Kisah Silat : Cerita Si Kaki Sakti Yang Menggemparkan Dunia Silat

AliAfif.Blogspot.Com -
Kisah Silat : Cerita Si Kaki Sakti Yang Menggemparkan Dunia Silat
Baca Juga:
-sumber: indozone.net
Karya: Hong San Khek
MCH
1.01. Belajar Silat Untuk Kesehatan
Di jaman Ahala Ceng, yaitu pada masa kaisar-kaisar
Boan-ciu berkuasa di Tiongkok, di kalangan Kang-ouw
2
banyak terdapat jago-jago silat yang nama-namanya
sangat masyhur di seluruh negeri. Salah seorang
antaranya adalah Sin-tui Lie Poan Thian, yang ilmu
tendangannya sangat dimalui orang, sehingga ia
memperoleh nama julukan Sin-tui tadi, yang dalam
bahasa Indonesia berarti si Kaki Sakti.
Adapun Lie Poan Thian ini asalnya orang residensi
Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang, putera tunggal dari
Lie Tek Hoat, seorang pabrikan beras yang kaya raya.
Nama Poan Thian yang sebenarnya ialah Lie Kok
Ciang, tetapi dari sebab belakangannya ia telah menjagoi
di daerah lima propinsi utara dari Tiongkok, yaitu Shoatang,
Ho-lam, Ho-pak, Siam-say dan Shoa-say yang
lazim disebut orang „Separuh Jagat”, (sedangkan seluruh
Tiongkok disebut „Seluruh Jagat”), maka nama aslinya
lambat-laun telah dilupakan orang dan berganti menjadi
Lie „Poan Thian”, yang berarti orang she Lie yang
menjagoi di separuh jagat Tiongkok.
Lie Poan Thian ini pada masa mudanya adalah
seorang yang berbadan lemah dan kerap dihinggapi
penyakit, oleh sebab itu ayahnya sangat masygul dan
kuatir, kalau-kalau sang putera yang sebiji mata itu tak
dapat berumur panjang. Maka dari itu juga, Tek Hoat
telah berikhtiar sedapat mungkin untuk membikin
puteranya menjadi seorang yang kuat sehat dan tak
berpenyakitan pula, biarpun untuk itu ia mesti keluar
uang yang bukan sedikit jumlahnya.
Pada suatu hari ketika Tek Hoat sedang berjalanjalan
ke pasar, tiba-tiba ia menampak banyak orang
berkerumunan tengah menonton suatu pertunjukan.
Maka Tek Hoat yang juga tertarik oleh perhatian orang
banyak itu, lalu ia sendiri pun iseng-iseng maju
menghampiri dan kemudian menyelesup masuk di antara
3
mereka, agar supaya dapat menonton dari tempat yang
lebih dekat. Tatkala maju sampai ke baris penonton yang
berdiri paling depan, di situ ia menampak seorang
penjual silat yang sedang bersilat sendirian dengan amat
asyiknya.
Perawakan si penjual silat ini tegap dan kuat, gerak
geriknya sebat dan lincah, Tek Hoat sendiri tak mengerti
ilmu silat, tetapi dengan menyaksikan sambutan tepuk
tangan riuh dari pihak orang banyak yang berkumpul di
situ, maka ia menarik kesimpulan, bahwa permainan silat
orang itu tentunya cukup baik untuk mendorong rasa
kagum orang. Maka selama turut menonton, Tek Hoat
jadi teringat kepada puteranya yang berbadan lemah itu.
„Jikalau anakku dapat diajarkan ilmu silat,”
demikianlah pikirnya, „tentulah lambat-laun ia akan
menjadi seorang yang bertubuh sehat dan kuat seperti
penjual silat itu.”
Oleh karena mendapat pikiran begitu, maka timbullah
di dalam hati orang tua itu suatu keinginan akan
mengundang si penjual silat akan menjadi guru
puteranya. Tetapi karena pertunjukan itu masih
berlangsung, maka ia pikir paling betul akan
mengutarakan pikiran itu nanti saja, jikalau pertunjukan
itu telah bubaran.
Maka sebegitu lekas pertunjukan berakhir dan para
penonton bubaran dengan perasaan puas, barulah Lie
Tek Hoat menghampiri si penjual silat itu sambil memberi
hormat dan berkata: „Tuan, aku ada suatu urusan yang
hendak kurundingkan dengan dikau. Oleh karena itu,
sudikah kiranya kau ikut aku mampir ke sebuah kedai
arak, agar supaya kita dapat berunding di sana dengan
secara leluasa?”
4
Si penjual silat yang mendapat tawaran begitu, sudah
tentu saja jadi heran dan tak mengerti apa maksud Tek
Hoat yang sebenarnya. Ia tak kenal Tek Hoat, seperti
juga ia percaya Tek Hoat pun baru pernah bertemu
padanya di saat itu. Tetapi karena ia melihat Tek Hoat
orangnya manis budi dan sopan santun, lagi pula ia
berpakaian pantas, maka ia lantas mengabulkan
undangan orang tua she Lie itu.
Begitulah kedua orang itu lalu mampir ke sebuah
kedai arak yang terdekat. Di situ Tek Hoat lalu panggil
seorang pelayan, yang lalu diminta akan menyediakan
arak dan beberapa macam hidangan guna menjamu si
penjual silat itu.
Dalam pembicaraan yang berlangsung selama
mereka makan minum itu, Tek Hoat baru mengetahui,
bahwa si penjual silat itu berasal dari residensi Thaygoan
dalam propinsi San-see, she An bernama Chun
San.
An Chun San ini sebenarnya ada seorang piauw-su
atau pelindung kereta-kereta angkutan. Oleh karena
kelanggar apes jatuh sakit di kampung orang sehingga
sebulan lamanya, maka uang perbekalannya telah habis
sama sekali, dari itu, ia terpaksa menjual silat guna
mencari ongkos untuk pulang ke kampung halamannya.
Akan tetapi karena ia bukan seorang yang biasa
menuntut penghidupan demikian, sudah tentu saja
segala caranya agak kaku dan canggung. Di waktu
berbicara di hadapan para penonton, tak mampu ia
memilih kata-kata yang indah-indah untuk menarik rasa
simpati orang banyak, maka dari itu, hasil usahanya
berkurang pula dan belum bisa mencukupi dipergunakan
ongkos pulang ke kampung kelahirannya.
Lie Tek Hoat yang mendengar penuturan itu, bukan
5
saja menjadi semakin simpati dan mengindahkan, tetapi
juga ia semakin percaya, bahwa ilmu kepandaian silat An
Chun San ini tentu cukup tinggi dan ada itu harga akan
menjadi guru puteranya. Lebih-lebih karena ia ada
seorang piauw-su, maka selanjutnya tak ragu-ragu pula
akan ia mengutarakan maksud hatinya buat mengangkat
si penjual silat itu sebagai guru puteranya. Pada hal ia
tak tahu, bahwa An Chun San ini bukanlah seorang
piauw-su utama yang biasa dipercayakan dalam hal
melindungi kereta-kereta angkutan yang berharga mahal
dan penting.
Maka An Chun San yang mendengar tawaran yang
dapat menjamin penghidupannya di kemudian hari itu,
sudah barang tentu menjadi sangat girang dan bersyukur
di dalam hati, untuk kemujuran yang sekarang terbayang
di depan matanya. Tetapi buat bikin dirinya lebih
diindahkan orang, maka sambil bersenyum ia lantas
berkata: „Lo-sianseng, mula-mula aku menduga kau
mengalami peristiwa apa-apa yang agak sulit, tidak
tahunya hanya urusan begitu saja. Soal ini mudah sekali
untuk diaturnya. Pada beberapa waktu ini sebenarnya
aku mesti kembali dahulu ke Thay-goan, akan tetapi
karena mengingat atas kebaikanmu ini yang telah begitu
sungguh-sungguh mengundang aku buat menjadi guru
puteramu, maka aku suka batalkan keberangkatanku itu,
agar dengan begitu, aku bisa bekerja banyak guna
kebaikan dan kebahagiaan rumah tangga dan puteramu
itu.”
Mendengar jawaban itu, tentu saja Lie Tek Hoat jadi
sangat girang dan berterima kasih atas kebaikan piauwsu
yang baru dikenalnya itu.”
Sedang Chun San yang penghidupannya agak sukar,
juga tak luput berterima kasih pada Thian Yang Maha
6
Kuasa, karena penghidupan selanjutnya akan jauh lebih
senang dan terjamin sebagai seorang guru silat di
rumahan, daripada menjadi seorang pembantu piauw-su
yang hidupnya selalu terancam bahaya maut dan sangat
berat tanggung jawabnya.
Maka setelah membayar harga makanan dan
minuman yang mereka telah dahar tadi, Tek Hoat lalu
ajak Chun San berkunjung ke rumahnya.
Petang hari itu di rumah pabrikan beras yang kaya
raya itu telah diadakan sedikit perjamuan sebagai tanda
hormat atas diri An Chun San yang menjadi guru
puteranya, sedang Poan Thian pun lalu dipanggil buat
mengunjuk hormatnya kepada sang guru itu.
Demikianlah semenjak itu An Chun San telah menjadi
gurunya Lie Kok Ciang, yang kemudian termasyhur
sebagai Sin-tui Lie Poan Thian yang merupakan peranan
utama dari cerita kita ini.
◄Y►
Setahun telah lewat dengan tidak terasa pula.
Selama itu An Chun San telah mengajarkan segala
macam ilmu silat yang ia paham kepada Lie Kok Ciang,
yang ternyata ada seorang yang mempunyai bakat baik
untuk meyakinkan ilmu silat.
Di waktu terluang Poan Thian sering membaca bukubuku
cerita yang menuturkan tentang riwayat orangorang
gagah yang gemar menciptakan ilmu-ilmu pukulan
atas pendapat sendiri. Oleh sebab itu, maka ia sendiripun
jadi tertarik sekali oleh cara-cara mereka itu.
Demikianlah dengan memakai dasar-dasar pelajaran
yang telah dapat diyakinkannya dari An Chun San, Poan
7
Thian telah mulai melatih diri dengan sebaik-baiknya,
tanpa sang guru pernah pikir bahwa muridnya akan
bertindak sekian jauhnya.
Di rumah keluarga Lie, Chun San tak mengajar
dengan setengah hati. Tetapi disamping itu,
permintaannya pun banyak pula, karena buat sesuatu
macam ilmu pukulan baru yang diajarkannya, Poan Thian
harus membayar mahal sekali. Syukur juga berkat
pimpinan guru dan kegiatannya sendiri, sehari demi
sehari Poan Thian telah berobah, dari seorang yang
lemah menjadi seorang yang bertubuh tegap, kuat dan
sehat, hingga ini membikin Tek Hoat jadi semakin girang
dan berterima kasih, dan selalu bersedia akan keluar
uang buat turuti segala permintaannya An Chun San itu.
Sementara Chun San yang melihat pekerjaannya
telah berhasil baik, tidak jarang membanggakan dirinya di
hadapan Tek Hoat dan muridnya.
„Dengan ilmu pukulan yang kuturunkan pada Kok
Ciang sekarang,” begitulah katanya pada suatu hari,
„tidak kurang dari beberapa belas jagoan di kalangan
Kang-ouw yang telah berhasil dapat kurobohkan. Maka
jikalau kau juga suka yakinkan itu dengan segiatgiatnya,”
ia menambahkan sambil melirik kepada Lie
Poan Thian, „niscaya dapat juga kau berbuat begitu.
Tetapi kita yang mengerti ilmu silat, janganlah suka
berlaku congkak kepada sesamanya, apalagi terhadap
pada orang-orang yang lemah dan tidak pandai ilmu itu.
Ada satu kali pernah kualami suatu kejadian yang agak
menggelikan hati. Seorang jago silat termasyhur di
kalangan Kang-ouw, yang di sini kukira tidak perlu
disebutkan namanya untuk tidak mencemarkan nama
baiknya, pernah menyombongkan diri di hadapanku,
bahwa dialah „Thian Hee Tee It” — nomor wahid di
8
kolong langit — dan sesumbar akan pukul jatuh semua
jagoan dari segala golongan. Kepada dia ini aku telah
menasehatkan, agar supaya dia jangan membuka mulut
begitu besar. Orang gagah di dunia ini bukan hanya kau
saja seorang,” kataku.
„Tetapi nasihatku itu telah disambutnya dengan suatu
ejekan yang dapat membikin seorang yang paling sabar
meluap darah. Demikian juga telah kejadian dengan
diriku sendiri, yang ketika itu masih muda dan berdarah
panas, tetapi syukur juga aku masih dapat
mengendalikan amarahku yang telah mulai berkobarkobar.
Belakangan karena ia mengira aku takut
kepadanya, lalu dengan tidak segan-segan pula ia
menantang kepadaku untuk bertanding secara sahabat,
hingga aku sendiri yang telah menjadi mual dengan
tingkah-lakunya yang menengil itu, segera terima
tantangan itu dengan perjanjian akan jangan saling
mendendam, jikalau ada salah seorang yang luka atau
bercacad. Ia terima baik syarat itu.
“Maka setelah kedua pihak memilih seorang wasit,
kita lalu mulai bertempur di sebidang pekarangan yang
agak luas, dengan disaksikan oleh jago-jago tua
kenamaan di kalangan Kang-ouw, yang sekarang hampir
semua telah meninggal dunia.”
Tek Hoat dan Poan Thian pasang telinga mendengari
„obrolan” sang guru itu.
„Dalam pertandingan persahabatan itu,” An Chun
San melanjutkan ceritanya, „aku telah mengalah buat
kasih ia menyerang dahulu kepadaku, biarpun sekalian
Lo-enghiong mengatakan ini tidak adil!”
„Kau yang ditantang, maka haruslah kau dahulu yang
berhak akan menyerangnya,” katanya.
9
„Tetapi aku ini memang orangnya terlalu see-jie,
maka aku lebih suka mengalah daripada mendahului
memukul.” Begitulah pertempuran itu lalu dimulai.
Sambil berkata begitu, dengan tidak terasa lagi Chun
San lalu berbangkit dari tempat duduknya. „Orang itu di
sini kita katakan saja si A,” katanya, „Lalu mulai
menerjang dengan suatu pukulan untuk menjotos ulu
hatiku.” (Buat menutur dengan terlebih jelas, Chun San
lalu menggerak-gerakkan badan, kaki, tangan dan
kepalanya). „Aku lalu mengegos sedikit, buat kasih lewat
pukulan itu, tetapi berbareng dengan itu, aku lalu maju
setindak, akan mendekati kepadanya.
„Sebelah kakinya tiba-tiba menyapu kakiku yang
sedikit maju ke depan, tetapi tendangan itu luput, karena
dengan mudah saja aku telah dapat hindarkan
tendangan itu dengan mengangkat kakiku sedikit ke
atas,” (sambil Chun San menggerakkan kakinya sendiri).
„Ia jadi mendongkol karena tendangannya luput. Lantas
ia mendesak dengan cepat. Untung juga pukulanpukulan
dan tendangan-tendangan yang sehebat itu
ditujukan kepada diriku, jikalau ini ditujukan pada orang
lain, aku percaya orang itu akan kelabakan setengah
mati. Sekalian Lo-enghiong mula-mula sangat kuatir atas
keselamatan diriku. Tetapi ketika dengan mudah aku
telah dapat singkirkan itu semua, ada beberapa orang
yang berbisik, (tetapi ini dapat didengar olehku), bahwa A
itu bukan tandinganku yang setimpal. Ini akupun
memang telah ketahui, A itu memanglah bukan
tandinganku yang setimpal! Malah kalau aku mau, aku
bisa rubuhkan padanya dengan sekali gebrak.”
Poan Thian yang mendengar penuturan itu jadi
kelihatan tidak sabar dan lantas menanyakan: „Suhu!
Aku sungguh tidak bisa mengerti apa sebab kau tidak
10
segera memukul kepadanya, sedangkan kau tahu kau
bisa berbuat begitu?”
„Suhu tentu ada kandung maksud lain,” kata
ayahnya.
Chun San tersenyum.
„Mula-mula aku tak mau berbuat begitu getas,”
katanya, „karena aku tahu, bahwa perbuatan itu akan
mencemarkan nama baiknya di hadapan orang banyak.”
„Nah, itulah sebabnya mengapa Suhu tidak segera
merubuhkan kepadanya,” kata Tek Hoat sambil
mengacungkan jempolnya. „Itulah perbuatannya seorang
budiman!”
„Tetapi kesabaran itu ada batasnya,” kata Chun San
pula. „Maka setelah melihat bahwa perbuatanku yang
mengalah itu jadi berbalik dianggap pengecut, aku jadi
sengit. Aku mulai menyerang dengan ilmu-ilmu pukulan
yang ringan, tetapi semakin lama semakin berat,
sehingga akhirnya aku telah keluarkan ilmu-ilmu pukulan
sangat lihay seperti apa yang kupernah ajarkan
kepadamu.” (Sambil menggerakkan kaki tangannya,
Chun San menoleh pada Lie Poan Thian). „Paling
belakang, pada sebelum ia keburu berteriak meminta
ampun, jari tanganku yang menyamber seperti kilat
cepatnya telah tiba di bagian geger kirinya. Ia berteriak
dan jatuh pingsan dengan tiga buah tulang iganya
patah!” (Chun San tertawa).
Lie Poan Thian kelihatan bernapas lega, hingga
sambil berbangkit dari tempat duduknya ia menyoja pada
An Chun San dan berkata: „Itulah justeru ada bagian
paling setimpal yang ia harus dapatkan! Aku harus
mengucap „Kiong-hie” atas kemenangan guruku.”
11
Chun San yang dipuji-puji jadi semakin mangkak.
„Sebetulnya masih untung ia dirobohkan dalam cara
begitu dan dengan disodok iganya,” ia berkata sambil
pelembungi dada. „Kalau ia kena kutendang, ia akan
putus jiwanya di seketika itu juga!”
Mendengar penuturan itu, Poan Thian dan ayahnya
jadi sangat kagum atas kepandaian sang guru yang
maha dahsyat itu.
„Banyak jagoan-jagoan di kalangan Kang-ouw yang
mendengar betapa lihaynya ilmu tendanganku,” Chun
San melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat,
„telah sengaja mengunjungi kepadaku, dengan maksud
buat minta diajarkan ilmu tendangan itu, tetapi aku
menyatakan berkeberatan, berhubung kuatir nanti
dipergunakan dengan sembarangan oleh mereka itu,
hingga akhirnya aku sendirilah yang akan tanggung
dosanya.”
Poan Thian jadi heran dan berbalik tanya kepada
sang guru itu: „Suhu,” katanya, „aku sungguh tidak
mengerti dengan maksud omonganmu tadi. Cara
bagaimanakah perbuatan orang lain bisa ditanggung
olehmu, sedangkan kau sendiri ada kemungkinan tidak
tahu-menahu tentang perbuatan sesuatu orang itu?”
„Ya, itu memang kelihatannya tidak menjadi soal
penting,” kata An Chun San, „tetapi sudah terang bahwa
setiap orang yang menerima pelajaran ilmu menendang
dari aku, dengan sendirinya berarti suatu kedosaan bagi
diriku, apabila besok atau lusa ia menendang orang
sehingga mati, karena ilmu tendangan itu adalah aku
sendiri yang menciptakannya, bukan boleh meniru dari
orang lain.”
Lie Poan Thian mengangguk-anggukkan kepalanya
12
selaku orang yang berpikir, tetapi ia tak coba berdeging
lebih jauh, meskipun di dalam hatinya ia merasa kurang
puas dengan jawaban gurunya itu. Sementara An Chun
San yang melihat Poan Thian berdiam sejurus, ia kuatir
kalau murid itu minta diajarkan ilmu tendangan yang
dikatakan olehnya tadi, maka buat mencegah kejadiankejadian
lain yang akan menunjuk „tembaga”
kepandaiannya, lalu buru-buru ia tersenyum sambil
mengatakan: „Ilmu tendangan ini akan kuturunkan
kepadamu nanti diakhir tahun pelajaran kedua.”
Oleh karena Lie Poan Thian justeru hendak minta
diajarkan ilmu tendangan itu, maka terpaksa ia tutup
mulut dan mesti menunggu sampai lain tahun, dan itulah
ada jalan pertama yang telah mendorong dia akan
menciptakan ilmu tendangan baru, dengan mana
dikemudian hari dia menjagoi di daerah lima propinsi
utara.
Lie Poan Thian yang berotak sangat terang,
disamping meyakinkan ilmu silat yang diajarkan oleh An
Chun San, juga dengan diam-diam ia telah coba
menyempurnakan sendiri ilmu-ilmu silat yang dirasanya
masih terdapat bagian yang lemah dan mudah diserang
oleh ilmu silat lain.
Pada suatu hari ketika Poan Thian minta diajarkan
ilmu tendangan yang begitu diagulkan oleh An Chun
San, dengan perasaan kurang enak sang guru itu telah
berkata: „Belum boleh, belum boleh, karena ilmu-ilmu
pukulan yang sekarang kau belum dapat yakinkan
sehingga paham betul, cara bagaimana bisa dicampur
aduk dengan pelajaran-pelajaran lain yang sifatnya jauh
lebih sukar daripada itu?”
Poan Thian dilahir tidak coba membantah omongan
gurunya, tetapi di dalam hati ia merasa sangat kurang
13
puas, oleh sebab itu, selanjutnya ia belajar dengan
terlebih giat, sehingga lama kelamaan Chun San jadi
kuatir sekali, akan ilmu kepandaiannya sendiri akhirnya
kena terdesak oleh sang murid. Buat mengaku yang ia
sudah hampir kehabisan „kunci” untuk mengajarkan pada
sang murid, sudah tentu saja tak mau ia berbuat begitu.
Karena jikalau ia berhenti mengajar ilmu silat kepada Lie
Poan Thian, ia kuatir tak akan mendapat pekerjaan lain
yang terlebih menyenangkan. Tetapi, apa akal sekarang?
Pikir punya pikir, akhirnya didapatilah suatu akal
untuk memperpanjang tempo bekerjanya dengan jalan
memberikan pelajaran lebih sedikit kepada muridnya.
Oleh karena itu, dapatlah Chun San berdiam enam bulan
pula lamanya di rumah keluarga Lie itu.
Pada suatu hari di musim dingin, selagi orang enak
berminum arak yang hangat di muka perapian, adalah
Lie Poan Thian sedang asyiknya melatih ilmu silat
ciptaannya di tengah pelataran halaman rumahnya.
Dalam pada itu An Chun San yang menyaksikan
perbuatan muridnya dari kejauhan, diam-diam merasa
heran dan menduga-duga, ilmu silat apa itu yang sedang
diyakinkan oleh Lie Poan Thian.
Ia ingat pernah mengajarkan beberapa banyak
macam ilmu pukulan pada sang murid itu, tetapi ini satu
agak berlainan dengan apa yang ia telah pernah ajarkan.
Betul di beberapa bagian dari ilmu silat yang sedang
diyakinkannya itu mirip dengan ilmu pukulan Song-congkoan,
tetapi perubahan selanjutnya agak asing bagi
pengetahuannya di kalangan itu. „Apakah gerangan
nama aslinya ilmu pukulan ini?” An Chun San bertanya
pada diri sendiri. Tetapi biarpun ia berpikir bolak-balik,
tidak juga ia ketahui apa namanya ilmu pukulan yang
sedang diyakinkan oleh sang murid itu.
14
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa semua itu
adalah hasil daripada ciptaan Lie Poan Thian, yang telah
didapat dengan berdasarkan pelajaran-pelajaran yang
telah diberikan olehnya sendiri.
Lebih jauh ia telah menyaksikan bagaimana kerasnya
di waktu Poan Thian menendang, hingga angin
tendangan itu bersuara dan terdengar olehnya yang
terpisah dari tempat berlatih kira-kira duaratus tindak
jauhnya.
Chun San jadi sangat memuji di dalam hatinya.
Tetapi berbareng dengan itu, ia jadi kuatir juga akan
mesti lekas berlalu dari rumah itu, jikalau nanti Poan
Thian telah paham benar dalam pelajaran-pelajaran
silatnya.
Sekarang ia telah menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri, alangkah pesatnya Poan Thian telah
peroleh kemajuan dalam pelajarannya.
Chun San menghela napas dengan berat, apabila ia
memikirkan itu semua, tetapi tidak urung akhirnya ia
memanggil-manggil juga kepada Poan Thian yang
sedang bersilat itu.
Poan Thian lalu berhenti bersilat dan lekas menoleh
ke belakang. Ketika menampak gurunya berdiri dari
kejauhan, buru-buru ia mengunjukkan hormatnya dan
tersenyum sambil berkata: „Oh, pada sangkaku siapa,
tidak tahunya guruku sendiri. Belum tahu barusan Suhu
memanggil aku ada petunjuk apakah yang hendak
disampaikan kepadaku?”
„Ilmu silat Song-cong-koan yang telah kau
pertunjukkan tadi,” kata Chun San, „ternyata kurang
benar dan banyak bagian yang masih perlu diperbaiki.
Dalam waktu orang mempertunjukkan ilmu pukulan ini,
15
bukan saja tenaga yang dikeluarkan harus cukup kuat,
tetapi juga segala gerakannya pun tidak boleh dilakukan
menyimpang daripada ketentuan-ketentuan yang
memangnya sudah ada sedari dahulu. Maka dari sebab
itu juga, kau harus ketahui dan perhatikan dengan
sebaik-baiknya, bahwa titik kepentingannya ilmu ini ialah
untuk dipakai memukul saluran darah Kie-hun-hiat.
Musuh yang kena terpukul dengan ilmu pukulan Songcong-
koan ini, walaupun tidak mati seketika itu juga, akan
tetapi sudah pasti dia akan menderita luka berat. Maka
jikalau pemukulan itu dilakukan kurang tepat dan tidak
cukup kuat, selain pihak musuh tidak sampai mengalami
kesukaran apa-apa, malah diri kita sendiri bisa berbalik
dicelakai olehnya. Kita pasti tak akan keburu
menggunakan ilmu pukulan lain buat menjaga diri kita.
Itulah bahayanya yang bisa diterbitkan oleh karena
akibat kekeliruan-kekeliruan seperti apa yang telah
ditunjukkan olehmu tadi.”
Lie Poan Thian jadi melengak ketika mendengar
keterangan begitu. Karena menurut keteranganketerangan
Chun San tadi, seolah-olah ia hendak
mengatakan bahwa gerak-geriknya musuh harus
mengimbangi jalannya ilmu pukulan Song-cong-koan itu,
tetapi bukanlah ilmu pukulan itu yang harus disesuaikan
jalannya untuk dapat merobohkan musuh.
Musuh itu bukan boneka, dan ia pasti tidak tinggal
diam apabila pihak musuh mendadak mengganti taktik
dengan mengajukan lain macam ilmu pukulan. Tetapi
dimanakah ada ilmu pukulan yang bisa dijalankan terusmenerus
dari awal sehingga diakhir di dalam suatu
pertempuran?
Keterangan itu memang agak bo-ceng-lie dan bisa
menerbitkan buah tertawaan orang, tetapi Poan Thian
16
tidak berani berbantahan dan segera mengulangi pula
ilmu Song-cong-koan tadi menuruti petunjuk-petunjuk
Chun San yang sudah-sudah. Dan setelah selesai
menjalankan ilmu pukulan tersebut, barulah ia
menanyakan pendapat gurunya tentang ilmu pukulan itu.
Tetapi Chun San lalu menggelengkan kepalanya
sambil berkata: „Belum sempurna, walaupun itu boleh
dikatakan lebih baik daripada tadi.”
Lebih jauh buat membenarkan kekeliruan-kekeliruan
yang telah diperbuat Poan Thian itu, maka Chun San lalu
memberikan segala petunjuk yang, perlu dengan lisan
dan praktek. Kemudian dengan menggunakan ilmu
Song-cong-koan itu ia memukul sebuah pohon liu yang
besar garis tengahnya sepelukan orang, hingga badan
pohon yang bergoncang-goncang karena menerima
pukulan Chun San yang begitu keras, telah
menyebabkan juga banyak daunnya yang sudah tua
jatuh terserak ke muka bumi.
„Nah, kau lihat itu,” kata guru silat itu dengan
perasaan bangga atas kekuatan tenaganya sendiri.
„Dengan menyaksikan pada kejadian ini, tentulah kau
bisa pikir sendiri berapa besarnya tenagaku. Maka
biarpun musuh berotot besi atau bertulang tembaga juga,
niscaya tak akan tahan dia menerima pukulan-pukulan
semacam itu!”
An Chun San tertawa bergelak-gelak sesudah
berkata begitu.
Sementara Lie Poan Thian yang menyaksikan
kekuatannya sang guru, juga kelihatan kagum dan
memuji tidak sudahnya. „Tetapi, Suhu,” kata sang murid,
„cara bagaimanakah kita harus menghindarkannya,
apabila pihak musuh kita yang menggunakannya ilmu
17
Song-cong-koan itu?”
An Chun San lalu menjawab dengan sembarangan,
karena ilmu kepandaiannya memang masih sangat
terbatas. „Oleh karena ilmu pukulan demikian pasti akan
dilakukan dengan tenaga sepenuh-penuhnya,” kata sang
guru. “maka tidak boleh kita tangkis dengan
sembarangan. Kita bisa celaka sendiri apabila kita
berlaku kurang sebat untuk menghindarkannya, maka
buat dapat meloloskan diri daripada pukulan itu, aku
pujikan supaya kau pergunakan ilmu pukulan „Gan-lokpeng-
see” (burung meliwis jatuh di pasir rata). Ini harus
kau perhatikan betul-betul. Bukankah ilmu, „Gan-lokpeng-
see” ini sudah pernah kuajarkan kepadamu?” Chun
San melanjutkan bicaranya.
Poan Thian mengangguk. „Ya,” sahutnya.
„Apakah engkau masih ingat cara bagaimana
mempergunakannya?”
„Masih ingat, masih ingat,” sahut sang murid.
Selanjutnya karena merasa senang pasang omong
tentang ilmu silat, maka Poan Thian lalu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan lain kepada sang guru.
„Suhu, bagaimana kita harus memecahkan ilmu
pukulan „Sian-jin-ciauw-ciang”?” tanyanya kemudian.
(Sian-jin-ciauw-ciang artinya Sang dewa
membentangkan telapak tangan).
„Pergunakanlah tipu „Hun-kim-siu” (Muslihat
membagi emas),” sahut yang ditanya dengan tidak raguragu
lagi. „Sebab tipu silat yang kau katakan barusan itu,
pada umumnya dipergunakan untuk menyerang dengan
berturut-turut di waktu bertempur dengan musuh. Maka
apabila orang menggunakan ilmu pukulan Hun-kim-siu
18
buat menimpalinya, niscaya pihak musuh akan
mengalami lebih banyak celaka daripada selamat!”
„Tetapi Tee-cu sendiri telah mendapat suatu jalan lain
yang agak berbedaan dengan pendapat Suhu tadi,”
katanya, „dan cara inipun dapat dipergunakan, untuk
memecahkan tipu Sian-jin-ciauw-ciang itu.”
An Chun San yang mendengar omongan sang murid,
mendadak tampaknya jadi kurang senang.
„Kurang ajar benar anak ini,” demikianlah pikirnya.
„hingga baru saja belajar ilmu silat setahun lebih, ia
sudah mengunjuk tingkah laku yang begitu sombong! Ia
seolah-olah mau lebih menang daripadaku yang menjadi
gurunya. Maka apabila aku tidak ajar sedikit adat,
tentulah selanjutnya ia bisa khoa-bo (memandang
enteng) kepadaku.” Oleh sebab itu ia berkata: „Apakah
yang kau katakan barusan itu benar-benar?”
Poan Thian menetapkan perkataannya dengan
mengatakan: „Ya, benar.”
An Chun San jadi semakin mendongkol mendengar
jawaban itu, karena itu baginya boleh dianggap sebagai
suatu tantangan.
„Kalau begitu, baiklah!” katanya. „Aku hendak melihat
cara bagaimana engkau akan menghindarkan dirimu,
apabila aku menyerang kepadamu dengan tipu Sian-jinciauw-
ciang!”
Lalu ia maju mendekati kepada sang murid. Hampir
dalam saat itu juga Chun San lalu mengayunkan tangan
kirinya ke depan muka Lie Poan Thian, yang maksudnya
untuk membikin terkesiap hati orang, sedang tangan
kanannya yang menyusul dengan cepat, dimaksudkan
untuk memukul jalan darah Thay-yang-hiat pada bagian
19
pilingan murid itu. Serangan itu telah dilakukan oleh An
Chun San dengan gerakan yang luar biasa cepatnya!
Dalam pada itu Chun San percaya, bahwa Poan
Thian tidak akan mampu memecahkan seranganserangan
itu, jikalau bukan menggunakan ilmu Hun-kimsiu
yang pernah diajarkannya.
Tetapi dugaan itu ternyata meleset.
Poan Thian bukan saja tidak menggunakan tipu Hunkim-
siu barang sedikit, malah gerakannya untuk
menghindarkan diripun jauh berbeda daripada apa yang
pernah diimpikan oleh An Chun San sendiri. Sang murid
ini ternyata tidak melakukan penangkisan menurut cara
yang pernah diajarkannya itu!
Hal mana, sudah tentu saja, telah bikin Chun San jadi
semakin mendongkol!
Buat menghindarkan pukulan itu, Poan Thian bukan
berkelit atau mengegos, hanyalah segera membuang diri
ke belakang, tetapi berbareng dengan itu, kedua kakinya
lalu dikasih bekerja untuk menyapu ke arah kakinya An
Chun San.
Sang guru jadi terkejut, ia tidak tahu dari mana Poan
Thian dapat pelajarkan ilmu tendangan yang baginya
masih agak asing ini.
Buru-buru ia berlompat buat mengasih lewat sebelah
kakinya Poan Thian yang menyamber kepadanya itu.
Tetapi sebegitu lekas kakinya menginjak tanah, kaki
Poan Thian yang menyamber balik telah bikin Chun San
jadi gelagapan!
„Celaka!” ia berteriak di dalam hati.
Ia sama sekali tak menduga, bahwa muridnya dapat
melakukan ilmu tendangan selihay itu!
20
Akan menghindarkan diri dari tendangan musuh
dengan jalan melompat ke atas, itulah bukan pekerjaan
yang terlalu sukar; tetapi buat menghindarkan tendangan
musuh yang menyamber di waktu kita akan menginjak
tanah, itulah sesungguhnya ada saat yang paling
berbahaya bagi kita. Dan itulah justeru ada di bagian ini
yang Poan Thian telah mengambil ketika untuk menjajal
kesebatan gurunya.
Maka sebegitu lekas saat yang tegang itu telah
sampai, sekonyong-konyong An Chun San terdengar
berteriak: „Ayaah!” yang kemudian disusul dengan suarasuara
„plak!” .,sret!” „gedebuk!”
An Chun San yang telah terkena tendangan sang
murid, tidak berbeda dengan daun-daun kering yang
tertiup angin, ia terlempar jauh sekali dan jatuh
jumpalitan di tanah dengan kepala benjut dan
mengeluarkan darah!
Poan Thian sendiri tak pernah menyangka bahwa
persoalan bakal terjadi begitu rupa, tak pernah ia
impikan, bahwa akibat daripada tendangannya itu, sang
guru bisa kejadian terlempar sejauh itu. Dari itu, buruburu
ia berlari-lari, menghampiri dan mengangkatnya
bangun sambil meminta maaf berulang-ulang.
„Aku mohon beribu-ribu maaf atas kelancanganku
itu,” kata Lie Poan Thian dengan laku gugup.
„Tendangan tadi ternyata telah dilakukan terlalu cepat,
sehingga aku tak menyangka sama sekali bakal
menerbitkan luka kepada guruku.”
Sambil berkata begitu, Poan Thian cepat
membungkukkan diri buat menolong kepada sang guru,
tetapi Chun San yang telah keburu berbangkit, dengan
muka merah karena malu dan gusar lalu menuding pada
21
sang murid sambil berkata: „Bagus benar perbuatanmu
ini! Engkau telah berani menyerang guru sendiri dengan
sungguh-sungguh dan selagi aku tidak bersedia!”
Poan Thian yang mendengar omongan itu, dengan
tak tertahan lagi jadi tertawa geli. Sebab pada pikirnya,
apakah gunanya orang meyakinkan ilmu silat, apabila
dalam hal melakukan penyerangan orang mesti
memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak lain yang
menjadi musuhnya? Maka berhubung dengan peristiwa
yang telah dialaminya pada kali ini, lambat-laun Poan
Thian jadi mendusin, kalau-kalau kepandaian silat sang
guru itu hanyalah terbatas sampai di situ saja, sedangkan
omongan-omongan tekebur yang pernah diucapkannya
dahulu, itulah melulu merupakan khayal-khayal yang
tidak ada buktinya sama sekali. Dari itu, tidaklah heran
jika ia jadi tertawa geli.
Chun San yang ditertawai jadi sengit dan merasa
sangat penasaran, biarpun Poan Thian meminta-minta
maaf dan menyatakan penyesalannya telah kelepasan
tangan, tetapi tidak urung dengan tidak pikir panjang lagi
ia segera mengeluarkan suara bentakan keras yang
dibarengi dengan serangan Go-houw-kim-yo (harimau
lapar menubruk kambing) untuk menerjang kepada sang
murid itu.
Syukur juga Poan Thian yang terlebih siang telah
menduga peristiwa apa yang bakal dialami, sudah lantas
mengerti tindakan apa yang harus diambilnya seketika
itu. Maka sebegitu lekas ia melihat gurunya menyerang,
buru-buru ia mempergunakan siasat Pek-kee-tian-cie
(Ayam putih membentangkan sayap) membentangkan
kedua tangannya buat menyingkirkan pukulannya sang
guru, sambil kemudian melanjutkan gerakannya dengan
mengegos ke samping, hingga dengan cara ini ia bisa
22
terluput dan lompat ke suatu jurusan sambil mulutnya
tidak berhenti-henti berkaok-kaok. „Suhu, tahan dulu!
Sabar! Maafkanlah atas kelancangan Tee-cu!”
Tetapi Chun San tidak menghiraukannya dan terus
menggerakkan kaki tangannya buat memukul pada sang
murid yang dianggapnya sangat kurang ajar itu.
Lama-lama peristiwa ini telah dapat dilihat oleh
seorang bujang tua keluarga Lie yang bernama Ong Kiu,
ia jadi sangat terkejut dan buru-buru berlari-lari masuk ke
dalam rumah sambil tidak henti-hentinya berkaok:
„Celaka! Celaka! An Kauw-su berkelahi dengan tuan
muda kita!”
Mula-mula Tek Hoat tidak mau percaya dengan
keterangan itu, bahkan mengomel pada si bujang tua itu
yang dikatakan „edan”. Tetapi ketika ia dikasih
keterangan lebih jauh dengan sikap yang tergopohgopoh,
orang tua itu jadi percaya juga dan terus berlarilari
dengan diiringi oleh beberapa bujang yang lainlainnya.
Dan ketika Tek Hoat sampai di pelataran halaman
rumah, betul saja ia melihat Chun San menerjang pada
anaknya dengan berulang-ulang, tetapi syukur juga Poan
Thian bisa meluputkan diri sambil berkaok-kaok minta
dimaafkan atas segala kekhilafannya.
Tek Hoat yang merasa kuatir atas keselamatan diri
anaknya, buru-buru berlari menghampiri kepada An Chun
San sambil membujuk dan meminta maaf atas
kelancangan dan kekhilafan anaknya itu.
Oleh karena mendengar omongan orang tua itu,
Chun San jadi mendusin dari perbuatannya yang
semberono dan lekas-lekas balas memberi hormat
kepada Tek Hoat sambil memaksakan diri buat
23
mengunjuk muka manis.
„Semua ini sebetulnya cuma merupakan suatu
permainan saja,” katanya, „karena Kok Ciang memang
perlu diajar tabah disamping dilatih dalam hal ilmu
pelajaran silatnya. Karena jikalau ia tidak diajarkan
berlaku tabah dari sekarang, bagaimanakah ia bisa
berhadapan dengan musuh, jikalau di kemudian hari ia
sampai benar-benar bertempur dengan orang lain?”
Tek Hoat mengangguk-angguk sambil membenarkan
omongan guru silat itu, kemudian ia menanyakan
mengapa dahi Chun San berlumuran darah dan tampak
berjendul?
Atas pertanyaan ini. Chun San lalu tuturkan segala
sesuatu yang telah terjadi tadi, tetapi sifatnya ia sengaja
perlunak buat menutup perasaan malunya.
Sementara Tek Hoat yang mendengar begitu, segera
memberikan comelan pada sang anak. „Kau ini sungguh
amat tidak patut telah berani melukai guru sendiri,”
katanya. „Maka setelah melakukan perbuatan yang
begitu kurang ajar, mengapakah kau tidak lekas berlutut
di hadapan An Lo-suhu buat meminta maaf?”
Poan Thian menurut dan lekas menjura di hadapan
An Chun San sambil menyoja dan meminta maaf hingga
Chun San yang menerima permintaan maaf itu dengan
perasaan hati tidak enak, lalu banguni Poan Thian sambil
melanjutkan pembicaraannya dengan sang majikan tua.
„Perkara kecelakaan dalam waktu melatih ilmu silat,”
kata guru silat itu, „memanglah ada suatu hal lumrah
yang tidak perlu banyak direcoki. Demikian juga dengan
halnya kejadian sekarang ini. Perlu apakah Lo-ya mesti
kuatirkan sampai begitu?”
24
Tek Hoat kelihatan puas dengan jawaban An Chun
San itu. Tetapi karena melihat dahi sang guru bercucuran
darah, maka ia telah tawarkan Chun San buat berobat
dengan segala ongkos-ongkosnya ditanggung oleh orang
tua itu.
Tetapi Chun San yang merasa bahwa sendirinya ada
seorang guru silat, ia pikir sangat memalukan apabila ia
luka sedikit saja mesti diobati orang lain. Lagi pula ia
sendiripun mengerti sedikit tentang obat-obatan, hingga
dengan secara getas ia telah menampik tawaran Tek
Hoat sambil berkata: „Oh, itu tidak perlu, karena aku di
sini pun ada sedia obat luka yang manjur sekali, yang
akan dapat menyembuhkan segala macam luka-luka
dalam tempo hanya beberapa saat saja lamanya.”
Kemudian ia pergi mengambil obat yang
dikatakannya itu, yang ternyata benar manjur dan telah
dapat menahan darah yang mengucur di dahinya hampir
di saat itu juga.
Ketika di hari esoknya Poan Thian bangun tidur dan
hendak pergi melatih ilmu silat di halaman pelataran
rumahnya seperti biasa, ia menampak keadaan di situ
agak berlainan dengan hari-hari yang telah lampau,
karena Chun San yang telah dapat malu oleh karena
telah dirobohkan oleh muridnya sendiri, ternyata dengan
tak meminta diri lagi telah meninggalkan rumah itu buat
selama-lamanya. Hal mana, sedikit banyak telah
menerbitkan sesalan juga di dalam hati pemuda itu, yang
tetap menghargai jasa-jasanya Chun San yang telah
mendidiknya sehingga dapat membuka jalan akan ia
menjadi seorang jago silat dan ahli menendang dengan
ilmu Lian-hwan Sauw-tong-tui yang telah diciptakannya
dan di kemudian hari sangat disegani oleh sekian orangorang
gagah di kalangan Kang-ouw.
25
Maka seperginya Chun San dari rumah keluarga Lie,
Poan Thian telah kerap meminta pada ayahnya supaya
dicarikan guru silat lain untuk memberikan pelajaran
kepadanya, tetapi orang tua itu selalu menolak dan
memberikan comelan, hingga selanjutnya ia tidak bisa
berbuat lain daripada melatih diri dengan ilmu-ilmu
pelajaran yang telah didapatinya dari An Chun San,
disamping memperbaiki ilmu tendangan ciptaannya,
dengan mana ia telah berhasil dapat merobohkan
gurunya sendiri.
Setiap hari di waktu Poan Thian berlatih dengan giat
di halaman pelataran rumahnya, banyak orang yang
kebetulan melewat telah pada berhenti menonton
dengan sorot mata yang menandakan kagum atas
kekuatannya pemuda itu. Karena disaban waktu ia
memukul atau menendang pohon liu yang sebesar
pelukan itu, tentulah pohon itu bergoncang keras dengan
daun-daunnya pada rontok dan jatuh terserak ke muka
bumi. Sedang Poan Thian sendiri yang sedikit demi
sedikit telah menyaksikan tentang kemajuan dan
kekuatan dirinya, sudah tentu saja jadi kagum dan sering
berkata pada diri sendiri: „Apabila pohon yang besar ini
bisa bergoncang karena pukulan atau tendanganku,
maka pastilah pukulan atau tendanganku ini akan bikin
orang mati atau patah tulang, apabila nanti kucoba dalam
pertempuran.”
Demikianlah pada pikirnya anak muda itu, yang
seolah-olah anak kerbau yang baru bertanduk itu, tak
takut akan harimau, juga berani menghadapi segala
sesuatu dengan sikap yang angkuh, sehingga ia lupa
bahwa orang gagah di kolong langit ini bukan hanya dia
seorang saja.
Itulah cacadnya orang yang baru mengerti ilmu silat
26
dengan serba sedikit!
Sebulan telah lewat semenjak An Chun San
meninggalkan rumah keluarga Lie.
Pada suatu pagi hari selagi Poan Thian melatih diri
seperti biasa, banyak orang telah berdiri menonton ia
bersilat dari kejauhan.
Di setiap waktu ia selesai bersilat, mereka itu tentulah
menyambut dengan tampik sorak yang riuh, hingga
hatinya Poan Thian jadi sangat gembira dan lambat laun
berpendapat bahwa dirinya „Thian He Tee It”, nomor
wahid di kolong langit.
Tetapi, apa mau, tengah orang banyak bertampik
sorak, mendadak ia mendengar ada seorang yang
mengejek kepadanya sambil tertawa-tawa, hingga Poan
Thian yang mendengar begitu, sudah tentu saja merasa
kurang senang dan lalu bercelingukan buat melihat siapa
adanya orang yang telah mengejeknya itu. Dan tatkala ia
memandang kian-kemari sekian lamanya, akhirnya
barulah diketahui bahwa orang itu kira-kira berumur
tigapuluh tahun, pakaiannya sederhana. Orangnya tidak
besar, tetapi badannya tegap, ia berhidung mancung,
bermulut lebar, dan apa yang terutama paling menarik
perhatiannya Poan Thian, ialah sepasang matanya yang
jeli dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang bisa
menusuk penglihatan orang yang diamat-amatinya.
Kepada ia ini Poan Thian lalu menghampiri, memberi
hormat serta menanyakan sebagai berikut:
„Oleh karena barusan aku mendengar kau mengejek
sambil tertawa-tawa, maka aku berpendapat bahwa kau
ini tentulah ada seorang yang paham ilmu silat. Aku
sendiri harus mengaku, bahwa ilmu kepandaianku belum
sempurna dan masih perlu diperbaiki di bawah
27
pimpinannya seorang yang ahli. Maka apabila tuan
sesungguhnya paham ilmu silat, sudikah kiranya tuan
memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga
kepadaku?”
Orang itu kembali tertawa, tetapi mula-mula tidak
mau berkata apa-apa. Ia bersikap „masa bodoh”. Dan
tatkala Poan Thian mendesak akan minta jawabannya, ia
lalu menggelengkan kepalanya. Ia menjawab: „Tidak, aku
tidak pandai ilmu silat.”
Poan Thian jadi semakin tidak senang mendengar
jawaban itu.
„Apabila kau tidak pandai ilmu silat,” katanya, „perlu
apakah kau mesti mentertawai orang lain?”
„Semua orang adalah bebas buat tertawa,” sahut
orang itu sambil bersenyum. „Aku tertawa dengan
mulutku sendiri, seperti juga kau bersilat dengan kaki
tanganmu sendiri! Ada apakah hubungannya antara
mulutku dan kaki tanganmu?”
„Ah, kurang ajar benar orang ini!” pikir Lie Poan Thian
di dalam hatinya. „Jikalau aku selalu mengunjukkan sikap
yang mengalah, tidak mustahil orang menganggap aku
pengecut. Maka buat mengunjukkan bahwa aku ini
bukan seorang yang penakut, aku perlu ajar sedikit adat
kepada si congkak ini.”
Kemudian dengan sikap gusar dan mata mendelik,
Poan Thian menuding pada orang itu sambil membentak:
„Hai, orang desa! Kau harus ketahui bahwa ejekan
terhadap seorang yang mengerti ilmu silat, itulah berarti
suatu hinaan yang bisa dipersamakan dengan suatu
tantangan berkelahi! Tetapi karena mengingat bahwa
kau tidak mengerti ilmu silat, maka aku mau sudahi saja
urusan ini, apabila kau suka meminta maaf dengan
28
berlutut di tanah di hadapanku!”
„Apa, berlutut?” Orang itu jadi tertawa tergelak-gelak.
Suara tertawanya itu ada begitu nyaring, sehingga
menerbitkan gema yang telah mendatangkan rasa
herannya semua orang.
“Aku tidak biasa berlutut di hadapan sembarangan
orang,” katanya, „apalagi-anak yang baru lepas pupuk
seperti kau ini!”
Mendengar omongan itu. Lie Poan Thian bukan main
marahnya, hingga dengan tidak banyak bicara lagi ia
menjotos orang itu dengan menggunakan siasat Songtwie-
ciang, hingga orang banyak yang setiap hari
menyaksikan tenaga si pemuda yang begitu kuat, ratarata
jadi pada kuatir atas nasibnya orang itu, dan
pernyataan itu menjadi semakin kuat lagi, ketika orang
banyak pada mengatakan: „Celaka! Celaka! Orang itu
sesungguhnya tak berbeda dengan seekor ular yang
mencari pentungan!”
◄Y►
Tetapi sikapnya orang itu tinggal tenang-tenang saja,
walaupun Poan Thian menerjang bagaikan harimau
kelaparan. Ia kelihatan tersenyum sedikit, dan sebegitu
lekas kepalannya Lie Poan Thian mendekati dadanya,
lalu ia merangkapkan kedua tangannya sambil
menggunakan tipu-tipu Hun-sui-ciang, hingga ketika ia
menggerakkan tangan itu dengan kecepatan seperti kilat,
Poan Thian rasakan dari pihak orang itu telah keluar
semacam tenaga penolak yang telah memaksa ia
mundur ke belakang sehingga beberapa tindak jauhnya.
Maka dengan adanya sedikit pengalaman ini, Poan Thian
segera ketahui, bahwa orang ini tentunya ada seorang
29
ahli silat yang ilmu lweekangnya sangat tinggi, tetapi oleh
karena sudah ketelanjuran ia memulai membuka
penyerangan, apa boleh buat ia hendak menjajal juga
sampai dimana kepandaiannya orang itu.
Begitulah ketika ia maju menerjang buat kedua
kalinya, Poan Thian telah berlaku jauh lebih hati-hati
daripada tadi, karena selain ia tidak menggunakan
kepalan lagi, iapun tidak mau „menyeruduk” dengan
sekenanya saja. Lalu ia menendang dengan
menggunakan tipu Tan-hui-tui, semacam ilmu
menendang yang ia biasa praktekkan setiap hari.
Maksud daripada mempergunakan ilmu tendangan ini,
ialah untuk memancing supaya orang itu berkelit atau
menghindarkan tendangan itu dengan jalan berjongkok,
hingga di waktu orang itu berbuat demikian, ia segera
akan merangsek dan menendang pula dengan ilmu
tendangan yang sangat dibanggakannya itu, ialah ilmu
tendangan Lian-hwan Sauw-tong-tui yang dahulu telah
dipakai merobohkan gurunya sendiri.
Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber,
Poan Thian sama sekali tak menduga, kalau-kalau
perhitungannya itu meleset semua. Ia sendiri tidak
melihat cara bagaimana pihak lawannya telah
menyingkirkan diri dari tendangannya, seperti juga ia
tidak melihat cara bagaimana pihak lawannya telah
membalas menyerang kepadanya. Karena tahu-tahu
ketika ia menendang dengan sepenuhnya tenaga, ia
merasakan dirinya seperti juga dilemparkan ke udara,
hingga pada sebelum ia bisa mengucap sepatah kata
„Celaka!” ia sudah terbanting ke suatu tempat yang
terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya dari
tempat ia semula melakukan penyerangan tadi!
Orang banyak jadi bertampik sorak dengan riuh
30
sekali. Mereka sama sekali tak menyangka, kalau orang
itu bisa merobohkan Poan Thian dalam tempo hanya
sekejapan saja lamanya!
Tetapi Poan Thian yang lekas insyaf akan
kekeliruannya, bukan saja tidak jadi gusar mengalami
kekalahan itu, malah sebaliknya lekas berbangkit dan
membungkukkan badan memberi hormat pada orang itu
sambil berkata: „Tuan, nyatalah bahwa aku ini ada
seorang yang tak bisa mengenali seorang pandai, hingga
jikalau kau tidak memberikan sedikit pengunjukkan ini,
niscaya aku akan tetap buta buat menganggap bahwa
diri sendiri „Thian He Tee It”, paling jago dan tidak ada
lawannya di kolong langit ini!”
„Itu di muka adalah rumahku sendiri,” Poan Thian
melanjutkan omongannya, „sudikah kiranya tuan mampir
sebentar buat beromong-omong dan memberikan sedikit
petunjuk berharga kepada diriku yang bodoh ini?”
Orang itu nampaknya tidak berkeberatan buat
mengabulkan permintaan pemuda itu.
„Aku yang rendah bernama Lie Kok Ciang,” begitulah
Poan Thian perkenalkan dirinya sendiri. „Tetapi belum
tahu apakah aku punya itu kehormatan akan mengetahui
she dan nama tuan yang mulia?”
„Aku bernama Hoa In Liong,” menerangkan orang
yang ditanya itu.
Poan Thian jadi girang dan lalu dengan berpimpin
tangan ia mengajak sahabat baru itu akan berkunjung ke
rumahnya.
Di sana In Liong telah diperkenalkan pada ayahnya
Lie Poan Thian, yang telah menanyakan she, nama dan
asal usulnya.
31
In Liong terangkan she dan namanya sendiri, tetapi
tampak agak berkeberatan akan menerangkan asal
usulnya.
Maka Tek Hoat yang seolah-olah telah dapat
membaca pikiran tetamunya, lalu kesampingkan
pertanyaan itu dengan pura-pura menanyakan: „Tahun
ini Cong-su masuk umur berapa?”
„Tigapuluh tahun,” sahut In Liong dengan pendek.
Kemudian Tek Hoat perintah orang-orang
sebawahannya akan menyajikan makanan dan minuman
yang paling baik untuk menjamu kepada tamu yang baru
datang itu.
In Liong kelihatan agak see-jie (sungkan), tetapi Poan
Thian lalu mendesak supaya ia suka duduk makan
minum dahulu, pada sebelum mereka mengobrol lebih
jauh.
„Kita semua adalah orang-orang sendiri,” Tek Hoat
bantu membujuk, „buat apakah mesti berlaku sungkan?”
In Liong apa boleh buat meluluskan juga ajakan itu
dan menyampaikan terima kasihnya.
Pada waktu mereka duduk makan minum, Poan
Thian telah membicarakan banyak sekali tentang soalsoal
yang bersangkut paut dengan ilmu silat.
„Ciang-jie (dimaksudkan Kok Ciang) telah beberapa
lamanya meyakinkan ilmu silat,” kata Tek Hoat pula
sambil bersenyum, „tetapi hasilnya ternyata sangat
menyedihkan.”
„Meyakinkan ilmu silat itu memang meminta sangat
banyak tempo, keuletan dan kesabaran,” kata Hoa In
Liong. „Banyak sekali orang yang meyakinkan ilmu itu
telah jadi kandas karena kekurangan keuletan, takut
32
capai dan ingin lekas pandai. Oleh sebab itu, boleh
dikata sudah bagus kalau ia kandas setengah jalan
dengan tidak menderita kerugian apa-apa. Yang paling
celaka adalah orang yang memaksakan diri sampai
melewati batas, hingga oleh karenanya ia telah
mendapat celaka atas perbuatannya sendiri. Badan
rusak dan peryakinannya pun terbang sia-sia, itulah yang
dinamakan menyedihkan, tetapi bukan sebagai
keyakinan yang diperbuat saudara Kok Ciang ini, harap
Loo-pek jangan salah paham.”
Tek Hoat tertawa waktu mendengar omongan itu.
„Justeru karena aku sendiri hampir mirip dengan
keadaan orang yang kau tuturkan itu,” Poan Thian
menyampuri berbicara, „maka aku mohon supaya sudilah
kiranya tuan memberikan pengunjukan-pengunjukan
untuk memperbaiki cacat-cacatku itu. Aku ini memanglah
sesungguhnya sangat ingin lekas pandai, lekas paham
untuk mempergunakan segara macam ilmu pukulan yang
aku praktekkan setiap hari. Tetapi karena pada beberapa
waktu ini aku tidak mempunyai guru untuk memimpin dan
menilik pelajaran silatku, maka aku bermaksud
mengundang tuan akan menjadi guruku. Cuma belum
tahu apakah tuan sudi meluluskan atau tidak
permintaanku ini?”
In Liong tersenyum sambil kemudian berkata:
„Saudara, dalam hal ini aku sangat menyesal tidak dapat
memenuhkan permintaanmu. Karena selain aku sedang
melakukan tugas yang diberikan oleh guruku, ilmu silatku
pun masih mentah-mateng dan belum mempunyai
kecakapan buat mengajar pada orang lain. Maka buat
tidak mensia-siakan pengharapanmu yang begitu
sungguh-sungguh, aku bersedia buat memperkenalkan
kau kepada guruku Kak Seng Siang-jin, Lo-suhu di
33
kelenteng Liong-tam-sie. Tetapi kau harus berjanji akan
tidak menyebut-nyebut namaku di hadapannya, karena
aku bisa digusari oleh karena berani berlaku lancang
memperkenalkan dirinya kepada orang lain. Beliau ini
adalah seorang tua yang tabiatnya agak luar biasa.
Beliau tidak sembarangan menerima orang sebagai
muridnya, maka dari itu muridnya pun tidak banyak.
Beliau terlalu cerewet dalam hal memilih murid.”
Tek Hoat mengangguk-angguk dengan tidak bicara
barang sepatah katapun. Tetapi Poan Thian yang
mendengar keterangan begitu, sebaliknya jadi semakin
bernapsu buat berguru pada gurunya Hoa In Liong yang
dikatakan bertabiat aneh itu.
„Belum tahu apakah syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh setiap orang yang hendak berguru kepada
beliau itu?” tanya Lie Poan Thian dengan laku sungguhsungguh.
„Aku percaya tuan yang pernah berdiam lama
di kelenteng Liong-tam-sie, tentulah mengetahui syaratsyaratnya
itu.”
Tetapi Hoa In Liong yang tidak mengerti maksud Lie
Poan Thian, sudah tentu saja jadi heran dan balik
bertanya: „Saudara, pertanyaanmu itu sungguh
mengherankan hatiku. Syarat-syarat apakah itu yang
hendak kau minta keterangan dariku?”
Poan Thian yang merasa telah kelepasan omong,
sudah tentu saja jadi gugup dan menjawab: „Maafkanlah
padaku, saudara. Yang aku maksudkan dengan katakata
„syarat-syarat” itu, ialah selain syarat yang harus
dipenuhi oleh setiap orang yang hendak minta berguru,
juga berapakah setiap murid diharuskan membayar
sebagai ongkos belajarnya?”
Mendengar omongan itu, wajahnya Hoa In Liong
34
mendadak jadi merah. Ia kelihatan kurang senang
dengan pertanyaan itu, yang mana dengan cara tegas
dapat dilihat oleh Poan Thian dan ayahnya.
Tetapi akhirnya ia terpaksa bersenyum getir dan
menjawab: „Saudara! Pertanyaanmu itu sebenarnya
merupakan suatu hinaan bagi nama baik guruku di
Liong-tam-sie. Tetapi karena mengingat bahwa semua ini
telah terjadi bukan karena disengaja, maka aku hendak
memperingatkan supaya selanjutnya kau jangan
menyebut-nyebut pula soal pembayaran. Guru kami betul
bukan orang beruang, tetapi kami percaya beliau bukan
seorang yang terlalu kemaruk dengan harta dunia! Beliau
menerima murid dengan tidak mengharapkan
pembayaran apa-apa. Barang siapa yang dianggap
mempunyai bakat baik dan herharga buat dididik dengan
mudah lantas diterima, tetapi barang siapa yang ternyata
tidak berharga mendapat perhatiannya meski dia
membawa „uang pembayaran” bergudang-gudang
sekalipun, niscaya akan ditolaknya dengan secara getas!
Itulah syarat yang terutama buat orang berguru pada Kak
Seng Siang-jin Lo-suhu, yang sama sekali tidak menitik
beratkan pengajaran karena keuangan!”
Tek Hoat dan Poan Thian jadi terperanjat melihat In
Liong menjadi gusar mendengar pertanyaan tadi. Buruburu
mereka berbangkit dan meminta maaf atas
kekeliruan dan kelancangan bicara itu.
„Ya, ya, itu aku mau percaya. Saudara Kok Ciang ini
tadinya tentu menyangka, bahwa guruku itu boleh
dipersamakan dengan guru-guru silat lain, yang mau
mengajar silat apabila mendapat pembayaran baik. Hal
ini aku harus maafkan, berhubung ia belum mengenal
banyak tentang orang-orang pandai yang berkeliaran di
kalangan Kang-ouw. Selain daripada itu, aku mohon
35
tanya, dahulu saudara Kok Ciang pernah berguru
dengan siapa?”
Poan Thian lalu tuturkan lelakon ia berguru dengan
An Chun San, dari bermula sehingga guru itu mabur
setelah kena dirobohkan olehnya.
„Kalau begitu,” kata Hoa In Liong, „teranglah sudah,
bahwa gurumu itu bukan seorang guru silat yang baik.
Aku bukan mencela orang karena menganggap diri
sendiri lebih pandai daripada orang lain. Aku bukan
menghinakan kepadanya ataupun kepada dirimu sendiri.
Dalam hal ini rasanya aku tidak perlu berlaku see-jie buat
mengeritik untuk kebaikanmu sendiri, juga tidak perlu kau
merasa tersinggung oleh karenanya.”
„Itu betul, itu betul,” menyambungi Tek Hoat. „Touwgouw-
ok-cia, sie-gouw-su: barang siapa yang menegur
kesalahan kita, orang itulah guru kita. Harap Cong-su
tidak usah merasa sungkan buat mengajukan keritik apaapa
yang baik.”
Sementara Hoa In Liong yang diberikan kesempatan
untuk menyatakan pikirannya terhadap ilmu silat yang
dipelajari Poan Thian dari An Chun San, dengan sabar
lalu mulai membentangkan beberapa banyak kekeliruan
tentang gerakan ilmu silat yang ia telah saksikan
dipergunakan oleh Poan Thian ketika tadi ia menyerang
kepadanya.
„Beruntung juga saudara Kok Ciang belum belajar
terlalu lama di bawah pimpinannya An Chun San,” ia
melanjutkan, „hingga dengan begitu masih tidak begitu
sukar untuk memperbaiki apa-apa yang telah keliru
dipelajarinya.”
Disamping mengunjukkan bagian-bagian yang keliru
dalam pelajaran-pelajaran yang Poan Thian telah pelajari
36
dari An Chun San itu, In Liong pun tidak lupa
memberikan petunjuk-petunjuk cara bagaimana Poan
Thian harus merubah kekeliruan-kekeliruan itu sehingga
jadi benar dan dapat dipergunakan sebaik-baiknya.
“Dari hal kau suka mencipta ilmu-ilmu pukulan baru
dari apa yang memangnya sudah ada,” In Liong kata
pula, „itu sudah tentu saja ada juga kebaikannya, tetapi
cara itu bukannya mesti dilakukan olehmu sekarang,
dimana ilmu kepandaianmu masih belum cukup mateng.
Karena dengan mengambil cara yang melampaui
kemampuanmu itu, dikuatir cara penciptaanmu itu akan
jadi lebih kacau dan tidak keruan macam, sehingga itu
lebih banyak mendatangkan kerugian daripada
keuntungan yang diharapkan olehmu dari di muka.”
„Itu betul, itu betul,” menimbrung Tek Hoat, walaupun
ia kurang mengerti kemana maksudnya omongan itu.
Poan Thian jadi sangat berterima kasih atas
pengunjukan-pengunjukan berharga dari Hoa In Liong,
yang telah membentangkan semua itu dengan sejujurjujurnya.
Maka buat melaksanakan bakat baik yang dipunyai
oleh si pemuda itu, In Liong memberi nasehat supaya
sedapat mungkin Poan Thian berangkat ke kelenteng
Liong-tam-sie, buat coba berguru pada Kak Seng Siangjin
yang menjadi kepala kelenteng tersebut.
Poan Thian berjanji akan berbuat begitu, tetapi Tek
Hoat merasa tidak mufakat, walaupun ia tidak
menyatakan itu dengan secara terang-terangan. Orang
tua ini tampaknya berkeberatan, akan anaknya belajar
ilmu silat di suatu tempat yang terpisah dari rumahnya
sendiri, tetapi buat melarang dengan kekerasan di
hadapan tamunya, iapun merasa sungkan dan tak
37
berani.
Begitulah tatkala matahari hampir selam ke barat In
Liong lalu pamitan pada Tek Hoat dan Poan Thian sambil
berkata: „Hari untuk kita saling bertemu masih banyak,
tetapi sekarang kiranya sudah cukup kita mengobrol
sampai di sini saja dahulu.”
Tek Hoat dan Poan Thian coba menahan supaya ia
suka berdiam di rumah mereka sampai beberapa hari
lamanya, tetapi In Liong cuma bisa menyatakan
menyesalnya, tidak dapat mengabulkan permintaan
mereka itu, berhubung ia masih ada urusan penting yang
katanya perlu diurus selekasnya. Maka disamping
mengucapkan diperbanyak terima kasih atas
kebaikannya kedua orang ayah dan anak itu, iapun tidak
lupa bantu berdoa, agar supaya Poan Thian bisa diterima
sebagai murid oleh Kak Seng Siang-jin di Liong-tam-sie.
Dan jikalau di suatu tahun ia kembali lagi dan
mengunjungi mereka, ia percaya akan dapat menjumpai
Poan Thian dengan sudah menjadi salah seorang ahli
silat yang pandai dan termasyhur di kalangan Kang-ouw.
Pujian itu telah membikin Poan Thian jadi semakin
besar hati dan bernapsu akan berguru pada Kak Seng
Siang-jin di Liong-tam-sie.
Tetapi sebegitu lekas In Liong berlalu, Tek Hoat lalu
menyatakan ketidak setujuannya akan sang anak
mempelajari ilmu silat di Liong-tam-sie.
Karena jikalau semula ia telah mengundang An Chun
San untuk mengajari ilmu silat kepadanya, bukanlah
mengingini supaya Poan Thian menjadi ahli silat yang
jempolan, hanyalah sekedar buat melatih diri sang anak
sehingga menjadi seorang yang kuat dan sehat. Maka
setelah sekarang ia berhasil memperoleh kesehatan dan
38
kekuatan yang diharapkan itu, perlu apakah mesti
capaikan hati lagi untuk memperdalam ilmu itu dengan
meninggalkan rumah tangga sendiri?
Tetapi Poan Thian tetap pada pendiriannya dan
hendak pergi juga, hingga kedua orang ayah anak itu
akhirnya jadi bercekcokan dan berdeging untuk
membelakan pendirian masing-masing.
Syukur juga selagi percekcokan itu hampir sampai di
puncaknya ketegangan, tiba-tiba ada seorang tetamu
yang datang berkunjung dan lalu memisahkan kepada
mereka sambil berkata: „Sabar, sabar! Kamu berdua ada
soal apakah sehingga mesti bercekcokan satu sama
lain?”
Tek Hoat merasa tidak enak buat bercekcokan lebih
jauh dengan anaknya sendiri, karena orang yang baru
datang itupun bukan lain daripada sahabat karibnya
sendiri Cek Kong Giok, yang telah sekian tahun lamanya
tidak tahu bertemu.
Maka orang tua itu yang melihat kunjungan
sahabatnya yang sangat sekonyong-konyong itu sudah
tentu saja lantas mengunjukkan roman yang girang sekali
dan berkata: „Eh, eh, angin manakah ini yang telah
meniup kau datang ke Cee-lam?”
„Itulah sebab aku dari kejauhan telah petang-petangi
akan menonton pertunjukkan bapak dan anak berebut
pepesan kosong!” kata Cek Kong Giok sambil tertawa
terbahak-bahak.
Sementara Tek Hoat yang kenal baik Kong Giok
seperti saudara sekandung, bukan saja tidak menjadi
gusar malah sebaliknya lantas jabat tangan sang
sahabat buat dipersilahkan duduk.
39
Kemudian ia panggil Poan Thian buat memberi
hormat pada Kong Giok yang memang dikenal baik oleh
segenap keluarga Lie.
“Kau ini memang sedari masih anak-anak
mempunyai kenakalan seperti Sun Go Kong,” kata Kong
Giok pada pemuda itu sambil tertawa. „Belum tahu hari
ini ada soal apa yang telah membikin kau mengacau di
Keraton Langit?” (Kong Giok yang suka memain sering
menamakan Tek Hoat: Lie Thian-ong, karena pada dahi
orang tua itu tampak bekas luka yang hampir menyerupai
sebuah mata tambahan seperti matanya Tok-tha Lie
Thian-ong yang ada tiga buah. Sedang Tek Hoat
membalas „memoyoki” Kong Giok: Bie Lek Hud,
berhubung perawakannya Kong Giok tromok dan suka
tertawa).
Poan Thian jadi tertawa geli, karena dengan tiada
angin atau hujan mendadak telah dinaikkan “pangkat”
dengan gelaran Sun Gouw Kong. Kemudian ia tuturkan
apa sebabnya ia telah bercekcok tadi.
„Ah, itulah ternyata ada suatu perkara kecil saja,”
kata Cek Kong Giok, „buat apakah mesti tarik urat
sampai begitu? Engkau sebagai anak sebenarnya tidak
patut berbantahan kepada perintah orang tua. Engkau
belum kenal banyak tentang asam garam dunia,
sehingga engkau belum bisa menjajaki bagaimana
kesukarannya orang memelihara dan mendidik anak
sebagai ayahmu ini. Ia sebenarnya sangat mencintai kau,
maka dari itu ia kuatir kau mendapat kesusahan apa-apa
jikalau mesti berdiam jauh dari rumah sendiri.”
„Itu benar, itu benar,” mencampuri Tek Hoat, „tetapi
dia tak mau dengar omonganku. Dia mau bawa
kehendaknya sendiri!”
40
„Bukan begitu,” akhirnya Poan Thian pun
mencampuri bicara juga, „bukan aku hendak membantah
perintah orang tua. Aku cintai ayahku lebih besar
daripada diriku sendiri. Tetapi orang jangan lupa, bahwa
jaman pemerintahan Boan-ciu sekarang ini agak
berlainan dengan pemerintah-pemerintah di jaman lalu.
Aku bukan ahli nujum atau seorang yang pandai melihat
gelagat, tetapi kenyataan mengunjukkan tegas sekali,
bahwa barang siapa yang hidup di jaman ini dengan
berada di pihak lemah, tidak mustahil ia akan ditindas
oleh pihak yang kuat. Oleh sebab itu, aku telah
mengambil suatu ketetapan untuk menjadikan diriku
seorang kuat yang tak akan menyerah mentah-mentah
ditindas orang! Sie-siok ada seorang yang sudah
kenyang mencicipi asam garam dunia, maka dari itu
tentu bisa menimbang dengan sebaik-baiknya
omonganku ini.”
Tetapi Tek Hoat lantas membantah dengan
mengatakan: „Salah, salah! Itu aku tidak mufakat. Kita
orang baik-baik selalu memperlakukan orang lain dengan
baik pula, cara bagaimanakah orang bisa menindas pada
kita? Kau jangan lupa, bahwa di atas kita masih ada
Thian yang melindungi kita, sedangkan di muka bumi ada
pengadilan negeri yang akan menjamin dan mengurus
urusan kita, apabila nanti kita sampai ditindas atau
diperlakukan sewenang-wenang oleh orang lain!”
Mendengar omongan ini, Poan Thian jadi tersenyum.
Tetapi pada sebelum ia membuka mulut buat
membantah omongan itu, Kong Giok telah menyelak
sambil berkata: „Sudah, sudah, tidak perlu
memperdebatkan segala urusan yang tiada herguna.
Sekarang hanya ada satu pertanyaan yang aku hendak
ajukan kepada Lauw-hia,” (sambil menoleh pada Tek
Hoat), „apakah kiranya kau mufakat, apabila aku sendiri
41
yang mengantarkan Kok Ciang sampai di Liong-tam?”
Tek Hoat tarik muka kecut.
„Apakah kau sendiri memang tidak ada urusan apaapa,
sehingga kau merasa perlu buat mengantarkan
sendiri kepadanya ke sana? Kukuatir hal itu akan
membuang waktumu dengan sia-sia.”
Kong Giok mengerti, bahwa anjurannya itu tidak
disetujui oleh Tek Hoat, tetapi ia sengaja berpura-pura
tidak tahu dan menjawab: „Itu tidak mengapa. Karena
aku sendiri yang memang hendak pergi ke Cong-ciu,
sekalian akan lewat juga di Liong-tam, di mana kelenteng
itu terletak.”
Tek Hoat tinggal membungkam saja, tidak
mengatakan „ya” atau „tidak” atas tawaran itu.
„Lauw-hia harus pikir baik-baik,” kata Kong Giok pula.
„Anak laki-laki itu tidak perlu dipingit seperti anak-anak
perempuan, karena cara itu cuma akan bikin dia bodoh
dan cupat pikiran. Aku sendiripun punya seorang anak
laki, satu-satunya seperti Giok Ciang ini, tetapi aku tidak
suruh dia „ngerem” di rumah, hanya kuanjurkan dia akan
chut-gwa (merantau) dan berusaha di mana-mana, biar
dia bisa rasakan bagaimana susah-payahnya orang
mencari nafkah. Karena disamping dia bisa berusaha
dengan tiada mengandalkan terus tenaga orang tua,
diapun bisa juga luaskan pemandangan dengan
memperhatikan seluk-beluk penghidupan di tempattempat
lain.”
Sementara Poan Thian yang seolah-olah telah
mendapat dorongan baru dari pembicaraan Kong Giok
ini, sudah tentu saja diam-diam jadi sangat girang dan
berkata dalam hati: „Nah, kalau dilihat begini gelagatnya,
nyatalah maksudku akan berguru pada Kak Seng Siang42
jin bakal bisa kesampaian juga.”
„Kau ini si Bie Lek Hud memang pandai mengacau
urusan!” kata Tek Hoat sambil menuding-nuding pada
sahabatnya.
Tetapi Kong Giok anggap sepi semua dampratan itu.
Kemudian ia menoleh pada Poan Thian sambil, berkata:
„Hei, Ciang, mengapakah kau tinggal melongo saja dan
tidak lekas pergi berkemas-kemas untuk berangkat ke
Liong-tam besok?”
Poan Thian tampak tersenyum girang. Tetapi buat
tidak membelakangi kepada orang tua sendiri, ia tidak
lupa akan meminta juga perkenan ayahnya, hingga Tek
Hoat yang merasa tidak bisa menghalangi lebih jauh
kehendak sang anak yang begitu sungguh-sungguh,
dengan apa boleh buat telah mengabulkan juga sambil
menggerutu: „Dasar tidak boleh diurus orang! Pergilah
kau kasih tahu pada ibumu.”
Dan tatkala Poan Thian telah berlalu, Tek Hoat
kembali telah menuding-nuding pada si tromok dan
mengomel panjang pendek. “Kau ini kelewat usil mulut!”
katanya. „Barusan sebenarnya aku sudah mau
mengucapkan terimakasih kepadamu, karena kau telah
mengajari supaya Ciang-jie jangan membantah kemauan
orang tua, tetapi tidak kira buntutnya omonganmu jadi
berbalik lain daripada apa yang aku harapkan. Bukannya
pegang teguh pendirianmu, mendadak sontak kau
menganjurkan dia pergi juga. Belum tahu ada hal apa sih
yang bikin kau jadi berpikiran bolak-balik begitu rupa?”
Kong Giok tertawa. „Dari tadi pun aku sudah lihat
tegas, bahwa Giok Ciang yang keras kepala ini sukar
digertak dengan segala omongan yang bersifat
mengancam. Buktinya kau bisa saksikan sendiri, ketika
43
kau mengatakan apa-apa yang bermaksud melarang ia
pergi, ia lantas memberikan segala alasan dengan
sekenanya saja. Aku percaya jikalau aku juga memihak
padamu dan melarang ia pergi, ia akan mabur dari sini
buat bisa melaksanakan kehendaknya. Maka daripada ia
mabur dengan secara diam-diam, kukira lebih baik kau
berlaku sedikit lunak dan perkenankan kepadanya akan
berguru ilmu silat di Liong-tam-sie. Karena selain
letaknya Liong-tam tidak terlalu jauh dari sini, di
kelenteng itu pun dia tentu mendapat penilikan yang baik
dari guru dan kawan-kawannya. Buat apakah mesti jadi
ribut mulut dengan anak kecil oleh karena urusan
sebegitu?”
Tek Hoat pikir omongan itu memang ada juga
kebenarannya, maka hatinya yang tadinya mendongkol
jadi berkurang banyak oleh karenanya.
Keesokan harinya di waktu Poan Thian tengah
berdandan dan menyediakan segala keperluan yang
hendak dibawanya, Tek Hoat dan Kong Giok telah
menantikan di halaman pertengahan sambil mengobrol
dan minum air teh.
„Kepergianmu ini ke Cong-ciu,” Tek Hoat bertanya,
„apakah berhubung dengan urusan dagang atau
keperluan-keperluan lain?”
„Yang pertama memang berhubungan dengan
urusan dagang,” sahut Kong Giok, „tetapi aku pikir
hendak sekalian menyambangi kawan dan sahabat di
saban kota yang aku lewati. Kalau tidak begitu,
dimanakah aku mau melewat ke Liong-tam?”
„Kalau begitu,” kata Tek Hoat, „tolonglah kau
sampaikan salamku pada kawan-kawan kita, kepada
siapa kita memang mempunyai perhubungan yang baik.”
44
Cek Kong Giok berjanji akan berbuat begitu.
Tatkala seorang bujang keluar memberitahukan
bahwa makanan sudah disajikan, Tek Hoat undang
sahabat itu dahar dahulu pada sebelumnya berangkat.
Sesudah dahar dan bermohon diri kepada Tek Hoat
dan sekalian keluarganya, Kong Giok lalu ajak Poan
Thian menuju ke Liong-tam dengan menunggang dua
ekor kuda.
Sesampainya di Liong-tam pada beberapa hari
kemudian, barulah Kong Giok dan Poan Thian saling
berpisahan, yang pertama melanjutkan perjalanannya ke
Cong-ciu, sedang yang tersebut belakangan menuju ke
Liong-tam-sie. Setelah menanyakan pada penduduk di
situ, dimana letaknya kelenteng tersebut yang hendak
ditujunya itu.
Namanya kelenteng itu ternyata dikenal cukup baik
oleh setiap orang, bahkan nama Kak Seng Siang-jin pun
tidak asing pula bagi penduduk kota itu. Maka dengan
adanya kegampangan-kegampangan ini, tidaklah heran
kalau dalam waktu yang singkat Poan Thian telah dapat
ketemukan kelenteng itu, dimana ternyata banyak
dikunjungi orang, yang keluar masuk di situ buat
memasang hio atau membayar kaul. Oleh sebab itu,
keadaan di situ tidak berbeda dengan sebuah pasar
kecil, dan ketika Poan Thian menanyakan pada salah
seorang yang berjalan berpapasan dengannya, dimana
tempat kediaman paderi kepala, orang itu lalu menunjuk
ke sebuah ruangan sambil berkata: „Tu, di sana. Apakah
kau ini ada seorang yang baru pernah berkunjung ke
sini?”
Poan Thian mengangguk sambil mengucapkan
terima kasih, kemudian ia menuju ke ruangan yang
45
ditunjuk itu.
Di situ, karena melihat ada beberapa banyak orang
yang duduk di bangku panjang, maka iapun lalu maju
menghampiri, memberi hormat pada seorang yang
berdekatan dan numpang duduk di dekatnya.
Tatkala orang-orang itu seorang demi seorang telah
pada berlalu, tinggallah Poan Thian saja seorang diri
yang duduk di situ.
Matahari sudah mulai silam ke barat, tetapi tidak
tampak pula orang yang datang atau keluar menanyakan
kepadanya.
Oleh karena kesal duduk sekian lamanya di situ,
maka Poan Thian lalu letakkan pauw-hok yang
dibawanya ke atas meja yang terdekat, sedang ia sendiri
lalu berjalan mondar-mandir di halaman itu, untuk
menghilangkan sedikit rasa kesalnya.
Tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai hari petang,
ternyata tidak juga tampak bayangannya barang satu
manusia pun. Bahkan di luaran hanya terdengar suara
kutu-kutu saja yang memecah kesunyian di dalam
kelenteng itu.
Poan Thian jadi heran dan tidak mengerti, apa sebab
ia dijemur orang begitu rupa. Padahal kunjungannya itu
diketahui serta dilihat oleh setiap orang.
„Apakah barangkali aku disuruh menunggu dahulu
beberapa saat lagi lamanya?” pikirnya ketika kemudian
melihat beberapa orang paderi keluar memasang api
lentera di serambi depan kelenteng.
Salah seorang antara paderi-paderi itu yang melihat
Poan Thian berdiri di situ, lalu menghampiri sambil
bertanya: „Tuan, hari sudah hampir malam, tetapi
46
mengapakah tuan masih ada di sini?”
Poan Thian jadi kemekmek.
„Aku sedang menantikan paderi kepala,” sahutnya.
„Oh, kalau begitu,” kata sang paderi, „bolehlah tuan
menunggu saja dahulu.”
Poan Thian mengucap terima kasih, kemudian ia
duduk pula sambil menahan perutnya yang sudah mulai
keruyukan minta diisi.
Beberapa jam kembali telah lewat. Dan ketika paderi
tadi balik kembali dan masih saja melihat Poan Thian
menjublek di situ, ia segera menghampiri dan bertanya,
apakah guru mereka belum juga memberikan perkenan
akan ia masuk?
„Belum,” sahut Poan Thian. „Apakah Lo-suhu ada di
dalam?”
Paderi itu jadi heran.
,,Aku sungguh bisa mengerti apa maksudmu itu,”
katanya, „apakah barangkali kau belum memberi tahukan
kepada paderi pengawas pintu, bahwa kau minta
bertemu kepada guruku?”
Poan Thian menggelengkan kepalanya.
„Ti..... tidak,” sahutnya. „Barusan aku melihat orang
berkumpul di sini, dari itu, akupun lalu turut duduk di sini.
Seorang demi seorang mereka masuk ke pintu sana,”
(sambil menunjuk pintu dihadapannya). “tetapi tidak
tampak seorang pun yang keluar kembali. Kukira aku
mesti menunggu giliran di sini, maka aku menunggu dan
menunggu. Sehingga hari sudah petang begini, belum
juga ada orang memanggil masuk kepadaku.”
Mendengar keterangan demikian sang paderi jadi
47
tertawa terbahak-bahak. Kemudian ia memberitahukan
bahwa di ruangan itu memang banyak orang yang
menunggu giliran buat..... menanyakan peruntungan atau
perjodohan dengan jalan menarik ciam-sie, hingga Poan
Thian jadi mengurut dada dan sesalkan kebodohan
dirinya yang tidak mau menanyakan keterangan dari
orang-orang yang berkumpul sehingga kejadian ia
„nongkrong” di situ tanpa gawe dan dengan perut
keruyukan!
„Tadinya kusangka bahwa orang-orang itu sedang
menunggukan panggilan dari paderi kepala,” kata Poan
Thian kebogehan.
„Tetapi lantaran sudah terlanjur menunggu sampai
seharian, sudikah kau memberitahukan kepada Lo-suhu,
bahwa aku, Lie Kok Ciang, orang dari Cee-lam, mohon
berjumpa kepadanya?”
Paderi itu mengabulkan sambil mengerendeng:
„Kasihan.” Tidak antara lama ia telah kembali dan
memberitahukan, bahwa guru mereka sedang
bersemadi.
„Kalau nanti ia sudah selesai bersemadi,”
menjanjikan paderi itu, „tentulah aku beritahukan
kepadanya tentang kunjunganmu ini. Harap kau suka
bersabar beberapa saat lagi lamanya.”
Poan Thian menurut.
Selama menunggu panggilan, ia terpaksa rebahan di
bangku panjang buat menghilangkan rasa pegalnya.
Tidak lama tampak seorang paderi yang berusia agak
lanjut, hingga Poan Thian yang menyangka bahwa
paderi itu akan memanggil dia masuk, buru-buru
berbangkit sambil bertanya: „Suhu apakah Lo-suhu
48
sudah selesai bersamedi?”
Paderi itu tersenyum.
„Ah,” katanya, „sekarang Lo-suhu sudah masuk tidur!
Kalau kau ingin berjumpa, baiklah kau kembali lagi besok
saja pagi-pagi.”
Poan Thian jadi menghela napas. Ia pikir, Kak Seng
Siang-jin sekarang justeru ada di kelenteng dan tidak
bepergian ke mana-mana, oleh sebab itu, tentu mudah
dijumpainya. Jikalau ia sampai keluar bepergian
sehingga bertahun-tahun lamanya (seperti apa katanya
Hoa In Liong), tentulah tidak ada harapan lagi untuk ia
bisa berguru. Oleh karena ia berpikir begitu maka ia
lantas menjawab: „Tidak apa. Aku tunggu di sini sampai
Lo-suhu bangun tidur di hari esok.”
„Ya, kalau begitu sih tinggal sukamu sendiri,” kata
paderi itu sambil berlalu.
Selama rebahan di atas bangku panjang di halaman
itu, Poan Thian jadi tidak mengerti mengapa pelayanan
paderi-paderi di situ ada begitu buruk. Dari pagi tadi ia
belum makan atau minum, tetapi tiada seorangpun
antara paderi-paderi di situ yang menawarkan ia makan
atau minum. Dan setelah sekarang ia menyatakan
hendak melewati malam (bukan bermalam) di situ, juga
tidak tampak seorangpun yang memberikan kamar buat
ia tidur.
„Aku sungguh tidak mengerti, apakah maunya
mereka itu?” Poan Thian bertanya kepada diri sendiri,
sambil mendengari suara perutnya yang berkeruyukan
tidak henti-hentinya!
Lama-lama ia jadi kepulesan.
Kira-kira hampir fajar ia telah tersadar karena
49
mendengar suara berketupraknya sepatu di atas jubin. Ia
buka matanya sedikit, tetapi ia lantas pejamkan lagi,
karena orang yang mendatangi tidak melalui halaman
dimana ia rebah.
Sesaat kemudian barulah ia bangun dan pergi buang
air kecil. Di waktu kembali ke halaman itu, Poan Thian
berpapasan dengan seorang paderi yang ia baru lihat
romannya di seketika itu. Buru-buru ia memberi hormat
dan bertanya: „Suhu, apakah Lo-suhu sudah bangun
tidur?”
„Wah, nyatalah kau datang terlambat,” sahut paderi
tersebut. „Barusan saja ia keluar, tetapi tidak lama lagi ia
tentu kembali, karena ia tidak meninggalkan pesan apaapa
kepadaku. Harap kau suka bersabar sedikit akan
menunggukan kepadanya di sini.”
Mau tak mau, Poan Thian terpaksa mesti menunggu
lagi, hanya tidak diketahui kapan Kak Seng Siang-jin
akan kembali.
Mulutnya Poan Thian sudah dirasakan kering, karena
sehari semalam lamanya tidak minum, badannya letih
karena kelaparan. Tetapi ia tahan semua penderitaan itu
dengan tidak mengeluh barang sepatah katapun.
Kira-kira berselang seperempat jam lamanya,
seorang paderi telah keluar menghampirinya dengan
paras muka yang berseri-seri.
Poan Thian lekas memberi hormat dan bertanya:
„Apakah Lo-suhu telah kembali?”
„Ya,” sahut paderi yang ditanya itu, „sekarang ia
panggil kau akan datang menghadap.”
Poan Thian jadi girang, dan dengan tindakan lebar ia
mengikuti paderi itu masuk, ke halaman pertengahan
50
kelenteng.
Di situ, setelah melalui beberapa banyak pintu,
akhirnya sampailah ia ke sebuah ruangan, dimana Poan
Thian menampak seorang paderi tua tengah duduk
bersila di atas ranjang untuk paderi-paderi, sepasang
matanya dipejamkan. Walaupun usianya paderi itu sudah
lanjut, tetapi potongan badannya tinggal tetap tegap.
Sepasang halisnya yang panjang sudah tercampur
sedikit uban. Wajahnya yang angker dan lebar, ditimpali
oleh sepasang daun telinga yang lebar pula, ia tidak
berjanggut ataupun bermisai. Hidungnya mancung,
mulutnya agak lebar, sedang sembilan Kay-khong atau
noda bunder bagaikan bekas luka yang tampak di kepala
tiap-tiap paderi, tampak dengan tegas di kepala paderi itu
yang agak besar. Maka setelah ia diberitahukan bahwa
paderi tua itu bukan lain daripada Kak Seng Siang-jin,
Poan Thian buru-buru jatuhkan diri menjurah di atas jubin
beberapa kali. Dan tatkala Kak Seng Siang-jin membuka
mata dan mengamat-amatinya, Poan Thian jadi
terperanjat bagaikan orang yang terkena getaran listrik,
hingga ini telah membikin ia hampir tak berani
memandang lagi sorotan mata itu, kalau saja sang paderi
tak mulai bertanya: „Apakah kau ini bukan Lie Kok Ciang
yang baru datang dari Cee-lam?”
Poan Thian membenarkan apa kata paderi tua itu.
„Apakah maksudnya kau datang mencari aku?”
bertanya Kak Seng Siang-jin pula.
Poan Thian lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya,
maksud apa yang dikandung di dalam hatinya.
„Kau ini ternyata mempunyai kesabaran yang
lumayan juga,” kata sang paderi sambil tersenyum
sedikit. „Jikalau kau memangnya sudah pernah
51
meyakinkan ilmu silat, cobalah tuturkan itu, berapa lama
dan siapa gurumu?”
Poan Thian lalu tuturkan segala keterangan yang
diminta, dengan mana Kak Seng Siang-jin kelihatan
merasa puas.
„Tetapi ini bukan berarti bahwa aku lantas bisa terima
kau sebagai murid,” kata paderi tua itu. „Karena
disamping kau harus bisa memenuhi segala peraturanku,
aku harus tahu juga sampai dimana keuletan dan
kerajinanmu buat belajar dengan menurut sistim yang
aku biasa kasihkan kepada murid-muridku di sini. Lebih
jauh karena kau di sini telah dua hari dan semalam
menunggu-nunggu akan berjumpa denganku, maka aku
percaya kau tentu merasa capai dan lelah. Sekarang
pergilah kau istirahat dahulu, supaya nanti sore aku bisa
periksa segala pelajaran yang telah kau pelajari dari An
Chun San itu.”
Poan Thian lalu menyoja sambil mengucapkan terima
kasih.
Kemudian Kak Seng Siang-jin perintah seorang murid
kecil akan pergi mengantarkan Poan Thian pergi tidur.
Sebagaimana di bagian atas telah dikatakan, Poan
Thian yang sudah merasa sangat lelah, tentu saja jadi
girang, dan lalu pergi mengikut pada murid kecil itu. Dan
sebegitu lekas ia dapat „mencium bantal”, dengan lantas
ia tidur pules dengan amat nyenyaknya, hingga tahu-tahu
ketika ia tersadar dari tidurnya, ternyata haripun sudah
hampir senjakala. Buru-buru ia bangun pergi mencuci
muka dan menukar pakaian kemudian murid kecil tadi
muncul dan persilahkan ia akan sama-sama dahar nasi.
Poan Thian mengucap banyak terima kasih atas
kebaikannya kawan baru itu.
52
Begitulah sambil duduk dahar ber-sama-sama,
mereka berdua beromong-omong dan saling menuturkan
asal-usul masing-masing, sehingga kemudian datang ke
kelenteng Liong-tam-sie itu.
Dari penuturan si murid kecil itu, Poan Thian
mengetahui bahwa ia itu adalah seorang anak desa yang
sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi. Sanak
saudaranya tidak mau mengakui kepadanya, berhubung
ia ditinggalkan mati oleh ayah-bundanya dalam keadaan
sangat miskin. Maka Kak Seng Siang-jin yang pada
suatu hari kebetulan melalui desa itu dan dapat dengar
kejadian ini, ia jadi merasa kasihan dan lalu ajak anak itu
datang berdiam di Liong-tam-sie untuk diberikan didikan
dan pelajaran sebagaimana mestinya.
„Semenjak aku datang ke sini,” kata si murid kecil itu,
„tidak sedikit orang-orang yang bernasib buruk sebagaiku
telah diajaknya datang ke sini oleh Kak Seng Siang-jin
Lo-siansu.”
Tatkala Poan Thian menanyakan she dan namanya,
murid kecil itu lalu menjawab, bahwa ia orang she Song
bernama Yong, di kelenteng itu sudah berdiam dua tahun
lamanya.
Poan Thian kelihatan girang sekali mendapat kawan
yang begitu ramah-tamah. Kemudian ia perkenalkan diri
sendiri dan tuturkan apa sebab ia berkunjung ke Liongtam-
sie, tetapi dalam pembicaraan itu sama sekali ia
tidak menyebut-nyebut atas perantaraannya Hoa In
Liong.
„Murid-murid Lo-siansu di sini tidak berapa banyak,”
kata Song Yong, „tetapi hampir semua terdiri dari ahli
silat yang jarang bandingannya, terutama Hoa In Liong
Suheng, yang ilmu kepandaiannya boleh dikatakan
53
nomor satu di antara murid-murid Lo-siansu yang ada di
sini.”
Poan Thian yang mendengar Song Yong menyebutnyebut
namanya Hoa In Liong, diam-diam ia jadi girang
dan lalu coba menanyakan tentang asal-usulnya orang
she Hoa itu, tetapi Song Yong lalu menggelengkan
kepalanya sambil tersenyum dan berkata: „Tentang itu
aku tidak tahu-menahu. karena baikpun Lo-siansu
ataupun In Liong Suheng sendiri tak pernah mengatakan
apa-apa tentang asal-usulnya.”
Poan Thian mengangguk-angguk sambil
menggerakkan sumpitnya menyomot lauk-pauk yang
disajikan di hadapannya.
„Guru kita di sini orangnya kelewat aneh,” kata Song
Yong pula. „Ia amat cerewet dalam hal menerima orang
sebagai muridnya. Tetapi aku harus memberi selamat
kepadamu, berhubung dengan banyak kemungkinan
akan kau diterima olehnya. Karena barang siapa yang
kiranya tidak bakal diterima sebagai murid, bukan saja
tidak diperkenankan masuk ke halaman ini, tetapi dengan
getas lantas diberitahukan bahwa dengan sangat
menyesal ia tidak bisa diterima dengan alasan ini atau
itu. Sementara orang-orang yang sudah diterima sebagai
murid, bisa disembarang waktu diusir dari sini, apabila
berani melanggar peraturan-peraturan yang telah
ditetapkan oleh Lo-siansu. Banyak sekali anak-anak
hartawan dan orang-orang berpangkat berkunjung ke sini
untuk berguru dengan membawa bingkisan-bingkisan
yang berharga mahal, tetapi tiada seorangpun yang
diterima. Bahkan anak-anak jembel yang dianggap
mempunyai bakat baik, telah dibawa dan dididik oleh Losiansu
di sini. Demikianlah perbedaannya cara
penerimaan murid antara Lo-siansu dengan kebanyakan
54
ahli silat lain yang kudapat dengar dari orang lain.”
Lie Poan Thian saban-saban mengangguk-angguk
sambil turut menyatakan keheranannya dengan caranya
sang paderi tua itu.
Sebegitu lekas mereka habis makan, Poan Thian lalu
permisi pada Song Yong akan pergi mengunjungi Kak
Seng Siang-jin.
„Kita sekarang telah menjadi saudara dari satu
golongan,” kata Song Yong sambil bersenyum. „Oleh
sebab itu, anggaplah bahwa kita semua ada sama dan
tidak perlu berlaku sungkan lagi.”
Poan Thian mengucapkan terima kasih. Kemudian ia
pergi menjumpai Kak Seng Siang-jin.
„Aku di sini baru saja hendak surukan orang buat
panggil padamu, tetapi kau telah mendahului datang ke
sini,” kata paderi tua itu, setelah melihat Poan Thian
datang menghadap. „Sekarang cobalah kau tuturkan
dahulu segala pelajaran silat yang telah kau dapat
pelajari dari An Chun San, setelah itu, barulah kau
jalankan itu dalam praktek, untuk disaksikan olehku.”
Lie Poan Thian menurut.
Mula-mula ia tuturkan hal-ihwalnya ia berguru pada
An Chun San, sehingga guru silat itu mabur karena
dirobohkan olehnya.
Kak Song Siang-jin berdiam sejurus, mendengari
penuturannya Lie Poan Thian. Kemudian ia perintah
pemuda itu perlihatkan kepandaiannya.
Poan Thian menjawab: „Menurut perintah,” sambil
lantas bersilat menurut apa yang ia tahu.
Tetapi pada sebelum ia selesai bersilat. Kak Seng
55
Siang-jin lalu memberi tanda supaya ia lantas berhenti.
„Sudah, sudah cukup,” katanya. “Sekarang aku telah
lihat dengan tegas, bahwa selama hampir dua tahun kau
telah belajar silat dengan secara sia-sia saja, karena
segala pelajaran yang kau pertunjukkan itu, tidak lebih
tidak kurang daripada hoa-couw belaka, atau ilmu silat
untuk pertunjukan. Bagus kelihatannya, tetapi hampir tak
berguna akan dipakai bertempur. Dan jikalau kau
bertempur dengan seorang yang lebih pandai daripada
dirimu, kau bisa dapat celaka atau mudah dirobohkan
dengan tak usah memakai terlalu banyak tenaga lagi.
Karena dengan tenagamu yang kau keluarkan itu, sudah
cukuplah akan bikin kau sendiri jatuh terpelanting. Hal
mana aku bisa saksikan bagaimana tadi kau telah
menggunakan beberapa macam ilmu pukulan, yang
berhubung keliru dijalankannya, maka menerbitkan
beberapa titik kelemahan yang seolah-olah membuka
jalan untuk memudahkan orang lain merobohkan
kepadamu. Maka setelah sekarang kau berada di sini,
kau harus lupakan segala pelajaran itu dan memulai pula
dengan menurut sistim yang aku telah tetapkan sendiri.
Tetapi apabila kau tidak sanggup menuruti sistim
pelajaran ini, kau harus selekasnya memberitahukan
kepadaku, agar supaya kau jangan sampai menyesal
akan mengikuti pelajaran-pelajaran yang begitu berat
dengan tiada mendapat hasil begitu cepat sebagaimana
yang kau harapkan.”
Poan Thian berjanji akan mentaati segala peraturan
itu, kemudian ia diperintah akan kembali dihari esok
untuk menerima pelajaran yang pertama.
◄Y►
56
Enam tahun telah lalu dengan tidak terasa lagi.
Oleh karena berkat dari kerajinan dan keuletannya,
yang dibarengi juga dengan didikan seorang ahli yang
tinggi ilmu pengetahuannya seperti Kak Seng Siang-jin,
Lie Poan Thian akhirnya telah berhasil menjadi salah
seorang murid Kak Seng Siang-jin yang paling pandai,
sementara pelajaran ilmu menendangnya boleh
dikatakan hampir tiada bandingannya di antara kawankawan
seperguruannya. Maka paderi tua itu yang melihat
keistimewaan muridnya ini, dengan sengaja telah
menurunkan semua ilmu kepandaiannya yang paling
terahasia dan belum pernah diketahui oleh murid-murid
yang lainnya.
Dan tatkala semua ini telah dapat dipelajari Poan
Thian sebaik-baiknya, pada suatu sore Kak Seng Siangjin
telah menganjurkan akan si pemuda coba
menciptakan sendiri ilmu pukulan di bawah penilikannya,
agar supaya jikalau ada apa-apa yang keliru diciptakan
atau dijalankannya dalam praktek, disembarang waktu
bisa dikoreksi oleh sang guru itu dengan cara yang
sempurna.
„Karena jikalau penciptaan-penciptaan baru dapat
dilakukan sekarang olehmu,” kata sang guru,
„memanglah tidak lebih dari pantas dan justeru tepat
benar pada waktunya, yaitu setelah kau dapat
mempelajari semua pelajaranmu dengan sesempurnasempurnanya.”
Oleh sebab Poan Thian bukan seorang yang suka
menganggur, sudah tentu anjuran itu diterima dengan
baik olehnya, maka dengan tiada menunggu lagi sampai
dihari esok, pada sore itu juga Poan Thian lalu mulai
menyempurnakan ilmu tendangan Sauw-tong-lian-hwantui,
yang dahulu pernah dipergunakan olehnya di waktu
57
merobohkan An Chun San.
Ilmu tendangan ini setelah dipraktekkan beberapa
minggu lamanya dengan ditilik oleh Kak Seng Siang-jin
sendiri, ternyata hasilnya ada begitu memuaskan, hingga
sebuah patok Bwee-hoa-chung yang dipendam di tanah
sampai tiga-empat kaki dalamnya, dengan mudah dapat
diruntuhkan oleh tendangan baru yang diciptakan oleh si
pemuda. Sedang sebuah pohon yang dahulu ia cuma
bisa bikin terguncang dengan tendangannya, sekarang ia
bisa robohkan dengan hanya sekali tendang saja!
Di waktu ia berjalan di tanah dengan kaki telanjang
dan menyalurkan khi-kangnya ke arah telapak kaki itu,
maka ke mana saja ia menindak, segera tampak bekas
kaki yang tercetak di tanah sehingga beberapa dim
dalamnya!
Sementara Kak Seng Siang-jin yang menyaksikan
kemajuan Poan Thian yang begitu pesat dalam ilmu
pelajarannya, sambil menepuk tangan lalu berkata: „Nah,
jikalau semua murid-muridku bisa mempunyai kerajinan
dan keuletan belajar seperti ini, pengharapanku tidak
menjadi sia-sia dalam hal mempertahankan nama
baiknya kelenteng Liong-tam-sie kita ini. Karena biarpun
aku di sini tidak mempunyai begitu banyak murid seperti
orang lain, tetapi sudah puaslah hatiku dengan
mempunyai beberapa murid-murid saja seperti In Liong
dan Kok Ciang ini!”
Oleh karena kemajuan-kemajuannya ini, maka muridmurid
lain pun menghormati dan mengindahkan pada Lie
Poan Thian, dan mereka satu per satu telah datang
menyatakan kegirangannya dan mengucapkan banyak
selamat atas sukses yang diperoleh pemuda kita itu.
Tetapi Poan Thian tidak jadi sombong karena diuruk
58
pujian-pujian dari pihak guru dan kawan-kawan
seperguruannya, karena telah lama ia insyaf, bahwa
orang-orang gagah di dunia ini bukan hanya dia seorang
diri saja. Dari itu, selanjutnya ia tidak berani menganggap
dirinya „Thian He Tee It” seperti dahulu pula.
◄Y►
Pada suatu hari Poan Thian menerima sepucuk surat
yang terkirim dari rumahnya di Cee-lam, dan ketika surat
itu dibuka dan dibaca bunyinya, ternyata berisikan kabar
mengejutkan tentang dirinya Tek Hoat yang telah
dihinggapi penyakit sangat berat, hingga lantaran itu,
Poan Thian diminta supaya selekasnya kembali ke Ceelam.
Pemuda itu jadi bingung dan lalu pergi
memberitahukan hal ini kepada Kak Seng Siang-jin, yang
setelah turut juga membaca bunyinya surat itu, lalu
menganjurkan supaya Poan Thian lantas berangkat ke
kota kelahirannya dihari itu juga.
„Ayahmu sekarang sudah berumur enampuluh tahun
lebih dengan hanya mempunyai kau seorang anak saja,”
kata sang guru, maka buat memenuhkan kewajiban
seorang anak kepada orang tuanya, memang tidak lebih
dari pantas jikalau kau segera pulang buat mengurus
orang tuamu yang sakit keras itu.”
Sementara Poan Thian yang pikirannya sedang kalut
oleh karena mendapat kabar celaka itu, dengan air mata
berlinang-linang dan suara gemetar lalu berkata: „Suhu,
sebenarnya murid tak akan meninggalkan kelenteng ini,
pada sebelum ilmu kepandaianku mencapai kepada
puncaknya kesempurnaan, tetapi karena keadaan yang
begini memaksa, maka mau tak mau murid mesti kembali
59
dahulu ke rumahku buat beberapa waktu lamanya. Tetapi
ini bukan berarti, bahwa murid meninggalkan pelajaran
setengah jalan. Maka paling cepat tiga bulan atau paling
lama setengah tahun, murid tentu akan balik kembali
buat menerima lagi pelajaran-pelajaran dari Suhu seperti
biasa.”
Tetapi dengan wajah yang tenang Kak Seng Siang-jin
lalu berkata: „Dari hal kau akan kembali lagi atau tidak ke
kelentengku di sini, itulah bukan soal yang perlu diributi
sampai begitu. Karena walaupun kau tidak balik kembali
juga, aku tidak kuatir lagi akan kau mengalami kesukaran
di luaran. Hanya kalau di suatu waktu kau kebetulan
melewat ke Liong-tam dan ada waktu terluang akan
mampir ke sini, sudah tentu saja aku akan merasa girang
dan menerima kedatanganmu dengan tangan terbuka.”
Sesudah berkata begitu, Kak Seng Siang-jin lalu
perintah seorang murid pelayannya buat mengambil
sebuah bungkusan yang memang telah disediakan untuk
diberikan kepada Poan Thian, kalau nanti ia berlalu dari
kelenteng Liong-tam-sie.
„Isinya pauw-hok kecil ini,” kata sang guru, „bukanlah
terdiri dari emas atau perak, hanyalah beberapa macam
senjata dan pakaian yang kau mungkin butuhkan dalam
perantauanmu di kalangan Kang-ouw nanti. Pakaian
yang ada di dalamnya, aku telah sengaja suruh orang
bikin dengan menurut ukuran pakaianmu sendiri, dari itu,
aku percaya tentu akan cocok dipakai olehmu.”
Sambil berkata begitu, paderi tua itu lalu membuka
pauw-hok tersebut buat diperlihatkan isinya kepada Lie
Poan Thian.
„Segala macam senjata rahasia,” kata sang guru
pula, “aku sengaja berikuti di sini untuk memudahkanmu
60
jikalau nanti perlu dipakai, apalagi di waktu ada serangan
mendadak yang bisa membikin orang jadi gugup. Tiokyap-
piauw, Kim-chie-piauw, Liu-seng-piauw dan senjatasenjata
rahasia lain, semua aku telah sediakan di sini. Ini
Joan-pian,” ia menganjurkan pada sang murid, „baiklah
kau libatkan saja di pinggangmu supaya bisa lantas
dipergunakan di waktu kesusu.”
Poan Thian menurut dan lalu berbuat apa yang
diperintah oleh gurunya.
„Pedang ini agaknya terlalu panjang buat disoren,
maka baik kau simpan saja dan boleh dibawa kalau nanti
kau berjalan di waktu malam. Sementara pakaian Yaheng-
ie (pakaian untuk berjalan di waktu malam) yang
ada di sini, kau jangan pakai jikalau bukannya terlalu
perlu. Sepatu ini,” melanjutkan sang paderi, „sebenarnya
memakai pisau yang disembunyikan pada bagian
ujungnya, yang jikalau ditendangkan, lalu bisa keluar
akan melukai orang. Tetapi karena melihat tendanganmu
yang begitu sempurna dan cukup berbahaya, maka aku
pikir tidak perlu lagi akan sepatu ini dipasangi pisau lagi,
oleh sebab itu, maka pisau itu aku lalu suruh orang
singkirkan.”
Lie Poan Thian menyoja sambil mengucapkan terima
kasih.
„Lain hal lagi yang hendak kupesan kepadamu,” kata
Kak Seng Siang-jin lebih jauh, „adalah kau di luaran
jangan berlaku sombong dan menganggap bahwa diri
sendiri paling jempol, karena orang-orang pandai di
dalam dunia ini sukar dihitung berapa banyaknya.
Pergunakanlah ilmu kepandaianmu untuk bantu
menenteramkan masyarakat daripada gangguangangguan
segala cabang atas yang gemar memeras dan
berlaku sewenang-wenang kepada sesamanya yang
61
lemah dan tidak berpengaruh. Orang hidup harus
mempunyai banyak kawan, tetapi jangan lupa buat
memilih serta dapat membedakan, kawan mana yang
boleh dicampur atau tidak.
Kin Cu Cia, Cek; Kin Bak Cia, Hek,
Barang siapa yang mendekati cet merah, pastilah ia akan
bernoda merah, dan barang siapa yang mendekati bak,
ada kemungkinan ia akan kecipratan hitam.
Demikianlah ujarnya pujangga di zaman dahulu.
Setiap orang harus berlaku budiman, kalau saja
keadaannya bisa mengijinkan, tetapi tiada salahnya akan
orang berbuat apa yang dinamakan „kouw-kat-ie”,
(mementingkan diri sendiri), karena menurut pendapatku,
tidak semua perbuatan kouw-kat-ie berarti salah, kalau
saja dengan berbuat begitu, kita tidak merugikan kepada
orang lain. Karena buat menolong diri sendiri, sudah
tentu saja kita harus berdaya dengan sekuat tenaga kita,
dan sama sekali bukannya mesti selalu mengandalkan
kepada tenaga orang lain. Tetapi terhadap perbuatan
kouw-kat-ie yang terutama biasa menguntungkan kepada
diri sendiri dengan tiada memperdulikan kepada kerugian
yang diderita oleh orang lain, itulah suatu perbuatan keji
yang aku selalu menganjurkan buat kau atau siapapun
akan bantu memberantasnya dengan sekuat-kuatnya
tenaga.”
Dengan ini, Poan Thian kembali menyoja
mengucapkan terima kasih.
Setelah itu, Kak Seng Siang-jin lalu perintah supaya
ia lekas berangkat ke Cee-lam dihari itu juga.
Maka dalam keadaan yang begitu kesusu dan
sekonyong-konyong. tentu saja Poan Thian tidak sempat
banyak pikir lagi, hingga sebegitu lekas ia dahar, lalu ia
62
bawa pauw-hoknya yang dijadikan satu dengan pauwhok
pemberian gurunya, kemudian barulah ia berpamitan
pada guru dan kawan-kawannya. Dari situ, dengan
tindakan yang tergopoh-gopoh, ia telah meninggalkan
kelenteng Liong-tam-sie yang dicintainya itu.
Begitulah dengan menyewa sebuah kereta yang
ditarik oleh seekor kuda yang dapat berlari cepat, Poan
Thian lalu berangkat ke Cee-lam.
Pada suatu hari ketika ia sampai di Cee-lam, haripun
telah hampir senja. Di jalan-jalan raya tampak penuh
sesak dengan kereta-kereta, kendaraan-kendaraan lain,
pedagang-pedagang yang memikul barang dagangan
dan orang-orang yang kembali dari luar kota. Maka
karena kereta yang dinaiki Poan Thian tak dapat
melanjutkan perjalanannya karena kudanya mogok apa
boleh buat pemuda itu lalu turun di situ, membayar uang
sewaannya dan kembali ke rumahnya dengan berjalan
kaki, sambil menggendong pauw-hok di punggungnya.
Mula-mula Poan Thian masih bisa berjalan dengan
tindakan cepat. Akan tetapi ketika ia melalui pintu Soanhoa-
mui dan membelok kelereng Cay-hong-kee yang
agak sempit, ia jadi tercegat oleh lautan manusia yang
seolah-olah membendung dan memperlambat
perjalanannya. Meskipun dia saban-saban memohon
pada orang banyak akan diberikan sedikit lowongan akan
melewat, tidak urung ia mesti berjalan juga dengan
pelahan, berhubung mulut lorong di bagian sana masih
berjejal banyak orang.
Dalam pada itu sekonyong-konyong kelihatan
mendatangi empat orang berkuda yang juga hendak
melalui lorong itu.
Pemimpin dari penunggang-penunggang kuda itu
63
adalah seorang yang berbadan tegap, beroman angker.
Ia kelihatan tidak sabaran melihat orang-orang yang
berjalan seperti merayap itu. Sambil duduk terus di atas
punggung kudanya, ia menyerukan supaya orang banyak
membuka sedikit jalan untuk ia dan pengawalpengawalnya
lewat di situ.
Dan ketika seruan itu seolah-olah tidak dihiraukan
orang, si pemimpin jadi marah-marah dan mengancam
akan menubrukkan kudanya pada orang banyak, apabila
mereka tidak juga suka memperhatikan atas peringatan
itu.
„Jalanan di sini memangnya amat sempit,” begitulah
terdengar suaranya seorang orang yang menyomel, „oleh
karena itu, mengapakah tidak mengambil jalan lain saja
yang lebih lebar dan leluasa, sehingga di situ orang
boleh kaburkan kudanya dengan sesenang hati?”
„Hus! Sudah, jangan banyak bicara,” kata seorang
yang lainnya. „Apakah kau tidak tahu, bahwa dia itu
adalah Teng Yong Kwie, komandan dari tangsi Tokpiauw-
eng? Dia inilah seorang yang berjasa besar dalam
hal melakukan pembasmian terhadap kaum Pek-liankauw,
sehingga ia sangat dipercaya oleh pihak
atasannya.”
Tetapi orang pertama yang tadi bicara itu lalu
mengeluarkan suara jengekan dari lubang hidung sambil
berkata: „Hm! Apakah mentang-mentang dia berjasa
besar, sehingga orang banyak harus takut padanya
seperti harimau?”
Pemimpin itu rupanya mendengar comelan dan
jengekan itu, tetapi ia tidak tahu siapa yang
menyomelnya, maka sambil bercelingukan ke sana ke
sini, kembali ia sengaja berseru buat minta orang banyak
64
membuka jalan untuk mereka lewat.
Sementara Lie Poan Thian yang mendengar suara
kuda dan orang yang berseru, lalu menoleh ke belakang
buat coba melihat, sehingga dengan tidak disengaja
sorot matanya jadi kebentrok dengan sorot mata orang
itu. Tetapi selanjutnya Poan Thian tidak sempat menaruh
perhatian terhadap orang yang ia sama sekali tidak kenal
itu, berhubung pikirannya terlalu kalut memikirkan
penyakit ayahnya sendiri.
Tidak kira selagi berdesakan di antara orang banyak
akan melalui lorong itu, mendadak si pemuda telah
dibikin kaget oleh kepala kuda yang membentur pauwhok
yang digendongnya, hingga ketika ia coba menoleh
ke belakang, si penunggang kuda jadi tertawa bergelakgelak,
seolah-olah perbuatan itu telah dilakukannya
dengan sengaja. Hal mana sudah barang tentu telah
membikin Poan Thian jadi mendongkol, tetapi syukur
juga ia masih mempunyai kesabaran akan
menghindarkan persetorian dengan penunggang kuda
itu.
Tetapi ketika perbuatan itu diulangkan buat kedua
kalinya, Poan Thian lantas menganggap, bahwa cara itu
betul-betul sangat terlalu, hingga ini tak boleh dibiarkan
begitu saja. Maka sambil mendorong kepala kuda itu
dengan tangan kirinya, Poan Thian lalu bertindak maju
dan mengangkat dada binatang itu dengan tangan
kanannya, hingga pada sebelum orang mengeluarkan
suara teriakan, binatang itu berikut penunggangnya telah
jatuh terbanting ke muka bumi, bagaikan sebuah bola
yang dilemparkan orang ke tengah lapangan!
Setelah itu, Poan Thian yang kuatir terbit rusuh
terlebih besar, lalu menggunakan siasat Yan-cu-coanliam,
atau burung kepinis menerobos tirai bambu,
65
menyingkirkan diri dari situ dengan jalan melayang di
atas kepalanya orang banyak yang berjejal di lorong
sempit tersebut. Oleh sebab ini, dalam tempo sekejapan
saja ia telah menghilang di antara orang-orang yang
jalan berduyun-duyun di sebelah depan perjalanannya.
Sementara si pemimpin yang telah ditolong oleh
ketiga orang pengawalnya, buru-buru ia menyerukan
kepada Lie Poan Thian sambil berkata: „Hai sahabat!
Siapakah she dan namamu? Dan di manakah tempat
kediamanmu?”
Tetapi Poan Thian yang diserukannya telah tidak
kelihatan lagi mata hidungnya, hingga pemimpin itu pun
tidak tahu ke mana mesti mencarinya, di antara orang
banyak yang berdesakan di lorong yang sempit itu.
◄Y►
Tidak lama kemudian Poan Thian telah sampai di
rumahnya sendiri.
Dari pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit
orang tuanya, Poan Thian mendapat kesan bahwa Tek
Hoat bukan sakit karena usianya telah lanjut, hanyalah
karena jengkel ditipu orang, yang duduknya perkara bisa
dituturkan dengan singkat sebagai berikut:
Sebagaimana para pembaca tentu belum lupa, Lie
Tek Hoat ini adalah seorang pabrikan beras yang kaya
raya, dan di kota Cee-lam ia membuka perusahaan
tersebut dengan memakai merek penggilingan Eng Tiang
Chun.
Pada beberapa waktu Tek Hoat menerima pesanan
duaribu pikul gandum dari seorang saudagar bernama
Ma-cu Lie, atau Lie si Bopeng, yang sebenarnya
66
mempunyai juga perusahaan penggilingan yang
memakai merek Ban Seng Mo Hong. Oleh karena Tek
Hoat dan Ma-cu Lie mempunyai perhubungan yang baik
sekali, maka kejadian pesanan gandum tadi telah
disanggupi oleh Tek Hoat dengan tidak membikin surat
perjanjian apa-apa.
Tek Hoat tidak mengetahui, bahwa hatinya si bopeng
itu terlalu busuk, bahkan maksud yang benar daripada
pesanan gandum tersebut, adalah semata-mata akan
membikin perusahaan Tek Hoat jadi bangkrut dengan
suatu muslihat keji yang telah dipikirkan oleh Ma-cu Lie
sejak beberapa waktu lamanya.
Maka setelah gandum yang duaribu pikul itu telah
tersedia, Ma-cu Lie lalu pura-pura mengatakan belum
dapat membayar harga barang itu, dari itu ia minta
supaya Tek Hoat simpan saja dahulu gandum itu di
dalam gudangnya, sehingga nanti ia sudah mendapat
cukup uang untuk menebusnya.
Tek Hoat mula-mula mau percaya omongan itu.
Tetapi setelah gandum itu hampir rusak dan belum juga
diambil atau dibayar harganya, ia jadi hilang sabar dan
lalu pergi mengunjungi Ma-cu Lie, yang olehnya
dikatakan telah menipu serta diancam akan diadukan
kepada pembesar yang berwajib, apabila si bopeng tidak
juga mau membayar harganya gandum tersebut.
Tetapi hal ini dianggap sepi oleh Ma-cu Lie, karena ia
mempunyai banyak hubungan dengan pembesarpembesar
negeri dan kepala-kepala polisi bangsa Boan
dan Tionghoa, hingga selain ancaman itu tidak
dihiraukannya, malahan ia sendiri lantas balas
menjengeki pada Tek Hoat dengan mengatakan: „Aku
sama sekali tidak berhutang kepadamu, seperti juga kau
tidak berhutang kepadaku. Gandum yang ada padamu,
67
itulah tinggal tetap menjadi milikmu, lain perkara jikalau
gandum itu aku sudah angkat dan tidak membayar
harganya, itulah memang patut kau adukan aku pada
pembesar yang berwajib. Maka jikalau gandum itu
sampai rusak di tanganmu sendiri, itulah sudah tentu
bukan karena salahku. Cara bagaimanakah kau boleh
persalahkan lain orang!”
Tek Hoat jadi sangat mendongkol dan semenjak itu ia
jatuh sakit, hingga ibunya Poan Thian jadi sangat masgul
dan lalu perintahkan orang mengabarkan peristiwa ini
kepada sang anak yang berdiam di kelenteng Liong-tamsie.
Maka setelah Poan Thian mengetahui jelas duduknya
perkara yang benar, sudah tentu saja ia jadi sangat
gusar dan sesumbar, bahwa ia akan membalas dendam
atas perbuatannya Ma-cu Lie yang amat busuk itu.
Tetapi ibu dan sanak saudara Poan Thian yang kuatir
pemuda kita akan mengambil tindakan nekat, lalu
dengan sabar memberikan nasihat, agar supaya dia
jangan terburu napsu mengambil tindakan apa-apa, pada
sebelum mengetahui seluk beluknya keadaan pihak
sana, apapula kalau diingat bahwa Ma-cu Lie ini
bukannya seorang dari golongan terhormat.
„Asal mulanya dia bisa membuka perusahaan
penggilingan sendiri,” menerangkan salah seorang
keluarganya Lie Poan Thian, „adalah dengan jalan
mengeret gundik kawannya sendiri, yang setelah si
kawan itu mati dan semua miliknya terjatuh ke dalam
tangan si gundik itu, lalu si bopeng „tolong” uruskan harta
benda orang, berikut nyonya rumahnya sekali dibuat
isteri olehnya. Itulah riwayat permulaannya si bopeng jadi
jaya dan hidup beruntung sehingga sekarang ini. Maka
disamping ia bisa „tempel” pembesar yang berpengaruh,
68
ia pun memelihara beberapa banyak tukang pukul yang
biasa mengiringi padanya di waktu ia bepergian.”
„Menurut kabar yang aku dengar di luaran,”
melanjutkan seorang keluarganya pula, „si bopeng ini
dulunya pernah juga menjadi guru silat. Tetapi belum
tahu apakah kabar itu benar atau tidak?”
„Itu benar,” kata keluarga Poan Thian yang pertama
bicara, „tetapi bukan seorang guru silat kelas satu,
hanyalah guru silat biasa yang berbuat begitu untuk
mencari sesuap nasi.”
Oleh karena mendengar keterangan begitu, maka
Poan Thian jadi mendapat pikiran akan menerbitkan
persetorian dengan Ma-cu Lie, sebagai tindakan pertama
akan minta penggantian kerugian atas gandum yang
telah dipesan tetapi telah sengaja tidak diambil olehnya
buat kerugian ayahnya sendiri.
Maka setelah sekian lamanya mencari tahu kemana
biasanya si bopeng itu berkunjung di waktu siang hari,
lalu Poan Thian pun datang juga ke tempat yang sama
untuk sengaja mencari setori.
Begitulah ketika ia mendengar kabar bahwa si
bopeng sering mengunjungi kedai dan rumah makan
Cay-hong-lauw, maka iapun lalu sengaja juga datang ke
tempat itu dan sambil berjalan ia memakan kwa-cie.
Tatkala naik ke loteng dan dikasih tahu oleh seorang
pelayan yang mana satu ada Ma-cu Lie yang hendak
dicarinya, Poan Thian lalu berjalan menghampiri sambil
menyemburkan kulit kwa-cie ke meja orang, hingga Macu
Lie yang sedang asyik makan minum dengan ditemani
oleh lima atau enam orang gundalnya jadi marah, karena
perbuatan Poan Thian yang dianggapnya sangat kurang
ajar itu.
69
„Engkau dan pihak kami baru saja pada hari ini saling
bertemu muka,” membentak Ma-cu Lie, „mengapa kau
telah berani berlaku begitu kurang ajar akan
mengganggu kegembiraan Toa-ya yang sedang duduk
makan minum di sini? Apabila kau bermaksud baik,
marilah kau boleh bicara baik, apabila kedatanganmu ini
memang bermaksud kurang baik, bolehlah kau bicara
dengan secara terus terang. Apakah perlunya kau mesti
berlaku begitu jail menyembur-nyemburkan kulit kwa-cie
ke meja kami?”
Tetapi Lie Poan Thian yang berpura-pura tidak
mendengar atas teguran itu, lalu mencari meja yang
kosong di hadapan meja Ma-cu Lie, dimana ia
memanggil: „Pelayan,” bawakan aku sepuluh kati arak
dan beberapa kati daging sapi yang baik!”
Ma-cu Lie jadi semakin marah dan lalu berbangkit
dari kursinya sambil menuding pada pemuda kita dan
mendamprat: „Binatang! Apakah barangkali kau tuli,
hingga tak mendengar omonganku tadi?”
Poan Thian melirik sambil balas membentak: „Tutup
bacotmu! Aku tidak ada urusan dengan kau!”
„Tetapi mengapa kau barusan telah menyemburnyemburkan
kulit kwa-cie ke mejaku?” kata Ma-cu Lie
pula dengan amat marahnya. „Terhadap orang lain kau
boleh berlaku menurut sukamu, tetapi terhadap diriku kau
boleh dengar-dengar dulu. Tahukah kau aku ini siapa?”
„Aku tahu!” sahut Poan Thian juga lalu bangun
berdiri. „Jawabanku cukup ringkas, tetapi juga sampai
cukup akan diingat olehmu seumur hidup. Ini dia,
terimalah!”
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, Poan Thian
lalu tempiling mukanya Ma-cu Lie sehingga jatuh meloso
70
di atas lantai, hingga lima atau enam orang gundalnya si
bopeng yang menyaksikan kejadian itu, segera pada
berlompatan bangun mengepung pemuda kita.
„Kamu sekalian tidak ada sangkut pautnya dengan
urusanku,” kata Lie Poan Thian dengan suara nyaring,
„maka itu, paling betul kamu jangan mencampuri urusan
ini. Jikalau sesudah diberitahukan masih saja kamu
berkepala batu hendak membela pihak yang keliru dan
jahat, kamu sekalian harus terima segala akibatnya yang
akan terjadi!”
Tetapi gundal-gundal itu yang setia pada majikannya,
dengan serentak lalu maju mengepung pada Lie Poan
Thian, hingga pemuda kita lalu menggerakkan kaki
tangannya buat meladeni bertempur beberapa orang
lawan itu.
Begitulah perkelahian yang maha dahsyat telah
terjadi dengan satu melawan enam orang!
Ketika Ma-cu Lie telah bisa berdiri pula dengan
kepala masih dirasakan pusing karena tempilingan tadi,
lalu membentak dengan keras, sambil menerjunkan diri
ke dalam kalangan pertempuran, buat mengeroyok
pemuda kita yang ia tidak kenali ada puteranya Lie Tek
Hoat.
Tetapi Poan Thian tidak mengunjukkan rupa takut
atau jerih akan menghadapi musuh-musuh yang hampir
semua berbadan tinggi besar.
Kursi-kursi telah dipakai menyambit dan memukul
pada Lie Poan Thian oleh Ma-cu Lie dan gundalnya,
tetapi semua itu telah dapat dielakkan dengan jalan
dikelit atau dijaga dengan kursi-kursi lain yang dapat ia
sembat dari kiri-kanan.
71
Salah seorang gundalnya si bopeng yang berani
maju paling dekat, telah dibikin terpental dengan satu
tendangan, hingga selanjutnya ia kapok akan mendekati
pula Lie Poan Thian, dan hanya menganjurkan kawankawan
yang lainnya akan maju bertempur dari kejauhan
saja.
Sementara itu Ma-cu Lie yang merasa bahwa iapun
pernah menjadi seorang guru silat beberapa tahun
lamanya, sudah tentu menjadi penasaran telah
ditempiling oleh seorang yang usianya jauh lebih muda
daripada dirinya sendiri. Maka setelah mengasih perintah
akan gundal-gundalnya mundur dari kalangan
pertempuran, ia segera menindak maju sambil
menantang Poan Thian akan berkelahi satu lawan satu.
Poan Thian terima baik tantangan itu.
„Kalau tadi kau menyatakan hendak bertanding satu
lawan satu,” kata pemuda kita, „pastilah kursi meja di sini
tidak sampai mengalami kerusakan begini hebat. Tetapi
hal ini biarlah kita nanti bicarakan lagi belakangan.
Sekarang aku ingin bertanya kepadamu, kau hendak
bertanding dengan cara apa?”
Ma-cu Lie tidak mengatakan „ba” atau „bu”, hanya
segera maju menerjang dengan menggunakan siasat
Beng-houw-kim-yo (harimau buas menerkam kambing),
hingga Poan Thian yang melihat tangannya si bopeng
menyamber ke arah dadanya, buru-buru ia miringkan
sedikit badannya sambil memasang bee-sie setengah
jongkok, tangan kirinya ia pergunakan buat menolak ke
samping tangan si bopeng yang menjotos itu, sementara
tangan kanannya lalu dipergunakan buat membikin
terkesiap hatinya sang lawan. Seketika itu jikalau Ma-cu
Lie sedikit saja berlaku kurang teliti, pastilah siang-siang
ia sudah jatuh kena tertendang oleh kakinya Poan Thian
72
yang menyapu ke arah kakinya dengan secara yang
amat mendadak.
Maka setelah Poan Thian menyaksikan si bopeng
dapat juga menghindarkan diri dari tendangannya, lalu ia
mengganti siasat penyerangannya dengan gerakangerakan
yang lebih cepat dan sukar diduga, antara mana
ia telah pergunakan ilmu-ilmu tendangan Lian-hwan
Coan-sim-tui, Sauw-tong-tui, dan lain-lain, dengan hanya
sedikit menggunakan ilmu pukulan dengan tinju atau
telapak tangan.
Si bopeng yang pengertian ilmu silatnya sangat
terbatas, sudah tentu jadi kelabakan dan tidak lama
kemudian ia telah kena ditendang oleh Lie Poan Thian
sehingga meringkuk di atas lantai dengan memuntahkan
banyak darah yang tampak cerecetan di sana-sini.
Kemudian sambil menoleh pada gundalnya Ma-cu Lie
yang sedang sibuk menolong majikannya, Poan Thian
lalu memperingatkan sambil berkata: „Kamu sekalian
harus mengerti, bahwa tindakan ini aku terpaksa ambil
berhubung dengan kecurangan-kecurangan yang telah
dilakukan majikanmu terhadap pada Lie Tek Hoa, pemilik
penggilingan Eng Chun Tiang, hingga dengan begitu, ia
menderita kerugian uang tigaribu tail dan gandum
sejumlah duaribu limaratus pikul yang tidak dibayar biaya
menggilingnya untuk dijadikan tepung. Maka jikalau
sekarang aku tidak mau pukul majikanmu sehingga mati,
itulah berarti aku masih suka mengampuni kepadanya,
kalau saja kerugian-kerugian itu segera diganti berikut
pembayaran rentenya sebagaimana mestinya. Jikalau
peringatan ini tidak juga dihiraukan oleh majikanmu,
terpaksa aku nanti mengambil tindakan yang mungkin
juga akan menerbitkan perkara jiwa! Itulah ada
peringatanku yang paling penghabisan, buat mana aku
73
tunggu pelunasan penggantian kerugian itu selama tiga
hari ini di penggilingan Lie Tek Hoat yang tersebut tadi!”
Sementara gundal-gundal Ma-cu Lie yang sekarang
telah ketahui dengan orang macam apa mereka
berhadapan, diam-diam merasa „seram juga” dan berjanji
akan sampaikan peringatan itu kepada majikan mereka,
jikalau nanti tersadar dari pingsannya.
Maka Poan Thian yang telah mendapat kesanggupan
begitu dari gundal-gundalnya si bopeng, iapun segera
berlalulah dari loteng Cay-hong-lauw dengan tidak
banyak bicara lagi.
Dan tatkala si pemuda telah tidak kelihatan pula
bayangan-bayangannya, barulah gundal-gundal itu
angkut majikannya, dibawa pulang ke rumah untuk
diobati luka-lukanya bekas bertempur tadi.
Selagi Ma-cu Lie rebah di pembaringan sambil
memikirkan nasibnya yang amat malang itu, mendadak
ada seorang sahabatnya yang bernama Couw Siu Chun
datang menyambangi kepadanya.
Sahabat ini sama sekali tidak mengetahui peristiwaperistiwa
apa yang telah dialami oleh si bopeng tadi,
maka seperti seorang sahabat karib yang biasa keluar
masuk di rumah sahabat itu, ia lantas saja masuk dan
menghampiri pada Ma-cu Lie yang berbaring sambil
berselimut di atas pembaringannya.
„Eh, eh,” kata sahabat itu, „apakah kau sakit?”
Si bopeng mengangguk sambil menjawab: „Ya.”
„Ini berarti bahwa kau terlalu banyak keluar malam,”
kata Siu Chun sambil tertawa. Tetapi ia tak coba
menggoda lebih jauh, ketika melihat banyak darah
mengumpyang dalam tempolong yang diletakkan di
74
bawah kaki pembaringan.
„Ah, apakah kau muntah darah?”
Si bopeng kembali mengangguk, tetapi tidak
mengatakan apa-apa.
Dengan menyaksikan keadaan sahabatnya disaat itu,
Siu Chun yang sudah kenyang mencicipi asam garam
dunia lantas menduga kalau-kalau Ma-cu Lie telah
mengalami peristiwa apa-apa yang agak hebat.
„Tampaknya itulah darah yang keluar dari paru-paru,”
katanya dengan rupa kaget, „apakah barangkali kau
telah bertempur dengan orang lain, sehingga kau telah
dilukai begitu rupa?”
Ma-cu Lie membenarkan atas dugaan sahabatnya
itu.
Kemudian ia menuturkan duduknya perkara dengan
sengaja guna kebaikan dirinya sendiri, tetapi ia tidak
menyebut-nyebut tentang gandumnya Lie Tek Hoat yang
hendak „disikutnya”.
„Astaga! Kalau begitu kau harus berobat pada
seorang tabib yang pandai,” kata Siu Chun pula. „Aku
kenal seorang sahabat yang paham mengobati orang,
seorang ahli silat tua yang sekarang sudah tak mau
mengajar silat lagi dan menuntut penghidupan sebagai
sin-she dalam ilmu obat-obatan. Dia itu seorang she
Louw bernama Cu Leng, yang aku percaya kau juga
tentu kenal namanya.”
,,Apakah dia itu bukannya berumah tinggal di jalan
Hu-tong-toa-kee di pintu kota timur?” tanya Ma-cu Lie.
„Benar, benar, dia memang berumah tinggal di situ,”
sahut Siu Chun. „Penyakitmu ini tampaknya agak berat
juga, dari itu, perlu sekali segera diperiksa hari ini juga.
75
Maka jikalau sekiranya kau sudi, aku bersedia buat pergi
mengantarkan kau ke rumah Louw Cu Leng itu.”
Ma-cu Lie mengucap terima kasih atas kebaikannya
si sahabat. Kemudian ia perintah seorang gundalnya
buat pergi menyewa kereta, dengan mana ia berangkat
ke jalan Hu-tong-toa-kee dengan diantar oleh Couw Siu
Chun.
Sesampainya di tempat yang dituju, Siu Chun lalu
ajak si bopeng turun dan mengetok pintu beberapa kali.
Tatkala seorang bujang keluar dan menanyakan she,
nama dan maksud kedatangan mereka, lalu ia
persilahkan mereka menunggu di kamar tetamu, sedang
ia sendiri lalu masuk memberitahukan kedatangan
mereka kepada majikannya.
Setelah mereka menunggu beberapa saat lamanya,
lalu muncul seorang tua yang janggut dan misainya
sudah hampir putih semua, tetapi gerakan-gerakannya
masih tetap gagah seperti anak muda yang baru berusia
tigapuluh tahun.
Orang tua ini ketika melihat Couw Siu Chun dan
kawannya, lalu mengangkat tangan memberi hormat
sambil bersenyum dan berkata: „Ah, tidak kunyana hari
ini kau datang ke sini. Belum tahu ada urusan apa
sehingga tampaknya engkau begitu kesusu?”
Siu Chun lalu terangkan dengan sejelas-jelasnya
maksud kedatangan mereka, yaitu akan minta supaya Cu
Leng merawat dan mengobati pada Ma-cu Lie yang telah
mendapat luka di dalam badan karena bertempur dengan
seorang bajingan yang katanya hendak memeras
kepadanya.
Louw Cu Leng mengangguk-angguk sambil
76
menyatakan kesediaannya akan menolong apa yang ia
bisa.
Begitulah setelah minta si bopeng menanggalkan
bajunya, orang tua itu lalu mulai memeriksa pada
beberapa tanda biru yang disebabkan karena terpukul
atau jatuh.
„Semua tanda-tanda luka ini tidak berbahaya,” kata
Louw Cu Leng, „kecuali ini satu,” (sambil menunjuk pada
tanda biru yang tampak di dadanya si bopeng). „Syukur
juga bekas tendangan ini tidak terlalu parah kenanya.....”
„Ya, ya, sebab aku lekas membuang diri, ketika
tendangan itu ditujukan ke dadaku,” kata si bopeng yang
tidak mau mengaku dirinya pecundang.
„Juga harus dibuat girang yang tendangan itu
dilakukan dengan telapak kaki, bukan dengan ujung
kaki,” kata Lou Cu Leng pula, „jikalau tendangan itu
dilakukan dengan ujung kaki, nistiaja orang tak tahan
hidup biarpun cuma empat atau lima jam saja lamanya.
Dan jikalau tendangan itu kenanya parah, orang bisa
lantas mati seketika itu juga. Inilah yang dinamakan ilmu
tendangan Coan-sim-tui, yang tidak mudah dipelajari
oleh sembarangan orang. Tetapi berkat kemurahan
orang yang menendang kepadamu, maka aku masih
sanggup buat menyembuhkan penyakitmu ini.”
Kemudian setelah memberikan obat-obat yang perlu,
Cu Leng lalu menasihati, agar supaya Ma-cu Lie jangan
terlalu banyak bergerak dan harus istirahat di
pembaringan. „Nanti hari esok kira-kira pukul sepuluh,”
katanya lebih jauh, „aku tentu datang ke rumahmu buat
coba melihat kemajuannya obat yang kau akan makan
itu, kalau nanti ternyata masih ada apa-apa yang kurang,
disembarang waktu bisa ditambah untuk mempercepat
77
kemajuan dalam penyembuhannya.”
Ma-cu Lie dan Siu Chun kembali mengucap terima
kasih, tetapi Cu Leng tidak mau menerima ang-pauw
atau honorarium pada sebelum penyakitnya si bopeng
sudah menjadi sembuh betul.
Dalam perjalanan pulang, si bopeng telah
menanyakan asal-usulnya Cu Leng pada Siu Chun.
„Dengan Louw Cu Leng ini aku telah bersahabat kirakira
duapuluh tahun lamanya,” memulai sahabat itu. „Dia
ini orangnya budiman, suka menolong kepada
sesamanya. Di waktu mudanya pernah ia membuka
piauw-kiok dan jalan malang melintang di kalangan
Kang-ouw sebagai seorang pendekar yang tidak suka
melihat perbuatan tidak patut yang biasa dilakukan oleh
jagoan-jagoan setempat iang sering memeras dan
mempermainkan rakyat yang lemah dan tidak berdaya
buat bikin perlawanan. Setelah berhenti menjadi piauwsu,
ia lantas membuka rumah perguruan silat dan rumah
obat dengan berbareng. Tetapi karena ia kelewat
cerewet dalam hal memilih murid, maka rumah
perguruan silatnya kurang mendapat perhatian orang,
sehingga selanjutnya ia lantas tutup dan hanya menuntut
penghidupan dengan menjual obat-obat saja seperti
sekarang, biarpun namanya di kalangan Kang-ouw masih
tetap harum sebagai seorang ahli silat yang jarang
didapat tandingannya. Itulah apa yang aku ketahui
tentang dirinya Louw Cu Leng ini, hingga aku boleh
pujikan supaya kau juga bersahabat dengan orang-orang
semacam ia ini.”
Tetapi dasar si bopeng ini ada seorang busuk yang
banyak akal, sebegitu lekas ia mendengar tentang orang
macam apa adanya Louw Cu Leng itu, segera dengan
diam-diam ia menjadi girang dan berkata di dalam
78
hatinya: „Nah, kalau begitu jalannya, tentulah tidak sukar
akan kuatur suatu muslihat yang tidak sembarang orang
bisa ketahui kelihayannya!”
Begitulah Ma-cu Lie telah putar otak dalam
perjalanannya pulang.
Sesampainya di rumahnya sendiri, ia lantas
diturunkan dari kereta dengan dipimpin tangannya
dibawa masuk ke dalam kamar oleh Couw Siu Chun.
„Sekarang kau di sini boleh beristirahat dan jangan
turun dari ranjang sebelum diperkenankan Louw Suhu,”
kata Siu Chun. „Aku sendiri karena masih ada urusan,
maka hari ini tak bisa menemani kau lama-lama. Besok
aku datang lagi ke sini buat menyambangi kepadamu.”
Si bopeng mengucapkan terima kasih atas kecintaan
sahabatnya itu, selain dari itu, ia memohon supaya si
sahabat sering-sering datang menyambanginya, buat
mana Siu Chun pun janji akan berbuat begitu, kalau saja
ia tidak berhalangan apa-apa.
Tetapi sebegitu lekas Siu Chun berlalu, si bopeng
segera panggil berkumpul sekalian konco-konconya.
„Sekarang aku dapat suatu akal yang baik,” kata Macu
Lie. „Kau, Ah Siok,” ia menoleh pada seorang
gundalnya yang paham membaca dan menulis, „cobalah
tulis sepucuk surat kepada pengurus penggilingan Eng
Tiang Chun, di dalam surat itu kau boleh katakan begini:
berhubung penyakitku belum sembuh, maka tak dapat
aku mengantarkan sendiri uang penggantian kerugian
gandum yang telah dijanjikan akan dilunaskan dalam
tempo tiga hari. Oleh sebab itu, kita minta supaya dia
datang sendiri buat menerima uangnya di sini besok
tengah hari. Kau mengerti?”
79
„Mengerti, mengerti,” sahut Ah Siok.
„Jikalau surat itu selesai ditulis,” kata si bopeng pula.
„kau boleh lekas perintahkan orang antarkan ke rumah
keluarga Lie.”
„Sekarang kau, Ah Chit,” kata Ma-cu Lie pada
seorang gundalnya yang bertubuh tinggi besar, „jikalau
anak muda yang bertempur dengan kita di loteng Cayhong-
lauw itu datang ke sini, katakanlah bahwa aku
masih sakit, belum bisa melunaskan perhutanganku.
Jikalau ia memaksa mau minta juga, aku serahkan buat
kau dan kawan-kawanmu atur bagaimana saja yang kau
rasa baik.”
Ah Chit berdiam sejurus, suatu tanda ia masih raguragu
buat lantas menyanggupi. Karena menurut
sepanjang pengalamannya di Cay-hong-lauw pada
beberapa hari yang lalu ia harus akui bahwa ia „seram”
melihat sepak terjangnya Lie Poan Thian yang begitu
gagah dan lihay.
Hal mana, pun bukannya tidak diketahui oleh Ma-cu
Lie, yang sendirinya belum pernah menyaksikan ada
seorang ahli silat yang mempunyai tendangan sebaik Lie
Poan Thian itu. Maka ketika melihat Ah Chit tinggal
membisu saja, si bopeng lalu berkata: „Kau jangan takut,
karena kau dan kawan-kawanmu hendak kupergunakan
sebagai pemancing saja, sedangkan orang yang akan
„tangani” padanya adalah orang lain yang ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada si pemuda
congkak itu. Kau mengerti?”
Ah Chit yang mendengar keterangan begitu, barulah
mau menyanggupi akan menjadi pemancing, asalkan ia
diperbolehkan memakai toya atau senjata tajam lain.
Ma-cu Lie menyatakan tidak berkeberatan.
80
Sekarang kita ajak pembaca kembali pada Lie Poan
Thian, yang sesudahnya melabrak Ma-cu Lie dan kawankawannya
sehingga terlentang tengkurup di loteng Cayhong-
lauw, lalu kembali ke rumahnya dan kasih tahu
peristiwa ini kepada ayah-bunda dan sekalian
keluarganya.
Semua orang jadi kaget tercampur girang. Yang
menyebabkan mereka kaget, adalah mereka tidak nyana
bahwa Poan Thian telah dapat melabrak musuhmusuhnya
dengan cara yang begitu gampang, sedang
kegirangannya adalah seluruh Cee-lam akan
mengetahui, bahwa di antara kaum keluarga Lie telah
muncul „harimau muda” yang tak boleh sembarangan
dipermainkan orang.
Tatkala Tek Hoat yang mendengar kabar tentang
kemenangan itu, dengan mendadak merasakan
penyakitnya hilang hampir tiga-perempatnya, bahwa
merasa sangat puas mendengar si bopeng telah dihajar
oleh Poan Thian sehingga setengah mati.
„Pada si jahanam ini aku telah memberikan tempo
tiga hari untuk melunaskan perhutangannya,” kata Poan
Thian pula, „jikalau ia berani mungkir satu perkataan
saja, akan kuputar batang lehernya sehingga mampus!”
Dua hari telah lewat, tetapi ternyata tidak ada kabar
ceritanya dari pihak si bopeng.
Poan Thian mulai tidak sabar, tetapi sanak
saudaranya menasehati supaya ia suka menunggu
sehari lagi.
Kira-kira hari hampir petang, mendadak ada seorang
suruhan Ma-cu Lie yang membawa sepucuk surat, yang
ketika dibaca bunyinya, Poan Thian lalu kasih tahu pada
si pembawa surat itu, bahwa ia akan datang besok, tepat
81
pada waktu yang tersebut dalam surat itu.
Si pembawa surat itu mengatakan: „Baik,” dan segera
berlalu dengan tidak banyak bicara lagi.
„Maksudnya surat itu,” kata salah seorang
keluarganya Lie Poan Thian, „mungkin juga hendak
memancing kau akan datang ke rumah si bopeng,
dimana bukan mustahil ia akan menyediakan lebih
banyak orang buat mengeroyok kepadamu. Oleh sebab
itu, paling betul kau jangan pergi, karena itu berarti lebih
banyak celaka bagimu daripada selamat.”
Tetapi Poan Thian tidak mufakat dengan omongan
itu.
„Si bopeng dan gundal-gundalnya telah kuhantam
sehingga setengah mampus,” katanya, „masalah mereka
berani lagi berbuat begitu? Aku sebenarnya telah berlaku
murah buat menendang si bopeng dengan hanya
menggunakan telapak kakiku. Apabila aku tendang
padanya dengan ujung kakiku, niscaya ia sekarang
sudah tinggal namanya saja!”
„Itu betul. Tetapi kau jangan lupa, bahwa satru yang
sembunyi itu adalah lebih berbahaya daripada satru yang
kelihatan,” menasehatkan sanak saudaranya itu.
Poan Thian mufakat dengan omongan itu. Maka
ketika dihari esoknya ia pergi ke rumahnya Ma-cu Lie, di
pinggangnya Poan Thian tidak lupa membekal joan-pian
pemberian gurunya.
Sesampainya di rumah Ma-cu Lie, Poan Thian
bertemu dengan Ah Chit yang ia kenali sebagai salah
seorang yang pernah ia hantam di loteng Chay-honglauw.
Tetapi karena mengingat bahwa kedatangannya
kali ini bukanlah hendak mencari setori, maka dengan
82
berbaik ia lantas bertanya: „Sahabat, apakah tuan Lie
Cong Tong ada di rumah?”
Lie Cong Tong itu adalah nama aslinya si bopeng.
„Ada,” sahut si Ah Chit, „tetapi ia masih sakit dan tak
dapat menerima tetamu.”
„Aku di sini membawa surat dari tuan Lie sendiri,”
kata Lie Poan Thian, „yang bunyinya menyuruh aku
datang buat menerima uang penggantian kerugian yang
harus diterimakan pada pengurus penggilingan Eng
Tiang Chun Mo Hong.”
„Majikanku sekarang dalam keadaan sakit, cara
bagaimanakah bisa melunaskan perhutangan itu?” kata
Ah Chit. „Surat itu kukira bukan dikirim dari sini.”
„Itu tidak bisa jadi!” kata Lie Poan Thian dengan
sengit. „Habis ada siapakah lagi yang bernama Lie Cong
Tong di daerah sekitar kita ini?”
„Mungkin juga ada orang lain yang hendak mengadu
dombakan kau dengan majikan kami,” kata Ah Chit.
„Harap sekarang kau boleh pulang saja dahulu, nanti lain
hari kau boleh kembali lagi buat berurusan dengan
majikan kami.”
Tetapi Lie Poan Thian tak mau mengerti dan lalu
bentangkan surat yang ia bawa dengan dibubuhi tanda
tangannya Ma-cu Lie. „Ni, kau lihat!” katanya. „Apakah ini
bukannya tanda tangan majikanmu?”
Ah Chit yang memang ada seorang kasar yang buta
huruf, tentu saja tidak dapat membaca walaupun telah
dipaksa oleh Poan Thian begitu rupa, sehingga akhirnya
ia lantas menggelengkan kepala sambil berkata: „Oh.....
Ah, aku tidak pandai membaca!”
„Kalau begitu,” Poan Thian berkata dengan suara
83
memaksa, „biarlah aku sendiri saja yang pergi ketemui
padanya!”
„Oh, itu tidak mungkin!” kata Ah Chit pula dengan
suara keras. „Karena sebagaimana telah kukatakan tadi,
majikanku hari ini tidak menerima tetamu!”
Lie Poan Thian jadi mendongkol dan lalu mengucap:
„Kurang ajar!”
Sementara Ah Chit yang telah kenal kegagahannya
Lie Poan Thian, buru-buru berlari masuk untuk
menyiapkan kawan-kawannya yang memang
bersembunyi di sana-sini dengan masing-masing sudah
menyediakan toya dan barang-barang tajam yang
lainnya.
Tetapi Poan Thian yang melihat gelagat tidak baik,
terlebih siang lantas berjaga-jaga untuk menghadapi
segala kemungkinan.
Maka di waktu melihat ada berapa orang gundalnya
Ma-cu Lie yang keluar dengan membekal senjata,
dengan tertawa getir ia lantas menuding pada orangorang
itu sambil berkata: „Hai, apakah kamu sekalian
hendak mengeroyok aku? Kalau maksud itu benar, kamu
harus berjaga-jaga, karena senjatamu sendiri bisa di
suatu saat berbalik makan tuan! Aku dan kamu sekalian
tidak pernah tersangkut permusuhan atau urusan apaapa
pun juga, dari itu aku merasa perlu buat
memperingatkan kepada kamu sekalian. Sekarang
pergilah beritahukan kedatanganku ini kepada
majikanmu, bahwa aku di sini tengah menantikan uang
penggantian kerugian yang ia telah janjikan akan
lunaskan pada hari ini juga!”
Tetapi tiada seorangpun yang mau berlalu dari situ.
Mereka tidak mengucap barang sepatah katapun.
84
Demikian juga tiada seorang pun yang berani
„menyerobot” dengan secara membuta tuli, meskipun
mereka semua membekal senjata dalam tangan masingmasing.
Oleh karena mendapat kesimpulan bahwa mereka
masih ragu-ragu atau takut untuk mengambil tindakan
yang tegas, maka Poan Thian pun lalu sengaja
menggertak dengan berseru: „Mundur tidak mau dan
maju pun tidak mau, apa sih kehendak kamu sekalian
yang sebenar-benarnya? Jikalau kamu pikir baik
mengeroyok, ayolah kamu boleh coba keroyok aku,
jikalau kiranya tidak berani, kamu sekalian boleh segera
mundur dengan serentak!”
Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu berpura-pura
mengunjukkan sikap yang hendak menerjang masuk ke
rumah si bopeng, hingga beberapa orang gundalnya Macu
Lie yang berhati kecil dan pernah dihajar oleh Poan
Thian di Cay-hong-lauw, dengan rupa gugup segera, lari
terbirit-birit sambil berteriak: „Celaka, celaka! Pemeras
telah datang menyatroni kita! Tolong, tolong! Ia hendak
mengamuk!”
Tidak disangka Louw Cu Leng yang kebetulan telah
datang lebih pagi dan justeru tengah memeriksa
penyakitnya Ma-cu Lie, jadi agak terkejut dan lalu
menanyakan apa artinya suara ribut-ribut itu?
Ma-cu Lie yang sudah menghitung dengan matang
bakal terjadi keributan itu, lalu pura-pura menanyakan
salah seorang gundalnya sambil berkata: „Di luar terjadi
urusan apakah, sehingga menerbitkan suara begitu ribut
dan mengganggu kepada Louw Suhu?” Ia tidak
mengatakan bahwa suara ribut-ribut itu mengganggu
sekali bagi dirinya sendiri yang sedang menderita sakit,
tetapi terhadap Louw Suhu yang tenaganya hendak
85
dipergunakannya itu.
„Itulah suara si pemeras yang pada beberapa waktu
yang lalu telah mengatakan hendak datang sendiri ke
sini, dan sekarang ternyata benar dia datang buat
meminta uang kerugian, hanya tidak diketahui, kita telah
menerbitkan kerugian apa terhadap pada dia itu?” kata si
gundal, yang memang telah diatur buat berkata begitu di
hadapannya Louw Cu Leng.
Mendengar keterangan begitu, lalu si bopeng purapura
menarik muka masgul dan takut sambil mengeluh:
„Oh Tuhan! Apakah kau tidak mengatakan, bahwa aku
masih sakit dan belum bisa memenuhkan segala
permintaannya? Aku bukan mau pungkir kesanggupanku
yang telah dilakukan di bawah paksaan itu, tetapi
cobalah minta keringanan kepadanya, agar supaya aku
boleh menunda apa yang dia menamakan „uang
penggantian kerugian” itu, setelah penyakitku sembuh.”
„Itu juga telah diberitahukan tadi oleh Ah Chit-ko,
tetapi temjata dia tidak mau mengerti,” kata si gundal itu
pula. „Dia minta supaya uang itu segera dibayarkan
kepadanya hari ini juga, kalau tidak dia telah mengancam
akan membakar rumah ini beserta semua pengisinya!”
Ma-cu Lie yang pandai „main komedi”, lalu pura-pura
menggebrak pembaringan sambil mengutuk: „Ah!
Sungguh kejam sekali manusia busuk itu!”
Sementara Louw Cu Leng yang dari setadian
mendengari pembicaraan itu, lama-kelamaan jadi „panas
perut” juga dan lalu campur berbicara dengan tak dapat
dicegah pula.
„Aku orang she Louw amat tidak puas mendengar
soal-soal ganjil seperti ini,” katanya. „Aku suka mengalah
jikalau orang suka berlaku manis dan mengenal
86
persahabatan, tetapi tak sudi terima berbaik segala sikap
congkak yang mau menang sendiri saja. Maka jikalau
orang yang baru datang itu memangnya benar
mengandung maksud yang hendak menindas dan
memeras orang, maka perbuatan itu tidak boleh
dibiarkan dengan begitu saja. Ia harus dibasmi pada
sebelum mendapat kesempatan akan memeras ke sanasini!”
Tetapi Ma-cu Lie lalu pura-pura mencegah sambil
berkata „Louw Suhu, aku harap kau jangan berlaku
semberono dalam berhadapan dengan anak muda ini.
Karena meski benar aku membencinya melebihi daripada
segala apa, tetapi aku harus akui, bahwa ilmu silatnya
sangat lihay dan tinggi sekali, hingga seumur hidupku
belum pernah kulihat seorang ahli silat lain yang
mempunyai ilmu kepandaian sebaik dia itu. Ketambahan
usia Louw Suhu sudah agak lanjut, hingga ini ada
baiknya juga jikalau persoalan ini ditimbang dahulu
semasak-masaknya, pada sebelum Louw Suhu
mengambil tindakan apa-apa terhadap pada si pemeras
yang congkak itu.”
Tetapi bukan saja „nasehat” itu tidak digubris, malah
sebaliknya Cu Leng jadi semakin mendongkol dan lalu
menepuk dada sambil berkata, „Tuan Lie, barangkali kau
tidak kenal siapa sebenarnya aku ini. Aku telah
berkeliaran di kalangan Kang-ouw sehingga beberapa
puluh tahun lamanya, dengan tak pernah menemui
barang seorang lawan yang mampu berkelahi denganku
buat duapuluh jurus saja lamanya, jangankan buat
mengalahkan aku. Setelah kemudian aku tidak campur
lagi urusan di luaran, nama gelarku yang disebut Sin-kun
atau Tinju Malaikat, lalu ditambahkan menjadi Sin-kun
Bu-tek, atau Tinju Malaikat tanpa tandingan! Gelar ini
orang telah berikan kepadaku berhubung mengingat,
87
bahwa sejak aku hidup di kalangan Kang-ouw sehingga
aku mengasingkan diri, belumlah pernah aku dikalahkan
orang. Apakah bukti itu belum cukup akan membikin kau
percaya, bahwa aku tak akan dikalahkan orang mentahmentah,
walaupun benar usiaku sekarang sudah bukan
muda lagi?”
Ma-cu Lie lalu sengaja mengunjuk rupa kaget
tercampur girang.
„Ah, kalau begitu,” katanya, „nyatalah aku ini tidak
bisa mengenali orang pandai! Sudah lama aku
mendengar nama gelaran Louw Suhu yang begitu
masyhur di kalangan Kang-ouw, tetapi baru sekarang
aku dapat berjumpa dengan orang aslinya. Maka jikalau
si pemeras itu mesti berhadapan dengan Sin-kun Bu-tek
dari jaman yang lampau itu, niscaya ia akan jatuh bangun
atau mati dalam pertempuran yang meminta waktu hanya
beberapa jurus saja lamanya itu!”
Louw Cu Leng jadi merasa terhibur juga mendengar
„umpakan” itu. Tetapi pada sebelum ia keburu
menuturkan sedikit riwayat hidupnya untuk bantu
memperhebat kegagahan dan keberaniannya di waktu
mudanya, mendadak beberapa orang gundalnya si
bopeng berlarian masuk sambil berteriak-teriak: „Ia
mengamuk! Ia mengamuk! Saudara-saudara, ayolah
lekas keroyok padanya!”
Tetapi Louw Cu Leng segera berbangkit sambil
mencegah dan berkata: „Jangan, jangan! Kamu sekalian
boleh tidak usah turun tangan akan mengeroyok
kepadanya, karena perbuatan itu bukanlah perbuatan
seorang Tay-tiang-hu! Biarlah saja aku yang nanti layani
padanya.”
Hal mana, telah membikin gundal-gundal si bopeng
88
yang memang segan berurusan dengan Lie Poan Thian,
dengan diam-diam jadi girang dan hanya bantu bersoraksorak
buat menambahkan keangkeran pihak sendiri.
Sementara Louw Cu Leng yang hatinya telah kena
„dibakar” oleh Ma-cu Lie, buru-buru ia berjalan keluar
sambil mencincing ujung bajunya. Dan tatkala sampai di
depan pintu, ia melihat seorang muda yang bertangan
kosong telah berhasil dapat merobohkan beberapa orang
gundalnya si bopeng, tetapi, apa yang telah membikin Cu
Leng tidak mengerti, adalah orang muda itu tidak mau
menggunakan senjata yang telah dapat dirampas dari
tangan musuh-musuhnya, hanyalah dia lantas
melemparkan senjata-senjata itu, sebegitu lekas dia
berhasil merampas itu dari tangan mereka.
Maka Cu Leng yang hendak menjajal sampai dimana
ilmu kepandaiannya Lie Poan Thian, dengan tidak
mengatakan „ba” atau „bu” segera maju menerjang
dengan menggunakan salah satu semacam ilmu
pukulannya yang tersohor berbahaya.
Dalam pada itu Lie Poan Thian yang sama sekali
tidak menyangka bakal mendapat lawan yang begitu
tangguh, sudah tentu saja menjadi kaget juga dan buruburu
merubah taktik silatnya, agar supaya dengan cara
itu ia bisa mengimbangi jalannya pertempuran yang
makin lama makin menghebat itu.
Louw Cu Leng jadi terperanjat dan diam-diam berkata
pada diri sendiri: „Astaga! Ilmu kepandaian bocah ini
benar-benar tak boleh dibuat gegabah! Dalam keyakinan
bertempur di atas Bwee-hoa-chung, aku sendiri telah
mempunyai pengalaman hampir empatpuluh tahun
lamanya dengan tak mendapat lawan atau sateru yang
dapat merintangi sepak terjangku. Tetapi tidak dinyana
hari ini aku telah mendapat lawan yang amat tangguh
89
dan usianya terpaut begitu jauh dengan usiaku. Maka
kalau aku sampai dikalahkan oleh bocah ini, niscaya
hancurlah nama baikku yang telah mengharum sehingga
berpuluh-puluh tahun lamanya di kalangan Kang-ouw!”
Oleh sebab memikir begitu, Louw Cu Leng jadi
semakin hati-hati dalam hal melakukan penyerangannya
atau menghindarkan diri daripada serangan-serangannya
Lie Poan Thian, yang ternyata bukannya semakin
kendor, tetapi semakin lama jadi semakin cepat sehingga
akhirnya hanya tampak saja bayangannya yang
menyerang ke atas, ke bawah, ke kiri dan ke kanan,
tetapi sama sekali tak kelihatan tegas badan atau
wajahnya si pemuda itu.
Banyak orang yang kebetulan melewat dan
menyaksikan pertempuran itu, pada berkerumun
merupakan kalangan, di tempat mana kedua orang itu
telah bertempur buat menjajal keunggulan dan
kegagahan masing-masing.
Tetapi karena matahari yang terang benderang telah
mulai selam ke barat, maka Poan Thian yang kuatir ayah
bunda dan sanak saudaranya akan menunggu
kepadanya terlalu lama, buru-buru ia melompat keluar
dari kalangan pertempuran sambil memberi hormat pada
Cu Leng dan berkata: „Lo-enghiong, aku harus memuji
tinggi atas ilmu kepandaianmu yang begitu lihay dan
jarang tandingnya! Duaratus beberapa belas macam ilmu
pukulan telah kugunakan buat merobohkan kepadamu,
tetapi semua itu telah dapat kau hindarkan dengan
secara bagus sekali. Amat disayangi sekarang hari
sudah mulai petang, hingga pertempuran ini terpaksa
harus ditunda sampai di sini dahulu. Oleh sebab itu,
biarlah kita lanjutkan pertempuran ini di kelenteng Tayseng-
tian pada besok lohor, sehingga kita bisa
90
menentukan siapa antara kita berdua yang sebenarnya
lebih unggul!”
Kemudian, sesudahnya mengucapkan: „Selamat
tinggal!” Poan Thian lalu menggunakan siasat Yan-cucoan-
liam buat melayang keluar dari kalangan
pertempuran, dengan melewati kepala para penonton
yang berkerumun di muka rumah si bopeng itu.
Sementara Louw Cu Leng yang seperti orang naik
harimau yang tak mendapat jalan untuk turun, sudah
tentu saja jadi bisa bernapas lega, tatkala melihat
lawannya dengan sekonyong-konyong berlalu dari
hadapannya.
Dan ketika ia masuk ke dalam rumah untuk
memberitahukan jalannya pertempuran itu kepada Ma-cu
Lie, para penonton pun lalu pada bubaran dan satu pada
lain berjanji akan menyaksikan pertempuran lanjutannya
yang akan diadakan di kelenteng Tay-seng-tian pada hari
besok di waktu lohor.
„Anak muda itu,” kata Louw Cu Leng pada Ma-cu Lie,
“ternyata ilmu kepandaiannya tidak ada di bawah
daripada aku. Ia berkelahi dengan memakai aturan, juga
tingkah lakunya tidak bisa dicela. Oleh sebab itu, apakah
tidak bisa jadi tuan telah keliru menyangka orang baik
sebagai seorang jahat?”
Tetapi si bopeng yang cukup licin untuk menutup
kesalahannya sendiri, bukan saja tidak menjadi gugup
mendengar pertanyaan itu, malah sebaliknya jadi tertawa
sambil berkata: „Louw Suhu, dalam hal ini rasanya tidak
perlu lagi kau merasa heran. Dia itu bukan seorang
bodoh, maka dia mengerti cara bagaimana akan
memperlakukan orang. Kepada siapa yang dia takut, dia
berlaku baik dan hormat, dan terhadap orang yang dia
91
berani seperti aku ini, dia lantas unjuk „tembaganya” dan
memeras orang dengan tiada mengenal kasihan. Apakah
barangkali Louw Suhu tidak memikirkan sampai di situ?”
Louw Cu Leng yang ternyata kurang berakal jadi
melengak ketika mendengar keterangan begitu. hingga
akhirnya ia jadi menghela napas sambil berkata: „Ya, ya,
kalau katamu begitu, memanglah mungkin juga kau yang
benar. Tetapi seperti beras yang sudah menjadi bubur,
urusanmu itu sekarang telah berpindah ke bahuku.
Besok lohor aku bakal bertempur pula dengan anak
muda itu di kelenteng Tay-seng-tian, untuk menentukan
siapa di antara kita berdua yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya.”
„Tetapi aku percaya betul bahwa dia itu bukanlah
tandinganmu yang setimpal,” kata Ma-cu Lie dengan
maksud mengumpak. „Malah bukan mustahil, karena dia
takut, dia tak akan muncul di Tay-seng-tian, sedangkan
tantangan itu hanya merupakan perpanjangan tempo
untuk dia dapat meloloskan diri dari dalam tanganmu
dengan tidak hilang muka.”
Cu Leng menghela napas dan berdiam sejurus.
Kemudian ia berpamitan dan kembali ke rumahnya untuk
menyediakan segala keperluan guna pertempuran yang
bakal datang itu.
Berita tentang bakal terjadinya pertempuran antara
Louw Cu Leng dan Lie Poan Thian di kelenteng Tayseng-
tian pada besok lohor, dengan cepat telah tersiar
ke sana-sini, hingga beberapa orang sahabat dan handai
taulan Louw Cu Leng yang mendengar kabar begitu, lalu
pada datang ke Hu-tong-toa-kee buat menanyakan
bagaimana duduknya perkara yang benar pada jago silat
tua itu.
92
Salah seorang di antara sahabat-sahabatnya yang
datang berkunjung ke rumah Louw Cu Leng, adalah
seorang she Co bernama Thian Ko, yang di kalangan
Kang-ouw termasyhur dengan nama julukan Houw-jiauw
Co, berhubung ia sangat mahir dalam ilmu Hok-houwkang,
yang dapat membikin orang patah tulang atau
hancur daging apabila terkena cengkeramannya.
Kepada sahabat ini Louw Cu Leng telah menuturkan
hal ihwalnya, bagaimana ia mengobati Ma-cu Lie
sehingga akhirnya bertemu dengan pemuda yang tidak
dikenalnya itu.
„Gerakan-gerakan si pemuda ini yang bercorak ilmu
silat dari cabang Siauw-lim, boleh dikatakan semua tidak
ada kecewanya,” kata Louw Cu Leng, „terutama ilmu
tendangannya yang begitu keras dan sukar diduga,
hingga biarpun aku telah hidup puluhan tahun lamanya di
kalangan Kang-ouw, belumlah kulihat ada orang yang
pandai menendang sebaik itu. Maka di waktu aku
bertempur padanya siang tadi, boleh dikatakan hampir
enampuluh bahagian dari perhatianku ditujukan pada
tendangan-tendangannya ini, lebih-lebih karena ia lebih
banyak menggunakan tendangan daripada pukulan
dengan tinju.”
„Kalau begitu,” kata Houw-jiauw Co dengan hati
penasaran, „aku ingin turut menyaksikan pertempuran
itu. Dan jikalau ternyata ada kesempatan untuk aku
campur tangan, aku sendiri pun ingin menjajal sampai
dimana kelihayannya lawanmu itu.”
Begitulah buat mempelajari lebih jauh taktik silat Lie
Poan Thian dari keterangannya Louw Cu Leng, maka
pada malam itu Thian Ko telah menginap di rumah
sahabatnya itu.
93
Sementara Lie Poan Thian pulang ke rumahnya, ia
telah berpapasan dengan pamannya dari pihak ibu yang
bernama Han Siauw San, oleh siapa ia telah dicomeli,
mengapa ia pulang menagih hutang begitu sore,
sedangkan rumahnya Ma-cu Lie tidak terpisah terlalu
jauh dari pusat kota.
Kemudian Poan Thian lalu tuturkan pada sang
paman, peristiwa apa yang telah terjadi atas dirinya,
sehingga ia terlambat dalam melakukan pekerjaannya.
„Malah selain dari itu,” ia melanjutkan, „besok lohor
aku mesti bertempur dengan seorang tua yang menjadi
pembelanya si bopeng itu. Ilmu silatnya si empeh ini
boleh dikatakan tidak tercela, tetapi aku tidak bisa
mengerti cara bagaimana dia rela „diperkuda” oleh
seorang busuk seperti si bopeng itu!”
Dan tatkala Poan Thian memberitahukan nama bakal
lawannya itu, Han Siauw San kelihatan terperanjat dan
membentak: „Kau edan! Apakah kau tidak tahu siapa
sebetulnya dia itu?”
„Aku tidak perduli dia itu siapa,” kata Lie Poan Thian
sambil tersenyum, „jikalau aku sudah keluarkan ucapan
yang menantang, niscaya tak akan aku mundur barang
setindak pun, pada sebelum dapat membuktikan siapa di
antara kita berdua yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya!”
„Dia itu bukan lain daripada Sin-kun Bu-tek Louw Cu
Leng!” kata sang paman. „Kau anak kecil mana bisa tahu
sampai dimana kegagahannya orang tua itu!”
Tetapi Poan Thian hanya mengganda tertawa atas
omongan itu, maka pembicaraan itupun berakhirlah
sampai di situ.
94
Pada hari esok menjelang lohor, Poan Thian telah
mendahului datang di kelenteng Tay-seng-tian dimana ia
menantikan kedatangannya Louw Cu Leng. Tetapi
karena ia belum dikenal orang cukup baik semenjak
kembali dari Liong-tam-sie, maka para penonton yang
berduyun-duyun berkunjung ke kelenteng itu buat
menyaksikan orang mengadu ilmu silat, tidak
mengetahui, jikalau di antara mereka terdapat juga salah
seorang yang hendak bertempur, yakni Lie Poan Thian,
yang dengan secara tenang lalu berdiri di muka
kelenteng sambil matanya tidak berhentinya ditujukan
kian kemari.
Tatkala menantikan di situ beberapa lamanya,
barulah dari kejauhan ia menampak sebuah joli yang
dipikul mendatangi dengan diiringi oleh seorang berkuda
yang romannya angker dan berpakaian ringkas, yang
umum dipakai di waktu melatih ilmu silat.
Orang banyak yang melihat si penunggang kuda itu,
diam-diam jadi terkejut dan saling berbisik: „Ah, apakah
boleh jadi Louw Suhu kuatir dirobohkan oleh lawannya
yang masih muda itu, sehingga ia merasa perlu juga
mengundang Houw-jiauw Co sebagai pembantunya?”
Poan Thian pasang telinga untuk mendengari
pembicaraan orang banyak itu, kemudian ia berpura-pura
menanyakan: „Siapakah yang kau katakan Houw-jiauw
Co itu?”
Salah seorang di antara para penonton itu lalu
menerangkan, betapa hebatnya ilmu kepandaian orang
yang namanya dikatakan mereka itu.
„Batu karang yang bagaimana keras juga,” katanya
apabila kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya,
segera jadi hancur lebur seperti tepung! Sedangkan
95
kerbau yang kena dicekal batang lehernya, dengan
sekali sentak saja tulang-tulang lehernya menjadi patah!
Apakah itu dapat diperbuat oleh sembarangan orang?”
„Ya, ya, aku mau percaya keteranganmu itu,” kata
Poan Thian sambil tersenyum, „tetapi sebentar lagi akan
ada orang lain, yang akan mampu berbuat lebih aneh
daripada itu.”
Maka setelah Houw-jiauw Co dan joli yang membawa
Louw Cu Leng berhenti di muka kelenteng, Lie Poan
Thian lalu maju memberi hormat pada kedua orang itu
sambil berkata: „Aku yang rendah telah lama juga
menantikan kedatangan Louw-enghiong di sini. Tetapi
belum tahu apakah aku boleh mempunyai kehormatan
buat mengetahui juga she dan nama tuan yang turut
datang bersama-sama kau ini?”
Sambil balas memberi hormat, Louw Cu Leng
perkenalkan si pemuda itu pada Houw-jiauw Co tersebut.
Kemudian setelah Thian Ko minta supaya orang
banyak suka membuka halaman yang agak luas di muka
kelenteng itu, barulah ia mengucapkan sebuah pidato
pendek tentang maksudnya pertempuran itu, yang
semata-mata dititik-beratkan untuk mengadu ilmu silat
sejati buat menetapkan keunggulan salah satu pihak,
tetapi sama sekali bukanlah hendak saling bunuh
membunuh yang biasa menerbitkan permusuhan yang
tidak habis-habisnya.
„Barang siapa yang kalah,” ia melanjutkan, „tidak
boleh mendendam sakit hati atau melakukan
pembalasan dengan bergelap. Dan jikalau ia masih
merasa penasaran akan kekalahannya, disembarang
waktu ia boleh minta diadu pula dengan pihak si
pemenang, agar supaya dengan begitu dapat ditentukan
96
pihak mana yang sesungguhnya lebih unggul, sehingga
akhirnya ia rela mengaku kalah. Dengan begitu,
pertempuran itupun berakhirlah dengan selamat sampai
di situ.”
„Sekarang aku minta supaya tuan-tuan sekalian suka
menyaksikan pertempuran ini dari tempat yang terpisah
sedikit jauh,” Thian Ko menambahkan, „karena selainnya
halaman pertempuran jadi lebih lega, bahaya-bahaya
yang tidak terduga pun bisa dihindarkan sewaktu kedua
orang sedang bertempur dengan asyiknya.”
Maka sebegitu lekas orang banyak mundur untuk
membuka halaman, Cu Leng dan Poan Thian lalu
menindak masuk ke dalam kalangan pertempuran
dengan tindakan yang tenang.
Mula-mula mereka memberi hormat pada orang
banyak dan Co Thian Ko, kemudian Cu Leng persilahkan
Poan Thian membuka serangan lebih dahulu.
Tetapi Poan Thian tampak agak ragu-ragu,
berhubung melihat usianya Cu Leng yang terpaut begitu
jauh dengan dirinya.
„Tidak usah kau berlaku see-jie,” menganjurkan Co
Thian Ko, „kau yang menantang, maka patutlah kau juga
yang mulai membuka serangan. Ayolah, sekarang kamu
boleh mulai bertempur!”
Oleh karena mendapat anjuran dari pihak lawan dan
wasitnya, maka apa boleh buat Poan Thian lalu mulai
membuka serangan, yang lalu ditangkis oleh Louw Cu
Leng dengan secara gesit sekali.
Dalam pertempuran itu, kedua pihak telah
mengunjukkan ketangkasan masing-masing dengan jalan
mempergunakan ilmu-ilmu silat amat lihay yang hanya
97
diketahui oleh ahli-ahli silat yang ilmu silatnya telah
mencapai tingkat yang amat tinggi, sedangkan para
penonton cuma mengerti bertepuk sorak jikalau melihat
ada salah satu pihak yang terdesak, walaupun desakan
itu belum berarti kemenangan bagi pihak yang
mendesak.
Selama pertempuran itu berlangsung dengan amat
hebatnya, Houw-jiauw Co telah menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri, tentang ilmu tendangan kilat Lie
Poan Thian yang begitu disohorkan oleh Louw Cu Leng.
Oleh karena itu, ia sendiripun jadi kagum dan diam-diam
harus mengakui, bahwa itulah sesungguhnya ilmu
tendangan yang jarang dapat dipahami oleh sembarang
orang.
Dan ketika Cu Leng berlaku sedikit kendor dan
tendangannya Lie Poan Thian menyamber dalam jurus
Lian-hwan Coan-sim-tui, ia jadi terkejut dan berteriak:
„Celaka!”
Syukur juga Cu Leng yang memang telah ulung
dalam rimba persilatan dan paham menghindarkan diri
dari segala serangan berbahaya dari pihak lawannya,
terlebih siang telah melihat itu dan lekas mengegos untuk
meluputkan diri daripada serentetan tendangantendangan
lain yang ia ketahui akan segera menyusul
belakangan.
Benar tak mampu ia menjaga atau memecahkan ilmu
tendangan yang menjadi keistimewaan kepandaian
pemuda itu, tetapi Cu Leng cukup berpengalaman, akan
sampai kena diselomoti dengan tendangan-tendangan
yang amat berbahaya itu.
Sementara Lie Poan Thian yang melihat tendangantendangannya
yang begitu diandalkan telah gagal semua
98
dan dapat dihindarkan oleh Louw Cu Leng, lalu sedikit
demi sedikit merubah siasat silatnya dengan jalan
mengunjukkan ilmu Sauw-tong-tui, sebagian besar telah
diciptakannya sendiri di bawah penilikan Kak Seng
Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie.
Maka Louw Cu Leng yang seumur hidupnya baru
pernah menyaksikan ilmu tendangan semacam itu,
sudah tentu saja jadi amat terkejut, buru-buru ia
menjauhkan diri buat menghindarkan tendangantendangan
itu, sambil menduga-duga apa namanya serta
memperhatikan cara bagaimana ilmu tendangan itu
harus dipecahkannya.
Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber
dari angkasa, ia hampir tidak melihat lagi cara
bagaimana Poan Thian telah merangsek kepadanya.
Dalam pada itu Poan Thian yang sudah berada dekat
sekali dari tempat mana Cu Leng berdiri, lalu mengirim
sebuah tendangan dengan kaki kanannya, yang
kemudian lalu disusul dengan kaki kiri dengan gerakan
yang hampir tak kelihatan.
„Aya!” semua penonton jadi berteriak dengan suara
tertahan di dalam tenggorokan.
„Celaka!” Houw-jiauw Co teturutan berteriak dengan
tidak terasa pula.
Tendangan yang pertama dapat disingkirkan oleh Cu
Leng, tetapi tendangan yang kedua tak sanggup ia jaga
atau singkirkan, karena datangnya yang begitu cepat.
„Celaka!” ia berteriak di dalam hati.
Tatkala tendangan itu menyamber ke dadanya, Louw
Cu Leng terpaksa membuang diri, hingga tendangannya
Lie Poan Thian telah nyelonong terus dan mengenai
99
sebuah pohon liu di muka kelenteng, sehingga pohon itu
tercabut akarnya dan roboh di seketika itu juga!
Hal mana, sudah tentu saja, telah membikin orang
banyak jadi bertepuk sorak dan memuji: „Itulah
sesungguhnya sebuah tendangan malaikat!”

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Kisah Silat : Cerita Si Kaki Sakti Yang Menggemparkan Dunia Silat ini diposting oleh ali afif pada hari Selasa, 04 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments