Baca Juga:
- Cerita Silat Mandarin Online : Seruling Sakti dan ...
- Cerita Silat Pendekar Matahari : Suling Pualam dan...
- Cerita Silat PDF : Suling Pualam dan Rajawali Terb...
- Cerita Cersil Keren Terbaik : Jinsin Tayhiap 4 Tam...
- Cerita Silat Online Terbaik terbaru : Jinsin Tayhi...
- Cerita Silat Cersil Terbaik : Jin Sin Tayhiap 2
- Cerita Silat terbaik : Jinsin Tayhiap 1
- Cerita Tamat Cinta Ching Ching Yang Mirip Raisa
- Cerita Cinta Raisa Sekarang Sebelum Putus : Ching ...
- Cerita Mesum Raisa Nggak Doyan Nyepong : Ching Chi...
- Cersil Ngentot Dudu Raisa Maning: Cerita Ching Chi...
- Cersil Seks Bukan Raisa Lagi: Ching Ching 2
SAN PEK
ENG TAY
Romantika Emansipasi Seorang Perempuan
Diceritakan kembali oleh: OKT
Diredaksi dan diberi kata pengantar oleh: ASA
YAYASAN OBOR INDONESIA
Edisi Pertama: Juli 1990
Edisi Keenam: Maret 2004
YOI: 104.8.12.90
Desain sampul dan perwajahan: Harmanto Edy Djatmiko
(Lukisan sampul dan ilustrasi koleksi ASA)
Alamat Penerbit:
Jl. Plaju No. 10 Jakarta 10230
Telp. (021) 31926978 ; (021) 3920114
Fax: (021) 31924488
e-mail: yayasan_obor@cbn.net.id
http://www.obor.or.id
Versi PDF: http://ebooklink.co.cc
Editor: Haura
Converter: clickers
BELILAH BUKU ASLINYA
PRAKATA
PENERBITAN seri buku sastra negeri-negeri yang
dinamakan secara tidak tepat dengan julukan Dunia
Ketiga (itulah kebiasaan manusia yang buruk, cenderung
mengotak-ngotakkan manusia dan bangsa-bangsa, dan
bukannya melihat bangsa-bangsa dunia adalah menyatu
dalam satu-umat manusia) telah lama kami pikirkan dan
rencanakan di Yayasan Obor Indonesia.
Bangsa-bangsa yang sedang berkembang di dunia
sedikit banyak berada dalam situasi yang sama, dan
menghadapi pengalaman-pengalaman dan berbagai
tantangan yang juga di antaranya ada yang sama. Mereka
sebagian terbesar adalah bekas negeri jajahan kekuasaan
asing. Masyarakat mereka juga berada di taraf transisi,
perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
modern dengan segala masalah dan keperihannya. Di
banyak negeri demikian kedudukan wanita mengalami
perubahan-perubahan mendasar, yang tidak saja
berpengaruh terhadap wanita sendiri, tetapi juga pada
pihak lelaki. Demikian pula banyak nilai tradisional
mengalami perubahan, yang sering merupakan
pengalaman traumatik terhadap banyak orang.
Pembangunan ekonomi sendiri mendorong berbagai
perubahan di banyak bidang penghidupan dan nilai-nilai
perorangan dan masyarakat.
Adalah penting artinya dan amat menarik bagi kita di
Indonesia, yang juga dalam proses yang sama, untuk
membaca pengalaman manusia di berbagai negeri lain
yang sedang berkembang. Bagaimana reaksi dan jawaban
mereka terhadap dampak dari berbagai hal baru yang
berkembang dalam masyarakat mereka? Bagaimana
mereka dapat mengatasi atau menyelesaikan masalahmasalah
kemanusiaan dan masyarakat yang timbul?
Perubahan-perubahan nilai yang terjadi?
Sastra yang baik selalu merupakan cermin sebuah
masyarakat. Sastra memang bukan tulisan sejarah dan
juga tidak dapat dijadikan sumber penulisan sejarah. Akan
tetapi sastrawan yang baik akan selalu berhasil
melukiskan dan mencerminkan zaman dan
masyarakatnya, serta manusia anggota masyarakatnya.
Sastrawan yang baik akan dapat menampilkan
pengalaman manusia dalam situasi dan kondisi yang
berlaku dalam masyarakatnya.
Membaca karya-karya sastra dari negeri yang sedang
berkembang ini, kita di Indonesia, pasti akan menemukan
banyak persamaan, meskipun tentu juga akan
diketemukan berbagai reaksi dan jawaban yang berbeda,
akibat dari latar belakang sejarah, kondisi dan situasi
masyarakat, nilai-nilai masyarakat maupun perorangan,
agama, dan sebagainya yang saling berbeda.
Akan tetapi jika kita membuka pikiran dan hati kita
membaca seri sastra dari negeri ini, maka kita akan
mendapat pengalaman yang kaya sekali, pengalaman
manusia yang hanya dapat kita timba dari sastra, dan
yang tidak mungkin kita dapat dari buku-buku sejarah
maupun penelitian masyarakat. Mungkin saja pengalaman
itu dapat membawa kita pada pengertian yang lebih jelas
dan jernih tentang apa yang terjadi dengan kita dalam
masyarakat kita di Indonesia ini.
Penerbit
Yayasan Obor Indonesia
KATA PENGANTAR
ASA
TRAGEDI terbesar San Pek Eng Tay bukanlah tragedi
percintaan antara San Pek dan Eng Tay, melainkan tragedi
pemutarbalikan citranya, dari romantika emansipasi
seorang perempuan menjadi kisah percintaan yang tragis,
atau kisah pasangan abadi, atau kisah perempuan yang
setia semata-mata.
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat dari Tiongkok
yang mengisahkan suatu episode kehidupan seorang
pemudi intelektual bernama Ciok Eng Tay (disingkat, Eng
Tay) dan seorang pemuda terpelajar bernama Nio San Pek
(disingkat, San Pek) yang hidup di abad ke-4 Masehi.
Seperti lazimnya cerita-cerita rakyat, kisah ini adalah
anonim dan mempunyai beberapa versi.
Versi yang umum kenal adalah yang menampilkan citra
yang telah terbalik itu. Sebagaimana anggapan umum dan
saya juga, ia melukiskan hubungan percintaan antara Eng
Tay dan San Pek yang berakhir dengan kematian mereka
yang sangat menyedihkan. Ringkasan ceritanya adalah
sebagai berikut. Eng Tay, yang menyamar sebagai seorang
lelaki agar dapat bersekolah di rantau, ternyata jatuh cinta
pada San Pek, teman sekolah dan bahkan teman
sekamarnya di asrama. San Pek yang pada mulanya
menyayangi Eng Tay sebagai adik angkatnya yang
dikenalnya sebagai seorang lelaki, membalas cinta Eng Tay
ketika mengetahui bahwa Eng Tay sebenarnyalah seorang
perempuan. Tetapi perjalanan cinta mereka tak dapat
berlanjut hingga perkawinan karena orang tua Eng Tay
telah menjodohkan anaknya itu dengan Ma Bun Cay, putra
seorang pembesar yang kaya-raya, dan memaksakan
perkawinan itu. San Pek pun patah-hati, jatuh sakit, lalu
mati. Namun Eng Tay menolak perkawinan tersebut dan
tetap setia pada San Pek. Maka dalam perjalanan menuju
rumah mempelai lelaki (Ma Bun Cay), Eng Tay menziarahi
kuburan San Pek. Di tengah-tengah ratap tangis dan
pernyataan kesetiaan Eng Tay di hadapan kuburan San
Pek, terjadilah keajaiban, kuburan itu merekah. Dan tanpa
tedeng aling-aling lagi Eng Tay terjun ke dalamnya
menyusul sang kekasih. Belakangan dari kuburan mereka
sering beterbangan sepasang kupu-kupu.
Demikianlah, citra kisah San Pek Eng Tay, yang
tertanam pada banyak orang dan juga pada diri saya
adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah pasangan
yang abadi, atau kisah seorang perempuan yang setia.
Sehingga pada mulanya, ketika OKT, seorang penerjemah
sastra Cina/Tiongkok sejak tahun 1920-an, mengajukan
usul kepada saya untuk penerbitan San Pek Eng Tay versi
sadurannya, yang katanya merupakan karya
terjemahannya yang terakhir, terus terang saja saya
kurang tertarik. Pada waktu itu di benak saya timbul
penolakan: “Apakah gunanya menerbitkan kisah ini?
Bukankah ia hanyalah sebuah kisah percintaan, suatu
tema yang sudah banyak dibuat orang, lagi pula ia telah
pernah disadur ke bahasa Indonesia?”
Tak dapat dipungkiri bahwa San Pek Eng Tay -sering
disebut Sam (sic) Pek Eng Tay- merupakan salah satu karya
sastra Cina yang populer di tanah air kita untuk masa
yang panjang, lebih dari satu abad. Sejak saduran Boen
Sing Hoo berjudul Tjerita Dahoeloe Kala di Negeri Tjina,
Terpoengot dari Tjerita’an Boekoe Menjanjian Tjina Sam Pik
Ing Taij terbit di tahun 1885, hingga sekarang telah ada
tidak kurang dari 10 judul buku serupa. Bahkan sebagian
di antaranya, termasuk saduran Boen Sing Hoo itu,
mengalami cetak ulang beberapa kali.1 Kisah ini pun
1 Lihat Claudine Salmon, Literatue in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotaled Bibliography, Paris: Archipel. 1981, pada judul
“Liang Shanbo Yu Zhu Ying Tay,” hlm. 486-487.
pernah difilmkan dan kerap dipentaskan. Kepopulerannya
tidak terbatas pada kalangan orang-orang etnis Cina saja,
tetapi juga meresap sampai ke kalangan orang-orang
bumiputera, khususnya orang-orang etnis Jawa, Betawi
dan Bali. Hal ini terbukti dari pengakulturasian kisah ini
dalam ludruk dan ketoprak di Jawa, lenong di Jakarta dan
sekitarnya, drama tari Arya dan tembang Macapat di Bali.
Belakangan ini, di tahun 1989 kisah ini juga dikasetkan
oleh grup lawak Jayakarta. Dan yang paling ramai diliput
oleh media massa dan banyak ditonton orang adalah
pergelaran drama San Pek Eng Tay versi N. Riantiarno oleh
Teater Koma, yang berlangsung selama 18 hari dalam
bulan Agustus-September 1988 di Gedung Kesenian
Jakarta.2 Sementara pementasan ulang di Medan pada
tanggal 20-21 Mei 1989, yang tidak jadi dipagelarkan
karena dilarang oleh pejabat setempat, konon karciskarcisnya
habis terjual.3
Tetapi dalam kepopularitasannya, San Pek Eng Tay
dicitrakan sebagai sekadar sebuah kisah percintaan atau
kisah wanita yang setia, seperti halnya Romeo & Julie,
Layonsari dan Jayaprana, atau Roro Mendut dan Pronocitro.
Beberapa subjudul saduran San Pek Eng Tay yang lain
memang menegaskan citra ini. Misalnya, subjudul saduran
The T(in) L(am) berbunyi “Tjerita doeloe kala di Negrie Tjina
sa-orang lelakie njang terindoe pada sa-orang perempoean
sampe djadi matinja”; saduran Jo Tjim Goan bersubjudul
“... satoe korban dari pertjintaan...”; subjudul saduran Oei
Soei Tiong adalah “... katjintaan dari hidoep sampe mati,...”;
Lie Tek Long memberi subjudul, “..., satoe katjintaan jang
2 Lihat, misalnya. Efix, ‘Sandiwara Sampek Engtay, Menjaring Cinta
Pekerja Sibuk. Kompas 4 September 1988; Putu Wijaya. ‘Luka Cinta dalam
Ketawa.’ Tempo, 3 September 1988; Mas Agus Dermawan T dan Iliana Lie,
‘Ada Apa di Balik Layar Sampek-Engtay’. Gadis, No.26, 6-17 Oktober
1988; Eddy Sukma, ‘San Pek Eng Tay, Teropong Cinta Gaya Teater Koma’,
Mode, No. 19 Th. XII, 19 September 1988.
3 Mengenai komentar terhadap pelarangan pementasan ini, lihat,
misalnya, ‘Mochtar Lubis Budaya Cina’ Horison//XXIVI/255, dan Efix,
‘Tragedi San pek Engtay.’ Kompas, 28 Mei 1989.
soetji dari hidoep sampe mati,”; dan subjudul saduran
Siloeman Mengok berbunyi, “...sepasang merpati jang tiada
berdjodo”4. Kemudian, pada tahun 1956 Prijana
memasukkan kisah ini sebagai salah satu dari Empat
Dukacarita Percintaan di negeri asalnya, bahkan setelah
lahirnya Republik Rakyat Cina di tahun 1949, yang konon
sangat mendorong emansipasi kaum wanita, citranya
begitu juga. Paling tidak, pada tahun 1954, RRC telah
menerbitkan cerita bergambar Liang Shan Bo Yu Zhu Ying
Tay sebagai sebuah kisah percintaan.
Dari Kisah Cinta Menjadi
Romantika Emansipasi Seorang Perempuan
Selanjutnya, tatkala mengomentari pementasan San Pek
Eng Tay versi N. Riantiarno, OKT menyatakan bahwa ada
beberapa hal yang tidak ia sukai dalam versi itu. Pertama,
sama dengan versi Boen Sin Hoo, Riantiarno
menggambarkan bahwa Eng Tay membuka pakaiannya
untuk menyadarkan San Pek bahwa dirinya adalah
perempuan. Hal ini, menurut pendapatnya, merendahkan
martabat tokoh Eng Tay yang luhur. Dan kedua, San Pek
ditampilkan bertaucang atau berbuntut babi (Inggris,
pigtail; Nio Joe Lan menerjemahkannya sebagai “cacing”).
Menurut OKT dan Nio Joe Lan,5 bagi banyak orang Cina,
taucang merupakan simbol penjajahan bangsa Ching
(Manchu) atas bangsa Cina yang berlangsung hampir tiga
abad lamanya (1644-1911), sehingga ketika Sun Yat Sen
dengan Partai Tung Meng Hui yang didirikannya
melancarkan revolusi untuk menggulingkan kerajaan
dinasti Ching dan berhasil mendirikan Republik Tiongkok
di tahun 1911, orang-orang Cina beramai-ramai memotong
taucang mereka. Jadi memakai atau memotong taucang
4 Lihat, Claudine Salmon, op. cit
5 Nio Joe Lan. Tiongkok Sepandjang Abad. Djakarta: Balai Pustaka. 1952,
hlm. 152 dan 257.
merupakan hal yang sangat asasi bagi orang Cina di masa
itu.
Dengan komentar OKT itu saya jadi tertarik karena
mulai terungkap mengapa ia, di usianya yang sudah 85
tahun, masih mau menerjemahkan San Pek Eng Tay dari
bahasa Cina, suatu pekerjaan yang sudah sangat tidak
mudah lagi baginya. Maka naskahnya pun saya baca
secara serius. Dan aneh, selesai membaca, kesan saya
tentang kisah ini pun berubah sama sekali: San Pek Eng
Tay tidak lagi saya pandang sebagai sebuah kisah
percintaan semata-mata, tetapi lebih dari itu, merupakan
romantika emansipasi seorang perempuan Cina di abad ke-
4. Sejak dari awal hingga akhir cerita, sebenarnyalah Eng
Tay adalah seorang pelopor emansipasi wanita di bidang
pendidikan dan perkawinan. Inilah, menurut interpretasi
saya, inti kisah ini, sedangkan aspek percintaan antara
San Pek dan Eng Tay adalah hal sekunder.
Dengan perubahan citra ini saya jadi bertanya-tanya
lebih lanjut: Tidakkah interpretasi saya salah? Tetapi,
beberapa kali saya membaca saduran OKT ini, yang
berdasarkan pada versi Chang Hen Shui, Liang Shan Bo Yu
Zhu Ying Tay, kesan ini tidak berubah. Tetapi kalau saya
membaca versi saduran Boen Sing Hoo maupun N.
Riantiarno, memang kesan yang timbul adalah kisah
percintaan yang tragis dan bahkan agak vulgar. Namun
bila kita mencari secara seksama inti cerita pada versi
mereka ini, maka ia sebenarnya juga adalah romantika
emansipasi seorang perempuan.
Lantas, mengapa terjadi pembalikan citra ini sehingga
sisi percintaan menjadi yang primer, sedangkan sisi
perjuangan emansipasi Eng Tay menjadi sekunder atau
bahkan ditenggelamkan? Padahal sejak awal hingga akhir
cerita, alur kisah ini mengacu pada emansipasi seorang
perempuan yang perkasa. Yakni, mulai dari Eng Tay
memutuskan untuk menyamar sebagai seorang lelaki
selama 3 tahun agar dapat bersekolah (suatu hal yang
tabu bagi kaum perempuan di waktu itu) demi
idealismenya yang tinggi, sampai ketika ia memutuskan
untuk memilih San Pek, yang dikenal dan dicintainya,
sebagai bakal suaminya (adat-istiadat pada masa itu tidak
memberikan hak kepada perempuan untuk memilih
suaminya, mereka dijodohkan oleh orangtua), dan menolak
calon pilihan ayahnya, hingga akhirnya Eng Tay memilih
menyatu dengan San Pek di dalam kuburannya. Dan,
bukankah sepasang kupu-kupu yang beterbangan dan
hinggap di mana mereka suka, sebagai penutup kisah ini,
tidak saja melambangkan sepasang kekasih yang setia,
tetapi terlebih lagi, suatu kebebasan atau kemerdekaan,
hasil dari perjuangan emansipasi Eng Tay yang sangat
berani?
Bila benar demikian, adakah kesengajaan untuk
mendiskreditkan Eng Tay, yang sesungguhnyalah dapat
dikategorikan sebagai pelopor emansipasi kaum wanita
Cina pada zamannya? Ataukah ini sekadar kesalahan yang
tidak disengaja berhubung interpretasi para pengarang di
Tiongkok dan para penyadurnya serta khalayak
sasarannya dilakukan dalam konteks bangsa dan negara
Cina yang feodal? Bukankah ini merupakan manifestasi
dominasi ideologi superioritas kaum lelaki atas perempuan
yang feodalistis di dalam kesusastraan? Ataukah saya
telah salah menginterpretasikannya? Sayang, bukan
tempatnya menjawab soal ini di sini.
Namun apa pun jawabannya, saya akhirnya
berkesimpulan bahwa karya saduran OKT ini penting
untuk diterbitkan. Agaknya, tragedi terbesar dari San Pek
Eng Tay bukanlah tragedi percintaan San Pek dan Eng Tay,
melainkan tragedi pemutarbalikan makna sehingga San
Pek Eng Tay tidak dipandang sebagai kisah romantika
emansipasi Eng Tay, melainkan sebagai kisah percintaan,
pasangan abadi atau perempuan yang setia. Tragedi ini
mungkin dapat menjadi topik penelitian yang menarik
tentang emansipasi kaum perempuan.
San Pek Eng Tay, Feodalisme dan Emansipasi
San Pek Eng Tay adalah cerita rakyat sehingga tidaklah
heran bila dijumpai banyak versinya. Paling tidak, sejak
dinasti Sung (960 - 1279), saat mulai berkembangnya ilmu
cetak di Cina, sampai runtuhnya dinasti Ching pada tahun
1911, dapat dijumpai 11 versi chih (catatan sejarah) yang
menjadi sumber kisah ini.
Menurut catatan-catatan sejarah itu, kisah ini terjadi
pada masa pemerintahan raja Bok Tee, raja kelima dinasti
Chin Timur yang memerintah dari tahun 345-357 Masehi.
Oleh karena kisah ini meliputi waktu sekitar 3-4 tahun
saja dalam periode kehidupan Eng Tay dan San Pek, yaitu
sejak Eng Tay berusia sekitar 17 hingga 20 atau 21 tahun,
dan San Pek, 18 hingga 21 atau 22 tahun, maka boleh jadi
Eng Tay dan San Pek lahir sebelum masa pemerintahan
Bok Tee.
Masa kehidupan mereka masuk dalam zaman yang oleh
pujangga-pujangga Tiongkok disebut sebagai “zaman yang
amat gelap-gulita” atau “zaman Enam Dinasti,” yang
berlangsung dari tahun 220 hingga 589. Pada zaman itu
peperangan dan perebutan kekuasaan terjadi silih
berganti. Kerajaan-kerajaan dinasti Wei, Chin, Sung, Chi,
Liang dan Ch’en berdiri dan runtuh dalam waktu singkat.
Di saat kisah ini berlangsung, daerah kekuasaan kerajaan
Chin telah terbagi dua sebagai akibat serbuan suku Xiung
Nu. Sebelah utara sungai Yang Ce berhasil dikuasai suku
ini pada tahun 317, dan raja dinasti Chin terusir dari
ibukotanya, Lo Yang, lari ke sebelah selatan sungai serta
menjadikan Nan King sebagai ibukotanya. Dengan
demikian Chin Barat runtuh, dan Chin Timur berdiri,
namun ia hanya bertahan sampai tahun 420.
Kalau di bidang politik keadaan saat itu penuh dengan
‘kegelapan’, di bidang kebudayaan ada sedikit titik terang.
Pada masa ini sekolah-sekolah telah mulai berkembang
walau terbatas untuk kaum lelaki. Kaum perempuan tidak
diperkenankan bersekolah, mereka hanya boleh mendapat
pengajaran les di rumah, itu pun hingga tingkat menengah
saja (standar waktu itu). Bahkan bila sudah remaja mereka
tidak boleh bergaul dengan orang-orang yang bukan
muhrimnya. Jadi pada hakikatnya, kaum perempuan
dipingit.
Tetapi waktu itu teknologi pembuatan kertas juga telah
berkembang, sejak ditemukan oleh Tsai Lun pada
permulaan abad ke-2. Karya-karya penting diterbitkan
sehingga sebagian kaum cendekiawan/ terpelajar,
termasuk San Pek dan Eng Tay, diduga telah dapat
membaca buah-buah pikiran besar seperti yang terekam
dalam Ngo Keng (Mandarin, Wu Ching, atau ‘Lima Klasik’),
Su Si (Empat Kitab), Tao Te Ching, dan lain-lain. ‘Lima
Klasik’ meliputi: 1) Shu Ching yakni Kitab Sejarah yang
disusun oleh Kong Hu Cu (551 S.M. - 479 S.M.) yang
menurutnya, memuat ucapan-ucapan tertulis dari para
raja yang memerintah antara abad ke-24 S.M. sampai abad
ke-8 S.M.; 2) Shih Ching yaitu Kitab Syair susunan Kong
Hu Cu yang memuat lagu-lagu dan syair-syair yang konon
digubah sejak pemerintahan kaisar Yu, 2205 S.M. hingga
abad ke-6 S.M.; 3) I Ching atau Kitab Perubahan, memuat
filsafat moral, sosial dan politik yang diajarkan melalui
ramalan oleh kaisar Fu Hsi yang hidup sekitar 3000 S.M.,
dan Kaisar Bun (Mandarin, Wen Wang) pendiri dinasti Ciu
(Mandarin, Chou, 1027 S.M. - 221 S.M.) serta komentar
Kong Hu Cu terhadap filsafat itu; 4) Li Chi atau Kitab Adat
yang disusun oleh dua bersaudara Tai; dan 5) Ch’un Ch’iu
atau Catatan Musim Semi dan Musim Gugur, karya Kong
Hu Cu yang memuat catatan kronologis tentang kejadiankejadian
penting di negara Lu, antara tahun 722 S.M.
hingga 484 S.M.
Su Si atau ‘Empat Buku’ terdiri dari Lun Gi (Mandarin,
Lun Yu) yang memuat ucapan-ucapan Kong Hu Cu
mengenai berbagai soal; Beng Cu (Mandarin, Meng Tze)
yang memuat pendapat-pendapat Beng Cu, pendukung
ajaran Kong Hu Cu yang besar yang hidup pada tahun 372
S.M. sampai 289 S.M.; Tai Hak (Mandarin, Ta Hsueh, atau
Ajaran Besar) memuat perbincangan singkat Kong Hu Cu
tentang etika politik; dan Tiong Yong (Mandarin, Chung
Yung) buah karya Kong Ci, cucu Kong Hu Cu, yang
berusaha memperluas faham Kong Hu Cu tentang sifat dan
tindakan manusia yang benar.
Tao Te Ching atau Kitab tentang Jalan dan Kebajikan
merupakan ajaran Lao Cu, pendiri Taoisme yang hidup
sekitar abad ke-6 S.M. Di samping karya-karya tersebut di
atas, kaum terpelajar waktu itu diduga juga mengenal
syair-syair seperti yang digubah oleh Co Pi, putra raja Co
Coh, dari dinasti Han dan kitab-kitab sejarah yang ditulis
oleh misalnya keluarga Pan, yaitu Pan Chao (32-102 M.)
dan putranya, Pan Ku, serta putrinya, Pan Ciao tentang
dinasti Han Awal, atau kitab Nasehat-nasehat untuk Kaum
Wanita hasil karya Pan Ciao, atau barangkali, Kitab Ilmu
Perang (Ping Fa) karya Sun Tse di abad ke-6 S.M.
Agaknya, Eng Tay dan San Pek telah mengenal ide-ide
besar yang terkandung dalam karya-karya tersebut di atas.
Tetapi Eng Tay tidak menelan begitu saja ajaran-ajaran
yang diberikan guru-guru besar itu. Ia bersikap kritis dan
menginterpretasikannya kembali. Bahkan tidak berhenti
pada ide saja, ia melangkah lebih jauh. Ia memberontak
dan mendobrak ide dan adat-istiadat feodalistis yang
membelenggu kemajuan dirinya dan kaumnya. Dengan
keberanian yang luar biasa, ia menyamar sebagai lelaki
selama tiga tahun agar dapat bersekolah; dengan
kegagahan pula ia memilih San Pek sebagai suaminya. Dua
tabu besar masa itu telah dikoyaknya, dan dengan
keceriaan ia terima konsekuensinya yang fatal yaitu
kematian.
Namun tragedi ini tidak berhenti dengan kematian Eng
Tay, sebab roh-semangatnya tetap hidup. Suatu tragedi
yang lebih besar harus diciptakan untuk mematikan roh
semangat yang dapat membahayakan feodalisme Cina yang
bersandarkan pada ideologi superioritas kaum lelaki itu.
Selama 16 abad ia berhasil memutar-balikkan citra Eng
Tay dan seakan-akan mengejek roh Eng Tay: benteng
feodalisme sangat kukuh Eng Tay, sekukuh Tembok Cina
yang dibangun oleh Kaisar Chin Sie Hong (lahir 259 S.M.)
di atas penderitaan rakyatnya.
Sudah sejak zaman purba, ribuan tahun sebelum
lahirnya Eng Tay dan San Pek, orang Cina menganggap
derajat kaum perempuan lebih rendah dari kaum lelaki.
Thian, Tuhan, Yang Mahakuasa, digambarkan sebagai
lelaki. Kaisar dianggap sebagai putra Thian sehingga yang
berhak menjadi kaisar adalah lelaki. Anak lelaki mendapat
hak lebih dari anak perempuan. Ia meneruskan marga/
klen/ she ayah dan karenanya disebut pihak ‘dalam’. Anak
perempuan dianggap sebagai ‘pihak luar’ karena
keturunannya akan menggunakan she suaminya. Maka
tak mempunyai anak lelaki dianggap suatu kemalangan,
sedangkan tak memiliki anak perempuan merupakan
keberuntungan.
Konfusianisme, filsafat hidup yang diajarkan oleh Kong
Hu Cu, menguasai alam pikiran dan tingkah-laku banyak
orang dan masyarakat Cina selama masa yang panjang.
Sebagai produk zamannya, ia merupakan ideologi yang
mendukung dan melestarikan feodalisme. Jejak-jejaknya
bahkan masih terlihat hingga abad modern ini walau
sudah banyak berkurang kadarnya.
Dalam soal hubungan antara lelaki dan perempuan,
Konfusianisme menempatkan derajat lelaki lebih tinggi dari
perempuan. Bahkan, di kalangan yang disebut terpelajar—
dalam hirarki struktur masyarakat Cina yang feodal, kaum
terpelajar (Shih), yang meliputi kaum bangsawan dan kaum
birokrat, berada di paling atas, diikuti di bawahnya oleh
kaum tani (Nung), lalu kaum tukang/ buruh (Kung) dan
yang paling rendah adalah kaum saudagar (Shang)—kaum
perempuan sangat didiskriminasi. Konon di antara beriburibu
murid Kong Hu Cu, tak seorang pun wanita.
Mereka tidak diperkenankan bersekolah, paling-paling
hanya boleh belajar di rumah, karenanya mereka tidak
dapat menjadi golongan shih dan dengan demikian tak
mungkin menjadi penguasa, kecuali dengan cara yang
tidak sah seperti pada kasus pemaisuri Lu yang
memerintah kerajaan Han Awal dari belakang layar sejak
tahun 188 S.M. sampai 180 S.M., atau kaisar perempuan
Boe Tjek Thian (Mandarin, Wu Tze Tien) yang mengangkat
dirinya menjadi kaisar dan memerintah dari tahun 690
hingga 705 M., atau Cu Hie, seorang ibusuri yang
berkuasa sejak tahun 1881 sampai dengan tahun 1908 M.
Ketika remaja, mereka tidak boleh bergaul dengan bebas,
melainkan harus dipingit. Kebisaan mereka dibatasi pada
urusan rumah tangga, mengurus anak, rumah, memasak,
menyulam dan sekali-sekali bermain musik, kesemuanya
dalam rangka mempersiapkan mereka sebagai ibu rumah
tangga yang berfungsi melayani kaum lelaki.
Mereka dilarang memilih sendiri pasangan hidup
mereka. Jodoh mereka ditentukan oleh orang tua (biasanya
ayah), sehingga kerap kali mereka mendapatkan pasangan
yang tidak cocok, namun harus patuh menerimanya. Hak
untuk menceraikan hanya ada pada pihak lelaki dan ia
boleh berpoligami, serta bersenang-senang dengan
perempuan penghibur, sedangkan hal ini terlarang bagi
kaum perempuan.
Secara fisik, mulai dari dinasti Tang (618 - 905 M.)
perempuan Cina harus mengikat kaki mereka dengan kain
agar tetap kecil, sebab kaki yang kecil adalah indah dan
disenangi, sedangkan kaki yang besar adalah jelek dan
tidak disukai oleh kaum lelaki, padahal kaki yang kecil
sangat menyiksa pemiliknya.
Kesemua diskriminasi ini demi mengabdi kaum lelaki,
sesuai dengan ajaran Kong Hu Cu tentang kebajikan
wanita, yang telah menjadi norma masyarakat Cina selama
berabad-abad, yaitu: “Di rumah patuhi ayahmu, sesudah
menikah patuhi suamimu, bila menjanda patuhi putra
sulungmu.”
Wajar saja bila diskriminasi terhadap wanita di Cina
yang berlangsung lama itu menyebabkan sedikit sekali
wanita Cina yang muncul menjadi figur masyarakat. Di
antara yang sedikit itu, misalnya, pada masa dinasti Han
Akhir (25-220 Masehi) dapat disebutkan seorang pujangga
wanita bernama Pan Ciao. Dialah salah seorang inspirator
Eng Tay, di samping Thay Su, istri Kaisar Bun dan ibu
Kaisar Bu, dua kaisar agung Cina yang terkenal arif
bijaksana. Dan belakangan, semestinya adalah Eng Tay
sendiri, melalui pemikiran, kata-kata dan sepak-terjangnya
yang emansipatoris.
Namun dobrakan Eng Tay di abad ke-4 dan beberapa
yang lain tak mampu meruntuhkan feodalisme yang
sekukuh tembok besar Cina, dan kedudukan kaum
perempuan tak banyak mencapai kemajuan sampai pada
akhir abad ke-19. Bahkan roh-semangat Eng Tay
dihempaskan olehnya seperti yang terjadi pada
pemutarbalikan citra romantika kehidupannya yang
berlangsung hingga abad ke-20.
Tetapi bagaimanapun hebatnya suatu ideologi berusaha
melestarikan status quo, roda sejarah terus bergerak tak
tertahankan. Perubahan demi perubahan terjadi hingga
meletuslah perubahan yang massal dan radikal. Di awal
abad ke-20, seiring dengan perjuangan revolusioner
bangsa Cina dalam menggulingkan kerajaan Manchu,
benteng terakhir feodalisme, dan mendirikan negara
republik, yang berasaskan San Min Chu I (Tiga Asas
Kerakyatan), terjadilah kemajuan besar dalam emansipasi
kaum wanita. Bermunculanlah sekolah-sekolah yang
terbuka bagi kaum perempuan, kawin paksa semakin
banyak mendapat tentangan, keharusan mengikat kaki
perempuan dicabut.
Dalam gerakan revolusioner yang berasaskan demokrasi
ini, yang tentu saja mencakup asas persamaan derajat
antara perempuan dan laki-laki, mulai banyak wanita
berperan-serta. Salah seorang di antara mereka adalah
Ch’iu Ch’in, kepala sebuah sekolah putri. Ia mengorbankan
jiwanya dalam rangka meruntuhkan feodalisme kerajaan
Manchu. Kepalanya dipenggal sebagai hukuman atas
keikutsertaannya dalam komplotan yang menembak
gubenur Nanking ketika sang gubernur mengunjungi
sekolahnya pada tanggal 6 Juli 1907. Ia boleh jadi telah
kemasukan roh-semangat Eng Tay yang pernah bercitacita
untuk menyelenggarakan sekolah perempuan untuk
memajukan kaumnya, pada 16 abad sebelumnya.
Betapa panjang dan hebatnya kesengsaraan serta
keterbelakangan kaum perempuan Cina, dan alangkah
banyaknya Tiongkok telah membuang-buang energinya
dengan merendahkan kaum wanitanya—hal yang juga
terjadi di hampir semua negara Dunia Ketiga termasuk
Indonesia—sehingga ia menjadi lemah, miskin, terbelakang
dan kemudian dijajah oleh bangsa-bangsa asing. Suatu
malapetaka besar! Namun, di sisi malapetaka ada
keberuntungan. Ternyata, persentuhan, eksploitasi oleh
dan konflik dengan bangsa-bangsa asing yang lebih kuat,
kaya, dan maju itu telah membantu membuka mata-hati
dan pikiran rakyat Tiongkok akan pentingnya asas
demokrasi yang berdasarkan pada persamaan derajat.
Dengan asas ini mereka berhasil menggulingkan kerajaan
Manchu, meruntuhkan feodalisme serta mendirikan
Republik Tiongkok di tahun 1911, serta akhirnya berhasil
mengusir imperialisme dari bumi mereka dan mendirikan
Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1949.
Dengan latar belakang sejarah ini dapatlah dimengerti
mengapa citra kisah San Pek Eng Tay yang ditanamkan
selama ini adalah kisah percintaan yang tragis, atau kisah
pasangan nan abadi, atau kisah wanita yang setia saja.
Eng Tay tidak boleh dicitrakan sebagai pejuang emansipasi
wanita karena hal itu akan mengancam status quo
superioritas lelaki yang merupakan salah satu sokoguru
feodalisme waktu itu. Maka dengan pengertian ini pula,
yang seharusnya bertambah jernih setelah lepasnya
cengkeraman feodalisme, selayaknyalah ditambahkan
subjudul pada kisah ini: Romatika Emansipasi Seorang
Perempuan. Malahan, bila kita ingin seadil-adilnya,
mengingat nomenklatura yaitu protokoler urutan
penyebutan suatu nama berdasarkan keutamaannya,
judul San Pek Eng Tay pun seharusnya dibalik menjadi
Eng Tay San Pek, sebab dalam kisah ini Eng Tay-lah yang
lebih berperan atau lebih menonjol ketimbang San Pek.
Seiring dengan semakin merasuknya faham demokrasi,
menjelang akhir abad ke-20 ini banyak kemajuan besar
telah dicapai dalam masalah persamaan derajat antara
wanita dan pria di dunia, termasuk di Indonesia. Di
Indonesia, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, soal
diskriminasi terhadap kaum perempuan di bidang
pendidikan, pergaulan, perkawinan, seperti yang pernah
dialami oleh R.A. Kartini (1879-1904) — salah seorang
tokoh emansipasi wanita kita, yang konon pernah juga
membaca kisah San Pek Eng Tay — telah dihapuskan,
paling tidak secara de jure. Di Indonesia dan di seluruh
dunia dapat kita saksikan munculnya semakin banyak
perempuan-perempuan yang berprestasi. Bahkan di
sebagian negara beberapa wanita telah dapat menjadi
kepala negara. Kini telah ada prediksi yang memperkirakan
bahwa abad ke-21 yang segera akan kita masuki itu, bakal
merupakan abad kaum perempuan. Di zaman itu, semoga
sajalah subjudul kisah sejenis San Pek Eng Tay yang akan
datang tidak berbunyi: Romantika Emansipasi Seorang
Lelaki.
Juni, 1990
Acuan:
Nio Joe Lan, Tiongkok Sepandjang Abad, Djakarta: Balai
Pustaka, 1952
Catatan:
Dalam saduran OKT banyak dijumpai istilah dan gaya
bahasa percakapan sehari-hari sehingga dirasa perlu
untuk meredaksinya kembali agar sesuai dengan sasaran
pembaca penerbitan ini. Lafal Hokian yang telah lazim
dipakai pada terjemahan karya sastra Cina dalam bahasa
Indonesia juga digunakan untuk nama-nama yang sudah
umum dikenal di sini, tetapi di sana-sini tercampur dengan
lafal Mandarin.
1
Ayah Keras, Ibu Lemah!
SUATU hari nan cerah di bulan ketiga musim semi. Di pagi
hari pula, saatnya sang surya masih bersinar lembut.
Semua pohon berdaun hijau dan segar, dan bungabunganya
yang mekar bergerombol tampak berwarnawarni
merah dan jambon, putih dan kuning. Menarik hati
pula bila menyaksikan cabang-cabang yang-liu bergoyanggoyang
lemah-gemulai dipermainkan angin yang
berhembus sepoi-sepoi basah.
Sebuah taman mungil tergelar asri dalam sebuah
rumah bertembok besar berpekarangan luas di
sekelilingnya. Di taman itu berdiri sebuah ayunan. Dan di
atas ayunan itu seorang gadis remaja sedang bermain,
tubuhnya terayun naik dan turun, maju dan mundur.
Gadis itu mengenakan baju panjang yang sempit,
warnanya merah, dan gaunnya berwarna kuning.
Sepatunya, bersulam. Selagi berayun-ayun itu, ia tampak
bagaikan seekor kupu-kupu yang sedang terbang
melayang-layang....
Berdiri di sebelahnya, seorang dara lain, usianya kirakira
enam atau tujuh belas tahun. Dari caranya
berdandan, jelas dia adalah seorang abdi perempuan. Dia
mengenakan angkin, ikat pinggang dari kain, berwarna
hijau, sedangkan rambutnya, berkepang dua, tersanggul.
Dia pun tergolong cantik.
Tiba-tiba saja abdi itu menyapa majikannya: “Non,
turunlah, sudah cakup lama Nona bermain ayunan,
tentunya Nona sudah letih!”
Gadis itu tertawa manis.
“Hari ini aku sedang gembira,” sahutnya, suaranya
lembut, “main ayunan lama sedikit tidak melelahkan....”
Dan ia pun menggerakkan tubuhnya lagi, membuatnya
naik-turun bergantian.
“Ah, sudahlah, Nona,” kata si abdi pula. “Non, abdimu
ini sebetulnya hendak memberi tahu sesuatu....”
“Apakah itu?” tanya si gadis itu, agak tertarik.
“Cukup penting, Nona. Kalau tidak, Nona boleh tegur
aku!”
Gadis itu berhenti main ayunan, dia menatap abdinya.
“Ayolah, kaubicara!” perintahnya.
Gadis ini menggelung rambutnya dengan model poan
liong ki, kundai “naga melingkar,” dan di sisi telinganya
tersisip sekuntum bunga cui. Wajahnya berpotongan kwaci,
sepasang alisnya lentik, hidungnya bangir, kulitnya halus.
Ia tampak seakan-akan senantiasa tersenyum. Ia
mengatakan belum letih akan tetapi kulit wajahnya telah
bersemu merah, sedikit berpeluh dan napasnya pun agak
terengah-engah....
“Eh, Gin Sim, bicaralah!” katanya pula pada si abdi.
“Ada apa sebenarnya? Mengapa kau selalu menatapku?”
Si gadis tertawa hingga tampak dua baris giginya yang
rapih dan putih bersih. Ia mengusap dahinya dengan
saputangannya. Lantas ia membuka suara pula.
“Gin Sim, lekaslah bicara! Aku Ciok Eng Tay, mana ku
tahu isi hatimu. Katakanlah, kabar apakah itu yang
hendak kau sampaikan padaku!”
Gin Sim menoleh ke sekitarnya.
“Non, di sini, di dalam taman ini, kita tak dapat leluasa
berbicara,” katanya. “Mari kita masuk ke dalam.
Bagaimana?”
Eng Tay mengawasi abdinya, ia mengangguk. Ia pun
berjalan sambil diikuti abdinya.
Di dalam kamar, ia lantas duduk, menghadap cermin
kuningan. Tiba-tiba ia tertawa.
“Nah, bicaralah!” katanya kemudian. “Di sini tidak ada
orang lain, hanya kita berempat....”
Gin Sim heran hingga tercengang, ia pun menegaskan:
“Berempat, Non? Kita toh berdua saja! Siapa dua orang
lainnya?”
Sang gadis majikan tertawa.
“Kau tak tahu?” tanyanya. Dia menunjuk ke cermin
yang terbuat dari kuningan.6
“Nah, bicaralah!”
Gin Sim bagaikan baru tersadar, tetapi segera dia
berkata: “Bukankah Nona sering mengatakan bahwa Nona
berniat menyamar sebagai lelaki agar dapat menuntut ilmu
di Hang-ciu, supaya Nona dapat menyenangkan hati ayahbunda
Nona? Bukankah sekarang Nona sedang ragu-ragu
lantaran tersiar berita bahwa guru di Hang-ciu itu, guru
Ciu yang sudah lanjut usianya, akan pindah tempat?”
Diingatkan demikian, Eng Tay tersenyum. Memang dia
telah lama berniat melanjutkan pelajarannya di kota Hangciu
itu. Nama kota itu, sebenarnya baru mulai dipakai di
zaman dinasti Shui. Sebelumnya, semasa dinasti Han kota
itu adalah kota kecamatan Cian-tong.
Gin Sim berkata lebih lanjut: “Nah, sekarang ada berita
yang menggembirakan. Baru saja Ong Sun pulang dari
Hang-ciu dan dia membawa kabar bahwa guru Ciu masih
tinggal di Ni San, beliau tidak jadi pindah. Ong Sun
mendapatkan berita ini dari sanak-saudaranya yang
tinggal berdagang di sana.”
Berita itu melegakan hati Eng Tay.
“Coba kaupanggil Ong Sun ke mari!” perintahnya
kepada abdinya. “Setelah memperoleh kepastian, akan
kucoba bicara pada Papa dan Mama.”
Gin Sim segera berlalu. Tidak lama kemudian ia kembali
bersama-sama Ong Sun, salah seorang pegawai keluarga
Ciok. Dan Ong Sun ini pun telah menegaskan
keterangannya.
Eng Tay berpikir beberapa lama, lalu siang hari itu, ia
menemui ayah dan ibunya di ruang tamu.
“Pa! Ma!” sapanya kepada kedua orangtuanya.
Ciok Kong Wan adalah pensiunan camat, ia tidak
mempunyai anak lelaki, hanya Eng Taylah anak gadis
6 Di zaman dinasti Chin semasa kisah ini berlangsung, belum ada kaca gelas.
satu-satunya. Ia pulang ke kampung halamannya untuk
tinggal bersama istrinya, Teng-si. Tak heran jika ia dan
istrinya sangat menyayangi anak tunggalnya itu.
“Kau habis bermain ayunan?” tanya sang ayah sambil
menoleh kepada putrinya. “Lihat, wajahmu kemerahmerahan!
Kau letih ya?”
Eng Tay menggelengkan kepala.
“Tidak, Pa,” sahutnya.
“Kau tak pusing, Nak?” tanya Teng-si, sang ibu. “Tidak,
Ma,” jawab putrinya.
Kong Wan duduk di atas dipan kayu dan istrinya di
kursi batu marmer di hadapannya. Keduanya menatap
putri mereka, mereka tampak bahagia sekali.
Eng Tay maju mendekat.
“Nak, duduklah,” kata Teng-si kemudian. “Kau tidak
memetik dan memakai bunga mawar....”
Putrinya tersenyum, ia menggelengkan kepala.
“Tidak,” sahutnya. “Hari ini aku gembira sekali sehingga
lupa memetik bunga mawar....”
“Kau gembira karena apa?” tanya sang ayah seraya
menyingkap janggutnya, yang hitam dan panjang.
“Karena suatu berita yang menggembirakan, Pa. Ong
Sun sudah pulang dan kepada Gin Sim dia
memberitahukan bahwa guru Ciu tidak jadi pindah dari
Hang-ciu dan tetap membuka sekolahnya di Ni San....”
“Lalu apa hubungan berita itu dengan kau? Kenapa kau
jadi girang sekali?” tanya sang ayah.
Eng Tay bangkit berdiri, hormat sikapnya.
“Pa, aku hendak memberitahukan sesuatu...” katanya
perlahan.
“Kau hendak memberitahukan apa, Nak?” tanya Tengsi.
“Aku tahu, Pak Ciu memang guru tua yang pandai.”
“Justru karena Pak Ciu pandai, aku jadi sangat
menghormatinya,” kata Eng Tay. “Papa dan Mama ingat,
sejak usia delapan tahun aku telah diberi guru sekolah
untuk mempelajari ilmu budaya. Tetapi setelah aku
berusia lima belas tahun, ketika Papa meletakkan jabatan
dan pulang kampung aku harus berhenti. Karenanya
sayang sekali, pelajaranku menjadi kepalang tanggung.
Bahkan sekarang, aku nyaris harus selalu berada di
loteng. Ya, pelajaranku menjadi setengah matang. Untuk
seorang pelajar, keadaan seperti ini sangat menyedihkan.
Maka dari itu, bagus sekali, Pak Ciu masih mengajar di
Hang-ciu, aku ingin pergi belajar padanya. Bukankah aku
sama saja dengan anak-anak muda lainnya? Setelah
beberapa tahun belajar di Hang-ciu, pasti aku akan
memiliki kepandaian yang memadai. Karena itu sekarang
aku ingin minta agar Papa dan Mama mengizinkan aku
sekolah di bawah pimpinan pak guru Ciu itu. Nah,
bagaimana pendapat Papa dan Mama?”
Ciok Kong Wan terbelalak. Ia heran sekali. “Kaubicara
serius atau main-main?” tanyanya kemudian.
“Pasti benar-benar, Pa,” sahut putrinya bersungguhsungguh.
“Belajar ke Hang-ciu bukan urusan main-main.”
Sang ayah mengawasi putrinya, lalu ia tertawa terbahakbahak.
“Nak,” katanya seraya menunjuk, “kenapa kau bicara
seakan-akan bermimpi di siang hari? Kau tahu, Nabi
Khong mempunyai murid tiga ribu orang lebih, adakah
muridnya wanita? Pak Ciu pasti tidak akan menyimpang
dari nabi kita itu dengan menerima murid perempuan! Oh,
anakku, andaikata pun papa mu mengizinkan, di sana kau
pasti akan membentur tembok penghalang, kau akan
pulang sia-sia saja! Maka dari itu, Nak, ku anggap katakata
mu itu sebagai igauan!”
Heran Eng Tay mendengar kata-kata ayahnya itu.
“Pa, kata-kata Papa membuatku agak kurang paham,”
katanya. “Apakah sudah pasti bahwa di antara tiga ribu
murid Nabi Khong tidak seorang pun wanita? Atau, apakah
tak ada wanita yang menyamar sebagai laki-laki di sana?
Maka dari itu, bila aku sekolah di Hang-ciu, aku akan
menyamar sebagai laki-laki! Tentang hal ini, harap Papa
tidak usah khawatir....”
Didesak secara demikian, sang ayah tertawa.
“Kau ini bicara apa, Nak!” katanya.
“Sabar, Pa,” kata putrinya. “Bukankah Papa pun tahu,
semasa permulaan dinasti Ciu (Chou), sudah ada wanita
yang berperan-serta?”
Sang ayah berpikir sejenak.
“Tidak,” sahutnya.
Kini Eng Tay tertawa.
“Lihat, Pa,” katanya, “hal begini saja Papa sampai lupa
sehingga Papa mengatakan aku mengigau! Baiklah, akan
ku jelaskan. Bukankah dalam kitab Lun Gi 7 ada kisah
tentang kaisar-kaisar dahulu kala yang mempunyai
menteri-menteri yang terpelajar dan bijak sehingga
pemerintahannya berjalan dengan sempurna? Misalnya
Kaisar Bun Ong (Wen Wang) dari dinasti Ciu (Chou)!
Bukankah di sana ada Thay Su, yang umum menyebutnya
Bun Wu Wang (istri Bun), istri Baginda Bun Ong yang
termasyhur?”
Kong Wan melengak. Benar-benar ia lupa akan Bun Wu
Wang. “Ya, aku ingat sekarang. Tapi, adakah hubungan
antara dia dengan kau?”
“Tentu saja ada, Pa,” sahut putrinya. “Aku berniat
menuntut ilmu lebih lanjut. Bukankah dulu kala pun
wanita sama dengan pria, ada wanita yang cerdik dan
pandai, yang dapat ikut mengatur urusan negara? Hanya
saja yang sekolah itu ada perbedaannya, ada yang maju
dan ada yang tidak. Demikian pula dengan aku. Sekarang
aku berdiam terus di kamar loteng, apakah itu untuk
selamanya? Tidak, bukan? Maka sekarang, aku berniat
melanjutkan pelajaran ke Hang-ciu, agar kelak di
kemudian hari, aku bisa melakukan sesuatu yang berarti
bagi negara kita....”
Kong Wan berdiam diri sambil mengawasi putrinya itu.
“Tetapi, Nak,” Teng-si ikut bicara, “Walaupun kau benar,
namun kau harus tahu apakah guru Ciu menerima murid
perempuan?”
7 Lun Gi: salah satu kitab ajaran Khong Hu Cu.
“Tapi, Ma, telah aku katakan, aku akan menyamar
sebagai seorang pria,” kata Eng Tay.
Sang ibu terdiam, ia hanya mengamati putrinya. Tidak
demikian dengan Kong Wan, sang ayah, yang telah berpikir
beberapa lama.
“Eng Tay, kau berniat sekolah ke Hang-ciu, maksudmu
itu baik,” kata ayahnya ini. “Kau bilang hendak menyamar
menjadi pria, tetapi, pernahkah kau pikir, berapa lama kau
akan tinggal di Hang-ciu? Bukankah, tidak untuk tiga atau
lima hari saja? Kalau sampai berbulan-bulan dan
bertahun-tahun, siapa yang dapat memastikan tidak akan
terjadi sesuatu atas dirimu? Lagi pula, penyamaran wanita
menjadi pria banyak kelemahannya! Lihat telingamu, lihat
dadamu! Dapatkah itu dipakai mengelabui orang untuk
waktu yang lama? Di samping itu, kau harus ingat pada
adat-istiadat, perbedaan antara wanita dan pria. Di
sekolah, kau hidup bercampur-baur, dapatkah kau terusmenerus
menjaga dirimu? Ini yang harus kau ingat baikbaik!
Ya, nama baik keluarga kita!”
Sang ayah menatap wajah putrinya, ia tampak
bersungguh-sungguh.
“Nah, walaupun niatmu itu baik, sulit untuk
mewujudkannya,” kata ayahnya itu akhirnya. “Tidak, Nak,
kau tidak boleh pergi! Tegasnya, jika kau tidak dengar kata
papa mu ini, kau adalah anak yang tidak berbakti!”
Eng Tay terperanjat. Tak ia sangka akan putusan yang
demikian tegas dari ayahnya itu. Ini bukanlah kebiasaan
sang ayah, yang biasanya manis budi dan sangat
menyayanginya. Ia tercengang menatap ayahnya itu.
Juga Teng-si, si ibu, merasa heran sekali.
Sejenak, kedua orangtua dan putrinya itu berdiri
membungkam. Tetapi si ayah mengawasi putrinya dan si
putri memandangi ayahnya. Sesaat kemudian, barulah
Eng Tay dapat menenangkan diri dan bicara, membuka
suara.
“Pa,” demikian katanya perlahan, “Aku mengerti Papa
sangat menyayangiku, akan tetapi, ku pikir, kekhawatiran
Papa itu berlebihan. Aku tahu kelemahanku sebagai
wanita, tetapi akan ku jaga baik-baik. Mengenai hal ini
harap Papa tidak perlu kuatir. Papa menghendaki aku agar
memperhatikan adat-istiadat, ini pun aku maklum. Aku
ingat sekali kata-kata ‘pria dan wanita tak boleh bersentuh
tangan’, tetapi itulah ucapan Sun I Kun yang sangat,
memojokkan! Bukankah Beng Cu menyanggah: ‘Kalau
mengetahui ipar wanita sendiri tenggelam namun tidak
menolong, itu namanya kejam!’ Bukankah Sun I Kun
sendiri kemudian mengatakan, kalau ipar sendiri yang
tenggelam, sudah pasti dia harus ditolong? Demikianlah
makna sesungguhnya dari adat-istiadat. Sekarang ini
kerajaan Chin kita sebagian negaranya telah dirampas
hingga Raja harus mengungsi ke Lam-khia. Bukankah itu
mirip dengan seorang ipar yang sedang tenggelam?
Bukankah kita wajib menolongnya? Maka ucapan itu tak
dapat seluruhnya dipatuhi. Bagaimana mungkin, karena
aku hendak belajar ke Hang-ciu, aku dikatakan tidak
berbakti, padahal keinginanku justru ingin mewujudkan
rasa bakti yang paling besar. Kalau nanti telah ku peroleh
kepandaian, aku berharap dapat melakukan sesuatu
untuk negara! Bukankah itu juga harapan Papa?”
Ciok Kong Wan menggelengkan kepalanya.
“Kau hebat, Nak! Kau pandai bicara!” katanya. “Jadi
dengan pikiranmu ini, kau hendak mewujudkan adatistiadat
sambil juga mengangkat diri? Hm!”
Ayahnya itu bangkit berdiri, lalu berjalan mondarmandir.
Jelas ia tidak puas.
Eng Tay bingung. Ia berdiri membungkam, tangannya
mempermainkan angkinnya.
Teng-si, sang ibu menjadi bingung juga. Ia bangkit
berdiri, terus menghampiri anak gadisnya.
“Eng Tay!” tegurnya seraya menyentuh pundak
putrinya. “ benar, kau tak perlu bicara lebih jauh. Mari kau
ikut Mama istirahat....”
Anak gadis itu berpaling kepada ibunya.
“Ma, aku juga benar,” katanya perlahan. “Aku berbicara
dengan mengutip kata-kata dari kitab tentang adatistiadat....”
Ibunya itu terdiam, ia berpaling, pada suaminya.
Kong Wan sedang berjalan mondar-mandir ketika
mendengar perkataan putrinya itu.
Ia segera berpaling, menghadap putrinya. Matanya
membelalak.
“Aku tidak mau bicara apa-apa lagi!” katanya keras.
“Aku larang kau pergi ke Hang-ciu!”
“Tak apa kau bicara keras-keras, suamiku, di sini tidak
ada orang luar,” kata sang istri, menenangkan suaminya.
“Eng Tay, mari kau ikut Mama masuk!”
Sambil berkata demikian, sang ibu mencekal hendak
menarik tangan putrinya. Namun, tubuh putrinya itu tidak
bergeming. Ketika sang ibu melihat wajah putrinya, gadis
itu sedang berlinang air mata dan sedang mengusap airmatanya
dengan sapu-tangannya.
Sebenarnya, sejak ayahnya berbicara keras, anak gadis
ini sudah merasa sedih, air matanya sudah mulai
berlinang, wajahnya pun pucat.
“Eh, Nak, kau kenapa?” tanya sang ibu sambil menepuk
pundak putrinya.
Sekonyong-konyong saja Eng Tay menjerit dalam
tangisnya dan tubuhnya bergerak sambil kedua tangannya
terbentang. Dia menubruk dan memeluk ibunya.
Ibu yang berhati lemah itu balas memeluk putrinya.
2
Berhati Baja
BELUM pernah Eng Tay menangis, ini untuk pertama
kalinya. Ia merasakan hatinya sangat tertekan, hingga tak
terlegakan kecuali oleh tangisannya itu.
Kong Wan membungkam, ia masih mengawasi putrinya.
“Sudah, diamlah,” kata Teng-si pada putrinya. “Kalau
mau bicara, mari kita bicara....”
Gadis itu tetap saja tersedu-sedu.
Sang ayah masih juga mengawasi, dan akhirnya,
menunjuk ke arah dalam.
Teng-si melihat itu, ia mengerti.
“Nak, kau masuklah,” katanya pada gadis itu. “Sekalian
ajak Nonamu!”
Kata-kata itu adalah perintah untuk Gin Sim serta
kawannya, abdi kecil bernama Kiok Ji.
Ketika itu Kong Wan memberi isyarat pada istrinya.
Eng Tay menoleh pada ayahnya, hingga si ayah melihat
bagaimana wajah putrinya penuh air mata. Namun sang
ayah diam saja, ia hanya menggelengkan kepala, lalu pergi
ke luar.
Bersama ibu dan kedua abdinya, gadis itu melangkah
ke dalam.
Sebenarnya, kamar tidur Eng Tay terletak di bawah
loteng. Ia berada di atas semata-mata untuk membaca
buku dan menyulam. Ia anak semata wayang. Keluarga
Ciok tidak mempunyai anak lelaki, tetapi kaya. Maka,
segala keperluan gadis itu dapat dipenuhi.
Kamar tidur Eng Tay berada di halaman belakang atau
sebelah dalam. Untuk pergi ke halaman depan, orang
harus melintasi sebuah ruang dalam lainnya. Di halaman
belakang terdapat sebuah halaman luar, di sana ada bukitbukitan
tiga pohon cemara serta serumpun pohon bambu
halus, yang dikenal sebagai ‘bambu Cina’. Lainnya adalah
tanaman bunga. Itulah sebuah taman mungil dengan
seluruh daun tanamannya berwarna hijau segar hingga
terasa sungguh nyaman bila berdiam di dalamnya. Tak
sembarang orang bisa masuk ke halaman belakang. Kamar
tidur itu pun terbagi atas tiga ruang dengan bagian
luarnya merupakan sebuah beranda atau serambi yang
berhampar-kan batu koral halus, hingga pun yang berjalan
di sana akan memperdengarkan suara batunya.
Eng Tay bersama ibunya, Nyonya Ciok Teng-si, yang
juga dipanggil ‘Nyonya Besar’, serta Gin Sim dan Kiok Ji,
berjalan melintasi beranda itu. Di dalam kamar, semua
perabotan seperti meja, kursi dan pembaringan, terbuat
dari kayu cendana dan terukir indah. Sedangkan
lantainya, bergelarkan permadani tebal dan cantik.
Gin Sim memimpin nona majikannya masuk ke dalam
kamar, mengantarnya ke kursi, akan tetapi gadis itu tak
mau duduk, ia serta-merta menjatuhkan diri ke
pembaringannya dan menutupi dirinya dengan selimut. Ia
menangis tanpa bersuara.
Teng-si menghampiri putrinya itu.
“Eng Tay, duduklah,” katanya lembut. “Kalau kau mau
tidur, tidurlah yang benar...”
“Sekarang pun aku sudah tidur,” kata putrinya.
“Sebaiknya Mama pergi beristirahat....”
“Tetapi, Nak,” kata ibunya, “walaupun papa mu
bersikap keras, ia sebenarnya menyayangimu....”
Eng Tay tidak menyahut, ia hanya bergolek, terus tidur.
Teng-si melengak, ia menghela napas.
“Biarlah dia tidur,” katanya perlahan, lalu ia memesan
Gin Sim agar merawat nona majikannya, kemudian ia
mengajak Kiok Ji pergi.
Gin Sim meng-iya-kan pesan nyonya majikannya itu.
Teng-si masih berdiam sebentar dan mengamati
putrinya, setelah itu barulah ia berlalu bersama abdi
perempuannya. Ia menarik napas panjang perlahan.
Eng Tay masih merebahkan diri, sampai Gin Sim
menyapanya: “Bangun Non, cuci muka.”
“Tak usah!” sahut gadis itu. “Nyonya Besar mana?”
“Nyonya Besar sudah pergi bersama Kiok Ji.”
Gadis itu bangun dan duduk.
“Sebal!” katanya, sengit. “Namun ini baru permulaan!
Aku tak akan mundur sebelum berhasil pergi ke Hang-ciu!”
Gin Sim tertawa.
“Jadi Nona bertekad mau sekolah ke Hang-ciu?”
katanya.
“Ya!” sahut gadis itu, yang ternyata berhati baja.
“Sekarang, aku mau tidur, kalau ada yang tanya, katakan
aku sakit. Pikiran Mama pasti akan berubah!”
“Baiklah, Non,” sahut Gin Sim. “Mulai hari ini, kepada
siapa pun akan aku katakan bahwa Nona sakit, bahwa
Nona tak mau makan. Tetapi aku sendiri akan diam-diam
membuatkan makanan yang Nona suka dan Nona boleh
memakannya secara sembunyi-sembunyi. Ya, jangankan
untuk beberapa hari, sampai setengah bulan pun, tidak
apa...”
Eng Tay mengangguk. Puas ia mendengar perkataan
abdinya yang setia itu.
Gin Sim menepati ucapannya. Ia tidak beranjak dari
kamar nona majikannya kecuali bila sedang bekerja di
dapur, memasak ini dan itu untuk nona majikannya.
Besok siangnya, Gim Sim pergi menemui nyonya
majikannya. Dia melaporkan: “Nyonya, Nona Eng Tay tidak
mau makan apa pun, mungkin pencernaannya tidak sehat.
Nona sendiri mengatakan bahwa ia merasa kepalanya agak
pusing. Maka dari itu, sebaiknya Nyonya menjenguknya.”
Teng-si terkejut. Tidak ayal lagi segera dia pergi ke
kamar anak gadisnya itu.
Gin Sim mengikuti nyonya majikannya. Selagi
mendekati kamar, ia segera berkata. “Non, bangun,
bangun, Nyonya Besar datang menjenguk!”
Di dalam kamar sesosok tubuh bergerak mirip
bayangan, sebab kata-kata Gin Sim itu merupakan isyarat
bahwa sang nyonya besar datang.
Dari dalam kamar tidak terdengar suara jawaban.
Teng-si segera saja masuk ke kamar. Ia melihat anak
gadisnya sedang rebah dengan tubuh berselimut. Rambut
putrinya itu kusut, tanda tak tersisir, dan di wajahnya
tidak ada bekas-bekas bedak, hingga kulitnya tampak agak
pucat dan kering. Ia menghampiri, menyingkap selimut
yang menutupi tubuh putrinya itu. Tampaknya Eng Tay
baru saja pulas, namun ia mendusin dengan agak terkejut.
Dengan mata berkesap-kesip, ia memandang ibunya.
“Mama!” panggilnya lemah. Ia bagaikan baru mengenali
ibunya itu. Suaranya perlahan, lemah.
Tatkala itu, di atas meja tampak asap hio wangi
mengepul perlahan, baunya harum halus. Asap itu
melayang-layang naik.
“Apakah kau merasa tak enak badan?” tanya Teng-si.
“Baru saja Gin Sim memberitahukan Mama bahwa kau
sejak kemarin sampai hari ini belum sarapan sama sekali,
kau pun tidak minum. Mengapa? Seharusnya kau makan
sesuatu....”
Eng Tay mengangguk, tetapi ia segera menggelengkan
kepalanya. Dari mulutnya tidak terdengar suara apa pun.
Sang Ibu terus mengamati, lantas duduk di atas
pembaringan di sisi tubuh anak gadisnya itu.
Diulurkannya tangannya, meraba dahi putrinya. Ia
merasakan hawa yang agak hangat. Ia bimbang. Hawa
hangat itu, tanda sakitkah?
“Apakah kau merasa kurang enak badan, Nak?”
tanyanya kemudian. “Apa yang kau rasakan?”
“Hanya sedikit pusing,”sahut putrinya, suaranya lemah
sekali.
“Kalau demikian, kau perlu dipanggilkan tabib,” kata si
ibu pula.
“Tak perlu, Ma,” kata putrinya. “Tidak usah....”
“Mengapa tidak usah?” tanya ibunya. “Kenapakah?”
Sambil berkata demikian, sang ibu mengusap rambut
putrinya untuk dirapikan.
Eng Tay diam saja, sedangkan ibunya menantikan ia
bicara.
Gin Sim menambahkan hio, lalu berkata: “Nyonya
Besar, apakah Nyonya Besar masih belum tahu penyakit
yang diderita Nona? Itu yang dinamakan pilu hati....”
Teng-si menata putrinya, ia berpaling pada abdinya.
“Kalau benar pilu hati, aku tidak berdaya,” katanya.
“Eng Tay, Eng Tay, kau tahu, pak guru Ciu tua itu tidak
menerima murid wanita....”
Eng Tay masih membungkam saja. Bahkan kemudian ia
menggolekkan tubuh, menghadap ke dalam, seakan-akan
tidak menghiraukan ibunya.
Nyonya Ciok juga membungkam. Ia agak bingung.
“Aku punya biji teratai,” katanya kemudian sambil
menoleh pada Gin Sim, “sebentar kusuruh Kiok Ji
memasaknya dan kemudian mengantarkannya ke sini.”
“Baik, Nyonya Besar,” ujar Gin Sim menyahuti.
Teng-si bangkit berdiri, ia menoleh dan mengamati
putrinya.
“Sebenarnya sekolah bukan hal yang tidak baik,”
katanya perlahan. “Sebentar, kalau pulang mama akan
bicara dengannya. Mama ingin tahu, bagaimana
pikirannya.”
Eng Tay, masih saja diam. Gin Sim pun membungkam,
ia hanya memandang nyonya majikannya itu.
Nyonya Ciok menghela napas, lantas melangkah pergi.
Kamar tidur itu menjadi sunyi.
Gin Sim melongok untuk memastikan apakah sang
majikan sudah pergi jauh atau belum, kemudian dia
tertawa sendiri dan berkata: “Benar saja, pikiran Nyonya
Besar telah berubah.”
Eng Tay bangun, lalu duduk. Ia merapikan rambutnya
sambil tersenyum.
“Aku ingin tahu, apa yang akan Mama bicarakan
dengan Papa,” katanya. “Bagiku sudah pasti, kecuali aku
diizinkan belajar ke Hang-ciu, tak akan ku ubah sikapku
ini!”
Gin Sim pun tertawa.
Tidak begitu lama, Kiok Ji pun muncul dengan
membawa semangkuk bubur biji teratai.
“Sebenarnya tak usah kau bawakan bubur biji teratai
ini,” kata Gin Sim. “Telah ku katakan, Nona tidak mau
makan apa pun. Ini pesan Nona.”
Kiok Ji meletakkan mangkuk bubur biji teratai itu di
meja, di atas piring tatakannya ada sebuah sendok terbuat
dari perak. Ia berkata: “Non, tak baik bila Nona tidak
makan sama sekali. Nyonya Besar yang memerintahkan
aku memasak bubur biji teratai ini. Kalau Nona tidak mau
makan, apa kata Nyonya Besar nanti? Mungkin abdimu ini
akan dimaki.”
“Pandai bicara kau!” kata Gin Sim tertawa. “Memang,
Nona harus memakannya sekitar dua suap...” Ia pun
melangkah menghampiri majikannya, katanya: “Non!”
Eng Tay membuka matanya, ia bangun, lalu duduk. Ia
mengangguk kepada Kiok Ji dan berkata perlahan:
“Rasanya aku mendengar kau membawakan sesuatu,
benarkah?”
“Benar, Non,” sahut Kiok Ji sambil menunjuk ke arah
meja. “Itulah bubur biji teratai.”
Eng Tay mengangguk. “Kau baik sekali.” katanya. “Ayo
bawa ke mari, aku ingin mencobanya.”
Gin Sim segera membawakan bubur biji teratai itu dan
menyerahkan sendoknya.
Nona Ciok menyendok bubur biji teratai, lalu
memasukkannya ke mulutnya.
Kiok Ji mengawasi, ia merasa geli, tetapi dengan lengan
bajunya ia menutupi wajahnya. Rupanya ia menganggap
nona majikannya itu lucu.
“Apakah tak cukup bila aku makan sesendok saja?”
tanya Eng Tay yang melihat lagak abdi cilik itu. “Baiklah,
aku menyendok lagi.”
Agaknya ia sulit menelan bubur teratai itu, maka ia
serahkan sendok itu pada Gin Sim.
“Aku tak bisa makan terus,” katanya seraya
mengerutkan alisnya. “Perutku terasa mual....”
Melihat hal itu, Kiok Ji berkata: “Kalau begitu, Nona
sebaiknya mengundang tabib untuk memeriksa Nona.
Bubur biji teratai saja tak masuk, bagaimana nanti, dua
tiga hari kemudian, jika Nona tidak makan sesuatu? Lapar
itu berbahaya, Non....”
Seraya berkata demikian, abdi ini menerima bubur biji
teratai itu dari tangan Gin Sim. Katanya pula: “Kalau Nona
tidak mau makan, baiklah, abdimu ini akan memberitahu
Nyonya Besar. Bubur biji teratai ini juga akan aku
tunjukkan.”
Eng Tay mengangguk, dari hidungnya terdengar suara
perlahan: “Hm....”
Kiok Ji memberi hormat dan mengundurkan diri,
kemudian ia kembali kepada nyonya majikannya. Setelah
meletakkan mangkuk di atas meja, dia memberikan
laporannya. Dituturkannya tentang keadaan nona
majikannya itu sebagaimana dilihatnya. Teng-si duduk di
bangku panjang. Ia menyendok bubur biji teratai itu dan
mencicipinya. Kemudian katanya seorang diri: “Bubur biji
teratai selezat ini tak dimakan, lalu apa yang disukainya?”
“Mungkin Nona sedang tidak sehat,” kata Kiok Ji.
Teng-si berdiam diri, ia mengamati bubur biji teratai,
lalu disuruhnya Kiok Ji membawanya pergi.
“Kalau begini, aku perlu bicara sama si tua bangka itu,”
katanya dalam hati menyebut suaminya. Lalu ia duduk
menanti dalam kamarnya.
Sampai malam barulah Ciok Kong Wan pulang. Ia heran
melihat istrinya duduk termangu.
“Bagaimana dengan Eng Tay hari ini?” tanyanya
“Apakah dia belum juga mengubah pendiriannya?”
“Sikapnya belum berubah,” sahut sang istri, “dia tidak
mau makan apa pun, air juga tidak barang setetes.
Bagaimana sekarang?”
“Apakah kau tidak bawakan makanan lainnya?” tanya
sang suami.
“Coba kau tanya saja Kiok Ji!” sahut Teng-si singkat.
Dia bagaikan enggan bicara.
Kong Wan menurut. Ia memanggil Kiok Ji. Abdi itu
menjelaskan segalanya.
“Nah, kau dengar!” kata Teng-si kemudian. “Bahkan
bubur biji teratai tak sudi dia makan! Lalu, dia harus
diberi makan apa?”
Kong Wan membungkam sambil berjalan mondarmandir.
“Anak itu memang keras kepala!” katanya. “Begini saja,
besok pagi kau temui dia, katakan padanya aku akan
menyuruh orang memanggil seorang guru guna
mengajarinya di rumah saja. Dalam hal ini tak soal kalau
kita mengeluarkan lebih banyak uang.”
“Kita sendiri yang mengundang guru itu?” tanya Tengsi.
“Ya. Sudah kukatakan, tak mengapa bila kita
mengeluarkan lebih banyak biaya!”
Teng-si hendak bicara tetapi ia melihat Kiok Ji.
“Kau pergilah tidur, di sini sudah tidak ada urusan
lagi!” perintahnya.
Abdi itu menurut, ia mengundurkan diri. Lalu ia pergi
ke kamar nona majikannya. Di sana ketika melewati
jendela, ia melihat bayangan dua orang.
“Kak Gin Sim?” tanyanya perlahan.
“Kiok Ji di sana?” sahut suara dari dalam. “Kau belum
tidur?”
Kiok Ji melangkah memasuki kamar. Ia melihat nona
majikannya itu duduk berselubung di atas pembaringan,
Gin Sim sedang menjahit menghadap lampu.
“Kau sedang bikin apa, sudah tengah malam masih ada
di sini?” tanya Eng Tay. “Adakah sesuatu yang hendak kau
sampaikan padaku?”
“Tidak ada, Non, hanya Tuan Besar sudah pulang,”
sahut sang abdi.
“Baiklah!” kata Eng Tay. “Lihat besok saja.”
Kiok Ji heran melihat sikap nona majikannya. Gadis itu
tenang-tenang saja. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Hanya sewaktu mengundurkan diri, ia berpesan kepada
Gin Sim: “Aku datang ke mari tanpa sepengetahuan
Nyonya Besar maka kalau besok Kakak bertemu Nyonya
Besar, harap jangan katakan bahwa aku telah datang ke
mari....”
“Aku tahu,” sahut Gin Sim tertawa. Ia pun mengangguk.
Kepada nona majikannya, Kiok Ji berkata: “Non, harap
Nona merawat diri baik-baik....”
Gadis itu mengangguk dan meng-iya-kan.
“Nona, bagaimana sikap Nona perihal Tuan Besar
hendak mengundang seorang guru itu?” tanya Gin Sim
kemudian. “Apakah Nona dapat menerima hal itu?”.
“Entah guru macam apa yang hendak Papa undang!”
kata Eng Tay. “Apalah artinya belajar di bawah pimpinan
guru semacam itu? Mana ada guru semacam guru Ciu?”
“Kalau demikian, bila besok pagi Nyonya Besar datang,
akan repot juga!
“Aku akan bicara baik-baik supaya Mama tidak bersusah
hati.”
Mereka berhenti bicara sampai di situ, lalu keduanya
tidur. Si nona benar-benar kuat hatinya, ia dapat
menenangkan diri.
Keesokan paginya, benar saja, Teng-si muncul di kamar
putrinya. Gin Sim sudah menyiapkan segala hal, ia juga
telah membakar dupa yang harum baunya. Dengan
cekatan ia menyambut si nyonya besar.
“Selamat pagi, Nyonya Besar,” sambutnya. “Nona hari
ini tidak mengalami perubahan, abdimu ini risau sekali...”
Teng-si menghampiri pembaringan. Eng Tay sudah
mendusin, ia sedang duduk dengan separuh tubuhnya
berkerudungkan selimut. Rambutnya tidak terkundai,
masih kusut, terurai ke belakang. Ia tidak memakai bedak,
kulit wajahnya yang halus berwarna agak kuning.
“Ma...!” panggilnya perlahan kepada ibunya.
Nyonya Ciok duduk di sisi pembaringan, tangannya
meraba sebelah tangan putrinya.
“Telah dua-tiga hari kau tidak makan apa pun,
bagaimana kau rasakan tubuhmu?” tanya ibunya, lembut.
“Papa mu pun mengatakan, menuntut ilmu adalah baik
sekali. Sekarang...”
“Bagus!” Gin Sim mendadak menyela. “Kalau begitu
pasti Tuan Besar mengizinkan Nona pergi belajar ke Hangciu!”
Mendengar hal itu Eng Tay tersenyum lemah.
Tetapi Teng-si lekas meneruskan katanya. “Papa mu
telah memutuskan, tetapi hal itu bukan keputusan bahwa
kau boleh belajar di Hang ciu. Papa mu telah menetapkan
untuk mengundang seorang guru datang ke rumah kita ini
guna memberi mu pelajaran di rumah. Maka dari itu, Nak,
dengan belajar di rumah, kau tak perlu lagi berada jauh di
lain kota hingga tak usah lagi kau keanginan dan
kehujanan. Kau dapat tenang-tenang saja berdiam di
rumah. Bukankah itu baik sekali?”
“Maksud Papa sangat baik, aku mengucapkan terima
kasih,” kata Eng Tay.
Teng-si tersenyum, legalah hatinya.
“Namun, Ma,” kata Eng Tay, kemudian, “Walaupun
maksud Papa baik sekali, akan tetapi aku tak dapat
menerimanya....”
Sang ibu terkejut, dia heran.
“Bukankah itu baik sekali?” tanyanya. “Kenapa kau tak
dapat terima?”
“Ma, sebaiknya Mama dengar dulu keterangan ku,” kata
putrinya dengan sabar. “Pertama hendak ku tegaskan,
guru Ciu itu guru yang pandai sekali. Kedua, tentang guru
yang Papa undang. Apakah dia bermarga Thio atau Lie!
Siapakah dia? Ketiga, sekarang ini pelajaran putri Mama
sudah cukup tinggi. Itu berkat kebaikan Papa dan Mama,
yang dulu telah memanggilkan seorang guru. Namun
sekarang lain. Bagaimana seandainya ada pertanyaan ku
yang guru itu tak sanggup berikan penjelasannya?
Bagaimana pendapat Mama kalau sampai terjadi begitu?”
Teng-si melengak. Tak ia sangka bahwa ia akan
mendapat pertanyaan semacam itu. Ia membungkam
beberapa lama.
“Jadi, tidak bisa lain kecuali kau berangkat ke Hangciu?”
tanyanya kemudian. Gadis itu diam.
“Kalau demikian, lain kali saja kita bicara lagi,” kata
sang ibu, akhirnya. “Tetapi, Nak, kau harus makan apa
saja, walau hanya sedikit....”
Eng Tay terus membungkam, kepalanya menunduk....
3
Ke Hang-Ciu!
TENG-SI tak dapat berdiam lama-lama di kamar putrinya
itu. Ia tak tahu harus bicara apa, akhirnya ia bangkit dan
berkata: “Jangan terus-terusan kau tidak makan, itu tak
baik. Mama akan bicara dengan.”
Eng Tay tetap membungkam, sampai ibunya bangkit
berdiri. Teng-si melihat ke sekeliling kamar, kemudian
berkata pada Gin Sim: “Kau harus berupaya agar Nona mu
mau makan. Tidak ada gunanya kalau kau hanya merawat
kamar ini....”
“Baik, Nyonya Besar,” kata si abdi, tak lebih.
Dengan pikiran kacau dan tubuh lesu, Teng-si keluar
dari kamar putrinya. Beberapa kali ia menghela napas.
Ketika itu Ciok Kong Wan sedang duduk di ruang
dalam. Melihat istrinya muncul dengan wajah muram, ia
merasa gelisah.
“Bagaimana dengan Eng Tay” tanyanya cepat. “Apakah
dia menyetujui maksud ku memanggilkan seorang guru
untuk mengajarinya di rumah?”
“Anak itu, aku tak bisa mengurusnya,” sahut Teng-si.
“Pendiriannya tak dapat diubah, kecuali kalau dia mati
kelaparan!”
“Bagaimanakah sebenarnya?” tegas Kong Wan. “Apa
katanya?”
Teng-si menceritakan segalanya.
“Aku tidak berdaya,” katanya akhirnya. Ia menjatuhkan
diri di atas kursi. “Dia terus tidak mau makan....”
Kong Wan mengawasi istrinya, kemudian ia mendekat.
“Benar-benar dia tidak mau makan apa-apa?” tanyanya
menegaskan.
“Habis, apa mau dikata? Sekalipun bubur biji teratai,
dia tak sudi makan.”
Kong Wan berdiam diri, ia menarik napas.
“Anak kita, kita rawat sampai besar, biasanya dia
sangat penurut, “kata Teng-si kemudian, “sekarang dia
menjadi keras kepala seperti ini, kenapa? Mungkinkah dia
terkena kuasa jahat?”
Kong Wan pun membungkam. Ia berjalan mondarmandir,
kedua tangannya berada di punggungnya.
“Entahlah...” katanya kemudian.
“Bagaimana kalau kita panggil tukang tenung untuk
menanyakan keterangannya?” tanya Teng-si kemudian.
Dia teringat akan juru tenung.
“Boleh jugalah....” kata Kong Wan perlahan. Dia seperti
putus asa. “Kalau si penujum bisa membuat putri kita
suka makan saja, akan kuberi dia imbalan yang besar....”
“Tetapi penujum tak bisa mengobati orang sakit,” ujar
Teng-si mengingatkan.
Kong Wan tiba-tiba tertawa.
“Ah, aku lupa!” katanya. “Memang, penujum bukan
tabib. Putri kita anak semata wayang, kalau dia tetap tidak
mau makan, itu bahaya. Kita berdua sudah berusia lanjut,
kita mengandalkannya. Apalah artinya hidup kita ini? Aku
akan sangat berterima kasih pada siapa saja yang sanggup
membuat putri kita mau makan....”
Selama suami-istri itu bicara, Kiok Ji hadir di sana, ia
tidak berkata apa-apa. Akan tetapi di lain saat, selagi
berkesempatan, dia pergi ke kamar nona majikannya
untuk menyampaikan padanya tentang pembicaraan
kedua orang tuanya.
Eng Tay berpikir keras setelah mendengar ibunya
hendak mengundang penujum. Ia lalu dengan tegas
bertanya pada Kiok Ji.
Abdi itu memastikan apa yang didengarnya, kemudian
menambahkan: “Tetapi Non, Nona belum juga makan,
kami semua bingung....”
“Jangan bingung, tidak apa-apa,” kata Eng Tay. “Terima
kasih untuk berita mu ini.”
Kiok Ji girang, setelah berpesan agar beritanya itu tidak
diketahui orang lain, dia mengundurkan diri.
Berita itu, bagaimanapun juga, melegakan hati Eng Tay.
Setelah berpikir sejenak ia berkata pada Gin Sim: “Kau
perhatikan datangnya si penujum itu. Kalau dia datang,
segera temui dia dan beri dia sejumlah uang. Utarakan
maksud Tuan Besar dan Nyonya Besar mengundangnya.
Kau jelaskan tentang akal kita ini, minta agar dia
menyiasati Tuan Besar dan Nyonya Besar. Katakan, asal
dia berhasil, akan kuberi dia imbalan yang akan
memuaskan hatinya.”
Gin Sim tertawa.
“Peramal yang biasa datang ke mari adalah Gow Ti-kaw,
si Mulut Besi, “ katanya. “Aku mengenalnya, aku akan
bicara denganya. Namun, bagaimana dengan aku, Nona?”
Eng Tay tersenyum. Ia maklum abdinya itu bergurau.
“Jangan kau tanyakan lagi,” katanya, “akan kuajak kau
serta!”
Sang abdi girang sekali, dia tertawa. Segera dia pergi ke
luar.
Petang hari itu Ciok Kong Wan dan Teng-si sedang
duduk bercakap-cakap di ruang dalam rumah mereka.
Mereka membicarakan urusan anak gadis mereka, yang
sedang membingungkan dan memusingkan mereka.
Beberapa kali tampak mereka hanya menghela napas
panjang.
Tiba-tiba saja, dari luar, dari ujung rumah, terdengar
suara ‘ting-ting, tang-tang’. Itulah suara yang mereka kenal
baik, suara pertanda dari seorang penujum, ahli tenung,
yang biasa lewat di tempat itu.
“Kebetulan sekali,” kata Kong Wan. “Kita sedang
berpikir akan mencari tukang tenung, eh, sekarang dia
lewat di sini!”
“Bukankah tak ada halangannya bila kita
memanggilnya?” kata Teng-si.
Belum lagi Kong Wan sempat menjawab, sekonyongkonyong
Gin Sim muncul.
“Nyonya Besar hendak memerintahkan sesuatu?”
tanyanya pada sang majikan.
“Di luar ada tukang tenung, coba kau panggil ke mari,”
kata si nyonya. “Ada yang hendak ku tanyakan....”
Gin Sim menyahut “Ya,” tetapi ia tidak segera memutar
tubuhnya untuk pergi ke luar, melainkan lebih dulu
menoleh pada tuan besarnya, yang ketika itu sudah
bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mondarmandir
dengan wajah muram. Melihat hal itu, dia segera
cepat-cepat ke luar. Tak lama kemudian dia telah kembali
bersama seorang lelaki tua.
Teng-si melihat, seorang tua berbaju abu-abu
mengenakan ikat kepala, raut wajahnya Panjang dan
berewok. Di tangannya, orang itu memegang sebuah tangkeng
8 serta sepotong bumbung bambu.
Di depan nyonya rumah, orang tua itu segera menjura,
memberi hormat.
“Nyonya ingin menghitung-hitung sesuatu?” tanyanya
dengan hormat. “Saya Gow Ti-kaw, biasa meramalkan
segala hal. Penduduk di sekitar sini kenal siapa aku.”
Kong Wan sedang berdiri mengawasi tamunya itu.
“Ya, ada sesuatu yang ingin ku tanya,” jawabnya,
mendahului istrinya. “Dapatkah kau menerangkannya?”
“Tentu, tentu, Tuan Besar!” kata si tukang tenung
dengan cepat. “Yang Tuan Besar hendak tanyakan itu,
anak laki-laki atau anak perempuan?”
“Dia adalah putriku anak perempuan yang sedang
sakit” kata Kong Wan.
“Anak perempuan?” tegas si tukang tenung. Segera dia
menurunkan tang-keng sambil memegangi bumbung
bambunya. Dia menjurai ke langit tiga kali, kemudian
menggoyang-goyangkan bumbung bambunya, dan
akhirnya menuangkan isinya ke atas meja. Segera saja ke
luar, terjatuh, enam batang bambu rautan, kecil dan
pendek. Ke-enam batang bambu itu berjatuhan saling
susun.
8 Tang-keng: semacam alat musik terbuat dari batu atau kuningan.
Melihat hal itu si tukang tenung terkesiap, bahkan dia
berseru sendiri: “Ah, ini ramalan tidak baik! Tuan Besar
mengatakan putri Tuan sedang sakit, maka aku khawatir,
tidak sampai seratus hari akan ada bencana sinar merah
darah....”
Ciok Kong Wan terperanjat. Dia memang sedang
bingung, sekarang dia mendengar ramalan mengerikan itu.
“Merah darah!” katanya, suaranya tak jelas. “Lalu
bagaimana — adakah daya untuk menangkisnya? Apakah
bisa diperoleh pertolongan...?”
Dan sang ayah pun lantas mendongak ke langit. Di
dalam hati, dia memuji, memohon pertolongan Tuhan Yang
Maha kuasa.
Si tukang tenung tidak segera menjawab.
Teng-si pun cemas sekali, dia bangkit berdiri.
“Apakah ada daya untuk menghindarinya?” tanyanya
bingung.
Gow Ti-kaw tidak segera menjawab. Dia terus
mengawasi ciam-si 9 batang-batang bambunya itu, dia
tampak sedang berpikir keras. Baru sesaat kemudian,
terdengar suaranya.
“Ya, ada jalan untuk menghindarinya,” katanya
perlahan. “Putri Tuan harus pergi dari sini, ke tempat
sejauh tiga ratus li 10 dan di sana dia harus tinggal untuk
jangka waktu tertentu. Mungkin hal ini akan membuat dia
menemukan jalan keselamatan, malapetaka bisa berubah
menjadi keberuntungan. Lihat ramalan ini, enam saling
susun dan melintang. Ya, apalagi mengenai orang
perempuan, kepergiannya ke lain tempat tak boleh
ditunda-tunda lagi!”
Teng-si bingung.
“Dia justru putriku.” katanya.
“Menurut ramalan ini, apabila yang bersangkutan
adalah anak perempuan, dia mestinya sudah mengerti
9 Ciam-si: ramalan.
10 1 li = sekitar 579 meter.
ilmu budaya dan usianya sekarang di atas tujuh belas
tahun. Itu usia peralihan. Bukankah dia sedang berbaring
saja dan tidak mau makan atau minum? Bukankah dia
anak tunggal kedua orang tuanya? Inilah saat yang sangat
berbahaya! Tuan Besar dan Nyonya Besar, aku bicara
sebenar-benarnya, tetapi aku mengatakannya menurut
ramalan. Cocokkah itu?”
Teng-si menepuk meja.
“Ya, cocok ramalanmu itu!” katanya. Kemudian ia
berpaling pada suaminya dan berkata: “Suamiku,
bagaimana? Itulah bunyi ramalannya, maka kita perlu
bertindak cepat guna menghindari ancaman bahaya walau
untuk sementara waktu. Menurutku, sebaiknya kita
izinkan putri kita pergi....”
Ciok Kong Wan mengusap-usap janggutnya.
“Mengizinkan pergi ke Hang-ciu, bagaimana ya?” raguragu.
“Benar, pergi ke Hang-ciu!” ujar Gow Ti-kaw turut
bicara. “Di sana tidak ada ancaman ‘cahaya darah’,
bahkan tahun ini, di sana ada yang dinamakan ‘Tahun
Budaya’. Selain itu, tindakan ini pun adalah tindakan
menyingkirkan diri dari malapetaka untuk sementara
waktu saja.”
“Ya, suamiku, ku harap kau tidak ragu-ragu,” sambung
Teng-si.
“Kalau begitu, biarkanlah dia pergi....” kata Kong Wan
akhirnya, setelah bimbang beberapa lama. Mau tak mau,
hati kerasnya melunak.
“Ya, itu memang yang paling baik, Tuan Besar,” tegas, si
juru ramal. Di dalam hatinya dia girang bukan kepalang.
Kemudian ahli nujum ini mohon diri. Teng-si
membekalinya imbalan sebesar lima tahil perak. Maka
bukan main senang hatinya.
Cepat luar biasa, berita baik itu telah sampai ke telinga
Eng Tay. Bahkan selagi ayah dan ibunya masih duduk
membahas persiapan keberangkatan anak gadisnya ke
Hang-ciu, tiba-tiba putrinya itu telah muncul di ruang
tamu itu. Dua hamba sahaya wanita mengapitnya.
Eng Tay sudah berdandan rapi, rambutnya telah
tergelung, dan ia berbedak tipis.
Bukan main lega hati Teng-si. Ibu ini segera bangkit
dari kursinya dan berjalan menghampiri putri gadisnya itu.
“Kau sudah sembuh, Nak?” tanyanya. Jelas ibu ini
sangat menyayangi putrinya.
“Baru saja aku mendengar tentang datangnya penujum,
maka aku paksakan diri datang ke mari,” kata Eng Tay.
“Ketika aku mendengar kata-kata penujum itu dan Papa
menyatakan mengizinkan aku pergi, aku lantas sembuh
sama sekali.”
Kong Wan mengawasi putrinya itu.
“Ya, kau tampaknya sehat,” katanya.
Eng Tay segera mengucapkan terima kasih pada kedua
orang-tuanya itu. Ia memberi hormat. Sekarang ia tak
usah diapit lagi oleh kedua pembantunya.
Tiba-tiba sikap Kong Wan berubah menjadi dingin.
“Tadi kata-kata Papa itu hanya main-main saja!”
katanya kaku. “Perkataan Gow Ti-kaw tidak ada buktinya.
Papa meng-iya-kan saja agar dia lekas-lekas pergi....!”
Eng Tay terperanjat.
“Tetapi, Pa,” katanya, “penujum itu tidak bicara mainmain!
Lagi pula tadi Papa mengatakan di depan orang
banyak bahwa Papa sudah izinkan aku pergi melanjutkan
pelajaran ke Hang-ciu, mengapa sekarang Papa bicara
lain? Oh, Papa, putrimu ini sedang pilu hati....”
Teng-si, si ibu, juga terkejut. Ia mendekati anak
gadisnya itu dan merangkulnya.
“Nak, bicaralah baik-baik,” katanya membujuk.
“Tapi, Ma, kata-kata tadi, main-main atau bukan?”
tanya putrinya sambil menatap ibunya.
Teng-si bersikap tenang, bahkan dia tersenyum.
Kong Wan mengawasi anak gadisnya itu, pikirannya
bekerja keras.
“Apabila kau sudah mantap hendak pergi, pergilah,
Mama tidak menghalangimu,” katanya kemudian. “Tetapi
sebaliknya, Papa mempunyai tiga syarat berat. Asal kau
setuju kau boleh pergi, kalau tidak, sukar sekali....”
Gadis itu mengamati ayahnya.
“Baiklah, Pa, silakan Papa sebutkan tiga syarat itu,”
katanya cepat.
Kong Wan mengangguk. Ia berkata. “Kau akan
menyamar sebagai laki-laki, kau harus berhati-hati.
Apabila kau gagal, kau bisa merusak nama baik keluarga
Ciok kita!”
“Itu mudah, Pa,” kata putrinya. “Papa toh sudah
mengetahui, sejak kecil aku gemar dandan sebagai anak
lelaki. Tentang hal ini harap Papa jangan khawatir.”
Ketika itu Gin Sim yang hadir bersama, maju ke depan.
Dengan berani dia turut bicara. Katanya: “Nona akan pergi
ke Hang-ciu, ia membutuhkan pelayan untuk disuruhsuruh.
Maka dari itu, hambamu ini suka ikut serta.
Hamba juga akan menyamar sebagai laki-laki.”
Sang majikan mengamati abdinya, ia bersikap kaku.
Tetapi segera dia berkata: “Baiklah, kau boleh turut serta.
Tapi kau harus berhati-hati melayani Nonamu!”
“Tentu, Tuan Besar, tentu!” sahut si abdi cepat. Lalu ia
mengundurkan diri.
“Syarat yang kedua, Pa?” tanya Eng Tay dengan sabar.
“Sekarang ini sering sakit,” kata sang ayah, “maka dari
itu dengan kepergianmu yang akan mengambil waktu lama
ini, andaikata jatuh sakit dan Papa mengirim surat
padamu, kau harus segera pulang!”
“Ya, itu benar,” ujar Teng-si ikut bicara. “Kau tahu,
kepergianmu membuat Mama selalu memikirkan kau.
Mama memang ingin kau lekas pulang!”
Eng Tay mengangguk.
“Itu pasti, Ma” katanya. Terus ia menoleh pada ayahnya:
“Yang ketiga, Pa?” desaknya. “Ini agak sulit,” katanya.
“Sebutkan saja, Pa!” tantang putrinya. “Jangankan baru
agak sulit, asal aku diizinkan berangkat ke Hang-ciu,
walau harus menyerbu api, aku tak akan menolaknya!”
[]Ciok Kong Wan mengangguk.
“Baik!” katanya cepat. “Kau boleh pergi ke Hang-ciu,
namun kau harus ingat, dengan berada di sana kau jadi
terpisah jauh dengan Papa dan Mamamu. Kami tak
menjagamu, maka kau haruslah menjaga dirimu sendiri
baik-baik! Kau berdua saja dengan abdimu, kalian harus
saling membantu! Nanti, bila kau sudah pulang, akan ku
panggil bidan untuk memeriksamu. Aku harap bidan akan
menyatakan bahwa kau masih perawan. Itulah yang akan
membuat wajah kita bercahaya!”
Eng Tay menatap ayahnya itu.
“Kalau sebaliknya, bagaimanakah, Pa?” tanyanya.
“Apabila demikian, tak usah kau tanyakan lagi, kau harus
putuskan sendiri!” jawab sang ayah.
Gadis itu tersenyum.
“Ku kira ada kesulitan apa, Pa?” katanya. “Itu adalah
urusanku sendiri, tak usah Papa pikirkan, tak usah Papa
berpesan lagi. Nah, Pa, ketiga syarat Papa akan aku
penuhi!”
Teng-si lega hatinya. Semula dia sangat khawatir karena
belum mengetahui apa ketiga syarat suaminya itu. Sekian
lama ia mengerutkan dahi, namun tak berani dia turut
bicara. Sekarang semuanya beres!
“Nah, kau baru putri Papa yang baik!” katanya pada
putrinya itu seraya memegang tangan Eng Tay. “Sekarang,
Nak, kapan kau hendak berangkat?”
“Tanggal keberangkatannya, terserah Papa,” jawab
putrinya.
“Karena Papa telah meluluskan kau pergi,” kata Kong
Wan, “kau boleh berangkat dua hari lagi, esok kau boleh
ganti pakaian, lusa kau sudah bisa berangkat. Segala
pakaian dan lainnya, esok boleh perintahkan Ong Sun
berangkat lebih dulu, jadi lusa kau bisa berangkat dengan
leluasa. Akan Papa sediakan seekor kuda. Gin Sim akan
membawa bungkusan barang-barang keperluan seharihari.”
“Terima kasih, Pa,” kata Eng Tay. “Terima kasih, Papa
sangat memperhatikan segala keperluanku. Baiklah, lusa
aku berangkat!”
Sehabis berkata, Eng Tay mengajak Gin Sim kembali ke
kamarnya untuk menyiapkan segala sesuatu.
Maka, dua hari kemudian, majikan dan abdinya itu
sudah bisa memulai perjalanannya. Hari itu pun langit
terang-benderang. Satu hari lebih awal, Ong Sun telah
berangkat. Gadis itu memohon doa restu selamat jalan
kepada ayah-ibunya, demikian juga sang abdi kepada
majikannya itu.
Berbeda dari hari-hari biasanya, kali ini Eng Tay
tampak seperti seorang pemuda pelajar yang tampan.
Bajunya biru, sepatunya hitam. Ia tidak memakai bedak,
wajahnya terlihat putih bersih. Gin Sim juga menjadi
seorang pemuda. Ia memakai kopiah hijau dan baju ketat
berwarna hijau juga, hingga mirip sekali pelayan anak
sekolah.
Di saat hendak berangkat, Eng Tay memberi hormat
pada ayah-bundanya. Dan kedua orangtuanya itu
menyampaikan pesan-pesan mereka. Sang ayah dan ibu
hendak mengantar anak gadisnya, tetapi putrinya itu
menolak.
Eng Tay menunggang seekor kuda berbulu merahcoklat.
Kong Wan dan Teng-si mengawasi putrinya sampai ia
dan Gin Sim lenyap dari pandangan.
Di tengah perjalanan Eng Tay menanyakan abdinya,
“Kau kuat menggendong bungkusan itu atau tidak?”
“Kuat, Non,” jawab si abdi. “Saya kuat mengangkat
barang seberat empat puluh kati 11 sedangkan bobot
bungkusan ini tak ada separuhnya!”
Eng Tay tertawa.
“Kita berjalan santai saja,” katanya. “Sekarang musim
ketiga, bunga-bunga sedang mekar dengan indahnya. Ya,
kita berjalan seperti sedang pesiar saja. Bagaimana, kau
setuju?”
11 1 kati sama dengan 6,25 ons.
“Tentu, Non,” sahut sang abdi, sang kacung sekarang.
“Kita bisa berjalan perlahan-lahan, atau istirahat di bawah
pohon yang rindang....”
“Kau benar,” kata gadis itu.
Demikianlah, nona dan hambanya itu berjalan
perlahan-lahan, namun sampai tengah hari mereka telah
melalui kira-kira dua puluh U.
“Ini adalah hari pertama kita. Kita jangan berjalan
sampai terlalu letih,” kata Eng Tay. “Di depan, kalau ada
rumah penginapan, sebaiknya kita singgah dulu.”
Gin Sim setuju, maka hari itu, sang malam dilewati di
tempat penginapan. Keesokan paginya, mereka berangkat
lagi, masih saja dengan santai sehingga mereka tak merasa
lelah.
Pada suatu lohor, tiba-tiba saja majikan dan hambanya
itu menjadi repot. Cuaca sekonyong-konyong berubah,
langit mendadak mendung!
“Ah!” seru Gin Sim. “Hujan akan turun, kita perlu
segera mendapatkan rumah penginapan!”
Di atas kudanya, Eng Tay melihat ke sekeliling.
Mendung di mana-mana.
“Benar, hujan akan segera turun!” katanya. “Di mana
ada pondokan? Atau kita mampir saja di rumah
penduduk?”
Gin Sim pun menoleh ke sekitarnya.
“Ya, kita cari rumah penduduk saja....” katanya.
Gadis itu mengangguk.
Di arah selatan tampak sebuah tempat perhentian.
Segera ia menggebah kudanya untuk berlari ke sana. Gin
Sim lari mengikuti. Di tepi jalan mereka melihat sebuah
teng. 12
Ke tempat perhentian itu, mereka menuju. Di sisi teng
itu ada beberapa pohon yang-liu yang besar. Ada pula satu
bukit kecil dengan sebuah susukan, atau kali kecil. Di
pinggirnya, tumbuh rumput-rumput hijau.
12 Teng: paviliun terbuka, dibuat menyerupai gubuk.
“Indah sekali pemandangan alam di sini,” kata Gin Sim
yang juga mengamati sekitarnya. “Sungguh menarik kalau
dibuatkan syair.”
“Kau benar,” kata Eng Tay kepada abdinya itu. “Coba
kau dengar.”
Dan gadis itu langsung mengalunkan suaranya yang
halus dan merdu:
“Angin besar berhembus dari arah selatan,
Menggoyang-goyang pohon murbei di persawahan,
Perjalanan jauh melelahkan si pelancong,
Hingga ingin ia singgah di antara pepohonan.
Eh, tanpa terasa paviliun basah kehujanan....”
“Bagus!” ujar Gin Sim memuji. Tetapi mendadak
tangannya menunjuk ke jalan besar.
“Lihat di sana!” katanya. “Ada seorang penunggang
kuda dengan menggendong buntalannya sedang mendekat.
Ya, dia sedang menuju ke mari. Jelas dia pun ingin
berlindung dari hujan.
4
Pertemuan Pertama
MENDENGAR suara abdinya, Eng Tay berpaling. Benar
saja, seorang anak muda sedang menuju teng itu. Dia
menunggang seekor kuda berbulu dauk, putih-kelabu. Di
belakangnya, berlari-lari seseorang sambil menggendong
buntalan.
“Tuan Muda, di dalam teng sudah ada orang lain!” kata
pengikut itu, yang mendahului maju. Dia melihat Eng Tay
dan Gin Sim.
“Ya,” sahut si anak muda yang dipanggil “Tuan Muda”
itu. Segera si anak muda juga meloncat turun dari
kudanya. Dia mengenakan baju biru, berdandan sebagai
seorang pelajar, hanya saja, bahan pakaiannya kasar,
hingga jelas dapat diterka bahwa dia bukanlah dari
keluarga berada. Namun, dia tampan dan gerak-geriknya
halus.
Ketika memasuki teng, menghadap Eng Tay, dia
memberi hormat seraya berkata dengan tenang: “Maaf,
hujan besar akan segera turun, aku mohon agar dapat ikut
berlindung di sini”
Eng Tay membalas hormatnya.
“Silakan!” katanya. “Benar, akan turun lebat. Kami pun
sedang berlindung di sini.”
Waktu itu, masuklah kacung si anak muda. Dia
mengenakan baju abu-abu. Usianya baru sekitar delapan
belas atau sembilan belas tahun. Dia melangkah masuk
sambil mengusap peluh di wajahnya.
Sementara itu kuda mereka, yang ditambat berdekatan,
berkelahi hingga saling mendupak. Kacung si anak muda
itu segera lari untuk memisahkan. Gin Sim pun cepatcepat
memisahkan kuda nona majikannya.
“Penuntun kuda, kau datang dari mana?” tanya si
kacung kepada Gin Sim.
Yang ditanya menatap, tetapi tidak menjawab.
“Ah, gagu barangkali! “ kata, kacung itu.
“Kau lah yang gagu!” kata Gin Sim kemudian.
Kacung itu mengawasi. Tampak dia heran.
“Kalau tidak gagu, kenapa kau diam saja?” tanyanya.
“Kau tahu, manis budi itu mendatangkan uang!” kata
Gin Sim keras. “Kau menyapa orang, mengapa mendadak
kau panggil orang dengan sebutan penuntun kuda? Aku
merasa tak enak mendengar kata-katamu itu, maka aku
tidak menjawab. Kau tak tahu sopan-santun!”
Mendengar demikian, si kacung tertawa.
“Ah, maaf, aku benar-benar salah,” katanya. “Kak,
terimalah hormat adikmu....,” dan dia pun terus menjura
dalam.
Gin Sim tertawa, dia membalas hormat.
“Dan kau, kau datang dari mana?” ia balas bertanya.
“Dari dusun Nio di Hwe-ke,” sahut si kacung.
“Lain tujuanmu ke mana?”
“Ke Hang-ciu, untuk sekolah.”
“Kau pergi hendak belajar?”
“Bukan aku, tetapi Tuan Mudaku itu.”
“Itukah tuan mudamu?”
“Benar,” sahut si kacung sambil menunjuk ke teng. Di
saat itu, si anak muda itu sedang memperhatikan langit,
mengamati awan.
“Aku juga hendak bertanya kepadamu,” kata si kacung
kemudian. “Kalian datang dari mana?”
“Dari dusun Ciok.”
“Tujuannya?”
“Sama dengan tuanmu, ke Hang-ciu, untuk
meneruskan pelajaran.”
“Jadi kau lah yang hendak sekolah?” “Bukan, tetapi
Tuan Mudaku
“Bagus sekali!” seru si kacung. “Sekarang aku numpang
tanya, siapa nama Kakak?”
“Namaku Gin Sim. Gin, perak, Sim, hati. Kau sendiri?”
“Aku? Namaku Su Kiu. Su, empat, Kin, sembilan, sebab
aku dilahirkan ketika ayahku berusia empat puluh
sembilan tahun....”
“Cukup sudah kita bicara,” kata Gin Sim. “Mari kita
mendatangi majikan kita.”
“Ya,” kata Su Kiu. Maka mereka bersama-sama
memasuki teng.
“Kalian bicara apa saja?” tanya si pemuda marga Nio
pada kacungnya.
“Apakah Tuan Muda tidak mendengar pembicaraan
kami?”
“Dengar tetapi tidak jelas.”
“Tuan Muda itu juga sama seperti Tuan Muda, hendak
sekolah di Hang-ciu.”
“Kalau demikian, kebetulan sekali,” kata si majikan.
“Nanti ku temui dia.”
Dan segera dia menghampiri Eng Tay. Ia memberi
hormat sambil terus berkata: “Kak, tadi Su Kiu memberi
tahu aku bahwa Anda juga hendak sekolah di Hang-ciu,
benarkah?”
“Benar,” sahut. Eng Tay sambil memberi hormat. “Dan
Kakak sendiri?”
“Juga mau sekolah di Hang-ciu. Kakak sebenarnya dari
mana?”
“Aku dari dusun Ciok. Anda dari mana?” “Dari dusun
Nio di Hwe-ke.”
“Sungguh kebetulan!” kata Eng Tay. “Inilah yang
dikatakan: senikmat-nikinatnya air dari dusun!”
“Ya,” ujar si anak muda menimpali, “seerat-eratnya
sesama orang desa!”
Maka tertawalah keduanya.
“Di sana ada kursi batu, mari kita duduk,” ajak Eng
Tay.
“Mari!” kata si pemuda bermarga Nio itu.
Mereka menghampiri kursi batu itu. Sekali lagi mereka
saling memberi hormat, baru mereka sama-sama duduk,
berhadapan.
“Kakak siapa?” tanya Eng Tay kemudian.
“Aku Nio San Pek,” sahut orang yang ditanya. “San,
gunung dan Pek, paman-tua. Kakak sendiri?”
“Aku Ciok Eng Tay. Ciok dari ciok-hok, beruntung, Eng
dari eng-hiong, pendekar, dan Tay dari law-tay, rumah
susun. Kakak mau pergi ke Hang-ciu, guru manakah yang
kakak cari?”
“Aku hendak menemui pak guru tua Ciu Su Ciang di Ni
San. Kakak sendiri?”
“Kebetulan, kita sama-sama mencari guru yang sama!
Kata orang, guru Ciu mempunyai murid-murid dari tempat
lain.”
“Begitulah kata orang,” kata San Pek.
Ketika itu tampak awan tebal bergerak, lalu berkelebat
sinar kilat. Segera guntur menggelegar nyaring bertalutalu,
diselang-selingi kilat. Dan akhirnya, turunlah sang
hujan, lebat sekali.
Gin Sim dan Su Kiu, yang berdiri di luar teng, segera
berlari ke pinggir, berdiri di sisi teng.
“Su Kiu, hujan begini besar, kau takut atau tidak?”
tanya San Pek pada kacungnya.
“Hujan bagiku, tidak ku takuti, namun tadi baru saja,
yang menggelegar memekakkan telinga, aku agak....”
“Takut, ya?” sambung majikannya. “Itu wajar. Tetapi
kita ya kita, guntur ya guntur, tak ada sangkut-pautnya.”
“Anda benar,” kata Eng Tay. “Siapa pun, pada saatnya,
merasa takut. Namun kita, karena hujan turun dengan
lebat, kita jadi harus tinggal lebih lama di sini. Kak, di kota
Hang-ciu, apakah Anda mempunyai sanak-saudara?”
“Tidak ada. Bagaimana dengan Kakak sendiri?”
“Aku juga tidak punya kerabat di sana.”
“Jadi, kita berdua sama saja,” kata San Pek lagi. “Eh,
ya, apakah Anda mempunyai saudara?”
“Aku hanya sendiri. Tapi, Anda, Kakak Nio?”
“Kalau demikian, kembali kita sama saja. Aku sebatang
kara. Ya, sang hujan membuat kita bertemu satu sama
lain. Kita bagaikan berjodoh....” Setelah berkata demikian,
San Pek menghela napas.
“Ya, memang kebetulan sekali! “ kata Eng Tay.
San Pek menoleh pula ke luar, hujan mulai reda. “Kalau
tidak keliru, sebentar lagi kita sudah bisa berangkat,”
katanya. Terus ia bangkit, berjalan ke luar dengan langkah
perlahan.
Kedua kuda mereka berteduh di bawah atap di samping
teng.
“Lihat,” kata San Pek tertawa. “Sekalipun kuda, dia
takut hujan! Dasar binatang dia pun punya perasaan!” Eng
Tay berdiam diri.
“Lihat,” kata San Pek pula, “hujan semakin reda. Di
barat-daya, langit sudah terang, gedangkan mega mulai
bergeser ke tenggara. Sebentar lagi langit jernih dan kita
bisa melanjutkan perjalanan!” Sambil berkata begitu,
pemuda ini menunjuk ke arah awan.
Eng Tay bangkit dari duduknya, ia memandang ke arah
yang ditunjuk si pemuda. Hujan memang sudah berhenti
dan langit sudah terang. Matahari mulai muncul. Daun
pepohonan tampak hijau segar. Bunga-bunga pun
kelihatan cantik, terlebih-lebih kembang sepatu. “Sungguh
suatu pemandangan yang indah!” gadis itu memuji. “Hujan
ini membangkitkan kesegaran!”
Mendengar perkataan gadis itu, Gin Sim dan Su Kiu
turut memandang ke luar. “Benar-benar indah!” kata Su
Kiu. “Sayang sekali aku tak dapat menguraikannya. Eh,
ya, Tuan Muda,” lanjutnya pada majikannya, “kenapa
Tuan Muda tidak mau bersyair? Kebetulan di sini ada
Tuan Muda Ciok, kalau Tuan Muda membuat satu bait,
Tuan Muda Ciok dapat menanggapinya....”
San Pek tertawa. “Tak kusangka kau gemar syair!”
katanya. “Di sini ada Tuan Muda Ciok, jika aku bersyair,
pasti akan jadi bahan tertawaan!”
“Kakak Nio, jangan bergurau!” kata Eng Tay. “Aku
justru ingin sekali belajar dari Anda. Kakak Nio, silakan
bersyair untuk membuka kepicikanku.”
“Ah, tak usahlah kita bersyair,” kata San Pek menolak
“Kalau Anda tidak berkeberatan, sebaiknya kita bicara
tentang Co Cu Kian.”
“Co Cu Kian si Co Pi, putera yang pandai dari Co Coh
semasa Dinasti Han?”
“Benar, Kakak Ciok. Co Cu Kian memang pandai sekali.
Anda lihat di hadapan kita, bukankah itu ‘Jauh
memandang ribuan li, seluruhnya hanya tampak tanah
datar’?”
Inilah salah.satu syair si Co Pi itu.
Eng Tay tertarik, tanpa terasa, ia menimpali. Maka
berdua, muda-mudi itu bagaikan tenggelam dalam syair.
“Kakak Ciok, Anda benar-benar.pandai!” ujar San Pek
akhirnya memuji.
“Kakak hanya menyanjung!” kata Eng Tay tertawa.
Kemudian ia menambahkan. “Kita sekarang hendak
sekolah, aku merasakan suatu kebimbangan....”
“Apakah itu, Kakak Ciok?” tanya San pek, ia tak
mengerti.
“Tentang guru Ciu di Hang-ciu. Aku tak mengerti
mengapa dia tidak menerima murid perempuan? Ya,
bahkan di seluruh negeri kita sekarang ini tidak ada
sekolah khusus wanita! Bukankah itu tidak adil?”
“Kakak benar, namun itulah masalah umum. Hal itu
bukan soal sehari semalam.”
“Tetapi, di zaman dinasti Han Timur, bukankah sudah
ada guru yang menerima murid wanita?” kata Eng Tay.
“Ingat saja pada Pan Ciao, ia sangat terpelajar hingga ia
mencoba mengarang kitab sejarah Kerajaan Han. Juga
Boen Kie, putri Coa Yong, yang terdampar ke tangan suku
Hiong-now. Tetapi syukur dia dapat ditolong oleh Co Coh
yang menebusnya dengan uang emas dalam jumlah besar.
Bahkan dia memahami juga ilmu musik. Hanya sayang,
mereka itu tak tercatat luas dalam sejarah....” 13
13 Pan Ciao (Pan Chao) alias Hui Chi, adik dari Pan Ku. Pan Ku menulis buku
sejarah Kerajaan Han. Sayang sekali, sebelum selesai, ia telah tiada. Tetapi karyanya
itu diteruskan oleh Pan Ciao, adik perempuannya. Sedangkan, Coa Yong (Tsai Yung)
alias Pei Chiai, juga orang zaman dinasti Han Timur, berkat kepandaiannya, pernah
San Pek tertawa. “Kakak Ciok, bicaramu beralasan
sekali,” katanya. “Ku pikir, kalau nanti Kakak sudah lulus,
Kakak dapat membangun sekolah yang menerima muridmurid
wanita....”
Sehabis berkata, pemuda bermarga Nio itu segera
mengalunkan syair Coa Yong — syair ‘Memberi minum
kuda di kobakan jalanan Tembok Besar’. Begini bunyi syair
yang dialunkan itu:
Hijau-hijau rumput di tepian sungai,
Tak hentinya memikirkan perjalanan nan jauh,
Jalanan nan jauh tak bertepi,
Tempat penginapan terlihat dalam mimpi....”
Eng Tay pun tertawa.
“Kakak Nio,” katanya, “Hebat, Anda dapat menyanyikan
syair Coa Long-tiong. Anda hapal sekali!”
“Itu karena tadi aku tertarik oleh syair Anda,” kata San
Pek.
Di saat itu, hujan telah benar-benar berhenti.
Pepohonan tampak luar biasa segar. Hawa hujan, bagaikan
halimun menaungi teng. Berkat pengaruh daun
pepohonan, pakaian orang bagaikan berwarna hijau pula.
Dengan berhentinya curahan air dari langit, mentari
pun mulai muncul untuk menerangi jagat, untuk
memudahkan orang yang sedang melakukan perjalanan.
Sawah ladang pun tampak hijau semua....
Diam-diam San Pek mengagumi Eng Tay, sahabat baru
yang ia anggap tampan, terpelajar dan pandai bersyair itu.
Lalu ia berkata:
“Sekarang langit cerah sekali, marilah kita lanjutkan
perjalanan kita. Kakak Ciok, selama dalam perjalanan kita
ini, aku sangat mengandalkan bantuan Anda. Di Hang-ciu
nanti, harap saja Anda belajar dengan sungguh-sungguh
menjabat sebagai sekretaris suatu kementrian. Sayang sekali, karena ulah “Durna,”
dia dihukum buang, namun setelah bebas dan kembali, oleh Tung Cho (Tang Toh) ia
diberi pangkat bahkan gelar kebangsawanan.
guna mencapai cita-cita Anda. Ya, bantuan Anda sangat ku
butuhkan! Kak, pertemuan kita di tengah jalan ini
sungguh luar biasa, bukan kebetulan belaka....”
“Kakak Nio, Anda benar,” kata Eng Tay. “namun Anda
terlalu memuji. Sebenarnya, aku tidak berbuat apa-apa....”
Nio San Pek diam sejenak, agaknya dia sedang berpikir.
“Kak, ada sesuatu yang tak dapat tidak, saya mesti
mengatakannya,” katanya kemudian.
Eng Tay agak heran, ia menatap.
“Apakah itu, Kak?” tanyanya. “Kita baru bertemu tetapi
kita sudah bagaikan sahabat lama, kalau ada yang ingin
Kakak katakan, silahkan katakan.”
“Rumah sekolah di Ni San itu, pasti banyak muridnya,”
kata San Pek, “karenanya tak heran bila banyak orang
banyak pikirannya, beda pendapatnya pula. Tidak
demikian dengan kita berdua, kita sama dalam segala hal,
maka esok lusa, jika Kakak hendak mengatakan sesuatu,
katakan saja. Aku senang menerimanya. Ya, kuharap bisa
menerima lebih banyak petunjuk dari Kakak.”
Mendengar demikian, Eng Tay tersenyum. Ia
mengangguk.
“Bagus, Kakak Nio!” katanya. “Bagus, pikiran Anda
sama dengan pikiranku. “Baiklah, kelak kita tidak boleh
sungkan. Harap Kakak pun sudi mengajariku.”
Sementara itu, Su Kiu yang berada di luar berkata pada
Gin Sim: “Kak Gin Sim, kau dengar atau tidak? Majikan
kita telah sama-sama memperoleh kecocokan, maka dari
itu juga, kita harus bisa bekerja sama! Bagaimana kalau
kita pun minta pak guru nanti mengajari kita...?”
Gin Sim menoleh pada Eng Tay, agaknya ia ingin bicara,
tetapi gagal.
“Kata-kata Su Kiu itu benar,” kata San Pek, mendahului
Eng Tay.
“Ya, benar,” kata Eng Tay. “Belajar ilmu budaya adalah
baik sekali. Tentang hal ini sebaiknya kita bicarakan nanti
saja....”
Gin Sim tidak berkata apa-apa, ia hanya repot
mengurus buntalannya.
San Pek melihat buntalan Eng Tay kecil, ia heran.
“Kakak membawa sedikit persediaan, apakah nanti di
Hang-ciu Kakak hendak belanja juga?” tanyanya.
Eng Tay tertawa.
“Sebenarnya ketika berangkat ke sini, aku membawa
dua orang pembantu,” ujarnya menerangkan. “Yang
seorang, Ong Sun, sudah berangkat lebih dulu. Kalau
tidak keliru, dia mungkin sudah sampai di Hang-ciu. Apa
yang Gin Sim bawa sekarang, hanya keperluan di tengah
jalan.”
“Sekarang aku baru mengerti,” sahut Su Kiu turut
bicara. “Tadinya aku heran dan hendak minta keterangan
Kakak Gin Sim, kenapa dia membawa barang sedikit saja.
Oh, kiranya barang-barang Tuan Muda Ciok sudah dibawa
lebih dulu....”
“Kakak Ciok,” kata San Pek, “jika kau merasa dingin,
sebaiknya pakai saja bajuku.”
“Terima kasih!” kata Eng Tay. “Telah kusediakan
bajuku.”
Ketika itu langit sudah jernih sekali, San Pek lantas
berkata pula pada sahabat barunya: “Kak, mari kita
berangkat. Dalam perjalanan kita dapat mengobrol lagi.”
Eng Tay menoleh ke sekitarnya.
“Anda benar, Kakak Nio,” katanya. “Namun, di belakang
hari, tak dapat ku lupakan teng ini. Pemandangan alam di
sekeliling ini indah sekali, segalanya tampak bagaikan
baru....”
San Pek tertawa.
“Kakak Ciok, Anda benar sekali” ujarnya memuji. Eng
Tay pun tertawa, ia berkata: “Aku mengatakan apa
adanya.”
San Pek tertawa pula.
Sementara itu Gin Sim dan Su Kiu telah siap dengan
kuda mereka. Mereka menanti di jalan besar, San Pek dan
Eng Tay menghampiri mereka. Setelah saling mengalah,
San Pek menaiki kudanya terlebih dulu, barulah Eng Tay
menyusul. Kemudian, Su Kiu, dan Gin Sim menguntit
dengan masing-masing gendongannya.
Mereka berjalan di jalan besar, akan tetapi di kiri dan
kanan mereka, masih sempat mereka saksikan sawah
ladang dengan kelokannya, yang semuanya memberikan
pemandangan yang melapangkan hati.
Mereka melihat dan mendengar burung-burung sawah
yang berterbangan. San Pek memuji, saking riang hatinya.
Perjalanan itu pun tidaklah terasa sunyi.
5
Menjadi Saudara
SETELAH perjalanan tiga hari lamanya, tibalah San Pek
dan Eng Tay serta para abdi mereka di kota Hang-ciu, kota
tujuan mereka. Hati mereka pun lega.
Kata Eng Tay kepada San Pek. “Seperti telah ku
katakan, orangku, Ong Sun, sudah berangkat terlebih
dulu, maka sekarang aku hendak mencarinya. Ku pikir,
sesudah kita tukar pakaian, kita dapat bersama-sama
mengunjungi guru Ciu. Bagaimana menurut Kakak?”
“Terserah Anda, aku menurut saja,” sahut San Pek.
Tidak sulit bagi Eng Tay mencari Ong Sun di tempat
penginapannya. Sekalian saja, ia juga memakai
penginapan itu. San Pek pun menginap di tempat yang
sama.
Sisa hari itu, sampai malamnya, dilewati dengan
beristirahat. Keesokan paginya, setelah sarapan dan
berdandan, San Pek dan Eng Tay berangkat ke Ni San,
mencari rumah perguruan pak guru tua Ciu Su Ciang.
Mudah saja menemui sekolah yang dicari itu, temboknya
yang putih sudah terlihat dari jauh.
Di dalam pekarangan tampak banyak rumpun bambu,
sampai di dekat pintu.
Persis ketika kedua anak muda itu sampai di depan
pintu, dari dalam muncul seorang pria, yang segera
menanyakan siapa gerangan yang mereka cari.
“Aku Nio San Pek dan ini sahabatku, Ciok Eng Tay,”
ujar San Pek memperkenalkan diri. “Kami sengaja datang
ke Hang-ciu guna menemui pak guru Ciu, untuk sekolah.
Dapatkah Anda memberitahukan kedatangan kami ini?”
“Aku adalah penjaga pintu di sini,” orang itu
memperkenalkan diri. “Sudah lama pak guru Ciu
membuka rumah perguruannya ini, muridnya seratus
orang lebih, banyak yang datang dari lain tempat.
Majikanku orang yang baik budi, dia biasa tidak menampik
kunjungan para tamu. Sekarang silakan Tuan berdua
menanti di sini, akan aku beritahu dulu.”
San Pek dan Eng Tay menunggu. Penjaga itu pergi
sebentar, kemudian muncul lagi untuk mengundang kedua
tamu ini masuk. Di ruang tengah terdapat sebuah meja
panjang yang di atasnya dipenuhi berbagai kitab gulung,
yang biasa disebut chuan. Sebuah rak buku pun terdapat
di situ.
Tuan rumah terlihat memakai kopiah serta baju biru,
janggut putihnya terbelah tiga, panjangnya tiga atau empat
inci. Ia sedang berdiri, memandang ke luar hingga abdinya
bersama dua orang tamunya, tiba di hadapannya.
“Inilah Bapak Guru kami,” kata si penjaga kepada
kedua tamunya, memperkenalkan majikannya. Setelah itu
ia cepat mengundurkan diri.
Segera juga San Pek dan Eng Tay menjura, memberi
hormat pada tuan rumahnya. Mereka pun lantas
memperkenalkan diri.
Tuan rumah membalas hormat. Setelah perkenalan itu,
ia berkata dengan ramah: “Dua Saudara, silakan duduk!
Mari kita bicara perlahan-lahan.” Ia menunjuk pada kursi,
setelah itu ia pun mengambil tempat duduk, menghadap
kedua tamunya itu.
San Pek dan Eng Tay mengucapkan terima kasih, lalu
mereka mengambil tempat duduk.
“Bapak Guru, kami berdua datang ke mari karena kami
telah mendengar nama besar Anda,” kata San Pek
kemudian. “Sebenarnya sudah sejak lama kami berniat
berkunjung, tetapi baru hari ini kami tiba di sini. Kami
datang untuk memohon agar Anda sudi menerima kami
sebagai murid. Saudara Eng Tay ini, aku berjumpa
dengannya di tengah jalan, ternyata maksud kami sama
sehingga kami lantas berjalan bersama-sama. Bapak Guru,
demikianlah maksud kunjungan kami ini.”
Ciu Su Ciang mengangguk sambil mengelus janggutnya.
Dengan sorot matanya yang tajam, ia mendapat kenyataan,
Eng Tay berbeda sedikit dari San Pek. Mereka sama-sama
muda dan tampan, tetapi yang bermarga Ciok agaknya
lebih manis.
“Saudara Ciok, jadi kau pun datang dengan maksud
yang sama dengan Saudara Nio ini?” tanyanya pada tamu
yang tampan-manis itu.
Eng Tay mengangguk, ia membenarkan.
“Apakah Saudara sekalian membawa sesuatu naskah?”
tanya Su Ciang kemudian.
San Pek dan Eng Tay merogoh saku masing-masing,
lalu mengeluarkan naskah tulisan yang telah mereka
persiapkan sejak di rumah. Mereka menyerahkannya.
Ciu Su Ciang menerima, terus ia membuka naskahnaskah
itu bergantian untuk dibaca. Cepat sekali ia
membacanya.
“Baiklah!” katanya kemudian, “ku terima kalian menjadi
murid-muridku. Muridku seluruhnya ada seratus delapan
orang dan kuliah diselenggarakan setiap hari kedua,
keempat dan keenam. Ruang kuliahnya ada di belakang
sana, di sana pula letaknya asrama. Hari-hari lainnya
dipakai oleh para murid untuk belajar sendiri atau
menanyakan segala sesuatu, dan aku akan senantiasa siap
membantu kalian semua. Akan ku jawab segala sesuatu
sejauh yang ku ketahui. Kalau ada naskah, boleh ditinggal
di sini diperiksa untuk nanti.”
Kedua anak muda itu girang bukan-kepalang.
“Terima kasih, Pak Guru!” kata mereka, yang lalu
mohon agar gurunya duduk karena mereka akan
menunaikan penghormatan pertanda mereka telah
diterima sebagai murid. Mereka menjura sebanyak empat
kali.
“Karena kalian berdua sudah menjadi sahabat karib,”
kata guru Ciu kemudian, “sebaiknya kalian mengambil dua
kamar di belakang sana, yang satu untuk kamar tidur,
yang lainnya untuk kamar belajar dan beristirahat.”
“Terima kasih, Pak Guru!” kata San Pek. “Kami masing
masing sebenarnya masih mempunyai seorang pengikut,
mereka juga membutuhkan tempat....”
“Kalau begitu, mereka boleh menempati dua kamar
yang kecil di samping,” kata sang guru lagi. “Kedua kamar
itu berhadapan dengan kamar kalian. Dengan dekatnya
mereka, mudah bagi kalian nanti menyuruh mereka.”
Kembali San Pek dan Eng Tay mengucapkan terima
kasih. Karena pembicaraan sudah selesai, keduanya lalu
mohon diri untuk kembali ke tempat penginapan mereka.
Esok harinya mereka sudah bisa mulai pindah.
Kedua ruang kamar yang disediakan sudah dibersihkan
oleh pembantu Ciu Su Ciang sehingga para penghuni baru
itu bisa datang, masuk dan mengatur hal yang lain tanpa
perlu susah-payah.
Di halaman depan kamar mereka, di bagian selatannya,
terdapat dua pohon kamper yang besar sehingga kamar
menjadi teduh. Di bagian belakang ada pintu serta jendela
yang menghadap ke sebuah halaman-dalam yang kecil dan
ditanami banyak sekali pohon bambu halus. Bahkan ada
dua pohon yang-liu besar. Pekarangan itu dikelilingi
dengan tembok putih. Dari luar tembok sering terdengar
derap langkah kaki kuda, rupanya di sebelah luar itu
adalah jalan umum.
Di dalam kamar telah tersedia ranjang dan meja. “Kak,
kamar yang belakang itu baik sekali,” kata Eng Tay.
“Kalau begitu, sebaiknya Kakak saja yang menempati,”
kata San Pek, yang berdiri di belakang Eng Tay — ya,
seorang pemuda ganteng di mata orang bermarga Nio ini.
“Kelihatannya Pak Guru sangat memperhatikan kita,
beliau melihat kita saling akrab sehingga kita diberi kamar
ini.”
Eng Tay mengangguk, lantas ia melangkah ke kamar
yang belakang itu. Tetapi tiba-tiba dia berseru perlahan:
“Ah...!”
San Pek heran. Ia menghampiri kawannya itu. “Kak, ada
apa?” tanyanya. “Anda agaknya kaget....” “Kakak Nio,
apakah Anda tidak merasakan sesuatu?” dia balik
bertanya. “Apa itu, Kak?”
“Ruang belakang ini tidak punya pintu tembus ke
luar...,” ujar Eng Tay menjelaskan. Nio San Pek tertawa
lebar.
“Tidak aku tidak merasakan hal itu aneh,” sahutnya.
“Ini wajar-wajar saja. Menambah pintu di belakang berarti
tambah berabe....”
Eng Tay diam, agaknya ia sukar bicara lebih jauh.
Tetapi toh akhirnya ia berkata juga. Katanya: “Memang
benar kita harus lebih berhati-hati sedikit, namun, ada
pintu penghubung lebih baik, bukan?”
“Kalau Kakak menganggap demikian, baiklah,” kata San
Pek akhirnya.
Eng Tay membungkam, akalnya bekerja. Ia seorang
wanita, ini harus ia ingat baik-baik. Ia harus menyimpan
baik-baik rahasia dirinya itu, tak boleh ia menimbulkan
kecurigaan orang. Maka akhirnya ia tertawa, lalu berkata:
“Tidak apa-apa, Kak, aku sekedar berpikir saja. Ya, Kakak
benar.”
San Pek tidak tahu apa yang dipikirkan kawannya itu,
ia hanya tertawa. Lantas ia menyuruh Su Kiu dan Gin Sim
merapikan kamarnya itu. Ia pun menanyakan tentang
kamar kacungnya.
“Itu, di sebelah kiri,” jawab Su Kiu.
“Gin Sim, apakah ada yang kurang tepat?” tanya Eng
Tay pada abdinya.
“Tidak, tidak ada,” sahut si abdi. “Hanya tembok di sini
banyak lubangnya, andaikata Su Kiu mengintai, rasanya
kurang enak....”
“Ah, kalau tembok banyak lubangnya, apakah kau
takut ku intai?” tanya Su Kiu. “Kalau demikian, apa yang
hendak ku lihat? Sudah ada pintu, tak cukupkah itu?”
Eng Tay turut bicara. Katanya: “Su Kiu, kau tak kenal
Gin Sim. Sejak kecil, dia punya penyakit. Dia takut diintip
orang....”
“Kalau begitu, baiklah, aku tak akan mengintip....!” kata
Su Kiu.
Hingga di situ, kedua kacung itu segera bekerja,
merapikan ini dan itu. Belum sampai tengah hari mereka
sudah selesai. Melihat hal itu, kedua tuan mereka merasa
puas.
“Ah, aku teringat sesuatu,” kata San Pek suatu sore.
Ketika itu, Eng Tay sedang memasang lilin, yang
ditancapkannya di tempat lilin. Setelah itu, dia duduk.
Tapi dia toh bertanya: “Apa itu, Kakak Nio?”
“Tentang lilin,” sahut San Pek. “Kamar kita dua, kita
memasang lilin setiap kamar satu, itu kurang hemat.
Selanjutnya, kecuali ada urusan penting, kita pasang lilin
di satu kamar saja. Di waktu belajar, kita belajar bersamasama,
Anda setuju?”
“Setuju!” sahut Eng Tay yang tidak mau menolak. “Ya,
di mana saja, kita harus berhemat.”
Segera juga Eng Tay memindahkan lilin ke meja San
Pek. Setelah meniup padam lilin si kawan, mereka berdua
duduk berhadapan. Ya, mereka belajar bersama-sama
dengan tekun.
Demikianlah seterusnya, mereka berdua selalu belajar
bersama. Di saat santai, mereka makan angin di luar,
bersama lebih seratus murid lainnya. Ataupun mereka ke
luar, melintas ke jalan besar. Dan, seperti umumnya para
mahasiswa, mereka juga suka berkumpul guna saling
bertanya atau membahas sesuatu masalah. Atau juga soal
cara hidup masing-masing penduduk, bahkan soal-soal
kewanitaan. Hanya mengenai masalah wanita, Eng Tay
lebih banyak melayaninya dengan senyum atau tertawa
saja, atau membungkam....
Adalah kebiasaan San Pek, setiap lohor mengajak Eng
Tay ke luar berjalan-jalan.
Pada suatu tengah hari, turun hujan rintik-rintik.
Gerimis.
“Hari ini kita tak bisa ke luar, Kakak Nio, “kata Eng Tay,
“pikiranmu ruwet, tidak?”
“Ya,” jawab San Pek, yang menghampiri jendela hendak
memandang ke luar. “Di saat begini, aku sering teringat
pertemuan kita yang pertama kali di persinggahan.”
Eng Tay mengangguk, ia juga memandang ke luar.
Agaknya ia memikirkan sesuatu.
Kata San Pek lagi: “Beberapa teman sekolah
mengatakan kita berdua bagaikan saudara, ku pikir
mereka itu benar. Kita juga sama-sama anak tunggal, dan
kita sekolah dengan satu tujuan, bahkan keadaan kita
berdua di sini, sama segalanya. Bukankah ini pertanda
berjodoh? Namun, aku tak berani mengatakannya.”
“Ya, kita memang sama segalanya,” kata Eng Tay.
“Kakak Nio, bila kau hendak mengatakan sesuatu,
katakanlah!”
“Kupikir, Kakak Ciok, bagaimana kalau kita berdua
menjadi saudara angkat?” tanya San Pek akhirnya.
“Dengan demikian, hubungan kita menjadi tambah erat,
kita dapat saling membantu secara sungguh-sungguh...
Bagaimana menurut Kakak?”
Eng Tay sedang menatap ke luar, pada serumpun pohon
bambu. Ia mengangguk.
“Kakak benar,” sahutnya. “Aku setuju sekali. Berapa
usia Kakak sekarang?”
“Delapan belas tahun. Katanya kau tujuh belas,
benarkah?”
“Benar!” sahut Eng Tay.
“Dengan demikian, aku lebih tua satu tahun.”
“Jadi, kau lah Kakakku! Bagaimana caranya kita
mengangkat saudara?”
San Pek menunjuk ke luar, ke arah pohon yang-liu.
“Tempat kita ini tepat sekali,” katanya. “Di sana ada
pohon yang-liu, ada juga pohon bambu, semua berdaun
hijau segar. Ini saat yang baik pula!”
Eng Tay mengangguk. Lantas ia memanggil Gin Sim dan
Su Kiu, memerintahkan mereka agar menggeser meja serta
menyediakan lilin dan hio, dupa harum. Maka di lain saat,
keduanya sudah berdiri bersebelahan di depan meja,
lantas berlutut. Mereka menjura dan berlutut tiga kali ke
arah langit, pertanda bersumpah di hadapan Tuhan Yang
Maha Esa. Setelah itu, Eng Tay menghadap San Pek, lalu
memberi hormat sambil menjura.
“Kak, terimalah hormat adikmu!” katanya.
“Terima kasih, Dik!” kata San Pek, yang juga membalas
hormat sang adik. Maka dengan demikian, melalui upacara
yang sangat sederhana itu, jadilah mereka kakak adik.
Keduanya muda, tampan dan terpelajar, bahkan tujuannya
juga sama! Dan bukan main girangnya mereka, wajah
mereka berseri-seri!
“Gin Sim, ke mari!” teriak Eng Tay memanggil abdinya.
“Ayo kau beri hormat pada Tuan Muda Sulung.”
Gin Sim menurut, segera dia menjalankan
penghormatan kepada San Pek.
“Su Kiu, ke sini!” San Pek pun memanggil kacungnya.
“Ayo kau beri hormat pada Tuan Muda Kedua!”
Su Kiu memberi hormat pada Eng Tay.
Kemudian San Pek berpesan kepada kacungnya itu:
“Mulai hari ini kita adalah satu keluarga, maka kau harus
melayani kami berdua seperti biasa kau layani aku. Kerja
makin rajin, ya!”
Su Kiu mengangguk. Tetapi segera dia berkata: “Tuan
Muda berdua telah menjalin persaudaraan, bagaimana
kalau aku dan Gin Sim juga mengikat persaudaraan, agar
kami pun dapat saling membantu dengan lebih erat?”
San Pek dan Eng Tay tersenyum. Kemudian si anak
muda bermarga Nio itu berpaling pada adik angkatnya, ia
tersenyum seakan-akan menanyakan pendapat sang adik.
Kata Eng Tay pada abdinya: “Eh, Gin Sim, kau dengar
ucapan Su Kiu atau tidak? Aku rasa dia benar.”
“Tuan Muda berdua telah mengangkat saudara, aku
rasa kami pun sama saja,” sahut abdi itu. “Eh, Kakak Su
Kiu, berapa usiamu?” ia terus menanyai kawannya.
“Aku lebih tua satu tahun dari Tuan Muda, usiaku
sembilan belas,” jawab Su Kiu.
“Aku sendiri baru tujuh belas tahun.”
“Kalau begitu, aku lah kakakmu.”
“Jika demikian, terimalah hormatku!” kata Gin Sim,
yang terus memberi hormat dan dibalas oleh Su Kiu.
Demikianlah, mereka juga menjadi saudara angkat.
“Masih ada lilin dan hio, ayo kalian menjalankan
upacara!” ujar San Pek menganjurkan.
Kedua kacung itu menurut, mereka benar-benar
bersembahyang, untuk satu kali lagi saling memberi
hormat, sebagaimana tadi dilakukan oleh majikan mereka
berdua.
San Pek berkata pula: “Sebentar, di saat bersantap
malam, kita makan dan minum bersama-sama!”
“Aku tidak suka minum arak, tetapi nanti akan ku
temani juga minum sedikit,” kata Eng Tay.
San Pek benar-benar girang sekali. Ia memberi persen
uang pada Su Kiu dan Gin Sim sehingga kedua kacung itu
pun senang bukan main.
Dan benar saja, malam itu mereka berempat makanminum
bersama-sama.
“Dik, mari minum,” kata San Pek pada Eng Tay. “Aku
hendak memberi selamat padamu!”
“Kakak keliru,” kata Eng Tay. “Aku lah justru yang
harus memberi selamat lebih dulu pada Kakak!”
Demikianlah kakak beradik itu saling mengalah.
“Adikku, lihatlah,” kata San Pek, “di dalam dunia kita
ini, yang tidak ada, pada saatnya bisa menjadi ada. Ini
terbukti dengan kita. Siapa sangka kita, anak semata
wayang, bisa bertemu dan berkumpul di sini sebagai
saudara angkat? Kau punya kakak, aku punya adik! Ini dia
yang dinamakan takdir. Ya, inilah kegembiraan manusia!”
Eng Tay tersenyum, ia membenarkan kata-kata sang
kakak itu. Melihat si kakak gembira, dia pun tanpa terasa
meneguk arak melebihi yang dia katakan sendiri.
“Mari, Dik, keringkan lagi satu cawanl”
“Ah, sudah cukup....”
“Tambah satu cawan, tidak apa, bukan? Paling juga kita
mabuk....”
Ucapan mudah dikeluarkan, tetapi kenyataannya lain.
Eng Tay benar-benar terkena pengaruh arak, karena ketika
dia hendak bangkit berdiri, tubuhnya sempoyongan!
“Ah, Dik, kau benar-benar mabuk!” kata San Pek. “Mari
ku papah!” Dan benar-benar dia memegangi tangan sang
adik itu lalu mengajaknya pergi.
Eng Tay sudah mabuk tetapi belum hilang seluruh
kesadarannya, maka ia mengerti, tak boleh orang memeluk
tubuhnya. Terpaksa ia mencoba berjalan, walaupun
dengan terhuyung-huyung, sehingga San Pek harus
berjaga-jaga agar ia tidak jatuh. Begitu tiba di kamarnya,
dia menjatuhkan diri ke atas pembaringannya.
San Pek membukakan sepatunya.” Ketika ia pun
hendak melepaskan baju panjang kawan itu, ia heran
mendapatkan baju-dalam kawannya berkancing banyak.
“Ah, kenapa baju ini banyak sekali kancingnya?” kata
sang kakak angkat.
“Ini ada sebabnya,” kata Eng Tay, yang terus berbohong
dengan mengarang cerita bahwa jahitan semacam itu
dibuat syarat kesembuhan tatkala dulu ibunya jatuh sakit.
Karenanya, baju dalamya pun dijahit seperti itu. Sejak itu
ibunya, selama tiga tahun, tak pernah sakit lagi....
“Oh, begitu!” kata San Pek. “Kalau demikian, Adikku,
kau sungguh berbakti!”
“Ini tidak apa-apa,” kata Eng Tay. “Ini termasuk
kepercayaan belaka. Sudah tiga tahun lamanya aku
memakai ini.”
San Pek percaya, lalu ia tak mengatakan apa-apa lagi.
Lega hati Eng Tay. Ia percaya kawannya itu jujur dan baik
hati.
6
Belajar Bersama
ENG Tay tertidur pulas. Sewaktu mendusin dan membuka
matanya, memandang ke arah jendela, langit tampak
cerah, daun bambu hijau semua, ia terperanjat.
“Ah, aku terlalu pulas! Teman-teman sekolah pasti
sudah bangun dari tidurnya,” katanya dalam hati. Lantas
ia berkata pada San Pek: “Kakak Nio, kau sudah bangun.”
Orang yang diajak bicara tersenyum.
“Aku telah bangun sejak tadi,” sahutnya. “Aku lihat kau
tidur nyenyak sekali, aku tak mau mengganggu. Dua kali
sudah Gin Sim datang melongok, aku larang ia
membangunkanmu. Gin Sim mengundurkan diri sambil
tersenyum....”
“Lain kali, kalau Kakak bangun, bangunkan aku juga,”
kata Eng Tay. “Aku khawatir teman-teman nanti
menertawakan aku....”
Seraya berkata begitu, putri Kong Wan ini segera turun
dari tempat tidur dan mengenakan bajunya.
Gin Sim, yang telah muncul, segera menyediakan air
untuk majikannya mencuci muka, menyisir dan merapikan
pakaiannya. Kemudian langsung ke luar, menemui San
Pek yang sudah ke- luar terlebih dulu.
“Kak, tadi tengah malam aku mengganggumu atau
tidak?” tanya si adik.
“Tidak, sama sekali tidak,” sahut San Pek, yang sedang
menulis. “Malah aku pernah memanggilmu tetapi kau tidak
mendusin. Kau tidur lelap sekali....”
Eng Tay menghampiri San Pek, ia melihat tulisannya.
“Kak, tulisanmu indah sekali,” ujarnya memuji. “Aku
pun akan belajar seperti kau.”
San Pek meletakkan mopitnya, ia menoleh pada si adik
angkat.
“Dik, tulisanmu pasti indah,” katanya. “Kau jangan
mengikuti aku. Kata orang, karena aku belajar menulis,
aku dicap tolol....”
Eng Tay tertawa mendengar nada suara sang kakak itu.
“Sudah, kita jangan bergurau lagi,” kata San Pek
kemudian. “Sebentar sehabis bersantap tengah hari,
pelajaran akan dimulai. Sebaiknya kau siapkan alat
tulismu, Dik.”
Santapan San Pek dan Eng Tay selalu disiapkan oleh Su
Kiu dan Gin Sim. Sesudah bersantap, mereka menuju
ruang kuliah. Ini pun merupakan kebiasaan hidup para
murid lainnya. Mereka semua mempunyai kamar sendiri,
dan tiada yang mengacau. Lama-kelamaan, San Pek dan
Eng Tay mempunyai banyak kenalan. Bahkan mereka juga
saling berkunjung. Dari luar, kakak-beradik itu tidak
mempunyai lain teman.
Demikianlah, tanpa terasa, tiga bulan sudah berlalu.
Sekarang adalah saatnya musim panas, hawa udara
berubah, maka dari itu, Eng Tay dan Gin Sim sering
menggunakan kipas. Tak pernah mereka melepaskan baju
panjang mereka.
Begitulah pada suatu hari San Pek dan Eng Tay sedang
duduk bersantai, San Pek berkata: “Sekarang ini hawa
udaranya panas menyengat, kita juga tidak pergi ke luar.
Adikku, kenapa kau tidak melepas baju panjangmu?”
“Bukan demikian kebiasaanku,” jawab Eng Tay.
“Rumah ini tinggi dan lebar, hawa di sini tidak sepanas di
tempat lain. Aku pun bertubuh lemah ketika kecil, sering
sakit, kalau ku buka baju panjangku, hawa dingin segera
menyerang.”
San Pek mengira Eng Tay bicara sejujurnya, dia tidak
mengatakan apa-apa lagi.
Malam itu, di saat hendak tidur, San Pek melihat Eng
Tay membuka baju panjangnya, baju dalamnya banyak
kancingnya. Ia tidak bertanya, ia mengira sang adik hanya
menuruti pesan ibunya agar menjaga kesehatannya baikbaik.
Di kesempatan yang lain, ketika tidak ada orang lain di
dalam kamar, Gin Sim berkata pada majikannya:
“Bagaimana kalau kita bermain-main di belakang? Di sana,
kalau ada su-bo, kita bisa mengobrol. Su-bo baik sekali.”
Dengan “su-bo” diartikan istri guru, istri pak guru Ciu.
Eng Tay setuju. Ia memang sedang tidak belajar maka ia
mengikuti Gin Sim ke belakang, ke halaman terbuka di
mana tampak pemandangan bukit di kejauhan. Itulah
panorama bukit Gouw San. Ada persawahan, ada
perkebunan, cantik pemandangannya. Puas Eng Tay
memandangi keindahan alam sampai lohor, barulah ia
mengajak Gin Sim pulang.
Setibanya mereka di dekat pintu belakang, Gin Sim
berkata: “Lihat di sana. Orang yang sedang membawa
tahang air, bukankah ia istri guru? Mari kita menemuinya
untuk bercakap-cakap.”
Gadis itu setuju. Bersama-sama Gin Sim, ia melangkah
mendekati istri guru itu.
Bagian belakang itu merupakan suatu tempat terbuka,
ada ladang sayurnya, ada sumurnya. Di sana, seorang
wanita tua berbaju merah tua sedang mencuci pakaian.
Dia habis memetik sayur.
Begitu datang di dekat Ho-si, sang istri guru, Eng Tay
menyapa sambil memberi hormat. Gin Sim juga turut
memanggil: “Su-bo...!”
Agak repot, Ho-si meletakkan tahangnya untuk
membalas hormat. “Oh, Tuan Muda Ciok!” katanya manis.
“Beberapa hari ini tak ku lihat Tuan Muda, repot dengan
pelajaran barangkali?”
“Itulah bimbingan Pak Guru Ciu,” jawab Eng Tay. “Kami
harus belajar dengan sungguh-sungguh, kalau tidak kami
tak dapat mengikuti pelajaran yang diberikan.”
Nyonya Ciu mengangguk, lalu ia menatap Gin Sim dan
majikannya itu, kemudian katanya pada Eng Tay: “Kau
masih muda sekali, tetapi kau sudah meninggalkan rumah
hanya untuk belajar ilmu budaya, apakah kau tidak
merasa susah?”
Gin Sim, yang berdiri di belakang majikannya, segera
menjawab: “Tidak....”
Eng Tay segera memotong: “Semuanya leluasa. Guru
Ciu telah menyediakan segala sesuatu bagi kami semua....”
Ho-si tertawa. Ia masih menatap majikan dan
kacungnya itu.
“Kalian berdua, ada kekurangan apa?” tanyanya ramah
“Sebutkan saja, semua dapat ku pinjamkan.”
Kembali Gin Sim mendahului majikannya.
“Sekarang ini yang kami butuhkan hanya jarum dan
benang,” katanya. “Dapatkah Su-bo meminjamkannya
kepada kami?”
“Tentu saja, sebentar ku antarkan,” kata istri guru itu.
“Tapi, benang dan jarum adalah kebutuhan orang
perempuan, kau menghendaki itu, untuk apa?”
Gin Sim hendak menjawab, tetapi majikannya
mendahuluinya.
“Kami orang desa, pria pun dapat menjahit,” katanya.
“Berada di rantau, kami juga membutuhkan barangbarang
itu.”
“Ya, benar juga,” kata Ho-si. “Kalau begitu, Tuan Ciok
juga pandai menjahit?”
“Ya, sebisanya saja....” sahut Eng Tay. Kembali Nyonya
Ciu tertawa.
“Baiklah, sebentar aku tunggu kalian di kamarku!”
katanya.
Eng Tay mengucapkan terima kasih, terus ia memberi
hormat, lalu bersama Gin Sim ia meninggalkan istri guru
itu. Di dalam kamar, San Pek sudah menunggu. Dia lalu
bertanya, ke mana kawannya telah pergi.
“Kami jalan-jalan di belakang, melihat pemandangan
alam,” jawab Eng Tay. “Pemandangan alam di sana cukup
menarik.”
Di dalam hati gadis itu tidak berkata demikian. Ia justru
sedang memikirkan sikap Ho-si tadi, nada suara sang istri
guru. Ia khawatir istri guru itu mencurigainya, maka
pikirnya: “Lain kali, kalau bicara dengan istri guru aku
harus berhati-hati....”
Gin Sim sebaliknya lega hatinya.
Di pihak lain, dari Ho-si pun tidak ada isyarat apa-apa,
meski ia heran juga ada seorang lelaki muda meminjam
jarum dan benang....
Sementara itu, sang kala berjalan cepat. Segera tiba Citgwe,
bulan ke-7. Tanggal 7 bulan ke-7, langit terangbenderang,
dan malamnya, Bima Sakti bercahaya di langit,
sedangkan rembulan muda, sedang turun ke bawah,
membuat bayangan orang pun tampak doyong. Dari
kejauhan, sayup-sayup terdengar suara seruling, melantun
dari sela-sela pohon-pohon yang-liu.
Malam sunyi, si putri malam pun setengah bundar.
Ketika itu, mengenakan baju panjangnya Eng Tay
sedang rebah di atas bangku di halaman luar. Ia
memandangi rembulan dengan berdiam saja.
“Eh, Saudara Ciok, kau di mana?” terdengar suara San
Pek, dari dalam kamar, bertanya.
“Aku sedang berangin-angin di sini,” jawab Eng Tay.
“Ayo ke mari, bawa bangku, kita duduk bersama dan
bercakap-cakap.”
“Baik!” sahut San Pek menyetujui.
Maka duduklah mereka mengobrol berdua.
“Malam ini Cit-gwe cit-sek 14,” kata Eng Tay, “Kau ingat,
bukan?”
“Tentu saja aku ingat!” sahut San Pek. “Setiap keluarga
juga pasti tidak melupakannya, apalagi keluarga yang
mempunyai anak-anak yang manis, pasti semua
menyediakan buah semangka sambil menantikan sang
labah-labah menaikinya. Jika labah-labah sudah naik dan
bermain di atasnya, itu artinya keberuntungan sang buah,
pertanda kemakmuran! Jadi buah-buahan itu merupakan
daya penarik agar labah-labah bermain di atasnya. Ini juga
yang di buku disebut kit-kaw!” 15
14 Cit-gwe-cit-sek: “malam ke-7 bulan ke-7,” suatu hari raya menurut kepercayaan.
15 Kit-kaw itu berarti “menguji kepandaian,” akan tetapi kenyataannya adalah
“Kau ingat itu, Kakak Nio, bagus!” kata Eng Tay. “Hanya
masih ada satu yang Kakak tidak sebutkan....”
“Apakah itu, Adikku?”
Eng Tay tertawa lebar, merdu suaranya. Dia pun
bangkit dan duduk.
“Kalau labah-labah naik dan bermain-main di atas
buah,” katanya, “itu berarti si nona yang mengatur buahbuahan
itu, di tahun itu akan mengalami kegembiraan! Ya,
ia akan mendapatkan suami yang berada di lubuk hatinya.
Maka dari itu, Kak, di rumah Kakak, kalian memakai
penyuguhan buah atau tidak?”
San Pek bagaikan tersadar.
“Ya, aku lupa!” katanya. “Memang ada kebiasaan itu.
Namun, Adikku, apakah kau sendiri pernah menyediakan
buah-buahan itu?”
“Aku?” tanya Eng Tay tertawa. “Tidak!” jawabnya,
“Apabila kita menyediakan buah-buahan, kita juga harus
menyiapkan yang disebut ‘jarum berlubang tujuh’ serta
benang lima warna yang harus dililitkan pada buahbuahan
itu. Persiapan pun harus dilakukan di ruang
tengah untuk menantikan datangnya sang labah-labah.
Bukankah itu hal yang tak mudah?”
“Kau sangat teliti, Dik, kau ingat segalanya!” ujar San
Pek memuji. “Karena mengatur buah-buahan bukan
urusan yang mudah maka kami tidak melakukan aturan
itu, apalagi itu adalah cerita belaka, mirip dongeng alias
takhyul.”
“Bagaimana sampai dinamakan takhyul?” tanya gadis
itu sambil tertawa.
“Sebagaimana kau ketahui, yang dinamakan cit-gwe citsek
itu, atau kit-kaw, adalah lakon atau dongeng tentang
Gu Neng dan Cit Li 16, si pemuda penggembala kerbau dan
si nona bidadari tukang tenun,” kata San Pek.
“mencari kepandaian jahit-menjahit atau menyulam di malam tanggal tujuh bulan
tujuh.” Dan menjahit adalah kepandaian setiap wanita, apalagi para gadis remaja.
16 Cit Li yang disebut penenun adalah sebuah bintang dalam gugusan bintang
utara Lyra.
“Menurut cerita orang tua,” San Pek menerangkan lebih
lanjut, “Cit Li itu, yang juga disebut Thian Sun, cucu
Tuhan, adalah cucu perempuan luar dari Thian Tee, Kaisar
Langit. Thian Sun ingin menikah dengan Cian Gu Che, si
bintang penggembala, sehingga ia telah melalaikan
pekerjaan menenunnya. Maka itu oleh Thian Tee dia
dihukum: dalam satu tahun, ia hanya boleh bertemu satu
malam dengan Cian Gu Che yaitu setiap malam tanggal
tujuh bulan ke-tujuh. Nah, coba pikir, bukankah kejadian
itu hanya cerita takhyul belaka?”
Eng Tay diam, ia mengangkat kepalanya memandang ke
langit. Dengan perlahan, ia menghela napas, lalu katanya:
“Lihat di sana, Thian Ho 17 demikian tenang, bersahaja.
Setiap hari dia dibiarkan mengamati saja, tak dapat
melintas. Hukuman demikian itu, bukankah melebihi
segala-galanya? Betapa dia menderita! Walaupun begitu, di
dunia mungkin ada kejadian serupa — bertemu setahun
sekali! Sungguh, sang waktu melintas terlalu lama....”
San Pek mengawasi kawannya itu. Perkataannya
membuatnya kurang mengerti. Ia juga lantas memandang
langit. Rembulan telah menghilang, yang tampak ialah
Bima Sakti yang melintang di antara bintang-bintang yang
terang-benderang. Rupanya Gu Neng bersama Cit Li
sedang dalam pertemuan setahun sekalinya. Ya, setahun
sekali....
“Kakak Nio, kau menatap langit, apa yang sedang kau
lihat?” tanya Eng Tay kemudian.
“Aku sedang memikirkan Gu Neng dan Cit Li,” sahut
orang yang ditanya. “Satu tahun satu kali, itu terlalu lama,
tetapi, satu tahun sekali pun boleh juga....”
Hati Eng Tay terpukul mendengar perkataan
sahabatnya itu. Namun, ia diam saja duduk di atas
bangkunya. Ia sedang berpikir. Tapi kemudian ia pun
berkata.
“Kakak Nio,” katanya, “manusia itu, siapakah yang tak
17 Thian Ho diartikan llian Sun, atau Cit Li si tukang tenun.
dapat bertemu?”
“Kak, ini hanyalah perumpamaan,” jawab San Pek.
“Bukankah ada seseorang yang tak juga pulang selama
empat atau lima tahun tetapi istrinya tidak khawatir sama
sekali?”
Eng Tay tertawa.
“Kak, yang kaumaksud istri tentulah Cit Li, bukan?
Sekarang umpama saja seorang pembuat patung membikin
sepasang boneka pria dan wanita, lalu orang yang
memesannya tidak menikahkan muda-mudi itu,
sebaliknya, muda-mudi itu justru telah menikah diamdiam.
Karena itu si pemesan, katakan saja, sang majikan,
menjadi sangat gusar hingga dua patung itu dia pendam
terpisah di halaman depan dan belakang rumahnya agar
untuk selama-lamanya muda-mudi itu tak dapat bertemu,
bukankah itu sangat menyedihkan?”
San Pek tertawa.
“Adik Ciok, kau bicara mirip bocah usia tiga tahun!”
katanya. “Patung kayu tidak berjiwa, mana mungkin
mereka bisa menikah?”
Eng Tay juga tertawa.
“Ya, itu hanya perumpamaan saja. Namun di antara
manusia, bukankah benar ada sepasang muda-mudi yang
tak berjodoh itu? Muda-mudi demikian itu, bukankah
mereka sama saja dengan boneka?”
“Ah, sudahlah!” ujar San Pek memutus pembicaraan.
“Tak usah kita bergurau terus. Lihat, putri malam sudah
tenggelam di barat, hawa pun sudah menjadi dingin,
sebaiknya kita masuk dan istirahat. Besok kita harus
bangun pagi-pagi!”
Eng Tay bangkit dari bangkunya, ia mengangkat dan
membawanya sekalian ke kamarnya.
San Pek tidak memikirkan kejadian tadi itu, ia
menganggap Eng Tay hanya bergurau.
Esok tengah hari, Gin Sim muncul sambil tertawa
cekikikan. Ia membawa dua piring buah, yang satu buah
pir, yang lainnya teratai. Lantas diletakkannya di atas
meja, lalu ia berkata: “Dua piring buah ini adalah buah
yang tadi malam disuguhkan kepada Gu Neng dan Cit Li,
silakan Tuan Muda makan.”
“Oh, kau juga menyuguh?” kata San Pek tertawa.
“Tidak, Tuan Muda....”
“Sudah, pergilah kau,” kata Eng Tay pada abdinya.
“Jangan bergurau!” Namun nona majikan ini pun tertawa.
“Kalian berdua, majikan dan bujang, gemar bercanda,”
kata San Pek. “Aku tak mengerti....”
Eng Tay tidak berkata apa-apa, ia hanya tersenyum.
Setelah itu, dua bulan pun telah berlalu. Kali ini tiba
hari peringatan atau hari raya Tiong Yang, hari besar kawgwe
ce-kaw — tanggal 9 bulan 9 tahun imlek. Dengan lain
nama, hari raya ini pun disebut hari raya Tiong Kiu. Hari
ini berdasarkan anggapan atau kepercayaan bahwa tanggal
9 bulan 9 merupakan hari yang paling cerah sehingga
cerah juga penghidupan manusia.
“Besok hari raya Tiong Yang, sekolah libur satu hari.
Kakak Nio, kau berniat pergi berlibur ke mana?” tanya Eng
Tay pada kakak angkatnya.
Orang yang ditanya tertawa. Ia mendorong buku di
hadapannya.
“Dalam hal berlibur, aku tidak berpikir susah-susah,”
jawabnya. “Aku akan menurut pikiran Adik saja. Andaikata
kau tidak berkeinginan mencari hiburan di luar, kita bisa
berdiam di rumah saja sambil membaca buku.”
Eng Tay menggelengkan kepala.
“Tidak pergi berlibur, kurang tepat,” katanya. “Dalam
satu tahun, berapa harikah saat-saat liburannya? Kakak
tahu, Su Kiu maupun Gin Sim sangat mengharapkan
tibanya hari raya ini. Mereka telah berpikir akan
menanyakanku ke mana kita akan pergi. Bukankah tak
berlibur berarti kurang kegembiraan?”
“Kalau kau pikir demikian, baiklah,” kata San Pek.
“Sekarang katakan, ke mana kita akan pesiar?”
Seraya berkata demikian, sang kakak menatap adiknya.
“Bagaimana kalau kita pergi ke Se Ow?” 18 tanya Eng
Tay. “Di sana kita dapat menyaksikan pemandangan alam
dengan air dan pepohonannya.”
“Baik!” kata San Pek. “Besok kita berangkat ke sana
berbekal makanan, biar Su Kiu yang membawa. Di sana
kita nanti memilih tempat agar bisa menikmati keindahan
alam.”
Eng Tay mengangguk sambil tersenyum.
Keesokan paginya, San Pek dan Eng Tay berangkat
bersama-sama, diikuti oleh Su Kiu dan Gin Sim. Su Kiu
memikul barang-barang bawaan. Langit cerah.
Keadaan Se Ow masih perawan, belum terjamah
tangan-tangan yang cekatan. Pepohonan semua serba
hijau dan airnya jernih sekali. Pemandangan bukit itu
melapangkan hati. Itulah yang dinamakan keindahan
alam.
Rombongan muda-mudi ini memilih satu tempat di tepi
telaga. Dari situ selain tampak air telaga yang bening, juga
panorama, pemandangan yang lapang di sekitarnya.
“Dik, di sini indah sekali!” kata San Pek. “Sayang belum
ada olahan tangan-tangan manusia guna menambah ini
dan itu....”
“Memang indah sekali!” sahut Eng Tay. “Nanti juga akan
ada tangan-tangan yang menyemarakkannya. Ah, Kak,
manusia itu tak akan hidup lebih dari seratus tahun,
keindahan semacam ini tak selayaknya dilewatkan....”
San Pek mengangguk.
“Benar!” katanya.
Mereka lalu berjalan bersama, melihat segala sesuatu di
sekitarnya.
“Kak, di sana ada perahu, mari kita naik,” ajak Eng Tay
kemudian pada kawannya itu. Dengan tangannya, ia
menunjuk ke tepi telaga.
San Pek setuju, maka mereka berdua pergi ke
18 Se Ow dulu tidak sama dengan Se Ow —Telaga Barat— seperti dewasa ini. Nama
Se Ow pun baru dikenal mulai akhir dinasti Tang, selama tahun 618-906 Masehi.
Sedangkan dinasti Chin—Chin Timur, berlangsung dari tahun 317-419 Masehi.
pangkalan, kemudian menyewa perahu tambangan. Dan,
keduanya pun sudah hilir-mudik di atas air.
Ketika itu, San Pek dan Eng Tay tidak berdua saja, ada
orang-orang lain yang juga berpesiar. Su Kiu dan Gin Sim
pun menikmati pemandangan alam itu. Mereka juga diajak
oleh majikan mereka untuk turut naik perahu.
Perahu itu memakai pelindung atap dan bilik bambu di
kiri dan kanannya. Jendelanya terbuka agar penumpang
dapat memandang sekelilingnya.
Demikianlah, selagi berjalan-jalan ada saja yang
dibicarakan sepasang muda-mudi itu hingga mereka tidak
merasa sepi. Malah sebaliknya, mereka bergembira dan
terhibur.
Kemudian tibalah saat sarapan, Gin Sim dan Su Kiu
segera mengeluarkan bekal makanan dan mengaturnya
untuk majikan mereka, dan juga untuk mereka berdua.
Mereka pun membekal arak namun mereka telah berjanji
untuk tidak minum sampai mabuk.
Selagi mereka bersantap, San Pek memetik bunga shuyi.
Bunga itu berikut rantingnya biasa dipakai selama hari
raya Tiong Yang sebagai pengusir pengaruh jahat,
pembawa keselamatan.
“Dik, mari kupakaikan bunga ini padamu guna
mengusir pengaruh jahat!” kata San Pek pada Eng Tay. Ia
tertawa.
Eng Tay mengangguk, ia pun tertawa.
Benar-benar San Pek menyisipkan bunga itu, yang
berwarna merah, di sisi telinga Eng Tay. Di saat itu, paras
gadis itu bersemu merah.
“Dik, tahun ini aku yang menyisipkan bunga ini,” kata
San Pek, “lain tahun....”
“Lain tahun juga tetap Kakak!” kata Eng Tay, tertawa.
Perkataan gadis ini ada artinya, tetapi si pemuda tidak
dapat menangkapnya, maka dalam kegembiraannya,
sambil tertawa ia pun berkata: “Baiklah, lain tahun aku
juga...! Mari kita keringkan cawan kita!”
Keduanya lantas minum arak mereka.
Begitulah mereka bersantap, minum arak dan
bergembira.
7
Ketika Sakit
LEPAS tengah hari, San Pek dan Eng Tay mengajak Su Kiu
dan Gin Sim pulang. Mereka merasa puas.
Sementara itu, kedua muda-mudi itu telah mempunyai
beberapa sahabat di antara teman sekolah mereka,
malahan ada juga yang suka berkunjung ke kamar mereka
untuk bercakap-cakap. Mereka disenangi kawan-kawan. Di
antara mereka itu, seperti halnya San Pek, tidak ada yang
mencurigai Eng Tay, bahkan ia mendapat pujian sebagai
kawan yang manis budi.
Pada suatu hari, selagi duduk di dalam kamar San Pek
menghela napas. Dia menatap ke luar, memandangi langit.
“Eh, Kak, kenapa kau?” tanya Eng Tay heran. Dia
mengamati.
Orang yang ditanya menggelengkan kepala.
“Entahlah,” sahutnya dengan enggan. “Hari ini aku
merasa gelisah....”
Eng Tay mengawasi.
“Kak, mungkinkah karena aku telah melakukan sesuatu
yang tidak berkenan di hatimu?” tanyanya.
San Pek menggoyangkan tangannya.
“Apa katamu, Dik?” katanya separuh menegur. “Sudah
satu tahun kita bergaul, tidak pernah kau lakukan sesuatu
yang tidak aku senangi. Malahan kau baik sekali.
Seandainya kau lakukan sesuatu yang demikian, tentu
aku akan menegurmu. Kau salah duga.”
“Apakah mungkin pak guru Ciu menegurmu?” tanya
Eng Tay lagi.
“Tidak, pak guru Ciu baik sekali. Sekiranya aku ditegur,
aku malah akan sangat berterima kasih.”
“Lalu, Kakak kenapa?” tanya si adik angkatnya lagi.
“Apa mungkin Kakak sedang memikirkan orangtua di
rumah?”
“Memikirkan memang ya, akan tetapi itu bukan
masalah,” sahut San Pek. “Biasa saja kalau anak dalam
perantauan senantiasa ingat ayah-bundanya yang jauh di
rumah. Kau salah menerka, Adikku. Orangtuaku sehat
walafiat. Terkaanmu hanya tepat sebagian....”
“Ah, aku mengerti sekarang!” kata Eng Tay. “Pastilah
karena ayah-bunda Kakak terlalu memikirkan Kakak.”
Kakak angkat itu menghela napas lagi Sang adik
mengamati.
“Sebabnya begini, Dik,” kata San Pek kemudian,
suaranya perlahan sekali. “Maaf, aku bicara terusterang....”
“Silakan, Kak.”
“Baru saja aku menerima surat dari rumah yang
mengabarkan bahwa kami kehabisan uang, karenanya
Ayah menyuruhku pulang. Ya, aku tak perlu belajar di
rantau.... Tak punya uang dan berhenti sekolah, itu satu
masalah. Namun aku sangat memikirkan hubungan kita.
Kita yang sudah seperti saudara kandung. Kita akan
berpisah, betapa beratnya penderitaanku.”
“Oh, hanya itu!” kata Eng Tay setelah mendengarkan
beberapa lama. “Benar juga, berat rasanya kalau kita
berpisah. Kita pun baru satu tahun menuntut ilmu di
bawah bimbingan pak guru Ciu, Kakak Nio....”
“Kau benar, Dik!” sela San Pek memotong. “Dari rumah
tak akan datang lagi uang, bagaimana? Apa yang dapat ku
lakukan....?”
“Kak, jangan khawatir!” kata Eng Tay. “Tak usah
dianggap sulit! Kak, perkara uang adalah hal yang mudah
asal Kakak bersedia menerima bantuanku yang tidak
berarti. Kiriman uang dari rumahku tidak akan putus
setengah jalan, kiriman itu lebih dari cukup untuk kita
berdua. Mulai sekarang, untuk segala keperluan Kakak,
Kakak bisa ambil uang dariku!”
San Pek heran, dia menatap sang adik angkat.
“Dik,” katanya, “kau baik sekali. Akan tetapi....”
“Kakak Nio, jangan pikirkan itu! Kita sudah seperti
saudara sendiri. Benar, bukan? Maka selanjutnya, Kakak
harap tenang-tenang saja. Ayo kita tetap belajar bersama
di sini.”
Akhirnya San Pek mengangguk.
“Baiklah, Dik Ciok!” kalanya. “Aku terima kebaikanmu
ini. Akan ku tulis surat ke rumah untuk memberi kabar
pada orangtuaku.”
“Nah, begitu baru benar! Selanjutnya kita belajar
bersama seperti biasa. Sekarang musim semi, mari kita
belajar dengan lebih giat.”
Benar-benar San Pek dapat berlega hati ia dapat
gembira kembali seperti biasa.
Malam itu, sewaktu belajar, San Pek melihat Eng Tay
mengantuk.
“Dik, kau letih, istirahatlah lebih dulu,” katanya. Eng
Tay bangkit.
“Malam ini aku benar-benar lelah,” katanya. “Ya, aku
tidur lebih dulu....”
Gin Sim, yang selalu menemani majikannya, segera
bergerak untuk memasang lilin, merapikan pembaringan
supaya majikannya dapat segera merebahkan diri. Namun,
sebelumnya, sang majikan minta abdinya memapahnya.
San Pek menyusul masuk ke kamar.
“Dik, apakah kau kurang sehat?” tanya. “Kau sakit?”
“Mungkin aku agak sakit,” jawab Eng Tay. “Tak apa,
besok mungkin akan baik dengan sendirinya. Jangan
Kakak khawatirkan....” San Pek menghampiri.
Dengan dibantu oleh Gin Sim, Eng Tay melepas baju
luarnya, baju panjang. Ia berbaring, meletakkan kepalanya
di atas bantal. Gin Sim menyelimutinya sampai ke
kakinya. Kemudian abdi ini mengundurkan diri.
“Ku pikir, lebih baik aku memanggil tabib besok,” kata
San Pek. Ia terus meraba dahi si adik angkat, yang terasa
panas. “Oh, Adikku, kau benar-benar sakit! Rupanya tadi
kau masuk angin....”
Eng Tay tidak menjawab, tetapi ia tersenyum lemah.
“Malam ini kau tak usah ditemani Gin Sim,” kata San
Pek. “Aku akan menggantikan dia. Aku bisa rebah di ujung
kakimu. Kalau perlu, bangunkan aku.”
“Ah....!” kata Eng Tay tertawa. “Mana bisa....? Aku
menyusahkanmu saja. Biarlah Gin Sim yang
menemaniku....”
“Nona benar,” kata Gin Sim dalam hati, yang masih
belum berlalu.
San Pek mengerutkan alisnya.
“Dik, kau terlalu keras kepala, katanya. “Kau toh
sedang sakit! Jangankan baru semalam, dua hari pun aku
menemanimu, masih tidak apa-apa!”
“Tetapi Kakak tidur di ujung kakiku....”
San Pek menggelengkan kepala.
“Apalah artinya itu?” jawabnya.
“Ah, hebat....!” seru Gin Sim dalam hati. Namun, apa
yang dapat dikatakannya? Maka ia berkata: “Inilah
kewajiban saya sebagai pembantu....”
“Kau benar, ini memang tugasmu, tetapi sekarang
majikanmu sedang sakit, bila aku tidur di luar, kalau ada
panggilan mana ku dengar? Sudah, jangan kau menjadi
seperti tuanmu! Biar aku tidur disini, walaupun sampai
tiga malam!”
Melihat demikian, Eng Tay tak dapat menolak lagi.
Maka, ia pun berkata pada abdinya: “Gin Sim, pergilah kau
tidur di luar, kalau perlu, akan ku panggil. Jangan
khawatirkan aku, aku tahu apa yang harus ku lakukan....”
Kata-kata majikannya yang menghibur itu melegakan
hati abdinya. Akhirnya Gin Sim tidak berkata apa-apa lagi.
“Bagaimana kalau Adik minum teh?” tanya San Pek
kemudian.
“Boleh juga,” sahut Eng Tay, yang sehabis minum terus
membalikkan tubuh agar dapat tidur pulas. Hanya selang
setengah jam, ia berbalik pula. Di antara sinar lilin, samarsamar
ia melihat San Pek sedang duduk membaca buku.
Mendengar suara gerakan di pembaringan, San Pek
melepaskan bukunya dan memandang ke pembaringan.
Maka sinar mata mereka berdua bertemu....
“Bagaimana Dik, rasanya lebih baik?” tanyanya.
“Masih sama saja,” jawab Eng Tay.
San Pek bangkit, ia menghampiri. Dirabanya dahi Eng
Tay, terasa hawa yang panas sekali. Ia berkata: “Sekarang
sudah malam, kita tak dapat mengundang tabib, kita
harus menunggu sampai besok pagi.”
“Ya, besok saja,” kata Eng Tay. “Kak, tolong panggilkan
Gin Sim.”
“Buat apa memanggil dia?” tanya San Pek.
Eng Tay memandang ke langit-langit kelambu, berat ia
membuka mulutnya. Tapi akhirnya, ia berkata perlahan:
“Kak, aku ingin buang air kecil....”
“Kau sedang sakit, buang air kecil maupun air besar,
kau perlu dipapah. Dik, bangunlah, nanti aku pegangi.”
Eng Tay menyingkap selimut, perlahan-lahan ia bangun
untuk duduk. Lantas ia berkata, “Tak perlu.... Ayah
pernah menasehatiku, minta bantuan orang untuk buang
air kecil atau besar, itu perbuatan kurang sopan.
Sekalipun Gin sim, dia tak boleh turut masuk ke dalam
kakus dia menunggu di luar pintu saja.”
San Pek menganggap alasan itu kuat, maka ia pergi
memanggil Gin Sim. Dengan demikian, gadis itu jadi
dibantu oleh abdinya. Kembali ke tempat tidur, Eng Tay
tampak lemas sekali. Melihat hal itu, si kakak angkat
mendekat, memegangi gadis itu.
“Dik, sakitmu tidak ringan,” katanya. “Lain kali jangan
pergi ke kakus, pakai pispot saja.”
“Ya,” sahut Eng Tay sambil mengangguk, terus ia tidur
lagi.
“Kau boleh ke luar,” ujar San Pek menyuruh Gin Sim,
yang masih menunggui majikannya. “Kalau perlu, akan ku
panggil lagi kamu.”
“Ya, Tuan Muda,” sahut si abdi, akan tetapi kakinya tak
bergeming.
“Kau keluarlah,” kata Eng Tay. “Kalau perlu, akan ku
minta Tuan Muda Nio membangunkanmu.”
Mendengar penegasan itu barulah Gin Sim
mengundurkan diri.
“Kakak Nio, kau juga tidurlah,” kata Eng Tay kemudian.
Ia maksudkan agar pemuda itu kembali ke kamarnya.
“Tak apa, aku dapat tidur di ujung kakimu, Dik,” kata
San Pek.
“Ah, lebih baik Kakak tidur di kamar Kakak....”
“Tidak, malam ini aku harus menemanimu. Kau tahu
sendiri, tubuhmu masih saja panas. Harap kau jangan
sungkan.”
Eng Tay kehabisan akal. Dia bingung juga, jantungnya
berdebar kencang. Ia tetap ingat bahwa dirinya adalah
seorang gadis, ia harus menyimpan rahasia. Mana bisa ia
tidur seranjang dengan seorang pemuda? Akan tetapi,
bagaimana ia dapat menolak kehendak San Pek? Maka
akhirnya, ia berkata dalam hatinya: “Kakak Nio, rupanya
aku memang berjodoh denganmu....!” Toh, ia masih
bimbang...
“Eh, Dik, apa pula yang kau pikirkan?” tanya San Pek
heran.
“Kak, kau mau tidur di ujung kakiku,” kata Eng Tay,
“tetapi....”
San Pek duduk di sisi pembaringan.
“Dik, bagaimana kau ini?” tanyanya. “Kau sedang sakit,
apa kau khawatir aku ketularan? Tak mungkin! Dik, aku
harus menjagamu!”
Eng Tay terdesak, ia mengangguk. Tetapi ia berkata
pula: “Kakak benar, namun.... sejak kecil, aku dibiasakan
tidur sendiri saja, maka kalau sekarang kita tidur berdua,
aku khawatir kita tidak bisa tidur pulas....”
“Tak bisa pulas, tak apa,” kata San Pek yang bersikeras.
“Biar bagaimana, aku harus menemanimu, Dik!”
Eng Tay terpojok. Ia memandangi kawannya itu, lantas
ia berkata: “Baiklah kalau begitu. Kakak boleh tidur di
ujung kakiku. Hanya saja, padaku ada suatu kebiasaan
yang telah menjadi aturan....”
“Apakah itu, Dik? Sebutkan saja!”
“Aturannya,” ujar Eng Tay menjelaskan, “siapa yang
tidur satu pembaringan denganku ada perjanjian seperti
ini: Kita harus menyediakan satu kotak berisikan abu,
kotak itu diletakkan di luar selimut di tepi pembaringan.
Selagi tidur pulas, kalau kotak itu sampai tumpah maka
yang menumpahkannya dianggap bersalah, dan keesokan
paginya, dia dihukum denda....”
“Hukuman denda? Hukuman apakah itu?”
“Dia diharuskan mengadakan pesta makan-makan!”
San Pek tertawa.
“Ngawur, lucu!” katanya. “Aturan macam apa itu?”
“Tetapi itu bukan lelucon. Kalau tidak percaya, coba
tanyakan Gin Sim. Dia pernah didenda ibuku!”
“Jika benar demikian, baiklah, akan kucoba. Tidak ada
orang luar di sini, seandainya aku terdenda kita hanya
berpesta berempat dengan Su Kiu dan Gin Sim. Tetapi,
siapakah yang akan memastikan yang bersalah?”
“Ini mudah! Kita lihat saja letak tumpahannya.”
“Baiklah kalau begitu!”
Maka segera disiapkan satu kotak terbuat dari kertas
dan berisikan pasir halus, lalu kotak itu diletakkan
diantara mereka.
“Sekarang apa lagi?” tanya si anak muda.
Eng Tay menyesal sendiri. Ia hanya main-main, siapa
sangka San Pek bersungguh-sungguh. Tetapi hal ini
meninggalkan kesan yang baik pada dirinya. Pemuda itu
ternyata polos sekali. Di lain pihak, ia tersenyum sendiri
sebab San Pek dianggapnya tolol, mudah ditipu.
“Tidak ada apa-apa lagi!” jawabnya kemudian. “Nah,
mari kita tidur!” San Pek menurut. Mereka pun tidak
berkata-kata lagi Keduanya tidur dengan berselimut.
Hanya terlebih dulu, si pemuda memandang wajah gadis
itu dan meraba tangannya, yang tidak lagi terasa panas
seperti tadi. Ia rebah tak bergeming, khawatir kalah
bertaruh dan takut mengganggu tidurnya si kawan....
Eng Tay sebaliknya, ia berdiam saja, berpura-pura
pulas.
Esok paginya, dua kali Gin Sim muncul, majikannya
berdua masih pulas tetapi ia melihat kotak kertas yang
terisi pasir. Ia melihat majikannya sedang tidur miring,
sebelah tangannya terjulur ke luar selimut. Ia berkata di
dalam hati: “Syukurlah San Pek tak tahu siapa majikannya
itu, kalau tidak, pasti rahasia majikannya bocor.” Ketika ia
muncul untuk kedua kalinya, majikannya sudah
mendusin, dan gadis itu menunjukkan padanya kotak
berisi pasir itu. Lalu keduanya pergi ke luar tetapi tak lama
kemudian Eng Tay telah kembali.
San Pek sudah bangun. Ia melihat gadis itu.
“Dik, sakitmu sudah berkurang?” tanyanya.
Eng Tay mengangguk.
“Lebih baik,” sahutnya.
San Pek turun dari tempat tidur, disingkirkannya kotak
yang tak bergeser itu. Ia merasa lega menyaksikan
kawannya tidak menderita seperti tadi malam. Toh ia
merasa, masih perlu memanggil tabib dan Eng Tay
membiarkannya.
Guru Ciu menjenguk muridnya tatkala diberitahu
bahwa si murid sakit.
Tabib datang, ia memeriksa dan membuat surat obat.
San Pek menjadi repot sebab segala sesuatu ditanganinya
sendiri.
Su Kiu menyediakan pispot dan San Pek berpesan
bahwa kalau Eng Tay ingin buang air, dia tak usah ke luar
dari kamar.
Selama empat malam, San Pek terus tidur di ujung kaki
Eng Tay. Dia tak berani bergolek. Di hari kelima, Eng Tay
hampir sembuh. Sejak itu San Pek kembali ke
pembaringannya sendiri.
Selang sepuluh hari, Eng Tay sudah sembuh sama
sekali.
“Kakak Nio,” kata gadis itu pada kawannya, “selama aku
sakit, Kakak bersusah-payah merawatku. Sekarang aku
telah sembuh, bagaimana aku harus membalas budimu?”
San Pek tersenyum.
“Kau telah sembuh, ya sudah saja,” sahutnya. “Untuk
apa bicara tentang balas budi? Kesembuhanmu adalah
balasannya....”
Eng Tay, yang berdiri di sisi meja berkata lagi: “Kak,
ibuku sekalipun tak dapat melayaniku seperti itu.
Beberapa kali Kakak meraba dahiku bahkan membantuku
di saat minum obat, kau pegangi. Ya, Kakak pun
menyuapkan obatku.
“Itu wajar saja,” kata San Pek. “Kau sedang lemah
sekali.”
“Aku ingat, di saat hendak makan bubur, aku tak kuat
bergeser ke tepi pembaringan, tetapi kau, kau pegangi aku
serta menyuapi juga....”
Kembali San Pek tertawa.
“Itu jamak bukan?” katanya. “Selama sakit, sudah
sepantasnya kawan saling menolong. Kalau tidak
demikian, itu bukannya kawan. Ingat, Nabi kita pun
mengajarkan agar kita saling tolong-menolong.”
“Ya, tak kul upakan itu,” kata Eng Tay.
Sekali lagi San Pek tertawa dan berkata: “Dik, kau
pernah mengatakan padaku, kecuali ibumu, belum pernah
kau tidur bersama orang lain, namun kali ini, selama
empat malam kau izinkan aku menemanimu. Sungguh,
kau baik sekali. Tak mudah itu terjadi....”
Eng Tay tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
8
Membuka Rahasia
SEJAK mendapat perawatan Nio San Pek, kesan Ciok Eng
Tay mengenai sang kawan baik sekali. Maka apa pun
kebutuhan si pemuda, tanpa diminta lagi, segera
disediakan oleh gadis itu. Karenanya, bukan main rasa
bersyukur si kakak angkat itu.
“Kau baik sekali, Adikku,” kata sang kakak suatu hari.
“Betapa bahagianya aku mendapatkan kau sebagai
saudara.”
En Tay yang berdiri di samping San Pek, berkata: “Kak,
itulah kewajibanku sebagai adik, maka jangan kau jadikan
pikiran. Bahkan ingin sekali aku, seumur hidupku dapat
melayanimu. Biarlah aku benar-benar menjadi adikmu!”
San Pek tertawa.
“Ya, kita seperti saudara kandung!” katanya. “Akan
tetapi, jika kita sudah pulang ke rumah masing-masing,
mana bisa kau mengikutiku untuk selama-lamanya?”
“Asal bisa terjadi, aku suka mengikuti Kakak seumur
hidup!” kata Eng Tay.
Si anak muda tertawa lebar.
“Dik, kaubicara seperti bocah usia tiga atau lima
tahun!” katanya. “Ya, kau seperti adik yang minta permen
dari kakaknya! Namun, permintaan adik kecil itu keluar
dari hati yang tulus!
Eng Tay diam, tetapi ia tersenyum.
Demikianlah kedua kawan sekolah itu, kakak-beradik
angkat, semakin erat hubungannya satu sama lain.
Tanpa terasa, sang waktu melintas terus. Tanpa terasa
pula, dua tahun sembilan bulan telah berlalu.
Pada suatu hari muda-mudi itu sedang berada dalam
kamarnya. San Pek sedang menekuni kaligrafi, dan Eng
Tay, di sisinya, menggosok bak di atas bak-hi. 19 San Pek
melihat dahi Eng Tay berkeringat, ia menggunakan
saputangan untuk mengusapnya perlahan-lahan. Ketika
sedang mengusap, tiba-tiba San Pek menjerit perlahan,
lalu jatuh terduduk di kursinya.
Eng Tay terperanjat, dia heran.
“Kau kenapa, Kak?” tanyanya, baknya ia letakkan.
“Dik, aku heran....” sahut sang kakak. “Aku melihat
lubang kecil pada telingamu.... Mengapa?”
Eng Tay terkejut, tetapi ia bisa menenangkan diri.
“Oh itu, Kak, itu ada sebabnya,” jawabnya. “Sebelum
aku masuk usia sepuluh tahun, Mama menganggapku
sebagai anak perempuan karena ia telah melepas kata-kata
pada sang Budha....”
“Oh, begitu?” kata San Pek. “Jelas sangat
menyayangimu.”
“Ya, Mamaku memang baik sekali,” kata Eng Tay.
San Pek percaya keterangan gadis itu, ia tidak bicara
lebih jauh. Tidak demikian dengan Eng Tay, hal itu
membuatnya berpikir keras. Ia berniat bicara terus-terang,
tetapi ia bimbang.
Begitulah, sampai sang waktu berlalu lagi tiga bulan, di
akhir bulan ketiga. Ini berarti bahwa, tanpa terasa tiga
tahun telah lewat.
Pada suatu hari, selagi berjalan mondar-mandir di
depan pintu, tiba-tiba Eng Tay dihampiri seorang lelaki
yang segera saja memanggilnya: “Tuan Muda!” Ketika ia
menoleh, terlihat Ong Sun sudah berdiri di hadapannya.
“Eh, kau datang kembali,” tanya gadis majikan itu.
“Kau-bawa surat?”
“Ya,” jawab si pegawai. “Nyonya Besar sakit, Tuan Muda
diminta lekas pulang. Ini suratnya.”
Sambil berkata demikian, Ong Sun mengeluarkan
sepucuk surat dan terus menyampaikan kepada
majikannya.
19 Bak: batang tinta cina berwarna hitam; bak-hi: tatakan bak.
Surat di zaman dulu itu tak beramplop, hanya dilipat
saja. Eng Tay menerimanya, terus membuka dan
membacanya. Benar saja, mamanya sakit dan ia diminta
lekas pulang.
“Mama sakit apa?” tanya Eng Tay sehabis membaca
surat.
Ong Sung menggelengkan kepalanya.
“Saya tidak tahu, hanya Nyonya Besar tidur terus.
Apakah tidak dijelaskan di dalam surat?”
Eng Tay merunduk, pikirannya bekerja. Segera ia
memutuskan untuk lekas pulang. Ia pun sudah belajar
cukup tiga tahun lamanya. Dulu pernah ia berjanji pada
ibunya, “kalau mama sakit, ia akan segera pulang.” Maka
sekarang telah tiba saatnya.
“Baiklah,” katanya kemudian kepada Ong Sun. “Aku
hendak bersiap-siap dulu, besok pagi baru akan
berangkat.”
Ong Sun mengangguk ia menurut saja.
“Tapi kamu berangkat lebih dulu, membawa barangbarang,”
kata gadis majikan itu lagi “Aku bersama Gin Sim
akan menyusul”
“Baik, Tuan Muda.”
“Sekarang beristirahatlah dahulu!” kata Eng Tay yang
terus masuk ke dalam. Kepada Gin Sim diberitahukannya,
tentang mamanya yang jatuh sakit dan abdi ini
diperintahkan segera merapikan segala barang.
Kemudian Eng Tay mendatangi San Pek yang di saat itu
sedang membaca buku. Hatinya terasa gelisah, toh ia
berdiri di depan si kakak angkat dan menyapa: “Kak..!”
San Pek meletakkan bukunya, ia menoleh.
“Ada apa, Dik?” tanyanya seraya mengawasi. Sang adik
tampak lain.
“Coba Kakak katakan, sudah berapa lama kita belajar di
sini?” tanya Eng Tay.
“Hitung-hitung, cukup lama,” jawab San Pek. “Sudah
tiga tahun. Kau tanyakan hal ini, ada apa?”
“Kakak benar. Aku ingin memberitahu, baru saja aku
menerima surat dari rumah yang mengatakan bahwa
Mamaku sakit, maka aku diminta lekas pulang. Mungkin
sakit Mama ringan tetapi aku harus pulang. Tiga tahun
sudah aku meninggalkan rumah. Kakak pikir bagaimana?”
“Tentu saja kau harus pulang, hanya....”
Sambil berkata begitu San Pek bangkit berdiri. Ia
menatap kawannya itu.
Eng Tay bisa menerka perasaan si pemuda.
“Aku juga berat meninggalkan kau, Kak,” katanya.
“Namun... kalau nanti Kakak juga pulang, bila ada
kesempatan sebaiknya Kakak cepat-cepat datang ke
rumahku...”
“Kapan Adikku berangkat?” tanya San Pek. “Aku ingin
mengantarmu selintas.”
“Aku akan berangkat besok. Kakak Nio, tak sanggup ku
terima kebaikan hatimu untuk mengantarkan aku.”
Waktu itu, Su Kiu muncul. Ia lantas berkata kepada
majikannya: “Barusan Gin Sim mengatakan bahwa Tuan
Muda Ciok hendak berangkat pulang besok, tak dapatkah
Tuan Muda minta agar keberangkatannya ditunda?”
Nyata abdi ini pun merasa berat untuk berpisah.
“Tak bisa, Su Kiu,” jawab sang majikan “Mama Tuan
Muda sakit, beliau memangilnya, ia harus pulang.
Memang, berat rasanya untuk kita berpisah. Besok kita
berdua akan mengantarkan Tuan Muda.”
“Tuan Muda hendak mengantar, itu baik sekali,” kata
Gin Sim. “Tapi Tuan Muda saya ingin bicara dengan Tuan
Muda.”
“Gin Sim, barangmu serahkan aku, aku yang bawa!”
kata Su Kiu. “Aku tak pandai bicara, ini saja yang bisa
kulakukan....”
“Boleh saja,” jawab Eng Tay mewakili abdinya. “Aku
sekarang hendak menemui pak guru Ciu. Gin Sim, ayo
ikut aku, kau pun perlu pamit.”
“Baik Tuan Muda,” sahut sang abdi.
Maka mereka berdua pergi mencari pak guru Ciu. San
Pek mendampingi.
“Nak, apa ada sesuatu yang hendak kalian tanyakan
padaku?” tanya Pak Guru Ciu ketika melihat kedatangan
murid-muridnya.
“Bukan, Pak Guru,” sahut Eng Tay, masih di luar pintu,
“murid hanya ingin bicara....”
“Kalau begitu, mari masuk!” undang Ciu Su Ciang, sang
guru, yang sedang duduk di dalam kamarnya.
Eng Tay dan San Pek masuk, keduanya memberi
hormat.
“Baru saja murid menerima surat dari rumah,” kata Eng
Tay kemudian. “Katanya, Mama saya sakit dan saya
diminta pulang, maka dari itu, murid datang untuk
memberitahu sekalian mohon pamit.”
“Jika Nyonya Besar sakit, memang kau harus pulang,”
kata sang guru. “Kapan kau berangkat?”
“Besok, Pak Guru,” jawab Eng Tay. “Sekarang murid
ingin menemui Su-bo.”
“Kau ingin bertemu Su-bo-mu, baiklah, akan kupanggil
dia ke luar. Tunggu sebentar.”
Guru itu berdiri, terus ia masuk. Hanya sebentar, ia
sudah ke luar pula bersama Ho-si, istrinya.
“Kau hendak pulang, Nak?” tanya sang istri guru
mendahului murid suaminya.
“Ya, Su-bo,” sahut Eng Tay, yang terus menyambut dan
memberi hormat. “Murid mohon pamit. Murid
mengucapkan terima kasih, sebab selama tiga tahun saya
diizinkan mengganggu Su-bo.”
Sang istri guru itu tertawa.
“Jangan kau ucapkan itu, Nak, itu tidak ada artinya,”
katanya.
“Su-bo, Gin Sim juga ingin pamit,” ujar Eng Tay
menambahi. “Maafkan dia yang sering rewel. Ia
mengatakan, Su-bo sangat baik terhadapnya.”
Istri guru yang baik hati itu tertawa.
“Dia hanya meminjam ini dan itu yang tidak berarti,”
katanya.
“Sekarang, Nak, kau hendak bicara apa denganku?
Silakan.”
Eng Tay mengawasi istri guru itu, ia tampak ragu-ragu
hingga Ho-si menganjurkannya untuk berbicara saja.
Eng Tay masih juga bimbang, baru saat kemudian ia
minta untuk berbicara di dalam.
Ho-si heran, namun ia mengajak murid itu masuk.
Segera Eng Tay, membuka rahasianya sehingga sang
istri guru menjadi terkesima. Ia mengamati gadis itu dalam
penyamarannya.
“Sekarang murid mau pulang, murid minta agar rahasia
ini tidak dibuka, mohon pengertian Su-bo....”
Ho-si mengawasi, ia tersenyum.
“Nak, kau jangan kuatir,” katanya “Kau tahu, sudah
dari awal aku menerka siapa kalian berdua. Ternyata
kalian pandai membawa diri, aku tadinya kuatir. Kalian
boleh berlega hati, aku tahu apa yang harus ku lakukan.
Nah, kau hendak bicara apa lagi? Duduklah!”
Eng Tay tidak duduk, melainkan mendekati nyonya
rumah.
“Saya ingin bicara mengenai kakak Nio San Pek,”
katanya perlahan. “Ia baik dan jujur, dengan saya ia
seperti saudara kandung. Tiga tahun kami sekolah
bersama, dia tak tahu siapa diri saya sesungguhnya
Ho-si mengangguk.
“Sungguh luar biasa!” katanya.
“Walaupun demikian, saya merasa tak enak,” kata Eng
Tay lagi. “Sekian lama saya telah mendustainya....”
“Lalu sekarang, apa yang ingin kau lakukan?” tanya Hosi.
“Bukankah lebih baik kalau bicara terus-terang saja
padanya?”
“Itu sulit. Beberapa kali saya ingin bicara, tetapi selalu
gagal, demikian juga kali ini. Maka sekarang saya berpikir
Su-bo....”
Sang istri guru tertawa.
“Ini tidaklah sukar,” katanya. “Akan ku jelaskan
padanya. Ada pesan lainnya?”
“Saya mohon bantuan Su-bo lagi. Tolong katakan
padanya tentang hubungan kami yang akrab selama tiga
tahun seperti kakak-beradik. Saya minta Su-bo sampaikan
padanya bahwa sejak hari ini, saya tak bisa dijodohkan,
dengan orang lain, siapa pun juga. Maka saya berharap dia
segera datang....”
Nona Ciok tak bisa meneruskan kata-katanya, ia jengah
dengan sendirinya.
Akan tetapi Ho-si sudah maklum maka ia berkata:
“Baiklah! Kau jangan kuatir! Aku akan menjadi
perantara jodoh kalian berdua. Kau akan memberikan
tanda mata apa?”
Eng Tay merogoh sakunya, ia mengeluarkan kupu-kupu
terbuat dari batu kemala yang indah. Diserahkannya itu
pada istri gurunya lalu ia berkata: “Inilah permata milikku
sejak kecil. Karena permata ini, ayah dan ibuku
memanggilku Kiu Moy. Kalau nanti Su-bo menemui dia,
biarlah dia menggunakan kupu-kupu kemala ini sebagai
tanda mata.”
Ho-si mengawasi batu kemala itu, ia tertawa.
“Baiklah, akan ku serahkan kemala ini padanya,”
janjinya.
“Terima kasih, Su-bo!” kata Eng Tay sambil memberi
hormat. “Semoga rahasia ini bisa tertutup rapat. Sekarang
murid hendak menemui Pak Guru kembali, murid hendak
mengucapkan selamat berpisah.”
Ho-si yang baik hati dan manis budi itu, tertawa lagi.
Segera ia memanggil suaminya, dan pak guru Ciu segera
muncul.
Eng Tay lantas menjura pada guru dan nyonya gurunya
itu, lalu mengucapkan selamat berpisah dengan berat hati.
Bapak guru dan istrinya itu sangat baik terhadapnya.
Setelah itu, bersama Gin Sim ia kembali ke kamarnya. Ia
melihat barangnya telah disiapkan.
“Kakak Nio,” kata adik ini, “kita telah sekolah bersamasama,
kita benar-benar seperti kakak-adik, maka dari itu
barang-barang kita tak bisa dipisah-pisah, semua sudah
tercampur menjadi satu. Ya, tak bisa kita
membedakannya....”
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Romantis Mandarin Legendaris Sam Pek Eng Tay 1 ini diposting oleh ali afif pada hari Kamis, 20 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.