Cerita Silat Jorok : Pedang Angin Berbisik 1
- Cerita Dewasa Mandarin Tionggoan : Sian Li Engcu 4...
- Cerita Dewasa Amoy China : Sian Li Engcu 3
- Cerita Dewasa Silat Mandarin Lawas : Sian Li Engcu...
- Cerita Dewasa Tiongkok Kuno : Sian Li Eng Cu 1
- Cerita Silat Cersil Si Kaki Sakti
- Cerita Dewasa Guru Cantik : Si KS 6 Tamat
- Cerita Guru Dewasa Bercinta ; Si KS 5
- Cerita Cinta Asmara Guru dewasa : Si KS 4
- Cerita Cinta Dewasa Guru Silat: Si Kaki Sakti 3
- Kisah Asmara Guru Silat: SKYMDS 2
- Kisah Silat : Cerita Si Kaki Sakti Yang Menggempar...
- Cerita Silat Kuna Cersil Antik : Bendera Maut
- Baca Cersil Cerita Silat Online Pahlawan Gurun (PG...
- Cerita Cinta Sedih Galau Terbaru 2017 : PG 5 Tamat...
- Cerita Cinta Sedih Patah Hati : PG 4
- Cerita Cinta Remaja ABG : PG 3
- Cerita Cinta Kasih Asmara : PG 2
- Cerita Cinta Asmara Dewasa : Pahlawan Gurun 1
- Baca Cersil Online Pedang Pusaka Buntung Tamat Yuu...
- Cerita Silat Online Pedang Pusaka Buntung 3
- Cersil Online Pedang Pusaka Buntung 2
- Cersil Pedang Pusaka Buntung 1
- Cerita Silat China : Pedang Kunang Kunang Full Len...
- Cerita Dewasa Model Sutradara: PKK 10 Tamat
- Cerita Birahi Model : PKK 9
- Cerita Ngentot Sutradara Ayu : PKK 8
- Cerita Dewasa Model Indo : PKK 7
- Cerita Seks Model Baru : PKK 6
- Cerita Ngentot Model Cantik : PKK 5
- Cerita Ngentu Model Pendatang Baru : PKK 4
- Cerita Ngentot Model Anyar : PKK 3
- Cerita Dewasa Model Indonesia : PKK 2
- Cersil Baru Terbit : Pedang Kunang Kunang
- Cerita Silat Imam Tanpa Bayangan (ITB) Baca Online...
- Cerita Dewasa Ngentot Artis Pendatang Baru : ITB 2...
- Cerita Dewasa Aktris Filipina : ITB 20
- Cerita Dewasa Artis Anyar : ITB 19
- Cerita Mesum Artis Selebritis : ItB 18
- Cerita Ngentot Dewasa : ITB 17
- Cerita Dewasa Asli Terjadi : ITB 16
- Cerita Dewasa Nyata Terjadi : ITB 15
- Cerita Dewasa Ngentot : ITB 14
- Cerita Dewasa Ngeseks : ITB 13
- Cersil Jorok Cerita : ITB 12
- CERITA DEWASA kETIDURAN : ITB 11
- Cerita Selingkuh Dosen : ITB 10
- Cerita Mesum Dewasa : ITB 9
- Cerita Dewasa Silat : Imam Tanpa Bayangan 8 Bagian...
- Cerita Mesum Dewasa : ITB 7
- Cerita Silat Dewasa: ITB 6
- Cerita Dewasa Baru :ITB 5
- Cerita Dewasa ABG : ITB 4
- Cerita Mesum ITB 3
- Cerita Dewasa Silat ITB 2
- Cerita Dewasa Imam Tanpa Bayangan 1
Pedang Angin Berbisik
Malam gelap, ribuan bintang bercahaya di langit. Seorang pemuda dengan tekun berulang-ulang melatih jurus yg sama. Tubuhnya tinggi tegap, melampaui pemuda lain yg seumuran dengannya. Seluruh bajunya sudah basah kuyup dengan keringat.
Terkadang dia bergerak dengan mantap, tapi tidak jarang dia bergerak dengan lambat seakan ragu, gerakan apa yg harus dia lakukan selanjutnya. Alisnya berkerut, merenungkan gerakan yg sedang dia lakukan.
Beberapa kali dia mengulang dan terhenti pada gerakan yg sama. Sampai akhirnya dia berhenti dan melemparkan tubuhnya ke tanah yg berumput tebal.
Sesaat kemudian terdengar dia mengeluh,"Ahh... dasar otakku memang bebal, yang lain sudah semakin maju dan mempelajari
2
jurus-jurus yg baru, tapi aku baru jurus-jurus dasar pun aku belum menyelesaikan semuanya."
Sambil mencabuti rumput dia bergumam pada diri sendiri, "Untuk apa aku berlatih siang dan malam? Tuan besar Huang Jin juga tidak mengharap banyak dari seorang tukang kebun seperti aku."
"Akupun tidak mengharap pekerjaan yang lain, mengatur kebun bunga dan menanam sayuran lebih menyenangkan daripada melelang nyawa menjadi pengawal pribadi Tuan besar Huang Jin."
Dengan kemalas-malasan dia berdiri, dilepasnya baju yg sdh basah kuyup dengan keringat. Bertelanjang dada, dia berjalan melewati, sawah-sawah dan rumah-rumah para pekerja, pemuda itu terus berjalan dengan lesu menuju ke rumah terbesar dan termewah yg terletak di tengah.
Beberapa peronda yg bertemu dengannya mengangguk dan menyapa, "Hei Ding Tao, baru selesai latihan malam?"
Pemuda itu mengangguk dan tersenyum ramah, "Iya paman, sebentar lagi akan diadakan ujian kenaikan tingkat."
3
"Semoga kau lulus tahun ini."
"Ya, terima kasih paman.", Ding Tao menyeringai kecut, dalam hati dia sudah membayangkan bakal gagal ujian kenaikan tingkat untuk kesekian kalinya.
Sampai di pintu belakang dari rumah mewah itu, kembali Ding Tao bertemu dengan para penjaga.
"Habis berlatih?"
"Ya paman.", jawabnya dgn sopan.
"Hmm..., baiklah cepat masuk. "
"Baik paman."
Dengan menunduk hormat pada para penjaga, Ding Tao menyelinap masuk dan bergegas menuju kamar tempat di tinggal. Sesaat sebelum meninggalkan jauh para penjaga itu sempat dia mendengar, sepotong percakapan mereka.
"Anak baik, sayang bakatnya buruk sekali."
" Ya... kemajuannya lambat sekali."
4
"Padahal dia tidak pernah absen dari jam latihan dan masih berlatih sendirian setiap malam."
"Hmm, setidaknya latihan itu membuatnya sehat."
Dan penjaga yang lain pun tertawa mendengarnya.
Ding Tao hanya tersenyum kecut, dia tahu mereka tidak bermaksud buruk, hanya saja memang demikianlah kenyataannya.
Ketika Ding Tao berjalan melewati sebuah kebun kecil dekat kamarnya, tiba-tiba sesosok bayangan melompat, menghadang di depannya.
"Hyaahh....."
Ding Tao yg sedang melamunkan keadaannya pun terkejut bukan kepalang, dia melompat surut ke belakang, memasang kuda-kuda, jantungnya berdegup kencang.
Melihat Ding Tao yg terkejut tadi, bayangan itu berjalan mendekat sambil terkekeh geli, "Hihi, kena kau, dari mana sih malam-malam."
5
Seorang gadis berumur belasan berjalan mendekat, gelapnya malam menyembunyikan wajahnya, tapi Ding Tao sangat mengenal suara itu, cara gadis itu berjalan melenggang, suara tawa yang renyah.
"Nona muda Huang, kau mengagetkanku.", ujar Ding Tao sambil mendesah lega, tanpa terasa sebuah senyuman terbentuk di wajahnya.
"Tapi apa yang nona lakukan malam-malam seperti ini. Kalau ayah nona tahu, dia akan marah."
"Huuhh, aku tidak bisa tidur, jadi kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar di taman.", jawab gadis itu sambil mencibir.
Ding Tao tergelak mendengar jawaban gadis itu, entah mengapa dia merasa bahagia setiap kali berada di dekatnya, "Tapi nona, tidak baik kalau nona keluar malam-malam bertemu dengan lelaki seperti begini sendirian."
"Aku kan cuma kebetulan saja bertemu denganmu."
"Tapi tetap saja nona, bisa menimbullkan kesan yg kurang baik."
6
Gadis itu mencibir tapi tidak membantah, "Ah... Ding Tao, sekarang kamu rewel sekali, seperti kakek-kakek saja. Baiklah aku akan masuk kembali ke kamar."
Sambil berbicara tidak terasa kedua pemuda dan pemudi itu semakin mendekat. Ketika si nona muda melihat Ding Tao yang tidak berbaju, mukanya pun jadi bersemu merah dan tanpa terasa nona muda itu pun memekik kecil, "Aihh.... idih... idih... tidak tahu malu."
Terkejut dan malu gadis itu pun membalikkan badan dan berlari kembali ke kamarnya, entah mengapa jantungnya berdegup kencang. Terbayang tubuh yang tegap dan dada yang bidang, dengan otot liat yang terbentuk seperti pahatan.
Ding Tao yang baru sadar akan keadaan dirinya jadi gelagapan dan terbata-bata ingin meminta maaf, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Tapi setelah beberapa langkah gadis itu berlari, dia berbalik dan tersenyum manis dengan muka yang masih bersemu merah, "Ding Tao, semoga ujian nanti kamu lulus ya."
Berkali-kali dia sudah mendengar ucapan yg sama, tapi tatkala ucapan itu keluar dari nona muda itu, hatinya serasa
7
mengembang, dan dengan senyum lebar dia menjawab, "Tentu nona, ujian nanti, ujian nanti saya pasti akan lulus."
Tersenyum manis nona muda itu mengangguk dan pergi meninggalkan Ding Tao sendiri. Ding Tao berdiri memandangi sosoknya yang bergoyang gemulai, dia berdiri diam sampai nona muda itu tidak terlihat lagi olehnya, sebelum dia berbalik memasuki kamarnya.
Senyumnya tidak juga hilang, meskipun dia sudah merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Membayangkan bagaimana dia akan lulus ujian beberapa hari lagi, membayangkan kegembiraan nona muda itu saat dia lulus nanti.
Tapi ketika dia teringat akan kegagalannya dalam menjalankan jurus-jurus dasar hingga tamat, senyum itupun menghilang, digantikan desah kegalauan.
"Hmm... kalau kali ini aku gagal lagi, tentu nona akan sangat kecewa..."
Membayangkan wajah nona muda yg kecewa, dia menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan, "Kali ini harus berhasil."
8
Perlahan dia bangkit dari tempat tidur, berlatih, berusaha memecahkan masalah yang dihadapinya.
Demikian berhari-hari Ding Tao mencurahkan segenap pikiran dan kekuatannya untuk dapat menguasai jurus-jurus dasar keluarga Huang, hingga harinya tiba. Setiap kali ditemuinya jalan buntu yang membuatnya terduduk lesu, senyum nona muda yang manis menghalau kegalauan dan memberikannya semangat untuk maju.
---------- o ----------
Hari itu dari tahun ke tahun, selalu menjadi hari yg istimewa, hal ini ada sebabnya. Kakek buyut Tuan besar Huang Jin, cikal bakal berdirinya perkampungan keluarga Huang, adalah seorang tokoh persilatan yang cukup disegani oleh kawan dan lawan.
Meskipun pada perkembangannya keluarga Huang lebih condong untuk mengembangkan usaha mereka dalam pertanian dan perdagangan, namun mereka tidak pernah lalai untuk menjaga nama baik yang sudah dipupuk oleh pendirinya dalam dunia persilatan.
9
Keluarga Huang bukanlah golongan nomor satu yang bisa merajai dunia persilatan, tetapi keluarga Huang juga tidak ingin menjadi golongan kelas kambing yang bisa diinjak-injak dan dijadikan sapi perahan. Sadar bahwa dunia persilatan adalah dunia yang mengandalkan tajamnya pedang dan kerasnya kepalan tangan, Tuan besar Huang Jin pun tidak lupa untuk memperdalam ilmu bela diri.
Tanah miliknya cukup luas dan cabang-cabang usahanya pun ada di beberapa kota. Mereka yang menjadi penanggung jawab di tiap-tiap tempat, bukan hanya menjadi pengelola usaha keluarga Huang, tapi juga menyandang nama keluarga Huang dalam dunia persilatan.
Itu sebabnya posisi-posisi penting dalam keluarga Huang, haruslah dipegang mereka yang sudah mapan ilmu bela dirinya.
Dalam hal mempercayakan tanggung jawab ini, Tuan besar Huang Jin adalah orang yg memiliki pandangan yang cukup terbuka.
Posisi-posisi yang penting bukan hanya disediakan untuk anggota keluarga yg bertalian darah saja, tapi setiap mereka
10
yang berada dalam organisasinya mendapatkan kesempatan yang sama. Mereka yang benar-benar berbakat, kemudian ditarik menjadi bagian dari keluarga besar Huang, ada yang lewat perjodohan dengan salah satu keluarga Huang Jin, ada pula yang kemudian diadopsi menjadi anak dari salah satu keluarga Huang.
Dengan jalan ini, keluarga Huang tidak pernah kekurangan orang berbakat dan semakin disegani baik dalam dunia perdagangan maupun dalam dunia persilatan.
Dan salah satu upaya keluarga Huang untuk menyaring orang-orang yang berbakat ini adalah lewat ujian kenaikan tingkat yang dilakukan pada hari tersebut.
Itulah sebabnya mengapa hari itu menjadi hari yang istimewa bagi setiap anggota perkampungan keluarga Huang.
Salah satu kisah sukses dalam pertandingan itu adalah Chen Hui, yang ayahnya bekerja sebagai penggembala ternak, ayah dari Tuan Besar Huang Jin. Berhasil menjadi peserta terbaik pada ujian kelulusan yang diadakan pada masa mudanya, dia kemudian ditarik menjadi pengawal pribadi ayah Tuan besar Huang Jin.
11
Setelah beberapa tahun menjadi pengawal pribadi, dia dipercaya untuk mengawasi usaha kain keluarga Huang di kota Chang Sha. Tidak lama kemudian, dia diambil menjadi menantu oleh salah seorang paman Huang Jin.
Memang mereka yang mendapatkan nasib baik seperti Chen Hui hanya bisa dihitung dengan jari, karena selain kemampuan bela diri, keluarga Huang juga melihat sifat-sifat lain dari orang yang bersangkutan.
Tapi setiap mereka yang berhasil menunjukkan bakatnya dalam ilmu bela diri, tentu mendapatkan kedudukan yang cukup baik dan bagi mereka yang merasa berbakat, inilah kesempatan mereka untuk menonjolkan diri.
Setiap anak-anak dalam perkampungan tuan Huang, termasuk mereka yang bekerja di cabang perusahaan, diwajibkan untuk mempelajari dasar-dasar ilmu keturunan keluarga Huang.
Ilmu silat keluarga Huang sendiri bersumber dari Shaolin, yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu tangan kosong dan ilmu pedang keluarga Huang, oleh kakek buyut Huang Jin.
Terdiri dari 12 jurus dasar, 9 jurus dasar tangan kosong dan 3 jurus dasar pedang.
12
Setelah menginjak usia belasan, maka pemuda-pemuda itu akan didorong untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat, dan jika mereka berhasil lulus, akan diajarkan pada mereka jurus-jurus lanjutan yang terdiri dari 36 jurus pedang keluarga Huang.
Kebanyakan dari anggota perkampungan keluarga Huang ada dalam tingkat ini, yang kemudian disesuaikan menurut pengamatan para pelatihnya akan mendapatkan peringkat-peringkat sesuai dengan kemampuannya. Pada hari ujian kenaikan tingkat ini pula diadakan pertandingan bagi mereka yang sudah mempelajari jurus lanjutan, dan menjadi ajang bagi mereka yang ingin menunjukkan kemajuan mereka dalam hal ilmu bela diri.
Jurus-jurus tingkat atas yang menjadi jurus andalan, hanya diperuntukkan keluarga Huang sendiri.
Kemudian ada pula jurus rahasia yang hanya disampaikan oleh pimpinan keluarga, kepada keturunan keluarga Huang yang dipercaya untuk mewarisi kedudukan sebagai pemimpin keluarga.
--------- o ---------
13
Beberapa hari sebelum hari istimewa itu, para pengurus usaha keluarga Huang yg berada di beberapa kota lain pun mulai berdatangan. Baik yang datang sendiri, maupun yang datang bersama-sama dengan keluarga dan orang kepercayaannya.
Sahabat-sahabat dekat keluarga Huang pun turut berkunjung, orang-orang tua dan berjenggot yang pernah memiliki nama besar. Wajah-wajah keras dan tubuh berotot yang pekerjaannya dalam dunia persilatan hanya disampaikan dengan bisik-bisik dan dari mulut ke mulut. Guru-guru silat yg terkenal dengan murid andalannya. Pendek kata berbagai macam golongan hari itu berkumpul.
Kedatangan mereka itu sudah menjadi satu keramaian tersendiri, baik mereka yang berjumpa setelah setahun penuh tidak bertemu, maupun pembicaraan ttg orang-orang yang mereka bawa, yang tentunya dipandang memiliki kelebihan dan kisahnya sendiri.
Yang sudah tua, ramai membicarakan perkembangan keluarga Huang dan kisah-kisah di masa lalu. Yang masih muda ramai membicarakan harapan mereka di masa depan, tidak luput juga mereka membicarakan kecantikan atau ketampanan dari pemuda yang ini atau gadis yang itu.
14
Pada hari itu hampir seluruh kegiatan dalam keluarga Huang dihentikan, bahkan penjagaan pun tidak seketat biasanya, maklum saja hampir seluruh dedengkot keluarga Huang sedang berkumpul sehingga sulit dibayangkan bakal ada orang yang berani mencari gara-gara di hari itu.
Setelah upacara sembahyangan di pagi hari dan upacara syukuran yang dipimpin seorang pendeta tao, maka tiba saatnya untuk anak-anak muda yang bekerja di keluarga Huang untuk mengikuti ujian kenaikan tingkat.
Hari itu kurang lebih ada 23 orang yang mengikuti ujian kelulusan, 7 di antaranya dibawa dari cabang perusahaan keluarga Huang.
Ujian itu dilaksanakan di sebuah lapangan yang cukup luas, di salah satu sisinya didirikan beberapa tenda besar, tempat orang-orang penting dalam keluarga Huang dan undangan-undangan duduk.
Ketika mereka masuk ke dalam lapangan, tepuk tangan pun terdengar. Beberapa orang terdengar bersuit, ada juga yang memanggil-manggil nama orang yg mereka kenal. Salah
15
satunya adalah nona muda kelurga Huang yang berteriak cukup keras, "Ayo Ding Tao!! Semangat !!"
Ding Tao yang sedari tadi menunduk pun mendongakkan kepala, wajahnya yang bersemu merah, semakin bersemu merah. Dilihatnya nona muda keluarga Huang melambaikan tangannya, sampai salah seorang kakak lelakinya menarik tangannya sambil tertawa besar. Ding Tao yang berada di antara 23 orang itu pun merasa berdebar-debar. Wajahnya yang bersemu merah lebih banyak menunduk, dalam hatinya dia merasa malu, karena peserta yang lainnya berumur jauh lebih muda dari dirinya. Apalagi Ding Tao termasuk tinggi untuk pemuda seusianya, sehingga dia jadi lebih menonjol lagi dari ke-23 orang itu.
Sekilas dilihatnya di deretan terdepan, Tuan besar Huang Jin, bersama isteri dan anak-anaknya, sedang bercakap-cakap dengan salah satu undangan, seorang laki-laki berusia 40-an, kumis dan jenggotnya yang lebat ditata rapi, badannya tinggi tegap menambah wibawanya.
Di sebelahnya seorang pemuda yang tampan dengan senyum yang menawan, yang sibuk berusaha mengajak nona muda keluarga Huang untuk mengobrol.
16
Setelah seluruh peserta berbaris rapi di dalam lapangan, Tuan besar Huang Jin berdiri dan memberikan kata sambutan.
Tiba-tiba Ding Tao merasa sebal dengan pemuda tampan itu. Dia sendiri merasa heran apa sebabnya dia merasa sebal, kata-kata sambutan dari Tuan besar Huang Jin pun tidak sepenuhnya masuk dalam ingatannya, setiap kali dia menegakkan kepala tentu yang dilihatnya adalah pemuda tampan itu, yang berusaha memikat si nona muda.
Sifat nona muda keluarga Huang memang terbuka dan sedikit kelaki-lakian, dengan cepat merasa akrab dengan sahabat barunya.
Ketika Ding Tao melihat pemuda itu akrab dengan nona muda keluarga Huang, semakin lama semakin sebal pula hatinya.
Tiba-tiba dia tersadar bahwa Tuan besar Huang Jin sudah selesai dengan kata sambutannya dan para peserta mulai menyebar dan bersiap untuk mendemonstrasikan jurus-jurus. Ding Tao pun segera bersiap,
Pertama-tama mereka menjalankan 9 jurus dasar tangan kosong. Satu demi satu, jurus diperagakan, meskipun
17
semuanya memperagakan jurus yang sama, terdapat perbedaan-perbedaan dari seorang dengan yang lain.
Beberapa memperagakan jurus-jurus itu dengan setiap kembangan-kembangannya yang membuat jurus-jurus itu terlihat lebih indah tanpa mengurangi kekuatannya.
Yang lain lebih menonjolkan kekuatan dari jurus itu, memperagakannya dengan gerakan yg lebih sederhana tapi cepat dan keras.
Ada juga yang lebih memperhatikan ketepatan perubahan dari tiap jurus, bergerak dengan tenang, tidak terlalu cepat, tidak pula lambat, setiap gerakan tampak mengalir sambung menyambung. Namun dengan mudah bisa dilihat mereka memperagakan jurus yang sama. Ding Tao termasuk mereka yang memperhatikan tiap detail, tiap kembangan dan setiap bagian terkecilnya, hanya sayang meskipun gerakannya mantap tapi tak seindah yang lain. Seorang lelaki tua dengan baju hitam sederhana, mondar-mandir, memperhatikan gerakan tiap-tiap orang, dia adalah pelatih Gu, Gu Tong Dang. Orang tua ini sudah berumur 70-an, menjadi pelatih silat keluarga Huang sejak Tuan besar Huang Jin masih muda. Ilmu silatnya bukanlah yang terbaik, tapi
18
bakatnya dalam sebagai pendidik sulit dicari bandingannya. Matanya pun jeli dalam menilai bakat seseorang.
Dia juga yang bertanggung jawab untuk melatih Ding Tao dan atas penilaiannya pula Ding Tao tidak pernah diluluskan pada ujian tahun-tahun sebelumnya.
9 jurus dasar tangan kosong selesai diperagakan, penonton pun memberikan tepuk tangan. Pedang dibagikan krn setelah ini mereka akan memperagakan 3 jurus dasar pedang keluarga Huang.
Ding Tao menyempatkan diri untuk melihat sekilas ke arah nona muda Huang, hatinya terasa mengembang saat dilihatnya gadis itu melambaikan tangan ke arahnya. Bagaimanapun juga gadis itu memperhatikan dirinya. Tapi ketika terlihat olehnya pemuda tampan di sampingnya, jantungnya berdegup dan tangannya mengepal kencang, pemuda itu sedang memandang dirinya dengan pandangan mencemooh.
Sesaat lamanya pandang mata mereka beradu dan ketidak sukaan berkembang di hati keduanya.
19
Ding Tao tidak berlama-lama memikirkan hal itu, dia sadar saat ini dia harus memusatkan pikirannya pada ujian yang dia hadapi.
Pedang-pedang selesai dibagikan, sekali lagi ke 23 peserta berbaris rapi dan menunjukkan kebolehan mereka, 3 jurus berlalu dengan cepat dan tibalah saatnya Gu Tong Dang menyampaikan hasil ujian hari itu.
Dengan langkah-langkah yang tenang dia berjalan ke arah Tuan besar Huang Jin, membawa selembar kertas di tangannya. Tersenyum-senyum, kakek tua ini sesekali melirik ke arah para peserta yang memperhatikan tiap langkahnya dengan wajah tegang.
Entah sudah berapa puluh kali dia menjalani ritual yang sama, tapi tidak pernah bosan dia memandangi wajah-wajah muda penuh semangat itu.
Selembar kertas itupun berpindah tangan, Tuan besar Huang Jin membaca hasil penilaian Gu Tong Dang untuk beberapa saat.
Perhatian segenap mereka yang ada di lapangan itupun tertuju pada Tuan besar Huang Jin, ketika Tuan besar Huang Jin
20
tampak menggelengkan kepalanya, setiap orang pun bertanya-tanya, ada apa gerangan.
Ketegangan pun mulai merayap, ketika Tuan besar Huang Jin tampak berdiskusi dengan Gu Tong Dang, apalagi ketika beberapa orang kepercayaan dalam keluarga Huang dipanggil berdiri dan turut ikut menyampaikan pendapatnya.
Inilah satu kejutan bagi mereka yang sudah menyaksikan ritual yang sama selama bertahun-tahun, biasanya hasil penilaian Gu Tong Dang selalu diterima Tuan besar Huang Jin tanpa pertanyaan, sepertinya tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya.
Setelah beberapa lama berdiskusi tampaknya mereka mencapai satu kesimpulan yang sama. Masing-masing kembali ke tempat duduknya sementara Tuan besar Huang Jin dengan langkah yang tegap maju ke depan.
Seperti suara daun yg berdesir-desir, terdengar bisik-bisik di antara penonton yang berada di pinggir lapangan, semuanya sibuk ikut berbisik, mempercakapkan keanehan pada tahun ini. Tuan besar Huang Jin pun berdehem keras dan mengangkat tangannya sebagai tanda agar semuanya diam.
21
Setelah mendapatkan perhatian dari setiap orang, maka mulailah dia membacakan hasil ujian. Suaranya menggema dilambari tenaga dalam, terdengar ke seluruh penjuru dengan jelas. "Kita sebagai bagian dari keluarga Huang, tidak pernah lalai akan asal usul kita sebagai orang-orang dari dunia persilatan."
"Tidak pernah lalai akan nama besar pendiri perkampungan ini."
"Tidak pernah lalai dalam mengasah dan memperdalam ilmu yang sudah menjadi warisan keluarga Huang dari generasi ke generasi berikutnya."
"Hari ini kita mengadakan satu ujian, bagi generasi yang baru, satu tahapan bagi mereka untuk membuktikan bahwa mereka layak untuk dipercaya..."
"Memperdalam dan memperkaya ilmua warisan keluarga Huang."
"Dan hasil dari ujian tahun ini..."
Entah sengaja atau tidak, atau dari kebiasaan Tuan besar Huang Jin memberikan jeda sebelumm mengumumkan hasil
22
ujian, tentu saja membuat setiap orang dengan berdebar menunggu.
"Seluruhnya lulus !!!"
Sorak sorai pun terdengar dari berbagai penjuru, wajah para peserta ujian pun menunjukkan kelegaan. Bagi Ding Tao dan beberapa peserta yang lain yang sudah takut tidak akan lulus ujian yang ada hanya kelegaan yang besar tetapi bagi beberapa peserta yang lain dan juga sebagian besar penonton masih ada pengumuman yang mereka tunggu-tunggu, yaitu peserta yang lulus ujian dengan nilai terbaik.
Ketika gemuruh sorak sorai mulai mereda, Tuan besar Huang Jin pun melanjutkan, "Dan peserta dengan nilai terbaik adalah... Ding Tao !!!"
Gemuruh sorak sorai mengalahkan sorak sorai sebelumnya, maklum penonton terbanyak tentu mereka yang tinggal di perkampungan keluarga Huang, dari cabang-cabang usaha yang tersebar di beberapa kota, jumlahnya mungkin hanya dua-tigapuluh orang, sementara Ding Tao mempunyai hubungan yang baik dengan seluruh penduduk di situ.
23
Apalagi semua orang mengetahui ketekunannya selama bertahun-tahun berusaha mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian itu, sementara teman-teman sebaya sudah banyak yang mendahuluinya.
Otaknya yang dipandang agak bebal untuk menerima pelajaran silat, justru membuat orang menjadi bersimpati tatkala melihat ketekunannya yang tidak kenal kata menyerah.
"Ding Tao kemari, maju ke depan.", sambil tersenyum Tuan besar Huang Jin memandang pemuda dungu yang berhasil lulus sebagai peserta terbaik itu, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, lulusan terbaik akan menerima hadiah berupa pedang berukir huruf Huang di gagangnya.
Pedang itu memang bukan sejenis pedang pusaka yang diperebutkan tokoh-tokoh persilatan, namun pedang itu terbuat dari baja pilihan yang tinggi kualitasnya dan dibuat dengan ketelitian yang tinggi oleh seorang ahli pembuat pedang yang sudah masuk menjadi salah seorang anggota keluarga Huang.
Dengan dada berdebar-debar Ding Tao maju untuk menerima pedang tersebut, wajahnya memerah karena malu, menjadi pusat perhatian sekian banyak orang.
24
Nona muda keluarga Huang tidak hentinya bertepuk tangan.
Sesampainya di depan, Ding Tao tidak lupa membungkuk, memberikan hormat pada Tuan besar Huang Jin. Sambil menepuk-nepuk pundak Ding Tao, Tuan besar Huang Jin menyerahkan pedang itu, "Selamat, ini semua hasil ketekunanmu selama bertahun-tahun."
Tiba-tiba di tengah sorak sorai itu terdengar suara yang tidak terlalu keras, namun cukup nyaring untuk terdengar oleh orang-orang yang berada di bagian depan, "Hebat benar ketekunannya, bertahun-tahun mempelajari jurus-jurus dasar, mungkin nanti setelah 70-an lebih barulah tamat pelajarannya. Cuma entah, waktu itu dia masih kuat mengangkat pedangnya atau tidak."
Sontak semua orang yg mendengar itu terdiam dan menoleh ke arah suara itu.
Rupanya si pemuda tampan tadi yang merasa tidak senang nona muda Huang memuji-muji Ding Tao tidak dapat lagi menahan perasaannya. Dalam hatinya dia tidak bisa menerima, bahwasannya Ding Tao yang dungu dalam pikirannya, bisa mendapat begitu banyak perhatian. Apalagi setelah dia
25
mendengar cerita orang-orang di sekelilingnya, bagaimana Ding Tao gagal dalam ujian di tahun-tahun sebelumnya.
Semakin dilihatnya wajah Ding Tao yang berseri-seri, semakin sebal pula hatinya, hingga akhirnya tanpa tertahan muncullah seruan itu.
Ketika pemuda itu sadar, ucapannya telah menarik perhatian banyak orang, mukanya pun berubah merah padam, tapi memang adatnya yg tinggi tidak bisa diubah, apalagi dia tidak merasa salah dengan ucapannya tersebut.
Dalam hati dia menghibur diri sendiri, "Hmm.. perduli apa orang katakan, toh yang kuucapkan itu benar."
Dalam waktu yg singkat lapangan yang tadinya penuh sorak sorai jadi lenggang dan sepi. Tidak sedikit pula peserta yg merasa dirinya layak menjadi pemenang bersorak dalam hati dan menanti-nanti apa yang akan terjadi setelah ini.
Untuk sesaat tidak ada seorangpun yang bersuara, bahkan Tuan besar Huang Jin yang menjadi tuan rumah pun, kehilangan kata-kata. Tadinya dia berharap, tamu undangannya, lelaki 40-an dengan kumis dan jenggot yang rapi
26
dipangkas itu, akan menegurnya, menegur anaknya yang sudah kelepasan omongan.
Tapi setelah ditunggunya beberapa saat, lelaki itu hanya diam saja, dalam hati Huang Jin memaki, otaknya pun berputar keras.
Sebenarnya hubungannya dengan lelaki itu belumlah terlalu akrab, lelaki itu adalah Wang Dou, orang terkuat yang menguasai daerah di sekitar utara sungai Yangtze. Tuan besar Huang Jin sedang berusaha untuk menjalin hubungan di antara mereka karena dia berambisi untuk meluaskan usahanya ke daerah utara.
Untuk itu dia membutuhkan hubungan baik dengan orang ini, agar distribusi ke daerah yang baru tidak terganggu.
Tujuannya hari ini mengundang Wang Dou dan anaknya, Wang Chen Jin, selain untuk memperdalam hubungan yang sudah ada, juga untuk menunjukkan kekuatan dari keluarga Huang.
Bermusuhan tidak menguntungkan, tapi jika Wang Dou memandang dirinya terlalu lemah, juga tidak akan menguntungkan.
27
Sekarang tampaknya Wang Dou justru berusaha menguji keteguhannya, jika dia mandah saja dihina sedemikian rupa, tentu Wang Dou akan menganggap dirinya lemah dan bisa menentukan pajak keamanan semaunya sendiri.
Jika dia terlalu keras dalam menyikapi masalah ini, bukan tidak mungkin akan timbul permusuhan yang mendalam di antara keduanya, karena dalam dunia persilatan, masalah harga diri seringkali menjadi masalah yang pelik.
Tapi bukan Tuan besar Huang Jin yang terlebih membuka mulut, bukan pula Wang Dou, melainkan nona muda Huang yang setelah hilang kagetnya, berubah menjadi naik darah, "He, apa maksudmu berkata demikian!?"
Sambil berkacak pinggang dia berdiri menantang Wang Chen Jin.
Wang Chen Jin yang ditantang sedemikian rupa oleh gadis yang sudah memikat hatinya jadi tergagap-gagap. Tapi adatnya memang tinggi, tidak bisa dia mengaku salah ataupun meminta maaf, pun jika itu terhadap gadis pujaannya.
Dengan wajah merah padam dia berusaha membela diri, "Apa salah perkataanku? Jika bukan orang dungu tentu dalam waktu
28
singkat sudah menguasai jurus-jurus sederhana macam itu. Jika bukan orang tidak tahu malu, tentu dia akan menolak penghormatan ini. Aku tahu kebaikan hati kalian keluarga Huang, tapi orang dungu dan tidak tahu malu seperti dia, sudah sepantasnya diingatkan."
Ding Tao yang mendengar jawaban itu dalam hati merasa semakin rendah diri, meskipun di sudut hatinya ada pula rasa bangga karena nona muda yang dipujanya itu begitu membelanya, tapi sungguh dia berharap peristiwa itu tidak berkepanjangan. Lebih baik buatnya bila gelar lulusan terbaik itu dicabut dan diberikan kepada orang lain. Sungguh mati dia tidak mengharapkan gelar itu, asalkan bisa lulus dia sudah sangat bersyukur.
Diliriknya Tuan besar Huang Jin dan dengan terbata-bata dia berbisik, "Tuan besar..., ini... ini... pedang... mungkin memang tidak pantas untuk diriku... aku..."
Tuan besar Huang Jin yang mendengar perkataan itu hanya tersenyum, perlahan dia menepuk bahu Ding Tao dan berbisik, "Sudah, tenangkan saja hatimu, kita lihat bagaimana, anak Ying, menyelesaikan masalah ini."
29
Memang majunya si nona muda Huang Ying-Ying ini menyenangkan hati ayahnya, seperti Wang Dou mendiamkan anaknya menghina Ding Tao untuk menguji dirinya, Huang Jin membiarkan Ying Ying maju melabrak Wang Chen Jin dan melihat reaksi Wang Dou.
Sementara itu Ying Ying yang mendengar pembelaan Wang Chen Jin menjadi semakin marah, maklum seperti Wang Chen Jin juga nona muda ini, seorang gadis yang tinggi adatnya, sebagai satu-satunya anak gadis dalam keluarga Huang dia dimanjakan oleh ayah dan saudara-saudara lelakinya, "Apa? Apa? Apa katamu? Dungu? Kau yang dungu!"
Otaknya pun berputar mencari pembelaan untuk Ding Tao dan tiba-tiba teringatlah cerita ayahnya ttg sepak terjang kakek buyutnya ketika masih aktif dalam dunia persilatan. "Hmm... kamulah pemuda yang tidak tahu tinggi dan dalamnya ilmu silat. Apa tidak pernah dengar perkataan, dengan 3 jurus pedang Huang Cheng Yan menguasai Wuling? Justru pandanganmu yang lebih dungu dari Ding Tao, tidak bisa menilai kedalaman suatu jurus."
Ganti si pemuda yang merasa penasaran, tanpa terasa dia meloncat dari kursinya dan menunjuk-nunjuk ke arah Ding Tao
30
dengan gagang pedangnya, "Apa? Apa? Aku lebih dungu dari kerbau itu? Suruh dia melawan aku dan akan aku tunjukkan betapa dungunya dia."
Wang Dou yang sejak tadi berdiam diri saja, tiba-tiba berdiri dan menepuk pundak anaknya sambil tertawa-tawa, "Hahaha, dasar anak muda tidak punya sopan santun."
Berpaling dia ke arah Tuan besar Huang Jin dan para tetua keluarga Huang yg lain sambil sedikit membungkukkan badan, dengan dua tangan rangkap di depan, "Tuan-tuan, maafkan anakku yang masih muda ini, memang orang tuanya ini kurang bisa mengajarkan dia sopan santun. Harap maklum, kami tidak lebih dari orang-orang kasar, yang mempelajari ilmu perang tapi tidak tahu ilmu surat."
"Tapi memang, orang persilatan, kalau belum beradu pedang dan kepalan, sepertinya belum menjadi kenalan baik. Bagaimana kalau kita biarkan saja dua anak muda ini bertanding." Sambil menunjuk ke arah Ding Tao dia berkata, "Biar pahlawan kecil itu memberikan hajaran pada anakku yang kurang ajar ini."
31
Tuan besar Huang Jin membalas penghormatan Wang Dou dengan penghormatan yang sama, ketika Wang Dou menawarkan pertandingan antara Ding Tao dan anaknya, dia tidak segera menjawab, bagaimanapun juga ada sedikit keraguan dalam hatinya, ditengoknya Gu Tong Dang dengan alis terangkat, meminta pertimbangan.
Gu Tong Dang berpikir sebentar, sambil mengamati Wang Chen Jin. Umur pemuda itu tidak jauh berbeda dengan Ding Tao, dan dia mengajukan Ding Tao sebagai peserta terbaik bukanlah tanpa alasan. Jika sekarang dia menyarankan Tuan besar Huang Jin untuk menolak pertandingan itu, tentu akan memalukan bagi dirinya sebagai pengajar.
Tapi Wang Chen Jin tentu sudah pula mewarisi ilmu ayahnya, mungkin hampir tuntas, krn seumuran dia memang sudah waktunya untuk menerima ilmu dengan tuntas, sehingga sisanya hanyalah untuk mematangkan ilmu yang sudah ada.
Pada kasus Ding Tao memang ada perbedaannya, Ding Tao hanyalah seorang anak pembantu yang kemudian dijadikan tukang kebun dalam keluarga Huang setelah orang tuanya meninggal. Sehingga tidak mungkin akan diajarkan ilmu keluarga hingga tuntas, kecuali jika Tuan besar Huang Jin
32
tertarik pada bakat anak muda itu dan memutuskan untuk menariknya menjadi bagian keluarga Huang.
Seandainya Ding Tao memang sedungu anggapan semua orang, tentu Gu Tong Dang tanpa berpikir dua kali akan menolak pertandingan itu, lebih baik bagi dirinya untuk mendapat malu daripada membahayakan muridnya.
Tapi Gu Tong Dang bukan menunjuk Ding Tao sebagai lulusan terbaik karena belas kasihan. Justru dia melihat satu kelebihan sendiri dari dalam diri Ding Tao, itu pula sebabnya dia dengan sengaja tidak meluluskan pemuda itu untuk mendorong pemuda itu untuk mendalami jurus-jurus dasar yang sama selama bertahun-tahun lamanya.
Hanya saja, apakah dengan kelebihannya itu Ding Tao akan mampu menjaga dirinya dalam pertandingan itu?
Hal ini masih menjadi pertanyaan tersendiri bagi Gu Tong Dang. Sebenarnya perkataan nona muda Huang yang sembarangan itu tanpa sengaja sudah menebak dengan tepat keadaan Ding Tao.
Adalah perkataan orang ttg pendiri keluarga Huang, Huang Cheng Yan, yang membuat Gu Tong Dang sengaja memaksa
33
Ding Tao mengulang-ulang jurus yang sama dengan cara mencegah pemuda itu mengikuti ujian.
Sejak pertama melatih Ding Tao yang saat itu masih kanak-kanak, Gu Tong Dang melihat kepekaan Ding Tao dalam menyerap jurus-jurus yang diajarkan. Detail kecil yang tak terlihat orang, bahkan dirinya sendiri, ternyata bisa dirasakan keganjilannya oleh Ding Tao. Ketika Ding Tao kecil menyampaikan perasaannya pada Gu Tong Dang dan bertanya, mengapa gerakan tangan itu tidak sedikit lebih ke bawah, mengapa kaki terlalu rapat, dan sebagainya, terbukalah pikiran guru tua itu.
Ding Tao memiliki kepekaan terhadap kewajaran suatu gerakan, bagaimana satu gerakan yang lebih alami dapat menghasilkan tenaga yang lebih besar, lebih cepat, lebih mudah mengubah kedudukan dan sebagainya.
Sejak saat itu, Gu Tong Dang berusaha mengarahkan Ding Tao untuk merenungkan setiap gerakan yang dia lakukan. Bukan hanya dari sisi kewajaran alamiah suatu gerakan, namun juga dari sisi strategi dalam sebuah pertarungan.
34
Itu sebabnya Ding Tao membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum dapat meyakinkan ke-12 jurus dasar itu, karena bagi Ding Tao setiap gerakan, setiap kedudukan yang diambil tiap-tiap jurus, merupakan satu rangkaian gerak 3-4 langkah ke depan.
Seperti seorang ahli catur memainkan biji caturnya, setiap kali Ding Tao melakukan pembukaan maupun gerakan, dalam benaknya sudah terbayang apa gerakan selanjutnya, seandainya lawan bereaksi demikian atau demikian.
Kelebihan Ding Tao ini disimpan sendiri oleh Gu Tong Dang yang tidak ingin Ding Tao yang rendah hati itu berubah menjadi sombong, sehingga bakat yang ada menjadi terbuang sia-sia. Di luar mulutnya selalu menunjukkan kedunguan Ding Tao, sementara secara diam-diam dan lewat perkataan-perkataan yang sepertinya sambil lalu, dia memberikan petunjuk dan arahan pada Ding Tao tanpa anak itu sendiri menyadarinya.
Dengan berdebar-debar akhirnya guru tua itu mengangguk, meskipun Ding Tao mungkin tidak bisa memenangkan pertandingan, tapi guru tua itu yakin Ding Tao akan dapat bertahan. Keluarga Huang tidak akan dipermalukan dan pandangan
35
orang-orang terhadap Ding Tao sendiri tentu akan berubah. Dalam hati guru tua itu berdoa kepada dewa-dewa dan nenek moyangnya, untuk melindungi murid kesayangannya itu.
Tuan besar Huang Jin yang tadinya masih ragu, melihat keyakinan Gu Tong Dang, akhirnya menepis habis keraguannya, dengan senyum mengembang diapun menjawab, "Saudara Wang memang bijaksana. Memang urusan anak muda selamanya membuat orang yang sudah tua menjadi pusing. Kalau hanya dijelaskan dengan kata-kata, tentu selamanya akan merasa penasaran. Biarlah setelah pertandingan mereka boleh saling menghargai dan menjadi teman akrab."
Dengan perkataannya itu secara tidak langsung Tuan besar Huang Jin, membenarkan perkataan Ying Ying dan dengan halus mengatakan bahwa jurus-jurus dasar keluarga Huang sudah cukup untuk menghadapi ilmu Wang Dou yang diwarisi Wang Chen Jin.
Wang Dou bukannya tidak merasakan sindiran halus itu, tetapi Wang Dou sudah malang melintang dalam dunia persilatan selama bertahun-tahun, kontrol dirinya sudah matang, meskipun di dalam hati dia memaki-maki tapi di luaran dia
36
tertawa senang, "Hahaha, benar sekali, benar sekali. Memang anak muda tidak boleh takut dengan sedikit goresan pedang. Anak Jin, majulah sana, mintalah petunjuk pada engkoh kecil itu."
Wang Chen Jin yang mendengar perkataan ayahnya itu melompat dengan tangkas ke tengah lapangan. Wajahnya bersemangat, dari perkataan ayahnya dia paham, bahwa meskipun dia harus berhati-hati untuk tidak membunuh lawan, tapi dia tidak perlu sungkan untuk melukai lawannya.
Sebentar dia melirik ke arah nona muda Huang sambil tersenyum dan berkata dalam hati, "Hmm... nona cantik... akan aku pertunjukkan kelebihanku dari pemuda dungu itu."
Huang Ying Ying yang melihat senyuman itu melengos membuang muka, dipandangnya Ding Tao dengan cemas, dalam benaknya dia sudah bisa membayangkan bagaimana Ding Tao akan kalah dan terluka.
Ding Tao bukannya tidak melihat itu semua, tapi melihat itu justru membuat semangatnya bangkit. Di depan gadis yang disukainya, dia ingin menunjukkan kebolehannya atau
37
setidaknya kejantanannya. Dadanya boleh terbelah pedang lawan, tapi tidak nanti dia akan mundur atau mengeluh.
Jika sebelumnya perasaannya kacau balau dan penuh kekuatiran, ragu akan kemampuannya sendiri, takut jika nanti dia akan mempermalukan keluarga Huang dan dirinya sendiri. Sekarang perasaan itu semuanya hilang.
Dengan hati yang membara, dia membungkuk hormat pada Huang Jin sebelum pergi ke tengah lapangan, berhadapan dengan Wang Chen Jin.
Tuan besar Huang Jin yang melihat roma wajah Ding Tao merasa terhibur, dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu tidak akan mempermalukan nama keluarganya. Kalaupun kalah tentu akan kalah dengan gemilang.
Setelah keduanya berhadapan maka Tuan besar Huang Jin pun memberikan arahan, "Hari ini kita akan melakukan pertandingan persahabatan. Tidak ada dendam permusuhan, baik sebelum maupun setelah pertandingan nanti. Bertandinglah dengan jujur, sebisa mungkin jaga jangan sampai saling melukai."
Ding Tao mengangguk dengan patuh, "Baik tuan Huang."
38
Sementara Wang Chen Jin tersenyum-senyum, "Tentu saja paman Huang."
Dalam hatinya Wang Chen Jin sudah merancangkan bagaimana dia akan mengalahkan Ding Tao dengan gemilang, kalau perlu dia akan memberikan sedikit tanda mata di wajahnya. Atau mungkin mencungkil salah satu bola matanya, semakin buruk wajahnya semakin baik, supaya dia tidak ada keberanian untuk mendekati Huang Ying Ying. Ayahnya tidak akan marah dan siap membela dirinya, selama pemuda itu masih hidup saja, tentu tidak akan ada masalah panjang.
"Mulai!!"
Segera setelah mendengar aba-aba dari Huang Jin, tanpa menunggu Ding Tao bersiap, Wang Chen Jin menyerang dengan sigap, ujung-ujung pedangnya tampak berpencaran mengincar titik-titik tubuh yang vital.
Cepatnya serangan itu tidak urung membuat Ding Tao gelagapan, beruntung latihan yang berulang-ulang membuat tubuhnya bergerak secara refleks untuk menghindar.
Tapi Wang Chen Jin tidak mau melepaskan kesempatan yang baik itu, kakinya bergerak cepat menyusul Ding Tao yang
39
menghindar, pedangnya kembali tampak bergetar dan memecah menjadi beberapa bayang pedang.
Tapi kali ini Ding Tao sudah mampu mengendalikan perasaannya, pikirannya sudah mulai berkonsentrasi pada ancaman di depannya, meskipun dia belum sempat memperbaiki kedudukan ataupun mengambil sikap bertahan, tapi dia mampu menghindar ke posisi yang lebih baik.
Dalam satu gerakan menghindar itu sekaligus pula Ding Tao menarik pedang dari sarungnya. Serangan Wang Chen Jin yang membadai mulai dihadang oleh pertahanan yang kuat dari DIng Tao.
Gerakan Ding Tao tidaklah rumit, namun setiap gerakannya tepat pada sasaran, menutup setiap celah yang ada.
Tangkisannya bukan hanya menghentikan serangan Wang Chen Jin, tapi juga selalu membuat Wang Chen Jin kerepotan untuk melanjutkan serangannya.
Ini memang pertarungan yang pertama bagi Ding Tao, tapi entah sudah berapa kali dia melangsungkan pertarungan dalam benaknya.
40
Perlahan-lahan dia mulai mampu menyesuaikan sikapnya dan mengamati jurus serangan Wang Chen Jin.
Dan pengalamannya bertarung dengan sungguh-sungguh ini membawa kegembiraan baru bagi dirinya. Jika selama ini dia hanya bertarung dalam angan-angan, sekarang dia melihat bayangannya menjadi nyata, dengan desingan pedang lawan mengancam dirinya membuat darahnya mengalir deras.
Setiap gebrakan membuat semangatnya semakin terbangun, otaknya berputar keras dan seluruh inderanya menajam.
Seperti seekor ikan yang dilepaskan ke dalam kolam besar untuk pertama kalinya, seperti seseorang yang baru saja berhasil belajar berenang, Ding Tao seperti tidak ada bosannya dengan pengalamannya saat itu. Hilang sudah semua rasa takut dan keraguan, yang ada hanya ketegangan yang menggairahkan.
Sementara itu bagi Wang Chen Jin, ini bukanlah pertarungan yang pertama bagi dirinya, tapi kesigapan Ding Tao di luar dugaannya. Seandainya saja dia tidak terlalu menganggap remeh Ding Tao mungkin akan berbeda hasilnya.
41
Sayang pemuda yang tinggi adatnya ini tidak mau melihat kenyataan. Kegagalannya dalam menyerang tidak juga menyadarkan dirinya, apalagi hingga saat itu Ding Tao masih belum membalas serangannya.
Akibatnya Wang Chen Jin semakin bernafsu untuk menyerang.
Wang Dou yang menyaksikan pertandingan itu bukannya tidak menyadari kesalahan anaknya, tapi jago tua itu tidak mau menjatuhkan namanya dengan memberikan petunjuk pada anaknya yang sembrono itu.
Ketika kebanyakan wajah penonton, termasuk nona muda Huang dihiasi kehawatiran. Senyum bangga justru menghiasi wajah-wajah para jagoan dari keluarga Huang juga menyadari keadaan kedua pemuda itu.
Maklum bagi mereka yang sudah cukup tinggi tingkat ilmunya, keadaan kedua pemuda itu tampak jelas bagi mereka.
Ding Tao yang kelihatannya selalu terdesak dan diserang, selalu berhasil menggagalkan serangan Wang Chen Jin dan bukan hanya menggagalkan serangan lawannya, Ding Tao juga berhasil membuka celah pertahanan lawan.
42
Jika pada awal-awal Wang Chen Jin masih berhati-hati dan memperbaiki kedudukannya sebelum melancarkan serangan berikutnya, maka setelah lewat beberapa jurus, mulailah pemuda itu kehilangan kesabarannya.
Wang Chen Jin hampir meledak dengan rasa marah, ketika serangan demi serangan bisa dihadang oleh Ding Tao, emosinya menjadi semakin terbakar karena dia menyadari bahwa sedari tadi Ding Tao melawannya dengan 3 jurus yang itu-itu saja.
3 Jurus yang remeh tapi sangat mengganggunya.
Lubang-lubang kelemahanpun mulai terbuka dalam setiap serangannya.
Ding Tao yang selalu mengingat perkataan Huang Jin, tidak dengan segera mengambil keuntungan dari celah yang dilihatnya. Dia kuatir akan melukai Wang Chen Jin terlalu berat. Kebaikan Ding Tao ini salah dimengerti oleh Wang Chen Jin, tidak pernah terbayang dalam benaknya bahwa Ding Tao dengan sengaja melepaskan peluang karena mengkhawatirkan keselamatannya.
43
Jika saja Ding Tao sudah memiliki lebih banyak pengalaman, mungkin Ding Tao akan menyerang melalui celah-celah itu dan menarik serangannya tepat pada waktunya, untuk menyadarkan lawan akan kekalahannya.
Tapi tidak demikian yang dilakukan DIng Tao, setiap celah yang dia lihat, hanya diisi dengan serangan bayangan dalam otaknya. Diam-diam dia sudah memasukkan 7 serangan mematikan ke arah Wang Chen Jin, tapi bukan itu yang dia tunggu.
Wang Chen Jin pun menganggap hal itu sebagai hasil dari ketidakmampuan Ding Tao. hingga dalam satu waktu Wang Chen Jin menyerang tanpa memperhatikan lagi pertahanannya.
Dalam benaknya Ding Tao tidak akan mampu menghindar, kalaupun menghindar Ding Tao tidak akan mampu mengambil kesempatan untuk menyerang dirinya.
Bagaikan kilat Wang Chen Jin bergerak hingga bayangannya tampak seperti menyerang dari dua arah sekaligus.
Serangan yang pertama hanyalah tipuan, ketika Ding Tao bergerak seperti yang dia harapkan, Wang Chen Jin dengan
44
cepat mengubah posisi tubuhnya dan menyerang dari arah yang berlawanan.
Di luar dugaan, Ding Tao justru bergerak lebih cepat lagi memotong pergerakan Wang Chen Jin, belum sempat serangan kedua dilancarkan, selarik cahaya pedang berkelebat menetak pergelangan tangan Wang Chen Jin.
Serangan Wang Chen Jin yang membadaipun bagaikan dihentakan angin topan, seperti layang-layang yang putus talinya.
Hawa pedang menyurut hilang, yang tertinggal hanyalah dua orang pemuda yang saling berhadapan.
Ding Tao yang berdiri dengan tegap dengan pedang di tangan.
Dan Wang Chen Jin yang menyeringai kesakitan, tangan kirinya memegangi tangan kanan yang sudah membengkak biru, tidak mampu lagi menahan pedangnya yang meluncur jatuh ke bawah.
Sekali lagi sorak sorai memecahkan suasana.
45
Para penduduk perkampungan keluarga Huang berlompatan gembira, mengelu-elukan pahlawan mereka hari ini.
Para tamu dan undangan yang sudah bersahabat dekat dengan keluarga Huang pun ikut memuji dan memberikan selamat pada anggota keluarga Huang yag kebetulan duduk di dekat mereka.
Tuan besar Huang Jin pun tidak menutupi kegembiraannya, akan tetapi dia tidak juga lupa dengan kepentingan bisnisnya di utara. Dengan segera dia menghampiri kedua pemuda itu,. Terhadap Ding Tao dia menepuk pundak pemuda itu dan mengucapkan pujian singkat, "Bagus, sekarang pergilah dan cari uwak Guan untuk mengobati luka tuan muda Wang."
Kemudian dibimbingnya Wang Chen Jin yang terluka kembali ke tempat duduknya.
Wajah Wang Dou memerah, untuk sesaat dia kelihatan seperti tokoh Guan Yu dalam kisah-kisah kepahlawanan jaman dahulu. Tapi dengan cepat dia bisa menguasai dirinya dan buru-buru menyambut kedatangan Tuan besar Huang Jin dan anaknya.
Dengan tertawa-tawa dia membungkuk memberi hormat pada Huang Jin, "Sungguh tepat perkataan orang, ilmu keluarga
46
Huang memang benar-benar dahsyat, siapa sangka dengan 3 jurus menaklukkan Wuling, hari ini dengan mata kepala sendiri bisa aku saksikan."
Tuan besar Huang Jin pun segera mengulapkan tangannya, "Tentu tidak demikian, masalahnya anak-anak muda sering terburu nafsu, jika anak Wang lebih dingin tentu hasilnya akan berbeda."
Untuk beberapa saat keduanya berbasa-basi saling memuji dan merendahkan diri, dalam hati entah siapa yang tahu.
Nona muda Huang pun berceloteh seperti seekor burung menyambut pagi, saudara-saudara lelakinya tertawa terbahak-bahak mendengar celotehannya.
Huang Ren Jie, saudara yang tertua akhirnya menghentikan celotehannya itu. Si nona muda yang kena tegur pun jadi sadar dan memerah mukanya. Salah seorang tamu, menggoda si nona muda dan meledaklah tawa mereka sekalian yang mendengarnya.
Tak lama kemudian seorang tabib datang untuk merawat Wang Chen Jin, kemenangan Ding Tao menghapuskan kemarahan
47
Huang Ying Ying dan dengan penuh perhatian dia ikut pula membantu tabib itu merawat luka Wang Chen Jin.
Luka itu sendiri tidak membahayakan jiwa, namun pukulan Ding Tao ke arah pergelangan tangan Wang Chen Jin cukup keras, meskipun hanya menggunakan lempeng pedang yang tidak tajam, tapi pergelangan Wang Chen Jin pun membengkak dan untuk beberapa lamanya tidak bisa digunakan.
Hari itu pun dilewatkan dengan banyak kegembiraan bagi keluarga Huang dan Ding Tao khususnya. Gu Tong Dang pun mendapatkan pujian karena kejeliannya menemukan bakat-bakat baru bagi keluarga Huang.
Wang Dou pun bukan orang yang berpikiran pendek, jika dia hanyalah jagoan pedang yang tidak memikir panjang ke depan dan mendahulukan perasaan, sudah tentu dia tidak akan mencapai kedudukannya yang sekarang.
Kerja sama antara dirinya dan Tuan besar Huang Jin akan membawa keuntungan bagi mereka berdua dan itu lebih penting daripada sekedar mengikutii emosi karena tersentuh harga dirinya.
48
Apalagi Tuan besar Huang Jin dan keluarganya pandai membawa diri, ketika pesta hari itu berakhir Tuan besar Huang Jin dan Wang Dou pun mencapai kesepakatan kerja sama yang memuaskan keduanya.
Untuk sesaat segala sesuatunya tampak berjalan lancar dan memuaskan. Seandainya saja kisah ini berhenti di sini, tapi selamanya dunia persilatan penuh dengan kejutan. Dendam dan budi, harga diri dan kehormatan, akibat penasaran seorang anak muda, gelombang besar yang mengubah wajah dunia persilatan di masa itu pun dimulai.
II. Amarah dan dengki.
Wang Dou dan puteranya menghabiskan beberapa malam lagi di kota Wuling, karena meskipun sudah ada kesepakatan antara Wang Dou dengan Tuan besar Huang Jin, mereka masih ingin berdiskusi lebih jauh dalam masalah pelaksanaannya.
Untuk menemani Wang Chen Jin, maka Tuan besar Huang Jin memerintahkan salah seorang puteranya, Huang Ren Fu dan puterinya Huang Ying Ying untuk menemani Wang Cheng Jin menjelajahi kota Wuling dan sekitarnya.
49
Rupanya Wang Dou tidak hanya mengajarkan ilmu pedang pada puteranya, namun juga mengundang guru-guru untuk mengajarkan ilmu sastra dan pemerintahan. Dengan demikian Wang Chen Jin bisa menjadi sahabat yang menyenangkan untuk diajak berbicara.
Lagipula memang wataknya pandai mengambil hati orang, nona muda Huang pun tidak bisa marah berlama-lama, dan mau tidak mau mengagumi pemuda yang tampan, pandai dalam ilmu pedang juga berpengetahuan luas. Dan kedua bersaudara Huang itupun dengan cepat merasa akrab dengan Wang Chen Jin.
Hari itu, mereka bertiga sedang beristirahat di salah satu pondokan yang terdapat dalam taman di perkampungan Huang.
"Saudara Wang, hari ini apa tidak mau jalan-jalan ke kota lagi?", tanya Huang Ren Fu.
"Ya, ya, bukannya kemarin kau berjanji untuk membelikanku sepasang tusuk konde yg berhias mutiara itu?", desak Huang Ying Ying.
50
Tertawa bergelak Wang Chen Jin menjawab, "Nah, nah, aku pasti tidak lupa janjiku, hanya saja hari ini rasanya aku malas pergi berjalan-jalan, cuaca begitu panas. Kalau kalian tidak berkeberatan lebih baik kita habiskan siang ini di dalam taman ini saja."
"Huuh.. kalau begitu kapan kau belikan aku tusuk konde itu?", rajuk Huang Ying Ying dengan bibir mencibir.
"Wah, mana boleh begitu, saudara Wang ini kan tamu, soal tusuk konde biar aku yang membelikan.", sergah Huang Ren Fu sambil tertawa.
"Tidak, tidak perlu, tusuk konde itu pasti aku hadiahkan pada nona muda Huang sebelum aku pulang. Tapi sungguh mati, cuaca hari ini terlalu panas untukku."
"Janji ya?", sahut Ying Ying dengan mengerling nakal.
"Tentu, tentu, janji seorang laki-laki, lebih berat dari ribuan kati.", jawab Wang Chen Jin sambil tersenyum.
"Saudara Huang, taman ini indah sekali, kalian keluarga Huang memang benar-benar kaya, tentu pengurus taman ini pun bukannya orang yang tidak punya nama. Aku sudah pernah
51
melihat berbagai taman, bahkan di rumah para bangsawan, tapi tidak ada yang seindah taman kalian."
Kedua bersaudara Huang itu pun merasa senang mendengar pujian itu, siapa orangnya yang tidak bangga mendengar pujian?
Huang Ying Ying terkikik geli, "Saudara Wang, orang ternama yang kamu maksudkan itu toh kamu sudah kenal."
Huang Ren Fu yang kuatir Wang Dou teringat lagi dengan kekalahannya tempo hari merasa tidak enak hati dan berusaha agar adiknya tidak berbicara lebih lanjut, "Ah adik Ying, jangan banyak bercanda."
Tapi Wang Chen Jin justru semakin tampak penasaran dan mendesak, "Wah, orang itu sudah aku kenal? Tapi baru pertama kali ini aku pergi ke wilayah selatan. Lagipula dari mana nona muda Huang bisa tahu kalau aku sudah mengenalnya?"
Lain di wajah, lain pula di hati, sesungguhnya Wang Chen Jin sudah mengetahui siapa tukang kebun yang dimaksud, karena malam itu sesudah kekalahannya, di kamar mereka menginap, ayahnya mencaci maki habis dirinya.
52
Dia sudah kalah bertarung melawan tukang kebun keluarga Huang, putera kebanggaannya, kalah melawan seorang tukang kebun.
Betapa sakit hati Wang Dou dilampiaskannya malam itu.
Betapa sakit hati Wang Chen Jin bertumpuk-tumpuk malam itu.
Dalam hati dia bersumpah akan membalas sakit hatinya berkali-kali lipat dan jika Wang Dou seorang yang cerdik dan licin, puteranya pun tidak kalah cerdik dan licin. Adalah Wang Chen Jin yang meminta ayahnya agar menyampaikan pada Huang Jin, supaya Huang Ying Ying boleh menemaninya selama mereka berada di Wuling.
Pemuda itu dapat menangkap perasaan hati Ding Tao pada Huang Ying Ying, lewat pandang mata dan kebanggaan yg terpancar dari Ding Tao setiap kali Huang Ying Ying bersorak bagi dirinya.
Setelah beberapa hari berhasil memenangkan hati kedua bersaudara Huang, dia pun dengan sengaja mengajak mereka menghabiskan waktu di taman.
53
Benar saja, tidak berapa lama mereka menghabiskan waktu di taman, dari sudut matanya terlihat olehnya Ding Tao sedang mengurus tanaman-tanaman yang ada di taman itu.
Dengan sengaja, Wang Chen Jin semakin menunjukkan keakraban dirinya dengan kedua bersaudara itu, terlebih kepada Huang Ying Ying. Dalam hati diapun tersenyum mengejek, "Anak tukang kebun, seberapa tinggi bakatmu, selamanya tetap saja hanya akan jadi pelayan, jangan mimpi untuk mendapatkan pujaan hatimu."
Tentu saja apa yang ada di benak Wang Chen Jin ini tidak diketahui oleh Huang Ying Ying ataupun saudaranya Huang Ren Fu, dengan polosnya Huang Ying Ying pun menjawab pertanyaan Wang Chen Jin, "Ding Tao, orang yang mengalahkanmu tempo hari itu, dia itulah tukang kebun kami."
Berlagak terkejut Wang Chen Jin tertawat terbahak-bahak dan menepuk jidatnya sendiri, "Astaga, jadi pemuda yang tempo hari itu adalah tukang kebunmu? Hanya seorang tukang kebun?"
54
Huang Ren Fu yang tadinya kuatir akan membuat marah atau sakit hati Wang Chen Jin pun menjadi lega ketika dilihatnya pemuda itu tidak menjadi marah.
Huang Ying Ying pun tidak mengerti pedang bermata dua yang sedang ditusukkan oleh Wang Chen Jin ke dalam hati Ding Tao, dengan polosnya diapun ikut tertawa, "Iya, dia itu tukang kebun kami."
"Astaga, hanya seorang tukang kebun.", sekali lagi Wang Chen Jin mengatakan hal itu sambil menggelengkan kepala seakan tidak percaya.
"Hanya seorang tukang kebun dan bisa begitu hebat. Ilmu keluarga Huang memang benar-benar istimewa."
"Jika seorang pelayan saja sudah sedemikian hebatnya, bagaimana dengan yang lainnya. Sungguh rumah kalian ini seperti sarang naga dan harimau saja."
Demikian Wang Chen Jin mengumpak kedua anak keluarga Huang tersebut, sekaligus merendahkan bakat Ding Tao secara halus, dengan meninggikan arti ilmu keluarga Huang, seakan-akan seorang dungupun akan menjadi hebat dengan mempelajari ilmu keluarga Huang.
55
Buku-buku jari Ding Tao memucat, tangannya menggenggam keras sekop kecil yang dia gunakan untuk menggemburkan tanah di sekitar bunga yang baru dia tanam.
Setiap kali Wang Chen Jin mengatakan "tukang kebun" bukan main sakit perasaan Ding Tao, saat dia melihat mereka bertiga begitu akrab.
Dia sadar, sesadar-sadarnya bahwa nona muda Huang dan dia berbeda status. Sedikitpun tidak terbersit dalam benaknya untuk menjalin hubungan yang khusus dengan nona muda itu. Yang dia rasakan hanyalah kebahagiaan saat dekat dengan si nona muda dan sakitnya hati saat melihat Wang Chen Jin berakrab-akrab dengan nona muda itu.
Kalaupun kata cinta terlintas dalam benaknya, dikuburnya kata-kata itu jauh ke dalam.
Tapi betapa sakit ketika berulang kali Wang Chen Jin mengatakan bahwa dirinya hanya sekedar tukang kebun.
Akhirnya diapun tidak tahan dan dengan tergesa-gesa dia meninggalkan pekerjaannya.
56
Wang Chen Jin yang melihat semua itu dari sudut matanya, tertawa terbahak-bahak. Tawa yang seakan mengikuti Ding Tao ke mana pun dia pergi.
Bahkan ketika dia sudah jauh dari taman, di dalam biliknya yang sempit, tawa Wang Chen Jin masih mengikutinya. Terbayang keakraban pemuda itu dengan Huang Ying Ying dan tangannya pun mengepal erat. Kepalanya terasa berdentum-dentum dengan kencang.
"Apakah nona muda akan menikahi pemuda itu?", tanyanya dalam hati.
"Pemuda itu berwajah tampan, memiliki nama dalam dunia persilatan, lagipula dia pandai dalam ilmu surat dan ilmu pedang. Sungguh pasangan yang serasi dengan nona muda."
"Mengapa aku berpikiran sempit, jika memang cinta bukankah seharusnya aku bahagia untuk nona muda?"
"Apakah harapanku, nona muda dengan aku berbeda jauh. Seorang tukan kebun membawakan sepasang kasutnya pun aku tidak pantas."
57
"Wang Chen Jin menjanjikan sepasang tusuk konde berhiaskan mutiara, apa yang bisa aku janjikan untuk nona muda?"
Demikianlah ribuan pertanyaan dan jawaban, berlarian dalam benaknya. Antara hati dan pikiran tidak dapat diperdamaikan. Seribu alasan dia ajukan kepada dirinya sendiri, namun kegalauan hatinya tidak juga mereda.
Terkadang harapannya melambung tinggi, "Aku memang hanya tukang kebun, tapi pak pelatih Gu mengakui bakatku."
Kemudian terhempas tatkala dia mengingat asal usulnya, "Tidak berbapak tidak beribu, lagipula aku bukannya berbakat, jika tidak tentu tidak butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk mempelajari jurus dasar."
"Bagaimana kalau seperti yang dikatakan pemuda itu, hingga tua pun aku tidak akan pernah tamat belajar."
Tanpa terasa air matanya meleleh, dengan tangan terkepal ditinjunya lantai yang dari tanah. Tenaganya begitu kuat, gumpalan tanah terbang bercerai berai.
"Bodoh! Lelaki sejati pantang menitikkan air mata!"
58
"Ding Tao... betapa bodohnya dirimu! Apa akan menangis hanya karena urusan perempuan."
Dengan menggertakkan gigi, pemuda sederhana itupun mengambil posisi meditasi. Perlahan-lahan diaturnya napas, pikirannya yang berlari liar, perlahan-lahan mulai mengendap. Sakit hatinya pun terasa menumpul.
Menunggu hatinya semakin tenang, mulailah dia mengatur jalan nafas dan aliran energi yang dia rasakan dalam tubuhnya. Pada dasarnya Ding Tao adalah seorang yang peka, hatinya mudah tergerak, tapi untunglah hal itu diimbangi pula dengan kemauannya yang keras.
Hanya dengan kemauannya yang keras itulah, dia dapat mengatur gerak liar pikirannya, dengan konsentrasi yang kuat diapun mulai mengatur jalan hawa murni dalam tubuhnya.
Ilmu keluarga Huang berasal dari Shaolin, dalam hal tenaga dalam, yang diutamakan adalah ketekunan dalam memupuk hawa murni. Tidak ada teori dan metode yang memberikan hasil besar dalam waktu singkat.
Sungguh sesuai dengan watak Ding Tao yang sederhana dan berkemauan kuat.
59
Tidak lama kemudian pemuda itupun larut dalam latihan menghimpun hawa murni.
Lewat satu hio, pemuda itupun membuka matanya perlahan-lahan. Hatinya sudah terasa tenang, sungguhpun masih tergerak jika teringat akan kedekatan Wang Chen Jin dan Huang Ying Ying, tapi dengan kemauan yang kuat dia berhasil mengendalikan pikirannya.
Sadar dia belum menyelesaikan pekerjaannya, Ding Tao pun pergi kembali ke taman setelah merapikan lubang di lantai tanah yang tadi dibuatnya.
Meskipun hatinya sudah tenang tidak urung dia merasa lega ketika melihat mereka bertiga sudah tidak ada lagi di dalam taman. Wang Chen Jin yang sudah merasa berhasil menyakiti hati Ding Tao, merasa tidak perlu lagi berlama-lama berada di sana.
---------------- o ----------------
Akhirnya tiba hari untuk Wang Dou dan puteranya meninggalkan Wuling untuk kembali ke rumah mereka. Ding Tao yang menyadari keadaan hatinya dengan sengaja selalu menghindar dari Wang Chen Jin bertiga.
60
Tapi hari itu, Tuan besar Huang Jin meminta murid-murid utama keluarga Huang untuk ikut mengantar kepergian mereka. Sementara beberapa orang kepercayaan Wang Dou telah datang untuk menjemput ketua dan puteranya, sehingga dua kelompok itu pun bertemu untuk saling memperkenalkan diri secara singkat.
Ding Tao yang lulus sebagai peserta terbaik, telah diangkat menjadi salah satu murid utama di bawah asuhan salah seorang tetua keluarga Huang. Dengan sendirinya diapun ikut mengantarkan Wang Dou dan puteranya.
Seandainya saja pada hari itu tidak terjadi pertemuan antara Wang Chen Jin dan Ding Tao mungkin kisah ini memang cukup ditutup pada kisah sebelumnya.
Wang Chen Jin yang sudah merasa berhasil menyakiti hati Ding Tao dan membalas kekalahannya tempo hari, menampilkan kesan sebagai seorang yang berjiwa besar. Setelah selesai berpamitan pada Tuan besar Huang dan keluarganya, dengan tersenyum dan sopan dia menghampiri Ding Tao, "Ah saudara Ding, waktu itu aku belum sempat meminta maaf atas perkataanku yang sembrono."
61
Sikapnya yang terbuka ini mengundang simpati bagi mereka yang melihatnya. Tuan besar Huang Jin mengangguk2 sambil tersenyum, Wang Dou pun mengelus jenggotnya sambil mengangguk2 bangga.
Ding Tao yang tidak menyangka bakal disapa oleh Wang Chen Jin pun jadi tersipu dan dengan terbata-bata menjawab, "Tidak perlu sungkan Tuan muda Wang, tidak perlu, justru aku yang harus meminta maaf telah melukai pergelangan tanganmu."
Sebenarnya ungkapan Ding Tao ini keluar tulus dari dalam hati, semenjak peristiwa di taman itu, dengan kemauan yang kuat dia mengubur dalam-dalam perasaannya pada Huang Ying Ying. Dengan kemauan yang kuat pula dia membuang jauh-jauh perasaan tidak sukanya pada Wang Chen Jin.
Tapi tidak demikian yang diterima oleh Wang Chen Jin, jantungnya berdenyut kencang saat mendengarnya, serasa bergemuruh diterjang badai. Jawaban yang diberikan secara tulus, bagi telinga Wang Chen Jin terdengar sebagai satu sindiran yang sengaja mengingatkan dia pada kekalahannya tempo hari.
62
Dengan senyumnya yang manis dan tawanya yang wajar, pemuda yang cerdik itu pun membalas dengan perkataan yang berbisa, "Haha, jangan begitu saudara Ding, justru aku harus berterima kasih untuk luka yang kau berikan itu. Gara-gara luka itu, tampaknya nona muda Huang jadi bersimpati padaku."
Sambil tertawa dia mengerling menggoda pada Huang Ying Ying, karuan saja nona muda Huang itu menjadi tersipu malu. Sebenarnya perkataan itu bisa dianggap sebagai kekurang ajaran, namun justru di sini letak kehebatan Wang Chen Jin, godaan itu dilontarkannya dengan pembawaan yang sopan dan tawa yang wajar.
Sehingga yang mendengar pun tidak menangkap kekurang ajaran dari perkataannya, yang terlihat hanyalah seorang pemuda yang bersenda gurau, berusaha meringankan beban perasaan bersalah dari teman dekatnya.
Bukan marah yang timbul, justru yang mendengarnya pun jadi ikut tertawa, saudara tua nona muda Huang yang berdiri di dekat gadis itupun meyodok pinggang sang adik sambil tertawa, keruan nona muda Huang semakin tersipu malu dan akhirnya lari ke dalam rumah, diikuti tawa semua orang yang meledak melihat tingkah si nona muda.
63
Tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa perkataan itu dilontarkan untuk menyakiti hati Ding Tao yang menyimpan perasaan suka pada nona muda Huang.
Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana tajam mata Wang Chen Jin mengawasi raut muka Ding Tao. Mulutnya ikut tertawa namun sorot matanya dingin mengerikan, meskipun hal itu hanya untuk sesaat lamanya.
Ya, Wang Chen Jin semakin murka.
Seharusnya Ding Tao menjadi marah, seharusnya Ding Tao menjadi sakit hati. Sedikitpun gerak tubuh dan raut wajah pemuda itu tidak lepas dari penilaian Wang Chen Jin, tapi sekeras apapun dia berusaha menemukan tanda-tanda itu, tidak terlihat apa yang diharapkannya.
Ding Tao sudah berhasil mengendalikan pikirannya dan merelakan gadis pujaannya untuk bersanding dengan orang yang menurutnya lebih pantas. Apalagi ketika Wang Chen Jin meminta maaf padanya barusan, serta merta pikiran buruk yang masih tersisa atas pemuda itu pun hilang dari dalam hati Ding Tao.
64
Meskipun untuk sesaat, jauh di dalam lubuk hatinya ada rasa menyesakkan yang timbul, dengan cepat perasaan itu ditekannya.
Hanya karena memang dia belum terbiasa dengan kedudukannya sebagai salah satu murid utama, dia tidak ikut tertawa lepas seperti yang lain. Pemuda itu hanya menyengir dan dengan perlahan menggelengkan kepala saja.
Demikian sifat Ding Tao yang lurus justru membuat bara api di dada Wang Chen Jin yang licin menjadi membara. Inilah kekalahannya yang kedua. Yang pertama belum berhasil dia balaskan, justru untuk kedua kalinya dia dikalahkan oleh si pemuda dungu. Tidak ada jalan lain penghinaan ini harus dibalas.
Tetapi semakin dia merancangkan yang kejam, semakin manis pula raut wajahnya. Otaknya berputar kencang, melihat perhatian orang-orang masih tertuju pada nona muda Huang yang berlari karena malu, Wang Chen Jin berbisik cepat pada Ding Tao, "Saudara Ding, malam ini temui aku di luar gerbang utara kota Wuling, masalah penting tentang nona muda Huang."
65
Kemudian cepat-cepat dia kembali berdiri di samping ayahnya, tidak ada seorangpun yang memperhatikan raut wajah Ding Tao yang terlengong-lengong.
Perhatian mereka berpindah dari nona muda Huang yang berlari malu pada pasangan ayah dan anak Wang yang sekali lagi berpamitan.
Setelah pertemuan itupun kedua kelompok berpisah, yang satu ke arah utara dalam perjalanan kembali ke sisi utara sungai.
Yang satu kembali ke dalam kota. Ding Tao, dari urutan masih merupakan salah satu yang termuda dalam kelompok keluarga Huang, lagipula latar belakangnya hanyalah seorang pelayan dan untuk hal itu masih belum mendapatkan promosi, siapa yang memperhatikannya?
Perkataan Wang Chen Jin, terngiang-ngiang di benaknya, "Malam ini, di luar gerbang utara."
"Masalah penting, nona muda Huang."
Ding Tao bukan jagoan yang sudah berpengalaman malang melintang di dunia persilatan, keluar masuk gerbang kota pada waktu malam bukan urusan kecil. Tapi jika masalah itu
66
menyangkut nona muda Huang, jangankan melawan satu regu penjaga gerbang. Hujan golok dan pedang pun akan dilaluinya.
Tapi Ding Tao bukan seorang yang berpikiran pendek, jika demikian tentu Gu Tong Dang tidak akan tertarik padanya.
Sungguh kombinasi yang menarik ada dalam diri pemuda ini. Biasanya mereka yang bisa berpikir rumit, hatinya pun serumit pikirannya, cenderung bermain taktis, licin dan berkelok-kelok.
Ding Tao memiliki pemikiran yang panjang dan dalam segala pekerjaan selalu banyak pertimbangan baik dengan rasa maupun logika. Namun hatinya justru lurus dan sederhana.
Tidak lewat dalam pikirannya bahwa Wang Chen Jin bermaksud buruk atau hendak menipu dirinya.
"Masalah penting dengan nona muda Huang"
Dalam benaknya kalau bukan Wang Chen Jin yang ingin untuk menjalin hubungan lebih mendalam dengan nona muda Huang lewat dirinya. Mungkin Wang Chen Jin mengetahui satu perkara yang bisa mengancam jiwa nona muda itu dan sekarang dia ingin melindunginya lewat Ding Tao.
67
Setelah menimbang-nimbang beberapa lama, akhirnya Ding Tao memutuskan untuk pergi diam-diam keluar kota sebelum gerbang ditutup. Dia bisa kembali keesokan harinya saat gerbang sudah dibuka kembali.
Tentu saja itu berarti dia harus menghabiskan waktu semalaman di luar, tapi saat ini musim panas, tidak perlu dia mengkhawatirkan dinginnya malam.
Berhasil mengambil keputusan pemuda itupun segera menyingkirkan segala keraguan dari benaknya. Tidak lagi dia memikirkan masalah itu atau mencoba mereka-reka permasalahan yang sesungguhnya.
Di saat yang sama Wang Chen Jin sedang sibuk memikirkan cara untuk membalaskan sakit hatinya pada Ding Tao.
Sejak kekalahannya Wang Chen Jin sudah berulang kali memainkan ulang pertandingan itu dalam otaknya. Otaknya tidak kalah encer dengan Ding Tao, diapun bukan orang yang buta atas kekurangan sendiri.
Berulang kali dia menganalisa pertandingan itu, hingga pada akhirnya dia pun yakin bahwa seharusnya dia dapat
68
memenangkannya, seandainya saja dia tidak memandang remeh lawan dan tidak kehilangan kesabaran.
Pada awalnya hal ini membuat sakit hatinya jauh berkurang dan baginya adalah cukup dengan menyakiti hati pemuda itu lewat permainan lidahnya, tapi hari ini, semua sakit hati itu terungkit kembali.
Segala umpatan dan makian yang dilontarkan ayahnya, terkenang kembali.
Wang Chen Jin bukan orang yang suka berlama-lama dalam mengambil keputusan, sekali dia memutuskan maka pikirannya akan ditujukan dengan bagaimana dia berhasil menyelesaikan hal itu.
Hari itu dia sudah memutuskan untuk melenyapkan nyawa Ding Tao.
Tinggal bagaimana dia melakukannya, langkah pertama sudah dia ambil, dia mempunyai keyakinan bahwa Ding Tao akan ada di luar gerbang utara kota malam ini.
Sekarang tinggal langkah selanjutnya, dari percakapan dengan beberapa orang dalam rombongannya kali ini, Wang Chen Jin
69
tahu bahwa mereka akan berhenti di salah satu penginapan yang dibuka di sepanjang jalan dari Wuling ke utara dan berangkat kembali keesokan harinya.
Malam ini, dia bisa dengan diam-diam mengambil salah satu kuda yang terbaik dan sampai ke gerbang utara kota Wuling sebelum tengah malam.
Masalah terakhir yang harus dipecahkan adalah, bagaimana dia membunuh Ding Tao. Sekali ini tidak boleh ada kesalahan, karena semua topeng akan disingkapkan, jika Ding Tao berhasil lolos dari pedangnya, maka hubungan yang baru saja dijalin antara ayahnya dan Tuan besar Huang Jin bisa berantakan.
Kalaupun hubungan itu masih bisa dipertahankan, karena perhitungan untung dan rugi, adalah hubungannya dengan nona muda Huang yang sudah bisa dipastikan berakhir.
Karena itu Ding Tao harus mati, bukan hanya mati, tapi juga tidak boleh ada orang yang bisa menghubungkan kematian Ding Tao dengan dirinya.
70
Kematiannya juga harus berlangsung dengan cepat, karena butuh waktu untuk kembali dari Wuling ke penginapan itu, dan dia harus kembali sebelum fajar tiba.
Dari pemikiran ini, maka Wang Chen Jin sampai pada satu kesimpulan, untuk membunuh Ding Tao, dia harus meminjam pedang pusaka milik ayahnya.
Pedang pusaka ini tidak bernama, keberadaannya pun sangat dirahasiakan, kecuali ayahnya dan 2 orang kepercayaan dalam kelompok mereka, tidak ada seorangpun yang tahu mengenai keberadaan pedang pusaka ini.
Pedang pusaka ini sesungguhnya tidak tepat dinamakan pedang, panjang mata pedangnya tidak lebih dari 5 cun, tapi tajamnya luar biasa.
Seluruh bagiannya merupakan kesatuan, dari gagang hingga mata pedang, hampir tidak ada penahan yang memisahkan mata pedang dengan gagang pedang.
Jika tidak waspada dan tidak kuat menggenggam, bukan tidak mungkin jari pemakainya bisa terpotong sendiri oleh tajamnya pedang.
71
Pembuatnya secara tidak sengaja telah menambahkan unsur kimia dari logam lain ketika mengolah biji besi yang digunakannya.
Hal ini terjadi tanpa sengaja dan tidak disadari, hingga ketika pembuatnya mendapati pedang buatannya, jauh lebih kuat, lebih lentur dan bisa dibuat sedemikian tajamnya tanpa menjadi retas, tidak dapat pula dia untuk membuat pedang yang berkualitas sama untuk kedua kalinya.
Ditambah keahlian dari pembuat pedang, maka tidak salah jika pedang ini menjadi pedang pusaka.
Sudah tentu dulunya pedang ini memiliki nama, sebagai pedang pusaka yang tidak ada duanya. Tapi dalam genggaman Wang Dou pedang ini berubah menjadi pedang tak bernama.
Begitu berharganya pedang ini sehingga kemanapun Wang Dou pergi, pedang ini tentu dibawanya. Tapi tidak sekalipun pedang ini digunakannya.
Dibuatnya selongsong kayu dan disimpannya pedang itu di tengahnya. Jika orang memandang maka yang terlihat adalah sebuah tongkat. Dan tongkat itulah yang dipakai Wang Dou
72
sebagai senjata, tapi tidak sekalipun dia menarik pedang yang tersembunyi dalam tongkat.
Ambisinya besar, sebelum dia yakin akan menguasai seluruh dunia persilatan, tidak akan ditariknya pedang itu. Pun jika nyawanya sudah berada di ujung tombak.
Wang Chen Jin adalah putera satu-satunya, kepada puteranya itu tidak mau tidak, rahasia itu diberitahukan. Harapannya kelak, jika sampai dia gagal meraih cita-citanya, maka puteranyalah yang akan meneruskan.
Pedang inilah yang menjadi kekuatan utama Wang Chen Jin untuk melenyapkan Ding Tao.
Tidak jarang seorang ahli bisa mengurai pembunuh seseorang lewat luka yang ditinggalkan. Tapi tidak seorangpun dalam dunia persilatan yang tahu akan pedang pusaka milik ayahnya, dengan demikian jejak luka yang tertinggal di tubuh Ding Tao tidak akan merembet pada dirinya atau ayahnya.
Dari segi ilmu dia yakin dapat mengalahkan Ding Tao, ditambah dengan pedang pusaka maka kesempatannya pun meningkat berkali-kali lipat.
73
Selama perjalanan hal ini berulang kali dipikirkannya, dan semakin dia memikirkan rencana itu, semakin dia yakin bahwa rencananya akan berhasil.
------------------ o ------------------
Malam sudah tiba, hari cerah tak berawan, bulan masih berbentuk sabit dan di langit tampak bertaburan bintang.
Di salah satu sudut di dekat gerbang utara kota Wuling, Ding Tao meringkuk diam, menunggu. Sudah sejak sore tadi dia menunggu, diam, jauh dari kerumunan, di sebuah gerobak yang sudah sejak siang ditinggalkan pemiliknya, karena isi dagangannya telah habis.
Besok dia akan mengisinya dengan dagangan yang baru, tapi sekarang gerobak itu ditinggalkannya begitu saja.
Sebilah pedang, pedang yang menjadi kebanggaannya, pertanda akan hasil ketekunannya dipeluknya erat-erat. Malam ini pedang itulah satu-satunya teman dalam penantian.
Dari sore hingga jauh tengah malam, jika bukan Ding Tao mungkin sudah lama pergi meninggalkan tempat itu, setidaknya berpindah ke tempat lain.
74
Tapi tidak demikian dengan Ding Tao, ditunggunya dengan sabar, jika perlu hingga fajar datang.
Sambil menunggu direnungkannya jurus-jurus baru yang dia pelajari beberapa hari ini.
Betapa dia merasa gembira karena jurus-jurus yang baru ini banyak mengungkap kemungkinan-kemungkinan dalam memainkan pedang dan tangannya. Pertanyaan yang dulu belum terjawab saat melatih jurus-jurus dasar, dia temukan jawabannya di jurus-jurus yang baru ini.
Sejak pertarungannya dengan Wang Chen Jin, pemahaman Ding Tao akan seni bela diri mendapatkan satu terobosan.
Hampir seperti mendapatkan pencerahan, seorang siswa yang belajar dengan tekun suatu ilmu tentu pernah merasakan terobosan semacam ini. Ketika tiba-tiba yang awalnya hanya berupa hapalan, berupa laku yang ditekuni, tiba-tiba didapatkan pemahaman.
Dan yang tadinya terasa antara ada dan tiada, dimengerti tapi tak dapat dipahami, melihat namun hanya bayang-bayang saja. Tiba-tiba dalam satu titik tertentu terungkap dan bisa dimengerti dengan terang.
75
Dalam waktu yang kurang dari seminggu, Ding Tao hari ini berbeda dengan Ding Tao yang berusaha lulus dalam ujian kenaikan tingkat.
Hal ini bukanlah karena obat ajaib atau ilmu ajaib, ini adalah hasil ketekunan.
Pencerahan datangnya memang sulit diduga dan bergantung pada bakat serta keberuntungan. Pada beberapa orang setelah bertekun berpuluh-puluh tahun barulah mendapatkan kemajuan, pada beberapa yang lain pencerahan itu datang seperti tiba-tiba.
Kedalaman pemahaman seseorang pun bervariasi tergantung dari bakat dan pengetahuan yang sudah dipupuk sebelumnya.
Tapi yang pasti pencerahan itu sendiri adalah akumulasi perenungan, laku dan usaha yang tidak kenal lelah, meskipun pelakunya sendiri terkadang tidak menyadarinya.
Dalam keadaan seperti itu, menghabiskan waktu berlama-lama dengan berduduk diam di satu tempat tidak menjadi masalah bagi Ding Tao. Berjam-jam berlalu Ding Tao hanyut dalam renungannya.
76
Seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru, hal-hal lain jadi terlupakan.
Malam begitu sepi, derap kuda yang melambat terdengar jelas. Ding Tao menajamkan matanya, mencoba menembus kegelapan malam, di kejauhan dilihatnya sesosok bayangan.
Siapa lagi jika bukan Wang Chen Jin, tidak ada orang lain yang berkeliaran selarut itu, Ding Tao berdiri meninggalkan bayang-bayang yang menyembunyikan dirinya, tidak lupa pedang sudah siap di tangan, karena bila bayangan itu bukan Wang Chen Jin yang ditunggunya, besar kemungkinan tentu bukan orang baik-baik.
Dengan jantung berdebar-debar dia berjalan menghampiri penunggang kuda itu. Tanpa terasa keringat membasahi tangannya.
Penunggang kuda itu melihat Ding Tao dan turun dari kudanya, dengan dituntun dibawanya kuda itu mendekat ke arah Ding Tao, ketika jarak di antara mereka sudah tak begitu jauh, terdengar penunggan kuda itu berbisik menyapa, "Saudara Ding Tao, engkaukah itu?"
77
Mendengar suara itu, hati Ding Tao pun lega. Sambil mempercepat langkah kakinya dia menjawab, "Benar tuan muda, ini saya, Ding Tao."
Tidak terlihat dari tempat Ding Tao, Wang Chen Jin tersenyum kejam, perlahan tanngannya meraba ke arah hulu pedang yang disimpan di samping pelana.
"Apakah kau datang sendirian?"
"Ya tuan muda, kupikir sebaiknya demikian, lagipula tuan muda menyampaikannya dengan berahasia. Jadi kuputuskan untuk datang sendirian."
"Bagus sekali, memang cermat pemikiranmu Saudara Ding."
Sambil saling bercakap, tak terasa mereka sudah bertatapan muka, tak sedikitpun tampak ada niat jahat di raut wajah Wang Chen Jin.
"Tuan muda, sebenarnya ada masalah apa dengan nona muda Huang?"
Alis Wang Chen Jin berkerut, senyum persahabatan yang tadi terlihat di wajahnya, berubah menjadi seraut wajah yang penuh
78
kekhawatiran. Perubahan ini membuat Ding Tao jadi berdebar-debar, ada masalah apa dengan gadis pujaannya.
"Hmmm... sebaiknya kita mencari tempat yang lebih baik untuk membicarakannya."
Wang Chen Jin menebarkan pandangan ke sekitar tempat itu, mencari tempat yang cukup tersembunyi sehingga dia bisa menyembunyikan mayat Ding Tao dengan cepat. Setidaknya memberi lebih banyak waktu baginya sebelum kematian Ding Tao diketahui orang.
Ding Tao dalam hati merasa sedikit heran, apa yang dimaksud Wang Chen Jin sebagai tempat yang lebih baik. Malam begitu sepi, sehingga rasanya di mana pun sama sepinya, atau mungkin Wang Chen Jin ingin berbicara sambil duduk-duduk dengan sedikit nyaman? Tentu itu maksudnya, pikirnya dalam hati.
Sementara itu mata Wang Chen Jin tertumbuk pada sebuah sumur yang berada di dekat tempat itu, dalam hati dia bersorak, tapi di luar wajahnya tidak berubah.
"Mari kita pergi ke sana."
79
"Baiklah"
Berdua mereka berjalan ke arah sumur itu dalam diam. Ding Tao yang tidak tahu apa yang akan dikatakan dan Wang Chen Jin yang dengan tegang menanti-nanti saat yang tepat untuk menghabisinya.
Semakin dekat dengan sumur itu, jantung Wang Chen Jin berdebar semakin kencang. Ding Tao yang seharusnya tidak bisa menjenguk ke dalam hati Wang Chen Jin, tiba-tiba merasakan jantungnya berdebaran.
Seperti mendapatkan peringatan, Ding Tao bisa merasakan adanya bahaya yang mengancam dirinya.
Hal ini sulit dijelaskan, apakah memang ada pertolongan dari dewa-dewa yang melindungi orang yang baik.
Ataukah ini alam bawah sadar Ding Tao yang bekerja, menerjemahkan masukan-masukan, keanehan-keanehan dari Wang Chen Jin, dan sebelum alam sadar Ding Tao mengambil kesimpulan, intuisinya telah terlebih dahulu mencapai kesimpulan.
80
Jika hendak diperdebatkan antara mereka yang mempercayai keberadaan dewa-dewa dan mereka yang tidak mempercayainya, tentu tidak akan pernah ditemukan titik temu.
Tapi yang pasti intuisi Ding Tao itu telah menyelamatkan nyawanya.
Saat pedang dicabut, suara mata pedang yang bergesekan dengan sarungnya, terdengar bagaikan sambaran guruh di telinga Ding Tao yang sudah tegang sejak tadi. Naluri Ding Tao membuatnya melompat cepat, membuang tubuhnya menjauh dari sumber suara itu.
Seandainya saja Ding Tao terlambat sesaat saja mungkin saat itu tubuhnya sudah terbelah menjadi dua. Namun berkat kesigapannya, sambaran pedang itu tidak sampai menghabisinya, meskipun demikian segaris luka memanjang telah menghiasi dada Ding Tao.
Bajunyapun dalam waktu singkat menjadi kotor penuh debu akibat bergulingan di atas tanah, tapi tak ada waktu untuk memikirkan semua hal kecil itu.
Di hadapannya telah berdiri seorang musuh yang akan menghabisinya bila dia lalai sekejap mata saja.
81
Wang Chen Jin yang tidak menyangka bahwa serangannya yang tiba-tiba itu bakal meleset, terlambat beberapa detik untuk meneruskan serangannya.
Beberapa detik yang singkat itu sudah cukup untuk Ding Tao melompat berdiri dan mencabut pedang.
Sejenak keduanya berhadapan, bagaikan pengulangan dari pertarungan beberapa hari sebelumnya, untuk kedua kalinya dua orang pemuda dengan sifat yang jauh bertolak belakang berhadapan untuk mengadu tajamnya pedang dan kerasnya kepalan.
Wang Chen Jin yang lebih berhati-hati kali ini tak hendak buru-buru menyerang seperti pada pertarungan sebelumnya.
Ding Tao yang memang pada dasarnya tidak menyukai konflik dan banyak berhati-hati dalam melakukan segala sesuatu.
Keduanya berdiri diam dengan pedang di tangan.
Ding Tao bersiap dalam posisi pembukaan jurus pertama dari 3 jurus dasar pedang keluarga Huang. Tangan kanan yang menggenggam pedang menjulur ke depan dengan ujung condong menghadap ke tanah, tangan kiri menyilang di depan
82
dada. Kaki kanan di depan, sementara kaki kiri di belakang, menunjang badan yang berdiri tegak berimbang.
Wang Chen Jin, berdiri tegak, kedua kaki yang agak merenggang, sedikit menekuk dan bertumpu pada ujung bagian depan telapak kaki. Tangan kanan menggenggam pedang, bersilang di depan dada dan tangan kiri bersiap di pinggang.
Kali ini Wang Chen Jin tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya, kegesitan Ding Tao, menghindar dari serangannya yang tiba-tiba membuat dia jauh lebih berhati-hati.
Tidak lagi dia menilai rendah pemuda itu seperti pada pertarungan yang sebelumnya.
Apalagi sekarang dia berkepentingan untuk menghabisi pemuda itu secepatnya, dalam benaknya berkelebatan jurus serangan dan bagaimana Ding Tao nanti akan berusaha mengatasinya.
Tiba-tiba disadarinya betapa kokoh pertahanan dari pemuda di hadapannya. Berdebaran jantung Wang Chen Jin ketika menyadari hal tersebut, dari pengalaman ini terbukalah pikirannya, bahwa jurus-jurus dasar pun memiliki kedalamannya sendiri.
83
Mungkin ada puluhan orang yang mengambil pembukaan seperti Ding Tao, tapi apakah mereka mampu menjadikannya benteng yang kokoh seperti yang dilihatnya sekarang ini?
Posisi siku, pergelangan tangan dan pedang, siap menghadang setiap serangan dari depan. Gerakan menangkis serangan, berapa banyak kombinasinya, pada dasarnya tidak jauh berbeda, dan kedudukan tubuh atas Ding Tao secara keseluruhan memungkinkannya untuk menangkis setiap serangan dengan sebaik mungkin.
Jika Wang Chen Jin berusaha menghindari hadangan di depan dengan berpindah posisi ke sisi lain, kedudukan kaki Ding Tao pun memungkinkannya untuk berganti arah dengan cepat.
Bahkan hal itu bisa berbalik membahayakan Wang Chen Jin jika dia tidak berhati-hati, karena bisa juga terjadi Ding Tao akan bergerak cepat lurus ke depan dan memotong pergerakannya, seperti pada pertarungan yang lalu.
Dengan demikian Wang Chen Jin pun berlaku hati-hati.
Ding Tao yang terlihat bagai benteng yang kokoh di mata Wang Chen Jin, sesungguhnya tidak kalah berdebar-debar. Diperhatikannya kuda-kuda Wang Chen Jin yang ringan,
84
seperti anak panah siap lepas dari busurnya, tapi ke arah mana anak panah itu akan meluncur sungguh dia tidak bisa menduga.
Pedang menyilang dan kepalan tersembunyi di belakangnya. Memandang pedang bergerak, melupakan kepalan bisa jadi berbahaya.
Tapi sebaliknya kepalan yang tersembunyi bisa menjadi pengalih perhatian sementara gerakan pedang yang menjadi pembuka serangan, justru sedang mengambil kedudukan untuk menyerang.
Dalam tegangnya Ding Tao berdiam menanti lawan mengambil inisiatif terlebih dahulu.
Yang ingin menyerang tak dapat untuk segera menyerang. Yang sedang bertahan tak berani bergerak dan membuka peluang pada lawan untuk menyerang.
Seandainya Ding Tao memiliki lebih banyak pengalaman mungkin akan berbeda pula sikapnya.
Seandainya Wang Chen Jin mengetahui kebimbangan lawan di hadapannya, mungkin akan berbeda pula sikapnya.
85
Entah berapa lama sesungguhnya mereka berdiri diam, tapi jika ditanyakan pada mereka berdua, waktu yang seharusnya sama ternyata menjadi berbeda.
Bagi Wang Chen Jin waktu yang dia lalui serasa bagaikan beribu tahun lamanya, otaknya yang bergerak gesit memikirkan satu serangan ke serangan berikutnya tapi tidak juga dia menemukan jalan untuk menembus benteng pertahanan Ding Tao.
Seakan diam tapi dalam bayangannya sudah 30 jurus dia lancarkan dan setiap jurus dapat dimentahkan oleh Ding Tao. Tentu saja itu hanya dalam bayangan, kenyataannya belum tentu Ding Tao dapat mementahkannya. Tapi Ding Tao yang ada di dalam benaknya saat ini mampu mementahkan setiap serangannya itu.
Bagi Ding Tao waktu yang dia lalui terasa jauh lebih singkat, sejak berhadapan tidak sedetikpun dia berani melepaskan perhatiannya dari keadaan lawan. Kebiasaan bermeditasi, melatih ketajaman rasa dan juga mengumpulkan hawa murni, tanpa sadar mengambil alih.
86
Pernapasannya menjadi dalam dan teratur, setiap panca inderanya menajam. Waktu jadi tidak lagi berarti, Waktu bisa dikatakan sedang berhenti atau tidak ada sama sekali.
Perlahan-lahan sosok lawan yang menakutkan, yang dibumbui oleh ketegangannya sendiri, menjadi semakin mendekati kewajarannya. Ketika pikirannya berjalan dengan tenang mulailah dia bisa menganalisa kedudukan dirinya dan Wang Chen Jin dengan wajar.
Kuda-kuda lawan mengandalkan kecepatan dan menitik beratkan pada serangan, tapi lawan tidak juga menyerang, dalam hal ini terjadi ketidak sesuaian, seharusnya yang dia lakukan adalah menggunakan kesempatan itu untuk balik menyerang lawan.
Berusaha memaksa lawan untuk berpindah ke kedudukan yang kurang menguntungkan, sekaligus melihat reaksi lawan, dalam usaha untuk lebih jauh mengenali tanggapan lawan atas serangan tertentu.
Atau bisa juga dia dengan sengaja menunjukkan kelemahan dalam pertahanannya, memancing lawan masuk ke arah yang
87
dapat diperkirakannya, menyiapkan jebakan, memotong lawan pada saat yang tepat.
Tergelitik oleh berbagai kemungkinan, Ding Tao pada akhirnya justru menjadi larut dalam menjajagi berbagai kemungkinan yang akan timbul.
Untuk berapa saat lamanya, di dalam dirinya bagaikan muncul dua sosok Ding Tao, yang seorang mengawasi setiap gerak gerik dan desahan nafas lawan, yang seorang lagi sedang bermain dengan angan-angannya, seperti bermain catur dia menghitung-hitung apa yang bisa dia lakukan dan bagaimana lawan akan bereaksi.
Dalam waktu yang tidak jelas berapa lamanya tersebut, kedua pemuda itu telah bertanding puluhan jurus tanpa bergerak sedikitpun. Perbedaannya adalah, jika Wang Chen Jin dikejar-kejar waktu, Ding Tao justru sudah melupakan berjalannya waktu.
Sekali lagi perbedaan sifat dari keduanya dan juga dasar di mana mereka berdiri dalam menghadapi pertarungan itu, turut mempengaruhi jalannya pertarungan di antara dua pemuda berbakat.
88
Ditilik dari segi bakat keduanya sama-sama memiliki otak yang encer dalam mendalami ilmunya masing-masing.
Dari segi pengalaman Wang Chen Jin berada di atas Ding Tao, namun masih diimbangi pula dengan ketajaman pengamatan dan kepekaan rasa Ding Tao yang melebihi orang rata-rata.
Tapi Wang Chen Jin sedang berusaha melenyapkan nyaway orang atas dasar iri hati, meskipun dia bisa membela dirinya sendiri dengan berbagai argumentasi, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia sadar bahwa dia sedang menempuh jalan yang dipandang hina oleh manusia.
Apalagi dia sudah "meminjam" pedang pusaka ayahnya secara diam-diam, dikejar oleh perasaan bersalah, waktu menjadi musuh kedua bagi dirinya.
Sebaliknya Ding Tao dalam hatinya memiliki keyakinan bahwa dia berdiri teguh atas landasan kebenaran. Dia datang karena keinginannya untuk melindungi keluarga Huang yang sudah banyak menanamkan budi pada dirinya, terlebih khusus nona muda Huang.
89
Setitik pun tak terbersit mencari keuntungan pribadi, meskipun sekarang dia sadar bahwa semuanya itu tidak lebih dari perangkap yang dibuat oleh Wang Chen Jin secara licik.
Bahwasannya dia sekarang menggenggam pedang dan mungkin akan melukai bahkan membunuh lawan, hal itupun bukan dikarenakan keinginannya sendiri, melainkan dalam kewajibannya untuk melindungi kehidupan yang sudah dikaruniakan kedua orang tuanya pada dirinya.
Tapi ada satu faktor di luar kemampuan dan kemantapan masing-masing kedua pemuda itu yang ikut menentukan hasil pertarungan.
Sebilah pedang yang tajam.
Pada saat itu, di antara mereka berdua hanya Wang Chen Jin yang menyadari kelebihan itu.
Dalam hati dia merasa sudah melakukan tindakan yang tepat dengan "meminjam" pedang pusaka itu, nyata bahwa perhitungannya akan kemampuan Ding Tao tidaklah tepat seperti perkiraannya.
90
Jika saja yang dibawanya hanyalah pedang biasa, benteng pertahanan Ding Tao adalah benteng yang tidak tertembus oleh kemampuannya sendiri.
Mengandalkan kelebihan dari pedang pusakanya itu akhirnya Wang Chen Jin sampai pada satu keputusan.
Keheningan malam itu pun tiba-tiba pecah, dalam remangnya malam yang hanya diterangi cahaya bintang dan bulan sabit, pedang pusaka berkilauan menyambar-nyambar.
Untuk sesaat tidaklah mudah mengikuti bayangan kedua pemuda itu, setelah beberapa saat lamanya melihat mereka diam mematung lalu dengan tiba-tiba mereka bergerak lincah bagai capung-capung yang bermain di padang rumput.
Suara pedang beradu pedang, suara besi mengiris besi memenuhi malam, sambung menyambung oleh cepatnya serangan dan tangkisan.
Pada beberapa benturan awal, Ding Tao sudah merasakan satu keganjilan, perasaannya yang peka menyadari ada sesuatu yang salah, sesuatu yang tidak sesuai dengan perhitungan dalam benaknya.
91
Dengan berjalannya waktu, diapun sadar, pedang lawan bukan hanya membentur pedang miliknya, tapi pedang lawan sudah meninggalkan luka-luka di sepanjang bilah pedang miliknya.
Hatinya mencelos, seperti jatuh ke dalam jurang yang dalam.
Betapa ulet dan kerasnya pedang hadiah dari Tuan besar Huang Jin tidak disangsikan lagi oleh Ding Tao, bahwa pedang baja pilihan itu bisa mengalami kerusakan sedemikian parah membuktikan bahwa pedang yang digunakan Wang Chen Jin tentu adalah satu pedang pusaka.
Baru belasan jurus, pedangnya sudah hampir rusak di setiap tempat, jika dia meneruskan hal cepat atau lambat tentu pedangnya akan kutung tak berguna.
Mengingat hal itu maka Ding Tao pun jadi jauh lebih berhati-hati dalam menangkis serangan lawan, dijaganya agar tiap kali pedangnya membentur pedang lawan, dia tidak membentur bagian mata pedang yang tajam.
Dengan cepat kedudukan Ding Tao pun berubah jadi terdesak.
Wang Chen Jin tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, serangannya semakin gencar menekan Ding Tao.
92
Belajar dari pengalaman sebelumya Wang Chen Jin tidak menyerang dengan sembarangan, meskipun dia sudah yakin bahwa malam itu kemenangan akan ada pada pihaknya, setiap serangan tentu diperhitungkannya baik-baik, tidak pernah lupa dia untuk menjaga pertahanannya sendiri.
Ding Tao yang berusaha mencari celah kelemahan dalam permainan pedang Wang Chen Jin pun kesulitan untuk menemukannya.
Tanpa terasa Ding Tao semakin terdesak mendekati lubang sumur yang menganga.
Peluh sudah bercucuran membasahi seluruh tubuhnya, bercampur dengan darah yang terus mengucur dari luka di dadanya. Nafasnya semakin tidak teratur, demikian pula dengan tenaganya semakin terkuras. Bukan saja oleh pengerahan tenaga, tapi juga dari kehilangan darah yang mengucur deras akibat pengerahan tenaga dan gerakan-gerakan yang dilakukan.
Untuk sesaat Ding Tao kehilangan harapan, tapi dia mengeraskan hati dan berusaha menujukan pikirannya
93
sepenuhnya pada pertarungan, berusaha untuk mencapai yang terbaik tanpa memikirkan hasil akhirnya.
Laki-laki boleh mati, tapi jangan pernah melupakan budi, terngiang2 pesan akhir dari ayahnya sebelum menghembuskan nafas yang terakhir.
Ketika dia merasakan kakinya telah membentur pinggiran dari sumur itu, Ding Tao pun menggertakkan giginya, mengerahkan upaya yang terbaik yang bisa dia pikirkan. Secara tidak sengaja, hawa murninya terbangkit dan menerobos melewati jalur energi di sepanjang tubuhnya dan mengalir, tersalur ke dalam pedangnya.
Wang Chen Jin yang tahu bahwa dia sudah sampai pada serangan terakhir tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, disambutnya tabasan pedang Ding Tao dengan pedang pusakanya, sementara kaki kirinya bergerak pula untuk menendang dada Ding Tao.
Ding Tao yang sudah pasrah menerima kematian, hanya dapat berpikir untuk mengakhiri hidupnya dengan perjuangan sampai akhir. Tidak melihat kesempatan untuk hidup lebih lama lagi,
94
Ding Tao tidak berusaha menghindar dari pedang maupun tendangan Wang Chen Jin.
Ketika melihat tendangan Wang Chen Jin ke arahnya, diapun berusaha menendang Wang Chen Jin.
Sekalipun perlu berpuluh kata untuk menggambarkan serangan terakhir ini, sesungguhnya semuanya itu terjadi dalam hitungan detik bahkan sepersekian detik.
Dan terjadilah serentetan kejadian yang mengejutkan keduanya.
Pedang pusaka Wang Chen Jin, berhasil mengiris pedang Ding Tao sampai setengah dari lebar bilah pedang Ding Tao, tapi pedang Ding Tao yang sudah tersaluri tenaga dalam, mampu bertahan untuk tidak putus tertabas pedang Wang Chen Jin.
Bahkan akibat dari benturan itu pedang Wang Chen Jin terjepit oleh bilah pedang Ding Tao yang tertabas setengah. Pada posisi itu, tendangan Wang Chen Jin telah masuk pula ke dada Ding Tao.
95
Pada saat yang sama, Ding Tao yang berusaha menendang ke arah perut Wang Chen Jin, justru tendangannya mengenai pergelangan Wang Chen Jin yang menggenggam pedang.
Ding Tao pun terjungkal keras, terguling melewati bibir sumur dan jatuh ke dalamnya, darah segar menyembur dari mulutnya.
Oleh tendangan Ding Tao, pedang pusaka terlepas dari tangan Wang Chen Jin dan terbawa Ding Tao ikut pula jatuh ke dalam sumur, masih terjepit pada belah pedang di tangan Ding Tao.
Untuk beberapa saat lamanya Wang Chen Jin yang berhasil membinasakan musuh bebuyutannya itu berdiri termangu. Terhenyak melihat pedang pusaka milik ayahnya lenyap dalam lubang sumur yang gelap.
Satu hitungan, dua hitungan, hingga 20 hitungan lebih baru terdengar suara Ding Tao yang tercebur ke dalam air.
Tercenung Wang Chen Jin, berdiri memandang ke dalam kegelapan yang ada di hadapannya. Kemenangan diraihnya, tapi hatinya tidak sedikitpun merasakan kegembiraan. Wajahnya pucat pasi, sesaat dia berpikir untuk menuruni sumur itu.
96
Tapi sumur begitu dalam dan dia juga sering mendengar bahayanya turun ke dalam sumur. Apalagi di bawah sana ada Ding Tao yang baru saja dibunuhnya.
Meskipun biasanya pemuda itu menertawakan cerita-cerita setan atau arwah penasaran yang didengarnya dari pembantu ayahnya, tapi saat itu dia tidak bisa tertawa saat membayangkan arwah Ding Tao yang penasaran sedang menanti dia di bawah sana.
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara ayam yang berkokok, tersadarlah Wang Chen Jin, waktu sudah mendekati fajar. Tanpa terasa pertarungannya melawan Ding Tao menghabiskan waktu lebih panjang dari yang dia perkirakan.
Dengan menggertak gigi dia berlari ke arah kudanya, lalu mencemplaknya, berpacu dengan waktu, kembali ke tempat penginapan di mana rombongannya pergi menginap.
-- o—
Sepanjang perjalanan jantungnya berdebar-debar, kepalanya serasa akan pecah memikirkan pedang pusaka yang hilang. Namun dia sedikit terhibur dengan kematian Ding Tao, bila
97
tidak ada yang menemukan mayat Ding Tao maka untuk sementara pedang itu akan aman.
Mendekati penginapan yang dituju, hatinya menjadi semakin mengkerut tatkala melihat, ayah dan pamannya sedang berduduk di sebuah pohon besar dan rindang, di depan penginapan.
Tidak ada kesempatan bagi dirinya untuk menyembunyikan diri. Lagipula setelah berpikir di sepanjang perjalanan, Wang Chen Jin memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya kepada ayahnya.
Segarang-garangnya harimau tidak akan memakan anak sendiri. Terlebih lagi dirinya adalah putra satu-satunya dari Wang Dou.
Dengan hati berdebar, Wang Chen Jin menghampiri ayahnya, meskipun sudah ada 1001 alasan yang terbentuk di benaknya, tapi semuanya menghilang saat akan dikatakan.
Terdiam dia menunduk, merasa takut, merasa malu, merasa bersalah.
98
Pandangan ayahnya tajam mengamati sang putera, diamnya sang ayah, membuat hati Wang Chen Jin semakin kecut.
"Hmmm... dari Wuling ?"
"Eh.. iya...", terbata Wang Chen Jin menjawab, kepalanya tertunduk, hanya bisa diam dan memandangi ujung sepatunya. Dilihatnya noda-noda darah yang sudah mengering di sana. Tentu bukan darahnya karena tidak ada luka-luka di sana.
Untuk sesaat tidak ada sepatah kata pun yang terucap di antara mereka.
"Di mana pedang pusakaku?"
Terkejut dengan pertanyaan ayahnya yang langsung menuju pada sasaran, tanpa terasa kedua lututnya lemas. Pemuda itu pun dengan gemetar jatuh berlutut. Mulutnya terkunci, pandang matanya memohon belas kasihan.
Berkerut-kerut wajah Wang Dou, tiba-tiba kepalan tangannya melayang dan menghajar kepala putera kesayangannya itu. Wang Chen Jin pun terpelanting keras ke belakang.
99
Sebelum dia sempat bangun, bayangan Wang Dou sudah kembali berkelebat, siap melontarkan pukulan berikutnya. Tapi cepat bayangan lain mengejar dan mendorong tubuh Wang Chen Jin berguling menjauh.
"ADIK WANG!! Ingat!! Ingat... dia puteramu satu-satunya", dengan sebelah tangan menahan tubuh Wang Dou, paman Wang Chen Jin, kakak dari ibunya, Fu Tsun berusaha melindungi keponakan yang disayanginya itu.
"ANAK BODOH !!! Cepat berlutut minta ampun pada ayahmu !!!", bentaknya pada Wang Chen Jin.
Wang Chen Jin yang menyadari betapa murka ayahnya dan betapa besar kesalahannya, cepat-cepat berlutut dan menyembah-nyembah memohon ampun pada ayahnya.
Mata Wang Dou masih melotot, tapi raut wajahnya perlahan-lahan berkurang kebengisannya. akhirnya dengan menggeram didorongnya Fu Tsun beberapa langkah mundur.
"Anak Bodoh!!! Keparat !!!"
100
Mendekat ke telinga Wang Chen Jin, Wang Dou berdesis, "Diam-diam pergi dengan membawa pedang itu, kau tahu betapa penting artinya pedang itu bagi rencana kita!"
"Maafkan aku ayah... maksudku hanya untuk meminjamnya saja lalu akan segera kukembalikan."
"Kalau begitu di mana pedang itu sekarang?"
"Pedang itu... pedang itu... "
"Tentu engkau sudah menghilangkannya, benar kan?"
"Jadi... ayah sudah tahu?"
"Heh... jika kau membawanya tentu sudah kau tunjukkan pedang itu sekarang ini. Dari wajahmu yang lesu dan sikapmu yang ketakutan mudah saja ditebak."
Kemarahan yang tadi meledak sudah mereda, wajah yang bengis berubah menjadi seraut wajah tua yang lelah. Hati Wang Chen Jin pun merasa tertusuk, alangkah lebih baik bagi dirinya jika ayahnya murka. Melihat ayahnya sedih hatinya jauh lebih teriris.
Dengan terisak dia pun meminta maaf dengan terbata-bata.
101
Pamannya mendekat, melihat ayah dan anak sudah kembali akur hatinya merasa tenang.
"Sudah sudah ... hentikan tangismu, orang akan heran melihat tingkah kalian. Sekarang ceritakan bagaimana hingga kau kehilangan pedang itu."
Dengan terbata-bata Wang Chen Jin mengisahkan kejadian semalam, sejak dari pertemuannya dengan Ding Tao hingga jatuhnya pedang itu ke dalam sumur bersama-sama dengan mayat Ding Tao.
Sesudah dia selesai bercerita, maka pamannya menepuk-nepuk pundaknya dan berusaha menyabarkan Wang Dou.
"Tidak begitu sial, pedang ada di dalam sumur, secepatnya hari ini aku akan kembali ke Wuling, melihat apakah ada yang menemukan mayat di dalam sumur. Moga-moga sumur itu bukan sumur yang biasa dipakai umum. Sebisanya aku akan mencegah seseorang memakainya. Tapi jika aku gagal, aku pun akan mengawasi dengan ketat, ke manakah pedang itu dibawa.‖
102
―Malam nanti, adik Wang bisa menyusulku, bersama-sama, kita akan mengambil kembali pedang itu. Entah masih berada di sumur atau di bawah pengawasan petugas di kota Wuling."
Wang Dou mengeluh, ―Bisa juga keluarga Huang yang mendapatkannya. Ding Tao adalah orangnya, bukan tidak mungkin dia bisa mendekati petugas dan meminta agar barang-barang bukti yang ditemukan diserahkan kepadanya.‖
Paman Wang Chen Jin mengangguk, ―Itu adalah kemungkinan yang terburuk, tapi secepatnya aku akan pergi ke sana, sebisa mungkin akan kucoba agar tidak ada orang yang memakai sumur itu, kalaupun itu terjadi dan ada yang menemukan pedang itu, jika memungkinkan aku akan mengambil pedang itu.‖
Dengan pandang sedih Wang Dou memandangi puteranya, "Bodoh... bodoh... sekali apa yang kau lakukan itu anak Jin. Kehilangan pedang, bolehlah kita anggap masalah rejeki. Tapi jika kau masih saja tidak bisa berpikir lebih tenang dan mudah menuruti keinginan hati bagaimana dengan kehidupanmu di masa depan nanti."
103
Suara ayahnya terdengar begitu sedih, Wang Chen Jin merasa sangat terpukul, hilang sudah ketakutannya digantikan dengan penyesalan yang tulus.
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Silat Jorok : Pedang Angin Berbisik 1 ini diposting oleh ali afif pada hari Kamis, 06 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.