Cersil Ngentot Dudu Raisa Maning: Cerita Ching Ching 3 |
- Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2
- Cerita Dewasa Bukan Raisa Tapi Ching Ching 1
- Cersil Terbaik Lembah Merpati 3 Tamat
- Cerita Silat Cersil Lembah Merpati 2
- Cerita Silat Cersil Lembah Merpati 1
“Lewat air terjun itu? Kau mau membunuhku?”
“Bodoh! Aku masuk kemari bukannya lewat air terjun. Ada jalan lain.”
“Kausangka aku percaya? Kalau benar begitu, kenapa kau tak keluar dari
dulu-dulu?”
“Aku sengaja kemari hendak berlatih ilmu dan menjauhi dunia luar. Terutama
makhluk semacam kau! Sudah, aku tak hendak berdebat. Kau mau keluar tidak?”
“Apa Siauw Kui mau pergi?”
“Dia tak boleh dibawa!”
“Lantas, aku keluar buat apa?”
“Buat mencari ayahmu itu. Katamu, kau mau mencari dia. Dari dulu kau mengomel
lantaran tak dapat melakukan. Maka sekarang aku beri jalan.”
“Terlambat sudah setahun, ayahku menunggu beberapa bulan lagi tak apa-apalah.
Kalau Siauw Kui tak boleh pergi, aku juga tak dapat keluar.”
“Kau mesti pergi! Kalau kau tetap di sini, biar sampai akhir hayatnya, muridku
itu tak akan dapat belajar dengan benar! Kau tak sayang sama bakatnya?”
Boe-beng-lo-jin membentak-bentak. Entah kenapa, menghadapi Ching-ching ia tak
daoat sabar. “Aku berjanji, kalau ia sudah damat mewarisi kepandaianku, ia akan
kubolehkan pergi mencarimu, kalau dia masih mau.”
“Dia pasti mau. Baiklah, aku biar bersiap. Nanti kau boleh tunjukkan jalannya
kepadaku.”
“Aku mau kau bersumpah dulu. Kau tak boleh beri tahukan kepada Siauw Kui
mengenai kepergianmu. Tak boleh pula mencari dia kemari setelah kau keluar
nanti.”
“Baik, aku bersumpah.”
“Kalau melanggar, kau akan mati tanpa kuburan dan dagingmu habis dimakan
binatang dan kau tak dapat reinkarnasi lagi.”
“Wah, kau sungguh kejam.”
“Mau keluar tidak?”
“Ya, ya, aku bersumpah.”
“Bagus, hayo kutunjukkan jalannya.”
“Eh, nanti dulu. Tiga hari ini aku mau bersama-sama Siauw Kui dulu sebelum
pergi. Kau tak boleh banyak ganggu kami.”
“Semaumulah.
Selama tiga hari berikutnya Boe-beng-lo-jin jarang-jarang bertemu dengan Siauw
Kui. Pemuda itu sampai heran sendiri.
“Kadang-kadang mereka bosan mengajar. Dulu guruku juga sering begitu. Kau jangan
banyak pikirkan,” Ching-ching menenangkan. Siauw Kui percaya saja, meski tak
urung ia merasa heran bahwa Ching-ching tidak memaki-maki gurunya seperti biasa.
Belum lagi tingkah gadis itu berubah sekali kepadanya.
Ching-ching juga bersiap. Ia memikirkan nanti seandanya Siauw Kui keluar. Ia
mulai menghitung apa saja yang dia miliki. Siauw Kui nanti butuh uang kalau mau
mencarinya. Ching-ching menyimpan semua yang dia punya dalam satu kantong.
Ching Ching 202
Kantong uang yang dibuatnya sendiri dengan merobek sedikit bajnya yang dijahit
dengan benang dari bajunya, juga dengan jarum tulang ikan yang tipis.
“Siauw Kui, hari ini kita menangkap ikan banyak sekali. Pasti tak akan sanggup
menghabiskan semua. Kau panggillah gurumu makan bersama kita, tapi jangan bilang
aku yagn suruh.”
“Wah, kau salah makan apa jadi baik sekali. Baiklah kupanggil dia.”
Malam terakhir itu Boe-beng-lo-jin tak banyak bercakap. Ching-ching juga diam
saja. Siauw Kui emnyangka keduanya masih marahan satu dengan yang lain. Ia
berusaha mencairkan kebekuan, tapi tak berhasil. Ching-ching dan Boe-beng-lo-jin
tetap tidak menanggapi.
“Aku sudah kenyang,” kata Boe-beng-lo-jin kemudian. “Mau tidur dulu. Siauw Kui,
mulai besok kau mesti berlatih keras. Hari ini tidur pagian.”
“Baik, Soe-hoe,” sahut Siauw Kui.
“Siauw Kui, aku juga sudah mengantuk.”
“Aku antar kau ke goamu.”
“Tak usah. Kau pergilah ke tempatmu saja. Jangan lupa kau harus banyak berlatih
besok-besok.”
“Baik, Nyonya besar. Aku tak akan kecewakan kau.” Siauw Kui lekas menghilang ke
goa biliknya sendiri yang tak jauh dari tempatnya Ching-ching.
Tengah malam sudah tiba. Menurut perkiraannya, Siauw Kui mestilah sudah tidur.
Pelan-pelan Ching-ching menuju satu goa tempat Boe-beng-lo-jin sudah menunggu.
Lak-laki tua itu tanpa berkata apa-apa, begitu melihat Ching-ching, segera
memberi tanda supaya mengikut. Tanpa banyak omong juga Ching-ching menuruti di
belakang. Mereka melewati beberapa goa yang besar, yang kecil, yang tinggi, yang
sempit, yang rendah. Setelah banyak putar-putar, akhirnya sampai juga di satu
goa yang amat tinggi atapnya.
“Di sinilah,” kata Boe-beng-lo-jin. “Selamat berpisah. Aku harap tak ketemu kau
lagi.”
“Eh, nanti dulu. Di mana jalan keluar itu?”
“Sana!” Boe-beng-lo-jin menunjuk dinding gua sebelah atas. Ching-ching menoleh
arah telunjuknya. Barulah kelihatan sebuah lubang besar hitam di sana.
“Gelap betul,” Ching-ching menyangsikan.
“Dari situ kau mesti merangkak jauh ke atas. Kalau kau cukup tenaga, besok pagi
kau sampailah di luar.”
“Kau jagalah Siauw Kui baik-baik. Ini sedikit simpananku. Nanti tempo dia hendak
keluar mencari aku. Berikan ini kepadanya sebagai bekalan.”
“Baik. Kau pergilah. Aku akan kembali kepada Siauw Kui.”
Tanpa kata perpisahan yang lain, Ching-ching melompat tinggi mencapai lubang
hitam yang ditunjuk Boe-beng-lo jin. Meski sedikit sangsi, ia mulai merangkak
masuk ke dalamnya tanpa menoleh lagi.
Di sebelah bawah, Boe-beng-lo-jin mengawasi dengan perasaan lega. Kini ia dapat
mengajar Siauw Kui dengan tidak banyak diganggu si iblis betina kecil itu lagi.
Miaw Chun Kian dan adik-adiknya mengikuti petunjuk Ching-ching. Tiga puluh
langkah, kemudian belok kanan. Mereka menemukan Li Hoa terbaring di samping
sebuah bungkusan. Chun Kian membopong tubuh sumoy-nya yang lemas tak bertenaga.
Wu Fei mengambil bungkusan di samping gadis itu.
“Sekarang bagaimana?’ tanya Wu Fei.
“Kita mesti segera pergi dari sini.”
“Tapi Ching-ching ….”
Keempat pendekar muda itu menoleh ke arah gadis yang sedang bertempur. Mereka
Ching Ching 203
melihat Ching-ching yang mudah saja mempermainkan Oei-hong-kiam-eng (Pendekar
Pedang Tawon Kuning).
“Ia bisa jaga diri,” kata Yuk Lau. “Sekarang kita harus bawa Su-ci kabur dulu.”
Keempatnya segera pergi dari sana. Sembilan-sepuluh orang mencoba menghali, tapi
itu cuma masalah kecil. Bisa dibilang, mereka keluar dengan mudah, tidak seperti
waktu masuknya.
Mereka sudah berjalan cukup jauh dari Pek-hoa-kok, bahkan sudah melewati desa di
luar lembah itu, ketika Wu Fei tahu-tahu menggumam. “Tak bisa, tak bisa begini.
Mestinya tidak begini.” Pemuda itu lari dan kembali ke Peh-hoa-kok!”
“Ngo-tee, mau ke mana?” Yuk Lau mengejar.
“Mau balik lagi. Ching-ching tak boleh dibiarkan bertempur sendiri,” sahutnya
tanpa memperlambat larinya.
Yuk Lau bengong, berhenti mengejar. Ia kembali ke tempat Miaw Chun Kian dan
sumoy-nya menunggu.
“Mau apa Ngo-su-tee?” tanya Chun Kian.
“Mau balik lagi. Katanya, Ching-ching tak boleh dibiarkan sendiri.”
Chun Kian membaringkan Li Hoa di tanah. “Ngo-su-te benar. Kita tak boleh
memikirkan diri sendiri dan mengorbankan orang yang sudah menolongi kita.
Sie-moy, tolong kau jaga suci-mu. Tunggu sampai kami kembali.”
“Toa-heng, mana bisa begitu? Suci perlu ditolong segera. Kita tak boleh buang
waktu pulang ke Pek-san, minta bantuan Kong-kong.”
“Tapi ….” Miaw Chun Kian bingung. Ia tak mau Li Hoa terlambat ditolong, tapi ia
juga tak suka kalau Ching-ching celaka.
“Begini saja,” kata Yuk Lau memberi usul. “Kau dan Sie-su-moy membawa pulang
Jie-su-ci. Aku dan Ngo-su-te biar menyusul kemudian bersama Ching-ching.”
“Aku saja yang ….”
“Toa-su-heng, di antara kita berlima, ginkangmu paling bagus dan tenagamu paling
besar. Kau tak mudah capek dan dapat membawa Jie-su-ci dengan cepat. Ayolah, kau
jangan terlalu menguatiri kami.”
“Sam-su-heng benar,” kata Sioe Ing. “Kita tak boleh membuang waktu.”
Yuk Lau mengangguk setuju. Tanpa mendengar ucapan Chun Kian yang terakhir, ia
berlari kembali ke Pek-hoa-kok.
“Ba-nan-siaw-mo-li (Iblis Cantik Selaksa Racun),” bentak Oei-hong-kiam-eng,
“kenapa kau diam? Gentar melihat pedangku? Ayo, cabut senjatamu!”
Ching-ching cepat menguasai diri. Ia hahahihi dulu sebelum menyahuti.
“Oei-hong-kiam-eng, mana bisa aku takut pada besi rongsokan di tanganmu itu?
Soal senjata, huh, aku tak mau mengotori senjataku dengan darahmu yang amis.
Biar kupinjam saja senjata bawahanmu.” Ching-ching melompat melewati kepala
Oei-hong-kiam-eng, merebut senjata dua orang gadis. Dengan sepasang pedang di
tangannya, gadis itu kembali ke tempatnya semula. “Hmm, sepasang besi tua ini
pun lumayan.” Ching-ching menyabet-nyabetkan pedangnya, membuat suara
berkesiuran. “Nah, aku siap sekarang.”
“Ba-nan-siaw-mo-li, pedangku tidak bermata. Jangan salahkan aku kalau nanti kaut
erluka.”
“Benar juga. Pedang bawahanmu in pun tidak bermata,” kata Ching-ching
memperhatikan senjata di tangannya. Kemudian, dicabutnya tusuk kondenya dan
dengan tusuk konde disertai tenaga dalam, ia mengukir gambar mata di kedua
pedang yang dirampasnya. “Oei-hong-kiam-eng, pedangku bermata sekarang. Tak
mungkin salah sasaran.”
“Ba-nan-siaw-mo-li, mulutmu terlalu cerewet. Biar kupotong lidahmu dengan
Ching Ching 204
pedangku supaya kau tidak banyak mengoceh lagi.” Oei-hong-kiam-eng langsung
menyerang.
Sambil tertawa, Ching-ching menghindar. Beberapa kali Oei-hong-kiam-eng
menyerang dengan pedangnya, tapi semuanya luput. Ching-ching seolah menanggapi
main-main, padahal ia memasang mata waspada. Ia sengaja tak mau menangkis.
Melihat sinar pedang mustika Oei-hong-kiam-eng, ia tahu sepasang pedang di
tangannya akan terbabat putus bila melawan. Oleh karena itu, ia hanya
berlompatan ke sana kemari menghindar.
Semakin lama Oei-hong-kiam-eng semakin marah. Ia merasa dipermainkan. Ia juga
penasaran pada gadis di depannya ini. Tak cuma menginginkan hawa murninya, tapi
kalau sampai tak bisa mengalahkan, pamornya di mata para bawahannya bisa jatuh.
Gerakannya dipercepat, tenaganya diperkuat, pedangnya bergerak cepat, membuat
lingkaran cahaya yang menyilaukan.
Ching-ching dapat melihat bahwa, semakin marah, gerak Oei-hong-kiam-eng semakin
membabi buta tapi serabutan. Jadi, ia tingga membuat marah dan Oei-hong-kiam-eng
bakal gampang dikalahkan.
“Oei-hong-kiam-eng, tadi kau marah-marah karena rambutmu rontok sedikit. Aku
ingin tahu, bagaimana kalau begini.” Ching-ching berkelebat ke belakang
Oei-hong-kiam-eng dan membabat rambutnya yang hitam.
Oei-hong-kiam-eng menjerit keras sekali, menggema di lembah itu. Pedangnya
menyambar-nyambar. “Kubunuh kau, nenek busuk. Kubunuh kau!”
Ching-ching bergidik ngeri. Ih, jelek sekali tampang Oei-hong-kiam-eng kalau
sedang mengamuk begitu.
Sayang, perkiraan Ching-ching keliru. Oei-hong-kiam-eng memang mengamuk. Tapi,
tak lama. Sebentar saja ia sudah menguasai perasaan. Gerakannya lebih teratur.
Rupanya ia mengeluarkan jurus-jurus andalan karena kini Ching-ching yang mulai
terdesak!
Pedang Oei-hong-kiam-eng nyaris merobek perut Ching-ching suatu ketika. Gadis
itu tak sempat berkelit. Ia menahan napas hingga perutnya tertarik ke belakan.
Pedang yang bersinar keemasan itu menyayat bajunya robek sedikit, tapi isi
perutnya tak sampai berantakan.
Celaka! Pikir Ching-ching. Ia salah menduga dan bisa celaka karenanya. Cepat ia
memutar otak untuk menipu Oei-hong-kiam-eng. “He, kakek peot, hati-hati! Setiap
tetes daraku mengandung hawa murni. Jangan kau buang-buang percuma.”
“Aku tak peduli!” jawab Oei-hong-kiam-eng singkat.
“Kau mulai bersungguh? Baik. Jaga serangan!”
Barulah Ching-ching menyerang sungguh-sungguh. Tapi, Oei-hong-kiam-eng tak lagi
berminat pada hawa murninya, sehingga Ching-ching harus betul-betul waspada.
Harus pakai siasat lain untuk mengalahkankakek berpengalaman ini.
“Oei-hong-kiam-eng, awas, kubabat putus kupingmu.” Ching-ching memperingatkan.
Pedangnya mengarah ke kiri-kanan kepala. Tentu saja Oei-hong-kiam-eng sudah
siaga.
“Awas perut!” peringatnya lagi. Oei-hong-kiam-eng menggerakkan tangan melindungi
perut. Ching-ching tertawa dalam hati.
“Hati-hati hidungmu!” kata Ching-ching.
Oei-hong-kiam-eng mengangkat tangan untuk melindungi muka, tapi kali ini ia
tertipu. Ching-ching memukul kedua sikunya dengan gagang pedang. Pedang
Oei-hong-kiam-eng terlempar. Gadis itu cepat merebut pedang mestika tersebut.
“Oei-hong-kiam-eng, pedangmu boleh juga,” kata gadis itu.
Oei-hong-kiam-eng membelalak marah. Ia mengeluarkan sulingnya yang disembunyikan
Ching Ching 205
di balik baju dan mulai meniup. Tiupannya semakin lama semakin keras. Nadanya
semakin tinggi, membuat Ching-ching terpaksa duduk bersila, mengerahkan tenaga
untuk menutup telinga.
Karena dendam panas di hatinya, Oei-hong-kiam-eng lupa pada orang-orangnya
sendiri. Mereka bergulingan di tanah sambil menutupi telinga. Tapi, sia-sia.
Beberapa gadis berambut putih mati dengan darah mengucur dari kuping. Yang lain
menjerit kesakitan dan pingsan. Yang dapat bertahan cuma gadis-gadis berambut
kuning, yang rupanya dilatih khusus oleh Oei-hong-kiam-eng sendiri.
Oei-hong-kiam-eng kecewa melihat Ching-ching, yang duduk bersila di tanah,
tampak baik-baik saja. Ia mengganti lagunya semakin rendah dan semakin rendah
sampai tidak kedengaran lagi.
“Oei-hong-kiam-eng, sudah capek? Kenapa suaramu hilang begitu?”
Oei-hong-kiam-eng tidak menjawab dan meniup terus. Ching-ching tak mendengar
apa-apa, kecuali suara dengung agak jauh. Tahu-tahu dari suling
Oei-hong-kiam-eng keluar sesuatu yang bergerak ke arahnya. Menyangka senjata
rahasia, Ching-ching cepat mengebaskan tangan untuk menangkis dengan tenaga
dalam. Benda itu jatuh menimpa mayat gadis yang mati dengan kuping rusak. Saat
itu, Ching-ching mencium bau wangi. Benda bergerak itu ternyata cuma setetes
madu.
Dengung terdengar semakin dekat. Ching-ching membelalak ngeri melihat sekawanan
tawon datang ke arah mereka. Ia cepat melindungi diri dengan hawa panas dari
tubuh. Tawon yang berani mencoba dekat-dekat akan runtuh sebelum menyentuh
kulitnya.
Tapi, tawon itu bukan mengarah Ching-ching. Mereka langusung menyerang mayat
gadis yang terkena tetesan madu. Belasan tawon mati setelah menyengat.
Ching-ching nyaris pingsan melihat apa yang terjadi sesudahnya. Mayat gadis yang
terkena tetesan madu itu bolong-bolong di tempat madu itu menempel!
Oei-hong-kiam-eng masih terus meniup. Tetesan-tetesan madu keluar lewat
sulingnya, langsung dikejar tawon-tawon kelaparan. Ching-ching mengebutkan
pedang, menangkis dengan takut. Ia mundur-mundur terus.
Saat itu Cia Wu Fei datang dengan bungkusan di punggungnya. “Ching-ching!”
panggilnya.
“Wu Fei Koko, lari!” seru Ching-ching.
Oei-hong-kiam-eng mengerutkan kening tanpa menghentikan tiupan mautnya. Eh?
Kedua orang ini saling mengenal rupanya. Ada hubungan apa Sioe Ing nenek cantik
dengan pemuda Pek-san-bu-koan?
Ching-ching menghampiri Wu Fei, hendak mengajak lari. Matanya tertumbuk pada
bungkusan di punggung pemuda itu. Sambil menangkisi serangan Oei-hong-kiam-eng,
ia berseru, “Wu Fei Koko, ambil botol yang tutupnya kuning. Hati-hati, jangan
sampai pecah.”
“Apa?” Wu Fei tak mengerti.
“Ambil botol bertutup kuning dari bungkusan itu! Berikan padaku! Cepat!”
Wu Fei menuruti perintah Ching-ching yang tampak sangat ketakutan itu.
Setelah menerima botol, sambil menangis, Ching-ching mendorong Wu Fei menjauh.
“Kau pergi dari sini! Cepat pergi!” bentaknya. Wu Fei yang memang sudah
ketakutan melihat tawon begitu banyak segera kabur.
Ching-ching menggenggam botol bertutup kuning erat-erat di sebelah tangan.
Tangan yang lain digunakan untuk menangkis. Ia mencoba mendekati
Oei-hong-kiam-eng. Ketika sudah cukup dekat, ia melempar botol itu ke arah Sioe
Ing peniup suling. Pada saat yang sama, setetes madu menempel ke bajunya!
Ching Ching 206
Melihat itu, Oei-hong-kiam-eng tambah bersemangat meniup, tak melihat benda yang
melayang ke kepalanya dan pecah dengan cairan wangi tumpah membasahi mukanya!
Menyadari bahaya, Oei-hong-kiam-eng menghentikan tiupannya. Tapi terlambat!
Kawanan tawon sudah telajur ganas. Mereka tak mengenali tuannya, langsung
menyerang. Tanpa pikir panjang, Oei-hong-kiam-eng membuang sulingnya dan lari
serabutan, dikejar kawanan tawon peliharaannya sendiri!
Ching-ching jatuh terduduk di tanah. Badannya terasa lemas sekali. Ia duduk
bengong beberapa saat. Tak peduli pada Oei-hong-kiam-eng yang kabur, tak peduli
pada gadis-gadis berbaju putih yang lari serabutan. Ia juga tak sadar ketika Wu
Fei dan Yuk Lau mengguncang badannya.
“Ching-ching, kau tak apa-apa?” tanya Wu Fei kuatir. Gadis itu diam saja.
“Ching-ching, kau kenapa?” Yuk Lau tak kalah cemas melihat adik angkatnya yang
biasa lincah sekarang bengong macam orang hilang ingatan.
“Sam-su-heng, bantu aku!” Wu Fei mengangkat tubuh Ching-ching. Yuk Lau
membiarkan sute-nya menggendong gadis itu menjauh. Ia mengikuti dari belakang.
Wu Fei menggendong Ching-ching mendekati kolam teratai. Cuma ada satu cara yang
ada di kepala pemuda itu untuk menyadarkan gadis ini.
Byur! Terdengar suara mencebur. Tubuh Ching-ching tenggelam. Yuk Lau dan Wu Fei
menunggu. Tak lama kemudian, sebuah kepala muncul sambil menyembur-nyembur.
“Brengsek! Siapa berani menceburkan aku ke kolam ini?”
Yuk Lau dan sute-nya tertawa lega. Ternyata Ching-ching tak apa-apa.
“Jieko,” Ching-ching melotot pada Yuk Lau. “Kau yang menceburkan aku?”
“Bukan,” Yuk Lau menggoyangkan tangannya. “Ngo-su-te yang melakukannya.”
“Wu Fei Koko, kau jahat! Jahat! Jahat!” Ching-ching menyirami murid-kelima
Pek-san-bu-koan itu. Pemuda itu tertawa, mengulurkan tangan untuk membantu gadis
itu naik. “Lihat, bajuku basah semua.” Ching-ching cemberut sesampainya di
tanah. Ia memandang berkeliling. “Pada ke mana semua?” tanyanya heran.
“Kabur setelah Oei-hong-kiam-eng lari.”
Masa berkabung sudah lewat, namun kesedihan masih terasa di Pek-san-boe-koan.
Apalagi Lie Wei Ming, pendiri perguruan tersebut, masih terlihat murung.
Yap Lie Hoa diasuh oleh Lie Wei Ming sejak kecil. Waktu itu Pek-san-boe-koan
masih belum semasyhur sekarang. Muridnya pun baru segelintir saja. Satu hari,
kala matahari belum lagi terbit, seorang muridnya menggedor pintu kamar sambil
menggendong seorang bayi perempuan. Muridnya itu menemukannya ditinggalkan di
depan kamarnya. Sebagai golongan putih, Lie Wei Ming tak bisa menolak tolongi
orang. Ia juga tak tahu siapa yang tinggalkan bayi itu. Hanya saja pada selimut
si bayi tersulam nama Yap Lie Hoa. Jadilah bayi itu dinamai demikian. Karenanya,
kehilangan Lie Hoa bagi Lie Wei Ming lebih menyerupai kehilangan putri sendiri
daripada guru kehilangan murid.
“Soe-hoe,” seseorang memanggilnya membuyarkan kenangan Lie Wei Ming pada
muridnya. Ia menoleh, ternyata Miauw Chun Kian yang menyapa.
“Oh, Chun Kian, ada apakah?”
“Soe-hoe, Tee-coe lihat sejak pulang Soe-hoe selalu murung. Apakah karena
Jie-soe-moay?”
Lie Wei Ming tersenyum. Dari semua muridnya, memang Chun Kian yang paling
pendiam dan paling disiplin. Juga penuh perhatian pada guru dan
saudara-saudaranya yang lain. Lie Wei Ming bukan tak tahu ada ‘sesuatu’ antara
Chun Kian dan Lie Hoa. Tapi, ia merasa heran juga, Miauw Chun Kian tidak pernah
tampakkan kesedihan yang berlebihan atas kematian Lie Hoa. Ia cuma lebih
pendiam, dan mukanya semakin kurus dan pucat.
Ching Ching 207
Melihat gurunya tidak menjawab, malah memperhatikan dirinya, Miauw Chun Kian
malah jadi jengah sendiri. Ia menunduk dan berkata pelan, “Tee-coe harap Soe-hoe
tidak salahkan Tee-coe atas peristiwa tempo hari.”
Lie Wei Ming terperangah. Ia memang sudah tahu semua persoalan sampai pada saat
Oey-hong-kiam-eng menyanggupi menolong dan Miauw Chun Kian menolak karena tak
mau mengorbankan jiwa orang tak berdosa. Tapi, Lie Wei Ming tak pernah pikir
perbuatan muridnya itu salah.
“Chun Kian, kau pikir apa gurumu ini?” Lie Wei Ming menegur. “Aku tak pernah
menyalahkanmu atas tindakan itu. Kau sudah bertindak benar sesuai peraturan
perguruan. Jangan kau pikir aku menyesalinya.”
“Maafkan Tee-coe,” Chun Kian segera berlutut. “Tee-coe tak bermaksud ….”
“Sudahlah. Bangun, hayo bangun. Aku tahu perasaanmu. Chun Kian, dengar. Aku
memang memikirkan Lie Hoa. Tapi, bukan berarti aku menyesali takdirnya ataupun
tindakanmu tempo hari. Ada urusan lain yang membuat aku risau. Kebetulan kau
datang. Aku mau merundingkan denganmu.”
Lie Wei Ming mengajak Chun Kian berjalan-jalan sambil bicara. “Aku sedang
memikirkan perguruan kita. Saat ini kita menghadapi masalah besar. Kau tahu,
perguruan kita terkenal dengan ilmu pedang Pek-san-ng-heng-tin. Tapi, ilmu
pedang ini benar-benar tangguh kalau lengkap lima pedang, masing-masing saling
melindungi yang lain. Serangannya pun diatur saling susul. Karena itu, kalau
kurang satu orang saja, ketangguhannya berkurang dan kekosongan itu menjadi
kelemahan yang gampang diserang, hingga barisan jadi kacau.”
“Tee-coe tahu,” Chun Kian mengangguk. “Kami pernah berlatih bersama Ching-ching,
empat lawan satu. Ia menemukan banyak kelemahan dan memberitahukan pada kami.
Memang saat itu Tee-coe rasakan juga, sangat sulit untuk membentuk barisan
baru.”
“Tunggu dulu. Ching-ching, katamu? Bukankah itu adik angkat Yuk Lau yang suka
bermain dengan A-fei?”
“Ya. Ia juga yang membantu kami menyerang Pek-hoa-kok.”
“Bukankah Ban-nan Siauw-mo-lie yang membantu kalian?”
“Itu cuma akal-akalan Ching-ching melecehkan Oey-hong-kiam-eng.”
Lie Wei Ming mengerutkan alis. Selama ini ia cuma lihat gadis bernama
Ching-ching ini sekelebat saja, tak pernah bertemu tatapan muka. Soe-teenya dan
Yuk Lau memang pernah menyinggung tentang gadis ini. Wu Fei juga pernah ingin
mengenalkan gadis ini kepadanya. Tapi, kata pemuda itu Ching-ching kabur waktu
mau diajak kemari. Hah! Gadis macam apa dia itu, yang bisa mengalahkan
Oey-hong-kiam-eng dan berani beri petunjuk pada muridnya, tapi tak mau bertemu
muka dengannya. Ia harus menyelidiki gadis ini.
“Soe-hoe?” Miauw Chun Kian heran melihat gurunya.
“Ah, ya, Chun Kian. Aku mau tanya pendapatmu. Bagaimana kalau aku angkat seorang
murid lagi untuk menggantikan Lie Hoa?”
“Itu bagus sekali. Murid tingkat berapa yang akan guru ambil?”
“Maksudku, aku akan angkat seorang murid dari luar.”
Chun Kian terkejut. Ia terdiam sesaat. “Kenapa bukan murid kita saja? Bukankah
lebih mudah karena mereka sudah punya dasar yang sama? Kalau harus diajari dari
awal lagi, tentu akan makan waktu.”
“Itulah,” Lie Wei Ming menghela napas. “Aku sudah perhatikan, murid perempuan di
sini jumlahnya lebih sedikit dibanding yang laki-laki. Di antara mereka tak ada
yang cukup berbakat untuk diajari ilmu tingkat satu. Padahal, selain
Pek-san-ngo-kiam, aku juga akan ajarkan Ngo-lian-kiam-sut yang baru diciptakan.
Ching Ching 208
Dan lagi aku merencanakan membagi murid-murid kita menjadi lima, yang nantinya
akan dibuat barisan.
“Untuk mendapatkan murid-murid baru, aku akan terima murid lagi. Untuk cari
murid tingkat satu, akan diberi syarat lain, yaitu harus punya dasar ilmu silat.
Supaya, nantinya aku tak usah repot mengajari dari mula. Nah, tugasmu sekarang,
sebarkan berita ini. Suruh juga adik-adikmu yang lain membantu.”
“Baik, Soe-hoe.” Miauw Chun Kian mohon diri untuk melaksanakan perintah gurunya.
Murid tingkat satu Pek-san-boe-koan yang lain tak kalah kaget mendengar berita
itu.
“Bagus juga,” gumam Sioe Ing kemudian. “Kita bakal punya soe-moay yang baru.”
“Bagus apanya!” bantah Wu Fei. “Belum tentu kita suka murid baru itu. Salah
Toa-soe-heng juga sih.”
“Lho, kok malah salahkan Toa-soe-heng?”
“Coba Toa-soe-heng langsung mengajukan Ching-ching jadi murid baru itu.”
“Iya, ya,” Sioe Ing mendukung. “Selama ini kita sudah cukup kenal baik
dengannya.”
“Mana mau dia. Aku kenal sifat Gie-moay,” kata Yuk Lau. “Bertemu Soe-hoe saja
tak mau. Makin disuruh, makin bandel dia.”
“Yah, memang adatnya jelek,” Miauw Chun Kian ikut menyesali.”
“Tapi, kalau semua betul mengingini Ching-ching jadi saudara seperguruan, aku
punya jalan lain,” Yuk Lau berkata.
“Apa?” tanya yang lain bersemangat.
“Begini ….” Yuk Lau menjelaskan rencananya.
Ching-ching dan Tabib Yuk baru saja pulang dari kota menjual obat yang berhasil
dikumpulkan. Keduanya berjalans ambil bercakap-cakap tentang obat dan racun
ketika tiga orang berkedok menghadang di depan mereka.
“Mau apa kalian?” tanya Ching-ching galak.
“Jangan galak-galak, non. Kami cuma maui uang kakek tua ini.”
“Jangan harap!” Ching-ching maju ke depan Tabib Yuk untuk melindungi.
“Anak kecil, jangan ikut campur, atau kami bawa kau sekalian.”
“Huh, kalian ini merampok tidak pilih orang. Sayangnya, hari ini kalian sial,
salah sasaran.”
“Bocah ingusan sok jago, jangan bnayak omong. Kurobek mulutmu nanti!”
“Eh, coba kalau berani!” Ching-ching menantang.
Perampok-perampok itu jadi marah dan mulai menyerang, tapi mereka bukan lawan
Ching-ching, hingga gampang saja dipelonco.
“Payah!” kata Ching-ching ketika berhasil merampas golok para rampok itu.
“Liok-lim seperti kalian mestinya tinggal saja di sarang, jangan keluyuran.”
Melihat goloknya dapat dirampas dengan gampang, liok-lim itu jadi ketakutan.
Mereka lari serabutan.
Ching-ching tak mau melepaskan begitu saja. Ia melempar golok-golok di
tangannya. Dua orang roboh dan mati seketika. Yang seorang lagi cuma kena
tertancap di bahu. Ia beruntung karena tersandung barusan hingga golok itu luput
dari jantung. Ching-ching menghampiri orang yang terluka itu. Dicabutnya golok
dari pundak dan ditempelkan ke leher liok-lim itu yang langsung melotot
ketakutan.
“Ampun, Lie-hiap. Ampuni saya. Kasihani saya, Lie-hiap. Saya masih muda, belum
kawin. Nanti siapa yang akan meneruskan nama keluarga kami?”
“Jangan bunuh saya, Lie-hiap!”
“Ngoceh saja. Bilang siapa touw-tak yang suruh kalian mengacau di sini?”
Ching Ching 209
“Namanya … namanya Kim-to-tay-ong.”
“Di mana sarang kalian?”
“Di … di Bukit Awan.”
“Begitu ya. Terima kasih pemberitahuannya.”
Sret! Pedang di tangan Ching-ching bergerak. Liok-lim itu mati dengan leher
putus.
“Ching-ching!” Tabib Yuk yang menyusul belakangan terkejut. “Kau masih muda,
tapi kejam benar. Orang itu sudah kaulukai. Mengapa mesti dibunuh juga?”
“Orang macam dia tak ada guna hidup di bumi,” kata Ching-ching enteng seperti
tak ada apa-apa. “Sudahlah. Kong-kong tak usah banyak pusing. Kita pulang saja.
Ini sudah siang.”
Gadis itu berjalan mendului sambil bersiul-siul gembira. Tabib Yuk mengerutkan
kening. Baru kali ini ia lihat betapa gampang Ching-ching membunh orang. Gadis
itu salah didikan. Kalau tidak buru-buru diajar benar, jangan-jangan di belakang
hari gadis itu salah jalan dan terbawa golongan sesat. Hal ini tak boleh
dibiarkan. Sambil pikirkan hal itu, Tabib Yuk mengikuti cucu angkatnya dari
belakang.
Sampai di rumah, ternyata Yuk Lau dan Wu Fei sedang menunggu kedatangan mereka.
“He, Wu Fei Ko-ko, kebetulan kau datang. Kita mancing yuk!” ajak Ching-ching.
“Wah, kebetulan. Aku ingin makan ikan bakar. “Wu Fei langsung menyambut.
“Sam-soe-heng ikut?”
“Tidak, aku tunggu di sini saja.”
“Ya sudah kalau tak mau. Berdua saja,” kata Ching-ching tak sabar. “Kong-kong,
kami pergi.”
“Ya, pergilah. Awas, jangan main air. Nanti masuk angin.”
“Dinginnya juga tak bakal mau masuk-masuk badan Wu Fei Ko. Belum mandi sih,”
sahut Ching-ching dari jauh.
Setelah keduanya pergi, Yuk Lau langsung berkata pada kong-kongnya. “Kong-kong,
aku ke sini mau bicarakan mengenai Gie-moay. Kira-kira Kong-kong izinkan tidak
kalau ia jadi murid Soe-hoe?”
“Soe-hoemu mau cari murid baru? Kebetulan.” Tabib Yuk menceritakan kejadian di
jalan dan menyatakan kekuatirannya. “Kalau Ching-ching jadi murid
Pek-san-boe-koan, barangkali gurumu bisa mengajarkan yang baik padanya.”
“Pasti!” kata Yuk Lau yakin.” Cuma Ching-ching itu betul-betul keras kepala.
Mana dia mau sukarela jadi murid Pek-san-boe-koan.”
“Menghadapi anak itu mesti pakai siasat.”
“Kami sudah punya rencana, tapi Kong-kong mesti bantu.”
“Aku akan bantu. Apa rencananya?”
Yuk Lau beberkan siasat pada kong-kongnya. Tabib Yuk mengangguk-angguk setuju
Keduanya yakin Ching-ching akan termakan rencana mereka.
Sejak itu Ching-ching sering menemui kawan-kawannya berbisik-bisik dan berhenti
kalau ia datang. Kalau ia bertanya, jawabnya cuma, “Urusan Pek-san-boe-koan.
Orang luar tak boleh tahu.”
Ching-ching memang penasaran. Makin ia coba bertanya, yang lain makin bersikap
rahasia. Sampai akhirnya datang kabar ke Pek-san-boe-koan. Miauw- Chun Kian yang
pertama kali dengar berita itu. Ia cepat beru tahukan adik-adiknya.
“Kita haurs cepat. Soe-hoe dapat surat dari Cheng-kok-pay. Kemenakan Pang-coe
partai itu ingin menjadi murid di sini. Mereka sudah kirim kabar akan tiba dalam
beberapa hari.”
“Ching-ching sudah tahu Soe-hoe sedang mencari murid yang berbakat. Kita tinggal
Ching Ching 210
memanas-manasi supaya dia mau mengajukan diri.”
“Aku tahu caranya!” Wu Fei segera lari mencari Ching-ching. Begitu ketemu, ia
langsung berlagak sangat senang.
“Ada apa, Fei-ko? Girang betul?” tanya gadis itu.
“Guru dapat kabar dari Cheng-kok-pay. Kemenakan Pang-coe di sana akan datang dan
menjadi murid.”
“Lalu?” Ching-ching bertanya sambil membolak-balik menjemur obat.
Wu Fei jadi ikut mondar-mandir. “Katanya dia itu cantik orangnya, pintar dan
berbakat dalam soal boe. Dia bakalan jadi soe-moayku. Hah, Ching-ching, kalau
dia sudah datang nanti, barangkali aku tak bakal punya banyak waktu buat
main-main denganmu. Aku akan banyak berlatih dengannya. Kau nanti jangan marah.”
“Siapa yang marah?” Ching-ching membentak galak. “Tidak main denganmu juga tidak
bakal mati. Sana pergi! Tidak lihat orang sibuk? Ganggu saja.”
“Ya, aku pergi. Orangnya belum datang saja, marah. Apalagi kalau sudah,” Wu Fei
mengomel, padahal dalam hati tertawa. Ching-ching marah itu pertanda bagus.
Tinggal yang lain memanasi sedikit lagi.
Ching-ching melanjutkan pekerjaannya sambil cemberut. Heran! Kenapa sih Wu Fei
baru mau dapat soe-moay baru saja girangnya kelewatan. Apa sih hebatnya gadis
yang bakal jadi murid Pek-san-boe-koan itu sampai perlu dipuji selangit?
Sore harinya Yuk Lau datang mengunjungi. Ia menyampaikan kabar yang sama dengan
yang dibawa Wu Fei. “Aku sih belum lihat orangnya, tapi dari kabar yang
kudengar, ia pasti sangat canti, dan lihay pula.”
“Kudengar juga demikian,” Tabib Yuk menimpali. “Cheng-kok-pay bukan partai
sembarangan. Kalau Pek-san-boe-koan bisa jalin hubungan saudara dengan mereka,
tentu baik jadinya. Apalagi Thio Heng-tee Pang-coe di sana dikenal sebagai
golongan putih yang punya wibawa. Memang, ilmu adiknya tak terlalu hebat, tapi
saudaranya yang jadi pang-coe sungguh lihay.”
“Bah! Sedari pagi yang diomongkan cuma diaaa terus. Bosan!” Ching-ching yang
kesal meninggalkan ruangan. Di belakangnya Tabib Yuk dan cucunya saling
tersenyum.
Esok harinya seperti biasa, Ching-ching membantu kong-kongnya menjemur obat.
Tahu-tahu datang In Sioe Ing menghampiri. Gadis itu berniat mengagetkan, tapi
Ching-ching sudah dengar kakinya menapak tanah.
“Kalau Cie-cie datang untuk memuji-muji calon murid Pek-san-boe-koan itu, lebih
baik pergi saja. Aku sudah tak mau dengar.”
“Huuh, kau tahu saja ada orang datang. Aku memang mau bicarakan soal gadis itu,
tapi bukan memuji.”
“Habisnya apa? Dari kemarin semua membicarakan yang baik tentangnya. Bapaknyalah
terkenal, partainyalah yang besar, cantiklah, pintar, beginilah, begitulah.
Puah!”
“Memang, aku juga bosa dengar soe-heng dan soe-tee saling memuji dirinya. Maka,
dari itu aku datang padamu.”
“Kenapa? Karena aku tak bakal berlaku seperti mereka?”
“Bukan, karena kau satu-satunya yang bisa tolongi aku.”
“Kok begitu?”
“Iya. Aku tak mau gadis itu jadi soe-moayku. Tapi, tak ada yang bisa mencegah
kecuali kau.”
“Caranya? Apa aku harus bunuh dia?”
“Ya tidak. Cukup kalau kau jadi murid Pek-san-boe-koan, maka …”
“Tidak!” Ching-ching menggeleng. “Kalau cara lain aku bisa bantu. Tapi, yang ini
Ching Ching 211
tidak!”
“Tolonglah sekali ini saja.” Ching-ching menggeleng. Sioe Ing cemberut, berlagak
kesal. “Kalau tak mau, ya sudah.” Gadis itu pergi sembari menutupi mulut menahan
tawa yang hendak keluar.
“Bagaimana?” Itu yang pertama ditanyakan saudara-saudaranya dan Tabib Yuk yang
kebetulan ada di Pek-san-boe-koan.
“Dia tak mau.”
“Apa kubilang!” kata Tabib Yuk kecewa.
“Tunggu, masih ada satu jalan lagi,” kata Yuk Lau. “Besok giliran Toa-soe-heng.
Lihat saja berhasil atau tidak.”
Paginya esok hari, Ching-ching menemukan surat Tabib Yuk di meja yang
menyuruhnya pergi ke kota, menjual obat selagi tabib itu pergi mencari obat
baru. Gadis itu langsung melaksanakan suruhan kong-kongnya. Sepulang dari toko,
seperti biasa ia keluyuran dulu di pasar.
Ching-ching masih sering mempraktikkanajaran ayah angkatnya, Ban-jiu-touw-ong.
Seperti juga kali ini, enak saja ia menyambar sebuah mainan tanpa penjualnya
tahu. Gampang juga ia berikan benda itu pada anak kecil yang menangis di pinggir
jalan, supaya berhenti bersedih. Pada dasarnya ia memangmurah hati, tapi juga
bisa jadi amat kejam.
Gadis ini sedang berjalan tanpa tujuan, sampai matanya menangkap sosok tubuh
yang sudah dikenalnya. Miauw Chun Kian. Ching-ching cepat-cepat membalikkan
badan dan kabur. Sekarang ini ia malas ketemu siapa pun dari Pek-san-boe-koan.
Malas mendengar soal calon murid baru itu.
Sayangnya, Miauw Chun Kian keburu melihat. Pemuda itu memanggil dan lantas
mengejar. Ching-ching lari di tengah keramaian orang banyak sambil sesekali
menoleh ke belakang Chun Kian masih terus mengejar, sampai kemudian ia membelok
ke sebuah jalan yang agak sepi. Baru tak lagi dilihatnya sosok tubuh murid
kesatu Pek-san-boe-koan itu. Ia tak tahu Miauw Chun Kian sudah potong jalan
menduluinya. Ia kaget betul waktu tahu-tahu pemuda itu mencegat. Mau lari lagi,
Chun Kian keburu mencekal tangannya.
“Kenapa lari?” tanya pemuda itu. “Aku kan tak punya salah padamu.”
“Habisnya tiap ketemu murid Pek-san-boe-koan, yang diomongkan cuma kemenakan
pang-coe Cheng-kok-pay melulu.”
“Aku tidak kok. Habisnya, gara-gara dia, aku bakal sengsara.”
“Kenapa begitu?”
“Tida ah … kan kau tak mau dengar.”
“Aaa, Kian Ko-ko, katakan padaku,” rengek Ching-ching manja.
Chun Kian masih tidak mau mengatakan. Ia senang bisa menggoda gadis itu dan
bikin ia penasaran. Baru kali ini ia berani meledek seorang gadis. Selain Lie
Hoa tentu. Setelah dibujuk-bujuk, baru ia mau mengatakan. “Aku bertaruh dengan
Ngo-soe-tee.”
“Taruhan apa?”
“Yah, aku bilang Thio Kouw-nio tak bakalan jadi soe-moayku, eh malah diajak
bertaruh. Kupikir main-main. Nyatanya sungguhan.”
“Kenapa berani kau bilang ia tak akan jadi soe-moaymu?”
“Habisnya aku kesal. Wu Fei memuji gadis itu setinggi langit. Aku bilang gadis
itu tak akan sanggup menjadi murid Pek-san-boe-koan. Ia kan biasa dimanja di
rumah. Di sini tak bisa enak-enak. Tapi, aku tak yakin. Soe-hoe pasti menerima
gadis itu.”
“Berapa kau bertaruh?”
Ching Ching 212
“Bukan uang. Yang kalah harus berendam di sungai seharian.”
Tahu-tahu Ching-ching cekikikan. “Aku kepingin lihat Wu Fei direndam di kali.”
“Bukan dia, aku yang bakalan ….”
“Lihat saja. Aku akan menggagalkan si Thio Kouw-nio itu menjadi murid
Pek-san-boe-koan,” gumam Ching-ching. “Eh, Kian Ko-ko, kau mau pulang? Ayo
sama-sama.”
“Eh, tidak. Aku masih ada urusan. Ching-ching, bagaimana kau mau menggagalkan
Thio Kouw-nio?”
“Itu urusanku. Pokoknya, Ko-ko tak akan direndam sehari.”
“Bagusnya kau cepat-cepat. Besok Thio Chin Wu dan putrinya akan tiba di sini.
Ah, tapi mana bisa kau halangi mereka? Sudahlah, biar saja aku direndam.”
“Siapa bilang tak bisa. Lihat saja besok.”
Ching-ching ngacir pulang. Chun Kian membelok ke sebuah kedai. Di sana
adik-adiknya sudah menunggu.
“Ching-ching akan menghalangi Thio Lan Fung, tapi aku tak yakin bagaimana ia
melakukan itu,” lapornya.
“Yang penting ia mau dulu. Selebihnya aku yang urus,” kata Tabib Yuk yang ikut
nimbrung.
Sore harinya Tabib Yuk pulang membawa tanaman obat. Ching-ching menyambutnya dan
langsung melayani. “Ching-ching, kau baik sekali hari ini. Pasti ada maunya.”
“Kong-kong tahu saja. Eh, Kong-kong, bagaimana pendapatmu kalau aku jadi murid
Pek-san-boe-koan?”
Hati Tabib Yuk bersorak, tapi ia pasang tampang kaget dan berkata, “Ah, jangan.
Lebih baik tidak. Nanti siapa yang akan bantu dan temani aku di sini?”
“Wah, betul juga. Kalau begitu, aku mesti bilang Kian Ko-ko kali ini aku tak
bisa bantu dia.”
Tabib Yuk tersedak. Ia batuk-batuk. Salah omong, pikirnya.
Ching-ching buru-buru pijiti tengkuk Kong-kongnya. “Kong-kong kenapa?” tanya
gadis itu kuatir.
“Tidak, tidak apa. Kong-kong cuma mau bilang, tak ada gunanya kau datang pada
soe-hengku memohon jadi muridnya. Kau sudah keduluan Thio Lan Fung dari
Cheng-kok-pay. Gadis itu sungguh berbakat dalam boe. Mana bisa kau
menandinginya.”
“Kenapa tidak?” Ching-ching cemberut. “Bisa saja.”
“Tak mungkin.”
“Aku bilang bisa, ya bisa.”
“Tidak percaya,” Tabib Yuk memanasi.
“Pokoknya bisa.”
“Buktinya apa?”
“Aku akan melamar jadi murid di Pek-san-boe-koan. Gadis itu akan kukerjai. Lihat
saja.”
Tabib Yuk nyaris bersorak, tapi buru-buru disembunyikannya perasaan. “Soe-hengku
tak akan menerima kau.”
“Pasti mau, asal Kong-kong bantu.”
“Bantu apa?”
“Minta pada Thay-soe-peh supaya menerima aku. Paling tidak uji dulu kemampuanku.
Mau, ya?” Ching-ching membujuk beberapa lama sampai akhirnya Kong-kongnya
mengangguk, sedia membantu.
Pagi-pagi sekali keduanya pergi ke Pek-sn-boe-koan. Sementara Tabib Yuk
berbicara pada soe-hengnya, Ching-ching menunggu di luar, saling ejek dengan Wu
Ching Ching 213
Fei seperti biasa. Pada mulanya Lie Wei Ming menolak, tapi soe-teenya membujuk.
Bahan menceritakan riwayat hidup Ching-ching.
“Begitulah. Karenanya anak itu agak kurang ajar dan kurang tahu kesopanan. Aku
tak terbiasa mendidik orang. Takutnya aku salah mendidik dan kelak anak itu
tersesat, padahal bakatnya besar sekali. Bisa celaka dunia Kang-ouw kalau
menghadapi penjahat sepertinya.”
Lie Wei Ming merasa iba juga. “Bukannya aku tak mau, tapi putri Thio Tay-hiap
sudah lebih melamar. Aku tak enak hati kalau harus menolak mereka. Apalagi, Thio
Cin Wu adalah orang terpandang. Aku tak mau mereka sakit hati hingga menimbulkan
permusuhan di antara kita.”
“Ah, tapi dia itu belum jadi muridmu, bukan? Baru calon> Berarti masih ada
kesempatan buat Ching-ching. Setidaknya nanti Soe-heng dapat pilih mana yang
lebih baik dari mereka.”
“Baiklah. Tapi aku mau lihat dulu anaknya.”
Tabib Yuk memanggil Ching-ching masuk. “Hayo, beri hormat pada soe-hoemu!”
“Soe-hoe,” Ching-ching berlutut. “Lie Mei Ching memberi hormat.
Lie Wei Ming memperhatikan gadis ini. Hmm, gadis yang manis dan lincah. Dari
geraknya, Wei Ming sudah tahu sampai di mana tingkat kepandaian bocah ini.
Soe-teenya benar. Bakat Ching-ching besar sekali. Sungguh sayang kalau sampai
salah didik. “Hmm, bangunlah. Kuingatkan saja padamu, kau memang diterima
sebagai murid, tapi belum tentu murid tingkat satu.”
“Tee-coe tahu,” jawab Ching-ching.
“Soe-hoe, Thio Tay-hiap dan Thio Kouw-nio sudah datang,” seorang murid
mengabarkan di depan pintu.
Lie Wei Ming bergegas keluar. Ching-ching hendak ikut, tapi dihalangi
kong-kongnya. “Kita tunggu di sini saja.”
“Tidak mau!” bantah Ching-ching. “Aku mau lihat gadis yang dipuji terus-terusan
itu. Seperti apa sih orangnya? Kong-kong tak mau lihat?”
Tabib Yuk tampak ragu. Ia juga penasaran.
“Ayolah!” Ching-ching mendesak. Keduanya menyusul Lie Wei Ming yang sudah
duluan.
Tamu yang barud atang itu menunggu di ruang tamu. Empat murid Pek-san-boe-koan
sudah menyambut di sana. Lie Wei Ming menemui mereka.
Ching-ching dapat melihat Thio Lan Fung dan ayahnya dari tempat ia dan
kong-kongnya sembunyi. Gadis itu memang betul-betul cantik, pantas dipuji. Tapi,
entah karena pada dasarnya Ching-ching tidak suka, atau matanya yang salah
lihat, baginya Thio Lan Fung kelihatan sombong sekali. Matanya mengesankan
kelicikan yang punya. Hidung dan dagunya terangkat tinggi ketika berjalan. Tanpa
sadar, Ching-ching mendengus sebal.
Gadis itu melirik ke arah Wu Fei. Pemuda itu tampak bengong memandangi Thio Lan
Fung. Ching-ching memungut sebutir kerikil yang kecil. Disentilnya kerikil itu
ke arah Wu Fei. Pemuda itu terkejut, melihat ke arah datang benda yang nyasar ke
pipinya.
Ching-ching menjebi ke arah Thio Lan Fung. Ketika ia menoleh lagi, dilihatnya
Lie Wei Ming melirik tajam ke arahnya. Ching-ching meringis, mengajak
kong-kongnya kabur. Ia tidak tahu ketika Lie Wei Ming berbicara pada Thio Chin
Wu, tetua dari Cheng-kok-pay.
“Perguruan ini terbuka bagi siapa saja, asal punya niat baik belajar silat.
Sekarang ini ada dua gadis yang melamar jadi murid tingkat satu. Jadi, aku tak
bisa memutuskan begitu saja. Harap Thio Tay-hiap mengerti.”
Ching Ching 214
“Lalu bagaimana?”
“Saya akan pikirkan cara yang adil untuk menentukan keputusan. Harap Tay-hiap
sudi bersabar. Jie-wie tnetu lelah. Hari ini biarlah beristirahat. Besok sore
paling lambat, saya akan beri tahukan lagi. A-kian,” Lie Wei Ming panggil
muridnya. “Antarkan tamu!”
Setelah Thio Chin Wu dan putrinya berlalu diantar oleh Miauw Chun Kian, Lie Wei
Ming masuk ke dalam juga. Ia harus memikirkan cara yang benar-benar adil supaya
baik soe-teenya maupun pihak Cheng-kok-pay tidak sakit hati kalau salah satu
diterima.
Malam itu Ching-ching dan kong-kongnya menginap di Pek-san-boe-koan. Mereka tak
mau kalau pagi dengan orang Cheng-kok-pay kalau Lie Wei Ming memberi keputusan
besok. Entah siapa antara Ching-ching dan Thio Lan Fung yang akan menjadi murid
tingkat satu Pek-san-boe-koan, tapi dua-duanya diam-diam bertekad saling
mengalahkan. Dan keduanya berpikiran sama. Seandainya mereka gagal merebut
kedudukan yang diincar. Mereka akan undur dari perguruan tersebut.
Esok harinya Ching-ching menemui Wu Fei, menanyakan pendapat pemuda itu soal
Thio Lan Fung. Wu Fei masih bertahan pada pendapatnya, memuji gadis dari
Cheng-kok-pay itu bagai dewi. Ching-ching ngambek. Tapi, waktu Wu Fei
mengajaknya main layangan, mereka berbaikan lagi. Ching-ching pergi main
seharian.
Sampai siang harinya, Thio Lan Fung masih juga belum menjumpai saingannya itu.
Ia penasaran dan keluyuran sendiri dan menemukan keempat murid Pek-san-boe-koan
sedang bermain dengan Ching-ching.
Yuk Lau, Chun Kian, dan Sioe Ing yang sedang soraki layangan Ching-ching dan Wu
Fei mendadak diam melihat Thio Lan Fung datang. Lan Fung berbalik akan pergi,
tapi Chun Kian yang tak enak hati buru-buru memanggil. “Thio Kouw-nio, mengapa
tidak bergabung dengan kami?”
Thio Lan Fung ragu-ragu menahan langkahnya. Sepertinya main layangan itu
mengasyikan sekali. Ia ingin mencoba juga. Pelan-pelan ia melangkah mendekati.
“Ching-ching, coba beri Thio Kouw-nio giliran,” perintah Chun Kian.
“Tapi aku masih ingin main,” bantah gadis itu.
“Ching-ching, jangan pelit!” tegur Yuk Lau.
“Baiklah,” tiba-tiba Ching-ching tersenyum pada Lan Fung. “Nih, biar aku yang
pegang benangnya. Tapi, awas janganputus ya!”
Yuk Lau dan yang lain saling berpandangan. Tak biasanya Ching-ching gampang
disuruh. Padahal ia tak suka pada Thio Lan Fung. Heran!
Beberapa saat mereka bermain berdua. Terlihat Lan Fung kurang cakap memainkan
layangan hingga benda ringan itu naik-turun tak keruan. Anehnya, benang layangan
itu belum putus juga.
“Wah! Kau tidak becus!” omel Ching-ching. Diam-diam ia ketawa dalam hati. Benang
layangan itu sudah diatur pakai tenaga dalamnya. Tinggal tunggu saat yang tepat,
ia hentikan tenaga dan benang itu akan putus!
Benar saja. Tak lama kemudian benang itu putus dan layangannya jatuh, terbawa
angin.
“Yaa, hilang!” keluh Ching-ching. Kau sih,” ia menuding, menyalahkan Thio Lan
Fung.
Yang dituduh bengong. Padahal, tadi benang layanan tak diapa-apakan oelhnya.
Tahu-tahu bergerak dan putus sendiri. Mana bisa ia disalahkan? “Tapi benangnya
putus sendiri.”
“Itu karena kau tak becus,” omel Ching-ching.
Ching Ching 215
Tahu-tahu Thio Lan Fung berlari sambil menangis.
“Cengeng!” teriak Ching-ching mengejek.
Chun Kian dan yang lain bengong. “Ching-ching! Kau tak boleh begitu.”
“Apanya yang tak boleh. Jelas ia memutuskan layangan.”
“Kalau mau, yang marah mestinya aku. Itu kan layanganku, bukan punyamu,” kata Wu
Fei.
“Oh, jadi kalian mau membela gadis cengeng itu dan ramai-ramai menyalahkan aku.
Huh! Bagus, begitu ya.” Ching-ching menghentakkan kaki dan berlari pergi.
Yang lain diam beberapa lama. Tahu-tahu Sioe Ing ikut berdiri. “Kalian
bagiamana?” omelnya. “Kan kalian yang mau Ching-ching menjadi soe-moay kita.
Kalau dia batal jadi murid Soe-hoe, bagaimana? Aku tak mau punya soe-moay
sombong dan cengeng seperti Thio Lan Fung. Pokonya tak mau!” Sioe Ing ikut
pergi, sementara soe-heng dan soe-teenya bengong.
“Perempuan! Bisanya marah,” gumam Wu Fei.
“Barangkali kita juga salah,” kata Chung Kian.
“Kok malah kita?” Wu Fei tak terima.
“Mestinya kita tidak tegur Ching-ching begitu rupa.”
“Tapi Ching-ching tak pantas bilang seperti itu kepada Thio Kouw-nio. Bikin
malu!” kata Yuk Lau.
“Justru itu. Ching-ching mesti dikasih tau kalau hal itu tak pantas. Tapi,
pelan-pelan, bukannya lantas ditegur. Kau kakaknya, masa belum tahu kalau anak
itu tak boleh dikerasi. Lain kalau dibilangi baik-baik. Ia akan malu hati dan
sadar sendiri.”
“Huah! Ching-ching salah memilih saudara. Mestinya Toa-soe-heng yang jadi
abangnya.”
“Sebentar juga dia jadi adikku. Aku bisa ajari dia sopan santun,” kata Miauw
Chun Kian. “Kecuali kalau Thio Kouw-nio yang jadi murid Pek-san-boe-koan.”
Mendengar nama Thio Lan Fung disebut, mendadak ketiga pemuda itu terdiam.
“Soe-tee, kalian sudah lihat orangnya. Menurut kalian, mana lebih mendingan,
Ching-ching atau Thio Kouw-nio yang menjadi soe-moay kita?”
“Soe-heng, kau jangan tanya aku. Aku kan Gie-ko Ching-ching, susah memilih
dengan adil.”
“Aku juga tidak tahu. Melihat kelakuan Thio Kouw-nio tadi, tampaknya gadis itu
cengeng betul. Nanti susah diajak main. Tapi, dia itu cantik sekali,” timpal Wu
Fei.
“Jangan lihat cantiknya,” kata Miauw Chun Kian. “Pikirkan perguruan dan
bagaimana kita dengan soe-moay kita nanti. Kalian kan tahu, Ngo-heng-kiam-soet
adalah ilmu pedang yang mengandalkan kesatuan lima tenaga. Kalau kira-kira kita
tak bisa akur dengan soe-moay, kita nanti celaka.”
“Yah, daripada kita yang pusing-pusing, biar Soe-hoe saja yang mengambil
keputusan,” kata Yuk Lau. “Sekarang gadis-gadis yang pada ngambek itu mesti
diapakan?”
“Suruh baikan,” kata Wu Fei. Ia berdiri menyusul gadis-gadis yang lari. Chun
Kian dan Yuk Lau mengekor di belakangnya.
Ching-ching yang ngambek dikejar Sioe Ing. Gadis itu tak peduli
dipanggil-panggil, terus saja lari. Ia baru berhenti ketika sampai di depan
kamarnya dan duduk di telundakan di sana sambil cemberut.
“Ching-ching, jangan marah dong,” kata Sioe Ing membujuk. Yang diajak ngomong
masih cemberut. “Ching-ching, aku kan tidak musuhan denganmu. Jangan marah
padaku.”
Ching Ching 216
“Aku juga tidak marah pada Cie-cie,” sahut Ching-ching,” cuma kesal saja.
Gara-gara si cengeng itu, aku diomeli.”
Keduanya terdiam, ingat lagi kejadian barusan. Tahu-tahu Ching-ching tertawa.
Suara tawanya menular pada Sioe Ing. Gadis itu ikut tertawa tanpa tahu sebabnya.
Mendengar Sioe Ing ketawa, Ching-ching malah berhenti.
“Cie-cie kenapa ketawa?”
“Kau sendiri kenapa?” Sioe Ing balas menanya.
“Aku ingat rupa si cengeng waktu kutuduh memutuskan benang. Haha, lucu sekali.
Matanya melotot, mukanya pucat, mulutnya terbuka, hidungnya kembang kempis.
Hihihi.”
Kedua gadis itu cekikikan. Diam-diam Sioe Ing heran. Baru sesaat Ching-ching
ngambek, detik berikutnya sudah ketawa-ketawa. Gadis ini sungguh tak bisa
ditebak hatinya.
Dari kejauhan Ching-ching mendengar tiga pasang kaki menghampiri. “Sssst,” ia
menaruh jari telunjuknya di depan bibir, menyuruh Sioe Ing diam. “Itu yang lain
kemari. Aku mau berlagak ngambek ah.” Gadis itu cemberut lagi setelah
mengedipkan mata kepada Sioe Ing. Yang diberi isyarat mengangguk, pura-pura
membujuk.
Ketika datang dan melihat Ching-ching masih cemberut, Wu Fei malah menggoda.
“Ih, kalau kau sedang ngambek, wajahmu jelek sekali. Tambah kalah dari wajah
Thio Kouw-nio yang cantik itu.”
Ching-ching pura-pura tak dengar.
“He, Ching-ching, kalau kau masih marah terus, aku main dengan Thio Kouw-nio
saja ah.”
Sekejap Ching-ching melirik, lalu berlagak tak peduli lagi. Tapi, lirikan yang
sekilas itu terlihat oleh Wu Fei.
“Eh, lirik-lirik lagi. Kenapa? Cemburu ya, cemburu? Huah, jelas saja. Thio
Kouw-nio itu kan—“
Tiba-tiba Ching-ching melompat mencengkeram leher Wu Fei hingga pemuda itu tak
dapat meneruskan ocehannya. “Sekali lagi kau sebut nama si cengeng itu, kucekik
betulan kau!”
“Mana kau tega. Coba, Thio Kouw-nio— kkkhh!”
Ching-ching tidak main-main dengan ucapannya, biarpun mencekiknya cuma pelan
saja.
Wu Fei berlagak sesak napas. “Sam-soe-heng, gie-moaymu ini galak-galak amat.”
Miauw Chun Kian yang melihat Ching-ching melotot buru-buru melerai keduanya.
“Ching-ching, jangan cepat marah begitu.”
“Dia duluan yang menggoda aku.”
“Kau duluan yang berlagak ngambek. Dikira aku tak tahu.” Wu Fei meleletkan
lidah, yang langsung dibalas oleh Ching-ching.
“Ching-ching, kau ada melihat Thio Kouw-nio tidak?” Miauw Chun Kian bertanya.
“Aku tak ada urusan dengannya.”
“Ada. Kau punya salah sama dia. Harus minta maaf,” kata Yuk Lau.
“Tak usah ya!” Ching-ching membuang muka.
“Ching-ching, seorang pendekar harus berani minta maaf atas kesalahan.”
“Aku tak punya salah!”
“Punya!” Wu Fei berteriak.
“Kalau begitu … aku kan bukan pendekar,” Ching-ching masih keras kepala.
“Alaaa, bilang saja kau tak berani,” olok Wu Fei. “Ching-ching tak berani,
Ching-ching tak berani,” katanya berlagu.
Ching Ching 217
“Enak saja bilang aku tak berani. Berani saja. Kenapa tidak?”
“Buktikan!”
“Baik. Mana si cengeng itu? Biar kucari dia!” Ching-ching berjalan bergegas.
Yang lain mengikutinya dari belakang. Gadis itu menemukan Thio Lan Fung yang
masih menangis di bangku taman tempat mereka yang berlatih biasa beristirahat.
“Cengeng! Eh, maksudku … Thio Kouw-nio. Aku mau minta maaf padamu atas
kesalahanku.”
Thio Lan Fung melirik sebentar ke arah Ching-ching, llau ia membalikkan tubuh
meneruskan tangisnya.
“He, aku minta maaf! Kau dengar tidak?” Ching-ching melompat ke hadapan gadis
it, menepis tangan Fung-fung yang menutupi muka. Nyaris saja Ching-ching tertawa
melihat hidung Thio Lan Fung yang bengkak merah, habis menangis.
Tapi, sudah ada yang mendului. Orang itu adalah Wu Fei yang bersembunyi di balik
tembok. Thio Lan Fung malu bukan main. Ia lantas berdiri dan membentak, “Rupanya
begitu ya. Kau minta maaf cuma untuk mempermalukan aku di depan teman-temanmu
ya!”
“Eh, tidak, bukan begitu ….” Ching-ching kaget.
“Jangan mungkir! Mulutmu memang beracun. Tadi kauberikan layangan padaku supaya
kalau putus bisa salahkan aku. Lalu kau mendadak minta maaf supaya untuk
menertawakan. Kau jahat, sama dengan teman-temanmu. Huh, aku akan bilang pada
Thia-thia, aku tak mau jadi murid di sini. Perguruan rusak!” Ia berbalik dan
lari.
Wu Fei dan yang lain keluar dari tempat sembunyi.
“Nah, kalian lihat. Aku sudah minta maaf, dia tak terima. Gara-gara Wu Fei Ko-ko
juga sih, aku jadi didamprat orang!” Ching-ching pergi meninggalkan keempat
murid Pek-san-boe-koan.
“Yah, aku memang salah,” kata Wu Fei, “tapi Thio Kouw-nio tak seharusnya
membawa-bawa nama perguruan kita.”
“Hiii, aku tak mau gadis itu jadi soe-moayku,” kata Sioe Ing.
Ia tak tahu kata-katanya didengar orang lain. Thio Lan Fung yang balik lagi
karena masih ingin mengata-ngatai Ching-ching mendengar ucapannya. Hah! Jadi
mereka tak mau ia jadi murid di Pek-san-boe-koan. Kalau begitu, ia justru akan
berusaha menjadi murid tingkat satu dan memikirkan cara balas dendam untuk
seluruh perguruan!
Sore harinya Ching-ching dan Thio Lan Fung sama-sama dipanggil ke ruang kecil
tempat biasanya murid-murid Pek-san-boe-koan diberi petunjuk oleh gurunya. Thio
Chin Wu dan Tabib Yuk sudah duluan menunggu di sana.
“Kalian tahu, sangat sulit bagiku untuk menentukan salah satu dari kalian
berdua. Kalian sama-sama berbakat, sama-sama memenuhi syarat. Karenanya, aku
memutuskan untuk mengadakan pertandingan. Yang memenangkan tiga pertandingan
yang kuajukan akan menjadi murid tingkat satu Pek-san-boe-koan. Yang kalau
mungkin akan menjadi murid tingkat dua.”
Selama berbicara, Lie Wei Ming memperhatikan dua gadis di hadapannya. Ia
menangkap lirikan benci dari Thio Lan Fung pada Ching-ching, begitupun
sebaliknya. Diam-diam ia kecewa. Dari dua gadis ini, tidak adakah seorang yang
punya tabiat baik? Ah, itu bisa dilihat belakangan.
“Bagaimana?” tanyanya. “Wali kalian sudah setuju.
Thio Chin Wu dan Tabib Yuk mengangguk membenarkan.
“Begitu pun jadilah,” Ching-ching setuju.
“Aku setuju!” kata Thio Lan Fung.
Ching Ching 218
“Baik kalau begitu.” Lie Wei Ming mengeluarkan dua gulung kertas dari saku. “Ini
ada dua peta yang menunjukkan jalan ke puncak gunung. Masing-masing peta berbeda
jalannya. Jalan yang satu lebih jauh dari jalan yang lain. Nah, kalian
masing-masing pilihlah.
Thio Lan Fung buru-buru mengambil satu sambil mengharapkan jalan pendek yang ia
dapat. Ia tak mau keduluan Ching-ching. Sayangnya, gadis manja itu tak
beruntung. Ia malah mendapatkan peta yang menunjukkan jalan jauh.
Ching-ching tertawa melihat raut mukanya. “Tidak beruntung, ya?” ejeknya sambil
mengambil peta bagiannya.
“Tidak adil!” tuduh Lan Fung. “Kau kan sudah lama tinggal di sini. Tanpa lihat
peta pun, kau sudah tahu jalannya.”
“Eh, sirik kau rupanya. Biar lama di sini, mana dikasih aku keluyuran
sembarangan di Pek-san-boe-koan. Tapi, supaya mulut jahatmu tak bicara
macam-macam, baiklah kutukar saja peta ini dengan punyamu.”
“Baik. Tapi ingat, kau yang minta. Jangan salahkan aku,” kata Thio Lan Fung
senang seraya merebut peta milik Ching-ching, tak peduli ayahnya mengerutkan
kening dan menegur.
“Kalian pelajarailah peta itu baik-baik,” kata Lie Wei Ming, “supaya tak usah
buang waktu lagi. Aturan mainnya akan diberitahukan besok pagi supaya tak ada
yang berangkat lebih dulu dari yang lain. Kalian boleh istirahat sekarang.”
Ching-ching dan Thio Lan Fung langsung menuju kamar masing-masing yang letaknya
tidak terlalu berjauhan. Mereka mempelajari peta masing-masing.
Baru saja Ching-ching membuka gulungan petanya, terdengar Wu Fei memanggil.
“Ching-ching, aku mau tangkap ikan. Ikut tidak?”
“Sebentar!” sahut Ching-ching.
“Cepat! Mumpung belum gelap!”
Ching-ching menimbang-nimbang sambil memandangi peta di tangannya. Ah, peta ini
tak sesukar yang dibayangkan. Nanti saja belajarnya.
“Ching-ching, cepat, kalau tak mau ditinggal!”
“Ya, ya, tunggu!” Ching-ching melempar petanya ke atas meja. Ia terburu-buru
keluar sampai lupa menutup pintu kamar.
Begitu Ching-ching pergi, Thio Lan Fung keluar dari kamar. Ia sempat mendengar
Wu Fei yang mengajak Ching-ching. Gadis itu merasa iri. Ching-ching diajak, masa
ia tidak? Padahal justru dialah tamu terhormat di sini. Heran, kenapa sih gadis
itu disenangi betul oleh murid Pek-san-boe-koan? Padahal ia tak ada apa-apanya.
Gadis sombong itu merasa wajahnya lebih cantik, tapi entah kenapa di
Pek-san-boe-koan Ching-ching justru punya lebih banyak teman. Dari murid tingkat
terendah sampai murid tingkat satu, semua menyukai gadis itu, dan bukan dirinya.
Thio Lan Fung lupa kalau ia baru sehari berada di sana. Semua tertutup oleh rasa
iri.
Sambil bersungut-sungut Lan Fung membalikkan tubuh, hendak kembali ke kamarnya.
Tak sengaja terlihat pintu kamar Ching-ching yang terbuka. Gadis itu jadi
penasaran ingin tahu, apakah Ching-ching mendapat kamar yang lebih besar dan
lebih bagus dari kamarnya sendiri. Ia mengintip ke dalam. Ternyata sama saja.
Thio Lan Fung memandang berkeliling. Matanya terpaku pada gulungan kertas di
meja. Senyum jahat tersungging di bibirnya. Kali ini ia akan mengerjai
Ching-ching. Biar bingung anak itu besok! Ia mengambil gulungan itu dan
menyembunyikannya di balik bajunya.
Ching-ching kembali ke kamarnya setelah memasak ikan hasil tangkapan yang
dimakan bersama teman-temannya. Ia sudah terlalu capek untuk mempelajari
Ching Ching 219
petanya. Ditinggalkan saja peta itu di meja. Ia sendiri pergi tidur.
Esok harinya, pagi-pagi sekali Ching-ching dan Thio Lan Fung sudah siap
berangkat. Miauw Chun Kian dan Sioe Ing mengantar mereka sampai ke jalan yang
bercabang. Sebelum masing-masing menempuh jalan, Sioe Ing memberitahukan
peraturannya.
“Di sepanjang jalan yang kalian tempuh kami selipkan bendera-bendera. Kalian
harus bawa semua bendera yang jumlahnya 12 itu. Ini akan menghindari kalau ada
yang mau potong jalan. Yang satu benderanya merah semua, yang lain putih
warnanya. Oh ya. Kalau di antara kalian ada yang bawa bendera kurang dari yang
lain, ia akan dianggap kalah meskipun sampai duluan di puncak. Jadi hati-hati,
pasang mata!”
“Dan ini ada sajak yang mesti kalian hafalkan,” kata Miauw Coen Kian
memperlihatkan sehelai kain bertulisan. Ching-ching dan Lan Fung buru-buru
mengingat-ingat isi sajak itu.
Burung walet di musim dingin
Di udara beterbangan
Mencari sinar matahari
Yang lebih cepat lebih selamat
Tetapi dia yang tidak sabar
Mendapat tempat yang belakangan
“Kalian sudah waktunya pergi!” kata Sioe Ing ketika melihat seekor merpati
dilepas sebagai tanda. Serempak Thio Lan Fung dan Ching-ching lari bagai
terbang. Keduanya bertekad saling mengalahkan.
Mula-mula Ching-ching dapat mengikut jalan dengan gampang. Tapi, tambah ke
puncak ia mesti makin sering lihat petanya. Di tangannya sudah ada lima bendera.
Ia masih mengumpulkan tujuh lagi.
Ching-ching mengikuti apa yang ditunjukkan petanya. Ia sudah berjalan lama
sekali, tapi sampai tengah hari benderanya tidak bertambah. Ia merasa
berputar-putar di satu tempat. Dengan heran, Ching-ching melihat lagi petanya.
“Aneh, peta ini menyuruh aku belok kiri,” gumamnya. “Tapi di sebelah kiriku
sungai. Apa aku mesti mencebur dulu menyeberangi kali? Arahnya juga berlawanan
dengan puncak gunung.
Kebingungan gadis itu duduk di rumput. Dengan ragu-ragu ia melihat petanya
sekali lagi. Ia merenung sesaat.
“Diingat-ingat, peta yang kulihat kemarin tidak begini rupanya. Jalannya tidak
begitu banyak berbelok-belok. Tapi gambarnya sama. Puncak gunung ini, lalu awan
ini.” Gadis itu mendekatkan petanya ke mata. “Eh, awannya berubah. Petaku yang
kemarin awannya tidak punya sedikit ekor di sini. Jangan-jangan … Kurang ajar!”
Ching-ching melompat berdiri dan meremas petanya. “Pasti si cengeng licik itu
memalsukan peta punyaku. Sial, aku kena dikerjai!”
Ia membalikkan tubuh mencari jalan sendiri ke puncak Pek-san. Dikira-kiranya
saja jalan yang ditempuh. Dengan gin-kangnya ia bergerak bagai terbang. Untuk
perkiraannya tepat. Matanya yang awas melihat bendera-bendera yang tergantung di
pohon. Ching-ching tak banyak buang waktu. Ia harus mengejar Thio Lan Fung yang
pasti sudah jauh di depan.
Ching-ching tinggal mencari dua bendera lagi waktu terdengar genderang dipukul.
Itu berarti Thio Lan Fung sudah sampai lebih dulu ke puncak. Kali ini
Ching-ching kalah. Tak ada gunanya ia meneruskan mencari bendera. Ia langsung
saja potong jalan.
Sampai di puncak, Lan Fung sedang duduk beristirahat. Ia tersenyum mengejek
Ching Ching 220
ketika melihat Ching-ching datang.
“Lie Kouw-nio, lama amat,” katanya. “Aku sudah dari tadi-tadi duduk menunggumu
di sini. Eh, jangan melotot! Salahmu sendiri mau ambil jalan yang jauh-jauh.”
“Kau curang!” desis Ching-ching geram. Ia menunjukkan petanya yang kucel.
“Kaupikir Soe-hoe tak akan tahu akal licikmu kalau kutunjukkan ini?”
Wajah Thio Lan Fung berubah pucat. Ia tak pikir sampai ke sana.
Merasa ditantang, Lan Fung mulai bergerak. Ia tak berani membalik ataupun
berdiri, jadi ia terpaksa bergerak mundur, kedua kakinya mengapit balok kayu.
Sambil memeluk balok dengan tangan, ia maju beringsut-ingsut.
Ching-ching tertawa melecehkan, kemudian meninggalkan Lan Fung sendirian. Thio
Lan Fung merapatkan gigi. Ia merasa dihinakan oleh Ching-ching. Awas, kelak akan
dibalasnya perlakuan anak itu!
Ching-ching berjalan lagi memasuki lorong-lorong yang diterangi obor. Kemudian
ia sampai di mana lorongnya gelap sekali, tak ada penerangan apa pun di situ.
Gadis itu terpaksa balik lagi beberapa langkah untuk mencabut salah sebuah obor
yang terpancang di dinding. Gadis itu berjalan lagi pelan-pelan sambil
memperhatikan jalan yang dilewati.
Saat berjalan di tempat yang paling gelap, baju Ching-ching tersangkut sesuatu.
Gadis itu berjongkok untuk melepaskan kaitan. Ternyata dinding batu yang agak
tajam. Ketika ia akan berdiri lagi, tak sengaja terlihat olehnya seutas benang
halus yang direntang agak menggantung di tengah jalan, kira-kira setinggi
betisnya.
Ching-ching melangkahi tali itu dengan hati-hati. Ia tak tahu apa yang terjadi
kalau tali itu tersentuh. Yang pasti, tidak akan menyenangkan.
Sudah berjalan sepuluh langkah, tahu-tahu Ching-ching berhenti. Ia mau menunggu
Lan Fung, ingin tahu gadis itu terjebak atau tidak. Ia juga kepingin lihat
jebakan apa yang ada di situ.
Tak lama, Lan Fung sampai di tempat itu. Ia agak terburu-buru karena takut
gelap. Tak ada cahaya sama sekali. Ia tak tahu Ching-ching sembunyi di balik
tikungan dengan obornya. Tapi, ia melihat pantulan cahaya dan ingin cepat-cepat
mencapainya. Sayang, ia tak punya pikiran membawa obor yang terakhir dilihatnya.
Lan Fung tidak melihat adanya benang yang melintang itu. Ia menabraknya putus.
Bersamaan dengan itu, puluhan benda yang halus tajam menyerangnya. Lan Fung
tidak siap. Ia tak dapat melihat dan tak sempat mengelak.
Jeritannya menggema di lorong itu. Ching-ching yang mendengar jadi kuatir juga.
Ia buru-buru melihat apa yang terjadi pada Lan Fung. Gadis she Thio itu
menjerit-jerit. Ia kelihatan begitu senang waktu Ching-ching datang melihat apa
yang terjadi pada Lan Fung.
“Cepat! Tolong aku,” pintanya. “Ada binatang yang menggigitku. Aku tak tahu
binatang ini apa, tapi tolong singkirkan. Gigitan mereka rasanya seperti tusukan
jarum.”
“Memang jarum,” kata Ching-ching mencabut sebuah dari tubuh Lan Fung.
Diperiksanya kalau-kalau jarum itu beracun. Ternyata tidak. Benda itu cuma
jarum-jarum yang biasa dipakai untuk senjata rahasia saja. Ching-ching merasa
lega, tapi juga agak kecewa. Mendadak ia mendapat ide bagus.
“Celaka kau!” katanya dengan lagak kuatir. “Jarum ini beracun. Wah! Barangkali
kau akan segera bertemu setan neraka. Siap-siaplah!”
Thio Lan Fung bengong sesaat. Tahu-tahu ia menangis keras sekali. “Aku tidak mau
mati … hu-hu-hu … tidak mau!”
Ching-ching kaget. Dikiranya Lan Fung akan uring-uringan atau bagaimana,
Ching Ching 221
bukannya malah menggerung-gerung macam begini. “He, dasar cengeng. Sebegitu saja
nangis. Kenapa? Takut mati? Rupanya kau banyak dosa ya? Takut masuk neraka lapis
ketujuh?” ejeknya.
Bukan membalas seperti yang diharapkan, tangis Lan Fung makin keras. Diam-diam
Ching-ching merasa bersalah juga. Barangkali leluconnya sudah kelewat batas.
“Huss! Diam. Berisik! Kau menakuti aku saja, menangis di tempat begini,” gadis
itu mengomel. “Sudah, kau tak bakalan mati. Itu barusan cuma jarum biasa. Kalau
tak percaya, lihat saja sendiri!” Disodorkannya jarum yang dipegang.
Lan Fung berhenti menangis. Diperhatikannya jarum itu. Ching-ching benar! Jarum
itu tidak beracun. Berarti ia ketipu. Kurang ajar! “Kau jahat!” katanya mau
memukul Ching-ching.
Gadis itu berkelit hingga pukulan mengenai tempat kosong. “Ha-ha, cengeng! Setan
cengeng takut mati!” ejek Ching-ching seraya lari menjauh. Lan Fung mengejar.
“Hei, hati-hati jebakan lagi!” Ching-ching memperingatkan.
Lan Fung jadi tak berani buru-buru. Ia tak mau kena jebakan lagi. Jarum-jarum
yang barusan memang cuma bikin kulitnya lecet sedikit. Tapi bagaimana kalau
selanjutnya beracun? Ia tak mau mati buru-buru.
Susul-menyusul, dua gadis itu masuk ke sebuah ruang yang agak sempit. Mereka tak
bisa melanjutkan perjalanan karena terhalang tembok.
“Eh, apakah kita salah jalan?” Ching-ching bertanya heran. Ia meraba-raba
dinding di hadapannya, kalau-kalau ada jalan rahasia. Diperhatikannya batu yang
tersusun. Lalu ia mundur beberapa langkah. Samar-samar dilihatnya garis yang
membatsi bidang segi empat. Itu pasti pintunya.
“Ah, capek-capek kemari cuma ketemu tembok!” putus asa Lan Fung yang berada di
belakang Ching-ching, menyandar ke tembok.
Tahu-tahu dinding yang disandarinya bergerak maju. Ching-ching yang sedang
mencari cara membuka pintu rahasia kaget. Apalagi waktu dinding yang satu lagi
ikut bergerak dan jalan di belakang terpotong jeruji besi. Dua gadis itu mencoba
menahan gerakan dinding, tapi percuma. Dinding itu terus bergeser makin mendesak
mereka.
Ching-ching buru-buru meninggalkan dinding yang bergerak, berbalik dan kembali
mencoba membuka pintu rahasia. Ia menekan-nekan batu yang letaknya agak aneh.
“Kau sedang apa? Bukannya membantu!” Lan Fung berteriak panik. “Bisa-bisa kita
mati terjepit di sini!”
“Aku sedang mencari jalan keluar,” kata Ching-ching. Ia mulai panik juga.
Badannya berkeringat dingin. Ia tak mau kalau harus mati tergencet di sini.
“Dapat!” seru Ching-ching tiba-tiba, tapi pintu baru bergerak sedikit sementara
ruang makin sempit. Kalau makin sempit lagi, pintu itu tak akan mungkin dibuka!
Ching-ching mengira-ngira. Lebar pintu tak sampai setinggi badannya. Ia harus
menahan dinding sampai pintu terbuka. Lan Fung tak mungkin diharapkan. Sekarang
saja ia sudah putus asa dengan air mata bercucuran.
Ching-ching melompat, menapakkan kakinya miring ke dinding. Posisinya
memungkinkan ia menahan gerak kedua dinding dengan ilmu Tie-san-pai-san (pinjam
tenaga mendorong gunung), tapi juga dapat bergerak cepat kalau pintu sudah
membuka.
“Cengeng, cepat kau dorong batu yang kesepuluh dari bawah, kelima dari kanan!”
Lan Fung yang sudah amat takut menurut, tak sadar kalau Ching-ching memanggilnya
dengan sebutan ‘cengeng’. “Yang ini?” suara Lan Fung agak bergetar.
“Bukan, yang di atasnya sebelah kiri. Aduh, cepat. Aku tak bisa lama-lama
begini!” Saking kuatnya menahan, kaki dan tangan Ching-ching mulai kesemutan.
Ching Ching 222
“Ayo tekan!” perintahnya kepada Lan Fung. “Loyo amat, mentang-menang belum
dikasih makan.”
Baru saja ia bicara, pintu rahasia itu berputar membuka jalan. Lan Fung langsung
melompat keluar. Bhing-bhing beringsut mendekati pintu. Pada keadaan begini,
rasanya jarak ke pintu itu jauuuh sekali.
Lan Fung menarik napas. Ia sudah bebas! Ia tak bakal mati tergencet. Tapi
Ching-ching masih di dalam! Mata Lan Fung berkilat. Bagaimana kalau ia tutup
pintu rahasia itu? Gadis bernama Ching-ching akan lenyap selamanya. Dan dia,
Thio Lan Fung, ak akan punya saingan menyebalkan macam gadis itu. Tangan Lan
Fung terulur menutup pintu. Pintu itu kini tinggal punya celah sedikit sekali.
Ching-ching tak mungkin lewat lagi.
Tapi, dugaan Lan Fung keliru. Pada saat bersamaan sebelum pintu menutup, sesosok
tubuh mendorong pintu itu. Pintu berputar keras. Lan Fung buru-buru melompat
mundur, takut kalau terbawa balik lagi ke tempat yang baru ditinggalkan. Pintu
menutup dan suara berdebum terdengar di baliknya.
Ching-ching terduduk lemas. Nyaris ia celaka!
“Thio Lan Fung biadab!” umpatnya. “Lucu, dua kali kuselamatkan nyawamu, dua kali
kau mau celakakan aku. Gila! Kau bukan manusia. Anjing saja tahu balas budi.”
“Kau samakan aku dengan anjing?” Lan Fung melotot.
“Tidak! Kubilang anjing masih lebih tahu diri daripadamu. Anjing tak pernah
gigit orang yang pernah menyelamatkan jiwanya, tahu. Tidak seperti kau!"
Lan Fung marah. Ia mencabut pedangnya yang selalu dibawa. Ditempelkannya ke
leher Ching-ching. Gadis itu tidak mengelak.
“Apa? Kau mau bunuh aku? Bunuhlah! Kugentayangi kau nanti!”
Lan Fung tergetar mendengar ucapan Ching-ching. Orang-orang di Cheng-kok-pay
sering membicarakan ilmu sihir dan segala macam hantu. Dari kecil Lan Fung
bergaul dengan mereka. Sedikit banyak ia percaya hal seperti itu. Dan sumpah
Ching-ching tampaknya tidak main-main!
Lan Fung menurunkan pedangnya. Ia memalingkan muka. “Kali ini aku tak akan
membunuhmu. Anggap saja balas budi hutang nyawaku padamu.”
“Hih! Baru tahu ada orang balas budi begini,” kata Ching-ching. “Thio Lan Fung,
kau tak usah repot-repot. Aku pun tak sudi menagih hutang budi dari orang
macammu.” Sesudah bicara demikian, Ching-ching merebahkan diri di tanah.
“Kau buat apa?” tanya Lan Fung.
“Tidur.”
“Tapi … tapinya …”
“Tapi apa? Aku lelah. Ini mestinya sudah malam. Kenapa? Kau mau duluan? Duluan
saja. Paling ada setan iseng mengganggumu,” kata Ching-ching membuat hati Lan
Fung ciut. Sejenak keduanya terdiam.
“Haaa!” tiba-tiba Ching-ching berteriak.
“Aaaaa!” Lan Fung menjerit kaget.
Ching-ching tertawa. “Pengecut!” ujarnya. Lalu ia memejamkan mata.
Beberapa lama Lan Fung berdiri saja. Ia memandangi Ching-ching yang mulai pulas.
Dipandanginya tempat mereka sekarang ini. Tapi kemudian ia ketakutan sendiri.
Cahaya obor di dinding membuat bayangan-bayangan aneh. Pelan-pelan dihampirinya
Ching-ching dan berbaring di samping gadis itu.
Ching-ching tersenyum. Sekarang ia tahu kelemahan gadis ini. Hantu!
Entah berapa lama keduanya tidur. Ketika bangun, Lan Fung mendapati Ching-ching
masih pulas. Gadis ini bangkit. Ia tak tahu ini sudah pagi atau masih tengah
malam, tapi tidurnya barusan membuat semangatnya menyala lagi. Ia harus
Ching Ching 223
mendahului Ching-ching mengambil pedang Yap Lie Hoa!
Dipenuhi pikiran demikian, Lan Fung maju lagi, lupa segala macam urusan hatu
semalam. Kali ini ia membawa obor. Ia tak mau terjsebak seperti kemarin.
Tapi, percuma saja ia berjalan berhati-hati, tak ada sama sekali jebakan yang
menghadangnya sampai ia tiba di ruangan lain. Ruang yang penuh senjata. Dan di
sebuah altar batu di tengah-tengah ruangan, terdapat pedang Yap Lie Hoa. Lan
Fung kesenangan kini. Ia tinggal cari jalan keluar!
“Jangan girang dulu!” tiba-tiba sebuah suara terdengar. Lie Mei Ching sudah
berada di belakangnya tanpa ketahuan. “Pedang di tanganmu itu bukan milik Yap
Lie Hoa. Tapi yang ini.” Ching-ching tunjukkan pedang yang ia pegang.
“Bohong!” tuduh Lan Fung.
“Eh, tidak percaya. Memangnya kau pernah lihat Cie-cie Lie Hoa memakai pedang di
tanganmu itu? Aku sudah sering melihat Cie-cie Lie Hoa bertempur. Aku tahu
persis mana pedangnya mana bukan.”
Lan Fung termakan omongan Ching-ching yang dipikirnya ada benarnya juga.
Dibuangnaya pedang yang sudah di tangannya dan bergerak hendak merebut pedang di
tangan Ching-ching. “Berikan padaku!” bentaknya.
“Kebagusan amat!” Ching-ching berkelit hingga pedang itu tak sempat dirampas.
Lan Fung mulai menyerang untuk merebut pedang di tangan Ching-ching. Ia mencabut
pedangnya sendiri. Untuk menyaingi gadis di hadapannya ini, Lan Fung tak
segan-segan melukai.
Makin lama, Ching-ching tampak makin keteteran. Lan Fung tambah bersemangat dan
menyerang dengan bertubi-tubi, sampai pada akhirnya ia berhasil membuat pedang
di tangan Ching-ching terlempar. Cepat disambutinya pedang itu.
“Terima kasih pedangnya. Permisi, aku duluan!” Lan Fung menghilang, masuk ke
lorong lain yang belum mereka lewati.
“Gadis tolol!” gumam Ching-ching. “Tak kusangka bakalan begitu gampang
menipunya.” Ia mengambil pedang yang tergeletak di tanah. Pedang Yap Lie Hoa
yang dilempar begitu saja oleh Lan Fung. Lalu ia menyusul Lan Fung mencari jalan
keluar.
Ditemukannya Lan Fung termenung di ujung olorng. Kemudian, ia melihat apa yang
mengakibatkan Lan Fung bengong begitu. Di depan mereka terdapat semacam danau
dengan airnya berwarna merah dan bergolak meletup-letup. Di atas danau itu
terdapat banyak batu. Ching-ching keheranan, kenapa Lan Fung malah bengong dan
bukannya buru-buru menyeberang?
“Aku tidak tahu ada jebakan apa di situ,” jawab Lan Fung waktu ditanya. “Aku tak
mau mati konyol. Buat apa buru-buru?”
“Tolol! Kalau tidak mencoba, bagaimana kau tahu?”
Lan Fung tersenyum sinis. Justru itu aku tunggu kau, supaya kau mencoba dan aku
tinggal terima hasilnya, pikir gadis itu licik.
Tanpa ragu-ragu Ching-ching melompat ke batu terdekat. Tahu-tahu batu itu
melesak ke dalam. Untung Ching-ching sempat melompat dan berdiri lagi di tanah
datar.
“Begitu ya,” gumamnya. “Jadi kalau aku salah pilih batu loncatan, batu itu akan
melesak ke dalam, dan aku tercebur. Hmm, aku ingin tahu, cairan apa ini. Apa
yang bakal terjadi kalau tercebur ke situ.”
Ching-ching tak berani menyentuh cairan itu. Ia mencabut sebuah tusuk konde
peraknya dan mencelupkan ke danau aneh itu. Ketika diangkat, ternyata tusuk
konde kehitaman menandakan cairan itu beracun.
“Dari tadi aku sudah tahu pasti ada apa-apanya,” kata Lan Fung. “Tapi apa
Ching Ching 224
akibatnya?”
“Mana tahu. Barangkali bisa membunuhmu seketika. Kau mau coba? Aku sih lebih
baik tidak saja.”
“Banyak omong. Cepat nyeberang sana!”
“He, jangan dikira aku tak tahu maksudmu. Aku maju, buka jalan, kau terima enak,
begitu? Tak usah ya. Aku bisa menyeberang tanpa buka jalan untukmu.”
Dengan cepat Ching-ching lari menyeberang. Batu mana pun yang diinjaknya tak ada
yang melesak ke dalam. Lan Fung tercengang. Ia tak tahu kalau gin-kang
saingannya baik sekali.
“Lihat!” kata Ching-ching pamer. “Kata-kataku benar belaka, bukan?” Ia berlari
lagi ke tempat semula. “Tapi, kalau cuma begitu saja, permainan jadi tidak seru.
Biarlah sekali lagi aku berbuat jasa padamu.”
Ching-ching tidak menggunakan gin-kang lagi. Ia sengaja melompat dengan badang
diberatkan. Batu yang diinjak bergerak! Cepat ia melompat ke batu lain. Masih
bergoyang juga! Ia melompat lagi sampai menemukan batu yang kukuh.
“Wah, ini sungguh menyenangkan!” seru Ching-ching girang.
Ia berusaha lagi. Akhirnya terbuka satu jalan buat Lan Fung. Sayang, jarak
batu-batu itu berjauhan. Hampir Lan Fung kecebur ketika mencoba melompat dari
batu yang satu ke batu yang lain. Untung ilmunya lumayan hingga ia dapat selamat
sampai seberang.
“Lucu melihatmu!” Ching-ching cekikikan. “Gerakanmu barusan seperti monyet
menari menirukan bangau. Nanti kakinya naik sebelah, nanti tangannya
mengepak-ngepak. Hihi, sungguh lucu, sungguh lucu!”
“Diam kau!” bentak Lan Fung.
Ching-ching berlagak tidak dengar. Ia memperhatikan batu-batu yang masih banyak
mengapung. “Aku masih belum bosan dengan permainan ini,” katanya. “Kau duluan
saja. Aku masih mau main.” Ia melompat ke batu-batu yang belum pernah diinjak.
“Kurang kerjaan!” dengus Lan Fung, yang langsung melanjutkan perjalanan
sendirian. Ia berjalan menunduk memperhatikan tanah, kalau-kalau ada jebakan
lagi. Ketika sedang asyik-asyiknya melangkah, Lan Fung merasa rambutnya
tersangkut sesuatu. Dan kemudian belasan pisau terlempar ke arahnya.
Lan Fung cepat-cepat menangkisi pisau yang datang. Ia tak sampai terluka berat.
Tapi, beberapa bagian bajunya ada juga yang tersabut.
“Kali ini jebakannya di atas ya. Hebat! Padahal kau sudah mengawasi tanah di
bawahmu. Ha, Thio Lan Fung, untung aku jalan duluan. Kalau tidak, pasti aku yang
tersabet pisau-pisau itu.” Ching-ching yang datang belakangan mengejek.
“Huh!” Lan Fung mendengus.
“Hai, mendengari dengusanmu, aku ingat kuda-kudaku di Sha-ie. Bunyinya sungguh
persis,” Ching-ching tertawa dan berjalan mendaului.
Lan Fung membiarkan, supaya kalau ada jebakan lagi, Ching-ching kena duluan.
Keduanya berjalan terus dan itu makan waktu berjam-jam sebelum mereka sampai ke
sebuah jurang. Tampaknya mirip dengan jurang yang mereka lewati kemarin. Hanya
saja di sini tak ada balok kayu. Alat yang dipakai menyeberang cuma tali-tali
yang menggelantung dari atas. Ujungnya entah di mana. Ujung yang satu lagi
menjulur agak ke sebelah bawah dari bibir jurang.
Ching-ching menaksir, kira-kira bisa tidak ia melompat begitu saja ke sisi
jurang yang lain. Tampaknya tidak begitu jauh. Tapi, tali-tali yang menggantung
menghalangi loncatannya. Kalau itu terjadi, badannya bisa terbanting ke dalam
jurang dan tamatlah riwayatnya. Tidak! Lebih baik ia mencoba jalan aman saja.
Ching-ching melompat ke tali yang paling dekat. Jaraknya cuma dua tombak dari
Ching Ching 225
bibir jurang. Tapi, kalau memikirkan bahaya jatuh ke bawah, jarak dua tombak
terasa jauh sekali. Gadis itu mengayunkan tali yang diganduli tubuhnya ke tali
lain yang jaraknya sama, dua tombak. Diraihnya tali kedua. Dapat! Ia mengayun
lagi ke tali ketiga. Begitu terus sampai lima tali terlewat. Ia selamat.
Lan Fung sempat melihat cara Ching-chinglewat. Ia bergidik ngeri sambil setengah
berharap moga-moga saingannya jatuh dan mati. Sayang, harapannya tidak terkabul.
Malah ia sendiri kini yang harus berusaha lewat.
“Hoy! Ayo cepat, bengong saja. Takut, ya?”
“Aku Thio Lan Fung tak takut apa pun.”
“Buktikan, coba menyeberang ke sini!”
Lan Fung masih ragu-ragu. Jarak dua tombak untuk meraih tali pertama itu
lumayan. Kalau ia gagal …
Ching-ching tak sabar. Ia ingin melihat Lan Fung menyeberang, sekaligus juga
tidak betah dan ingin cepat-cepat keluar. Meliht Lan Fung ragu-ragu, ia tambah
kesal saja. “Lama amat!” serunya.
Lan Fung tak menjawab.
“Hei, kau masih hidup atau sudah mati di situ?” tanya Ching-ching.
“Aku masih hidup,” jawab Lan Fung, tapi belum juga bergerak selangkah.
Ching-ching memutar otak supaya Lan Fung cepat. “Thio Lan Fung, itu di
belakangmu ada setan!”
“Waaa,” Lan Fung tak sadar melompat ke tali pertama. “Man … m-man … mana?” ia
gemetaran.
Ching-ching tertawa. “Setannya tak lain kau sendiri,” katanya. “Habisnya aku tak
sabar menunggu.”
“Aku tak perlu ditunggui!”
“Ya sudah, aku pergi. Tapi, kalau ada apa-apa, aku tak mau menolong.”
Ching-ching meninggalkan tempat itu.
“Aku tak butuh pertolongan,” kata Lan Fung. Baru saja berkata begitu, Lan Fung
yang sedang melompat ke tali kedua gagal. Badannya meluncur ke jurang di bawah
mereka.
Teriakan Lan Fung mengejutkan Ching-ching. Ia kembali untuk melihat apa yang
terjadi. Lan Fung tak lagi tergantung di tali. Ia terbaring, badannya seolah
mengambang kira-kira dua elo di bawah.
Ching-ching keheranan. Dengan merosot lewat tali, ia menuju ke tempat Lan Fung.
Begitu sampai, ia tahu apa yang menyebabkan Lan Fung tak terbanting ke dasar
jurang. DI sana, dua tombak dari mulut jurang, dipasangi jala yang berwarna
hitam hingga tidak jelas kelihatan dari atas.
“Mestinya aku tahu,” gumam Ching-ching. “Pek-san-boe-koan itu partai putih, tak
mungkin mau mencelakai orang. Berarti, di tiap jebakan yang kami lewati sudah
ada alat pelindungnya. Ah, biar kutanya pada Kian Ko-ko nanti.”
Gadis itu memandangi Lan Fung yang semaput ketakutan. Ditotoknya jalan darah
gadis dari Cheng-kok-pay itu hingga sadar lagi. “He, kau tidak butuh
pertolonganku kan. Aku tunggu kau di luar saja, ya.”
Lan Fung yang baru tersadar bingung. Apakah ia berada di dasar jurang? Kenapa
Ching-ching juga ada di sana? Tapi begitu melihat Ching-ching melompat ke tepi
jurang, Lan Fung mengerti apa yang terjadi.
“Pedangku!” tiba-tiba Lan Fung teringat. Celaka kalau pedang itu tidak ada. Ia
tak akan menjadi murid utama di Pek-san-boe-koan!
Ternyata pedang itu ada di dekatnya. Lan Fung menghembuskan napas lega.
Diam-diam ia heran juga kenapa Ching-ching tidak mengambilnya, padahal ia
Ching Ching 226
pingsan barusa. “Gadis tolol!” gumamnya sambil naik ke tepi.
Ching-ching melalui lorong-lorong panjang dengan berlari. Ia tak takut jebakan
yang menanti. Dan memang tak ada jebakan di sana sampai Ching-ching menemukan
sebuah pintu batu. Ia keluar lewat sana dan sampai di ruangan tempatnya
mula-mula masuk kemarin. Hanya kali ini ia keluar lewat pintu sebelah kanan!
Gadis itu cepat keluar. Miauw Coen Kian dan adik-adiknya menyambut. “Bagaimana?”
tanya mereka.
Sambil memasang tampang sedih, Ching-ching menggeleng. Yang lain kecewa.
Tak lama kemudian Thio Lan Fung keluar, langsung menghadap Lie Wei Ming,
berlutut dan mengangkat pedang milik Yap Lie Hoa. “Tee-coe berhasil mendapatkan
pedang ini,” kata Lan Fung dengan suara keras penuh kebanggaan.
Lie Wei Ming memperhatikan sejenak. “Ini bukan pedang Lie Hoa,” katanya.
Lan Fung terkesiap. “Tapi … tapi …,” ia tergagap dengan mata melotot.
Tahu-tahu Ching-ching tertawa.
“Lie Mei Ching, kay yang menyimpan benda itu?” tanya Lan Fung kaget.
“Tentu saja,” jawab Ching-ching.
“Tapi kau tidak membawa apa-apa dari dalam sana.”
“Siapa bilang?” Ching-ching menyibakkan rambutnya yang terurai menutupi
punggung. Dari balik bajunya tersembul sebuah gagang pedang. Dicabutnya pedang
itu. “Ini dia!” katanya memberikan kepada Lie Wei Ming.
“Baiklah,” kata Lie Wei Ming. “Kita sudah lihat, Ching-ching memenangkan dua
kali ujian, berarti ia yang berhak menjadi murid utama Pek-san-boe-koan. Thio
Tay-hiap, bagaimana pendapatmu?”
Thio Chin Wu tidak berkata, hanya mengangguk.
“Curang!” jerit Lan Fung. “Lie Mei Ching, kau menipu aku di dalam tadi.”
“Salahmu sendiri, kenapa mau ditipu. Thio Lan Fung, sayang, kau terlambat
menyesali ketololanmu.”
“Curang! Kalian semua mencurangi aku!”
Plak! Terdengar suara tamparan keras. Thio Chin Wu sudah turun tangan menggampar
anaknya. Ia hendak menghajar lagi, tapi keburu dihalangi oleh Lie Wei Ming.
“Thio Tay-hiap, memukul bukanlah cara mendidik yang baik.”
Thio Chin Wu sampai megap-megap mengendalikan amarah dan rasa malu. “Kau!”
tudingnya pada Lan Fung. “Cepat minta maaf!”
“Tak sudi!” kata Lan Fung, kemudian lari menuruni gunung itu sambil menangis.
“Fung-fung!” panggil ayahnya, tapi tak digubris.
“Sabar, Thio Tay-hiap. Menghadapi anak muda tak boleh terlalu keras.”
Thio Chin Wu harus menenangkan diri agak lama, baru berkata, “Lie Tay-hiap,
mohon maafkan kelakuan anakku yang tak tahu adat.”
“Sudahlah, anak muda memang panas hati.”
“Lie Tay-hiap sungguh penuh pengertian. Terima kasih atas kebaikan Tay-hiap,”
kata Thio Chin Wu. “Tapi saya harus menyusul anak saya yang terlalu manja. Saya
mohon diri.” Thio Chin Wu menjura dan segera menyusul anaknya.
Lie Wei Ming berpaling pada Ching-ching. “Kau istirahatlah. Sore nanti harus
menghadap di ruang tengah.
“Baik, Soe-hoe,” sahut Ching-ching. Begitu soe-hoenya pergi, semua murid
Pek-san-boe-koan menghampiri gadis itu dan menyalaminya dengan gembira.
“Ching-ching, untung saja kau berhasil mengalahkan Thio Lan Fung. Kalau tidak,
aku tak bisa bayangkan,” cetus seorang murid tingkat tiga.
“Ya, kau boleh gembira. Dan ingat, lain hari kau harus panggil aku Soe-cie,”
kata Ching-ching tak kalah senang.
Ching Ching 227
“Baik, Soe-cie,” kata murid-murid itu meledek.
“Sekarang belum, besok saja,” kata Ching-ching sungkan.
“Hei, Ching-ching, kalau sudah jadi soe-cie kami nanti, jangan galak-galak yah.”
“Lihat saja nanti, tapi aku tak mau berjanji.”
“He, teman-teman, hari ini pantas dirayakan. Ayo ke dapur! Mumpung Ching-ching
belum jadi soe-cie, dia harus masuk untuk kita!”
“Setuju!”
“Lie Mei Ching. Sesudah hari ini kau menjadi murid utama Pek-san-boe-koan. Kau
harus mematuhi aturan-aturan kami. Apakah kau sudah tahu aturan apa saja?”
“Satu-dua Tee-coe sudah tahu dari Soe-cie dan Soe-heng.”
“Memang tugas mereka menjelaskan satu-satu padamu. Tapi apakah kau tahu
peraturan utama?”
Ching-ching menggeleng.
“Kuberitahukan padamu. Satu, selama menjadi murid Pek-san-boe-koan, tak boleh
menggunakan ilmu dari luar. Dua, tidak boleh mengkhianati perguruan. Tiga, tidak
boleh bertindak kejam yang mencoreng nama perguruan. Apakah kau mengerti
ketiganya?”
“Tidak mengkhianati partai Tee-coe mengerti. Tapi, apa maksudnya tak boleh
bertindak kejam? Apakah Tee-coe dilarang membunuh? Bagaimana kalau jiwa sendiri
terancam?”
“Bukan, bukan itu. Maksudnya adalah kau mesti berlaku adil, tak boleh salah
gunakan ilmu. Kalau kelak kau menghadapi musuh yang kemudian menyerah, kau tak
boleh membunuh dia. Kau harus beri dia kesempatan. Itu salah satu contoh. Masih
banyak lainnya. Kau akan tahu sendiri nanti.”
“Lalu, selama menjadi murid Pek-san-boe-koan aku tak boleh menggunakan ilmuku
yang dulu. Bagaimana kalau sebelum aku menguasai ilmu baru, lantas tiba-tiba
disergap kawanan rampok? Aku tak mungkin begitu saja memberikan jiwaku kepada
mereka.”
“Bagus kau tanyakan itu. Aku jadi lebih gampang menerangkan bahwa sebelum kau
cukup menguasai ilmu Pek-san-boe-koan, kau tak boleh ke mana-mana kecuali
ditemani soe-heng atau soe-ciemu.”
Ching-ching meringis. “Kalau begitu aturannya, bolehkah Tee-coe mohonkan satu
hal?”
“Katakanlah.”
“Bolehkah Soe-hoe ajarkan Tee-coe gin-kang sebelum yang lain-lainnya?”
“Gin-kang?” Lie Wei Ming bertanya heran. Biasanya murid baru ingin langsung
belajar kiam-soet dari Pek-san-boe-koan yang terkenal. Yang ini kok lain
sendiri.
Ching-ching memahami keheranan gurunya. Ia cepat menyambung, “Gin-kang, supaya
gampang kalau kabur dari musuh.”
“Kabur?” Wei Ming agak kecewa. Sedemikian pengecutkah gadis yang nampak gagah di
hadapannya ini?
“Soe-hoe jangan melotot. Tee-coe pernah baca dalam ktiab siasat perang, bahwa
orangyang bijaksana adalah orang yang tahu kapan harus undur dari hadapan
lawan-lawannya untuk tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kalau
memang kurang daya, buat apa buang-buang nyawa. Lebih baik kabur dan cari jalan
untuk menebus kekalahan. Begitu kata buku,” dalih Ching-ching.
Lie Wei Ming mengakui kebenaran kata-kata itu. Apalagi Ching-ching mengatakan
itu didapat dari kitab, tentu saja ia tambah percaya. Guru besar perguruan
gunung putih itu tak tahu sebagian cuma karangan Ching-ching saja buat bikin
Ching Ching 228
alasan.
“Baiklah. Asal jangan sering-sering kabur saja. Kau bisa dianggap pengecut oleh
orang yang tak tahu siasat.”
Ching-ching tersenyum dalam hati. Padahal, ia minta diajari ginkang supaya tak
terlalu ketinggalan kalau adu lari dengan Wu Fei.
“Hari ini kau sudah cukup lelah tentunya. Ambillah beberapa hari beristirahat.
Setelah itu, kau harus belajar sungguh-sungguh. Tak ada waktu main-main lagi.”
Hari yang diberikan Lie Wei Ming tidak disia-siakan oleh Ching-ching. Sedapat
mungkin ia bersenang-senang. Hari pertama ia memaksa Wu Fei berendam di sungai
seperti yang dijanjikan toa-soe-hengnya. Ia menjebak Wu Fei mandi, lantas
mencuri pakaian pemuda itu. Murid-murid yang lain hanya ketawa saja melihat Wu
Fei yang mengomel tak berani keluar dari air.
Untung bagi Wu Fei, hari itu, entah kenapa, gurunya lewat membawa baju baru yang
pas sekali di badannya. Bagusnya lagi, soe-hoenya itu tak bertanya macam-macam,
cuma menyuruh membawakan pakaian ke dalam. Tentu saja pakaian itu digunakannya
baik-baik. Saudara-saudara seperguruannya agak kecewa, tetapi melihat ia
direndam setengah hari pun cukuplah.
Hari kedua Ching-ching berjalan-jalan dengan Miauw Coen Kian ke kota, tapi ia
tak terlalu menikmati perjalanannya. Coen Kian terlalu jeli matanya. Terutama
waktu ia menyambar sebuah boneka kayu dari tukang mainan dan sebuah gelang giok
yang ingin dijadikan oleh-oleh untuk soe-cienya.
“Keluarkan!” kata Chun Kian waktu Ching-ching menyelipkan gelang itu di
sabuknya.
“Keluarkan apa?” tanya gadis itu berlagak tak mengerti.
“Keluarkan!” perintah Chun Kian lebih tegas.
“Apaan?”
“Jangan bercanda. Aku lihat apa yang kauperbuat. Jangan sampai aku turun tangan
di depan orang banyak.”
Sambil cemberut, Ching-ching mengeluarkan juga barang yang dicurinya.
“Kembalikan!”
“Apa?”
“Kembalikan ke penjualnya.”
“Kembalikan saja sendiri,” kata Ching-ching sambil menyodorkan gelang giok itu
kepada Coen Kian.
“Kau yang ambil, kau kembalikan sendiri!”
Melihat wajah Chun Kian yang galak, Ching-ching tak berani membantah. Ia
berjalan mengembalikan curiannya, sedapat mungkin tanpa diketahui orang.
“Mentang-mentang sudah jadi soe-heng, sekarang galak betul padaku,” gerutunya.
Diam-diam Chun Kian tersenyum di hati. Sebenarnya ia tak mau terlalu keras
kepada soe-moaynya. Tapi, gadis liar ini perlu dididik baik-baik supaya tahu
adat. Dan itu adalah tugasnya sebagai murid tertua.
Ching-ching masih ngambek waktu mereka pulang. Ia berjalan mendului soe-hengnya.
Tahu-tahu ketika ia sedang mengomel sendirian, delapan orang menghalangi
jalannya. “Ini rupanya bocah cilik yang berani menghina aku,” kata yang paling
depan dan paling garang wajahnya.
“Tak salah lagi, Tay-ong,” kata orang di sebelahnya.
“He, orang-orang jelek, jangan halangi aku berjalan!” bentak Ching-ching
sekalian melampiaskan kekesalan.
“Bocah busuk, kau lupa aku punya dendam denganmu?”
“Dendam apaan, ketemu juga baru sekarang,” kata Ching-ching.
Ching Ching 229
“Hah, rupanya nyawa orang tak ada harganya lagi di matamu. Apakah kau lupa,
pernah bunuh tiga orang anak buahku di tempat ini sebulan lalu?”
Ching-ching mengingat-ingat. Apakah tiga rampok dulu itu anak buah orang di
hadapannya? Kalau begitu, orang ini tak lain adalah Kim-to-tay-ong yang
bersarang di Bukit Awan!
Gadis itu melirik ke arah pinggang penantangnya. Ada gagang golok di sana.
Terbuat dari emas! Perkiraannya benar. Rupanya si raja rampok ini mau balas
dendam. Bagus! Dibunuh saja sekalian. Eh, tidak mungkin. Sekarang ini ia
takboleh menggunakan ilmu. Bagusan menghindar saja.
“Kalian salah mengenali orang,” Ching-ching menunduk dan jalan mengitari
gerombolan itu.
“Tak mungkin,” kata salah seorang rampok. “Aku ingat betul kau yang membunuh
tiga saudara kami kemarin dulu.”
“Bagaimana kau begitu yakin?”
“Waktu itu aku bersembunyi di semak dan melihat kau dan seorang kakek membunuh
tiga saudara kami.”
“Hah, masih mau mungkir?” Kim-to-tay-ong mencabut goloknya. “Coba aku mau lihat,
kau berani pasang lagak di depan Raja Rampok Bergolok Emas?”
“Aku sudah bilang, kalian salah mengenali orang!”
“Kenapa? Kau takut pada nama besarku? Maka dari itu, anak kecil jangan banyak
ikut campur. Lari sana ke pangkuan ibumu.”
“Perampok busuk, banyak mulut!” suara gadis itu bergetar karena marah. Tangannya
sudah gatal ingin bergerak. Kalau saja tak ingat janjinya pada gurunya, sudah
tadi-tadi kepala si pemimpin rampok ini turun ke tanah.
“Anak kecil, mulutmu lancang! Kurobek biar kau tak usah banyak omong lagi!”
Kim-to-tay-ong mengacungkan goloknya. Delapan orang serentak maju.
“Pengecut, beraninya keroyokan,” ejek Ching-ching.
“Tak ada urusan denganmu. Serang!”
“Tahan!” seseorang berseru. Miauw Chun Kian berlari mendapati soe-moaynya.
“Ching-ching, kau tak apa-apa?”
“Toa-soe-heng, delapan rampok bego ini berani ganggu aku.” Ching-ching
bersembunyi di balik punggung Chun Kian.
“Coe-wie harap lepaskan adikku,” Chun Kian menjura.
“Mana bisa! Ia sudah membunuh tiga orang saudara kami.”
“Jangan banyak cakap. Pemuda ini saudara si bocah itu. Dibunuh saja sekalian.”
Melihat gelagat, Chun Kian mendorong Ching-ching mundur. Gadis itu tak keberatan
menonton saja delapan orang rampok mengeroyok Chun Kian. Ia yakin soe-hengnya
akan dapat mengatasi mereka. Ia malah bersorak menjagoi soe-hengnya sambil tepuk
tangan mengejek Kim-to-tay-ong dan anak buahnya.
“Toa-soe-heng, awas di belakangmu, getok saja pakai pedang. Rasakan tukang
bokong! He, lihat di sebelah kanan, tendang saja. Yak! Aku suka ini. Sungguh
bagus sekali,” katanya sambil melompat-lompat.
“Bocah ceking, banyak mulut!” maki Kim-to-tay-ong.
“Bocah gendut, kurang lincah!” balas Ching-ching. “Toa-soe-heng, jangan
sungkan-sungkan. Babat saja bandit-bandit tak berguna dari bukit awan itu!”
Beberapa jurus kemudian Chun Kian berhasil merobohkan tujuh pengeroyoknya. Kini
ia tinggal berhadapan dengan Kim-to-tay-ong sendiri. Kepala rampok ini, melihat
anak buahnya terguling satu-satu, semangatnya jadi terbang juga. Ia tak dapat
melawan waktu Chun Kian menyerangnya gencar. Bahkan ketika goloknya lepas dari
tangan, Kim-to-tay-ong tak dapat berbuat apa-apa.
Ching Ching 230
“Ha, cuma segitu kepandaian Kim-to-tay-ong, sudah berani menantang murid pertama
Pek-san-boe-koan,” ejek Ching-ching. “Bunuh saja manusia tak berguna itu,
Soe-heng!”
Mendengar nama perguruan besar itu disebut, Kim-to-tay-ong tambah ketakutan.
Murid-murid Pek-san-boe-koan terkenal sebagai pembasmi penjahat. Ia jadi
gemetaran, tak sadar jatuh berlutut. “Ampuni saya yang sungguh buta, tak lihat
gunung Thai-san di depan mata. Saya tak tahu kalau—“
“Banyak omong!” potong Ching-ching. “Ayo, Soe-heng! Tunggu apa lagi? Bunuh
saja!”
“Jangan, jangan. Istri saya ada tiga. Kalau saya mati, mereka tentu jadi janda.
Anak saya banyak. Siapa nanti yang pelihara mereka,” Kim-to-tay-ong meratap.
“Sudahlah. Kau akan kulepaskan asal mau bersumpah tak akan merampok lagi,” Chun
Kian menyudahi persoalan.
“Saya bersumpah, kalau saya melanggar, biaralah saya mati merana tak ada kubur
dan tidak bisa menitis lagi.” Masih panjang sumpah yang diucapkan
Kim-to-tay-ong, tapi Chun Kian tak mau dengar lagi. Pemuda itu menyeret
Ching-ching, yang sedang menertawakan ocehan Kim-to-tay-ong, untuk segera pergi.
“Toa-soe-heng, mengapa bandit busuk itu tidak kaubunuh saja? Orang tak berguna
macamnya, mana pantas dibiarkan hidup?”
“Siauw-soe-moay, tidakkan guru mengajarkan kepadamu supaya jangan bertindak
kejam? Baiklah, mungkin begal itu tak pantas untuk hidup, tapi bagaimana dengan
keluarganya yang tak punya dosa? Tidakkah kau kasihan kepada mereka kalau yang
semestinya menanggung hidup mereka kita bunuh? Dengan berpikir jauh seperti itu,
kita akan mudah mengampuni yang paling berdosa sekalipun.”
“Hmmm,” Ching-ching menggumam sambil menggelengkan kepala.
“Kenapa? Belum paham?”
“Bukan. Hanya saja ajara Soe-hoe berbeda sekali dengan ajaran yang pernah
kuterima. Dulu Soe-bo bilang, kasihan adalah cuma untuk orang lemah. Maka dari
itu, jangan pernah mengasihani musuh, apalagi mengampuni.”
Chun Kian tercengang. Apakah sebelumnya Ching-ching belajar dengan orang
golongan sesat sehingga berprinsip demikian? “Soe-moay, sekarang kau adalah
murid Pek-san-boe-koan. Kau harus bertindak sesuai peraturan dan apa yang
diajarkan oleh guru kita. Soal pengajaran gurumu yang dulu jangan diingat-ingat
lagi. Nanti malah bingung sendiri. Ya?”
“Baik, Toa-soe-heng,” kata Ching-ching setengah meledek Chun Kian. Lalu ia
sendiri berlari mendului kakak seperguruannya.
Dua tahun lebih Siauw Koei dididik baik-baik oleh Boe-beng-lo-jin. Pemuda itu
sudah menguasai hampir sepuluh bagian ilmu gurunya. Boe-beng-lo-jin menganggap
sudah waktunya anak berbakat yang tekut itu turun gunung. Ia memanggil muridnya
itu.
“A-koei, dua tahun lebih kau menemani aku di gua ini. Tidakkah kau ingin melihat
dunia luar?”
“Tentu ingin, Soe-hoe.”
“Hmm, aku rasa kau pun sudah pantas mencari teman hidup di luar sana.”
Boe-beng-lo-jin terkekeh sementara wajah muridnya semu dadu.
“Tee-coe sudah punya calon, Soe-hoe,” kata Siauw Koei blak-blakan.
“Oh? Siapa?”
“Ching-ching.”
“Apa?” Boe-beng-lo-jin melotot. “Setahun lebih sudah dia meninggalkanmu, dan kau
masih memikirkan siluman kecil itu!”
Ching Ching 231
Siauw Koei buru-buru menundukkan kepala, tak bernai menyahuti. Entah kenapa
soe-hoenya ini selalu kumat kalau ia menyebut nama gadis yang selalu di hatinya
itu.
“A-koei, A-koei. Kenapa kau tak bisa lepas darinya? Padahal waktu ia
meninggalkanmu dulu, kau begitu dendam padanya. Heh, dengarlah nasihat gurumu!
Jangan pautkan hatimu terlalu erat pada wanita. Apalagi yang seperti si
Ching-ching itu.” Kentara sekali rasa benci Boe-beng-lo-jin waktu menyebut nama
gadis itu. “Kalau kau tak bisa lepas darinya, kau akan merana sendiri
belakangan. Coba pikir. Gadis itu bisanya cuma membentak dan memerintah. Mana
bisa senang hidup dengannya, betul tidak?”
Siauw Koei menunduk, tak tahu apa mesti menjawab. Gurunya mana tahu apa yang ada
di hatinya. Benar, ia pernah dendam pada Ching-ching tiga hari lamanya karena
ditinggal begitu saja. Tapi, itu sebelum kemudian ia menemukan tulisan di
dinding gua yang buntu. Di gua tempat mereka selalu sembunyi dari
Boe-beng-lo-jin kalau laki-laki tua itu ingin memaksa Siauw Koei belajar silat.
Ia menemukan secara tidak sengaja, waktu hendak mengambil pelita yang
ditinggalkan. Di sana ia melihat tulisan. Tulisan itu berbunyi:
Siauw Koei, aku ada pekerjaan yang harus dilakukan. Kau kutinggal dulu di sini.
Belajar baik-baik ya. Boe-beng-lo-jin berjanji kalau sudah tamat, kau boleh
ditunjukkan jalan keluar. Saat itu, carilah aku.
Siauw Koei, kau jangan dendam padaku. Aku sebenarnya tak tega meninggalkanmu,
tapi benar kata Boe-beng-lo-jin. Kalau aku ada di dekatmu, kau tak akan
sungguh-sungguh belajar.
A-koei, aku ada meninggalkan sedikit uang buatmu. Kutitipkan kepada
Boe-beng-lo-jin. Kalau sudah waktunya, kau cari aku. Jangan lupa kautagih dari
si Tua itu. Kau belajarlah sungguh-sungguh supaya kita cepat bertemu.
Istri kecilmu,
Ching-ching
Siauw Koei ingat tiap kata yang ditulis Ching-ching. Ia sering datang ke gua itu
diam-diam dan membaca surat dari gadis itu berkali-kali. Surat di dinding itu
jugalah yang mengobarkan semangatnya untuk berlatih sungguh-sungguh. Karena
bakatnya yang lumayan dan ketekunan serta semangatnya untuk segera pergi bertemu
kembali, ia dapat menyelesaikan latihan dalam waktu singkat.
Boe-beng-lo-jin bukannya tak mengerti. Ia tahu ada sesuatu yang mengobarkan
semangat pemuda ini. Hanya saja orang tua itu salah menduga, menyangka dendam
yang menjadikan Siauw Koei begitu bersemangat mempelajari ilmunya. Tak mengira
sama sekali, justru kebalikannya yang telah terjadi.
“A-koei, Soe-hoe bicara kau dengar tidak?” tanya Boe-beng-lo-jin membuyarkan
pikiran muridnya.
“Eh … eee … dengar, Soe-hoe.”
“Dengar apa? Huh, kau tentunya sedang memikirkan bocah siluman itu lagi. Begini
saja kau tak dapat melupakannya. Tak akan kuberitahukan jalan keluar dari sini,
biar kau terkurung seumur hidup!”
Siauw Koei tersentak. Begitu tegakah gurunya? Hanya gara-gara soal itu ia mesti
tinggal di bawah tanah seumur hidup?”
“Hehe,” Boe-beng-lo-jin senang melihat Siauw Koei kelabakan. “Kita lihat saja
satu-dua hari, kau bisa lupakan dia tidak.” Orang tua itu lantas pergi.
Selama dua hari Siauw Koei siu-lian diawasi gurunya yang memaksa ia melupakan
Ching-ching. Tapi justru semakin dicoba semakin sulit lupa pada gadis itu.
Sekarang tiap kali Siauw Koei memejamkan mata, terbayang wajah Ching-ching makin
Ching Ching 232
lama makin jelas. Kadang tersenyum, melotot, meleletkan lidah, tertawa. Tapi di
depan soe-hoenya Siauw Koei berlagak berhasil.
Boe-beng-lo-jin percaya pada sandiwara muridnya. Hari ketika ia bertanya,
“Bagaimana? Iblis cilik itu masih menggentayangimu?”
“Tidak lagi, Soe-hoe. Sejak samadhi Tee-coe lakukan, Tee-coe tak lagi ingin
bertemu dengannya,” Siauw Koei berbohong.
“Bagus. Kau sudah berhasil. Lalu, kalau kau sampai di luar nanti, apa yang akan
kaulakukan?”
Nyaris saja Siauw Koei menjawab akan pergi mencari Ching-ching. Untung ia cepat
ingat dan mengatakan, “Tee-coe akan mencari pengalaman dan nama besar seperti
Soe-hoe selalu ajarkan.”
“Heeh, bagus-bagus. Itu baru muridku. Hayo bersiap, akan kutunjukkan jalan
keluar padamu.”
Siauw Koei bersiap apa? Ia tak punya apa-apa untuk dibawa.
Boe-beng-lo-jin menyadari hal itu. Ia jadi malu sendiri. “Ah, makin tua makin
pikun taku. Sini, sini. Aku punya sesuatu untukmu.” Laki-laki tua itu merogoh ke
dalam sebuah rongga dan menarik sesuatu keluar. “Ini, aku punya sedikit bekal
untukmu. Kaugunakanlah.”
Siauw Koei menerima pemberian gurunya, sebuah kantung uang dari kain warna biru.
Biarpun warnanya sudah pudar, Siauw Koei masih ingat bahwa itu adalah bahan
pakaian Ching-ching.
“Itu peninggalan dari dunia luar waktu aku minggat ke sini,” kata
Boe-beng-lo-jin berdusta.
Siauw Koei pura-pura tak tahu. Ia lekas berlutut menghormat pada gurunya.
“Terima kasih, Soe-hoe, atas semua budimu. Tee-coe sungguh tak tahu dengan apa
mesti membalas.”
“Ih, aku tak minta balas budi, Tapi, dengan melupakan si iblis cilik itu pun
cukuplah. Sudah, hayo bangun. Kau mesti berangkan sekarang sebelum aku tak rela
melepasmu pergi. Hayo ikut!”
Boe-beng-lo-jin membawa muridnya ke sebuah gua buntu. Mula-mulai Siauw Koei
bingung. Di sini mana ada jalan keluar. Tapi, saat gurunya menunjuk ke atas,
baru ia lihat jalan itu. Jalan yang sama yang pernah dilewat Ching-ching dulu.
“A-koei, aku masih ada satu nasihat buatmu. Nanti kau jangan pakai nama Siauw
Koei lagi. Kau bisa ditertawakan gadis-gadis nanti. Pakailah nama yang bagus
seperti … eh… Wang Lie Hay. Ya, nama itu pun baik. Wang artinya raja, sedangkan
Lie Hay biar tak ada artinya, tapi sama bunyi dengan lihay, hebat. Jadi artinya
kira-kira raja hebat. Yah, begitulah.Kau akan jadi orang hebat nanti.”
“Tee-coe akan suka sekali memakai nama itu. Terima kasih, Soe-hoe.”
“Eh, ya, masih ada lagi. Dalam Kang-ouw ada dua golongan hitam dan putih. Kau
tahu itu bukan? Keduanya ada baik dan buruknya. Mau masuk golongan mana, itu
terserah padamu. Tapi ada baiknya kau cari pengalaman dan nama besar dalam
golongan putih lebih dulu. Kalau bosan, mudah saja membelot ke golongan hitam.
Tapi, kalau kau pilih golongan hitam, akan sulit bagimu masuk ke golongan putih.
Hati-hatilah menentukan. Tapi, apa pun yang kaupilih, gurumu ini akan
mendukungmu sepenuhnya.”
Sesudah pamitan, Siauw Koei yang sudah mengganti namanya menjadi Wang Lie Hay
melompat ke lubang di dinding yang setinggi dua kali badannya. Cuma kegelapan
yang ada di sana.
“A-koei, jaga dirimu baik-baik!” Boe-beng-lo-jin berseru.
“Soe-hoe, jaga dirimu juga,” sahut Wang Lie Hay. Ia lantasi merangkak menyusuri
Ching Ching 233
lorong gelpa yang lembap dan pengap. Lorong yang panjang itu akhirnya berakhir
juga. Lie Hay menyembulkan kepala keluar dan ternyata ia berada di balik sebuah
batu besar.
Lie Hay mengejap-ngejapkan matanya karena silau. Hari sudah agak sore, tapi
matahari masih bersinar. Begitu terik dirasakan oleh pemuda itu. Tak heran,
selama ini ia tinggal di gua dingin yang gelap. Di sana tak ada cahaya matahari
kecuali di gua belakang di air terjun. Itu pun tak terlalu jelas karena tertutup
tirai air yang deras. Lie Hay butuh waktu agak lama untuk membiasakan diri.
Pelan-pelan pandangannya makin jelas. Ia dapat mleihat lagi semua yang sudah
lebih dua tahun ditinggalnya. Rumput dan daun hijau, langit yang biru, bunga
beraneka warna, awan-awan putih. Semua tampak lebih indah daripada yang pernah
ia lihat dulu.
Sesudah puas memandang sekelilingnya, Lie Hay melanjutkan langkah. Mula-mula
jalan yang dilewatinya sangat sepi. Kemudian ia lewat di jalan besar di mana
banyak orang pulang-pergi. Dan semua orang itu tampak memperhatikan dia dengan
heran, takut, sekaligus ingin tahu.
Lama-lama Lie Hay jadi risih sendiri. Ia memperhatikan badannya sendiri. Ah,
pantas orang-orang itu memandang dia dengan tatapan aneh. Dandanannya memang
tidak karu-karuan. Bajunya compang-camping kekecilan. Huah, bahkan pengemis yang
paling miskin pun tak akan mau memakai pakaian seperti dia.
Lie Hay kaget sendiri waktu melihat kulitnya. Kulitnya menjadi putih bersih
seperti mayat. Ia tak tahu bagaimana tampangnya sekarang. Belum lagi rambutnya
awut-awutan bikin takut orang yang lewat. Tapi, di mana ia bisa berkaca?
Pemuda itu lewat di sebuah pasar. Orang-orang yang berpapasan dengannya cepat
mepet ke tembok. Lie Hay tidak peduli, terus saja menghampiri seorang penjual
alat dandan buat perempuan. Wanita-wanita yang ada di sana menjerit dan
terbiri-birit waktu ia mendekat, bahkan ada yang sampai pingsan segala.
Penjualnya pun tak kalah takut. Ia diam saja waktu Lie Hay menyambar sebuah
kaca.
Li Hai nyaris menjerit waktu melihat tampangnya sendiri. Wajahnya kurus pucat,
matanya melotot, bibirnya merah. Hiii! Mana bisa ia keluyuran dengan tampang
begini. Salah-salah dianggap setan gentayangan nanti.
Pemuda itu kemudian pergi begitu saja setelah mengembalikan cermin yang
dipegang. Sekarang ia mesti menari penginapan dulu sebelum hari menjadi gelap.
Dipilihnya sebuah penginapan yang juga merupakan rumah makan. Ia memasan kamar
di sana. Tergopoh-gopoh seorang pelayan mengantar ke kamarnya. Pelayan itu juga
buru-buru ingin pergi.
“Eh, tunggu,” kata Lie Hay. “Ini ada uang. Kau belilah pakaian untukku. Belikan
juga sisir dan sepatu.”
“Ya, Tuan.” Pelayan itu cepat-cepat pergi. Tak lama kemudian ia kembali dengan
barang-barang yang dipesan Lie Hay dan cepat-cepat kabur. Ia tak mau
berlama-lama dekat orang yang mengerikan itu.
Esok harinya, waktu Lie Hay keluar dari kamar, si pemilik penginapan bengong
memandangnya. Rupanya ia tak mengenali pemuda itu, yang kini sudah berdandan
rapi bagai seorang kong-coe. Wang Lie Hay memang tampak jauh berbeda sekarang.
Wajahnya yang tmapan terlihat jelas biarpun masih agka pucat kulitnya.
“Ciang-koei, aku mau bayar sewa kamar untuk semalam.”
“Kamar yang mana?” tanya orang tua itu bingung.
“Yang kupakai semalam.”
Biarpun agak lupa, tapi pengurus itu menerima uang yang diberikan oleh Lie Hay.
Ching Ching 234
Rejeki tak boleh ditolak, begitu pikirnya.
Kali ini tak ada orang yang takut lagi pada pemuda itu seperti kemarin. Beberapa
gadis bahkan melirik dan melempar senyum malu-malu padanya. Diam-diam Wang Lie
Hay bangga pada diri sendiri. Rupanya dalam dandanan seperti kong-coe, ia
kelihatan gagah di mata para gadis. Kalau saja Ching-ching melihat.
Sambil memikirkan gadis itu, Wang Lie Hay berjalan menurutkan langkah kakinya.
Tak sadar ia berjalan terus sampai keluar dari kota. Tak Terus dan terus sampai
matahari hampir bersembunyi lagi di balik bumi. Lie Hay cepat mencari tempat
untuk beristirahat. Tak jauh dari sana ternyata ada sebuah bio yang runtuh
separo. Ia dapat tinggal di sana malam ini.
Begitu masuk ke dalam, Lie Hay teringat lagi pada Ching-ching. Dulu, lebih dua
tahun lalu, saat mereka mengembara bersama, sering sekali mereka berteduh di
kuil-kuil terpencil macam ini. Lalu mereka akan menyalakan api, dan membakar
binatang yang diburu Ching-ching di siang hari, dan mereka makan bersama.
Ching-ching selalu memberinya bagian lebih banyak. Gadis itu tahu, perutnya
lebih besar dan mesti diisi penuh. Kalau sudah makan, biasanya mereka lantas
membaringkan diri di lantai, kemudian tidur sampai pagi.
Tapi semua cuma masa lalu. Sekarang ia sendirian. Tak ada Ching-ching yang
menemani, yang suka mengomeli dan menjahilinya kadang-kadang. Tak ada gadis yang
dapat ia goda. Ia sendirian.
Sambil menghela napas, Lie Hay duduk bersandar. Tak ada gunanya mengingat masa
lalu terlalu lama. Lebih baik berbuat. Begitu kata Ching-ching selalu. Jadi,
lebih baik sekarang ia tidur dan besok pagi mencari sahabat kecilnya itu.
Lie Hay sudah terlena beberapa saat sampai kemudian ia mendengar suar-suara
orang di luar bio. Tadinya ia hendak berlagak tak peduli. Tapi, waktu mendengar
benakan-bentakan, tiba-tiba ia tak enak hati dan cepat sembunyi di balik tirai
sambil mengintai.
Tiga orang berbaju hitam masuk ke dalam bio sambil mendorong seorang yang dari
perawakannya adalah seorang gadis. Tapi bio itu gelap hingga Lie Hay tak dapat
memastikan.
“Dasar gadis lamban, sama tak becus seperti ayahnya. Cuma merepotkan orang
saja,” gerutu yang seorang.
“Siauw-tee, sekarang ia memang merepotkan. Tapi segera sesudah ayahnya kita
bunuh, kita boleh hidup tenang.”
Tiba-tiba saja si gadis sesenggukan Suaranya agak terpendam tangannya yang
menutupi mulut, tapi tetap saja kedengaran jelas.
“Diam, berisik!” bentak yang tadi dipanggil siauw-tee. Bukannya berhenti, si
gadis malah menangis lebih keras.
“Tolo,” si orang yang dari tadi mengomel mengangkat tangan dan menggampar pipi
gadis itu.
Wang Lie Hay yang bersembunyi merasa kasihan, tapi ia belum tahu persoalan,
menganggap lebih baik tidak menampakkan diri.
“Siauw-tee, jangan terlalu kasar,” tegus seseorang yang belum bersuara. “Kalau
dia sampai mati, kita tak akan dapat memaksa Toan Boen bertemu Ketua.”
“Hah, sial memang si Toan Boen. Sungguh tolol ia berani menentang Ketua hingga
kini merepotkan kita harus menculik anak gadisnya segala.
Tahu-tahu, entah kenapa, gadis itu merasakan ada orang lain di dekat tempat itu.
Ia tak menyia-nyiakan kesempatan, langsung saja berteriak, “Tolong!”
Tentu saja tiga penawannya kaget bukan buatan. Apalagi ‘Siauw-tee’ yang paling
beringas. Langsung saja ia melompat menjambak rambut hitam gadis itu sembari
Ching Ching 235
menampari mulutnya, hingga si gadis malang menjerit kesakitan.
Wang Lie Hay tak tahan lagi. Ia melompat keluar dari tempatnya bersembunyi.
“Sungguh memalukan, tiga orang tua bangka mengganggu seorang gadis kecil tak
berdaya!” serunya.
Tiga kepala menoleh serentak. “Siapa kau? Mau apa kau di sini?”
“Mestinya aku yang tanya,” sahut Lie Hay, “apa yang kalian lakukan di sini.”
“Bocah busuk, kau pikir kau siapa, berani menanyai kami!”
“Kalau kubilang ‘kakekmu’, kau mau percaya?”
“Jahanam, kau belum pernah makan golok ya!” orang yang dipanggil siauw-tee
merangsek maju sambil ayunkan golok.
“Kalau sudah, mana bisa aku berdiri di sini?” enak saja Wang Lie Hay menyahut
sambil menghindari serangan. Ia angat tangannya mencengkeram pangkal lengan
penyerangnya. Sekali sentak, golok siauw-tee rontok ke tanah.
Bersamaan gemerincing golok di lantai dua buah pedang meluncur ke arah Wang Lie
Hay. Pemuda itu bertindak menghindar dengan berjungkir balik ke belakang. Namun,
kedua pedang itus udah bererak lagi sebelum ia sempat berdiri tegak. Wang Lie
Hay cepat menunduk sambil melipat sebelah kaki sementara kaki yang lain berputar
menyapu kuda-kuda lawan. Dua penyerangnya langsung tersungkur.
“Tua bangka tak berguna. Kalua kalian masih ingin hidup, cepat minggat dari
sinI!”
Tiga orang itu tak lagi buang waktu menghadapi pemuda tampan berwajah mayat di
hadapan mereka. Buru-buru ketiganya kabur tak pedulikan tawanan mereka lagi.
Wang Lie Hay menghampiri gadis yang masih terikat dan belumb erhenti mengangis.
Diputuskannya semua tali yang melilit. Baru saat itu ia tahu, si gadis memakai
cadar menutupi muka.
“Jangan takut, mereka semua sudah pergi. Aku juga bukan orang jahat yang berniat
tak baik padamu,” kata Lie Hay.
“Terima kasih, in-kong, telah menyelamatkans aya,” kata si gadis di antara isak
tangisnya.
“Sudahlah, jangna kebanyakan basa-basi. Lebih baik tidur saja. Sekarang sudah
larut.” Lie Hay langsung membaringkan diri.
Begitupun dengan gadis yang ia tolong. Hanya saja gadis itu menjauh ke sudut
ruangan. Barangkali takut digigit malam-malam.
Lie Hay mendengus. Masa bodoh. Ia sudah capek, betul-betul butuh istirahat.
Peduli segala macam.
Pagi harinya, waktu bangun, Lie Hay mendapati gadis yang kemarin ditolongnya
sedang duduk memperhatikan dia dari tempat agak jauh. Ketika kepergok, paras
gadis itu berubah merah dan ia menunduk malu. Lie Hay berlagak tidak tahu dan
mendekatinya.
“Kouw-nio, pagi benar kau bangun. Apakah mau pergi?”
“Mana berani aku pergi tanpa pamit padamu, in-kong.”
“In-kong, in-kong. Umurku belum lagi sembilan belas, mana pantas dipanggil
in-kong?”
Gadis itu mengangkat mukanya memandang Wang Lie Hay. Pemuda itu tersenyum
padanya. Dan biarpun Lie Hay tak dapat melihat wajah di balik cadar itu, ia
yakin gadis itu tersenyum juga. Hanya saja ada yang mengganggu Lie Hay dalam
pandangan sekilas itu. Mata itu, mata yang hitam bulat itu mengingatkannya pada
mata Ching-ching. Bedanya di mata gadis nakal itu terbayang keceriaan, tawa,
canda, rasa gembira, sedangkan dalam mata gadis ini yang terlihat adalah
kesedihan yang suram, menimbulkan rasa kasihan yang melihatnya.
Ching Ching 236
“Sio-cia, dari sini, ke mana kau mau pergi?” Lie Hay mencoba mengusir banyangan
Ching-ching dari kepalanya.
“Pulang, Thia pasti sudah menunggu aku. Aku tak mau ia kuatirkan aku.”
“Rumahmu jauh? Barangkali aku semestinya megnantarmu kalau-kalau tiga bandit tua
kemarin belum kapok mengganggumu.”
Terlihat betapa gadis itu menghela napas lega. Ia tak akan berani pulang
sendirian. Ia belum pernah keluar rumah. Apalagi berjalan seorang diri. Betapa
mengerikan! Tapi di samping pemuda ini, ia merasa aman. Bukankah penolongnya ini
orang hebat? Semalam saja tiga penculiknya dirobohkan sekali gebrak.
“Aku tinggal di Pat-kwa-lim.”
Dahi Lie Hay berkerut mendengar nama yang tidak biasa itu. “Di manakah adanya
tempat itu, Kouw-nio?”
“Barangkali ada dua hari perjalanan dari sini ke sebelah barat.”
“Baguslah. Kita berangkat saja sekarang. Tapi sebelumnya maaf kalau terlalu
lancang. Bolehkah aku tahu dulu namamu?”
“Aku she Toan bernama Coe, Toan Coe.”
“Aku she Wang, namaku Lie Hay.”
Sesudah saling memperkenalkan diri, keduanya lantas berangkat.
Tepat seperti yang dikatakan Toan Cow, dua hari kemudian mereka menemukan hutan
yang dituju. Lie Hay ingin menyelonong masuk begitu saja, tapi tToan Coe yang
sudah tahu jalan mencegah. Ia mengajak pemuda itu mengitar lewat jalan lain.
“Hutan ini diatur seperti Pat-kwa-tin. Cuma ada dua pintu menuju ke dalam. Jalan
lain penuh dengan bik-hok. Kalaupun lepas dari jebakan itu, tak akand apat
sampai ke tujuan. Cuma putar-putar saja di tempat semula.”
Lie Hay mengikuti gadis itu yang menunjukkan jalan. Tak lama kemudian mereka
sampai di tengah hutan. Tapi, di bagain tengah itu justru tak banyak pepohonan.
Tang ketemu cuma sebuah bangunan bercat hijau dari lantai sampai ke atapnya.
Dilihat-lihat, bentuknya bukanlah segi empat, tapi segi delapan juga.
“Ini rumahku. Marilah masuk. Kuperkenalkan pada Thia.”
Begitu masuk, mereka bertemu beberapa orang yang menyambut Toan Coe dengan
gembira, namun langsung menghadang Lie Hay.
“Eh, para siok-siok, janganlah salah paham. Ini adalah Wang Kong-coe
penolongku,” cegah Toan Coe ketakutan.
“Kalau begitu, maafkanlah kami, In-kong,” orang-orang yang menghadang itus
erentak berlutut. Lie Hay jadi repot menyuruh mereka berdiri.
“Haduh, haduh. Janganlah demikian sungkan. Aku tak terbiasa dengan segala
basa-basi begini. Hayo, bangunlah.” Lie Hay bernapas lega setelahs emua orang
itu bangkit. Ahhh, ia sudah lama terpisah dari dunia luar hingga penghormatan
orang lain benar-benar membuatnya risih.
“Cong Siok-siok, di manakah Thia-thia?”
“Ia ada di kamar baca. A-cow, kau temuilah lekas. Ia sudah menguatiri
keadaanmu.”
Toan Coe segera berlari ke dalam sementara Lie Hay diantar ke ruang tamu. Ia
dijamu sebaik-baiknya sampai pemuda itu salah tingkah sendiri. Kemudian
datanglah seorang berumur 50-an masuk ke ruangan itu bersama A-coe.
“In-kong, maafkanlah saya terlambat menyambut sehingga In-kong lama menunggu.”
“Eh, tidak kok, sungguh tidak lama” kata Lie Hay gugup sambil menjura.
“In-kong sudah menolong anak saya. Sungguh saya berterima kasih.”
“Jangan sungkan. Menolong sesama bukankah sudah kewajiban tiap orang. Dan kalau
tka keberatan, harap jangan panggil In-kong. Saya sungguh tak pentas menerima
Ching Ching 237
penghormatan itu.”
“Tuan sudah menolong anak saya, kalau bukan In-kong, apa lagi saya harus
memanggil?”
“Namaku Wang Lie Hay. Panggil saja A-hay,” jawab pemuda itu gelagapan.
“A-hay?” ayah A-coe yang bernama Toan Boen itu terkejut. Pemuda di hadapannya
ini sungguh lugu. Rupanya tka kenal basa-basi meskipun sikapnya boleh dibilang
sopan. Padahal dari apa yang diceritakan anaknya, Toan Boen tahu ini bukanlah
pemuda sembarangan. Untungnya Toan Boen mengerti apa yang dirasakan Lie Hay ini.
“Baiklah, aku panggil kau A-hay. Asalkan kau sudi menyapaku dengan Siok-siok dan
anakku dengan moay-moay, apakah keberatan?”
Wang Lie Hay menghela napas lega. Ia tadi sungguh bingung ma panggil apa pada
tuan rumah ini. Sekarang diberi jalan keluar, tentu saja girang bukan buatan.
“Tidak, tentu aku tidak keberatan.”
“Begini. Eh, Hay-jie. Kami sangan berterima kasih atas pertolonganmu. Dan kami
bukanlah orang yang tak tahu diri. Hay-jie, kalau ada sesuatu yang kauinginkan,
katakanlah saja.”
“Jangan begitu, Siok-siok, aku menolong tanpa mengharpakan balas jasa dari siapa
pun.”
“Baiklah, tapi kami tak akan merasa tenang sebelum melakukan sesuatu untukmu.
Begini saja. Biarlah kami menjamu engkau selama beberapa hari.”
Wang Lie Hay tidak melihat adanya kerugian dari dua belah pihak, karenanya ia
setuju saja tinggal di sana. Paling cuma beberapa hari.
Toan Boen dari mula sudah tertarik pada pemuda yang polos itu. Ia bertekad
menahannya sementar. Kalau tak mau diberi imbalan, biarlah ia mengajarkan
sesuatu pada pemuda itu. Barangkali ia akan mengajarkan kebiasaan di kalangan
Kang-ouw yang kelak akan berguna bagi pemuda itu.
Sudah sebulan Wang Lie Hay berdiam di tempat itu, tapi belum juga ia mengenali
keseluruhan bangunan besar yang diketahuinya bernama Pat-kwa-kiong itu.
Untungnya Toan Coe selalu mengantar ke mana pun ia pergi. Kalau tidak,
barangkali ia sudah tersesat belasan kali.
Diam-diam Toan Boen sering memperhatikan anaknya yang sedang bersama Lie Hay.
Kasihan A-coe. Biar umurnya sudah 16 tahun, belum sekali pun ia bergaul dengan
teman sebaya. Sekarang, setelah pemuda she Wang itu datang, A-coe kelihatan
begitu gembira. Tidak lagi terlalu pendiam seperti dulu. Dan hal lain yang
membuat Toan Boen suka pada Lie Hay adalah bahwa pemuda itu tidak mau menanyakan
hal-hal yang bukan urusannya. Ia tak menanyakan kenapa A-coe diculik. Tak juga
bertanya kenapa gadis itu mengenakan cadar terus-terusan, biarpun Toan Boen
tahu, sebenarnya Lie Hay sungguh penasaran.
“Ada seseorang mengajari, jangan suka tanya-tanya hal yang bukan urusanmu,” kata
Lie Hay waktu ditanya. Jawabannya malah membuat Toan Bun tak enak hati hingga
tanpa diminta, Toan Boen menceritakan segala sesuatunya kecuali perihal anaknya
yang bercadar.
Dari ceritanya Lie Hay tahu bahwa ibu A-coe meninggal sejak gadis itu masih
berumur dua tahun. Ia juga tahu bahwa A-coe tak punya teman bermain. Dan
bagaimana sampai A-coe diculik, Toan Bun menyalahkan dirinya sendiri.
Setengah tahun yang lalu ia adalah anggota sebuah perkumpulan. Ia adlaha seorang
dari tiga orang kepercayaan ketua See-hong-pay, yang termasuk dari partai besar
Pat-hong-pang. Tiga orang kepercayaan itu bergelar See-eng, See-liong, dan
See-houw adalah Toan boen sendiri. Suatu ketika, ketua pertai mereka sakit
berat. Terjadi perpecahan di antara tiga pegawainya. Masing-masing ingin merebut
Ching Ching 238
jabatan ketua. PPartai mereka menjadi kacau dan bertempur antaranggota sendiri.
Toan Bun akhirnya mengundurkan diri. Tapi sebelum ia keluar dari perkumpulan
itu, ketuanya menyerahkan sebuah kitap mengenali sebuah ilmu, yaitu
See-hong-kiam-sut. Ia diminta menyerahkan kitab itu kepada ketua baru yang
ditunjuk sendiri oleh pimpinan Pat-hong-pang dan diminta tidak menyerahkannya
kepada See-eng maupun See-liong, tak peduli siapa pun yang menang nantinya. Toan
Bun sendiri diminta bersumpah tidak mempelajari isi kitab itu. Sebagai imbalan
atas kesanggupannya, ketua memberitahukan rahasia Pat-kwa-tin kepadanya supaya
dapat terlindung dari gangguan anggota See-hong-pang yang lain. Toan Bun
mengubah sebuah hutan menurut barisan ini.
Kemudian didengarnya See-liong telah membunuh See-eng. Namun, sebagai ketua yang
sah harus lebih dulu mempelajari See-hong-kiam-soet dan rahasia Pat-kwa-tin.
Oleh sebab itulah Toan-boen dikejar-kejar sampai kini. Ia juga dituduh
menyembunyikan pusaka See-hong-soe-kiam, padahal sesungguhnya ia tak tahu
mengenai pedang pusaka angin barat tersebut.
“Selama ini ketua yang baru tak dapat mengusikku karena tak tahu rahasia
Pat-kwa-tin yang diatur mengelilingi tempat ini,” kata Toan Bun. “Tapi, waktu
itu A-coe main terlalu jauh keluar hutan, sehingga tertangkap pegawai
See-hong-pay yang selalu berjaga di sana. Untung kau cepat menolong anakku.
Kalau tidak, entah apa yang terjadi nanti.”
“Siok-siok, jangan sebut-sebut lagi hal itu. Aku jadi tak enak hati. Sebenarnya
aku menemui Siok-siok bukan untuk bertanya soal hal itu. Aku ingin berpamitan
meneruskan perjalananku.”
“Ah, kenapa terburu-buru? Apakah kau tak betah tinggal di sini, atau adakah
perlakuan kami menyakiti hatimu?”
“Bukan, tidak begitu. Aku sebenarnya sedang mencaris eorang kawan. Perjalananku
sudah tertunda sebulan. Tentu saja hatiku tak tenang biarpun Siok-siok dan
Moay-moay berlaku sangat baik padaku.”
Toan Bun terdiam. Sebenarnya ia tidak rela melepaskan pemuda ini. “Klaau kau
memang ada urusan, aku tak boleh melarang. Biarlah kusuruh orang menyiapkan
bekalmu besok. He, jangan menolak. Ini adlaha hal terakhir yang dapat kulakukan
untukmu.”
“Kalau begitu, Siok-Siok, saya pamit dulu hendak menemui Moaymoay untuk
memberitahukan hal ini.”
Toan Bun mengangguk. Hhh, kasihan ankanya. Gadis itu pasti kehilangan. Temannya
yang pertama, seorang pemuda, yang megnenalkannya kepada dunia yang ceria, dunia
orang muda.
“Hai-ko, mestikah kau pergi begitu cepat?” tanya Toan Coe dengan tatapannya yang
kecewa.
“Ya, aku masih mencari temanku.”
“Apakah dia, temanmu itu, seorang gadis?”
Lie Hay mengangguk. “Gadis yang sering kuceritakan padamu, ingat?”
Toan Coe menunduk.
Sekilas Lie Hay melihat air bening di sudut mata gadis itu. “Jangan sedih. Aku
nanti masih bisa ke sini untuk menemuimu. Akan kuajak juga dia supaya berkenalan
denganmu.”
“Hay-ko, bolehkah kutahu namanya?”
“Sekarang belum. Tapi nanti aku akan bertemu dengannya. Kau boleh tanyakan
sendiri."
Toan Coe tidak bilang apa-apa, tapi hari itu ia tak mau jauh dari Lie Hay
Ching Ching 239
sedikit pun.
Esoknya, Lie Hay diantar keluar hutan oleh Toan Bun dan Toan Cu sendiri. Pemuda
itu memaawa bekal pemberian majikan tempat itu. Sampai di luar hutan, nyaris tak
tega Lie Hay meninggalkan Toan Coe yang menangis terus. Tapi ia menguatkan hati
untuk berpamit.
“Siok-siok, Moay-moay, terima kasih atas kebaikan kalian selama ini. Sayang, aku
mesti pergi. Kalian jaga dirilah baik-baik.”
“Hay-jie, kau pun baik-baiklah di perjalanan.”
Sesudah berpamitan sekali lagi pada ayah-beranak itu, Wang Lie Hay meninggalkan
tempat tersebut dengan kepala tegak, tanpa menoleh lagi.
Ching-ching menghentakkan kakinya dengan kesal. Lagi-lagi Chia Wu Fei,
soe-hengnya, mengganggu. Dan celakanya hari itu, entah kenapa, ia merasa kesal
tanpa sebab. Jelas saja, Wu Fei salah seidkit saja ia damprat.
Wu Fei mengejar Ching-ching yang masuk ke kamar. Dipanggil-panggilnya gadis itu,
namun tak ada jawaban. “Siauw-soe-moay, buka pintunya, aku mau bicara.”
Ching-ching masih tak mau menjawab. “Baiklah, aku mau minta maaf, tapi padamu,
bukan sama pintu.”
“Tidak lucu!” sahut Ching-ching dari dalam.
“Ching-ching, buka dong. Kalau tidak, aku dobrak!”
“Coba saja. Kau akan menyesal kalau berani-berani masuk.”
Ching-ching menyambar poci teh, siap untuk melemparnya ke arah pintu. Begitu
pintu terbuka, poci teh itu pun melayang. Tapi orang yang baru masuk itu sigap
menanggapi dengan tenaga dalam, mendorong tempat air itu mendarat di meja tanpa
setitik pun isinya tumpah.
“Soe-hoe!” Ching-ching berseru kaget waktu lihat siapa yang datang. Di belakang
soe-hoenya, Wu Fei cekikikan. Ching-ching menjebi ke araj pemuda itu.
“Apa lagi kali ini?” tegur gurunya.
“Soe-heng menggangguku terus, aku jadi kesal,” Ching-ching mengadu.
“Biasanya kalau digoda, kau balas mengganggu. Hari ini saja mendadak
marah-marak,” serga Wu Fei membela diri.
“A-fei, kau keluarlah. Aku mau bicara pada soe-moaymu.”
“Ya, Soe-hoe. Omeli saja supaya—“
“A-fei!”
Wu Fei terbirit-birit keluar.
“Ching-ching, ada tugas untukmu. DI selatan kabarnya ada gerombolan rampok yang
tidak segan-segan membunuh orang. Kau tanganilah mereka.”
Ching-ching tidak heran menerima soal begini. Ia sudah biasa ikut soe-heng atau
soe-cienya membasmi penjahat. “Tapi dengan siapa? Toa-soe-heng, Sam-soe-heng,
dan Sie-soe-cie sedang pergi. Tee-coe tak mau kalau mesti bersama Ngo-soe-heng.”
“Kau berani berangkat sendiri?”
“Sendiri? Boleh?” Mata gadis itu berbinar.
“Asal kau bisa jaga kelakuanmu.”
“Asyiiik! Kapan tee-coe mesti berangkat?”
“Besok. Sekarang kau bersiaplah.”
Begitu soe-hoenya keluar, Ching-ching langsung beberes. Wu Fei yang datang
mengganggu cuma digetoknya saja pakai kepalan tangannya yang kecil.
“Curang, semua dikasih tugas. Aku tidak,” gerutu Wu Fei sambil mengusap-usap
kepalanya.
“Salah sendiri malas berlatih. Sekarang kepandaianku sudah melebihimu, tahu.”
“Biarpun demikian, mana bisa begini caranya. Aku mau bilang Soe-hoe supaya
Ching Ching 240
mengizinkanku pergi denganmu.
“Moga-moga tidak diizinkan!” Ching-ching berseru pada Wu Fei yang melesat
keluar.
“Soe-hoe, betulkah Ching-ching akan pergi sendirian membasmi rampok di selatan?”
tanya Wu Fei. Melihat gurunya mengangguk, ia jadi uring-uringan. “Ching-ching
boleh pergi, aku bagaimana?”
“Kau tinggal. Ilmumu mesti diperbaiki!”
“Tapi aku tak ada teman berlatih. Soe-heng dan soe-cie pergi. Dan Ching-ching …”
“Justru Ching-ching kusuruh juga supaya tidak mengganggumu berlatih. Kalian
kalau disuruh latihan bersama main-main melulu kerjanya. Lagipula ilmu
soe-moaymu kini ada setingkat di atasmu. Kau tidak malu?”
“Tapi Soe-hoe ….”
“A-fei, jangan bertingkah seperti anak kecil. Makin hari kelakuanmu makin mirip
soe-moaymu. Sebelumnya kau tak pernah rewel begini.”
“Barangkali ketularan,” gumam Wu Fei, tapi ia tak berani lagi nganggu gurunya.
Lie Wei Ming menggelengkan kepala. Punya satu saja murid seperti Ching-ching
sudah bikin pusing. Sekarang Wu Fei ikut-ikutan. Kedua anak itu sunggu membuat
repot. Tapi, justru keduanya juga yang membuat Pek-san-boe-koan riang
suasananya. Tidak kaku dan menakutkan seperti saat Ching-ching belum datang.
Hahh, entah dia harus berbuat bagaimana pada kedua anak itu.
Malam sebelum Ching-ching pergi, Lie Wei Ming menemuinya di ruang latihan. Wu
Fei, yang kini mesti berlatih terus-terusan, juga ada di sana.
“Ching-ching, besok kau pergi. Ini tugas pertamamu. Seperti kebiasaan, malam ini
kau boleh pilih senjata yang kausukai.” Lie Wei Ming menunjuk enam buah kotak
yang ada di sana.
Begitu melihat, Ching-ching sudah tahu, pedang yang mengisi kotak-kotak itu.
Cuma satu yang tak bisa ia terka, sebuah kotak yang panjangnya cuma setengah
kotak pedang biasa, tapi lebarnya justru tiga kali ktoak-kotak yang lain.
Ching-ching membuka tutup kotak itu.
Di dalamnya adalah sebuah pedang dengan sarung putih mengkilat. Pedang itu
begitu tipisnya hingga dapat dipertemukan ujung dengan ujung. Gagangnya berlapis
emas di ujung, lainnya putih, sama dengan sarungnya. Sekilas terlihat seperti
sabuk biasa. Justru itu keistimewaannya, musuh jadi tak tahu kalau ia
bersenjata. Lagipula mudah membawanya, tak usah repot ditenteng ke mana-mana.
“Aku mau yang ini saja, Soe-hoe,” kata Ching-ching.
Gurunya mengangguk. Dari mula orang taua itu sudah menduga mana yang akan
diambil muridnya. “Kau cobalah.” Kemudian Lie Wei Ming membantu memakaikan
pedang itu di pinggang Ching-ching, sekalian menunjukkan cara membuka dan
menggunakannya. Tapi, begitu tangan Lie Wei Ming melepasnya, pedang yang seperti
sabuk itu lolos ke bawah melewati pinggang Ching-ching.
Wu Fei yang tadinya memandangi dengan iri, kini tertawa terbahak-bahak, sampai
keluar air matanya, sampai sakit perutnya. Ia bergulingan di lantai. Melihat
muka Ching-ching, ia bertambah geli. “Hahaha, pedang itu tak cocok untukmu.
Pinggangmu terlalu kecil. Pantasnya buat aku saja,” Wu Fei mengejek.
Ching-ching cemberut. Ia suka sekali pada pedang itu. Tak rela kalau sampai
tidak memperolehnya.
“Jangan kuatir,” kata suhunya yang tahu isi hati gadis itu. “Pedang ini bisa
dikecilkan sesuai ukuran pinggangmu.”
Ching-ching senang pedang itu boleh ia miliki. Wu Fei mencibir iri. Ching-ching
membalas. Suhu mereka cuma geleng-gelengkan kepala melihat kelakuan dua
Ching Ching 241
muridnya. Mereka memang paling sering bertengkar. Kerap kali sama-sama bikin
ulah, tapi keduanya paling akrab dari semua.
Esoknya pagi-pagi sekali Ching-ching berangkat. Wu Fei tak mau mengantarnya.
Ching-ching tak peduli. Paling juga nanti waktu ia pulang, Wu Fei sudah kembali
seperti semula, malah kanget padanya. Begitu yang terjadi pada waktu-waktu lalu.
Perjalanan ke selatan makan waktu beberapa hari. Tapi, hal itu tak membuat
Ching-ching lelah. Sejak kecil ia terbiasa bekelanan. Sudah jadi murid
Pek-san-boe-koan juga sering diajak berjalan jauh. Gadis itu malah mengnaggap
perjalan kali ini sebagai acara liburan keluar kota.
Sesudah sampai ke daerah selatan, gadis itu menjadi waspada. Ini tugasnya yang
pertama, ia tak boleh gagal. Bahkan, kalau bisa diselesaikannya secepat mungkin.
Untungnya ia tak perlu diselesaikannya secepat mungkin. Untungnya ia tak perlu
mencari gerombolan rampok itu. Mereka sendiri yang datang mencegatnya di jalan.
Ching-ching tak menyangka bakal bertemu yang dicari di jalan yang lumayan
ramainya. Tak cuma seorang pedagang yang lewat di sana, tapi juga dua-tiga orang
saudagar kaya. Namun, rupanya rampok-rampok itu termasuk orang nekad. Merampok
belasan orang, di tengah hari pula.
“Kalau mau selamat, serahkan barang kalian sekarang juga,” kata seorang yang
rupanya adalah pimpinan kesemua rampok itu. Anak buahnya yang puluhan orang
mengepung tempat itu. Yang coba-coba lari langsung dibunuh di tempat. Begitu
pula yang mencoba melawan. Yang menyerah diperlakukan kasar dan dilucuti
pakaiannya.
Ching-ching yang mengawasi dari jauh mengurutkan kening mengingat-ingat.
Rasa-rasanya ia pernah ketemu kepala bandit itu, tapi entah di mana. Ia mendekat
supaya lebih jelas melihat. Tapi, baru maju beberapa tindak, belasan orang
mengepungnya dengan senjata di tangan masing-masing.
“He, lihat ada gadis jalan sendirian.”
“Hei, gadis manis, bolehkah aku menemanimu?”
“Jangan sama dia, sama aku saja. Aku lebih muda dan ganteng.”
Perampok-perampok tak tahu adat itu menggoda, membuat Ching-ching gatal
menghajar mereka. Tapi, ia tak mau menyerang duluan. Dibiarkannya saja semua
mengoceh sembarangan.
“Hei, ada apa?” si Pimpinan rampok yang melihat anak buahnya berkerumun, maju
mendekat. Ketika melihat Ching-ching, ia tersentak kaget.
Gadis itu sendiri tak kalah terkejut. Keduanya saling memandang sesaat.
Ching-ching lebih dulu tersadar dan langsung menyapa. “Sobat lama, setahun tak
berjumpa, kau sudah lupa padaku?” ejeknya.
“Si Pemimpin rampok yang tak lain adalah Kim-to-tay-ong menggeram marah. “Kau,
bocah busuk, dendamku padamu akan terlunasi hari ini!”
“Eh? Apakah tidak salah? Jangan-jangan malah kau sendiri yang musnah. Sudah lupa
waktu dihajar soe-hengku, kau bersumpah mau hidup baik-baik?”
“Soe-hengmu?” mata Kim-to-tay-ong jelalatan mencari sosok pemuda yang pernah
menalahkannya dulu.
“Soe-hengku tidak iktu. Tapi kau jangan keburu senang. Aku ini lebih kejam
darinya, tahu?”
Kim-to-tay-ong tampak lega mendengar kata-kata Ching-ching. Ia memandang rendah
gadis di hadapannya ini. “Segala macam anak kecil macammu, sekali gebrak gampang
dibuat menangis.”
“Enak saja. Kaupikir gampang bikin aku nangis? Hati-hati, malah kau yang memohon
ampun padaku nanti.” Ching-ching menyiagakan kuda-kuda.
Ching Ching 242
“Gayanya boleh juga,” kata seorang perampok.
“Masih kalah dengan Tay-ong,” sahut yang lain.
“He, penjahat bulukan, ayo serang aku!” seru Ching-ching.
“Bocah bau, karena kau masih anak-anak, biarlah kau menyerang duluan.”
“Asal kau jangan menyesal nanti.” Ching-ching mencabut pedangnya dan langsung
menyerang Kim-to-tay-ong. Mulanya poimimpin rampok itu menganggap enteng
serangan-serangan Ching-ching. Tapi, makin lama pedang gadis itu mengincar
nyawanya. Ia tak mungkin cuma menghindar saja. Kim-to-tay-ong kini balas
menyerang.
“Ini yang kutunggu, kenapa tidak dari tadi?” sambut Ching-ching sembari
menangkis dan menyerang balik. Selagi bergerak, mulutnya tak henti mengoceh.
“Kau ini tak tahu diri. Sudah diampuni sekali, masih buat kesalahan yang sama.
Hahhh, sial kau ketemu aku. Kali ini aku tak akan mengampunimu.”
Gadis itu menyerang gencar. Tak lama kemudian, ia sudah ada di atas angin.
Kim-to-tay-ong menangkis serabutan. Tahu tak dapat mengalahkan lawannya, ia
memakai jalan lain.
“Serang!” perintahnya kepada anak buahnya.
Puluhan orang maju bebareng menyerang Ching-ching. Gadis itu melotot diserang
orang begitu banyak. Tapi, ia tak gentar sama sekali. Disambutinya pengeroyok
itu.
Akan tetapi, dengan ilmunya yang sekarang, ia tak sanggup menghadpai orang
sebegitu banyaknya. Ia pun tak sudi menyerah. Dicarinya jalan lain. Bagaimana
aklau keluar dari kepungan dan membunuh Kim-to-tay-ong lebih dulu. Dengan
matanya Ching-ching mencari-cari ke mana jahanam itu. Apakah sudah kabur?
“Tahan!” seru gadis itu tiba-tiba. Mendengar suara berwibawa yang disertai
khi-kang, penyerangnya berhenti mendadak. “Kalian goblok!” maki Ching-ching.
“Tahu tidak, berhadapan dengnaku berarti cari mati. Tapi aku orang baik, tak mau
membunuh sembarangan. Aku cuma mau memberi pelajaran pada pemimpin kalian. Tapi
mana dia sekarang? Karena ketakutan, ia suruh kalian maju dan menyelamatkan diri
sendiri. Apa begitu? Orang tak bernyali macamnya, mana pantas jadi pemimpin?
Kalian jangan mau diperalat lagi.”
Para rampok yang pada dasarnya mudah dipengaruhi itu jadi bimbang. Mereka
mengakui kebenaran kata-kata Ching-ching.
“Benar juga,” kata seorang yang paling berani. “Selama ini kita capek, Tay-ong
tinggal terima hasil. Itu kan tidak adil.”
“Ya, dan kalau menghadapi pengawal istana, Tay-ong selalu lari duluan. Abangku
mati karenanya,” timpal yang lain.
“Betul kan kataku,” Ching-ching memanasi. “Orang seperti itu pantasnya diahajar
saja. Mana dia, kita hajar ramai-ramai.”
Ching-ching dan rampok-rampok itu segera mencari.
“Itu dia di sana!” seseorang menunjuk Kim-to-tay-ong yang berlari di kejauhan.
“Ya, itu dia. Kejaaar!” Ching-ching mengomando. Puluhan rampok itu menuruti
perintahnya, ikut di belakang gadis yang sudah elbih dulu bertindak.
Ching-ching tersenyum. Mulanya musuh, sekarang malah ia yang pimping
rampok-rampok itu. Waah, kalau begini terus, tiap hari diberi tugas pun, ia tak
akan menolak.
Kumpulan rampok itu mengejar bekas pemimpin mereka, Kim-to-tay-ong. Yang dikejar
berlari terbirit-birit melihat bekas bawahannya takluk di bawah perintah
Ching-ching dan malahan ikut mengejar dia.
Sebenarnya rampok yang puluhan jumlahnya itu tak mungkin mengejar Kim-to-tay-ong
Ching Ching 243
yang tidak jelek ilmu larinya. Sayang, bandit itu memilih jalan yang salah. Ia
menuju ke pinggir jurang. Tentu saja ia tak bisa terus berlari. Jurang di depan,
orang-orang yang marah di belakang. Mana yang paling mendingan?
Aakhirnya Kim-to-tay-ong putuskan memilih yang terakhir. Ia menunggu di
pinggiran jurang itu sambil berlutut. Begitu pengejarnya tiba, ia langsung
memohon ampun. “Ampuni aku, Siauw-tee, Toa-ko, lepaskanlah jiwaku kali ini.
Anakku banyak, makan apa mereka kalau aku mati. Biarlah aku copot jabatan ketua
dan turun ke tingkat yang rendah, tolong ampuni aku!”
“Orang yang macam begini kalian jadikan pemimpin! Haduh, bisa ditertawakan
orang,” kata Ching-ching melecehkan. “Rupanya bedebah ini berhasil tipu kalian.
Wah! Seumur hidup kalian menanggung malu.”
Muka rampok-rampok itu jadi merah termakan ocehan Ching-ching. “Hah, benar!
Kalau demikian, hajar saja dia supaya kelak kita tak ditertawakan anak-cucu kita
karena tak becus memilih pimpinan.”
Pendapat ini langsung disetujui yang lain. Mereka langsung menghajar
Kim-to-tay-ong ramai-ramai. Ching-ching membiarkan saja orang-orang itu
menangani urusannya. Ia tinggal menunggu hasil. Gadis itu duduk santai di tanah
sambil sesekali meringis mendengar teriakan-teriakan kesakitan. Ketika sudah
cukup lama, tahu-tahu suara teriakan orang yang makin lama makin pelan itu
berhenti sama sekali.
“Tahan!” seru Ching-ching lagi-lagi dengan kerahkan khi-kang. Ia menyeruak
kerumunan orang untuk melihat keadaan Kimt-to-tay-ong. Dan ia langsung membuang
muka melihat apa yang menimpa bandit itu.
Wajah Kim-to-tay-ong sudah tak berbentuk lagi. Dari ana-mana mencucurkan darah.
Begitupun badannya. Dilihat dari caranya terbaring, Ching-ching dapat patiskan
tulang orang itu remuk semua. Dihajar puluhan orang tanpa dapat melawan, siapa
yang tahan.
“Huh, rupanya ia sudah mampus,” dengus gadis itu. “Hei, kalian kuburkanlah
mayatnya!”
“Buat apa repot, lempar saja ke jurang,” usul seseorang.
“Terserah mau kalian saja,” Ching-ching memberi jalan kepada dua orang berbadan
besar yang mengangkat Kim-to-tay-ong dan melemparnya ke jurang menganga.
“Ia sudah mati. Sekarang apa?” tanya rampok-rampok itu.
“Apa lagi? Cari harta yang ia rampas, kita bagi sama rata,” kata Ching-ching.
“Setuju!” sambut yang lain. Beramai-ramai mereka pulang ke markas mereka.
Ching-ching sempat kaget waktu ditunjukkan gudang harta para rampok itu. Hampir
sekamar penuh. Harta sebegitu banyak tak akan habis dimakan tujuh turunan.
Sayangnya, Kim-to-tay-ong orang yang serakah dan nasibnya jelek hingga mesti
bertemu Ching-ching berkali-kali sampai tiba ajalnya.
“Lie-hiap,” sapa seorang perampok, “bagaimana pembagiannya?”
“Ada berapa orang di sini?”
“Seratus dua puluh orang.”
“Denganku jadi 121. He, ayo ngantri! Kita bagi-bagi rejeki!” seru Ching-ching.
Membagi harta sebanyak itu ternyata makan waktu hampir tiga hari. Ching-ching
sudah capek, tapi ia berusaha membagi seadil-adilnya. Untung juga tak ada yang
tak puas dengan bagiannya masing-masing, yang memang sudah cukup banyak.
“Coe-wie semua sudah dapat bagian bukan? Nah, aku ada satu permintaan. Dengan
uang ini kalian buka usaha dan hidup secara baik-baik. Jangan rampok lagi. Kalau
ketangkap prajurit kerajaan, bisa berabe tahu. Nah, maukah kalian bersumpah tak
akan merampok lagi?”
Ching Ching 244
Orang yang sudah pegang uang sebegitu banyak, tentu saja mau menuruti. Mereka
sama-sama berjanji dan bersumpah tak akan merampok lagi.
“Bagus, sekarang kita pesta saja. Hayo, mana, keluarkan araknya!” ajak
Ching-ching yang segera disambut gembira.
Sebenarnya ajakan Ching-ching mengandung maksud lain. Ditunggunya sampai semua
orang tidur karena mabuk. Ia sendiri dari mula memang tak pernah minum
benar-benar hingga masih segar-bugar pada waktu yang lain roboh satu-satu.
Ia mencabut belatinya dan mendekati rampok-rampok itu satu-satu. Pada
masing-masing ia membuat tanda dengan belatinya. Sebuah titik di dahi, di antara
kedua alis. Lalu luka kecil itu dibubuhi semacam obat yang membuat luka cepat
sembuh, tapi meninggalkan bekas seumur hidup. Lain hari kalau ia ketemu perampok
yang punya tanda di dahi, ia tak akan sungkan membunuhnya.
Menandai 120 orang bukan pekerjaan yang entng. Ching-ching merasa tangannya
pegal-pegal, tapi tugasnya bleum beres. Ia menyambar harta bagiannya dan
membawanya ke belakang markas tempat wanita dan anak-anak tinggal. Dicarinya
keluarga yang sedang bersedih. Pasti tak lain adalah anak-bini Kim-to-tay-ong.
Didekatinya keluarga itu.
Tujuh orang wanita sedang sesenggukan. Di dekat mereka kira-kira ada selusin
bocah dan dua bayi yang menangis tak kalah keras. Ching-ching menggelengkan
kepala. Buset Kim-to-tay-ong. Baru tahun lalu mengaku istrinya ada tiga orang.
Sekarang sudah tujuh. Bukan main!
“Pssst!” Ching-ching berbisik lirih, mengejutkan wanita-wanita itu. “Kalian ini
apakah keluarga Kim-to-tay-png?” Delapan kepala serentak mengangguk. “Nih, ada
warisan dari suami kalian. Bagilah yang adil. Sekarang kita mesti cepat keluar
dari sinis ebelum mereka yang di luar terbangun.”
Delapan wanita itu, begitu tahu apa isi bungkusan yang diberikan Ching-ching,
langsung percaya pada gadis itu dan menurut tanpa banyak ngoceh lagi.
Ching-ching mengajak mereka pergi diam-diam lewat pintu belakang. Sebenarnya
mudah saja mereka minggat kalau tak ada selusin bocah yang rewel. Belum lagi
bayi yang menangis terus. Hampir saja Ching-ching hilang sabar. Untung saja
anak-anak itu langsung bungkam waktu ia membujuk.
“Sst, jangan banyak ribut. Nanti ketahuan. Kita sedang main petak umpet dengan
paman-paman yang ada di dalam. Jangan sampai mereka temukan kalian.”
Sesudah berkata begitu, bocah-bocah tersebut jadi tidak terlalu rewel lagi
biarpun masih ada yang cekikikan dan berbisik-bisik satu sama lain.
Bukan main lega hati Ching-ching waktu mereka sudah keluar dari markas dan
berjalan agak jauh sampai seorang bocah kecil menarik-narik bajunya.
“Ciecie, aku sudah lelah. Apakah kita masih mesti ngumpet?”
Ching-ching menoleh ke salah seorang istri Kim-to-tay-ong yang tampak lebih
bijaksana dari yang lain. “Apakah sudah aman?” tanyanya.
“Belum. Sebelum sampai ke desa, mereka akan dapat mengejar.”
“Berapa jauh desa itud ari sini?”
“Tak terlalu jauh,” jawab istri Kim-to-tay-ong itu.
Ching-ching berjongkok di dekat anak kecil yang menyapanya. “Siauwtee, kalaut ak
mau ketahuan para siok-siok, kita mesti berjalan sedikit lagi.”
“Aku tak kuat,” keluh bocah itu.”
“Kalau begitu biar Ciecie yang gendong.”
“A-piauw, jangan rewel!” tegur ibu anak itu.
“Biarlah,” kata Ching-ching. “Kita mesti cepat.” Ching-ching menggendong anak
itu sampai ke desa terdekat. “Hah, kalian aman sekarang. Aku sudah tak ada
Ching Ching 245
urusan lagi. Selamat tinggal!”
“Siauw-lie-hiap, terima kasih atas bantuanmu. Tapi sebelum pergi, boleh aku tahu
namamu dan asalmu?”
“Aku she Lie bernama Mei Ching, murid keenam Pek-san-bu-koan.”
“Aku akan ingat baik-baik untuk kelak membalas budi. Kalau tidak kehidupan
sekarang, barangkali di kehidupan selanjutnya.”
Setelah menjura sekali lagi, Ching-ching tinggalkan tempat itu secepatnya
kembali ke Pek-san-bu-koan lewat jalan lain. Ia enggan bertemu lagi dengan anak
buah Kim-to-tay-ong.
Gadis itu hampir memasuki sebuah kota ketika ia lewat di sebuah jalan kecil yang
sepi. Ia berpapasan dengan seorang tua yang membawa-bawa tali dan berjalan
sambil sesenggukan. Merasa curiga dengan kelakuan orang itu, Ching-ching
diam-diam membuntuti dan sembunyi sambil mengintai waktu orang itu berhenti di
bawah sebatang pohon.
Orang itu membawa talinya membanjat pohon, lantas pada sebatang cabang yang kuat
ia menalikan tlainya dambil membuat jerat. Setelah mengalungkan jerat itu ke
lehernya, ia menarik napas dan melompat ke bawah!
Tapi entah bagaimana, tapi yang ia ikatkan ke cabang terlepas. Orang itu
terbanting ke tanah. Tidak sampai patah tulang, memang, tapi sakitnya lumayan
juga.
Orang tua itu memanjat lagi dan menalikan lagi talinya. Sekarang ia menalikan
sekuat mungkin. Tapi waktu ia melompat, lagi-lagi talinya terlepas. Sampai tiga
kali kejadian itu terulang. Yang terakhir, si orang tua sempat merasakan jeratan
tali di leher yang membuatnya sesak napas sebelum talinya copot lagi.
“Huhhh, rupanya Giam-lo-ong pun tak sudah menjemputku.” Menyangka dewa-dewa yang
menggagalkan usahanya, si orang tua menjura ke langit. “Oh, dewa, harap tidak
halangi usahaku untuk mati. Biarlah aku rela jadi setan gentayangan, asal tak
usah lagi tanggung derita hidup di dunia.”
“Mana bisa begitu?” tahu-tahu terdengar suara dari atas dan kemudian sebuah
bayangan turun ke tanah.
Si orang tua menndongak. Melihat gadis manis cengar-cengir memandangnya, ia
menyangka ini bidadari yang dikirim dari langit. Lantas saja laki-laki tua itu
soja tiga kali. “Sian-lie, aku orang tak berguna yang tak pantas hidup di dunia.
Harap kau mau luluskan permintaan. Cabutlah nyawaku segera.”
“Tak mungkin,” sahut gadis itu yang tak lain adalah Ching-ching. “Pertama, aku
bukan sian-lie. Kedua, soehoe melarang aku sembarangan cabut nyawa orang tak
bersalah. Eh, lo-pek, kenapakah kau mau cabut jiwa sendiri? Orang lain kepingin
hidup, kau malah kepingin mati, jadi setan gentayangan segala. Dipikirnya jadi
setan itu apakah enak? Sengsara, tahu tidak?”
“Daripada hidup tak berguna, menderita pula,” sahut orang tua itu sedih.
“Hidup sengsara, mati pun susah. Mendingan hidup saja,” kata Ching-ching enteng.
“Eh, lo-pek, kenapakah kau kepingin bunuh diri? Coba ceritakan, barangkali aku
dapat bantu pecahkan persoalanmu.”
“Sulit, sulit,” kata orang tua itu. Setelah dipaksa-paksa, mau juga ia
bercerita.
Orang itu bernama Ciu Bun, seorang petani. Ia hdiup bersama seorang istri dan
tiga orang anak. Anaknya yang pertama sudah menjanda karena ditinggal mati
suaminya. Ia membapa dua anak yang masih kecil kembali pada orang tuanya.
Anaknya yang kedua bernama Ciu Hon, satu-satunya putra. Ciu Hon sudah punya
istri dan bernaak lima orang. Istrinya yang bernama Liu Sie adalah seorang yang
Ching Ching 246
cerewet dan serakah. Pendek kata, Ciu Bun kurang menyukai menantunya ini.
Anaknya yang terkecil, Ciu Cie, umurnya belum lagi delapan belas. Sebagai
seorang gadis, wajahnya boleh dibilang cantik dibanding gadis-gadis kampung
sebayanya.
Pada awalnya, petani she Ciu itu, meskipun dengan sederhana, masih dapat hidupi
keluarganya, sampai suatu ketika Nyonya Ciu tua jatuh sakit. Sakit yang cukup
susah disembuhkan. Untuk tutupi biaya pengobatan istrinya, Ciu Bun merelakan
sepetak tanahnya untuk dijual. Namun, pengorbanannya sia-sia. Tka lama kemudian,
istrinya meninggal dunia.
Belum cukup penderitaan orang tua itu, anaknya yang sulung jatuh sakit pula.
Kali ini Ciu Bun tak dapat menjual sawah yang sisa sepetak karena ditentang oleh
Ciu Hon dan istrinya, dengan alasan dari sawah itulah mereka dapat bertahan
hidup.
Terpaksalah Ciu Bun dan Ciu Cie menjual barang berharga yang ada pada mereka.
Belum lagi anaknya sembuh, dua cucunya ikut sakit pula. Kini mereka tak punya
barang apa pun lagi. Semua yang kiranya laku sudah habis dijual. Dalam
penderitaan, anak Ciu Bun yang sulung meninggal, disusul kedua cucunya.
Kini yang dapat diandalkan cuma sawah yang tinggal sepetak. Sayangnya, musim
kering berlangsung terlalu lama. Panenan tahun itu gagal. Sawah pun tinggal
berupa sepetak tanah yang retak-retak kurang air. Saking kecewa, Ciu Bun jatuh
sakit pula.
Selagi ia terbaring tak berdaya, Liu Sie pergi kepada Wan Wan-gwa, orang yang
paling kaya di kota itu. Istri Ciu Hon itu meminjam uang kepada Wan Wan-gwa
dengan adik iparnya sebagai jaminan! Bukan main marah Ciu Bun ketika mengetahui
hal itu. Ia memaki-maki menantunya, sementara Ciu Hon yang tunduk pada istri,
tak bisa berkata apa pun. Ciu Cie cepat melerai pertengkaran mereka dengan
menyatakan tak keberatan dijadikan jaminan.
“Dengan uang pinjaman, Thia dan Koko dapat usahakan sawah kita. Sesudah panen,
bukankah kalian dapat menebusku di rumah keluarga Wan wan-gwee?” kata gadis itu.
Biarpun dengan hati sedih, Ciu Bun tak bisa apa-apa ketika ankanya diboyong oleh
Wan Wan-gwa, rentenir yang terkenal kejam dan mata keranjang, sungguhpun hati
Ciu Bun tak pernah tenang.
Musim hujan tiba. Ciu Bun mengerjakan sawahnya dengan giat, dibantu Ciu Hon yang
ikut membanting tulang, seolah dengan demikian ia ingin menebus perlakuan
istrinya yang kurang baik kepada ayah dan adiknya.
Batas waktu penebusan semakin dekat. Tapi bersemaan dengan itu, padi di sepetak
sawah keluarga Ciu juga mulai menguning, siap untuk dipanen. Ciu Bun senang. Tak
lama lagi ia akan bertemu kembali dengan anak bungsunya, Ciu Cie.
Namun suatu hari, ketika ayah-bernak Ciu pergi ke sawah untuk panen, mereka
mendapati sawah mereka sudah dirusak orang. Bulir padi yang penuh berisi tak ada
lagi. Yang tinggal cuma batangnya saja. Ciu Bun sampai jatuh berduduk melihat
semua itu.
“Siapa … siapa yang tega …” cuma itu yang sanggup keluar dair mulutnya.
Ciu Hon saking kecewa susah-payahnya musnah begitu saja, mengamuk sendirian.
Kadang menangis, kadang berteriak, kadang menyumpah-nyumpah. Petani-petani lain
menjadi kasihan dan mendekati ayah-beranak ini.
“A-Hon, sudahlah.”
“Akan kubunuh yang melakukan ini!”
“Siapa yang tega …?” Ciu Bun meratap.
“Di kota ini, siapa dapat lakukan tindakan keji demikian selain …. Ciu Peh-peh,
Ching Ching 247
adakah kau menggadaikan anak gadismu kepada Wan Wan-gwe?” tanya seorang
tetangga.
“Kenapa kau bertanya begitu?” tegur tetangga yang lain.
“Soalnya kejadian ini persis sama yang dialami Kwan Lo-pek dua tahun lalu. Waktu
itu ia terpaksa gadaikan anak gadisnya. Waktu sawahnya mulai menampakkan hasil,
ada orang yang merusak hingga anaknya tak tertebus lagi.”
“Jadi ini pekerjaan hartawan busuk itu!” Ciu Hon berteriak marah. “Biar kubunuh
dia!” Tak dapat dicegah lagi, ia berlari ke rumah Wan Wan-gwe. “Hei, Wan-gwe
busuk, cepat kau lepaskan adikku! Cepat, kalau tidak kuadukan kepad Ti-koan!”
“Eh, petani busuk, mau apa kau?”
“Aku mau jemput kembali adikku, A-cie!”
“Mana boleh! Lunasi dulu hutangmu pada majikanku!”
Terjadi perang mulut antara Ciu Hon dan pegawai Wan Wan-gwe. Saat itu Liu Sie
datang menyusul suaminya.
“Suamiku, jangan bikin malu, mari pulang saja,” bujuknya.
“Mana boleh, adikku belum dikembalikan!”
“Benar, kita harus dapatkan A-cie kembali,” timpal Ciu Bun.
“Mana kau tahu, A-cie sekarang sudah dapat baju-baju bagus dan makan kenyang.
Mana sudi ia kembali jadi anakmu,” hardik Liu Sie kepada merutanya.
“Kau jangan kurang ajar!” baru kali itu Ciu Hon berani membentak istrinya. Si
istri tak terima. Kini terjadi adu mulut antara tiga orang—Ciu Hon, Liu Sie, dan
pegawai Wan Wan-gwe—sampai petugas keamanan menggiring mereka ke pengadilan.
“Ada apa?” tanya Ti-koan kepada mereka. Berebutan ketiganya menjelaskan duduk
perkara. Belum lagi beres bicara, datanglah Wan Wan-gwa. Tikoan itu menyambutnya
dengan hormat. Setelah kasak-kusuk sebentar, tiba-tiba saja tikoan itu menjadi
berseri dan tanpa tanya-tanya ia langsung bereskan persoalan.
“Orang she Ciu, kau ada bukti peminjamannya?”
Ciu Bun cepat keluarkan selembar surat gadai.
Tikoan itu membacanya sekilas. “Dalam surat ini kau telah jual anakmu segara 150
tael kepada Wan Wan-gwa. Mau apa lagi?”
“Baohong, aku cuma terima seratus taek,” bantah Liu Sie.
“Kau!” Ciu Bun menuding istrinya. “Perempuan laknat! Berani kau jual adikku!”
“Kalau tidak begitu, anak-anakmu akan mati kelaparan, dungu!”
“Kau perempuan hina, kenapa tidak kau gadaikan saja dirimu sendiri!”
“Jangan ribut!” tikoan kota itu membentak. “Ciu Hon, kau terbukti memfitnah
orang. Pengawal, kurung dia. Dan kepada Ciu Bun dan Nyonya Ciu, beri hukum
cambuk masing-masing sepuluh kali!” Tikoan yang sudah kena sogok itu royal
menghamburkan hukuman. Matanya melirik kepada Wan Wangwe yang mengangguk-angguk
puas.
Pulang ke rumah, Liu Sie masih mengomel menyalahkan suaminya yang keburu napsu.
“Diam!” bentak Ciu Bun yang sudah pusing. “Semua salahmu juga, menjual ipar
sendiri—”
“Kalau tidak begitu, apakah kita bisa hidup sampai hari ini? Dasar orang tua tak
tahu diri, tak tahu terima kasih! Kaupikir nasi yang kaumakan turun sendiri dari
langit? Semua itu mesti pakai duit, tahu! Orang jompo tak berguna! Kalau tak
suka, kau boleh pergi sana!” Liu Sie mengomeli mertuanya.
Sakit hati oleh caci-maki menantunya dan karena sedih kehilangan naaknya, Ciu
Bun nekat bunuh diri.
“Wah, sungguh keji menantumu. Tega-teganya ia menjual ipar sendiri. Wan Wan-gwa
pun sudah keterlaluan pula. Lo-pek, coba tunjukkan tempat Wan Wan-gwa itu. Aku
Ching Ching 248
jamin, nanti sore kau akan kumpul lagi dengan dua anakmu.”
Setengah percaya, Ciu Bun mengantar Ching-ching ke rumah gadai milik Wan
Wan-gwa.
“He, kakek tua, kau kan yang kemarin cari gara-garai? Kemarin kau gadaikan
anakmu, sekarang apa yang mau kaugadai?” tanya pegawai parobaya dii sana.
“Kepalamu!” tahu-tahu Ching-ching melompat ke dekat pegawai itu sambil mengancam
dengan pedangnya.
“Kau kan jago taksir barang. Kemarin Ciu Kouw-nio kauhargai seratus tael. Nah,
kepalamu adakah sepuluh tael harganya?”
Si pegawai itu langsung gemetaran. Kumisnya yang sudah abu-abu bergerak-gerak
lucu. Nyaris Ching-ching ketawa. Tapi saat ini ia harus pasang tampang galak.
“Ampun, Lie-hiap. Kep … k-kepala s-s-saya t-tidak diju-j-jual.”
“Manusia saja bisa digadai. Kenapa cuma sepotong kepala kok tidak bisa?”
“Ampuuun, Lie-hiap,” pegawai itu meratap. “Di sini banyak barang berharga.
Lie-hiap boleh ambil seberapa suka, tapi jangan kepala saya!”
“Aku juga tak butuh kepalamu, asal kau beri tahu di mana Wan Wan-gwe simpan Ciu
Kouw-nio.”
“Di … di rumahnya,” jawab pegawai itu ketakutan. Kumisnya bergerak-gerak lagi.
Tahu-tahu Ching-ching mendapat akal bagus. “Baiklah, kau boleh senang aku tak
lagi butuh kepalamu. Tapi sebagai ganti, aku minta kumis dan rambutmu.” Dengan
pedangnya, Ching-ching membabat kumis dan rambut orang itu. Setelah menotok
pegawai itu, Ching-ching dan Ciu Bun pergi ke rumah Wan Wan-gwe.
Rumah itu bertembok tinggi dan pintunya dijaga ketat. Meskipun bukan halangan
bagi Ching-ching, tapi Ciu Bun jadi enggan masuk ke dalam. Ia memilih menunggu
saja. Begitu pun lebih baik bagi Ching-ching. Ia tak perlu repot menjagai orang
tua itu.
Ching-ching keluyuran sambil mengintip ke tiap kamar. Di salah satu kamar,
dilihatnya seorang laki-laki berperut buncit sedang menghitung uang. Gadis itu
berkesimpulan, inilah Wan Wan-gwa. Ia melompat masuk dan sebelum Wan Wan-gwa
sempat berbuat apa-apa, sebilah pedang sudah menempel di leher laki-laki gendut
itu.
“Jangan coba-coba teriak, atau kepalamu turun ke tanah!” ancam Ching-ching.
“Ampun, ampun, jangan bunuh saya, ampun!” Wan Wan-gwa memohon.
“Jangan berisik! Kau punya senjata?”
“A-a-a-ada … pedang di samping tempat tidurku.”
“Ambil, lalu kau lawanlah aku!”
“S-s-saya … saya tak berani, Lie-hiap.” Hartawan she Wan itu menjatuhkan diri
berlutut. “Saya ada banyak uang. Lie-hiap boleh ambil semua, tapi mohon ampuni
jiwa saya.
“Ih, siapa butuh uangmu. Aku suruh kau melawan!”
“Saya sungguh tak berani. Betul-betul tak berani.”
Sial, Suhu larang aku bunuh orang yang tak mau melawan. Jadinya aku tak bisa
bunuh orang tak berguna ini, pikir Ching-ching. “Ya sudah, aku tak memaksa.
Tapi, aku ada ingin bertanya. Betulkah kau membeli gadis she Cioe seratus tael
dan membakar sawahnya?”
“Tida—”
“Mau mungkir?” Ching-chign tekan sedikit pedangnya menyentuh sedikit kulit Wan
Wan-gwa hingga berdarah sedikit.
“Eh, ya betul.”
“Apa saja dosamu, coba aku kepingin tahu!”
Ching Ching 249
Agak ragu-ragu Wan Wan-gwa pada mulanya. Tapi dengan gemetar, ia sebut juga
dosa-dosa yang sudah ia buat. Satu, dua, tiga … dua puluh. Ching-ching sudah
bosan mendengarnya.
“Cukup, cukup. Dosamu itu sudah dapat jadi alasan untuk membunuhmu, tahu! Tapi,
baiklah kukembalikan jiwamu kali ini, gunakan kesempatan untuk tebus dosa.
Bertobatlah. Kalau tidak, lebih baik tak ketemu aku lagi. Aku cuma mau kasih
kesempatan satu kali dalam hidupmu.”
“Terima kasih, Lie-hiap yang luhur budi,” kata Wan Wan-gwa. “Bolehkah saya tahu
siapa kiranya Lie-hiap yang murah hati?”
“Hmmh, kalau dulu-dulu kau ketemu aku, pasti aku mengaku sebagai
Sat-kauw-sian-lie atau Boe-beng-bie-kwie. Tapi karena sekarang aku sudah jadi
murid Suhu, aku mesti mengaku. Namaku Lie Mei Ching, murid keenam
Pek-san-bu-koan. Baiknya kau ingat, supaya kau tak lupa pada janjimu.”
“Tapi aku bukan pengadu macammu. Aku akan bilang Thia-thia aku tak mau jadi
murid di sini,” Ching-ching mengikuti omongan dan Lan Fung kemarin harinya.
“Cih! Tak tahu malu, ingkari ucapan sendiri.”
Gantian wajah Lan Fung yang merah. Ia sudah mau mendamprat Ching-ching waktu
genderang berhenti dipukul dan seorang murid Pek-san-boe-koan mengumumkan,
“Ujian pertama dimenangkan Thio Lan Fung Thio Kouw-nio.”
Pada saat bersamaan muncullah Lie Wei Ming, Tabib Yuk, dan Thio Chin Wu, yang
rupanya memang sudah menunggu.
“Lie Mei Ching!” Lie Wei Ming memanggil. “Apakah kau terima keputusan?”
“Aku terima kalah,” kata Ching-ching. Tegas dengan suara jelas dan cukup keras.
Diam-diam Lie Wei Ming bersimpati pada gadis ini. Orang yang mau terima
kekalahan sedikitnya punya jiwa pendekar. Thio Chin Wu punya perasaan yang sama.
Ia mengagumi saingan anaknya ini. Di sebelahnya Tabib Yuk merasa bangga. Thio
Lan Fung boleh jadi memenangkan ujian, tapi dalam merebut simpati orang
Ching-ching menang selangkah. Ujian yang lain nantinya gampang saja.
“Ujian kedua!”
Tahu-tahu muncul ratusan murid Pek-san-boe-koan mengelilingi tempat itu. Empat
orang dari mereka menggotong dua galah yang panjang sekali. Galah-galah itu
diberdirikan. Di sebelah atasnya terbentang kain putih bersih. Dua murid yang
lain membawa tinta dan pit yang besar.
Yuk Lau dan Wu Fei maju. “Ujian kedua adalah menguji ingatan dan ilmu dasar. Ini
ada pit, tinta, dan kain. Tugas kalian adalah menuliskan sajak yang sudah
dihafal di kain itu. Yang berhasil menyelesaikan akan jadi pemenang.”
“Jadi yang menang adalah yang menyelesaikan?” Ching-ching menegaskan.
Wu Fei dan Yuk Lau bebareng memanggutkan kepala. Mereka menunggu sampai
genderang dipukul tiga kali tanda ujian dimulai.
Thio Lan Fung yang sudah siap, mengerahkan gin-kang mencelat dan menulis di kain
putih yang terpasang tinggi di ujung galah. Ia berhasil menulis satu kata waktu
mesti turun ke bawah.
Ching-ching mundur-mundur dan memperhatikan agak jauhan. Murid Pek-san-boe-koan
ramai menyoraki supaya ia mengalahkan Lan Fung.
“He, garismu yang terakhir kurang panjang. Jelek tulisanmu jadinya,” komentar
gadis itu.
“Jangan cuma bicara! Coba perbaiki!” tantang Lan Fung.
Berlagak tolol, Ching-ching memanjat galah dan dengan susah payah berhasil
memanjangkan garis yang ditunjuk. Ia turun lewat jalan yang sama.
Thio Lan Fung tersenyum melecehkan. Kiranya anak centil ini belum punya gin-kang
Ching Ching 250
yang lumayan. Selesai istirahat Lan Fung melompat lagi menuliskan kata lain.
Ketika ia turun, lagi-lagi Ching-ching mengkritik.
“Tuh, sekarang kau lupa kasih titik di pinggir.”
“Sana kau betulkan.”
Lagi-lagi Ching-ching memanjat tiang. Kali ini sulit baginya mencapai tempat
yang dimaksud. Tangannya harus diulur panjang-panjang. Ia sampai mencoretkan
titik, tapi pegangannya mengendur dan badannya meluncur ke bawah.
Semua orang yang melihat berseru kaget, tak terkecuali Thio Chin Wu dan Lie Wei
Ming. Guru besar Pek-san-boe-koan itu hendak menolong, tapi badan Ching-ching
lebih dulu menyentuh tanah.
Lie Wei Ming menangkap gerakan dan gin-kang yang menyebabkan Ching-ching
jatuhnya empuk dan tidak terlalu keras. Ia mengerutkan kening. Melihat ini, ia
tahu gin-kang Ching-ching bagus sekali, melebihi dirinya. Berarti, barusan anak
itu cuma pura-pura. Mengapa?
Ching-ching bangun, terpincang-pincang mendekati Lan Fung yang tertawatawa
melihatnya. Yuk Lau dan Wu Fei buru-buru mendekat.
“Ching-ching, apa-apaan?” tanya Yuk Lau berbisik. “Thio Lan Fung sudah menang
selangkah. Masa mau kau biarkan ia menang sekali lagi? Kau sebenarnya mau tidak
menjadi murid Pek-san-boe-koan?”
“Sewot amat. Tunggu saja. Pokoknya aku pasti menang.” Sambil memperhatikan Thio
Lan Fung yang sedang menulis, Ching-ching mengomentari macam-macam. Kalau Lan
Fung berhenti, ia mengejek. “Ayo! Jangan loyo. Sekarang tulis kata sabar. Bisa
tidak?”
“Cerewet! Mending kalau bisa kerjakan sendiri.”
Selagi Thio Lan Fung menulis, Ching-ching mengaduk tinta dan menyiapkan kuasnya.
Begitu Lan Fung turun, ia memberikan kuasnya sehingga Lan Fung tak bisa
lama-lama istirahat.
Thio Lan Fung kecapekan. Napasnya mulai tidak teratir. Tapi, tinggal dua huruf
lagi yang mesti ditulis dan ia akan mengalahkan Ching-ching. Lan Fung mengempos
semangat dan mengumpulkan tenaga, menulis lagi satu kata. Sekarang tinggal satu
huruf! Tersenyum senang Lan Fung turun ke tanah. Belum sampai kakinya menyentuh
tanah, sebuah bayangan berkelebat melampauinya.
Ching-ching memutuskan tali-tali yang mengikat kain ke galah di sebelah kiri.
Digulungnya kain itu ke kanan sampai pada huruf yang baru ditulis. Sebelah
kakinya bertumpu pada galah sementara tangannya cepat menulis satu huruf yang
ketinggalan. Kain itu dibawanya turun dan diserahkan kepada Lie Wei Ming.
Genderang dipukul. Ching-ching memenangkan ujian kedua!
“Curang!” kata Lan Fung menghentakkan kaki, hampir menangis. “Aku yang
capek-capek menulis … Tulisanku kan lebih banyak.”
“Eh, sewot! Tadi sudah disebutkan, ‘yang menyelesaikan akan jadi pemenang.’ Nah,
aku yang selesaikan. Jadi, aku yang menang. Puas?”
“Huh!” Lan Fung mendengus kesal.
“Ujian yang ketiga,” kalian harus mengambil pedang di kamar sembilan nyawa.”
Bersama-sama mereka menuju gedung yang disebut kamar sembilan itu. Gedung itu
dibangun di sisi lain Pek-san. Yang kelihatan dari gedung itu cuma bagian depan.
Bagian belakangnya menempel ke gunung.
“Pedang Yap Lie Hoa ada di dalam. Yang berhasil membawanya keluar akan menjadi
murid tingkat satu. Kalian hati-hatilah. Ujian yang sekarang ini bukan
main-main. Lengah sedikit bisa celaka. Dalam ujian ini kalian harus waspada, tak
boleh sembarangan.”
Ching Ching 251
Sesudah mendengar segala wejangan Lie Wei Ming, Ching-ching dan Thio Lan Fung
balapan ke dalam gedung. Dari luar gedung itu tampak tidak terlalu besar, tapi
dalamnya luas sekali. Anehnya, tak ada perabotan di sana. Begitu masuk, mereka
ketemu dua pintu batu.
“Mana kau pilih?” tanya Ching-ching. “Kanan atau kiri?”
Thio Lan Fung bingung memilih. Ia melirik kepada Ching-ching. Gadis itu tampak
tenang-tenang saja. Barangkali ia sudah tahu jalannya. “Kau saja duluan pilih,”
katanya.
“Baik, aku pilih yang kiri.” Ching-ching mendekati pintu yang ia sebut.
“Tidak!” Lan Fung menghalangi. “Aku mau yang kiri!” katanya tegas.
“Kalau begitu aku ambil yang kanan,” kata Ching-ching, menuju pintu yang dipilih
dan masuk tanpa ragu lagi.
Thio Lan Fung bimbang. Ia curiga pada Ching-ching. Apakah ia sudah tahu jalan
pikiran Lan Fung barusan sehingga sengaja duluan pilih pintu kiri baru kemudian
yang kanan?
Lan Fung mengerutkan kening. Ching-ching orang yang licik dan banyak akal.
Jangan-jangan di balik pintu kiri ada banyak jebakan. Paling baik ia mengikuti
ke pintu kanan saja membuntutui gadis itu. Setidaknya kalau memang ada jebakan,
Ching-ching akan kena duluan sehingga ia bisa waspada. Berpikir demikian, Lan
Fung segera mengikuti jejak Ching-ching ke pintu kiri.
Di balik pintu batu, semuanya gelap sekali. Ching-ching tak berani buru-buru
melangkahkan kaki. Ia berdiri diam dulu sambil mengejap-ngejapkan mata,
membiasakan diri. Sesudah itu, baru ia jalan pelan-pelan. Belum sampai dua puluh
langkah, ia mendengar suara orang di belakangnya. Ching-ching langsung mengenali
Lan Fung.
“Penakut!” gumamnya mengejek. Tapi ia pura-pura tidak tahu kalau Lan Fung
mengikuti.
Ching-ching melihat cahaya di depan, di tempat yang menikung dipasangi obor,
terus sampai ia mesti berhenti.
Di depannya tak ada lagi tanah. Yang ada cuma semacam jurang. Lebarnya sekitar
sepuluh tombak. Untuk sampai ke seberang ada jembatan dari gelendong kayu yang
lumayan … kecilnya. Ching-ching melongok ke dalam jurang itu. Ia tak tahu berapa
dalamnya. Yang kelihatan cuma hitum.
Ching-ching menapakkan kaki ke gelendong kayu. Ia tersenyum. Rintangan begini
bukan apa-apa buatnya berjalan di atas tali ia sanggup, masa cuma kayu
segelendong saja yang jauh lebih besar tak bisa dilewatinya. Ia mendengar suara
kaki Lan Fung semakin dekat. Kepingin tahu, bisa tidak gadis itu melewati
jembatan ini. Buru-buru ia menyeberang sampai ketengah, dan berdiri menunggu. Ia
ingin lihat rupa gadis itu saat melihat apa yang dihadapi.
Lan Fung yang mengikuti Ching-ching bengong melihat jurang dalam yang menganga
di hadapannya.
“Seru ya,” kata Ching-ching menyambut. “Pakai beginian segala. Seperti tukang
obat yang suka pamer kepandaian di pasar saja. He, ngapain bengong di situ. Hayo
kemari!"
Ching-ching sengaja melompat dan berputar-putar di atas balok sambil sesekali
jumpalitan.
Lan Fung memandanginya dengan iri. Ia menundukkan muka. Terlihat olehnya bahwa
balok itu terpancang ke lubang di tebing jurang, tapi tidak terkubur erat.
Barangkali kalau diputar … Lan Fung tersenyum jahat menggerakkan tangan. Balok
kayu diputarnya sedikit.
Ching Ching 252
Ching-ching yang tidak tahu jadi kaget sekali. Ia tergelincir dari balok yang
diinjaknya, jatuh ke dalam jurang yang seperti mulut besar mau melahapnya!
“Aw!” ia berteriak kaget. Tangannya cepat menggapai, meraih balok kayu yang
sudah terlewat di atas kepala.
Dapat!
Ching-ching cepat menarik badannya ke atas dan duduk di balok itu. Fiuh! Nyaris
saja. Untung sedari anak-anak ia sudah dilatih melawan rasa takut hingga
pikirannya jernih dan bisa bergerak cepat sekali. Kalau tidak …
Ching-ching melongok ke jurang di bawahnya. Hiii! Ia cepat berdiri dan buru-buru
menyeberang.
“Licik kau, Thio Lan Fung!” umpatnya sesampai di seberang. “Awas kubalas kau
nanti!”
Lan Fung menyesal. Ia sendiri belum sampai di seberang. Bagaimana kalau nanti
Ching-ching melakukan hal yang sama padanya? Lama ia diam berpikir-pikir.
“Huuh, menunggui kau aku bisa ubanan. Duluan saja ah!” kata Ching-ching tak
sabar. Ia berjalan agak jauh. Sampai di tempat yang agak gelap tak terkena
cahaya obor, ia berhenti dan memperhatikan Lan Fung. Ingin tahu, berani tidak
gadis itu meniti balok kayu.
Thio Lan Fung tak lagi melihat Ching-ching. Gadis itu sudah berjalan duluan.
Sekarang aman kalau dia mau menyeberang. Tapi, yang jadi masalah, bisa tidak ia
berjalan di kayu yang cuma sebesar gitu? Tapi, melihat Ching-ching tadi kok
sepertinya gampang sekali. Kalau gadis itu bisa, kenapa dia tidak? Lagipula
gin-kangnya lumayan dan yang paling penting ia tak mau keduluan Ching-ching
mengambil pedang Thio Lie Hoa.
Agak gemetar Thio Lan Fung melangkah juga. Ternyata berjalan di atas balok ini
tidak segampang yang dilihatnya. Apalagi melihat jurang tak berdasar di
bawahnya, dan menjaga keseimbangan badan betul-betul sulit. Lan Fung mencoba
memusatkan pikiran. Ia tak boleh ngelantur macam-macam kalau mau selamat sampai
di seberang.
Ching-ching memperhatikan dari jauh. Dilihat badan Lan Fung yang oleng ke kiri
ke kanan. Tangannya yang terentang memperjelas gerakan gadis yang meniti
jembatan itu.
“Dia tak bakalan lewat!” kata Ching-ching dalam hati. “Kalau begitu caranya,
sebentar lagi pasti terpeleset dan terbanting ke bawah. Tamat riwayatnya. Puas!
Jahat sih!.”
Tapi sedetik kemudian Ching-ching berubah pikiran. Saat itu Lan Fung sudah
benar-benar tak bisa bertahan. Badannya miring-miring. Kaki yang menapak di kayu
tinggal sebelah. Ia jatuh.
Lan Fung menjerit menyadari kedua kakinya tidak menapak lagi. Ia memejamkan
mata. Dan masih menjerit-jerit ketika sepasang tangan menangkap sebelah kakinya.
“Hush!” Diam!” sebuah suara jernih membentak.
Lan Fung membuka mata. Ia melihat Ching-ching di bawahnya—tidak, di atasnya,
tapi … entahlah, Lan Fung tak tahu lagi mana atas mana bawah!
Ching-ching kerepotan menolong Lan Fung yang menggantung terbalik. Apalagi Lan
Fung tak berbuat apa-apa untuk menolongi diri sendiri.
“He, usaha dong. Jangan mengandalkan aku! Hei, kau sudah mati belum? Kalau
sudah, kulepas saja kakimu, tak ada guna dipegang-pegang.”
“Jangan dilepas!” Lan Fung ketakutan.
Ching-ching tersenyum. Thio Lan Fung tidak semaput karena kaget. Bagus! Susah
payah Ching-ching berhasil juga menarik kaki Lan Fung hingga gadis itu berhasil
Ching Ching 253
duduk di balok kayu. Sejajar dengan Ching-ching, tapi memunggungi gadis lincah
itu.
Ching-ching menepuk punggung Lan Fung. “Kau untung, aku tak jadi mati karena
niat jahatmu tadi. Coba kalau tidak, pasti kita sudah sama-sama jadi mayat di
dasar jurang.” Ching-ching berdiri. “Sudah ah, kau terlalu banyak menyita
waktuku. Selebihnya, urus dirimu sendiri saja.” Ia melompat ke tepi.
“Hei!” Lan Fung memanggil. “Aku memang hutang nyawa padamu. Kali lain akan
kubayar lunas. Tapi, kalau kaupikir aku lantas berhenti jadi sainganmu, kau
keliru.”
“Justru itu,” sahut Ching-ching. “Aku tolongi engkau karena tidak mau buru-buru
memenangkan ujian. Pertandingan tanpa saingan itu tidak lucu. Jadi, kau tak
perlu berterima kasih begitu kepadaku,” sindirnya.
Muka Lan Fung memerah sampai ke telinga. Untung cahaya yang ada remang-remang
dan ia memunggungi Ching-ching sehingga gadis itu tak mungkin melihat.
“Aku mau pergi,” kata Ching-ching. “Kalau kau mau tinggal di situ seharian,
terserah.”
“Kau tak mau bantu, aku juga tak meminta.”
“Membantumu? Ah, nanti kau hutang budi padaku. Pertandingan jadi tidak seru.
Baiknya memang tidak, bukan? Kau usahalah sendiri, masa tidak sanggup?”
“Saya tak akan lupa.”
“Ya, dan jangan lupa juga kembalikan Ciu Kouw-nio, Phan Kouw-nio, dan entah
siapa lagi yang kausebut tadi.”
“Ya, ya, sekarang juga saya akan lepaskan mereka.”
Ching-ching yakin Wan Wan-gwa akan menepati janjinya karena masih sayang nyawa.
Ia pun tak menunggu lebih malam, segera pergi menemui Cioe Boen. “Anakmu akan
segera lepas. Kau tunggu di sini, aku ada urusan,” kata Ching-ching. Ia lantas
pergi.
Waktu kembali, dilihatnya Cioe Boen sudah bediri dengan seorang wanita muda.
“Ha, rupanya ini anakmu, ya.”
“Benar,” sahut Cioe Boen memandangnya heran. “Lo-heng siapa?”
“Masa sudah lup … Oh iya, aku sedang menyamar.” Ching-ching mencopot kumis
palsunya.
“Lie-hiap?” barulah Cioe Boen mengenali.
“Aku menyamar untuk beri pelajaran pada mantumu. Eh, Ciecie, tolong bantu
pakaikan bedak ini.”
Ching-ching memang punya rencana. Ia mencari baju buat penyamaran dan bedak
serta gincu untuk merias muka. Ia juga memakai kumis dan rambut palsu yang
diambil dari pegawai Wan Wan-gwa. Tentu saja ia tak lupa juga membeli cermin.
Cioe Cie membantunya merias muka.
Sebentar saja sudah jadi. Melihat muka Ching-ching, lantas saja Cioe
ayah-beranak jadi ketawa. Tampang gadis itu jadi aneh sekarang. Mukanya sebelah
putih karena beda, sebelah hitam oleh arang. Bibirnya merah bergincu. Janggut,
kumis, alis, dan rambut palsunya juga dicat sebelah-sebelah.
“Kalian jangan ketawa. Ini buat menakuti orang, tahu.”
“Maaf, Lie-hiap, tapi aku tak tahan,” Cioe Cie cekikikan.
“Sekarang tinggal tunggu gelap saja dan menjalankan rencanaku.”
Begitu hari larut, Ching-ching menuju rumah keluarga Cioe. Di sana tinggal Lioe
Sie dan anak-anaknya karena Cioe Hon masih belum dilepaskan Tie-koan. Pintu kayu
yang tertutup bukan halangan buat masuk. Ginkangnya juga sebabkan ia dapat
berjalan tanpa suara. Sampai di kamar, Lioe Sie tidur, ia membangunkan perempuan
Ching Ching 254
itu.
“Lioe Sie,” panggilanya dengan suara diseram-seramkan. “Bangun, waktumu sudah
sampai.”
Lioe Sie yang terbangun mendadak jadi kaget. Untung Ching-ching cepat totok urat
gagunya jadi tak menjerit. Cepat juga dilepas lagi.
“Jangan banyak tingkah, kau harus ikut,” kata Ching-ching.
“Kau siapa?” bisik Lioe Sie.
“Aku malaikat yang diutus Giam-lo-ong mengambil nyawamu.”
Mendengarnya, Lioe Sie langsung jatuh terduduk. “Jangan, tolonglah, jangan cabut
nyawaku. Anakku banyak, kalau aku mati, siapa yang urus mereka?”
“Dosamu banyak, tak bisa diampuni. Kau selalu berlaku jahat pada mertua dan
iparmu …”
“Saya janji tak akan begitu lagi,” Lioe Sie terisak-isak.
“Hah, baiklah. Tapi kalau kali lain kau berlaku buruk pada ipar dan mertuamu,
aku akan datang lagi mencabut nyawamu. Sekarang keduanya ada di jalan.
Kaujemputlah mereka!”
Terburu-buru Lioe Sie menjalankan perintah ‘malaikat’ itu. Tentu saja Cioe Boen
dan Cioe Cie heran melihat perubahan begitu besar padanya. Tapi mereka tahu, ini
tentu ulah pendekar wanita yang menolong mereka.
Dari jauh Ching-ching mengawasi. Ia senang melihat muka girang dari Cioe Boen
dan Cioe Cie. Apalagi ketika Cioe Hon datang berlari-lari. Rupanya Wan Wan-gwa
sudah mengurus supaya ia dilepaskan. Keluarga itu sudah berkumpul lagi sekarang.
Waktunya bagi Ching-ching untuk pergi.
Satu hari lagi Ching-ching sampai di Pek-san-boe-koan. Gadis itu tak mau
terburu-buru. Ia ingin menikmati masa-masa di luar perguruan. Tapi, supaya tak
ada yang mengenalinya sebagai Lie Mei Ching, murid keenam Pek-san-boe-koan,
tentu saja ia harus mengubah rupa. Penyamaran sebagai seorang kong-coe yang
dipilihnya.
Ia sedang beristirahat di cabang sebuah pohon yang tumbuh di simpangan sebuah
jalan, waktu didengarnya ribut-riut orang lewat. Empat orang laki-laki berhenti
di bawah pohon yang ia tumpangi. Mereka sama sekali tak tahu ada seorang yang
tepat di atas kepala mereka. Terus saja empat orang itu bercakap-cakap dengan
suara keras.
“Sebentar lagi gadis itu lewat ke mari. Kita akan dapat minta obat buat saudara
kita dan sekalian membalas dendam.”
“Ya, gadis itu akan pergi ke Bukit Tengkorak mencari Yok Ong Phoa, jadi ia pasti
lewat sini.”
Mendengar nama kong-kongnya disebut, Ching-ching langsung pasang kuping. Siapa
mencari kong-kongnya? Dan siapa bilang kong-kongnya ada di Bukit Tengkorak? Ia
tahu betul, Tok Ong Phoa alias Tabib yuk tinggal di kaki Pek-san. Raja obat itu
bahkan ia kunjungi hampir tiap hari.
Tak berapa lama datang seorang gadis menenteng pedang datang ke sana. Empat
orang tadi langsung memegatnya.
“Iblis busuk,” salah seorang langsung memaki, “cepat kaukeluarkan pemunah racun
untuk saudara kami yang kaulukai kemarin!”
“Saudara kalian yang mana?” tanya gadis itu tak mengerti.
“Kau memang pikun atau memang lupa pada saudara kami yang kauracuni di hutan
bambu kemarin?”
“Yang itu? Huh, buat apa aku tolongi berandal macam dia. Biar saja dia mati
sengsara kena racunku.”
Ching Ching 255
“Kau rupanya perlu dihajar dulu. Baiklah, aku akan paksa kau serahkan pemunah
racun itu, suka atau tidak suka.” Empat laki-laki itu langsung menyerang si
gadis.
Sekali melihat orang bergerak, Ching-ching sudah tahu kemampuan orang. Ia tahu
empat pengeroyok itu masih rendah ilmunya, dan gadis yang diserang paling cuma
setingkat di atas mereka. Kalau satu lawan satu, gadis itu bisa jadi akan
menang, tapi dikeroyok empat …
Sebenarnya Ching-ching tak mau ikut campur, tapi gadis ini katanya mencari Tabib
Yuk. Entah ada urusan apa, ia ingin tahu. Kalau gadis ini mati, ia juga akan
penasaran. Mendapat pikiran dmeikian, Ching-ching mau juga turun tangan. Ia
membantu tepat saat si gadis mulai terdesak.
“Cih, tak tahu malu, empat orang keroyok seorang gadis,” katanya sembari pukul
ke kanan-kiri. Empat pengeroyok itu undur beberapa langkah.
“Kau pemuda usil, ikut campur urusan orang! Minta digebuki juga ya?”
“Boleh coba kalau bisa!” ejek Ching-ching dengan suara agak diberat-beratkan.
Tentu saja. Mana ada pemuda yang suaranya seperti anak-anak. Ia terpaksa
mengubah suara sedikit.
Pertempuran terjadi lagi, kali ini lima lawan dua. Tapi, kedudukan justru
berbalik. Ching-ching dan gadis yang dibantunya malah berada di atas angin.
Suatu ketika, Ching-ching mendengar suara kesiuran golok membokongnya. Tapi, ia
tahu juga gadis di sisinya sudah gerakkan pedang menangkis, ia pun tka mau
menghindar. Senjata beradu. Golok itu tak jadi lukai punggung Ching-ching.
Tiba-tiba sifat iseng gadis ini muncul kembali. Sambil mengerling dan tersenyum,
ia berkata pada gadis itu, “Adik manis, terima kasih pertolonganmu.”
Gadis itu mengerutkan kening. Pemuda ini cukup ganteng, jagoan lagi. Sayangnya
genit, pikirnya.
Ching-ching mengambuk, tapi tetap tak mau bunuh lawan-lawannya. Ia tak tahu
masalah. Cuma penasaran ingin tahu ada urusan apa kong-kongnya sampai
dicari-cari. Karena itu, ia bertempur setengah hati. Cuma sekadar pamer di depan
gadis ini.
“Jurus Liap-in-jio-ciu (Mengejar awan merebut mestika)!” seorang pengeroyoknya
mengenali jurus yang dimainkan oleh Ching-ching. “Dari Pek-san-boe-koan!”
“Tepat sekali!” sahut gadis itu sembari bergerak merebut senjata-senjata lawan.
Ia berputar mendekati mereka satu-satu. Ketika berdiri tegak, empat golok sudah
tergenggam di tangannya.
“Kudengar Pek-san-boe-koan adalah dari partai putih, kenapa malah membela
golongan hitam?”
“Siapa bela golongan hitam? Aku cuma benci lihat ketidakadilan. Empat lawan satu
gadis tak berdaya. Apakah itu adil?”
“Murid Pek-san-boe-koan sendiri sering keroyok orang dengan barisan
Pek-san-ngo-heng-tin).”
“Sering katamua? Coba sebut siapa saja yang pernah menghadapi barisan itu!”
“Banya. See-thian-mo-ong, Cui-beng-kiam-eng, dan Pat-jioe-lo-mo.”
“Betul, dan mereka adalah penjahat-penjahat Kang-ouw yang sudah punya nama
besar, bukan? Bukannya sebangsa orang yang tak sanggup melawan.”
“Pek-san-siauw-hiap, kami ada dendam sendiri pada nona ini. Harap jangan halangi
maksud kami.”
“Hah, kudengar kalian cuma mau penawar racun. Kenapa tak minta baik-baik?
Kiranya akan diberi. Betul tidak, Kouw-nio?”
“Tak sudi aku berikan penawar pada mereka!” bantah gadis itu bandel.
Ching Ching 256
“Yah, kalau begitu, aku tak mau memaksa,” sahut Ching-ching santai.
“Siauw-hiap!” salah seorang dari empat orang berseru.
“Kalian jangan kuatir, aku juga punya penawar. Coba, seperti apa racun yang
menyerang kawan kalian?”
“Racun itu sebabkan gatal dan bentol di sekujur tubuh. Kalau digaruk, akan
membengkak dan pecah keluarkan darah.”
“Ck-ck-ck. Kasihan, itu pasti terkena Ceng-tok-hoa. Tunggu, kuambil dulu
penawarnya.” Ching-ching ambil dua bungkusan dari sabuknya. “Yang bungkus merah
atau yang kuning, ya?”
Gadis di sebelahnya melotot kaget. Pemuda ini tahu jenis racun saja sudah
mengherankan, apa lagi punya penawarnya. Ia tak tahu, Ching-ching diam-diam
justru mencopet dari sakunya sendiri.
“Siauw-moay, kau tahu yang mana?”
Gadis yang terheran-heran itu agak kaget. Ia tahu bungkusan mana yang merupakan
obat, tapi mana sudi ia beri tahukan. Ia mengerling ke arah empat orang yang
menunggu. “Yang merah!” jawabnya sembari melengos.
“Salah besar,” kata Ching-ching yang sempat melihat kerlingan benci itu. “Yang
kuning adalah obatnya. Maka dari itu, rajin-rajin belajar supaya tak keliru.”
Dengan kesal, gadis yang ditegurnya mendengus. Tipuannya tak berhasil. Ia
sungguh kesal sekali.
“Sie-wie, ini dia obatnya.”
“Terima kasih, Siauw-hiap, kami berempat dari See-hong-pay tak akan lupakan
budimu.”
“Kalian dari See-hong-pay? Kalau saja aku tahu, aku tentu tak akan berlaku
kasar. Maukah kalian memaafkan kelakuanku yang kurang sopan dan … tolong
sampaikan salamku kepada Kwee Pang-coe. Katakan saja dari ‘si bandel kecil.’ Ia
akan ingat padaku.”
“Eh, Siauw-hiap. Kwee Pang-coe … Kwee Pang-coe sudah meninggal.”
“Hah? Kwee Pang-coe …,” saking kaget Ching-ching menggunakan suara yang biasa.
Untung tak ada yang menyadari. “Maksudku … bagaimana bisa … Ia tak dibunuh
orang, bukan?”
“Oh, tidak. Tida. Beliau sakit keras dan tak dapat diobati hingga …”
“Aku mengerti. Lantas bagaimana perkumpulan kalian?”
“Kami sudah angkat ketua baru.”
“Yah, bagaimanapun sampaikan saja salamku kepadanya. Dan juga, belasungkawa dari
kami di Pek-san-boe-koan.”
“Baiklah. Sekali lagi, terima kasih, Siauw-hiap.”
“Kalian baiknya cepat pergi. Jangan sampai saudaramu itu terlambat ditolong.”
Sesudah empat orang itu pergi, gadis id sana ikut pergi juga.
“Hei, hei, hei! Apakah kau mau pergi begitu saja? Rupanya kau belum pernah
diajarkan bagaimana berterima kasih.”
“Setelah kauberikan obat penawar kepada musuhku? Jangan harap!”
“Siauw-moay, jangan galak-galak. Nanti hilang kecantikanmu,” bujuk Ching-ching.
Ia senang waktu lihat muka gadis yang digodanya memerah. Keisengannya makin
menjadi. “Siauw-moay ….”
“Cis, siapa sudi jadi adikmu!” cibir gadis itu.
“Baiklah, nona manis, aku cuma mau kau sebutkan namamu saja.”
“Kau ini siapa, berani tanya namaku?” Kentara sekali kalau gadis itu sebal pada
pemuda lancang di hadapannya.
“Kau ini galak betulan, tapi aku suka gadis galak. Oh ya, kau tak usah sebut
Ching Ching 257
namamu, aku sudah tahu. Kau adalah Khoe Yin Hung dari Ban-tok-pang.”
“Bagaimana kau tahu?”
“Memangnya kenapa kalau tahu?”
Gadis bernama Khoe Yin Hung itu melengos pergi.
“Oeit, eit, tunggu dulu. Gadis secantik kau bahaya jalan sendirian. Biar aku
temani.”
Khoe Yin Hung tak peduli. Ia terus saja berjalan sampai tangannya ditarik
Ching-ching. Dengan marah Khoe Yin Hung mengibaskan cekalan Ching-ching dan
lantas menampar.
“Aduh!” jerit Ching-ching.
“Rasakan! Lain kali jangan semua gadis kauanggap gampang dirayu!”
Ching-ching memegangi pipinya yang pedih. Tangannya yang sebelah sudah terangkat
hendak balas menampar, tapi ia segera ingat samarannya sebagai pemuda pendekar.
Tentunya ia tak boleh membalas dengan cara yang sama.
“Wah, sayang kau tak suka kepadaku. Tadinya aku mau beri hadiah ini.”
Ching-ching mengacungkan sebuah giok tipis berukir. Benda itu didapat dari
kantong Khoe Yin Hung waktu ia mencopet obat.
“Itu punyaku! Kembalikan!” Khoe Yin Hung menerjah hendak merebut giok di tangan
pemuda di hadapannya.
“Tidak!” Ching-ching berkelit.
Khoe Yin Hung mengejar. Sejenak mereka berkejar-kejaran di tempat itu sampai
Khoe Yin Hung kecapaian. Gadis itu berhenti berlari. Sambil membanting kaki ia
berteriak mengancam, “Kembalikan barangku! Kalau tidak—“
“Tidak usah pakai mengancam segala. Barang ini akan kukembalikan kalau kau mau
jawab. Mau apa kau cari Yok Ong Phoa?”
“Bukan urusanmu!”
“Kalau begitu, biar giok ini untukku saja,” Ching-ching mengantungi giok itu.
“Kau … kau jahat. Aku tak akan mengampunimu!”
Khoe Yin Hung menyerang lagi. Kali ini Ching-ching tak menghindar. Ia malah
mengulur jari, terus ke pundak Yin Hung. Gadis dari Ban-tok-pang itu kaku
tertotok sebelum sempat menyentuh Ching-ching.
“Aku bersungguh-sungguh sekarang. Ada urusan apa kau dengan Yok-ong-phoa?”
“Kau tak perlu tahu.”
“Ya sudah. Asal kau tahu saja, jangan cari dia di Bukit Tengkorak. Percuma,
sampai tua pun tak akan ketemu.” Ching-ching mulai cengar-cengir lagi waktu
berkata, “Gadis galak, sebenarnya aku suka menemanimu di sini. Sayang, ada
urusan lain dengan gadis yang lebih manis darimu. Aku pergi dulu ya.”
Ching-ching berbalik hendak pergi. “Oh, ya, aku juga sudah ambil semua obat dan
racun punyamu. Terima kasih, ya.”
“Hei, tunggu! Aku bagaimana?” Khoe Yin Hung berteriak panik.
“Nanti juga lepas sendiri. Begitu matahari terbenam, jalan darahmu akan bebas
semua,” sahut Ching-ching dari kejauhan. “Kuharap kita bertemu lagi, Khoe Yin
Hung!”
Dengan bersemangat Ching-ching mendaki Pek-san kembali ke perguruan. Ia baru
saja memasuki gerbang Pek-san-boe-koan waktu dua orang melompat menghadangnya.
“Ching-ching, dari mana saja kau? Aku hampir mati bosan menunggu dan menguatiri
dirimu. Takutnya kau diculik Setan Gunung dan tak bisa kembali kemari.”
Datang-datang Wu Fei Mengomeli.
“Tahu tidak, ngo-soe-hengmu hampir lupa makan-tudir memikirimu,” sambung Miauw
Chun Kian membuat muka soe-teenya semu dadu.
Ching Ching 258
“Oh? Tapi kau tidak lupa latihanmu, bukan?”
“Tentu tidak. Kau boleh uji, dijamin aku akan mengalahkanmu,” Wu Fei sesumbar.
“Bagus, aku juga kepingin lihat!” sambut Chun Kian sambil melempar dua batang
ranting kepada adik-adiknya sebagai ganti pedang.
Ilmu Wu Fei memang maju pesat sekali. Bertempur beberapa jurus saja, Ching-ching
mesti takluk kepada soehengnya. Pada jurus kesepuluh, ranting di tangan
Ching-ching terlontar ke udara.
“Tuh kan!” Wu Fei tersenyum bangga.
“Curang sih!” gumam Ching-ching tak terima. “Orang baru datang, belum makan,
belum istirahat, sudah diajak tarung. Tentu saja tak bisa menang.”
“Sudah kalah, mengaku saja,” ejek Wu Fei.
“Tak bisa. Tungguh tiga hari lagi, ganti aku akan mengalahkanmu!” seru
Ching-ching.
“Aku tunggu! Aku tunggu!” sahut Wu Fei meremehkan.
“Ching-ching, kau laporan dulu pada Soehoe sana!” Miauw Chun Kian menyuruh.
“Beres!” Ching-ching berlari ke kamar soehoenya.
Di dalam kamar, ternyata Lie Wei Ming tidak sendirian. Yuk Lau ada di sana juga,
untuk melapor kepada soehoe mereka.
“Hei, Sam-soe-heng, kapan pulang?” tanya Ching-ching setelah memberi hormat
kepada gurunya.
“Beberapa jam lalu,” kata Yuk Lau. Ia kemudian mohon diri supaya
Ching-chingdapat bicara berdua dengan gurunya.
Ching-ching menceritakan pengalamannya. Hampir semua. Pertemuan dengan Khoe Yin
Hung ia simpan untuk diri sendiri. Gurunya tak boleh tahu ia puas menggoda gadis
dari Ban-tok-pang itu.
“Oh ya, Soehoe, di perjalanan aku bertemu anggota See-hong-pay. Kata mereka,
Kwee Pang-coe wafat karena sakit yang tak tersembuhkan, kemudian mereka angkat
ketua baru.”
“Siapakah nama ketua baru itu?”
“Aduh!” Ching-ching menepuk dahi sendiri. “Tee-coe lupa menanyakan.” Gadis itu
meringis dengan rasa bersalah.
“Hm, tak apalah. Toh nanti kalau ada upacara pengangkatan ketua, kita akan
diberi tahu juga. Ah, kau tentunya lelah. Beristirahatlah!”
“Baik, Soe-hoe. Tee-coe mohon diri.”
Sepeninggal Ching-ching, Khoe Yin Hung berdiri kaku di simpangan jalan. Ia
mengomel, hampir menangis karena kesal. Untung matahari segera silam. Semua
totokannya jadi terbuka, tepat seperti yang Ching-ching bilang. Hari telah
gelap. Tak ada guna terus berjalan atau mencari penginapan. Salah-salah tersesat
nanti. Kali ini Yin Hung terpaksa bermalam di pinggir jalan.
Esok harinya ketika akan berangkat, Yin Hung agak bingung menentukan ke mana ia
harus pergi. Ia diberi tugas oleh neneknya untuk mencari Yok Ong Phoa, si raja
obat. Tapi ia juga teringat terus pada gioknya yang diambil si pemuda kemarin.
Sejak kecil giok itu tak pernah lepas darinya. Sekarang giok itu diambil orang.
Yin Hung merasa ada bagian dirinya yang ikut hilang.
Khoe Yin Hung akhirnya memutuskan untuk mengambil dulu gioknya. Ia mengambil
jalan yang kemarin ditempuh Ching-ching. Ke mana kemarin pemuda itu mau pergi?
Yin Hung mengingat-ingat. Ah, paling juga pulang ke Pek-san-boe-koan. Bukankah
jalan ini menuju Pek-san? Tak ragu lagi Yin Hung memilih jalan.
Gadis dari Ban-tok-pang itu menuju Pek-san-boe-koan dengan bersemangat. Ia harus
dapatkan gioknya kembali. Sayang, kemarin dulu ia lupa tanyakan nama pemuda itu.
Ching Ching 259
Namun, Yin Hung hampir yakin akan menemuinya di tempat yang ia tuju.
Begitu tiba di gerbang Pek-san-boe-koan, Khoe Yin Hung sudah dapat kesulitan.
Tak sebarang orang boleh seenaknya masuk ke perguruan itu. Lebih dulu ditanyai
ada keperluan apa, dan dari mana berasal. Biarpun ditanyai secara sopan, Khoe
Yin Hung yang sudah terlanjur marah menganggap sudah keterlaluan. Ia membentak
beberapa orang yang menghadang. Tentu saja mereka tidak terima. Ketika Yin Hung
menyerang, ia disambuti beberapa batang pedang.
“Tahan!” tiba-tiba seseorang berseru. Tak lain adalah Miauw Chun Kian, murid
pertama Pek-san-boe-koan. “Ada apakah ini?”
“Soe-heng, nona ini hendak mendobrak masuk!” lapor salah seorang. “Kami menanyai
baik-baik, malah diserang.”
“Kouw-nio, ada urusan apakah kalau saya boleh tahu?”
“Huh! Seorang dari saudaramu mencuri giok milikku!”
“Apa? Tapi … bagaimana …”
“Soe-heng, Soe-hoe memanggilmu,” Wu Fei menyusul. Melihat Khoe Yin Hung, ia
langsung menjura. “Maafkan, aku tak tahu kalau ada tamu. Siapakah adanya
Kouw-nio?”
“Aku Khoe Yin Hung,” jawabnya singkat.
“Khoe Kouw-nio bilang, salah seorang dari saudara kita telah mencuri gioknya,”
kata Chun Kian sambil mengerutkan kening. “Ini bukan masalah biasa. Biar Soe-hoe
saja yang menyelesaikannya. Silahkan, Khoe Kouw-nio!”
Lie Wei Ming terkejut waktu muridnya membawa seorang gadis masuk. Ia lebih heran
waktu mengenali gadis itu bermarga Khoe dari Ban-tok-pang. Setahunya,
Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan tertutup. Sudah bertahun-tahun orang
jarang mendengar namanya disebut. Anggotanya juga jarang mencari masalah. Yang
sulit adalah Ban-tok-pang tak diketahui termasuk golongan hitam ataukah golongan
putih.
“Adalah suatu kehormatan bagi kami mendapat kunjungan dari Ban-tok-pang,” sambut
Lie Wei Ming.
“Tidak juga kalau Cian-pwee tahu tujuanku datang ke sini. Aku mau menagih
barangku yang dicuri oleh salah seorang muridmu!”
“Muridku? Apakah Kouw-nio yakin?”
“Ya, ia mengaku murid Pek-san-boe-koan.”
“Kouw-nio tahu siapa namanya?”
“Sayangnya tidak. Tapi aku akan dapat mengenali kalau bertemu dengannya.”
“Seperti apakah rupanya? Perempuan atau laki-laki?”
“Laki-laki. Umurnya kira-kira … aku tak tahu. Pokoknya belum sampai 20 tahun.
Rupanya tidak terlalu jelek. Ia memakai baju putih.”
“Ada banyak pemuda berciri demikian di sini. Banyak juga yang suka memakai baju
putih.”
“Aku tak peduli. Pokoknya ia pasti ada di sini.”
“Chun Kian, kau tahu siapa-siapa saja yang keluar beberapa hari ini?”
“A-bun dan A-houw, A-wen, A-cay, A-cie, dan Yuk Lau Soe-tee.”
“Sam-soe-heng bukan macamnya orang yang senang menggoda gadis,” bantah Wu Fei.
“A-fei, coba kaupanggil mereka semua!” perintah Lie Wei Ming.
Yuk Lau terkejut waktu ia dipanggil. Apalagi waktu Wu Fei meceritakan sebabnya.
Tapi, ia tak merasa berbuat salah. Cepat-cepat ia menghadap gurunya.
“Apakah ini orangnya?” tanya Lie Wei Ming kepada Khoe Yin Hung.
“Bukan. Tak satu pun dari mereka yang mirip dengan pemuda yang mencuri giokku.
Barangkali yang lainnya.”
Ching Ching 260
“Tapi cuma mereka yang pergi turun gunung beberapa hari ini.”
“Aakah kalian mau menyembunyikan pencuri itu?” tuduh Khoe Yin Hung. Ia memaksa
semua pemuda di Pek-san-boe-koan keluar menampakkan diri. Kemudian diperiksanya
satu-satu. Sampai pegal Yin Hung memperhatikan murid-murid yang jumlahnya
ratusan itu, tak seorang yang ia kenali.
“Khoe Kouw-nio, barangkali kau salah kenali orang. Buktinya ia tak ada di sini,”
kata Wu Fei.
“Aku yakin ia ada di sini. Ia mengaku sebagai murid Pek-san-boe-koan,” Khoe Yin
Hung ngotot.
“Bagaimana cara ia mengaku?”
“Eh, dia … dia bertemu dengan orang See-hong-pay dan dikenali memakai jurus
Liap-in-jio-Dicetak ulang seizin, lalu ia mengaku berasal dari Pek-san-boe-koan.
Oh ya, ia juga menitip salam dengan nama si kecil bandel.”
Lie Wei Ming mengangguk, ia sudah tahu siapa yang dicari. Yuk Lau pun tampak
curiga pada seseorang.
“Khoe Kouw-nio, bagaimanakah ia dapat mencuri giokmu?”
“Ia … ia mencopetnya dariku,” jawab Khoe Yin Hung dongkol, teringat lagi
kejadian lalu. “Bukan itu saja, ia juga mengambil semua obat yang ada di
sakuku.”
“Mencopet? Haaa, aku tahu siapa orangnya!” teriak Wu Fei. Ia langsung lari ke
dalam. Melihat kelakuan orang itu, dahi Khoe Yin Hung berkerut heran.
Tak lama Wu Fei pergi ke dalam. Ia kembali menyeret seorang yang mengomel-omel.
“Ngo-soe-heng ini apa-apaan. Aku baru saja terlelap, tahu-tahu dibangunkan dan
kauseret keluar. Apakah kau sudah gila?”
“Khoe Kouw-nio, inikah orang yang mencuri giokmu?”
Khoe Yin Hung menatap Wu Fei, lalu beralih pada Ching-ching. “Orang itu
laki-laki.”
“Kau lihat dulu baik-baik. Coba kalau bajunya begini dan rambutnya seperti ini.
Miripkan ia dengan pemuda itu?”
Khoe Yin Hung tampak ragu.
“Hai!” sapa Ching-ching dengan suara agak berat. “Kangan aku ya sampai menyusul
kemari segala.”
Khow Yin Hung mengenali suara itu. “Kau …!” tudingnya heran sekaligus marah.
“Ching-ching, cepat kau kembalikan barang orang dan minta maaf,” perintah
gurunya
“Maafkan, tapi barangmu ada di kamarku. Ayo, kita ambil!” Sebelum gurunya sempat
berkata, Ching-ching sudah menarik tangan Khoe Yin Hung ke kamarnya. “Ini
giokmu, dan ini semua obatmu. Dan sekarang, sebagai tanda penyesalanku, aku akan
mentraktirmu makan di kota.”
“Aku tidak—“
“Harus!” potong Ching-ching sambil menyeret Khoe Yin Hung pergi.
“Soe-cie, kalau urusanmu sudah beres, Soe-hoe ingin menemuimu,” kata seorang
murid tingkat tiga yang berpapasan dengan mereka.
“Bilang pada Soe-hoe, Khoe Kouw-nio mau memaafkanku kalau sudah ditraktir makan.
Jadi, aku mesti ke kota dulu untuk menyudahi persoalan.”
“Eh, aku tidak minta …,” Khoe Yin Hung menyangkal.
“Bilang saja begitu!” kata Ching-ching kepada adik seperguruannya.
Di perjalanan menuju ke kota, Khoe Yin Hung diam saja sambil cemberut.
“Kenapa sih kau diam terus?” tanya Ching-ching tak tahan lama-lama membisu.
“Kenapa kau bilang begitu pada gurumu? Aku kan tak minta ditraktir. Kau sendiri
Ching Ching 261
yang memaksa.”
“Tolol, kalau tidak begitu, mana boleh aku keluar seperti sekarang. Bisa jadi
aku malah sedang diomeli Soe-hoe sekarang. Mendingan jalan-jalan, meskipun mesti
keluar uang membayari kau makan.”
Keduanya terdiam lagi.
“Khoe Kouw-nio, boleh aku tanya sesuatu?” Sebelum Khoe Yin Hung menjawab,
Ching-ching sudah melanjutkan kata-katnaya. “Kau mencari Yok Ong Phoa, apakah
untuk urusan balas dendam?”
“Tentu saja tidak!” jawab Yin Hung cepat. “Tapi itu bukan urusanmu!”
“Tentu saja urusanku!” jawab Ching-ching meniru gaya Yin Hung berkata. “Soalnya,
cuma aku yang tahu di mana dia sekarang.”
“Ngaco! Semua orang tahu Yok Ong Phoa ada di Bukit Tengkorak.”
“Kau sendiri yang ngaco! Kong-kong tidak ada di sana. Aku bahkan tak yakin ia
pernah menginjakkan kaki di bukit itu.”
“Kong-kong?” Khoe Yin Hung terkejut. “Yok Ong Phoa kong-kongmu?”
Ching-ching mengangguk. “Dan sudah kubliang, cuma aku yang tahu di mana adanya
Raja Obat itu saat ini.”
“Di mana?” tanya Yin Hung.
Ching-ching berlagak tidak dengar.
“Di mana adanya Yok Ong Phoa?” Yin Hung mengulang.
“Kau mau tahu? Dia ada di …,” Ching-ching sengaja memotong ucapannya, membuat
Hoe Yin Hung tambah penasaran. “Aku tak mau bilang sebelum kaukatakan ada urusan
apa dengan Kong-kong!”
Khow Yin Hung berpikir sejenak sambil menatap gadis sebayanya itu. Ia menyukai
gadis ini, tapi entah bisa dipercaya atau tidak. Akhirnya diambil keputusan
untuk membohongi saja gadis itu. Urusan ini tak boleh diketahui orang
sebarangan.
Tapi, seolah dapat membaca pikiran Yin Hung, Ching-ching lebih dulu berkata,
“Jangan coba-coba menipu, ya. Nanti kutipu lagi kau.”
“Dari mana kau tahu aku mau menipu?”
“Soalnya aku ahli soal tipu-tipu. Gelagat orang yang berniat menipu dapat segera
kulihat.”
“Yah, kalau begitu aku akan berterus terang saja,” Khoe Yin Hung berkata. “Di
daerah tempat tinggal kami terdapat banyak sekali tanaman dan binatang beracun.
Bukan itu saja, bahkan hawa di sana beracun juga. Cuma di tengah-tengah
perkampungan kami sajalah yang hawanya bersih. Tapi, di sana justru paling
banyak tumbuhan dan binatang berbisa.”
“Kalian tidak takut?” tanya Ching-ching.
“Ada satu obat yang bikin kami kebal terhadap segala macam racun. Obat itu
dibuat oleh kakek moyangku dan disimpan dalam kotak-kotak dari giok yang ribuan
jumlahnya. Obat itu mesti dimakan sedikitnya dua kali dalam setahun, kalau tidak
kami akan keracunan. Celakanya, kini tinggal beberapa puluh saja jumlahnya.
Nenekku tak dapat membuat obat baru karena tak punya resepnya. Sudah
bertahun-tahun dicobanya, namun tak juga berhasil. Obat terakhir yang dicoba
malah melukai dirinya sendiri.”
“Oh, jadi kau mau ketemu Kong-kong supaya ia membantu membuat resep obat sakti
itu?” potong Ching-ching.
“Begitulah. Aku sudah beri tahukan padamu. Sekarang katakan, di manakah Yok Ong
Phoa.”
“Mana bisa begitu gampang? Kaupikir Kong-kong akan langsung membantumu, begitu
Ching Ching 262
saja?”
“Kenapa tidak?”
“Apakah nenekmu kenalan baik Kong-kong? Apakah Kong-kong pernah hutang budi
padanya? Tidak? Kalau begitu bagaimana kau yakin Kong-kong bakal membantu?”
“Lantas bagaimana?” tanya Khoe Yin Hung yang termakan ucapan Ching-ching.
“Serahkan padaku. Aku bisa atur semuanya, asal …”
“Asal apa?”
“Asal di kota nanti kau yang traktir aku.”
Khoe Yin Hung tersenyum. Rupanya gadis ini punya maksud mengajaknya ke kota.
“Jadi,” kata Yin Hung setuju. “Tapi aku belum tahu namamu.”
“Aku she Lie. Namaku Mei Ching. Tapi semua kawanku memanggil Ching-ching. Kalau
kau suka jadi temanku, kau boleh memanggil demikian pula.”
“Baiklah, Ching-ching. Namaku kau sudah tahu. Kau boleh panggil aku Yin Hung
atau Hung-hung, terserah.”
“Siauw Hung saja ah.”
“Kenapa?”
“Temanku dulu ada yang bernama Siauw Kui. Kau boleh menggantikan dia jadi
sahabatku.”
“Siauw Kui? Namanya lucu, hihi.”
“Orangnya juga lucu. Agak tolol, tapi baik.”
“Aku tak mau disamakan dengan orang tolol,” Yin Hung merajuk.
“Kalau orang baik? Soalnya Siauw Kui biar agak menjengkelkan, tapi baiiik
sekali.”
“Yah, kalau begitu, baiklah. Eh, Ching-ching, sejak kecil aku jarang berteman.
Aku tak tahu mesti bagaimana.”
“Sama teman kau mesti baik, menurut, royal, setia,” Ching-ching menyebutkan
banyak lagi yang aneh-aneh.
Yin Hung mendengarkan dengan serius. “Betulkah? Kalau begitu, sulit benar jadi
sahabat.”
Gantian Ching-ching yang heran. “Kau percaya?”
“Tentu. Katamu, teman harus dipercaya.”
“Oh ya, betul,” kata Ching-ching. Dalam hati ia tertawa. “Nah, itu rumah
makannya. Ayo masuk!”
Setelah kenyang, Ching-ching membantu Yin Hung menyewa kamar. Mereka berjanji
bertemu lagi besok, kalau Ching-ching sudah bicara pada Yok Ong Phoa.
“Besok siang, kaupesan makanan seperti tadi dan tunggu aku di rumah makan!” kata
Ching-ching sebelum pergi.
Khoe Yin Hung mengiyakan.
Ching-ching tidak langsung kembali ke Pek-san-boe-koan. Ia mampir dulu ke rumah
Tabib Yuk. “Kong-kong, aku datang!” teriaknya waktu sampai.
“He, Ching-ching! Kapan kau pulang? Bagaimana tugasmu? Beres?” sambut Tabib Yuk
dari dalam.
“Baru pulang tadi pagi. Tugasku sudah dijalankan dengan baik. Kong-kong, aku mau
minta tolong.”
“Tolong apa?”
“Kawanku ingin minta dibuatkan resep.”
“Resep apa?”
“Obat antiracun.” Ching-ching menceritakan lagi apa-apa yang dikatakan Yin Hung.
“Suruh saja ia kemari,” kata Tabib Yuk.
“Tak bisa begitu gampang. Aku punya salah padanya, dan untuk menebus kujanjikan
Ching Ching 263
membujuk Kong-kong membantu. Kalau ia tahu begitu mudah, ia akan menganggap aku
masih berutang padanya.”
“Lantas aku mesti bagaimana?” tanya Tabib Yuk sambil ketawa.
“Jual mahal sedikit.”
“Baiklah. Aku akan membuatnya cukup sulit buatmu. Sekarang kau mesti pulang.
Sudah sore, nanti Soe-hoe mencari.”
“Besok aku datang lagi!” seru Ching-ching berlari pergi.
“Ching-ching, kau dipanggi Soe-hoe. Ke mana saja kau sejak tadi dicari?” tegur
Miauw Chun Kian ketika soe-moaynya datang.
“Ke mana-mana,” jawab Ching-ching seenaknya. Ia lantas pergi ke kamar
soe-hoenya. “Soe-hoe mencari aku?” tanyanya.
“Hmm, aku ingin tahu ada urusan apa kau dengan Ban-tok-pang.”
“Tidak ada apa-apa. Tee-coe cuma ingin kenalan saja dengan Khoe Yin Hung.”
“Kenalan kenapa begitu caranya?”
“Ah, Soe-hoe seperti tak tahu sifat Tee-coe yang senang mengganggu orang.”
“Hhh, baiklah. Aku tak memaksa. Tapi, lain kali jangan cari urusan lagi dengan
orang luar. Apalagi sampai bawa-bawa nama perguruan.”
“Baik, Soe-hoe.”
“Setelah keluar nanti, panggil Sioe Ing kemari.”
“Soe-cie sudah pulang? Eh, Soe-hoe, Tee-coe mundur dulu.”
Setelah berpamit, Ching-ching pergi mencari soe-cienya. Ia mendapati In Sioe Ing
sedang berdiri bersandar ke tiang gedung sambil melamun. Ching-ching
mendekatinya pelan-pelan, berniat mengageti dari belakang. Tapi, tahu-tahu
dilihatnya Sioe Ing tersenyum. Menyangka soe-cienya sudah tahu niatan orang,
Ching-ching membatalkan maksudnya. “Soe-cie, Soe-hoe mencarimu,” katanya.
Di luar dugaan, Sioe Ing melompat kaget. Karena tidak menyangka, Ching-ching
jadi ikut terkejut juga.
“A … a … apa katamu?”Sioe Ing tergagap.
Ching-ching yang sudah pulih dari kaget malah menggoda. “Nah, ya, ketahuan.
Soe-cie sedang melamun. Melamun apa hayo, sampai senyum-senyum sendiri?”
“Ah, tidak!” Sioe Ing tersipu menyangkal. “Kau bilang apa tadi?”
“Soe-hoe mencarimu.”
“Oh, kalau begitu aku ke sana sekarang.” Sioe Ing terburu-buru pergi.
“Eh, Soe-cie mau ke mana? Kamar Soe-hoe ada di sana.”
“Oh, iya.” Sioe Ing membalikkan badan menuju ke arah yang ditunjukkan
Ching-ching.
Ching-ching memperhatikan dengan bingung. Kenapa Soe-cienya jadi linglung
begitu? Tapi, Ching-ching tak sempat berpikir lama-lama. Lebih baik ia pergi
mencari Wu Fei dan main catur dengan soe-hengnya itu.
Selama beberapa hari Sioe Ing berlaku aneh, tak seperti sebelumnya. Gadis itu
segan makan dan sulit tidur. Ia jadi sering melamun dan tak jarang senyum-senyum
sendiri. Ching-ching yang sering memergoki tentu saja jadi kuatir. Ia yang tahu
sedikit tentang pengobatan mencoba memeriksa soe-cienya, namun tak ada
tanda-tanda Sioe Ing sakit. Sayang, ia tak dapat minta bantuan Tabib Yuk yang
sedang pergi dengan Khoe Yin Hung mencari bahan obat entah ke mana. Sioe Ing
sendiri tiap kali di tanya selalu menjawab, “Tak ada apa-apa, aku baik-baik saja
kok.” Namun pada suatu siang, akhirnya diketahui juga kenapa Sioe Ing bertingkah
aneh.
Saat itu, Ching-ching yang sudah benar-benar kuatiri keadaan soe-cienya memaksa
Sioe Ing ikut ke kota memeriksakan diri pada tabib yang ada di sana. Tadinya
Ching Ching 264
Sioe Ing menolak, namun untuk menyenangkan hati soe-moaynya, ia mau juga pergi.
Di halaman mereka bertemu Chia Wu Fei yang sedang latihan.
“Hei, kalian mau ke mana?” tanyanya.
“Ke kota.”
“Ikut!” Wu Fei menyarungkan pedangnya.
“Kau kan sedang latihan.”
“Masa bodoh. Tiap hari latihan terus, hampir mati aku karena bosan.”
“Ya sudah. Jangan ngomel. Mau ikut ya ikut saja,” kata Ching-ching. Jadilah
mereka pergi ke kota bertiga mengantar Sioe Ing ke tabib.
“Bagaimana?” tanya Ching-ching waktu tabib selesai memeriksa.
“Tidak apa-apa,” kata si tabib. “Tidak perlu obat, nanti juga sembuh sendiri.”
“Apa sakitnya?” tanya Ching-ching lagi, penasaran.
“Ini sakit biasa buat gadis-gadis.”
Dikatakan demikian, wajah Sioe Ing langsung semu dadu.
“Sakit apa sih?” Wu Fei mengerutkan alis.
“Oh, begitu rupanya,” kata Ching-ching yang mengerti gelagat. “Hei, Soe-heng,
ternyata Soe-cie sakit rindu.” Lalu gadis itu cekikikan menertawakan Sioe Ing
yang tersipu.
Setelah memberi sekadar uang jasa pada si tabib, mereka keluar sambil tak
hentinya menggoda Sioe Ing. Sepanjang jalan Sioe Ing tertunduk saja, sementara
dua saudara seperguruannya tertawa-tawa, sampai kemudian seseorang mendekati
mereka dan menegur.
“In Kouw-nio, apa kabar?”
Sioe Ing mengangkat mukanya sesaat, lalu menunduk lagi melihat pemuda yang
menyapa dia. “Baik,” katanya lirih.
“Soe-cie, kau tak kenalkan kami pada kawanmu?” goda Wu Fei.
“Oh ya, ini adalah kedua adik seperguanku.”
“Perkenalkan, namaku Wang Li Hai.”
“Aku Chia Wu Fei dan ini soe-moayku, Lie Mei Ching.”
Pemuda itu terkejut melihat Ching-ching. Benarkan gadis yang ada di hadapannya
ini adalah gadis yang ia cari? Lie Mei Chign yang sama yang sering ia panggil
‘istri’? Wang Li Hai memperhatikan baik-baik.
Benar! Senyumnya itu yang berkesan bandel namun memikat. Dan matanya, yang
bening sebening telaga, yang mencorong, dan tampak ceria adalah mata Ching-ching
yang ia kenal!
“Wang Kong-coe, apakah kita pernah ketemu?” tanya Ching-ching yang heran, kenapa
Wang Li Hai begitu terkejut melihatnya.
“Be … aku rasa belum,” sangkal Wang Li Hai. Ia tak mengenaliku, pikirnya sedih
sekaligus lega. Ching-ching tak boleh tahu identitasnya yang lama. Itu yang
dipesan gurunya sebelum ia pergi. Sulit menahan gejolak hatinya. Ia berkata, “In
Kouw-nio, kalau kau masih ada urusan, aku tak akan menghalangi lagi. Moga-moga
lain hari kita jumpa lagi.”
“Wang Kong-coe, tidakkan kau ingin menemani kami jalan-jalan sebntar?” kata
Ching-ching tak tega melihat wajah Sioe Ing yang kecewa.
“Maafkan, aku ada berjanji pada seseorang.”
“Siapa?” tanya Sioe Ing, tapi ia lantas menutupi mulut dengan tangan. “Maaf, tak
semestinya aku ikut campur urusan orang.”
“Tak apa. Ia adalah Coe Loo-ya,” Wang Lie Hai sebarang menyebut nama. Ia mesti
cepat menyingkir!
“Oh.” Sioe Ing nampak lega. Di belakang punggungnya Ching-ching dan Wu Fei
Ching Ching 265
saling berpandangan sambil nyengir.
“Aku permisi dulu.” Wang Lie Hay memberi hormat dengan menangkupkan dua tangan
di depan dada, yang langsung dibalas oleh ketiga murid Pek-san-boe-koan.
Setelah Lie Hay tak kelihatan, Wu Fei dan Ching-ching langsung tertawa
bersamaan. “Soe-cie, jadi dia rupanya pemuda yang membuatmu tak dapat tidur dan
segan makan?” goda Wu Fei.
Sioe Ing tak menjawab. Mukanya saja yang semakin merah.
“Tidak jelek! Tidak jelek! Cukup ganteng kok,” komentar Ching-ching.
“Hei, hati-hati, jangan berkata begitu depan Soe-cie,” kata Wu Fei. “Coe Loo-ya
saja ia cemburui. Apalagi kau.”
“Aku tak berani! Aku tak berani!” Ching-ching menggoyangkan tangan berlagak
ketakutan.
Sioe Ing pura-pura cemberut. Padahal dalam hati, entah kenapa ia senang digoda
demikian. “Kalian jangan ganggu lagi, bolehkah?”
“Kami putuskan belakangan, tapi kau harus cerita dulu di mana ketemu Wang Li
Haimu itu,” todong Ching-ching.
“Ia menolongku waktu aku diserang orang saat perjalanan membereskan tugasku
kemarin dulu.” Sambil berjalan pulang, Sioe Ing bercerita selengkapnya mengenai
pertemuan dengan pemuda she Wang itu.
Ching-ching hampir-hampir tak percayai mata sendiri. Lan Siu Yin, piauw-cienya,
sembunyi-sembunyi menemui Chang Lun yang menjadi salah satu musuh partai putih.
Dan yang paling celaka, tampaknya ada satu hubungan. Terlihat bagaimana cara Siu
Yin memandang Chang Lun dan bagaimana pemuda itu memegang tangannya. Gadis
lincah itu terpana. Ia tak dengar waktu Siu Yin menyapa Chang Lun.
“Bun-ko!”
“Yin-moay!”
“Kakakmu tahu kau kemari?”
“Tentu saja tidak. Kau sendiri?”
“Tak ada yang tahu,” kata Siu Yin. Sesaat keduanya terdiam. Mereka menatap
langit yang malam itu dipenuhi bintang.
“Yin-moay, kau sudah tahu namaku sebenarnya, kenapa kau memanggilku Bun-ko?”
“Ah, nama itu lebih enak buat telingaku. Nama Chang Lun selalu ingatkan aku pada
partaimu.”
“Terserahlah. Aku kau panggil apa pun suka.”
Keduanya terdiam lagi.
“Bun-ko, tak bosankah kita begini terus? Aku ingin seperti orang lain yang dapat
nikmati pemandangan siang hari.”
“Tak mungkin, Yin-moay. Semenjak orang mengenalku sebagai Chang Lun, kita tak
dapat bebas lagi bertemu di siang hari.”
“Sebetulnya dapat saja,” kata Siu Yin.
“Bagaimana caranya?”
“Tinggalkan partaimu. Bergabunglah dengan kami partai putih.”
“Tak mungkin!” Chang Lun melepas tangan Siu Yin dan membelakangi gadis itu. “Kau
tahu, ayah dan ibuku Kim-gin-siang-coa, pendiri partai itu. Abangku juga ada di
sana. Bagaimanatah mungkin aku khianati keluarga sendiri.”
“Maafkan mulutku terlalu lancang,” sesal Siu Yin. “Aku cuma ingin supaya kita
dapat sering ketemu.”
“Aku tahu maksudmu baik. Tapi kita terpaksa begini sementara waktu. Aku takut
orang mencemoohkanmu.”
“Aku tak peduli omongan orang!”
Ching Ching 266
“Yin-moay, aku senang kau mau berkorban untukku. Tapi jangan kaukorbankan
kerabat dan partaimu. Apa kata orang nanti kalau tahu orang Pek-eng-pay ada
berteman denganku.”
“Ah, Bun-ko, kau selalu memikirkan orang lain, tidak seperti kakakmu yang keji.”
Terdengar nada benci dalam suara Siu Yin.
Di balik gerombol semak Ching-ching tersenyum sinis. Orang partai
Kim-gin-siang-coa mana ada yang tidak jahat? Termasuk juga Chang Lun.
Ching-ching tak percaya ia punya sifat baik. Huh, lihat saja senyumnya yang
dibuat-buat dan terutama matanya yang terkesan licik.
“Memang, kakakku itu keras hati. Ia ingin menjadi beng-coe (ketua persilatan).
Ia ingin kuasai seluruh partai, tak peduli apa pun caranya.”
“Aku juga sudah dengar tentang surat-surat ancaman yang dikirim oleh partaimu.
Bun-ko, dapatkah kauusahakan supaya Pek-eng-pay tidak mendapat surat semacam
itu?”
“Aku akan berusaha membujuk Houw-ko nanti.”
“Terima kasih, Bun-ko.”
“Yin-moay, hari sudah menjelang pagi. Pulanglah! Besok kita boleh berjumpa
lagi.”
“Hampir lupa aku mengatakan padamu. Besok kami kembali ke Pek-eng-pay.”
“Kenapa buru-buru?”
“Siok-siok harus siapkan segala sesuatunya untuk pertemuan para eng-hiong bulan
depan.”
“Baiklah,” Chang Lun berlagak tidak menaruh perhatian. “Mari kuantar kau.”
“Janganlah merepotkanmu. Aku dapat pulang sendiri.”
“Hati-hatilah!” kata Chang Lun, menggenggam tangan Siu Yin.
“Kau juga waspadalah pada abangmu,” pesan Siu Yin sebelum ia melesat pergi.
Chang Lun juga tak tinggal berlama-lama. Ia segera pergi.
Ching-ching keluar dari tempatnya sembunyi dengan kening berkerut. Tak dinyana
piauw-cienya adakan hubungan secara menggelap dengan Chang Lun. Celaka pulalah
ia telah bocorkan berita adanya pertemuan di Pek-eng-pay.
Ching-ching menghela napas sebelum ayunkan langkah kembali ke Goat-kiong.
Pagi hari esoknya seisi Goat-kiong, selainnya Wu Thio Long yang belum dapat
bangun, tumpah di luar gedung. Mereka mengantar tamu-tamu yang akan pulang
sampai ke ujung jalan utama. Di sanalah undangan memencar-mencar ke tujuan
masing-masing.
Wu Kong tampak berat melepas Ching-ching. Semenjak keluar dari Goat-kiong, ia
tak beranjak dari sisi gadis itu. Di depan mereka Wang Li Hai sibuk meladeni
gadis-gadis di sampingnya. Terkadang ia menoleh ke belakang, kepada Ching-ching
dan Wu Kong. Tak dapat diartikan pandangan itu. Ada perasaan sedih, cemburu,
iri, memelas, meminta tolong. Ching-ching berlagak tidak tahu. Ia pura-pura
asyik bicara dengan Wu Kong.
“Kasihan Hai-ko, ia repot sekali nampaknya,” kata Ching-ching.
“Aku malah iri sama dia,” cetus Wu Kong.
“Iri? Kau tidak lihat ia kelabakan dikerubuti?”
“Bukan. Ia disukai banyak gadis, itu urusannya. Hanya saja beruntunglah ia
memiliki teman akrab yang memanggil ko-ko padanya. Sementara aku, tiap orang
selalu berlaku sungkan. Sebutan Wu Kong-coe selalu lekat padaku.”
Sekonyong-konyong Ching-ching terbahak. “Kau bicara berbelit-belit. Kenapa tidak
berterang saja ingin dipanggil ko-ko?” katanya. Paras Wu Kong menjadi merah.
“Baiklah, aku akan memanggilmu Wu Toa-ko.”
Ching Ching 267
“Itu pun baik, Ching-moay. Eh, aku boleh menyebutmu begitu, bukan?”
“Itu sudah terang. Kalau aku memanggilmu ko-ko, apa lagi kau boleh sebut padaku
selain moay-moay?” Rombongan itu berhenti di simpangan jalan. Sudah waktunya
mereka memencar. “Wu Kongcu, cukup sampai di sinilah kiranya kau mengantar. Kami
akan segera lanjutkan perjalanan.”
“Baiklah. Coe-wie selamat kalan. Jaga diri baik-baik,” sahut Wu Kong.
“Jaga dirimu juga.”
Masing-masing pendekar berpamit. Ching-ching yang paling akhir.
“Wu Toa-ko, sampai ketemu bulan depan di Pek-eng-pay,” kata gadis itu seraya
mengejar teman-temannya yang mendului. “Aku tunggu kau di sana!” Ia melambai
lalu berjalan tak menoleh lagi.
“Omong-omong apa saja kau dengannya?” tanya Wu Fei.
“Ngo-soe-heng mau tahu saja.”
“Aku tanya, kau ngomong apa sama dia! Parasnya berseri waktu kau bicara.”
“Kenapa kau membentak-bentak?” tukas Ching-ching. “Aku tak suka.” Ia lantas
mendului Wu Fei bergabung dengan Wang Li Hai dan gadis-gadis lainnya.
“A Cu!” panggilnya pada Toan Cu yang sedari tadi lebih pendiam dibanding yang
lain. Didekatinya gadis bercadar itu. “Kemarin Kong-kong ada memberiku obat.
Salep ini untuk mukamu. Pakai setiap malam sebelum kau tidur.”
Toan Cu memandangi tempat salep dari batu giok itu dengan sedih. “Tidak!”
katanya tegas. “Aku sudah pernah berharap dan mendapat kecewa. Biarlah aku
sebegini saja.”
“Kau takkan nantinya menyesal?”
“Itu sudah jadi keputusanku.”
“Baiklah,” kata Ching-ching. “Tapi kau terima sajalah kotak ini. Anggaplah
pemberian dariku.”
Toan Cu menggeleng.
Dengan tampang sedih Ching-ching berkata, “Kau tak mau terima hadiah dari
temanmu?”
“Baiklah. Tapi jangan mengharap aku pakai isinya.”
“Terserah kepadamulah.” Wajah Ching-ching berseri lagi.
Mereka berjalan terus. Menjelang sore, sampailah mereka di suatu kota kecil.
Setelah dicari-cari, ketemu satu penginapan yang cuma satu-satunya. Penginapan
yang merangkap rumah makan itu tak besar tapi kelihatan apik. Di sana ada
beberapa kamar saja. Tak cukup kalau setiap orang satu, Untung pembaringannya
cukup besar sehingga dapat dipakai berdua. Setelah diatur-atur, Ching-ching
mendapat kamar bersama Toan Cu dan Yin Hung sekamar dengan Thio Lan Fung.
Sehabis makan malam, mereka masuk kamar masing-masing untuk istirahat.
Ching-ching hampir saja terlelap waktu pintu kamar digedor orang. Toan Cu turun
dari ranjang dan membukanya. Khoe Yin Hung menerobos masuk.
“Aku tak mau sekamar dengan setan betina itu!” sungutnya.
“Kalau kau mau tidur di sini boleh saja,” kata Ching-ching. “Tapi tak ada lagi
tempat di atas sini.”
“Tidur di tanah pun jadi!” Khoe Yin Hung langsung membaringkan diri di bawah.
Tapi baru beberapa saat, ia sudah mengeluh lagi.
“Jangan berisik!” hardik Ching-ching yang tak bisa tidur karena suara yang
dibuat Yin Hung. “Kalau mau tinggal, jangan banyak ribut.”
“Coba kau yang tidur di sini, mau tahu kalau kau tak ngomel!” tukas Yin Hung.
Toan Cu jadi tak tega. Ia bangkit dari pembaringan. “Khoe Kouw-nio, tidurlah di
atas sini.”
Ching Ching 268
“Apa kau mau tidur di bawah? Dingin tahu!” Ching-ching bangkit duduk.
“Aku tak ada urusan berat dengan Thio Kouw-nio. Biar saja aku pindah ke sana.”
Dengan senang hati Khoe Yin Hung pindah ke pembaringan.
“Gara-gara kau!” Ching-ching menyalahkan.
Tapi gadis itu tak peduli. “Terima kasih, Toan Kouw-nio, kau baik sekali!”
Toan Cu tersenyum dan keluar. Ia menuju kamar Thio Lan Fung. Diketuknya pintu.
Tak ada yang menjawab. Toan Cu mencoba membuka, ternyata tidak dikunci.
“Thio Kouw-nio, apakah kau sudah tidur?” bisiknya lirih.
“Sudah,” terdengar sahutan kesal, “kalau saja kau tak bolak-balik keluar-masuk
kamar!” Thio Lan Fung menyangka Khoe Yin Hung yang datang.
“Maafkan. Tapi Khoe Kouw-nio ingin tukaran kamar, jadi aku kemari.”
Barulah Thio Lan Fung sadar, bukan Khoe Yin Hung yang kembali, melainkan Toan
Cu, gadis bercadar itu. Sejak mula Thio Lan Fung dan Toan Cu jarang ketemu. Di
antara mereka tak ada perselisihan. Jadinya Lan Fung tak keberatan berbagi
pembaringan dengannya.
Toan Cu sudah kelelahan. Dari seluruh rombongan, ialah yang ilmunya paling
rendah hingga lebih cepat letih. Sebentar kemudian gadis itu sudah lelap.
Sebaliknya dengan Thio Lan Fung, ia malah tak bisa tidur. Sebentar-bentaran
diliriknya Toan Cu yang sudah pulas. Sejak berapa hari lalu, Thio Lan Fung sudah
penasaran melihat A Cu yang bercadar. Ia ingin tahu, dari perkumpulan manakan
gadis itu hingga memakai penutup luka. Ia ingin tahu juga apa di balik cadar
itu. Wajah yang cantikkah, atau jelek?
Kuintip saja sedikit, pikirnya. Ayolah, toh ia sudah tidur. Gemetar, tangan Thio
Lan Fung mengarah ke cadar Toan Cu dan menyibakkannya sedikit. Tapi ia tak dapat
melihat apa-apa selain sebuah bayangan gelap. Lan Fung mendekatkan mukanya ke
wajah Toan Cu sembari membuka cadar lebih lebar.
Hampir saja ia menjerit melihat apa yang di balik cadar. Sebuah paras yang
mengerikan! Penuh luka-luka aneh menjijikkan yang belum pernah sebelum ini
dilihatnya.
Thio Lan Fung menutupi mulut. Ia cepat melepaskan kain di tangannya dan
buru-buru berbaring dengan muka pucat. Sesaat kemudian ia beringsut menjauhi
Toan Cu. Dalam hatinya ia kuatir tertular. Ditutupinya muka dengan kedua belah
tangan seolah ingin melindungi diri. Tak terasa ia tertidur juga pada akhirnya.
Pagi harinya, Thio Lan Fung selalu menghindari Toan Cu. Kalau Toan Cu mendekat,
ia cepat-cepat minggat. Kalau tak sadar berdekatan, ia cepat menyingkir.
Ching-ching yang melihatnya jadi heran. Diapakan Thio Lan Fung sampai ketakutan
begitu. Tapi Toan Cu cuma menggeleng waktu ditanya. Ching-ching terpaksa
memendam penasarannya.
Pagi itu juga mereka berangkat lagi. Seperti sebelumnya, Wang Li Hai berjalan
bersama gadis-gadisnya. Ching-ching berjalan nanti di depan, nanti di belakang,
mengobrol dengan para pendekar atau toa-soe-hengnya. Tapi ia masih enggan
berbicara dengan Wu Fei. Bukannya mendendam. Ia cuma senang melihat tampang
soe-hengnya yang menyesali kelancangannya kemarin.
Tengah hari, rombongan itu beristirahat di tepian kali. Di sana mereka dapat
minum atau mencucui muka. Li Hai bercanda dengan kawan-kawannya, Ching-ching tak
mau mengganggu. Ia duduk memencil di atas sebuah batu. Miauw Chun Kian sedang
berbicara serius dengan sesama pendekar. Tak ada teman Ching-ching bicara selain
dari Wu Fei yang masih berjongkok tak jauh dari tempat Ching-ching duduk. Tapi
gadis itu sungkan menyapa duluan. Ia tahu, Wu Fei ingin berbaikan, tapi justeru
Ching-ching tak beri kesempatan. Padahal sebelumnya tak pernah marahan lebih
Ching Ching 269
dari setengah hari. Apalagi cuma karena soal kecil.
Ching-ching mendapat jalan. Ia memungut sebutir batu kecil, dilemparnya ke air
di hadapan Cia Wu Fei hingga memercik ke muka pemuda itu. Buru-buru Ching-ching
berlagak asyik memperhatikan kawan-kawannya yang lain. Tapi dari sudut mata ia
sempat melihat Wu Fei mencari-cari siapa kiranya yang sudah mengganggu ia.
Cia Wu Fei memandangi soe-moaynya yang seperti tak tahu apa-apa. Tapi justeru
sikap begitu membuat Wu Fei jadi tahu siapa yang telah berbuat. Dalam hatinya ia
senang. Kiranya Ching-ching telah buka jalan untuk berbaikan. Biarlah sekarang
ia yang berlagak jual mahal.
Melihat Wu Fei yang sepertinya tak peduli, Ching-ching jadi heran. Ia mengambil
lagi sebuah batu, melemparnya ke air. Saat itu Wu Fei menoleh dan melihat apa
yang diperbuatnya. Merasa kepergok, Ching-ching melengos ke arah lain.
Wu Fei tak mau lama-lama berdiam diri. Ia mendekati soe-moaynya. “Apakah kau
masih marah oleh urusan kemarin?” tanyanya. Ching-ching tak menjawab, malah
menjebi. “Kau tentunya marah. Memang aku yang salah. Mulut lancang mestinya
dipukul saja.” Wu Fei menepuk mulut sendiri sampai berkali-kali.
“Cukuplah, aku sudah puas menggodamu. Aku tak marah lagi. Tapi lain kali jangan
banyak campuri urusanku.”
“Tak berani, tak berani.” Wu Fei menggoyangkan tangan.
Miauw Chun Kian mendekati keduanya. “Ayo jalan. Yang lain sudah bersiap, kalian
masih duduk saja.”
Wu Fei membantu Ching-ching berdiri. Mereka berjalan seiring.
“Hei, Ching-ching! Tunggu!” Wang Li Hai menyusul. “Kalian berdua, sejak kemarin
tak mau dekat padaku. Ada apakah?”
“Takut kalau-kalau nanti mengganggu,” kata Wu Fei sambil melirik gadis-gadis
yang dalam pada itu sudah menyusul juga. Sambil haha-hihi, Wu Fei dan
Ching-ching bertindak mendului.
Diam-diam Li Hai mengerling iri. Senangnya Wu Fei tak usah pusing dengan semua
gadis yang menempel ke mana pun pergi. Bagi pemuda itu, satu orang gadis di
dekatnya sudahlah cukup.
“Dari sini, lewat jalan hutan akan lebih cepat sampai ke Pek-eng-pay,” kata Lie
Chung Yen yang menunjuk jalan di depan. “Tapi jalanannya susah dan jarang
dilewati orang.”
“Lie Tay-hiap, sekarang ini kita kepepet waktu,” kata Yo-si Soe-thay memberi
pendapat. “Kalau sekiranya ada jalan pendek, buat apa memutar lagi?” Yang lain
mengangguk setuju.
“Kita berbanyakan di sini,” dukung Houw-touw Yo Chow. “Ada sulit apa pun dapat
saling bantu.”
Lie Chung Yen mengangguk. Ia memimpin rombongan pendekar itu berjalan melewati
hutan tersebut. Benarlah apa yang dikatakannya. Hutan itu seperti tak pernah
dilewati. Tak ada jalan yang sengaja dibuat di situ. Tanah yang mereka injak
terasa empuk dan hampa. Agak melesak kalau dipijak. Kiranya adalah tumpukan daun
yang gugur dan menyatu dengan tanah. Cahaya juga susah masuk ke situ. Jadinya
mereka seperti berjalan di malam hari. Belum lagi banyak akar-akaran
malang-melintang. Kalau tak mau tersandung, mereka mesti bertindak hati-hati
sekali.
Biarpun demikian, tak seorang dari mereka gentar masuk ke dalamnya. Paling tidak
tak ada yang perlihatkan perasaan demikian kepada yang lain.
Pada perjalanan itu Wang Li Hai ketinggalan di belakang. Gadis-gadisnya banyak
ingin dibantu meski bagi para pendekar wanita seperti mereka rintangan semcam
Ching Ching 270
itu cuma soal kecil. Berbeda dengan Toan Cu yang lemah. Wang Li Hai tahu itu. Ia
pun lebih banyak menuntun Toan Cu daripada yang lain. Hal ini membuat mereka
sirik. Mereka kemudian bersikap tak sabar dan mendului. Tinggal Ching-ching yang
sayang pada Toan Cu dan Wu Fei yang enggan menjauh dari soe-moaynya, masih mau
menunggui.
Karena ketinggalan, mereka yang muda ingin buru-buru saja sehingga kurang
waspada. Suatu saat, tanah yang dipijak bergeser dan … Bruss!! Mereka semua
terperosok.
“Aaaw!” jerit Lan Fung kaget. Yang di belakangnya ikut terperosok juga. Tanah
yang jadi longsor itu lumayan juga. Mereka terseret miring ke bawah sampai
tanahnya tak longsor lagi.
“Ching-ching, kau tak apa-apa?” Wu Fei dan Wang Li Hai sama-sama menguatirkan
gadis itu yang terseret paling jauh.
Gadis itu berusaha bangun. Ia lalu berdiri bertolak pinggang sambil melotot pada
dua pemuda itu. “Bajuku sobek, pinggangku nabrak pohon, kakiku nyaris patah,
kaubilang tak apa-apa? Barangkali mesti tunggu aku mati dulu baru—“
Bruk! Ching-ching terjatuh lagi. Ia tumbang ke depan. Mukanya melesak ke tanah
yang lembut.
“Ching-ching!” Wu Fei dan Li Hai lekas-lekas menyerodot turun untuk menolongi.
Ching-ching dibantu berdiri. Ia mengebaskan baju dan mukanya yang kotor.
“Puah! Puah!” diludahkannya tanah yang masuk ke mulutnya. “Pahit!”
“Kau benar tak apa-apa?” tanya Li Hai masih kuatir.
“A Hai, kalau dia sudah mengomel begini, tandanya tak apa-apa. Justeru paling
celaka kalau dia diam saja,” kata Wu Fei sembari menolong membersihkan tanah di
rambut Ching-ching. Li Hai nyengir dan ikut-ikutan membantu.
“Sudah! Sudah! Aku bisa sendiri! Sana bantu yang lainnya!”
Ching-ching sebetulnya tak usah menyuruh. Toan Cu dan gadis-gadis yang lain
sudah ditolongi para pendekar yang tidak terperosok.
Ketika semua sudah sampai di atas, mereka duduk sejenak supaya hilang kagetnya.
Bagi orang terlatih seperti mereka, tak perlu lama-lama tenangkan diri, sebentar
saja sudah pulih dan siap lanjutkan perjalanan.
Toan Cu juga bergegas berdiri. Tahu-tahu ia terjatuh lagi. “Aduh!” keluhnya
pelan.
“Eh, A Cu kenapakah?”
“Kakiku sakit sekali,” desis Toan Cu.
“Jangan-jangan patah kakimu!” Ching-ching menakuti. “Jangan melotot kepadaku,
belum tentu patah beneran. Mari sini kuperiksa.”
Ching-ching sudah akan melihat keadaan Toan Cu kalau saja gadis itu tak
buru-buru menarik balik kakinya.
“Kenapa sih? Aku tok takkan gigit kakimu!” kata Ching-ching tersinggung. “Biar
begini aku mengerti juga ilmu pengobatan, tahu!”
“Jangan keburu marah,” kata Yin Hung. “Toan Kouw-nio menolak karena kesopanan.
Tak pantas seorang gadis dilihat laki-laki. Masakan kau tak tahu.”
“Huh, banyak aturan!” dengus Ching-ching yang memang jarang peduli kesopanan.
“Aku kan bukan laki-laki.”
“Lalu kauanggap mereka perempuan?” Yin Hung berkata agak keras seraya menuding
Wu Fei dan Wang Li Hai.
Ching-ching nyengir menyadari kekeliruannya. Untuk menutupi, ia membentak kedua
pemuda itu, “Masih belum pergi? Kepingin lihat kaki A Cu?”
Dengan wajah berobah merah, keduanya menyingkir. Toan Cu tidak berontak lagi
Ching Ching 271
sewaktu Ching-ching periksakan kakinya.
“Tak apa-apa,” kata cucu angkat Yok Ong Phoa itu setelah meraba di beberapa
tempat. “Cuma keseleo sedikit. Obatnya gampang dicari nanti sekalian jalan.”
“Nanti ya nanti,” kata Yin Hung. “Sekarang ia susah berjalan, bagaimana?”
“Suruh saja Hai-ko menggendongnya!”
Khoe Yin Hung cemberut. Li Hai menuntun Toan Cu saja ia sudah iri, apalagi
menggendong?!
“Jangan!” Toan Cu buru-buru melarang. Ia tak mau perepotkan, apalagi menyusahkan
Hai-ko. “Aku … aku bisa sendiri.”
“Betulan tak mau? Nanti kau menyesal!” ledek Ching-ching. Toan Cu
menggeleng-geleng. “Paling tidak ia mesti membantumu.”
Ching-ching menyuruh Li Hai memapah Toan Cu. Ia sendiri memotong cabang pohon
besar dengan belatinya untuk membuat tongkat. Meski jarang dipakai sebagai
senjata, tapi Ching-ching tak dapat lepaskan belati itu dari badannya. Nyatanya
dalam keadaan begini, belati lebih berguna daripada golok atau pedang.
Mereka meneruskan perjalanan. Kali ini dengan lebih hati-hati. Wang Li Hai dan
Toan Cu disuruh berjalan agak sebelah depan supaya nantinya tidak ketinggalan
jauh. Kemudian menyusul Lie Mei Ching, Lan Siu Yin dan Sie Ling Tan, lantas Thio
Lan Fung, kemudian Ching-ching dan Khoe Yin Hung. Yang lainnya menyusul di
belakang.
Ching-ching memperhatikan gadungannya yang berjalan di depan. Kentara sekali ia
coba menarik perhatian Sie Ling Tan. Tapi pemuda itu malahan sibuk memperhatikan
Lan Siu Yin yang sedang bicara. Ocehan Lie Mei Ching tak dipedulikan sama
sekali. Gadis itu tersinggung. Ia cemberut dan tak mau berjalan berendeng lagi.
Ia pergi ke belakang seiring dengan Thio Lan Fung, kawannya.
Di belakangnya Ching-ching dan Yin Hung menertawai. “Dua gadis yang sama-sama
sedang cemburu berjalan seiring. Betul lucu kelihatannya,” Ching-ching
menyindir.
“Mana?” Yin Hung terbawa iseng. “Thio Lan Fung, aku tahu siapa yang dicemburui.
Tapi kalau satunya lagi?”
“Ah, masa tak tahu. Ia cemburu pada Tan Toa-ko. Kasihan, Tan Toa-ko malah tak
peduli sama sekali.”
“Oh, ya, betul kasihan. Habisnya tak tahu diri, suka mengaku-aku nama orang.
Mana ada yang begini lagi di kolong langit.”
“Salahnya, ia tak tahu diri mau menyaingi piauw-cieku. Uuh, apa yang bisa
dibanggakan mengimbangi Yin Ciecie yang cantik.”
“Sama dengan kawannya seiring,” Yin Hung menimpali.
Panas kuping kedua gadis yang disindir itu. Namun keduanya enggan membalas, malu
pada pemuda-pemuda yang disebut-sebut. Jadi mereka berlagak tak mendengar.
Kemudian serentak keduanya memulai bicara.
“Apakah kau ….”
“Kau lihatlah ….”
Sudah itu mereka sama terdiam menyilakan yang lain bicara.
“Ha-ha!” Ching-ching menertawai. “Benar cocok kataku. Yang seorang bicara
bebareng dengan yang lain. Yang satu diam, satunya ikut berhenti.”
Thio Lan Fung dan Lie Mei Ching berlagak tak peduli.
“Fung-fung, lihatlah kembang itu, bagus sekali.”
“Memang benar bagus, coba kaupetik!” kata Lan Fung.
Lie Mei Ching memetik setangkai.
“Wah, sejak kapan gadis bernama Lie Mei Ching suka kembang?” sindir Ching-ching
Ching Ching 272
yang memang tak suka bebungaan. “Sejak selagi kecil yang namanya Lie Mei Ching
tak suka kembang.”
“Selagi kecil boleh tak suka. Sudah menjadi gadis mana ada yang tak suka kembang
bagus begini,” kilah Thio Lan Fung membela temannya.
“Tidak semua gadis mesti suka sama kembang, ada juga yang lebih suka pedang,”
sahut Ching-ching.
Mendengar percakapan ini, Lie Chung Yen tersirap darahnya. Ia teringat masa
sepuluh tahun lalu.
* *
Pada waktu itu Lie Chung Yen sedang berlatih sendirian. Selesai latihan
terdengar suara orang bertepuk tangan.
“Thia-thia, kau hebat sekali,” puji Ching-ching yang rupanya sudah memperhatikan
semenjak tadi.
Lie Chung Yen menyimpan pedangnya ke dalam sarungnya lantas menggendong anaknya
tersayang. “Ching-ching, kau dari manakah? Tidak bersama cie-ciemu?”
Anaknya menggeleng, dua kucir mungilnya ikut bergoyang-goyang. “Piauw-cie sedang
memetik kembang. Mau dironce katanya.”
“Kau tidak ikut?”
“Aku tak suak bunga. Baunya membuat hidungku gatal. Tapi Yin Cie-cie bilang,
anak perempuan harus suka bunga. Betulkan, Thia?”
“Biasanya begitu,” kata Lie Chung Yen.
“Lalu aku bagaimana? Aku lebih suka pedang seperti milik Thia-thia daripada
segala macam kembang.”
“Itu juga tak apa-apa. Barangkali kau akan jadi pendekar wanita kelak.”
* *
“Lie Tay-hiap, masih jauhkah ujung hutan ini?”
“Ada ap … eh, tidak … tidak seberapa jauh lagi,” Lie Chung Yen tergagap menjawab
pertanyaan Houw-touw Yo Chow. Ia lalu menoleh ke belakang, kepada ‘kedua
anaknya’.
Houw-touw Yo Chow maklum apa yang terjadi pada pendekar she Lie ini. “Lie
Tay-hiap, maafkan kalau aku lancang mulut. Tapi boleh kukatakan, kau orang yang
sungguh beruntung. Dua gadis yang cantik dan lihay suka menjadi anakmu. Umurku
ada sepantaran denganmu, tak satu suka mempunyai ayah macamku. Aaah, kalau saja
aku jadi engkau. Senang hati akan kuakui saja dua-duanya.
Lie Chung Yen tidak menjawab. Ia cuma mesem saja sambil manggut-manggut.
Sesekali matanya masih melirik kepada ‘anak-anaknya’.
Gadis-gadis dalam rombongan itu rupanya tertarik juga pada kembang yang jarang
ada di tempat lain itu. Selain dari Ching-ching, mereka mengambil seorang satu,
seperti juga Khoe Yin Hung.
“Wah, kembang secantik dan sewangi ini ternyata ada juga yang tak suka,”
katanya. “Huh, gadis macam apa itu yang tak suka melihat kembang.”
“Cuma melihat saja sih tak apa-apa. Tapi kalau dicium-cium, puh!” Ching-ching
mengernyitkan hidung.
“Tapi kembang ini benar wangi,” kata Yin Hung mendekatkan kembang itu ke hidung
Ching-ching.
“Jangan!” Ching-ching seperti takut dan menarik kepala ke belakang. Sayang
telat. Hidungnya keberu mencium bau kembang itu.
“Haaaacih!” Ching-ching terbersin. “Sudah kubilang, jangan ssuruh aku cium …
Haaatcih! … kembang itu.”
“Maafkan,” kata Yin Hung merasa bersalah.
Ching Ching 273
“Huh! Kau juga jadi bau kembang sekarang. Aku jalan sama Ngo-soe-heng saja, ah.”
Ching-ching pergi ke sebelah Wu Fei kira-kira berjalan dua depa di belakang Yin
Hung. “Huh, semua pada pegang kembang itu. Sepanjang jalan bakalan bau, nih.”
Gadis itu memencet hidungnya dengan dua jari. “Heran, senang amat mereka dengang
kemang jelek itu.” Suaranya jadi sengau karena hidungnya ketutupan. “Aku rasanya
pernah melihat gamar kemang macam itu. Di mana, yah? Oooh, marangkali di mukunya
Kong-kong. Hei, Siauw Hung, awas, jangang-jangang itu bunga beracung.”
“Apa? Kau ngomong apa?” Khoe Yin Hung tak mengerti ucapan Ching-ching.
“Katanya, bunga itu beracun,” Wu Fei memberitahu.
“Racun? Ih!” Thio Lan Fung buru-buru membuang kembang di tangannya, disusul yang
lain-lain. Khoe Yin Hung ragu-ragu. Sedari kecil ia sudah main-main dengan
racun. Tak pernah ia dengar bunga beracun semacam ini bentuknya.
“Lekasan kau buang! Aku tak mau lain kali kau racuni aku dengan kembang itu,”
kata Thio Lan Fung curiga.
Berat hati Yin Hung melepas kembang yang indah dan harum itu. Di belakang
Ching-ching tersenyum senang. Haaaah! Ia sudah boleh melepas hidungnya sekarang.
Matahari hampir tenggelam waktu akhirnya mereka dapat keluar dari hutan itu.
Diam-diam semua merasa bersyukur. Selain dari Toan Cu, tak ada orang lain celaka
di dalam hutan gelap yang angker di belakang mereka.
“Sudah ini kita merti melewati gunung batu,” kata Lie Chung Yen. “Jalannya cukup
panjang dan sukar. Akan tetapi, lewat gunung batu itu kita akan sampai di
Pek-eng-pay besok malam dan boleh istirahat tenang di sana.”
Yang lain setuju-setuju saja. Mereka juga sudah lelah dan sebentar lagi hari
gelap. Memang tak ada lain yang bisa dikerjakan selain beristirahat.
Mereka duduk di tanah, membuat kelompok-kelompok kecil. Ching-ching membuatkan
Toan Cu yang terluka dengan tanaman obat yang ditemukan di hutan tadi. Kaki Toan
Cu membengkak besar sekali. Ia hampir tak sanggup berjalan lagi.
“Besok kakimu tak boleh digerakkan sama sekali. Malamnya akan sembuh sendiri.
Lusa kau sudah boleh lari-lari,” kata Ching-ching.
“Lantas besok bagaimana? Apakah dia mau kau tinggal di sini?” Khoe Yin Hung
kaget.
“Tentu saja tidak, tolol!” hardik Ching-ching. “Aku mau suruh Hai-ko
menggendongnya.”
Khoe Yin Hung langsung bungkam. Pipinya menggembung, cemberut. Ching-ching
tertawa. Ia lalu berdiri dan menjauh.
“Mau ke mana?” tegur Lie Chung Yen yang mengawasi gadis itu sedari tadi.
“Mau cari pohon buat ditebang,” sahut Ching-ching. “A Cu butuh sesuatu supaya
besok tak usah jalan-jalan.”
“Bolehkah aku membantu?” Lie Chung Yen menawarkan diri.
Sebetulnya masih ada ganjelan antara Ching-ching kepada ayahnya. Gadis itu sudah
membuka mulut hendak menolak. Akan tetapi saat itu matanya melihat gadungannya
yang nampak mengerut alis. Langsung saja Ching-ching batalkan niatnya. Ia
tersenyum manis. “Tentu boleh!” katanya dengan suara senang.
Lie Mei Ching mengawasi keduanya dengan pandangan iri, kuatir, dan marah. Ia
benci sekali pada gadis yang mau merebut ayahnya itu. Ia ingin mengadu. Tapi
pada siapa? Thio Lan Fung seperti sibuk dengan Wang Li Hai. Ah, betul.
Piauw-cienya dan Sie Ling Tan pasti mau mendengarkan. Mana mereka? Pasti sedang
berduaan lagi. Huhu, ia tak boleh biarkan mereka kalau tak mau Sie Ling Tan
direbut oleh Lan Siu Yin.
Ia menemukan muda-mudi itu sedang bicara serius sambil mengawasi arah
Ching Ching 274
Ching-ching dan ayahnya pergi. Lie Mei Ching hampir menyapa dari belakang mereka
kalau saja tidak mendengar namanya dan ayahnya disebut-sebut.
“Apa mungkin Siok-siok sudah tahu mana anaknya yang betul?”
“Kurasa tidak. Tadi Suhu masih nampak bingung di antara keduanya. Moay-moay,
apakah kau merasa pasti mana yang bakalan dipilih Sunio dan Suhu nanti?”
“Entahlah. Tapi aku sudah tahu mana yang palsu dari mereka. Nanti aku bisa
memberi tahu Siok-bo,” kata Lan Siu Yin.
Lie Mei Ching mengertak gigi. Hmm, jadi Lan Siu Yin sudah tahu menentukan mana
yang betul-betul Lie Mei Ching. Ia tak boleh biarkan! Kedudukannya sebagai nona
kecil di Pek-eng-pay adalah menyenangkan. Ia takkan melepasnya begitu saja.
Takkan dibolehkannya Lan Siu Yin memberi tahu Han Mei Lin, ibunya selama ini.
Seharusnya ia disingkirkan dulu.
Ya, betul. Singkirkan! Dengan begitu ia akan tetap menjadi anak pendekar besar
Lie Chung Yan, menjadi nona di Pek-eng-pay. Kelak ia akan miliki sendiri partai
itu. Dan yang paling penting, Sie Ling Tan tidak punya perhatian selain
kepadanya kalau Lan Siu Yin sudah tersingkir.
Lie Mei Ching undurkan diri. Biarlah kali ini ia tak mau ganggu mereka yang
sedang berdua-dua. Tapi besok, kalau Lan Siu Yin sudah tersingkir ….
“Ada apa mesem-mesem sendiri?” Tahu-tahu Thio Lan Fung sudah ada di sebelahnya.
“Tidak apa-apa,” jawab Lie Mei Ching. “Kau tidak menemani Wang Siauw-hiap?”
“Huh, dia sudah repot dengan Toan Kouw-nio. Dia tak tahu saja apa di balik cadar
gadis itu.”
“Apa?” Lie Mei Ching ingin tahu.
“Ssst, sini.” Thio Lan Fung membawanya menjauh dari yang lain. “Mukanya di balik
cadar itu seram sekali. Hiih, kurasa setan pun kalah menakutkan kalau
dibandingkan.”
“Tahu dari mana?”
“Semalam aku sempat melihat.” Thio Lan Fung bergidik mengingat apa yang
dilihatnya.
“Kalau begitu kau boleh senang hati. Ia boleh tidak kauanggap saingan.”
“Betul juga.” Thio Lan Fung menoleh ke arah Toan Cu yang sedang ditemani Wang Li
Hai. Ia mencibir. “Huh, keseleo saja seperti yang mau mati. Hei, mau ke mana?”
tanyanya melihat Lie Mei Ching berjalan ke arah pepohonan. Yang ditanya tak
menjawab, malah meringis menunjuk ke perutnya.
Thio Lan Fung mesem. Kiranya sobatnya itu harus memenuhi ‘panggilan alam’. Tapi
sedetik kemudian Lan Fung melihat sekelebatan orang di arah yang dituju Lie Mei
Ching. Gadis itu juga melihat. Ia mempercepat tindakannya.
Thio Lan Fung jadi curiga. Jangan-jangan Lie Mei Ching ada janji suatu pertemuan
dengan orang itu. Siapakah kiranya? Apakah ada orang lain di hati gadis itu
selain Sie Ling Tan? Lan Fung penasaran. Ia berniat mengintip. Diikutinya
tindakan Lie Mei Ching yang sudah agak jauh di depan.
Dugaannya benar. Sobatnya memang mau menemui orang yang tadi ia lihat
sekelebatan. Waktu Lan Fung ketemukan tempat mereka, Lie Mei Ching sedang bicara
dengan orang itu yang berbaju hitam dan berkedok pula.
“Kudengar kau ada masalah besar di Goat-kiong,” kata orang itu.
“Benar, aku ketemu dengannya.”
“Lie Mei Ching?”
“Ya. Ia bikin Thia, maksudku Lie Chung Yen, jadi bingung karenanya.”
“Tak boleh kaubiarkan. Singkirkan dia!”
“Tak mungkin, kepandaiannya jauh di atasku.”
Ching Ching 275
“Pakai otakmu, tolol!” maki si orang berkedok. “Kecuali kalau kau mau
dicaci-maki orang-orang Kang-ouw. Apa kata mereka kalau tahu kau adalah
gadungan?”
“Aku takkan punya kesempatan. Besok kami akan sampai di Pek-eng-pay. Saat itu
urusan akan segera dibikin beres. Tapi aku ada punya kesempatan. Lie Chung Yen
tak tahu mana dari kami yang asli. Kurasa ia ada lebih mempercayaiku.”
“Kau atur sajalah. Tapi jangan kaubolehkan ia rebut kedudukanmu sekarang. Kalau
tidak, aku akan biarkan kau melarat seperti dulu.”
“Thia jangan kuatir—“
Tahu-tahu terdengat pekik tertahan di balik semak.
“Siapa!” membentak orang bertopeng itu.
Perlahan sekali Thio Lan Fung keluar dari tempatnya sembunyi.
“Fung-fung!” Lie Mei Ching berseru kaget.
“Anak tolol, ia sudah tahu rahasia kita, kau masih juga belum bertindak?!” Si
orang berkedok lantas menyerang.
Thio Lan Fung kaget, untung ia cepat berkelit menghindari pukulan orang itu,
yang lantas menyerang lagi dengan bertubi. Lan Fung tak dapat menghindar terus.
Ia lalu menangkis pukulan orang itu hingga yang memukul merasa kesemutan
tangannya.
“Anak bodoh, bantu aku!” teriak laki-laki bertopeng itu.
Lie Mei Ching yang tadinya bengong melihat jalannya perkelahian jadi terkaget.
Tapi ia cepat ikuti ucapan orang itu dan mengeroyok Thio Lan Fung. Si orang
berkedok bukannya membantu malah meloncat mundur dan terus kabur.
“Habisi dia!” katanya sebelum pergi. “Dan ingat pesanku!”
Thio Lan Fung kini menghadapi Lie Mei Ching. Ternyata menghadapi gadis ini jauh
lebih sulit ketimbang orang bertopeng yang dipanggil thia barusan.
Sebenarnya ilmu kepandaian Cheng-kok-pay dan Pek-eng-pay tidak seberapa jauh
berbeda tingkatannya. Thio Ceng Hong, ketua Cheng-kok-pay, paling jauh cuma satu
tingkat di atas Lie Chung Yen, yang mengajarkan ilmunya kepada gadis yang ia
sangka anaknya, sementara Lan Fung digembleng pamannya. Tapi Lan Fung digembleng
benar-benar baru satu tahun. Pada dasarnya ia berbakat hingga dapat cepat
belajar banyak. Melawan Lie Mei Ching yang sudah berlatih bertahun-tahun terang
saja ia keteteran, hingga suatu ketika Lie Mei Ching berhasil memukulnya jatuh.
Thio Lan Fung memegangi ulu hatinya yang nyeri. Ia terduduk tak sanggup bangun.
Tapi ia tak terluka dalam, cuma pukulan yang sebentar juga hilang sakitnya.
“Kau ….” Lie Mei Ching nampaknya agak kuatir tapi agak sungkan mengatakan.
“Kau dapat bunuh aku sekarang. Kenapa diam saja?” tantang Lan Fung. “Tak takut
rahasiamu kubongkar?”
Lie Mei Ching menghunus pedangnya. Ia mendekati Lan Fung. Diam-diam gadis dari
Cheng-kok-pay itu takut juga melihat pedang berkilauan ditimpa cahaya bulan yang
muali muncul. Pedang itu makin dekat padanya. Thio Lan Fung memejamkan mata,
siap menerima kematian. Tapi kemudian didengarnya suara pedang jatuh ke tanah.
Buru-buru ia buka lagi matanya.
Lie Mei Ching duduk bersimpuh di depannya menutupi muka dengan kedua belah
tangan. “Kau sahabatku yang pertama,” isaknya. “Mana boleh aku membunuhmu?”
Ia terisak beberapa saat. Thio Lan Fung diam saja, bingung tak tahu harus
bertindak bagaimana sampai sobatnya berhenti sendiri dan kemudian berdiri.
“Baiklah, aku tak bisa membunuhmu, tak mungkin kembali lagi ke Pek-eng-pay.
Biarlah aku pergi saja. Selamat tinggal, Thio Lan Fung!” Lie Mei Ching bertindak
hendak pergi.
Ching Ching 276
“Nanti dulu!” Thio Lan Fung memegangi tangan gadis itu. “Siapa bilang kau tak
bisa kembali ke Pek-eng-pay?”
“Tapi aku sudah tahu saruanku.”
“Lantas kenapa? Hei, kalau ayahmu, kau, dan aku tutup mulut, asalkan kau dapat
mencari bukti bahwa kau benar anak Lie Tay-hiap, siapa bakalan tahu kau menyaru
sebagai Ching-ching?”
“Kau … tapi ….”
“Ayolah. Masakan kau tak percaya padaku? Lagipula aku tak akan suka membolehkan
Ching-ching hidup senang,” kata Lan Fung mendendam. “Sudah kelamaan kita di
sini, mari kembali saja. Oh, ya, namamu yang benar siapa?”
“Nanti saja kalau urusan sudah beres kuberitahukan,” elak Lie Mei Ching.
Ketika mereka balik lagi, Ching-ching dan Lie Chung Yen sudah kembali. Dibantu
Wu Fei dan Khoe Yin Hung, mereka sedang bikin suatu barang yang menyerupai kursi
dari batang-batang bambu. Melihat Lie Mei Ching, Chung Yen menghentikan
pekerjaannya.
“Dari mana?” tegurnya pada ‘anaknya’.
“Jalan-jalan,” sahut Lie Mei Ching yang belum ketahuan namanya yang benar.
“Jalan-jalan? Malam-malam begini? Yang benar saja,” tukas Khoe Yin Hung ketus.
“Memangnya kenapa?” Thio Lan Fung menyahuti. “Tak ada urusan dengan kau. Ia toh
tak bicara padamu.”
“Siauw Hung juga tidak ngomong denganmu, kenapa ikut campur?” Ching-ching
membela kawannya.
“Kau sendiri ikut-ikutan!” tuding Lie Mei Ching.
Melihat gelagat, Wu Fei langsung melerai. “Kenapa jadi ribut, ada kerjaan lain
yang belum beres.”
“Ching-ching, kau sebaiknya bantu,” kata Lie Chung Yen kepada Lie Mei Ching.
“Aku sudah bantu dari tadi,” Ching-ching yang menjawab.
Lie Chung Yen jadi bingung. Bolak-balik ia memandang Ching-ching dan
gadungannya.
Tahu-tahu Wu Fei ketawa. “Siauw-soe-moay, kerjamu memang bikin pusing orang saja
sedari dulu. Sekarang tak disengaja pun kau sudah bikin pusing lagi. Lihatlah,
ayahmu mulai bingung membedakan kalian, dua orang Ching-ching!”
Ching-ching menjebi mendengar kata-kata soe-hengnya.
“Tak ada gunanya meladeni orang begitu. Lebih bagus kembali bekerja,” kata Khoe
Yin Hung. “Bukankah besok begitu terang hari akan dipakai?”
“Ayo, kita juga tak usah lama-lama di sini,” ajak Thio Lan Fung.
“Betul, pergilah sana. Cuma merecoki saja kerjamu,” usir Ching-ching.
Dengan setengah mendongak dan lagak angkuh, Thio Lan Fung menyeret kawannya. Di
belakang mereka Lie Chung Yen memandang ‘anaknya’ pergi menjauh. Parasnya
menunjukkan kekecewaan besar.
“Selesai!” berseru Wu Kong mengagetkan. “Ayo kita cobakan pada A Cu!”
Ramai-ramai mereka membawa kursi itu ke dekat Toan Cu dan Li Hai.
“A Cu, ayo dicoba kursinya,” kata Ching-ching.
Toan Cu memandang sangsi. Kursi dari bambu itu tak kelihatan cukup kokoh.
Apalagi bentuknya tak seperti kursi tandu biasa untuk digotong dua orang
melainkan seperti kursi tak berkaki. Ada sebuah sandaran, dua dudukan tangan,
dan sepasang kaitan dan sabuk di belakangnya.
Ching-ching menunjukkan cara memakainya. Kaitan di belakang sandaran
dicantelkannya ke pundak Li Hai, sabuk diikatkan ke pinggang. Orang yang duduk
di kursi itu jadi membelakangi orang yang menggendongnya.
Ching Ching 277
“Ayolah, tak apa. Aku berani jamin kau tak akan kenapa-kenapa,” desak
Ching-ching.
Toan Cu menggeleng-geleng bersangsi. Ia tak berani dan sungkan juga. Takut
badannya terlalu berat buat Li Hai.
Melihat A Cu berlama-lama, seperti biasanya, Ching-ching mulai tak sabaran lagi.
“Baiklah, aku tunjukkan dulu padamu,” katanya. “Hai-ko, bersiaplah, aku mau
naik.”
Kini hampir semua orang melihat kepada mereka, ingin tahu apa yang mau dilakukan
Ching-ching. Gadis itu melompat dan mendarat sembari duduk tepat di kursi.
Mula-mula Li Hai tak terbiasa dengan benda di punggungnya. Ia berjalan
sempoyongan. Ching-ching di belakangnya kalang-kabut takut jatuh. Gerakannya
malah membuat Li Hai makin bingung. Tak dapat ditahan-tahan lagi, keduanya jatuh
ngusruk ke tanah.
Mereka yang melihat tertawa melihat lagak keduanya. Tempo Ching-ching jatuh,
sejenak mereka memandang kuatir. Akan tetapi demi melihat gadis itu berdiri
lagi, sembari menggerutu mereka mesem-mesem lagi.
Ching-ching memeriksa kursi yang masih menempel di punggungnya. “Masih bagus!”
katanya sambil menepuk-nepuk kursi buatannya. “Ayo coba lagi, Hai-ko!” katanya
penasaran.
Li Hai mengangguk. Ia juga penasaran. Masakan tak kuat membawa Ching-ching yang
punya badan langsing itu. Sebagai seorang yang dianggap pendekar muda, Li Hai
malu hati.
Mereka mencoba lagi. Kali ini Li Hai berjongkok dulu selagi Ching-ching dudul.
Lalu ia berjalan pelan-pelan. Beberapa tindak kemudian ia sanggup membawa
Ching-ching berlari. Gadis itu bersorak senang.
“Gantian!” rengek Yin Hung.
“Tidak mau!” kata Ching-ching. Tapi waktu Yin Hung mulai cemberut, ia cepat
meloncat turun, membiarkan temannya ikut merasakan. Sesudah satu putaran,
Ching-ching minta giliran lagi.
Wang Li Hai berjongkok, menyilakan. Tahu-tahu Ching-ching mulai iseng lagi. Ia
mendorong soe-hengnya nail sambil tempelkan telunjuk di bibir, melarang memberi
tahu. Li Hai kaget saat merasakan badan Ching-ching lebih berat. Alisnya
berkerut heran. Namun ia tetap juga lari mengitar. Semua yang lihat mesem-mesem
geli. Bahkan Yo-si Soe-thay yang biasanya galak juga mesem sedikit. Baru waktu
Wu Fei turun sambil ketawa-ketawa. pemuda itu tahu sudah kena dipermainkan.
“Wah, Hai-ko, kau benar hebat,” ledek Ching-ching seraya ketawa geli. “Satu
putaran kaugendong Soe-heng tanpa merasa berat. Kau apakah makan obat kuat?”
Li Hai ikut ketawa juga biarpun agak mangkal hatinya.
Pada Toan Cu, Ching-ching berkata, “Kau sudah lihat, Soe-heng saja sanggup
diangkan. Masakan kau masih tak ada nyali?”
“Lagipula tak bisa tidak, esok kau mesti juga digendong,” sambung Yin Hung.
Akhirnya mau juga Toan Cu mencoba. Benar kata Ching-ching, kursi itu memang
kokoh. Sengang juga Toan Cu duduk di atasnya. Ching-ching bertepuk-tepuk tangan.
Ia senang Toan Cu tak berkecil nyali lagi.
“Macamnya anak kecil saja,” bisik Thio Lan Fung pada Mei Ching di sampingnya.
Gadis itu mnegangguk setuju. Padahal dalam hati keduanya ingin juga mencoba
kursi lucu itu.
“Sudah cukup main-main,” kata Lie Chung Yen menasihatkan. “Kita mesti segera
istirahat supaya besok pagi sudah pulih tenaga kita.”
Mereka menurut, masing-masing merebahkan diri, terpisah laki dan perempuan.
Ching Ching 278
Ching-ching, Khoe Yin Hung, dan Toan Cu berbaring berendengan dengan Thio Lan
Fung dan Lie Mei Ching. Toan Cu diam di tengah seolah sebagai pemisah. Gadis itu
sebentar saja telah pulas. Begitu pula Lie Mei Ching. Tiga yang lain masih
melek. Yin Hung dan kawannya mulai bisik-bisik melewatkan waktu.
“Psst, Ching-ching, esok kau akan ketemu ibumu. Sangkamu apakah ia akan langsung
kenali kau sebagai anak?”
“Entahlah. Tapi kalau ia bersangsi, aku ada satu tanda yang akan membuatnya
yakin.”
“Tanda apakah itu?”
“Tanda warna merah berbentuk kembang di pundak kanan, tanda semenjak aku lahir.
Nio tak mungkin lagi salah mengenali,” Ching-ching pelan berkata. Sayangnya tak
cukup pelan untuk tak didengar Thio Lan Fung yang segera berpikir.
Huh, gadis busuk! Rupanya kau masih ada satu simpanan. Lihat saja. Kau akan
begitu kaget jika nanti di pundak gadunganmu ada tanda serupa! Maka jika sudah
jatuh temponya kau akan mendapat malu besar!
Malam itu Lan Fung tidur dengan hati berbunga. Ia terus memikir bahwasanya
Ching-ching akan mendapat malu esok. Maka dendamnya dipermalukan di Pek-san dulu
akan terlampiaskan. Lihat saja!
Esoknya, setelah istirahat semalam, pulih sudah tenaga para pendekar golongan
putih. Demikian pula semangat mereka. Inilah dibutuhkan mengingat jalan yang
dilewati nanti adalah cukup sukar menurut Lie Chung Yen.
Selagi mereka bersiap untuk berangkat, Thio Lan Fung menarik Lie Mei Ching
mendekat. “Apakah kau memberikan tanda di pundakmu?” tanyanya.
“Tanda apa?” Lie Mei Ching balik menanya.
“Tanda kembang merah. Kata Ching-ching, ia ada memiliki tanda itu di pundaknya
sebenlah kanan.”
“Celaka, aku tak ada tanda semacam itu.”
“Bisa dibikin. Asal kita punya sempat begitu tiba di kota.”
“Ah, ya, betul!” Lie Mei Ching manggut-manggut membenarkan.
“Hayo kita berangkat, lihatlah yang lain sudah mendahului!”
Begitu berjalan keduanya langsung memisah. Lan Fung menyusul Li Hai bebareng Lie
Mei Ching mendekati Sie Ling Tan.
Permulaannya jalan yang dilewati tidak berapa sulit, akan tetapi semakin sukar
juga jalannya. Jalan yang dilewati berbatu-batu besar-kecil yang tidak mantap
letaknya dan mudah longsor. Mereka mesti hati-hati karena kalau seorang salah
menapak, batu-batu akan berjatuhan menimpa mereka yang di belakangnya.
Setelah jalan sedemikian lewat, ada suatu jalan yang lebih keras, tapi sempit
dan menanjak. Jalan itu dapat dilewati dua orang berpapasan, tapi salah satu
mesti mepet ke dinding tebing karena di sisi satunya lagi jurang yang dalam
menunggu mangsa. Oleh sebab itu, mereka terpaksa jalan berurutan
seorang-seorang. Diam-diam Toan Cu bersyukur bahwa Ching-ching telah buatkan
kursi ini untuknya. Kalau semisal kursi tandu yang dibuat, entah bagaimana dapat
lewat jalan kecil berbelok-belok begini.
Begitu melihat jalanan yang mau dilalui, Lie Mei Ching langsung teringat rencana
sore kemarin. Kalau ia mau menyingkirkan Lan Siu Yin, inilah ketika yang baik.
Lan Siu Yin berjalan tepat di depannya sedangkan Sie Ling Tan ada di
belakangnya. Kalau ia berlagak tersandung dan menabrak Siu Yin tepat di
tikungan, ditanggung gadis itu terlempar ke dalam jurang.
Rencana jahatnya segera diwujudkan. Hasilnya seperti yang dikira. Ia menabrak
Lan Siu Yin. Gadis itu kaget. Badannya oleng ke arah jurang. Dan satu teriakan
Ching Ching 279
menghantar badan ke bawah.
“Piauw-cie!” Lie Mei Ching berlagak panik. Ia duduk bersimpuh di jalan, malah
menghalangi Sie Ling Tan yang akan berindak menolong.
Semua terkaget oleh teriakan keduanya. Di depan Lan Siu Yin adalah Thio Lan
Fung. Saking kagetnya ia berdiri bengong tak mampu bertindak.
Ching-ching yang berjalan agak sebelah depan menengok. Mukanya langsung berobah
pucat, menyadari apa yang terjadi. Ia buru-buru menghampiri sambil berteriak,
“Minggir!” pada mereka yang menghalangi jalannya. Teriakan itu disertai khikang
tanpa sengaja menjadi semacam perintah berwibawa yang goncangkan hati. Tak
disadari hampir semua yang berdiri antara dia dan Lie Mei Ching mepet ke
pinggir. Di belakang gadis itu menyusul Lie Chung Yen yang sejenak merasakan
hatinya tergoncang.
Tingkatan tenagaku adalah lebih tinggi daripadanya. Kenapa suaranya telah dapat
pengaruhi aku? pikirnya. Akan tetapi ia tak punya tempo memikir lama-lama.
Mereka keburu tiba di tempat Siu Yin jatuh.
“Piauw-cie!” teriak Ching-ching. Tak ada sahutan.
“Semua salahku!” isak Lie Mei Ching. “Aku kurang hati-hati sehingga Cie-cie Siu
Yin celaka.”
Ching-ching sebenarnya tak tahu persis kejadian. Tapi demi melihat gadungannya
tak bisa lain daripada menangis, ia jadi kesal. “Memang salahmu!” katanya.
“Minggir kau, jangan halangi tindakanku!”
Lie Mei Ching kaget dibentak. Dari tadinya cuma terisak, sekarang ia menangis
menggerung.
“Diam!” bentak Ching-ching galak. Seketika Lie Mei Ching berhenti dan kembali
menangis tertahan. “Piauw-cie!” Ching-ching memanggil-manggil dengan manik
dengan panik. Sayangnya belum juga ada sahutan.
“Ba … bba … barangkali sudah mmati di dasar ju …,” Thio Lan Fung terbata.
Melihat Ching-ching mendelik, ia berhentikan ucapannya.
“Jangan kaubicara begitu lagi atau kutarik copot lidahmu!” ancamnya dnegan muka
makin pucat. Ia sendiri tak yakin piauw-cienya selamat. Setelah beberapa lama,
ia tak sabar lagi. “Aku akan turun menolongi!” katanya.
“Tidak, biar aku,” kata Lie Chung Yen.
“Suhu, Tee-coe yang akan melakukan,” Sie Ling Tan menawarkan diri.
Lie Chung Yen mengawasi muridnya yang seperti mempunyai pengharapan besar.
Sebagai guru, ia bukannya tak tahu perasaan Ling Tan kepada keponakannya.
Andaikata Siu Yin tak dapat selamat ….
“Baik,” Lie Chung Yen memberi izin. “Kau hati-hatilah.” Sie Ling Tan mendekati
tepi jurang.
“Tunggu!” cegah Ching-ching. “Dengar!”
Sunyi beberapa lama. Tapi orang lain tak dengar apa-apa.
“Ada apa?”
“Ssst!” Ching-ching menelengkan kepala. Yang lain binging. Kuping mereka sudah
terlatih, tapi tetap saja tak ada sesuatu terdengar. Mereka menganggap
Ching-ching mengada-ada. Padahal gadis itu memang mendengar sesuatu.
Semasa di Sha-ie, ia digembleng habis-habisan. Latihan pendengaran juga bukan
main-main. Selama beberapa tahun di Tionggoan, ia memang jarang latihan lagi,
tapi kemampuannya belum hilang sama sekali. apalagi pada saat seperti ini.
Setelah mendengar beberapa waktu lamanya, tahu-tahu Ching-ching berdiri dengan
wajah berseri. “Yin Cie-cie selamat,” katanya. “Ia menggelantung kira-kira
sedalam 500 elo dari sini. Sebelah tangannya patah tulangnya. Kita harus cepat
Ching Ching 280
tolong dia sebelum pegangannya lepas dan ia jatuh ke bawah.”
“Nanti dulu. Dari mana kau tahu?”
“Cepat! Belakangan saja kuberitahukan. Lekasan!” desak Ching-ching.
“Lie Tay-hiap, aku ada memiliki sedikit ilmu memanjat,” kata salah seorang
utusan dari Thian-kiam-pay bernama Teng Kie Yu. Semua tahu markas Thian-kiam-pay
di Tong-thian-san adalah cukup susah dicapai karena letaknya di tebing tinggi.
Tak heran sedari tadi Teng Kie Yu paling lincah berjalan. Ia sudah biasa jalan
pegunungan. Sekarang ia tawarkan bantuan, tak ada alasan menampik lagi.
“Tunggu! Tunggu!” Ching-ching mendekati Toan Cu. “A Cu, aku pinjam dulu
kursimu.”
Toan Cu dengan senang hati meningkir dari tempatnya duduk.
Membawa kursi itu, Teng Kie Yu memanjat turun untuk menolongi Lan Siu Yin.
Mereka menanti agak lama. Di atas, Ching-ching sudah tak sabaran lagi.
Melihatnya Miauw Chun Kian segera mendekat untuk menenangkan.
“Sayang aku terikat sumpah pada Suhu,” kata Ching-ching. “Kalau tidak, aku
sendiri akan turun menolongi Yin Cie-cie. Toa-heng, kalau keadaan kepepet,
bolehkan aku gunakan ilmuku?”
“Jangan!” kata Miauw Chun Kian. “Kalau Suhu mengetahui, bisa-bisa kau tak diakui
lagi sebagai muridnya.”
“Mestinya dulu kubiarkan saja Thio Lan Fung menjadi soe-moaymu,” gumam
Ching-ching.
“Apa kau kata?” Miauw Chun Kian kurang mendengar.
“Tak apa-apa,” sahut Ching-ching kesal. Kemudian ia mulai mengomel lagi tak
sabar.
Menunggu kira-kira sepertanak nasi, kedengaran suara orang berteriak dari bawah.
Cuma sepotong-sepotong yang kedengaran, tapi Teng Kie Yu mengatakan akan segera
naik membawa Lan Siu Yin.
Turun ternyata lebih gampang daripada naik. Mereka masih menunggu dua pertanakan
nasi lagi baru kemudian kelihatan kepala Teng Kie Yu menyembul. Ia cepat
dibantu.
Perkiraan Ching-ching benar, tulang lengan Lan Siu Yin patah. Tapi itu cuma soal
enteng. Ching-ching ada membawa kouw-yoh dari Yok Ong Phoa si raja obat yang
dapat sembuhkan patah tulang dalam sehari dua.
“Piauw-cie, maafkan aku telah sebabkan engkau celaka,” Lie Mei Ching
menangis-nangis berulang kali minta maaf.
“Tak apa, aku tahu kau bukannya sengaja. Sudahlah, aku tok sudah tak apa-apa
sekarang.”
Ching-ching sebal melihat Lie Mei Ching yang menangis berkepanjangan. Ia
menggerutu pada Yin Hung di sebelahnya. “Yin Cie-cie terlalu baik. Kalau aku,
kubikin patah dulu tangannya baru kuberi maaf.”
Yin Hung manggut-manggut setuju. Rata-rata ia memang setujui apa kata kawannya
itu.
“Siok-siok, perjalanan kita tertunda karena aku,” kata Siu Yin. “Baiknya kita
teruskan supaya tidak nantinya kemalaman di jalan.”
“Tapi keadaanmu ….”
“Aku baik. Piauw-moay sudah beri obat buatku.”
Lie Chung Yen nampak bersangsi, akan tetapi ponakannya memaksa. Pada akhirnya
mau juga ia lanjutkan berjalan.
Ching-ching bercuriga pada gadungannya yang memilih berjalan di belakang. Lan
Siu Yin dituntuni Sie Ling Tan, di belakangnya menyusul Lie Mei Ching, kemudian
Ching Ching 281
Ching-ching yang terus-terusan mengawasi.
Karena kejadian itu, mereka telat sampai di Pek-eng-pay. Sudah lewat matahari
tenggelam barulah tiba. Untung selepas lewat pegunungan, jalanan ada datar
hingga mudah dilewati sekalipun remang-remang cahaya bintang yang menerangi.
Sesampai di Pek-eng-pay mereka disambut oleh beberapa pelayan. Mereka tak
menduga bakal menerima tamu sebegitu banyak. Jadinya sibuk sekali menyiapkan
segala sesuatu.
Ching-ching terharu sampai di rumah lagi. Ia melihat kanan-kiri sambil
mengingat-ingat. “Tak ada yang berubah,” komentarnya. Siu Yin yang mendengar
cuma senyum-senyum. “Yin Cie-cie, apakah gadunganku memakai kamarku yang dulu?”
tanya Ching-ching tiba-tiba. Ia menunjukkan roman kecewa waktu Siu Yin
mengiyakan.
Mereka diterima di dalam toa-thia dan dijamu di sana. Lie Chung Yen duduk di
kursi besar tempat tuan rumah, di atas panggung rendah. Masih di panggung itu
berdiam juga Lie Mei Ching, Lan Siu Yin, dan Sie Ling Tan yang juga dianggap
tuan rumah.
Ching-ching mendapat tempat tamu. Diam-diam ia berjelus. Hah, rupanya ia belum
dianggap anak oleh Lie Chung Yen.
Untung ketua Pek-eng-pay itu dapat membaca roman muka orang. Ia sadari
kekeliruan dan buru-buru suruh pelayan ambil kursi buat Ching-ching ditempatkan
di atas panggung. Barulah wajah gadis itu berseri, akatn tetapi justeru Lie Mei
Ching yang kini cemberut.
Setelah bersantap, mereka diantar ke kamar masing-masing. Seorang pelayan
mengantar Ching-ching dan kawan-kawannya. Ching-ching mengenali si pelayan dan
langsung mengajak bercakap-cakap.
“A Heng, pohon besar yang ada di sini mana?”
“Sudah dibabat atas suruhan Siauw-sio-cia.”
“Apa? Tapi pohon itu kesayanganku, eh, kesayangannya semenjak kecil, bukan?”
“Ya, ya,” si pelayan heran, nona tamu ini tahu soal itu. “Tapi semenjak pergi
lantas kelakuannya berubah. Ia tak suka pohon besar, digantinya dengan
bunga-bungaan.”
“Huah, padahal waktu kecil ia tak suka bunga, kan?”
Si pelayan mengangguk-angguk. Mulutnya terbuka hendak berkata, tapi tak jadi
takut dianggap lancang.
“Kau mau ngomong apa? Jangan sungkan!” kata Ching-ching.
“Euh, anu, apakah Kouw-nio pernah datang kemari? Saya rasa ada mengenal, tapi
lupa. Dan lagi Kouw-nio tahu begitu banyak ….”
“Ha, ha, kau pun tak kenali aku. Tunggulah sampai aku ketemu nyonyamu maka
persoalannya akan segera menjadi terang. Oh, ya, aku belum melihat Nyonya.
Apakah sedang istirahat?”
“Nyonya sedang keluar mengunjungi vihara di luar kota.”
“Oh, bio Kuan Im itu?” Muka Ching-ching menjadi keruh. Ibunya kalau sudah ke
vihara, paling cepat tiga hari baru pulang. Kalau lama, urusan dengan
keluarganya tak nanti lekas beres.
Mereka telah diantar ke kamar masing-masing. Tapi Ching-ching tak segera pulas.
Ia masih gulak-gulik beberapa lama. Banyak hal yang dipikirkan. Terutama sekali
persoalan ia dan ayahnya. Namun karena penat, ia tertidur juga.
Tak jauh dari situ, Lan Siu Yin yang sedang tidur mendadak terbangun. Barusan ia
bermimpi akan dibunuh orang. Ketika dekat, dilihatnya wajah orang itu adalah Lie
Mei Ching yang mengaku-aku sebagai piauw-moaynya.
Ching Ching 282
Lan Siu Yin jadi tak bisa tidur lagi. Ia terus-terusan memikir. Dalam hatinya ia
semakin yakin, Ching-ching adalah piauw-moaynya yang sebenar-benarnya. Tapi
lantas siapakah Lie Mei Ching yang satunya? Tapi yang lebih penting lagi,
akankah siok-sioknya memilih yang benar di antara kedua gadis itu? Bagaimana
kalau salah memilih? Sayang, siok-bonya sedang pergi. Ah, mereka sedikitnya
mesti tunggu 3 hari sebelum urusan jadi beres. Lan Siu Yin meyakini siok-bonya
takkan salah pilih. Tapi selama ini siok-bonya tak pernah omong apa-apa soal Lie
Mei Ching yang mengaku sebagai anak. Apa siok-bonya tahu atau tidak? Entahlah.
Esoknya hampir siang hari ada keributan lagi di Pek-eng-pay. Biangnya tak lain
adalah Ching-ching dan gadungannya. Tentu saja Khoe Yin Hung dan Thio Lan Fung
tak mau kalah membantu kawan masing-masing. Ribut-ribut itu semakin rame
jadinya.
Awalnya cuma persoalan sepele saja. Ching-ching menunjukkan pada Yin Hung pohon
besar di kebun belakang tempat ia dan Lan Siu Yin dulu sering bermain-main.
Gadis itu mengajak Yin Hung naik ke batang paling tinggi dan menceritakan
mengenai masa kecilnya. Tak sengaja mereka kemudian bikin gugur daun-daunan. Tak
tahunya di bawah mereka Lie Mei Ching dan Thio Lan Fung sedang duduk pula dan
daun-daun berjatuhan di kepala mereka.
Lie Mei Ching lantas saja marah-marah. Ching-ching serta Yin Hung malah
menertawakan. Kemudian mereka saling teriak memaki dan akhirnya merembet sampai
ke soal siapa dari mereka yang pantas jadi anak ketua Pek-eng-pay.
Chung Yen yang mendengar peristiwa itu jadi marah sekali. Ia datang sendiri ke
kebun belakang dan mendapati kedua gadis itu. “Kalian berdua, ikut sekarang juga
ke ruang belajar!”
Kedua gadis itu melihat betapa sangar muka ayahnya, tak berani membantah,
langsung mengekor.
Masuk ke ruang baca, lagi-lagi ia ingat masa anak-anaknya. Dulu ia sering sekali
diam di kamar ini, dihukum atas kesalahan yang ia buat. Mengingat itu semua ia
tak sadar lantas kui di hadapan ayahnya.
Berlainan dengan Lie Mei Ching yang semenjak datang mengaku sebagai anak ketua
Pek-eng-pay itu segala kesalahannya gampang diampuni. Ia pintar merayu sehingga
jarang dihukum. Terlebih lagi Lie Chung Yen ingin menebus tempo terbuang selama
anaknya hilang. Karenanya, ia tak tahu apa mesti dilakukan. Melihat Ching-ching
menekuk lutut, disangkanya gadis itu terima salah dan mau mohonkan ampun. Ia
malah tolak pinggang seraya mengejek,
“Hai, pada akhirnya si bebal ini takluk juga. Huh, mau mohonkan ampun? Pay-kui
dulu 30 kali.”
“Kui!” Lie Chung Yeng menuding anaknya yang masih berdiri. Yang ditunjuk kaget.
Gemetar, turun juga lututnya ke tanah.
Di sampingnya, Ching-ching mencibir melecehkan. “Puas!” desisnya senang.
“Kalian sungguh bikin malu! Ribut di hadapan orang-orang! Apa bagusnya begitu?”
“Tapi Thia, dia mulai duluan,” Lie Mei Ching menuding.
“Eee, menuduh. Kau sendiri yang marah-marah padaku.”
“Tapinya—“
“Diam!” bentak Lie Chung Yen. “Aku tak mau tahu siapa yang mulai lebih dulu.
Pokoknya kalian sama-sama salah.”
“Thia, semuanya bermula dari perbutan kedudukan saja. Tak dapatkah Thia
memutuskan antara kami supaya kami tak usah adu bicara lagi,” usul Lie Mei
Ching, ingin mengambil untung mumpung ibunya belum pulang. Ia hampir yakin Lie
Chung Yan lebih mempercayai dia. Tapi Han Mei Lin istrinya tak dapat dipastikan
Ching Ching 283
keputusannya.
“Thia sudah berkata hendak rundingan dulu dengan Nio, apakah kau tak dapat
bersabar?”
“Kau rupanya meragukan keputusan Thia.”
“Kau sendiri yang—“
Brak! Lie Chung Yen menggebrak meja. “Bolehkah kalian akur barang sebentar?!”
Kedua gadis di hadapannya langsung diam menunduk, tak berani angkat suara lagi.
“Pergilah. Kalau sampai nanti kudengar kalian bikin ribut-ribut, akan kukurung
berdua.”
Tak usah diperintah dua kali, kedua gadis itu angkat kaki sembari saling melirik
benci. Tinggallah Lie Chung Yen dengan pikiran mumet.
Dua gadis mengaku menjadi anaknya. Dua-duanya sama tak mau saling mengalah. Lie
Chung Yen jadi bingung sendiri. Diam-diam ia membandingkan.
Lie Mei Ching yang selalu bersama dia sepanjang lima tahunan ini, lincah dan
manja. Persis anaknya dulu. Itulah mengapa ia percaya. Sewaktu baru datang dulu,
sikapnya memang malu-malu. Tapi lama-lama keluar sifatnya yang asli. Hanya saja
ada beberapa hal yang berubah. Han Mei Lin istrinya tampak kurang memperhatikan
anak mereka. Padahal dulu anak itu dekat baik pada ayah maupun ibunya. Ah, ada
lagi. Ching-jie yang sekarang tak secerdas dulu. Kalau diajari mesti dua tiga
kali baru mengerti, sementara dulu ia banggakan anaknya yang punya bakat
Kwee-bak-put-bong. Cukup sekali diberi tahu, langsung dapat ikuti dengan baik.
Akan tetapi kini lebih tekun. Dan Lie Chung Yen percaya, ketekunan akan lebih
berguna daripada bakat selangit yang tidak dimanfaatkan.
Lalu Lie Mei Ching dari Pek-san-bu-koan. Tingkahnya tak jauh beda dari anaknya.
Sayang ia baru kenal beberapa hari, tak tahu banyak tentangnya. Tapi sifat manja
jelas kelihatan dari sikapnya pada para pendekar yang memang lekas menyukai
gadis lincah itu. Tapi tidak cengeng, ah, tapi anaknya juga rasanya tidak
terlalu cengeng. Tapi kecerdasannya benar menyerupai Ching-ching kecil. Dan lagi
ia tahu kebiasaan Ching-jie-nya semasa anak-anak. Ada lagi yang membuat Lie
Chung Yen ingat pada Ching-ching kecil. Caranya berlutut tadi. Telapak kaki kiri
dilipat ke belakang, tangannya menggantung di samping, lalu lutut kirinya
ditekuk menyentuh tanah, bari kemudian yang kanan menyusul.
Lie Chung Yen terkesiap. Cara seperti itu, dapatkah ditiru orang. Rupanya tak
sadar ia telah perhatikan gerak-gerik gadis itu dan membandingkan dengan Lie Mei
Ching yang selama ini bersama dengan dia. Dan semakin dipikir, Lie Mei Ching
dari Pek-san-bu-koan lebih mirip Ching-chingnya yang hilang. Dan gadis itu lebih
banyak tahu soal hal-hal yang kecil. Ini ia tahu dari A Heng yang menanyakan
soal tamu yang banyak tanya ini-itu dan tahu banyak hal. Pelayan tua itu merasa
kenal, tapi lupa pada orang.
Ketua Pek-eng-pay itu menggeleng. Tidak, lebih baik tidak. Ia tak mau terima
telah ditipu bocah perempuan yang telah ia anggap anak selama bertahun-tahun.
Sebegai ketua partai besar, mana boleh begitu rupa. Lebih baik jangan! Namun ia
sadar, jauh, jauuh sekali di lubuk hatinya yang paling dalam, diharap istrinya
akan setujui Lie Mei Ching murid Pek-san-bu-koan sebagai anak mereka.
Siang itu Lie Chung Yen menjamu tamu-tamunya tanpa bergirang hati. Urusan yang
belum beres membuat ia tak enak makan. Hatinya juga tak tenang persiapkan
pertemuan para pendekar dua minggu mendatang.
Ching-ching dapat rasakan kebingungan ayahnya. Diam-diam ia merasa kuatir. Lie
Mei Ching nampak berkuatir pula. Disangkanya gadungannya itu ada perhatikan
ayahnya. Ia jadi bersimpati sedikit. Sayang, ia tak tahu ada rasa kuatir lain di
Ching Ching 284
hati Lie Mei Ching, yaitu memikirkan cara untuk singkirkan dia punya saingan.
Lantaran gundah hatinya, Lie Chung Yen banyak minum hari itu. Bolak-balik ia
menyuruh orang mengambil arak peranti penuhi cawan. Mereka yang menjadi tetamu
keheranan pada mulanya. Akan tetapi demi melihat dua anak gadis yang saling
lirik di depan, segera mereka mengerti urusan.
“A Thia, kau sudah banyak minum. Sudahlah,” Ching-ching mengingatkan secara
berbisik. Lie Chung Yen seperti tidak mendengar. “A Thia, kalau mau minum lagi,
nantilah di kamar. Kasihan tamumu sudak kembung menemani minum.”
Barulah Lie Chung Yen taruh cawan dengan gusar. Ia mengawasi anaknya seperti mau
memarahi.
Lie Mei Ching besorak dalam hati. Rasakan! Siapa suruh lancang-lancang. Sekarang
akan dimarahi di depan banyak orang. Sukur!
Tapi ia kecele. Lie Chung Yen bukannya memarahi, cuma mengawasi saja. Lamaa
sekali. Ching-ching jadi jengah sendiri. Ia tak berani tentang tatapan ayahnya.
Untung kemudian mendatangi seorang pelayan membisik sesuatu. Mendadak muka Lie
Chung Yen jadi berseri.
“Nyonyamu sudah sudah pulang? Suruh kemari lekas!” tak sadar Lie Chung Yen
berkata keras-keras. Hampir semua tamu mendengar. Mereka saling pandang dengan
lainnya. Sudah tahu bahwa putusan Lie Chung Yen soal putrinya adalah juga
bergantung istrinya. Apakah akan dibereskan sekarang? Ataukah nanti di belakang
orang banyak? Diam-diam mereka ingin menyaksikan. Mana kiranya yang akan dipilih
Lie Hujin dari kedua gadis yang mengaku anaknya itu?
Di panggung mendadak wajah Lie Mei Ching menjadi pucat. Demikian pula
Ching-ching merasa tegang. Di luar terdengar suara langkah kaki yang halus
berirama. Ketika Han Mei Lin masuk, semua tamu berdiri menghormat. Wanita itu
membalas dengan menangkupkan dua belah tangan serta menyilakan tamu duduk
kembali. Batu kemudian ia menghadap ke panggung di mana suami dan ‘anak-anaknya’
menanti.
Begitu membalik, mendadak Han Mei Lin merasakan darahnya berdesir. Jantungnya
berdetak cepat setelah melihat dua gadis yang berdampingan.
“Ching-jie!” panggilnya halus.
Lie Mei Ching sudah bergirang hati. Ia berlari sambuti Han Mei Lin sambil
mulutnya berseru, “Nio!”
Wanita itu merentangkan tangan mendekati panggung. Tapi bukan Lie Mei Ching yang
ia tujukan, melainkan Ching-ching yang masih terpaku di samping ayahnya. Gadis
itu demi melihat ibunya, tak dapat menahan hati lagi. Ia berlari menubruk ibunya
sambil menangis sesenggukan seperti anak kecil. Sejenak keduanya bertangisan.
Hampir semua yang melihat tergetar hatinya. Sioe Ing, Yin Hung, bahkan Thio Lan
Fung ikut segra-segru. Apalagi Toan Cu yang paling halus perasaannya. Rata-rata
dari mereka sudah tak beribu. Masing-masing teringat nasib sendiri bebareng rasa
iri dan haru melihat pertemuan ibu dan anak. Di sudut, diam-diam Yo-si Soe-thay
dan seorang muridnya ikut juga menyusut air mata.
Melihat apa yang terjadi, Lie Mei Ching mendadak panik. Ia akan kehilangan
semuanya! Kasih sayang orang tua, baju dan perhiasan miliknya, pegawai yang
selalu melayaninya. Ia akan kehilangan Sie Ling Tan, akan ditertawakan orang,
tak dapat belajar silat lagi, dan kelak Pek-eng-pay takkan mungkin jatuh ke
tangannya. Ia akan melarat seperti ancaman ayah kandungnya! Tidak! Ia tak mau
menjadi begitu rupa. Tak mau!
“Nio!” ia menjerit. “Ini aku, anakmu! Kenapa Nio malah memeluk dia? Apakah Nio
sudah lupa padaku? Apakah Nio lupa tanda lahir anakmu?!”
Ching Ching 285
Bret! Lie Mei Ching menobek kain yang menutupi pundaknya. Bajunya yang sobek
memamerkan kulit yang putih dengan satu tanda bunga warna merah.
Semua tamu merasa jengah. Mereka cepat memalingkan muka. Wu Fei bahkan
membalikkan badan menghadap tembok sembari tutupi mata dengan tangan.
Di depan Lie Chung Yen dan Han Mei Lin bertatapan bingung. Tanda apa? Anak
mereka tak punya tanda apa pun sewaktu lahir.
Cuma Ching-ching seorang saja yang mengerti apa yang terjadi. Tahu-tahu ia
tertawa sembari mengusap air mata. “Rupanya ada yang katakan padamu aku punya
tanda di pundak, yah?” katanya melirik Thio Lan Fung. “Sayangnya tidak. Dan
kalaupun betul ada, aku masih punya muka untuk tidak pamer di depan orang
banyak!”
Kata-kata Ching-ching bagai geledek di tengah hari bolong buat gadungannya. Ia
mendadak sadar telah kena diperdaya orang. Ia merasa malu, maluu sekali. Mau
rasanya ia melesak ke dalam bumi menghindari orang lain. Ia mundur-mundur
beberapa tindak. Kemudian dengan tangis menggerung ia lari keluar.
Semua yang ada di dalam ruangan itu terpaku beberapa lamanya, sampai kemudian
terdengar suara golok dicabut dari sarungnya. Sebagai orang Kang-ouw, suara itu
segera pulihkan kesadaran dan segera mereka jadi waspada.
Seseorang melompat ke tengah-tengah ruangan. Golok mengkilap terhunus di
tangannya. Dengan golok itu ia menuding kepada Ching-ching. “Bocah busuk! Berani
kau perhinakan anakku?!”
Lie Chung Yen terkejut. “Boe Siauwtee, Ching-jie, maksudku, gadis itu anakmu?”
“Hah! Baru tahu kau Lie Tay-hiap. Memang itulah anakku, yang telah dapat
mengelabuimu bertahun-tahun!”
“Tapi … tapi kenapa?”
“Masih kautanya? Baiklah, kuberitahukan. Belasan tahun aku membantumu, apa
balasanmu padaku? Kedudukanku di Pek-eng-pay juga sebegitu-sebegitu saja. Lalu
anakmu lenyap. Kau begitu berduka. Bekerja adalah pelarianmu. Kaubuat
Pek-eng-pay jadi partai besar. Tapi kau lupa bantuanku. Itulah mengapa aku coba
ingatkan kau! Kuberikan anakku, ia akan menghiburmu, ia akan warisi semua ilmu
yang kaubanggakan, ia akan menjadi orang yang dihormati. Tapi anakmu telah
menghinakannya. Katakan, apakah tak pantas aku, ayahnya, menuntut balas?”
Lagi-lagi orang she Boe itu acungkan goloknya.
“Ngaco-belo!” bentak Ching-ching. “Orang licik semacam kamu, mana ada pikirkan
orang lain selain diri sendiri? Mengaku sajalah. Kauberikan anakmu adalah maksud
tersembunyi. Memang—ia akan warisi semua ilmu Pek-eng-pay. Dan barangkali ia
juga mengajarkan kepadamu? Dan ia akan menduduki jabatan ketua, bukankah kau
yang nanti mengaturnya juga dari belakang?”
“Bocah lancang!” Boe Hok Sin menjadi beringas. Kata-kata Ching-ching memang
tepat mengena. Ia maju setindak sambil menggenggam goloknya erat-erat.
Melihat gelagat, beberapa pendekar sudah raba senjata hendak membela tuan rumah.
Boe Hok Sin tahu. Ia cepat menengok dan berkata, “Ini urusan keluarga orang,
jangan ada yang ikut campur!”
“Ya, ya, dan sementara kau cari ribut di sini, barangkali anakmu sudah mati
bunuh diri!” kata Ching-ching.
“Baiklah anakku mati, tapi aku harus bunuh padamu lebih dulu!”
“Ayah macam apa kau, keselamatan anak adalah mesti didahulukan!” bentak Lie
Chung Yen. Menyususl ia sendiri mengejar ‘bekas’ anaknya.
Ching-ching ikut melompat menyusul ayahnya. Ia juga ingin tahu apakah
gadungannya sudah mati bunuh diri ataukah masih sanggup menanggung malu.
Ching Ching 286
“Mau lari ke mana kau, bocah jahanam!” seru Boe Hok Sin. Ia ikut mengubar
keluar.
“Soe-heng, kita mesti bagaimana?” tanya Wu Fei kepada kakaknya seperguruan.
“Soe-moay tak akan suka kita ikut campur urusan keluarganya. Jangan kita
bertindak. Lagipula aku yakin ia dapat menjaga diri sendiri.”
Han Mei Lin dapat lihat tamunya bingung, tak tahu bagaimana harus berbuat. Ia
cepat paham. “Urusan ini adalah urusan keluarga kami, aku yakin suamiku akan
dapat beresi dengan segera. Harap coe-wie tak usah berkuatir.” Pada pelayannya
ia memerintah, “A-ming, antarkan tamu beristirahat!”
Para tamu menjadi lega. Nyonya rumah telah meminta mereka menonton saja. Dengan
lega hati kemudian mereka menyoja mohon diri beristirahat.
Setelah tetamunya pergi semua, Han Mei Lin merasa lemas. Ia terhuyung dan lekas
duduk di kursi. Di depan orang banyak ia boleh mengatakan tak usah berkuatir,
akan tetapi hatinya sendiri tidak menjadi tentram. Sepuluh tahun ia tak ketemu
anaknya, sekarang begitu berjumpa, ada urusan besar pula sehingga tak sempat
melepas rindu. Han Mei Lin menghela napas. Moga-moga semua urusan segera beres.
Ching-ching menyusul ayahnya. Di belakang ia, berlari Boe Hok Sin dengan
goloknya. Diam-diam Ching-ching nyengir. Kejar-kejaran begini mengingatkannya
pada Wu Fei yang senang saling mengejar dengannya.
Lie Chung Yen menemukan ‘bekas’ anaknya di mulut tebing. Gadis itu memandang ke
bawah, ke arah batu-batu besar terserak. Kalau ia lompat, dijamin
tulang-tulangnya akan remuk dan ia akan mati.
Ia tak tahu apa harus memanggil pada gadis itu. Namanya jelas bukan Lie Mei
Ching. Akan tetapi karena tak tahu kata lain ….
“Ching-ching!” panggil Lie Chung Yen. “Ayo, pulang!” katanya membujuk.
Yang dipanggil menoleh. Mukanya basah oleh air mata. “Jangan dekat!” katanya
dengan suara serak.
“Ching-ching, jangan lakukan hal yang bodoh. Marilah pulang saja.”
“Tidak, aku sudah tak ada muka lagi ketemu orang. Lebih bagus aku mati.”
“Kesalahan bisa diperbaiki, tapi orang mati tak bisa hidup lagi—“ Lie Chung Yen
belum sempat meneruskan kata-kata, di belakangnya terdengar suara senjata diadu.
Boe Hok Sin telah mendapati Ching-ching dan menyerang gadis itu.
Lie Chung Yen memandang bingung pada dua gadis itu, mana mesti dibantu lebih
dulu. Akhirnya ia putuskan bahwa Ching-ching dapat lindungi diri untuk sementara
waktu. Saat ini ‘bekas’ anaknya lebih terancam jiwanya. Ia terus membujuk
sementara Ching-ching bertempur.
Ching-ching berkelahi melawan Boe Hok Sin. Orang itu benar-benar kepingin
membunuh. Serangannya bertubi-tubi tidak berhenti. Bagus Ching-ching masih dapat
menghindari. Ilmu golok orang itu tidaklah luar biasa. Ching-ching masih mampu
memenangi dengan gampang.
Akan tetapi suatu ketika Boe Hok Sin mengubah caranya menyerang. Ia memakai ilmu
pedang dari Pek-eng-pay! Ching-ching kaget. Untung ia ada berpengalaman dan
dapat lekas kuasai diri. Ia cepat keluarkan juga jurus-jurusnya dari
Pek-san-bu-koan.
Boe Hok Sin memang mempelajari ilmu pedang Pek-eng-pay dari anaknya. Baru
beberapa jurus saja yang dikuasainya. Semestinya ia masih dapat melawan
Ching-ching dengan ilmunya itu. Akan tetapi senjata di tangannya bukanlah
pedang, melainkan golok yang selain lebih berat, juga kurang lincah dimainkan.
Akibatnya ia jadi terdesak sendiri. Boe Hok Sin merasa percuma melawan gadis
tanggung ini. Ia mundur terus, mendekati tempat Lie Chung Yen berdiri. Pada
Ching Ching 287
ketika baik, ia membacok ketua Pek-eng-pay itu dari belakang.
“Ah!” kedua gadis yang melihat menjerit bebareng.
Lie Chung Yen merasakan kesiuran angin di belakangnya. Ia cepat melompat ke
samping menghindar. Golok Boe Hok Sin mengenai angin.
“Pembokong!” Ching-ching berteriak marah. Ia maju dengan pedang menyerang
laki-laki itu.
“Jangan!” jerit gadungannya yang melihat ayah kandungnya terancam jiwanya. Gadis
itu melompat dan dengan pedangnya memapaki pedang Ching-ching. Keduanya jadi
berkelahi, dan ayah mereka berkelahi juga.
Ilmu Lie Chung Yen adalah sudah tinggi, semestinya ia dapat kalahkan Boe Hok Sin
dalam beberapa jurus. Tapi ada sesuatu yang membuatnya tak dapat berlaku
demikian. Tangannya terasa amat berat. Kakinya sulit digerakkan. Dadanya terasa
sakit, napasnya sesak, dan tiap kali ia bertindak, kepalanya pening.
Boe Hok Sin tersenyum senang. “Lie Tay-hiap, sudah kaurasakan racun yang
kuberikan dalam arakmu?”
Chung Yen tidak menjawab. Kepalanya terasa berat, Ia tak dapat berdiri tegak dan
jatuh ke tanah.
“Ha-ha, Lie Tay-hiap, hari ini kau mesti mati oleh golokku!”
Kedua gadis yang bertempur kaget mendengar omongannya. Melihat golok Boe Hok Sin
bergerak, Ching-ching melompat menangkis dengan pedangnya menghalangi laju
golok.
Sebenarnya saat itu gadungannya punya ketika mencelakai Ching-ching. Tapi itu
tidak dilakukan. Ia melompat dengan pedang di tangan. Yang dilakukan berikutnya
sungguh di luar dugaan. Gadis itu menusuk Boe Hok Sin pada dadanya, tembus
sampai ke punggungnya!
Semua terkesima. Boe Hok Sin terundur beberapa tindak sembari menuding anaknya.
Pedang masih menancap di dadanya. “Kau …!” cuma itu yang bisa dikatakan sebelum
akhirnya ia roboh untuk selamanya.
“Thia!” si gadis she Boe menubruk ayahnya. Ia menangis sesenggrukan kemudian
roboh pingsan saking menyesali.
Ching-ching menolong ayahnya bangun kemudian hendak meninggalkan tempat itu.
“Tunggu!” kata Lie Chung Yen. “Bagaimana mereka? Tak boleh kita tinggal di
sini.”
“Belakangan aku jemputnya. Thia keracunan, mesti ditolong duluan. Boe Hok Sin
sudah mati, tak usah ditolongi, sedangkan anaknya cuma pingsan, sebentar juga
baik.”
“Tidak boleh! Kita harus tolong mereka!” Lie Chung Yen mencoba menghampiri dua
orang yang tergeletak, tapi baru setindak, ia sudah ambruk lagi ke tanah.
“Thia!” Ching-ching mau menolongi lagi.
“Tidak!” Lie Chung Yen menolak. “Tolong dulu mereka, baru boleh kau tolongi
aku.”
Ching-ching mengerutkan alis. Ia masih ada ganjelan sama gadungannya, tak
berniat menolong. Tapi ayahnya keras hati. Sekali berkata maka tak bakal ditarik
kembali. Kalau Ching-ching juga ngotot, salah-salah racun di badan ayahnya
menyebar dan akan segera menyusul Boe Hok Sin jadi mayat.
Memikir demikian, Ching-ching buru-buru hampiri gadungannya, si gadis she Boe.
Ia totok beberapa jalan darah sehingga gadis itu cepat mendusin. Begitu sadar
dan ingat kejadian, ia menangis lagi. Secara cepat sekali ia bangun dan lari
menuju jurang. Ching-ching dapat baca tindakan orang. Ia buruan mencegat.
“Kau mau cari mati, aku tak melarang. Tapi kau kan mesti kuburkan ayahmu lebih
Ching Ching 288
dulu. Aku tak mau buang tenaga buatnya. Tapi kalau kau lebih suka kalian mati
tanpa kubur, terserah.” Ching-ching memberi jalan. Gadis she Boe itu malah
mandeg.
“Kuburan,” gumamnya. “Aku mesti kuburkan ayahku dulu.”
“Betul. Tapi nanti saja. Sekarang mesti pulang tolongi ayahku dulu. Sana bopong
ayahmu sendiri.”
Macamnya orang linglung, si gadis she Boe menuruti saja apa yang disuruh
Ching-ching sampai mereka pulang lewat pintu belakang.
Tak ada orang yang melihat kepulangan mereka. Ching-ching cepat suruh orang gali
kubur buat Boe Hok Sin. Ia sendiri lekas membopong ayahnya yang sudah setengah
semaput ke kamar dan buru-buru periksa nadinya.
Biarpun kurang mendalami ilmu pengobatan, sedikit-banyak Ching-ching tahu juga
soal segala macam racun apa akibatkan apa. Melihat yang terjadi pada ayahnya
apalagi sudah memeriksa nadinya, ia segera dapat duga racun apa di badan
ayahnya.
“Bagaimana bisa?” ia menggumam heran.
“Kenapa? Kenapa ayahmu?” tanya Han Mei Lin panik. “Dia bisa disembuhkan, bukan?”
“Tentu saja, tapi …. A-ping, coba panggil Khoe Kouwnio ke sini. Katakan
Ching-ching yang memanggilnya. Lekas!”
Pelayan yang disuruh tergopoh-gopoh keluar. Tak berapa lama ia sudah balik lagi
dengan Khoe Yin Hing yang cemberut. Melihat Ching-ching, ia ingin memaki, tapi
demi melihat Lie Hoe-jin juga ada di sana, ia rapatkan mulut.
“Siauw Hung, keluarkan Hwi-sim-tok milikmu!” kata Ching-ching.
Ayal-ayalan Khoe Yin Hung menraba sabuk tempat ia simpan semua racunnya.
Mendadak mukanya pucat waktu tidak temukan yang dicari. “Tidak ada!” katanya.
“Padahal belum aku pakai.”
“Kau bawa pemunahnya, tidak?”
“Bawa.” Khoe Yin Hung meraba lagi pinggangnya sebelah belakang dan menaris katu
bungkusan kecil, untung tidak hilang juga.
“A-ping, cepat ambil semangkok air panas!” perintah Ching-ching.
“Ada apa sih?” Khoe Yin Hung bertanya.
“Ayahku terkena Hwi-sim-tok milikmu!”
“Ah, tak mungkin. Tapi … apakah kau mau bilang ada yang mencuri milikku?”
“Kau mestinya tahu,” kata Ching-ching.
Saat itu pelayan mereka masuk membawa air semangkok. Ching-ching menuang semua
penawar yang diberikan Yin Hung. Lalu ia ambil belati dan hendak mengiris tangan
sendiri.
Han Mei Lin kaget. “Apa mau kau buat?”
“Nio, jangan kuatir. Penawar ini akan lebih manjur kalau dicampur dengan darah.
Aku cuma mau ambil sedikit darahku saja. Tak apa-apa.”
Han Mei Lin mengawasi anaknya dengan sikap berkuatir. Melihat Ching-ching luka,
ia merasa seperti jarinya sendiri yang diiris. Setelah gadis itu memaksa ayahnya
minum, barulah mereka bertenang hati.
“Siauw Hung, pergilah katakan pada Hai-ko supaya menyuruh Thio Lan Fung
mengawasi gadunganku.”
“Kenapa mesti suruh Hai-ko? Apa kau pikir aku jeri pada gadis she Thio itu?”
“Kau sangka dia mau dengar perkataanmu? Jangan banyak rewel, turut saja kataku!”
Sembari menjebi, Siauw Hung pergi. Ia bahkan tidak berpamit pada Han Mei Lin.
Seperti juga Ching-ching, ia tak banyak pusing dengan aturan sopan-santun yang
biasanya dijunjung tinggi di antara para pendekar Kang-ouw.
Ching Ching 289
Sepeninggal Siauw Hung, mendadak kamar itu sepi. Han Mei Lim dan putrinya saling
mengawasi.
Ching-ching melihat ibunya jauh lebih tua dari sebelum ia pergi 10 tahun yang
lalu. Bahkan kelihatan lebih tua dari umurnya yang belum mencapai 50 tahun.
Barangkali karena makan hati ditinggal anak yang hilang tak keruan paran.
Sedangkan Han Mei Lin mengawasi putrinya dengan rasa haru, senang, dan bangga
jadi satu. Ching-ching kecilnya sudah jadi anak gadis, perkasa pula, dikenal
sebagai pendekar golongan putih. Siapa yang tak bangga punya anak sedemikian.
Tapi dalam hatinya Mei Lin merasa was-was. Putrinya tak nampak seperti
kebanyakan dara lainnya. Ia nampak lebih lincah seperti tak tahu aturan dan
lebih pengalaman dalam berkelahi. Manja tapi tegas, pemurah tapi kejam. Tapi
biar bagaimanapun, Han Mei Lin bahagia bertemu anaknya.
Lama mereka bertatapan. Tak ada kata-kata, tapi mereka saling mengerti perasaan
yang lain, sambung rasa antara ibu dan anak tak dapat dihapuskan oleh perpisahan
10 tahun sekalipun.
Tiga hari kemudian Lie Chung Yen sudah sembuh sama sekali. Selama sakit,
Ching-ching yang paling telaten mengurusnya. Dalam tiga hari itu, Ching-ching
pandai-pandai mengambil hati ayah dan ibunya. Sebentar saja ia sudah menjadi
kesayangan seisi rumah, termasuk para pelayan. Ia sudah bercerita pengalamannya
semenjak diculik sampai ke Pek-san-bu-koan. Ayah dan ibunya seperti tak percaya.
Lie Chung Yen tambah sayang pada Ching-ching kala melihat istrinya jauh lebih
gembira, lebih gampang tertawa, dan nampak jauh lebih muda dari hari-hari
sebelum ini. Semuanya terjadi cuma dalam tiga hari!
Tapi masih ada satu ganjelan di hati Lie Chung Yen, yaitu karena Ching-ching tak
mau mewarisi Pek-eng-sin-kun kebanggaannya. Dara itu sudah cerita bahwa suhunya
melarang ia menggunakan ilmu lain perguruan. Diam-diam Lie Chung Yen sakit hati.
Menganggap serendah itukah anaknya pada ilmu perguruan kebanggaannya? Tapi Lie
Chung Yen tak berani suruh anaknya undurkan diri dari Pek-san-bu-koan, takut
kalau-kalau rusak hubungan dua partai.
Ching-ching bukan tak tahu dia ada kecewakan ayahnya. Tapi ia merasa sayang
tinggalkan Pek-san-bu-koan. Terlebih menyadari, nama besar Pek-san-bu-koan
adalah karena lima orang murid dengan ilmu Pek-san-ngo-kiam dan Ngo-lian-kian.
Kalau ia pergi, nama jurus uang begitu hebat adalah tinggal nama karena kurang
seorang berarti kelemahan yang lainnya.
Tapi ada satu hal yang lebih mengganggu ketenteraman hatinya. Kemarin ayahnya
mengusulkan anak Boe Hok Sin yang ternyata bernama Boe Sin Mei diangkat jadi
anak. Ibunya mengiyakan saja, asal Ching-ching ada bersamanya. Mereka
menyerahkan putusan pada gadis lincah itu. Tinggal dia bingung berpikir-pikir.
Ching-ching merasa tidak suka. Tak bisa disangkal ia takut kasih sayang
ayah-ibunya nanti direbut Boe Sin Mei. Bukankah gadis itu ada lebih lama tinggal
di Pek-eng-pay? Dan lagi riwayat hidupnya yang menyedihkan dapat meluluhkan hati
siapa saja. Belum lagi ayahnya amat berterima kasih pada dara itu karena telah
bela dia sampai rela korbankan jiwa ayah kandung sendiri. Siapa takkan salut
pada gadis ini.
Lebih celakanya, hampir semua orang sudah tahu bahwa keputusan jadi tidaknya
mengangkat anak pada Boe Sin Mei diserahkan ke tangan Ching-ching sepenuhnya.
Gadis itu jadi serba salah. Mau menerima, nanti dibilang munafik. Memang pada
dasarnya ia tak mau. Kalau tidak menerima, dikatakan tak berjiwa pendekar, tak
mau ampuni kesalahan orang. Hah!
Khoe Yin Hung mengetahui gusar di hati Ching-ching. Ia mencoba menghibur, tapi
Ching Ching 290
segera diusir jauh-jauh. Begitupun semua kawan Ching-ching, tak boleh mendekat
hari itu. Ia tak mau keputusannya dipengaruhi orang lain.
“Begini salah, begitu susah,” Ching-ching mengeluh. Ia duduk selonjor di tanah
sambil memain pada belatinya. “Hah, coba kutimbang mana lebih baik. Kalau
kuterima, barangkali nantinya aku tidak pula disayang. Tapi toh aku mesti cepat
pulang ke Pek-san-bu-koan. Jarang-jarang bisa ketemu Thia dan Nio. Dan lagi,
para pendekar akan salut padaku. Aku bisa angkat nama Pek-eng-pay dan
Pek-san-bu-koan sekaligus. Yah, ditimbang begitu, baiknya diterima saja. Tapi
awas kalau belakangan hari berani macam-macam, kugencet dia sampai mampus!”
Ching-ching memutuskan.
Bukan main girangnya Lie Chung Yen mendengar putusan Ching-ching. Ia tertawa
besar sambil tepuk-tepuk pundak anaknya. “Inilah baru putriku,” katanya bangga,
“pendekar yang sejati!”
Dua hari lagi pertemuan besar akan diadakan. Utusan-utusan dari berbagai partai
sudah datang. Jumlahnya jauh lebih banyak daripada tetamu bulan lalu di
Goat-kiong. Untuk Pek-eng-pay bukan partai kecil sehingga sudah siap dengan tamu
begitu banyak. Apalagi Lie Chung Yen sudah suruh orang buat banguanan baru untuk
para tetamu ini.
Ching-ching senang menjadi tuan rumah yang menyambuti tetamu. Di sampingnya
berdiri Boe Sin Mei dengan muka berseri. Keduanya sudah akur kini. Sin Mei
jarang main dengan Thio Lan Fung, kuatir kalau Ching-ching merasa tak suka. Ia
juga tak suka cari gara-gara sekarang.
Banyak orang sudah dengar kabar soal itu. Mereka bersalut dan banyak memuji
kedua gadis itu sehingga sesekali muka mereka memerah. Kejadian memalukan si
gadis she Boe itu sudah terlupa ditebus kematian ayahnya.
Dari semua, Ching-ching lebih banyak kenal tamu. Ia memang pengelana yang banyak
ketemu orang. Suhunya pun sering mengajak kalau mau kunjungi partai lain. Tak
heran ia dapat jadi tuan rumah yang ramah. Lagipula hari-hari belakangan ibunya
telah mengajar bagaimana bersikap.
Sikap sopan itu tidak lama-lama. Ching-ching cepat bosan. Ia mulai bandel lagi.
Kalau saja tak ada Boe Sin Mei yang takut bakal menyainginya, pasti ia sudah
ngelayap ke mana-mana.
Sehari sebelum pertemuan besar, datang dua orang yang dandanannya menarik
perhatian. Yang satu gemuk, tinggi-besar. Yang satunya jangkung-ceking mirip
tongkat. Ching-ching segera ingat kedua orang itu. Ia menyambuti yang gemuk
sembari berteriak girang, padahal saat itu ia sedang mengobrol dengan Li Hai dan
Wu Fei.
“Ha, si gemuk dan si ceking jalan bebareng. Tak salah lagi, mestilah
Lam-tay-siang-tiau.”
Kedua orang itu merasa heran. Nama mereka tidak terlalu dikenal, bagaimana dara
ini dapat mengenali? Si gemuk mengawasi baik-baik. Mendadak wajahnya berseri.
“Ie-ie!” panggilnya. “Tak menyangka bakal ketemu lagi. Hampir aku tak mengenali.
Sudah besar dan cantik sekarang, ya!” Hek-tiau si gemuk mengenali juga. Ia
lantas mengawasi dua pemuda di belakang Ching-ching. Yang satu nampak pucat dan
kaget melihatnya. Yang lain nyengir melihat lagaknya dan panggilannya kepada
Ching-ching yang dianggap ie-ie.
“Ha, ada dua pemuda ganteng. Aku tak dapat menerka. Yang mana Ie-thio?” Ia
menanyakan paman angkatnya yang tak lain adalah Siauw Kui.
Ching-ching menghela napas sebelum menjawab orang. “Aku sendiri sudah hampir dua
tahun tak ketemu Ie-thiomu itu.” Muka gadis itu mendadak suram. “Ia sedang cari
Ching Ching 291
ilmu. Hei, Hek-tiau, kalau waktu dua tahun lagi aku tak jumpa Ie-thiomu, maukah
kau temani aku mencarinya?” Muka Ching-ching terang lagi.
“Boleh, boleh,” sambut Hek-tiau, lalu berbisik, “Tapi dua pemuda ini jangan
diajak, nanti Ie-thio ngambek.”
Ching-ching nyengir. Ia menyilakan dua orang itu masuk. Sekilas ia lihat tatapan
benci dari Kim-tiau, suheng Hek-tiau. Barangkali si tongkat berjalan itu masih
mendendam peristiwa tempo dulu.
Berikutnya yang datang adalah Wu Kong dari Goat-kiong. Ching-ching menyambutinya
lagi. “Wu Toa-ko, datang juga. Eh, kau sendirian? Mana ayahmu?”
“Thia tak dapat ikut. Semenjak peristiwa tempo hari ia terus-terusan tak enak
badan.”
“Apakah obat dari Kong-kong tak manjur?” tanya Ching-ching heran.
“Kata Yuk Toa-hoe, luka Thia-thia suah sembuh. Tak enak badan barangkali
disebabkan pikiran berat. Tapi Toa-hoe sudah mengasi obat. Tak berapa lama lagi
Thia-thia pasti sembuh.”
Selesai mengata begitu, Ching-ching melihat seorang lain jalan sendirian. Ia
lekas menyapa sambil menyoja. “Wu-yi-sian-li, apa kabar?” katanya menyapa wanita
tua yang baru datang.
“Baik, baik,” wanita itu balas menyoja. Biarpun sudah tua dan keriput kulitnya
namun rambut nenek itu tetap hitam. Sementara suaminya, Wu-yi-pek-sian berambut
putih sampai kepada alisnya. Tapi kali ini si dewa putih tak anmpak. Mereka
tentu saja heran dan menanyakan.
“Hah, kakek tua itu sedang membasmi gerombolan di selatan. Kalau urusan tak
banyak makan waktu, ia akan menyusul kemari.”
Ching-ching menyilakan tamu. Wu Kong sebenarnya masih kepingin menemani gadis
itu di luar, tapi ia mesti menemui Lie Chung Yen dulu yang menjadi tuan rumah
sebenarnya.
Yang paling terakhir datang adalah Lie Wei Ming dan Yuk Lau. Dengan girang
Ching-ching menyambuti. “Wah, Suhu dan murid-murid utama Pek-san-bu-koan ada di
sini, perguruan siapa yang menjagai?” tanya Wu Fei.
“Adik seperguruan kita kan banyak, buat apa berkuatir?” Ching-ching yang
menyahut. Lantas ia ajak suhunya menemui keluarganya.
Selagi orang-orang tua berbincang, Ching-ching mencari kawan-kawannya, terutama
A Cu yang sehari ini belum dia lihat. Gadis itu malu ketemu orang. Ia pasti
sedang menyulam di kamarnya. Tapi Ching-ching tak menemukan A Cu di kamar.
Begitu juga teman-temannya, tak ada yang melihat dara tersebut.
“Jangan-jangan diculik orang!” Wu Fei menakuti.
“Ngaco-belo! Siapa berani culik orang tengah hari bolong begini!” Ching-ching
menghardik. Ia mencari lagi dan ternyata A Cu ada di dapur. “Ngapain di sini?”
“Belajar masak,” jawab A Cu.
“Ah, Toan Kouwnio merendah saja,” kata seorang pelayan. “Jangan percaya,
Siauw-sio-cia. Justeru dari tadi kami yang banyak belajar padanya.”
“Oooh, kau senang masak juga, ya. Coba lihat apa sudah kau buat.” Ching-ching
menghampiri kuali dan mencicip isinya. “Enak, enak,” ia memuji. “A Cu, boleh
juga kau bantu-bantu di daput. Daripada kau mengeram di kamar, bagusan masak
saja.”
A Cu tersenyum membenarkan.
Sudah dua hari A Cu membantu-bantu memasak. Banyak orang memuji, tapi tentu saja
mereka menyangka pegawai Lie Chung Yen yang dididik hingga dapat bikin makanan
enak.
Ching Ching 292
Hari ini Toan Cu mesti masak lagi. Hampir semua pelayan sibuk urusan
masing-masing. Urusan makanan diserahkan pada Toan Cu.
Seorang pelayan masuk dan memberikan bungkusan padanya.
“Apa ini?” tanya A Cu heran.
“Orang yang tadi memberikan padaku bilang ini adalah untuk menyedapkan masakan.”
Toan Cu tersenyum. Tak usah pakai obat juga masakannya sudah sedap. Buat apa
ditambahi lagi? Akan tetapi begitu si pelayan pergi, Toan Cu ada berpikir lain.
Apa salahnya kalau makanannya ditambahi sedikit bumbu itu. Kalau memang jadinya
lebih enak lagi. Tapi kalau orang lain tahu, pasti dia disangka memakainya juga
kemarin-kemarin. Tapi kalau cuma sedikiiit saja, siapa yang tahu?
Memikir demikian, A Cu membuka bungkus dan mengambil sedikit untuk dimasukkan
dalam kuali berisi makanan. Ia melakukan dengan buru-buru seolah takut ketahuan.
Pada ketika itu Thio Lan Fung lewat. Tak sengaja ia melihat gelagat Toan Cu yang
bikin heran. Ia masuk ke dapur waktu A Cu sedang memberi sedikit serbuk bumbu.
“Apa sedang kau lakukan di sini?” tanya Lan Fung.
Toan Cu kaget. Tangannya langsung gemetar. Tak sengaja semua isi bungkusan
dituangnya dalam kuali. “A-aku … aku … ttidak sedang apa-apa,” katanya gugup
seperti baru kepergok berbuat jahat.
“Bohong! Apa itu di tanganmu?”
“Ini … bungkus bubuk penyedap makanan.”
“Eh? Apakah kau sudah jadi tukang masak di sini?” Thio Lan Fung cekikikan.
“Kelewatan si Ching-ching. Kawan sendiri dijadikan tukang masak. Kau juga,
kenapa mau?”
Toan Cu tidak menjawab, cuma bersenyum saja.
“Hah, tunggu sampai kukatakan pada Hai-ko, Ching-ching pasti diomelinya habis.”
“Eh, jangan!” Toan Cu melarang. “Aku senang memasak. Lagipula andaikata ia tahu
pun, paling ia akan tertawa saja.”
“Huh, semaumulah!” Thio Lan Fung pergi ke ruang besar. Hampir semua pendekar
sudah berkumpul di sana. Selesai bersantap nanti, mereka akan mulai rapat besar,
mendamaikan cara menghadapi Kim-gin-siang-coa-pay.
Rapat dimulai. Semua tamu duduk dengan sikap agak tegang. Lie Chung Yen membuka
pembicaraan. “Sudah kita ketahui, beberapa tahun ini Kim-gin-siang-coa-pay
berlaku keji baik kepada rakyat biasa maupun pada sesama golongan Kang-ouw,
terutama golongan putih. Bulan-bulan belakangan mereka malah berani kirim surat
ancaman supaya tunduk pada mereka. Kalau tidak, seluruh partai beserta keluarga
akan dibunuh habis. Beberapa partai telah mendapat kebenarannya, seperti
misalnya beberapa partai di selatan. Tindakan Kim-gin-siang-coa-pay sudah
kelewatan. Hari ini kita akan satukan semua usulan dari cuwi untuk menghancurkan
partai iblis tersebut.”
“Benar, sudah waktunya kita basmi iblis-iblis jahanam itu!” Houw-touw Yo Chow
ikut mengisiki. Beberapa orang turut menyambuti dengan bersemangat.
“Tapi bagaimana caranya? Partai tersebut sangat kuat!” seorang dari See-san-pay
bertanya.
“Betul, bahkan beberapa partai besar sudah mereka kuasai.”
“Hei, biarpun sudah kuasai beberapa partai besar, tapi mana bisa dibandingkan
dengan kita semua dijadikan satu?” kata Houw-touw Yo Chow. Lagi-lagi ia
disambuti.
“Ya, apabila kita berpadu saling bantu, apa yang bisa dilakukan mereka itu?”
Yo-si Suthay ikut bersemangat.
“Aku tak yakin,” gumam ketua See-san-pay pelan. Akan tetapi tidak cukup pelan
Ching Ching 293
untuk tidak didengar oleh Ching-ching. Gadis itu menjebi melecehkan.
“Ong Giam Pangcu, sedari tadi kau paling tidak bersemangat. Apa nama
Kim-gin-siang-coa-pay telah membuatmu jeri?”
“Hah, jangan bilang kau juga tunduk pada partai iblis itu!” Houw-touw Yo Chow
menuding.
Muka ketua See-san-pay itu menjadi pucat pasi. Ia lekas menggoyangkan tangan
menyangkal. “Tidak, tentu saja tidak. Cuma minggu lalu kami terima ancaman itu
juga.”
“Bukan kau seorang diri yang sudah diancam,” kata Wu Kong. “Kau tahu, kami juga
sudah terima surat itu, akan tetapi aku dan ayahku talah berketetapan, tidak
sekali-kali kami tunduk pada iblis-iblis she Chang itu!”
“Saudara Wu Kong, sungguh besar nyalimu berani berkata demikian!” terdengar
suara berwibawa dari luar.
Dua bayangan putih melayang masuk disusul 12 bayangan hitam yang menggunakan
seragam sama sengan gambar sepasang ular di dada!
Begitu tamu-tamu tak diundang itu masuk, seketika di dalam ruangan menjadi
sunyi. Wajah-wajah tegang memandang mereka yang baru datang. Sebagian lagi
parasnya pucat ketakutan.
“Sungguh tak tahu sopan santun, datang tak diundang, berani masuk pula tanpa
dipersilakan!”
Mendengar suara jernih gadis itu, para pendekar segera tersadar pula. Kini
mereka melihat ke arah tamu dengan muka marah.
Chang Houw yang melihat siapa yang berdiri di depan, di samping tuan rumah,
kaget luar biasa. Ia tahu gadis ini bernama Lie Mei Ching dan dia adalah murid
Pek-san-bu-koan. Tapi sekali-kali ia tak menduga dara ini adalah putri Lie Chung
Yen, ketua Pek-eng-pay. Akan tetapi, sebagai seorang pemuda yang terdidik baik,
ia dapat segera tenteramkan hati.
“Lie Kouw-nio, berjumpa lagi kita. Apa kabarmu?”
“Ceriwis! Aku mau ada kabar apa, tak ada urusan denganmu!”
Kata-kata Ching-ching membikin merah paras Chang Houw. Sebenarnya saat itu
perkataan Ching-ching jauh dari sopan, namun para tamu kepalang benci pada Chang
Houw dan pengikutnya. Dalam hati mereka malahan ingin juga berlaku sama pada
orang-orang Kim-gin-siang-coa-pay itu.
“Tak disambuti dengan baik, kami pun tak mau berlama-lama,” kata Chang Lun.
“Kedatangan kami kemari cuma ingin sampaikan undangan. Kebetulan semua partai
ada di sini, tak usah kami repot mengantar satu-satu.” Ia bertepuk tiga kali.
Seorang pengikutnya maju ke depan sembari membawa sebuah kotak. “Ini undangan
dari kami dalam masa she-jit ibuku bulan depan. Barangsiapa tak ingin keluarga
atau partainya musnah, jangan coba-coba tak datang!”
Semua tamu kaget. Undangan? Apa bedanya dengan surat ancaman? Memang
kelihatannya lebih halus dan lebih sopan, tapi pada dasarnya toh sama saja.
“Tak usah repot, tak satu dari kami akan datang ke perayaan itu!” sahut Yo-si
Suthay.
“Terserah, aku cuma menyampaikan saja. Oh, ya, Wu Kongcu, Goat-kiong akan
mendapat pengampunan kalau kau mau datang bulan depan.”
“Tak sudi!” Wu Kong membuang muka. “Buat apa aku datang ke perayaan orang rendah
macam ibumu!”
“Jangan kau bicara sembarangan mengenai ibuku!” Chang Houw menjadi marah.
“Aku boleh bicara semauku, siapa dapat melarang?” tantang Wu Kong.
“Aku melarangmu!” tahu-tahu Chang Houw sudah ada di depan pemuda she Wu itu dan
Ching Ching 294
menampar mulutnya sampai berdarah.
Wu Kong tak menduga bakal diserang sebegitu cepat. Ia tak sempat lagi menangkis,
apalagi menghindar. Mulutnya kena dihantam orang, bibirnya pecah. Masih untung
giginya tidak copot, tapi tak urung Wu Kong merasa pening kepalanya.
“Kurang ajar!” Houw-touw Yo Chow menggebrak meja. “Iblis, berani kau mengacau di
rumah orang?” Orang beringas itu memutar golok.
Seorang pengikut Chang Houw maju ke depan memasang kuda-kuda siap melindungi
tuannya, tapi Chang Houw mengangkat sebelah tangannya melarang. “Tak perlu,
harimau ini sudah ompong, tak usah dilawan pun sudah roboh sendiri.”
Baru saja si pemuda berkata demikian, Houw-touw Yo Chow memuntahkan darah. Ia
terhuyung dan jatuh duduk di kursi sendiri.
“Jahanam! Ilmu siluman apa yang kau pakai!” berteriak Teng Kie Yu, utusan
Thian-kiam-pay.
“Tidak ada siluman-silumanan. Hanya saja kami sudah campurkan Cheng-coa-tok pada
makanan kamu sekalian. Kamu tak boleh pakai tenaga kalau tak mau luka dalam. Dan
kalau dalam semalam tidak minum pemunahnya, besok tengah hari kamu bakal lumpuh
semuanya!”
Setiap orang di sana kaget. Mereka tak menduga bakal diracuni sehingga kurang
waspada. Tapi terlebih Lie Chung Yen merasa malu bukan main telah kecolongan
hingga tamunya kena racun semua. Bukan racun sembarangan pula.
Tapi Ching-ching tampak tak peduli. Ia sedang mengawasi pengikut Chang Houw yang
tadi hendak lindungi majikannya. Orang itu masih muda, paling banter 20 tahun
umurnya. Mukanya bulat, matanya sipit, tapi tak kelihatan gemuk karena badannya
jangkung dan nampak kuat-kokoh. Namun yang terlebih menarik perhatian
Ching-ching adalah tangannya sebelah kanan yang terbungkus sarung warna
keperakan. Ia masih mengawasi beberapa lama. Kemudian setelah yakin, ia
beringsut ke arah Yuk Lau yang berdiri tak jauh darinya.
“Ssst, Sam-soe-heng!” bisiknya memanggil.
“Apa?” sahut Yuk Lau berbisik pula.
“Kau kihatlah pengikut Chang Houw yang berdiri paling depan itu. Katakan, kau
ingat siapa?”
Yuk Lau mengawasi sambil memikir, tapi ia tak mengerti apa yang dimaksud
Ching-ching. “Aku tak tahu,” sahutnya. “Kenapa aku mesti ingat?”
“Aduuh, sam-soe-heng, aku tak tahu kau berlagak lupa atau kau memang sudah
pikun. Lihat sarung tangannya! Itu sarung tangan yang kuberika pada Fuk Toa-ko.
Dia kakak angkat kita!”
“Tak mungkin!” sanggah Yuk Lau. “Fuk Toako takkan sudi ikut partai rendah
seperti Kim-gin-siang-coa-pay!”
“Tapi sarung tangannya ….”
“Sarung tangan begitu bukan cuma Fuk Toako yang punya.”
“Satung tangannya itu aku yang bikin, mana mungkin aku salah mengenali?”
Yuk Lau menggeleng-geleng lagi. Ia tak percaya sedikit pun. Dalam hatinya ia
selalu berkeyakinan bahwa Chow Fuk kakak angkatnya hidup di sutau tempat
terpencil seperti kampung mereka dulu. Barangkali jadi tukang besi datau petani.
Tapi tidak sebagai pengikut golongan hitam.
“Kau tak yakin? Baik, akan kutanyakan sendiri padanya!” Ching-ching berkata.
Pada masa itu Chang Houw sedang membagikan undangan dengan cara
melempar-lemparkan kertas bertulisan itu kepada mereka yang diundang. Pelemparan
kertas disertai tenaga itu luar biasa hasilnya. Kertas tipis yang cuma
sehelai-helai itu menancap kalau bukan di sandaran kursi orang, pasti tak jauh
Ching Ching 295
dari tempatnya, semisal di tiang atau menancap di lantai. Ching-ching yang
melihat malah mengomel,
“Orang she Chang, jangan merusak rumah orang!”
Chang Houw mendengar teguran si gadis merasa hatinya seperti disiram air dingin.
Ia batal pamer kekuatan lagi. Undangan-undangan itu kini dilempar ke pangkuan
atau dibikin terpegang di tangan orang yang dituju.
Sesudah semua undangan terbagi, ia melihat seisi ruangan sembari tersenyum.
“Kamu boleh merasa syukur. Hari ini aku tak minat membunuh orang. Membuat hilang
kepandaian kamu orang juga rasanya tak ada guna. Baiklah kuberi kesempatan
sekali lagi.” Chang Houw mnegerling pada adiknya. “Sekalian supaya kamu ingat
budi orang.”
Chang Lun segera mengerti isyarat. Ia mengeluarkan sebuah Giok-peng. “Dalam
botol ini ada berisi yowan pemunah. Isinya cukup buat kamu orang semua. Baik
kuberikan padamu!”
Ong Giam yang duduk paling dekat padanya berdiri hendak menyambuti.
“Nanti dulu! Tak sembarang orang boleh mengambilnya dari tanganku! Biar
kuberikan pada nona rumah, Lan Kouw-nio!”
Lan Siu Yin terkejut. Berani-beraninya Chang Lun menginginkan dia ambil pemunah
itu. Bagaimana kalau orang lain tahu hubungan antara mereka? Gadis itu melihat
pada Lie Chung Yen meminta persetujuan. Ketika pamannya mengangguk, baru ia
berani bertindak.
Di belakangnya, Ching-ching menyipitkan mata. Ia tak suka piauw-cienya berkawan
dengan Chang Lun yang dianggapnya orang licik tak dapat dipercaya. Sejak pertama
melihat di Goat-kiong ia sudah mendapat kesan demikian.
“Undangan sudah disampaikan, pemunah sudah diberikan. Kiranya kamu sudah tak
punya urusan lagi. Cuwi, aku permisi.” Chang Houw menjura diikuti adiknya.
Mereka sudah mau pergi dari tempat itu kalau saja tak ada seorang berteriak,
“Tunggu!”
Chang Houw menghadapi orang itu yang tak lain adalah Ching-ching. Gadis itu
berisi menghampiri. Hati Chang Houw memukul. Mau apa gadis ini? Memaki atau
malah berterima kasih?
Tapi pemuda ini kecele. Ching-ching melewatinya terus menghampiri seorang
pengikutnya. “Kau! Siapa namamu?” tanya Ching-ching.
Ditanya secara mendadak, tentu saja si pengikut itu jadi kelabakan. “Aku?”
tanyanya.
“Apakah aku menunjuk orang lain?” Ching-ching balik menanya.
“A-aku … namaku Gin-ciang.”
“Aku tidak tanya julukanmu. Aku tanya namamu!”
“Euh, namaku A Ciang.”
“Dusta!” bentak Ching-ching. “Akui saja, namamu Chow Fuk, bukan?” Yang terakhir
disebutnya pelan sekali.
Seketika muka orang itu menjadi pucat. Ia melongo melihat Ching-ching macam
melihat setan. “Kau … siapa kau? Tahu dari mana …?” bisiknya.
“Dari sini!” Ching-ching nyengir sembari menggenggam tangan orang itu yang
dibungkus sarung perak. “Haa, rupanya kau lupa aku, ya. Tega benar!” ia malahan
bercanda. “Coba diingat-ingat!”
Orang yang di hadapannya itu mengawasi, tapi lalu menggeleng-geleng. “Aku belum
pernah ketemu kau.”
“Baiklah, kau boleh berkata belum pernah ketemu aku. Tapi aku yakin aku pernah
temui sobatku!” Ching-ching mencabut sepasang belati di kakinya dan memegang
Ching Ching 296
dengan sikap mengancam.
“Ini … kau … Ching-moay, ini benar-benar kau?” Chow Fuk mengenali belati
buatannya yang telah ia berikan pada giemoaynya dulu.
“Ha, Fuk Toa-ko, pada akhirnya kau kenaliku juga!”
“Ching-moay! Eh, kata Yang Toa-ko, kau diculik orang, kenapa mendadak ada di
sini?”
“Ceritanya panjang. Toa-ko, aku mau kau ketemu seseorang.”
“Siapa?”
“Ching-ching membawa Chow Fuk ke hadapan Yuk Lau. “Coba, kau kenali dia, tidak?
Dia adalah—“
“Lau-tee” Chow Fuk menyebut duluan.
Yuk Lau mengawasi dua orang di hadapannya yang memperlihatkan muka gembira. Ia
juga menangkap pandang mata orang-orang yang menatap dengan curiga, heran, dan
ingin tahu. Tentu saja, bagaimana mungkin dua orang pendekar golongan putih
dapat bersaudara dengan pengikut golongan hitam? Yuk Lau juga mendengar suara
berbisik-bisik membicarakan mereka.
“Jie-ko!” Ching-ching menegur.
Yuk Lau memalingkan muka. “Aku tak punya abang angkat sepertinya!” ia berkata.
“Jieko … kau …!” Ching-ching hampir tak dapat berkata-kata saking kecewa.
Di sebelah sana Lie Chung Yen mengerutkan alis. Baru beberapa hari lalu
Ching-ching menceritakan semua pengalamannya. Diceritakannya juga ia ada
mempunyai dua orang abang angkat. Yang seorang adalah Yuk Lau dan yang lain
adalah Chow Fuk. Tapi ia tak menduga kalau Choe Fuk ada kawannya golongan sesat.
Lie Chung Yen tak suka anaknya berkawan golongan jahat. Dan melihat gelagat
Ching-ching seperti mau marah, ketua Pek-eng-pay ini segera ambil tindakan.
“Ching-ching, kemari!”
Chang Houw juga tak mau orang kepercayaannya dipermalukan. Ia cepat memanggil
pula. “A Ciang, kita pergi!”
Chow Fuk terlalu kecewa, di samping pula tak berani melawan kepada mejikannya.
Sembari menunduk ia melangkah pergi. Teriakan Ching-ching yang memanggil
sepertinya tak didengar sama sekali.
Sperginya orang-orang Kim-gin-siang-coa-pay, Lan Siu Yin dibantu beberapa orang
membagikan yowan pemberian Chang-sie Heng-tee. Khoe Yin Hung memastikan pil-pil
itu adalah asli, maka tanpa pikir dua kali, mereka segera menelannya, kecuali
Ching-ching yang masih memandang keluar. Miauw Chun Kian memberi sebutir yowan
padanya, tapi Ching-ching cuma memandangi saja yowan itu seperti tak tahu harus
diapakan.
“Ayo dimakan!” desak Wu Fei pada sumoaynya.
Ching-ching masih bengong. Wu Fei jadi tak sabaran. Direbutnya pemunah itu,
dibukanya mulut Ching-ching secara paksa, lagi ia jejalkan obat ke dalamnya.
Diperlakukan secara demikian, Ching-ching jadi tersadar. Ia mengomeli Wu Fei,
kemudian lari ke dalam mencari Yuk Lau.
Setelah ketemu ia langsung membentak. “Sam-soe-heng, teganya kau!”
“Ching-ching!” Lie Chung Yen memotong perkataan anak gadisnya. “Kau tak ada
urusan lagi, pergilah istirahat.” Lie Chung Yen berkata dengan halus, tapi
nadanya seperti perintah yang tak boleh dibantah. Ching-ching tahu itu. Ia tak
banyak bicara, hanya membanting kaki dengan amat jengkel dan pergi.
Khoe Yin Hung sobatnya menyusul. Ia tahu Ching-ching sedang kecewa. Sebagai
kawan, paling tidak ia harus menghibur atau menemani saja.
Ching-ching tidak pergi beristirahat seperti yang disuruhkan ayahnya. Ia malah
Ching Ching 297
pergi ke belakang tempat murid-murid ayahnya biasa berlatih. Gadis itu berdiri
menyandar pada sebuah tiang rumah. Mukanya sangar. Yin Hung jadi bimbang mau
mendekat.
“Ching-ching!” ia memanggil takut-takut.
“Hmm!”
“Kau marah, ya? Karena persoalan tadi itu? Semestinya kau mengertikan keadaan
suhengmu. Ia tak mau dianggap saudara oleh orang jahat—“
“Siauw Hung, kau yang tidak mengerti. Seberapa pun jahatnya Chow Fuk, kita sudah
terlanjur angkat saudara. Semestinya Jie-ko tanya dulu sebabnya Toa-ko ikut
perkumpulan itu. Kalau ia tak suka, semestinya ia ajak Toa-ko kembali ke jalan
lurus, bukannya malah tak mengakui.” Ching-ching menghela napas. “Kasihan,
Toa-ko. Aku yakin, ia sebenarnya bukan orang jahat. Siauw Hung, kau tahu rasanya
ditolak orang? Sakit sekali. Aku pernah merasakannya sewaktu Thia tak akui aku
menjadi anak. Kiranya Toa-ko sekarang merasakan hal serupa. Siauw Hung, kau
tentunya sudah letih. Sana pergi tidur!”
“Kau sendiri?”
“Aku mau di sini dulu.”
“Kalau begitu, aku akan menemanimu.”
“Kau bandel!”
“Kau yang mengajariku bandel.”
“Baiklah, baiklah. “Aku juga akan tidur. Mari!” ajak Ching-ching.
Tapi di kamarnya gadis itu malahan tak dapat memejamkan mata. Ia masih dengar
orang-orang lewat di depan kamarnya mengatakan besok hari pertemuan para
eng-hiong baru akan diteruskan. Ia dengar satu-satu dari mereka pergi ke
kamarnya masing-masing. Bahkan sampai tengah malam, saat semua sudah sunyi, ia
masih gulak-gulik saja di pembaringan.
Di kamar Wang Li Hai, ternyata pemuda itu juga tak dapat lelap. Dari pembicaraan
Ching-ching dengan Hek-tiau dua hari lalu, ia tahu bahwa Ching-ching masih
mengingat dia sebagai Siauw Kui. Ia merasa senang gadis itu belum lupakan dia,
tapi juga sedih karena belum boleh mengaku diri sebagai Siauw Kui.
Semenjak itu ia sering membuntuti Ching-ching ke mana pun pergi. Akan tetapi
dara itu malah marah-marah. Dan seperti sengaja, Ching-ching malah lebih banyak
main dengan Wu Kong dan Cia Wu Fei. Wang Li Hai berasa tak suka. Entah apa
namanya perasaan itu. Cemburukah? Atau hanya sekedar iri? Atau penasaran? Sebab
A Cu, Yin Hung, dan Lan Fung selalu berusaha menarik perhatiannya, berusaha
berlaku manis padanya sementara Ching-ching malah tak peduli, memperlakukannya
sama seperti pada yang lain—kadang bercanda, membentak, tak jarang menjauhi
secara mendadak.
Setelah gulak-gulik beberapa lamanya, Ching-ching akhirnya bangkit dari
pembaringan. Ia akan berjalan-jalan sejenak. Barangkali dengan begitu ia akan
mengantuk. Ching-ching membawa pedangnya dan pergi ke kebun belakang. Ia
berlatih sebentar di sana sampais eseorang menegurnya.
“Sudah malam begini, kau belum pergi tidur?”
Ching-ching menoleh cepat. Ia mendengus kesal. “Hai-ko, kau ini tak
bosan-bosannya. Tak siang, tak malam, terus-terusan aku buntutui aku!”
“Siapa bilang aku mengekormu. Aku cuma tak bisa tidur saja. Kupikir jalan-jalan
akan membuatku mengantuk, tak tahunya malah ketemu kau. Tambah tak dapat tidur
aku.”
“Ah, tanggung kalau jalan-jalan cuma sampai di sini. Aku mau ke hutan kecil ah.”
Ching-ching berjalan menuju tempat yang disebutnya. Li Hai hendak ikut, tapi
Ching Ching 298
kuatir dibentak. “Hai-ko, kau sudah bosan mengekorku?” tanya Ching-ching.
Li Hai nyengir. “Bilang saja kau minta ditemani.”
Ching-ching tak menjawab, terus saja berjalan duluan. Dalam hatinya ia mengakui,
memang segan pergi sendiri.
Keduanya memasuki hutan kecil tak jauh dari rumah Ching-ching. Namanya hutan,
tapi tidak serupa hutan. Lebih cocok dibilang taman besar, sebab pohon-pohonnya
berjajar rapi, diselang-seling semak rimbun yang juga rapi.
“Dulu aku dan piauw-cie-ku sering main petak di sini,” kata Ching-ching. “Atau,
kadang-kadang kami sembunyikan barang dan balap mencari. Kau tahu, semua pohon
dan semak di sini mirip semua. Kalau lupa tempat menyembunyikan, celakalah!”
“Kau sering lupa tempatmu sembunyikan barang?”
“Pernah, tapi jarang. Kalau lupa, biasanya aku naik ke pohon. Kalau ada yang
bukan hijau warnanya, pastilah di situ tempatnya. Tapi kalau main petak, ada
satu tempat yang paling kusuka. Biarpun aku main dengan murid-murid ayahku yang
sudah besar, tak seorang pernah ketemuiku di tempat itu.”
“Di manakah?” Li Hai ketarik.
“Agak ke depan sana!” Setelah sampai, Ching-ching menunjuk. “Di sini!”
“Apakah tidak keliru? Ini sama saja dengan yang lain tadi kita lewati.”
“Lihat saja!” Ching-ching menyibak semak di situ. Di tengahnya ternyata tak
ditumbuhi dauh, sehingga membuat ruangan di dalam semak itu. “Silakan!”
Ching-ching menyuruh Ching-ching mendului.
Pemuda itu masuk tanpa bercuriga, tapi kakinya tak menginjak tanah. Ia
terperosok. Li Hai kaget bukan main.
“Kena!” Ching-ching bergirang. Ia lantas menyusul melompat ke samping Li Hai.
Di dalam semak itu ternyata ada sebuah lubang. Tidak dalam, cuma sedikit di atas
dengkul, tapi cukup lebar. Supaya kepala tidak terkena ranting kecil
semak-semak, keduanya mesti duduk sehingga kepala mereka saja yang di atas tanah
di luar.
“Heran, dulu rasanya di sini tidak sempit,” kata Ching-ching.
“Terang saja sempit. Kau kan tambah besar. Ada aku pula di sini.”
“Memang kau cuma bikin sempit!” gerutu Ching-ching.
“Salah siapa mengajak kemari!”
“Kau sendiri yang ….” Ching-ching tak teruskan kata-kata. Ia membawa telunjuk ke
bibir. “Ssst, ada yang datang!”
Li Hai juga mendengar tindakan orang yang rupanya memiliki gin-kang cukup baik.
Kentara dari caranya berlari yang cuma menimbulkan sedikit suara dan tidak
kedengaran sedari tadi. Sekarang ini ia paling berada sekitar tiga tombak dari
mereka.
Suara itu disusul dua suara lain yang serupa, tetapi masih lebih rendah
tingkatannya. Yang ini suaranya terlebih jelas pula.
Tindakan-tindakan itu makin mendekat dan kemudian berhenti cuma sedepa jauhnya
dari tempat Ching-ching dan Li Hai sembunyi. Mengetahui orang pandai telah tiba,
keduanya tak berani memunculkan diri. Lagi mereka tak dapat melihat siapa yang
datang selain kaki-kakinya.
“Hormat kepada Nio,” kedengaran suara dua orang yang datang bebareng serentak
bicara. Sekali menangkap suara orang, Ching-ching dan Li Hai segera mengenali
Chang Heng-tee.
“Hmm,” cuma itu yang disahuti ibu mereka.
Diam-diam di persembunyiannya Li Hai dan kawan kadisnya ada merasa keder. Kalau
yang dipanggil Nio itu adalah Kim-koay-coa, si wanita iblis ular emas, andaikata
Ching Ching 299
ketahuan ada dua orang sembunyi, tentunya tak bakal dilepaskan pula.
“Nio, apakah baik?” bertanya Chang Lun.
“Kalau tidak baik, dapatkah aku berdiri di sini?” kedengaran suara tak jelas
dari Kim-koay-coa. Tak usah melihat, baik Ching-ching maupun Li Hai sudah tahu
Kim-koay-coa pastilah mengenakan kedok. Tapi kenapa? Apakah takut dikenali
orang? Namanya sudah rusak, ia adalah golongan sesat, kenapa mesti ditutupi?
Ataukah mukanya jelek, seperti A-coe yang bercadar terus?
“Nio, anak berdua sudah melakukan tugas. Adakah Nio merasa tidak puas?” Chang
Houw segera mengertikan sikap kasar ibunya.
“Ya. Kalian datang terlalu cepat tadi. Kami belum sempat bicara apa-apa. Besok
baru akan ada pertemuan lagi. Saat itu kamu sudah tak punya sempat mengganggu.”
“Maafkan kami tak becus melakukan tugas.”
“Bukan itu saja. Kalian terlalu lembek tadi. Mestinya kauhajar habis pemuda she
Wu itu. Sekarang, cacat mukanya pun tak kaubuat. Lagi kau, A-lun. Bakal apa kau
suruh-suruh Lan Sioe Yin menerima obat? Mestinya kaubiarkan Ong Pang-coe yang
menerima. Ia akan berterima kasih dan gampang dihasut oleh kita!”
Chang Lun tak berkata-kata.
“Kau juga, A-houw. Tak satu kata pun kau tujukan kepada tuan rumah. Padahal Lie
Pang-coe bukan orang yang gampang takut sama racun. Dia harus ditekan supaya
memikirkan keselamatan anak-bininya, baru bersedia bergabung dengan kita. Dan
anaknya yang lancang mulut mestinya kauberi pelajaran sedikit. Hitung-hitung
menebus kekalahanmu tempo hari. Nio tak mengerti. Gadis tingkatan rendah
macamnya kenapa tak bisa kaubikin roboh sekali gebrak? Malah pula kau terluka.
Bikin malu!”
Ching-ching yang menguping, panas hati dimaki-maki demikian. Kalau menuruti
adatnya, ia pasti sudah melompat keluar, balas mencaci. Akan tetapi, Lie Hai
menggenggam erat-erat tangannya, melarang bergerak. Biarpun mendongkol, terpaksa
gadis itu berdiam diri.
“Nio tidak tahu? Toako ketarik pada gadis she Lie itu,” Chang Lun meledek.
Kalau tadinya Ching-ching mendongkol, mendadak kini ia merasa malu. Mukanya
merah sampai ke kuping. Untung Li Hai tak sempat melihat karena gelap, pula tak
berani bergerak, takut kepergok orang. Gadis itu tak tahu. Mendengar perkataan
Chang Lun, Wang Lie Hai merasakan jantungnya memukul terlalu cepat hingga kini
pucat mukanya.
“Cerewet!” caci Chang Houw. “Seperti aku tak tahu kalau kau dan Lan Sioe Yin …”
Pemuda itu tak dapat melanjutkan perkataan. Tak perlu, karena ibu mereka
mengerti apa sudah kejadian.
“A-houw, maksudmu kau suka pada Lie Mei Ching?” Sunyi sesaat. Kim-koay-coa
melanjutkan, “Tidak jelek. Ia gadis yang cerdik luar biasa, pemberani pula.
Kalau kau dapat mempengaruhi dia menjadi anggota keluarga, akan baik bagimu. Kau
akan menjadi jjj, seperti yang kaucita-citakan. Ya, ya. Sekali melihat, aku tahu
dia ada punya bakat pula. Nanti dapat kuambil menjadi murid. Ia akan jauh lebih
bagus daripada Pak aaa, adikku seperguruan yang susah diajari.”
Ching-ching menjebi. Tidak kesudian ia mengangkat guru pada Kim-koay-coa. Tak
sudi!
“Tapi kau harus ingat, A-houw. Demi mencapai cita-citamu, apabila gadis itu dan
keluargana menolak bekerja sama, jangan sungkan lagi. Singkirkan semua! Hampir
pagi sekarang. Nio harus segera balik. Kalian pergilah. Besok boleh kita ketemu
lagi di sini.”
“Nio, sebelum berpisah, aku ingin menanyakan, ke manakah perginya A-thia? Aku
Ching Ching 300
tak ada melihatnya dalam pertemuan tadi.”
“Ayahmu masih ada urusan yang belum selesai, tapi ia dalam keadaan baik. Kalian
tak perlu berkuatir. Pergilah!”
“Nio, jaga diri!” Kedua pemuda she Chang itu pergi.
Setelah tak kelihatan anaknya, Kim-koay-coa turut pergi pula. Enteng sekali
tindakannya. Dalam masa sebentar kedengaran tindakannya sejauh 300 tombak di
muka. Arahnya kembali ke Pek-eng-pay.
Begitu keadaan sunyi, Ching-ching dan Li Hai keluar dari tempat mereka sembunyi.
“Hebat, bahkan Kim-koay-coa mau ambil mantu kepadamu,” ejek Wang Li Hay sinis.
Ching-ching berlagak tidak mendengar. Ia taruh jari di muka dan berpikir-pikir.
“Kim-koay-coa itu salah satu dari para eng-hiong. Begitu pula Gin-koay-coa.
Mereka mendengar semua apa yang diomongkan dan tahu juga apa bakal dilakukan.
Pantaslah dari dulu Kim-gin-siang-coa-pang susah dibasmi. Dan pula tak ada yang
pernah tahu muka sepasang siluman itu. nYatanya mereka menyaru seorang
eng-hiong, siapa bakal mengira. Huuh, aku kepingin tahu siapa mereka.”
“Sekarang juga kita sudah tahu.”
“Kita tahu?” Ching-ching bertanya.
“Kau katakan, siapa suami-istri yang selalu bersama tapi kali ini memencar?”
“Wu-yi-siang-sian?”
Wang Li Hai mengangguk.
“Tapinya, mereka sudah tua. Delapan puluh tahun kira-kira, sedangkan anak mereka
baru dua puluhan tahun. Apakah mereka baru punya anak waktu umur enam puluh?”
“Kau mana tahu kalau mereka cuma anak angkat? Begini saja. Kita diam-diam cari
bukti bahwa Wu-yi-sian-lie adalah juga Kim-koay-coa. Baru boleh kita beritakan
kepada yang lain.”
“Terserah kepadamu,” kata Ching-ching.
Hari telah menjadi pagi. Di Pek-eng-pay bagian pelayan ada keributan. Lie Chung
Yen memutuskan supaya memeriksa siapa dari mereka yang telah memasukkan racun ke
dalam makanan. Para pelayan yang kebagian tugas dapur ditanyai. Tentu saja
mereka tak tahu apa-apa. Lie Chung Yen menyuruh mereka pergi sebelum siang.
A-ping, pelayan Lan Sioe Yin juga terkena, ia mendengar hal ini. Ia lari melapor
pada nonanya sembari menangis. Terang saja Sioe Yin buru-buru menghampiri
peh-pehnya dan membujuk membatalkan niatan. Lie Chung Yen menolak. Sebagai tuan
rumah di sini, ia mesti tegas bertindak kalau tak mau dilecehkan lain hari.
Diam-diam Sioe Yin membisiki pelayannya. “A-ping, larilah ke kamar
Siauw-sio-cia. Minta tolong bikin beres soal ini!”
A-ping lantas menurut kata. Ia menggedor kamar Ching-ching.
Gadis itu biasanya gampang mendusin, tetapi tidak ini hari. Jalan-jalan semalam
membuatnya mengantuk sampai pagi. Namun, pada akhirnya bangun juga dia oleh
ribut-ribut yang dibuat A-ping.
“Siapa?” tanyanya sambil membuka pintu. Ia kaget melihat A-ping berlutut di
depan pintu kamarnya. “Apa-apaan? Kau memang kurang ajar membangunkan sepagi
ini, tapi aku tokh tak akan membunuhmu. Tak perlu kau menyembah segala.”
“Siauw-sio-cia, tolonglah saya!”
“Mau tolong apa?”
“Loo-ya mau memecatku dan yang lain yang kebagian di dapur kemarin. Dia
menyangka kami yang meracuni makanan dan kami tak berani bilang kalau Toan
Kouw-nio yang ….”
“Berani kau mencurigai A-coe!” Ching-ching menggebrak meja. “Boro-boro meracuni
orang. Membunuh semut juga ia tak tega!”
Ching Ching 301
“Maafkan!” A-ping mulai menangis.
“Hei, jangan bikin banjir kamarku dengan air matamu. Bantu aku bebenah. Nanti
kubereskan urusan ini pada A-thia!”
Ching-ching bergegas-gegas mencari thia-thianya yang ditemui di kamarnya sedang
menyiapkan panjar buat mereka yang dipecat. Kiranya ia juga tak tega mengusir
orang tanpa bekalan.
“A-thia,” Ching-ching menyapa.
“Ah, kebetulan kau datang. Tolong bantu membagikan uang ini kepada …”
“A-thia betul-betul mau mengusir mereka semuanya?”
“Apa lagi yang dapat dilakukan? A-thia tak tahu mana dari mereka yang
bersekongkol dengan orang luar. Untuk amannya, biar mereka pergi semua.”
“Thia, bukan mereka yang meracun kita,” Ching-ching teringat kejadian semalam.
“Justru satu dari para eng-hiong!”
“Jaga mulutmu!” bentak Lie Chung Yen. “Berani-beraninya kau menuduh
sembarangan.”
“Thia juga menuduh. Thia mana tahu kalau ada orang diam-diam masuk ke dapur.
Kemarin semua orang sibuk, tak ada yang menjagai dapur terus-terusan.”
“Boleh jadi, tapi itu karena kelalaian. Mereka patut dipecat!”
“Thia, tapi itu tidak adil!”
“Sudah pintar kau ya, sudah berani mengajari thia-thiamu?” Lie Chung Yen merasa
tak senang.
“Bukannya begitu, tapi …”
“Cukup! Keluar! Sebelum habis sabarku!” Lie Chung Yen betul-betul marah
sekarang.
Ching-ching adalah seorang bandel. Sebetulnya ia ingins egera pergi, menunjukkan
bahwa ia tak suka sikap ayahnya. Tapi ia juga seorang cerdik. Gadis itu tahu,
gara-gara soal ini salah-salah ia musuhan dengan aya sendiri. Pula ia telah
berjanji pada A-ping. Dan ayahnya pernah bilang, janji dari seorang pendekar
mesti ditepati meski harus mengorbankan jiwa. Kali ini ia mesti kesampingkan
dulu amarahnya. Dan ia tahu satu cara meluluhkan hati ayahnya.
“Thia,” Ching-ching berlutut. “Ampuni anak. Bukannya mau bermulut lancang,
semata-mata karena kasihan pada pelayan kita. Ampuni mereka, Thia.”
Lie Chung Yen kaget. Ia tahu, Lie Mei Ching anaknya tak mau berlutut minta ampun
kalau tidak disuruh. Tapi sekarang, ia memohon! Tak bisa ditahan, hati Lie Chung
Yen jadi tergetar juga. “Bukannya Thia tidak kasihan,” ia tak membentak lagi.
“Tapi mau ditaruh di mana mukaku kalau tak ada tindakan atas kejadian kemarin
itu. Thia cuma mau menghukum seorang yang bersalah saja, tapi Thia tak tahu yang
mana.” Ia membangunkan anaknya.
“Thia, andaikata Anak menemui seorang yang bersalah, apakah akan dibebaskan yang
lain?”
“Tentu, asal kau dapat menemuinya sebelum sore.”
Ching-ching setuju. Dalam pikirnya, sampai sore masih ada waktu mencari akal.
Keluar dari kamar ia nyengir. Heh, gampang betul permintaannya terkabul. Cuma
berlutut dan merengek sedikit, langsung ayahnya luruh. Pantas Lan Fung sering
menangis. Habisnya, dengan begitu, kemauannya akan segera diturut. Sekarang ia
tinggal mencari tmepat sepi supaya dapat berpikir tenang.
Ribut-ribut itu nyatanya didengar pula oleh Thio Lan Fung. Ia segera ingat kalau
kemarin dilihatnya Toan Coe memasukkan sesuatu ke dalam masakan. Ia memutuskan
akan mengatakan hal itu kepada Wang Li Hai.
Dicarinya pemuda itu, yang ketemu sedang membujuk A-coe yang sedang menangis
Ching Ching 302
sesenggukan. Ia merasa heran. Apakah Lie Hai sedang memarahi A-coe? Tidak,
mukanya tak kelihatan marah. Bingung malahan. Ia mendekati dua orang itu.
Melihat ada orang lain, A-coe malah lari ke kamarnya.
“Hai-ko, ada sesuatu yang mesti kuberitahukan.”
“Nantilah saja,” Lie Hai tak menaruh perhatian. Ia berjalan pergi sembari
mengerutkan kening.
Thio Lan Fung merasa tak suka. Barusan Li Hai mau bercakap dengan A-coe, kenapa
sekarang menemuinya pemuda itu tak mau? Hati Thio Lan Fung menjadi jelus. Ia
menghampiri kamar Toan Coe.
“Toan Kouw-nio, ada sesuatu hal mau kubincangkan padamu!”
“Aku sedang tak minat berbincang,” kedengaran suara serak dari dalam.”
“Yang ini aku yakin kau mau dengar, sebelum kuberitakan kepada yang lain,” Thio
Lan Fung mengancam.
Toan Coe ingat pula Lan Fung memergoki perbuatannya kemarin. Saat ini justru ia
sedang gundah soal tersebut, maka ia buru-buru membuka pintu. “Ada apakah? Apa
mau kaubincangkan?”
“Di sini tak aman. Kau tak mau orang lain mendengar, bukan? Baiklah kita cari
tempat sepi.”
Toan Coe menurut. Mereka pergi ke hutan kecil. Tak ada yang datang ke sana.
“Toan Kouw-nio, aku tahu kay yang beri racun dalam makanan.”
“Bukan aku!” serga Toan Coe. “Aku tak ada niat meracuni—“
“Jangan berdusta. Kemarin aku memergokimu memasukkan sesuatu dan sikapmu
melihatku begitu ketakutan. Apa lagi kalau bukan sedang berbuat jahat?”
“Itu bukan racun. Itu cuma—“
“Tak usah beralasan!”
Toan Coe menangis lagi. Semalaman dia berpikir. Diam-diam ia sendiri mempercayai
bahwa isi bungkusan yang disangkanya bumbu itu sebenar-benarnya adalah racun. Ia
tak tahu siapa yang memberikan, tapi ia merasa amat bodoh untuk mempercayai
orang.
“Toan Kouw-nio, andaikata Hai-ko tahu—“
“Jangan! Jangan bilang Hai-ko. Aku mohon!” Toan Coe meratap.
“Baiklah, aku tak akan bilang siapa-siapa, asal kau mau penuhi satu syarat!”
“Apakah syaratnya?”
“Mulai dari hari ini kau tak boleh mencari Hai-ko lagi!”
Toan Coe kaget. Tak boleh mencari kepada Hai-ko? Tak boleh ketemu? Tak boleh
bicara dengannya? Toan Coe merasa lebih baik mati saja daripada mesti memenuhi
syarat itu. “Tidak mungkin! Aku tak dapat!”
“Toan Kouw-nio, adalah lebih baik kalau Hai-ko tak tahu perbuatanmu. Apa yang
akan dia lakukan kalau kukatakan padanya? Barangkali ia akan mengusirmu pergi!”
“Tidak mungkin! Hai-ko amat menyayangku. Ia tak akan mengusirku. Tidak akan!”
“Ha-ha-ha!” Thio Lan Fung tertawa geli. “Hai-ko amat menyayangmu? Jangan mimpi.
Ngaca dulu. Lihat baik-baik mukamu di balik cadar itu…”
“Thio Lan Fung! Sungguh tega kau berkata demikian!” kedengaran suara dari atas.
Sebuah bayangan turun di hadapan mereka. Ia tak lain adalah Ching-ching yang
sedang mencari ketenangan di atas pohon. Siapa tahu malah datang orang lain
bertengkar di bawahnya.
“Lie Mei Ching, apa kau sedang lakukan di sini?”
“Bukan urusanmu, manusia rendah!”
“Jaga mulutmu! Jangan kau hina orang lain seenakmu!”
“Kau sendiri, bukankah telah menghina A-coe?”
Ching Ching 303
“Kau … tukang nguping!”
“Tak jauh beda denganmu. Mulutmu busuk!”
“Diam kau, kalau tak mau kubikin putus lidahmu!” Thio Lan Fung menarik pedang.
“Lidahmu yang mesti dibabat!” Ching-ching tak mau kalah, meloloskan pedangnya
juga.
Toan Coeyang melihat senjata melotot ketakutan. Ia tak mau orang saling bunuh
cuma gara-gara dirinya. “Ching-ching, jangan!” ia memohon di sela isak tangis.
“Minggir!” Ching-ching membentak.
Thio Lan Fung telah membuka serangan. Dalam kemarahannya ia telah menggunakan
jurus yang paling dahsyat yang ia punya.
Ching-ching tak menyangka bakal diserang habis-habisan pada jurus pertama.
Mula-mula ia kerepotan menangkis, tapi sebentar kemudian ia telah dapat membalas
menyerang lawan.
Untung bagi keduanya, ilmu mereka ada sama tingkatan, hingga masing-masing masih
dapat menghindari pedang dan tidak mendapat luka. Akan tetapi, Ching-ching ada
lebih banyak pengalaman. Maka dari itu, ia berada di atas angin.
A-coe kuatir bukan main. Ia cepat berlari ke rumah hendak minta tolong. Yang
ditemuinya pertama kali adalah Wu Fei. “Engko Fei, tolonglah!”
“Tolong apa?”
“Itu di … di sana,” Toan Coe menunjuk.
“Di sana ada apa? Apakah macan?”
“Bbbbu … bukan … itu …”
“Engko Fei, adakah melihat Ching-ching?” kentara Yin Hung tak senang. “Aku
mencari-cari dari tadi tidak ketemu. Hoy, Toan Kouw-nio, kenapa mukamu pucat
begitu? Salah makan obat? Oh ya, kau dicari Hai-ko barusan.”
“Khoe Kouw-nio, tolonglah!”
“Itu Hai-ko, minta tolonglah padanya.”
Toan Coe sudah lemas badannya. Waktu mendekati Li Hai, hampir ia malah menubruk
pemuda itu.
“A-coe, ada apa?” Wang Li Hai berkuatir.
“Ching-ching dan Thio Kouw-nio berkelahi di hutan kecil.”
“Apa? Mereka berkelahi? Aku mau lihat. Pasti seru!” komentar Wu Fei.
“A-fei, bukan waktunya bercanda!” Li Hai segera mendului lari ke tempat yang
disebut Toan Coe. Wu Fei menyusul sementara Yin Hung menuntun Toan Coe yang tak
sanggup cepat-cepat berjalan.
Sesampainya di hutan kecil, Ching-ching tengah mendesak Thio Lan Fung yang
keteteran.
“Sudah kukira, Ching-ching pasti menang,” kata Wu Fei pada kawannya.
Namun, Li Hai telah mencelat ke antara dua gadis itu dan sekali gebrak telah
merampas dua pedang mereka. “Apa-apaan kalian! Apakah mau saling bunuh?”
“Hai-ko dia telah menghinakan aku,” kata Lan Fung minta dibela.
“Tukang ngadu! Kau sendiri yang duluan menghinakan A-coe!”
“Itu tidak benar. Dia saja mau cari gara-gara padaku.”
“Kau sendiri bohong! Hai-ko, kalau tidak percaya, boleh tanyakan A-coe!”
“A-coe, apakah betul Lan Fung telah menghinamu?”
Toan Coe tak tahu bagaimana mesti menjawab. Ia melirik kepad Ching-ching, lalu
kepada Thio Lan Fung. Gadis she Thio itu menggerakkan bibir menyebut awas! Tanpa
suara.
“A-coe, katakanlah,” desak Li Hai.
Toan Coe menggeleng sekali, kemudian berlari ke rumah sambil menangis
Ching Ching 304
menggerung, sampai-sampai Lie Hai heran melihatnya.
“Huh, apa kataku,” Thio Lan Fung tersenyum merasa menang.
Ching-ching mendelikkan mata pada gadis itu. “Jelas A-coe tak berani bilang. Kau
sudah mengancam dia kalau …” Ching-ching terdiam. Ia tak mau mengadukan
percakapan A-coe dan Lan Fung. Dalam hatinya ia menimbang. Jangan-jangan, benar
Toan Coe yang meracuni mereka kemarin.
“Mengancam apa? Hayo jawab. Kau saja cuma mau memfitnah!”
Wang Lie Hai cepat melerai. “Sudahlah. Lain kali jangan sampai bertempur antara
kawan sendiri.” Perkataan Li Hai akan segera menyudahi persoalan andai saja ia
tak bertindak keliru. Sewaktu berkata, matanya tertuju kepada Ching-ching. Gadis
yang sudah kesal itu merasa dituduh.
“Kau pun sudah tak percaya padaku. Kalau begitu, pergilah dengan kecintaanmu!”
ia berteriak dan lantas minggat.
“Ching-ching!” Li Hai hendak menyusuli, tetapi saat itu Thio Lan Fung mengaduh
sembari memegangi kaki. “Kenapa?”
“Kakiku sakit ditendang tadi. Aku kuatir terluka di dalam.”
Khoe Yin Hung sekali melirik sudah tahu akal-akalan Thio Lan Fung. Ia
menghardik, “Thio Lan Fung, kau kelewatan!” katanya. Dengan bergegas ia mengejar
Ching-ching sobatnya.
Khoe Yin Hung baru sanggup mengejar sewaktu mereka sudah memasuki desa.
Ching-ching bungkam. Yin Hung juga tak berani bicara. Tapi ia tahu, kalau
sobatnya sudah melampiaskan kekesalan, ia akan menjadi baik kembali.
Setelah cukup jauh dari Pek-san-boe-koan, Ching-ching berhenti berlari. Ia tak
dapat menahan perasaannya lagi. Air matanya kini bercucuran. Gadis itu menangis
sejadi-jadinya sembari duduk menyembunyikan muka di antara dua lututnya.
“Kouw-nio, kenapa menangis di jalanan?” seseorang bertanya beberapa lama sudah
Ching-ching menangis.
Gadis yang masih sesenggukan itu tak menjawab. Ia mau menangis di jalan, di
rumah, urusan apa sama orang?
“Eh, Kouw-nio, aku mau menanya jalan ke tempatnya Raja Obat. Apakah kau tahu?”
Ching-ching menunjuk ke satu arah tanpa mengangkat muka, tanpa berkata-kata.
“Ke sana?” orang itu keheranan melihat arah yang ditunjuk. “Turun lagi? Tadi aku
lewat situ, tak ada apa pun juga. Apakah kau tak salah tunjuk?”
“Cerewet!” bentak Ching-ching sambil mengusap air mata. “Aku tunjuk ke situ, ya
ke situlah!” bentaknya memelototi orang yang sok tahu itu. Orang itu balas
melotot. Kemudian dua-duanya sama membelalak.
“Kau!” seru orang itu. “Ngapain kau keliaran di sini?”
“Orang tua bau! Kau sendiri ada urusan apa?”
“Huh, iblis betina! Mimpi apa semalam sampai sial bertemu denganmu?” orang itu,
yang tak bukan adalah Boe-beng-lo-jin, musuhnya bebuyutan, balas memaki.
“Hei, orang bau, kau kemari apakah sendirian? Mana muridmu?”
“Tak ada urusan muridku denganmu!”
“Tentu saja ada. Apakah lupa bahwa muridmu adalah juga suami kecilku?”
“Hihihi. Dedemit macam kau mana pantas jadi pendamping murid Boe-beng-lo-jin?”
“Kau itu yang tak pantas jadi gurunya. Hih, guru tak becus, macam apa begitu?”
“Mulutmu masih lancang. Awas nanti kusuruh muridku menjahitkannya.”
“Mulutmu yang sebarangan berkata. Nanti kubilang Siauw Kui supaya menyumpalnya.”
“Ha, Siauw Kuimu itu sudah terlupa padamu!”
“Bohong! Hayo, mana dia? Di mana dia disembunyikan? Biar kaudengar sendiri bahwa
Siauw Kui belum lupa padaku.”
Ching Ching 305
“Kau kecele. Rupanya muridku sudah sungguh melupakanmu. Buktinya, ia tak datang
mencarimu, padahal sudah lebih setahun ia menamatkan ilmunya.”
Ching-ching terperangah. Betulkah Siauw Kui sudah tamat pelajaran setahun lalu?
Apakah benar Siauw Kui lupa padanya? Mungkinkah Siauw Kui, Siauw Kuinya,
menemukan gadis lain?
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cersil Ngentot Dudu Raisa Maning: Cerita Ching Ching 3 ini diposting oleh ali afif pada hari Selasa, 11 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.