Cerita Dewasa Model Indonesia : PKK 2

AliAfif.Blogspot.Com -
Cerita Dewasa Model Indonesia : PKK 2
Baca Juga:
-Gak Lui pun tertawa: „Hu...., indah sekali nama itu.
Apakah engkau takut kuketahui?”
“Romanku cakap tetapi engkau tutupi dengan kedok
yang mengerikan. Apakah itu tak menakutkan aku juga?”
balas Siau-mey. Gak Lui terkejut dan cepat2 meraba
mukanya “Engkau membuka kedok mukaku ini?”
„Tidak! Aku hanya menduga saja.”
“Benarkah begitu”
“Sudah tentu benar, semula aku sibuk menolongmu,
kemudian ... tak ingat memmbuka kedok muka itu lagi.”
Legalah hati Gak Lui. Ia, menghela napas longgar. Suatu
hal yang membuat heran Siau-mey sigadis ular,
tanyanya:
“Mengapa engkau takut membuka kedokmu. Apakah
engkau tak angap ......”
“Aku telah bersumpah sebelum mendapat ilmu sakti
tanpa tanding tak akan membuka kedokku ini. Membuka
kedok berarti melanggar sumpah!”
“Apakah aku ..... sekarang ini engkau anggap orang
luar?”
“Jangankan engkau.....sedang aku sendiripun tak,
pernah melihat muka sendiri “
111
“Ai ...” Siau-mey melengking tak percaya. “Itu benar2
hal yang paling aneh didunia, masakan engkau tak kenal
wadjahmu sendiri!” Gak Lui menghela napas.
“Keteranganku itu memang benar,” katanya, „aku
memang tak pernah melihat wajahku sendiri. Memang
satu waktu ingin kubuka kedok ini agar dapat kuduga
bagaimana raut wajah orang tuaku itu.”
“Seorang manusia tak mungkin tak tahu wajahnya
sendiri. Misalnya diwaktu cuci muka dan berkaca.......... “
“Aku dipelihara oleh ayah angkatku. Beliau takut
kalau melihat wajahku lantas teringat akan ayahku. Oleh
karena sejak kecil aku diberi kedok muka ini. Selama itu
tak diperbolehkan aku berkaca dan mencuci muka.
Beliaupun berpesan apabila melintasi sungai, dilarang
menundukkan muka kepermukaan air sungai dan jangan
sekali- kali membuka kedok muka ini !”
“Ah, riwayatmu benar2 gaib sekali !” seru sigadis ular
Siau-mey.
“Sekarang masih belum dapat diketahui jelas !”
“Musuh keluargamu itu teritu lihay sekali !”
“Kabarnya memang amat sakti dan ganas luar biasa.”
“Kalau begitu........., akupun hendak belajar silat !”
“Mengapa ? “
“Untuk membantu engkau menuntut balas !”
“Tak perlu!”
“Orang tuamu pun orang tuaku juga, mengapa
engkau tak memperbolehkan? “
“Belajar silat, bukan hal yang mudah. Harus sudah
mempunyai dasar latihan yang kokoh !” Sesungguhnya
112
diam2 Gak Lui memperhatikan bahwa gadis itu secara
tak sengaja sudah mempelajari suatu ilmu tenaga-dalam
yang istimewa. Tetapi kalau menilik wajahnya yang
sedemikian ayu, tak mungkin gadis itu mempunyai bakat
belajar silat. Maka sekalipun mulutnya mengucap kata2
tadi, dalam hati diam2 ia bersangsi. Tiba2 gadis itu
melesat. Sekali gerak dapat melesat sampai dua tombak
jauhnya. Saat itu ia berada di tepi guha. Sambil
menunjuk pada tumpukan tulang2 ular, ia berseru :
„Kalau tak percaya, lihatlah ini !” Habis berkata gadis itu
terus mengangkat setumpuk tulang belulang ular yang
beratnya tak kurang dari beberapa ratus kati ......
Gak Lui terkejut. Setelah Siau-mey letakkan
tumpukau tulang ular itu ketanah, barulah ia berkata
dengan nada menyesal: „Sayang aku tak dapat memberi
pelajaran ilmu silat kepadamu. Apalagi anak perempuan
belajar silat pun .... kurang leluasa !”
“Engkau tak dapat memberi pelajaran, aku bisa
berguru pada lain orang. Dan hendak kucari seorang
cianpwe wanita, masakan tak leluasa!”
“Baiklah kalau begitu. Kurasa kita harus lekas
tinggalkan tempat ini,” kata Gak Lui.
“Ah..., mana boleh begitu cepat. Aku harus berkemas
kemas dan memberi selamat tinggal kepada ular naga
........ dan lagi ....”
“Dan lagi bagaimana?”
“Aku harus membawa dua kawan kecil untuk kuajak
pergi.”
Gak Lui meluluskan. Siau-mey cepat meluncur
kedalam persembunyian ular, sedang Gak Lui
mengemasi sepasang pedang dan barang bekalannya.
113
“Ah...., pedang-samudera Hi Liong-hui dan pedanggelombang
Go Sun-hua tentu sudah celaka ditangan
musuh ganas itu. Putera tunggal dari Hi-cianpwe yang
bernama Hi Kiam-gim, harus kubantu untuk
membalaskan sakit hati orang tuanya ............. demikian
Gak Lui merenung. Kemudian pikirannya melayang pada,
Ceng Ci totiang dan anggauta Topeng besi yang
bertempur dengannya itu. Kedua orang itu benar aneh
sekali. Ceng Ci totiang memang sakti ilmusilatnya, tetapi
mengapa sama sekali tak kenal pada pedang Pelangi
pusaka partai Bu-tong-pay? Bukankah hal itu mustahil
sekali kalau mengingat bahwa Ceng Ci itu paderi
tingkatan tinggi dari partai Bu-tong-pay! Sedang si
Topeng Besi itu, ilmu silatnya jelas dari aliran Bu-tongpay.
Pula dia bahkan mengenali pedang Pelangi. Begitu
melihat pedang pusaka Bu-tong-pay, dia tertegun dan tak
dapat bicara .... Terutama topeng besi yang
dikenakannya itu. Selain aneh bentuk dan amat tebal
besinya pun penuh dengan karatan. Apakah topeng besi
itu terus dipakaianya dan tak pernah dilepas? Benar2
kedua orang itu diliputi oleh kabut rahasia. Kabut itu
sekarang Gak Lui belum dapat menyingkapnya. Tiba2
Gak Lui terkesiap ketika ia teringat akan kata2 Ceng Ci
totiang yang aneh. Paderi itu berkata: „Engkau si
Pemangkas pedang, mengapa sebentar saja sudah
berada di sini?”
Jika direnungkan, jelas paderi itu heran atas
kemunculan Gak Lui di tempat itu. Jika demikian, apakah
terdapat seorang tokoh Pemangkas Pedang yang
muncul dilain tempat lagi? Benak Gak Lui dilalu lalang
oleh hal2 yang misterius sekali. Semua teka teki yang
dihadapi itu, ia tak mampu memecahkannya.
“Ah......, betapapun halnya, yang penting aku harus
mencari sumber air Pencuci Jiwa lebih dulu!” akhirnya ia
114
menetapkan keputusannya.
---oo0oo---
Pada saat ia masih termenung dilamun kenangan
perististiwa2 yang aneh itu, tiba2 terdengar suara desis
yang tajam. Empat penjuru penuh dengan gemercik sisik
ular bergesek dengan tanah, menimbulkan suatu bunyibunyian
yang menyeramkan! Gak Lui bergidik bulu
romanya. Ketika memandang kesekeliling, tiba-tiba
hidungnya terbaur angin yang amat anyir dan pada lain
saat lima ekor ular besar meluncur tiba. Badan ular yang
sebesar dahan kayu, bergeliatan membentuk sebuah
barisan ular yang cukup tinggi. Kelima ular besar
mengangkat kepala, menjulurkan lidah dan mengipasngipaskan
ekornya dihadapan Gak Lui. Karena tak tahan
akan bau yang anyir Gak Lui hampir muntah dan
pingsan. Dia tak dapat mengenali ular mana yang telah
menelan dirinya tadi. Dalam gugup cepat ia siapkan
pedang dan memandang kearah liang makam ular
sebelah dalam. Tetapi ia tak melihat bayangan Siau-mey.
Gak Lui makin gemetar. Cepat ia menarik batang pedang
dari sarungnya.........
Dalam saat2 yang amat tegang itu, tiba2 dari arah
lubang sebelah dalam terdengar suitan melengking.
Bagaikan terbang sigadis ular Siau-mey meluncur keluar.
Begitu melihat gadis itu, kedua ular naga tadi segera
bergeliatan memberi jalan. Pada lain kejab, gadis itupun
sudah berada disamping Gak Lui. Gak Lui menghela
napas longgar, lalu susupkan pedang ke dalam sarung
lagi. Dengan dada berombak keras, gadis itu bertanya:
„Engkoh Lui, aku terlambat, apakah engkau kaget?”
“Ah, tak apa. Tetapi melihat kelima ular besar itu saja,
115
hatiku sudah goncang keras!”
“Ah...., kelima ular penjaga makam ini, memang
keluar hendak mengantar perjalanan kita. Mereka tak
makan orang. apalagi setelah makan rumput Panah-masharum,
seharusnya engkau jangan takut kepada
kawanan ular itu!”
“Ya..., ya...., kutahu. Tetapi mana kawan kecilmu itu?
Apa sudah ketemu?”
“Sudah!”
Sambil bercakap-cakap itu, Gak Lui memperhatikan
keadaan Siau-mey. Dilihatnya gadis itu masih
mengenakan pakaian kulit ular yang gilang gemilang
menyilaukan mata. Kakinya telanjang, begitu pula bagian
dadanya. Hanya pada pergelangan tangan kiri, memakai
sebuah gelang warna emas yang aneh bentuknya.
Sedang tangan kanan memakai gelang batu kumala
putih. Gak Lui kerutkan alis, tanyanya : „Apakah engkau
sudah selesai berkemas?”
Siau-mey mengiakan.
“Kalau begitu, mari kita berangkat !” Gadis ular Siaumey
segera memberi selamat tinggal satu demi satu
kepada kelima ular naga itu. Setelah itu ia cepat
menyusul Gak Lui. Mereka menuju ke sebuah guha
berbentuk bundar yang luasnya bebarapa tombak.
Dengan lincah sekali, Siau-mey menyusup ke dalam
lubang guha seraya berseru menyuruh Gak Lui
mengikuti. Pemuda itupun segera mengikutinya.
Ternyata dinding guha itu sangat licin dan mengkilap
sekali seperti kaca. Dan lagi sebentar dinding kaca itu
melayang ke-atas sebentar meluncur turun. Sesaat
menggeser ke-kanan, sesaat ke-kiri. Tak ubahnya seperti
sebuah barisan yang amat hebat. Dalam berjalan
116
sebagai penunjuk jalan itu, tak henti-hentinya mulut Siaumey
mendesis-desis pelahan. Gak Lui pun terpaksa
meniru gerakan Siau-mey untuk merayap dengan tangan
dan kakinya. Diam2 ia mengakui, jika tiada penunjuk
gadis ular itu, tak mungkin dia mampu ke luar dari
makam ular situ. Entah berapa lama mereka merayap itu,
tiba2 Gak Lui tertiup hembusan angin dan semangatnya
terasa segar. Setelah merayap dua tiga tombak jauhnya
lagi, mereka telah keluar dari tanah.
Memandang kemuka, kira2 dua li jauhnya tampak api
penerangan dari sebuah pedesaan.
“Adik Mey.....”
“Hm ......” mendengar kekasihnya memanggil dengan,
sebutan yang mesra, gadis ular itu cepat menyahut
dengan penuh rasa bahagia.
“Sekarang kita berada dimana?”
“Entah apa nama tempatnya, tetapi yang jelas berada
ditempat yang berlawanan arah dengan lembah.” Gak Lui
tertegun, katanya: „Sebenarnya aku ingin kembali
ketempat bermula aku jatuh kedalam lembah. Ingin
kulihat keadaannya. Tetapi tak nyana engkau telah
membawaku kemari.”
“Aku kuatir orang yang mencelakaimu itu masih
menunggu diluar lembah. Dan lagi gunung bagian
sebelah itu ..........bukankah sudah terbakar api?” Gak Lui
serentak teringat pada waktu melintasi puncak gunung, ia
melihat dusun keluarga Hi telah menjadi lautan api.
“Ah ..... “ ia menghela napas panjang, „baiklah tak
perlu melihat. Mari kita mepuju ke desa itu”
Tetapi Siau-mey tampak meragu, katanya: „Sudah
bertahun- tahun aku tak melihat orang, Aku agak ngeri
117
......... “
“Kalau begitu, biarlah kupergi membeli pakaian
untukmu. Setelah itu kita cari tempat yang sepi untuk
beristirahat. Tentu engkau takkan ngeri bertemu dengan
orang!”
---oo0oo---
Demikian tak berapa lama setelah Gak Lui kembali
membawa pakaian, mereka segera mencari tempat
meneduh. Kebetulan sekali mereka mendapatkan
sebuah kuil kuno yang belum begitu rusak keadaannya.
Ditingkah oleh sinar rembulan, kedua kekasih itu duduk
berdampingan. Siau-mey sandarkan kepala pada bahu
Gak Lui, sambil memandang rembulan dengan senyum
bahagia. Dalam genggaman cinta, gadis itu seperti
dimabuk kepayang. Berada dalam sebuah kuil kuno di
tengah hutan belantara, ia merasa seperti di dalam
nirwarna .... Tetapi pada umumnya, detik2 bahagia itu
selalu terasa berjalan cepat sekali. Tak berapa lama
sudah menjelang tengah malam. Tiba2 bertanyalah gadis
itu: „Engkoh Lui, hendak kemanakah engkau besok pagi
itu ...?”
“Kegunung Thian-gan-san mencari sumber air
Pencuci Jiwa !”
“Apakah engkau sungguh2 .... tak dapat ....
membawa aku kesana?”
“Sungguh tak dapat!”
„Aku merasa berat berpisah dengan engkau.”
“Ah, masakan manusia hidup takan berjumpa lagi.
Kuharap engkaupun mencari ayahmu dan akupun bisa
memperoleh jejak kedua orangtuaku lalu membalaskan
118
sakithati mereka !”
“Engkoh Lui, engkau belum memberitahukan nama
ayah dan ibu !”
“Tetapi apakah kepentingannya kepadamu ?”
“Ih...., engkau ini memang keterlaluan, engkoh Lui.
Masakan seorang menantu tak tahu nama kedua
mertuanya .........” jawab Siau-mey tersipu-sipu merah
dan menunduklah gadis itu.
“Baik, tetapi sekali-kali jangan memberitahukan
kepada orang lain !”
“Sudah tentu.”
“Ayahku adalah Bu-san ........” Baru mengatakan
begitu, tiba2 diluar kuil terdengar suara derap langkah
orang. Dari derap langkahnya, bukan seorang tetapi
belasan orang. Tak berapa lama, orang2 itupun
melangkah masuk ke dalam kuil. Sekali lihat dan dengar
nada suara mereka, tahulah Gak Lui kalau yang datang
itu rombongan orang persilatan yang memiliki
kepandaian tinggi. Salah seorang yang suaranya kasar
garang, meraung-raung dengan geram: „Celaka...!
Sungguh menjengkelkan sekali bocah Pemangkas
Pedang itu. Kita mencarinya dia menghilang !”
“Habis memangkas pedang orang, dia terus
melarikan diri. Tentulah takut dilihat orang .........”
Demikian terdengar ocehan beberapa orang itu yang
membuat panas hati Gak Lui tetapi terpaksa menahan
kemarahannya. Tiba2 terdengar derap langkah seorang
yang datang lagi dan berscru dengan tegang: „Kabar
baik! Pemangkas Pedang itu telah ditelan ular besar!”
Mendengar itu tergetarlah hati Gak Lui. Mengapa orang
itu tahu peristitiwa tersebut?
119
“Ah, dia tentulah mata2 dari Maharaja!” pikiran Gak
Lui dan serentak ia tak dapat menahan kemarahannya
lagi. Mencabut pedangnya, ia serentak menerjang keluar!
Tetapi baru pemuda itu hendak bergerak, gadis ular
Siau-mey dapat memegang lengan Gak Lui: „Engkoh Lui,
mengapa engkau ini?”
“Jangan pedulikan aku!” Gak Lui meronta. Walaupun
tidak menggunakan tenaga penuh tetapi tetap ia tak
dapat melepaskan lengannya dari cekalan sigadis.
“Apakah orang yang mencelakai dirimu itu?”
“Ya...!, mereka anak buahnya, lekas lepaskan aku!”
Gak Lui kerahkan tenaga dalam, siap hendak meronta.
Sekalipun tak pernah belajar silat tetapi tanpa sengaja
Siau-mey telah mempelajari ilmu mengatur pernapasan
dan tenaga-dalam dari ular naga. Pada saat Gak Lui
kerahkan tenaga, Siau-mey pun ikut mengerahkan
tenaga. Cekalannya masih kencang sekali.
“Engkoh Lui, Perlu apa engkau mencarinya?”
“Untuk menanyakan dimana musuhku.”
“Kalau mau sungguh2 bertanya, tak seharusnya
engkau keluar.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau engkau yang bertanya, mereka tentu akan
memberi jawaban yang bohong. Lebih baik biarkan
mereka bilang sendiri. Nah, itulah baru boleh dipercaya!”
“Benar juga.......” Gak Lui segera menutup
pernapasan dan mencurahkan mendengarannya. Karena
lama tinggal diliang ular, telinga Siau-mey pun lebih
tajam dari orang biasa. Ia pun curahkan perhatiannya.
Orang2 persilatan itu segera masuk kedalam ruangan
besar. Setelah mengatur tempat duduk masing2, maka
120
terdengar pula suara orang yang bernada kasar dan
parau itu, membentak:
“Setan Keluyuran, kemarilah!” “Pedang Api,
menunggu perintahmu!” terdengar orang yang dipanggil
sebagai Setan Kelunyuran itu menyahut.
“Tadi engkau mengatakan bagaimana dengan si
Pemangkas Pedang itu? Ceritakan lagi!”
„Budak hina itu sudah dimakan ular besar!”
“Ngaco belo engkau! Mungkin karena tak berhasil
mendapat berita, engkau lantas merangkai cerita yang
tidak2”
“Percaya atau tidak, terserah padamu. Tetapi aku
bicara sesungguhnya !”
“Apakah engkau menyaksikan sendiri?”
“Tidak”
“Tetapi mengapa engkau begitu yakin?”
“Aku .... aku ..... faham akan daerah ini.
“Semua peristiwa yang terjadi di situ, tentu kuketahui
!”
Rupanya Pedang Api tetap tak percaya. Wajahnya
tampak muram seperti mau marah. Tetapi salah seorang
lainnya cepat melerai: „Ah..., kurasa kalian jangan begitu.
Bukankah kita bekerjasama. Jika budak hina itu memang
sudah mati, kita boleh melampiaskan kesesakan dada.”
“Ah, jangan bicara seperti itu !” Bertanyalah Setan
Keluyuran dengan nada dingin: „Cara bagaimana
saudara hendak melampiaskan penasaran itu?”
“Aku Pedang Api, senang sekali dapat menghajar
budak itu lalu mencincangnya.”
121
“Kalau menurut ucapanmu itu, kita harus menarik
tubuh budak itu ke luar dari perut ular. Setelah itu baru
ditantang berkelahi?” Kata2 Setan Keluyuran itu
menimbulkan gelak tertawa orang. Tiba2 serangkum
angin keras meniup ke arah tempat persembunyian Gak
Lui. Dengan kepandaiannya mencium angin mengenal
benda, Gak Lui mengetahui bahwa tamparan angin keras
itu berasal dari gerakan tubuh belasan orang yang
berdatangan ke tempat situ. Mereka adalah musuh2 dari
Gak Lui ketika pemuda itu berkelana ke dalam dunia
persilatan untuk memapas pedang orang. Gelak suara
tawa dari Setan Keluyuran masih belum lenyap
kumandangnya. Tiba2 Pedang Api menghantam meja
sembahyangan, meja berhamburan ke mana-mana. Lalu
menjerit murka : „Setan Keluyuran, engkau berani
menyindir aku ?” Namun Setan Keluyuran itu masih tetap
tertawa aneh : „Tak perlu saudara menggertak aku. Jika
engkau benar2 sakti, masakan engkau sampai
dikalahkan pemuda Pemangkas-pedang itu.”
Bum...., bum .... terdengar suara keras dari adu
pukulan antara Setan Keluyuran lawan Pedang Api.
Kawannya yang tadi, cepat mencegah : „Ah...., janganlah
kalian berkelahi sungguh2. Kita semua orang2 gagah
dari tiap2 partai persilatan. Tujuan kita bersama adalah
untuk mencari jejak budak Pemangkas-pedang itu. Tetapi
jika dia memang sudah mati, besok pagi kita tinggalkan
tempat ini.”
Siau-liong membisiki Siau-mey : „Aku hendak
menjenguk mereka, jangan engkau ke luar dari sini.”
“Engkoh Lui, jika engkau sampai berkelahi dengan
orang, bagai mana aku harus berbuat” tanya sigadis.
“Cepatlah engkau pergi, jangan cemaskan diriku ....!”
Gak Lui secepat kilat sudah melesat kemuka ruangan.
122
Dilihatnya dalam ruangan terdapat 13 tokoh persilatan.
Tapi ia tak dapat mengetahui yang manakah Setan
Keluyuran itu. Pedang Api yang sedang ribut mulut
dengan Setan Keluyuran itu, ketika melihat seorang
muncul dimuka ruangan, terkejut dan hentikan
perkelahiannya. Belasan oraung itu segera berhamburan
keluar.
“Berhenti!” bentak Gak Lui, jangan bergerak, aku
hendak bicara !”
Ketiga belas orang itu segera mengepung Gak Lui.
Mereka menghunus senjata masing2. Sikapnya tegang
sekali.
“Aku Gak Lui, memang tempo hari yang memapas
kutung senjata saudara2. Tetapi hal itu ada sebabnya.
Saat ini hendak kuakhiri perselisihan itu!”
Mendengar itu Pedang Api segera maju selangkah,
serunya: “Dengan cara bagaimana engkau berhak
mengakhiri hal itu?”
“Jika saudara2 suka menyambut tawaranku
berdamai, kelak tentu akan kukatakan sebab-sebab-nya
aku memapas senjata saudara2 itu, agar saudara jangan
penasaran!”
“Jika kami tak mau?”
“Silahkan menetapkan waktu dan tempat, aku tentu
akan melayani keinginan saudara2!”
“Beranikah engkau melawan kami ke 13 jago pedang
ini,”
“Sedikitpun aku tak gentar, tetapi .......”
“Mengapa?”
“Aku hanya mau menghadapi yang ke 12 orang
123
karena yang seorang harus lenyap.”
“Yang mana?”
“Setan Keluyuran!”
“Mengapa?”
“Dia adalah kaki tangan Maharaja. Aku hendak
menanyainya” Kata2 Gak Lui itu membuat mereka
tersentak kaget. Duabelas pasang mata mencurah
kearah seorang tinggi yang berhidung kakaktua. Gak Lui
segera menuding orang itu, serunya: „Mengapa engkau
tak lekas keluar? Tunggu apa lagi!” Bermula Setan
Keluyuran itu terkejut gemetar tetapi pada lain saat ia
tertawa mengejek.
“Atas dasar apakah engkau memfitnah diriku?”
serunya.
“Ketika aku berjumpa dengan ular naga, hanya si
Topeng Besi dan si-imam jahat Ceng Ci yang
mengetahui. Tetapi mengapa engkau tahu juga?
Bukankah itu suatu bukti bahwa engkau adalah kaki
tangan durjana yang telah mengganas dunia persilatan
itu!” sahut Gak Lui.
Setan Keluyuran itu batuk2 sebentar lalu memandang
kepada orang- orang disekeliling serunya: „Saudarasaudara
sudah menyatakan hendak mencincang si
Pemangkas Pedang itu. Tetapi mengapa setelah budak
itu datang, saudara2 membiarkan dia mengoceh tak
keruan ........”
Pedang Api mendengus, teriaknya: „Gak Lui cukup
kuat alasannya. Jika engkau tak dapat memberi
penjelasan, hm ....... “
“Wah..., wah...., wah...., mengapa saudara membawa
perselisihan peribadi ke dalam persengketaan umum?
124
Ah, tak sedap dilihatlah!” seru Setan Keluyuran
mengejek. Gak Lui tak dapat menahan kesabarannya
lagi. Memandang dengan mata berkilat-kilat kepada
sekalian orang gagah, ia berkata: „Harap saudara
saudara suka memikir selangkah. Aku hendak
membalaskan kematian Lima-orang gagah dan kedua
jago Pedang Samudera dan Pedang Gelombang”
Habis berkata pemuda itu terus bersiap hendak
lancarkan pukulan Algojo-dunia untuk meringkus Setan
Keluyuran. Tetapi baru saja tangan hendak mengayun,
tiba2 dari belakang ia merasa dilanda tiupan augin keras.
Pedang Api dan rombongannya tak mengetahui hal itu,
tetapi Gak Lui segera menarik pulang tangannya dan
membentak: “Hai, siapakah kalian itu? Mengapa tak
turun kemari, bicara terus terang !” Terdengar dua buah
penyahutan yang parau dari atas serambi:
“Kami berdua adalah imam Wi Tun dan Wi Ti dari
Kong-tong- pay!” Kedua imam tua itu, sederajat
kedudukannya dengan ketua Kho- tong-pay.
Kesaktiannya dalam ilmu pedang menggetarkan sampai
keempat samudra. Maka kemunculannya, benar2 sangat
mengejutkan sekalian orang. Tersipu-sipu sekalian orang
gagah memberi hormat kepada kedua imam tua itu.
Pedang Api segera memberi hormat dan
memperkenalkan diri.
“Murid orang biasa dari Siau-lim-pay, Tan Tay-kong,
memberi hormat kepada lo cianpwe berdua!” Setelah itu
berturut-turut mereka memperkenalkan diri sebagai Tio
Lam san murid Heng-san pay, Oh Hek-bu murid Cengsia
pay, Ci Kok-ceng murid Kiu-hoan-bun dan lain-2...
Kebanyakan mereka adalah anak murid partai
golongan Ceng- pay. Dan kedua imam tua itu pun satu
demi satu membalas hormat. Kemudian yang terakhir
125
adalah orang yang digelar sebagai Setan Keluyuran itu.
Dengan hormat ia berkata: „Wanpwe Lim Yan,
menghaturkan hormat dan selamat datang kepada locianpwe
berdua “
Melihat dia tak menyebut partai perguruannya, imam
tua Wi Ti segera bertanya: „Siapakah nama gurumu
“Wanpwe adalah anakmurid .... Hantu tulang putih
....”
“Oh....” seru imam tua Wi Ti dengan dingin, kemudian
memandang sekalian orang gagah
“Menilik gelagatnya, kalian ini benar2 rombongan
naga dan ular, tidak membedakan putih dengan Hitam.
Sungguh tak urus.”
Mendengar dampratan imam tua itu, Pedang Api
malu dalam hati. Buru2 ia memberi penjelasan: „Adalah
karena tak paham jalanan maka terpaksa kami
mengijinkan dia ikut. Dan lagi diapun, pernah dipapas
kutung pedangnya ......”
Kedua imam tua Wi Ti dan Wi Tun tetap. tak, senang.
Tiba2 mereka berpaling kepada Gak Lui. Sudah tentu
pemuda itu terkejut.
“Adakah, cianpwe berdua juga hendak mencari aku?”
tanya Gak Lui.
“Murid keponakanku Hian Wi tojin telah di papas
kutung pedangnya. Tentulah engkau yang memapas itu!”
“Memang benar .... “
“Sesungguhnya karena apa sampai terjadi
perkelahiau itu?”
“Aku mempunyai suatu sebab. Sayang tak leluasa
kuberitahukan!”
126
“Pedang merupakan nyawa kedua dari seorang
persilatan. Bukan saja bagi yang terpapas pedangnya
tentu malu, pun bagi perguruannya merupakan suatu
hinaan besar. Sekarang murid keponakanku telah
menerima hukuman dari ketua. Kami menerima tugas
untuk menyelidiki hal itu. Jika engkau tak mau
mengatakan sebabnya, murid keponakanku Hian Wi itu
tentu akan menerima hukuman berat. Dilenyapkan ilmu
kepandaiannya dan diusir dari perguruan !”
Mendengar itu dengan nada penuh sesal Gak Lui
berkata : “Dapatkah kumohon pada cianpwe supaya
kembali ke gunung dan tolong sampaikan pada ketua.
Peristiwa pemangkasan pedang itu bukan tanggung
jawab Hian Wi tojin. Kelak aku tentu akan datang
menghadap untuk memberi penjelasan !”
“Karena bukan tanggung jawab murid keponakanku,
maka jelas engkaulah yang bertanggung jawab. Dalam
hal ini terpaksa aku harus mencari keterangan sampai
jelas!”
“Tetapi saat ini aku masih mempunyai lain urusan
yang penting. Dapatkah lain hari........”
“Dengan susah payah, kami baru dapat mencarimu di
sini. Kurasa lebih baik sekarang juga engkau memberi
penjelasan !” desak imam tua itu.
Gak Lui merenung. Rombongan yang dihadapinya itu
terdiri dari campuran antara Putih dan Hitam. Dan lagi
Siau-mey masih bersembunyi di samping ruang.
Berhadapan dengan sekian banyak orang dari berbagai
aliran yang berbeda-beda itu, memang memungkinkan
terjadinya hal- hal di luar dugaan ...............
Tiba-tiba Setan Keluyuran mendapat pikiran untuk
menggunakan kesempatan saat itu. Dengan tertawa ia
127
berkata kepada ke dua imam tua Wi Ti dan Wi Tun:
„Kata2 cianpwe tadi memang tepat sekali. Kami kemari
karena hendak mencari budak itu. Tetapi sayang ada
beberapa kawan yang takut kepadanya. Syukur cianpwe
berdua datang sehingga urusan tentu beres ....”
Tetapi Setan Keluyuran kecele. Kedua imam tua dari
Kong-tong- pay itu membenci orang2 golongan Hitam.
Mendengar sanjung pujian Setan Keluyuran, ke dua
imam tua itu deliki mata dan menyahut dingin: „ Kalian
guru dan murid, tersohor buruk nama. Kami Kong-tongpay
tak berani menerima petunjukmu!” Kemudian ke dua
imam itu berpaling kepada Gak Lui, serunya :
“Baiklah, kami berdua akan menonton di samping
sini. Silahkan engkau membereskan urusanmu dahulu !”
Habis berkata ke dua imam itu terus melayang ke atas
atap serambi lagi. Tetapi Setan Keluyuran itu memang
julig sekali. Siasat yang satu gagal, ia sudah siap dengan
siasat lain lagi. Tanpa malu-malu lagi ia berseru keras :
„Lain orang takut kepada budak itu, memang dapat
dimengerti. Tetapi kalau cianpwe berdua juga gentar
kepadanya, benar-benar menghilangkan muka. Dan lagi
Gak Lui sebenarnya adalah anggota Topeng Besi, mata2
dari Maharaja!”
Sudah tentu kata2 itu seperti halilintar meledak
disiang hari. Kedua imam dari Konglong-pay terbeliak
kaget! Begitupun sekalian orang gagah yang hadir disitu.
Tadi Gak Lui menuduh Setan Keluyuran itu kaki tangan
Maharaja, tetapi sekarang Setan Keluyuran berbalik
menuduhnya sehingga salah seorang anggauta
gerombolan Topeng Besi ! Dalam kehiruk pikukan
sebagai reaksi atas kata2 Setan Keluyuran itu, maka
Pedang Api Tau Tay-kong murid Siau-lim-si segera
melangkah maju dan membentak dengan suara
128
menggeledek: “Kalian berdua saling tuduh menuduh.
Sebenarnya siapakah yang mempunyai bukti yang kuat!”
Dengan tangkas, Setan Keluyuran segera
menggembor sekeras- kerasnya: „Anakbuah Maharaja
tentu membawa Amanat Takdir. Silahkan kalian
menggeledah, siapakah diantara kami berdua yang
menyimpan surat amanat itu, dialah mata-mata!”
Mendengar itu Gak Lui seperti disambar kilat kejutnya,
pikirannya;
“Kuambil Amanat Mati ditempat kediaman Kelima
Jago, mengapa dia tahu juga!” Berfikir sampai hal itu,
cepat ia merabah saku bajunya ...
“Hai, budak, kalau memang seorang jantan hayo
keluarkanlah sendiri!” teriak Setan Keluyuran. Karena
marahnya, Gak Lui sampai gemetar. Cepat ia mengambil
keluar Amanat Mati itu. Seketika berobahlah wajah
sekalian orang gagah.
“Benar!, memang Amanat Mati ini kusimpan. Tetapi
Amanat Mati itu kuambil dari tempat kediaman Kelima
Jago. Hai!, Setan Keluyuran, engkau harus mengganti
jiwa ....”
Tetapi Setan Kelujuran yang licin bagi belut, cepat
melengking: “Pembunuh sudah terang berada disini,
kalian masih tunggu apa lagi !” Bahkan sehabis berseru,
Setan Keluyuran terus mencabut pedang hendak
menyerang. Tetapi kalah cepat dengan Gak Lui. Pemuda
yang terbakar oleh dendam kemarahan itu, segera
hantamkan tangan kirinya keudara. Serangkum
gelombang penyedot segera melanda Setan Keluyuran.
Tubuh orang itu melengkung dan tertarik dua langkah
kemuka. Dengan sekuat tenaga ia berontak dan barulah
dapat berdiri tegak lagi. Tring .......! pedangnya
129
berhambhuran melayang keudara dan tahu-tahu
meluncur ketangan Gak Lui. Sekali hantamkan ujung
pedang ketanah, pedang Setan Keluyuran itu kutung
menjadi dua. Ilmu kepandaian merebut senjata dari jarak
jauh itu, benar2 mengejutkan sekalian orang. Mereka
belum pernah menyaksikan ilmu yang seluar biasa itu.
Pedang Api dan rombongan benar2 tercekam dalam
kerisauan. Antara rasa kejut, malu, dan marah. Tetapi
beberapa orang yang terkena pengaruh kata2 Setan
Keluyuran tadi, segera maju menyerang Gak Lui.
“Menyingkirlah, jangan cari penyakit sendiri .......!”
teriak Gak Lui seraya gerakkan tangannya dalam ilmu
Algojo Dunia untk melindungi diri. Tetapi sayang,
sekalian orang telah kehilangan daya pikir yang sadar,
tidak ada seorangpun yang mendengar seruan Gak Lui.
Sepuluh desiran angin pukulan dahsyat dan hujan sinar
pedang sama menluncur kearah Gak Lui. Betapapun
Gak Lui dengan ilmu kesaktiannya yang aneh itu, tetap
kewalahan menghadapi serangan dari 13 takoh berilmu
tinggi. Darahnya bergolak keras, gerakannya menjadi
kacau. Dalam keadaan secara terpaksa, ia mencabut
sepasang pedang panjang dan pendak. Dengan
demikian, berlangsunglah suatu pertempuran berdarah
yang seru. Pedang Api Tan Tay-kong mengeluarkan ilmu
istimewa dari perguruan-nya, menyerang dengan matimatian.
Setan Keluyuran menyerang dengan tangan
kosong. Ia gunakan ilmu Im-Jan-jiu atau ilmu pukulan
membuat orang cacad. Beberapa kali dalam kesempatan
yang baik, ia mencuri serangan.
Pedang panjang yang dicekal tangan kanan,
dimainkan Gak Lui dalam ilmu Menjolok-bintangmemetik-
bulan. Dari arah kedudukan yang tak terdugaduga,
Gak Lui dapat gerakan pedangnya untuk
mencongkel pedang lawannya. Sementara Pedang
130
Pelangi yang dimainkan dengan tangan kiri dalam ilmu
Membelah-emas-memotong-kumala, bagaikan ular yang
sedang menjulur-julurkan lidahnya untuk memagut.
Hanya pagutan ujung pedang Gak Lui itu adalah untuk
memapas kutung pedang orang. Saat itu didalam ruang
biara telah berlangsung suatu pertempuran senjata yang
dahsyat sekali. Menimbulkan sambaran angin yang
menderu-deru ....
Dering gemerincing dari benturan senjata tajam,
terdengar amat tajam sekali sampai memekakkan
telinga. Ilmu pedang Menjolok-bintang-memetik-rembulan
yang dimainkan Gak Lui itu memang luar biasa sekali.
Beberapa pedang lawannya dapat dipentalkan keudara,
melambung tinggi sampai beberapa tombak. Dibawah
sinar rembulan, pedang2 yang melayang keudara itu,
sepintas pandang menyerupai bintang jatuh dari langit ....
Ada juga yang pedangnya kena terpapas kutung sampai
pendak dan makin pendak, terpaksa harus buang tangkai
pedangnya. Karena jika dilanjutkan, setelah tangkai
pedang pun terpapas, tentulah tangannya yang akan
menjadi korban. Hanya dalam waktu sepenanak nasi
saja, pertempuran telah berjalan 100-an jurus.
Saat itu ke 13 tokoh2 lihay yang semula
menggunakan pedang, saat itu terpaksa hanya tinggal
tangan kosong saja. Tetapi rupanya karena malu campur
marah, mereka semakin kalap. Pedang terpapas habis,
mereka tetap gunakan tangan kosong untuk
melancarkan serangan.
Kedua imam tua Wi Ti dan Wi Tun, diam2 terperanjat
menyaksikan kesaktian pemuda Gak Lui. Wi Ti terus
hendak turun membantu tetapi dicegah Wi Tun.
“Melihat kepandaiannya, dia mungkin anggauta
Topeng Besi ...” kata Wi Ti.
131
Tetapi sambil menuding kearah Pedang Pelangi yang
digunakan Gak Lui, Wi Tun berbisik: „Dengan memakai
pedang itu jelas dia tentu pernah ke Bu-tong-san dan tak
mungkin menjadi anggauta kaki tangan Maharaja! Dan
lagi orang2 itu campur baur tak keruan dengan golongan
Hitam, biarlah mereka merasakan sedikit kopi pahit!”
Pada saat kedua imam Kong-tong-pay itu bercakapcakap,
Gak Luipun sudah menyarungkan pedang dan
gunakan tangan kosong untuk menghadapi serangan
lawan. Berbeda dengan pedang. Pukutan lebih lincah
132
dan sukar dikuasai lawan. Maka serangan ke 13 orang
itu, membuat Gak Lui sibuk sekali. Pemuda itu gunakan
ilmu meringankan tubuh Burung-rajawali- pentang- sayap
untuk menghindari serangan. Gerakan pemuda itu berputar2
laksana seekor burung rajawali yang sedang
berpesta-pora diantara kawanan kambing.
Berulang kali susul menyusul terdengar erang dan
dengus tertahan dari beberapa orang yang terkena
pukulan. Dalam beberapa saat, hampir separoh dari
pengeroyok itu dapat dipukul terhuyung-huyung oleh Gak
Lui.
Melihat pemuda itu makin lama semakin perkasa
bahkan lebih hebat daripada menggunakan pedang tadi,
Setan KeIuyuran menyadari bahwa apabila di lanjutkan,
jelas pertempuran itu tentu akan dimenangkan Gak Lui.
Diam2 tergetarlah hati Setan Keluyuran. Serentak timbul
rencananya untuk meloloskan diri. Maka setelah
melakukan sebuah gerak serangan kosong, cepat ia
melesat ke ruang samping.
Gak Lui terkejut, ia kuatir Siau-mey masih berada
dalam ruang samping itu dan tentu ditangkap Setan
Keluyuran. Tetapi begitu perhatiannya terpecah, saat itu
juga musuh telah memburu dengan pukulan yang
dahsyat dan menguasainya lagi. Tiba2 dari samping
ruang terdengar gelak tertawa yang cabul. Dan menyusul
terdengar lengking jeritan ngeri dari seorang gadis.
“Celaka!” diam2 Gak Lui mengeluh dan tertegun
kaget. Bluk..., bluk..., bluk..., tiga buah pukulan telah
melanda tubuh pemuda itu. Seketika Ia muntah darah
........ Tetapi pemuda itu mendadak tampak beringas
sekali. Sepasang matanya berkilat-kilat memancarkan
api. Dengan kalap ia segera melancarkan 6 buah jurus
dahsyat. Seperti mendapat kekualan gaib, pemuda itu
133
mengamuk laksana banteng terluka.
Dua belas jago-jago silat yang tangguh, dalam
beberapa waktu, telah berantakan. Sebagian dapat di
hantam terhuyung-huyung oleh Gak Lui dan sebagian
dapat disedot tenaga-murninya sehingga kehabisan
tenaga. Juga Gak Lui sendiri tak keruan keadaannya.
Mulutnya mengumut darah. Namun dengan nekad,
sehabis merubuhkan pengeroyoknya, ia terus menyerbu
keruangan samping. Tetapi baru ia hendak bergerak,
gadis ular Siau-mey sudah melesat keluar dari ruang
samping itu. Setan Keluyuran mengejarnya. Dengan
cepat ia menutuk dua buah jalan darah gadis itu tetapi
entah bagaimana tutukannya itu selalu meleset ....
“Engkoh Lui, tolonglah aku!” teriak Siau-mey dengan
ketakutan. Tetapi pada saat itu juga tangannya dapat
dicengkeram Setan Keluyuran. Dan tepat pada saat itu,
Wi Ti totiangpun melayang turun dari atas serambi terus
menutuk kedua orang, Siau-mey dan Setan Keluyuran.
Saat Siau-mey terancam bahaya, sekonyong-konyong
Siau-mey gerakkan kedua lengannya dan bersuit aneh.
Seketika dua buah sinar emas dan perak berhamburan
dari kedua lengannya dan tahu2 gadis ular itu terlepas,
dari bahaya, terus djatuhkan diri kedada kekasihnya.
Tetapl pada saat itu juga Setan Keluyuran tegak seperti
patung, tubuhnya menggigil seperti orang terserang
penyakit malaria. Wajahnyapun turut berkerenyutan. Bluk
...... tiba2 dia rubuh ke tanah. Demikianpun imam tua Wi
Ti totiang. Wajahnya menampil rasa kejut ketakutan.
Baru berjalan tiga langkah, iapun rubuh ....
Sebelum Gak Lui tahu apa yang terjadi dan belum
sempat berbuat apa2, sekonyong-konyong Wi Tun
totiang sudah lontarkan pukulan tenaga sakti kearah
mereka berdua. Karena sedang memeluk Siau-mey, Gak
134
Lui tak sempat menangkis. Terpaksa sambil melindungi
gadis itu, ia terus enjot tubuhnya melambung
keudara.............. Tetapi baru melambung beberapa
meter, pinggangnya telah tersapu angin pukulan si-imam.
Bum ,.... ia terlempar beberapa tombak. Mata berkunang2
dan gelaplah disekeliling penjuru. Darahnya
bergolak keras.
Setelah dapat meruhuhkan Gak Lui, Wi Tun cepat
melayang kesamping Wi Ti. Dilihatnya wajah suhengnya
itu pucat lesi, napas berhenti. Jelas terkena sebuah jenis
racun yang hebat ! Wi Tun yang biasanya amat sabar,
saat itu lupa segala apa. Tring .....!, ia mencabut pedang
lalu menyerbu Gak Lui. Gak Lui buru-buru menyingkirkan
Siau-mey dan mencabut pedang untuk menangkis. Cepat
sekali mereka sudah bertempur 10 jurus.
Tiba2 sigadis ular Siau-mey seperti teringat sesuatu.
Buru2 ia menghampiri ke tempat imam Wi Ti untuk
memeriksa lukanya Saat itu Wi Tun totiang sedang
menumpahkan seluruh tenaganya dalam ilmu pedang
partai Kong-tong pay. Hebatnya bukan alang kepalang.
Sedang Pedang Api Tan Tay keng dan kawan sedang
sibuk menolong kawan2nya yang menggeletak di tanah.
Seluruh mata rombangan Pedang Api itu tercurah
dengan penuh kebencian kepada Gak Lui. Juga terhadap
sikap kedua imam tua Kong-tong-pay yang hanya
berpeluk tangan melihat pertempuran tadi, merekapun
tak puas. Mereka mulai makin percaya akan keterangan
Setan Keluyuran tadi bahwa Gak Lui ini seorang anggota
gerombolan Topeng Besi. Buktinya, pemuda itu
membawa Amanat Mati dari Maharaja dan memusuhi
tokoh2 golongan Putih.
Anggapan mereka terhadap sikap kedua imam tua
Kong-tong-pay itupun, agak mencurigakan. Tentu ada
135
maksud tertentu mengapa kedua imam tua itu tak mau
campur tangan dalam pertempuran tadi! Dalam pada itu,
pertempuran antara Wi Tun totiang dengan Gak Lui
masih berlangsung seru sekali. Karena tak mampu
mengalahkan Gak Lui yang sudah menderita luka itu, Wi
Tun totiang merasa malu dan marah. Segera ia
tumpahkan seluruh tenaga-saktinya untuk menghantam
dada lawan.
Gak Lui terkejut. Setitik iapun tak pernah mengira
bahwa imam tua itu akan mati- matian hendak mengadu
jiwa. Dalam keadaan yang tak mungkin dihindarinya ini,
terpaksa Ia menangkis dengan tangan kiri. Krak ....
terdengar benturan yang keras dan tersurutlah Gak Lui
tiga langkah kebelakang. Tubuhnya terhuyung-huyung
sambil tetap mencekal pedang yang dilintangkan kemuka
untuk melindungi diri. Tetapi difihak Wi Tun totiang lebih
mengenaskan. Kedua tangan imam tua itu melentuk
lunglai, kedua kaki lemas dan rubuhlah imam itu ketanah
....
Hening lelap. Suasana ruangan tampak
menyeramkan. Beberapa sosok tubuh malang melintang
menggeletak dilantai. Beberapa saat kemudian, tampak
gadis ular Siau-mey bangkit terus menghampiri ketempat
Gak Lui. Dilihatnya dada sang kekasih itu berombak
keras; wajah merah membara dan tegak seperti patung.
Jelas kekasihnya itu tentu menderita kesakitan yang
hebat.
“Engkoh Lui, engkau ...... bagaimana?”
“Lekas ... papahlah aku ........ duduk.........”
Siau-mey segera membantu kekasihnya duduk
disamping Wi Tun totiang. Dengan susah payah Gak Lui
letakkan pedang lalu lekatkan tangannya keperut imam
136
itu. Dengan pelahan ia salurkan tenaga-murni Wi Tun
yang disedotnya itu ke dalam tubuh siimam itu. Tak
berapa lama, Gak Lui merasakan getaran hatinya agak
tenang dan rasa sakitnyapun berkurang. Juga Wi Tun
totiangpun mulai kembali tenaganya, Akhirnya tersadar
dan membuka mata. Sebelum kedua orang saling
berbicara, Wi Ti totiangpun yang tadi telah ditolong Siaumey
sudah bangun lalu menghampiri ketempat mereka.
Demikianlah, keempat orang itu saling menuturkan
pengalaman masing2. Wi Ti totiang mengatakan bahwa
tutukannya tadi sebenarnya hendak mencegah Setan
Keluyaran mencelakai Siau-mey. Tetapi dalam gugup,
Siau-mey telah meronta dan membalas menutuknya
hingga rubuh.
Gak Luipun segera menuturkan tentang Amanat Mati
yang diambilnya dari desa kediaman Kelima jago. Kini
kedua imam Kong-tong-pay itu menyadari kesalahan
faham mereka. Mereka memberi hormat, menghaturkun
terima kasih karena telah ditolong dari bencana maut.
Setelah itu mereka minta diri dan tinggalkan tempat itu.
Tetapi. tiba-tiba Gak Lui teringat sesuatu serunya: „Harap
totiang berdua suka berhenti sebentar. Aku hendak
mohon bertanya.”
“Ah, Gak siauhiap tak perlu sungkan ...”
“Mohon tanya, apakah diantara anak murid partai
totiang ada yang lenyap pada 18 tahun yang lalu ?”
Kedua imam tua itu saling bertukar pandang lalu
berkatalah Wi Ti totiang: „Jika lain orang yang tanya,
kami tak leluasa memberi keterangan, Tetapi karena
kalian berdua telah menolong kami, maka tak enaklah
kalau kami merahasiakan soal itu .... “
“Demi kehormatanku, tak nanti kubocorkan rahasia
137
itu kepada lain orang. Pula akupun masih ada soal yang
penting akan kuberitahukan kepada totiang”
“Yang lenyap dari salah seorang Tujuh-jago-pedang
Kong-tong- pay itu adalah toa suheng kami Wi Cun
totiang”
“Oh ......, bagaimana dengan kelakuan Wi Cun
totiang?”
“Cukup baik, tetapi ..........”
“Tetapi bagaimana”
“Perangainya keras sekali, kurang ramah tamah.”
“Mungkin dia telah berobah perangainya sehingga
melakukan sesuatu hal yang diluar dugaan, benarkah?”
“Hal itu .... aku tak berani memastikan, pun tak dapat
menyangkal ...”
Gak Lui merenung sejenak lalu berkata dengan nada
sungguh2: “Adaikata dia telah menggabungkan diri pada
golongan hitam, misalnya menjadi kaki tangan Maharaja,
bagaimanakah tindakan partai totiang terhadap dirinya?”
“Sudah tentu akan dijatuhi hukuman sebagai murid
murtad! Tetapi hal itu harus ada bukti yang benar2
meyakinkan!”
“Bukti ...... ?” “Sudah tentu hurus ada bukti itu. Dan
ucapanmu itu seperti memberi isyarat secara diam2
tentang sesuatu hal!”
Gak Lui menuturkan tentang perjumpaannya dengan
imam Ceng Ci totiang yang menyatakan hendak
mengadakan pembersihan pada partai Bu-tong-pay. Wi
Ti dan Wi Tun terkejut sekali. Berserulah kedua imam itu
dengan serempak: „Hubungan Kong- tong-pay dengan
Bu-tong-pay boleh dikatakan adalah seperti kaki dengan
138
tangan. Soal itu kami tak dapat tak mengurusnya .........
Dan lagi turunnya Ceng Suan tutiang dari gunung
pastilah untuk hal itu juga!”
Kali ini Gak Lui lah yang tergetar hatinya. Bukan
karena takut rombongan Bu-tong-pay akan meminta
kembali pedang pusaka Pelangi dari tangannya.
Melainkan cemas akan tindakan Ceng Suan totiang itu.
Dengan kepergian ketua Bu-tong-pay dari gunung,
musuh mudah menggunakan kesempatan itu untuk
mengganggu markas Butong-pay. Setelah menenangkan
perasaannya, Gak Lui berkata: „Karena Bu-tong-pay
telah mengalami peristiwa itu, kuharap partai Kong- tongpay
juga barus meningkatkan kewaspadaan agar jangan
tertimpah sesuatu yang tak diharapkan”
“Terima kasih atas peringatan Gak sauhiap. Kami
tentu akan segera melaporkan hal itu kepada ketua!” kata
kedua imam itu lalu memberi hormat dan terus pergi.
Pada saat. Gak Lui berputar tubuh, barulah ia teringat
akan Setan Keluyuran. Ketika diperiksanya ternyata
orang itu sudah mati. Kaki tangannya menyurut kecil,
wajahnya perot dan lulitnyapun pucat seperti kertas
Apabila disentuh jari, kulit mukanya itu sudah membusuk.
“Aneh .... mengapa dia mati sengeri begitu?” diam2
Gak Lui bertanya kepada dirinya.
“Dia mati digigit si Kumala!” tiba2 sigadis ular Siaumey
menyahut..........
“Kumala?” Siau-mey geliatkan tangan kanannya lalu
melolos rantai kumala yang melingkar ditangannya itu.
“Ho....., itulah ... sahabat kecil-mu?”
Siau-mey mengiakan, lalu bersuit nyaring. Nadanya
tak kalah nyaring dari suitan Ceng Ci totiang ketika
139
memanggil anggauta Topeng Besi. Begitu mendengar
suitan Siau-mey, rantai kumala ditangan Siau- mey itu,
bergerak. Rantai itu dapat mengangkat keatas,
memantulkan sebuah kepala binatang yang berbentulk
segi tiga.
“Oh, kiranya seekor ular berbisa!” seru Gak Lui.
“Benar, racunnya memang ganas sekali. Apabila
menggigit orang, dalam waktu paling lama satu jam,
orang tentu cair jadi air!”
“Kalau begitu, Wi Ti totiang rubuh tadi bukan karena
engkau totok tetapi karena digigit ular emas itu?!”
“Ya, benar! Imam itu memang digigit si-Emas. Karena
Wi Ti totiang itu tergolong aliran Putih maka kuberinya
pertolongan!”
“Ah........” Gak Lui menghela napas, „Setan Keluyuran
itu sebaiknya jangan mati dan harus ditolong. Dia adalah
kunci rahasia dari musuhku. Aku dapat mengorek
keterangan dari mulutnya........”
Siau-mey tersipu-sipu merah. Sejenak merenung ia
berkata: “Tetapi dia tak dapat ditolong lagi ......... eh,
mengapa engkau tak coba2 menggeledah badannya?
Mungkin dapat diketemukan suatu petunjuk!”
Gak Lui menurut. Ketika mengeledah pakaian Setan
Keluyuran, ia berhasil menemukan sebuah lencana emas
yang aneh bentuknya. Diatas lencana itu diukir huruf :
„Menteri dari Maharaja”.
“Hm, kiranya lencana ini merupakan tanda pengenal
mereka ......” pikir Gak Lui. Dan ketika membuka bekal
Setan Keluyuran, ia menemukan lagi sehelai kain 'biru
penutup kepala dan muka. Itulah sarung kepala yang
biasa dikenakan anggauta Topeng Besi ! Gak Lui
140
menyimpan kedua benda itu dibajunya. Tiba2 Siau-mey
menanyakan perihal Amanat Mati yang menyebabkan
Gak Lui diserang rombongan Pedang Api tadi.
“Engkoh Lui, perlu apa engkau menyimpan benda2
itu? Bukankah hal itu akan menimbulkan faham orang?”
kata Siau- mey.
“Soal itu tak perlu engkau tanyakan. Kelak tentu ada
gunanya bagiku!” Perangai gadis ular Siau-mey memang
lemah lembut. Ia tak mau berbantah lagi. Kemudian ia
menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan mesra :
„Engkoh Lui, orang2 sudah pergi, mari kita masuk dan
beristirahat ke dalam ruangan.” Tetapi saat itu hari sudah
fajar. Gak Lui gelengkan kepala: „Kita .... saat ini harus
berpisah.”
“Berpisah ?” Siau-mey terkejut.
“Sesungguhnya aku tak tega kalau engkau seorang
diri berkelana. Lebih baik cari suatu temtpat yang aman
dan engkau menetap sementara disitu.”
“Tidak..., tidak....!” rupanya Siau-mey mempunyai lain
rencana, “aku mempunyai si Kumala, si Emas dan ular
Pelangi serta akupun memiliki ilmu jaga diri. Aku dapat
pergi, seorang diri!”
“Kapan engkau memiliki kepandaian jaga diri itu ?”
“Dulu sewaktu masih tinggal di makam ular, sering
kulihat kawanan ular besar itu saling bergurau. Tanpa
sengaja mereka masing2 mengeluarkan kepandaian
berkelahinya. Tadipun telah kugunakan sebuah sapuan
tangan dan kaki untuk merubuhkan Setan Keluyuran.
Kalau tidak, masakan aku dapat lolos dari ruang samping
!” Kalau begitu sebenarnya engkau memang mempunyai
kepandaian bela diri. Hanya saja karena gugup
141
menghadapi musuh, hampir saja engkau kena disergap
orang ....... “
“Kelak aku takkan takut lagi. Barang siapa
menghinaku, tentu takkan kuberi ampun!” kata Siau-mey.
“Bagus” Gak Lui memuji. Keduanya segera keluar
dari ruang itu. Setelah tiba di-jalan besar, mereka segera
berpisah.
“Kudoakan engkau dapat menemukan ayah-mu !”
kata Gak Lui.
“Kuharap engkaupun dapat menemukan sumber air.
Pencuci Jiwa!” balas Siau-mey. Setelah saling
berpelukan, kedua kekasih ini segera berpisah. Gak Lui
bergegas-gegas menuju kearah tempat sumber air
Pencuci Jiwa.
SETELAH kekasihnya itu lenyap dari pandangan
mata, Siau-mey berkata dalam hati : „Engkoh Lui, aku
benar2 tak tega. Akan kuikuti engkau secara diam2 Tak
peduli ke Nirwana atau ke Neraka............ Betapapun
jauh larimu, tetapi dengan membaui napasmu aku tentu
dapat mencarimu!” Setelah menentukan rencananya,
gadis ular itupun segera melesat menyusul kearah tujuan
Gak Lui.
Setelah dua hari metaempuh perjalanan, barulah Gak
Lui menyadari bahwa lukanya masih belum sembuh
sama sekali. Tenaganya belum pulih. Ia merasa cemas
lalu membiluk ke sebuah tikungan gunting. Maksudnya
hendak mencari tempat yang aman untuk melakukan
penyaluran napas. Pada saat ia menyusup ke dalam
sebuah hutan untuk mencari tempat beristirahat, tiba2
dari belakang menghembus serangkum angin dan
menyusul terdengar suara orang membentak: „Hai,
pendatang, lekas hunus pedangmu!”
142
“Menghunus pedang?” Gak Lui heran.
“Benar, dan engkau boleh mulai menyerang dulu!”
kata orang itu. Gak Lui makin kaget. Nada ucapan itu
persis seperti ketika ia turun gunung dahulu dalam
rangka memapas pedang tokoh2 persilatan untuk dibawa
menghadap ayah angkatnya. Secepat kilat Gak Lui
berputar tubuh untuk melihat orang yang menggertaknya
itu. Dan astaga .... hampir saja ia menjerit kaget! Dan
orang itupun juga menjerit kaget! Kiranya yang dihadapi
Gak Lui itu juga seorang yang memakai kerudung hitam.
Kepala dan mukanya tertutup. Dandananya persis seperti
dirinya. Orang itupun demikian juga. Ia terkejut karena
Gak Lui menyerupai dirinya.
143
Memang sepintas pandang keduanya hampir
menyerupai satu sama lain. Tetapi sesungguhnya ada
juga bedanya. Gak Lui lebih tinggi dari orang itu. Dan
kedok muka yang dipakainya itu agak beda bentuknya
dengan orang itu. Begitu pula orang itu pedangnya hanya
sebatang. Sekalipun hegitu, memang sukar
membedakan mereka.
“Siapa engkau!” orang itu menegur lebih dulu. Dari
nada dan sinar matanya serta baris gigi yang masih
penuh dan putih, jelas orang itu masih muda. “Aku Gak
Lui sahut Gak Lui. Diam2 ia menimang, tentulah orang
itulah yang telah keliru disangka oleh Ceng Ci totiang
sebagai si Pemangkas Pedang.
“Hm, bangsa kerucuk yang tak berharga. Lekas
hunus pedangmu!” seru orang itu.
“Siapa engkau “ seru Gak Lui.
“Tuanmu ini adalah si Pemangkas Pedang, mengapa
masih bertanya lagi!”
“Ha, ha, ha ... !” Gak Lui tertawa ter-gelak2 “kalau
engkau benar2 dia, engkau telah melanggar sebuah
peraturannya!”
“Peraturan apa?”
“Selama berkelana memapas pedang orang, dia tak
pernah menanyakan nama orang. Kecuali orang itu
mengatakan sendiri !”
“Oh ...... apakah engkau ......” orang itu gemetar
tubuhnya dan maju tiga langkah kemuka.
“Tak usah engkau tanya! Mari kita sama2 menghunus
pedang dan lihatlah siapa yang lebih tangkas
Tring ........ secepat menarik pedang orang itu terus
144
menyerang Gak Lui. Gak Luipun mencabut pedangnya
tetapi tak sampai mengeluarkan suara begitu
gemerincing. Cepat kedua sudah melangsungkan 10
jurus serangan, Gak Lui dapatkan tenaga-dalam orang
itu masih lemah tetapi permainan pedangnya hebat dan
aneh sekali. laksana gelombang samudera yang susul
menyusul mendampar. Menyerang tetapi lincah
bertahan.
Sesaat Gak Lui tak mampu menemukan kelemahan
lawan. Berhadapan dengan seorang lawan yang
dandanan dan umurnya sebaya, timbullah kegembiraan
Gak Lui untuk memenangkan pertempuran itu. Pikirnya:
„Hm, engkau mengaku sebagai si Pemangkas Pedang.
Akan kuberi contoh bagaimana cara memangkas pedang
orang!” Seketika Gak Lui robah permainan pedangnya,
menjadi hujan sinar yang mencurah kepedang lawan.
Orang itu mendengus hina dan berani menangkis.
“Bagus!” seru Gak Lui seraya menambahkan tenagadalamnya.
Pedang berputar laksana angin puyuh dan
ujung pedang orang itu pasti terpapas. Tetapi ternyata
orang itu sudah siap. Pada saat pedangnya terancam
kutung, dia malah maju selangkah dan secepat kilat
merogoh baju. Tring .... terdengar suara berdering dan
tahu2 sebatang pedang pendek secepat kilat memapas
pedang Gak Lui. Cepat bukan kepalang sehingga lawan
tentu tak sempat menarik pedangnya lagi.
Dalam gugup, Gak Lui cepat menarik pedang Pelangi
dari bahunya dan terus disongsongkan. Tring
...........terdengar benturan pedang yang melengking
nyaring sekali sehingga telinga kedua orang itu serasa
mau pecah. Mereka sama2 loncat mundur setombak lalu
memeriksa senjata masing2. Ternyata pedang mereka itu
sama2 tak kurang suatu apa. Pemuda yang mengaku
145
sebagai Pemangkas Pedang itu menyadari bahwa dirinya
takkan menang melawan Gak Lui. Setelah mendengus
geram, tiba2 ia berputar diri terus lari ........ Cepat Gak Lui
loncat dan mencekal tangan pemuda,itu, serunya :
“Saudara Hi, jangan pergi....”
“Siapakah saudaramu itu!” bentak pemuda itu seraya
meronta sekuat-kuatnya. Gak Lui terpaksa lepaskan
cekalannya dan dengan menahan kemarahan berkata;
„Engkau tentu Hi Kiam-gin, putera dari Hi Liong-hui
Locianpwe.”
“Mengapa engkau tahu?” pemuda itu gemetar
bibirnya.
“Aku bernama Gak Lui. Ayahmu minta tolong
kepadaku ....... “
“Minta tolong apa?”
“Beliau mengatakan perangaimu ....... Perangaimu
agak keras. Dikuatirkan di luarkan akan menimbulkan
keonaran.”
“Apakah beliau ..... minta engkau memanggilku
pulang?”
“Tidak!” teringat hahwa keluarga Hi Lionghui sudah
berantakan dan pemuda itu tiada mempunyai rumah lagi,
maka Gak Lui terpaksa menyangkal, katanya: „Hi
cianpwe hanya minta kepadaku supaya melindungi
engkau.”
Orang berkedok dan mengaku sebagai Pemangkas
Pedang memang ternyata, adalah Hi Kiam-gin, putera
dari Pedang Samudera Hi Liong-hui. Pemuda itu tertawa
ewah: „Ah..., kita tak jauh terpautnya .... kepandaian kita
berdua, ditambah dengan pedang yang dapat memapas
segala logam, sama2 mempunyai kemampuan untuk
146
berdiri dengan kaki sndiri. Baiklah, buka kedokmu dan
beritahukan umurmu. Entah siapa.yang lebih tua”
“Maaf, aku tak dapat membuka kedokku ini.
Mengenai umur, engkau lebih tua setahun dari aku......”
“Ha..., ha..., ha .... kalau begitu aku menjadi toako.
Sejak saat ini dalam segala hal engkau harus mendengar
perintahku.” Kareni gembira menjadi toako atau engkoh,
sampai lupalah Kiam- gin tentang permintaannya kepada
Gak Lui supaya membuka kedoknya itu.
“Memang seharusnya aku menyebut engkoh Gin,
tetapi ada beberapa hal yang engkau harus meluluskan!”
“Gak-te silahkan bilang!” kata Kiam-gin seraya
menyimpan pedangnya Ia membahasakan Gak Lui
dengan sebutan Gak-te atau adik Gak. Mereka berdua
duduk bercakap-cakap.
“Pertama, harap engkau, suka kembali mengenakan
pakaian seperti semula”
“O.......!” Kiam-gin menjerit kaget, „kembali dalam
pakaian semula yang bagaimana?”
“Mudah saja! Lepas kedok mukamu dan tak usah
menyebut dirimu sebagai si Pemangkas-pedang. Karena
itu berbahaya sekali!” Hi Kiam-gin menghela napas
longgar. Ia segera melepaskan kedoknya, tampak alis
yang melengkung indah dan bibir merah berisi gigi putih
mengkilap. Benar2 seorang pria yang cakap sekali.
Malah lebih tepat dikata cantik.
“Kedua, siapa saja yang telah kau papas pedangnya
? Dan apakah selama itu pernah terjadi sesuatu” tanya
Gak Lui pula
“Sebatangpun belum pernah dapat kupapas ....
karena begitu kuberitahukan nama Pemangkas pedang,
147
orang2 itu terus ngacir pergi ....”
“Apakah tak pernah ada yang lebih sakti dari
engkau?”
“Ada juga ... “
“Lalu bagaimana engkau dapat meloloskan diri”
“Kecuali pedang, Hi-jong-kiam (Usus ikan), aku masih
mempunyai dua macam pusaka lagi!”
“Apa ?”
“Engkau kenal ayahku, mengapa engkau tak tahu
akan dua macam senjata api dari keluarga Hi?”
“Waktu amat singkat, tak dapat banyak bercakapcakap”
“Kalau begitu, aku beritahu padamu!” Kiam-gin
mengambil sebuah Kim-long atau kantong-kantong dan
mengeluarkan dua butir pelor. Yang satu hitam, satu
merah.
“Yang merah ini disebut Api-sakti dan yang hitam
disebut Kabut penyesat. Bukan saja, aku dapat
melempar dengan tepat pun juga dapat membuatnya
sendiri. Cobalah engkau lihat dayanya dulu!” Ia terus
lontarkan kedua pelor itu kearah sebatang pohon kecil
yang berada 10 tombak jauhnya. Bum ... bum ...
terdengar dua buah letusan. Api-sakti memuntahkan
sinar terang seluas satu tombak, membakar habis pohon
itu. Dan menyusul Kabut- penyesat tadipun
mengembangkan gumpalan kabut tebal. sehinggakeadaan
sekelilingnya gelap gulita. Kiam-gin tertawa dan
menepuk bahu Gak Lui: „Bagus sekali, bukan? Dulu
ketika, berhadapan dengan musuh yang lihay,
kuhadiahkan dia sebuah pelor Asap-penyesat. Dia
pusing dan menyasar kelain jurusan ........eh, kalau
148
engkau suka, kuberimu beberapa butir!”
“Tak usahlah, aku tak memerlukannya, pakailah
sendiri saja!”
“Akn punya banyak sekali. Sewaktu pergi dari rumah,
diam2 kubawa setengah kantong!”
“Oh...., jadi engkau pergi secara diam2”
“Ayahku tak mengdinkan aku keluar, terpaksa
kuambil langkah begitu!”
Seketika Gak Lui teringat ketika tempat kediaman
kedua jago Pedang Gelombang dan Pedang Samudera
terdengar ledakan. Kiranya mereka memang mempunyai
persedian pelor semacam itu. Diam2 Gak Lui tak setuju
akan tindakan Kiam-gin yang minggat dari rumah. Tetapi
dilain pihak, diam2 ia girang. Karena dengan
kepergiannya itu, Kiam-gin lolos dari bencana
pembunuhan yang menimpa keluarganya. Sesaat Gak
Lui agak bingung Haruskah ia memberitahukan tentang
keadaan keluarga Hi itu kepada Kiam-gin? Ia merasa
telah menerima permintaan tolong dari Hi Liong-hui untuk
melindungi puteranya. Tetapi dengan cara,
bagaimanakah ia akan melaksanakan hal itu. Demikian
Gak Lui termenung- menung memikirkan hal itu..........
“Eh, mengapa engkau tak bicara?” tiba2 Kiam-gin
menegurnya. Gak Lui gelagapan dan dengan gugup
berkata: „Aku tak menghendaki senjata gelap. Aku
hendak belajar ilmu kesaktian yang tanpa tanding
didunia. Membunuh si Hidung Gerumpung dan
membalas sakit hati keluargaku ......”
“lh, siapakah Hidung Gerumpung itu? Mengapa
terdapat tokoh persilatan yang begitu lucu namanya?
Hayo, lekas ceritakan kepada engkohmu. Gin!” seru
149
Kiam-gin. Gak Lui merasa kelepasan ornong. Tetapi
karena sudah terlanjur ia tak dapat menyangkal lagi.
Terpaksa ia merangkai sebuah cerita tentang si
Gerumpung yang misterius itu.
“Hm..., sungguh aneh dan ganas benar manusia itu!
Aku akan menemani engkau keliling keseluruh pelosok
dunia untuk mencarinya. Jika belum ketemu, aku takkau
meninggalkan engkau....” Tetapi belum selesai ia
berkata, Asap penyesat yang dilepaskan tadi
mcmuncratkan api, panasnya bukan main. Beberapa
pohon disekeliling hancur meledak. “Api akan merangas
kemari, hayo kita cari lain tempat ....!” kiam- gin terus
menyeret lengan Gak Lui.
Setelah lari lima enam li, barulah mereka mendapat
sebuah tempat yang sesuai. Tetapi asap hitam itu telah
menyulitkan si gadis ular Siau-mey. Ketika ia tiba di
tempat itu, ternyata Gak Lui sudah pergi sehingga Siaumey
kehilangan jejak Barulah setelah makan waktu lama
sekali, ia berhasil ketemu dengan kekasihnya lagi.
SETELAH beristirahat ditempat yang baru, berkatalah
Kiam-gin dengan wajah sungguh2: „Sekarang kita harus
melakukan upacara mengangkat saudara!” Demikian
kedua pemuda itu segera mengikrarkan sumpah
mengangkat saudara. Senang bersama, susah berdua.
Setelah selesai, Kiam-gin menghampiri Gak Lui, ujarnya:
„Gak-te, demi kepentingan membalas sakit-hati
musuhmu, sukalah engkau mengajarkan ilmu pedangmu
yang istimewa itu, kepadaku, agar kita dapat sama2
menghadapi musuh!”
“Ini .... tak bisa....”
“Eh, engkau sudah tak mau mengakui aku sebagai
engkoh lagi?”
150
“Bukan begitu! Tetapi ilmu pedang itu, hanya
menimbulkan bahaya padamu!”
“Tadi kuminta engkau lepaskan kedokmu, engkau
menolak. Sekarang kuminta engkau mengajarkan ilmu
pedangmu, engkaupun tak mau. Kalau begitu, sama saja
seperti orang asing. Hm ...... akan kutanyakan pada
ayah, bagaimana baiknya!”
“Tunggu! Jangan pergi!” Gak Lui kaget karena Kiamgin
hendak pergi......
“Kenapa?” Kiam-gin kerutkan alis.
“Engkau .... tak dapat ... tak usah pulang
menanyakan hal itu!”
“Engkau meluluskan?”
“Kita toh sudah menjadi saudara angkat? Kelak tentu
akan kuajarkan padamu. Tetapi kalau engkau memaksa
sekarang, lebih baik kita berpisah saja !”
Semula Kiam-gin tak mau tetapi sejenak memandang
wajah gak Lui, berobahlah pendiriannya.
“Ya, terpaksa kuturut,” kata Kiam-gin, „tetapi ada
perjanjiannya!”
“Adik, katakanlah”
“Gak-te sejak saat ini, engkau tak boleh bergaul
dengan orang perempuan!”
“O, itu tak apa, kuterima perjanjianmu itu”
“Hih, engkau benar2 seorang adik yang baik! Lalu
kemana sekarang kita akan pergi?”`
“Sumber air Pencuci Jiwa di gunung Thian-gan-san!”
“Kudengar ayah pernah mengatakan bahwa sumber
151
air itu amat beracun sekali. Tetapi aku tak percaya. Hayo,
kita buktikan kesana!” habis berkata ia terus ayunkan
langkah. Teiapi sebaliknya Gak Lui masih tertegun. Dia
mencegah Kiam-gin pulang tetapi pun tak dapat
membawanya ke Thian-gan-san. Pada saat ia masih
termenung belum menemukan pikiran untuk
memecahkan kesulitan itu, tiba2 Kiam-gin teringat
sesuatu dan bertanya.
“Tadi engkau mengatakan ... aku tak boleh pulang.
Omonganmu itu ... “
“Bukan, aku hanya mengatakan engkau tak usah
pulang ....” sahut Gak Lui.
Tetapi orang yang biasanya tak pernah bohong,
walaupun wajahnya tertutup kedok tetapi nada suaranya
masih kentara kaku dan tersendat-sendat. Kiam-gin
bermata tajam sekali. Cepat ia dapat mengetahui
kelemahan Gak Lui, serunya: „Hm, telingamu merah,
engkau tentu bohong!”
Sebelum Gak Lui menyahut, pemuda itu berseru
pula: „Tidak Aku akan pulang menjenguk ayah dan
paman berlima!” Dalam keadaan terdesak, apa boleh
buat. Terpaksa Gak Lui menceritakan apa yang telah
terjadi ditempat keluarga Hi Liong-hui. Mendengar itu
menangislah Kiam-gin seperti anak kecil. Gak Lui
terharu. Seketika timbullah semangatnya. Makin bulat
tekadnya untuk menghancurkan manusia yang telah
membinasakan keluarganya dan keluarga Hi itu. Setelah
puas menumpahkan airmata, tiba2 Kiam-gin bangkit.
“Karena jelas pembunuh keluarga kita itu terdapat
juga gerombolan Topeng Besi, maka lebih baik kita
berpencar untuk mencari mereka !” katanya.
“Jangan...!” Gak Lui mencegah karena ia tahu
152
kepandaian saudara angkatnya itu masih rendah, „aku
tentu dapat membalaskan sakit hatimu. Lebih baik
engkoh Gin menetap di suatu tempat yang aman .... “
“Paling tidak, kita harus bersama-sama mencari
musuh kita itu !” Kiam-gin tetap berkeras.
“Baiklah .... mari kita berangkat !” Keduanya segera
keluar dari hutan. Mereka menuju ke gunung Thian-gansan
mencari sumber air Pencuci jiwa. Dengan membawa
saudara angkat yang bertabiat manja- membawa
kehendaknya sendiri itu, Gak Lui tak berani ambil jalan
besar. Ia lebih senang mengambil jalan di gunung dan
hutan belantara.
Sepuluh hari kemudian, mereka tiba di sebuah
lembah gunung. Memandang ke sekeliling penjuru,
hanya jajaran gunung yang tampak. Lembah berwarna
merah bahkan pohon2 nyapun menguning kering. “Aneh,
tempat ini panas sekali. Aku haus....!” kata Kiam-gin
seraya mengusap peluh. Wajahnya merah padam dan
sewaktu bicara napasnya terengah- engah. Gak Luipun
merasa panas juga, katataya : „ Mari kita cari sumber air
....”
Mereka menyusur sebuah, jalan kecil yang
merupakan satu- satunya jalanan di situ. Tetapi hampir
setengah hari mencari, mereka tetap tak bersua dengan
sumber atau saluran air. Parit2 kering, sumber tak
mengeluarkan air. Ketika tiba di sebuah pedesaan
gunung, pun di situ sunyi sekali. Tiada barang seorang
penduduk. Rupanya desa itu sudah lama tak dihuni.
Sambil mengalingkan ke dua tangan untuk menutupi
sinar matahari yang menyilaukan mata, Kiam-gin
hentikan langkah lalu berteriak-teriak : „ Air...! Air...! Gakte
aku minta air...!”
153
Gak Lui memapahnya. Memandang ke sekeliling
penjuru, tiba2 Gak Lui berseru : “Engkoh Gin, di bawah
pohon itu terdapat seseorang! “
“Aku minta ..... air!”
“Jika ada orang, tentu mudah bertanya. Hayo kita ke
sana ...!”
Mendengar itu timbullah lagi semangat Kiam-gin.
Mereka menuju ke pohon yang dikatakan Gak Lui.
Memang di bawah Pohon itu terdapat seorang tua yang
duduk. Rambutnya kusut masai. Cepat Gak Lui
menjelajahi tubuh orang tua itu dengan pandangan mata
yang tajam. Dilihatnya orang tua itu tak memakai baju.
Tubuhnya mandi keringat. Jelas orang itu tak mengerti
ilmusilat. Di samping terletak sebuah kantong kulit besar
dan separoh gelembung kulit genderang.
“Paman, tolong tanya. Apakah nama tempat ini dan di
manakah aku bisa memperoleh air?” tanya Gak Lui.
Orangtua itu pelahan-lahan mementang mata dan
menyahut :
“Mundur lagi 3 li, baru terdapat air!”
“Bagaimana kalau di sekeliling yang, dekat sini ..?”
“Apakah engkau tak melihat kanan kiri tiada jalan dan
di sebelah mukapun tak dapat dilalui ...?”
“Mengapa ...?”
“Dari kata-katamu, terang engkau bukan orang sini
sehingga tak kenal sama sekali keadaan tempat ini ...!”
“Itulah maka kumohon tanya pada paman ...!”
“Tempat ini dinamkan Lembah Mati. Iklimnya panas
luar biasa. Dan beberapa tahun terakhir ini semua
sumber air kering. Hanya beberapa orang desa tolol yang
154
coba2 berani masuk kemari. Akhirnya mereka mati
semua ....”
“Mengapa mendadak tak ada air? Dan apa sebabnya
orang2 itu tak kembali lagi ?”
Dengan wajah tegang, orangtua itu memandang ke
sekeliling lalu berkata dengan bisik-bisik : „Kareua
muncul Siluman Kering sehingga air habis. Setan Kering
itupun menelan manusia juga...!”
“Apakah Setan Kering itu?”
“Sett...., jangan keras-keras! Makhluk itu memiliki alat
indera yang tajam sekali. Mungkin dia dapat menangkap
pembicaraan kita...!”
“Maukah paman menceritakan makhluk itu...?”
Orang tua itu memberi isyarat supaya Gak Lui duduk.
Melihat mata Kiam-gin merah dan bibirnya kering
orangtua itu memberikan kantong kulitnya: „Minumlah
kalian lebih dulu, baru nanti kuceritakan ........”
Sudah tentu tawaran itu tak perlu diulang lagi. Dalam
keadaan tenggorokan hampir kering, Kiam-gin terus
menyambuti dan meneguknya sampai puas. Lalu
diberikan kepada Gak Lui. Setelah minum, semangat
kedua pemuda itu tampak lebih segar.
“Engkoh kecil, orang itu setelah mati apabila tidak
dikubur ditempat yang sesuai, akan menjadi Kiang-si
(mayat hidup). Dari Kiang-si lalu menjadi Setan Kering.
Rupanya menyeramkan, ganasnya bukan main. Dapat
menyembur api dan makan orang. Sejak, keluar Setan
Kering itu maka sungai, palung, dan sumur2 kering
semua .....” Gak Lui tak percaya. Cepat ia menukas :
„Siapakah yang pernah melihat mahluk itu. “
“Memang ada orang yang benar2 melihatnya. Apa
155
engkau kira aku seorang tua ini, akan bicara buhong.....!”
“Lalu dimana makhluk itu?”
“Kira2 tigapuluh li dari sini, adalah pusar Lembah
Mati. Mungkin dia tinggal disitu .......”
Kiam-gin tertarik dan cepat berseru: „Gak-te, mari kita
lihat kesana. Jika memang ada, kita bunuh saja supaya
rakyat terhindar dari bahaya”
Orangtua itu terbeliak, serunya: „Kalian masih begitu
muda, mengapa tak ingin hidup? Disebelah muka, sama
sekali tidak ada air. Semua kering !”
Kata Gak Lui : “Apa boleh buat, kita terpaksa harus
melanjutkan perjalanan, sekalian ......”
“Hai, apakah kalian juga hendak mencari batu
berharga itu?”
“Tidak, kami hendak menuju ke sumber air Pencuci
Jiwa!”
“Apalagi kesana! Sumbcr air Pencuci Jiwa itu
mengandung racun yang ganas sekali. Apalagi kalian
harus melalui sarang Setan Kering. Benar-benar kalian
hendak cari mati ...........”
“Paman terima kasih atas petunjukmu. Maaf, kami
hendak mohon diri ....” kata Gak Lui. Tetapi Kiam-gin
masih belum mau pergi, dan minta keterangan lagi
kepada si orangtua.
“Apakah yang engkau katakan tentang batu berharga
itu?” serunya.
“Dibagian tengah Lembah Mati ini terdapat hasil batu
berharga jenis berlian: Kabarnya batu berlian itu amat
mahal sekali harganya!”
156
“Apakah ada orang yang pernah datang
mencarinya?”
“Tentu ada. Tetapi entah berapa orang yang datang
pada setiap tahun, aku tak mengerti!”
Setelah menghaturkan terima kasih kepada orangtua
itu, Kiam- gin lalu menarik tangan Gak Lui diajak
melanjutkan perjalanan.
TAK BERAPA lama tibalah mereka dibagian tengah
lembah itu. Orangtua itupun segera memanggul kantong
kulitnya dan melangkah keluar lembah. Mulutnya tak
henti2 mengingku:
“Sayang, kedua anak muda itu! Ah..., habis...,
habis....!” Memang benar, dibagian tengah lembah ini
amat panas sekali. Untung lah mereka sudah minum
sehingga masih dapat bertahan. Baru beberapa langkah
berjalan, tiba2 Gak Lui berhenti. Hidungnya berulang kali
menyedot hawa.
“Gak-te, kenapa engkau?” tegur Kiam-gin.
„Aku mencium bau orang hidup.”
„Memang orangtua tadi mengatakan, ada orang yang
pernah masuk ke lembah ini.”
“Tetapi kalau Setan Kering itu benar2 makan
manusia, orang itu tak mungkin hidup!”
“Mungkin ada seorang dua orang yang masih dapat
hidup .......”
Keadaan tengah lembah itu penuh batu2 yang aneh
bentuknya. Seolah-olah merupakan sebuah hutan batu.
Pada gundukan batu itu, terdapat sebuah guha. Mulut
guha penuh tapak2 kaki orang. Tetapi lebih besar dari
tapak kaki orang biasa. Bahkan Gak Lui yang tinggal di
157
gunung Yau-san, tak dapat menentukan telapak kaki itu.
“Gak-te, mengapa engkau selalu berada di, bawah
angin saja!”
“Dengan begitu aku dapat mencium bau orang atau
binatang...!”
“Tetapi telapak kaki itu, bukan telapak kaki orang
biasa. Tentulah bekas telapak kaki Setan Kering itu.
Makhluk itu tentu berada disekeliling tempat ini. Karena
makhluk itu dapat menyembur api, lebih baik jangan
berada di tempat yang terlanda angin. Agar sewaktuwaktu
dapat menghindar dari semburan makhluk itu!”
Tahu Kiam-gin mahir dalam soal api, Gak Luipun
menurut. Setelah membiluk dua tiga buah tikungan,
mereka tiba di sebuah guha yang gelap sekali. Selain
gelap, guha itu ternyata amat dalam sekali dan panasnya
bukan kepalang.
“Kemungkinan makhluk itu berada di dalam Gak-te,
cobalah engkau periksa telapak kaki itu lebih jelas” seru
Kiam-gin.
“Tetapi bau hawa orang. Dan lagi disebelah sana
terdapat juga beberapa tapak kaki,” Gak Lui menunjuk ke
sebuah arah.
Ternyata memang pada beberapa tempat terdapat
telapak kaki orang. Tetapi ukurannya amat kecil,
menyerupai teIapak kaki seorang anak kecil. Gak Lui
terus hendak memasuki guha itu. Ia ingin tahu apakah
sebenarnya yang berada dalam goha. Tetapi Kiam-gin
menceghnya.
“Kurasa, lebih baik jangan masuk. Sebelum kita
kehausan lebih baik cepat2 meneruskan perjalanan ke
sumber air Pencuci Jiwa ....”
158
Belum ....... selesai. tiba2 dari belakang terdengar
suara letupan kecil. Kedua pemuda itu cepat memutar
tubuh: „Setan Kering ...!” Kiam-gin menjerit kaget ketika
melihat pada jarak setumbak jauhnya, muncul kepala
besar, rambut terurai tak keruan. Wajah seseram hantu
malam, hidung menonjol keluar, gigi runcing2 seperti
pagar pisau. Makhluk aneh itu menatap kedua pemuda
dengan tajam. Bulu roma Gak Lui meremang. Cepat ia
mencabut pedang dan membacok kepala makhluk aneh
itu.
“Awas! Semburan api ....... “ teriak „Kiam-gin. Dan
tepat pada saat itu juga, makhluk aneh itupun ngangakan
mulut, wut.......segulung asap segera menyembur ke arah
Gak Lui.
Gak Lui terkejut. Tangan kiri menghantam ke atas
dan serempak dengan gunakan jurus Rajawali-rentangsayap,
ia melambung beberapa tombak tingginya.
Karena gugup hendak memberi pertolongan, Kiamginpun
secepat kilat mencabut pedang dan menabas
makhluk itu. Tring ... pedang Gak Lui terpental setombak
jauhnya ketika makhluk aneh itu menangkis dengan
tangan kiri. Tetapi pada saat itu juga, pedang pusaka
Usus-ikan dari Kiam-gin sudah tiba dan menusuk tangan
kanan makhluk itu. Tetapi makhluk aneh itu dapat
menangkisnya sedemikian keras hingga tangan Kiam-gin
terasa kesemutan dan pedangnya hampir terlepas jatuh.
Untunglah Kiam-gin cukup tangkas dan tak sampai
kehilangan kesadaran. Sambil loncat mundur, ia
merogoh kantongnya.
“Jangan ....” tiba2 Gak Lui berseru mencegahnya
tetapi pada saat itu. Setan Kering sudah loncat setombak
tingginya dan Kiam- gin pun cepat menaburkan pelor api.
Pelor itu tepat mengenai dada simakhluk aneh. Rupanya
159
makhluk itu masih tak menyadari bahaya maut. Ia masih
gerakkan tangannya untuk menyerang. Tetapi pada saat
pelor itu meletus, jatuhlah makluk aneh itu ke tanah .......
Makhluk itu meraung-raung dan menggeIepar-gelepar
ditanah. Bau daging bakar meruak keseluruh lembah.
“Jelas bau dan suaranya seorang manusia. Entah
dapat ditolong atau tidak? Aku perlu menayainya .......”
“Sekalipun disini ada air pun tak dapat menolongnya.
Apalagi disini kering kerontang!” sahut Kiam- gin. Tak
berapa lama makhluk itu diam tak bersuara. Asap
menipis dan api yang membakar dirinyapun padam.
Tetapi makhluk itupun berobah menjadi seonggok abu
hitam. Ketika Gak Lui dan Kiam-gin memeriksa, pada
onggok abu hitam itu terdapat sepasang tangan dari baja
murni.
“Hm..., kiranya hanya sebangsa penjahat dalam
dunia persilatan yang menyaru sebagai setan jejadian!”
kata Gak Lui.
“Kulihat tadi ia menyemburkan api yang terbuat dari
bahan belirang. Maka terpaksa kupersen dengan pelor
api juga” kata Kiam-gin.
“Tetapi kita kehilangan sebuah jejak!”
“Tak apa,” sahut Kiam-gin, „kita masih dapat
menyelidiki dari telapak kaki kecil itu!”
Gak Lui menyatakan akan masuk ke dalam guha
untuk menyelidiki lebih lanjut. Demikian keduanya segera
melangkah masuk. Ternyata guha itu sempit sekali.
Beberapa tombak kebagian dalam, selain amat gelap,
pun orang harus berjalan merangkak” Ketambahan pula,
panasnya bukan alang kepalang. Sambil merangkak,
Kiam-gin ber- sungut2 : „Gak-te, mari kita keluar sajalah
160
........”
“Sudah terlanjur masuk, mengapa ......”
“Ini sebuah liang. Jika dari sebelah dalam terdapat
orang kita tak dapat berjaga diri. Dan kalau mulut guha
ditutup, kita tentu terkubur hidup2 disini!” Gak Lui
berhenti. Diam2 ia mengakui ucapan Kiam-gin itu benar.
Tetapi seketika itu terdengar suara orang dari sebelah
dalam. Menilik nadanya yang berisik, jelas jumlahnya tak
sedikit.
“Mundur, cepat.” seru Gak Lui seraya merangkak
mundur. Setelah keluar dari guha, mereka berdiri, siap
dengan pedang. Suara berisik itu jelas berasal dari
sejumlah besar kaki orang yang sedang merangkak
keluar. Tetapi gerakannya amat lambat sekali Hampir
sepeminum rokok, barulah tampak sesosok bayangan
orang melesat keluar guha.
Gak Lui dan Kiam-gin terkejut, menjerit dan menyurut
mundur selangkah. Kiranya orang yang muncul dari guha
itu hanya satu meter tingginya. Kepalanya seperti orang
dewasa tetapi kaki dan tangannya kecil sekali. Tubuhnya
hitam seperti pantat kuali. Orang pendek itu sungguh
mengerikan. Entah apakah darahnya dingin sekali
sehingga tak takut panas ....... “ seru Kiam-gin. Tetapi
karena ngeri, Gak Lui tak menyahut.
Tak berapa lama, bermunculanlah tak kurang dari
300 orang pendek. Mereka melangkah terhuyunghuyung.
Dengan matanya yang putih memandang ke
sekeliling penjuru. Sedikitpun tak silau memandang sinar
matahari. Melihat itu menjeritlah Kiam-gin dengan nada
gemetar : „ Mereka ...... buta semua... !”
“Dan tuli juga !” sahut Gak Lui.
161
“Lalu bagaimana...?” Dengan amat hati2 sekali, Gak
Lui maju menghampiri. Rupanya rombongan orang
pendek itu telah menemukan suatu Plan. Berbondongbondong
mereka berjalan ke suatu arah. Gak Lui cepat
mencekal salah seorang yang paling belakang sendiri.
Orang itu terkejut dan ngangakan mulut. Tetapi tak
bersuara.
“Hai ! Mereka juga gagu .......!”
JILID 4
GAK LUI terpaksa lepaskan cekalannya. 0rang kerdil
berkulit hitam itu segera merangkak bangun menyusul
kawan2nya. Tetapi dari bajunya yang robek itu,
berbamburan jatuh dua butir batu berkilau. Kiam-gin
memungutnya dan berserulah ia ke-pada Gak Lui; „Adik
Lui, lihatlah betapa indah batu ini ....... “ Tetapi saat itu
Gak Lui sedang memandang kearah kawanan orang
kerdil sambil berpikir. la heran mengapa kawanan orang
kerdil itu mencari batu berlian dan kemanakah pergi
mereka. Apakah masih ada seorang lain yang tinggal di
Lembah Mati itu kecuali si Setan Kering?
“Hai, mengapa engkau ter-menung2 saja?” tiba2
Kiam-gin menegurnya.
“Kukira .... mereka tentu menuju kesuatu tempat
tertentu. Hayo, kita ikuti!” sahut Gak Lui.
“Tetapi mereka berjalan begitu pelahan sekali. Dan
hawanya begini kering tak ada air. Masakan kita mampu
menunggu!” sahut Kiam-gin. Mendengar kata2 air,
seketika Gak Lui rasakan tenggorokannya kering. Tadi ia
hanya minum sedikit. Sekarang barulah ia rasakan haus
162
sekali.
“Ya, kita tak perlu menunggu mereka. Bayangan
yang ditinggalkannya, dapat kujadikan jejak untuk
mengejar mereka,” kata Gak Lui. Tetapi sebelum
keduanya angkat kaki, sesosok tubuh melesat tiga,
tombak disebelah muka. Dari gerakannya yang begitu
tangkas, tentulah seorang berilmu.
Gak Lui terkejut. Dipandangnya orang itu dengan
cermat. Ternyata pendatang itu seorang tua berurnur 50-
an tahun. Berwajah putih dan jenggot jarang. Seorang
yang memiliki perbawa. Pendatang itu memandang
kearah tumpukan kerangka Setan Kering. Wajahnya
tampak berkerenyutan. Kemudian ia beralih memandang
kedua pemuda itu. Terutama ketika memandang Kiamgin,
biji matanya berputar-putar, seperti terpikat. Cepat
orang itu memberi hormat dan berkata: „Aku Li Hui-ting,
mohon tanya siapakah saudara berdua ini ... “ Gak Lui
dan Kiam-gin balas memberi hormat lalu
memperkenalkan diri.
“Ah, lama sudah kukagumi nama saudara yang
termasyhur,” Li Hui-ting tersenyum seraya maju
selangkah, terutama setelah saudara berdua dapat
melenyapkan Setan Kering ini, sungguh amat berjasa
kepada rakyat!”
Setengah meragu, berkatalah dengan dingin:
„Saudara juga berilmu tinggi, mengapa. tak mau
membunuhnya. Dan mengapa pula pada saat ini
kebetulan sakali saudara datang kesini?
Jawab Li Hui-ting: „Walaupun aku mempunyai
beberapa kepandaian tetapi tak dapat melawan
semburan apinya. Maka kuharap datangnya seorang
sakti untuk melenyapkannya. Tadi karena mendengar
163
jeritan ngeri dan bau daging terbakar, cepat2 aku
menjenguk kemari!”
“Hm ....... , dan siapakah gerombolan orang hitam
kate itu?”
“Tawanan2 dari Setan Kering!”
“Apa maksudnya?”
“Panjang sekali ceritanya. Marilah mampir
kepondokku. Nanti kuceritakan hal itu!” Gak Lui serentak
mengiakan. Memang ia kepingin mengetahui.
Demikian dengan Li Hui-ting sebagai penunjuk jalan,
mereka bertiga berjalan cepat dan berapa lama sudah
melampaui rombongan orang2 kate hitam. Beberapa li
jauhnya, tibalah mereka disebuah pondok. Perabotnya
sederhana tetapi terdapat suatu benda yang menarik
perhatian. Yalah sebuah gentong, besar berisi air yang
terletak diatas meja besar. Gak Lui rasakan
tenggorokannya kering sekali. Begitu melihat air, biji
kerongkongannya segera naik turun. Rupanya Li Hui-ting
itu sudah berpengalaman. Melihat tetamu sedemikian
rupa, segera ia mengambil mangkuk dan diletakan
dihadapan Gak Lui.
„Ditempat gunung yang begini sunyi, tiada yang
dapat kuhidangkan untuk tetamu kecuali air jernih ini.
Harap- dimaafkan ........” Gak Lui menyatakan „bahwa
yang perlu yalah supaya tuan rumah segera menuturkan
tentang asal mula Setan Kering itu. Tentang
penyambutan dan hidangan, tak perlu diributkan.”
“Asal usul dan nama orang itu tak diketahui jelas.
Tetapi yang jelas dia seorang ahli dalam soal
pertambangan. Dia dapat mengetahui bahwa dalam
Lembah Mati sini terdapat tambang batu berlian yang tak
164
ternilai harganya. Dia, dapat membujuk dan menipu
beberapa orang dari luar daerah untuk mengambil batu
berharga itu!”
“Oh, orang2 kate berkulit hitam itu bermula juga
orang biasa!” tanya Siau-liong.
“Benar, tetapi mereka telah diminumi semacam racun
oleh Setan Kering itu lalu berobah begitu, mereka tak
takut pada hawa panas dalam bumi !”
“Kudengar, keterangan orang, bahwa dahulu tempat
ini terdapat air, tetapi mengapa sekarang kering sama
sekali?” tanya Gak Lui.
“Itu juga akibat siasatnya. yang licik. Disatu fihak ia
menjelma menjadi Setan Kering, dilain fihak ia secara
diam2 telah menutup sumber air. Dengan tindakan itu ia
mengharap penduduk tempat ini pindah kelain tempat
dan mereka tak mempunyai kemungkinan menyelidiki
berlian itu!”
Tetapi mengapa engkau tak dicelakai Setan itu dan
tak pula” meninggalkan tempat ini?” Gak Lui menyatakan
keherananya.
“Aku telah belajar ilmu obat-obatan. Beberapa tahun
yang lalu aku tiba dilembah ini dan berjumpa dengan
setan itu. Dia tak mampu mencelakai aku, akupun tak
dapat menindasnya. Dengan demikian kami tak saling
ganggu sampai sekarang ini .... “
“Kalau tak mampu menindasnya, mengapa engkau
tak berusaha tinggalkan tempat ini?” desak Gak Lui pula.
“Jalanan sebelah muka, dijaga oleh setan itu sendiri!”
“Mengapa tak ambil jalan dari sumber air Pencuci
Jiwa saja?”,
165
“Gunung itu lebih berbahaya lagi. Disana muncul
seorang manusia aneh yang lihay sekali. Jalan disitu
ditutup dengan tumpukan tulang manusia. Sama sekali
tak dapat dilalui !”
“Siapakah manusia aneh itu?”
“Setempo tampak mengunjukkan diri, setempo
menghilang. Tiada dapat melihat bagaimana tampang
mukanya. Tetapi yang jelas dia memang memiliki
kepandaian sakti. Walaupun aku menjelma tiga kali lagi,
tak mungkin dapat menyamai nya .....!”
“Hm .......” Gak Lui mendesah. Sekonyong-konyong ia
menyambar pergelangan tangan tuan rumah. Li Hui-ting
terkejut. Cepat2 ia miringkan bahunya. Gerakannyapun
luar biasa cepatnya sehingga cengkeraman Gak Lui
dapat dihindari.
“Heh..., heh .... “ Gak Lui mengekeh lalu membentak
bengis: „Walaupun kepandaianmu terpaut sedikit dengan
Setan Kering, tetapi tak masuk akal kalau selama
beberapa tahun disini, engkau tak memperoleh kemajuan
sedikitpun!”
Li Hui-ting terperanjat tetapi pada lain kejab wajahnya
tampak mengerut gelap dan menyabutlah ia dengan
lantang: „Sudah tentu aku mempunyai alasan. Tetapi
orang tentu tak percaya!”
“Katakan!” bentak Gak Lui. Selama beberapa tahun
ini orang2 yang terminum racun dan berobah menjadi
orang kate berkulit hitam, sudah mencapai jumlah lima
enam ratus. Selain tak takut panas, mereka mudah sekali
terkena penyakit. Separoh dari mereka sudah mati
karena menderita sakit. Karena tak mampu membasmi
Setan Kering, terpaksa kulakukan pengobatan kepada
rombongan pekerja paksa itu. Dengan begitu akupun
166
makin memperoleh banyak kemajuan dalam ilmu
pengobatan”
Mendengar itu tersipu-sipulah Gak Lui. la malu dalam
hati karena terlalu mencurigai orang itu. la mengucapkan
beberapa kata pujian kepada Li Hui-ting yang tinggi rasa
peri-kemanusiannya.
“Berbicara tentang tabib pandai, aku segera teringat
akan seseorang”, kata Gak Lui........ “
“Siapa?”
“Tabib-sakti Li Kok-hoa, kenalkah engkau?”
Biji mata Li Hui-ting berkeliaran beberapa kali lalu
menyahut: “Seperti pernah mendengar, tetapi tak ingat
jelas ...... apakah dia keluarga saudara?”
Tujuan Gak Lui menanyakan tabib sakti itu adalah
hendak menyirapi jejak ayah dari gadis ular Li Siau-mey
Atas pertanyaan orang ia menjawab sekenanya: „Ah,
tidak, akupun hanya mendengar cerita orang saja.
Huk.....! Huh .....!” karena terlalu banyak bicara,
tenggorokan Gak Lui mulai kering dan terbatuklah ia
beberapa kali. Li Hui-ting segera mempersilahkan
tetamunya minum lagi dan Gak Lui pun tak sungkan juga.
Sekali teguk habis air semangkuk. „Ah....., sungguh
segar .......!” seru Gak Lui, pejamkan mata dan geleng2
kepala. Melihat itu Kiam-gin pun, mengecup-ngecup bibir
walaupun tiada ludah yang dapat ditelannya, lalu berkata
kepada tuan rumah;
“Apakah aku boleh minum juga?” Tetapi entah
bagaimana, tuan rumah memandang tajam kepadanya
lalu ge!engkan kepala, tertawa: „Itu bukan untukmu !
Dalam kamarku masih tersedia air jernih ......”
“Mengapa?'
167
“Tak usah bertanya, nanti engkau tentu tahu
kebaikan hatiku.”
“Kebaikan hati? Lalu mengapa engkau berikan
minuman itu kepada saudara Gak-te ....” serentak Kiamgin
berpaling. Astaga .... Dilihatnya kelopak mata, bibir
Gak Lui menjadi hitam dan tengah duduk dengan tubuh
menggigil!
“Bangsat, lihatlah pedangku!” Kiam-gin serentak
mencabut sepasang pedang dan menyerang Li Hui-ting.
Tetapi dengan tertawa mengejek, orang itu sudah
melesat kesudut ruang. Dan sekali berputar diri ia sudah
mencekal sepasang senjata Tangan besi yang besar.
Serupa dengan yang digunakan si Setan Kering.
“Heh.., heh.., heh.., heh .... kalian telah membunuh
adik angkatku tetapi engkau masih kuberi hidup,
masakan engkau tak tahu berterima kasih...?” Dengan
mata memancar kebencian, Kiam-gin mendampratnya :
“Akan kucincang tubuhmu menjadi bakso untuk
mengganti jiwa adikku!” Laksana gelombang laut
mendampar, enam jurus serangan telah dilancarkan berturut2
oleh Kiam-gin. Tetapi Li Hui-ting dengan lincah
menghindar seraya berseru;
“Budak itu takkan segera mati! Jangan bingung dulu,
aku hendak menanyainya......”
“Aku Tabib-jahat Li Hui-ting adalah ahli racun.
Kukatakan tidak mati tentu tak kan mati. Tetapi dia
takkan terhindar dari penyakit aneh....” Dalam pada
berkata-kata itu mereka telah berputar-putar sampai tiga
jurus lagi. Karena ruang itu sempit. Kiam-gin kuatir akan
mengenai Gak Lui, maka berserulah ia menantang:
„Hayo, kalau berani, kita bertempur di luar!”
168
“Ho, kalian memiliki pelor api, tak mungkin aku
tertipu..........” Tabib jahat itu tertawa mengejek seraya
berputar-putar mengitari ruang, dan lagi terhadap
seorang tampan seperti engkau, aku sungguh merasa
sayang sekali!”
Karena marahnya, Kiam-gin sampai tak dapat bicara
melainkan dadanya yang berombak keras. Serangan
pedangnya dicurahkan makin deras dan dahsyat. Tetapi
rupanya si Tabib jahat tak berniat mulukainya. Dia hanya
berputar-putar mundur kesamping Gak Lui. Terdengar
gemerincing pedang beradu dengan Tangan-besi, tiba2
tengkuk Li Hui-ting meregang kencang dan ia rasakan
kepalanya telah tercengkeram oleh lima buah jari yang
keras. Kiranya setelah menyadari bahwa air yang
diminum itu mengandung racun, diam2 Gak Lui gunakan
ilmu-sakti Algojo- dunia untuk menyalurkan racun itu dari
tangannya. Kini dalam kemarahannya ia telah mendesak
racun itu kearah ujung jari lalu ditamparkan kekepala
sitabib. Racun itu cepat menyalur ke jalan darah dikepala
sitabib. Seketika Tabib jahat Li Hui-ting menggigil
tubuhnya. Tanpa menjerit sepatahpun juga, ia rubuh
pingsan.
KIAM GIN terkejut girang. Cepat ia melesat
menghampiri dan berseru: „Gak-te, engkau tak kurang
suatu apa ......” Gak Lui berputar diri. Tampak kulit muka
sudah tidak sehitam tadi melainkan agak gelap sedikit.
Tetapi suaranya berobah parau ketika ia menyahut:
„Belum sembuh sama sekali. Mata telinga dan alat
penciuman, masih belum pulih ketajamannya. Begitupun
lidahku terasa kaku dan mati-rasa ......”
“Lalu bagaimana?”
“Kita paksa tabib jahat ini untuk mengobati. Dia tentu
mempunyai obat penawarnya!” Gak Lui segera membuka
169
jalan darah Li Hui-ting. Tabib itu terengah-engah dan
membuka mata. Wajahnya pucat kebiru-biruan. Begitu
melihat Gak Lui dan Kiam-gin, cepat2 ia meram lagi.
Hanya gerahamnya berderak-derak gemetar. Melihat itu,
Gak Lui membentaknya: „Jangan coba. unjuk kepala
batu. Jika tak mau menjawab dengan baik, engkau tentu
mati!” Mendengar itu Li Hui-ting membuka mata, lalu
tertawa sinis:
“Siapa yang minum racun Penyurut-tulang itu yang
tiada obatnya itu, tentu akan menjadi orang kate seperti
orang2 tawanan itu. Terima kasih kalau engkau hendak
membunuh aku!” Kiam-gin terbeliak, serunya: „Engkau
.... engkau..... tiada obat penawarnya?”
“Tidak punya!”
“Adikku Gak Lui ini ... apakah juga....”
“Dia serupa dengan aku nanti, setiap saat tentu akan
menjadi orang kate. Pada saat itu, coba saja engkau
masih suka kepadanya atau tidak” Dalam murkanya Gak
Lui terus mencengkemram pinggang dan tenguk tabib itu
lalu salurkan tenaga-dalamnya untuk menggencet tubuh
Li Hui-ting. Sudah tentu tabib jahat itu tak kuat menahan
tanaga-sakti Algojo dunia, ia meraung-raung nyeri,
keringat bercucuran bagaikan hujan. Lebih payah dari
rasa sakit menerima siksaan Jo-kut-hun-kin atau Tulangmeleset,
urat berpencar.
“Hayo, engkau mau bilang atau tidak!” bentak Gak
Lui.
“Tidak!” Dada Gak Lui serasa meledak. Segera ia
tekankan tangan kanannya. Gluduk .... terdengar bunyi
menggelembung seperti pelembungan ditiup. Biji mata
tabib itu menonjol keluar. Lubang ke tujuh, inderanya,
memancurkan darah.
170
“Ti ..... dak ....” tabib itu tetap keras kepala. Gak Lui
mendengus. Ia kuatir kalau dilanjutkan, tabib itu tentu
mati. Maka ia hentikan tekanannya dan berganti dengan
tangan kiri untuk menyedot tenaga-dalam orang itu. Kini
biji mata Li Hui-ting menyurut kedalam, dadanyapun
mengempis seperti pelembungan karet yang kempes.
Semua tenaga murninya tersedot habis. Sejak
mempelajari ilmu Algojo-dunia, sekalipun tenaganya
bertamhah maju, tetapi dalam penggunaan untuk
menyalurkan dan menyedot- tenaga, ia masih belum
faham sungguh2. Diluar dugaan, saat itu pikirannya
terang dan mengerti rahasia dari ilmu itu. Demikian
setelah tiga kali dilakukan penekanan dan penyedotan, Li
Hui- ting sudah setengah mati rasanya. Dia tak kuat
bertahan lagi. Napasnya makin mengap-engap dan
berkata dengan ter- sendat2: „Aku .... akan ..... bilang
.....”
“Apa hubunganmu dengan Setan Kering itu?”
“Saudara angkat ......”
“Demi mencari permata, kalian telah mencelakai
sekian banyak orang. Apakah tujuanmu?”
“Aku hanya menerima perintah ......”
“Dari siapa?”
“Ini .... ini ..... aku tak berani mengatakan .....”
“Tidak berani bilang ! Kalau begitu engkau rasakan
lagi siksaan tadi!”
“Nanti dulu!” Kiam-gin mencegah, „tadi hendak
bertanya kepadamu, entah apa yang akan ditanyakan
itu?” Gak Lui pun teringat lalu membentak: „Ya...!, hayo
lekas katakan pertanyaanmu itu!”
“Aku ... hanya akan bertanya .... , engkau dengan
171
Tabib-sakti Li Kok-hoa ......” sekiranya engkau kenal
padanya: „Lekas katakan bagaimana hubungan kalian!”
“Dia ..... adalah ..... guruku “
“Dahulu Li Kok-hoa diundang oleh salah seorang
muridnya untuk mengobati tetapi akhirnya tak, pernah
pulang lagi. Apakah murid itu engkau sendiri?”
“Ya ...... ya.....!”
“Lalu dimana dia sekarang?”
“Aku tak tahu, tetapi dia tentu masih hidup.....!”
“Hmm..... dahulu engkau undang ia untuk mengobati
siapa?”
“Ini....”
“Bagaimana?”
“Bunuh aku sajalah, aku tak berani mengatakan ......”
tiba2 tabib jahat itu menggigit lidahnya sendiri sampai
putus dan seketika putus jugalah nyawanya.
---oo0oo---
Melihat itu, marah sekali Gak Lui. Wajahnya
memberingas dan matanya memacarkan api. Tetapi
tiba2 dilihatnya belasan sosok tubuh bermunculan
dimuka pondok. Terpaksa ia tak ,jadi' melanjutkan
maksudnya mengamuk. Ternyata yang berkumpul di luar
pondok itu adalah ratusan pekerja tambang yang
bertubuh kate dan hitam itu. Mereka berbaris rapi seperti
seekor ular panjang, lalu berjalan kemuka meja Setiap
orang kedua tangannya membawa batu berlian. Mereka
tak henti2nya mengangguk kepala seperti orang yang
memohon sesuatu. Dan yang tak membawa apa? lalu
172
berlutut di luar pondok dengan kepala menunduk
ketanah.
“Mau apa engkau ini!” tegur Kiam-gin kepada salah
seorang. Tetapi orang itu buta, tuli dan gagu. Dia tak
mempedulikan pertanyaan orang. Setelah menutuk jalan
darah Li Hui-ting, Gag Lui pun menghampiri, katarnya:
„Rupanya mereka datang untuk menyerahan hasil
penemuannya, tetapi entah mereka menghendaki apa?”
“Celaka! Kita tak dapat menanyai mereka!” keluh
Kiam-gin. Sejenak merenung Gak Lui mendapat akal,
serunya: „Aku tahu caranya!” - ia segera memegang
tangan orang kate hitam itu. Orang itu sedikitpun tak
terkejut malah terus serahkan batu permata ketangan
Gak Lui. Lalu ngangakan mulut dan tengadahkan kepala
seperti orang menunggu. Gak Lui gunakan ujung jari
untuk menulis ditelapak tangan, orang itu: „Engkau minta
apa?” Sungguh kebetulan sekali. Orang itu mengenal
huruf juga. Segera ia menulis ditelapak tangan Gak Lui:
„Harap diberi Air- dewa!”
“Air- dewa?” Gak Lui terkejut. la cepat menyadari
bahwa yang dimaksud dengan Air-dewa itu tentulah air
dalam gentong. Segera ia menulis lagi ditelapak tangan
orang itu: „Air itu beracun, tak boleh diminum!” - Orang
kate itu geleng2 kepala dan merintih: „Kalau tidak minum,
tidak bisa hidup!” Serentak Gak Lui menarik tangannya
dan orang itupun segera berlutut ditanah. Beberapa kali
kepalanya dibenturkan kelantai sehingga berlumuran
darah. Ketika Kiam-gin mengetahui apa yang dibicarakan
mereka, ia berkata: „Didalam ruang dalam, ada air jernih.
Akan kucoba kuberikan kepadanya, bagaimana nanti
perobahannya.” Segera ia masuk ke dalam lalu
membawa keluar sebuah kantong air dan dibagikan
kepada orang2 kate itu. Mereka menyerahkan batu
173
berlian lalu minum. Kiam-gin tak memperbolehkan
mereka kembali kedalam tambang. la menepuk bahu
orang2 kate itu beristirahat. Setelah itu ia-menunggu
bersama Gak Lui. Kira2 sepeminum teh lamanya, tiba2
kawanan orang kate itu gemetar tubuhnya. Mereka
merangkak-rangkak dilantai. Mulut mengeluarkan busa
putih, mencakari dadanya sendiri dan menekan perut.
Dalam sekejab saja, ruang pondok itu penuh
bergelimpangan orang2 kate yang meregang dan
bergeliatan seperti ular. Rupanya mereka sedang
menderita kesakitan hebat. Mereka nekat merangkak
masuk kedalam pondok.
“Gak-te, racun ditubuh mereka mulai bekerja!” seru
Kiam-gin Tetapi Gak Lui tak menyahut. Matanya
memandang lekat2 pada guci air diatas meja itu. Gigi
berderuk-deruk saling bergosok. Tiba2 ia menyambar
guci air itu.
“Hai, Gak-te, mau apa engkau?” Kiam-gin berseru
kaget.
“Aku .... aku .....”
“Engkau bagaimana?”
“Kurasakan sekujur tubuhku seperti dirayapi kutu.
Mulutku sangat haus sekali!” Kiam-gin cepat merebut
guci itu dan berteriak bengis: „Tak boleh diminum!”
Wajah Gak Lui berobah. Ia terkesiap tetapi guci itu
tetap dipegangnya erat2. Melihat itu, Kiamgin terus
menghantam, bruk ..... guci pecah air berhamburan
membasahi sekujur tubuh sitabib-jahat Li Hui-ting.
Pecahnya guci dan muncratnya air dan berhamburan
kemana- mana, ada sebagian yang mengenai tubuh
orang kate Seketika timbullah, kehirukan. Mereka seperti
orang gila menjilati pakaian sendiri untuk menghisap air
174
yang menumpah dipakaian itu. Bahkan bagian baju yang
terkena siraman air racun tadi, terus dirobek dan
dikunyah dengan -mulut. Setelah itu tiba2 mereka
merangkak ketubuh Li Hui-ting dan segera menggigit
dagingnya. Bagaikan kawanan serigala yang tengah
menerkam anak kambing, tak berapa lama tubuh tabib
jahat itu habis dimakan oleh kawanan orang kate. Lebih
dulu mereka memakan pakaian : sitabib, lalu dagingnya
dan kemudian menghisap darahnya. Sikap dan cara
mereka memakan tubuh Li Hui-ting itu benar2
menegakkan bulu, roma orang.
Setelah kawanan orang kate itu mundur, yang tinggal
hanya setumpuk tulang kerangka sitabib jahat Li Iiui-ting.
Beberapa orang kate yang tak kebagian, mati kaku
semua secara mengenaskan sekali. Setabah-tabah nyali
Gak Lui, tetapi demi menyaksikan adegan makan orang
itu, tak urung hatinya menggigil ngeri juga. Tiba2 tampak
sekilas sinar emas memancar. Gak Lui tertarik
perhatiannya. Ketika mengamati, ternyata seorang kate
yang berlutut dibawah kakinya, sedang menggigit sebuah
Lencana emas. Tak henti-bentinya orang itu menjilat dan
menghisap Lencana emas itu. Gak Lui hendak
mengambil lencana itu tetapi secepat kilat orang kate itu
sudah menelannya. Gak Lui hanya banting2 kaki.
“Gak-te, perlu apa engkau menghendaki lencana
emas itu?” tegur Kiam-gin.
“Lencana itu merupakan tanda sebagai anakbuah
Maharaja!” Seketika berobahlah waiah Kiam-gin.,
serunya geram: „O, kiranya kawanan budak musuh kita !”
“Benar,” kata Gak Lui, „Li Hui-ting lebih baik mati dari
pada mengatakan nama pemimpinnya. Memang ada dua
buah hal yang perlu diselidiki!”
175
“Bagai mana?”
“Kesatu, hendak kutanya padanya, apakah ia pernah
melihat wajah Maharaja itu? Jika sudah, apakah
Maharaja itu memiliki hidung yang lengkap.
“Kuduga keduanya tentu hanya seorang saja. Si
Grumpung tak lain juga Maharaja itu!”
Lalu yang kedua?” tanya Kiam-gin.
“Li Hui-ting telah menipu gurunya untuk datang
mengobati- seseorang. Entah siapakah yang diobatinya
itu?”
“Kedua soal itu kukira tiada hubungan satu sama lain.
Tetapi mengapa engkau begitu memperhatikan sekali
kepada Tabib- sakti Li Kokhoa?” tanya Kiam-gin.
“Dia adalah ..., kawan ayahku. Aku sudah berjanji
akan mencarinya!” sahut Gak Lui.
“Membalas sakit hati adalah yang pokok. Dan
mencari orang itu hanya sambilan saja. Kita segera akan
tinggalkan tempat neraka ini dan menuju ke gunung
Thian-gan-san!” kata Kiam-gin
Gak Lui memandang kearah kawanan orang kate
hitam itu. Tetapi ia merasa tenaganya sendiri sudah tak
mengidinkan. Terpaksa ia menghela napas lalu melesat
keluar pondok dan lari menuju kearah gunung Thian-gansan
mencari sumber air Pencuci Jiwa!.
GUNUNG THIAN GAN SAN atau Mata Langit, penuh
hutan belantara yang lebat. Iklim disitu tak sepanas
seperti di lembah tadi. Ketika tiba dikaki gunung,
tiba2,mereka terkejut. Karang gunung disebelah
mukanya gundul tiada tanaman sama sekali. Tetapi pada
karang itu disusun tulang2 manusia menjadi 4 baris
tulisan. Terkejutlah Gak Lui ketika membaca 4 baris
176
tulisan itu. Demikian bunyinya:
Sumber air Pencuci Jiwa Siapa minum tentu binasa
Yang datang pulang saja Agar jangan ..... hilang jiwa.
Kiam-ginpun terperanjat juga, serunya agak gentar:
„Tentu muncul orang aneh ditempat ini ! Dia tentu sakti!”
“Tiada seorang manusia yang dapat menghalangi
aku ! Apalagi tulisan ini mengandung itikad tidak baik!”
kata Gak Lui seraya mendahului maju. Sepanjang jalan,
ia melihat tulang2 manusia. Ada yang masih utuh sebuah
kerangka. Ada yang bersandar pada pohon atau rebah
diatas rumput. Dari posisi rerangka2 manusia itu, mereka
tentu mati akibat muntah2. Gak Lui makin bersemangat.
Ia kencangkan larinya. Setelah melintasi sebuah tanjakan
gunung, baru berjalan dua langkah, tiba2 ia terkejut
mendengar Kiam-gin menjerit...........”
“Engkoh Gin, jangan takut, lekas ikut aku!” saat itu
keadaan Gak Lui agak berobah. Pendengarannya
berkurang sekali sehingga ia tak mendengar bahwa
teriakan Kiam-gin itu adalah jeritan minta tolong. Setelah
berloncatan sampai berpuluh-puluh tombak jauhnya
barulah ia berpaling kebelakang dan hai ..... ia tersentak
kaget. Kiam-gin lenyap dan sebagai gantinya, seorang
wanita tegak berdiri dihadapannya. Ketika beradu
pandang dengan wajah wanita itu, Gak Lui hampir
menjerit kaget. Rambut wanita itu melongsor panjang
sampai ketanah. Tangannya mencekal sebatang senjata
cempuling. Panjang satu meter. Potongan tubuh wanita
itu elok sekali. Tetapi wajahnya ..... ah..... Wajahnya
memang luar biasa cantiknya Bagaikan sebuah gambar
bidadari dalam lukisan. Tetapi sayang kaca pigura dari
lukisan itu penuh dengan retak goresan. Karena wajah
cantik dari wanita itu penuh berhias dengan goresan
luka2 senjata tajam. Dan yang paling menyeramkan,
177
hidungnyapun telah terpapas hilang .... Serta melihat
hidung wanita itu hilang, serentak, beringaslah Gak Lui.
“Ho, kiranya si Gerumpung! Bersiaplah menerima
kematianmu!” bentaknya. la menutup kata2nya dengan
gerakkan kedua pedangnya menusuk dahsyat. Tetapi
wanita itu hanya dingin2 saja. Tak menangkis, pun tak
menghindar. Dan ketika pedang Gak Lui tiba, dengan
suatu geliatan tubuh yang lemah gemulai, ia dapat
menyingkir setengah dim dari ujung pedang. Serangan
Gak Lui, yang dahsyat, tak mampu sama sekali
menyentuh- ujung baju wanita itu ! Gerak geliatan dan
ketenangan yang luar biasa itu benar2 membuat Gak Lui
terkejut sekali. Apalagi walaupun tak balas menyerang,
tetapi wanita itu dapat membuat Gak Lui tak berdaya
melancarkan serangannya lagi. Namun pemuda itu
masih penasaran. Serentak ia gunakan jurus Rajawalipentang-
sayap untuk melambung keudara. la menukik
seraya lancarkan jurus Menjolok-bulan- memetik-bintang.
Dahsyat dan cepatnya bukan alang kepalang ! Rupanya
wanita itu terpojok dan tak dapat menghindar. Terpaksa
ia gunakan pedang untuk menangkis. Melihat itu
semangat Gak Lui tambah menyala. Ia taburkan pedang
bagaikan bunga api berhamburan dan serentak
terdengarlah dering senjata beradu, tring..., tring .....
Gak Lui yakin sebentar lagi pedang lawan tentu dapat
dipapasnya kutung. Tetapi pada saat gerakan Gak Lui
untuk melibat kemudian memapas itu akan berhasil, tiba
tiba wanita aneh mendengus pelahan dan merobah
gerakan pedangnya. Tahu2 serangan Gak Lui itu
berantakan dan siwanita melesat mundur satu tombak
jauhnya
Gak Lui benar2 tercengang-cengang!
Berpuluh-puluh jago silat yang pernah ditempurnya,
178
asal ia gunakan jurus itu, tentu pedangnya dapat
terpapas kutung. Paling-paling ada beberapa tokoh yang
karena memiliki tenaga dalam sakti, masih mampu
bertahan dan menghindar. Tetapi baru sekali inilah Gak.
Lui bertemu dengan seorang lawan yang menggunakan
ilmu serangan pedangnya yang istimewa itu. Siapakah
gerangan wanita aneh itu? Mengapa wanita itu memiliki
ilmu pedang yang sedemikian luar biasanya?
Tengah Gak Lui menimang-nimang, tiba2 wanita itu
berseru dengan dingin: „Budak, engkau salah alamat!
Lekas pulanglah!”
Hanya kata2 begitu yang diucapkannya. Sedikitpun
wanita itu tak mau bertanya apa2 lagi kepada Gak Lui.
Sikap dan nadanya sedingin patung. Seolah-olah
menganggap manusia di dunia ini hanya tanah liat
belaka. Terpengaruhlah Gak Lui melihat sikap wanita
aneh itu. Ia menyimpan pedangnya lalu bertanya:
„Mohon tanya, siapakah cianpwe? Aku....”.
“Kita tak perlu saling memberitahukan nama. Lekas
tinggalkan gunung ini agar jangan mengganggu
ketenteramanku!” tukas wanita itu.
Diperlakukan dengan sikap sedingin begitu, panaslah
hati Gak Lui, serunya: „kha, kawanku yang seorang itu ....
dimana?” .
“Tak perlu banyak tanya lekas pergilah!”
“Dia engkoh angkatku. Jika dia sampai terganggu
selembar bulunya, engkau harus memberi
pertanggungan jawab!”
“Engkoh angkat?”
“Benar!”
“Heh..., ..... heh:” tiba2 wanita aneh itu mendesah
179
muak, sepasang matanya memancar sinar hina dan
berserulah ia dengan nada marah: „Ngaco belo! Jika tak
lekas angkat, kaki dari sini tentu kubunuh kau, seorang
manusia rendah!”
Sudah tentu Gak Lni tak mau menerima makian
semacam itu. Dengan menggembor marah ia menabas
pedang wanita itu dengan jurus membelah-emasmemotong
kumala.
Rupanya wanita aneh itipun marah juga. Sekali
gerakkan pedang, berhamburanlah sinar putih laksana
petir menyambar-nyambar diangkasa. Tubuhnya seolaholah
terbungkus oleh gumpalan sinar pedang yang rapat
sekali. Sedemikian rapatnya sehingga air hujan tentu tak
mampu mencurah masuk.
Ketika pedang Gak Lui membentuk tembok sinar
yang menyelubungi tubuh wanita itu, serentak ia rasakan
suatu tenaga mental menolak pedangnya sehingga ia tak
mampu untuk melancarkan jurus serangannya. Gak Lui
masih penasaran. Cepat ia salurkan tenaga-sakti Algojodunia
untuk menyedot dan mendorong. Dengan
perobahan itu, dapatlah ia menyiakkan sedikit lubang
pada dinding sumur yang membungkus tubuh wanita itu.
Wanita aneh terkesiap, heran. Sepasang. matanya
berkilat-kilat. Jurus vang dimainkan makin deras dan
indah. Tak ubah seperti burung cendrawasih tebarkan
sayap. Tak henti-hentinya terdengar dering gemerincing
dari senjata beradu. Serangan pedang Gak Lui yang
sederas hujan mencurah, tetap tak mampu menerobos
ke dalam lingkaran sinar pedang siwanita. Bahkan
pemuda itu mulai mundur setapak demi setapak.
“Apakah racun dalam tubuhku sudah mulai bekerja
sehingga tenagaku berkurang?” diam2, ia merasa heran
180
pada dirinya. Pada saat pikiran Gak Lui sedang lengah,
se-konyong2 wanita itu menarik pedangnya, diganti
dengan gerakan kelima jari tangan kiri untuk
mencengkeram dada Gak Lui. Gak Lui menyadari
bahaya. itu:
„Jika ia balikkan pedang untuk memapas tangan
lawan, kemungkinan akan termakan siasat. Maka lebih
baik ia hadapi dengan tangan kosong juga. Secepat
pindahkan pedang Pelangi ketangan kanan, ia segera
balikkan telapak tangan kirinya untuk menyongsong
tangan lawan. Plak...! Terdengar benturan keras dari dua
telapak langan dan seketika itu Gak Lui rasakan suatu
arus tenaga hebat menyusup kedalam telapak tangan
aneh melanda kedadanya. Gak Lui rasakan debur
jantungnya lemah dan napas engap. la terhuyunghuyung
5-6 langkah baru dapat berdiri tegak lagi. Tetapi
tetap dadanya terasa sakit, kedua mata mulai
menghitam. Dan pada saat ia terhuyung kebelakang itu,
wanita wajah rusak telah julurkan ujung pedangnya
kearah Gak Lui. Tetapi tiba2 ujung pedang digeliatkan
untuk mencongkel pedang pemuda itu. Tring...., tring...,
sepasang pedang Gak Lui terkapar jatuh. Kernudian
dengan gerak putaran,yang luar biasa indahnya, wanita
itu meluncur kehadapan Gak Lui lalu membentaknya:
“Siapa namumu!” Diam2 Gak Lui kerahkan tenagadalam
untuk bersiap-siap lalu menjawab dengan nada
dingin: „Gak Lui .......”
“O....!, wanita itu terkejut dan menyurut mundur dua
langkah, alisnya mengerut keatas. “Engkau .... hendak
mencari aku?” serunya. ,
“Aku mencari sumber air pencuci iiwal”
Wajah tegang dari wanita itu mulai mereda. Lalu
181
berkata dengan masih bernada dingin; „Orang yang
sudah menyerang dua kali kepadaku, tentu takkan
kuampuni lagi...., tetapi kali ini engkau kuistimewakan ....
terhadap saudara- angkatmu itu, aku mempunyai cara
lain !”
“Cara lain bagaimana .......?”
“Barang siapa masuk ke gunung sini, akan kutindak
menurut sekehendak hatiku. Orang lain tak boleh
bertanya!” Gak Lui sudah menemukan pengertian.
Gerakan wanita mencongkel sepasang pedangnya tadi,
jelas hampir sama dengan ilmu permainannya sendiri.
Serentak tergetarlah hatinya.
“Engkau .... cianpwe siapakah? Mengapa jurus
permainan pedangmu sama dengan aku?” serunya
tegang.
“Tak usah ngoceh ! Kusuruh engkau pergi, demi
kebaikanmu. Masakan perlu harus kupukul!”
“Tetapi ilmu permainan pedang cianpwe tadi sungguh
tak asing lagi .... engkau .... engkau tentulah .... bibi
guruku ketiga Pedang Bidadari Li. Siok-gim .... !”
Mendengar ucapan itu, siwanita aneh terkejut
sehingga wajahnya berkerunyutan tegang sekali. Tetapi
samar2 dalam ketegangan itu bersinarlah rasa dendam
penasaran. “Bibi-guru, aku bukan orang luar ....”
“Kutahu!” “Bibi-guru tahu?”
“Sudah tentu aku mengenalmu! Perawakanmu terang
sebagai putera dari Pedang Malaekat Gak It-beng.
Sedang jurus permainan silat dan pedangmu adalah
ajaran Pedang Laknat, tetapi.....”
„Tetapi bagaimana .....”
182
“Kepandaianmu yang begitu rendah, membuat orang
kecewa!”
“Aku telah terkena racun Penyurut-tulang...... “
“Bibirmu hitam, tenggorokanmu parau, memang
akibat keracunan. Tetapi jurus permainan pedangmu
tadi, seperti asli .... seperti bukan. Banyak bagian2 yang
tak tepat. Entah bagaimana cara mereka mengajarinya!”
Merahlah muka Gak Lui, sahutnya dengan nada
sarat: „Bukan karena salah paman guru, karena beliau
tak dapat memberi petunjuk yang nyata!”
Pedang Bidadari Li Siok-gin gemetar, serunya:
„Mengapa?”
Gak Lui segera menuturkan riwayatnya dengan ayah
angkat atau paman guru si Pedang Laknat Ji Ki-tek
selama ini. Kemudian ia bertemu dengan Pedang Iblis Ko
Tiong-ing. Bagaimana keadaan dan pengalamannya
selama bertemu dengan paman gurunya itu, pun
diceritakan dengan jelas. Dalam membawakan ceritanya
itu karena terharu, airmata Gak Luipun bercucuran
membasahi mukanya.
Wajah Pedang Bidadari Li Siok-gim yang penuh
dengan guratan pedang itu, selain tampak tua, pun telah
meneteskan dua titik airmata juga.
SETELAH menghela napas dalam2, tiba2 ia
menengadahkan muka dan tertawa dingin: „Memang
jauh2 aku sudah meramalkan bakal menemui peristiwa
yang menyedihkan itu. Tetapi sungguh menjengkelkan
sekali karena saat itu Pedang Iblis tetap tak mau
mendengarkan sungguh-sungguh mengecewakan
harapan suhu Bu-san It-ho yang telah berjerih payah
memberi pelajaran....”
183
“Bibi, dengan munculnya orang yang menyebut
dirinya sebagai Maharaja, jelas dia seorang durjana yang
ganas. Tetapi mengapa bibi hanya berdiam disi tak
keluar menghadapi durjana itu?”
Pedang Bidadari bergelora hatinya. Dengan mata
berkilat-kilat, ia berkata: „Aneh! Dahulu ayahmu telah
meninggalkan surat supaya mencari aku. Tetapi
mengapa engkau tak pernah mengungkat hal itu?
Mengenai sepak terjang Maharaja itu, memang
tampaknya selalu memusuhi perguruan kita Bu-sankiam-
pay. Tetapi sekalipun kekuatan dari keempat jago
pedang Bu-san itu tak lemah, namanya belum cukup
termasyhur!”
“Hal itu .... tentulah orang yang mempunyai sangkut
paut dengan partai Bu-san-kiam-pay!”
“Hm, tetapi orang yang mempunyai hubungan ....
terlalu sedikit sekali!”
Gak Lui menggigil. Tiba-tiba ia berseru: “Menurut
keterangan, gi- hu, aku masih mempunyai paman guru
yang tertua yang telah diusir dari perguruan!”
“Ah, tak mungkin dia ! Walaupun aku tak kenal
namanya tetapi sebab-sebab dia diusir dari perguruan
kita, walaupun secara tak sengaja suhu telah kelepasan
mengomongkan hal itu!”
“Oh, apakah sebabnya itu?”
“Karena sebelum mendapat perintah suhu, dia berani
bertindak sendiri ....”
“Bagaimana?” Gak Lui menegas. “Ini aku telah
mengangkat sumpah dihadapan suhu, takkan
membocorkan kepada lain orang!”
Mendengar itu Gak Lui amat kecewa. Jika tetap
184
mendesak, tentu bibi gurunya akan melanggar sumpah.
Namun kalau tak bertanya lebih jauh, tentulah usaha
untuk menyelidiki musuhnya itu sukar tercapai.
Pedang Bidadari tak memperhatikan keresahan Gak
Lui. la balas bertanya: „Apakah engkau pernah
mendengar atau bertemu dengan orang yang
menggunakan jurus ilmu pedang Bu- san-kiam-pay?”
“Tidak!” Gak Lui, diam2 ia memperhatikan perobahan
wajah bibi gurunya itu. Tak dapat disangsikan lagi, satusatunya
orang yang dapat melakukan jurus ilmu pedang
Bu-san-kiam pay, siapa lagi kalau bukan paman gurunya
yang kesatu itu. Apalagi .... dia telah diusir dari
perguruan. Merenung sampai disitu, serentak ia
mendesak dengan nada tegang: „Bibi, dapatkah bibi
merenungkan lebih lanjut. Adakah sebab dari pengusiran
paman guru kesatu itu mempunyai hubungan dengan
sakit hati yang sedang kutuntut? Banyak tokoh2
persilatan yang dicelakai. Saudara angkatku Hi Kiam-gin
itu salah seorang korbannya ....”
“Hm, lagi2 engkoh angkatmu itu ......” tiba2 Pedang
Bidadari mendengus dan berobah wajahnya.
“Bukan melainkan dia, masih ada ......'
“Siapa lagi?”
“Masih ada seorang Li Siau-mey. Ayahnya telah
hilang bertahun- tahun. Mungkin ada hubungannya juga
....”
Tanpa menunggu Gak Lui selesai bicara, Pedang
Bidadari menukas bengis : „Li Siau-mey tentu seorang
gadis. Engkau mempunyai hubungan apa dengan dia?”
“Ini ....” tiba2 muka Gak Lui merah. Sesaat ia tak
dapat menyahut. Melihat sikapnya, Pedang Bidadari
185
segera menyadari. Ditatapnya pemuda itu dan dengan
nada yang muak2, marah ia berteriak: „Ah...., kiranya
engkau begitu, sungguh memalukan....! Sungguh
hina....!”
“Aku mempunyai sebab ....”
“Manusia jahat didunia, tiada seorangpun tak punya
alasan. Aku tak sudi mendengar dan tak sudi mengakui
engkau sebagai murid-keponakan!”
“Oh ....” Gak Lui mendesuh. Mengira kalau bibigurunya
malu mengakui dirinya sebagai muridkeponakan
karena menganggap dirinya rendah
kepandaian, buru- buru berseru: „Walaupun aku bodoh
dan tak berguna, tetapi sudilah bibi memandang muka
ayah dan paman ...”
Mendengar itu bukan reda tetapi kemarahan Pedang
Bidadari malah berkobar.
“Ayahmu telah putus hubungan kasih dengan aku.
Pedang Anehpun telah menghapus ikatan menikah
dengan aku. Pedang lbispun putus hubungan saudara
seperguruan dengan aku. Aku....... telah bersumpah
takkan mengurus persoalan mereka. Engkau seorang
budak kecil tetapi terlalu bertingkah .... “
“Aku tak mengerti maksud bibi-guru.”
“Hm, berani terus terang berbohong, menambah
setingkat dosa !. Engkau benar2 harus minum air
Pencuci Jiwa supaya isi dadamu bersih!”
“Mohon tanya, dimanakah letak sumber air itu?”
“Disebuah guha pada puncak gunung, engkau carilah
sendiri!” Habis berkata Pedang Bidadari terus berputar
tubuh dan melesat keluar. Gak Lui terkejut dan
memburu:”Bibi .... bibi ....”
186
Tetapi ilmu meringankan tubuh dari Pedang Bidadari
itu terlampau tinggi. Dalam beberapa loncatan wanita itu
sudah 100- an tombak jauhnya. Gak Lui mati-matian
mengejar. Ia menyusur jalanan yang merupakan satusatunya
jalanan disitu dan kembali tiba dikarang kaki
gunung yang berhias huruf2 tulang manusia. Tetapi ia
tetap tak menemukan bibi gurunya, pun tidak Hi Kiamgin.
Gak Lui tegak-termenung dikaki karang gunung itu.
Pikirnya: „Mungkin bibi tak dapat memaafkan ayah dan
kedua pamanku. Tetapi mengapa dia memandang hina
padaku? Dari sinar matanya, jelas ia bukan hanya
menghina kepandaianku yang rendah, pun masih ada
sebab lain lagi! Entah adakah sebab itu! Bibi tahu apa
sebabnya paman.kesatu diusir dari perguruan oleh
kakek-guru. Juga bibi-guru itu tahu tentang suatu rahasia
dari kakek-guru. Apakah sesungguhnya dibalik peristiwa
itu? Apakah hal itu mempunyai hubungan dengan si
Gerumpung?”
Demikian pikiran Gak Lui melayang-layang
menganalisa peristiwa pertemuannya dengan Pedang
Bidadari Li Siok-gim yang menjadi bibi-gurunya. Dan
kemanakah gerangan lenyapnya Hi Kiam-gin tadi? Ah,
kesemuanya itu hanya bibi-gurunya, yang tahu. Tetapi
bibi- gurunya telah lari dan melenyapkan diri ....
Tiba2 Gak Lui tersentak kaget. Tubuhnya terasa
menggigil kedinginan. Dan matanyapun terasa
berkunang-kunang. Ada sesuatu perobahan yang tak
wajar pada dirinya.
“Celaka! Racun Penyurut-tulang mulai bekerja! Aku
harus lekas2 mencari sumber air Pencuci Jiwa itu!” ia
terkejut dan gelagapan dari la munannya.
Diatas puncak gunung Thian-gan-san atau Mata
Langit memang terdapat sebuah guha. Guha itu berasal
187
dari pecahan batu gunung yang retak. Pada jalan muka
guha, penuh dijajar tulang2 manusia. Dengan langkah
terhuyung dan mata suram, kulit berwarna hitam, Gak Lui
dapat juga mencapai, puncak gunung itu. Antara sadar
tak sadar, ia berseru parau: „Air...! Air...! Mana ...... !”
Ketika mendengar gemericik air memancar ke luar dari
guha, seketika mata Gak Lui berbalik.
Dengan tersenyum simpul, ia berseru gembira: „Oh,
kiranya .... disini!” Sekali melesat ia terus meiangkah.
Tetapi bukan berjalan maju melainkan terus terjungkal
rubuh ketanah! Namun ia menggertakkan gigi dan
paksakan diri untuk merangkak bangun lalu nekad masuk
ke dalam guha itu. Guha itu ternyata amat dalam dan
lembab. Baru melangkah tiga empat tindak, ia
mendapatkan beberapa rerangka tengkorak malang
melintang ditanah. Saat itu racun dalam tubuh Gak Lui
sudah mulai bekerja. Ia rasakan sekujur tubuhnya seperti
digeremeti ribuan semut dan kutu2. Tulang2 sama
mengejang. Seketika gelaplah matanya, kedua lutut
lemas dan bluk .... jatuhlah ia diatas salah sesosok
tengkorakl Tengkorak itu hancur berantakan. Tetapi
giginya yang runcing menjulur kebawah, menganga
seperti hendak berkata ....
“Apa katamu !” teriak Gak Lui dalam keadaan tak
sadar pikiran. Suaranya parau, tenggorokan kering, „Ah ..
engkau mengatakan air sumber disini tak boleh diminum
! Terima kasih .... peringatanmu. Aku... hendak ...
mencobanya ... “
Dia merayap sampai keujung dalam guha. Pada
puncak guha yang tinggi, menjulur sebuah batu besar.
Bentuknya menyerupai hati seorang manusia. Warnanya
merah seperti api. Sejalur air jernih, memaocur keluar
dari ujung batu berbentuk hati itu, jatuh kebawah tanah
188
yang membentuk seperti empang batu. Empang batu itu
luasnya dua tombak lebih. Dibagian tengah terdapat
lobang bundar yang tembus kebawah entah berapa
dalamnya. Tampak pada permukaan empang yang
penuh air itu, tertutup oleh uap tebal. Air berputar
mengalir kebawah lubang. Dengan lubang saluran itu
empang tetap penuh tetapi tak meluap. Hati Gak Lui
amat tegang sekali menyaksikan pemandangan yang
hebat itu. la berhenti ditepi empang. Matanya
memandang tak berkedip pada empang itu. Melihat air
yang jernih dan segar, tak dapat lagi Gak Lui menahan
tenggorokan yang serasa kering terbakar kehausan.
Tiba2 ia seperti melihat wajah paman guru-nya si Pedang
Iblis tersembul dari dalam sumber air ............
“Anak Lui, jika ingin menyakinkan ilmu kepandaian
yang tiada lawannya di dunia, engkau harus mencuci
hatimu dengan air disini. Karena sudah datang kemari,
apa yang masih engkau tunggu lagi ?” .... Gak Lui
merasa paman gurunya itu berka!a kepadanya,
“Baik..., baik.... ! aku segera minum !” sahut Gak Lui,
lalu menunduk ketepi empang. Dengan kedua telapak
tangan, ia menyerok air. Seketika ia rasakan serangkum
tenaga panas menembus tangannya hingga jari2 yang
membeku dingin terasa seperci terbakar.
“Jangan minum ! Air sumber itu entah telah
membunuh beberapa banyak manusia. Mengapa engkau
juga akan mencobanya !” Sekonyong-konyong terdengar
suara orang berseru.
“Siapa engkau !”
“Aku Pedang Samudera Hi Liong-hui, sengaja kemari
untuk memperingatkan engkau !” Saat itu racun dalam
tubuh Gak Lui makin merangsang keras. Dia benar2
189
hilang kesadaran pikirannya. la berpaling dan melihat
tanah penuh berserakan tengkorak. Cepat ia bangkit,
serunya : „Tidak boleh diminum ?”
“Tidak boleh !” “Kami adalah contohnya ....”
Kedua tangan Gak Lui gemetar. Seaaat tak tahu ia
bagaimana harus bertindak.. Tiba2 ia melihat bibi
gurunya muncul dan mengamuk. la bolang- balingkan
pedangnya menabas kawanan tengkorak yang berada
dalam guha situ seraya memaki : „Hatimu harus disuci,
mengapa kalian usil mencampuri urusan orang ....... !”
Pikiran Gak Lui makin kosong. Tiba2 ia membuka kedua
tangannya dan jatuhlah air berhamburan ketanah. la
rasakan tanah yang dipijak itu seperti berputar-putar.
Gelap .... gelap diseluruh penjuru. Tubuhnya terhuyung
kian-kemari dan sekali tergelincir, blung .... ia
kecemplung kedalam empang ! la tak bisa berenang.
Maka begitu terbenam kedalam air, mulutnya segera
berbunyi bergemerutukan karena air masuk kedalam
perutnya. Air dari sumber Pencuci Jiwa berbeda dengan
racun Penyurut- tulang. Seketika ia rasakan
tenggorokannya seperti dibakar api, terus menyusup
kedalam urat2. Ketika aliran panas itu mergalir
kedadanya, ia megap-megap tak dapat bernapas. Dan
kesadaran otaknyapun melayang .....
Pada saat ia pingsan beberapa jenak, Pedang
Bidadari Li Siok- gim menyusup masuk. Melihat keadaan
Gak Lui, seketika berobah ngerilah wajah wanita itu.
Cepat ia gunakan pedang untuk mengangkat tubuh Gak
Lui dari empang. Ketika memeriksa hidung dan denyut
pergelangan tangannya, ia dapatkan pemuda itu sudah
mati ..........
---oo0oo---
190
Tetapi Pedang Bidadari masih tak putus asa. Ia
hendak merebut jiwa Gak Lui dari genggaman Elmaut.
Cepat ia mengurut dan menutuk jalandarah pemuda itu.
Lalu menyaluri dengan tenaga murninya. la percaya
dengan ilmu kepadanya yang tinggi, tentulah pemuda itu
tertolong jiwanya. Tetapi ternyata saluran tenaga murni
itu bagaikan air mengalir kelaut. Sampai menghabiskan 7
bagian dari tenaga murninya, tetap Gak Lui tak dapat
sadar. Lewat beberapa saat kemudian, napas Pedang
Bidadari terengah-engah. Terpaksa ia menyudahi
penyaluran tenaga murni. Air matanya mengucur deras
dan dengan menangis tersedu-sedan ia berkata: „Anak
Lui, tadi telah kutanyai Hi Kiam- gin, ternyata engkau ......
masih suci ....... tetapi...... kecurigaanku telah
menyebabkan engkau mati...... Kini empat Pedang
Gunung Bu-san, telah putus keturunannya .... hanya
kematianlah yang pantas untuk menebus kedosaanku
....”
Wanita yang rusak wajahnya itu mengangkat tubuh
Gak Lui lalu melangkah keluar menuju ke terowongan
kecil dibelakang guha. Diletakkan tubuh Gak Lui dalam
terowongan kecil itu lalu ulurkan tangannya hendak
mewbuka kedok muka Gak Lui. Tetapi tiba2 tangannya
gemetar. Terpaksa ia menarik kembali dan menghela
napas.
“Ah, wajahmu tentu mirip dengan Gak Tiang-beng.
Aku o... tak .... tak perlu melihat. Biarlah engkau berkubur
dengan dandanan sewaktu engkau datang kemari ! “
Setelah memandang Gak Lui beberapa saat, ia melesat
ke luar. Dihantamnya dinding karang mulut terowongan
itu. Karang berhamburan jatuh menutup pintu
terowongan. Setelah itu ia menulis beberapa patah kata :
191
„ Makam Gak Lui” Setelah selesai melakukan
penguburan, ia kembali ke tempatnya semula. Diam2 ia
merasa heran: „Ah, mengapa Hi Kiam-gin belum
menyusur kemari ? Memang, luka yang kuberikan
padanya dengan tusukan pedang itu tentu cukup parah
.... ah, kini Gak Lui sudah meninggal, benar-benar aku
tak ada muka untuk menemuinya lebih baik kutinggalkan
surat pesananku yang terakhir .....”
Cepat ia mencabut pedang, menggurat lengannya
kiri. Merobek bajunya lalu menulis dengan ujung jari yang
dilumurkan pada darah di lengannya itu. Selesai menulis,
diletakkan robekan baju itu di bawah batu. Setelah itu ia
berputar diri. Tiba2 pandangan matanya tertumbuk pada
sumber air Pencuci Jiwa. Seketika meluaplah
kemarahannya.
“Engkau .... engkaulah ... yang telah membunuh
keponakanku. Rasakan pembalasanku.... !” .
Dengan mengerutkan geraham, ia loncat masuk
keadam guha dan membabat batu merah berbentuk Hati
yang memancarkan air. Bruk .... walaupun batu
berbentuk Hati itu setebal lengan bocah, tetapi tetap tak
kuat menerima tabasan pedang yang diancarkan dengan
sepenuh tenaga oleh wanita itu. Pedangpun putus tetapi
batu berbentuk hati itupun hancur seketika. Terdengar
ledakan keras disusul dengan gelombang air yang
berhamburan laksana gelombang mendampar. Batu
berbentuk Hati itu berguguran jatuh kedalam empang
batu. Menyusup kedalam lubang ditengah empang batu
terus tenggelam kebawah. Sejak saat itu putuslah sumur
air Pencuci jiwa. Empang batu kering sama sekali ....
Setelah menghancurkan bangunan yang istimewa itu,
Pedang Bidadari menghela napas.. la, rasakan dunia ini
hampa ...... la tak menghiraukan darah yang mengalir
192
deras dari lengannya yang ditusuknya sendiri tadi. la
sudah memutuskan untuk bunuh diri. Asal darah dalam
tubuhnya mengalir sampai habis melalui luka tengannya
itu, tentulah ia segera terbebas dari derita Dendam dan
Kasih ! Tiba2 ia melesat masuk kedalam ruang tempat
tinggalnya, selama ber-tahun2 ia menyembunyikan diri
itu.
PADA SAAT PEDANG BIDADARI kembali ke guha
kediamannya, Hi Kiang-gin pun dengan terhuyunghuyung
langkah tiba di sumber air Pencuci Jiwa. Tetapi
keadaan pemuda itu tidak seperti beberapa waktu yang
193
lalu. Rambutnya terurai ke bahu. Dan wajahnyapun
berobah menjadi seorang gadis yang cantik. Ah, ternyata
Hi Kiam-gin itu seorang gadis yang menyamar sebagai
pemuda. Kakinya berlumuran darah, langkahnya
terhuyung-huyung .........
Kiranya waktu dihadang oleh Pedang Bidadari tak
boleh mengikuti Gak Lui naik ke sumber Pencuci Jiwa,
terjadilah bentrokan antara gadis itu dengan Pedang
Bidadari. Sudah tentu Kiam-gin bukan lawan Pedang
Bidadari. Dalam keadaan terdesak, gadis itu taburkan
senjatanya rahasia Pelor Api. Tindakan Kiam-gin itu telah
menimbulkan kemarahan Pedang Bidadari. Diberinya
sebuah tusukan lalu ditutuk jalan darahnya dan
diletakkan dalam hutan. Setelah itu Pedang Bidadari
mencari Gak Lui. Tujuannyapun hendak mengenyahkan
pemuda itu dari gunung Thian-gan-san. Walaupun dalam
pertempuran dengan Pedang Bidadari tadi, Gak Lui
sudah mengetahui bahwa wanita berwajah rusak itu
adalah bibi gurunya sendiri namun tanpa disadari, dalam
kata-katanya pemuda itu telah menyinggung perasaan
bibi gurunya. Pada hal yang disinggung Gak Lui itu
justeru merupakan pantangan besar bagi Pedang
Bidadari.
Demi 'Asmara', maka Pedang Bidadari sampai
mengalami derita hidup yang berlarut-larut. Dia
membenci kaum pria, terutama. pria yang merasa sok -
pintar, bencinya bukan kepalang. Dan Gak Lui pun
dianggapnya seorang pemuda yang berlagak pintar.
Maka Pedang Bidadari marah. Apalagi diketahuinya
bahwa Hi Kiam-gin itu hanyalah seorang gadis yang
menyamar sebagai seorang pemuda. Timbullah
kecurigaan Pedang Bidadari terhadap pemuda yang
menjadi murid keponakannya itu. la anggap pemuda itu
seorang pemuda yang serong berani mengatakan Hi
194
Kiam-gin sebagai engkoh angkatnya, pada hal hanya
seorang gadis. Dan kemarahan wanita patah hati itu
makin menjadi-jadi ketika Gak lui menyebut-nyebut
tentang seorang gadis bernama Li Siu- mey.
Dalam murkanya, Pedang Bidadari terus melesat
pergi. Tetapi setiba diguha kediamannya, terkenanglah ia
akan kekasihnya dahulu Gak Tiang-beng (ayah Gak Lui)
yang bersama kedua saudara seperguruannya Pedang
Iblis dan Pedang Aneh telah menderita kematian yang
mengenaskan. Seketika redalah kemar'ahan Pedang
Bidadari. Kemudian setelah memikir dengan kepala -
dingin, ia anggap Gak Lui itu bukan seorang pemuda
yang bermoral tipis suka menyia-nyiakan kasih,
mempermainkan kaum gadis.
Buru2 wanita itu menuju kehutan dan menolong Hi
Kiam-gin. Setelah mengadakan tanya jawab dengan
Kiam-gin barulah Pedang Bidadari, menyadari bahwa
Gak Lui itu seorang pemuda yang berkelakuan bersih.
Segera ia menyuruh Kiam-gin berjalan mendaki sendiri
ke puncak. Sedang ia dengan gunakan ilmu lari cepat
segera menuju ke sumber air Pencuci Jiwa. Tetapi
ternyata tetap terlambat...........
Mendengar keterangan Pedang Bidadari bahwa
kemungkinan Gak Lui tentu menemui kesukaran bahaya,
Kiam-gin gelisah. Tanpa menghiraukan lukanya yang
masih belum sembuh, ia terus menuju ke sumber air
mencari Gak Lui. Ketika ia tiba ditempat itu ternyata
Pedang Bidadari sudah mengubur Gak Lui dan
tinggalkan tempat itu. Betapa kejutnya ketika ia dapatkan
empang batu sudah hancur berantakan dan ditanah
terdapat kutungan pedang serta ceceran darah.....
Seketika menggigiliah perasaan Kiam-gin.
Airmatanya berderai- derai seperti hujan. Dan ketika
195
melangkah keluar melihat pada dinding karang terdapat
tulisan 'Makam Gak Lui', pecahlah tangis gadis itu. la
menangis tersedu-sedu seperti kehilangan orangtuanya.
Ia menyesal karena telah menyamar sebagai seorang
pria sehingga Gak Lui menganggapnya sebagai seorang
engkoh. Dan karena anggapan itulah maka Gak Lui tak
mengerti akan rasa cinta Kiam-gin kepadanya.........
Rasa sesal dan sedih ditumpahkan dalam banjir mata
Kiam-gin telah menguras habis airmatanya sehingga
kering. Dan karena airmatanya habis, maka mulailah
darah yang bercucuran.........
Tiba2 ia menghantam pintu terowongan dan tanpa
sengaja telah menemukan robekan kain. Cepat2
dibukanya kain itu. Ternyata terdapat tulisan darah yang
ditujukan kepadanya :
Hi Kiam -gin, Keponakanku Gak Lui mati dalam
sumber Pencuci Jiwa. Tak dapat ditolong lagi.
Dendam sakit hati kalian berdua, memang pelik
sekali. Lekas pergilah ke gunung Busan puncak Capji
-hong dan berserulah 'Thian Lui' senyaringnyaringnya.
Mungkin mendapat suatu keajaiban. Jika
saat itu menemukan sesuatu jejak musuh, engkau
harus berlatih silat dengan segiat-giatnya. Demi untuk
membalaskan sakit hati kami semua.
Surat itu tiada bertanda tangan, melainkan disudahi
dengan dua buah kata 'Tulisan Akhir'. Tahulah Kiam-gin
bahwa yang menulis surat darah itu tentu sudah mati
juga. Kembali ia kucurkan airmata. Diulanginya surat itu
sampai beberapa kali. Sekalipun tak mengerti apa
maksud sebenarnya dari surat itu, tetapi ia sudah
mendapat sedikit harapan yang cukup membangkitkan
kekuatannya. Segera ia bulatkan tekad dan tengadahkan
kepala keatas, berdoa : „Cianpwe, tanpa menghiraukan
196
bahaya apapun juga, aku tentu akan melaksanakan
pesan cianpwe. Aku segera akan menuju kepuncak Capji-
hong gunung Bu-san untuk mencari jejak dan
menghimpaskan dendam cianpwe !” Kemudian iapun
berdoa kepada arwah ayah dan paman gurunya Ngo
Bun-hwa
“Anak memang tak berbakti, diam2 telah tinggalkin
rumah menyaru menjadi pria. Sehingga menyebabkan
ayah dan paman menderita perasaan. Sejak saat ini,
anak akan kembali menjadi scorang gadis itu dan
bertekad bulat untuk membalaskan sakithati keluarga
kita, Harap arwah ayah dan paman mengasoh dengan
tenteram di alam baka !” Yang terakhir ia merabah nama
Gak Lui seraya berseru dengan hati pilu : „Adik Lui ....
jangan kuatir. Setelah nanti musuh kita bersama itu dapat
kutumpas, aku tentu akan kembali kemari lagi untuk
menemanimu .... menemani engkau untuk selamalamanya
........ takkan barpisah lagi ........”
Duka dan dendam, memenuhi rongga dadanya. Ia
memutar tubuh terus lari terhuyung-huyung. Suasana
disekeliling guha hening lelap. Hanya tulang belulang,
ceceran darah...... hancuran batu dan kutungan pedang
yang berserakkan ditanah ....
Sejam kemudian tiba2 terdengar deraip langkah kaki
yang halus. Dan dalam keremangan suasana, muncullah
seorang dara cantik mengurai rambut. Gadis itu berjalan
dengan hati2 sambil memandang kian kemari sambil
pasang telinga. Jelas dia bukan Hi Kiam-gin yang datang
kembali. Melainkan gadis ular Li Siu-mey. Waktu
memasuki guha, ia memperhatikan sekali setiap benda
yang berada disitu, bahkan sebatang rumputpun tak,
luput dari pengawasannya. Ceceran darah ditanah,
kutungan pedang dan empang batu yang hancur, semua
197
diketahuinya. Hanya pada saat matanya tertumbuk akan
tulisan yang berbunyi : MAKAM GAK LUI, serentak
meraunglah ia seperti seekor singa betina yang
kehilangan anaknya ! Tetapi beberapa saat kemudian ia
terkesiap meragu „Aah....! Engkoh Lui tak mungkin sudah
mati. Karena baik manusia maupun binatang, apabila
mati tentu meninggalkan bau yang istiwewa. Tetapi
terowongan ini sama sekali tak mengeluarkan bau
semacam itu. Apakah terowongan itu hanya sebuah tipu
muslihat saja, sebuah jebakan ....... “ Cepat ia memeriksa
semua bekas benda peninggalan disitu. Kutungan
pedang itu diambil dan dibaunya.
“Ahh...., pedang ini bukan milik engkoh Lui! Tetapi
milik seorang perempuan ...... dan bukan milik kawannya
itu! Dan empang batu yang rusak itu adalah bekas
reruntuk sumber air Pencuci Jiwa. Tak mungkin engkoh
Lui menghancurkannya. Tentulah kedua perempuan itu!”
Gadis ular Siu-mey mengadakan analisa. Kemudian ia
melanjutkan pula: „Dan yang paling aneh adalah bekas
ceceran darah ini. Darah itu tidak berhamburan kemanamana,
bukan menyerupai kucuran luka. Kalau begitu,
orang itu tentulah bersahabat. Mungkin sudah tahu
tentang kematian engkoh Lui.... tetapi ahh...., mungtin
juga suatu perangkap!”
Dua macam penilaian terlintas tak menentu dalam
benaknya. Sambil mencekal kutungan pedang, tak tahu
bagaimana ia harus bertindak. la merenung sampai lama
sekali. Akhirnya rasa Cinta telah mendapat tempat yang
utama dalam sanubarinya. Segera ia gunakan kutungan
pedang itu untuk menggali batu yang menutup lubang
makam Gak Lui. Dengan sekuat tenaga ia menggali batu
dan akhirnya dapatlah ia membuat sebuah lubang
sebesar setengah meter. la segera susupkan kepalanya
kedalam. Ah, sama sekali ia tak mencium bahu mayat.
198
Jelas kekasihnya itu belum mati. Setelah mendapat
kepastian itu, mulailah ia bertindak untuk menolong Gak
Lui. Dengan bergeliatan macam ular, tubuhnya yang
lemas gemulai segera menyusup kedalam terowongan.
Akhirnya berhasillah ia masuk kadalam. Terdengar
beberapa kali ia meneriaki „engkoh Lui..., engkoh Lui...”
Setelah itu hening lelap. Kira2 sepenanak nasi lamanya,
gadis itu menyusur keluar lagi. Wajahnya penuh tanda
tanya. Rupanya ia telah menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Segera ia menurutkan bekas ceceran
darah itu............
“ENGKOH GIN ....” tiba2 terdengar suara seseorang.
“Aku bukan engkoh Gin tetapi adikmu Siumey!” sahut
lain suara.
“,Hai, aku bermimpi ..... atau mati ....?”
“Tidak bermimpi, pun tidak mati !”
“Lalu aku ....... “
“Engkau telah pingsan selama satu bulan tak ingat
diri. Untung aku segera datang pada waktu yang tepat.
Kalau tidak, engkau tentu tak akan ingat diri selamalamanya
!” Sesosok tubuh melenting bangun diri tanah.
Dia bukan lain adalah Gak Lui dan yang rebah disamping
itu adalah sigadis ular Siu-mey.
“Hai .... !” Gak Lui mendesis kaget, ketika rasakan
tubuhnya seringan bulu. Hampir tak percaya ia akan apa
yang dialaminya itu.
“Aku terminum racun. Penyurut tulang, lalu kecebur
dalam sumber air Pencuci Jiwa. Seharusnya aku
muntah?. Tetapi mengapa tidak ...”
“Engkau tak pernah muntah !” kata Siu-mey.
199
“Sungguh aneh ......”
“Ditilik dari ilmu pengobatan, hal itu memang tak
aneh. Ketika aku datang kemari, aku melintasi lembah
yang panas itu .......”
“Itu!ah Lembah Mati !” tukas Gak Lui, apakah engkau
juga melihat kawanan orang pendek berkulit hitam itu.
“Mereka diminumi racun Penyurut tulang !” sahut Siumey,”
rupanya racun itu terbuat diri ramuan pohon Laci,
kepala burung bangau dan bangkai ulat ... racun bersifat
dingin dan berkhasiat membius !”
“Itu benar,” kata Gak Lui.
“ketika termakan racun, bukan saja aku ingin makan
lagi, pancainderaku pun berkurang ketajamannya.
Sedang mulutkupun seperti mati rasa !”
“Jelas hal itu memang benar sekali !” kata Siu-mey,
„air sumber Pencuci Jiwa itu panas, dan pahitnya bukan
kepalang. Orang minum tentu akan muntah. Tetapi
bagimu air sumber itu dapat menghapus racun dan
menambah tenaga !”
“Oh ... ,” seru Gak Lui, „kalau dipikir-pikir, semua
perbuatan jahat itu tentu mendapat pembalasan yang
setimpal. Li Hui-ting yang meracuni aku itu, ternyata
adalah murid yang telah menipu ayahmu. Menurut
keterangannya, ayahmu masih hidup ...”
“Hai ! Dia ... dia ... dimana ?” sera Siu-mey.
“Sayang Li Hui-ting sampai mati tak mau
menerangkan. Sebelum selesai kutanya, dia sudah
menggigit putus lidahnya dan mati “
Siu-mey Girang2 sedih. Dengan air mata bercuccran
ia berkata : “Jika ayah benar masih hidup, syukurlah.
200
Pada suatu hari aku pasti dapat menemukannya ...”
Gak Lui merghiburnya. Setelah nona itu mengusap
airmata, berkatalah Gak Lui : „Adik Mey, waktu engkau
mendaki gunung apakah engkau bertemu dengan bibi
guruku ?”
Mendengar pertanyaan itu, airmata Siu-mey
bercucuran lagi : „Ia karena .... tak mengerti ilmu
pengobatan, megira engkau mati keracunan air sumber
lalu marah dan menghancurkan sumber ini, kemudian ia
sendiri juga ...
“Bagaimana ?” teriak. Gak Lui tegang.
“Memotong urat pergelangan tangah dan akhirnya
meninggal karena kehabisan darah.”
“Mengapa ... engkau .... tak menolong ?”
“Kuturutkan bekas ceceran darah dan akhirriya
sampai pada tempat rahasia kediamannya. Kudapati
lukanya amat parah tetapi ia tak mau kuobati. Baru
setelah kuterangkan bahwa engkau tak mati ia tampak
tenang dan mau memakan rumput harum. Semangatnya
seketika segar lalu suruh aku kemari menjengukmu ....”
“Ah, tak seharusnya engkau tinggaikan dia !” Pipi
gadis itu bersemu merah, sahutnya pelahan : „Aku ... aku
mencemaskan dirimu dan lagi, tak kira pada waktu aku
kembali kesaoa lagi, ternyata beliau sudah meninggal
.....”
Gak Lui menghela napas panjang. Airmata-nya
mengalir deras. Beberapa saat kemudian baru ia
bertanya : „Adakah beliau pernah mengatakan tentang
engkoh angkatku Hi Kiam-gin ?”
“Waktunya amat singkat sekali, tak mengatakan hal
itu .......”
201
“Adakah engkoh angkatku itu juga tertimpak sesuatu
?” Tiba2 wajah Siu-mey berobah dan menyahut dengan
kurang senang : „Engkoh Lui, terus terang kukatakan
kepadamu. Selama ini aku selalu mengikuti
perjalananmu. Sekalipun karena kebakaran di hutan itu
telah menangguhkan waktuku selama setengah hari,
tetapi sejak saat itu kulihat engkau selalu berjalan
bersams seorang gadis remaja !”
“Gadis ?” Gak Lui terbeliak.
“Benar!, Dari baunya..... dapat kuketahui jelas, dia
seorang anak perempuan !”
Gak Lui terkejut dan seketika meayadari. Diapun
dapat mencium bau untuk membedakan sesuatu.. Tetapi
ia agak lalai untuk membedakan bau Hi Kiam-gin. Kini
baru ia mengetahui mengapa tiba2 wajah bibi gurunya
berobah bengis. Bibinya itu seorang penderita Asmara
yang gagal. Sudah tentu membenci kalau seorang
pemuda hendak mempermainkan seorang gadis.
Kemudian bcrkata pula Siu-mey : „Dari bekas bau, jelas
ia pernah menjenguk kemari :.. engkau .... harus merasa
puas !” Gak Lui segera menuturkan tentang peristiwa ia
mengangkat saudara dengan Hi Kiam-gin.
“Aku telah menerima permintaan tolong dari ayahnya.
Mau tak mau terpaksa mengurusnya. Dan lagi ia
berwatak terus terang. Jika dia sudah pergi, kelak aku
tetap akan membalaskan sakit hatinya !” kata Gak Lui
pula. Melihat sikap kekasihnya yang jujur dan ternyata
tak menaruh maksud apa2 terhadap Kiam-gin, berkatalah
Siu-mey dengan nada minta maaf „Asal engkau tak
melupakan aku, tambah seorang taci angkat, pun tak
apalah. Dan lagi bibi gurupun telah meninggalkan surat
pesan ...
202
“Lekas berikan padaku !” sera Gak Lui.
“Jangan sekarang !”
“Mengapa ?” .
“Beliau menulis Jelas, supaya aku yang membacakan
dihadapan makamnya !”
“Ohh...., tentu penting sekali. Hayo kita kesana seru
Gak Lui sambil mengamasi sepasang pedangnya terus
hendak keluar.....
“Engkoh Lui, mungkin engkau tak dapat menyusup
keluar. Lebih baik engkau membuat lubang,” kata Siumey.
Gak Lui merasa tenaganya bertambah besar. Ia
hendak mencobanya. Segera ia menjamah batu dinding
dan menekannya, Ah...., ternyata pada batu itu tertinggal
bekas telapak tangannya.
“Adik Mey, mundurlah sedikit !” serunya gembira.
Setelah gadis itu menyingkir, Gak Lui kerahkan tenaga
dan menghantam. Bum ..., batu yang diletakkan Pedang
Bidadari untuk menutup terowongan, meledak hancur
dan terbukalah sebuah lubang besar.
“Mari!” seru Gak Lui seraya menerobos keluar.
Sejenak mereka memandang kearah-tumpukan tulang2
tengkorak dan kepingan sumber air setelah itu mereka
bergandengan tangan lari keluar guha. Memang yang
dikatakan Siu-mey itu benar. Pedang Bidadari Li Siokgim
telah binasa. Betapa sedih hati Gak Lui, sukar
dilukiskan. Berulang kali, ia bertemu dengan paman dan
bibi gurunya. Setiap kali paman dan bibi gurunya itu tentu
meninggal. Setelah mengubur, maka berlututlah Gak Lui
dihadapan makam bibinya. Memberi hormat yang
terakhir dan mendengarkan Siu- mey akan membaca
surat wasiat bibi gurunya.
203
“Kepada murid keponakanku Gak Lui ........” demikian
Siu mey mulai membaca, hidup manusia itu sudah
diientukan o!eh garis nasib. Wanita yang berwajah cantik
tentu, malang nasibnya. Sehingga menyebabkan Empat
Pedang Busan tercerai berai. Oleh karena itu maka,
kurusaklah wajahku dan tinggal mengasingkan diri dalam
guha. Untuk menebus dosa...”

Postingan terkait:

Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren

Tulisan Cerita Dewasa Model Indonesia : PKK 2 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 03 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: support to buwel ! ::

Loading...
Comments
0 Comments