Cerita Cinta Asmara Dewasa : Pahlawan Gurun 1
Baca Juga:
- Baca Cersil Online Pedang Pusaka Buntung Tamat Yuu...
- Cerita Silat Online Pedang Pusaka Buntung 3
- Cersil Online Pedang Pusaka Buntung 2
- Cersil Pedang Pusaka Buntung 1
- Cerita Silat China : Pedang Kunang Kunang Full Len...
- Cerita Dewasa Model Sutradara: PKK 10 Tamat
- Cerita Birahi Model : PKK 9
- Cerita Ngentot Sutradara Ayu : PKK 8
- Cerita Dewasa Model Indo : PKK 7
- Cerita Seks Model Baru : PKK 6
- Cerita Ngentot Model Cantik : PKK 5
- Cerita Ngentu Model Pendatang Baru : PKK 4
- Cerita Ngentot Model Anyar : PKK 3
- Cerita Dewasa Model Indonesia : PKK 2
- Cersil Baru Terbit : Pedang Kunang Kunang
- Cerita Silat Imam Tanpa Bayangan (ITB) Baca Online...
- Cerita Dewasa Ngentot Artis Pendatang Baru : ITB 2...
- Cerita Dewasa Aktris Filipina : ITB 20
- Cerita Dewasa Artis Anyar : ITB 19
- Cerita Mesum Artis Selebritis : ItB 18
- Cerita Ngentot Dewasa : ITB 17
- Cerita Dewasa Asli Terjadi : ITB 16
- Cerita Dewasa Nyata Terjadi : ITB 15
- Cerita Dewasa Ngentot : ITB 14
- Cerita Dewasa Ngeseks : ITB 13
- Cersil Jorok Cerita : ITB 12
- CERITA DEWASA kETIDURAN : ITB 11
- Cerita Selingkuh Dosen : ITB 10
- Cerita Mesum Dewasa : ITB 9
- Cerita Dewasa Silat : Imam Tanpa Bayangan 8 Bagian...
- Cerita Mesum Dewasa : ITB 7
- Cerita Silat Dewasa: ITB 6
- Cerita Dewasa Baru :ITB 5
- Cerita Dewasa ABG : ITB 4
- Cerita Mesum ITB 3
- Cerita Dewasa Silat ITB 2
- Cerita Dewasa Imam Tanpa Bayangan 1
PAHLAWAN GURUN (HAN HAY HIONG HONG)
Karya : Liang I-Shen
Diceritakan : Gan K.L.
Diterbitkan : Pantja Satya Semarang 1970
Jilid 01 bagian pertama
Pasir ke-kuning2an terbentang luas, sinar sang surya panas
terik membakar bumi laksanakan berhenti bernafas,
semuanya serba diam. Yang tidak pernah diam hanya
deburan pasir yang tertiup angin kencang, lalu bertaburanlah
debu pasir mengabut diangkasa menyelimuti bumi.
Begitulah suasana biasanya dimusim paling ganas ditengah
bulan ketujuh digurun Gobi. Akan tetapi keadaan hari itu
ternyata berlainan. Ditengah debu pasir yang beterbangan
itu ada seorang pemuda kekar berusia antara 23 – 24 tahun
sedang melintasi gurun Gobi yang luas itu.
Rupanya pemuda itu belum berpengalaman berkelana digurun pasir. Ia datang dari Tionggoan (
dataran tengah, daratan Tiongkok ). Namanya Li Su-Lam, aslinya orang Bu-seng dipropinsi
Soatang. Kedatangannya ke Mongol ini adalah atas perintah ibunya untuk mencari ayahnya.
Kota Bu-seng tatkala itu sudah seratusan tahun dikuasai kerajaan Kim (Chin, dari suku Nuchin,
Manchuria), Kerajaan Song hijrah keselatan juga hampir seratus tahun lamanya.
Li Su-Lam adalah keturunan keluarga panglima perang, tapi sudah lama bertani dikampung
halaman. Sejak angkatan ayahnya keadaan keluarga sudah tiada bedanya sebagaimana keluarga
petani biasa. Ilmu silat keluarganya lambat laun juga musnah. Ayahnya Li Hi-ko, terhitung
terpelajar, selain bertani iapun merangkap membuka sebuah sekolah pribadi sehingga kehidupannya
tidaklah terlalu susah.
Pada permulaan Song-leng-cong naik tahta (tahun 1206), Timujin telah mempersatukan Mongol,
Oleh kepala2 kelompok suku ia diangkat menjadi Jenghis Khan dan mulai memerangi kerajaan
Kim. Pada saat itulah Li Hi-ko ditawan pasukan Mongol dan dijadikan kuli paksa. Peperangan itu
kemudian tertunda karena pihak Mongol harus berurusan dengan kerajaan Sehe sehingga negeri
Kim sementara menjadi aman. Namun berakhirnya peperangan itu tidak berarti dibebaskannya Li
Hi-ko, besar kemungkinan pihak Mongol sangat memerlukan tenaga sehingga kuli2 paksa tawanan
itu ikut terbawa pula ke Mongol.
Waktu Li Hi-ko ditawan itu usia Li Su-Lam baru 3 tahun. Namanya ~Su-lam~ berarti rindu selatan.
Lantaran ayahnya tetap setia kepada kerajaan Song yang waktu itu hijrah keselatan, maka dia
sengaja memberi nama demikian kepada puteranya.
Pada usia 7 tahun Su-lam mengalami sesuatu yang luar biasa. Seorang teman baik ayahnya sejak
kanak2 yang belajar silat di Siau-lim-si waktu itu telah termashur sebagai seorang pendekar besar
didunia Kangouw, ketika pulang pulang kampung dan mengetahui nasib malang Li Hi-ko itu, ia
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sangat menyesal dan terharu. Melihat Su-lam sangat pintar dan lincah, pendekar besar itu lantas
mengambilnya sebagai murid kedua.
Dengan cepat 10 tahun telah lalu, Su-lam telah tamat belajar. Mengingat cita2 sang ayah, Su-lam
pikir kalau ibunya yang sudah tua itu wafat, maka iapun akan menggabungkan diri keselatan.
Pada musim semi tahun itu, seorang teman ayahnya yang ditawan bersama ke Mongol tiba2
berhasil lolos dan pulang kampung, menurut keterangannya beberapa tahun yang lalu masih sering
bertemu ayah Su-lam, tapi kemudian lantas putus hubungan dan tidak tahu kabar beritanya.
Ibu Su-lam yang sudah tua itu siang malam terkenang kepada sang suami, maka Su-lam lantas
disuruh mencari ayahnya ke Mongol. Mana wanita itu dapat membayangkan bahwa sebelum
mengetahui jejak ayahnya ditengah jalan Su-lam sudah terkurung ditengah gurun pasir yang luas
itu.
Begitulah saat itu Su-lam sedang menahan dahaga karena kehabisan air, kerongkongannya yang
kering itu serasa terbakar. Namun ia tetap membulatkan tekad: asal masih bernafas akan tetap maju
kedepan!
Untunglah angin puyuh tadi mulai reda, hamburan pasir juga sudah tenang, walaupun sinar
matahari masih tetap membakar, tapi udara sudah cerah, bumi sudah terang kembali.
Perlahan-lahan Su-lam menjalankan kudanya dengan harapan semoga muncul adegan aneh digurun
pasir itu, munculnya benua hijau. Tak terduga, belum lagi terkabul harapannya, lebih dahulu telah
ditemukan seonggok tulang2 putih.
Rupanya tulang2 itu tadi nya tertanam dibawah gundukan pasir, setelah gundukan pasir itu
“diboyong” oleh angin puyuh, terbukalah tulang2 itu dari liang kuburnya. Dari onggokan tulang2
itu dapat diketahui terdiri dari 2 kerangka mayat. 2 buah tengkorak yang pecah batok kepalanya
masih tertutup oleh rambut hitam yang ketat. Tampaknya kerangka mayat itu terdiri dari 2 laki2
setengah umur, bahkan belum lama matinya. Ini terbukti dari rambutnya yang belum terlepas dari
tengkoraknya.
Hanya sejenak Su-lam berpikir lantas paham duduknya perkara. Ia tahu dipadang pasir banyak
hidup elang2 pemakan bangkai, tentu saja begitu kedua orang itu mati segera kulit daging mereka
habis diganyang oleh kawanan elang ganas itu.
Su-lam menjadi merinding sendiri. Ia tahu, asal dirinya tidak tahan lagi dan roboh, maka akibatnya
akan menjadi onggokan tulang putih seperti itu.
Selagi Su-lam merasa waswas, tiba2 diudara terdengarsuara “srek-srek” yang aneh dan menusuk
telinga. Waktu ia menengadah, udara diatasnya se-akan2 tertutup oleh segumpal mega. Kiranya
seekor elang yang amat besar, sedikitnya 5-6 meter panjangnya jika diukur dari ujung sayap lain
yang terpentang itu. Dia baru saja melihat tulang belulang sebagai sisa daripada mayat yang telah
diganyang habis dagingnya oleh elang2 buas itu, sekarang juga elang pemakan bangkai yang buas
itu lantas muncul.
Su-lam mnjadi gusar, pikirnya: “kurang ajar! Aku masih hidup, masakah kau berani mengganyang
aku?”
Tapi ternyata elang itu terus melayang kedepan, terus menukik kesesuatu bukitan pasir didepan
sana. Sekilas Su-lam melihat disana memang ada menggeletak satu orang dengan tengkurap diatas
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pasir, entah sudah mati atau masih hidup. Yang jelas badannya masih utuh, sekalipun sudah mati
juga termasuk mayat yang sempurna. Baru sekarang Su-lam tahu bahwa sasaran elang itu adalah
orang yang menggeletak disana.
Dengan gusar Su-lam lantas pentang busurnya, “ser” kontan ia lepaskan panah. Tepat pada saat
cakar elang itu sudah hampir menyentuh sasarannya, panah itupun mengenai badan elang. Rupanya
saking kesakitan, elang itu kaget terus terbang lagi dan kabur.
Su-lam melompat turun dari kudanya dan mendekati orang itu, ketika diperiksa, ternyata bagian
kepalanya sudah remuk, jelas sudah lama matinya. Su-lam menduga setelah kematiannya orang itu
lantas teruruk oleh pasir yang terbawa oleh angin puyuh sehingga terhindar dijadikan santapan
elang buas. Lantas siapakah orang yang mati ini?
Dilihatnya pinggang orang mati itu ada sebuah kantong kulit. Timbul pikiran Su-lam untuk
memeriksa isi kantong kulit itu, bilamana bisa ditemukan sesuatu tanda pengenal orang itu, tiada
jeleknya kelak berita kematiannya ini dapat disampaikan kepada keluarganya.
Segera Su-lam menggeledah isi kantong kulit itu. Tapi ia menjadi terkejut. Ternyata isi kantong itu
hanya 3 buah kim-piau (piau emas). Piau yang terbuat dari emas jarang ada didunia kangouw.
Apalagi bentuk piau itupun sangat aneh, pada ujung piau ada bercabang dalam bentuk kepala ular.
Yang lebih mengejutkan lagi ketika terendus bau amis daripada ketiga piau yang dia pegang itu.
Segera ia paham bahwa senjata2 rahasia itu berbisa.
Bahwasanya piau berbisa itu sebenarnya juga tidak nengejutkan, yang paling membuat Su-lam
terkejut adalah gambar yang terukir dibatang piau itu.
Gambar ukiran dibatang piau itu adalah naga yang sangat indah dan hidup. Seketika terkilas dalam
benak Su-lam akan nama senjata rahasia itu: “Tok-liong-piau”.
Pemilik Tok-liong-piau (piau naga berbisa) adalah seorang bandit besar termashur yang biasanya
bekerja sendirian, namanya To Pek-seng, terkenal pula dengan julukan “Ek-pak-jin-mo”, si manusia
iblis dari utara. Dari julukannya saja dapat dibayangkan dia pasti seorang iblis yang ganas. Tapi
sebenarnya tidak demikian, meski selama hidupnya banyak membunuh orang, tapi dia tidak
membunuh asal membunuh, kebanyakan korbannya adalah pembesar2 korup kerajaan Kim atau
perwira2 Kim yang suka mengganas dan menindas rakyat kecil. Sungguh tak terduga bahwa tokoh
yang termashur itu sekarang dapat ditemukan Li Su-lam dalam keadaan sudah menjadi mayat.
Su-lam hanya pernah dengar nama To Pek-seng dan tidak pernah kenal muka. Cuma ia sering
mendengar cerita2 tentang Tok-liong-piau. Diketahuinya piau itu mempunyai yang lain daripada
yang lain dengan racun yang mematikan seketika asal masuk darah.
Begitulah sambil memegangi Tok-liong-piau itu, Su-lam pikir yang mati itu tentulah To Pek-seng
adanya. Padahal ilmu silatnya begitu tinggi, siapakah gerangan yang mampu membunuhnya?
Belum habis Su-lam berpikir, mendadak terdengar suara desiran kencang sebatang panah tahu2
menyambar tiba. Begitu kencang datangnya panah itu sehingga baru saja Li Su-lam mendengar
suara desiran angin, tahu2 panah sudah didepan dada. Padahal Su-lam lagi mengamati Tok-liongpiau,
mimpipun dia tidak menyangka akan diserang orang ditengah gurun Gobi yang tiada nampak
bayangan seorangpun, karena tak ber-jaga2, hampir saja ia terkena panah bersuara itu. Untung dia
sempat menjatuhkan diri kesamping dan berguling beberapa kali kesana.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Terdengarlah suara bergelak tertawa sipemanah. Dalam pada itu dengan cepat luar biasa panah
kedua dan ketiga susul menyusul sudah menyambar tiba pula.
Biasanya panah bersuara hanya digunakan sebagai peringatan saja. Menurut kebiasaan kangouw,
orang yang berani menggunakan panah bersuara tentu yakin akan kepandaian sendiri pasti jauh
diatas pihak lawan, makanya berani memakai panah bersuara, agar pihak lwan bisa siap sedia lebih
dulu. Bahkan panah pertama biasanya juga tidak diarahkan tempat yang berbahaya. Akan tetapi
panah bersuara orang ini ternyata secepat kilat datangnya, malahan susul menyusul 3 panah dan
semuanya mengarah tempat mematikan ditubuh Li Su-lam.
Cara pemanah itu menyerang jelas tiada punya arti memberi peringatan lagi kepada lawannya, tapi
memang terang2an hendak membinasakan Li Su-lam, sebaliknya sengaja menggunakan panah yang
bersuara mendesing itu hanya untuk memberi kesan kepada lawan bahwa diapun tidak menyerang
secara menggelap.
Su-lam menjadi gusar, cepat ia meloncat bangun, kini ia sudah siap sedia, maka panah musuh yang
menyambar tiba itu meski susul menysul dapatlah dilayani dengan baik. Begitu bangun tepat kedua
panah juga sudah tiba. Berbareng ia menyampuk dengan busurnya, “tring-tring”, kontan kedua
panah itu terpukul jatuh.
Waktu Su-lam berpaling, dilihatnya dua penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat.
Seorang diantaranya adalah Bu-su (jago silat, tukang berkelahi) Mongol, seorang lagi adalah Lama
berjubah merah dengan muka bengis.
Bu-su Mongol itu tampak tertegun demi melihat Li Su-lam tidak cedera apa2, katanya dengan
tertawa: “Anak bagus, boleh juga kepandaianmu. Apakah kau datang kesini untuk mengubur mayat
To Pek-seng? Kukira tak perlu lagi, akan kuantar kau keakhirat untuk bertemu dengan To Pekseng”.
“Coba tanya dulu siapakah dia?” kata si Lama.
“Bocah ini hendak menanam mayat To Pek-seng, juga bangsa Han, tak perlu ditanya lagi pasti dia
anak buah To Pek-seng,” ujar di Bu-su sembari melompat turun dari kudanya dan terus menubruk
kearah Li Su-lam.
Bagi jago silat pertarungan ditanah pasir lebih menguntungkan dilakukan didaratan daripada diatas
kuda, sebab tanah pasir tidaklah rata padat, berat manusianya dengan kuda ver-ratur2 kati, bukan
mustahil kaki kuda akan ambles kedalam pasir. Sebaliknya dengan jalan kaki akan dapat
menggunakan ginkang dengan lebih leluasa. Makanya Bu-su Mongol itu lebih suka meninggalkan
kudanya untuk menempur Li Su-lam.
Pada benak Su-lam sudah timbul rase hormat kepada To Pek-seng, ia yakin orang yang membunuh
tokoh she To itu pasti bukan manusia baik2, biarpun tidak mampu melawan juag akan dihadapinya.
Maka ketika Bu-su Mongol itu sudah menekat, mendadak ia menggertak sekerasnya, tiga buah Tokliong-
piau yang dipegangnya tadi sekaligus disambitkan.
Su-lam sadar lawan yang mampu To Pek-seng itu pasti memiliki kepandaian tinggi dan tentu ganas
pula, jika tidak menyerang lebih dahulu mungkin jiwa sendiri akan celaka. Maka terpaksa ia
menggunakan Tok-liong-piau yang baru saja ditemukan itu.
Ketika Bu-su Mongol itu menubruk maju sebenarnya iapun sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Dia adalah jago pilihan dibawah Jengis Khan, kepandaiannya tinggi, nyalinya besar.
Sebaliknya Li Su-lam hanya pemuda 20-an tahun sehingga dipandang enteng olehnya. Pula ia tidak
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
tahu kalau Li Su-lam telah memperoleh Tok-liong-piau yang merupakan senjata rahasia maut itu.
Maka dalam keadaan sedang menerjang kedepan dalam jarak yang Cuma belasan meter jauhnya,
samberan Tok-liong-piau sekaligus 3 buah itu sungguh sukar baginya untuk mengelakkan diri.
Cara Li Su-lam menyambitkan ketiga buah Tok-liong-piau itupun terbagi dari tiga arah, yang
sebuah mengincar Thay-yang-hiat dibagian pelipis, sebuah lagi menuju Soan-ki-hiat dibagian dada
dan yang lain menyerang Koan-tiau-hiat dibagian dengkul kanan.
Dengan sambitannya yang hebat itu Li Su-lam yakin musuh pasti akan terjungkal, paling tidak
sebuah diantara tiga Tok-liong-piau itu pasti akan kena sasarannya.
Diluar dugaan, pada detik terakhir itu tiba2 terdengar suara angin mendampar, segumpal awan
merah mengapung tiba, seketika To-liong-piau sekaligus kena digulung semua.
Kiranya Lama jubah merah itu telah melompat dari kudanya dan sempat mendahului menyela
didepan Bu-su Mongol itu, lengan jubahnya yang lebar itu mengebas dan ketiga Tok-liong-piau
kena digulung olehnya.
Cara menangkap senjata rahasia demikian sungguh luar biasa. Lama itu memeriksa sejenak ketiga
Tok-liong-piau rampasannya itu, lalu dimasukkan kantong, katanya dengan tertawa, “Tok-liongpiau
To Pek-seng ini memang benar2 senjata rahasia berbisa yang paling lihai, sayang bocah masih
hijau seperti kau ini belum mampu memakainya.”
Dari ucapannya dapat diduga seperti sebelumnya dia juga belum kenal Tok-liong-piau. Jika
demikian bukanlah dia yang membunuh To Pek-seng atatu sebelum To Pek-seng sempat
menggunakan Tok-liong-piau sudah terbunuh lebih dahulu olehnya.
Namun Li Su-lam tidak dapat banyak berpikir lagi menghadapi musuh2 selihai itu, cepat ia
meloloskan pedang dan membentak: “Lekas kalian maju semuanya.”
“Ha ha anak ingusan saja berani bermulut besar!” seru si Lama dengan tertawa. “Aku sih belum
sudi bergebrak dengan kau.”
Sebaliknya Bu-su Mongol tadi menjadi murka karena tadi hampir2 terkena Tok-liong-piau. Segera
ia menerjang maju sambil berteriak: “Jangan garang, bangsat cilik. Serahkan nyawamu saja!”
“Meski bocah ini tidak seberapa lihai, tapi kaupun perlu hati2, Cilaun!” seru si Lama.
Cilaun adalah nama Bu-su Mongol itu. Diam2 ia mendongkol akan ucapan kawannya. “Kau sendiri
memandang enteng bocah ini, sebaliknya kau suruh aku hati2, kan sama saja kaupun memandang
enteng padaku?” demikian pikirnya. Lantaran kheki, maka begitu maju ia terus melancarkan
serangan2 mematikan terhadap Li Su-lam.
Namun dengan cekatan Li Su-lam dapat mematahkan serangan2 kalap Cilaun, bahkan ia balas
menyerang, suatu tusukan maut hampir2 saja menbus dada lawannya. Keruan Cilaun terkesiap,
untung dia sempat menggeser kesamping, sambil berputar goloknya lantas menyampuk.
Memangnya tenaga Cilaun tidaklah lemah, “trang”, pedang Li Su-lam kena disampuk pergi.
Tergetar juga hati Su-lam, diam2 ia mengakui permainan golok jago Mongol itu cukup lihai dan
berbeda daripada golok didaerah Tionggoan.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Pertarungan kedua orang terus berlangsung, dalam sekejap saja 50 jurus sudah lalu. Li Su-lam
merasa kerongkongannya tambah kering, mata ber-kunang2 dan kepala pusing. Gerak pedangnya
mulai tak teratur. Maklumlah sebelumnya dia sudah payah begadang ditengah gurun Gobi selama
dua hari dalam kekurangan air dan makanan, sekarang dia harus bertempur pula, tentu saja tak bisa
tahan lama.
Sebaliknya Cilaun tidak memberi kelonggaran lagi kepada lawannya, ia menyerang semakin ganas
tanpa kenal ampun. Terpaksa Su-lam melayani sekuatnya dengan gerakan yang gesit sambil
menghindar kesana kesini.
Cilaun menjadi murka setelah sekian lamanya masih belum mampu merobohkan Li Su-lam.
Mendadak ia menggertak sambilmenerjang maju: “Anak keparat, matilah kau!”
Tapi baru saja goloknya hendak membacok, tiba2 Li Su-lam balas membentak: “Roboh kau!”
Benar juga, Cilaun menjerit kaget dan kontan terjungkal.
Rupanya ginkang Cilaun tidak semahir Li Su-lam. Tadi ketika Su-lam main menghindar kesana
kesini, dia telah menjajaki dimana adanya gundukan pasir yang lunak. Sebab itulah ia sengaja
melompat kesitu dan ketika Cilaun menerjang maju, tahu2 kaki Cilaun kejeblos kedalam gundukan
pasir yang lunak itu sehinnga ia jatuh terjungkal.
Tampaknya dengan sekali tabaskan pedangnya tentu Li Su-lam dapat membikin tamat jiwa Cilaun.
Namun si Lama jubah merah tadi sempat menghalangi Li Su-lam, jengeknya: “Hm, Jangan kau
senang lantaran akalmu yang licik ini. Biarlah aku melayani pedangmu dengan bertangan kosong,
asalkan kau hampir mangalahkan aku dalam sepuluh jurus, segera aku akan menjura padamu dan
mengantar kau melintasi gurun ini.”
“Hm, boleh kau coba saja!” dengus Su-lam sambil menusuk. Karena tenaganya sudah semakin
habis, keadaannya benar2 sudah gawat, terpaksa ia harus berusaha menyelesaikan pertarungan ini
secepat mungkin, karena itulah ia lantas keluarkan jurus2 serangan maut Tat-mo-kiam-hoat.
Lama itu benar2 melayani Su-lam dengan bertangan kosong. Tusukan Li Su-lam yang cepat luar
biasa itu ternyata tidak membuatnya keder, sedikitpun ia tidak berusaha mengelak, tahu2
terdengarlah “cring” satu kali pedang Li Su-lam kena diselentik kesamping. Begitu cepat dan tepat
selentikan Lama itu, sungguh amat mengagumkan.
Su-lam terkejut, tangannya tergetar sakit, cepat ia menggunakan gerakan “Hong-soan-toh-hoa”
(angin puyuh merontokkan bunga), ia menggeser kebelakang lawan terus menusuk pula ke “Taycui-
hiat” bagian punggung.
Kalau Su-lam terkejut, sebenarnya Lama itupun tidak kurang kagetnya. Tadinya ia melihat Su-lam
sudah kehabisan tenaga, keadaannya sudah payah, tapi selntikannya yang hebat itu ternyata tidak
membuat pedangnya terlepas dari cekalan, betapapun si Lama tidak berani memandang enteng lagi
padanya.
Segera tangan Lama itu meraih kebelakang. Namun Li Su-lam sudah kenal kepandaian lawan,
dengan cepat ia telah ganti serangan, pedangnya menurun kebawah terus menabas kaki lawan.
Dalam keadaan meraih tadi memang titik berat si Lama terletak pada bagian atas tubuh sehingga
bagian bawah merupakan lubang kelemahan. Meski kepandaian Su-lam tidak lebih kuat dari
lawannya, tapi dalam teori ilmu silat teah cukup masak, sebab itulah ia selalu mengincar titik
kelemahan musuh.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Lama itupun sangat lihai, punggungnya seperti punya mata, begitu Li Su-lam ganti serangan iapun
sudah menggeser langkah dan ganti tempat, “cret” , cepat sekali ia menendang tangan Su-lam yang
memegang senjata itu.
Tapi Su-lam lantas tarik kembali pedangnya, menysul “Ci-li-hiat” lawan di belakang dengkul terus
ditusuk. Dalam keadaan kaki sudah terlanjur menendang, sungguh berbahaya amat serangan Li Sulam
ini. Ternyata Lama itu masih sanggup menarik kembali kakinya serta melompat kesamping.
Menghadapi lawan tangguh itu, Li Su-lam juga tidak berani sembarangan menerjang maju.
Melihat ketangkasan Su-lam, diam2 si Lama menjadi ragu2 apakah didalam 10 jurus sanggup
mengalahkannya. Ia menjadi menyesal omongannya tadi terlalu besar. Tiba2 ia mendapat akal.
Cepat ia menanggalkan jubahnya.
Saat itu Su-lam baru saja hendak melancarkan serangan pula, se-konyong2 segumpal awan
merahmenimpa dari atas kepala. Cepat pedangnya menusuk, “crit”, ujung pedang meleset
kepinggir, ternyata tidak dapat menembus kasa atau jubah itu.
Pada detik itulah Su-lam merasa angin keras menyambar tiba, dadanya seperti kena digodam dan
kesakitan, cepat ia melompat mundur. Untung dia keburu menghindarkan diri dari jaringan jubah
musuh yang lebar seperti layar itu.
“ Hahaha boleh juga juga kau, anak muda!” seru Lama itu sambil tertawa. “Masih ada enam jurus
lagi, hati2 kau!”
Lama itu menyatakan takkan memakai senjata, tapi jabah yang dia gunakan sesungguhnya berupa
senjata yang amat lihai, terpentang seperti jaring, diringkaskan berwujud pentungan, pedang Li Sulam
sampai tergetar bilamana terbentur.
Li Su-lam bertahan sekuatnya, tapi beberapa jurus lagi keadaannya tambah payah, darah serasa
bergolak dirongga dadanya, isi perutnya se-akan2 berjungkir balik. Diam2 ia mengeluh, dengan
ginkangnya ia masih berkelit kesana dan menghindar kesini dengan harapan Lama itupun akan
tertipu dan dirobohkan seperti Cilaun tadi.
Tak terduga ginkang si Lama jauh lebih hebat daripada Su-lam malah, bagaikan bayangan saja is
selalu mengikuti gerakan Li Su-lam kemanapun dia menghindar.
Sebisanya Li Su-lam berlaku tenang dan bertahan sekuatnya. Sebaliknya si Lama mulai gelisah.
Pikirnya: “Untung disini tiada orang lain lagi, kalau tidak tentu aku akan malu karena tidak mampu
merobohkan bocah ini dalam sepuluh jurus.”
Setelah beberapa gebrakan lagi, Li Su-lam benar2 sudah payah. Tiba2 ia sendiri lengah, mestinya
bermaksud memancing musuh kegundukan pasir yang lunak, tak tahunya dia sendiri yang kejeblos
malah. Mendadak Lama itu Membentak” “Hendak kemana lagi kau?” ~ Berbareng jubahnya
laksana layar terus mengurung keatas kepala Li Su-lam.
“Mati aku!” keluh Su-lam didalam hati. Tiada jalan lain baginya kecuali pejamkan mata dan
menanti ajal. Nafasnya hampir2 berhenti oleh tekanan tenaga jubah lawan.
Dalam keadaan samar2 itu tiba2 terdengar suara “crit” sekali, lalu suara Lama itu membentak :
“Siapa itu?”
Menyusul terdengar suara gelak tertawa seseorang dan menjawab: “Kau pegang teguh ucapanmu
tidak?” Kan sudah lebih dari sepuluh jurus?”
Li Su-lam ingin membuka mata untuk melihat siapa yang datang, namun kelopak matanya terasa
sangat berat dan sukar dipentang, sayup2 ia merasa seorang memburu tiba, se-konyong2 Lama tadi
menjerit sekali lalu terdengar suara derapan kaki kuda yang semakin menjauh.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Su-lam tahu tentu seorang telah menyelamatkan jiwanya dan Lama tadi telah digebah lari. Dari tadi
Li Su-lam berusaha menahan diri sekuat tenaga, sekarang setelah tahu bahaya sudah lalu,
longgarlah perasaannya, seketika iapun jatuh pingsan saking payahnya.
Entah sudah berapa lamanya, ketika tiba2 Su-lam merasa sekujur badannya dingin2 segar, samar2
seperti ada tetesan air kedalam mulutnya, rasa hausnya sudah berhenti, nyaman sekali perasaannya,
lambat laun iapun siuman kembali.
Ketika membuka mata, dilihatnya dirinya berbaring didalam sebuah kemah, didepannya berdiri
seorang laki2 setengah umur dengan ikat kepala kaum pelajar dan berjenggot cabang tiga,
disebelahnya ada lagi seorang gadis belia berbaju hijau muda, keduanya berdandan sebagai bangsa
Han. Gadis itu tampak memegang sebuah saputangan basah yang sedang dipuntir, dari situlah
butiran air menetes kedalam mulutnya.
Saat itu sudah malam hari, hawa digurun pasir sangat berbeda antara siang dan malam hari. Li Sulam
jatuh pingsan antara siang dan malam hari. Li Su-lam jatuh pingsan pada saat gurun pasir itu
sedang panas terik luar biasa, kini setelah siuman ia merasa berada didunia lain karena hawanya
dingin2 segar. Begitu siuman, semangat Li Su-lam lantas terbangkit terutama rasa nyaman oleh
warna hijau baju sigadis disamping terbasahnya kerongkongannya yang kering tadi.
Melihat Su-lam sudah siuman, gadis itu berseru senang.
“Ayah, Siangkong (tuan muda) ini sudah sadar.!”
Laki2 setengah umur tadi lantas mendekat, tanyanya kepada Su-lam: “Siapa namamu? Kau pernah
apanya To Pek-seng?”
Sekilas Su-lam melihat di pokok kemah sana tertaruh tiga buah Tok-liong-piau. Mungkin sekali
setelah orang itu menggebah lari Lama jubah merah itu, ketiga Tok-liong-piau itu ditemukannya
kembali, dengan sendirinya mayat To Pek-seng juga telah dilihatnya pula.
Maka lebih dulu Su-lam mengucapkan banyak terima kasih, katanya: “Selamanya aku tidak kenal
To Pek-seng, hanya dari guruku pernah kudengar tentang sepak terjangnya yang mengagumkan,
maka aku tahu beliau adalah seorang kesatria.”
“Siapakah gurumu?” tanya laki2 itu.
Li Su-lam lantas memberitahu nama gurunya. Laki2 itu tertawa, katanya: “Kiranya kau murid Koktayhiap,
Kok Pek-yang dari Siau-lim-pay, pantas kepandaianmu begitu hebat.”
Su-lam merasa kikuk, malah sahutnya: “Ah, kepandaian Wanpwe teramat cetek, kalau tiada
ditolong Cianpwe tentu jiwaku sudah melayang ditangan pendeta buas tadi.”
“Apakah kau tahu siapakah kedua orang tadi?” tanya laki2 itu dengan sungguh2. “ketahuilah bahwa
Lama itu adalah murid pertama Liong-siang Hoat-ong, itu imamnegara Mongol yang disegani,
namanya Hulisa. Sedangkan Bu-su itu adalah jago terkemuka bawahan Jengis Khan, namanya
Cilaun. Jengis Khan punya 12 jago pilihan. Cilaun terhitung jago kedelapan diantara ke-12 jagoan
itu. Tampaknya kau sangat payah, tentu kau sudah beberapa hari kesasar ditengah gurun luas ini.
Tapi kau toh mampu mengalahkan Cilaun, bahkan bergebrak belasan jurus dengan Hulisa, biarpun
kalah kau harus merasa bangga, kenapa kau malah merasa malu?”
Li Su-lam terkejut sendiri demi mendengar keterangan laki2 itu. Sungguh tidak nyana bahwa kedua
lawannya tadi adalah jago2 terkemuka Mongol. Padahal mereka belum terhitung tokoh2 tertinggi,
maka dapat dibayangkan betapa lihai jago2 Mongol yang mampu membunuh To Pek-seng.
“Wanpwe tidak tahu,” sahut Su-lam. “Dugaan Cianpwe memang tidak salah, kedua orang tadi
memang bukan pembunuh To Pek-seng, sebab sebelum bertempur dengan aku mereka juga belum
kenal Tok-liong-piau ini.” ~ sepintas lalu ia lantas ceritakan pengalamannya secara ringkas.
Orang itu menghela nafas, katanya: “ Aku pernah bertemu satu kali dengan To Pek-seng, meski
tidak mendalam persahabatanku dengan dia, namun kedua pihak sama2 menghargai dan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
menghormati. Kudengar dia berangkat ke Mongol sini, maka aku sedang mencarinya, siapa tahu dia
telah terkubur digurun tandus ini. Seorang kesatria besar telah binasa dirantau orang, sungguh harus
disesalkan.
Su-lam pikir laki2 ini mampu mengalahkan Lama itu, juga mengaku sobatnya To Pek-seng, tentu
dia bukan orang sembarangan. Maka dengan penuh hormat ia bertanya: “Wanpwe telah
diselamatkan oleh Inkong (tuan penolong berbudi), kalau tidak keberatan mohon tanya nama
Inkong yang mulia?”
“Ah, tolong menolong adalah kewajiban kaum kita, apalagi kita sama2 orang Han,” jawab laki2 itu.
“ Aku Beng Siau-kang dari Siangyang, dia adalah anak perempuanku, Beng Bing-sia.”
Setelah mengetahui siapa kedua ayah beranak itu, kembali Su-lam terkejut.
Beng Siau-kang adalah pendekar termashur didaerah Kang-lam. Pernah gurunya bercerita suatu
peristiwa tentang Beng Siau-kang, suatu waktu Beng Siau-kang pernah menyeberang Tiangkang
dan menyusup kegaris belakang negeri musuh (wilayah yang dikuasai kerajaan Kim). Rupanya
kedatangannya diketahui musuh, pihak kerajaan Kim mengirim lima jagoan pilihan untuk
menangkapnya. Dalam pertarungan sengit dikaki gunung Hok-gu-san, dengan bertangan kodong
Beng Siau-kang sekaligus dapat membinasakan kelima musuhnya, tapi ia sendiripun terluka parah.
Itulah kejadian sepuluh tahun yang lalu. Sejak itu Beng Siau-kang lantas menghilang, tokoh2 dunia
persilatan sama mengira dia telah meninggal juga karena luka2nya, ada juga yang mengira dia telah
pulang kandang dan hidup mengasingkan diri setelah mengalami pertempuran maut itu. Siapa duga
sepuluh tahun kemudian Li Su-lam justru bertemu dengan pendekar termashur itu digurun Gobi ini.
Agaknya Beng Siau-kang dapat membaca pikiran Li Su-lam dengan tertawa ia bertanya:
“Barangkali kau sudah pernah mendengar namaku?”
“Ya, dahulu Beng-tayhiap sekaligus telah membinasakan lima jagoan pilihan kerajaan Kim,
peristiwa luar biasa itu cukup menggemparkan dunia persilatan, maka wanpwe sering mendengar
cerita Suhuku tentang Bsng-tayhiap. Alangkah beruntungnya sekarang wanpwe dapat berjumpa
dengan Cianpwe disini.”
Dahulu waktu aku terluka parah untung seorang telah menyelamatkan diriku, penolong itu adalah
To Pek-seng, tutur Beng Siau-kang.
“Oh, kiranya demikian,” kata Su-lam. Dalam hati ia pikir pantas dia memburu kesini untuk
menolong aku, ketika aku siuman ia lantas tanya aku pernah apanya To Pek-seng. Aku yang
menemukan jenazah To Pek-seng, akupun menggunakan senjata rahasia khas milik To Pek-seng
untuk menyerang si Lama, sehingga Lama itupun menyangka aku sebagai muridnya To Pek-seng,
mungkin Beng-tayhiap tadinya juga mencurigai diriku.
Terdengar Beng Siau-kang berkata pula: “Akupun sudah lama mengagumi nama gurumu, sayang
sekali ini akupun lewat daerah Tionggoan secara ter-gesa2 sehingga tidak sempat mengunjungi
beliau. Tentunya kaupun merasa heran bisa berjumpa dengan aku disini bukan?”
“Bukankah tadi Beng-tayhiap menyatakan sedang mencari To-tayhiap?” ujar Su-lam.
“Aku memang berharap bisa bertemu dengan dia disini, sahut Siau-kang. Tapi tujuan kedatanganku
kesini bukan melulu untuk mencari dia. Kau adalah orang kaum kita, biarlah aku cerita terus terang
padamu.”
Sementara mereka berbicara, Beng Bing-sia telah memasak dan menyuguhkan bubur ence r. Kata
sinona dengan tertawa: “Ayah, biarlah tamu kita makan dulu. Li-toako, kau tentu sangat lelah
setelah bertempur sengit tadi. Sedikit bubur ini tentu lebih cocok bagimu yang baru kehabisan
tenaga. Silahkan makan saja, kami sendiri sudah dahar, janganlah kau sungkan2.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Memang sudah beberapa hari aku bertahan digurun luas ini hanya dengan minum satu-dua teguk
air belaka, bubur buatan nini sungguh sangat baik bagiku,” jawab Su-lam dengan tertawa. Dalam
hati ia sangat berterima kasih atas perhatian sinona.
Diluar kemah terdengar suara ringkik kuda, Su-lam mengenali suara kuda tunggangannya. Baru saja
hendak tanya, Bing-sia suudah menerangkan: “Kudamu juga sudah kami selamatkan, sekarang lagi
makan rumput diluar sana. Sebentar lagi akan kugiring pergi minum air. Tidak jauh dari sini ada
suatu tempat mata air.”
Mengetahui kudanya juga tidak mati kepayahan, Su-lam sangat girang dan sekali lagi ia
mengucapkan terima kasih kepada Beng Siau-kang berdua.
“Anak Sia, bila kau giring kuda pergi minum air, jangan lupa isi pula kantong air kita.” Kata Siaukang.
Bing-sia mengiakan. Ia ambil kantong kulit yang tergantung ditiang kemah, lalu keluar.
Pada umumnya orang Mongol menggunakan kantong kulit untuk menyimpan air. Maka Beng Siaukang
dan puterinya telah mengikuti kebiasaan Mongol itu.
Setelah Su-lam Menghabiskan bubur yang disuguhkan Beng-sia tadi, kemudian Beng Siau-kang
kembali kepokokpembicaraan dan melanjutkan ceritanya: “Selama kau berada diwilayah kekuasaan
Kim, apakah kau pernah mendengar desas desus bahwa pihak Mongol akan bersekutu dengan Song
untuk menggempur Kim?”
“Selama beberapa tahun ini wanpwe tinggal terpencil didusun bersama ibu yang sudah tua, maka
tidak tahu tentang desas desus itu,” sahut Su-lam. “Tapi kalau benar demikian sungguh ini suatu
verita menggirangkan.”
“Berita ini tampaknya memang sungguh2,” ujar Beng Siau-kang sambil mengerut kening. “Cuma
belum tentu menguntungkan pihak Song kita.”
“Apa barangkali Beng-tayhiap menguatirkan harimau diusir dipintu depan, serigala masuk dari
pintu belakang?”
Siau-kang manggut2, katanya: “Ya, begitulah pikiranku.” Ia minum seteguk, lalu menyambung:
“Aku punya seorang sahabat yang bertugas sebagai jago pengawal dikeraton, menurut beritanya,
pihak Mongol memang benar pernah mengirim utusan rahasia ke Lim-an (kini Hangciu, kotaraja
Song selatan selama hijrah) untuk merundingkan persekutuan dalam menghadapi Kim ver-sama2.
Namun sebegitu jauh pihak Lim-an belum ambil keputusan, soalnya diantara pembesar2nya terbagi
dua golongan yang pro dan Kontra. Yang satu setuju mengembalikan wilayah Tionggoan yang
diduduki Kim dengan bantuan kekuatan Mongol. Golongan lain takut akan keganasan pihak Kim,
jangan2 persekutuan dengan Mongol juga tidak mendatangkan kemenangan, maka nasib negara
tentu akan tambah konyol. Kedua golongan itu sama2 tidak pernah memikirkan menggunakan
tenaga sendiri untuk mengalahkan musuh, sungguh harus disesalkan.
“Bagaimana kalau menurut pandangan Beng-tayhiap?” tanya Su-lam.
“Bersekutu dengan Mongol untuk menggempur Kim, apakah cara ini dapat dijalankan, hal inipun
menjadi pembicaraan ramai ditengah tokoh2 persilatan didaerah Kang-lam”, tutur Siau-kang. “Yang
jelas jarak Mongol dengan Wilayah Song terpisah be-ribu2 li jauhnya, para pahlawan Kang-lam
pada umumnya belum pernah kenal tanah Mongol sehingga sedikitpun belum mempunyai
gambaran jelas tentang Mongol. Sebab itulah kawan2 Bu-lim banyak yang beranggapan tidak
berguna hanya berdebat kosongsaja, yang lebih penting harus mengenal Mongol lebih dulu, selidiki
dulu keadaannya dan cari tahu latar belakangnya, habis itu barulah dapat diputuskan apakah
persekutuan demikian memang betul2 atau Cuma tipu muslihat saja. Untuk soal inilah maksud
tujuan kedatanganku ke Mongol ini.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Serentak timbul rasa hormat Li Su-lam kepada Beng Siau-kang, katanya: “Beng-tayhiap rela
melintasi gurun luas ini dan dengan susah payah berjuang bagi negara dan bangsa, sungguh
wanpwe merasa sangat kagum.”
“Orang Kangouw seperti kita sudah biasa berkelana kemana2, kesukaran2 justru merupakan
gemblengan bagi kita,” kata Siau-kang. “Seperti anak perempuanku, semula dia juga tidak biasa
dengan keadaan digurun pasir ini tapi lambat laun juga sudah biasa sekarang.”
Beng Siau-kang hanya punya anak perempuan tunggal itu, berbicara tentang puteri kesayangan itu
menjadi suka ber-panjang2, maka dengan tertawa ia menambahkan lagi: “Mestinya aku suruh dia
tinggal dirumah, tapi dia bersikeras mau ikut, terpaksa aku membawanya serta. Untung dia tidak
menambah kesukaranku dalam perjalanan, sebaliknya dia yang telah banyak melayani aku dalam
perjalanan jauh ini.”
“Ini adalah rejeki, Beng-tayhiap yang besar punya seorang anak perempuan yang berbakti,” kata
Su-lam.
“Kau juga anak berbakti,” ujar Siau-kang. “Bukankah tadi kaupun mengatakan selama beberapa
tahun ini kau hanya tinggal dirumah mendampingi ibumu.”
Yang satu anak perempuan berbakti, ayng lain juga anak laki berbakti. Yang bicara tidak sengaja,
yang dengar kena dihati. Usia Li Su-lam sudah 23 tahun, selamanya belum pernah bergaul dengan
kaum wanita, Beng Bing-sia boleh dikata teman dari jenis lain yang pertama dikenalnya. Walaupun
ia tidak berani berpikir tidak2 terhadap gadis yang cantik dan gagah itu, tapi didalam hati iapun
sangat suka padanya. Mukanya menjadi merah mendengar Beng Siau-kangmembandingkan dia
dengan anak perempuannya. Cepat ia menjawab: “Ah mana wanpwe dapat disamakan dengan
puterimu. Eh tadi Beng-tayhiap bicara maksud tujuan kedatanganmu ke Mongol sini, apakah sudah
ada sesuatu hasil yang diperoleh?”
“Ya, sudah ada delapan bulan juga kami berada di Mongol, selama ini sudah banyak tempat yang
kami kunjungi,” tutur Beng Siau-kang. “Banyak juga teman2 dari macam2 golongan telah kami
jumpai. Dari hasil selidikan kami diketahui bahwa Jenghis Khan benar2 seorang pemimpin yang
hebat dengan kekuatan pasukannya sekarang dia cukup kuat mengalahkan kerajaan Kim tanpa
bantuan pihak Song.”
“Jika begitu, buat apa dia minta bersekutu dengan Song?” tanya Su-lam.
“Menurut dugaanku, kalau dia sudah yakin pasti menang barulah dia mau mengerahkan
prajuritnya,” kata Siau-kang. “Selain itu iapun bermaksud mengurangi kekuatan Song.”
“Kalau begitu Jenghis Khan ada rencana setelah menaklukkan Kim, kemudian mengarahkan ujung
panahnya keselatan untuk menggempur Song?”
“Tepat,” kata Siau-kang. “Dari beberapa tanda2 yang kutemukan dapat membuktikan maksud
tujuannya itu. Kita mengetahui, daerah Mongol hampir seluruhnya terdiri dari gurun pasir, pasukan
berkuda mereka paling tangkas untuk menggempur benteng musuh dan merampas kota yang
diandalkan adalah pasukan berkudanya. Akan tetapi akhir2 ini mereka mulai melatih pasukan air
Iangkatan laut sekarang). Beberapa danau besar didaerah Mongol seperti Darpa Nor, Danau Bay,
Cagan Nor dan lain2 telah menjadi pusat latihan. Padahal untuk menyerang negeri Kim dapat
dilakukan melalui darat secara besar2an, cukup pasukan berkudanya saja sudah dapat mencapai
tempat tujuan. Maka pasukan air yang mereka latih jelas bukan dimaksudkan untuk menghadapi
Kim.”
“Su-lam terkesiap, katanya: “Benar, untuk menyerbu ke Kang-lam mereka harus menyeberangi
Tiangkang. Jelas pasukan air mereka akan digunakan menyerang Song.”
“Disamping itu,” demikian Siau-kang melanjutkan, Mongol adalah negara gabungan dri beberapa
kelompok suku bangsa, orang Han yang menetap disini juga tidak sedikit. Konon orang Mongol,
lebih2 bangsawannya, dahulu sangat kejam terhadap orang Han, tapi dua tahun terakhir ini sikap
mereka sudah banyak berubah, bahkan Jenghis Khanbanyak pula menggunakan orang Han sebagai
staffnya. Mereka belajar bahasa Han, ingin mempelajari adat istiadat dan ilmu bumi daerah KangKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
lam, untuk mana mereka tidak segan2 berguru kepada orang Han. Coba pikir, apa tujuan mereka
ini? Apakah benar mereka menjadi begitu baik terhadap orang Han tanpa maksud2 tersembunyi?”
Li Su-lam mengangguk, sahutnya: “ Ya, akupun dengar Jenghis Khan adalah seorang pemimpin
yang jenius, kemampuannya sungguh2 tidak boleh dipandang enteng. Tampaknya rencananya
benar2 sangat rapi dan berjangka panjang.” ~ Dalam hati iapun berpikir kalau benar demikian
perubahan sikap orang Mongol terhadap orang Han, maka ayah berkurang pula penderitaannya dan
bisa jadi masih hidup di dunia ini.
Selesai Beng Siau-kang bercerita, kemudian ia balas tanya apa maksud kedatangan Su-lam ke
Mongol ini. Li Su-lam menyatakan tujuannya hendak mencari sang ayah.
“Ya, memang 20 tahun yang lalu ketika menyerang pihak Kim, pasukan Mongol telah menawan
suatu rombongan orang Han dan digiring kembali ke Mongol sini untuk dijadikan kuli paksa,” kata
Beng Siau-kang.
“Apakah Beng-tayhiap pernah mendengar lebih lanjut tentang para tawanan itu?” tanya Su-lam.
“Kabarnya sebagian diantaranya dikirim untuk menggali daerah baru yang sebelumnya tidak pernah
didatangi manusia. Orang Han kita mahir bercocok tanam, orang Mongol hanya mahir
menggembala dan beternak, dalam hal pertanian mereka perlu berguru kepada bangsa kita.” Lalu
Beng Siau-kang menyebut beberapa nama tempat pertanian baru. Kemudian sambungnya pula:
“Bagi tawanan2 yang mempunyai keakhlian khusus telah diberi pekerjaan menurut kepandaiannya.
Tapi ada juga sebagian kecil yang terpelajar telah dipekerjakan distaff Jenghis Khan.”
Sampai disini Beng Siau-kang merandek sejenak, lalu tanyanya tiba2: “Siapakah nama ayahmu?”
Lantaran ayahnya bukan tokoh terkenal segala, maka tanpa ragu2 Su-lam memberitahukan, untuk
jelasnya bahkan ia menggores nama ayahnya diatas pasir.
“O, jadi Li Hi-ko adalah ayahmu?” kata Beng Siau-kang dengan nada acuh tak acuh. Semula air
mukannya rada berubah, tapi sekejap saja sudah tenang kembali.
“He, Beng-tayhiap tahu akan ayahku?” seru Su-lam girang.
“Aku seperti pernah mendengar orang menyebut nama demikian,” kata Siau-kang.
“Siapakah dia?” Su-lam menegas dengan tdak sabar.
Beng Siau-kang berpikir sejenak, jawabnya kemudian: “Seorang yang tertawan ver-sama2 ayahmu.
Tiga tahun yang lalu ia masih bercocok tanam disuatu tempat bersama ayahmu.”
“Tempat mana itu?” Su-lam menegas.
“Disuatu tanah pertanian dilembah danau Airag disebelah barat, secara kebetulan ditepi danau itu
aku bertemu dengan dia dan mengajaknya mengobrol tentang keadaan pertanian yang digarapnya.
Ia bilang penghidupannya sangat sulit, banyak orang ingin lari, tapi setiap kali orang yang lari
selalu dibekuk kembali dan dipukul sampai mati.”
“Dan ayahku, jangan2 dia…… dia……” seru Su-lam kuatir.
“Tidak, orang semacam ayahmu tentu takkan mati !" kata Siau-kang dengan nada dingin.
Su-lam merasa lega. Karena perhatiannya terpusatkan pada keselamatan ayahnya sehingga sama
sekali ia tidak sadar bahwa dalam ucapan Beng Siau-kang tadi mengandung arti tertentu.
“Aneh juga, mengapa orang itu bisa membicarakan ayahku?” ujar Su-lam.
“Setelah usaha2 melarikan diri sering gagal, banyak diantara mereka lantas berkumpul dan
berunding, mereka berpendapat untuk keselamatan masing2 sedikit banyak perlu berlatih silat. Ada
diantaranya yang kenal ayahmu sebagai keturunan panglima perang, maka ayahmu telah diminta
suka mengajarkan silat kepada mereka. Katanya ayahmu tidak Cuma mahir silat, bahkan juga
menguasai kesusastraan, iapun terkenal sebagai akhli pertanian, karena itu pembesar pengawas juga
memberi penilaian lain padanya.”
“Lalu bagaimana kemudian?” tanya Su-lam.
“Kemudian ayahmu telah dipindahkan kesuatu tempat lain, lalu yang bercerita itu tidak tahu lagi
jejaknya.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Su-lam sangat kecewa. Berita demikian memang tiada banyak bedanya dengan cerita yang
didengarnya dirumah, hanya saja cerita Beng Siau-kang ini lebih jelas sedikit, terutama mengenai
tempat pertanian yang pernah didiami oleh ayahnya tiga tahun yang lalu. Ia merasa bersyukur
paling tidak telah diperoleh sedikit berita tempat tinggal ayahnya. Hanya saja hidup-mati sang ayah
masih belum diketahui, mau tidak mau ia merasa kuatir juga.
Kemudian Beng Siau-kang bicara pula: “Aku pernah mencoba kepandaian orang itu, agaknya ilmu
silat ayahmu jauh sekali dibandingkan kau."
“Ilmu silat keluarga kami memang sudah tidak terpelihara, apalagi turun temurun keluarga kami
selalu bertani,” sahut Su-lam. “Kepandaianku sendiri seluruhnya adalah ajaran Suhu. “
Begitulah kedua orang bicara sebentar lagi, namun sikap Beng Siau-kang sudah tidak semesra
semula. Setiap pertanyaan Li Su-lam selalu dijawab seperlunya saja. Sampai akhirnya Su-lam
merasa capek sendiri dan menguap ngantuk.
“Kau tentu sangat lelah, silahkan kau tidur saja, aku akan periksa keadaan diluar,” kata Siau-kang.
Baru Su-lam teringat kepada Bing-sia yang telah pergi sekian lamanya masih belum kembali. Maka
setelah Beng Siau-kang keluar mencari puterinya, didalam kemah tertinggal Su-lam sendirian.
Sebenarnya ia sudah mengantuk, tapi teringat kepada Bing-sia yang masih belum pulang, ia
menjadi kuatir dan tidak dapat pulas.
Sampai sekian lama pula masih belum nampak kembalinya Beng Siau-kang dan puterinya. Ia
menjadi tidak tahan dan keluar kemah, pikirnya hendak mencari mereka. Tapi ia tidak tahu dimana
letak sumber air yang dikatakan, kemana ia harus mencari?
Selagi ragu2, tiba2 ditempat kejauhan seperti ada suara orang berbicara, apa yang dibicarakan
tidaklah terang. Ia pernah belajar cara mendengarkan suara dengan mendekam diatas tanah. Apalagi
gurun yang luas itu sekarang sunyi senyap, maka suara yang jauhnya beberapa li dapat didengarnya
dengan cukup jelas.
Semula ia kuatir suara orang2 itu adalah suara musuh. Tapi begitu mendengarkan secara cermat,
maka giranglah hatinya. Ternyata suara yang didengar itu adalah suaranya Bing-sia yang
dikuatirkannya itu.
Saat itu terdengar sinona sedang berseru: “Jangan, ayah!”
Lantaran tidak dengar kata2 bagian depan sinona, Su-lam terkejut sebab tidak tahu apa maksud
“jangan” yang diucapkan Bing-sia itu.
Lalu terdengar pula suara Beng Siau-kang: “Kukira lebih baik dibereskan saja!”
Apa yang dibereskan? Apakah maksudnya hendak membunuh? Siapakah yang hendak dibunuhnya?
Demikian Su-lam tidak habis heran, mengapa ayah dan anak itu bertentangan perndapat.
Sebenarnya ia tidak ingin mendengarkan rahasia orang, tapi terdorong oleh rasa ingin tahu, ia coba
mendengarkan lagi.
Terdengar sinona lagi berkata: “Ayah, bukankah kau sering mengatakan pedang kita jangan
digunakan membunuh orang yang tak berdosa?”
“Benar. Tapi orang berkepandaian seperti dia, kalau sampai melakukan perbuatan busuk tentu jauh
lebihh berbahaya. ”
“Tapi sekarang dia kan tidak berbuat kejahatan apa2.”
“Aku kuatir kelak dia akan bantu pihak yang jahat hingga lebih jahat daripada sekarang.”
“Apakah begitu jadinya toh belum diketahui. Mana boleh ayah lantas membunuhnya tanpa bukti
nyata. Apalagi menurut pandanganku dia pasti takkan bantu pihak yang jahat.”
“Tidak, besar kemungkinan dia akan berbuat demikian. Coba kau pikir …….” Kata2 selanjutnya
tidak terdengar, mungkin dia bicara bisik2 ditelinga puterinya.
Selang sejenak barulah terdengar seruan Bing-sia seperti tadi : Jangan ayah!”
Rupanya tentangan puterinya itulah, kemudian Beng Siau-kang menjawab: “Baiklah, biar
kupikirkan lagi persoalan ini. Sekarang urusan ini jangan kita bicarakan mungkin kau punya Litoako
belum lagi tidur.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Uh, ayah, masakah meng-olok2 anaknya sendiri?”
Terdengar suara tindakan kedua orang itu semakin dekat. Su-lam menjadi kikuk sendiri, ia pikir
masakah nona itu menaksir padaku dan diketahui ayahnya? Sudah mendengarkan sejauh itu, tapi ia
masih belum paham orang yang hendak dibunuh Beng Siau-kang itu siapa? Mencuri dengar urusan
orang lain adalah pantangan orang Kangouw, Su-lam menjadi menyesal, ia pikir kalau sampai
ketahuan tentu mereka menganggapnya sebagai pemuda buruk tingkah-lakunya. Seperti pencuri
saja cepat2 ia menyusup masuk pula kedalam kemah dan berbaring.
Selang tak lama, masuklah Beng Siau-kang bersama puterinya. Siau-kang berdehem, lalu bertanya:
“Li-siheng, tidurkah kau?”
Dasar orang “berdosa”, mestinya Su-lam ingin pura2 tidur, tapi ia tidak biasa berbuat munafik,
akhirnya ia menyahut juga pertanyaan orang dan berbuat seperti baru mendusin.
“Ai, Li-toako lagi nyenyak tidurnya, mestinya jangan kau bangunkan dia,” kata Beng Bing-sia.
“Eh, kau sudah kembali, nona Beng,” Su-lam menyapa.
“Ya, mestinya sedari tadi aku sudah harus kembali, lantaran melihat dua orang lewat disana, aku
telah berusaha mang-amat2i gerak gerik mereka?” kata Bing-sia.
“Orang2 macam apakah mereka?” tanya Su-lam.
“Entah kawan atau lawan, yang jelas ginkang mereka sangat hebat, secepat terbang mereka lantas
menghilang dalam sekejap. Sayup2 aku mendengar seorang diantaranya seperti menyebut “Tokliong-
piau” segala.
“Bukan mustahil mereka adalah kawan To Pek-seng, sayang kau tidk menegur mereka,” ujar Beng
Siau-kang. Hal ini tadi sudah didengarnya dri Bing-sia, Cuma tadi dia belum sempat tanya lebih
jelas.
“Lari mereka teramat cepat sehingga wajah merekapun aku tidak jelas, Cuma dari dandanan mereka
tampaknya terdiri dari seorang laki2 dan seorang perempuan,” kata Bing-sia.
Siau-kang tahu ginkang puterinya cukup tinggi, kalau dia bilang orang2 yang dilihtnya itu larinya
teramat cepat, maka orang2 itu pasti bukan orang sembarangan.
Begitulah setelah ver-cakap2 sebentar, kemudian mereka sama mengaso. Dengan cepat Li Su-lam
lantas terpulas karena Bing-sia yang tadinya dikuatirkan kini sudah pulang. Dalam tidurnya yang
nyenyak itu, dalam mimpinya ia seperti ikut Beng Siau-kang dan puterinya pulang ke Kanglam, ia
sedang bermain dan bergurau dengan sinona disuatu tempat yang indah permai. Tiba2 Bing-sia
bersungut padanya dan lari kedalam hutan. Sembari memanggil Su-lam lantas menguber. Tapi
mendadak Beng Siau-kang mengadang didepannya dan menghamtam dadanya. Karena kesakitan,
seketika Su-lam terjaga bangun.
Ketika matanya terpentang, ia menjadi kaget kaget sebab Beng Siau-kang berdua sudah
menghilang. Bahkan tenda sebesar itupun sudah lenyap, Su-lam melihat dirinya tidur disuatu tempat
padang rumput. Su-lam merasa sangsi apakah dirinya masih dalam mimpi. Tapi ketika ia gigit
jarinya sendiri dan terasa sakit, jelas itu bukan alam impian.
Setelah tenangkan pikiran, kemudian Su-lam memeriksa keadaan sekitarnya. Ternyata barang2
milik beng Siau-kang berdua beserta ketiga Tok-liong-piau juga telah dibawa pergi. Yang tertinggal
hanya sebuah kantong kulit penuh berisi air.
“Mengapa mereka berangkat begitu saja tanpa menunggu aku?” pikir Su-lam tidak habis paham. Ia
coba memeriksa lagi, ternyata kudanya tertambat disuatu pohon sebelah sana. Saat itu kudanya juga
telah mengenali dia dan meringkik senang.
“Tenagamu tentu sudah pulih,” ujar Su-lam sambil mendekati kuda itu untuk melepaskan tali
tambatan. Tiba2 ia melihat diatas tanah tertulis dua baris huruf. Ia tercengang demi melihat arti
tulisan itu yang berbunyi: “Kalau ikut melakukan kejahatan, tentu bikin tamat jiwamu.”
Dari garesan tulisan yang kuat itu jelas ditulis oleh Beng Siau-kang dengan ujung pedang.
Disamping huruf2 besar itu masih ada satu baris huruf pula, huruf kecil yang berbunyi: “Kantong
air diberikan padamu, hendaknya kau menjadi orang baik.” Gaya tulisannya halus, terang ditulis
oleh kaum wanita. Tak perlu disangsikan lagi tentu buahtangan Beng Bing-sia.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Su-lam ter-mangu2 kesima menghadapi tulisan2 itu, hampir2 ia tak percaya kepada pandangannya
sendiri. Selang agak lama barulah Su-lam sadar kembali, baru sekarang ia paham bahwa orang yang
hendak dibunuh Beng Siau-kang itu adalah dirinya.
“Mengapa? Mengapa?” demikian serentetan pertanyaan timbul dalam benak Li Su-lam dan tak
terjawab. Jika Beng Siau-kang mau membunuhnya, mengapa mula2 menolongnya pula? Apa
dasarnya dia anggap Su-lam akan membanu orang tertentu untuk melakukan kejahatan? Padahal
sebelumnya mereka tidak saling kenal, mengapa baru pertama kali bertemu sudah menimbulkan
curiga Beng Siau-kang sedemikian hebat?
Serentetan pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh Beng Siau-kang, aka tetapibeng Siau-kang
sudah kembali ke Kanglam, digurun seluas itu terang sukar menyusul mereka, mungkin selama
hidup ini takkan sempat bertemu pula dengan mereka ayah dan anak dan teka teki yang
membingungkan inipun takkan terjawab selamanya.
Hanya saja masih ada juga yang membuat hati Su-lam terhibur, yaitu Bing-sia masih percaya
padanya. Nona itulah yang menentang maksud ayahnya sehingga terhindarlah dia dari bencana
ancaman pedang Beng Siau-kang. Sekarang nona itu meninggalkan sekantong air pula. Air adalah
barang yang tak berharga ditempat lain, akan tetapi air adalah benda mestika yang tiada nilainya
digurun pasir, air berarti jiwa.
Sambil membaca kembali tulisan Bing-sia, dalam hati Su-lam berjanji kepada nona itu pasti akan
menjadi manusia baik sebagaimana diharapkannya.
Setelah mengaso semalaman, tenaga Su-lam kini sudah pulih. Ia menyemplak keatas kudanya dan
melanjutkan perjalanan kebarat. Tiada setengah hari ia sudah melintasi gurun Gobi. Rupanya
tempat berkemah Beng Siau-kang itu terletak tidak jauh dari mata air. Tempat demikian terletak
ditepu Gobi yang luas itu.
Keadaan diluar garis gurun pasir ternyata sangat berbeda, sepanjang mata memandang adalah
padang rumput belaka. Selagi Su-lam menjalankan kudanya dengan pelahan sambil menikmati
pemandangan padang rumput itu, tiba2 terdengar suara keleningan kuda dari belakang diseling
percakapan dua orang.
Waktu Su-lam pasang kuping, didengarnya seorang perempuan sedang berkata: “Besar
kemungkinan adalah bocah didepan itu!”
“Kejar cepat!” terdengar suara kasar seorang laki2. Suaranya keras berkumandang, padahal jarak
mereka masih cukup jauh di belakang.
Su-lam terkejut, tak terduga ver-turut2 ia di ketemukan tokoh Bu-lim ditempat terpencil ini. Ia
heran pula kenapa mereka mengejarnya? Dipadang rumput sunyi ini hanya terdapat dia seorang,
terang “bocah” yang dikatakan perempuan itu adalah Su-lam.
Cepat sekali lari kuda kedua orang itu, dalam sekejap saja mereka sudah sampai di belakang Li Sulam.
Su-lam tanpa berhentikan kudanya malah untuk menunggu. Dilihatnya silelaki brewokan, mukanya
kasar tapi sikapnya gagah. Sebaliknya yang perempuan sangat cantik meski usianya sudah
pertengahan umur. Keduanya jelas orang Han, melihat gerak-gerik mereka agaknya adalah suamiistri.
Laki2 kasar itu lantas menegur Su-lam: “He, To Pek-seng punya Tok-liong-piau apakah berada
padamu?”
“Mohon tanya siapakah tuan?” jawab Su-lam.
“Kau tak perlu urus siapakah kami, yang penting lekas serahkan Tok-liong-piau,” kata laki2 itu.
Su-lam rada mendongkol akan sikap orang. Tiba2 terpikir olehnya jangan2 dua orang yang dilihat
Bing-sia malam kemarin itu adalah kedua orang ini? Karena pertemuan yang tak terduga ini, Sulam
menjadi ingin tahu asal-usul mereka, ia menjawab: “Darimana kau mengetahui Tok-liong-piau
berada padaku?”
“Kemarin kau baru saja lalu disana, Tok-liong-piau milik To Pek-seng itu telah lenyap, siapa lagi
yang mengambil kalau bukan kau? Hm, kalau bukan usiamu yang masih muda dan pasti tidak
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
mampu melawan To Pek-seng hampir saja aku anggap kau sebagai pembunuhnya.”
“Ucapanmu ini rada aneh,” sahut Su-lam dengan tertawa. “Apakah tidak mungkin bahwa Tokliong-
piau telah diambil oleh pembunuh To Pek-seng?”
“Hm, siapakah didunia ini yang mampu membunuh To Pek-seng tanpa dia sendiri menderita luka
parah?” jengek laki2 itu. “Akupun sudah menyelidiki sebab kematian To Pek-seng, dia tidak terluka
oleh senjata tajam, maka dapat diduga kematiannya disebabkan kepayahan berjalan digurun pasir
dalam keadaan terluka dalam. Kalau musuhnya dapat menyelamatkan diri sesudah melukai To Pekseng
adalah untung baginya, masakah dia masih berani mendekati To Pek-seng pula untuk
merampas Tok-liong-piau? Hm, tak perlu banyak bicara, lekas serahkan barangnya!”
“Sabar dulu, Toako, bihar kubicara padanya,” ujar yang perempuan. “Sebagai orang persilatan tentu
kaupun tahu asal usul Tok-liong-piau. Betapapun senjata rahasia itu tentu tiada berfaedah bagimu,
sebaliknya hanya akan mendatangkan bencana bila kau memegang senjata rahasia itu. Maka
kunasihatkan lebih baik kau serahkan kepada kami saja.”
“Baik, kalian bicara secara baik2 padaku, maka akupun akan bicara terus terang padamu,” sahut Sulam
tertawa. “Memang kemarin aku telah menemukan jenazah To Pek-seng, Tok-liong-piau juga
aku yang mengambilnya. Tapi sekarang sudah tiada berada padaku lagi.”
“Siapa lagi yang mengambilnya?” bentak laki2 itu.
“Kanglam-tayhiap Beng Siau-kang yang mengambilnya,” sahut Su-lam.
“hah, Beng-tayhiap? Kaupun kenal dia?” seru laki2 itu terkejut.
“Tidak begitu kenal, Cuma kemarin dia yang menyelamatkan jiwaku,” kata Su-lam. Lalu iapun
menceritakan pengalamannya kemarin itu.
Dilanjutkan ke jilid 01 bagian kedua
Jilid 01 bagian kedua
Setelah mengikuti cerita Su-lam dan tahu pula dia adalah murid Kok peng-yang dari Siau-limpay,
sikap laki2 itu menjadi banyak lebih ramah, katanya: “maaf sebelumnya aku tidak kenal
asal usulmu. Aku she Song bernama Thi-lun. Dia adalah istriku Soatang Liu Sam-nio, mungkin
kau pernah dengar nama kami.”
Kiranya Song Thi-lun suami-istri adalah bandit2 terkenal didaerah Soatang. Lebih2 Liu Samnio,
orang menjuluki dia sebagai iblis perempuan yang membunuh orang tanpa berkedip.
Cuma iapun serupa To Pek-seng, sasarannya hanya hartawan2 rakus dan pembesar2 korup
dan kejam.
“Sudah lama kagum nama kalian, tentunya kalianpun kenal Beng-tayhiap,” tanya Su-lam.
“To Pek-seng adalah kepala golongan (bandit) kami, dahulu Beng-tayhiap pernah berkunjung
kepadanya, maka kamipun pernah bertemu satu kali dengan dia,” kata Thi-lun.
“Jika begitu urusan menjadi gampang,” ujar Su-lam. “Beng-tayhiap baru saja berangkat pagi
tadi, kutaksir mereka belum lagi melintasi Gobi, bila kalian kejar mereka tentu dapat
menyusulnya.”
Tiba2 Liu Sam-nio bertanya: “Apakah Li-siangkong dapat menerangkan cara bagaimana dia
mengetahui Tok-liong-piau berada padamu dan Li-siangkong yang minta Beng-tayhiao
membawanya pulang?”
“Memang aku bermaksud menyerahkan Tok-liong-piau padanya karena Beng-tayhiap telah
menerangkan hubungan baiknya dengan To Pek-seng. Cuma sayang dia buru2 berangkat
sehingga aku tidak sempat minta petunjuk2 padanya.”
Song Thi-lun adalah laki2 yang polos dan tidak sabaran, segera ia berkata: “Kami akan segera
menemui beng-tayhiap, kau ada urusan apa boleh kusampaikan padanya.”
Su-lam merasa tidak enak untuk menceritakan keraguan Beng Siau-kang yang bermaksud
membunuhnya, maka secara samar2 ia hanya pesan: “Cukup kalian menyampaikan terima
kasihku kepada Beng-tayhiap, bahwa aku pasti akan berbuat menurut pesannya.”
Maksud Su-lam hendak menghindarkan rasa curiga mereka, tak tahunya Liu Sam-nio memang
sudah sangsi, tanyanya: “Jika tidak keberatan dapatlah Li-siangkong memberitahukan apa
maksud kedatanganmu ke Mongol sini?”
Lantaran ditanya secara ramah tamah, Su-lam merasa rikuh untuk tidak menjawab. Ia pikir
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kalau mereka sudah ketemu Beng Siau-kang toh juga akan tahu, apa halangannya kalau aku
memberitahukan mereka sekarang?
Tak terduga sesudah mengetahui tujuan Su-lam hendak mencari ayah, Liu Sam-nio lantas
bertanya pula: “Dapatkah kau memberitahu siapa ayahmu?”
Tanpa ragu2 Su-lam lantas menjelaskan. Se-konyong2 air muka Song Thi-lun berubah demi
mendengar nama Li Hi-ko. “Hah, kiranya kau adalah anaknya Li Hi-ko. Hehe, adalah aneh
sekali kalau Beng Siau-kang tidak membunuh kau.”
Su-lam terperanjat. Serunya: “mengapa Beng-tayhiap harus membunuh akau setelah
mengetahui akau adalah anak orang she Li? Soal ini juga sangat membingungkan aku,
dapatkah kalian menjelaskan?”
“Haha, jika demikian, jadi beng Siau-kang pernah timbul pikiran hendak membunuh kau,” kata
Liu Sam-nio tertawa.
Mendadak Song Thi-lun membentak: “beng Siau-kang tidak jadi membunuh kau, biar aku saja
yang bereskan kau!”
Dia bernama “Thi-lun” (roda besi), senjata yang dia pakai juga sepasang roda besi. Segera ia
mengepruk kepala Li Su-lam dengan senjatanya itu.
Ternyata serangan Liu Sam-nio lebih cepat dari suaminya, tahu2 cambuknya sudah
menyamber kearah Li Su-lam sambil berseru kepada Song Thi-lun: “Tangkap dia hidup2 saja!”
~ Ternyata cambuknya hendak dipakai melibat tubuh Su-lam dan diseret kebawah.
Karena tidak ber-jaga2, Su-lam terkejut. Tapi dia tidak malu sebagai anak murid Siau-lim-pay,
pada detik bernahaya itulah se-konyong2 ia melompat keatas dan menyingkir beberapa meter
jauhnya. Walaupun begitu tidak urung ujung bajunya juga terobek sebagian terkena cambuk
Liu sam-nio.
Song Thi-lun terus melompat turun dari kudanya dan menerjang pula.
“Kenapa kalian ………..” mestinya Su-lam bermaksud minta diberi kesempatan bicara lebih
banyak. Tapi belum lanjut ucapan nya Song Thi-lun sudah menyerangnya secara ganas.
Dasar watak Su-lam memang tidak sudi diperlakukan secara kasar, apalagi serangan Song
Thi-lun sudah tiba, kalau tidak menangkis tentu akan mati konyol. Maka tanpa pikir lagi ia
melolos pedang buat menangkis terus balas menyerang.
“Creng”, suara beradunya senjata disertai letikan lelatu api, menyusul lantas “cret” kopiah
yang dipakai Song Thi-lun berlubang oleh tusukan pedang Li Su-lam. Begitu cepat gerakan Li
Su-lam sehingga sama sekali tidak berkutik, untung saja Su-lam tidak bermaksud melukainya
kalau tidak sedikitnya kulit kepalanya sudah terkelupas.
Sudah tentu Song Thi-lun tidak dapat melihat kopiahnya sendiri yang berlubang itu, tapi
istrinya yang terkejut. Cepat iapun melompat turun dari kudanya untuk membantu sang
suami. Ia sudah tahu kepandaian Li Su-lam jauh lebih hebat daripada suaminya, maka tanpa
hiraukan peraturan kangouw lagi, segera ia mengerubuti pemuda itu.
“Bocah ini harus dibinasakan!” teriak Thi-lun kalap, sepasang rodanya menggempur lebih
gencar lagi. Liu sam-nio juga mengimbangi serangan sang suami dengan cambuknya yang
tidak kalah lihainya.
Karena dikeroyok dua, mau tak mau Li Su-lam kerepotan juga. Ia coba bertahan dengan
tenang dengan Tat-mo-kiam-hoat sehingga beberapa puluh jurus telah lalu. Namun cambuk
Liu sam-nio benar2 hebat sebagai naga hidup. Serangan roda Song Thi-lun meski lebih
lamban, tapi tenaganya lebih besar. Su-lam mulai kewalahan dan mandi keringat.
“Buang saja senjatamu, masakah kau masih coba melawan?” bentak Liu Sam-nio. Dibalik
ucapannya itu ia suruh Li Su-lam membuang senjata dan menyerah saja dan jiwanya mungkin
masih dapat diampuni.
Pedang yang dipakai Li Su-lam itu adalah pemberian gurunya, dia pernah bersumpah di
hadapan sang guru bahwa “Pedang ada orangpun hidup, pedang hilang orangnya mati.”
Apalagi senjata sampai dirampas musuh merupakan suatu penghinaan terbesar di dunia
persilatan, tentu saja Li Su-lam tidak sudi membuang senjata dan menyerah kalah.
“Seorang laki2 sejati biarpun mati tidak sudi menyerah!” sahut Su-lam dengan tegas. Dengan
mati2n ia tetap bertahan.
“Hm, kaupun sok laki2 sejati?” jengek Thi-lun sambil menerjang maju, rodanya menghantam.
Su-lam menjadi murka, sambil menggeser kesamping, baru saja ia bermaksud balas
menyerang agar lawannya tahu rasa, se-konyong2 cambuk Liu Sam-nio telah menyabetnya,
“sret”, lengan kiri Su-lam babak belur tersabet.
“Bandel juga kau bocah ini, apa tidak menyerah, sekarang saja?” Liu Sam-nio tertawa.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Tidak!” bentak v. Belum lenyap suaranya, “tarr” kembali pundak kanan babak belur kena
dihajar cambuk lawan.
“Jangan sok kepala batu, tidak sampai sepuluh hajaranku saja tentu badanmu sudah babak
bundas,” ejek Liu Sam-nio sambil tertawa.
“Bihar kau bunuh aku juga pantang menyerah!” sahut Su-lam dengan tegas. “Hm, kukira
kalian adalah orang gagah sejati, tak tahunya adalah manusia2 yang ……….” Keadaannya
sudah tambah payah, suaranya makin lama makin lemah, sampai akhirnya ucapannya menjadi
samar2 tak terdengar.
Liu Sam-nio rada tertegun, cambuknya yang hendak menyabet pula seketika terhenti diudara,
baru saja ia hendak tanya, tiba2 terdengar suara keleningan kuda yang riuh, di padang
rumput sana muncul pula dua penunggang kuda.
“Lekas bereskan bocah ini, dia telah kedatangan bala bantuan!” seru Song Thi-lun.
Tanpa ragu2 lagi cambuk Liu Sam-nio terus menyabet, kontan perut Li Su-lam kena dihajar,
seketika pandangannya menjadi gelap, bumi dan langit se-akan2 berjungkir balik. Su-lam pikir
sungguh tidak nyana harus mati konyol disini. Tapi yang lebih2 tak dinyana adalah pendatang
itu ternyata betul adalah bala bantuan baginya.
Su-lam sendiri sudah sudah payah karena hajaran cambuk Liu Sam-nio, tampaknya kedua
roda Song Thi-lun sudah menghantam pula, karena tidak sanggup menangkis, Su-lam hanya
pejamkan mata menunggu ajal saja.
Tak terduga pada saat menentukan itulah, tahu2 badannya seperti kena dirangkul orang terus
dilarikan kesamping. Rupanya kedua pendatang itu sempat menyelamatkan dia, yang seorang
menangkis hantaman roda dengan palu berantai, yang seorang lagi menyerobot tubuh Su-lam
kesamping. Kedua penolong ini adalah Bu-su Mongol.
Ketika roda besi terbentur palu berantai, terdengar suara nyaring disertai letikan api. Tangan
Song Thi-lun kesakitan, ternyata rodanya menjadi gumpil. Biasanya Thi-lun sok bangga akan
tenaganya yang besar, sekarang baru tahu dia bahwa tenaga lawan juga tidak lemah.
“Kau bunuh bocah itu, Toako, bangsat ini serahkan daku!” seru Liu Sam-nio. Berbareng
cambuknya lantas melingkar kedepan.
“Jangan garang!” bentak Bu-su Mongol itu. Sebelah tangannya memegang palu berantai,
tangan yang lain membawa busur baja. Karena palu berantai telah digunakan melayani Song
Thi-lun, terpaksa ia melayani Liu Sam-nio dengan busurnya.
Permainan cambuk Liu Sam-nio sangat lincah, begitu ujung cambuk tersampuk, segera ia
ganti serangan pula dengan gerakan “Tok-coa-tho-sin” (ular berbisa menjulur lidah),
mendadak cambuknya melurus terus menusuk hiat-to musuh.
“Bagus!” bentak Bu-su Mongol itu sambil angkat busurnya, diputar dan ditarik, cambuk
melingkar pada busur itu.
Liu Sam-nio cepat membetot cambuknya dengan maksud membikin putus tali busur lawan.
Tak terduga tenaga lawan jauh lebih kuat sehingga dia yang terseret maju. Terpaksa Liu Samnio
menubruk maju malah sambul mengendurkan cambuknya sehingga terlepas.
Pada saat itu, palu berantai disebelah tangan Bu-su itu telah disambitkan pula kepunggung
Song Thi-lun. Mestinya Thi-lun hendak memburu kesana untuk melayani Bu-su yang
menyelamatkan Li Su-lam tadi, ketika mendengar samberan angin dari belakang, terpaksa ia
menangkis ke belakang. “Trang”, kembali rodanya terbentur gumpil lagi.
Suara ribut itu telah membikin Su-lam tersadar, baru sekarang ia melihat jelas orang yang
menyelamatkan jiwanya itu. Ia menjadi ter-heran2 dan menyangka berada dialam mimpi.
Kiranya Bu-su yang menolongnya itu tak lain tak bukan adalah Cilaun yang telah dikenalnya
kemarin. Hanya selang satu hari saja keadaan sudah berubah, Cilaun yang kemarin hendak
membunuhnya kini telah berubah menjadi penyelamatnya.
“Mengapa bisa terjadi begini?” demikian Su-lam tidak habis mengerti. Tapi karena
kenyataannya memang demikian, betapapun ia tidak bisa menyangkal.
Bu-su yang datang bersama Cilaun itu ternyata sangat tangkas, dengan satu lawan dua dia
masih lebih banyak menyerang daripada bertahan. Lantaran tak bisa mengalahkan musuh,
pula kuatir akan datang lagi bala bantuan yang lain, Song Thi-lun berdua tidak berani
bertempur lebih lama lagi, cepat mereka mencemplak keatas kuda dan melarikan diri.
“Hm, kalian boleh berkeliaran sesukamu diwilayah Kim, tapi di dareha Mongol sini mana boleh
kau pergi datang sesukanya?” bentak Bu-su itu sambil pasang panah dan pentang busur.
Susul menyusul ia membidikkan tiga anak panah.
Liu Sam-nio putar cambuknya sehingga sebuah anak panah itu kena disabet jatuh. Song Thilun
juga putar rodanya, namun dia tidak selincah saang istri, panah itu masih bisa menyusup
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
melalui lubang jari rodanya dan mengenai bahunya, seketika darah mengucur. Padahal jarak
mereka saat itu sudah cukup jauh, namun panah itu masih begitu jitu dan kuat, sungguh
kepandaian memanah yang luar biasa, sampai Li Su-lam juga melongo kagum.
Untung lari kuda mereka cukup cepat sehingga setibnya anak panah ketiga hanya jatuh
dibelakang kuda Song Thi-lun. Lantaran jaraknya sudah cukup jauh sehingga luka yang
diderita Song Thi-lun juga tidak parah.
Alangkah gemasnya Song Thi-lun, teriaknya dari jauh: “Bocah bangsat, jangan kau
temberang, sekembaliku tentu aku akan mencari gurumu untuk bikin perhitungan. Bengtayhiap
tidak membunuh kau masakah Kok Peng-yang juga tidak membunuh murid durhaka
macam kau ini?”
Yang melukai dia adalah Bu-su Mongol, tapi Thi-lun melampiaskan rasa dongkolnya atas diri Li
Su-lam. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu Su-lam sendiri juga sedang serba runyam. Ia pikir
kalau kau benar akan mengadu kepada Suhu, itulah sangat kebetulan baginya. Ia yakin
gurunya pasti cukup kenal wataknya, akhirnya duduknya perkara pasti akan menjadi jelas.
“Maaf jika kemarin aku berlaku kasar padamu,” demikian Cilaun telah bicara kepada Li Su-lam
setelah memberikan air minum kepada pemuda itu. “Aku bernama Cilaun dan ini adalah
Samko (kakak ketiga) Mufali. Kami adalah Kim-tiang-bu-su yang mengabdi kepada Jenghis
Khan.
Su-lam pernah mendengar dari Ben Siau-kang tentang Kim-tiang-bu-su (jago tenda emas)
yang merupakan jago pengawal Jengis Khan.
Lantaran Jenghis Khan belum lama mempersatukan Mongol, dia belum sempat mendirikan
istana, tenda yang menjadi tempat tinggalnyaseringkali harus pindah kian kemari. Sudah tentu
yang dia pakai jauh lebih besar dan megah daripada tenda umumnya, sebab itulah disebut
“tenda emas” dan jago pengawal pribadinya juga disebut “jago tenda emas”. Diantara jago2
pengawalnya itu adapula 12 orang yang berkepandaian paling tinggi dan disebut “Capji-kimkong”
(duabelas tokoh). Cilaun terhitung nomor delapanmenurut urut2an jago itu. Ia
menyebut “Samko” kepada Mufali, tentunya Mufali ini termasuk jago nomor tiga siantara ke-
12 tokoh itu.
Setelah tenaganya rada pulih barulah Su-lam bertanya: “Kenapa kau tidak bunuh diriku?”
“Ya, tentu ada sebabnya,” sahut Cilaun tertawa.
“Ada sebabnya?” Su-lam menegas. “Sungguh aneh. Dapatkah kau menerangkan?”
“Negeri kami sedang mengadakan persekutuan dengan kerajaan Song kalian untuk
menggencet negeri Kim. Khan besar kami juga sedang mencari orang Han yang pandai. Kalau
pihak Kim adalah musuh bersama kita, maka kita adalah sahabat bukan? Maka kukira kau
tentu suka membantu kami.”
“Masakah hanya demikian saja sebabnya?” ujar Su-lam ragu2.
“Kau shi Li dan bernama Su-lam bukan?” tanya Cilaun.
“Benar, darimana kau mendapat tahu?”
“Begitu kau masuk wilayah negeri kami, sebelum kau melintasi Gobi, berita tentang
“Aneh, aku cuma seorang kecil saja, mengapa begitu menarik perhatian kalian?”
“Itukan kata2mu sendiri yang rendah hati. Padahal setiap orang Han yang datang kemari
selalu dibawah pengawasan kami, apalagi kau.”
“Apa bedanya aku dengan orang lain?”
“Seorang pembesar kepercayaan Khan kami yang berbangsa Han sangat ingin bertemu
dengan kau,” kata Mufali. “Kemarin Cilaun memergoki kau ditengah gurun, dia telah laporkan
padaku, segera aku menduga yang dia pergoki adalah dirimu. Sebab itulah kami cepat2
kemari untuk mencari kau.”
Su-lam tambah heran, tanyanya: “Siapakah orang Han yang kau maksudkan?”
“Setelah bertemu tentu kau akan tahu sendiri,” kata Mufali.
Tentu saja Su-lam menjadi sangsi, ia pikir jangan2 orang itu adalah ayahku. Tapi ayah telah
tersiksa sekian lamanya di negeri orang, mustahil beliau sudi menjadi pembesar Mongol.
Tapi tujuan kedatangan Li Su-lam ini adalah untuk mencari ayahnya. Sekarang ada orang Han
yang kenal dia berada di Holin, seumpama orang itu bukan ayahnya, sedikitnya akan tahu
juga dimana ayahnya sekarang berada. Sebab itulah Su-lam lantas terima ajakan Mufali ke
Holin. Sudah tentu waktu mengambil keputusan ini timbul juga rasa sangsi Li Su-lam dan rasa
tidak tentram. Ia Teringat kepada peringatan Beng Siau-kang yang pernah pula berniat
membunuhnya, baru sekarang ia tahu apa sebabnya.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Diam2 Su-lam me-nimang2: “Suruh aku membantu pihak yang jahat sudah tentu aku tidak.
Saat ini pihak Mongol sedang berunding dan ingin bersekutu dengan Song untuk menghadapi
Kim, paling sedikit saat ini Mongol bukan negeri musuh, asalkan aku pegang teguh keyakinan
sendiri apa jeleknya kalau aku menemui pembesar mereka, bahkan boleh juga menemui Khan
mereka yang besar. Bahwasanya kalau Mongol sudah caplok Kim tentu pula akan makan Song,
setiap orang yang punya pandangan tentu dapat mengkira2kan soal ini. Bilamana orang Han
yang menjadi pembesar Mongol itu betul ayahku, lalu apa yang harus kulakukan? Ya, akan
kubujuk beliau supaya lari pulang saja ke kanglam, dengan demikian nama baik ayah akan
dapat dipulihkan. Tapi apakah ayah mau menurut usulku setelah dia menjabat kedudukan
tinggi di Mongol? Pula sukar rasanya untuk melarikan diri dengan begitu saja?”
Begitulah pikiran Su-lam menjadi kusut, terpaksa ia menghibur diri menurut pendapat
pertama tadi: “Tidak, ayah pasti tidak sudi menjadi pembesar Mongol setelah tersiksa puluhan
tahun disana.”
Sementara itu Cilaun telah mendapatkan seekor unta untuk tunggangan Li Su-lam. Nama lain
unta adalah “kapal gurun”, meski daerah yang mereka lalui sekarang sudah diluar gurun, tapi
menunggang unta akan jauh lebih enak daripada naik kuda. Luka Su-lam juga cuma luka luar
saja, setelah lewat beberapa hari keadaannya sudah pulih seperti semula.
Ditengah jalan Mufali dan Cilaun juga pernah cerita dengan dia tentang To Pek-seng. Katanya
larinya To Pek-seng ke daerah Mongol adalah karena sukar bercokol lagi di wilayah negeri Kim.
Kerajaan Kim telah mengirim 12 jago kelas wahid untuk menangkapnya, terpaksa ia mesti
menyingkir.
“Kalian siap menggempur Kim, sebaliknya To Pek-seng adalah pahlawan yang anti Kim,
mengapa kalian malah memburunya juga?” tanya Su-lam.
“Kami juga sudah berunding dengan dia, tapi dia menolak maksud baik kami,” kata Mufali.
“Kebetulan waktu itu datang utusan Kim yang menjanjikan dua buah kota untuk menukar
seorang To Pek-seng hidup2, kalau mati hanya akan ditukar dengan sebuah kota. Karena
itulah kami harus menangkapnya.”
“To Pek-seng itu sungguh licin,” sambung Cilaun. “Dia sendiri merasa tidak aman setelah
menolak ajakan kami. Maka sebelum datangnya utusan Kim dia sudah sembunyi lebih dulu.
Kami berusaha menangkapnya, kalau perlu juga membunuhnya. Tapi sampai sekarang siapa
orang yang membunuhnya kami sendiri malah belum tahu.”
“Namun sekarang kami telah menemukan jenazahnya, paling sedikit akan mendapatkan
sebuah kota secara Cuma2,” ujar Mufali dengan tertawa.
Mendengar suara tertawanya itu Su-lam menjadi merinding sendir, pikirnya: “Jika akupun
tidak mau diperalat seperti halnya To Pek-seng, mungkin merekapun takkan melepaskan aku
begitu saja.”
Pada saat itulah suatu rombongan pemuda berkuda sedang lalu dipadang rumput itu sambil
menyanyikan lagu yang bernada gagah bersemangat tapi mengandung pula nada yang rada
memilukan.
“Mereka adalah pejuang2 yang memenuhi panggilan wajib dinas, asalkan perintah Khan besar
disiarkan segera mereka akan berangkat ke medan perang,” tutur Mufali. “Coba lihat,
sedemikian banyak pejuang2 kami yang gagah berani, masakan negeri Kim yang konyol itu
takkan kami tumpas habis?”
Su-lam tahu sesudah Jengis Khan mempersatukan Mongol, wibawa negerinya disegani oleh
negeri2 tetangga seputarnya, tentu pula bangsa Mongol lebih2 bangga akan Khan mereka
yang maha besar itu. Akan tetapi kalau jengis Khan hanya tahu menumpuk kekuatan dan
mencaplok negeri orang lain, akhirnya mungkin juga tidak enguntungkan Mongol sendiri,
demikian pikir Su-lam. Maka iapun sudah ambil keputusan didalam hati akan lekas2 berusaha
meloloskan diri bila sudah tiba di Holin mengingat peperangan Mongol dan Kim sudah hampir
berkobar.
Setelah tujuh hari menempuh perjalanan, akhirnya sampai juga di Holin. Dengan rasa tidak
tenteram Su-lam dibawa mereka ke suatu kemah besar. Mufali berdua menyerahkan Su-lam
kepada seorang pengawal dan berkata: “Kami tidak masuk, laporkan kepada Li-tayjin agar
besok lapor kembali ke kemah emas.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Pengawal itu mengiakan, lalu tanya: “Apakah inilah Li-kongcu?”
“Tuan mudamu datang, tentunya kau mesti melayani dia se-baik2nya bukan?” ujar Cilaun
dengan tertawa sambil tinggal pergi bersama Mufali.
“Tuan muda”, sebutan ini menyerupai godam yang mengetok kepala Li Su-lam, kepalanya
menjadi pusing dan jantungnya berdebar. Ia bermaksud tanya, tapi lidahnya serasa kaku,
sama2 ia mendengar pengawal itu berkata: “Silahkan tunggu sebentar, Siauya (tuan muda),
Tayjin segera akan keluar.” ~ Ternyata ia telah disambut kedalam kemah.
Kemah itu dibangun seperti rumah kediam orang Han. Dindingnya bukan tembok, tapi buatan
kulit. Dalam kemah juga ter-bagi2 ber-kotak2 kamar dengan ruang tamu segala dengan meja
kursi pula. Diatas meja ada suatu pot yang mengeluarkan bau harum dupa yang sedap.
Namun perasaan Su-lam tetap gundah, sedapat mungkin ia coba menguasai perasaannya
dengan mengheningkan cipta.
Tidak lama kemudian terdengarlah suara sepatu, “Li-tayjin” yang dikatakan telah muncul. Sulam
melihat yang datang ini adalah laki2 setengah umur dengan mantel bulu, dandanannya
jelas sebagai pembesar Mongol. Pada usia tiga tahun sudah berpisah dengan ayahnya, maka
wajah sang ayah sudah tidak berkesan baginya. Hanya menurut ibunya, katanya muka
ayahnya rada mirip dia. Tapi laki2 di hadapannya ini toh tidak menyerupainya.
Setelah tenangkan diri, Su-lam tidak anggap orang dihadapannya itu sebagai ayah, tapi ia
berbangkit dan menegur: “Siapakah kau? Katanya kau mencari aku, sebenarnya untuk urusan
apa?”
Orang itu mengamat-amati Su-lam sejenak, kemudian berkata: “Kau bernama Li Su-lam,
berasal Bu-sing di Soatang, bukan?”
“Benar, darimana kau mendapat tahu?” sahut Su-lam.
“Haha,” orang itu tertawa. “Anak Lam, pantas kau tidak kenal aku lagi. Waktu meninggalkan
rumah kau baru berumur tiga, akupun tidak menyangka kau sudah setinggi-besar ini.”
Seketika Su-lam menjadi tertegun dan tidak tahu apa yang harus diucapkan.
Orang itu tepuk2 pundak Su-lam, katanya pula: “Tahun ini kau berumur 24 bukan? Aku masih
ingat benar hari lahirmu adalah tanggal 2 bulan tujuh, jadi besok kebetulanadalah hari ulang
tahunmu. Sungguh tidak nyana setelah ver-harap2 selama 21 tahun baru sekarang aku dapat
ketemu anaknya sendiri. Besok aku akan merayakan hari ulang tahunmu. Eh, kau tidak
panggil ayah padaku?”
Bahwasanya hari lahirnya dengan tepat telah dikatakan orang itu, Su-lam tidak bisa bersangsi
lagi, terpaksa ia memanggil “ayah” dengan suara serak.
“Nak, kau tentu tidak menyangka akan bertemu dengan ayahmu disini bukan? Apalagi ayahmu
sudah punya kedudukan tinggi,” kata Li Hi-ko dengan bergelak tertawa.
“Benar, tadinya kukira kau masih berada ditempat pertanian dan sedang menderita disana,”
kata Su-lam.
Air muka orang itu rada berubah, tanyanya: “Siapa yang katakan padamu?”
“Ditengah jalan aku ketemu seorang kawan she Beng, dia yang bercerita padaku,” sahut Sulam.
“Apakah orang she Beng yang kau maksudkan itu adalah Beng Siau-kang?” tanya Li Hi-ko.
“Benar,” jawab Su-lam. Diam2 ia merasa heran dari mana ayahnya bisa kenal namanya Beng
Siau-kang setelah tinggal sekian lamanya di Mongol, apalagi ketika di kampung halaman
ayahnya juga jarang bergaul dengan orang Bu-lim, pada waktu itu Beng Siau-kang juga belum
terkenal.
Li Hi-ko tampak manggut2, katanya: “Benar, aku memang telah banyak menderita. Syukur
kini aku telah memetik buahnya, Khan besar tidaklah jelek terhadapku. Coba kau lihat tempat
tinggalku ini, bukankah lebih baik daripada rumah sendiri. Eh, bicara tentang rumah,
bagaimana dengan ibumu?”
“Ibu sehat2 saja, hanya usianya sudah tambah lanjut, beliau sangat memikirkan ayah
sehingga rambut sudah mulai ubanan. Beliau berharap aku menemukan ayah dan dapat
segera pulang kesana.”
“Sekarang aku telah menjadi pembesar Mongol, manabisa pulang dengan begitu saja. Lagipula
apa gunanya pulang? Kan lebih baik hidup bahagia disini. Kukira pada saat yang tepat lebih
baik kita jemput ibumu kesini saja.”
“Ayah,” kata Su-lam dengan menahan airmata. “Menurut ibu, engkau telah memberi nama
yang berarti kepadaku, apakah engkau sendiri sudah lupa?”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Li Hi-ko tampak tertegun sejenak, lalu berkata: “Sudah tentu akulah yang memberi nama
padamu. Buat apa kau mengungkatnya?”
“Ayah telah memberi nama ‘rindu selatan’ padaku, maksudnya supaya kita selalu ingat kepada
negara kita yang terpaksa hijrah ke selatan, kenapa sekarang ayah sendiri malah tidak
memikirkannya lagi?”
“Dimana kita terima budinya, disitulah kita menetap,” kata Li Hi-ko. “Apalagi hendak pergi
juga sukar. Ketika di Airag akupun pernah bermaksud lari bersama kawan2 sepaham, tapi
akhirnya banyak kawan yang lari dan tertawan kembali, malahan mendapat siksaan lebih
hebat. Sekarang aku telah menjadi pembesar dengan dikelilingi banyak pengawal, jangankan
hendak lari, asalkan mereka mengetahui pikiranku ini mungkin jiwaku akan melayang.”
“Anak tahu akan keadaan ayah,” ujar Su-lam. “Untuk lari memang sulit, tapi asalkan ayah
punya tekad demikian betapapun bahayanya juga mesti kita coba dan aku percaya kita tentu
akan mendapatkan jalan keluar yang baik.”
Rupanya LI Hi-ko tidak sependapat, ia goyang2 kepala dan berkata: “Apakah ada harganya
kita mesti menghadapi bahaya demikian? Keadaanku disini cukup baik, daripada pulang untuk
hidup terkekang dibawah perintah orang Kim kan lebih baik menjadi pembesar di Mongol sini?
Terus terang, biarpun orang Mongol memang kejam, tapi terhadap bangsa Han kita jauh lebih
baik daripada terhadap tawanan Kim.”
“Apakah ayah tahu mengapa Khan besar mereka mengangkat ayah menjadi pembesarnya dan
akhir2 ini mengapa sikap mereka jauh lebih baik terhadap bangsa Han kita. Soalnya mereka
hendak menyerbu Tionggoan, mereka ingin memperalat orang Han dan mesti mengambil
hatinya lebih dahulu.
“Benar, separoh tanah air kita telah dicaplok Kim, sekarang Mongol hendak membantu kita
merebutnya kembali, bukankah itu sangat baik? Ingin kukatakan padamu bahwa perundingan
persekutuan antara Mongol dan Song Raja kita sudah mendekati persepakatan. Andaikan kau
benar setia kepada Song dan berniat berjuang bagi tanah air maka tidak perlu jauh2 pulang ke
kanglam, boleh kau bekerja bagi Khan besar disini kan sama juga berjuang untuk tanah air.”
“Ayah hanya pikir yang satu tapi lupa yang lain,” ujar Su-lam. “Coba renungkan, setelah
menupas Kim, apakah pihak Mongol mau membiarkan Song kita hidup damai bersamanya.
Menurut pandanganku, maksudnya bersekutu dengan Song hanya menunggu kesempatan
untuk kemudian satu per satu menaklukkannya. Maka kalau ayah tidak ambil keputusan tegas
sekarang, bilamana nanti Mongol telah menjadi musuh Song kita, tatkala mana ……..tatkala
mana ayah tentu akan dianggap sebagai pengkhianat yang menjual negara.”
Su-lam sudah nekat menerima akibat dari ucapannya yang kasar ini. Tak terduga wajah
marah Li Hi-ko tadi mendadak berkurang malah. Dengan lesu orang tua itu duduk di kursinya.
Wajahnya sebentar merah sebentar pucat.
Su-lam mengira ucapannya telah kena dilubuk hati sang ayah, ia tidak tahu bahwa saat itu Li
Hi-ko sedang berpikir: “Tampaknya bocah ini sangat kepala batu. Untuk memaksa dia dengan
sikap keras agaknya sukar tercapai, lebih baik pakai cara halusan saja.”
Maka kemudian ia berkata dengan menghela nafas: “Ucapanmu memang beralasan juga, nak.
Cuma urusan ini teramat penting, kita masih harus bicara lagi secara mendalam. Bagaimana
ilmu silatmu sekarang. Aku sudah tahu, bilamana kelak kita harus kabur dari sini masih
diperlukan tenagamu.”
“Sungguh memalukan, ayah, ilmu silat keluarga sendiri tak pernah kepelajari karena tiada
yang mengajar. Untung juga selama ini anak telah belajar ilmu silat Siau-lim-pay. Guruku
yang berbudi adalah Kok-tayhiap. Beliau datang kerumah dan menerima anak sebagai
muridnya ketika anak berumur tujuh tahun. Semuanya ini berkat restu ayah pula.”
Li Hi-ko merasa senang karena Su-lam tidak belajar ilmu silat keluarga LI sendiri, dengan
demikian tak perlu dia merasa kuatir kalau2 ditanyakan ilmu silat keluarga sendiri. Segera
iapun bertanya pula: “Siapakah gurumu Kok-tayhiap itu? Mengapa kau bilang berkat restuku?”
“Suhu bernama Kok Peng-yang, tentu ayah masih ingat beliau bukan?”
“Kok Peng-yang? Siapakah dia?” gumam Li Hi-ko rada bingung.
“Beliau adalah kawan karib ayah, masakah ayah sudah lupa?”
“Aha, ingatlah aku sekarang!” seru Li Hi-ko sambil tepuk dahi sendiri. “Ya, diwaktu muda
memang aku punya seorang teman she Kok, Ai, setelah sekian lamanya, semua kejadian
dimasa lampau hampir terlupa seluruhnya.”
Hati Su-lam menjadi pilu. Penderitaan selama 20-an tahun memang sukar dirasakan, untung
ayahnya masih bertahan sampai sekarang. Tapi setelah menderita sekia lamanya seharusnya
mesti benci kepada musuh, mengapa jalan pikiran ayah menjadi terbalik malah? Demikian
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pikirnya.
“Suhu juga sangat terkenang kepada ayah, beliaupun harap ayah bisa lekas2 pulang
ketanahair,” kata Su-lam pula.
“Kau pernah menyaksikan ilmu silat Mufali dan Cilaun bukan? Coba katakan, dapatkah kau
mengalahkan mereka?” tanya Li Hi-ko.
“Terhadap Cilaun masih bisa melayani, tapi anak harus mengakui tidak sanggup melawan
Mufali,” kata Su-lam.
“Padahal Khan besar mempunyai 12 jago pengawal kepercayaan, Mufali hanya nomor 3
diantara mereka. Jago yang nomor satu dan dua itu tentu jauh lebih lihay. Kalau Mufali saja
kau tidak mampu mengalahkannya, cara bagaimana bisa kabur dari sini? Oleh karena itu,
daripada kitamati konyol, kupikir kita harus cari jalan yang baik. Untuk ini hendaklah kau
bersabar. Setahuku, dalam waktu tiga bulan ini Khan besar pasti akan mengerahkan
pasukannya untuk menggempur Kim dan akupun mungkin ikut serta dalam ekspedisi ini.
Untuk lari dimedan perang akan lebih leluasa, pula tempatnya nanti adalah diwilayah tanah air
kita, untuk meloloskan diri tentu akan lebih gampang daripada lari dari sini dan mesti melintasi
Gobi pula.”
Su-lam merasa uraian sang ayah cukup beralasan, dengan girang ia menjawab: “Apa yang
ayah pikirkan memang sangat baik. Anak rasanya sanggup bersabar untuk dua tiga bulan
lagi.”
“Baiklah, kita sudahi pembicaraan kita sampai disini, kau tentusudah terlalu lelah, bolehlah
kau mengaso saja. Besok akan kubawa kau menghadap Khan besar,” kata Hi-ko.
“Menghadapi Jengis Khan?” Su-lam menegas. “Kukira kalau bisa dihindarkan lebih baik tidak
menghadapi saja.”
“Kau dibawa kemari oleh Mufali dan Cilaun, sudah tentu hal ini telah diketahui Khan besar,
malahan siang tadi kepadaku beliau menanyakan dirimu.”
“Jika demikian, terpaksa anak ikut menghadap.”
“Aku akan peringatkan kau supaya kau bersikap hormat kepada beliau. Hendaklah maklum
bahwa kita harus berebut kepercayaan Khan besar agar kelak kita ada kedapatan kabur yang
lebih leluasa. Tentu kau paham kata2ku.”
“Ya, anak paham,” sahut Su-lam.
“Baiklah sekarang boleh kau pergi tidur, besok akan kukatakan hal2 yang perlu kau perhatikan
secara terperinci.” Kata Li Hi-ko. Ia panggil seorang pengawal agar membawa Su-lam kesuatu
kamar tidur. Rupanya Li Hi-ko telah punya selir pula di Mongol, maka hal ini sengaja
dirahasiakannya.
Walaupun lelah, namun sukar bagi Su-lam untuk pulas. Semula ia menyangka akan
mengalami berbagai kesukaran dalam usahanya mencari ayah, siapa tahu ketemunya
sedemikian gampang. Namun pertemuan yang demikian ini benar2 pula terlalu diluar
dugaannya.
Dalam kegelapan tiba2 terbayang tulisan peringatan diatas pasir yang ditinggalkan Beng Siaukang
itu. Sebagai seorang pemuda yang berjiwa kesatria, Su-lam merasa dirinya tak nanti
membantu pihak yang jahat, bukanlah ia takut terhadap Beng Siau-kang, hanya soal
peringatan yang mesti ditinggalkan Beng Siau-kang itulah yang membuatnya mau tak mau
mesti berpikir secara mendalam. Ia menjadi sangsi apakah ayahnya yang telah menjadi
pembesar Mongolitu telah banyak melakukan kejahatan sehingga menimbulkan antipati
diantara pahlawan2 bangsa Han, kalau tidak Beng-tayhiap tentu takkan sedemikian benci
padanya.
Terpikir sampai disini, Su-lam merasa sedih. Timbul pula dalam benaknya apa yang pernah
didengarnya dari sang ibu tentang diri ayahnya. Seringkali ibunya mengingatkan agar jangan
lupa akan arti nama pemberian ayahnya itu. Menurut ibunya, biarpun ayahnya hidup sebagai
petani, tapi jiwa pahlawannya tidak pernah pudar. Selain tetap mengadakan kontak rahasia
dengan para pejuang melawan Kim, ayahnya juga pernah mengadakan pekerjaan berat, yaitu
menyusun sebuah kitab militer untuk dipersembahkan kepada seorang pemimipin
pemberontak. Cuma sayang kitabnya belum selesai disusun beliau sudah keburu ditawan
pasukan Mongol.
Kiranya leluhur Li Su-lam adalah panglima perang ayng gagah berani dibawah jendral Han Sitiong,
itu panglima termashur ketika menggempur tentara Kim habis2an disungai Tinkang.
Leluhurnya telah mencatat semua kejadian serta cara Han Si-tiong mengatur siasat
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
menghadapi musuh dengan segala perkembangannya, catatan2 itu tidak tersusun baik, tapi
ter-pisah2. Catatan itu sampai ditangan Li Hi-ko barulah Hi-ko bertekad akan meneruskan
cita2 leluhurnya untuk menyusun catatan2 itu menjadi sebuah kitab militer yang berharga.
Teringat akan cerita2 yang didengarnya dari sang ibu itu, diam2 Su-lam merasa gegetun akan
begitu cepat perubahan jiwa ayahnya itu. Ia tidak tahu apakah ayahnya masih ingat atau tidak
tentang cita2nya akan menyusun kitab pusaka itu? Kiranya kitab pusaka yang belum
terselesaikan itu kini telah dibawa serta oleh Li Su-lam, hanya saja dia belum sempat
bicaratentang soal ini. Ia pikir besok pagi akan coba ditanyakan kepada ayahnya yang masih
membingungkan itu. Menurut cerita ibunya, dahulu ayahnya tidak sudi bekerja bagi kerajaan
Kim, tapi sekarang malah mau menjadi pembesar Mongol. Apakah mungkin ayahnya begitu
pengecut dan terima menyerah dibawah ancaman musuh?
Tapi kemudian iapun bersyukur bahwa sekarang ayahnya mau juga sadar dan terima usulnya
untuk mencari kesempatan buat lari. Ayahnya sudah 20-an tahun tinggal di Mongol, tentunya
beliau sangat paham situasi negeri ini. Kalau sudah pulang kembali keselatan kelak tentu
tenaganya akan banyak berguna bagi Song Raya melawan Mongol. Dengan tenaga yang sukar
dicari ini, asalkan selanjutnya berjuang bagi negara dan bangsa, meski sebelumnya beliau
pernah berbuat sedikit kejahatan rasanya cukup untuk menebus dosanya itu. Demikian Su-lam
rada terhibur setelah berpikir demikian.
Tengah Su-lam tenggelam dalam lamunannya, tiba2 terdengar suara kresek perlahan, suara
seperti orang menarik tendanya. Ia terkejut dan cepat meloncat bangun, baru saja hendak
menegur terdengar seorang telah berkata dengan suara tertahan: “Ssst jangan bersuara, aku
tidak bermaksud jahat. Tapi ada urusan penting hendak kukatakan padamu.”
Su-lam menjadi ragu2, pada saat itulah mendadak terdengar suara teriakan: “Tangkap
mata2!” ~ Rupanya jejak orang itu telah dipergoki penjaga.
Orang itu tidak jadi menemui Su-lam, dengan cepat ia melemparkan sesuatu kedalam kemah.
Dari samberan suaranya Su-lam dapat membedakan barang yang dilemparkan kepadanya itu
bukan senjata rahasia, segera ia menangkapnya. Ketika diremas, ia tahu hanya sepulung
kertas.
Dengan penuh rasa sangsi Su-lam tidak memeriksa dulu pulungan kerta itu tapi ia masukan
dalam saku, lalu memburu keluar. Dilihatnya orang itu telah melompat keatas tenda, dua
pengawal juga telah menguber keatas dan mulai bergebrak. Tenda adalah benda yang lemas,
walaupun terbuat dari kulit tebal dan cukup kuat, namun dapat pula dibayangkan ginkang
ketiga orang yang bertempur diatas itu.
Su-lam menarik nafas panjang, menyusul iapun meloncat keatas tenda. Dilihatnya sinar
senjata berkelebat kemilauan. Su-lam terkejut, bukan saja ilmu pedang orang yang berkedok
itu sangat tinggi, jauh diatasnya, bahkan kedua jago pengawal Mongol itupun bukan jago
lemah, paling sedikit juga tidak lebih lemah dari dirinya.
Agaknya orang berkedok itu tidak ingin terlibat lebih lama dalam pertarungan, se-konyong2 ia
menggertak: “Kena!” ~ Kontan lengan kiri seorang lawannya terluka oleh pedangnya dan
terguling kebawah tenda. Tanpa ayal orang berkedok itu lantas melarikan diri.
Tapi jago pengawal yang lain segera membentak juga: “Kena!” ~ Sekaligus ia menyabitkan
tiga buah pisau daan menyamber kedepan secepat kilat.
Rupanya orang berkedok itu sama sekali tidak menyangka jago pengawal itu adalah akhli
senjata rahasia, pula ia ingin lekas2 kabur, maka iapun ter-guling2 diatas tenda.
Meski belum diketahui siapakh orang berkedok itu, tapi dari gerak geriknya Su-lam yakin pasti
kawan dan bukan lawan. Akan tetapi kedudukan Su-lam benar2 serba salah, tidak mungkin ia
membantu penyatron itu melawan penjaga. Karena itu ia menjadi gelisah sendiri melihat
robohnya orang itu dan diuber jago pengawal.
Diluar dugaan, pada saat itulah mendadak penyatron itu membentak pula: “Ini, terima
kembali milikmu!” ~ Sinar putih berkelebat, tahu2 pisau tadi telah menyamber balik. Rupanya
orang itu tidak menghiraukan rasa sakit pada lukannya, pisau yang menancap dibahunya itu
telah dicabut, lalu disambitkan kembali.
Sungguh konyol pengawal yang sedang memburu maju itu sama sekali ia tidak menduga
senjata akan makan tuannya. Dalam keadaan kepepet itu sebisanya ia berusaha mengelakkan
diri. Namun tidak urung betisnya dekat dengkul terserempet juga oleh samberan pisau itu
sehingga sebagian kulit dan daging kaki terkupas.
Cepat Su-lam memburu maju, pengawal itu dirangkulnya, terus dibawa lompat kebawah.
Tujuannya sih bukan untuk menolong pengawal itu, tapi dengan jalan demikian ia dapat
menghindarkan diri bertempur dengan penyatron itu. Memang benar, ketika ia lepaskan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pengawal itu dibawah, sementara itu orang2 lain sudah memburu datang dan penyatron
itupun sudah kabur.
Untung luka kedua pengawal itu tidak terlalu parah, setelah diberi obar luka tentu akan
sembuh dalam waktu singkat. Waktu Li Hi-ko keluar, kedua pengawal itu melaporkan apa yang
terjadi dan minta maaf karena tak mampu membekuk penyatron itu. Kata mereka: “Namun
bangsat itu telah terkena sebuah pisauku, bahunya terluka. Dengan ciri ini tentu kita dapat
memeriksa setiap orang Han yang jumlahnya tidak banyak di Holin ini.”
Kedua pengawal itu adalah kiriman Jengis Khan yang ditugaskan untuk membantu Li Hi-ko,
tapi sebenarnya untuk mengawasi dia. Sudah tentu Li Hi-ko tahu. Maka is telah menghibur
mereka dengan kata2 halus, lalu suruh orang lekas lapor kepada Mufali.
Mufali adalah komandan “Sin-ek-ing” (pasukan sayap sakti) yang bertugas khusus mencari
dan menangkap buronan. Setiap Bu-su dari Sin-ek-ing menguasai tiga ekor kuda pilihan agar
dikala menguber buronan jarak kauh kuda2nya dapat dipakai bergantian. Sebab itulah disebut
“sayap sakti”.
Melihat sikap ayahnya begitu lemah terhadap orang Mongol, diam2 Su-lam merasa tidak enak,
ia pikir entah berapa banyak orang Han akan menjadi korban gara2 peristiwa ini.
Setelah menyelesaikan urusan ini, kemudian Li Hi-ko tanya Su-lam: “Penyatron itu dipergoki
didepan tendamu agaknya dia menghendaki kau. Menurut pendapatmu apa maksudnya?
Apakah bermaksud jahat padamu atau ada tujuan lain?”
Su-lam sendiri lagi ragu2 apakah mesti bicara terus terang. Tapi sekarang ia telah ambil
keputusan akan merahasiakan apa yang telah dialaminya. Jawabnya: “Aku terjaga bangun
ketika mendengar teriakan penjaga, darimana bisa mengetahui maksud kedatangan
penyatron.”
Tapi kukira penyatron itu adalah musuh Li-kongcu,” tiba2 pengawal yang kakinya terluka itu
ikut bicara.
“Darimana kau mendapat tahu?” tanya Li Hi-ko.
“Bukankah Kongcu pernah pergoki begundal To Pek-seng dipadang rumput sana dan hampir
dicelakai mereka,” kata pengawal itu. “Kulihat penyatron tadi besar kemungkinan juga
komplotan To Pek-seng.”
Lantaran pengawal itu tado telah diselamatkan oleh Li Su-lam, sudah tentu ia tidak menaruh
curiga sipenyatron adalah kawan Li Su-lam. Apalagi iapun mengetahui dikerubutnya Li Su-lam
oleh Song Thi-lun dan istrinya dan Mufali yang telah menyelamatkannya. Maka tanpa ragu2 ia
berani menarik kesimpulan tadi.
Keruan ucapan pengawal itu serupa pembelaan atas diri Li Su-lam. Li Hi-ko menjadi hilang
curiganya. Katanya kemudian: “Anak Lam, selanjutnya kau harus waspada terhadap anak
buah To Pek-seng. Fajar sudah hampir menyingsing, boleh kau kembali ketendamu buat
mengaso, sebentar lagi ikut aku menghadap khan besar.”
Su-lam mengiakan. Ia pikir tekad ayahnya untuk lari dari Mongol agaknya belum bulat, maka
sebaiknya tentang salah paham kawan2nya To Pek-seng terhadap dirinya itu lebih baik
sementara ini tetap dirahasiakan.
Sekembalinya ditenda sendiri, Su-lam coba keluarkan pulungan kertas kecil tadi, dilihatnya
kertas itu tertulis secara singkat: “Kalau ingin jelas duduk perkara, datanglah kelembah Sionghong-
kok digunung Alkeh. Sangat rahasia, se-kali2 jangan katakan kepada orang lain.”
“Duduk perkara? Aneh, siapakah dia? Mengapa dia tahu aku ingin tahu duduk perkara yang
sedang keragukan?” demikian Su-lam tidak habis paham. Dari peta Mongol yang telah
dipelajari, ia tahu letak pegunungan Alkeh itu. Ia pikir orang itu telah sengaja mengantarkan
pulungan kertas sekecil itu dengan menempuh bahaya, pula telah memberi pesan agar jangan
diberitahukan kepada orang lain, tentunya juga termasuk ayahnya.
Baru saja Su-lam bermaksud membakar surat itu, tiba2 tergerak pikirannya, ia ccoba
mengamat-amatilebih teliti, ia menjadi heran karena gaya tulisan itu seperti sudah dikenalnya,
tapi tidak ingat dimana pernah melihatnya?
Selang sejenak, ia ingat sesuatu, cepat ia mengeluarkan kitab pusaka yang belum lengkap
disusun ayahnya dahulu dan kini disimpan baik2 dalam bajunya itu, ia coba mencocokkan,
ternyata tulisan kitab itu mempunyai gaya yang sama dengan tulisan surat itu, hanya saja
gaya tulisan surat itu lebih lemah, mungkin ditulis secara ter-buru2. Sebab itulah Su-lam
belum berani memastikan kedua tulisan itu berasal dari tangan satu orang.
Setelah dipikir lagi, akhirnya Su-lam tertawa sendiri, tulisan orang didunia ini tentu saja ada
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
yang mirip, apakah mungkin pembesar Mongol ini bukan ayahku, padahal karena dia ini
ayahku, maka Beng-tayhiap hendak membunuh aku. Ia pikir: “Orang tadi bermaksud
memberitahukan secara lisan padaku tentang sesuatu yang penting, mungkin sekali iapun
sadar kesempatan bicara sangat sedikit, maka sebelumnya ia telah siapkan surat singkat ini.
Mengapa dia tidak tulis lebih jelas agar aku tahu siapakah dia sebenarnya?”
Ia coba mengenang orang tadi, walaupun berkedok, tapi dapat ditaksir umurnya pasti belum
lebih 40 tahun, bahkan ilmu silatnya sangat tinggi, rasanya pasti bukan ayahnya. Lantaran
tidak mendapatkan gambaran yang pasti, terpaksa ia membakar surat itu, teka-teki ini
sementara disimpannya didalam hati.
Su-lam sangat teliti, untuk menghidarkan segala kemungkinan, ia aduk abu kertas yang
dibakar itu dengan air dan diminumnya habis. Tidak lama kemudian pengawal memanggilnya.
Cepat ia ganti pakaian dan ikut ayahnya ke “kemah emas” untuk menghadap Jengis Khan.
Ditengah jalan Li Hi-ko berkata kepada Su-lam: “Khan besar paling menyukai pemuda yang
berkepandaian, asalkan kau bisa menarik hatinya, segala usaha kita selanjutnya tentu akan
menjadi leluasa.”
“Ya, Cuma anak tidak pintar menyanjung-puji,” kata Su-lam.
“Mesti watak, Khan besar juga suka disanjung-puji, tapi beliau juga paling benci kepada
penjilat,” kata Li Hi-ko. “Yang dia senangi adalah pemuda yang punya keberanian dan
pendirian. Asal sikapmu terhadap beliau tidak kaku dan juga tidak terlalu rendah diri sudah
cukuplah. Pertemuan nanti sangat besar sangkut pautnya dengan hari depanmu, hendaknya
kau berbuat se-baik2nya.
Su-lam merasa tidak enak karena apa yang dikatakan ayahnya itu bukankah mirip menyuruh
dia manjadi penjilat? Untuk tidak bertengkar sendiri dengan sang ayah, terpaksa ia diam saja.
Kemudian Li Hi-ko bercerita: “ Khan besar mempunyai empat anak laki2, yang sulung
bernama Cuja, putera kedua Cahatai, putera ketiga Ogotai dan putra bungsu Dolai, Cuja
dilahirkan setelah ibunya pulang dari tawanan suku Murkit, suku yang merupakan musuh
besar Khan. Oleh karena itu saudara2nya anggap asal-usul saudara tua itu tidak jelas,
menganggapnya sebagai anak haram musuh, maka mereka sama tidak anggap dia sebagai
kakak. Watak Cuja juga sangat kasar, maka tidak disukai Khan. Cahatai sangat pintar perang,
tapi wataknya bengis. Putera ketiga Ogotai paling baik tabiatnya, diapunpaling disukai anak
buahnya. Tapi yang paling disayang oleh Khan adalah puteranya yang kecil, Dolai. Agaknya
kelak yang dapat menggantikan tahta Khan hanya ada dua, kalau bukan Ogotai tentulah Dolai.
Usia mereka sebaya dengan kau, boleh juga kau berkawan dengan mereka.”
“Kita toh tidak bermaksud menetap selamanya disini, rasanya tidak perlu mendekati kaum
pangeran segala,” ujar Su-lam.
“Bukan begitu soalnya. Justru kalau kita bergaul dengan mereka, paling sedikit akan banyak
membantu rencana lari kita, sebab orang2 lain tentu takkan mencurigai gerak-gerik kita.”
Kemudian Hi-ko bercerita pula:”Khan besr punya tiga anak perempuan pula. Putri sulung dan
kedua sudah menikah, puteri ketiga bernama Alihai, bahasa Mongol ‘alihai’ berarti Minghui
(bijaksana), maka boleh kau sebut dia Putri Minghui.”
Sedang bicara, tampak Cilaun datang berkuda, seunya dengn gelak tertawa: “Selamatlah
kalian ayah dan anak dapat berkumpul kembali.”
“Semuanya atas bantuanmu, aku harus berterima kasih padamu,” sahut Hi-ko.
“Puteramu terkenal sebagai kesatria muda perkasa, maka Khan besar ingin juga melihatnya,
kedatangan kalian sangat kebetulan,” kata Cilaun pula.
“apakah beliau sudah berdinas?” tanya Hi-ko.
“Pagi2 benar Khan besar sudah lantas pergi berburu, aku tahu kalian pagi ini tentu akan
menghadap Khan kita, maka sengaja menunggu disini. Marilah kita berangkat bersama. Likongcu,
hari ini adalah kesempatanmu untuk perlihatkan kemahiranmu. Aku masih ingat
caramu memanah elang di padang Gobi tempo hari. Betapa hebat kepandaianmu itu sungguh
sangat mengagumkan.”
Wajah Su-lam menjadi merah, sahutnya: “Tapi elang itu sempat mabur lagi!”
Kiranya tempo hari elang yang terpanah oleh Li Su-lam dan kabur lagi itu telah diketemukan
Cilaun ditengah jalan, karena itu ia lantas mencari jejak si-pemanahnya dan akhirnya
ketemukan Su-lam.
Tempat perburuan Jengis Khan adalah pegununganKen yang terletak belasan li dari Holin,
maka tidak terlalu lama sampailah mereka ditempat tujuan. Li Su-lam dan ayahnya mengikuti
Cilau keatas gunung, tertampak pengawal2 memenuhi lereng gunung dengan melepaskan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
elang dan anjing untuk mengudak binatang buruan, hakikatnya Li Su-lam tidak tahu yang
manakah Jengis Khan adanya.
Tiba2 terdengar suara gemuruh di udara, Su-lam menjadi heran cuaca secerah itu mengapa
ada bunyi guntur. Waktu menengadah, dilihatnya diatas langit sana ada dua titik hitam yang
makin mendekat menjadi makin jelas, akhirnya tertampaklah kedua titik hitam itu kiranya
adalah dua ekor burung rajawali yang besar itu.
Su-lam terkejut melihat rajawali yang berlipat besarnya daripada elang yang dipanahnya
tempo hari itu. Mungkin karena banyaknya orang dibawah, kedua ekor rajawali itu tidak berani
terbang rendah, tapi ber-putar2 diangkasa.
Selagi semua orang menengadah mengikuti gerak-gerik rajawali2 itu, tertampak seorang Busu
berjubah perang warna kuning, emas tampil kemuka sambil pentang busurnya dan berseru:
“Jika aku dapat membalas sakit hati leluhur dan menyapu bersih negeri Kim, panahku ini akan
tepat mengenai sasarannya!”
Terdengar suara mendesing keras, panah terlepas dari busurnya. Benar juga, kontan rajawali
yang me-layang2 diangkasa itu terjungkal kebawah. Bahkan tidak Cuma satu, tapi dua ekor
sekaligus terkena satu panah.
Serentak terdengarlah sorak sorai gemuruh: “Hidup maharaja kita ~ Jengis Khan! Engkau
telah diberkati tenaga raksasa, engkau dikarunia kepandaian memanah, musuh bertekuk lutut
di hadapanmu! Kaum khianat gemetar mendengar namau! ………
Su-lam terperanjat. Baru sekarang ia tahu Bu-su pemanah rajawali itulah Jengis Khan adanya.
Mau tak mau ia harus mengakui Jengis Khan memang benar2 seorang tokoh besar, seorang
yang luar biasa, cukup caranya dia memanah rajawali saja rasanya tiada bandingannya di
dunia ini.
Begitulah serentak semua anak buah Jengis Khan berjongkok menyembah, seru mereka:
“Satu panah dua rajawali, Thian telah meluluskan permohonan Khan besar, pergerakan ini
tidak saja sakit hati akan terbalas dan negeri Kim akan runtuh, bahkan seluruh jagat mungkin
akan dipersatukan oleh Khan besar. Harap khan besar memilih hari ayn baik untuk
mengerahkan prajurit kita!”
Mongol dan Kim adalah musuh bebuyutan. Kakek jengis Khan, yaitu Ampakai Khan pernah
ditawan oleh pihak Kim dan dibunuh secara keji. Sebab itulah selamanya Jengis Khan
menggunakan semboyan membalas dendam sebagai daya tarik anak buahnya untuk
mempersatukan berbagai rumpun Mongol. Malahan apa yang diserukan panglima2nya tadi
tidak saja menghendaki Khan besar mereka menyapu bersih negeri Kim, bahkan juga berniat
mencaplok kerajaan Song dan negeri2 lain di sekitar Mongol.
Sebenarnya Jengis Khan juga punya ambisi untuk menaklukkan dunia, seruan panglima2nya
tadi sesungguhnyacuma memperlengkap maksud hati maharajanya saja.
Yang menjadi waswas adalah Li Su-lam setelah mendengar seruan tadi. Tanpa merasa ia
melirik ayahnya, ia pikir sekarang ayah tentu sadar apa maksud tujuan pihak Mongol. Melihat
sikap puteranya itu, Li Hi-ko lantas tahu juga isi hati Su-lam, cepat ia mengedipi sambil
mengerut kening, maksudnya supaya Su-lam jangan sembarangan omong.
“Hahahaha!” demikian terdengar Jengis Khan bergelak tertawa. Lalu ia tuding empat orang
puteranya dan berseru: “Kemarilah kalian!”
Cuja, Cahatai, Ogotai dan Dolai berempat sama berkumpul didepan ayahandanya. Jengis Khan
mengeluarkan segebung anak panah, katanya: “Coba kau patahkan, Cuja!”
Anak panah yang dipakai Jengis Khan berukuran “super”, lebih besar daripada anak panah
biasa, segebung terdiri dari sepuluh batang. Cuja telah me-muntir2 dan me-nekuk2 tapi
sedikitpun anak panah itu tidak patah.
Dengan muka merah Cuja melapor: “Anak tidak punya tenaga sakti sebagai ayah, tidak
sanggup mematahkannya.”
“Coba kau, Cahatai!” kata Jengis Khan.
Ber-turut2 Ogotai dan Dolai juga disuruh mencoba, tapi tiada seorangpun yang sanggup
mematahkan segebung anak panah sekaligus.
Jengis Khan melepaskan anak panah itu secara terpisah, dalam sekejap saja satu persatu
dapat dipatahkan dengan mudah.
“Sekarang kalian paham tidak dengan filsafat ini?” kata Jengis Khan.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Jika kalian bersatu seperti segebung anak panah tadi, maka tiada sesuatu didunia ini yang
dapat mematahkan kalian. Tapi kalau kalian terpecah belah akan mudah dihancurkan. Bersatu
teguh, bercerai luluh.”
Rupanya Jengis Khan mengetahui ketidak rukunan diantara keempat puteranya itu, maka
dengan filsafat anak panah itu dia memperingatkan mereka akan pentingnya arti persatuan.
“Kalian juga mesti sekuat anak panah yang dibidikkan tadi, secepat kilat membunuh musuh,”
kata Jengis Khan pula. “Pada suatu hari seluruh dunia ini pasti akan menjadi padang gembala
bangsa Mongol kita.”
Serentak para panglima bersorak gemuruh pula dan menyanyikan lagu perang Mongol yang
bersemangat dengan sanjung puji terhadap Khan mereka yang besar.
Mendengr lagu perang itu, diamSu-lam mengakui betapa besar ambisi Jengis Khan yang ingin
menaklukkan dunia itu. Cuma sayang cara yang diutamakan adalah dengan kekerasan,
sekalipun benar dapat menaklukkan dunia tentu juga tidak kekal.
“Li-kongcu, marilah ikut padaku, akan kulaporkan kepada Khan besr,” Kata Cilaun.
Pada waktu semua pembesar menyembah dan menyanjung puji kepada Jengis Khan, Li Hi-ko
dengan sendirinya ikut menyembah dan baru sekarang ia berbangkit, katanya kepada Su-lam:
“Kau akan menghadap Khan besar, lekaslah turun dari kudamu!”
Sebagai pemuda Han, memangnya Su-lam telah menarik perhatian, apalagi sekarang selain
Jengis Khan hanya dia yang tetap berada diatas kudanya, tentu saja ia lebih2 menjadi sasaran
perhatian orang ramai.
Semetara itu Jengis Khan sudah menerima laporan Cilaun, setelah mamandang sekejap
kearah Su-lam, diam2 Jengis Khan mengakui akan keberanian Su-lam.
Baru saja Li Hi-ko hendak Su-lam turun dari kudanya, terlihat Jengis Khan sedang
menggoyang tangan dan berkata: “Tidak perlu turun, kemarilah kau!”
Li Hi-ko tidak tahu apa maksud sang Khan yang besar, hatinya menjadi kebat-kebit. Tapi Li
Su-lam lantas melarikan kudanya kesana. Saat itu Jengis Khan telah ambil sebatang anak
panah, ketika Su-lam berada dalam jarak seratusan langkah, mendadak ia berseru: “Awas
panah!”
Su-lam terkejut. Terdengar suara mendesing yang keras, panah itu telah menyamber tiba.
Tahu betapa lihainya panah Jengis Khan, Su-lam merasa sukar mengelak, terpaksa iapun
membidikkan panah secepatnya. Kedua anak panah tepat terbentur ditengah jalan, panah Sulam
jatuh lebih dahulu, sebaliknya panah Jengis Khan masih meluncur kearah Su-lam.
Serentak para Bu-su Mongol bersorak sorai pula. Pada umumnya jago2 Mongol paling memuja
orang berkepandaian tinggi, sorak-sorai merek itu tentu saja ditujukan kepada Khan mereka
yang besar, tapi juga mengandung rasa kagum terhadap Su-lam.
“Kabarnya kau pernah memanah elang digurun Gobi, tampaknya kepandaianmu memang
boleh juga,” seru Jengis Khan dengan tersenyum. “Ini, sambut lagi sekali!” ~ Segera ia ambil
lagi sebatang panah dari kantong panah yang dibawa seorang pengiring yang lain, lalu berseru
pula: “Panah ini tidak sama dengan tadi, kau harus hati2.”
Baru sekarang Su-lam tahu Jengis Khan sengaja menguji ilmu memanahnya. Panah pertama
tadi telah banyak makan tenaganya, sampai sekarang lengannya masih pegal, ia pikir panah
kedua ini tentu sukar ditahan. Tapi terpaksa ia berbuat sebisanya dan memanah lagi.
“Tring”, kembali kedua panah kebentrok ditengah udara dengan letikan api. Panah Sulampatah
dan jatuh kebawah, sedangkan panah Jengis Khan kembali meluncur lagi kedepan.
Pada saat yang hampir sama terdengar suara derapan kuda yang cepat dari tepi rimba
disebelah sana, menyusul terdengar suara jepretan busur dan desingan anak panah, dari
samping sana menyambar tiba sebatang panah dan tepat membentur jatuh panah Jengis Khan
itu. Ternyata pemanah itu adalah seorang anak dara yang bermuka cantik.
Setelah menjatuhkan panah Jengis khan, gadis itu berseru: “Ayah, kau tidak adil!”
“Tidak adil bagaimana?” tanya Jengis Khan dengan tertawa.
“Ayah sering sesumbar tidak pernah memanah dua kali terhadap musuh yang betapa
tangguhnya, sekali panah tidak kena takkan memanah lagi untuk dua kali. Tapi terhadap anak
muda ini mengapa ayah telah memanah dua kali ver-turut2?” seru nona itu.
“Alihai, kau salah paham,” ujar Jengis Khan tertawa. “Bocah ini bukan musuh kita, dia adalah
kawan kita. Kudengar dari Cilaun bahwa bocah ini pernah memanah elang di gurun Gobi,
maka sengaja menguji kepandaiannya. Tidakkah kau melihat anak panah yang kupakai cuma
dari ukuran yang kecil.”
Baru sekarang pula Su-lam tahu apa sebabnya Jengis Khan mengambil anak panah
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pengawalnya dan bukan anak panah khas miliknya sendiri itu. Diam2 Su-lam membatin bila
tadi Jengis Khan menggunakan panahnya sendiri tentu sebatang saja dirinya tidak sanggup
melayaninya. Dalam keadaan demikian, sekalipun Su-lam tidak sudi takluk toh merasa tunduk
benar2 terhadap kepandaian memanahJengis Khan. Terhadap kebebasan Jengis Khan itu mau
tak mau iapun terpengaruh. Segera ia melompat turun dari kudanya dan memberi hormat.
Katanya: “Panah sakti Khanbesar sungguh tiada bandingnya, siaucu takluk benar2.” ~ Cara
memberi hormat Su-lam juga Cuma membungkuk badan saja dan tidak mnyembah
sebagaimana ayahnya.
Jengis Khan bergelak tertawa, katanya: “kau mampu melayani dua panahku saja sudah luar
biasa. Ini dia putriku Alehai, dia juga suka menunggang kuda dan memanah, hari ini kalian
sama ketemukan teman sepaham.”
Li Hi-ko juga sangat senang karena puteranya dipuji Jenghis Khan, cepat ia mendekat dan
berkata: “Anak Lam lekas kau mengucapkan banyak terima kasih kepada Putri Minghui. Beliau
yang telah membantu kau, kalau tidak masakah kau mampu menahan panah sakti Khan besr.”
“Ilmu memanah Putri sangat hebat, akupun sangat kagum,” ujar Su-lam.
“Janganlah kau rendah hati, kepandaianku belum tentu lebih tinggi darimu,” kata Minghui.
“Sebentar marilah kita berlomba berburu, coba buruan siapa lebih berhasil.”
Jengis Khan menyela: “Kau datang dari Tionggoan, menurut pandanganmu bagaimana
pahlawan2 Mongol bila dibandingkan jago2 Kim? Dapatkah prajuritku menaklukkan dunia?”
“Prajurit Khan Agung kuat dan panglimanya perkasa, untuk mengalahkan Kim adalah sangat
mudah,” sahut Su-lam. “Cuma ………”
“Cuma apa?” tanya Jengis Khan.
“Bangsa Han kami megutamakan kebajikan dan tidak mengutamakan kekerasan. Menaklukkan
orang dengan kebajikan adalah guru daripada setiap raja, tanpa banyak menimbulkan korban
akan lebih mudah mendapat dukungan rakyat sedunia. Maka disamping memupuk kekuatan
tentara mohon pula Khan Agung suka menggunakan kebajikan pula.”
Jengis Khan menggeleng kepala sambil bergelak tertawa, katanya: “Haha, begitulh tentunya
filsafat kaum cendekia bangsa Han kalian bukan?” Hehe, pandangan kaum terpelajar tengik
demikian mana bisa dibuat pegangan. Tanpa kekerasan mana bisa menaklukkan dunia? Melulu
omong kosong tentu kebajikan kan sama saja seperti percakapan anak kecil?”
Karena tiada kecocokan pendapat, baru Su-lam hendak mengundurkan diri, namun Jengis
Khan telah memanggilnya lagi. Katanya: “Aku telah mencemoohkan kaum terpelajar
bangsamu, tentunya kau merasa kurang senang bukan?”
“Tidak, pandangan masing2 memangnya ver-beda2,” jawab Su-lam.
Melihat jawaban Su-lam yang kaku itu, anak buah Jengis Khan sama kuatir kalau maharaja
mereka menjadi marah.
Tak terduga Jengis Khan malah ter-bahak2, katanya: “Hebat benar kau bocah ini. Sebenarnya,
walaupun aku memandang rendah kaum cendekia bangsa Han kalian, namun orang yang
benar2 berkepandian juga sangat kupunja. Konon dijaman dahulu bangsa kalian ada seorang
Sun-cu yang menyusun sebuah kitab militer secara menakjubkan. Sayang aku tidak pernah
melihat kitab demikian itu. Konon pula ratusan tahun yang lalu kerajaan Song kalian pernah
tampil panglima2 perang termashur seperti Gak Hui dan Han Si-liong sehingga pasukan Kim
dihajar habis2an. Semuanya itu menandakan cara mereka mengatur tentara tentu sangat
hebat. Entah diantara panglima2 perang terkenal itu apakah meninggalkan ajaran militer yang
baik?”
Tergetar hati Su-lam, pikirnya: “Apakah barangkali ayah pernah mengatakan bahwa leluhur
kami adalah anak buah Han Si-liong dan juga pernah ikut perang dibawah pimpinan Gak Hui?”
Sebagaimana diceritakan, kitab pusaka tentang ilmu militer susunan ayahnya yang belum
selesai itu masih tersimpan baik2 didalam bajunya. Ia coba tenangkan diri, lalu menjawab:
“Entahlah, aku tidak tahu.”
“Kau sendiri pernahkah belajar ilmu ketentaraan?” tanya Jengis Khan.
“Tidak, aku adalah anak kampung, untung saja tidak sampai buta huruf. Tentang ilmu
ketentaraan sama sekali aku tidak becus,” sahut Su-lam.
“Sayang, sayang! Hal2 yang baik dari leluhur kalian tidak kau pelajari, sebaliknya kau hanya
memahami pandangan tengik kaum cendekia.” (yang dimaksud cendekia disini adalah paham2
Konghucu dsb.)
Kemudian Jengis Khan memanggil menghadap empat panglimanya yang bernama Kubelai,
Calmu, Cepe dan Supotai, katanya dengan ver-seri2: “Tadi kalian telah mendengar doaku,
sekali panah kena dua rajawali, Thian telah berkenan mengizinkan aku menumpas Kim. Aku
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
minta kalian menjadi pembuka jalan, lekas kalian menuju ke tapal batas dan segera berangkat
dengan membawa pasukan. Aku segera akan menyusul dengan pasukan induk. Nah,
berangkatlah kalian.”
Kiranya adalah sebagian milisi Mongol yang telah disiapkan di tapal batas untuk setiap waktu
dikerahkan menurut perintah Jengis Khan.
Setelah memberangkatkan Kubelai berempat, jengis Khan berkata pula kepada anak buahnya
yang lain: “Tidak lama lagi kalianpun akan berangkat ke garis depan, maka hari ini kalian
boleh bersuka-ria se-puas2nya. Baiklah kalian tidak perlu mengikuti aku lagi, boleh pergi
berburu secara bebas.”
Cara bagaimana Li Su-lam akan menghadapi penyerbuan Jengis khan ke daerah Tionggoan
yang diduduki kerajaan Kim?
Rahasia apa yang menyangkut soal ayah Su-lam dibalik kedatangan penyatron yang tak
dikenal itu?
Jilid 02 bagian pertama
Mufali lantas mendekati Li Su-lam untuk menanyakan peristiwa semalam dan memberi tahu bahwa
dia telah mengirimkan belasan anak buahnya dari “pasukan sayap sakti” untuk mencari jejak
penyatron itu dan diharap tidak lama lagi akan ada hasilnya.
Tengah bicara, Putri Minghui tampak mendekati mereka, katanya : “Apa yang kalian bicarakan?
Ayah suruh dia mengiringi aku pergi berburu!”
“Baiklah, silahkan,” ujar Mufali. Lalu ia sendiri pergi bicara dengan Li Hi-ko.
Lantaran menguatirkan penyatron yang terluka itu, perasaan Su-lam menjadi tidak tenteram
sepanjang mengikuti Putri Minghui berburu. Ia pikir pasukan perintis Jengis Khan sudah
dikerahkan, serbuannya kepada Kim segera akan dilaksanakan, tentu ayah dan aku akan ikut serta
dalam pasukannya, maka aku harus cepat2 mengunjungi lembah yang disebuit orang itu. tapi cara
bagaimana supaya aku ada alasan pergi kesana? Demikian Su-lam me-nimang2.
Karena pikirannya kacau sehingga cara memanah Su-lam menjadi ngawur, bebrapa kali panahnya
tidak kena sasarannya. Maka hasil buruan Putri Minghui jauh lebih banyak daripada Su-lam.
Kau sengaja mengalah padaku atau sedang memikirkan urusan lain, bila ada urusan bolehlah kau
katakan padaku, mungkin aku akan datap membantu kau,” kata Minghui.
Selagi Su-lam ragu2 dan belum menjawab, se-konyong2 terdengar suara auman binatang buas, dari
dalam rimba mendadak lari keluar seekor badak. Begitu melihat manusia, segera badak itu
menerjang.
Cepat Minghui membidikkan panahnya. Namun badak bercula satu itu jauh lebih ganas dari pada
binatang liar lain, kulitnya tebal pula. Mesti panah Minghui kena sasarannya, tapi tidak
menjadikannya terluka parah. Sebaliknya badak itu tambah mengamuk, dengan culanya yang tajam
itu terus menyeruduk kearah Minghui.
Biarpun Minghui sudah biasa berburu, tapi belum pernah ketemu badak sebuas itu. Maka ia menjadi
gugup ketika binatang itu menyeruduk kearahnya, sekejap itu kakinya serasa tidak mau menurut
perintahnya, tampaknya cula badak akan segera menancap didadanya, hendak mengelak juga tidak
keburu lagi. Pada detik terakhir itu se-konyong2 badannya terasa enteng, seperti terbang saja
tubuhnya telah mengapung keatas.
Badak itu mengaum keras sehingga bumi seperti tergetar. Minghui merasa badannya dirangkul
erat2 oleh seorang, kedua kakinya telah menginjak tanah kembali. Terdengar suara Su-lam berbisik
di telinganya: “Jangan takut, Tuan Putri, badak sudah mati.”
Waktu Minghui memperhatikan, terlihat Su-lam berada di sisinya, sebelah tangan merangkul
bahunya. Sedangkan badak tadi nampak menggeletak dibawah sebuah batu karang dengan kepala
tertindih sepotong batu besar.
Kiranya pada detik yang sangat berbahaya tadi Su-lam sempat merangkul Minghui, berbareng
pedangnya menusuk secepat kilat sehingga mata badak dibutakan. Untung ginkangnya cukup hebat,
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
biarpun merangkul satu orang masih mampu meloncat beberapa meter tingginya, tanduk badak itu
se-akan2 menyerempet lewat dibawah tapak kakinya. Karena mata badak itu telah dibutakan,
kepalanya lantas menumbuk batu karang, kepala pecah dan badak itupun mati.
Meski orang Mongol tidak terlalu terikat oleh adat istiadat antara laki2 dan perempuan, namun
berada dalam pelukan seorang pemuda bagi Minghui barulah dirasakan sekarang untuk pertama
kalinya. Setelah tenangkandiri air muka Minghui menjadi merah jengah. Katanya: “Terima kasih
atas pertolonganmu. Hebat benar kepandaianmu. Cara bagaimana kau telah membunuh badak itu?
Cula badak sangat mahal, sekarang kita dapat memotong culanya.” ~ Dibalik kata2nya itu juga
mengingatkan Su-lam agar melepaskan pelukannya.
Seketika Su-lam tersadar juga, wajahnya menjadi merah pula. Cepat ia lepaskan sang Putri, katanya
dengankikuk: “ O, beruntung aku dapat menusuk buta matanya, dia sendiri menumbuk batu karang
samapai mati.”
“Ternyata kaupun seorang pemburu yang ahli,” ujar Minghui dengn tertawa. “Kulit daging badak
sangat tebal, kalau tidak membutakan matanya mungkin pedangmu ini takkan mempan menusuk
mati dia.”
Selagi bicara, tiba2 dari dalam hutan tadi berlari keluar beberapa orang, yang paling depan dalah
seorang pemuda bermantel bulu, beberapa pengiring dibelakangnya, sedang bicaranya sambil menuding2
kearah Minghui berdua. Sayup2 Su-lam mendengar kata2 seorang diantaranya: “Putri
Alehai adalah mutiara kesayangan Khan Agung, hendaknya Ongcu (pangeran) jangan marah
padanya.”
Su-lam merasa heran pangeran darimana itu? Belum lenyap herannya, tiba2 pemuda tadi telah
memburu kearahnya. Mendadak ia melolos sebilah golok melengkung terus membacok Su-lam
sambil membentak: “Kurangajar! Kau berani membunuh badak buruanku?”
Kiranya pemuda itu adalah pangeran Tin-kok, putra kepala suku Wangku. Dia adalah tunangan
Minghui yang belum saling kenal muka.
Kulit muka Tin-kok ke-hitam2an, bersiung pula hingga menonjol keluar bibir, mukanya sangat
jelek, tapi tenaganya ternyata tidak kecil.
Dengan cepat Su-lam menangkis dengan pedang, tapi tidak urung tergetar mundur dua tiga undak.
He siluman buruk darimanakah berani main gila disini?” damprat Minghui. Ia tidak tahu bahwa
“siluman” yang dimakinya itu adalah tunangannya sendiri. Segera ia siapkan panah pula hendak
membidik Tin-lok.
Tuan Putri tidak perlu ikut campur, bihar kuhajae adat padanya,” seru Su-lam sambil putar
pedangnya, sret-sret-sret beberapa kali, tahu2 mantel bulu yang dipakai Tin-kok terpapas sebagian.
Keruan Tin-kok terkejut, tanpa terasa iapun terdesak mundur beberapa tindak.
“Siapakah kau?” bentak Su-lam. “Badak ini kan bukan piaraanmu dan segala orang boleh
membunuhnya asalkan sanggup. Kenapa kau main menang2an.”
Melihat Su-lam lebih unggul, Minghui sangat senang, serunya: “Tak perlu banyak bicara dengan
dia, hajar saja dia urusan belakang!”
Alangkah murkanya Tin-kok mendengar ucapan Minghui itu, masakah tunangannya malah
mengeloni orang lain. Dengan nekat ia terus menerjang maju lagi. Goloknya membacok dan
menabas serabutan.
Su-lam naik pitam juga melihat kegarangan Tin-kok, ia pikir kalau orang ini tidak dihajar adat tentu
dia tidak kenal kelihaianku.
Tin-kok hanya kuat dalam hal tenaga pembawaan saja, permainan goloknya tidak dapat dikatakan
tinggi, sudah tentu dia tidak mampu melawan Tat-mo-kiam-hoat Siau-lim-pay asli Li Su-lam itu.
Hanya beberapa gebrakan saja, sekali kedua senjata saling tempel sambil dipelintir dan disendal
terlepaslah golok Tin-kok itu daru cekalan.
Tapi belum lagi Su-lam bertindak lebih lanjut, tampak Cilaun memburu datang sambil berteriak:
“Berhenti berhenti! Khan besar datang!”
Muka Tin-kok yang hitam itu tambah gelap karena malu dan gusar, ia jemput kembali goloknya
sambil memaki “Bocah bangsat, jangan lari kau. Akan kuadukan kepada Khan besar.”
Dalam pada itu Jengis Khan telah muncul dengan naik kuda. Bentaknya: “Siapa yang mengacau
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
disini? O, kiranya kau. Apakah ayahmu menyuruh kau kesini? Kenapa kalian berkelahi?”
Sebelum Tin-kok sempat bicara, Minghui segera mendahului mengadau kepada ayahnya: “Anak
hampir mati diseruduk badak ini, untuk Li Su-lam telah menyelamatkan jiwaku dan membinasakan
badak ini. Tapi si hitam mendadak datang mengacau, katanya kami telah merampok badak
buruannya, sebab itulah dia hendak membunuh Li Su-lam. Coba, masakah ada aturan begitu? Harap
ayah menimbang secara adil.”
“Jangan sembrono, Alehai,” ujar Jengis Khandengan tertawa. “Apakah kau tahu siapa dia? Haha,
dia adalah bakal suamimu tahu?”
Minghui terperanjat, ia merasa malu dan mendongkol pula, teriaknya: “Apa, sia bakal suamiku?
Huh, siapa mau menjadi istri si hitam begitu?”
Jengis Khan mendelik dan mengomel: “ Anak perempuan sembarangan omong. Perjodohan ini aku
sendiri yang menyanggupi, maskah kau berani membangkang? Minggir sana?”
Betapapun Minghui rada gentar terhadap sang ayah, ia pikir sekarang ayah sedang marah, biarlah
aku bersabar dulu, mau menikah dengan si hitam atau tidak kan tergantung diriku. Walaupun begitu
ia menyingkir juga kesamping, tapi denganrada penasaran ia masih bicara: “Ayah, seringkali
engkau menegaskan harus adil memberikan hukuman bagi yang salah dan memberi penghargaan
bagi yang berjasa, maka janganlah engkau pilih kasih.
“Darimana kau tahu aku akan bertindak tidak adil?” ujar Jengis Khan. “Majulah kau, Li Su-lam!”
Su-lam melangkah maju dan memberi hormat.
“Kau telah membinasakan badak dan menyelamatkan putriku,” kata Jengis Khan. “Sebagai
penghargaanku terimalah hadiah busur dan panahku ini dan kuangkat kau sebagai ‘ksatria kemah
emas.’
“Anugerah Khan besar tersebut tak berani kuterima,” jwab Su-lam.
“Apa, kau meremehkan anugrah dariku?” tanya Jengis Khan dengan gusar.
“Mana aku berani,” kat Su-lam. “Cuma, pertama aku tidak punya kepandaian, kedua juga aku tidak
berjasa apa apa, gelar ‘ksatria kemah emas’ yang agung itu mana berani kuterima.”
Jengis Khan pikir sejenak, lalu berkata pula: “ Kau sangat rendah hati, sungguh jarang ada orang
seperti kau. Baiklah, aku takkan memberi tugas tetap padamu, sementara ini kuberi jaminan yang
sama tingkat dengan ‘ksatria kemah emas’, nanti kalau kau sudah berjasa barulah kuberikan gelar
itu. Busur-panahku ini sangat cocok dengan kepandaianmu, tentunya kau takkan menolak
pemberianku ini.”
Kiranya gelar ‘ksatria kemah emas’ adalah gelar yang sangat agung, orang yang dianugerahi gelar
demikian semuanya adalah jago2 pilihan Jengis Khan yang telah banyak jasanya dimedan perang.
Selamanya juga belum pernah dianugerahkan kepada orang Han. Hal inipun menjadi pertimbangan
Jengis Khan, maka anugerah itu telah dibatalkannya. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya Li Su-lam
yang tidak sudi mengabdi padanya.
Meski gelar kebesaran dibatalkan, tapi Jengis Khan telah menyanggupi memberi penghargaan
setingkat ‘ksatria kemah emas’ kepada Su-lam, itu berarti akan menerima gaji dan penghargaan2
lain yang sama. Apalagi Jengis Khan telah menghadiahkan panah-busur pribadinya, hali ini adalah
kehormatan yang belum pernah terjadi atas para Bu-su Mongol. Maka be-ramai2 anak buah Jengis
Khan lantas memberikan selamat kepada Su-lam.
Bagi Su-lam, asalkan tidak menghamba dibawah Jengis Khan sudah bolehlah baginya, maka iapun
tidak menolak lebih jauh. Ia merasa gembira juga atas panah-busur pemberian Jengis Khan itu
walaupun ia tidak tertarik oleh gelar agung ‘ksatria kemah emas.’
Sementara Su-lam menerima ucapan dari orang banyak, disebelah lain pangeran Tin-kok menjadi
seperti terpencil, hal ini membuatnya risih. Tapi Jengis Khan lantas menyapanya: “Baiklah,
sekarang kemarilah kau!”
Tin-kok menjadi kebat kebit karena tidak tahu akan dipuji atau akan dimaki. Ia mendekat dan
berkata dengan ragu2: “Maksudku hanya ingin men-coba2 kepandaiannya karena belum
mengenalnya.”
Muka Jengis Khan cemberut, katanya: “Kau cemburu kepada orang yang berkepandaian lebih
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
tinggi darimu, inilah tidak betul. Untung kalian sama2 tidak terluka, anak muda memang suka
menang, perkelahian juga kejadian biasa, maka urusan ini anggap saja sudah selesai. Hendaklah kau
ikut aku ke medan perang, setelah pulang dengan kemenangan segera kunikahkan petriku padamu.”
Maksud kedatangan pangeran Tin-kok ini justru hendak berunding tentang pelaksanaan
pernikahannya dengan Minghui, sekarang dengan mulut Jengis Khan sendiri telah berjanji secara
pasti, maka hal ini jauh lebih berharga baginya daripada segala anugerah yang lain. Cepat ia
mengucapkan terima kasih dan berjanji akan membantu calon mertuanya itu dengan pasukannya.
Maka segera ia mohon diri dan berangkat pulang.
Lantaran peristiwa ini, Putri Minghui menjadi lesu dan tiada minat buat berburu lagi. Diam2 ia
mngeluyur pulang untuk merenungkan soal perjodohannya itu, ia ingin memikirkan suatu akal yang
baik untuk membatalkan perjodohannya dengan Tin-ko.
Sementara itu anak buah Jengis Khan masih ramai mengucapkan selamat kepada Li Su-lam, tiba2
seorang Bu-su muda menyelinap diantara orang banyak dan mendekati Su-lam, katanya: “Kau telah
menyelamatkan adik perempuanku, aku mengucapkan terima kasih padamu.” ~ Berbareng sebelah
tangannya terus menepuk bahu Su-lam.
Su-lam mengira pemuda itu hendak menyatakan simpatik persahabatan padanya, tak terduga
badannya mendadak terasa enteng, tahu2 dirinya telah kena dicengkeram oleh pemuda itu sehingga
takbisa berkutik.
Dengan kepandaian Li Su-lam biarpun secara mendadak juga belum tentu orang dapat
mencengkeramnya. Tapi mengapa kini dia begitu gampang kena dibekuk oleh pemuda itu?
Kiranya orang Mongol paling mahir bergumul, pertarugan dari jarak dekat seperti gulat sekarang
adalah kepandaian mereka rata2. Pemuda ini bahkan adalah jago gumul terkemuka daripada kaum
Bu-su Mongol. Jangankan Li Su-lam memang tidak menduga, sekalipun siap siaga juga belum tentu
mampu mengelakkan cengkeraman penuda itu.
Dalam pada itu setelah Bu-su muda itu berhasil mencengkeram Su-lam, menyusul terus
membantingnya. Tapi sekali membanting berbalik memberi kesempatan baik bagi Su-lam untuk
menyerang balas. Baru saja tubuh Su-lam terangkat dengan gerakan meronta yang bagus ia
melepaskan diri dari cengkeraman lawan, sebelum badan jatuh ketanah tangannya sudah berhasil
meraih pergelangan lawan. Sekali betot sambil memutar tubuh, bentaknya sekali: “Pergi!” ~
Dengan tegak Su-lam dapat berdiri ditempatnya, sebaliknya Bu-su muda itu malah terbanting jatuh.
Li Hi-ko terkejut dan berseru: “He, jangan! Inilah Si-tian-he (pangeran keempat)!” ~ namun
seruannya sudah kasip, pangeran keempat itu sudah terlanjur dibanting jatuh.
Pangeran keempat yang dimaksud adalah petra bungsu Jengis Khan, yaitu Dulai. Meski dia
terbanting, tapi dia tidak menjadi gusar, setelah melompat bangun ia malah bergelak tertawa.
Katanya sambil menjabat tangan Su-lam erat2: “Anda Su-lam, kau memang hebat dan pantas
mendapat gelar ‘ksatria kemah emas’. Apakah kau sudi bergaul dengan diriku?”
Rupanya semula Dulai penasaran karena ayahnya memberi gelar agung kepada Su-lam,
makasengaja hendak mengujinya. Sekarang setelah diuji barulah dia merasakan sendiri, ia berbalik
smat kagum terhadap Li Su-lam. Ia sebut “Anda” kepada Su-lam. “Anda” dalam bahasa Mongol
berarti “saudara angkat , sahabat karib.”
Sebenarnya Su-lam tidak suka mendekati Jengis Khan dan orang2nya, tapi Dulai sendiri telah
mengajak bersahabat padanya, dengan sendirinya Su-lam tidak enak untuk menolak maksud
baiknya.
Sebagai orang muda Su-lam rada senang juga terhadap kepolosan Dulai, maka dengan tertawa ia
menjawab: “Aku hanya rakyat kecil biasa, mungkin tidak pantas bergaul dengan kau.”
“Seorang ksatria tidak diukur dari asal usulnya,” ujarnya tertawa. “Dahulu ayahku juga pernah
menjadi tawanan suku Murkit, tapi sekarang beliau malah diangkat menjadi Khan yang maha
agung.”
Pernyataan Dulai yang simpatik ini membikin Su-lam tidak ragu2 lagi untuk bersahabat dengan dia,
mereka saling menjabat tangan dan saling menyebut “Anda”.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Tidak lama kemudian haripun melai petang, anak buah Jengis Khan be-ramai2 berkumpul untuk
mempersembahkan hasil buruan masing2. Jengis Khan bergelak tertawa dan berkata: “Hari ini
bolehlah kita main2 sepuasnya. Beberapa hari lagi bila prajurit kita sudah bergerak, maka yang
diburu bukan lagi binatang melainkan berburu manusia.”
Ditengah jalan waktu pulang, saking tak tahan akan rasa gembiranya, dengan ver-seri2 Li Hi-ko
lantas berkata pada Su-lam: “Sungguh tadi aku merasa kuatir baginya, siapa tahu kau malah
mendapat pahala. Tampaknya Putri Minghui juga rada naksir padamu.”
Namun Su-lam kurang senang, sahutnya: “Aku toh tidak ingin cari makan di Mongol sini, peduli
apakah dia Putri atau bukan, yang pasti aku tidak sudi disenangi mereka.”
Li Hi-ko melengak oleh sikap anak muda itu, terpaksa ia berkata dengan setengah membujuk:
“Janganlah kau menuruti pikiranmu, betapapun kita masih bernaung dibawah perintah orang. Kalau
kurang sabar sedikit tentu urusan menjadi runyam.
Su-lam menjadi sangsi apakah ayahnya bisa mengorbankan kedudukannya sekarang untuk
melarikan diri dengan menempuh bahaya mengingat sikap dan tutur katanya ini? Sudah tentu ia
tidak berani bertanya terus terang, terpaksa ia mengiakan secara acuh tak acuh.
Setiba kembali dikemahnya, selesai makan malam, tiba2 ayahnya muncul lagi.
“Mengapa ayah belum tidur? Adakah sesuatu urusan?” tanya Su-lam.
“Aku ingin bicara sesuatu dengankau dan tidak boleh diketahui orang lain.”
“Apakah barangkali ayah telah mendapatkan akal bagus untuk melarikan diri?”
“Bukan urusan ini. Telah kukatakan, setelah menginjak daerah Tionggoan barulah kita mencari
kesempatan bagus untuk lari. Sementara itu kau harus sabar.”
“Lalu ayah ada urusan apa lagi?” tanya Su-lam.
“Aku menjadi teringat suatu urusan.” Kata Li Hi-ko. “Bukankah siang tadi Khan bicara dengan kau
tentang ilmu militer ajaran Gak Hui dan han Si-tiong. Leluhur kita adalah panglima perang dibawah
Han Si-tiong dan banyak meninggalkan catatan2 tentang ilmu militer secara tidak teratur,
diantaranya juga ada petunjuk2 lisan Han Si-tiong dan cara2 mengatur pertahanan, cara2 mengatur
latihan. Waktu masih tinggal dikampung pernah juga aku bertekad untuk menyusun dokumen2
pusaka itu menjadi suatu kitab ilmu militer yang berguna. Tak terduga, sebelum cita2ku terkabul
aku sudah ditawan dan jauh meninggalkan kampung halaman. Selama ini cita2ku belum pernah
punah dalam benakku. Maka aku ingin tanya, apakah kitab militer yang belum selesai kususun itu
juga kau bawa serta kemari?”
Su-lam menjadi sangsi. Walaupun benar ucapan sang ayah, namun ayahnya sekarang sudah bukan
lagi ayahnya dimasa yang lalu, sebelum yakin sepenuhnya akan jiwa patriot ayahnya harus
dirahasiakan dulu tentang kitab yang dimaksud itu. Maka ia menjawab: “Ya, tentang kitab militer
itu memang pernah juga ibu membicarakannya padaku, Cuma sayang kitab itu sudah hilang
ditengah kekacauan perang.”
Namun Li Hi-ko benar2 seorang licin, segera ia dapat melihat sikap kurang wajar pada diri anak
muda itu, katanya pula: “Hendaklah kau jangan salah paham, kitab yang belum selesai tersusun itu
benar2 merupakan benda paling berharga bagiku, sungguh suatu penyesalan bagiku bilamana aku
tidak dapat menyusunnya dengan sempurna. Mengapa ibumu bisa membiarkannya hilang begitu
saja?”
“Soalnya setelah ayah menjadi tawanan musuh, dalam masa mengungsi untuk menyelamatkan diri
itu sudah tentu sukar memikirkan harta benda, maka ibupun tak boleh disalahkan. Tapi bukan
mustahil juga ibu telah menyimpannya disuatu tempat yang aman, biarlah kelak kalau kita sudah
pulang akan kita tanya kepada beliau.”
Dalam hati Su-lam telah berjanji kepada diri sendiri bilamana ayahnya kelak benar2 rela
mengorbankan kedudukannya sekarang dan lari pulang kekampung halaman, maka kitab pusaka itu
sudah tentu akan diserahkan kembali kepada ayahnya.
Li Hi-ko menjadi sangsi juga, tapi apa daya kalau Li Su-lam mengatakan kitab itu sudah hilang,
sukar dipastikan apakah anak mua ini berdusta? Terpaksa ia tidak mendesak lebih lanjut, ia pikir pelahan2
akanpancing lagi dalam pembicaraan2, anak muda itu atau bisa juga mengeledahnya secara
diam2. Begitulah ia lantas suruh Su-lam tidur saja dan kembalilah dia ke kemahnya sendiri.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Lantaran dibebani macam2 pikiran, semalaman ini Su-lam tak bisa pulas lagi. Yang dia pikirkan
tidak Cuma soal kitab pusaka itu, tapi yang lebih penting dan harus diselesaikannya dalam waktu
singkat ini adalah peasan yang ditinggalkan perusuh semalam yang minta dia datang kelembah
Siong-hong-kok. Ia tidak tahu duduk perkara apa yang harus dibikin terang sebagaimana diminta
orang itu? Tapi tentunya sangat besar sangkut pautnya bagi kepentingannya.
Tapi lantas teringat pula bahwa dalam waktu singkat ayahnya akan ikut berangkat bersama pasukan
Jengis Khan, jika hal ini tidak dibicarakan terus terang kepada ayahnya, cara bagaimana dirinya
dapat pergi kelembah pegunungan itu. Sebaliknya kalau dibicarakan dengan ayahnya, ini
berlawanan dengan pesan orang itu. Bahkan dari pergaulan antara ayah dan anak selama beberapa
hari ini ia merasa lebih baik hal ini tetap dirahasiakan saja.
Begitulah sampai dinihari barulah Su-lam dapat pulas. Akan tetapi tidak lama i sudah terjaga
bangun dipanggil orang. Waktu Su-lam menyingkap kain tendanya, kiranya yang memanggil adalah
pengawal ayahnya yang fasih bahasa Han itu.
“Loya memanggil engkau menghadap beliau,” kata pengawal itu.
Cepat Su-lam cuci muka dan menghadap sang ayah. Dengan wajah yang riang gembira saat itu Li
Hi-ko tampak sedang mondar-mandir didalam kemahnya. Begitu melihat datangnya Su-lam, segera
ia berkata: “Wah, rejekimu benar2 sedang menanjak.”
“Rejeki apa?” tanya Su-lam tidak paham.
“Putri Minghui menyuruh orang buat memanggil kau agar mengiringi dia pergi berburu,” tutur Li
Hi-ko dengan tertawa.
“Kemarin kan kita baru saja berburu, mengapa hari ini dia ingin berburu lagi dan minta aku
menemani dia?”
“Bukankah sangat kebetulan bagimu? Itu tandanya satu haripun dia tidak bisa melupakan kau?”
Su-lam menjadi kurang senang. Katanya: “Seorang laki2 sejati, kedatanganku ke Mongol sini
bukanlah untuk menemani dan menghibur sang Putri melulu.”
“Ai, kembali angot lagi sifatmu seperti kerbau itu,” omel Li Hi-ko. Sudah berulang kukatakan, kita
ini mondok dinegeri orang, terpaksa mesti bersabar.”
Dengan mendongkol hampir saja Su-lam menjawab tegas tidak sudi pergi. Tapi cepat pikirannya
berubah dan akhirnya menjawab dengansikap enggan yang sengaja dibuat: “Baiklah anak
menemani dia, Cuma ……”
“Cuma apa?” tanya Hi-ko.
“Hari ini aku harus datang kekemahnya untuk menjumpai dia, menurut adat bangsa Han kita,
kunjungan pertama kekemah orang sepantasnya membawa sedikit oleh2,” ujar Su-lam.
“Hi-ko menjadi senang, katanya: “Bagus! Rupanya kaupun mengerti menjaga kehormatan bangsa
Han kita. Tentang oleh2 yang kau maksudkan, wah, sebaiknya apa yang harus kau berikan
padanya?”
“Aku pikir ada sesuatu hadiah yang pasti akan disenangi olehnya,” ujar Su-lam. Kemarin waktu
berburu aku telah ngobrol iseng dengan dia. Katanya akhir2 ini dia sedang belajar sastra Han kita
dan sangat berminat.”
“Benar, akupun pernah mengajar padanya, tampaknya dia sangat giat belajar,” kata Hi-ko. “Tapi hal
ini kan tidak dapat dianggap sebagai hadiah?”
“Dalam obrolan kemarin itu tampaknya dia sangat tertarik skan seni budaya kita. Terutama dia
sangat suka kepada seni lukis dan seni tulis kita, dia menyatakan sangat tertarik kepada syair2 kita
yang indah, Cuma sayang dia belum bisa membaca seluruhnya. Maka kukira tulisan ayah akan
cukup indah sebagaimana banyak terhias didinding rumah kita itu akan sangat berharga baginya.”
“Ai, sudah berpuluh tahun lamanya aku tidak pernah gunakan pinsil,” ujar Li Hi-ko dengan
tersenyum kikuk.
Tapi Su-lam latas mendesak lagi: “Kukira sang Putri toh tidak paham seni tulis kita, yang penting
hanya sebagai tanda mata saja. Harap ayah lekas tuliskan suatu syair kuno dan akan kubawakan
untuk dia. Anak akan membantu membuatkan tinta.”
Meski Li Hi-ko mengatakan puluhan tahun tidak menggunakan pensil, tapi dimejanya sebenarnya
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
lengkap tersedia pensil (pit), tempat mengasah bak dan peralatan tulis lain. Apalagi Su-lam lantas
sudah menggosokkan tinta bak. Terpaksa Li Hi-ko tak bisa menolak lagi, segera ia angkat pensil,
setelah berpikir sejenak, akhirnya ditulisnya sebait syair kuno dalam bentuk “lian” (sebagai lukisan
untuk pajangan dalam bingkai).
“Nah, lekaslah kau ganti pakaian dan berangkat, mungkin sang Putri sudah menunggu terlalu lama,”
kata Hi-ko kemudian.
Su-lam mengiakan sambil membawa serta “seni tulis” ayahnya itu. Setiba kembali dikemah sendiri,
cepat ia mengeluarkan kitab pusaka yang belum selesai disusun ayahnya itu untuk dicocokkan
dengan tulisan syair yang baru ini. Semakin dipandang semakin terasa berbedanya gaya tulisannya.
Segera Su-lam simpan kembali kitab pusakanya, rasa curiganya berkecambuk dengan hebat. Ia
tidak percaya bahwa gaya tulisan bisa berubah begitu jauh meski selang 20-an tahun lamanya. Ia
mulai sangsi akan kebenaran diri ayahnya ini.
Akan tetapi kalau bukan ayahku, darimana dia mengetahui seluk beluk akan diriku? Terutama
mengenai kitab pusaka yang sangat dirahasiakan ini, darimana dia mendapat keterangan sedemikian
jelas?” demikian pikirnya. Lanataran hal2 yang sukar dipahami inilah, maka dia masih belum berani
memastikan Li Hi-ko ini adalah palsu.
Tiba2 teringat pula akan pesan orang berkedok itu tentang “duduk perkara yang ingin diketahui” itu
supaya datang kelembah Siong-hong-kok. Duduk perkara apakah yang dimaksudkan. Tapi sekarang
bukankah dia justru sedang dihadapi oleh macam2 tanda tanya yang perlu dipecahkan duduk
perkara? Apa barangkali orang itu sudah tahu akan macam persoalan yang sedang kuhadapi ini?
Begitulah akhirnya ia putuskan untuk berangkat ke Siong-hong-kok yang dimaksud.
Cepat Su-lam berganti pakaian, lalu keluar. Dilihatnya pengawal tadi sudah menyiapkan kuda dan
sedang menunggunya.
Pada saat itu pula Li Hi-ko juga mendekatinya dan berkata: “Putri Minghui hanya minta kau sendiri
yang menemani dia, mak tidak perlu kusuruh pengawal ikut serta padamu.” ~ Lalu ia menjelaskan
dimana letak kemah kediaman Putri Minghui dan suruh Su-lam menuju kesana.
Memangnya Su-lam kuatir kebebasannya dirintangi pengawal yang menyertainya, maka ia menjadi
senang mendengar ayahnya berkata demikian. Cepat ia mencemplak ke atas kuda dan berkata:
“Anak mohon diri dahulu. Karena tak tentu waktu pulangnya, harap ayah jangan menunggu waktu
makan malam nanti.”
“Biarpun pulang besok juga tidak soal,” ujar Hi-ko tertawa.
Begitulah segera Su-lam melarikan kudanya, tapi bukan menuju ke kemah sang Putri melainkan
terus keluar Holin. Untung penjaga kebetulan telah mengenalnya ketika ikut berburu denganJengis
Khan kemarin. Maka ketika Su-lam pura2 menanyakan apakah penjaga melihat berangkatnya sang
Putri pergi berburu dan menytakan dirinya diundang untuk mengiringi sang Putri, penjaga itu tidak
menaruh curiga. Penjaga itu menyatakan kemungkinan sang Putri berangkat dengan mengambil
jalan lain karena tidak terlihat lalu disitu.
Su-lam pura2 memberi pesan pula agar nanti disampaikan kepada sang Putri jika kemudian sang
Putri melalui jalan ini. Dengan hormat perwira penjaga itu mengiakan.
Setelah meninggalkan pos penjagaan itu, Su-lam terus melarikan kudanya secepat terbang. Yang
dipakai Su-lam sekarang adalah baju “ksatria kemah emas”, pada kudanya tergantung pula panahbusur
hadiah Jengis Khan yang khas dan cukup dikenal oleh setiap perwira Mongol, sebab itulah di
tengah jalan Su-lam tidak mengalami rintangan apa2 meskipun seringkali berpapasan dengan
pembesar dan prajurit Mongol.
Hari ketiga ia sudah mencapai padang rumput di utara lembah danau Kulun. Padang rumput yang
luas itu hampir tiada pernah dijumpai orang. Legalah hati Su-lam, ia pikir andaikan Jengis Khan
mengetahui larinya itu mungkin juga tidak menaruh perhatian mengingat Khan besar itu sedang
sibuk menyiapkan invasi ke Tionggoan. Sekalipun ayahnya mengerahkan Mufali dan jago2nya
untuk mengejar mungkin juga sukar mencarinya.
Pegunungan Arkeh terletak tiga ratusan li di utara danau Kulun, hal ini terdapat dalam peta yang
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dimiliki Su-lam, tapi dimana letak lembah Siong-hiong-kok, itulah tidak jelas. Sepanjang jalan Sulam
coba tanya keterangan kepada penggembala dan nama lembah itu ternyata tidak dikenal.
Sampai hari keempat padang rumput sudah dilintasi dan telah masuk lereng pegunungan yang
makin terjal jalannya. Hari itu dia hanya mencapai ratusan li saja, keadaan orang maupun kudanya
sudah sama lelahnya.
Hari kelima sampailah dia dikaki gunung Arkeh yang tinggi dan curam. Tampaknya sukar mendaki
gunung itu dengan naik kuda. Li Su-lam coba menyusuri kaki gunung dengan menjalankan kudanya
lambat2. Akhirnya diketemukan sebuah gugusan selat yang bentuknya mirip mulut terompet, lebar
diluar dan sempit didalam, hanya tiba cukup dilalui seorang dengan setunggangan saja.
Tapi setiba didalam selat itu, keadaan menjadi lain, jalanan tambah luas dengan tumbuhan alang2
yang lebat, terdengar pula suara gemericiknya air mengalir ditepi selat.
Tiba2 Su-lam melihat pada suatu tempat ketinggian ada bekas gundukan rumput kering terbakar. Ia
coba periksa tanah sekitarnya, ada tanda2 tanah itu pernah dicangkul. Sebagai anak yang dibesarkan
dilingkungan petani, ,elihat keadaan tanah itu segera Su-lam tahu tanah disitu pernah akan
dicangkul orang untuk bercocok tanam, Cuma gagal.
Alangkah girangnya Su-lam, ia pikir kalau ada orang pernah berusaha disitu tentu pula di
pegunungan ini ada penduduknya.
Tak terduga sudh belasan li ia menjelajahi lembah gunung itu tiada seorangpun yang dilihatnya.
Selagi Su-lam merasa gelisah, tiba2 terdengar suara keleningan kuda. Su-lam menyangka mungkin
pemburu yang bertempat tinggal di pegunungan itu, dengan girang segera ia berseru: “Hai, kawan,
apakah engkau tahu dimana letak Siong-hong-kok …....?” ~ Mendadak ia tidak meneruskan
ucapannya ketika menoleh dan mengetahui pendatang itu ternyata seorang Bu-su Mongol yang
bertubuh kekar.
Waktu Jengis Khan berburu tempo hari, Su-lam pernah melihat Bu-su ini dan tahu namanya, yaitu
Cepe, sipemanah sakti, terhitung jago nomor tiga dari “ksatria kemah emas” yang sangat
dibanggakan Jengis Khan itu.
Secepat terbang Cepe telah memburu tiba, serunya dengan gelak tertawa: “Li-kongcu, Putri
Minghui mengajak kau ikut berburu, mengapa kau tidak hadir sebaliknya mengunjungi pegunungan
sunyi ini untuk apa?”
“Aku kan bukan hamba kalian, aku bebas kemana pun aku suka, peduli apa dengan kau,” jawab Sulam
ketus.
“Wajah tertawa Cepe tadi lenyap seketika. Katanya dengan kurang senang: “Tapi kau jangan lupa
ayahmu menghamba Khan kami. Aku diperintahkan Khan besar agar ‘mengundang’ kau pulang
kesana. Maka aku ada hak mempedulikan kau!”
Karena kudanya sudah terlalu lelah, Su-lam tahu percuma berusaha melarikan diri, terpaksa ia putar
balik kaudanya sambil pasang panah dan membentak: “Matipun aku tidak sudi pulang ke Holin
lagi. Kalau kau memaksa terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau!” ~ Habis berkata ia terus
mendahului lepaskan panahnya.
“Hahaha, barangkali kau ingin bertanding memanah dengan aku?” Cepe tertawa. “Baik, kau boleh
memanah tiga kali dan takkan kubalas!”
Belum lenyap suaranya, secepat kilat panah Li Su-lam itu sudah menyamber tiba. Cepat Cepe
menyampuk dengan budurnya sehingga panah itu terpukul jatuh. Namun panah Li Su-lam itu
ternyata susul menyusu datangnya. Baru saja panah pertama terpukul jatuh, tahu2 panah kedua
sudah meluncur tiba pula.
Busur yang dipakai Li Su-lam itu adalah busur baja pemberian Jengis Khan, dengan sendirinya
anak panahnya juga sangat kuat. Cepe berusaha menyampuk pula dengan busurnya, tapi
terdengarlah suara “krek”, anak panah itu tersampuk jatuh lagi, tapi busur Cepe juga patah.
“Panah bagus!” seru cepe. Se-konyong2 panah ketiga menyamber tiba lagi. Sekali ini tepat masuk
mulut Cepe, sehingga tubuh Cepe terkulai diatas kudanya.
Su-lam menyangka lawan telah terpanah mati, baru saja ia hendak mendekati, mendadak Cepe
berduduk tegak lagi diatas kudanya sambil berseru dan tertawa: “Cara mengigit panah ini belum
pernah kau pelajari bukan?” ~ Ternyata panah yang kena dimulutnya itu telah dmuntahkan dan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
terpegang ditangannya sekarang.
Begitu dahsyat anak panah yang menyamber tba itu ternyata dapat digigit oleh gigi tanpa terluka
apa2, maka kepandaian Cepe ini benar2 luar biasa dan tiada bandingannya. Keruan Su-lam terkejut.
Baru sekarang ia tahu julukan “panah sakti” bagi Cepe memang bukan Cuma nama kosong belaka,
jelas kepandaian Cepe jauh diatas dirinya.
Dalam pada itu cepe berkata pula: “Busur dan panahmu memang lebih bagus daripada punyaku,
tapi mengenai kepandaian memanah, yan memang boleh juga kau, tapi masih jauh dibawahku.
Panah ini adalah hadiah Khan kepadamu, ai terimalah kembali!” ~ Tanpa memakai busur ia terus
melemparkan anak panah yang terpegang tadi dan daya luncur panah itu ternyata sama kuatnya
dengan dibidik dengan busur. Keruan Su-lam tambah terkejut. Cepat ia berusaha mengelak, tapi tak
terduga panah itu mengincar kudanya. “Bles”, kontan panah itu menancap diperut kudanya
sehingga Su-lam terlempar jatuh.
Lekas2 Su-lam berbangkit dan lari keatas bukit untuk mencari kedudukan dari atas yang lebih
menguntungkan. Segera Cepe juga meloncat turun dari kudanya dan ikut mendaki bukit itu.
Serunya dengan gelak taertawa: “Aku sudah belajar kenal dengan kepandaianmu memanah,
sekarang aku ingin coba2 lagi ilmu pedang bangsa Han kalian!”
Dari atas segera Su-lam mendahului menusuk dengan pedangnya. Cepe angkat perisainya untuk
menangkis dengan golok ditangan kanan terus menebas. Ketika pedang dan golok kebentur, tenaga
kalah kuat, ia bertolak mundur setindak. Lekas2 ganti serangan, pedangnya putar balik buat
menusuk, “Pek-hwe-hiat” di-ubun2 musuh.
Tapi kembali Cepe menggunakan cara tadi, perisai diangkat untuk menahan tusukan pedang dari
atas, goloknya kembali menabas. Lagi2 Su-lam terdesak mundur.
Hanya beberapa gebrakan saja Su-lam telah terdesak mundur kesuatu tempat yang lapang, posisi
menguntungkan Su-lam sekarang sudah lenyap. Sejenak kemudian bahkan Cepe berbalik menjadi
pihak penyerang sehingga Su-lam hanya dapat bertahan saja. Tapi sekuatnya Su-lam melawan.
“Bocah kepala baru, pantas Khan suka kepadamu,” kata Cepe dengan tertawa. “kau tak perlu kuatir,
asalkan kau ikut aku pulang kesana tentu Khan masih akan menerima kau dengan baik. Sebenarnya
untuk keperluan apakah kau datang kepegunungan ini?”
Namun Su-lam tidak ambil pusing terhadap ocehan orang pada waktu Cepe berbicara, Su-lam terus
melancarkan serangan balasan secara ber-tubi2. Terdengar suara “trang treng” yang nyaring, dua
kali tabasannya kena ditangkis oleh perisai Cepe, namun tusukan menyusul berhasil menyelinap
disamping tameng lawan sehingga ikat pinggang putus.
Cepe menjadi gusar. Teriaknya: “Kurangajar! Rupanya kau tidak mau dihalusi dan minta dikasari.”
~ Berbareng ia memainkan goloknya dengan cepat dan susul menyusul gerakan tanpa berhenti,
apalagi sebelah tangan memegang perisai sehingga dia tidak perlu menjaga diri dan Cuma
menyerang melulu, dengan sendirinya daya tempurnya bertambah satu kali lipat.
Dalam pertarungan sengit itu, Li Su-lam terdesak mundur, kakinya kesandung sepotong batu
sehingga langkahnya sempoyongan. Tanpa ayal lagi golok Cepe lantas membacok: ”Lepaskan
pedangmu, anak muda!”
Namun Su-lam terus menjatuhkan diri ketanah, sekali berguling, ia dapat menggelinding kesana
beberapa meter jauhnya, sehingga serangan cepe itu luput mengenai sasarannya. Menyusul ia terus
melompat bangun, balasnya membentak: “Suruh aku membuang pedangku dan menyerah hanya
akan terjadi kalau kau sudah membunuh aku. Tekadku sudah pasti, pedang ada orangnya hidup,
pedang hilang orangnya mati!”
Walupun Su-lam tidak terluka oleh golok lawan, tapi menggelindingnya diatas tanah tadi telah
mengakibatkan badannya babak belurkena duri belukar.
“Bagus, kau memang ksatria muda yang hebat,” puji cepe. “Tapi untuk berkelahi terang bukan
tandinganku.”
“Bukan tandinganmu juga akan kulawan! Hayolh maju!” jawab Su-lam sambil genggam erat2
pedangnya dengan tangannya yang mengucurkan darah.
“Ai, buat apa diteruskan, toh aku sudah kenal ilmu pedang bangsa Han kalian juga Cuma begini
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
saja,” ejek Cepe.
“Aku tak bisa mengalahkan kau kan tidak berarti ilmu pedang kami tidak mampu mengungguli ilmu
golok Mongolkalian. Apalagi akupun belum kalah, kenapa kau sudah bermulut besar?” sahut Sulam
dengan gusar.
Tiba2 terdengar seorang menanggapi: “Benar! Si Mongol ini anggap dirinya hebat, tapi dalam
pandanganku dia tidak lebih daripada katak dalam tempurung!”
Waktu Cepe berpalaing, dilihatnya dari hutan sana, melompat keluar seorang laki2 dengan
perawakan pendek, wajahnya juga tidak luar biasa, tapi sinar matanya menyorot tajam.
Biasanya Cepe sangat tinggi hati, tentu saja ia mendongkol mendengar kata2 pendatang tak dikenal
itu. Bentaknya: “Hm, mengapa kau katakan aku seperti katak dalam tempurung? Coba minta
penjelasan dari ‘orang kosen’ macam kau.”
“Betapa tidak?” sahut orang itu. “Ilmu pedang orang Han yang tinggi hakekatnya belum pernah kau
lihat. Seumpama ilmu pedang Li-kongcu ini saja juga jauh lebih bagus daripada ilmu golokmu,
hanya saja kau menang dalam tenaga. Kau tentu tidak percaya, coba dengarkan, kalau tadi waktu
kau menyerang begini dan Li-kongcu menangkis dengan begini terus balas menusuk dengan
demikian dan ………” begitulah ber-turut2 ia memberikan contoh dan akhirnya menambahkan:
“Coba kalau kau tidak menggunakan perisai pula, bukankah perutmu sudah tertembus oleh
pedangnya?”
Alangkah kagumnya Su-lam terhadap uraian orang itu, bahkan ia merasa malu pula terhadap dirinya
sendiri. Kiranya apa yang diuraikan orang itu bukan saja menunjukkan kelemahan2 Cepe, bahkan
Su-lam lantas sadar akan letak kekurangan2nya sendiri, sebenarnya Tat-mo-kiam-hoat yang
dimainkannya tadi sangat hebat, tapi lantaran kurang pengalaman sehingga belum sanggup
mengeluarkan intisari daripada kebagusan ilmu pedang Siau-lim-pay yang termashur itu.
Tentu saja Cepe tidak bisa menerima uraian orang itu katanya dengan gusar: “Hanya omong kosong
saja tiada gunanya, paling perlumarilah kita coba2. Bila dalam seratus jurus kau mampu melayani
aku dengan sama kuat maka aku akan mengaku kalah padamu agar kau tidak mengatakan aku
menang oleh tenagaku yang lebih kuat.”
“Hahaha! Sebelum seratus jurus kau pasti akan keok. Kalau tidak percaya bolehlah kau coba2,”
jawab orang itu.
Cepe menjadi murka, tanpa bicara lagi perisainya diangkat dan golok terus menabas. Mendadak
laki2 itu berjongkok ke bawah, berbareng pedangnya lantas membabat kedua kaki lawan. Tinggi
Cepe lebih tujuh kaki, pedang laki2 pendek itu menyerang kakinya, ini adalah cara menghindari
keunggulan lawan dan menyerang kelemahan musuh. Bila Cepe mesti melayani lawannya dengan
sama berjongkok, itu berarti sukar memainkan goloknya. Terpaksa ia hanya bisa mengacungkan
goloknya kebawah untuk menangkis. Sedangkan perisainya juga Cuma baik untuk melindungi
tubuhnya bagian atas dan tengah, untuk melindungi bagian kaki juga kurang leluasa. Dengan
demikian hal2 yang menguntungkan Cepe menjadi banyak berkurang sehingga dia benar2
kelabakan kena diserang oleh laki2 itu.
Dengan gusar Cepe berteriak: “Hm, macam apa cara kau berkelahi ini? Jika berani hayolah
melawan aku dengan berdiri sama tegap!”
“Haha!” laki2 itu tertawa. “Orang bertempur harus bisa melihat gelagat dan mengubah siasat
menurut keadaan, pertandingan silat juga berlaku teori ini. Kau peduli cara bagaimana aku akan
berkelahi? Asalkan aku mampu membikin kau keok kan sudah cukup. Tapi hendaklah kau sabar
dulu, nanti sebentar lagi baru kau akan tahu siapa yang tidak sanggup berdiri tegap.”
Dalam pertarungan sengit itu, suatu kali pedang laki2 pendek itu hampir mengenai dengkul Cepe,
tapi kena disampuk oleh punggung golok lawan. Diam2 Su-lam merasa sayang atas serangan yang
gagal itu. Ia membatin: “Go-bi-pay terkenal mempunyai suatu jurus So-yap-to-hoat (ilmu golok
sapu daun) yang mengutamakan menyerang bagian bawah musuh. Ilmu pedang orang ini
tampaknya perubahan dari ilmu golok Go-bi-pay itu, jangan2 dia adalah anak murid Go-bi-pay?
Tadi kalau dia menyerang lebih bawah sedikit tentu betis si Mongol sudah patah. Padahal dia cukup
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
lihai, mengapa kesempatan bagus di-sia2kan?”
Su-lam tidak tahu peribahasa yang mengatakan “penonton selalu lebih terang daripada pemain”.
Sebab itulah laki2 pendek itu bisa melihat kelemahan2nya dan dia juga dapat melihat kesempatan
yang di-sia2kan laki2 itu.
Cepe memakai jubah kulit yang longgar, ketika bertempur dengan Li Su-lam tadi ikat pinggangnya
telah terpotong putus sehingga jubahnya bertambah longgar sekarang, hal ini rada mengganggu
akan kegesitannya. Ia tidak terlalu merasakan gangguan jubahnya lantaran kepandaian Su-lam
memang lebih asor, tapi sekarang lawannya berkepandaian yang jauh lebih tangguh, maka
terasakanlah gangguan kegesitannya yang amat diperlukan itu.
Setelah sekian lamanya, Cepe benar2 kelabakan oleh serangan2 si pendek yang lincah itu. Akhirnya
ia menjadi nekad, bentaknya dengan murka: “Jika bukan kau yang mati biarlah aku yang binasa!” ~
Berbareng perisainya diangkat terus mengepruk kebawah.
Cepe lebih tinggi dua kaki daripada sipendek, untuk mengepruk kepalanya dengan perisai perlu
juda Cepe membungkuk tubuh.
Mendadak laki2 itu bergelak tertawa, lalu balas membentak: “Lihatlah sekarang siapa yang tidak
mampu berdiri tegap!” ~ Tahu2 tubuhnya menggeliat kesamping sehingga perisai Cepe itu
mengepruk tempat kosong. Menyusul dengan cepat luar biasa, tahu2 ujung pedang sipendek sudah
mengancam didepan perut cepe.
Ketika Cepe pukulkan goloknya kebawah, sebelum kedua senjata berbentur, pedang orang itu sudah
digeser kesamping dan dengan gagang pedang ia sodok iga Cepe.
Mestinya perisai Cepe itu adalah alat pembela diri, sekarang di gunakan untuk menyerang, dengan
sendirinya pertahanannya menjadi banyak luang, sebab itulah sipendek berhasil. Kini pertarungan
mereka kira2 baru berlangsung 70-80 jurus, jadi tepat seperti kata sipendek tadi bahwa Cepe pasti
kalah dalam seratus jurus.
Lantaran iganya disodok gagang pedang, sekalipun cepe memiliki kulit tembaga dan tulang besi
juga tidak tahan. Ia mengerang dan jatuh terjungkal, berbareng perisainya sempat dilemparkan
kedepan.
Segera si pendek itu bermaksud menmbahi tusukan pedangnya, tapi perisai Cepe telah melayang
tiba, terpaksa ia mesti mengelak.
Cepe memang sangat cekatan, sebelum merangkak bangun lebih dulu sebelah kakinya mendepak.
Karena tidak menduga akan serangan balasan demikian, pedang orang itu sampai terlepas.
“Baik, akan kucoba lagi kepandaian pukulan dan tendanganmu!” seru laki2 itu dengan gusar.
Menyusul iapun balas menendang.
Saat itu Cepe belum lagi bangun, tentu saja sukar baginya untuk menghindar, kontan ia tertendang
dan menggelinding kebawah bukit.
“Hahaha! Sekarang kau baru tahu rasa!” seru laki2 pendek itu dengan tertawa. “Karena kau sudah
bertempur satu babak lebih dulu, maka akupun tidak mau menarik keuntungan lebih banyak.
Biarlah kau enyah saja.”
Diwaktu terguling kebawah bukit, golok ditangan cepe juga terlepas, sedangkan busur dan
panahnya tadi sudah dirusak oleh Li Su-lam, maka sekarang ia benar2 tiada bersenjata sepotongpun.
Sebab itulah terpaksa ia harus melarikan diri meskipun tadi dia sudah sesumbar akan bertarung
mati2an dengan lawan.
Kuda Cepe itu adalah kuda perang yang sudah terlatih, ketika majikanny terguling kebawah bukit,
segera kuda itupun lari kesamping sang majikan. Sekujur badan Cepe sudah babak belur dan
berdarah terluka oleh duri belukar serta batu kerikil tajam, lukanya jauh lebih parah daripada Li Sulam,
tapi dia masih sanggup mencemplak keatas kudanya dan kabur.
Li Su-lam lantas mengucapkan terima kasih kepada laki2 pendek tadi.
“Akupun mesti berterima kasih padamu, jika kau tidak melelahkan dia lebih dahulu mungkin aku
tidak sanggup mengalahkan dia,” ujar laki2 itu dengan tertawa. “Li-kongcu, tentunya kau tahu
siapakah aku bukan?”
Sambil bicara laki2 itupun menanggalkan baju sehingga sebelah bahunya tampak bekas luka
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sebesar mata uang.
Perusuh yang meninggalkan surat padanya malam itu, memang tidak diketahui wajahnya, tapi dari
perawakan dan ilmu pedangnya dapatlah Li Su-lam menduga tentu laki2 pendek inilah orangnya.
Apalagi bekas luka terkena pisau jago pengawal yang kini diperlihatkan ini lebih2 meyakinkan lagi
akan dugaan Li Su-lam.
“Banyak terima kasih atas petunjukmu,” ujar Su-lam. “Sekarang aku sudah datang menurut
ajakanmu, entah ada urusan apa engkau mengundang aku?”
“Bukan aku yang mengundang kau, tapi seorang yang tinggal di Siong-hong-kok sini ingin
menjumpai kau, aku Cuma mengundang kau baginya.”
“Siapakah beliau?” tanya Su-lam.
“Setelah ketemu dia tentu kau akan tahu sendiri. Aku Cuma ingin tanya kau, bukankah sekarang
dalam benakmu penuh tanda tanya.”
“Benar. Makanya aku sengaja datang buat minta penjelasan.”
“Hanya orang itulah yang dapat memberi keterangan padamu. Baiklah, marilah ikut padaku. Nanti
kita bicarakan lebih lanjut.”
Tanpa ragu2 Su-lam lantas mengikuti orang itu. Ditengah jalan ia coba tanya namanya dan baru
diketahui namanya, Nyo To.
“Loh-yap-kiam-hoat tang dimainkan Nyo-heng tadi sungguh hebat sekali, apakah barangkali Nyoheng
berasal dari Go-bi-pay?” tanya Su-lam.
“Pandangan Li-kongcu memang tajam sekali, guruku Pi Siok-toh tiada lain adalah murid tertua Gobi-
pay,” sahut Nyo-to.
Su-lam menjadi girang. Ia pernah dengar dari gurunya bahwa Pi Siok-toh dan gurunya itu adalah
sahabat karib dimasa muda mereka pernah dijuluki sebagai “Bu-lim siangsiu” (dua ksatria muda
dunia persilatan), yaitu karena mereka sama2 adalah murid paling menonjol dari angkatan muda
kedua aliran terkemuka, yakni Siau-lim-pay dan Go-bi-pay. Cuma sayang selama berpuluh tahun
terakhir ini mereka jarang bertemu lantaran yang satu berada di Siau-lim-si, di propinsi Holam,
termasuk wilayah kekuasaan kerajaan Kim, sebaliknya Go-bi-pay yang terletak di Sucwan itu
termasuk daerah kerajaan Song Selatan.
Begitulah maka Li Su-lam juga lantas mengatakan perguruannya sendiri. Tentu saja Nyo To juga
girang, katanya dengan tertawa: “Ya, aku pernah dengar dari suhu, katanya Kok-tayhiap
mempunyai seorang murid kesayangan, kiranya kau inilah orangnya. Mungkin waktu itu kau belum
menonjol, maka teman yang menyampaikan berita itupun belum tahu siapa namamu.”
“Aku masuk perguruan sangat terlambat, maka belum sempat menyampaikan sembah kepada Pitayhiap,
tak terduga hari ini malahan dapat berjumpa dengan Nyo-heng, kata Su-lam. Jika demikian,
jadi kita bukan lagi orang luar. Tapi entah untuk keperluan apa Nyo-heng berada di Mongol?”
“Sudah tujuh tahun ada berada disini, ceritanya sangat panjang ….. Ah, kita sudah sampai, lain kali
saja akan kuceritakan urusanku.”
Sesuai namanya, Siong-hong-kok itu adalah lembah yang diapit oleh dua puncak gunung dengan
pepohonan cemara yang rimbun. Pemandangan cukup indah.
Sementara itu mereka telah sampai diluar sebuah gua. “Pelan sedikit,” bisik Nyo To sambil
melangkah hati2.
Su-lam ikut memasuki mulut gua itu dengan setengah membungkuk, timbul perasaannya yang
heran2 cemas, suatu perasaan yang aneh.
Mulut gua itu rada sempit, tapi bagian dalam ternyata sangat luas. Waktu Su-lam memandang lebih
cermat, tertampak didalam gua diatur mirip sebuah rumah petani biasa dengan kamar tidur yang
sederhana, tempat tidur dibuat dari tumpukan jerami. Diatasnya berbaring seorang tua, disamping
orang tua berduduk seorang gadis.
Melihat datangnya seorang pemuda yang tak dikenal, gadis itu tampak rada ter-sipu2.
“Aku telah mengajak mengajak Li-kongcu kemari,” kata Nyo To.
Gadis itu memandang sekejap kepada Su-lam, agaknya ia sudah paham urusannya, tapi dia
menggoyang tangannya dan berdesis: “Ssst, jangan keras2. Beliau baru saja pulas, bicaralah nanti
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
saja.”
Tiba2 orang tua itu membuka matanya dan bertanya: “Siapakah yang datang?” ~ Rupanya orang tua
itu sudah lama sakit sehingga badannya lemah, tadi Cuma istirahat saja dan tidak tidur pulas
sungguh2.
“Tentu paman akan sangat senang, puteramu telah keajak kemari,” tutur Nyo To.
Kata2 ini laksana obat mujarab yang “ces-pleng” saja, mendadak kedua mata orang tua yang
tadinya guram itu bersinar dan cepat bangkit berduduk. Katanya: “Coba mendekat lah kemari, ingin
kulihat yang jelas apakah benar2 anak Lam yang datang.”
Lapat2 dalam hati Su-lam sudah dapat menerka orang tua inilah yang sesungguhnya. Tapi lantaran
dia pernah tertipu, ia tidak berani sembarangan lagi meng-aku2 orang sebagai ayahnya. Maka iapun
mendekati orang tua itu, tapi tidak lantas menyembah dan memanggil ayah.
Cahaya didalam gua rada guram, tapi Su-lam pernah belajar menggunakan senjata rahasia,
ketajaman matanya jauh diatas orang biasa. Apalagi sudah sekian saat dia masuk gua itu, lambatlaun
ia melihat didinding gua itu tergantung sehelai kertas kulit kambing yang bertulisan. Waktu diamat2i,
kiranya sebait syair kuno, dari tinta yang masih tampak jelas agaknya belum lama
berselang.
“Sudah sekian lamanya aku menunggu kau, kukira kau takkan datang kesini,” ujar orang tua itu
dengan menghela napas. “Dua hari yang lalu saking rinduku terhadap kampung halaman, aku
menuliskan syair kuno “rindu rumah” ini, tak tersangka hari ini kau lantas datang. Apakah ibumu
baik2 dirumah?”
Dari gaya tulisan syair itu, kini Su-lam tidak ragu2 lagi. Airmatanya ber-linang2 seketika, cepat ia
berlutut dan berkata dengan pilu: “Anak yang tak berbakti terlambat datang sehingga ayah lebih
banyak menderita. Keadaan ibu cukup baik. Beliau sedang menanti pulangnya ayah.”
“Rasanya aku tidak dapat pulang,” kata siorang tua dengan senyum getir. “Yang kuharap hanya
dapat bertemu dengan kau dan puaslah hatiku.”
“janganlah ayah berkata demikian, ayah pasti akan sembuh.” Kata Su-lam. “Silahkan mengaso saja
dan bicara lagi nanti.”
Betapa tersayat perasaan Su-lam melihat keadaan ayahnya itu. Umur ayahnya baru lebih kurang 50-
an, tapi tampaknya sudah begitu loyo, rambut sudah ubanan semua. Ia pikir entah betapa hebat
penderitaan ayahnya selama ini. Keriput pada dahi sang ayah adalah bukti kejahatan bangsa Mongol
yang telah menyiksanya.
Sementara itu gadis tadi telah membawakan semangkuk air obat, katanya kepada siorang tua:
“Minumlah obat ini, ayah!”
Su-lam ter-heran2 mendengar sinona memanggil “ayah” juga kepada ayahnya. Tapi kini ia sangat
ingin tahu urusan ayahnya sehingga untuk sementara ia tidak sempat tanya seluk-beluk tentang diri
sinona.
Setelah minum obat itu, semangat Li Hi-ko (yang tulen) tampak lebih segar. Kemudian ia berkata
kepada Su-lam: “apakah kiatab yang kususun itu kau bawa serta kesini? Hanya itulah cita2ku yang
belum terselesaikan. Selain kau dan ibumu yang selalu kupikirkan hanyalah kitab ini. Aku masih
ingat kitab ini berjumlah 112 halaman, tapi yang pernah kususun dan selesaikan baru 68 halaman.
Apakah kau pernah membacanya?”
“Kitab ini sekarang berada dibajuku, aku sudah pernah membacanya. “Bagian depan memang ada
catatan ayah secara jelas sehingga mudah dapat kupahami. Cuma sayang bagian belakang ayah
belum selesai memberi catatan dan penjelasan2 sehingga akupun tidak paham.”
Li Hi-ko menerima kitab yang disodorkan Su-lam itu, ia mem-balik2 halaman2 kitab dengan sorot
mata yang penuh kegirangan. Tapi segera ia menghela napas dan berkata: “Tenagaku tidak
mengizinkan aku menyelesaikan kitab berharga ini. Hendaknya kau menyimpannya dengan baik ,
kelak kau dapat menyelesaikan cita2ku ini. Ya, tadinya aku sangat kuatir kau akan tertipu oleh
orang ini. Tapi sekarang lehalah hatiku.” ~ Habis berkata ia menyerahkan kembali kitab itu kepada
Su-lam.
Su-lam menyimpan kembali kitab itu kesakunya, lalu bertanya: “Orang itu? Siapakah yang
dimaksud ayah?”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Yang jelas sekarang dia memalsukan namaku,” tutur Li Hi-ko. “Aslinya dia bernama Sia It-tiong.
Dia adalah temanku yang akrab dalam tawanan. Tak terduga teman yang paling baik ini kemudian
membikin aku celakanestapa.” ~ Sampai disini ver-ulang2 ia ter-batuk2.
Sejenak kemudian barulah ia menyambung ceritanya: “Perkenalanku dengan dia dimulai ditempat
pertanian diutara danau Kulun, tawanan yang diperkerjakan disitu ada dua-tiga ribu jumlahnya.
Untuk memudahkan pengawasan, orang Mongol telah memberi nomor pengenal bagi setiap
tawanan, nomorku adalah 873 dan Sia It-tiong bernomor 874. Sebab itulah siangnya kami bekerja
disuatu kelompok, malamnya juga tidue disuatu kemah yang sama. Dia pernah sekolah, juga paham
sedikit ilmu silat, maka kami rada cocok satu sama lain, lama2 kami menjadi sahabat karib. Orang
Mongol yang menjaga hanya kenal aku bbernomor 873 dan Sia It-tiong bernomor 874, tentang
nama Li Hi-ko dan Sia It-tiong tidaklah dipusingkan mereka.
Kehidupan dikamp tawanan dan dikerjakan secara paksa sudah tentu sangat menderita. Maka secara
rahasia aku mengadakan persepakatan dengan sebagian kawan tawanan itu untuk berusaha
melarikan diri. Didalamnya termasuk juga Sia It-tiong. Karena aku dan Sia It-tiong paham sedikit
ilmu silat, maka kami berdua diangkat menjadi pemimpin mereka.
“Secara berencana kami membagi diri dalam dua kelompok, dalam undian Sia It-tiong mendapat
tugas memimpin kelompok pertama untuk melarikan diri lebih dahulu, menyusul baru kelompok
kedua yang kupimpin. Diluar dugaan ketika kelompok pertama kabur, selain pasukan berkuda
Mongol dikerahkan untuk mengejar, berbareng jalan lolos lantas ditutup pula sehingga kelompok
kedua tak bisa berkutik. Sudah barang tentu kelompok pertama yang sudah kabur itu tak bisa
mencapai jauh, seluruhnya mereka dapat disusul, sebagian terbunuh, sebagian terluka parah, ada
juga yang beruntung ditawan kembali hidup2 dan Sia It-tiong termasuk salah seorang yang
beruntung selamat itu.
“Musuh menyatakan akan membunuh semua tawanan yang dibekuk kembali itu bilamana terus
terang. Dengan macam2 siksaan aku dipaksa mengaku siapa2 lagi anggota sekomplotan. Tapi aku
tetap tutup mulut sehingga aku disiksa habis2an.
“Setelah kenyang menyiksa aku tanpa berhasil memperoleh pengakuan apa2 dariku, musuh telah
mengurung aku disuatu penjara. Entah karena lukaku yang parah dan aku dianggap sudah pasti akan
cacat selama hidup atau sebab lain, yang jelas dan aneh ialah terhadapku tidak dilakukan sesuatu
pengawasan yang luar biasa.
“Rupanya penjagaan yang kendur itu telah memberi kesempatan kepada Sia It-tiong untuk
menjenguk padaku, diam2 ia suka menyelundupkan sedikit makanan dan obat2an. Obat2an itu
meski tidak dapat memulihkan kesehatanku, tapi cukup untuk mengulur waktu ajalku. Waktu itu
aku tidak tahu isi hatinya dan malah merasa sangat berterima kasih kepadanya. Seringkali
dihadapanku dia suka memperlihatkan sikapnya yang dendam kesumat terhadap bangsa Mongol
dan menyatakan siap melaporkan diri sebagai teman sekomplotan dengan aku, katanya dengan
demikian akan bisa meringankan deritaku dari siksaan musuh. Tentu saja aku sangat terharu atas
sikap setia kawannya itu sehingga makin percaya padanya.”
“Begitu pintar cara bangsat itu menipu ayah, pantas ayah menganggap dia sebagai teman yang
paling baik,” kata Su-lam dengan gregetan. “Kemudian cara bagaimana ayah dapat membuka
kedoknya?”
“Setelah peristiwa melarikan diri itu, kira2 setengah tahun kemudian, mendadak sikap orang
Mongol terhadap tawanan bangsa Han banyak berubah, tidak banyak lagi memaki dan memukuli,
malahan seringkali memberi pujian ala kadarnya dan memberi persen segala. Tampaknya orang
Mongol sengaja hendak mengambil hati bangsa Han kita.
“Tidak lama kemudian dikamp tawanan itu muncul maklumat pembesar Mongol, katanya setiap
orang yang memiliki kepandaian khusus dan mau bekerja bagi mereka boleh mendaftarkan diri.
Setelah mendaftarkan diri akan segera dibebaskan dari kamp tawanan serta dikirim ke Holin
(Karakorum) untuk diberi tugas2 tertentu. Ada beberapa orang yang tertarik oleh tawaran itu dan
lantas mendaftarkan diri, benar juga mereka lantas dibebaskan.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Maksud tujuan perubahan politik Mongol itu akhirnya dapat kami ketahui. Rupanya pihak Mongol
lagi berusaha mengadakan persekutuan dengan Song selatan untuk ber-sama2 menggempur
kerajaan Kim. Untuk mana mereka hendak menggunakan tenaga bangsa Han kita. Sia It-tiong
ternyata tidak ikut mendaftarkan diri. Akupun tetap dalam kurungan, hanya saja penjagaan kian hari
semakin kendur sehingga beberapa teman lain terkadang juga berani datang menjenguk aku, hal ini
memberi kesempatan padaku untuk mencari tahu berita2 diluaran. Aku menganjurkan para kawan
itu jangan mau masuk perangkap dan diperalat musuh, kalau perlu biarlah membongkar tipu
muslihat orang Mongol itu. Sudah tentu orang2 yang mau menurut pada anjuranku itupun termasuk
Sia It-tiong. Suatu hari datanglah kabar bahwa orang Mongol sedang men-cari2 orang tawanan yang
bernama Li Hi-ko.”
“Darimana nama ayah dikenal mereka?” tanya Su-lam.
“Konon Jengis Khan ingin memakai orang2 pandai. Ketika masih di kamp tawanan yang duluan
pernah ada yang melaporkan kepada musuh, katanya ada seorang yang bernama Li Hi-ko termasuk
seorang pandai karena keturunan panglima perang, sebab itulah jengis Khan ingin menemukan aku
untuk bekerja baginya.
“Sudah kuceritakan, tawanan bangsa Han tidak diberi tanda pengenal nama, tapi pakai tanda nomor
pengenal, apalagi akupun tidak ingin namaku diketahui, maka diantara sesama teman senasib juga
cuma beberapa orang saja yang kenal namaku. Satu diantaranya sudah tentu ialah Sia It-tiong.
Kemudian aku mengetahui pula bahwa sesudah berita tentang diriku sedang dicari itu tersiar,
beberapa teman yang kenal namaku itu ber-turut2 telah mati secara misterius dalam waktu beberapa
hari saja. Kematian orang di kamp tawanan adalah terlalu jamak, maka waktu itu akupun tidak tahu,
aku Cuma heran mengapa teman2 itu tidak datang lagi menjenguk aku. Yang mati itu sudah tentu
tidak termasuk Sia It-tiong, bahkan dia lebih memperhatikan keadaan diriku.
“Pada suatu malam dia datang sendirian menemui aku. Dia menganjurkan aku, katanya ada
kesempatan bagus untuk mendadap kedudukan baik, mengapa aku tidak mengaku saja asal usulku
yang sesungguhnya, dengan pura2 menyerah begitu sedikitnya akan mengurangi siksa derita dan
kalau kesehatan sudah pulih dapat pula mencari kesempatan untuk melarikan diri. Tentu saja aku
tidak mau menurut, sebaliknya aku mendamprat dia sembarangan omong. Aku sendiri yang
menganjurkan kawan2 agar jangan masuk perangkap musuh, masakah sekarang agar sendiri
mencari hidup sendiri dan menyerah pada musuh? Biarpun mati juga aku tidak sudi menodai
jiwanya sendiri.”
“Tepat benar dampratan ayah,” ujar Su-lam. “Dan bagaimana sikap bangsat Sia It-tiong waktu itu?”
Jilid 02 bagian kedua
“Hm, secara tidak tahu malu dia malah bergelak tertawa,” tutur Li Hi-ko lebih lanjut. “Karena itu
aku menjadi makin jauh tertipu olehnya. Dia memuji pula akan jiwa pahlawanku, katanay kata2nya
itu hanya sebagai pancingan belaka dan sekarang dia merasa lega karena tekadku bulat dan jiwaku
tetap kukuh. Dia menyatakan bahwa akhir2 ini ia telah berusaha mencari jalan baru untuk lari,
mumpung pengawasan musuh sekarang jauh lebih kendur, maka kesempatan lari sangat besar
meskipun bahaya juga tetap ada.
“Obrolannya itu telah sangat menarik hatiku sehingga aku percaya penuh kepadanya. Yang
menjadikan pertimbanganku justru aku kuatir membikin susah dia, hakikatnya aku tidak pernah
berpikir ada tipu muslihat dibalik ajakannya melarikan diri itu. Bahkan dia membusungkan dada
dan menyatakan siap sehidu-semati dengan aku. Karena pernyataannya yang gagah berani itu, aku
menjadi tidak enak untuk menolak maksud baiknya untuk lari bersama. Bahkan terpaksa aku
menerima bujukannya untuk menggendong aku, maklum keadaanku boleh dikata sudah cacat. Dan
usaha lari sekali ini ternyata dapat lolos dengan selamat.
“Kami lari ke pegunungan, memangnya kesehatanku sangat lelah, dalam pelarian kurang makan
dan terlalu lelah pula, maka keadaanku tambah payah. Dia minta maaf padaku, mengatakan lebih
suka mati bebas daripada binasa ditangan musuh. Sesungguhnya semangatku memang jauh lebih
baik daripada waktu masih berada di penjara musuh, walaupun deritaku tidak berkurang karena
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
siksaan penyakitku itu. Sebab itu pula aku merasa terima kasih malah padanya. Hanya dia satu2nya
kawanku, siang dan malam kami selalu berhadapan, maka segala apa yang ingin kukemukakan
terpaksa harus dikatakan padanya. Orang sakit senantiasa merindukan rumah, tanpa terasa akupun
banyak menceritakan tentang keadaan keluargaku kepadanya.”
“Sakitku makin payah, aku tahu ajalku sudah dekat, meski aku menyatakan matipun rela, tapi
sebenarnya masih ada dua urusan yang mengganjel didalam hatiku. Pertama adalah mengenai
dirimu. Kedua ialah tentang kitab militer yang belum selesai kususun itu. Aku telah bercerita
kepadanya bahwa waktu aku ditawan musuh usiamu baru tiga tahun. Kalau ditengah kecamuknya
perang itu kalian ibu dan anak tidak mati, maka sekarang layaknya kau sudah berumur 23 tahun.
Sebab itulah aku telah minta pertolongannya bilamana aku sudah mati, hendaknya dia berusaha
menyelamatkan diri dan kalau sempat sudi mengunjungi kampung halamanku untuk mencari kau.”
“Pantas dia tahu begitu jelas tentang hari lahirku segala,” ujar Su-lam dengan senyum pahit. “Dia
memang telah menemukan aku. Tapi aku menjadi ikut tertipu pula.”
“Tentang kitab ilmu militer yang kupikirkan ini, kukatakan kepada Sia It-tiong agar kelak bila ibu
dan anak kalian dapat dijumpai, kusuruh dia minta kitab pusaka ini kepada kalian. Setelah dia
menemukan kini, apakah dia sudah pernah minta kitab tersebut kepadamu?”
“Pada malam kedua dia lantas minta kitab pusaka ini padaku,” kata Su-lam. “Tatkala itu aku belum
tahu kalau dia adalah ayah palsu. Cuma akupun sudah menaruh curiga padanya. Maka aku sengaja
membohongi dia, untung aku tidak tertipu lagi.”
“Maksudku memberitahukan tentang kitab pusaka kita ini ialah minta dia membawa kitab pusaka
ke daerah Kanglam untuk dipersembahkan kepada salah seorang pahlawan yang berani menghadapi
musuh dengan jiwa patriot sejati, dengan demikian barulah terkabul cita2ku selama ini. Sungguh
aku menyesal, sampai begitu jauh aku sama sekali tidak tahu tipu muslihatnya yang ingin
mengangkangi kitab pusaka kita ini dan hendak dipersembahkan kepada Khan Mongol demi
kepentingannya, bahkan kuberitahukan rahasia kitab ini padanya.”
“Waduh, dengan memberitahukan semua rahasiamupadanya, itu berarti sangat membahayakan ayah
sendiri,” ujar Su-lam.
“memang benar,” kata Li HI-ko pula. “Setelah berhasil memancing seluruh rahasia yang berada
padaku, mendadak sikapnya berubah, dengan tertawa ia berkata padaku bahwa aku toh sudah
mendekati ajal, ia tak sabar lagi ikut menderita lebih lama di pegunungan sunyi itu, maka aku
hendak disempurnakan agar lebih cepat bebas dari penderitaan. Habis itu ia terus mencekik leherku
sehingga aku tidak bisa bernapas. Dalam sekejap saja aku sudah tidak sadarkan diri.
“Entah selang berapa lama, dalam keadaan samar2 kudengar suara kresek2, ternyata daya perasaku
telah pulih sedikit. Agaknya bangsat itu mengira napasku sudah putus dan mungkin wajahku yang
beringas ketika dicekik telah menakutkan dia sehingga cekikannya telah menjadi kendur. Setelah
pulih perasaanku, ternyata aku terbaring didalam sebuah liang galian, jelas dia hendak mengubur
aku hidup2.
“Aku tahu maksudnya mengubur aku hanya bertujuan agar tidak diketahui orang lain dan tamatlah
orang yang bernama Li Hi-ko di dunia ini, yang ada hanya Li Hi-ko palsu saja. Waktu itu sungguh
aku sangat gemas, tapi apa dayaku? Terdengar suara pasir dikeruk dan diuruk keatas tubuhku,
lambat-laun tanganku sudah terbenam, lalu kakiku dan kepalaku, seluruh tubuhku sudah teruruk
oleh pasir.
“Selagi ajalku semakin mendekati gerbang akhirat, agaknya aku masih mujur, tiba2 ada suara orang
bercakap, lalu ada suara tindakan orang mendatangi. Kemudian barulah aku tahu, rupanya bangsat
Sia It-tiong itu anggapaku pasti sudah mati, ia kuatir dipergoki orang yang akan tahu perbuatannya
yang keji, maka lekas2 melarikan diri. Untunglah pulihnya sedikit daya-rasaku itulah jiwaku dapat
tertolong. Anak Lam, sekarang tentu sudah tahu siapakah yang menolong aku bukan? Yakni mereka
kakak beradik.”
Baru sekarang Su-lam mengetahui nona tadi adalah adik perempuan Nyo To. Lekas2 ia menjura
dan menghaturkan terima kasih atas budi mereka yang telah menyelamatkan jiwa ayahnya.
Nyo To sempat menahan Su-lam sehingga tidak jadi menjura, katanya: “Menolong sesamanya
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
adalah kewajiban suci kaum kita. Apalagi sekarang kita sudah orang sendiri, mana kami dapat
menerima penghormatanmu setinggi ini. Ya, sejak tadi belum kukatakan padamu, adik
perempuanku ini bernama Wan. Atas penghargaan Li-lopek, beliau telah menerima adik Wan
sebagai anak angkat.”
“Tapi kukira kalau adikmu menerima penghormatan anak Lam juga pantas,” ujar Li Hi-ko dengan
sungguh2. “Ketahuilah anak Lam bahwa bisanya aku hidup sampai sekarang adalah berkat
perawatan anak Wan. Selama setengah tahun ini tanpa mengenal lelah dia telah menjaga dan
meladeni aku, jauh lebih rajin daripada putri kandungku sendiri, anak To, tak perlu kau
menghalangi anak Lam kalau dia tidak menjura pada anak Wan rasa hatiku juga tidak tenteram.”
Tanpa ayal lagi Su-lam lantas menjura kepada Nyo Wan. Karena tidak pantas mengangkat bangun
Su-lam, Nyo Wan menjadi merah jengah, terpaksa iapun ikut berlutut dan balas memberi hormat.
“Haha, bagus!” Kalian memang harus ‘saling hormat seperti terhadap tamu’,” seru Li Hi-ko dengan
tertawa.
“Istilah ‘saling hormat seperti terhadap tamu’ biasanya hanya dipakai dalam kiasan hubungan baik
antara suami istri dan tidaklah lazim digunakan antara kakak dan adik. Keruan muka Su-lam
menjadi merah.
“Banyak terima kasih atas perawatan Wan-moay terhadap ayah selama ini,” kata Su-lam.
Nyo Wan menjawab: “Tapi kedatanganmuinilah melebihi segala macam obat yang paling mujarab.
Tanpa obat juga sakit ayah pasti akan lekas sembuh.”
“Semoga demikian hendaknya,” ujar Su-lam. Melihat sikap Nyo Wan yang bebas dan lugu itu,
segera rasa kikuk Su-lam tadi juga lantas lenyap. Dalam hati ia berpikir: “ayah barangkali sudah
pikun, masakah boleh menggunakan istilah tadi untuk mengungkap hubunganku dengan Wanmoay.
Tapi mungkin ayah tidak sengaja, kalau aku berpikir terlalu banyak mungkin malah akan
menimbulkan sangkaan jelek.”
Dengan ver-ser2 kemudian Li Hi-ko bicara pula: “Sekarang tinggal satu cita2ku saja yang belum
terkabul. Tentang ini, ai, bihar dua-tiga hari lagi akan kubicarakan padamu.” ~ Ia pandang Su-lam,
lalu pandang Nyo Wan pula seperti sedang merenungkan sesuatu, sikapnya kelihatan mulai lelah.
“Kau sudah terlalu banyak bicara ayah, hendaklah mengaso dulu,” ujar Nyo Wan.
Entah memang sudah terlalu lelah atau karena kelegaan hatinya, maka setelah minum teh jinsom
tidak lama Li Hi-ko pejamkan mata sudah lantas pulas dengan nyenyak.
Dengan suara pelahan Nyo Wan berkata: “ Sudah beberapa malam ayah kurang tidur, syukurlah
sekarang dia bisa tidur sekenyangnya. Koko, persediaan jinsom sudah habis, silahkan kau
mencarikan lagi.”
Kiranya pegunungan Arkeh itu banyak menghasilkan jindom, sebabnya Li Hi-ko bisa tahan hidup
sampai sekarang besar bantuan Nyo To yang telah mencarikan jinsom untuk diminumkan padanya.
Pertama karena merasa tidak enak berada berduaan dengan Nyo wan, pula memang ada hal2 lain
yang hendak ditanyakan kepada Nyo To, maka Su-lam berkata: “Nyo-toako aku ikut pergi bersama
kau.”
“Baiklah, aku mencari jinsom, kau boleh bantu aku mencari kayu bakar,” kata Nyo To.
Setiba ditengah rimba yang lebat, tanpa susah2 Nyo To sudah menemukan sebuah tumbuhan jinsom
yang cukup besar. Habis itu lantas bantu Su-lam mengikat kayu2 kering yang telah dikumpulkan.
Pada kesempatan itu Su-lam bertanya kepada Nyo To: “Nyo-toako, gurumu Pi-tayhiap adalah
murid ahli waris Go-bi-pay, mengapa engkau jauh tinggal dipengunungan sunyi dirantau orang?”
“Panjang sekali kalau diceritakan,” tutur Nyo To. “Sama seperti kau, akupun keturunan dari
keluarga panglima perang, leluhur kami yang pertama adalah Nyo-Lengkong yang pernah
membantu Song-thay-cong mengamankan negeri Liao.”
“Hah , kiranya Nyo-toako adalah keturunan Nyo-keh-ciang (panglima2 keluarga Nyo) yang
termashur itu,” seru Su-lam terkejut dan girang.
Keluarga Nyo memang keluarga panglima perang yang sangat termashur, dimulai dari Nyo Kehgiap
(Nyo-lengkong), kemudian Nyo Tan-ciau , Nyo Bun-kong dan lain2, turun temurun selama
200-an tahun telah banyak berjasa bagi negara sehingga meninggalkan banyak legenda2 dikalangan
rakyat. Kebesaran keluarga panglima Nyo boleh dikata sukar ditandingi oleh keluarga leluhur Li
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Su-lam seumpamanya.
Sejak bangsa Song hijrah ke selatan, keluarga Nyo juga ter-pencar2, ada yang ikut mengungsi
keselatan, ada pula yang Cuma mengasingkan diri didaerah pendudukan Kim, yang belakangan ini
termasuk leluhut Nyo To.
Ketika Nyo To berusia 18 tahun, ada orang mengetahui mereka adalah keturunan Nyo-keh-ciang,
ayahnya kuatir dimusuhi penguasa Kim, maka setelah mengatur tempat tinggal anggota keluarganya
dikampung, ayahnya lantas membawa Nyo To menyusup ke selatan.
Akan tetapi kedatangan mereka diselatan tidak mendapat penghargaan selayaknya, ayahnya Cuma
diberi suatu jabatana rendah sebagai pelatih militer sesuai dengan bakat2nya sebagai keturunan
penglima perang. Tatkala itu kerajaan Song berada dibawah genggaman pembesar dorna Gui Liangsin
sebagai perdana menteri, pemerintahan bobrok dan pembesar2nya korup. Ajah Nyo To menjadi
patah semangat dan tidak ingin Nyo To mencari kedudukan, sebaliknya Nyo To dikirim berguru
kepada sahabatnya yaitu Pi Siokteh dari Go-bi-pay untuk belajar ilmu silat.
Dengan cepat belasan tahun telah lalu. Kebetulan tahun itu Wanyen Liang dari kerajaan Kim
mengadakan serangan besar2an,keselatan dan mendapat perlawanan mati2an dari rakyat. Banyak
pembesar2 pemerintah pusat Song yang ketakutan dan lebih suka menyerah pada musuh, hanya
seorang panglima bernama Gi Un-bun yang berani mengadakan perlawanan terhadap musuh. Gi
Un-bun hanya seorang panglima menegah tentaranya, Cuma belasan ribu orang saja tapi harus
menghadapi tentara musuh yang berjumlah jutaan banyaknya.
Tertarik oleh jiwa pahlawan Gi Un-bun tanpa pikir ayah Nyo To lantas menggabungkan diri tiga
ribu tentara baru yang belum selesai dilatihnya itu. Dalam pertempuran besar di Jay-sik-ki yang
terkenal itu. Gi Un-bun hanya seorang panglima menengah, tentaranya Cuma berjumlah lebih sedit
ditambah bantuan2 dari laskar rakyat yang menggabungkan diri dari berbagai jurusan, akhirnya
tentara Kim sikiat habis2an.
Mestinya dengan kemenangan besar itu Gi Un-bun dapat memimpin tentaranya terus menyerbu
musuh lebih jauh ke utara. Namun sejarah Gak hui telah berulang, perdana menteri Gui Liang-sin
kembali menjadi Jin Kwe kedua. Walaupun Gi Un-bun tidak dibunuh seperti Gak Hui dengan fitnah
yang di cari2 namun Gi Un-bun telah ditarik dari garis depan dan diberi kedudukan yang lebih
tinggi, tapi tak berkuasa. Sebaliknya ayah Nyo To dituduh meninggalkan jabatannya tanpa perintah
dan dimasukkan penjara untuk menunggu keputusan.
Karena tidak tahan derita didalam penjara, akhirnya ayah Nyo To membunuh diri. Sebelum
membunuh diri ayahnya menulis sepucuk surat wasiat dan minta bantuan seorang sipir bui agar
disampaikan kepada Nyo To. Sipir bui itu sungguh orang yang baik. Ia telah menceritakan apa yang
diketahuinya mengenai ayah Nyo To dan memberi bantuan kepada Nyo To untuk menyusup
kembali keutara sesuai dengan pesan ayahnya.
Belasan tahun meninggalkan rumah, ternyata keadaan sudah banyak berubah. Ibu Nyo To dalam
keadaan sakit parah,adik perempuaannya belum dewasa,harta benda juga sudah terjual habis untuk
ongkos penghidupan, untunglah Nyo To masih sempat bertemu dengan ibunya sebelum orang tua
itu menghembuskan napas penghabisan.
Setelah ibunya mati, penghidupan dirasakan semakin berat. Yang lebih celaka lagi rupanya
pulangnya Nyo To dari Selatan telah diketahui pula oleh penyelidih pemerintah Kim sehingga
pembesar setempat diperintahkan menangkapnya. Untung Nyo To berhasil meloloskan diri dengan
membawa adik perempuannya yang masih muda belia itu. Kembali keselatan terang tidak bisa,
akhirnya terpaksa mereka kabur ke Mongol.
Tatkala itu Jengis Khan belum mempersatukan bangsa Mongol sehingga orang Han masih bisa
bebas bergerak. Bahkan ada sebagian kelompok suku Mongol itu menjambut baik kedatangan orang
Han untuk mengajarkan bercocok tanam. Maka Nyo To dan adik perempuannya lantas bermukim di
lembah pegunungan Arkeh ini dan bertani di situ bersama pendatang2 dari berbagai tempat.
Namun penghidupan di Mongol juga tak aman sebagaima disangka, hasil tani yang diperoleh
dengan susah payah seringkali dirampas juga oleh bangsawan2 Mongol. Tanah pertanian yang
sudah digarap lalu dikangkangi. Lebih berat lagi, saat itu Jengis Khan telah berhasil mempersatukan
Mongol, ada aturan yang menetapkan setiap orang harus dinas militer tak peduli asal mana suku
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
bangsanya.
Karena itu keadaan menjadi lebih payah, sudah digencet dalam pencarian nafkah dibebani macam2
kewajiban lagi. Maka banyak teman2 yang kabur ketempat lain, ada lagi yang bergelandangan
dipadang rumput luas untuk menghindari tekanan2 itu. Ada yang umurnya sudah lanjut
Terpaksa ganti haluan menjadi tukang2, pemuda2 yang tak berhasil kabur banyak ditangkap dan
dipaksa bekerja.
Nyo To dan adik perempuannya yang sementara itu sudah besar lantas menyingkir kelereng
pegunungan yang terpencil dan hidup dari berburu. Walaupun kesepian tapi jauh lebih bebas
daripada bertani. Disinilah merek mendengar tentang perjuangan didalam kamp tawanan, dari
seorang pelarian dapat pula diketahui pula tentang kepemimpinan Li Hi-ko. Dan secara kebetulan
juga mereka dapat menyelamatkan Li Hi-ko dan kekejaman Sia It-tiong. Begitulah secara ringkas
Nyo To menceritakan kisah hidupnya.
“Selama ayahmu dirawat di Siong-hong-kok, pernah beberapa kali aku menyusup ke Holin,” tutur
Nyo To lebih lanjut. “tentang Sia It-tiong memalsukan diri ayahmu dan mendapat kedudukan tinggi
juga telah kuketahui. Malam itu sengaja tidak kuberitahukan padamu, soalnya aku kuatir kau tidak
tahan dan segera menuntut balas, jika demikian tentu kau akan celaka malah. Makanya aku sengaja
memancing kau kesini.”
“Aku paham maksud baik Nyo-toako, Cuma sakit hati ini kelak pasti akan kubalas,” kata Su-lam.
“Sudah tentu, jangankan menuntut sakit hati ayahmu, biarpun tiada sakit hati urusan pribadi juga
akan kita bunuh manusia yang bantu pihak yang jahat itu.”
Su-lam menjadi teringat kepada peringatan yang ditinggalkan Beng Siau-kang tempo hari itu,
terang pendekar itu hanya salah paham belaka. Tapi syukurlah sekarang segala persoalannya telah
menjadi jelas, kelak dapat diceritakan dengan jelas kepada Beng Siau-kang, Cuma entah kapan baru
bisa menjumpainya. Bayangan Beng-sia tiba2 muncul pula dalam benaknya. Berkat nona itulah,
maka maksud Beng Siau-kang hendak membunuhnya telah dibatalkan dan hanya meninggalkan
peringatan keras padanya. Padahal mereka Cuma kenal muka sekali itu, tapi sinona telah percaya
penuh kepadanya. Sekarang duduknya perkara sudah jelas, perlu kuberitahukan padanya.
Sampai disini Su-lam melngak sendiri, ia baru sadar bahwa sebenarnya orang yang ingin
ditemuinya bukanlah Beng Siau-kang , tapi sesungguhnya ialah Beng Bing-sia. Tanpa terasa
wajahnya menjadi merah setelah mengetahui rahasia isi hatinya sendiri.
“Adik Lam, apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Nyo To tiba2 ketika melihat Li Su-lam termangu2.
“O, tidak apa2,” sahut Su-lam cepat.
Nyo To tidak tanya lebih jauh. Mereka lantas kembali kegua. Selesai menaruh kayu bakar, dengan
gembira Su-lam berkata kepada ayahnya: “Lihatlah ayah,Nyo-toako mendapatkan sepotong jinsom
yang besar.”
Ketika ia berpaling, dibawah sinar pelita yang remang2 tampak wajah Nyo Wan yang sedih, pada
pipinya kelihatan ada bekas airmata. Airmuka Li Hi-ko yang siang tadi rada pucat sekarang ternyata
rada ke-merah2an malah. Perubahan aneh ini membikin Su-lam merasakan alamat yang tidak enak.
“Kalian tidak perlu susah2 mencarikan jinsom lagi, aku tidak memerlukannya,” kato Hi-ko dengan
lemah. “Kemarilah, anak Lam!”
“Janganlah ayah berpikir macam2,” ujar Su-lam. “Air muka tamaknya lebih segar daripada tadi.”
“Aku tahu ini cuma soal waktu saja, mumpung aku masih kuat, aku harus katakan kepadamu hal2
yang perlu agar angan2ku terkabul,” kata Hi-ko.
“jangan ayah bicara demikian, engkau takkan mati, pasti akan sembuh,” seru Su-lam pilu.
Li Hi-ko tersenyum, katanya dengan sangat tenang: “Anak Lam, janganlah kau berduka. Kenapa
mesti takut mati? Aku telah dapat bertemu dengan kau, sungguh aku sangat gembira dan puas.
Hanya saja aku masih ada sesuatu keinginan yang belum terselesaikan.” ~ Ia mengusap muka
putranya, lalu menyambung: “Waktu meninggalkan rumah kau baru tiga tahun, dalam sekejap saja
20 tahun sudah lalu, tahun ini kau sudah berumur 23 tahun. Ibumu sudah mencarikan jodoh bagimu
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
belum?”
“Belum,” sahut Su-lam dengan muka merah.
“Bagus,” kata Hi-ko dengan tersenyum. “Sebelum aku menutup mata biarlah kuselesaikan
persoalan ini. Anak Wan telah merawat aku sekian lamanya, sukarlah bagiku untuk membalas
kebaikannya, maka kau harus mewakilkan aku membalas budinya. Pahamkah kau akan
maksudku?”
“jangan kuatir ayah, budi kebaikan adik Wan pasti takkan kulupakan selaa hidup ini, aku pasti akan
anggap dia sebagai adik kandung sendiri,” sahut Su-lam.
“Ai, anak bodoh, masakah kau masih belum paham maksud ayah? Yang kuhendaki supaya dia
menjadi istrimu dan bukan menjadi adikmu saja. Aku ingin hubungan kalian ditingkatkan menjadi
suami-istri, dengan demikian barulah cukup membalas budi kebaikan adikmu ini.”
“Tentang ini ….. ini ….. kakak dan adik …..” sahut Su-lam ter-gagap2.
“Ini itu apa?” ujar Hi-ko kurang senang. “Kakak dan adik angkat kenapa tidak boleh menjadi
suami-istri? Yang jelas inilah satu2nya cita2ku yang belum terselesaikan, kalian harus menetapkan
perjodohan ini dihadapanku, dengan demikian barulah aku bisa menutup mata dengan tenang.”
“Tapi anak telah bersumpah akan membalas sakit hati ayah biarpun mesti mengorbankan jiwa,
apakah nanti anak masih bisa pulang dengan hidup atau tidak belum bisa kukatakan dengan pasti,
maka anak tidak ingin membikin susah adik Wan,” ujar Su-lam.
“Kurang tepatlah ucapanmu ini!” sela Nyo To. “Sekalipun kau bukan iparku juga kami kakak dan
adik akan bantu kau menuntut balas.”
“Nyo-hiantit,” balas Li Hi-ko, “Aku harus berterima kasih atas jiwa ksatriamu. Utang budiku sudah
terlalu banyak, jika mereka tidak terikat sebagai suami-istri, mana aku berani menerima
pengorbanan jiwa adik perempuanmu lagi dalam usahanya menuntut balas bagiku.”
“Kulihat adik Lam rada keberatan, mungkin dia anggap adik perempuanku tidak sesuai menjadi
istrinya,” kata Nyo To.
Sudah sedemikian jauh pembicaraannya, Li Su-lam merasa tidak dapat menolak lagi. Segera ia
berkata: “Nyo-toako, ucapanmu itu harus diputar balik, akulah yang merasa tidak sesuai menjadi
suami adik Wan.”
“Memang benar ucapanmu ini, anak Lam,” ujar Hi-ko. “Bicara sesungguhnya, semula akupun
berpikir sama seperti kau. Aku cukup kenal pribadi dan ilmu silat anak Wan. Untuk mencari anak
perempuan sebaik dia, biarpun kau putar dunia keliling juga sukar diperoleh. Untungnya tadi aku
sudah tanya dia, rupanya dia juga tidak mencela dirimu, maka legalah hatiku.”
Keruan wajah Nyo Wan menjadi merah, serunya: “Ai, ayah, engkau ………”
“Sudahlah, kalian toh tidak perlu malu2,” ujar Li Hi-ko dengan tertawa. “Sekarang kalian sudah
suka sama suka, mumpung aku masih bernapas, bolehlah kalian lantas melangsungkan upacara
nikah di hadapanku.”
Su-lam terkejut: “ Ayah masih sakit, kenapa mesti buru2, nanti kalau ayah sudah sembuh barulah
dilaksanakan.”
“Sakitku ini mana bisa sembuh?” ujar Hi-ko. “Aku ingin menyaksikan sendiri kalian terikat menjadi
suami-istri dihadapanku, dengan demikian barulah aku dapat mangkat dengan tenteram. Sudah
tentu soal upacara boleh kalian langsungkan dengan memilih hari yang baik kelak setelah aku
meninggal. Cuma tidak perlu ditunda lama2, maksudku tidak perlu pakai adat kuno, mesti
berkabung sekian lamanya segala. Paling baik sepulang rumah, setelah lapor ibumu, lalu kalian
menikah.”
Baru sekarang Su-lam paham upacara yang ingin diliht ayahnya sekarang hanya sebagai tanda
ikatan suami-istri secara resmi saja. Su-lam merasa lega dan bersama Nyo Wan lantas saling
memberi hormat sebagai tanda bertunangan.
Li Hi-ko sangat gembira dan bergelak tertawa. Tak terduga suara tertawanya makin lemah dan
akhirnya mengembus napas penghabisan. Alangkah sedihnya Li Su-lam. Dengan susah payah ia
mencari ayah, setelah bertemu ternyata dalam waktu singkat saja sang ayah sudah meninggalkannya
untuk selamanya.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Nyo To menghibur Su-lam agar jangan terlalu berduka. Mengingat diri mereka masih berada dalam
bahaya ancaman musuh, ia mengusulkan lekas2 membereskan layon orang tua saja. Su-lam sadar,
teringat olehnya Cepe telah mengetahui jejaknya, dalam waktu tidak lama tentu akan datang lagi,
memang penguburan jenazah ayahnya harus segera dibereskan. Habis itu barulah cari jalan untuk
membalas sakit hati sang ayah.
Begitulah Nyo To lantas menebang pohon dan membuatkan peti mati, menurut adat orang Han,
dikebumikan jenazah Li Hi-ko.
Waktu Nyo To keluar, Su-lam tinggal sendirian bersama Nyo Wan. Tapi mereka sama2 dalam
perasaan berduka sehingga tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
Selesai membuat kuburan, Nyo Wan bebenah seperlunya dari barang2 mereka yang perlu dibawa,
lalu bersama Su-lam mereka meninggalkan gua yang telah sekian tahun dihuni itu.
Sebelum turun gunung, lebih dulu mereka menjenguk kuburan Li Hi-ko. Melihat rada duka Su-lam
telah berkurang, Nyo To sengaja membiarkan pemuda itu berada berduaan dengan adik
perempuannya. Maka ia berkata: “Kuburan ini belum ada batu nisannya, akan kucari sepotong batu
yang baik, akan kita ukir tulisan diatasnya sebagai bongpay (batu nisan).”
Setelah Nyo To melangkah pergi, Su-lam berlutut dan menyembah di depan kuburan sang ayah dan
berdoa: “semoga arwah ayah memberkahi anak, berilah kekuatan kepada anak agar berhasil
membinasakan musuh.”
Nyo Wan juga berlutut di belakangnya dan ikut berdoa: “Mohon berkah ayah, lindungilah kami
sampai dirumah dengan selamat.”
Dia tidak Cuma bilang melindungi “aku”, tapi pakai “kami”, terang rumah yang dia maksudkan
adalah rumah Li Su-lam. Dalam hati Su-lam menjadi malu sendiri, pikirnya: “Aku sudah
bertunangan resmi dengan dia, suami-istri adalah dua badan satu jiwa, jika tidak melupakan aku
diwaktu berdoa, tapi aku malah melupakan dia.”
Setelah berdiri, kedua orang bertemu pandang, Su-lam merasa rada rikuh, katanya: “Adik Wan,
perjalanan pulang ini jauhnya berpuluh ribu li, bahaya2 yang harus kita hadapi masih sangat
banyak. Jengis Khan sudah mengerahkan pasukannya menyerang Kim, kampung halamanku tepat
berada ditempat peperangan itu. Kau ikut pulang dengan aku, tentu kau akan ikut menderita, bisa
jadi akan ikut korban jiwa malah, aku, sungguh aku merasa sangat tidak enak.”
Nyo Wan tertegun, katanya kemudian: “Sebagai suami-istri, sudah seharusnya manis pahit
dirasakan bersama, sehidup dan semati menghadapi segala bahaya. Mengapa…….mengapa kau
mengucapkan kata2 demikian?”
Wajah Su-lam menjadi merah, seketika tak bisa menjawab.
Nyo Wan menghela napas, katanya pula: “Agaknya kau tidak tega menolak maksud ayahmu,
makanya kau menuruti keinginan beliau bukan? Tentang perjodohan kita ini memang jadinya
terlalu mendadak, kalau kau menyesal, sekarang masih belum kasip. Cuma kita harus berunding dan
menyiapkan kata2 yang cocok untuk dibicarakan dengan kakakku. Anak perempuan keluarga Nyo
kami selama turun temurun tiada yang pernah menikah untuk kedua kalinya, watak kakakku sangat
keras dan kukuh.”
Dibalik kata2 Nyo Wan itu sesungguhnya dia tidak ingin membatalkan ikatan perjodohan ini.
Maklum adat istiadat jaman Song paling mengutamakan tata susila, adalah memalukan jika ada
perempuan yang menikah dua kali. Apalagi Nyo To dan Nyo Wan adalah keturunan keluarga
panglima Nyo-lengkong yang termashur, betapapun mereka tidak mau menodai nama baik keluarga
Nyo yang terhormat itu.
Melihat Su-lam terdiam, Nyo Wan tambah pilu, katanya dengan menahan air mata: “ Lamko,
mungkin sekali kau sudah mempunyai pilihan lain, tak perlu lagi kau bicara dengan kakakku,
mumpung dia belum kembali, silahkan kau berangkat dulu, nanti akan kukatakan padanya.”
Su-lam menjadi serba susah, dia sendiri tidak begitu mementingkan adat-istiadat, tapi masakah dia
tega melukai perasaan harga diri seorang nona, apalagi nona ini adalah penolong ayahnya?
Memang, sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada satu gadis lain, yaitu Beng Bing-sia. Tapi
dengan Bing-sia juga Cuma pernah bertemu satu kali saja, bicara saja belum pernah, sekali bertemu
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Su-lam sudah jatuh cinta, tapi apakah Bing-sia juga jatuh cinta padanya?
Terdorong oleh rasa utang budi dan rasa mencela diri sendiri, ditambah perasaan tidak tega melukai
rasa harga diri Nyo Wan, akhirnya Su-lam menjawab dengan gugup:”Wanmoay, janganlah kau
salah paham. Aku Cuma merasa diriku tidak sesuai untuk memperistri kau, aku kuatir membikin
susah pula padamu, maka tanpa sadar aku telah salah omong, hendaklah kau jangan marah.”
Perlahan2 Nyo Wan angkat kepalanya, biji matanya yang hitam memancarkan sinar tajam, katanya
dengan lirih:”kau dan aku sama2 anak piatu yang kenyangmenderita di tengah peperangan. Seperti
dirimu akupun berpisah dengan ayah pada umur tiga, ayah kita sama2 mengalami nasib difitnah
pembesar dorna. Kalau dibicarakan kau masih lebih beruntung dariku. Paling tidak kau telah
bertemu kembali dengan ayahmu, tapi ayahku, sampah kuburan beliaupun aku tidak tahu dimana
beradanya. Yang tak pernah terpikit adalah kita berdua yang mempunyai nasib serupa dan
sebelumnya yang satu di utara dan yang lain di selatan kini ternyata bisa berkumpul menjadi satu
dan terikat menjadi suami-istri. Asal kau tidak mencela dan meningalkan diriku, biarpun
selanjutnya akan menghadapi penderitaan2 yang lebih berat, apa artinya bagiku.”
Setiap kata2 se-akan2 dikorek keluar dari lubuk hari Nyo Wan yang paling dalam sehingga
menggetar sukma pihak lawan, sunguh Su-lam sangan terharu, tanpa terasa Nyo wan dirangkulnya
dan mengusapkan air matanya, katanya dengan perlahan: “Adik Wan, tepat sekali ucapanmu,kita
memang benar adalah sepasang merpati yang senasib.”
Bayangan Beng Beng-sia se-akan2 mencair bersama air mata Nyo Wan, pada waktu Su-lam
menyebut, merpati yang senasib”, yang tertampak kini hanya bayangan samar2 dibalik air mata. Ia
merasakan getaran jantung Nyo Wan yang ver-debar2, ia merasa dirinya berkewajiban membela
gadis yang senasib ini.
Tapi apakah bayangan Beng Bing-sia benar2 sudah lenyap dalam benaknya? Li Su-lam tidak berani
memikirkannya. Andainya ditanya mungkin dia sendiripun tidak tahu. Seperti halnya perasaannya
terhadap Nyo Wan ini, apakah cinta? Kasihan atau Cuma rasa simpatik saja?
Per-lahan2 Nyo Wan Melepaskan diri dari pelukan Su-lam, katanya: “Sebentar kakak tentu akan
kembali, tidakkah enak kalau dilihatnya.”
Bicara tentang Nyo To barulah Su-lam teringat, katanya: “Ya, sudah sekian lamanya toako pergi
mencari sepotong batu, mengapa sampai sekarang belum kembali?”
Pada saat itulah se-konyong2 terdengar suara mendengung yang nyaring memecah angkasa sunyi.
Itulah suara panah berpeluit.
Nyo Wan terkejut, katanya: “Kakak tidak pernah menggunakan panah berpeluit.”
Tiba2 terdengarlah kumandang suara Nyo To dari jauh, terdengar dia sedang tertawa dan berkata:
“Hahaha! Memangnya kalian mengira Li-kongcu mau menunggu di pegunungan ini akan
kedatangan kalian untuk menangkapnya? Hehe, sudah lama dia pergi, silahkan mengubernya saja
ke Kanglam. Disini hanya tinggal aku sendirian, kalau mau cari perkara, silahkan maju saja!”
Nyata Nyo To sudah ketemu musuh, dia sengaja berbicara keras2 begitu maksudnya supaya
didengar oleh Li Su-lam dan adik perempuan sehingga bisa berusaha melarikan diri lebih dahulu.
Tentu saja Su-lam terkejut, cepat ia berkata: “Wah , celaka, toako telah ketemu musuh. Panah
bersuara tadi tentu dilepas oleh Cepe. Marilah kita lekas kesana, lekas!”
Ia tahu kemenangan Nyo To atas Cepe tempo hari tidaklah mutlak, kalau sekarang Cepe datang lagi
tentulah tidak sendirian. Sekalpun Nyo To sengaja bersuara keras memperingatkannya, tapi mana
Su-lam mau melarikan diri sendiri?
Begitu tanpa pikir lagi segera ia lari ke arah datangnya suara tadi disusul kencang oleh Nyo Wan
dari belakang. Sampai di pinggang gunung terlihatlah Nyo To sudah bertemput dengan Cepe.
Ternyata Cepe membawa tiga orang teman, dua lama dan seorang Bu-su, Su-lam kenal Bu-su itu
adalah Cilaun. Seorang lama berkasa kuning adalah Hulitu yang pernah dihajar lari oleh Beng Siaukang
digurun Gobi tempo hari, seorang lagi adalah lama berkasa hitam yang belum dikenalnya.
Tangan kiri Cepe memegang busur dan tangan kanan menyekal golok sabit, dia lagi bertempur
dengan sengitnya melawan Nyo To.
Karena kekalahan tempo hari, maka sekarang Cepe sudah berpengalaman, kedatangannya ini telah
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pakai perhitungan. Ia menggunakan goloknya untuk menjaga diri bagian bawah, berbareng
busurnya dipakai menyerang bagian atas, menyerang berbareng bertahan sehingga Nyo To sama
sekali tidak memperoleh keuntungan.
Sambil bertempur Cepe berseru kepada kawan2nya: “Jangan percaya ocehannya, lekas kalian
menggeledah seluruh Siong-hong-kok, bocah she Li itu pasti masih berada disitu.
Belum lenyap suaranya Li Su-lam sudah muncul sambil membentak: “Inilah aku adanya! Kalian
tidak perlu mencari lagi!”
Nyo To terkejut, serunya: “Adik Lam, kewajibanmu masih sangat berat, lekas kau lari bersama
Wan-moay!”
“Tidak, andaikan mati biarlah bersama saja, apalagi yang harus lari mungkin juga mereka,” sahut
Su-lam.
“Bagus, jiwa ksatriamu harus dipuji, Cuma kau terlalu tidak tahu diri,” ejek Hulitu. “Nah, apa
susahnya jika kau ingin mampus, akan kupenuhi harapanmu.”
Pada pertempuran di Gobi tempo hari, kalau Beng Siau-kang tidak keburu muncul tentu Li Su-lam
sudah dilalap oleh Hulitu. Sebab itulah sedikitpun Hulitu tidak pandang sebelah mata terhadap Li
Su-lam. Begitu menanggalkan jubahnya, segera ia menubruk kearah Su-lam dengan jubah yang
terpentang itu.
“E-eh, masih ada seekor betina,” tiba2 Cilaun berseru aneh. “Ehmm, boleh juga si betina ini, dia
adalah bagianku.”
Nyo Wan menjadi gusar. Tanpa bicara lagi ia terjang Cilaun, “sret” kontan ia mendahului menusuk.
Sementara itu kasa (jubah) Hulitu telah mengerudung keatas kepala Li Su-lam. Cepat Su-lam
angkat pedangnya keatas, dengan gerakan “Ki-hwe-liau-thian” (angkat obor menerangi langit),
“bret”, tahu2 kasa lawan telah berlubang.
Hulitu terperanjat dan heran mengapa anak muda itu mendadak bertambah tangkas. Lekas2 ia puntir
jubahnya dengan tenaga dalam sehingga berbentuk pentungan, lalu dimainkannya sebagai toya,
dengan demikian serangan2 Li Su-lam dapat lah ditahan.
Sudah tentu dugaan Hulitu adalah keliru, bukanlah kepandaian Li Su-lam mendadak bertambah
lihai, soalnya kejadian di Gobi tempo hari dan sekarang tidaklah sama. Tempo hari Su-lam dalam
keadaan payah, lapar dan dahaga setelah mengarungi gurun pasir seluas itu, bahkan lebih dahulu
telah bertarung melawan Cilaun maka ia sudah terlalu payah, ketika kemudian harus bertarung
melawan Hulitu. Sebaliknya sekarang Su-lam benar2 penuh dengan kekuatan, semangat segar. Ia
bertekad akan membalas kekalahan tempo hari, begitu maju ia terus menyerang dengan tangkas.
Sebab itulah beberapa gebrak saja Hulitu hampir kecundang.
Rupanya Cilaun juga punya penyakit yang sama dengan kawannya, yaitu menilai enteng lawannya,
maka pil yang dia telan jauh lebih pahit daripada hulitu.
Lantaran Nyo Wan kelihatan Cuma seorang anak dara, tentu saja Cilaun anggap sepele. Ia pikir
sekali gebrak tenntu anak dara itu akan dibekuknya dengan mudah dan itu berarti suatu jasa besar
bilamana tawanannya nanti dipersembahkan Jengis Khan.
Tak terduga , mestki tenaga Nyo Wan kalah kuat, tapi gerakannya sangat gesit, belum lenyap suara
tertawa Cilaun tadi tahu2 pandangannya menjadi silau, ujung pedang Nyo Wan telah menyamber
tiba mengancam tenggorokannya.
Keruan kejut Cilaun tak terhingga, untung dia memakai rompi perang dari baja, pada saat berbahaya
lekas2 ia kerutkan kepalanya sehingga topi baja yang tertusuk pedang, bebaslah dia dari nasib
tenggorokan tertembus pedang lawan, walaupun begitu kepalanya juga kesakitan tergetar oleh
tusukan Nyo Wan itu.
Setelah mengalami kerugian ini, Cilaun tidak berani gegabah lagi, dengan demikian sulitlah bagi
Nyo Wan untuk melancarkan serangan dengan berhasil. Tenaga Nyo Wan terang kalah kuat, ia
tidak berani keras lawan keras, terpaksa ia harus menggunakan kelincahan dan kegesitannya.
Saat itu dipihak Cepe masih ada seorang cadangan belum ketemu tanding, yaitu si Lama berkasa
hitam. Tenang2 saja si Lama itu mengikuti pertempuran itu, Cuma perhatiannya lebih tercurah atas
diri Li Su-lam, setelah belasan jurus kelihatan Hulitu tidak sanggup mengalahkan Li Su-lam, segera
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ia angkat tongkatnya dan melangkah maju, serunya dengan tertawa: “Li-kongcu, bukan maksud
kami hendak main kerubut. Soalnya Khan telah memberi perintah agar engkau ‘diundang’ pulang,
tapi kau membangkang, terpaksa kami mesti pakai kekerasan.”
“Kau tak perlu pura2 seperti tikus menangisi kucing, memangnya aku tidak pikirkan soal mati dan
hidup lagi lekas kau maju saja sekalian,” damprat Su-lam.
“Hahaha! Li-kongcu benar2 seorang yang suka blak2an, sahut Lama jubah hitam dengan terbahak.
“Baiklah mengingat kegagahanmu, rasanya aku juga tidak tega menghabiskan jiwamu.”
“Tutup mulut ………” belui lanjut Su-lam mendamprat, tahu2 tongkat si Lama sudah menyamber
tiba. Cepat Su-lam menangkis dengan pedangnya “Trang”, lelatu api meletik, tangan Su-lam terasa
sakit, hampir2 saja pedang terlepas dari cekalan.
Kesempatan itu segera digunakan oleh Hulitu untuk menyerang, jubahnya lantas menyabet. Tapi Li
Su-lam terus meloncat keatas, jubah lawan menyerempet lewat dibawah kakinya. Sementara itu
dengan cepat luar biasa tongkat si Lama jubah hitam sudah menyerang pula, dengan gerakan “Kihwe-
liau-thian” pula, tongkatnya menyodok keatas, keperut Li Su-lam.
Dalam keadaan mengapung di udara, sukar bagi Su-lam untuk mengelak. Tiba2 timbul akalnya, ia
berjumpalitan di tengah udara, ujung pedang menutul pada ujung tongkat lawan, dengan tenaga
tutulan itulah badannya lantas mencelat beberapa meter jauhnya ke belakang.
Jurus yang berbahaya tapi sangat jitu itu, mau tidak mau membuat si Lama jubah hitam merasa
kagum. Dalam pada itu Hulitu sudah lantas mengadang di depan Li Su-lam sebab kuatir anak muda
itu bergabung dengan Nyo To. Menyusul Lama jubah hitam itupun memburu maju.
Su-lam sudah dapat mengukur kepandaian Lama jubah hitam itu lebih tinggi daripada Hulitu, untuk
melawannya hanya bisa menggunakan akal dan tidak bisa dihadapi dengan mengadu tenaga. Segera
Su-lam menggunakan ilmu pedang yang lunak untuk menempurnya lagi. Namun melawan si Lama
jubah hitam saja kalah kuat, apalagi sekarang ia dikeroyok, apalagi kepandaian Hulitu juga tidak
dibawahnya, keruan Su-lam menjadi kewalahan.
Melihat Su-lam terdesak, baik Nyo To maupu Nyo Wan berusaha menggabungkan diri dengan anak
muda itu. Nyo To segera melancarkan serangan kuat kepada Cepe.
“A-ah, sebaiknya kau simpan tenaga supaya mampu menandingi aku lebih lama,” demikian Cepe
meng-olok2.
Nyo To tidak ambil pusing akan ocehan lawan, ia terus menyerang secara membadai sehingga
dalam sekejap likuran jurus sudah berlalu. Namun selangkahpun Cepe tidak mau mengalah, ia
menghadapi lawannya denga tidak kalah tangkasnya.
Tidak lama Nyo To sendiri sudah mandi keringat, kesempatan ini segera digunakan Cepe untuk
melancarkan serangan balasan sehingga Nyo To terdesak mundur malah. Untung ilmu pedang Nyo
To tidaklah mudah dibobol, betapapun dia masih sanggup bertahan, walaupun Cepe sedikit diatas
angin, terpaksa tak berani terlalu mendesak lantaran dia sudah pernah merasakan lihainya ilmu
pedang lawan itu.
Di sebelah sana Nyo Wan ternyata berhasil melepaskan diri dari rintangan Cilaun. Dalam “ksatria
kemah emas” Cilaun hanya termasuk jago nomor delapan, kepandaiannya jauh dibawah Cepe.
Sebaliknya kepandaian Nyo Wan selisih tidak banyak dengan kakaknya, sebab itulah Cilaun tidak
mampu menahannya. Ketika suatu tabasanpedang Nyo Wan memaksa Cilaun harus menangkis
dengan giliknya, mendadak dengan gerakan “Yan-cu-coan-liam” (burung walet menyelinap dibalik
kerai), seperti burung terbang Nyo Wan terus melayang lewat diatas kepala Cilaun.
Keruan Cilaun Kelabakan, ver-ulang2 ia meludah dan berteriak: “Sial!” ~ Maklum, dilangkahi
seorang perempuan umumnya menjadi pantangan setiap jago silat. Dengan gusar segera Cilaun
memutar tubuh terus mengudak.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa Nyo Wan sudah berada disamping Hulitu, pedangnya
berkelebat, kontan menusuk keatas kepala lawan itu.
Hulitu mementangkan jubahnya keatas sehingga mirip segumpal awan merah melindungi
kepalanya. Ketika pedang Nyo Wan mengenai jubah lawan, jubah merah itu robek satu lubang, tapi
iapun teregtar kesamping oleh tenaga kebutan jubah itu, dengan enteng Nyo Wan tepat tancapkan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kakinya di sebelah Li Su-lam. Segera kedua muda-mudi itu bahu mmbahu menepur musuh.
Alangkah syukur dan terima kasih Li Su-lam melihat Nyo Wan menerjang maju untuk
membantunya tanpa mengenal bahaya. Seketika semangatnya terbangkit, keadaan terdesak tadi
segera diperbaikinya. Cuma sayang, pihak lawan segera bertambah juga bantuan seorang, yaitu
Culaun. Dalam keadaan dua lawan tiga kembali Su-lam berdua terdesak dibawah angin.
Kepandaian Cilaun tidak terlalu hebat, tapi juga mengandung daya gempuran yang tidak ringan.
Sedangkan Lama jubah hitam dan Hulitu adalah jago kelas tinggi, andaikan dua lawan dua akhirnya
Su-lam berdua juga akan kecundang, apalagi sekarang ditambah Cilaun, tentu saja kekuatan kedua
pihak lantas sangat berbeda.
Terpaksa Su-lam belakang membelakangi dengan Nyo Wan dan bertempur mati2an, dalam sekejap
beberapa puluh jurus lalu pula. Meski mandi keringat Li Su-lam masih sanggup bertahan sekuatnya,
sebaliknya sebagai anak perempuan tenaga Nyo Wan tentunya terbatas, setelah bertempur sengit
dua babak, kini tenaganya benar2 terperas, napasnya sudah megap2, pedangnya juga mulai lamban.
Melihat itu, perasaaan Su-lam menjadi pedih, katanya: “Wan-moay, akulah yang membikin susah
padamu!”
Tapi Nyo Wan menjawab dengan tertawa: “Bukankah kau pernah mengatakan kita adalah merpati
yng sehidup semati, kenapa sekarang kau berkata demikian pula, memangnya kau anggap aku
sebagai orang luar?” ~ Pernyataan tekad Nyo Wan ini ternyata sangat membangkitkan semangat Li
Su-lam sehingga perlawanannya tambah kuat.
“Bila kalian mau ber-mesra2an disilahkan di Holin saja nanti,” ejek Cilaun. “Sekarang kalian lebih
baik menyerah saja daripada menjadi merpati senasib diakhirat.”
Su-lam menjadi murka, mendadak pedangnya memutar ke belakang. Saat itu Cilaun lagi
menghadapi Nyo Wan, sudah tentu ia tidak menduga akan serangan Li Su-lam yang mendadak itu,
tanpa ampun lagi lengan kirinya melekah beberapa senti panjangnya, keruan ia ber-kaok2 dan
berjingkrak kesakitan.
Tapi pada saat Su-lam menghajar Cilaun, hampir berbareng tongkat si Lama jubah hitam juga
menyodok kepunggung Li Su-lam. Nyo Wan menjerit kuatir, syukur ia masih sempat menangkiskan
serangan itu bagi Su-lam. Namun tenaga Nyo Wan lemah, ketika pedangnya membentur tongkat
“Trang”, pedangnya yang malah mencelat keudara, tangannya sampai lecet dan berdarah.
Segera Su-lam putar kembali pedangnya, dengan gerakan “Hing-in-toan-hong” (awan mengapung
memotong puncak), tongkat si Lama kena disampuk kesamping menyusul ia serahkan pedangnya
kepada Nyo Wan sambil berkata: “Wan-moay, pakailah pedangku ini!”
Dalam pertarungan sengit itu Nyo Wan tidak sempat ragu2 sedetikpun, terpaksa ia terima pedang Li
Su-lam itu. Sekarang Su-lam hanya menggunakan “Pan-yak-ciang-hoat” dari Siau-lim-pay untuk
menggempur Hulitu dan si Lama jubah hitam. Pan-yak-ciang paling ampuh untuk merusak urat nadi
lawan bilamana mengadu pukulan. Sebagai seorang tokoh, si Lama jubah hitam cukup kenal
serangan Su-lam yang nekat itu, betapapun ia harus berpikir dua kali sebelum menyambut serangan
anak musda itu.
Kiranya waktu berangkat si Lama jubah hitam ini telah diberi perintah oleh Jengis Khan agar dalam
terpaksa boleh Su-lam dibunuh, tapi selain itu Puteri Minghui juga telah menyusulnya dan memberi
pesan padanya agar bocah she Li ini jangan se-kali2 dicelakai. Dalam keadaan demikian,
memangnya Li Su-lam bertempur mati2an pula mengingat akan pesan Puteri Minghui itu, si Lama
jubah hitam pikir tiada gunanya mengadu jiwa, lebih baik tunggu kalau nanti tenaga Li Su-lam
sudah habis kan dengan gampang akan dapat menawannya? Karena keputusan demikian, si Lama
jubah hitam hanya bertahan saja dan tidak menyerang lagi. Keadaan Su-lam menjadi rada enteng,
namun dia masih terlibat dalam pertempuran sengit.
Sementara itu Cilaun yang terluka itu tidak tinggal diam, sudah tentu oa tidak tahu tentang pesan
Puteri Minghui kepada si Lama jubah hitam segala, segera ia menerjang maju sambil memaki:
“Anak bangsat, aku akan memampuskan kau!”
Ber-ulang2 si Lama jubah hitam memberi isyarat kepada Cilaun, namun Cilaun tidak paham
maksudnya. Terpaksa si Lama jubah hitam berseru: “Jasa kita akan lebih besar jika bocah ini
dibekuk hidup2. Kalau kau merasa gemas padanya, bolehlah kau bacok dia satu kali.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Baru sekarang Cilaun tahu maksud Lama itu, sahutnya: “Baiklah, akan kibacok dia dua kali, yang
satu kali sebagai persen!”
Nyo Wan menjadi murka, dampratnya: “Hm, kau ingin membacok dua kali? Ini, kau rasakan dulu
pedangku!” ~ Dengan geregetan NyoWan kerahkan segenap tenaganya terus menusuk kearah
Cilaun.
Saat itu si Lama jubah hitam dan Hulitu sedang melayani Su-lam, mereka tidak sempat emberi
bantuan kepada Cilaun. Sedangkan Cilaun sendiri sudah terluka, gerak-geriknya kurang gesit, pula
tidak menduga sinona berani mengadu jiwa padanya secara mendadak, keruan tusukan Nyo Wan
yang ganas dan cepat itu tak bisa dihindarkan. “Crot”, kontan ujung pedang menancap didadanya.
Cilau menjerit ngeri sambil mundur dua langkah, waktu melihat dada sendiri, ternyata dada sudah
berlubang, darah mengucur sebagai sumber air. “Matilah aku!” jerit Cilaun pula. Kakinya menjadi
lemas dan jatuh terkulai.
Lantaran tenaga Nyo Wan kurang kuat, maka sebenarnya tusukan yang mengenai dada Cilaun itu
tidaklah mematikan, hanya bagian dadanya yang gemuk saja yang terluka.
Cepe adalah jagoan tempur yang berpengalaman, mendengarkan suara jeritan Cilaun itu, ia
mengerut kening dan mengomel: “Janganlah melempem begitu, hanya terluka sedikit saja kenapa
mesti ver-kaok2, tahu malu tidak?”
Kini Cilaun juga sudah menyadari lukanya tidka mematikan, tapi melihat derasnya darah yang
mengucur itulah hatinya menjadi takut. Lekas2 ia membubuhi obat luka, namun rasa sakitnya masih
belum reda. Dengan gemas ia berteriak: Bunuh saja bentina itu!”
Dalam hati si Lama jubah hitam itu menduga si nona tentulah kekasih Li Su-lam dan orang
demikian tentu takkan disukai sang Peteri (Minghui), maka iapun menajwab: “Baiklah, aka
kubalaskan sakit hatimu itu. Kau boleh pulang saja dulu!”
Tiba2 si Lama jubah hitam ganti cara bertempur dan melancarkan serangan gencar terhadap Nyo
Wan. Sebaliknya tenaga Nyo Wan sudah hampir ludes setelah menusuk Cilau tadi. Dengan mati2an
Li Su-lam berusaha melindungi Nyo Wan, namun tetap tak bisa menahan serangan si Lama jubah
hitam yang dahsyat, tiada seberapa lama ver-ulang2 mereka harus menghadapi serangan2 maut.
Cemas dan kuatir pula Nyo To, mendadak ia menggertak keras: “Bukan kau yang mampus biarlah
aku yang binasa!” ~ Tanpa pikir lagi ia putar pedangnya terus menerjang kearah Cepe.
Meski tenaga Cepe lebih besar daripada lawannya, tapi melihat kekalapan Nyo To itu, terkejut juga
dia, dan lekas2 menghindar, menyusul secepat itu pula goloknya lantas menabas, namun luput dan
Nyo To sudah menerjang lewat kesana.
Saat itu si Lama jubah hitam sedang angkat tongkatnya dengan gerakan “Thay-san-an-teng”
(gunung Thay menimpa kepala) sedang menghantam kepala Nyo Wan.
“Jangan mencelakai adik perempuanku, kepala gundul!” gertak Nyo To dengan berang, pedangnya
sempat digunakan menangkis. “Trang”, kedua senjata kebentur dan lelatu tepercik, tangan si Lama
jubah hitam terasa sakit, jubahnya juga robek tergoresoleh pedang Nyo To. Baru saja Nyo To
bermaksud menyorong pedang sekuatnya kedepan untuk menembus perut musuh, tiba2 terdengar
suaraangin menyambar dari belakang, untuk memutar pedangnyakebelakang buat menangkis sudah
tidak keburu lagi, walaupun Nyo To masih sempat mengelak tak urung punggunya kena golok Cepe
hanya saja tidak parah.
Kepandaian si Lama jubah hitam itu tidak dibawah Nyo To, begitu terhindar dari elmaut karena
perutnya hampir tertembus pedang Nyo To tadi, segera ia melancarkan serangan balasan,
tongkatnya lantas menghantam dan inilah maut bagi Nyo To. Dada Nyo To kena digenjot, tan[pa
ampun lagi darah segar tersembur dari mulutnya, berbareng Nyo To melompat mundur beberapa
meterjauhnya kebelakang.
“Hahahaha!” Lama jubah hitam bergelak tertawa, ia memburu maju dan tongkatnya menyodok
kedepan. Saat itu Nyo To baru saja menancapkan kakinya ditanah dan tahu2 ujung tongkat si Lama
sudah menyamber tiba.
Disebalah sana Hulitu juga lantas putar jubahnya untuk merintangi Li Su-lam yang bermaksud
memburu kesana untuk membantu Nyo To.
Tampaknya sekali terkena lagi tongkat si Lama dan jiwa Nyo To pasti akan melayang. Pada detik
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
terakhir itulah se-konyong2 Nyo To berteriak: “Kau yang mampus atau aku yang mati!” ~
Berbareng tangannya digunakan menangkis dan memegang, dengan tepat ujung tongkat musuh
telah dicengkeramnya.
Terdengar suara “Krak”, tulang tangan Nyo To yang digunakan menangkis itu patah, tapi pedang
disebelah tangannya yang lain secepat kilat pula telah meluncur dan menyamber kedepan.
Mimpipun si Lama jubah hitam tidak membayangkan bahwa dalam keadaan terluka parah Nyo To
masih mampu menggunakan cara bertempur sehebat itu. Meski tongkatnya telah mematahkan
tulang Nyo To, tapi karena tangkisan itu iapun tidak keburu menarik kembali tongkatnya untuk
menjaga diri. Bagian dada si Lama menjadi terbuka tanpa penjagaan ketika pedang Nyo To
meluncur tiba. “Bles”, tanpa ampun dadanya tertembus oleh pedang itu. Sambil menjerit ngeri
Lama ubah hitam itu terguling binasa mandikan darah.
Nyo To sendiri setelah menyambitkan pedangnya juga sudah kehabisan tenaga, keadaannya sudah
sempoyongan, pada saat itulah jubah Hulitu juga menyabet kearahnya.
“Sudah mampus satu, kalau mampus satu lagi berarti untung bagiku!” bentak Nyo To. Jubah lawan
disambut dengan cengkramannya, sekuat sisa tenaganya ia membetot sambil menjatuhkan diri
ketanah, tak tertahankan lagi jubah terlepas dari tangan Hulitu.
Pada saat demikian itulah pedang Nyo Wan telah menusuk punggung Hulitu, pedang Li Su-lam
juga sudaah mengancam dadanya. Kedua pedang tiba bersama, satu muka dan satu belakang,
sekaligus tubuh Hulitu tertembus dua lubang. Kematian Hulitu jauh lebih ngeri daripada si Lama
jubah hitam, menjerit saja dia tidak sempat.
Beberapa gebrakan menentukan itu benar2 berlangsung dengan maha dahsyat dan amat cepat.
Setelah berguling ditanah dan baru saja Nyo To bangkit, tahu2 lehernya terasa kencang, kiranya
Cepe telah menjirat lehernya dengan busur. Inilah salah satu jurus yang paling lihai dalam ilmu
gumul orang Mongol. Tali busur terbuat dari kulit lembu yang sangat kuat, sekali leher terjirat dan
ditarik sekuatnya, kontan sang korban akan mati seketika.
Pada detik antara mati dan hidup itu, Nyo To sedikit miringkan kepalanya, dengan mulut ia gigit tali
busur musuh, berbareng ia menjatuhkan diri kedepan. Karuan Cepe ikut terseret maju dengan terhuyung2
, baru saja ia hendak menjerat sekuatnya untuk membinasakan Nyo To, pada saat itulah
sepasang pedang Nyo Wan dan Li Su-lam juga sudah menyamber tiba.
Senjata Cepe hanya tertinggal golok sabit saja, dalam keadaan terhuyung pula dia, keadaannya
menjadi serba salah, ketika goloknya menangkis, “Trang”, goloknya kena disampuk jatuh oleh
pedang LI Su-lam, sedangkan bahu kanan tertusuk oleh pedang Nyo Wan. Meski lemah tenaga Nyo
Wan, namun serangannya itu dilancsrkan dengan segenap sisa tenaganya, maka parah juga luka
Cepe itu.
Sambil mengerang keras, terpaksa Cepe melerikan diri dengan meninggalkan busurnya yang masih
mengalungi leher Nyo To. Dalam keadaan sendirian dan terluka parah, biarpun kepandaiannya
setinggi langit juga Cepe tidak berani bertempur lagi.
Lekas2 Su-lam dan Nyo Wan membangunkan Nyo To. Tapi lantas Nyo To berseru: “Lekas kejar
dan bunuh Cepe, jangan sampai dia lolos!”
“Bagaimana keadaanmu, Toako, keselamatanmu jauh lebih penting,” ujar Su-lam.
“Ai, jangan pikirkan aku, bunuh dulu Cepe lebih penting,” kata Nyo To dengan napas memburu.
Karena lehernya luka oleh jiratan busur Cepe, dadanya terkena hantaman tongkat si Lama jubah
hitam, kedua luka itu sama2 sangat parah, lebih2 luka di dada yang mengucurkan darah itu sehingga
pakaian Nyo To basah kuyup.
Melihat keadaan luka Nyo To itu, manabisa Su-lam dan Nyo Wan meninggalkan dia dan mengejar
musuh? Leaks Nyo Wan membubuhkan obat pada luka kakaknya, sambil membalut lukanyaitu Sulam
berkta: “Empat musuh, dua mati dan dua lagi melarikan diri. Nyo-toako, pertempuran ini telah
dimenangkan kita secara mutlak. Cepe juga tertusuk oleh pedang adik Wan, lukanya jauh lebih
parah daripada Cilaun. Seumpama dia dapat mencapai Holin dan kembali dengan bala bantuan juga
memerlukan waktu beberapa hari lamanya.”
“Biarpun begitu, ada lebih baik kalian lekas meninggalkan tempat berbahaya ini,” ujar Nyo To
dengan meringis kesakitan. “Aku sudah terang tak berguna lagi. Adik Wan jangan buang percuma
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
obatmu.” ~ Suaranya makin lama makin lemah, wajahnya juga makin pucat.
“Tidak, koko, kau takkan mati,” seru Nyo Wan kuatir dan sedih.
“Ah, bodoh kau, setiap manusia akhirnya pasti akan mati,” kata Nyo To dengan tersenyum. “Hari
ini aku telah binasakan dua musuh, matipun cukup berharga. Adik Lam, selanjutnya kuserahkan
adik perempuanku dalam lindunganmu. Tugas kalian masih sangat berat, kalian lekas lari dari
Mongol. Kewajiban menuntut balas sakit hati keluarga dan negara sedang menantikan kalian,
lekaslah kalian berangkat. Maaf adik Lam, beban yang amat berat itu terpaksa kuserahkan padamu
semua, aku akan …….akan mangkat lebih dulu.”
Selesai bicara sebanyak itu, napas Nyo To tampak memburu dan suarnay lemah, ketika kedua
matanya terkatup dan untuk seterusnya tak pernah terbuka lagi. Ia telah meninggal dalam pangkuan
Li Su-lam.
Dalam dua hari ber turut2 Li Su-lam kematian ayah dan Nyo Wan kematian kakaknya, perasaan
sedih kedua muda mudi itu dapatlah dibayangkan, hendak menangispun tiada air mata lagi.
Sementara itu sang surya sudah makin condong kebarat, dengan menahan duka Su-lam berkata:
“Yang sudah meninggal tak bisa hidup kembali, adik Wan, lebih baik kita menurut pesan Toako
saja.”
Nyo Wan tidak menjawab, tapi bersama Su-lam mereka mulai menggali liang dengan pedang
mereka. Teringat oleh Su-lam kemarin baru saja Nyo To membuatkan peti mati untuk mengubur
ayahnya, tapi sekarang gilirannya yang harus mengubur Nyo To, malahan tanpa peti mati segala, ia
menjadi tidak enak hati dan berdoa: “Nyo-toako, hendaklah kau istirahat dengan tenang disini,
kelak bila aku sempat datang pula tentu akan kupindahkan tempat abadi ayng layak bagimu.”
Sesudah mengubur Nyo To, Su-lam berkata pula: “Adik Wan, hari sudah lama lewat lohor,
mumpung masih ada waktu sedikit, marilah kita meninggalkan tempat ini saja, berapa jauh dapat
kita tempuh terserahlah keadaannya nanti.”
Nyo Wan tetap tidak buka suara, tapi ia lantas menggendong buntalannya dan ikut pergi bersama
Su-lam. Melihat keadaan bakal istrinya itu , Su-lam tahu duka nestapa yang dirasakan Nyo Wan itu
jauh lebih hebat daripada dirinya, Cuma sukar baginya mencari kata2 yang pantas untuk
menghiburnya.
Jalan Nyo Wan sangat cepat, langkahnya seperti menggeser secara otomatis, ia terus jalan kedepan
tanpa memilih jalan, tidak lama kemudian bajunya sudah robek2 terkait oleh duri belukar.
Melihat itu, Su-lam menjadi sedih dan kuatir, dibiarkannya Nyo Wan berjalan didepan, bila berada
di tempat yang curam atau banyak tumbuh2an berduri barulah ia memajangnya. Namun Nyo Wan
tetap bungkam, juga tidak mengucapkan terima kasih.
Kedua orang terus berjalan kedepan, tanpa terasa sang surya sudah terbenam, awan ke-merah2an
indah diufuk barat, itulah suasana senja. Mau tak mau Su-lam merasa lelah juga, tangan Nyo Wan
yang dipegangnya itupun berkeringat, terang sinona juga sangat lelah.
Saat itulah mereka berada di suatu dataran didasar lembah, di dekat situ ada sebuah air terjun
dengan kolam air yang gemericik, sekitar dataran itu banyak bunga2 hutan yang tidak terkenal
jenisnya sedang mekar menyebarkan bau harum semerbak.
“Hari sudah hampir gelap, marilah kita mengaso saja disini,” Kata Su-lam.
Nyo Wan tetap tidak bicara, ia hanya ikut berhenti dan duduk ditanah.
“Kau tentu sudah lapar? Makanlah sedikit ransum kering yang kita bawa, akan kucarikan lagi
makanan yang lain,” kata Su-lam pula.
Nyo Wan menggeleng, katnya kaku: “Tidak lapar.”
“Tentunya kau sangat lelah, silahkan cuci muka dulu dan tidur saja.”
Kembali Nyo Wan menggeleng kepala dan berkata: “Tidak lelah.”
Sungguh pedih sekali hati Su-lam, dengan suara parau ia berkata pula: “Menangislah se-puas2mu
saja!”
“Aku tak bisa menangis!” sahut Nyo Wan.
Nyo Wan tidak menangis, sebaliknya air mata Li Su-lam sudag bercucuran, ia tidak tahu cara
bagaimana harus menghibur Nyo Wan, dilihatnya Nyo Wan sedang membuang kelopak2 bunga
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
hutan yang dipetiknya ke kolam air terjun. Bila dilihat orang lain, mungkin Nyo Wan akan disangka
seorang gadis jelita sedang memainkan bunga dan air, hanya Su-lam saja yang dapat menyelami
perasaan duka dilubuk hati sinona.
Terpikir oleh Su-lam: “Nasib orang sungguh sukar diukir. Tiga hari yang lalu aku dan adik Wan
tidak saling mengenal, tapi sekarang kami sudah terikat menjadi suami istri yang senyawa.” ~
Terpikir demikian, tiba2 ia merasa ada perasaan cintanya terhadap Nyo Wan, akan tetapi Cuma
sekilas itu saja timbulnya, sebab bayangan Beng Bing-sia se-akan2 juga terbayang dalam benaknya.
Diam2 Su-lam mencela dirinya sendiri mengapa tak bisa melupakan “si dia”. Karena perasaan kusut
itu, tanpa terasa iapun meremas setangkai bunga dan dibuang kedalam kolam. Sambil memandangi
buih air yang menggelembung itu, Su-lam berpikir pula: “Pertemuanku dengan Beng Bing-sia
mungkin juga seperti gelembung air ini.”
Tiba2 Nyo Wan angkat kepalanya dan bertanya: “Engko Lam, apa yang sedang kau pikirkan?”
Dapatkah Li Su-lam dan Nyo Wan bebas dari rintangan2 dan kembali ke Selatan?
Pertarungan2 sengit apa yang akan timbul di dunia persilatan Tionggoan?
Jilid 03 bagian pertama
Su-lam menoleh, sahutnya: “Katakan dulu, kau sendiri sedang memikirkan apa?”
“Aku sedang berpikir, sejak kini hanya kau seoranglah adalah sanak-keluargaku!” kata Nyo Wan.
“Bukankah ini sangat aneh, tiga ahari yang lalu kita belum saling kenal.”
“Ya, tadi akupun berpikir demikian, tapi seteleh kupikir lagi menjadi tidak merasa heran.
Pengalaman nyata dan nasib kita yang sama yang telah mengikat kita menjadi satu.”
Setelah kedua orang sama2 mengutarakan isi hati masing2, tanpa terasa keduanya saling
berpelukan, baru sekarang Nyo Wan dapat menangis se-puas2nya.
Lega hati Su-lam melihat Nyo Wan sudah bisa menangis. Maklum, seseorang yang mengalami
pukulan batin yang maha dahsyat, paling berat kalau perasaan duka yang hebat itu tetap tersekam di
dalam hati, tapi kalau bisa menangis perasaannya akan menjadi longgar malah.
Benar saja, setelah puas menangis, semangat Nyo Wan tertampak sangat lelah dan terasa akan
perlunya mengaso, bahkan juga terasa lapar.
“Adik Wan,” kata Su-lam kemudian, “hendaknya kau ingat pesan Nyo-toako, tugas kita masih
berat, sakit hati keluarga dan negara masih menantikan kita untuk menuntut balas. Kau harus makan
sedikit baru ada tenaga untuk jalan besok. Di kolam ini ada ikan, akan kutangkap dua-tiga ekor.”
Segera Su-lam melompat kedalam kolam, setelah tubruk sini dan gagap sana. Dengan susah payah
akhirnya dapat ditangkap dua ekor ikan sebesar telapak tangan. Dengan tertawa Su-lam berkata: “
Biasanya kita menyangka kaum nelayan sangat mudah menangkap ikan, sesudah kita sendiri
mengerjakan barulah tahu akan sukarnya. Meski kedua ekor ikan ini tidak mengenyangkan kita, tapi
jauh lebih baik daripada makan rangsum kering yang hambar.”
Sementara itu Nyo Wan sudah membuat api, katanya: “Dua ekor ikan itupun sudah cukup buat
menangsal perut kita. Bawalah kemari akan kubukin ikan panggang. Wah kau menjadi basah
kuyup, lekas mendekati api agar bajunya bisa cepat kering.
Sambil memanaskan badan ditepi api unggun sembari menyaksikan Nyo Wan Memanggang ikan,
Su-lam merasa badannya menjadi hangat, bukan saja badan terasa hangat, se-akan2 api yang disulut
Nyo Wan itu telah membakar hatinya.
Selagi Su-lam ter-mangu2 memandangi wajah Nyo Wan yang ke-merah2an tersorot oleh sinar api,
tiba2 air muka sinona tampak berubah dan mendesis padanya: “Engko Lam, coba dengarkan,
seperti ada orang datang!”
Su-lam terperanjat dan tersadar dari lamunannya, benar juga sayup2 di lembah yang sunyi itu
terdengar suara ketak ketik, suara berdetaknya kaki kuda, bahkan tidak hanya seekor kuda saja.
“Lekas padamkan api dan mencari tempat sembunyi,” seru Su-lam dengan suara tertahan.
Maklumlah, keadaan mereka sekarang lapar lagi lelah, kalau pendatang2 itu adalah musuh, terang
mereka tidak sanggup bertempur lagi.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Belum sempat mereka berbuat apa2, tertampak tiga orang dengan enam kuda sudah muncul di
dataran lembah itu.
Nyo Wan menjadi heran melihat pendatang2 itu, katanya: “Ketiga orang itu semuanya wanita,
mungkin bukan datang buat menyatroni kita. Tapi tengah malam buta untuk ketiga orang
perempuan ini datang ke lemah sunyi. Eh, kau mau apa, engko Lam?” ~ Saat itu ternyata Su-lam
telam memapak kesana.
Kiranya ketiga orang perempuan itu bukan lain daripada Putri Minghui dengan dua dayangnya.
Rupanya Minghui tetap merasa kuatir meski dia telah memberi pesan pada si Lama jubah hitam
yang ditugaskan ayah bagindanya untuk menangkap Su-lam, karena tidak sabar menunggu di
rumah, akhirnya ia sendiri ikut menyusul ke pegunungan ini. Ia kuatir tidak keburu menyusul, maka
bersama kedua dayangnya masing2 membawa sekor kuda cadanganuntuk digunakan dalm
perjalanan jauh itu. Kebetulan malam ini Nyo Wan menyalakan api unggun sehingga rombongan
Minghui itu terpancing datang.
Melihat kedatangan Putri Minghui itu, meski Su-lam terkejut dan bersangsi, tapi timbul juga secuil
harapannya. Karena tidak bisa mengelak lagi, sekalian ia lantas memapaknya dan berseru: “Ada
urusan apakah Tuan Putri jauh2 datang kemari?”
“Kenapa kau tidak memenuhi janji undanganku? Ayahku tidak jelek padamu, mengapa kau
melarikan diri dari Holin?” tegur Minghui dengan wajah dingin.
“Pertama, hakikatnya aku tidak pernah menyanggupi memenuhi undanganmu, Sia It-tiong sendir
yang menetapkan bagiku, kalau mau mengusut soal tidak memenuhi janji silahkan kau tanya kepada
Sia It-Tiong. Kedua, aku tidak menerima sesuatu jabatan dari ayahmu, aku adalah bangsa Han, aku
akan pulang kerumah dengan secara terang2an, mengapa aku dituduh melarikan diri?”
“Kau bilang apa?” Minghui menegas heran. Siapa itu Sia It-tiong? Kau tidak menjabat tugas apa2,
tapi ayahmu adalah pembesar Mongol. Rumahmu berada di Holon. Kau hendak pulang kemana
lagi? Kata2mu hanya bisa digunakan menipu anak kecil saja.”
“Ceritanya memang panjang, harap kau mendengarkan penjelasanku.” Ujar Su-lam/
Minghui menunjukkan sikap tidak sabar, jengeknya: “Kau tidak perlu mengarang obrolan kosong
lagi. Hm, tidak kau katakan juga aku mengetahui bahwa kepergianmu kesini untuk bertemu dengan
siluman cilik ini. Pernah apa dengan kau siluman cilik ini, coba katakan!”
Mendadak Su-lam mendelik dan menjawab: “ Kau mau marah atau mau bunuh aku boleh silahkan,
tapi se-kali2 kau tidak boleh menghina istriku.”
Minghui tampak tercengang, katanya: “Apa katamu? Perempuan ini adalah ……adalah istrimu?”
Sejak tadi Nyo Wan diam saja, baru sekarang dia balas mendengus: “Hm, Li-kongcu dan aku
adalah suami istri resmi, siluman cilik yang suka menaksir laki2 memang ada, tapi bukan aku.” ~
Saking dongkolnya Nyo Wan sengaja meng-olok2 Minghui secara tidak langsung.
Tiba2 Minghui bergelak tertawa, serunya: “Li Su-lam, kau benar2 pembohong besar. Tempo hari
ayahmu sendiri mengatakan kau masih bebas, darimana mendadak muncul istrimu ini?” ~ Ia lantas
senang karena mengira dirinya telah membongkar kebohongan v, maka terhadap olok2 Nyo Wan
tadi tak dipusingkannya.
Su-lam menjawab: “Nona Nyo ini adalah istriku yang dijodohkan oleh ayahku. Ayahku memang
bernama Li Hi-ko, tapi bukan orang yang memalsukan nama ayahku yang kini tinggal di Holin itu,
yang benar di Holin itu bernama Sia It-tiong. Sekarang kau paham tidak?”
Seketika Minghui terkesima, selang sejenak barulah ia menegas: “Kau bilang Sia It-tiong itu
memalsukan nama ayahmu dan sekarang menjadi pembesar dibawah ayahku itu? Mana bisa jadi
demikian?”
“Sia It-tiong itu sebenarnya kawan ayahku dalam kamp tawanan, ketika mengetahui ayah dicari
pihak kalian karena akan dimanfaatkan kepandaiannya, secara keji Sia It-tiong telah emncelakai
ayah, lalu memalsukan beliau. Sesungguhnya dia adalah musuh pembunuh ayah, Cuma mula2 aku
tidak tahu, tapi sekarang aku telah mengetahui duduknya perkara,” begitulah secara ringkas Su-lam
menceritakannya.
Keruan Minghui terkejut, katanya: “Sungguh luar biasa. Baiklah, akan kulaporkan kepada ayah
untuk minta keadilan bagimu. Tapi kau telah melakukan kesalahan besar, apa yang akan kau
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kerjakan sekarang?”
“Mestinya aku yang tanya kepada Tuan Putri mau apa sekarang?” sahut Su-lam. “Kami suami istri
sudah pasti akan pulang kenegeri kami sendiri, bila Tuan Putri saudi memberi jalan, selama hidup
kami akan merasa utang budi padamu. Kalau engkau tidak mau melepaskan kami, maka aku
sendirilah yang akan bertanggung jawab. Cuma, Cuma, pulang ke Holin sudah terang aku tidak
mau, jika engkau mau menangkap aku, silahkan bawa pulang kepalaku ini.”
“Mereka telah membunuh kakak istriku, jika aku tidak menghajar mereka, tentu saat ini kami tidak
bisa bicara berhadapan padamu,” kata Su-lam. “Tapiakupun tidak ingin minta perlindungan Tuan
Putri, Cuma saja urusan ini tiada sangkut pautnya dengan istriku, boleh kau bawa pulang kepalaku
untuk dipersembahkan kepada ayahmu dan persoalan ini tentunya menjadi beres bukan?”
“Tidak perlu kau bicara demikian, aku tiada maksud mencelakai kau,” uajr Minghui. “Coba akan
kupikirkan daya upaya lain yang lebih baik.” ~ Setelah merenung sejenak, kemudian katanyapula
dengan senyum getir: “Sesungguhnya bukan maksudku hendak memencarkan suami-istri kalian,
Cuma kupikir ada lebih baik nona Nyo ikut aku pulang ke Holin saja. Suami nona jelas tidak boleh
tertangkap oleh ayahku, tapi kalau kau ikut aku kesana, seumpama tidak terhindar dari hukuman,
paling sedikit kematianmu akan diampuni. Nanti akan kuterima kau sebagai dayangku. Menurut
hukum bangsa Mongol kami, tahanan yang telah kujadikan dayang tentu tiada orang yang berani
menggangu kau lagi.”
Dengan menggertak gigi Nyo Wan menjawab tegas: “ Baik, asalkan kau melepaskan suamiku, aku
ikut padamu.”
“Tidak,” sela Su-lam. “Aku sudah membikin tewasnya Nyo-toako, tidak nanti kubukin susah
padamu lagi. Aku yang ikut pergi. Paling2 mati saja, kenapa aku?”
Nyo Wan lantas merangkul Su-lam: “ Apakah kau belum lagi paham akan maksudnya, dia inginkan
kau tetap hidup dan menghendaki aku berpisah darimu.” ~ Kata2 ini diucapkannya dalam bahasa
daerah asalnya sehingga tidak dipahami oleh Minghui.
Walaupun begitu melihat kemesraan kedua orang itu, timbul juga rasa cemburu dan sedih dalam
hati Minghui. Sekilas itu timbul pertentangan batin Minghui antara baik dan buruk, akhirnya
perasaan yang baik ternyata lebih unggul, pikirnya: “Sekalipun aku dapat membikin mereka suami
istri terpisah, tapi apa gunanya jikalau hatinya tetap terpusat kepada istrinya. Bila aku memang suka
padanya seharusnya akupun membuatnya senang dan bahagia.”
Terpikir demikian tetaplah keputusannya. Minghui dapat mengatasi api cemburu yang membakar.
Katanya kemudian: “Baiklah, kalian tidak perlu menangis lagi. Akan kulepaskan kalian biarpun aku
akan dihukum oleh ayah.”
Su-lam kegirangan. Nyo Wan ditariknya, untuk bersama memberi hormat kepada Putri Minghui,
katanya: “Banyak terima kasih. Jika begitu segera kami akan berangkat saja.”
“Nanti dulu!” tiba2 Minghui mencegah.
Seketika Su-lam tertegun karena mengira Minghui berubah pikiran. Tapi Putri itu tersenyum dan
berkata: “Meski kepandaian kalian tidaklah rendah, tapi hendak kabur dari Mongol mungkin
tidaklah mudah. Setiba kembali Cepe di Holin tentu dia akan memberitahukan Mufaji dan
mengirimkan jago2nya untuk memburu kalian. Apalagi kalian adalah orang Han yang pasti akan
ditanya dan diperiksa dengan teliti oleh setiap pos penjagaan yang tidak sedikit jumlahnya itu.”
“Kesukaran2 demikian sudah dalam perhitunganku,” sahut Su-lam. “Biarpun mati juga kami tidak
gentar.”
“Baiklah, sekali mau menolong orang harus ditolong sampai saat terakhir. Ini kuberikan Kim-pay
(medali emas) ini,” kata Minghui.
Waktu Su-lam terima medali emas itu diperiksanya ternyata diatas medali itu terukir seekor elang
yang garang dan hidup, ditepinya ada dua baris huruf kecil2. Su-lam hanya kenal dua huruf
diantaranya yang berarti “kemah emas”.
“Ini adalah medali emas ayahku,” tutur Minghui. “Dengan medali emas ini, tentu kau akan diberi
kebebasan oleh setiap pos penjagaan yang kalian lalui. Namun ada medali tanpa kuda tunggangan
juga percuma, sebab kalian harus cepat mendahului lari keluar daerah kami sebelum perintah
penangkapan kalian disiarkan. Selain itu kalian harus waspada bilamana tersusul oleh ksatria2
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kemah emas yang dikirim oleh Mufali. Jago2 kemah emas itu bisa menangkap kalian tanpa peduli
medali emas yang kau pegang ini.”
Sampai disini Minghui memberi tanda kepada kedua dayangnya, tiga ekor kuda yang dituntun oleh
dayangnya itulantas digiring maju. Lalu Minghui berkata pula: “Ketiga ekor kuda ini adalah kuda2
pilihan, boleh kalian pakai secara bergiliran dan tak sampai sepuluh hari tentu kalian dapat
mencapai tapal batas. Cepe terluka parah, sekalipun dia pulang sampai di Holin juga makan waktu
beberapa hari lagi, dan untuk menyiarkan perintah penangkapan atas kalian tentu akan terlambat
beberapa hari lagi daripada perjalanan kalian. Namun jangan kalian gegabah, semakin cepat kalian
lepas dari tapal batas semakin baik bagi kalian. Semoga kalian bisa selamat lolos dari bahaya dan
selanjutnya akupun tidak berharap akan bertemu lagi dengan kalian.”
Tak terduga oleh Su-lam bahwa Minghui berpikir sedemikian rapinya bagi mereka. Nyo Wan
lebih2 tidak pernah membayangkan akan kebaikan Putri Mongol itu, padahal baru saja masih
dimakinya, tanpa terasa ia menjadi rikuh sendiri. Ia bermaksud mengucapkan terima kasih, namun
Minghui sudah melarikan kudanya dengan cepat diiukuti oleh kedua dayangnya.
Ter-mangu2 sejenak Nyo Wan, katanya kemudian: “Engkoh Lam, baik sekali Putri Minghui itu
kepadamu.”
Wajah Su-lam menjadi merah, sahutnya: “Aku Cuma mengiringi dia berburu satu kali,
sesungguhnya tiada punya pergaulan apa2, hendaklah kau jangan salah paham.”
“Kalian sudah saling kenal lebih dahulu, seumpama ada pergaulan yang lebih akrab juga tidak bisa
disalahkan kau,” ujar Nyo Wan tertawa. “Apalagi kebaikanmu padaku juga tidak kurang baiknya
daripada kebaikannya kepadamu. Coba tadi kalau kau tidak mengancamnya dengan
prngorbananmu, mungkin dia takkan membebaskan aku. Engkoh Lam, sungguh aku sangat
bertereima kasih padamu, hendaklah kaupun jangan salah paham akan ucapanku yang sungguh2
ini.”
Tiba2 Nyo Wan mencium bau sangit, ia menoleh dan berseru: “Ai, kedua ikan panggang itu
menajdi hangus.”
Su-lam terima seekor ikan panggang itu terus dimakan dengan lahapnya, sampai2 duri dan tulang
ikan juga dilahap seluruhnya. Katanya: “Ehm, lezat sekali, selama hidupnya belum pernah makan
ikan seenak ini.”
“Aku tidak percaya,” ujar Nyo Wan sambil mengunyah ikannya sendiri. Tapi ia lantas mengerut
kening dan berkata: “Ai, sudah hangus, rasanya pahit seperti makan arang saja, masakah kau bilang
lezat?”
“Tapi bagiku benar2 sangat enak,” kata Su-lam dengan tertawa. “Menurut adat kampung kami,
pengantin perempuan setelah menikah tiga hari harus masuk dapur dan masak kuah ikan. Sekarang
kau tidak masak kuah, tapi panggang ikan dan ternyata sedemikian lezatnya. Kelak setiap hari kau
membuatkan ikan panggang bagiku, tentu pula aku akan merasa senang sekali.”
“Ah, kau hanya sengaja membikin senang aku saja. Kelak tentu kau akan rasakan pahitnya,” omel
Nyo Wan dengan muka merah.
“Asalkan kau sendiri yang masak, biarpun pahit juga kurubah menjadi manis,” kata Su-lam.
“Hayolah lekas kau makan, setelah kenyang tentunya lekas pulih juga tenagamu.”
“Betul,” sahut Nyo Wan mengangguk. “Kita tidak boleh sia2kan maksud baik pemberian kuda dari
Putri Minghui ini.”
Sebenarnya Nyo Wan tidak kepalang lelahnya, tapi sekarang karena hatinya telah lapang, ada
harapan buat menyelamatkan diri pula, tanpa terasa semangat terbangkit, dan setelah kenyang
makan mereka lantas menyemplak keatas kuda dan menempuh perjalanan malam.
Ternyata besar manfaatnya medali emas pemberian Minghui itu, banyak pos2 penjagaan sepanjang
jalan sama memberi kelonggaran, mereka tidak dipersulit, bahkan diberi bantuan perbekalan2 yang
diperlukan.
Hari ini mereka sudah memasuki Gobi, Nyo Wan kegerahan sehingga megap2, Su-lam menjadi
teringat kepada pengalaman waktu datangnya dahulu, digurun Gobi inilah dia menemukan mayat
To Pek-seng dan bertemu dengan Beng Siau-kang serta putrinya …… kejadian2 dahulu itu
terbayang2 lagi, tanpa terasa wajah Beng Bing-sia kembali timbul dalam benaknya.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Beberapa kali Su-lam bermaksud menceritakan tentang Beng Siau-kang dan peterinya itu kepada
Nyo Wan, tapi urung diceritakan karena kuatir Nyo Wan menaruh curiga dahulu menjadi beban
tekanan dijiwanya.
Melihat sekian lamanya Su-lam tidak bicara,Nyo wan berpaling dan tanya padanya:”Engkoh Lam,
kau sedang memikirpan apa?”
“O,tak apa2, hawa sangat panas, hendaklah sebentar petang ada ingin yang sejuk. Aduk Wan, akan
kuceritakan satu kisah padamu.”
Tapi sebelum dia bicara lebih lanjut tiba2 Nyo Wan berseru: “He,lihatlah disana ada pepohonan,
lekas kita mengaso disana, kisahmu hendaklah ditunda dulu!”
Waktu Su-lam memandang kesana, kiranya adalah bukit yang pernah ditempatinya bersama Beng
Siau-kang dahulu. Ketika dia jatuh pingsan dihantam Hulitu, waktu sadar ia sudah berada dalam
kemah Beng Siau-kang. Malam itu ia malah mendengar pembicaraan Beng Siau-kang dan anak
perempuannya dan besok paginya kedua ayah beranak itu telah benrangkat tanpa pamit dan hanya
meninggal tulisan yang memperingatkan dia agar jangan ikut2an melakukan kejahatan jika ingin
selamat.
Teringat kepada kejadian dahulu itu, jantung Su-lam menjadi berdebar2 sambil mengikuti Nyo Wan
melarikan kuda kearah bukit.
“Ehm, aku seperti membau hawa segar, kuterka dibukit ini tentu ada sumber air, ujar Nyo Wan
sembari menarik napas panjang2.
“Benar, dibukit ini memang ada sumer air” sahut Su-lam
“Darimana kau tahu?” tanya Nyo Wan.
“aku pernah mengisi dua kantong air diatas bukir ini,” kata Su-lam. Tapi mukanya menjadi merah
sendiri sebab kedua kantong air itu sesungguhnya diperolehnya dari Beng Bing-sia.
Nyo wan sendiri lagi gembiran karena menemukan “benua hijau” digurun Gobi, hakikatnya ia tidak
perhatikan raut muka Su-lam itu. Dengan senang ia berkata pula: “Ja, di sini pula kita dapat mengisi
kantong air kita. Engkoh Lang setiba dihutan sana boleh kau tidur sepuasnya, habis mengaso
barulah kau menceritakan kisahmu.”
Su-lam sangat terharu dan malu pula atas kelembutan Nyo Wan itu, pikirnya: “aku harus
menceritakan semua pengalamanku padanya. Sedikitpun takkan kurahasiakan. Dia sesungguhnya
teramat baik padaku, mana boleh hatiku memikirkan gadis lain?”
Sampai dikaki bukit tiba2 tertampak warna kain tenda didalam hutan sana. Seru Nyo Wan: He,
disitu sudah ada orang. Marilah kita menyapa mereka.”
Sebaliknya Su-lan merasa heran siapakah gerangan yang berkemah disitu?
Dalam pada itu orang didalam kemah itupun rupanya sudah mendengar suara mereka dan keluar,
ketika berpapasan muka, kedua pihak sama2 melenggong.
Yang muncul dari dalam kemah adalah seorang laku2 dan seorang perempuan, mereka bukan lain
adalah Song Thi-lun dan Liu Sam-nio suami-istri.
Sebagaimana diketahui Song Thi-lun dan isterinya telah salah paham terhadap Lu Su-lam, terutama
setelah Li Su-lam diselamatkan oleh Mufali, maka salam paham atas diri La Su-lam sebagai
penghianat menjadi tambah mendalam.
Dasat watak Song Thi-lun memang berangasan, begitu melihat Li Su-lam lagi, tak tahan lagi
gusarnya, segera ia menerjang maju sambil membentak: ”Bangsat, kedatanganmu sangat kebetulan,
memangnya tuanmu hendak menjara dan bkin perhitungan padamu!” Berbareng sepasang
senjatanya berbentuk roda, segera bergerak dan menghantam “Song-toako!.......” seru Su-lam
sambil melompat mundur. Tapi belum lanjut ucapannya senjata Song Thu-lun sudah menyamber
tiba.
“Tidak tahu malu, siapa sudi bersaudaraan dengan kau?” Song Thu-lun memaki tanpa
mengendurkan gempurannya yang dahsyat sehingga terpaksa Lu Su-lam mesti menangkis satu kali.
Namun Song Thi-lun tidak ambil pusing terhadap seruan Su-lam itu, susul menyusul ia menyerang
lagu beberapa kali, semuanya jurus2 yang mematikan.
Sebaliknya timbul perasaan ragu2 pada diri Liu Sam-nio demi menyaksikan Li Su-lam melayani
suaminya secara mengalah. Serunya kemudian: “Toako, coba dengarkan dulu apa yang akan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dikatakan?”
“Dengarkan apa? Sudah jelas dia adalah begundal tartar Mongol, bekas luka panah di baguku masih
belum lagi sembuh seluruhnya sampai sekarang, apakah kau masih mau pecaya kepada
ocehannya?” sahut Song Thi-lun.
Liu Sam-nio berseru pula: “Tapi nona Beng bilang………”
“Mungkin nona Beng jatuh hati kepada bocah ini, apakah kau juga percaya omongannya? Hm,
bahkan Beng tayhiap sendiri menyesal tempo hari telah melepaskan bocah ini!” kata Thi-lun.
“He, hei! Apakah kalian telah bertemu dengan Beng tayhiap?” seru Su-lam. “Aku justru ingin
memberi penjelasan kepada beliau. Apakah kau tidak dapat berhenti dahulu?”
“Benar, aku telah bertemu dengan Beng-tayhiap, tapi beliau suruh aku membinasakan kau!” bentak
Thi-lun. Begitulah ia tidak menghiraukan seruan Li Su-lam, sebaliknya menyerang lebih gencar.
Nyo Wan sendiri tertegun disamping dengan penuh tanda tanya, siapakah gerangan nona Beng yang
dimaksudkan? Mengapa engkoh Lam tak pernah katakan padaku? Demikian ia menjadi sangsi.
Walaupun begitu dari nada ucapan Song Thi-lun lapat2 iapun dapat menduga apa sebabnya mereka
hendak membunuh Lu Su-lam. Maka cepat iapun berseru: “Hei, tentu kalian telah salah paham.
Engkoh Lam adalah orang baik,dia baru saja melarikan diri dari Ho-lin, se-kali2 dia bukan begundal
orang Mongol sebagaimana disangka kalian.”
“Wah, engkoh Lam, panggilan yang mesra benar!” kata Liu Sam-nio. Kau ini siapa dan hubungan
apa dengan bocah ini?”
Karena pertanyaan yang kurang hormat ini, dari jengah Nyo wan menjadi gusar, jengeknya: “Aku
adalah istrinya, kau mau apa?”
Liu Sam-nio tercengang, ejeknya: “O, kiranya kau tidak tahu seluk beluknya dan kena dipelet
olehnya. Pantas kau bilang dia orang baik2. Haha, sekarang tidak perlu lagi mengusut lebih jauh,
dari pernyataanmu ini justru membuktikan bocah ini adalah orang busuk.”
Malu, gemas, mrah dan sangsi pula Nyo Wan, dampratnya: “Kau mengoceh tak keruan apa?”
“Kau telah tertipu olehnya tanpa sadar, hal ini tak bisa menyalahkan kau,” sahut Liu Sam-nio. “Tapi
bocah yang berhati palsu ini tidak bia diampuni.” ~ Habis berkata, “Sret” cambuknya lantas
menyabet.
Serangan itu teramat cepat datangnya, saat itu Su-lam sedang berseru: “ Wan-moay, jangan percaya
omongannya, nanti akan kuceritakan padamu.” ~ Pada saat yang sama itulah punggungnya telah
kena cambukan sehingga baju robek dan babak belur.
Kiranya tempo hari Song Thi-lun berhasil kabur setelah terluka oleh panah Mufali. Hari kedua
dapatlah mereka menyusul Beng Siau-kang dan menceritakan pengalaman mereka. Karena laporan
itulah, Beng Siau-kang juga anggap Li Su-lam telah ikut ‘ayahnya” menjadi begundal orang
Mongol, ia menjadi menyesal Li Su-lam tidak dibunuhnya. Tapi anak perempuannya, yaitu Beng
Bing-sia tetap membela Li Su-lam dan tidak percaya pemuda itu sudi mengabdi kepada musuh.
Dasar watak anak dara yang masih polos apa yang dia anggap betul lantas dibelanya, oleh sebab
itulah Liu Sam-nio mengira nona Beng Bing-sia itu telah jatuh hati kepada Li Su-lam.
Song Thi-lun dan istrinya adalah anak buah To Pek-seng, karena kematian To Pek-seng terjadi
secara aneh, sampai2 siapa pembunuhnya juga belum tahu walaupun dapat dipastikan musuh tentu
tokoh silat kelas wahid. Mereka tahu tidak mampu menuntut balas bagi sang Thocu, tapi sedikitnya
mereka harus menyelidiki sehingga diketahui siapa musuh yang membunuh itu untuk dilaporkan
kepada kawan2nya. Sebab itulah mereka bertekad tetap tinggal di Mongol untuk menyelidiki.
Sedangkan Liu Sam-nio adalah perempuan yang telah biasa dimanjakan oleh sang suami, dalam
pandangannya segenap lelaki di dunia ini harus setia dan menurut terhadap istri seperti suaminya,
maka paling benci dia adalah lelaki yang ingkar janji, yang berhati palsu dan tidak setia. Padahal ia
mengira Li Su-lam telah merebut hati Beng Bing-sia, sekarang diketahuinya, bahwa ada seorang
gadis lain yang mengaku sebagai istri Li Su-lam, keruan ia menjadi gusar dan gemas kepada Li Sulam.
Begitulah ver-ulang2 Liu Sam-nio lancarkan serangan dengan maksud menghajar Li Su-lam.
Keruan Su-lam kelabakan, ia sudah kena cambuk satu kali, kalau kena lagi tentu bisa runyam.
Nyo Wan juga kuatir, cepat pedangnya menusuk punggung Liu Sam-nio. Serangan ini memaksa
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Liu Sam-nio harus menyelamatkan diri lebih dahulu. Benar juga, ketika mendengar samberan angin
dari belakang, cepat Liu Sam-nio berkelit kesamping, tusukan Nyo Wan mengenai tempat kosong,
tapi cambukan Liu Sam-nio terhadap Li Su-lam juga luput.
Tiada maksud Nyo Wan buat membunuh Liu Sam-nio. Cuma dia mendongkol cambukannya
terhadap Li Su-lam tadi, maka setelah tusukannya meleset segera ia melancarkan serangan pula
secara gencar.
Keruan Liu Sam-nio menjadi murk, makinya: “Dasar budak busuk, aku membela kau, sebaliknya
kau malah menyerang aku!” ~ Berbareng cambuknya lantas balas menyabet.
Ketika Nyo Wan menangkis dengan pedangnya. Hampir saja pergelangan tangan terlibat ujung
cambuk. Syukur ia lantas ganti serangan sehingga pedang tidak terlepas dari cekalan. Namun
kepandaian Liu Sam-nio memang lebih tinggi, pula lebih berpengalaman, setelah bergebrak belasan
jurus, akhirnya Nyo Wan kewalahan. Terpaksa ia berseru: “Engkoh Lam, bicaralah kau!” ~
Lantaran bicara dan sedikit meleng, hampir2 saja ia kena disabet oleh cambuk Liu Sam-nio.
Syukur kepandaian Li Su-lam lebih kuat dari pada Song Thi-lun, semula dia sengaja mengalah
untuk mengurangi salah paham lawan, maka dia hanya bertahan saja, bahkan digempur oleh Song
Thilun sampai kerepotan. Kini dia telah merasakan cambuk Liu Sam-nio, ia menjadi gemas juga,
pikirnya kalau lawan tidak dilabrak tentu sukar untuk memberi penjelasan. Maka dengan menahan
sakit segera ia balas menyerang.
“Bagus, biar aku mengadu jiwa dengan kau, kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang mati,”
teriak Song Thi-lun dengan gusar. Walau demikian, apa daya, tenaga sudah lemah, betapapun ia
menyerang tetap sukar mengenai Li Su-lam.
“Siapa yang mau mengadu jiwa dengan kau , tolol!” damprat Su-lam saking mendongkolnya. “Tapi
kalau kau tidak tahu diri, pedangku ini tidak punya mata, bila kau mampus janganlah menyalahkan
aku.”
Setelah merasakan lihainya Li Su-lam, diam2 Song Thi-lun berpikir jangan2 orang tadi memang
mengalah padanya. Ia menjadi sangsi dan main mundur. Tekadnya ingin mengadu jiwa menjadi
kabur.
Li Su-lam lantas berseru: “Aku tahu apa sebabnya kalian memusuhi aku, tentunya kalian mengira
pembesar yang bekerja bagi Mongol di Holin itu adalah ayahku. Tapi ingin kukatakan padamu
bahwa bangsat itu namanya yang asli adalah Sia It-tiong, dia memalsukan nama ayahku untuk
mencari kedudukan. Ayahku sesungguhnya adalah patriot sejati, beliau telah dicelakai oleh Sia Ittiong.
Yang kukatakan ini adalah kejadian yang sungguh2, percaya atau tidak terserah padamu.”
Meski mulai ragu2 juga setelah Song Thi-lun mendengar kata2 Li v itu, tapi ia masih belum mau
percaya sepenuhnya.
Pada saat itulah dibawah bukit mendadak debu mengepul tinggi disertai derap kuda yang ramai. Air
muka Song Thi-lun berubah hebat, bentaknya: “Siapakah orang2 itu?”
“Darimana aku tahu?” sahut Su-lam melengak juga. Waktu menoleh dilihatnya tujuh penunggang
kuda sudah muncul disitu. Dua Bu-su diantaranya samar2 masih dikenal oleh Li Su-lam sebagai
jago2 yang pernah ikut berburu dengan Jengis Khan tempo hari, cuma namanya tidak ingat lagi.
Ketika melihat Li Su-lam berada disitu dan sedang bertempur dengan Song Thi-lun, kedua jago
Mongol itupun merasa heran dan berseru: “Li-kongcu, kiranya engkau sudah berada disini dulu! ~
Eh, awas musuh mau lari, lekas kejar!”
Kiranya kedua Bu-su ini adalah anak buah Mufali yang ditugaskan mencari begundalnya To Pekseng,
mereka hanya tahu Li Su-lam sangat disukai oleh Khan Agung, tapi tidak tahu kalau sekarang
Li Su-lam adalah buronan. Karena itulah mereka masih anggap Li Su-lam sebagai teman.
Sebaliknya Song Thi-lun menjadi gusar dan kuatir, dampratnya kepada Su-lam: “Anak bangsat,
pintar benar kau putar lidah, sekarang kebohonganmu sudah terbongkar sendiri. Biar aku mengadu
jiwa saja padamu!”
Su-lam tidak menjawabnya, tapi dia memberi serangan pura2 untuk terus mundur kebelakang, saat
itu kedua Bu-su Mongol tadi sedang memburu ke arah Su-lam sambil berseru: “Li-kongcu janga
kuatir! Kami akan bantu kau!” ~ Tapi belum lenyap suaranya, mendadak pedang Su-lam
menyamber, “Sret-sret”, secepat kilat kedua Bu-su itu terguling binasa, yang satu tertabas separoh
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kepalanya, yang lain tertembus tenggorokannya.
Saat itu dari belakang Song Thi-lun sedang ayun rodanya hendak menghantam punggung Li Su-lam
, tapi melihat Su-lam mendadak binasakan kedua jago Mongol itu, Song Thi-lun terkejut, lekas2 ia
menahan senjatanya. Baru sekarang ia mau percaya omongan Li Su-lam.
Sementara itu kelima Bu-su Mongol yang lain sudah memburu tiba pula dan mengepung mereka
ditengah.
“Lekas kalian lari saja, kami berdua cukup mampu melayani beberapa orang ini!” seru Su-lam.
“Sungguh aku …….aku pantas mampus!” seru Song Thi-lun menyesal. Mendadak ia menggertak
se-keras2nya, kedua rodanya berputar, sebagai kerbau gila ia menerjang salah seorang lawan.
Waktu Bu-su itu menangkis dengan tomabk, “trang”, tombaknya terpukul bengkok, sebaliknya
lengan Song thi-lun juga keserempet tomabk lawan. Namun ia sudh nekat, kembali sepasang
rodanya mengepruk tanpa ampu lagi Bu-su itu terkapar dengan kepala hancur.
Sementara itu Liu Sam-nio dan Nyo Wan juga sudah menerjang maju, sekali cambuk Liu Sam-nio
bekerja kontan pinggang seorang Bu-su terlilit, cambuk terus diayun sekuatnya sehingga Bu-su itu
terlempar kesana dan menumbuk kawannya sendiri. Segera Nyo Wan memburu maju dan
manamatkan mereka dengan dua tusukan pedang.
Tujuh Bu-su sudah mampus lima, sisa dua Bu-su lagi menjadi ketakutan, cepat mereka putar tubuh
dan lari sipat kuping. Namun Li Su-lam dan Nyo Wan lantas mengejar, sebelum tiba dibawah bukit
kedua Bu-su itu sudah tersusul.
“Sam-nio, tampaknya kita telah salah menuduh mereka, bagaimana baiknya ini?” tanya Song Thilun
kepadanya istrinya.
Liu Sam-nio tidak menjawab, tapi tangannya lantas bergerak, dua buah Tok-liong-piau telah
sisambitkan kebawah bukit. Terdengarlah jeritan ngeri dua orang Bu-su itu masing2 terkena sebuah
piau berbisa itu dan terguling kebawah.
Selesai membinasakan kedua Bu-su itu bagi Li Su-lam, lalu Liu Sam-nio berseru lantang: “Orang
kangouw paling mengutamakan budi dan tegas soal dendam. Hari ini kau telah membantu kami,
selamanya kami suami-istri tentu takkan melupakan budimu ini.”
“Kawanan Tartar ini terbunuh oleh gabungan tenaga kita, maka siapapun tidak perlu merasa utang
budi kepada pihak yang lain,”ut Su-lam dengan tertawa. “Aku sih tidak mengharapkan terima kasih
apa2, cukup asalkan kalian tidak salah paham lagi padaku.”
Liu Sam-nio mendengus, lalu menyambung lagi: “Seluk beluk urusan ini akhirnya tentu akan jelas
seluruhnya. Setelah kami selidiki duduk perkara yang sebenarnya, bilamana cocok dengan kata2mu,
kelak kami tentu akan mencari dan minta maaf padamu. Tapi selamanya aku paling benci kepada
laki2 yang berhati palsu, bila hal ini kau lakukan, disamping terima kasih juga aku akan suruh kau
rasakan cambukku lagi.
Habis berkata demikian, segera mereka suami istri tinggal pergi melalui balik bukit sebelah sana.
Rupanya Liu Sam-nio sudah mau percaya terhadap keterangan Li Su-lam tadi dan sudh siap minta
maaf kepadanya. Cuma dalam urusan Su-lam dengan Beng-sia, dia tetap masih salah paham dan
anggap Su-lam sebagai pemuda yang berhati palsu dan suka permainkan anak perempuan, sebab
itulah ia hendak membela keadilan bagi Bing-sia. Sudah tentu Su-lam serba runyam mendengar
kata2 Liu Sam-nio itu.
Seperginya Song Thi-lun berdua, dengan suara pelahan Nyo Wan bertanya: “Engkoh Lam, nona
Beng yang dikatakan itu sebenarnya apa persoalannya?”
“Yang hendak kuceritakan tadi justru mengenai hal ini,” kata Su-lam. “Mereka anak beranak pernah
menyelamatkan jiwaku, akupun hanya kenal satu hari saja dengan dia, sehingga tiada persoalan
hubungan akrab segala. Perempuan gila tadi mengoceh tak karuian, hendaklah kau jangan salah
sangka.”
Begitulah Su-lam lantas menceritakan kejadian dahulu, hanya tentang tulisan diatas pasir yang
ditinggalkan Bing-sia untuk menasehatinya itu tidak diuraikan.
“Jika demikian, nona Beng itupun terhitung temanmu yang intim,” ujay Nyo Wan dengan tertawa.
“Dia harus dipuji, walaupun hanya kenal kau secara singkat toh sudah percaya penuh padamu.
Ayahnya menyelamatkan jiwamu dari tangan Hulitu, sedangkan dia sendiri menyelamatkan jiwamu
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dari pedang ayahnya, maka pantaslah kalau kau berterima kasih kepada teman akrab lain jenis ini.”
“Wan-moay, janganlah kau menggoda aku,” sahut Su-lam dengan muka merah. “Kini kita adalah
suami istri yang senasib sepenanggungan ikatan kita dipupuk dengan darah, yang mana tidak dapat
dibandingi dengan persahabatan akrab apapun juga Untuk ini apakah barangkali kau masih sangsi
padaku?”
Ucapan Su-lam ini jelas timbul dari lubuk hatinya yang paling dalam, Nyo Wan merasa masam dan
manis pula. Ia mengusap airmata yang menggenangi kelopak matanya, katanya dengan tertawa:
“Engkoh Lam, mengapa kau menjadi kelabakan atas kelakarku ini, sesungguhnya yang kukatakan
tadi juga bukan tidak beralasan, nona Beng itu telah menyelamatkan kau, kan pantas juga bila kau
berterima kasih padanya. “Baiklah, jangan kau kuatir, kau sangat baik padaku, masakah aku tidak
tahu. Ocehan Liu Sam-nio yang gila2an itu ku anggap tidak pernah ada saja.” ~ Walaupun demikian
katanya, namun dalam hati Nyo Wan sudah terdapay juga setitik bayangan gelap.
Maklumlah, dikala seorang anak perempuan mulai jatuh cinta, maka daya perasanya terhadap orang
yang dicintainya itu amatlah tajam dan ajaib, sekalipun Cuma suatu lirikan, suatu kalimat kata2 atau
menurut perasaan langsung saja sudh cukup mengintai rahasia yang terkandung didalam hati sang
kekasih.
Sekarang Nyo Wan sudah mengetahui sebelum dia sang suami sudah pernah bersahabat akrab
dengan dua peempuan lain, yang seorang ialah Minghui dan satu lagi adalah Beng Bing-sia.
Minghui sudah diketahuinya dengan jelas akan cinta Putri Mongol itu terhadap suaminya, akan
tetapi setelah kejadian itu lampau, kini sedikitnya Nyo Wan tidak tahu apakah Bing-sia juga jatuh
cinta kepada sang suami, hal inilah yang menimbulkan bayangan suram didalam benaknya,
menimbulkan rasa sangsi dan kuatirnya. Apa sebabnya bisa terjadi demikian?
Sebab dapat telah dirasakan oleh Nyo Wan bahwa kedua nona itu menempati kedudukan yang
berbeda didalam hati Lu Su-lam. Kalau terhadap Minghui secara blak2an Su-lam telah
menyelesaikan persoalannya secara tegas waktu memberi penjelasan kepada Nyo Wan juga tidak
merasa malu dan merasa bersalah, sebaliknya mengenai Beng Bing-sia ternyata Su-lam merasa
perlu membela diri se-akan2 kuatir dicurigai Nyo Wan. Dari ini saja Nyo Wan sudah dapat
merasakan: seumpama mereka bukan kekasih, sedikitnya dalam hati Li Su-lam sudah tertanam
perasaan aneh terhadap Bing-sia
Nyo Wan menjadi teringat kepada waktu menjelang adanya Lu Hi-ko telah suruh Su-lam
menikahinya, tapi waktu itu Su-lam berusaha mengelak, walaupun kemudian dia memberi alasan
tidak ingin membikin susah padanya, tapi bukan mustahil soalnya justru mengenal diri nona Beng
ini. Apalagi tentang pengalamannya itu mengapa baru sekarang Su-lam menceritakan padanya?
Terpikir demikian rasa sangsi Nyo Wan menjadi bertambah.
Hal ini sebenarnya juga tak bisa menyalahkan Nyo Wan bila dia merasa sangsi dan cemburu
umpamanya. Dasarnya Nyo Wan bukan wanita yang berjiwa sempit, soalnya kedudukannya
sekarang ini kecuali Li Su-lam seorang, dia tidak punya sanak keluarga lain lagi. Nasib mereka
sudah terikat menjadi satu, bahkan dia juga sudah mencintai Su-lam secara mendalam. Kini
diketahuinya dalam hari Su-lam ternyata ada lagi seorang gadis lain, tentu saja menimbulkan
bayangan gelap dalam benaknya.
Namun biarpun timbul rasa sangsi dan kuatirnya, Nyo Wan, iapun merasakan pula bahwa kian hari
Su-lam kian baik padanya, semula pemuda itu memang rada canggung dan seperti rada terpaksa,
tapi kini Nyo Wan benar2 telah dianggapnya sebagai bakal istri. Suatu hal Nyo Wan cukup yakin,
yaitu Su-lam pasti tidak berhati palsu padanya.
Karena kemungkinan disusul oleh musuh selama mereka belum meninggalkan wilayah Mongol
tetap ada, maka lekas2 mereka melanjutkan perjalanan pula. Sepanjang jalan Su-lam sangat baik
menjaga Nyo Wan, dibawah dorongan semangat pemuda itulah akhirnya Nyo Wan sanggup
melintasi Gobi yang luas itu. Lambat-laun bayangan gelap dibenak Nyo Wan itupun terbakar habis
oleh terik matahari di gurun Gobi itu.
Suatu hari mereka sedang melarikan kuda mereka di padang rumput, ternyata di tanah rumput itu
banyak terdapat bekas tapak kuda. Su-lam terkesiap, katanya kepada Nyo Wan:”Melihat keadaan
ini, pasukan Mongol baru saja lalu disni bisa jadi kemarin,”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Bukankah Jengis Khan masih berada di Holin?” ujar Nyo Wan
“Sebulan yang lalu Jengis Khan sudah memerintahkan serangan terhadap Kim, mungkin pasukan
ini adalah pasukan pelopornya,” kata Su-lam.
“Entah medali emas pemberian Pueteri Minghui itu berlaku tidak dalam pasukan Mongol?”
“Kukira agak repot juga bilamana kutemukan pasukan besar,” ujar Su-lam.
“Lalu bagaimana apakah kita perlu mencari suatu tempat sembunyi. Nanti kalau pasukan induk
Mongol sudah lewat barulah kita melanjurkan perjalanan?”
“Memang serba susah, coba kupikir dulu bagaimana baiknya.” Sahut Su-lam
Ia tahu padang rumput itu adalah daerah tak bertuan ke selatan adalah wilayah kerajaan Kim, ke
barat adalah daerah kekuasaan Sehe, suatu kerajaan kecil yang meliputi daerah Lingsia dan Siamsay
utara. Jika berputar memasuki daerah utara Siamsay, lalu masuk ke daerah Soasay yang termasuk
wilayah kekuasaan Kim, kemudian bisa sampai di Tiongtoh (Peking sekarang) yang menjadi
kotaraja kerajaan Kim.
Su-lam pikir akan lebih aman bila mengambil jalan memutar ke Sehe itu walaupun lebih jauh. Tapi
bila mengikuti jurusan yang ditempuh pasukan Mongol akan ada kesempatan buat membalas sakit
hati, sebab Sia It-tiong diduga pasti ikut dalam pasukan Mongol. Sulitnya cara bagaimana
menghindari kepergok oleh pasukan Mongol dan cara bagaimana pula mencari peluang untuk
membunuh Sia It-tiong.
Belum lagi mengambil ketetapan, tiba2 dari arah jauh berkumandang suara rebab yang menawan
hati. Tertarik oleh suara rebab itu, tanpa terasa Nyo Wan melarikan kudanya kesana, renungan Sulam
juga terganggu dan terpaksa ikut melarikan kudanya.
Tidak seberapa jauh, terdengar jelas suara rebab tadi diiringi oleh nyanyian seorang gadis. Sesudah
dekat, ternyata di depan sana ada tiga penunggang kuda. Dua Bu-su bernaju hitam mengapit
seorang perempuan muda ditengah. Kalau tidak salah ingat Su-lam merasa sudah pernah melihat
gadis Mongol itu diantara rombongan agdis2 Mongol yang sedang mengantar keberangkatan
pemuda2 Mongol ke medan bakti ketika dia dibawa ke Holin oleh Cilaun dan Mufali dahulu,
menurut pembicaraan Cilaun dan Mufali, agaknya nama gadis penyanyi Mongol yang cantik itu
adalah Kalusi.
Ketika mendengar dari belakang ada suara keleningan kuda, kedua Bu-su itu telah menoleh, Kalusi
juga berhenti memetik rebab dan berhenti menyanyi. Melihat kecantikan Nyo Wan, Bu-su baju
hitam dibagian belakang itu menjadi melotot, serunya sambil tertawa: “Aha, betina Han ini ternyata
lebih ayu daripada sicantik Mongol. Ai, rejeki kita benar2 tidak sedikit. Eh, Toako, kita rebut dia
sekalian, kita bagi sama rata, satu orang dapat satu.”
Bu-su bicara dalam bahasa Sehe yang tidak dimengerti oleh Li Su-lam, tapi Nyo Wan yang sudah
tinggal tujuh tahun di Mongol dan pernah mendengar pembicaraan antara penggembala Sehe yang
sering berkunjung ke Mongol, walaupun tidak paham benar artinya, namun dapatlah Nyo Wan
menangkap arti ucapan Bu-su tadi.
Dengan gusar baru saja Nyo Wan hendak mendamprat, mendadak Kalusi telah menjerit minta
tolong. Bu-su dibagian belakang itu lantas menyabet dengan cambuknya kepada tawanannya itu,
tapi Nyo Wan dan Li Su-lam berbareng juga telah menyambitkan dua buah pisau dan enam buah
mata uang.
Kepandaian Bu-su itu ternyata tidak lemah, cambuknya terus memutar balik, “tarrr”, sebuah pisau
yang disambitkan Nyo Wan itu kena disampuk jatuh. Tapi mendadak Bu-su itu berteriak kaget,
cambuknya lantas jatuh ketanah. Kiranya tiga buah telah mengenai Hiat-to di tubuhnya sebuah lagi
mengenai tangannya sehingga cambuk terlepas dari cekalan. Menyusul Bu-su itupun terjungkal dari
kudanya.
Baik kedua buah pisau maupun keenam mata uang yang disambitkan Nyo Wan dan Li Su-lam itu
masing2 terbagi untuk menyerang kedua Bu-su di depan dan belakang Kalusi itu. Bu-su di depan itu
berkepandaian lebih lebih, pisau Nyo Wan kena ditangkap olehnya, berbareng pisau rampasan itu
menggores, sedangkan jari tangan kiri menyelentik dengan cepat. “Jreng-jreng”, kedua mata uang
yang mengarah mukanya terselentik jatuh, sedangkan mata uang terakhir yang mengarah dadanya
telah pecah kena dipotong oleh pisau yang ditangannya itu.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Ini terima kembali!” bentak Busu itu. Pisau rampasannya terus disambitkan kembali kepada Nyo
Wan.
Cepat Nyo Wan melolos pedangnya untuk menangkis “Trang”, meletiklah lelatu api. Tenaga Bu-su
itu terjatuh sangat hebat, pusai itu bahkan terus melayang ke arah Kalusi dengan tidak kurang
pesatnya.
Keruan Nyo Wan terkejut, secepat anak panah lepas dari busurnya iapun meloncat dari kudanya
terus melesat kesana dengan Ginkang yang tinggi, sekali cengkeram segera ia angkat Kalusi keatas.
Tertampak sinar pisau berkelebat, kuda tunggangan Kalusi terus terkapar, rupanya sebelah kakinya
telah patah terkena pisau terbang itu. Agaknya yang diarah Bu-su itu bukanlah Kalusi, tapi adalah
kudanya agar nona itu tidak dapat melarikan diri.
Nyo Wan menurunkan Kalusi dibawah pohon ditepi jalan. Rupanya Kalusi sangat ketakutan,
dengan muka pucat ia mendekap didalam pelukan Nyo Wan yang menghiburnya agar jangan takut.
Sementara itu Li Su-lam telah mulai bertempur dengan Busu yang berada di depan tadi. Busu itu
menggunakan senjata golok melengkung sabit, tangkas juga busu itu, goloknya menabas kian
kemari dengan sinar putih yang menyamber2.
Su-lam terkesiap melihat kepandaian lawannya yang tidak lemah itu. Iapun melancarkan serangan
dengan gencar. Pertarungan diatas kuda mengutamakan kecepatan. Tapi meski sudah bergebrak
belasan jurus, sedikitpun Su-lam tidak lebih unggul.
Melihat itu, Nyo Wan suruh Kalusi sembunyi dibalik pohon itu, ia sendiri lantas mencemplak pula,
keatas kudanya dan menerjang maju untuk membantu. Dengan gabungan tenaga mereka barulah
Busu baju hitam itu merasa kewalahan.
Kalusi yang ditinggal dibalik pohon sana masih kebat-kebit ketakutan, terutama suara nyaring
beradunya senjata membuatnya merasa ngeri. Pada saat itulah sekilas dilihatnya Busu yang terluka
tadi sedang me-rangkak2 ke arahnya. Tentu saja ia tambah takut dan menjerit. Tupanya Busu itu
mampus membuka sendiri Hiat-to yang tertutuk piau mata uang tadi. Hanya saja belum begitu
lancar sehingga tenaga belum pulih, terpaksa ia hanya merangkak saja.
Waktu itu Su-lam sedang melancarkan serangan gencar, tampaknya lawan sudah sukar
menangkisnya. Pada saat itulah terdengar jeritan Kalusi. Keruan Nyo Wan terkejut dan menoleh
karena mengira terjadi apa2 atas diri gadis Mongol itu.
Kesempatan baik ini tidak di sia2kan Busu itu, dengan kepandaiannya menunggang kuda, secepat
angin ia terus melesat lewat disamping Nyo Wan. Ketika Nyo Wan menyadari apa yang terjadi,
pedangnya lantas menabas kebelakang. Namun Busu itu sempat melorotkan dirinya kesamping
perut kuda sehingga hanya betisnya saja yang terluka. Tapi dengan demikian Busu itupun terlolos
dari kepungan mereka.
Kuatir Busu itu akan mencelakai Kalusi, cepat Su-lam memburu. Ia tidak tahu bahwa Busu itu
sudah tidak berani bertempur lebih lama lagi, tujuannya bukan Kalusi, tapi hendak menolong
temannya yang terluka itu.
Busu yang terluka itu masih belum mampu berdiri, hanya sanggup mengacungkan tangan saja.
Ketika temannya melarikan kudanya sampai disampingnya sambil menyulurkan cambuk, sekuatnya
Busu terluka itu memegang ujung cambuk, ketika kawannya mengayun cambuk sekuatnya
terangkatlah Busu terluka itu ke atas kuda, berbareng, kuda terus dilarikan dalam sekejap saja lantas
kabur jauh.
Sementara itu Nyo Wan telah membangunkan Kalusi dan menghiburnya agar jangan takut. Dengan
muka yang masih pucat, Kalusi mengucapkan terima kasih.
“Untung kau telah memancing kedatangan kami dengan suara rebabmu yang merdu tadi sehingga
kedua bangsat itu dapat kami enyahkan,” ujar Nyo Wan.
“Tempo hari kau seperti mengantar teman2mu berangkat ke medan perang, mengapa sekarang kau
sampai disini. Orang macam apalagi kedua Busu tadi?” tnya Su-lam.
“Aku merasa berat ditinggal oleh Akai,” tutur Kalusi dengan wajah merah cengah ketika menyebut
nama kekasihnya itu. “Sebab itulah aku terus mengikuti perjalanan pasukan kami dan mengantar
sampai di Liong-sah-tui”
Liong-sah-tui adalah suatu tempat kira2 seratus li di dalam wilayah kekuasaan Kim, suatu tempat
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
yang makmur dan strategis bagi pangkalan tentara.
Diam2 Nyo Wan terharu terhadap cinta suci Kalusi yang mengantar kekasih ke medan bakti itu.
Sungguh suatu nona yang setia dan berbudi. Sebaliknya Su-lam merasa heran mengapa pasukan
penjaga perbatasan Kim sama sekali tidak mengadakan perlawanan, sampai tempat penting seperti
Liong-sah-kui juga tidak dijaga dan begitu gampang diduduki pihak Mongol.
“Sampai di Liong-sah-tui, Akai membujuk aku lebih baik pulang saja,” demikian Kalusi
melanjutkan ceritanya. “Katanya beberapa hari lagi peperangan besar mungkin akan terjadi. Tapi
aku tidak menurut bujukannya.”
“Mengapa kau tidak menurut apa yang dia katakan kan demi keselamatanmu?” ujar Nyo Wan.
“Cici adalah penyelamatku, biarlah kukatakan terus terang padamu,” tutur Kalusi “Sesungguhnya
aku ada rencana membujuk Akai mau melarikan diri saja dari pasukan. Aku bilang padanya bahwa
penghidupan kita sebagai gembala di padang rumput cukup bahagia, buat apa kita pasti mendatangi
negeri orang untuk perang, merampas dan membunuh segala? Begitu luas pula negeri Tiongkok dan
entah betapa jauh letaknya. Konon Khan Agung berniat menghancurkan Kim dan menumpas Song,
lalu betapa lama barulah kalian dapat pulang? Bukan mustahil selama gidup ini kita takkan
berjumpa pula.”
Nyo Wan mengangguk, katanya: Benar kata2mu memang beralasan. Setiap rakyat jelata lebih suka
hidup dalam aman tenteram yang ingin perang hanya Khan dan panglima2nya, mungkin ditambah
lagi saudagar2 jahat yang ingin menambah kekayaannya.”
“Seperti kau sebenarnya bangsa Han kami juga tidak suka perang,” Su-lam ikut bicara. “Akan tetapi
bila kami dipaksakan perang, terpaksa kami melawan. Dan kalau perang sampai terjadi tentu bunuh
membunuh tak terhindarkan lagi, entah betapa banyak anak yatim piatu dan janda2 akan bertambah
di masing2 negeri. Sebab itulah peperangan yang dilancarkan oleh Khan kalian ini sesungguhnya
adalah suatu kejahatan. Bujukanmu kepada Akai kekasihmu itu memang tepat.”
“Kiranya kalian juga sependapat dengan aku,” ujat Kalusi dengan senang. “Cuma sayang Akai tidak
mau menurut nasihatku. Padahal biasanya dia sangat penurut, iapun tidak tega meninggalakn aku,
tapi sekali ini dia tetap tidak mau menurut meski aku ber-ulang2 membujuknya. Dia mengatakan
dia tidak ingin membunuh orang, tapi juga tidak sudi ditertawai orang, dia adalah pemburu gagah
berani yang terkenal dipadang rumput padanya. Dia bilang, orang punya nama, pohon punya
bayangan, hendak menutupinya juga tidak dapat. Pohon besat takkan roboh kalau tidak ditebang,
elang tetap terbang meski terkena panah, setiap pejuang tetap akan perang sebelum ulu hatinya
ditembus oleh senjata musuh. Dia menyatakan hanya akan membunuh musuh yang bersenjata dan
se-kali2 takkan membunuh rakyat jelata yang tak berdosa.”
Su-lam berharap dapat mengorek sedikit berita dari Kalusi, ia coba bertanya: “Jika demikian, jadi
kalian telah berpisah di Liong-sah-tui? Apakah Akai memberitahumu padamu kemana pasukannya
akan menuju?”
“Justru aku tidak tahu kemana dia akan pergi perang dan bila selesainya.” Sahut Kalusi. “Namun
menurut Akai katanya paling lama setahun atau setengah tahun, bila dia tidak gugur dimedan
perang tentu akan pulang menjenguk aku, maka aku disuruh menanti dan jangan kuatir.”
“O, kalau menurut nada ucapan Akai itu, jadi peperangan ini paling lama setahun sudah bisa
selesai?” kata Su-lam. “Bukankah Khan kalian telah sesumbar mau menyaplok Kim dan
menghancurkan Song? Apakah begitu gampang tercapai cita2nya itu?”
“Itulah soalnya,” kata Kalusi. “Akupun katakan pada Akai bahwa negeri Tiongkok begitu luas,
untuk mencapai tempat kediaman rajanya saja puluhan ribu li jauhnya. Naik kuda saja mungkin
juga akan makan waktu setahun lamanya. Akan tetapi Akai tampaknya seperti sangat yakin,
katanya tidak sampai setahun tentu dapat pulang menemukan aku.”
Tergerak juga hati Su-lam,ia pikir apa barangkali Jengis Khan telah mengubah rencana perangnya?
Atau mungkin raja Mongol itu hanya ingin mencaplok Kim lebih dulu lalu menunggu kesempatan
lain untuk menggempur Song.
Kalusi menyambung pula: “Biasanya Akai tidak pernah mendustai aku, namun aku pikir apa yang
dia katakan ini mungkin hanya untuk membikin senang hatiku saja. Aku tidak ingin berpisah
dengan dia, pasukan induknya masih berpangkalan di Liong-sah-tui, bahkan sedang membangun
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kubu, mesti Akai tidak bilang padaku, tapi menurut cerita prajurit lain, mungkin sakali peperangan
takkan terjadi di dalam waktu singkat. Maka aku mohon kepada Akai agar aku diperbolehkan tetap
tinggal bersama dia, paling tidak sampai pasukan berangkat baru aku akan pulang. Namun
kemudian apa yang terjadi sungguh diluar dugaan, hampir2 saja aku takbisa lolos dari bahaya.
Tentang orang yang hampir membikin celaka diriku itu tentu Li-kongcu kenal padnya, agaknya dia
sangat benci padamu.”
“Siapa dia?” tanya Su-lam heran.
“Pangeran Tinkok bakal suami Putri Minghui,” sahut Kalusi.
“O, kiranya dia, bagaimana dia bisa berada di Liong-sah-tui?” tanya Su-lam.
“Dia adalah komandan pasukan di Liong-sah-tui itu,” tutur Kalusi. “Sebenarnya Akai sudah
memperingatkan aku ketika aku mau tinggal disana. Katanya Pangeran Tinkok itu sangat kejam dan
gemar main perempuan pula, bila aku dipergok berada ditengah pasukannya mungkin akan terjadi
bencana. Ternyata pada hari itu juga lantas terjadi.”
Nyo Wan terkejut, tanyanya: Dia adalah komandan pasukan, masakah dia berani merampas kau
secara terang2an?”
Dengan kedudukannya, selain Khan dan calon istrinya, rasanya tidak ada seorangpun yang
ditakutinya. Disiplin pasukannya hanya berlaku bagi orang lain, tapi tidak berlaku bagi dia sendiri,”
tutur Kalusi. “Hari itu baru saja aku keluar dari kemah Akai lantas kepergok olehnya. Seketika dia
bersikap marah dan menuduh aku sembarangan masuk ketangsi dan mengacaukan disiplin, segera
aku ditangkap.”
“kemudian cara bagaimana kau bisa meloloskan diri?” tanya Nyo Wan.
“Sekian lamanya aku dikurung didalam kemah, lalu datanglah dia untuk memeriksa aku,” kata
kalusi. “Lucu juga kalau diceritakan, begitu tiba, ternyata marahnya telah berubah menjadi cengar
cengir padaku. Dia berkata: “Anak cantik, anak molek, kau jangan takut, aku tidak tangkap kau
secara sungguh2, tapi hanya sebagai contoh bagi orang lain saja. Bila kau memang senang tinggal
didalam pasukan, maka akan kupenuhi keinginanmu. Kau boleh menjadi pelayanku, tentu tiada
seorangpun yang berani mengusir kau. Waktu berangkat perang nanti juga kau akan kubawa serta.”
~ Aku tahu manjadi pelayan bukanlah pekerjaan yang baik, maka aku menolaknya. Dia menjadi
marah dan mengancam akan memberi hukuman setimpal bila aku tetap kepala batu. Aku sudah
bertekad tetap menolak biarpun akan disiksa, tak terduga lantas datang seorang penolong.”
“Siapa itu penolongnya?” tanya Su-lam.
“Ialah bakal istrinya, Putri Minghui,” sahut Kausi tertawa.
“Putri Minghui juga berada di Liong-sah-tui sana?” Su-lam menegas dengan heran.
“Putri belum datang sendiri, hanya berita akan datangnya telah menakutkan Pangeran Tin-kok,”
kata Kalusi. “Seorang pembantu Tin-kok melaporkan berita akan datangnya Putri Minghui itu,
diberitahukan pula bahwa aku adalah bakal istri Akai yang terkenal dikalangan jago2 gelut Mongol,
rupanya Tin-kok menjadi jeri dan kemudian membebaskan aku.”
“Baik juga pembantu Tin-kok itu,” ujar Su-lam.
“Dia adalah kawan baik Akai, hal ini tidak diketahui siluman buruk itu,” kata Kalusi. “Waktu ia
mengantar aku keluar kemah Tin-kok, dia mengatakan padaku bahwa Akai yang minta bantuannya
agar menolong aku. Sesungguhnya Putri Minghui masih jauh digurun pasir dan tidak mungkin tiba
di Liong-sah-tui dalam waktu singkat.”
“Apakah rupa Pangeran Tin-kok itu sangat jelek, masakah kau panggil dioa siluman buruk?” tanya
Nyo Wan tiba2.
“Mukanya hitam dan bersiung pula, mirip beruang hitam,” kata Kalusi.
“Kasihan, Putri Minghui secantik itu mesti bersuamikan orang yang buruk rupa,” ujar Nyo Wan
sambil tersenyum penuh arti kepada Li Su-lam.
Muka Su-lam menjadi merah, lekas2 ia ubah pokok pembicaraan dan tanya Kalusi: “Tadi kau
mengatakan Pangeran Tin-kok menaruh benci padaku, darimana kau tahu hal ini?”
“Ada suatu kejadian yang kebetulan kedengar,” jawab Kalusi. “Ketika pembantu Tin-kok itu
memberi laporan, telah diberikan pula sebuah gambar. Kulihat gambar itu melukiskan engkau,
katanya Khan menghendaki orang dalam gambar itu ditangkap, maka siluman buruk itupun diminta
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
agar mengawasi orang yang terlukis itu. Katanya seorang Han yang punya kedudukan disisi Khan
Agung juga minta bantuannya dengan menyediakan hadiah kepada Tin-kok.”
Dalam hati Su-lam yakin orang Han itu pasti Sia It-tiong adanya. Katanya kemudian: “Orang Han
yang dimaksud adalah musuhku, dia memang berusaha membinasakan aku.”
Kalusi terkejut, katanya: “Jita demikian, janganlah Likongcu berdua menuju keselatan.” ~ Sebelah
selatan adalah perbatasan kerajaan Kim, dimana pangkalan pasukan Tin-kok berada di Liong-sahtui.
“Banyak terimakasih atas ketarangan2mu,” kata Su-lam.
“Akulah yang harus berterima kasih padamu, Lu-kongcu.” Sahut Kalusi. Lalu ia menceritakan pula
cara bagaimana kepergok oleh kedua Busu Sehe tadi: “Setelah aku meninggalkan Liong-sah-tui,
pagi2 tadi waktu lewat di perbatasan Sehe lantas kepergok kedua bangsat itu. Untunglah kalian
telah menyelamatkan diriku.”
Karena hari sudah lewat lohor, Nyo Wan berkata: “Kalusi daerah ini adalah perbatasan maka
dapatlah kau pulang dengan aman. Maafkan kami tidak antar kau, tapi ambillah kuda kami ini.”
Kuda Kalusi sendiri sudah terluka oleh sambitan pisau Busu baju hitam tadi, maka Nyo Wan
memberinya seekor kuda pilihan pemberian Minghui.
Kalusi mengucapkan terima kasih, baru saja ia hendak naek keatas kuda, tiba2 ia ingat sesuatu dan
berkata pula: “Ci-ci, akupun ingin memberi sesuatu tanda mata padamu.”
Nyo Wan mengira nona Mongol itu hendak memberikan sesuatu tanda mata apa tak tahunya adalah
sehelai saputangan. Pada ujung saputangan itu tersulam seekor elang yang indah dan hidup dengan
sayap terpentang terbang di angkasa.
“Bagus sekali sulamanmu ini,” puji Nyo Wan setelah menerimanya “Akai-mu berjuluk ‘elang dari
padang rumput’ , saputanganmu ini seharusnya diberikan padanya.”
“Aku sudah memberikan saputangan lain yang serupa padanya.” sahut Kalusi dengan muka merah,
“Maka saputangan ini hendaklah kau simpan saja, kelak bila kebetulan bertemu dengan Akai,
saputangan ini dapat digunakan sebagai pengenal. Bila kalian memerlukan bantuan Akai,tentu akan
dikerjakannya bagimu.”
Baru sekarang Nyo Wan paham maksud tujuan Kalusi itu, katanya dengan tertawa: “Baiklah
semoga kami akan bertemu dengan Akai dan akan kuberitahukan tentang dirimu.
Sesudah Kalusi pergi dengan tertawa Nyo Wan berkata kepada Su-lam: “Engkoh Lam, untuk
menghindari cemburu bakal suami Minghui itu kepadamu, terpaksa kita harus mengambil jalan
pulang dengan memutar kewilayah Sehe.”
Jilid 03 bagian kedua
Begitulah mereka melanjutkan perjalanan kearah barat-daya. Tidak lama haripun mulai petang.
Angin mulai meniup sehingga Nyo Wan merasa kedinginan, katanya: “Perubahan hawa disini
sungguh luar biasa. Siang hari panas terik, sore hari hawa sudah sedingin ini.”
“Hawa dipadang rumput daerah sini memang beginilah, setelah malam nanti bahkan hawa akan
tambah dingin lagi,” ujar Su-lam. “Paling baik kalau nanti kita dapat menemukan rumah penduduk
dan minta mondok semalam.”
Selama sebulan ini mereka terus mengarungi gurun dan melintasi padang rumput tanpa pernah
ketemukan rumah penduduk, malam hari mereka berkemah, kehidupan demikian boleh dikata
sudah biasa bagi mereka. Cuma sekarang berada didaerah yang berpenduduk, bila mereka dapat
tidur nyenyak didalam rumah tentu akan terasa sangat nikmat. Apalagi sekarang mereka sudah
dalam wilayah Sehe, merekapun ingin menemukan seseorang untuk diajak bicara. Maka mumpung
hari belum gelap gulita, ketika ketemu sebuah rumah penduduk segera mereka mengetok pintu.
Tak terduga rumah itu ternyata tiada penghuninya, cukup lama Su-lam mengetok pintu dan tiada
suara jawaban dari dalam. Ketika diintip melalui sela2 pintu, ternyata rumah itu memang kosong
melompong, jangankan manusia, ayampun tiada seekor.
Sebagaimana umumnya pedusunan yang berpenduduk jarang2 setelah lama sekali baru mereka
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ketemukan lagi rumah penduduk yang lain, setelah pintu di-ketok2, samapi lama juga tiada suara
jawaban.
“Aneh, mengapa rumah2 disini kosong semuanya?” kata Nyo Wan dengan heran.
Selanjutnya beberapa rumah penduduk ditemukan lagi, tapi serupa tadi, semuanya tiada
penghuninya. Sementara itu hari sudah tambah malam.
Nyo Wan merasa menggigil oleh hawa dingin yang menusuk tulang, katanya: “Engkoh Lam,
memang betul kau, hawa semakin terasa dingin.”
“Jika rumah tiada penghuninya, biarlah kita gunakanbermalam saja daripada tidur berkemah,” ujar
Su-lam.
“Kurang baik kukira tanpa permisi menempati rumah orang. Bila kebetulan pemilik rumah pulang
tentu kita akan manjadi malu,” kata Nyo Wan. Sebagai anak keluarga kelas tinggi yang taat sopan
santun, biarpun sudah hidup beberapa tahun di pegunungan sunyi tetap tak terlupakan tata adat itu.
“Aku Cuma kuatir kau kedinginan, kalau kau tidak mau biarlah kita mencari suatu tempat untuk
berkemah saja,” kata Su-lam.
Sementara itu angin meniup semakin kencang, udara gelap gulita tertutup awan tebal, meski tidak
turun salju, tapi hawa lebih dingin daripada turun salju.
“Lihat, rumah disana ada sinar api, mungkin disana ada orang,” seru Nyo Wan tiba2.
Su-lam sangat girang, cepat mereka berlari kerumah itu. Tertampak pintu pagar setengah tertutup,
didalam rumah ada api unggun, tapi tidak tampak seorangpun. Su-lam meemriksa kedalam rumah,
kiranya tempat itu adalah sebuah rumah gilingan, ada batu gilingan dan banyak jerami kering.
Hanya tiada seorangpun.
“Aneh, api masih menyala, kemana pergi orangnya?” ujay Su-lam heran.
“Dsirumah ini penuh kayu dan jerami tanpa ditunggui kan mudah terjadi kebakaran?” kata Nyo
Wan.
“Biar kita yang menjaga baginya,” kata Su-lam dengan tertawa.
Pada umumnya di daerah barat-laut itu satu desa Cuma ada sebuah rumah gilingan yang dimiliki
secara bersama. Lantaran sudah menggigil, melihat api unggun itu, Nyo Wan lantas menghangatkan
badan disamping api.
“Silahkan tidur saja, aku yang menjaga,” kata Su-lam.
“Kalau tuan rumah pulang, tentu aku akan malu. Engkoh Lam, silahkan mendongeng saja, aku tidak
ingin tidur.”
“Mendongeng apa?” Aku tidak pandai bercerita. Ya, mengapa tuan rumah masih tidak nampak
datang?”
“Eh, aku menjadi teringat kepada sesuatu yang menarik,” kata Nyo Wan tiba2.
“Apa yang menarik? Lekas ceritakan.”
“Kalusi menyebut Pangeran Tin-kok sebagai siluman buruk sebaliknya Putri Minghui cantik molek,
masakah dia sudi menjadi istri laki2 buruk rupa itu.”
“Ah, itu kan soal biasa, kenapa mesti heran? Dia terpaksa atas titah ayahnya, mau tak mau harus
menurut.”
“memangnya, maka aku menjadi kuatir bila pada malam pengantin mendadak sang Putri
mengamuk, kan lucu bukan?”
Su-lam diam saja tidak menanggapi. Nyo Wan seperti merasa “leluconnya” itu tidak lucu, ia
menghela napas, lalu berkata pula: “Kasihan juga Putri Minghui itu, sang suami buruk rupa tidaklah
mengapa, celakanya Pangeran itu adalah laki2 bejat lagi.”
“katanya kau hendak bercerita sesuatu yang menarik, mengapa kau sendiri menghela napas?” tanya
Su-lam dengan menyengir.
“Engkoh Lam, Jengis khan memperlakukan kau cukup baik bukan? Dia telah menghadiahkan busur
pribadinya padamu, bahkan menganugerahi kau sebagai ‘ksatria kemah emas’. Bila Pangeran
konyol Tin-kok itu mati di medan perang, wah, besar harapanmu akan menjadi menantu raja
Mongol itu.”
“Buset, bicara kesana kemari mengapa akhirnya aku dibawa2. Awas, akan kubikin kau kapok dan
minta ampun!” habis berkata Su-lam lantas acungkan jari tangan dengan lagak hendak meng-kili2.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
tapi mendadak ia merandek dan mengedipi Nyo Wan, lalu megumumam: “Aneh, baru saja aku
seperti mendengar suara apa2, suara kresekan yang aneh, apakah suara tikus lari?”
Sekilas pandang tiba2 Su-lam menemukan diatas lantai ada beberapa titik darah, tadinya titik2
darah itu tertutup oleh jerami, baru saja Su-lam menyomot segenggam jerami untuk umpan api
sehingga titik2 darah itu kelihatan sekarang.
Seketika timbul rasa curiga Su-lam, baru saja ia bermaksud menyingkap onggokan jerami untuk
memeriksakannya, tiba2 terdengar suara detakan kaki kuda yang riuh sedang mendatang dengan
cepat.
Air muka Nyo Wan berubah, katanya dengan suara tertahan: “Apakah orang2 Sehe itu datang
kembali untuk menuntut balas? Bagaimana baiknya, engkoh Lam? Sembunyi atau labrak mereka?”
“Coba lihat saja apa maksud kedatangan mereka?” sahut Su-lam. “Bisa jadi orang2 lain yang lalu
disini.”
Tidak lama kemudian suara derapan kuda tadi mendadak lenyap, nyata ada lima-enak penunggang
kuda yang serentak berhenti di depan rumah gilingan itu. Rupanya merekapun sudah melihat kuda2
Su-lam yang tertambat di pagar, terdengar seorang diantaranya berseru: “Hah, boleh juga kedua
ekor kuda ini.”
Seorang lagi berkata: “Didalam gilingan ada sinar api, pemilik kuda2 ini tentu berada didalam, coba
kita tanya mereka.”
Sudah beberapa tahun Nyo Wan tinggal di Mongol, meski kedua orang itu bicara dalam bahasa
Sehe, namun pembicara yang terakhir itu jelas berlogat Mongol.
Nyo Wan sangat heran, Mongol dan Sehe adalah negeri2 yang bermusuhan, mengapa Busu dari
kedua negeri itu bergail menjadi satu.
Sementara itu orang2 itu sudah menolak pintu dan melangkah masuk. Meski mereka bendandan
dengan seragam Busu tapi kedua Busu Sehe yang ditemui Su-lam siang tadi tidak terdapat
diantaranya. Maka rada legalah hati Su-lam dan Nyo Wan.
“Siapa kalian? Datang darimana?” bentak Busu yang berlogat Mongol tadi.
“Kami kakak beradik adalah orang Han yang bertempat tinggal disekitar Liong-sah-tui, kami
mengungsi kesini untuk menghindarkan peperangan.” Sahut Su-lam.
Karena perjalanan yang cukup lama, pakaian Su-lam berdua sudah kotor dan ada bagian yang robek
sehingga tampaknya memang mirip kaum pengungsi. Cuma dasarnya Nyo Wan memang cantik
sehingga sukar menutupi wajahnya yang menarik itu.
Busu berlogat Mongol itu merasa sangsi, katanya pula: “Apa benar kalian kaum pengungsi dari
Liong-sah-tua? Apakah tidak kutemukan pasukan besar Mongol?”
“Kami selalu menghindarinya, untung tidak kepergok,” kata Su-lam.
“Hm, prajurit Mongol kan bukan setan iblis, kenapa kalian mesti takur? Huh, kukira kalian ini tidak
mirip pengungsi punya kuda sebaik itu.” Timbrung seorang Busu Sehe. Kulihat kedua ekor kuda
diluar itu adalah kuda pilihan sedikitpun berharga ratusan tahil perak seekor.”
“Betina inipun sangat menggiurkan bawa pulang saja dia.” Sambung Busu Sehe yang lain.
“Nanti dulu!” mendadak Busu berlogat Mongol tadi membentak. Agaknya dia adalah pemimpinnya
sehingga Busu2 yang lain menjadi mengkeret oleh bentakannya.
Mendadak, nada Busu berlogat Mongol itu berudah, tangannya sambil tunjuk busur besi yang
dibawa Su-lam itu: “Apakah busur ini milikmu?”
Tergerak hati Su-lam, ia pikir orang ini tentu pernah melihat busur baja milik Jengis Khan ini, tapi
dia kenal siapa aku, maka dapat dipastikan dia bukan anak buah Cepe yang dikirim untuk
menangkap diriku.
Setelah mengetahui seluk-beluk pihak lawan, kemudian Su-lam menjawab. “Busur ini pemberian
seorang temanku.”
Tampaknya Busu Mongol itu tambah kaget, tanyanya pula dengan ragu2: “Pemberian temanmu?
Siapakah temanmu itu? Masakah dia memberikan busur ini kepadamu?”
“Benarm temanku ini baru kukenal di Holin beberapa bulan lalu,” sahut Su-lam. Tentang siapa dia
tidaklah enak kukatakan, cuma dia cukup menghargai diriku sehingga menghadiahkan busur
pribadinya ini, malahan memberikan sebuah medali emas lagi padaku.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Medali emas? Dimana? Coba lihat! Pinta Busu itu
Su-lam sudah bertekad akan menyerempet bahaya, ia pikir bila Busu itu tidak mengetahui dirinya
sedang buron, tentu dia tak berani membikin susah padanya bila sudah melihat medali emas. Maka
medali emas pemberian Minghui itu lantas dikeluarkannya dan berkata: “Boleh kau melihatnya, tapi
jangan sampai orang lain juga mengetahui aku memegang medali emas ini.” Dibalik kata2nya seakan2
memberi tanda bahwa iapun sudah tahu siapa Busu Mongol itu.
Keruan Busu Mongol itu ter-sipu2, cepat dijawabnya: “Ya, pahamlah aku, simpan kembali saja
medali emas itu. Kita tahu sama tahu, aku takkan membocorkan rahasiamu, kau pun tidak perlu
menyiarkan tentang pertemuanmu dengan aku. Kukira kau tentu paham maksudku.”
Kiranya Busu Mongol ini mempunyai tugas rahasia di negeri Sehe. Beberapa Busu Sehe itu telah
kena dibeli olehnya dan telah berkomplot. Setelah melihat medali emas dari Su-lam, Busu Mongol
itu mengira Li Su-lam juag punya tugas rahasia seperti dia sendiri, hanya tugas masing2 berbeda,
maka perlu sama2 pegang rahasia, kalau perlu saling membantu malah.
Busu Mongol itu pikir orang ini punya medali ksatria kemah emas, memagang busur pemberian
Khan pula, tentu dia adalah utusan pribadi Khan, sebaliknya dia sendiri Cuma anak buah Mufali,
jelas kedudukannya jauh dibawah Su-lam, sebab itulah dia tidak berani sembrono lagi kepada Sulam.
Sebaliknya beberapa Busu Sehe itu tidak kenal medali emas “Ksatria kemah emas” segala,mereka
malah mengomel, katanya pengungsi rudin masakah membawa emas begitu, tentu kedua muda
mudi ini bukan manusia baik2.
Busu Mongol itu lantas membentak dengan mendelik: “Tutup bacotmu! Kalian buta semua, lekas
kalian minta maaf!”
“Tidak apa, tidak tahu tidaklah salah, boleh suruh mereka pergi saja, aku mau tidur,” ujar Su-lam
dengan tertawa.
“Ya, ya,” sahut Busu Mongol itu ter-sipu2. Lalu ia memberi tanda sambil membentak lagi: “Lekas
enyah semua!”
Kuatir titik2 darah dilantai tadi dilihat oleh Busu Mongol itu, maka Su-lam sengaja duduk bersandar
dionggokan jerami untuk menutupi noda darah itu, katanya: “Maaf aku tidak mengantar!”
“Orang Sehe memang kasar2, harap saudara jangan marah,” kata Busu Mongol itu akhirnya. “Cuma
kami memang sedang memburu seorang penting, orang ini berusia 30-an, pada pipi kiri ada bekas
luka panjang, bila ketemu orang ini harap saudara bantu membekuknya.”
“Baik, akan kuperhatikan bagimu,” jawab Su-lam.
Seperginya Busu Mongol itu dengan tertawa Nyo Wan berkata: “Tak nyana medali inipun berguna
meski berada dinegeri Sehe. Cuma melihat sikapmu tadi, agaknya didalam rumah ini benar2 ada
orang bersembunyi. Apakah tadi kau menemukan sesuatu?”
Kiranya Nyo Wan tidak melihat titik2 darah tadi. Ternyata Su-lam tidak menjawabnya, tapi lantas
berseru: “Silahkan keluar kawan!”
Belum lenyap suaranya, tiba2 terdengar suara mendesis, mendadak sebuah piau telah menyamber
keluar dari onggokan jerami.
Untung sebelumnya Su-lam sudah siap sedia, cepat ia mendorong Nyo Wan disebelahnya, piau itu
melayang lewat disebelah telinga Nyo Wan, dari bau langu yang tersendus, Nyo Wan yakin piau itu
pasti berbisa.
Ketika menoleh Nyo Wan melihat seorang merangkak keluar dari onggokan jerami, segera Nyo
Wan berseru memperingatkan Su-lam berbareng ujung pedangnya diancamkan pada leher orang itu
sambil membentak: “Siapa kau!”
“Hm, untung kalian tidak mati, boleh kau bunuh saja, kenapa banyak omong?” sahut orang itu
dengan serak.
Setelah rada tenang dan memperhatikan, ternyata orang sekujur badan berlumuran darah, usianya
antara 30-an, pada pipi sebelah kiri ada bekas luka panjang.
Sadarlah Nyo Wan, cepat ia tarik kembali pedangnya, katanya: “Tentunya kau adalah buronan yang
dicari orang tadi bukan?” Kami telah menyelamatkan kau, kenapa kau malah memaki kami?”
“kalian adalah serigala satu sarang dengan orang2 tadi, memangnya kau sangka aku tidak tahu?”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
jengek orang itu. “Hm, jangan kalian harap dapat menangkap aku, boleh majulah, paling sedikit
seorang diantara kalian harus binasa bersama aku.”
Ternyata tangan orang itu menggenggam sebuah piau pula dan mengeluarkan bau langu seperti piau
tadi, jelas dia sudah bertekad akan mati bersama lawan bilamana Su-lam dan Nyo Wan
mendekatinya.
Melihat piau yang dipegang orang itu serupa dan sebentuk dengan Tok-liong-piau milik To Pekseng
yang khas itu, Su-lam menjadi sangsi, katanya dengan tertawa: ”Kawan kau telah salah paham.
Sejak tadi aku sudah mengetahui tempat sembunyimu, kalau aku mau menjual kau masakah kau
bisa selamat sampai sekarang? Tempat ini bukan tempat aman bagimu, sebaiknya lekas kau katakan
terus terang, pernah hubungan apa kau dengan To Pek-seng. Apa kau kenal Song Thi-lun dan
istrinya?”
“Hm,” kembali orang itu mendengus, “tidak perlu bermain lidah untuk memancing pengakuanku.
Aku sudah melihat medalimu tadi, memangnya kau kira aku bisa kautipu?”
Rupanya didalam tempat sembunyinya tadi, orang itu telah mendengar semua percakapan Li Sulam
dengan NyoWan. Ia mendengar Nyo Wan bicara tentang Putri Minghui, lalu dengar Su-lam
bercerita tentang hadiah busur baja dari Jengis Khan itu, kemudian melihat pula medali emas, tentu
saja ia curiga dan menganggap Li Su-lam sebagai pengkhianat yang menjual diri kepada orang
Mongol. Sebab itulah betapapun Su-lam memberi penjelasan tetap tak dipercaya oleh orang itu.
Selagi kehabisan akal, tiba2 terdengar pula suara derap kaki kuda yang riuh sedang mendatangi
pula. “Jangan2 Tartar tadi tidak percaya padamu dan datang lagi kembali,” kata Nyo Wan kuatir.
“Bukan rombongan tadi, yang datang sekarang hanya tiga penunggang kusa,” ujar Su-lam.
“sekarang baru kelihatan belangmu, coba ingin kulihat apa yang akan kau katakan lagi!” jengek
orang tadi.
“Kau jangan bingung, lekas sembunyi lagi, akan kubereskan untukmu,” kata Su-lam. Belum lenyap
suaranya, ketiga penunggang kuda sudah sampai didepan rumah gilingan, seorang diantaranya
berteriak: “Disinilah bocah itu!”
Ketiga orang yang datang itu terdiri dari seorang Lama, seorang laki2 dengan wajah bengis, seorang
lagi berbadan pendek, dari muka dan dandanannya dapat dipastikan adalah orang Han.
Laki2 bermuka bengis itu lantas berteriak: “Haha, itu dia, sembunyi disitu bangsat cilik itu!”
Rupanya orang yang luka tadi belum sempat sembunyi sehingga terlihat dengan jelas dibawah
cahaya api. Saat itu Li Su-lam telah menyingkir kesudut ruangan, ketika mendadak ia muncul dan
siap diambang pintu, laki2 itu menjadi kaget dan membentak: “Siapa kau?” Apa kau minta
mampus? Lekas enyah!” ~ Dia bicara dalam bahasa Sehe sehingga tidak diketahui apa artinya oleh
Li Su-lam.
Sebaliknya laki2 pendek tadi dapat mengenali Li Su-lam adalah orang Han, ia terkesiap dan
berseru: “Nanti dulu, sobat dari garis manakah kau?”
Si pendek itu adalah orang kangouw ulung, dia menduga Li Su-lam pasti bukan sembarang orang,
maka suruh laki2 Sehe jangan bertindak dulu. Namun laki2 Sehe itu tidak ambil pusing padanya,
dengan marah2 ia lantas memburu kearah Su-lam.
“Hm, apa kau tuan rumah disini, mengapa suruh kami pergi?” jengek Nyo Wan mendadak. Tadi dia
berdiri dibelakang Su-lam, dalam kegelapan laki2 Sehe itu tidak memperhatikan dibalik pemuda itu
masih ada seorang lagi.
Melihat kecantikan Nyo Wan, laki2 Sehe itu terbelalak matanya, cepat ia menyingkir kesamping
agar bisa memandang Nyo Wan dengan jelas, lalu katanya pula dengan suara lunak: “Perempuan
muda, yang hendak kami tangkap adalah bangsat cilik ini, boleh kau menyingkir saja disana.”
Sipendek mendongkol akan kedunguan kawannya itu, kalau kedua muda-mudi itu berada bersama
bocah she Liong yang sedang dicari itu, mustahil mereka tiada sangkut paut satu sama lain dan mau
tinggal diam tidak ikut campur. Ia tidak tahu bahwa laki2 Sehe itu bukanlah dungu, soalnya ia
sudah kesemsem oleh kecantikan Nyo Wan sehingga otaknya sudah keblinger.
Lama yang berkasa (jubah) merah sejak datang tadi tidak bersuara, kini mendadak ia mendekati Sulam,
lalu tanya dalam bahasa Han yang kaku: “Apakah kau Li Su-lam yang buron dari Holin?” ~
Dari logatnya jelas Lama itu adalah orang Mongol.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Keruan Su-lam terkejut. Ia tidak pernah melihat Lama ini, tapi dapat menyebut namanya. Ia
menduga Lama itu tentu datang dari Liong-sah-tui, mungkin ditempat Pangeran Tin-kok itulah dia
telah melihat gambarnya.
Karena sudah dikenali, Su-lam juga tidak perlu pura2 lagi, dengan angkuh ia menjawab: “Benar,
aku Li Su-lam adanya. Aku tidak senang tinggal di Holin, maka aku bebas untuk kemanapun. Kau
ingin apa?”
“Kau tidak suka tinggal di Holin, tapi Khan inginkan kau kembali kesana!” seru Lama itu dengan
tertawa. “Haha, malam ini kita rupanya ketumplek rejeki besar. Bocah ini adalah buronan Khan,
mungkin jauh lebih penting daripada bangsat cilik she Liong. Biar bocah ini serahkan padaku saja,
kalian yang tangkap bangsat she Liong itu.”
Habis berkata Lama itu terus putar tongkatnya yang bergelang sembilan dan menyodok iga Li Sulam.
Dalam sekejap itu terdengarlah suara mendering nyaring disertai mengkilatnya sinar pedang.
Lama itu rada tercengang ketika tongkatnya kena ditangkis oleh pedang Li Su-lam . Begitu
tongkaynya bergerak pula, segera ia menyerampang kaki lawan.
Mendadak Su-lam angkat kakinya terus menginjak “sret”, berbareng pedangnya menusuk leher
lawan. Berbahaya sekali jurus yang dimainkan Li Su-lam itu, bila tenaga kakinya tidak kuat
menginjak tongkat timbel si Lama, seketika kakinya akan patah. Sebaliknya kalau Lama itu tidak
mampu menghindar, pasti lehernya akan tembus dan binasa.
Dalam detik yang menentukan mati hidup itulah, kedua pihak telah sama2 memperlihatkan
kemahiran masing2. Mendadak Lama kasa merah mendorongkan tubuhnya kebelakang sambil
membentak: “Roboh!” ~ Tongkatnya terus mengungkit, tertampaklah Li Su-lam mengapung ke
atas, dia tidak roboh, tap malah mencelat keatas.
Rupanya si Lama bermaksud membikin Li Su-lam terguling dalam keadan kehilangan
keseimbangan badan. Tak terduga Li Su-lam memiliki ginkang yang tinggi, ia malah meloncat ke
atas dengan tenaga ungkitan lawan. Si Lama sendiri meski sempat terhindar dari leher tertembus,
tidak urung pecinya jatuh terserempet pedang. Dalam gebrakan ini terang si Lama telah kalah
setengah jurus.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa, Li Su-lam yang mengapung di udara itu terus menggempur
pula ke bawah. Cepat si Lama menangkis dengan tongkatnya. Pedang Su-lam menutul batang
tongkat lawan, kembali ia berjumpalitan di atas, lalu tancap kaki dengan tegak diatas tanah.
Melihat beberapa kali jurus pedang Li Su-lam itu, laki2 pendek tadi terkejut, serunya: “Kiranya
adalah murid Kok Peng-yang. Baik, aku ingin berkenalan dengan kau punya Tat-mo-kiam-hoat.”
Meski perawakan orang itu pendek kecil, tapi sangat gesit, tahu2 ia sudah menubruk maju,
senjatanya terdiri dari sepasang Boan-koan-pit, ditengah berkelebatnya sinar pedang dan bayangan
tongkat tiba2 iapun menerjang maju. Kedua senjata bentuk pensil menyerang sekaligus yang satu
menotok “Ki-bun-hiat,” yang lain mengarah “Hian-hay-hiat”. Kedua tempat ini adalah hiat-to
mematikan di tubuh manusia.
“Ilmu Tiam-hiat yang keji!” bentak Su-lam. Cepat tubuhnya berputar, sekaligus ia sampuk tongkat
di Lama, berbareng menangkis pula totokan pensil si pendek.
“Bagus!” mau tak mau di pendek memberi pujian atas ketangkasan lawan.
Nyo Wan bermaksud membantu Su-lam, tapi laki2 Sehe yang bengis tadi telah mulai memburu ke
tempat sembunyi orang yang terluka tadi.
“Cegah dia!” seru Su-lam.
Tanpa ayal Nyo Wan lantas menjulurkan pedangnya sambil membentak: “Mundur sana!”
Semula laki2 Sehe itu anggap sepele kepada sinona, dengan cengar cengir ia menjawab: “Eh, nona
cantik, kenapa begini galak?” ~ Dengan tangan kosong ia terus hendak merebut pedang Nyo Wan.
Orang itu mengira Nyo Wan cuma nona cilik yang masih muda belia, betapapun kepandaiannya
juga terbatas. Tak terduga ilmu pedang Nyo Wan adalah ilmu pedang Go-bi-pay ajaran kakaknya
sendiri. Ilmu pedang Go-bi-pay mengutamakan kegesitan dengan gerak serangan yang lincah dan
aneh2. Mendadak ujung pedang miring kesamping tahu2 menabas kembali dari arah yang tak
tersangka. Sinar pedang berkelebat, sepotong jari laki2 itu telah tertabas.
Keruan laki2 Sehe itu berjingkrak kesakitan, kaget dia dan gusar pula. Sebaliknya kawannya orang
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Han malah tertawa dan berkata: “Makanya jangan kau sok merayu segala. Paling perlu bekuk dulu
betina itu.”
Orang Sehe itu lantas membentak dengan murka: “Kurang ajar! Masakah kau mampu lolos dari
genggamanku?” ~ Segera ia lolos goloknya terus menubruk ke rah Nyo Wan disertai pukulan dan
bacokan. Rupanya ia telah menerima pendirian kawannya untuk membekuk Nyo Wan sekalipun
nanti mesti melukai si nona.
“Biar kaupun kenal kelihaian nonamu!” jengek Nyo Wan, dengan gerak yang lincah pedangnya
menyampuk golok lawan ke samping, berbareng ujung pedang terus menabas pergelangan lawan.
Semula laki2 Sehe itu anggap dirinya terlalu gegabah sehingga dilukai oleh Nyo Wan, ia tidak
percaya nona cilik secantik ini mempunyai kepandaian tinggi. Tapi sekarang dia baru tahu rasa oleh
serangan Nyo Wan yang hebat itu. Lekas2 ia menggeliat, menyusul sebelah kakinya lantas
menendang. Terdengar suara, “bret”, sarung tangan kulit laki2 Sehe itu tergores oleh ujung pedang,
sebaliknya karena tendangan orang cukup ganas, terpaksa Nyo Wan menghindarinya. Sesudah itu
keduanya lantas merapat untuk bergebrak lagi.
Setelah dua kali kecundang, orang Sehe itu tiak berani sembrono lagi. Nyo Wan juga tidak berani
gegabah karena tahu tenaga lawan jauh lebih kuat. Yang satu menang kuat dalam hal tenaga, yang
lain lebih gesit dan bagus ilmu pedangnya, meskinya sukar menentukan kalah menang dalam waktu
singkat. Tapi lantaran sekali gebrak laki2 Sehe itu sudah kecundang dengan terpotong sebuah
jarinya, mau tak mau banyak mengurangi ketangkasannya, maka dalam beberapa jurus kemudian ia
menjadi kewalahan malah diserang Nyo Wan secara gencar.
Disebelah sana keadaan Li Su-lam juga terdesak karena satu harus lawan dua. Laki2 pendek itu
sangat lincah, sepasang senjata pensil berputar cepat dan berani menyusup maju sitengah
berkelebatnya sinar pedang Li Su-lam.
Dalam dunia persilatan adalah pameo yang menyatakan “makin pendek, makin berbahaya”, yang
dimaksudkan semakin pendek senjata yang digunakan semakin berbahaya serangannya. Nyatanya
Boan-koan-pit yang di pakai itu panjangnya Cuma dua kaki, tapi jauh lebih sukar dilayani
dibanding dengan tongkat si Lama yang panjangnya lebih lima-enam kaki. Serangan dari jarak
dekat itu selalu mengincar Hiat-to penting ditubuh Li Su-lam, sedikit meleng saja tentu bisa celaka.
Namun serangan tongkat si Lama ternyata mempunyai caranya sendiri. Terdengar suara
gemerincing dari sembilan gelang yang terpasang diujung tongkat itu semakin nyaring dan
mengacaukan pikiran Li Su-lam. Beberapa kali hampir2 saja ia kena ditonjok oleh tongkat lawan
itu.
Melihat Su-lam terdesak, Nyo Wan menjadi kuatir. Segera ia melancarkan serangan susul menyusul
sehingga laki2 Sehe tidak mampu menangkis dan terpaksa melompat mundur. Kesempatan ini
lantas digunakan Nyo Wan untuk menyelinap lewat dan bergabung dengan Li Su-lam.
Dengan posisi dua lawan tiga keadaan mereka menjadi lebih baik, tapi tetap terdesak dibawah
angin. Tenaga Nyo Wan lebih lemah, belasan jurus lagi ia sudah mulai berkeringat dan ter-engah2.
“Haha, binasakan yang laki, tinggalkan perempuannya untukku,” seru laki2 Sehe itu.
“Hato Siangjin adalah orang suci, akupun tidak ingin rebutan perempuan dengan kau, kenapa kau
tidak sabaran kan akhirnya pasti milikmu,” ujar laki2 Han itu dengan tertawa.
Begitulah kedua orang ber-olok2 sendiri se-akan2 Nyo Wan sudah pasti akan tertawan sebentar
lagi. Keruan hampir2 meledak jantung Nyo Wan saking gusarnya.
Pertarungan diantara jago2 silat paling pantang naik pitam, tapi saking gemasnya sekaligus Nyo
Wan telah melancarkan belasan kali tusukan, namun semuanya dapat ditangkis oleh senjata pensil
laki2 Han itu. Sedangkan laki2 Sehe itu menggunakan kepandaiannya bergulat pula, ia melangkah
maju hendak mencengkeram, untung luput. Berbareng Li Su-lam sempat memaksa mundur orang
Sehe itu setelah pedangnya menangkis tongkat si Lama.
Dalam keadaan terdesak dan semakin berbahaya itu, tiba2 terdengar suara kresekan, sekilas Su-lam
melihat laki2 yang luka itu sedang merangkak keluar dari tempat sembunyinya. Su-lam terkejut, ia
pikir orang ini terluka parah, kalau merangkak keluar berarti mengantarkan nyawa belaka. Tapi apa
daya, terpaksa Su-lam balas menyerang mati2an dengan harapan dapat merintangi ketiga laan agar
mereka tidak sempat menarik diri untuk membunuh buronan terluka itu.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Dengan me-rangkak2 akhirnya laki2 terluka itu dapat mencapai ambang pintu. Si Lama tidak berani
menarik diri dibawah serangan pedang Su-lam yang gencar, ia hanya berteriak: “Jangan sampai
bangsat itu lari!”
“Jangan kuatir Siangjin, biar aku yang bekuk dia,” kata laki2 Han. Kedua pensilnya bergerak dan
menotok kanan kiri, tampak dada Su-lam terancam, tapi tahu2 pensilnya memutar balik kearah Nyo
Wan. Terpaksa Nyo Wan mengegos kesamping, kesempatan ini segera digunakan orang Han itu
untuk melayang lewat samping Nyo Wan.
Karena mengira buronan she Liong itu sudah terluka parah, tentu dengan mudah dapat dibekuk.
Habis itu masih bisa kembali membantu kedua kawannya membekuk Li Su-lam dan Nyo Wan.
Sebagai jago kangouw ulung, orang itu tidak berani gegabah walaupun pihak lawan jelas terluka
parah. Maka sebelah pensilnya disimpan, hanya sebuah pensil lain yang masih dipegangnya, setiba
disamping buronannya segera ia mencengkeram. Rupanya ia tidak mau menikam lawannya dengan
pensil saja sebab kuatir lawan yang terluka itu akan terus binasa.
Ia sudah siap siaga, tapi toh masih masuk perangkap laki2 terluka itu. Ditangan orang itu sudah
tergenggam sebuah Tok-liong-piau, ketika lawan mencengkeramnya segera iapun sambut dengan
tangannya, “plak”, ujung Tok-liong-piau melukai telapak tangan orang han itu. Nyata meski
memang betul buronan she Liong itu terluka tapi keadaannya yang parah itu hanya buatan belaka,
hanya pura2 saja.
Keruan orang han itu mengerang kesakitan, pensil ditangan kiri terus menikam kebawah, namun
sudah terlambat. Bilamana sejak semula ia menotok Hiat-to lawan dengan senjatanya tentu lawan
tak bisa berkutik. Sekarang dia baru menggunakan pensilnya, tapi baru saja pensilnya bergerak,
mata sudah ber-kunang2.
Kiranya racun Tok-liong-piau sangat lihai, selai masuk darah seketika pernapasan sang korban
terganggu. Dalam keadaan demikian tikaman pensilnya menjadi meleset, laki2 terluka itu sempang
menggelinding kesamping dengan sisa tenaganya yang masih ada.
Orang han itu menjadi sempoyongan, Boan-koan-pit yang dipegangnya itu jatuh kelantai. Laki2
terluka itu cepat jemput pensil itu, disambitkan kearah lawan sambil membentak: “Terima kembali
barangmu sendiri!” ~ Kontan orang Han itu Terguling.
Laki2 she Liong yang terluka itu merangkak kesamping orang Han itu, ejeknya: “Kau bermaksud
mencelakai aku, sekarang baru kau tahu rasanya Tok-liong-piau. Bagaimana enak tidak?”
Racun Tok-liong-piau kini telah bekerja hebat ditulang orang Han itu, dalam badannya terasa sakit
ngilu laksana di-gigit2 oleh be-ratur2 ekor ular kecil. Dengan mandi keringat dingin menahan derita
orang Han itu berteriak Liong-ya aku mohon padamu, lekas kau bunuh aku saja.
“Bunuh kau?” Hm, masakah begitu enak?” jawab orang she Liong. “Bukankah kau murid Yang
Thian-lui? Dimanakah jahanam gurumu itu? Lekas katakan.”
“Guruku sudah lama pulang ke Taytoh (ibukota Kim) untuk merawat lukanya,” sahut orang Han itu.
“Hm, jadi kalian guru dan murid telah bersekongkol dengan Kim, sekarang mulai main mata lagi
dengan Tartar Mongol,” jengek laki2 she Liong.
“Kalau berani boleh kau cari saja guruku, buat apa kau hanya menyiksa aku?” teriak orang Han.
“Aku mohon lekas kau bunuh aku saja.”
“Kenapa buru2, kau masih ada waktu setengah jam, kalau racun sudah menyerang jantungmu
barulah kau akan binasa,” dengus orang she Liong.
“Tapi ......tapi aku tidak tahan lagi!” orang itu merintih.
“Yang mencelakai guruku selain bangsat tua she Yang, siapa lagi komplotannya? Didalam Pang
kami siapa2 saja yang menjadi mata2 kalian? Lekas kau mengaku dan aku akan membereskan
jiwamu secara cepat.”
Ia mengira orang itu pasti akan mengaku karena tidak tahan siksaan racun Tok-liong-piau, tak
terduga orang itu mendadak berteriak: “Aku toh tak bisa hidup lagi, apa yang kau bisa perbuat atas
diriku? Hm, bangsat she Liong, jangan kau mimpi!” ~ se-konyong2 darah muncrat dari mulutnya
sehingga kepala dan muka laki2 she Liong berlumuran darah.
Rupanya orang Han itu tidak ingin menderita lebih lama, maka dengan nekat ia menggigit putus
lidah sendiri sehingga buyarlah tenaga dalamnya, racun juga lantas meluas dengan cepat, seketika ia
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
terkapar binasa.
Darah yang disemburkan itu berbisa dan membasahi muka orang she Liong itu, walaupun tidak
membahayakan jiwanya, tapi dasarnya ia sudah terluka berat, kena disemprot oleh darah yang
berbau amis lagi , keruan ia tambah payah. Dalam hati ia hanya berharap sang Sumoay bisa lekas
datang.
Sementara orang she Liong itu menanyai korbannya, disebelah sana si Lama dan jago Sehe juga tak
bisa berkutik meski ada maksud mereka hendak menolong kawannya, tapi mereka dilabrak Su-lam
dan Nyo Wan dengan gencar.
Sebagai badai membara, pedang Nyo Wan menyerang tanpa kenal ampun. Mendadak sinona
membentak: “Kena!” ~ Sret, pedang menembus leher jago Sehe itu, ketika pedang ditarik kembali,
berlumuran darahlah batang pedangnya.
Melihat kawannya terbunuh, didengarnya pula jerit ngeri kawannya orang han tadi, keruan si Lama
menjadi pecah nyalinya, sekuat tenaga ia coba bertahan. Dibawah sinar api dilihatnya pedangnya
Nyo Wan yang merah berlumuran darah itu menyamber lagi kearahnya, seketika semangat si Lama
se-akan2 terbang ke-awang2, diam2 ia mengeluh: “Matilah aku!”
Tapi jago silat pada umumnya tetap punya keinginan hidup meski menghadapi detik terakhir, secara
otomatis si Lama juga meronta sekuatnya untuk mencari hidup. Saat itu tongkat si Lama sedang
menahan pedang Li Su-lam sehingga tidak sempat ditarik kembali untuk menangkis pedang Nyo
Wan, tapi sebelah kakinya lantas digunakan menendang senjata lawan itu.
Dengan gerak serangan Nyo Wan dan tenaga yang dia gunakan mestinya kaki si Lama dapat
tertabas kutung, si Lama sendiri juga menginsyapi resiko ini. Tak tersangka tendangannya itu
ternyata membawa hasil, “trang”, pedang Nyo Wan tepat tertendang jatuh, hal ini sungguh diluar
dugaan si Lama.
Kiranya selama hidup Nyo Wan baru pertama kali ini ia membunuh orang, pada waktu pedangnya
menembus leher jago Sehe tadi Nyo Wan dalam keadaan gusar dan gemas. Tapi setelah itu, darah
yang berlumuran itu telah mmbikin gugup padanya. Maka ketika dia menyerang si Lama,
sesungguhnya hatinya sudah lemas, tenaganya kurang.
Tentu saja si Lama sangat girang, cepat ia menerjang kearah Nyo Wan. Serentak Nyo Wan tersadar
juga setelah pedangnya jatuh dan cepat berkelit kesamping.
“Lari kemana!” bentak Su-lam sambil mengudak.
Saat itu si Lama sudah melalui Nyo Wan, mendadak ia guncangkan tongkatnya kebelakang,
terdengarlah suara mendering nyaring, sembilan glang tembaga sekaligus melayang tiba. Kiranya
gelang tembaga yang berada pada ujung tongkatnya itu dapat digunakan sebagai senjata rahasia,
biasanya tidak sembarangan digunakan pada saat sekarang terpaksa ia mengeluarkan serangan
terakhir itu.
Nyo Wan sudah kehilangan pedang, kuatir dia tidak mampu menghindar, cepat Su-lam putar
pedangnya secepat kitiran untuk melindungi Nyo Wan. Terdengarlah suara dering nyaring
mengilukan, sembilan gelang itu terpukul jatuh semua, tapi Lama itupun sudah lari.
“Bagaimana kau, Wan-moay?” tanya Su-lam.
Nyo Wan menjemput kembali pedangnya dan membersihkan lumuran darah, jawabnya: “Tidak
apa2, aku Cuma gugup karena membunuh orang untuk pertama kalinya.”
“Asal kau berpegang pada pokok pikiran: Bila aku tidak membunuh dia, akulah yang dibunuh
olehnya. Dengan demikian kau tentu takkan takut atau gugup lagi.”
Lalu Su-lam membangunkan laki2 she Liong itu dan memberikan obat luka padanya.
“Sobat, tak perlu kau repot2, aku sudah tidak berguna lagi, Cuma ........Cuma ........” agaknya laki2
itu ingin memberi pesan apa2, tapi tenaga habis, suaranya menjadi ter-putus2.
“Wan-moay kita masih punya sepotong jinsom, lekas kau keluarkan dan potonglah kecil2,” kata Sulam.
Nyo Wan mengiakan dan cepat mengeluarkan jinsom yang dimaksud dan dipotong menjadi lapisan
kecil2, lalu dijejalkan mulut orang itu. Khasiat jinsom paling baik untuk memulihkan tenaga dan
memupuk kekuatan.
Selang tak lama. Terbangkitlah semangat orang she Liong itu, katanya: “Liong Kang mengucapkan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
terima kasih atas pertolongan kalian. Kiranya engkau adalah murid Kok-tay-hiap yang bernama Li
Su-lam.
“Benar,” kata Su-lam. “Sekarang dpatlah kiranya kau mempercayai aku? Agaknya sebelum ini kau
pernah mendengar namaku?”
“Ya, nona beng mengatakan kau adalah orang baik, tampaknya Beng-tayhiap yang slah paham
padamu,” ujar Liong Kang dengan menghela napas.
Kejut dan girang Su-lam mendengar itu, ia menegas: “Jadi engkau bertemu dengan Beng-tayhiap?”
“Benar. Beng-tayhiap dan putrinya baru pulang dari Mongol dan sengaja menyampaikan kabar ke
gunung kami serta memberikan Tok-liong-piau, dari itu kami mengetahui suhu, beliau sudah
mengalami nasib malang.”
“O, kiranya kau adalah murid To Pek-seng, To-tayhiap , pantas kau mahir menggunakan Tok-liongpiau,”
kata Su-lam.
Nyo Wan lantas menyela: “Dan sekarang dimanakah Beng-tayhiap?” ~ Yang ditanya Beng-tayhiap,
tapi secara tidak langsung yang ditanya sebenarnya keadaan Beng Bing-sia.
Beng-tayhiap ada urusna penting dan harus cepat kembali ke Kanglam, maka sesudah bermalam,
esoknya beliau lantas berangkat sendirian.”
“Berangkat sendirian,” jawaban ini membikin Nyo Wan ingin tahu, lalu dimanakah Beng Bing-sia
sekarang? Tapi kuatir terlalu menyolok, terpaksa ia tidak jadi tanya lebih jauh.
Dalam pada itu Su-lam telah bertanya pula: “Liong-heng, kedatanganmu ini tentunya bermaksud
menuntut balas bagi gurumu. Apakah kau Cuma datang sendiri?”
“Waktu Beng-tayhiap menyampaikan berita duka kepada kami, saat itu hanya aku dan seorang sute
yang tinggal di Sanche (pangkalan di gunung), saudara2 seperguruan yang lain sedang bertugas
keluar semua. Terpaksa kami berdua lantas berangkat sembari mengirim kabar kepada saudara2
seperguruan yang lain. Kami berangkat berempat, aku dan sisute (adik perguruan ke empat) dan dua
Thaubak. Tapi sekarang hanya tinggal aku seorang.” ~ bicara sampai disini wajah Liong Kang
menjadi sangat pucat.
Su-lam menduga teman2nya tentu telah mengalami bencana ditengah jalan, maka ia tidak tanya
lebih lanjut. Ia menyodorkan kantong air kemulut Liong Kang dan berkata: “Minumlah sedikit,
nanti saja bicara lagi.”
Setelah minum seteguk, lalu Liong Kang menyambung ceritanya: “Kami bertekas menuntut balas
bagi Suhu, tapi sebelum kami mengetahui siapakah musuh pembunuh Suhu itu, ditengah jalan kami
sudah dikuntit oelh kawanan keparat ini. Coba kalau Li-kongcu tidak menolong mungkin saat ini
jiwaku sudah melayang. Maafkan aku tidak mampu memberi hormat padamu, terpaksa hidup lain
jaman barulah aku dapat membalas budimu.”
“Kau jangan kuatir, kau tentu akan sembuh,” ujar Su-lam. “Sebaiknya kita cari suatu tempat untuk
merawat lukamu, kemudian akan kucarikan tabib bagimu.” ~ Dengan jinsom tadi Su-lam yakin jiwa
Liong Kang akan dapat dipertahankan dua hari lamanya.
Lionh kang tersenyum getir, katanya: “Aku cukup tahu keparahan lukaku, mumpung aku masih
bernapas, biarlah kuceritakan segala apa yang dapat kukatakan padamu.”
Karena Liong Kang tak mau diajak berangkat, terpaksa Su-lam berkata: ‘Baiklah, jika demikian
boleh kau istirahat disini. Nanti saja bercerita pula.”
Namu Liong Kang melanjutkan ceritanya lagi: “Setelah ketiga kawanku gugur dan akupun terluka
parah, tapi akhirnya dapatlah kuselidiki siapa musuh pembunuh Suhu itu.”
Tergetar hati Su-lam, cepat ia bertanya: “Siapakah pembunuh itu?” ~ Maklum To pek-seng adalah
tokoh terkenal, maka pembunuhnya tentu jago silat luar biasa, dari itu Su-lam sangat ingin tahu
siapakah gerangan tokoh misterius itu.
“Yang Thian-lui!” tutur Liong Kang dengan kata demi kata.
“Yang Thian-lui?” Su-lam mengulangi nama itu dengan menggumam. “Nama ini seperti pernah
kudengar.”
Tiba2 Su-lam teringat suatu peristiwa dimana 12 tahun yang lampau, waktu itu belum lama ia
masuk perguruan. Suatu malam datanglah beberapa orang mencari gurunya secara ter-gesa2. Lalu
gurunya lantas berangkat bersama orang2 itu, Su-lamdisuruh menjaga rumah, katnya dua-tiga hari
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kemudian gurunya baru kembali. Tapi ternyata tujuh hari kemudian gurunya baru kembali. Bahkan
dengan muka pucat, malahan bajunya juga berlepotan darah. Waktu Su-lamtanya apa yang terjadi
barulah diketahui malam itu sang guru telah diajak pergi mengerubut seorang iblis besar.
Menurut cerita gurunya, katanya iblis besar itu datang dari utara dan telah melakukan beberapa
kejahatan didaerah Kanglam, beberapa tokoh Bulim terkenal di Kanglam telah menjadi korban,
sebab itulah jago2 silat daerah Kanglam sama bergabung hendak membinasakan gembong iblis itu.
Tak terduga dalam pertarungan sengit itu gembong iblis itu sempat melarikan diri walaupun
menderita luka. Sebaliknya jago silat Kanglam juga belasan orang yang terluka. Nama gembong
iblis itu persis adalah: “Yang Thian-lui.”
Selesai Su-lam menguraikan kisah dulu itu, Liong Kang berkata: “Memang betyul, ialah Yang
Thian-lui ini. Ia terluka juga kena pukulan Tay-lik-kim-kong-ciang gurumu, setelah lari pulang
keutara, lalu tiada kabar beritanya lagi. Selama belasan tahun tiada orang kangouw yang melihat
jejaknya. Ada orang mengatakan dia telah mampus, ada yang bilang dia mengasingkan diri untuk
berlatih sejenis ilmu silat berbisa untuk menuntut balas lagi. Baru sekarang aku mengetahui bahwa
gembong iblis ini sebenarnya masih hidup, diapun tidak mengasingkan diri, tapi telah masuk istana
Kim dan menjadi pentolan istana.
“Musuh2 yang kutemukan sepanjang jalan kali ini adalah begundal Yang Thian-lui, diantaranya ada
muridnya, ada jagoan kerajaan Kim sendiri, bahkan ada jagoan dari Mongol. Padahal diantara
negeri Kim dan Mongol saling bermusuhan, mengapa Busu Mongol campur bersama Busu Kim, hal
ini sangat mengherankan, bukan mustahil secara diam2 Yang Thian-lui telah bersekongkol dengan
tartar Mongol.
“Yang Thian-lui dengan dua pembantunya yang kuat telah kepergok guruku digurun Gobi, dalam
pertarungan sengit itu kedua pembantu Yang Thian-lui telah dibinasakan oleh guruku, Yang Thianlui
sendiri juga terluka parah dan sekarang telah lari pulang ke Taytoh untuk merawat lukanya.
Kasihan guruku dalam keadaan sendirian, setelah terluka parah tidak mendapat bantuan orang,
akhirnya beliau meninggal di padang pasir. Hal ini kudapat tahu dari seorang tawanan kemarin
dulu. Dari laki2 itu tadi kuketahui pula hal2 lain yang lebih banyak. Orang ini bernama Ing Jay,
murid Yang Thian-lui.”
Napas Liong Kang semakin memburu, suaranya juga makin lemah. Diam2 Su-lam terkejut, ia heran
mengapa jinsom yang dia berikan tadi tiada membawa khasiat apa2. Cepat katanya: “Liong-toako,
ceritamu disambung lagi lain kali. Paling penting sekarang kita harus mencari suatu tempat aman
untuk merawat lukamu.”
Liong Kang mendongak keluar, dilihatnya subuh sudah tiba, ufuk timur sudah mulai remang2
terang. Tiba2 ia menghela napas dan berkata pula: “Oarng yang kutunggu mungkin tidak keburu
datang kemari, Li-kongcu, aku mohon bantuan dua urusan padamu.”
“Jangan kau pikir hal2 yang tidak baik, kau tentu dapat bertemu dengan kawanmu nanti,” ujar Sulam.
“Tidak, aku tidak sanggup menunggu lebih lama lagi,” kata Liong Kang lemah. “Dua urusan ini
sangat penting mumpung aku masih bernapas harus lekas kukatakan padamu.”
Sesungguhnya Su-lam tidak percaya Liong Kang akan mati dalam waktu singkat, tapi mendengar
ucapannya yang serius itu, agar perasaan orang bisa tenteram, terpaksa ia menjawab: “Baiklah,
boleh kau katakan padaku. Siapakah orang yang kau tunggu, cara bagaimana aku harus
menghubungi mereka?”
“Seorang diantaranya sudah kau kenal, dia, dia adalah putri Beng-tayhiap, Beng Bing-sia,” tutur
Liong Kang.
Su-lam dan Nyo Wan bersuara kaget bersama. Orang yang ditunggu Liong Kang ternyata Beng
Bing-sia termasuk diantaranya, hal ini sungguh diluar dugaan mereka.
“Sepanjang jalan aku telah meninggalkan kode , tentu mereka akan menguntit kesini. Urusan
pertama aku mohon kalian suka memberitahukan nahwa musuh pembunuh guruku adalah Yang
Thian-lui.”
“Baik. Dan urusan kedua?” sahut Su-lam.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Urusan kedua ini …….. ai, cara bagaimana harus kukatakan …….” Liong kang menghela napas
seperti ada apa2 yang sukar dijelaskan.
Pada saat itu tiba2 terdengar suara derapan kuda yang cepat mendatangi.
“Dengarkan itu, apakah nona Beng yang datang?” seru Nyo Wan.
Kejut dan girang Liong Kang bercampur aduk, serunya lega: “Ah, akhirnya datanglah mereka!” ~
Entah karena lukanya yang parah atau pengaruh guncangan perasaannya itu mendadak matanya
mendelik, lalu jatuh pingsan.
Su-lam terkejut, Liong Kang dipegangnya dan digoyang goyangkan bahunya sambil berseru:
“Liong-heng, sadarlah!”
Sementara itu lari kuda tadi sudah sampai didepan rumah gilingan, ternyata penunggangnya adalah
wanita muda berbaju merah. Su-lam merasa tidak kenal nona ini, ia ter-heran2 dan berpikir:
“Mengapa tadi Liong Kang bilang Beng Bing-sia? Jangan2 wanita ini hanya orang lalu biasa saja.”
Sebaliknya Nyo Wan tidak pernah kenal Bing-sia, ia mengira yang datang ini benar nona Beng,
dengan perasaan kacau ia memapaknya. Tak terduga mendadak nona baju merah itu lantas
membentaknya: “Kurang ajar, kalian berani mencelakai suhengku!” ~ Berbareng ia terus
melemparkan senjatanya keatas kepala Nyo Wan, senjata itu berbentuk cengkeram tangan yang
bertali.
Sama sekali Nyo Wan tidak menduga dirinya akan diserang, keruan ia terkejut, terpaksa ia
menjatuhkan diri dan berguling kesamping, “ser”, cengkeram bertali nona itu menyamber lewat atas
kepalanya.
Bahwa seorang perempuan muda dipaka ber-guling2 di atas tanah tentulah tidak sedap dipandang
mata, maka Nyo Wan menjadi gusar, begitu melompat bangun, peang lantas dilolos. Tapi cepat luar
biasa cengkeram tangan lawan kembali menyamber tiba.
Dengan gusar Nyo Wan membentak: “Bing-sia, mengapa kau tidak tahu aturan?” ~ “Trang”,
cengkeram orang kena disampuk oleh pedangnya sehingga memercikkan lelatu api.
Nona baju merah itupun terkejut, serunya: “Kau kenal beng Bing-sia!”
Saat itu Liong Kang kebetulan sudah siuman kembali serunya: “Sumoay, berhenti! Mereka adalah
penolong2ku.”
Baru sekarang nona baju merah itu tahu telah terjadi salah paham. Cepat ia menyimpan senjatanya
dan minta maaf kepada Nyo Wan: “Ditengah jalan aku mendapat kabar buruk tentang Suheng,
maka cepat memburu kemari, maka tadi aku mengira kalian yang mencelakai Suhengku. Harap cici
jangan marah atas kekasaranku tadi.”
“Tidak apa2, silahkan kau melihat keadaan Suhengmu,” jawab Nyo Wan walupun dalam hati
kurang senang.
Saat itu Liong Kang dapat bicara dengan lebih keras terdorong oleh rasa girang datangnya sang
Sumoay, ia perkenalkan: “Ini adalah Li-kongcu, Li Su-lam.”
Nona baju merah itu tercengang dan menegas: “Jadi kau ini Li Su-lam?”
“Ya, tapi sekali2 bukan Li Su-lam yang mau bantu kejahatan sebagaimana disangka,” sahut Su-lam.
“Semula akupun rada salah paham, baru sekarang aku tahu Li-kongcu sesungguhnya adalah orang
baik,” ujar Liong Kang.
“Memangnya, orang yang dapat dipercayai nona Beng masakah bukan orang baik,” kata nona baju
merah dengan tertawa.
Liong Kang menoleh ke arah Nyo Wan lantas berkata: “Dan ini nona ………..” tapi mendadak ia
ingat nama Nyo Wan juga belum diketahuinya.
Dengan hambar Nyo Wan lantas berkata: “Aku she Nyo bernama Wan.”
Kembali si nona baju merah terkesiap, pikirnya: “Kiranya mereka bukan kakak beradik.”
Dari air muka dapatlah Nyo Wan menerka apa yang sedang dipikirkan, tanpa terasa timbul rasa
kecut dalam hatinya dan penasaran pula, sikapnya terhadap nona baju merah itupun menjadi lebih
dingin lagi.
Entah tahu tidak nona baju merah itu, namun sama sekali ia tidak ambil perhatian dan masih
memanggil: “Nyo cici, aku she To bernama Hong. Banyak terima kasih atas pertolongan kalian
terhadap Suhengku.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Suhuku adalah ayahnya,” Liong Kang menambahkan.
Baru sekarang Su-lam mengetahui bahwa nona baju merah bernama To Hong ini adalah putri To
Pek-seng, pantas memiliki kepandaian sebagus itu.
To Hong tidak sempat banyak bicara dengan Su-lam berdua, habis memberitahukan namanya
segera ia mendekati sang Suheng, katanya: “Jisuko, bagaimana lukamu? Coba kulihat.”
“Sudahlah Sumoay, tidak perlu kau repot2 lagi, aku sudah tidak berguna pula. Musuh pembunuh
ayahmua adalah Yang Thian-lui,” kata Liong Kang dengan tersenyum getir.
Lalu siapa lagi yang mencelakai kau? Aku akan menuntut balas bagimu,” kata To Hong.
“Aku sudah membalas dengan tanganku sendiri,” kata Liong Kang sambil menunjuk mayat Ing Jay.
“Tentu kau kenal dia bukan? Dia adalah murid Yang Thian-lui, aku telah membinasakan dia dengan
Tok-liong-piau.”
Nyo Wan adalah nona yang cermat, ia merasa apa yang dikatakan Liong Kang itu banyak ciri2 yang
mencurigakan. Ia heran mengapa Liong Kang sengaja berdusta kepada sang Sumoay.
Dalam pada itu terdengar To Hong sedang berkata: “Aku tidak percaya, kepandaian Ing Jay
terbatas, masakah dia mampu mencelakai kau?”
“Aku dikerubut oleh mereka,” kata Liong Kang.
Tapi To Hong masih kurang percaya, katanya: “Baiklah, akan kuobati kau, aku membawa Siauhoan-
tan yang mujarab untuk luka dalam.” ~ Berbareng itu sebelah tangan To Hong sudah lantas
memegang nadi Liong Kang untuk memeriksa keadaan lukanya.
Liong Kang berusaha meronta, katanya: “Lukaku sudah pasti tak bisa disembuhkan, kau ……., kau
……..”
“Tak bisa disembuhkan juga akan ku periksa dulu, aku harus mengetahui siapakah musuh yang
mencelakai kau!” ujar To Hong.
Bahwasanya Liong Kang tidak mau diperiksa keadaan lukanya, sebaliknya To Hong memaksanya,
bahkan air mukanya menunjukkan perasaan yang aneh, seperti bingung, seperti kuatir; malahan
bercampur pula perasaan marah. Melihat itu Li Su-lam juga bingung dan merasa dibalik semua itu
tentu ada hal2 yang ganjil.
Rupanya Liong Kang tak bisa meronta lagi, katanya kemudian dengan menghela napas: “Sakit
hatiku tak bisa dibalas, Sumoay, hendaklah kau melupakan soal ini saja.”
Tiba2 wajah To Hong berubah pucat, teriaknya: “Kiranya kakakku yang melukai kau! Dia melukai
kau dengan Tok-ciang (pukulan berbisa) pada setengah bualan yang lalu dan racunnya baru
sekarang bekerja. Dia, kenapa dia mesti berbuat sekeji inipadamu?”
“Sudahlah, Sumoay, kecuali ayahmu hidup kembali didunia ini tiada seorangpun yang sanggup
menyembuhkan pukulan berbisa kakakmu. Sebab itulah kau tidak perlu repot2 lagi. Pada bajuku
ada sepucuk surat berasal dari Samsute yang ditujukan kepadamu. Ambillah suratnya.”
Ia tidak menjawab pertanyaan sang Sumoay tadi, tapi Tohong sendiri sudah jelas mendengar
kata2nya itu. Segera To Hong ambil sepucuk surat itu, tangannya sampai gemetar dan air mata
berlinang, katanya: “Jisuko, semuanya ini gara2 kami sehingga kau yang menjadi korban. Kau tidak
bersalah, mengapa sama sekali kau tidak membela diri.”
Wajah Liong Kang yang pucat itu menampilkan senyum puas, katanya: “Aku tidak anggap berbuat
salah, kalian juga tidak salah. Aku merasa senang bisa berbuat sesuatu bagi kalian asalkan kalian
dapat memahami perasaanku.”
“Ya, aku paham,” jawab To Hong sambil memegang erat2 tangan Liong Kang. “Jisuko, aku akan
berterima kasih padamu untuk selamanya. Adakah urusanmu yang perlu kau pesankan?”
“Janganlah kau dendam kepada kakakmu, hanya kau mesti waspada padanya,” kata Liong Kang.
“Setelah aku mati, harap abu tulangku kau bawa pulang, aku tidak ingin terkubur ditanah asing.
Sumoay, kau jangan kuatir Ciok-sute pasti akan kembali di sisimu.” ~ Sampai kalimat2 terakhir itu
suaranya sadah sangat lemah, To Hong mesti mendekatkan telinganya barulah dapat mendengarkan
dengan jelas.
Lambat laun To Hong merasa bibir sang Suheng sudah dingin, waktu diperiksa ternyata sudah
berhenti bernapas. Pelahan2 To Hong meletakkan mayat Liong Kang. Ia memberi tanda agar Sulam
dan Nyo Wan menyingkir. Lalu dikeluarkannya sebutir benda hitam, ketika dilemparkan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
kemayat Liong kang mendadak benda hitam kecil itu meletus dan mengobarkan api. Dalam sekejap
saja sekujur mayat Liong kang itu lantas terbakar dan menjadi abu.
Kiranya benda hitam itu adalah salah satu senjata rahasia khas keluarga To, namanya “Hwe-liongcu”
(mutiara naga geni), terbuat dari bahan2 yang mudah terbakar dicampur dengan belerang.
Nyo Wan sampai terkejut dan lekas berpaling kesana. Menurut kebiasaan pada jaman itu, orang
mati harus dikuburkan, pembakaran mayat tak pernah dilihat Nyo Wan. Namun To Hong ternyata
tidak merasakan apa2 untuk membakar jenazah Suhengnya.
Habis itu barulah To Hong membuka sampul surat tadi, dengan menahan air mata ia membaca surat
itu, lalu menggumam sendiri dengan menyesal: “O, Jisuheng, maafkan atas kesalahanku, tanpa dosa
kau telah menanggung tekanan batin selama ini.”
Kemudian To Hong mengeluarkan kantong untuk mengisi abu jenazah Liong Kang dan digantung
diatas pelananya, lalu mencemplak ke atas kuda.
“To-lihiap, apakah kau akan terus berangkat?” tanya Su-lam. ‘kedua anak buah ayahmu, yaitu Song
Thi-lun dan Liu Sam-nio sekarang masih berada di Mongol.”
“Terima kasih atas beritamu ini, Cuma kami tiada rencana pergi ke Mongol,” jawab To Hong.
“Oya, ada sesuatu urusan harus kuberitahukan padamu.” ~ Mendadak ia berhenti dan memandang
sekejap ke arah Nyo Wan.
Hati Su-lam ber-debar2 karena dapat menerka apa yang hendak dikatakan orang. Benar juga, segera
terdengar To Hong berkata pula: “Beng Bing-sia berada di tempat kami sana, tidak jauh dari sini.
Bila kau ingin menemui dia boleh berangkat bersamaku.”
Meski Su-lam sudah bertunangan dengan Nyo Wan, tapi terhadap Beng Bing-sia tetap belum
terlupakan. Kini tiba2 To Hong mengajaknya pergi menemui Bing-sia, keruan membuatnya serba
kikuk. Pertama To Hong tidak mengajak sekalian Nyo Wan, sudah tentu ia tidak bisa meninggalkan
Nyo Wan untuk menemui Beng Bing-sia sendirian, kedua Su-lam kini sudah bertunangan, dalam
keadaan demikian ia merasa ada lebih baik tidak menemui Bing-sia. Sudah tentu juga ada
manfaatnya jika menemui Bing-sia, yaitu dapat memberi penjelasan akan kesalahpahaman ayah
nona Beng itu. Namun soal ini To Hong dapat menceritakannya nanti dan dari hal ini dapatlah
membuktikan bahwa Su-lam telah tidak mengecewakan harapan Bing-sia. Apalagi kelak kalau
mereka sudah bertemu dengan Song Thi-lun dan istrinya, tentu semua duduk perkara akan lebih
jelas.
To Hong tidak tahu kekusutan pikiran Su-lam, ketika melihat pemuda itu tidak menjawabnya, ia
menjadi tidak sabar dan menggerutu didalam hati.
Akhirnya bicaralah Su-lam: “Kami buru2 ingin pulang, maka harap bantuanmu menyampaikan
permintaan maafku kepada nona Beng saja.”
“Hendaklah kau jangan salah wesel, bukan Beng-cici yang ingin bertemu dengan kau, tapi akulah
yang tanya kau hendak menemui dia atau tidak karena aku tahu kalian pernah berkenalan,” kata To
Hong dengan kurang senang. “Jika kau tidak mau ikut, maka sudahlah urusannya, kenapa pakai
minta maaf segala?”
Habis berkata , sekali pecut kudanya, segera To Hong meninggalkan Su-lam berdua. Keruan wajah
Su-lam merah jengah oleh olok2 To Hong tadi. Katanya dengan tertawa kikuk: “Aku memang tidak
pandai bicara, nona To hong inipun bertabiat aneh.”
“Ayahnya berjuluk Ek-pak-jin-mo, putri gembong iblis yang terkenal sudah tentu bertabiat lain
daripada yang lain,” kata Nyo Wan dengan tertawa. “Cuma untung kau takkan menjadi suaminya
sehingga kau tidak perlu ribut tentang tabiatnya yang aneh itu. Nah hari sudah terang benderang,
marilah kita berangkat saja.”
“Kembali aku salah omong lagi,” Su-lam menyengir. “Baiklah.”
Mereka melarikan kuda dengan berendeng, sampai sekian lamanya Nyo Wan tidak membuka suara
lagi. Su-lam lantas meng-ada2, katanya: “Sungguh tidak nyana Liong kang dicelakai oleh
Suhengnya sendiri. Entah apa sebabnya.”
“To Pek-seng berjuluk iblis, tentu anak-muridnya sedikit banyak juga ketularan bau iblis.” Ujar
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Nyo Wan. “Perselisihan antara mereka sendiri tak perlu kita urus.”
“Aku Cuma omong iseng saja, siapa yang mau urus persoalan mereka,” kata Su-lam tertawa.
“Cuma, meski To Pek-seng berjuluk iblis, sesungguhnya dia bukan tokoh Sia-pay.”
“Aku tahu banyak pembesar Kim yang tewas dibunuh olehnya,” kata Nyo Wan. “Tapi pribadinya
tak menentu, perbuatannya juga ganas, betapapun tak bisa disamakan dengan kaum pendekar dari
Cing-pay.”
Rahasia apa yang menyelubungi sengketa antara anak-murid To Pek-seng?
Dapatkah Li Su-lam mengikat jodoh dengan Nyo Wan secara kekal tanpa rintangan?
Jilid 04 bagian pertama
Li Su-lam dan Nyo Wan meneruskan perjalanan pula, yang dibicarakan Su-lam hanya hal2 yang
hambar. Akhirnya Nyo Wan tidak tahan, dengan tertawa ia berkata : « Engkoh Lam, mengapa kau
tidak ikut pergi ke tempat nona To itu. Nona Beng senantiasa teringat padamu, mengapa kau sendiri
melupakan orang ? “
“Ai, rupanya ganjelan hatimu masih belum lenyap, memangnya kau ingin keperlihatkan hatiku?”
sahut Su-lam dengan sungguh2.
Terharu juga Nyo Wan walaupun masih terasa cemburuan. Katanya kemudian : “Engkoh Lam, aku
tahu kau tidak mau pergi menjenguknya demi diriku, tapi akupun tahu kau sebenarnya ingin
menemui dia. Aku tidak ingin kau menyesal, lebih2 tak ingin menimbulkan salah paham kepada
nona Beng bahwa aku melarang kepergianmu. Menurut To Hong tadi, katanya tempat mereka tidak
jauh dari sini, bolehlah kau pergi mencarinya, nanti kita dapat berjumpa pula pada suatu tempat
didepan sana.”
“Asalkan hati kita sudah sama2 paham, peduli apa dengan pndapat orang luar?” ujar Li Su-lam.
“Memang, aku ada utang budi kepada nona Beng Bing-sia dan harus mengucapkan terima kasih
padanya. Tapi urusan ini bukan sesuatu yang maha penting yang mesti harus diselesaikan segera.
Wan-moay, selama ini kau telah banyak menderita mendampingi aku, semoga kita selekasnya bisa
sampai di kampung halaman barulah hatiku merasa lega. Maka dari itu marilah lekas kita
melanjutkan perjalanan.
Sesungguhnya Nyo Wan penuh menaruh kepercayaan kepada Li Su-lam, hanya secara samar2 ia
merasa perasaan Li Su-lam terhadap Beng Bing-sia tentu belum lenyap sama sekali, tentu masih ada
ikatan batin tertentu antara keduanya.
Su-lam sendiri merasa tidak enak bilamana ddi tengah jalan ketemu dengan Bing-sia, maka ia terus
melarikan kudanya secepat terbang, tentu saja Nyo Wan kewalahan mengikutinya. Sambil
melarikan kudanya, pikiran Li Su-lam me-layang2 jauh dengan kesal.
Pada saat yang sama To Hong juga sedang terombang ambing pikirannya oleh persoalan
persahabatan dan cinta. Sambil melarikan kudanya terkenanglah kejadian2 dimasa dahulu kepada
masa kanak2 nya.
To Hong masih ingat jelas, Liong Kang, Jisuhengnya berguru kepada ayahnya ketika To Hong
sendiri berusia tujuh tahun. Sedangkan Samsuhengnya, Ciok Bok, datang dua tahun kemudian.
Sejak kecil mereka bertiga suka bermain dan berlatih bersama, ada satu tentu ada tiga, hampir2
tidak pernah berpisah.
Kedua Suhengnya itu sangat baik kepadanya, To Hong juga sangat senang kepada kedua
Suhengnya itu. Tapi sesudah ketiganya menanjak dewasa, dalam hati kecilnya mulai menaruh
perasaan yang rada berbeda terhadap Samsuhengnya.
Liong Kang lebih tua tujuh tahun daripada To Hong, sedangkan Ciok Bok Cuma dua tahun lebih
tua daripadanya. Jadi usia Ciok Bok lebih berdekatan dengan dia, maka diwaktu berkumpul, tanpa
terasa To Hong menjadi lebih akrab pula dengan Ciok Bok, namun juga lebih sering bercekcok.
Sebaliknya dia tidak pernah bertengkar dengan Jisuhengnya. Liong Kang laksana kakaknya yang
tertua, selalu mengalah padanya.
Kalau kedua Suhengnya sama2 baiknya terhadap To Hong, adalah sebaliknya kakak kandungnya
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
sendiri malah tidak cocok dengan dia. Kakak kandung To Hong bernama To Liong, seusia Liong
Kang, sejak kecil sudah ikut belajar silat pada ayahnya, dasarnya memang pintar, maka waktu
berumur 18 tahun To Liong sudah tamat belajar dan mulai menjelajahi Kangouw.
Karena To Liong sangat muda sudah mengembara, yaitu selagi adik perempuannya dan kedua
Sutenya masih tekun belajar, maka tidak lama dia sudah mulai terkenal didunia kangouw dan tidak
sedikit mengikat persahabatan. Diantara sahabat2nya yang beraneka ragam itu ada beberapa
diantaranya yang kurang baik tingkah lakunya. Pernah dia membawa pulang beberapa sahabatnya
itu dan tidak sisukai To Hong. Selama itu To Liong juga tidak memusingkan adik perempuannya,
oleh sebab itu dalam batin To Hong se-akan2 Liong Kang lebih menyerupai kakak kandungnya
malah. Adapaun Ciok Bok dirasakannya seperti kakaknya, tapi terkadang mirip adikny ajuga yang
memerlukan bimbingannya. Perasaan yang aneh ini kemudian menimbulkan rasa bingungnya
setelah dia mulai menanjak dewasa.
To Pek-seng sendiri rada kuatir cara bergaul putra tunggalnya itu. Tapi pertama To Liong sudah
dewasa, kedua, To Pek-seng sendiri lebih sering keluar rumah, maka To Liong menjadi lebih bebas
bergeraknya.
Sang Waktu lalu dengan cepat. Dari seorang nona cilik ingusan To Hong telah berubah menjadi
anak dara yang cantik menarik. Ibunya mulai me-nimbang2 soal perjodohan bagi anak
perempuannya itu. Seringkali sang Ibu menanya anak perempuannya lebih menyukai siapa diantara
kedua Suhengnya itu. Tapi selalu To Hong menjawab dengan muka merah : “Entah, tidak tahu.”
Atau « Kedua Suheng sama saja bagiku.” Padahal dalam hatinya dia tahu tidaklah sama.
Liong Kang memang cekatan dan lebih dewasa sesuai dengan usianya, sedangkan Ciok Bok juga
pintar dan polos. Selamanya nyonya To memandang sama mereka tanpa pilih kasih, ia bermaksud
memilih slah satu diantara mereka itu untuk dijadikan menantu, tapi lantaran anak perempuannya
tidak mau menyatakan sikapnya secara jelas, mau tak mau nyonya To manjadi sukar ambil
keputusan dan menunda soal ini sambil menunggu pulangnya sang suami yang kali ini mengadakan
perjalanan ke Mongol.
Menurut pesan To Pek-seng pada waktu berangkat, katanya kepergiannya ke Mongol ini akan
memakan waktu tiga bulan sampai setengah tahun. Tak terduga tiga bulan dengan cepat sudah lalu,
bahkan setengah tahun juga sudah lewat, malahan ditambah lagi setengah tahun dan sang suami
tetap belum pulang tanpa ada kabar berita dari negeri yang jauh itu.
Nyonya To mendengar kabar desas desus bahwa sang suami sudah mengalami nasib malang di
Mongol, hanya saja belum bisa membuktikan berita buruk itu. Karena makan pikiran, akhirnya
nyonya To jatuh sakit. Dalam keadaan demikian urusan perjodohan anak2 tentu saja tak terpikirkan
lagi olehnya.
Kalau ibunya tak sempat memikirkan perjodohannya, sebaliknya kakak laki2 To Hong yaitu To
Liong lantas ikut campur.
To Liong punya seorang kawan baik bernama Tun-ih Pin. Ayah Tun-ih Pin bernama Tun-ih Ciu,
juga seorang tokoh kalangan Hek-to yang disegani, namanya tidaklah kalah daripada To Pek-seng.
Hanya saja pribadi masing2 rada berbeda. Tun-ih Ciu ganas dan culas, tidak punya patokan hidup
yang tertentu, baik Hek-to maupun Pek-to tiada dihiraukan olehnya, mak dia tidak punya teman
ataupun musuh yang terntentu pula. Yang dia utamakan adalah keuntungan semata dan bertindak
sesuka hatinya.
Pribadi Tun-ih Pin lebih buruk daripada ayahnya, dengan sendirinya To Pek-seng kurang senang
putranya bergaul dengan pemuda begajul begitu, hanya saja lahirnya dia tidak menunjukkan apa2.
Namun begitu Tun-ih Pin cukup cerdik, ia tahu “paman” tuan rumah itu kurang menyukainya, maka
selanjutnya iapun tidak pernah datang lagi.
Tanpa terasa tiga tahun sudah lalu, To Hong sudah hampir melupakan teman kakaknya itu. Tak
terduga dua hari sebelum berita duka meninggal ayahnya diterima, tiba2 To Liong pulang lagi
bersama Tun-ih Pin. Sekali ini rupanya ada maksud tujuan, terbukti To Liong lantas mengadakan
kasak kusuk mengenai perjodohan adik perempuannya dengan Tun-ih Pin. Berbeda seperti
biasanya, sekali ini To Liong tampak memperhatikan To hong, bahkan membawakan oleh2 sebuah
kalung mutiara dan sepasang tusuk kundai yang amat bagus. Lebih lanjut To Liong mulai meKANG
ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
mancing2 persetujuan ibunya.
Akan tetapi sang ibu ternyata lebih condong memungut menantu salah seorang murid suaminya,
yaitu Liong Kang atau Ciok Bok, dengan ketus orang tua itu menolak pemuda macam Tun-ih Pin
yang sudah bejat moralnya.
Melihat sang ibu yang sukar dibujuk, To Liong lantas mengatakan adik perempuannya sendiri
sudah setuju sebab sudah mau menerima “mas kawin” calon suami. Keruan To Hong terkejut, tidak
disangkanya perbuatan sang kakak sedemikian kotornya. Ibunya juga berjingkrak marah dan berniat
menghajar putranya, tapi baru dia angkat tongkatnya, dia terpeleset dan jatuh pingsan.
Setelah usahanya gagal, To Liong lantas mengatur langkah ke dua. Dia sengaja mengadu domba
antara Liong kang dan Ciok Bok, malahan sengaja memancing agar Liong Kang bertanding dengan
Tun-ih Pin.
Syukur To Hong keburu mendapat laporan, cepat ia memburu keluar dan benar juga dilihatnya
Liong Kang sedang bertempur melawan Tun-ih Pin, tampaknya Liong Kang dalam keadaan
terdesak dan mulai payah. To Liong sendiri tidak kelihatan berada disitu. Yang lebih
menjengkelkan To Hong adalah mulut Tun-ih Pin yang kotor, Liong Kang telah di-olok2 dengan
macam2 kata yang menusuk perasaan. Keruan To Hong menjadi gusar, segera ia membentak:
“Berhenti.”
Baru sekarang Tun-ih Pin tahu To Hong telah berada disitu lebih dulu ia mendesak mundur Liong
kang, lalu dengan cengar cengir ia berkata: “Eh, kiranya nona To juga datang. Aku hanya main2
saja dengan Liong-heng. O, ya, sedikit oleh2ku yang kutitipkan kepada kakakmu itu entah cocok
tidak bagi seleramu?”
Mendadak To Hong ayun sebelah tangannya, kalung mutiara itu telah disambitkan sambil
membentak pula: “Ini ambil kembali barangmu!”
Tidak kepalang kejut Tun-ih Pin, bahwasanya kalung mutiara yang tiada tara nilainya itu telah
ditaburkan begitu saja oleh sinona, bahkan To Hong menyerangnya sebagasenjata rahasia
dengancara “Thian-li-san-hoa” bidadari menabur bunga) yang hebat. Mutiara itu seluruhnya terdiri
dari 36 biji, sekarang sekaligus telah menyerang 36 tempat Hiat-to ditubuhnya.
Sebenarnya kepandaian Tun-ih Pin jauh lebih tinggi daripada To Hong, tapi lantaran tidak terduga2,
pula dia terus menghadapi Liong Kang, maka ada tiga Hita-to tubuhnya tetap kena tertimpuk
oleh mutiara2 itu meski dia sudah berusaha menjaga diri dengan rapay, bahkan menyusul
pundaknya kena dilukai pula oleh pedang To Hong sehingga mengucurkan darah.
Untung Tun-ih Pin sempat melompat mundur, dengan murka ia mengancam: “Bagus, selama hidup
ini bila aku Tun-ih Pin tidak mampu mendapatkan dirimu, aku bersumpah tidak jadi manusia!” ~
Berbareng itu dia terus mengeloyor pergi.
“Hm, memangnya kau bukan manusia!” jengek To Hong. Habis itu iapun bertanya kepada Liong
Kang: “Dimanakah Ciok-suheng?”
“Tadi ikut pergi bersama Toasuko ( maksudnya To Liong),” jawab Liong Kang.
To Hong menjadi kuatir, ia cukup kenal kakaknya yang berhati culas dan keji itu, bukan mustahil
Samsukonya akan terjebak olehnya.
Sebaliknya melihat sang Sumoay sedemikian menguatirkan diri Samsutenya, Liong Kang
menyadari bahwa orang yang benar2 disukai sang Sumoay kiranya bukan diriku melainkan Cioksute
adanya.
Dan baru saja To Hong hendak mengajak Liong Kang menyusul Ciok Bok, tiba2 dari belakang
bukit sana Ciok Bok sudah muncul dengan pucat dan lesu.
“Kenapakah kau Ciok-suko? Apakah kau terluka? Dimanakah kakakku?” tanya To Hong dengan
kuatir.
“Ah, tidak apa2,” jawab Ciok Bok dengan hambar. “Toasuko sudah pergi bersama Tun-ih Pin,
agaknya dia sudah mengetahui kau telah melukai kawannya itu.”
“Sungguh tidak pantas perbuatan Toako, sebenarnya apa yang telah dia bicarakan padamu?” tanya
To Hong.
“Tidak bicara apa2,” jawab Ciok Bok dengan kaku. “Sudahlah, andaikan kakakmu bicara sesuatu
padaku kau tentu akan tahu sendiri.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
To Hong tertegun, ia menduga kakaknya tentu bicara urusan dirinya, terpaksa ia tidak tanya lebih
lanjut karena Liong Kang masih berada disitu.
Gara2 perbuatan To Liong itu, To-hujin jatuh sakit memikirkan kelakuan putranya yang buruk itu.
Terpaksa To Hong mendampingi ibunya sehingga tidak sempat bicara lagi dengan Ciok Bok. Tak
terduga esok harinya Ciok Bok sudah menghilang tanpa pamit dan tidak meninggalkan secarik surat
apapun. Dan baru sekarang dari mulut Liong Kang dapatlah didengar kabar tentang Samsuko
itu........
Begitulah kisah dimasa lampau itu ter-bayang2 kembali dibenak To Hong. Sambil meraba kantong
berisi abu jenazah yang tergantung dipelana kudanya, airmatapun bercucuran dengan perasaan
seperti di-sayat2. Ia tahu demi untuk menyempurnakan perjodohannya dengan Ciok Bok maka
Liong Kang rela menerima pukulan maut kakaknya tanpa banyak omong.
To Hong dapat membayangkan betapa pilu hati Liong Kang ketika menerima pukulan berbisa
kakaknya itu, sudah jelas Liong Kang tahu To Hong mencintai Ciok Bok, tapi demi menghindarkan
Ciok Bok dari sangkaan jelek To Liong, ia rela mengakui segalanya dengan harapan Ciok Bok akan
bebas dari incaran keji To LIong. Alangkah baik hatimu, alangkah sucinya pengorbananmu Jisuko!
Demikian To Hong meratap dalam hati.
Sekian lamanya To Hong Menangis, kemudian ia membaca pula surat yang ditulis Ciok Bok.
Panjang juga surat ini. Bagian pertama Ciok Bok menyatakan tidak ingin keretakan antara To Liong
dan To Hong kakak beradik, maka dahulu setelah mendapat teguran To Liong ia mau tinggal pergi.
Bagian surat yang lain mengatakan bahwa dia mengetahui Jisukonya juga mencintai sang Sumoay,
andaikan tidak mendapat teguran dari To Liong juga maksudnya untuk mengalah kepada Jisuko itu.
Kemudian isi surat itu menguraikan pertemuannya dengan Liong Kang, katanya setelah mendengar
isi hati Liong Kang yang timbul dari lubuk hatinya yang murni barulah diketahui bahwa pilihan
sang Sumoay sebenarnya adalah Ciok Bok sendiri, berbareng dikatakan pula bahwa Liong kang
telah memberitahu tentang kematian Suhunya, musuh pembunuh Suhu juga sudah diketahuinya,
yaitu Yang Thian-lui. Dengan tegas dalam suratnya Ciok Bok menyatakan pasti akan pulang untuk
bantu To Hong menuntut balas. Meski dalam surat tidak dinyatakan perubahan pikiran Ciok Bok
akan kembali pada To Hong, tapi dia sudah menyatakan mau pulang, maka hal lebih lanjut kiranya
tidak perlu dijelaskan lagi.
Beberapa kali To Hong mengulang baca isi surat itu, tanpa terasa airmata bercucuran pula. Sungguh
bodoh kau,Ciok-suko, cinta murni antara kita berdua mana boleh ditengahi oleh orang ketiga?
Demikian pikirnya. Tapi iapun kenal watak Ciok Bok yang keras, entah dengan kata2 macam apa
kakaknya yang keji itu telah menusuk lukai hati Ciok Bok sehingga pemuda itu lantas menghilang
begitu saja? Teringat kepada kakaknya, seketika bencidan geram pula hati To Hong. Sudah
memaksa pergi kekasihnya, sekarang membunuh lagi Liong kang yang selama ini dipandangnya
sebagai kakak kandung sendiri itu.
“Jisuko, biarpun kau minta aku jangan membalas dendam, tapi paling tidak aku tak sudi mengakui
lagi dia sebagai kakak,” demikian pikir To Hong.
Tanpa terasa hari sudah sore, To Hong telah berada kembali ditempat perkemahannya.
Tempo hari waktu Beng Siau-kang dan Beng Bing-sia menyampaikan berita duka meninggalnya To
Pek-seng, saat itu To Hong sedang keluar memanggil tabib untuk mengobati ibunya, Liong kang
dan dua-tiga anak buahnya lantas berangkat lebih dulu untuk mencari musuh pembunuh Suhunya.
Besoknya sesudah To Hong pulang dan melihat kesehatan ibunya rada baikan, barulah ia
memimpin anak buah lain berangkat ke Mongol. Sepanjang jalan mereka mengikuti kode2 yang
ditinggalkan Liong Kang sehingga sampai di Sehe, selain itu dikirim pula suatu rombongan menuju
ke Mongol untuk menemui Song Thi-lun.
To Hong dan rombongannya berkemah disuatu tempat yang bernama Oh-tiap-kok (lembah kupu2),
To Hong dan beberapa Thaubak menyebarkan diri untuk mencari Liong Kang, sedangkan Beng
Bing-sia dan beberapa Thaubak lain tinggal berjaga dilembah itu.
Ketika mendekati kemahnya, timbul pikiran dalam benak To Hong: “Kemarin Beng-cici baru saja
bicara padaku tentang Li Su-lam, dia tentu tidak menyangka bahwa hari ini juga lantas aku bertemu
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
dengan pemuda itu.”
Suah sejak kecil To Hong kenal Beng Bing-sia, Cuma tempat tinggal mereka terpisah jauh, yang
satu diselatan dan yang lain diutara, mereka jarang kumpul, namun keduanya adalah sahabat karib
dan sama2 kenal sifat masing2 seperti saudara sekandung. Sebab itulah To Hong merasa penasaran
bagi Bing-sia yang bertepuk sebelah tangan dalam hal percintaan dan anggap Li Su-lam berhati
dingin, diam2 To Hong merasa dirinya lebih beruntung daripada Bing-sia.
Tengah To Hong berpikir sendirian, tiba2 didepan sana muncul Bing-sia yang menegurnya:
“Kenapa kau terlambat pulang? Hampir saja aku berangkat menyusul kau.”
“Untung kau tidak jadi menyusul aku,” ujar To Hong.
“Kenapa?” tanya Bing-sia. Sekilas dilihatnya ada bekas2 airmata dimuka To Hong, ia terkejut dan
tanya pula: “Kenapa kau? Dimanakah Liong Kang? Sudah ketemu belum?”
“Liong-suko sudah meninggal,” jawab To Hong dengan sedih.
“Meninggal? Siapa yang membunuhnya?” Bing-sia menegas.
“Kakakku sendiri,” jawab To Hong dengan kaku.
Bing-sia mengetahui urusan percekcokan To Hong dan kakaknya, maka iapun dapat menduga apa
sebabnya To Liong membunuh Liong Kang.
“Pembunuh ayahku adalah Yang Thian-lui, hal ini telah diselidiki jelas Jisuko,” kata To Hong pula.
“Baik, sakit hati ayahmu pasti akan kubantu menuntut balas, bila perlu akan kuminta bantuan
ayahku,” ujar Bing-sia.
“Terima kasih,” kata To Hong sambil mengusap airmata. Ia turun dari kudanya dan jalan bersama
Bing-sia. Saat itusang deqwi malam sudah mulai mengintip disebelah timur, puncak pegunungan
yang penuh salju itu memutih bersih laksana bertaburan perak.
Untuk sekian lamanya mereka terdiam, kemudian To Hong membuka suara pula: “Coba terka siapa
yang kutemukan tadi?”
“Jika kau tidak terangkan, darimana aku tahu?” jawab Bing-sia.
“Waktu aku mencari Jisuko, kebetulan ada dua kawan yang sedang merawatnya. Rupanya setelah
terluka Jisuko dikejar musuh lain lagi, untung kedua orang itu telah menolongnya sehingga Jisuko
bisa bertahan sampai bertemu dengan aku.
“Kedua orang yang simpatik itu sungguh harus dipuji, tentu mereka adalah kenalanmu.”
“Mereka bukan kenalanku, tapi kenalanmu. Tidak, hanya satu saja kenalanmu, yang seorang lagi
mungkin belum pernah kau kenal.”
“Siapakah kenalanku itu? Lekas katakan , jangan main teka teki lagi,” pinta Bing-sia.
“Dia adalah orang yang pernah ditolong olehmu, Li-kongcu, Li Su-lam.”
“O, kiranya dia!” gumam Bing-sia kejut dan girang. “Kenapa iapun berada di Sehe sini? Siapa lagi
seorang yang lain?”
“Seorang perempuan muda, semula kukira saudaranya, setelah kutanya kemudian baru diketahui dia
bernama Nyo Wan. Sikap nona Nyo itu agak angkuh dan tidak mengacuhkan diriku. Entah dia
pernah apanya Li Su-lam. Kuberitahu Li Su-lam tentang dirimu dan mengundang dia menjenguk
kau, tapi dia menolak, tampaknya dia kurang senang karena aku tidak mengundang serta nona Nyo
itu.”
“Ah, kau ini meng-ada2 saja, aku toh tidak perlu harus ditemui dia,” ujar Bing-sia.
“Dia kan utang budi padamu, sepantasnya dia mengunjungi kau sebagai tanda terima kasih.”
“Ai, masakah aku mengharapkan balas jasanya? Aku menolong dia karena aku tahu dia pasti bukan
orang jahat.”
“Pandanganmu memang tidak salah, Beng-cici, Li Su-lam memang orang yang baik,” kata To
Hong. “Kiranya orang yang membudak kepada orang Mongol itu bukanlah ayahnya, tapi seorang
pengkhianat yang memalsukan nama ayahnya.” ~ Lalu iapun menuturkan apa yang didengarnya
dari Li Su-lam.
Bing-sia, merasa sangat terhibur, katanya: “Jika betul demikian legalah hatiku. Untung aku telah
mencegah maksud ayah tempo hari, kalau tidak tentu beliau akan salah membunuh orang baik.”
“Akan tetapi dia tidak berbudi dan tidak punya perasaan, ini membuat aku mencela dia,” kata To
Hong.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Aku dan dia Cuma kenal secara kebetulan saja, kenapa mesti mengharapkan dia membalas budi
segala? Makin tak keruan kata2mu ini.”
Walupun begitu katanya, tapi aneh, bayangan Li Su-lam toh tetap menduduki sanubarinya dan
sukar dihalau. Untuk pertama kalinya Bing-sia merasakan rahasia hatinya sendiri, kiranya dirinya
pun sedemikian terkenang kepada Li Su-lam, tanpa terasa wajahnya bersemu merah. Tapi cepat ia
mendusin dan segera meng-ada2, katanya: “Eh, hampir juga aku melupakan suatu urusan penting.”
“Urusan apa?” tanya To Hong.
“Jika kukatakan tentu akan membikin kau kaget juga,” ujar Bing-sia. “Bukan Cuma kau saja
ketemukan orang diluar dugaan, hari ini rombongan Tio Koa-lu juga ketemukan dua orang yang tak
ter-duga2.”
Tio Koa-lu adalah salah seorang Thaubak, anak buah To Hong, yang juga ditugaskan keluar
mencari Liong Kang.
“Dua orang macam apa?” cepat To Hong bertanya.
“Seorang diantaranya sudah kau kenal, seorang lagi takkan kukatakan, biar kau menerkanya dulu.”
“Siapa yang kukenal itu?”
“Tun-ih Pin. Tentu tak kau duga bukan? Rupanya dia telah menguber kau kesini.”
“Hm. Kiranya keparat itu,” omel ToHong dengan muka masam. “Seorang lagi kuyakin pasti
kakakku yang busuk itu.”
“Bukan. Tapi seorang Lama Merah, tak kau duga bukan?”
To Hong Melengak, katanya kemudian: “Sehe bertetangga dengan Mongol, dibawah Jengis Khan
ada suatu kelompok Lama yang mahir ilmu silat. Lama merah itu tentu datang dari Mongol. Hm,
jika demikian, rupanya keparat Tun-ih Pin itu juga telah bersekongkol denganpihak Mongol. Aku
harus membikin perhitungan dengan bangsat busuk itu.”
“Kau tidak mencari dia juga dia akan mencari perkara padamu,” ujar Bing-sia.
“Apa dia bicara sesuatu tentang diriku?” tanya To Hong dengan gusar.
“Ketika rombongan Tio Koa-lu ketemu dia, katanya dia telah mendapat kabar tentang
meninggalnya ayahmu, maka dia hendak datang menghibur kau.”
“Hm, biarkan dia datang kalau aku tidak membinasakan dia,” kata To Hong dengan gemas.
“Tun-ih Pin menanyakan jejakmu kepada Tio Koa-lu, agaknya Tio Koa-lu cukup cerdik, dia tidak
ingin menambah kesulitanmu pada saat ini karena dia tahu Tun-ih Pin telah berkomplot dengan
pihak Mongol,” kata Bing-sia.
Rasa gusar To Hong reda pada mereka, setelah berpikir sejenak, katanya: “Ya, aku tahu Tio Koa-lu
adalah orang yang bisa berpikir, tentu dia kuatir menghadapi lawan yang berjumlah lebih kuat.
Cuma menurut pendpatku, kalau Tun-ih Pin sudah berniat mencari perkara padaku, pula sudah
berkomplot dengan orang Mongol, maka sukar kiranya biarpun kita ingin menghindarinya.”
“Hal ini dugaanmu memang tepat,” kata Bing-sia. “Benar juga Tun-ih Pin lantas paksa Tio Koa-lu
untuk mengatakan jejakmu, akibatnya terjadilah pertempuran sengit. Tio Koa-lu dan dua kawannya
menderita luka dan berhasi lari pulang. Menurut Tio Koa-lu, Lama Merah kawan Tun-ih Pin itu
tidak ikut bertempur, kalau tidak tentu mereka tak bisa meloloskan diri. Tapi tak urung salah
seorang Thaubak lain tertawan oleh Tun-ih Pin.”
To Hong terkejut. “Orang kita ditawan mereka, apakah kita perlu menghindari dia lagi?”
“Memang kita perlu berembuk tentang persoalan ini. Menurut pendapat Tio Koa-lu, untuk menuntut
bals tidak perlu ter-buru2, kita harus mencari kesempatan yang baik. Apalagi sekarang Liongsuheng
sudah meninggal, Song Thi-lun dan istrinya belum kembali, Tio Koa-lu terluka pula.
Sebaliknya kedatangan Tun-ih Pin sudah direncanakan, tentu dia tidak datang sendirian tanpa
pembantu2. Maka menurut pendapatku juga lebih baik menghindarinya dahulu. Yang terang
sekarang musuh pembunuh paman sudah diketahui adalah Yang Thian-lui, karena Yang Thian-lui
setalh membudak kepada kerajaan Kim, tentu sekarang dia berada di Tay-toh (ibukota Kim).”
“Benar. Menurut berita yang diperoleh Jisuko, setelah membunuh ayah, Yang Thian-lui sendiri juga
terluka parah dan saat ini tentu sedang merawat lukanya di Tay-toh.”
“Maka dari itu kukira lebih baik kita pulang dahulu. Kalau sakit hati ayahmu sudah kita balas
barulah kita membikin perhitungan dengan Tun-ih Pin. Sekarang Mongol sudah mulai mengerahkan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
pasukannya masuk ke negeri Kim, rasanya se-waktu2 kitapun ada kesempatan untuk bertempur
dengan tartar Mongol.”
“Jika begitu pendapat kalian, baiklah akupun setuju,” jawab To hong.
Sementara itu mereka telah memasuki lembah sunyi dan sudah dekat dengan perkemahan mereka
yang berada diatas bukit. Dari jauh kemah mereka sudah kelihatan. Anehnya keadaan sunyi senyap.
Tergerak hati To Hong, ia heran mengapa Thaubak2 yang ditinggal di kemah begitu gegabah tanpa
memasang pos penjaga. Sebagai anak Kangouw yang cukup berpengalaman, To Hong merasa
curiga terhadap suasana yang luar biasa itu. Andaikan tiada penjaga, paling tidak suara keleningan
kudanya tentu akan terdengar, masak sekarang tiada seorangpun yang namapk.
Belum lenyap rasa sangsinya, tiba2 dari semak2 rumput sana ada orang berseru: “Awas, di depan
ada perangkap, kemah kita sudah diduduki musuh!”
To Hong terkejut, waktu menoleh, dilihatnya seorang laki2 brlumuran darah merangkak keluar dari
tengah semak2 rumput. Siapa lagi dia kalau bukan Tio Koa-lu.
“He, kenapakah kau, paman Tio?” tanya To Hong.
Belum lenyap suaranya, “serrr”, tiba2 sebatang anak panah menyamber dari arah lain dan
menembus leher sasarannya, kontan Tio Koa-lu binasa.
Dalam sekejap saja dari tempat2 sekitar situ muncul musuh2 yang bersembunyi. Orang yang paling
depan jelas adalah Tun-ih Pin.
Kiranya pada waktu Bing-sia keluar mencari To Hong, secara diam2 Tun-ih Pin telah memimpin
anak buahnya menyergap keatas gunung, dengan kepandaian Tun-ih Pin yang tinggi, dengan mudah
saja para Thaubak yang jaga di perkemahan telah dibereskan, hanya Tio Koa-lu saja sempat
melarikan diri dengan membawa luka.
Ketika Tun-ih Pin dan anak buahnya sedang mencari Tio Koa-lu, terdengarlah suara keleningan
kuda, tahulah mereka To Hong telah kembali, segera Tun-ih Pin menyebarkan anak buahnya
bersembunyi di sekitar situ dengan memasang lubang perangkap dan tali penjegal. Kalau Tio Koalu
tadi tidak keburu berteriak tentu To hong sudah tertangkap karena tidak jauh di depannya adalah
sebuah perangkap.
Meskipun gagal perangkapnya, namun Tun-ih Pin yakin pihaknya pasti menang, maka dengan
senang ia tertawa dan berkata: “Nona Hong, syukurlah sekarang kau sudah datang, anak buahmu ini
tidak becus semuanya, manabisa mereka membantu kau menuntut balas dendam ayahmu. Asalkan
kau sudah jadi istriku, tentu aku akan bantu kau menuntut balas.”
“kemari sini!” seru To Hong dengan suara ketus.
“Baik, baik!” sahut Tun-ih Pin dengan lagak tengik yang di-buat2 sambil mendekati To Hong.
“Kini aku sudah berada disini, apa kehendakmu silahkan katakan.”
“Aku hendak mencabut nyawamu!” bentak To Hong mendadak, sret, pedangnya terus menusuk.
“Hm, budak busuk, kau berani menyembelih suami sendiri?” jengek Tun-ih Pin sambil mengelak.
Menyusul senjatanya berbentuk gaetan lantas bergerak sehingga ujung pedang To Hong terkunci.
“Turun kebawah!” bentak Tun-ih Pin sambil putar gaetan lain keperut kuda lawan.
Terpaksa To Hong menginjk pelana dan melompat pergi. Pedangnya tidak sampai dirampas musuh,
namun kudanya harus dikorbankan dan mati tertusuk oleh gaetan Tun-ih Pin yang berujung tajam.
Belum sempat To Hong berdiri tegak dari belakang Tun-ih Pin sudah menyerang tiba pula. To
Hong menjadi gemas, bentaknya: “Biar kau yang mati atau aku yang binasa!” ~ Berbareng
pedangnya susul menyusul menusuk tiga kali kebelakang, semuanyamenuju tempat2 mematika
ditubuh Tun-ih Pin.
Tun-ih Pin terkesiap dan mengakui ilmu pedang To Hong yang hebat. Tempo hari ketika dirumah
To Hong ia telah dikalahkan sinona. Hal ini membuatnya sangat penasaran, dengan sendiriny
pertempuran sekarang sudah berbeda daripada dahulu, sebelumnya Tun-ih Pin sudah bersiap,
namun dalam dua-tigapuluh jurus ternyat sedikitpun dia taknisa mengungkuli sinona dan baru
sekarang ia tahu To Hong memang punya kepandaian sejati dan tidak bolh dipandang enteng.
Sementara itu disebelah sana Bing-sia juga sudah mulai bergebrak dengan Lama jubah merah.
Ketika anak buah Lama itu menghujani Bing-sia dengan panah, terpaksa Bing-sia juga
meninggalkan kudanya dan menerjang ketengah musuh, dengan cepat pedangnya telah merobohkan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
tiga Busu bangsa Mongol.
Lama Merah itu menjadi gusar, senjatanya bentu Kiu-goan-sik-tiang, tongkat timah bergelang
sembilan, ia memapak Bing-sia terus menghantam, ketika pedang beradu dengan tongkat,
terdengarlah suara gemerantang riuh yang diterbitkn gelang2 tembaga diujung tongkat Lama itu.
“Hm, permainan apa ini?” jengek Bing-sia. Pedangnya berkelebat diatas dan memancarkan titik2
putih perak.
Lama itu tidak tahu dari arah mana pedang lawan hendak menyerang, terpaksa ia putar tongkatnya
dengan kencang. Karena itu bunyi gelang pada ujung tongkatnya tambah ramai dan nyaring.
Semula Bing-sia tidak menaruh perhatian terhadap bunyi gelang tembaga itu, tak terduga lama2
hatinya menjadi gelisah, pikirannya menjadi kacau.
Kiranya suara yang diterbitkan oleh gelang2 tembaga itu telah merangkaikan suara2 yang kacau
yang memang bisa menggoda pemusatan pikiran lawan, hal ini merupakan salah satu gaman si
Lama untuk mengatasi lawan. Ditengah pertarungan sengit itu, sedikit lengah saja hampir2 dia kena
disabet oleh tongkat Lama.
Untung Bing-sia mempunyai ginkang yang tinggi, dengan enteng sekali pada detik yang paling
berbahaya ia tutul ujung tongkat dengan pedangnya, lalu meloncat kesamping.
Pada saat itulah seorang laki2 bersenjata golok dan seorang Busu bersenjata tombak telah
mengepungnya dari kanan kiri. Yang pertama adalah jago kalangan Hek-to yang diundang Tun-ih
Pin, yang kedua, adalah Busu Mongol, kepandaian mereka cukup tangguh, untuk mengalahkan
mereka dalam waktu singkat rasanya sukar bagi Bing-sia. Sebaliknya si Lama telah menguber pula
dari belakang.
Dengan satu lawan tiga Bing-sia masih mampu bertahan, tapi lama kelamaan tentu kewalahan juga.
Namun disebelah lain keadaan To Hong ternyata lebih buruk daripada Bing-sia. Semula ia dapat
menandingi Tun-ih Pin dengan sama kuat, tapi kepandaian Tun-ih Pin sesungguhnya lebih tinggi
daripadanya, setelah lima-enampuluh jurus, ilmu pedang To Hong sudah mulai dikenal dengan
baik, maka Tun-ih Pin segera melancarkan serangan2 yang gencar. To Hong kelabakan, hanya
sanggup menangkis dan tidak mampu balas menyerang.
Dalam keadaan gawat itu, tiba2 terdengar suara derap kaki kuda yang ramai dan cepat sekali
datangnya. Dengan tertawa Tun-ih Pin berkata: “Haha, baru sekarang mereka datang, namun
permainan disini sudah hampir selesai. Hayo kawan2, cepat bekuk mereka. Tapi hati2, jangan
sampai melukai istriku tercinta!”
Gemas dan kuatir pula To Hong dan Bing-sia. Mereka pikir daripada mati konyol ditangan musuh,
kalau bisa bunuh dulu satu-dua orang musuh, habis itu barulah membunuh diri.
Mereka mengira yang datang itu adalah bala bantuan musuh, tak tahunya bahwa diantara diantara
bala bantuan musuh itu bintang penolong merekapun tiba. Siapakah bintang2 penolong mereka itu?
Tidak lain daripada Li Su-lam dann Nyo Wan.
Hari itu Li Su-lam dan Nyo Wan sedang melarikan kudanya dengan cepat, tanpa terasa sudah lewat
lohor dan sudah berpuluh li meninggalkan rumah gilingan. To Hong pernah mengatakan
rombongannya berkemah di Oh-tiap-kok, maka menurut perkiraan Li Su-lam lembah kupu2 itutentu
sudah dilaluinya. Ia tidak tahu bahwa lembah itu justru berada didepan mereka, hanya saja tidak
terletak pada jalan yang mereka tempuh.
Ditengah rasa bimbang oleh kecamuknya pertentangan batin, kebetulan saat itu mereka sampai
disuatu persimpangan jalan tiga jurusan. Tiba2 dari depan datang suatu rombongan kira2 enamtujuh
penunggang kuda. Ternyata mereka adalah rombongan yang semalam datang kerumah
gilingan untuk mencari buronan itu.
Melihat Li Su-lam, Busu Mongol yang memimpin rombongan lantas memapaknya, sambil berseru:
“Li-kongcu, kedatanganmu sangat kebetulan!”
Walaupun semalam Su-lam telah memperlihatkan tanda2 pengenalnya, maka sekarang ia merasa
kebat kebit juga kalau2 rahasianya ketahuan. Dalam pada itu Busu Mongol itu sudah berada
didepannya, terpaksa ia balas menyapa: “Ya,sungguh sangat kebetulan. Kau ada urusan apa?”
“Ada kabar baik yang dapat kuberitahukan,” kata Busu Mongol itu. “Buronan yang kami cari itu
kini sudah diketahui jejaknya.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Su-lam tahu buronan yang dimaksudkna adalah Liong Kang, dalam batin ia merasa geli dan anggap
ucapan orang Mongol itu sebagai omong kosong belaka. Tapi timbul juga rasa sangsinya, karena
tidak jelas apa yang dikehendaki orang. Maka dengan tersenyum iapun menjawab: “O, baik sekali
kalau begitu, tentu kau telah berjasa besar. Dimanakah kalian berhasil membekuk buronanmu?”
“Bukan buronan yang telah kami bekuk, tapi suatu rombongan anak buah To Pek-seng telah datang
ke Sehe sini, mereka berkemah di Oh-tiap-kok, diantara mereka terdapat dua dara, satu diantaranya
adalah anak perempuan To Pek-sing.
Li Su-lam yakin anak dara yang lain yang dimaksudkan itu tentu Beng Bing-sia adanya. Ia menjadi
ragu2 apakah mesti ikut pergi atau tidak. Belum lagi ia menjawab, tiba2 Nyo Wan mendahului
berkata: “Kita sama2 mendapat tugas penting dari Khan Agung, kalau ada pekerjaan adalah
sepantasnya kami ikut pergi membantu.”
Mendengar Nyo Wan sudah berkata demikian, segera Su-lam ikut menyatakan setuju. Busu Mongol
itu sangat senang, be-ramai2 mereka lantas berangkat.
Begitulah kedatangan mereka sangat tepat karena saat itu To Hong dan Bing-sia lagi terdesak.
Mereka menjadi heran melihat diantara bala bantuan musuh yan datang itu terdapat Li Su-lam,
terutama Bing-sia merasa tidak tentram dan sangsi jangan2 Li Su-lam benar telah berkhianat. Iapun
menduga wanita yang datang bersama itu tentu Nyo Wan seperti apa yang didengarnya dari To
Hong.
Sementara itu rombongan pendatang itu sudah melompat turun dari kuda masing2 dan berlari keatas
bukit. Si Lama jubah merah segera pula dapat mengenali Li Su-lam. Lama ini adalah Lama yang
semalam ikut mendatangi rumah gilingan, disana dia telah dilukai Li Su-lam dan untung dpat
menyelamatkan diri walaupun kedua kawannya terbinasa, habis itu barulah dia ketemu Tun-ih Pin.
Sekarang dilihatnya Li Su-lam datang bersama kawan2nya orang Mongol keruan kejutnya tidak
kepalang, cepat ia berseru: “He, ditengah kalian ada mata2 musuh!”
Tentu saja Busu Mongol itu merasa bingung, ia menjawab: “Apa? Siapa ……” belum lanjut
ucapannya, tahu2 punggungnya terasa ditusuk sesuatu. Rupanya dengan cepat sekali Li Su-lam
sudah menubruk dari belakang, sekali tusuk pedangnya telah menembus punggung Busu itu hingga
keluar dada.
Berbareng dengan itu Nyo Wan juga lantas bertindak, ilmu pedangnya lebih ganas daripada Li Sulam,
“sret, sret” dua kali, kontan dua busu bangsa Sehe kena dirobohkan dan terguling kebawah
bukit.
Su-lam cabut pedangnya dari tubuh korbannya, lalu membentak: “Sebagai putra bangsa Han,
masakah aku sudi mengekor pada pihak pengganas. Sekarang kau sudah jelas belum?”
Busu Mongol itu mendelik, ia menjerit keras sekali, lalu roboh binasa.
Dalam rombongannya itu Busu Mongol yang berkepandaian paling tinggi sudah mati, menyusul
adalah kedua Busu Sehe, sekarang ketiga orang ini sudah mampus semua, sisanya tinggal empat
orang menjadi bingung, mereka sama melarikan diri serabutan.
“Jangan kuatir, To-cici, aku datang membantu kau!” seru Nyo Wan. Rupanya ia sengaja
membiarkan Li Su-lam pergi membantu Bing-sia, maka ia sendiri mendahului berlari kearah To
Hong.
Ketika mendadak mendengar samberan angin dari belakang, cepat Tun-ih Pin putar pedangnya
untuk menangkis serangan Nyo Wan. Kesempatan itu segera digunakan To Hong untuk melompat
kesamping, bentaknya mendadak: “Kena!” ~ Berbareng tiga buah Tok-liong-piau disambitkan susul
menyusul dengan cara yang ber-beda2.
Laki2 yang bergolok bertenaga lebih besar, tapi kurang lincah. Dengan goloknya ia bermaksud
menyampuk sebuah Tok-liong-piau yang menyambar kearahnya. Tapi goloknya ternyata
menyampuk tempat kosong. Ia menjadi gugup dan bermaksud mengelak, namun sudah terlambat.
Terasa iganya menjadi sakit, nyata Tok-liong-piau telah menancap dipinggangnya, ia ter-huyung2,
lalu terjungkal.
Musuh yang bertombak itu lebih cekatan, ia sempat angkat senjatanya untuk memukul senjata
rahasia yang menyamber tiba, “trang”, piau terbentur dan mental balik lewat diatas kepalanya.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Terenduslah bau amis yang memusingkan kepala, keruan ia kaget, teriaknya: “Tok-liong-piau!”
“Benar, rupanya tahu juga kau!” jengek To Hong. Sementara itu Tok-liong-piau ketiga sedang
menyamber keleher Tun-ih Pin.
Hebat sekali Tun-ih Pin, ketika gaetan kiri menahan dan gaetan kanan menepuk, seketika Tokliong-
piau berganti arah menuju Nyo Wan.
Nyo Wan juga tak kalah tangkasnya, pedangnya memuntir, piau itu berubah arah lagi dan tahu2
menyamber kearah laki2 bertombak. Sekali ini dia tidak mampu mengelak lagi, “cret”, piau
menancp dibahunya. Racun Tok-liong-piau adalah mematikan seketika bila kena pembuluh darah.
Maka tanpa ampun bagi laki2 itu, belum sempat ia menjerit sudah roboh binasa.
“kerubut dia, jangan sampai dia sempat menggunakan senjata rahasia!” seru Tun-ih Pin sambil
putar sepasang gaetan untuk menjaga diri.
Beberapa anak buahnya segera memburu maju dan menghujani To Hong dengan macam2 senjata
rahasia, terpaksa To Hong putar pedangnya dengan kencang, bila ada kesempatan iapun balas
menyerang dengan Tok-liong-piau.
Serang menyerang dengan senjata rahasia lebih menguntungkan To Hong sebab dia lebih lincah dan
bagus pula ilmu pedangnya. Dalam sekejap dua musuh kena dirobohkan pula oleh Tok-liong-piau,
tapi beberapa orang lain sempat menerjang lebih dekat. Dalam keadaan pertarungan dari jarak dekat
dengan sendirinya senjata rahasia tidak banyak gunanya.
Di sebelah sana Li Su-lam juga telah berada disamping Beng Bing-sia. Yang mengerubut Bing-sia
ada tiga orang. Datangnya Su-lam tepat pada waktunya, dengan cepat ia menabas dan menusuk
sehingga kedua kawan Lama yang mengeroyok Bing-sia itu dipaksa mundur. Maka Bing-sia
menjadi longgar, ia putar pedangnya dengan penuh semangat untuk melabrak si Lama jubah merah.
Bagi Li Su-lam, kedua lawannya itu terlalu enteng baginya. Dalam sekejap saja ia sudah dapat
menjajaki kelemahan musuh, pada suatu ketika ia sengaja menyelinap ke belakang seorang lawan
dan secepat kilat menotok Hiat-to yang membuatnya berdiri kaku. Musuh satunya lagi Busu
Mongol yang bertombak saat itu lagi menusuk, segera Su-lam menggunakan tawanannya sebagai
tameng dan disodorkan ke ujung tombak musuh.
Busu Mongol itu terkejut dan lekas2 hendak menarik kembali senjatanya, namun terlambat sedikit,
dada kawannya telah tembus. Seketika ia menjadi melongo kesima, sedikit meleng saja pedang Li
Su-lam sudah menyamber tiba pula dan menembus perut Busu Mongol itu. “Nah, biar kalian
menjadi teman saja di akhirat sana!” bentak Su-lam sambil tarik pedangnya. Kontan kedua
korbannya roboh terkapar.
Ketika melihat munculnya Li Su-lam memangnya si Lama sudah jeri, sekarang kedua temannya
yang tangguh dibinasakan oleh Su-lam, tentu saja ia tambah gugup, seketika permainan tongkatnya
menjadi kacau dan ngawur. Kesempatan itu tidak di-sia2kan Bing-sia, ia menyerang dengan gencar,
pedang berkelebat, darah muncrat, tahu2 bahu kanan Lama itu telah dilukai belasan senti
panjangnya dengan darah mengucur deras.
Lama itu mengerang kesakitan, ia putar tubuh hendak melarikan diri.
“Mau lari kemana?” bentak Su-lam.
Mendadak Lama itu menggetarkan tongkatnya, kesembilan gelang tembaga pada ujung tongkat
lantas terlepas dan menyamber ke arah Su-lam dan Bing-sia. Gelang2 tembaga itu tidak Cuma
mengacaukan pikiran lawan dengan suaranya yang berisik, tapi bila perlu dapat pula digunakan
sebagai senjata rahasia.
Namun paduan pedang2 Su-lam dan Bing-sia laksana benteng baja yang tak tertembuskansuara
gemerincing yang nyaring, gelang2 tembaga terpental semuanya dan ada yang terbelah menjadi
dua.
“bersihkan sisa2 musuh lebih penting, lekas kau pergi membantu To Hong dulu!” seru Bing-sia
sambil berlari kearah Nyo Wan. Rupanya Bing-sia sangat ingin berkawan dengan Nyo Wan, maka
kesempatan hendak digunakannya untuk bahu membahu menghalau musuh bersama Nyo Wan.
Beberapa orang yang mengerubut To Hong tadi sementara itu sudah ketakutan mereka berteriak
terus lari. To Hong juga tidak perduli mereka, segera ia mengejar si Lama jubah merah. Untuk
menjaga kemungkinan2 Li Su-lam lantas menyusul untuk membantunya bila perlu.
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Apakah Lama ini yang semalam hendak mencari Jisukoku?” tanyaTo Hong.
“Benar,” jawab Su-lam. “Dia sudah dilukai oleh Beng-lihiap.”
“Jangan sampai dia lolos!” ujar To Hong dengan gemas.
Saat itu si Lama sudah berhasil merebut seekor kuda dan baru saja mencemplak ke atas kuda. Cepat
To Hong menyambitkan Tok-liong-piau susul menyusul. Lantaran sebelah bahunya sudah terluka,
gerakan tongkatnya menjadi kurang lincah, sebuah Tok-liong-piau kena dipukul jatuh, tapi Tokliong-
piau berikutnya telah mengenai punggungnya. Kontan Lama itu terjungkal ke bawah kuda
dan menjerit ngeri, iapun binasa bermandikan darah.
Saat mana Nyo Wan lagi kewalahan menandingi Tun-ih Pin, syukur Bing-sia memburu tiba, sekali
serang segera menggunakan jurus mematikan. Sudah tentu Tun-ih Pin bukan lawan enteng, ia putar
gaetannya yang berujung tajam buat balas menusuk, serangan ini memaksa lawan harus
menyelamatkan diri lebih dahulu bila tidak ingin terluka bersama.
Cuma sayang perhitungan Tun-ih Pin rada keliru, yang dia hadapi bukan Cuma Bing-sia seorang,
tapi di sebelahnya masih ada seorang Nyo Wan. Kesempatan baik itu telah digunakan Nyo Wan,
tahu2 ujung pedangnya telah mengancam dada musuh.
Dalam keadaan tergencet dari kiri-kanan, terpaksa Tun-ih Pin harus menyelamatkan diri lebih
dahulu. Namun betapa gesitnya Bing-sia, pedangnya putar membalik terus menabas miring ke
bawah, kontan bahu kiri Tun-ih Pin terluka, untung Tun-ih Pin keburu melompat mundur, kalau
tidak sebelah lengannya tentu sudah buntung.
“Tinggalkan nyawamu!” bentak To Hong. Begitu gemasnya terhadap Tun-ih Pin, sekaligus tiga
buah Tok-liong-piau lantas disambitkan secara susul menyusul.
Tun-ih Pin benar2 hebat, meski sebelah lengan terluka, dengan sebelah gaetannya, ia masih sanggup
menyampuk, terdengar “trang-trang” dua kali, dua Tok-liong-piau kena disampuk dan mencelat
balik sehingga membentur piau yang ketiga. Tiga buah Tok-liong-piau jadinya jatuh semua ke
tanah.
Dengan cepat sekali Tun-ih Pin lantas menyemplak keatas kuda dan dilarikan secepat terbang.
Kudanya juga kuda pilihan sehingga sukar bagi To Hong untuk mengejarnya. Dengan menghela
napas gegetun To Hong menyimpan kembali Tok-liong-piau yang lain, lalu menyapa kedatangan
Su-lam. Sementara itu terlihat Bing-sia sudah mulai berbicara dengan Nyo Wan.
Dengan sikap hormat Bing-sia berkata: “Ini tentunya Nyo-cici bukan? To-cici telah mengatakan
tentang dirimu, aku merasa menyesal tak dapat berjumpa dengan Nyo-cici, siapa tahu kalian telah
datang menolong kami, sungguh kami harus berterima kasih padamu.”
“Ah, adalah sepantasnya kami bertindak demikian, apa lagi Beng-lihiap sendiri telah pernah
menolong engkoh Lam,” jawab Nyo Wan. “Sungguh, akupun sangat ingin berjumpa dengan Bengcici.”
Walaupun Nyo Wan merasa rikuh untuk mengatakan dirinya bakal istri Su-lam, tapi dari ucapannya
‘engkoh Lam” yang mesra itu sudah cukup mengatakan hubungannya dengan Su-lam yang berbeda
daripada orang lain.
Su-lam sendiri merasa serba susah, tapi Beng Bing-sia bersikap sewajarnya saja sehingga suasana
tidak terlalu kaku. Su-lam lantas menghaturkan terima kasih kepada pertolongan Bing-sia tempo
hari serta menceritakan pengalamannya di Mongol tempo hari. Akhirnya ditambahkannya:
“Sungguh malang ayahku telah dicelakai musuh, untung adik Wan telah merawatnya sehingga kami
ayah dan anak sempat bertemu pada saat terakhir.”
Mendengar itu Bing-sia menjadi lebih jelas bahwa hubungan Su-lam dan Nyo Wan pasti tidak
Cuma “kakak beradik” saja, hatinya rada masam, tapi bergirang juga bagi mereka. Pikirnya: “Nona
Nyo ini berasal dari keluarga ternama, cantik lagi pandai. Dia memang pasangan yang paling cocok
dengan Su-lam.”
Tengah bicara, tiba2 ditengah semak2 rumput sana suara orang merintih. Kiranya adalah seorang
Busu Sehe terluka parah dan sedang meronta menanti ajalnya.
Hati To Hong tergerak. Segera ia mendekati Busu itu dan diseret keluar, diberinya obat luka
padanya, lalu bertanta: “Aku ingin tanya padamu, kau harus mengaku etrus terang.”
Karena diberi obat, Busu itu mengira jiwanya dapat diselamatkan, maka ia lantas menjawab:
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Silahkan nona tanya, apa yang kuketahui tentu akan kukatakan.”
“Lama ini kemarin berada bersama seorang Han yang bernama Eng jay, guru Eng Jay bernama
Yang Thian-lui, pakah kau tahu?” tanya To Hong.
“Tahu,” jawab Busu itu. “Yang Thian-lui adalah jago terkenal dinegeri Kim, meski kami tinggal
jauh di Sehe sini juga sudah lama mendengar namanya.”
“Nah, yang hendak kutanyakan adalah soal ini. Bukankah Mongol dan Kim sudah mulai perang,
tapi mengapa Yang Thian-lui sebagai jago Kim malah mengirim anak muridnya bergaul dengan
Lama negeri musuh?”
“Ini memang suatu rahasia besar. Lantaran nona sangat baik padaku, biarlah kuceritakan semuanya.
Yang Thian-lui adalah manusia yang selalu mengikuti arah angin, pengaruh Mongol sekarang
sangat besar, maka diam2 Yang Thian-lui sudah mengadakan hubungan rahasia dengan Cepe, suah
siap untuk memberontak di kotapraja, Kim bilamana pasukan Mongol sampai dibenteng ibukota
Kim itu.”
“O, kiranya begitu. Tapi mengapa kaupun berada bersama mereka? Jangan2 kaupun sudah siap
menjadi mata2 mereka dinegeri Sehe sini.”
Wajah Busu itu menjadi merah, sahutnya dengan gelagapan: “Hamba hanya ……. hanya seorang
pelaksana saja, apa yang kulakukan adalah terpaksa.”
Tiba2 Su-lam ikut bertanya: “Kabarnya pasukan Mongol akan dialihkan kebarat untuk menyerbu
negeri kalian ini, apakah betul?”
“Kiranya kongcu juga tahu?” jawab Busu itu terkejut.
Padahal Li Su-lam hanya menerka saja berdasarkan kenyataan pasukan Mongol ditempatkan di
Liong-sah-tui serta menurut gerak gerik pasukan musuh dan ternyata lantas terbukti dari pengakuan
Busu Sehe itu.
“Rupanya kau juga sama2 pengkhianat yang menjual negara untuk kepentingan sendiri macam
Yang Thian-lui,” jengek To Hong.
Keruan Busu itu ketakutan. “Nona, engkau mengatakan mau mengampuni jiwaku!” pintanya.
“Siapa yang berjanji mengampuni kau,” jawab To Hong. “Dosa lain dapat diampuni, hanya
pengkhianat tidak bisa diampuni,” ~ Cret, kontan ia tikam Busu itu dengan pedangnya.
Nyo Wan sampai terperanjat ole keganasan To Hong. Sungguh tak terduga olehnya bahwa nona
secantik itu ternyata membunuh orang tanpa berkedip. Maklumlah asal usul Nyo Wan berbeda
daripada To Hong dan Bing-sia, perangainya juga lain, maka sekalipun dalam hati ia mengagumi
kegagahan mereka, namun terasa juga oleh Nyo Wan bahwa dirinya bukan sekaum dengan mereka
dan tak mungkin bergaul dengan akrab. Tiba2 Nyo Wan merasakan sesuatu yang aneh, terasa
dirinya seperti “orang luar” yang berada ditengah Li Su-lam dan Beng Bing-sia, meskipun Su-lam
lebih banyak bicara padanya daripada dengan Beng Bing-sia.
Tanpa terasa hari sudah terang, pagi sudah tiba. Su-lam berkata: “Jika pasukan Mongol beralih
kebarat, wilayah Sehe tentu akan menjadi medan perang. Tempat ini bukan tempat yang aman,
lebih baik lekas kalian pulang saja.”
“Kami hendak menunggu kembalinya Song Thi-lun dan istrinya, setelah bergabung segera kami
kembali, biarlah kalian berangkat dulu,” jawab Bing-sia.
“Ah, kamipun tidak ter-buru2 hanya untuk beberapa hari saja, biarlah kita berombongan kan lebih
ramai. Bukankah demikian, engkoh Lam?” ujar Nyo Wan.
Belum lagi Su-lam menjawab tiba2 Bing-sia telah mendahului berkata: “Tapi kami masih harus
bergabung dengan beberapa tokoh kalangan Hek-to, mungkin kalian kurang biasa bergaul dengan
mereka. Apalagi pihak Mongol sedang menguber Su-lam, kukira kalian tidak perlu tertunda disini
lebih baik berangkat lebih dulu saja.”
Agaknya Bing-sia kuatir Nyo Wan banyak menruh curiga, maka tidak ingin berombongan dengan
mereka.
Karena begitu ucapan Bing-sia, dengan sendirinya Nyo Wan tidak dapat memaksa. Katanya
kemudian: “Baiklah, jika begitu kami akan berangkat lebih dulu. Semoga sekembali di Tionggoan
kita dapat berjumpa pula.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
Begitulah mereka lantas meninggalkan lembah kupu2 itu. Sepanjang jalan Nyo Wan dan Su-lam
sama2 tercekam oleh perasaan masing2.
Dua hari kemudian mereka sudah mendekati perbatasan negeri Sehe dan Kim. Tiba2 debu
mengepul tinggi didepan sana, suatu rombongan besar kaum pengungsi membanjir tiba dalam
keadaan ketakutan.
“Terjadi apa didepan sana?” Su-lam tanya kepada salah seorang pengungsi itu.
Memang Li Su-lam sudah menduga pihak Mongol pasti akan mengalihkan pasukan nya kebarat,
tapi serbuan yang begitu cepat sungguh diluar dugaannya. Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan
untuk kembali kearah datangnya tadi untuk menghindari bahaya.
Sementara itu sepanjang jalan sudah penuh dengan pelarian pengungsi sehingga kuda mereka sukar
melangkah. Terpaksa Su-lam mengajak Nyo Wan menyimpang kepinggir jalan. Tapi belum mereka
keluar dari lautan kaum pengungsi, tahu2 pasukan Sehe yang kalah telah membanjir tiba pula.
Pasukan yang kalah itu hanya memikirkan menyelamatkan diri dan sama sekali tidak perduli matihidup
rakyat jelata, kuda mereka terus menerjang ketengah lautan manusia, banyak kaum wanita,
orang tua dan anak kecil ter-injak2 sehingga suara jeritan tangis gemuruh memekak telinga. Prajurit
yan tak berkuda juga tahunya menerjang untuk cari selamat, banyak rakyat jelata yang tidak sempat
menyingkir telah menjadi korban.
Su-lam menjadi gusar melihat kelakuan prajurit2 Sehe itu, takut terhadap musuh, tapi mengganas
terhadap rakyat sendiri. Pantas pasukan Mongol dapat mengalahkan mereka dengan mudah.
Tiba2 suatu regu tentara kalah itu menerjang kearah mereka sambil ber-teriak2: “aku mau kudamu!
~ Aku ambil betinanya!” ~ belum apa2 mereka sudah ribut mau membagi rejeki.
Keruan Su-lam dan Nyo wan menjadi murka, mereka putar pedang membinasakan beberapa orang
diantaranya, habis itu barulah tentara kalah itu kapok dan melarikan diri. Namun regu ini lari, regu
yang lain sudah tiba pula.
Dengan gusar Su-lam siap membereskan pula tentara2 pengecut itu. Tapi mendadak tentara pelarian
itu berceri berai kabur serabuatan tanpa meng-utik2 mereka lagi. Semul a Su-lam heran, tapi ia
memandang kesana barulah tahu apa sebabnya, kiranya sepasukan tentara Mongol sudah mengejar
tiba.
“Kau ikut dibelakangku, adik Wan!” seru Su-lam. Cepat ia rampas dua buah tombak panjang dan
segera digunakan alat pembuka jalan lari. Setiba dipadang yang sepi, ia memanggil Nyo Wan tapi
tidak mendapat jawaban, ia menoleh, ternyata Nyo Wan sudah hilang. Keruan kejut Su-lam tak
terkatakan. Disangkanya sejak tadi Nyo Wan selalu mengikuti si belakangnya, siapa tahu nona itu
telah diterjang oleh kekacauan sehingga terpisah.
Su-lam mengeluh, ia bermaksud kembali kesana untuk mencari Nyo Wan,tapi tertampak debu
mengepul setinggi langit, be-ribu2 kuda lari bergemuruh, rupanya pasukan induk Mongol sudah tiba
pula. Pasukan induk Mongol terus maju melalui jalan utama, kedua sayapnya terbagi dalam beregu2
kecil sedang menyapu sisa2 musuh diladang belukar kedua tepi jalan.
Suatu regu kecil diantaranya telah mendekati tempat Li Su-lam. Tanpa pikir Su-lam angkat busur
pemberian Jengis Khan dan membidikkan tiga anak panah, kontan tiga prajurit Mongol terjungkal
dari kudanya. Dalam pada itu dengan cepat dua prajurit lain telah menerjang tiba. Su-lam
menggertak satu kali, dengan tepat ia samber tombak seorang prajurit itu kena ditarik meninggalkan
kudanya sambil masih pegang kencang2 tombaknya, ketika Su-lam memutar dengan cepat terus
dilepaskan, kebetulan prajurit itu menumbuk kawan sendiri yang saat itutelah menerjang tiba.
“Panah yang hebat!” tiba2 terdengar seruan seseorang.
Waktu Su-lam memandang kesana, tertampak sebuah panji besar ber-kibar2 tertiup angin, dibawah
panji itu berdiri seorang panglima gagah berkuda sedang memandang kearahnya ditepi jalan sana.
Panglima perang ini bukan lain daripada sipanah sakti Cepe adanya. Rupanya pasukan besar
Mongol ini dibawah pimpinannya.
Karena sekujur badan Li Su-lam penuh debu kotoran, jaraknya rada jauh pula, maka Cepe tidak
tahu siapa dia. Hanya saja melihat kepandaian panah Su-lam itu, ia menjadi gatal tangan juga dan
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
ingin mengadu kepandaiannya. “Ser-ser-ser,” ber-turut2 iapun melepaskan tiga anak panah kearah
Su-lam.
Ilmu memanah Cepe memang lebih tinggi daripada Li Su-lam. Dengan gendewanya Su-lam napat
menyampuk jatuh anak panah pertama, anak panah kedua dapat dielakkan pula, tapi anak panah
ketiga telah mengenai kudanya.
Habis itu kontan Su-lam juga balas memanah satu kali.
Mendengar suara mendengingnya anak panah, Cepe terkesiap dan tahu itulah bidikan dengan busur
baja nomor satu. Dengan tangkas iapun tangkap anak panah itu dengan tangannya. Busur panah
Jengis Khan adalah buatan khusus, sekali lihat saja Cepe lantas tahu siapa adanya Li Su-lam.
“Kiranya kau!” bentak Cepe. “Hayo anak buahku, jangan sampai dia lolos!”
Mendengar perintah panglimanya, regu tentara tadi yang masih dua-tiga puluh orang itu lantas beramai2
mengejar kearah Su-lam.
Kuda Su-lam yang terkena panah tadi sedang lari kesakitan, tapi beberapa li jauhnya sudah tidak
tahan dan roboh terguling. Cepat Su-lam berguling ditanah sambil putar pedangnya, belum berdiri
tegak orangnya, lebih dahulu ia sudah babat putus delapan kaki kuda musuh sehingga ada empat
prajurit pengejar itu jatuh kebawah.
Cepe juga ikut mengejar, belum tiba orangnya lebih dulu ia membidikkan panahnya lagi. Su-lam
cengkeram seorang prajurit musuh dan digunakan sebagai perisai, ber-ulang2 ia tangkis tiga panah,
tapi mendadak ketiaknya terasa sakit, rupanya sebuah panah Cepe itu menembus badan prajurit dan
ujung panah melukai Su-lam. Untung juga ada perisainya sehingga luka Su-lam itutidak parah.
Akan tetapi Su-lam sudah kehilangan kuda, keadaannya menjadi sangat berbahaya.
Jilid 04 bagian kedua
Selagi Su-lam bertempur mati2an untuk mencari jalan lari, se-konyong2 suara angin men-deru2,
debu pasir bertebaran memenuhi angkasa. Itulah “Liong-kwi-hong” (angin puyuh putaran naga)
yang jarang terjadi di daerah tandus barat-laut, sungguh sangat keetulan, pada saat gawat demikian
angin puyuh itu telah menyelamatkan Li Su-lam.
Debu pasir yang dijangkitkan oleh angin puyuh itu laksana be-ratus2 lapis tabir yang menutupi
angkasa dan menyelimuti bumi, ditengah kabut pasir itu hanya tampak bayangan2 manusia belaka,
sukar untuk membedakan kawan atau lawan apalagi di ladang belukar yang terbuka itu angin sangat
kencang, kedua pihak sama2 ingin mencari tempat sembunyi dan tidak pikir bertempur lagi.
Menghadapi angin puyuh yang begitu hebat, posisi pasukan induk Mongol menjadi kacau juga.
Sebagian tawanan menggunakan kesempatan baik itu untuk merampas senjata dan kuda buat
melarikan diri ditengah keributan itu.
Sebagai seorang panglima dengan sendirinya Cepe tak bisa meninggalkan pasukannya dalam
keadaan kacau, terpaksa ia putar balik ke tengah pasukannya. Ia pikir Su-lam sudah terluka, nanti
kalau angin sudah reda akan dilukis parasnya dan disebarkan agar dilakukan penangkapan oleh
pos2 penjaga di perbatasan.
Su-lam tidak pernah berhenti di tengah angin puyuh itu, dengan tekad yang teguh ia terus berlari
meski beberapa kali hampir saja ia terguling.
Angin puyuh itu berlangsung hampir satu tanakan nasi baru mereda. Habis itu Su-lam coba lihat
sekitarnya, ternyata dirinya sudah berada di kaki gunung, di belakang tiada pengejar. Kedua
kakinya terasa linu pegal, tulang2 sekujur badan se-akan2 retak, lukanya juga terasa sakit, ia cona
meraba luka dekat ketiak itu, basah rasanya entah air keringat atau darah.
Ia membawa rangsum kering serta obat luka, untung perbekalan itutidak jatuh. Segera ia robek
bajunya, lukanya dibersihkan, lalu dibalut. Ia pikir bahaya belum lenyap seluruhnya, makin jauh
masuk pegunungan akan makin baik. Maka dengan menahan haus, ia makan dua buah kue kering,
dengan mengumpulkan semangat ia mendki gunung di depan. Sampai hari sudah magrib barulah ia
mencapai diatas gunung. Untung diketemukan sebuah parit berair bening, setelah kenyang minum
dan membersihkan bagdan, pulihlah semangatnya. Ia coba bersemadi untuk menghimpun tenaga
dalam, akhirnya ia merasa lukanya tidak berhalangan barulah ia berbangkit. Sayup2 terdengar suara
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
terompet, entah sudah sampai dimana prajurit kedua pihak yang berperang itu.
Menghadapi bayangan sendiri dibawah sinar bulan, Su-lam menjadi berduka teringat kepada Nyo
Wan yang hilang itu, terkenang macam2 kebaikan Nyo Wan, tapi sekarang dirinya tinggal sendirian
dan sinona tak diketahui mati hidupnya. Ia pikir kepandaian Nyo Wan cukup tinggi, tentunya dapat
menyelamatkan diri pula. Maka dalam hati ia bersumpah betapapun pasti akan mencari dan
menemukan si nona.
Tengah ngelamun, tiba2 didengarnya suara kresek2 ditengah semak2 rumput, Ia mengira ada
binatang2 kecil sebangsa kelinci yang sembunyi disitu. Ia pikir sangat kebetulan akan dijadikan
daharan. Segera ia jemput dua potong batu kecil, ia sambit semak2 rumput itu dengan maksud
membikin binatang yang sembunyi disitu kaget dan lari keluar, lalu akan menyambit pula unutk
menangkapnya.
Diluar dugaan, yang melompat keluar bukanlah binatang kecil, tapi ada seorang laki2, sebelum batu
kedua disambitkan Su-lam, orang itu sudah menubruk tiba. Dibawah sinar bulan kelihatan jelas
laki2 itupun kotor badannya dan berlepotan darah, entah orang mana dan bangsa apa, yang jelas
berpakaian orang Mongol.
Su-lam menyangka orang suruhan Cepe untuk menangkapnya, tanpa pikir ia lantas lolos pedang
terus menusuk. Serangan yang mengarah Hiat-to musuh ini menurut perhitungan Su-lam akan dapat
merobohkan musuh dengan mudah. Siapa duga laki2 itu ternyata sangat gesit dan cekatan. “Trang”,
secepat kilat orang itupun sudah cabut pedangnya untuk menangkis, menyusul terus balas
menyerang kemuka Li Su-lam.
Sambil mengelak Su-lam sampuk pula pedang lawan. Tapi orang itu terus memutar kesamping Sulam
dan kembali pedangnya menusuk iga Su-lam dengan cepat luar biasa. Syukur Su-lam sempat
menggeliat pada saat berbahaya sehingga melesetlah serangan musuh. Ia terkesiap akan tusukan
musuh yang mengincar Hiat-to berbahaya itu, kini ia tidak berani memandang enteng lawannya
lagi.
Dalam pada itu dengan cepat luar biasa orang itu menubruk maju pula dan ber-turut2 melancarkan
belasan kali serangan. Sebenarnya kepandaian Li Su-lam tidak dibawah laki2 itu. Soalnya kalah
tenaga, perutnya lapar lagi. Setelah menangkis belasan kali mulai terasa payah. Untungnya laki2
itupun seperti kekurangan tenaga juga, setelah melancarkan serangan2 tadi gerak pedangnya pun
mulai kendur.
Tiba2 hati Su-lam tergerak karena merasa ilmu pedang lawan seperti sudah dikenalnya. Baru saja
bermaksud menegur, se-konyong2 lawannya melompat keluar kalangan dan membentak: “Siapa
kau?”
“Seorang laki2 sejati tidak perlu ganti she dan palsukan nama, aku adalah putra Han tulen Li Sulam
adanya, dan kau sendiri siapa?”
“kau putra Han tulen, akupun putra han sejati,” jawab orang itu ter-bahak2. “Kita tidak perlu
berkelahi lagi. Li-heng, kalau aku tidak salah terka, tentunya kau dari Siau-lim-pay. Entah siapakah
gurumu yang terhormat?”
“Guruku adalah murid Siau-lim-pay dari kalangan preman, beliau she Kok bernama Peng-yang,”
jawab Su-lam.
“O, kiranya Li-heng adalah murid Kok-tayhiap, pantas begini bagus Tat-mo-kiam-hoatmu,” kata
orang itu.
“Dan cayhe sendiri belum lagi mengetahui nama saudara yang terhormat?”
“Siaute she Ciok bernama Bok.”
“Ai, kiranya Ciok-heng adanya, pantas ilmu pedangmu tampaknya sudah kukenal.”
“Darimana Li-heng bisa mengenali ilmu pedang perguruanku?”
“Gurumu bukankah To-tayhiap, To Pek-sing?” jawab Su-lam. “Sumoaymu To Hong bahkan
kemarin berada bersama kami.”
Terkejut dan girang sekali Ciok Bok, cepat ia menegas: “To-sumoay berada dimana? Masih ada
seorang Jisuko kami, apakah Li-heng juga berjumpa dengan dia?”
“Nona To dan seorang nona Beng berada dilembah kupu2 untuk menunggu kembalinya Song Thilun
dan istrinya. Tentang Liong-suheng, dia ..... dia, sayang sudah meninggal.”
KANG ZUSI http://cerita-silat.co.cc/
“Liong-suheng meninggal?” Ciok Bok menegas dengan terperanjat.
Su-lam lantas menceritakan apa yang diketahuinya. Gemas dan duka hati Ciok Bok mendengar
sebab kematian Liong Kang, dengan mengembeng airmata ia bacok sebuah batu padas dengan
pedangnya dan bersumpah: “Jahanam Tun-ih Pin yang membikin celaka Liong-suheng, bila aku
tidak membunuh keparat ini aku bersumpah tidak menjadi manusia.”
Sejenak kemudian Su-lambertanya: “Ciok-heng, mengapa kau berada disini dan sebab apa
berdandan begini?”
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Cinta Asmara Dewasa : Pahlawan Gurun 1 ini diposting oleh ali afif pada hari Selasa, 04 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.