Cersil Baru Terbit : Pedang Kunang Kunang

AliAfif.Blogspot.Com -
Cersil Baru Terbit : Pedang Kunang Kunang
Baca JUga:
JILID 1
BADAI PRAHARA yang melanda gunung Yausan
tetap tak kuasa menahan sesosok tubuh yang pesat
mendaki ke puncak. Tiba di puncak, ia berhenti dimuka
sebuah gedung kuna yang besar. Dari pancaran kilat
yang memecah kepekatan malam, tampak orang itu
bertubuh gagah. Menyelip pedang di pinggang dan
menyanggul sebuah kantung kulit dibahunya. Yang
mengherankan, kepala dan mukanya tertutup sebuah
kedok hitam yang hanya berlubang pada bagian mata
dan mulut.
Gedung itu sebuah bangunan kuna, besar dan
megah. Disekelilingnya dijaga, ketat oleh berpuluh-puluh
orang suku Yau, siap dengan alat supit beracun.
Sejenak berhenti, orang berkedok itu lanjutkan larinya
masuk kedalam gedung, berpuluh-puluh penjaga orang
Yau, serta merta memberi hormat dan membiarkannya
masuk.
„Yah .......!” secepat masuk kedalam gedung orang itu
segera berseru.
Dari nadanya, menandakan dia masih muda. Tirai
yang menutup dinding ruang tersingkap. Tampak
beberapa orang Yau tegak dikanan kiri sebuah kursi
3
yang diduduki seorang lelaki tua. Wajahnya berwibawa,
tubuh tinggi besar sehingga dalam keadaan duduk,
tingginya tak kurang dan satu setengahmeter! Dia
mengenakan pakaian yang aneh sekali. Sebuah jubah
panjang dari kulit harimau, membungkus dari ujung kaki
sampai keleher. Bagian kepala dan muka yang kelihatan
itu, ditumbuhi rambut, kumis dan jenggot panjang
berwarna merah. Orang berkedok tadi cepat maju
memberi bormat.
“Gak Luil” seru orang tua itu dengan keras.
“Ya !”
“Bagaimana hasilmu turun gunung kali ini.”
“Bagus sekali, yah. Setiap kugunakan satu jurus saja,
pedang musuh tentu sudah dapat kupapas kutung. Tak
kurang dari 100 batang kutungan pedang, kubawa
pulang, yah”
“Cukup banyak ! Lekas keluarkanlah!”
“Baik,!” sahut pemuda berkedok itu. Sekali bahunya
mengendap, kantong kulit bergemerincingan jatuh
menumpah kelantai. Isinya berpuluh-puluh batang
kutungan ujung pedang yang rata sepanjang jari tangan
........
Pemuda bertopeng itu menjemput sebatang ujung
pedang tipis lalu diunjukkan kehadapan siorang tua
aneh. Mata orang tua aneh itu berkilat-kilat memandang
kutungan pedang itu, lalu berseru: „Balikkan sebelahnya”
Pemuda itu mengia-kan. la membalikkan ujung pedang
kutung itu, agar kelihatan bagian sebelahnya.
“Bukan !” seru orang tua itu.
“Kuambil yang lainnya” kata pemuda itu seraya
menjemput sebatang kutungan ujung pedang lainnya.
4
“Lebih2 bukan tjuma sekali “
“Ya, ya! Kuganti yang lain lagi!” seru pemuda itu
seraya mengambil kutungan pedang lainnya. Namun
satu demi satu, pemuda itu mengunjukkan kutungan
pedang yang dibawanya, tetap orang tua aneh itu
mengatakan bukan atau salah. Dalam beberapa kejab,
100 batang kutungan ujung pedang telah ditunjukkan dan
ditolak oleh orang tua aneh itu. Wajah orang tua aneh itu
memandang setiap ujung pedang yang diperlihatkan
kehadapannya dengan penuh ketegangan. Wajahnya
berobah-robah. Sesaat tampak berputus asa, sesaat lagi
mengerut kecewa dan, akhirnya mendengus rawan.
Huak ...... se-konyong2 ia muntah darah dan terjungkal
dari kursinya.
“Yah ...... !” Gak Lui menjerit ngeri demi melihat
keadaan ayahnya. Seketika ia rasakan sendi-sendi
tulangnya lemas lunglai. Ayah, yang sejak ia kecil sampai
dewasa, belum pernah menggendong bahkan
menjamahnya sekalipun tidak pernah, ternyata oh .......
ternyata ...... seorang buntung. Kedua lengannya, sampai
kebatas bahu hilang. Kedua kakinya sampai kebatas
paha, lenyap. Hanya badan dan kepala saja yang masih
ada. Ajahku ternyata seorang manusia yang tinggal
bumbung badan saja ............
Karena terjungkal dari kursi, ia jatuh kelantai dan tak
dapat bangun. Gak Lui cepat menubruk ayahnya,
memeluk dan mulai memberi pertolongan dengan mengurut2
jalan darahnya.
Beberapa saat kemudian, dapatlah ayahnya itu
tersadar. Sesaat membuka mata, orang tua cacad itu
segera mengingau, memaki-maki dirinya sendiri: „Hari ini
barulah terbuka mataku........ kepandaianmu ternyata ....
masih terpaut jauh sekali .......ah, akulah ....... yang
5
salah........... !”
“Yah, mengapa engkau bersalah?”
“Karena tak seharusnya kusuruh engkau turun
gunung!”
“Mengapa?” Gak Lui makin heran.
“Karena bukan saja engkau tak berhasil, malah
memperbanyak musuh2 yang sakti”
“Tetapi mereka dapat kukalahkan dengan satu jurus
saja. Apakah mereka layak dianggap musuh sakti?
Bahkan beberapa jago ............”
“Siapa?” tukas orang tua buntung itu.
“Imam Hwat Lui dari partai Bu-tong-pay, Gan Wi dari
partai Kong- tong-pay dan masih banyak lagi kalau
kusebutkan”
“Mereka bukan termasuk tokoh yang benar2 sakti,
Hm......., janganlah kau terlalu membanggakan diri
karena dapat memapas kutung pedang lawan-lawanmu
itu. Karena tak tahu ilmu permainan pedang sejurus yang
kau yakinkan selama 10-an tahun itu, maka kalahlah
mereka. Tetapi coba engkau bertemu dengan musuh
yang dapat melayani sampai seratus-duaratus jurus,
masakan engkau masih dapat pulang kemari !”
“Yah, apakah benar kepandaianku sekarang ini
masih belum mcmadai?” tanya Gak Lui.
“Menilik caramu mengurut jalandarah dan
menyalurkan tenaga- dalam tadi, memang begitulah
keadaanmu!”
Tergetarlah hati Gak Lui karena dilanda kecewa yang
benar. Serunya: „Ah, Gak Lui memang pantas dibunuh
karena telah menyia-nyiakan jerih payah ayah selama
6
belasan tahun......” Tiba2 orang tua itu tersenyum rawan.
“Bukan salahmu Lui,” ujarnya tetapi karena salah
diriku yang sudah tak bertangan dan berkaki ini sehingga
tak dapat mengajarmu seperti mestinya. Delapan belas
tahun lamanya, engkau kusuruh menderita menerima
pelajaranku .... “
“Tetapi aku akan berlatih lebih keras lagi. yah”
“Ah, percuma,” orang tua itu menghela napas, „jika
tak mendapat guru yang benar2 sakti, percuma saja
segala jerih payahmu belajar ilmu kesaktian!”
“Jika ayah mengidinkan, aku akan mencari seorang
guru yang sakti.”
“Ah, sayang sekali. Beberapa sahabatku lama, tentu
sudah banyak yang meninggal dunia. Tetapi jika engkau
hendak mencari guru .... hanya ada seorang saja .......”
“Siapa, yah?”
“Li Liong-ci bergelar si Maharaja!”
“Bagaimanakah kesaktiannya?”
“Tatkala baru berumur 19 tahun, dia sudah dapat
mengalahkan tokoh2 sakti dari Tujuh partai persilatan
besar. Membasmi 5 Durjana yang mengganggu
ketenteraman dunia persilatan. Menurut penilaian umum,
dia merupakan tokoh yang tiada tandingannya didunia
persilatan!”
“Apakah cianpwae itu masih hidup?”
“Tahun ini, dia baru berusia 40-an, sudah tentu masih
hidup.”
“Kalau begitu tentu dapat kucarinya”
“Jika dapat diketemukan, Empat Pedang dari Busan,
7
tak sampai ....” kemarahan orangtua itu meluap hingga
tak sadarkan diri ia telah kelepasan omong,
membocorkan rahasia peribadinya yang dipendam
selama beberapa tahun.
Walaupun orang tua itu cepat hentikan ucapannya,
tetapi Gak Lui sudah terlanjur mendengar.
8
“Yah, siapakah Empat Pedang gunung Busan itu?”
serunya terkejut.
“Tiba2 wajah orang tua itu berobah bengis,
bentaknya: „persetan dengan obrolan kosong Empat
Pedang atau Lima Pedang “ Tetapi jelas Gak Lui
memperhatikan wajah ayahnya tampak tegang dan lesu.
Dia makin tertarik dan mendesak: „Tetapi tadi ayah
sendlri yang mengatakan, jangan membohongi aku
........Ayah!”
Orangtua aneh itu tetap tak mau mengatakan.
Tiba2 halilintar meletus diangkasa. Bumi serasa
tergetar keras. la rasakan dadanya ikut berombak karena
darahnya bergolak keras. Ah......, ia menyadari bahwa
malaekat Elmaut tak lama tentu akan menjemputnya. la
gerenyutkan geraham dan dengan kuatkan hati
ditatapnya Gak Lui. Lalu menghela napas: „Ah.......,
memang aku bohong kepadamu bahkan bukan hanya
kali ini saja!”
“Yah ... ? “ Gak Luil menjerit kaget.
“Pertama-tama yang akan kuberitahukan kepadamu
.......”
“Apa..... yah?” Gak Lui makin tegang.”.
“Aku BUKAN ayahmu !” Seketika menggigillah tubuh
Gak Lui mendengar ucapan ayahnya itu. Dengan nada
tenang dan dingin, orangtua itu balas bertanya:
“Kalau aku mempunyai bukti, engkau mau percaya
atau tidak?”
“Ini ....... ini .........!”
“Sejak kecil engkau kusuruh pakai kedok. Apa
sebabnya ? Karena ...... karena aku takut...... teringat
9
pada....... ayahmu! Dan mengapa selama ini aku tak
pernah menggendongmu, karena .... hatiku merasa
bersalah....... “
“Tidak membopong aku karena tangan....... tak
leluasa! Memberi kedok pada mukaku, mungkin untuk
menjaga jangan sampai .... musuh mengetahui “ tukas
Gak Lui. Sanggahan itu diucapkan dengan lantang
seolah-olah hendak menumpahkan isi hatinya.
Airmata orang tua itu berderai-derai membasahi
kedua pipinya. Dengan menggigit gigi erat2 ia berkata
pula: „Sekalipun engkau dapat menebak tepat yang
separoh bagian tetapi salah dengan bukti yang kumiliki.
Bukti peninggalan ibumu .........”
“Apakah itu “ Gak Lui memekik.
“Surat bertulis darah “
“Di ....... dimana?”
“Di bajuku, ambillah sendiril”
DENGAN TEGANG Gak Lui segera merabah-rabah
baju orangtua itu. Akhirnya ia menemukan sehelai
pakaian bayi. Pakaian baji itu bertulis darah yang sudah
menghitam dan berbunyi:
“Bayi ini bernama Gak Lui. Barang siapa kasihan,
harap dipungut sebagai anak ..........
“Ibu .......!” seketika menjeritlah Gak Lui dan rubuh
pingsan. Entah berselang berapa lama, setelah ditolong
beberapa orang Yau, Gak Lui dapat siuman. Lalu dengan
nada rawan2 pilu ia bertanya kepada orangtua aneh itu:
„Gihu, siapakah ayah dan ibu kandungku.......?''
“Akan kuberitahukan tetapi engkau harus mentaati
sebuah hal”
10
“Jangankan hanya sebuah, seribu buah perintahpun
aku akan melaksanakan pesan gihu!” kata Gak Lui. Sejak
mengetahui orangtua itu bukan ayah kandungnya, Gak
Lui berganti memanggil Gihu atau ayah angkat.
“Simpanlah dahulu janjimu itu. Sekarang
dengarkanlah. Aku hendak memberitahu ibumu .........”
“Siapa nama ibuku ......?”
“Tio Yok-ceng !”
“Sekarang dimana?”
“Tak ketahuan rimbanya, entah masih hidup entah
sudah mati.”
“Apak ciri-ciri-nya...?”
“Aku tak tahu, yang kuketaltui dia seorang gadis yang
gemar belajar ilmu sastera. tidak suka ilmu silat!”
“Lalu ayahku ......?”
“Tokoh pertama dari Empat Pedang Busan. Bernama
Gak Tiang- beng bergelar Pedang Malaekat.
“Apakah beliau masih hidup?”
“Kuyakin dia sudah tiada di dunia lagi.......!”
“Kalau begitu, gihu tentulah ........ “
“Aku .... aku ..... aku sungguh menyesal sekali
kepada ayahmu. Tak usah diungkit lagi!”
“Merawat merupakan budi sebesar langit. Aku harus
mengetahui!” Gak Lui berseru keras.
“Aku merupakan tokoh Empat Pedang yang paling
buncit, bernama Ji Ki-tek dengan gelar si Pedang Laknat
!”
11
“Dan siapakah paman guru yang masih dua orang
itu?''
“Paman gurumu yang kedua adalah Ho Tiong-ing si
Pedang Iblis, sedang yang ketiga adalah seorang
wanita.... Bibi gurumu itu bernama Li Siok-gim bergelar
Pedang Bidadari. Sedang nama2 Malaekat, Iblis,
Bidadari dan Laknat itu merupakan empat serangkai jago
pedang dari gunung Busan.”
“Apakah kedua beliau itu juga ........ ?”
“Jika tidak meninggal tentu sudah menjadi orang
cacad......!” sahut siorang tua aneh.
“Huahkkk .......!,” tiba2 Gak Lui muntah darah. Rasa
pilu dan geram bercampur aduk mengoyak dadanya.
Namun ia menggerenyutkan gigi dan bertanya:
„Siapakah musuh itu....?”
“Entahlah!.” Jawaban itu membuat Gak Lui terbeliak.
Se runya menegas: „Gihu telah menderita luka amat
parah, masakan tak dapat mengetahui siapa musuh gihu
itu?”
“Aku diserang oleh empat orang yang mengenakan
kerudung muka hitam. Benar2 aku tak dapat melihat
wajah mereka.”
“Masakan Empat Pedang Busan tak mampu
menghadapi gerombolan orang bertopeng itu?”
“Ah .... jika Empat Pedang tak bercerai, tak mungkin
orang berani menyerang!”
“Jadi, Empat Pedang itu diserang secara terpisahpisah
......”
“Jangan memutus dulu, dengarkan aku bercerita dari
permulaan. Lebih dulu hendak kututurkan tentang
12
suasana perguruanku.......” Gak Lui menumpahkan
seluruh perhatian untuk rnendengarkan.
“Sebenarnya bermula kami berempat ini tak saling
mengenal. Dan masing2 mempunyai kepandaian
sendiri2. Tetapi pada 30 tahun berselang, kami berempat
telah diambil oleh Busan It-ho. Karena kami berempat
sebelumnya memang sudah memiliki ilmu kepandaian
maka guru Busan It-ho menurunkan pelajaran tanpa
ikatan guru dengan murid. Tanpa membedakan nama
dan asal.”
“Masakan sebelumnya kakek guru, tak punya
seorang muridpun.......!”
“Seumur hidup beliau hanya menerima seorang
murid.”
“Lalu paman guru itu ......?”
“Aku tak tahu namanya dan tak pernah melihat
wajahnya. Yang kuketahui, murid itu sudah diusir oleh
guru dan tak boleh menggunakan ilmu pelajaran silat
ajaran guru untuk selama- lamanya!”
“Oh....!”
“Takut kalau murid itu kelak akan melakukan
kejahatan, maka guru telah mengambil kami berempat
untuk diberi pelajaran. Agar kelak kami, dapat
menundukkan murid itu. Setelah menurunkan
kepandaiannya, beliaupun menutup mata. Kemudian
kami beranai-ramai mencari murid murtad itu. Asal dia
tetap menggunakan ajaran dari guru, segera akan kami
berantas!”
“Lalu apakah dapat bertemu?” tanya Gak Lui.
“Selama 10 tahun didunia persilatan tak terdapat
orang yang menggunakan ilmu ajaran dari perguruan
13
Busan. Kebalikannya kami Empat Pedang telah
tertimpah suatu peristiwa yang tak tersangka-sangka
....... “
“Peristiwa apakah itu?”
“Bibi gurumu Si Pedang Bidadari Li Siok-gim semula
oleh guru, telah ditunangkan dengan paman gurumu
yang kedua Pedang Iblis Ko Tiong-ing. Tetapi ternyata
bibi gurumu itu lebih mesra hubungannya dengan,
ayahmu ....”
“Karena itu paman guru kedua marah'' sambut Gak
Lui.
“Tidak.... !”
“Masakan ayahku ...... “
“Juga tidak......!” sahut orangtua aneh itu cepat2.
“Ini ...... benar2.aku tak mengerti.”
“Paman guru keduamu, menganggap tindakan guru
menetapkan perjodohan itu terlalu ter-gesa2. Dan lagi
bibi guru dan ayahmu itu benar2 merupakan sejoli yang
pantas sekali. Oleh karena itu dengan dada lapang,
paman guru keduamu rela membatalkan tali
pertunangan. Tetapi ayahmu ternyata juga seorang lelaki
perwira. Ia anggap perintah guru tak boleh dilanggar.
Pula ia tak mau merampas Cinta orang lain. Maka dia
pun menolak maksud paman guru keduamu. Sedang bibi
gurumu terombang ambing diantara perintah guru
dengan suara hatinya. Aku ...... aku.....”
“Gihu bagaimana....?”
“Aku menyetujui tindakan paman guru keduamu.
Karena ayahmu bersikeras menolak, maka timbullah
perselisihan hebat. Kumaki ayahmu sebagai lelaki yang
14
tak bertanggung jawab pada cinta yang suci......!”
“Lalu...?”
“Karena malu ditolak cintanya, bibi gurumu marah
dan pulang kekampung halamannya. Paman gurumu
yang keduapun menghilang tiada ketahuan jejaknya.
Ayahmupun pulang kedesanya sedang aku mengembara
kegunung Yausan sini untuk membasmi binatang buas
tetapi akhirnya aku dipuja dan diangkat mereka sebagai
Sin-beng....!” Sin-beng artinya malaekat.
“Lalu bagaimana dengan ibuku...?”
“Ayahmu adalah putera tunggal dari ketuarga Gak.
Dia harus mempunyai keturunan penyambung
keluarganya. Maka menikahlah ia dengan Ibumu.
Setahun kemudian, lahirlah engkau didunia. Beberapa
bulan kemudian lalu timbul peristiwa yang mencurigakan
itu!”
“peristiwa mencurigakan ..... ?” Gal Lui mengulang
kata2 itu.
“Lalu.....?” Wajah Pedang Laknat Ji Ki-tek itu
menebar merah. Semangatnya tampak agak baik. Diam2
Gak Lui bersukur dulam hati karena mengira ayah
angkatnya itu makin baik keadaannya.
“Sejak berpisah pada 20 tahun yang lampau,”
Pedang Laknat mulai menutur lagi, „tepat pada masa
itulah si Maharaja Li Leng-ci sedang menumpas Lima
Durjana dunia persilatan. Tugas untuk mengikis habis
gerombolan orang jahat lain-lainnya dibebankan pada ke
7 Partai persilatan. Tetapi selama gerakan itu
berlangsung, dalam satu dua tahun itu, bebanapa tokoh
persilatan yang ternama telah hilang tanpa bekas
sehingga menimbulkan kegelisahan dan kecurigaan
15
masing2 partai persilatan.”
“Masakan Li cianpwe diam saja ?”
“Sejak menumpas kelima durjana itu, dia lalu
mengundurkan diri dari dunia persilatan. Walaupun
masih terdengar desas-desus tentang dirinya tetapi tiada
seorangpun tahu dimana keberadaanya. Pada saat
partai2 persilatan itu kebingungan, tiba2 ayahmu
menemukan suatu rahasia. Segera dia suruh suhengmu
Gak Ci kegunung Yausan sini memanggil aku.”
“Gak suheng? Apakah bukan makamnya yang setiap
tahun kujenguk itu ?”
“Benar...! Dan lagi dia sebenarnya masih engkoh
misannya sendiri.” Tubuh Gak Lui gemetar, dendam
hatinya makin meluap: „Setelah gihu pergi, lalu ?”
“Mendengar penuturan Gak Ci tentang pernikahan
ayahmu, hatiku makin penasaran. Maka sengaja ku-ulur
waktu dan lebih dulu kusuruh Gak Ci pulang untuk
menanyakan hal itu lebih jelas baru datang ke Yausan
lagi. Tetapi pada waktu dia datang kemari untuk yang
kedua kalinya, dia pun membawa engkau ........”
“Ayah-bundaku......?”
“Rumahmu sudah menjadi tumpukan puing. Ayah
dan ibumu tak tampak. Gak Ci menemukan engkau
didalam semak belukar diluar desa. Dan ketika
membawamu kemari, ia mengetahui bahwa dirinya
sedang diikuti orang. Demi menjaga keselamatanku dan
dirimu, suhengmu tak mau tinggal disini melainkan terus
pergi. Dia hendak gunakan siasat untuk mengalihkan
perhatian musuh. Tetapi ah........, anak itu ........ Tak
berapa lama turun dari gunung ini, dia telah dibunuh
orang .......!''
16
“Oh......!” menjeritlah Gak Lui meratapi nasib
suhengnya yang malang itu.
“Begitu kudengar hal itu, cepat2 aku menuju
ketempat kejadian. Tetapi disitu aku dikepung oleh empat
orang berkedok hitam. Yang seorang hanya melihati di
pinggir, sedang yang tiga menyerang aku. Ternyata
ketiga lawanku itu dapat menggunakan ilmu silat dari
golongan Tujuh partai persilatan. Karena marah, aku
mainkan jurus yang ganas. Dalam tiga jurus kemudian,
berhasillah kupapas kutung pedang mereka. Dan dalam
kesempatan yang bagus, kukiblatkan pedang untuk
menutuk jalan darah pada alis mereka. Tetapi tak
terduga ....... “
“Bagaimana'“
“Ujung pedangku tak mempan menusuk muka
mereka. Disebelah dalam dari kain kerudung hitam,
masih dilindungi dengan topeng baja......!”
“Ah .......”
“Pada saat, ujung pedangku gagal, mereka cepat
menabas dengan pedangnya yang sudah kutung. Cepat2
akupun gunakan jurus Burung-rajawali-merentang-sayap,
melambung keudara. Tetapi pada saat aku sedang
berada di udara, tiba2 terdengar engkau menangis dari
dalam ruangan! Karena perhatianku terpencar, pedang
mereka berhasil memapas kutung kedua kaki dan
tanganku ........... !” Karena dadanya penuh sesak dilanda
luapan kemarahan, Gak Lui sampai tak dapat mengucap
apa2. Dengan wajah mengerut kenangan waktu lampau
yang celaka itu, Pedang Laknat Ji Ki-tek melanjutkan
ceritanya lagi.
“Melihat aku rubuh ditanah, ketiga orang bertopeng
besi itu tak mau menyerang lagi. Tetapi orang yang
17
melihat dari pinggir gelanggang tadi rupanya takut kalau
aku belum mati. la bergegas lari menghampiri dan
secepat kilat menusuk tenggorokanku. Tetapi pada saat
ujung pedangnya berkilat ditingpah sinar matahari saat
itu, kulihat ....... kulihat........”
“Melihat apa....? “
“Pada ujung pedangnya terdapat guratan huruf
Sepuluh (berbentuk ulang)! Lukisan itu merupakan ciri
khas yang terdapat pada pedang ayahmu”
“Hai........'' Gak Lui menjerit kaget. Kemudian ia
menyadari, kata2 nya: „Jelas lukisan huruf 10 itu, adalah
ciri senjata dari musuh ayah. Gihu suruh aku memapasi
pedang orang karena hendak menyelidiki jejak musuh itu,
bukan?”
“Dugaanmu tepat .........”
“Tetapi ternyata aku tak berhasil menemukannya,
kelak aku ........”
“Justeru untung engkau tak bertemu. Jika ketemu
dengan orang itu .......ah, dosaku makin, besar........!”
Gak Lui terkesiap. Mulutnya mengingau seorang diri:
“Aku tentu dapat mencarinya ..... aku.......”
“Lui jangan memutuskan omonganku. Aku masih
belum selesai ber-cerita..... !” Gak Lui tersadar dan
bertanya pula : „Pada waktu gihu terluka, bagaimana
dengan pengawal2 orang Yau itu?”
“Untunglah mereka keburu datang pada saat yang
tepat. Dengan alat2 supit panah beracun, mereka
memaksa kawanan orang berkerudung itu mundur.
Tetapi orang yang hendak membunuh aku itu terlambat
menjaga diri. Sebatang panah beracun dari orang Yau
berhasil mengenai ujung hidungnya!”
18
“Mati ?”
“Orang itu tangkas sekali. Cepat ia memapas
hidungnya sendiri karena tahu. bahwa panah orang Yau
itu beracun. Habis itu iapun segera meloloskan diril”
“Si Hidung Gerumpung! Topeng Besi! Hmm......,
mereka tak mungkin lolos!” Gak Lui menghela na-pas.
“Gihu tadi mengatakan,” kata Gak Lui pula „ bahwa
ketiga orang bertopeng besi itu masing2 berasal dari
partai persilatan besar. Dari partai manakah mereka itu
sesungguhnya? “ Pedang Laknat Ji Ki-tek terkesiap. la
gelenglcan kepala : „Pokok asal partai pesilatan yang
ternama dalam ilmu pedang, tak perlu menyebutkan
namanya ......!”
“Me .......mengapa ?”
“Setelah merenungkan selama 18 tahun, kuyakin
pembunuh yang sebenarnya adalah si Hidung
Gerumpung itu. Tentang ketiga orang bertopeng besi itu,
masih belum, dapat dipastikan.”
“Artinya.... ?”
“Karena begitu melihat aku rubuh ditanah, mereka
berhenti menyerang. Hal itu memang mengherankan “
“Tak ada hal yang patut diherankan, Pendek kata
mereka adalah gerombolan mariusia2 murtad, harus
dilenyapkan ....... !”
“Belum tentu....! Jika manusia murtad, masakan
mereka tak sampai hati membunuh aku.... Hanya
bagaimana persoalan yang sesungguhnya memang aku
belum dapat menilai ........!”
“Gak Lui berduka sekali hatinya. Ia mengeratkan gigi
sekeras- kerasnya: „Ayah, ibu ...... bibi guru, paman guru,
19
engkoh Ci ........aku bersumpah hendak menuntut balas
pada manusia yang telah menganiayamu itu .........”
Terkesiaplah Pedamg Laknat Ji Ki-tek mendengar
sumpah yang diikrarkan Gak Lui. Dari sepasang matanya
memancarlah sinar dendam yang ganas. Tiba2 halilintar
meletus dahsyat. Gedung seolah-olah tergetar.
“Lui..!, habislah ceritaku. Engkau harus meluluskan
syaratku” kata orangtua itu.
“Silahkan gihu mengatakan, aku tentu akan
melaksanakannya!”
“Bagus, itulah baru seorang anak yang baik” puji Ji
Ki-tek, sekalipun kepandaianmu masih kurang tetapi
diwilayah Yausan sini engkau, sudah tergolong tokoh
nomor satu. Setelah aku mati, warisilah kedudukanku
disini. Jangan engkau turun gunung selama-lamanya,
agar kelak engkau dapat menurunkan anak penyambung
keluargamu!”
“Ini...., ini.....” hampir2 Gak Lui tak percaya apa yang
didengarnya dari mulut orangtua itu, „Ini ... tak dapat
kulaksanakan, aku harus pergi”
Pedang Laknat membentak marah: „Tidak......!”
Dengan kepandaian yang engkau miliki saat ini, berarti
hendak bunuh diri jika engkau mau cari musuh itu pula
kedua orangtuamu, bibi dan paman gurumu, belum tentu
sudah meninggal tetapi hanya menyembunyikan diri dari
kejaran musuh itu. Engkau...... engkau perlu apa ........ “
Gak Lui cepat memeluk ayah-angkatnya itu. Dengan
berlinang- linang airmatanya ia berseru : „Janganlah gihu
membohongi aku. Ketahuilah, Gak Lui tak takut mati ......!

“Tidak ....! Aku tak mengidinkan engkau menempuh
20
bahaya lagi.....!”
“Aku takkan menyebut-nyebut asal usulku, dan tetap
menggunakan kerudung muka. Dengan mengandalkan
sebatang pedang ......... “
“Ilmu pedangmu adalah ajaranku. Musuh tentu akan
mengenalinya ......!”
“Gihu, selamanya aku tak pernah melanggar
peintahmu. Tetapi kali ini, aku hendak mengambil
keputusan sendiri.......,” tiba2 ia tak dapat melanjutkan
kata-katanya karena saat situ tiba-tiba ayah angkatnya
muntah darah dan darahnya menyembur kemukanya.
Maka Gak Lui basah kuyup dengan darah segar .......
Karena menahan kemarahanlah maka Pedang Laknat
sampai menghambur darah lagi. la tundukkan kepala,
napas terengah- engah, serunya : „Engkau ... bersikeras
hendak........pergi?”
“Aku hendak membalaskan sakit hati orang tuaku !”
seru Gak Lui dengan tandas. Tahu bahwa takkan
berhasil jika mencegah kehendak anak itu. Pedang
Laknat Ji Ki-tek paksalkan diri mengangkat kepala. Lalu
berkata dengan terengah-engah : „Kalau begitu ...
pergilah....... lebih dulu .... ke ...... “
“Kemana? “ teriak Gak Lui.
“Butong-san ..... mencari .......mencari ......”
“Mencari siapa ? “
“Mencari ....... ketuanya ..... Ji Ih totiang ..... tanya ....
tanyakan ..... ,”
“Tanya apa......?” Tiba2 kepala Pedang Laknat Ji Kitek
terkulai. Dari ketujuh lubang inderanya, mengalir
darah. Orangtua itu sudah meninggal dalam
cengkeraman dendam penasaran ........!
21
Gak Lui lepaskan pelukannya dan duduk numprah
ditanah. Kedua matanya terlongong-longong
memandang kehampaan. Mulutnya terkancing rapat. Dia
tak menangis, tak menyerang. la rasakan sekeliling
penjuru alam ini hampa, kosong melompong....
Entah berselang berapa lama, tiba2 dipelupuk
matanya terlintas beberapa sosok tubuh orang ...... ayah
angkatnya .... suhengnya yang mati secara
mengenaskan itu ....... ayah-bundanya yang tak ketahuan
rimbanya .... dan bibi guru serta paman gurunya .........
Wajah mereka kelihatan samar2 berlumuran darah yang
mengerikan. Darah ....! Seketika terjagalah Gak Lui dari
lamunan duka- nestapanya.
“SIAPAKAH geragan si Hidung Gerumpung?
Mengapa mereka mencelakai Catur Pedang, atau empat
jago pedang dari Busan. Dan mengapa pula menawan
beberapa tokoh partai persilatan? Dan siapakah pula
gerombolan Topeng Besi itu? Apakah mereka murid2
murtad dari partainya atau memang sudah dikuasai oleh
si Hidung Gerumpung itu ......... ?” Demikian pikiran Gak
Lui melalu-lalang dugaan dan tafsiran.
Benaknya melamun dan melayang jauh .............!
Tiba2 dalam lamunan itu, muncullah tiga orang
bertopeng besi. Mereka tertawa dingin macam iblis
menyeringai ........... Pada lain saat, terbayanglah sebuah
wajah yang aneh menyeramkan. Dibagian - tengah dari
wajah orang itu, berlubang besar sehingga tak ada
hidungnya.
“Heh...., heh......”orang gerumpung tertawa
mengekeh.
“Sedang Catur Pedang dari Busan saja, dapat
kubasmi apalagi bocah kemarin sore seperti macammu.
22
Engkau hendak mengantar jiwa bukan? Ha... ha... ha ..
ha....!”
Gak Lui marah sekali. Dengan sekuat tenaga ia
meraung: „Kubunuh engkau.......!” Tring ... ia mencabut
pedang dan disabetkan pada orang gerumpung itu.
Tetapi astaga! Orang gerumpung itu menghilang, dan
iapun hanya menebas angin saja. Seketika ia tersadar
bahwa saat itu dirinya sedang berdiri didepan makam
ayah angkatnya, Pedang Laknat Ji Ki-tek.
Ternyata karena tak kuat menahan luapan marah dan
kesedihan, Gak Lui jatuh pingsan. Selagi ia masih belum
sadar, orang2 Yau itu segera mengubur jenazah Pedang
Laknat. Dan saat itu, Gak Lui sedang berdiri
menyembahyangi makam ayah angkatnya. Tetapi karena
teringat akan peristiwa sakit hati seperti yang diceritakan
ayah-angkatnya, kembali benak Gak Lui terkenang dan
terbenam dalam lamunan seperti diatas.
“Ah......., “ ia mengerang ketika tersadar akan
keadaan disekelilingnya. Yang hendak dibunuhnya tadi
adalah tokoh gerumpung menurut ciptaan khayalannya
belaka.
Seorang wakil orang Yau maju menghampiri, ujarnya:
„Sekarang engkau meniadi Malaekat pelindung suku
Yau, harap lekas ..........” ........
Gak Lui menyimpan pedangnya lalu menyahut dalam
bahasa Yau : „Terima kasih atas budi dan kecintaan
kalian, tetapi aku harus pergi ke Tiong-goan ! “
“Apakah bisa balik kembali kemari ?”
“Setelah berhasil, sudah tentu aku akan kembali lagi
......”
Gak Lui tak dapat melanjutkan kata2nya karena
23
seluruh suku Yau yang hadir di muka makam Pedang
Laknat, serentak berlutut memberi hormat kepada anak
muda yang diangkatnya sebagai Malaekat Pelindung itu.
Kemudian dengan kata2 yang tandas, Gak Lui berdoa
dihadapan nisan Pedang Laknat :
“Gak Lui hendak mohon diri. Aku berjanji pasti dapat
mencari ilmu kesaktian yang tiada tandingannya didunia.
Dengan ilmu kepandaian itu aku akan menuntut balas
kepada musuh kita. Setelah itu aku akan kembali lagi
kesini dan akan membuka kedok mukaku ini dihadapan
nisan gihu. Harap gihu mengasoh dengan tenang di alam
baka........”
---oo0oo---
Badai Prahara sudah reda tetapi langit masih,
tertutup awan hitam........ rembulan dan bintang tak
tampak sama sekali. Dibawah sinar api obor, tampak
berpuluh-puluh orang Yau meninggalkan makam Pedang
Laknat. Setelah menunaikan hormat mereka yang
terakhir kepada Malaekat Pelindungnya, merekapun
berbondong-bondong masuk kedalam hutan. Gak Luipun
pergi dengan membekal dendam penasaran. Dengan
sebilah pedang, ia hendak berkelana mencari guru sakti.
Mungkin dalam perkelanaannya itu ia akan mengikat
lebih banyak musuh dan lebih besar lagi dendamnya.
Namun baginya, tujuan hidup hanyalah hendak
membalas sakit hati terhadap musuh yang telah
membunuh ayah-bunda, suheng dan ayah angkatnya itu
...........
la arahkan langkahnya menuju kegunung Busan
untuk menemui ketua Bu-tong-pay. Selama dalam
perjalanan itu tak pernah ia berhenti merenung dan
24
memikirkan, apa tujuan ayah-angkatnya itu menyuruh dia
menemui ketua Bu-tong-pay. Dan hal apakah yang harus
ditanyakan pada ketua partai itu nanti ?
“Mungkin disuruh menanyakan tentang jejak ayahku,
mungkin tentang siapa2 murid Bu-tongpay yang lenyap
......” demikian ia menimang dan menduga- duga
kelanjutan kata2 yang belum sempat diucapkan oleh
Pedang Laknat karena sudah keburu menghembuskan
napas.
“Ah....., percuma menduga-duga. Nanti saja kalau
sudah bertemu dengan Ji Ih totiang, baru bilang ...... “
akhirnya ia menetapkan rencananya.
Sekonyong-konyong, terdengar suara bentakan yang
njaring melengking: „Berhenti! Disini tempat terlarang
bagi setiap pengunjung.”
Gak Lui berhenti. Memandang kemuka, barulah ia
menyadari bahwa saat itu ia sedang berhadapan dengan
sebuah sumber air yang mengalir dari suatu gundukan
karang yang tinggi. Pada dinding karang raksasa itu
terdapat tulisan tiga huruf „Ciat- kiam-coan” atau sumber
air Pelecut Pedang.
“Seorang imam muda berumur lebih kurang 20-an
tahun, tegak berdiri disamping sebuah batu. Dengan
menghunus pedang, imam muda itu memandang Gak Lui
tajam2. “Aku bernama Gak Lui, sengaja datang
mengunjungi gunung ini. Aku bukan seorang pelancong,”
Gak Lui memberi keterangan. Imam muda itu
memperkenalkan diri sebagai imam Lian Ti. Kemudian ia
menanyakan siapakah yang hendak dicari Gak Lui.
“Ketua Bu-tong-pay .......... “
“Ah .........” imam muda itu memandang kearah kedok
25
muka aneh yang menutupi wajah Gak Lui, lalu menegas:
„Apakah saudara sudah kenal dengan ketua kami?”
“Belum kenal,” sahut Gak Lui, „seorang cian-pwe
yang menyuruh aku kemari.”
“Mohon tanya, siapakah guru saudara?”
“Maaf tak dapat kuberitahukan.”
“Dari partai persilatan mana saudara berasal?”
“ini ...... ini juga maafkan sajalah,” Gak Lui agak
tersekat-sekat.
“Ada keperluan apakah saudara hendak menemui
kutua kami?” tanya imam itu pula. “Ah, maaf, tak leluasa
kukatakan. Kumohon suhu suka melaporkan
kedatanganku ini kepada Ji Ih totiang.........”
“Heh...., heh......!” imam muda itu tertawa dingin
sehingga ucapan Gak Lui terputus, “Mengapa suhu
tertawa?” tegur pemuda itu.
“Kakek guru Ji lh totiang sudah menutup mata
belasan tahun berselang, tak kira saat ini masih ada
orang yang hendak mencarinya!”
Gak Lui terbeliak. Kini baru ia menyadari bahwa
karena ayah angkatnya sudah lama tak campur urusan
dunia persilatan, maka akibatnya sekarang ia
ditertawakan orang.
“Kalau begitu aku hendak minta bertemu dengan
ketua yang sekarang,” kata Gak Lui akhirnya. Bukan
menjawab, kebalikannya imam muda itu malah balas
bertanya: „Saudara ini dari aliran Ceng-pay (putih) atau
Sia-pay (hitam) atau mungkin baru saja keluar dari
perguruan sehingga tak mengerti peraturan “
Gak Lui tertegun. Beberapa saat kemudian baru ia
26
berkata: „Apakah arti ucapan suhu itu?”
“Perguruan kami Bu-tong-pay, sejak kakek guru
menutup mata, sampai sekarang sudah 15 tahun
menutup pintu tak berhubungan dengan dunia persilatan
lagi. Ketua yang sekarang, Ceng Ki Totiang masih
menjalankan aturan menutup pintu tak berhubungan
dengan dunia persilatan lagi, dan tentu kami akan
melaksanakannya, kecuali ada perubahan untuk
menghapus aturan tersebut”.
Demikian imam Lian Ti menjelaskan kepada Gak Lui,
dan dia mengajukan pertanyaannya pada Gak Lui,
katanya : „Sebenarnya tugas apa yang sedang sicu
kerjakan, sampai harus sicu mencari Ketua kami ......?”
Gak Lui menjadi menjelaskan, bahwa dia mendapat
tugas seorang cianpwee untuk mengambil potongan2
ujung pedang dari tokoh2 ahli pedang di dunia persilatan
..............” baru sampai Gak Lui menjawab .... dia sadar
telah kelepasan omong ......... karena sebelumnya dia
tidak memberi penjelasan mengenai maksud
kedatangannya ke Butong-pay, selain ingin bertemu
dengan Ketua-nya saja.
Mendengar sepotong penjelasan Gak Lui saja, telah
membuat para penjaga disitu, terbeliak dan cepat
merobah kedudukannya, mengepung anakmuda itu. Dan
pada saat itu barulah terdengar imam Lian Ti berseru
dengan nada penuh keheranan: „Si Pemangkas Pedang
yang menggemparkan dunia persilatan itu........ apakah
engkau?”
“Tak salah!” sahut Gak Lui dengan terus terang, Hwat
Lui tojin dari perguruan sini, tentu masih ingat.”
“Oh....., kiranya paman guru Hwat Li juga ........” baru
imam Lian Ti berkata sampai disitu, tiba2 dari atas
27
puncak gunung terdengar genta ber-talu2 dengan keras.
Lian Ti dan kawan2nya serentak berobah pucat –
wajahnya. Rupanya diatas gunung telah terjadi peristiwa
yang genting. Kesempatan itu digunakan Gak Lui untuk
menganjurkan: „Dari pada mencegat aku, apakah tidak
sebaiknya suhu melapor kepada ketua!”
“Lian Ti' merenung sejenak lalu menjawab: “Baik,
tunggulah disini” Habis berkata ia terus lari keatas.
Sedang ketujuh kawannya masih tetap mengepung Gak
Lui. Gak Luipun menurut. Saat menunggu Gak Lui itu
diam2 : „menimang-nimang bagaimana nanti ucapannya
apabila berhadapan dengan ketua Bu- tong- pay”
Tak lama tampak beberapa sosok bayangan
berlarian turun dari puncak..... Yang paling depan,
seorang imam berwajah bundar, mulut lebar, memelihara
jenggot panjang. Dia bukan lain tokoh Bu-tong-pay
angkatan kedua yani imam Hwat Lui. Karena pernah
bertempur dan pedangnya terpangkas, kutung oleh Gak
Lui, begitu berhadapan dengan pemuda itu, Hwat Lui
terperanjat sekali. Hwat Lui segera membisiki imam
muda Lian Ti dan kawan- kawannya yang menjaga di
sumber air situ. Setelah Lian Ti dan ketujuh imam pergi,
barulah imam Hwat Lui berkata kepada Gak Lui dengan
nada tegang: „Ah, kiranya engkaulah yang bernama Gak
Lui. Tempo hari, engkau pergi keliwat cepat “
“Soal memangkas pedang, ada sebab lain. Adakah
suhu masih mengingat hal itu?” sahut Gak Lui. Hwat Lui
tojin terpaksa tertawa: „Karena engkau datang kemari,
maka engkaupun. menjadi tetamu kami. Soal
memangkas pedang itu, baik jangan diungkit dulu !”
“Oh .....” karena tak mengira bahwa peristiwa diterima
dengan mudah dan cepat oleh Hwat Lui, Gak Luipun
mendesus kaget, ia menegas pula : „Apakah suhu benar28
benar sudi merima aku?”
“Tadi dari sanggar pertapaannya, ketua telah
mengeluarkan perintah : Butong- san akan menghapus
tindakan Menutup pintu. Maka aku turun kemari untuk
menyambut kedatanganmu!” Gak Lui makin terkejut,
serunya: „Dengan begitu, dapatlah aku menghadap
ketua Ceng Ki totiang?”
“Ketua hanya memberi perintah membuka larangan
datang ke gunung. Yang akan menerima engkau adalah
imam yang berpangkat Hou-hwat!”
“Siapakah suhu itu?” tanya Gak Lui.
“Adik seperguruan dari ketua, yalah Ceng Suan
totiang. Beliaulah yang mengurus segala pekerjaan
digunung ini!”
Sejenak merenung, Gak Lui menyatakan
persetujuannya dan minta segera, dibawa keatas. Imam
Hwat Lui segera mengajaknya naik kepuncak. Tak
berapa lama, tampak beberapa gunduk bangunan. Yang
paling tengah, adalah sebuah bangunan yang dinamakan
Sam-hong-tian, yaitu sebuah gedung besar yang luas
untuk latihan silat. Kira-kira seratus tombak jauhnya
disebelah kiri gedung latihan silat itu, terdapat gedung
Hian bu-gek. Sebuah tempat yang penting juga.
Saat itu diluar gedung Sam-hong-tian, tampak
berbaris berpuluh- puluh murid Bu-tong-pay. Sikap
mereka seolah-olah seperti, sedang menunggu serbuan
musuh yang kuat!
Yang berdiri ditengah, seorang imam tua berumur 60-
an tahun. Kepala dan lehernya besar, wajah memancar
kewibawaan. Dia adalah Ceng Suan totiang, imam yang
menjabat sebagai Hou-hwat atau Pelindung Gereja dari
29
Bu-tong-san. Dibelakang terdapat dua imam yang lebih
muda yani Hwat Tian dan Hwat Ting, Keduanya
sederajat dengan Hwat Lui totiang, yalah termasuk murid
angkatan kedua dari Bu-tong-pay.
Melihat dirinya disambut oleh tokoh2 Butong-pay
yang sakti, mau tak mau Gak Lui gentar juga hatinya.
Setelah Hwat Lui totiang memperkenalkan pemuda itu
kepada paman gurunya, Ceng Suan totiangpun berkata :
„Kudengar Gak sicu menggemparkan dunia persilatan
atas tindakan sicu memangkas ujung pedang, setiap
lawan. Dengan maksud apakah sicu berkunjung kemari?”
“Ah, kabar itu terlalu dibesar-besarkan. Tentang
persoalan memangkas ujung pedang, memang ada
sebabnya, “ jawab Gak Lui.
“Soal itu nanti saja sicu boleh menerangkan lagi,
yang penting harap sicu suka mengatakan maksud
kedatangan sicu ini, “ kata Ceng Suan. Sicu adalah
sebutan yang diucapkan oleh kaum paderi atau imam
kepada tetamu atau orang luar.
“Kedatanganku ini adalah melaksanakan petunjuk
dari seorang cianpwe untuk meminta petunjuk tentang
beberapa soal. “
“Silahkan ! “ Diam2 Gak Lui menimang.
“Jika langsung menanyakan tentang peristiwa yang
menimpa ayahnya, ia kuatir akan menimbulkan
kehebohan. Lebih baik ia bertanya dulu tentang urusan
dalam perguruan Bu-tong-pay.”
“Mohon tanya, totiang. Siapakah tokoh partai totiang
yang telah lenyap pada 20 tahun yang lalu? Adakah
sudah diketahui beritanya? “ Gak Lui mulai mengajukan
pertanyaan.
30
Mendengar itu seketika menggigillah tubuh Ceng
Suan totiang. Serentak ia memerintahkan para
anakmurid menyingkir. Setelah rombongan murid Butong-
pay ini mundur sampai 10 tombak jauhnya, Ceng
Suan totiang segera menatap Gak Lui lekat2. Seolaholah
imam tua itu hendak menyelami isi hati Gak Lui.
Tetapi muka Gak Lui tertutup oleh topeng warna hitam
yang berbentuk aneh. Pada bagian mulut diberi lubang
empat pesegi. Waktu bicara gigi Gak Lui dapat terlihat.
Sedang pada bagian mata, pun diberi lubang. Dari kedua
lubang mata itu tampak biji mata sianak muda berkilatkilat
memancarkan sinar tajam sekali.
Beberapa saat kemudian barulah penjabat ketua
partai Bu-tong- pay itu berkata dengan nada serius :
„Harap sicu suka mengatakan perguruan sicu lebih dulu
baru nanti dapat kupertimbangkan, dapat memberi
jawaban atau ti dak ! “
“Ini .... maafkan. Benar2 aku tak dapat
memberitahukan !” sahut Gak Lui.
“Apakah engkau dapat membuka kedokmu ?”
“Akupun sudah melakukan sumpah sehingga tak
dapat membukanya.”
Wajah Ceng Suan totiang menampil ketidak puasan.
Serunya dingin : „Karena sicu menolak permintaanku
untuk memberitahu asal perguruan sicu, bagaimana sicu
meminta aku supaya menjawab pertanyaan sicu tadi ? “
“Tetapi totiang tentu luas pengalaman. Dapat
membedakan antara orang jahat dengan orang baik. “
“Dunia persilatan penuh beraneka ragam kejahatan
dan kelicikan. Apalagi hati orang sukar diduga. Dan
mengingat umurmu baru diantara 20an tahun tetapi
31
menanyakan tentang peristiwa yang telah terjadi pada 20
tahun berselang, makin menimbulkan kecurigaan orang !”
“Demi menyelidiki peristiwa yang aneh itu, terpaksa
aku harus membicarakan peristiwa yang lampau ! “
Jawaban Gak Lui itu membuat Ceng Suan totiang
berkilat-kilat matanya. Secepat kilat mengarahkan
pandangan matanya ke mata Gak Lui. Ia berkata : „ Baik,
dengarkan !”
“Silahkan. “
“Yang lenyap itu adalah suteku, sampai sekarang
belum ada beritanya ! „
“Ah......, rupanya totiang bertiga adalah Tiga
Serangkai dari Butong pada masa itu !” seru Gak Lui.
“Benar, tetapi gelar itu kini sudah tak berguna lagi. “
Gak Lui mengangguk. Wajahnya agak kecewa. Tetapi ia
berlaku setenang mungkin sehingga Ceng Suan totiang
merasa heran. Oleh karena sesungguhnya dengan
keterangan tadi ia hendak menyelidiki reaksi anak muda
itu. Dari reaksi itu dapatlah ia menentukan golongan
Putih atau Hitamkah pemuda itu. Sejenak kerutkan alis,
imam tua itu bertanya : „Apakah sicu masih ada lain
pertanyaan lagi ?”
“Aku mohon bertemu muka dengan ketua partai Butong-
san, “ kata Gak Lui.
“Suheng masih menjalankan pertapaan, tak dapat
menerima tetamu !”
“Jika aku tetap minta bertemu?”
Seketika marahlah imam dari Bu-tong-san itu. Tetapi
ia menahan kemarahannya dan berkata : „Akulah yang
menjabat pimpinan perguruan. Suheng tak mau
mengurus apa2 lagi. Disamping itu, akupun juga ingin
32
mengajukan pertanyaan, harap sicu suka menjawab ! “
“Silahkan totiang bertanya.” “Apakah hubungan sicu
dengan tokoh yang bergelar si Raja Persilatan itu?”
“RAJA PERSILATAN ........... ?” Ah........, tak pernah
kudengar nama itu. Yang kuketahui hanya seorang tokoh
bergelar Maharaja Persilatan Li Liong-ci .....”
Ceng Suan totiang terkesiap, serunya: „Apakah sicu
mempunyai hubungan dengan Maharaja itu?”
“Tidak....! Hanya mendengar namanya saja”
Sikap Ceng Suan totiang berobah tenang kembali
lalu bertanya pula: „Kalau sicu tak tahu tentang Maharaja
Persilatan, tentulah sicu juga tak mengetahui tentang
peristiwa pembunuhan atas diri tokoh-tokoh persilatan
yang telah menerima Amanat Maut!”
Gak Lui terbeliak. Serentak ia bertanya: „Peristiwa itu
benar2 aku tak tahu. Pertanyaan totiang sungguh janggal
bagiku “
“Maharaja Persilatan, Amanat Maut dan peristiwa
engkau memapasi pedang lawan, terjadi pada waktu
yang bersamaan. Dengan keterangan tadi, kiranya
engkau tentu dapat menarik kesimpulan sendiri !”
Gak Lui memekik kaget. Diam2 ia merasa, sepak
terjang Maharaja Persilatan dengan urusan dendam
pembalasan yang hendak dilaksanakan itu, mempunyai
tali hubungan.
Melihat Gak Lui terkejut, Ceng Suan totiang
mendesak Iagi: “Lekas terangkan, bagaimana hubungan
yang sebenarnya!”
Gak Lui balas memandang tajam, sahutnya : „Ketika
tempo hari mengutungi pedang orang, aku sangat
33
terburu-buru sekali sehingga tak sempat menyelidiki hal
itu. Aku sendiripun curiga terhadap Maharaja dan
Amanat Maut. Harap totiang suka maklum persoalannya
!”
“Apakah engkau minta aku supaya menerangkan ?”
“Benar ! “ Ceng Suan totiang sejenak merenung, lalu
berkata: „ Baiklah ! Tapi ada beberapa hal yang perlu
kukatakan lebih dulu. “
“Silahkan. “
“Nanti aku hendak menguji ilmu kepandaianmu,
barang beberapa jurus saja!”
“Itukah syarat totiang? “
“Entah apa namanya, tetapi yang penting agar
engkau jangan menganggap remeh pada partai Bu-tongpay!”
“Baiklah, aku sedia menuruti, harap totiang suka
menerangkan asal usul si Maharaja itu!”
“Siapa namanya tak jelas, begitupun tak seorang
yang pernah melihatnya!”
“Seorangpun tak ada?,” Gak Lui menegas.
“Mungkin hanya tokoh2 sudah mati dibunuhnya,
itulah yang pernah melihatnya. Tetapi yang masih hidup,
tak pernah ada yang melihatnya !.”
“Siapa2 saja yang dibunuhnya itu? “
“Semuanya dari tokoh golongan Putih, dan mereka
dibunuh bersama seluruh anggota keluarganya!”
“Bagaimana dengan Amanat Maut itu ?”
“Orang itu kejam dan ganas sekali, serta luar biasa
34
congkaknya. Selain menamakan dirinya sebagai
Maharaja Persilatan, pun dalam surat yang
dikeluarkannya itu, dia tak mau menggunakan istilah
„persilatan” atau „maklumat” tetapi menggunakan istilah
“amanat”. Barangsiapa yang menerima dan tak mau
menyerah tentu akan dibasmi bersama seluruh
keluarganya !”
“Adakah tokoh2 yang menerima-surat itu, tiada ada
yang menyerah ?”
“Sudah tentu, ada, tetapi sukar diketahui siapa”
“Dengan begitu, surat itu merupakan ancaman yang
menyerah, tetap hidup, dan yang menentang pasti mati!”
“Benar!” sahut imam tua itu lalu tertawa mengekeh,
penuh hamburan nada kemarahan.
“Mengapa totiang tertawa ?”
Tiba2 Ceng Suan totiang hentikan tawanya,
wajahnya membeku dingin, ujarnya: „Aku mentertawakan
ucapanmu itu. Sepatahpun tak salah .......!”
“Harap totiang suka bicara dengan terus terang. Pada
Amanat Maut itu, selain bertanda tangan Maharaja
Persilatan, hanya terdapat 8 huruf berbunyi 'Yang
menyerah, pasti hidup. Yang menentang pasti...... mati !'
“Oh......!, totiang mencurigai aku ............. “
“Yang menimbulkan kecurigaan, bukan hanya itu
saja. Hunuslah pedangmu!” seru Ceng Suan totiang.
Melihat imam itu berkeras mencurigai dirinya, Gak Lui tak
dapat berbuat apa2 lagi. Sambil meraba tangkai
pedangnya, ia memandang kesekeling penjuru.
Berpuluh-puluh murid Bu-tong-pay masih tegak berjajar
pada jarak jauh. Mereka jelas belum menerima perintah
membubarkan diri. Diam2 Gak Luipun mengadakan
35
penilaian. Bahwa ia masih cukup kuat untuk menghadapi
penjabat ketua Butong-Pay itu.
Ruang Hian-bu-khek yang tinggi hampir sama
dengan bangunan tiga tingkat, tampak sepi2 saja.
Sebaliknya diruang Sam-hong-tian tampak berserabutan
beberapa sosok tubuh.
“Awas, pedang?” seru Gak Lui berseru Iantang dan
menusuk kedada Ceng Suan totiang. Ceng Suan
mendengus pelahan. Iapun balas menusuk. Diam2 Gak
Lui girang. Segera ia taburkan pedang membentuk
lingkaran sinar dan secepat kilat membabat pedang
lawan, tring......, tring ....... Namun Sudah 10 lingkaran
sinar pedang telah dihamburkan, lawan tetap masih utuh
pedangnya. Ternyata tetua Bu-tong-pay itupun juga
mememutar pedang jadi lingkaran sinar jang
mengandung pancaran tenaga-dalam bagai banjir
melanda.
Diam2 Gak Lui terkejut. Ia menyadari bahwa dengan
cara bertempur itu, bukan saja ia pasti tak dapat
memangkas kutung senjata lawan, tetapi pun
kebalikannya, pedangnyalah yang akan terbabat jatuh !
Sekonyong-konyong Gak Lui endakan pedang lalu
berganti gerak, tahu2 ia berputar dan menyurut mundur.
Tring ...... terdengar dering senjata pedang beradu keras,
tetapi tahu2 Gak Lui sudah mundur keluar jendela. Ceng
Suan loncat mengejar. Ujung pedang dibabatkan
kebawah mengarah kaki. Tetapi Gak Lui pun bukan
makanan empuk. Ia menarik pulang pedangnya, lalu
enjot tubuh melambung ke udara. Tabasannya luput,
Ceng Suan totiang mendengus. Kemudian ia robah
gerakan pedangnya dalam jurus Menurut-airmendayung-
rakit. Ujung pedangnya kembali mengarah
telapak kaki pemuda itu. Tetapi dalam melambung di
36
udara itu, punggung Gak Lui seolah- olah tumbuh
matanya.
Tring ........ ia tangkiskan pedangnya. Dengan
meminjam tenaga benturan pedang itu, ia melayang
turun tiga tombak jauhnya lalu tegak berdiri bersiap.
Dalam waktu sekejab mata, keduanya saling
melancarkan serangan. Dan kedua-duanya sama
terperanjat ! Gak Lui gunakan jurus istimewa untuk
memangkas pedang lawan. Ia yakin tentu berhasi! Tetapi
ternyata imam itu dapat menghalau dengan lancar.
Sedangkan Ceng Suan pun tak kurang kejutnya. Dengan
peyakinan tenaga-dalam selama berpuluh tahun dan
sudah bersiap, lebih setelah menerima laporan dari Hwat
Lui, namun ternyata lawan yang masih muda belia itu
sanggup menghahadapi tak kurang suatu apa! Kemudian
mereka melanjutkan pertempuran lagi.
Ceng Suan totiang mengeluarkan ilmu simpanan dari
partai Bu- tong-pay. Ia, menyerang dulu, mendahului
gerakan lawan. Pedangnya segera berobah menjadi
dinding sinar pedang yang menelungkupi lawan. Sasaran
utama diarahkan kemuka pemuda itu. Gak Lui tak berani
lengah. Dengan mengeluarkan seluruh kepandaian, ia
melawan mati2an. Pada saat dua lingkaran pedang itu
saling...... bertaut dengan seru disertai dering
gemerincing yang nyaring, tiba2 Ceng Suan mendapat
kesempatan untuk menusukkan ujung pedangnya.
Cret........!, dagu Gak Lui tertusuk .... Pemuda itu
terhuyung-huyung lima langkah. Peluh dingin membasahi
tubuhnya: Sambil mengarahkan ujung pedang kemuka,
ketua Bu-tong-pay itu berseru marah: “Mata2 Maharaja
yang berani mati, lekas buang senjatamu dan menyerah!”
“Harap totiang jangan bicara sembarangan.”
37
“Hm, jelas engkau salah seorang dari gerombolan
Topeng Besi itu. Apakah masih hendak menyangkal?” .
“Topeng Besi....?!” Gak Lui tergetar hatinya. Dia
sendiri juga tak senang dengan sepak terjang tokoh yang
mengagulkan diri sebagai Maharaja Persilatan itu. Tetapi
karena Ceng Suan to-tiang terus memburunya dengan
serangan2 yang dahsyat, terpaksa ia harus melayani
lebih dulu. Kini karena ada kesempatan bicara, segera ia
berseru menjelaskan. “Sama sekali aku bukan anggauta
Topeng Besi! Harap totiang jangan salah faham ........ “
“Topengmu itu tak tembus senjata tajam, apakah
artinya itu?” seru Ceng Suan totiang.
“Dipedalaman gunung terdapat semacam binatang
aneh yang dinamakan Mogh, sejenis oranghutan yang
mempunyai kulit luar biasa kerasnya dan bertenaga kuat
sekali. Topengku ini terbuat, daripada kulit binatang itu
....”
Setengah, kurang percaya, Ceng Suan totiang
berkata dengan nada dingin: “Tak peduli bagaimana,
engkau tetap kutahan disini?”
“Tetapi,aku hendak mencari gerombolain Topeng
Besi dan Maharaja untuk membuat perhitungan ! “ Hm ....
! “ Ceng Suan mendengus marah dan menyerang lagi.
Karena tak senang terlibat dalam pertempuran di tempat
itu, Gak Lui loncat dan meluncur turun gunung.
“Cepat hadanglah! “ teriak Ceng Suan totiang. Hwat
Lui dan rombongan anakmurid Butong-pay segera
berhamburan menjaga tempat2 yang penting.
Gak Lui terkejut. Sejenak memandang kesekeliling,
matanya yang tajam ...... segera melihat bahwa gedung
Hian-bu-khek itu sepi tiada orangnya. Dibelakang gedung
38
itu merupakan puncak gunung. Ia memutuskan untuk lari
ke puncak itu kemudian turun dari sebelah belakang
lereng gunung. Maka tiga jurus serangan segera
dilancarkan kearah Ceng Suan totiang. Kebetulan
penjabat ketua Bu-tong-pay itu kuatir kalau pedangnya
terpapas kutung, maka ia menghindar kesamping.
Kesempatan itu tak disia-siakan Gak Lui. Secepat kilat ia
menyelinap lari kearah gedung Hian-bu-khek.
Di luar dugaan, Ceng Suan totiang berkaok-kaok
seperti orang kebakaran jenggot : „Lekas hadang mata2
itu. Jangan sampai mengganggu ketua .....”
Mendengar ketua Bu-tong-pay berada dalam gedung
itu. Gak Lui makin pesatkan larinya. Dengan beberapa
kali loncatan, dia sudah mencapai gedung itu ! Tetapi
disitu beberapa murid Bu-tong-pay sudah berbaris
menghadang dimuka pintu. Mereka segera. menyerang
pemuda itu. Tring....., tring ...... Gak Lui menangkis. Dan
dengan meminjam tenaga benturan pedang, ia ayunkan
tubuh melambung ke tingkat kadua. Ketika Ceng Suan
totiang tiba, Gak Luipun sudah melayang lagi ke tingkat
yang teratas!
Ceng Suan totiang makin gelisah. Karena bingung ia
sampai lupa akan pertahanan diri. Tanpa banyak pikir
lagi, ia terus loncat keatas. Lalu menusuk ujung kaki Gak
Lui. Melihat kesempatan sebagus itu, Gak Lui tak mau
membuang waktu lagi. Dengan gerakan yang indah, ia
berhasil menindih pedang Ceng Suan.
Betapapun saktinya tetapi saat itu Ceng Suan kalah
posisi. Ia sedang melayang ke udara sehingga kakinya
tak mempunyai pinjakan. Sudah tentu ia tak dapat
bertahan akan tekanan Gak Lui dari atas. Tring ........
ujung pedang Ceng Suan terpapas kutung dan Gak
Luipun terus menyusup ke dalam gedung.
39
Tetapi Ceng Suan totiang bukanlah seorang lemah.
Dia adalah penjabat ketua dari Butong-pay yang
termasyhur.
Ditengah udara, ia empos semangat dan bergeliatan
melenting keatas atap serambi. Lalu balikkan tangan
kanan menghantam. Bagaikan air bah melanda, maka
tenaga-murni Hian bun-cin-gi atau tenaga murni menurut
ajaran kaum agama, mengarah kepunggung Gak Lui.
Saat itu Gak Lui belum sempat mendorong pintu. Tahu2
40
ia rasakan punggung dilanda oleh tenaga yang ribuan
kati beratnya, sehingga bernapaspun sukar rasanya.
Cepat ia balikkan tangan kiri untuk menangkis.
“Bhum..............!” Terdengar letupan keras dan atap dan
berderak-derak berhamburan pecah Huak......... !Gak Lui
menguak. Mulutnya menyembur darah segar dan
tubuhnya - terdampar membentur pintu. Brak........! pintu
hancur berkeping-keping dan pemuda itu terlempar
kedalam ruangan.
Tenaga sakti dari pukulan Ceng Suan totiang bukan
olah2 hebatnya. Tubuh Gak Lui yang sudah membentur
pecah pintu, tetap tak berhenti melainkan masih
terdampar kebawah kolong ranjang kayu ..............
Ruangan itu sunyi senyap. Ketika terlempar kebawah
kolong, samar2 Gak Lui masih melibat diatas ranjang itu
duduk seorang tua berambut putih ! Pada lain saat Ceng
Suanpun menerobos.
“Ciang bunjin engkau...., engkau...., co-hwe-jip-mo,”
melihat keadaan orang tua berambut putih itu, serentak
Ceng Suan totiang menjerit. Co-hwe-jip-mo adalah istilah
untuk menyebut orang yang telah tersesat dalam
pertapaan, sehingga darahnya meliar dan tubuhnya
rusak. Akibatnya jika orang itu tidak cacad atau lumpuh
pastilah akan gila. Atau kalau parah, urat2 nadinya putus
dan mati seketika!
Airmata Ceng Suan totiang banjir membasahi
mukanya. Matanya memancar api dendam kemarahan
yang menyala-nyala, memandang kekolong ranjang.
Saat itu Gak Lui rasakan tulang belulangnya seperti
pecah. Mata pudar telinga mengiang-ngiang. Untuk
bergerak saja ia merasa tak punya tenaga lagi. Ia hanya
deliki mata memandang apa yang akan dilakukan Ceng
Suan terhadap dirinya nanti.
41
Ceng Suan totiang kalap sekali. Sebelum melangkah
masuk, ia taburkan pedangnya yang kutung kekolong
ranjang. Gak Lui yang sudah tak berdaya, tak dapat
berbuat apa2 kecuali menunggu ajal. Pada saat pedang
maut yang dilontarkan dengan sepenuh tenaga oleh
Ceng Suan hendak merenggut nyawa pemuda itu,
sekonyong-konyong terdengar hembusan angin dari atas
ranjang. Trang .......pedang kutung itu tertampar jatuh
dilautan. Dan menyusul terdengar seruan perlahan:
„Ceng Suan” sute, jangan mengamukl”
“Ciang-bun-jin .... , engkau ..... ,”
“Aku tak apa2, harap engkau menjaga diluar, jangan
diidinkan orang mengganggu disini,”
Ceng Suan totiang tak berani membantah. Terpaksa
ia keluar dari ruangan. Kemudian imam tua itu segera
mempersilahkan Gak Lui keluar dari kolong ranjang.
Buru2 Gak Lui mengiakan dan merangkak keluar TETAPI
apa yang dilihatnya saat itu, hampir membuatnya
menjerit ngeri. Ternyata imam berambut putih itu,
wajahnya merah darah menyeramkan sekali. Jelas dia
telah memasuki Co-hwe-jip-mo sehingga demikian
keadaannya! Gak Lui tak enak hati. Buru2 ia memberitahukan
namanya seraya memberi hormat:
“Tanpa sengaja wanpwe telah keliru memasuki
tempat pemujaan totiang. Jika ada obat yang dapat
menolong totiang, wanpwe tentu akan mencari
kemanapun juga ....”
Ketua Bu-tong-pay itu tertawa tawar: „Ini memang
sudah takdir! Bukan kesalahanmu dan tiada obatnya lagi.
Engkau sendiri menderita luka parah, biarlah kuobati dulu
kamu!”
Sudah tentu Gak Lui tak sampai hati........, Ia
42
menyurut mundur dan lintangkan pedang untuk
melindungi tubuhnya.
“Kalau begitu, silahkan duduk dan bicara!”
“Kiranya cianpwee tentulah Ceng Ki totiang ....... ?”
“Benar,” sahut imam berambut putih itu:„dan engkau
tentulah murid dari si Pedang Aneh Ji Kitek !”
“Ah, mengapa lo-cianpwe dapat mengetahui ?
Adakah lo-cianpwe dapat mengetahui barang yang
belum terjadi?”
“Dari celah jendela tadi kusaksikan permainan
pedangmu, segera kudapat menduga. Bukankah dua
jurus permainan pedang yang engkau mainkan tadi
disebut jurus „Membelah-emas-memotong- permatatanpa-
suara' dan „Alap2-pentang-sayap-membenci-langit
?' “
“Benar......! Aku adalah putra angkat dari beliau, si
orangtua itu !”
“Tetapi aku sedikit sangsi .......!”
“Dalam hal apa....... ?” Gak Lui heran. “Jika engkau
benar2 putera-angkat dari Ji Kitek mengapa
kepandaianmu sedemikian rendahnya....!”
Merahlah muka Gak Lui. Dergan rawan ia menjawab
: “Ayah-angkatku sudah tak punya kaki dan tangan lagi.
Karenanya .... aku tak dapat mempelajari ilmu
kepandaiannya dengan sempurna ........!”
“Oh...... ! Ceng Ki totiang terkejut dan buru2 bertanya:
„mengapa dia sampai mengalami keadaan yang begitu
menyedihkan?”
Dengan suara penuh haru-kedukaan, Gak Lui segara
menuturkan tentang perbuatan keempat gerombolan
43
Topeng Besi yang telah menyerang ayah-angkatnya.
Menurut keterangan ayah angkat ku, tiga dari keempat
gerombolan Topeng Besi adalah tokoh2 dari tiga parai
persilatan.
“Partai persilatan yang mana?” ketua Butong-pay
menyeletuk dengan tubuh menggigil. “Beliau..., sampai
pada detik menutup mata belum sempat mengatakan...”
“Ah..... Pedang Aneh ....dia ....... sudah mati ?”
“Meninggal belum lama,” kata Gak Lui. Wajah Ceng
Ki totiang berdenyut-denyut. Dari mata, hidung, mulut
dan telinga mengucur butir2 darah. Melihat itu hati Gak
Lui makin seperti disayat-sayat. Whur......! mulutnyapun
menghambur darah. Tetapi ia tetap hendak menolong
ketua Bu-tong-pay itu.
Segera ia loncat maju untuk memapah. Ceng Ki
totiang amat berterimakasih. Ia paksakan diri untuk
mengambil sebuah botol kumala dari dalam jubah. Begitu
sumbat dibuka, bau harum segar segera membaur, Ia
menuang sebutir pil untuk ditelannya sendiri lalu
memberikan sebutir yang lain kepada Gak Lui: „Lekas,
minumlah untuk mengobati luka-dalam tubuhmu .....”
Semula Gak Lui segan tetapi melihat imam itu benar2
bersungguh hati, terpaksa ia menelannya Ah......!,
benarlah. Rasa sakit pada tubuhnya, hilang seketika.
Setelah minum obat, keduanya bersemedhi menyalurkan
tenaga- dalam. Beberapa saat kemudian, Ceng Ki totiang
membuka mulut lebih dulu: „Kedatanganmu kemari
tentulah atas perintah ayah- angkatmu. Tetapi apakah
tujuanmu”
“Beliau menyuruh aku menghadap Ji Ih totiang untuk
menanyakan dua buah hal. Sayang sebelum jelas untuk
menanyakan apa, beliau sudah keburu menutup mata.”
44
Ceng Ki totiang kerutkan alis, ujarnya: „Belasan tahun
berselang, ayah-angkatmu pernah berkunjung pada
guruku. Saat itu akupun berada disisi suhu. Kudengar
ayah-angkatmu mengatakan hendak menuju kegunung
Yau-san. Sejak pertemuan itu ayah angkatmu tiada
beritanya tagi. Tetapi sebelum menutup mata, guruku
pernah berpesan agar hati2 apabila ada orang dari
Empat Pedang Busan datang berkunjung !”
“Adakah cianpwe kenal akan Empat Pedang Busan?”
Gak Lui berseru gugup.
“Yang kukenal hanya ayah-angkatmu Ji Ki Tek itu.
Sedang yang tiga, hanya mendengar nama tetapi tak
pernah muka .....!”.
“Dan selama ini orang dari Empat Pedang Busan itu
tak pernah datang berkunjung kemari?”
“Ada seorang bernama Gak Cin-cin datang kemari!”
“Ah, dia adalah suhengku. Diapun mati dibunuh
gerombolan Topeng Besi dan si Hidung Grumpung....!”
Ceng-Ki totiang makin heran. Serunya: „Apakah si
Hidung Gerumpung itu yang mengangkat diri sebagai
Maharaja? Dan gerombolan Topeng Besi itu.......apakah
benar tokoh2 dari tiga partai persilatan? Jika benar,
mereka tentulah murid2 murtad partai masing2!”
“Mungkinkah Ceng Ci totiang juga termasuk salah
seorang “ tanya Gak Lui.
Ceng Ki totiang menghela napas: “Mungkin.......”
sejenak kemud;an ia melanjutkan: „Karena telah
menguasai tokoh2 sakti persilatan, tentulah kepandaian
dari si Hidung Gerumpung itu sukar diukur tingginya. Jika
benar dia itu si Maharaja, kita tentu tak dapat berbuat
apa2 terhadap keganasannya ......”
45
“Harap totiang jangan kuatir! Aku mempunyai
dendam sedalam lautan yang harus kubalas!”
“Cita2 yang luhur” seru ketua Bu-tong-pay itu, „tetapi
sayang kepandaianmu masih rendah. Sekalipun engkau
berserikat dengan ke-7 partai persilatan, belum tentu
dapat mengalahkan si Hidung Gerumpung itu....!”
“Kudengar ada seorang tokoh lain yang menyebut
dirinya sebagai Maharaja juga. Kepandaiannya tiada
lawannya: Jika dapat menemukannya.....”
“Dia menggunakan gelar Raja-di-raja dan sudah lama
mengasingkan diri. Sekalipun mendengar gerombolan
durjana muncul mengganas di dunia persilatan, ia belum
tentu dia mau muncul memberantasnya. Sedang untuk
mencari gerombolan Topeng Besi itu, bukanlah
pekerjaan yang mudah......!”
“Tetapi tak peduli bagaimanapun juga, aku tetap
mencari ilmu kepandaian sakti. Untuk membalas dendam
dan membasmi gerombolan durjana ini.........”
(Keterangan : Untuk dapat membedakan antara dua
tokoh, yang sama2 mengangkat diri dengan gelar
Maharaja Persilatan, maka selanjutnya akan digunakan
dua macam istilah : Maharaja untuk yang seorang, Rajadi-
raja yang lain. Dimana sebenarnya Raja- di-raja juga
berarti rajanya raja atau maharaja.)
Tergerak hati Ceng Ki totiang mendengar tekad
pemuda itu. Merenung sejenak ia berkata: „Setiap 20
tahun, didunia persilatan tentu muncul seorang bintang
cemerlang. Kurasa kali ini engkaulah bintang yang
diharap-harapkan itu. Maka sebelum mati, ingin aku
memberimu dua buah bingkisan !” Ketua Bu-tong-pay itu
mencabut pedang dipunggungnya. Sebuah pedang yang
bentuknya aneh. Ketika diloloskan, batang pedang
46
memancar sinar berkilau- kemilau memenuhi ruangan.
Mata pedang yang berkilat-kilat tajam, jelas menunjukkan
bahwa pedang itu bukan olah-olah tajam-nya. Hanya
anehnya, panjang pedang itu cuma setengah dari
pedang biasa.
“Inilah pedang Pelangi, pedang pusaka partai Butong-
pay. Terimalah sebagai bingkisanku, agar kau
memiliki senjata untuk menumpas kawanan durjana itu ! “
Gak Lui terkejut dan tersipu-sipu menolak : „Pusaka
yang sedemikian keramat, aku tak berani
menerima.........!”
Napas ketua Bu-tong-pay itu memburu keras dan
mendesak menyerahkan pedang : „Jika engkau tak mau
menerima, anggaplah aku minta tolong kepadamu
supaya membawa keluar pedang ini dari Bu-tong-san.
Apabila bertemu dengan seorang ahli pembuat pedang
yang pandai, sukalah menyuruhnya membuat pedang itu
supaya menjadi pedang panjang. Setelah itu bolehlah
engkau antarkan kemari lagi. Dengan demikian
terlaksanalah keingnanku yang kuidamkan bertahuntahun........!”
Sebenarnya Gak Lui memang menyesal sekali,
karena telah keliru masuk kedalam sanggar pemujaan
ketua Bu-tong pay itu hingga tanpa sengaja dia telah,
merusakkan persemedhian Ceng Ki totiang yang tengah
meyakinkan ilmu kesaktian. Jelaslah, ketua Bu-tong-pay
itu telah menderita Co hwe-jip-mo sehinga keadaanya
gawat sekali. Mendapat kesempatan untuk menebus
dosa, Gak Lui segera menyanggupi permintaan imam tua
itu : „Baiklah, lo-cianpwe. Kelak tentu akan kukembalikan
dengan sebatang pedang seperti yang lo-cianpwe pesan
........!” Ketua Bu-tong-pay itu, tertawa puas.
47
“Jika hendak menuntut ilmu kesaktian yang tiada
tandingannya, haruslah mencari seorang guru yang
benar2 sakti. Kutahu sebuah tempat tetapi berbahaya
........”
“Lo-cianpwe, aku tak takut bahaya apapun juga......!”
seru Gak Lui dengan girang, „harap lo-cianpwe segera
mengatakan tempat itu......!”
“Harap buka jendela belakang itu .........!” ka-ta Ceng
Ki totiang. Gak Lui cepat2 loncat untuk membuka jendela
.......... tampak disebelah bawah gedung itu penuh
dengan anakmurid Bu-tong- pay yang siap dengan
senjata masing2. Mereka tegang sekali sikapnva
memandang ketingkat tiga. Memandang kearah lain, Gak
Lui melihat berlapis-lapis puncak gunung tegak berjajarjajar.
“Cobalah engkau hitung jajaran puncak gunung yang
ke-7. Dilembah gunung itu terdapat seorang aneh yang
memiliki kepandaian sakti sekali. Walaupun belum
termasuk orang yang tiada tandingannya didunia, tetapi
didunia persilatan jarang terdapat tokoh seperti dia
........!”
Gak Lui mengawasi dengan tajam dan dapatlah ia
menemukan puncak gunung ketujuh itu: „Sjapakah tokoh
luar biasa itu “ tanyanya.
“Aku pernah adu pukulan satu kali dengan dia. Tetapi
tak tahu namanya. Karena saat itu bukan saja tak sempat
bicara, bahkan tak pernah melihat wajahnya ........!”
“Bertempur tetapi tak melihat mukanya .....?” Gak Lui
mengulang heran...........
Ceng Ki totiang batuk2 beberapa kali, katanya: „Lima
belas tahun yang lalu ketika Bu-tong menutup pintu, aku
48
kebetulan meronda sampai kelembah itu, dan melihat
dalam sebuah guha terdapat jejak seorang manusia.
Beberapa kali kuteriaki namun tiada jawaban. Terus
hendak kumasuki tetapi baru mendekati mulut guha, aku
tersedot oleh suatu tenaga-tarik yang kuat. Dengan
sekuat tenaga aku meronta dan berhasil membebaskan
diri. Karenanya .... tak sempat menanyakan namanya ....

Pada saat Gak Lui sedang tegang mendengarkan,
tiba2 suara Ceng Ki totiang berobah lemah, napasnya
terengah engah. Buru2 Gak Lui berpaling
memandangnya. Dilihatnya kasur tempat duduk ketua
Butong-pay berkubang darah segar. Kejut Gak Lui bukan
alang kepalang. Bergegas-gegas ia lari menghampiri
untuk mengurut jalandarah imam itu. Tetapi Ceng Ki
totiang menolaknya
“Aku sudah tak dapat tertolong lagi. Kelak, bila
berhadapan dengan Ceng Ci sute, tak perlu menanyakan
persoalannya ........” Tetapi Gak Lui gugup hendak
memberi pertotongan. Sambil mengiakan ia tetap
lekatkan kedua tangannya kejalan darah imam itu. Tetapi
tenaga dalamnya sendiri juga terbatas. Mengurut
beberapa kali tetap tak ada hasilnya. Karena gugup, ia
berteriak sekeras-kerasnya : „Hei...! Ciangbunjin parah
sekali ........... lekas kalian datang menolongnya ..........!”
Belum kumandang suaranya sirna, arus anak murid
Bu-tong-pay melanda masuk. Yang dimulai sendiri oleh
Ceng Cuan totiang, penjabat ketua partai, lalu Hwat Lui
dan Hwat Tiam serempak menerobos. Wajah Ceng Suan
totiang tegang dan terlihat seram seperti iblis. Dia terus
langsung menghampiri suhengnya Ceng Ki totiang. Gak
Luipun segera menyingkir. Ceng Suan tak menghiraukan
lain2-nya, yang penting ia harus cepat menolong
49
suhengnya. Dipapahnya tubuh Ceng Ki totiang lalu mulai
menyalurkan tenaga dalam untuk memberi pertongan
.........
Sedang Hwat Lui totiang deliki mata kepada Gak Lui.
Melihat pemuda, itu menyanggul pedang pusaka Butong-
pay, tanpa berkata apa2 ia terus menusuk pemuda
itu. Gak Lui terpaksa menghindar. Tetapi Hwat Tiam dan
Hwat Ko yang muncul juga, segera ikut menyerang. Gak
Lui serentak diserang hebat oleh tiga imam Bu-ton-pay!
Gak Lui berturut turut mundur sampai tiga langkah.
50
Kini dia sudah terdesak dipojok tak dapat mundur lagi.
Apa boleh buat. Dan serentak ia mencabut pedang
Pelangi pusaka Bu-tong-pay itu dan sret..., sret..., sret...,
secepat kilat ia membabat pedang ketiga penyerangnya.
Hwat Lui dan kedua imam itu tahu ketajaman pedang
Pelangi. Terpaksa mereka mundur. Dalam kesempatan
itu Gak Lui terus loncat keluat dari jendela tingkat ketiga.
“Tangkap pencuri pedang pusaka kita” Hwat Lui
cepat berseru nyaring. Dari empat penjuru keliling
gedung Sanggar Pemujaan itu serentak bergemuruh
penyahutan mengiakan.
Pada saat tubuh Gak Lui sedang melayang turun,
disebelah bawah sudah siap menyambut dengan lautan
ujung pedang. Ditengah udara Gak Lui bersuit nyaring.
Pedang Pelangi ditaburkan menjadi lingkaran sinar
pedang yang rapat. Tring..., tring .....terdengar dering
gemerincing nyaring ketika ia menabur ditengah lautan
pedang itu.
Dengan mengandalkan ketajaman pedang pusaka
Pelangi, berhasillah ia membuka jalan. Tetapi pada saat
anakmurid Bu-tong mundur kacau balau, Hwat Lui
bertigapun muncul. Tetapi begitu dapat membobolkan
kepungan, Gak Lui terus menerobos dan lari secepat
kilat. Tujuannya yalah ke-puncak gunung yang ke-7.
Tetapi dengan mati-matian ketiga imam Bu-tong-pay
angkatan Hwat itu tetap mengejarnya. Mereka
menyangka bahwa Gak Lui telah membunuh ketua
mereka dan merebut pedang pusaka partai Bu-tong.
PUNCAK demi puncak dan tujuh buah puncak telah
dilintasi Gak Lui. kini dia berhadapan dengan dinding
karang yang curam dan melandai kebawah dengan amat
berbahaya sekali. Dibawah kaki karang tinggi itu terdapat
sebuah hutan yang gelap menveramkan. Ketika
51
berpaling, tampak Hwat Lui dan rombongan anakmurid
Bu-tong tinggal heberapa tombak dibelakang.
Ketika Gak Lui tertegun beberapa jenak saja, Hwat
Lui bertigapun sudah loncat keudara untuk menyerang.
Desis sambaran pedang ketiga imam itu cepat dapat
diketahui Gak Lui. Segera ia lintangkan kedua
pedangnya, yang satu pedangnya sendiri dan satu
pedang Pelangi, untuk menjepit ketiga pedang lawan.
Saat itu terjadilah adu tenaga. Hwat Lui dan kedua
imam adik seperguruannya dalam posisi meluncur dari
udara. Pedangnya dijepit oleh sepasang pedang Gak Lui.
Memang dalam keadaan terpojok seperti saat itu, tiada
lain jalan bagi, Gak Lui kecuali harus adu kekuatan.
Tetapi ternyata tenaganya masih lemah. Beberapa saat
kemudian ia rasakan kedua lengannya gemetar.
Huak..........mulutnya muntah darah. Ternyata pil
pemberian Ceng Ki totiang tadi, kekuatan ketahanannya
sudah habis. Seketikta pemuda itu kehilangan separoh
tenaganya lagi.
Sudah tentu Hwat Lui bertiga girang sekali. Mereka
tak mau lewatkan kesempatan bagus. Dengan
menambah tenaga-dalam lagi, mereka memberi tekanan
lebih berat. Pedang merekapun mulai pe-lahan2
menurun keatas kepala Gak Lui. Gak Lui kucurkan
keringat dingin. Ia merasa tak kuat lagi. Tetapi tiba2 ia
terkejut mendengar suara bergemerincingan tiga kali.
Ah........, ternyata ketiga pedang dari imam Bu-tong-san
telah terpapas kutung oleh pedang Pelangi !
Adu tenaga dengan pedang itu, walaupun pedang
Hwat Lui bertiga telah kutung, tetapi tenaga kedua belah
fihak masih tetap memancar. Hwat Lui bertiga yang
berada pada posisi menekan dari atas, pedangnya tetap
membelah kebawah. Sedang pedang Gak Lui yang
52
menyanggah. Kuatir kalau akan melukai orang, Gak Lui
buru2 menarik pulang pedang untuk melindungi
dadanya. Tetapi ketiga imam itu benar2 kalap. Lepaskan
pedangnya yang sudah kutung itu, mereka menghantam
dengan tinju. Tinju yang disaluri dengan tenaga-sakti
Man-bun-cin-gi. Dalam keadaan yang terdesak sekali itu,
Gak Lui terpaksa buang tubuh kebelakang, tetapi ah........
ia tak dapat berpijak bumi lagi karena dibelakangnya
adalah sebuah jurang.
Tubuhnya meluncur terus kebawah jurang itu .........
Hwat Lui masih penasaran sekali. Ia hendak loncat
kedalam jurang untuk menyusul pemuda itu. Belum puas
hatinya kalau belum menangkap pemuda itu, mati atau
hidup. Melihat itu, Hwat Tian tojin tergopoh-gopoh
memburu seraya meneriaki : „Budak itu tentu hancur
lebur tubuhnya ! Mengapa suheng ........”
“Tidak.......! Kita harus merebut kembali pedang
pusaka partai yang dicurinya !” Hwat Lui meronta untuk
lepaskan diri cekalan Hwat Tian. Imam Hwat Ko yang
sudah tiba, segera berteriak keras memperingatkan Hwat
Lui : „Mengapa suheng lupa bahwa ketua kita telah
mengeluarkan larangan. Siapapun saja tak boleh
sembarangan masuk kedalam lembah ini ......”
Hwat Lui gelagapan seperti dijagakan dari tidur. la
tundukkan kepala dan berlinang-linang airmata :
„Kuharap ketua masih hidup. Aku hendak rnohon
hukuman kepada beliau !”
Pada saat ketiga imam itu kembali kegunung Butong,
Gak Lui sedang menjelang maut. Tubuhnya yang
meluncur kebawah jurang itu menelentang menghadap
ke langit. Kedua tangannya masih mencckal, sepasang
pedang. Ia tak dapat berbuat apa2 kecuali pejamkan
mata dan paserah nasib. Tubuhnya belumuran darah;
53
tenaganya lunglai. Apa dayanya lagi ? Sekonyongkonyong
serangkum angin lesus bergulung-gulung
melanda, membawa tubuhnya berputar-putar,
kesamping, menyusup ke sebuah semak belukar. Bluk
........ ia menggigil kaget dan terbeliak.
“Hai...., aku sudah mati belum?” ia bertanya dalam
hati. Dicobanya untuk menggerakkan kedua kaki
tangannya, ah .... lentuk dan lunglai tak bertenaga.
Bahkan terasa sakit sekali sampai ke uluhatinva dan ia
pingsan lagi..... Tetapi angin lesus tadi tetap berhembus.
Makin lama makin keras. Uh........Gak Lui mendesis
kaget ketika tubuhnya terangkat dan mengapung
setengah meter diudara terus melayang cepat masuk ke
dalam guha..!
“Ha..., ha....., ha....., ha .............” Tiba2 dari dalam
guha menghambur suara orang tertawa keras.
Sedemikian keras suara tawa itu sehingga Gak Lui
tersadar dari pingsannya, dan seketika pula, ia rasakan
telinga seperti pecah.
“Ha...., ha...., akhirnya aku mendapat kawan.......!”
Gak Lui terkejut mendengar suara itu, segera ia
hendak berusaha mengangkat kepala untuk melihat
orang itu. Tetapi tiba2 orang tak dikenal itu
menamparkan sebelah tangannya menindih dada Gak
Lui, sedang tangan kirinyapun disosongkan ke punggung
anak muda itu. Seketika Gak Lui rasakan tubuhnya
seperti dijepit oleh dua buah tenaga-sakti dari atas dan
bawah. Jangankan Gak Lui hendak bergerak bangun,
sedang untuk menggerakkan kepala saja ia tak mampu
lagi Tetapi aneh.......! Benar-benar aneh.......! Tenaga
yang menindih diatas dadanya itu, mengalirkan tenaga
dalam ke dalam tubuh Gak Lui. Dan tenaga yang
menyangga punggungnya itulah yang menyedot tenaga54
sakti dari, atas dada tadi. Tenaga-sakti yang mengalir ke
dalam tubuh itu mendorong dan menggerakkan tenagamurni
Gak Lui sehingga dapat melancarkan perederan
keseluruh tubuhnya.
Gak Lui benar2 takjub sekali. Baru pertama kali itu
sepanjang hidupnya, ia mengalami peristiwa yang
sedemikian luar biasa. Benar2 ia tak pernah mendengar
ilmu memancarkan tenaga- dalam yang sedemikian
anehnya....!
Setelah mengalami tujuh kali peredaran tekanan
tenaga-dalam didadanya, semangat Gak Lui bertambah
segar, tenaganya berangsur-angsur pulih kembali. Juga,
kini pandangan matanyapun lebih terang sehingga, ia
dapat melihat jelas keadaan dalam guha itu. Ketika
memalingkan kepala, pertama-tama yang tampak pada
matanya jauh empat buah huruf berbunyi : „Guha batu
Iblis perantaian” Keempat huruf itu ditulis dengan ujung
jari. Bukan diluar tetapi didalam guha.
“Aneh...., mengapa tulisan itu tak digurat diluar guha?
Apakah memang diperuntukkan orang yang berada
didalam guha?” Gak Lui makin heran.
Mendadak ia rasakan tindihan pada dada dan
sanggahan pada punggungnya tadi lenyap. Ketika ia
memandang kemuka, ah......tak jauh dihadapannya,
tampak berdiri seorang orangtua yang tak keruan
wujudnya. Rambut gimbal kusut masai, kumis dan
jenggotnya memanjang lebat. Sepintas pandang orang
tua itu mirip dengan seorang manusia liar. Tetapi dalam
wajahnya yang kotor itu, tampaktah gurat2 dari sebuah
wajah yang cakap dan gagah pada masa mudanya.
Buru2 Gak Lui bangun dan memberi hormat.
“Wanpwe Gak Lui, menghaturkan banyak terima kasih
55
atas budi pertolongan lo-cianpwe.”
“Tak perlu berterima kasih........! Sekali-kali
perpertolonganku itu bukan untuk kepentinganmu !”
sahut orang gua liar itu.
“Ah......, harrr lo-cianpwe jangan mengolok. Masakan
menolong itu untuk diri lo-cianpwce sendiri? kata Gak
Lui.
“Sudah bertahun-tahuh Aku tinggaI seorang diri
dalam guha ini. Aku butuh sekali seorang manusia hidup
untuk teman bicara !” sahut orang tua itu.
“Untuk membalas budi lo-cianpwe, aku bersedia
melayani”.
“Ha..., ha....., ha....., ha ........” orang tua liar itu
menari-nari kegirangan, „ sejak saat ini hidupku takkan
kesepian lagi.......!”
Sebaliknya Gak Lui terbeliak kaget sekali. Serunya:
„Ah, untuk menemani lo-cianpwe seumur hidup rasanya
terlalu lama. Sebaiknya ada batas waktunya ........”
Orang tua liar itu tertawa makin terkia-kial. Sambil
mendekap perutnya, ia berkata :„ Batas waktu .. memang
telah kusediakan batas waktu itu.! Yalah apabila ‘POHON
BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK’ kita baru
kelua...........!”
“Hai .......! “ Gak Lui menjerit - kaget, „apa.....? Pohon
besi berbunga, air mengalir terbalik ...... tak mungkin hal
itu akan terjadi, kecuali terjadi sesuatu keajaiban .......... “
Orangtua liar itu mengangkat bahu dan berkata
dengan nada rawan : „Apa boleh buat. Terpaksa seumur
hidup kita harus tinggal disini !”
“Tetapi aku masih mempunyai dendam sakit hati
56
yang harus kutuntaskan !” Gak Lui menyanggah. Orang
tua liar itu menegunkan kepala, tanyanya tegang : „Ha...,
ha....., ha....., ha ............. Dalam umur begitu muda
engkau sudah mempunyai beban membalas
dendam........?”
“Benar.......!” Gak Lui mengiakan.
“Hah........., akan kuajarkan engkau untuk
melaksanakan tugasmu itu”
“Apakah lo-cianpwe hendak memberi ilmu kesaktian
kepadaku?”
“heh....., heh....,” orangtua liar mengekeh, marah2
sedih, „demi membalas budi, kupatahkan pedangku dan
kututup diriku dalam guha ini. Kalau engkau hendak
membalas dendam, ikutilah caraku itu.........!” la
menunjuk kearah langit2 guha. Dan ketika Gak Lui
menurutkan arah pandangannya, kearah yang ditunjuk
orangtua liar itu. Ia melihat sebatang pedang kutung,
menyusup dinding karang tembus sampai keluar. Pedang
itu sudah karatan. Gak Lui tergetar kaget, cepat ia
mencekal sepasang pedangnya erat2.
“Tidak......! Aku tak mau mematahkan pedangku.......!”
Orangtua liar itu menyurut mundur ..........
JILID 2
ORANG TUA aneh itu tertegun.
“Baiklah, engkau toh tak punya kemampuan
melempar pedang tembus ke dinding batu. Tak apa,
engkau boleh menyimpan pedangmu untuk mainan”
serunya
Setelah tenangkan diri, Gak Lui bertanya: “Dengan
57
memiliki kepandaian sehebat itu tentulah cianpwe ini,
tokoh aneh yang dikatakan Ceng Ki totiang ....”
“Siapakah Ceng Ki totiang itu?” tukas orang tua aneh.
“Ketua partai Bu tong-pay yang pernah adu pukulan
dengan, locianpwe diguha ini!”
Orangtua aneh merenung .......: “Sudah lama sekali,
memang pernah terjadi peristiwa itu, tetapi perlu apa dia
suruh engkau kemari?” serunya sesaat kemudian.
Dengan hormat Gak Lui menyahut: „Aku hendak
belajar ilmu kesaktian yang tiada tandingannya didunia.
Oleh karena itu beliau menyuruh aku seraya menghadap
cianpwee katanya.”
“Ohhh....., kiranya engkau hendak belajar ilmu
kesaktian” tukas orang tua itu.
“Sekiranya lo-cianpwe sudi memberi pelajaran ....”
“Bakatmu bagus, kepandaiankupun luar biasa......!”
“Jadi lo-cianpwe meluluskan?”
,Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tak
mau!”
“Mengapa?”
“Setiap orang yang menerima murid tentu
menghendaki supaya murid itu dapat mengangkat nama
dalam dunia persilatan agar harum nama perguruannya.
Tetapi sekarang ini, aku menghendaki supaya engkau
tinggal disini menemani aku seumur hidup. Maka tak
perlu engkau bersusah payah belajar ilmu silat lagi !”
“Tetapi jika aku dapat mencari daya supaya, 'POHON
BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK`,
sehingga lo-cianpwe mendapat kebebasan, bagaimana
58
nanti?”
“Ucapanmu itu cukup pintar, sayang tak mungkin
terlaksanal”
Pepatah mengatakan: “Manusia harus dapat
mengalahkan alam ! Asal ada kemauan, tiada hal yang
tak mungkin !” seru Gak Lui.
Orangtua aneh itu tertawa masam : „Jika mungkin,
tentu dari dulu2 sudah kulakukan, tak perlu menunggu
kedatanganmu ! Tak kira dahulu karena salah sepatah
kata saja, diriku celaka ......mencelakai orang lagi.”
“Lo-cianpwe tentu mempunyai latar belakang yang
berliku-liku? “
Mata orangtua aneh itu berkilat, serunya : „Heh,
rupanya engkau hendak mengetahui kisahku yang lalu !”
“Tadi lo-ciannwe mengatakan bahwa sudah
bertahun-tahun lo- cianpwe tak bicara dengan orang.
Mengapa sekarang tak melepaskan kesepian itu agar
mulut cianpwee jangan sampai kering “
“Ho, alasanmu bagus juga.....! Baik, akan kuceritakan
sedikit .......” “Dahulu ada seorang sahabat mencari aku
untuk minta tolong. Karena sesuatu alasan, aku tak
dapat meluluskan. Dan akibatnya aku melarikan diri
kedalam guha ini. Tetapi dia tetap mengejar jejakku
kesini dan didepan guha merintih-rintih minta supaya aku
suka meluluskan. Dalam kemarahan, aku menyatakan
sejak saat itu tak mau bicara lagi pada orang dan tak
mau keluar lagi dari guha ini, kecuali bilamana nanti
POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR TERBALIK,
barulah kuakhiri ikrar itu.”
“Dia tentu pergi dengan marah2 ....”
“Benar ! Tetapi aku sendiripun celaka karena harus
59
tinggal disini selama-lamanya!” sahut orang. tua aneh itu.
Gak Lui makin tertarik akan kisah itu. Tanyanya:
„Sukakah lo-cianpwe menceritakan riwayat lo-cianpwe
dengan orang itu ?”
“Permintaanmu itu terlalu jauh! Apalagi engkau
sendiri belum mengatakan asal usul perguruanmu “
“Tetapi aku sudah terlanjur bersumpah takkan
mengatakan asal usulku !”
“Kalau begitu, buka sajalah kedok mukamu itu,
bagimana ?”
“Maaf, itupun termasuk dalam sumpahku !”
“Ha..., ha... Dalam sebuah guha, terdapat dua insan
yang misterius. Kalau begitu, tak perlu kita sating
menuturkan riwayat !”
Gak Lui kecewa dan putus usa. Orangtua aneh itu tak
mau memberi pelajaran silat bahkan memaksanya
supaya tinggal diguha situ seumur hidup. Ah, bagaimana
mungkin .... !”
“Aku benar2 harus membalas dendam darah. Tak
dapat tinggal terus disini. Aku hend ......”
“Engkau hendak mengapa? “ tukas orang tua itu.
“Hendak minta diri .....!” “Heh..., heh..... ! Engkau kira
engkau mampu lolos dari pukulan si Algojo dunia ini?”
“Aku mempunyai cara yang adil untuk memutuskan
persoalan ini “
“Ho..., ho.. ho cara macam ....apa lagi?”
“Menilik lo-cianpwe mampu melontarkan pedang
menembus dinding karang, tentulah ilmupedang locianpwe
hebat sekali......... Aku ingin adu ilmu
60
pedang......!”
“Ha...., ha.........! Cara itu menarik juga. Menilik
gelagatnya, engkau mempunyai modal dalam ilmu
pedang. Lalu apa perjanyiannya?”
“Kalau aku menang, aku segera petgi....!”
“Kalau yang menang aku?” seru orang itu.
“Silahkan lo-cianpwe sendiri yang mengajukan
perjanjian”
“Pertama, engkau harus menemani aku selamalamanya.”
“Baik, aku tentu dapat mencari akal untuk menembus
pantangan POHON BESI BERBUNGA, AIR MENGALIR
TERBALIK itu !” “KEdua engkau harus membuka kedok
muka itu agar mataku dapat melihat wajah manusia lagi!”
“Ini ....”
“Huh, takut?”
Serentak timbullah pikiran Gak Lui bahwa orangtua
aneh itu tentu tak mengetahui, kalau ia memiliki ilmu
pedang Potong-emas- membelah-kumala. Segera ia
menyahut dengan garang: „Apa yang harus ditakutkan?
Mari kita- mulai !” Gak Lui terus mencabut sepasang
pedangnya dan mempersilahkan orang tua aneh itu
memilih sendiri.
“Ho, kesombonganmu boleh sekali, budak.....! Mana
boleh aku gunakan pedang bertempur dengan
engkau.......!” seru orang tua aneh itu penuh dengan
kegarangan dan kecongkakan.
“Lalu mau pakai apa?” tanya Gak Lui. “Ambilkan
sebatang dahan pohon dimulut guha itu kemari......!”
61
Mendengar orangtua itu hendak menggunakan dahan
kayu, diam2 Gak Lui makin gembira. Namun ia tekan
rasa girangnya itu lalu mematahkan dahan pohon yang
tumbuh di mulut guha dan diserahkan kepada orangtua
itu. Sambil berdiri memasang kuda-kuda dan mencabut
pedang, Gak Lui serentak berseru: „Siap.....!”
Orangtua aneh itu mengangkat dahan kayu tetapi
terus diturunkan lagi, serunya kecewa: „Tak jadi
bertanding”
“Eh, mengapa kata-kata lo-cianpwe tak dapat
dipegang ..........”
“Pada saat itu aku sudah menyatakan, tak kan keluar
dari guha ini dan takkan menggunakan pedang ........ “
“Jjka lo-cianpwe tak memegang perjanjian kita,
berarti lo-cianpwe sudah mengaku kalah. Akupun segera
tinggalkan tempat ini dan lo-cianpwe tak berhak
menahan aku ........!”
Habis berkata ia terus ayunkan langkah keIuar guha.
Orangtua aneh itu hanya dapat deliki mata. Tetapi baru
Gak Lui berjalan setombak jauhnya, tiba-tiba serangkum
tcnaga-tarik yang kuat mencengkeramnya sehingga ia
tak dapat langkahkan kakinya.
“Lo-cianpwe, omonganmu tadi .... ucapan manusia
atau bukan!” serunya.
“Aku tadi mengatakan tak dapat bertanding tetapi
bukan berarti tidak bertanding.....!”
“Engkau bersumpah takkan menggunakan pedang,
bagaimana bisa .... “
“Jangan banyak mulut! Lihatlah kemari!” sekali
tangan orantua aneh itu menarik maka tubuh Gak Lui
segera menyurut mundur kedalam guha lagi. Gak Lui
62
terkejut dan berpaling. Dilihatnya orangtua aneh itu
sedang mengggit dahan pohon, agaknya bersiap-siap.
Jelas ia memakai mulut sebagai ganti tangan, untuk
melayani Gak Lui.
Melihat itu Gak Lui kejut2 girang. Setelah berhati-hati
pasang kuda-kuda, secepat kilat segera ia taburkan
pedang mengarah ke mulut orang. Orangtua aneh itu
berkilat-kilat matanya, memperhatikan setiap gerakan
pedang Gak Lui. Tiba2 la surutkan kepalanya dan dahan
pohon. itu segera berobah menjadi lingkaran sinar yang
balas melibat pedang Gak Lui.
Melihat itu diam2 Gak Lui membatin: “Huh paling2
permainan pedangmu serupa dengan Ceng suan totiang
!”
Cepat ia tambahkan tenaga-dalam untuk bergeliatan
memutar kearah dahan kayu. Tring .... terdengar bunyi
mendering dan celaka ...... pedang Gak Lui terpukul oleh
tenaga-tolak orangtua itu, terlepas mencelat keudara
........
Dalam gugupnya, Gak Lui cepat hendak mencabut
pedang Pelangi yang, terselip pada bahu sebelah kiri.
Tetapi pada saat tangan hendak bergerak, dahan kayu di
mulut orangtua aneh itu secepat angin menderu, telah
meluncur dan menutuk tiga buah jalan darah penting
ditubuh Gak Lui. Uh......, Gak Lui mengerang tertahan
dan jatuh terlentang.
“Budak ! Dari mana engkau belajar ilmu pedang
tadi?” seru orangtua aneh itu.
“Tak dapat kukatakan!”
“Jurus Potong-emas-membelah-kumala tadi adalah
ilmu simpanan dari Pedang Laknat Ji Kitek. Engkau
63
mempunyai hubungan apa dengan dia ?”
“Tak perlu kukatakan !”
“Akan kubuka kedokmu tentu akan tahu siapa
engkau. Lalu baru kutanya Iagi............!”
Orangtua aneh itu menutup kata2nya dengan
gerakkan kedua tangannya untuk mcnyingkap kedok
muka Gak Lui. Pemuda itu karena tak berkutik, tak –
dapat berbuat suatu apa kecuali deliki mata dengan
penuh dendam kemarahan. Saat itu tangan orangtua
64
aneh sudah menjamah kepala Gak Lui Tetapi ketika
pandang matanya tertumbuk akan mata Gak Lui yang
berapi-api dan bibirnya yang gemetar keras, orang itu
terkejut. Buru2 ia palingkan muka tak berani beradu
pandang:
“Tanpa kubuka ...pun sudah tahu...!”
Gak Lui gemetar, serunya gugup: „Apa yang locianpwe
ketahui ?”
Orang aneh itu tak menyahut melainkan berkata
seorang diri dengan pilu: „Putera dari Pedang Malaekat
Gak It-bing, murid dari Pedang Laknat Ji Ki-tek ......
mengapa kepandainnya begitu rendah! Jangankan
mereka semua telah dihancurkan orang ......tak
seharusnya melihat bahaya aku tak menolong........
berdosa.......! Berdosa..........”
Seketika tersadarlah pikiran Gak Lui. Serentak ia
berseru tegang: „Ah, kiranya Lo-cianpwe ini pamanguruku
kedua Pedang Iblis Ko Tiong-ing !” ........
Orangtua itu terhuyung mundur sampai tiga langkah.
Wajahnya, ketakutan seperti melihat hantu disiang hari.
“Yang paman maksudkan itu tentulah bibi guru Dewi
Pedang Pelangi Li Siok-gin, benar atau tidak!” seru Gak
Lui
Orang aneh itu menjerit ngeri lalu menutup mukanya
dengan kedua tangan dan berteriak: „Jangan
mengungkat lagi ! Pergilah ..... pergilah..... engkau!”
“Gak Lui takkan pergi. Akan menemani paman disini
sampai dapat menemukan daya !”
Orangtua aneh yang ternyata Pedang Iblis Ko Tionging
itu, meraung-raung kalap: .,Aku tak sudi bicara
padamu jika engkau tak mau enyah akulah yang pergi !”
65
tiba2 tubuhnya berputar dan menjusup kebagian dalam
guha. Saat itu Gak Lui bcrusaha untuk menggeliat
bangun. Tetapi tenaganya masih lunglai. Terpaksa ia
berteriak-teriak memanggil paman gurunya itu, pun juga
tiada penyahutan.
Hari makin gelap. Setelah tiga jam tak berkutik,
akhirnya jalan darah Gak Lui yang tertutuk. itu terbuka
sendiri. Buru-buru ia bangun terus masuk kebagian
dalam.
TERNYATA GUHA itu bagian dalamnya berkelukkeluk
makin lama makin lebar. Baru ia tiba di ujung
terakhir, tiba2 ia dilanda oleh segelombang tenaga
dahsyat.
“Pa .....!” belum sempat Gak Lui meneriaki nama
pamannya, tubuhnya sudah terhuyung-huyung
kebelakang dan sudah terjerumus kedalam sebuah
saluran air. Airnya sejuk sekali, mengalir keluar guha.
Begitu terendam dalam air dingin, seketika terlintaslah
dalam benaknya akan sebuah jurus yang aneh.
Setengah malam lamanya, ia mondar mandir. Setelah
lelah, ia duduk bersandar pada dinding batu.
“Hm...., besok pagi akan kusampaikan hal yang
mengejutkan kepada paman, dia tentu akan memperoleh
kebebasan ...., tentu girang sekali. Kemudian kita ......”
demikian lumunan yang berlalu lalang dalam benaknya
.......
Karena letih, tertidurlah ia. Dalam tidurnya itu ia
bermimpi bahwa pamannya telah memberi pelajaran ilmu
silat kepadanya. Kepandaiannya bertambah sakti,
tubuhnya terasa nyaman dan semangat penuh.
Kemudian ... kemudian ia membuka mata ! Wahai ..,
terrowongan guha,itu sudah terang lagi. Tentulah hari
66
sudah siang. Gak Lui loncat berdiri, huh .......hampir saja
kepalanya membentur langit terowongan. Hai .... aneh,
aneh........, mengapa tenaga-dalamnya kini bertambah
hebat.
“Paman......! Paman.......!” teriaknya.
“Lui ........” terdengar jawaban Pedang Iblis. Tetapi
suaranya amat lemah. Sayang Gak Lui tak
memperhatikan hal itu. la sudah girang setengah mati
karena pamannya sudah mau menyahut.
“POHON BESI SUDAH BERBUNGA dan AIRPUN
SUDAH TERBALIK MENGALIR.......! Lekas kemarilah
paman, lihatlah keajaiban itu dan engkau...... engkau.......
tentu bebas........!” seru Gak Lui tegang tegang.
Terdengar langkah yang sarat dan ketika pedang Iblis
Ko Tiong- ing muncul, Cak Lui terbeliak kaget. Hanya
semalam saja, telah terjadi suatu perobahan yang
besar...........
Saat itu mata No Tiong-ing sudah tiada bersinar
tajam lagi. Wajahnya penuh keriput. Sama sekali jauh
bedanva dengan keadaannya tadi malam. Bergegas Gak
Lui menyongsong dan memapah tubuh Ko Tiong ing,
tanyanya cemas: “Paman, engkau bagaimana?”
“Hek....; hek.....,” Ko Tiong-ing batuk2, “aku tak
kurang suatu apa. Hanya sedih memikirkan peristiwa
yang lampau ... lalu sedikit tak enak badan!”
“Tetapi kalau paman menyaksikan 'keajaiban ini,
tentu akan segera sembuh........ !” Dengan setengah
kurang percaya, Pedang Iblis Ko Tiong-ing melangkah
kedalam mulut guha. Gak Lui menutuk kearah puncak
guha, serunya : „POHON BESI SUDAH BERBUNGA,
lekas iihatlah........ !”
67
Pedang Iblis mengangkat muka memandang
kepundak guha. Seketika ia tertegun kaget, kemudian
tersenyum : „Jurus yang bengkok itu, ternyata engkau
mampu memecahkan......... !” Kiranya batang pedang
yang dilontarkan Pedang Iblis Ko Tiong- ing sampai
tembus keluar dinding guha itu, dihias dengan untaian
bunga segar oleh Gak Lui. Sepintas pendang tampak
seperti sebatang pohon besi sedang bcrbunga ....
“Ya......., paman tentu tak mungkin mengatakah
peristiwa itu bukan suatu kenyataan......... ! Sekarang
marilah lihat lagi AIR TERBALIK MENGALIR.”
Mereka menuju kesaluran air yang berasal dari
sumber-air gunung. Tiba ditepi saluran air itu, Gak Lui
menunjuk kearah parit air itu : “Jika kukatakan 'terbalik',
air dalam saluran itu tentu akan segera membalik
alirannya. Harap paman perhatikan baik2 .........!”
“Parit itu lebih dangkal dari biasanya. Perlu apa
dilihat....... !” Sekonyong-konyong Gak Lui berseru :
„Terbalik” Secepat kilat ia memapaskan pedang kemulut
saluran air tanah liat yang disumbatkan pada mulut
saluran kemarin malam, pecahlah. Sumber-sumber air itu
segera mencurah terjungkir balik kebawah. Pedang Iblis
tertawa rawan, serunya : „Lui....!, paman berterima kasih
kepadamu. Tetapi aku tak ingin keluar lagi....... !”
“Me ......... mengapa ?”
“Kasih tahu dulu padaku, Pedang Malaekat dan
Pedang Aneh mati ditangan siapa? “
Dengan nada haru dan sedih, Gak Lui segera
menceritakan semua peristiwa yang diketahuinya. Begitu
pula tentang tokoh yang bergelar Maharaja, yang telah
menyuruh gerombolan Topeng Besi membunuh-bunuhi
orang2 persilatan golongan Putih. Berulang kali Pedang
68
Iblis mengerang dan hauk ..... ia mengeluarkan darah.
Ahirnya berkatalah ia dengan kalap : „Dahulu bibi gurumu
Pedang Bidadari Li Siok-gin telah membawa surat dari
ayahmu kemari, memanggil aku kesana. Tetapi karena
msih mendendam kemarahan, kutolak permintaannya.
Ach.........!, kini kita semua telah menderita bencana yang
begini mengenaskan ........ aku ........... seharusnya bunuh
diri untuk menebus dosa!”
“Tidak...... paman.......! ,” teriak Gak Lui.
“Engkau telah bebas sekarang! Engkau dapat kelua:r
mencari balas pada musuh.......!
“Kepandaianku pun tak dapat mengalahkan musuh
itu. Maka semalam telah kusaurkan sembilan bagian dari
tenaga murniku kepadamu. Tetapi tubuhmu sendiri
ternyata juga ada penyakitnya. Engkau harus
mencari.....hek....., hek.......”
“Paman ..... naman.....” Gak- Lui cemas, katakanlah.
Siapa yang harus kucari itu? Paman .......
Pedang Iblis Ko Tiong-ing bcrusaha untuk
menguatkan diri. Dipandangnya Gak Lui lekat katanya
pula: „Engkau harus mencari ‘Si-sim-leng-cuan’ atau
sumber-air Pencuci jiwa ........ air dari sumber itu
mempunyai khasiat untuk membakar tulang- tulang.......,
akan dapat mengobati penyakitmu „Lubuk hati sempit' ....
jika tidak begitu ........ tentu sudah kusalurkan seluruh
tenaga murniku kedalam tubuhmu. Tetapi syarat pertama
.........”
“Apa......?” “Air sumber itu luar biasa pahitnya .......”
„Gak Lui tak takut........!”
“Sudah banyak tokoh2 persilatan, setelah minum air
sumber itu semua muntah2 dan putus usus dan
69
empedunya lalu mati ditepi sumber itu ......... “
Gak Lui tergetar hatinya. Dia mengira Pamannya itu
tentu sedang kacau pikirannya sehingga ucapannyapun
tak keruan: Melihat pemuda itu tertegun kaget, Pedang
Iblis segera menyusuli kata2: „Sumber air ‘Si-sim-lengcuan’
walaupun telah membinasakan banyak tokoh:
tokoh persilatan, tetapi hal itu adalah kakek - gurumu Busan
It-ho sendiri yang mengatakan. Jelas tentu tak
bohong. Dan lagi beliau mengatakan, khasiat dari air
sumber itu memang benar-benar mujijad sekali. Hanya
cara minumlah ...... yang jarang diketahui orang2 .......!”
“Tentu ada peraturan minum yang khusus? Misalnya
dalam ilmu pengobatan sering dikatakan „dengan racun
untuk mengobati racun' atau .......”
“Lui....., engkau dapat mecmecahkan masalah
POHON BESI BERBUNGA, AIR TERBALIK MENGALIR
Rahasia dari sumber air itu, kupercaya engkau pun tentu
dapat memecahkannya ! Kuharap penyakitmu segera
sembuh dan berhasil meyakinkan ilmu kepandaian yang
tiada tandingannya didunia ........”
Pedang Iblis, berheniti batuk2. Darah segar
mengucur deras dari muut dan hidung .... Gak Lui gugup
dan cepat memeluk pamannya untuk memberi
penyaluran tenaga-dalam. Tetapi sayang walaupun ia
sudah mendapat hawa murni dari Pedang Iblis yang
disebut tenaga-sakti Algojo-dunia, namun sedikitpun ia
tak mengerti penggunaannya. Mencoba sampai
setengah hari, tetap ia tak mampu menghentikan kucuran
darah pamannya.
“Anak Lui...., janganlah membuang tenaga sia-sia.
Lekas ...... angkat aku... keluar ......”
“Ya....., ...... ya! Paman telah bebas, seharusnya
70
lekas tinggalkan guha yang telah paman huni selama 18
tahun ini!” Habis berkata Gak Lui terus mengangkat
tubuh pamannya. Tetapi sampai dipintu, Pedang lblis,
suruh Gak Lui berhenti. Ia menunjuk pada 8 huruf yang
tergurat dibalik pintu, katanya: „itu ...... akulah yang
mengguratnya .... merupakan tempat ajalku ........”
Gak Lui gemetar: „Paman, engkau harus keluar.
Biarlah Gak Lui yang menolongmu!” ia terus hendak
membawanya keluar. Oleh karena sudah kehabisan
tenaga, sudah tentu Pedang Iblis tak dapat menahan
tarikan Gak Lui. Ia terhuyung-huyung dan berteriak.
“Engkau ...., engkau lihat diluar dulu.... aku takut
ketemu manusia hidup .....”
“Tak mungkin diluar ada orang ......... “
“Huh........., engkau berani menentang perintah.
pamanmu.......!”
“Tidak......!, paman.” Lekas..... lekas lihat yang
jelas...., aku..... baru ikut engkau keluar.....!”
Terpaksa Gak Lui lepaskan cekalannya, terus
melesat keluar guha. Uh......., loncatannya ternyata jauh
sekali. Jauh lebih pesat dari biasanya. Buru2 ia balik
kepintu gha lagi. Bruukk......., terdengar suara benda
bergedebuk jatuh ketanah.
“Paman .......!” Gak-Lui menjerit ..... lalu menubruk
pamannya. Ketika mengangkatnya, ternyata kepala
Pedang Iblis pecah. Ia telah bunuh diri dengan benturkan
kepalanya pada dinding batu Bercak darah masih
meneteskan percikan darah merah pada dinding itu,
tokoh kedua dari Catur Pedang gunung Bu-san telah
mengakhiri jiwanya! Betapapun sedih hati Gak Lui,
namun hal itu sudah menjadi kenyataan. Ia harus
71
menanam jenazah pamannya.
Pada saat menjamah tangan sang paman, tiba2 ia
merasakan sesuatu yang aneh. Ujung jari telunjuk kanan
dari Pedang Iblis juga hancur sehingga tampak
tulangnya. “Ah, paman tentu menggurat tulisan dengan
ujung jarinya. Tetapi karena tenaganya sudah habis,
ujung jarinyapun hancur,” Gak Lui menduga.
Dalam keadaan duka Gak Lui tak memikirkan lagi
apa yang telah ditulis oleh Pedang Iblis. itu. Cepat ia
membopong tubuh pamannya dibawa keluar. Dia
membuat tempat kuburan ditengah hutan. Sambil
berlutut, berdoalah Gak Lui: „Paman, arwahmu sudah
bebas. Mohon paman pulang dengan tenteram ketempat
asal .... Hutang darah paman tentu akan kubalaskan !”
Setelah menumpahkan isi hatinya, Gak Lui bangkit.
Dipandangnya makam itu sampai beberapa lama.
Matanya penuh dendam penasaran! Puas.....! berdialoog
dengan arwah -pamannya, Gak Lui lalu tinggalkan
tempat itu.
Tetapi baru beberapa langkah, tiba2 ia berhenti:
„Ah..., celaka! Mengapa lupa kututup guha itu?
Didalamnya terdapat banyak benda2 peninggalan
paman. Dan apa yang digurat paman itu, belum kulihat.”
Cepat ia balik lagi kedalam goha. Pada dinding yang
biasa dibuat tempat latihan oleh pamannya, Gak Lui
melihat dua baris huruf: Menjolok-bintang-memetik-bulan
seperti hujan mencurah, Algojo-tunggal- dari-dunia
mengejutkan hantu dan iblis. Dibawah tulisan itu terdapat
banyak gambar2 dan huruf2 kecil. Walaupun digurat
dengan ujung jari, .tetapi guratannya tak berapa dalam.
Makin lama makin dangkal, sehingga huruf2 terakhir
hanya merupakan guratan darah belaka! Air mata Gak
Lui berderai-derai mengucur. Makin dalamlah rasa terima
72
kasihnya atas jerih payah pamannya. Mengamati dengan
seksama, barulah ia mengetahui bahwa yang dimaksud
dengan Algojo-tunggal dari-dunia itu adalah tenaga- sakti
dari Pedang Iblis yang dapat digunakan untuk
mendorong dan menyedot. Ilmu tenaga-sakti Algojotunggal
dari dunia merupakan suatu ilmu tenaga dalam
yang luar biasa. Lebih dulu menyedot tenaga lawan
dengan telapak tangan. Lalu dengan menggunakan
telapak tangan yang lain memancarkan lagi tenaga
lawan yang disedot itu untuk menghantam. Dengan cara
itu, tak perlulah memakai tenaganya sendiri. Dengan
meminjam tenaga lawan, dapat digunakan untuk
menghantam lawan. Apalagi kalau ditambahi dengan
tenaga-dalamnya sendiri. Tentu lebih hebat! Tetapi hal
itupun ada syaratnya. Yalah harus disesuaikan dengan
bakat dan latihannya sendiri. Bakat makin bagus, latihan
tentu makin sempurna dan kemampuan untuk
mengalahkan lawan makin hebat. Apabila, bakat dan
latihan kurang tinggi sedang lawannya lebih kuat, selain
tak dapat menyedot tenaga lawan, malah amat
berbahaya. Dirinya sendiri akan remuk di dalam ! Dan
tentang jurus Menyolok-bintang-memetik-bulan itu,
sesungguhnya merupakan salah sebuah ilmu istimewa
dari Catur Pedang Bu-san. Jika jurus itu digabung
dengan ilmu Algojo-tunggal dunia, senjata musuh tentu
dapat disedot jatuh. Nama2 yang diberikan untuk jurus
Algojo tunggal dunia dan Menyolok-bintang-rembulan itu,
justeru berlawanan dengan nama Memotong-emas
membelah-kumala. Gak Lui tak jadi tinggalkan guha itu.
Ia memutuskan untuk menetap disitu mempelajari ilmu
yang diberikan Pedang Iblis dengan guratan dinding
guha. Siang malam ia giat sekali berlatih. Ia bersumpah,
selama belum dapat menguasai ilmu itu, takkan keluar
dari guha. Tempo berjalan cepat sekali. Tak terasa sudah
73
7 hari lamanya Gak Lui tinggal dalam guha itu. Dia dapat
mempelajari ilmupedang tetapi masih belum memahami
ilmu-tenaga-dalam menyedot dan memancar. Dan lebih
celaka pula, persedian ransum dalam guha itu sudah
habis. Ia mulai kelaparan.
Pada hari itu dengan menahan lapar dengan minum
air sumber, ia melangkah keluar guha. Tiba2 ia melihat
seekor serigala berada beberapa meter diluar guha.
Serentak timbullah semangat Gak Lui. Ce-pat ia hendak
loncat menangkap tetapi tiba2: „Tidak Aku tak boleh
melanggar sumpah” serentak teringat akan sumpahnya
ia berhenti. Tiba2 ia teringat dan segera tangan kirinya
berayun menggunakan tenaga sakti Algojo tunggal dari
dunia. Diluar dugaan, jurus itu telah menimbulkan reaksi
yang hebat. Ia rasakan telapak tangannya menyedot
serangkum hawa, terus masuk kedalam jalan darah dan
mengalir keseluruh tubuh. Serigala itu terkejut dan
hendak lari. Tetapi kaki belakangaya menelikung
kebawah tak dapat bergerak. Melihat itu girang Gak Lui
bukan kepalang. Ia tahu ilmunya tenaga-sakti menyedot
telah berhasil, cepat ia perkeras tangannya. Serigala itu
meraung dan melolong kalap. Binatang itu menggarukgarukkan
kedua kaki depannya ke tanah. Beberapa saat
kemudian tanah telah berlubang seperti sebuah liang.
Namun tetap binatang itu tak mampu membebaskan diri
dari tenaga-penyedot Gak Lui. Saat itu terjadilah tarik
menarik antara Gak Lui dengan serigala. Tapi akhirnya
serigala itu tertarik kedalam guha lalu dibunuh. Dengan
demikian berhasillah Gak Lui menyelami intisari ilmu
tenaga-dalam penyedot. Disamping itu telah mendapat
ransum makanan.
Sebulan kemudian, setelah berlatih keras, Gak Lui
berhasil mencapai tataran yang tinggi dalam
peryakinannya ilmu pedang dan tenaga-sakti penyedot.
74
Pada hari itu Gak Lui mengemasi barang2 peninggalan
Pedang Iblis, menutup pintu guha rapat-rapat lalu minta
diri dihadapan kuburan Pedang Iblis dan terus turun
gunung.
SAAT ITU hari sudah malam ketika ia tengah
menyusuri jalan besar. Ia gunakan ilmu lari cepat.
Tujuannya hendak mencari orang dan menanyakan letak
sumber air Pencuci jiwa itu. Tiba2 disebelah tenggara,
tampak cahaya api memancar dilangit.
“Bagus....!” pikirnya, “Disana tentu terdapat rumah
penduduk, tetapi aneh, mengapa api sedemikian
besarnya?”
Segera Gak Lui lari menuju tempat itu. Tak beberapa
lama ia melihat sebuah gedung besar. Empat penjuru
gedung itu dipasangi berpuluh onggok api unggun
sehingga terang benderang seperti siang hari. Dilihatnya
juga dalam gedung itu orang sibuk mondar mandir kian
kemari dengan membawa senjata terhunus. Cepat ia
pesatkan langkah menuju ke gedung besar itu. Ketika
tiba dimuka pintu gerbang, ia terus hendak niinta pintu.
Tetapi belum mulut berkata, sekonyong-konyong empat
sosok tubuh melesat keluar. Seorang lelaki setengah
umur yang berada paling depan, tanpa bilang suatu apa
terus menghantam Gak Lui. Gak Lui marah. Tetapi
sebelum jelas, siapa sesungguhnya orang2 itu, terpaksa
ia tahan kemarahannya. Cepat ia gerakkan tangan dalam
jurus, Algojo-tunggal dari-dunia untuk menyedot tenaga
pukulan orang.
Semula orang dari dalam gedung itu mengira kalau
Gak Lui tengah lepaskan pukulan Membelah gunung.
Diam2 ia yakin pukulannya itu tentu dapat mengalahkan
Gak Lui. Amboi........., orang itu terkejut ketika
pukulannya seperti terbenam dalam lautan hilang sirna
75
tak berbekas...............
Orang itu terkejut dan buru2 menarik pulang
tangannya seraya loncat kesamping. Adalah siorangtua
dibelakang orang pertama itu, karena tak tahu apa yang
terjadi, begitu melihat kawannya menyingkir, ia terus
menghantam dada Gak Lui. Gak Lui menyurut mundur
dua langkah seraya tamparkan tangan kiri. Wut ... tenaga
pukulan orangtua itu hilang lenyap seketika! Tetapi jagotua
itu tetap tak menghiraukan. Begitu keduanya saling
mendekati, tiba2 ia menarik tangan lalu gerakkan sikunya
membentur jalandarah dilambung Gak Lui. Jurus itu
disebut membentur-gunung-Thaysan. Perbawanya dapat
menumbuk pecah batu gunungl Gak Lui mendengus
dingin. Sambil menangkis dengan tangan kiri, tangan
kanannya memukul. Bum ..., jago tua itu mendengus
tertahan. Tubuhnya terhuyung-huyung sampai lima
langkah dan hampir terjerumus kedalam onggok api.
“Kalian tahu aturan atau tidak!” bentak Gak Lui.
Orang yang menyerang pertama kali tadi, mencabut
pedang dan balas membentak: „Terhadap manusia
seperti engkau, perlu apa pakai aturan !”
“Engkau anggap aku ini manusia macam apa?'“
“Engkau sendiri tentu sudah tahu !”
Gak Lui marah, bentaknya : „Cara omonganmu itu,
aku tak mengerti ....... “
“Tak usah berpura-pura ! Setelah kuringkus, engkau
tentu akan tahu semua !” orang itu menutup kata dengan
gerakkan pedangnya. Seketika ketiga kawannyapun ikut
serempak menyerang Gak Lui. Kalian cari mampus
sendiri ...!”
Gak Lui segera taburkan pedangnya. Dibawah
76
cahaya api unggun, sinar pedangnya berkelebat
menyapu keempat lawannya. Keempat orang itu dengan
tangan kanan memainkan pedang sedang tangan kiri
melancarkan pukulan. Selain jurus permainannya aneh,
tenaga pukulan mereka juga hebat. Sebelum mendapat
pelajaran dari Pedang Iblis Ko Tiong-ing, mungkin Gak
Lui tentu celaka. Karena selama diasuh oleh ayah
angkatnya, karena ayahnya buntung, maka tak dapat
menurunkan ilmu tenaga dalam yang sempurna. Pedang
Iblis Ko Tiong-ing telah membenamkan diri meyakinkan
ilmupedang selama 18 tahun. Dalam ilmupedang, dia
jauh lebih tinggi dari Pedang Aneh Ji Ki- tek. Dengan
mendapat pelajaran ilmupedang yang sakti itu, ditambah
dengan ilmu tenaga-dalam Algojo-tunggal-dunia, Gak Lui
tak gentar, menghadapi keempat penyerangnya itu.
Bahkan makin hebat lawan menyerang, makin tangguh
daya- perlawanan Gak Lui. Sepuluh jurus kemudian,
keempat pengeroyok itu terkejut. Satu demi satu mereka
mulai mengganti permainannya. Dari menyerang,
menjadi bertahan. Gak Luipun ganti siasat, ia salurkan
tenagadalam sakti Algojo- tunggal dari-dunia, kebatang
pedangnya. Asal pedang lawan membentur pedangnya,
tentu tersedot lekat dan harus mandah bergerak kemana
Gak Lui menginginkan. Tetapi jika lawan coba untuk
melepaskan, tenaga-dalamnya tentu akan tersedot oleh
Gak Lui.
Cepat sekali kelima sinar pedang itu, satu demi satu
mulai lenyap. Dan pada lain saat, Gak Lui berteriak:
„Lepas!” Susul menyusul, pedang keempat orang itu
mencelat keudara. Berkilat-kilat laksana batang
anakpanah meluncur keangkasa. “Oh........, kiranya jurus
itu disehut Menjolok-bintang-memetik- bulan. Bukankah
batang pedang yang membubung keudara dan meluncur
lagi ke bumi itu seperti nama jurus itu keadaannya?”
77
diam2 Gak Lui membatin.
Se-konyong2 pemimpin kawanan pengeroyok itu
berteriak senyaring-nyaringnya: “Hayo, lekas bantu
meringkus penjahat “
Dari dalam gedung besar, berhamburan keluar
berpuluh-puluh sosok tubuh manusia. Gak Lui maju
beberapa langkah dan siap sedia. Keempat orang itu
takut juga. Mereka sudah kehilangan pedang. Terpaksa
menyurut mundur dan tegak berjajar-jajar.
“Mengapa kalian menyerang aku ? Apakah kalian
mau menjelaskan sebabnya'!” seru Gak Lui.
“Kami akan mengadu jiwa bukan bicara!” sahut
mereka.
“Aku Gak Lui, datang kemari sama sekali ......” Belum
Gak Lui selesai bicara, bala bantuan dari gedung besar
itupun tiba. Mereka dipimpin oleh seorang wanita
pertengahan umur. Tangannya mencekal sepasang
pedang Mimi dan Mintuna. Dan tanpa bicara apa2,
wanita itu terus menyerang ganas. Sudah tentu Gak Lui
marah sekali. Ia keluarkan jurus ilmupedang Memotongemas-
membelah-kurma. Tring ......, pedang wanita itu
dapat ditabas kuntung! Tetapi anakbuah wanitu itu cepat
menyerbu. Keempat orang yang kehilangan pedang tadi,
tclah mendapat gantii pedang, ikut menyerang.
Dalam taburan hujan pedang itu, Gak Lui pun
mencabut pedangnya yang lain. Dengan sepasang
panjang, ia mengamuk. Tring..., tring...., tring .....
Kemana pedang Gak Lui berkelebat, tentu terdapat
pedang musuh yang terpapas kutung. Dering
gemerincing dari benturan pedang itu amat memekakan
telinga. Tetapi kawanan orang itu tak kenal mundur.
Terlebih- pula siwanita dan keempat lelaki yang pertama
78
menyerang tadi. Mereka pantang mundur. Dalam cuaca
yang mulai meremang petang, suasana makin
menyeramkan.
“Celaka........! Rupanya orang2 ini bukan golongan
orang jahat! Perlu apa harus membunuh ..........”
Demikian terlintas dalam benak Gak Lui. Ia segera robah
permainan pedangnya. Pedang di sapukan keempat
keliling.
Setelah mengundurkan musuh, sekonyong-konyong
ia loncat melambung keudara lalu melayang turun,
kedalam semak terus melarikan diri. Tak berapa saat ia
sudah lari 10 li jauhnya. Berpaling kebelakang, gedung
besar yang diterangi api unggun itu sudah amat jauh
sekali. Segera ia masuk kedalam hutan duduk
bersemedhi memulangkan tenaga. Tetapi pikirannya
sukar ditenangkan. Tak henti2nya ia memikirkan
peristiwa yang dialaminya itu.
“Kawanan orang itu benar tak kenal, aturan, tetapi
dari wajahnya mereka seperti tengah menghadapi
ketegangan. Mungkin akulah yang tak kenal tata-aturan
dunia persilatan sehingga melanggar pantangan mereka
......... ah, lebih baik besok pagi kesana lagi ........... “
Setelah lepaskan kerisauan pikirannya, akhirnya
dapatlah Gak Lui bersemedhi dengan tenang. Pada saat
ia membuka mata, haripun sudah fajar. Kembali ia
merenungkan pertempuran semalam, pikirnya :
“Untunglah aku tak bertindak ganas. Mereka hanya
terluka luar. Tetapi peristiwa itu memang aneh sekali Aku
barus menyelidiki lagi ........ “
Setelah mengambil keputusan ia segera menuju ke
desa lagi. Gedung itu tampak sunyi senyap. Api unggun
sudah padam semua. Hanya disana sini masih
79
membekas sisa asap. Yang aneh, pintu gedung masih
tetap terbuka. Tetapi tak tampak seorangpun juga. Tiba2
mata Gak Lui tertumbuk akan sesuatu yang aneh. Pada
tembok pintu, terdapat secarik kertas hitam yang
berrtuliskan huruf warna merah dan dibubuhi cap tinta
emas. Gak Lui maju menghampiri. Astaga.....! Kembali ia
terbeliak kaget. Ternyata huruf merah pada kertas hitam
itu bukan tinta biasa melainkan dari darah manusia.
Bunyinya:
“Yang taat padaku, hidup. Yang menentang, mati!”
Maharaja.
“Hai! bukankah ini Amanat Takdir dari dunia
persilatan !” Gak Lui terkejut. Segera ia merobek surat itu
dan melihat sebaliknya. Ah, ternyata terdapat 3 buah
huruf besar. Seketika meng-gigilah tubuh pemuda itu.
Segera ia menyimpan surat yang dirobek itu dalam baju
lalu melangkah masuk: “Hai, mana orangnya ?” sambil
berjalan ia berteriak memanggil. Namun tiada
penyahutan sama sekali. Yang menyahut seruannva itu
hanya ceceran noda darah dilantai. Menurutkan ceceran
darah, ia terus masuk kedalam sebuah ruangan besar.
Kembali ia terbeliak kaget. Wanita dan keempat laki2
yang bertempur dengan dia semalam, saat itu terpaku
ditengah ruangan dengan senjata masing- masing.
Senjata itu menusuk dada tembus sampai kepunggung.
Empat keliling tembok ruang, penuh terpaku dengan
tubuh anak buah gedung itu! Mata mereka melotot
keluar, wajah menampilkan ketakutan yang mengerikan.
Gak Lui tegak berdiri ditengah puluhan mayat-mayat
yang tegak berdiri terpaku di dinding. Makin
mendalamlah rasa kebenciannya terhadap Maharaja.
Saat itu iapun segera menyadari kesalah faham yang
terjadi semalam. “Mereka tentu menerima Amanat Takdir
80
dari si Maharaja. Lalu mereka mengatur penjagaan keras
untuk menghadapi musuh. Setiap pendatang, tentu
dianggap orang dari Maharaja itu. Begitu pula terhadap
diriku, mereka duga aku tentu salah seorang dari
gerombolan Topeng Besi. Dan ketika kutinggalkan
tempat ini, gerombolan pengganas itu tentu datang dan
membunuh mereka habis-habisan. Ah........, sehurusnya
semalam aku herada disini, membantu mereka
menghadapi pengganas-pengganas itu. Sekarang aku
kehilangan kesempatan untuk menuntut balas pada
musuh.....” ia menimang-nimang dalam hati.
Karena gemas, Gak Lui mengerunyutkan
gerahamnya dengan keras. Berputar memandang pada
mayat2 yang berada dalam ruang itu, ia berdoa pelahan:
“Saudara2 aku Gak Lui bersumpah akan membalaskan
dendamu saudara. Harap kalian mengasoh di alam baka
dengan tenang. Maaf karena tak sempat menguburkan,
terpaksa jenazah saudara2 akan kubakar saja........!”
Dengan obor itu mulai membakar ruangan itu. Bau
mayat terhakar, membaur kemana-mana, memuakkan
perut orang. Setelah selesai mengadakan pembakaran
mayat, Gak Lui segera menetapkan rencana. “Dengan
terdapat Amanat Takdir disini, tentu gerombolan
pengganas itu akan melakukan pembunuhan pada
tokoh2 golongan Putih dilain tempat. Dan untuk mencari
keterangan tentang letak sumber air Pencuci Jiwa itu, tak
sembarang orang dapat memberitahu. Aku harus lekas2
mencari tokoh persilatan yang lain ...........”
Secepat kilat ia terus menerobos keluar dari ruang
itu. Tetapi baru beberapa tombak meninggalkan gedung,
dua sosok bayangan melesat cepat kedalam gedung itu.
Baik Gak Lui maupun kedua orang itu sama2 lari pesat.
Yang satu keluar, yang lain masuk. Tubrukan pasti tak
81
dapat dihindarkan lagi. Pada saat jarak kedua fihak
tinggal satu meter, dengan kegesitan yang luar biasa,
Gak Lui enjot tubuh melambung ke udara. Melayang dua
tombak tingginya melampaui kepala kedua pendatang
itu....! Tetapi ternyata kedua pendatang itu, juga berilmu
tinggi. Salah seorang ternyata seorang tua yang
berjenggot panjang. Tampak terkejut karena melihat Gak
Lui melambung diatas kepalanya, ia terus lari menerobos
kedalam gedung. Sedangkan kawannya, seorang tua
berwajah hitam, berhenti dan berputar diri lalu
mendamprat Gak Lui: „Hai........., hendak lari kemana
engkau Topeng Besi......?!” Tring .... orang tua berwajah
hitam itu terus mencabut pedang lalu loncat menusuk
pungung Gak Lui.
Saat itu Gak Lui masih melayang di udara. Dari angin
gerakan pedang, tahulah buhwa penyerangnya itu
memiliki tenaga-dalam yang tinggi. Maka ia gerakkan,
kedua. tangannya, menampar kebelakang dan
menggurat dengan tenaga-sakti Algojo-dunia. Orang tua
itu tergetar sampai miring tubuh-nya. Ia benar2 terkejut
karena jurus Algojo-dunia yang hebat itu........” Secepat
kilat Gak Luipun berputar diri dan berseru: „Aku........
bukan gerombolan Topeng Besi Engkau salah, duga
.......”
“Jangan ngaco belo.....!” bentak orangtua berwajah
hitam itu lalu taburkan pedangnya makin dahsyat. Mau
tak mau Gak Lui menghela napas. Ia mengkal dan
geram: „Ah........., kembali harus bertemu” dengan
manusia yang gila. Terpaksa harus kupapas pedangnya
dulu baru nanti bicara lagi.....!” pikirnya.
Sengaja ia memhuka sebuah peluang. Dadanya
dibuka tak dlindungi. Orangtua berwajah hitam itu
mengira kalau mendapat kesempatan bagus, segera ia
82
menusuk ke tenggorokan lawan. Tetapi baru pedang
menusuk, secepat kilat Gak Lui sudah taburkan
pedangnya, tring .... putuslah seketika pedang orangtua
berwajah hitam itu menjadi dua ....!
“Aku akan mengadu jiwa denganmu !” teriak urangtua
berwajah hitam itu. Membuang pedangnya yang kutung,
ia terus hendak membentur dada Gak Lui dengan kapala
....! Tepat pada saat itu, .....orangtua berjenggot panjang
yang menerobos masuk kedalam gedung tadi, muncul
keluar. Mukanya penuh dengan bekas airmata. Secepat
kilat dia enjot tubuhnya melayang keudara, menusuk
bahu kanan Gak Lui. Saat itu Gak Lui belum sempat
menarik pulang pedangnya. Serangan2 dari kedua
orangtua dari bawah dan atas itu, membuatnya terkejut.
Dalam gugupnya ia teruskan pedangnya dengan
jurus Menjolok- bintang- memetik-rembulan. Menangkis
dengan pedang orangtua berjenggot panjang, serempak
dengan itu tangannya kiri menampar orangtua muka
hitam yang hendak meyeruduk. Tring ......pedang
orangtua berjenggot panjang terlempar keudara, dia dan
orang muka hitam, terkena hantaman Gak Lui sampai
tersurut mundur dua langkah.
Orang tua muka hitam terengah-engah napasnya dan
terus hendak menyerbu lagi. Tetapi dicegah orangtua
berjenggot panjang: „Hiante, harap, bersabar dulu”
Kemudian orangtua berjenggot panjang itu menegur Gak
Lui:
“Siapakah anda ini? Mengapa hari2 sepagi begini ini
sudah bergegas-gegas keluar dari desa Ngo kiat-cung
sini?”
“Maaf, mohon paman berdua memberitahukan nama
dan maksud kedatangan kemari dulu, baru nanti kujawab
83
pertanyaan itu,” sahut Gak Lui
“AKU Hi Liong-hui bergelar Pedang Samudera dan ini
adikku angkat Pedang Gelombang Go Bun Hua. Dunia
persilatan menjuluki kami sebagai Sepasang Pedang
Gelombang Samudera. Karena kami bersahabat baik
dengan Lima jago, maka begitu mendengar mereka
menerima Amanat Maut, kami terus bergegas datang
kemari untuk menjenguk....!” kata orang tua berjenggot
panjang itu.
Melihat wajah kedua orangtua itu jujur dan kata2nya
bersungguh- sungguh, Gak Lui pun segera
memberitahukan namanya. Ia menuturkan tentang
kesalah fahaman yang terjadi ketika ia datang ke desa
Ngo-kiat-cung. Pada hal maksud tujuannya hanyalah
hendak bertanya tentang letak sumber air Pencuci Jiwa.
Habis menutur, ia mengeluarkan surat Amanat Maut
yang diambilnya dari samping pintu. Diluar dugaan,
begitu melihat Amanat Maut itu, pucatlah seketika wajah
kedua orangtua itu. Pedang Gelombang Go Bun-hua
serentak menjerit kaget dan meraung : „Ho......., kiranya
itulah Amanat Maut! Dengan membawa surat itu, siapa
lagi engkau kalau bukan anggauta gerombolan Topeng
Besi!”
Sudah tentu Gak Lui sendiri juga terkesiap kaget.
Tetapi sebelum ia sempat memberi penjelasan, Pedang
Samudera Hi Liong-hui sudah mencegah adik-angkatnya:
„Harap hiante jangan lekas bercuriga! Masakan engkau
tak memperhatikan ilmu permainannya pedang yang
aneh tadi?”
“Aku tak kenal permainannya itu!” seru Pedang
Gelombang Go Bun-hua. “Tetapi lain sama sekali dengan
ilmupedang gerombolan Topeng Besi itul”
84
“Lalu siapakah dia?”
“Tentulah pemuda Pemangkas-pedang yang telah
menggetarkan dunia persilatan itu!” kata Pedang
Samudera Hi Liong-hui. Saat itu barulah Go Bun-hua
tersadar. Kini Gak Luilah yang berbalik heran. Buru2 ia
bertanya: „Tadi Go lo-cianpwe mengenali surat ini
sebagai Amanat Maut. Lalu apakah bedanya dengan
Amanat Hidup?”
“Amanat Hidup kertasnya putihl”
“Mengapa lo-cianpwe tahu begitu jelas ?”
“Aku.....” baru Pedang mengucap sepatah, Pedang
Samudera segera menukas : „Kami hanya mendengar
cerita orang pcrsilatan. Kini tentang Kelima Jago itu
sudah selesai, kamipun hendak pergi....!”
“Nanti dulu ....!” Pedang Samudera Hi Liong-hui
kerutkan alisnya yang panjang :
“Saudara hendak perlu apa lagi?”
“Masih ada beberap soal yang, hendak kumintakan
keterangan pada cianpwe,” kata Gak Lui.
“O ... apakah soal engkau hendak pergi ke sumber air
Pencuci Jiwa itu ?” Itu salah satunya !”
“Sumber air Pcncuci - Jiwa itu melalui gunung Thiangan-
san yang jauh. Dari sini mau menuju kearah timur.
Kira2 setengah bulan baru akan tiba disana. Tetapi
banyak sekali orang persilatan yang mati ditepi telaga itu.
Tiga puluh tahun tak pernah ada pengunjung yang
selamat jiwanya. Dalam hat ini perlu kujelaskan padamu
lebih dulu I”
“Terima kasih atas keterangan cianpwe. Lain dari itu,
tadi cianpwe mengatakan bahwa jurus permainan
85
pedangku tak sama dengan gerombolan Topeng Besi.
Lalu ilmu pedang aliran manakah yang digunakan
mereka itu?”
“Kabarnya meliputi berbagai aliran, Siau-lim, Bu-tong,
Kong-tong, Ceng-sia dan, Heng-san, kelima partai
persilatan besar..........!”
Seketika gemetarlah Gak Lui. Tempo hari mendiang
ayah angkatnya mengatakan hanya tiga partai persilatan,
ternyata kini si Hidung Gerumpung itu dapat
menundukkan tokoh2 dari lima partai persilatan besar!
Karena marah hampir Gak Lui hendak mendamprat
tokoh2 murtad yang mau diperbudak si hidung
Gerumpung. Namun ditelannya kembali makiannya lalu
bertanya lebih lanjut :
“Dari aliran partai manakah ilmu silat si Maharaja
itu?”
“Dia memang misterius sekali! Tiada seorangpun
yang mengetahui aliran ilmu silatnya dan sampai berapa
tinggi kepandaiannya itu. Tentang kekuatannya, mungkin
didunia persilatan tiada yang mampu menandinginya
kecuali Raja-di-raja Li Liong-ci!”
Gak Lui makin terkejut. Namun ia tak patah hati
bahwa niatnya untuk membalas dendam itu makin keras.
Disamping itu diam2 ia tak puas dengan Raja-di-raja Li
Liong-ci yang tetap menyembunyikan diri itu.
“Pertanyaan yang terakhir yalah hendak mohon locianpwe
suka menjawab sejujurnya. Adakah lo-cianpwe
sudah menerima Amanat Takdir atau belum?”
“Ini ..... ini...., belum menerima” sahut Pedang
Samudra.....!”
“Tetapi Pedang Gelombang Go Bun-hua locianpwe
86
mengatakan sudah pernah melihat Amanat Hidup,
mengapa lo-cianpwe menyangkal.......?” desak Gak Lui.
“Ah, umurmu masih muda belia, jangan keiliwat ingin
tahu segala, agar jangan terganggu perjalananmu........”
“Maharaja dan gerombolan Topeng Besi, mempunyai
dendam sedalam lautan dengan aku. Aku bersedia
membantu lo- cianpwe.”
“Dalam hal itu, aku mempunyai perhitungan sendiri,
baik engkau jangan ikut campur !” sahut Pedang
Samudera.
“Tidak......! Aku tak dapat berpeluk tangan
mengawasi saja. Apakah lo-cianpwe menganggap
kepandaianku itu lebih rendah .......”
“Kami berdua mengagumi kepandaianmu. Tetapi
kalau hendak bermusuhan dengan si Maharaja, haruslah
engkau balajar sampai mencapai tataran yang tinggi.
Terus terang, dengan kepandaian yang engkau miliki
sekarang ini, masih terlalu jauh jika hendak menempur
mereka....”
“Tetapi keputusanku sudah tetap, tak perlu locianpwe
mencegah....!”
Pedang Samudra Hi Liong - mengkerutkan dahi
karena sikap Gak Lui yang keras kepala. Tiba2 Pedang
Gelombang Go Bun-hua diam2 mendekati Hi Liong-hui
dan membisiki beberapa patah kata ke telinganya.
Pedang Samudra Hi Long-hui mengangguk-angguk, lalu
berkata kepada Gak Lui : „Kalau begitu baiklah, aku
mempunyai sebuah urusan yang amat penting hendak
minta tolong kepadamu. Entah engkau mau atau tidak ?”
“Silahkan cianpwe mengatakan .......!” “Saat ini
umurku sudah hampir 60 tahun dan hanya mempunyai
87
seorang putera yang kunamakan Hi Kiam-gin. Sudah
lama ia keluar mengembara, sampai sekarang belum
pulang. Hatiku sungguh cemas ........ “
“Aku bersedia mencarinya !” sahut Gak Lui.
Pedang Samudera Hi Liong-hui terharu mendengar
kesediaan anak muda itu. Serentak ia berlutut
menghaturkan terima kasih. “Engkau benar2 merupakan
bintang penolong dari keluarga Hi, hanya saja.......
anakku itu berwatak liar .......”
Gak Lui terkejut karena jago tua itu berlutut
dihadapannya. Buru2 ia mengangkatnya bangun :
“Sudah tentu aku akan mewajibkan diri sebagai seorang
saudara untuk mencari putera lo-cianpwe itu. Tak peduli
bagaimana wataknya, aku tetap tak merobah
pendirianku. Tetapi bagaimanakah wajah saudara Hi itu.
Apakah ada ciri2 pengenalnya yang khas ?”
“Anakku itu berumur 19 tahun, wajahnya cukup
gagah. Membawa sepasang pedang panjang dan
pendek. Pada waktu meninggalkan rumah dia menuju
kearah timur. Sungguh kebetulan engkau hendak menuju
kesumber air Pencuci Jiwa. Mungkin dapat bertemu di
tengah jalan.” “Lalu tentang peristiwa gerombolan
Topeng Besi malam ini ...........”
“Gak siauhiap, kucinta sekali kepada puteraku. Harap
engkau suka melindunginya. Lain2 urusan, tak perlu
engkau hiraukan.”
“lni ....... “
“Desaku merupakan sebuah tanah datar segi tiga.
Dibelakang desa terdapat lembah gunung. Jika engkau
mengikuti aku, tentu segera diketahui orang-orangku. Itu
berarti engkau tak dapat di percaya. Terutama lembah
88
itu, jangan sekali-kali engkau kesana ......” kata Pedang
Sumedera Hi Liong-hui dengan nada serius. Melihat
orang begitu bersungguh-sungguh meminta, Gak Luipun
berkata dengan lantang: „Karena cianpwe menghendaki
begitu, baiklah. Silahkan cianpwe berdua pergi dulu.
Setengah jam kemudian baru aku berangkat. Menilik
kepandaian berjalan cepat dari cianpwe berdua, tak
mungkin aku dapat mengejar.”
Mendengar itu barulah Pedang Samudera Hi Lionghui
legah hati. Setelah mengulang lagi perminntaannya
agar Gakl Lui benar2 mau mencarikan jejak puteranya
yang hilang itu, kedua jago pedang tua itu segera
melesat pergi.
SETENGAH jam kemudian barulah Gak Lui
berangkat. Tepat pada saat ia tinggalkan tempat itu,
sesosok bayangan hitam diam2 mengikutinya. Walaupun
terpaut setengah jam dan saat itu 'Sepasang Pedang
Gelombang- Samudera sudah tiba dirumah, tetapi karena
Gak Lui dibesarkan di gunung Yau-san, dia memiliki
indera pembau yang tajam sekali. Dalam mengenal bau
orang dengan binatang. Maka sekalipun terpaut
setengah jam ia dapat juga mencium jejak kedua jago
pedang tadi. Memandang kemuka, dilihatnya sebuah
gedung besar tegak dengan megahnya. Dan dilihat-nya
sepasang Pedang Gelombang-Samudera itu tengah
berdiri di muka gedung sambil mencekal pedang.
“Celaka kalau ketahuan mereka, sungguh tak enak,”
pikirnya. Cepat ia membiluk kekanan dan lari sekencangkencangnya.
Melihat itu, orang yang mengikutinya dari
belakang tadi, terkejut lalu buru-buru menyembunyikau
diri dengan rebah ditanah.
Setelah tiga kali membiluk tiga buah tikungan, tibalah
Gak Lui dalam lembah dibelakang gunung. Lembah itu
89
merupakan tanah rendah yang menyerupai sebuah
lumpang batu. Ditengah penuh dengan hutan dan batu2
aneh. Walaupun pada siang hari, suasananya tampak
menyeramkan. Kemudian ketika memandang kelereng
gunung, Gak Lui melihat lereng itu terdiri dari karang
yang melandai tinggi. Tiada hutan dan pepohonan
sehingga tak dapat dibuat tempat bersembunyi. Terpaksa
ia menyusup diantara gundukan2 batu aneh itu. Ketika
hampir mencapai bagian tengah lembah, tiba2 dilihat
sesosok bayangan muncul diatas gunung, buru2 ia
mengumpat di belakang batu.
“Cetaka...! Kiranya Go Bun-hua cianpwe! Jika sampai
dilihatnya, sungguh tak enak ..... lebih baik kutunggu
sampai malam hari ........” setelah memutuskan begitu, ia
mencari tempat meneduh dibalik batu besar, ia
mengeluarkan ransum kering lalu memakannya. Untuk
menghadapi pertempuran nanti malam, ia siapkan
sepasang pedangnya. Lain2 perbekalannya, disimpan
hati2 dalam celah batu.
Ketika tangannya menjamah batu, ia merasa aneh:
„Eh, mengapa batu ini begini licin sekali ?” Dan serempak
dengan itu hidungnya mencium bahu anyir. pembau Gak
Lui yang tajam tetap.......tak dapat mengenali bau itu. Ia
segera duduk bersemedhi, menunggu datangnya malam.
Akhirnya haripun malam. Tetapi malam itu, tiada bintang
dan bulan sehingga suana amat seram. Gak Lui terus
bangkit. Dalam beberapa loncatan saja, ia sudah
mencapai puncak gunung. Melongok kebawah, tampak
rumah2 dibawah gelap pekat2. Pada empat penjuru,
terdapat 10-an lebih api unnggun. Bukan melainkan
rumah2 itu saja, bahkan lereng gunung disebelah depan
pun tampak terang. Saat itu barulah Gak Lui menyadari
akan kegunaan unggun api itu. Tetamu tak dapat melihat
kedalam, tetapi orang dalam dapat melihat jelas setiap
90
pendatang. Ia mulai menuruni gunung.
Karena kuatir jejaknya ketahuan, terpaksa Gak Lui
berjalan hati2 menyusup diantara pohon2 yang rindang.
Perjalanan yang tak berapa, jauh itu telah makan waktu
yang cukup panjang. Saat itu sudah menjelang tengah
malam. Walaupun -musuh belum muncul, tetapi Gak Lui
duga mereka tentu sudah berada disekitar tempat itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara suitan tajam.
Rupanya dari jarak yang cukup jauh. Diam2 Gak Lui
menggigil. Pada lain saat tampak beberapa bayangan
hitam bermunculan dari empat penjuru. Mereka
menghampiri tumpukan api dan tahu2 unggun api itu
padam semua. Malam makin pakat.
Segera Gak Lui keluar dari tempat
persembunyiannya. Untuk mempersingkat waktu, dari
lereng gunung ia loncat kebawah, terus hendak menuju
kegedung kediaman Hi Liong-hui si Pedang Samudera.
Tetapi ketika masih dua meter dari atas tanah,
sekonyong- konyong kakinya dibabat pedang. Ia terkejut
sekali dan buru2 menekuk lututnya, bergeliatan
melambung keudara lagi seraya mencabut pedang.
Tring...., tring.., ia menangkis pedang penyerang gelap
itu. Dan dengan meminjam tenaga benturan pedang, ia
berjumpalitan melayang turun kebumi. Begitu tegak
ditanah, barulah ia dapat mengetahui siapa
penyerangnya itu. Seorang manusia yang mirip hantu.
Dari atas kepala sampai kebawah kaki, tertutup jubah
hitam. Hanya pada bagian mata diberi lubang. Dari
lubang itu tampak sepasang biji matanya yang aneh.
Meram tidak, melekpun bukan. Sama sekali tak
menyerupai seorang manusia hidup!
“Adakah yang gihu katakan tentang Topeng Besi itu,
serupa ini dandanan-nya.......!” diam2 is menimang dalam
91
hati. Ditatap dua orang aneh itu dengan tajam. Ia hendak
menyelidiki apakah pada bagian kepala orang masih
terdapat lagi topeng besi. Tetapi orang aneh itu tak mau
memberi kesempatan kepadanya
Pedang ditaburkan laksana kembang api
berhamburan di udara. Yang diserang selalu jalan darah
maut pada tubuh Gak Lui. Dengan hati2 Gak Lui
melayani. Ia tak mau balas menyerang melainkan
bertahan diri. Ia hendak menyelidiki ilmu pedang orang
itu. Ah......., ternyata orang itu menggunakan ilmu
istimewa dari partai Bu tong pay. Kepandaian dan tenaga
saktinya lebih tinggi dari Ceng Suan totiang, pejabat
ketua dari Bu-tong-pay !
Gak Lui tak berani berlaku ayal. Segera ia keluarkan
jurus Menyolok-bintang- memetik bulan. Melihat Gak Lui
mengisar kaki kesamping, orang aneh itu segera
congkelkan pedangnya dari bawah keatas.
“Bagus......!” diam2 Gak Lui berseru girang. Segera ia
pancarkan tenaga-saktinya. Pedangnya berobah laksana
sinar bianglala yang mengurung pedang orang hingga
hampir terpental jatuh. Tetapi, pada saat Gak Lui hampir
berhasil menundukkan pedang lawan, tiba2 dari arah
gedung terdengar ledakan keras. Gak Lui terkejut,
keluhnya : „Celaka, habislah riwayat kedua cianpwe
........” Karena perhatiannya terpengaruh oleh ledakan itu,
Gak Lui agak tertegun.
Kesempatan itu tak disia-siakan siorang aneh, tiba2
ia kerahkan tenaga untuk menindih pedang Gak Lui, lalu
dikiblatkan memapas muka Gak Lui. Gak Lui terperanjat
sekali, buru2 ia menyurut mundur dua langah. Tangan
kanan menangkis dengan pedang, tangan kiri cepat
mencabut pedang pusaka Pelangi lalu balas menusuk ke
mata lawan. Melihat pedang pusaka dari Bu-tong-pay itu,
92
orang berkedok hitam terbeliak. Buru2 ia tegak berdiri
seraya menarik pulang pedangnya. Pada saat itu,
secepat kilat Gak Lui menarik pedang ditangan kanan
lalu menusuk alis orang itu. Krek....., krek .... terdngar
suara logam beradu. Orang aneh itu mundur tiga
langkah. Gak Lui tergetar hatinya. Walaupun ia telah
gunakan tenaga penuh untuk menusuk namun muka
orang yang terlindung dengan topeng besi, tak dapat
ditembus pedang. Kain kerudung bagian muka yang
telah terpapas robek itu, menampakkan sebuah topeng
besi yang tebalnya lebih dari satu dim. Menilik dari noda
karatan pada topeng besi itu, jelas kalau sudab dipakai
selama bertahun-tahun.
“Bunuh........! tiba2 benak Gak Lui terlintas akan
tuntutan kewajibannya membalas dendam. Ia harus
membunuh orang bertopeng besi itu. Terus dia tusukkan
pedang Pelangi kemata orang. Tatapi..........ia terkejut
sendiri karena orang itu tetap diam saja. Gak Lui
serentak terbayang akan wajah yang penuh welas asih
dari Ceng Hi totiang, ketua Bu-tong-pay yang telah
menyerahkan pedang Pelangi kepadanya. Seketika tak
sampailah hatinya untuk melangsungkan tusukan maut
itu.
“Karena rupanya engkau kenal akan pedang ini,
tentulah engkau ini Ceng Ci totiang yang telah
menghilang itu !” serunya dengan bengis. Tetapi orang
aneh itu tak menyahut. Melainkan sepasang matanya
yang berkilat-kilat.
“Dalam penyerangan gelap pada Empat Pedang
Busan 18 tahun yang lalu, apakah engkau juga ikut serta
!” seru Gak Lui pula.
“Mengapa membisu saja ........... apakah engkau
......... terkena sihir!” Gak Lui berteriak lagi. Tiga kuli Gak
93
Lui bertanya, tiga kali tak disahut. Marahlah pemuda itu,
serunya : „Hutang jiwa harus ganti jiwa ! Tak peduli
engkau ini imam Ceng Ci atau bukan.....! pedang di
hamburkan dengan jurus Memotong-emas-membelahkumala.
Tetapi baru pedang bergerak, tiba2 ia rasakan
punggungnya disambar oleh tebasan pedang. Terpaksa
Gak Lui berputar tubuh untuk menjaga diri.
“Aku disini, jangan salah lihat” tiba2 terdengar suara
orang berseru dengan nada kuat. Gak Lui berputar tubuh
dan hentikan pedang. Ah, ia berhadapan lagi dengan
seorang Topeng besi. “Siapa engkau....!” tegurnya.
“AKU adalah imam Bu-tong pay Ceng Ci totiang
......... “
“Oh ..... !” Gak Lui terkejut, „lalu siapakah orang
bertopeng yang tadi.....?”
“Topeng Besi...... ya...! Topeng Besi, perlu apa
banyak pertanyaan !” bentak si Topeng Besi.
“Sepasang Pedang Gelombang-Samudera, mereka
telah menolak Amanat Hidup dari Maharaja, sudah tentu
mereka harus mati.....!”
“Ho, murid Bu-tong yang murtad. Aku hendak
menuntutkan balas pada orang, yang telah engkau
celakai!” teriak Gak Lui.
“Huh...., betapa tinggikah kepandaianmu berani
bermulut besar .......”
“Lihat pedang......!”, Gak Lui terus menyerang dengan
sepasang pedangnya. Topeng besi yang mengaku
bernama Ceng Ci totiang itu mundur setombak lalu
mendengus dingin.
“Jangan kesusu mati......! Engkau tadi mengatakan
hendak mencari aku, kenapa?”
94
“Bu .... “ Gak Lui hendak menanyakan tentang
peristiwa Empat Pedang Busan, tetapi tiba2 ia
mengalihkan kata dengan membentak: “Mewakili Ceng Ki
totiang untuk memeriksa penghianatanmu.”
“Ha..., ha..., ha..., ha....! orang itu tertawa gelak2, lalu
berseru : „ Atas hak apa? “
“Inilah........!” Gak Lui mengacungkan pedang Pelangi
ke atas kepalanya dan menuding lawan. “Oho.........
kiranya engkau mengandalkan kepandainmu silat cakar
kucing itu !” ejek si Topeng Besi.
Gak Lui terkejut. Sedikitpun orang itu tak
mengindahkan pedang pusaka partainya. Jelas sudah
terlalu besar kejahatannya. Harus dibunuh.........!
Tiba2 orang itu berkata pula dengan congkak: „Tak
lama setelah menerima kedudukan sebagai ketua partai
Bu-tong, cousu-ya akan mengadakan pembersihan.
Karena engkau kenal mereka, bolehlah membawa surat.
Tetapi ada syaratnya
“Syarat.......?” karena marah Gak Lui sampai dingin
kaki tangannya. Tetapi menyadari bahwa saat itu sedang
berhadapan dengan musuh besar, terpaksa ia harus
menahan kemarahannya. Lalu menghela napas. Topeng
Besi Ceng Ci totiang mengira kalau pemuda itu sudah
meluluskan. Ia melanjutkan kata-katanya :„ Syaratnya
sederhana. Asal engkau tunduk pada Maharaja dan
menjadi salah seorang anggauta Topeng Besi.”
Mendengar itu tertariklah perhatian Gak Lui. la
hendak menyelidiki keadaan Maharaja. “Cobalah engkau
terangkan keadaan Maharaja itu.....!” serunya.
“Apa yang engkau ingin tahu....?”
“Namanya, asal usulnya ............. “
95
“Ini......... engkau tak pernah bertanya “
“,Hm...., rupanya engkau juga tak mengerti sendiri !
Coba katakanlah, dia mempunyai hidung atau tidak?”
Mendengar pertanyaan itu Topeng Besi imam Ceng Ci
tertawa menyeringai. Serunya : „Jangan..... ngaco belo,
dia ... dia .... mustahil tak punya hidung, tanya saja lain
hal.....!”
“Ilmu silatnya termasuk aliran mana? Sebagai kaki
tangannya, engkau harus tahu.....!”
“Segala aliran partai persilatan, tak ada yang tak
faham. Kesempurnaan kepandaiannya, didunia tiada
tandingannya....!”
Gak Lui mendengus, lalu bertanya tajam :
“Bagaimana kalau dibanding dengan Raja-diraja?”
“Eh....... engkau kenal pada Raja-diraja? Apakah
engkau mempunyai hubungan?”
“Hanya mendengar namanya saja !”
Orang bertopeng itu menghela napas longgar:
„Menilik umurmu, tak mungkin kenal ....”
“Tetapi kalian takut seperti melihat macan
kepadanya!”
“Heh..., heh....! Lambat-laun, dia tentu akan
dilenyapkan oleh Maharaja! Nah....., sekarang lekas
engkau nyatakan, mau tunduk atau tidak !”
“Huh, aku mau membawa suratmu. Tetapi dengan
syarat juga !”
“Katakan.....!”
“Aku harus membawa kepalamu seorang murid
penghianat itu, bersama surat itu!”
96
Topeng-Besi imam Ceng Ci tertawa nyaring,
kumandang tawanya bergema jauh ke langit. Habis
tertawa pedang segera berhamburan melibat tubuh Gak
Lui.
Gak Lui terkejut. Ia rasakan dirinya diselimuti oleh
sinar pedang yang berhawa dingin. Jurus2 yang
dimainkan imam itu bukan melainkan ilmu pedang Butong-
pay, pun kesempurnaan dan tenaganya, jauh
melebihi dari si Topeng Besi yang tadi. Gak Lui bersuit
nyaring. Sepasang pedangnya dimainkan menurut ajaran
ilmu pedang “Pedang lblis' dan „Pedang Laknat'. Seluruh
kepandaian dan tenaganya dicurahkan dalam permainan
itu. Cepat sekali tigapuluh jurus telah berlangsung. Ketiga
batang pedang itu berhamburan saling mengadu
kekuatan. Rupanya Topeng Besi Ceng Ci totiang itu
terkejut juga. Ia tak mengira bahwa seorang pemuda
yang mukanya ditutup dengan kedok kulit binatang
ternyata memiliki ilmu pedang yang sedemikian hebat
dan aneh. llmu pedang yang tidak termasuk ilmu pedang
dari ke 7 partai persilatan.
Hampir setengah hari bertempur tetap ia tak mampu
mengetahui dari aliran manakah ilmu pedang lawannya
itu. Dan yang paling mengejutkan perasaannya yalah,
anggauta Topeng Besi yang biasanya selalu tunduk pada
perintahnya saat itu hanya berdiri tertegun disamping.
Anak buah itu sama sekali tak mau membantu tetapi
hanya memandang terIongong-longong mengikuti gerak
pedang Pelangi yang dimainkan Gak Lui.
“Aneh....! Ilmu apakah yang dimiliki budak ini
sehingga dapat membuat anggauta Topeng Besi tak mau
mendengar perintahku lagi ?” diam2 Ceng Ci totiang
mengeluh heran. Tiba2 ia mendapat pikiran. Bersuitlah ia
senyaring-nyaringnya. Sebuah suitan yang melengking
97
tajam, menggigilkan h orang......! Mendengar itu, anggota
Topeng Besi jadi gelagapan. Sinar matanya memancar
cahaya lagi, lalu mulai bergerak menyerang punggung
Gak Lui. Gak Lui sibuk juga.
Dalam, tekanan dua musuh yang berkepandaian
tinggi, ia harus kerahkan seluruh tenaganya untuk
menghadapi. Pedang ditangan kanan dimainkan untuk
melayani serangan Ceng Ci totiang. Sedang pedang
Pelangi yang dicekal ditangan kiri, diputar untuk
menghalau serangan anggauta Topeng Besi
dibelakangnya.
Melihat anak muda itu dapat bertahan diri, timbullah
nafsu keganasan Ceng Ci totiang: „Menilik gelagat, sukar
untuk menangkapnya hidup-hidup. Tak peduli dia anak
murid partai mana, paling perlu harus dilenyapkan.....!”
Cepat ia loncat kesamping anggauta Topeng Besi
tadi. Kini dengan bahu membahu, keduanya mulai
lancarkan serangan dahsyat kepada Gak Lui. Lima jurus
kemudian, tiba2 Ceng Ci totiang hantamkan tangan
kirinya dengan tenaga sakti Hian-bun-cin-gi. Bagaikan
gelombang laut, pukulan itu memancarkan gelombang
tenaga yang melanda Gak Lui. Betapa tangkas Gak Lui
menangkis, namun tetap ia terpental tiga langkah
kebelakang dan muntah darah. Melihat pukulannya
berhasil, Ceng Ci totiang tak mau memberi ampun lagi.
Pukulan kedua disusulkan dengan cepat, bum.........
Dada Gak Lui terlanda angin pukulan dahsyat itu. Namun
dengan menggigit gigi menahan sakit, ia enjot tubuhnya
loncat beberapa langkah jauhnya.
“Hai, hendak lari kemana engkau......!” teriak Ceng Ci
totiang seraya loncat melayang keudara. Gak Lui nekad.
Tanpa berpaling kebelakang, ia balikkan pedang Pelangi
memapas kebelakang. Tring ....... putuslah pedang
98
anggauta Topeng Besi itu. Ceng Ci totiang terkejut,
teriaknya : „Ho, ternyata engkaulah Pemangkas Pedang
itu !”
Saat itu Gak Lui masih melayang diudara. Sekalipun
ia tak sempat merenungkan teriakan terkejut dari Ceng
Ci totiang, namun tak urung ia agak tertegun juga. Dan
sedikit kelambatan itu, harus dibayarnya mahal. Untuk
yang ketiga kali, dadanya tersambar pukulan sakti dari
tenaga Hian-bun-ciu-gi yang dilancarkan Ceng Ci totiang.
Dalam gugup, Gak Lui menarik pedang Pelangi lalu
menusuk dengan pedang ditangan kanan. Dengan
gerakan itu ia dapat memaksa Ceng Ci totiang mundur
setengah langkah. Tetapi dia sindiripun muntah darah
beberapa kali lagi ....
Secepat menginjak bumi, Gak Lui kalap, berputar
tubuh ia meraung: „Bangsat, aku hendak mengadu jiwa
dengan engkau........!”
Tetapi pada saat itu juga, telinganya seolah-olah
terngiang oleh suara Pedang Iblis dan Pedang Aneh :
„Anak Lui, larilah dulu.....!, Musuh besar yang
sesungguhnya masih belum muncul, engkau harus
mencari .........”
Gak Lui gelagapan tersadar. Cepat ia batalkan
minatnya, lalu loncat beberapa langkah dan terus
melarikan diri. Tetapi Ceng Ci totiang tetap mengejarnya.
Gak Lui tak dapat menahan kemarahannya lagi.
Serentak berhenti ia berputar tubuh lalu gerakkan kedua
pedangnya. Tring .... Ceng Ci totiang yang amat
bernapsu untuk membunuh lawan terkejut sekali, ketika
tahu2 pedangnya terpapas kutung , oleh Gak Lui. Untung
pada saat itu anggauta Topeng Besi tadipun menyusul
tiba. Dengan pedangnya yang kutung, cepat ia menusuk
tenggorokan Gak Lui. Crek..... karena terlindung oleh
99
kedok kulit binatang yang kebal senjata, tusukan
anggauta Topeng Besi itu tak mampu menembus
terggorokannya. Namun sekalipun begitu, tak urung Gak
Lui terhuyung-huyung dan tiba2 kakinya tergelincir jatuh
bergelundungan sepanjang karang, menurun kebawah .
Jika anggauta Topeng Hitam tertegun dan menarik
pedangnya melihat lawan sudah tergelincir jatuh
kebawah, tidak demikian dengan Ceng Ci totiang, Imam
itu tertawa nyaring lalu loncat mengejar kebawah.
Pendek kata, sebelum membunuh pemuda itu, tak
puaslah hatinya. Ternyata Gak Lui menggelinding kearah
tepi lembah. Begitu tiba dikaki karang, cepat ia loncat
bangun, lari kebalik batu besar tempat ia menyimpan
barang2 bekalannya. Papa saat ia mengambil
bekalannya itu, tiba2 hidungnya metincium bahu yang
amat anyir sehingga ia hampir muntah. Sebelum ia
sempat mengetahui bau anyir itu, Ceng Ci totiangpun tiba
dan terus menghantamnya. Tetapi habis menghantam,
imam itu menjerit kaget ! Dari sebelah batu besar,
menghambur sebuah arus tenaga penyedot yang berbau
anyir dan dingin. Seketika menjeritlah Ceng Ci totiang
seperti melihat hantu disiang hari
Gak Lui mendengus tertahan. Ia dilanda pukulan
Ceng Ci totiang. Baru tubuh terhuyung tiba-tiba disedot
oleh tenaga-hisap dari belakang. Wut..... laksana anak
panah, tubuh Gak Lui melesat masuk kedalam sebuah
liang yang gelap dan lembab. Ia coba meronta, tetapi
dinding lubang itu tiba2 merapat menjepitnya. Gak Lui
terkejut lalu pingsan. Ternyata Ceng Ci totiang menjerit
tadi karena melihat dua bilah daging merah sebesar kuali
dan dua buah bola api sebesar genggaman tangan.
Ceng Ci totiang cepat2 loncat mundur sampai tiga
tombak. Ketika memperhatikan dengan seksama,
ternyata daging merah sebesar kuali itu adalah mulut dari
100
seekor ular besar. Bau anyir dan tenaga-hisap yang
melancar dari belakang Gak Lui tadi adalah berasal dari
semburan mulut ular besar itu. Dan pemuda itu telah
tersedot masuk kedalam perut si ular Namun naga itu
tampaknya masih belum kenyang. Kepalanya menjulur
ke atas, lidahnya yang runcing merah, tak henti2 nya
melelet-lelet :............'
Ceng Ci totiang ngeri. Ia loncat menghampiri
anggauta Topeng Besi dan menimang : „Budak itu
memang pendek umurnya, tetapi menurut laporan dari
mata2 kita, seharusnya dia berada ditempat 100-an li
jauhnya. Mengapa tiba2 muncul di sini .....? Ah.......,
tetapi karena ia sudah mati, tak perlu dikejar lagi ....”
Baru ia hendak mengajak anggauta Topeng Besi itu
angkat kaki, tiba2 ia dapatkan tubuh orang itu berkisarkisar
pelahan. Dan scrempak dengan itu, Ceng Ci totiang
seperti mendengar suara suitan yang lemah mengalun di
angkasa. Mirip dengan suitan pertandaan tetapi pun
menyerupai desis bangsa ular. Karena menghadapi
beberara peristiwa yeng aneh, Ceng Ci totiang tak mau
membuang waktu menyelidiki lagi. Ia bersuit memanggil
anggauta Topeng Besi terus loncat tinggalkan tempat itu.
ULAR RAKSASA itupun bergeliatan masuk ke dalam
sarangnya. Sebuah goha di tepi lembah, ternyata goha
itu dalam sekali, lembab dan berli-liku amat panjang. Gak
Lui masih pingsan di dalam perut ular. Ternyata dalam
guha itu telah siap menyambut seekor mahkluk aneh
yang berkulit lima warna. Begitu ular masuk, mahkluk
aneh itu segera mendahului berjalan di muka, menjadi
penunjuk jalan ular itu. Ular itu mengikuti di belakang
mahkluk aneh yang merangkak dan merayap ke atas, ke
bawah lalu membiluk ke kanan dan ke kiri, menyusup
kebagian dalam dari guha itu. Kira2 sepeminum teh
lamanya, mereka telah masuk ke dalam sebuah lubang
101
kuburan yang luar biasa besarnya. Di atas dinding liang
kubur itu, melekat sejumlah besar mutiara besar2 yang
terang gemilang cahayanya. Sedang di sekeliling liang
kubur itu penuh dengan berpuluh-puluh tulang rangka
ular-besar dan longsongan kulit ular. Juga pada dinding
liang terdapat banyak sekali lubang besar kecil untuk
sarang ular. Sebenarnya liang kubur itu bukanlah
kuburan untuk manusia mlainkan kuburan dari jenis ular
besar yang hidup ratusan tahun yang lalu. Mutiara2 yang
melekat pada dinding yang memancarkan cahaya terang
itu, sebenarnya berasal dari otak ular besar yang meleleh
dan membeku menjadi semacam kristal yang dapat
memancarkan cahaya terang benderang.
Tiba2 terjadi suatu keanehan. Mahkluk aneh yang
menjadi penunjuk jalan itu sekonyong- konyong berdiri
seperti manusia. Setelah beberapa kali menggoyangkan
tubuh, tiba2 dia berobah menjadi seorang gadis cantik.
Rambutnya memanjang sampai kepantat. Kulitnya
berwarna segar kemerah-merahan. Tubuhnya hanya
terbungkus oleh sehelai pakaian dari kulit ular yang
mengkilap. Setelah berdiri, gadiss itu menyiak kulit ular
yang menutup kepalanya keatas dada, begitu pula kulit
bagian kakinya disingkap keatas lutut hingga tampaklah
kulit kakinya yang putih.
“Mengapa engkau makan orang?” pada lain saat
gadis itu menegur ular besar tadi. Ular itu menundukkan
kepala seolah-olah seperti menyesal. Rupanya binatang
itu mengerti bahasa sigadis. “Hm........, jika tak Iekas2
kupanggil kamu, orang itu tentu sudah engkau kunyah
dalam perutmu! Hayo lekas muntahkan keluar........!” seru
sigadis pula.
Serta merta Ular Besar itu segera mengangakan
mulutnya. Setelah badannya bergetaran dan ekornya
102
bergeliatan, Gak Lui beserta senjatanya, dimuntahkan
keluar. Habis itu, ular besar terus meluncur masuk
kebagian, dalam dari liang kubur. Rupanya ia takut
mendapat hukuman sigadis, lalu buru2 menyembunyikan
diri. “Hai, kiranya seorang lelaki ....” gadis itu
melengking kaget kemudian ia ulurkan tangan ke mulut
Gak Lui untuk memeriksa pernapasannya. Ia terkejut
karena napas pemuda itu sudah tak terdengar. Buru2 ia
memeriksa pergelangan tangan Gak Lui. Setelah
beberapa saat, segera ia lari ke dalam liang dan
mengamhil sebatang kim-cau (rumput emas) yang
bentuknya panjang kurus seperti anak panah. Lebih dulu
rumput kim-cau itu dikunyahnya sampai halus, lalu ia
menundukkan muka, memakankan kunyahan rumput itu
ke mulut Gak Lui, seperti seekor burung sedang memberi
makan kepada anaknya.....
Tetapi Gak Lui sedang pingsan. Mulutnya terkancing
rapat, napas berhenti sehingga tak dapat menerima
susupan rumput halus itu. Gadis itu tidak gugup. Tanpa
malu2 lagi, ia terus lekatkan bibirnya kebibir Gak Lui lalu
mulai kerahkan tenaga-dalam untuk meniupkan rumput
obat itu kedalam mulut Gak Lui. Supaya tiupannya
berhasil, tanpa disadari tubuh gadis itupun merapat pada
tubuh Gak Lui .... Beberapa saat kemudian tampak dada
Gak Lui mulai bergerak mengikuti tiupan hawa dari mulut
sigadis. Pelahan-lahan pemuda itu mulai dapat
bernapas. Dalam keadaan masih belum sadar, ia
rasakan suatu arus hawa hangat yang harum meluncur
kedalam tenggorokan terus memancar keseluruh
tubuhnya. Kunyahan rumput kim-cau itu cepat sekali
menyalur keseluruh jalandarah Gak Lui. Seketika
menimbulkan rangsang panas yang membakar
ubun2nya. Karena mencurahkan perhatian untuk
meniupkan kunyahan rumput obat kemulut Gak Lui,
103
tanpa disadari pakaian kulit ular yang menutup tubuh
gadis itu meluncur lepas sehingga Gak Lui tak dapat
menahan diri lagi. Kedua insan itu bagaikan naik
gelombang samudera yang mengayun, berkejar-kejaran
menuju kepantai. Makin lama makin mengalun tinggi,
makin tinggi sekali keangkasa akhirnya, pecah
berbamburan tertumbuk karang. Bagaikan letusan
gunung, ombak meledak pecah dan terhempaslah kedua
insan itu lemah lunglai tak bertenaga lagi. Kedua muda
mudi itu telah melanggar makan buah terlarang ....
Karena kesadaran mereka telah hanyut dibawa rangsang
rumput obat. Disaat, kesadaran hilang berkuasalah sang
Nafsu......!
Beberapa saat kemudian, tersadarlah Gak Lui akan
apa yang telah terjadi. Pertama yang dilihatnya benar2
menyentuh perasaannya. Bagaikan sekuntum bunga
yang habis dilanda hujan, gadis jelita itu tampak lemah
lunglai. Kedua tangannya mendekap muka, tersipu-sipu
dan terisak- isak......
“Hai....., apakah yang telah kulakukan” tiba2 ........
Gak Lui loncat bangun. Ia tcrkejut ketika menyadari apa
yang telah terjadi. Dengan terhuyung-huyung ia
menunduk dan berkata kepada nona itu: „Nona,
maafkan. Aku sungguh menyesal sekali. Ini ...... ini tak
kusengaja .....” Gadis itu mengangkat mukanya pelahanlahan.
Sepasang pipinya tampak kemerah-merahan dan
menyahutlah ia dengan tawar: „Akupun tak sengaja....itu
dikarenakan...........”
“Karena apa......?”
“Karena aku ......... menyusurkan rumput kedalam
mulutmu.”
“Rumput apa?” diam2 Gak Lui memang bibirnya
104
masih merasakan harum dan manis dan tubuhnya terasa
panas.
“Rumput itu disebut rumput Panah-emas-wangi.
Khasiatnya dapat melenyapkan racun. Tetapi ..., aku tak
tahu kalau rumput itu, .... dapat membuat orang ... kacau
balau pikirannya.”
Keterangan sijelita secara jujur itu telah melenyapkan
kecurigaan Gak Lui. Ia percaya karena dara itu berusaha
sungguh2 untuk menolong dirinya tetapi karena tak tahu
jelas khasiat rumput itu. telah menyebabkan mereka
berdua terangsang melakukan perbuatan yang terlarang,
Diam2 Gak Lui berterima kasih kepada si gadis cantik itu.
Tapi disaat disamping itu, kini ia bertambah sebuah
beban kewadjiban.
“Budi kebaikan nona, pasti tak kulupakan,” kata Gak
Lui, “kelak tentu akan kubalas sepenuh-penuhnya”
Ucapan itu bahkan menimbulkan ketegangan sijelita. Ia
menghela napas, katanya: „Engkau ...... hendak......
membalas ......dengan apa?”
“Silahkan nona mengatakan, aku tentu akan
berusaha melaksanakan !”
“Setelah terjadi hal tadi ..... aku ..... terpaksa .... harus
ikut padamu selama-lamanya” Gadis itu tersipu-sipu malu
ketika mengucapkan isi hatinya. Gak Lui terperanjat :
„Hal ini .... jangan” Gadis cantik itu kerutkan alis : „
Apakah engkau ........ sudah beristeri ?”
“Belum....!”
“Apa hendak memberi tahu orangtuamu ?”
“Sejak kecil aku tak pernah melihat orangtuaku. Mau
melapor kepada siapa? “
“Menilik engkau membekal senjata, tentulah engkau
105
seorang persilatan. Apakah engkau sedang melakukan
perintah gurumu?”
“Gurukupun sudah meninggal dunia.”
“Oh....,” gadis itu mendengus kejut. Alisnya makin
melekik dalam. Sepasang biji matanya memancar rasa
iba, serunya sambil menggigit bibir: „Kalau, begitu ....
engkau tak mau bertanggung jawab?”
“Tidak..., tidak.....! Bukan begitulah. Adalah karena
sedang melakukan tugas kewajiban maka aku tak berani
sembarangan meluluskan”
“Omonganmu itu, bertentangan sendiri! Aku tak
mengerti apa maksudmu?”
“Diriku sedang memikul kewajiban membalas
dendam. Untuk itu aku harus menuntut ilmu kesaktian
yang tiada tandingannya. Dengan begitu barulah
harapanku tetkabul. Keadaanku saat ini selain harus giat
mencari ilmu kcsaktian, pun tiap saat selalu ditimpah
bahaya2 yang tak ter-duga2”
“Oleh karena itu engkau tak mau tertindih lain beban
lagi.....?”
“Karena aku tak ingin engkau terlibat dalam bahaya
itu!”
Menilik sikap dan ucapan Gak Lui yang begitu bersungguh2,
gadis itu mau percaya juga. Ia tundukkan
kepala dan menghela napas panjang.
“Nona, apakah engkau tiada lain urusan yang perlu
kubantu?” tanya Gak Lui.
“Ibuku sudah meninggal. Aku bermaksud akan
mencari ayah, tetapi ... sekarang aku tak ingin pergi lagi!”
“Lalu bagimana kehendakmu?”
106
“Akan tinggal didalam Liang kubur ini seumur hidup!”
“Ah......., tak perlu begitu. Dan dimanakah tempat
tinggal ayahmu yang hendak engkau cari itu.”
“Ayah sudah beberapa tahun menghilang. Tak tahu
dimana dia berada!”
“Hilang?”Gak Lui terbelalak kaget. Diam2 ia teringat
akan keadaan dunia pesilatan, dimana banyak tokoh2
persilatan, yang hilang tak ketahuan rimbanya. Adakah
ayah gadis itu juga salah seorang yang menjadi korban?
“Apakah ayah nona itu seorang tokoh sakti?” tanyanya
segera.
“Ayahku Li Kok-hua, bukan tokoh persilatan sakti
tetapi seorang tabib nomor satu di dunia.
“Oh, makanya engkau mengerti ilmu obat-obatan.
Jadi engkau puteri seorang tabib sakti!”
“Sedikit2 ilmu pengobatan yang kumiliki itu bukan
kupelajari dari ayah tetapi dari ibuku. Karena pada waktu
ayah menghilang, aku masih dalam kandungan ibu.”
“Berapakah umur nona sekarang?” .
“Tujuh belas!”
“Kalau begitu ayah nona menghilang sejak 17 tahun
yang lalu?”
“Benar,”
“Mengapa beliau menghilang?”
“Ibu mengatakan, pada malam itu ayah diundang
oleh seorang sastrawan untuk mengobati, tetapi sejak
malam itu, ayah tak pernah pulang, lagi!”
“Ibu nona bagaimana meninggalnya? Dan mengapa
nona berada disini”
107
“Ibu menunggu sampai 14 tahun. Karena ayah tetap
tak ada beritanya, ibu lalu membawa aku mengembara
mencari jejak ayah, Tetapi sungguh malang. Di tengah
perjalannan, ibu menderita sakit dan meninggal. Seorang
diri aku melanjutkan perjalanan dan akhirnya tersesat
masuk ke, dalam guha kuburan sini.”
“Apakah nona tak berjumpa dengan ular ?”
“Akupun mengalami peristiwa seperti engkau. Ditelan
ular dan dibawa masuk ke dalam liang lalu dimuntahkan
keluar lagi.”
Diam2 dalam hati kecil Gak Lui setengah tak percaya
bahwa ia ditolong nona itu ke luar dari perut ular. Maka
makin tidak percaya lagi ia akan keterangan sinona
tentang peristiwa ditelan ular lalu dimuntahkan itu. Gak
Lui kerutkan alis .
JILID 3
“Eh, engkau tak Percaya?” tegur dara itu demi
melihat Gak Lui bersangsi, „kutahu berjenis bunga dan
rumput yang aneh. Ketika berada di luar guha aku telah
makan rumput Panah-mas-wangi. Setelah menelan
diriku, ular itu terpaksa memuntahkannya lagi. Akhirnya
kami jadi sahabat. Selama bertahun-tahun ini, aku
banyak belajar darinya mengenai cara tidur dimusim
rontok, bernafas ....... “
“Tidak, itu bukan ilmu bernafas!” tukas Gak Lui,
“memang dalam ilmu silat terdapat suatu pelajaran yang
disebut KURA2 BERNAPAS. Pelajaran itu diambil dari
cara2 binatang bulus bernafas dalam air. Teori kura2 dan
ular tidaklah sejenis. Dengan begitu engkau telah
meyakinkan suatu ilmu yang istimewa. Kelak tentu amat
108
berguna dalam usaha mencari ayahmu .........”
“Sayang aku tak dapat silat ....., tetapi maukah
engkau mengajari aku?”
“Ilmu-silatku, termasuk sebuah aliran istimewa yang
mungkin dapat mengundang perhatian musuh. Oleh
karena itu lebih haik jangan”
“O......., ini tak boleh, itu tak boleh! Kalau begitu lebih
baik aku tak keluar dari sini saja!” sidara mendesah
geram....., “kelak apabila ketemu ayah, dengan ilmu
pengobatannya tentu dapat mengenali diriku ....... “
Dengan ucapan itu sidara hendak mengatakan
bahwa ia kuatir kalau ayahnya dapat mengetahui dirinya
sudah bukan gadis lagi. Tetapi karena sungkan
mengatakan kata2 itu, ia berkata dengan tak jelas. Tetapi
Gak Lui tak menyadari hal itu. Dengan terus terang, ia
berkata: „Orang tuaku telah dicelakai orang. Dan untuk
itu aku bersumpah hendak menuntut balas. Seharusnya
engkaupun mempunyai penderian begitu juga!”
“Kalau begitu engkau suka membawa aku ke luar ?”
“Ya, akan kubawa kamu keluar, kemudian aku tetap
akan menuju ketempat tujuanku dan engkaupun mencari
jejak ayahmu.”
“Kalau begitu, tentang soal pertama yang kukatakan
tadi, engkau ........”
“Sekarang aku tak mau mengucapkan kata2 manis
hanya sekedar untuk mengelabuhi engkau. Tetapi
setelah sakit hati orang tuaku himpas, tentu....... tentulah
...... “
“Tentu, bagaimana.....?” tukas gadis itu.
“Tentu akan meluluskan !”
109
Gadis itu menggigit bibir, merenung beberapa jenak
lalu bertanya dengan nada sarat: „Kalau mengembara di
dunia persilatan, apakah engkau tak jatuh cinta pada lain
orang?
“Tak mungkin....! percayalah.....!”
“Sungguh......?”
“Dengan pedang sebagai sumpah. Jika aku sampai
berbalik haluan, biarlah mati di bawah tusukan pedang
....... “
Dara itu bagaikan meneguk sari madu. Cepat-cepat
ia mendekap mulut Gak Lui dan rebahkan diri ke dada
pemuda itu. Beberapa waktu kemudian barulah mereka
berpisah walaupun dengan hati berat. Dengan wajah
berseri merah dan bertanyalah gadis itu dengan berbisik :
„Sudah hampir setengah hari siapakah namamu?”
“Aku Gak Lui dan engkau? “
“Si Ular .....”
“Huh, itu bukan namamu !”
“Aku tinggal didalam lubang ular, hidup sebagai ular,
sudah tentu bernama si Ular” Gak Lui berbangkit
serentak dan berkata : „Jika engkau tak mau bilang, aku
akan pergi sekarang juga!”
“Hi...., hi...., hi ...” gadis ular itu tertawa geli, serunya:
“Aku tak takut engkau pergi. Kalau tak kutunjukkan
jalannya, mungkin seumur hidup engkau tak mampu
keluar dari tempat ini.......!”
“Masakah?” seru Gak Lui seraya memandang
kesekeliling guha itu.
“Siapa membohongimu? Dalam makam ular ini, tiada
jalan keluar sama sekali. Hanya lubang terowongan
110
untuk jalan ular saja. Betapapun tinggi kepandaianmu,
jika tak kutunjukkan jalannya, engkau tentu akan tersesat
dalam terowongan yang pelik dan tak dapat keluar !”
Melihat tulang2 ular dan kulit2 ular yang menumpuk
setinggi bukit, diam2 mengigilah perasaan Gak Lui. Si
Ular buru2 melangkah kemukanya dan tertawa: „Ih,
hanya bersendau gurau saja, tak boleh marah! Namaku
Li Siau mey ....”

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cersil Baru Terbit : Pedang Kunang Kunang ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 03 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments