Cerita Ngentot Dewasa : ITB 17
- Cerita Dewasa Asli Terjadi : ITB 16
- Cerita Dewasa Nyata Terjadi : ITB 15
- Cerita Dewasa Ngentot : ITB 14
- Cerita Dewasa Ngeseks : ITB 13
- Cersil Jorok Cerita : ITB 12
- CERITA DEWASA kETIDURAN : ITB 11
- Cerita Selingkuh Dosen : ITB 10
- Cerita Mesum Dewasa : ITB 9
- Cerita Dewasa Silat : Imam Tanpa Bayangan 8 Bagian...
- Cerita Mesum Dewasa : ITB 7
- Cerita Silat Dewasa: ITB 6
- Cerita Dewasa Baru :ITB 5
- Cerita Dewasa ABG : ITB 4
- Cerita Mesum ITB 3
- Cerita Dewasa Silat ITB 2
- Cerita Dewasa Imam Tanpa Bayangan 1
bau bunga harum semerbak tersiar di udara, di tengah kebun bunga
yang luas muncullah sebuah bangunan rumah yang megah, cahaya
lentera memancar keluar lewat celah-celah pintu dan jendela...
"Masuklah ke dalam!" bisik Cui Tiap Tiap dengan suara lirih,
"ibumu mungkin sudah lama menantikan kedatanganmu, inilah detik
detik bersejarah yang menandakan pertemuan antara ibu dan anak,
aku tidak ingin menyaksikan adegan yang memilukan hati itu, maka
maafkanlah aku bila aku tak akan menemani dirimu lebih jauh."
Dengan perasaan hati bergolak Pek In Hoei menghembuskan
napas panjang, tiba-tiba ia merasa hatinya jadi tegang daripada
sewaktu menghadapi suatu pertarungan....
Keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya,
dia naik ke atas tangga batu dan mendorong pintu yang tertutup rapat.
Kraak... ! Tatkala pintu itu terbuka, dengan perasaan sangsi ia
tarik kembali tangannya.
"Ibu..." bisiknya dengan suara lirih.
Orang yang berada di dalam ruangan rupanya tak bisa
mengendalikan golakan batinnya, ia menjerit tertahan.... ketika pintu
terbuka, tampaklah seorang perempuan tua yang rambutnya telah
beruban semua dengan air mata bercucuran berdiri di hadapannya...
biji matanya jeli tiada hentinya menatap wajah Pek In Hoei.
902
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Hoei.... kau.... kau adalah Pek In Hoei.... putraku..." bisik
perempuan tua itu dengan suara parau.
"Tidak salah!" jawab Pek In Hoei dengan air mata bercucuran,
"seorang bocah yang belum pernah melihat raut wajah ibu sendiri..."
Bagaikan terkena listrik tegangan tinggi, sekujur badan
perempuan tua yang sedang berduka itu gemetar keras... ia ulurkan
tangannya yang gemetar keras untuk membelai raut wajah si anak
muda itu.
"Kau... kau telah dewasa..." bisiknya lirih.
"Aku tak pernah mati kelaparan, tentu saja tubuhku bertambah
dewasa..." tukas Pek In Hoei sambil menyeka air mata yang
membasahi pipinya.
Jawaban tersebut sama sekali tidak bersikap persahabatan,
dengan pandangan tercengang perempuan tua itu menatap sekejap
wajah Pek In Hoei, air mukanya yang sudah pucat kini kian bertambah
pucat hingga menyerupai mayat, dengan sedih ia menghela napas
panjang.
"Aku tahu... kau tak akan memaafkan diriku... sebelum berjumpa
dengan kau aku telah memikirkan persoalan ini, mama tak salahkan
dirimu, mama hanya salahkan nasib mama yang jelek."
Dengan penuh kesedihan ia tutup wajah sendiri dengan
tangannya lalu menangis, air mata jatuh bercucuran merembes dari
celah-celah jarinya yang telah berkeriput...
Pek In Hoei merasa hatinya jadi kecut, dengan hati pedih ia
menghela napas panjang, kepalanya terkulai dan ia ikut menangis.
Pemandangan yang terbentang ketika itu sangat mengenaskan
sekali, meskipun ibu dan anak bisa berjumpa lagi namun perjumpaan
itu tidak ditandai oleh kegembiraan atau kebahagiaan, melainkan
hanya kepedihan serta kesedihan saja yang ada....
Lama sekali perempuan tua itu menangis kemudian sambil
menahan isak tangisnya ia bertanya :
"Nak, benarkah kau amat benci terhadap diriku ??"
903
Saduran TJAN ID
Pek In Hoei menggeleng.
",Aku tak akan membenci dirimu, aku hanya membenci terhadap
diriku sendiri..."
"Aaai..." aku tahu tindakanku ini keliru besar..." bisik perempuan
tua itu lagi sambil menghela napas panjang.
"Hmm! Tidak sewajarnya kalau kau kawin lagi dengan musuh
besar dart ayah..."
"Aaai...! Helaan napas berat kembali berkumandang
memecahkan kesunyian, dengan wajah penuh kesedihan dan
penyesalan perempuan tua yang patut dikasihani ini gelengkan
kepalanya berulang kali.
"Kau anggap mama adalah perempuan lonte yang tahu malu ??
Kau anggap mama rela merendahkan derajat untuk tunduk kepada Cui
Tek Li?" serunya sambil menahan perih hatinya, "Nak... kau keliru...
kau keliru besar... mama masih memiliki gengsi sebagai seorang
perempuan, mama masih memiliki martabat hidup sebagai seorang
istri yang setia... sekalipun selama hidup aku tak punya suami, aku
lebih rela daripada mencintai keparat tua itu..."
"Jadi kalau begitu poocu dari benteng Kiam poo yang memaksa
kau untuk berbuat demikian..." seru Pek In Hoei dengan suara
gemetar.
Dengan penuh kesedihan perempuan tua itu menunduk.
"Tindakan Cui Tek Li amat lihay dan luar biasa sekali, setelah ia
menculik aku datang kemari maka ia sengaja menggunakan
keselamatanmu serta keselamatan ayahmu untuk menggertak diriku,
membuat batinku tertekan dan setiap hari aku jadi kuatir untuk
keselamatan suamiku serta anakku."
"Apa ? Ia berani menggunakan cara yang begitu rendah untuk
menghadapi dirimu..." teriak Pek In Hoei dengan penuh kebencian,
batinnya terpukul keras.
904
IMAM TANPA BAYANGAN II
Napsu membunuh yang amat tebal seketika melintas di atas raut
wajah pemuda itu, wajahnya berubah jadi menyeringai dan tampak
mengerikan sekali.
ketika perempuan tua itu melihat keadaan putranya, ia terkesiap,
dengan rasa takut bercampur ngeri segera tegurnya :
"Nak, apa yang hendak kau lakukan?"
"Oooh...! Tidak... jangan... jangan kau lakukan perbuatan itu...
jangan kau lakukan pembunuhan itu..." seru perempuan tua itu dengan
suara gemetar.
Tertegun hati Pek In Hoei mendengar perkataan itu, hawa amarah
sedang berkobar dalam rongga dadanya, ia tak mampu
mengendalikan golakan dalam hatinya lagi, segera tegurnya :
"Kenapa? Apakah hal itu disebabkan Cui Tek Li adalah
suamimu?"
Jelas pemuda ini sudah bikin salah paham oleh perkataan ibunya,
ia sangat membenci pemilik benteng Kiam-poo yang telah
menggunakan cara rendah untuk mengancam ibunya, maka dalam
pembicaraan pun ia mulai pandang hina orang tua itu, teguran yang
ditujukan kepada ibunya pun tanpa tedeng aling-aling....
"Tidak! Tidak nak, kau telah salah paham... kau telah salah
mengartikan ucapanku itu!" seru perempuan tua itu dengan suara
terkejut bercampur ketakutan.
"Hmmm ! Apanya yang salah paham?" ejek Pek In Hoei sambil
tertawa dingin, "dendam permusuhan antara Cui Tek Li dengan ayah
dalam bagaikan samudra, kedua belah pihak tak mungkin bisa hidup
berdampingan di kolong langit, ia telah menghina ayah, maka
sekalipun kubunuh perbuatanku ini tidaklah kelewat batas, apalagi dia
sudah memaksa kawin dengan dirinya."
Ia berhenti sebentar, kemudian dengan suara gemetar
sambungnya lagi :
"Mama, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu!"
905
Saduran TJAN ID
"Apa yang hendak kau tanyakan?? Katakanlah!" seru perempuan
tua itu sambil menangis tersedu-sedu.
"Bagaimana keadaan ayah waktu menemui ajalnya??"
Perempuan tua itu merasa hatinya sakit bagaikan diiris dengan
pisau, penderitaan serta siksaan batin membuat sekujur badannya
gemetar keras, air mata jatuh bercucuran dengan derasnya, bibirnya
bergerak meluncurkan beberapa patah kata yang serak dan parau.
"Apakah kau belum tahu...."
",Kali ini dengan menempuh dan mempertaruhkan jiwa ragaku
aku menerjang masuk ke dalam benteng Kiam-poo, tujuannya bukan
lain adalah ingin menyelidiki sebab-sebab kematian dari ayah, aku
rasa ibu tentu mengetahui akan rahasia ini....aku hendak membunuh
semua para bajingan-bajingan terkutuk itu untuk membalaskan
dendam sakit hati dari ayah....."
„Hoa Pek Tuo...!"
"Apa? Dia..." napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya,
dengan penuh kebencian ia berteriak, "sejak dahulu aku telah
menaruh curiga terhadap orang ini. hanya aku kekurangan bukti."
Perlahan-lahan ia cabut keluar pedang mestika penghancur sang
surya, kemudian mengangkat ke tengah udara.... sambil menatap
ujung pedang itu dengan sorot mata mengerikan, teriaknya kembali :
"Aku hendak menggunakan pedang ini untuk mencuci bersih
seluruh dendam sakit hati ini."
Pedang berkelebat lewat, cahaya berkilauan menusuk pandangan
mata, di antara menyambar bayangan senjata.... Krasak! Meja tebal
yang berada di ruang tengah terbelah jadi dua bagian termakan oleh
pecahan pedang itu.
"Nak...!" jerit perempuan itu dengan suara gemetar.
Sepasang mata Pek In Hoei berubah jadi merah berapi-api, sambil
menatap wajah ibunya tajam-tajam ia menegur :
"Siapa lagi yang terlibat dalam rencana pembunuhan ini?"
Ia berhenti sejenak, kemudian desaknya lagi lebih jauh :
906
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Apakah Cui Tek Li adalah otak dari rencana pembunuhan ini..."
Dengan ketakutan perempuan tua itu duduk menjublak, sekujur
badannya gemetar keras dan hatinya sakit bagaikan diiris-iris dengan
pisau, air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya yang telah penuh
berkeriput, ujarnya sambil menghela napas panjang :
"Aku mempertahankan hidupku hingga sekarang, tujuannya
bukan lain adalah untuk menyelidiki siapakah pembunuh sebenarnya
dari ayahmu, setelah kulakukan penyelidikan yang teliti dan seksama,
dapat kuketahui Hoa Pek Tuo adalah pembunuh yang terutama,
sedangkan Cui Tek Li benarkah merupakan otak dari rencana
pembunuhan ini, sampai sekarang aku belum berani memastikannya
tetapi aku tahu hubungannya dengan Hoa Pek Tuo pada akhir-akhir
ini amat rapat dan akrab sekali, di kemudian hari aku pasti akan
mencari kesempatan untuk menyelidiki persoalan ini."
"Ooouw....! Mungkin kau tak berani membuktikannya sebab kau
takut aku membinasakan dirinya, sehingga membuat kau kehilangan
suamimu."
"Tutup mulutmu...." bentak perempuan tua itu dengan suara
nyaring, air mukanya berubah jadi mengenaskan sekali tanyanya :
"Kau jangan mengira aku sedang memohonkan ampun bagi Cui
Tek Li, terus terang kuberitahukan kepadamu selama hidup aku hanya
tahu mencintai Pek Tiang Hong, dia adalah orang yang paling
kucintai, akupun merasa mempunyai tugas serta kewajiban untuk
menuntut balas bagi kematiannya. Asalkan Cui Tek Li terlibat dalam
peristiwa berdarah ini, aku akan berusaha mencari akal untuk
membinasakan dirinya. Nak, aku tak mau tahu bagaimanakah
pandanganmu terhadap diriku, yang jelas apa yang barusan kukatakan
adalah kata-kata yang muncul dari sanubariku, sedikit pun aku tiada
maksud untuk membohongi dirimu."
"Ooo, aku tahu...aku sudah tahu !"
907
Saduran TJAN ID
Jilid 37
KETIKA pemuda itu mengetahui bahwa ibunya selama ini
melanjutkan hidup dengan menahan segala penghinaan serta
penderitaan tujuannya bukan lain adalah untuk menyelidiki sebabsebab
kematian ayahnya, ia merasa sedih dan malu sendiri karena
sikapnya yang telah salah menuduh perempuan tua itu dengan
tuduhan yang bukan-bukan.
Dengan pandangan mengandung permintaan maaf ia melirik
sekejap ke arah ibunya banyak perkataan berkumpul dalam
tenggorokan namun tak sepatah kata pun yang sempat meloncat
keluar.
Sudah tentu hubungannya dengan perempuan tua ini selalu
dibatasi oleh suatu jarak yang terasa asing sekali, hal ini disebabkan
karena sejak kecil ia tak pernah dirawat oleh ibunya, sehingga antara
mereka berdua tak pernah timbul suatu perasaan hangat dan kasih
sayang sebagaimana sikap seorang ibu terhadap putranya.
Perempuan tua itu menghela napas dalam-dalam dan tertawa
getir, ujarnya dengan lirih :
"Asal kau sudah tahu itu lebih dari cukup, aku tak akan memohon
yang lain, aku hanya seorang ibu yang cuma ada dalam sebutan
namun tiada dalam kenyataan, tentu saja kau tak usah menghormati
aku, karena hubungan di antara kita berdua teras amat asing, apalagi
aku pun tak dapat mempertahankan kesucianku, aku malu dan
menyesal terhadap ayahmu."
908
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Tidak! Pengorbananmu ini cukup mulia dan agung," kata Pek In
Hoei cepat.
Perempuan tua itu tertawa getir kemudian berkata :
"Dipandang dari sudut yang lain perbuatanku ini terlalu rendah
dan terlalu hina," katanya, "atau paling sedikit tidak sepantasnya kalau
aku berkumpul serta hidup bersama dengan seseorang yang
mempunyai dendam dengan keluarga Pek."
"Aku mengerti apa sebabnya Cui Tek Li memaksa dirimu untuk
menjadi istrinya," kata Pek In Hoei.
"Kenapa?" seru perempuan tua itu dengan badan gemetar keras.
"Cara pembalasan yang dipergunakan oleh Cui Tek Li adalah
suatu cara pembalasan yang paling sadis dan paling kejam, ia benci
terhadap ayah tapi tak mampu untuk menghadapi dirinya, maka
terpaksa ia culik dirimu dan memaksa kau untuk menjadi istrinya,
perbuatan ini sengaja dilakukan dengan maksud agar sepanjang hidup
ayah selalu menderita siksaan batin yang amat berat, selama hidup ia
tak sanggup angkat kepala lagi di hadapan sesama rekan umat Bulim."
"Tidak salah, dia memang ada maksud untuk membuat malu
ayahmu agar ia menderita sepanjang masa."
Dengan hati mendongkol Pek In Hoei angkat kepala dan tertawa
terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... aku hendak membunuh bajingan
tua ini, aku hendak menghancur-lumatkan tubuh bangsat itu agar sakit
hati ayah bisa terbalas."
"Nak, kendati kau memiliki ilmu silat yang sangat luar biasa,
selama berada di sini kau tak bakal berhasil menangkan Cui Tek Li,"
ujar perempuan tua itu dengan suara gemetar, "aku harap kau jangan
mencari kematian buat diri sendiri, kekuatannya di tempat ini luar
biasa dan tiada tandingan, lebih baik lebih cepatlah tinggalkan tempat
ini."
909
Saduran TJAN ID
"Cui Tek Li sudah tahu kalau kedatanganku untuk mencari
dirinya. Ia tak mungkin lepaskan diriku begitu saja," seru Pek In Hoei
dengan suara penuh kebencian, sepasang matanya berubah jadi merah
berapi, "lagi pula sekali pun ia rela melepaskan aku belum tentu aku
rela lepaskan dirinya begitu saja. Suatu pertarungan sengit tak
mungkin bisa dihindari."
"Kau tak usah terlalu emosi nak, mama punya akal untuk
mengantar kau keluar dari benteng ini," bisik perempuan tua itu
sambil gelengkan kepala.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Semuanya sudah terlambat. Andaikata kau hendak mohonkan
ampun bagi bajingan tua itu, maka lebih baik aku tumbukkan batok
kepalaku di atas dinding tepat berada di hadapanmu, aku lebih rela
mati secara pahlawan daripada harus melanjutkan hidup dengan
menahan malu."
"Tetap pengorbanan dengan cara demikian ini sama sekali tak ada
harganya."
Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmm! Sejak aku mengerti urusan belum pernah aku mohon atau
merengek-rengek belas kasihan atau rasa simpatik dari orang lain.
Semenjak kecil aku sudah mempunyai watak yang keras. Dahulu tak
ada orang yang mampu merubah watakku itu dan sekarang makin tak
ada orang yang mampu untuk merubahnya lagi. Maka bila kau hendak
memohonkan pengampunan untukku di hadapan Cui Tek Li maka itu
berarti hanya akan menambah kemurungan serta kekesalan bagi
dirimu sendiri, di samping peristiwa ini akan dijadikan bahan lelucon
bagi pihak lawan."
Dengan termangu-mangu perempuan tua itu menatap wajah Jago
Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tanpa berkedip, ia tidak paham
dengan sikap sombong serta jumawa yang diperlihatkan pemuda ini,
diam-diam ia menghela napas panjang, pikirnya :
910
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Bocah ini terlalu mirip dengan Pek Tiang Hong, tabiatnya yang
keras kepala serta pendiriannya yang begitu teguh dan sama sekali
tidak berubah terlalu mirip dengan keadaan diri Pek Tiang Hong,
benar-benar terlalu mirip."
Dengan perasaan kuatir ia menghela napas panjang, katanya :
"Apakah kau tak mau menerima sedikit bantuan yang ingin
kuberikan kepadamu itu."
"Sebagai anak seorang manusia, bakti harus diutamakan, dalam
hal ini aku tak sanggup melakukannya untukmu sehingga membuat
kau setiap hari hidup dalam penderitaan, persoalan ini merupakan satu
persoalan yang paling menyedihkan hatiku," kata Pek In Hoei dengan
suara berat.
Ia berhenti sebentar, kemudian dengan air mata bercucuran
ujarnya kembali :
"Dendam berdarah atas kematian ayah tidak ingin kuserahkan
kepada orang lain, dalam hal pembalasan dendam, selama aku masih
hidup di kolong langit aku akan berusaha untuk mengadu jiwa dengan
musuh-musuh besarku, tentang persoalan ini kau tak usah kuatir,
malaikat keadilan selalu akan membantu menegakkan keadilan di
kolong langit, lagi pula setiap urusan adalah tergantung pada usaha
manusia itu sendiri, meskipun Cui Tek Li sangat lihay, suatu ketika ia
tak akan terhindar dari pembalasan Thian yang maha adil."
Dengan suara berat ia melanjutkan kembali :
"Suatu saat aku pasti akan berhasil menyambut kau untuk keluar
dari tempat yang nista dan ternoda ini, suatu ketika aku pasti akan
menolong kau hingga terlepas dari cengkeraman iblis Cui Tek Li."
"Aku sih tidak mempunyai harapan itu," kata perempuan tua tadi
sambil menggeleng, "Aku hanya berharap bisa balaskan dendam bagi
kematian ayahmu!"
Tiba-tiba perempuan itu nampak agak tertegun, telinganya
sempat menangkap suara orang yang mengetuk pintu, dengan raguragu
didekatinya sisi jendela lalu menegur dengan suara dingin :
911
Saduran TJAN ID
"Ada urusan apa?"
"Poocu sudah hampir pulang, nona besar memerintahkan aku
untuk memberi kabar kepada hujin," bisik orang di luar pintu dengan
suara lirih.
"Ehmmm... aku sudah tahu, pergilah!"
"Baik..." sahut orang di luar pintu dengan sikap hormat, suara
langkah kaki yang berat kian lama kian menjauh hingga akhirnya
lenyap dari pendengaran.
Perempuan tua itu berdiri termangu-mangu beberapa saat
lamanya, kemudian menghembuskan napas panjang ujarnya :
"Nak, pergilah! Bila ada urusan aku bisa memberi kabar
padamu."
"Selamat tinggal ibu," dengan pandangan bimbang ditatapnya
sejenak wajah perempuan tua itu, lalu menambahkan :
"Baik-baiklah menjaga diri."
"Kau pun harus baik-baik menjaga diri, semoga kau bisa
menyayangi jiwa serta keselamatanmu," perempuan tua itu tarik
napas panjang-panjang kemudian menambahkan, "dalam menghadapi
segala persoalan janganlah ditanggapi dengan emosi dan hati yang
gelisah, mama akan berusaha keras membantu dirimu."
Pek In Hoei berpaling dan memandang sekejap wajah perempuan
tua yang penuh penderitaan itu, ia menghela napas sedih, air mata
mengembang dalam kelopak matanya.
Ia hapus air mata yang membasahi pipinya lalu berkata :
"Aku bisa berterima kasih kepadamu, setelah dendam berdarah
ini telah kutuntut, ananda pasti akan menjemput dirimu untuk kembali
ke kampung halaman, kita bangun kembali rumah tangga kita yang
telah hancur berantakan selama belasan tahun ini."
"Mungkinkah terdapat hari yang bahagia itu? Nak, aku tak berani
berpikir sampai ke situ," bisik perempuan tua itu dengan suara
gemetar keras.
912
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Dapat," jawab Pek In Hoei dengan pasti, "pasti akan muncul
suatu hari yang berbahagia itu!"
Ia tidak ingin berdiam terlalu lama lagi di tempat yang penuh
dengan kesedihan itu, sambil menggerakkan tubuhnya yang berat dan
sempoyongan selangkah demi selangkah ia berlalu dari tempat itu.
Memandang bayangan punggungnya yang mulai lenyap dari
balik kegelapan, perempuan tua itu tak dapat menahan rasa sedihnya
lagi, ia menangis tersedu-sedu dengan bibir yang gemetar gumamnya
:
"Nak, rupanya kau amat membenci diriku," ia berhenti sebentar
untuk tarik napas panjang, "aku dapat membantu dirimu untuk
membinasakan semua musuh besar kita, asal kau tidak membenci
terhadap diriku yang tak setia kepada suami ini, aku sudah cukup
merasa puas, nak kau tak dapat menyelami perasaanku."
Cahaya lentera bergoyang dihembus angin di kala perempuan tua
itu sedang berdiri sambil melelehkan air mata, tiba-tiba terdengarlah
suara seruan nyaring berkumandang datang.
"Poocu pulang."
Perempuan tua itu buru-buru membereskan rambutnya yang
kusut dan menyeka air mata yang membasahi pipinya, kemudian
seorang diri ia duduk di sisi pembaringan.
Suara langkah kaki yang berat berkumandang di luar pintu yang
tertutup rapat, perlahan-lahan Poocu dari Benteng Kiam-poo
melangkah masuk ke dalam ruangan, ia melirik sekejap ke arah
perempuan tua yang duduk seorang diri di sudut pembaringan itu lalu
menegur :
"Kenapa? Kau lagi marah dengan siapa lagi?"
Perempuan tua itu menggeleng.
"Aku tidak lagi marah dengan siapa pun Tek Li! Ada satu
persoalan aku ingin memohon kepadamu."
Pemilik Benteng Kiam-poo Cui Tek Li nampak agak tertegun,
dengan sorot mata keheranan ia memandang sekejap wajah
913
Saduran TJAN ID
perempuan tua itu, kemudian setelah termenung sejenak tanyanya
dengan perasaan tidak mengerti :
"Sih Ih, persoalan apa yang hendak kau pintakan kepadaku?"
Ia tahu sejak istrinya memasuki keluarga Cui belum pernah sehari
pun ia nampak gembira atau senang, setiap hari kecuali melelehkan
air mata kerjanya duduk di sana dengan wajah murung.
Kendati Cui Tek Li adalah seorang pemilik benteng yang bengis
dan kejam tetapi sejak mengawini perempuan ini tanpa sadar ia telah
jatuh cinta kepadanya, tujuan yang sebenarnya untuk membalas
dendam terhadap Pek Tiang Hong lama kelamaan jadi sirna dan
sebaliknya ia malah benar-benar jatuh cinta terhadap perempuan ini.
"Permintaanku ini merupakan permohonanku yang terakhir
kalinya," kata Hay Sim Ih dengan suara sedih, "aku harap kau tidak
menampik permintaanku ini."
Cui Tek Li gelengkan kepalanya.
"Katakanlah!" ia berseru, "asal permintaanmu itu dapat
kulaksanakan, aku tak akan membuat kau merasa kecewa.
"Oooh... kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih lebih
dahulu kepadamu."
"Ehmm... ! Kita toh sudah menjadi suami istri selama banyak
tahun, kenapa kau mesti berterima kasih padaku? Selama banyak
tahun seandainya bukan kau yang merawat serta membesarkan Tiap
Tiap serta Kiam Beng, mereka berdua saudara entah pada saat ini
telah berubah jadi bagaimana."
"Anak telah menduduki posisi yang penting dalam pikiran serta
perasaan kita," ujar Hay Sim Ih dengan suara sedih. "Meskipun Tiap
Tiap serta Kiam Beng bukan putra putri kandungku tetapi aku telah
memandang mereka bagaikan anak kandung sendiri. Tek Li! Kau
adalah seorang pria yang suka akan anak dan aku pun tidak jauh
berbeda keadaannya dengan dirimu, aku juga menyukai mereka
semua, karena itu ada satu permintaan hendak kumohonkan
kepadamu, aku harap kau..."
914
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Sebenarnya apa sih yang hendak kau mohonkan? Katakanlah
cepat, kenapa kau tidak berterus terang..." seru Cui Tek Li tidak
sabaran lagi.
Hay Sim Ih menghela napas panjang.
"Baru-baru ini bukankah dalam benteng kita telah kedatangan
dua orang pemuda?"
"Siapa yang beritahu kepadamu?" seru Cui Tek Li dan air muka
berubah hebat, "dari mana kau bisa mengetahui akan hal ini?"
Hay Sim Ih tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... kau anggap setiap kejadian yang
berlangsung dalam benteng ini tidak diketahui olehku? Tek Li, aku
merasa sangat keheranan, kenapa kau perlu merahasiakan banyak
persoalan di hadapanku? Apakah kau telah menganggap aku sebagai
istri dari musuh besarmu? Orang bodoh bukankah aku telah berhasil
kau rampas?"
"Sim Ih kau jangan salah paham, seru Cui Tek Li dengan wajah
pucat pias bagaikan mayat.
"Salah paham?" ejek Hay Sim Ih dengan suara dingin. "Hmmm!
Kau tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi suamiku, maka
menggunakan kesempatan di kala aku sedang cekcok dengan Pek
Tiang Hong dan pergi tinggalkan rumah, kau telah menculik aku
datang kemari, apakah tujuanmu? Aku rasa dalam hati kecilmu sudah
punya perhitungan sendiri, sekarang persoalan telah berlalu banyak
tahun, apakah kau masih begitu tega untuk menghadapi satu-satunya
putraku? Tek Lie! Sungguh kejam hatimu..."
"Sim Ih, terlalu banyak yang kau pikirkan," bisik Cui Tek Li
sambil gelengkan kepalanya.
"Hmm! Permintaanku tidak banyak, aku hanya berharap agar kau
jangan menyusahkan Pek In Hoei."
"Tidak bisa, inilah saatnya yang kunanti-nantikan selama ini, aku
tak dapat melepaskan dirinya dengan begitu saja," seru pemilik
915
Saduran TJAN ID
Benteng Kiam-poo dengan sinar buas memancar keluar dari balik
matanya.
Sekujur badan Hay Sim Ih gemetar keras.
"Kenapa kau hadapi dirinya dengan cara demikian keji?"
"Hmmm! Siapa suruh dia jadi putranya Pek Tiang Hong? Karena
perbuatan Pek Tiang Hong hidupku jadi amat menderita, ia bisa
mendapat akibat semacam ini itulah hasil karya dari perbuatannya
sendiri."
"Jadi kalau begitu, kau tak akan melepaskan Pek In Hoei begitu
saja!" bentak Hay Sim Ih dengan penuh kegusaran.
"Sedikit pun tidak salah, tak seorang manusia pun yang sanggup
menghalangi niatku ini."
Setelah mendengar perkataan yang begitu ketus, tegas dan sama
sekali tidak berperasaan, Hay Sim Ih merasa hatinya jadi dingin
separuh, air mata mengembang dalam kelopak matanya, dengan gusar
ia berteriak :
"Apakah kau telah memikirkan akibat yang bakal kau terima atas
perbuatanmu itu?"
"Haaaah... haaaah... haaaah... akibat apa yang harus
kutanggung?" ejek Cui Tek Li sambil tertawa bergelak, "asal kubunuh
mati Pek In Hoei, maka dalam kolong langit sudah tak terdapat orang
yang kupandang sebelah mata pun. Hmmm... hmm... bila sukma Pek
Tiang Hong di alam baka bisa mengetahui akan kejadian ini, maka dia
akan mengerti dengan cara apakah aku orang she Cui telah
menghadapi dirinya."
Dengan suara yang menyeramkan ia tertawa keras, ujarnya
kembali :
"Sekalipun Pek Tiang Hong sudah mati tetapi dendam
permusuhan dengan dirinya belum selesai, asal aku masih mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam terhadap keturunan keluarga
Pek, aku akan melakukannya peduli dengan cara macam apa pun jua."
916
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Bagus... bagus... sekarang aku baru kenal manusia macam
apakah dirimu itu," jerit Hay Sim Ih dengan suara terperanjat.
"Hmmm... hmmm... Sim Ih, Pek In Hoei toh bukan anak
kandungmu sendiri, kenapa kau mesti mengurusi soal mati hidupnya?
Lagi pula kau kan sudah seharusnya membantu diriku untuk
melenyapkan bibit bencana ini."
"Hmmm..." dengan suara berat Hay Sim Ih mendengus, serunya
dengan sinis, "aku tidak akan membantu dirimu untuk melakukan
kejahatan, cukup meninjau caramu dari masa yang silam di mana kau
menggunakan keselamatan dari putraku serta Pek Tiang Hong untuk
memaksa aku kawin dengan dirimu, aku sudah tahu bahwa kau adalah
seorang manusia rendah yang sudah bejad moralnya, sayang pada
waktu itu hatiku jadi ketakutan oleh ancamanmu itu, asal aku bisa
menyelamatkan jiwa suamiku serta anakku, aku rela mengorbankan
segala-galanya yang kumiliki."
Ia berhenti sejenak, kemudian dengan wajah penuh kegusaran
lanjutnya kembali :
"Selama hidup aku sukar untuk melawan hawa kesal dan mangkel
yang mengeram dalam dadaku, kau telah merusak nama baikku juga
telah menghancurkan suamiku, sekarang kau hendak melenyapkan
pula putraku... Cui Tek Li! Aku benar-benar tidak mengerti,
sebenarnya apa saja yang kau pikirkan dalam hatimu yang busuk
itu..."
Cui Tek Li nampak tertegun.
"Dari mana kau bisa tahu kalau Pek Tiang Hong mati lantaran
aku yang mencelakai jiwanya..." ia berseru.
Sebenarnya Hay Sim Ih sama sekali tidak tahu kalau kematian
dari Pek Tiang Hong sebenarnya ada sangkut pautnya dengan Cui Tek
Li, hanya saja secara diam-diam ia telah mencurigai persoalan ini,
untuk membuktikan kebenaran ini maka dengan mempergunakan
kata-kata ia berusaha memancing kegusaran orang.
917
Saduran TJAN ID
Dan ternyata dalam gusarnya Cui Tek Li telah mengakui bahwa
perbuatan itu punya sangkut paut dengan dirinya, hal ini
membuktikan pula bahwa dugaan yang selama ini bersarang dalam
dada perempuan tua itu sedikit pun tidak salah...
Nampaklah air muka Cui Tek Li seketika berubah hebat setelah
perkataan itu meluncur keluar dari mulutnya, dengan sikap tegang dan
sorot mata memancarkan cahaya tajam ia tatap wajah Hay Sim Ih
tanpa berkedip, pelbagai perasaan berkecamuk jadi satu di atas raut
mukanya.
Hay Sim Ih tertawa dingin, serunya :
"Kalau menginginkan orang lain tidak tahu kecuali kalau kau
sendiri tak pernah melakukannya, kau anggap perbuatan yang pernah
kau lakukan bisa selamanya mengelabui kolong langit? Hmm!
Sebenarnya tak ada persoalan yang bisa dirahasiakan dalam kolong
langit, seperti pula segala perbuatan yang telah kau lakukan tak
sebuah pun yang lolos dari pengawasanku."
"Hmmm! Aku tahu bahwa kau masih belum dapat melupakan
Pek Tiang Hong, maka memandang semua perbuatanku kau merasa
tidak sedap dan mencolok pandangan," teriak Cui Tek Li dengan
penuh kebencian, "Anggap saja Pek Tiang Hong memang mati di
tanganku sekarang, kau mau apa?"
"Jadi kalau begitu kau telah mengaku," seru Hay Sim Ih dengan
wajah berubah hebat.
"Hmmm! Kenapa aku tak berani mengaku juga? Sedikit pun tidak
salah! Pek Tiang Hong memang mati di tanganku, kecuali aku..."
"Kau... kau manusia berhati binatang," jerit Hay Sim Ih dengan
suara yang tinggi melengking.
Meskipun Cui Tek Li merupakan seorang pria yang kejam dan
berhati buas, tetapi setelah menyaksikan Hay Sim Ih menjadi naik
pitam, ia segera gelengkan kepalanya dan tertawa ujarnya :
"Pikirlah yang lebih terbuka, persoalan ini sudah lewat..."
918
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Hmm! Anggaplah mataku yang buta," seru Hay Sim Ih dengan
suara dingin, "sepanjang masa aku harus hutang kepada kalian
keluarga Cui, karena kau membuat aku tidak mempunyai keberanian
untuk melanjutkan hidupku, Tek Li... aku harap kau segera keluar dari
sini, biarkanlah aku duduk seorang diri di tempat ini..."
"Ehmm...! Baiklah, mungkin dengan berbuat demikian
pikiranmu akan lebih terbuka..."
Ketika Cui Tek Li sudah melangkah pergi beberapa tindak dari
ruangan itu, tiba-tiba Hay Sim Ih berseru kembali :
"Tunggu sebentar, aku mempunyai persoalan yang hendak
ditanyakan kepadamu..."
"Persoalan apa??" tanya pria itu tertegun.
"Kau bersiap-siap kapan hendak menghadapi Pek In Hoei..."
"Tentang persoalan ini... tidak sepantasnya kau ikut tahu..." sahut
Cui Tek Li kemudian dengan sorot mata memancarkan cahaya bengis.
Hay Sim Ih mendengus.
"Hmm! Benarkah kau tak dapat melepaskan bocah itu dalam
keadaan hidup..." serunya.
Cui Tek Li geleng kepala.
"Aku tidak memiliki hati sebaik itu! Tak mungkin aku lepaskan
dirinya dengan begitu saja, kau tak pernah berkecimpung di dalam
dunia persilatan dan tak mengerti kelicikan serta bahayanya dunia
persilatan, bila aku tidak membinasakan dirinya maka dia akan
membunuh diriku, siapa yang turun tangan lebih dahulu dialah yang
akan mendapat keuntungan, karena itu aku tidak akan membiarkan
Pek In Hoei turun tangan terlebih dahulu..."
Dengan putus asa Hay Sim Ih menghela napas panjang.
"Pergilah..." ia berseru, "aku tidak memiliki kekuatan untuk
membatalkan niatmu membinasakan bocah itu, tetapi... kau harus
pertimbangkan kembali persoalan ini sebaik-baiknya, resiko yang
harus kau tanggung akibat perbuatanmu ini terlalu berat..."
919
Saduran TJAN ID
"Hmmm... hmmm... tentu saja! Dan kau tak usah menguatirkan
tentang persoalan itu..."
Di tengah suara tertawa dingin yang menyeramkan, perlahanlahan
ia tinggalkan tempat itu...
Memandang bayangan punggungnya hingga lenyap dari
pandangan, Hay Sim Ih hanya dapat berjalan mondar mandir dalam
ruangan itu dengan hati gelisah, air mata tanpa terasa jatuh bercucuran
membasahi pipinya.
Fajar telah menyingsing, sang surya memancarkan cahaya
keemas-emasan dari arah sebelah timur... di bawah sorot sinar sang
surya Benteng Kiam-poo nampak begitu hening dan sunyi...
Taaang...! Suara genta yang berbunyi nyaring menggema dari
loteng bangunan benteng itu dan bergeletar di angkasa... Suara itu
mengalun hingga di tempat yang amat jauh dan membangunkan
semua anggota Benteng Kiam-poo dari alam impian.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei serta Lu Kiat perlahanlahan
munculkan diri dari ruang tamu, sejak pertemuan dengan ibu
kandungnya kemarin malam Pek In Hoei semalam suntuk tak dapat
tidur, pagi itu wajahnya nampak murung dan sepasang matanya merah
membengkak.
Lu Kiat nampak mengerling sekejap sekeliling tempat itu, lalu
berbisik dengan suara lirih :
"Adik In Hoei, kapan kita akan keluar dari benteng ini?"
Pek In Hoei berpikir sebentar, kemudian menjawab :
"Sore nanti kita akan segera berangkat..."
"Pertarungan yang bakal terjadi pastilah suatu pertarungan yang
seru, kita harus menghadapinya dengan hati-hati..."
"Hemmm! Lu toako, aku akan berusaha untuk menantang Cui
Tek Li berduel satu lawan satu."
Sementara ke-dua orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara
lirih, Cui Kiam Beng dengan diiringi beberapa orang pria kekar
munculkan diri dari sudut benteng sebelah lain, ia melotot sekejap ke
920
IMAM TANPA BAYANGAN II
arah Pek In Hoei dengan penuh kebencian kemudian maju
menghampirinya.
Pek In Hoei menyaksikan kemunculan orang itu, sepasang
alisnya segera berkerut kencang, pikirnya :
"Ada urusan apa bocah keparat itu datang kemari?"
Dalam pada itu Cui Kiam Beng telah tiba di hadapan si anak
muda itu, sambil melotot ke arah Pek In Hoei ujarnya :
"Hey manusia she Pek, bagaimana kalau kita mencari tempat
untuk bercakap-cakap..."
"Huuuh...! Kau ini manusia macam apa? Dengan mengandalkan
hak apa kau ajak aku bercakap-cakap???"
Cui Kiam Beng tertegun, ia tidak menyangka kalau sikap Jago
Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei begitu sombong dan jumawa,
ternyata ia sama sekali tidak memberi muka kepadanya.
Karena gusar bercampur mendongkol, pemuda she Cui itu segera
angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... sahabat Pek, kau janganlah terlalu
bikin susah orang lain..."
"Kenapa? Apakah kedatanganmu atas suruhan dari bapakmu?"
ejek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Itu sih bukan, aku ingin menggunakan kedudukan sebagai orang
biasa untuk mengajak kau membicarakan suatu masalah pribadi, bila
kau tidak suka memberi muka kepadaku... hmmm... hmmm..."
Ia tertawa serak, setelah berhenti sebentar sambungnya :
"Akibatnya sukar untuk dipikirkan dengan kata-kata..."
Pek In Hoei segera mendengus dingin.
"Hmmm! Kita mau berbicara di mana? Kau boleh katakan saja,
aku pasti akan hadir..."
Cui Kiam Beng berpikir sebentar, lalu jawabnya :
"Di sebelah belakang benteng ini terdapat sebuah hutan yang luas
di sana jarang ada orang yang berkunjung ke situ, aku rasa tempat
921
Saduran TJAN ID
itulah merupakan suatu tempat yang cocok bagi kita untuk
membicarakan urusan pribadi..."
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah Lu Kiat, kemudian
mengangguk.
"Baiklah, kita akan berjumpa di situ..." katanya.
Cui Kiam Beng segera tertawa keras dengan suara yang
menyeramkan.
"Aku harap kau jangan melarikan diri di kala menghadapi
pertarungan nanti, di tempat ini hanya ada orang-orangku..."
Belum habis ia berkata tubuhnya sudah berputar dan sambil
memimpin orang-orang kepercayaannya ia kembali menuju ke arah
benteng...
Hutan yang lebat di belakang benteng Kiam-poo terasa amat
hening, kecuali bau busuk daun-daun yang rontok ke bumi yang
terdengar hanyalah bunyi kicauan burung yang bersahut-sahutan.
Baru saja Cui Kiam Beng melangkah masuk ke dalam hutan itu,
terdengarlah dari balik pepohonan berkumandang keluar suara gelak
tertawa seseorang diikuti suara teguran menggema datang :
"Kiam Beng, apakah bocah keparat itu sudah datang???"
"Ibu angkat, bajingan cilik itu..."
Soat Hoa Nio Nio munculkan diri dari balik pohon, dengan suara
dingin selanya kembali :
"Rasa dongkol yang mengeram dalam hatiku sudah tak dapat
ditahan lagi, selama aku si nenek tua berada di dalam Benteng Kiampoo
belum pernah dihina serta merasa malu seperti kali ini, sungguh
tak nyana aku sudah jatuh kecundang di tangannya... Hemmm... ini
hari kita berdua harus musnahkan dirinya dari muka bumi!"
"Ibu angkat, aku sangat kuatir ayah mengetahui akan peristiwa
ini," ujar Cui Kiam Beng dengan wajah murung, "bila ia mengetahui
akan persoalan ini ayah pasti akan naik pitam, dia orang tua paling
benci kalau lihat aku patah semangat dan tidak punya keberanian."
922
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Hmmm! Hmmm... apa yang kau takuti? Semua persoalan ini
akulah yang akan bertanggung jawab," teriak Soat Hoa Nio Nio
sambil mendengus dingin, "bila bapakmu menegur maka katakanlah
aku si nenek tua yang suruh kau berbuat demikian."
"Bocah setan, kau benar-benar tak becus," bentak Soat Hoa Nio
Nio dengan penuh kegusaran, tokh ada aku bertanggung jawab apa
yang mesti kau takuti lagi? Seorang lelaki sejati berani berbuat berani
bertanggung jawab maka barua bisa menggetarkan seluruh kolong
langit..."
"Oooh... ya... Jago Pedang Berdarah Dingin..." tiba-tiba dari luar
hutan berkumandang datang suar seruan seorang pria, "siau poocu,
orang she Pek itu telah datang..."
Dengan pandangan dingin Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In
Hoei memandang sekejap ke arah mereka, kemudian bersanding
dengan Lu Kiat perlahan-lahan masuk ke dalam hutan, raut wajah
mereka berdua menampilkan kekerasan hati, kesombongan serta
kejumawaan, seakan-akan tak seorang manusia pun yang dipandang
olehnya:
Cui Kiam Beng tertawa seram, lalu berkata :
"Ibu angkat, keparat she Lu itu pun ikut datang..."
Soat Hoa Nio Nio tidak menanggapi, ia loncat ke depan dan
berseru :
"Pek In Hoei, kemarin kau nampak gagah sekali..."
"Oooh... sungguh tak kusangka Cui heng telah mengundang
datang gurunya," ejek Pek In Hoei dengan suara dingin, "kemarin aku
telah minta petunjuk tentang kelihayan ilmu silatnya, ini hari apakah
kau masih ada minat untuk turun tangan kembali..."
"Kekalahan yang kuderita kemarin hari akan kutagih lipat ganda
pada saat ini, Pek In Hoei, aku si nenek tua paling gemar mencari
menangnya sendiri, bila kau hendak suruh aku mengaku kalah,
Hmmm...! bukanlah suatu urusan yang gampang..."
Pek In Hoei mendengus dingin.
923
Saduran TJAN ID
"Kemarin setelah kuampuni selembar jiwamu, seharusnya kau
mengerti dan tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, sungguh tak
nyana bukan saja kau tak jeri, malahan berani datang kembali untuk
mencari kematian. Haaaah... haaaah... haaaah... , nenek sialan, kau
harus tahu nasib mujur selamanya tidak berada di sisi tubuhmu,
mungkin hari ini adalah saat ajal bagimu."
"Tutup mulutmu, anjing!" jerit Soat Hoa Nio Nio dengan wajah
berubah hijau membesi karena menahan marah yang meluap-luap,
"kau tak usah berlagak sok di hadapanku, aku si nenek tua berani
mengundang kau datang kemari, berarti aku mempunyai cara pula
untuk menghadapi dirimu. Hey orang muda! Kau jangan terlalu
percaya pada diri sendiri, ada banyak orang yang musnah akibat
terlalu percaya pada diri sendiri."
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... nenek tua, kau jangan terlalu
sombong," ejek Pek In Hoei pula sambil tertawa dingin. Banyak orang
mati di ujung pedangku karena ia terlalu menjual lagak di hadapanku,
aku harap kau bisa berpikir yang matang lebih dahulu sebelum
bertindak."
"Hmm!" Cui Kiam Beng segera maju satu langkah ke depan, "Ibu
angkat, apa sih gunanya kita banyak bicara dengan keparat cilik ini,
lebih baik kita segera turun tangan..."
Dari balik rimba yang gelap tiada hentinya tersiar bau busuk daun
yang memenuhi permukaan tanah, kicauan burung bergema
memecahkan kesunyian yang mencekam di sekeliling tempat itu,
sorot cahaya sang surya menyelinap masuk lewat celah-celah daun
yang rapat membuat suasana nampak sedikit cerah.
Cui Kiam Beng sengaja memilih tempat yang sangat rahasia letak
ini, tujuannya yang sangat terutama bukan lain adalah agar jangan
sampai mengejutkan pemilik Benteng Kiam-poo Cui Tek Li, karena
sebelum ayahnya turunkan perintah maka siapa pun dilarang
menyusahkan diri si anak muda itu...
924
IMAM TANPA BAYANGAN II
Cui Kiam Beng sambil memimpin beberapa puluh orang anak
buah kepercayaannya mengepung rapat sekeliling hutan rimba itu,
dengan pandangan dingin ia menatap wajah Pek In Hoei, sinar mata
yang terpancar keluar kian bertambah bengis, begitu bencinya
pemuda itu terhadap lawannya sehingga ingin sekali ia telan
musuhnya bulat-bulat.
Air muka Soat Hoa Nio Nio pun dingin dan sama sekali tidak
berperasaan, selama hidup ia tersohor karena kesombongan serta
kesadisannya, peduli persoalan apa pun sulit untuk memancing rasa
kasihan atau rasa simpatiknya, karena dia adalah seorang perempuan
yang tersohor karena tak punya perasaan.
Hanya Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei seorang yang
bersikap paling tenang dan mantap seakan-akan tiada terjadi sesuatu
apa pun ia tatap jago lihay dari Benteng Kiam-poo yang tak takut mati
itu, senyuman sinis dan penuh ejekan tersungging di ujung bibirnya,
napsu membunuh telah menyelimuti wajahnya yang tampan membuat
keadaannya nampak tidak serasi...
Yang paling tegang di antara beberapa orang itu adalah Lu Kiat,
jantungnya terasa berdebar keras, mengikuti kemunculan dari
gerombolan manusia itu ketegangan yang ditampilkan kian lama kian
bertambah tebal, ia bukan tegang lantaran memikirkan keselamatan
sendiri, yang dia kuatirkan adalah cara keji apa yang hendak
dipergunakan Soat Hoa Nio Nio serta Cui Kiam Beng untuk
menghadapi dirinya serta Pek In Hoei... sorot mata yang tajam tanpa
berkedip menatap terus setiap gerak gerik dari perempuan itu...
Suatu ketika Cui Kiam Beng tertawa seram, ujarnya :
"Ibu angkat, aku rasa kita tak usah menanti lagi..."
"Sudahkah kau undang datang Han San sianseng?"
Cui Kiam Beng tertegun, lalu sahutnya :
"Ibu angkat dengan kekuatan yang kita miliki rasanya masih
cukup untuk menghadapi bangsat she Pek itu, apa gunanya kita
undang datang Han San sianseng kakek tua yang kukoay itu."
925
Saduran TJAN ID
"Kau mengerti apa?" bentak Soat Hoa Nio Nio dengan nyaring,
"seandainya Han San sianseng tidak datang, apakah kau yakin bisa
menangkan permainan pedang dari manusia she Pek itu???"
"Ehmm?" dengan penuh kebencian Cui Kiam Beng melirik
sekejap ke arah Pek In Hoei, "aku tidak percaya dengan orangorangku
masih belum mampu untuk menghadapi seorang Jago
Pedang Berdarah Dingin."
Pek In Hoei segera tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... apa yang diucapkan ibu angkatmu
sedikit pun tidak salah," ejeknya, "lebih baik undanglah datang jago
lain yang jauh lebih hebat, dengan andalkan kekuatan yang kau miliki
itu, bila ingin bertarung melawan aku rasanya masih terpaut terlalu
jauh."
"Omong kosong..." jerit Cui Kiam Beng dengan penasaran, "kau
jangan terlalu rendah memandang orang lain, aku she Cui yang
pertama-tama akan minta pelajaran darimu."
Sang kawan meloncat maju ke depan, tangan kanan diangkat dan
pedangnya laksana titiran air hujan bergetar membentuk berkuntumkuntum
bunga pedang di tengah-tengah udara, cahaya berkilauan
segera memancar di udara dan amat menyilaukan mata...
"Aku lihat lebih baik tenangkanlah hatimu lebih dulu," ejek Pek
In Hoei lagi dengan suara hambar, "hati-hatilah, jangan sampai
selembar jiwamu pun ikut melayang dengan percuma. Cui Kiam
Beng! Memandang di atas wajah encimu, aku nasehati dirimu lebih
baik sedikitlah tahu diri..."
Ucapan itu diutarakan keluar sepatah demi sepatah, nada yang
dingin dan meyakinkan itu membuat sekujur badan Cui Kiam Beng
bergetar, suatu perasaan tercekat terlintas di atas wajahnya, sekali pun
pedang telah diloloskan namun dengan sikap ragu-ragu ia tetap berdiri
kaku di tempat semula.
Beberapa saat kemudian ia berteriak keras :
926
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Kentut busuk makmu, aku tak sudi kau lepaskan karena
memandang di atas wajah enciku!"
"Itu kan urusanku, apa hubungannya dengan dirimu..."
Cui Kiam Beng dengan kedudukannya sebagai pemilik muda
Benteng Kiam-poo setelah berulang kali jatuh di bawah angin di
hadapan anak buahnya, hawa gusar seketika berkobar dalam dadanya,
pedang digetarkan dan sambil meraung keras ia terjang tubuh jago
pedang berdarah dingin, sebuah tusukan kilat segera dilancarkan.
"Cui-heng, akulah yang akan melayani permainanmu itu..." seru
Lu Kiat sambil loncat maju ke depan.
Tubuhnya dengan lincah berkelebat ke muka dan tahu-tahu sudah
menghadang jalan pergi Cui Kiam Beng dengan ilmu silat yang sangat
lihay dia segera mengirim satu babatan maut ke depan.
Tercekat hati Cui Kiam Beng ketika merasa munculnya segulung
angin pukulan yang terwujud menerjang dadanya, dengan cepat ia
bergeser ke samping bentaknya :
"Enyah kau dari sini.. aku tiada urusan dengan dirimu!"
"Hmmm! Apakah Cui-heng merasa tidak sudi bertempur
melawan diriku?... seru Lu Kiat dingin.
"Yang kucari sama sekali bukan dirimu, aku harap kau jangan
terlalu suka mencampuri urusan orang lain..."
"Ciu heng, bila kau bertempur melawan diriku mungkin selembar
jiwamu itu masih dapat dipertahankan, tetapi bila kau bersikeras
hendak turun tangan melawan saudaraku itu... Hmmm... hmmm... aku
percaya sekali pun kau miliki cadangan nyawa sebanyak dua puluh
pun akan lenyap semua di ujung telapaknya."
"Hmmm! Aku tidak percaya..."
Lu Kiat segera tertawa dingin.
"Apa yang kukatakan adalah nasehat yang baik demi
keselamatan, tetapi bila kau tidak percaya tak ada halangan untuk
menantang ia berduel, tetapi sebelum itu lebih baik carilah kabar
berita lebih dahulu dari anak buahmu, pernahkah korban yang
927
Saduran TJAN ID
bertarung melawan Jago Pedang Berdarah Dingin selama berada di
dunia persilatan berhasil lolos dalam keadaan selamat."
"Hmmm! Lebih baik kau tak usah mengibul baginya."
Pek In Hoei tertawa dingin, ia melirik sekejap ke arah Cui Kiam
Beng lalu berkata :
"Lu toako, apa sih gunanya kau bersilat lidah dengan manusia
semacam itu? Kalau ia tidak percaya biarlah maju sendiri ke depan,
kali ini ku tak akan berlaku sungkan seperti tempo dulu, asal ia berani
bertarung melawan aku maka itu berarti ia mencari jalan kematian
buat diri sendiri."
"Bagaimana?" kata Lu Kiat pula dengan nada menghina, "sudah
kau dengar bukan perkataannya itu? Sebetulnya aku orang she Lu
merasa kasihan bila menyaksikan kau yang semuda ini harus mati
konyol, maka aku bermaksud menasehati dirimu agar tahu diri, tetapi
bilamana kau memang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi...
baiklah, aku pun tak mau banyak berpikir lagi, terserah kau sendiri
yang harus memikul resiko tersebut..."
Hampir saja Cui Kiam Beng muntah darah segar saking
mendongkolnya setelah mendengar tanya jawab pihak lawan yang
kesemuanya bernada mengejek itu, sekujur badannya gemetar keras,
sepasang matanya melotot bulat-bulat, tetapi berhadapan dengan dua
orang jago lihay yang maha ampuh itu untuk sesaat ia jadi kehabisan
akal dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Terpaksa ia alihkan sorot matanya yang penuh memohon bantuan
itu ke arah Soat Hoa Nio Nio, siapa tahu nenek tua entah sengaja atau
tidak sengaja kebetulan sekali sedang mengalihkan pandangannya ke
arah lain, terhadap tanda mohon bantuannya itu sama sekali tidak
ambil peduli..."
Hal ini semakin membuat pemuda itu mendongkol, dengan suara
yang mengerikan ia berseru :
"Aku orang she Cui lebih rela mati di tangan kalian, daripada
harus mati karena ketakutan..."
928
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Kalau memang begitu silahkan untuk turun tangan," ujar Lu Kiat
dengan suara dingin, "aku tahu bahwa kau tak akan mengucurkan air
mata sebelum melihat peti mati tetapi kau mesti waspada sebab inilah
kesempatan terakhir bagimu, bila kau bersikeras hendak turun tangan
maka kemungkinan besar kau tak sempat lagi untuk melihat terbitnya
sang surya di kala fajar baru menyingsing besok pagi."
"Kentut busuk makmu, aku akan bertarung melawan dirimu lebih
dahulu," teriak Cui Kiam Beng.
Pedangnya segera digetarkan ke depan, kilatan cahaya senjata
segera meluncur ke muka dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Lu Kiat mengigos ke samping, sambil tertawa dingin ejeknya :
"Sepantasnya sejak tadi kau telah turun tangan, bukankah aku
sudah menunggu kedatanganmu sedari tadi?"
Tercekat juga hati Cui Kiam Beng ketika menyaksikan serangan
babatan pedangnya, berhasil dihindari oleh lawannya dengan suatu
gerakan yang sangat aneh, seketika ia sadar bahwa ilmu silat yang
dimiliki lawannya sama sekali tidak berada di bawah ilmu silat
sendiri.
Ia tarik napas panjang, pelbagai ingatan berkelebat dalam
benaknya, ia berpikir dengan cara apakah ia harus berbuat untuk
menusuk mati Lu Kiat di ujung senjatanya.
"Bila aku tak mampu meringkus orang she-Lu ini... Hmmm!
Akan kutaruh di mana raut wajahku ini... bila ayah mengetahui akan
kejadian ini, dia orang tua pasti akan mati karena mendongkol."
Setelah ingatan tersebut muncul dalam benaknya, pemuda itu
semakin waspada lagi, pergelangannya digetarkan perlahan, ujung
pedang seketika berubah jadi sekilas cahaya tajam dan langsung
mengurung sekujur badan Lu Kiat.
Seakan-akan pemuda she-Lu itu ada maksud untuk memancing
kegusaran Cui Kiam Beng, meskipun berhadapan dengan serangan
pedang yang amat lihay namun ia sama sekali tiada maksud untuk
meloloskan senjatanya, dengan sebat kembali ia mengigos ke
929
Saduran TJAN ID
samping, telapaknya dengan tajam balas mengirim beberapa
kelebatan ke depan.
Secara beruntun Cui Kiam Beng telah melancarkan tujuh delapan
buah tusukan namun bukan saja ujung baju lawan tak mampu ditowel,
bahkan gerakan apa yang dipergunakan lawannya untuk menghindar
pun tak sempat ia lihat jelas, hal ini semakin mengejutkan hatinya.
"Pertarungan macam apakah ini?" teriaknya.
"Tanpa turun tangan saja kau sudah tak mampu mempertahankan
diri, apalagi bila aku lancarkan serangan balasan," seru Lu Kiat
dengan suara hambar, "Haaaah... haaaah... haaaah... saudara, bila aku
balas menyerang maka kau tak akan seringan ini... bukankah begitu
Cui heng?"
Meskipun di luaran ia berkata dengan enteng, diam-diam hatinya
terkejut juga oleh kesebatan serta kecepatan gerak pedang lawannya,
peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya...
Bagian 37
"OMONG KOSONG!" teriak Cui Kiam Beng dengan penuh
kegusaran, "orang she Lu cabut pedangmu... bila aku berhasil
menangkan dirimu dengan cara ini maka kemenangan ini kuraih
dengan kurang cemerlang... orang she Lu, aku harap kau jangan
terlalu memaksa diriku..."
Menyaksikan raut wajahnya yang sudah diliputi kemarahan itu,
diam-diam Lu Kiat merasa kegelian, ia memang ada maksud
memancing kegusaran pemuda itu, maka sambil tertawa dingin
kembali ejeknya :
"Dengan tangan kosong pun kau tak mampu mempertahankan
diri, apalagi bila kuloloskan pedangku, mungkin kau bisa keok!"
Air muka Cui Kiam Beng berubah jadi hijau membesi, sekujur
badannya gemetar keras, sepasang mata memancarkan cahaya berapiapi...
hampir saja dadanya meledak karena kegusaran, tubuhnya
930
IMAM TANPA BAYANGAN II
menerjang maju ke depan tetapi beberapa langkah kemudian kembali
ia berhenti.
Soat Hoa Nio Nio tidak tahan menyaksikan keadaan tersebut, ia
segera mendengus dingin, serunya :
"Kiam Beng, tenangkan hatimu..."
"Ibu angkat, aku..."
"Pergilah dari sini dan undanglah Han San sianseng, tanpa
kehadirannya siapa pun tak bisa menangkan mereka berdua..." bisik
perempuan tua itu sambil menggeleng.
Cui Kiam Beng tahu bahwa Han San sianseng adalah seorang
tokoh sakti yang kecuali Soat Hoa Nio Nio yang mengetahui asal
usulnya mungkin Cui Tek Li sendiri pun tidak mengetahuinya,
mendengar desakan tersebut terpaksa pemuda itu mengangguk.
"Baik..." katanya.
"Kalau kalian berdua memang jantan, tunggulah di sini..." seru
Cui Kiam Beng sambil melirik sekejap ke arah Pek In Hoei serta Lu
Kiat dengan pandangan penuh kebencian.
"Hmmm! bangsat bermulut usil, lebih baik jangan banyak bacot
di tempat ini," tukas Pek In Hoei dengan nada dingin, "kalau mau
undang bala bantuan cepatlah pergi, tapi ingat, cari saja beberapa
orang yang benar-benar bisa dianggap sebagai seorang manusia, kalau
tidak kami akan menanti dengan sia-sia belaka... kami pasti akan
menantikan kedatanganmu di tempat ini, aku akan menunggu sampai
kau pulang kembali untuk menghantar kematianmu sendiri..."
Dengan penuh kebencian Cui Kiam Beng mendengus dingin,
setelah menyapu sekejap wajah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan
pandangan yang penuh rasa kebencian, ia putar badan dan berlalu dari
sana.
"Adikku..." tiba-tiba dari tengah udara berkumandang datang
suara panggilan yang merdu dan nyaring, Cui Tiap Tiap sambil loncat
masuk ke dalam gelanggang serunya kembali :
"Adikku, kau hendak pergi ke mana?"
931
Saduran TJAN ID
"Lebih baik kau tak usah mencampuri urusanku," tukas Cui Kiam
Beng sambil tertawa getir.
"Kenapa aku tak boleh mencampuri urusanmu?" bentak Cui Tiap
Tiap penuh kegusaran, "kau toh belum mendapat persetujuan dari
ayah, kenapa kau begitu berani membikin gara-gara dengan Pek In
Hoei? Hmmm! Berdasarkan persoalan ini aku sudah punya hak untuk
mencampuri urusan."
"Enci... kenapa kau malah membantu orang lain? Apakah kau rela
menyaksikan adik kandungmu dihajar orang?" seru Cui Kiam Beng
sesudah tertegun sebentar.
"Hmmm! Kau tak usah ngaco belo dan menuduh diriku dengan
tuduhan yang bukan-bukan, aku tidak akan membantu pihak mana
pun juga, dan siapa pun dilarang melangsungkan pertarungan secara
pribadi di tempat ini... kau tahu apa sebabnya Benteng Kiam-poo bisa
tersohor di kolong langit dan disegani orang? Itu bukan karena kita
punya ilmu pedang nomor satu di kolong langit, juga bukan karena
orang kita amat banyak, yang penting adalah karena kita mempunyai
kerja sama yang erat dan mau bergotong royong... Dan sekarang, kau
sebagai salah seorang anggota benteng ternyata berani bertindak
dengan melanggar peraturan Benteng Kiam-poo yang sudah
berlangsung banyak tahun, dapatkah kau bayangkan betapa gusarnya
ayah jika mengetahui akan kejadian ini? Dan sudahkah kau
bayangkan hukuman apa yang bakal ditimpakan kepada dirimu..."
Cui Kiam Beng segera tertawa dingin setelah mendengar
perkataan encinya yang panjang lebar itu.
"Enci!" serunya dengan tak senang hati, "cukup sudah nasehatmu
yang panjang lebar itu, aku sudah muak dan sebel mendengarkan
kesemuanya itu... dan sekarang aku harap enci segera tutup mulut!
Selama ini dalam persoalan apa pun juga kau hendak merintangi
diriku... Hmmm! Terang-terangan kukatakan kepadamu, hari ini aku
tak akan doyan menelan permainanmu itu..."
932
IMAM TANPA BAYANGAN II
Pada dasarnya pemuda ini sedang mendongkol karena sudah
dipermainkan oleh Pek In Hoei berdua tanpa bisa membalas, sekarang
melihat encinya banyak bicara maka tak bisa dicegah lagi semua rasa
dongkol yang sudah tertimbun dalam dadanya langsung dilampiskan
kepada gadis itu, bukan saja perkataannya pedas didengar bahkan
tidak sungkan-sungkan dan penuh mengandung sindiran.
Cui Tiap Tiap tentu saja semakin marah sekujur tubuhnya
gemetar keras karena menahan emosi.
"Adikku, kau... kau..." jeritnya.
"Kenapa aku?" jengek Cui Kiam Beng sambil maju melangkah
ke depan, "enci! Dengarkan baik-baik peringatanku ini, aku larang
kau mencampuri urusanku... mengerti????"
Mimpi pun Cui Tiap Tiap tak pernah menyangka kalau adik lakilakinya
yang selama ini disayang dan dimanja olehnya bukan saja
bersikap kasar terhadap dirinya, bahkan menyindir pula dengan katakata
yang pedas.
Gadis cantik ini tak bisa menahan rasa sedihnya lagi, sambil
menggeleng ia berbisik :
"Aku tahu kalau kau telah dewasa... aku pun tahu dalam
pandanganmu ada atau tidak enci seperti diriku ini sama saja
bagimu... tetapi aku ingin memperingatkan pula kepadamu, kau mesti
tahu jalan menuju ke arah sesat gampang ditempuh, tapi untuk berbuat
kebaikan sulit bukan kepalang, seandainya suatu hari..."
"Pergi... pergi... cepat enyah dari sini," tukas Cui Kiam Beng
sambil ulapkan tangannya berulang kali, "lebih baik kurangi saja
banyolanmu yang memuakkan itu..."
"Kau... kau telah berubah sama sekali, kau telah berubah jadi
mengerikan... hampir saja aku tak percaya kalau kau bisa berubah jadi
begitu..."
Cui Kiam Beng tak menggubris perkataan kakaknya lagi, baikan
tidak mendengar perkataan itu sambil tertawa dingin tiada hentinya
pemuda itu putar badan dan lari keluar dari hutan.
933
Saduran TJAN ID
Memandang bayangan punggung adiknya yang lenyap dari
pandangan, titik air mata tak tahan lagi mengucur keluar membasahi
wajahnya, ia melotot sekejap ke arah Soat Hoa Nio Nio dengan
pandangan mendongkol kemudian berseru :
"Soat Hoa cianpwee, kenapa kau tidak urusi dirinya? Coba kau
lihat ia jadi semakin binal dan tak karuan..."
Dengan nenek tua ini selama hidup Cui Tiap Tiap merasa paling
tidak cocok, bahkan boleh dibilang dia agak benci terhadap nenek ini,
sekali pun di luaran ia sebut cianpwee kepadanya tetapi dalam hati
kecilnya sedikit pun tidak pandang sebelah mata terhadap Soat Hoa
Nio Nio, sebab ia tahu bahwa nenek tua ini sering kali mengajarkan
perbuatan-perbuatan yang tak senonoh kepada adiknya, membuat
adiknya kian lama kian berubah jadi jahat dan sukar diberitahu..."
"Kenapa aku mesti urusi adikmu itu?" ejek Soat Hoa Nio Nio
dengan nada yang sinis, "Hmmm! Sebagai orang muda sudah
sepantasnya kalau seringkali berlatih diri, kalau tidak merasakan
sedikit penderitaan akibat kalah dari mana ia bisa tahu tentang
lihaynya orang... Aku rasa persoalan semacam ini bukanlah
urusanmu, lebih baik jangan kau campuri lagi... sana, pulang ke
benteng."
934
IMAM TANPA BAYANGAN II
Jilid 38
CUI TIAP TIAP kembali tertawa dingin :
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... walaupun aku tidak menghalangi
atau merintangi kebebasannya, tetapi aku tidak mengijinkan dia
berkelahi dengan orang lain menggunakan ilmu silat keluarga,
perbuatan macam itu bukan saja tak akan mendatangkan manfaat
baginya, malah justru bakal mencelakai jiwanya."
"Tiap Tiap..." teriak Soat Hoa Nio Nio sambil tertawa seram,
tubuhnya tanpa terasa ikut bergeser maju setindak ke depan,
"perhatikan dulu duduknya perkara hingga menjadi jelas, siapkah
Kiam Beng? Dan siapa pula bajingan she Pek itu? Kau anggap Kiam
Beng dapat dihina dan dipermainkan orang seenaknya? Apa kau tidak
tahu kalau bajingan she Pek itulah yang datang mencari gara-gara?
Kiam Beng sebagai anggota Benteng Kiam-poo tunduk kepala
terhadap bajingan liar itu? Meskipun mungkin aku bisa menyetujui
pendapatmu itu, belum tentu ayahmu bisa menyetujui, aku rasa
tentang masalah ini kau tak usah ribut-ribut lagi dengan aku."
Pek In Hoei ye mendengarkan banyolan nenek tua itu kontan
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
Air muka Soat Hoa Nio Nio berubah hebat, dengan penuh
kemarahan ia menjerit melengking, bentaknya :
"Bajingan tengik, anak jadah! Apa yang sedang kau tertawakan?"
"Sungguh tak nyana kau si nenek peyot yang hampir modar
bukan saja kau membolak-balikkan persoalan bahkan pintar juga
menghasut orang lain dengan ucapan-ucapan yang tajam... Hmm!
935
Saduran TJAN ID
Seandainya aku tidak melihat usiamu yang sudah tua dan ajalmu
setiap saat suah hampir tiba, ingin sekali menyuruh kau merasakan
buah karya dari ucapanmu itu."
"Kentut busuk makmu..." maki Soat Hoa Nio Nio, "anak jadah
sialan, kau berani memaki lo-nio? Bangsat matamu memang sudah
buta semua, kalau tidak mengingat perasaan hatiku pada saat ini
sedang lega, huuh! Jangan ditanya lagi akan kusuruh kau merasakan
bagaimana kelihayannya lo-nio."
"Nenek peyot yang hampir modar, tak usah mengeluarkan kentut
busuk lagi! Kalau memang merasa hebat dan punya kepandaian,
kenapa tidak dikeluarkan? Tua bangka yang bermuka tebal... Hmmm,
paling banter tong kosong bunyinya saja yang nyaring," ejek Pek In
Hoei sinis.
Sudah tentu dalam hati kecilnya Soat Hoa Nio Nio sudah
mengetahui jelas keadaan sebenarnya, meskipun tenaga dalam yang
dimilikinya sangat lihay tapi di depan mata orang kelihayan itu tidak
lebih seujung jarinya, bila sungguh terjadi pertarungan maka dia akan
semakin kehilangan muka lagi.
Oleh karena itulah meskipun sangat gusar mendengar sindiran
lawan, tetapi sekuat tenaga ia tekan emosinya di dalam dada dan tidak
membiarkan dirinya terpengaruh oleh ejekan tersebut.
Tapi lama kelamaan ia tak tahan juga Pek In Hoei secara terangterangan
sudah menantang dirinya untuk berduel, dengan
kedudukannya sebagai seorang angkatan yang lebih tua jika tak berani
melayani tantangan seorang angkatan muda maka sejak itu hari dia
tak mungkin lagi bisa tancapkan kakinya dalam Benteng Kiam-poo,
sekali pun mukanya tebal ia pun tak akan tahan terhadap ejekanejekan
lawan.
Sambil menggerang gusar teriaknya :
"Baiklah, lo-nio akan melayani tantanganmu itu! Hmm, jangan
kau anggap lihay dan tak berani memberi pelajaran kepadamu."
936
IMAM TANPA BAYANGAN II
Kecerdasan orang ini benar-benar luar biasa dan hebat sekali, dia
tahu ilmu pedang yang dimiliki Pek In Hoei sangat lihay dan sukar
dicari tandingannya di kolong langit, jika dia minta pelajaran tentang
ilmu pedang maka sembilan puluh sembilan persen dia pasti kalah.
Oleh sebab itu begitu tubuhnya maju ke depan, ia segera
menerjang si anak muda itu dengan serangan tangan kosong.
Pek In Hoei meludah ke lantai dengan pandangan menghina
ejeknya :
"Kau benar-benar perempuan tua yang kehilangan anak, sudah
tahu air itu dingin tapi kau nekat juga untuk menceburinya. Hmmm!
Jangan salahkan kalau aku akan bertindak kasar padamu."
Soat Hoa Nio Nio tidak berani mengucapkan sepatah kata pun,
sambil membentak dengan suara yang berat perlahan-lahan telapak
kanannya diangkat ke atas udara, dari balik telapak tangannya yang
kering kerontang itu terpancarlah seberkas sinar hitam yang amat
menyilaukan mata, bersamaan dengan pengerahan tenaganya cahaya
hitam itu kian lama kian bertambah tebal sehingga akhirnya
terciptalah segumpal awan hitam yang pekat.
Lu Kiat terkesiap melihat keampuhan nenek tua itu, ia tahu pihak
lawan telah mengerahkan ilmu beracunnya untuk membinasakan
musuh yang paling dibencinya itu.
Pek In Hoei sendiri diam-diam pun merasa terperanjat, dengan
cepat ia himpun segenap kekuatan yang dimilikinya di dalam lengan,
bajunya dengan cepat menggelembung bagaikan bola sedang sorot
matanya yang tajam menatap perempuan tua itu tanpa berkedip.
"Bajingan cilik," teriak Soat Hoa Nio Nio sambil tertawa seram,
"terimalah pukulan mautku ini!"
Telapak tangan yang kurus kering itu bergerak silih berganti di
udara, segulung hembusan angin dahsyat yang sangat kuat segera
memancar keluar dari balik telapaknya dan menerjang tubuh Jago
Pedang Berdarah Dingin dengan hebatnya.
937
Saduran TJAN ID
Pek In Hoei tarik napas panjang-panjang tubuhnya bergeser ke
samping menghindarkan diri dari ancaman itu, kemudian sambil
membentak keras dia ayun pula telapak tangannya menyongsong
kedatangan serangan lawan.
"Blaaaammmm...!" ledakan dahsyat bergeletar memecahkan
kesunyian, pusaran angin puyuh menggulung di angkasa
menerbangkan pasir dan kerikil yang berada di sekeliling situ,
sungguh dahsyat benturan itu sehingga pemandangan di sekitar sana
jadi gelap dan mengerikan.
Lengan kanan Soat Hoa Nio Nio seketika terkulai lemah ke
bawah, dengan sempoyongan dia mundur tujuh delapan langkah ke
belakang, air mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat darah
kental berceceran di atas pakaian dan menodai ujung bibirnya, dari
kenyataan itu bisa ditarik kesimpulan bahwa nenek tua tadi sudah
menderita luka dalam yang amat parah dalam adu tenaga tadi.
"Kau... bangsat!... anak jadah... kau... kau telah menghancurkan
ilmu silat kebanggaanku... kau terkutuk..." jerit nenek tua itu dengan
suara yang tinggi melengking.
Pek In Hoei menghembuskan napas panjang,dengan senyuman
mengejek menghiasi ujung bibirnya ia menjawab :
"Selama hidup aku paling benci menyaksikan seseorang berlatih
ilmu telapak yang beracun, di ujung telapakmu yang mengandung
racun jahat itu entah sudah berapa banyak jiwa yang menjadi korban?
Aku tidak bermaksud lain kecuali memusnahkan cakar ayammu itu,
agar di kemudian hari kau tak dapat menggunakan kelebihanmu itu
untuk berbuat kejahatan..."
"Bajingan... lebih baik... lebih baik bunuh saja diriku!" jerit Soat
Hoa Nio Nio dengan suara gemetar.
"Huuuh...! kalau aku punya minat untuk berbuat begitu,
pekerjaan tersebut dapat kulaksanakan dengan mudah, tapi sayang...
aku tidak berminat untuk melakukan hal itu..."
938
IMAM TANPA BAYANGAN II
Soat Hoa Nio Nio terbungkam dalam seribu bahasa, dia pun
menyadari sampai di manakah tabiat pemuda sombong dan tinggi hati
ini, ia bisa berkata tentu bisa pula untuk melaksanakannya.
Andaikata dalam pertarungan yang baru saja berlangsung pihak
lawan tidak mengampuni jiwanya... maka pada saat itu bukan sebuah
lengannya saja yang patah, ada kemungkinan jiwa pun ikut melayang.
Dia tertawa sedih, setelah termenung sebentar ujarnya :
"Pek In Hoei, tahukah engkau dendam sakit hati ini sebentar lagi
akan dibalaskan oleh orang lain?"
"Hmmmm! Sungguhkah itu?" ejek Pek In Hoei sambil
mendengus, "ingin sekali kusaksikan manusia macam apa sih yang
memiliki kepandaian selihay dan sedahsyat itu..."
Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, mendadak
dari balik hutan yang lebat berkumandang datang gelak tertawa yang
seram dan aneh kedengarannya.
Cui Kiam Beng tampak muncul kembali di sisi gelanggang
mengiringi seorang kakek tua yang aneh sekali bentuknya, kakek itu
punya mata yang sipit dan berbentuk segi tiga, hidung menghadap
langit dan bibir yang lebar, sekilas pandangan panca inderanya
kelihatan mengerikan sekali.
Setelah menyaksikan kemunculan kakek aneh itu, Soat Hoa Nio
Nio segera menjerit dengan suara melengking :
"Tua bangka yang tidak mati-mati, kali ini aku sudah jatuh
kecundang di tangan orang..."
"Haaaah... haaaah... haaaah... kau si tulang tua yang tinggal kulit
pembungkus tulang, sudah setua ini masa bisa jatuh kecundang di
tangan seorang bocah ingusan macam itu," seru Han San sianseng
sambil tertawa terbahak-bahak, "aku jadi tak habis mengerti apa sih
kerjamu di waktu-waktu belakangan ini? Kenapa makin tua semakin
loyo dan tak berguna?"
Lengan kanan Soat Hoa Nio Nio sudah dipatahkan oleh Pek In
Hoei, saat itu tangan tadi terkulai ke bawah dan tak sanggup diangkat
939
Saduran TJAN ID
kembali, saking sakitnya keringat dingin keluar tiada hentinya,
dengan bibir yang pucat dan tubuh yang gemetar keras serunya :
"Tua bangka sialan aku..."
Rupanya pada waktu itu Han San sianseng pun sudah
menyaksikan keadaan Soat Hoa Nio Nio yang tidak beres, ia terkejut
dan cepat-cepat meloncat ke sisi perempuan tua itu, setelah
melakukan pemeriksaan yang seksama di sekitar lengan kanan itu air
mukanya mendadak berubah jadi serius.
"Siapakah yang telah turun tangan sekeji ini terhadap dirimu??"
serunya dengan sorot mata berkilat.
"Siapa lagi kalau bukan dia??" jawab Soat Hoa Nio Nio sambil
melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin.
Han San sianseng segera angkat kepala dan tertawa keras saking
gusarnya, sepasang alis berkerut kencang.
"Apakah dia adalah putra dari Pek Tiang Hong??" serunya.
"Sedikit pun tidak salah, dia adalah anak jadah dari bangsat tua
itu..."
Mimpi pun Jago Pedang Berdarah Dingin tak pernah menyangka,
dengan kedudukan Soat Hoa Nio Nio yang begitu tinggi dan
dihormati oleh setiap jago Bu lim, ternyata mulutnya amat kotor dan
pandai mengucapkan kata-kata yang tak sedap didengar, mendengar
ucapan itu ia naik darah, napsu membunuh menyelimuti seluruh
wajahnya.
"Siapa yang kau maki...?" bentaknya.
Sejak kemunculan Han San sianseng di tengah gelanggang, rasa
takut yang semula menyelimuti benak Soat Hoa Nio Nio sudah jauh
berkurang, dalam perkiraannya dengan kemampuan yang dimiliki
kakek aneh itu rasanya masih cukup untuk digunakan menghadapi
Jago Pedang Berdarah Dingin.
Mendengar teguran itu, dengan wajah tak gentar ia tertawa dingin
dan menjawab :
940
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Hmmm! Aku sedang memaki dirimu, kenapa? Kau tidak
terima?"
Pek In Hoei benar-benar tak sanggup menahan diri lagi, dengan
langkah lebar dia maju ke depan, serunya :
"Nenek bangkotan yang sudah hampir modar, itu namanya kau
telah menggali liang kubur bagimu sendiri!"
"Sahabat!" dengan cepat Han San sianseng melayang maju ke
muka, "aku si orang tua ada persoalan yang hendak dibicarakan
dengan dirimu!"
"Urusan apa?"
Han San sianseng tidak menjawab, sambil mengangguk ketus
perlahan-lahan dia ulur tangan kirinya ke muka.
Pada lengan tersebut kecuali ibu jarinya yang masih utuh, keempat
buah jari tangan lainnya telah lenyap dan jelas-jelas telah
terpapas oleh senjata tajam, Pek In Hoei tercengang, ia tak tahu
maksudnya kakek tua itu memperlihatkan telapak kirinya itu kepada
dia, pelbagai ingatan dengan cepat berkelebat memenuhi benaknya, ia
sedang berpikir kenapa ke-empat buah jari manusia aneh itu sudah
terpapas dan siapa yang melakukannya?
"Tahukah kau bagaimana kejadiannya sehingga ke-empat buah
jari tanganku ini lenyap?" seru Han San sianseng dengan suara dingin.
"Oooh...! Mungkin kau sudah mencuri ayam atau anjing milik
orang lain, maka sang pemilik lantas memotong ke-empat jari
tanganmu itu sebagai ganjaran!" sindir Lu Kiat dari belakang.
"Bajingan cilik! Mulutmu kotor, rupanya kau sudah bosan
hidup," bentak Han San sianseng penuh kegusaran.
Ibaratnya sukma yang gentayangan di tengah angkasa, dengan
suatu gerakan yang amat cepat ia menerjang maju ke muka, telapak
tangannya diayun mengirim satu pukulan kilat.
Lu Kiat sama sekali tidak menyangka kalau dirinya secara
mendadak bisa diserang demikian hebat, dalam keadaan gugup tak
sempat lagi baginya untuk menghindarkan diri.
941
Saduran TJAN ID
"Blaam...! Dengan telak serangan tersebut bersarang di dadanya
membuat Lu Kiat mengerang kesakitan dan uak...! Dia muntah darah
segar, tubuhnya mundur tujuh langkah ke belakang dengan
sempoyongan.
"Kurang ajar, kau berani melukai toakoku," bentak Pek In Hoei
dengan wajah berubah hebat.
"Hmmm! Itulah ganjaran bagi mulutnya yang usil serta bicara
tidak karuan," ujar Han San sianseng dengan suara dingin ketus,
"selama hidup aku si orang tua paling benci kalau mendengar ada
orang suka mengaco belo tak karuan. Huuh! Siapa suruh dia bikin
gara-gara kepadaku? Kalau tidak diberi pelajaran dia pasti tak jera dan
semakin berani menghina diriku!"
Lu Kiat yang termakan sebuah gaplokan sehingga muntah darah,
dengan cepat mengatur pernapasannya dan berusaha menyembuhkan
luka baru itu, kemudian tubuhnya bergerak siap menerjang ke depan.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang berada di sisinya
dengan cepat menghadang jalan perginya.
"Toako!" ia berkata dengan suara rendah tapi bertenaga,
"hutangmu itu biarlah aku yang tagih kembali, beri kesempatan
padanya untuk menyelesaikan dahulu semua pembicaraannya setelah
itu baru kita coba kepandaian silatnya."
"Hmmm! Rupanya imanmu cukup tangguh juga," ejek Han San
sianseng sambil tertawa dingin.
"Tua bangka sialan!" tiba-tiba Soat Hoa Nio Nio berteriak gusar,
"kuundang kehadiranmu ke tempat ini bukan suruh kau
membicarakan kata-kata yang sama sekali tak ada gunanya itu, dua
orang bajingan muda itu sudah menganiaya diriku hingga jadi begini,
apa yang masih kau nantikan lagi?"
"Jangan ribu dulu, bagaimana pun aku toh mesti mempelajari
lebih dahulu bagaimanakah duduk perkara yang sebenarnya," bantah
Han San sianseng.
942
IMAM TANPA BAYANGAN II
Ia memandang sekejap ke arah tangan kirinya yang tinggal ibu
jari itu, lalu dengan wajah murung bercampur sedih tambahnya
kembali :
"Orang she Pek, coba lihat lengan kiriku ini!"
"Hmmm! Lengan kutung apa sih kebagusannya untuk dilihat?
Aku tak sudi untuk menikmatinya."
"Tahukah engkau apa sebabnya lenganku ini bisa berubah jadi
demikian rupa? Pek In Hoei! Sepanjang hidup aku si orang tua belum
pernah jatuh kecundang di tangan orang separah yang pernah kualami
ini dan justru aku telah jatuh kecundang di tangan ayahmu Pek Tiang
Hong, dialah yang telah menghadiahkan tangan macam begini
kepadaku."
Pek In Hoei Jago Pedang Berdarah Dingin tercengang mendengar
ucapan itu, ia tak menyangka kalau lengan kiri Han San sianseng jadi
kutung dan hancur macam begitu di tangan ayahnya, dengan wajah
penuh kebanggaan segera serunya :
"Siapa sih suruh kau tidak belajar ilmu silat secara bersungguhsungguh?
Kenapa setelah kalah menyalahkan orang."
Dengan penuh kebencian Han San sianseng tertawa terbahakbahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... sedikit pun tidak salah, anak muda!
Apa yang kau ucapkan memang sedikit pun tidak salah, meskipun
lengan kiriku sudah berubah jadi cacad tapi aku tak pernah punya
maksud membenci ayahmu, yang selama ini kupikirkan adalah
bagaimana caranya untuk mengembalikan gengsiku yang sudah
hancur total itu, sejak ayahmu binasa aku mengira tiada kesempatan
lagi bagiku untuk mencuci bersih namaku yang telah ternoda itu, siapa
tahu hari ini malaikat elmaut telah mengantarkan dirimu datang
kemari, inilah kesempatan yang paling baik bagiku untuk menuntut
balas. Hmm... hmm... Thian memang maha adil dan mengatur semua
orang dengan bijaksana selama hidup seorang manusia masih diberi
kesempatan."
943
Saduran TJAN ID
"Huuuh! Untuk menandingi ayahku saja kau tak mampu, mau apa
kau datang mencari aku? Pengin mengantar kematian dengan siasia?"
"Oh... jadi kau lebih ampuh daripada Pek Tiang Hong," seru Han
San sianseng dengan tercengang.
"Aku tidak maksudkan begitu," bantah Pek In Hoei sambil
menggeleng, "meskipun ketika belajar silat ayahku belajar lebih
dahulu, bagaimana pun sumbernya tetap satu, atau paling sedikit aku
sudah menguasai sebagian kecil dari ilmu pedang penghancur sang
surya serta ilmu silat partai Thiam cong lainnya, aku yakin bila
kepandaian itu kugunakan untuk menghadapi dirimu maka kau tak
akan mampu meloloskan diri."
"Hmmm!" Han San sianseng mendengus berat, "kau terlalu
pandang rendah diriku, selama banyak tahun aku telah mempelajari
kembali ilmu silatku dengan rajin dan tekun, aku yakin kepandaian
yang kumiliki saat ini jauh lebih ampuh daripada kepandaian yang
dimiliki ayahmu, Han San sianseng yang sekarang jauh berbeda
dengan Han San sianseng tempo dulu, orang muda janganlah salah
melihat orang."
Pek In Hoei tertawa hambar mendengar perkataan itu.
"hh yang dahulu belum pernah kutemui, dan Han San sianseng
yang sekarang telah kujumpai sendiri, kalau dilihat tampangmu itu
aku percaya sekali pun bertambah lihay juga tak akan seampuh seperti
apa yang kau lukiskan."
"Bajingan cilik, kau pengin modar!" bentak Han San sianseng
gusar.
Jago tua yang berwajah aneh itu betul-betul sudah naik darah dan
diliputi oleh napsu angkara murka yang sukar dikendalikan lagi, hawa
membunuh meliputi seluruh wajahnya dengan hati mendongkol ia
berteriak keras, sambil bergerak maju ke depan pedang yang tersoren
di pinggang segera dicabut keluar.
944
IMAM TANPA BAYANGAN II
Cahaya tajam berkilauan, dari ujung pedang itu segera
terpancarlah cahaya dingin yang menggidikkan hati.
"Orang muda!" teriaknya keras, "dendam lama dan dendam baru
telah bertumpuk-tumpuk, sudah tiba waktunya bagi kita untuk
membuat perhitungan dan menyelesaikan semua hutang piutang
tersebut, aku yakin nama besarku Han San sianseng tidak akan terpaut
jauh dengan julukanmu sebagai Jago Pedang Berdarah Dingin."
Dengan angkuh dan jumawa Jago Pedang Berdarah Dingin Pek
In Hoei mendengus dingin, ia melirik sekejap ke arah kakek tua itu
dengan pandangan menghina sementara sorot mata yang tajam
menyorot keluar seolah-olah dua batang pisau belati yang sedang
mencari mangsa.
Han San sianseng terkesiap, tanpa sadar ia mundur dua langkah
ke belakang dengan hati merinding.
"Waah... hubungan ini benar-benar hubungan yang luar biasa,"
jengek Pek In Hoei sinis, "tak pernah kusangka kalau kau Han San
sianseng bisa memandang tinggi aku Jago Pedang Berdarah Dingin,
memandang di atas sikapmu ini sudah sepantasnya kalau kuucapkan
banyak-banyak terima kasih kepadamu."
Nama besar Han San sianseng bagaikan pula raut mukanya yang
masam, selalu murung dan loyo seakan-akan ada orang yang
berhutang berjuta tahil perak kepadanya, tak sehari pun nampak cerah
atau gembira.
Sepasang alisnya yang tebal selalu mengerut jadi satu, dengusan
dingin diperdengarkan berulang kali, sementara sorot matanya yang
memancarkan kebencian menatap di atas pemuda sombong itu tanpa
berkedip.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " ia tertawa seram, sambil
membasahi bibirnya yang kering ia berkata, "untuk mengikat tali
persahabatan harus dinilai dari kedua belah pihak, meninjau dari
kemampuanmu untuk memusnahkan lengan si nenek tua itu, aku
yakin kau adalah sahabat karib yang boleh dijalin, cuma, hmm...
945
Saduran TJAN ID
hmmm... aku rasa nasibku tidak sebaik itu untuk mengaku kakak
beradik dengan dirimu."
Dengan lirikan yang tidak sengaja ia memandang sekejap ke arah
Soat Hoa Nio Nio, nampaklah air muka nenek tua itu meski masih
diliputi kesedihan namun di balik wajahnya yang pucat terlintas pula
rasa girang, agaknya ia merasa girang karena Han San sianseng telah
turun tangan membalaskan sakit hatinya.
"Han San sianseng jiwamu sejak tadi sudah melayang," seru Pek
In Hoei sambil tertawa rawan, "inilah kesempatan terakhir yang
kuberikan kepadamu, jika kau ngotot menantang aku berkelahi maka
aku yakin bukan saja lenganmu yang lain akan kutung bahkan
sepasang kaki anjingmu itu pun bisa lenyap tak berbekas."
"Bajingan, kau berani sebut namaku seenak udelmu sendiri!"
bentak kakek itu marah.
"Apa sih bagusnya namamu?" kata Pek In Hoei, "kalau kau takut
namamu disebut orang, lebih baik ganti saja namamu Han-san jadi
Han suan si kecut."
"Kau berani menghinaku?" teriak Han San sianseng sambil
menggetarkan pedang.
"Siapa yang bilang aku kurang ajar? Aku berbicara menurut
kenyataan yang berada di depan mata, aku rasa tindakanku ini tidak
terlalu kelewat batas."
Saat ini Han San sianseng benar-benar sudah tak dapat menahan
sabar lagi, teriaknya keras-keras:
"Cabut pedangmu, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di
ujung senjata."
"Untuk membunuh seekor anjing budukan macam engkau, aku
tidak ingin mengotori pedang pusakaku dengan darah anjingmu itu!"
Perkataan ini sangat menghina dan terlalu menusuk perasaan Han
San sianseng, hampir saja kakek tua itu muntah darah saking gusar
dan mendongkolnya, dia mencak-mencak dan ayun pedangnya ke
depan :
946
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Kentut busuk... kentut busuk... kau berani membandingbandingkan
aku dengan seekor anjing budukan... kau bangsat cilik...
anak jadah, mulutmu terlalu dekil..." jeritnya.
"Huhh! Sebutan itu sudah cukup menghormati dirimu,
mengerti?" ujar Pek In Hoei sinis, "atau kau ingin mendengar sebutan
yang lebih tak enak didengar lagi? Han San sianseng, apakah kau
ingin mendengar lebih lanjut?"
Han San sianseng tak bisa mengendalikan emosi dan hawa
amarahnya lagi, ingin sekali dia bekuk batang leher pemuda itu serta
memberi ganjaran yang setimpal kepadanya, tetapi melihat Jago
Pedang Berdarah Dingin tidak turun tangan juga, ia merasa tidak
leluasa untuk turun lebih dahulu.
Maka dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk memaksa lawan
turun tangan lebih dahulu, agar dia tidak kehilangan gengsinya
sebagai angkatan yang lebih tua.
"Kau tak usah pentang bacot anjingmu lagi," teriaknya marah,
"kalau punya kepandaian ayoh rentangkan keluar semua."
Pek In Hoei merasa sudah cukup waktunya untuk
mempermainkan musuhnya ini, jika ejekannya diteruskan lebih jauh
ia kuatir akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan, maka ia
maju selangkah ke depan dan pedang sakti penghancur sang surya
perlahan-lahan dicabut keluar.
Kilatan cahaya tajam berhamburan di angkasa, setelah pedang
mestika itu dicabut keluar, semua orang yang hadir dalam kalangan
berdiri tertegun, dengan pandangan bergidik sorot mata mereka samasama
ditujukan ke atas senjata mestika itu.
"Aaah...! Pedang mestika penghancur sang surya..." bisik Han
San sianseng dengan suara gemetar, "sungguh tak kunyana senjata
mestika ini telah terjatuh ke tanganmu."
Selapis hawa dingin terlintas di atas wajah Pek In Hoei, katanya
dengan suara yang dingin :
947
Saduran TJAN ID
"Pedang sakti partai Thiam cong diturunkan kepadaku, apa sih
yang patut kalian kagetkan? Hmmm... manusia goblok!"
"Pedang itu tajamnya luar biasa dan terkenal keganasannya, bila
sampai terjatuh ke tanganmu maka keadaannya bukankah ibarat
harimau tumbuh sayap?... kebetulan sekali sejak kecil aku si orang tua
memang gemar akan senjata mestika... Hmmm... Hmmm... siapa tahu
kalau ini hari aku bakal mendapatkan pula benda itu..."
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei memandang sekejap
pedang mestika penghancur sang surya-nya, kemudian berkata :
"Asal kau merasa punya kepandaian, setiap saat pedang ini boleh
kau ambil pergi!"
"Hmmm... hmmm... " Han San sianseng mendengus dingin,
pedang panjangnya perlahan-lahan diangkat menuding langit,
sesudah tarik napas panjang hawa murninya segera dihimpun dan
disalurkan ke ujung senjata tersebut, serunya dengan nada dingin :
"Baiklah, sudah waktunya bagi kita untuk turun tangan!"
"Hmm! Sedikit pun tidak salah, kau harus berhati-hati melayani
permainan pedangku ini."
Dengan suatu gerakan yang enteng dan seenaknya sendiri pedang
mestika itu didorong ke muka, begitu biasa gerakan itu sehingga
seorang bocah pun dapat melakukannya.
Dorongan pedang itu enteng dan biasa, sama sekali tidak terdapat
perubahan apa pun, tetapi dengan wajah serius Han San sianseng
mundur dua langkah ke belakang.
Setelah mendorong pedangnya ke muka Pek In Hoei tarik
kembali senjatanya dan mundur ke belakang, hal ini membuat Han
San sianseng jadi tertegun da tak habis mengerti, dia tak tahu apa
maksud dan tujuan pihak lawan melakukan tindakan itu.
"Masa jurus seranganmu itu sama sekali tiada perubahan apa
pun??" akhirnya dia menegur.
"Hmm! Kau masih menginginkan perubahan apa? Kau sudah
kalah... ngerti...?" jawab pemuda itu dingin.
948
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Omong kosong," bentak Han San sianseng gusar, "sekali pun
aku si orang tua tidak becus, untuk menghindarkan diri dari serangan
pedangmu itu aku yakin masih mampu... pandai benar kau bangsat
cilik bicara bohong... padahal dalam kenyataan kelihayan apa pun
tidak dimiliki."
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Anjing budukan yang tak punya mata, sungguh memalukan
sekali kau hidup sebagai seorang jagoan lihay... kalau cuma
perubahan jurus ini pun tak mampu kau ketahui, lebih baik pulang
gunung menyembunyikan diri saja... aku menyesal telah menilai
dirimu terlalu tinggi."
Dia tarik napas panjang-panjang, ujarnya kembali :
"Kalau tidak percaya, apa salahnya kalau tundukkan kepalamu
dan coba periksa kancing nomor dua di atas dadamu itu, jika
kugunakan tenaga yang lebih besar paling sedikit di atas dadamu itu
kini sudah bertambah lagi dengan sebuah lubang besar."
Han San sianseng melengak, rasa sangsi dan tidak percaya
terlintas di atas wajahnya, tetapi setelah menyaksikan raut wajah Pek
In Hoei yang serius dan sama sekali tidak main-main, tanpa sadar ia
segera tundukkan kepalanya dan memandang ke arah kancing nomor
dua di atas dadanya.
Kalau tidak diperiksa keadaan mungkin masih mendingan,
setelah ditundukkan kepalanya peluh dingin seketika mengucur
keluar membasahi seluruh tubuhnya, kancing bulat yang terbuat dari
kain itu entah sejak kapan telah terbelah jadi dua bagian, bekas
tebasannya rata seperti dibacok senjata tajam.
Han San sianseng benar-benar merasakan hatinya tercekat,
dengan wajah berubah hebat pikirnya :
"Kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sama
sekali tak terduga olehku, tak nyana tusukan pedang yang nampak
begitu sederhana dan biasa sebetulnya mengandung tenaga perusak
yang maha dahsyat, wah... aku Han San sianseng benar-benar sudah
949
Saduran TJAN ID
jatuh kecundang dalam keadaan yang mengenaskan sekali,
seandainya berita ini sampai tersiar di tempat luaran apa yang mesti
kukatakan untuk memberi penjelasan kepada mereka..."
Dengan perasaan marah karena malu terhina, kakek tua itu
tertawa seram, seluruh rambut dan jenggotnya berdiri tegak bagaikan
landak, napsu membunuh yang menyelimuti wajahnya makin tebal,
teriaknya setengah menjerit :
"Bajingan cilik... bajingan cilik... kau benar-benar sudah
menghina diriku..."
Sang pedang digetarkan di tengah udara menciptakan sekilas
cahaya pedang yang menyilaukan mata, tusukan itu tepat dan enteng
sekali... dengan hawa serangan yang tajam dan dingin ia ancam tiga
tempat penting di tubuh pemuda she Pek itu.
Diam-diam Jago Pedang Berdarah Dingin terkesiap juga
menyaksikan kelihayan lawannya, dia tahu dirinya pada hari ini sudah
berjumpa dengan musuh tangguh yang belum pernah dijumpainya
selama ini, dengan hati tercekat dia putar pedang menyongsong
datangnya ancaman tersebut, pikirnya :
"Sungguh tak nyana ilmu silat yang dimiliki kakek tua aneh ini
sedemikian lihaynya sehingga sama sekali berada di luar dugaan,
tidak aneh kalau Soat Hoa Nio Nio begitu mempercayai akan
kemampuannya, ternyata dia memang benar-benar punya isi."
Seluruh perhatiannya segera dipusatkan pada ujung pedang,
kilatan cahaya berkelebat dan senjata itu segera meluncur ke muka
menyongsong datangnya ancaman lawan.
Tiiing... traaang... tiiing... traaaang... bentrokan nyaring
berdesing tiada hentinya, ke-dua belah pihak segera saling berpisah
satu sama lainnya dan mundur ke belakang.
Sepasang mata Han San sianseng terbelalak lebar bagaikan
sepasang gundu, ia mengawasi tubuh si anak muda itu tanpa berkedip,
sorot matanya penuh mengandung perasaan jeri dan ngeri, dan
perasaan tersebut hampir saja memadamkan kobaran api amarahnya.
950
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Bagaimana?" ejek Jago Pedang Berdarah Dingin dengan nada
ketus, "Han San sianseng, kalau sekarang kau ingin enyah dari sini
masih belum terlambat."
"Telur busuk makmu... " maki Han San sianseng dengan wajah
berubah hebat, "selama hidup aku si orang tua belum pernah tunduk
kepala terhadap siapa pun juga, masa terhadap kau si anak jadah liar
pun harus tunduk kepala dan menyerah kalah? Hmmm... kau tak usah
bermimpi di siang hari bolong."
"Han-san!" bentak Pek In Hoei dengan wajah berubah, "tahukah
engkau, ucapan kasar yang barusan kau utarakan bisa mengorbankan
selembar jiwa anjingmu."
"Haaaah... haaaah... haaaah... " Han San sianseng menyeringai
dan tertawa seram, "anak jadah murahan, kalau kau memang merasa
punya kemampuan ayoh tunjukkan semua, aku si orang tua yakin
masih sanggup untuk menghadapinya, sejak semula aku memang
sudah tidak maui lagi jiwa tuaku ini, asal kau sudi memberikan hadiah
kepadaku, maka jiwa tuaku ini segera akan kuserahkan kepadamu."
Mendengar dirinya berulang kali dimaki 'anak jadah murahan'
oleh kakek tua itu, kobaran api amarah yang bergelora dalam dada
Jago Pedang Berdarah Dingin sukar dibendung lagi, ia tertawa dingin
dan pedangnya segera digertakkan keras-keras.
"Tua bangka yang bosan hidup, terlalu banyak yang sudah kau
katakan... mulut baumu itu sudah tiba waktunya untuk beristirahat,
sejak kini mulutmu itu tak akan bisa buka suara lagi... kau tak akan
mampu menyaksikan lagi betapa indahnya sang surya yang terbit di
pagi hari..."
Tiba-tiba pedangnya meluncur ke depan dan membentuk gerakan
satu lingkaran busur di tengah udara, ketika bayangan lingkaran tadi
belum lenyap segulung hawa pedang telah memancar keluar.
Han San sianseng tertegun, ia tak mengira kalau ilmu pedang
yang dimiliki pihak lawan sangat lihay, sudah banyak tahun dia
951
Saduran TJAN ID
berlatih pedang tetapi saat ini dia jadi kebingungan dan tak bisa
menebak arah mana yang sedang terancam oleh serangan itu.
Hatinya tercekat, dan untuk beberapa saat lamanya dia hanya
berdiri mendelong belaka sambil memandang ke arah depan.
Tindakannya yang bodoh dan seolah-olah kehilangan semangat
ini sangat menguatirkan para jago yang hadir di sisi kalangan, mereka
tak tahu apa sebabnya tiba-tiba jago tua itu bisa berubah jadi goblok
dan tololnya.
"Han-san! Ayoh cepat menghindar," jerit Soat Hoa Nio Nio
dengan badan gemetar keras.
Seluruh perhatian dan pikiran Han San sianseng pada saat itu
sudah dicurahkan semua pada ujung senjata lawan, benaknya berputar
memikirkan perubahan aneh yang dipergunakan lawannya, boleh
dibilang ketika itu dia sudah lupa untuk menghindarkan diri.
Jeritan keras dari Soat Hoa Nio Nio segera menyadarkan kembali
dirinya dari lamunan, ia pentang matanya lebar-lebar dan memandang
apa yang sebetulnya telah terjadi.
Peluh dingin mengalir membasahi seluruh tubuhnya, diam-diam
jeritnya di dalam hati :
"Aduuuh mak, sudah habis riwayatku," pada detik yang sangat
kritis dan terancam oleh mara bahaya itulah, tubuhnya buru-buru
dilemparkan ke samping, pedangnya ditegangkan kencang-kencang
bagaikan sebatang pit langsung menotok ke muka.
Triiing...! percikan bunga api berlompatan di udara, walaupun
hanya terjadi benturan perlahan tetapi suara yang berdengung di
angkasa amat memekakkan telinga.
Laksana kilat sorot mata Han San sianseng melirik sekejap ke
ujung pedang kesayangannya, dia lihat senjata itu gumpil sedikit
termakan oleh bacokan lawan, hatinya terasa sakit seolah-olah
tubuhnya tertusuk telak, perasaan sedih yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata menyelimuti wajahnya, dia tahu andaikata kepandaian silat
tidak lihay, tak mungkin akan ditemui kesempatan yang demikian
952
IMAM TANPA BAYANGAN II
baiknya untuk menghindarkan diri dari serangan lawan yang begitu
mantap dan ampuh, dan seandainya Soat Hoa Nio Nio tidak menjerit
sehingga menyadarkan dirinya dari lamunan, bukan saja ujung
pedangnya bakal gumpil bahkan kemungkinan besar tubuhnya bakal
menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"Aku akan beradu jiwa dengan dirimu...1" jeritnya dengan
setengah berteriak.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Hmmm...! Kau mampu meloloskan diri dari tusukan maut itu,
hal tersebut menandakan kalau nasibmu masih mujur... andaikata
gerakan pedangku tadi kumiringkan sedikit saja ke samping maka aku
percaya batok kepalamu yang besar itu sudah terbelah jadi dua
bagian."
Sejak pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan belum pernah
Han San sianseng menderita kekalahan total seperti apa yang
dialaminya hari ini, dia merasa dirinya sudah kehilangan muka,
gengsinya jatuh tak mungkin lagi baginya untuk hidup lebih jauh
dalam Benteng Kiam-poo, timbullah keinginannya untuk beradu jiwa
dengan Jago Pedang Berdarah Dingin, atau paling sedikit dia akan
membinasakan lawannya agar dapat memberikan pertanggungan
jawab di hadapan poocu nanti...
Ia menyeringai seram dan tertawa keras, jeritnya :
"Kentut busuk... kau anggap aku si orang tua adalah manusia tolol
yang bisa kau tipu seenaknya."
"Hmmm! Kalau memang kau tidak percaya, lihatlah seranganku
yang ini."
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, mendadak ia
menerjang maju ke depan, pedang mestika penghancur sang surya
berputar satu lingkaran di tengah udara dan langsung meluncur ke
depan mengancam tujuh buah jalan darah terpenting di tubuh Han San
sianseng.
953
Saduran TJAN ID
Serangan pedangnya kali ini jauh lebih aneh lagi, bahkan sama
sekali berada di luar dugaan orang terutama sekali ke-tujuh titik
cahaya dingin yang terpancar di tengah udara, sepintas lalu kelihatan
seperti tujuh buah senjata rahasia yang secara berbareng meluncur ke
depan membuat orang sukar untuk menduga arah mana yang
sebenarnya dituju oleh serangan itu.
Bukan saja ganas serangannya, jurus itu pun kelihatan aneh dan
jarang ditemui di kolong langit.
Han San sianseng si jago tua yang sudah banyak pengalaman
dalam dunia persilatan, saat ini hanya bisa berdiri melongo belaka, dia
tak tahu serangan pedang yang dilancarkan pemuda itu bakal
mengancam bagian mana dari tubuhnya.
"Aaah... tujuh bintang pemusing kepala..." bisiknya dengan suara
lirih.
"Aduuuh mak..." ia berteriak keras dan berusaha loncat mundur
ke belakang, di tengah kepungan tujuh bintang pemusing kepala di
sadar bahwa tak mungkin lagi baginya untuk menghindarkan diri,
sambil menggertak gigi pedang di tangan kanannya sekuat tenaga
segera dibabat ke depan.
"Aduuuh...!" bacokan sekuat tenaga yang dilakukan olehnya ini
sama sekali tidak berhasil menyelamatkan jiwanya, satu tusukan di
antara tujuh bintang pemusing kepala akhirnya bersarang di tempat
pentingnya... dengan kesakitan dia menjerit lengking, tubuhnya yang
tinggi besar bagaikan pagoda roboh ke atas tanah disertai benturan
yang keras.
Darah segar memancar keluar lewat mulut lukanya di atas
pinggang dan membasahi seluruh tubuhnya, ia mengerang dan
pedangnya terlepas dari genggaman, dengan pandangan putus asa ia
melirik sekejap ke arah Pek In Hoei.
"Oooh...! Han-san..." jerit Soat Hoa Nio Nio sambil menerjang
maju ke depan, dia lupa akan rasa sakit yang menyerang tubuhnya,
sambil menubruk di atas tubuh Han San sianseng serunya :
954
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Oooh... Han-san, aku tidak sepantasnya suruh kau datang
kemari... oooh Han-san akulah yang mengakibatkan kau begini."
"Kenapa?" kata Han San sianseng sambil tertawa getir, "apakah
kau merasa sedih karena aku hampir mati? Hmmm... Hmmm... nenek
tua, kau keliru besar... aku sama sekali tidak sedih karena kematianku
ini, karena aku dapat mati di hadapanmu."
"Tidak! Kau tak boleh mati," jerit Soat Hoa Nio Nio sambil
menangis terisak.
Dengan penuh kesakitan Han San sianseng tertawa.
"Nenek tua!" ujarnya kembali, "soal mati bagi kita yang sudah
berusia lanjut hanya menunggu waktu belaka, sekarang atau besok
akhirnya kita bakal mati juga... siapa pun tak bakal bisa meloloskan
diri dari kejadian tersebut, kenapa kau mesti bersedih hati karena
kematianku ini?"
Dengan napas berat dan terengah-engah terusnya :
"Sebelum aku menghembuskan napas yang penghabisan, terlebih
dahulu aku ingin mendengarkan sepatah katamu."
"Perkataan apa?" tanya Soat Hoa Nio Nio tertegun, "asal kau suka
mendengarkan, sekali pun seribu kali juga akan kukatakan!"
"Aku rasa apa yang ingin kudengar sudah kau ketahui pula di
dalam hati, perkataan itu sudah dua puluh tahun lamanya terpendam
dalam hati kecil kita masing-masing!"
"Baik... baiklah..." tiba-tiba Soat Hoa Nio Nio berteriak lantang,
"Han-san, rupanya kau masih belum melupakan cinta kasih kita di
masa masih muda dahulu... aku akan mengatakannya kepadamu... aku
akan mengatakannya seribu kali... aku cinta padamu..."
Pandangan sorot sinar mata Han San sianseng berkilat, wajahnya
nampak jauh lebih segar setelah mendengar perkataan itu, ia dorong
Soat Hoa Nio Nio ke samping dan ujarnya :
"Cukup... sudah cukup, sekarang kau boleh menyingkir lebih
dahulu ke samping, aku masih ada perkataan yang hendak
disampaikan kepada pemuda yang telah membunuh diriku itu."
955
Saduran TJAN ID
Soat Hoa Nio Nio tertegun, dengan mulut membungkam ia segera
mengundurkan diri tujuh delapan langkah ke belakang.
"Hey orang muda1" kakek tua aneh itu berseru sambil menuding
ke arah Pek In Hoei, "aku sama sekali tidak membenci atau
mendendam kepadamu karena kau berhasil membinasakan diriku,
aku hanya merasa heran dari mana kau bisa latih ilmu pedangmu itu
sehingga mencapai tingkat sedemikian hebatnya, tahukah engkau
bahwa di kolong langit belum pernah ada orang yang mampu
menyelami ilmu pedang hingga mencapai tingkat seperti itu."
Entah karena rasa sakit yang sukar ditahan atau dia memang
sengaja menghentikan perkataannya, tiba-tiba kakek tua itu
membungkam dan memandang ke arah pemuda tersebut dengan sorot
mata sayu.
Dalam kenyataan jurus serangan aneh yang dipergunakan oleh
Pek In Hoei barusan sama sekali tidak dikenal olehnya sendiri
sebelum kejadian itu, jurus aneh tadi diyakini olehnya tanpa sadar
pada detik itu juga, dan pemuda itu tak pernah menyangka kalau jurus
aneh yang berhasil diciptakan olehnya tanpa sengaja itu
mendatangkan kekuatan yang demikian hebat dan dahsyatnya.
Perlahan-lahan dia simpan kembali pedang mestika penghancur
sang surya-nya ke dalam sarung, lalu gelengkan kepala.
"Aku sendiri pun tak tahu, jurus itu kuciptakan tanpa sengaja..."
"Diciptakan tanpa sengaja..." seru Han San sianseng tidak
percaya.
"Sedikit pun tidak salah, aku sama sekali tak pernah menduga
kalau gerakan pedangku bisa menciptakan gerakan aneh seperti itu!"
Air muka Han San sianseng berubah hebat, tiba-tiba ia berteriak
keras :
"Omong kosong, tujuh bintang pemusing kepala adalah
keampuhan yang tak terlukiskan dalam ilmu pedang, setiap orang
yang berlatih pedang selalu peras otak dan berusaha keras untuk
mencapai tingkatan seperti itu... hmm, kalau dikatakan kau bisa
956
IMAM TANPA BAYANGAN II
meyakini tanpa bimbingan guru pandai, mungkin hanya setan yang
mempercayai ucapan itu... masa terhadap seseorang yang sudah
hampir mendekati ajalnya kau masih menipu."
"Terhadap dirimu kenapa aku mesti berbohong? Mau percaya
atau tidak terserah pada dirimu sendiri," tukas Pek In Hoei dengan
nada suara ketus dan dingin.
"Poocu tiba!" mendadak dari luar hutan berkumandang datang
suara teriakan keras.
Cui Kiam Beng terkesiap dan ketakutan, air mukanya berubah
jadi pucat pias bagaikan mayat, dengan cepat dia lari ke belakang Soat
Hoa Nio Nio dan dari situ mengintip ke arah ayahnya dengan penuh
ketakutan.
Soat Hoa Nio Nio sendiri kelihatan agak rikuh sendiri, ia berdiri
dengan senyuman getir menghiasi ujung bibirnya.
Dengan langkah lebar Cui Tek Li ketua dari Benteng Kiam-poo
munculkan diri dari balik hutan, ia melotot sekejap ke arah pria yang
berseru tadi dengan wajah tak senang hati, jelas ketua dari Benteng
Kiam-poo ini sudah tiba di situ beberapa waktu lamanya, semua
perubahan yang terjadi dalam kalangan telah diketahuinya, hanya ia
tidak menyangka kalau kehadirannya di tempat itu akhirnya ketahuan
juga.
Cui Tek Li melirik sekejap ke arah Han San sianseng dengan
pandangan hambar, kemudian ujarnya :
"Dia sama sekali tidak membohongi dirimu, dan sekarang kau
boleh mempercayai perkataannya!"
"Oooh... jadi Poocu sudah mengetahuinya sedari tadi?" tanya
Han San sianseng dengan tubuh gemetar keras.
"Ehmm, sejak permulaan hingga pada akhirnya telah kusaksikan
dengan jelas kesemuanya ini tidak lain adalah akibat dari ketololanmu
sendiri, sejak Jago Pedang Berdarah Dingin melancarkan serangan
untuk pertama kalinya tadi, semestinya kau harus tahu diri dan segera
mengundurkan diri..."
957
Saduran TJAN ID
"Poocu, kalau memang kau sudah mengetahui kesemuanya itu
dengan jelas kenapa tidak kau peringatkan diriku sejak tadi??" omel
Han San sianseng dengan suara gemetar.
Cui Tek Li mendengus dingin.
"Hmm! Kenapa aku mesti memberi peringatan kepadamu? Siapa
suruh kau tak dapat melihatnya sendiri!"
Sementara itu darah segar yang mengucur keluar dari mulut luka
Han San sianseng kian lama kian bertambah banyak, air mukanya
yang pucat kini semakin mengerikan, dia menghembuskan napas
panjang dan melotot sekejap ke arah poocunya dengan pandangan
mendendam.
"Hmmm! Kau benar-benar tidak bersahabat..." serunya.
"Benarkah kau mempunyai perasaan seperti itu??" seru Cui Tek
Li sambil tertawa hambar, "mungkin sekali ketika mendekati ajalnya
kau Han San sianseng telah mempunyai suatu perasaan yang salah...
masih ingatkah dengan peristiwa yang terjadi di gunung Hoa-san?
Bukankah kau pernah pula menunjukkan sikap semacam ini? Seorang
pria yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan dirimu, ketika
mendekati ajalnya dia memohon kepadamu agar mau menguburkan
jenazahnya, tetapi kau... bukan saja tidak mempedulikan dirinya
bahkan malah tertawa terbahak-bahak... bagaimanakah penjelasanmu
tentang peristiwa itu??"
"Keadaan waktu itu jauh berbeda dengan keadaan sekarang,
waktu itu musuh tangguh datang dari empat penjuru dan aku sama
sekali tidak punya waktu untuk mengurusi dirinya lagi, seandainya
kau yang berada dalam keadaan seperti itu maka kau pun akan
bersikap demikian pula terhadap dirinya... hal ini tak bisa salahkan
diriku."
"Alasanmu itu masih boleh dianggap masuk di akal," kata Cui
Tek Li kembali dengan suara dingin, "tetapi bagaimana pula
penjelasanmu dengan gelak tertawa yang kau perdengarkan sesaat ajal
958
IMAM TANPA BAYANGAN II
menimpa sahabatmu itu? Han-san... aku ingin sekali membicarakan
benar atau tidaknya perbuatanmu itu sebelum ajal menimpa dirimu!"
Han San sianseng mengeluh kesakitan, keringat sebesar kacang
kedelai mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, dengan
pandangan ketakutan bercampur ngeri dia tatap wajah poocu dari
Benteng Kiam-poo itu, suatu sikap yang aneh dan sukar dilukiskan
dengan kata-kata terlintas di atas wajahnya.
Beberapa saat kemudian, kembali dia mengepos tenaga dan
berkata dengan suara gemetar :
"Tahukah kau pada saat itu aku merasa amat sedih karena
kematian seorang sahabat karib, di samping itu aku pun amat
membenci atas kekejian dari pihak musuh yang mendesak terus
menerus, karena tak bisa menguasai diri aku lantas tertawa keras
untuk melampiaskan semua rasa sedih, mendongkol serta gusar yang
bercampur aduk dalam benakku. Poocu! Kau tokh seorang manusia
cerdik, kau tentu bisa memahami kesalahpahaman yang terjadi ketika
itu."
"Hmmm! Pandai sekali kau mungkir dan membantah kenyataan
tersebut," dengus poocu dari Benteng Kiam-poo dengan suara berat,
"sayang sekali aku sudah mengetahui jelas bagaimanakah perangai
serta tabiatmu yang sebenarnya, benarkah kau melakukan hal itu
seperti yang kau ucapkan barusan, dalam hati kita masing-masing
tahu dengan perhitungan sendiri!"
"Poocu!" jerit Han San sianseng dengan badan gemetar dingin.
"Hmmm! Bukankah kau mendendam terhadap Ko lo-sam karena
dia berhasil merebut janda she I ? Bukankah karena peristiwa itu maka
setiap saat kau bermaksud membinasakan Ko lo-sam? Kebetulan
sekali kalian telah bertemu dengan peristiwa di gunung Hoa-san,
maka kau lantas membalas sakit hatimu itu dengan memberikan
siksaan batik yang tak terhingga baginya sesaat sebelum jiwanya
melayang..."
"Kau... kau menuduh aku yang membunuh Ko Lo-sam?"
959
Saduran TJAN ID
"Sedikit pun tidak salah!" tukas poocu dari Benteng Kiam-poo
dengan suara ketus, "dan selama ini aku selalu mencurigai dirimu!"
Sekujur badan Han San sianseng gemetar keras.
"Poocu!" serunya, "sekarang aku sudah hampir mati... masa aku
membohongi dirimu..."
"Hmmm!" Apa tidak mungkin kau berbuat begitu?" bentak Cui
Tek Li dengan gusar, "Bukankah terang-terangan kau tahu kalau aku
memiliki resep obat mujarab yang bisa menolong jiwanya dari
ancaman maut? Dan kau tahu obat itu bisa menyambung sisa hidupmu
itu? Hmmm... aku tahu bahwa kau sengaja bersikap demikian agar
aku menaruh simpatik terhadap dirimu dan menyelamatkan jiwamu...
Han-san! Perhitunganmu ini keliru besar, aku lebih suka menyaksikan
kau mengerang kesakitan sambil menghadapi maut yang datang
mencabut jiwamu daripada memberi obat mujarab kepadamu untuk
menolong kau manusia rendah yang terkutuk..."
"Poocu, aku benci kepadamu... aku ingin sekali membinasakan
dirimu dengan cara yang paling keji..." jerit Han San sianseng penuh
perasaan dendam.
Karena marah dan berteriak penuh tenaga, mulut luka di atas
pinggangnya merekah semakin besar, darah cair segera mengalir
keluar dari mulut luka tersebut, wajah Han San sianseng semakin
pucat dan napasnya tersengkal-sengkal.
Ia berpaling ke arah Soat Hoa Nio Nio dan serunya dengan suara
gemetar :
"Nenek tua, kau..."
Ucapan terakhir ditarik panjang sekali dan selamanya tak
mungkin tersambung lagi, dia menjerit lengking dengan suara yang
menyayatkan hati... setelah berkelejot sebentar melayanglah selembar
jiwanya meninggalkan badan kasar.
"Kau... kau telah mati..." bisik Soat Hoa Nio Nio dengan bibir
pucat tak berdarah.
960
IMAM TANPA BAYANGAN II
Tak bisa ditahan lagi ia menangis menjerit-jerit, suara
tangisannya melengking bagaikan jeritan kuntilanak membuat siapa
pun yang mendengar merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Dengan rambut berdiri kaku bagaikan landak, dia melotot sekejap
ke arah Cui Tek Li pemilik Benteng Kiam-poo dengan pandangan
penuh perasaan benci dan dendam, lalu serunya :
"Kau... kau telah memaksa dia mati!"
"Hmmm... sekali pun mati juga tak ada nilainya, biarkanlah dia
mati..." ejek Cui Tek Li sinis.
"Hmmm! Sebenarnya dia tak akan mati, kaulah yang tak mau
menyelamatkan jiwanya... kalau kau bersedia memberi obat mujarab
kepadanya luka yang kecil itu tentu akan sembuh kembali... bukannya
menolong kau malah memanaskan hatinya dengan ucapan yang tak
karuan... kaulah yang memaksa dia mati konyol..."
961
Saduran TJAN ID
Jilid 39
CUI TEK LI kontan tertawa dingin, "rupanya kau merasa tidak puas
dengan perbuatanku ini... tidak terima?" serunya.
"Tentu saja!" jawab Soat Hoa Nio Nio sambil tertawa dingin pula,
"meskipun aku belum kawin secara resmi dengan dirinya, tetapi
paling sedikit adalah kekasihku sejak muda, kau mencelakai dirinya
sama halnya dengan mencelakai diriku sendiri, tentu saja aku tidak
puas dan tidak terima atas perbuatanmu itu."
Sorot mata tajam berkilat di antara kelopak mata pemilik Benteng
Kiam-poo, katanya kemudian :
"Jika kau ingin balaskan dendam bagi kematiannya, sekarang
juga kau boleh turun tangan!"
Tetapi Soat Hoa Nio Nio dengan cepat menggeleng :
"Dugaanmu itu keliru besar Poocu, bagaimana pun juga kau
adalah majikanku, sekali pun majikan telah berbuat kesalahan aku
yang menjadi bawahannya tentu saja tidak berani berbuat apa-apa,
aku harap poocu suka memandang di atas jawa Han San sianseng
selama banyak tahun yang telah mengikuti dan setia padamu,
ijinkanlah padaku untuk mendirikan sebuah kuburan yang bagus
baginya."
"Baik!" jawab pemilik Benteng Kiam-poo dengan nada ketus,
"keadaan ini lebih bagus entah berapa kali dari keadaan dari Ko lo-te
di masa silam."
"Terima kasih atas budi kebaikan dari poocu!" ujar Soat Hoa Nio
Nio dengan air mata bercucuran.
962
IMAM TANPA BAYANGAN II
Perlahan-lahan ia menyeka air mata yang mengembang dalam
kelopak matanya, lalu melotot sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah
Dingin dengan pandangan penuh kebencian setelah membopong
badan Han San sianseng bersama Cui Kiam Beng ia berlalu dari situ.
Sepeninggalnya ke-dua orang tadi, pemilik Benteng Kiam-poo
alihkan sorot matanya ke wajah Pek In Hoei, tegurnya :
"Besar amat nyalimu hey anak muda, tak kusangka kau berani
membunuh orangku dalam benteng pedang!""Hmmm! Itu sih belum
seberapa, anggota benteng kalian yang terlebih dahulu mencari garagara
dengan ku, tentu saja aku tak bisa berpeluk tangan membiarkan
mereka pasang gaya seenaknya sendiri, setelah terjadi bentrokan mati
atau terluka bukan suatu kejadian aneh. Sekali pun kematian Han San
sianseng mempunyai hubungan dengan diriku, tapi sedikit banyak
poocu pun tak dapat melepaskan sebagian dari tanggung jawab ini."
"Hmmm! Kau maksudkan hatiku terlalu kejam dan tak kenal peri
kemanusiaan. Melihat dia hampir mati tak mau menolong," ujar Cui
Tek Li dengan nada dingin.
"Aku memang mempunyai perasaan demikian, andaikata poocu
suka menghadiahkan sedikit bubuk obat kepadanya, aku percaya dia
tak akan mati atau paling sedikit selembar jiwa tuanya masih bisa
dipertahankan."
"Tahukah engkau siapa orang itu?" tanya Cui Tek Li sambil
mendengus dingin.
Pek In Hoei tertegun, lalu jawabnya :
"Dari mana aku bisa tahu? Aku tidak kenal dia dan tak tahu pula
asal usulnya, tentu saja tak kuketahui siapakah dia kecuali orang itu
adalah pembantumu!"
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... dia adalah salah seorang pembunuh
yang ikut membinasakan ayahmu," ujar pemilik Benteng Kiam-poo
sambil tertawa dingin, "seandainya kau mengetahui persoalan ini
sedari tadi aku percaya kau tidak akan menaruh belas kasihan
963
Saduran TJAN ID
kepadanya lagi, bahkan mungkin sekali kau akan menganggap apa
yang telah kuucapkan adalah perkataan yang benar!"
"Apa? Sungguhkah itu?" untuk beberapa saat lamanya Pek In
Hoei berdiri termangu-mangu.
"Hmm! Walaupun ini hari kau telah membunuh pembantuku, aku
tetap akan mengikuti peraturan dan melepaskan kalian pergi dari sini,
malam nanti kalian berdua boleh bersiap-siap untuk menerjang keluar
dari benteng ini, jika kalian gagal untuk keluar dari benteng ini
kejadian tersebut harus salahkan nasib kalian yang kurang mujur,
jangan salahkan aku kalau berhati kejam."
Ia melirik sekejap ke arah Cui Tiap Tiap dan menambahkan :
"Tiap Tiap, ayoh ikut aku pulang ke benteng."
Berangkatlah ke-dua orang itu tinggalkan hutan tersebut, para
jago dari Benteng Kiam-poo pun mengundurkan diri.
Angin malam berhembus lewat, Benteng Kiam-poo yang
tersohor sebagai benteng paling misterius terasa diliputi oleh
ketegangan yang amat tebal, semua jago lihay yang bermukim dalam
benteng itu telah bertindak dengan memblokade seluruh jalan keluar
dari benteng mereka.
Malam nanti ada dua orang pemuda yang berani mati akan
menerjang keluar dari pertahanan Benteng Kiam-poo yang tersohor
karena ampuh dan kokohnya itu, meskipun harapan mereka untuk
berhasil kecil sekali tetapi ke-dua orang itu tetap akan mencobanya.
Entah sudah berapa banyak pendekar lihay dan jago sakti yang
berusaha membuka sejarah baru dengan menjebol pertahanan
Benteng Kiam-poo, tetapi setiap kali mereka menemui ajalnya semua
secara mengenaskan, tak seorang manusia pun berhasil membobolkan
pertahanan benteng itu hingga pos yang terakhir, terutama sekali
kelihayan dari poocu benteng itu, belum pernah tercatat dalam sejarah
ada jago yang sanggup melakukan perlawanan sebanyak tiga jurus.
964
IMAM TANPA BAYANGAN II
Oleh karena itu semua orang percaya bahwa Benteng Kiam-poo
hanya ada jalan masuk dan tiada jalan keluar... hanya sukma
gentayangan yang sanggup keluar dari benteng itu...
*******
Teeeeng... teeeeng...
Bunyi lonceng yang amat nyaring bergetar di udara
menggoncangkan perasaan setiap orang yang ada dalam benteng itu,
ketegangan semakin tebal menyelimuti seluruh jagad dan semua
orang merasa jantungnya berdebar keras.
Sebuah panji merah yang besar perlahan-lahan dinaikkan di atas
bendera yang tinggi, inilah pertanda bahwa Pek In Hoei k lawan
segera akan terjun ke gelanggang untuk mempertaruhkan keselamatan
jiwanya, tanda itu memperingatkan kepada semua anggota Benteng
Kiam-poo agar bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan.
Teeng... teeng...
Bunyi lonceng ke-dua bergetaran lebih nyaring dengungan suara
yang tersebar di udara seakan-akan isak tangis keluarga yang
menghantarkan salah seorang anggota keluarganya menuju liang
kubur...
Satu barisan pria baju merah yang menyoren pedang perlahan
munculkan diri dari sudut sebelah kiri, ketik tiba di tanah lapang
mereka memisahkan diri dan berbaris dalam dua barisan, sikap orangorang
itu serius dan penuh diliputi ketegangan.
Tidak lama kemudian Pek In Hoei serta Lu Kiat di bawah iringan
Cui Tek Li, pemilik Benteng Kiam-poo sendiri berjalan menuju ke
lapangan.
Sepanjang perjalanan ke-tiga orang itu membungkam dalam
seribu bahasa, mereka semua memikirkan persoalan hati sendiri yang
terasa bagaikan beban berat.
Ketika tiba di tengah lapangan, Cui Tek Li angkat kepala
memeriksa sebentar keadaan cuaca, kemudian katanya :
965
Saduran TJAN ID
"Kalian berdua baru akan mencapai separuh jalan jika tiga
rintangan berhasil kalian singkirkan, pada giliran yang terakhir kamu
berdua bakal turun tangan melawan diriku..."
"Hmmm! Jangan dibilang baru tiga rintangan, sekali pun sepuluh
rintangan akan kucoba juga untuk membobolkan," jawab Jago Pedang
Berdarah Dingin dengan nada ketus.
Cui Tek Li tertawa getir.
"Aku percaya dan tahu bahwa kalian berdua adalah jago-jago
lihay yang memiliki kepandaian tinggi, tentu saja kalian tak akan
memandang sebelah mata pun terhadap benteng kami."
Ia menghela napas panjang, dengan wajah kesepian ia termenung
sebentar lalu ujarnya kembali :
"Kali ini hanya ada empat jalan yang bisa kalian tempuh, silahkan
kalian berdua memilih sendiri jalan mana yang akan kalian pilih."
"Aku ingin memilih jalan yang paling lihay, termasuk di
antaranya harus bertempur melawan kau sendiri."
Mula-mula Cui Tek Li tertegun, kemudian katanya :
"Pada rintangan yang terakhir semuanya dijaga olehku sendiri,
tetapi..."
Ia merendahkan suaranya dan melanjutkan :
"Kali ini aku telah mempersiapkan tiga lapisan jago pedang untuk
dijaga ke-tiga jalur rintangan tersebut, semua alat rahasia dan alat
jebakan telah kuhapus semua, tujuanku tidak lain adalah agar kita bisa
mengukur tenaga dengan kepandaian yang murni dan sesungguhnya...
Kalian mesti ingat, mati hidup kamu harap kalian bisa turun tangan
dengan berhati-hati."
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... aku tak ingin menerima kebaikan
hatimu itu," sela Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Hmm! Berada dalam keadaan dan situasi seperti ini aku nasehati
dirimu lebih baik kurangilah sikapmu yang jumawa dan takabur itu,
sebab hal itu tak akan mendatangkan faedahnya apa-apa bagimu."
Ia berhenti sebentar dan melanjutkan :
966
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Sekali pun begitu aku merasa kagum juga oleh sikapmu itu, kau
memang tidak malu jadi putranya Pek Tiang Hong, andaikata ayahmu
bisa menyaksikan sendiri putranya akan menerjang keluar dari
Benteng Kiam-poo, aku rasa tentu akan merasa bangga dan senang..."
Pek In Hoei mendengus dingin, ia menyapu sekejap dua belas
baris jago pedang baju merah yang berjajar di ke dua belah lapangan,
tanyanya :
"Apa pekerjaan mereka di sini?"
Cui Tek Li tertawa hambar.
"Mereka adalah barisan pengantar tamu dari benteng kami,
mereka berdiri di tempat ini sebagai tanda rasa hormat kami terhadap
dirimu, aku harap kalian berdua jangan sampai menyia-nyiakan rasa
hormat mereka itu..."
"Haaaah... haaaah... haaaah... banyak amat permainan dalam
bentengmu ini," seru Lu Kiat sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara ke-dua orang itu hendak berlalu, tiba-tiba para jago
pedang baju merah yang berada di sisi kalangan bersama-sama cabut
keluar pedangnya, setelah diputar satu lingkaran di udara orang-orang
itu segera tunjukkan sikap memberi hormat.
Dalam keadaan seperti ini Pek In Hoei serta Lu Kiat terpaksa
harus ayun tangannya pula sebagai tanda jawaban.
Terdengar Cui Tek Li dengan bangga berkata :
"Aku hanya bisa mengantar keberangkatan kalian berdua sampai
di sini saja, acara selanjutnya aku serahkan kembali pada kalian
sendiri untuk menentukan sikap dan pendirian..."
Perlahan-lahan dia hentikan langkah kakinya dan menambahkan
dengan suara berat :
"Lebih baik kalian berdua memilih jalan yang ke-tiga, dua sebab
aku rasa hanya jalan yang ini saja paling sesuai dan cocok dengan
selera kalian, aku harap maksud baikku ini bisa..."
967
Saduran TJAN ID
"Benarkah jalan nomor tiga yang paling lihay di antara jalan-jalan
lainnya?" tukas Pek In Hoei, "kalau memang demikian adanya, aku
rela memilih jalan yang ini..."
"Lihay sih belum tentu," kata Cui Tek Li sambil menggeleng,
"hanya aku rasa jalan itu paling serasi dan cocok bagimu..."
Habis berkata ia segera bertindak melangkah pergi dari tempat
itu.
"Poocu..." mendadak Jago Pedang Berdarah Dingin berseru.
"Ada urusan apa?" tanya Cui Tek Li sambil berhenti dan
berpaling dengan wajah tercengang.
Pek In Hoei menghembuskan napas panjang, katanya :
"Aku harap kau bisa baik-baik merawat ibuku..."
"Haaaah... haaaah... haaaah... " tiba-tiba pemilik dari Benteng
Kiam-poo itu tertawa tergelak, "apakah kau tidak merasa bahwa
perkataanmu itu kurang sesuai pada tempatnya? Aku mencintai
istriku, tentu saja aku akan merawat dirinya baik-baik! Aku merasa
terharu karena kebaktianmu itu, aku bisa menyampaikan kebaktianmu
itu kepada ibumu..."
"Tidak! Jangan kau sampaikan kepadanya..."
Dengan hati yang pedih dan penuh siksaan batin pemuda itu
berdiri dengan tubuh gemetar, titik air mata mengembang dalam
kelopak matanya, lama sekali dia baru menghela napas sedih, ujarnya
kembali :
"Poocu, aku masih ada satu urusan hendak kumohonkan
kepadamu..."
Cui Tek Li menjawab :
"Tidak berani, meskipun aku Cui Tek Li tidak mempunyai
hubungan apa pun dengan dirimu, tetapi sangkut paut di antara kita
memang agak berbeda, asal kau sudi untuk mengutarakannya keluar,
akua tentu akan berusaha untuk melaksanakannya, tentu saja kecuali
pekerjaan yang tak mungkin bisa kubantu... katakanlah!"
968
IMAM TANPA BAYANGAN II
Sepasang biji mata Jago Pedang Berdarah Dingin yang jeli dan
tajam perlahan-lahan dialihkan ke tengah udara dan memandang awan
putih yang melayang di angkasa, ia merasa hatinya pedih sukar
diutarakan... sesudah termenung sebentar ia berpaling dan
memandang kembali ke arah poocu itu.
Seandainya kali aku gagal untuk keluar dari benteng ini dan tidak
beruntung aku menemui kematian, harap berita ini jangan kau
sampaikan kepada ibuku," kemudian lanjutnya dengan suara lirih,
"aku tidak mengharapkan hatinya sedih dan berduka karena kejadian
itu, katakan saja bahwa aku telah berhasil lolos dari tempat ini...
Poocu, aku rasa pekerjaan segampang ini tentu sanggup kau lakukan
bukan?"
"Ehmm..." Cui Tek Li mengangguk, "baiklah, aku akan berusaha
keras untuk memberi bantuan kepadamu!"
Setelah kepedihan hatinya berhasil disapu lenyap, air muka Jago
Pedang Berdarah Dingin pun berubah jadi cerah kembali, dengan
semangat menyala-nyala ia tertawa tergelak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Poocu!" serunya, "sekarang kau
boleh turunkan perintah, kami telah siap menerjang keluar dari
benteng ini..."
"Semua rintangan telah siap dan orang-orangku telah menanti di
sana, kalian berdua boleh segera berangkat! Sepanjang jalan
kudoakan agar kalian berdua bisa melakukan pertarungan dengan
penuh semangat, ingatlah baik-baik kehidupan atau kematian kalian
berdua semuanya tergantung pada usaha kamu berdua kali ini..."
Dia tertawa misterius, lalu menambahkan lagi :
"Semoga saja perpisahan kita kali ini bukanlah perpisahan untuk
selama-lamanya, aku berharap masih punya kesempatan untuk
bertemu lagi dengan kalian berdua."
"Hmmm," Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus
berat, sepasang dahinya berkerut, setelah tertawa dingin serunya :
969
Saduran TJAN ID
"Kau tak usah kuatir poocu, suatu ketika aku bakal mengunjungi
lagi Benteng Kiam-poo dan memusnahkan tempat yang penuh noda
ini!"
"Kau... selamanya kau tak akan bisa kembali lagi ke sini..." teriak
Cui Tek Li dengan jantung berdebar keras.
"Hmmm! Lihat saja nanti bagaimana hasilnya," seru Lu Kiat
sambil mendengus, "Poocu! janganlah kau memandang suatu urusan
terlalu yakin, aku percaya suatu ketika pasti akan tiba saatnya kami
muncul kembali di tempat ini..."
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... aku pun berharap bisa menjumpai
keadaan seperti itu, moga-moga apa yang kalian ucapan bisa
tercapai."
Sambil tertawa seram pemilik dari Benteng Kiam-poo ini segera
ulapkan tangannya, dua baris jago pedang baju merah itu segera putar
badan dan berlalu mengikuti di belakangnya.
Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat tetap berdiri tegak di
tengah lapangan, mereka tahu percobaan hidup yang paling berat telah
berada di depan mata... menanti semua orang telah berlalu, mereka
saling bertukar pandangan sekejap dan perlahan-lahan maju ke muka.
"Toako!" di tengah jalan Pek In Hoei berkata dengan perasaan
hati berat, "aku benar-benar merasa tidak enak hati terhadap dirimu,
kali ini gara-gara urusan siau-te, aku telah mengajak dirimu untuk ikut
serta dalam perjuangan menempuh bahaya maut."
"Aaah! Perkataan macam apakah itu..." tukas Lu Kiat sambil
tertawa rawan, "urusanmu berarti urusanku pula, asal kita bisa bersatu
padu aku percaya Benteng Kiam-poo yang demikian kecilnya ini pasti
tak akan mampu menahan diri kita berdua."
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei menghela napas
panjang, sambil tertawa getir dia gelengkan kepalanya berulang kali,
dengan wajah yang murung dan langkah yang berat ia lanjutkan
langkahnya menuju ke depan.
970
IMAM TANPA BAYANGAN II
Setelah melewati sebarisan beranda di hadapan mereka
muncullah sebuah kebun bunga yang luas, dalam kebun tadi Kongsun
Kie berdiri seorang diri di tempat itu.
Ketika menyaksikan kedatangan dua orang pemuda itu sambil
tersenyum dia segera maju menyongsong, katanya :
"Saudara berdua, sewaktu masuk ke dalam benteng akulah yang
telah menjemput kalian, sekarang waktu kalian akan keluar dari
benteng ini aku pula yang akan menghantarkan keberangkatan
saudara berdua, tolong tanya hari ini kalian akan memilih jalan yang
ke berapa untuk ditempuh dalam usaha keluar dari Benteng Kiam-poo
ini?"
"Jalan ke-tiga..." jawab Pek In Hoei ketus.
"Jalan ke-tiga...?" tanya Kongsun Kie setelah tertegun sebentar,
"pilihan kalian memang tepat sekali... silahkan! Aku akan menghantar
kalian berdua untuk melakukan perjalanan."
Dengan cepat ia menggerakkan tubuhnya menerobos masuk ke
dalam kebun bunga yang amat luas itu, tidak lama kemudian
sampailah mereka di depan tiga buah jalan bercabang yang
membentang di tengah kebun itu.
Sambil menuding ke arah jalan cabang yang berada di sebelah
kanan, ujarnya :
"Kalian berdua boleh segera melakukan perjalanan lewat jalan
ini, inilah jalan nomor tiga yang kalian inginkan... Nah! Tugasku
hanya sampai di sini saja, semoga kalian berdua bisa lancar di jalan
dan keluar dari benteng ini tanpa mengalami kekurangan sesuatu apa
pun..."
"Sampai jumpa lain waktu..." sambung Lu Kiat sambil berpaling
dan tertawa dingin.
Berjalan di samping Pek In Hoei, berangkatlah ke-dua orang
pemuda itu lewat jalan paling kanan yang ditunjukkan itu, dari
belakang secara lapat-lapat masih terdengar suara tertawa dingin
971
Saduran TJAN ID
Kongsun Kie yang tak sedap didengar, rupanya orang itu sedang
mentertawakan mereka berdua.
Sepanjang jalan bau harum bunga tersiar di seluruh udara,
kicauan burung dan bunyi jangkrik membuat suasana terasa nyaman
dan damai, seandainya ke-dua orang itu bukan untuk berangkat
bertarung, niscaya mereka akan berhenti sejenak di sana untuk
menikmati keindahan alam tersebut.
Malam telah menjelang tiba, kegelapan mulai menyelimuti
seluruh angkasa, berjalan di tengah kegelapan yang sunyi dan sepi
Pek In Hoei merasa jantungnya berdebar dan bulu kuduk tanpa terasa
pada bangun berdiri.
Tiba-tiba... di hadapan mereka muncul dua buah lentera yang
memancarkan cahaya hijau, cahaya yang mendatangkan perasaan
ngeri bagi yang melihat.
Cahaya hijau yang terpancar keluar dari lampu lentera di tengah
kegelapan itu menyiarkan warna yang pucat dan menyeramkan,
seolah-olah api setan yang gentayangan di udara terbuka.
Sebuah batu nisan yang tinggi besar berdiri menjulang ke
angkasa, batu itu sangat besar dengan beberapa huruf terukir di atas
permukaannya, tulisan itu berbunyi demikian :
'Jalan di depan sudah putus tiada jalan, kembali ke tepian tepian
pun musnah'
Pek In Hoei tertawa dingin, dia ayunkan telapak kanannya ke
muka melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke atas permukaan batu
cadas tadi, makinya :
"Enyah kamu dari sini..."
Kraaak...! Diiringi dentuman yang amat keras, tiang batu yang
menjulang tinggi ke angkasa itu patah dan hancur jadi berkepingkeping,
percikan bunga api diiringi ceceran bubuk batu berhamburan
di angkasa... dentingan nyaring menggetarkan telinga setiap orang.
972
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Hmm... hmm..." tiba-tiba dari balik kebun bunga yang tercekam
dalam kegelapan berkumandang keluar suara tertawa dingin yang
menyeramkan, suara tertawa itu begitu dingin dan ketus sama sekali
tidak berperasaan membuat orang yang mendengar jadi tak sedap dan
ngeri.
Lu Kiat dengan sepasang mata melotot besar membentak keras :
"Sahabat, kalau kau punya keberanian unjukkanlah dirimu...
orang yang mencari gara-gara datang sudah."
"Hmm... Hm... " kembali suara tertawa dingin yang
menyeramkan berkumandang memecahkan kesunyian, dari balik
hutan bunga perlahan-lahan muncullah dua orang kakek kekar berbaju
hitam.
Begitu menyaksikan raut wajah dua orang kakek baju hitam
tersebut, Lu Kiat segera berseru tertahan karena kaget, sambil
mendengus dingin, serunya :
"Sungguh tak kunyana kalau rintangan pertama dari Benteng
Kiam-poo bisa dijaga oleh ke-dua bersaudara she-Hoa, Hmmm...
Hmmm... Hoa-bun-ji-Nio dua orang ganas dari keluarga Bun sudah
lama tersohor di kalangan hitam, rupanya kamu berdua sudah ditarik
oleh Cui Tek Li masuk ke dalam kalangan komplotannya... maaf... hal
ini sangat mengagumkan kami berdua."
Dalam pada itu Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa
terkesiap juga sesudah mengetahui kalau dua orang lawannya adalah
sepasang manusia ganas dari keluarga Hoa yang tersohor di kalangan
hitam itu, mereka sudah tersohor lama sekali dalam dunia persilatan,
entah berapa banyak jago lihay dan orang gagah yang jatuh
kecundang atau mati binasa di tangannya... sejak dahulu mereka
sudah dipandang sebagai dua malaikat pembunuh yang disegani
setiap orang.
Terdengar kakek bermata tunggal yang berada di sebelah kiri
tertawa seram, lalu berkata :
973
Saduran TJAN ID
"Saudara Lu, sungguh tajam amat sepasang matamu itu... aku tak
mengira kau masih kenali diriku, Hoa toa-ya... baiklah! Bicara terus
terangnya saja, malam ini kami berdua bersaudara mendapat perintah
dari poocu untuk menjaga pos rintangan pertama, dalam keadaan
demikian sekali pun kita punya hubungan di masa silam maafkanlah
kalau aku tak dapat memberi muka kepadamu, seandainya kau ingin
berlalu dari sini maka cobalah lebih dulu untuk mengalahkan kami
berdua!"
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah kakek tua itu, lalu sambil
berpaling ke arah Lu Kiat tanyanya :
"Toako, siapa nama orang ini?"
"Aku adalah Hoa Beng..." jawab kakek bermata tunggal itu
dengan mata melotot bulat.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kalau kau bernama Hoa Beng,
maka yang satuya lagi tentu bernama Hoa Pak... betul bukan? ejek
Pek In Hoei sambil tertawa terbahak-bahak.
Kakek tua di sebelah kanan yang wajahnya penuh codet itu segera
berteriak dengan penuh kegusaran, makinya :
"Kentut busuk makmu... aku bernama Hoa Yong! Mengerti
tolol?? babi..."
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... aku memang tahu kalau dari
keluarga Hoa tak seorang pun merupakan manusia baik-baik, apalagi
selam berada dalam Benteng Kiam-poo kalian menjalankan perintah
dari Cui Tek Li, bisa kubayangkan tak mungkin ada pekerjaan baik
yang telah kalian lakukan... Hmm... Hmm... malam ini aku si Jago
Pedang Berdarah Dingin akan menagih hutang-hutang jiwa g telah
kalian lakukan..." ujar Pek In Hoei dengan suara yang menyeramkan.
"Huuuh...!" Hoa Yong mendesis sinis, "Tadinya kubayangkan
manusia macam apa sih Jago Pedang Berdarah Dingin itu, eeei...
eeei... tak tahunya cuma seorang bocah cilik yang masih bau tetek.
Hmm! Seandainya Poocu tidak menurunkan perintah kepadaku untuk
974
IMAM TANPA BAYANGAN II
mempertahankan rintangan pertama ini aku betul-betul tak sudi untuk
bertempur melawan seorang bocah cilik..."
"Belajar silat tak ada yang lebih duluan atau terakhir, siapa yang
berhasil mencapai puncak kesempurnaan lebih dulu dialah jago...
kamu berdua tak usah berjual lagak seolah-olah angkatan yang lebih
tua, malam ini aku orang she Pek akan suruh kalian saksikan dan
rasakan bahwa penampilan yang dilakukan seorang anak muda pun
tak akan lebih enteng daripada apa yang kalian lakukan..."
"Haaaah... haaaah... haaaah... bagus sekali," seru Hoa Beng
sambil tertawa seram, "kau berani tidak pandang sebelah mata
terhadap kami berdua..."
Pedang panjangnya segera dicabut keluar dari sarungnya,
kemudian sambil mengantarkannya di tengah udara ia berteriak keras
:
"Sekarang kalian boleh maju serentak, aku si orang tua dengan
pedangku sudah menantikan kedatangan kalian."
"Hm! Kita akan bertarung satu lawan satu atau dua lawan satu?"
dengus Jago Pedang Berdarah Dingin.
"Sesuka hatimu, aku si orang tua akan mengiringi kemauanmu
itu!"
"Bagus... aku ingin sekali bertempur lawan kalian dua orang she-
Hoa dengan kekuatan seorang diri..."
"Adik In Hoei, jangan!" teriak Lu Kiat dengan tubuh bergetar
keras karena terperanjat.
Hoa Yong yang mendengar tantangan itu jadi naik pitam,
bentaknya :
"Bocah keparat, kau benar-benar takabur dan tak tahu tingginya
langit tebalnya bumi, setiap orang dalam dunia persilatan telah
mengenal sampai di manakah kelihayan yang kami miliki... dan
sekarang kau ingin melawan kami berdua dengan kekuatan sendiri?
Huuh... rupanya kau sudah bosan hidup."
975
Saduran TJAN ID
Pada saat ini Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei
merasakan hawa darah dalam rongga dadanya bergolak keras, ia
tersenyum dingin dan air mukanya berubah jadi menyeramkan,
perlahan-lahan pedang mestika penghancur sang surya dicabut keluar
dari sarungnya dan diayunkan di tengah udara.
Sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata segera
berhembusan memenuhi seluruh angkasa.
"Aaaa...! Pedang mestika penghancur sang surya..." bisik Hoa
Yong dengan tubuh gemetar keras, "tak pernah kusangka kalau benda
kesayangan dari Cia Ceng Gak itu bisa terjatuh di tangannya...
Hmmm.. toako! Tempo hari bapaknya juga mempunyai kegagahan
seperti ini."
"Aku lihat bangsat cilik ini bukan manusia sembarangan, ia tak
mungkin goblok dan nekad bila tidak memiliki simpanan," seru Hoa
Beng dengan wajah serius, "kali ini kita harus bertindak hati-hati,
janganlah sampai terbalik di selokan kecil dan menelan kekalahan
secara mengenaskan..."
Pek In Hoei tarik napas panjang-panjang, kembali tegurnya :
"Bagaimana? Apakah kalian berdua telah bersiap sedia?"
"Kau betul-betul berani melawan kami berdua dengan kekuatan
seorang diri...?" seru Hoa Yong dingin, "sahabat Pek, aku lihat lebih
baik tariklah kembali ucapanmu itu, menerjang keluar dari Benteng
Kiam-poo bukanlah suatu pertarungan adu jiwa, kenapa kau mesti
nekad dan cari penyakit buat diri sendiri? Jika kau berbuat begitu
maka harapan untuk hidup pun tak akan kau miliki lagi..."
"Selamanya apa yang telah diucapkan Jago Pedang Berdarah
Dingin tak pernah diubah lagi, kalian berdua boleh segera bersiap
sedia untuk melangsungkan pertempuran, sebab pada malam ini
bukan saja aku akan berusaha untuk menerjang keluar dari Benteng
Kiam-poo, di samping itu aku pun hendak membereskan pula jiwa
kalian berdua..."
976
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Apa?" saking gusar dan mendongkolnya Hoa Yong sampai
meloncat dari tempat semula, ia tuding Pek In Hoei dengan
pedangnya dan kembali berteriak :
"Maknya... bangsat! Kau bocah keparat benar-benar tak tahu
diri... bajingan terkutuk! Kau berani memandang rendah kami
berdua? Hmm! Jika malam ini aku Hoa Yong membiarkan kalian
berhasil lolos dari rintangan pertama, aku tak sudi memakai she Hoa
lagi..."
Dia memberi tanda kepada Hoa Beng dan melanjutkan sambil
tertawa seram.
"Toako, daripada menampik lebih baik kita ikuti saja
kemauannya, mari kita maju bersama."
Bayangan pedang bergetar di udara, dua gulung hawa pedang
yang berwarna hijau tua segera meluncur masuk di sisi kiri dan kanan,
dua orang tokoh sakti dari kalangan hitam ini benar lihay dan tak
boleh dipandang rendah, meskipun baru jurus pertama namun bisa
terlihat sampai di manakah kelihayannya dalam ilmu pedang.
Dengan hati tercekat Pek In Hoei segera menghindar ke samping,
pikirnya dalam hati :
"Tak kusangka dua orang manusia terkutuk ini memiliki
kepandaian yang luar biasa."
Pedang mestika penghancur sang surya segera digetarkan ke
muka dan laksana kilat melancarkan dua titik cahaya pedang, ke-dua
serangan itu luar biasa lihaynya dan merupakan penampilan dari ilmu
pedang tingkat paling atas.
Detik itu juga dua orang tokoh sakti dari kalangan hitam itu
terpukul mundur dan harus menyingkir tiga langkah ke belakang.
"Hmmm...! Hmmm...! Rupanya kau memang luar biasa dan tak
boleh dipandang enteng..." gumam Hoa Beng dengan sorot mata
memancarkan sinar kebengisan.
977
Saduran TJAN ID
"Maknya..." teriak Hoa Yong pula sambil mendorong pedangnya
ke arah depan, "aku paling tidak percaya dengan segala permainan
setan, coba lihat kelihayanku ini..."
Tubuh mereka berdua kembali bergerak menerjang ke depan,
ibaratnya sukma gentayangan dua bersaudara she Hoa ini segera
melancarkan bacokan pedang dari samping kiri dan kanan, begitu
dahsyat dan mengerikan sekali bacokannya itu membuat Lu Kiat yang
berada di sisi kalangan jadi terkejut dan mengucurkan peluh dingin,
ia sangat menguatirkan keselamatan dari saudaranya.
Air muka Pek In Hoei masih tetap diliputi keketusan yang
menggidikkan hati, ia tarik napas panjang-panjang kemudian
bentaknya keras-keras :
"Sahabat, sekarang kalian berdua rasakan seranganku."
Bagaikan segulung angin yang berhembus lewat, tubuhnya
berputar di udara dan langsung meluncur ke depan, cahaya pedang
mestika penghancur sang surya yang menyilaukan mata menciptakan
berpuluh-puluh kuntum bunga yang tajam dan bersama-sama
menyapu ke depan.
"Aduuuh...!" dua kali jeritan ngeri yang memilukan hati
berkumandang di angkasa memecahkan kesunyian yang mencekam
seluruh jagad, percikan darah segar muncrat ke empat penjuru dan
membasahi kebun bunga yang harum semerbak itu...
Blaaam...! blaammm...! tubuh Hoa Bun Ji Nio yang tinggi kekar
roboh terjengkang di atas tanah dan tak bisa berkutik lagi.
"Kau... kau amat keji!" terdengar Hoa Beng berteriak dengan
suara terpatah-patah.
"Hmm! Inilah buah karya yang harus kalian terima atas perbuatan
yang sudah kamu berdua lakukan selama ini," sahut Pek In Hoei
dengan suara dingin, "seandainya di masa yang silam kalian tidak
pernah melakukan kejahatan, tak mungkin pula kamu berdua akan
menerima pembalasan yang setimpal pada malam ini... Nah! Saudara
berdua, selamat tinggal!"
978
IMAM TANPA BAYANGAN II
Tuuuung... tuuung...
Suara tambur bergema di tengah kesunyian malam yang
menyelimuti seluruh jagad, lentera hijau dengan cahaya yang pucat
masih bergoyang di tengah hembusan angin, hanya di sisi tempat itu
kini bertambah dengan dua sosok tubuh manusia yang berada dalam
sakratul maut...
Tuuung...! Tuuung...! suara tambur kembali berkumandang di
tengah kesunyian, setelah berdengung di angkasa perlahan-lahan dan
sirap... suasana diliputi kembali oleh kesunyian serta keheningan...
Jenazah dari dua bersaudara she Hoa tergeletak berjajar di tepi
kebun bunga, darah dalam tubuh mereka telah membeku dan
kematian mereka mengenaskan sekali.
Pek In Hoei serta Lu Kiat menghela napas, diam-diam mereka
merasa bersedih hati bagi nasib ke-dua jago-jago yang malang itu...
Lu Kiat tarik napas panjang-panjang, lalu berkata :
"Adik In Hoei, kita sedang berusaha keluar dari Benteng Kiampoo
dan bukan melangsungkan pertarungan mati hidup, kenapa kau
mesti membinasakan mereka berdua?"
Ia tidak tega menyaksikan kematian dua bersaudara she Hoa yang
mengerikan itu, timbul rasa kasihan dan iba dalam hati kecilnya
sehingga dalam pembicaraan pun nada suaranya mengandung nada
menegur.
Jago Pedang Berdarah Dingin bukanlah seorang manusia yang
gemar membunuh orang, bila tidak berada dalam keadaan yang
mendesak ia tak ingin membunuh orang.
Terhadap nama busuk sepasang manusia ganas dari keluarga
Hoa, pemuda ini sudah mengetahuinya sejak pertama kali ia terjun ke
dunia persilatan, ia tahu bahwa selama hidupnya ke-dua orang itu
belum pernah berbuat kebajikan, entah berapa banyak manusia
budiman yang telah menemui ajalnya di tangan mereka.
979
Saduran TJAN ID
Oleh sebab itu sejak bertemu dengan mereka berdua, dalam
hatinya sudah ambil keputusan untuk membasmi dua orang manusia
laknat itu dari muka bumi.
Mendengar teguran itu sambil tertawa rawan segera jawabnya :
"Toako, kenapa kau bisa mengasihani manusia semacam itu?
Perbuatan mereka yang mana telah membuat kau harus mengasihani
dirinya? coba pikirlah... andaikata saat ini kita yang menderita kalah
maka betapa mengenaskannya keadaan tersebut, mungkin yang
berbaring di tanah pada detik ini bukan mereka melainkan kita
berdua..."
"Sekali pun begitu aku tetap merasa bahwa membunuh orang
pada saat seperti ini bukanlah tindakan yang benar, asal kita bisa
keluar dari mulut harimau dengan lancar tanpa rintangan kejadian itu
sudah merupakan suatu keberuntungan yang luar biasa besarnya, kau
mesti tahu Cui Tek Li adalah seorang manusia licik yang sangat
berbahaya, bila kita terlalu banyak membunuh anak buahnya, siapa
tahu kalau ia pergunakan alasan itu untuk menyusahkan kita berdua."
"Haaaah... haaaah... haaaah... " tiba-tiba Pek In Hoei angkat
kepala dan tertawa terbahak-bahak, "toako, kau anggap Cui Tek Li
bisa melepaskan kita berdua dengan begitu mudah dan gampang? Bila
kau kau berpendapat demikian maka pendapatmu itu adalah suatu
cara berpikir yang keliru besar, sekarang asal kita bisa membunuh
satu orang lebih banyak berarti kita akan memperoleh keuntungan
yang lebih besar, siapa tahu sampai pada akhirnya kitalah yang bakal
mati."
"Aku tidak sependapat dengan jalan pikiranmu itu," bantah Lu
Kiat sambil menggeleng.
Pek In Hoei tertawa hambar.
"Toako, dunia persilatan adalah dunianya manusia menjagal
manusia, kalau tindakanmu kurang tegas dan kurang kejam maka
dirimu yang bakal terperosok ke dalam jurang kehancuran... Banyak
980
IMAM TANPA BAYANGAN II
orang karena berhati terlalu lemah dan baik budi, perbuatannya itu
mengakibatkan dirinya ikut musnah dari muka bumi."
"Pandanganmu itu terlalu cupat," seru Lu Kiat sambil tertawa
getir, "kadang kala membunuh orang belum tentu merupakan suatu
cara yang paling baik untuk menyelesaikan suatu persoalan, aku
anjurkan lebih baik gunakanlah budi pekerti yang luhur untuk
menundukkan kejahatan, sebab itulah cara yang paling bagus!"
"Aaai... mungkin sekali apa yang kau ucapkan memang benar."
Pekikan burung malam berbunyi di tengah kegelapan, jeritan
yang tinggi melengking telah menusuk perasaan ke-dua orang itu
dalam-dalam, mereka tanpa sadar berpaling ke depan memandang
rintangan berikutnya yang telah menantikan kedatangan mereka
berdua.
Suara langkah kaki yang berat bergetar di bumi... dengan
perasaan serta langkah yang berat bagaikan ditindih bukit tay-san Pek
In Hoei serta Lu Kiat meneruskan perjalanannya ke depan, mereka
menyadari hidup atau mati tergantung pada perjuangan mereka pada
malam ini.
Sebuah jalan kecil beralas batu yang panjang terbentang di depan
mata, ke-dua belah sisi jalan penuh tumbuh bunga putih kecil yang
menyiarkan bau harum semerbak.
Mendadak... tiga sosok bayangan manusia yang tinggi besar
perlahan-lahan berjalan keluar dari balik bebungaan yang lebat, ketiga
orang manusia itu berbadan kaku bagaikan mayat hidup, tubuh
mereka lurus dan kaku sedikit pun tidak menunjukkan tanda-tanda
kehidupan, terutama sekali enam buah matanya yang besar dan
memancarkan cahaya hijau seolah-olah sorot mata setan yang
membetot sukma, membikin hati orang merinding dan berdebar keras.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " suara tertawa seram yang
mendirikan bulu roma berkumandang bagaikan bukan muncul dari
mulut manusia, suara yang terpancar keluar dari mayat-mayat hidup
981
Saduran TJAN ID
itu kedengaran begitu dingin dan mengerikan sehingga terasa jauh
lebih dingin daripada es atau salju berusia ribuan tahun...
Lu Kiat segera menyikut badan Pek In Hoei sambil berbisik :
"Kau kenal dengan tiga orang itu?"
Pek In Hoei tertegun, lalu menggeleng.
"Aku tidak tahu!" jawabnya.
Walaupun di dalam dunia persilatan ia telah berhasil merebut
julukan sebagai Jago Pedang Berdarah Dingin, dan selama dua tahun
terakhir belum pernah ada manusia yang mampu menandingi
kelihayan ilmu silatnya, tetapi dalam hal pengetahuan serta
pengalaman dalam dunia persilatan, ia masih jauh ketinggalan jika
dibandingkan dengan Lu Kiat, mungkin hal ini dikarenakan keluar Lu
adalah keluarga persilatan yang sering kali berhubungan dengan
pelbagai lapisan masyarakat, membuat apa yang mereka dengar jauh
lebih banyak dari siapa pun.
Oleh sebab itulah dalam hal pengetahuan, Lu Kiat boleh dibilang
amat luas dan mendalam sekali...
"Kemungkinan besar ke-tiga orang itu adalah tiga mayat hidup
yang pernah kudengar dari pembicaraan orang lain! Cuma aku pernah
mendengar pula katanya ke-tiga orang itu sudah mati di bukit Kiuhoa-
san, kenapa sekarang mereka bisa muncul kembali di dalam dunia
persilatan..." ujar Lu Kiat dengan wajah serius.
"Mungkin mereka memang belum mati!" sahut Pek In Hoei
setelah tertegun sebentar.
"Tidak! Dengan mata kepala sendiri ayahku telah menyaksikan
kematian mereka bertiga, waktu itu banyak pula yang menyaksikan
kebinasaan tiga mayat hidup... hal ini tak mungkin salah lagi, apakah
dari perguruan mayat hidup masih ada orang lain?"
"Perguruan mayat hidup?" ulang Jago Pedang Berdarah Dingin
dengan suara gemetar, "apakah kau maksudkan perguruan mayat
hidup yang bersarang di propinsi Ou-lam?"
982
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Ehm! Sedikit pun tidak salah, walaupun perguruan mayat hidup
bersumber di propinsi Ou-lam tetapi orang yang benar-benar
menguasai perguruan tersebut hanyalah keluarga Ko seorang,
berhubung perguruan ini adalah suatu aliran sesat yang tidak
mempunyai perguruan dan tak mau mengindahkan persilatan orang
kangouw tidak sudi berhubungan dengan mereka... terutama keluarga
Ko yang sombong dan takabur, perbuatannya amat keji dan telengas,
sudah tersohor di kolong langit sebagai manusia-manusia laknat..."
"Ooh... kalau begitu ke-tiga manusia aneh mayat hidup ini
tentulah berasal dari keluarga Ko..."
"Tidak salah, ke-tiga orang itu memang murid kesayangan dari
keluarga Ko."
Dalam pada itu manusia aneh berbadan kaku yang menyerupai
mayat hidup itu sudah semakin dekat menghampiri mereka berdua,
dengan sorot mata yang tajam dan mengerikan ke-tiga orang itu
melotot sekejap ke arah pemuda lawannya, seolah-olah mereka
sedang menantikan kesempatan yang bagus untuk melancarkan
serangan mematikan.
Lu Kiat dan Pek In Hoei adalah jago-jago lihay di dalam dunia
persilatan, tentu saja mereka dapat meraba sikap musuh-musuhnya
yang mengandung maksud tidak beres, diam-diam mereka pertinggi
kewaspadaannya bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yang
tidak diinginkan.
Lu Kiat tarik napas panjang-panjang, sorot matanya perlahanlahan
menyapu sekejap wajah ke-tiga makhluk aneh itu, sorot
matanya yang tajam tiba-tiba terhenti di atas wajah seorang makhluk
aneh yang beralis tebal, berhidung besar, mulut lebar lidah panjang
dan wajah penuh codet itu, darah dalam sekujur tubuhnya terasa
membeku, peluh dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya dan
untuk beberapa saat tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Kau... kau adalah Le-si ganas!" serunya kemudian dengan suara
berat.
983
Saduran TJAN ID
Manusia aneh berwajah penuh codet itu terkesiap, sekujur
badannya bergetar keras. Ia tidak menyangka kalau pihak lawan
dengan usianya yang begitu muda ternyata memiliki pengalaman serta
pengetahuan Bu lim yang amat luas, dalam sekilas pandangan ia
berhasil menebak jitu asal usulnya.
Setelah berhasil menenangkan kekagetan hatinya, ia lantas
bertanya :
"Tebakanmu tepat sekali... hey bocah cilik, dari mana kau bisa
kenali diriku..."
"Kalian... kalian tiga sosok mayat hidup bukankah sudah mati di
gunung Kiu hoa san?" seru Lu Kiat kembali dengan badan gemetar.
"Hmmm... dari mana kau bisa tahu?" jerit Mayat Ganas yang ada
di sebelah kanan.
Bagian 38
"HMMM! Kabar berita ini sudah tersebar luas di seluruh dunia
persilatan, siapa saja yang pernah melakukan perjalanan dalam Bu lim
tentu mengetahui akan peristiwa itu, apa sih yang perlu kalian
herankan."
"Hmmm..." mayat hidup berkepala botak yang ada di samping
Mayat Ganas segera membalikkan matanya yang aneh dan
mendengus dingin, "Aku tidak percaya dengan ucapanmu itu, kecuali
beberapa orang tertentu yang mengetahui peristiwa ini orang
kangouw tak ada yang mengetahui tentang soal itu... sedang orang
yang mengetahui peristiwa itu pun kebanyakan telah kami kejar dan
bunuh, apa tujuannya? Bukan lain untuk menutup rahasia ini, kami
tidak ingin orang kangouw ikut mengetahui kalau kami pernah purapura
mati..."
"Oooh... jadi sewaktu berada di gunung Kiu-hoa-san tempo dulu,
kalian pura-pura mati..." ujar Lu Kiat dengan hati kaget.
"Haaaah... haaaah... haaaah... tentu saja, hanya dengan berbuat
demikianlah kami bisa lepas dari perhatian banyak orang, dan cuma
984
IMAM TANPA BAYANGAN II
dengan cara ini pula kami berhasil mengejar orang-orang yang pernah
hendak membinasakan diri kami untuk kemudian dilenyapkan dari
muka bumi, orang-orang itu pasti tak akan bersiap sedia dan
menyangka atas kehadiran kami itu... sekarang kau mengerti bukan?"
"Ucapanmu tak bisa dipercayai dengan begitu saja," ujar Lu Kiat
kembali dengan sangsi, "ketika berada di gunung Kiu-hoa-san begitu
banyak jago lihay Bu lim yang menyaksikan kematian kalian bertiga,
sekali pun kamu punya kelihayan untuk membohongi orang, tak
mungkin kamu bisa membohongi banyak jago lihay yang hadir di situ,
Hmmm! Aku tidak percaya kalian begitu lihaynya..."
Mayat hidup yang berada di tengah segera melangkah maju
setindak ke depan, katanya sambil tertawa :
"Apa yang kau ketahui? Huuh... paling kentut busuk... ketahuilah
dari perguruan mayat hidup kami memiliki semacam kepandaian
maha sakti yang bisa tutup napas pura-pura mati, asal kepandaian itu
kami gunakan maka keadaan kami tidak akan jauh berbeda daripada
keadaan mayat-mayat biasa, siapa pun tak akan mampu membuktikan
apakah kami sudah mati atau masih hidup..."
"Belum pernah kudengar tentang kepandaian sakti macam itu!"
seru Lu Kiat sambil tertawa hambar.
"Hmmm... Hmmm... hal itu harus salahkan pengetahuanmu yang
masih picik dan tak tahu apa-apa..."
Lu Kiat mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... ilmu menutup napas bisa merubah
seorang hidup menjadi sesosok mayat yang telah mati, kepandaian
seperti itu tentulah sejenis kepandaian yang luar biasa sekali... hey!
jago lihay dari perguruan mayat hidup, dapatkah kau
mendemonstrasikan ilmu sakti itu di hadapanku sehingga menambah
pengetahuan dari kami yang masih bodoh..."
"Hmmm... hmmm... jika kau sudah menyaksikan kepandaian
seperti itu, maka berarti pula usiamu sudah tidak panjang lagi..." kata
si mayat hidup tadi sambil tertawa dingin.
985
Saduran TJAN ID
"Pada dasarnya kami berdua memang sudah tak punya harapan
untuk tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup-hidup, apalagi
berada di hadapan tiga mayat hidup yang super sakti seperti kalian,
masa bisa lolos dengan selamat? Asal kau dapat mendemonstrasikan
ilmu sakti yang dikatakan lihay sekali di hadapan kami, dan kami
berdua merasa tak sanggup untuk menghadapinya maka sekali pun
harus mati, kami bisa mati dengan tenang sebab kekalahan tersebut
salah kami sendiri yang punya mata tak kenal gunung Tay-san."
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... baiklah," ujar mayat hidup itu
kemudian setelah tertawa seram, "akan kuperlihatkan sampai di
manakah kehebatannya ilmu saktiku itu!"
Ia pentang mulutnya lebar-lebar untuk menarik napas, kemudian
alisnya berkerut mata melotot besar dan menggeletaklah tubuhnya di
atas tanah.
Luar biasa sekali, ketika tubuhnya sudah roboh maka napas pun
ikut berhenti dan keadaannya tidak jauh berbeda dengan orang yang
telah putus napas dan mati beberapa saat.
Andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri, siapa
pun tak akan percaya kalau mayat di atas tanah sebenarnya adalah
manusia hidup.
"Hmmm! Kematian semacam ini aku kira masih belum dapat
mengelabui orang..." seru Lu Kiat kembali dengan alis berkerut.
"Coba periksa sendiri, asal kau mampu untuk menyadarkan
kembali dirinya maka kami bertiga akan segera mengaku kalah!"
Dengan cepat satu ingatan berkelebat dalam benak Lu Kiat, ia
segera berjongkok dan memeriksa keadaan tubuh dari mayat hidup
itu, sedikit pun tidak salah! Keadaannya tidak jauh berbeda dengan
mayat biasa, keadaannya hampir boleh dibilang dapat mengelabui
siapa pun.
Ketika ia meraba tangannya dan tubuhnya ternyata dingin dan
kaku, hal ini membuat hatinya diam-diam terkesiap, dia tak mengira
kalau di kolong langit terdapat ilmu kepandaian seaneh itu, orang bisa
986
IMAM TANPA BAYANGAN II
berlagak seolah-olah telah mati, tak aneh kalau para jago lihay yang
berkumpul di gunung Kiu-hoa-san tempo dulu berhasil dibodohi oleh
ke-tiga sosok mayat hidup itu tanpa mereka sadari.
Diam-diam ia segera menotok tiga buah jalan darah di tubuh
mayat hidup itu, aliran darah yang untuk sementara berhenti mengalir
itu membuat totokan itu menghasilkan lekukan di tubuhnya, bila ia
sadar nanti maka totokan tersebut akan menunjukkan reaksinya
membuat aliran darahnya tak bisa pulih dengan cepat, keadaan itu
berarti menguntungkan pihaknya.
Setelah melakukan perbuatan itu Lu Kiat segera bangkit berdiri
katanya :
"Sungguh luar biasa sekali, aku mengaku kalah."
"Haaaah... haaaah... haaaah... " Mayat Ganas tertawa seram,
"saudaraku, sekarang kau boleh bangkit berdiri."
Tetapi mayat hidup itu masih tetap menggeletak di atas tanah
tanpa berkutik, ia tak mampu bangkit berdiri kecuali matanya melotot
besar bagikan gundu, dengan buih putih mengalir keluar dari
matanya.
Setelah terbungkam beberapa saat, dengan penuh kesakitan ia
berteriak :
"Toako, dia main licik."
"Apa? Dia main licik..." bentak Mayat Ganas dengan gusarnya.
Dengan gemas dan mendongkol dia melotot sekejap ke arah Lu
Kiat, kemudian serunya dengan jengkel :
"Kau berani betul bermain licik di hadapan kami bertiga... Hmm!
Bocah cilik, rupanya kau tidak ingin mendapatkan kematian yang
utuh, tapi ingin mencicipi dahulu pelbagai siksaan dari kami tiga
bersaudara... hmm tunggu saja sebentar lagi."
"Hmm! bukankah kalian bilang sendiri kalau ilmu kepandaian
tersebut maha sakti dan tiada tandingannya di kolong langit? Untuk
membuktikan kebenaran dari perkataanmu itu terpaksa aku harus
gunakan sedikit akal untuk menjajalnya, jika ilmu menutup napas
987
Saduran TJAN ID
memang benar-benar lihay sekali seperti yang kalian katakan, mayat
hidup itu tak nanti akan tetap terbaring di sana tanpa berkutik, hey
sahabat, aku lihat lebih baik kurangilah ngibulmu yang terlalu
berlebih-lebihan itu, kelihayan yang dalam kenyataan cuma tipuan
belaka sama sekali tak ada harganya."
"Hmm! Setan alas..." teriak Mayat Bengis yang selama ini selalu
membungkam, "kalau kita tiga sosok mayat hidup mesti jatuh
kecundang di tangan seorang bocah cilik maka muka kita semua di
kemudian hari mesti ditaruh di mana? Toako... aku ingin mendahar
dagingnya."
"Jie-te, jangan sembrono dan bertindak gegabah," cegah Mayat
Ganas sambil menggeleng, "aku masih ada perkataan yang hendak
dibicarakan dengan bocah bangsat ini."
Sementara itu Mayat Bengis sudah menunjukkan sikap hendak
melakukan terjangan, mendengar seruan itu dengan cepat dia tarik
kembali serangannya sambil melotot sekejap ke arah Lu Kiat dengan
penuh perasaan dendam, hawa membunuh menyelimuti raut
wajahnya.
Mayat Ganas mendengus seram, tegurnya :
"Bocah keparat, kau adalah anak murid dari perguruan mana?"
"Aku rasa persoalan ini sama sekali tak ada hubungannya dengan
dirimu, tutup saja bacot anjingmu itu."
Mayat Ganas tidak mengira kalau perkataan pemuda itu sangat
kasar, seolah-olah sama sekali tidak pandang sebelah mata pun
terhadap dirinya, dengan gusar ia tertawa seram.
"Sekali pun tidak kau ucapkan, aku pun sudah tahu, kau pastilah
keturunan atau murid dari beberapa orang tua bangka yang berhasil
melepaskan diri dari gunung Kiu-hoa-san tempo dulu, kebetulan
sekali kalau hendak mencari tahu jejak dari beberapa orang tua
bangka celaka itu dari mulutmu."
Setelah berhenti sebentar, ia berpaling dan bertanya :
988
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Loo-ji, di antara orang-orang yang sedang kita cari masih ada
berapa orang yang belum berhasil ditundukkan..."
Mayat Bengis berpikir sebentar, lalu menjawab :
"Masih ada seorang kakek she Lu dan seorang perempuan baju
hijau..."
Lu Kiat terkesiap, dari jawaban pihak lawan dia tahu kalau kakek
she Lu yang dimaksudkan bukan lain adalah ayahnya sendiri, sedang
perempuan berbaju hijau itu pun pernah diketahui olehnya, menurut
perkataan orang perempuan itu adalah salah seorang jago lihay dari
partai Thian-san.
Mereka semua termasuk jago-jago lihay yang pernah berkumpul
di gunung Kiu-hoa-san untuk menumpas tiga mayat hidup dari muka
bumi.
Terdengar Mayat Ganas mendengus dan berkata :
"Kedua orang manusia celaka itu mengira mereka sanggup
menghindarkan diri dari pengejaran kita orang... Hmmm! Dan
sekarang mereka kirim anak muridnya untuk memusuhi kita bertiga...
haaa... haa..."
Ia tertawa seram, lanjutnya :
"Bocah keparat, bukankah kau adalah anak murid dari salah satu
di antara mereka berdua?"
Tokoh sakti dari perguruan Mayat Hidup yang selama hidupnya
belum pernah melakukan perbuatan baik ini bukan saja kecerdikannya
melebihi orang lain, pengalamannya luas sekali. Dari nada suara serta
perubahan air muka pemuda itu, dengan cepatnya ia dapat menebak
asal usul orang.
Ditinjau dari kemampuannya ini bisa ditarik kesimpulan bahwa
Mayat Ganas dari perguruan Mayat hidup ini bukan manusia
sembarangan.
"Kalau memang engkau pandai menebak asal usul orang, kenapa
mesti ajukan pertanyaan lagi?" seru Lu Kiat ketus.
989
Saduran TJAN ID
Mayat Bengis tak dapat menahan diri lagi terhadap tingkah laku
Lu Kiat yang dianggap jumawa dan sombong itu, dengan tabiatnya
yang berangasan dan gampang naik darah dengan cepat alisnya
berkerut, sambil ayun tangan kanannya ke muka dia memaki:
"Enyah kau telur anjing makmu..."
990
IMAM TANPA BAYANGAN II
Jilid 40
LU KIAT menggeser tubuhnya ke samping dan teriaknya :
"Oooh... jadi makmu dilahirkan oleh seekor anjing betina."
Pemuda itu tak mau dirinya dimaki orang dengan kata-kata yang
merugikan, maka terlontarlah makian yang jauh lebih pedas daripada
makian musuhnya.
Tetapi dengan kejadian ini hawa amarah yang berkobar dalam
dada Mayat Bengis tak terkendalikan lagi, telapak kanannya diayun
ke depan melancarkan satu pukulan bahaya," teriaknya :
"Jika aku tak mampu menyelesaikan jiwa anjingmu itu, aku
bukan manusia jagoan di dalam Benteng Kiam-poo."
Tajam sekali desiran angin pukulannya, seakan-akan gugurnya
tanah berbukit yang menimpa badan, angin pukulan tersebut dengan
mengandung hawa dingin yang menggidikkan hati segera mengepung
empat penjuru di sekeliling tempat itu.
Lu Kiat tercekat hatinya menyaksikan datangnya ancaman angin
pukulan yang begitu mengerikan, ia tahu bahwa musuhnya
meyakinkan suatu ilmu pukulan beracun yang sangat lihay, tubuhnya
buru-buru mengigos ke samping dan loncat mundur ke belakang
dengan kecepatan laksana sambaran petir.
"Toako!" Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei segera
tertawa dingin, "serahkan saja bangsat itu kepadaku."
Lu Kiat menyadari bahwa kepandaian silatnya bukan tandingan
lawan, mendengar itu dia mengepos tenaga dan segera loncat ke
belakang.
991
Saduran TJAN ID
"Kali ini aku harus saksikan kemampuanmu!" bisiknya sambil
tertawa ewa.
Dalam pada itu tatkala Mayat Bengis menyaksikan serangannya
tidak mengenai sasaran, hatinya segera jadi bergidik, sambil tertawa
seram dan wajahnya menyeringai seram ke-dua belah tangannya
direntangkan lebar-lebar, sepuluh jari tangannya dengan kuku yang
panjang bergetar di udara mencari sasaran, selangkah demi selangkah
ia maju mendekat si anak muda itu.
"Siapa kau?" teriaknya gusar.
"Hmm! Aku adalah orang yang sedang kalian nantikan," sahut
Pek In Hoei sambil mendengus dingin.
Mayat Bengis segera menghentikan gerakan tubuhnya, dengan
wajah tercengang dan sangsi ia menegur :
"Oooh...! Jadi kau adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In
Hoei? Apa kau tidak berbohong?"
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... tidak salah, akulah Pek In Hoei
yang sedang kalian tunggu-tunggu," pemuda itu tertawa dingin,
"bukankah kalian tiga sosok mayat hidup sedang menjalankan tugas
dari Cui Tek Li untuk menghadang jalan bagiku? Kini aku sudah
berdiri di hadapan kalian semua, setiap saat kamu boleh turun
tangan."
"Oooh! Jadi kau adalah putra Pek Tiang Hong?" tanya Mayat
Bengis lagi dengan hati tercekat.
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah lootoa dari tiga mayat hidup
kemudian balik tanyanya :
"Kau juga kenal dengan ayahku?"
Air muka Mayat Ganas berkerut kencang, wajahnya yang penuh
codet bergetar keras menahan emosi yang berkobar-kobar, jeritnya
penuh kebencian :
"Kenal... kenal... tentu saja kenal."
"Hmm! Aku tidak percaya," tukas Pek In Hoei dengan wajah
menghina, "aku tidak percaya kalau ayahku sudi mengadakan
992
IMAM TANPA BAYANGAN II
hubungan dengan manusia macam kalian itu. Ciss! Semua sahabat
serta kenalannya adalah manusia budiman serta orang gagah yang
berbudi luhur dan berjiwa ksatria, dia tak mungkin sudi berhubungan
dengan kamus semua!"
Seolah-olah dadanya terhantam oleh suatu benda yang amat
berat, tiba-tiba Mayat Ganas mendesis penuh kesakitan, sorot
matanya memancarkan cahaya berapi-api yang penuh mengandung
hawa kegusaran, keadaan orang itu ibaratnya binatang liar yang
sedang menghadapi ajalnya.
Penampilan mimik wajah itu bukan saja mengejutkan hati Jago
Pedang Berdarah Dingin, bahkan Lu Kiat yang berada di belakang
pun ikut berdebar keras menjumpai keadaan tersebut.
"Coba saksikanlah raut wajahku ini," ia berseru sambil tertawa
seram.
"Hmm! Selembar wajah yang amat jelek dan memuakkan hati,"
seru Pek In Hoei dengan perasaan jijik, "belum pernah kutemui
manusia yang sejelek dan sengeri wajahmu itu, setiap kali
menyaksikan tampangmu aku merasa perutku kontan jadi mual dan
ingin muntah. Hey! Manusia berwajah setan, sudah terlalu banyak
kejahatan yang kau lakukan semacam ini, kolong langit sudah bosan
menampung manusia jelek berhati kejam macam dirimu lagi, aku lihat
sudah tiba waktunya bagimu untuk pulang ke neraka dan bercampur
dengan bangsamu."
"Haaaah... haaaah... haaaah... tahukah engkau kenapa wajahku
bisa hancur jadi begini rupa?" teriak Mayat Ganas sambil tertawa
seram.
"Bagi manusia-manusia ganas yang sudah sering melakukan
perbuatan jahat seperti kalian, siapa pun mempunyai keinginan untuk
melenyapkan kamu semua dari muka bumi," seru Pek In Hoei ketus,
"wajah kalian tidak menampilkan kebajikan dan kebaikan hati, sedang
dalam hati kejahatannya melebihi raut mukanya itu, tentu saja setiap
ksatria yang bertemu dengan kalian ingin merusak tampangmu itu...
993
Saduran TJAN ID
bila kalian suka bertobat dan tidak melakukan perbuatan jahat lagi,
mungkin jiwa kalian bertiga masih bisa diselamatkan..."
"Tutup mulut!" tiba-tiba Mayat Ganas membentak keras, "sudah
cukupkah perkataanmu itu?"
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Terhadap manusia-manusia tak tahu diri semacam dirimu itu
sebenarnya tak usah banyak bicara, tetapi kalau memang kau sudah
merasa tersinggung hatinya oleh perkataan ku tadi, sekarang bolehlah
kita lanjutkan penyelesaian urusan ini dalam beradu kepandaian..."
Mayat Ganas memegang kencang-kencang raut wajahnya yang
mengerikan itu lalu mendesis penuh penderitaan, perlahan-lahan
tangannya meluncur ke bawah dan angkat kepala, dengan wajah
penuh kebencian.
"Tahukah engkau, bahwa wajahku bisa hancur jadi begini garagara
perbuatan dari ayahmu..." jeritnya.
"Hasil karya ayahku?" seru Pek In Hoei tertegun, "maksudmu
ayahku yang merusak wajahmu itu..."
"Hmm! Pek Tiang Hong adalah manusia rendah yang tak tahu
malu..." teriak Mayat Ganas lagi sambil mendengus, "dia merusak
wajahku agar aku tidak dapat bertemu manusia lagi dalam lingkungan
hidup masyarakat biasa, dia suruh aku setiap harinya hanya
bersembunyi dalam dunia kegelapan..."
Ia berhenti sebentar dan tertawa seram, terusnya :
"Penderitaan dan siksaan batin seperti ini tak mungkin bisa
dialami oleh siapa pun, semua orang tak akan tahan kalau disiksa terus
menerus dengan secara demikian."
"Aku melarang engkau memaki ayahku seenak-enaknya
sendiri..." bentak Pek In Hoei sinis.
"Huuh...! Kau anggap ayahmu adalah seorang budiman? Seorang
ksatria yang berbudi luhur? Tahukah engkau bukan saja ayahmu
berhati kejam dan bertangan besi, dia adalah telur busuk tua yang
pandai sekali menggunakan akal licik, cukup kau pandang raut
994
IMAM TANPA BAYANGAN II
wajahku ini, maka akan kau ketahui bagaimanakah rendahnya cara
ayahmu menghadapi orang..."
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak menyangka kalau
Mayat Ganas sang lo-toa dari tiga mayat hidup menilai ayahnya
begitu rendah dan seolah-olah sama sekali tak ada nilainya, meskipun
dia tak tahu apa sebabnya raut muka Mayat Ganas dihancurkan oleh
ayahnya, tetapi dia yakin ayahnya bisa bertindak kejam tentu
didasarkan oleh alasan tertentu, tak mungkin ayahnya merusak raut
wajah orang tanpa sebab, dia percaya ayahnya bukan seorang manusia
berhati keji.
Maka dia lantas tertawa sinis, katanya :
"Aku duga kau tentu sudah melakukan suatu perbuatan jahat dan
tertangkap basah oleh ayahku, maka ia lantas bertindak kejam
terhadap dirimu... Jika demikian keadaannya, kau tak bisa
menyalahkan tindak tanduknya yang keji, hal itu harus salahkan pada
dirimu sendiri..."
"Hmmm! Kau serta bapakmu sama-sama telur busuk..." maki
Mayat Ganas dengan penuh kemarahan.
Hawa amarah dalam dada Jago Pedang Berdarah Dingin kontan
berkobar, ia memperingatkan :
"Hey manusia bermuka jelek, kalau berbicara sedikitlah berhatihati,
kau harus tahu bahwa aku tidak akan seriang ayahku tempo dulu
dengan merusak wajahmu belaka, mungkin selembar sisa hidupmu itu
pun akan ikut kumusnahkan pula..."
"Haaaah... haaaah... haaaah... kentut busuk nenekmu, setelah
bapakmu modar maka dendam sakit hatiku ini boleh dibilang sudah
kutuntut separuh, sisanya yang separuh... Hmm... Hmm... hari ini
akan kutagih dari badanmu..."
"Coba katakan dahulu apa sebabnya ayahku telah
menghancurkan raut mukamu itu..." kata Pek In Hoei hambar.
Mayat Ganas tertegun sejenak, kemudian balik bertanya :
"Mau apa kau tanyakan persoalan ini?"
995
Saduran TJAN ID
"Aku tidak ingin mempunyai bayangan jelek tentang ayahku di
dalam benakku, maka aku harus mencari tahu lebih dahulu duduk
perkara yang sebenarnya untuk kemudian akan kutentukan siapa yang
benar dan siapa yang salah."
"Hmm! Aku cuma menghabiskan isi otak dua manusia hidup
saja, lantaran kejadian itu ayahmu lantas tega-teganya merusak
wajahku ini, sekarang katakanlah siapa yang kejam?"
"Haaaah... haaaah... haaaah... kau menghabiskan isi otak manusia
hidup, sekali pun mesti mati juga pantas dan ayahku sama sekali tidak
terhitung kebangetan!" sahut Pek In Hoei sambil tertawa terbahakbahak.
"Ciiss... terhitung seberapa sih membunuh dua orang manusia?"
teriak Mayat Ganas dengan penuh kemarahan.
Sambil tertawa seram tiba-tiba lengannya disambarkan ke depan,
lima jari tangannya yang tajam bagaikan kuku garuda langsung
mencengkeram tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin yang berada di
hadapannya.
Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmmm! Kau cari mati."
Criiing...! Di tengah pekikan nyaring pedang mestika penghancur
sang surya ikut tercabut keluar bersamaan dengan gerakan itu, hawa
pedang yang menggidikkan hati dengan cepat tersebar di angkasa dan
terciptalah suatu lingkaran besar di tengah kegelapan.
"Aaaah...! rupanya pedang mestika penghancur sang surya milik
Cia Ceng Gak telah terjatuh ke tanganmu..." gumam Mayat Ganas
termangu-mangu, agaknya ia tercengang oleh kejadian tersebut.
"Pedang mestika adalah senjata tajam yang khusus dipergunakan
untuk membasmi kaum iblis dari muka bumi, aku yang bertugas
melenyapkan kaum durjana dari dunia persilatan tentu saja harus
menghadapi manusia-manusia laknat itu dengan pedang tajam ini."
996
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Kentut busuk makmu..." Mayat Ganas meraung keras, tubuhnya
menerjang maju ke muka, sepasang telapaknya bekerja melancarkan
serangan mematikan.
Cahaya pedang tiba-tiba berkilauan di angkasa diikuti jeritan
ngeri yang mendirikan bulu roma berkumandang memecahkan
kesunyian, dua buah lengan yang berlumuran darah terlempar ke
udara dan rontok ke bumi.
Mayat Ganas dengan wajah menyeringai seram tiba-tiba tertawa
keras, teriaknya :
"Haaaah... haaaah... haaaah... bagus... bagus sekali... ayahmu
telah merusak wajahku dan sekarang kau melenyapkan pula sepasang
lenganku, aku tak mau hidup lagi di kolong langit."
Dengan penuh perasaan dendam dia melotot sekejap ke arah
pemuda itu, tiba-tiba ia menggigit putus lidah sendiri, diiringi
menyemburnya darah segar dari bibir orang itu, melayanglah
selembar jiwanya pulang ke alam baka.
"Kau telah memaksa mati toako kami!" bentak Mayat Bengis
dengan gusarnya.
"Huuuh... manusia semacam dia, sekali pun mati juga tak perlu
disayangkan..." ejek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Bangsat kamu..." bagaikan orang gila Mayat Bengis segera
menerjang ke depan, dari punggungnya dia lepaskan sebuah senjata
pecut yang panjang, setelah digetarkan di udara menciptakan
berpuluh-puluh buah jalur pecut yang panjang, ia serang Pek In Hoei
habis-habisan.
Jago Pedang Berdarah Dingin mendengus ketus menyaksikan
datangnya ancaman itu, katanya :
"Toakomu cukup mengagumkan hatiku sebab dia masih memiliki
keberanian untuk bunuh diri, aku tak tahu apakah kau juga
mempunyai keberanian untuk melakukan bunuh diri atau tidak,
seandainya kau pun ada niat untuk bunuh diri lebih baik pertarungan
ini tak usah dilanjutkan lagi."
997
Saduran TJAN ID
"Kau tak usah bermimpi di siang hari bolong," gembor Mayat
Bengis penuh kegusaran, "sampai mati pun aku Mayat Bengis tak mau
menyerah apalagi minta ampun kepadamu!"
Setelah menyaksikan rekan sejawatnya mati karena bunuh diri,
Mayat Bengis yang tersohor karena kekejiannya itu benar-benar tak
sanggup menguasai diri, tanpa memikirkan keselamatan diri sendiri
lagi dia mainkan senjata pecutnya sedemikian rupa hingga seluruh
jalan darah penting di tubuh lawan sudah berada di bawah
kurungannya.
Hawa napsu membunuh menyelimuti seluruh wajah Jago Pedang
Berdarah Dingin, dia merasa hawa marah dalam dadanya bergolak
keras dan sukar dikendalikan lagi, suatu keinginan untuk
membinasakan lawannya segera timbul menguasai otaknya.
Pedang mestika penghancur sang surya laksana titiran angin
puyuh langsung berkelebat ke depan menerjang masuk lewat
kurungan bayangan pecut yang amat rapat itu.
"Aduuuh...!" kembali terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan
hati berkumandang memecahkan keheningan malam.
Di kala tusukan pedang yang meluncur ke depan laksana
sambaran kilat itu menerobos masuk ke tengah kepungan bayangan
pecut yang bersusun, jeritan tadi berkumandang.
Tampaklah sekujur tubuh Mayat Bengis berlepotan darah,
tubuhnya terbelah jadi dua bagian dan roboh ke atas tanah, bau amis
darah dan hancuran isi perut bercampur aduk di tepi kebun
menyiarkan bau amis yang memualkan perut.
Menyaksikan kesemuanya itu Lu Kiat hanya bisa gelengkan
kepalanya sambil berkata :
"Dia adalah korban ke-empat yang mati penasaran di ujung
pedangmu itu!"
"Bebaskan jalan darah dari Mayat Dingin..." perintah Pek In Hoei
sambil mendengus dingin.
998
IMAM TANPA BAYANGAN II
Lu Kiat melengak, dengan pandangan tidak mengerti dia lirik
sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin kemudian berjongkok
di sisi tubuh Mayat Dingin dan menepuk dua kali di atas jalan
darahnya.
Sekujur badan Mayat hidup itu gemetar keras, ia segera tersadar
kembali dari pingsannya.
Uaaak! Ketika bibirnya bergerak hendak berbicara, darah segar
memancar keluar dari mulutnya menodai seluruh pakaian yang dia
kenakan, rasa kaget dan ngeri terlintas di atas wajahnya.
Tetapi setelah sorot matanya menyapu sekejap ke arah mayat
yang bergelimpangan di atas ceceran darah segar, dengan cepat ia
sudah tahu apa sebetulnya yang telah terjadi, ia menghembuskan
napas panjang lalu berbisik dengan bibir gemetar :
"Kalian..."
"Saudara-saudaramu telah berangkat lebih duluan darimu...
mungkin mereka sudah menanti kedatanganmu di tengah
perjalanan..." seru Pek In Hoei ketus.
Mayat Dingin menguak-uak perdengarkan jeritan aneh yang
mengerikan hati, kemudian bisiknya lirih :
"Aku pun tak bisa hidup lagi!"
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah Lu Kiat kemudian ajaknya :
"Toako, mari kita lanjutkan perjalanan dan coba membobol
rintangan berikutnya."
Sambil gelengkan kepalanya berangkatlah ke-dua orang itu
menyelusuri lorong kecil menuju ke tempat kegelapan.
Meskipun dua rintangan berhasil mereka lalui dengan gampang,
bagaimanakah nasib pada rintangan berikutnya mereka sendiri pun
tak tahu.
Bayangan merah bergoyang di ujung jalan yang panjang itu,
beberapa buah lampu lentera menyinari sekitar tempat itu dan
mengusir kegelapan yang menyelimuti jagad, setelah melewati jalan
itu mereka akan tiba di depan pintu benteng, jika rintangan ke-tiga
999
Saduran TJAN ID
bisa mereka lampaui dengan selamat maka orang Benteng Kiam-poo
tidak berhak untuk merintangi perjalanan mereka berdua lagi.
Tetapi justru pada dua rintangan yang terakhir inilah kekuatan ini
dari Benteng Kiam-poo diletakkan, setiap anggota Benteng Kiam-poo
percaya bahwa mereka berdua tak nanti berhasil melampaui rintangan
ke-tiga, apalagi rintangan ke-empat yang dijaga sendiri oleh poocu
mereka.
Di bawah kilauan cahaya merah berdiri kaku empat orang pria
tinggi kekar dengan gagahnya, pedang panjang tersoren di
punggungnya dengan sepasang mata memandang lurus ke depan.
Sepintas lalu ke-empat orang itu nampak begitu gagah dan
berjiwa ksatria, tetapi setelah diamati lebih jauh maka terasalah hawa
sesat yang memancar keluar dari tubuh mereka, menimbulkan
perasaan jemu bagi yang memandangnya.
Ke-empat orang manusia kekar itu sudah setengah malaman lebih
menunggu di tempat itu, menantikan kehadiran orang yang dinantikan
oleh mereka, tetapi sampai begitu jauh tak terlihat sesosok bayangan
manusia pun yang mendekati ruang jaga mereka, hal ini menimbulkan
perasaan kecewa dalam hati kecil mereka, kecewa karena tak punya
kesempatan untuk turun tangan.
Langkah kaki yang berat bergema memecahkan kesunyian
membangkitkan kembali semangat ke-empat orang itu, seakan-akan
srigala liar yang mendadak menemukan mangsanya delapan sorot
mata segera beralih ke arah kiri... sebab suara langkah kaki itu muncul
dari sudut jalan sebelah kiri...
Dari balik jalan kecil yang sepi muncul sesosok bayangan
manusia, orang itu berjubah panjang berjenggot hitam dan melangkah
dengan tindakan berat, seakan-akan dalam hatinya punya ganjalan
beban yang berat sekali... selangkah demi selangkah maju terus ke
muka...
"Oooo...! Poocu..."
1000
IMAM TANPA BAYANGAN II
Seruan itu mengendorkan pikiran dan perhatian mereka berempat
yang sudah tercekam dalam ketegangan, namun kehadiran sang poocu
yang tak pernah diduga sebelumnya ini cukup menegunkan pula hati
mereka.
Setelah memberi hormat mereka memandang ke arah
pemimpinnya ini dengan pandangan tak habis mengerti.
"Yan An!" seru Cui Tek Li setelah menghentikan langkah
kakinya.
"Ada apa poocu?"
Dari antara ke-empat orang pria kekar itu berjalan keluar seorang
pria beralis tebal yang mempunyai tahi lalat di atas jidatnya, dengan
pandangan tertegun ia memandang sekejap ke arah pemilik benteng
itu, lalu tanyanya kembali dengan suara lirih :
"Poocu, ada urusan apa?? Katakanlah!"
Cui Tek Li pemilik dari Benteng Kiam-poo itu menghela napas
panjang, setelah ragu-ragu sebentar ujarnya :
"Pek In Hoei telah melampaui dua rintangan dengan
membinasakan lima orang jago kita, sekarang satu-satunya harapan
terakhir dari benteng kita terletak pada pundak kamu berempat, aku
tidak berharap Pek In Hoei berhasil melampaui pula rintang yang ketiga
ini..."
"Poocu tak usah kuatir, dan kau pun tak usah terlalu merisaukan
diri," seru Yan An sambil tertawa keras, "dengan tenaga gabungan
dari kami empat orang raksasa, siapakah yang mampu menandingi
kekuatan kami?? Coba bayangkanlah sendiri Pek Tiang Hong yang
tempo dulu dikatakan sangat lihay pun tak mampu meloloskan diri
dari cengkeraman kami, apalagi putranya... hmmm... hmmm... aku
Yan An tidak percaya kalau dia bisa lebih dahsyat daripada ayahnya
di masa silam..."
"Kalian tak boleh bertindak terlalu gegabah, Jago Pedang
Berdarah Dingin secara beruntun mampu menjebolkan pertahanan
dari dua rintangan, dari sini bisa kita lihat bila ia benar memiliki
1001
Saduran TJAN ID
kekuatan yang tak boleh dianggap remeh, jika kali ini mereka pun
berhasil merobohkan pertahanan dari kamu berempat, aku lihat...
terpaksa nama Benteng Kiam-poo kita mesti diganti..."
Kecuali ilmu silat yang dimiliki Cui Tek Li, boleh dibilang Yan
An tak pernah percaya kalau orang lain memiliki kemampuan
sedahsyat itu, tetapi setelah menyaksikan kekuatiran poocu apalagi
pemimpin mereka itu bicara sambil bermuram durja, tak tahan segera
tanyanya :
"Poocu, apakah kau tidak punya keyakinan untuk berhasil
menangkan dirinya?"
"Aaaa... tentang soal ini sulit untuk dikatakan," jawab Cui Tek Li
setelah tarik napas panjang-panjang, "Aku sendiri pun merasa tak
punya kemampuan untuk merubuhkan bocah muda itu..."
"Aaaai! Masa iya? Poocu, aku tidak percaya... " teriak pria yang
berada di paling ujung sebelah tertegun sebentar.
"Gui Ku Jin!" seru Cui Tek Li dengan mata melotot besar, "kau
anggap kepandaian silat yang kumiliki adalah nomor satu di dunia dan
tiada tandingan lagi di kolong langit? Meskipun ilmu pedang yang
kumiliki nomor satu di seluruh dunia persilatan, itu bukan berarti aku
sudah tiada tandingannya lagi di dalam jagat ini, kau mesti tahu
pedang mestika penghancur sang surya dari partai Thiam cong sudah
cukup digunakan untuk melawan diriku..."
Ia tertawa rawan, setelah berhenti sebentar ujarnya kembali :
"Tetapi kalian pun tak usah terlalu takut, Benteng Kiam-poo
bukanlah manusia-manusia tolol yang pandainya hanya bikin malu
saja..."
Empat raksasa bertenaga sakti itu terdiri Yan An, Gui Ku Jin,
Bong Yu Seng serta Hay San Jin, untuk menundukkan mereka
berempat di masa yang lampau Cui Tek Li harus mengorbankan
banyak tenaga dan pikiran sebelum akhirnya berhasil, ia harus
bertempur sengit selama dua hari dua malam lamanya untuk
menentukan siapa menang siapa kalah, oleh sebab itulah dia sangat
1002
IMAM TANPA BAYANGAN II
memahami kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki ke-empat
orang ini.
Kalau dibicarakan dari tingkatan tenaga dalam yang dimiliki keempat
orang itu, maka boleh dibilang Yan An paling lihay sedang Hay
San Jin paling lemah, tetapi jika Pek In Hoei sekaligus ingin
bertempur melawan ke-empat orang ini, maka boleh dibilang keadaan
tersebut ibaratnya batu membentur telur.
"Poocu!" terdengar Bong Yu Seng berkata dengan suara
tergagap, "dari nada pembicaraanmu barusan, seolah-olah kau
melukiskan kemampuan yang dimiliki Pek In Hoei jauh lebih lihay
daripada bapaknya, jika kami berempat hari ini jatuh kecundang maka
aku rasa kau pun bakal kehilangan muka pula, karena itu bagaimana
pun juga kau harus carikan akal bagi kita orang untuk berhasil
membinasakan bangsat cilik itu, bila bibit bencana dapat disingkirkan
maka hal ini bukan saja bermanfaat bagi poocu, bagi kami pun
menguntungkan..."
"Ehmmmm..." Cui Tek Li mengangguk tanda menyanggupi, "aku
memang sudah sepantasnya mencarikan suatu akal bagi kalian
berempat..."
Air mukanya tiba-tiba berubah jadi serius, hal ini membuat hati
ke-empat orang raksasa itu tercekat, detik itu juga mereka ikut
merasakan bahwa pihak lawan tentu ampuh sekali dan tidak gampang
untuk menghadapinya... Dengan pandangan gelisah bercampur kuatir
sorot mata ke-empat orang itu dialihkan ke atas wajah poocu Benteng
Kiam-poo, mereka berharap agar sang pemimpin mereka itu berhasil
menemukan suatu jalan yang bagus.
Setelah termenung beberapa saat lamanya Cui Tek Li segera
menghela napas panjang dan merogoh ke dalam sakunya untuk
mengambil keluar sebuah botol kecil berwarna hijau, dari botol itu dia
ambil keluar empat butir obat kecil berwarna merah dan diletakkan di
atas telapaknya.
1003
Saduran TJAN ID
"Poocu, obat apakah itu?: tanya Hay San Jin dengan nada
tercengang.
"Obat ini bukan lain adalah obat yang sangat mujarab dan
tersohor untuk menambah tenaga dari Tibet," kata Cui Tek Li dengan
wajah serius, "seandainya seseorang menelan sebutir pil ini maka
tenaga dalam tubuhnya akan bertambah kuat dua kali lipat dari
keadaan semula. Obat ini kubuat atas petunjuk seorang tokoh sakti
dari Tibet, biarlah kali ini kugunakan untuk melipat gandakan
kekuatan tubuh kalian berempat dengan harapan Pek In Hoei bisa kita
musnahkan dengan cepat, dalam keadaan begini jika bangsat she Pek
itu bermaksud melakukan perlawanan, itu berarti dia mencari
penyakit buat diri sendiri..."
Mendengar perkataan itu Gui Ku Jin serta Hay San Jin jadi sangat
kegirangan, mereka sambar sebutir pil merah tadi dan dimasukkan ke
dalam mulutnya.
Yan an serta Bong Yu Seng saling bertukar pandangan sekejap,
kemudian mereka masing-masing pun menelan sebutir.
Cui Tek Li segera tertawa ringan sesudah menyaksikan empat
orang jago lihaynya menelan obat itu, katanya :
"Merka sudah hampir tiba di sini, aku harus berlalu lebih dahulu
untuk mempersiapkan diri..."
Saat ini air mukanya sudah tidak bermuram durja lagi seperti
keadaannya sewaktu datang ke situ, seakan-akan sebuah masalah
besar telah berhasil diselesaikan olehnya dengan baik, dengan badan
yang enteng tubuhnya segera bergerak menuju ke arah jalan kecil di
mana ia datang tadi.
Di balik pepohonan yang lebat dan gelap seorang perempuan tua
berwajah sayu berdiri mematung di tempat itu, ketika menjumpai Cui
Tek Li berjalan menghampiri dirinya ia segera maju sempoyongan.
"Apakah kau telah berikan obat pelenyap tenaga kepada mereka
berempat??"
1004
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Ehmmmm! Dan sekarang kau tak usah kuatir lagi," sahut Cui
Tek Li pemilik Benteng Kiam-poo sambil mengangguk, "demi dirimu
aku tidak sayang untuk mengorbankan begitu banyak jago-jago
lihayku, mungkin jiwaku telah kau rubah sama sekali... tetapi sayang
sekali kau tidak berhasil merubah diri Pek In Hoei..."
"Suamiku!" seru perempuan tua itu dengan air mata bercucuran,
"aku merasa sangat berterima kasih sekali kepadamu karena engkau
mau bersikap demikian terhadap In Hoei, di kemudian hari aku bisa
memberitahukan kesemuanya itu kepadanya, akan kukatakan betapa
kasih sayangnya dirimu terhadap dia, jika ia benar-benar berani
datang lagi untuk menuntut balas, aku pasti menegur dan memarahi
dirinya..."
"Aku tidak takut menghadapi dirinya, jika ia berani datang lagi
pasti akan kuberi peringatan yang tajam kepadanya," seru Cui Tek Li
dengan suara dingin, "hujin mari kita pulang!"
Perempuan tua itu gelengkan kepalanya.
"Kau belum mengabulkan permintaanku, lepaskanlah In Hoei
pada rintangan yang terakhir..."
"Hujin! Aku telah mengorbankan ke-empat orang pembantu
setiaku itu demi memenuhi keinginanmu, masa kau tak bisa
memahami maksud hatiku?? Tentu saja aku tak akan menyusahkan
dirinya lagi..."
Suara langkah kaki manusia yang lirih secara lapat-lapat
berkumandang datang, ketika mereka angkat kepala memandang ke
arah samping kanan, terlihatlah dengan langkah gagah Pek In Hoei si
Jago Pedang Berdarah Dingin beserta Lu Kiat perlahan-lahan maju
mendekat.
"Aku ingin menyaksikan putraku berjuang membobolkan
rintangan yang ke-tiga ini..." bisik perempuan tua itu mendadak.
"Aaaaai... aku lihat kau terlalu menyayangi dirinya..." omel Cui
Tek Li sambil tertawa, kepalanya digelengkan berulang kali.
1005
Saduran TJAN ID
Di tengah kegelapan Pek In Hoei jalan bersanding di sisi Lu Kiat,
dari tempat kejauhan mereka sudah menangkap cahaya merah itu dan
mereka pun dapat menyaksikan pula empat orang jago kekar di bawah
sorot cahaya lampu lentera itu.
Dengan alis berkerut Lu Kiat segera berbisik :
"Aneh sekali... mengapa semua jago yang kita temui pada malam
ini semuanya merupakan manusia-manusia laknat yang sudah
tersohor akan kejahatannya di kolong langit..."
"Kenapa? Apakah kau juga kenal dengan ke-empat orang itu..."
tanya Pek In Hoei setelah tertegun sejenak.
Lu Kiat tarik napas panjang-panjang, terhadap ke-empat orang itu
bukan saja kenal bahkan boleh dibilang amat mengenalinya. Sepuluh
tahun berselang mereka pernah secara beruntun membinasakan enam
belas orang jago lihay dari kalangan lurus dalam waktu tiga hari,
waktu itu peristiwa tersebut sangat menggemparkan dunia persilatan,
tiap partai besar mengirimkan jagonya untuk mencari jejak ke-empat
orang pembunuh itu tetapi bukan saja ilmu silat yang dimiliki keempat
orang itu sangat lihay, kecerdasan mereka pun luar biasa sekali,
beberapa kali terjadi bentrokan setelah membunuh mereka segera
melarikan diri... tak pernah sekali pun menderita luka akibat
pertarungan...
"Dari mana kau bisa mengetahui persoalan ini dengan begitu
jelas..." tanya Pek In Hoei sesudah tertegun sebentar.
"Waktu itu usiaku masih amat muda, aku ikut ayah menghadiri
pergerakan tersebut, karenanya ke-empat orang itu telah memberi
kesan yang mendalam bagiku, selama hidup aku tak mungkin bisa
melupakan diri mereka lagi..."
Sekilas rasa ngeri dan takut terlintas di wajahnya, dia
melanjutkan kembali kata-katanya :
"Kita berdua tak akan mampu menghadapi sepak terjang keempat
manusia ganas itu, menurut pendapatku lebih baik kita mencari
jalan lain saja..."
1006
IMAM TANPA BAYANGAN II
"Maksudmu kau suruh aku melarikan diri dari sini??" tanya Pek
In Hoei tercengang.
"Banyak sekali cara hidup seorang manusia di kolong langit,
kenapa kita mesti bersikeras untuk memikirkan masalah yang sama
sekali tak ada gunanya itu? Bukankah secara terang-terangan kita
sudah tahu bahwa kita berdua bukan tandingannya, kenapa kita mesti
ngotot menghantar kematian buat diri sendiri?? Adik In Hoei, lebih
baik turutilah perkataanku..."
Dengan cepat Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei
gelengkan kepalanya berulang kali.
"Selama hidup belum pernah aku mundur dan melarikan diri
sebelum melangsungkan pertarungan..."
"Adik In Hoei, sekarang bukan saatnya yang tepat bagi kita untuk
berlagak sok pahlawan," seru Lu Kiat dengan gelisah, ia menghela
napas panjang.
"Aku ingin memberitahukan pula satu hal kepadamu, mungkin
kau bisa menyetujui cara bekerja yang kuusulkan ini, bagaimanakah
kemampuan dari malaikat pedang Cia Ceng Gak dari partaimu?"
"Dia adalah malaikat pedang dari partai kami," jawab Pek In Hoei
dengan wajah serius.
"Nah! Sekarang kau akan merasa lebih jelas lagi, tahukah engkau
bahwa kehebatan Cia Ceng Gak di dalam permainan pedang boleh
dikatakan sudah tiada bandingannya di kolong langit. Tetapi ketika ia
bertempur melawan ke-empat orang jago itu, dengan mengorbankan
diri hingga terluka ia baru berhasil menangkan empat jurus serangan
dari mereka, coba pikirlah andaikata mereka tidak memiliki ilmu silat
yang betul-betul maha dahsyat, mampukah ke-empat orang manusia
ganas itu menghadapi serangan berantai dari seorang malaikat
pedang?"
Tercekat perasaan hati Jago Pedang Berdarah Dingin mendengar
perkataan itu, dia merasa pikirannya semakin berat dan tidak tenang,
hal ini bukanlah disebabkan ia jeri atau takut, tetapi ia sedang
1007
Saduran TJAN ID
membayangkan andaikata dia dengan andalkan ilmu pedang
penghancur sang surya yang maha sakti itu gagal mengalahkan keempat
manusia ganas itu maka itu berarti nama baik partai Thiam
cong akan ikut runtuh bersama kekalahan yang diderita olehnya.
Dengan pandangan tajam ia melirik sekejap ke arah empat orang
pria tinggi kekar itu, tampaklah olehnya ketika itu mereka sedang
menengok ke arahnya dengan pandangan dingin, dari sikapnya yang
congkak dan jumawa mereka bisa merasakan bahwa sebetulnya
musuh-musuh tangguhnya itu tidak pandang sebelah mata pun
terhadap dirinya.
"Toako, ayoh kita maju ke sana!" seru Pek In Hoei kemudian
dengan tegas setelah meraba pedang penghancur sang surya-nya.
"Adik In Hoei, apakah kau nekad hendak membentur batu?
Ketahuilah keadaan kita bagaikan telur dengan batu karang," seru Lu
Kiat dengan perasaan kaget.
"Hmmm! Apakah kita mesti ngeloyor pergi dari hadapan muka
orang? Perbuatan ini jauh lebih memalukan daripada dibunuh musuh,
aku tidak sudi melakukan perbuatan yang sangat menurunkan
derajatku itu. Toako! Bila kau ingin berlalu, pergilah seorang diri, aku
si Jago Pedang Berdarah Dingin tidak mungkin dapat melakukan hal
ini."
Senyuman dingin yang anggun dan sombong tersungging di
ujung bibirnya yang tipis, sepasang matanya berkilat dan menyiarkan
cahaya tajam, ia menengok sekejap ke arah empat tokoh maha sakti
itu kemudian perlahan-lahan maju ke depan.
Semangat jantannya yang tidak jeri menghadapi bahaya serta
jiwa ksatrianya menyongsong kematian yang setiap saat mengancam
datang, terpancar keluar dari tubuh orang muda itu, keteguhan serta
kekerasan hatinya hampir saja menyelimuti suasana di sekeliling
tubuhnya.
Tergetar keras hati Lu Kiat menyaksikan kegagahan rekannya itu,
timbul rasa malu dalam hati kecilnya, ia tarik napas panjang-panjang
1008
IMAM TANPA BAYANGAN II
dan segera menyusul di belakang tubuhnya, rasa putus asa dan jeri
yang semula menyelimuti wajahnya kini tersapu lenyap hingga tak
berbekas.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... siapkah di antara kalian yang
bernama Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei?" tegur Yan An
sambil tertawa seram.
"Siapakah engkau?" sahut Pek In Hoei sambil tertawa, hawa
napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, "aku Pek In Hoei
memberi hormat!"
Yan An tertegun dan berdiri melongo, rupanya ia tak mengira
kalau jago muda yang tersohor namanya di kolong langit serta dikenal
orang sebagai Jago Pedang Berdarah Dingin itu tidak lebih hanya
seorang pemuda yang masih muda usia, ia berseru tertahan sedang
satu ingatan dengan cepat terlintas di dalam benaknya.
"Poocu melukiskan orang ini dengan begitu hebatnya, tak nyana
yang dia maksudkan hanyalah seorang bocah cilik yang masih berbau
tetek, aaah! Benarkah pemuda ini yang telah menimbulkan
gelombang besar di dalam dunia rimba persilatan."
Berpikir sampai di situ dia lantas menegur :
"Betulkah kau adalah putranya Pek Tiang Hong?"
"Apa kau anggap aku suka mencatut nama orang lain?"
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... rupanya kau adalah seorang
manusia yang luar biasa sekali, sampai-sampai tiga mayat hidup pun
menemui ajalnya di tanganmu, tidak aneh kalau Poocu memandang
begitu serius terhadap kekuatanmu itu, tapi sayang seribu kali sayang
kelihayanmu yang luar biasa itu bakal hancur berantakan di atas she
mu itu."
"Apakah maksudmu?" tegur Pek In Hoei melengak.
"Karena kau she Pek maka kau harus mati karena orang she Pek
tak seorang pun merupakan orang baik."
"Bangsat!" bentak Pek In Hoei gusar, "air ludah yang muntah
keluar dari mulut baumu itu benar-benar memuakkan sekali, tidak
1009
Saduran TJAN ID
aneh kalau udara di sekitar sini terasa begitu bau seperti kentut busuk,
ternyata di sini ada anjing budukan yang sedang melepaskan kentut."
"Bajingan cilik, hati-hatilah kalau bicara," tegur Bong Yu Seng
sambil tertawa seram, "kau berani mengucapkan kata-kata semacam
itu, berarti pula kau bersikap kurang ajar terhadap toako kami."
"Bagaimana dengan engkau sendiri? Perkataanmu toh tidak
sedap didengar, itukah yang dinamakan sopan?"
Ditulis Oleh : ali afif ~ Ali Afif Hora Keren
Tulisan Cerita Ngentot Dewasa : ITB 17 ini diposting oleh ali afif pada hari Senin, 03 April 2017. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca Tulisan ini di Blog Ali Afif, Bukan Blogger terbaik Indonesia ataupun Legenda Blogger Tegal, Blogger keren ya Bukan. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.