Cerita Romantis Kuno : Dendam Iblis Seribu Wajah 6

AliAfif.Blogspot.ComCerita Romantis Kuno : Dendam Iblis Seribu Wajah 6
baca juga:
Cerita Romantis Kuno : Dendam Iblis Seribu Wajah 6

“Melihat luka yang diderita Liok Giok begitu parah, kelihatannya Cujin marah bukan
main. Siang tadi, beliau sendiri yang mengoleskan obat dan mencekoki setengah bungkus
Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang.” selesai berkata, dia mendelik kepada Tan Ki
dengan mata terbelalak lebar-lebar. “Bencana yang kau timbulkan sungguh besar. Luka
yang diderita oleh Liok Giok mungkin harus diganti dengan nyawamu sendiri!” katanya
ketus.
Mendengar ucapannya, Tan Ki jadi gusar. Untuk sesaat dia jadi lupa di mana dia
berada. Sepasang alisnya terjungkit ke atas dan dia sudah hampir meledakkan
kemarahannya.
Melihat tampangnya yang garang, kemungkinan setiap saat Tan Ki dapat mengumbar
rasa amarahnya, si gadis berpakaian mini takut dia akan membentak atau berteriak keraskeras
sehingga mengejutkan majikannya yang sedang bersemedi. Tanpa dapat ditahan
lagi hatinya menjadi panik. Tangan kanannya te tap memeluk Liok Giok sedangkan
tangannya terulur ke depan dan secepat kilat menotok ke arah kepala Tan Ki. Angin yang
terpancar dari jari tangannya kencang sekali sampai menimbulkan suara berdesir.
Tan Ki merasa dirinya memang bersalah, oleh karena itu dia tidak berani menyerang
terlebih dahulu. Sebab hal ini membuktikan dirinya sebagai manusia yang tidak tahu
aturan. Namun begitu gadis itu menggerakkan ‘tubuh dan menyerang kepadanya, dia
langsung membalikkan tangannya dan mengerahkan jurus Lengan Besi Menahan Air
Sungai. Sasarannya malah pergelangan tangan gadis itu.
Gadis berpakaian mini itu dapat melihat gerakan Tan Ki mengandung tenaga yang kuat
lagi pula jurusnya agak aneh. Dia merasa bahwa anak muda ini bukan orang sembarangan
juga. Cepat-cepat dia menekan lengan kirinya agar bobotnya lebih berat. Totokannya
berubah menjadi tepukan, dikerahkannya ilmu Lwekang taraf tertinggi dengan gerak
tangan seperti bunga teratai. Sekali lagi dia melancarkan sebuah serangan ke dada Tan Ki.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pertandingan di atas panggung beberapa waktu yang lalu, Tan Ki berhasil
tnencapai peringkat Pendekar pedang tingkat lima. Hal ini tidak didapatkannya dengan
mudah. Melihat serangan gadis berpakaian mini itu yang demikian keji, tanpa dapat
ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Setelah mengeluarkan suara
bentakan, tangannya yang terulur ke depan membentuk cakar dan meluncur ke arah
pergelangan tangan kiri gadis itu.
Siapa nyana begitu dia mengerahkan serangannya, Mei Hun juga terkejut setengah
mati. Dia tahu apabila seseorang sedang bersemedi, maka hal yang paling dibenci adalah
gangguan dari luar. Tadi Tan Ki membentak dengan suara keras, dia takut majikannya
akan terkejut. Oleh karena itu, tanpa sadar dia menerjang ke depan dan dengan jurus
Menggunting Bunga Bwe Sembarangan, kedua jari tangannya meluncur ke depan dan
menotok bagian ubun-ubun Tan Ki.
Anak muda itu langsung merasa tubuhnya seperti kesemutan dan tenaga dalamnya
lenyap seketika. Baru saja dia mendengus satu kali, tubuhnya langsung terkulai di atas
tanah dalam keadaan pingsan.
Ubun-ubun merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam diri manusia. Urat-urat
syaraf yang utama semua berkumpul di daerah tersebut. Kalau sampai tertotok, orang itu
tidak hanya akan merasa ngilu dan tidak sadarkan diri. Bila totokannya agak berat malah
bisa membahayakan jiwa seseorang. Apabila tidak sampai mati, lama kelamaan pasti bisa
berubah menjadi tidak waras. Mei Hun tadinya hanya ingin menotok Tan Ki agar anak
muda itu tidak lagi berteriak keras-keras, yang ditakutkan akan mengganggu semedi
gurunya. Setelah majikannya selesai semedi baru dia membebaskan totokan anak muda
tersebut. Siapa tahu dalam keadaan panik dia tidak ‘membedakan bagian mana yang
ditotoknya dan turun tangannya pun agak berat sedikit. Akibatnya Tan Ki malah jatuh
tidak sadarkan diri di atas tanah.
Begitu matanya memandang, dia melihat anak muda itu rebah di atas tanah dengan
sepasang mata terpejam rapat. Giginya juga mengatup kuat-kuat seakan menahan
penderitaannya yang tidak terkirakan. Wajahnya yang pucat terus mengerut-ngerut. Mei
Hun sejak kecil tinggal di daerah pegunungan. Hatinya masih polos sekali. Sepanjang
perjalanan tadi dia terus menarik tangan Tan Ki. Saat itu dia masih belum merasakan apaapa.
Sekarang tubuhnya setengah membungkuk dan dia sedang memperhatikan keadaan
Tan Ki dengan seksama. Dia merasa bahwa anak muda ini berbeda dengan laki-laki
‘lainnya. Seakan seluruh bagian dari dirinya tidak ada setitik-pun yang tidak enak
dipandang…
Setelah memperhatikan sejenak, tanpa hujan tanpa angin wajahnya jadi merah padam.
Dia mendongakkan kepalanya menatap si gadis berpakaian mini.
“Cici Ciu Hiang, coba lihat tampangnya, kasihan sekali. Lebih baik kita bebaskan saja
totokan pada dirinya.”
“Selamanya aku belum pernah melihat Cujin begitu marah. Tampaknya dia tidak akan
melepaskan anak muda itu begitu saja.”
Hati Mei Hun jadi tergetar mendengar ucapannya.
“Cici Ciu Hiang, kalau menurut pendapatmu, mungkinkah Cujin sampai menginginkan
nyawanya?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ciu Hiang tersenyum simpul.
“Ini… bagaimana aku bisa tahu?” tiba-tiba dia seperti teringat akan sesuatu hal. Dia
mengejapkan matanya beberapa kali dan tersenyum manis. “Cici Mei Huh, tampaknya kau
sangat mengkhawatirkan anak muda ini?”
Wajah Mei Hun jadi merah padam mendengar pertanyaannya. Matanya mendelik satu
kali kepada gadis itu lalu menyahut, “Mengapa kau bisa mengoceh sembarangan? Aku
hanya melihat tampangnya mengenaskan sekali. Ubun-ubun merupakan bagian yang
terpenting di bagian tubuh manusia. Kalau agak lama dibiarkan, dia pasti tidak dapat
menahannya. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya sebelum Cujin mengajukan
pertanyaan, bagaimana kita harus bertanggung jawab?”
BAGIAN XLII
Selesai berkata, Mei Hun tidak menunggu sampai Ciu Hiang menjawab, dia segera
mengulurkan tangannya dan membopong bangun tubuh Tan Ki. Tangan kanannya segera
mengurut-urut bagian belakang leher anak muda itu. Setelah peredaran darahnya lancar,
kembali dia menepuk perlahan-lahan menepuk bagian punggungnya.
Terdengar Tan Ki mengeluarkan suara batuk-batuk kecil. Tiba-tiba sepasang matanya
membuka. Melihat sebagian dirinya ada dalam pelukan Mei Hun, hatinya merasa heran
sekali. Sepasang alisnya mengerut seketika. Dia menatap Mei Hun sambil berkata, “Kalau
kau sudah menotok jalan darahku, mengapa sekarang kau malah menyelamatkan aku
kembali?”
Tanpa hujan tanpa angin dia mengajukan pertanyaan, saat itu juga wajah Mei Hun jadi
merah padam. Sepasang matanya yang besar dan indah mengejap beberapa kali, akhirnya
dia dapat juga memberikan jawaban.
“Aku takut jalan darahmu tertotok terlalu lama sehingga dapat mengakibatkan kematian.”
Belum lagi suaranya sirap, Ciu Hiang tidak dapat menahan diri lagi, dia langsung
tertawa terkekeh-kekeh.
Mei Hun mendongakkan kepalanya dan memandanginya dengan mata mendelik.
“Apa yang kau tertawakan? Memangnya aku tak takut kalau dia mati? Kalau dia benarbenar
sampai mati, setelah selesai bersemedi, Cujin pasti akan mengajukan pertanyaan
kepadanya. Coba apa yang akan kau katakan waktu itu?”
Tiba-tiba dia menundukkan kepalanya dan melihat tubuh Tan Ki masih berada dalam
sandarannya. Kepala Tan Ki tepat menempel pada sepasang payudaranya. Kalau dia tidak
melihat masih tidak apa-apa. Begitu melihat, tubuhnya seperti mendadak dialiri arus listrik.
Tanpa terasa dia menggigil dan cepat-cepat dia menegakkan tubuh Tan Ki dan berkata
dengan suara lirih, “Kau duduk di sini dulu sebentar beristirahat, jangan mempunyai niat
untuk kabur. Sebentar lagi majikanku akan mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba dari kamar utama terdengar suara gerakan yang halus. Ciu Hiang tahu
majikannya sudah selesai bersemedi. Dengan memeluk Liok Giok, dia cepat-cepat berjalan
menuju kamar utama tersebut.
Mei Hun melihat dia berjalan menuju kamar utama kemudian masuk ke dalamnya. Di
luar hanya tinggal dia bersama Tan Ki berduaan. Entah mengapa, tiba-tiba saja dia
mengkhawatirkan keselamatan anak muda itu. Tanpa sadar dia mendekati Tan Ki dan
berbisik di samping telinganya.
“Nanti kalau majikanku mengajukan pertanyaan kepadamu, kau harus mengatakan
bahwa kau tidak sengaja melukai Liok Giok, dan kau bersedia menerima hukuman. Kalau
beliau menyuruh aku atau Ciu Hiang mencambuki dirimu, kau tidak boleh mengerahkan
tenaga dalam melawan atau berteriak kesakitan…”
Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
“Kalau dia benar-benar ingin memberi hukuman, aku tentu saja keberatan
menerimanya. Kecuali kalau dia sama seperti engkau, totok dulu jalan darahku sehingga
aku tidak berdaya. Bila tidak, Tan Ki bukan manusia yang dapat dihina begitu saja!”
Mei Hun melihat anak muda ini demikian keras kepala, dia jadi semakin panik. Tiba-tiba
dari dalam kamar utama terdengar suara teriakan Ciu Hiang, “Cici Mei Hun, cepat bawa
orang yang melukai Liok Giok ke sini! Cujin ingin menanyainya sendiri!”
Mendengar suara itu, sekali lagi sepasang alis Tan Ki terjungkit ke atas. Telapak
tangannya menekan lantai dan melonjak bangun. Mei Hun tahu watak anak muda ini
sangat keras lagi angkuh. Pasti dia sudah ingin mengumbar kemarahannya lagi. Cepatcepat
dia menarik lengan anak muda itu. Dia menggigit bibirnya sendiri perlahan-lahan lalu
berkata lagi, “Setelah bertemu dengan majikanku, jangan sembarangan mengumbar
adatmu. Akhirnya nanti kau sendiri yang merasakan kesulitannya. Mengertikah kau apa
yang kukatakan?”
Suaranya begitu lembut, wajahnya menunjukkan permohonan yang dalam. Matanya
yang besar dan bulat memandangi Tan Ki tanpa berkedip sedikitpun. Sinar matanya
menyiratkan perhatian yang besar dan kecemasan yang tidak terkirakan.
Tan Ki melihat gadis remaja itu begitu panik melihat keadaan dirinya, akhirnya anak
muda itu jadi tidak tega. Dia menganggukkan kepalanya dan mengembangkan seulas
senyuman yang manis. Wajahnya sama sekali tidak menyiratkan kemarahan lagi.
Melihat Tan Ki telah mengabulkan permintaannya, hati Mei Hun gembira sekali.
Wajahnya yang cantik dan berona merah jambu langsung berseri-seri. Dia juga membalas
senyuman Tan Ki dengan senyuman yang tidak kalah manisnya. Kemudian dia menarik
tangan anak muda itu dan mengajaknya masuk menuju kamar utama.
Begitu tirai berwarna putih disingkapkan, tampaklah sebuah ruangan yang ditata indah
dan bersih. Sekali pandang saja membuat perasaan orang menjadi segar dan nyaman.
Seorang gadis berpakaian putih dengan rambut panjang terurai sampai di bahu. Dia
berdiri menghadap jendela. Tan Ki hanya dapat melihat bayangan punggungnya saja.
Tetapi dia sudah dapat merasakan keanggunan gadis itu. Ciu Hiang yang memeluk Liok
Giok “berdiri di samping gadis itu, tetapi wajahnya menghadap Tan Ki.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mei Hun menarik tangan Tan Ki masuk ke dalam dan berhenti pada jarak kurang lebih
lima langkah dari gadis berpakaian putih itu. Dia membungkukkan tubuhnya memberi
hormat.
“Budak Mei Hun sudah membawa orang yang melukai Liok Giok. Harap Siocia
memberikan keputusan.”
Gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak menolehkan kepalanya.
“Tinggalkan saja dia di sini. Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan. Untuk
sementara kau dan Ciu Hiang keluar dulu. Kalau aku sudah memanggil, kalian baru boleh
masuk lagi.”
Setelah mendengar ucapannya, Mei Hun dan Ciu Hiang menjadi tertegun serentak. Dua
pasang mata menatap majikan mereka lekat-lekat. Kemudian pandangan mereka beralih
kepada Tan Ki. Namun mereka tidak berani banyak bertanya. Kedua-duanya segera
mengiakan kemudian mengundurkan diri.
Di kamar utama sekarang hanya tinggal Tan Ki bersama gadis berpakaian putih
tersebut. Tiada satupun di antara mereka yang mengucapkan kata-kata. Untuk sesaat
suasana jadi hening mencekam. Hati Tan Ki merasa bingung bukan kepalang. Dia berdiri
memandangi bayangan punggung gadis berpakaian putih itu dengan termangu-mangu.
Bentuk tubuhnya sungguh indah. Angin musim semi menghembus lewat jendela,
mengibarkan pakaiannya yang putih bersih. Penampilannya saat itu persis seorang dewi
dari kahyangan yang menanti kedatangan kekasihnya. Hal ini membuat perasaan
seseorang menjadi kagum dan menaruh rasa hormat yang dalam.
Terdengar suaranya yang merdu dari bibir gadis itu.
“Murid siapa kau ini? Burung bukan binatang buas yang suka mencelakai manusia,
mengapa kau sampai hati menggunakan senjata rahasia melukainya?”
Tan Ki mendengar suaranya begitu bening dan enak didengar, namun kata-kata yang
diucapkannya bagai sebilah pisau yang menusuk hati anak muda itu. Diam-diam dia
berpikir dalam hati: ‘Gadis ini sungguh sombong!’
Tetapi dia tidak menunjukkan perasaannya dari luar, mulutnya malah menyahut, “Aku
bernama Tan Ki. Pernah mendapat pelajaran silat barang beberapa hari dari si pengemis
sakti Cian Lociapwe serta dari pamanku yang ketiga. Kesalahan tangan melukai Liok Giok,
sebetulnya hanya karena rasa penasaran yang timbul sesaat. Sama sekali bukan
kesengajaan. Lagipula aku juga tidak tahu kalau burung itu merupakan peliharaan
seseorang.”
Gadis berpakaian putih itu mengeluarkan suara deheman sekali.
“Rupanya kau mengandalkan kebesaran nama si pengemis tua Cian Cong yang besar
sehingga banyak lagak dan bertingkah semena-mena. Meskipun burung kakaktua itu
bukan manusia, tetapi tidak ada seorangpun yang berani menyentuh sehelai bulunya. Cian
Cong sendiri juga belum tentu berani mengganggu binatang peliharaanku. Sekarang kau
sudah berani melukainya, maka sepatutnya menerima hukuman. Tetapi aku tidak sudi
mengatakan apa-apa kepadamu. Aku akan mencari Cian Cong untuk
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memperhitungkannya. Biar dia mengganti dengan selembar nyawanya atas kesalahan
yang dilakukan oleh muridnya yang tidak becus!”
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Kemudian dia mengeluarkan suara
tawa yang dingin.
“Akulah yang melukai burung itu, apa hubungannya dengan Cian Locianpwe? Aku, Tan
Ki bersedia menanggungnya seorang diri. Nona boleh menghukum aku sampai mati
sekalipun. Meskipun aku tahu ilmu silatmu tinggi sekali dan kepandaianku yang hanya
terdiri dari beberapa jurus ini sudah barang tentu bukan tandinganmu. Namun sudah pasti
aku tidak akan menerima kematian begitu saja!”
Gadis berpakaian putih itu mendongakkan kepalanya sedikit dan memperdengarkan
suara tawa yang merdu.
“Kalau mendengar nada ucapanmu, tampaknya kau ingin berkelahi denganku?”
“Hati Nona mengerti sendiri, aku sama sekali tidak ada niat seperti itu. Tetapi kalau
Nona masih belum bisa menerima juga bahwa aku memang tidak sengaja melukai Liok
Giok, Tan Ki bersedia menerima kematian lewat jalan pertarungan!”
Gadis berpakaian putih itu tertawa ringan.
“Bagus sekali! Bukankah kau selalu membawa senjata dalam lengan pakaianmu?
Sekarang coba kau serang dulu aku barang dua jurus. Kalau kau dapat menghantam mati
aku dalam satu jurus, tentu tidak ada lagi orang yang mencari kesulitan dengan Cian Cong
atau paman ketigamu!”
Kali ini hati Tan Ki benar-benar tergetar. Sejak dia masuk ke dalam kamar utama ini, si
gadis berpakaian putih belum sekalipun menolehkan kepalanya, tetapi dia bisa tahu bahwa
di dalam lengan bajunya ada sebatang pedang suling. Meskipun hatinya merasa terkejut,
tetapi dari luar dia tidak menunjukkan perasaannya, dia malah mengembangkan seulas
senyuman.
“Dari getaran lengan bajuku ini, Nona bisa mengetahui ada senjata yang tersembunyi di
dalamnya, kekuatan indera pendengaranmu itu benar-benar membuat aku kagum sampai
ke lubuk hati yang paling dalam. Meskipun aku, Tan Ki merupakan orang baru dalam dunia
Bulim dan ilmu kepandaian Nona pun jauh melebihi aku, namun aku tidak suka menyerang
orang dari belakang. Harap Nona keluarkan senjatamu. Biarpun harus mati, Tan Ki tidak
akan penasaran lagi.”
Gadis berpakaian putih itu tetap membelakangi Tan Ki dan memperdengarkan suara
tawanya yang merdu.
“Kalau tidak ada keyakinan seratus persen, mana mungkin aku menyuruhmu
menyerang dari belakang. Kau tidak perlu khawatir. Coba saja. Asal kau sanggup
membuat aku bergeser setengah langkah saja dari tempatku sekarang ini, urusan melukai
Liok Giok akan disudahi sampai di sini, sekaligus aku juga akan melepaskan Cian Cong dan
paman ketigamu dari segala tanggung jawab!”
Meskipun kata-kata ini diucapkan dengan wajar dan lembut, namun di dalamnya
terkandung keangkuhan yang tidak terkirakan. Tan Ki yang mendengarnya sampai merasa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
panas. Diam-diam dia berpikir dalam hatinya: ‘Meskipun kepandaianmu tinggi sekali, tetapi
kau juga tidak seharusnya bersikap begitu sombong. Seakan tidak memandang sebelah
mata kepada orang lain sama sekali. Biar aku coba saja. Aku tahu bagaimana kau
menghindar dari gabungan ilmu Tian Si Te-sa yang hebat itu!’
Berpikir sampai di sini, kegagahannya timbul seketika. Dia segera mengeluarkan
senjatanya yang berbentuk pedang suling.
“Kalau Nona memang demikian mengalah kepadaku, tentu saja aku harus menurut.
Harap pusatkan perhatian, aku akan mulai menyerang sekarang.”
Lengan kanannya telah mengerahkan tenaga dalam. Tangannya bergerak mengerahkan
salah satu jurus Te Sa Jit-sut, yakni Mengibas Pasir di Atas Tanah. Dengan cepat
serangannya meluncur ke arah punggung gadis itu. Pada dasarnya ilmu silat Tan Ki
sekarang tidak dapat dibandingkan dengan beberapa bulan sebelumnya. Dia sudah
mendapat kemajuan berkat bimbingan kedua orangtua yang mengasihinya. Dapat
dibayangkan sampai di mana kehebatan serangannya itu.
Namun tampaknya si gadis berpakaian putih itu tidak takut sama sekali. Ternyata dia
tidak menolehkan kepalanya sekalipun. Sikapnya seperti orang yang tidak menyadari
datangnya serangan. Tetapi ketika pedang suling Tan Ki mulai memainkan jurusnya yang
hebat, tubuhnya terlihat bergetar sejenak. Tampaknya ilmu Tan Ki yang tinggi sempat
membuatnya terkejut juga. Namun hal ini hanya terjadi dalam sekejap mata saja.
Penampilannya kembali tenang, tetapi meskipun waktu yang sangat singkat, Tan Ki sudah
sempat melihat rasa terkejutnya.
Justru di saat itulah, pedang sulingnya tinggal dua tiga centi saja dari punggung gadis
berpakaian putih itu. Tiba-tiba setitik ingatan melintas di benaknya, seolah mendadak
teringat suatu hal. Akhirnya dia tidak sanggup meneruskan serangannya. Dengan panik
dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan menekan tenaganya pada telapak
tangan sehingga tidak terus meluncur ke depan. Dengan demikian serangannya keburu
ditarik kembali.
Untung saja ilmu silat Tan Ki sudah cukup tinggi. Serangannya dapat dilancarkan
kemudian ditarik kembali sesuka hati. Tetapi meskipun dia masih sempat menarik kembali
serangannya, namun tubuhnya yang menerjang ke depan justru sulit ditahan. Akibatnya
dia membentur punggung gadis berpakaian putih itu.
Tiba-tiba, serangkum bau harum menerpa hidung Tan Ki. Dia merasa ada segulung
tenaga yang lembut menahan tubuhnya yang sedang meluncur ke depan. Begitu dia
memperhatikan, entah sejak kapan gadis berpakaian putih itu sudah menolehkan
kepalanya. Punggungnya menghadap jendela dan ternyata dia tetap berdiri tegak di
tempatnya semula. Hanya setengah badannya saja yang berputar. Tampak gadis itu
tersenyum simpul.
“Mengapa di tengah jalan tiba-tiba-kau mengubah keputusanmu, padahal pedangmu
kan sedang menyerang ke arah punggungku?”
Setelah melihat wajah si gadis berpakaian putih, hati Tan Ki langsung bergetar. Tampak
bulu matanya lentik dan alisnya tebal. Hidungnya mancung dipadu dengan bibir yang
mungil. Kecantikannya boleh dibilang seimbang dengan Mei Ling atau Lok Ing, tetapi di
balik kecantikannya masih terkandung keanggunan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepasang matanya yang besar bersinar terang serta menyiratkan kewibawaan yang besar.
Orang yang melihatnya pasti timbul perasaan hormat. Perempuan yang cantik memang
banyak. Tetapi kecantikan yang disertai berbagai macam kesempurnaan seperti yang
diuraikan. di atas, boleh dibilang dari seribu belum tentu ketemu satu. Tan Ki yang
melihatnya sampai termangu-mangu. Akhirnya dia menjadi jengah sendiri dan cepat-cepat
menundukkan kepalanya tidak berani melihat lagi.
Melihat Tan Ki tidak menjawab pertanyaannya, sekali lagi gadis berpakaian putih itu
tersenyum simpul.
“Mengapa kau tiba-tiba menahan pedangmu dan tidak menyerang terus? Katakanlah!
Apakah kau tidak mendengar jelas apa yang kutanyakan tadi?” katanya lembut.
Tan Ki cepat-cepat menenangkan hatinya. “Dia mendongakkan kepalanya dan
menyahut, “Aku tahu kesalahan ada di pihakku, meskipun aku melukai burung peliharaan
nona tanpa sengaja. Oleh karena itu, tiba-tiba aku merasa perbuatanku sangat tidak
pantas dan tidak berani meneruskan serangan tadi.”
Sepasang mata gadis berpakaian putih yang indah itu menatap Tan Ki lekat-lekat.
Sejenak kemudian tampak senyumannya mulai sirna dan dia memejamkan matanya rapatrapat
kemudian membalikkan tubuhnya kembali menghadap jendela.
“Kalau kau sudah tahu salah, aku juga tidak akan memperpanjang urusan ini.
Mengingat kelakuanmu yang menarik kembali serangan di tengah jalan, urusan Liok Giok
kita sudahi saja. Tetapi ada satu hal lain yang harus kau tutup rahasianya. Laki-laki di
dalam dunia ini, yang pernah melihat wajah asliku hanya engkau seorang. Kau harus
berjanji bahwa kau tidak akan menceritakan apa yang kau lihat dan apa yang kita
bicarakan hari ini kepada siapapun!”
“Hati nona sungguh lapang, aku Tan Ki merasa kagum sekali dan sangat berterima
kasih. Apa yang nona pesankan, sudah seharusnya aku turuti.”
Sekali lagi si gadis berpakaian putih itu membalikkan tubuhnya perlahan-lahan dan
mengembangkan seulas senyuman.
“Kita dapat bertemu, terhitung ada jodoh juga. Tiga bungkus Bubuk Penyelamat -Jiwa
Penyambung Tulang ini dapat menghilangkan segala macam racun dan menyambung
kembali urat yang sudah terputus, juga dapat menyambung tulang yang retak. Dapat pula
digunakan untuk menyembuhkan luka dalam. Aku hadiahkan kepadamu agar kau dapat
menggunakannya di saat genting.” selesai berkata, tangannya mengulur ke depan dan
diserahkannya tiga bungkus obat itu.
Tan Ki melihat tangannya yang halus dan indah menggenggam tiga bungkus obat, dia
segera menyambutnya dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam sembari
mengucapkan terima kasih.
Gadis berpakaian putih itu tampaknya sudah tidak memiliki perkataan apa-apa lagi yang
ingin ia sampaikan. Bibirnya bergerak dengan maksud memanggil Mei Ling dan Ciu Hiang.
Tiba-tiba Tan Ki teringat kata-kata yang diucapkan oleh Tian Bu Cu. Oleh karena itu dia
segera menggunakan kesempatan itu menanyakannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apakah nona yang bernama Fu Goat Taisu dan berjuluk Ming San Sinni? Tecu benarbenar
tidak mempunyai mata, apabila ada kesalahan, harap Locianpwe sudi memaafkan.”
Tan Ki menekuk kakinya dengan maksud berlutut menyembah gadis itu.
Tampak gadis itu mengibaskan lengan pakaiannya, segera terasa ada serangkum
kekuatan yang lembut menahan diri Tan Ki yang berniat menjatuhkan diri berlutut.
Bibirnya tersenyum simpul.
“Sinni adalah guruku yang mulia. Aku adalah murid tunggal beliau.”
Terdengar suara seruan terkejut dari bibir Tan Ki. Diam-diam dia sendiri merasa geli.
‘Mengapa hari ini aku jadi linglung, lihat dari caranya berpakaian saja seharusnya aku
sudah dapat menduga bahwa dia bukan seorang rahib…’
Hatinya berpikir demikian, tanpa terasa bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
Siapa nyana sepasang mata gadis itu juga sedang memperhatikan dirinya. Kali ini sinar
yang tersorot dalam matanya tidak lagi mengandung kemarahan malah menyiratkan
perasaannya yang lembut. Dua pasang mata bertemu, mereka sama-sama merasakan
hatinya tergetar. Gadis berpakaian putih itu cepat-cepat memalingkan wajahnya, Tan Ki
sendiri dengan gugup menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Untuk sesaat suasana di dalam kamar itu jadi hening. Di wajah gadis berpakaian putih
yang cantik itu dalam waktu sekejap tersirat berbagai mimik yang berlainan. Kadangkadang
tampak sepasang alisnya mengerut, kadang-kadang pula dia mendongakkan
kepalanya merenung. Seakan dia sedang memikirkan suatu masalah yang serius.
Tiba-tiba dia menggertakkan giginya erat-erat. Wajahnya kembali datar seperti semula.
Dengan tegas dia berkata kepada Tan Ki.
“Sekarang juga aku akan menyuruh Mei Hun mengantarkan engkau ke tempat semula.
Tapi kau harus ingat apa yang telah kau janjikan. Jangan sekali-kali kau ceritakan apa
yang kau alami hari ini kepada siapapun!” selesai berkata, dia tidak memberi kesempatan
bagi Tan Ki untuk menyahut. Segera dipanggilnya Mei Hun dan Ciu Hiang.
Ketika kedua gadis itu masuk kembali ke dalam kamarnya, gadis berpakaian putih itu
langsung berkata, “Kau antarkan dia kembali ke tempat semula, setelah itu cepat kembali
lagi ke sini. Kita akan segera berangkat kembali ke Ming San!”
Mei Hun tidak berani banyak bertanya. Dia langsung mengiakan dan mengajak Tan Ki
keluar dari kamar tersebut.
Ketika berjalan sampai di depan pintu, entah mengapa, Tan Ki tidak dapat menahan
perasaan hatinya untuk menoleh menatap gadis berpakaian putih itu sekejap. Sepasang
mata si gadis berpakaian putih juga sedang memandang kepadanya lekat-lekat. Kembali
kedua pasang mata bertemu, Tan Ki merasa hatinya berdebar-debar. Si gadis berpakaian
putih juga memalingkan wajahnya dengan gugup. Meskipun wajahnya menoleh ke arah
yang lain, tetapi Tan Ki dapat melihat sorot matanya yang mengesankan seperti orang
yang berat ditinggalkan.
Mei Hun mengajak Tan Ki keluar dari kamar dan mengantarkannya kembali ke taman
bunga. Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan memandang Mei Hun. Hatinya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ingin sekali mengucapkan terima kasih karena nasehatnya tadi. Tetapi belum sempat dia
membuka suara, Mei Hun sudah berkata duluan, “Setelah perpisahan ini, entah kapan kita
dapat berjumpa kembali. Mungkin dalam seumur hidup ini, kita tidak mempunyai
kesempatan untuk bertemu lagi. Tan Siangkong, harap jaga dirimu baik-baik…”
Berkata sampai di sini, dia tidak meneruskan ucapannya. Meskipun wajahnya
mengembangkan senyuman, namun Tan Ki dapat melihat ada semacam kesedihan
menjelang perpisahan yang tersirat di mimik wajahnya. Perasaan anak muda ini jadi
terharu.
Tadinya dia ingin mengucapkan beberapa patah kata untuk menghibur hati gadis ini,
tetapi seribu satu kata bagai tercekat dalam tenggorokannya. Dia tidak tahu apa yang
harus dikatakan dan bagaimana mengucapkannya. Sampai sekian lama dia berdiam diri
seperti orang yang termangu-mangu. Akhirnya dia mengeluarkan suara batuk kecil dan
berkata, “Harap… kau juga… jaga diri baik-baik. Aku… mohon diri sekarang.” perlahanlahan
dia membalikkan tubuhnya dan melangkah keluar dari halaman tersebut.
Tiba-tiba terdengar suara panggilan Mei Hun.
“Tan Siangkong…!”
Mendengar panggilan itu, Tan Ki langsung menghentikan langkah kakinya. Dia
menolehkan kepalanya dan mengembangkan seulas senyuman.
“Apakah nona masih ada perkataan lain?”
Mei Hun melihat dia tiba-tiba menolehkan kepalanya, untuk sesaat jadi tertegun.
Tampaknya dia tidak menduga kalau mendengar panggilannya, Tan Ki akan menghentikan
langkah kakinya seketika dan menolehkan kepala serta mengembangkan seulas senyuman
yang lembut. Sebetulnya dia tidak ada perkataan apa-apa. Panggilannya tadi hanya karena
luapan emosi sesaat dan dilakukannya tanpa sengaja. Sekarang dia justru kebingungan
sendiri. Tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Setelah berdiam diri beberapa saat
akhirnya dia mencetuskan kata-kata yang terpikir di benaknya saat itu juga…
“Apabila ada waktu, aku akan mengunjungimu!”
Sesudah kata-kata itu diucapkan, dia baru merasa tersipu-sipu. Rasanya tidak pantas
seorang gadis mengucapkan kata-kata seperti itu. Wajahnya jadi merah padam seketika.
Seperti seekor kelinci yang ketakutan, dia langsung lari terbirit-birit meninggalkan tempat
itu.
Tan Ki merasa terharu sekali atas sikap gadis itu terhadap dirinya. Dia memandangi
bayangan punggung Mei Hun dengan terma-ngu-mangu. Penampilan si gadis berpakaian
putih yang begitu anggun laksana bidadari, lembut bagai dewi benar-benar telah
meninggalkan kesan yang sangat indah di dalam hatinya.
Entah berapa lama sudah berlalu, tiba-tiba dia mendengar suara Yang Jen Ping yang
tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
“Tan-heng, kapan kau kembali? Mengapa kau berdiri termenung seorang diri? Apakah
gadis berpakaian putih itu tidak jadi menghukum dirimu?” tanyanya bertubi-tubi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Ki menggeleng-gelengkan kepalanya. Baru saja dia ingin menjawab, mendadak dari
tempat yang tidak seberapa jauh berkumandang lagi suara tawa seseorang.
“Si pengemis cilik sudah mengatakan bahwa tidak bakal ada kejadian apa-apa, tetapi
kalian tetap tidak percaya! Coba lihat! Bukankah dia berdiri di sana dalam keadaan baikbaik
saja? Si pengemis cilik kalau disuruh berkelahi memang paling tidak becus, tetapi soal
ramal meramal sudah terkenal sampai ke seluruh penjuru dunia!”
Tan Ki tidak sempat lagi menjawab pertanyaan Yang Jen Ping. Begitu pandangan
matanya dialihkan, dia melihat beberapa orang yang sedang berjalan ke arahnya. Yang
paling depan sudah pasti si pengemis cilik Cu Cia. Di belakangnya mengikuti Ban Jin Bu,
Goan Yu Liong dan Sam Po Hwesio. Seperti semut yang melihat gula, mereka langsung
mengerumuni Tan Ki dan semuanya mengajukan pertanyaan mengenai apa yang
dialaminya barusan.
Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum simpul.
“Nona yang bernama Mei Hun itu mengajak aku menemui majikannya. Ternyata
majikannya itu orang yang penuh pengertian. Dia tidak menjatuhkan hukuman apapun
pada diriku. Hanya mengajukan satu dua pertanyaan, kemudian melepaskan aku
kembali…”
Kata-kata ini diucapkan dengan nada terpaksa sehingga membuat orang sulit
mempercayainya. Seumur hidupnya Tan Ki memang jarang berdusta, apalagi dia juga
merasa berat mengelabui beberapa orang sahabat baiknya ini. Tetapi dia sudah berjanji
kepada si gadis berpakaian putih untuk merahasiakan apa yang dialaminya, terpaksa dia
berkata asal-asalan saja.
Si pengemis cilik mengibas-ngibas rambut-N nya yang memang sudah acak-acakan.
Bibirnya tersenyum simpul.
“Tan-heng, apa yang kau katakan ini benar-benar sulit dipercaya! Apakah cerita lama di
taman bunga keluarga Liu terulang kembali?”
Hati Tan Ki langsung tergetar. Wajahnya langsung berubah hebat.
“Cu Hente, mana boleh kau sembarangan menduga yang bukan-bukan? Gadis itu
adalah seorang tokoh…” tadinya dia ingin mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang
tokoh sakti yang mendapat didikan langsung dari Ming San Sinni. Tetapi sampai di tengah
jalan, dia teringat kembali akan janjinya. Oleh karena itu dia cepat-cepat menghentikan
kata-katanya dan langsung membungkam. Dirinya malah berdiri termenung sekian lama.
Justru di saat dia termangu-mangu seperti itu, mendadak dari kejauhan terdengar
suara langkah kaki yang mendatangi. Geng Lam Hong berjalan dengan tergesa-gesa
dalam sekejap mata dia sudah tiba di hadapan beberapa orang itu.
“Mengapa kalian masih berdiri di sini santai-santai? Tian Bu Cu Locianpwe dari Bu Tong
Pai sudah membawa Cian Locianpwe datang ke mari. Liu Mei Ling dan Liang Fu Yong juga
ikut datang!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Ki mendongakkan kepalanya menatap warna langit. Saat itu belum lagi sampai
kentungan kelima, ternyata Tian Bu Cu sudah menepati janjinya menyusul ke mari.
Dengan demikian dia menolehkan kepalanya kepada Cu Cia.
“Gurumu datang ke mari dalam keadaan terluka, entah bagaimana keadaannya. Lebih
baik kita cepat-cepat kembali melihatnya!” Tan Ki memang sengaja menghindari
pertanyaan mereka yang berbelit-belit. Selesai berkata, dia langsung mengerahkan
ginkangnya dan lari ke depan.
Saat ini si pengemis sakti Cian Cong sedang duduk bersandar di atas kursi beristirahat.
Begitu si pengemis cilik Cu Cia dan yang lainnya masuk ke dalam kamar, mereka segera
dapat melihat wajah orangtua itu yang kekuning-kuningan. Tampangnya kuyu dan kusut.
Mereka terkejut sekali melihatnya. Hati si pengemis cilik jadi pilu, dia segera menjatuhkan
dirinya berlutut di atas tanah dan memanggil dengan dengan suara parau…
“Suhu…!” air matanya bagai curah hujan yang turun dengan deras membasahi pipinya.
Cian Cong segera membuka sepasang matanya. Dengan sinarnya yang sudah pudar dia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian terdengar orangtua itu tertawa
terbahak-bahak.
“Dasar orang tidak berguna! Masa di depan sahabat-sahabat baikmu menangis seperti
anak kecil. Hei, si pengemis tua ini belum mati! Hayo cepat bangun!” baru berkata sampai
di sini, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit sekali. Mungkin lukanya kambuh kembali.
Ternyata tokoh paling aneh di dunia ini juga hampir tidak sanggup menahan penderitaan
yang demikian hebat. Dia langsung menekap dadanya dan mengatur pernafasan. Sampai
kurang lebih sepeminuman teh, baru rasa sakitnya agak berkurang.
Melihat keadaannya, si pengemis cilik tidak berani membantah lagi. Sambil menahan air
mata yang masih ingin mengalir, dia langsung berdiri dengan kepala tertunduk.
Cian Cong memejamkan matanya dan beristirahat beberapa saat. Setelah itu baru dia
membuka matanya kembali. Dia menunjuk ke arah tosu tua yang duduk di sampingnya.
“Tosu ini merupakan tokoh sakti dari Bu Tong Pai yang bersama-sama si pengemis tua
mendapat julukan dua manusia paling aneh di dunia. Kalian sudah tentu pernah
mendengar namanya bukan? Memang betul, beliau adalah Tian Bu Cu Locianpwe. Si
pengemis tua masih dapat hidup sampai sekarang, semuanya merupakan berkat
pertolongan dan rawatannya…” berkata sampai di sini, tiba-tiba dia memejamkan
sepasang matanya kembali dan membungkam seribu bahasa.
Si pengemis cilik, Sam Po Hwesio, Yang Jen Ping, Ban Ji Bu dan Goan Yu Liong cepatcepat
maju ke depan dan memberi hormat dengan berlutut di atas tanah. Tian Bu Cu
mengibaskan lengan bajunya. Serangkum tenaga yang tidak berwujud langsung terpancar
keluar dan menahan tubuh beberapa orang itu sehingga tidak dapat menekuk kakinya
lebih jauh.
“Pinto adalah orang gunung yang kasar, tidak biasa menerima segala macam
penghormatan. Kalian berdirilah!”
Sementara itu, Tan Ki menuangkan dua cawan teh untuk kedua orangtua itu. Diamdiam
dia memasukkan sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang pemberian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
si gadis berpakaian putih ke dalam cawan teh Cian Cong. Setelah itu dia menyodorkannya
kepada mereka.
Ketika Cian Cong meneguk air teh itu, dia merasa teh yang disediakan oleh Tan Ki
harum luar biasa. Tadinya dia mengira bahwa teh itu memang dari jenis daun teh yang
baik sehingga warnanya saja yang lebih pekat dari biasanya. Oleh karena itu dia tidak
banyak bertanya. Diminumnya teh itu sampai kering. Tetapi biar bagaimanapun orangtua
ini merupakan salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia jaman itu. Pengalamannya
banyak dan pengetahuannya luas sekali. Dia segera merasa ada sesuatu yang tidak beres
begitu teh itu diteguknya sampai kering. Dia merasa aliran darah dalam tubuhnya
bertambah cepat, serangkum hawa panas mengalir ke seluruh urai nadinya. Kurang lebih
setengah kentungan kemudian, perasaannya terasa lebih bersemangat, wajahnya yang
tadi pucat kekuning-kuningan sekarang berubah menjadi merah jambu. Saat itu juga, dia
merasa terkejut dan rada curiga. Diam-diam dia mengerahkan hawa murni dalam
tubuhnya, sekarang dia bukan saja tidak merasa sakit lagi, tetapi luka dalam tubuhnya
juga terasa sembuh seketika. Malah hawa murninya beredar lebih lancar daripada sebelum
terluka.
Ketika hari sudah terang dan pelayan penginapan mengantarkan sarapan pagi, mereka
segera menyantapnya dengan lahap. Setelah itu Tian Bu Cu kembali memeriksa denyutan
urat nadinya. Hati orangtua itu terlonjak seketika. Tiba-tiba dia menemukan bahwa luka
dalam yang diderita Cian Cong sudah sembuh sama sekali. Bahkan gejala keracunanpun
sudah tidak ada. Dalam keadaan kurang yakin, Tian Bu Cu sampai memeriksanya berkalikali,
tetapi kenyataannya tetap sama. Sama sekali tak ada tanda-tanda seperti orang yang
pernah terluka. Bukan saja kesehatan Cian Cong sudah pulih, bahkan kesehatannya lebih
baik dari pada sebelum terluka. Bagaimana Tian Bu C u tidak menjadi bingung dan
penasaran melihat kenyataan yang aneh ini?
Peristiwa yang tidak terduga-duga ini membuat kedua tokoh sakti tersebut terlongongldngong
sekian lama dan tidak dapat mengucapkan sepatah katapun. Mereka lalu
berusaha menyelidiki apa yang telah terjadi. Saat itu Tan Ki baru menceritakan urusan
gadis berpakaian putih yang menghadiahkan tiga bungkus obat kepadanya.
Tian Bu Cu mendengarkan dengan seksama. Wajahnya tampak serius sekali. Setelah
Tan Ki selesai bercerita, tampak orangtua itu menarik nafas panjang.
“Sudah hampir empat puluh tahun pinto tidak pernah mendengar kabar dari Ming San
Sinni. Tidak disangka dia masih hidup di dunia ini dan mempunyai seorang murid yang
demikian sakti. Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang merupakan obat pusaka bagi
dunia persilatan. Kelak entah berapa banyak tokoh Bulim yang akan tertolong nyawanya
berkat obat mujarab ini. Anak Ki, kau harus simpan baik-baik dua bungkus sisa Bubuk
Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang ini. Kelak pasti ada faedahnya dan dapat menolong
orang di saat genting.”
Tan Ki mengejap-ngejapkan matanya sambil tersenyum.
“Locianpwe, benarkah obat ini demikian mujarab? Tadi ketika sarapan pagi, diam-diam
Boanpwe memasukkan sebungkus ke dalam air teh adik Mei Ling. Boanpwe pikir dia
kesalahan minum racun sehingga tubuhnya berpenyakit parah. Mungkin obat ini dapat
menawarkan racun yang mengendap dalam tubuhnya. Sekarang hanya sisa satu bungkus
lagi.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cian Cong menghentakkan kakinya keras-keras ke atas tanah.
“Dasar bodoh! Berbuat apa-apa selalu tanpa pakai pertimbangan! Obat semacam ini,
beberapa generasi juga belum tentu dapat menemukannya lagi. Kau malah sembarangan
menggunakannya tanpa menanyakan pendapat orang lain. Ilmu pengobatan si hidung
kerbau ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Racun yang diidap Mei Ling hanya
termasuk penyakit kecil baginya, pasti dia dapat menyembuhkannya dengan mudah. Kau
malah melihat penyakit ringan sebagai penyakit yang parah, sampai menghabiskan
sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung Tulang!”
Tian Bu Cu tertawa lebar mendengar gerutuannya.
“Ada sebab ada akibat, segala di dunia ini sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa. Kita
manusia hanya mengikuti jalannya saja. Apa yang sudah terjadi tidak perlu disesali lagi.
Anak muda ini kan masih pengantin baru, tentu saja hatinya panik mengetahui dalam
tubuh isterinya mengendap racun jahat. Dalam hal ini dia juga tidak dapat disalahkan.
Sudah pasti dia ingin isterinya lekas sembuh. Satu-satunya jalan sekarang ini hanya
berharap agar dia mempergunakan sisa sebungkus Bubuk Penyelamat Jiwa Penyambung
Tulang itu dengan baik-baik.”
Beberapa orang itu masih merundingkan berbagai hal lainnya. Perlahan-lahan waktu
merayap dan matahari semakin tinggi. Luka yang diderita Cian Cong sudah sembuh secara
keseluruhan. Tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk menunda waktu. Sebelas orang itu
segera meninggalkan penginapan tersebut dan kembali ke Tok Liong Hong di mana
pertandingan untuk memperebutkan Bulim Bengcu masih berlangsung.
Baru beberapa saat mereka meninggalkan Suang Eng Lau, tiba-tiba di angkasa sampai
tiga ekor burung merpati pos terbang melintas: kepala mereka. Kecepatannya bagai
sambaran kilat, arah merekapun berlainan. Ada yang menuju timur, selatan dan yang
terakhir terbang menuju utara.
Tian Bu Cu memperhatikan ketiga ekor burung merpati itu terbang jauh. Dia melihat
dengan seksama kecepatan dan arah yang diambil ketiga ekor burung itu. Mendadak
suatu ingatan seolah melintas di benaknya. Tampak sepasang alis orangtua itu mengerutngerut.
Untuk sekian lama dia berdiam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun. Cian
Cong malah hampir kehabisan rasa sabarnya. Terdengar dia tertawa dingin dan
menggumam seorang diri.
“Ternyata golongan sesat dari Lam Hay juga sudah bisa menggunakan merpati pos
untuk menyelidiki jejak si pengemis tua…” suaranya semakin lama semakin lirih sehingga
kata-katanya yang terakhir tidak terdengar lagi. Orang lainnya sudah tentu tidak mengerti
apa maksud ucapannya itu.
Menjelang malam hari, kesebelas orang itu sampai di Tok Liong Hong. Tampak asap
mengepul-ngepul memenuhi udara. Di depan pintu gerbang berdiri delapan orang laki-laki
bertubuh kekar. Wajah mereka tampak serius.
Bekali. Sekali pandang saja, orang dapat menduga bahwa di atas puncak bukit itu
mungkin telah terjadi sesuatu yang gawat. Keadaan yang terlihat sangat tidak wajar dan
lain sekali dengan sebelumnya. Suasana di sekitar tempat itu juga terasa tegang
mencekam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Watak Cian Cong paling tidak bisa diam serta ugal-ugalan. Dia langsung merasa sebal
melihat keadaan seperti itu. Oleh karena itu, sepasang alisnya segera menjungkit ke atas.
Sesaat kemudian dia sudah berlari sekencang-kencangnya ke ruang pertemuan.
Di atas puncak bukit Tok Liong Hong ini memang sudah dibangun berbagai sarana yang
diperlukan selama terselenggaranya pertemuan besar tersebut. Liu Seng sudah bekerja
keras demi terselenggaranya pertandingan untuk memperebutkan kedudukan Bulim
Bengcu ini. Dia mengumpulkan berpuluh-puluh tukang yang ahli dan membangun semua
ruangan serta panggung dalam waktu yang singkat. Untung saja dua hari sebelum
pertandingan dimulai semuanya sudah beres. Berhubung situasi sedang mendesak,
mereka menggunakan strategi yang membangun ruangan-ruangan dengan mengikuti
susunan tanah bukit itu sendiri.
Ilmu ginkang Cian Cong sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Tidak berapa lama
kemudian dia sudah sampai di depan ruang pertemuan. Begitu menaiki undakan batu di
halaman, dia sudah melihat bahwa di dalam ruangan itu telah berkumpul belasan
rekannya. Wajah setiap orang tampak kelam dan serius. Tidak ada seorangpun yang
berbicara. Masing-masing seolah sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Tampaknya
mereka sedang merundingkan masalah yang genting dan belum mendapatkan jalan
pemecahannya. Mereka semua bermuram durja dan menunggu dengan sabar. Begitu
heningnya ruangan itu sehingga batang jarum jatuh pun mungkin akan terdengar jelas.
Kali ini sepasang alis Cian Cong mengerut semakin erat, tangannya tanpa terasa
tergerak mengambil kendi araknya dan sebagaimana biasanya dia langsung meneguk
beberapa tegukan besar sehingga terdengar suara: Glek! Glek! Grook! Dari
tenggorokannya. Baru saja dia ingin bertanya, Yibun Siu Sari sudah berdiri dan
menyongsongnya.
“Pengemis tua, nasib kita memang lagi sial. Baru saja kau meninggalkan tempat ini, aku
terpaksa menyelenggarakan pertandingan ini seorang diri. Siapa nyana di malam kedua
tiba-tiba terjadi sesuatu. Hampir saja aku tertimpa bencana besar. Dari pihak Lam Hay dan
Si Yu menyelinap beberapa orang utusannya yang ingin menyelidiki keadaan di tempat
kita ini.
Hampir sepanjang malam aku dikerjai oleh mereka sampai letihnya tak perlu dikatakan
lagi. Boleh dibilang aku bermain petak umpet dengan mereka. Untung juga ada beberapa
sahabat yang membantu sehingga tidak sempat terjadi apa-apa yang hebat. Kalau tidak,
mungkin terpaksa aku membenturkan kepala di ruangan depan untuk mendapat hukuman
mati atas dosa besar. Apabila sampai jatuh korban banyak. Meskipun beberapa sahabat
kita merupakan tokoh-tokoh tua yang sudah banyak pengalaman, namun kaum penjahat
itu licik sekali. Mereka menimbulkan suara di timur, tetapi menyerang di sebelah barat.
Beberapa bangunan kita sempat dibakar oleh mereka.
Dari pihak mereka yang datang adalah jago-jago yang jarang terlihat di dunia
Kangouw. Dalam satu malam saja ada tujuh delapan orang pihak kita yang terluka. Aku
justru sedang kebingungan karena kita kekurangan tenaga. Untung saja kau cepat-cepat
kembali ke mari. Begini saja, tugas yang berat ini aku kembalikan lagi kepadamu. Malam
ini kalau mereka datang lagi, aku pasti harus melawan mereka agar orang-orang jahat itu
tidak meremehkan kemampuan kita orang-orang Tionggoan!”
Wajahnya selalu ditutupi sehelai cadar yang tipis. Hal ini membuat orang tidak dapat
melihat mimik perasaannya. Sejak berkenalan dengannya, Cian Cong selalu melihat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sikapnya yang tenang dan riang. Belum pernah ditemuinya penampilan seperti sekarang
ini yang begitu kesal. Sepasang matanya terus menyorotkan sinar yang berkilauan. Hal ini
membuktikan bahwa hawa amarah dalam hatinya benar-benar telah meluap.
Kemungkinan besar beberapa malam yang lalu dia dipermainkan musuh sedemikian rupa
sehingga kekesalan dalam hatinya terpendam dalam-dalam dan tidak menemukan suatu
hal yang dapat menjadi salurannya. Mendengar perkataan Yibun Siu San, untuk sesaat si
pengemis sakti Cian Cong tidak enak hati untuk mengatakan apa-apa. Di saat dia sedang
menguras otak bagaimana merundingkan masalah ini dengan baik-baik, Tian Bu Cu
melangkah masuk dengan tenang diiringi beberapa orang lainnya.
Pandangan mata Cian Cong beredar ke sekitar ruangan. Cepat-cepat dia
memperkenalkan tokoh sakti itu kepada rekan-rekannya yang lain. Dengan demikian, dia
sekaligus dapat menghindari desakan Yibun Siu San.
Perlu diketahui, meskipun nama Tian Bu Cu sangat terkenal di dunia Kangouw, tetapi
ia, selalu menyendiri dan lebih banyak tinggal di Yang Sim An, Bu Tong San. Meskipun
disebut sebagai salah satu dari dua tokoh tersakti di dunia, orang yang pernah melihat
orangnya hanya beberapa gelintir saja. Bahkan sampai di mana ketinggian ilmu silatnya,
orang-orang dunia Kangouw hanya mendengar dari selentingan di luaran saja.
Kenyataannya sendiri, mereka belum tahu pasti. Dengan demikian para tamu yang hadir di
Tok Liong Hong, walaupun tahu di dunia ada tokoh seperti dia, tetapi selama ini hanya
dapat membayangkannya saja. Begitu diperkenalkan oleh Cian Cong, Liu Seng beserta Kok
Hua Hong, Ciong San Suang Siu, Goan Siang Fei, Heng Sang Si dan tujuh delapan orang
lainnya segera mengalihkan pandangan mereka kepada orangtua ini. Mata mereka
memperhatikan Tian Bu Cu lekat-lekat dan mulut mereka mengeluarkan suara pujian
kagum yang tidak berhenti-henti.
Watak Tian Bu Cu memang selalu merendahkan diri. Dia senang bergaul dengan siapa
saja meskipun namanya sudah sangat terkenal. Oleh karena itu dia segera menghampiri
setiap tamu yang hadir dan menyalami mereka satu per satu untuk kemudian duduk
bersama-sama mereka.
Tan Ki beserta rekan-rekan lainnya yang sebaya berdiri di belakang guru dan angkatan
tua masing-masing. Mereka tidak berani langsung duduk bersama para hadirin yang
merupakan tokoh-tokoh tua. Tian Bu Cu mengulurkan tangannya mengangkat cawan teh
dan dengan lambat menghirupnya beberapa teguk. Bibirnya tersenyum lebar.
“Apa yang diperbuat pihak Lam Hay maupun Si Yu sekarang boleh dibilang sudah
terang-terangan. Kemungkinan besar tidak lama lagi akan terjadi bencana besar yang
akan mengakibatkan pertumpahan darah besar-besaran. Entah bagaimana rencana
saudara-saudara dalam menanggulangi masalah ini?”
Liu Seng segera menjura dan tersenyum.
“Mohon tanya bagaimana pendapat totiang sendiri?”
“Ular tidak bisa tanpa kepala, burung tidak bisa terbang tanpa sayap. Hari ini para
sahabat yang hadir di Tok Liong Hong ini, kalau bukan seorang yang ilmunya tinggi,
berjiwa bijaksana serta mempunyai kecerdasan melebihi orang lain dan sanggup membuat
setiap orang menaruh rasa hormat serta kagum, tentu sulit membuat semuanya tunduk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun orang yang hadir di Tok Liong Hong ini jumlahnya banyak sekali, tetapi setiap
tokoh ini mempunyai kelebihan masing-masing. Bila dikumpulkan, kemungkinan malah
akan timbul masalah baru. Yang paling penting bagi kita orang dunia Kangouw, justru
nama besar dan ketenaran serta kemakmuran hidup. Memang tidak semuanya bersikap
demikian, namun apabila kita mau mengakui secara jujur, di antara sepuluh orang,
mungkin ada sembilan yang lebih mementingkan nama besar daripada hal lainnya di dunia
ini. Apabila pihak Lam Hay maupun Si Yu berhasil mengetahui kelemahan kita ini, mereka
bisa menggunakan siasat mengadu domba sehingga terjadi pecah perang saudara di
antara kita sendiri. Hal inilah yang harus kita cegah pertama-tama!”
Apa yang dikatakan oleh Tian Bu Cu benarbenar bagai jarum tajam yang menusuk hati
setiap orang. Sampai-sampai para hadirin saling menatap satu dengan lainnya dan diamdiam,
mereka memuji ketelitian pertimbangan tokoh Bu Tong Pai ini.
Tampak Yibun Siu San tertawa kecil.
“Apa yang totiang katakan mengandung makna yang dalam. Baik pengalaman maupun
pengetahuan juga membuat orang kagum. Tetapi sampai hari ini, dalam pertandingan
yang sudah lalu, telah terpilih tiga belas orang pendekar pedang tingkat delapan dan tiga
puluh lima orang pendekar pedang tingkat tujuh. Ilmu mereka semuanya dapat dibilang
sudah cukup tinggi. Besok siang kita sudah dapat memilih seorang Bulim Bengcu dari tiga
belas orang pendekar pedang tingkat delapan ini.” berkata sampai di sini, ucapannya
terhenti, sepasang sinar matanya melirik ke arah Tan Ki sekilas. Beberapa saat kemudian
baru dia melanjutkan kembali, “Karena dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu kali ini,
kita terbentur berbagai kesulitan. Juga disebabkan waktu yang sangat mendesak, mungkin
masih banyak tokoh lain yang tidak keburu datang. Ada juga yang karena halangan
lainnya tidak dapat hadi r pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, aku dan si pengemis
sakti Cian Cong telah merundingkan hal ini baik-baik dan akhirnya mendapatkan suatu
keputusan. Kami membuat peraturan baru bagi para sahabat yang tidak keburu sampai
pada waktunya atau karena urusan pribadi sehingga pertandingannya tertangguh.
Seandainya orang itu mempunyai syarat yang cukup, maka kami memberinya
kesempatan untuk menandingi lawan-lawan lainnya. Umpamanya pendekar pedang
tingkat empat tertangguh dalam pertandingan, dia masih boleh mengikuti pertandingan
lain. Apabila secara berturut-turut dia mengalahkan dua lawan dari tingkat yang sama,
maka tingkatannya pun akan naik menjadi pendekar pedang tingkat lima. Begitu pula
seterusnya. Seandainya dia berhasil mengalahkan lawan-lawan berikutnya sampai
mencapai gelar pendekar pedang tingkat kedelapan, maka orang ini boleh memperebutkan
kedudukan Bulim Bengcu. Setelah semua orang ini mengikuti lagi ujian kebijaksanaan
dalam mengambil ke-putusan serta kecerdasan otaknya, rasanya Bulim Bengcu dapat
terpilih dari salah satu orang-orang ini.”
Terdengar suara mendesah dari mulut Tian Bu Cu, kemudian dia memejamkan matanya
merenung beberapa saat. Setelah itu baru dia berkata dengan perlahan-lahan, “Kalau
begitu, besok adalah hari terakhir dalam penyelenggaraan Bulim Tayhwe ini.”
Tampaknya hati orangtua ini sedang digelayuti semacam pikiran yang hanya diketahui
oleh dirinya sendiri. Meskipun mulutnya menggumamkan kata-kata, tetapi sepasang
matanya masih terpejam rapat-rapat.
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Betul. Hanya tinggal satu hari lagi. Dalam pengujian kebijaksanaan maupun
kecerdasan, cayhe sudah mempunyai sedikit pertimbangan. Apabila ada waktu senggang,
cayhe ingin merundingkannya kembali dengan Cian-heng serta Tian Bu Cu Locianpwe.”
Tiba-tiba sepasang mata Tian Bu Cu terbuka lebar. Sinar yang terpancar keluar begitu
tajamnya, seperti sengaja juga tidak, dia melirik Liang Fu Yong sekilas. Dalam waktu yang
singkat dia seolah telah memutuskan suatu masalah yang besar. Dengan demikian hatinyapun
menjadi lega.
“Baiklah, besok saja kita tentukan!”
BAGIAN XLIII
Cian Cong mendengar orangtua itu seperti menggumam kepada dirinya sendiri. Nada
suaranya begitu tegas, seolah dalam ucapannya terkandung maksud tertentu. Walaupun
lukanya baru sembuh, tetapi wataknya tetap tidak berubah. Dia masih periang dan ugalugalan
seperti biasanya. Oleh karena itu dia langsung tertawa terbahak-bahak.
“Hidung kerbau, sebetulnya setan apa yang kau sembunyikan dalam hati kecilmu itu?
Bicara seperti menggumam kepada diri sendiri sehingga orang lain dibuat kebingungan
setengah mati. Bolehkah kau menjelaskan dengan terperinci, hal apa sebenarnya yang
sedang terpikir oleh benakmu itu?”
Tian Bu Cu tersenyum simpul melihat ketidaksabaran si pengemis sakti Cian Cong.
“Pinto hidup mengasingkan diri di Yang Sim An, selama enam puluh tahun boleh
dibilang tidak pernah berkelana di dunia Kan-gouw. Oleh karena itu pengetahuan pun
dangkal sekali. Dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini, Pinto tidak bisa memberikan
pendapat apa-apa. Lagipula ilmu silat adalah pelajaran yang paling rumit. Dengan kata lain
tidak ada batas tertentu yang dapat dijadikan patokan. Setiap cabang ilmu mempunyai
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Pinto juga tidak berani memutuskan ilmu
kepandaian siapa yang berhak menjabat kedudukan Bulim Bengcu. Resikonya terlalu
besar. Selama beberapa bulan terakhir ini, pinto sudah mengadakan penyelidikan secara
teliti. Memang ada satu orang yang cukup memenuhi syarat. Baik ilmu silatnya maupun
mutu orangnya serta kecerdasan otaknya, boleh dibilang cukup memuaskan. Pinto adalah
seorang beragama yang sudah lama mengasingkan diri, nama besar bagi Pinto tidak
berarti apa-apa. Tetapi aku mempunyai niat untuk membantu orang ini menjadi tokoh
besar yang mempunyai nama di dunia persilatan. Siapa tahu dia bisa merebut kedudukan
Bulim Bengcu kali ini.”
Mendengar kata-katanya, untuk sesaat si pengemis sakti Cian Cong jadi termangu-mangu.
Kemudian kesadarannya seakan tersentak sehingga dia mendongakkan kepalanya
tertawa terbahak-bahak. Tangan kanannya mengangkat hiolo araknya dan sebagaimana
biasanya dia meneguk beberapa tegukan besar. Tampaknya hati si pengemis sakti ini
tibatiba jadi gembira bukan kepalang atas kepu-tusan Tian Bu Cu. Wajahnya berseri-seri
dan bibirnya terus tersenyum simpul.
“Apakah yang dikatakan si hidung kerbau ini benar adanya? Si pengemis tua paham
sekali watakmu yang suka menyimpan rahasia dalam-dalam. Paling tidak suka
memamerkan diri di hadapan orang lain. Padahal ilmu silatmu sudah mencapai taraf yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tinggi sekali. Apalagi Naga Sakti Delapan Jurusmu yang menggetarkan dunia persilatan itu,
terlebih-lebih kau anggap sebagai pusaka. Kalau dibandingkan dengan ilmu ciptaan si
pengemis tua Delapan Jurus Pedang Pengejar Sukma, boleh dibilang masih menang satu
tingkat. Waktu terus berlalu, rambutpun dengan cepat menjadi putih. Selama enam puluh
tahun ini, boleh dibilang si pengemis sakti tidak mendapat kemajuan apa-apa. Sedangkan
kau setiap hari bersemedi menghadap tembok. Ilmu Naga Sakti Delapan Jurus-mu itu pasti
sudah bertambah hebat karena setiap saat kau tambal kelelahannya serta mengubah
gerakannya menjadi sempurna. Entah sahabat mana yang mendapat rejeki demikian besar
sehingga memperoleh perhatianmu dan akan mewarisi ilmu hebat yang pernah
mengalahkan si pengemis sakti itu?”
Tian Bu Cu tetap tersenyum simpul.
“Cian-heng memang suka merendah.”
Sekali lagi Cian Cong mengangkat hiolonya dan meneguk arak di dalamnya. Kemudian
tangannya mengusap sisa arak yang masih ada di sudut bibir. Setelah itu kembali dia
tertawa terbahak-bahak.
“Siapa orangnya yang mendapat perhatianmu yang besar, rasanya si pengemis sakti
dapat menebak sebanyak delapan bagian. Tetapi ada baiknya kau katakan sendiri
sehingga dugaan si pengemis sakti dapat terbukti.”
Tian Bu Cu tersenyum lembut mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong yang
lebih pantas disebut pancingan.
“Orang yang mendapat perhatian Pinto, tidak lain tidak bukan dari si gadis malang yang
berniat kembali ke jalan lurus, nona Liang Fu Yong!”
Begitu kata-kata ini tercetus dari bibirnya, bukan hanya Yibun Siu San yang tertegun,
bahkan si pengemis sakti Cian Cong yang mempunyai kebiasaan tidak mau mengalah
kepada siapapun ikut-ikutan terkesima karena keputusan Tian Bu Cu benar-benar di luar
dugaannya. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak dan mencelat ke atas kurang lebih tiga kaki.
“Apakah kata-kata yang kudengar tadi tidak salah? Mungkinkah telinga si pengemis tua
tiba-tiba jadi pekak sehingga pendengaran jadi kurang jelas? Kau ingin menerima Liang Fu
Yong sebagai murid? Tadinya aku mengira orang yang kau maksudkan adalah pendekar
pedang tingkat lima, Tan Ki!”
Tian Bu Cu tertawa lebar.
“Tenaga dalam Cian-heng sudah mencapai taraf tertinggi, selama ini selalu berlatih
dengan keras. Dengan demikian baik indera penglihatan maupun pendengaran pasti lebih
peka dari orang lain, mana mungkin Cian-heng salah dengar? Sebelum kata-kata ini
tercetus dari mulut Pinto, sejak semula pinto sudah memikirkannya matang-matang.
Selamanya Pinto tidak sembarang bertindak apabila belum yakin. Kalau gadis ini benarbenar
berniat merubah tabiatnya dan tabah terhadap segala penderitaan, mungkin dalam
perebutan Bulim Bengcu besok, dia masih mempunyai kesempatan untuk mencoba-coba.”
Dengan tenang dan santai dia mengucapkan kata-kata ini, nada suaranya cukup tegas.
Orang yang mendengarnya tidak dapat mengetahui rahasia apa yang terselip di dalam
hatinya. Namun para hadirin yang mendengar ucapan itu, hampir semuanya memandang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orangtua ini dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar-lebar. Beberapa saat
kemudian tampak mereka saling lirik dengan wajah penasaran.
Tampak Tan Ki tersenyum simpul. Dia melirik ke arah Liang Fu Yong yang ada di
sampingnya. Sorotan matanya seakan mengatakan: ‘Benar bukan apa yang kukatakan
tempo hari?’ dengan demikian dia juga seakan membuktikan bahwa dirinya tidak
mendustai perempuan itu.
Kebetulan saat itu, Liang Fu Yong juga sedang mengerling ke arahnya. Dua pasang
mata bertemu. Persis seperti besi berani yang saling menarik. Untuk sekian lama keduanya
saling memandang tanpa mengucapkan sepatah katapun. Hati masing-masing digelayuti
perasaan yang berbeda. Pada saat itu juga Tan Ki tiba-tiba merasa Liang Fu Yong yang
ada di sampingnya jauh lebih cantik dari sebelumnya. Penampilannya begitu lembut
mempesona, begitu menawan.
Liang Fu Yong juga merasa bahwa dalam sinar anak muda itu terkandung perhatian
yang besar serta kasih sayang yang dalam. Hal ini belum pernah ditemui perempuan itu
sebelumnya. Biasanya dia hanya melihat sinar iba di dalam mata Tan Ki. Untuk sesaat
hatinya seperti sangat terhibur. Seakan pengorbanannya selama ini tidak sia-sia. Saat itu
juga, dia membalas senyuman Tan Ki dengan seulas senyuman yang tidak kalah
manisnya. Setelah itu, perlahan-lahan dia menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Telinganya kembali mendengar suara Tian Bu Cu yang welas asih dan penuh
kelembutan. Bagi perempuan, suara orang tersebut seakan tiba-tiba menjadi musik yang
paling merdu yang pernah didengarnya dalam seumur hidupnya.
“Yibun-heng kali ini menjadi panitia penyelenggara pertandingan ini. Dapatkah Yibunheng
menyediakan sebuah ruangan kosong untuk pinto?”
Yibun Siu San langsung berdiri dari tempat duduknya. Dia menjura sambil
mengembangkan seulas senyuman.
“Totiang sudah terbiasa hidup menenangkan diri dalam tempat yang sunyi seperti Yang
Sim An. Aku justru sedang khawatir kalau tempat di Tok Liong-hong tidak sesuai untuk
totiang. Orang banyak tentu sangat bising, mungkin tidak akan kerasan di sini. Kalau
ternyata Totiang tidak mencela tempat ini dan bersedia tinggal, hal ini merupakan rejeki
besar bagi aku, Yibun Siu San.” selesai berkata, dia segera memerintahkan seorang lakilaki
bertubuh kekar untuk membersihkan sebuah ruangan untuk orangtua tadi. Setelah itu
baru dia mengibaskan tangannya agar orang itu langsung mengundurkan diri dan
melaksanakan apa yang diperintahkannya.
Tampak Tian Bu Cu merenung sejenak.
“Tapi…” baru mengucapkan sepatah kata, seakan ada sesuatu hal yang teringat
olehnya sehingga ucapannya tidak diteruskan.
Namun siapa memangnya Yibun Siu San. Orang ini juga mempunyai pengalaman yang
cukup banyak. Melihat Tian Bu Cu agak bimbang, dia segera dapat menduga bahwa
orangtua itu masih ada permohonan yang lainnya, hanya saja ragu-ragu dicetuskan. Oleh
karena itu dia langsung mengembangkan seulas senyuman yang ramah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Apabila Totiang masih ada permintaan yanglain, harap jangan sungkan-sungkan.
Katakan saja. Seandainya masalahnya sangat besar, di hadapan begini banyaknya
sahabat, pasti ada jalan untuk menyelesaikannya.”
“Pinto juga minta disediakan dua orang jago berilmu tinggi untuk berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan.”
Tiba-tiba terdengar si pengemis sakti Cian Cong menukas, “Si pengemis tua tidak
percaya. kalau dalam semalaman saja kau dapat membuatnya menjadi jago dan sanggup
mengikuti pertandingan.”
Mendengar ucapannya, tampak sepasang mata Tian Bu Cu mengeluarkan sinar yang
tajam tetapi sekejap kemudian dia sudah biasa kembali. Wajahnya masih tetap
mengembangkan senyuman.
“Enam puluh tahun sudah berlalu, tetapi sikap keras kepalamu tetap saja tidak
berubah. Apa yang terpikir dalam hatimu langsung saja kau cetuskan. Selamanya tidak
pernah dipertimbangkan terlebih dahulu. Dalam satu hari, apabila ingin membuat
seseorang menjadi tokoh yang terkenal, di dengar sepintas lalu oleh kalian semua seakan
sebuah dongeng yang mustahil menjadi kenyataan. Tetapi perlu diketahui bahwa ilmu silat
itu demikian luas dan dalamnya sehingga tidak ada batas tertentu atau tingkat tertentu.
Apalagi ilmu Lwekang yang sejati. Jangan kata tiga atau lima tahun, biar dua puluh tahun
atau tiga puluh tahun juga tidak pernah berhasil menggali sampai dasarnya yang paling
dalam. Seandainya seseorang memiliki kepandaian tinggi, tentu bukan hal yang bisa
dicapai dalam sekejap mata. Meskipun di dunia ini sering dijumpai orang yang berusia
muda namun ke-pandaianya sudah tinggi sekali. Namun biasanya orang itu menemui
keajaiban yang langka, atau kebanyakan bersifat ilmu dari golongan sesat yang setengah
dipaksakan. Biarpun bisa mencapai taraf yang cukup tinggi, tapi biasanya juga ada efek
sampingan yang kelak akan mencelakai diri sendiri…”
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya. Sepasang matanya menyorotkan sinar tajam,
pandangannya perlahan-lahan menyapu ke arah para hadirin yang berkumpul di ruangan
tersebut. Tampak mereka mendengarkan dengan penuh perhatian, tanpa sadar bibirnya
mengembangkan seulas senyuman. Setelah itu dia baru meneruskan lagi kata-katanya…
“Umumnya ilmu silat tidak dapat dipilih-pilih jenis tertentu, misalnya ilmu tinju atau
pukulan saja. Karena pengaruhnya kurang hebat sehingga mudah dikalahkan lawan. Juga
tidak mungkin sekali belajar langsung bisa, kecuali seperti yang pinto katakan di atas tadi.
Umpamanya orang itu menemui suatu keajaiban, boleh dibilang tidak ada cara untuk
belajar semacam ilmu dalam waktu yang cepat. Namun selama ini pinto hidup
mengasingkan diri di Yang Sim An. Pernah satu kali ketika sedang bersemedi, tanpa
sengaja pinto menemukan pengetahuan bahwa ilmu silat dari perguruan manapun
mempunyai kelebihan dalam menghadapi lawan. Untuk memecahkan rahasia tersebut,
bagi orang yang berotak cerdas tentu tidak sulit untuk memahaminya. Setelah memahami
rahasia tersebut, bukan saja waktunya dapat dipersingkat, bahkan pengaruhnya boleh
dibilang sangat ajaib. Bukan hal yang dapat dibayangkan oleh orang biasa, Waktu
semalam, bagi Pinto sudah lebih dari cukup. Orang yang mempelajarinya dan ingin
memahami rahasianya harus memusatkan perhatian yang sepenuhnya, tubuh dan pikiran
harus menyatu. Persis seperti seorang pertapa yang masuk dalam detik kehampaan. Tidak
boleh terkena sedikitpun rasa terkejut atau gangguan di saat tersebut. Apabila hal ini
sampai terjadi, bukan saja ilmu silatnya dapat menyurut, namun ada kemungkinan urat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
nadi dalam tubuhnya membengkak sehingga darahnya mengalir secara terbalik. Dengan
demikian orang itu akan menjadi cacat seumur hidup. Justru karena sebab inilah, pinto
memberanikan diri meminta perlindungan dari dua orang jago berilmu tinggi untuk
berjaga-jaga berhadap segala kemungkinan.”
Mendengar kata-katanya yang demikian berat serta serius, Yibun Siu San dapat
membayangkan pentingnya masalah ini. Meskipun pada dasarnya dia orang yang cerdas
dan banyak akal, tetapi setelah mendengar ucapan Tian Bu Cu yang sangat serius itu,
untuk sesaat dia tidak bisa menentukan siapa yang cocok mendapat tugas yang berat ini.
Lagipula dia juga tidak enak hati menunjuk seseorang yang belum tentu rela
melakukannya. Hanya sepasang matanya yang mengedar kepada paya hadirin.
Cu Mei yang merupakan salah satu dari Ciong San Suang Siu melihat para hadirin
semuanya merenung tanpa mengucapkan sepatah sepatah katapun. Dia sendiri juga
menundukkan kepalanya berpikir sejenak, ke-mudian dia mendongakkan kepalanya
kembali menatap abang angkatnya Yi Siu. Setelah itu tampak bibirnya mengembangkan
seulas senyuman.
“Cayhe dua kakak beradik bersedia menjadi pelindung Totiang untuk satu malam…”
Belum lagi ucapannya selesai, tampak Liang Fu Yong berjalan keluar dari tempatnya
dengan langkah gemulai. Ketika sampai di hadapan Tian Bu Cu, dia langsung menjatuhkan
dirinya berlutut di hadapan orangtua tersebut. Dari mulutnya terdengar suara yang lembut
dan merdu, “Tecu menghadap Insu (guru yang budiman).”
Tian Bu Cu tersenyum simpul. Lengan pakaiannya dikibaskan, serangkum tenaga yang
lembut segera terpancar keluar dan menahan tubuh Liang Fu Yong yang akan
menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
“Sekarang masih belum waktunya upacara penyembahan menghadap guru, kau
bangunlah.”
Liang Fu Yong jadi tertegun mendengar ucapannya. Dia benar-benar tidak mengerti
apa sebenarnya yang terkandung dalam hati tokoh sakti tersebut. Terang-terangan dia
sudah berani mengumumkan di depan orang-orang bahwa dia akan menerimanya sebagai
murid, tetapi mengapa dia tidak mau menerima penghormatannya? Tetapi biar bagaimana
Liang Fu Yong tidak berani lancang menanyakan hal tersebut. Perlahan-lahan dia berdiri
dan berjalan kembali ke tempatnya semula dengan kepala tertunduk.
Saat ini Cu Mei sudah mendorong mejanya dan bangkit dari tempat duduk. Dia menjura
kepada Tian Bu Cu dan berkata, “Silahkan!” dia langsung membalikkan wajahnya dan
mengajak Yi Siu berjalan keluar.
Tian Bu Cu juga menjura ke sekeliling ruangan itu untuk menyalami para hadirin.
Kemudian dia menggapai kepada Liang Fu Yong agar mengikutinya. Tampak jubahnya
yang longgar berkibar-kibar ketika kakinya melangkah. Tampaknya santai-santai saja
tetapi dalam sekejap mata sudah berada jauh dari pandangan.
Setelah keempat orang itu tidak terlihat lagi, Yibun Siu San baru menanyakan
pengalaman Tan Ki beserta yang lainnya selama meninggalkan Tok Liong Hong. Ketika
mendengar cerita Tan Ki, si pengemis cilik serta Liu Mei Ling yang bertemu dengan si
gadis berpakaian putih, sepasang alisnya langsung mengerut. Yibun Siu San sendiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
termasuk orang yang periang. Jarang terlihat dia bermuram durja kecuali ada sesuatu
yang gawat sekali. Terdengar suara mendesah dari bibirnya. Untuk beberapa lama dia
menundukkan kepalanya merenung. Matanya terpejam rapat-rapat, tampaknya dia ingin
memusatkan seluruh pikirannya untuk menebak asal-usul si gadis berpakaian putih. Tetapi
sampai cukup lama dia masih tidak terpikir siapa tokoh terkenal di dunia Kangouw ini yang
memelihara seekor elang raksasa.
Cian Cong melihat dia memejamkan matanya dan menundukkan kepalanya merenung
sekian lama. Bahkan hampir sepeminuman teh lamanya, sang sahabat tidak mengucapkan
sepatah katapun. Tanpa terasa hatinya juga terasa pilu dan getir, karena dia juga seorang
tokoh Bulim yang sudah mempunyai nama besar. Mula-mula mendengar cerita Tan Ki
tentang si gadis berpakaian putih, dia juga menguras otaknya berpikir sampai lama sekali.
Namun seperti juga Yibun Siu San saat ini, dia tidak ingat ada seorang Cianpwe seperti
yang dikatakan oleh Tan Ki. Dengan demikian, dia paham sekali bagaimana penasarannya
perasaan hati Yibun Siu San saat ini. Melihat keadaan ini, dia merasa iba terhadap
rekannya itu, tetapi Tan Ki pernah memohon agar tidak mengatakan siapa gadis itu
kepada orang lain, kecuali kalau keadaan benar-benar mendesak. Oleh karena itu dia
langsung mendongakkan kepalanya tertawa terbahak-bahak. Dia sengaja ingin
mengalihkan pikiran Yibun Siu San. Setelah itu terdengar dia berkata dengan suara keras.
“Setelah mendengar kalian berunding tadi, tampaknya setelah si pengemis tua
meninggalkan Tok Liong-hong, telah terjadi suatu urusan yang hebat. Bahkan si pengemis
tua melihat kau sampai mencak-mencak dan seperti cacing kepanasan saja. Sedikit-sedikit
mengatakan ingin mengadu jiwa dengan orang. Sebenarnya urusan apa yang membuat
kalian demikian panik tidak karuan?”
Mendengar suara tawanya yang memekakkan telinga, Yibun Siu San langsung tersentak
dari lamunan. Mulutnya mengeluarkan suara seruan terkejut seakan baru teringat lagi
akan masalah itu. Perlahan-lahan dia menepuk batok kepalanya sendiri kemudian tertawa
getir.
“Kalau diceritakan sejak awal, tentu memakan waktu yang cukup panjang. Rekan-rekan
yang hadir di sini tadinya sudah mempersiapkan diri berjaga-jaga terhadap segala
kemungkinan, tetapi pada saat kejadian, mereka sendiri mendapat lawan yang setimpal.
Aih, diungkit kembali masalah ini hanya mengesalkan saja. Lebih baik tidak usah
diceritakan lagi.”
Sepasang mata Cian Cong memancarkan sinar yang tajam.
“Benarkah orang-orang dari Lam Hay dan Si Yu mempunyai nyali demikian besar
sehingga berani mengacau di puncak Tok Liong-hong?”
“Apabila Cian-heng ingin melihat buktinya, malam ini atau besok malam ada
kemungkinan mereka akan menyelinap lagi ke mari. Pada saat itu Cian-heng dapat’melihat
sendiri sampai di mana besarnya nyali mereka. Malah mungkin engkau dan aku terpaksa
harus bertarung mati-matian untuk mempertahankan selembar nyawa tua ini.” berkata
sampai di sini, tiba-tiba terdengar Cian Cong mendengus dingin. Hatinya jadi tercekat. Dia
maklum sekali kalau orangtua yang satu ini mudah sekali terbakar hatinya. Mungkin
ucapannya tadi tanpa sadar telah membangkitkan sikapnya yang keras kepala dan tidak
mau mengalah kepada siapapun. Oleh karena itu, Yibun Siu San cepat-cepat
menghentikan kata-katanya dan membungkam seribu bahasa. Sejenak kemudian dia barumenoleh
ke arah Tan Ki dan si pengemis cilik lalu melanjutkan kata-katanya…
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Orang-orang dari angkatan muda ini pasti lelah sekali setelah melakukan perjalanan
yang demikian jauh. Mana wajah mereka begitu kotor seperti sudah satu minggu tidak
membasuh diri. Sudah seharusnya kita sebagai yang tua membiarkan mereka beristirahat
dan membersihkan tubuh masing-masing. Berdiri di sini mendengarkan orang-orang tua
berceloteh tentu mereka tidak biasa. Setelah makan malam nanti, baru kita bagi tugas
kepada mereka.”
Si pengemis cilik dan Hek Lohan memang sejak tadi sudah menunggu kata-katanya ini.
Mereka cepat-cepat menjura kepada Yibun Siu San dan Cian Cong. Setelah itu mereka
mengajak Yang Jen Ping, Ban Jin Bu dan Goan Yu Liong keluar dari ruangan tersebut.
Tan Ki melirik sekilas kepada Liu Mei Ling, kemudian dia mengajaknya kembali ke
kamar mereka.
* * * *
Ketika Mei Ling selesai membasuh diri, dia sudah mengganti pakaiannya dengan gaun
berwarna putih yang indah sekali. Di bawah cahaya lentera yang remang-remang, kesan
yang ditampilkan gadis ini benar-benar demikian anggun laksana seorang dewi kahyangan.
Semakin diperhatikan rasanya semakin menawan. Tan Ki sampai memandangnya dengan
terpesona. Dia merasa isterinya itu semakin cantik dan dewasa setelah mengalami
berbagai kejadian yang hebat. Untuk sesaat dia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan
menghampirinya dengan tergesa-gesa lalu memeluk pinggangnya yang ramping. Dua
pasang mata bertemu. Untuk beberapa saat mereka saling pandang. Tidak ada
seorangpun yang mengucapkan sepatah kata karena di saat seperti ini, kata-kata sama
sekali tidak diperlukan. Dari sinar mata mereka sudah terpancar seribu kalimat.
Kedua pemuda pemudi itu berdiri berpelukan dengan penuh perasaan. Entah berapa
lama sudah berlalu. Tiba-tiba Tan Ki menggerakkan tangannya dan merangkul Mei Ling
erat-erat.
“Ling Moay, sudah waktunya kita beristirahat.”
Begitu dia menundukkan kepalanya, dia melihat wajah isterinya itu merah jengah dan
tersipu-sipu. Matanya menyorotkan sinar yang lembut. Setelah pandangan mereka
bertemu, cepat-cepat dia menundukkan kepalanya. Sikapnya seperti pemalu sekali.
Namun mengandung kejinakan seperti seekor domba. Kepalanya menyandar di bahu Tan
Ki.
Tan Ki langsung memondongnya menuju tempat tidur…
Saat itu merupakan hari keempat pernikahan mereka. Tetapi baru sekarang mereka
mendapat kesempatan berkasih-kasihan sebagaimana layaknya sepasang pengantin baru.
Pasti dapat dibayangkan gairah yang bergejolak dalam dada mereka.
****
Waktu berlalu bagai kuda yang dipecut, sebentar saja sudah kurang lebih kentungan
kedua. Rembulan yang sejak tadi menyembunyikan diri berusaha mengintai dari balik
awan tebal. Cahayanya begitu redup dan angin musim semi bertiup semilir melambaikan
dedaunan yang berguguran.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seluruh Tok Liong-hong dicekam keheningan. Pada saat seperti ini seharusnya setiap
orang sudah pulas dalam mimpi indah. Suasana di sekitar bukit tersebut gelap gulita. Tak
terlihat setitikpun sinar penerangan. Sebetulnya keadaan seperti itu sudah biasa selama
pertandingan berlangsung. Para hadirin maupun orang-orang yang mengikuti
pertandingan tentunya sudah merasa letih dan ingin istirahat yang cukup. Namun suasana
malam ini memang agak berlainan karena diliputi ketegangan sejak ada gangguan malam
yang lalu. Terasa ada bahaya yang mengintai di mana-mana sehingga tidak ada
seorangpun yang dapat tidur dengan nyenyak.
Tiba-tiba di bawah sinar rembulan yang remang-remang tampak sesosok bayangan
berkelebat. Gerakannya bagai seekor burung yang sangat lincah. Dalam waktu yang
singkat, dia sudah berada di pertengahan bukit Tok Liong-hong tersebut. Sekali loncat saja
dia dapat mencapai jarak sejauh enam tujuh depa.
Kalau ditilik dari kecepatannya, tampaknya kepandaian orang ini tidak dapat dipandang
ringan. Bahkan Kok Hua Hong dan Ban Jin Bu yang bersembunyi di kegelapan menjadi
terkejut bukan kepalang. Kemungkinan besar ilmu orang itu malah lebih tinggi dari
pendekar pedang tingkat tujuh.
Justru ketika Kok Hua Hong masih menimbang-nimbang, orang yang muncul itu sudah
sampai di atas puncak bukit Tok Liong-hong.
Hati Kok Hua Hong menjadi panik. Walaupun sadar dirinya bukan tandingan orang itu,
tetapi biar bagaimana dia mendapat tugas untuk menjaga pos pertama. Urusannya bisa
gawat sekali. Oleh karena itu dia tidak berpikir panjang lagi, mulutnya segera
membentak…
“Siapa yang nyalinya besar berani menyelinap ke puncak bukit Tok Liong-hong ini?”
tubuhnya melesat ke bawah, dia meloncat turun dari gerombolan dedaunan pohon siong
yang lebat. Di tengah udara dia mengeluarkan senjatanya yang berbentuk pancingan.
Begitu sampai di atas tanah, tanpa membuang waktu lagi, dia melancarkan sebuah
serangan ke arah orang yang menyelinap tadi.
Tampak orang itu menggeser tubuhnya sedikit, lengan jubahnya yang longgar
dikibaskan. Segera terasa ada serangkum arus tenaga yang kuat terpancar keluar dan
menahan datangnya serangan Kok Hua Hong.
Hati Kok Hua Hong diam-diam tercekat. Dia tidak berani melancarkan jurus kedua.
Tubuhnya menjungkir balik ke belakang dan tahu-tahu dia sudah mencelat mundur sejauh
tujuh delapan depa. Begitu pandangan matanya dipusatkan, dia melihat Yibun Siu San
sudah mengganti pakaiannya dengan jubah panjang yang longgar. Di belakang pundaknya
tersampir sebatang pedang pusaka. Pinggangnya diikat dengan sehelai selendang yang
lebar, wajahnya tetap ditutup dengan sehelai cadar tipis. Justru karena penampilannya
yang berbeda, maka Kok Hua Hong sampai tidak mengenalinya tadi. Sepasang matanya
menyorotkan sinar yang tajam, bibirnya tersenyum lembut.
“Tentunya kau terkejut sekali.” katanya. Setelah tertegun sejenak, Kok Hua Hong baru
pulih kembali. Dia segera menjura sambil tertawa lebar.
“Tadinya aku mengira gerombolan penjahat itu balik lagi, hampir saja…”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba tampak dua titik asap api melesat ke angkasa
dari jarak beberapa li di kaki bukit. Setiap cahaya api itu ada tiga titik. Begitu melesat ke
angkasa, titik api itu meletus menjadi percikan seperti bintang yang berkilauan, sejenak
kemudian baru luruh kembali ke bawah bagai curah hujan.
Melihat pihak Si Yu kembali menggunakan cahaya api sebagai isyarat, Yibun Siu San
segera tahu bahwa mereka kali ini ingin berkun-jung secara terang-terangan. Tanpa dapat
ditahan lagi hidungnya mengeluarkan suara dengusan yang berat. Dia menoleh kepada
Kok Hua Hong seraya berkata, “Bersiap-siaplah, lakukan seperti rencana semula. Sebelum
datangnya hujan dan badai, pasti cuaca terang dan keadaan tenang. Aku akan memeriksa
tempat lainnya!” selesai berkata, dia tidak menunggu jawaban dari Kok Hua Hong.
Tampak tubuhnya berkelebat. Secepat kilat dia melayang pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah Yibun Siu San pergi, Kok Hua Hong mengedarkan pandangannya ke sekeliling
tempat tersebut. Setelah yakin tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Dia baru
menggerakkan tubuhnya melesat ke atas pohon serta kembali menyembunyikan diri di
balik gerombolan dedaunan yang lebat.
Pohon Siong ini tingginya kurang lebih tujuh delapan depa, orang yang bersembunyi di
atasnya dapat melihat pemandangan di selatar lembah tersebut sementara jejaknya
sendiri tidak mudah diketahui oleh lawan.
Baru saja dia duduk dengan tenang di atas sebatang ranting pohon. Tiba-tiba
telinganya menangkap suara siulan panjang yang tidak berhenti-henti. Nadanya kadang
melengking kadang rendah, hal ini membuktikan bahwa pihak musuh sama sekali tidak
berniat menutupi kedatangan mereka.
Setelah beberapa saat suara siulan tadi terdengar, suasana kembali sunyi seperti
semula. Tetapi di balik keheningan ini terselip hawa ketegangan yang mencekam hati.
Angin menderu-deru melambai-lambaikan rerumputan. Terdengar suara desiran yang
lembut, membuat suasana semakin menyeramkan. Meskipun Kok Hua Hong termasuk
tokoh tua yang sudah banyak pengalaman dan Ban Jin Bu adalah seorang pemuda yang
pemberani, namun dalam keadaan seperti ini, mereka juga merasa agak ngeri dan
jantungpun berdebar-debar.
Justru ketika kedua orang itu merasa tegang dan mulai tidak sabar. Tiba-tiba di puncak
bukit terlihat belasan sosok bayangan berkelebat. Gerakan mereka begitu ringan laksana
angin yang berhembus. Hal ini menandakan bahwa di antara rombongan ini tidak ada
satupun yang kepandaiannya lemah.
Kok Hua Hong yang melihatnya sampai merasa panik. Tanpa dapat ditahan lagi
sepasang alisnya mengerut ketat. Diam-diam hatinya berpikir: ‘Tampaknya orang-orang
yang datang ini semuanya berilmu tinggi. Apabila mereka nanti menyerbu dengan
kekerasan, pos pertama ini pasti sulit dipertahankan lebih lama.
Ketika pikirannya masih bekerja, tiba-tiba telinganya kembali menangkap suara siulan
yang panjang. Kali ini nadanya lebih melengking dari yang tadi. Suaranya bagai gerungan
seekor naga sakti yang demikian memekakkan telinga. Mendadak belasan sosok bayangan
itu berpencaran ke segala penjuru. Setiap rombo ngan terdiri dari tiga orang. Semuanya
ada empat kelompok yang dalam waktu bersamaan berpencar ketiga penjuru, yakni utara,
timur dan selatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hal ini terjadi dalam sekejap mata. Rombongan yang pertama berlari secepat kilat dan
sebentar saja mereka sudah mendekati tempat persembunyian Kok Hua Hong dan Ban Jin
Bu.
Terdengar Kok Hua Hong mengeluarkan suara tawa yang panjang. Tubuhnya melesat
turun dari atas pohon. Senjatanya sudah siap di tangan dan dia menghadang di hadapan
rombongan orang itu. Telinganya mendengar suara kibaran pakaian yang mendesir.
Ternyata Ban Jin Bu juga sudah ikut melayang turun dan mendarat tepat di sampingnya.
Begitu pandangannya diedarkan, dia melihat salah satu dari orang-orang tersebut
hanya bermata satu dan bibirnya sumbing. Dia adalah seorang tua yang wajahnya jelek
sekali. Di sebelah kanannya berdiri seorang laki-laki setengah baya berusia kurang lebih
empat puluh lima tahun, tubuhnya kekar dan berpakaian seperti tukang pukul. Orang di
sebelahnya merupakan orang yang paling pendek dalam rombongan mereka. Tingginya
kurang dari satu setengah meter. Dilihat sepintas lalu seperti gelundungan bola saja.
Begitu bulatnya sehingga tampak menggelikan. Wajahnya persis orang yang baru keluar
dari tong oli. Hitamnya sampai mengkilap. Begitu gelapnya kulit orang itu sehingga sulit
bagi orang untuk menaksir usianya yang tepat. Di bahunya terselip sepasang golok,
sedangkan di pinggangnya menggantung serenceng pisau terbang dan piauw. Hal ini
menandakan bahwa orang ini mempunyai keahlian dalam bidang senjata rahasia.
Pengetahuan maupun pengalaman Kok Hua Hong cukup luas. Melihat tampang orangorang
itu yang luar biasa lagipula pandangan matanya menyorotkan sinar tajam, dia
langsung sadar bahwa masing-masing orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi dan
istimewa. Diam-diam dia bersiap sedia terhadap segala kemungkinan. Setelah
memperhatikan orang itu satu per satu, tampak dia menggetarkan senjatanya yang
berbentuk bambu pancingan.
“Saudara bertiga malam-malam menyelinap ke puncak bukit tanpa menyebutkan nama
masing-masing dan juga tidak memberitahukan terlebih dahulu. Entah maksud apa yang
terkandung dalam hati kalian?” bentaknya keras.
Orangtua yang wajahnya jelek sekali dan rambutnya sudah memutih itu mengeluarkan
suara tertawa yang dingin.
“Lohu bernama Ho Tiang Cun, menjabat sebagai Tongcu dari Lam Hay Bun. Selama ini
hanya ada orang lain yang memberitahukan ataupun mengirim undangan apabila ingin
berkunjung. Lohu sendiri belum pernah melakukan yang sebaliknya, apalagi meminta ijin
memasuki suatu wilayah.”
Kok Hua Hong langsung mendengus dingin mendengar kata-katanya yang pongah.
“Cukup besar juga mulutmu itu!” sindirnya.
“Lumayan! Lumayan!”
Melihat orangtua itu baru datang saja sudah begitu sombong, tanpa terasa hawa
amarah dalam dada Kok Hua Hong meluap juga.
“Di puncak bukit Tok Liong-hong ini sedang berkumpul para jago kelas tinggi dari
daerah Tionggoan. Nama mereka sudah terkenal di mana-mana. Kalau dibandingkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan berdirinya dunia Bulim kami yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun, satu Lam
Hay Bun saja belum berarti apa-apa. Apalagi hanya seorang yang menjabat kedudukan
Tongcu, benar-benar bagai seekor katak dalam tempurung yang belum pernah melihat
luasnya bumi tingginya langit, sehingga berani mengacaukan daerah Tionggoan!”
Ho Tiang Cun mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
“Justru karena hal inilah, maka lohu tidak perduli perjalanan sejauh ribuan li untuk
melihat buktinya sendiri. Kau juga tidak perlu menghalangi kegembiraan hati lohu ini.
Cepat minggir!” baru saja ucapannya selesai, tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat
menerjang ke depan. Kebesaran nyalinya dan kecepatan gerakan tubuhnya benar-benar di
luar dugaan Kok Hua Hong maupun Ban Jin Bu.
Wajah Kok Hua Hong langsung berubah hebat. Dia benar-benar terkejut sekali. Baru
saja dia bermaksud menggeser kakinya menghindar untuk kemudian baru memikirkan
cara menghadapi orang ini, tiba-tiba dia melihat cahaya berkelebat dan suara angin yang
mendesir. Rupanya Ban Jin Bu yang berjiwa muda tidak dapat menahan kemarahan
hatinya lagi melihat lagak orangtua yang menyebalkan ini. Tanpa berpikir panjang, dia
sudah menggerakkan golok pusakanya menyambut ke depan.
Tampak Ho Tiang Cun tertawa terbahak-bahak.
“Anak baru gede sudah cari mati!” telapak tangan kanannya terulur ke depan. Dengan
jurus Naga Mencengkeram Dari Balik Awan, serangkum tenaga dahsyat langsung
terpancar keluar dan menerjang pergelangan tangan Ban Jin Bu yang menggenggam
golok.
Golok milik Ban Jin Bu ini benar-benar merupakan pusaka yang diwariskan turun
temurun dalam keluarganya. Bukan saja sangat tipis, tetapi apabila digerakkan akan
menimbulkan daya tolak yang lembut. Pengaruh yang terpancar sangat ajaib, namun
mempunyai daya yang sangat ringan sehingga orang yang menggenggamnya tidak
merasa berat sebagaimana golok biasanya yang mempunyai bobot berat. Jurus-jurus
serangannya pun jauh berbeda dengan ilmu golok umumnya.
Ho Tiang Cun mengira tenaga dalamnya yang sudah dilatih kurang lebih tujuh puluh
tahun pasti tidak dapat ditahan oleh pemuda ingusan itu. Dari segi pengalaman saja pasti
ia jauh lebih banyak daripada Ban Jin Bu. Gerakan serangannya kali ini begitu cepat
sehingga sulit diikuti pandangan mata yang kurang tajam. Dia sudah yakin bahwa
serangannya kali ini pasti akan mencapai sasaran dengan telak. Entah bagaimana, tibatiba
terlihat golok di tangan Ban Jin Bu berputaran. Gerakan golok itu berubah tepat di
saat serangannya hampir mengenai pergelangan tangan Ban Jin Bu. Perubahan yang
mendadak itu benar-benar di luar dugaannya. Tahu-tahu golok itu malah mengincar
pergelangan tangannya sendiri!”
Rasa terkejutnya kali ini benar-benar luar biasa. Tetapi biar bagaimana dia adalah
seorang pemimpin dari rombongan tersebut. Ilmunya termasuk paling tinggi di antara
ketiga orang itu. Tentu memalukan baginya apabila dia sampai tersungkur roboh dalam
satu jurus di tangan anak yang baru gede pula. Wajahnya mengeluarkan suara siulan yang
keras. Telapak tangan kanannya menekuk sedikit, dengan jurus Burung Bangau Mematuk
Ikan dia menyambut datangnya serangan golok Ban Jin Bu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ketika dia melancarkan serangan ini, kejadiannya benar-benar cepat sekali, kekuatan
yang terpancar sungguh dahsyat, Kok Hua Hong yang melihatnya sampai tertegun, diamdiam
hatinya berpikir: ‘Mengapa dia menyambut serangan golok dengan tangan kosong,
malah menggunakan cara keras lawan keras pula, bukankah ini yang dinamakan gilagilaan?’
Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata yang terbuat dari logam. Tanpa dapat di
tahan lagi dia segera mendongakkan wajahnya memandang. Tampak golok Ban Jin Bu
tertangkis oleh orangtua itu begitu kuat. Anak muda itu sampai merasa lengannya
kesemutan dan dadanya seperti diselimuti hawa panas, orangnya sendiri berdiri dengan
termangu-mangu.
Dari luar memang tampaknya Ho Tiang Cun ini menghadapi lawan dengan tangan
kosong dan tidak berbekal senjata apapun. Tetapi sebetulnya tangan kiri orang itu
memakai sebuah sarung tangan yang terbuat dari besi. Dengan demikian, selain dia dapat
melindungi telapak tangannya, juga dapat digunakan untuk menangkis senjata tajam.
Kalau bukan orang yang mawas sekali, tentu tidak akan tahu kalau tangan itu memakai
sarung besi.
Karena mula-mula Ho Tiang Cun memandang ringan lawannya, hampir saja dia terkena
serangan Ban Jin Bu. Justru karena hal ini pula, hawa pembunuhan dalam dadanya
bangkit seketika. Saat ini melihat Ban Jin Bu masih berdiri dengan terkesima, dengan jurus
Bintang Mengejar Rembulan, sarung tangan besinya kembali menghantam ke depan.
Ditangkis dengan tenaga yang kuat oleh Ho Tiang Cun, golok di tangan Ban Jin Bu
hampir saja terlepas. Kali ini melihat serangan orangtua itu malah lebih hebat dari yang
pertama, mana mungkin dia berani menyambut lagi dengan kekerasan. Tubuhnya
mencelat ke udara, setelah berjungkir balik satu kali, dia melayang mundur sejauh satu
depa lebih.
Si gemuk pendek berwajah hitam dan laki-laki bertubuh kekar tiba-tiba bergerak dan
menghambur ke atas, mereka lewat di samping tubuh Kok Hua Hong dengan niat
menyelinap ke puncak bukit.
Kok Hua Hong segera merentangkan bambu pancingannya yang panjang. Mulutnya
memperdengarkan suara tawa terbahak-bahak.
“Tunggu dulu, tunggu dulu! Walaupun anak muda itu tidak begitu becus, masih ada aku
si tua b angka ini!”
Sembari berkata, dia menghentakkan bambu pancingannya di udara sehingga
berputaran dua kali. Saat itu juga tampak gulungan bayangan yang timbul dari
pancingannya dan seakan menyelimuti sekitar dirinya. Tenaga dalam Kok Hua Hong sudah
termasuk tinggi juga. Meskipun hanya sebuah pancingan yang biasa-biasa saja bahkan
halus sekali, namun berkat hentakan tenaga dalamnya yang kuat, maka pancingannya itu
dapat menjadi sebatang senjata yang hebat, begitu digerakkan terdengar suara angin
menderu-deru. Si gemuk pendek berwajah hitam dan laki-laki kekar tadi terdesak
sedemikian rupa sehingga membatalkan niatnya mendaki puncak bukit. Mereka terpaksa
membalikkan tubuh lalu menangkis serangan Kok Hua Hong tersebut.
Ilmu silat kedua orang itu boleh dibilang sebanding dengan pendekar pedang tingkat
delapan, sedangkan Kok Hua Hong sendiri juga ditaksir oleh Yibun Siu San mempunyai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepandaian yang setara. Dengan satu melawan dua musuh, tadinya hanya ia lakukan
karena emosi sesaat. Dia tidak berpikir panjang lagi. Dengan segenap kemampuan dia
menghadapi dua orang lawan itu. Tetapi lama kelamaan, dia mulai kewalahan, keringat
sudah membasahi keningnya. Bayangan yang timbul dari pancingannya mulai memudar,
kalau tadinya menyelimuti sampai sejauh satu depaan, sekarang hanya kurang dari
setengah depa saja.
Si gemuk pendek dan laki-laki kekar pada dasarnya memang orang yang licik. Melihat
kesempatan yang bagus itu, mereka segera menggencarkan serangannya. Begitu
terdesaknya Kok Hua Hong sampai ia terpaksa menahan di kanan menangkis’di kiri.
Keadaannya mulai terperangkap dalam bahaya.
Ban Jin Bu melihat keringat dingin terus menetes dari kening Kok Hua Hong, selembar
wajahnya pun sudah basah oleh keringat. Nafasnya tersengal-sengal. Tahu situasi
orangtua itu mulai genting, hatinya menjadi panik sekali. Meskipun dia sadar
kepandaiannya sendiri masih tidak berarti apa-apa dibandingkan mereka bertiga, tetapi dia
tidak sempat mempertimbangkan lebih banyak lagi. Golok di tangannya berputar, dia
berniat menerjang ke depan dan mengadu jiwa dengan kedua orang dari pihak musuh itu.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang keras dan memekakkan telinga, sesosok
bayangan hitam melesat datang lewat atas kepalanya. Orangnya belum sampai, sebatang
pedang bambu yang ada di tangannya sudah meluncur bagai kilat ke arah laki-laki
bertubuh kekar. Kecepatannya tidak kalah dengan hembusan angin, kekuatan yang
terpancar dari pedang bambu itu dahsyat sekali.
Laki-laki bertubuh kekar dan bercambang lebat itu langsung tergetar mundur dua
langkah oleh serangan yang datangnya mendadak ini.
Kok Hua Hong sendiri segera merasa bebannya jauh lebih ringan karena satu lawannya
sudah tergetar mundur. Semangatnya juga terbangkit kembali. Sepasang lengannya
digetarkan dan pancingannyapun berputaran di udara. Dengan jurus ‘Bangau
Membentangkan Sayap’ dan Im Yang Memutar Arah, sekali gerak dia melancarkan dua
jurus serangan. Saat itu juga bayangan pancingannya bergulung-gulung bagai ombak di
lautan. Laki-laki gemuk pendek berwajah hitam itu juga melihat semangat Kok Hua Hong
sudah terbangkit kembali. Suara yang timbul dari pancingannya menggetarkan hati orang
itu. Untuk sesaat dia malah tidak berani menyambut serangan Kok Hua Hong. Dari
menyerang sekarang dia malah mempertahankan diri. Kakinya mencelat mundur sejauh
lima langkah. Tampak tangannya bergerak ke belakang, terlihatlah cahaya putih yang
berkilauan, sepasang golok yang tersampir di punggungnya sudah dicabut keluar.
Kok Hua Hong tertawa terbahak-bahak.
“Sekarang kita duel satu lawan satu. Berarti setali tiga uang, pokoknya belum ada yang
rubuh tidak boleh berhenti. Harus bertarung sampai tarikan nafas yang terakhir!”
Pancingannya dihentakkan, dengan sengit dia menyapunya ke depan. Saat itu juga
terlihat cahaya golok berpijar-pijar, bayangan pancingan bergulung-gulung. Keduanya
merupakan pendekar pedang tingkat delapan. Siapapun mencari peluang untuk
melancarkan serangan terlebih dahulu. Dari lambat mereka bertarung, semakin lama
semakin cepat. Setelah sepuluh jurus ke atas, sulit lagi membedakan mana kawan dan
mana lawan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, Ho Tiang Cun sudah melihat jelas orang yang tadi muncul memberikan
bantuan kepada Kok Hua Hong. Rambut serta jenggotnya sudah memutih. Pakaiannya
lusuh serta penuh tambalan. Baik tampang maupun penampilannya menyebalkan. Tangan
kanannya menggenggam sebatang pedang bambu, di pinggangnya tergantung sebuah
hiolo arak. Kalau ditilik dari semuanya ini, mirip dengan si pengemis sakti Cian Cong yang
pernah didengarnya ketika masih di Lam Hay. Oleh karena itu dia segera
memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Apakah si tukang minta-minta tua ini Cian Cong sendiri adanya?” tanyanya datar.
Cian Cong memperlihatkan senyuman yang angkuh.
“Kalau melihat tampang mukamu itu, masih belum pantas kau menanyakan siapa
adanya aku ini!”
Selama hidupnya Ho Tiang Cun terkenal orang yangf tinggi hati. Mana pernah dia
menerima penghinaan dari orang lain. Mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong,
saking kesalnya sampai-sampai seluruh tubuhnya bergetar, wajahnya yang jelek berubah
hebat. Sekali lagi dia tertawa dingin. Matanya yang hanya satu ini mengerling ke sana ke
mari. Kemudian dia menatap Cian Cong lekat-lekat. Diam-diam dia mengerahkan tenaga
dalamnya dan siap melancarkan serangan.
Tentu saja hal itu tak luput dari perhatian si pengemis sakti. Sebenarnya dia sudah tahu
kalau Ho Tiang Cun diam-diam mengerahkan tenaga dalamnya, tetapi ilmunya sangat
tinggi dan nyalinya besar sekali. Dia sengaja menatap ke atas langit seakan merenungkan
sesuatu dan tetap pura-pura tidak menyadari.
Sikapnya yang acuh tak acuh justru membuat orangtua bermata satu itu menjadi
semakin waspada. Dia merasa heran atas ketenangan Cian Cong dan untuk sesaat dia
sempat termangu-mangu. Hatinya menjadi bimbang dan tidak berani langsung turun
tangan.
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang bening berkumandang semakin lama semakin
mendekat. Dia segera menolehkan kepalanya. Di bawah cahaya rembulan yang redup,
tiba-tiba tampak tiga sosok bayangan berkelebat. Persis seperti kijang yang berlari dengan
kencang mendatangi ke arah mereka. Dia langsung sadar bahwa bala bantuan pihak
lawan sudah berdatangan. Namun dia masih berdiri dengan angkuh tanpa rasa gentar
sedikitpun. Bahkan terdengar suara dengusan dingin dari hidungnya. Tampaknya dia
sangat yakin sekali dengan kekuatan pihaknya.
Pada dasarnya gerakan yang mereka lakukan malam ini memang melalui rencana yang
matang. Apalagi mereka mempunyai mata-mata di bagian dalam yang akan memberikan
pertolongan seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Pokoknya mereka telah
dijanjikan akan dilindungi secara diam-diam. Rombongannya ini memang bertugas untuk
memencarkan perhatian pihak lawan sehingga kelompok lain yang menuju ke utara,
selatan dan timur dapat melaksanakan kewajiban mereka dengan lancar. Tujuan mereka
yang terutama adalah merusak tempat pertandingan tersebut dan kalau bisa membunuh
pihak musuh sebanyak-banyaknya. Lebih bagus lagi kalau pihak jago musuh bermunculan
semua di tempat tersebut.
Meskipun rombongan Ho Tiang Cun ini hanya terdiri dari tiga orang dan tidak dapat
dibandingkan dengan jumlah orang-orang gagah yang berkumpul di puncak bukit Tok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Liong-hong, yang rata-rata sudah mempunyai nama besar di Tionggoan, tetapi ketiga
orang ini semuanya merupakan tongcu (kepala bagian) dalam perguruan Lam Hay Bun.
Ilmu mereka tinggi sekali. Ho Tiang Cun menjabat tongcu penasehat, kedudukannya tinggi
sekali. Boleh dibilang kedudukan itu hanya di bawah ketuanya sendiri yang menguasai
empat puluh delapan pulau besar kecil. Laki-laki kekar yang berusia setengah baya
bernama Miao Fei Siong itu menjabat sebagai tongcu upacara, dan si gemuk pendek
berwajah hitam merupakan tongcu bagian penyimpanan kitab ilmu silat. Dia juga yang
mengurus para murid Lam Hay Bun serta memperhatikan mereka apabila sedang berlatih.
Seandainya ketiga orang ini digabungkan menjadi satu, walaupun belum dapat dikatakan
jago-jago yang tidak terkalahkan atau sanggup menguasai dunia persilatan, namun sudah
lebih dari cukup untuk menghadapi pendekar pedang tingkat delapan saja. Bagi mereka
tentu bukan masalah yang berat. Oleh karena itu, begitu Ho Tian Cun melihat bala
bantuan dari pihak musuh sudah datang, dia sama sekali tidak merasa gentar. Dengan
tenang dan angkuh dia berdiri tegak di tempat semula.
Terdengar suara bentakan yang keras menyusup ke dalam telinga seiring dengan
hembusan angin. Kok Hua Hong dan Miao Fei Siong sudah terlibat dalam pertarungan
yang sengit. Keadaan kedua orang itu sudah mencapai titik puncak. Mereka sama-sama
mengerahkan segenap kemampuannya dalam menghadapi lawan. Tampak cahaya golok
memijar, bayangan pancingan berkelebat ke sana ke mari. Masing-masing berusaha
mendahului lawannya mencari kesempatan untuk melancarkan serangan yang dahsyat.
Apabila ada salah satu saja yang terpencar sedikit perhatiannya, tentu akan terjadi
pertumpahan, darah atau terkapar mati di atas tanah.
Cian Cong melihat kedua orang itu semakin bertarung semakin sengit, setiap saat
malah ada kemungkinan terjadi hal yang celaka. Meskipun mereka merupakan lawan yang
sebanding, sulit menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka. Tanpa terasa
sepasang alisnya menjungkit ke atas. Diam-diam dia merasa khawatir akan keselamatan
Kok Hua Hong.
Ho Tiang Cun merupakan orangtua yang licik. Melihat perhatian Cian Cong terpencar,
dia segera menggenggam kesempatan emas itu sebaik-baiknya. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun, sepasang telapak tangannya menghantam ke depan. Dua arus tenaga
yang saling susul menyusul terasa begitu dahsyat menerjang ke arah si pengemis sakti
Cian Cong!
Serangannya ini dilancarkan dalam kemarahan yang meluap serta pertimbangan yang
matang. Dengan demikan dapat dibayangkan sampai di mana kehebatannya. Hantaman
telapak tangannya sampai menimbulkan suara angin yang menderu-deru, benar-benar
sebuah serangan yang tidak boleh dianggap remeh.
Namun ilmu silat Cian Cong sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Kalau dilihat dari
luar, tampaknya dia tidak mengadakan persiapan sama sekali. Padahal sejak semula dia
sudah mengerahkan tenaga dalam dan berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan yang
tidak diinginkan. Ketika Ho Tiang Cun melancarkan serangannya, tiba-tiba tubuh orangtua
itu juga berkelebat. Dalam waktu yang bersamaan, tangan kanannya bergerak membalas
sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya!
Terdengar suara dengusan Ho Tiang Cun yang berat, dia mengempos semangatnya
dan tenaga dalamnya pun di tambah lagi satu bagian. Dengan berani dia menyambut
serangan si pengemis sakti Cian Cong.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Terdengar suara benturan dua gulung tenaga dalam. Blammm! Tubuh mereka samasama
tergetar dan menindak mundur sejauh satu langkah. Ho Tiang Cun langsung
memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Rupanya tenaga dalam si pengemis tua tidak lemah juga!”
Cian Cong tertawa terbahak-bahak.
“Terima kasih, terima kasih. Kau makhluk tua ini juga lumayan.”
Mata Ho Tiang Cun yang tinggal sebelah mengedar ke kiri dan kanan. Dia marah sekali
mendengar sebutan Cian Cong pada dirinya.
“Bersilat lidah panjang lebar tidak ada gunanya! Coba kau sambut lagi dua buah
seranganku ini!”
Sembari berkata, telapak tangan kirinya diangkat ke atas. Dengan tenaga dalam yang
telah tersalurkan, kembali dia melancarkan sebuah serangan. Segulung angin yang
kencang segera terpancar keluar seiring dengan gerakan tangannya. Kekuatannya bagai
tanah longsor yang menimbulkan suara keras kemudian menghantam ke depan.
Cian Cong melihat serangan lawan kali ini begitu dahsyat, bahkan lebih hebat dari yang
pertama. Sebagai orang yang wataknya keras, tentu saja dia tidak sudi menunjukkan
kelemahannya. Lengan kirinya mengulur ke depan dan diapun menyambut serangan itu
dengan kekerasan.
Sekali terdengar suara benturan tenaga dalam yang memekakkan telinga. Dua rangkum
tenaga dalam yang tidak berwujud kembali beradu, pasir dan debu di atas tanah
beterbangan memenuhi udara. Kedua orang itu lagi-lagi tergetar mundur sejauh satu
langkah, rupanya mereka masih sama-sama kuat.
Setelah beradu kekerasan sebanyak dua kali, hawa murni di dalam kedua tokoh berilmu
tinggi ini sama-sama banyak terhambur. Untuk sesaat keduanya berdiri di tempat masingmasing
tanpa bergerak sama sekali, mata mereka dipejamkan rapat-rapat dan segera
mengatur pernafasan agar tenaga dapat pulih kembali secepatnya. Tampak dada mereka
bergerak turun naik menandakan nafas mereka yang tersengal-sengal. Keringat dingin
membasahi kening dan masih terus menetes membasahi seluruh wajah. Dari sini terlihat
bahwa untuk beberapa saat mereka tidak punya tenaga untuk mengadakan perlawanan.
Keduanya menggunakan kesempatan yang terbatas itu sebaik-baiknya. Siapa yang lebih
cepat memulihkan tenaga dalamnya, tentu berhasil memenangkan pertarungan ini.
Usia Ban Jin Bu masih muda dan pengalamannya masih cetek. Selama hidupnya dia
belum pernah melihat pertarungan yang demikian hebat. Setelah Cian Cong dan Ho Tiang
Cun mengadu kekerasan sebanyak dua kali, dia melihatnya sampai terlongong-longong.
Matanya terasa berkunang-kunang. Hatinya berdebar-debar, tetapi dia pernah mendengar
dari mulut beberapa orang Cianpwe bahwa mengadu tenaga dalam dengan cara demikian
menghamburkan banyak hawa murni dalam tubuh. Sekarang dia melihat nafas Cian Cong
tersengal-sengal dan keringat terus mengucur dengan deras. Dia tahu saat ini orangtua itu
tidak sanggup bertarung lagi untuk sementara. Sementara itu laki-laki setengah baya
bertubuh kekar yang berdiri di belakang Ho Tiang Cun bersikap mencurigakan. Sepasang
alisnya menampakkan hawa pembunuhan yang tebal. Matanya menatap lekat-lekat ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
arah Cian Cong. Orang yang bermata awas sekali pandang saja pasti akan mengetahui
bahwa orang itu mempunyai niat yang jahat.
Berpikir sampai di sini, hatinya semakin khawatir. Diam-diam dia berpikir…
‘Laki-laki bertubuh tinggi besar ini entah punya maksud apa. Bila dia melakukan sesuatu
yang melanggar peraturan dunia Kang-ouw, dengan membokong secara tiba-tiba.
Cian Locianpwe pasti hanya punya harapan tipis untuk mempertahankan selembar
nyawanya. Kalau aku maju ke depan memberikan bantuan, dengan mengandalkan sedikit
kepandaian yang kumiliki ini, sama saja membenturkan kepala ke batu dan mengantarkan
nyawa dengan percuma. Namun melihat adanya bahaya tetapi diam saja, bukan pula
sikapku pada dasarnya.’
Pikirannya persis seperti kincir angin yang berputar dengan cepat. Namun belum
sempat ia memutuskan langkah apa yang harus diambilnya, tiba-tiba tampak laki-laki
bertubuh kekar itu menggerakkan tubuhnya ke atas setinggi lima depaan. Di tengah udara
sepasang kakinya berputaran kemudian berjungkir balik dengan kepala di bawah,
orangnya sendiri laksana seekor burung yang menukik turun serta melancarkan sebuah
serangan!
Ban Jin Bu melihat serangannya begitu cepat bagai kilat, jantungnya seakan berhenti
berdetak. Serangan orang itu demikian dahsyat. Apabila sampai mengenai si pengemis
sakti Cian Cong, dapat dipastikan nyawa orangtua itu pasti melayang. Kekuatannya paling
tidak mencapai ribuan kati. Keadaan sudah demikian mendesak, tidak sempat lagi Ban Jin
Bu berpikir panjang. Meskipun hatinya masih agak bimbang, namun mulutnya langsung
membentak dengan keras. Lengannya disentak dan tubuhnya mencelat ke udara Dengan
jurus Naga Murka Menerjang Langit, goloknya segera menimbulkan lingkaran bayangan
yang tidak terhitung jumlahnya. De: ngan kecepatan yang tidak terkirakan, dia menerjang
ke arah Miao Fei Siong.
Jurus serangannya ini memang sudah sangat hebat, ditambah lagi suasana hati Ban Jin
Bu yang gugup karena ingin menolong orang. Serangannya ini bukan main dahsyatnya.
Dia telah menggunakan segenap kekuatannya dan otomatis pengaruhnya juga ikut
bertambah hebat.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin dari mulut Miao Fei Siong. Telapak tangannya
menghantam ke depan. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu dia sudah berhasil
menghindar dari kilatan golok Ban Jin Bu, posisinya sendiri masih belum berubah, dia
tetap menerjang ke arah si pengemis sakti Cian Cong.
Ban Jin Bu hanya merasa ada serangkum tenaga yang kuat menahan gerakan
goloknya. Dia segera merasa dadanya agak tergetar dan lengannya kesemutan. Golok
pusaka di tangannya melayang seketika. Tubuhnya sendiri terpental sejauh tiga depaan.
Untung saja sejak kecil dia sudah mendapat latihan ilmu Silat dengan keras. Dalam
keadaan seperti itu dia tidak menjadi panik. Cepat-cepat dia menarik nafas dalam-dalam
dan merentangkan sepasang lengannya sehingga dengan gerakan yang indah dan
perlahan-lahan dia melayang turun kembali di atas tanah tanpa terluka sedikitpun.
Dia segera memusatkan pandangan matanya. Tampak Miao Fei Siong yang menahan
goloknya dengan kekerasan hanya menjadi jambat sedikit gerakannya, namun dia tetap
menerjang ke arah si pengemis sakti Cian Cong. Jaraknya sudah begitu dekat, andaikata
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ban Jin Bu berniat memberikan pertolongan, rasanya hanya sia-sia saja. Begitu paniknya
hati anak muda ini, sampai-sampai air matanya hampir mengalir keluar. Dia hanya
memandang lekat-lekat sambil menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras.
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang beliung dan nyaring. Kemudian disusul dengan
perangkum angin kencang yang menghempas lewat di atas kepala Ban Jin Bu. Sesosok
bayangan berwarna hitam menerjang cepat ke arah Miao Fei Siong.
Suara tawa yang panjang dan dengusan berat terdengar dalam waktu yang bersamaan,
matanya agak berkunang-kunang. Dua sosok tubuh melayang turun di atas tanah saat itu
juga.
Ban Jin Bu segera menenangkan hatinya lalu memusatkan perhatian. Tampak Lok Yang
Sin Kiam Liu Seng sudah menghadang di depan si pengemis sakti Cian Cong. Sepasang
matanya menyorotkan sinar yang dingin. Wajahnya menyiratkan kegusaran yang tidak
terkirakan. Hal ini membuktikan bahwa laki-laki setengah baya yang ilmunya setingkat
dengan pendekar tingkat delapan ini sudah meluap hawa amarahnya karena tindakan
pihak Lam Hay dan Si Yu yang berkali-kali menyerbu ke Tok Liong-hong dengan berani.
Cian Cong masih memejamkan matanya mengatur pernafasan. Tubuhnya tidak
bergerak sama sekali, tetapi bukan berarti dia tidak tahu bahwa ada orang yang mencoba
membokongnya lalu kemudian ada orang pula yang memberikan bantuan kepadanya.
Tiba-tiba dia membuka sepasang matanya dan mendelik ke arah Miao Fei Siong sekilas.
Setelah itu cepat-cepat dia memejamkan matanya kembali.
Sementara itu, dari belakang Ban Jin Bu terdengar suara kibaran pakaian, rupanya Mei
Ling dan Tan Ki juga sudah sampai di tempat tersebut. Dia menolehkan kepalanya
memandang ke arah mereka.
“Tan-heng, bagaimana keadaan di puncak bukit?” tanyanya gembira.
Tampaknya hati Tan Ki juga sedang diliputi kegusaran yang tidak terkirakan,
mendengar pertanyaan itu sepasang alisnya langsung mengerut-ngerut.
“Paman Heng Sang Si beserta dua orang pendekar tingkat delapan yang tidak
kuketahui namanya dan ada lagi enam orang pendekar pedang tingkat tujuh yang
menjaga bagian penyimpanan ransum…”
Belum lagi ucapannya selesai, di bagian utara bukit tersebut tiba-tiba terlihat segumpal
cahaya berwarna kemerahan, tingginya mencapai sepuluh depaan sehingga seluruh bukit
bagai diselimuti awan merah. Dilihat dari kejauhan bagai matahari yang berbentuk
setengah lingkaran. Kalau ditilik dari cahaya itu saja, dapat dipastikan bahwa di bagian
tersebut sedang terjadi kebakaran hebat dan rasanya sulit dipertahankan lagi.
Tan Ki memperdengarkan suara tawa yang dingin. Dia menunjuk ke arah kobaran api
dan berkata:
“Beginilah akibatnya, meskipun paman Heng Sang Si sudah mempertahankan
bagiannya mati-matian dan sekaligus menghadapi tiga orang lawan, namun rekanrekannya
yang merupakan pendekar pedang tingkat delapan sudah tewas satu sedang
yang lainnya terluka parah. Enam orang dari pendekar pedang tingkat tujuh juga sudah
ada empat yang rubuh. Untung saja Sam Siok Yibun Siu San cepat mendengar kabar dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
segera menyusul tiba. Bagaimana kejadian berikutnya aku tidak tahu lagi. Dengar-dengar
di tempat Tian Bu Cu Locianpwe menutup diri juga sudah terlihat adanya jejak musuh…”
Ban Jin Bu menjadi tertegun beberapa saat mendengar keterangannya.
“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas panjang.
“Kau kira hati giheng-mu ini tidak panik sebagaimana keadaanmu sekarang? Orangorang
dari pihak Lam Hay dan Si Yu yang muncul malam ini bukan golongan kelas teri
atau pesilat murahan. Dari tiap kelompok ada tiga orang, salah satunya pasti mempunyai
ilmu yang tinggi dan sebanding dengan pendekar pedang tingkat sembilan. Aku benarbenar
tidak berani membayangkan bencana apa yang akan terjadi di bagian belakang
bukit. Tetapi paman Yibun sudah mengutus empat orang pendekar pedang tingkat
delapan untuk memberikan bantuan kepada Ciong San Suang Siu…”
Kebetulan pada saat itu Mei Ling sudah memungut golok Ban Jin Bu yang terjatuh di
atas tanah dan menyodorkannya kembali kepada anak muda itu. Sementara itu hati Tan Ki
mengkhawatirkan keadaan mertuanya sehingga ia tidak jadi melanjutkan kata-katanya.
Begitu pandangan matanya dialihkan, di tengah arena terlihat dua pasang manusia
sudah terlibat dalam pertarungan yang sengit. Kok Hua Hong dan Tio Hui sudah bertarung
selama setengah kentungan. Baik sepasang golok maupun bambu pancingan melakukan
penyerangan dengan jurus-jurus yang keji dan cepat. Lama kelamaan, keduanya tetap
mempertahankan diri masing-masing dan berusaha menyimpan tenaga dalam untuk akhir
pertarungan nanti.
Di pihak Liu Seng dan Miao Fei Siong, yang satu mengarahkan ilmu pedangnya yang
cepat dan gesit. Sedangkan yang satu menggunakan sepasang senjata berbentuk sayap
burung dan terbuat dari emas. Perhatian keduanya terpusat pada senjata lawan, cara
bertarung mereka agak berlainan dengan Kok Hua Hong yang sedang melawan Tio Hui.
Gerakan mereka jauh lebih lamban. Setiap kali salah satu dari mereka melakukan
penyerangan, yang satunya bertindak mundur dengan perlahan. Seolah-olah mereka
bukan bertarung secara sungguh-sungguh tetapi bagai dua orang yang sedang berlatih.
Namun bagi orang yang mempunyai mata tajam serta berilmu tinggi, tentu tahu bahwa
cara bertarung seperti mereka ini malah lebih banyak menggunakan hawa murni sehingga
keadaannya juga jauh lebih berbahaya apabila dibandingkan dengan duel antara Kok Hua
Hong dengan Tio Hui. Suasana yang tegang meliputi sekitar tempat tersebut. Setiap saat
ada kemungkinan terjadi pertumpahan darah.
Kurang lebih sepenanakan nasi kemudian, nafas Liu Seng maupun Miao Fei Siong mulai
tersengal-sengal. Yang satu matanya merah membara seakan mengandung kobaran api
yang besar. Sedangkan yang satunya mengucurkan keringat terus dan rambutnya seakan
berjingkrakan karena menahan kegusaran hatinya.
Sepasang alis Mei Ling tampak mengerut ketat melihat keadaan itu. Perlahan-lahan dia
menyenggol lengan Tan Ki.
“Tan Koko, coba kau lihat apakah keadaan ayah membahayakan?”
Mata Tan Ki memperhatikan jalannya pertarungan tanpa berkedip sekalipun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Aku tidak tahu, Yok-hu (ayah mertua) merupakan pendekar pedang tingkat delapan.
Ilmu pedangnya sudah mencapai taraf yang cukup tinggi, tetapi senjata lawannya
berbentuk aneh dan rasanya sudah dilatih sampai matang. Setiap jurus serangannya
mengandung kekejian yang tidak terkirakan. Masing-masing ada kelebihannya tersendiri.
Untuk sesaat sulit menentukan siapa yang lebih unggul.”
Tiba-tiba terdengar suara siulan yang nyaring dan dengusan yang berat dalam waktu
bersamaan, saat itu juga Kok Hua Hong dan Tio Hui sama-sama rubuh di atas tanah.
BAGIAN XLIV
Rupanya setelah bertarung sekian lama, Tio Hui yang merasa dirinya mengemban tugas
penting, ingin segera menyelesaikan pertarungan tersebut. Sepasang goloknya berkelebat
ke sana ke mari dengan gencar. Kadang-kadang menangkis kemudian tiba-tiba melakukan
penyerangan. Tampaknya orang itu sudah nekat untuk berduel habis-habisan dengan Liu
Seng. Lama kelamaan Kok Hua Hong menjadi kehabisan sabar, dia menggenggam bambu
pancingannya erat-erat. Segera dikerahkannya jurus Tiga Puluh Enam Kail Pengejar Angin
yang membuatnya terkenal di dunia Kangouw. Tenaga dalamnya yang mengandung
kekuatan ribuan kati dikerahkan secara keseluruhan di tangkai bambu pancingannya,
setiap gerakan mengandung angin yang kencang.
Saat itu juga timbul bayangan pancingannya yang tampak menyapu ke kiri dan kanan.
Pengaruhnya langsung bertambah hebat, pada jarak kurang lebih sepuluh depaan
diselimuti oleh bayangan pancingannya, bahkan tubuh Tio Hui seakan terkurung di
dalamnya.
Melihat gerakan senjata Kok Hua Hong tiba-tiba berubah, cahayanya memercik bagai
curah hujan yang deras, Tio Hui merasa ada gelombang dahsyat yang melanda ke
arahnya. Dalam keadaan seperti ini, mau tidak mau dia mengerahkan seluruh kekuatannya
menghadapi lawan. Sepasang goloknya langsung diputar, timbullah gulungan hawa dingin
yang menyinarkan cahaya berkilauan, dengan demikian dirinya jadi terlindung dari
serangan Kok Hua Hong.
Namun Kok Hua Hong menyerang semakin gencar. Sedikitpun ia tidak memberi
kesempatan bagi Tio Hui untuk menangkis. Hal ini membuat hawa amarah dalam hati Tio
Hui jadi meluap. Dia langsung mengeluarkan suara bentakan yang menggelegar,
lengannya bergerak setengah melingkar. Dengan jurus Delapan Langkah Kembali Kosong,
dia menerjang ke depan tanpa memperdulikan keadaan dirinya yang berbahaya. Tampak
pancingan Kok Hua Hong bergerak cepat menuju pundak kiri Tio Hui. Dalam waktu yang
bersamaan kakinya melangkah maju mendesak ke depan tiga langkah, tahu-tahu dia
sudah sampai di hadapan Tio Hui.
Keberanian Kok Hua Hong dalam melakukan serangan kali ini benar-benar di luar
dugaan Tio Hui. Untuk sesaat sempat dia tertegun, sekejap mata kemudian dia
menggerakkan sepasang goloknya menangkis serangan Kok Hua Hong sekaligus menahan
tubuh orang itu yang mendesak ke arahnya. Cahaya goloknya putih bagai salju, hawa
yang terpancar dingin sekali. Dalam serangannya kali ini,, baik kecepatan, waktu,
kekuatan semuanya terpadu dengan baik. Sambil menangkis, dia tetap mencari
kesempatan melukai lawannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cahaya golok memijar menyambut datangnya pancingan, dalam waktu sekejap mata
lagi pasti akan saling beradu. Tiba-tiba Kok Hua Hong menghimpun hawa murni dalam
tubuhnya dan merubah gerakannya. Dengan hentakan yang keras dia menarik kembali
pancingannya yang sedang meluncur ke depan. Terdengar suara desiran yang keras,
pancingannya menyapu ke arah golok yang sedang meluncur ke arahnya. Jurus ini begitu
anehnya sehingga orang yang melihatnya sampai terkesima. Hal ini benar-benar di luar
dugaan Tio Hui sendiri. Hatinya tergetar, apabila saat itu dia bermaksud mencelat mundur,
tentu sudah tidak keburu lagi.
Tiba-tiba dia merasa pergelangan tangannya tergetar karena sapuan pancingan Kok
Hua Hong. Pangkal lengannya terkoyak dan darah segera menetes jatuh di atas tanah.
Wajah Tio Hui yang hitam langsung berubah hebat, tubuhnya sempoyongan seperti orang
yang habis meneguk arak secara berlebihan. Setelah terhuyung-huyung mundur sejauh
tiga langkah baru dia dapat berdiri tegak kembali.
Perlu diketahui bahwa orang yang satu ini biar bagaimana merupakan salah satu
tongcu dari Lam Hay Bun. Sehari-harinya dia bertugas mendidik para anak murid berlatih
ilmu silat. Dapat dibayangkan bagaimana berwibawanya orang ini di daerah asalnya
sendiri. Kedudukannya sangat tinggi. Belum pernah ada orang yang menghina dia
sedemikian rupa. Sapuan pancingan Kok Hua Hong sempat membuat lengannya terluka,
meskipun tidak parah tetapi justru menimbulkan hawa pembunuhan dalam dirinya. Dia
merasa kejadian ini benar-benar menjatuhkan pamornya. Dia lalu mengeluarkan suara
siulan yang mengandung kegusaran hatinya. Pergelangan tangannya memutar, tiba-tiba
dia mencelat mundur sejauh empat langkah. Dibuangnya golok yang ada di tangan kiri.
Kok Hua Hong mengira dia akan melancarkan serangan, tahu-tahu orang itu malah
mencelat mundur kemudian membuang golok di tangannya. Untuk sesaat dia jadi
tertegun, tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang tokoh tua yang sudah banyak
pengalamannya. Hatinya merasa curiga atas tindakan Tio Hui itu. Diam-diam dia
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya, matanya menyorotkan sinar yang tajam dan
berdiri tegak menanti.
Justru di saat itulah dia melihat Tio Hui mengibaskan tangan kirinya, dua carik sinar
berwarna keputihan melesat ke depan!
Kok Hua Hong tertawa terbahak-bahak.
“Segala macam besi rongsokan juga dipamerkan!” sindirnya.
Pancingannya segera menyapu ke depan, terdengar suara: Ser! Ser! Sebanyak dua kali.
Disusul dengan suara benturan antara logam dengan batang pancingannya, dua batang
piau yang disambitkan Tio Hui langsung tersampok jatuh oleh kibasan pancingannya.
Tio Hui tertawa dingin.
“Yang pertama tadi hanya salam perkenalan saja. Seumpamanya melempar batu
meninjau ke dalam sumur, sekarang boleh kau coba lagi Jarum Emas Pengincar Nyawa ini,
lihat apakah kau masih berani bermulut besar?”
Sembari berkata, tangannya dikibaskan ke depan beberapa kali. Tubuhnya melesat ke
udara dalam waktu yang bersamaan. Di bawah cahaya rembulan yang redup terlihat tiga
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
titik sinar seperti bintang meluncur, satu menyusul yang lainnya sehingga seperti barisan
yang rapi. Kecepatannya bagai kilat melesat ke arah Kok Hua Hong.
Tiga batang senjata rahasia ini bentuknya kecil sekali, tetapi sinarnya justru berkilauan.
Tiga-tiganya meluncur di udara bagai anak panah, tetapi tidak ada suara sedikitpun yang
terdengar. Diam-diam Kok Hua Hong menduga dalam hati bahwa ketiga batang am gi
(senjata rahasia) tersebut adalah sejenis Bwe Hua-ciam (jarum bunga bwe). Ilmu Kok Hua
Hong sudah cukup tinggi dan namanya juga terkenal di dunia Kangouw, mana mungkin
dia memandang sebelah mata pada senjata rahasia seperti mainan anak-anak ini? Dia
segera mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak, tangannya menghantam ke
depan mengirimkan sebuah pukulan. Tiga titik sinar tadi langsung memental kembali
terkena angin pukulannya yang dahsyat, cahaya keperakan tadi berkilauan beberapa kali
kemudian lenyap ditelan kegelapan.
Namun tepat ketika dia menyampok ketiga batang senjata rahasia itu, tiba-tiba di atas
kepalanya terasa angin berdesir, sesosok bayangan menerjang ke bawah dengan
kecepatan yang tidak terkirakan.
Rupanya ketika tubuh Tio Hui melesat ke udara, perhatian Kok Hua Hong terpusat
penuh pada tiga batang senjata rahasia yang disambitkan lawan. Dalam benaknya saat itu
hanya tertinggal sedikit kesan pada orangnya sendiri. Sekarang begitu tahu lawannya
masih melayang di tengah udara dan dia baru saja menyampok tiga batang senjata
rahasia tersebut, ingatannya masih belum tenang sama sekali. Dengan licik Tio Hui sudah
memperhitungkan segalanya. Dia tahu Kok Hua Hong pasti belum mengadakan persiapan,
cepat-cepat dia mengibaskan tangannya sekali, dua puluh empat batang paku beracun
diluncurkan dalam perbedaan waktu sekian detik. Tubuhnya yang di tengah udara
menghentakkan kakinya keras-keras dan menerjang ke bawah secepat kilat.
Kejadiannya cepat sekali. Baru saja Kok Hua Hong sadar akan datangnya marabahaya,
dua puluh empat batang paku beracun sudah mengincar semua bagian tubuhnya.
Luncuran senjata rahasia itu begitu pesat. Ketika dia mendongakkan wajahnya, jaraknya
hanya tinggal tujuh belasan centi. Kali ini serangan Tio Hui benar-benar beda dengan yang
tadi. Senjata rahasia itu bagai mempunyai mata yang mengincar setiap bagian yang
berbahaya, suara yang timbul terdengar berdesir-desir. Pandangan mata Kok Hua Hong
seakan dipenuhi paku beracun tersebut, sedangkan waktunya sudah demikian sempit
untuk menghindar.
Dalam keadaan yang demikian gawat, mungkin seorang pendekar pedang tingkat
sembilan pun sulit menghindarinya, apalagi Kok Hua Hong yang ilmunya lebih rendah
sedikit dan baru terhitung pendekar tingkat delapan. Untung saja pengalaman dan
pengetahuannya cukup luas. Dia maklum bahwa pada saat seperti ini waktu sangatlah
berharga. Seandainya dia bisa menggenggam sedikit kesempatan sebelum paku-paku
beracun itu mengenainya, mungkin saja masih ada peluang untuk menyelamatkan diri dari
maut. Cepat-cepat dia gelindingkan tubuhnya di atas tanah dan bergulingan beberapa kali,
kemudian dia mencelat ke samping sejauh lima langkah. Baru saja tubuhnya bergerak, dia
merasa pundak kiri dan pinggang kirinya terasa kesemutan. Dia langsung tahu bahwa
bagian tersebut sudah terkena serangan paku beracun tersebut. Namun Kok Hua Hong
termasuk seorang tokoh yang gagah berani juga keras kepala, dia tidak mengeluh
sedikitpun, tubuhnya yang baru saja terjerembab di atas tanah langsung bangkit kembali
dengan tumpuan tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Baru saja berhasil berdiri tegak, dia langsung merasakan kepalanya berat dan matanya
mulai berkunang-kunang, sedangkan dari atas kembali ada serangkum angin kencang
yang menerpa ke bawah.
Kok Hua Hong mengangkat matanya sedikit untuk memandang. Tanpa dapat ditahan
lagi sepasang alisnya mengerut ketat. Dia sadar Tio Hui yang licik kembali menggunakan
kesempatan ketika dia terkena paku beracun untuk menyerangnya kembali. Memang
orang itu pandai sekali memperhitungkan setiap kemungkinan, sedangkan posisi Kok Hua
Hong kurang menguntungkan. Ke manapun dia menghindar, tubuh Tio Hui yang ada di
udara tetap saja dapat menyerangnya dengan telak.
Untuk sesaat hawa amarah dalam dadanya meluap-luap, dia jadi jengkel melihat Tio
Hui yang seakan tidak memberi kesempatan hidup sedikitpun kepadanya. Tanpa berpikir
panjang lagi, dia langsung bertekad mengadu jiwa. Dengan jurus Api Berkobar Menjulang
ke Atas Langit, tampak bayangan pancingannya bergulung-gulung. Ia menyapu dengan
keras ke dada Tio Hui yang sedang meluncur turun itu.
Tiba-tiba tangan Tio Hui terulur, tubuhnya meluncur makin cepat ke bawah. Dengan
ringan dia berhasil menangkap pancingan Kok Hua Hong. Dalam waktu yang bersamaan
telapak tangannya yang satu lagi mengulur ke depan dengan kerahan tenaga seberat
ribuan kati dan serangan itu ditujukan ke arah ubun-ubun kepala Kok Hua Hong.
Serangannya kali ini keji bukan main, tenaganya hebat dan suara pukulannya menderuderu.
Jelas dia berniat menghabisi nyawa Kok Hua Hong sehingga serangan yang
dilancarkannya sama sekali tidak dapat dianggap remeh.
Meskipun Kok Hua Hong sudah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa namun
melihat serangannya yang keji itu, mau tidak mau hatinya tercekat juga. Cepat-cepat dia
miringkan kepalanya, lengan kirinya mengulur ke depan dalam waktu yang bersamaan,
telapak tangannya ditekuk sedikit membentuk cakar dan secepat kilat dia mencengkeram
pundak kiri Tio Hui.
Terdengar suara siulan marah dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan.
Pundak kiri Kok Hua Hong yang sudah terkena paku beracun kembali terkena
hantamannya sehingga tulang bagian itu remuk seketika. Saat itu juga ia memuntahkan
darah segar, tubuhnya terkulai di atas tanah. Meskipun dia sudah terluka parah, namun
cengkeramannya pada pundak Tio Hui sama sekali tidak dilepas, malah bertambah erat.
Dengan gerakan yang tidak kalah keji, dia menghentak keras-keras jari tangannya. Di
bawah cahaya rembulan yang redup, tampak darah memercik ke mana-mana. Pada
bagian di mana jari tangan Kok Hua Hong mencengkeram, terlihat segumpal daging yang
besar tergenggam erat-erat. Rupanya orang itu benar-benar sudah marah sehingga tanpa
kepalang tanggung dia mencengkeram daging di pundak Tio Hui sehingga terkoyak
sepotong besar. Tepat pada saat itu juga Kok Hua Hong sendiri ikut jatuh tidak sadarkan
diri di atas tanah.
Pertarungan kali ini benar-benar sengit dan merupakan duel maut. Kedua belah pihak
sama-sama terluka. Namun kalau dibandingkan sudah pasti luka Kok Hua Hong jauh lebih
parah. Paku beracun yang mengenai pundaknya malah mendesak ke dalam karena
hantaman Tio Hui. Kemungkinan besar malah tertancap di tengah-tengah tulang yang
remuk. Rasanya paku beracun itu tidak mudah dikeluarkan lagi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sementara itu, tampak si pengemis sakti Cian Cong membuka sepasang matanya. Dia
seperti menggumam seorang diri.
“Sungguh cara turun tangan yang keji! Selama hidup si pengemis tua ini entah sudah
membunuh berapa banyak orang. Segala kelicikan juga sudah pernah kutemui, tetapi
kalau dibandingkan, masih jauh sekali dengan tindakan saudara-saudara ini!”
Tiba-tiba di belakang punggungnya terasa angin berdesir, cepat-cepat dia menolehkan
kepalanya melihat. Tampak Tan Ki, Mei Ling dan Ban Jin Bu berlari dengan tergesa-gesa
ke arah Kok Hua Hong.
Melihat adanya mereka yang mengawasi Kok Hua Hong, hati Cian Cong menjadi agak
tenang. Pandangannya dialihkan kepada Ho Tiang Cun.
“Makhluk tua, apakah kau sudah selesai mengatur pernafasanmu?”
Ho Tiang Cun langsung tertawa lebar. Sepasang matanya juga membuka kembali.
“Terima kasih atas perhatian Cian-heng, hengte sejak tadi sudah pulih kembali.”
“Bagus sekali. Kalau begitu kita boleh bertarung lagi sebanyak tiga ratus jurus!”
Terdengar suara angin berhembus, dengan posisi tangan menahan di depan dada, si
pengemis sakti melancarkan sebuah serangan.
Tampak Ho Tiang Cun menggeser tubuhnya perlahan-lahan, dalam sekejap mata dia
sudah berhasil menghindarkan diri. Tangan kanannya bergerak dalam waktu yang
bersamaan dan dikirimkannya sebuah serangan balasan.
Kedua orang itu yang satu maju yang lainnya mundur. Masing-masing sudah
mengerahkan sebuah serangan. Bila dilihat dari luar sepertinya tidak ada keistimewaan
apa-apa, padahal dalam setiap serangan terkandung Lwekang sejati dan perubahannya
yang membahayakan posisi lawannya. Kalau bukan orang berilmu tinggi yang mempunyai
pandangan awas, tentu sulit menemukan kehebatan serangan mereka masing-masing, di
mana dalam setiap perubahan terkandung lagi perubahan lainnya.
Telapak tangan Cian Cong mengulur ke depan dan dikibaskannya angin pukulan Ho
Tiang Cun. Dia lalu bersiap-siap melancarkan sebuah serangan lagi, niatnya ingin
menyelesaikan pertarungan tersebut secepat-cepatnya. Tiba-tiba telinganya mendengar
suara teriakan Tan Ki, “Cian Locianpwe, cepat ke mari! Keadaan Tian Tai Tiau-siu genting
sekali!”
Cian Cong jadi tertegun. Cepat-cepat dia mencelat mundur sejauh tujuh langkah,
dengan demikian apabila Ho Tiang Cun tiba-tiba mengirimkan sebuah pukulan, dirinya
tidak akan terjangkau. Setelah itu baru dia menolehkan kepalanya ke arah Tan Ki.
“Bagaimana keadaan si tua Kok Hua Hong itu?”
Tampak wajah Tan Ki menyiratkan kepanikan.
“Dia terkena pukulan musuh sehingga tulang.pundaknya remuk, ditambah dengan dua
batang paku beracun yang mengenai pundak serta pinggangnya. Justru paku beracun itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekarang sudah melesak ke dalam dan ujungnya pun tidak kelihatan sehingga Boanpwe
tidak berhasil mencabutnya keluar!”
Cian Cong terkejut sekali mendengar kata-katanya, dia langsung menghentakkan kaki
di atas tanah keras-keras.
“Dasar kutu busuk! Sudah tahu paku-paku itu beracun, mana boleh sembarangan
dicabut keluar. Kalau dipaksakan juga racun itu akan bertambah cepat kerjanya.
Seandainya berhasil kau cabut tadi, kemungkinan besar nyawa si tua Kok Hua Hong itu
sekarang sudah melayang ke surga!”
“Ilmu senjata rahasia yang dilatih oleh Tio Tongcu semuanya hebat tidak tertandingi.
Paku beracun yang digunakannya dilumuri dengan tiga belas jenis rumput yang paling
ganas racunnya. Sembilan hari direndam kemudian sembilan hari dijemur. Pengaruh racun
itu boleh dibilang, lihat darah langsung bekerja. Kalau kau, si tukang minta-minta ini, ingin
menolong dia, satu-satunya jalan hanya dalam waktu tiga kentungan menemukan tiga
belas jenis obat yang dapat menawarkan rumput-rumput beracun tersebut. Asal dia
minum semuanya sekaligus, baru bisa disembuhkan. Obat-obatan biasa-biasa saja tidak
ada gunanya. Satu racun dapat dibasmi, masih ada dua belas racun jenis lainnya. Oleh
karena itu, biarlah lohu berbaik hati menasehati kalian agar jangan meneruskan impian
kosongmu itu!” tukas Ho Tiang Cun sambil cengar-cengir.
Cian Cong mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak.
“Racun keluaran Lam Hay Bun tiada duanya di dunia ini, bahkan konon tidak ada obat
penawarnya. Tetapi perlu kalian ketahui bahwa daerah Tionggoan justru kaya dengan
berbagai obat-obat mujarab yang khusus menawarkan racun, walau dari jenis yang paling
berbahaya sekalipun. Kalau kau tidak percaya, tunggulah barang sepenanakan nasi, si
pengemis tua akan membuka matamu lebar-lebar agar kau lihat betapa luasnya dunia ini.
Semacam obat yang biasa-biasa saja namun pengaruhnya mengejutkan.” dia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling kemudian berhenti pada diri Liu Seng yang
sedang bertarung melawan Miao Fei Siong. Diam-diam dia meninjau jalannya pertarungan
di antara kedua orang itu. Setelah itu baru dia menggapai tangannya memanggil Tan Ki.
“Bubuk penyelamat nyawa penyambung tulang yang kau miliki cukup untuk
menyembuhkan luka Kok Lau Tao alias si tua bangka Kok. Mungkin malah bisa menambah
tenaga dalamnya, dari bencana berbalik menjadi beruntung. Tampaknya pertarungan
antara mertuamu dengan laki-laki tinggi besar itu masih bisa bertahan. Sedangkan orang
yang dipanggil Tio Tongcu itu kalau ditilik dari keadaan lukanya, untuk sementara pasti
tidak sanggup bertarung lagi. Kalian juga tidak perlu menyesakkan tempat ini lebih lama
lagi, lebih baik kalian kembali ke puncak bukit memberi bantuan kepada yang lainnya!”
Mula-mula Tan Ki agak bimbang, dia mendongakkan kepalanya memperhatikan
pertarungan antara Liu Seng dengan si laki-laki bertubuh kekar. Ternyata mertuanya lebih
banyak menyerang daripada mempertahankan diri. Hal ini membuktikan bahwa keadaan
orangtua itu sedang di atas angin dan tidak perlu terlalu dikhawatirkan, oleh karena itu
hatinya pun menjadi lega. Setelah mengiakan, dia mengajak Ban Jin Bu dan Mei Ling
kembali ke puncak bukit.
Di bawah cahaya rembulan yang redup tampak tiga sosok bayangan berlari bagai
terbang. Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di puncak bukit Tok Liong Hong.
Begitu pandangan mata dipusatkan, tampak di luar ruangan pertemuan mayat-mayat
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berserakan, ada yang lengannya putus dan darah berceceran di mana-mana, sungguh
suatu pemandangan yang menyeramkan, tanpa sadar hati mereka menggidik dan bulu
kudukpun ikut meremang melihat keadaan tersebut.
Tan Ki mengenali bahwa mayat-mayat tersebut adalah para tamu dari dunia Bulim yang
ikut meramaikan perebutan Bulim Bengcu kali ini. Diantaranya yang tiga orang malah
merupakan pendekar pedang tingkat tujuh. Ketika matanya menelusuri mereka satu per
satu, dia tidak melihat seorang asingpun di antaranya. Kecuali mayat-mayat yang
berserakan itu, ternyata seluruh ruangan sunyi senyap sehingga tidak terdengar sedikit
suarapun. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alis Tan Ki menjungkit ke atas.
“Mari kita pergi! Kita harus memeriksa bagian penyimpanan ransum!” suaranya begitu
berat, nadanyapun tegas sekali, hal ini membuktikan bahwa hawa amarah dalam dadanya
telah benar-benar meluap.
Tiba-tiba Mei Ling menghentikan langkah kakinya, tampaknya perempuan itu sedang
digelayuti suafcu pikiran yang berat.
“Tan Koko, lebih baik kita lihat dulu bagaimana keadaan ibu.” katanya nada lirih.
Mula-mula Tan Ki tertegun, kemudian dia sadar Mei Ling pasti mengkhawatirkan
keselamatan ibunya. Tanpa terasa dia langsung mengembangkan seulas senyuman.
“Ibu juga putri seorang pesilat yang terkenal, nyalinya besar dan jiwanya tidak kalah
gagah dengan kaum laki-laki. Beberapa tahun ini beliau mendapat didikan lagi dari paman
Yibun Siu San, rasanya lebih dari cukup untuk membela diri saja. Kau tidak perlu khawatir,
lagipula bagian penyimpanan ransum penting sekali bagi para tamu yang hadir di Tok
Liong Hong kali ini. Kalau sampai pihak Lam Hay maupun Si Yu membakarnya, masa
besok pagi kita semua harus merebutkan kedudukan Bu-lim Bengcu dengan perut
kosong?”
Seraya berkata, dia mendahului yang lainnya berlari ke depan. Gerakannya bagai
seekor kuda liar yang lepas kendali, setiap kali mencelat, jaraknya sampai sejauh lima
enam de-paan. Liu Mei Ling dan Ban Jin Bu saling lirik sekilas. Tanpa sempat berkata-kata
lagi, mereka langsung mengikuti di belakang Tan Ki. Kurang lebih sepenanakan nasi
kemudian, mereka sudah melihat kobaran api di bagian depan. Cahayanya berwarna
merah membara dan suara peletekan terdengar seiring dengan hembusan angin. Wajah
setiap orang dan rumah-rumah darurat yang didirikan di tempat tersebut jadi menyala
terang. Dua ratus lebih tamu-tamu yang hadir di Tok Liong-hong membagi diri mereka
menjadi tiga baris dan saling mengoperkan ember-ember untuk memadamkan api
tersebut. Wajah mereka tampak kelam sekali, kecuali suara desiran angin, tidak ada suara
lainnya yang terdengar.
Ketika ketiga orang itu sampai di hadapan bagian penyimpanan ransum, tiba-tiba
telinga mereka mendengar suara jeritan yang menyayat hati. Begitu melengkingnya
sampai memecahkan keheningan malam. Mereka segera mengalihkan pandangannya,
seorang laki-laki berusia lanjut rubuh terkulai di atas tanah setelah mengeluarkan suara
jeritan ngeri tadi. Mulutnya terus menerus memuntahkan darah segar dan sekejap waktu
saja nyawanya sudah melayang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Ki segera mengenali orangtua tersebut adalah salah satu dari pendekar pedang
tingkat tujuh yang ambil bagian dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini. Bahkan Yibun Siu
San pernah menyatakan rasa kagumnya terhadap orang ini. Hatinya tercekat, rasa
terkejutnya tak perlu ditanya lagi.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, dia baru melihat di samping kiri orangtua
yang mati itu, kira-kira berjarak tiga tindak, berdiri seorang laki-laki berwajah tenang dan
berpakaian putih dari bahan yang agak kasar. Tangannya menggerak-gerakkan sebatang
kipas dan usianya kurang lebih lima puluh tahunan. Sikapnya yang kalem itu hampir
membuat orang tidak percaya bahwa dia baru saja membunuh seseorang. Bibirnya malah
mengembangkan seulas senyuman yang riang.
Di belakang laki-laki setengah baya yang tenang ini, berdiri seorang tosu dan seorang
nyonya berusia pertengahan. Ingatan Tan Ki sangat tajam, sekali lihat saja dia sudah
mengenali mereka sebagai Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio yang pernah menculik Mei Ling.
Wajah Lu Sam Nio yang jeleknya tidak kepalang tanggung itu paling sulit dilupakannya.
Mengingat kejadian tempo hari yang mengakibatkan Mei Ling kehilangan kesadarannya,
hawa amarah dalam dada Tan Ki meluap seketika. Dia mendelikkan matanya lebar-lebar
kepada kedua orang itu. Beberapa saat kemudian baru dia mengalihkan pandangannya.
Diam-diam dia memperhitungkan kekuatan yang ada di pihaknya. Kalau ditilik dari
beberapa mayat yang tergeletak di atas tanah, ada beberapa yang merupakan pendekar
pedang tingkat delapan. Biarpun dia belum menyaksikan dengan kepala sendiri sampai di
mana tingginya ilmu orang itu, tetapi dia sudah membayangkan bahwa kepandaian si lakilaki
setengah baya yang terus tersenyum simpul itu sama sekali tidak dapat dipandang
ringan.
Tampak Heng Sang Si memimpin belasan orang jago dan berdiri membentuk setengah
lingkaran dengan senjata masing-masing di tangan. Wajah setiap orang menyiratkan
kegusaran yang tidak terkirakan, alis mereka menyorotkan hawa pembunuhan yang tebal:
Tampaknya setiap saat ada kemungkinan bisa meledak.
Udara yang diliputi amis darah yang tebal membuat suasana semakin mencekam.
Bintang-bintang mengerjap samar-samar seakan ikut merasa pilu, cahayanya menyoroti
mayat-mayat yang bergelimpangan di atas tanah. Hati mereka yang memandangnya ikut
merasa ngeri. Angin yang dingin berhembus, perasaan Tan Ki serta yang lainnya bergidik,
bulu kudukpun meremang semua.
Perlahan-lahan Mei Ling menghembuskan nafas panjang, nadanya sendu sekali, “Tan
Koko, lihatlah mayat-mayat yang berserakan di atas tanah itu, kasihan sekali bukan? Aku
benar-benar tidak berani membayangkan bahwa perasaan keluarga mereka apabila
mendengar berita kematian sanak saudaranya ini.”
“Golongan sesat tengah merajalela, mereka berusaha menguasai daerah Tionggoan
kita.
Ketiga orang ini gugur sebagai pahlawan yang mempertahankan negaranya, mereka
mati dengan gemilang. Tidak ada yang perlu disesalkan. Aku rasa, keluarga mereka
bahkan merasa bangga. Apa yang akan terjadi kelak bukan hal yang dapat diduga oleh
kita semua. Kau juga tidak perlu membayangkan hal yang jauh-jauh.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Meskipun mulutnya berkata, tetapi sepasang matanya yang menyorotkan sinar tajam
menatap gerak-gerik si laki-laki setengah baya dengan penuh perhatian. Dia malah tidak
menolehkan kepalanya.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba terlihat sesosok bayangan berkelebat. Seseorang
menerjang keluar ke tengah arena. Dia adalah seorang tua yang punggungnya sudah
membungkuk dan mengenakan pakaian dari bahan kasar. Saat ini dia berdiri di hadapan
laki-laki setengah baya itu dan wajahnya menyiratkan kebimbangan. Jaraknya dengan
orang itu masih kurang lebih tiga langkah.
Laki-laki setengah baya itu menggerak-gerakkan kipasnya dengan santai. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyuman.
‘Apakah kau juga terhitung pendekar pedang tingkat delapan?” tanyanya tenang.
Dua kali berturut-turut orangtua bungkuk itu mendengus berat. Dengan angkuh dia
menyahut, “Lohu sendiri belum menanyakan nama Saudara yang mulia.”
Laki-laki setengah baya itu tertawa makin lebar.
“Pertemuan kita ini hanya sepintas lalu, sama-sama belum saling mengenal secara
mendalam, untuk apa menanyakan nama segala? Kita toh bukan ingin menjalin hubungan
sebagai mertua dan menantu, buat apa membuat lidah menjadi kaku. Sayang sekali cayhe
tidak mempunyai seorang putri. Seandainya ada, tentu dengan senang hati
mempersembahkannya kepadamu supaya dapat dijadikan istri.”
Mendengar ucapannya yang berupa sindiran tetapi dikatakan dengan tersenyum simpul,
saking kesalnya orangtua itu sampai mendelikkan matanya lebar-lebar. Rambutnya yang
sudah penuh uban seperti berjingkrak semua ke atas, sepasang lengannya yang sedang
berkacak di pinggang seakan mengembung satu kali lipat.
Si laki-laki setengah baya tersebut melihat orang mengerahkan tenaga dalamnya secara
diam-diam, tampaknya sudah siap melancarkan serangan setiap saat. Dia segera
mengatupkan kipasnya dan senyumannya pun sirna seketika. Sepasang matanya yang
menyorotkan sinar tajam menatap lekat-lekat pada diri si orang tua berpunggung bungkuk
tersebut.
Pada dasarnya laki-laki setengah baya ini berilmu sangat tinggi. Pengetahuan maupun
pengalamannya luas sekali. Melihat telapak tangan si orangtua bungkuk luar biasa
besarnya dan jauh dibandingkan dengan orang lain, belum lagi warnanya yang kehitamhitaman
itu, dia langsung maklum bahwa orangtua ini menghabiskan waktu yang banyak
khusus untuk melatih ilmu pukulan. Kalau bukan Ang Sa-Ciang (Telapak pasir merah),
kemungkinan Hek Sa-ciang (Telapak pasir hitam) yang biasanya mengandung racun keji.
Pokoknya sepasang telapak tangannya itu sudah direndam berbagai jenis obat-obatan
karena kukunya pun berwarna hitam.
Tan Ki berdiri diam-diam di samping keduanya. Tiba-tiba dia melihat senyuman si lakilaki
setengah baya sirap seketika, sikapnya menjadi serius tidak terkirakan, tidak
mengucapkan sepatah katapun. Hatinya merasa heran dan curiga. Tiba-tiba terdengar
suara bentakan yang lantang, pukulan menimbulkan suara menderu-deru. Rupanya si
orangtua bungkuk sudah mulai melancarkan serangan, suara tadi timbul dari pukulannya
yang dahsyat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Si laki-laki setengah baya mengibaskan kipasnya sehingga terbuka kembali. Dengan
jurus Memuja Bunga Hati, dia membalas serangan orangtua itu dengan serangan pula.
Terasa serangkum angin kencang menerpa datang, tenaganya yang kuat menerjang ke
arah si orangtua bungkuk.
Tenaga dalam orang ini sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, jurus yang
dikerahkannya juga sangat matang. Hal ini membuktikan bahwa dia sudah berlatih keras
selama ini. Ketika dia menggerakkan kipasnya, yang terlihat justru jurus yang tidak ada
keistimewaan apa-apa, namun sebetulnya mengandung kecepatan yang keji, bayangannya
bergulung-gulung dan suara yang ditimbulkannya pun menderu-deru.
Justru pada detik-detik ketika pukulan keduanya hampir berlalu, si orangtua bungkuk
merasa tenaga dalam yang terkandung dalam serangan si laki-laki setengah baya begitu
dahsyatnya sehingga bagai jarum emas yang menusuk tajam. Bahkan gulungan tenaganya
sendiri sampai terterobos dan hal ini membuatnya terkejut setengah mati. Dia benar-benar
tidak menyangka kekuatan lawan jauh lebih hebat dibandingkan dirinya sendiri. Cepatcepat
dia menggeser tubuhnya sedikit dan menggerakkan tangannya ke samping,
otomatis dia tidak berani menyambut serangan laki-laki setengah baya itu dengan
kekerasan.
Satu jurus sudah berlalu. Keduanya masih belum bergebrak secara sungguh-sungguh,
namun sukma si orangtua bungkuk seakan sudah melayang karena terkesiap melihat
tingginya ilmu lawan. Keadaannya sudah di bawah angin. Dari serangan yang pertama
saja dia sudah dapat membayangkan bahwa kepandaian si laki-laki setengah baya jauh
lebih hebat dibandingkan dengan ilmunya sendiri.
Begitu perhatiannya dipusatkan, entah sejak kapan si laki-laki setengah baya sudah
merentangkan kipasnya kembali. Dia menggerakkan dengan perlahan-lahan seolah-olah
seseorang yang sedang menikmati pemandangan dengan santai. Wajahnya merekahkan
senyuman yang lebar, sikapnya begitu tenang seakan tidak sedang berhadapan dengan
musuh atau sedang bertarung dengan lawan.
Siapa tahu perasaan si orangtua bungkuk ini memang angkuh dan mudah tersinggung.
Melihat orang berdiri menggoyangkan kipasnya sambil tersenyum simpul, dia langsung
mengira si laki-laki setengah baya itu sedang mengolok-olok dirinya dan memandang
rendah kepadanya. Hawa amarah dalam dadanya jadi meluap, rasa malu dan benci
berbaur menjadi satu. Saat itu juga mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang lantang,
tubuhnya bergerak mencelat ke udara. Tampak sepasang lengannya terentang ke depan
dan menimbulkan bayangan bagai bunga salju yang berderai. Dia melancarkan serangan
dengan gencar, secara berturut-turut dia mengerahkan enam belas jurus.
Laki-laki setengah baya itu mendengus dingin. Dia segera menghimpun hawa murninya
dan kipas di tangannya dikibaskan. Segulung cahaya berwarna putih langsung tampak
berkilauan, dengan gesit dan lincah dia menyambut serangan si orangtua bungkuk.
Pertarungan antara dua tokoh kelas tinggi ini berlangsung dengan sengit. Mati dan
hidup dapat ditentukan setiap saat. Di bawah cahaya rembulan yang semakin redup,
tampak telapak tangan membentuk bayangan yang tidak terkira banyaknya, sedangkan
kipas di tangan si laki-laki setengah baya berkelebat ke sana ke mari sehingga
menimbulkan cahaya yang berpijar-pijar. Suara angin yang timbul dari serangan kedua
orang itu berdesiran, rumput-rumput melambai-lambai. Debu-debu beterbangan. Dalam
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
waktu yang singkat bayangan tubuh kedua orang itu sulit lagi dibedakan. Bahkan orangorang
yang menyaksikan jalannya pertarungan tidak dapat lagi menentukan yang mana
kawan yang mana lawan. Mata mereka berkunang-kunang. Mereka sampai menahan nafas
saking tegangnya, juga ada sebagian yang mengkhawatirkan keselamatan rekan masingmasing.
Sementara itu, Ban Jin Bu berjalan menghampiri Tan Ki. Dengan perasaan ingin tahu
dia bertanya, “Tan-heng, coba kau perhatikan, siapa yang akan memenangkan
pertarungan kali ini?”
Tan Ki memalingkan kepalanya dan melirik Ban Jin Bu sekilas. Bibirnya bergerak-gerak
seakan ingin mengatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia batalkan. Dia hanya tertawa getir
sambil menggelengkan kepalanya, namun tidak memberikan sahutan sedikitpun.
Ban Jin Bu jadi tertegun. Hatinya semakin penasaran.
“Tan-heng, tampaknya sedang banyak pikiran yang mengendap dalam bathinmu.
Bolehkah kau memberitahukannya kepada siau-te sehingga kita dapat membahasnya
bersama-sama?”
Tan Ki menarik nafas panjang satu kali.
“Coba kau perhatikan baik-baik, bagaimana menurut pendapatmu ilmu laki-laki
setengah baya itu?”
“Jurus serangan yang dilancarkan orang ini selalu mengandung kedahsyatan yang keji.
Ilmunya sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, rasanya lebih tinggi dari pendekar
pedang tingkat delapan. Kemungkinan besar sebanding dengan si pengemis sakti Cian
Locianpwe, Yibun Siu San maupun Lok Hong. Meskipun ilmu silat si orangtua bertubuh
bungkuk itu lumayan juga, tetapi kalau dibandingkan dengan si laki-laki setengah baya itu,
rasanya masih terpaut jauh. Setelah ratusan jurus, kemungkinan besar dia akan terkena
serangan orang itu sehingga terluka parah.”
Mendengar kata-kata Ban Jin Bu yang persis sama dengan dugaan hatinya sendiri,
pikiran Tan Ki semakin ruwet. Tanpa dapat ditahan lagi sepasang alisnya menjungkit ke
atas.
“Justru hatiku sejak tadi merasa tidak tenang karena telah mempunyai pandangan yang
sama. Perlu kau ketahui bahwa dalam perebutan Bulim Bengcu kali ini, meskipun lima
partai besar yang hadir, tetapi para pesilat yang lain jumlahnya cukup banyak. Bahkan
mereka terdiri dari golongan sesat dan lurus. Saat ini semuanya berkumpul di puncak bukit
Tok Liong-hong. Aku selalu menganggap dengan adanya orang-orang yang mempunyai
nama besar ini, pihak Lam Hay dan Si Yu pasti tidak berani berbuat macam-macam.
Apalagi sebagian besar dari orang yang hadir ini mempunyai ilmu yang tinggi. Namun
dugaanku ternyata salah besar, boleh dibilang hari ini mataku benar-benar terbuka. Pihak
musuh hanya mengirim empat kelompok orang yang jumlah keseluruhannya tidak lebih
dari tiga belas orang, tetapi mereka sanggup membuat kocar-kacir para pendekar pedang
tingkat delapan sehingga bertarung sampai mengadu jiwa. Berapa banyak korban dari
pihak kita yang jatuh? Keadaan yang memalukan ini sudah cukup membuktikan bahwa
pihak Lam Hay dan Si Yu merupakan musuh yang tidak dapat dianggap enteng. Para
pendekar dari Tionggoan seolah menjadi bahan permainan bagi mereka. Kelompok ini
masih terhitung jago kelas dua di wilayah mereka, sedangkan pemimpin yang sebenarnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masih belum muncul. Kecuali kita bergabung dengan lima partai besar, rasanya dalam
satu hari saja Tok Liong-hong ini sanggup diratakan jadi tanah oleh pihak mereka.”
Ban Jin Bu menarik nafas perlahan-lahan.
“Baik bakat maupun kecerdasan Tan-heng, memang melebihi orang lain. Siaute benarbenar
mengaku tidak sanggup menandingi. Tetapi ada satu hal yang membuat siaute tidak
habis pikir, kalau Tan-heng sejak semula sudah mempunyai pandangan demikian,
mengapa tidak berusaha memberitahukan Cian Lo-cianpwe atau sam-siokmu, setidaknya
mereka bisa menyediakan payung sebelum hujan?”
Tan Ki tertawa getir mendengar pertanyaannya.
“Urusan ini memang mudah kalau dibicarakan, tetapi pelaksanaannya justru sulit tidak
terkirakan. Lima partai besar terletak di wilayah yang berjauhan. Apabila mengutus orang
mengirimkan undangan, perjalanan pulang pergi saja mungkin lebih dari setengah bulan.
Air yang jauh tidak mungkin memadamkan api yang dekat. Seandainya menunggu sampai
pihak lima partai besar berdatangan, pasti semuanya sudah terlambat. Kecuali kalau Siau
Lim, Bu Tong, Kun Lun, Cing Ceng dan Go Bi selalu mengirimkan muridnya untuk
menyelidiki keadaan di dunia Kangouw, dan pada saat ini mereka sudah mendengar kabar
serta mengirimkan jago-jagonya untuk memberikan bantuan ke mari. Kalau benar
demikian, tentu tidak banyak waktu yang terbuang, dan kedatangan mereka tepat
waktunya sehingga tidak terjadi pertumpahan darah yang demikian mengerikan.”
Berbicara sampai di sini, tiba-tiba terdengar suara siulan yang bening memecahkan
keheningan malam. Otomatis kata-kata Tan Ki jadi terhenti, cepat-cepat dia mengalihkan
panda ngan matanya. Tampak Heng Sang Si sedang menggerakkan tubuhnya mencelat ke
udara setinggi tiga empat depa dan dia menerjang ke tengah arena.
Gerakan tubuh orang itu bagai seekor rajawali sakti yang mementangkan sayapnya
dengan lebar, kecepatannya bagai kilat. Ketika tubuhnya masih melayang di tengah udara,
senjatanya telah dikeluarkan, sepasang bola besi itu menimbulkan bayangan berwarna
kehitaman dan menyapu datang dengan dahsyat.
Hampir bersamaan dengan senjata Heng Sang Si yang meluncur ke depan, terdengar
suara jeritan ngeri yang menggidikkan hati. Disusul dengan sesosok tubuh yang terpental
di tengah udara dan berputaran dua kali sebelum menghempas keras di atas tanah.
Percikan darah dan debu-debu yang beterbangan membuat pandangan mata Tan Ki jadi
samar-samar. Hatinya segera merasa tertekan tidak terkirakan.
“Lagi-lagi seorang pendekar pedang tingkat delapan mati di tangannya. Dalam
pertarungan malam ini, entah berapa banyak pendekar pedang tingkat tujuh dan delapan
yang jatuh menjadi korban. Rasanya…” membayangkan hal yang menyakitkan hati itu,
tanpa terasa matanya jadi memerah, hampir saja jatuh bercucuran.
Tiba-tiba dia merasa tangannya disenggol oleh seseorang, entah sejak kapan Mei Ling
sudah berdiri di sampingnya dan memandangnya dengan wajah menyiratkan kepanikan.
“Tan Koko, lihatlah!”
Tan Ki menenangkan perasaannya sejenak kemudian mengalihkan pandangannya ke
arah yang ditunjuk Mei Ling. Siapa nyana lebih baik tidak melihat. Begitu matanya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menatap apa yang ditunjuk oleh isterinya itu, hawa amarah dalam dadanya jadi meluap.
Tangannya mengepal erat-erat dan tubuhnya terus bergetar.
Rupanya si laki-laki setengah baya menggunakan ilmu Lam Hay Bun yang keji dan
mengandung kekuatan dahsyat untuk menghancurkan urat dalam jantung si orangtua
bungkuk. Kebetulan waktu itu Heng Sang Si mengayunkan sepasang bola besinya. Entah
bagaimana caranya, tahu-tahu serangan Heng Sang Si mengenai tempat yang kosong.
Bayangan kipas bergulung-gulung dan terpencar kedua arah.
Bibir si laki-laki setengah baya tetap mengembangkan senyuman, sikapnya tenang
sekali. Dia masih tetap berdiri di tempatnya semula tanpa bergeser sedikitpun. Heng Sang
Si mengeluarkan suara dengusan yang berat, tubuhnya terhuyung-huyung kemudian
tergetar mundur sejauh empat langkah. Lengan pakaiannya yang sebelah kiri seakan
terkena serangan si laki-laki setengah baya sehingga koyak berderai tertiup angin dan
lengannya yang kekar pun terlihat jelas.
Tampaknya Heng Sang Si sampai termangu-mangu karena tergetar mundur dalam satu
jurus saja. Tetapi sesaat kemudian dia sudah pulih kembali. Sementara itu si laki-laki
setengah baya itu menggerakkan kipasnya beberapa kali dengan gaya santai. Bibirnya
lagi-lagi tersenyum simpul.
“Hai, jurus yang akan datang nanti, harap kau berhati-hati! Aku akan mengoyak
pakaian di depan dadamu!” katanya sombong.
Mendengar ucapannya yang sesumbar itu, Heng Sang Si mendongakkan wajahnya dan
tertawa marah.
“Ilmu silat pihak Lam Hay ternyata memang hebat. Tetapi kau juga tidak perlu
demikian sombong dan menertawakan orang lain. Hengte sadar kepandaian sendiri masih
tidak dapat menyamai dirimu, tetapi setidaknya aku mempunyai jiwa yang gagah. Kalau
tidak percaya, boleh kau bunuh diriku sesuka hatimu!”
“Hebat sekali! Aku, Cia Tian Lun ikut mengepalai empat puluh delapan pulau, tetapi
belum pernah melihat orang segagah dirimu!”
Heng Sang Si kembali mendengus satu kali.
“Ilmu kepandaian saudara benar-benar membuat orang kagum, tetapi sikapmu yang
sombong itu juga merupakan orang yang pertama pernah hengte lihat seumur hidup!”
Tiba-tiba sikap Cia Tian Lun berubah mendengar perkataan Heng Sang Si. Dia
mendengus dingin satu kali, kipas di tangannya direntangkan kembali. Tubuhnya berdiri
tegak tanpa bergeming sedikitpun. Sepasang matanya menyorotkan sinar tajam menatap
diri Heng Sang Si lekat-lekat. Sejenak kemudian bibirnya tersenyum lagi.
“Mendapat pujian dari saudara, seharusnya aku mengucapkan terima kasih sedalamdalamnya!”
mendadak kipasnya dikibaskan, tubuhnya menerjang ke depan dengan jurus
Datang Awan dari Luar Langit. Angin yang timbul dari gerakan kipasnya bergulung-gulung,
dia mengirimkan sebuah totokan ke dada Heng Sang Si.
Sepasang bola besi Heng Sang Si langsung dipencarkan, dia mengarahkan seluruh
tenaga dalamnya. Dengan jurus Pohon Tua Mengganti Akar, dia menerjang kipas Cia Tian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Lun yang sedang meluncur ke arahnya. Tangan kanannya memutar bola besi sehingga
menimbulkan bayangan melingkar, angin yang kencang segera terpancar dan kali ini
sasarannya lengan atas Cian Tian Lun.
Cia Tian Lun melihat kemarahan Heng Sang Si benar-benar terpancing sehingga
melancarkan serangan, bahkan kali ini mengandung kekuatan yang dahsyat. Dia langsung
memperdengarkan suara tawa yang panjang. Tiba-tiba tangannya ditarik kembali dan
gerakannya berubah. Tubuhnya memutar setengah lingkaran dan tahu-tahu dia
menerobos ke dalam angin kencang yang timbul dari sepasang bola besi Heng Sang Si.
Gerakan tubuhnya demikian cepat dan gesit, sehingga orang-orang yang menyaksikan
tidak sempat melihat bagaimana caranya dia melakukan hal itu. Mereka juga tidak dapat
menduga ke arah mana sebetulnya tubuh orang itu menghindar. Heng Sang Si sendiri
hanya merasa sepasang bolanya mengenai tempat kosong, matanya berkunang-kunang
dan pandangannya menjadi samar. Justru di saat itu tubuh lawannya sudah berdiri tegak
di hadapannya. Rasa terkejutnya kali ini benar-benar tak terkatakan. Tetapi biar
bagaimanapun Heng Sang Si merupakan seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman di
dunia Kangouw, meski keadaannya sangat gawat sekali, namun pikirannya tidak menjadi
kacau. Cepat-cepat dia mengerahkan jurus Ikan Lele Melompat-lompat, sepasang
pundaknya ditarik ke belakang dan diapun mencelat mundur sejauh delapan sembilan
langkah.
Ilmu silat Heng Sang Si sudah cukup tinggi, perubahan gerakannya juga cepat sekali,
tetapi tetap saja dia tidak sanggup mengejar waktu yang hanya sekian detik itu. Ia hanya
merasa mendadak ada serangkum angin yang menerpa wajahnya dan tahu-tahu bagian
dadanya terasa sejuk.
Begitu dia menundukkan kepalanya, dia melihat dadanya yang tegap sudah terbuka.
Rupanya pakaian bagian dadanya benar-benar telah terkoyak oleh kipas di tangan Cia Tian
Lun. Sobekan pakaiannya bahkan masih melayang tertiup angin. Tanpa dapat ditahan lagi
wajahnya jadi hijau membesi. Perasaan malu dan marah berbaur menjadi satu dalam
hatinya.
Rupanya Cia Tian Lun tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya pada kipas di tangannya
itu. Niatnya memang hanya ingin mempermalukan Heng Sang Si. Dengan ringan dia
menggores bagian depan pakaian laki-laki itu sehingga terkoyak namun ujung kulitnya
tidak tersayat sedikit juga. Hal ini malah membuat rasa malu Heng Sang Si tidak
tertahankan, rasanya dia tidak mempunyai muka lagi untuk berhadapan dengan orang
lain. Sementara itu, Cia Tian Lun malah menelingkup sepasang tangannya di belakang dan
memandangnya dengan tersenyum simpul.
Perlu diketahui bahwa para tokoh di dunia Kangouw sangat memandang tinggi kemashyuran
nama dirinya sendiri. Seumur hidup Heng Sang Si berkecimpung dalam dunia
kekerasan, selamanya dia tidak pernah takut dengan kata kematian. Tetapi dia justru tidak
sanggup menerima penghinaan di hadapan orang banyak. Saat itu juga dia merasa
serangkum rasa pilu melanda dalam bathinnya. Matanya yang besar memerah, dua bulir
air mata langsung jatuh berderai membasahi pipinya. Tubuhnya seperti orang yang
kehilangan tenaga, kakinya goyah serta tidak dapat berdiri tegak. Hampir saja dia terjatuh
di atas tanah. Para hadirin yang menyaksikannya ikut merasa pedih dan iba. Mereka
merasa kasihan sekali melihat keadaan laki-laki itu yang demikian mengenaskan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba terdengar mulutnya meraung keras, kepalanya mendongak ke atas dan dia
langsung memuntahkan darah segar sebanyak tiga kali berturut-turut. Sepasang matanya
mendelik lebar-lebar lalu yang terlihat hanya putihnya saja. Tanpa dapat dipertahankan
lagi, tubuhnya jatuh terkulai di atas tanah.
Dengan panik Tan Ki berlari menghampirinya. Dia segera membungkuk dan memeriksa
keadaan Heng Sang Si. Sejenak kemudian dia mendongakkan kepalanya lagi, wajahnya
menyiratkan perasaan duka yang dalam. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan menarik
nafas panjang.
“Tidak ada harapan lagi, dia sudah menggigit putus lidahnya sendiri…”
Belum lagi ucapan Tan Ki selesai, segera terlihat berbagai reaksi dari orang-orang
gagah yang berkumpul di tempat tersebut. Ada yang membentak marah, ada yang
menarik nafas panjang, ada yang menghentakkan kakinya di atas tanah keras-keras. Ada
juga beberapa orang yang berjalan ke depan namun menghentikan langkah kakinya
kembali…
Dari sini dapat dibuktikan bahwa cara membunuh orang tanpa turun tangan sendiri
yang diperlihatkan Cia Tian Lun barusan benar-benar menimbulkan perasaan marah
orang-orang gagah. Tetapi ilmunya yang sangat tinggi juga merupakan hal yang membuat
orang-orang gagah ragu mengambil tindakan…
Sepasang mata Tan Ki yang tajam menyapu sekilas kepada orang-orang gagah. Ia
melihat mereka semuanya seakan siap mengadu jiwa dengan Cia Tian Lun, tetapi masih
merasa gentar terhadap ilmunya yang sangat tinggi. Sebagian besar malah sudah
melangkah ke depan namun membatalkan niatnya kembali. Akhirnya dia menggertakkan
giginya erat-erat, tangannya terulur dan merogoh ke dalam lengan baju yang satunya lagi.
Begitu tangannya mengibas keluar, tampak secarik cahaya berwarna putih berkilauan
sehingga timbul bayangan seperti bunga-bunga yang bermekaran. Setelah itu dia berdiri
tegak dengan senjata melintang di depan dada.
Cia Tian Lun melihat anak muda itu sudah mengeluarkan senjatanya yang berupa
pedang suling, tampaknya Tan Ki sudah mengerahkan tenaga dalam serta siap
melancarkan serangan. Tanpa dapat ditahan lagi bibirnya menyunggingkan seulas
senyuman.
“Kau juga ingin mencoba beberapa jurus ilmuku ini?” tanyanya tenang.
Dengan wajah serius Tan Ki menyahut, “Cia Siansing (Tuan Cia) melihat usiaku masih
terlalu muda sehingga tidak pantas bergebrak denganmu?”
Cia Tian Lun tertawa lebar.
“Ilmu silat tidak dapat ditentukan dari usia tua maupun muda, pokoknya siapa yang
menanglah yang dipersoalkan. Tetapi ditilik dari usiamu yang demikian muda, seandainya
sampai….”
Tan Ki tidak memberi kesempatan kepada orang itu untuk meneruskan ucapannya, dia
segera menukas, “Seandainya sampai mati di bawah serangan kipasmu, rasanya patut
disayangkan bukan?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cia Tian Lun mengangkat sepasang bahunya. Bibirnya tersenyum makin lebar.
“Orang-orang muda memang lebih mudah emosi. Kalau kau sudah mengungkapkan
apa yang tersirat dalam hatiku, aku juga tidak ingin menyangkalnya. Namun apabila kau
tetap ingin menjajal barang beberapa jurus, di sini terlalu banyak orang yang hadir.
Mungkin mereka akan menganggap aku yang tua menghina kaum muda dan mengatakan
aku tidak tahu aturan. Usiaku jauh lebih tinggi dibandingkan dirimu. Bagaimana kalau aku
mengalah tiga jurus kepadamu dan tidak membalas sama sekali?”
i Wajah Tan Ki tetap datar dan kaku.
“Dalam tiga jurus ini, kemungkinan besar aku bisa mengambil nyawamu. Dalam
perguruan Lam Hay Bun, rasanya kedudukan Cia Siansing tinggi sekali. Bagaimana kalau
karena sesumbar sesaat lalu kalah di tangan seorang anak muda, rasa malunya mungkin
sanggup kau terima?”
Terhadap kata-kata sindirannya yang tajam itu, tampaknya Cia Tian Lun benar-benar
merasa di luar dugaan. Untuk sesaat dia jadi tertegun, kemudian dia memperdengarkan
suara tawanya yang panjang. Padahal dalam hati dia memuji kecerdasan anak muda ini.
Dia tahu Tan Ki sengaja memanasi hatinya dan dengan demikian dia tentu tidak enak
menarik kembali perkataannya. Sebetulnya hal ini hampir sama dengan caranya
menghadapi Heng Sang Si tadi, jadi boleh dibilang dia sudah kena batunya sekarang. Oleh
karena itu suara tawanya begitu melengking sehingga memekakkan telinga orang yang
mendengarnya.
“Kalau kau memang punya kepandaian seperti itu, silahkan lakukan saja. Baik ilmu
tenaga dalam, senjata rahasia atau akal licik apapun, aku akan menemani dengan senang
hati. Pokoknya tiga jurus kemudian, kau harus berhati-hati menjaga selembar nyawamu
sendiri!”
Sementara itu, belasan tamu yang mengikuti perebutan Bulim Bengcu, Im Ka Tojin, Lu
Sam Nio semuanya memusatkan perhatian kepada diri Cia Tian Lun dan Tan Ki. Mereka
sudah dapat membayangkan kalau pertarungan yang akan berlangsung ini hebatnya
bukan main. Belasan pasang mata seakan tidak ingin berkedip sedikitpun karena takut
kehilangan kesempatan menyaksikan pertarungan yang seru.
Suasana yang mencekam semakin terasa karena diselipi dengan ketegangan. Selain api
yang masih berkobar menimbulkan suara ple-tekan oleh hembusan angin, boleh dibilang di
tempat yang luas itu begitu sunyi sehingga nafas merekapun dapat terdengar dengan
jelas. Hal ini membuat perasaan mereka semakin tidak tenang dan pengap. Tampak
sepasang mata Tan Ki mengeluarkan sinar bagai kilat. Sikapnya serius sekali. Tangan
kanannya diangkat ke atas perlahan-lahan bagai seseorang yang menggenggam suatu
benda dengan bobot berat mencapai ribuan kati.
Gerakannya yang lambat dan penampilan sikapnya yang agak tegang malah membuat
hati orang-orang gagah ikut tergerak, jantung mereka berdebar-debar. Tanpa terasa
tangan mereka sampai basah karena keringat dingin bahkan menatapnya pun sambil
menahan nafas.
Cia Tian Lun melihat sepasang mata Tan Ki menyorotkan sinar yang tajam serta
menatapnya lekat-lekat tanpa berkedip sekalipun. Tan Ki masih berdiri tegak dengan
tangan menggetarkan peuang sulingnya yang menimbulkan bayangan putih berkilauan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanpa dapat ditahan lagi hatinya agak tercekat. Diam-diam dia berpikir: ‘Sikapnya serius
dan berwibawa, tangannya diangkat dengan gerakan lamban. Ini merupakan gaya yang
dilakukan tokoh kelas tinggi sebelum memulai sebuah serangan, tampaknya anak muda
ini…’
Belum lagi pikirannya selesai bekerja, tiba-tiba telinganya menangkap suara siulan yang
memekakkan telinga. Di depan matanya terlihat cahaya putih berkelebat, rupanya Tan Ki
sudah menerjang ke arahnya dengan sebuah totokan yang ditujukan ke bagian dada.
Cia Tian Lun mengangkat kipasnya menahan. Terdengar suara dentingan logam saling
membentur. Orangnya sendiri mencelat mundur ke belakang dalam waktu yang
bersamaan dengan tangkisan nya barusan.
Sepasang mata Tan Ki membuka lebar-lebar, tubuhnya bergerak mengejar ke depan. Di
tengah udara pergelangan tangannya digetarkan dan pedang sulingnya diangkat ke atas.
Segera dilancarkannya sebuah serangan. Gerakannya dari lambat berubah menjadi cepat.
Tampak cahaya berwarna putih memijar-mijar, hawa dingin terpancar dari pedang
sulingnya. Jurus yang dikerahkannya merupakan salah satu dari petikan ilmunya yang
ajaib, yakni Awan Berkabut Menyorotkan Cahaya Keemasan. Serangannnya kali ini
mengandung kekuatan tenaga yang sudah diperhitungkan matang-matang. Hawa yang
terpancar dari pedangnya tajam bergulung-gulung bagai ombak di lautan, dengan dahsyat
menerjang datang laksana angin topan!
Cia Tian Lun merasa sekitarnya dipenuhi hawa pedang berkilauan yang menusuk
pandangan mata. Seluruh tubuhnya bagai diselu-supi hawa dingin. Meskipun pandangan
matanya sangat awas dan pendengarannya tajam sekali, tetapi yang terlihat maupun
terdengar hanya hawa pedang di tangan Tan Ki. Begitu hebatnya hawa pedang tersebut
sehingga seluruh tubuhnya bagai terkurung rapat. Dia tidak dapat menduga ke arah mana
pedang itu mengincar, dan jalan darah mana yang akan ditotok oleh ujungnya. Tanpa
terasa hatinya tercekat. Tangan kanannya menggerakkan kipas dengan jurus Menggempur
Delapan Penjuru di Malam Hari. Bayangan kipasnya bergulung-gulung melindungi bagian
atas kepalanya, orangnya sendiri langsung mencelat mundur ke belakang sejauh beberapa
langkah.
Telinganya menangkap suara keresekan yang halus, kedengarannya hanya satu kali
saja. Kemudian terdengar pula suara bentakan nyaring dan ada pula yang menarik nafas
panjang. Beberapa macam suara membaur di telinganya… rupanya ketiga jurus inilah
yang membuat orang-orang gagah tahu sampai di mana tingginya ilmu silat Tan Ki.
Cia Tian Lun menundukkan kepalanya melihat. Rupanya di antara lengan dan pergelangan
tangannya terdapat sayatan sepanjang tiga cun. Tampaknya dia sudah terkena
serangan pedang suling Tan Ki sehingga tangannya terluka. Kalau saja tenaga yang
terkandung di dalamnya lebih berat sedikit, ada kemungkinan sebelah tangannya itu
menjadi putus atau cacat seumur hidup. Tanpa terasa bulu kuduknya jadi meremang dan
sikapnya berubah hebat. Tetapi biar bagaimana pada mulanya dia sudah sesumbar
menjual omong besar, urusannya menyangkut muka serta nama baiknya sendiri. Dengan
demikian dia tidak dapat menyesal sehingga dirinya akan dipandang hina oleh orang-orang
gagah yang hadir di sana. Belum lagi anak buahnya sendiri. Akhirnya terpaksa dia
mendongakkan kepalanya dan menebalkan kulit wajahnya dengan berlagak santai.
Bibirnya kembali mengembangkan seulas senyuman.
“Dua jurus sudah berlalu, sekarang kau masih mempunyai satu jurus lagi!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAGIAN XLV
Baru saja ucapan Cia Tian Lun selesai, Tan Ki sudah mengeluarkan suara siulan
panjang lagi. Tubuhnya kembali mencelat ke udara dan cahaya putih tampak berkilauan.
Dalam sekejap mata orangnya sudah berdiri tegak lagi di tempat semula.
Gerakannya ini merupakan serangan yang mendadak. Cepatnya bagai kilasan cahaya,
begitu berkelebat tahu-tahu sudah diam kembali. Dari berpuluh pasang mata orang-orang
yang hadir di tempat itu, ternyata tidak ada seorangpun yang sempat melihat bagaimana
cara tubuhnya bergerak. Entah bagaimana dia turun tangan lalu tahu-tahu sudah berdiri
kembali di tempat semula. Maju dan mundurnya Tan Ki demikian cepat sehingga dia
seakan tetap berdiri tegak dengan tangan menggenggam pedang suling.
Begitu pandangan mata dialihkan, tubuh Cia Tian Lun yang tadinya tidak bergerak
sudah berubah posisinya. Lengan kanannya terangkat sedikit ke atas dan telapak tangan
kirinya mengambil posisi seperti menahan di depan dada. Sikapnya seperti orang yang
sedang menangkis sebuah serangan.
Cahaya api yang terang benderang menekan sinar rembulan yang redup. Kali ini
tampak jelas bahwa pergelangan tangan kanannya telah tersayat cukup dalam sehingga
darah segar terus menetes membasahi tanah dekat kakinya berpijak. Kalau serangan Tan
Ki yang pertama hanya menggores ujung kulitnya serta tidak sampai mengeluarkan darah
banyak, maka kali ini lukanya cukup dalam. Hal ini membuktikan bahwa serangan Tan Ki
yang secepat kilat sudah membuat Cia Tian Lun yang sombong karena ilmunya tinggi
terluka di bawah gerakan pedang sulingnya. Saat itu juga terdengar suara tepuk tangan
yang riuh dan suara pujian yang gegap gempita dari mulut para orang-orang gagah. Suara
desiran angin dan percikan api masih tidak dapat menahan suara gemuruh tersebut.
Setelah tertegun beberapa saat, akhirnya Cia Tian Lun menarik nafas panjang.
“Dalam seumur hidup ini, jarang sekali aku menemukan tandingan yang setimpal,
kecuali dua puluh tahun yang lalu, aku dikalahkan oleh Tocu Lam Hay Bun, selamanya
belum pernah ada orang lain yang dapat bertahan seratus jurus seranganku. Tetapi
malam ini, aku mendapat pelajaran yang baru. Usia adik ini masih demikian muda,
penampilannya pun biasa-biasa saja, ternyata ilmu yang dikuasai sudah sedemikian tinggi
sehingga aku, Cia Tian Lun, salah pandangan…” dia menghentikan kata-katanya sejenak.
Tampaknya dia sedang mengerahkan hawa murninya untuk menahan darah yang terus
mengalir dari pergelangan tangannya. Sesaat kemudian terdengar dia berkata kembali.
“Dalam tiga jurus kau dapat membuat aku terdesak bahkan terluka. Mungkin kecuali Toa
Tocu kami, di dunia ini tidak ada orang yang sanggup menandingimu lagi.”
Tan Ki mendengar kata-kata yang diucapkannya seakan keluar dari hati yang tulus,
bahkan sikap angkuhnya juga sudah jauh berkurang. Tanpa dapat ditahan lagi, bibirnya
segera mengembangkan seulas senyuman yang ramah.
“Di dunia ini terdapat banyak tokoh berilmu tinggi, tetapi kebanyakan sudah
mengasingkan diri dan tidak bersedia mencampuri urusan dunia yang rumit ini. Sayangnya
saudara belum menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Padahal ilmu Cayhe ini masih
belum terhitung apa-apa…”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Kalau kau tidak percaya, tentu saja aku juga tidak dapat berkata apa-apa lagi. Pada
suatu hari nanti, mungkin kau dapat membuktikannya sendiri. Aku bukan orang yang
selalu terkurung di Lam Hay Bun. Banyak sudah aku menyaksikan berbagai keajaiban di
dunia ini. Oleh karena itu kata-kata yang kuucapkan bukan asal cetus saja. Kelak apabila
ada kesempatan untuk bertemu dengan tocu kami, waktu itu kau baru menyadari benar
tidaknya ucapanku ini. Sekarang aku merupakan prajurit yang kalah perang, baik nama
ataupun kecemerlangan wajahku ini sudah sirna, oleh karena itu aku ingin memohon diri!”
Sepasang matanya yang tajam menyapu sekilas kepada mayat-mayat yang berserakan
di atas tanah. Sesaat kemudian baru dia melanjutkan lagi kata-katanya…
“Dua regu tentara berperang, pasti ada korban yang jatuh. Tetapi kalau adik kecil ini
merasa tidak puas karena aku telah membunuh beberapa orang dari pihakmu, tentu saja
aku mengerti peraturan dunia Kangouw yang menyatakan ‘hutang darah dibayar dengan
darah! Ada dendam harus dibalas. Adik kecil boleh menahan aku di sini. Ingin bunuh, ingin
cincang, silahkan. Pokoknya aku tidak akan membalas!”
Mendengar kata-katanya yang tegas, Tan Ki jadi serba salah. Di dalam ucapannya yang
lembut terkandung kekerasan hatinya yang gagah. Hal ini membuktikan bahwa orang ini
sebetulnya termasuk seorang pendekar berjiwa lapang sehingga menyatakan bahwa
dirinya yang sudah kalah dan tidak berniat mengadakan pertarungan lagi. Tentu saja Tan
Ki boleh maju ke depan dan membunuhnya langsung. Tetapi tentara yang sudah
mengibarkan bendera putih tanda mengaku kalah, di negara mana pun tidak boleh
dibunuh lagi. Bukan saja Tan Ki tidak ingin melakukan hal tersebut, lagipula pandangan
orang terhadap dirinya menjadi rendah. Namun apabila dia melepaskannya begitu saja,
sedangkan di sana hadir demikian banyak orang gagah yang menyaksikan bagaimana Cia
Tian Lun membunuh rekan-rekan mereka dan mayat-mayatnya pun masih berserakan di
atas tanah, keputusan apa yang harus diambilnya agar terlihat tidak berat sebelah?
Tan Ki menundukkan kepalanya merenung. Untuk sesaat dia merasa begini salah begitu
salah. Hatinya bimbang memilih keputusan yang harus diambilnya. Sesaat kemudian dia
mendongakkan kepalanya menatap Cia Tian Lun kemudian pandangannya kembali beredar
kepada orang-orang gagah. Akhirnya dia malah berdiri termangu-mangu tanpa tahu apa
yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang mendatangi. Rupanya Ceng Lam Hong dan
Lok Ing berlari ke arah mereka dan berhenti di samping Tan Ki. Tampaknya kedua
perempuan ini sudah melalui pertarungan yang sengit. Wajah mereka menyiratkan
perasaan letih dan nafaspun masih tersengal-sengal. Malah di lengan kanan Ceng Lam
Hong terlihat bekas darah dan lengan pakaiannya terdapat dua buah lubang bekas
tusukan pedang, untung saja tidak tampak parah. Namun rambutnya awut-awutan dan
tangannya menggenggam sebatang pedang yang sudah, terkutung setengahnya.
Melihat ibunya terluka, Tan Ki merasa terkejut sekali. Bibirnya bergerak-gerak seakan
ingin mengajukan pertanyaan, tetapi Ceng Lam Hong sudah menggoyangkan tangannya
seperti memberi isyarat agar dia jangan berkata apa-apa. Sementara itu, dia menoleh
kepada Cia Tian Lun.
“Apakah siangkong ini yang menjabat sebagai Bun Bu Co-siang (Menteri kiri bagian ilmu
surat dan ilmu silat) Cia Siansing adanya?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Cia Tian Lun tertegun sejenak mendengar pertanyaannya.
“Bagaimana kau bisa tahu sebutan diriku?” tanyanya kembali.
Ceng Lam Hong tersenyum ramah kepadanya.
“Kau juga mendapat gelar Pelajar Maut, bukan? Bagus sekali! Jadi aku tidak perlu
berlari ke sana ke mari untuk mencarimu. Lagipula kalau menyampaikan pesan lewat
orang lain, kadang-kadang justru tidak disampaikan.”
Dia berhenti sejenak, tiba-tiba suaranya diperkecil sehingga terdengar lirih sekali.
“Ramalan Cin menembus langit, daun Tong menebarkan keharuman yang semerbak.”
suaranya lembut dan lirih sekali. Mungkin hanya Tan Ki yang ada di sampingnya dapat
mendengar dengan jelas.
Mendengar kata-katanya, dada Cia Tian Lun bagai tergetar seperti dipukul oleh
seseorang. Tubuhnya bergetar hebat. Tergesa-gesa dia bertanya, “Cepat beritahukan
kepadaku, di mana dia sekarang?”
Sekali lagi Ceng Lam Hong tersenyum simpul.
“Putrinyalah yang ingin aku sampaikan kepadamu agar kau meninggalkan tempat ini
secepatnya!”
Cia Tian Lun menghembuskan nafas panjang-panjang.
“Aku kira orang yang sudah mati sudah bisa hidup kembali. Toakoku itu sudah
meninggal bertahun-tahun yang lalu. Mengapa di saat ini dan tempat ini bisa
menyampaikan pesan kepadaku, rupanya budak cilik itu…”
Berkata sampai di sini, tiba-tiba dia seperti tersadar. Matanya yang menyorotkan sinar
tajam menyapu sekilas kepada Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio yang ada pada jarak satu
depa di belakangnya, kemudian dia mengeluarkan suara batuk-batuk kecil dan
menghentikan kata-katanya.
“Dia juga ingin aku sampaikan kepadamu, apabila ada kesempatan, dia ingin menemuimu
secara langsung!”
Cia Tian Lun menundukkan kejaalanya merenung sejenak, kemudian tampak dia
tersenyum.
“Ada baiknya juga. Saat ini lebih baik Cayhe turuti saja perkataannya dan mohon diri
sekarang juga.” sembari berkata, dia menoleh kepada Tan Ki. Sekali lagi bibirnya
mengembangkan senyuman yang ramah. “Kau kuat sekali. Biarpun aku kalah di bawah
pedang sulingmu, tetapi kekalahan ini kuterima dengan ikhlas.” tanpa menunggu jawaban
dari Tan Ki, dia segera membalikkan tubuhnya kemudian kakinya menghentak. Tubuhnya,
bergerak bagai seekor burung yang mengembangkan sayapnya dan melesat ke depan
bagai terbang. Sekali loncat saja jaraknya mencapai lima enam depaan. Dalam waktu yang
singkat, Cia Tian Lun, Im Ka Tojin dan Lu Sam Nio sudah berkelebat pergi kemudian
menghilang dadam kegelapan malam.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Ki tertegun beberapa saat, kemudian dia menolehkan kepalanya kepada Ceng Lam
Hong.
“Ibu, apa sebetulnya makna ucapanmu tadi?”
Ceng Lam Hong tersenyum simpul mendengar pertanyaannya.
“Kelak kau akan mengerti sendiri.”
Wajah Tan Ki menyiratkan perasaan ingin tahu. Hatinya masih merasa penasaran,
tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Oleh karena itu dia menundukkan kepalanya
merenung sejenak kemudian baru melanjutkan lagi kata-katanya.
“Apakah Ibu ada bertemu dengan Cin Ying dan Cin Ie? Keadaan malam ini sangat
gawat. Apabila mereka sampai tertangkap oleh pihak Lam Hay atau Si Yu, kemungkinan
mereka akan mendapatkan kesulitan yang besar.”
“Kau tidak perlu khawatir, aku justru mendapat tugas dari Sam-siokmu Yibun Siu San
agar mengajak si pengemis cilik Cu Cia, Sam Po Hwesio, dan beberapa jago pedang
tingkat tujuh dan delapan untuk memeriksa daftar nama para peserta Bulim Tayhwe kali
ini, juga diminta menyimpan baik-baik beberapa dokumen penting di dalam ruang baca.
Kurang lebih kentungan kedua, tiba-tiba aku melihat tiga sosok bayangan hitam
berkelebat…”
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar keterangan ibunya.
“Mereka pasti jago-jago dari Lam Hay dan Si Yu?”
Ceng Lam Hong menganggukkan kepalanya beberapa kali.
“Tebakanmu memang benar. Yang datang memang Bun Bu Yu-siang (Menteri kanan
bagian ilmu surat dan baca) dari Lam Hay Bun, Tong Ku Lu beserta bawahannya kakak
beradik keluarga Fu. Aku dan Tong Ku Lu sempat bergebrak beberapa jurus, namun aku
langsung merasa kurang beres. Ilmu silat orang itu tingginya benar-benar di luar
dugaanku, sedangkan tenaga dalam yang terpancar dari telapak tangannya, mungkin tidak
kalah dengan Sam-siokmu sendiri. Setelah belasan jurus, aku mulai terdesak dan tidak
mempunyai tenaga untuk melakukan serangan balasan lagi. Untung saja di saat yang
genting, tiba-tiba datang dua orang gadis bertopeng. Ilmu silat mereka aneh sekali, lagi
pula gabungan keduanya begitu kompak dan serasi sehingga pengaruhnya bertambah
hebat. Tepat sepenanakan nasi kemudian, Tong Ku Lu terdesak mundur sehingga lari
meninggalkan tempat tersebut. Setelah itu, si gadis yang usianya lebih tua meminta aku
menyampaikan kata-kata tadi kepada Cia Tian Lun. Mungkin kau sudah dapat menduga
bahwa kedua gadis itu adalah kakak beradik Cin Ying dan Cin Ie.”
Mulut Tan Ki mengeluarkan suara ‘Oh’ yang panjang. Tiba-tiba ingatannya melayang ke
peristiwa sewaktu dia keracunan tempo hari. Pada saat itu dia menitipkan ibunya agar
dirawat oleh Cin Ying, tanpa sadar perasaannya menjadi sedih. Ternyata putri bekas Bengcu
dari Lam Hay ini orang yang memegang teguh perkataannya. Apa yang sudah
dijanjikannya pasti ditepati. Hal ini justru membuat perasaan hati Tan Ki menjadi tidak
enak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Biar bagaimana dia pernah berjanji akan mengambil adiknya yang ketolol-tololan itu
sebagai selir. Meskipun sekarang dia sudah beristeri, tetapi kalau Cin Ie dibandingkan
kakaknya, satu seperti gadis desa yang bodohnya minta ampun, sedangkan yang satunya
begitu cerdas dan cantik bagai dewi kahyangan. Perbandingannya begitu menyolok
sehingga Cin Ying bagai rembulan di langit yang memancarkan cahayanya sampai jauh.
Seandainya kedudukan Cin Ie diganti dengan kakaknya, tentu merupakan hal yang
menggembirakan sekali…
Berpikir sampai di sini, dia sendiri merasa terkejut, perlahan-lahan dia mengetuk batok
kepalanya sendiri dan berkata dalam hati: Aku selalu merasa diriku sebagai seorang lakilaki
sejati, mengapa tiba-tiba bisa mempunyai pikiran seperti itu? Kalau sampai ada orang
yang mengetahuinya, mana aku ada muka lagi merebut kedudukan Bulim Bengcu?’
Dengan membawa pikiran seperti itu, cepat-cepat dia menarik nafas panjang dan
menghentikan renungannya. Tiba-tiba dia melihat Ceng Lam Hong membalikkan tubuhnya
dan berkata kepada orang-orang gagah yang ada di tempat tersebut.
“Wajah saudara-saudara sekalian seakan menyiratkan perasaan kurang senang. Tentu
karena aku membiarkan tokoh Lam Hay tadi meninggalkan tempat ini begitu saja.
Sebetulnya, ilmu silat orang itu kalian sudah saksikan sendiri, taraf kepandaiannya sudah
mencapai tingkat yang tinggi sekali. Dalam Lam Hay Bun dia menjabat kedudukan sebagai
Bun Bu Cuo-siang. Jabatan itu sangat tinggi, boleh dibilang hanya di bawah Tocunya
sendiri. Dia juga merupakan salah satu angkatan tua yang paling setia selama mengepalai
empat puluh pulau di daerah Lam Hay. Dia juga merupakan sahabat karib Bengcu lama,
yakni Cin Tong. Pertemuan yang kebetulan ini sebetulnya sulit diharapkan. Tetapi aku
berani menjamin kepada saudara-saudara sekalian, kelak orang ini pasti akan
meninggalkan Lam Hay Bun dan bersahabat dengan pihak Tionggoan kita. Di balik semua
ini terkandung sebuah rahasia besar. Untuk sesaat sulit dijelaskan dengan terperinci.
Harap saudara-saudara sudi bersabar sehingga datang saatnya yang tepat serta lihat
sendiri buktinya nanti!”
Tiba-tiba seorang laki-laki tua berlengan tunggal menukas dari antara orang-orang
gagah.
“Meskipun seandainya suatu hari nanti Cia Tian Lun bisa memihak kepada kita, tetapi
memangnya dendam para sahabat yang sekarang sudah menjadi mayat berserakan di
atas tanah ini tidak perlu dibalas lagi?”
Ceng Lam Hong mengerti saat ini emosi orang-orang gagah masih meluap-luap.
Meskipun ribuan kata-kata diucapkan, tetaplah sulit membuat mereka paham. Lebih baik
menghindari persoalan besar dan membuatnya sekecil mungkin. Oleh karena itu dia
segera mengembangkan seulas senyuman yang lembut dan berkata, “Urusan ini akan kita
bicarakan lagi perlahan-lahan kelak. Pokoknya suatu hari pasti ada jawaban yang
memuaskan hati saudara sekalian, sekaligus dapat memadamkan api kemarahan dalam
hati kalian itu.”
Sepasang mata Lok Ing yang mengandung sinar romantis itu berulang kali melirik ke
arah Tan Ki. Tampaknya dia seperti mempunyai banyak kata-kata yang ingin dibicarakan,
namun sampai saat ini tidak ada kesempatan sama sekali. Hanya sepasang alisnya yang
terus mengerut, namun sejak awal hingga akhir, dia tidak mengucapkan sepatah kata-pun.
Setelah Ceng Lam Hong menyelesaikan ucapannya, baru dia berkata, “Pek Bo, kita sudah
boleh pergi sekarang.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ceng Lam Hong menoleh kembali kepada Tan Ki.
“Anak Ki, kau harus berhati-hati. Mulai sekarang kau tidak boleh bertindak sembrono,
apalagi sembarangan menempuh bahaya sehingga membuat orang khawatir. Sekaligus
kau harus berbaik hati kepada…”
Berkata sampai di sini, perempuan setengah baya itu seakan teringat akan sesuatu hal
sehingga ucapannya tidak jadi diteruskan. Sepasang mata Tan Ki melirik sekilas ke arah
isterinya kemudian berkata, “Anak akan menurut apapun perkataan ibu, mulai sekarang
tidak akan sembrono lagi.”
Baru saja ucapannya selesai, terasa ada segulung angin yang berdesir kencang. Ceng
Lam Hong dan Lok Ing sudah meninggalkan tempat itu, gerakan mereka laksana kepulan
asap yang tertiup angin, mereka menuju ke arah timur.
Tiba-tiba hati Tan Ki jadi tergerak. Diam-diam dia berpikir: ‘Lok Ing biasa malang
melintang di daerah Sai Pak, dia sudah terkenal sebagai gadis yang keras kepala dan
selalu tidak pakai aturan. Mengapa tanpa hujan tanpa angin dia mendekati ibu dan
bersikap begitu baik terhadapnya? Jangan-jangan di balik semua ini terselip apa-apanya.’
Berpikir sampai di sini, dia jadi termangu-mangu. Untuk sekian lama dia memandangi
punggung Lok Ing sampai menghilang di kejauhan. Dia tahu gadis itu bertepuk sebelah
tangan dalam mencintainya. Meskipun hatinya mempunyai maksud tertentu, rasanya
bukan urusan yang akan merugikan diri ibunya, itulah sebabnya Tan Ki tidak terlalu
memusingkan hal itu.
Saat itu rembulan yang tinggal sepenggal itu semakin suram cahayanya, sedangkan di
langit bagian timur mulai tampak secarik garis berwarna keemasan. Mungkin sepenanakan
nasi lagi matahari akan terbit secara keseluruhan.
Kurang lebih seratus orang turun tangan membantu memadamkan api yang menyala di
gudang darurat penyimpanan ransum. Lambat laun api mulai melemah. Kecuali debu-debu
sisa kebakaran yang masih beterbangan, di atas langit masih terlihat gumpalan asap putih.
Rasanya keadaan cukup parah dan sulit diperbaiki dalam waktu yang singkat.
Tan Ki mengedarkan pandangannya sambil menyimpan kembali pedang sulingnya. Baru
saja dia berniat memberikan bantuan kepada yang lain untuk membereskan mayat-mayat
yang berserakan, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara panggilan, “Tan-heng!” yang
tidak henti-hentinya berkumandang. Dua sosok bayangan berlari secepat kilat mendatangi.
Begitu pandangan matanya beralih, tampak seorang gemuk dan yang seorang lagi
bertubuh kurus menghampiri ke arah mereka. Kedua orang itu adalah Hek Lohan Sam Po
Hwesio dan si pengemis cilik Cu Cia. Dalam sekejap mata mereka sudah sampai di
hadapan Tan Ki.
Lengan kiri si pengemis cilik Bulim dibalut dengan kain putih, rembesan darah terlihat
jelas. Tampaknya luka si pengemis cilik ini tidak ringan juga. Namun sikapnya yang
periang masih kentara jelas. Dia langsung tertawa terbahak-bahak begitu melihat Tan Ki.
“Tan-heng, paman ketigamu Yibun Siu San meminta kau segera datang ke ruang
pertemuan!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Ki jadi tertegun mendengar kata-katanya. “Aku?”
Cu Cia tertawa lebar.
“Benar, memang engkau yang dimaksud!”
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Bibirnya tersenyum simpul.
“Dalam pertandingan malam ini boleh dibilang pihak kita mengalami kerugian besarbesaran.
Mayat berserakan, seluruh bukit bagai diselimuti hawa kedukaan yang tebal.
Untung saja tidak sampai rata menjadi tanah. Sedangkan kau di sini juga memenangkan
pertarungan dengan cemerlang. Hal ini sudah tersebar luas di seluruh bukit. Siapapun
tahu bahwa tiga jurus ilmu pedang sulingmu berhasil melukai Bun Bu Cuo-siang dari Lam
Hay. Meskipun tidak parah, ‘i namun merupakan suatu hal yang patut dibanggakan.
Hwesio cilik ini tidak sampai mati, sejak semula sudah mengambil keputusan untuk minum
sampai puas guna merayakan kemenangan Tan-heng!” katanya sambil tertawa tergelakgelak.
Si pengemis cilik Cu Cia ikut tersenyum simpul.
“Si pengemis cilik sendiri sampai terluka lengan kirinya. Mestinya orang yang terluka
harus merasa sedih dan tidur beristirahat. Tetapi asal masih mempunyai sedikit nafas,
walaupun orang-orang mengatakan minum arak bisa memperbanyak darah yang mengalir,
masa bodoh. Kemenangan Tan-heng yang sedikit tetap merupakan peristiwa yang
menggembirakan. Meskipun harus mati, si tukang minta-minta ini tetap ingin minum
sampai mabuk.”
Beberapa orang itu bercakap-cakap sambil berjalan. Tanpa terasa sebentar saja mereka
sudah sampai di ruang pertemuan. Tampak bayangan orang berjalan mondar-mandir
membereskan tempat yang berantakan itu. Mayat-mayat telah dipindahkan, sedangkan
bekas darah sudah dibersihkan. Dengan wajah masih tertutup cadar, Yibun Siu San berdiri
di bagian yang tinggi, sedangkan si pengemis sakti Cian Cong duduk di atas kursi besar
dengan wajah serius, tangannya yang satu mengangkat hiolo arak tinggi-tinggi dan
meneguknya seperti orang yang kehausan. Setelah minum arak dalam jumlah yang
banyak, semangatnya malah seperti terbangkit. Di sebelah kanannya duduk Pangcu Ti
Ciang Pang, yakni Lok Hong. Wajahnya juga kelam sekali. Sepasang matanya terpejam
rapat seperti orang yang sedang beristirahat. Dia seolah tak menyadari sama sekali
kehadiran Tan Ki dan yang lainnya. Orangnya sedikitpun tidak bergerak, bahkan matanya
tidak terpicing sedikitpun.
Goan Yu Liong dan Yang Jen Ping berdiri di belakang punggung Goan Siang Fei, dua
baris bagian depan duduk berkeliling Kok Hua Hong serta pendekar pedang tingkat
delapan lain.
Yibun Siu San menggapai tangannya memberi isyarat agar Tan Ki duduk di tempat yang
kosong. Anak muda itu sampai kelabakan dan cepat-cepat menjura dalam-dalam.
“Para Cianpwe sedang duduk berkumpul, mana boleh anak Ki tidak tahu aturan duduk
bersama. Biar anak Ki berdiri saja.” katanya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba Lok Hong mendongakkan kepa–lanya dan mengedarkan pandangannya ke
sekeliling. Matanya yang bersinar tajam menatap Tan Ki sekilas. Kemudian dia tersenyum
simpul dengan wajah menyiratkan perasaan kagum. Setelah itu dia memejamkan matanya
kembali.
Yibun Siu San tertawa lebar.
“Pertarungan malam ini, membuat kau pantas duduk bersama para Cianpwe ini. Kau
juga tidak perlu rendah diri lagi, duduklah. Kalau sampai kau dianggap sombong kan
malah tidak baik.”
Tan Ki bimbang sejenak. Baru kemudian dia membungkukkan tubuhnya dengan penuh
hormat dan duduk di tempat yang ditunjuk oleh Yibun Siu San. Mei Ling, Ban Jin Bu, Sam
Po Hwesio serta si pengemis cilik Cu Cia berdiri berbaris di belakangnya, seakan menjadi
pengawal bagi Tan Ki.
Ketika bara duduk saja, pandangan mata Tan Ki sudah mengedar ke orang-orang
gagah yang ada di sekelilingnya. Tiba-tiba hatinya jadi tergerak. Diam-diam dia berpikir:
‘Rasanya masih ada beberapa orang yang belum hadir.’
Dengan membawa pikiran seperti itu, dia langsung menanyakannya kepada Yibun Siu
San.
“Siok-siok, apakah Ciong San Suang Siu, kedua pengawal Cianpwe, masih menjaga goa
di bagian belakang bukit di mana Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri?”
Tampak sinar mata Yibun Siu San mengeluarkan cahaya yang berkilauan. Dia
mendengus satu kali.
“Goa di belakang bukit itu letaknya agak terpencil sehingga tidak mudah ditemukan.
Ketika Tian Bu Cu Locianpwe menyatakan hendak menutup diri menurunkan ilmu kepada
Liang Fu Yong, orang yang tahu hanya segelintir saja. Entah bagaimana caranya ternyata
malah bisa didatangi oleh tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Kecuali Kaucu Pet
Kut Kau dan adik seperguruannya Kim Yu. Laki-laki yang satu lagi mengenakan pakaian
serba hitam dan tubuhnya kurus seperti tinggal tengkorak saja, tetapi ilmunya sangat
tinggi dan rasanya tidak di sebelah bawah Kaucu Pek Kut Kau. Aku sendiri sempat
bergebrak dengannya sampai ratusan jurus, tetapi tidak sanggup meraih keuntungan
sedikitpun. Malah kadang-kadang aku sampai terdesak mundur oleh kekuatan tenaga
dalamnya yang dahsyat serta jurus serangannya yang aneh. Kemudian aku baru
mengetahui bahwa orang ini merupakan Bun Bu Yu Siang dari pihak Lam Hay Bun, yakni
Tong Ku Lu.”
Tan Ki agak tertegun mendengar keterangannya.
“Ketika Tong Ku Lu menyatroni ruang baca, bukankah dia sudah diusir oleh dua gadis
bertopeng? Mengapa dia bisa kembali lagi dan malah menuju ke bagian belakang bukit di
mana Tian Bu Cu Locianpwe menutup diri?”
Sekali lagi Yibun Siu San mengeluarkan suara dengusan berat dari hidungnya.
“Kalau Tong Ku Lu sempat datang lebih awal sedikit saja, mana mungkin Ciong San
Suang Siu bisa bertahan lebih dari lima puluh jurus? Untung sebelum aku datang memberi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bantuan, Lok Lo Pangcu sudah sampai terlebih dahulu dan menahan Kaucu Pek Kut Kau.
Dengan demikian Tian Bu Cu Locianpwe serta Liang Fu Yong yang menutup diri di dalam
goa tidak sampai mengalami peristiwa yang membahayakan.”
Tan Ki seperti teringat akan sesuatu hal, tiba-tiba saja dia bertanya, “Siapa perempuan
yang satunya lagi?”
Yibun Siu San menggelengkan kepalanya.
“Tidak tahu. Dia juga sama seperti aku ini, mengenakan cadar untuk menutupi
wajahnya. Dengan demikian wajah aslinya jadi tidak kelihatan. Sejak awal hingga akhir dia
tidak mengucapkan sepatah katapun. Namun dari bentuk badannya dapat diduga bahwa
perempuan ini usianya masih muda sekali.”
Mulut Tan Ki mengeluarkan suara ‘oh’ yang panjang. Biji matanya mengerling ke sana
ke mari. Sepertinya ada suatu hal yang sedang ia pertimbangkan dalam hatinya. Kelima
jari tangan kirinya mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Matanya terpejam dan
merenung beberapa saat, tetapi dia tidak bersuara sedikitpun. Telinganya kembali
mendengar suara Yibun Siu San yang berbicara dengan perlahan-lahan.
“Meskipun usia gadis ini masih muda, tetapi tampaknya dia justru yang menjadi
pimpinan orang-orang ini. Dia yang menurunkan perintah dan juga sangat licik. Ciong San
Suang Siu kedua-duanya terluka di tangan gadis ini. La-gipula gadis itu sepertinya
memahami sekali seluk beluk daerah di belakang bukit, begitu sampai dia langsung
menuju goa di mana Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri…”
Kata-kata yang diucapkannya seperti ditujukan kepada Tan Ki, juga merupakan
peringatan kepada orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut. Setiap patah kata
diucapkannya dengan berat dan lambat sehingga menimbulkan peraaan tidak tenang di
hati mereka. Begitu mata dipejamkan, yang terbayang di pelupuk mata justru diri seorang
gadis bercadar yang samar-samar seakan berkelebat ke sana ke mari…
Tiba-tiba si pengemis sakti Cian Gong menepuk meja di hadapannya dan tertawa
terbahak-bahak.
“Ditilik dari kata-kata si tua Yibun Siu San tadi, tampaknya dia ingin memperingatkan
bahwa di antara kita terdapat seorang mata-mata. Kalau tidak, pihak Lam Hay maupun Si
Yu tidak mungkin secara kebetulan atau begitu cepat menemukan goa di belakang bukit.
Apabila kita renungkan secara seksama, tampaknya serangan Lam Hay dan Si Yu yang
Secara mendadak tadi seolah ingin memamerkan kekuatan dan mengacaukan keadaan
kita. Tetapi sebetulnya tujuan utama mereka adalah jiwa Tian Bu Cu. Kalau serangan ini
sampai berhasil dan si hidung kerbau itu mati di puncak bukit Tok Liong Hong, akibatnya
tentu dapat dibayangkan. Sudah pasti mereka akan menggunakan cara yang licik dengan
menyebarkan berita di luaran bahwa si hidung kerbau mati karena ulah kita. Dengan
demikian, meskipun kita mempunyai seribu lidah ataupun alasan, pihak lima partai besar
belum tentu mau mengerti. Akhirnya pasti timbul bentrokan antara pihak kita dengan para
partai besar. Kemungkinan malah bisa timbul pertumpahan darah yang hebat. Sedangkan
saat itu mereka tinggal berdiri di samping menyaksikan keramaian dan kemudian
memungut hasilnya.”
Mendengar kata-kata si pengemis sakti Cian Cong, orang-orang gagah langsung
mengeluarkan suara seruan terkejut. Mereka bagai tersentak dari mimpi dan wajah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
masing-masing menyiratkan perasaan gusar yang sulit diuraikan dengan kata-kata.
Memang dari pihak lima partai besar, kali ini yang memberikan bantuan hanya Tian Bu Cu
seorang. Apabila sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri orangtua itu,
akibatnya kemarahan pihak lima partai besar pasti terbangkit.
Cian Cong mengangkat hiolo araknya dan meneguk dua tegukan besar. Matanya yang
bersinar tajam menyapu ke sekeliling sekilas. Perlahan-lahan dia berkata lagi.
“Sebentar lagi hari sudah pagi, saudara sekalian sudah letih berkutat sepanjang malam.
Untuk sementara persoalan ini tidak usah terlalu dipikirkan. Biar kita selidiki perlahanlahan,
suatu hari nanti urusan ini pasti bisa mendapat penjelasan yang memuaskan dan
mata-mata tersebut pasti ketahuan siapa orangnya. Dengan demikian kita bisa
membalaskan dendam untuk para sahabat yang gugur hari ini. Setelah sarapan pagi nanti,
pemilihan Bulim Bengcu akan dimulai kembali. Sekarang harap saudara-saudara sekalian
dapat mempergunakan waktu yang singkat ini untuk beristirahat sebaik-baiknya sehingga
dapat hadir dalam pertandingan final nanti.”
Selesai berkata, dia segera berjalan keluar mendahului yang lain. Langkah kakinya
ringan sekali, dalam sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata. Tamutamu
yang lainnya mulai bangkit dari tempat duduk masing-masing, dengan berbondongbondong
mereka keluar dari ruangan tersebut.
Dalam waktu yang singkat, di dalam ruangan itu hanya tinggal Yibun Siu San, Lok
Hong, Tan Ki dan istri yang baru dinikahinya, Liu Mei Ling, berempat.
Tampak Yibun Siu San memejamkan matanya, mendengarkan dengan seksama.
Setelah yakin orang-orang gagah lainnya sudah keluar dari ruangan tersebut, dia baru
berkata dengan nada suara berat, “Anak Ki, kau pernah mengatakan kepadaku bahwa di
antara pihak kita telah diselusupi mata-mata dari Lam Hay dan Si Yu. Hal ini membuktikan
bahwa sejak semula kau sudah tahu siapa adanya orang ini. Sekarang di dalam ruangan
ini hanya tinggal aku dan Lok Locianpwe, beliau bukan orang luar bagi kita, kau boleh
mengatakannya terus terang dan tidak perlu ditutupi lagi.”
Mendengar kata-katanya, untuk sesaat Tan Ki tertegun. Kemudian dia menolehkan
kepalanya kepada Mei Ling. Tampak sepasang mata istrinya itu juga menyiratkan perasaan
ingin tahu yang dalam. Dia sedang menatap Tan Ki lekat-lekat dengan bibir
menyunggingkan senyuman, seolah perasaannya langsung menjadi tenteram asal berada
dekat suaminya itu. Mungkin apabila ada yang mengatakan gunung Thai San akan roboh,
dia juga tidak merasa gentar.
Tan Ki menarik nafas panjang.
“Ling Moay, sebelum aku mengatakan siapa adanya orang ini, aku harap kau menjaga
perasaanmu agar jangan sampai terkejut…”
Mei Ling menanggukkan kepalanya sambil tersenyum simpul. Tan Ki berpikir sejenak
sebelum berkata, “Orang ini belum lama kukenal…”
Lok Hong tampaknya kurang sabar mendengar ucapan Tan Ki. Wajahnya agak berubah.
Dia segera menukas, “Mengapa sih kau ini suka bertele-tele? Bicara nama seseorang saja
pakai putar-putar segala. Lohu tidak perduli bagaimana kau bisa mengenal orang ini, asal
kau katakan saja secara terus terang siapa orangnya. Coba apakah orang yang kau
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebutkan sama dengan orang yang kucurigai dalam hati? Segala macam tetek bengek
lebih baik dihilangkan saja!”
Tan Ki jadi tertegun mendengar kata-katanya yang ketus. Diam-diam dia berpikir di
dalam hati: ‘Perasaan hati orangtua ini maunya tergesa-gesa, padahal orang yang ingin
mengetahui kejadian yang sebenarnya seharusnya justru bersabar. Dia malah mendesak
orang sedemikian rupa. Hm! Aku, Tan Ki, toh bukan orang yang takut menghadapi urusan
apapun.’
Meskipun dia menggerutu dalam hati, di luarnya dia tidak berani menunjukkan
perasaan kurang senangnya.
“Kalau Locianpwe berkata begitu, Boanpwe terpaksa mengatakannya secara langsung
saja. Orang yang Boanpwe curigai sebagai mata-mata adalah bekas budak keluarga Liu
yang bernama Cen Kiau Hun!”
Sepasang alis Lok Hong langsung terjungkit ke atas mendengar keterangannya.
“Lohu pernah mendengar berita bahwa si raja iblis Oey Kang sudah bergabung dengan
pihak Lam Hay. Oleh karena itu di dalam hati Lohu selalu menduga bahwa mata-mata
yang menyelusup ke pihak kita kali ini pasti putra angkatnya Oey Ku Kiong. Orang ini
sangat mencurigakan. Belakangan ini dia malah seakan berpihak kepada kita. Sekarang
tiba-tiba kau mengatakan mata-mata itu justru bekas budak keluarga Liu, Kiau Hun. Entah
bukti apa yang sudah tergenggam dalam tanganmu sehingga kau berani mengatakan
bahwa dialah mata-mata yang dimaksud?”
Tan Ki menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Bukti sih belum ada. Tetapi Boanpwe pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bahwa dia mewakili pihak Lam Hay Bun seorang diri mengadakan pertemuan di sebuah
kuil tua. Sedangkan tujuannya saat itu adalah mengadakan perundingan tentang
persoalan penting dengan adik seperguruan Kaucu Pek Kut Kau. Sayangnya Locianpwe
tadi buru-buru menukas perkataan Boanpwe sehingga banyak kata-kata yang sebetulnya
ingin dijelaskan jadi terlupa. Kalau tidak, tanpa perlu Locianpwe menanyakan pun,
Boanpwe bisa menerangkan semuanya sampai jelas.”
Mata Lok Hong mendelik lebar-lebar mendengar ucapannya. Tampaknya orangtua itu
mulai merasa marah.
“Sepertinya engkau ini memang sengaja ingin mencari gara-gara dengan Lohu?”
Tan Ki tertawa lebar.
“Tidak berani, tidak berani! Locianpwe merupakan seorang pimpinan di daerah Sai Pak.
Nama Locianpwe sudah terkenal di mana-mana dan semua orang mengetahui jiwamu
yang gagah. Sedangkan Boanpwe hanya seorang Bu Beng Siau-cut, bukan ilmunya saja
yang masih rendah, pengetahuan pun cetek sekali. Diri Boanpwe sendiri menyadari bahwa
sinar kunang-kunang tidak mungkin lebih terang dari cahaya rembulan. Locianpwe sekalisekali
jangan salah paham terhadap ucapan Boanpwe.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mendengar kata-katanya, mata Lok Hong menyorotkan sinar yang tajam menusuk.
Tiba-tiba dia menggebrak meja keras-keras, kemudian bangkit dari tempat duduknya
sambil tertawa terbahak-bahak.
“Kata-kata yang kau ucapkan semakin lama semakin kentara bahwa kau memang
sengaja mencari perkara dengan Lohu!”
Suara tawanya mengandung keangkuhan yang tidak terkirakan, namun begitu kerasnya
sehingga mirip geledek yang bergemuruh, Mei Ling sampai merasa jantungnya bergetar
dan cepat-cepat menutup kedua telinganya erat-erat.
Yibun Siu San melihat sikap keduanya secara bergantian. Yang satu matanya
menyorotkan sinar dingin seakan ingin melampiaskan penghinaan yang diterimanya
selama sebulan belakangan ini, sedangkan rambut si orangtua sampai berjingkrakan ke
atas menandakan kemarahan hatinya. Dia juga melihat Lok Hong secara diam-diam telah
mengerahkan tenaga dalamnya seperti siap melancarkan serangan. Suasana saat itu
terasa pengap dan menegangkan. Cepat-cepat dia membuka mulut membentak Tan Ki.
“Anak Ki tidak boleh kurang ajar. Biar bagaimana Lok Locianpwe merupakan Pangcu
dari sebuah perkumpulan besar. Baik nama besar maupun kedudukannya jauh lebih tinggi
daripadamu, mana boleh kau sembarangan mengoceh di hadapannya? Malam ini kita
mendapat banyak bantuan darinya. Berterima kasih saja belum, kau sudah berani berkatakata
yang tidak enak didengar di hadapanku! Tenaga dalam Lok Locianpwe sudah
mencapai taraf yang tinggi sekali. Asal dia turun tangan, jangan harap selembar nyawamu
masih dapat dipertahankan. Cepat minta maaf kepada dia orangtua, apakah kau benarbenar
sudah tidak menyayangkan jiwamu sendiri?”
Tan Ki malah tersenyum simpul mendengar omelannya.
“Apa yang dikatakan keponakanmu ini setiap patahnya merupakan kata-kata yang
sebenarnya, sama sekali bukan ocehan yang tidak benar bukan?”
Begitu kesalnya Lok Hong sehingga dia menggebrak meja di hadapannya keras-keras.
Saat itu juga terdengar suara yang menggelegar, cawan teh di atas meja pecah
berhamburan, air teh yang di dalamnya pun muncrat ke mana-mana.
Tan Ki masih tetap tersenyum.
“Locianpwe merupakan seorang pimpinan di daerah tertentu, tidak usah pura-pura
marah. Boanpwe hanya ingin mengingatkan sedikit. Seandainya aku sanggup meraih
kedudukan Bulim Bengcu, entah janji yang pernah Locianpwe ucapkan masih terhitung
atau tidak?”
Wajah Lok Hong merah padam, sepasang matanya bagai mengandung kobaran api
yang membara.
“Memangnya kau kira siapa diri Lohu ini? Mana mungkin aku menghilangkan rasa
percaya kepada seorang angkatan muda? Tapi kau juga harus ingat baik-baik! Apabila kau
tidak sanggup merebut kedudukan Bulim Bengcu, sepasang telapak besi Lohu ini tidak
akan melepaskan orang yang mencuri ilmu leluhur kami begitu saja!”
Mendengar kata-katanya, Tan Ki langsung berdiri sambil tertawa panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Baiklah, kita tentukan demikian saja. Sesudah sarapan nanti, kita bertemu lagi di arena
pertandingan!” selesai berkata, dia langsung mengajak Mei Ling meninggalkan tempat
pertemuan tersebut. Telinganya menangkap suara dengusan dingin sebanyak dua kali,
tetapi dia tidak memperdulikan sama sekali.
Kemungkinan, ketika Tan Ki memejamkan matanya merenung tadi, dia telah
mempunyai keyakinan atas dirinya sendiri dalam perebutan kedudukan Bulim Bengcu.
Sedangkan barusan tanpa sadar dia seakan telah menyatakan isi hatinya.
Baru saja Tan Ki dan Mei Ling meninggalkan tempat itu, tampak dua sosok bayangan
berkelebat masuk ke dalam ruangan pertemuan. Rupanya yang datang adalah Ceng Lam
Hong beserta Lok Ing berdua.
Entah apa sebabnya, sikap Lok Ing yang keras kepala dan tidak tahu aturan sama
sekali tidak terlihat lagi. Tampak wajahnya yang cantik selalu mengembangkan senyuman
yang lembut. Saat itu sambil berjalan dia berkata kepada Ceng Lam Hong, “Pek Bo, kau
lihat sendiri sikap Tan Koko kepada kakekku kurang ajar sekali, sungguh menyebalkan.
Tetapi Pek Bo hanya memperhatikan tanpa mengatakan apa-apa. Seharusnya kau
orangtua mengajar adat sedikit kepadanya.”
Ceng Lam Hong tersenyum simpul.
“Anak baik, kau tidak perlu khawatir. Pek Bo pasti mengikuti kemauan hatimu,
pokoknya sampai hatimu puas. Tetapi sekarang masih belum tepat waktunya, asal kau
sabar saja dulu sedikit.”
Ucapannya itu mengandung dua makna, nada suaranya tenang dan terselip sesuatu hal
yang lainnya. Wajah Lok Ing jadi merah padam. Cepat-cepat dia menghambur ke belakang
Lok Hong.
Begitu pandangan mata dialihkan, tampak mata Yibun Siu San maupun Lok Hong
terpejam rapat-rapat. Mereka duduk di atas kursi berbentuk singa dan tidak mengucapkan
sepa-tah katapun. Hatinya menjadi berdebar-debar. Entah apa yang terjadi pada diri
kedua orang ini.
BAGIAN XLVI
Ceng Lam Hong segera menghampirinya. “Kedua orang itu sedang menghimpun hawa
murni dalam tubuh agar keletihan dapat dihilangkan secepatnya. Sepanjang malam
mereka sudah banyak mengeluarkan tenaga, jangan bersuara, nanti mereka terkejut.”
katanya lirih.
Lok Ing menghembuskan nafas panjang-panjang. Cepat-cepat dia mengusap keringat
dingin yang membasahi keningnya. Tadi dia sempat panik karena mengira telah terjadi
sesuatu pada diri kakeknya dan Yibun Siu San. Lewat keterangan Ceng Lam Hong,
perasaannya jadi tenang kembali. Bibirnya tersenyum.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Tit-li (keponakan) juga menduga demikian. Pek Bo, duduk saja di sini.” dia langsung
menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Ceng Lam Hong duduk. Dia sendiri menemani
duduk di sebelah kirinya kemudian memejamkan mata beristirahat.
Perlu diketahui bahwa seseorang yang mempelajari ilmu silat dapat bertahan tidak tidur
meskipun tiga hari tiga malam lamanya. Apabila dalam pertarungan terkena luka dalam
atau bagian luar yang terluka, asalkan mengerahkan hawa murni dalam tubuh lalu
beristirahat sejenak, maka keadaannya bisa segera pulih kembali.
Yibun Siu San dan Lok Hong adalah tokoh-tokoh Bulim yang memiliki kepandaian tinggi.
Tenaga dalam mereka juga sudah mencapai taraf yang hebat, tetapi kali ini mereka
sampai memerlukan waktu dua kentungan untuk memejamkan mata beristirahat. Setelah
itu tampak keduanya membuka mata dan kesehatan sudah pulih seperti sedia kala. Hal ini
membuktikan bahwa pertarungan tadi malam cukup banyak menguras hawa murni dalam
tubuh mereka.
Sementara itu, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Mereka segera menolehkan
kepalanya. Tampak si pengemis cilik Cu Cia beserta Sam Po Hwesio berjalan masuk
dengan berendengan.
Melihat kehadiran kedua orang itu, Yibun Siu San langsung bertanya, “Apakah
semuanya telah disiapkan?”
“Suhu si tukang minta-minta sudah membereskan arena pertandingan sampai rapi serta
siap dipakai. Para pendekar tingkat delapan, kecuali Heng Sang Si dan empat rekan
lainnya yang meninggal beserta delapan orang pendekar pedang tingkat enam, semuanya
sudah berkumpul di arena pertandingan. Asal Susiok serta Lok Locianpwe sudah hadir,
rasanya pemilihan Bulim Bengcu sudah bisa dimulai.”
Yibun Siu San menganggukkan kepalanya berkali-kali. Sejenak kemudian tampak dia
berdiri dari kursinya kemudian mengajak Lok Hong menuju arena pertandingan.
Ceng Lam Hong dan Lok Ing berjalan lemah gemulai mengikuti di belakang mereka.
Paling akhir mengiringi si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio, tetapi sepasang mata
kedua orang ini terus mengerling ke sana ke mari. Diam-diam mereka merasa heran
mengapa sampai saat ini masih belum terlihat bayangan Tan Ki dan istrinya.
Dalam waktu singkat keenam orang itu sudah sampai di ruangan pertandingan.
Kerumunan manusia bergerak-gerak, angin pagi menghembus membawa kesegaran.
Pakaian yang berwarna-warni pun melambai-lambai seperti bendera yang berkibaran.
Mereka mengambil jalan mengitar. Di tengah-tengah arena bagian atas tampak duduk si
pengemis sakti Cian Cong. Orangtua itu sedang menggerogoti paha ayam sambil sekalisekali
meneguk arak dari hiolonya.
Wajah Cian Cong sudah merah padam, matanya terlihat sayu sehingga kentara jelas
bahwa orangtua itu sudah mulai mabuk. Kemungkinan sebelum menuju ke tempat
tersebut dia sudah minum arak dalam jumlah yang banyak. Orangtua ini memang
mempunyai kebiasaan yang aneh, belum pernah dia minum air putih atau air teh. Biar
makanpun yang diminumnya tetap arak. Setiap minum pasti mabuk. Oleh karena itu dari
tubuhnya tidak sedetikpun tidak terpancar bau arak yang menusuk. Sedangkan pikirannya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semakin terang kalau sudah mabuk. Saat ini dia duduk di bagian atas dengan sepasang
mata mengedar ke sana ke mari. Tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun.
Yibun Siu San mengulapkan tangannya mempersilahkan Lok Hong duduk di bagian
kanan. Dia sendiri tanpa sungkan lagi duduk di tengah-tengah. Ceng Lam Hong dan si
pengemis cilik Cu Cia berdiri di belakang mereka.
Di seluruh arena yang luas itu tidak terdengar sedikit suarapun. Suasana demikian
serius seakan mereka sedang menantikan berlangsungnya pertandingan dengan hati
tegang.
Yibun Siu San duduk di tempatnya sambil mengedarkan sepasang matanya yang tajam.
Dia memperhatikan sekelilingnya dengan seksama. Sekonyong-konyong tampak sepasang
alisnya menjungkit ke atas. Dia menolehkan kepalanya kepada Cian Cong.
“Mengapa anak Ki masih belum hadir juga?
“Si pengemis tua kan bukan inang pengasuhnya, bagaimana bisa tahu mengapa dia
masih belum datang juga? Tetapi Hek Lohan si Hwesio cilik dan Yang Jen Ping melihat dia
berjalan sambil bercakap-cakap dengan istrinya. Entah apa yang mereka kasak-kusukkan.
Meskipun mereka melihat, tetapi kan tidak enak rasanya mengganggu sepasang pengantin
baru yang sedang memadu kasih?”
Yibun Siu San jadi tertegun mendengar kata-katanya.
“Arah mana yang mereka ambil?” tanyanya kembali.
Cian Cong merenung sejenak.
“Kemungkinan ke bagian belakang bukit. Sam Po Hwesio mengatakan bahwa si setan
cilik itu mungkin mengkhawatirkan keadaan Liang Fu Yong. Semalam mereka sudah
terlibat berbagai pertarungan, sedangkan dia masih belum mendapat bukti yang nyata
bagaimana keadaan mereka yang sedang menutup diri.”
Wajah Yibun Siu San tampak kelam sekali. “Pertandingan sudah hampir dimulai, dia toh
sudah pergi cukup lama, kan seharusnya sudah kembali. Apakah dia tidak tahu setelah
lewat pagi ini, berarti dia tidak mempunyai kesempatan lagi ikut dalam perebutan Bulim
Bengcu?” mendengar nada bicaranya, tampaknya Yibun Siu San mengkhawatirkan
keadaan Tan Ki dan perhatiannya terhadap anak muda itu juga besar sekali.
Cian Cong tertawa lebar.
“Si pengemis tua dengan dirimu tiada bedanya. Kita semua mengharapkan si setan cilik
itu dapat melewati tiga macam ujian dalam pertandingan ini dan sanggup menghadapi
lawan yang lain agar kedudukan Bulim Bengcu berhasil diraihnya tanpa susah payah.
Tetapi kita justru tidak mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki bocah ini. Waktu
pertandingan sudah hampir dimulai, dia malah tidak muncul. Sedangkan seratus lebih
tokoh Bulim sudah berkumpul di sini menantikan jalannya pertandingan. Kita toh tidak
mungkin menunda waktu lebih lama hanya karena urusan pribadi. Sekarang sebaiknya kita
mulai saja acara ini sambil mengutus orang untuk mencari si setan cilik itu.”
Yibun Siu San menarik nafas panjang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Aku justru khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada dirinya, padahal tidak
ada orang yang dapat disuruhnya mencari bantuan.” sambil berkata, dia menggapaikan
tangannya kepada si pengemis cilik Cu Cia, juga Hek Lohan Sam Po Hwesio. Dia berbisik
kepada mereka dengan suara lirih kemudian baru berdiri dengan perlahan-lahan. Dengan
suara keras dia mengumumkan bahwa pertandingan final perebutan Bulim Bengcu
tersebut segera di mulai.
Di antara delapan orang jago yang diandalkan, Liu Seng tidak berminat mencari nama
sehingga mengundurkan diri. Sedangkan Kok Hua Hong baru sembuh dari luka yang
parah, untuk sementara tenaganya tidak boleh terkuras. Ciong San Suang Siu sedang
menjaga goa di mana Tian Bu Cu sedang menutup diri menurunkan ilmu kepada Liang Fu
Yong. Tugas mereka bukan saja berat, namun tanggung jawabnya pun tinggi sekali.
Dengan demikian mereka juga tidak dapat turut dalam pertandingan tersebut. Oleh karena
itu, dari antara pendekar pedang tingkat delapan, yang tersisa hanya Goan Yu Liong
beserta tiga orang lainnya. Lihat siapa diantara mereka yang berhak menjabat kedudukan
sebagai Bulim Bengcu.
Begitu pertandingan dimulai, empat orang pendekar pedang tingkat delapan itu
langsung dibagi menjadi dua kelompok dan segera melangsungkan pertarungan sengit.
Masing-masing mengerahkan segenap kemampuannya untuk memenangkan pertarungan.
Untuk sementara kita kembali kepada si pengemis cilik Cu Cia dan Sam Po Hwesio yang
ditugaskan oleh Yibun Siu San untuk mencari Tan Ki.
Kedua orang itu tidak menunda waktu lagi, mereka segera meninggalkan arena
pertandingan dan lari dengan cepat. Gerakan tubuh mereka bagai awan yang berarak.
Yang tertangkap oleh pandangan mata mereka hanya pepohonan dan rerumputan yang
tinggi. Semakin jauh mereka berlari, jalanan yang dilewati pun semakin sulit ditempuh.
Ranting-ranting pohon serta batu-batu besar kecil menghalangi jalan. Kerikil-kerikil tajam
juga berserakan di mana-mana sehingga menimbulkan perasan tidak enak dalam hati.
Pikiran Cu Cia sedang ruwet, dia tidak memperdulikan jalanan yang banyak liku-likunya
itu. Sepanjang perjalanan dia terus berlari secepat kilat. Dalam sekejap mata dia sudah
mencapai jarak setengah li. Setelah melewati sebuah lekukan, tiba-tiba dia melihat ada
jurang yang dalam sehingga jalanan menjadi buntu. Bagian kiri terdapat pepohonan siong
yang lebat, dedaunannya juga rimbun sekali. Sedangkan di bagian kanan persis
bersebelahan dengan jurang terdapat sebuah goa alami namun sudah dibersihkan oleh
beberapa orang gagah atas perintah Yibun Siu San. Suasana di sekitar begitu tenang
sehingga menimbulkan perasaan tenteram. Memang sebuah tempat yang cocok sekali
apabila digunakan untuk menutup diri berlatih ilmu.
Seiring tiupan angin yang lembut, tampak rumput-rumput melambai-lambai. Pinto goa
yang entah seberapa tebalnya justru tertutup rapat-rapat. Keadaan di sekeliling pun sunyi
senyap tanpa terlihat bayangan seorangpun.
Sam Po Hwesio mengelus-elus kepalanya yang gundul. Dia menunjuk ke arah pintu goa
sambil berkata, “Apakah goa ini yang digunakan Tian Bu Cu Locianpwe untuk menutup
diri?”
Cu Cia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya menyiratkan
perasaannya yang sedang kebingungan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Memang goa ini yang dimaksud, tetapi entah ke mana perginya Ciong San Suang Siu
yang bertugas menjaga di sini?”
Mendengar kata-katanya, Sam Po Hwesio jadi termangu-mangu. Matanya mengedar ke
sekeliling tempat itu.
“Rasanya sedikit aneh. Tukang minta-minta, biasanya kau paling banyak akal bulus.
Apakah kau bisa menebak apa sebetulnya yang telah terjadi?”
“Si pengemis cilik kan bukan setan penjaga lembah ini, juga bukan tukang ramal.
Tanpa hujan tanpa angin menghadapi urusan seperti ini, mana bisa aku menduga
sembarangan saja. Asal mulanya bagaimana saja aku tidak tahu, rasanya….” tiba-tiba dia
seperti menemukan sesuatu. Kata-katanya terhenti seketika. Sepasang matanya menatap
ke depan lekat-lekat. Sikapnya serius dan waspada.
Sam Po Hwesio tahu sikap rekannya ini sehari-harinya bebas tanpa banyak pemikiran
apa-apa. Sepanjang hari selalu tertawa lebar. Sebelumnya dia tidak pernah melihat
tampang si pengemis cilik seperti sekarang ini, tanpa dapat ditahan lagi dia jadi
termangudari dalam goa. Cu Cia jadi termangu-mangu beberapa saat. Kemudian
terdengar dia berkata kembali…
“Apakah wajah saudara ini dipenuhi dengan bekas cacar atau lidah saudara yang telah
dipotong oleh mertua, sehingga tidak berani menemui orang dan bahkan tidak bisa
mengucapkan sepatah katapun? Si pengemis cilik berkelana di dunia Kangouw, bukan
baru dua tiga tahun ini, tetapi belum pernah menemui manusia yang menyembunyikan
kepala memperlihatkan ekor seperti dirimu ini. Apabila saudara mempunyai kepala dan
wajah, ada she serta nama, seharusnya tidak perlu menyembunyikan diri di tempat gelap
seperti setan gentayangan. Meskipun selembar nyawa si tukang minta-minta ini tidak
seberapa nilainya, namun hanya mati di tangan seorang pendekar sejati baru merasa
puas!”
Si pengemis cilik mengira kata-katanya yang keras dan tajam ini pasti bisa
menimbulkan kemarahan orang yang bersembunyi itu sehingga mengunjukkan diri. Paling
tidak dia akan membuka suara memberikan sahutan. Dengan demikian tidak sulit baginya
untuk menentukan bagian mana orang itu menyembunyikan dirinya. Setelah itu urusan
timenjaga segala kemungkinan, sekonyong-konyong dia merasa ada serangkum angin
yang menerpa dari depan. Keadaan di dalam goa itu begitu gelap sehingga kelima jari
tangan sendiripun tidak terlihat. Meskipun pandangan mata Cu Cia lebih tajam daripada
orang biasa, dalam keadaan seperti ini dia tidak dapat melihat senjata rahasia apa yang
sedang meluncur ke arahnya. Hatinya menjadi tercekat, mulutnya mengeluarkan suara
teriakan keras.
“Ada senjata rahasia!” sepasang lengannya direntangkan ke depan, seiring dengan
suara teriakannya, tubuh si pengemis cilik pun mencelat ke samping dengan gerakan
secepat kilat. Tanpa menunda waktu dia pun meloncat mundur ke belakang tiga langkah.
Terdengar suara benturan logam dan batu, Cu Cia tahu senjata rahasia itu sudah
mengenai dinding goa di sampingnya. Suaranya saja sampai bergema ke seluruh goa dan
kumandangnya seperti sahut menyahut.
Cu Cia merasa marah sekali terhadap bo-kongan itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Siapa yang menimpukkan senjata rahasia? Kalau sahabat dari dunia Bulim seharusnya
memberi peringatan terlebih dahulu!”
Untuk sekian lama tetap tidak ada sahutan sumbernya dari bahwa tanah, suaranya
sendiri gemuruh memekakkan telinga. Kurang lebih setengah menit kemudian sepasang
pintu yang tadinya tertutup rapat mulai membuka.
Si pengemis cilik Cu Cia merentangkan pedang pendeknya di depan dada kemudian
mendahului Sam Po Hwesio menerjang ke dalam. Dengan bantuan cahaya matahari yang
sedang bersinar terang, dia mengedarkan pandangannya. Tampak tinggi goa itu mencapai
satu depa setengah. Keadaan di dalamnya luas sekali. Tetapi karena lama sekali tidak
pernah dimanfaatkan, maka di dalamnya masih terasa ada hawa yang lembab.
Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar, rupanya sepasang pintu goa yang tadi
telah terbuka sekarang merapat kembali. Kalau waktu membukanya agak lama, tutupnya
justru cepat sekali. Otomatis ruangan goa tersebut kehilangan penerangan dan menjadi
gelap gulita.
Sam Po Hwesio meleletkan lidahnya sambil tertawa lebar.
“Amit-amit! Kalau saja si hwesio cilik terlambat masuk satu detik saja, tubuh ini pasti
tergencet pintu yang tebal ini dan bisa-bisa gepeng seperti perkedel!”
Si pengemis cilik mengerutkan sepasang alisnya, dia berkata dengan suara lirih,
“Jangan banyak bicara! Menurut pandangan si pengemis cilik, di dalam goa pasti
bersembunyi seorang tokoh yang berbahaya. Keadaan sekarang tidak menguntungkan
bagi kita, apalagi si pengemis cilik masih belum menemukan seorang tukang minta-minta
perempuan yang dapat dijadikan isteri, dengan demikian ketu-runanpun belum ada. Siapa
yang ingin mati konyol di tempat ini?” mulutnya berkata, langkahnya mulai bergerak.
Perlahan-lahan dia berjalan masuk ke dalam goa.
Sam Po Hwesio melepaskan tasbeh yang mengalungi lehernya. Digenggamnya erat-erat
tasbeh itu di tangan. Dia mengikuti belakang Cu Cia dengan ketat seakan takut
ketinggalan oleh sahabat karibnya itu. Berduaan mereka masuk ke dalam goa dengan hatihati.
Selangkah demi selangkah mereka bertindak. Setelah berjalan kurang lebih tiga puluh
depaan, mereka mulai merasa tanah yang diinjak menjadi kasar dan penuh dengan batubatu
kecil. Semakin lama semakin sulit ditempuh. Baru saja dia ingin mengingatkan Sam
Po Hwesio agar mengerahkan tenaga dalamnya goa ini tanpa sebab musabab yang pasti!”
Sam Po Hwesio merenung beberapa saat. Dia merasa apa yang dikatakan si pengemis
cilik Cu Cia memang beralasan. Sekali lagi dia mengedarkan pandangannya. Setelah yakin
tidak ada hal yang mencurigakan, tubuhnya langsung berkelebat ke depan goa dan
memeriksa keadaan di sana dengan teliti.
Sejenak kemudian terdengar suara teriakan Sam Po Hwesio, “Apa yang diduga oleh si
tukang minta-minta ternyata sedikitpun tidak salah. Di tempat ini terdapat banyak jejak
kaki. Rumput-rumputan terkulai karena bekas injakan. Tampaknya malah telah terjadi
pertarungan yang sengit, sehingga banyak bekasnya yang serabutan. Sedangkan bekas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jejak kaki ada yang dalamnya sampai tiga senti, lagipula satu di antaranya kecil sekali.
Tidak salah lagi jejak kaki seorang perempuan…”
Si pengemis cilik tidak mengucapkan sepa-tah katapun. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat
ke depan goa, tangannya mengulur ke depan dan menekan suatu benda yang bentuknya
bulat kecil. Dalam waktu yang bersamaan, tangan kanannya langsung mengeluarkan
sebatang pedang pendek berukuran tiga mistar.
Terdengar suara rantai berderak-derak, mangu untuk beberapa saat.
“Apakah kau menemukan sesuatu?”
Tangan si pengemis cilik menunjuk ke arah goa batu.
“Hek Lohan, coba kau perhatikan. Di depan batu goa itu ada tiga batang senjata
rahasia, entah siapa yang menjatuhkannya di sana. Juga terdapat sepasang golok.
Rasanya telah terjadi sesuatu belum lama ini. Kalau jatuhnya tadi malam, setelah terkena
embun pagi, cahayanya pasti tidak demikian berkilau lagi. Di rerumputan bagian timur
juga terdapat beberapa senjata rahasia, juga secarik koyakan baju berwarna abu-abu. Aku
masih ingat dengan jelas bahwa Yi Siu Locianpwe mengenakan pakaian dari,bahan yang
persis dan warnanya pun sama pula!”
Hati Sam Po Hwesio tergetar mendengarnya.
“Maksudmu di depan goa ini telah terjadi suatu peristiwa pagi ini?”
Cu Cia menganggukkan kepalanya berkahkah.
“Secara kasarnya memang demikian. Kalau tidak, Ciong San Suang Siu Locianpwe yang
sudah tahu tugas serta tanggung jawabnya sangat berat, tidak mungkin meninggalkan dak
begitu sulit lagi diselesaikan. Kalau tidak, posisi dirinya sungguh tidak menguntungkan.
Musuh di tempat gelap, sedangkan dirinya di tempat terang. Setiap gerak-geriknya dapat
diketahui oleh lawan sehingga dia kehilangan peluang melakukan penyerangan. Orang
bodoh juga mengerti bahwa kedudukannya sekarang sudah kalah set. Oleh karena itu,
selesai berkata dia segera mempertajam indera pendengarannya dan mendengarkan
dengan seksama.
Dalam keadaan seperti ini, walaupun sebatang jarum jatuh di atas tanah pada jarak
sepuluh depa, pasti masih dapat terdengar jelas olehnya. Siapa nyana setelah
mendengarkan beberapa saat tetap saja tidak ada suara sedikitpun. Akhirnya hawa
amarah dalam dada si pengemis cilik jadi meluap. Dia berteriak dengan suara keras, “Hei,
kalau kau masih tidak mengunjukkan diri juga, si pengemis cilik akan memaki-maki
delapan keturunan dari nenek moyangmu!”
Baru saja ucapannya selesai, tampaknya pihak lawan sudah mulai kehabisan perasaan
sabarnya. Tiba-tiba terdengar suara angin berdesir, tiga batang senjata rahasia meluncur
ke arahnya secepat kilat.
Cu Cia mengeluarkan suara dengusan berat satu kali. Lengan kanannya bergerak dan
tenaga dalam langsung terpancar keluar. Begitu ketiga batang senjata rahasia itu agak
mendekat, sekonyong-konyong Cu Cia mengibaskan tangannya dengan jurus Angin
Menangkap Bayangan. Tampak pedangnya berkilauan dan menimbulkan bayangan seperti
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bunga-bunga yang menerjang ke atas. Terdengar suara berdentang beberapa kali
berturut-turut. Tiga batang senjata rahasia tersampok jatuh di atas tanah oleh pedang si
pengemis cilik.
Pendengaran si pengemis cilik Cu Cia sangat tajam, apalagi sejak semula dia memang
sudah memusatkan seluruh perhatiannya. Ketika telinganya mendengarkan dengan
seksama, dia segera dapat menduga dari mana ketiga batang senjata rahasia itu
dilemparkan. Tempatnya kurang lebih dua belas langkah di sebelah kiri. Dengan demikian
dia segera tertawa terbahak-bahak.
“Si pengemis cilik juga mempunyai sedikit hadiah untukmu, sambutlah!” tangan kirinya
mengibas, dua butir batu kecil melayang ke depan.
Rupanya ketika berbicara tadi, secara diam–diam dia sudah menyediakan dua butir
batu dalam genggaman tangannya. Kedua butir batu tersebut melayang secepat kilat
karena dilemparkan dengan tenaga dalam yang kuat. Terdengar suara desiran pakaian
yang sekejap mata sirap kembali. Kemudian terdengar suara: Plok! Plok! Dua kali dari
jarak kurang lebih satu depaan. Kedua butir batu itu mengenai dinding goa sehingga
menimbulkan gema yang berkumandang di seluruh goa. Tentu saja orang itu sudah
berpindah tempat ketika ia menimpukkan senjata rahasia.
Untuk sesaat Cu Cia jadi termangu-mangu. Diam-diam dia berpikir di dalam hatinya.
‘Entah siapa orang ini? Ternyata ilmu meringankan tubuhnya begitu tinggi. Seandainya
dia sengaja menggunakan senjata rahasia mempermainkan aku, jangan harap aku dapat
menggeser setengah langkah saja. Tampaknya kalau begini terus, keadaan Tian Bu Cu
Locianpwe semakin lama bisa semakin berbahaya. Lagipula aku tidak tahu ada berapa
jago kelas tinggi yang bersembunyi di dalam goa ini.’
Pikirannya bekerja cepat bagai kincir angin, setelah berputaran beberapa kali, hati Cu
Cia semakin panik. Matanya menatap ke arah dalam goa dengan termangu-mangu. Dia
sendiri bingung apa yang harus diperbuatnya.
Tiba-tiba terdengar suara tawa Sam Po Hwesio.
“Hidup ada tempatnya, mati ada suratan nasibnya. Bila Giam Lo-ong (Malaikat elmaut)
sudah menentukan ingin mengambil jiwa kita berdua di tempat ini, mau lari pun tidak
mungkin. Saat sekarang ini yang paling penting justru menolong orang. Kita terpaksa
berusaha dengan menempuh bahaya!” sambil berkata, tampak tubuhnya yang gemuk
berkelabat. Sepasang lengan bajunya menimbulkan desiran angin, dia melesat lewat di
samping Cu Cia kemudian menerjang ke depan.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan dari dalam goa, “Berhenti! Kalau kau
masih berani maju terus, jangan salahkan apabila aku turun tangan melukaimu!”
Sam Po Hwesio tertawa terbahak-bahak.
“Maaf sekali kalau si Hwesio cilik tidak dapat menuruti permintaanmu!”
Sepasang kakinya dipercepat, dua kali loncatan dia sudah mencapai sembilan langkah
lebih. Cu Cia yang melihat Sam Po Hwesio menerjang ke depan tanpa memperdulikan
bahaya langsung mengerutkan sepasang alis karena perbuatan rekannya itu benar-benar
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ceroboh. Mudah sekali apabila lawan hendak membokongnya secara tiba-tiba. Tetapi saat
itu sudah terlambat baginya mencegah, terpaksa dia mengerahkan hawa murninya dan
mengejar ke depan.
Siapa nyana baru saja dia melesat ke depan, telinganya sudah mendengar suara
dengusan berat Sam Po Hwesio. Orangnya sendiri bagai disengat aliran listrik. Setelah
gemetar sebentar, dia langsung terkulai jatuh di atas tanah. Si pengemis cilik telah
bersahabat karib dengannya cukup lama. Selama beberapa tahun ini mereka bergembira
bersama, apabila ada kedukaan pun dibagi bersama, boleh dibilang mereka berdua seperti
orang dengan bayangannya yang tidak pernah berpisah sekejap matapun. Hubungan
mereka demikian erat seperti kelima jari tangan sendiri.
Sam Po Hwesio terkulai di atas tanah, kejadiannya begitu cepat. Cu Cia tahu dia telah
dibokong oleh seseorang. Saat itu juga perasaan amarah dalam dadanya jadi meluap.
Wajahnya menyiratkan kegusaran yang berbaur dengan rasa sedih. Dia langsung
mengeluarkan suara siulan yang panjang, pedang bambunya mengerahkan jurus
Menyerang Delapan Penjuru di Malam Hari. Timbul berpuluhpuluh bayangan dari pedang
bambunya yang digunakan untuk melindungi diri, orangnya sendiri menerjang ke depan
dalam waktu yang bersamaan.
Dalam keadaan marah, kecepatan tubuhnya bagai terbang. Dalam sekejap mata saja
dia sudah sampai di tempat Sam Po Hwesio terkulai. Dari dalam goa panjang dan gelap,
kembali berkumandang suara yang dingin tadi.
“Kalau kau ingin mati kan mudah saja!”
Cu Cia menggetarkan lengan kanannya, tubuhnya yang sedang menerjang ke depan
sekonyong-konyong berubah posisi. Pedangnya menimbulkan suara angin yang menderuderu
dan dilancarkannya langsung ke arah sumber suara barusan.
Entah mengapa, tiba-tiba dia merasa bagian pahanya kesemutan, peredaran darah di
bagian bawah tubuhnya bagai tersumbat, tenaganya lenyap dan hampir saja dia terkulai
jatuh. Cepat-cepat dia menghimpun hawa murni dalam tubuhnya dan dengan keras dia
menghentakkan sepasang pundaknya ke belakang, gerakan tubuhnya pun terhenti. Tetapi
untuk beberapa saat dia sempat terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Apabila pada saat itu orang yang bersembunyi dalam goa kembali menimpukkan
sebatang senjata rahasia, biarpun ilmu Cu Cia lebih tinggi lagi dari sekarang, tetap saja
sulit baginya untuk menghindarkan diri. Entah apa sebabnya, ternyata orang itu tidak
melakukan tindakan apa-apa. Seluruh ruangan goa yang gelap gulita itu menjadi hening
sekali. Bahkan terasa ada serangkum hawa tegang yang menyelimuti keadaan di
dalamnya. Hal ini membuat perasaan orang semakin tidak tenang.
Ketika Cu Cia mengerahkan hawa murni dalam tubuhnya, dia merasa aliran hawa
tersebut seakan tersumbat, paha kirinya sulit digerakkan. Dia langsung tahu bahwa
barusan dirinya telah terkena senjata rahasia lawan yang mengandung racun. Meskipun
nyali anak muda ini sangat besar dan selamanya menganggap remeh terhadap kematian,
tetapi kali ini hatinya tercekat juga. Dia segera mendongakkan wajahnya dan membentak
dengan suara lantang, “Hei, siapa kau sebenarnya? Keluarlah dan biar si pengemis cilik
melihat tampangmu, dengan demikian matipun tidak menyesal!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang itu mengeluarkan suara dengusan dingin dari hidungnya.
“Sebelum masuk ke dalam goa ini, cahye sudah menutupi wajah dengan sehelai cadar.
Seandainya saat ini aku keluar menemuimu, kau juga tidak dapat melihat wajah asliku!”
Cu Cia sengaja merenung sejenak. Sesaat kemudian baru dia berkata kembali.
“Si pengemis cilik maklum ilmu silatku masih tidak dapat menandingi dirimu, tetapi aku
rela mati di bawah tanganmu. Apabila ada beberapa temanmu yang lain di dalam goa, ada
baiknya suruh mereka turun tangan sekalian, agar si pengemis cilik mati dengan puas!”
Sembari berbicara, tangannya terulur ke depan meraba-raba tubuh Sam Po Hwesio. Dia
ingin memeriksa keadaan sahabatnya, apakah masih hidup atau sudah mati. Tindakannya
ini dilakukan dengan cepat sekali, baru saja teraba dia sudah menarik tangannya kembali.
Sementara mulutnya sedang berbicara, Cu Cia mengira lawannya pasti berhasil dikelabui.
Tiba-tiba terdengar orang itu mengeluarkan suara tertawa terbahak-bahak.
“Teman baikmu itu hanya tertotok jalan darahnya, dalam waktu satu kentungan lebih
tidak mungkin mati. Kau tidak perlu khawatir, lagipula cayhe sama sekali tidak berniat
melukai orang, maka cara turun tanganpun ringan sekali. Sekarang ini lebih baik kau
berdiri diam-diam di tempatmu itu, jangan mempunyai pikiran yang bukan-bukan. Cahye
sendiri juga tidak ingin mencari kesulitan.”
“Siapa kau sebenarnya? Apakah Ciong San Suang Siu telah terbunuh olehmu?” tanya
Cu Cia semakin penasaran.
Sekali lagi orang itu tertawa terbahak-bahak.
“Tidak perlu mencapaikan diri beromong kosong, kurang lebih setengah kentungan
kemudian, semua urusan akan menjadi terang!”
Hati Cu Cia tergetar mendengar perkataannya, tiba-tiba saja dia membayangkan diri
Tian Bu Cu yang entah selamat atau tidak. Tanpa dapat ditahan lagi dia langsung bertanya
kepada orang itu.
“Apakah Tian Bu Cu Locianpwe juga sudah…”
Belum lagi ucapannya selesai, sekonyong-konyong telinganya mendengar suara
benturan senjata. Nadanya melengking membuat telinga menjadi ngilu. Sumbernya dari
dalam goa. Cepat-cepat dia menolehkan kepalanya, tampak di dalam goa yang tertangkap
pandangan mata hanya kegelapan. Jarak lebih dari tiga langkah sudah tidak kelihatan
apaapa lagi. Meskipun Cu Cia memusatkan pandangan matanya, tetap saja dia tidak
menemukan jejak apa-apa.
Sementara itu, tidak jauh dari tempatnya berdiri terdengar suara desiran angin yang
timbul dari pakaian seseorang, semakin lama semakin menjauh. Sesaat kemudian suara
itu tidak terdengar lagi. Cu Cia yakin orattg yang bersembunyi tadi sudah meninggalkan
tempat tersebut. Apabila pendengaran Cu Cia tidak cukup tajam, tentu dia tidak dapat
mendengar suara gerakan orang itu yang demikian ringan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dia maklum situasi saat ini sangat gawat, menunda waktu satu detik satu menit saja,
kemungkinan menyangkut keselamatan jiwa seseorang. Dia tidak sempat memeriksa
keadaan luka Sam Po Hwesio lagi, tubuhnya langsung bergerak, berkelebat masuk ke
dalam goa. Sayang sekali pahanya sendiri juga terluka, gerakannya menjadi kaku dan
tidak gesit seperti biasa. Oleh karena itu, jalannya juga tidak dapat terlalu cepat.
Kurang lebih seminuman teh kemudian, dia menikung pada sebuah belokan. Telinganya
kembali mendengar suara benturan senjata. Dia segera menduga ada orang yang sedang
mengadakan pertarungan. Cepat-cepat dia melonjak dua kali berturut-turut. Dengan
menahan rasa nyeri di pahanya, dia terus menerjang maju ke depan. Setelah lewat lagi
sebuah tikungan, tiba-tiba pemandangan di depan matanya jadi terang. Di kiri kanan
dinding goa terdapat beberapa batang obor besar yang menyala, sinarnya berkibaran
sehingga matanya yang sejak tadi melihat keadaan gelap menjadi silau. Untuk sesaat dia
tidak berani membuka matanya.
Namun dia sadar musuh kuat sedang di hadapan mata, setiap waktu bisa menyebabkan
peristiwa yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, setelah memejamkan mata beberapa
saat, perlahan-lahan dia membukanya kembali.
Begitu pandangan matanya sudah terbiasa, dia melihat Ciong San Suang Siu duduk
berdampingan di depan tumpukan kayu bakar. Wajah mereka pucat pasi dan keringat
membasahi seluruh tubuh mereka. Tampang mereka menyiratkan penderitaan yang dalam
seakan sedang menahan rasa sakit yang tidak terkirakan. Di bagian pundak, pinggang
maupun paha mereka terlihat tanda luka yang cukup dalam. Darah segar masih terus
menetes. Tampaknya kedua orang itu saja melangsungkan pertarungan sengit dengan
pihak musuh dan akibatnya terluka cukup parah.
Mei Ling sedang berjongkok di bawah tanah mengobati kedua orangtua tersebut.
Meskipun dia tahu di belakangnya ada orang yang berlari mendatangi, tetapi dia tidak
menolehkan kepalanya atau melirik sekilas.
Seorang laki-laki berpakaian putih dengan wajah ditutupi sehelai cadar berdiri di
samping dengan tangan menggenggam sebatang pedang. Diam-diam Cu Cia
memperhatikan orang ini. Mungkin dialah yang menimpukkan senjata rahasia di tengah
goa tadi. Tanpa dapat ditahan lagi hidungnya mengeluarkan suara dengusan dingin.
Setelah itu baru dia mengalihkan pandangannya. Siapa nyana begitu melihat, dia langsung
merasa jantungnya berdebar-debar dan hatinya menjadi panik bukan main.
Dia melihat sebelah lengan Tan Ki terulur ke depan dengan wajah kelam. Dengan
pedang sulingnya dia menahan pedang panjang di tangan seorang gadis berpakaian
merah. Gadis itu juga menggunakan cadar untuk menutupi wajahnya. Hanya dari bentuk
tubuhnya dapat dipastikan bahwa usianya masih cukup muda. Saat ini kedua orang itu
saling mengadu kekuatan tenaga dalam lewat senjata masing-masing, tubuh mereka tidak
bergerak sedikit-pun.
Tampak keringat sudah membasahi kening keduanya, dada mereka turun naik dan
nafas-pun tersengal-sengal. Masing-masing mengerahkan tenaga dalamnya yang
disalurkan lewat pedang dan berusaha mendesak lawannya.
Keduanya mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mendesak lawannya. Hal ini
membuat kedua batang senjata mereka hampir tidak bisa dipertahankan. Tampak cahaya
dari percikan api yang timbul dari senjata mereka memijar-mijar. Kedua senjata saling
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bergesekan dan seperti mengandung aliran listrik. Timbul suara yang membuat
pendengaran menjadi ngilu.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian tampak wajah Tan Ki semakin kelam,
keringatnya mengucur bagai curah hujan. Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut
gadis itu, tubuhnya terhuyung-huyung seakan sudah mulai tidak kuat mempertahankan
diri. Mungkin sebentar lagi dia akan terdesak mundur. Laki-laki berpakaian putih yang
wajahnya juga ditutupi cadar seakan tergetar melihatnya, tanpa sadar kakinya melangkah
ke depan setengah tindak.
Cu Cia melihat laki-laki itu ingin maju ke depan memberikan bantuan kepada si gadis
berpakaian merah. Dia segera memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Saudara harap jangan keburu nafsu! Jangan lupa masih ada si pengemis cilik di sini!”
Tiba-tiba semangat si gadis berpakaian merah sepertinya terbangkit kembali. Tubuhnya
bergerak ke sana ke mari. Entah bagaimana caranya, tahu-tahu di tangannya sudah
bertambah sebatang pedang pendek. Meskipun ukuran pedang itu pendek, tetapi
cahayanya justru berkilauan sekali. Begitu digerakkan terasa ada serangkum hawa dingin
yang menyebar. Kalau dibandingkan dengan pedang panjang di tangan kanannya,
mungkin ketajamannya melebihi beberapa kali lipat.
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Diam-diam dia menghimpun hawa
murni dalam tubuhnya dan memperhatikan tindakan yang akan diambil oleh gadis
tersebut. Tampaknya gadis itu mengatur pernafasannya sejenak, tiba-tiba tubuhnya
kembali berkelebat dan menerjang datang ke arah Tan Ki.
Kedua orang itu kembali bergerak dengan menggunakan jurus-jurus serangan yang
dahsyat serta kecepatan bagai kilat. Orang lain jangan harap dapat melihat bagaimana
mereka menggerakkan senjata masing-masing, yang tampak hanya cahaya berwarna hijau
dan sinar putih yang berkilauan menusuk pandangan mata. Untuk sesaat bayangan
manusia laksana menari-nari di tengah kabut yang tebal.
Terasa hawa yang terpancar dari pedang menyebar sejauh lima langkah di sekeliling
mereka. Bahkan obor api yang tertancap di kanan kiri dinding goa ikut melambai-lambai
karena terpaan angin yang kencang. Kadang sinarnya menyala terang, sekejap kemudian
redup kembali. Tan Ki khawatir suara pertarungan mereka mengejutkan Tian Bu Cu yang
sedang menutup diri. Oleh karena itu, dia berusaha sebisa mungkin untuk tidak
menimbulkan suara bising.
Cu Cia sampai mengeluarkan keringat dingin menyaksikan pertarungan tersebut. Diamdiam
dia berpikir dalam hatinya: ‘Tampaknya ilmu pedang memang benar tidak ada
batasnya. Suhuku sendiri terkenal di dunia Kangouw dengan ilmu pedang Delapan Pedang
Pengejar Sukma-nya. Tetapi kalau dibandingkan dengan ilmu yang digunakan Tan-heng
sekarang, kemungkinan malah sudah kalah satu garis. Usia Tan-heng paling-paling lebih
tua satu dua tahun dibandingkan denganku, ternyata dia sudah berhasil melatih ilmu
pedangnya sampai taraf sedemikian tinggi sehingga dapat melukai orang dari jarak
sepuluh langkah tanpa wujud sama sekali…’
Justru di saat Cu Cia sedang merenung, teryata telah terjadi perubahan di arena
pertarungan. Tampak cahaya hijau semakin lama semakin membesar. Hawa yang
terpancar dari pedang seperti mengandung kegusaran. Tiba-tiba terdengar kembali suara
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
logam beradu, timbul secarik sinar bagai pelangi yang hanya sepenggal. Bayangan
manusia pun memencar, sebatang pedang suling di tangan Tan Ki yang langka ternyata
kutung putus oleh cahaya hijau yang tajam tadi. Di lain pihak pedang panjang di tangan
kanan si gadis berpakaian merah juga patah menjadi dua bagian, dari lengannya terlihat
darah mengalir. Tetapi karena wajahnya ditutupi dengan cadar, jadi tidak tampak
bagaimana tampangnya saat itu.
Tampaknya dia tergetar oleh tenaga dalam Tan Ki yang kuat. Kalau saja gerakannya
kurang cepat, mungkin sebelah lengannya juga ikut terpapas putus. Untungnya dia cepatcepat
menahan serangan Tan Ki dengan pedang panjangnya. Dalam hati dia sadar bahwa
apabila pertarungan ini tetap diteruskan, dia juga bukan tandingan Tan Ki. Rencana yang
telah diperhitungkan matang-matang tampaknya tidak mungkin terwujud lagi. Tanpa
menunda waktu lagi gadis itu mengeluarkan suara siulan yang panjang kemudian
menghambur keluar dari goa tersebut.
Cu Cia dapat melihat bagaimana liciknya gadis ini. Saat itu sang gadis melesat lewat di
sampingnya, dia segera mengambil kesimpulan bahwa dia harus menggunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya. Tetapi biar bagaimana dia merupakan seorang murid yang
dididik oleh tokoh lurus. Tentu saja dia tidak sudi membokong orang secara diam-diam,
oleh karena itu mulutnya segera mengeluarkan suara bentakan nyaring, “Sambut
seranganku ini!” pergelangan tangannya memutar, pedangnya langsung dijulurkan ke
depan. Dengan jurus Ular Putih Memuntahkan Bisa, dia melancarkan sebuah tikaman.
Serangan ini dikerahkan setelah mempertimbangkan baik-baik. Dengan demikian
kehebatannya tidak dapat dianggap ringan. Suara yang timbul dari serangannya menderuderu.
Kecepatannya bagai kilat menyambar.
Punggung si gadis berpak un merah seakan mempunyai mata, tanpa memalingkan
kepala, lengannya sudah terulur dan menghantam ke belakang. Kalau dikatakan memang
aneh juga, serangannya itu ternyata dengan telak menahan pedang kayu Cu Cia yang
sedang meluncur ke arahnya.
Cu Cia melihat dia melancarkan serangan balasan tanpa menolehkan kepalanya sedikit
pun. Bahkan langkah kaki gadis itu tidak berhenti sama sekali. Tampaknya dia memang
tidak memandang sebelah mata kepada Cu Cia. Karena usia si pengemis cilik itu masih
relatif muda, otomatis emosi dalam dadanya gampang meluap. Saat itu juga dia menjadi
gusar, kecepatan pedang bambunya dipertambah, serangkum angin yang kencang
langsung terpancar keluar. Namun baru saja dia maju dua langkah, pedang bambunya
telah tertahan oleh tenaga dalam yang tidak berwujud. Hatinya tercekat, tangannya yang
menggenggam pedang terasa panas dan hampir saja dia tidak dapat mempertahankan
diri. Akhirnya pedang bambu di tangannya terjatuh di atas tanah kerena terlepas dari
pegangannya.
Matanya menatap lekat-lekat bayangan punggung si gadis berpakaian merah yang
terus melesat pergi. Tanpa terasa dia jadi termangu-mangu. Seandainya gadis itu memang
berniat melukainya, asal tenaga dalamnya tadi ditambah sedikit lagi, Cu Cia pasti tidak
sanggup mengundurkan diri dalam keadaan utuh. Berpikir sampai di sini, tanpa dapat
ditahan lagi tubuhnya bergetar. Bulu kuduknya merinding semua membayangkan
kehebatan ilmu silat gadis itu.
Sementara itu, Tan Ki membungkukkan tubuhnya memungut kembali pedang sulingnya
yang sudah terkutung sebagian. Dia memasukkannya ke dalam saku pakaian.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Kedatangan Cu-heng sungguh kebetulan. Harap kau menjaga diri Tian Bu Cu
Locianpwe yang sedang merawat lukanya!”
Melihat orang habis berkata sudah berniat pergi, Cu Cia malah jadi tertegun.
“Memangnya Tan-heng sendiri hendak ke mana?”
“Aku ingin menyelidiki jejak orang-orang tadi!” tanpa memberi kesempatan bagi Cu Cia
untuk mengajukan pertanyaan lagi, Tan Ki langsung melesat keluar dari goa tersebut.
Tampak bayangan tubuhnya berkelebat bagai hembusan angin dan dalam waktu
sekejap mata dia sudah menghilang dari pandangan mata.
Sepasang alis Cu Cia langsung mengerut-ngerut. Diam-diam dia berpikir dalam hati:
‘Tingkah lakunya seperti orang yang tergesa-gesa, malah keringatpun belum sempat
dihapus. Mungkinkah di dalam hatinya telah tersimpan suatu kecurigaan sehingga dia ingin
membuktikan benar tidaknya?’
Seraya berpikir, kakinya melangkah ke depan untuk memungut pedang bambunya yang
terjatuh di atas tanah. Tangannya yang sebelah lagi mengeluarkan sebotol obat luka dan
dia segera membantu Mei Ling membalut luka Ciong San Suang Siu.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendatangi. Begitu
pandangan matanya ditolehkan, dia melihat sosok tubuh Sam Po Hwesio yang gemuk
sedang berjalan masuk mendekati mereka.
Belum lagi Cu Cia sempat menanyakan keadaan lukanya, si Hwesio cilik itu sudah
terlebih dahulu mengajukan pertanyaan.
“Siapa laki-laki dan perempuan yang baru menerjang keluar dari dalam sini? Keadaan di
tengah-tengah goa begitu gelap, kawan atau lawan sampai sulit dibedakan. Biarpun hati si
Hwesio cilik sedang mendongkol sekali, tetapi tetap saja tidak berani sembarangan turun
tangan.
Si pengemis cilik Cu Cia hanya tertawa getir. Dia sengaja tidak menjawab pertanyaan
Sam Po Hwesio, namun menolehkan kepalanya kepada Mei Ling.
“Liu Kouwnio, sebetulnya bagaimana kejadiannya sampai Ciong San Suang Siu kedua
Locianpwe bisa sampai terluka sedemikian rupa?”
Mei Ling meletakkan bekas sobekan lengan pakaian sisa membalut luka Ciong San
Suang Siu di atas tanah. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aku sendiri juga kurang jelas. Tadinya aku dan Tan Koko hanya berniat melihat
keadaan Liang Cici, sekalian jalan ke arah ini. Tetapi baru masuk ke dalam goa, kami
sudah melihat laki-laki berpakaian putih yang mengenakan cadar tadi. Dia sedang
berusaha membuka pintu ini. Aku dan Tan Koko bertanya kepadanya dengan suara keras
sampai beberapa kali, tetapi mereka tidak menyahut sedikitpun. Malah si gadis berpakaian
merah langsung menyerang Tan Koko sehingga terjadi pertarungan sengit.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Kalah dan menang masih belum ketahuan, mengapa si laki-laki berpakaian putih tibatiba
mengundurkan diri dan mencegat kami di lorong goa? Dia toh bukan tukang ramal,
bagaimana dia bisa tahu kalau aku dan Sam Po Hwesio akan datang ke mari?”
Mei Ling tersenyum mendengar kata-katanya.
“Dia sama sekali belum bergebrak dengan Tan Koko, tentu saja bebas ke mana saja.
Begitu masuk ke mari, Tan Koko langsung terlibat perkelahian dengan gadis berpakaian
merah. Pada saat itu Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe justru sedang
mempertahankan diri sekuatnya agar mereka jangan sampai menerobos masuk ke dalam.
Meskipun sudah terluka parah tetapi mereka masih terus bertahan. Seorang diri saja,
apabila dia hendak merobohkan Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe dalam waktu yang
singkat, memangnya gampang. Apalagi setelah kedatangan kami, tampaknya dia tidak
ingin menyaksikan pertarungan antara gadis berpakaian merah itu dengan Tan Koko. Oleh
karena itu, dia segera berjalan keluar dan kemungkinan dia bersembunyi di lorong sempit
sekaligus mencegah apabila ada pihak kita yang datang memberikan pertolongan atau
bisa jadi dia menunggu di sana sebagai pembuka jalan seandainya gadis itu ingin
mengundurkan diri.”
Cu Cia menaikkan sepasang bahunya.
“Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe mempertaruhkan nyawa menjaga pintu batu
ini. Untung saja pihak lawan belum sempat membobolnya. Apabila hal ini terjadi, Tian Bu
Cu Locianpwe yang sedang menutup diri pasti akan terkejut, akibatnya sungguh tidak
dapat dibayangkan, bahkan Liang Fu Yong juga mungkin…”
Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu hal yang mencurigakan, kata-katanya terhenti.
Sepasang alisnya mengerut ketat dan kepalanya mendongak ke atas seakan sedang
memutar otaknya.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, baru terdengar dia menarik nafas panjang.
Lalu dia berkata dengan lirih seperti sedang mengguman seorang diri, “Si pengemis cilik
sungguh tidak mengerti, bagaimana kedua orang ini bisa tahu cara membuka alat rahasia
yang digunakan untuk menutup goa. Apakah ada orang yang mengkhianati kita dan
membeberkan rahasia kepada pihak musuh…?”
Bukan hanya Cu Cia yang mengandung kecurigaan yang dalam. Demikian pula halnya
dengan Tan Ki yang sedang mengejar sepasang manusia tadi. Setelah memungut kembali
pedang sulingnya yang patah ia langsung mengejar mereka. Kecepatannya jangan
ditanyakan lagi. Dalam waktu yang singkat dia sudah keluar dari goa yang gelap itu.
Begitu pandangan matanya beredar, dia melihat sekitar bukit tersebut sunyi senyap. Angin
berhembus semilir menggoyangkan rerumputan yang tumbuh liar. Tidak terlihat bayangan
seorangpun. Tanpa dapat ditahan lagi dia menggaruk-garuk kepalanya, diam-diam dia
berpikir dalam hati: ‘Di seluruh bukit ini entah terdapat berapa banyak celah-celah yang
terpencil, ke mana aku harus mencari mereka?’ begitu pikirannya tergerak, dia merenung
sejenak. Kemudian dia menggertakkan giginya erat-erat dan mengerahkan ilmu
ginkangnya menghambur ke arah barat.
Dia sadar cara berlari tanpa memperhitungkan arah ini dan hanya mengandalkan nasib
serta peruntungan, sebetulnya sulit untuk dapat menyandak kedua orang tadi. Siapa
nyana baru saja berlari sejauh empat lima depa, secercah warna menyolok sudah
tertangkap pandangan matanya. Gadis berpakaian merah itu ternyata sedang berdiri
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membelakanginya dengan bersandar pada sebatang pohon siong. Angin pagi
menghembuskan ikat pinggangnya yang menjuntai ke bawah. Gelang tangannya yang
diganduli bola-bola emas ukuran kecil berdentingan karena saling beradu. Warna
pakaiannya sungguh kontras dengan pemandangan di sekitar. Untuk sesaat Tan Ki malah
jadi tertegun.
Tempat ini merupakan sebidang tanah kosong yang tidak jauh dari jurang yang dalam.
Rerumputan serta pepohonan agak jarang, dengan demikian pemandangan jadi lapang.
Selain sebatang pohon siong yang disandarinya, boleh dibilang tidak ada lagi tempat untuk
menyembunyikan diri. Tetapi Tan Ki tetap khawatir kalau si laki-laki berpakaian putih tetap
melindungi gadis itu secara diam-diam. Meskipun kakinya melangkah ke depan, namun
tanpa menyolok dia sudah mengerahkan tenaga dalamnya untuk berjaga-jaga terhadap
segala kemungkinan. Sikapnya hati-hati dan waspada.
BAGIAN XLVII
Ketika jaraknya dengan gadis berpakaian merah tinggal empat lima langkah, tetap tidak
terjadi apapun. Entah mengapa, terang-terangan si gadis itu tahu ada seseorang yang
sedang berjalan ke arahnya, namun dia tidak menolehkan kepalanya atau melirik sekilaspun.
Dengan punggung membelakangi Tan Ki, dia menatap ke arah pemandangan yang
jauh.
Tiba-tiba Tan Ki menghentikan langkah kakinya. Jaraknya sekarang hanya tinggal
setengah depa saja. Begitu dekatnya sehingga apabila Tan Ki mengulurkan tangannya, dia
pasti dapat meraba gadis itu. Tetapi dia malah sengaja mengeluarkan suara batuk-batuk
kecil.
“Kiau Hun!” panggilnya.
Secara langsung dia menyebut nama gadis itu, tadinya dia mengira paling tidak gadis
itu akan menolehkan kepalanya dengan terkejut. Siapa tahu gadis itu hanya
mengembangkan sedikit senyuman sambil menyahut, “Baguslah kalau kau sudah tahu!”
“Aku ingin menanyakan sesuatu hal kepadamu!”
Kiau Hun tertawa datar.
“Lihat dulu apakah hatiku sedang gembira atau tidak menjawab pertanyaanmu!”
Tan Ki jadi termangu-mangu.
“Kiau Hun, mana boleh kau berbicara ketus seperti itu denganku?”
Mendengar kata-katanya, sekonyong-konyong Kiau Hun membalikkan tubuhnya.
“Aku baru mengucapkan sepatah kata saja, kau sudah anggap ketus? Pernahkah kau
sendiri berpikir, berapa banyak sudah kau mendatangkan penderitaan kepada orang lain.
Tentu kau sendiri tidak merasakannya bukan?”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wajahnya masih ditutupi sehelai cadar. Dengan demikian sulit melihat bagaimana
tampangnya saat itu. Tetapi dari nada suaranya dapat diduga bahwa hatinya saat ini
merasa pedih sekali.
Perlahan-lahan Tan Ki menarik nafas panjang.
“Apa yang terjadi di masa lalu, masih terbayang jelas di depan mata. Aku Tan Ki
beberapa kali menerima budi pertolonganmu, biar bagaimana aku tidak akan
melupakannya. Tetapi aku tidak mengerti mengapa kau harus merendahkan dirimu
menjadi mata-mata bagi pihak Lam Hay. Tadi di dalam goa, kalau aku tidak keburu datang
tepat pada waktunya, mungkin saat ini Tian Bu Cu Locianpwe beserta cici Liang sudah
terkapar di atas tanah bermandikan darah. Keduanya pasti mati di bawah pedang hijaumu
itu. Untung saja jurus yang kau gunakan tadi pernah kulihat satu kali ketika di Pek Hun
Ceng, dengan demikian aku segera mengenali dirimu. Entah bagaimana perasaanku tadi,
boleh dibilang kesal dan panik bercampur menjadi satu, tetapi sejak mula hingga akhir,
aku tetap tidak tega turun tangan kejam terhadap dirimu…”
Kiau Hun langsung menukas dengan nada dingin.
“Sekarang Oey Ku Kiong tidak ada di sini, kau boleh turun tangan menghantam diriku
sampai mati!”
Tan Ki semakin gugup menghadapinya.
“Aku hanya ingin bertanya sampai jelas, mengapa kau bisa beralih ke pihak Lam Hay
Bun?”
Kiau Hun mendongakkan wajahnya tertawa terbahak-bahak. Suaranya melengking
memecahkan keheningan dan membuat telinganya jadi ngilu. Wajah Tan Ki langsung
berubah hebat melihat tingkah lakunya.
“Apa yang kau tertawakan?” bentaknya kesal.
“Aku menertawakan pertanyaanmu yang begitu kekanak-kanakan. Kalau di daerah
Tionggoan aku selalu mendapat hinaan karena keadaan diriku yang hanya seorang budak
di keluarga Liu dan di mana-mana yang terlihat hanya cibiran orang, mengapa aku tidak
boleh mencari jalan mengangkat derajatku sendiri?”
“Oleh karena itu kau sengaja mendekati Tocu Lam Hay Bun dan memikatnya dengan
kecantikanmu itu?”
Kiau Hun tertawa dingin.
“Ini merupakan salah satu jalan bagiku untuk membalas dendam!”
Sepasang alis Tan Ki langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
“Kepada siapa kau ingin membalas dendam?”
“Siapa saja, pokoknya setiap orang yang pernah memandang rendah diriku dan pernah
menghina aku. Termasuk orang-orang yang sudah merebut kekasih hatiku!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tan Ki tertawa getir mendengarnya.
“Bagus sekali! Sekarang aku toh ada di hadapanmu, kau boleh membalaskan
dendammu yang pertama!”
Kiau Hun mendengus dingin satu kali. Tangannya bergerak, tahu-tahu sebatang pedang
pendek telah tergenggam di tangannya. Cahayanya berwarna hijau dan berkilauan.
“Apa yang kau katakan memang tidak salah. Dalam daftar orang-orang yang ingin
kubalaskan dendam dalam hati ini, kau menduduki urutan pertama. Demi engkau, aku
tidak perduli segala macam bahaya, bahkan dengan mempertaruhkan nyawa aku pernah
menolong dirimu. Akibatnya aku malah ditendang keluar dari pintu perguruan. Sebagai
seorang gadis yang sebatang kara tanpa sanak saudara seorangpun, aku berkelana ke
mana-mana. Apakah kau pernah membayangkan betapa mengenaskannya keadaanku saat
itu? Tetapi aku tidak merasakannya sama sekali. Siapa sangka hatiku yang tulus ini
ternyata dipersembahkan kepada seorang laki-laki buaya. Bukan saja aku tidak dihibur
sedikitpun, kau malah menghancurkan seluruh perasaanku. Dalam keadaan putus asa,
setiap orang pasti mempunyai pikiran pendek. Apalagi jiwa kami kaum perempuan yang
jauh lebih lemah daripada kalian laki-laki. Biasanya sedikit-sedikit ingin bunuh diri. Tetapi
aku bukan orang bodoh yang mau mati begitu saja. Aku ingin menggunakan tubuh yang
sudah tidak mempunyai perasaan ini sebagai imbalan untuk membuka jalan agar aku
dapat membalas dendam. Siapa saja yang pernah menganggap remeh diriku atau
menghindari aku, aku akan mencincang tubuhnya sampai hancur berkeping-keping!”
sambil berbicara, pedang pendek di tangannya bergerak, cahayanya berkilauan dan saat
ini sudah di tempelkan di depan dada Tan Ki. Asal dia mengerahkan sedikit saja
tenaganya, sudah pasti selembar nyawa Tan Ki sulit dipertahankan.
Sikap Tan Ki masih tenang seperti semula. Dia seakan tidak merasa gentar sedikitpun
menghadapi pedang pendek tersebut.
“Pendirianmu yang demikian picik, akhirnya hanya akan menghancurkan dirimu sendiri.
Meskipun aku mempunyai niat membantu, tetapi aku tidak mempunyai kesanggupan
seperti itu. Hany dirimu sendiri yang dapat menyadarkan pikiranmu yang sesat serta
kembali ke jalan yang benar!”
Sekali lagi Kiau Hun tertawa dingin.
“Sayangnya aku ini selalu mengikuti apa kata hati, biarlah penyesalan datang di
kemudian hari!”
Pergelangan tangannya bergerak, pedang pendeknya dihunjamkan sedikit ke dalam
daging di dada Tan Ki. Tampak sepasang alis anak muda itu mengerut-ngerut, tetapi dia
tetap menahan rasa sakit dan tidak mengeluarkan suara keluahan sedikitpun. Darah segar
mengalir dari ujung pedang tersebut.
Pedang pendek di tangan Kiau Hun ini pernah mematahkan pedang suling Tan Ki ketika
bertarung di dalam goa. Tajamnya jangan ditanyakan lagi. Tampak wajah Tan Ki tetap
menyiratkan ketenangan seakan tidak merasakan apa-apa. Dia seperti orang yang tidak
memperdulikan mati hidupnya sendiri. Sepasang matanya menatap Kiau Hun lekat-lekat
tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Angin yang sejuk berhembus semilir, pakaian kedua orang itu mengibar-ngibar.
Suasana begitu hening dan mencekam. Tiba-tiba Tan Ki merasa tangan Kiau Hun terus
gemetaran, di cadar yang menutupi wajahnya juga terlihat rembesan air. Tidak diragukan
lagi bahwa emosi gadis itu telah tergugah dan keringat terus menetes membasahi
wajahnya.
Tan Ki menarik nafas panjang perlahan-lahan.
“Mengapa kau tidak meneruskan tusukan-mu?”
Pertanyaan ini seakan memberi pukulan bathin yang hebat kepadanya. Tiba-tiba
tangannya merenggang dan dia menutup wajahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Perubahan yang tidak terduga-duga ini justru membuat Tan Ki jadi termangu-mangu.
Meskipun dia merupakan seorang pemuda yang berotak cerdas, tetapi setiap kali
menghadapi air mata seorang perempuan, dia malah tidak tahu apa yang harus
dilakukannya. Dia berdiri terpana di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun. Untuk
sesaat suasana jadi hening. Tan Ki hanya membungkukkan tubuhnya memungut pedang
pendek Kiau Hun yang terjatuh di atas tanah.
Setelah menangis beberapa lama, tampaknya emosi di dalam hati Kiau Hun sudah agak
reda. Perlahan-lahan suara isak tangisnya semakin lirih dan dilepaskannya cadar penutup
wajahnya.
“Aku benar-benar tidak mengerti. Mengapa setiap orang yang terjatuh di tanganku,
dapat kubunuh tanpa mengedipkan mata sedikitpun. Hanya engkau laki-laki yang tidak
berbudi ini yang justru membuat aku tidak sampai hati untuk turun tangan.”
Beberapa lama dia terdiam, kemudian baru melanjutkan kembali kata-katanya,
“Mungkin tanpa kusadari sebetulnya aku masih menaruh hati kepadamu.”
Diam-diam Tan Ki berpikir di dalam hati.
‘Aku sudah menikahi Mei Ling, belum lagi janjiku untuk mengambil Liang Fu Yong dan
Cin Ie sebagai selir. Di samping itu masih ada dua gadis lain yang diam-diam
memperhatikan aku, yakni Lok Ing dan Cin Ying. Sekarang aku sudah cukup bingung,
bagaimana mungkin ditambah lagi dengan dirimu?’
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi dia justru tidak tahu bagaimana
mengutarakannya. Wajahnya menyiratkan perasaan bimbang.
Kedua orang itu terdiam untuk sekian’lama, mereka saling pandang tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Tan Ki merasa dengan berdiam diri seperti ini, rasanya
bukan tindakan yang baik. Akhirnya dia mengungkit kembali masalah yang tadi.
“Mengapa kau tidak meninggalkan jalan yang sesat dan kembali menjadi orang baikbaik
saja?”
Kiau Hun tertawa getir.
“Sekarang baru mengatakan semua ini, memangnya masih belum terlambat? Meskipun
aku mempunyai niat demikian, tetapi pelaksanaannya justru tidak semudah berbicara saja.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Mengapa sulit? Apakah mereka mengancam dirimu sehingga kau tidak dapat
melepaskan diri dari pihak Lam Hay Bun?”
“Tidak juga.”
“Sebetulnya apa yang terkandung dalam hatimu, aku benar-benar tidak dapat
menduganya.”
Kiau Hun tersenyum tipis. Dia mengusap bekas air mata yang masih membasahi
pipinya.
“Kalau kau dapat menduga apa yang kupikirkan, tentu kau tidak akan menikahi Liu Mei
Ling, bekas nonaku itu.”
Mendengar kata-katanya, sekali lagi Tan Ki tertegun. Dia merasa seperti ada sebuah
batu yang berat menggelayuti hatinya sehingga dia tidak sanggup mengutarakan
bagaimana perasaannya saat itu.
“Apakah kau merasa hatimu gundah sekarang ini?” tanya Kiau Hun kembali.
Tan Ki menarik nafas panjang-panjang.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan.” sahutnya terus terang.
Baru saja ucapannya selesai, tiba-tiba dari mengejar si gadis yang mengenakan cadar
tadi?”
Tan Ki membalikkan tubuhnya. Dia sengaja mengalihkan pokok pembicaraan.
“Bagaimana keadaan di dalam goa?”
“Masih lumayan. Setelah diborehkan obat, luka Ciong San Suang Siu kedua Locianpwe
tidak mengalirkan darah dan tidak perlu dikhawatirkan lagi. Sedangkan Yang Jen Ping,
Goan Yu Liong dan Ban Jin Bu juga sudah menyusul ke sana.”
Tan Ki hanya menganggukkan kepalanya. Si pengemis cilik kembali melanjutkan katakatanya.
“Si pengemis cilik tidak ingin banyak bicara. Tetapi Sam-siokmu meminta aku
menyampaikan kepadamu bahwa pertandingan perebutan kedudukan Bulim Bengcu sudah
di mulai. Kau harus muncul di sana secepatnya. Apabila kesempatan ini terlewati, maka
harapanmu untuk merebut kedudukan itu tipis sekali. Cepatlah ke sana, urusan lainnya
kau tidak perlu ikut campur lagi.”
“Tian Bu Cu Locianpwe sedang menutup diri, tugas menjaga pintu batu terpaksa
kuserahkan kepada Cu-heng.” kata Tan Ki.
Baru saja ucapannya selesai, tubuhnya sudah berkelebat pergi menuju ruang
pertandingan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam sekejap mata, dari kejauhan sudah terlihat kerumunan orang banyak. Jumlahnya
mungkin di atas seratus orang. Tetapi meskipun tempat itu dipenuhi orang ramai, tetapi
suasananya justru begitu mencekam tanpa terdengar suara sedikitpun.
Tan Ki menyeruak di antara kerumunan orang banyak. Sambil mengatur pernafasannya
dia memperhatikan beberapa saat. Ada beberapa orang yang sempat melihat bagaimana
dia melukai utusan pihak Lam Hay dengan sebatang pedang sulingnya. Orang-Orang ini
segera membagi diri menjadi dua bagian dan membuka jalan agar dia dapat lewat.
Hal ini menandakan rasa kagum di dalam hati mereka. Seraya memberi salam kepada
orang-orang itu, Tan Ki terus berjalan sampai barisan terdepan. Begitu pandangan
matanya di alihkan ke tengah arena, dia melihat Goan Siong Fei dengan pecut lembutnya
sedang menghadapi seorang kakek bungkuk bersenjatakan sebatang potlot besi. Mereka
sedang bertarung dengan sengit. Cahaya yang terpancar dari ujung pecut Goan Siong Fei
yang diganduli oleh sebuah logam berwarna keputihan dan bayangan potlot besi
memenuhi tengah arena.
Kedua orang ini merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai
nama di dunia Kangouw. Tenaga dalam mereka sudah mencapai taraf yang cukup tinggi.
Jurus-jurus yang mereka kerahkan telah dilatih dengan matang. Baik pecut lemas maupun
potlot besi selalu ditujukan ke arah jalan darah yang penting di bagian tubuh lawan.
Semakin lama gerakan mereka semakin cepat, sehingga orang-orang yang
menyaksikannya merasa pandangan mereka seperti berkunang-kunang.
Tepat pada saat itu, dari luar masuk seorang nenek yang rambutnya sudah penuh
dengan uban. Setiap kali ia melangkah, tongkat besinya menimbulkan suara berdentum di
atas tanah. Gerakannya seperti orang yang santai, tetapi dalam sekejap mata dia sudah
sampai di hadapan Yibun Siu San.
Orang ini sama sekali tidak asing bagi Tan Ki. Dia adalah pendekar pedang tingkat
sembilan yang selama beberapa hari ini tidak kelihatan batang hidungnya, juga
merupakan bekas guru Kiau Hun dan Mei Ling, yakni Ciu Cang Po. Melihat tampangnya
yang dekil dan wajahnya yang penuh debu, dapat diduga bahwa dia baru saja kembali dari
perjalanan yang cukup jauh. Tan Ki segera merasa bahwa kepulangan Ciu Cang Po ini
pasti membawa berita yang sangat penting, cepat-cepat dia menghambur ke depan
mendekati nenek itu.
Cian Cong langsung mengeluarkan suara tawanya yang bebas.
“Si nenek pengemis ini pasti sudah letih sekali!”
Yibun Siu San segera memerintahkan orang mengambil lagi sebuah kursi dan
mempersilahkan nenek itu duduk di sana. Siapa nyana nenek itu malah menggelengkan
kepalanya dan tidak bersedia langsung duduk. Wajahnya tampak kelam sekali.
“Nenek tua menerima tugas berat dan menyampingkan dendam pribadi dengan
meninggalkan bukit Tok Liong-hong ini. Aku menghubungi pihak lima partai besar agar
segera mengirimkan bala bantuan ke sini sekaligus mengintai gerak-gerik pihak Lam Hay
serta Si Yu. Beberapa hari pertamanya, aku masih bisa keluar masuk dengan bebas, tidak
ada seorangpun yang sempat memergoki perbuatanku itu. Tidak tahunya beberapa hari
yang lalu, ketika aku sedang menyelidiki seorang diri…”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepasang alis si pengemis sakti Cian Cong langsung berkerut-kerut mendengar
ceritanya.
“Apakah si nenek pengemis menemui kesulitan?”
Ciu Cang Po langsung mendengus dingin.
“Sampai di mana tingginya ilmu si nenek tua ini, dapatkah kau jelaskan dengan
terperinci?”
Rupanya si pengemis sakti Cian Cong tidak menduga kalau akan mendapat pertanyaan
seperti ini. Untuk beberapa saat dia jadi tertegun, kemudian dia memejamkan matanya
merenung sebentar.
“Tinggi rendahnya ilmu kepandaian si nenek pengemis, apabila hendak dijelaskan
secara terperinci sebetulnya sulit sekali. Tetapi si pengemis tua mengakui bahwa kau
memang bernyali besar dan banyak akalnya. Sedangkan tenaga dalammu hampir
seimbang dengan si pengemis tua. Tempo hari di atap gedung Cui Sian-lau, si pengemis
tua kebetulan mendapat peluang bagus dan dengan jurus Lengan Pakaian Beterbangan
Masuk ke Dalam Hutan, baru bisa memaksakan diri mengalahkan dirimu. Secara kasarnya,
boleh dibilang kepandaianmu itu di bawah tiga orang, di atas laksaan orang.”
Wajah Ciu Cang Po yang sudah penuh keriput jadi merah jengah mendengar pujiannya.
“Kalian semua tentunya sudah tahu bahwa watak nenek tua ini picik dan ingin menang
terus. Terhadap siapapun tidak sudi mengalah. Tetapi beberapa malam yang lalu ketika
kepergok, ternyata aku dikalahkan dalam tujuh jurus saja.”
Sembari berkata, dia mengangkat lengan kirinya. Begitu pandangan mata orang
memperhatikan, ternyata lengan pakaiannya sudah koyak sepanjang empat cun. Setelah
lewat dua hari bekas luka berdarah masih menimbulkan warna kehitaman.
Wajah Yibun Siu San jadi kelam seketika.
“Siapa sebetulnya yang melukaimu itu?” hatinya memang terkejut setengah mati, orang
yang dapat melukai Ciu Cang Po dalam tujuh jurus benar-benar tidak dapat dianggap
enteng. Tetapi dia memang tidak malu disebut sebagai tokoh tua yang sudah banyak
pengalaman di dunia Kangouw. Meskipun terkejut, tetapi penampilannya masih
menunjukkan ketenangan.
“Dia adalah seorang pemuda yang berusia kurang lebih dua puluh tiga tahunan. Aku
melihat Bun Bu-siang Cia Tian Lun, Tong Ku Lu beserta tiga tongcu lainnya bersikap
hormat sekali kepada orang ini. Tadinya aku mengira dialah sang tocu dari Lam Hay Bun
pribadi. Tetapi kenyataannya bukan, dia merupakan murid tunggal tocu besar tersebut,
namanya Hua Pek Cing.”
Mendengar kata-katanya, tanpa dapat ditahan lagi berpasang-pasang alis dari para jago
tingkat sembilan dan Tan Ki langsung menjungkit ke atas. Serentak mereka menundukkan
kepala merenung. Sebab mereka tahu pasti bahwa watak Ciu Cang Po sangat keras dan
tidak sudi mengaku kalah kepada siapa saja. Tanpa alasan yang pasti, dia tidak mungkin
mengucapkan kata-kata yang merendahkan derajatnya sendiri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kalau Hua Pek Cing memang murid tunggal Toa Tocu, tetapi hanya dalam tujuh jurus
dia berhasil melukai Ciu Cang Po, dengan demikian Yibun Siu San, Cian Cong beserta Lok
Hong yang hanya menang satu garis dari Ciu Cang Po, tentu masih terpaut jauh apabila
dibandingkan dengan tocu dari Lam Hay Bun sendiri.
Tan Ki pribadi juga mempunyai pikiran bahwa apabila pihak Lam Hay dan Si Yu
bergabung menjadi satu kekuatannya tidak dapat dianggap main-main, pengaruhnya pasti
besar sekali. Kalau ditilik dari tokoh-tokoh yang datang tadi malam saja, paling tidak masih
ada empat tokoh tingkat sembilan yang belum menampakkan diri. Sedangkan jago-jago
lainnya entah masih berapa banyak lagi. Ditinjau dari keadaan ini, seandainya kedua pihak
berhadapan secara terang-terangan, meskipun di puncak bukit Tok Liong-hong banyak
jago-jago daerah Tiong-goan, kemungkinan tetap masih bukan tandingan pihak Lam Hay.
Satu-satunya jalan hanyalah mengajak lima partai besar ikut bergabung melawan
golongan sesat yang ingin menguasai Tionggoan tersebut. Namun siapa yang sanggup
melawan pimpinan mereka yang paling lihai itu? Tan Ki berusaha mengingat satu per satu
tokoh berilmu tinggi yang pernah diketahuinya. Tanpa dapat ditahan lagi dia tertawa pahit,
karena meskipun orang berilmu tinggi di puncak bukit Tok Liong-hong ini cukup banyak,
namun orang yang benar-benar dapat menandingi tocu besar dari Lam Hay Bun itu,
kemungkinan hanya tokoh sakti dari Bu Tong San, yakni Tian Bu Cu Locianpwe.
Sejak tadi Lok Hong duduk di samping tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tiba-tiba
terdengar dia mengajukan pertanyaan kepada Ciu Cang Po.
“Kau mengatakan bahwa jejakmu berhasil dipergoki pihak musuh, malah setelah
terjadinya pertarungan sengit, kau terluka dalam tujuh jurus. Entah bagaimana kau bisa
melarikan diri belakangan?”
“Si nenek tua mengira pertarungan tersebut boleh dibilang untuk yang terakhir kalinya.
Meskipun sudah terluka, aku tetap tidak mau mengaku kalah. Aku pikir lebih baik
mengadu jiwa dengan orang itu. Rupanya walaupun tenaga dalam cukup tinggi, tetapi
dalam gerakan dan jurus-jurus serangan, aku masih bukan tandingan Hua Pek Cing. Baru
bertarung dengan nekat sebanyak tiga jurus, ujung pedangnya sudah menunjuk ke bagian
yang penting di dadaku.”
Mendengar sampai di sini, hati orang-orang gagah tidak ada satupun yang tidak
tercekat. Meskipun sekarang ini orangnya sendiri masih berdiri dalam keadaan sehat di
depan mata, tetapi membayangkan kejadian yang dialaminya saat itu, hati mereka tidak
urung bergidik juga.
Setelah berhenti sejenak, Ciu Cang Po melanjutkan kembali kata-katanya.
“Keadaan waktu itu gawat sekali. Si nenek tua sendiri maklum bahwa tidak mungkin
bisa meloloskan diri dari kematian. Meskipun ada niat mengadu jiwa dan mengorbankan
diri dalam pertarungan, namun semuanya sudah terlambat. Baru saja aku memejamkan
mata menunggu datangnya malaikat elmaut, tiba-tiba telinga ini mendengar suara
benturan logam, nadanya begitu keras sehingga hatipun ikut terguncang. Bunga api
memercik ke mana-mana. Aku segera menenangkan hatiku dan memperhatikan dengan
seksama. Hua Pek Cing yang berilmu aneh dan dalam sepuluh jurus sanggup merenggut
selembar nyawaku, ternyata terdesak mundur sejauh empat langkah oleh seorang gadis
ingusan!”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mulut Cian Cong sampai terbuka lebar-lebar. Pandangan matanya menyiratkan rasa
penasaran yang tidak terkatakan.
“Masa ada kejadian seperti itu?”
Ciu Cang Po tertawa dingin.
“Si nenek tua dapat meloloskan diri dari tangan malaikat elmaut sehingga selembar
nyawa tua ini dapat dipertahankan, justru berkat pertolongan si gadis cilik itu. Percaya
atau tidak, terserah. Si nenek tua juga tidak ingin mengoceh banyak-banyak!”
Yibun Siu San maklum di antara kedua orang ini masih tersimpan rasa mendongkol
karena pertarungan tempo hari. Dia khawatir urusan akan jadi panjang dan timbul
perteng-karan yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, cepat-cepat dia mengembangkan
seulas senyuman.
“Cayhe percaya sepenuhnya atas apa yang kau katakan. Tentu semuanya diucapkan
dari hati yang paling dalam. Tetapi gadis cilik itu ternyata berilmu demikian tinggi dan
sanggup menggetarkan pedang Hua Pek Cing, sebetulnya memang membuat orang
terkejut mendengarnya.”
“Seandainya gadis cilik itu hanya menolong aku pergi dari tempat itu dan tidak ada
urusan lainnya lagi, tentu orang-orang juga belum tentu percaya atau merasa terkejut.”
Sinar matanya yang tajam menyapu ke sekeliling sekilas kemudian berhenti pada wajah
Tan Ki. Dia melanjutkan kembali kata-katanya.
“Gadis cilik itu menitip pesan kepada si nenek tua. Dia mengeluarkan sebatang pedang
pusaka yang selalu dibawanya dan meminta aku menyerahkannya kepada Tan Ki sebagai
hadiah darinya. Dalam waktu yang bersamaan dia juga menitipkan sepucuk surat agar
dibaca olehnya.” seraya berkata, dari dalam lengan bajunya yang longgar dia
mengeluarkan sebatang pedang kuno berwarna kehitam-hitaman. Kalau diperhatikan,
mungkin usia pedang itu sudah lebih dari dua ratus tahunan. Telapak tangannya
menggenggam sepucuk surat berwarna merah jambu yang kemudian diserahkannya
kepada Tan Ki.
“Gadis cilik itu pasti mengenal baik dirimu. Tanpa merasa berat sedikitpun dia
menghadiahkan pedang pusaka ini kepadamu. Meskipun si nenek tua mendapat
pertolongan darinya, tetapi sebetulnya dia melakukannya karena memandang dirimu.”
Tan Ki segera membuka surat itu dan membacanya. Dia melihat di atas kertas
berwarna putih tertera tulisan yang indah dan rapi. Secara garis besarnya, isi surat itu
menyatakan:
Peristiwa melukai Liok Giok yang tanpa sengaja sudah berlalu dan tidak usah dipikirkan
lagi. Dia sudah mengikuti majikannya kembali ke Tian San, Kali ini mereka menuju ke
selatan dengan maksud mengambil rumput obat-obatan. Tanpa sengaja menolong Ciu
Cang Po merupakan kejadian yang tidak terduga olehnya sendiri. Mendengar dari nenek
itu bahwa Tan Ki masih ada di puncak bukit Tok Liong-hong untuk ikut dalam perebutan
Bulim Bengcu dan dia terpaksa harus memohon diri secepatnya. Dia sendiri tidak
mempunyai apa-apa sebagai hadiah kecuali sebatang pedang pusaka itu. Pedang itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sendiri merupakan pemberian majikannya yang diberi nama Pedang Penghancur Pelangi.
Apabila ada kesempatan, dia akari berusaha menemui Tan Ki.
Tan Ki melihat isi surat itu mengandung ketulusan hati yang tidak terkirakan. Bahkan
setelah mengetahui bahwa dia akan ikut dalam pertandingan perebutan kedudukan Bulim
Bengcu, gadis itu tidak perduli akan mendapat omelan dari majikannya dengan
menghadiahkan pedang pusaka. Perasaan hati yang tulus ini membuat hati Tan Ki terharu
sekali. Sepasang tangannya sampai gemetar dan hampir saja surat itu terlepas dari
genggaman tangannya.
Sambil melihat perkembangan yang terjadi di atas arena pertandingan, Yibun Siu San
juga memperhatikan tampang wajah Tan Ki saat itu. Melihat wajahnya menyiratkan rasa
haru yang dalam, tanpa dapat menahan diri lagi dia segera bertanya.
“Apakah kau mengenal gadis cilik itu?”
Tan Ki menganggukkan kepalanya berkali-kali.
“Dialah pelayan si gadis berpakaian putih yang merupakan pemilik Liok Giok yang
pernah dilukai keponakanmu ini tanpa sengaja.”
Terdengar suara desahan dari mulut Yibun Siu San.
“Tampaknya perempuan yang kau kenal tidak sedikit juga jumlahnya.”
Wajah Tan Ki jadi merah padam. Dia tidak berani menyahut sepatah pun.
“Apa yang tertulis dalam suratnya itu?” tanya si pengemis sakti Cian Cong.
“Hal yang biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan apa-apa.”
Tiba-tiba terdengar Ciu Cang Po menukas.
“Apakah nona cilik itu tidak mengungkit soal Lam Hay dan Si Yu yang akan
menggempur Tok Liong-hong?”
Tubuh Yibun Siu San dan Cian Cong agak bergetar mendengar kata-katanya. Serentak
mereka bertanya.
“Kapan mereka akan menggempur kita?”
“Sore ini!” sahut Ciu CangPo sambil mengalihkan wajahnya bertanya kepada Tan Ki.
“Apa lagi yang dikatakannya?”
“Tidak ada lagi, dia hanya mengatakan apabila ada kesempatan akan menemui
Boanpwe.”
Tiba-tiba terdengar suara benturan senjata yang memekakkan telinga. Ternyata pecut
lemas Goan Siong Fei dan potlot si orangtua bungkuk putus dalam waktu yang bersamaan.
Kedua sosok tubuh mereka juga langsung memencar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Rupanya Goan Siong Fei mengadu kekerasan dengan orangtua bertubuh bungkuk itu.
Keduanya sama-sama mengerahkan tenaga dalam ke arah senjata masing-masing
sehingga kedua senjata tidak dapat mempertahankan diri lalu putus menjadi dua bagian.
Perubahan yang mengejutkan ini benar-benar di luar dugaan, dengan demikian katakata
Tan Ki jadi terhenti. Baik Yibun Siu San, Lok Hong, Cian Cong dan Ciu Cang Po segera
memalingkan wajahnya melihat ke tengah arena.
Sementara itu, Ceng Lam Hong yang berdiri di belakang Yibun Siu San tampak maju ke
depan. Dia mengambil Pedang Penghancur Pelangi pemberian Mei Hun dan diserahkannya
kepada Tan Ki.
“Simpanlah pedang ini baik-baik, mungkin nanti kau memerlukannya.”
Sembari tersenyum simpul, Tan Ki menyambut pedang itu. Pandangan matanya
kembali beralih ke tengah arena. Rupanya Goan Siong Fei sudah, berniat menyelesaikan
pertarungan secepat mungkin.
Pecut lemasnya yang terputus segera dibuang ke atas tanah. Dalam waktu yang
bersamaan, telapak tangan kirinya menjulur keluar dan mengirimkan sebuah serangan.
Kakek tua bertubuh bungkuk itu menggeser tubuhnya sedikit. Dia mengelak dari serangan
Goan Siong Fei, mulutnya mengeluarkan suara bentakan. Dengan jurus Awan Bergerak
Menutupi Rembulan, dia membalas serangan Goan Siong Fei.
Terdengar suara benturan, kedua orang itu mengadu tenaga dalam dengan kekerasan.
Masing-masing tergetar mundur sejauh satu langkah. Goan Siong Fei bernyali besar,
begitu mundur dia langsung maju lagi. Sepasang telapak tangannya dirapatkan. Dengan
jurus Dua Rangkum Angin Menerpa Telinga, dia melancarkan sebuah serangan. Dalam
waktu yang bersamaan, kaki kanannya mengirimkan sebuah tendangan. Sasarannya
bagian perut si kakek bungkuk. Sekali maju dia mengerahkan dua jurus sekaligus.
Serangannya hebat bukan main.
Diam-diam hati si kakek bungkuk merasa terkejut bukan kepalang, pikirannya tergerak.
Orang ini pemberani sekali, benar-benar manusia yang jarang terlihat di dunia ini.
Ketika mengadu kekerasan tadi, kelihatannya tidak ragu sama sekali. Padahal tenaga
dalamnya tidak lebih tinggi dari diriku, tetapi mengapa tanpa mengatur pernafasan sama
sekali, dia berani melancarkan serangan kembali?’
Justru ketika pikirannya masih tergerak, sepasang telapak tangan dan tendangan Goan
Siong Fei sudah hampir mencapai dirinya. Apabila si kakek bungkuk ingin mengelakkan
serangan tersebut, pasti sudah terlambat. Akhirnya dia terpaksa menghimpun hawa
murninya dan dengan posisi menahan di depan dada, dia menghantamkan sepasang
telapak tangannya ke depan.
Dengan jurus Dua Naga Mencipratkan Air, dia merentangkan sepasang tangannya.
Sekali dia menyambut serangan Goan Siong Fei dengan kekerasan. Dalam waktu yang
bersamaan, kaki kanannya juga menyapu ke depan, dengan berani dia menyambut
tendangan Goan Siong Fei.
Terdengar lagi suara keras yang menggelegar, dua pasang tangan dan sepasang kaki
kembali beradu. Tenaga dalam kedua orang ini boleh dibilang seimbang. Orang-orang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gagah yang melihatnya sampai tercekat. Diam-diam mereka berpikir dalam hati: ‘Cara
berkelahi tanpa memperdulikan mati hidup diri sendiri, benar-benar baru terlihat kali ini
saja…’
Terdengar suara tertawa dingin dan dengusan berat dalam waktu yang bersamaan.
Kedua orang itu sama-sama tergetar mundur sejauh tiga langkah. Secara berturut-turut
sebanyak dua kali mereka mengadu kekerasan. Hal ini membuat hawa murni dalam tubuh
mereka terkuras banyak. Aliran darah beredar semakin cepat dan nafaspun tersengalsengal.
Keringat membasahi seluruh wajah mereka dan terus menetes turun.
Tan Ki yang menyaksikan hal ini diam-diam mengerutkan sepasang alisnya. Selama
beberapa bulan terakhir ini, dia sudah menjumpai banyak kejadian aneh. Pengetahuannyapun
semakin luas. Dia tahu ilmu kedua orang itu setali tiga uang. Sulit membedakan
siapa yang lebih unggul. Apabila terus bertarung dengan mengadu kekerasan seperti
sekarang ini, paling-paling kedua pihak sama-sama rubuh dalam keadaan terluka. Hatinya
berniat memecahkan masalah mereka, tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang
panjang. Nadanya bagai burung merak yang melengking murka. Tanpa dapat ditahan lagi
dia segera mendongakkan kepalanya. Justru dalam waktu sekejap mata itulah, di samping
Goan Siong Fei sudah bertambah seorang gadis berpakaian merah.
Tampak gadis itu berkulit halus dengan sepasang bibir yang menantang. Pakaiannya
yang berwarna merah membungkus tubuhnya dengan ketat sehingga setiap lekuk
tubuhnya kentara jelas. Kecantikannya menyiratkan kematangan. Gadis ini sama sekali
tidak asing bagi Tan Ki. Dialah Kiau Hun yang memihak ke Lam Hay Bun.
Setelah melihat jelas, hati Tan Ki tercekat bukan kepalang. Dia segera mengedarkan
pandangan matanya. Ternyata dia melihat Oey Ku Kiong dengan pakaian putih berdiri di
antara kerumunan orang banyak. Hanya saja saat ini dia sudah melepaskan cadar penutup
wajahnya.
Kemunculan Kiau Hun yang tidak terduga-duga itu tampaknya membuat Goan Siong Fei
beserta si kakek bungkuk jadi tertegun beberapa saat. Otomatis telapak tangan mereka
ditarik kembali kemudian keduanya mencelat mundur ke belakang.
Kiau Hun menatap kedua orang itu sambil tersenyum simpul. Senyumannya
mengandung gaya yang kenes dan matanya menyorotkan sinar tajam menusuk sehingga
kedua laki-laki yang memandangnya merasa jengah sendiri. Mereka cepat-cepat
memalingkan wajahnya dan tidak berani melihat lebih lama. Telinga mereka menangkap
suara yang merdu.
“Dengan segenap kemampuan kalian terus bertarung. Apalagi sama-sama menyambut
serangan, musuh dengan kekerasan. Tentunya hawa murni di dalam tubuh kalian sudah
banyak membuyar dan tubuhpun letih sekali. Mungkin sudah waktunya kalian beristirahat
sebentar.”
Goan Siong Fei mendengar nada suaranya begitu lembut dan merdu. Seluruh tubuhpun
benar-benar terasa letih. Matanya terasa mengantuk. Begitu dia menolehkan kepalanya,
dia melihat juga terpikat oleh suaranya yang lembut. Matanya hampir tidak bisa dibuka
Tiba-tiba hatinya jadi tergerak, cepat-cepat dia mengeluarkan suara bentakan dan
mencelat ke atas.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Perempuan siluman berani main-main, lihat seranganku!” telapak tangannya langsung
menghantam ke depan.
Kiau Hun mencelat mundur ke belakang. Bibirnya mengembangkan seulas senyuman.
“Kau benar-benar sudah letih, jangan sembarangan mengumbar hawa amarah dalam
hatimu.”
Sekonyong-konyong kepala Goan Siong Fei terasa pening. Tenaga dalamnya tidak
dapat dikerahkan lagi. Hatinya terkejut setengah mati, cepat-cepat dia menghimpun hawa
murninya dan mengeluarkan suara siulan yang panjang. Dengan demikian pikirannya
menjadi jernih kembali. Telapak tangan kirinya langsung mengerahkan jurus Membangun
Jembatan Besi, dilancarkannya sebuah serangan ke depan. Dalam waktu yang bersamaan
kaki kirinya melayang, sekaligus dia mengerahkan dua buah serangan.
Sementara itu, si kakek bungkuk juga baru tersentak sadar. Dia segera menyadari gadis
berpakaian merah itu menggunakan semacam ilmu yang disebut Ilmu Pembetot Sukma,
dengan demikian dia dan Goan Siong Fei seperti dihipnotis. Untung saja tenaga dalamnya
cukup kuat, pengetahuannya juga luas sekali. Begitu merasa curiga, dia langsung
menenangkan pikirannya. Mulutnya juga mengeluarkan bentakan yang keras dan dengan
posisi tangan menahan di depan dada, sepasang telapak tangannya mengirimkan
serangan ke depan!
Empat buah tangan dan sebuah kaki yang mengirimkan serangan segera menimbulkan
suara angin yang menderu-deru. Serangan ini mengandung tenaga yang kuat, sasarannya
bagian dada, pinggang dan perut Kiau Hun.
Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin.
“Cepat juga kalian tersadar.” sindirnya. Meskipun kata-kata itu diucapkan dengan datar,
namun terdengar di telinga justru tajam menusuk.
Tampak pakaiannya yang merah berkibar-kibar. Semua serangan yang ditujukan
kepadanya ternyata mengenai tempat yang kosong. Debu-debu beterbangan, rumputrumput
di sekitar mereka melambai-lambai. Tahu-tahu orangnya sudah mencelat ke
samping sejauh lima langkah.
Goan Siong Fei jadi termangu-mangu. Sesaat kemudian tubuhnya mencelat ke udara,
telapak tangannya yang kanan menghantam dan jari tangan kirinya mengirimkan totokan.
Dalam waktu yang singkat dia melancarkan serangan sebanyak dua belas jurus.
Sedangkan si kakek bungkuk mengimbangi serangannya dengan melancarkan tiga buah
pukulan. Kedua orang itu dari musuh malah menjadi kawan. Mereka bergabung
menghadapi seorang lawan. Tampak telapak tangan membentuk bayangan dalam jumlah
yang tidak terkirakan, angin yang terpancar dari serangan mereka tajam sekali. Setiap
jurus yang dikerahkan mengandung kedahsyatan yang tidak terkirakan. Sasarannya selalu
bagian tubuh yang membahayakan. Mereka maklum kemunculan Kiau Hun di tengah
arena tentunya mengandung niat ikut merebut kedudukan Bulim Bengcu, tetapi tidak
seharusnya dia menggunakan ilmu sesat begitu terjun ke tengah arena. Dia menghipnotis
kedua lawannya agar terpengaruh pada apa yang dikatakannya. Oleh karena itu, hawa
amarah Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk jadi meluap dan dari musuh keduanya
malah bersatu menghadapi Kiau Hun.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tampak Kiau Hun tersenyum simpul, bibirnya kembali bergerak-gerak mengucapkan
kata-kata yang bernada merdu.
“Kalian boleh menyerang sesuka hati. Kalau dalam sepuluh jurus aku tidak dapat
mengalahkan kalian sampai merasa takhluk, otomatis aku akan mengundurkan diri!”
Seandainya ucapan ini dicetuskan oleh orang lain, tentu tidak ada orang yang
menganggap sebagai kata-kata yang pongah. Tetapi karena yang mengucapkannya justru
seorang gadis yang demikian muda, orang-orang gagah yang mendengarnya tidak ada
satupun yang tidak mengerutkan alisnya dan berubah wajahnya.
“Perkataan nona tidak perlu demikian congkak. Aku si orangtua sudah lama
berkecimpung di dunia Kangouw, tetapi belum pernah bertemu dengan seorang gadis
yang begitu sombong dan menganggap dirinya hebat sekali seperti engkau ini!”
Wajah Kiau Hun langsung berubah mende ngar perkataannya. Tampangnya dingin dan
datar.
“Karena ucapan yang kau keluarkan ini, aku malah akan mengutungkan sebelah
telingamu sebagai hukuman!”
Tangan kirinya menekuk sedikit. Entah bagaimana caranya dia melakukan gerakan,
tahu-tahu sebilah pedang pendek yang berkilauan telah tergenggam dalam telapak
tangannya. Walaupun pedang itu sangat pendek, tetapi cahayanya justru terang sekali.
Saat itu juga, orang-orang gagah merasa ada serang-kum hawa dingin yang menyebar
dari tengah arena.
Goan Siong Fei memalingkan kepalanya menatap ke arah si kakek bungkuk. Mulutnya
mengembangkan tawa yang getir. Kedua orang itu sudah lama berkecimpung di dunia
Kangouw, bukan saja pengetahuan mereka luas sekali, pengalamanpun banyak tidak
terkirakan. Sekali lihat saja, mereka segera mengetahui bahwa pedang pendek di tangan
Kiau Hun tajam sekali dan pasti dapat memotong besi dalam sekali tebasan. Oleh karena
itu, mereka segera meningkatkan kewaspadaan dan berhati-hati menghadapi lawannya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan dari mulut si kakek bungkuk. Tubuhn3ra berputar
satu kali kemudian melesat ke depan. Tangan kanannya mengirimkan sebuah pukulan,
suara angin yang ditimbulkannya berdesir-desir. Sementara itu telapak kirinya
mengerahkan jurus Sungai Membeku Menjadi Es. Serangannya membawa suara siulan
angin yang mendesing, dengan sengit ditujukannya ke dada Kiau Hun.
Melihat hal itu Yibun Siu San menggeleng-geleng kepalanya sambil menarik nafas
panjang. Dia menggumam seorang diri.
“Meskipun serangannya keji dan dahsyat, tetapi menghadapi senjata lawan yang tajam
dan langka itu, belum apa-apa dia sudah kalah satu tingkat.”
Ternyata apa yang diduganya sama sekali tidak salah. Walaupun Kiau Hun merasa rada
terkejut melihat dia masih sanggup melancarkan serangan yang begitu hebat meskipun
sudah bertarung dengan si kakek bungkuk, cukup lama, tetapi dia tidak bergerak atau
mencelat mundur sama sekali. Hanya perge-langan tangannya saja yang memutar, ujung
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pedang yang memancarkan hawa dingin meluncur ke depan sehingga si kakek bungkuk
terdesak mundur dan tidak berani menyambut dengan kekerasan.
Tan Ki mulai tidak sabar melihat keadaan itu, dia menoleh kepada Yibun Siu San.
“Siok-siok, cara bertarung seperti ini sama sekali tidak adil.”
Sekali lagi Yibun Siu San menarik nafas panjang.
“Dengan tangan kosong kedua orang itu menghadapi lawan yang menggunakan
senjata pusaka, tentu saja tidak adil. Tetapi dengan dua melawan satu orang, apabila
mengerahkan segenap kemampuannya, boleh dibilang seimbang juga.”
“Namun, kita tidak boleh membiarkan dia mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu!”
“Mengenai hal ini aku tahu, pihak Lam Hay dan Si Yu akan menyerang kita sore ini
juga. Bukan saja kita harus secepatnya memilih seorang Bulim Bengcu agar dapat
merundingkan masalah ini dan mengatur persatuan menghadapi musuh, kita juga harus
membuat peraturan baru supaya posisi kita lebih kuat. Tetapi, kecuali engkau seorang,
pamanmu ini benar-benar tidak tahu siapa lagi yang cocok menduduki jabatan tersebut.
Justru tergantung dari dirimu sendiri berhasil atau tidaknya.”
Tan Ki mendongakkan wajahnya dan menghembuskan nafas panjang.
“Keponakan akan berusaha sekuat tenaga, kalah atau menang terpaksa melihat nasib!”
Tiba-tiba terdengar Lok Hong menukas pembicaraan mereka, “Kau mendapatkan ilmu
silatmu dengan mencuri dari dalam goa leluhur lohu. Apabila kau sampai gagal merebut
jabatan Bulim Bengcu, lohu akan mempereteli tulang belulang di dalam tubuhmu dan
meminta kembali ilmu silat yang kau miliki!”
Justru pada saat mereka berbincang-bincang, ternyata keadaan di tengah arena telah
terjadi perubahan yang besar. Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk sudah bertarung
cukup lama, hawa murni dalam tubuh mereka sudah terkuras banyak. Di lain pihak,
sebilah pedang pusaka di tangan Kiau Hun bagai naga sakti yang mengamuk, hal ini
menambah kekuatannya. Di mana ujung pedangnya yang memancarkan hawa dingin
menyerang, kedua orang itu tidak berani langsung menyambutnya. Apabila bukan
mencelat mundur, mereka pasti menghindarkan diri ke samping. Dengan demikian mereka
menjadi sulit mendekati tubuh Kiau Hun.
Empat jurus telah berlalu. Bukan hanya orang-orang gagah yang menjadi penonton
yang merasakan bahwa senjata di tangan Kiau Hun sangat tajam dan kedudukannya
menjadi kuat, bahkan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk juga sudah merasa bahwa
mereka tidak mempunyai harapan untuk menang. Walaupun mereka bersatu menghadapi
lawan dan tenaga dalam yang ada lebih hebat satu kali lipat lagi dari sekarang, tetap saja
sulit menghadapi kedahsyatan pedang pendek tersebut.
Hati mereka sudah merasa was-was. Menilik dari keadaan mereka sekarang ini,
kemungkinan tidak sampai sepuluh jurus mereka akan berhasil dikalahkan oleh si gadis
berpakaian merah itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
BAGIAN XLVIII
Sementara itu, tampak Kiau Hun menyapu ke depan dengan pedang pendeknya,
cahaya hijau berpijar-pijar. Secarik sinar memanjang sampai satu depan, persis seperti
pelangi yang menggantung di langit, gerakannya dengan cepat meluncur ke arah si kakek
bungkuk.
Si kakek bungkuk memang tidak berani menghadapi senjata lawan secara berhadapan,
tubuhnya berputar setengah lingkaran kemudian melesat mundur ke belakang dua
langkah. Tampaknya Kiau Hun sejak semula sudah menduga bahwa dia akan melakukan
gerakan ini. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara bentakan yang nyaring, gerakan
pedang di tangannya tahu-tahu berubah arah dan meluncur ke urat nadi di dada Goan
Siong Fei.
Dalam satu jurus, sekaligus dia melancarkari serangan kepada kedua orang itu.
Perubahan gerakannya begitu cepat dan serangannya keji bukan main. Orang-orang
gagah yang berkumpul di sana melihatnya sampai mata mereka membelalak dan mulut
melongo. Hatipun terasa bergidik.
Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk adalah tokoh-tokoh yang sudah mempunyai nama
di dunia Kangouw. Sekarang mereka melihat kenyatan bahwa biarpun bergabung, tetap
saja mereka tak sanggup menghadapi seorang gadis muda. Rasanya pamor mereka jatuh
dan tidak ada muka menghadapi orang lain. Rasa malu dan marah membaur menjadi satu
dalam dada. Tanpa sadar mereka berdua saling melirik sekilas, tiba-tiba muncul keinginan
untuk mengadu jiwa dengan gadis ini. Mula-mula Goan Siong Fei membentak dengan
suara keras, tubuhnya berkelebat dan melesat ke depan. Tangan kanannya membentuk
cakar, dengan keji dia melancarkan cengkeraman ke dada Kiau Hun, sedangkan telapak
tangan kirinya membawa serangkum angin yang kencang. Dengan jurus Mencari Jarum di
Dasar Lautan, dia menghantam ke arah pusar gadis tersebut.
Wajah Kiau Hun menjadi merah padam melihat serangannya yang keji.
“Ke mana tujuan seranganmu? Kurang ajar!” pedang pendek di tangannya langsung
digetarkan, segera terlihat cahaya kilat yang dingin dengan ukuran besar sekali. Begitu
terangnya sehingga menyilaukan mata, serangannya yang dahsyat membentuk perisai
yang berkilauan dan menghantam ke arah wajah Goan Siong Fei.
Sepasang mata Goan Siong Fei yang tajam sekali ternyata sulit menentukan ke bagian
mana serangan itu ditujukan. Tadinya dia sudah bertekad untuk gugur secara perkasa
sehingga serangan yang dilancarkannya tidak main-main, kalau bisa kedua belah pihak
sama-sama terluka. Dengan demikian meskipun kalah, pamornya tidak sampai jatuh.
Tahu-tahu Kiau Hun memaki dirinya dengan wajah merah padam dan mungkin
kemarahan gadis itu jadi meluap dan menyerangnya dengan jurus yang tidak kepalang
tanggung kejinya. Dia sendiri bagai tersentak sadar bahwa kedua serangannya tadi bisa
dianggap kotor dalam, pandangan orang lain. Begitu pikirannya tergerak, cepat-cepat dia
menjungkirbalikkan tubuhnya. Dengan jurus Ikan Lele Melompat-lompat, dia langsung
mencelat mundur sejauh delapan sembilan langkah.
Baru saja kakinya mendarat di atas tanah, dia segera mengalihkan pandangan
matanya. Tampak sinar kehijauan melesat secepat kilat dan menimbulkan hawa dingin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang terasa menyusup ke dalam tulang. Kemudian ketika pedang itu ditarik kembali,
terlihatlah hujan darah yang memercik ke mana-mana, disusul segera dengan suara
jeritan ngeri si kakek bungkuk. Orangtua itu mencelat mundur sambil menutupi wajahnya
dengan kedua tangan. Darah segar masih merembes dari tangan kirinya dan jatuh
menetes ke atas tanah.
Kiau Hun memperdengarkan suara tawa yang dingin sekali. Pedangnya menuding ke
arah si kakek bungkuk.
“Aku memotong sebelah telingamu sebagai peringatan! Lihat apakah lain kali kau masih
berani sembarangan mengoceh dan bersikap kurang sopan terhadap diriku!”
Mendengar nada kata-katanya yang ketus dan sombong, orangtua bungkuk itu
terpaksa menahan sakit dan kesal dalam hatinya. Seluruh tubuhnya sampai tergetar hebat
dan untuk beberapa lama dia malah berdiri dengan wajah termangu-mangu. Sesaat
kemudian tampak dia menghentakkan kakinya di atas tanah dan berkata dengan nada
penuh kebencian.
“Lohu hari ini kalah di bawah pedang nona, aku hanya dapat menyalahkan kepandaian
sendiri yang tidak bisa menandingi ilmu yang dimiliki orang lain. Mulai sekarang di dunia
Kangouw tidak ada lagi manusia seperti aku ini. Sisa hidupku biar dilewatkan di tempat
terpencil dan hanya ditemani batu-batu serta rerumputan!” sembari berkata, tubuhnya
melesat, tahu-tahu dia bukan maju ke depan malah mencelat ke belakang sejauh satu
depa lebih. Setelah itu baru dia membalikkan tubuhnya, terdengar suara raungan yang
pilu seiring dengan bayangan punggungnya yang semakin menjauh.
Sekali turun tangan saja Kiau Hun berhasil menggetarkan Goan Siong Fei dan melukai
si kakek bungkuk sehingga mengundurkan diri dari arena pertandingan tersebut. Orangorang
gagah yang berkumpul di tempat itu sampai saling pandang dan suasana hening
mencekam. Tidak terdengar suara sedikitpun. Kedua tokoh yang menghadapi Kiau Hun
tadi merupakan pendekar pedang tingkat delapan yang sudah mempunyai nama besar di
dunia Kangouw. mereka juga merupakan pesertapeserta yang mempunyai harapan besar
untuk meraih kedudukan Bulim Bengcu. Ternyata dalam beberapa jurus saja, satu dapat
dikalahkan dan yang lainnya terluka. Kejadian ini menimbulkan perasaan kagum juga di
hati orang-orang gagah akan ketinggian ilmu silat yang dimiliki Kiau Hun. Kenyataan ini
merupakan hal yang belum pernah mereka dengar apalagi saksikan dengan mata kepala
sendiri.
Sinar mata Kiau Hun perlahan-lahan mengedar ke arah orang-orang gagah yang
berkumpul di tempat tersebut. Melihat pandangan mata mereka menyiratkan perasaan
kagum, tanpa dapat ditahan lagi bibirnya mengembangkan senyuman manis. Sikapnya
sengaja dibuat sekenes mungkin dan berkali-kali dia merapikan rambutnya yang terurai
karena tiupan angin.
“Siapa lagi yang berniat terjun ke arena memberi pelajaran kepada Siauli?”
Suaranya sudah berhenti agak lama, tetapi tetap tidak ada seorangpun yang
memberikan reaksi. Suasana di sekitar hanya diliputi kesunyian yang mencekam. Seakan
di tempat yang begitu luas tidak terdapat seorang ma-nusiapun.
Angin berhembus semilir, tiba-tiba terdengar suara tambur ditalu satu kali. Nadanya
begitu keras sehingga memecahkan keheningan yang mendirikan bulu roma itu!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ini merupakan peraturan yang telah ditetapkan dalam penyelenggaraan pertemuan kali
ini. Apabila tambur berbunyi sampai tiga kali, tetap tidak ada orang yang turun ke tengah
arena menantang gadis itu, maka kedudukan Bulim Bengcu kali ini jatuh ke tangan Kiau
Hun. Hal ini tidak bisa diganggu gugat lagi.
Ceng Lam Hong menyenggol tangan anaknya dan berkata dengan suara lirih, “Anak Ki,
suara tambur sudah terdengar, mengapa kau masih diam di sini dan tidak turun ke tengah
arena?”
“Ibu…” hatinya bagai diliputi kebimbangan yang dalam, namun dia tidak tahu
bagaimana harus mengutarakannya di hadapan ibunya itu. Setelah memanggil satu kali,
tiba-tiba dia menggelengkan kepalanya dan tidak jadi meneruskan ucapannya.
Ceng Lam Hong bertambah panik melihat sikapnya itu.
“Kau anak ini memang keterlaluan! Entah apa yang dipikirkan dalam hatimu, aku
sungguh tidak mengerti. Kau harus tahu bahwa dendam kematian ayahmu masih belum
terbalas. Hanya dengan mendapatkan kedudukan Bulim Bengcu kau baru dapat
membasmi si raja iblis Oey Kang!”
Tan Ki tetap menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Pernahkah ibu mendengar orang menyebut nama Cian Bin Mo-ong?” tanyanya dengan
suara rendah.
“Pernah Yibun Sam-siokmu menceritakannya sedikit. Dalam keadaan gawat seperti
sekarang ini, kau malah bertanya yang bukan-bukan!”
“Aku khawatir dia ada di antara kerumunan orang banyak dan mungkin akan ikut dalam
perebutan Bulim Bengcu.”
Sepasang alis Ceng Lam Hong langsung menjungkit ke atas mendengar kata-katanya.
“Apakah kau mengenal orang itu?”
Tan Ki hanya tertawa pahit, dia sengaja tidak menyahut pertanyaan ibunya. Telinganya
kembali menangkap suara Kiau Hun.
“Pertemuan seperti ini langka sekali, apakah saudara-saudara sekalian benar-benar
kehilangan rasa percaya diri untuk menghadapi seorang gadis muda seperti aku?”
Ucapannya selesai, tetap tidak ada orang yang menyahut sepatah katapun. Tong!
Sekali lagi suara tambur berbunyi, kumandangnya sampai lama sekali menyusup di
telinga orang-orang gagah yang hadir di tempat tersebut.
Waktu perlahan-lahan merayap, sinar mata orang-orang gagah menyorotkan keraguan
hati mereka, tangan mereka sampai berkeringat dingin. Mereka memperhatikan tengah
arena dengan menahan nafas. Setiap detik yang berlalu lebih mencekam daripada
sebelumnya ketika Kiau Hun bertarung dengan Goan Siong Fei dan si kakek bungkuk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebab tiga menit lagi, seandainya tidak ada orang yang terjun ke tengah arena, maka di
dunia Bulim untuk pertama kalinya muncul seorang Bulim perempuan.
Perasaan hati Tan Ki galau sekali, tangan kirinya menggenggam Pedang Penghancur
Pelangi pemberian Mei Hun. Tampaknya dia ragu-ragu mengambil keputusan. Yibun Siu
San, Cian Cong dan Lok Hong menatap ke arahnya dengan perasaan khawatir. Hal ini m
alah membuat hati Tan Ki semakin bimbang.
Beberapa ratus pasang mata memperhatikan diri Kiau Hun. Dalam hati orang-orang
gagah merasa saat sekarang ini suasana terasa tegang bukan main. Laki-laki yang
memukul tambur mendongakkan kepalanya menatap langit. Perlahan-lahan tangannya
terangkat ke atas dan dipukulnya tambur di hadapannya!
Tong! Suara tambur kembali terdengar untuk ketiga kalinya. Nadanya begitu keras
sehingga hati orang yang mendengarnya menjadi tergetar. Lambat laun secercah
senyuman lebar menghias di wajah Kiau Hun. Wajahnya tampak berseri-seri.
Justru di saat tambur baru dipukul, tiba-tiba tubuh Tan Ki berkelebat. Dia melesat ke
depan secepat kilat. Saat ini ilmu silat anak muda itu sudah tergolong jago kelas satu.
Pikirannya baru tergerak dan dia langsung mengambil keputusan, tubuhnya segera
melesat ke depan dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Kiau Hun.
Boleh dibilang dalam waktu yang bersamaan, dari luar arena terdengar suara siulan
panjang. Nadanya melengking dan berkumandang ke dalam gendang telinga. Tahu-tahu
pandangan mata menjadi samar, suara angin berdesiran, sesosok bayangan bagai bintang
jatuh melayang turun dengan kecepatan kilat.
Tan Ki menjadi tertegun, cepat-cepat dia mengalihkan pandangan-matanya. Orang
yang baru muncul sama sekali tidak asing baginya. Dialah Liang Fu Yong yang mendapat
warisan ilmu dalam satu malam oleh Tian Bu Cu, si tokoh sakti dari Bu Tong San. Tampak
wajahnya bersinar terang, matanya menyorot tajam. Dibandingkan dengan sebelumnya
bagai dua orang yang berlainan. Tan Ki tahu dia mendapat ilmu sakti dari Tian Bu Cu
dalam semalaman saja. Sudah pasti tenaga dalamnya berlipat ganda dibandingkan dengan
sebelumnya. Cepat-cepat dia menenangkan perasaan hatinya dan mengembangkan seulas
senyuman manis.
Kiau Hun tertawa dingin menatap kedua orang itu.
“Untuk apa kalian naik ke atas panggung pertandingan ini?”
Liang Fu Yong mengulurkan tangannya ke belakang punggung dan mencabut sebatang
pedang berwarna hijau. Dia menolehkan kepalanya kepada Tan Ki.
“Adik Ki, lebih baik kau berbincang-bincang saja dengan suhuku. Babak ini biar aku
yang mencobanya terlebih dahulu.”
Tan Ki memalingkan kepalanya, dia melihat tampak Tian Bu Cu pucat pasi. Tampaknya
orangtua itu telah menguras pikiran dan tenaga untuk mewariskan ilmu kepada Liang Fu
Yong. Wajahnya seperti orang yang baru sembuh dari sakit parah. Langkah kakinya
lambat dan saat itu sedang menuju ke tempat duduk yang ada di dekat Yibun Siu San. Si
pengemis cilik Cu Cia, Sam Po Hwesio dan dua orang gadis bercadar hitam berdiri di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
belakang para Cianpwe ini. Tan Ki segera menggelengkan kepalanya dan tersenyum
simpul.
“Dalam waktu satu malam Tian Bu Cu Lo-cianpwe mewariskan ilmu sakti kepadamu.
Tentunya hawa murni dalam tubuhnya banyak terkuras. Aku tidak ingin mengganggu
ketenangan beliau. Apabila kau tetap ingin bertanding dalam babak ini, biar aku berdiri di
samping sebagai penonton saja.” perlahan-lahan dia melangkah mundur empat tindak dan
berdiri dengan tangan memeluk pedang pemberian Mei Hun.
Kiau Hun tertawa dingin mendengar percakapan mereka.
“Tambur sudah berbunyi sebanyak tiga kali. Kedudukan Bulim Bengcu sudah menjadi
hak diriku, apalagi yang ingin kalian perebut kan?”
Liang Fu Yong mengejap-ngejapkan sepasang matanya yang lebar. Bibirnya tersenyum
simpul.
“Aku hanya merasa kurang puas. Lagipula nona menggunakan sebatang pedang pusaka
untuk menghadapi kedua orang tadi. Andaikata menang juga tidak ada yang perlu
dibanggakan.”
Sepasang alis Kiau Hun langsung menjungkit ke atas. Hal ini menandakan hawa amarah
dalam dadanya sudah terbangkit saat itu juga.
“Kau sengaja ingin mencari gara-gara? Lagipula, apakah kau lupa bahwa dalam
perebutan kedudukan Bulim Bengcu kali ini, lima partai besar tidak boleh ikut serta.
Sedangkan kau merupakan murid Tian Bu Cu dari Bu Tong Pai yang termasuk anggota
lima partai besar. Dengan demikian kau tidak mempunyai peluang untuk…”
Liang Fu Yong tetap tersenyum lembut.
“Sayangnya aku merupakan murid tidak resmi dari orangtua itu, jadi bukan anggota
dari kelima partai besar. Dalam hal ini kau tidak mempunyai alasan untuk melarang aku
mengikuti pertandingan ini. Kalau kau masih tidak mau turun tangan juga, jangan
salahkan kalau aku memaksa dengan kekerasan!”
Begitu ucapannya selesai, pergelangan tangannya langsung memutar. Dengan jurus
Gadis Menghias Wajah, dia melancarkan sebuah serangan.
Kiau Hun marah sekali melihat tingkah lakunya yang seakan memaksa itu.
“Budak hina berani sesumbar! Aku justru tidak percaya dalam semalaman saja Tian Bu
Cu bisa mengajarkan ilmu sakti kepadamu!” pedang pendeknya bergerak, tampak cahaya
hijau berkilauan. Tenaga dalam yang terpancar kuat bukan main. Dia melancarkan
serangan sambil menangkis, terdengar suara benturan logam yang berdenting tiada hentihentinya.
Percikan api karena gesekan kedua senjata berpijaran di udara. Masing-masing
tergetar mundur sebanyak satu langkah.
“Ilmu pedang yang bagus!” teriak Liang Fu Yong. Tubuhnya menggeser sedikit,
kemudian dengan berani dia menerobos ke dalam sinar pedang Kiau Hun. Pedangnya
sendiri menimbulkan bayangan bunga-bunga yang tidak terhitung jumlahnya. Dia
menebas dari atas ke bawah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kiau Hun melihat serangan perempuan itu demikian gencar, dia sendiri tidak berani
menganggap remeh. Cepat-cepat dia mengempos tenaga dalamnya dan sekonyongkonyong
mencelat mundur ke belakang sejauh tiga langkah. Liang Fu Yong terus
mendesak ke depan, pedangnya menyabet ke sana ke mari, dalam waktu yang singkat
secara berturut-turut dia melancarkan tiga serangan.

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cerita Romantis Kuno : Dendam Iblis Seribu Wajah 6 ini diposting oleh ali afif pada hari Jumat, 21 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments