
pedangnya dalam jurus Burung-hong-rentang sayap,
menyongsong maju. Dalam keadaan begitu terpaksa Siumey
dan kedua nonapun segera bergerak. Serempak
mereka mainkan jurus Menjolok rembulan-memetik
962
bintang, Membelah-emas-memotong-kumala dan Hawapedang
menembus malam, Empat sinar pedang
bergabung satu, merupakan lapisan dinding baja.
Indahnya ilmu permainan dan perbawanya yang amat
dahsyat, hampir tak kalah hebatnya dengan kedahsyatan
pedang Thian-lui-koay-kiam. Tring, tring, tring..... Tiga
buah suara mendering nyaring segera berhamburan.
Tiga jurus ilmu pedang Bu-san-kiam-hwat melancar dan
jelaslah bagaimana gambarannya. Bukan saja serangan
Gak Lui itu tertindas, pun disisinya terbuka sebuah
lubang. Lubang ini sesungguhnya diisi oleh si cantik Yan
Hong. Asal dia mau menusuk dengan jurus Hawa
pedang-menembus-malam, bereslah pertempuran itu.
Tetapi ah, nona itu tak sampai hatinya melukai pemuda
yang dicintai. Maka kuatir kalau melukai, pada saat ujung
pedang hanya terpaut beberapa dim dari tubuh Gak Lui,
nona itu lunglai tangannya sehingga gerakannyapun
agak lambat. Hanya sekejab mata saja adegan itu
berlangsung dan situasipun berobah sama sekali. Bagai
ular naga bermain diatas air, pedang Gak Lui pun cepat
berobah gerakannya. Walaupun keempat nona itu
memiliki ilmu pedang yang sekokoh dinding baja namun
mereka dipaksa juga untuk mundur sampai tiga tombak.
Belum sampai mereka berdiri tegak, tiba2 Gak Lui
julurkan ujung pedang dan bum..... Terdengarlah sebuah
letupan keras, bumipun seolah-olah pecah. Karena
sebagai pemimpin barisan kedudukan Hi Kiam-gin itu
yang paling muka sendiri maka dialah yang lebih dulu
menderita. Ia menjerit kaget karena segumpal sinar
merah-darah meluncur berhamburan ke arah dirinya.
Bagaikan sehelai daun tertiup angin, tubuh Hi Kiamginpun
terlempar keluar lingkungan karang. Siu-mey,
Hong-lian dan Yan-hong pucat. Tanpa menghiraukan
suatu apa lagi, mereka segera berhamburan loncat untuk
963
menolong Hi Kiam-gin. Kini dipuncak karang hanya
tinggal Gak Lui seorang yang masih tegak berdiri
termangu-mangu. Hatinya bertentangan sendiri. Hati
nuraninya mengajurkan supaya dia lekas membuang
benda celaka itu tetapi ia merasa sukar untuk
melepaskan benda itu. Dia menengadah memandang
kelangit. Hatinya penuh dicengkam rasa pedih dan duka
....
Pada saat keempat nona itu bergerak tadi, dari mulut
terowongan muncul keluar serombongan tokoh2 Thian
Lok totiang, Sebun sianseng, Raja-sungai Gan Kee-ik,
ketua Kay-pang, tiga imam bu-tong-pay dan paderi Kak
Hui dari perguruan Heng-san-pay. Mereka tak
mengetahui apa yang terjadi. Tetapi jelas mereka melihat
bagaimana Gak Lui telah menyerang keempat nona itu
hingga terlempar kedalam bawah karang. Mereka
menduga tentu terjadi sesuatu diantara muda mudi itu.
Hanya imam Hwat Lui dari Bu-tong-pay yang mempunyai
prasangka buruk. Dia anggap Gak Lui memang gemar
membunuh dan berhati ganas. Maka rombongan tokoh2
itu memecah diri jadi tiga kelompok. Pemimpin2
perguruan Bu-tong-pay, Heng-san-pay, Sau-lim pay dan
Kong-tong-pay serempak mencabut pedang. Mereka
merupakan kelompok yang marah dan hendak minta
tanggung jawab kepada Gak Lui. Kelompok kedua terdiri
dari ketua perguruan Kun-lun-pay, Go-bi- pay, Ceng-siapay
dan Kiu-hoan-bun. Merekapun menghunus senjata
masing2. Tetapi tujuannya yalah hendak melerai supaya
jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Sedangkan
kelompok ketiga yalah Kepalan-sakti The Thay, ketua
partai Pengemis dan ketua partai Gelandangan. Mereka
hendak menolong keempat nona yang terlempar
kebawah lembah. Suara berisik dari kedatangan
rombongan tokoh2 itu membuat Gak Lui terkejut dan
964
cepat berputar tubuh. Pedang Thian-lui- koay-kiam yang
berwarna merah darah dan sinar mata Gak Lui yang
memancar sinar pembunuhan, membuat sekalian tokoh2
itu tertegun dan terkejut!
“Sauhiap, bagaimana engkau ?” tegur Thian Lok
totiang ketua Ceng-sia-pay. Gak Lui serasa berat
membuka suara. Dengan langkah sarat sehingga telapak
kakinya meninggalkan bekas beberapa dim ditanah, ia
maju menghampiri mereka. Tetapi Gak Lui seperti tak
mendengar. Pedang Thian lu-koay- kiam makin lama
makin merah membara. Melihat itu imam Hwat lui dari Bu
tong tak dapat menahan diri lagi. Sambil mengangkat
pedang, ia menghardik marah : “Orang she Gak, kiranya
engkau juga seorang durjana. Biarlah aku mengadu jiwa
dengan engkau !”
“Lekas kalian menyingkir ... lekas, lekas !” hati Gak
Lui menjerit jerit. Sayang sekalian tokoh itu tak dapat
mendengar jeritan hatinya. Sekalipun sinar matanya
sudah memberi pertandaan tetapi karena diliputi rasa
tegang, sekalian orangpun tak sempat
memperhatikannya. Saat itu jaraknya makin dekat dan
hanya tinggal lima tombak saja. Hwat Lui menggembor
lalu mendahului menerjang. Serangan itu makin
mengobarkan hawa pembunuhan didada Gak Lui.
Melihat itu buru2 Sebun sianseng hendak mencegah.
Dengan menebarkan senjata payung besi, ia
memutarnya dan melintangkan ditengah kedua orang itu.
Sayang tindakan tokoh Kun-lun pay itu terlambat. Tiba2
pedang Thian-lui-koay diangkat keatas. Sinar merahdarah
pedang itu benar2 menyilaukan orang. Walaupun
tokoh2 itu berkepandaian tinggi tetapi mereka gugup juga
dan buru2 memutar senjata untuk jaga diri. Bum.....
Berhamburan sinar warna merah darah disusul dengan
orang jeritan yang ngeri. Beberapa saat kemudian tiada
965
seorang dari ketua perguruan persilatan yang tak rubuh.
Makin lama Gak Lui mencekal pedang, makin dia
tercengkam lebih hebat dalam pengaruh tenaga-gaib
pedang itu. Setelah merubuh sekalian ketua persilatan, ia
tetap belum puas dan tetap hendak mengganas. Dengan
mata memberingas macam harimau buas, ia putar
pedang Thian-lui-koay-kiam dan hendak menyelesaikan
korban2 yang sudah tak berdaya itu. Tetapi pada detik2
maut hendak merenggut, dari arah terowongan terdengar
suitan senyaring naga meringkik disusul dengan sesosok
bayangan yang melayang diudara dan meluncur
dihadapan Gak Lui. Rupanya pemuda itu terkesiap
mendengar suitan dari pendatang itu dan rasa
kesadarannyapun agak timbul kembali. Tampak
pendatang itu berwajah bersih berseri-seri seperti
kumala. Sepasang bola matanya amat jernih dan
mencekal pedang panjang yang entah terbuat dari bahan
apa. Bukan dari batu kumala pun bukan dari emas.
Warnanya kebiru-biruan, di tengah batang pedang
dibalut dengan sutera merah. Menilik usia orang itu
pantaslah kalau menjadi putera tokoh Kaisar persilatan Li
Liong-ci. Dan memang pendatang itu adalah Li Konghud,
putera Kaisar-persilatan Li Liong ci.
“Saudara Gak, harap lepaskan pedang itu,” seru Li
Kong-hud, “aku hendak bicara padamu !” Rupanya
pemuda itu sudah mengetahui keadaan yang
berlangsung disitu. Karena merasa tak keburu menolong
para ketua partai persilatan maka ia minta supaya Gak
Lui lemparkan pedang iblis itu. Sekalipun dalam hati Gak
Lui tahu akan semua peristiwa tetapi mulut serasa berat
berkata. Tubuhnya masih mendidih darah pembunuhan.
Sejenak ia hendak mengganas lagi, sejenak pula seperti
hendak melepaskan pedang. Keadaan Gak Lui yang
sedang mengalami pertentangan batin itu tak lepas dari
966
perhatian Li Hud-kong. Segera ia mengangkat tangan kiri
mengambil seutas rantai halus yang ujungnya diikat
dengan bandul Swastika.
“Saudara Gak, jangan lihat aku, lihatlah tanda
Swastika ini!” serunya seraya menampilkan bandul
Swastika itu kemuka. Begitu mata Gak Lui memandang
tanda Swastika itu, Li Kong-hud lalu memutar tangannya
seperti sebuah roda. Makin lama makin kencang
sehingga mata Gak Lui pun ikut seperti berputar-putar.
Tak berapa lama sinar mata Gak Lui yang berwarna
merah darah itu mulai mengatub.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 33 bagian 33.4
“Saudara Gak, apakah engkau mendengar ucapanku
?” seru Li Kong-hud pula.
“Ya .... mendengar,” akhirnya Gak Lui menyahut
dengan pikiran yang sadar.
“Kalau begitu harap engkau lepaskan pedang itu.”
“Aku .... tak mampu melepaskannya !”
“Mudah sekali asal engkau mau menurut apa yang
kukatakan, tentu dapat !”
“Silahkan mengatakan.”
“Lebih dulu kendorkan kelima jarimu. Lalu kerahkan
tenaga- dalam Algojo-dunia dan siap2 untuk
melemparkannya...” kata Li Hud kong, “nah, akan
kuhitung sampai tiga. Begitu aku menghitung tiga,
cepatlah engkau pancarkan tenaga dalam !”
“Baik, aku akan berusaha sekuat tenaga.”
“Satu......,” sambil mulai menghitung Li Hud-kongpun
967
diam2 kerahkan tenaga-dalam.
“Dua....” ia segera mengangkat pedang Pelangi
keatas kepala, siap hendak bertindak.
“Tiga ....!” begitu Gak Lui menebarkan genggaman
tangannya Li Hud kongpun menyerempaki dengan
ayunan pedang Pelangi. Tring .... pedang laknat Thianlui-
koay-kiampun terlempar jatuh ketanah dan terlepaslah
Gak Lui dari genggaman tenaga-gaib. Pada saat mata
Gak Lui memandang kesekeliling, kejutnya bukan
kepalang. Para ketua partai persilatan menggeletak
ditanah dalam keadaan yang mengerikan. Wajah mereka
pucat seperti kertas, tubuh berlumuran darah. Mereka
berusaha duduk bersemedhi menyalurkan tenaga-dalam
untuk menahan kesakitan. Ada yang menderita luka
parah ada yang ringan. Yang paling berat adalah Thian
Lok totiang dan Sebun sianseng. Thian Lok totiang
lengan kanannya kutung, Sebun sianseng separuh
lengannya hilang. Mereka bakal cacad seumur hidup.
Jika yang menderita cacad itu lain orang, mungkin Gak
Lui masih tak sepilu seperti kalau Sebun sianseng yang
cacad. Gak Lui benar2 sedih dan menyesal sekali.....
Dalam kekalapannya tadi Gak Lui masih belum
menggunakan seluruh tenaganya. Andaikata ia
mengamuk hebat, mereka tentu sudah binasa semua.
Rasa sesal, sedih, geram dan jengkel berkecamuk jadi
satu dalam dada Gak Lui. Ia tak tahu bagaimana harus
menyelesaikan soal itu. Ia merasa telah berdosa besar.
Tiba2 ia hentakkan kakinya ketanah, bluk.... tanah
karang muncrat berhamburan. Lalu ia merobek separoh
bajunya dan sebelum orang tahu apa yang hendak
dilakukan, Gak Lui membungkus pedang Thian-lui- koaykiam
dengan robekan kain lalu secepat kilat berputar diri
dan lari menyusup kedalam terowongan.....
968
“Hai, saudara Gak, aku hendak bicara...” Li Hud-kong
berteriak memanggilnya tetapi sudah terlambat. Gak Lui
sudah lenyap kedalam terowongan. Li Hud-kong terkejut,
dengan membawa pedang Pelangi iapun ikut menyusup
kedalam terowongan mengejarnya. Keadaan dipuncak
gunung Im-leng-sanpun kembali hening. Tak berapa
lama para ketua partai persilatan itupun berbangkit.
Dengan saling bantu membantu dan mengandung
perasaan yang berbeda-beda mereka tinggalkan tempat
itu. Gunung Im-leng-san sunyi senyap.
---oo^TAH^0^DewiKZ^0^Hendra^oo---
Bab 34. Pedang menutup riwayat.
Angin berembus, awan berarak dan bulanpun
bersinar menerangi gunung Im-leng-san. Dari lamping
gunung muncul tujuh sosok bayangan. Pukulan-sakti The
Thay menarik tangan puterinya The Hong-lian. Sedang
ketua Kay-pang dan partai Gelandangan menggandeng
Hi Kiam gin dan kedua kawannya, dengan napas
terengah-engah menyusup kedalam terowongan.
Ternyata keempat nona itu walaupun terpelanting
kedalam lembah, tetapi belum takdirnya mati. Dengan
membentuk diri dalam barisan pedang, mereka berhasil
lolos dari pedang maut Thian-lui koay kiam. Sedang
waktu terlempar kebawah karena didalam lembah itu
penuh bertumbuh pohon2 rotan tua, mereka tertahan
diantara hutan pohon akar itu dan berhasil
menyelamatkan diri. Dan tepat pada waktunya muncullah
ketiga ketua partai persilatan itu menolong mereka. Dan
karena menolong keempat nona itu maka Tinju sakti The
Thay, ketua partai Pengemis dan ketua partai
Gelandangan pun terhindar dari bencana amukan Gak
Lui.
969
Setiba dipuncak, mereka heran karena keadaan
disitu sudah sepi. Pertempuran berhenti dan tak
seorangpun yang tampak. Semula mereka hanya
mengira tentulah para tokoh2 persilatan itu sudah dapat
menyelesaikan Gak Lui lalu membawanya turun gunung.
Tetapi alangkah kejut mereka ketika melihat darah
berceceran ditanah. Tentu telah terjadi sesuatu yang tak
diduga! Serempak merekapun bingung dan gelisah.
Akhirnya setelah berunding mereka menentukan dua
macam keputusan. Pertama, akan mencari Gak Lui dan
meminta keterangan kepadanya. Kedua, mencari
rombongan ketua partai persilatan dan meminta
keterangan kepada mereka. Setelah menentukan
rencana, mereka lalu mulai menyusul. Tetapi mereka tak
menduga bahwa Gak Lui sudah melenyapkan diri dan
rombongan ketua persilatan inipun mengambil jalan
singkat. Oleh karena itu mereka tak berhasil menemukan
Gak Lui maupun rombongan ketua persilatan.
Dengan sekuat tenaga, Gak Lui lari secepat
cepatnya. Karena ilmu meringankan tubuh dari pemuda
itu sudah mencapai tingkat yang hebat maka seorang
tokoh macam Li Hud-kong pun sampai tak dapat
mengejarnya. Gak Lui lari secepat angin membawa
perasaan hati yang seperti tertindih gunung.
“Bagaimanakah aku harus menyelesaikan peristiwa
budi dan dendam ini.....?” Sambil berlari tak hentihentinya
ia berpikir. Dan setelah memikir panjang lebar
akhirnya dia hanya tertumbuk pada kebingungan dan tak
tahu bagaimana harus bertindak. Dia lari melintas rimba,
mendaki gunung. Beberapa hari kemudian tibalah ia
digunung Bu-san. Ditengah dari keenam puncak lapisan
luar dan keenam puncak lapisan dalam gunung Bu-san
itu, terdapat tempat makam ayahnya.
970
Gak Lui tegak berdiri menghadap gunung lalu
berlutut. Pertama ia berdoa kepada kakek guru, paman
guru yang telah berada didunia baka. Ia menceritakan
semua perbuatan dan dosa yang telah dilakukannya. Dia
telah membunuh Maharaja-persilatan Tio Bik-lui untuk
melaksanakan pesan dari kakek-gurunya dan sekalian
membasmi seorang durjana persilatan yang selama ini
selalu membahayakan ketenteraman. Tindakannya itu
tentulah dapat diterima oleh arwah para kakek dan
paman gurunya. Tetapi kematian dari paman gurunya si
Lengan-besi-hati-baik, mau tak mau ia harus merasa
berduka sekali.
“Kakek guru, paman guru,” Gak Lui pejamkan mata
berdoa, “adakah perbuatan wanpwe ini berjasa atau
bersalah, harap kakek dan paman guru berdua memberi
keputusan. Pedang Thian-lui-koay-kiam kupersembahkan
kembali dan akan kutanam agar jangan meminta
korban lagi...”
Habis memanjatkan doa ia terus menyelundup masuk
kedalam guha batu. Guha yang pernah mengurungnya
selama tiga hari. Ia kenal akan keadaan guha itu dan
faham jalannya. Tak berapa lama tibalah ia dimuka
makam ayahandanya. Ia tergetar dan pilu sehingga
mengucurkan air mata. Dengan rawan ia berdoa
menghaturkan laporan tentang berhasilnya menuntut
balas kepada musuh. Tulang kerangka ayahnya sudah
bertahun-tahun berada dalam guha yang berhawa panas
sehingga lunak sekali. Tetapi dalam keadaan masih
seperti orang duduk. Tetapi pada saat Gak Lui selesai
menghaturkan keterangan tentang selesainya membalas
sakit hati, tiada angin berhembus tiba2 tulang kerangka
itu berhamburan sendiri ketanah. Dan sesaat angin
bertiup, abu tulang itupun bertebaran kemana- mana.....
Rupanya ayah Gak Lui yang bergelar Dewa Pedang itu
971
merasa gembira dan meram dialam baka..... Wajah Gak
Lui tampak tenang. Rupanya ia terhibur dengan apa
yang disaksikan saat itu. Serta merta ia mengangguk
kepala memberi hormat. Setelah itu ia lalu melepas
pedang Thian-lui- koay-kiam. Meletakkan pedang itu
dibawah pesan ayahnya, diam2 Gak Lui merenung :
“Pedang, riwayatmu merupakan sejarah Bu-san. Engkau
senyawa dengan gunung ini. Maka kini .... kuletakkan
engkau disini agar selama-lamanya engkau tetap berada
digunung Bu-san !” Setelah termenung menung
beberapa lama dihadapan abu kerangka ayahnya, Gak
Lui lalu menuju ketelaga Pencuci-hati. Disana ia
bersembahyang pada arwah bibi gurunya. Setelah itu
iapun pergi ke Guha-batu tempat penjara iblis untuk
bersembahyang pada arwah paman gurunya Pedang
Iblis. Dari guha itu dapatlah ia memandang kearah
gunung Bu-tong- san. Teringat akan Bu-tong-san,
teringat juga ia akan perguruan bu-tong pay dan serentak
ia terkejut. Ya, ia telah lupa meninggalkan pedang
Pelangi pusaka dari partai Bu tong-pay digunung Imleng-
san. Bukankah ia sudah berjanji akan
mengembalikan lagi pedang itu kepada orang Bu-tongpay?
“Sekalipun menderita luka-dalam, tetapi seharusnya
imam Hwat Lui mengambil pedang itu,” pikir Gak Lui
seraya memandang langit. Akhirnya ia tiba pada
kesimpulan bahwa pemimpin Bu- tong-pay tentu masih
penasaran dan pasti akan mencarinya. Nah, pada saat
itu baru ia dapat memberi penjelasan. Selesai
merenungkan hal itu, pandang matanya beralih
memandang kearah makam paman gurunya. Seketika
terlintaslah dalam kenangannya seorang yang paling
dikasihi dalam dunia. Ibu....! Menurut keterangan Thian
Wat totiang, jenasah ibunya ditanam didesa
972
kelahirannya. Tetapi Gak Lui tak tahu dimana desa
kelahirannya itu. Betapa besar hasratnya untuk
bersembahyang dimakam ibunya namun terpaksa ia
harus menahan keinginannya itu. Saat itu ia harus
menuju ke gunung Wan-san dulu.
Alam pemandangan gunung Wan-san masih seperti
sediakala. Ketika melihat kedatangan Gak Lui, penduduk
gunung menyambut gembira sekali. Karena dialah yang
diangkat menjadi pengganti ayah angkatnya menjadi
ketua pelindung gunung itu. Maka Gak Lui disambut
dengan upacara yang meriah dan pesta besar. Setelah
mengadakan upacara sembahyangan dimakam
suhengnya Gak Ci-beng atas budi pertolongannya
menyelamatkan jiwa Gak Lui dari pembunuhan, Gak
Luipun mengadakan upacara sembahyangan besar
dihadapan makam Pedang-aneh Ji Ki-tek, paman
gurunya yang selama ini menjadi ayah-angkat Gak Lui.
Dengan sakit hati sudah terhimpas dan ilmu
kepandaianpun telah dicapai dengan sempurna. Maka
menurut pesan ayah-angkatnya, dihadapan makam itu
Gak Lui hendak membuka kedok kulit yang selama ini
menutupi mukanya. Tetua rakyat gunung Yau san
membawakan sebuah cermin besar. Untuk pertama kali
Gak Lui melihat bagaimana wajahnya yang tertutup
kedok kulit. Berapa saat kemudian ia ayunkan tinju
menghantam hancur kedok kulit itu. Gak Lui terbeliak
kaget ketika melihat sebuah wajah asing pada kaca.
Seorang pemuda yang cakap dan gagah. Itulah.....
dirinya sendiri! Pada dahinya tampak selarik luka bekas
tabasan pedang.
“Ah, ayah-angkatku sungguh sangat memperhatikan
diriku....,” pikirnya dengan penuh rasa terima kasih,
“bekas luka pedang itu sekalipun tak mempengaruhi
roman mukaku tetapi hal itu mudah diketahui musuh dan
973
membahayakan diriku.” Gak Lui menghela napas.
Delapan belas tahun lamanya ia harus menderita
mengenakan kedok muka dan menderita berbagai susah
payah untuk mendapat kepandaian. Selama
mengembara ia telah terlibat dalam dendam dan budi
yang berbelit-belit ..... Ramalan dari si Raja-sungai Gan
Kee-ik dengan cermin kacanya itu kembali terlintas
dalam benak Gak Lui. Akhirnya ia memutuskan untuk
menyikap diri selama beberapa hari, mungkin ia dapat
menemukan sesuatu yang jernih. Ia segera memberi
pesan kepada para penjaga, apabila ada tetamu supaya
dipersilahkan masuk. Kemudian ia duduk bersemedhi
dalam guha. Selama tiga hari tiga malam ia merenung
menghampakan pikiran, namun belum juga ia mendapat
sesuatu pikiran untuk memecahkan persoalan yang
dihadapinya itu. Pada hari itu terdengar gederang
berbunyi tanda gunung itu kedatangan orang luar.
Ternyata yang datang yalah Li Hud-kong putera dari
Kaisar-persilatan Li Liong-ci. Pemuda itu datang dengan
membawa pedang pusaka Pelangi.
“Saudara Gak seorang tunas yang berbakat. Dan
nasib saudara itu memang luar biasa, tepat seperti yang
dikata ayah....”
“O, bagaimana kata ayah saudara ?”
“Beliau mengatakan hendak menurunkan ilmu gaib
Liok-to-sin- tong (lima jalan kegaiban). Untuk menerima
ilmu itu harus dibutuhkan seorang yang memiliki telinga
tajam dan mata celi.....”
“Lalu kapankah akan menurunkan ilmu itu menurut
beliau ?”
“Sekarang juga !”
“Sekarang ? Adakah saudara sudah menguasai ilmu
974
dan dapat diberikan kepadaku?”
“Tidak! Aku masih kurang berbakat untuk menerima
pelajaran itu,” sahut Li Hud-kong tertawa, “tetapi ayah
telah menulis sebuah kitab Liok-to-sin-tong dan suruh
aku memberikan kepadamu.” Gak Lui terkesiap, serunya
tegang: “Kalau begitu, bolehkah sekarang kulihatnya?”
“Belum dapat dilihat sekarang dan lagi ada
syaratnya.”
“Eh, apakah beliau menghendaki syarat?”
“Setiap orang tentu mempunyai syarat. Tetapi yang
diminta ayah itu sederhana sekali, hanya saja......”
“Hanya bagaimana ?”
“Keras juga!”
“Apakah suatu ujian yang keras ?”
“Boleh dikata begitulah.”
“Kalau begitu silahkan saudara mengatakan, aku
bersedia mendengar.”
“Tak perlu dikatakan cukup engkau jawab dengan
tindakan. Kalau dapat menjawab tepat, luluslah sudah !”
“Tindakan bagaimana....?”
“Cobalah engkau jawab bagaimana sikapmu
terhadap masalah asmara dan budi dendam?
Bagaimanakah engkau hendak menyelesaikannya?”
“Ini....mencabut pedang memutus asmara....badan
binasa demi menuntut budi dan dendam....”
“Hm, benar juga tetapi bagaimana cara melakukan
hal itu?” Gak Lui menghela napas, “aku sungguh merasa
malu sendiri karena sampai berhari-hari menyepi diri,
975
tetap belum dapat menemukan cara itu.”
“Lalu apakah engkau masih ingat akan cerita yang
dibawakan ayahku tentang Buddha yang mengiris daging
tubuhnya untuk diberikan kepada burung rajawali dulu itu
!”
“Sudah tentu masih ingat !”
“Demi menolong jiwa si kelinci, Budha tak sayang
memotong dagingnya sendiri untuk diberikan pada
burung rajawali. Cobalah engkau katakan, peristiwa itu
nyata atau tidak nyata ?”
“Ah, tak perlu menarik kesimpulan nyata atau tidak
nyata karena cerita itu hanya sebuah dongeng.”
“Kalau dongeng, apakah makna yang terkandung
dalam dongeng itu ?”
“Bahwa orang harus mau mengorbankan diri untuk
menolong lain orang!”
“Lalu dalam peristiwa budi, asmara dan dendam itu,
siapakah kiranya yang menjadi sang Buddha dan
siapakah yang dianggap sebagai burung rajawalinya ?”
“Aku yalah......” bicara sampai tiba2 tersadarlah Gak
Lui. Wajahnya segera berobah serius. Kegelisahannya
selama inipun lenyap. Melihat itu Li Hud-Kong tahu
bahwa pemuda itu telah menemukan penerangan batin
dan telah membebaskan diri dari libatan asmara.
“Menurut pengamatanku, saudara Gak sudah
menemukan penerangan,” serunya.
“Kurasa begitulah,” sahut Gak Lui.
“Apakah engkau sungguh2 dapat melakukan?”
“Tentu !” sahut Gak Lui pula.
976
“Jika engkau hendak merobah keputusan, setiap saat
boleh......”
“Tak perlu !” tukas Gak Lui, “apa yang kuucapkan
tentu akan kulakukan, tak pernah aku berbohong. Tetapi
nanti apabila menjalankannya, mungkin orang luar tak
mengerti....”
“Tak perlu kuatir,” sahut Li Hud kong, “aku diutus
ayah kemari untuk melaksanakan pengangkatanmu
sebagai Hou-hwat Su-cia. Segala apa aku yang
tanggung.” Hou-hwat Su-cia adalah paderi yang
menjalankan dan melindungi peraturan2 agama Buddha.
“Bagus,” Gak Lui menghaturkan terima kasih, “tetapi
entah dimanakah para ketua partai persilatan saat ini....”
“Sudah datang bersama aku dan berada diluar
gunung.”
“Kalau begitu silahkan saja mereka kemari.” Li Hudkong
menurut. Sekali gerak, ia sudah melesat keluar
guha dan bersuit nyaring kearah hutan. Beberapa sosok
bayangan segera berbondong-bondong lari
menghampiri. Tiga tokoh paderi Bu-tong-pay, paderi Kak
Hui dari Heng san- pay, Hui Gong taysu dari Siau-lim-si,
imam Tek Yan dari Go-bi- pay dan keempat jago pedang
dari Kong tong, susul menyusul masuk kedalam guha.
Kemudian Thian Lok totiang dari Ceng-sia- pay dan
Sebun Ciok dari Kun-lun pay yang telah cacad menderita
amukan pedang Thiau-lui-koay kiam pun juga muncul.
Gak Lui agak heran mengapa tak melihat ketua partai
Kay-pang dan partai Gelandangan serta Pukulan-sakti
The Thay. Tetapi jelas ia tahu bahwa mereka tak ikut
dalam pertempuran digunung Im-leng-san. Begitu pula
tentang keempat nona Hi Kiam-gin, Siu-mey, Yan- hong
dan The Hong-lian, ia tahu mereka jatuh kebawah
977
karang. Entah mati entah hidup. Tetapi karena ia sudah
membekukan hati terhadap soal asmara, maka iapun tak
mau banyak berpikir lagi. Demikian setelah sekalian
orang duduk maka berserulah Gak lui dengan nyaring:
“Kedatangan saudara2 kemari tentulah untuk
menyelesaikan soal budi dan dendam itu. Sekarang
silahkan saudara bicara dengan terus terang, aku tentu
dapat memberi pertanggungan jawab semua !” Para
ketua partai persilatan saling bertukar pandang beberapa
saat lalu Hwat Lui tojin yang mendahului membuka
suara: “Tiga jiwa dari cianpwe Bu-tong pay, harap
diperhitungkan pada saudara....”
“Baik !” sahut Gak Lui, “lalu lain2 saudara ketuapun
silahkan bicara !” Dengan nada rawan dan berduka
berserulah paderi Kak Hui dari perguruan Heng-san-pay:
“Guruku Hwat Hong taysu, terpaksa meninggalkan dunia
ini karena engkau !” Lalu keempat jago pedang dari
perguruan Kong-tong-pay pun menyusul: “Tiga orang
suheng kami yang binasa itu juga mempunyai sangkut
paut dengan saudara !” Dengan bercucuran airmata
paderi Hui Hong dari Siau-lim-si, berkata: “Hui Ki taysu
sudah hilang kesadaran pikirannya, seharusnya engkau
tahu keadaannya !” Ketua partai Go-bi-pay kerutkan alis
dan berkata : “Dalam partai perguruanku tiada yang
meninggal. Tentang luka-dalam yang kuderita, untuk
sementara itu tak perlu dibicarakan. Tetapi perbuatanmu
menyerang dengan pedang sehingga keempat nona itu
jatuh kebawah karang, memang suatu perbuatan yang
tercela dan tak dapat kubiarkan.”
Mendengar itu hati Gak Lui serasa tersayat sembilu.
Tetapi setelah menghela napas, ia dapat berseru pula :
“Lalu siapa lagi.....” Dengan wajah mengerut tegang dan
suara tersendat-sendat, Thian Lok totiang berkata : “Aku
sukar mengatakan.... Suhengku telah engkau tolong,
978
tetapipun mati dihadapanmu.....Tetapi ada suatu hal
yang aku tak mengerti...”
“Yang mana ?”
“Aku bersama Sebun siangseng dengan maksud baik
hendak melerai pertempuran. Tetapi tak terduga kalau
termakan sebuah tabasan pedang sehingga kehilangan
sebuah lengan !”
“Maafkan, aku amat menyesal sekali,” tersipu Gak Lui
meminta maaf lalu memandang kearah Sebun sianseng,
katanya :
“Sianseng .... apakah yang hendak engkau katakan
?”
“Mengatakan .... apa?” sahut Sebun sianseng seraya
kerutkan alis. Walaupun tidak bicara tetapi hatinya tak
lepas dari pergolakan. Demikian setelah sekalian orang
selesai bicara, maka Gak Luipun segera berseru :
“Saudara2, soal budi dan dendam dalam dunia persilatan
selalu diselesaikan dengan 'hutang darah bayar darah',
benar bukan?”
“Benar !” sahut sekalian orang. “Kalau begitu, hari ini
akupun hendak membayar semua hutang darah agar
saudara2 dapat memberi pertanggungan jawab kepada
para leluhur dan anak murid partai perguruan saudara.”
Mendengar itu sekalian orang terbeliak. Tak tahu mereka
bagaimana cara Gak Lui hendak membayar hutang
darah itu.
“Saudara Hud-kong, dimana engkau ?” tiba2 Gak Lui
berseru.
“Aku disini!”
“Bawalah pedang Pelangi kemari !” Setelah Hud-kong
membawakan pedang pusaka itu, Gak Luipun
979
menyerahkan kepada Hwa-Lui tojin : “Pedang ini
kudapatkan dari guru to-tiang. Setelah pedang ini selesai
kugunakan, tentu akan kukembalikan kepada totiang!”
Sekalian orang terkejut mendengar ucapan Gak Lui.
Tek Yan, Thian Lok dan Sebun sianseng hendak
mencegah tetapi Gak Lui dengan wajah serius sudah
mendahului berkata : “Sekarang aku hendak bertindak.
Saudara2 adalah tokoh2 ternama dari dunia persilatan.
Harap jangan terkejut dan mengganggu. Barang siapa
mengganggu tindakanku, paderi hou-hwat ini tentu akan
turun tangan!” Sekalian orang mendesuh kaget dan
memandang kearah Li Hud- kong yang disebut sebagai
paderi hou-hwat itu.
“Siapakah gerangan gelar hou-hwat yang mulia ?”
tegur Sebun sianseng kepada Li Hud-kong. Li Hud-kong
tampil kemuka dan memperkenalkan diri: “Aku yang
rendah Li Hud kong, telah menerima perintah ayah
kemari untuk bertugas sebagai pelindung hou-hwat !”
“Siapakah ayahmu ?”
“Nama diatas memakai kata Liong dan dibawah Ci,
orang menggelarinya sebagai Kaisar persilatan !”
“Oh ....,” sekalian orang mendesuh kejut. Dengan
kedatangan putera dari Kaisar-persilatan kesitu, tentulah
masalah budi dan dendam itu akan dapat diselesaikan
dengan memuaskan. Saat itu Gak Lui tampak duduk
dengan tegak, tiba2 ia berseru :
“Pedang pusaka Pelangi ini adalah milik partai
perguruan Bu tong-pay. Oleh karena saat ini pedang itu
akan kugunakan untuk menyelesaikan segala budi dan
dendam, hutang piutang darah, maka pedang itu kusebut
pedang Kunang-kunang. Semula aku merasa gelap
gelita tetapi akhirnya terbetik suatu cahaya penerangan
980
yang walaupun kecil namun dapat menerangi kegelapan
hatiku. Demikianpun pedang Kunang2 itu, kumaksud
sebagai sepercik cahaya pelita hatiku....”
Gak Lui menutup kata2nya dengan memainkan jurus
Burung- cendrawasih-rentang-sayap. Seketika
berhamburanlah sinar bergemerlapan bagai ribuan
kunang2 memancar di tengah malam gelap. Belum
sempat sekalian tokoh mengetahui apa yang akan
terjadi, tiba2 mereka tersentak kaget karena sinar
bergemerlapan itu tiba2 berobah merah darah warnanya.
Selekas sinar pedang berhenti maka tampaklah tubuh
Gak Lui berlumuran darah. Namun pemuda yang
berparas cakap itu tetap duduk tenang ditempatnya.
Tiba2 ia lontarkan pedang pusaka kemuka Hwat Lui
totiang:
“Totiang, terimalah kembali pedang pusaka Bu-tongpay.
Hutang darah bayar darah. Budi dendam, salah
benar, mulai saat ini himpaslah semuanya.”
Sekalian tokoh persilatan menjerit kaget ketika
melihat Gak Lui melentuk dan kepalanya mengulai.
Ketika mereka memeriksa ternyata pemuda itu sudah tak
bernapas lagi .... Pecahlah tangis memenuhi ruang guha.
Sekalian tokoh2 persilatan itu tak habis sesalnya
mengapa mereka keliwat menekan pada Gak Lui
sehingga pemuda berbudi itu sampai melakukan
keputusan yang nekad. Namun nasi sudah menjadi
bubur.
“Saudara2 tentu sudah puas, bukan?” tiba2 Li Hudkong
berseru, “nah, silahkan saudara2 kembali ke tempat
masing2, maaf, aku tak dapat mengantar.....”
Dengan berat hati sekalian tokoh2 partai persilatan
itu memberi hormat kearah jenazah Gak Lui lalu
981
berbondong-bondong tinggalkan guha. Li Hud-kong
menghela napas rawan. Ia mengeluarkan kitab pusaka
Liok-to-sin-tong, setelah menggali sebuah lubang pada
batu karang, ia masukkan kitab itu kedalamnya dan
berseru :
“Mati hidup, hidup mati. Dengan darah menebus
darah, itulah jalan menuju kearah kesempurnaan ....!”
Setelah memberi hormat kepada jenazah Gak Lui ia
keluar dan menutup guha itu dengan batu. Gak Lui telah
mengakhiri hidupnya yang penuh berlumuran darah. Ia
tak tahu bahwa keempat nona itu masih hidup dan
bingung mencari jejaknya. Namun andaikata bertemu,
tentulah ia akan lebih menderita luka hati makin dalam.
Karena ia sudah memutuskan untuk membebaskan diri
dari segala budi dendam, libatan asmara dan derita
hidup. Awan berarak menghias gunung Yau-san yang
sunyi sepanjang masa.....
Tamat

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cerita Dewasa Model Sutradara: PKK 10 Tamat ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 03 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments